perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Anatomi Bola Mata Bola mata merupakan organ penglihatan manusia yang menempati bagian depan orbita (Moore et al., 2010). Pada anak baru lahir, rata-rata diameter antero-posteriornya adalah 16,5 mm, relatif lebih besar untuk ukuran tubuhnya saat itu dibandingkan ketika pada masa kanak-kanak atau dewasa (Vaughan dan Asbury, 2009) Dalam bola mata terdapat beberapa struktur yang berperan penting dalam refraksi cahaya atau disebut sebagai media refrakta. Struktur tersebut antara lain kornea, aqueous humor, lensa, dan badan kaca (vitreous humor). Aqueous humor adalah cairan yang terletak pada segmen anterior bola mata. Segmen anterior dibagi oleh iris dan pupil menjadi camera okuli anterior (anterior chamber) dan camera okuli posterior (posterior chamber). Aqueous humor diproduksi di badan siliaris, selanjutnya menuju camera okuli posterior, dan masuk ke camera okuli anterior melalui pupil. Di sudut sklerokorneal terdapat daerah trabekular yang memiliki kanal Schlemm, tempat aqueous humor diserap (Moore et al., 2010; Vaughan dan Asbury, 2009). Lensa merupakan struktur transparan dan bikonveks yang terletak di sebelah posterior iris. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Posisi lensa dipertahankan oleh serat zonule yang muncul dari badan siliaris (Vaughan dan Asbury, 2009). Badan kaca atau vitreus humor adalah badan gelatin yang terletak di posterior lensa dan menempel pada retina, berkontribusi pada 2/3 volume dan berat bola mata (Vaughan dan Asbury, 2009). Badan kaca ini merupakan jalan lewatnya cahaya sebelum mencapai nervus opticus. Nervus opticus berfungsi untuk mengirimkan informasi visual ke otak (Sebastian, 2010). Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata (Lucile Packard Children’s Hospital, 2013) Sebagian besar bayi lahir dengan mata hipermetrop, kemudian terjadi proses emetropisasi. Pada proses emetropisasi ini terjadi perubahan pada komponen refraksi yaitu penambahan panjang aksis bola mata, serta penurunan kekuatan refraksi kornea dan lensa (Tiharyo, 2007). commit to user 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Emetropisasi merupakan proses kompensasi pemanjangan aksis bola mata selama masa pertumbuhan dengan mengurangi kekuatan refraksi segmen anterior bola mata. Proses emetropisasi ini biasanya terjadi pada delapan belas bulan pertama kehidupan dan keadaan emmetrop dicapai pada sekitar usia 9 sampai 14 tahun. Anak dengan aksis bola mata yang lebih panjang memiliki risiko lebih besar terkena miopia. Aksis bola mata berhubungan dengan miopia hanya ketika proses emetropisasi ini tidak berhasil, sehingga orang yang miopia memiliki aksis mata yang lebih panjang daripada yang tidak miopia (Wilson, 2011) 2. Fisiologi Penglihatan Ketika cahaya mengenai benda, cahaya terpantul masuk ke dalam mata dan mengenai kornea, yang membantu memusatkan perhatian. Selanjutnya cahaya melewati aqueous humor dan iris. Iris berfungsi untuk mengatur jumlah intensitas cahaya yang masuk ke mata. Setelah melewati pupil, cahaya menuju lensa di mana lensa akan berubah bentuk sesuai jarak objek dekat atau jauh, yang selanjutnya cahaya difokuskan ke retina. Dari retina, cahaya diproyeksikan ke sebuah permukaan datar. Energi kimia cahaya ini kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh fotoreseptor pada retina. Sinyal-sinyal listrik ini kemudian dikirim ke saraf optik, yang akan mengirimkan informasi visual ke otak. Otak akan menerima sinyal ini dalam pentuk penglihatan (William, 2013). commit to user 8 perpustakaan.uns.ac.id 3. digilib.uns.ac.id Kelainan Refraksi Untuk bisa menghasilkan informasi visual yang akurat, cahaya harus difokuskan tepat di retina. Mata normal atau emetrop akan menempatkan bayangan tepat di retina ketika mata tidak berakomodasi. Apabila cahaya pararel tidak difokuskan di retina ketika mata tak berakomodasi maka keadaan mata disebut ametropia. Hal ini bisa terjadi akibat kelainan