KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

advertisement
ISSN 2087-703X
e-ISSN 2354-8762
Volume 7 No. 1
April 2016
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Jalan Permtakan Negara 29, Jakarta 10560
Te lp. (021) 4287 2392, Fax. (021) 4287 2392
E-mail : [email protected]
Website : http://www.kespro.litbang.depkes.go.id
Jurnal
Kesehatan
Reproduksi
Vol. 7
No.1
Halaman
1- 70
Jakarta,
April 2016
ISSN:
2087-703X
e-ISSN:
2354-8762
ISSN : 2087-703X
Volume 7 No. 1, April 2016
Jurnal
Kesehatan Reproduksi
e-ISSN : 2354-8762
Reproductive Health Journal
Dewan Redaksi/Editorial Board
Pelindung/Patronage
:
Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of
Health Research and Development
Penanggung Jawab / Editor-in-chief
:
Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat
/Director of Central of Public Health Intervention Technology
Mitra Bestari / Advisory Board
:
Dr. dr. Trihono, M.Sc.
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH.Dr.PH
dr. Sarimawar Djaja, M.Kes
drg. Christiana R Titaley, MIPH, PhD
Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS
Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno
Dr. Salahuddin Muhidin
Atmarita, MPH, Dr.PH
dr. Asri Adisasmita, PhD
dr. Siti Nurul Qomariah , M.Kes, Ph.D
Dr. Irwan M. Hidayana, M.Si
Sandjaja, MPH, Dr.PH
Dr. Melania Hidayat, MPH
Ketua Dewan Redaksi / Editor in Chief
:
Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes
Wakil Ketua Dewan Redaksi / Editor Section
:
Tin Afifah SKM, MKM
Sudikno, SKM, MKM
Anggota Redaksi / Managing Editor
:
Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Anissa Rizkianti, SKM, MIPH (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Prisca Petty Arfines, S.Gz, MPH (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM)
dr. Ika Saptarini (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Andi Susilowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Penyunting Ahli / Copy Editor
:
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM)
Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi, Puslitbang UKM)
dr. Teti Tejayanti, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Nunik Kusumawardani, MSc.PH, Ph.D (Promosi Kesehatan, Puslitbang UKM)
Manajer Langganan / Subscription Manager
:
dr. Yuwono Wiryawan, M.Kes
Sekretariat Pelaksana / Executive Secretariat
:
Indra Cans Yunina, S.Sos
Puput Sumarta Puri, S.Gz
Ahmad Rezha Gumilar, Amd
Penerbit/Publisher
:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta
Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392
Email : [email protected]
Diterbitkan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Published by
National Institute of Health Research and Development
Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta
Volume 7, No. 1, April 2016
ISSN : 2087-703X e-ISSN : 2354-8762
No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
1.
MATERNAL DEATH IN INDONESIA: FOLLOW-UP STUDY
OF THE 2010 INDONESIA POPULATION CENSUS
Oleh: Tin Afifah, Teti Tejayanti, Ika Saptarini, Anissa Rizkianti,
Yuslely Usman, Felly P. Senewe, Lamria Pangaribuan
1 – 13
2.
DETERMINAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI
INDONESIA (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS
2013)
Oleh: Ika Saptarini, Suparmi
15 – 24
3.
PRAKTIK BUDAYA PERAWATAN DALAM KEHAMILAN
PERSALINAN DAN NIFAS PADA ETNIK BADUY DALAM
Oleh: Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo
25 – 36
4.
PENGARUH KONSUMSI IBU HAMIL DAN UKURAN
BIOMETRI JANIN PADA PANJANG LAHIR BAYI
(ANALISIS DATA KOHORT TUMBUH KEMBANG ANAK
2011-2012)
Oleh: Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati
37 – 47
5.
HIPOTIROIDISME PADA IBU HAMIL DI DAERAH
REPLETE DAN NON-REPLETE GONDOK DI KABUPATEN
MAGELANG
Oleh: Ina Kusrini, Dony K Mulyantoro, P B Sukandar, Basuki
Budiman
49 – 59
6.
SERUM RETINOL DAN STATUS GIZI IBU MENYUSUI
MENENTUKAN KADAR VITAMIN A DALAM ASI
Oleh: Sandjaja, Idrus Jus’at
61 – 70
KATA PENGANTAR
Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 No 1 April 2016 terbit bertepatan dengan bulan
lahirnya Ibu RA Kartini yang pada tahun 1965 dikukuhkan menjadi pahlawan nasional
sebagai pejuang emansipasi wanita.
Selain meninggalkan kisah ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, Ibu Kartini juga menyisakan
kisah tentang riwayat perjalanan penyakit dan gejala sebelum Beliau meninggal pada 17
September 1904, atau 4 hari setelah melahirkan anak pertamanya di usia 25 tahun. Bila kisah
tersebut saat ini diresume dengan mengikuti kode ICD-10, maka diperoleh penyebab
kematian dasar ibu Kartini adalaj eklampsia.
Ibu Kartini adalah insipirator wanita Indonesia. Meskipun kini telah lahir Kartini-Kartini
Indonesia yang berkontribusi besar pada pembangunan di Indonesia, namun masih banyak
yang mengalami kisah kematian ibu seperti yang dialami oleh Ibu Kartini.
Kematian ibu merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi dan masalah bangsa
Indonesia pada umumnya. Tingkat kematian ibu di Indonesia masih tinggi dibandingkan
negara-negara ASEAN lainnya, dan eklampsia merupakan salah satu penyebab utama
kematian ibu. Oleh karena itu, diperlukan perhatian dari berbagai pihak, terutama perhatian
terhadap ibu hamil. Kematian ibu pada dasarnya terjadi karena ada kehamilan. Kondisi
kehamilan yang baik disertai asupan gizi yang adekuat berperan penting dalam mencegah
kesakitan dan kematian pada kehamilan.
Jurnal Kesehatan Reproduksi edisi April sangat erat kaitannya dengan status kesehatan ibu,
terutama ibu hamil, baik dilihat dari tingkat kematian dan penyebab kematian ibu, faktor
risiko kematian ibu seperti kehamilan yang tidak diinginkan, masalah budaya pada suku
tertentu yang turut berkontribusi dalam permasalahan kesehatan ibu, serta asupan gizi yang
terkait pada masa kehamilan. Artikel tentang kematian ibu, kehamilan yang tidak diinginkan
serta budaya suku Baduy Dalam disajikan terkait dengan status kesehatan ibu hamil.
Sementara itu, artikel tentang asupan gizi yang terkait dengan masa kehamilan dan nifas juga
disajikan pada edisi ini, seperti artikel mengenai pengaruh konsumsi ibu hamil janin dan bayi
lahir, hipotiroidisme pada ibu hamil serta status gizi ibu menyusui dan pengaruhnya pada
kualitas ASI.
Oleh karen itu, apabila program pelayanan kesehatan telah memadai, sikap dan perilaku ibu
mendukung serta asupan gizi sudah adekuat, maka status kesehatan ibu dan gizi ibu hamil
juga akan meningkat, sehingga ibu dapat melahirkan dengan aman dan selamat, serta bayi
akan lahir dalam kondisi sehat. Bayi yang lahir sehat dan diberi asupan ASI yang cukup
diharapkan akan menjadi generasi penerus yang unggul.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
REDAKSI
DETERMINAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI INDONESIA
(ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2013)
Determinant of Unintended Pregnancies in Indonesia
(Secondary Data Analysis of Basic Health Reserach 2013)
Ika Saptarini*, Suparmi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat,
*E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Preventing unintended pregnancies were critical factor to reduce induced abortions and other
adverse effects such as premature birth, low birth weight and maternal child morbidity and mortality.
Objective: The aim of the study was to assess determinants of unintended pregnancies in Indonesia.
Method: This study was a cross-sectional study using secondary data from Basic Health Reseach 2013. The
sample study was women have been pregnant in the last three years before survey, which accounted as 53,668
women. The backward logistic regression was used for analysis.
Result: Education, residence, place of living, parity, pregnancy complications, contraception used, and disease
history were determinants of unintended pregnancies in Indonesia.
Conclusion: Mothers with high parity, current or past use of contraceptives and pregnancy complications were
likely to experience unintended pregnancies. Therefore, screening and counseling during antenatal care,
especially for mothers who had high risk or history of disease was needed to prevent complications from an
unintended pregnancy.
Keywords: unintended pregnancy, screening, counceling, determinants
Abstrak
Latar belakang: Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan sangat penting untuk mengurangi kejadian
aborsi dan dampak merugikan lainnya seperti kelahiran prematur, BBLR serta kesakitan dan kematian ibu dan
anak.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Riskesdas Tahun 2013 dengan desain potong lintang.
Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan yang memiliki riwayat kehamilan dalam tiga tahun terakhir
sebelum survei, sejumlah 53.668 responden. Data dianalisis secara multivariat dengan regresi logistik metode
backward.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pendidikan, tempat tinggal, status hidup bersama, paritas, komplikasi
kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan riwayat penyakit berhubungan dengan kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia.
Kesimpulan: Ibu dengan paritas tinggi, sedang atau pernah menggunakan kontrasepsi dan mengalami
komplikasi kehamilan cenderung merupakan kehamilan tidak diinginkan. Oleh karena itu, skrining dan
konseling pada saat antenatal care terutama bagi ibu-ibu yang memiliki resiko tinggi atau riwayat penyakit
diperlukan untuk mencegah gangguan kehamilan dari kehamilan yang tidak diinginkan.
Kata kunci: kehamilan tidak diinginkan, skrining, konseling, determinan
Naskah masuk: 10 April 2015
Review: 22 April 2016
Disetujui terbit: 27 April 2016
PENDAHULUAN
Setiap tahun diperkirakan sekitar 80 juta
wanita mengalami kejadian kehamilan tidak
diinginkan.1 Kehamilan tidak diinginkan yang
meliputi kehamilan tidak tepat waktu
(mistimed pregnancy) dan tidak dikehendaki
(unwanted pregnancy) merupakan salah satu
masalah yang penting dan perlu mendapat
perhatian, terutama di negara negara
berkembang. Kehamilan tidak diinginkan akan
mendorong terjadinya keguguran atau
pengguguran (aborsi), berat badan lahir rendah
serta kelahiran prematur. Hal ini tentu juga
memberikan dampak meningkatnya risiko
untuk kematian ibu dan anak. Kehamilan yang
tidak diinginkan memberikan dampak serius
dan merugikan di bidang kesehatan, sosial dan
ekonomi.2
Di
bidang
layanan
kesehatan
juga
mendapatkan dampak negatif karena pada
kehamilan yang tidak diinginkan ibu memiliki
kecenderungan untuk tidak memeriksakan
kehamilannya pada tenaga kesehatan yang
berkompeten, imunisasi yang tidak adekuat
serta perilaku menyusui yang kurang benar. Di
bidang sosial ekonomi dengan berkurangnya
kejadian tidak diinginkan dapat meningkatkan
kesejahteraan baik pada ibu maupun anakanak mereka.3 Jika dihubungkan dengan target
Millenium Development Goal’s (MDGs) maka
dengan adanya penurunan kehamilan tidak
diinginkan akan membantu pencapaian target
MGs ke 4 dan 5 yaitu di bidang kesehatan ibu
dan anak.4
Kehamilan tidak diinginkan dapat disebabkan
perilaku tidak sehat dan kondisi pada saat
sebelum atau selama kehamilan seperti
perkosaan, kurangnya pengetahuan mengenai
kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan
kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum
siap mempunyai anak, pasangan tidak
bertanggungjawab atau hubungan dengan
pasangan belum mantap. Selain itu, kejadian
kehamilan tidak diinginkan berhubungan erat
dengan berbagai aspek seperti kondisi sosiodemografi keluarga, budaya serta kepercayaan
yang ada di masyarakat. Program pemerintah
dalam kesehatan reproduksi seperti program
keluarga berencana dan kesehatan reproduksi
remaja yang kurang berhasil diperkirakan
sebagai salah satu pemicu terjadinya
kehamilan tidak diinginkan. Selain disebabkan
16
kegagalan KB kasus kehamilan tidak
diinginkan juga bisa dialami oleh mereka yang
tidak menggunakan kontrasepsi dalam 3 bulan
terakhir padahal mereka termasuk aktif secara
seksual.5
World
Health
Organization
(WHO)
memperkirakan dari 200 juta kehamilan
pertahun, sekitar 38 persen (75 juta)
merupakan kehamilan tidak diinginkan.1 Dari
data Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia Tahun 2012 (SDKI 2012)
didapatkan bahwa 7 persen kelahiran
diharapkan kemudian dan 7 persen kelahiran
tidak diinginkan sama sekali.6 Beberapa
penelitian menunjukkan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kejadian kehamilan tidak
diinginkan antara lain daerah tempat tinggal,
usia ibu, paritas, jumlah anak hidup, jarak
kelahiran, status penggunaan alat kontrasepsi
dan status ekonomi.7 Dengan masih tingginya
prevalensi kehamilan yang tidak diinginkan,
maka perlu untuk mengetahui determinan
kehamilan yang tidak diinginkan sebagai salah
satu langkah untuk menurunkan risiko
terjadinya kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia.
METODE
Desain penelitian ini adalah potong lintang
dan merupakan analisis lanjut data sekunder
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (Riskesdas
2013). Populasi dalam penelitian ini adalah
sampel individu Riskesdas 2013 yaitu
perempuan usia 10–54 tahun berasal dari
seluruh provinsi di Indonesia. Kriteria inklusi
adalah ibu yang hamil atau melahirkan dalam
periode tiga tahun sebelum survei. Instrumen
dan cara pengumpulan data pada studi ini
memanfaatkan hasil pengumpulan data
Riskesdas 2013 yang dilakukan dengan
wawancara
menggunakan
instrument
kuesioner RKD13.RT dan RKD13.IND.
Variabel dependen adalah kehamilan tidak
diinginkan, yang dibagi menjadi dua kategori
yaitu kehamilan diinginkan dan tidak
diinginkan. Kehamilan tidak diinginkan
meliputi kehamilan tidak tepat waktu (ingin
menunda) dan tidak menginginkan sama
sekali.
Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi)
Variabel independen meliputi status sosiodemografi ibu, status kesehatan serta
pelayanan kesehatan yang diterima ibu. Status
sosio-demografi meliputi umur ibu saat hamil,
pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, status
ekonomi dan status tinggal bersama pasangan.
Status kesehatan ibu dan pelayanan kesehatan
ibu meliputi paritas, komplikasi kehamilan
yang dialami responden, riwayat penggunaan
kontrasepsi, riwayat penyakit yang pernah atau
sedang dialami serta pelayanan kesehatan ibu
hamil yang diterima ibu selama kehamilan.
Umur ibu saat kehamilan dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu 10-20 tahun, 20-35 tahun dan
35-54 tahun. Pendidikan dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu tidak sekolah-SD, SLTPSLTA, D1-Perguruan Tinggi.Pekerjaan dibagi
menjadi dua kelompok yaitu bekerja dan tidak
bekerja. Tempat tinggal dibagi menjadi dua
kelompok, perkotaan dan pedesaan. Status
ekonomi dibagi menjadi tiga yaitu status
ekonomi bawah, menengah dan atas. Status
tinggal bersama pasangan dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu tinggal bersama, hidup
terpisah dan tidak berlaku. Tidak berlaku
artinya responden belum menikah atau janda.
Definisi paritas dalam penelitian ini adalah
jumlah anak yang telah dilahirkan oleh ibu.
Paritas dibagi menjadi 3 yaitu 0-1, 2-4 dan ≥5
anak. Komplikasi kehamilan dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kehamilan dengan
komplikasi dan kehamilan tanpa komplikasi.
Riwayat penggunaan kontrasepsi dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu menggunakan,
pernah menggunakan dan tidak pernah
menggunakan sama sekali. Riwayat penyakit
ibu dibagi menjadi dua, dimana ibu yang
dianggap memiliki riwayat penyakit bila
menderita salah satu penyakit antara lain
kanker, diabetes mellitus (kencing manis),
hipertiroid, hipertensi (tekanan darah tinggi),
jantung koroner, gagal jantung, atau stroke.
Seluruh variabel dianalisis dengan Stata versi
12. Analisis multivariat dilakukan dengan
regresi logistik ganda menggunakan metode
backward dengan signifikansi 5% dan 95%
rentang kepercayaan (convidence interval),
sehingga
dapat
diperoleh
determinan
kehamilan tidak diinginkan. Seleksi kandidat
variabel pada analisis bivariat dilakukan
dengan regresi logistik sederhana dengan
signifikansi 25%.
HASIL
Prevalensi kehamilan tidak diinginkan sebesar
15 persen. Hasil ini tidak berbeda jauh dari
hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2012 yang menemukan
kehamilan tidak diinginkan sebesar 14 persen
yang terdiri dari 7 persen kehamilan tidak
tepat waktu dan 7 persen kehamilan tidak
dikehendaki.
Analisis biavariat terhadap status sosiodemografi menunjukkan bahwa umur,
pendidikan, tempat tinggal, status perkawinan
dan status hidup bersama dimasukkan dalam
model
multivariat
(p<0.25)
kejadian
kehamilan tidak diinginkan di Indonesia
(Tabel 1).
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa variabel
paritas, komplikasi kehamilan, riwayat
penggunaan kontrasepsi, dan riwayat penyakit
yang diderita dimasukkan dalam model
multivariat (p<0.25) kejadian kehamilan tidak
diinginkan di Indonesia.
Dalam proses analisis multivariat, semua
variabel yang terseleksi dengan p<0,25
diikutkan dalam model. Hasil analisis regresi
logistik ganda, menunjukkan bahwa faktor
determinan kehamilan yang tidak diinginkan
adalah pendidikan, tempat tinggal, status hidup
bersama, paritas, komplikasi kehamilan,
penggunaan kontrasepsi dan riwayat penyakit
(Tabel 3).
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi menjadi
faktor pencegah kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa
ibu dengan pendidikan tinggi (Diploma/PT)
memiliki risiko lebih rendah untuk terjadi
kehamilan tidak diinginkan bila dibandingkan
dengan ibu dengan pendidikan rendah (Tidak
sekolah/Tidak tamat SD/MI/Tamat SD). Selain
itu, perempuan yang tinggal di perdesaan
memiliki risiko lebih rendah untuk terjadi
kehamilan tidak diinginkan bila dibandingkan
dengan perempuan yang tinggal di perkotaan.
Ibu yang tinggal terpisah dengan pasangan
memiliki risiko 1,32 kali untuk terjadi
kehamilan tidak diinginkan dibanding denan
ibu yang hidup bersama pasangannya. Ibu
dengan status janda atau belum menikah
memiliki risiko 1,45 kali lebih tinggi daripada
ibu dengan status janda atau belum menikah
17
dibanding dengan ibu yang hidup bersama. Ibu
dengan paritas 2-4 memiliki kemungkinan
terjadi kehamilan tidak diinginkan 2,5 kali
dibanding dengan ibu dengan paritas 0-1,
kemungkinan ini meningkat menjadi 7 kali
lebih besar pada ibu dengan paritas ≥5 anak.
Ibu yang mengalami kehamilan dengan
komplikasi kemungkinan 1,28 kali mengalami
kehamilan tidak diinginkan dibanding denan
ibu tanpa komplikasi.
Tabel 1. Analisis bivariat hubungan faktor sosio-demografi dengan kejadian kehamilan tidak
diinginkan, Riskesdas 2013
Variabel
Umur (tahun)
10 - 19
20 - 35
36 - 54
Pendidikan
Tidak sekolah/Tidak tamat
SD/MI/Tamat SD
Tamat SLTP/SLTA
Tamat D1/D2/D3/PT
Pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Status hidup bersama
Tinggal bersama pasangan
Tinggal berpisah
Tidak berlaku
Status perkawinan
Menikah
Lainnya
Status sosio-ekonomi
Bawah
Menengah
Atas
Kehamilan Tidak Diinginkan
(KTD)
Tidak
Ya
n
%
n
%
95% CI
p-value
0,000
0,000
1691
34667
9179
88,6
87,0
77,0
217
5179
2735
11,4
13,0
23,0
1,00
1,50
3,55
Referensi
1,21 – 1,87
2,84 – 4,44
17044
83,8
3297
16,2
1,00
Referensi
23748
4745
85,0
88,0
4188
646
15,0
12,0
0,83
0,64
0,77 – 0,89
0,56 – 0,73
0,000
0,000
27782
17755
84,6
85,2
5057
3074
15,4
14,8
1,00
0,97
Referensi
0,91 – 1,05
0,489
20740
24797
83,8
85,7
3998
4133
16,2
14,3
1,00
0,85
Referensi
0,79 – 0,91
0,000
42467
2490
580
85,1
82,7
78,3
7450
520
161
14,9
17,3
21,7
1,00
1,08
1,31
Referensi
0,94 – 1,24
1,01 – 1,70
0,279
0,037
44589
948
85,0
78,2
7866
265
15,0
21,8
1,00
1,22
Referensi
0,99 – 1,50
0,060
17178
8866
19493
84,4
84,8
85,3
3174
1587
3370
15,6
15,2
14,7
1,00
0,95
0,94
Referensi
0,87 – 1,05
0,87 – 1,01
0,327
0,093
Pada pasangan dengan riwayat pernah
menggunakan kontrasepsi memiliki risiko
lebih tinggi 1,45 kali untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan dibanding dengan
pasangan yang tidak pernah menggunakan
kontrasepsi sama sekali. Sedangkan ibu yang
sedang menderita penyakit memiliki risiko
1,44 kali untuk mengalami kehamilan tidak
diinginkan dibanding denan ibu tanpa
penyakit.
PEMBAHASAN
Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia. Semakin tinggi tingkat pendidikan
18
Crude odds
ratio
ibu maka risiko terjadinya kehamilan tidak
diinginkan juga semakin menurun. Dengan
kata lain pendidikan akan mengurangi risiko
kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di India
yang menunjukkan semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu maka kehamilan tidak
diinginkan semakin menurun. Tingkat
pendidikan seorang perempuan berkaitan
dengan kemampuan dirinya untuk menangkap
informasi yang ada seperti kesadaran, nilai
keuntungan keluarga kecil serta pengetahuan
tentang kontrasepsi dan keluarga berencana.
Perempuan buta huruf atau dengan pendidikan
rendah lebih rentan mengalami kehamilan
tidak diinginkan karena kemampuan mereka
menangkap informasi guna pencegahan
Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi)
terhadap kejadian kehamilan tidak diinginkan
lebih rendah dibandingkan dengan mereka
yang memiliki pendidikan lebih tinggi. 3 Pada
studi intervensi yang dilakukan di Bandung
juga menunjukkan bahwa pengetahuan
mengenai pencegahan kejadian kehamilan
tidak diinginkan berbeda signifikan antara
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
yang mendapatkan informasi dan pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi seperti
keluarga
berencana
dan
kontrasepsi.8
Penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa
pendidikan rendah merupakan faktor risiko
terjadinya kehamilan tidak diinginkan.9 Pada
wanita dengan pendidikan tinggi memiliki
peluang untuk memiliki pekerjaan lebih baik
dibanding dengan mereka yang memiliki
pendidikan lebih rendah sehingga mereka
memikirkan alternatif cara untuk dapat
mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
karena dianggap akan menghambat karir
pekerjaan mereka. Namun beberapa penelitian
lainnya seperti di Kenya dan Nigeria
menunjukkan bahwa pendidikan tidak
memiliki hubungan dengan kehamilan tidak
diinginkan. Alasannya mengapa demikian
karena kemungkinan hal ini tidak hanya terkait
dengan daerah tempat tinggal namun juga
faktor yang lain seperti pendapatan keluarga
atau status ekonomi keluarga.10,11
Kehamilan tidak diinginkan lebih rentan
terjadi di daerah perkotaan dibandingkan
daerah pedesaan. Tingkat urbanisasi di
Indonesia termasuk sangat cepat. Saat ini
sekitar separuh penduduk Indonesia telah
tinggal di kawasan perkotaan. Persentase
penduduk di daerah perkotaan meningkat dari
42,1 persen pada tahun 2000, menjadi 49,8
persen pada tahun 2010.12 Pertumbuhan
penduduk yang pesat di perkotaan ini juga
mengakibatkan banyaknya pengangguran dan
daerah kumuh yang dapat meningkatkan risiko
kejadian
kehamilan
tidak
diinginkan.
Penelitian yang dilakukan di Nairobi, Kenya
menunjukkan bahwa dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi akan mengakibatkan
terjadinya urban poor area. Penduduk di
daerah urban poor ini akan lebih rentan
terhadap risiko perilaku seksual yang tidak
aman.13 Penelitian yang dilakukan di New
York, Amerika Serikat mendapatkan bahwa
kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih
tinggi terjadi di daerah urban poor karena di
daerah
ini
tingkat
kemiskinan
dan
pengangguran
masih
tinggi
sehingga
meningkatkan kejadian kehamilan tidak
diinginkan.14 Pada daerah urban poor juga
lebih sulit untuk mendapatkan akses
pendidikan
serta
informasi
kesehatan
reproduksi seperti tentang kontrasepsi dan
pencegahan kehamilan tidak diinginkan.15
Tabel 2. Analisis bivariat hubungan faktor status kesehatan ibu dan pelayanan kesehatan
dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan, Riskesdas 2013
Variabel
Paritas
0-1
2-4
5-14
Jumlah janin
Tunggal
Kembar
Komplikasi kehamilan
Tanpa komplikasi
Dengan komplikasi
Penggunaan kontrasepsi
Tidak pernah menggunakan
Sedang menggunakan
Pernah menggunakan
Riwayat penyakit
Tanpa penyakit
Menderita penyakit
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
Tidak
Ya
n
%
n
%
Crude odds
ratio
95% CI
p-value
15982
26636
2919
91,8
83,2
68,8
1430
5375
1326
8,2
16,8
31,2
1,00
2,61
7,45
Referensi
2,39 – 2,86
6,55 – 8,48
0,000
0,000
45163
374
84,9
84,2
8061
70
15,1
15,8
1,00
1,14
Referensi
0,74 – 1,75
0,563
39944
5593
85,5
80,7
6791
1340
14,5
19,3
1,00
1,37
Referensi
1,24 – 1,51
0,000
9008
26586
9943
88,0
84,6
82,9
1234
4847
2050
12,0
15,4
17,1
1,00
1,63
1,82
Referensi
1,47 – 1,81
1,62 – 2,05
0,000
0,000
42867
2670
85,4
77,0
7333
798
14,6
23,0
1,00
1,86
Referensi
1,64 – 2,11
0,000
19
Status hidup bersama dengan pasangan
memberikan hubungan bermakna dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia. Perempuan dengan status janda dan
belum menikah lebih rentan mengalami
kejadian
kehamilan
tidak
diinginkan
dibandingkan perempuan yang menikah dan
tinggal bersama pasangannya. Penelitian yang
dilakukan di Kenya mendapatkan bahwa
kejadian kehamilan tidak diinginkan lebih
tinggi terjadi pada wanita yang belum menikah
dan pernah menikah (janda) dibanding
perempuan menikah.10 Pada perempuan belum
menikah atau janda memiliki risiko mengalami
seks berisiko lebih tinggi dibandingkan
perempuan
yang
tinggal
bersama
pasangannya. Perempuan yang tidak menikah
atau janda melakukan aktivitas seksual sebagai
kebutuhan biologis dan kesenangan namun
bukan bertujuan untuk memiliki anak sehingga
kehamilan tidak diinginkan lebih tinggi pada
kelompok ini. Stigma negatif juga akan
dikenakan oleh masyarakat pada pasangan
tinggal terpisah dan janda atau yang belum
menikah yang mempunyai anak sehingga pada
kelompok ini lebih rentan terjadi kehamilan
tidak diinginkan.4 Pada penelitian yang
dilakukan di New York dan Harar Ethiopia
juga menemukan bahwa pada perempuan yang
tidak menikah, hidup terpisah atau janda
peluang terjadinya kehamilan tidak diinginkan
lebih tinggi dibandingkan perempuan yang
menikah dan hidup bersama pasangannya.14,16
Tabel 3. Analisis multivariat determinan kehamilan tidak diinginkan di Indonesia,
Riskesdas 2013
Variabel
Adjusted Odds
Ratio
95% CI
1,00
Referensi
0,97
0,79
0,90 – 1,05
0,68 – 0,91
0,473
0,001
1,00
0,75
Referensi
0,70 – 0,81
0,000
1,00
1,32
1,45
Referensi
1,14 – 1,53
1,11 – 1,90
0,000
0,007
1,00
2,52
7,33
Referensi
2,30 – 2,77
6,42 – 8,37
0,000
0,000
1,00
1,28
Referensi
1,15 - 1,42
0,000
1,00
1,28
1,45
Referensi
1,14 – 1,42
1,28 – 1,64
0,000
0,000
1,00
1,44
Referensi
1,27 – 1,64
0,000
Pendidikan ibu
Tidak sekolah/Tidak tamat
SD/MI/Tamat SD
Tamat SLTP/SLTA
Tamat D1/D2/D3/PT
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Status hidup bersama
Tinggal bersama pasangan
Tinggal berpisah
Tidak berlaku
Paritas
0-1
2-4
5-14
Komplikasi kehamilan
Tanpa komplikasi
Dengan komplikasi
Penggunaan kontrasepsi
Tidak pernah menggunakan
Sedang menggunakan
Pernah menggunakan
Riwayat penyakit
Tanpa penyakit
Menderita penyakit
Paritas memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan. Semakin
banyak anak yang pernah dilahirkan maka
semakin tinggi kemungkinan terjadinya
kehamilan tidak diinginkan. Hasil SDKI 2012
menunjukkan bahwa proporsi kehamilan tidak
dikehendaki juga meningkat seiring urutan
20
p-value
anak yang dilahirkan.5 Penelitian di Ethiopia
dan India juga mendapatkan bahwa semakin
banyak anak yang pernah dilahirkan
kemungkinan terjadinya kehamilan diinginkan
juga semakin besar. Perempuan yang memiliki
banyak anak namun tetap hamil dan kehamilan
tersebut tidak diinginkan kemungkinan
Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi)
dikarenakan kebutuhan kontrasepsi yang tidak
terpenuhi (unmet need) atau karena dampak
kegagalan kontrasepsi. Pada ibu yang telah
melahirkan banyak anak juga merasakan
bahwa jumlah anak yang ada telah mencapai
jumlah ideal sehingga dengan adanya
kehamilan lagi maka kemungkinan menjadi
kehamilan tidak diinginkan juga lebih
besar.3,17 Pada penelitian yang dilakukan di
Nairobi, Kenya mendapatkan bahwa paritas
berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak
diinginkan. Namun hal ini hanya berlaku di
daerah kumuh (slum area) saja namun paritas
tidak berhubungan dengan kejadian kehamilan
tidak diinginkan di daerah non kumuh. Hal ini
karena faktor ini tidak dapat berdiri sendiri
namun lebih dikuatkan dengan kondisi sosiodemografi.10
Pemerintah
telah
mempromosikan program dua anak cukup.
