perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 6 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi Bola Mata
Bola mata merupakan organ penglihatan manusia yang menempati
bagian depan orbita (Moore et al., 2010). Pada anak baru lahir, rata-rata
diameter antero-posteriornya adalah 16,5 mm, relatif lebih besar untuk
ukuran tubuhnya saat itu dibandingkan ketika pada masa kanak-kanak
atau dewasa (Vaughan dan Asbury, 2009)
Dalam bola mata terdapat beberapa struktur yang berperan penting
dalam refraksi cahaya atau disebut sebagai media refrakta. Struktur
tersebut antara lain kornea, aqueous humor, lensa, dan badan kaca
(vitreous humor). Aqueous humor adalah cairan yang terletak pada
segmen anterior bola mata. Segmen anterior dibagi oleh iris dan pupil
menjadi camera okuli anterior (anterior chamber) dan camera okuli
posterior (posterior chamber). Aqueous humor diproduksi di badan
siliaris, selanjutnya menuju camera okuli posterior, dan masuk ke camera
okuli anterior melalui pupil. Di sudut sklerokorneal terdapat daerah
trabekular yang memiliki kanal Schlemm, tempat aqueous humor diserap
(Moore et al., 2010; Vaughan dan Asbury, 2009).
Lensa merupakan struktur transparan dan bikonveks yang terletak
di sebelah posterior iris. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm.
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Posisi lensa dipertahankan oleh serat zonule yang muncul dari badan
siliaris (Vaughan dan Asbury, 2009).
Badan kaca atau vitreus humor adalah badan gelatin yang terletak
di posterior lensa dan menempel pada retina, berkontribusi pada 2/3
volume dan berat bola mata (Vaughan dan Asbury, 2009). Badan kaca ini
merupakan jalan lewatnya cahaya sebelum mencapai nervus opticus.
Nervus opticus berfungsi untuk mengirimkan informasi visual ke otak
(Sebastian, 2010).
Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata (Lucile Packard Children’s Hospital,
2013)
Sebagian besar bayi lahir dengan mata hipermetrop, kemudian
terjadi proses emetropisasi. Pada proses emetropisasi ini terjadi
perubahan pada komponen refraksi yaitu penambahan panjang aksis bola
mata, serta penurunan kekuatan refraksi kornea dan lensa (Tiharyo,
2007).
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Emetropisasi merupakan proses kompensasi pemanjangan aksis
bola mata selama masa pertumbuhan dengan mengurangi kekuatan
refraksi segmen anterior bola mata. Proses emetropisasi ini biasanya
terjadi pada delapan belas bulan pertama kehidupan dan keadaan
emmetrop dicapai pada sekitar usia 9 sampai 14 tahun. Anak dengan
aksis bola mata yang lebih panjang memiliki risiko lebih besar terkena
miopia. Aksis bola mata berhubungan dengan miopia hanya ketika proses
emetropisasi ini tidak berhasil, sehingga orang yang miopia memiliki
aksis mata yang lebih panjang daripada yang tidak miopia (Wilson, 2011)
2.
Fisiologi Penglihatan
Ketika cahaya mengenai benda, cahaya terpantul masuk ke dalam
mata dan mengenai kornea, yang membantu memusatkan perhatian.
Selanjutnya cahaya melewati aqueous humor dan iris. Iris berfungsi
untuk mengatur jumlah intensitas cahaya yang masuk ke mata. Setelah
melewati pupil, cahaya menuju lensa di mana lensa akan berubah bentuk
sesuai jarak objek dekat atau jauh, yang selanjutnya cahaya difokuskan
ke retina. Dari retina, cahaya diproyeksikan ke sebuah permukaan datar.
Energi kimia cahaya ini kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh
fotoreseptor pada retina. Sinyal-sinyal listrik ini kemudian dikirim ke
saraf optik, yang akan mengirimkan informasi visual ke otak. Otak akan
menerima sinyal ini dalam pentuk penglihatan (William, 2013).
