ISSN 2087-703X e-ISSN 2354-8762 Volume 7 No. 1 April 2016 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Jalan Permtakan Negara 29, Jakarta 10560 Te lp. (021) 4287 2392, Fax. (021) 4287 2392 E-mail : [email protected] Website : http://www.kespro.litbang.depkes.go.id Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 7 No.1 Halaman 1- 70 Jakarta, April 2016 ISSN: 2087-703X e-ISSN: 2354-8762 ISSN : 2087-703X Volume 7 No. 1, April 2016 Jurnal Kesehatan Reproduksi e-ISSN : 2354-8762 Reproductive Health Journal Dewan Redaksi/Editorial Board Pelindung/Patronage : Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of Health Research and Development Penanggung Jawab / Editor-in-chief : Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat /Director of Central of Public Health Intervention Technology Mitra Bestari / Advisory Board : Dr. dr. Trihono, M.Sc. Prof. dr. Agus Suwandono, MPH.Dr.PH dr. Sarimawar Djaja, M.Kes drg. Christiana R Titaley, MIPH, PhD Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno Dr. Salahuddin Muhidin Atmarita, MPH, Dr.PH dr. Asri Adisasmita, PhD dr. Siti Nurul Qomariah , M.Kes, Ph.D Dr. Irwan M. Hidayana, M.Si Sandjaja, MPH, Dr.PH Dr. Melania Hidayat, MPH Ketua Dewan Redaksi / Editor in Chief : Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes Wakil Ketua Dewan Redaksi / Editor Section : Tin Afifah SKM, MKM Sudikno, SKM, MKM Anggota Redaksi / Managing Editor : Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Anissa Rizkianti, SKM, MIPH (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Prisca Petty Arfines, S.Gz, MPH (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM) dr. Ika Saptarini (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Andi Susilowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Penyunting Ahli / Copy Editor : Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM) Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi, Puslitbang UKM) dr. Teti Tejayanti, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Nunik Kusumawardani, MSc.PH, Ph.D (Promosi Kesehatan, Puslitbang UKM) Manajer Langganan / Subscription Manager : dr. Yuwono Wiryawan, M.Kes Sekretariat Pelaksana / Executive Secretariat : Indra Cans Yunina, S.Sos Puput Sumarta Puri, S.Gz Ahmad Rezha Gumilar, Amd Penerbit/Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392 Email : [email protected] Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Published by National Institute of Health Research and Development Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta Volume 7, No. 1, April 2016 ISSN : 2087-703X e-ISSN : 2354-8762 No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013 JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI DAFTAR ISI Kata Pengantar 1. MATERNAL DEATH IN INDONESIA: FOLLOW-UP STUDY OF THE 2010 INDONESIA POPULATION CENSUS Oleh: Tin Afifah, Teti Tejayanti, Ika Saptarini, Anissa Rizkianti, Yuslely Usman, Felly P. Senewe, Lamria Pangaribuan 1 – 13 2. DETERMINAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2013) Oleh: Ika Saptarini, Suparmi 15 – 24 3. PRAKTIK BUDAYA PERAWATAN DALAM KEHAMILAN PERSALINAN DAN NIFAS PADA ETNIK BADUY DALAM Oleh: Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo 25 – 36 4. PENGARUH KONSUMSI IBU HAMIL DAN UKURAN BIOMETRI JANIN PADA PANJANG LAHIR BAYI (ANALISIS DATA KOHORT TUMBUH KEMBANG ANAK 2011-2012) Oleh: Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati 37 – 47 5. HIPOTIROIDISME PADA IBU HAMIL DI DAERAH REPLETE DAN NON-REPLETE GONDOK DI KABUPATEN MAGELANG Oleh: Ina Kusrini, Dony K Mulyantoro, P B Sukandar, Basuki Budiman 49 – 59 6. SERUM RETINOL DAN STATUS GIZI IBU MENYUSUI MENENTUKAN KADAR VITAMIN A DALAM ASI Oleh: Sandjaja, Idrus Jus’at 61 – 70 KATA PENGANTAR Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 1 April 2016 terbit bertepatan dengan bulan lahirnya Ibu RA Kartini yang pada tahun 1965 dikukuhkan menjadi pahlawan nasional sebagai pejuang emansipasi wanita. Selain meninggalkan kisah ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, Ibu Kartini juga menyisakan kisah tentang riwayat perjalanan penyakit dan gejala sebelum Beliau meninggal pada 17 September 1904, atau 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya di usia 25 tahun. Bila kisah tersebut saat ini diresume dengan mengikuti kode ICD-10, maka diperoleh penyebab kematian dasar ibu Kartini adalaj eklampsia. Ibu Kartini adalah insipirator wanita Indonesia. Meskipun kini telah lahir Kartini-Kartini Indonesia yang berkontribusi besar pada pembangunan di Indonesia, namun masih banyak yang mengalami kisah kematian ibu seperti yang dialami oleh Ibu Kartini. Kematian ibu merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi dan masalah bangsa Indonesia pada umumnya. Tingkat kematian ibu di Indonesia masih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, dan eklampsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu. Oleh karena itu, diperlukan perhatian dari berbagai pihak, terutama perhatian terhadap ibu hamil. Kematian ibu pada dasarnya terjadi karena ada kehamilan. Kondisi kehamilan yang baik disertai asupan gizi yang adekuat berperan penting dalam mencegah kesakitan dan kematian pada kehamilan. Jurnal Kesehatan Reproduksi edisi April sangat erat kaitannya dengan status kesehatan ibu, terutama ibu hamil, baik dilihat dari tingkat kematian dan penyebab kematian ibu, faktor risiko kematian ibu seperti kehamilan yang tidak diinginkan, masalah budaya pada suku tertentu yang turut berkontribusi dalam permasalahan kesehatan ibu, serta asupan gizi yang terkait pada masa kehamilan. Artikel tentang kematian ibu, kehamilan yang tidak diinginkan serta budaya suku Baduy Dalam disajikan terkait dengan status kesehatan ibu hamil. Sementara itu, artikel tentang asupan gizi yang terkait dengan masa kehamilan dan nifas juga disajikan pada edisi ini, seperti artikel mengenai pengaruh konsumsi ibu hamil janin dan bayi lahir, hipotiroidisme pada ibu hamil serta status gizi ibu menyusui dan pengaruhnya pada kualitas ASI. Oleh karen itu, apabila program pelayanan kesehatan telah memadai, sikap dan perilaku ibu mendukung serta asupan gizi sudah adekuat, maka status kesehatan ibu dan gizi ibu hamil juga akan meningkat, sehingga ibu dapat melahirkan dengan aman dan selamat, serta bayi akan lahir dalam kondisi sehat. Bayi yang lahir sehat dan diberi asupan ASI yang cukup diharapkan akan menjadi generasi penerus yang unggul. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. REDAKSI DETERMINAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2013) Determinant of Unintended Pregnancies in Indonesia (Secondary Data Analysis of Basic Health Reserach 2013) Ika Saptarini*, Suparmi Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, *E-mail: [email protected] Abstract Background: Preventing unintended pregnancies were critical factor to reduce induced abortions and other adverse effects such as premature birth, low birth weight and maternal child morbidity and mortality. Objective: The aim of the study was to assess determinants of unintended pregnancies in Indonesia. Method: This study was a cross-sectional study using secondary data from Basic Health Reseach 2013. The sample study was women have been pregnant in the last three years before survey, which accounted as 53,668 women. The backward logistic regression was used for analysis. Result: Education, residence, place of living, parity, pregnancy complications, contraception used, and disease history were determinants of unintended pregnancies in Indonesia. Conclusion: Mothers with high parity, current or past use of contraceptives and pregnancy complications were likely to experience unintended pregnancies. Therefore, screening and counseling during antenatal care, especially for mothers who had high risk or history of disease was needed to prevent complications from an unintended pregnancy. Keywords: unintended pregnancy, screening, counceling, determinants Abstrak Latar belakang: Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan sangat penting untuk mengurangi kejadian aborsi dan dampak merugikan lainnya seperti kelahiran prematur, BBLR serta kesakitan dan kematian ibu dan anak. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Riskesdas Tahun 2013 dengan desain potong lintang. Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan yang memiliki riwayat kehamilan dalam tiga tahun terakhir sebelum survei, sejumlah 53.668 responden. Data dianalisis secara multivariat dengan regresi logistik metode backward. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pendidikan, tempat tinggal, status hidup bersama, paritas, komplikasi kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan riwayat penyakit berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Kesimpulan: Ibu dengan paritas tinggi, sedang atau pernah menggunakan kontrasepsi dan mengalami komplikasi kehamilan cenderung merupakan kehamilan tidak diinginkan. Oleh karena itu, skrining dan konseling pada saat antenatal care terutama bagi ibu-ibu yang memiliki resiko tinggi atau riwayat penyakit diperlukan untuk mencegah gangguan kehamilan dari kehamilan yang tidak diinginkan. Kata kunci: kehamilan tidak diinginkan, skrining, konseling, determinan Naskah masuk: 10 April 2015 Review: 22 April 2016 Disetujui terbit: 27 April 2016 PENDAHULUAN Setiap tahun diperkirakan sekitar 80 juta wanita mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan.1 Kehamilan tidak diinginkan yang meliputi kehamilan tidak tepat waktu (mistimed pregnancy) dan tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) merupakan salah satu masalah yang penting dan perlu mendapat perhatian, terutama di negara negara berkembang. Kehamilan tidak diinginkan akan mendorong terjadinya keguguran atau pengguguran (aborsi), berat badan lahir rendah serta kelahiran prematur. Hal ini tentu juga memberikan dampak meningkatnya risiko untuk kematian ibu dan anak. Kehamilan yang tidak diinginkan memberikan dampak serius dan merugikan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi.2 Di bidang layanan kesehatan juga mendapatkan dampak negatif karena pada kehamilan yang tidak diinginkan ibu memiliki kecenderungan untuk tidak memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan yang berkompeten, imunisasi yang tidak adekuat serta perilaku menyusui yang kurang benar. Di bidang sosial ekonomi dengan berkurangnya kejadian tidak diinginkan dapat meningkatkan kesejahteraan baik pada ibu maupun anakanak mereka.3 Jika dihubungkan dengan target Millenium Development Goal’s (MDGs) maka dengan adanya penurunan kehamilan tidak diinginkan akan membantu pencapaian target MGs ke 4 dan 5 yaitu di bidang kesehatan ibu dan anak.4 Kehamilan tidak diinginkan dapat disebabkan perilaku tidak sehat dan kondisi pada saat sebelum atau selama kehamilan seperti perkosaan, kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum siap mempunyai anak, pasangan tidak bertanggungjawab atau hubungan dengan pasangan belum mantap. Selain itu, kejadian kehamilan tidak diinginkan berhubungan erat dengan berbagai aspek seperti kondisi sosiodemografi keluarga, budaya serta kepercayaan yang ada di masyarakat. Program pemerintah dalam kesehatan reproduksi seperti program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi remaja yang kurang berhasil diperkirakan sebagai salah satu pemicu terjadinya kehamilan tidak diinginkan. Selain disebabkan 16 kegagalan KB kasus kehamilan tidak diinginkan juga bisa dialami oleh mereka yang tidak menggunakan kontrasepsi dalam 3 bulan terakhir padahal mereka termasuk aktif secara seksual.5 World Health Organization (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan pertahun, sekitar 38 persen (75 juta) merupakan kehamilan tidak diinginkan.1 Dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012 (SDKI 2012) didapatkan bahwa 7 persen kelahiran diharapkan kemudian dan 7 persen kelahiran tidak diinginkan sama sekali.6 Beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian kehamilan tidak diinginkan antara lain daerah tempat tinggal, usia ibu, paritas, jumlah anak hidup, jarak kelahiran, status penggunaan alat kontrasepsi dan status ekonomi.7 Dengan masih tingginya prevalensi kehamilan yang tidak diinginkan, maka perlu untuk mengetahui determinan kehamilan yang tidak diinginkan sebagai salah satu langkah untuk menurunkan risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. METODE Desain penelitian ini adalah potong lintang dan merupakan analisis lanjut data sekunder Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (Riskesdas 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah sampel individu Riskesdas 2013 yaitu perempuan usia 10–54 tahun berasal dari seluruh provinsi di Indonesia. Kriteria inklusi adalah ibu yang hamil atau melahirkan dalam periode tiga tahun sebelum survei. Instrumen dan cara pengumpulan data pada studi ini memanfaatkan hasil pengumpulan data Riskesdas 2013 yang dilakukan dengan wawancara menggunakan instrument kuesioner RKD13.RT dan RKD13.IND. Variabel dependen adalah kehamilan tidak diinginkan, yang dibagi menjadi dua kategori yaitu kehamilan diinginkan dan tidak diinginkan. Kehamilan tidak diinginkan meliputi kehamilan tidak tepat waktu (ingin menunda) dan tidak menginginkan sama sekali. Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi) Variabel independen meliputi status sosiodemografi ibu, status kesehatan serta pelayanan kesehatan yang diterima ibu. Status sosio-demografi meliputi umur ibu saat hamil, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, status ekonomi dan status tinggal bersama pasangan. Status kesehatan ibu dan pelayanan kesehatan ibu meliputi paritas, komplikasi kehamilan yang dialami responden, riwayat penggunaan kontrasepsi, riwayat penyakit yang pernah atau sedang dialami serta pelayanan kesehatan ibu hamil yang diterima ibu selama kehamilan. Umur ibu saat kehamilan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu 10-20 tahun, 20-35 tahun dan 35-54 tahun. Pendidikan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu tidak sekolah-SD, SLTPSLTA, D1-Perguruan Tinggi.Pekerjaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu bekerja dan tidak bekerja. Tempat tinggal dibagi menjadi dua kelompok, perkotaan dan pedesaan. Status ekonomi dibagi menjadi tiga yaitu status ekonomi bawah, menengah dan atas. Status tinggal bersama pasangan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tinggal bersama, hidup terpisah dan tidak berlaku. Tidak berlaku artinya responden belum menikah atau janda. Definisi paritas dalam penelitian ini adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh ibu. Paritas dibagi menjadi 3 yaitu 0-1, 2-4 dan ≥5 anak. Komplikasi kehamilan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kehamilan dengan komplikasi dan kehamilan tanpa komplikasi. Riwayat penggunaan kontrasepsi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu menggunakan, pernah menggunakan dan tidak pernah menggunakan sama sekali. Riwayat penyakit ibu dibagi menjadi dua, dimana ibu yang dianggap memiliki riwayat penyakit bila menderita salah satu penyakit antara lain kanker, diabetes mellitus (kencing manis), hipertiroid, hipertensi (tekanan darah tinggi), jantung koroner, gagal jantung, atau stroke. Seluruh variabel dianalisis dengan Stata versi 12. Analisis multivariat dilakukan dengan regresi logistik ganda menggunakan metode backward dengan signifikansi 5% dan 95% rentang kepercayaan (convidence interval), sehingga dapat diperoleh determinan kehamilan tidak diinginkan. Seleksi kandidat variabel pada analisis bivariat dilakukan dengan regresi logistik sederhana dengan signifikansi 25%. HASIL Prevalensi kehamilan tidak diinginkan sebesar 15 persen. Hasil ini tidak berbeda jauh dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 yang menemukan kehamilan tidak diinginkan sebesar 14 persen yang terdiri dari 7 persen kehamilan tidak tepat waktu dan 7 persen kehamilan tidak dikehendaki. Analisis biavariat terhadap status sosiodemografi menunjukkan bahwa umur, pendidikan, tempat tinggal, status perkawinan dan status hidup bersama dimasukkan dalam model multivariat (p<0.25) kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia (Tabel 1). Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa variabel paritas, komplikasi kehamilan, riwayat penggunaan kontrasepsi, dan riwayat penyakit yang diderita dimasukkan dalam model multivariat (p<0.25) kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Dalam proses analisis multivariat, semua variabel yang terseleksi dengan p<0,25 diikutkan dalam model. Hasil analisis regresi logistik ganda, menunjukkan bahwa faktor determinan kehamilan yang tidak diinginkan adalah pendidikan, tempat tinggal, status hidup bersama, paritas, komplikasi kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan riwayat penyakit (Tabel 3). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi menjadi faktor pencegah kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi (Diploma/PT) memiliki risiko lebih rendah untuk terjadi kehamilan tidak diinginkan bila dibandingkan dengan ibu dengan pendidikan rendah (Tidak sekolah/Tidak tamat SD/MI/Tamat SD). Selain itu, perempuan yang tinggal di perdesaan memiliki risiko lebih rendah untuk terjadi kehamilan tidak diinginkan bila dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di perkotaan. Ibu yang tinggal terpisah dengan pasangan memiliki risiko 1,32 kali untuk terjadi kehamilan tidak diinginkan dibanding denan ibu yang hidup bersama pasangannya. Ibu dengan status janda atau belum menikah memiliki risiko 1,45 kali lebih tinggi daripada ibu dengan status janda atau belum menikah 17 dibanding dengan ibu yang hidup bersama. Ibu dengan paritas 2-4 memiliki kemungkinan terjadi kehamilan tidak diinginkan 2,5 kali dibanding dengan ibu dengan paritas 0-1, kemungkinan ini meningkat menjadi 7 kali lebih besar pada ibu dengan paritas ≥5 anak. Ibu yang mengalami kehamilan dengan komplikasi kemungkinan 1,28 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan dibanding denan ibu tanpa komplikasi. Tabel 1. Analisis bivariat hubungan faktor sosio-demografi dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan, Riskesdas 2013 Variabel Umur (tahun) 10 - 19 20 - 35 36 - 54 Pendidikan Tidak sekolah/Tidak tamat SD/MI/Tamat SD Tamat SLTP/SLTA Tamat D1/D2/D3/PT Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Status hidup bersama Tinggal bersama pasangan Tinggal berpisah Tidak berlaku Status perkawinan Menikah Lainnya Status sosio-ekonomi Bawah Menengah Atas Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) Tidak Ya n % n % 95% CI p-value 0,000 0,000 1691 34667 9179 88,6 87,0 77,0 217 5179 2735 11,4 13,0 23,0 1,00 1,50 3,55 Referensi 1,21 – 1,87 2,84 – 4,44 17044 83,8 3297 16,2 1,00 Referensi 23748 4745 85,0 88,0 4188 646 15,0 12,0 0,83 0,64 0,77 – 0,89 0,56 – 0,73 0,000 0,000 27782 17755 84,6 85,2 5057 3074 15,4 14,8 1,00 0,97 Referensi 0,91 – 1,05 0,489 20740 24797 83,8 85,7 3998 4133 16,2 14,3 1,00 0,85 Referensi 0,79 – 0,91 0,000 42467 2490 580 85,1 82,7 78,3 7450 520 161 14,9 17,3 21,7 1,00 1,08 1,31 Referensi 0,94 – 1,24 1,01 – 1,70 0,279 0,037 44589 948 85,0 78,2 7866 265 15,0 21,8 1,00 1,22 Referensi 0,99 – 1,50 0,060 17178 8866 19493 84,4 84,8 85,3 3174 1587 3370 15,6 15,2 14,7 1,00 0,95 0,94 Referensi 0,87 – 1,05 0,87 – 1,01 0,327 0,093 Pada pasangan dengan riwayat pernah menggunakan kontrasepsi memiliki risiko lebih tinggi 1,45 kali untuk mengalami kehamilan tidak diinginkan dibanding dengan pasangan yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi sama sekali. Sedangkan ibu yang sedang menderita penyakit memiliki risiko 1,44 kali untuk mengalami kehamilan tidak diinginkan dibanding denan ibu tanpa penyakit. PEMBAHASAN Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Semakin tinggi tingkat pendidikan 18 Crude odds ratio ibu maka risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan juga semakin menurun. Dengan kata lain pendidikan akan mengurangi risiko kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka kehamilan tidak diinginkan semakin menurun. Tingkat pendidikan seorang perempuan berkaitan dengan kemampuan dirinya untuk menangkap informasi yang ada seperti kesadaran, nilai keuntungan keluarga kecil serta pengetahuan tentang kontrasepsi dan keluarga berencana. Perempuan buta huruf atau dengan pendidikan rendah lebih rentan mengalami kehamilan tidak diinginkan karena kemampuan mereka menangkap informasi guna pencegahan Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi) terhadap kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. 3 Pada studi intervensi yang dilakukan di Bandung juga menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai pencegahan kejadian kehamilan tidak diinginkan berbeda signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi seperti keluarga berencana dan kontrasepsi.8 Penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa pendidikan rendah merupakan faktor risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan.9 Pada wanita dengan pendidikan tinggi memiliki peluang untuk memiliki pekerjaan lebih baik dibanding dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih rendah sehingga mereka memikirkan alternatif cara untuk dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan karena dianggap akan menghambat karir pekerjaan mereka. Namun beberapa penelitian lainnya seperti di Kenya dan Nigeria menunjukkan bahwa pendidikan tidak memiliki hubungan dengan kehamilan tidak diinginkan. Alasannya mengapa demikian karena kemungkinan hal ini tidak hanya terkait dengan daerah tempat tinggal namun juga faktor yang lain seperti pendapatan keluarga atau status ekonomi keluarga.10,11 Kehamilan tidak diinginkan lebih rentan terjadi di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia termasuk sangat cepat. Saat ini sekitar separuh penduduk Indonesia telah tinggal di kawasan perkotaan. Persentase penduduk di daerah perkotaan meningkat dari 42,1 persen pada tahun 2000, menjadi 49,8 persen pada tahun 2010.12 Pertumbuhan penduduk yang pesat di perkotaan ini juga mengakibatkan banyaknya pengangguran dan daerah kumuh yang dapat meningkatkan risiko kejadian kehamilan tidak diinginkan. Penelitian yang dilakukan di Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya urban poor area. Penduduk di daerah urban poor ini akan lebih rentan terhadap risiko perilaku seksual yang tidak aman.13 Penelitian yang dilakukan di New York, Amerika Serikat mendapatkan bahwa kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi terjadi di daerah urban poor karena di daerah ini tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi sehingga meningkatkan kejadian kehamilan tidak diinginkan.14 Pada daerah urban poor juga lebih sulit untuk mendapatkan akses pendidikan serta informasi kesehatan reproduksi seperti tentang kontrasepsi dan pencegahan kehamilan tidak diinginkan.15 Tabel 2. Analisis bivariat hubungan faktor status kesehatan ibu dan pelayanan kesehatan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan, Riskesdas 2013 Variabel Paritas 0-1 2-4 5-14 Jumlah janin Tunggal Kembar Komplikasi kehamilan Tanpa komplikasi Dengan komplikasi Penggunaan kontrasepsi Tidak pernah menggunakan Sedang menggunakan Pernah menggunakan Riwayat penyakit Tanpa penyakit Menderita penyakit Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) Tidak Ya n % n % Crude odds ratio 95% CI p-value 15982 26636 2919 91,8 83,2 68,8 1430 5375 1326 8,2 16,8 31,2 1,00 2,61 7,45 Referensi 2,39 – 2,86 6,55 – 8,48 0,000 0,000 45163 374 84,9 84,2 8061 70 15,1 15,8 1,00 1,14 Referensi 0,74 – 1,75 0,563 39944 5593 85,5 80,7 6791 1340 14,5 19,3 1,00 1,37 Referensi 1,24 – 1,51 0,000 9008 26586 9943 88,0 84,6 82,9 1234 4847 2050 12,0 15,4 17,1 1,00 1,63 1,82 Referensi 1,47 – 1,81 1,62 – 2,05 0,000 0,000 42867 2670 85,4 77,0 7333 798 14,6 23,0 1,00 1,86 Referensi 1,64 – 2,11 0,000 19 Status hidup bersama dengan pasangan memberikan hubungan bermakna dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Perempuan dengan status janda dan belum menikah lebih rentan mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan dibandingkan perempuan yang menikah dan tinggal bersama pasangannya. Penelitian yang dilakukan di Kenya mendapatkan bahwa kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi terjadi pada wanita yang belum menikah dan pernah menikah (janda) dibanding perempuan menikah.10 Pada perempuan belum menikah atau janda memiliki risiko mengalami seks berisiko lebih tinggi dibandingkan perempuan yang tinggal bersama pasangannya. Perempuan yang tidak menikah atau janda melakukan aktivitas seksual sebagai kebutuhan biologis dan kesenangan namun bukan bertujuan untuk memiliki anak sehingga kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi pada kelompok ini. Stigma negatif juga akan dikenakan oleh masyarakat pada pasangan tinggal terpisah dan janda atau yang belum menikah yang mempunyai anak sehingga pada kelompok ini lebih rentan terjadi kehamilan tidak diinginkan.4 Pada penelitian yang dilakukan di New York dan Harar Ethiopia juga menemukan bahwa pada perempuan yang tidak menikah, hidup terpisah atau janda peluang terjadinya kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi dibandingkan perempuan yang menikah dan hidup bersama pasangannya.14,16 Tabel 3. Analisis multivariat determinan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia, Riskesdas 2013 Variabel Adjusted Odds Ratio 95% CI 1,00 Referensi 0,97 0,79 0,90 – 1,05 0,68 – 0,91 0,473 0,001 1,00 0,75 Referensi 0,70 – 0,81 0,000 1,00 1,32 1,45 Referensi 1,14 – 1,53 1,11 – 1,90 0,000 0,007 1,00 2,52 7,33 Referensi 2,30 – 2,77 6,42 – 8,37 0,000 0,000 1,00 1,28 Referensi 1,15 - 1,42 0,000 1,00 1,28 1,45 Referensi 1,14 – 1,42 1,28 – 1,64 0,000 0,000 1,00 1,44 Referensi 1,27 – 1,64 0,000 Pendidikan ibu Tidak sekolah/Tidak tamat SD/MI/Tamat SD Tamat SLTP/SLTA Tamat D1/D2/D3/PT Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Status hidup bersama Tinggal bersama pasangan Tinggal berpisah Tidak berlaku Paritas 0-1 2-4 5-14 Komplikasi kehamilan Tanpa komplikasi Dengan komplikasi Penggunaan kontrasepsi Tidak pernah menggunakan Sedang menggunakan Pernah menggunakan Riwayat penyakit Tanpa penyakit Menderita penyakit Paritas memiliki hubungan bermakna dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Semakin banyak anak yang pernah dilahirkan maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya kehamilan tidak diinginkan. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa proporsi kehamilan tidak dikehendaki juga meningkat seiring urutan 20 p-value anak yang dilahirkan.5 Penelitian di Ethiopia dan India juga mendapatkan bahwa semakin banyak anak yang pernah dilahirkan kemungkinan terjadinya kehamilan diinginkan juga semakin besar. Perempuan yang memiliki banyak anak namun tetap hamil dan kehamilan tersebut tidak diinginkan kemungkinan Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi) dikarenakan kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi (unmet need) atau karena dampak kegagalan kontrasepsi. Pada ibu yang telah melahirkan banyak anak juga merasakan bahwa jumlah anak yang ada telah mencapai jumlah ideal sehingga dengan adanya kehamilan lagi maka kemungkinan menjadi kehamilan tidak diinginkan juga lebih besar.3,17 Pada penelitian yang dilakukan di Nairobi, Kenya mendapatkan bahwa paritas berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Namun hal ini hanya berlaku di daerah kumuh (slum area) saja namun paritas tidak berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan di daerah non kumuh. Hal ini karena faktor ini tidak dapat berdiri sendiri namun lebih dikuatkan dengan kondisi sosiodemografi.10 Pemerintah telah mempromosikan program dua anak cukup. Dengan adanya program ini diharapkan masyarakat semakin menyadari arti penting anak dalam keluarga sehingga kejadian kehamilan tidak diinginkan juga dapat menurun karena promosi pencegahan kehamilan tidak diinginkan juga ada dalam program ini.18 Komplikasi kehamilan berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Ibu yang mengalami kehamilan dengan komplikasi lebih memungkinkan mengalami kehamilan tidak diinginkan dibanding dengan ibu tanpa komplikasi. Penelitian di Iran menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan. Pada kehamilan dengan komplikasi hal ini akan membuat ibu lebih merasa depresi.19 Secara fisiologis, pada saat kehamilan akan terjadi perubahan hormon yang membuat perasaan ibu lebih sensitif. Pada kehamilan dengan penyulit juga akan berlangsung lebih berat dibanding dengan kehamilan tanpa penyulit. Hal ini akan menambah beban psikologis ibu pada kehamilan dengan penyulit sehingga membuat kehamilan menjadi tidak diinginkan.21 Kehamilan tidak diinginkan sendiri juga berdampak pada komplikasi kehamilan ibu. Komplikasi kehamilan dapat meliputi mual muntah berlebih (hyperemesis gravidarum), preeclampsia, perdarahan serta penyakit yang dapat diinduksi oleh kehamilan antara lain gangguan kejiwaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hyperemesis gravidarum merupakan upaya bawah sadar ibu sebagai bentuk penolakan terhadap kehamilan yang dialami.21 Pada kehamilan tidak diinginkan juga berhubungan dengan ketidakcukupan pelayanan antenatal care yang dapat berdampak pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi baik selama kehamilan maupun setelah melahirkan.19 Analisis lanjut Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa kondisi kesehatan ibu baik pada saat sebelum hamil dan selama kehamilan termasuk penyulit yang dialami menjadi alasan mengapa kehamilan tidak diinginkan.22 Penggunaan kontrasepsi berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Pada pasangan yang sedang menggunakan kontrasepsi modern lebih mungkin mengalami kehamilan tidak diinginkan dibanding dengan pada pasangan yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi modern, dan kemungkinan ini meningkat pada pasangan yang pernah menggunakan kontrasepsi modern. Hasil ini sejalan dengan penelitian di India melaporkan bahwa pada pasangan yang menggunakan kontrasepsi kemungkinan terjadinya kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi dibandingkan pada pasangan yang tidak menggunakan kontrasepsi.3 Pasangan yang sedang menggunakan kontrasepsi namun terjadi kehamilan tidak diinginkan mungkin disebabkan karena kegagalan kontrasepsi yang dipakai. Kegagalan kontrasepsi adalah kasus terjadinya kehamilan pada akseptor aktif yang pada saat tersebut menggunakan metode kontrasepsi. Kegagalan kontrasepsi ini dapat diakibatkan karena kegagalan metode kontrasepsi itu sendiri atau karena ketidakpatuhan dan ketidaksempurnaan akseptor dalam memakai kontrasepsi. Dari data rutin Kementerian Kesehatan Tahun 2012 didapatkan persentase kegagalan kontrasepsi di Indonesia sebesar 0,006 persen. Namun dengan persentase kecil ini memberikan pengaruh besar terhadap terjadinya kehamilan tidak di inginkan.23 Pada pasangan yang pernah menggunakan kontrasepsi dan mengalami kehamilan tidak diinginkan mungkin disebabkan ketidak berlangsungan pemakaian (drop out) penggunaan kontrasepsi modern yang mereka pakai. Pada jenis non metode kontrasepsi jangka panjang (Non MKJP) seperti kondom, pil dan suntik tingkat kepatuhan yang lebih rendah dibandingkan jenis metode kontrasepsi jangka panjang 21 (MKJP) seperti spiral (IUD), implant (susuk) dan sterilisasi baik pria maupun wanita (MOP/MOW). SDKI 2012 menunjukkan bahwa di Indonesia penggunaan kontrasepsi suntik masih menjadi yang tertinggi. Dari Data Riskesdas 2013 juga menunjukkan bahwa penggunaan MKJP masih sebesar 10 persen, jauh lebih rendah dengan penggunaan Non MKJP yang sebesar 49 persen.5,24 Analisis lanjut SDKI 2007 menemukan bahwa drop out penggunaan Non MKJP (kondom, pil dan suntik) lebih tinggi dibandingkan kelompok MKJP.25 Penelitian di Perancis menemukan bahwa Long Acting Reversible Contraceptive Methods (LARCs) memiliki angka keberlangsungan lebih tinggi dibandingkan metode lainnya.26 Biaya MKJP juga lebih rendah dibandingkan Non MKJP sehingga jenis kontrasepsi MKJP sesungguhnya lebih terjangkau untuk penduduk dengan tingkat ekonomi yang rendah.27 Drop out pemakaian kontrasepsi juga mungkin disebabkan karena efek samping kontrasepsi yang dialami akseptor. memperberat kondisi kehamilan sehingga mudah terjadinya penyulit kehamilan. Penyulit-penyulit yang dapat timbul karena penyakit kronis antara lain preeclampsia, deep venous thrombosis (DVT), quiescent autoimmune disease (penyakit auto imun), cholestasis (batu empedu), diabetes gestasional dan peripartum cardiomyopathy.30 Kondisi penyakit ini juga akan berpengaruh pada janin yang dikandung. Pada studi yang dilakukan Poremania, Swedia menemukan bahwa kondisi penyakit kronis ibu berhubungan dengan kelahiran prematur.31 Selain itu kondisi penyakit ibu dapat menimbulkan berat badan bayi lahir rendah serta peluang bayi dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) juga meningkat karena penyulit bayi pada saat dilahirkan juga meningkat.32 Analisis lanjut Riskesdas 2010 juga menunjukkan bahwa alasan kesehatan ibu menjadi alasan mengapa kehamilan menjadi tidak diinginkan.22 Riwayat penyakit ibu berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan di Indonesia. Ibu yang sedang menderita penyakit lebih berisiko mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan dibandingkan ibu tanpa penyakit. Ada beberapa penyakit yang dapat menjadi penyulit atau co-morbid pada saat kehamilan. Seperti Kanker, Diabetes mellitus, Hipertensi, ASMA dan Stroke. Pada studi yang dilakukan di Amerika didapatkan bahwa perempuan yang menderita penyakit terutama penyakit kronis akan lebih mungkin mengalami kehamilan tidak diinginkan.28 Studi yang dilakukan di California pada perempuan dengan penyakit kronis (hipertensi, diabetes dengan obesitas) menemukan bahwa mereka tidak ingin mendapatkan kehamilan kembali dikarenakan kondisi kesehatan mereka.29 Pada saat kehamilan akan terjadi perubahan fisiologis pada tubuh ibu. Perubahan fisiologis ini seperti resistensi insulin yang meningkat, peningkatan volume darah (hypervoemic) sehingga menyebabkan kerja jantung meningkat serta hiperkoagulasi karena perubahan dalam faktor-faktor pembekuan darah. Pada perempuan sehat pada umumnya perubahan ini akan mampu ditoleransi dengan baik sehingga tidak sampai menimbulkan penyulit kehamilan. Namun pada perempuan dengan penyakit kronis, penyakitnya akan KESIMPULAN 22 Determinan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia adalah tingkat pendidikan ibu, daerah tempat tinggal, status hidup bersama pasangan, paritas, komplikasi kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan penyakit yang diderita ibu. Informasi dan edukasi bagaimana pencegahan kejadian kehamilan tidak diinginkan masih perlu ditingkatkan. SARAN Program pelayanan kesehatan reproduksi telah ada, namun hal ini masih perlu ditingkatkan dengan melibatkan berbagai pihak lintas sektor. Screening dan konseling awal (prakonsepsi) juga perlu dilakukan terutama perempuan berisiko atau menderita penyakit dapat memperberat kondisi kehamilan untuk mencegah terjadinya kehamilan tidak diinginkan. Konseling terhadap ibu dengan dengan penyulit juga harus dilakukan selama kunjungan antenatal care agar kehamilan dapat berjalan lancar. Hal ini dapat dilakukan selama kunjungan antenatal care. Peningkatan kualitas pelayanan kontrasepsi juga masih harus dilakukan. Informasi mengenai penggunaan kontrasepsi terutama MKJP Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi) dalam mencegah kehamilan tidak diinginkan masih harus ditingkatkan di Indonesia. Untuk mencegah terjadinya drop out dan kegagalan kontrasepsi perlu dilakukan konseling awal mengenai efek samping kontrasepsi yang mungkin timbul. 9. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada Kepala Badan Litbangkes atas kesempatan yang diberikan untuk menulis artikel dari Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, Dwi Hapsari Tjandarini dan Olwin Nainggolan atas bantuannya dalam menyiapkan data. 10. 11. Daftar Pustaka 1. Glasier A, Gulmezoglu AM, Schmid GP, Moreno CG, Van Look PF. 2006. Sexual and reproductive health: a matter of life and death. Lancet vol 368(9547):15951607. 2. Marston C, Cleland J. 2003. Do Unintended Pregnancies Carried to Term Lead to Adverse Outcomes for Mother and Child? An Assessment in Five Developing Countries. Popul Stud vol 57(1):77–93. 3. Dixit P, Ram F, Dwivedi LK. 2012. Determinants of unwanted pregnancies in India using matched case–control designs. Pregnancy and Childbirth vol 12:84. 4. Singh S, Sedgh G, and Hussain R. 2010. Unintended Pregnancy: Worldwide Levels, Trends, and Outcomes. Studies in Family Planning vol 41[4]: 241–250 5. BKKBN. 2008. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Kalangan PUS di Bali. Jakarta: BKKBN. 6. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Calverton, maryland, USA : BPS dan Macro International. 7. Goicolea I, Sebastian MS. 2010. Unintended Pregnancy in The Amazon Basin of Ecuador: A Multilevel Analysis. International Journal for Equity in Health vol 9:14 8. Iryanti. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Melalui Metode Pendidikan Sebaya Terhadap Pengetahuan dan Sikap 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Remaja dalam Pencegahan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di SMKN 15 Kotamadya Bandung. Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani. http://www.stikesayani.ac.id/publikasi/ejournal/files/2009/200912/200912-004.pdf Calvert C, Baisley B, Doyle AM, Maganja K, Changalucha J, Watson-Jones D, Hayes RJ, Ross DA. 2013. Risk factors for unplanned pregnancy among young women in Tanzania. Journal Family Planning Reproductive Health Care vol 39:e2 Ikamari L, Izugbara C, Ochako R. 2013. Prevalence and Determinants of Unintended Pregnancy among Women in Nairobi, Kenya. BMC Pregnancy and Childbirth vol 13:69 Sedgh G, Bankole A, Oye-Adeniran B, Adewole IF, Singh S, Hussain R. 2006. Unwanted Pregnancy and Associated Factors among Nigerian Women. Int Fam Plan Perspect. Vol 32(4):175–184. BKKBN. 2013. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. BKKBN. Jakarta: 2013 Beguy D, Mumah J, Gottschalk L. 2014. Unintended pregnancies among young women living in urban slums: Evidence from a prospective study in Nairobi city, Kenya. PLoS One. Vol 9(7): e101034. Besculides M, Laraque L. 2004. Unintended Pregnancy among the Urban Poor. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, Vol. 81, No. 3 Mumah J, Kabiru CW, Izugbara C, Mukiira C. 2014. Coping with Unintended Pregnancies: Narratives from Adolescents in Nairobi’s Slums. Kenya Research Report April 2014. UKAID: 2014. Worku K, Fantahun M. 2006. Unintended pregnancy and induced abortion in a town with accessible family planning services: The case of Harar in eastern Ethiopia. Ethiop.J.Health Dev. Vol 20(2):79-83 Habte D, Teklu S, Melese T, Magafu MGMD. 2013. Correlates of Unintended Pregnancy in Ethiopia: Results from a National Survey. PLOS ONE Volume 8 Issue 12. BKKBN. 2008. Dua Anak Cukup. Gemari Edisi 86 Tahun IX. 23 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 24 http://www.gemari.or.id/file/edisi86/gema ri8629.PDF Najaļ¬an M, Karami KB, Cheraghi M, Jafari M. 2011. Prevalence of and Some Factors Relating with Unwanted Pregnancy,in Ahwaz City, Iran, 2010. 2011. ISRN Obstetrics and Gynecology Volume 2011 Dibaba Y, Fantahun M, Hindun MJ. 2013. The Association of Unwanted Pregnancy and Social Support with Depresive Symptoms in Pregnancy: Evidence of Rural Southwestern Ethiopia. BMC Pregnancy and Childbirth vol 13:135 Lee NM, Saha S. 2011. Nausea and Vomiting of Pregnancy. Gastroenterol Clinical North America vol 40(2): 309–vii Pranata S, Sadewo S. 2012. Kejadian Keguguran, Kejadian Tidak Direncanakan dan Pengguguran di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 2 :180–192 Kemenkes RI, BKKBN, UNFPA. 2013. Rencana Aksi Nasional Pelayanan Keluarga Berencana 2014-2015. Kemenkes RI. Jakarta Badan Litbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Litbangkes. Jakarta: 2013 BKKBN. 2009. Analisis Lanjut SDKI 2007: Kelangsungan Pemakaian Kontrasepsi. BKKBN. Jakarta Diamond-Smitha N, Moreaua C, Bishaia D. What is the Best Way to Reduce Unintended Pregnancies? A Micro Simulation of Contraceptive Switching, Discontinuation and Failure Patterns in France. Stud Fam Plann. 2014 December ; 27. 28. 29. 30. 31. 32. 45(4): 429–441. doi:10.1111/j.17284465.2014.00006.x. BKKBN. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP di Enam Wilayah Indonesia. BKKBN. Jakarta Vahratian A, Lawrence JM, Barber JS, Kim C. 2009. Family-Planning Practices Among Women With Diabetes and Overweight and Obese Women in the 2002 National Survey for Family Growth. Diabetes Care, Volume 32, Number 6. Chuang CH, Velott DL, Weisman CS. 2010. Exploring Knowledge and Attitudes Related to Pregnancy and Preconception Health in Women with Chronic Medical Conditions. Maternal Child Health Journal. Vol 14(5): 713–719 Kaaja RJ, Greer IA. 2005. Manifestations of Chronic Disease during Pregnancy. The Journal of American Medicine Vol 294, No. 21 Kersten I, Lange AE, Haas JP, Fusch C, Lode H, Hoffmann W, Thyrian JR. 2014. Chronic diseases in pregnant women: prevalence and birth outcomes based on the SNiP-study. BMC Pregnancy and Childbirth vol 14:75 Michigan Department of Community Health. Preconcepon Chronic Disease and Birth Outcomes in Michigan, 2009-2010. http://www.michigan.gov/documents/infan tmortality/PRAMS_Fact_Sheet_Preconcep tion_Chronic_Disease__Birth_Outcomes_ Final_440126_7.pdf PRAKTIK BUDAYA PERAWATAN DALAM KEHAMILAN PERSALINAN DAN NIFAS PADA ETNIK BADUY DALAM Cultural Practices in Pregnancy, Birth Delivery and Postpartum Care of Inner Baduy Ethnic Group Mara Ipa*, Djoko Adi Prasetyo**, Kasnodihardjo*** Mara Ipa*1, Djoko Adi Prasetyo2, Kasnodihardjo3 1 Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan Litbang Kesehatan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga 3 Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan *E-mail: [email protected] 2 Abstract Background: High maternal mortality rate is an indicator of health problems. Negative impact of socio cultural aspect is one of the constraints related to the implementation of reproductive health Baduy Dalam Ethnic as one whom strong to uphold pikukuh (custom rules). Objective: The objective of this study is to identify and analyse cultural practices among Baduy Dalam ethnic relating to pregnancy, delivery and postpartum periods. Methods: This study is a qualitative study using in-depth interview, and observation methods for data collection. Informants selection using purposive sampling techniques in pregnant mothers, postpartum mothers, village midwife, head of cultural committee, youth leaders, traditional leaders women at reproductive age and girl teenagers. Study was conducted in Cibeo, Cikertawana and Cikeusik Village in May until June 2014. Data validation using triangulation of informants and analysis of the potencies and constraints was performed to determine the inhibiting and supporting factors. Result: The study found supportive cultural practices include: obedient to head of cultural committee; traditional celebration as a media health promotion program; the utilization of traditional medicine and the pattern of settlement cluster. Harmful cultural practices during pregnancy, birthing procession and postpartum period include independently birthing procession, situational place of birth (saung/home), unpredictable waiting time for paraji to arrive; non-sterile umbilical cord cutting; the age of first time birthing; heavy work; prohibition using underwear and sanitary napkins. Conclusion: Intensive approach to community Baduy Dalam Ethnic by health workers was recommended to create trust to the system of modern health service. Keywords: Baduy, cultural practices, pregnancy, delivery, postpartum. Abstrak Latar belakang: Tingginya Angka Kematian Ibu sebagai indikator besarnya masalah kesehatan reproduksi. Aspek sosial budaya yang membawa dampak negatif bagi kesehatan merupakan salah satu kendala pelaksanaan kegiatan terkait kesehatan reproduksi. Suku Baduy Dalam merupakan salah satu pelaku tradisi yang kuat memegang teguh pikukuh (aturan adat). Tujuan: Tujuan umum penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menganalisa praktik budaya perawatan Etnik Baduy Dalam yang terkait kehamilan, kelahiran, dan nifas. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam, dan observasi. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling pada ibu hamil, ibu nifas, paraji (dukun beranak), bidan desa, ketua adat, tokoh pemuda, tokoh adat, ibu usia subur, remaja puteri dengan total informan sebanyak 15 orang. Penelitian dilakukan di Kampung Cibeo, Cikartawana, Cikeusik Desa Kankes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten tempat bermukimnya Suku Baduy Dalam pada bulan Mei-Juni 2014. Data informan divalidasi melalui triangulasi, analisis potensi dan kendala dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendukung. Hasil: Penelitian menemukan praktik budaya sebagai pendukung: kepatuhan pada pimpinan adat (kokolot), perayaan tradisi sebagai media promosi program kesehatan, pemanfaatan obat tradisional, pola pemukiman secara kluster. Faktor yang membahayakan tidak ada pemeriksaan medis selama kehamilan, persalinan dan nifas, prosesi melahirkan secara mandiri, tempat persalinan situasional (saung/rumah), lama waktu menunggu paraji, pemotongan tali pusat, usia pertama kali melahirkan, melakukan aktivitas berat, larangan menggunakan pakaian dalam dan pembalut wanita. Kesimpulan: Kepatuhan pada Kokolot bisa dijadikan kunci sebagai pintu masuk menumbuhkan diterimanya program-program kesehatan ibu dan anak pada masyarakat Baduy Dalam. Kata kunci: Baduy, praktik budaya, kehamilan, persalinan, nifas. Naskah masuk: 20 November 2015 Review: 13 Januari 2016 Disetujui terbit: 3 April 2016 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per 1000 kelahiran hidup. Masih tingginya AKI merupakan salah satu indikator besarnya masalah kesehatan reproduksi.1 Beberapa kendala masih ditemui didalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi antara lain adanya realita tentang kurangnya kesatuan pengertian tentang kesehatan reproduksi, kurang ketersediaan infrastruktur di setiap kabupaten/ kota, adanya variasi geografis, aspek sosial budaya serta tingkat sosio ekonomi yang relative terbatas.2 Pengaruh budaya terhadap status kesehatan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja, kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Hasil riset etnografi kesehatan tahun 2012 di 12 etnis di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan. Keharusan untuk tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan.3 Beberapa kepercayaan yang ada seperti di Jawa Tengah, diantaranya ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Demikian pula dengan di daerah Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Akibatnya ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Kondisi ini tentunya mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. 