Dengan adanya program ini diharapkan
masyarakat semakin menyadari arti penting
anak dalam keluarga sehingga kejadian
kehamilan tidak diinginkan juga dapat
menurun
karena
promosi
pencegahan
kehamilan tidak diinginkan juga ada dalam
program ini.18
Komplikasi kehamilan berhubungan dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan. Ibu yang
mengalami kehamilan dengan komplikasi
lebih memungkinkan mengalami kehamilan
tidak diinginkan dibanding dengan ibu tanpa
komplikasi. Penelitian di Iran menunjukkan
bahwa komplikasi kehamilan berhubungan
dengan kejadian kehamilan tidak diinginkan.
Pada kehamilan dengan komplikasi hal ini
akan membuat ibu lebih merasa depresi.19
Secara fisiologis, pada saat kehamilan akan
terjadi perubahan hormon yang membuat
perasaan ibu lebih sensitif. Pada kehamilan
dengan penyulit juga akan berlangsung lebih
berat dibanding dengan kehamilan tanpa
penyulit. Hal ini akan menambah beban
psikologis ibu pada kehamilan dengan penyulit
sehingga membuat kehamilan menjadi tidak
diinginkan.21 Kehamilan tidak diinginkan
sendiri juga berdampak pada komplikasi
kehamilan ibu. Komplikasi kehamilan dapat
meliputi mual muntah berlebih (hyperemesis
gravidarum), preeclampsia, perdarahan serta
penyakit yang dapat diinduksi oleh kehamilan
antara lain gangguan kejiwaan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hyperemesis
gravidarum merupakan upaya bawah sadar ibu
sebagai bentuk penolakan terhadap kehamilan
yang dialami.21 Pada kehamilan tidak
diinginkan
juga
berhubungan
dengan
ketidakcukupan pelayanan antenatal care
yang dapat berdampak pada meningkatnya
morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi baik
selama
kehamilan
maupun
setelah
melahirkan.19 Analisis lanjut Riskesdas 2010
menunjukkan bahwa kondisi kesehatan ibu
baik pada saat sebelum hamil dan selama
kehamilan termasuk penyulit yang dialami
menjadi alasan mengapa kehamilan tidak
diinginkan.22
Penggunaan kontrasepsi berhubungan dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia. Pada pasangan yang sedang
menggunakan kontrasepsi modern lebih
mungkin
mengalami
kehamilan
tidak
diinginkan dibanding dengan pada pasangan
yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi
modern, dan kemungkinan ini meningkat pada
pasangan
yang
pernah
menggunakan
kontrasepsi modern. Hasil ini sejalan dengan
penelitian di India melaporkan bahwa pada
pasangan yang menggunakan kontrasepsi
kemungkinan terjadinya kehamilan tidak
diinginkan lebih tinggi dibandingkan pada
pasangan
yang
tidak
menggunakan
kontrasepsi.3
Pasangan
yang
sedang
menggunakan kontrasepsi namun terjadi
kehamilan
tidak
diinginkan
mungkin
disebabkan karena kegagalan kontrasepsi yang
dipakai. Kegagalan kontrasepsi adalah kasus
terjadinya kehamilan pada akseptor aktif yang
pada saat tersebut menggunakan metode
kontrasepsi. Kegagalan kontrasepsi ini dapat
diakibatkan
karena
kegagalan
metode
kontrasepsi
itu
sendiri
atau
karena
ketidakpatuhan
dan
ketidaksempurnaan
akseptor dalam memakai kontrasepsi. Dari
data rutin Kementerian Kesehatan Tahun 2012
didapatkan persentase kegagalan kontrasepsi
di Indonesia sebesar 0,006 persen. Namun
dengan persentase kecil ini memberikan
pengaruh besar terhadap terjadinya kehamilan
tidak di inginkan.23 Pada pasangan yang
pernah
menggunakan
kontrasepsi
dan
mengalami kehamilan tidak diinginkan
mungkin disebabkan ketidak berlangsungan
pemakaian (drop out) penggunaan kontrasepsi
modern yang mereka pakai. Pada jenis non
metode kontrasepsi jangka panjang (Non
MKJP) seperti kondom, pil dan suntik tingkat
kepatuhan yang lebih rendah dibandingkan
jenis metode kontrasepsi jangka panjang
21
(MKJP) seperti spiral (IUD), implant (susuk)
dan sterilisasi baik pria maupun wanita
(MOP/MOW). SDKI 2012 menunjukkan
bahwa di Indonesia penggunaan kontrasepsi
suntik masih menjadi yang tertinggi. Dari Data
Riskesdas 2013 juga menunjukkan bahwa
penggunaan MKJP masih sebesar 10 persen,
jauh lebih rendah dengan penggunaan Non
MKJP yang sebesar 49 persen.5,24 Analisis
lanjut SDKI 2007 menemukan bahwa drop out
penggunaan Non MKJP (kondom, pil dan
suntik) lebih tinggi dibandingkan kelompok
MKJP.25 Penelitian di Perancis menemukan
bahwa Long Acting Reversible Contraceptive
Methods
(LARCs)
memiliki
angka
keberlangsungan lebih tinggi dibandingkan
metode lainnya.26 Biaya MKJP juga lebih
rendah dibandingkan Non MKJP sehingga
jenis kontrasepsi MKJP sesungguhnya lebih
terjangkau untuk penduduk dengan tingkat
ekonomi yang rendah.27 Drop out pemakaian
kontrasepsi juga mungkin disebabkan karena
efek samping kontrasepsi yang dialami
akseptor.
memperberat kondisi kehamilan sehingga
mudah terjadinya penyulit kehamilan.
Penyulit-penyulit yang dapat timbul karena
penyakit kronis antara lain preeclampsia, deep
venous
thrombosis
(DVT),
quiescent
autoimmune disease (penyakit auto imun),
cholestasis
(batu
empedu),
diabetes
gestasional dan peripartum cardiomyopathy.30
Kondisi penyakit ini juga akan berpengaruh
pada janin yang dikandung. Pada studi yang
dilakukan Poremania, Swedia menemukan
bahwa
kondisi
penyakit
kronis
ibu
berhubungan dengan kelahiran prematur.31
Selain itu kondisi penyakit ibu dapat
menimbulkan berat badan bayi lahir rendah
serta peluang bayi dirawat di Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) juga meningkat
karena penyulit bayi pada saat dilahirkan juga
meningkat.32 Analisis lanjut Riskesdas 2010
juga menunjukkan bahwa alasan kesehatan ibu
menjadi alasan mengapa kehamilan menjadi
tidak diinginkan.22
Riwayat penyakit ibu berhubungan dengan
kejadian kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia. Ibu yang sedang menderita
penyakit lebih berisiko mengalami kejadian
kehamilan tidak diinginkan dibandingkan ibu
tanpa penyakit. Ada beberapa penyakit yang
dapat menjadi penyulit atau co-morbid pada
saat kehamilan. Seperti Kanker, Diabetes
mellitus, Hipertensi, ASMA dan Stroke. Pada
studi yang dilakukan di Amerika didapatkan
bahwa perempuan yang menderita penyakit
terutama penyakit kronis akan lebih mungkin
mengalami kehamilan tidak diinginkan.28 Studi
yang dilakukan di California pada perempuan
dengan penyakit kronis (hipertensi, diabetes
dengan obesitas) menemukan bahwa mereka
tidak ingin mendapatkan kehamilan kembali
dikarenakan kondisi kesehatan mereka.29 Pada
saat kehamilan akan terjadi perubahan
fisiologis pada tubuh ibu. Perubahan fisiologis
ini seperti resistensi insulin yang meningkat,
peningkatan volume darah (hypervoemic)
sehingga
menyebabkan
kerja
jantung
meningkat serta hiperkoagulasi karena
perubahan dalam faktor-faktor pembekuan
darah. Pada perempuan sehat pada umumnya
perubahan ini akan mampu ditoleransi dengan
baik sehingga tidak sampai menimbulkan
penyulit kehamilan. Namun pada perempuan
dengan penyakit kronis, penyakitnya akan
KESIMPULAN
22
Determinan kehamilan tidak diinginkan di
Indonesia adalah tingkat pendidikan ibu,
daerah tempat tinggal, status hidup bersama
pasangan, paritas, komplikasi kehamilan,
penggunaan kontrasepsi dan penyakit yang
diderita ibu. Informasi dan edukasi bagaimana
pencegahan
kejadian
kehamilan
tidak
diinginkan masih perlu ditingkatkan.
SARAN
Program pelayanan kesehatan reproduksi telah
ada, namun hal ini masih perlu ditingkatkan
dengan melibatkan berbagai pihak lintas
sektor. Screening dan konseling awal
(prakonsepsi) juga perlu dilakukan terutama
perempuan berisiko atau menderita penyakit
dapat memperberat kondisi kehamilan untuk
mencegah
terjadinya
kehamilan
tidak
diinginkan. Konseling terhadap ibu dengan
dengan penyulit juga harus dilakukan selama
kunjungan antenatal care agar kehamilan
dapat berjalan lancar. Hal ini dapat dilakukan
selama kunjungan antenatal care. Peningkatan
kualitas pelayanan kontrasepsi juga masih
harus
dilakukan.
Informasi
mengenai
penggunaan kontrasepsi terutama MKJP
Determinan Kehamilan ………… (Ika Saptarini, Suparmi)
dalam mencegah kehamilan tidak diinginkan
masih harus ditingkatkan di Indonesia. Untuk
mencegah terjadinya drop out dan kegagalan
kontrasepsi perlu dilakukan konseling awal
mengenai efek samping kontrasepsi yang
mungkin timbul.
9.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada
Kepala Badan Litbangkes atas kesempatan
yang diberikan untuk menulis artikel dari Data
Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, Dwi
Hapsari Tjandarini dan Olwin Nainggolan atas
bantuannya dalam menyiapkan data.
10.
11.
Daftar Pustaka
1. Glasier A, Gulmezoglu AM, Schmid GP,
Moreno CG, Van Look PF. 2006. Sexual
and reproductive health: a matter of life
and death. Lancet vol 368(9547):15951607.
2. Marston C, Cleland J. 2003. Do
Unintended Pregnancies Carried to Term
Lead to Adverse Outcomes for Mother and
Child? An Assessment in Five Developing
Countries. Popul Stud vol 57(1):77–93.
3. Dixit P, Ram F, Dwivedi LK. 2012.
Determinants of unwanted pregnancies in
India using matched case–control designs.
Pregnancy and Childbirth vol 12:84.
4. Singh S, Sedgh G, and Hussain R. 2010.
Unintended
Pregnancy:
Worldwide
Levels, Trends, and Outcomes. Studies in
Family Planning vol 41[4]: 241–250
5. BKKBN. 2008. Kehamilan
Tidak
Diinginkan (KTD) di Kalangan PUS di
Bali. Jakarta: BKKBN.
6. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro
International. 2012. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012. Calverton,
maryland, USA : BPS dan Macro
International.
7. Goicolea I, Sebastian MS. 2010.
Unintended Pregnancy in The Amazon
Basin of Ecuador: A Multilevel Analysis.
International Journal for Equity in Health
vol 9:14
8. Iryanti. Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Reproduksi Melalui Metode Pendidikan
Sebaya Terhadap Pengetahuan dan Sikap
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Remaja dalam Pencegahan Kehamilan
Tidak Diinginkan (KTD) di SMKN 15
Kotamadya Bandung. Jurnal Kesehatan
Kartika
Stikes
A.
Yani.
http://www.stikesayani.ac.id/publikasi/ejournal/files/2009/200912/200912-004.pdf
Calvert C, Baisley B, Doyle AM, Maganja
K, Changalucha J, Watson-Jones D, Hayes
RJ, Ross DA. 2013. Risk factors for
unplanned pregnancy among young
women in Tanzania. Journal Family
Planning Reproductive Health Care vol
39:e2
Ikamari L, Izugbara C, Ochako R. 2013.
Prevalence
and
Determinants
of
Unintended Pregnancy among Women in
Nairobi, Kenya. BMC Pregnancy and
Childbirth vol 13:69
Sedgh G, Bankole A, Oye-Adeniran B,
Adewole IF, Singh S, Hussain R. 2006.
Unwanted Pregnancy and Associated
Factors among Nigerian Women. Int Fam
Plan Perspect. Vol 32(4):175–184.
BKKBN. 2013. Profil Kependudukan dan
Pembangunan di Indonesia Tahun 2013.
BKKBN. Jakarta: 2013
Beguy D, Mumah J, Gottschalk L. 2014.
Unintended pregnancies among young
women living in urban slums: Evidence
from a prospective study in Nairobi city,
Kenya. PLoS One. Vol 9(7): e101034.
Besculides M, Laraque L. 2004.
Unintended Pregnancy among the Urban
Poor. Journal of Urban Health: Bulletin of
the New York Academy of Medicine, Vol.
81, No. 3
Mumah J, Kabiru CW, Izugbara C,
Mukiira C. 2014. Coping with Unintended
Pregnancies: Narratives from Adolescents
in Nairobi’s Slums. Kenya Research
Report April 2014. UKAID: 2014.
Worku K, Fantahun M. 2006. Unintended
pregnancy and induced abortion in a town
with accessible family planning services:
The case of Harar in eastern Ethiopia.
Ethiop.J.Health Dev. Vol 20(2):79-83
Habte D, Teklu S, Melese T, Magafu
MGMD. 2013. Correlates of Unintended
Pregnancy in Ethiopia: Results from a
National Survey. PLOS ONE Volume 8
Issue 12.
BKKBN. 2008.
Dua Anak Cukup.
Gemari
Edisi
86
Tahun
IX.
23
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
24
http://www.gemari.or.id/file/edisi86/gema
ri8629.PDF
Najaļ¬an M, Karami KB, Cheraghi M,
Jafari M. 2011. Prevalence of and Some
Factors
Relating
with
Unwanted
Pregnancy,in Ahwaz City, Iran, 2010.
2011. ISRN Obstetrics and Gynecology
Volume 2011
Dibaba Y, Fantahun M, Hindun MJ. 2013.
The Association of Unwanted Pregnancy
and Social Support with Depresive
Symptoms in Pregnancy: Evidence of
Rural Southwestern Ethiopia. BMC
Pregnancy and Childbirth vol 13:135
Lee NM, Saha S. 2011. Nausea and
Vomiting of Pregnancy. Gastroenterol
Clinical North America vol 40(2): 309–vii
Pranata S, Sadewo S. 2012. Kejadian
Keguguran, Kejadian Tidak Direncanakan
dan Pengguguran di Indonesia. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No.
2 :180–192
Kemenkes RI, BKKBN, UNFPA. 2013.
Rencana Aksi Nasional Pelayanan
Keluarga
Berencana
2014-2015.
Kemenkes RI. Jakarta
Badan Litbangkes. 2013. Riset Kesehatan
Dasar 2013. Litbangkes. Jakarta: 2013
BKKBN. 2009. Analisis Lanjut SDKI
2007:
Kelangsungan
Pemakaian
Kontrasepsi. BKKBN. Jakarta
Diamond-Smitha N, Moreaua C, Bishaia
D. What is the Best Way to Reduce
Unintended Pregnancies? A Micro
Simulation of Contraceptive Switching,
Discontinuation and Failure Patterns in
France. Stud Fam Plann. 2014 December ;
27.
28.
29.
30.
31.
32.
45(4):
429–441.
doi:10.1111/j.17284465.2014.00006.x.
BKKBN. 2011. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penggunaan MKJP di
Enam Wilayah Indonesia. BKKBN.
Jakarta
Vahratian A, Lawrence JM, Barber JS,
Kim C. 2009. Family-Planning Practices
Among Women With Diabetes and
Overweight and Obese Women in the
2002 National Survey for Family Growth.
Diabetes Care, Volume 32, Number 6.
Chuang CH, Velott DL, Weisman CS.
2010. Exploring Knowledge and Attitudes
Related to Pregnancy and Preconception
Health in Women with Chronic Medical
Conditions. Maternal Child Health
Journal. Vol 14(5): 713–719
Kaaja RJ, Greer IA. 2005. Manifestations
of Chronic Disease during Pregnancy. The
Journal of American Medicine Vol 294,
No. 21
Kersten I, Lange AE, Haas JP, Fusch
C, Lode H, Hoffmann W, Thyrian JR.
2014. Chronic diseases in pregnant
women: prevalence and birth outcomes
based on the SNiP-study. BMC Pregnancy
and Childbirth vol 14:75
Michigan Department of Community
Health. Preconcepon Chronic Disease and
Birth Outcomes in Michigan, 2009-2010.
http://www.michigan.gov/documents/infan
tmortality/PRAMS_Fact_Sheet_Preconcep
tion_Chronic_Disease__Birth_Outcomes_
Final_440126_7.pdf
PRAKTIK BUDAYA PERAWATAN DALAM KEHAMILAN
PERSALINAN DAN NIFAS PADA ETNIK BADUY DALAM
Cultural Practices in Pregnancy, Birth Delivery and Postpartum Care of
Inner Baduy Ethnic Group
Mara Ipa*, Djoko Adi Prasetyo**, Kasnodihardjo***
Mara Ipa*1, Djoko Adi Prasetyo2, Kasnodihardjo3
1
Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan Litbang Kesehatan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga
3
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan
*E-mail: [email protected]
2
Abstract
Background: High maternal mortality rate is an indicator of health problems. Negative impact of socio cultural
aspect is one of the constraints related to the implementation of reproductive health Baduy Dalam Ethnic as one
whom strong to uphold pikukuh (custom rules).
Objective: The objective of this study is to identify and analyse cultural practices among Baduy Dalam ethnic
relating to pregnancy, delivery and postpartum periods.
Methods: This study is a qualitative study using in-depth interview, and observation methods for data
collection. Informants selection using purposive sampling techniques in pregnant mothers, postpartum mothers,
village midwife, head of cultural committee, youth leaders, traditional leaders women at reproductive age and
girl teenagers. Study was conducted in Cibeo, Cikertawana and Cikeusik Village in May until June 2014. Data
validation using triangulation of informants and analysis of the potencies and constraints was performed to
determine the inhibiting and supporting factors.
Result: The study found supportive cultural practices include: obedient to head of cultural committee;
traditional celebration as a media health promotion program; the utilization of traditional medicine and the
pattern of settlement cluster. Harmful cultural practices during pregnancy, birthing procession and postpartum
period include independently birthing procession, situational place of birth (saung/home), unpredictable
waiting time for paraji to arrive; non-sterile umbilical cord cutting; the age of first time birthing; heavy work;
prohibition using underwear and sanitary napkins.
Conclusion: Intensive approach to community Baduy Dalam Ethnic by health workers was recommended to
create trust to the system of modern health service.
Keywords: Baduy, cultural practices, pregnancy, delivery, postpartum.
Abstrak
Latar belakang: Tingginya Angka Kematian Ibu sebagai indikator besarnya masalah kesehatan reproduksi.
Aspek sosial budaya yang membawa dampak negatif bagi kesehatan merupakan salah satu kendala pelaksanaan
kegiatan terkait kesehatan reproduksi. Suku Baduy Dalam merupakan salah satu pelaku tradisi yang kuat
memegang teguh pikukuh (aturan adat).
Tujuan: Tujuan umum penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menganalisa praktik budaya perawatan Etnik
Baduy Dalam yang terkait kehamilan, kelahiran, dan nifas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara
mendalam, dan observasi. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling pada ibu hamil, ibu
nifas, paraji (dukun beranak), bidan desa, ketua adat, tokoh pemuda, tokoh adat, ibu usia subur, remaja puteri
dengan total informan sebanyak 15 orang. Penelitian dilakukan di Kampung Cibeo, Cikartawana, Cikeusik Desa
Kankes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten tempat bermukimnya Suku Baduy Dalam
pada bulan Mei-Juni 2014. Data informan divalidasi melalui triangulasi, analisis potensi dan kendala dilakukan
untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendukung.
Hasil: Penelitian menemukan praktik budaya sebagai pendukung: kepatuhan pada pimpinan adat (kokolot),
perayaan tradisi sebagai media promosi program kesehatan, pemanfaatan obat tradisional, pola pemukiman
secara kluster. Faktor yang membahayakan tidak ada pemeriksaan medis selama kehamilan, persalinan dan
nifas, prosesi melahirkan secara mandiri, tempat persalinan situasional (saung/rumah), lama waktu menunggu
paraji, pemotongan tali pusat, usia pertama kali melahirkan, melakukan aktivitas berat, larangan menggunakan
pakaian dalam dan pembalut wanita.
Kesimpulan: Kepatuhan pada Kokolot bisa dijadikan kunci sebagai pintu masuk menumbuhkan diterimanya
program-program kesehatan ibu dan anak pada masyarakat Baduy Dalam.
Kata kunci: Baduy, praktik budaya, kehamilan, persalinan, nifas.
Naskah masuk: 20 November 2015
Review: 13 Januari 2016
Disetujui terbit: 3 April 2016
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) PENDAHULUAN
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih
cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN
lainnya. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan AKI 359
per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per
1000 kelahiran hidup. Masih tingginya AKI
merupakan salah satu indikator besarnya
masalah kesehatan reproduksi.1
Beberapa kendala masih ditemui didalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi antara lain
adanya realita tentang kurangnya kesatuan
pengertian tentang kesehatan reproduksi,
kurang ketersediaan infrastruktur di setiap
kabupaten/ kota, adanya variasi geografis,
aspek sosial budaya serta tingkat sosio
ekonomi yang relative terbatas.2
Pengaruh budaya terhadap status kesehatan
masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja,
kesehatan merupakan bagian integral dari
kebudayaan. Hasil riset etnografi kesehatan
tahun 2012 di 12 etnis di Indonesia
menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak
terkait
budaya
kesehatan
sangat
memprihatinkan. Keharusan untuk tetap
bekerja keras sampai mendekati persalinan
bagi ibu hamil juga sangat membahayakan
baik bagi ibu maupun janinnya. Pemotongan
tali pusat dengan sembilu (bambu yang
ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih
banyak digunakan untuk memotong tali pusat
bayi yang baru dilahirkan.3
Beberapa kepercayaan yang ada seperti di
Jawa Tengah, diantaranya ibu hamil pantang
makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena
akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Demikian pula dengan di daerah Jawa Barat,
ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan
sengaja harus mengurangi makannya agar bayi
yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan. Akibatnya ibunya kurang gizi,
berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.
Kondisi
ini
tentunya
mempengaruhi
daya tahan dan kesehatan si bayi. 4 Hasil
penelitian di Kabupaten Jepara menunjukkan
bahwa perilaku yang kurang mendukung
selama masa nifas yaitu pantang makanan
26 tertentu lebih dikaitkan dengan si bayi antara
lain agar ASI tidak berbau amis antara lain
daging dan ikan laut.5
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)6,7
tahun 2013 menunjukkan proporsi ibu yang
persalinannya ditolong tenaga kesehatan
meningkat dari 79,0 persen pada tahun 2010
menjadi 86,9 persen pada tahun 2013. Pada
tahun 2013, sebagian besar (76,1%) persalinan
juga sudah dilakukan di fasilitas kesehatan dan
Poskesdes/Polindes namun demikian ada
sebesar 23,7 persen ibu bersalin yang masih
melahirkan di rumah. Menurut Setyawati8,
perilaku pemilihan penolong persalinan dukun
sebagai aktor lokal dipercaya oleh masyarakat
sebagai
tokoh
kunci
terutama
yang
berhubungan
dengan kesehatan
dan
keselamatan. Pada kasus persalinan, dukun
tidak hanya berperan saat proses tersebut
berlangsung, namun juga pada saat upacaraupacara adat yang dipercaya
membawa
keselamatan bagi ibu dan anaknya seperti
upacara tujuh bulanan kehamilan sampai
dengan 40 hari setelah kelahiran bayi.
Aktivitas ini tentunya tidak sama dengan apa
yang dilakukan bidan sebagai tenaga
paramedis, dan hal ini juga yang membuat
dukun memiliki tempat terhormat dan
kepercayaan yang tinggi di masyarakat.