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Kelainan Refraksi
Untuk bisa menghasilkan informasi visual yang akurat, cahaya
harus difokuskan tepat di retina. Mata normal atau emetrop akan
menempatkan bayangan tepat di retina ketika mata tidak berakomodasi.
Apabila cahaya pararel tidak difokuskan di retina ketika mata tak
berakomodasi maka keadaan mata disebut ametropia. Hal ini bisa
terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan
atau adanya kelainan bentuk bola mata (Ilyas, 2010).
Kelainan refraksi yang sering terjadi adalah sebagai berikut.
a. Miopia, terjadi karena pembiasan media refraksi terlalu kuat atau
panjang anteroposterior bola mata yang terlalu besar, sehingga
menyebabkan fokus bayangan benda jatuh di depan retina (Ilyas,
2010).
b. Hipermetropia, terjadi akibat pendeknya sumbu bola mata, sehingga
kekuatan optik rendah, menyebabkan bayangan benda jatuh di
belakang retina (Ilyas, 2010; Sarwanto & Anwar, 2007).
c. Astigmatisme, terjadi akibat sinar tidak difokuskan pada satu titik
yang sama di retina, akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling
tegak lurus. Hal ini karena adanya kelainan pada kelengkungan
permukaan kornea (Ilyas, 2010; Sarwanto & Anwar, 2007).
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
4.
digilib.uns.ac.id
Miopia
a. Definisi
Miopia adalah kelainan refraksi di mana gambar objek yang
terletak jauh difokuskan di depan retina, dalam keadaan mata tidak
berakomodasi. Miopia dapat terjadi karena bola mata terlalu
panjang, kekuatan refraksi mata terlalu kuat maupun kombinasi dari
keduanya (Edward & Lam, 2004). Hal ini menyebabkan pandangan
menjadi kabur (Biotext, 2008). Menurut Grosvenor dan Goss dalam
Hong (2011) panjangnya aksis bola mata pada miopia ini umumnya
disebabkan karena perluasan dari ruang badan kaca.
Umumnya miopia berkembang selama masa anak-anak, namun
juga bisa berkembang pada saat-saat remaja akhir atau dewasa awal.
Seperti pada orang dewasa, miopia pada anak juga diyakini adanya
peranan faktor genetik dan lingkungan. Peningkatan daya akomodasi
selama melihat dekat seperti membaca dan menulis berhubungan
dengan perkembangan miopia pada anak sekolah (Morgan et al.,
2012).
Sampai saat ini sebab terjadinya miopia masih belum jelas.
Teoritis sebagian besar bayi saat lahir mengalami hipermetropia
ringan, yang secara perlahan berkurang hingga mencapai emetrop
dan kadang-kadang menjadi miopia. Ini umumnya terjadi karena
pertumbuhan sumbu bola mata yang relatif stabil hingga umur
remaja (Vaughan dan Asbury, 2009)
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.2 Skema Gambar Miopia (Boston Children’s Hospital,
2011)
Komponen refraksi mata yang berhubungan dengan miopia
yaitu kekuatan kornea, kedalaman camera okuli anterior (anterior
chamber), kekuatan lensa, dan panjang aksis bola mata (Wilson,
2011).
Apabila terdapat ketidaksesuaian antara kekuatan refraksi dari
segmen anterior bola mata dengan aksis bola mata, seperti misalnya
gangguan emetropisasi oleh karena genetik maupun lingkungan
maka miopia bisa terjadi (Wilson, 2011)
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor risiko yang berkaitan dengan onset dan perkembangan
miopia sangat kompleks (Zeyu, 2009). Berdasarkan teori Qigjong et
al., dalam Masood et al., (2007) bahwa miopia fisiologis
berkembang seiring dengan pertumbuhan mata, dan ini biasanya
berawal pada masa kanak-kanak dan memburuk sampai usia remaja.