kekuatan pembiasan sinar media penglihatan atau adanya kelainan bentuk bola mata (Ilyas, 2010). Kelainan refraksi yang sering terjadi adalah sebagai berikut. a. Miopia, terjadi karena pembiasan media refraksi terlalu kuat atau panjang anteroposterior bola mata yang terlalu besar, sehingga menyebabkan fokus bayangan benda jatuh di depan retina (Ilyas, 2010). b. Hipermetropia, terjadi akibat pendeknya sumbu bola mata, sehingga kekuatan optik rendah, menyebabkan bayangan benda jatuh di belakang retina (Ilyas, 2010; Sarwanto & Anwar, 2007). c. Astigmatisme, terjadi akibat sinar tidak difokuskan pada satu titik yang sama di retina, akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus. Hal ini karena adanya kelainan pada kelengkungan permukaan kornea (Ilyas, 2010; Sarwanto & Anwar, 2007). commit to user 9 perpustakaan.uns.ac.id 4. digilib.uns.ac.id Miopia a. Definisi Miopia adalah kelainan refraksi di mana gambar objek yang terletak jauh difokuskan di depan retina, dalam keadaan mata tidak berakomodasi. Miopia dapat terjadi karena bola mata terlalu panjang, kekuatan refraksi mata terlalu kuat maupun kombinasi dari keduanya (Edward & Lam, 2004). Hal ini menyebabkan pandangan menjadi kabur (Biotext, 2008). Menurut Grosvenor dan Goss dalam Hong (2011) panjangnya aksis bola mata pada miopia ini umumnya disebabkan karena perluasan dari ruang badan kaca. Umumnya miopia berkembang selama masa anak-anak, namun juga bisa berkembang pada saat-saat remaja akhir atau dewasa awal. Seperti pada orang dewasa, miopia pada anak juga diyakini adanya peranan faktor genetik dan lingkungan. Peningkatan daya akomodasi selama melihat dekat seperti membaca dan menulis berhubungan dengan perkembangan miopia pada anak sekolah (Morgan et al., 2012). Sampai saat ini sebab terjadinya miopia masih belum jelas. Teoritis sebagian besar bayi saat lahir mengalami hipermetropia ringan, yang secara perlahan berkurang hingga mencapai emetrop dan kadang-kadang menjadi miopia. Ini umumnya terjadi karena pertumbuhan sumbu bola mata yang relatif stabil hingga umur remaja (Vaughan dan Asbury, 2009) commit to user 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.2 Skema Gambar Miopia (Boston Children’s Hospital, 2011) Komponen refraksi mata yang berhubungan dengan miopia yaitu kekuatan kornea, kedalaman camera okuli anterior (anterior chamber), kekuatan lensa, dan panjang aksis bola mata (Wilson, 2011). Apabila terdapat ketidaksesuaian antara kekuatan refraksi dari segmen anterior bola mata dengan aksis bola mata, seperti misalnya gangguan emetropisasi oleh karena genetik maupun lingkungan maka miopia bisa terjadi (Wilson, 2011) commit to user 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Faktor risiko yang berkaitan dengan onset dan perkembangan miopia sangat kompleks (Zeyu, 2009). Berdasarkan teori Qigjong et al., dalam Masood et al., (2007) bahwa miopia fisiologis berkembang seiring dengan pertumbuhan mata, dan ini biasanya berawal pada masa kanak-kanak dan memburuk sampai usia remaja. Sedangkan miopia patologis mempengaruhi 1-2% populasi yang kemudian dapat mengakibatkan kebutaan. b. Klasifikasi Miopia Terdapat beberapa tipe miopia, antara lain sebagai berikut. 1) Miopia aksial Miopia aksial terjadi akibat bertambah panjangnya diameter anteroposterior bola mata dari normal. Perubahan diameter anteroposterior bola mata 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri. 2) Miopia kurfatura Miopia disebut miopia kurfatura apabila unsur-unsur pembias lebih refraktif dibandingkan rata-rata. Atau bisa juga karena bertambahnya kelengkungan kurfatura kornea, misalnya pada keratokonus dan kelainan kongenital. Perubahan kelengkungan kornea sebesar 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 6 dioptri. commit to user 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3) Miopia indeks refraksi Peningkatan indeks bias media refraksi sering terjadi pada penderita diabetes melitus dengan kadar gula yang tidak terkontrol. 