Kompleksitas permasalahan seputar persalinan
membawa seorang ibu dihadapkan pada
pertaruhan hidup dan mati. Begitu banyak
faktor mempengaruhi keberhasilan proses
persalinan, baik dari faktor internal ibu sebagai
subyek dan faktor eksternal yang salah satunya
adalah adanya tradisi. Tradisi sebagai warisan
leluhur sampai saat ini sebagian masyarakat
memilih cukup dengan mengetahuinya tanpa
harus mengikuti, sebagian lainnya masih
memelihara dengan rapih sebagai pelaku
tradisi itu sendiri. Suku Baduy Dalam yang
menasbihkan sebagai asal muasal lahirnya
Suku Sunda merupakan salah satu pelaku
tradisi yang kuat memegang teguh tradisi
dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk
tradisi dalam persalinan. Sebagai pelaku
tradisi, masyarakat Baduy Dalam menerima
dan menjalaninya saja, karena dalam tradisi
hanya ada kepatuhan terhadap aturan adat
mutlak atau Pikukuh.9
Upaya mengubah perilaku masyarakat untuk
manfaat kesehatan mereka, memerlukan
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) pemahaman tentang cara orang berpikir
tentang kesehatan. Sebagai contoh, adalah
kesehatan didefinisikan oleh ukuran tertentu.
Apa sikap dan praktik masyarakat? Bagaimana
perubahan mempengaruhi kehidupan mereka?
Dalam rangka mengatasi kesakitan, penting
untuk memperhatikan komponen sosial,
psikologis, dan budaya kesehatan masyarakat
di samping tubuh mereka.10
Kekhasan prosesi persalinan yang dilakukan
secara mandiri bukan tanpa risiko, hasil riset
menunjukkan hampir separuh dari semua
kematian bayi yang baru lahir terjadi sekitar
48 jam kelahiran pertama. Berdasarkan fakta
ini maka perlu dilakukan studi etnografi
kesehatan, untuk mengidentifikasi dan
menganalisis potensi dan kendala praktek
budaya perawatan etnik Baduy Dalam yang
terkait kehamilan, kelahiran, dan nifas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kualitatif dengan
desain
eksploratif
melalui
pendekatan
etnografi. Penelitian dilakukan pada bulan
Mei-Juni 2014 dimana peneliti tinggal di
daerah penelitian mencari data dengan teknik
wawancara mendalam dan observasi terlibat.
Pemilihan informan menggunakan teknik
purposive sampling pada ibu hamil, ibu nifas,
bidan kampung dan ketua adat, dan ibu usia
subur. Jumlah informan sangat tergantung
pada pemilihan informannya itu sendiri, dan
kompleksitas atau keragaman fenomena yang
diteliti.11
Pemilihan lokasi penelitian ditentukan
berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM) dan kriteria data
Komunitas Adat Terpencil dari Kementerian
Sosial.
Provinsi
Banten,
dari
6
Kabupaten/Kota
mengalami
penurunan
peringkat dan tidak ada yang mengalami
kenaikan bermakna. Selain itu berdasarkan
data Komunitas Adat Terpencil dari
Kementrian Sosial bermukim Suku Baduy
Dalam di Kampung Cibeo, Cikertawana dan
Cikeusik
Desa
Kanekes
Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi
Banten. Dalam penelitian kualitatif, peneliti
berperan baik sebagai instrumen, pedoman
wawancara dan pencatatan harian. Validitas
data diukur dari pemahaman masyarakat
(yang dijadikan informan penelitian) atas
berbagai aspek budaya terkait kesehatan ibu
dan anak. Data dari informan dilakukan
validasi triangulasi dengan kroscek ke
beberapa informan (triangulasi sumber).
Sebanyak 15 informan terpilih yang terdiri
dari ibu hamil 1 orang, ibu nifas 1 orang, 3
orang paraji (dukun beranak), 1 orang bidan
desa, 1 orang tokoh adat, 1 orang tokoh
pemuda, 2 orang ketua adat, 4 orang ibu usia
subur dan 1 orang remaja puteri. Analisis data
kualitatif dilakukan dengan analisis domain
(mengelompokkan setiap pertanyaan yang
sama), lalu dilakukan analisis content,
selanjutnya ditarik suatu makna, dan dilakukan
pembahasan hasil makna dan penarikan
kesimpulan. Analisis potensi dan kendala
dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor
penghambat dan pendukung. Analisis potensi
dan kendala dilakukan berdasarkan Fred B.
Dunn (1976) dan Nico S. Kalangie (1994).
Proses
berikutnya
adalah
pengolahan
informasi kemudian ditunjang oleh sejumlah
literatur yang diolah.
HASIL
Perempuan Baduy Dalam melalui setiap
tahapan dalam kehidupannya tidak jauh
berbeda dengan kaum perempuan lainnya.
Perbedaan yang kentara tentunya balutan
tradisi yang melekat dan diaplikasikan dalam
kehidupan
sehari-hari
sebagai
bentuk
kepatuhan.
Aturan adat yang berlaku bahwa warga suku
Baduy tidak diperkenankan menempuh
pendidikan secara formal merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan pendeknya
rentang usia remaja mereka. Usia remaja
berakhir saat mereka memasuki masa
pernikahan, usia menikah sebagian besar bagi
kaum perempuan Suku Baduy Dalam dimulai
usia 15 tahun keatas meski selalu saja ada
bagian ekstrim yaitu dinikahkan diusia 13
tahun.
Pakaian keseharian yang dikenakan terdiri dari
selendang hitam yang digunakan untuk
menutup
bagian
kepala
disebut
lamak/karembong kemudian pakaian atas
disebut jamang bodas, bawahannya ditutup
menggunakan samping hideung dan sabuk
yang
digunakan
untuk
mengeratkan
27
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) karembong hideung. Perempuan dan laki-laki
suku Baduy Dalam tidak memakai pakaian
dalam, sehingga bagi kaum perempuan untuk
menutupi payudara memakai kemben berupa
kain hitam yang dililitkan dari dada sampai
diatas pusar yang disebut karembong dan
kemudian ditutup oleh jamang bodas. Ciri
khas lain adalah pemakaian gelang yang
terbuat dari kain berwarna putih disebut
kanteh dan untuk perempuan dikenakan di
sebelah kiri.
Perempuan suku Baduy Dalam menjalani
keseharian sesuai perannya, seorang isteri
bertanggung jawab mulai dari melayani suami,
merawat anak, kebersihan rumah, memasak,
pergi ke huma/ladang, mencuci pakaian,
namun bukan hal tabu bagi seorang suami
melakukan pekerjaan rumah membantu isteri.
Pendidikan ditempuh secara informal selain
dari orang tua diperoleh juga dari kokolot atau
tokoh masyarakat di tiap kampung Tangtu
masing-masing.
Metode
pembelajaran
disampaikan secara lisan dalam suasana santai
dan waktu yang situasional disebut juga
ngawangkong. Pengetahuan terkait dunia
perempuan tentunya Ibu mempunyai peran
lebih besar dibandingkan Bapak.
Secara umum kaum perempuan suku Baduy
Dalam sangat tertutup terhadap masyarakat
luar. Hal ini dirasakan oleh tim peneliti yang
mengalami kesulitan menggali informasi dari
mereka. Wawancara dengan kaum perempuan
suku Baduy Dalam selalu saja harus
didampingi oleh anggota keluarga laki-laki,
dan seringkali jawabanya berasal dari anggota
keluarga laki-laki. Informan perempuan
menjawab pertanyaan dengan senyuman dan
hanya jawaban pendek-pendek sembari
melirik ke anggota keluarga laki-laki terlebih
dahulu sebelum menjawab, sebagai isyarat
permintaan ijin.
Gambaran Informan
Informan dalam penelitian ini meliputi ibu
hamil, ibu nifas, dukun beranak (paraji), bidan
desa, tokoh adat, tokoh pemuda, ketua adat,
ibu usia subur dan remaja puteri. Pada saat
riset dilakukan hanya ada satu ibu hamil yaitu
Mis dengan usia 20 tahun dan merupakan
kehamilan kedua. Demikian pula untuk
informan ibu nifas hanya ada satu yaitu ASa
28 berumur 14 tahun dengan usia bayi masih 2
minggu merupakan anak pertamanya. Paraji
atau dukun beranak ada 3 informan, dua orang
merupakan paraji senior sedangkan informan
NSa (42 tahun) merupakan kandidat paraji
penerus. Untuk Informan ketua adat ada dua
yaitu JSa (55 tahun) ketua adat Kampung
Cibeo dan JDa (55 tahun) Kepala Desa
Kanekes. Informan kunci dalam riset ini
adalah tokoh adat Amu (44 tahun) adalah
tokoh adat Suku Baduy Dalam. 1 orang
informan berkedudukan sebagai salah satu
tokoh pemuda Suku Baduy Dalam yaitu AK
(28 tahun) yang dikarunia 2 orang anak. Untuk
wanita usia subur ada 4 informan, ASa (16
tahun) dengan satu orang putri berusia 3 bulan;
Aar (32 tahun) isteri Kepala Desa Kanekes
dengan tiga orang anak; Amu (39 tahun) isteri
Tokoh Adat melahirkan 5 kali namun 2 orang
anaknya meninggal di usia 9 tahun dan 7 hari
dan AmD (35 tahun). Satu orang informan
remaja puteri Ev (15 tahun), adalah salah satu
puteri tokoh adat suku baduy dalam.
Praktik Budaya Perawatan Kehamilan
Penentuan seorang wanita sedang hamil di
suku Baduy Dalam menurut salah seorang
informan sangat subjektif, yaitu selain tidak
mendapati dirinya menstruasi bulanan, seorang
isteri sendiri ada “rasa” kalau dirinya hamil.
Fenomena tabir mimpi juga salah satu yang
diyakini sebagai pertanda kehamilan, demikian
yang disampaikan oleh suami ASa (14 tahun)
seorang ibu nifas.
“…waktu isteri saya hamil, saya mimpi ada
orang memberi saya golok…ujungnya tumpul.
wah ini pertanda kalau janin yang dikandung
isteri saya bakalan anak perempuan…”
[AS, 20 tahun : Mei 2014]
Wanita hamil di suku Baduy Dalam, ritual
yang dijalani yaitu tradisi Kendit, ritual saat
usia kehamilan tujuh bulan dengan cara datang
ke Puun (nyareat) dengan membawa
seupaheun (sirih, gambir dan apu) dan kanteh
hideung (gelang kain berwarna hitam). Kanteh
Hideung diberi mantra dan dipakai selama 3
hari 3 malam. Makna Kendit ini diharapkan
prosesi kelahiran berjalan lancar. Selain tradisi
kendit ada tradisi Ngaragap beuteung (pijit
dibagian perut) oleh Paraji (dukun beranak)
sambil diusap menggunakan koneng bau.
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) Selain dipijit, ibu hamil meminta jampi-jampi
bagi keselamatan ibu dan janin yang
dikandung. Jampe-jampe (mantera) dari paraji
melalui media panglai ada yang dimakan, ada
yang dibawa-bawa di badan sebagai
perlindungan diri (tumbal). Namun tradisi
Ngaragap beuteung tidak wajib tergantung
masing-masing individu termasuk juga untuk
waktunya. Ngaragap Beuteung bisa dilakukan
sebulan dua kali atau sebulan sekali bahkan
tidak sama sekali.
“…pijit pada bagian perut ibu hamil tidak
wajib, itu tergantung masing-masing individu.
Ada yang setiap bulan datang ke saya (paraji),
ada yang tidak sama sekali. Ada yang cuma
minta di syareatan (mantera-mantera) saja
supaya proses melahirkan lancar…”
[NN, 55 tahun : Mei 2014]
Seperti penuturan salah seorang tokoh
pemuda Suku Baduy Dalam, AK (28 tahun),
menejelsakan selain tradisi ada juga beberapa
pantangan selama masa kehamilan baik
pantangan perilaku juga makanan. Pantangan
tidak hanya berlaku bagi ibu yang sedang
hamil namun juga bagi suaminya.
“…waktu isteri saya hamil, saya tahan-tahan
jaga perilaku. Saya kan lama nunggu 4 tahun
baru dipercaya punya anak, jadi yaa pantanganpantangan dihindari…”
[AK, 28 tahun : Juni 2014]
Pantangan selama hamil, isteri harus berjalan
didepan suami, tidak boleh keluar rumah
setelah senja hari, cara membawa kayu bakar
posisinya congokna kahareup. Pada hari rabu
dan sabtu ibu hamil tidak boleh dipijat,
dilarang mengenakan apapun di bagian leher
baik itu kalung ataupun syal. Sedangkan
pantangan makanan diantaranya adalah
dilarang mengkonsumsi sambal, durian, petai,
nenas bisa mengakibatkan panas pada janin.
Pantangan lainnya, saat kehamilan memasuki
bulan tua tidak boleh mengkonsumsi obatobatan kimia sampai setelah bayi dilahirkan.
Alasan tidak diberikan obat-obatan selama
kehamilan ditakutkan berdampak pada janin
yang dikandung, kacang mentah (buat anak
cacingan); cai panas (janinnya nanti
kepanasan).
Makanan
yang
sebaiknya
dikonsumsi oleh wanita yang sedang hamil
adalah minum air kelapa hijau, sedangkan
selama hamil mengusap-usap pasir ke perut
Ibu yang diyakini bayi yang akan dilahirkan
dalam kondisi bersih.
Praktik Budaya Perawatan Persalinan dan
Nifas
Pemilihan penolong persalinan di Suku Baduy
Dalam mengikuti tradisi turun temurun yaitu
dilakukan sendiri tanpa pendampingan dukun
paraji apalagi tenaga medis. Tenaga medis
dipanggil ketika mengalami kesulitan selama
proses melahirkan, sehingga selama proses
melahirkan lancar cukup memanggil paraji.
Sesuai dengan penuturan AD, bapak dengan
lima anak suami dari informan AmD.
“…di kami sakit apa aja termasuk melahirkan
ya ikut aturan saja, dibantu sama paraji tidak
ke bidan…sebisa-bisa ya ke paraji saja. Kalau
sakit yaa diobati sendiri pake daun-daunan
atau ke dukun kampung…”
[AD, 45 tahun : Mei 2014]
Penjemputan paraji dilakukan ketika ibu sudah
berhasil
melahirkan
bayinya.
Prosesi
melahirkan Suku Baduy Dalam dilakukan
dengan posisi Ibu duduk bersandar dengan
posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi
jongkok.Tempat yang dipilih untuk bersalin
hanya ada dua pilihan tergantung keberadaan
Ibu saat hendak melahirkan yaitu di rumah
atau di saung yaitu rumah yang didirikan di
dekat huma atau ladang milik mereka.
“…orang Baduy itu ada yang lagi di huma
terasa mules-mules trus melahirkan saja di
saung…terus sambil digendong bayi sama
ibunya yang baru melahirkan jalan kaki pulang
ke rumah…sudah biasa itu…”
[NSa, 42 tahun : Juni 2014]
Pendamping selama persalinan terkadang
dibantu oleh ambu (ibu) atau saudara
perempuannya, meskipun tidak jarang ketika
menghadapi pertaruhan hidup dan mati
dilakukan sendirian saja. Selama proses
melahirkan, suami atau laki-laki tabu untuk
mendampingi. Peran sang calon ayah berlaku
sesaat setelah bayi lahir yaitu bertugas
menjemput dukun paraji untuk memotong tali
ari-ari, memandikan ibu dan bayi. Selama
ambu paraji belum datang, ibu yang baru
melahirkan dan bayinya hanya bisa menunggu
dengan kondisi duduk dan bayi masih
terhubung dengan ari-ari yang belum terputus.
Tak seorangpun boleh mendampingi bahkan
29
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) suaminya sekalipun, saudara perempuan dan
ambu hanya menengok sesekali sampai
dengan dukun paraji datang. Lama waktu
menunggu dalam rentang yang tidak sebentar
bisa mencapai 1-6 jam tergantung keberadaan
dan kesiapan dukun paraji. Keberadaan dukun
paraji tidak ada di setiap kampung, dengan
jarak tempuh antar kampung bisa mencapai
dua sampai tiga kilometer dengan berjalan
kaki. Kondisi Ibu yang lemas, kehilangan
banyak darah dan bayi hanya dibalut selimut
tidak diperbolehkan makan dan minum selama
menunggu kedatangan dukun paraji.
“...sebelum datang pertolongan dari paraji tidak
boleh diberi makan, karena hanya paraji yang
bisa melihat, kita kaum laki-laki tidak bisa
bantu apa-apa...”
[AK, 28Th: Juni 2014]
Segera
setelah
Paraji
datang,
ayah
menyiapkan hinis yaitu bambu untuk
memotong tali ari-ari bayi, bambu yang
digunakan diambil dari bambu yang berada di
dekat pintu. Makna yang mereka percayai
bahwa bambu dekat pintu adalah bambu
terbaik dari yang ada. Selagi sang ayah
menyiapakan hinis, ambu paraji menyiapkan
tali tereup, untuk mengikat tali ari-ari bayi
ketika hendak dipotong. Prosesi pemotongan
tali ari-ari bayi diawali dengan dukun paraji
mengunyah
panglai
yang
kemudian
disemburkan kekiri-kekanan-keatas dan kearah
baskom yang berisi air yang nantinya
digunakan untuk memandikan bayi. Mulut
komat kamit membaca jampe-jampe atau
mantra selama lebih kurang lima menit dengan
beberapa kali menyemburkan panglai yang
dikunyah ke dalam air untuk memandikan
bayi. Selanjutnya ambu paraji menempatkan
posisi bayi di atas kakinya, kemudian tali ariari diikat menggunakan tali teureup di bagian
atas dan bawahnya. Pada bagian tali ari-ari
yang hendak dipotong, dipijit menggunakan
lebu haneut yaitu abu dalam kondisi hangat
hasil proses pembakaran kayu bakar yang
digunakan untuk memasak. Sesaat sebelum
tali ari-ari dipotong, ambu paraji kembali
membancakan jampe dan setelah itu barulah
tali ari-ari dipotong menggunakan hinis
dengan koneng santen sebagai alas.
Selanjutnya setelah merawat bayi, paraji
melanjutkan dengan perawatan pada Ibu yang
selesai bersalin. Perawatan di sini tidak
30 termasuk untuk perawatan pada bagian alat
kelamin, vagina ibu yang habis melahirkan
tidak dilakukan tindakan apapun. Ibu sendiri
yang membersihkan darah yang keluar pada
saat melahirkan dengan membasuhnya
menggunakan samping atau kain yang ada.
Ritual yang dilakukan untuk perawatan pada
ibu nifas (bufas) adalah mandi dimana ibu
berjalan bersama-sama dukun paraji menuju
wahangan atau sungai untuk dimandikan.
Ramuan dibalurkan ke seluruh badan terdiri
dari campuran koneng tinggang, cikur,
lempuyang yang dihaluskan dengan cara
ditumbuk. Kemudian selesai mandi, perut
dibenerkeun/ dipijit supaya rahim kembali ke
posisinya. Selain itu juga lebu haneut (abu
hasil pembakaran kayu bakar dari hawu/
kompor) yang dibungkus daun kemudian
ditempel ke perut supaya perut tidak bengkak.
Ramuan untuk ibu nifas (bufas) sampai
dengan 7 hari disebut dengan makan “sambal”.
Sambal adalah campuran jahe, kencur,
lempuyang, air yang dihaluskan dan dimakan
2-3 kali dalam sehari. Selain sambal, ibu juga
meminum air sirih atau air hasil rebusan kulit
pisitan atau rebusan daun kilampahan yang
berfungsi untuk membersihkan jalan lahir.
Pemakaian alat kontrasepsi atau ramuan
pencegah kehamilan tidak dilakukan karena
bertentangan dengan aturan adat. Mereka yang
menganggap mempunyai anak merupakan
kehendak Yang Maha Kuasa tidak menunda
atau diatur jaraknya antara anak pertama
dengan kedua dan selanjutnya, sehingga
semua dipasrahkan saja semua sudah
takdirNya. Namun ada ramuan yang diyakini
untuk merapatkan vagina menggunakan capeu
yang direbus kemudian airnya diminum.
Masa nifas dilalui sangat singkat oleh kaum
ibu Suku Baduy Dalam. Lama masa nifas
antara 3 sampai dengan 7 hari, jika ada
seorang bufas yang masa nifasnya lebih dari 7
hari dianggap mengidap penyakit tertentu.
“…kalau ibu yang sehat cuma satu minggu
sudah tidak keluar lagi darah. Kalau saya
karena lemah, sakit-sakitan sehabis melahirkan
jadi sampai 18 hari darah baru berhenti…”
[AMu, 39 tahun : Mei 2014]
Adat berpakaian yang tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian dalam, maka darah
nifas yang dikeluarkan tidak menggunakan
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) media apapun untuk menampungnya. Menurut
pernyataan informan darah nifas yang keluar
hanya dibersihkan menggunakan samping
yang dikenakannya saja.
Tidak ada kata istirahat bagi ibu nifas Baduy
Dalam, selesai dimandikan oleh dukun paraji
selanjutnya
menjalani
aktifitas
seperti
biasanya mulai mengurus rumah, mengurus
anak dan mengurus suami tetapi belum
diperbolehkan untuk pergi ke huma. Berikut
tahapan praktik budaya perawatan pada masa
postpartum pada ibu nifas:
• Hari ketiga disebut juga peureuhan tilu
peuting yaitu dikasih tetes mata dari
pucuk hanjuang dan air jambe muda.
• Pada hari ketujuh dilakukan tradisi adat
yaitu peureuhan tujuh poe, yaitu pedes,
bawang putih, jahe, jambe, pucuk
hanjuang, kencur, koneng ditambah air
kemudian diteteskan ke mata.
• Angiran/gangiran, keramas di sungai
untuk yang ditemani oleh paraji pada hari
ke-40.
Aktifitas pergi ke ladang bisa dilakukan ibu
nifas setelah tujuh hari. Namun, meskipun
darah nifas yang keluar hanya selama tiga
sampai 7 hari, namun selama 40 hari isteri
tidak boleh berkumpul dulu dengan suami.
Hubungan seksual antara suami dan isteri
dilakukan setelah isteri melakukan tradisi
angiran/ngangiran yaitu keramas di sungai
ditemani oleh paraji pada hari ke-40. Menahan
diri tidak melakukan hubungan suami isteri
selama 40 hari menurut informan (AK)
dipercaya sebagai salah satu upaya pengaturan
jarak usia antara anak pertama dan
selanjutnya. Ada juga yang tidak bisa menahan
diri selama 40 hari, sehingga kemungkinan
yang terjadi mengakibatkan anaknya banyak.
PEMBAHASAN
Analisis Potensi Sosial Budaya dalam
Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan
dan Nifas
Analisis perilaku sebagai potensi yang
menguntungkan terkait budaya persalinan
yang termasuk tindakan yang disengaja dari
aspek budaya yaitu dari aspek sistem
organisasi dan kemasyarakatan. Ketaatan
masyarakat Baduy Dalam pada pikukuh atau
aturan adat merupakan sebuah potensi,
khususnya
kepatuhan
pada
pimpinan.
Pimpinan di masyarakat Baduy Dalam dikenal
dengan Ketua Adat disebut Puun dan Kepala
Pemerintahan disebut Jaro.Pada struktur
pemerintahan Baduy, terdapat dua orang yang
dituakan namun berbeda fungsi yaitu Kokolot
lembur disebut juga pemimpin kampung
Tangtu atau jaro Tangtu. Ia bertugas atas nama
puun untuk mengawasi, mengatur, dan
melaksanakan
ketentuan
Puun.
Kedua
Kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar
dengan ketua rukun kampung dalam sistem
pemerintahan formal. Sebagaimana yang telah
dibuktikan oleh Pak Idi Rasidi (Pensiunan
Mantri Puskesmas Cisimeut) yang berhasil
membawa masuk sentuhan pengobatan medis
bagi penderita frambusia di Kampung Baduy
Dalam bahwa dengan melakukan pendekatan
kepada
Jaro
Tangtu
sebagai
kepala
pemerintahan Kampung Tangtu (Etnik Baduy
Dalam) maka mempermudah mendapat
kepercayaan dari warga masyarakat Baduy
Dalam.
Kepatuhan masyarakat Baduy terhadap apapun
yang diinstruksikan oleh pimpinan mereka
merupakan potensi strategis bagi keberhasilan
program-program
kesehatan
agar
bisa
diterima. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Burns D12, tokoh adat memiliki beberapa
peranan dalam membangun kehidupan
masyarakat diantaranya adalah menyelaraskan
satu aturan berkenaan dengan mengatur,
mengurus, memelihara dan menjaga keamanan
dan menetapkan aturan menurut kampong
sesuai dengan aturan berlaku.
Berdasarkan aspek sistem religi, beberapa
tradisi yang dilakukan sebagai wujud
pelaksanaan ritual dalam kepercayaan Sunda
Wiwitan merupakan potensi yang dapat
dimanfaatkan
sebagai
media
promosi
program-program kesehatan. Tradisi Seba
yaitu tradisi berkunjung masyarakat Baduy
Dalam ke pemerintahan daerah atau pusat
yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi.
Tradisi yang dilakukan satu tahun sekali ini
sangat monumental sebagai media komunikasi
yang efektif dalam penyebarluasan informasi
kesehatan.
31
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) Perilaku menguntungkan lainnya adalah
pengetahuan tentang obat-obat tradisional.
Masyarakat Baduy Dalam sampai dengan saat
ini mempertahan hidup dengan kearifan
lokalnya, demikian pula dengan perilaku
pengobatan yang dilakukan secara tradisional.
Ramuan yang digunakan pasca melahirkan
terbuat dari bahan-bahan herbal berasal dari
tumbuhan yang ada disekitar pemukiman
mereka. Beberapa ramuan tersebut diantaranya
menggunakan campuran kunyit, sirih, air
kelapa hijau, kencur, jahe, lempuyang dan
honje. Beberapa dari tanaman tersebut secara
ilmiah telah terbukti memiliki zat aktif yang
berkhasiat bagi kesehatan. Banyak para tokoh
di masyarakat Baduy Dalam yang mengerti
tentang obat-obatan.Bahkan umumnya warga
yang telah berkeluarga, tidak asing dengan
pucuk-pucuk
daun
yang
mujarab
menyembuhkan penyakit.
Aspek pola pemukiman, masyarakat Suku
Baduy Dalam, memiliki pola pemukiman
klaster, artinya rumah-rumah berhimpun
terpusat dan berada dalam wilayah yang
dibatasi dengan pagar alam. Pagar alam ini
diletakkan mengelilingi kampungnya sekaligus
sebagai batas antara wilayah pemukiman dan
hutan. Kondisi ini sebagai sebuah potensi yang
menguntungkan, keluarga dan tetangga sekitar
dapat memberikan perhatian dengan pola
pemukiman klaster. Selain itu ketika ibu hamil
hendak bersalin atau melahirkan tentunya
dalam kondisi aman karena dengan
pemukiman yang berdekatan dan terpusat
lebih terpantau. Potensi ini memudahkan pula
bagi tenaga kesehatan dalam memantau
kondisi kesehatan ibu hamil dan pasca
bersalin, karena kedekatan masyarakat Baduy
Dalam yang erat antara satu dengan lainnya.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bidan
Eros Rosita sebagai berikut :
“…Nah untuk yang ibu hamil kita tanya pada
yang datang kesini ”..di Kampung Cibeo
berapa orang yang sedang hamil?....” gitu kan
“perasaan sih ada tiga Bu..” walaupun itu
hanya identitas, yang penting kita tulis di
situ…”
Analisis Kendala Sosial Budaya dalam
Praktik Perawatan Kehamilan, Persalinan
dan Nifas
Akses Tenaga Kesehatan dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Sistem religi Suku Baduy memiliki keyakinan
yang masuk ke dalam kategori Kepercayaan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan disebut
dengan nama Sunda Wiwitan. Kepercayaan
Sunda Wiwitan berorientasi pada bagaimana
menjalani kehidupan yang mengagungkan
kesederhanaan (tidak bermewah-mewah),
memproteksi diri dari pengaruh modernisasi
seperti tidak mengunakan listrik,tembok,
mobil dan lain-lain.
Pelayanan kesehatan bagi masyarakat Baduy
Dalam, dilakukan dalam satu tahun minimal
tiga kali selain kunjungan tenaga kesehatan
yang bersifat insidentil dan situasional.