Sedangkan miopia patologis mempengaruhi 1-2% populasi yang
kemudian dapat mengakibatkan kebutaan.
b. Klasifikasi Miopia
Terdapat beberapa tipe miopia, antara lain sebagai berikut.
1) Miopia aksial
Miopia aksial terjadi akibat bertambah panjangnya diameter
anteroposterior bola mata dari normal. Perubahan diameter
anteroposterior bola mata 1 mm akan menimbulkan perubahan
refraksi sebesar 3 dioptri.
2) Miopia kurfatura
Miopia disebut miopia kurfatura apabila unsur-unsur
pembias lebih refraktif dibandingkan rata-rata. Atau bisa juga
karena bertambahnya kelengkungan kurfatura kornea, misalnya
pada
keratokonus
dan
kelainan
kongenital.
Perubahan
kelengkungan kornea sebesar 1 mm akan menimbulkan
perubahan refraksi sebesar 6 dioptri.
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Miopia indeks refraksi
Peningkatan indeks bias media refraksi sering terjadi pada
penderita diabetes melitus dengan kadar gula yang tidak
terkontrol.
4) Perubahan posisi lensa
Perubahan posisi lensa ke arah anterior setelah tindakan
bedah terutama glaukoma (Irwana et al., 2009).
Berdasarkan derajat beratnya miopia dibagi dalam:
1) Miopia ringan, di mana miopia antara1-3 dioptri
2) Miopia sedang, di mana miopia antara 3-6 dioptri
3) Miopia tinggi, di mana miopia lebih dari 6 dioptri
(Ilyas, 2010; Goss et al., 2006)
c. Etiologi dan Faktor Risiko Miopia
Etiologi miopia sampai saat ini masih menjadi kontroversi.
Panjang aksis bola mata diperkirakan sebagai faktor utama penentu
kelainan refraksi, dan komponen-komponen refraksi bola mata yang
juga dipengaruhi oleh gen (Zeyu, 2009). Miopia biasanya terjadi
ketika bola mata mengalami perkembangan. Apabila bola mata
terlalu panjang, sinar cahaya tidak akan terkumpul di retina,
melainkan di depan retina. Miopia cenderung berkembang pada usia
8-12 tahun, hingga sebelum 20 tahun, dimana pada tahap ini mata
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akan mengalami perubahan seiring dengan pertumbuhan dan akan
stabil saat mencapai usia dewasa (Evangeline, 2011)
Diyakini terdapat interaksi yang kuat antara faktor genetik dan
faktor lingkungan terhadap timbulnya miopia (Masood et al., 2010).
Anak dengan kedua orang tua miopia mempunyai risiko 33% untuk
menderita miopia (Hong, 2011).
Selain genetik, terdapat cukup bukti adanya peran faktor
lingkungan, gizi, etnik dan bekerja jarak dekat yang berhubungan
dengan peningkatan miopia (Chalasani et al., 2012; Borchert et al.,
2011). Hal tersebut serupa pada penelitian oleh Grosvennor et al.
dalam Evangeline (2011) bahwa terlalu banyak bekerja dalam jarak
dekat, gizi buruk, stres, dan faktor lingkungan lain secara signifikan
berhubungan dengan miopia. Ketika seseorang menghabiskan
banyak waktu untuk bekerja jarak dekat, akan terjadi kompensasi
perkembangan bola mata, sehingga sulit untuk membuat fokus mata
jatuh di retina.
Dalam studinya, Saad (2007) juga mengatakan bahwa faktor
sosioekonomi
berhubungan
dengan
miopia.
Pengukuran
antropometri dengan indeks tinggi badan menurut umur juga lebih
erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Supariasa, 2001).
d. Pemeriksaan Pasien Miopia
Pasien dengan diagnosis miopia biasanya datang dengan
keluhan utama penglihatan menurun atau kabur saat melihat bendacommit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
benda jauh (Perdami, 2007; Zeyu, 2009), selain itu kadang disertai
dengan
gejala
sakit
kepala
meskipun
jarang,
juling,
dan
mengernyitkan mata ketika silau (Ilyas, 2010; National Eye Institute,
2010).