4 Hasil penelitian di Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas yaitu pantang makanan 26 tertentu lebih dikaitkan dengan si bayi antara lain agar ASI tidak berbau amis antara lain daging dan ikan laut.5 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)6,7 tahun 2013 menunjukkan proporsi ibu yang persalinannya ditolong tenaga kesehatan meningkat dari 79,0 persen pada tahun 2010 menjadi 86,9 persen pada tahun 2013. Pada tahun 2013, sebagian besar (76,1%) persalinan juga sudah dilakukan di fasilitas kesehatan dan Poskesdes/Polindes namun demikian ada sebesar 23,7 persen ibu bersalin yang masih melahirkan di rumah. Menurut Setyawati8, perilaku pemilihan penolong persalinan dukun sebagai aktor lokal dipercaya oleh masyarakat sebagai tokoh kunci terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan. Pada kasus persalinan, dukun tidak hanya berperan saat proses tersebut berlangsung, namun juga pada saat upacaraupacara adat yang dipercaya membawa keselamatan bagi ibu dan anaknya seperti upacara tujuh bulanan kehamilan sampai dengan 40 hari setelah kelahiran bayi. Aktivitas ini tentunya tidak sama dengan apa yang dilakukan bidan sebagai tenaga paramedis, dan hal ini juga yang membuat dukun memiliki tempat terhormat dan kepercayaan yang tinggi di masyarakat. Kompleksitas permasalahan seputar persalinan membawa seorang ibu dihadapkan pada pertaruhan hidup dan mati. Begitu banyak faktor mempengaruhi keberhasilan proses persalinan, baik dari faktor internal ibu sebagai subyek dan faktor eksternal yang salah satunya adalah adanya tradisi. Tradisi sebagai warisan leluhur sampai saat ini sebagian masyarakat memilih cukup dengan mengetahuinya tanpa harus mengikuti, sebagian lainnya masih memelihara dengan rapih sebagai pelaku tradisi itu sendiri. Suku Baduy Dalam yang menasbihkan sebagai asal muasal lahirnya Suku Sunda merupakan salah satu pelaku tradisi yang kuat memegang teguh tradisi dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk tradisi dalam persalinan. Sebagai pelaku tradisi, masyarakat Baduy Dalam menerima dan menjalaninya saja, karena dalam tradisi hanya ada kepatuhan terhadap aturan adat mutlak atau Pikukuh.9 Upaya mengubah perilaku masyarakat untuk manfaat kesehatan mereka, memerlukan Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) pemahaman tentang cara orang berpikir tentang kesehatan. Sebagai contoh, adalah kesehatan didefinisikan oleh ukuran tertentu. Apa sikap dan praktik masyarakat? Bagaimana perubahan mempengaruhi kehidupan mereka? Dalam rangka mengatasi kesakitan, penting untuk memperhatikan komponen sosial, psikologis, dan budaya kesehatan masyarakat di samping tubuh mereka.10 Kekhasan prosesi persalinan yang dilakukan secara mandiri bukan tanpa risiko, hasil riset menunjukkan hampir separuh dari semua kematian bayi yang baru lahir terjadi sekitar 48 jam kelahiran pertama. Berdasarkan fakta ini maka perlu dilakukan studi etnografi kesehatan, untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi dan kendala praktek budaya perawatan etnik Baduy Dalam yang terkait kehamilan, kelahiran, dan nifas. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan kualitatif dengan desain eksploratif melalui pendekatan etnografi. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014 dimana peneliti tinggal di daerah penelitian mencari data dengan teknik wawancara mendalam dan observasi terlibat. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling pada ibu hamil, ibu nifas, bidan kampung dan ketua adat, dan ibu usia subur. Jumlah informan sangat tergantung pada pemilihan informannya itu sendiri, dan kompleksitas atau keragaman fenomena yang diteliti.11 Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan kriteria data Komunitas Adat Terpencil dari Kementerian Sosial. Provinsi Banten, dari 6 Kabupaten/Kota mengalami penurunan peringkat dan tidak ada yang mengalami kenaikan bermakna. Selain itu berdasarkan data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial bermukim Suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan baik sebagai instrumen, pedoman wawancara dan pencatatan harian. Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek budaya terkait kesehatan ibu dan anak. Data dari informan dilakukan validasi triangulasi dengan kroscek ke beberapa informan (triangulasi sumber). Sebanyak 15 informan terpilih yang terdiri dari ibu hamil 1 orang, ibu nifas 1 orang, 3 orang paraji (dukun beranak), 1 orang bidan desa, 1 orang tokoh adat, 1 orang tokoh pemuda, 2 orang ketua adat, 4 orang ibu usia subur dan 1 orang remaja puteri. Analisis data kualitatif dilakukan dengan analisis domain (mengelompokkan setiap pertanyaan yang sama), lalu dilakukan analisis content, selanjutnya ditarik suatu makna, dan dilakukan pembahasan hasil makna dan penarikan kesimpulan. Analisis potensi dan kendala dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendukung. Analisis potensi dan kendala dilakukan berdasarkan Fred B. Dunn (1976) dan Nico S. Kalangie (1994). Proses berikutnya adalah pengolahan informasi kemudian ditunjang oleh sejumlah literatur yang diolah. HASIL Perempuan Baduy Dalam melalui setiap tahapan dalam kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kaum perempuan lainnya. Perbedaan yang kentara tentunya balutan tradisi yang melekat dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk kepatuhan. Aturan adat yang berlaku bahwa warga suku Baduy tidak diperkenankan menempuh pendidikan secara formal merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pendeknya rentang usia remaja mereka. Usia remaja berakhir saat mereka memasuki masa pernikahan, usia menikah sebagian besar bagi kaum perempuan Suku Baduy Dalam dimulai usia 15 tahun keatas meski selalu saja ada bagian ekstrim yaitu dinikahkan diusia 13 tahun. Pakaian keseharian yang dikenakan terdiri dari selendang hitam yang digunakan untuk menutup bagian kepala disebut lamak/karembong kemudian pakaian atas disebut jamang bodas, bawahannya ditutup menggunakan samping hideung dan sabuk yang digunakan untuk mengeratkan 27 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) karembong hideung. Perempuan dan laki-laki suku Baduy Dalam tidak memakai pakaian dalam, sehingga bagi kaum perempuan untuk menutupi payudara memakai kemben berupa kain hitam yang dililitkan dari dada sampai diatas pusar yang disebut karembong dan kemudian ditutup oleh jamang bodas. Ciri khas lain adalah pemakaian gelang yang terbuat dari kain berwarna putih disebut kanteh dan untuk perempuan dikenakan di sebelah kiri. Perempuan suku Baduy Dalam menjalani keseharian sesuai perannya, seorang isteri bertanggung jawab mulai dari melayani suami, merawat anak, kebersihan rumah, memasak, pergi ke huma/ladang, mencuci pakaian, namun bukan hal tabu bagi seorang suami melakukan pekerjaan rumah membantu isteri. Pendidikan ditempuh secara informal selain dari orang tua diperoleh juga dari kokolot atau tokoh masyarakat di tiap kampung Tangtu masing-masing. Metode pembelajaran disampaikan secara lisan dalam suasana santai dan waktu yang situasional disebut juga ngawangkong. Pengetahuan terkait dunia perempuan tentunya Ibu mempunyai peran lebih besar dibandingkan Bapak. Secara umum kaum perempuan suku Baduy Dalam sangat tertutup terhadap masyarakat luar. Hal ini dirasakan oleh tim peneliti yang mengalami kesulitan menggali informasi dari mereka. Wawancara dengan kaum perempuan suku Baduy Dalam selalu saja harus didampingi oleh anggota keluarga laki-laki, dan seringkali jawabanya berasal dari anggota keluarga laki-laki. Informan perempuan menjawab pertanyaan dengan senyuman dan hanya jawaban pendek-pendek sembari melirik ke anggota keluarga laki-laki terlebih dahulu sebelum menjawab, sebagai isyarat permintaan ijin. Gambaran Informan Informan dalam penelitian ini meliputi ibu hamil, ibu nifas, dukun beranak (paraji), bidan desa, tokoh adat, tokoh pemuda, ketua adat, ibu usia subur dan remaja puteri. Pada saat riset dilakukan hanya ada satu ibu hamil yaitu Mis dengan usia 20 tahun dan merupakan kehamilan kedua. Demikian pula untuk informan ibu nifas hanya ada satu yaitu ASa 28 berumur 14 tahun dengan usia bayi masih 2 minggu merupakan anak pertamanya. Paraji atau dukun beranak ada 3 informan, dua orang merupakan paraji senior sedangkan informan NSa (42 tahun) merupakan kandidat paraji penerus. Untuk Informan ketua adat ada dua yaitu JSa (55 tahun) ketua adat Kampung Cibeo dan JDa (55 tahun) Kepala Desa Kanekes. Informan kunci dalam riset ini adalah tokoh adat Amu (44 tahun) adalah tokoh adat Suku Baduy Dalam. 1 orang informan berkedudukan sebagai salah satu tokoh pemuda Suku Baduy Dalam yaitu AK (28 tahun) yang dikarunia 2 orang anak. Untuk wanita usia subur ada 4 informan, ASa (16 tahun) dengan satu orang putri berusia 3 bulan; Aar (32 tahun) isteri Kepala Desa Kanekes dengan tiga orang anak; Amu (39 tahun) isteri Tokoh Adat melahirkan 5 kali namun 2 orang anaknya meninggal di usia 9 tahun dan 7 hari dan AmD (35 tahun). Satu orang informan remaja puteri Ev (15 tahun), adalah salah satu puteri tokoh adat suku baduy dalam. Praktik Budaya Perawatan Kehamilan Penentuan seorang wanita sedang hamil di suku Baduy Dalam menurut salah seorang informan sangat subjektif, yaitu selain tidak mendapati dirinya menstruasi bulanan, seorang isteri sendiri ada “rasa” kalau dirinya hamil. Fenomena tabir mimpi juga salah satu yang diyakini sebagai pertanda kehamilan, demikian yang disampaikan oleh suami ASa (14 tahun) seorang ibu nifas. “…waktu isteri saya hamil, saya mimpi ada orang memberi saya golok…ujungnya tumpul. wah ini pertanda kalau janin yang dikandung isteri saya bakalan anak perempuan…” [AS, 20 tahun : Mei 2014] Wanita hamil di suku Baduy Dalam, ritual yang dijalani yaitu tradisi Kendit, ritual saat usia kehamilan tujuh bulan dengan cara datang ke Puun (nyareat) dengan membawa seupaheun (sirih, gambir dan apu) dan kanteh hideung (gelang kain berwarna hitam). Kanteh Hideung diberi mantra dan dipakai selama 3 hari 3 malam. Makna Kendit ini diharapkan prosesi kelahiran berjalan lancar. Selain tradisi kendit ada tradisi Ngaragap beuteung (pijit dibagian perut) oleh Paraji (dukun beranak) sambil diusap menggunakan koneng bau. Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) Selain dipijit, ibu hamil meminta jampi-jampi bagi keselamatan ibu dan janin yang dikandung. Jampe-jampe (mantera) dari paraji melalui media panglai ada yang dimakan, ada yang dibawa-bawa di badan sebagai perlindungan diri (tumbal). Namun tradisi Ngaragap beuteung tidak wajib tergantung masing-masing individu termasuk juga untuk waktunya. Ngaragap Beuteung bisa dilakukan sebulan dua kali atau sebulan sekali bahkan tidak sama sekali. “…pijit pada bagian perut ibu hamil tidak wajib, itu tergantung masing-masing individu. Ada yang setiap bulan datang ke saya (paraji), ada yang tidak sama sekali. Ada yang cuma minta di syareatan (mantera-mantera) saja supaya proses melahirkan lancar…” [NN, 55 tahun : Mei 2014] Seperti penuturan salah seorang tokoh pemuda Suku Baduy Dalam, AK (28 tahun), menejelsakan selain tradisi ada juga beberapa pantangan selama masa kehamilan baik pantangan perilaku juga makanan. Pantangan tidak hanya berlaku bagi ibu yang sedang hamil namun juga bagi suaminya. “…waktu isteri saya hamil, saya tahan-tahan jaga perilaku. Saya kan lama nunggu 4 tahun baru dipercaya punya anak, jadi yaa pantanganpantangan dihindari…” [AK, 28 tahun : Juni 2014] Pantangan selama hamil, isteri harus berjalan didepan suami, tidak boleh keluar rumah setelah senja hari, cara membawa kayu bakar posisinya congokna kahareup. Pada hari rabu dan sabtu ibu hamil tidak boleh dipijat, dilarang mengenakan apapun di bagian leher baik itu kalung ataupun syal. Sedangkan pantangan makanan diantaranya adalah dilarang mengkonsumsi sambal, durian, petai, nenas bisa mengakibatkan panas pada janin. Pantangan lainnya, saat kehamilan memasuki bulan tua tidak boleh mengkonsumsi obatobatan kimia sampai setelah bayi dilahirkan. Alasan tidak diberikan obat-obatan selama kehamilan ditakutkan berdampak pada janin yang dikandung, kacang mentah (buat anak cacingan); cai panas (janinnya nanti kepanasan). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi oleh wanita yang sedang hamil adalah minum air kelapa hijau, sedangkan selama hamil mengusap-usap pasir ke perut Ibu yang diyakini bayi yang akan dilahirkan dalam kondisi bersih. Praktik Budaya Perawatan Persalinan dan Nifas Pemilihan penolong persalinan di Suku Baduy Dalam mengikuti tradisi turun temurun yaitu dilakukan sendiri tanpa pendampingan dukun paraji apalagi tenaga medis. Tenaga medis dipanggil ketika mengalami kesulitan selama proses melahirkan, sehingga selama proses melahirkan lancar cukup memanggil paraji. Sesuai dengan penuturan AD, bapak dengan lima anak suami dari informan AmD. “…di kami sakit apa aja termasuk melahirkan ya ikut aturan saja, dibantu sama paraji tidak ke bidan…sebisa-bisa ya ke paraji saja. Kalau sakit yaa diobati sendiri pake daun-daunan atau ke dukun kampung…” [AD, 45 tahun : Mei 2014] Penjemputan paraji dilakukan ketika ibu sudah berhasil melahirkan bayinya. Prosesi melahirkan Suku Baduy Dalam dilakukan dengan posisi Ibu duduk bersandar dengan posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi jongkok.Tempat yang dipilih untuk bersalin hanya ada dua pilihan tergantung keberadaan Ibu saat hendak melahirkan yaitu di rumah atau di saung yaitu rumah yang didirikan di dekat huma atau ladang milik mereka. “…orang Baduy itu ada yang lagi di huma terasa mules-mules trus melahirkan saja di saung…terus sambil digendong bayi sama ibunya yang baru melahirkan jalan kaki pulang ke rumah…sudah biasa itu…” [NSa, 42 tahun : Juni 2014] Pendamping selama persalinan terkadang dibantu oleh ambu (ibu) atau saudara perempuannya, meskipun tidak jarang ketika menghadapi pertaruhan hidup dan mati dilakukan sendirian saja. Selama proses melahirkan, suami atau laki-laki tabu untuk mendampingi. Peran sang calon ayah berlaku sesaat setelah bayi lahir yaitu bertugas menjemput dukun paraji untuk memotong tali ari-ari, memandikan ibu dan bayi. Selama ambu paraji belum datang, ibu yang baru melahirkan dan bayinya hanya bisa menunggu dengan kondisi duduk dan bayi masih terhubung dengan ari-ari yang belum terputus. Tak seorangpun boleh mendampingi bahkan 29 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) suaminya sekalipun, saudara perempuan dan ambu hanya menengok sesekali sampai dengan dukun paraji datang. Lama waktu menunggu dalam rentang yang tidak sebentar bisa mencapai 1-6 jam tergantung keberadaan dan kesiapan dukun paraji. Keberadaan dukun paraji tidak ada di setiap kampung, dengan jarak tempuh antar kampung bisa mencapai dua sampai tiga kilometer dengan berjalan kaki. Kondisi Ibu yang lemas, kehilangan banyak darah dan bayi hanya dibalut selimut tidak diperbolehkan makan dan minum selama menunggu kedatangan dukun paraji. “...sebelum datang pertolongan dari paraji tidak boleh diberi makan, karena hanya paraji yang bisa melihat, kita kaum laki-laki tidak bisa bantu apa-apa...” [AK, 28Th: Juni 2014] Segera setelah Paraji datang, ayah menyiapkan hinis yaitu bambu untuk memotong tali ari-ari bayi, bambu yang digunakan diambil dari bambu yang berada di dekat pintu. Makna yang mereka percayai bahwa bambu dekat pintu adalah bambu terbaik dari yang ada. Selagi sang ayah menyiapakan hinis, ambu paraji menyiapkan tali tereup, untuk mengikat tali ari-ari bayi ketika hendak dipotong. Prosesi pemotongan tali ari-ari bayi diawali dengan dukun paraji mengunyah panglai yang kemudian disemburkan kekiri-kekanan-keatas dan kearah baskom yang berisi air yang nantinya digunakan untuk memandikan bayi. Mulut komat kamit membaca jampe-jampe atau mantra selama lebih kurang lima menit dengan beberapa kali menyemburkan panglai yang dikunyah ke dalam air untuk memandikan bayi. Selanjutnya ambu paraji menempatkan posisi bayi di atas kakinya, kemudian tali ariari diikat menggunakan tali teureup di bagian atas dan bawahnya. Pada bagian tali ari-ari yang hendak dipotong, dipijit menggunakan lebu haneut yaitu abu dalam kondisi hangat hasil proses pembakaran kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Sesaat sebelum tali ari-ari dipotong, ambu paraji kembali membancakan jampe dan setelah itu barulah tali ari-ari dipotong menggunakan hinis dengan koneng santen sebagai alas. Selanjutnya setelah merawat bayi, paraji melanjutkan dengan perawatan pada Ibu yang selesai bersalin. Perawatan di sini tidak 30 termasuk untuk perawatan pada bagian alat kelamin, vagina ibu yang habis melahirkan tidak dilakukan tindakan apapun. Ibu sendiri yang membersihkan darah yang keluar pada saat melahirkan dengan membasuhnya menggunakan samping atau kain yang ada. Ritual yang dilakukan untuk perawatan pada ibu nifas (bufas) adalah mandi dimana ibu berjalan bersama-sama dukun paraji menuju wahangan atau sungai untuk dimandikan. Ramuan dibalurkan ke seluruh badan terdiri dari campuran koneng tinggang, cikur, lempuyang yang dihaluskan dengan cara ditumbuk. Kemudian selesai mandi, perut dibenerkeun/ dipijit supaya rahim kembali ke posisinya. Selain itu juga lebu haneut (abu hasil pembakaran kayu bakar dari hawu/ kompor) yang dibungkus daun kemudian ditempel ke perut supaya perut tidak bengkak. Ramuan untuk ibu nifas (bufas) sampai dengan 7 hari disebut dengan makan “sambal”. Sambal adalah campuran jahe, kencur, lempuyang, air yang dihaluskan dan dimakan 2-3 kali dalam sehari. Selain sambal, ibu juga meminum air sirih atau air hasil rebusan kulit pisitan atau rebusan daun kilampahan yang berfungsi untuk membersihkan jalan lahir. Pemakaian alat kontrasepsi atau ramuan pencegah kehamilan tidak dilakukan karena bertentangan dengan aturan adat. Mereka yang menganggap mempunyai anak merupakan kehendak Yang Maha Kuasa tidak menunda atau diatur jaraknya antara anak pertama dengan kedua dan selanjutnya, sehingga semua dipasrahkan saja semua sudah takdirNya. Namun ada ramuan yang diyakini untuk merapatkan vagina menggunakan capeu yang direbus kemudian airnya diminum. Masa nifas dilalui sangat singkat oleh kaum ibu Suku Baduy Dalam. Lama masa nifas antara 3 sampai dengan 7 hari, jika ada seorang bufas yang masa nifasnya lebih dari 7 hari dianggap mengidap penyakit tertentu. “…kalau ibu yang sehat cuma satu minggu sudah tidak keluar lagi darah. Kalau saya karena lemah, sakit-sakitan sehabis melahirkan jadi sampai 18 hari darah baru berhenti…” [AMu, 39 tahun : Mei 2014] Adat berpakaian yang tidak diperbolehkan menggunakan pakaian dalam, maka darah nifas yang dikeluarkan tidak menggunakan Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) media apapun untuk menampungnya. Menurut pernyataan informan darah nifas yang keluar hanya dibersihkan menggunakan samping yang dikenakannya saja. Tidak ada kata istirahat bagi ibu nifas Baduy Dalam, selesai dimandikan oleh dukun paraji selanjutnya menjalani aktifitas seperti biasanya mulai mengurus rumah, mengurus anak dan mengurus suami tetapi belum diperbolehkan untuk pergi ke huma. Berikut tahapan praktik budaya perawatan pada masa postpartum pada ibu nifas: • Hari ketiga disebut juga peureuhan tilu peuting yaitu dikasih tetes mata dari pucuk hanjuang dan air jambe muda. • Pada hari ketujuh dilakukan tradisi adat yaitu peureuhan tujuh poe, yaitu pedes, bawang putih, jahe, jambe, pucuk hanjuang, kencur, koneng ditambah air kemudian diteteskan ke mata. • Angiran/gangiran, keramas di sungai untuk yang ditemani oleh paraji pada hari ke-40. Aktifitas pergi ke ladang bisa dilakukan ibu nifas setelah tujuh hari. Namun, meskipun darah nifas yang keluar hanya selama tiga sampai 7 hari, namun selama 40 hari isteri tidak boleh berkumpul dulu dengan suami. Hubungan seksual antara suami dan isteri dilakukan setelah isteri melakukan tradisi angiran/ngangiran yaitu keramas di sungai ditemani oleh paraji pada hari ke-40. Menahan diri tidak melakukan hubungan suami isteri selama 40 hari menurut informan (AK) dipercaya sebagai salah satu upaya pengaturan jarak usia antara anak pertama dan selanjutnya. Ada juga yang tidak bisa menahan diri selama 40 hari, sehingga kemungkinan yang terjadi mengakibatkan anaknya banyak. PEMBAHASAN Analisis Potensi Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan dan Nifas Analisis perilaku sebagai potensi yang menguntungkan terkait budaya persalinan yang termasuk tindakan yang disengaja dari aspek budaya yaitu dari aspek sistem organisasi dan kemasyarakatan. Ketaatan masyarakat Baduy Dalam pada pikukuh atau aturan adat merupakan sebuah potensi, khususnya kepatuhan pada pimpinan. Pimpinan di masyarakat Baduy Dalam dikenal dengan Ketua Adat disebut Puun dan Kepala Pemerintahan disebut Jaro.Pada struktur pemerintahan Baduy, terdapat dua orang yang dituakan namun berbeda fungsi yaitu Kokolot lembur disebut juga pemimpin kampung Tangtu atau jaro Tangtu. Ia bertugas atas nama puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan Puun. Kedua Kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Pak Idi Rasidi (Pensiunan Mantri Puskesmas Cisimeut) yang berhasil membawa masuk sentuhan pengobatan medis bagi penderita frambusia di Kampung Baduy Dalam bahwa dengan melakukan pendekatan kepada Jaro Tangtu sebagai kepala pemerintahan Kampung Tangtu (Etnik Baduy Dalam) maka mempermudah mendapat kepercayaan dari warga masyarakat Baduy Dalam. Kepatuhan masyarakat Baduy terhadap apapun yang diinstruksikan oleh pimpinan mereka merupakan potensi strategis bagi keberhasilan program-program kesehatan agar bisa diterima. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Burns D12, tokoh adat memiliki beberapa peranan dalam membangun kehidupan masyarakat diantaranya adalah menyelaraskan satu aturan berkenaan dengan mengatur, mengurus, memelihara dan menjaga keamanan dan menetapkan aturan menurut kampong sesuai dengan aturan berlaku. Berdasarkan aspek sistem religi, beberapa tradisi yang dilakukan sebagai wujud pelaksanaan ritual dalam kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai media promosi program-program kesehatan. Tradisi Seba yaitu tradisi berkunjung masyarakat Baduy Dalam ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi. Tradisi yang dilakukan satu tahun sekali ini sangat monumental sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan informasi kesehatan. 31 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) Perilaku menguntungkan lainnya adalah pengetahuan tentang obat-obat tradisional. Masyarakat Baduy Dalam sampai dengan saat ini mempertahan hidup dengan kearifan lokalnya, demikian pula dengan perilaku pengobatan yang dilakukan secara tradisional. Ramuan yang digunakan pasca melahirkan terbuat dari bahan-bahan herbal berasal dari tumbuhan yang ada disekitar pemukiman mereka. Beberapa ramuan tersebut diantaranya menggunakan campuran kunyit, sirih, air kelapa hijau, kencur, jahe, lempuyang dan honje. Beberapa dari tanaman tersebut secara ilmiah telah terbukti memiliki zat aktif yang berkhasiat bagi kesehatan. Banyak para tokoh di masyarakat Baduy Dalam yang mengerti tentang obat-obatan.Bahkan umumnya warga yang telah berkeluarga, tidak asing dengan pucuk-pucuk daun yang mujarab menyembuhkan penyakit. Aspek pola pemukiman, masyarakat Suku Baduy Dalam, memiliki pola pemukiman klaster, artinya rumah-rumah berhimpun terpusat dan berada dalam wilayah yang dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini diletakkan mengelilingi kampungnya sekaligus sebagai batas antara wilayah pemukiman dan hutan. Kondisi ini sebagai sebuah potensi yang menguntungkan, keluarga dan tetangga sekitar dapat memberikan perhatian dengan pola pemukiman klaster. Selain itu ketika ibu hamil hendak bersalin atau melahirkan tentunya dalam kondisi aman karena dengan pemukiman yang berdekatan dan terpusat lebih terpantau. Potensi ini memudahkan pula bagi tenaga kesehatan dalam memantau kondisi kesehatan ibu hamil dan pasca bersalin, karena kedekatan masyarakat Baduy Dalam yang erat antara satu dengan lainnya. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bidan Eros Rosita sebagai berikut : “…Nah untuk yang ibu hamil kita tanya pada yang datang kesini ”..di Kampung Cibeo berapa orang yang sedang hamil?....” gitu kan “perasaan sih ada tiga Bu..” walaupun itu hanya identitas, yang penting kita tulis di situ…” Analisis Kendala Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan dan Nifas Akses Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Sistem religi Suku Baduy memiliki keyakinan yang masuk ke dalam kategori Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan disebut dengan nama Sunda Wiwitan. Kepercayaan Sunda Wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah), memproteksi diri dari pengaruh modernisasi seperti tidak mengunakan listrik,tembok, mobil dan lain-lain. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat Baduy Dalam, dilakukan dalam satu tahun minimal tiga kali selain kunjungan tenaga kesehatan yang bersifat insidentil dan situasional. Kegiatan pelayanan kesehatan tidak dikhususkan kegiatan posyandu saja namun lebih situasional. Situasional disini maksudnya tergantung dengan kondisi situasi kesehatan masyarakatnya saat kunjungan nakes berlangsung. Para tenaga kesehatan yang datang haruslah sebisa mungkin melakukan pelayanan sesuai kebutuhan mereka saat itu. Selain situasional juga pelayanan kesehatan di masyarakat Baduy Dalam terbatas dengan tetap memperhatikan pikukuh adatnya tidak terlanggar. Penggunaan alat-alat kesehatan yang modern seperti penggunaan tensimeter, timbangan badan, stetoskop, infus, suntik dan alat-alat lainnya tidak diijinkan oleh aturan adat sehingga bentuk pemeriksaan kesehatan disana berdasarkan keluhan yang mereka rasakan. Meskipun penerimaan terbuka terhadap obat modern, namun tetap tidak semua jenis obat mereka mau mengkonsumsinya. Hal ini terkait dengan persepsi “obat manjur” yang mereka pahami, bahwa obat dikatakan cocok apabila hanya dalam waktu hitungan 1-2 hari bisa menyembuhkan mereka. Termasuk penolakan terhadap tawaran Pemerintah untuk mendirikan bangunan sebagai sarana dan prasarana fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak diterimanya program pemerintah di bidang kesehatan seperti kegiatan Posyandu mulai imunisasi dan 32 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) penimbangan tidak dapat dilakukan di masyarakat Baduy Dalam. Penolakan ini terkait prinsip yang dimilki dan dijalani yaitu tidak menggunakan benda yang dianggap termasuk dalam modernisasi. Sama halnya dengan membangun permukiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Penolakan terhadap modernisasi berdampak pada realisasi program pemerintah hanya bisa dilakukan sampai wilayah perbatasan di wilayah Baduy Luar saja dan pengobatan modern menjadi alternatif sekunder peranannya. mengganggu janin. Tindakan mengurut perut ibu hamil, terutama pada masa trimester tiga, tidak dibenarkan dalam praktik kedokteran/kebidanan yang aman. Indikasi pengurutan hanyalah bila posisi bayi sungsang, itupun harus dilakukan dengan manuver khusus dan dipantau oleh dokter spesialis kebidanan. 14 Prosesi pemijitan dilakukan juga pada Suku Bugis, namun hasil riset Hesty, et al13 menunjukkan tidak semua ritual adat dilakukan sebagaimana yang diungkapkan informan bahwa perawatan kehamilan yang dianggap berbahaya bagi kehamilan seperti mengurut diyakini dapat membahayakan tali pusat. Praktik Budaya Budaya kesederhanaan yang dipertahankan dan dijalani ini mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat Baduy Dalam, termasuk kesehatan. Sebenarnya tidak ada larangan bagi masyarakat Baduy Dalam untuk mengobati penyakit secara modern. Namun pikukuh yang dipegang teguh menurut para informan yang mengungkapkan bahwa pengobatan di Kampung Tangtu cukup berobat ke dukun yang ada di kampung mereka secara tradisional saja. Bagi mereka, mengakses fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alternatif paling akhir, meskipun seringkali tidak dipilih. Pemilihan penolong persalinan ke dukun juga dilakukan oleh Suku Bugis, hasil penelitian mengungkap bahwa ibu hamil masih mengakses dukun namun hanya terkait ritual yang harus dilewati selama masa kehamilan misalnya dalam masa perkembangan janin trimester ketiga, dilakukan ritual yang disebut ma’cera wettang. Ritual ini merupakan budaya masyarakat Bugis dalam kehamilan yang dilaksanakan pada bulan ke tujuh kehamilan, masa anggota tubuh janin telah lengkap. Ritual ini dipercaya dapat menjadikan posisi janin sempurna, persalinan lancar dan tidak ada gangguan dari makhluk-makhluk halus.13 Selain itu ibu hamil melakukan pemijatan terhadap perutnya ke paraji (dukun beranak) yang disebut ritual ngaragap beuteung dengan tujuan proses persalinan berjalan lancar. Prosesi pemijatan menjadi baik bagi kondisi ibu hamil apabila cara pemijatan dilakukan dengan benar. Namun akan berbeda dampaknya apabila cara pemijatan dilakukan dengan penuh tekanan yang dapat Pada masa kehamilan perilaku yang dapat memberikan risiko buruk pada ibu hamil diantaranya adalah tetap melakukan aktivitas sehari-hari sama seperti sebelum hamil yang termasuk aktivitas berat. Seperti tetap pergi ke huma (ladang) dengan jarak tempuh yang tidak dekat dan medan naik turun cukup curam dan licin. Sejalan dengan masyarakat Suku Dayak Sanggau bahwa selama hamil ibu harus tetap beraktifitas rutin. sebagian besar bekerja sebagai petani dengan ibu rumah tangga melakukan pekerjaan tersebut mendampingi suami. Porsi pekerjaan wanita di ladang lebih berat daripada pria. 15 Pada saat proses persalinan, ibu melahirkan dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan atau penolong persalinan. Kemandirian dalam persalinan berlaku pula pada Suku Ngalum di Oksibil, Suku Towe di Kabupaten Jayapura dan Suku Muyu di Boven Digoel, masyarakat suku tersebut mengucilkan perempuan yang sedang bersalin pada pondokan kecil yang mereka sebut sebagai Sukam dan Bivak.16 Pemilihan tempat prosesi persalinan sangat situasional, tergantung keberadaan ibu ketika hendak melahirkan bisa di rumah atau di saung (rumah dekat huma). Demikian pula masyarakat India di daerah Punjab, terlepas sebagai salah satu daerah paling makmur dan berpendidikan di India, namun persalinan di rumah dan tidak aman masih banyak terjadi. Punjab wilayah pedesaan menunjukkan secara signifikan persalinan di rumah dan tidak aman banyak ditemui pada perempuan berumur dan kurang berpendidikan. Hal ini terkait dengan faktor keyakinan psikososial dan budaya umum desa.17 Suku Dayak Sanggau memilih tempat persalinan di rumah tempat tinggal 33 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) (kamar tidur atau dapur) karena pertimbangan merasa lebih familiar dan tidak perlu repot membawa ibu keluar dari rumah.15 Masyarakat di Jayapura dan Puncak jaya melaksanakan persalinan di rumah agar tidak susah membawa keluar rumah dan lebih banyak keluarga yang bisa membantu.18 Hal ini juga sejalan dengan penelitian tentang konsep tata ruang bersih dan kotor pada suku kerinci, kelahiran dianggap sebagi proses yang kotor maka proses tersebut harus dilakukan di ruang kotor yaitu dapur. Bagaimanapun, pemilihan dapur sebagai tempat persalinan akan meningkatkan resiko infeksi nifas dan infeksi pada bayi.19 Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam dilakukan dengan posisi ibu duduk bersandar dengan posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi jongkok. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar20 menunjukkan tindakan/praktik yang membawa resiko infeksi seperti "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan). Kendala lain adalah faktor usia pertama kali hamil dan melahirkan. Rata-rata usia menikah perempuan Etnik Baduy Dalam berada pada rentang usia remaja. Usia remaja termasuk usia yang masih belum siap secara fisik bahkan mental. Dari sisi kesehatan usia di bawah 20 tahun rentan untuk terjadinya komplikasi saat persalinan. Pada umur tersebut rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan baik hingga perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan keracunan kehamilan atau gangguan lain kerena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua.21 Selama masa nifas ibu tidak tidak menggunakan pembalut, bahkan dalam aturan adat perempuan Baduy Dalam tidak diperkenankan menggunakan pakaian dalam. Sehingga darah nifas yang keluar hanya dibersihkan saja menggunakan kain samping yang dikenakannya. Kain samping yang digunakan sebagai media menyeka darah nifas berisiko terhadap kesehatan alat reproduksi mengingat kontaminasi agent baik bakteri atau parasit yang mengakibatkan infeksi. Pemotongan ari-ari bayi masih sangat sederhana dengan menggunakan hinis atau 34 sembilu yang berasal dari bambu yang berada di atas pintu rumah. Hal tersebut merupakan bagian dari ritual adat, tentunya secara medis penggunaan sembilu tanpa sterilisasi dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang yang baru dilahirkan. pemotongan tali pusat dilakukan setelah placenta lahir, pemotongan dilakukan dengan menggunakan sembilu hal tersebut sejalan dengan penelitian Giay18 alat pemotongan tali pusat pada masyarakat di Jayapura dan Puncak Jaya adalah bambu, silet bekas, gunting steril, silet yang direbus dengan kulit gaba-gaba. Pikukuh prosesi persalinan masyarakat Baduy Dalam diyakini bahwa prosesi persalinan adalah tanggung jawab paraji. Itupun kehadiran paraji merawat ibu dan bayi setelah prosesi melahirkan sudah terjadi. Suami ataupun keluarga tidak memiliki hak untuk turut campur selama prosesi dan pasca persalinan. Kompleksitas masalah selama prosesi persalinan memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan ditangani oleh orang yang ahli. Pikukuh persalinan yang dijalani oleh perempuan Baduy Dalam berisiko menyebabkan kejadian kasus kematian baik pada ibu dan bayi yang dilahirkan terkait kompleksitas permasalahan yang mungkin terjadi selama prosesi persalinan. KESIMPULAN Pikukuh (adat mutlak) sebagai sistem nilai budaya yang melandasi falsafah hidup yang merasuk ke semua aspek kehidupan masyarakat Suku Baduy Dalam termasuk aspek kesehatan diantaranya sistem budaya pelayanan kesehatan. Masyarakat Suku Baduy Dalam lebih mengacu pada sistem budaya pelayanan kesehatan tradisional, mereka lebih memilih berobat ke dukun, paraji (dukun bayi) setempat, sedang pengobatan modern sebagai pilihan sekunder. Praktik terkait budaya selama kehamilan, persalinan dan nifas yang membahayakan kesehatan antara lain pemijatan perut saat kehamilan; prosesi melahirkan secara mandiri, tempat persalinan situasional (saung/rumah), lama waktu menunggu paraji, pemotongan tali pusat, usia pertama kali melahirkan, melakukan aktivitas berat, larangan menggunakan pakaian dalam dan pembalut wanita. Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) SARAN Perlunya pembekalan kepada para tenaga kesehatan sehingga mampu melakukan pendekatan lebih intensif kepada masyarakat Baduy Dalam untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem budaya pelayanan kesehatan modern di samping sistem budaya pelayanan pengobatan tradisional yang selama ini mereka anut dan dipercaya serta terbukti dapat memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat setempat. 7. 8. 9. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Kepala Puskesmas Ciboleger dan staf serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya riset ini baik secara langsung dan tidak langsung. 10. DAFTAR PUSTAKA 1. BKKBN, BPS, Kementrian Kesehatan RI, 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta Departemen Kesehatan RI. 1998. PedomanPelayanan Kebidanan Dasar. Jakarta. Angkasawati Tri Juni, et al. Laporan Penelitian Riset Etnografi Budaya.Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI; 2012. Wibowo, Adik. Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan", Pusat Kajian Wanita FISIP UI.1993.Jakarta Chriswardani Suryawati. 2007. Faktor Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan, dan Pasca Persalinan (Studi di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara).. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 1 / Januari 2007 Kemenkes RI. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : 2. 3. 4. 5. 6. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Setiawati, Gita. 2010. Modal Sosial Dan Pemilihan Dukun Dalam Proses Persalinan: Apakah Relevan?. Makara, kesehatan vol 14, no.1 Juni 2010 : 1116. Ipa Mara, Djoko Adi P, Johan Arifin, Kasnodihardjo,.2004. Balutan Pikukuh Persalinan Baduy. Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2014, Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak. Surabaya; Pusat HumanioraKebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kiefer Christie, Alexis Armenakis. 2007. Social & Cultural Factors Related to Health Part A: Recognizing the Impact. University of California San Francisco and Child Family Health International San Francisco, CA 2007 Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang : YA3. Burns, D.2000. “Can Local Democracy Survive Governance?”, Urban Studies.Vol.37.pp 5-6. Hesty, et al. 2013. Konsep Perawatan Kehamilan Etnis Bugis Pada Ibu Hamil Di Desa Buareng Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Masyarakat Unhas. Vol 34.2013 Liwang, F. 2012. Menggandeng Tangan Dukun Beranak: Sudut Pandang Seorang Dokter. Online http://www.menggandeng-tangan-dukunberanak-sudut-pandang-seorang-dokter505164.html. Diakses tanggal 8 Maret 2013 Suprabowo, E. 2006. Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 1, No. 3, Desember 2006 Laksono, AD, Khoirul Faizin, Elsina Raunsay, Rachmalina Soerachman.2004. Perempuan Muyu Dalam Pengasingan. Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan 35 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) Anak 2014, Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel. Surabaya; Pusat HumanioraKebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 17. Rajesh garg et al. 2010. Study On Delivery Practices Among Women In Rural Punjab. Health And Population: perspectives and issues.vol. 33 (1), 23-33, 18. Giay, Zakharias. Bidan di Desa Terpencil dan Hubungannya dengan Perbaikan Perilaku Kesehatan Maternal pada Masyarakat Lokal Papua Studi di DAS Membrana Kabupaten Jayapura dan Puncak Jaya Propinsi Papua 36 19. Adji Triana R Konsep Kebersihan dalam Proses Kelahiran dan Perawatan Bayi di Desa Kemantan Kebalai, Kerinci. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986 (skripsi Sarjana Tak Diterbitkan) 20. Iskandar, Meiwita B., et all. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia. 21. Prameswari,F.M, 2007. Kematian Perinatal di Indonesia dan Faktor yang Berhubungan Tahun 1997-2003. Jurnal Kesehatan masyarakat Vol.1, No. 4, Februari 2007. Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) PENGARUH KONSUMSI IBU HAMIL DAN UKURAN BIOMETRI JANIN PADA PANJANG LAHIR BAYI (ANALISIS DATA KOHORT TUMBUH KEMBANG ANAK 2011-2012) Effects of Pregnant Women Consumption and Fetal Biometry to Baby Birth Length (Data Analysis of Cohort Children Growth Study 2011-2012) Budi Setyawati*, Iram Barida, Anies Irawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat *E-mail: [email protected] Abstract Background: Birth parameter is rated as one of the most important parameters in evaluating the condition of a healthy baby. Stunting at birth is associated with high risk of stunting in childhood and adulthood which is affected by maternal health and nutritional status during pregnancy. Objective: To assess the effect of maternal consumption (macro-micro nutrients) and biometric size (fetus length of femur and tibia) with the infant length birth. Methods: Design of the study was a prospective cohort which was a part of a cohort study in growth and development of children at Kebon Kalapa and Ciwaringin, Bogor, in 2012. Maternal intake in the third trimester (energy, protein, fat, iron, folate and zinc) was studied in 93 respondents, and USG test was done to assess the length of femur and tibia fetus in 30 respondents. Analysis was conducted using chi-square test and test of the Relative Risk (RR). Results: The energy consumption was 60-65 percent; protein was 40-70 percent; fat was 57-72 percent of the recommended sufficiency. Consumption of Fe, Zn and Folate was 20-30 percent of the recommended sufficiency. Consumption of energy, protein, fat, Fe, folate and zink were not related to the baby length birth. Women with low length of tibia dan femur fetus were 4 and 1,3 times more risk to have low birth length. Both were not statistically significant (p>0.05). Conclusions: Consumption of energy, protein, fat, Fe, folate, Zn in third trimester and fetus length of tibia and femur were not related to the infant length birth. Keywords: length birth, nutrition consumption, femur and tibia length Abstrak Latar Belakang: Kondisi saat dilahirkan merupakan salah satu parameter kelahiran yang penting dalam mengevaluasi kondisi bayi yang sehat. Kondisi pendek (stuntingi) saat dilahirkan berhubungan dengan tingginya risiko pendek pada masa kanak-kanak dan dewasa. Status kesehatan dan gizi wanita selama kehamilan berpengaruh pada kesehatan bayinya. Tujuan: Menilai pengaruh konsumsi ibu hamil (zat gizi makro-mikro) dan ukuran biometri (panjang tulang paha dan tulang kering janin) dengan panjang bayi lahir. Metode: Desain penelitian adalah kohor prospektif, bagian dari penelitian kohor Tumbuh Kembang Anak tahun 2012 di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kota Bogor. Sebanyak 93 sampel dipelajari asupan ibu pada trimester III (energi, protein, lemak, zat besi, folat dan zinc). Pemeriksaan USG pada 30 responden untuk menilai panjang tulang paha dan tulang kering janin. Analisis data dilakukan dengan melakukan uji chi-square dan nilai Relative Risk (RR). Hasil: Konsumsi ibu hamil menunjukkan energi 60-65 persen, protein 40-70 persen, dan lemak 57-72 persen dari anjuran kecukupan. Konsumsi Fe, Folat dan Zn 20-30 persen dari kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi energi, protein, lemak, Fe, folat dan Zn ibu tidak berhubungan dengan panjang lahir bayi. Panjang paha janin yang kurang berisiko 1,3 kali panjang lahir pendek, panjang tulang kering janin yang kurang berisiko 4 kali panjang lahir pendek, keduanya tidak signifikan secara statistik (p> 0,05). Kesimpulan: Konsumsi ibu hamil pada trimester-III, panjang tulang paha dan tulang kering janin tidak berhubungan dengan panjang lahir bayi. Kata Kunci : panjang lahir bayi, tulang kering, tulang paha, konsumsi Naskah masuk: 1 April 2016 Review: 10 April 2016 Disetujui terbit: 27 April 2016 Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) PENDAHULUAN Periode emas dalam proses tumbuh kembang seorang anak ialah dalam 1000 hari pertama kehidupan, terdiri dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Dalam masa ini, gizi yang didapat bayi saat dalam kandungan dan menerima ASI akan berdampak terhadap kehidupan saat usia dewasa.1 Status gizi ibu saat sebelum dan selama hamil mempengaruhi pertumbuhan janin yang dikandungnya. Jika status gizi ibu normal saat sebelum dan selama hamil, kemungkinan akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat dan panjang badan normal. Dengan kata lain, kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil.2 Kondisi kehamilan sebagai penentu keberhasilan pertumbuhan janin dan bayi. Kehamilan adalah masa paling kritis, sensitif dan merupakan periode unik dalam kehidupan wanita.3 Sejak janin dalam kandungan seyogyanya telah mulai dilakukan pembentukan sumberdaya yang berkualitas.4 Ukuran saat dilahirkan merefleksikan lintasan pertumbuhan janin (fetus trajectory of growth), tahap awal pembentukan janin, dan pembentukan kapasitas plasenta dalam mensuplai gizi yang cukup guna menjaga pertumbuhan janin.5 Parameter kelahiran yakni kondisi saat dilahirkan dinilai salah satu parameter yang penting dan dapat diandalkan dalam mengevaluasi kondisi kehamilan dan bayi yang sehat.6 Kondisi pendek (stunting) saat dilahirkan berhubungan dengan tingginya risiko pendek (stunting) pada masa kanakkanak dan saat dewasa.7 Semakin cepat seorang anak setelah dilahirkan terdeteksi pendek, maka selanjutnya cenderung menjadi sangat pendek dan mengalami berbagai akibat negatif jika tidak segera ditangani.8 Status kesehatan dan gizi wanita selama kehamilan berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi dan outcome kehamilannya.9 Keadaan gizi ibu selama kehamilan diketahui berefek pada tumbuh kembang janin. 38 Pada situasi asupan yang berkurang ataupun pertambahan kebutuhan gizi, kompetisi antara yang dibutuhkan ibu dan janinnya membatasi keberadaan gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan janin yang optimal.10 Konsumsi ibu selama kehamilan sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan janin.11 Energi dan protein dipercayai menjadi zat gizi makro yang berhubungan dengan ukuran pada saat bayi dilahirkan.12 Jika asupan energi dan protein ibu saat hamil tidak mencukupi, maka peningkatan berat, panjang dan lingkar kepala janin juga akan lebih rendah.13 Konsumsi zat gizi mikro disertai konsumsi zat gizi makro yang cukup, berpengaruh positif dalam 14 menentukan pertumbuhan janin. Panjang tulang paha (femur) dan tulang kering (tibia) janin dapat diprediksi melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG), khususnya USG tiga dimensi. Terdapat hubungan antara asupan ibu saat hamil dengan panjang tulang paha janin.15 Ditemui adanya hubungan antara kondisi panjang tibia saat janin dalam kandungan dengan ukuran antropometri bayi saat dilahirkan.16 Makalah ini untuk menilai pengaruh konsumsi zat gizi ibu hamil (zat gizi makro maupun mikro) dan ukuran biometri dengan panjang bayi lahir. Ukuran biometri yang dianalisis yaitu panjang tulang paha (femur) dan tulang kering (tibia) janin. METODE Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain kohor prospektif. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kohor Tumbuh Kembang Anak yang dilakukan mulai tahun 2012. Lokasi penelitian Kohor Tumbuh Kembang Anak di lima Kelurahan yaitu di Kelurahan Kebon Kalapa, Babakan, Babakan Pasar, Ciwaringin, dan Panaragan. Namun data pada analisis ini berasal dari dua kelurahan yakni Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, disebabkan pada tahun 2012, penelitian dilaksanakan di kedua kelurahan tersebut. Populasi penelitian ini adalah ibu hamil di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin. Sampel penelitian ini adalah ibu hamil yang bertempat tinggal secara menetap dan bersedia untuk menjadi sampel serta memiliki data Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) lengkap. Jumlah ibu hamil yang telah melahirkan sampai akhir November 2012 adalah sebanyak 93 ibu, dan sebanyak 30 ibu yang diperiksa USG, artinya tersedia data biometri. Analisis deskriptif data karakteristik, konsumsi energi-zat gizi makro mikro dan panjang lahir, dan hubungan konsumsi zat gizi ibu dengan panjang lahir bayi dilakukan pada 93 responden. Analisis data gambaran ukuran biometri, hubungan antara ukuran biometri dengan panjang lahir dilakukan pada 30 ibu dan bayinya (yang memiliki data biometri). Variabel yang dipelajari pada penelitian ini meliputi profil ibu hamil dan kondisi keluarganya, hasil pengukuran USG untuk panjang tulang paha (femur) dan tulang kering (tibia) janin serta panjang lahir bayi. Selain itu, variabel yang dipelajari juga meliputi konsumsi zat gizi makro: energi, protein dan lemak; dan zat gizi mikro: zat besi (Fe), folat dan Zink (Zn). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur, recall 1x24 jam pada usia kehamilan tri-mester III, pengukuran dan pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan satu kali. Pemeriksaan USG dilakukan oleh spesialis obstetri ginekolog di bagian obstetri RS Marzuki Mahdi Bogor. Hasil dari recall konsumsi 1x24 jam di entry ke dalam program Nutrisoft sehingga didapatkan nilai konsumsi energi, protein, lemak, Fe, folat, dan Zink (Zn). Nilai konsumsi tiap individu dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) untuk orang Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun 2013.17 Nilai konsumsi tersebut selanjutnya dikategorikan menjadi kurang dan cukup mengonsumsi sesuai anjuran AKG. Nilai panjang tulang paha dan tulang kering janin responden dibandingkan dengan standar panjang tulang paha dan tulang kering janin per minggu kehamilan (Chitty & Altman, 2002).18 Jika panjang tulang paha ataupun tulang kering janin kurang dibandingkan standar, maka dikategorikan kurang, sedangkan jika panjang tulang paha ataupun tulang kering sama panjang atau melebihi standar maka dikategorikan cukup. Data panjang lahir pada bayi yang baru dilahirkan dikumpulkan dengan menggunakan data panjang lahir yang tertulis pada catatan kelahiran bayi yang selanjutnya secepatnya dikonfirmasi dengan pengukuran panjang badan bayi dengan menggunakan alat pengukur panjang badan dengan ketelitian 0,1 cm. Pengaruh kecukupan konsumsi zat gizi makro dan mikro, panjang tulang paha dan tulang kering janin dengan panjang lahir bayi dianalisis menggunakan uji chi-square. Besarnya risiko dari berbagai variabel dilihat dari nilai Relative Risk (RR). Secara umum, untuk memperoleh hasil yang baik maka jumlah sampel minimal untuk penelitian korelasional adalah sebanyak 30 orang responden. Besaran jumlah sampel ditentukan dari besaran tingkat ketelitian ataupun kesalahan yang bisa di tolerir oleh peneliti. Semakin besar jumlah sampel, maka makin kecil terjadi peluang kesalahan generalisasi.19 Pada penelitian ini semua responden pada penelitian Kohort Tumbuh Kembang Anak yang memiliki catatan panjang lahir bayi yang dilahirkan, catatan konsumsi trimester III dan catatan hasil USG janin, diambil semua sebagai responden. Persetujuan etik didapatkan dari Komisi Etik Peneliian Kesehatan Badan Penelitian dan pengembangan kesehatan, Departemen Kesehatan (No. KE.01.05/EC/395/2012 tanggal 11 Mei 2012). HASIL Karakteristik responden penelitian Kohor Tumbuh Kembang Anak di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 umumnya disajikan data dari 93 responden, namun pada beberapa karakteristik tidak memuat keseluruhan responden akan tetapi sesuai dengan informasi yang didapatkan. 39 Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) Tabel 1. Karakteristik Responden di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Karakteristik Usia ibu (Tahun) < 15 tahun 15-35 tahun > 35 tahun Anggota Rumahtangga (orang) > 4 orang ≤ 4 orang Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Perguruan Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Sekolah Ibu Rumahtangga TNI/POLRI/PNS Pegawai BUMN/Swasta Pedagang/wiraswasta/palayanan jasa Buruh/lainnya Pendapatan rata-rata/bulan (Rp.) Pendapatan < rata-rata Pendapatan ≥ rata-rata Paritas Multipara Primipara Proporsi terbesar adalah ibu hamil berusia 1535 tahun, dengan rata-rata usia 27,3±6 tahun. Sebagian besar rumah tangga responden berpendapatan kurang dari rata-rata (948.489 rupiah) dan memiliki lebih dari satu anak (rata-rata anak yang dimiliki 2 orang). Mendekati separuh dari responden berpendidikan SLTA. Tabel 2 memperlihatkan karakteristik konsumsi zat gizi pada ibu hamil dan tingkat pencapaian menurut angka kecukupan yang dianjurkan (persen). Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa secara umum tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro-mikro sampel lebih rendah dari kecukupan yang dianjurkan. Tingkat kecukupan konsumsi energi rata-rata pada sampel ibu hamil hanya berkisar antara 60-65 persen, sedangkan tingkat kecukupan protein antara 40-70 persen dan tingkat kecukupan lemak antara 57-72 persen. Tingkat konsumsi rata-rata untuk zat 40 Jumlah (n = 93) % 1 84 8 1,1 90,3 8,6 51 39 43,3 56,7 1 4 10 23 45 10 1,1 4,3 10,8 24,7 48,4 10,8 6 2 65 4 10 3 3 6,5 2,2 69,9 4,3 10,8 3,2 3,2 75 15 83,3 16,7 56 37 60,2 39,8 gizi mikro (Fe, folat dan zink) sangat rendah yakni di bawah kecukupan yang dianjurkan (berkisar 20-30%). Pada Tabel 3 terlihat bahwa rata-rata berat bayi lahir pada penelitian ini adalah 3240 gram dengan panjang lahir 48,9 cm. Sebagian besar responden bayi yang lahir memiliki berat dan panjang lahir normal. Sekitar seperempat dari seluruh responden bayi dilahirkan dengan panjang lahir kurang dari 48 sentimeter. Jika dibandingkan dengan standar WHO (2005) maka terdapat sekitar dua per tiga bayi dilahirkan dengan panjang lahir kurang (panjang lahir < 50 cm). Pada Gambar 1 disajikan rata-rata panjang tulang paha (femur) janin pada minggu 24-38 dibandingkan standar (Chitty & Altman, 2002).18 Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) Tabel 2. Konsumsi Energi dan Zat Gizi Makro-Mikro Responden di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Kelompok Umur 13-15 tahun 1575 ± 352 37,2 ± 12,5 46,3 ± 18,5 4,9 ± 0,4 85,3 ± 26,5 4,4 ± 0,9 Anjuran Kecukupan* 2425 89 81 39 600 26 Kecukupan (%) 64,9 41,8 57,2 12,6 14,2 16,9 Energi Protein Lemak Zat Besi (Fe) Folat Zink (Zn) 1051 ± 203 43,2 ± 8,6 50,3 ± 19,6 7,4 ± 0,8 126 ± 48,1 4,9 ± 1,9 2425 79 81 39 600 24 43,3 54,7 62,1 19,0 21,0 20,4 19-29 tahun Energi Protein Lemak Zat Besi (Fe) Folat Zink (Zn) 1678 ± 648,3 53,3 ± 25,3 61,0 ± 27,4 9,2 ± 7,0 157,9 ± 133,6 6,0 ± 3,0 2550 76 85 39 600 20 65,8 70,1 71,8 23,6 26,3 30,0 30-49 tahun Energi Protein Lemak Zat Besi (Fe) Folat Zink (Zn) 1439,8 ± 467 49,2 ± 17,7 48,1 ± 16,7 11,5 ± 12,3 145,2 ± 89,6 5,7 ± 2,0 2450 77 70 39 600 20 58,8 63,9 68,7 29,5 24,2 28,5 Konsumsi Mean ± SD Energi Protein Lemak Zat Besi (Fe) Folat Zink (Zn) 16-18 tahun * 17 Angka Kecukupan yang dianjurkan bagi ibu hamil dalam PP No.75 tahun 2013. Tabel 3. Berat dan Panjang Lahir Bayi di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Karakteristik Berat badan lahir1 Berat badan kurang (< 2500 gram) Normal (≥ 2500 gram) Berat lahir2 Berat badan kurang (< 3000 gram) Normal (≥ 3000 gram) Panjang lahir1 Pendek (< 48 cm) Normal (≥ 48 cm) Panjang lahir2 Pendek (< 50 cm) Normal (≥ 50 cm) 1 2 Kemenkes RI, 201020 WHO, 200521 Pada Gambar 1 tampak bahwa rata-rata panjang tulang paha (femur) janin responden setiap minggunya pada umumnya tidak berbeda dengan standar, bahkan pada minggu N = 93 % 2 91 2,2 97,8 25 68 26,9 73,1 24 69 25,8 74,2 60 33 64,5 35,5 ke-37 dan ke-38 kehamilan lebih panjang dari standar. 41 Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) Milimeter (mm) Minggu kehamilan Gambar 1. Panjang Tulang Paha (Femur) Janin dibandingkan Standar Pada Gambar 2 disajikan rata-rata panjang tulang kering (tibia) janin berdasarkan hasil pemeriksaan USG pada minggu 24-38 dibandingkan standar.18 Milimeter (mm) Pada Gambar 2 juga tampak bahwa rata-rata panjang tulang kering (tibia) janin setiap minggunya pada umumnya tidak berbeda dengan standar. Minggu kehamilan Gambar 2. Panjang Tulang Kering (Tibia) dibandingkan Standar Panjang tulang paha (femur) dan tulang kering (tibia) janin berdasar pengukuran USG pada minggu 24-38 disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa tulang paha dan tulang femur terus bertambah panjang setiap minggunya. Terlihat pula tulang paha lebih panjang dari tulang kering. Pada Tabel 4 terlihat bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara konsumsi energi, zat gizi makro dan zat besi dengan panjang lahir bayi. Namun demikian, proporsi bayi dengan panjang lahir pendek lebih banyak dilahirkan oleh ibu yang konsumsi energi, protein dan lemak selama kehamilan kurang dari yang dianjurkan. Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) Milimeter (mm) Minggu kehamilan Gambar 3. Panjang Tulang Paha dan Tulang Kering (mm/minggu kehamilan) Penilaian nilai Relative Risk (RR) tidak didapatkan pada asupan folat dan zink terhadap panjang lahir dikarenakan semua responden ibu hamil mengonsumsi folat dan zink di bawah kecukupan yang dianjurkan. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan pemakanaan antara tulang paha (femur) dengan panjang lahir bayi. Namun proporsi bayi yang dilahirkan pendek (< 48 cm) lebih banyak pada bayi yang ketika janin mempunyai panjang tulang paha tidak cukup panjang. Bayi yang ketika janin mempunyai panjang tulang kering (tibia) tidak cukup panjang berisiko 4 kali lahir dengan panjang < 48 cm (pendek), dibandingkan bayi yang ketika janin mempunyai panjang tulang kering (tibia) cukup panjang, namun hubungan tersebut tidak bermakna secara statistik (Confidence Interval tidak melewati angka 1). PEMBAHASAN Hasil penelitian secara umum memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi pada ibu hamil konsumsi zat gizi makro, yakni rata-rata konsumsi energi dan protein hanya sekitar 75% dari kecukupan. Nilai ini hampir sama dengan yang didapatkan oleh Rao et.al (2001) juga mendapatkan konsumsi energi protein yang rendah pada ibu hamil di India, yakni hanya sekitar 70-75% dari kecukupan yang dianjurkan.14 Selain itu terlihat pula rata-rata konsumsi zat gizi mikro (Fe, folat dan zink) hanyalah sekitar seperempat dari kecukupan yang dianjurkan. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius, dikarenakan konsumsi gizi ibu hamil akan berpengaruh pada tumbuh kembang janin yang optimal.10 Rendahnya konsumsi zat gizi pada sampel dalam penelitian ini tampaknya juga merupakan masalah umum yang terjadi di negara-negara berkembang seperti kurang energi protein (KEP), defisiensi Zn dan asam folat, yang juga diduga berpengaruh pada kondisi antropometri bayi yang baru dilahirkan.22 Ibu dengan defisit konsumsi energi (<70% dari kecukupan yang dianjurkan) berisiko 1,05 kali untuk memiliki anak dengan panjang lahir kurang dibandingkan ibu yang konsumsi energinya cukup, akan tetapi tidak signifikan secara statistik (p > 0,05). Pada berbagai penelitian masih terdapat ketidak konsistenan hubungan antara konsumsi zat gizi dengan ukuran janin. Sebagian menyatakan bahwa komposisi konsumsi energi berhubungan dengan ukuran bayi saat dilahirkan dan sebagian tidak.23 Nilai yang tidak signifikan pada penelitian ini dapat disebabkan karena bukan hanya konsumsi energi semata yang berpengaruh pada pertumbuhan janin, namun konsumsi energi berpengaruh pada 43 Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) pertumbuhan janin, yang akhirnya keterkaitannya dengan zat gizi mikro dan berpengaruh pada ukuran lahir melalui efeknya pada bioavailabilitas.22 Tabel 4. Pengaruh Konsumsi Energi, Zat Gizi Makro-Mikro dengan Panjang Lahir Bayi di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Variabel Panjang Lahir Rendah (< 48 cm) Normal (≥ 48 cm) (n=24) (n=69) n % n % Energi Defisit (< 70% kecukupan) Cukup 17 7 26,2 25,0 48 21 73,8 75,0 Protein Defisit (< 80% kecukupan) Cukup 18 6 25,4 27,3 53 16 74,6 72,7 Lemak Kurang Cukup 21 3 26,6 21,4 58 11 73,4 78,6 Zat Besi (Fe) Kurang Cukup 22 2 24,2 100 69 0 75,8 0 Folat Kurang Cukup Zink (Zn) Kurang Cukup RR (95% CI) p 1,05 (0,49-2,23) 1,00 0,93 (0,42-2,05) 1,00 1,24 (0,42-3,61) 1,00 0,24 (0,17-0,35) 0,07 NA* 24 0 26,4 0 67 2 73,6 100 NA* 24 0 25,8 0 69 0 74,2 0 Angka Kecukupan dapat dilihat di Angka yang dianjurkan bagi ibu hamil dalam PP No.75 tahun 2013.17 *NA : Not Applicable : tidak didapatkan nilainya Tabel 5. Pengaruh Panjang Tulang Paha (Femur) dan Tulang Kering (Tibia) Janin dengan Panjang Lahir Bayi di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Ukuran Biometri Panjang tulang paha(femur)18 Tidak cukup panjang Cukup panjang Panjang tulang kering (tibia)18 Tidak cukup panjang Cukup panjang Panjang Lahir Rendah (< 48 cm) Normal (≥ 48 cm) (n=9) (n=21) n % n % 6 3 33,3 25 12 9 66,7 75 7 2 50 12,5 7 14 50 87,5 RR (95% CI) 1,3 (0,41-4,33) 4,0 (0,99-6,19) p 0,70 0,04 18 Chitty & Altman, 2002 Defisit konsumsi protein (<80% kecukupan yang dianjurkan) pada ibu saat hamil ditemui pada kisaran 70-75 persen baik yang anaknya 44 panjang lahir rendah maupun normal. Tidak ditemui nilai signifikan pada pengaruh antara konsumsi protein ibu dan panjang lahir Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) anaknya pada penelitian ini (p>0,05). Nilai yang tidak signifikan ini dapat terjadi karena sumber protein yang berbeda memberikan efek yang berbeda pada pertumbuhan janin. Selain itu, perbedaan antara sumber protein hubungannya dengan pertumbuhan janin dapat merefleksikan perbedaan dalam kandungan zat gizi mikro yang juga mengarah pada perbedaan asam amino dan konsekuensi metabolik.24 Risiko relatif kurangnya konsumsi lemak (< 56 gram) pada ibu hamil terhadap risiko panjang lahir rendah pada anaknya adalah sebesar 1,2 kali dibandingkan ibu yang mengonsumsi lemak cukup (p > 0,05). Risiko ini dimungkinkan karena lemak merupakan sumber energi, dimana energi diyakini berpengaruh pada pertumbuhan janin, yang akhirnya berpengaruh pada ukuran lahir.22 Defisiensi zat besi (Fe) berdampak pula pada pertumbuhan janin.25 Pengaruh besi pada panjang lahir bayi dimungkinkan karena besi merupakan salah satu mineral yang berpengaruh langsung pada pembentukan struktur dan metabolisme tulang.26 Defisiensi besi selama kehamilan berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif, rentan terhadap infeksi, kematian janin, prematur dan berat badan lahir rendah.10 Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan signifikan antara konsumsi zat besi dengan panjang lahir bayi. Hal ini disebabkan karena hampir keseluruhan sampel bersifat homogen yakni kurang mengonsumsi besi sesuai kecukupan yang dianjurkan. Selain mengurangi risiko bayi lahir cacat tabung saraf, asam folat (vitamin B9) penting dikonsumsi di saat hamil karena berfungsi dalam pembelahan sel dan jaringan pada janin dalam kandungan dan mencegah bayi lahir prematur. Selain itu, asam folat juga dapat meningkatkan kualitas sel darah merah sehingga dapat mencegah anemia.27 Pada penelitian ini tidak ditemui besarnya pengaruh asam folat pada panjang bayi lahir karena keseluruhan sampel (100%) mengonsumsi asam folat kurang dari kecukupan yang dianjurkan. Zink (Zn) adalah salah satu mineral yang berpengaruh langsung pada pembentukan struktur dan metabolisme tulang.25 Pengaruh zink terhadap ukuran bayi lahir masih kontroversial. Sebagian menyatakan ada pengaruh Zn pada ukuran antropometri bayi baru lahir dan sebagian menyatakan tidak ada pengaruhnya.28 Keseluruhan sampel ibu hamil mengonsumsi zink kurang dari kecukupan yang dianjurkan, oleh karenanya tidak dapat dihitung besar pengaruh konsumsi zink ibu dengan panjang lahir bayinya. Hasil penelitian ini hampir sama yaitu tidak mendapatkan hubungan antara zat gizi makro dan mikro terhadap ukuran antropometri.27 Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan More di tahun 2004 yang juga tidak mendapatkan hubungan antara zat gizi yang dikonsumsi pada saat kehamilan trisemester III dengan ukuran bayi yang dilahirkan.23 Tidak didapati pengaruh signifikan antara panjang tulang kering janin (hasil pengukuran USG) dengan panjang bayi lahir (p> 0,05), walaupun terdapat resiko panjang lahir pendek 4 kali pada janin dengan tulang kering pendek. Hal ini berlawanan dengan hasil yang didapatkan Pereda et.al (2003) yang menemukan adanya hubungan kondisi tibia janin dengan ukuran antropometri bayi saat dilahirkan.16 Keterbatasan analisis ini adalah tidak menilai pengaruh konsumsi energi, zat gizi makromikro pada trimester satu dan dua dengan panjang lahir bayi. Padahal puncak pertambahan panjang badan bayi terjadi pada trimester kedua. Kecukupan konsumsi energi dan zat gizi makro-mikro pada trimester pertama dibutuhkan untuk pertumbuhan panjang janin di trimester selanjutnya. Selain itu, tidak signifikannya hasil analisis pada penelitian ini dimungkinkan juga karena jumlah responden yang kurang memadai. KESIMPULAN Konsumsi energi dan zat gizi makro-mikro tidak berpengaruh pada panjang lahir bayi. Panjang tulang paha (femur) dan tulang kering (tibia) ketika janin tidak berpengaruh pada panjang lahir bayi. SARAN 45 Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) Untuk melihat pengaruh konsumsi ibu hamil dan ukuran biometri janin pada panjang lahir bayi, perlu dianalisis lebih lanjut konsumsi ibu di beberapa titik waktu saat kehamilan dan melihat ukuran biometri pada sampel yang lebih banyak. Selain itu disarankan juga agar untuk selanjutnya, dalam melihat pengaruh konsumsi ibu hamil dan ukuran biometri janin pada panjang lahir bayi menggunakan responden yang jumlahnya cukup memadai. UCAPAN TERIMAKASIH 8. 9. Terima kasih diucapkan kepada Ibu Anies Irawati atas bimbingannya dan tim penelitian studi Kohor sehingga data ini dapat dianalisis. 10. DAFTAR PUSTAKA 1. Kompas. Jangan Abaikan Nutrisi pada 2. Lubis, Z. Status gizi ibu hamil. 2003. Diunduh dari : http://sdmuhcc.net/elearning/aridata_ web/how/k/kesehatan/12_status_gizi_i bu_hamil.pdf 3. Vijayalaxmi KG & Vrooj A. Influence of maternal factors on mode of delivery and birth weight in urban pregnant women. J Hum Ecol. 2009; 25 : 133-136. 4. Oktavilesia D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian berat badan lahir rendah di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas-Padang, 2009. 5. Kramer MS. Effect of energy and protein intakes on pregnancy outcome: An overview of the research evidence from controlled clinical trials. Am.J.Clin.Nutr.1993; 58 : 627-635. 6. Borazjani F, Shanuak S, Kulkarni, Ahmadi KA. Impact of maternal factors on birth parameters in urban affluent pregnant women. Pakistan Journal of Nutrition. 20011; 10(4) : 325-327. 7. Ruel MT. The natural history of growth failure: importance of intrauterine and posnatal periods. Martorel R, Haschke F, Eds. 46 11. 12. 13. 14. 15. 16. Nutritions and growth. Nestle Nutrition Workshop Series, Pediatric Program Vol 47. Philadelphia: lippicott Williams & Wilkins, 2001: 123-58. Mendez M, Adair L. Severity and timing of stunting in the first 2 y of life affect performance on cognitive tests in late childhood. J Nutr. 1999;129: 1555–62. Panwar B & Punia D. 1998. Food intake of rural pregnant women of Haryana state, Northern India : Relationship with education and income. Int.J.foodSci.Nutr. 1998; 49: 243-247. Scholl TO & Reilly T. Anemia, Iron and pregnancy outcome. J. Nutr.2000; 130 : 443S-447S Luke B. Nutritional influences on fetal growth. Clin Obstet Gynecol 1994;37:538–49. Kramer MS, Kakuma R. Energy and protein intake in pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2000 (2): CD000032, Review Update: Cochrane Database Syst Rev 2003 (4): CD000032. Costa-Orvay JA, Figueras-Aloy J , Romera G, Closa-Monasterolo R and Carbonell-Estrany X. 2011. The effects of varying protein and energy intakes on the growth and body composition of very low birth weight infants. Nutrition Journal. 2011; 10:140. Rao S, Yajnik CS, Kanade AN, Fall CH, Margetts BM, Jackson AA, Shier R, Joshi S, Rege S, Lubree H, Desai B: Intake of micronutrient-rich foods in rural Indian mothers and size of their babies at birth: Pune Maternal Nutrition Study. J Nutr. 2001; 131:1217–1224. Chang SC, O’Brien K, Nathanson MS, Caulfield LE, Mancini J, Witter FR. Fetal femur length is influenced by maternal dairy intake in pregnant African American adolescents. Am J Clin Nutr 2003;77:1248–54 Pereda L, Ashmeade T, Zaritt J, Jane BS, Carver D. The Use of Quantitative Ultrasound in Assessing Bone Status Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. in Newborn Preterm Infants. Journal of Perinatology 2003; 23:655–659 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI]. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. 2013. Chitty LS, Altman DG. 2002. Charts of fetal size: Limb bones. International Journal of Obstetrics and Gynaecology. 2002; 109: 919-29. Hendry. Populasi dan sampel. 2016. Diunduh dari : https://teorionline.wordpress.com/tag/s ampel-populasi-penelitian-tekniksampling/ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI]. Panduan pelayanan kesehatan bayi baru lahir berbasis perlindungan anak. Direktorat kesehatan anak dan keluarga. 2010. WHO. low birth weight, regional and global estimated. WHO. Dept. Of Reproductive Health Research. New York, 2004; 1-32. WHO.Trace element in human nutritional and health. Macmillan/ceutrik. Genewa. 1996: 27101; 123-139. Susser, M. Maternal weight gain, infant birth weight and diet causal sequences. Am. J. Clin. Nutr.1991; 53: 1384-1396. 24. More VM, Davies MJ, Wilson KJ, Worsley A & Robinson JS. Dietary composition of pregnant women is related to size of the baby at birth. J Nutr. 2004; 134 : 1820-1826. 25. Rasmussen KM. Is there a causal relationship between iron deficiency or iron anaemia and weight at birth, length gestation and perinatal mortality. J. Nutr.2001; 131 : 590S603S. 26. Alexander, I.M. & Knight, K.A100 Question and answer about osteoporosis and osteopenia. Massachusetts : Jones & Bartlett Poblisher, Inc, 2006. 27. Syakur. 2012. Asam Folat Sangat Penting Untuk Ibu Hamil. Dalam : Http://www.kes123.com/2834/asamfolat-sangat-penting-untuk-ibuhamil.2012 (diunduh 30 Agustus 2012). 28. Wahyuni & Zen. Hubungan asupan zat gizi makro dan mikro ibu hamil semester III dengan status antropometri bayi lahir di Kabupaten Boyolali. Media Kesehat. Masy. Indones. 2006; 5 (1) : 46-48 47 HIPOTIROIDISME PADA IBU HAMIL DI DAERAH REPLETE DAN NON-REPLETE GONDOK DI KABUPATEN MAGELANG Maternal Hypothyroidism during Pregnancy in the Goiter Replete and Non-replete Area in Magelang District 2015 Ina Kusrini*1, Donny K Mulyantoro1, P.B Sukandar1, Basuki Budiman2 1 Balai Penelitian dan Pengembangan GAKI 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat * E-mail: [email protected] Abstract Background: Maternal hypothyroidism during pregnancy can impair adverse effect to mother and their fetus. Objective: To describe prevalence of hypothyroidism in pregnancy in the goiter replete and non-replete area. Methods: This is cross-sectional study. Study was conducted in Sawangan and Bandongan sub district as goiter replete area and Mungkid and Borobudur as the nonreplete area in Magelang. Samples were pregnant women in the first, second and third trimester. The sampling method is stratification random sampling with trimester as strata. Thyroid function is measured by indicators of Thyroid Stimulating Hormone (TSH) and free thyroxin (FT4) in serum by Elisa method.Univariate data analysis using SPSS 21. Results: There are 244 pregnant women 16-44 years old, with the gestational age of 2-38 weeks. Prevalence of hypothyroidism in pregnant women was 17.2 percent in the replete area and 19.2% in nonreplete area. Prevalence of primary hypothyroidism in were 4,2 percent in the nonreplete area and 0.0 percent in replete area, subclinical hypothyroidism in replete area were 13 percent and 15 percent in nonreplete area. Hypothyroxinemia at 4.1 percent in replete area and 0.0 percent in replete area. Prevalence in pregnant women higher in the third trimester compared to the two previous trimester. Diagnosis hypothyroidism during pregnancy attention to the physiological changes during pregnancy. Conclusion: Hypothyroidism occurs in the goiter replete area and non-replete. There was no difference in the prevalence of replete and non-replete area The real difference between the visible maternal trimester of pregnancy. Keywords: Hypothyroidism, Iodine, Pregnancy, TSH Abstrak Latar belakang: Hipotiroid pada masa kehamilan dapat menyebabkan dampak serius pada janin yang dikandungnya. Peningkatan kebutuhan iodium dan sumber iodium yang terbatas berpotensi menyebabkan hipotiroidisme pada masa kehamilan. Tujuan: Untuk memberikan gambaran kejadian hipotiroid pada ibu hamil di daerah replete gondok dibandingkan dengan daerah non-replete (bukan endemis gondok di masa lalu). Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional di Kecamatan Sawangan dan Bandongan sebagai daerah replete gondok dan Kecamatan Mungkid dan Borobudur sebagai wilayah non-replete gondok di Kabupaten Magelang. Sampel penelitian adalah ibu hamil di trimester 1, 2 dan 3 yang diambil secara simple random sampel dari kerangka sampel yang sudah di stratifikasi. Fungsi tiroid diukur dengan indikator Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dan free thyroxin (fT4) dalam serum dengan metode Elisa. Analisis data dilakukan secara univariat dengan SPSS 21. Hasil: Responden berjumlah 244 ibu hamil, berusia 16-44 tahun, usia kehamilan 2–38 minggu. Prevalensi hipotiroid di daerah replete gondok sebesar 17,2 persen dan 19,2 persen di daerah non-replete gondok. Lebih rinci disebutkan pada daerah replete gondok prevalensi overt hypothyroid sebesar 0.0 persen, hipotiroid subklinis 13 persen, hypothyroxinemia 4,1 persen. Pada daerah non-replete gondok prevalensi overt hypothyroid 4,2 persen, hipotiroid subklinis sebesar 15 persen dan hypothyroxinemia sebesar 0.0 persen. Prevalensi lebih tinggi pada ibu hamil di trimester tiga dibanding dua trimester sebelumnya dikedua wilayah. Kesimpulan: Hipotiroid pada ibu hamil terjadi pada daerah replete dan non-replete gondok dan tidak ada perbedaan prevalensi di daerah replete dan non-replete gondok. Perbedaan nyata terlihat pada ibu hamil antar trimester kehamilan. Kata kunci: Hipotiroid, Iodium, Kehamilan, TSH Naskah masuk: 25 Januari 2016 Review: 21 Februari 2016 Disetujui terbit: 15 April 2016 Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) PENDAHULUAN Kehamilan merupakan kondisi fisiologis pada seorang wanita, yang ditandai dengan menempelnya janin pada dinding rahim dalam jangka waktu tertentu. Pada masa kehamilan peran hormon tiroid diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan organ vital pada janin. Pada masa awal kehamilan, pemenuhan kebutuhan hormon tiroid pada janin sepenuhnya tergantung suplai dari ibu melalui plasenta. Karena pada masa ini, janin belum memiliki kelenjar tiroid. Oleh sebab itu kecukupan hormon tiroid dari ibu sangat penting untuk mencegah terjadinya hipotiroidisme pada janin yang dikandungnya.1 Dampak paling berat dari janin dimana ibu mengalami hipotiroidisme pada masa kehamilan adalah terjadinya kretin yang ditandai dengan adanya kerusakan otak yang irreversible, mental retardasi dan juga bisu tuli. Sedangkan dampak lain berhubungan dengan defisit neuropsikointelektual (IQ) pada bayi dan anak.2 Hipotiroid baik overt hypothyroid maupun subklinis pada ibu semasa hamil berhubungan dengan perkembangan mental bayi baru lahir.3 Defisiensi iodium masih diduga sebagai penyebab utama terjadinya hipotiroid. Ketidakcukupan asupan iodium untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh menjadi penyebab adanya hipotiroid ini. Kebutuhan iodium pada dasarnya sangat kecil, pada orang dewasa memerlukan sekitar 150 µg/hari sedangkan pada ibu hamil kebutuhan iodium sebesar 250 µg/hari. Kecukupan iodium populasi diukur menggunakan nilai median iodium urin berdasarkan asumsi bahwa 90 persen iodium dikeluarkan kembali melalui urin, apabila nilai median iodium urin <150 µg/hari maka dikatakan asupan iodium di wilayah tersebut masih kurang disebut defisiensi iodium.4 Data dari penelitian longitudinal pada ibu hamil di Iran pada tahun 2004-2006 diketahui nilai median urin semakin menurun seiring dengan kenaikan usia kehamilan. Nilai median urin subyek pada trimester pertama sebesar 193 µg/L, trimester kedua sebesar 159 µg/L dan pada trimester ketiga sebesar 141 µg/L. 50 Proporsi kadar iodium dalam urin yang tidak adekuat (<150 ug/l) semakin besar seiring dengan peningkatan trimester kehamilan yakni 33,2 persen pada trimester awal; 46,0 persen pada trimester 2 dan 53,4 persen pada trimester tiga.5 Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2013 prevalensi ibu hamil dengan defisiensi iodium dengan melihat indikator kadar iodium dalam urin < 100 ug/l sebesar 24,2 persen.6 Penelitian lain yang dilakukan di Kulon progo DIY pada tahun 2014 pada ibu hamil di trimester dua pada tiga kecamatan didapatkan sebanyak 42,3 persen defisiensi iodium.7 Di Kabupaten Magelang adanya defisiensi iodium pada ibu hamil dapat dilihat berdasarkan data surveilans gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) pada tahun 2013 di Kecamatan Sawangan bahwa sebanyak 23,4 persen ibu hamil memiliki kadar UIE < 150 µg/l. Data tersebut menunjukan adanya kerawanan terjadinya hipotiroidisme pada ibu hamil karena tingginya proporsi defisiensi iodium. Berdasarkan hasil surveilans GAKI di Kabupaten Magelang dapat diketahui bahwa dari 500 ibu hamil yang diambil serum darahnya sebanyak 23 persen mengalami hipotiroidisme dengan kadar TSH >3 mIU/dl.8 Program penanggulangan GAKI saat ini hanya bergantung dari penggunaan garam beriodium semenjak lima tahun terakhir. Pada daerah yang pernah mengalami defisiensi iodium di masa lalu namun sekarang sudah membaik untuk selanjutnya disebut daerah replete gondok secara geografis merupakan daerah yang memiliki kadar iodium yang rendah. Diduga potensi terjadinya hipotiroid pada ibu hamil lebih besar terjadi di daerah tersebut dibanding daerah yang yang tidak memiliki riwayat endemis gondok (non-replete). Pertanyaan penelitian apakah program garam beriodium saat ini sudah cukup melindungi ibu hamil dari munculnya kejadian hipotiroid pada kehamilan? Berapa prevalensi hipotiroidisme pada ibu hamil di daerah replete gondok dan bagaimana dengan tempat lain yang merupakan daerah non-replete gondok? Data yang menyajikan hipotiroid pada ibu hamil baik di daerah replete gondok maupun non-replete Indonesia belum ada , oleh karena itu makalah ini akan menggambarkan Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) prevalensi hipotiroid pada ibu hamil pada daerah replete dan non-replete gondok pasca penghentian suplementasi kapsul iodium di Kabupaten Magelang. METODE Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross sectional. Populasi adalah semua ibu hamil di daerah replete dan nonreplete gondok di Kabupaten Magelang. Sampel adalah ibu hamil yang diambil secara simple random sampling setelah dilakukan stratifikasi berdasarkan trimester kehamilan Lokasi penelitian adalah di empat kecamatan di Kabupaten Magelang, dua kecamatan mewakili daerah replete gondok yakni Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bandongan, dua kecamatan lain mewakili daerah non-replete yakni Kecamatan Mungkid dan Kecamatan Borobudur. Data riwayat endemis didapatkan dari profil dinas kesehatan Kabupaten Magelang tahun 1993. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember tahun 2015. Kriteria inklusi sampel adalah tidak pernah mendapatkan kapsul iodium dosis tinggi lima tahun terakhir. Kriteria eksklusi adalah menderita sakit kronis dan komplikasi kehamilan. Besar sampel minimal dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel estimasi proporsi dengan presisi mutlak untuk sampel stratifikasi9. Didapatkan besar sampel minimal adalah 90 ibu hamil di daerah replete gondok dan 90 di daerah non-replete atau 180 untuk kedua wilayah. Rincian sampel pada masing masing wilayah yaitu 36 ibu hamil untuk trimester 1, 36 ibu hamil untuk trimester 2 dan 18 ibu hamil untuk trimester 3. Untuk mengantisipasi adanya drop out akibat adanya kondisi kehamilan maka jumlah sampel yang dikumpulkan ditambah cadangan menjadi sebesar 360, dengan rincian 72 trimester 1, 72 trimester 2 dan 36 trimester 3 di masing masing wilayah. Cara pengambilan sampel pada strata secara simple random sampling, yakni pada kerangka sampel masing masing trimester kehamilan didapatkan dengan mendata ibu hamil beserta usia kehamilan. Dari kerangka sampel tiap trimester tersebut di masing masing wilayah dipilih ibu hamil secara simple random sampling. Fungsi tiroid diukur dengan indikator kadar TSH dan kadar fT4 dalam serum.10 Dikategorikan hipotiroid apabila di diagnosis baik sebagai overt hypothyroid, hipotiroid subklinis maupun hypothyroxinemia. Overt hypothyroid jika terjadi peningkatan serum TSH dimana nilai TSH diatas nilai normal dan penurunan serum fT4 dibawah nilai normal. Hipotiroid subklinis jika terjadi peningkatan nilai TSH diatas nilai normal namun kadar fT4 masih dalam rentang normal. Sedangkan apabila TSH dalam rentang normal dan kadar hormon fT4 dibawah nilai normal maka kondisi ini disebut hypothyroxinemia.11 Rentang normal nilai TSH menggunakan referensi dari American Thyroid Association (ATA) untuk ibu hamil yakni trimester 1: 0.12,5 µg/l; trimester 2: 0,2-3,5 µg/l dan trimester 3: 0,3-3,5 µg/l.11 Sedangkan untuk rentang normal fT4 menggunakan nilai normal untuk ibu hamil yang tercantum dalam reagen yakni 0,8-2,2. Metode pengukuran di laboratorium dengan prinsip Enzim Immuno assay (Elisa), reagen yang digunakan adalah dari Human 2004.12 Status gizi ibu hamil didapat dari pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dan tinggi badan, ibu hamil dengan LILA <23 cm dikategorikan KEK serta ibu hamil tinggi badan <150 cm dikategorikan pendek. Status anemia ibu hamil didapatkan dari pengukuran kadar Hb dalam serum, dianalisis dengan metode spektrofotometri dengan menggunakan reagen Cyanmethemoglobin, dikategorikan anemia apabila kadar Hb <11,5 gr/l. Sedangkan data asupan iodium didapat dari pengukuran eksresi iodium dalam urin (UIE) selama 3 x 24 jam dengan menggunakan metode spektrofotmetri, ibu hamil dengan kadar UIE <150 ug/l dikategorikan defisiensi iodium. Sumber iodium dikumpulkan berupa garam, air dan kebiasaan konsumsi makanan tinggi iodium. Garam rumah tangga dikumpulkan sebesar 3 sendok makan selanjutnya dilakukan pemeriksaan iodium dalam garam dengan metode titrasi. Iodium dalam air didapatkan dari pemeriksaan sampel air pada sumber air baik air tanah maupun air permukaan, kecukupan sampel dinilai dengan melihat keterwakilan tiap sumber air di masing-masing 51 Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) lokasi penelitian, sehingga didapatkan 71 titik pengambilan air. Sampel air dianalisis dengan metode spektrofotometri. Kebiasaan konsumsi makanan tinggi iodium dikumpulkan dengan metode wawancara Food Frequency (FFQ) untuk makanan tinggi iodium, selanjutnya dihitung frekuensi konsumsi dalam seminggu. Analisis data secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi, nilai tendensi normal dan standar deviasi. Analisis bivariate untuk melihat beda rata rata antara kedua wilayah dengan menggunakan t-test. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 21 yang dimiliki oleh Balai Litbang GAKI. nomor LB.02.01/5.2/KE.340/2015 perijinan dari dinas setempat. dan HASIL Ibu hamil yang berhasil diperiksa sebanyak 244 subyek dengan rincian 123 daerah replete gondok dan 121 pada daerah non-replete. Adapun rincianya adlah trimester 1 sebanyak 82 ibu hamil, 111 untuk trimester 2 dan 57 untuk trimester 3. Besar sampel ini sudah memenuhi syarat sebagai besar sampel minimal, sehingga dapat dilakukan analisis. Rata rata usia subyek adalah 28 tahun dengan rentang usia 16-44 tahun. Rentang usia kehamilan dari 2 minggu sampai dengan 38 saat pengumpulan data berlangsung. Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dari komisi etik Badan litbangkes RI dengan Tabel 1. Kadar TSH dan Hormon Tiroksin Bebas Pada Ibu Hamil Di Daerah Replete dan Non-Replete GAKI di Kabupaten Magelang Umur kehamilan Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Daerah Replete (n = 123) Mean + SD TSH (mIU/l)1 p FT4 (pmol/l l)2 1,05+1,02 1,72+1,60 1,81+1,37 0,009 1,22+0,3 1,12+0,3 1,11+0,3 Non-replete (n = 121) Mean + SD TSH1 (mIU/l) p FT4 (pmol/l l)2 p 0,090 1,16+1,30 1,90+1,54 1,74+1,27 0,004 1,34+0,2 1,19+0,4 1,06+0,2 p 0,004 Keterangan 1 Nilai normal TSH trimester1: 0,1-2,5 mIU/ll, trimester 2: 0,2-3,0 mIU/l dan trimester 3: 0,3-3,5mIU/l 2 Nilai normal fT4 trimester 1, 2, 3: 0,8-2,2 pmol/l Hasil pengukuran status gizi ibu hamil didapat hasil sebagai berikut ibu hamil pendek sebanyak 47,2 persen ibu hamil di daerah replete gondok dan 40,3 persen ibu hamil di daerah nonreplete. Ibu hamil kurang energi kronis (KEK) sebesar 19,5 persen pada daerah replete gondok dan 14,5 persen pada daerah non-replete. Ibu hamil dengan anemia sebesar 61,7 persen ibu hamil di daerah replete gondok dan 51,7 persen di daerah non-replete. Tabel 2. Prevalensi hipotiroid pada ibu hamil di daerah replete dan non-replete gondok di Kabupaten Magelang Umur kehamilan Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Total 52 Daerah Replete (n = 123) Overt Hypothyroid (%) 0,0 0,0 0,0 0,0 Non-Replete (n = 121) Hipotiroid Sub-klinis (%) Hypothyroxine mia (%) Overt Hypothyroid (%) Hipotiroid Subklinis (%) Hypothyro xinemia (%) 7,5 11,5 25,0 13,0 3,0 6,2 0,0 4,1 0,0 4,8 8,3 4,2 14,0 21,2 20,8 15,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) Hipotiroidisme merupakan suatu kumpulan gejala yang menandakan adanya disfungsi tiroid pada tubuh. TSH dan fT4 merupakan indikator untuk mengetahui fungsi tiroid normal atau tidak. Adapun sebaran nilai TSH dan fT4 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. trimester 3 memiliki kadar TSH yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua trimester sebelumnya. Hasil uji beda nilai TSH dan fT4 ibu hamil inter trimester kehamilan menunjukan perbedaan nyata inter trimester kehamilan dengan nilai p<0.05. Hasil uji beda rata rata kadar TSH dan fT4 antara daerah replete dan non-replete menunjukan tidak nampak perbedaan nyata antara kedua wilayah dengan nilai p value 0,808 untuk kadar TSH dan 0,101 untuk kadar fT4. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata rata nilai TSH dan fT4 pada subyek berada dalam rentang normal. ibu hamil yang berada di trimester 3 memiliki kadar fT4 lebih rendah dibandingkan dengan trimester 2 dan 1. Sebaliknya untuk kadar TSH ibu hamil pada Tabel 3. Prevalensi status iodium berdasarkan kadar iodium urin 3 x 24 jam ibu hamil di daerah replete dan non-replete GAKI di Kabupaten Magelang tahun 2015 Daerah replete (n = 123) µg/l Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Total Daerah Non-replete (n = 121) µg/l <150 (%) >150-500 (%) <150 (%) >150-500 (%) 27,8 21,0 24,0 23,6 72,2 79,0 76,0 76,4 6,8 21,2 16,0 14,9 93,2 78,8 84,0 85,1 Meski secara rata-rata kadar TSH dalam rentang normal, namun pada sebagian subyek nampak terjadi hipotiroidisme. Prevalensi hipotiroid pada daerah replete gondok dan non-replete dapat dilihat pada Tabel 2 berikut Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa kejadian hipotiroid masih terjadi baik di daerah replete gondok sebesar 17,1 persen maupun non-replete gondok yakni sebesar 19,2 persen. Hipotiroidisme yang terjadi sebagian besar subyek adalah hipotiroid subklinis baik pada daerah replete maupun non-replete. Overt hipotiroid hanya nampak pada ibu hamil di wilayah non-replete gondok. Sedangkan ibu hamil dengan hypothyroxinemia terlihat pada daerah replete gondok. Pada Tabel 1 di atas juga nampak bahwa prevalensi terjadinya hipotiroid ibu hamil pada trimester 3 lebih besar dibandingkan dengan trimester sebelumnya. Tabel 4. Crude Prevalence Ratio defisiensi iodium pada ibu hamil pada tiap trimester kehamilan dibanding dengan trimester 1 Umur kehamilan Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Daerah Replete Daerah Non-replete Total p-value PR p-value PR p-value PR 0,6 0,7 1,0 0,8 0,8 0,05 0,2 1,0 3,6 2,6 0,3 0,5 1,0 1,4 1,2 Defisiensi iodium masih diduga sebagai penyebab utama terjadinya hipotiroid. Iodium yang dikonsumsi akan dikeluarkan kembali 90 persen melalui urin. Pengukuran urin 3 x 24 jam dimaksudkan untuk dapat menggambarkan status iodium individu. Prevalensi defisiensi iodium pada ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 3. 53 Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada daerah replete ibu hamil memiliki prevalensi defisiensi iodium hampir sama baik pada trimester 1, 2 maupun 3 yakni diatas 20 persen. Sedangkan pada daerah non-replete ibu hamil pada trimester 1 memiliki prevalensi defisiensi iodium yang lebih kecil dibanding dua trimester yang lain. Perhitungan prevalens rasio (PR) antar trimester di kedua wilayah adalah sebagai berikut Tabel 5. Prevalensi hipotiroid menurut kadar UIE 3 x 24 jam Normal Replete < 150 µg/l 150-249 µg/l 250 -499µg/l > 500 µg/l Non-Replete < 150 µg/l 150-249 µg/ 250-499 µg/l l >500 µg/l Hipotiroid 65,5% 74,1% 68,4% 100,0% 20,7% 14,8% 18,4% 0,0% 77,8% 65,9% 54,4% 100,0% 11,1% 18,2% 22,8% 0,0 % Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada daerah replete defisiensi iodium tidak berbeda di tiap trimester kehamilan dengan nilai p value > 0.05 dan nilai PR mendekati 1. Perbedaan terlihat pada daerah non-replete gondok, dimana ibu hamil pada trimester kedua memiliki prevalens rasio 3,6 kali pada ibu hamil trimester 2 dibanding trimester 1. Distribusi kejadian hipotiroid pada ibu hamil menurut status iodiumnya dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa pada daerah replete proporsi hipotiroid banyak terjadi pada ibu hamil yang mengalami defisiensi iodium dengan kadar UIE <150ug/l, meskipun juga terjadi pada ibu hamil dengan status iodium normal, sedangkan pada daerah non-replete hipotiroid lebih banyak terjadi pada ibu hamil dengan status iodium yang normal pada rentang 250-499ug/l. Adapun hasil penelusuran sumber iodium yang ada baik di daerah replete gondok maupun nonreplete dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 6. Sumber iodium pada ibu hamil di daerah replete dan non-replete gondok di Kabupaten Magelang 2015 Daerah Replete Mean + SD Garam (n = 156) Air (n = 71) 40,70 + 21,1 9,03 + 15,8 Hasil pengukuran sampel garam didapatkan 156 sampel dari 244 sampel yang seharusnya dikumpulkan, hal ini karena sampel garam yang dikumpulkan oleh sebagain responden kurang dari 3 sendok makan sehingga tidak dapat dianalisis. Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa pada daerah replete gondok secara geografis memiliki kadar iodium lingkungan yang rendah dibandingkan dengan daerah non-replete gondok. Namun apabila melihat kadar garam rata rata yang dikonsumsi menunjukan bahwa pada kedua 54 Non-Replete Mean + SD 40,35 + 20,2 19,85 + 14,3 wilayah rata rata menggunakan garam yang memenuhi syarat. Artinya meskipun secara alam miskin iodium namun pada daerah replete gondok saat ini asupan iodium bisa didapatkan dari luar yakni garam beriodium dan makanan yang mengandung iodium. Fortifikasi iodium dalam garam merupakan upaya penanggulangan GAKI yang saat ini dilaksanakan. Rata-rata kadar iodium dalam garam dikedua wilayah sudah memenuhi syarat namun masih ada dari sebagian responden yang menggunakan garam Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) beriodium tidak memenuhi syarat dengan kadar < 30 ppm yakni sebesar 30,8 persen di daerah replete dan 39,5 persen di daerah non- replete. Distribusi frekuensi status iodium berdasarkan kadar garam beriodium yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 7. Distribusi frekuensi status iodium berdasarkan kadar garam beriodium rumah tangga ibu hamil di daerah replete dan non-replete GAKI di Kabupaten Magelang tahun 2015 Daerah Replete Daerah Non-replete < 150 µg/l 150-249 µg/l 249-499 µg/l >500 µg/l <150 µg/l 150-249 µg/l 249-499 µg./l >500 µg/l < 30 ppm 37,5% 33,3% 29,2% 0,0% 16,7% 33,3% 50,0% 0,0% > 30 ppm 16,7% 46,3% 35,2% 1,9% 10,9% 37,0% 52,2% 0,0% Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa proporsi defisiensi iodium di kedua wilayah lebih banyak terjadi pada ibu hamil yang mengkonsumsi garam < 30 ppm yakni 37,5 persen di daerah replete dan 16,7 persen di daerah non-replete meskipun defisiensi iodium juga terjadi pada ibu hamil yang telah mengkonsumsi garam > 30 ppm yakni 16,7 persen di daerah replete dan 10,9 persen di daerah non-replete. Nilai crude prevalens rasio defisiensi iodium pada ibu hamil yang mengkonsumsi garam beriodium < 30 ppm sebesar 2,1 kali dibanding ibu hamil yang mengkonsumsi garam beriodium > 30 ppm. Pada Tabel 7 juga diketahui bahwa sebesar 62,5 persen ibu hamil di daerah replete dan 81,5 persen ibu hamil di daerah non-replete yang mengkonsumsi garam beriodium < 30 ppm tidak mengalami defisiensi iodium. Hal ini dimungkinkan karena ibu hamil tersebut mendapatkan asupan iodium selain garam beriodium seperti air ataupun makanan sumber iodium tinggi. Hasil wawancara kebiasaan konsumsi makanan sumber iodium tinggi didapatkan bahwa baik di daerah replete gondok maupun non-replete sebagian subyek mengkonsumsi sumber iodium tinggi > 2 kali seminggu. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa konsumsi garam beriodium < 30 ppm beresiko lebih besar untuk terjadi defisiensi iodium (Tabel 7). Sedangkan defisiensi iodium beresiko untuk terjadinya hipotiroid pada ibu hamil, terutama di daerah replete gondok (Tabel 6). Distribusi frekuensi konsumsi garam beriodium terhadap kejadian hipotiroid pada ibu hamil di daerah replete gondok maupun non-replete dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi frekuensi hipotiroid menurut kadar garam beriodium rumah tangga ibu hamil di daerah replete dan non-replete gondok di Kabupaten Magelang tahun 2015 Non hipotiroid Replete < 30 ppm > 30 ppm Non-replete < 30 ppm > 30 ppm Hipotiroid PR 75,0% 85,2% 25,0% 14,8% 1,9 80,0% 84,8% 20,0% 15,2% 1,4 Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa proporsi hipotiroid lebih banyak terjadi pada ibu hamil yang mengkonsumsi garam dengan kadar < 30 ppm di kedua wilayah. Nilai crude prevalens rasio ibu hamil yang memiliki kadar garam < 30 ppm sebesar 1,9 kali di daerah replete dan 1,4 kali di daerah non-replete gondok. 55 Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) PEMBAHASAN Penegakan diagnosis hipotiroid memperhatikan perubahan fisiologis yang terjadi pada masa kehamilan, oleh karena itu pengambilan sampel penelitian ini menggunakan strata trimester kehamilan.13 Pada awal kehamilan terjadi peningkatan hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) yang berpengaruh pada nilai TSH yang akan tersupresi dibawah range normal. Dan kondisi ini akan berakhir pada akhir trimester pertama kehamilan. Kehadiran hormon HCG yang mempengaruhi nilai TSH telah dipertimbangkan dalam penentuan diagnosis hipotiroid pada ibu hamil, sehingga penggunaan reference yang spesifik sesuai trimester kehamilan penting dilakukan2. Perubahan fisiologis yang lain adalah pada masa hamil terjadi peningkatan estrogen dan juga adanya peningkatan volume plasma dan konsentrasi dari TBG didalam plasma. Adanya peningkatan TBG ini akan meningkatkan total tiroksin (TT4 ) selama trimester pertama 1,5 kali dibanding tidak hamil. Kondisi ini menyebabkan indikator fT4 yang diukur secara langsung kurang menjadi akurat untuk menggambarkan status fungsi tiroid pada masa hamil13,14. Beberapa ahli merekomendasikan untuk penggunaan indikator TSH dengan reference yang spesifik untuk memberi gambaran fungsi tiroid pada ibu hamil14. Pada penelitian ini nampak bahwa terdapat hipotiroid pada ibu hamil sebesar 17,1 persen daerah replete gondok dan 19,2 persen daerah non-replete. Secara lebih rinci disebutkan bahwa prevalensi hipotiroid pada trimester 1 : 26,1 persen, trimester 2: 39,8 persen dan trimester 3: 45,8 persen. Prevalensi tertinggi terdapat pada ibu hamil yang berada di trimester 3 dan sebagian besar yakni 25 persen di daerah replete dan 20.8 persen di daerah non-replete merupakan hipotiroid subklinis sedangkan sebagian kecil yang lain merupakan overt hipotiroid dan hypotyroxinemia. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil survei yang dilaksanakan di Amerika bahwa dari kejadian hipotiroid pada ibu hamil, sebagian besar merupakan kejadian hipotiroid subklinis. Dari 117892 yang dilakukan screening dengan menggunakan referensi yang spesifik, proporsi 56 hipotiroid adalah sebesar 15,5 persen. Dari 15,5 persen tersebut hanya 2,4 persen yang merupakan overt hypothyroid dan sisanya yakni sebesar 97,6 persen merupakan hipotiroid subklinis15. Hal ini juga disampaikan oleh Chadha pada tahun 2009 yakni dari semua insiden hipotiroidisme sebanyak 2,5 persen, kejadian overt hypothyroid 0,18 persen sedangkan kejadian subklinis sebesar 2,3 persen16. Penelitian lain menunjukan prevalensi hipotiroid pada ibu hamil adalah sebesar 2-5 persen, yang terdiri overt hypothyroid sebesar 1 persen sedangkan prevalensi hipotiroid sub klinik sebesar 3-5 persen17. Prevalensi hipotiroid subklinis lebih tinggi dibandingkan overt hypothyroid diungkapkan oleh Casey (2005), Cleary (2007), Lazarus (2012), Potlukova (2012), Shan (2009) dalam Teng (2013) 11. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa prevalensi hipotiroid tidak terlihat berbeda nyata di kedua wilayah replete gondok maupun non-replete. Daerah replete gondok merupakan wilayah yang diduga berpotensi lebih besar terjadinya hipoiroidisme pada ibu hamil dibandingkan dengan wilayah nonreplete. Namun analisa ini menunjukan bahwa prevalensi hipotiroid hampir sama antara daerah replete gondok (17,1%) dan nonreplete (19,2%). Artinya kedua wilayah sama sama memiliki permasalahan yaitu terjadinya hipotiroidisme pada ibu hamil. Adanya keterbukaan akses pada saat ini dimungkinkan menjadi penyebab masuknya sumber iodium dari luar wilayah. Hasil penelusuran lebih lanjut tentang konsumsi sumber iodium pada ibu hamil menunjukan bahwa saat ini baik di wilayah replete maupun non-replete gondok, rata rata telah menggunakan garam beriodium yang memenuhi syarat dengan kadar >30 ppm, konsumsi makanan yang mengandung tinggi iodium >2 kali seminggu. Artinya meski kondisi alam semula berbeda terkait kandungan iodium dalam lingkungan namun asupan iodium telah didapatkan dari sumber yang lain yakni garam beriodium dan makanan yang tinggi iodium yang berasal dari luar wilayah sehingga prevalensi hipotiroid di daerah replete dan non-replete gondok tidak terlihat berbeda nyata. Namun meskipun tidak nampak perbedaan nyata dikedua wilayah, dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa konsumsi garam beriodium yang tidak Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) memenuhi syarat yakni <30 ppm memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya defisiensi iodium. Konsumsi garam beriodium < 30 ppm juga memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya hipotiroid pada ibu hamil. Hal ini seiring dengan hasil dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 267 ibu hamil yang terpilih di dua daerah berbeda secara geografis yakni Pyreness dan Coast di Catalonia Spanyol. Proporsi hipotiroid pada ibu hamil di daerah Coast adalah sebesar 7,5 persen sedangkan di Pyreness sebesar 5 persen. Pyereness merupakan daerah pegunungan namun merupakan daerah dengan riwayat asupan iodium yang cukup dan coast adalah daerah pantai. Artinya pada penelitian itu nampak proporsi hipotiroid di daerah pantai lebih tinggi dibanding dari daerah Pyreness yang merupakan daerah pegunungan. Informasi yang didapatkan bahwa proporsi penggunaan garam beriodium memenuhi syarat daerah Pyreness lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Coast yang merupakan daerah pantai (58% : 36%) . Selain garam beriodium, konsumsi sumber iodium lain didapat dari konsumsi ikan di pegunungan >3 kali seminggu sebesar 20,8 persen lebih tinggi dari daerah Coast yang merupakan daerah pantai 10,7 persen18 . Hasil penelitian ini juga memberikan informasi bahwa defisiensi iodium juga masih terjadi pada ibu hamil dengan kadar garam rumah tangga memenuhi syarat (>30 ppm) baik di daerah replete maupun non-replete meskipun proporsinya lebih sedikit dibanding ibu hamil yang mengkonsumsi garam beriodium tidak memenuhi syarat ( <30 ppm). Secara rata-rata konsumsi garam beriodium dikedua wilayah lebih dari 30 ppm, dan konsumsi sumber iodium dari makanan lebih dari 2 kali seminggu, namun kejadian hipotiroidisme pada kehamilan masih tetap ada, yang ditunjukkan dengan tingginya prevalensi hipotiroid pada ibu hamil baik di daerah replete gondok maupun non-replete. Sebaliknya, pada sebagian ibu hamil yang mengkonsumsi garam tidak memenuhi syarat ada pula yang tidak mengalami defisiensi iodium. Hal ini dimungkinkan karena ibu hamil mendapat asupan iodium selain garam. Penelitian ini menunjukan bahwa di daerah non-replete gondok asupan iodium bisa didapatkan dari air yang mangandung iodium dan juga makanan sumber iodium. Sedangkan di daerah replete gondok asupan iodium selain garam bisa didapatkan dari makanan sumber iodium. Artinya diperlukan asupan iodium lain disamping garam beriodium untuk memenuhi tingginya kebutuhan iodium semasa hamil. Hasil penelitian pada 511 ibu hamil di Swiss yang diberikan suplemen mengandung iodium, median kadar iodium dalam urin sebesar 194 µg/l sedangkan pada ibu hamil yang tidak mendapat suplemen iodium memiliki kadar median dalam urin sebesar 131 µg/l. Studi serupa juga dilakukan di Jerman, Hongaria dan Denmark1. Hipotiroid baik ringan, sedang maupun berat sama sama memberikan dampak pada ibu dan juga janin yang dikandungnya. Dalam referensi yang lain disebutkan bahwa hipotiroid baik overt hypothyroid maupun hipotiroid subklinis memiliki dampak terhadap ibu dan juga janin yang dikandungnya. Sebuah penelitian mengukur dampak terjadinya peningkatan komplikasi kehamilan pada ibu hipotiroid subklinis maupun overt hypothyroid. Hasil penelitian menunjukan baik pada ibu hamil dengan overt hypothyroid maupun hipotiroid subklinis yang tidak diberikan pengobatan sama sama memiliki risiko terjadinya komplikasi kehamilan seperti placenta abruption, kelahiran tidak cukup bulan dan rata rata berat lahir yang rendah. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa baik overt hypothyroid maupun hipotiroid sub klinis keduanya memiliki dampak terhadap kejadian pre eklamsi, disfungsi jantung, berat lahir < 2000 gram dan juga lahir mati16. Selain terhadap kompikasi kehamilan hipotiroid subklinis memiliki dampak yang mirip dengan overt hypothyroid yakni terjadinya anemia, deficit neurokognitif pada janin, berat lahir bayi rendah (BBLR), keguguran, pre-eklampsi dan kelahiran tidak cukup bulan14. Kondisi hypothyroxinemia baik ringan sampai dengan berat membawa dampak pada perkembangan otak menjadi tidak optimal19. Permasalahan hipotiroid pada ibu hamil memerlukan upaya pencegahan mengingat dampaknya terhadap ibu dan bayinya. Studi yang dilakukan di daerah defisiensi ringan di Eropa, bahwa pemberian suplementasi iodium pada ibu hamil meningkatkan nilai ekskresi 57 Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) median iodium dalam urin dan menurunkan prevalensi pembesaran kelenjar tiroid3. Studi lain menyebutkan bahwa pemberian suplementasi pada ibu hamil di Spanyol memberikan dampak peningkatan skor psikomotor pada bayi sebesar 6,1 dibandingkan pada ibu yang tidak diberikan suplementasi20. Pemberian suplementasi iodium pada ibu hamil memiliki efikasi yang baik pada ibu dan bayinya,aman dan tidak menimbulkan autoimun 1,3. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak mengambil data tentang kejadian autoimun pada ibu hamil sehingga tidak bisa membedakan prevalensi hipotiroid yang dipengaruhi oleh autoimun ataupun tidak. KESIMPULAN Hipotiroidisme terjadi pada ibu hamil di wilayah replete gondok dan non-replete dan tidak terlihat perbedaan nyata antar kedua wilayah. Prevalensi hipotiroid pada ibu hamil terjadi pada trimester 1, 2 maupun 3. Prevalensi semakin tinggi pada ibu hamil yang berada di trimester ketiga. Hipotiroid yang terjadi terdiri dari overt hypothyroid, hipotiroid subklinis dan hypothyroxinemia. SARAN Hipotiroid pada ibu hamil membutuhkan upaya penanganan dengan segera . Pemberian asupan iodium selain garam beriodium diperlukan mengingat tingginya prevalensi hipotiroid pada ibu hamil, singkatnya masa kehamilan dan dampaknya yang serius sedangkan disisi lain meski konsumsi rata rata garam beriodium memenuhi syarat UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan pada segenap jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten magelang, yang telah memberikan ijin dan bantuan selama pelaksanaan penelitian, dan kepada semua tim peneliti, litkayasa dan konsultan penelitian yang telah berperan serta dimulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan sampai dengan penyusunan laporan penelitian. 58 DAFTAR PUSTAKA 1. Zimmermann, M. B. (2007). The impact of iodised salt or iodine supplements on iodine status during pregnancy , lactation and infancy. Public Health Nutrition, 10, 1584–1595. http://doi.org/10.1017/S13689800073609 65, 26, 108–117. http://doi.org/10.1111/j.13653016.2012.01275.x 2. Freedy V.,Burrow G.,Watson R. 2009. Comprehensive handbook of iodine .Elsevier academic press.California 3. Zimmermann, M., & Delange, F. (2004). Iodine supplementation of pregnant women in Europe āÆ: a review and recommendations. European Journal of Clinical Nutrition, 58, 979–984. http://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1601933 4. WHO. 2007. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring Their Elimination: A guide for programme managers. Third edition, Geneva 5. Ainy E, Ordookhani A, Hedayati M, Azizi F. Assessment of intertrimester and seasonal variations of urinary iodine concentration during pregnancy in an iodine-replete area. Clin Endocrinol (Oxf). 2007;67:577–81 6. Kementerian Kesehatan RI,2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Litbang Kesehatan.Jakarta 7. Dinas Kesehatan Propinsi DIY.2014. Evaluasi Situasi GAKI. Laporan penelitian. Dinas Kesehatan DIY. Yogyakarta 8. Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang.2015. Surveilans GAKI.Laporan surveilans GAKI. Dinas Kesehatan Magelang. Magelang 9. Lemeshow, S., Hosmer Jr, D.W., Klar, J. 1990. Adecuacy of Sample Size in Health Studies. John Wiley & Son, Geneva 10. Eastman, CJ. 1996. Thyroid Function Testing, dalam: Djokomoeljanto dkk (Editor). Temu Ilmiah & Simposium Nasional III Penyakit Kelenjar Tiroid, hal 121-135. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. 11. Teng, W., Shan, Z., Patil-sisodia, K., & Cooper, D. S. (2013). Hypothyroidism in Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) 12. 13. 14. 15. 16. pregnancy. THE LANCET Diabetes & Endocrinology, 1(3), 228–237. http://doi.org/10.1016/S22138587(13)70109-8 Human. 2004. ELISA Test for the Quantitative Determination of TSH and FT4 in Human Serum. Human Gesellschaft fur Biochemica und Diagnostica mbH, Max-Planck-Rink 21 – D-65205 Wiesbaden – Germany. Yan Yu-Qin et.al.2011.Trimester and method specific reference interval for thyroid test in pregnant Chinese women:methodology,euthyroid definition and iodine status can influence the setting of reference intervals. Clinical endocrinology 74,262-269 Carney, L. E. O. A., Hospital, N., Family, P., Residency, M., Quinlan, F. J. D., Services, U., … Residency, M. (2014). Thyroid Disease in Pregnancy. American Family Physician, 89(February), 2014. Blatt,A.J, Nakamoto JM, Kaufman HW. 2012. National Status of testing For Hypothyroidism During Pregnancy And Postpartum. J Clin Endocrinol Metab 97; 777-84 Chadha, G., & Goel, M. (2009). Hypothyroidism in Pregnancy. Apollo 17. 18. 19. 20. Medicine, 6(4), 322–326. http://doi.org/10.1016/S09760016(11)60082-3 Cleary Goldman J. Malone FD.LambertMesserlian G, et al.2008.Maternal Thyroid Hypofunction And Pregnancy Outcome. Obstet Gynecol 112: 85-92 Villa. L.Palomera, Dur, J. (2011). Iodine nutritional status in pregnant women of two historically different iodine-de fi cient areas of Catalonia , Spain. Nutrition, 27, 1029–1033. http://doi.org/10.1016/j.nut.2010.11.012 Escobar, F., & Escobar, G. M. De. (2007). Iodine deficiency and brain development in the first half of pregnancy. Public Health Nutrition, 10, 1554–1570. http://doi.org/10.1017/S13689800073609 28 Melse-boonstra, A. et al., 2012. Journal of Trace Elements in Medicine and Biology Iodine supplementation in pregnancy and its effect on child cognition. Journal of Trace Elements in Medicine and Biology, 26(2-3), pp.134–136. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.jtemb.2012.03. 005. 59 SERUM RETINOL DAN STATUS GIZI IBU MENYUSUI MENENTUKAN KADAR VITAMIN A DALAM ASI Serum retinol and nutritional status of breastfeeding mothers are associated with vitamin A content in breast milk 1 Sandjaja1*, Idrus Jus’at2 Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Jakarta 2 Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul, Jakarta * E-mail: [email protected] Abstract Background: Vitamin A status of breastfeeding mothers and their babies has been proved to have a close relationship. Infants of mothers who suffer from vitamin A deficiency have a high risk of suffering from Vitamin A Deficiencies (VAD). The assumption is that relationship is mediated by levels of vitamin A in breast milk as the main source of vitamin A. Objective: This paper aims to investigate the relationship between vitamin A status of breastfeeding mothers and vitamin A in breast milk. Methods: The study was conducted on 440 breastfeeding mothers whose babies aged 6-12 months in Tasikmalaya and Ciamis district. Serum vitamin A in the blood and levels of vitamin A in breast milk were collected and analyzed by HPLC method. Covariates of anthropometric, morbidity, maternal and infant characteristics that play a role in the serum vitamin A and vitamin A ASI were collected. Analysis of t-test, ANOVA and ANCOVA was performed to examine the role of vitamin A status of mothers towards vitamin A in breast milk. Results: The study showed that VAD of breastfeeding mothers significantly affected low levels of vitamin A in breast milk after controlled by nutritional status of breastfeeding mothers. The mean of vitamin A in breast milk in both VAD and non-VAD mothers was 47.0 KVA g / dL and 88.2 mg / dL perspectively. Conclusion: After covariate controlled by nutritional status of mothers breastfeeding, vitamin A deficiency in nursing mothers significantly affect low levels of vitamin A in breast milk. Keywords: breastfeeding mother, serum retinol, breastmilk Abstrak Latar Belakang: Status vitamin A ibu menyusui dan bayinya telah dibuktikan mempunyai hubungan yang erat. Bayi dari ibu yang menderita kurang vitamin A mempunyai risiko yang tinggi menderita KVA. Asumsinya hubungan tersebut dimediasi oleh kadar vitamin A dalam ASI sebagai sumber vitamin A utama. Tujuan: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status vitamin A ibu menyusui dan kadar vitamin A dalam ASI. Metode: Studi dilakukan pada 440 ibu menyusui yang bayinya umur 6-12 bulan di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Serum vitamin A dalam darah dan kadar vitamin A dalam ASI dikumpulkan dan dianalisis dengan metode HPLC. Kovariat antropometri, morbiditas, karakteristik ibu dan bayi yang berperan dalam serum vitamin A dan vitamin A ASI dikumpulkan. Analisis uji-t, ANOVA dan ANCOVA dilakukan untuk menguji peran status vitamin A ibu terhadap vitamin A ASI. Hasil: Hasil studi menunjukkan KVA ibu menyusui berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya kadar vitamin A dalam ASI setelah dikontrol oleh kovariat status gizi ibu menyusui. Rerata vitamin A dalam ASI pada ibu yang KVA dan non KVA 47,0 µg/dL dan 88,2 µg/dL. Kesimpulan: Setelah dikontrol oleh kovariat status gizi ibu menyusui, kurang vitamin A pada ibu menyusui berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya kadar vitamin A dalam ASI. Kata kunci: ibu menyusui, serum retinol, vitamin A, ASI Naskah masuk: 14 April 2016 Review: 21 April 2016 Disetujui terbit: 27 April 2016 Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) PENDAHULUAN Bayi baru lahir mempunyai cadangan vitamin A dalam hati selama dalam kandungan melalui plasenta. Kadar serum vitamin A bayi terbatas dan hanya dapat bertahan beberapa waktu8, sehingga vitamin A bayi sangat tergantung kepada kadar vitamin A dalam ASI. Dengan demikian bila terdapat korelasi antara serum vitamin A ibu dan bayi, keadaan tersebut disebabkan karena kadar vitamin A dalam ASI. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar serum retinol ibu menyusui dan kadar vitamin A dalam ASI. Salah satu masalah kurang gizi yang masih terjadi di negara berkembang adalah kurang vitamin A (KVA). Dengan kriteria serum retinol darah < 20 µg/dL atau < 0,7 µmol/L, badan kesehatan dunia WHO1 memperkirakan sebanyak 163 juta anak menderita kurang vitamin A. Demikian juga di Indonesia. Survei pertama tingkat nasional tahun 1978 menunjukkan prevalensi xerophthalmia (X1B) adalah 1,33 persen dengan range 0,55-2,34 persen, lebih tinggi dari acuan WHO untuk menilai masalah kurang vitamin A secara Untuk menanggulangi masalah klinis2. tersebut, sejak tahun 1970-an dilakukan dengan program kapsul vitamin A dosis tinggi untuk anak 6-59 bulan dan ibu nifas3. Survei nasional tahun 1992 menunjukkan prevalensi xerophthalmia turun dari 1,33 persen (1978) menjadi 0,34 persen2 dengan diterapkannya program kapsul vitamin A dosis tinggi untuk anak 6-59 bulan dan ibu nifas.3 Penelitian ini merupakan bagian penelitian fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng curah secara sukarela yang dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis tahun 2011-12. Di tiap kabupaten dipilih 4 kecamatan dan di tiap kecamatan dipilih masing-masing 3 desa peri-urban, sehingga terdapat total 24 desa peri-urban. Studi yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi tahun 2006 di 10 provinsi menunjukkan prevalensi xerophthalmia 0,13 persen dan index serum retinol < 20 µg pada balita sebesar 14,6 persen.4 Studi berikutnya SEANUTS tahun 2011 pada anak umur 0,5-12 tahun menunjukkan prevalensi antara 0-4,9 persen.5 Studi vitamin A yang lain adalah studi data dasar sebagai persiapan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A di dua kabupaten yaitu Tasikmalaya dan Ciamis tahun 2011 menunjukkan rata-rata kadar serum vitamin A antara 30,7-42,7 µg/dL.6 Sampel penelitian ini terdiri dari 6 kelompok yaitu pasangan ibu menyusui dan bayinya, anak balita 12-23 bulan, 24-59 bulan, anak usia sekolah 5-9 tahun dan wanita usia subur. Dalam tulisan ini yang diambil adalah pasangan ibu menyusui dan bayinya. Ibu yang tidak menyusui bayinya langsung dikeluarkan dari sampel. Jumlah sampel pasangan ibu menyusui dan bayinya didasarkan pada asumsi kenaikan serum vitamin A setelah minyak goreng curah difortifikasi. Keluarga adalah pasangan ibu dan bayinya dari rumah tangga miskin. Studi di Tasikmalaya dan Ciamis tersebut mengumpulkan data serum vitamin A ibu menyusui dan bayinya umur 6-11 bulan, anak balita, anak usia sekolah 6-9 tahun dan wanita usia subur. Pada ibu menyusui juga dikumpulkan data kadar vitamin A dalam ASI. Hasil analisis lanjut menunjukkan terdapat korelasi positif signifikan (r=0,55) antara status vitamin A ibu menyusui dan status vitamin A bayinya. Semakin tinggi serum vitamin A ibu menyusui semakin tinggi serum vitamin A bayinya. Risiko bayi kurang vitamin A lebih tinggi 17,5 kali (95% CI 7,2-42,5) jika ibu menyusui juga menderita kurang vitamin A.7 Definisi rumah tangga miskin berdasarkan keberadaan kartu keluarga miskin (Gakin) yang masih berlaku, yang didapatkan dari desa dan atau instansi terkait setempat yaitu kartu Jamkesmas, Jamkesda, dan PKH (Program Keluarga Harapan). Sebelum studi dilaksanakan, penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan nomor KE.01.05/EC/262/2011 tanggal 3 Mei 2011. 62 METODE Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara oleh enumerator tenaga gizi yang telah dilatih terlebih dahulu menggunakan kuesioner terstruktur yang sudah dilakukan pre-test terlebih dahulu. Wawancara dengan kuesioner terstruktur dilakukan untuk Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) mengetahui karakteristik sosio-demografi rumahtangga, karakteristik ibu menyusui dan bayinya, morbiditas penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare dalam satu bulan terakhir, konsumsi ibu menyusui serta berat dan tinggi/panjang badan. Pengambilan darah untuk mengetahui kadar serum vitamin A dilakukan oleh plebotomis dari Laboratorium “P” di daerah penelitian di 2 kabupaten. Pengambilan darah ibu menyusui diambil dari vena mediana cubiti, sedangkan darah bayi diambil dari tumit sebanyak 5-10 ml. Kemudian darah vena dibagi menjadi dua bagian, yaitu darah dengan EDTA dan darah tanpa antikoagulan (plain). Darah dengan EDTA digunakan untuk pengukuran profil darah yaitu hemoglobin, lekosit, eritrosit, MCH, MCV, MCHC. Darah tanpa antikoagulan dimasukkan dalam vacutainer untuk dilakukan sentrifus/pemutaran selama 8 menit dengan putaran 3000 x g dan dibagi dalam vial, kemudian hasilnya dipisahkan bagian jernih yaitu serum dari endapan sel-sel darah. Serum dibagi menjadi 2 (dua) vial ukuran 1,5 ml, masing masing vial berisi 0,5 ml. Vial-vial tersebut ditempatkan dalam rak tabung dan selanjutnya disimpan dalam cool box dengan suhu kurang lebih -4oC. Serum dalam cool box tersebut dikirim ke laboratorium “P” pusat di Jakarta untuk disimpan dalam freezer suhu -800C sebelum dilakukan analisa vitamin A dengan metode HPLC. Vitamin A dikatakan defisiensi apabila kadar vitamin A serum <20 µg/dL. Pengambilan ASI dilakukan oleh bidan setempat yang telah dilatih untuk pengambilan ASI dengan pompa ASI. ASI diambil dari salah satu buah dada yang bayinya belum menyusu paling tidak selama 30 menit. Sebelum dilakukan pengambilan sampel ASI, dada dibersihkan dengan dengan handuk basah dan dikeringkan dahulu. Volume ASI yang dikumpulkan sebanyak 5-10 ml dan kemudian disimpan dalam botol yang dilapis aluminium foil dan disimpan dalam cool box sewaktu berada di lapangan untuk segera disimpan dalam freezer di laboratorium. Botol ASI dikirim ke Laboratorium Balai Besar Industri Agro di Bogor dan dianalisis dengan metode HPLC. Konsumsi makanan ibu menyusui dikumpulkan melalui teknik dietary recall 2 x 24 jam. Enumerator dibekali dengan timbangan makanan sehingga dapat memperkirakan berat makanan terutama untuk makanan lokal yang dikonsumsi dengan lebih akurat. Berat zat gizi makanan kemudian dihitung berdasarkan Tabel Komposisi Bahan Makanan9, kemudian data tersebut dientri menggunakan program Nutrisoft.10 Analisis data konsumsi vitamin A dilakukan untuk mengetahui nilai rata-rata dan proporsi yang mengonsumsi vitamin A kurang dari Angka Kecukupan Gizi.11 Pengukuran berat badan dilakukan dengan timbangan badan digital AND dengan ketelitian 0,1 kg dan tinggi badan ibu menyusui diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Penilaian status gizi dengan rumus indeks massa tubuh (IMT) yaitu berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m). Kategori status gizi ibu menyusui dibagi menjadi kurang gizi (IMT <18,5 kg/m2), baik (18,5-25,0 kg/m2) dan gizi lebih/ kegemukan (IMT > 25,0 kg/m2).12 Analisis data univariat dilakukan untuk mengetahui sebaran data deskriptif karakteristik variabel ibu dan bayi. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin A dalam ASI dengan faktor lain dilakukan dengan uji Khi-kuadrat, Student-t test, dan ANOVA. Analisis multivariat ANCOVA digunakan untuk menguji hubungan antara kadar serum retinol ibu dengan kadar vitamin A dalam ASI dikontrol dengan kovariat. HASIL Jumlah sampel ibu menyusui yang memenuhi kriteria dalam analisis ini adalah 440 sampel. Sebagian sampel tidak bisa dianalisis karena tidak lengkap pada salah satu atau lebih variabel yang dianalisis yaitu kadar vitamin A dalam ASI, serum retinol, atau data antropometri. Tidak ada perbedaan nyata dalam karakteristik sampel antara yang datanya lengkap yang dianalisis dan yang tidak dianalisis (tidak dicantumkan). Karakteristik ibu menyusui dapat dilihat pada Tabel 1. Sampel di dua kabupaten hampir sama. Rentang umur ibu menyusui sampel studi ini antara 16 sampai 46 tahun, dengan kelompok umur sampel terbanyak yaitu umur 63 Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) antara 30-34 tahun. Sebagian besar ibu menyusui berstatus menikah dan merupakan isteri dari KK dan sisanya adalah cerai hidup/ mati, dan anggota dari rumahtangga lainnya. Rentang paritas ibu menyusui antara 1 sampai 8 anak, dengan proporsi terbesar yaitulebih dari 60 persen ibu menyusui mempunyai paritas 1-2 anak. Sampel ibu adalah ibu menyusui dengan umur bayi antara 6-11 bulan. Proporsi bayi sedikit lebih banyak pada bayi umur 9-11 bulan. Tabel 1. Karakteristik ibu menyusui Karakteristik Kabupaten Tasikmalaya Ciamis Umur ibu <25 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun >35tahun Status ibu Menikah Cerai hidup Cerai mati Hubungan dengan KK Isteri Anak Lainnya Paritas ibu Satu Dua Tiga Empat atau lebih Umur bayi 6 – 8 bulan 9 – 11 bulan n % 214 226 48,6 51,4 120 108 111 101 27,3 24,5 25,2 23,0 429 5 6 97,5 1,1 1,4 417 19 4 94,8 4,3 0,9 156 145 90 49 35,5 32,9 20,5 11,1 210 230 47,7 52,3 Tabel 2. Morbiditas, status gizi dan konsumsi makanan ibu menyusui Karakteristik Penyakit ibu 1 bulan terakhir ISPA Ya Sehat Diare Ya Sehat Index massa tubuh IMT (mean + SE) Status gizi Kurang gizi Gizi baik Gizi lebih/ kegemukan Konsumsi makanan Vitamin A (mean + SE) % AKG (mean + SE) Defisit konsumsi vitamin A (%) 64 n % 147 293 33,4 66,6 25 415 5,7 94,3 23,0 + 0,2 35 295 110 659 + 3 77,5 + 3,7 66,7 8,0 67,0 25,0 Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) Pada Tabel 2 disajikan proporsi morbiditas, status gizi dan konsumsi vitamin A makanan. Morbiditas yang dikumpulkan hanya tentang penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare dalam satu bulan terakhir dengan wawancara tanpa dikonfirmasi dengan pemeriksaan klinis. Satu dari tiga ibu menyusui menderita ISPA dalam satu bulan terakhir sebelum studi dan hanya lima persen ibu yang menderita diare. Tabel 3. Kadar serum retinol dan kadar vitamin A ASI Karakteristik Mean SE Serum retinol (ug/dL) Vitamin A dalam ASI 42,4 85,4 0,8 3,4 Sebagian besar ibu dengan status gizi yang baik dihitung dari nilai IMT, tetapi masih ada delapan persen ibu dengan status gizi kurang. Di sisi lain, proporsi ibu menyusui dengan gizi lebih atau kegemukan sebanyak 25 persen. Rata-rata konsumsi vitamin A per hari masih rendah seperti terlihat dalam Tabel 2 jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 850 RE. Jika dikelompokkan menurut AKG dua dari tiga ibu mengkonsumsi vitamin A kurang dari kebutuhan. Tabel 4. Hubungan karakteristik ibu menyusui dengan kadar vitamin A dalam ASI Karakteristik ini menyusui Kabupaten Tasikmalaya Ciamis Umur ibu <25 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun >35 tahun Status ibu Menikah Lainnya Hubungan dengan KK Isteri Lainnya Paritas ibu Satu Dua Tiga Empat atau lebih ISPA Ya Sehat Diare Ya Sehat Status gizi Kurang gizi Normal/ gizi baik Gizi lebih/ kegemukan Status serum vitamin A Kurang vitamin A Tidak KVA Umur bayi 6 – 8 bulan 9 – 11 bulan Mean + SE p 82,5 + 4,6 88,1 + 4,9 0,404 77,8 + 5,5a 78,1 + 6,2a 106,4 + 8,1b 79,1 + 6,5a 0,004 86,2 + 3,4 44,1 + 14,0 0,076 85,1 + 3,4 90,9 + 19,4 0.701 81,3 + 5,1 91,9 + 6,2 81,9 + 11,6 0,578 91,2 + 6,4 82,5 + 3,9 0,219 110,2 + 21,6 83,9 + 3,3 0,070 66,2 + 6,4a 83,6 + 2,9b 96,4 + 5,1c 0,004 47,0 + 8,6 88,2 + 3,5 0,002 82,9 + 4,7 87,6 + 4,8 0,484 65 Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) Tabel 3 menunjukan rata-rata serum retinol ibu menyusui. Terlihat dalam tabel rata-rata kadar vitamin A dalam ASI dua kali lipat jika dibandingkan dengan kadar serum retinol ibu menyusui. V i t A A S I Grafik 1. Kadar vitamin A ASI menurut status gizi ibu menyusui Hasil analisis kadar vitamin A dalam ASI dengan faktor lokasi, karakteristik ibu menyusui, morbiditas, kadar serum retinol ibu, dan karakteristik bayi disajikan pada Tabel 4. Dari 10 variabel yang dianalisis yang berhubungan signifikan (p , 0,05) terhadap kadar vitamin A dalam ASI adalah umur ibu, status vitamin A ibu, dan status gizi ibu. Kadar vitamin A dalam ASI yang rendah pada kelompok umur ibu muda, kemudian naik dan tertinggi pada kelompok umur 30-34 tahun dan kemudian menurun kembali pada umur 35 tahun atau lebih. Status gizi ibu juga berperan signifikan terhadap kadar vitamin A ASI, terendah pada status gizi kurang, meningkat pada status gizi baik, dan tertinggi pada ibu dengan status gizi lebih/ obesitas. Pada ibu dengan status serum retinol cukup (tidak kurang vitamin A), kadar vitamin A dalam ASI hampir dua kali lipat dibanding dengan ibu yang menderita KVA. Tabel 5. Analisis multivariat faktor yang berperan dalam kadar vitamin A dalam ASI Source Corrected Model Intercept Kurang vitamin A Status gizi ibu Error Total Corrected Total Type III SS a 71771,827 34197,493 45062,391 24320,775 2110027,049 5390403,279 2181798,875 df Mean square F Sig. 2 1 1 1 437 440 439 35885,913 34197,493 45062,391 24320,775 4828,437 7,432 7,083 9,333 5,037 ,001 ,008 ,002 ,025 R squared = 0,033 (Adjusted R squared = 0,028) Tujuh faktor yang lain tidak mempunyai hubungan signifikan dengan kadar vitamin A dalam ASI yaitu status pernikahan ibu, ISPA, 66 diare (p<0,25), dan lokasi penelitian, hubungan dengan KK, paritas, dan umur bayi. Kadar vitamin A dalam ASI cenderung lebih Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) tinggi pada paritas dua dan bayi berumur 9-11 bulan. Analisis ANOVA pada Grafik 1 menunjukkan hubungan signifikan antara status gizi ibu menyusui dan kadar serum vitamin A dalam ASI. Dari hasil analisis uji-t dan ANOVA, dilakukan analisis multivariat ANCOVA dengan variabel dependen kadar vitamin A dalam ASI sebagai variabel dependen faktor independen utama status vitamin A ibu dengan dikontrol oleh variabel yang disajikan dalam Tabel 4 dan Grafik 2. Hasil analisis menunjukkan faktor utama yaitu kadar vitamin A dalam ASI berbeda signifikan menurut status vitamin A ibu (p=0,002, adjusted r2 =0,028). Kovariat yang berhubungan dengan kadar vitamin A dalam ASI hanya status gizi ibu menyusui (p=0,025). V i t A A S I Status KVA ibu menyusui KVA Normal Grafik 2. Kadar vitamin A ASI menurut status kurang vitamin A ibu menyusui PEMBAHASAN Status gizi ibu menyusui mempunyai peranan yang penting untuk menentukan status gizi bayinya. Plasenta mempunyai peran penting dalam pertumbuhan janin selama kehamilan. Walaupun demikian status vitamin A baru lahir sangat terbatas dengan cadangan vitamin A yang rendah.13 Oleh karena ibu dari bayi baru lahir sangat menggantungkan kebutuhan vitamin A dari ASI. Bahkan UNICEF menyatakan cadangan vitamin A bayi lahir hanya cukup untuk beberapa hari.14 Dengan demikian ASI sebagai sumber utama gizi bayi termasuk vitamin A terutama pada enam bulan pertama usia bayi karena sebagian besar ibu masih ASI eksklusif. Banyak negara mempunyai program pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi untuk ibu nifas dan anak balita termasuk Indonesia.15 Vitamin A mempunyai peran penting untuk pertumbuhan dan perkembangan, imunitas, reproduksi dan fungsi lainnya. Oleh karena itu ibu dengan gizi baik dan cukup cadangan vitamin A berperan penting dalam kesehatan bayi. Ibu yang kurang vitamin A mempunyai risiko bayinya kurang kekebalan tubuhnya karena kurang vitamin A.16 Ada beberapa biomarker kurang vitamin A yaitu secara biologi, klinis, dan biokimia yaitu buta senja, xerophthalmia, serum retinol, retinol binding protein (RBP), uji relative dose response (RDR), uji modified relative dose response (MRDR), conjunctival impression cytology (CIC) dan retinol dalam ASI.16 Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata serum vitamin A ibu menyusui 42,4 µg/dL. Kadar ini lebih tinggi dibanding studi serupa 67 Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) di Brazil pada ibu nifas (30,0 µg/dL)17, dan studi lain di Brazil (37,3 µg/dL).18 Serum retinol dipengaruhi oleh konsumsi vitamin A dan infeksi.16 Pada studi ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata konsumsi makanan mengandung vitamin A antara ibu menyusui yang KVA dan tidak KVA. Infeksi yang dinilai dari kadar CRP atau AGP menurunkan kadar serum vitamin A rata-rata 2 µg/dL, sehingga hasil studi ini sebenarnya di atas nilai tersebut.19 Kadar vitamin A dalam ASI 85,4 µg/dL lebih tinggi dibanding serum vitamin A. Hasil ini juga lebih tinggi dibanding hasil studi di Brazil (55,1 µg/dL)17 dan di Bangladesh (22,6-24,8 µg/dL)20. Vitamin A dalam ASI merupakan salah satu alternatif indikator KVA untuk menilai prevalensi KVA di masyarakat karena lebih praktis, dan mudah, tidak memerlukan pemeriksaan darah dibanding serum retinol.21 Di negara maju bentuk vitamin A dalam ASI lebih tinggi proporsinya dalam bentuk retinyl ester sedangkan di negara berkembang proporsinya lebih banyak dalam bentuk provitamin A karoteniod. Hal ini terkait dengan pola konsumsi di negara berkembang yang lebih banyak sumber vitamin A dari non-hewani.13 Batas KVA menurut vitamin A ASI adalah 1,05 µmol/L (30 µg/dL).22 Akan tetapi kadar vitamin A bervariasi tergantung umur bayi. Hazkell13 menunjukkan kadar vitamin A ASI kolostrum tertinggi ssesudah melahirkan 4+6 hari, menurun pada umur 7+21 hari, dan turun hampir sama pada umur selanjutnya. Rice20 juga menemukan hal sama kadar tertinggi vitamin A ASI yaitu dalam kolostrum dan kemudian menurun pada umur 1 bulan dan antara 1-9 bulan dengan kadar yang hampir sama. Hasil penelitian ini tidak menemukan perbedaan kadar vitamin A dalam ASI menurut umur bayi. Hal ini disebabkan karena sampel bayi mulai umur 6 bulan tidak termasuk ibu yang baru melahirkan sehingga tidak diketahui mulai dari kolostrum sampai umur 11 bulan. Engle-Stone23 yang melakukan penelitian di Kamerun menemukan bahwa prevalensi KVA tidak berbeda baik dengan menggunakan indikator serum retinol atau vitamin A dalam ASI. Tetapi sampai dengan saat ini yang digunakan di Indonesia adalah serum retinol. Apabila kadar vitamin A dalam ASI yang digunakan untuk menilai prevalensi KVA, prevalensi KVA pada ibu menyusui sebesar 23,5 persen. 68 Hasil analisis bivariat menunjukkan umur ibu berperan signifikan terhadap kadar vitamin A dalam ASI, tertinggi pada umur 30-34 tahun. Hasil ini sejalan dengan studi oleh Fujita24 di Kenya dan Pervaiz25 yang menunjukkan korelasi positif antara umur ibu dan kadar vitamin A ASI. Perbedaan yang terjadi dengan Fujita dan Pervaiz adalah terjadi penurunan kadar vitamin A ASI umur ibu 35 tahun atau lebih. Perbedaan lain dengan hasil studi Fujita adalah tidak adanya hubungan antara paritas dengan kadar vitamin A dalam ASI sedangkan studi Fujita menunjukkan korelasi positif yang signifikan. Studi ini menemukan tidak ada perbedaan signifikan kadar vitamin ASI menurut daerah, karakteristik ibu menyusui, dan morbiditas. Walaupun tidak signifikan, ibu menyusui yang terkena diare atau ISPA justru cenderung mempunyai kadar vitamin A ASI yang lebih tinggi (p>0,05). Akan tetapi dalam analisis lanjut yang tidak disajikan dalam tulisan ini, kadar serum retinol ibu yang menderita ISPA atau diare cenderung lebih rendah dibandingkan ibu menyusui dalam kondisi sehat. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi pada ibu menyusui cenderung menurunkan kadar serum retinol tetapi tidak mempengaruhi kadar vitamin A dalam ASI. Penurunan kadar vitamin A dalam ASI kemungkinan disebabkan karena menurunnya cadangan vitamin A dalam hati terutama pada ibu menyusui yang kurang gizi. Hasil penelitian Pervaiz dkk25 menunjukkan bahwa kadar vitamin A ASI lebih rendah secara signifikan pada ibu menyusui dari status sosial ekonomi rendah. Hasil analisis multivariat studi ini juga menunjukkan bahwa status gizi ibu menyusui berperan signifikan terhadap kadar vitamin A ASI, terendah pada status gizi kurang, meningkat pada status gizi baik, dan tertinggi pada ibu gizi lebih/obesitas. Asumsinya adalah kadar lemak yang lebih tinggi pada ASI dari ibu gizi lebih/obesitas. Akan tetapi, studi ini tidak melakukan analisis kandungan lemak dalam ASI yang merupakan salah satu kekurangan studi ini. Sebagai hasil utama studi menunjukkan bahwa faktor utama yang signifikan mempengaruhi kadar vitamin A dalam ASI adalah status serum vitamin A ibu menyusui dengan dikontrol oleh kovariat status gizi ibu. Pada ibu menyusui yang tidak menderita KVA, kadar vitamin A dalam ASI hampir dua kali Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) lipat berbeda signifikan dibanding menyusui yang menderita KVA. ibu KESIMPULAN Kurang vitamin A pada ibu menyusui berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya kadar vitamin A dalam ASI setelah dikontrol oleh kovariat status gizi ibu menyusui yang juga sudah dibuktikan dalam studi ini berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya kadar vitamin A bayi. SARAN Pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada ibu menyusui tetap dilanjutkan karena berdampak pada meningkatnya kadar vitamin A dalam ASI. Penyuluhan tentang MP-ASI yang bergizi untuk bayi termasuk sumber vitamin A diperlukan untuk menjamin asupan vitamin A UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis tujukan untuk GAIN-Koalisi Fortifikasi Indonesia tahun 2012 dan Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis berikut jajarannya sampai ke tingkat desa, tim peneliti, kader kesehatan dan para enumerator sehingga pelaksanaan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa pula bahwa penelitian ini tidak akan bisa dilakukan tanpa partisipasi sukarela sampel penelitian yaitu para ibu menyusui dan bayi di daerah penelitian. DAFTAR PUSTAKA 1. United Nation, Standing Committee on Nutrition. 6th Report on the World Nutrition Situation – Progress in Nutrition. No place, UN-SCN, 2010. 2. Muhilal, H., Tarwotjo, I., Kodyat, B., Herman, S., Permaesih, D., Karyadi, D., Wilbur, S. & Tielsch, ]. (1994) Changing prevalence of xerophthalmia in Indonesia, 1977-1992. Eur. J. Clin. Nutr. 48: 708714. 3. Departemen Kesehatah RI. Panduan manajemen Suplementasi Vitamin A, Jakarta, Depkes, 2006. 4. Puslitbang Gizi. Laporan studi masalah gizi mikro. Bogor, Puslitbang Gizi. Laporan Penelitian, 2006. 5. ErnawatiF, Sandjaja, Moesijanti MYE. Status vitamin A dan zat besi anak Indonesia. Gizi Indonesia 36 (2): 123-130, 2013. 6. Sandjaja, Jus’at I, Jahari AB, Ifrad, Htet MK, Tilden RL et al. Vitamin A fortified cooking oil reduces vitamin A deficiency in infants, young children, and women: results from a programme evaluation in Indonesia. Public Health Nutrition 2014. doi:10.1017/S136898001400322X. 7. Jus’at I, Sandjaja, Sudikno, Ernawati F. Maternalserumretinol level is a risk factor of infant's vitamin A status. Paper presented at 9th Asia Pacific Conference on Clinical Nutrition (APCCN) 2015, Kuala Lumpur 25-19 January 2015. Malaysian J Nutr 21 (Suppl): S62, 2015. 8. UNICEF, 2007. Vitamin A supplementation: a decade of progress. UNICEF, New York.. 9. Mahmud MK, Hermana Zulfianto NA, Apriyantono RR, Ngadiarti I, Hartati, Bernadus, Tinexcelly. Tabel Komposisi Bahan Makanan. Jakarta, Elex Media Komputindo, 2008. 10. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Program Nutrisoft. Bogor, Puslitbang Gizi, 2006. 11. Departemen Kesehatan. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1593/Menkes/SK/XI/2005. Jakarta, 24 November 2005. 12. Departemen Kesehatan, Direktorat Gizi Masyarakat. Petunjuk teknis pemantauan status gizi orang dewasa dengan indeks massa tubuh (IMT). Departemen Kesehatan, 2003. 13. Haskell MJ, Brown KH. Maternal vitamin A nutriture and the vitamin A content of human milk. J Mammary Gland Biology and Neoplasia 4(3): 243-257, 1999. 14. UNICEF, 2007. Vitamin A supplementation: a decade of progress. UNICEF, New York. 15. Departemen Kesehatan, 2009. Panduan manajemen suplementasi vitamin A. Jakarta, Departemen Kesehatan. 16. Tanumihardjo SA. Biomarkers of vitamin A status: what do they mean? In: World Health Organization. Report: Priorities in the assessment of vitamin A and iron status in populations, Panama City, 69 Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) 17. 18. 19. 20. 21. 70 Panama,15–17 September 2010. Geneva, World Health Organization, 2012. Martins TM, Ferraz IS, Daneluzzi JC, Martinelli Jr CE, Del Ciampo LA, Ricco RG, Jordao AA, Patta MC, Vannucchi H. Impact of maternal vitamin A supplementation on the mother–infant pair in Brazil. Eur J Clin Nutr 64: 1302-1307, 2010. Grilo EC, Lima MSR, Cunha LRF, Gurgel CSS, Clemente HA, Dimenstein R. Effect of maternal vitamin A supplementation on retinol concentration in colostrum. J de Pediatria 91(1): 81-86, Jan-Feb 2015. Wieringa FT, Dijkhuizen MA, West CE, Northrop-Clewes CA, Muhilal. Estimation of the effect of the acute phase response on indicators of micronutrient status in Indonesian infants. J Nutr 132: 3061-3066: 2002. Rice A, Stolzfus R, de Francisco A, Chakraborty J, Kjolhede C, Wahed M. (1999). Maternal vitamin A or β-carotene supplementation in lactating Bangladeshi women benefits mothers and infants but does not prevent subclinical deficiency. J. Nutr. 129:356±365. Stoltzfus RJ, Underwood BA. Breast-milk vitamin A as an indicator of the vitamin A status in women and infants. Bul World Health Organization 73 (5): 703-711, 1995. 22. Rice AL, West KP, Black RE. Vitamin A deficiency. In Ezzati M, Lopez AD, Rogers A, Murray CJL: Global and regional burden of disease attributable selected risk factors. Geneve, WHO, 2004. 23. Engle-Stone R, Haskell MJ, Nankap M, Ndjebayi AO, Brown KH. Breast milk retinol and plasma retinol-binding protein concentrations provide similar estimates of vitamin A deficiency prevalence and identify similar risk groups among women in Cameroon but breast milk retinolunderestimates the prevalence of deficiency among young children. J Nutr 144: 209-217, 2014. 24. Fujita M, Shell-Duncan B, Ndemwa P, Brindle E, Lo YJ, Kombe Y, O’Connor K. Vitamin A dynamics in breastmilk and liver stores: A life history perspective. Am J Human Biol 23:664-673, 2011. 25. Pervaiz S, Gilani AH, Qayyum M. Relationship of serum retinol, β-carotene, and serum protein in women at postpartum from different age and socioeconomic groups. Int J Agric & Biol 1(4): 262-266, 1999. PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI A. Jurnal kesehatan reproduksi (Journal of Reproductive Health) menerima naskah ilmiah hasil penelitian, investigasi, atau review hasilhasil penelitian yang meliputi berbagai aspek mengenai kesehatan ibu, kesehatan anak, kesehatan reproduksi, remaja, dan lanjut usia, keluarga berencana, infeksi menular seksual, HIV-AIDS, pencegahan dan penanggulangan aborsi, masalah gender, infertilitas/fertilitas, maupun kesehatan reproduksi dalam hal klinis/ kedokteran. B. Naskah dikirimkan kepada Redaksi Jurnal Kesehatan Reproduksi dengan alamat: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 atau melalui email kepada [email protected] dan turut menyertakan hard copy kepada redaksi. C. Komponen naskah: 1. Naskah diketik spasi 1,5 dengan huruf TimesNew Roman ukuran font 11 2. Panjang naskah: 14 – 18 halaman dengan jenis kertas HVS A4 3. Judul naskah 4. Abstrak 5. Naskah bisa dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris 6. Mencantumkan identitas penulis; alamat, nomor telpon, dan e_mail Naskah menggunakan bahasa tulis ilmiah sesuai kaidah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang baik dan benar. D. Sistematika Penulisan Artikel Jurnal Kesehatan Reproduksi: 1. JUDUL (Bahasa Indonesia diikuti Bahasa Inggris tidak lebih dari 15 kata, disertai identitas penulis) 2. ABSTRAK (Bahasa Inggris diikuti Bahasa Indonesia, terdiri dari 150 – 200 kata yang mencakup: Latar belakang (Background), Tujuan (Objective), Metode (Methods), Hasil (Result), dan Kesimpulan (Conclusions), dilengkapi 3 – 5 kata kunci) 3. PENDAHULUAN meliputi latar belakang, tinjauan pustaka singkat dan relevan, serta tujuan penelitian. 3. METODE meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, dan prosedur analisis data. 4. HASIL meliputi temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik, atau diagram tanpa pendapat/argumen dari penulis. 5. PEMBAHASAN meliputi uraian argumen- 6. 7. 8. 9. E. tatif hasil penelitian dibandingkan dengan teori/temuan terdahulu yang relevan. KESIMPULAN disampaikan dalam bentuk narasi. Kesimpulan hendaknya menjawab masalah/tujuan penelitian dan tidak melampaui kapasitas temuan dan bukan ringkasan yang bersifat umum. SARAN Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan serta subtantif. UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA Aturan penulisan daftar pustaka sesuai Vancouver Style. Rujukan dalam artikel diikuti dengan nomor urut sesuai urutan pemunculan dalam naskah. Nomor rujukan dalam naskah dituliskan sebagai superscript. Rujukan diutamakan yang terkini, dengan kemutakhiran tidak lebih dari 10 tahun. Rujukan majalah/penerbitan berkala ditulis dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, judul karangan, nama majalah, tahun, volume (angka arah), nomor (dalam tanda kurung) dan halaman. Rujukan buku harus disertai nama, tahun diterbitkan dan nama penerbit. F. Judul tidak boleh digarisbawahi dan tidak perlu ditebalkan hurufnya. G. Tabel sederhana penyajiannya cukup dalam satu kolom artikel, sedangkan gambar atau tabel yang kompleks dapat disajikan dalam dua kolom sekaligus. Letak gambar, grafik, atau tabel berdekatan dengan narasi. Letak judul tabel diatas dan judul gambar dibawah. Tabel diketik satu spasi dan diberi nomor urut sesuai penampilan dalam teks. Jumlah maksimal enam tabel. Gambar atau grafik disajikan menggunakan ‘pattern’ dan menggunakan warna. Contoh mengacu pustaka dalam naskah: Penelitian lain yang dilakukan di Amerika juga menunjukkan bahwa penggunaan dot/kempeng pada bayi secara signifikan dapat menurunkan durasi menyusui. 1 Contoh penulisan daftar pustaka: 1. Howard et.al. The effects of early pacifier use on breastfeeding duration and randomized clinical trial of pacifier use and bottle-feeding or cupfeeding and their effect on breasfeeding. Pediatrics. 2013;111(3): 511-18 2. Hidayat, Z. Remaja Indonesia dan Permasalahan Kesehatan Reproduksi. Warta Demografi, 2005; 35(4):14-22