Kegiatan
pelayanan
kesehatan
tidak
dikhususkan kegiatan posyandu saja namun
lebih situasional. Situasional disini maksudnya
tergantung dengan kondisi situasi kesehatan
masyarakatnya
saat
kunjungan
nakes
berlangsung. Para tenaga kesehatan yang
datang haruslah sebisa mungkin melakukan
pelayanan sesuai kebutuhan mereka saat itu.
Selain situasional juga pelayanan kesehatan di
masyarakat Baduy Dalam terbatas dengan
tetap memperhatikan pikukuh adatnya tidak
terlanggar.
Penggunaan alat-alat kesehatan yang modern
seperti penggunaan tensimeter, timbangan
badan, stetoskop, infus, suntik dan alat-alat
lainnya tidak diijinkan oleh aturan adat
sehingga bentuk pemeriksaan kesehatan disana
berdasarkan keluhan yang mereka rasakan.
Meskipun penerimaan terbuka terhadap obat
modern, namun tetap tidak semua jenis obat
mereka mau mengkonsumsinya. Hal ini terkait
dengan persepsi “obat manjur” yang mereka
pahami, bahwa obat dikatakan cocok apabila
hanya dalam waktu hitungan 1-2 hari bisa
menyembuhkan mereka.
Termasuk penolakan terhadap tawaran
Pemerintah untuk mendirikan bangunan
sebagai sarana dan prasarana fasilitas
pelayanan kesehatan dan tidak diterimanya
program pemerintah di bidang kesehatan
seperti kegiatan Posyandu mulai imunisasi dan
32 Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) penimbangan tidak dapat dilakukan di
masyarakat Baduy Dalam. Penolakan ini
terkait prinsip yang dimilki dan dijalani yaitu
tidak menggunakan benda yang dianggap
termasuk dalam modernisasi. Sama halnya
dengan
membangun
permukiman
dari
bebatuan, semen, genting, paku atau produk
industri modern lainnya. Penolakan terhadap
modernisasi berdampak pada realisasi program
pemerintah hanya bisa dilakukan sampai
wilayah perbatasan di wilayah Baduy Luar
saja dan pengobatan modern menjadi alternatif
sekunder peranannya.
mengganggu janin. Tindakan mengurut perut
ibu hamil, terutama pada masa trimester tiga,
tidak
dibenarkan
dalam
praktik
kedokteran/kebidanan yang aman. Indikasi
pengurutan hanyalah bila posisi bayi
sungsang, itupun harus dilakukan dengan
manuver khusus dan dipantau oleh dokter
spesialis kebidanan. 14 Prosesi pemijitan
dilakukan juga pada Suku Bugis, namun hasil
riset Hesty, et al13 menunjukkan tidak semua
ritual adat dilakukan sebagaimana yang
diungkapkan informan bahwa perawatan
kehamilan yang dianggap berbahaya bagi
kehamilan seperti mengurut diyakini dapat
membahayakan tali pusat.
Praktik Budaya
Budaya kesederhanaan yang dipertahankan
dan dijalani ini mempengaruhi semua aspek
kehidupan
masyarakat
Baduy
Dalam,
termasuk kesehatan. Sebenarnya tidak ada
larangan bagi masyarakat Baduy Dalam untuk
mengobati penyakit secara modern. Namun
pikukuh yang dipegang teguh menurut para
informan yang mengungkapkan bahwa
pengobatan di Kampung Tangtu cukup berobat
ke dukun yang ada di kampung mereka secara
tradisional saja. Bagi mereka, mengakses
fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
alternatif paling akhir, meskipun seringkali
tidak dipilih. Pemilihan penolong persalinan
ke dukun juga dilakukan oleh Suku Bugis,
hasil penelitian mengungkap bahwa ibu hamil
masih mengakses dukun namun hanya terkait
ritual yang harus dilewati selama masa
kehamilan
misalnya
dalam
masa
perkembangan
janin
trimester
ketiga,
dilakukan ritual yang disebut ma’cera
wettang. Ritual ini merupakan budaya
masyarakat Bugis dalam kehamilan yang
dilaksanakan pada bulan ke tujuh kehamilan,
masa anggota tubuh janin telah lengkap. Ritual
ini dipercaya dapat menjadikan posisi janin
sempurna, persalinan lancar dan tidak ada
gangguan dari makhluk-makhluk halus.13
Selain itu ibu hamil melakukan pemijatan
terhadap perutnya ke paraji (dukun beranak)
yang disebut ritual ngaragap beuteung dengan
tujuan proses persalinan berjalan lancar.
Prosesi pemijatan menjadi baik bagi kondisi
ibu hamil apabila cara pemijatan dilakukan
dengan benar. Namun akan berbeda
dampaknya apabila cara pemijatan dilakukan
dengan
penuh
tekanan
yang
dapat
Pada masa kehamilan perilaku yang dapat
memberikan risiko buruk pada ibu hamil
diantaranya adalah tetap melakukan aktivitas
sehari-hari sama seperti sebelum hamil yang
termasuk aktivitas berat. Seperti tetap pergi ke
huma (ladang) dengan jarak tempuh yang
tidak dekat dan medan naik turun cukup curam
dan licin. Sejalan dengan masyarakat Suku
Dayak Sanggau bahwa selama hamil ibu harus
tetap beraktifitas rutin. sebagian besar bekerja
sebagai petani dengan ibu rumah tangga
melakukan pekerjaan tersebut mendampingi
suami. Porsi pekerjaan wanita di ladang lebih
berat daripada pria. 15 Pada saat proses
persalinan, ibu melahirkan dilakukan secara
mandiri tanpa pendampingan atau penolong
persalinan. Kemandirian dalam persalinan
berlaku pula pada Suku Ngalum di Oksibil,
Suku Towe di Kabupaten Jayapura dan Suku
Muyu di Boven Digoel, masyarakat suku
tersebut mengucilkan perempuan yang sedang
bersalin pada pondokan kecil yang mereka
sebut sebagai Sukam dan Bivak.16
Pemilihan tempat prosesi persalinan sangat
situasional, tergantung keberadaan ibu ketika
hendak melahirkan bisa di rumah atau di
saung (rumah dekat huma). Demikian pula
masyarakat India di daerah Punjab, terlepas
sebagai salah satu daerah paling makmur dan
berpendidikan di India, namun persalinan di
rumah dan tidak aman masih banyak terjadi.
Punjab wilayah pedesaan menunjukkan secara
signifikan persalinan di rumah dan tidak aman
banyak ditemui pada perempuan berumur dan
kurang berpendidikan. Hal ini terkait dengan
faktor keyakinan psikososial dan budaya
umum desa.17 Suku Dayak Sanggau memilih
tempat persalinan di rumah tempat tinggal
33
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) (kamar tidur atau dapur) karena pertimbangan
merasa lebih familiar dan tidak perlu repot
membawa ibu keluar dari rumah.15 Masyarakat
di Jayapura dan Puncak jaya melaksanakan
persalinan di rumah agar tidak susah
membawa keluar rumah dan lebih banyak
keluarga yang bisa membantu.18 Hal ini juga
sejalan dengan penelitian tentang konsep tata
ruang bersih dan kotor pada suku kerinci,
kelahiran dianggap sebagi proses yang kotor
maka proses tersebut harus dilakukan di ruang
kotor yaitu dapur. Bagaimanapun, pemilihan
dapur sebagai tempat persalinan akan
meningkatkan resiko infeksi nifas dan infeksi
pada bayi.19
Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam
dilakukan dengan posisi ibu duduk bersandar
dengan posisi kedua kaki diangkat nyaris
seperti posisi jongkok. Berdasarkan hasil
penelitian
Iskandar20
menunjukkan
tindakan/praktik yang membawa resiko infeksi
seperti "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk
dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan
ke depan selama berjam-jam yang dapat
menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Kendala lain adalah faktor usia pertama kali
hamil dan melahirkan. Rata-rata usia menikah
perempuan Etnik Baduy Dalam berada pada
rentang usia remaja. Usia remaja termasuk
usia yang masih belum siap secara fisik
bahkan mental. Dari sisi kesehatan usia di
bawah 20 tahun rentan untuk terjadinya
komplikasi saat persalinan. Pada umur tersebut
rahim dan panggul ibu belum berkembang
dengan baik hingga perlu diwaspadai
kemungkinan mengalami persalinan yang sulit
dan keracunan kehamilan atau gangguan lain
kerena ketidaksiapan ibu untuk menerima
tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang
tua.21
Selama masa nifas ibu tidak tidak
menggunakan pembalut, bahkan dalam aturan
adat perempuan Baduy Dalam tidak
diperkenankan menggunakan pakaian dalam.
Sehingga darah nifas yang keluar hanya
dibersihkan saja menggunakan kain samping
yang dikenakannya. Kain samping yang
digunakan sebagai media menyeka darah nifas
berisiko terhadap kesehatan alat reproduksi
mengingat kontaminasi agent baik bakteri atau
parasit yang mengakibatkan infeksi.
Pemotongan ari-ari bayi masih sangat
sederhana dengan menggunakan hinis atau
34 sembilu yang berasal dari bambu yang berada
di atas pintu rumah. Hal tersebut merupakan
bagian dari ritual adat, tentunya secara medis
penggunaan sembilu tanpa sterilisasi dapat
menimbulkan infeksi pada bayi yang yang
baru dilahirkan. pemotongan tali pusat
dilakukan setelah placenta lahir, pemotongan
dilakukan dengan menggunakan sembilu hal
tersebut sejalan dengan penelitian Giay18 alat
pemotongan tali pusat pada masyarakat di
Jayapura dan Puncak Jaya adalah bambu, silet
bekas, gunting steril, silet yang direbus dengan
kulit gaba-gaba.
Pikukuh prosesi persalinan masyarakat Baduy
Dalam diyakini bahwa prosesi persalinan
adalah tanggung jawab paraji. Itupun
kehadiran paraji merawat ibu dan bayi setelah
prosesi melahirkan sudah terjadi. Suami
ataupun keluarga tidak memiliki hak untuk
turut campur selama prosesi dan pasca
persalinan. Kompleksitas masalah selama
prosesi persalinan memerlukan penanganan
yang cepat, tepat dan ditangani oleh orang
yang ahli. Pikukuh persalinan yang dijalani
oleh perempuan Baduy Dalam berisiko
menyebabkan kejadian kasus kematian baik
pada ibu dan bayi yang dilahirkan terkait
kompleksitas permasalahan yang mungkin
terjadi selama prosesi persalinan.
KESIMPULAN
Pikukuh (adat mutlak) sebagai sistem nilai
budaya yang melandasi falsafah hidup yang
merasuk ke semua aspek kehidupan
masyarakat Suku Baduy Dalam termasuk
aspek kesehatan diantaranya sistem budaya
pelayanan kesehatan. Masyarakat Suku Baduy
Dalam lebih mengacu pada sistem budaya
pelayanan kesehatan tradisional, mereka lebih
memilih berobat ke dukun, paraji (dukun bayi)
setempat, sedang pengobatan modern sebagai
pilihan sekunder. Praktik terkait budaya
selama kehamilan, persalinan dan nifas yang
membahayakan
kesehatan
antara
lain
pemijatan perut saat kehamilan; prosesi
melahirkan secara mandiri, tempat persalinan
situasional (saung/rumah), lama waktu
menunggu paraji, pemotongan tali pusat, usia
pertama kali melahirkan, melakukan aktivitas
berat, larangan menggunakan pakaian dalam
dan pembalut wanita.
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) SARAN
Perlunya pembekalan kepada para tenaga
kesehatan sehingga mampu melakukan
pendekatan lebih intensif kepada masyarakat
Baduy
Dalam
untuk
menumbuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem
budaya pelayanan kesehatan modern di
samping sistem budaya pelayanan pengobatan
tradisional yang selama ini mereka anut dan
dipercaya serta terbukti dapat memperbaiki
kondisi kesehatan masyarakat setempat.
7.
8.
9.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak,
Kepala Puskesmas Ciboleger dan staf serta
semua
pihak
yang
telah
membantu
terlaksananya riset ini baik secara langsung
dan tidak langsung.
10.
DAFTAR PUSTAKA
1.
BKKBN, BPS, Kementrian Kesehatan RI,
2013. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 1998.
PedomanPelayanan Kebidanan Dasar.
Jakarta.
Angkasawati Tri Juni, et al. Laporan
Penelitian
Riset
Etnografi
Budaya.Surabaya: Pusat Humaniora,
Kebijakan
Kesehatan
dan
Pemberdayaan
Masyarakat, Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan RI;
2012.
Wibowo,
Adik. Kesehatan
Ibu
di
Indonesia: Status "Praesens" dan
Masalah yang dihadapi di lapangan.
Makalah yang dibawakan pada Seminar "
Wanita dan Kesehatan", Pusat Kajian
Wanita FISIP UI.1993.Jakarta
Chriswardani Suryawati. 2007. Faktor
Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan
Kehamilan, Persalinan, dan Pasca
Persalinan (Studi di Kecamatan Bangsri
Kabupaten Jepara).. Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia Vol. 2 / No. 1 /
Januari 2007
Kemenkes RI. 2013. Laporan Nasional
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta :
2.
3.
4.
5.
6.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Kemenkes RI. 2010. Laporan Nasional
Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Setiawati, Gita. 2010. Modal Sosial
Dan Pemilihan Dukun Dalam Proses
Persalinan: Apakah Relevan?. Makara,
kesehatan vol 14, no.1 Juni 2010 : 1116.
Ipa Mara, Djoko Adi P, Johan Arifin,
Kasnodihardjo,.2004. Balutan Pikukuh
Persalinan Baduy. Buku Seri Etnografi
Kesehatan Ibu dan Anak 2014, Etnik
Baduy Dalam, Kabupaten Lebak.
Surabaya; Pusat HumanioraKebijakan
Kesehatan
dan
Pemberdayaan
Masyarakat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
Kiefer Christie, Alexis Armenakis. 2007.
Social & Cultural Factors Related to
Health Part A: Recognizing the Impact.
University of California San Francisco
and Child Family Health International
San Francisco, CA 2007
Faisal Sanapiah. 1990. Penelitian
Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi.
Malang : YA3.
Burns, D.2000. “Can Local Democracy
Survive
Governance?”,
Urban
Studies.Vol.37.pp 5-6.
Hesty, et al. 2013. Konsep Perawatan
Kehamilan Etnis Bugis Pada Ibu Hamil
Di Desa Buareng Kecamatan Kajuara
Kabupaten Bone Tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Unhas. Vol
34.2013
Liwang, F. 2012. Menggandeng Tangan
Dukun Beranak: Sudut Pandang Seorang
Dokter.
Online
http://www.menggandeng-tangan-dukunberanak-sudut-pandang-seorang-dokter505164.html. Diakses tanggal 8 Maret
2013
Suprabowo, E. 2006. Praktik Budaya
dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas
pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional.
Vol. 1, No. 3, Desember 2006
Laksono, AD, Khoirul Faizin, Elsina
Raunsay, Rachmalina Soerachman.2004.
Perempuan Muyu Dalam Pengasingan.
Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan
35
Praktik Budaya Perawatan ………… (Mara Ipa, Djoko Adi Prasetyo, Kasnodihardjo) Anak 2014, Etnik Muyu, Kabupaten
Boven
Digoel.
Surabaya;
Pusat
HumanioraKebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan
Masyarakat,
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
17. Rajesh garg et al. 2010. Study On
Delivery Practices Among Women In
Rural Punjab. Health And Population:
perspectives and issues.vol. 33 (1), 23-33,
18. Giay, Zakharias. Bidan di Desa Terpencil
dan Hubungannya dengan Perbaikan
Perilaku Kesehatan Maternal pada
Masyarakat Lokal Papua Studi di DAS
Membrana Kabupaten Jayapura dan
Puncak Jaya Propinsi Papua
36 19. Adji Triana R Konsep Kebersihan dalam
Proses Kelahiran dan Perawatan Bayi di
Desa Kemantan Kebalai, Kerinci. Jakarta:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 1986 (skripsi
Sarjana Tak Diterbitkan)
20. Iskandar, Meiwita B., et all. 1996.
Mengungkap Misteri Kematian Ibu di
Jawa Barat, Depok, Pusat Penelitian
Kesehatan
Lembaga
Penelitian,
Universitas Indonesia.
21. Prameswari,F.M,
2007.
Kematian
Perinatal di Indonesia dan Faktor yang
Berhubungan Tahun 1997-2003. Jurnal
Kesehatan masyarakat Vol.1, No. 4,
Februari
2007.
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati)
PENGARUH KONSUMSI IBU HAMIL DAN UKURAN BIOMETRI JANIN
PADA PANJANG LAHIR BAYI
(ANALISIS DATA KOHORT TUMBUH KEMBANG ANAK 2011-2012)
Effects of Pregnant Women Consumption and Fetal Biometry to Baby Birth Length
(Data Analysis of Cohort Children Growth Study 2011-2012)
Budi Setyawati*, Iram Barida, Anies Irawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat
*E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Birth parameter is rated as one of the most important parameters in evaluating the condition of a
healthy baby. Stunting at birth is associated with high risk of stunting in childhood and adulthood which is
affected by maternal health and nutritional status during pregnancy.
Objective: To assess the effect of maternal consumption (macro-micro nutrients) and biometric size (fetus length
of femur and tibia) with the infant length birth.
Methods: Design of the study was a prospective cohort which was a part of a cohort study in growth and
development of children at Kebon Kalapa and Ciwaringin, Bogor, in 2012. Maternal intake in the third
trimester (energy, protein, fat, iron, folate and zinc) was studied in 93 respondents, and USG test was done to
assess the length of femur and tibia fetus in 30 respondents. Analysis was conducted using chi-square test and
test of the Relative Risk (RR).
Results: The energy consumption was 60-65 percent; protein was 40-70 percent; fat was 57-72 percent of the
recommended sufficiency. Consumption of Fe, Zn and Folate was 20-30 percent of the recommended
sufficiency. Consumption of energy, protein, fat, Fe, folate and zink were not related to the baby length birth.
Women with low length of tibia dan femur fetus were 4 and 1,3 times more risk to have low birth length. Both
were not statistically significant (p>0.05).
Conclusions: Consumption of energy, protein, fat, Fe, folate, Zn in third trimester and fetus length of tibia and
femur were not related to the infant length birth.
Keywords: length birth, nutrition consumption, femur and tibia length
Abstrak
Latar Belakang: Kondisi saat dilahirkan merupakan salah satu parameter kelahiran yang penting
dalam mengevaluasi kondisi bayi yang sehat. Kondisi pendek (stuntingi) saat dilahirkan berhubungan dengan
tingginya risiko pendek pada masa kanak-kanak dan dewasa. Status kesehatan dan gizi wanita selama
kehamilan berpengaruh pada kesehatan bayinya.
Tujuan: Menilai pengaruh konsumsi ibu hamil (zat gizi makro-mikro) dan ukuran biometri (panjang tulang
paha dan tulang kering janin) dengan panjang bayi lahir.
Metode: Desain penelitian adalah kohor prospektif, bagian dari penelitian kohor Tumbuh Kembang Anak tahun
2012 di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kota Bogor. Sebanyak 93 sampel dipelajari asupan ibu pada
trimester III (energi, protein, lemak, zat besi, folat dan zinc). Pemeriksaan USG pada 30 responden untuk
menilai panjang tulang paha dan tulang kering janin. Analisis data dilakukan dengan melakukan uji chi-square
dan nilai Relative Risk (RR).
Hasil: Konsumsi ibu hamil menunjukkan energi 60-65 persen, protein 40-70 persen, dan lemak 57-72 persen
dari anjuran kecukupan. Konsumsi Fe, Folat dan Zn 20-30 persen dari kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi
energi, protein, lemak, Fe, folat dan Zn ibu tidak berhubungan dengan panjang lahir bayi. Panjang paha janin
yang kurang berisiko 1,3 kali panjang lahir pendek, panjang tulang kering janin yang kurang berisiko 4 kali
panjang lahir pendek, keduanya tidak signifikan secara statistik (p> 0,05).
Kesimpulan: Konsumsi ibu hamil pada trimester-III, panjang tulang paha dan tulang kering janin tidak
berhubungan dengan panjang lahir bayi.
Kata Kunci : panjang lahir bayi, tulang kering, tulang paha, konsumsi
Naskah masuk: 1 April 2016
Review: 10 April 2016
Disetujui terbit: 27 April 2016
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati)
PENDAHULUAN
Periode emas dalam proses tumbuh kembang
seorang anak ialah dalam 1000 hari pertama
kehidupan, terdiri dari 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pada dua tahun
pertama kehidupan seorang anak. Dalam masa
ini, gizi yang didapat bayi saat dalam
kandungan dan menerima ASI akan
berdampak terhadap kehidupan saat usia
dewasa.1
Status gizi ibu saat sebelum dan selama hamil
mempengaruhi pertumbuhan janin yang
dikandungnya. Jika status gizi ibu normal saat
sebelum dan selama hamil, kemungkinan akan
melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan
dengan berat dan panjang badan normal.
Dengan kata lain, kualitas bayi yang dilahirkan
sangat tergantung pada keadaan gizi ibu
sebelum dan selama hamil.2
Kondisi
kehamilan
sebagai
penentu
keberhasilan pertumbuhan janin dan bayi.
Kehamilan adalah masa paling kritis, sensitif
dan merupakan periode unik dalam kehidupan
wanita.3 Sejak janin dalam kandungan
seyogyanya
telah
mulai
dilakukan
pembentukan sumberdaya yang berkualitas.4
Ukuran saat dilahirkan merefleksikan lintasan
pertumbuhan janin (fetus trajectory of growth),
tahap awal pembentukan janin, dan
pembentukan kapasitas plasenta dalam
mensuplai gizi yang cukup guna menjaga
pertumbuhan janin.5
Parameter kelahiran yakni kondisi saat
dilahirkan dinilai salah satu parameter yang
penting dan dapat diandalkan dalam
mengevaluasi kondisi kehamilan dan bayi
yang sehat.6 Kondisi pendek (stunting) saat
dilahirkan berhubungan dengan tingginya
risiko pendek (stunting) pada masa kanakkanak dan saat dewasa.7 Semakin cepat
seorang anak setelah dilahirkan terdeteksi
pendek, maka selanjutnya cenderung menjadi
sangat pendek dan mengalami berbagai akibat
negatif jika tidak segera ditangani.8
Status kesehatan dan gizi wanita selama
kehamilan berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi dan outcome kehamilannya.9
Keadaan gizi ibu selama kehamilan diketahui
berefek pada tumbuh kembang janin.
38
Pada situasi asupan yang berkurang ataupun
pertambahan kebutuhan gizi, kompetisi antara
yang dibutuhkan ibu dan janinnya membatasi
keberadaan gizi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan janin yang optimal.10 Konsumsi
ibu selama kehamilan sangat berpengaruh
pada pertumbuhan dan perkembangan janin.11
Energi dan protein dipercayai menjadi zat gizi
makro yang berhubungan dengan ukuran pada
saat bayi dilahirkan.12 Jika asupan energi dan
protein ibu saat hamil tidak mencukupi, maka
peningkatan berat, panjang dan lingkar kepala
janin juga akan lebih rendah.13 Konsumsi zat
gizi mikro disertai konsumsi zat gizi makro
yang cukup, berpengaruh positif
dalam
14
menentukan pertumbuhan janin.
Panjang tulang paha (femur) dan tulang kering
(tibia) janin dapat diprediksi melalui
pemeriksaan ultrasonografi (USG), khususnya
USG tiga dimensi. Terdapat hubungan antara
asupan ibu saat hamil dengan panjang tulang
paha janin.15 Ditemui adanya hubungan antara
kondisi panjang tibia saat janin dalam
kandungan dengan ukuran antropometri bayi
saat dilahirkan.16
Makalah ini untuk menilai pengaruh konsumsi
zat gizi ibu hamil (zat gizi makro maupun
mikro) dan ukuran biometri dengan panjang
bayi lahir. Ukuran biometri yang dianalisis
yaitu panjang tulang paha (femur) dan tulang
kering (tibia) janin.
METODE
Penelitian ini merupakan studi observasional
dengan desain kohor prospektif. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian kohor
Tumbuh Kembang Anak yang dilakukan mulai
tahun 2012. Lokasi penelitian Kohor Tumbuh
Kembang Anak di lima Kelurahan yaitu di
Kelurahan Kebon Kalapa, Babakan, Babakan
Pasar, Ciwaringin, dan Panaragan. Namun data
pada analisis ini berasal dari dua kelurahan
yakni Kebon Kalapa dan Ciwaringin,
Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor,
disebabkan pada tahun 2012, penelitian
dilaksanakan di kedua kelurahan tersebut.
Populasi penelitian ini adalah ibu hamil di
Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin.
Sampel penelitian ini adalah ibu hamil yang
bertempat tinggal secara menetap dan bersedia
untuk menjadi sampel serta memiliki data
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) lengkap. Jumlah ibu hamil yang telah
melahirkan sampai akhir November 2012
adalah sebanyak 93 ibu, dan sebanyak 30 ibu
yang diperiksa USG, artinya tersedia data
biometri. Analisis deskriptif data karakteristik,
konsumsi energi-zat gizi makro mikro dan
panjang lahir, dan hubungan konsumsi zat gizi
ibu dengan panjang lahir bayi dilakukan pada
93 responden. Analisis data gambaran ukuran
biometri, hubungan antara ukuran biometri
dengan panjang lahir dilakukan pada 30 ibu
dan bayinya (yang memiliki data biometri).
Variabel yang dipelajari pada penelitian ini
meliputi profil ibu hamil dan kondisi
keluarganya, hasil pengukuran USG untuk
panjang tulang paha (femur) dan tulang kering
(tibia) janin serta panjang lahir bayi. Selain itu,
variabel yang dipelajari juga meliputi
konsumsi zat gizi makro: energi, protein dan
lemak; dan zat gizi mikro: zat besi (Fe), folat
dan Zink (Zn).
Pengumpulan
data
dilakukan
dengan
wawancara
menggunakan
kuesioner
terstruktur, recall 1x24 jam pada usia
kehamilan tri-mester III, pengukuran dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan
satu kali. Pemeriksaan USG dilakukan oleh
spesialis obstetri ginekolog di bagian obstetri
RS Marzuki Mahdi Bogor. Hasil dari recall
konsumsi 1x24 jam di entry ke dalam program
Nutrisoft sehingga didapatkan nilai konsumsi
energi, protein, lemak, Fe, folat, dan Zink
(Zn).
Nilai konsumsi tiap individu dibandingkan
dengan Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan (AKG) untuk orang Indonesia
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75
Tahun 2013.17 Nilai konsumsi tersebut
selanjutnya dikategorikan menjadi kurang dan
cukup mengonsumsi sesuai anjuran AKG.
Nilai panjang tulang paha dan tulang kering
janin responden dibandingkan dengan standar
panjang tulang paha dan tulang kering janin
per minggu kehamilan (Chitty & Altman,
2002).18 Jika panjang tulang paha ataupun
tulang kering janin kurang dibandingkan
standar,
maka
dikategorikan
kurang,
sedangkan jika panjang tulang paha ataupun
tulang kering sama panjang atau melebihi
standar maka dikategorikan cukup.
Data panjang lahir pada bayi yang baru
dilahirkan dikumpulkan dengan menggunakan
data panjang lahir yang tertulis pada catatan
kelahiran bayi yang selanjutnya secepatnya
dikonfirmasi dengan pengukuran panjang
badan bayi dengan menggunakan alat
pengukur panjang badan dengan ketelitian 0,1
cm.
Pengaruh kecukupan konsumsi zat gizi makro
dan mikro, panjang tulang paha dan tulang
kering janin dengan panjang lahir bayi
dianalisis menggunakan uji chi-square.