Miopia dapat dideteksi dengan tes tajam penglihatan,
retinoskopi, autorefraction, atau photorefraction saat skrining
penglihatan atau pemeriksaan klinis, akan tetapi tes-tes tersebut tidak
mampu mengidentifikasi jenis miopia (Goss et al., 2006).
1) Pemeriksaan Visus
Visus atau tajam penglihatan biasanya diukur menggunakan
kartu snellen. Tajam penglihatan ditentukan dengan melihat
kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada
jarak baku pada kartu. Hasilnya dinyatakan dengan angka
pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini
mata dapat melihat huruf pada jarak 20 kaki yang seharusnya
dapat dilihat pada jarak tersebut (Ilyas, 2010).
Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan
jarak pemeriksa dan penderita sebesar 5-6 m, sesuai dengan jarak
tak terhingga, dan pemeriksaan ini harus dilakukan dengan
tenang, baik pemeriksa maupun penderita (Vaughan dan Asbury,
2009).
Untuk anak-anak yang belum mengenal huruf atau angka
atau orang buta huruf dapat dipakai kartu E. Pemeriksaan tajam
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penglihatan pada anak-anak sangat penting digunakan sebagai
deteksi dini adanya kelainan refraksi pada anak, karena usia ini
sangat peka untuk mengetahui masalah kelainan oftalmologi
(Syarif dan Sukmawati, 2008)
Gambar 2.3 Snellen Chart (Segre, 2011)
2) Pemeriksaan Refraksi
Pemeriksaan refraksi ada dua yaitu subjektif dan objektif.
Pemeriksaan refraksi subjektif tergantung pada respon pasien
untuk mendapatkan koreksi tajam penglihatan yang terbaik
(Perdami, 2007). Sedangkan pada pemeriksaan objektif hasil
refraksi dapat ditentukan tanpa mengandalkan masukan atau
respons dari pasien (Launardo, 2010). Pemeriksaan refraksi
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
objektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi. Pada saat
pemeriksaan dengan retinoskopi, pasien disuruh melihat ke suatu
benda pada jarak tertentu yang diperkirakan tidak membutuhkan
daya akomodasi. Pemeriksaan ini dilakukan saat akomodasi mata
pasien relaksasi (Perdami, 2007).
Benjamin dalam Launardo (2010) mengatakan bahwa
pemeriksaan refraksi pada anak usia pra sekolah paling tepat
dilakukan mulai usia 3 tahun, karena pada usia tersebut anak
sudah dapat diajak kooperatif, namun pemeriksaan refraksi
subjektif masih sulit dilakukan karena membutuhkan kerjasama
penuh pasien.
e. Koreksi Mata Miopia
Koreksi mata miopia biasanya menggunakan lensa sferis
konkaf (minus) terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan
maksimal. Lensa ini berfungsi memundurkan bayangan ke retina.
Sebagai contoh apabila pasien dikoreksi dengan -3.0 D memberikan
tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S -3.25 D maka
sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0 D untuk memberikan istirahat
mata dengan baik sesudah dikoreksi (Vaughan dan Asbury, 2009;
Ilyas, 2010). Pemakaian kaca mata dapat terjadi pengecilan ukuran
benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan
pengecilan benda sebesar 2% (Perdami, 2007).
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lensa kontak merupakan pilihan kedua yang sering digunakan
oleh penderita miopia. Ada berbagai pertimbangan pemakaian lensa
kontak, di antaranya yaitu termasuk usia pasien, motivasi untuk
memakai lensa kontak, perawatan lensa kontak harus sesuai
prosedur, fisiologi kornea, dan pertimbangan keuangan (Goss et al,
2006). Penggunaan lensa kontak tidak dianjurkan untuk anak-anak.