Besarnya risiko dari berbagai variabel dilihat
dari nilai Relative Risk (RR).
Secara umum, untuk memperoleh hasil yang
baik maka jumlah sampel minimal untuk
penelitian korelasional adalah sebanyak 30
orang responden. Besaran jumlah sampel
ditentukan dari besaran tingkat ketelitian
ataupun kesalahan yang bisa di tolerir oleh
peneliti. Semakin besar jumlah sampel, maka
makin kecil terjadi peluang kesalahan
generalisasi.19
Pada penelitian ini semua
responden pada penelitian Kohort Tumbuh
Kembang Anak yang memiliki catatan panjang
lahir bayi yang dilahirkan, catatan konsumsi
trimester III dan catatan hasil USG janin,
diambil semua sebagai responden.
Persetujuan etik didapatkan dari Komisi Etik
Peneliian Kesehatan Badan Penelitian dan
pengembangan
kesehatan,
Departemen
Kesehatan
(No.
KE.01.05/EC/395/2012
tanggal 11 Mei 2012).
HASIL
Karakteristik responden penelitian Kohor
Tumbuh Kembang Anak di Kelurahan Kebon
Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor
Tengah, Kota Bogor disajikan pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 umumnya disajikan data dari 93
responden, namun pada beberapa karakteristik
tidak memuat keseluruhan responden akan
tetapi sesuai dengan informasi yang
didapatkan.
39
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) Tabel 1. Karakteristik Responden di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan
Bogor Tengah, Kota Bogor
Karakteristik
Usia ibu (Tahun)
< 15 tahun
15-35 tahun
> 35 tahun
Anggota Rumahtangga (orang)
> 4 orang
≤ 4 orang
Pendidikan
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat Perguruan Tinggi
Pekerjaan
Tidak bekerja
Sekolah
Ibu Rumahtangga
TNI/POLRI/PNS
Pegawai BUMN/Swasta
Pedagang/wiraswasta/palayanan jasa
Buruh/lainnya
Pendapatan rata-rata/bulan (Rp.)
Pendapatan < rata-rata
Pendapatan ≥ rata-rata
Paritas
Multipara
Primipara
Proporsi terbesar adalah ibu hamil berusia 1535 tahun, dengan rata-rata usia 27,3±6 tahun.
Sebagian besar rumah tangga responden
berpendapatan kurang dari rata-rata (948.489
rupiah) dan memiliki lebih dari satu anak
(rata-rata anak yang dimiliki 2 orang).
Mendekati
separuh
dari
responden
berpendidikan SLTA.
Tabel
2
memperlihatkan
karakteristik
konsumsi zat gizi pada ibu hamil dan tingkat
pencapaian menurut angka kecukupan yang
dianjurkan (persen). Berdasarkan tabel
tersebut tampak bahwa secara umum tingkat
kecukupan energi dan zat gizi makro-mikro
sampel lebih rendah dari kecukupan yang
dianjurkan. Tingkat kecukupan konsumsi
energi rata-rata pada sampel ibu hamil hanya
berkisar antara 60-65 persen, sedangkan
tingkat kecukupan protein antara 40-70 persen
dan tingkat kecukupan lemak antara 57-72
persen. Tingkat konsumsi rata-rata untuk zat
40 Jumlah
(n = 93)
%
1
84
8
1,1
90,3
8,6
51
39
43,3
56,7
1
4
10
23
45
10
1,1
4,3
10,8
24,7
48,4
10,8
6
2
65
4
10
3
3
6,5
2,2
69,9
4,3
10,8
3,2
3,2
75
15
83,3
16,7
56
37
60,2
39,8
gizi mikro (Fe, folat dan zink) sangat rendah
yakni di bawah kecukupan yang dianjurkan
(berkisar 20-30%).
Pada Tabel 3 terlihat bahwa rata-rata berat
bayi lahir pada penelitian ini adalah 3240
gram dengan panjang lahir 48,9 cm. Sebagian
besar responden bayi yang lahir memiliki berat
dan panjang lahir normal. Sekitar seperempat
dari seluruh responden bayi dilahirkan dengan
panjang lahir kurang dari 48 sentimeter. Jika
dibandingkan dengan standar WHO (2005)
maka terdapat sekitar dua per tiga bayi
dilahirkan dengan panjang lahir kurang
(panjang lahir < 50 cm).
Pada Gambar 1 disajikan rata-rata panjang
tulang paha (femur) janin pada minggu 24-38
dibandingkan standar (Chitty & Altman,
2002).18
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) Tabel 2. Konsumsi Energi dan Zat Gizi Makro-Mikro Responden di Kelurahan Kebon Kalapa
dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor
Kelompok
Umur
13-15 tahun
1575 ± 352
37,2 ± 12,5
46,3 ± 18,5
4,9 ± 0,4
85,3 ± 26,5
4,4 ± 0,9
Anjuran
Kecukupan*
2425
89
81
39
600
26
Kecukupan
(%)
64,9
41,8
57,2
12,6
14,2
16,9
Energi
Protein
Lemak
Zat Besi (Fe)
Folat
Zink (Zn)
1051 ± 203
43,2 ± 8,6
50,3 ± 19,6
7,4 ± 0,8
126 ± 48,1
4,9 ± 1,9
2425
79
81
39
600
24
43,3
54,7
62,1
19,0
21,0
20,4
19-29 tahun
Energi
Protein
Lemak
Zat Besi (Fe)
Folat
Zink (Zn)
1678 ± 648,3
53,3 ± 25,3
61,0 ± 27,4
9,2 ± 7,0
157,9 ± 133,6
6,0 ± 3,0
2550
76
85
39
600
20
65,8
70,1
71,8
23,6
26,3
30,0
30-49 tahun
Energi
Protein
Lemak
Zat Besi (Fe)
Folat
Zink (Zn)
1439,8 ± 467
49,2 ± 17,7
48,1 ± 16,7
11,5 ± 12,3
145,2 ± 89,6
5,7 ± 2,0
2450
77
70
39
600
20
58,8
63,9
68,7
29,5
24,2
28,5
Konsumsi
Mean ± SD
Energi
Protein
Lemak
Zat Besi (Fe)
Folat
Zink (Zn)
16-18 tahun
*
17 Angka Kecukupan yang dianjurkan bagi ibu hamil dalam PP No.75 tahun 2013.
Tabel 3. Berat dan Panjang Lahir Bayi di Kelurahan Kebon Kalapa dan
Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor
Karakteristik
Berat badan lahir1
Berat badan kurang (< 2500 gram)
Normal (≥ 2500 gram)
Berat lahir2
Berat badan kurang (< 3000 gram)
Normal (≥ 3000 gram)
Panjang lahir1
Pendek (< 48 cm)
Normal (≥ 48 cm)
Panjang lahir2
Pendek (< 50 cm)
Normal (≥ 50 cm)
1
2
Kemenkes RI, 201020
WHO, 200521
Pada Gambar 1 tampak bahwa rata-rata
panjang tulang paha (femur) janin responden
setiap minggunya pada umumnya tidak
berbeda dengan standar, bahkan pada minggu
N = 93
%
2
91
2,2
97,8
25
68
26,9
73,1
24
69
25,8
74,2
60
33
64,5
35,5
ke-37 dan ke-38 kehamilan lebih panjang dari
standar.
41
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) Milimeter (mm) Minggu kehamilan Gambar 1.
Panjang Tulang Paha (Femur) Janin dibandingkan Standar
Pada Gambar 2 disajikan rata-rata panjang
tulang kering (tibia) janin berdasarkan hasil
pemeriksaan USG pada minggu 24-38
dibandingkan standar.18
Milimeter (mm)
Pada Gambar 2 juga tampak bahwa rata-rata
panjang tulang kering (tibia) janin setiap
minggunya pada umumnya tidak berbeda
dengan standar.
Minggu kehamilan Gambar 2.
Panjang Tulang Kering (Tibia) dibandingkan Standar
Panjang tulang paha (femur) dan tulang kering
(tibia) janin berdasar pengukuran USG pada
minggu 24-38 disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa tulang paha
dan tulang femur terus bertambah panjang
setiap minggunya. Terlihat pula tulang paha
lebih panjang dari tulang kering.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa tidak ditemukan
hubungan yang bermakna antara konsumsi
energi, zat gizi makro dan zat besi dengan
panjang lahir bayi. Namun demikian, proporsi
bayi dengan panjang lahir pendek lebih banyak
dilahirkan oleh ibu yang konsumsi energi,
protein dan lemak selama kehamilan kurang
dari yang dianjurkan.
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) Milimeter (mm) Minggu kehamilan Gambar 3.
Panjang Tulang Paha dan Tulang Kering (mm/minggu kehamilan)
Penilaian nilai Relative Risk (RR) tidak
didapatkan pada asupan folat dan zink
terhadap panjang lahir dikarenakan semua
responden ibu hamil mengonsumsi folat dan
zink di bawah kecukupan yang dianjurkan.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa tidak ada
hubungan pemakanaan antara tulang paha
(femur) dengan panjang lahir bayi. Namun
proporsi bayi yang dilahirkan pendek (< 48
cm) lebih banyak pada bayi yang ketika janin
mempunyai panjang tulang paha tidak cukup
panjang.
Bayi yang ketika janin mempunyai panjang
tulang kering (tibia) tidak cukup panjang
berisiko 4 kali lahir dengan panjang < 48 cm
(pendek), dibandingkan bayi yang ketika janin
mempunyai panjang tulang kering (tibia)
cukup panjang, namun hubungan tersebut
tidak bermakna secara statistik (Confidence
Interval tidak melewati angka 1).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian secara umum memperlihatkan
bahwa tingkat konsumsi pada ibu hamil
konsumsi zat gizi makro, yakni rata-rata
konsumsi energi dan protein hanya sekitar
75% dari kecukupan. Nilai ini hampir sama
dengan yang didapatkan oleh Rao et.al (2001)
juga mendapatkan konsumsi energi protein
yang rendah pada ibu hamil di India, yakni
hanya sekitar 70-75% dari kecukupan yang
dianjurkan.14
Selain itu terlihat pula rata-rata konsumsi zat
gizi mikro (Fe, folat dan zink) hanyalah sekitar
seperempat dari kecukupan yang dianjurkan.
Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian
serius, dikarenakan konsumsi gizi ibu hamil
akan berpengaruh pada tumbuh kembang janin
yang optimal.10 Rendahnya konsumsi zat gizi
pada sampel dalam penelitian ini tampaknya
juga merupakan masalah umum yang terjadi di
negara-negara berkembang seperti kurang
energi protein (KEP), defisiensi Zn dan asam
folat, yang juga diduga berpengaruh pada
kondisi antropometri bayi yang baru
dilahirkan.22
Ibu dengan defisit konsumsi energi (<70% dari
kecukupan yang dianjurkan) berisiko 1,05 kali
untuk memiliki anak dengan panjang lahir
kurang dibandingkan ibu yang konsumsi
energinya cukup, akan tetapi tidak signifikan
secara statistik (p > 0,05). Pada berbagai
penelitian masih terdapat ketidak konsistenan
hubungan antara konsumsi zat gizi dengan
ukuran janin. Sebagian menyatakan bahwa
komposisi konsumsi energi berhubungan
dengan ukuran bayi saat dilahirkan dan
sebagian tidak.23 Nilai yang tidak signifikan
pada penelitian ini dapat disebabkan karena
bukan hanya konsumsi energi semata yang
berpengaruh pada pertumbuhan janin, namun
konsumsi
energi
berpengaruh
pada
43
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) pertumbuhan
janin,
yang
akhirnya
keterkaitannya dengan zat gizi mikro dan
berpengaruh pada ukuran lahir melalui
efeknya pada bioavailabilitas.22
Tabel 4. Pengaruh Konsumsi Energi, Zat Gizi Makro-Mikro dengan Panjang Lahir Bayi di
Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor
Variabel
Panjang Lahir
Rendah (< 48 cm)
Normal (≥ 48 cm)
(n=24)
(n=69)
n
%
n
%
Energi
Defisit (< 70% kecukupan)
Cukup
17
7
26,2
25,0
48
21
73,8
75,0
Protein
Defisit (< 80% kecukupan)
Cukup
18
6
25,4
27,3
53
16
74,6
72,7
Lemak
Kurang
Cukup
21
3
26,6
21,4
58
11
73,4
78,6
Zat Besi (Fe)
Kurang
Cukup
22
2
24,2
100
69
0
75,8
0
Folat
Kurang
Cukup
Zink (Zn)
Kurang
Cukup
RR
(95% CI)
p
1,05
(0,49-2,23)
1,00
0,93
(0,42-2,05)
1,00
1,24
(0,42-3,61)
1,00
0,24
(0,17-0,35)
0,07
NA*
24
0
26,4
0
67
2
73,6
100
NA*
24
0
25,8
0
69
0
74,2
0
Angka Kecukupan dapat dilihat di Angka yang dianjurkan bagi ibu hamil dalam PP No.75 tahun 2013.17
*NA : Not Applicable : tidak didapatkan nilainya
Tabel 5. Pengaruh Panjang Tulang Paha (Femur) dan Tulang Kering (Tibia) Janin dengan
Panjang Lahir Bayi di Kelurahan Kebon Kalapa dan Ciwaringin, Kecamatan Bogor Tengah,
Kota Bogor
Ukuran Biometri
Panjang tulang paha(femur)18
Tidak cukup panjang
Cukup panjang
Panjang tulang kering (tibia)18
Tidak cukup panjang
Cukup panjang
Panjang Lahir
Rendah (< 48 cm)
Normal (≥ 48 cm)
(n=9)
(n=21)
n
%
n
%
6
3
33,3
25
12
9
66,7
75
7
2
50
12,5
7
14
50
87,5
RR
(95% CI)
1,3
(0,41-4,33)
4,0
(0,99-6,19)
p
0,70
0,04
18
Chitty & Altman, 2002
Defisit konsumsi protein (<80% kecukupan
yang dianjurkan) pada ibu saat hamil ditemui
pada kisaran 70-75 persen baik yang anaknya
44 panjang lahir rendah maupun normal. Tidak
ditemui nilai signifikan pada pengaruh antara
konsumsi protein ibu dan panjang lahir
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) anaknya pada penelitian ini (p>0,05). Nilai
yang tidak signifikan ini dapat terjadi karena
sumber protein yang berbeda memberikan efek
yang berbeda pada pertumbuhan janin. Selain
itu, perbedaan antara sumber protein
hubungannya dengan pertumbuhan janin dapat
merefleksikan perbedaan dalam kandungan zat
gizi mikro yang juga mengarah pada
perbedaan asam amino dan konsekuensi
metabolik.24
Risiko relatif kurangnya konsumsi lemak (< 56
gram) pada ibu hamil terhadap risiko panjang
lahir rendah pada anaknya adalah sebesar 1,2
kali dibandingkan ibu yang mengonsumsi
lemak cukup (p > 0,05). Risiko ini
dimungkinkan karena lemak merupakan
sumber energi, dimana energi diyakini
berpengaruh pada pertumbuhan janin, yang
akhirnya berpengaruh pada ukuran lahir.22
Defisiensi zat besi (Fe) berdampak pula pada
pertumbuhan janin.25 Pengaruh besi pada
panjang lahir bayi dimungkinkan karena besi
merupakan salah satu mineral yang
berpengaruh langsung pada pembentukan
struktur dan metabolisme tulang.26 Defisiensi
besi selama kehamilan berkaitan dengan
gangguan fungsi kognitif, rentan terhadap
infeksi, kematian janin, prematur dan berat
badan lahir rendah.10 Pada penelitian ini tidak
ditemukan hubungan signifikan antara
konsumsi zat besi dengan panjang lahir bayi.
Hal ini disebabkan karena hampir keseluruhan
sampel bersifat homogen yakni kurang
mengonsumsi besi sesuai kecukupan yang
dianjurkan.
Selain mengurangi risiko bayi lahir cacat
tabung saraf, asam folat (vitamin B9) penting
dikonsumsi di saat hamil karena berfungsi
dalam pembelahan sel dan jaringan pada janin
dalam kandungan dan mencegah bayi lahir
prematur. Selain itu, asam folat juga dapat
meningkatkan kualitas sel darah merah
sehingga dapat mencegah anemia.27 Pada
penelitian ini tidak ditemui besarnya pengaruh
asam folat pada panjang bayi lahir karena
keseluruhan sampel (100%) mengonsumsi
asam folat kurang dari kecukupan yang
dianjurkan.
Zink (Zn) adalah salah satu mineral yang
berpengaruh langsung pada pembentukan
struktur dan metabolisme tulang.25 Pengaruh
zink terhadap ukuran bayi lahir masih
kontroversial. Sebagian menyatakan ada
pengaruh Zn pada ukuran antropometri bayi
baru lahir dan sebagian menyatakan tidak ada
pengaruhnya.28 Keseluruhan sampel ibu hamil
mengonsumsi zink kurang dari kecukupan
yang dianjurkan, oleh karenanya tidak dapat
dihitung besar pengaruh konsumsi zink ibu
dengan panjang lahir bayinya.
Hasil penelitian ini hampir sama yaitu tidak
mendapatkan hubungan antara zat gizi makro
dan mikro terhadap ukuran antropometri.27
Hasil penelitian ini serupa dengan hasil
penelitian yang dilakukan More di tahun 2004
yang juga tidak mendapatkan hubungan antara
zat gizi yang dikonsumsi pada saat kehamilan
trisemester III dengan ukuran bayi yang
dilahirkan.23
Tidak didapati pengaruh signifikan antara
panjang tulang kering janin (hasil pengukuran
USG) dengan panjang bayi lahir (p> 0,05),
walaupun terdapat resiko panjang lahir pendek
4 kali pada janin dengan tulang kering pendek.
Hal ini berlawanan dengan hasil yang
didapatkan Pereda et.al (2003) yang
menemukan adanya hubungan kondisi tibia
janin dengan ukuran antropometri bayi saat
dilahirkan.16
Keterbatasan analisis ini adalah tidak menilai
pengaruh konsumsi energi, zat gizi makromikro pada trimester satu dan dua dengan
panjang
lahir
bayi.
Padahal
puncak
pertambahan panjang badan bayi terjadi pada
trimester kedua. Kecukupan konsumsi energi
dan zat gizi makro-mikro pada trimester
pertama dibutuhkan untuk pertumbuhan
panjang janin di trimester selanjutnya. Selain
itu, tidak signifikannya hasil analisis pada
penelitian ini dimungkinkan juga karena
jumlah responden yang kurang memadai.
KESIMPULAN
Konsumsi energi dan zat gizi makro-mikro
tidak berpengaruh pada panjang lahir bayi.
Panjang tulang paha (femur) dan tulang kering
(tibia) ketika janin tidak berpengaruh pada
panjang lahir bayi.
SARAN
45
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati, Iram Barida, Anies Irawati) Untuk melihat pengaruh konsumsi ibu hamil
dan ukuran biometri janin pada panjang lahir
bayi, perlu dianalisis lebih lanjut konsumsi ibu
di beberapa titik waktu saat kehamilan dan
melihat ukuran biometri pada sampel yang
lebih banyak. Selain itu disarankan juga agar
untuk selanjutnya, dalam melihat pengaruh
konsumsi ibu hamil dan ukuran biometri janin
pada panjang lahir bayi menggunakan
responden yang jumlahnya cukup memadai.
UCAPAN TERIMAKASIH
8.
9.
Terima kasih diucapkan kepada Ibu Anies
Irawati atas bimbingannya dan tim penelitian
studi Kohor sehingga data ini dapat dianalisis.
10.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kompas. Jangan Abaikan Nutrisi pada
2. Lubis, Z. Status gizi ibu hamil. 2003.
Diunduh
dari
:
http://sdmuhcc.net/elearning/aridata_
web/how/k/kesehatan/12_status_gizi_i
bu_hamil.pdf
3. Vijayalaxmi KG & Vrooj A. Influence
of maternal factors on mode of
delivery and birth weight in urban
pregnant women. J Hum Ecol. 2009;
25 : 133-136.
4. Oktavilesia D. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian berat
badan lahir rendah di Rumah Sakit
Umum Daerah Arifin Achmad
Pekanbaru tahun 2008. Skripsi.
Fakultas Kedokteran, Universitas
Andalas-Padang, 2009.
5. Kramer MS. Effect of energy and
protein intakes on pregnancy outcome:
An overview of the research evidence
from
controlled
clinical
trials.
Am.J.Clin.Nutr.1993; 58 : 627-635.
6. Borazjani F, Shanuak S, Kulkarni,
Ahmadi KA. Impact of maternal
factors on birth parameters in urban
affluent pregnant women. Pakistan
Journal of Nutrition. 20011; 10(4) :
325-327.
7. Ruel MT. The natural history of
growth
failure:
importance
of
intrauterine and posnatal periods.
Martorel R, Haschke F, Eds.
46 11.
12.
13.
14.
15.
16.
Nutritions
and
growth.
Nestle
Nutrition Workshop Series, Pediatric
Program Vol 47. Philadelphia:
lippicott Williams & Wilkins, 2001:
123-58.
Mendez M, Adair L. Severity and
timing of stunting in the first 2 y of
life affect performance on cognitive
tests in late childhood. J Nutr.
1999;129: 1555–62.
Panwar B & Punia D. 1998. Food
intake of rural pregnant women of
Haryana state, Northern India :
Relationship with education and
income. Int.J.foodSci.Nutr. 1998; 49:
243-247.
Scholl TO & Reilly T. Anemia, Iron
and pregnancy outcome. J. Nutr.2000;
130 : 443S-447S
Luke B. Nutritional influences on fetal
growth.
Clin
Obstet
Gynecol
1994;37:538–49.
Kramer MS, Kakuma R. Energy and
protein intake in pregnancy. Cochrane
Database Syst Rev 2000 (2):
CD000032, Review Update: Cochrane
Database Syst Rev 2003 (4):
CD000032.
Costa-Orvay JA, Figueras-Aloy J ,
Romera G, Closa-Monasterolo R and
Carbonell-Estrany X.
2011. The
effects of varying protein and energy
intakes on the growth and body
composition of very low birth weight
infants. Nutrition Journal. 2011;
10:140.
Rao S, Yajnik CS, Kanade AN, Fall
CH, Margetts BM, Jackson AA, Shier
R, Joshi S, Rege S, Lubree H, Desai
B: Intake of micronutrient-rich foods
in rural Indian mothers and size of
their babies at birth: Pune Maternal
Nutrition Study. J Nutr. 2001;
131:1217–1224.
Chang SC, O’Brien K, Nathanson MS,
Caulfield LE, Mancini J, Witter FR.
Fetal femur length is influenced by
maternal dairy intake in pregnant
African American adolescents. Am J
Clin Nutr 2003;77:1248–54
Pereda L, Ashmeade T, Zaritt J, Jane
BS, Carver D. The Use of Quantitative
Ultrasound in Assessing Bone Status
Pengaruh Konsumsi ………… (Budi Setyawati Iram Barida, Anies Irawati) 17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
in Newborn Preterm Infants. Journal
of Perinatology 2003; 23:655–659
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia [Kemenkes RI]. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 75 Tahun
2013 tentang Angka Kecukupan Gizi
yang
Dianjurkan
bagi
Bangsa
Indonesia. 2013.
Chitty LS, Altman DG. 2002. Charts
of
fetal
size:
Limb
bones.
International Journal of Obstetrics
and Gynaecology. 2002; 109: 919-29.
Hendry. Populasi dan sampel. 2016.
Diunduh
dari
:
https://teorionline.wordpress.com/tag/s
ampel-populasi-penelitian-tekniksampling/
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia [Kemenkes RI]. Panduan
pelayanan kesehatan bayi baru lahir
berbasis perlindungan anak. Direktorat
kesehatan anak dan keluarga. 2010.
WHO. low birth weight, regional and
global estimated. WHO. Dept. Of
Reproductive Health Research. New
York, 2004; 1-32.
WHO.Trace element in human
nutritional
and
health.
Macmillan/ceutrik. Genewa. 1996: 27101; 123-139.
Susser, M. Maternal weight gain,
infant birth weight and diet causal
sequences. Am. J. Clin. Nutr.1991; 53:
1384-1396.
24. More VM, Davies MJ, Wilson KJ,
Worsley A & Robinson JS. Dietary
composition of pregnant women is
related to size of the baby at birth. J
Nutr. 2004; 134 : 1820-1826.
25. Rasmussen KM. Is there a causal
relationship between iron deficiency
or iron anaemia and weight at birth,
length
gestation
and
perinatal
mortality. J. Nutr.2001; 131 : 590S603S.
26. Alexander, I.M. & Knight, K.A100
Question
and
answer
about
osteoporosis
and
osteopenia.
Massachusetts : Jones & Bartlett
Poblisher, Inc, 2006.
27. Syakur. 2012. Asam Folat Sangat
Penting Untuk Ibu Hamil. Dalam :
Http://www.kes123.com/2834/asamfolat-sangat-penting-untuk-ibuhamil.2012 (diunduh 30 Agustus
2012).
28. Wahyuni & Zen. Hubungan asupan zat
gizi makro dan mikro ibu hamil
semester
III
dengan
status
antropometri bayi lahir di Kabupaten
Boyolali. Media Kesehat. Masy.
Indones. 2006; 5 (1) : 46-48 47
HIPOTIROIDISME PADA IBU HAMIL DI DAERAH REPLETE DAN
NON-REPLETE GONDOK DI KABUPATEN MAGELANG
Maternal Hypothyroidism during Pregnancy in the Goiter Replete and
Non-replete Area in Magelang District 2015
Ina Kusrini*1, Donny K Mulyantoro1, P.B Sukandar1, Basuki Budiman2
1
Balai Penelitian dan Pengembangan GAKI
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat
*
E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Maternal hypothyroidism during pregnancy can impair adverse effect to mother and their fetus.
Objective: To describe prevalence of hypothyroidism in pregnancy in the goiter replete and non-replete area.
Methods: This is cross-sectional study. Study was conducted in Sawangan and Bandongan sub district as goiter
replete area and Mungkid and Borobudur as the nonreplete area in Magelang. Samples were pregnant women
in the first, second and third trimester. The sampling method is stratification random sampling with trimester as
strata. Thyroid function is measured by indicators of Thyroid Stimulating Hormone (TSH) and free thyroxin
(FT4) in serum by Elisa method.Univariate data analysis using SPSS 21.
Results: There are 244 pregnant women 16-44 years old, with the gestational age of 2-38 weeks. Prevalence of
hypothyroidism in pregnant women was 17.2 percent in the replete area and 19.2% in nonreplete area.
Prevalence of primary hypothyroidism in were 4,2 percent in the nonreplete area and 0.0 percent in replete
area, subclinical hypothyroidism in replete area were 13 percent and 15 percent in nonreplete area.
Hypothyroxinemia at 4.1 percent in replete area and 0.0 percent in replete area. Prevalence in pregnant women
higher in the third trimester compared to the two previous trimester. Diagnosis hypothyroidism during
pregnancy attention to the physiological changes during pregnancy.
Conclusion: Hypothyroidism occurs in the goiter replete area and non-replete. There was no difference in the
prevalence of replete and non-replete area The real difference between the visible maternal trimester of
pregnancy.
Keywords: Hypothyroidism, Iodine, Pregnancy, TSH
Abstrak
Latar belakang: Hipotiroid pada masa kehamilan dapat menyebabkan dampak serius pada janin yang
dikandungnya. Peningkatan kebutuhan iodium dan sumber iodium yang terbatas berpotensi menyebabkan
hipotiroidisme pada masa kehamilan.
Tujuan: Untuk memberikan gambaran kejadian hipotiroid pada ibu hamil di daerah replete gondok
dibandingkan dengan daerah non-replete (bukan endemis gondok di masa lalu).