Pembedahan refraksi untuk mengurangi daya optik lensa juga tidak
dianjurkan hingga perkembangan media refrakta stabil yaitu
mencapai 20 tahun. Yang paling sering digunakan untuk koreksi
miopia pada anak adalah kacamata (Morgan et al., 2012).
f. Komplikasi Miopia
Komplikasi yang sering terjadi pada miopia adalah visual loss,
glaukoma, katarak, dan ablasio retina. Risiko ablasio retina
meningkat seiring dengan perkembangan miopia (Goss et al., 2006).
Pemanjangan aksis bola mata yang berlebihan dapat menyebabkan
kelainan mata patologis seperti katarak, glaukoma, abnormalitas
diskus opticus, dan degenerasi makular (Wilson, 2011).
5.
Pengukuran Tinggi Badan menurut Umur
Tinggi
badan
merupakan
pengukuran
antropometri
yang
menggambarkan pertumbuhan skeletal. Pengukuran ini memberikan
gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering
dan kecil pendek. Pengaruh defisiensi zat terhadap tinggi badan akan
nampak dalam waktu yang relatif lama. Keadaan indeks ini erat
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kaitannya dengan status sosial ekonomi, yang pada umumnya
memberikan
gambaran
keadaan
lingkungan
yang
tidak
baik,
kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Supariasa, 2001;
Depkes RI, 2004).
Tabel 2.1 Penilaian Indeks TB/U, Standart Baku Antropometeri WHONCHS
Indeks yang
Batas
dipakai
Pengelompokan
TB/U
Keterangan
< -3 SD
Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD
Pendek
- 2 s/d +2 SD
Normal
> +2 SD
Tinggi
(Depkes RI, 2004)
Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB
disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang
baku (standart deviation score = z). Waterlow merekomendasikan
penggunaan SD untuk menyatakan hasil pengukuran pertumbuhan atau
Growth Monitoring (Supariasa, 2001). Kategori pengukuran ini juga
dipakai untuk pembaruan pada WHO 2007 (WHO, 2013).
Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh
dengan mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai
Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan,
hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau
dengan menggunakan rumus (Depkes RI, 2008) :
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
z-skor = Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan
Nilai Simpang Baku Rujukan
6.
Anak Usia Sekolah
Anak sekolah merupakan salah satu sektor yang paling penting
dalam masyarakat karena pertumbuhan yang berkelanjutan dan
pembangunan di semua tingkatan (Moselhy et al, 2011).
Tumbuh kembang anak secara optimal dalam semua aspek
kehidupan sangat penting. Banyak faktor yang yang mempengaruhi
kesehatan anak termasuk di antaranya pemberian asi saat bayi,
imunisasi, status gizi, dan penyakit infeksi (Adhiwiryono, 2010).
Sebuah studi menunjukkan bahwa anak-anak muda yang bertubuh
pendek (stunting) nantinya akan berkaitan dengan kinerja pendidikan
yang buruk, penurunan lama pendidikan dan penurunan pendapatan
ketika dewasa (Unicef, 2012).
Penyakit mata merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di masa anak sekolah. Gangguan mata pada usia anak sekolah
dapat berefek ke karir, pendidikan, sosial ekonomi, dan tingkat
kecerdasan (Tiharyo et al., 2008). Kelainan refraksi pada anak dengan
prevalensi 22,1% menjadi salah satu masalah serius di Indonesia.
Diduga sebesar 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun)
menderita kelainan refraksi, dan angka pemakaian kacamata koreksi
masih sangat rendah yaitu 12,5%. Apabila hal ini tidak ditangani maka
akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proses pembelajarannya yang selanjutnya bisa mempengaruhi mutu,
kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja, sehingga diperlukan usaha
seperti uji skrinning sebagai langkah awal untuk menuntaskan masalah
kelainan refraksi tersebut (Depkes RI, 2005).