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional di Kecamatan Sawangan dan Bandongan sebagai
daerah replete gondok dan Kecamatan Mungkid dan Borobudur sebagai wilayah non-replete gondok di
Kabupaten Magelang. Sampel penelitian adalah ibu hamil di trimester 1, 2 dan 3 yang diambil secara simple
random sampel dari kerangka sampel yang sudah di stratifikasi. Fungsi tiroid diukur dengan indikator Thyroid
Stimulating Hormon (TSH) dan free thyroxin (fT4) dalam serum dengan metode Elisa. Analisis data dilakukan
secara univariat dengan SPSS 21.
Hasil: Responden berjumlah 244 ibu hamil, berusia 16-44 tahun, usia kehamilan 2–38 minggu. Prevalensi
hipotiroid di daerah replete gondok sebesar 17,2 persen dan 19,2 persen di daerah non-replete gondok. Lebih
rinci disebutkan pada daerah replete gondok prevalensi overt hypothyroid sebesar 0.0 persen, hipotiroid
subklinis 13 persen, hypothyroxinemia 4,1 persen. Pada daerah non-replete gondok prevalensi overt hypothyroid
4,2 persen, hipotiroid subklinis sebesar 15 persen dan hypothyroxinemia sebesar 0.0 persen. Prevalensi lebih
tinggi pada ibu hamil di trimester tiga dibanding dua trimester sebelumnya dikedua wilayah.
Kesimpulan: Hipotiroid pada ibu hamil terjadi pada daerah replete dan non-replete gondok dan tidak ada
perbedaan prevalensi di daerah replete dan non-replete gondok. Perbedaan nyata terlihat pada ibu hamil antar
trimester kehamilan.
Kata kunci: Hipotiroid, Iodium, Kehamilan, TSH
Naskah masuk: 25 Januari 2016
Review: 21 Februari 2016
Disetujui terbit: 15 April 2016
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) PENDAHULUAN
Kehamilan merupakan kondisi fisiologis pada
seorang wanita, yang ditandai dengan
menempelnya janin pada dinding rahim dalam
jangka waktu tertentu. Pada masa kehamilan
peran hormon tiroid diperlukan untuk
pertumbuhan dan pembentukan organ vital
pada janin. Pada masa awal kehamilan,
pemenuhan kebutuhan hormon tiroid pada
janin sepenuhnya tergantung suplai dari ibu
melalui plasenta. Karena pada masa ini, janin
belum memiliki kelenjar tiroid. Oleh sebab itu
kecukupan hormon tiroid dari ibu sangat
penting
untuk
mencegah
terjadinya
hipotiroidisme
pada
janin
yang
dikandungnya.1
Dampak paling berat dari janin dimana ibu
mengalami
hipotiroidisme
pada
masa
kehamilan adalah terjadinya kretin yang
ditandai dengan adanya kerusakan otak yang
irreversible, mental retardasi dan juga bisu
tuli. Sedangkan dampak lain berhubungan
dengan defisit neuropsikointelektual (IQ) pada
bayi dan anak.2 Hipotiroid baik overt
hypothyroid maupun subklinis pada ibu
semasa
hamil
berhubungan
dengan
perkembangan mental bayi baru lahir.3
Defisiensi iodium masih diduga sebagai
penyebab
utama
terjadinya
hipotiroid.
Ketidakcukupan asupan
iodium untuk
memenuhi kebutuhan harian tubuh menjadi
penyebab adanya hipotiroid ini. Kebutuhan
iodium pada dasarnya sangat kecil, pada orang
dewasa memerlukan sekitar 150 µg/hari
sedangkan pada ibu hamil kebutuhan iodium
sebesar 250 µg/hari. Kecukupan iodium
populasi diukur menggunakan nilai median
iodium urin berdasarkan asumsi bahwa 90
persen iodium dikeluarkan kembali melalui
urin, apabila nilai median iodium urin <150
µg/hari maka dikatakan asupan iodium di
wilayah tersebut masih kurang disebut
defisiensi iodium.4
Data dari penelitian longitudinal pada ibu
hamil di Iran pada tahun 2004-2006 diketahui
nilai median urin semakin menurun seiring
dengan kenaikan usia kehamilan. Nilai median
urin subyek pada trimester pertama sebesar
193 µg/L, trimester kedua sebesar 159 µg/L
dan pada trimester ketiga sebesar 141 µg/L.
50
Proporsi kadar iodium dalam urin yang tidak
adekuat (<150 ug/l) semakin besar seiring
dengan peningkatan trimester
kehamilan
yakni 33,2 persen pada trimester awal; 46,0
persen pada trimester 2 dan 53,4 persen pada
trimester tiga.5
Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2013
prevalensi ibu hamil dengan defisiensi iodium
dengan melihat indikator kadar iodium dalam
urin < 100 ug/l sebesar 24,2 persen.6 Penelitian
lain yang dilakukan di Kulon progo DIY pada
tahun 2014 pada ibu hamil di trimester dua
pada tiga kecamatan didapatkan sebanyak 42,3
persen defisiensi iodium.7 Di Kabupaten
Magelang adanya defisiensi iodium pada ibu
hamil dapat dilihat berdasarkan data surveilans
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI)
pada tahun 2013 di Kecamatan Sawangan
bahwa sebanyak 23,4 persen ibu hamil
memiliki kadar UIE < 150 µg/l. Data tersebut
menunjukan adanya kerawanan terjadinya
hipotiroidisme pada ibu hamil karena
tingginya
proporsi
defisiensi
iodium.
Berdasarkan hasil surveilans GAKI di
Kabupaten Magelang dapat diketahui bahwa
dari 500 ibu hamil yang diambil serum
darahnya sebanyak 23 persen mengalami
hipotiroidisme dengan kadar TSH >3 mIU/dl.8
Program penanggulangan GAKI saat ini hanya
bergantung dari penggunaan garam beriodium
semenjak lima tahun terakhir. Pada daerah
yang pernah mengalami defisiensi iodium di
masa lalu namun sekarang sudah membaik
untuk selanjutnya disebut daerah replete
gondok secara geografis merupakan daerah
yang memiliki kadar iodium yang rendah.
Diduga potensi terjadinya hipotiroid pada ibu
hamil lebih besar terjadi di daerah tersebut
dibanding daerah yang yang tidak memiliki
riwayat endemis gondok (non-replete).
Pertanyaan penelitian apakah program garam
beriodium saat ini sudah cukup melindungi ibu
hamil dari munculnya kejadian hipotiroid pada
kehamilan? Berapa prevalensi hipotiroidisme
pada ibu hamil di daerah replete gondok dan
bagaimana dengan tempat lain yang
merupakan daerah non-replete gondok?
Data yang menyajikan hipotiroid pada ibu
hamil baik di daerah replete gondok maupun
non-replete Indonesia belum ada , oleh karena
itu makalah ini akan menggambarkan
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) prevalensi hipotiroid pada ibu hamil pada
daerah replete dan non-replete gondok pasca
penghentian suplementasi kapsul iodium di
Kabupaten Magelang.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian observasional
dengan desain cross sectional. Populasi adalah
semua ibu hamil di daerah replete dan nonreplete gondok di Kabupaten Magelang.
Sampel adalah ibu hamil yang diambil secara
simple random sampling setelah dilakukan
stratifikasi berdasarkan trimester kehamilan
Lokasi penelitian adalah di empat kecamatan
di Kabupaten Magelang, dua kecamatan
mewakili daerah replete gondok yakni
Kecamatan Sawangan dan Kecamatan
Bandongan, dua kecamatan lain mewakili
daerah non-replete yakni Kecamatan Mungkid
dan Kecamatan Borobudur. Data riwayat
endemis didapatkan dari profil dinas kesehatan
Kabupaten Magelang tahun 1993. Penelitian
dilakukan pada bulan April sampai dengan
Desember tahun 2015.
Kriteria inklusi sampel adalah tidak pernah
mendapatkan kapsul iodium dosis tinggi lima
tahun terakhir. Kriteria eksklusi adalah
menderita sakit kronis dan komplikasi
kehamilan. Besar sampel minimal dihitung
dengan menggunakan rumus besar sampel
estimasi proporsi dengan presisi mutlak untuk
sampel stratifikasi9. Didapatkan besar sampel
minimal adalah 90 ibu hamil di daerah replete
gondok dan 90 di daerah non-replete atau 180
untuk kedua wilayah. Rincian sampel pada
masing masing wilayah yaitu 36 ibu hamil
untuk trimester 1, 36 ibu hamil untuk
trimester 2 dan 18 ibu hamil untuk trimester 3.
Untuk mengantisipasi adanya drop out akibat
adanya kondisi kehamilan maka jumlah
sampel yang dikumpulkan ditambah cadangan
menjadi sebesar 360, dengan rincian 72
trimester 1, 72 trimester 2 dan 36 trimester 3
di masing masing wilayah. Cara pengambilan
sampel pada strata secara simple random
sampling, yakni pada kerangka sampel masing
masing trimester kehamilan didapatkan
dengan mendata ibu hamil beserta
usia
kehamilan. Dari kerangka sampel tiap
trimester tersebut di masing masing wilayah
dipilih ibu hamil secara simple random
sampling.
Fungsi tiroid diukur dengan indikator kadar
TSH dan kadar fT4 dalam serum.10
Dikategorikan hipotiroid apabila di diagnosis
baik sebagai overt hypothyroid, hipotiroid
subklinis maupun hypothyroxinemia. Overt
hypothyroid jika terjadi peningkatan serum
TSH dimana nilai TSH diatas nilai normal
dan penurunan serum fT4 dibawah nilai
normal. Hipotiroid subklinis jika terjadi
peningkatan nilai TSH diatas nilai normal
namun kadar fT4 masih dalam rentang normal.
Sedangkan apabila TSH dalam rentang normal
dan kadar hormon fT4 dibawah nilai normal
maka kondisi ini disebut hypothyroxinemia.11
Rentang normal nilai TSH menggunakan
referensi dari American Thyroid Association
(ATA) untuk ibu hamil yakni trimester 1: 0.12,5 µg/l; trimester 2: 0,2-3,5 µg/l dan trimester
3: 0,3-3,5 µg/l.11 Sedangkan untuk rentang
normal fT4 menggunakan nilai normal untuk
ibu hamil yang tercantum dalam reagen yakni
0,8-2,2. Metode pengukuran di laboratorium
dengan prinsip Enzim Immuno assay (Elisa),
reagen yang digunakan adalah dari Human
2004.12
Status gizi ibu hamil didapat dari pengukuran
lingkar lengan atas (LILA) dan tinggi badan,
ibu hamil dengan LILA <23 cm dikategorikan
KEK serta ibu hamil tinggi badan <150 cm
dikategorikan pendek. Status anemia ibu hamil
didapatkan dari pengukuran kadar Hb dalam
serum,
dianalisis
dengan
metode
spektrofotometri dengan menggunakan reagen
Cyanmethemoglobin, dikategorikan anemia
apabila kadar Hb <11,5 gr/l. Sedangkan data
asupan iodium didapat dari pengukuran eksresi
iodium dalam urin (UIE) selama 3 x 24 jam
dengan menggunakan metode spektrofotmetri,
ibu hamil dengan kadar UIE <150 ug/l
dikategorikan defisiensi iodium. Sumber
iodium dikumpulkan berupa garam, air dan
kebiasaan konsumsi makanan tinggi iodium.
Garam rumah tangga dikumpulkan sebesar 3
sendok
makan
selanjutnya
dilakukan
pemeriksaan iodium dalam garam dengan
metode titrasi. Iodium dalam air didapatkan
dari pemeriksaan sampel air pada sumber air
baik air tanah maupun air permukaan,
kecukupan sampel dinilai dengan melihat
keterwakilan tiap sumber air di masing-masing
51
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) lokasi penelitian, sehingga didapatkan 71 titik
pengambilan air. Sampel air dianalisis dengan
metode spektrofotometri. Kebiasaan konsumsi
makanan tinggi iodium dikumpulkan dengan
metode wawancara Food Frequency (FFQ)
untuk makanan tinggi iodium, selanjutnya
dihitung frekuensi konsumsi dalam seminggu.
Analisis data secara univariat untuk melihat
distribusi frekuensi, nilai tendensi normal dan
standar deviasi. Analisis bivariate untuk
melihat beda rata rata antara kedua wilayah
dengan menggunakan t-test. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan SPSS 21 yang
dimiliki oleh Balai Litbang GAKI.
nomor
LB.02.01/5.2/KE.340/2015
perijinan dari dinas setempat.
dan
HASIL
Ibu hamil yang berhasil diperiksa sebanyak
244 subyek dengan rincian 123 daerah replete
gondok dan 121 pada daerah non-replete.
Adapun rincianya adlah trimester 1 sebanyak
82 ibu hamil, 111 untuk trimester 2 dan 57
untuk trimester 3. Besar sampel ini sudah
memenuhi syarat sebagai besar sampel
minimal, sehingga dapat dilakukan analisis.
Rata rata usia subyek adalah 28 tahun dengan
rentang usia 16-44 tahun. Rentang usia
kehamilan dari 2 minggu sampai dengan 38
saat pengumpulan data berlangsung.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik
dari komisi etik Badan litbangkes RI dengan
Tabel 1. Kadar TSH dan Hormon Tiroksin Bebas Pada Ibu Hamil Di Daerah Replete dan
Non-Replete GAKI di Kabupaten Magelang
Umur
kehamilan
Trimester 1
Trimester 2
Trimester 3
Daerah Replete (n = 123)
Mean + SD
TSH (mIU/l)1 p
FT4 (pmol/l l)2
1,05+1,02
1,72+1,60
1,81+1,37
0,009
1,22+0,3
1,12+0,3
1,11+0,3
Non-replete (n = 121)
Mean + SD
TSH1 (mIU/l) p
FT4 (pmol/l l)2
p
0,090
1,16+1,30
1,90+1,54
1,74+1,27
0,004
1,34+0,2
1,19+0,4
1,06+0,2
p
0,004
Keterangan
1
Nilai normal TSH trimester1: 0,1-2,5 mIU/ll, trimester 2: 0,2-3,0 mIU/l dan trimester 3: 0,3-3,5mIU/l 2 Nilai normal fT4
trimester 1, 2, 3: 0,8-2,2 pmol/l
Hasil pengukuran status gizi ibu hamil didapat
hasil sebagai berikut ibu hamil pendek
sebanyak 47,2 persen ibu hamil di daerah
replete gondok dan 40,3 persen ibu hamil di
daerah nonreplete. Ibu hamil kurang energi
kronis (KEK) sebesar 19,5 persen pada daerah
replete gondok dan 14,5 persen pada daerah
non-replete. Ibu hamil dengan anemia sebesar
61,7 persen ibu hamil di daerah replete
gondok dan 51,7 persen di daerah non-replete.
Tabel 2. Prevalensi hipotiroid pada ibu hamil di daerah replete dan non-replete gondok
di Kabupaten Magelang
Umur
kehamilan
Trimester 1
Trimester 2
Trimester 3
Total
52
Daerah Replete
(n = 123)
Overt
Hypothyroid
(%)
0,0
0,0
0,0
0,0
Non-Replete
(n = 121)
Hipotiroid
Sub-klinis
(%)
Hypothyroxine
mia
(%)
Overt
Hypothyroid
(%)
Hipotiroid
Subklinis
(%)
Hypothyro
xinemia
(%)
7,5
11,5
25,0
13,0
3,0
6,2
0,0
4,1
0,0
4,8
8,3
4,2
14,0
21,2
20,8
15,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) Hipotiroidisme merupakan suatu kumpulan
gejala yang menandakan adanya disfungsi
tiroid pada tubuh. TSH dan fT4 merupakan
indikator untuk mengetahui fungsi tiroid
normal atau tidak. Adapun sebaran nilai TSH
dan fT4 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
trimester 3 memiliki kadar TSH yang
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
dua trimester sebelumnya. Hasil uji beda nilai
TSH dan fT4 ibu hamil inter trimester
kehamilan menunjukan perbedaan nyata inter
trimester kehamilan dengan nilai p<0.05. Hasil
uji beda rata rata kadar TSH dan fT4 antara
daerah replete dan non-replete menunjukan
tidak nampak perbedaan nyata antara kedua
wilayah dengan nilai p value 0,808 untuk
kadar TSH dan 0,101 untuk kadar fT4.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa
rata rata nilai TSH dan fT4 pada subyek
berada dalam rentang normal. ibu hamil yang
berada di trimester 3 memiliki kadar fT4 lebih
rendah dibandingkan dengan trimester 2 dan 1.
Sebaliknya untuk kadar TSH ibu hamil pada
Tabel 3. Prevalensi status iodium berdasarkan kadar iodium urin 3 x 24 jam ibu hamil di
daerah replete dan non-replete GAKI di Kabupaten Magelang tahun 2015
Daerah replete (n = 123)
µg/l
Trimester 1
Trimester 2
Trimester 3
Total
Daerah Non-replete (n = 121)
µg/l
<150
(%)
>150-500
(%)
<150
(%)
>150-500
(%)
27,8
21,0
24,0
23,6
72,2
79,0
76,0
76,4
6,8
21,2
16,0
14,9
93,2
78,8
84,0
85,1
Meski secara rata-rata kadar TSH dalam
rentang normal, namun pada sebagian subyek
nampak terjadi hipotiroidisme. Prevalensi
hipotiroid pada daerah replete gondok dan
non-replete dapat dilihat pada Tabel 2 berikut
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa
kejadian hipotiroid masih terjadi baik di
daerah replete gondok sebesar 17,1 persen
maupun non-replete gondok yakni sebesar
19,2 persen. Hipotiroidisme yang terjadi
sebagian besar subyek adalah hipotiroid
subklinis baik pada daerah replete maupun
non-replete. Overt hipotiroid hanya nampak
pada ibu hamil di wilayah non-replete gondok.
Sedangkan
ibu
hamil
dengan
hypothyroxinemia terlihat pada daerah replete
gondok. Pada Tabel 1 di atas juga nampak
bahwa prevalensi terjadinya hipotiroid ibu
hamil pada trimester 3 lebih besar
dibandingkan dengan trimester sebelumnya.
Tabel 4. Crude Prevalence Ratio defisiensi iodium pada ibu hamil pada tiap trimester kehamilan
dibanding dengan trimester 1
Umur
kehamilan
Trimester 1
Trimester 2
Trimester 3
Daerah Replete
Daerah Non-replete
Total
p-value
PR
p-value
PR
p-value
PR
0,6
0,7
1,0
0,8
0,8
0,05
0,2
1,0
3,6
2,6
0,3
0,5
1,0
1,4
1,2
Defisiensi iodium masih diduga sebagai
penyebab utama terjadinya hipotiroid. Iodium
yang dikonsumsi akan dikeluarkan kembali 90
persen melalui urin. Pengukuran urin 3 x 24
jam
dimaksudkan
untuk
dapat
menggambarkan status iodium individu.
Prevalensi defisiensi iodium pada ibu hamil
dapat dilihat pada Tabel 3.
53
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada
daerah replete ibu hamil memiliki prevalensi
defisiensi iodium hampir sama baik pada
trimester 1, 2 maupun 3 yakni diatas 20
persen. Sedangkan pada daerah non-replete
ibu hamil pada trimester 1 memiliki prevalensi
defisiensi iodium yang lebih kecil dibanding
dua trimester yang lain. Perhitungan prevalens
rasio (PR) antar trimester di kedua wilayah
adalah sebagai berikut
Tabel 5. Prevalensi hipotiroid menurut kadar UIE 3 x 24 jam
Normal
Replete
< 150 µg/l
150-249 µg/l
250 -499µg/l
> 500 µg/l
Non-Replete
< 150 µg/l
150-249 µg/
250-499 µg/l l
>500 µg/l
Hipotiroid
65,5%
74,1%
68,4%
100,0%
20,7%
14,8%
18,4%
0,0%
77,8%
65,9%
54,4%
100,0%
11,1%
18,2%
22,8%
0,0 %
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa
pada daerah replete defisiensi iodium tidak
berbeda di tiap trimester kehamilan dengan
nilai p value > 0.05 dan nilai PR mendekati 1.
Perbedaan terlihat pada daerah non-replete
gondok, dimana ibu hamil pada trimester
kedua memiliki prevalens rasio 3,6 kali pada
ibu hamil trimester 2 dibanding trimester 1.
Distribusi kejadian hipotiroid pada ibu hamil
menurut status iodiumnya dapat dilihat pada
Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa
pada daerah replete proporsi hipotiroid banyak
terjadi pada ibu hamil yang mengalami
defisiensi iodium dengan kadar UIE <150ug/l,
meskipun juga terjadi pada ibu hamil dengan
status iodium normal, sedangkan pada daerah
non-replete hipotiroid lebih banyak terjadi
pada ibu hamil dengan status iodium yang
normal pada rentang 250-499ug/l. Adapun
hasil penelusuran sumber iodium yang ada
baik di daerah replete gondok maupun nonreplete dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 6. Sumber iodium pada ibu hamil di daerah replete dan non-replete gondok
di Kabupaten Magelang 2015
Daerah Replete
Mean + SD
Garam (n = 156)
Air
(n = 71)
40,70 + 21,1
9,03 + 15,8
Hasil pengukuran sampel garam didapatkan
156 sampel dari 244 sampel yang seharusnya
dikumpulkan, hal ini karena sampel garam
yang dikumpulkan oleh sebagain responden
kurang dari 3 sendok makan sehingga tidak
dapat dianalisis. Berdasarkan Tabel 6 diatas
dapat diketahui bahwa pada daerah replete
gondok secara geografis memiliki kadar
iodium lingkungan yang rendah dibandingkan
dengan daerah non-replete gondok. Namun
apabila melihat kadar garam rata rata yang
dikonsumsi menunjukan bahwa pada kedua
54
Non-Replete
Mean + SD
40,35 + 20,2
19,85 + 14,3
wilayah rata rata menggunakan garam yang
memenuhi syarat. Artinya meskipun secara
alam miskin iodium namun pada daerah
replete gondok saat ini asupan iodium bisa
didapatkan dari luar yakni garam beriodium
dan makanan yang mengandung iodium.
Fortifikasi iodium dalam garam merupakan
upaya penanggulangan GAKI yang saat ini
dilaksanakan. Rata-rata kadar iodium dalam
garam dikedua wilayah sudah memenuhi
syarat namun masih ada dari sebagian
responden
yang
menggunakan
garam
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) beriodium tidak memenuhi syarat dengan
kadar < 30 ppm yakni sebesar 30,8 persen di
daerah replete dan 39,5 persen di daerah non-
replete. Distribusi frekuensi status iodium
berdasarkan kadar garam beriodium yang
digunakan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 7. Distribusi frekuensi status iodium berdasarkan kadar garam beriodium rumah tangga
ibu hamil di daerah replete dan non-replete GAKI di Kabupaten Magelang tahun 2015
Daerah Replete
Daerah Non-replete
< 150
µg/l
150-249
µg/l
249-499
µg/l
>500
µg/l
<150
µg/l
150-249
µg/l
249-499
µg./l
>500
µg/l
< 30 ppm
37,5%
33,3%
29,2%
0,0%
16,7%
33,3%
50,0%
0,0%
> 30 ppm
16,7%
46,3%
35,2%
1,9%
10,9%
37,0%
52,2%
0,0%
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa
proporsi defisiensi iodium di kedua wilayah
lebih banyak terjadi pada ibu hamil yang
mengkonsumsi garam < 30 ppm yakni 37,5
persen di daerah replete dan 16,7 persen di
daerah non-replete meskipun defisiensi iodium
juga terjadi pada ibu hamil
yang telah
mengkonsumsi garam > 30 ppm yakni 16,7
persen di daerah replete dan 10,9 persen di
daerah non-replete. Nilai crude prevalens rasio
defisiensi iodium pada ibu hamil yang
mengkonsumsi garam beriodium < 30 ppm
sebesar 2,1 kali dibanding ibu hamil yang
mengkonsumsi garam beriodium > 30 ppm.
Pada Tabel 7 juga diketahui bahwa sebesar
62,5 persen ibu hamil di daerah replete dan
81,5 persen ibu hamil di daerah non-replete
yang mengkonsumsi garam beriodium < 30
ppm tidak mengalami defisiensi iodium. Hal
ini dimungkinkan karena ibu hamil tersebut
mendapatkan asupan iodium selain garam
beriodium seperti air ataupun makanan sumber
iodium tinggi. Hasil wawancara kebiasaan
konsumsi makanan sumber iodium tinggi
didapatkan bahwa baik di daerah replete
gondok maupun non-replete sebagian subyek
mengkonsumsi sumber iodium tinggi > 2 kali
seminggu. Berdasarkan penelitian ini diketahui
bahwa konsumsi garam beriodium < 30 ppm
beresiko lebih besar untuk terjadi defisiensi
iodium (Tabel 7). Sedangkan defisiensi iodium
beresiko untuk terjadinya hipotiroid pada ibu
hamil, terutama di daerah replete gondok
(Tabel 6). Distribusi frekuensi konsumsi
garam beriodium terhadap kejadian hipotiroid
pada ibu hamil di daerah replete gondok
maupun non-replete dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8. Distribusi frekuensi hipotiroid menurut kadar garam beriodium rumah tangga ibu
hamil di daerah replete dan non-replete gondok di Kabupaten Magelang tahun 2015
Non hipotiroid
Replete
< 30 ppm
> 30 ppm
Non-replete
< 30 ppm
> 30 ppm
Hipotiroid
PR
75,0%
85,2%
25,0%
14,8%
1,9
80,0%
84,8%
20,0%
15,2%
1,4
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa
proporsi hipotiroid lebih banyak terjadi pada
ibu hamil yang mengkonsumsi garam dengan
kadar < 30 ppm di kedua wilayah. Nilai crude
prevalens rasio ibu hamil yang memiliki kadar
garam < 30 ppm sebesar 1,9 kali di daerah
replete dan 1,4 kali di daerah non-replete
gondok.
55
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) PEMBAHASAN
Penegakan
diagnosis
hipotiroid
memperhatikan perubahan fisiologis yang
terjadi pada masa kehamilan, oleh karena itu
pengambilan
sampel
penelitian
ini
menggunakan strata trimester kehamilan.13
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan
hormon Human Chorionic Gonadotropin
(HCG) yang berpengaruh pada nilai TSH
yang akan tersupresi dibawah range normal.
Dan kondisi ini akan berakhir pada akhir
trimester pertama kehamilan. Kehadiran
hormon HCG yang mempengaruhi nilai TSH
telah dipertimbangkan dalam penentuan
diagnosis hipotiroid pada ibu hamil, sehingga
penggunaan reference yang spesifik sesuai
trimester kehamilan penting dilakukan2.
Perubahan fisiologis yang lain adalah pada
masa hamil terjadi peningkatan estrogen dan
juga adanya peningkatan volume plasma dan
konsentrasi dari TBG didalam plasma. Adanya
peningkatan TBG ini akan meningkatkan total
tiroksin (TT4 ) selama trimester pertama 1,5
kali dibanding tidak hamil. Kondisi ini
menyebabkan indikator fT4 yang diukur
secara langsung kurang menjadi akurat untuk
menggambarkan status fungsi tiroid pada masa
hamil13,14. Beberapa ahli merekomendasikan
untuk penggunaan indikator TSH dengan
reference yang spesifik untuk memberi
gambaran fungsi tiroid pada ibu hamil14.
Pada penelitian ini nampak bahwa terdapat
hipotiroid pada ibu hamil sebesar 17,1 persen
daerah replete gondok dan 19,2 persen daerah
non-replete. Secara lebih rinci disebutkan
bahwa prevalensi hipotiroid pada trimester 1 :
26,1 persen, trimester 2: 39,8 persen dan
trimester 3: 45,8 persen. Prevalensi tertinggi
terdapat pada ibu hamil yang berada di
trimester 3 dan sebagian besar yakni 25 persen
di daerah replete dan 20.8 persen di daerah
non-replete merupakan hipotiroid subklinis
sedangkan sebagian kecil yang lain merupakan
overt hipotiroid dan hypotyroxinemia.
Hasil penelitian ini seiring dengan hasil survei
yang dilaksanakan di Amerika bahwa dari
kejadian hipotiroid pada ibu hamil, sebagian
besar merupakan kejadian hipotiroid subklinis.
Dari 117892 yang dilakukan screening dengan
menggunakan referensi yang spesifik, proporsi
56
hipotiroid adalah sebesar 15,5 persen. Dari
15,5 persen tersebut hanya 2,4 persen yang
merupakan overt hypothyroid dan sisanya
yakni sebesar 97,6 persen merupakan
hipotiroid
subklinis15.
Hal
ini
juga
disampaikan oleh Chadha pada tahun 2009
yakni dari semua insiden hipotiroidisme
sebanyak 2,5 persen, kejadian overt
hypothyroid 0,18 persen sedangkan kejadian
subklinis sebesar 2,3 persen16. Penelitian lain
menunjukan prevalensi hipotiroid pada ibu
hamil adalah sebesar 2-5 persen, yang terdiri
overt hypothyroid sebesar 1 persen sedangkan
prevalensi hipotiroid sub klinik sebesar 3-5
persen17. Prevalensi hipotiroid subklinis lebih
tinggi dibandingkan overt hypothyroid
diungkapkan oleh Casey (2005), Cleary
(2007), Lazarus (2012), Potlukova (2012),
Shan (2009) dalam Teng (2013) 11.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa
prevalensi hipotiroid tidak terlihat berbeda
nyata di kedua wilayah replete gondok
maupun non-replete. Daerah replete gondok
merupakan wilayah yang diduga berpotensi
lebih besar terjadinya hipoiroidisme pada ibu
hamil dibandingkan dengan wilayah nonreplete. Namun analisa ini menunjukan bahwa
prevalensi hipotiroid hampir sama antara
daerah replete gondok (17,1%) dan nonreplete (19,2%). Artinya kedua wilayah sama
sama memiliki permasalahan yaitu terjadinya
hipotiroidisme pada ibu hamil. Adanya
keterbukaan akses pada saat ini dimungkinkan
menjadi penyebab masuknya sumber iodium
dari luar wilayah. Hasil penelusuran lebih
lanjut tentang konsumsi sumber iodium pada
ibu hamil menunjukan bahwa saat ini baik di
wilayah replete maupun non-replete gondok,
rata rata telah menggunakan garam beriodium
yang memenuhi syarat dengan kadar >30 ppm,
konsumsi makanan yang mengandung tinggi
iodium >2 kali seminggu. Artinya meski
kondisi alam semula berbeda terkait
kandungan iodium dalam lingkungan namun
asupan iodium telah didapatkan dari sumber
yang lain yakni garam beriodium dan makanan
yang tinggi iodium yang berasal dari luar
wilayah sehingga prevalensi hipotiroid di
daerah replete dan non-replete gondok tidak
terlihat berbeda nyata. Namun meskipun tidak
nampak perbedaan nyata dikedua wilayah,
dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa
konsumsi garam beriodium yang tidak
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) memenuhi syarat yakni <30 ppm memiliki
resiko lebih besar untuk terjadinya defisiensi
iodium. Konsumsi garam beriodium < 30 ppm
juga memiliki resiko lebih besar untuk
terjadinya hipotiroid pada ibu hamil.
Hal ini seiring dengan hasil dari sebuah
penelitian yang dilakukan pada 267 ibu hamil
yang terpilih di dua daerah berbeda secara
geografis yakni Pyreness dan Coast di
Catalonia Spanyol. Proporsi hipotiroid pada
ibu hamil di daerah Coast adalah sebesar 7,5
persen sedangkan di Pyreness sebesar 5
persen.
Pyereness
merupakan
daerah
pegunungan namun merupakan daerah dengan
riwayat asupan iodium yang cukup dan coast
adalah daerah pantai. Artinya pada penelitian
itu nampak proporsi hipotiroid di daerah
pantai lebih tinggi dibanding dari daerah
Pyreness yang merupakan daerah pegunungan.
Informasi yang didapatkan bahwa proporsi
penggunaan garam beriodium memenuhi
syarat
daerah
Pyreness
lebih
tinggi
dibandingkan dengan daerah Coast yang
merupakan daerah pantai (58% : 36%) . Selain
garam beriodium, konsumsi sumber iodium
lain didapat dari konsumsi ikan di pegunungan
>3 kali seminggu sebesar 20,8 persen lebih
tinggi dari daerah Coast yang merupakan
daerah pantai 10,7 persen18 .
Hasil penelitian ini juga memberikan
informasi bahwa defisiensi iodium juga masih
terjadi pada ibu hamil dengan kadar garam
rumah tangga memenuhi syarat (>30 ppm)
baik di daerah replete maupun non-replete
meskipun proporsinya lebih sedikit dibanding
ibu hamil yang mengkonsumsi garam
beriodium tidak memenuhi syarat ( <30 ppm).
Secara rata-rata konsumsi garam beriodium
dikedua wilayah lebih dari 30 ppm, dan
konsumsi sumber iodium dari makanan lebih
dari 2 kali seminggu, namun kejadian
hipotiroidisme pada kehamilan masih tetap
ada, yang ditunjukkan dengan tingginya
prevalensi hipotiroid pada ibu hamil baik di
daerah replete gondok maupun non-replete.
Sebaliknya, pada sebagian ibu hamil yang
mengkonsumsi garam tidak memenuhi syarat
ada pula yang tidak mengalami defisiensi
iodium. Hal ini dimungkinkan karena ibu
hamil mendapat asupan iodium selain garam.
Penelitian ini menunjukan bahwa di daerah
non-replete gondok asupan iodium bisa
didapatkan dari air yang mangandung iodium
dan juga makanan sumber iodium. Sedangkan
di daerah replete gondok asupan iodium selain
garam bisa didapatkan dari makanan sumber
iodium. Artinya diperlukan asupan iodium lain
disamping garam beriodium untuk memenuhi
tingginya kebutuhan iodium semasa hamil.
Hasil penelitian pada 511 ibu hamil di Swiss
yang diberikan suplemen mengandung iodium,
median kadar iodium dalam urin sebesar 194
µg/l sedangkan pada ibu hamil yang tidak
mendapat suplemen iodium memiliki kadar
median dalam urin sebesar 131 µg/l. Studi
serupa juga dilakukan di Jerman, Hongaria dan
Denmark1.
Hipotiroid baik ringan, sedang maupun berat
sama sama memberikan dampak pada ibu dan
juga janin yang dikandungnya. Dalam
referensi yang lain disebutkan bahwa
hipotiroid baik overt hypothyroid maupun
hipotiroid subklinis memiliki dampak terhadap
ibu dan juga janin yang dikandungnya. Sebuah
penelitian mengukur dampak terjadinya
peningkatan komplikasi kehamilan pada ibu
hipotiroid
subklinis
maupun
overt
hypothyroid. Hasil penelitian menunjukan baik
pada ibu hamil dengan overt hypothyroid
maupun hipotiroid subklinis yang tidak
diberikan pengobatan sama sama memiliki
risiko terjadinya komplikasi kehamilan seperti
placenta abruption, kelahiran tidak cukup
bulan dan rata rata berat lahir yang rendah.
Penelitian yang lain menyebutkan bahwa baik
overt hypothyroid maupun hipotiroid sub
klinis keduanya memiliki dampak terhadap
kejadian pre eklamsi, disfungsi jantung, berat
lahir < 2000 gram dan juga lahir mati16. Selain
terhadap kompikasi kehamilan hipotiroid
subklinis memiliki dampak yang mirip dengan
overt hypothyroid yakni terjadinya anemia,
deficit neurokognitif pada janin, berat lahir
bayi rendah (BBLR), keguguran, pre-eklampsi
dan kelahiran tidak cukup bulan14. Kondisi
hypothyroxinemia baik ringan sampai dengan
berat membawa dampak pada perkembangan
otak menjadi tidak optimal19.
Permasalahan
hipotiroid pada ibu hamil
memerlukan upaya pencegahan mengingat
dampaknya terhadap ibu dan bayinya. Studi
yang dilakukan di daerah defisiensi ringan di
Eropa, bahwa pemberian suplementasi iodium
pada ibu hamil meningkatkan nilai ekskresi
57
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) median iodium dalam urin dan menurunkan
prevalensi pembesaran kelenjar tiroid3. Studi
lain
menyebutkan
bahwa
pemberian
suplementasi pada ibu hamil di Spanyol
memberikan dampak peningkatan skor
psikomotor
pada
bayi
sebesar
6,1
dibandingkan pada ibu yang tidak diberikan
suplementasi20.
Pemberian
suplementasi
iodium pada ibu hamil memiliki efikasi yang
baik pada ibu dan bayinya,aman dan tidak
menimbulkan autoimun 1,3.
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak
mengambil data tentang kejadian autoimun
pada ibu hamil sehingga tidak bisa
membedakan prevalensi hipotiroid yang
dipengaruhi oleh autoimun ataupun tidak.
KESIMPULAN
Hipotiroidisme terjadi pada ibu hamil di
wilayah replete gondok dan non-replete dan
tidak terlihat perbedaan nyata antar kedua
wilayah. Prevalensi hipotiroid pada ibu hamil
terjadi pada trimester 1, 2 maupun 3.
Prevalensi semakin tinggi pada ibu hamil yang
berada di trimester ketiga. Hipotiroid yang
terjadi terdiri dari overt hypothyroid,
hipotiroid subklinis dan hypothyroxinemia.
SARAN
Hipotiroid pada ibu hamil membutuhkan
upaya penanganan dengan segera . Pemberian
asupan iodium selain garam beriodium
diperlukan mengingat tingginya prevalensi
hipotiroid pada ibu hamil, singkatnya masa
kehamilan dan dampaknya yang serius
sedangkan disisi lain meski konsumsi rata rata
garam beriodium memenuhi syarat
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis ucapkan pada segenap
jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten magelang,
yang telah memberikan ijin dan bantuan
selama pelaksanaan penelitian, dan kepada
semua tim peneliti, litkayasa dan konsultan
penelitian yang telah berperan serta dimulai
dari penyusunan proposal, pelaksanaan sampai
dengan penyusunan laporan penelitian.
58
DAFTAR PUSTAKA
1.
Zimmermann, M. B. (2007). The impact
of iodised salt or iodine supplements on
iodine status during pregnancy , lactation
and infancy. Public Health Nutrition, 10,
1584–1595.
http://doi.org/10.1017/S13689800073609
65,
26,
108–117.
http://doi.org/10.1111/j.13653016.2012.01275.x
2. Freedy V.,Burrow G.,Watson R. 2009.
Comprehensive handbook of iodine
.Elsevier academic press.California
3. Zimmermann, M., & Delange, F. (2004).
Iodine supplementation of pregnant
women in Europe ā€Æ: a review and
recommendations. European Journal of
Clinical
Nutrition,
58,
979–984.
http://doi.org/10.1038/sj.ejcn.1601933
4. WHO. 2007. Assessment of Iodine
Deficiency Disorders and Monitoring
Their Elimination: A guide for
programme managers. Third edition,
Geneva
5. Ainy E, Ordookhani A, Hedayati M,
Azizi F. Assessment of intertrimester and
seasonal variations of urinary iodine
concentration during pregnancy in an
iodine-replete area. Clin Endocrinol
(Oxf). 2007;67:577–81
6. Kementerian
Kesehatan
RI,2013.
Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013.
Badan Litbang Kesehatan.Jakarta
7. Dinas Kesehatan Propinsi DIY.2014.
Evaluasi
Situasi
GAKI.
Laporan
penelitian. Dinas Kesehatan DIY.
Yogyakarta
8. Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Magelang.2015.
Surveilans
GAKI.Laporan surveilans GAKI. Dinas
Kesehatan Magelang. Magelang
9. Lemeshow, S., Hosmer Jr, D.W., Klar, J.
1990. Adecuacy of Sample Size in Health
Studies. John Wiley & Son, Geneva
10. Eastman, CJ. 1996. Thyroid Function
Testing, dalam: Djokomoeljanto dkk
(Editor). Temu Ilmiah & Simposium
Nasional III Penyakit Kelenjar Tiroid, hal
121-135. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
11. Teng, W., Shan, Z., Patil-sisodia, K., &
Cooper, D. S. (2013). Hypothyroidism in
Hipotiroidisme pada ibu hamil ………… (Ina Kusrini, Donny K.M., P.B Sukandar, Basuki Budiman) 12.
13.
14.
15.
16.
pregnancy. THE LANCET Diabetes &
Endocrinology,
1(3),
228–237.
http://doi.org/10.1016/S22138587(13)70109-8
Human. 2004. ELISA Test for the
Quantitative Determination of TSH and
FT4 in Human Serum. Human
Gesellschaft
fur
Biochemica
und
Diagnostica mbH, Max-Planck-Rink 21 –
D-65205 Wiesbaden – Germany.
Yan Yu-Qin et.al.2011.Trimester and
method specific reference interval for
thyroid test in pregnant Chinese
women:methodology,euthyroid definition
and iodine status can influence the setting
of
reference
intervals.
Clinical
endocrinology 74,262-269
Carney, L. E. O. A., Hospital, N., Family,
P., Residency, M., Quinlan, F. J. D.,
Services, U., … Residency, M. (2014).
Thyroid Disease in Pregnancy. American
Family Physician, 89(February), 2014.
Blatt,A.J, Nakamoto JM, Kaufman HW.
2012. National Status of testing For
Hypothyroidism During Pregnancy And
Postpartum. J Clin Endocrinol Metab 97;
777-84
Chadha, G., & Goel, M. (2009).
Hypothyroidism in Pregnancy. Apollo
17.
18.
19.
20.
Medicine,
6(4),
322–326.
http://doi.org/10.1016/S09760016(11)60082-3
Cleary Goldman J. Malone FD.LambertMesserlian G, et al.2008.Maternal
Thyroid Hypofunction And Pregnancy
Outcome. Obstet Gynecol 112: 85-92
Villa. L.Palomera, Dur, J. (2011). Iodine
nutritional status in pregnant women of
two historically different iodine-de fi
cient areas of Catalonia , Spain. Nutrition,
27,
1029–1033.
http://doi.org/10.1016/j.nut.2010.11.012
Escobar, F., & Escobar, G. M. De.
(2007). Iodine deficiency and brain
development in the first half of
pregnancy. Public Health Nutrition, 10,
1554–1570.
http://doi.org/10.1017/S13689800073609
28
Melse-boonstra, A. et al., 2012. Journal of
Trace Elements in Medicine and Biology
Iodine supplementation in pregnancy and
its effect on child cognition. Journal of
Trace Elements in Medicine and Biology,
26(2-3), pp.134–136. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jtemb.2012.03.
005.
59
SERUM RETINOL DAN STATUS GIZI IBU MENYUSUI MENENTUKAN
KADAR VITAMIN A DALAM ASI
Serum retinol and nutritional status of breastfeeding mothers are associated with
vitamin A content in breast milk
1
Sandjaja1*, Idrus Jus’at2
Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Jakarta
2
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul, Jakarta
*
E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Vitamin A status of breastfeeding mothers and their babies has been proved to have a close
relationship. Infants of mothers who suffer from vitamin A deficiency have a high risk of suffering from Vitamin
A Deficiencies (VAD). The assumption is that relationship is mediated by levels of vitamin A in breast milk as
the main source of vitamin A.
Objective: This paper aims to investigate the relationship between vitamin A status of breastfeeding mothers
and vitamin A in breast milk.
Methods: The study was conducted on 440 breastfeeding mothers whose babies aged 6-12 months in
Tasikmalaya and Ciamis district. Serum vitamin A in the blood and levels of vitamin A in breast milk were
collected and analyzed by HPLC method. Covariates of anthropometric, morbidity, maternal and infant
characteristics that play a role in the serum vitamin A and vitamin A ASI were collected. Analysis of t-test,
ANOVA and ANCOVA was performed to examine the role of vitamin A status of mothers towards vitamin A in
breast milk.
Results: The study showed that VAD of breastfeeding mothers significantly affected low levels of vitamin A in
breast milk after controlled by nutritional status of breastfeeding mothers. The mean of vitamin A in breast milk
in both VAD and non-VAD mothers was 47.0 KVA g / dL and 88.2 mg / dL perspectively.
Conclusion: After covariate controlled by nutritional status of mothers breastfeeding, vitamin A deficiency in
nursing mothers significantly affect low levels of vitamin A in breast milk.
Keywords: breastfeeding mother, serum retinol, breastmilk
Abstrak
Latar Belakang: Status vitamin A ibu menyusui dan bayinya telah dibuktikan mempunyai hubungan yang erat.
Bayi dari ibu yang menderita kurang vitamin A mempunyai risiko yang tinggi menderita KVA. Asumsinya
hubungan tersebut dimediasi oleh kadar vitamin A dalam ASI sebagai sumber vitamin A utama.
Tujuan: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status vitamin A ibu menyusui dan kadar
vitamin A dalam ASI.
Metode: Studi dilakukan pada 440 ibu menyusui yang bayinya umur 6-12 bulan di Kabupaten Tasikmalaya dan
Ciamis. Serum vitamin A dalam darah dan kadar vitamin A dalam ASI dikumpulkan dan dianalisis dengan
metode HPLC. Kovariat antropometri, morbiditas, karakteristik ibu dan bayi yang berperan dalam serum
vitamin A dan vitamin A ASI dikumpulkan. Analisis uji-t, ANOVA dan ANCOVA dilakukan untuk menguji
peran status vitamin A ibu terhadap vitamin A ASI.
Hasil: Hasil studi menunjukkan KVA ibu menyusui berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya kadar
vitamin A dalam ASI setelah dikontrol oleh kovariat status gizi ibu menyusui. Rerata vitamin A dalam ASI pada
ibu yang KVA dan non KVA 47,0 µg/dL dan 88,2 µg/dL.
Kesimpulan: Setelah dikontrol oleh kovariat status gizi ibu menyusui, kurang vitamin A pada ibu menyusui
berpengaruh secara signifikan terhadap rendahnya kadar vitamin A dalam ASI.
Kata kunci: ibu menyusui, serum retinol, vitamin A, ASI
Naskah masuk: 14 April 2016
Review: 21 April 2016
Disetujui terbit: 27 April 2016
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at)
PENDAHULUAN
Bayi baru lahir mempunyai cadangan vitamin
A dalam hati selama dalam kandungan melalui
plasenta. Kadar serum vitamin A bayi terbatas
dan hanya dapat bertahan beberapa waktu8,
sehingga vitamin A bayi sangat tergantung
kepada kadar vitamin A dalam ASI. Dengan
demikian bila terdapat korelasi antara serum
vitamin A ibu dan bayi, keadaan tersebut
disebabkan karena kadar vitamin A dalam
ASI. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kadar serum retinol ibu
menyusui dan kadar vitamin A dalam ASI.
Salah satu masalah kurang gizi yang masih
terjadi di negara berkembang adalah kurang
vitamin A (KVA). Dengan kriteria serum
retinol darah < 20 µg/dL atau < 0,7 µmol/L,
badan kesehatan dunia WHO1 memperkirakan
sebanyak 163 juta anak menderita kurang
vitamin A. Demikian juga di Indonesia. Survei
pertama tingkat nasional tahun 1978
menunjukkan prevalensi xerophthalmia (X1B)
adalah 1,33 persen dengan range 0,55-2,34
persen, lebih tinggi dari acuan WHO untuk
menilai masalah kurang vitamin A secara
Untuk menanggulangi masalah
klinis2.
tersebut, sejak tahun 1970-an dilakukan
dengan program kapsul vitamin A dosis tinggi
untuk anak 6-59 bulan dan ibu nifas3. Survei
nasional tahun 1992 menunjukkan prevalensi
xerophthalmia turun dari 1,33 persen (1978)
menjadi 0,34 persen2 dengan diterapkannya
program kapsul vitamin A dosis tinggi untuk
anak 6-59 bulan dan ibu nifas.3
Penelitian ini merupakan bagian penelitian
fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng
curah secara sukarela yang dilakukan di
Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis tahun
2011-12. Di tiap kabupaten dipilih 4
kecamatan dan di tiap kecamatan dipilih
masing-masing 3 desa peri-urban, sehingga
terdapat total 24 desa peri-urban.
Studi yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi
tahun 2006 di 10 provinsi menunjukkan
prevalensi xerophthalmia 0,13 persen dan
index serum retinol < 20 µg pada balita
sebesar 14,6 persen.4 Studi berikutnya
SEANUTS tahun 2011 pada anak umur 0,5-12
tahun menunjukkan prevalensi antara 0-4,9
persen.5 Studi vitamin A yang lain adalah studi
data dasar sebagai persiapan fortifikasi minyak
goreng dengan vitamin A di dua kabupaten
yaitu Tasikmalaya dan Ciamis tahun 2011
menunjukkan rata-rata kadar serum vitamin A
antara 30,7-42,7 µg/dL.6
Sampel penelitian ini terdiri dari 6 kelompok
yaitu pasangan ibu menyusui dan bayinya,
anak balita 12-23 bulan, 24-59 bulan, anak
usia sekolah 5-9 tahun dan wanita usia subur.
Dalam tulisan ini yang diambil adalah
pasangan ibu menyusui dan bayinya. Ibu yang
tidak menyusui bayinya langsung dikeluarkan
dari sampel. Jumlah sampel pasangan ibu
menyusui dan bayinya didasarkan pada asumsi
kenaikan serum vitamin A setelah minyak
goreng curah difortifikasi. Keluarga adalah
pasangan ibu dan bayinya dari rumah tangga
miskin.
Studi di Tasikmalaya dan Ciamis tersebut
mengumpulkan data serum vitamin A ibu
menyusui dan bayinya umur 6-11 bulan, anak
balita, anak usia sekolah 6-9 tahun dan wanita
usia subur. Pada ibu menyusui juga
dikumpulkan data kadar vitamin A dalam ASI.
Hasil analisis lanjut menunjukkan terdapat
korelasi positif signifikan (r=0,55) antara
status vitamin A ibu menyusui dan status
vitamin A bayinya. Semakin tinggi serum
vitamin A ibu menyusui semakin tinggi serum
vitamin A bayinya. Risiko bayi kurang vitamin
A lebih tinggi 17,5 kali (95% CI 7,2-42,5) jika
ibu menyusui juga menderita kurang vitamin
A.7
Definisi rumah tangga miskin berdasarkan
keberadaan kartu keluarga miskin (Gakin)
yang masih berlaku, yang didapatkan dari desa
dan atau instansi terkait setempat yaitu kartu
Jamkesmas, Jamkesda, dan PKH (Program
Keluarga
Harapan).
Sebelum
studi
dilaksanakan,
penelitian
ini
sudah
mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik
Badan
Litbang
Kesehatan
nomor
KE.01.05/EC/262/2011 tanggal 3 Mei 2011.
62
METODE
Pengumpulan data dilakukan melalui teknik
wawancara oleh enumerator tenaga gizi yang
telah dilatih terlebih dahulu menggunakan
kuesioner terstruktur yang sudah dilakukan
pre-test terlebih dahulu. Wawancara dengan
kuesioner
terstruktur
dilakukan
untuk
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) mengetahui karakteristik sosio-demografi
rumahtangga, karakteristik ibu menyusui dan
bayinya, morbiditas penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) dan diare dalam satu
bulan terakhir, konsumsi ibu menyusui serta
berat dan tinggi/panjang badan.
Pengambilan darah untuk mengetahui kadar
serum vitamin A dilakukan oleh plebotomis
dari Laboratorium “P” di daerah penelitian di
2 kabupaten. Pengambilan darah ibu menyusui
diambil dari vena mediana cubiti, sedangkan
darah bayi diambil dari tumit sebanyak 5-10
ml. Kemudian darah vena dibagi menjadi dua
bagian, yaitu darah dengan EDTA dan darah
tanpa antikoagulan (plain). Darah dengan
EDTA digunakan untuk pengukuran profil
darah yaitu hemoglobin, lekosit, eritrosit,
MCH,
MCV,
MCHC.
Darah
tanpa
antikoagulan dimasukkan dalam vacutainer
untuk dilakukan sentrifus/pemutaran selama 8
menit dengan putaran 3000 x g dan dibagi
dalam vial, kemudian hasilnya dipisahkan
bagian jernih yaitu serum dari endapan sel-sel
darah. Serum dibagi menjadi 2 (dua) vial
ukuran 1,5 ml, masing masing vial berisi 0,5
ml. Vial-vial tersebut ditempatkan dalam rak
tabung dan selanjutnya disimpan dalam cool
box dengan suhu kurang lebih -4oC. Serum
dalam cool box tersebut dikirim ke
laboratorium “P” pusat di Jakarta untuk
disimpan dalam freezer suhu -800C sebelum
dilakukan analisa vitamin A dengan metode
HPLC. Vitamin A dikatakan defisiensi apabila
kadar vitamin A serum <20 µg/dL.
Pengambilan ASI dilakukan oleh bidan
setempat yang telah dilatih untuk pengambilan
ASI dengan pompa ASI. ASI diambil dari
salah satu buah dada yang bayinya belum
menyusu paling tidak selama 30 menit.
Sebelum dilakukan pengambilan sampel ASI,
dada dibersihkan dengan dengan handuk basah
dan dikeringkan dahulu. Volume ASI yang
dikumpulkan sebanyak 5-10 ml dan kemudian
disimpan dalam botol yang dilapis aluminium
foil dan disimpan dalam cool box sewaktu
berada di lapangan untuk segera disimpan
dalam freezer di laboratorium. Botol ASI
dikirim ke Laboratorium Balai Besar Industri
Agro di Bogor dan dianalisis dengan metode
HPLC.
Konsumsi
makanan
ibu
menyusui
dikumpulkan melalui teknik dietary recall 2 x
24 jam. Enumerator dibekali dengan
timbangan
makanan
sehingga
dapat
memperkirakan berat makanan terutama untuk
makanan lokal yang dikonsumsi dengan lebih
akurat. Berat zat gizi makanan kemudian
dihitung berdasarkan Tabel Komposisi Bahan
Makanan9, kemudian data tersebut dientri
menggunakan program Nutrisoft.10 Analisis
data konsumsi vitamin A dilakukan untuk
mengetahui nilai rata-rata dan proporsi yang
mengonsumsi vitamin A kurang dari Angka
Kecukupan Gizi.11
Pengukuran berat badan dilakukan dengan
timbangan badan digital AND dengan
ketelitian 0,1 kg dan tinggi badan ibu
menyusui diukur dengan menggunakan
microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Penilaian
status gizi dengan rumus indeks massa tubuh
(IMT) yaitu berat badan (kg) dibagi kuadrat
tinggi badan (m). Kategori status gizi ibu
menyusui dibagi menjadi kurang gizi (IMT
<18,5 kg/m2), baik (18,5-25,0 kg/m2) dan gizi
lebih/ kegemukan (IMT > 25,0 kg/m2).12
Analisis data univariat dilakukan untuk
mengetahui
sebaran
data
deskriptif
karakteristik variabel ibu dan bayi. Analisis
bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara kadar vitamin A dalam ASI dengan
faktor lain dilakukan dengan uji Khi-kuadrat,
Student-t test, dan ANOVA. Analisis
multivariat ANCOVA digunakan untuk
menguji hubungan antara kadar serum retinol
ibu dengan kadar vitamin A dalam ASI
dikontrol dengan kovariat.
HASIL
Jumlah sampel ibu menyusui yang memenuhi
kriteria dalam analisis ini adalah 440 sampel.