7.
Hubungan Tinggi Badan dengan Miopia
Pengukuran tinggi
badan merupakan salah
satu
bentuk
pengukuran untuk mengetahui perkembangan tumbuh kembang
individu yang sering digunakan karena mudah diukur dan diamati
(Wijanarko et al., 2011).
Dengan melihat faktor-faktor lain, perawakan tubuh dikatakan
memiliki hubungan dengan penyakit mata, di mana panjang bola mata
kemungkinan memiliki hubungan dengan tinggi badan (Saw et al.,
2002).
Peningkatan terjadinya miopia berkaitan dengan hubungan faktor
lingkungan dengan panjang aksis bola mata (Morgan et al., 2005).
Seperti yang dikatakan Cordain et al., dalam Ojaimi et al., (2005)
bahwa orang yang lebih tinggi cenderung mengalami miopia daripada
orang yang bertubuh pendek. Anak-anak yang badannya tinggi
memiliki bola mata lebih panjang, badan kaca yang lebih dalam, lensa
yang tipis, camera okuli anterior lebih dalam, kornea datar, refraksi
lebih negatif, dan rasio AL/CR lebih tinggi daripada anak yang
tubuhnya pendek (Saw et al., 2002).
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peningkatan BMI dan tinggi badan pada beberapa penelitian
yang sudah dilakukan sebelumnya berhubungan dengan panjang aksis
bola mata. Sebuah studi baru-baru ini pada mata kembar anak China
menunjukkan hubungan yang signifikan antara tinggi badan dengan
panjang aksis bola mata (Jung et al., 2012). Secara teoritis, hubungan
tinggi badan dengan panjang aksis bola mata dapat mengakibatkan
deregulasi miopia (Ojaimi et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitiannya
pada anak usia 6-7 tahun dan 12-13 tahun, Ojaimi et al., (2005)
memperoleh hasil bahwa setiap penambahan tinggi badan 10 cm
dengan mengontrol usia, jenis kelamin, berat badan, dan parental
history miopia didapatkan penambahan panjang aksis sebesar 0,29 mm.
Peneliti Ojaimi mengemukakan bahwa terdapat bukti kuat tinggi badan
berhubungan dengan panjang aksis bola mata dan radius kornea,
dimana hubungan antara tinggi badan dan aksis bola mata dengan tinggi
badan dan radius kornea saling mengkompensasi satu sama lain.
Namun, hal ini tidak berhubungan dengan derajat besarnya myopia.
Seiring dengan pertumbuhan badan, maka miopia seseorang
cenderung akan bertambah, hal ini disebabkan karena sumbu bola mata
yang ikut memanjang. Saw et al., (2002) mengatakan bahwa
kecenderungan hubungan tinggi badan dengan myopia pada anak lakilaki dan perempuan berbeda. Pada penelitiannya ditemukan bahwa
tinggi badan berhubungan dengan miopia, terutama pada perempuan.
Perempuan mengalami masa pubertas lebih cepat dibandingkan lakicommit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
laki, hal ini memungkinkan bahwa percepatan pertumbuhan ketika
pubertas berhubungan dengan miopia. Sementara itu, studi lain
menunjukkan bahwa tinggi badan berhubungan dengan kelainan
refraksi pada anak laki-laki dan tidak berhubungan pada anak
perempuan (Choo V, 2003).
B. Kerangka Pemikiran
Indikator pengukuran
TB/U
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi
Tidak Tinggi
Aksis bola mata
lebih panjang
Bayangan jatuh
di depan retina
Miopia
C. Hipotesis
Dari kerangka pemikiran di atas, kemudian diajukan rumusan
hipotesis sebagai berikut: “Terdapat hubungan antara tinggi badan menurut
umur dengan kejadian miopia pada anak di SDN Cemara Dua Surakarta.”
commit to user
23
Download