Sebagian sampel tidak bisa dianalisis karena
tidak lengkap pada salah satu atau lebih
variabel yang dianalisis yaitu kadar vitamin A
dalam ASI, serum retinol, atau data
antropometri. Tidak ada perbedaan nyata
dalam karakteristik sampel antara yang
datanya lengkap yang dianalisis dan yang tidak
dianalisis (tidak dicantumkan).
Karakteristik ibu menyusui dapat dilihat pada
Tabel 1. Sampel di dua kabupaten hampir
sama. Rentang umur ibu menyusui sampel
studi ini antara 16 sampai 46 tahun, dengan
kelompok umur sampel terbanyak yaitu umur
63
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) antara 30-34 tahun. Sebagian besar ibu
menyusui berstatus menikah dan merupakan
isteri dari KK dan sisanya adalah cerai hidup/
mati, dan anggota dari rumahtangga lainnya.
Rentang paritas ibu menyusui antara 1 sampai
8 anak, dengan proporsi terbesar yaitulebih
dari 60 persen ibu menyusui mempunyai
paritas 1-2 anak. Sampel ibu adalah ibu
menyusui dengan umur bayi antara 6-11 bulan.
Proporsi bayi sedikit lebih banyak pada bayi
umur 9-11 bulan.
Tabel 1. Karakteristik ibu menyusui
Karakteristik
Kabupaten
Tasikmalaya
Ciamis
Umur ibu
<25 tahun
25-29 tahun
30-34 tahun
>35tahun
Status ibu
Menikah
Cerai hidup
Cerai mati
Hubungan dengan KK
Isteri
Anak
Lainnya
Paritas ibu
Satu
Dua
Tiga
Empat atau lebih
Umur bayi
6 – 8 bulan
9 – 11 bulan
n
%
214
226
48,6
51,4
120
108
111
101
27,3
24,5
25,2
23,0
429
5
6
97,5
1,1
1,4
417
19
4
94,8
4,3
0,9
156
145
90
49
35,5
32,9
20,5
11,1
210
230
47,7
52,3
Tabel 2. Morbiditas, status gizi dan konsumsi makanan ibu menyusui
Karakteristik
Penyakit ibu 1 bulan terakhir
ISPA
Ya
Sehat
Diare
Ya
Sehat
Index massa tubuh
IMT (mean + SE)
Status gizi
Kurang gizi
Gizi baik
Gizi lebih/ kegemukan
Konsumsi makanan
Vitamin A (mean + SE)
% AKG (mean + SE)
Defisit konsumsi vitamin A (%)
64
n
%
147
293
33,4
66,6
25
415
5,7
94,3
23,0 + 0,2
35
295
110
659 + 3
77,5 + 3,7
66,7
8,0
67,0
25,0
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) Pada Tabel 2 disajikan proporsi morbiditas,
status gizi dan konsumsi vitamin A makanan.
Morbiditas yang dikumpulkan hanya tentang
penyakit infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) dan diare dalam satu bulan terakhir
dengan wawancara tanpa dikonfirmasi dengan
pemeriksaan klinis. Satu dari tiga ibu
menyusui menderita ISPA dalam satu bulan
terakhir sebelum studi dan hanya lima persen
ibu yang menderita diare.
Tabel 3. Kadar serum retinol dan kadar vitamin A ASI
Karakteristik
Mean
SE
Serum retinol (ug/dL)
Vitamin A dalam ASI
42,4
85,4
0,8
3,4
Sebagian besar ibu dengan status gizi yang
baik dihitung dari nilai IMT, tetapi masih ada
delapan persen ibu dengan status gizi kurang.
Di sisi lain, proporsi ibu menyusui dengan gizi
lebih atau kegemukan sebanyak 25 persen.
Rata-rata konsumsi vitamin A per hari masih
rendah seperti terlihat dalam Tabel 2 jika
dibandingkan dengan angka kecukupan gizi
(AKG) sebesar 850 RE. Jika dikelompokkan
menurut AKG dua dari tiga ibu mengkonsumsi
vitamin A kurang dari kebutuhan.
Tabel 4. Hubungan karakteristik ibu menyusui dengan kadar vitamin A dalam ASI
Karakteristik ini menyusui
Kabupaten
Tasikmalaya
Ciamis
Umur ibu
<25 tahun
25-29 tahun
30-34 tahun
>35 tahun
Status ibu
Menikah
Lainnya
Hubungan dengan KK
Isteri
Lainnya
Paritas ibu
Satu
Dua
Tiga
Empat atau lebih
ISPA
Ya
Sehat
Diare
Ya
Sehat
Status gizi
Kurang gizi
Normal/ gizi baik
Gizi lebih/ kegemukan
Status serum vitamin A
Kurang vitamin A
Tidak KVA
Umur bayi
6 – 8 bulan
9 – 11 bulan
Mean + SE
p
82,5 + 4,6
88,1 + 4,9
0,404
77,8 + 5,5a
78,1 + 6,2a
106,4 + 8,1b
79,1 + 6,5a
0,004
86,2 + 3,4
44,1 + 14,0
0,076
85,1 + 3,4
90,9 + 19,4
0.701
81,3 + 5,1
91,9 + 6,2
81,9 + 11,6
0,578
91,2 + 6,4
82,5 + 3,9
0,219
110,2 + 21,6
83,9 + 3,3
0,070
66,2 + 6,4a
83,6 + 2,9b
96,4 + 5,1c
0,004
47,0 + 8,6
88,2 + 3,5
0,002
82,9 + 4,7
87,6 + 4,8
0,484
65
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) Tabel 3 menunjukan rata-rata serum retinol ibu
menyusui. Terlihat dalam tabel rata-rata kadar
vitamin A dalam ASI dua kali lipat jika
dibandingkan dengan kadar serum retinol ibu
menyusui.
V
i
t
A
A
S
I
Grafik 1. Kadar vitamin A ASI menurut status gizi ibu menyusui
Hasil analisis kadar vitamin A dalam ASI
dengan faktor lokasi, karakteristik ibu
menyusui, morbiditas, kadar serum retinol ibu,
dan karakteristik bayi disajikan pada Tabel 4.
Dari 10 variabel yang dianalisis yang
berhubungan signifikan (p , 0,05) terhadap
kadar vitamin A dalam ASI adalah umur ibu,
status vitamin A ibu, dan status gizi ibu. Kadar
vitamin A dalam ASI yang rendah pada
kelompok umur ibu muda, kemudian naik dan
tertinggi pada kelompok umur 30-34 tahun dan
kemudian menurun kembali pada umur 35
tahun atau lebih. Status gizi ibu juga berperan
signifikan terhadap kadar vitamin A ASI,
terendah pada status gizi kurang, meningkat
pada status gizi baik, dan tertinggi pada ibu
dengan status gizi lebih/ obesitas. Pada ibu
dengan status serum retinol cukup (tidak
kurang vitamin A), kadar vitamin A dalam
ASI hampir dua kali lipat dibanding dengan
ibu yang menderita KVA.
Tabel 5. Analisis multivariat faktor yang berperan dalam kadar vitamin A dalam ASI
Source
Corrected Model
Intercept
Kurang vitamin A
Status gizi ibu
Error
Total
Corrected Total
Type III SS
a
71771,827
34197,493
45062,391
24320,775
2110027,049
5390403,279
2181798,875
df
Mean square
F
Sig.
2
1
1
1
437
440
439
35885,913
34197,493
45062,391
24320,775
4828,437
7,432
7,083
9,333
5,037
,001
,008
,002
,025
R squared = 0,033 (Adjusted R squared = 0,028)
Tujuh faktor yang lain tidak mempunyai
hubungan signifikan dengan kadar vitamin A
dalam ASI yaitu status pernikahan ibu, ISPA,
66
diare (p<0,25), dan lokasi penelitian,
hubungan dengan KK, paritas, dan umur bayi.
Kadar vitamin A dalam ASI cenderung lebih
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) tinggi pada paritas dua dan bayi berumur 9-11
bulan.
Analisis ANOVA pada Grafik 1 menunjukkan
hubungan signifikan antara status gizi ibu
menyusui dan kadar serum vitamin A dalam
ASI. Dari hasil analisis uji-t dan ANOVA,
dilakukan analisis multivariat ANCOVA
dengan variabel dependen kadar vitamin A
dalam ASI sebagai variabel dependen faktor
independen utama status vitamin A ibu dengan
dikontrol oleh variabel yang disajikan dalam
Tabel 4 dan Grafik 2. Hasil analisis
menunjukkan faktor utama yaitu kadar vitamin
A dalam ASI berbeda signifikan menurut
status vitamin A ibu (p=0,002, adjusted r2
=0,028). Kovariat yang berhubungan dengan
kadar vitamin A dalam ASI hanya status gizi
ibu menyusui (p=0,025).
V
i
t
A
A
S
I
Status KVA ibu menyusui
KVA
Normal
Grafik 2. Kadar vitamin A ASI menurut status kurang vitamin A ibu menyusui
PEMBAHASAN
Status gizi ibu menyusui mempunyai peranan
yang penting untuk menentukan status gizi
bayinya. Plasenta mempunyai peran penting
dalam pertumbuhan janin selama kehamilan.
Walaupun demikian status vitamin A baru
lahir sangat terbatas dengan cadangan vitamin
A yang rendah.13 Oleh karena ibu dari bayi
baru lahir sangat menggantungkan kebutuhan
vitamin A dari ASI. Bahkan UNICEF
menyatakan cadangan vitamin A bayi lahir
hanya cukup untuk beberapa hari.14 Dengan
demikian ASI sebagai sumber utama gizi bayi
termasuk vitamin A terutama pada enam bulan
pertama usia bayi karena sebagian besar ibu
masih ASI eksklusif. Banyak negara
mempunyai program pemberian kapsul
vitamin A dosis tinggi untuk ibu nifas dan
anak balita termasuk Indonesia.15
Vitamin A mempunyai peran penting untuk
pertumbuhan dan perkembangan, imunitas,
reproduksi dan fungsi lainnya. Oleh karena itu
ibu dengan gizi baik dan cukup cadangan
vitamin A berperan penting dalam kesehatan
bayi. Ibu yang kurang vitamin A mempunyai
risiko bayinya kurang kekebalan tubuhnya
karena kurang vitamin A.16 Ada beberapa
biomarker kurang vitamin A yaitu secara
biologi, klinis, dan biokimia yaitu buta senja,
xerophthalmia, serum retinol, retinol binding
protein (RBP), uji relative dose response
(RDR), uji modified relative dose response
(MRDR), conjunctival impression cytology
(CIC) dan retinol dalam ASI.16
Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata
serum vitamin A ibu menyusui 42,4 µg/dL.
Kadar ini lebih tinggi dibanding studi serupa
67
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) di Brazil pada ibu nifas (30,0 µg/dL)17, dan
studi lain di Brazil (37,3 µg/dL).18 Serum
retinol dipengaruhi oleh konsumsi vitamin A
dan infeksi.16 Pada studi ini tidak ditemukan
perbedaan yang nyata konsumsi makanan
mengandung vitamin A antara ibu menyusui
yang KVA dan tidak KVA. Infeksi yang
dinilai dari kadar CRP atau AGP menurunkan
kadar serum vitamin A rata-rata 2 µg/dL,
sehingga hasil studi ini sebenarnya di atas nilai
tersebut.19 Kadar vitamin A dalam ASI 85,4
µg/dL lebih tinggi dibanding serum vitamin A.
Hasil ini juga lebih tinggi dibanding hasil studi
di Brazil (55,1 µg/dL)17 dan di Bangladesh
(22,6-24,8 µg/dL)20. Vitamin A dalam ASI
merupakan salah satu alternatif indikator KVA
untuk menilai prevalensi KVA di masyarakat
karena lebih praktis, dan mudah, tidak
memerlukan pemeriksaan darah dibanding
serum retinol.21 Di negara maju bentuk vitamin
A dalam ASI lebih tinggi proporsinya dalam
bentuk retinyl ester sedangkan di negara
berkembang proporsinya lebih banyak dalam
bentuk provitamin A karoteniod. Hal ini
terkait dengan pola konsumsi di negara
berkembang yang lebih banyak sumber
vitamin A dari non-hewani.13 Batas KVA
menurut vitamin A ASI adalah 1,05 µmol/L
(30 µg/dL).22 Akan tetapi kadar vitamin A
bervariasi tergantung umur bayi. Hazkell13
menunjukkan kadar vitamin A ASI kolostrum
tertinggi ssesudah melahirkan 4+6 hari,
menurun pada umur 7+21 hari, dan turun
hampir sama pada umur selanjutnya. Rice20
juga menemukan hal sama kadar tertinggi
vitamin A ASI yaitu dalam kolostrum dan
kemudian menurun pada umur 1 bulan dan
antara 1-9 bulan dengan kadar yang hampir
sama. Hasil penelitian ini tidak menemukan
perbedaan kadar vitamin A dalam ASI
menurut umur bayi. Hal ini disebabkan karena
sampel bayi mulai umur 6 bulan tidak
termasuk ibu yang baru melahirkan sehingga
tidak diketahui mulai dari kolostrum sampai
umur 11 bulan. Engle-Stone23 yang melakukan
penelitian di Kamerun menemukan bahwa
prevalensi KVA tidak berbeda baik dengan
menggunakan indikator serum retinol atau
vitamin A dalam ASI. Tetapi sampai dengan
saat ini yang digunakan di Indonesia adalah
serum retinol. Apabila kadar vitamin A dalam
ASI yang digunakan untuk menilai prevalensi
KVA, prevalensi KVA pada ibu menyusui
sebesar 23,5 persen.
68
Hasil analisis bivariat menunjukkan umur ibu
berperan signifikan terhadap kadar vitamin A
dalam ASI, tertinggi pada umur 30-34 tahun.
Hasil ini sejalan dengan studi oleh Fujita24 di
Kenya dan Pervaiz25 yang menunjukkan
korelasi positif antara umur ibu dan kadar
vitamin A ASI. Perbedaan yang terjadi dengan
Fujita dan Pervaiz adalah terjadi penurunan
kadar vitamin A ASI umur ibu 35 tahun atau
lebih. Perbedaan lain dengan hasil studi Fujita
adalah tidak adanya hubungan antara paritas
dengan kadar vitamin A dalam ASI sedangkan
studi Fujita menunjukkan korelasi positif yang
signifikan. Studi ini menemukan tidak ada
perbedaan signifikan kadar vitamin ASI
menurut daerah, karakteristik ibu menyusui,
dan morbiditas. Walaupun tidak signifikan, ibu
menyusui yang terkena diare atau ISPA justru
cenderung mempunyai kadar vitamin A ASI
yang lebih tinggi (p>0,05). Akan tetapi dalam
analisis lanjut yang tidak disajikan dalam
tulisan ini, kadar serum retinol ibu yang
menderita ISPA atau diare cenderung lebih
rendah dibandingkan ibu menyusui dalam
kondisi sehat. Hal ini menunjukkan bahwa
infeksi pada ibu menyusui cenderung
menurunkan kadar serum retinol tetapi tidak
mempengaruhi kadar vitamin A dalam ASI.
Penurunan kadar vitamin A dalam ASI
kemungkinan disebabkan karena menurunnya
cadangan vitamin A dalam hati terutama pada
ibu menyusui yang kurang gizi. Hasil
penelitian Pervaiz dkk25 menunjukkan bahwa
kadar vitamin A ASI lebih rendah secara
signifikan pada ibu menyusui dari status sosial
ekonomi rendah. Hasil analisis multivariat
studi ini juga menunjukkan bahwa status gizi
ibu menyusui berperan signifikan terhadap
kadar vitamin A ASI, terendah pada status gizi
kurang, meningkat pada status gizi baik, dan
tertinggi pada ibu gizi lebih/obesitas.
Asumsinya adalah kadar lemak yang lebih
tinggi pada ASI dari ibu gizi lebih/obesitas.
Akan tetapi, studi ini tidak melakukan analisis
kandungan lemak dalam ASI yang merupakan
salah satu kekurangan studi ini.
Sebagai hasil utama studi menunjukkan bahwa
faktor utama yang signifikan mempengaruhi
kadar vitamin A dalam ASI adalah status
serum vitamin A ibu menyusui dengan
dikontrol oleh kovariat status gizi ibu. Pada
ibu menyusui yang tidak menderita KVA,
kadar vitamin A dalam ASI hampir dua kali
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) lipat berbeda signifikan dibanding
menyusui yang menderita KVA.
ibu
KESIMPULAN
Kurang vitamin A pada ibu menyusui
berpengaruh secara signifikan terhadap
rendahnya kadar vitamin A dalam ASI setelah
dikontrol oleh kovariat status gizi ibu
menyusui yang juga sudah dibuktikan dalam
studi ini berpengaruh secara signifikan
terhadap rendahnya kadar vitamin A bayi.
SARAN
Pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada
ibu menyusui tetap dilanjutkan karena
berdampak pada meningkatnya kadar vitamin
A dalam ASI. Penyuluhan tentang MP-ASI
yang bergizi untuk bayi termasuk sumber
vitamin A diperlukan untuk menjamin asupan
vitamin A
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis tujukan untuk
GAIN-Koalisi Fortifikasi Indonesia tahun
2012 dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis berikut jajarannya
sampai ke tingkat desa, tim peneliti, kader
kesehatan dan para enumerator sehingga
pelaksanaan penelitian ini dapat diselesaikan
dengan baik. Tidak lupa pula bahwa penelitian
ini tidak akan bisa dilakukan tanpa partisipasi
sukarela sampel penelitian yaitu para ibu
menyusui dan bayi di daerah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
1. United Nation, Standing Committee on
Nutrition. 6th Report on the World
Nutrition Situation – Progress in Nutrition.
No place, UN-SCN, 2010.
2. Muhilal, H., Tarwotjo, I., Kodyat, B.,
Herman, S., Permaesih, D., Karyadi, D.,
Wilbur, S. & Tielsch, ]. (1994) Changing
prevalence of xerophthalmia in Indonesia,
1977-1992. Eur. J. Clin. Nutr. 48: 708714.
3. Departemen Kesehatah RI. Panduan
manajemen Suplementasi Vitamin A,
Jakarta, Depkes, 2006.
4. Puslitbang Gizi. Laporan studi masalah
gizi mikro. Bogor, Puslitbang Gizi.
Laporan Penelitian, 2006.
5. ErnawatiF, Sandjaja, Moesijanti MYE.
Status vitamin A dan zat besi anak
Indonesia. Gizi Indonesia 36 (2): 123-130,
2013.
6. Sandjaja, Jus’at I, Jahari AB, Ifrad, Htet
MK, Tilden RL et al. Vitamin A fortified
cooking oil reduces vitamin A deficiency
in infants, young children, and women:
results from a programme evaluation in
Indonesia. Public Health Nutrition 2014.
doi:10.1017/S136898001400322X.
7. Jus’at I, Sandjaja, Sudikno, Ernawati F.
Maternalserumretinol level is a risk factor
of infant's vitamin A status. Paper
presented at 9th Asia Pacific Conference
on Clinical Nutrition (APCCN) 2015,
Kuala Lumpur 25-19 January 2015.
Malaysian J Nutr 21 (Suppl): S62, 2015.
8. UNICEF,
2007.
Vitamin
A
supplementation: a decade of progress.
UNICEF, New York..
9. Mahmud MK, Hermana Zulfianto NA,
Apriyantono RR, Ngadiarti I, Hartati,
Bernadus, Tinexcelly. Tabel Komposisi
Bahan Makanan. Jakarta, Elex Media
Komputindo, 2008.
10. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi.
Program Nutrisoft. Bogor, Puslitbang Gizi,
2006.
11. Departemen
Kesehatan.
Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi
Bangsa Indonesia. Keputusan Menteri
Kesehatan
nomor
1593/Menkes/SK/XI/2005. Jakarta, 24
November 2005.
12. Departemen Kesehatan, Direktorat Gizi
Masyarakat. Petunjuk teknis pemantauan
status gizi orang dewasa dengan indeks
massa
tubuh
(IMT).
Departemen
Kesehatan, 2003.
13. Haskell MJ, Brown KH. Maternal vitamin
A nutriture and the vitamin A content of
human milk. J Mammary Gland Biology
and Neoplasia 4(3): 243-257, 1999.
14. UNICEF,
2007.
Vitamin
A
supplementation: a decade of progress.
UNICEF, New York.
15. Departemen Kesehatan, 2009. Panduan
manajemen suplementasi vitamin A.
Jakarta, Departemen Kesehatan.
16. Tanumihardjo SA. Biomarkers of vitamin
A status: what do they mean? In: World
Health Organization. Report: Priorities in
the assessment of vitamin A and iron
status in populations, Panama City,
69
Serum Retinol ………… (Sandjaja, Idrus Jus’at) 17.
18.
19.
20.
21.
70
Panama,15–17 September 2010. Geneva,
World Health Organization, 2012.
Martins TM, Ferraz IS, Daneluzzi JC,
Martinelli Jr CE, Del Ciampo LA, Ricco
RG, Jordao AA, Patta MC, Vannucchi H.
Impact
of
maternal
vitamin
A
supplementation on the mother–infant pair
in Brazil. Eur J Clin Nutr 64: 1302-1307,
2010.
Grilo EC, Lima MSR, Cunha LRF, Gurgel
CSS, Clemente HA, Dimenstein R. Effect
of maternal vitamin A supplementation on
retinol concentration in colostrum. J de
Pediatria 91(1): 81-86, Jan-Feb 2015.
Wieringa FT, Dijkhuizen MA, West CE,
Northrop-Clewes CA, Muhilal. Estimation
of the effect of the acute phase response
on indicators of micronutrient status in
Indonesian infants. J Nutr 132: 3061-3066:
2002.
Rice A, Stolzfus R, de Francisco A,
Chakraborty J, Kjolhede C, Wahed M.
(1999). Maternal vitamin A or β-carotene
supplementation in lactating Bangladeshi
women benefits mothers and infants but
does not prevent subclinical deficiency. J.
Nutr. 129:356±365.
Stoltzfus RJ, Underwood BA. Breast-milk
vitamin A as an indicator of the vitamin A
status in women and infants. Bul World
Health Organization 73 (5): 703-711,
1995.
22. Rice AL, West KP, Black RE. Vitamin A
deficiency. In Ezzati M, Lopez AD,
Rogers A, Murray CJL: Global and
regional burden of disease attributable
selected risk factors. Geneve, WHO, 2004.
23. Engle-Stone R, Haskell MJ, Nankap M,
Ndjebayi AO, Brown KH. Breast milk
retinol and plasma retinol-binding protein
concentrations provide similar estimates of
vitamin A deficiency prevalence and
identify similar risk groups among women
in
Cameroon
but
breast
milk
retinolunderestimates the prevalence of
deficiency among young children. J Nutr
144: 209-217, 2014.
24. Fujita M, Shell-Duncan B, Ndemwa P,
Brindle E, Lo YJ, Kombe Y, O’Connor K.
Vitamin A dynamics in breastmilk and
liver stores: A life history perspective. Am
J Human Biol 23:664-673, 2011.
25. Pervaiz S, Gilani AH, Qayyum M.
Relationship of serum retinol, β-carotene,
and serum protein in women at postpartum
from different age and socioeconomic
groups. Int J Agric & Biol 1(4): 262-266,
1999.
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI
A. Jurnal kesehatan reproduksi (Journal of
Reproductive Health) menerima naskah ilmiah
hasil penelitian, investigasi, atau review hasilhasil penelitian yang meliputi berbagai aspek
mengenai kesehatan ibu, kesehatan anak,
kesehatan reproduksi, remaja, dan lanjut usia,
keluarga berencana, infeksi menular seksual,
HIV-AIDS, pencegahan dan penanggulangan
aborsi, masalah gender, infertilitas/fertilitas,
maupun kesehatan reproduksi dalam hal klinis/
kedokteran.
B. Naskah dikirimkan kepada Redaksi Jurnal
Kesehatan Reproduksi dengan alamat: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jl.
Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 atau
melalui email kepada [email protected]
dan turut menyertakan hard copy kepada
redaksi.
C. Komponen naskah:
1. Naskah diketik spasi 1,5 dengan huruf
TimesNew Roman ukuran font 11
2. Panjang naskah: 14 – 18 halaman dengan
jenis kertas HVS A4
3. Judul naskah
4. Abstrak
5. Naskah bisa dalam Bahasa Indonesia maupun
Bahasa Inggris
6. Mencantumkan identitas penulis; alamat,
nomor telpon, dan e_mail
Naskah menggunakan bahasa tulis ilmiah sesuai
kaidah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
yang baik dan benar.
D. Sistematika Penulisan Artikel Jurnal Kesehatan
Reproduksi:
1. JUDUL (Bahasa Indonesia diikuti Bahasa
Inggris tidak lebih dari 15 kata, disertai
identitas penulis)
2. ABSTRAK (Bahasa Inggris diikuti Bahasa
Indonesia, terdiri dari 150 – 200 kata yang
mencakup: Latar belakang (Background),
Tujuan (Objective), Metode (Methods), Hasil
(Result), dan Kesimpulan (Conclusions),
dilengkapi 3 – 5 kata kunci)
3. PENDAHULUAN meliputi latar belakang,
tinjauan pustaka singkat dan relevan, serta
tujuan penelitian.
3. METODE meliputi desain, populasi, sampel,
sumber data, teknik/instrumen pengumpul
data, dan prosedur analisis data.
4. HASIL meliputi temuan penelitian yang
disajikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik,
atau diagram tanpa pendapat/argumen dari
penulis.
5. PEMBAHASAN meliputi uraian argumen-
6.
7.
8.
9.
E.
tatif hasil penelitian dibandingkan dengan
teori/temuan terdahulu yang relevan.
KESIMPULAN disampaikan dalam bentuk
narasi. Kesimpulan hendaknya menjawab
masalah/tujuan
penelitian
dan
tidak
melampaui kapasitas temuan dan bukan
ringkasan yang bersifat umum.
SARAN Saran mengacu pada tujuan dan
kesimpulan serta subtantif.
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
Aturan penulisan daftar pustaka sesuai
Vancouver Style. Rujukan dalam artikel diikuti
dengan nomor urut sesuai urutan pemunculan
dalam naskah. Nomor rujukan dalam naskah
dituliskan sebagai superscript. Rujukan
diutamakan yang terkini, dengan kemutakhiran
tidak lebih dari 10 tahun. Rujukan
majalah/penerbitan berkala ditulis dengan urutan
sebagai berikut: nama pengarang, judul
karangan, nama majalah, tahun, volume (angka
arah), nomor (dalam tanda kurung) dan
halaman. Rujukan buku harus disertai nama,
tahun diterbitkan dan nama penerbit.
F. Judul tidak boleh digarisbawahi dan tidak perlu
ditebalkan hurufnya.
G. Tabel sederhana penyajiannya cukup dalam satu
kolom artikel, sedangkan gambar atau tabel
yang kompleks dapat disajikan dalam dua kolom
sekaligus. Letak gambar, grafik, atau tabel
berdekatan dengan narasi. Letak judul tabel
diatas dan judul gambar dibawah. Tabel diketik
satu spasi dan diberi nomor urut sesuai
penampilan dalam teks. Jumlah maksimal enam
tabel.
Gambar
atau
grafik
disajikan
menggunakan ‘pattern’ dan menggunakan
warna.
Contoh mengacu pustaka dalam naskah:
Penelitian lain yang dilakukan di Amerika juga
menunjukkan bahwa penggunaan dot/kempeng pada
bayi secara signifikan dapat menurunkan durasi
menyusui. 1
Contoh penulisan daftar pustaka:
1. Howard et.al. The effects of early pacifier use
on breastfeeding duration and randomized
clinical trial of pacifier use and bottle-feeding
or cupfeeding and their effect on breasfeeding.
Pediatrics. 2013;111(3): 511-18
2.
Hidayat,
Z.
Remaja
Indonesia
dan
Permasalahan Kesehatan Reproduksi. Warta
Demografi, 2005; 35(4):14-22
Download