4) Perubahan posisi lensa Perubahan posisi lensa ke arah anterior setelah tindakan bedah terutama glaukoma (Irwana et al., 2009). Berdasarkan derajat beratnya miopia dibagi dalam: 1) Miopia ringan, di mana miopia antara1-3 dioptri 2) Miopia sedang, di mana miopia antara 3-6 dioptri 3) Miopia tinggi, di mana miopia lebih dari 6 dioptri (Ilyas, 2010; Goss et al., 2006) c. Etiologi dan Faktor Risiko Miopia Etiologi miopia sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Panjang aksis bola mata diperkirakan sebagai faktor utama penentu kelainan refraksi, dan komponen-komponen refraksi bola mata yang juga dipengaruhi oleh gen (Zeyu, 2009). Miopia biasanya terjadi ketika bola mata mengalami perkembangan. Apabila bola mata terlalu panjang, sinar cahaya tidak akan terkumpul di retina, melainkan di depan retina. Miopia cenderung berkembang pada usia 8-12 tahun, hingga sebelum 20 tahun, dimana pada tahap ini mata commit to user 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id akan mengalami perubahan seiring dengan pertumbuhan dan akan stabil saat mencapai usia dewasa (Evangeline, 2011) Diyakini terdapat interaksi yang kuat antara faktor genetik dan faktor lingkungan terhadap timbulnya miopia (Masood et al., 2010). Anak dengan kedua orang tua miopia mempunyai risiko 33% untuk menderita miopia (Hong, 2011). Selain genetik, terdapat cukup bukti adanya peran faktor lingkungan, gizi, etnik dan bekerja jarak dekat yang berhubungan dengan peningkatan miopia (Chalasani et al., 2012; Borchert et al., 2011). Hal tersebut serupa pada penelitian oleh Grosvennor et al. dalam Evangeline (2011) bahwa terlalu banyak bekerja dalam jarak dekat, gizi buruk, stres, dan faktor lingkungan lain secara signifikan berhubungan dengan miopia. Ketika seseorang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja jarak dekat, akan terjadi kompensasi perkembangan bola mata, sehingga sulit untuk membuat fokus mata jatuh di retina. Dalam studinya, Saad (2007) juga mengatakan bahwa faktor sosioekonomi berhubungan dengan miopia. Pengukuran antropometri dengan indeks tinggi badan menurut umur juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Supariasa, 2001). d. Pemeriksaan Pasien Miopia Pasien dengan diagnosis miopia biasanya datang dengan keluhan utama penglihatan menurun atau kabur saat melihat bendacommit to user 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id benda jauh (Perdami, 2007; Zeyu, 2009), selain itu kadang disertai dengan gejala sakit kepala meskipun jarang, juling, dan mengernyitkan mata ketika silau (Ilyas, 2010; National Eye Institute, 2010). Miopia dapat dideteksi dengan tes tajam penglihatan, retinoskopi, autorefraction, atau photorefraction saat skrining penglihatan atau pemeriksaan klinis, akan tetapi tes-tes tersebut tidak mampu mengidentifikasi jenis miopia (Goss et al., 2006). 1) Pemeriksaan Visus Visus atau tajam penglihatan biasanya diukur menggunakan kartu snellen. Tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku pada kartu. Hasilnya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini mata dapat melihat huruf pada jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut (Ilyas, 2010). Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak pemeriksa dan penderita sebesar 5-6 m, sesuai dengan jarak tak terhingga, dan pemeriksaan ini harus dilakukan dengan tenang, baik pemeriksa maupun penderita (Vaughan dan Asbury, 2009). Untuk anak-anak yang belum mengenal huruf atau angka atau orang buta huruf dapat dipakai kartu E. Pemeriksaan tajam commit to user 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id penglihatan pada anak-anak sangat penting digunakan sebagai deteksi dini adanya kelainan refraksi pada anak, karena usia ini sangat peka untuk mengetahui masalah kelainan oftalmologi (Syarif dan Sukmawati, 2008) Gambar 2.3 Snellen Chart (Segre, 2011) 2) Pemeriksaan Refraksi Pemeriksaan refraksi ada dua yaitu subjektif dan objektif. Pemeriksaan refraksi subjektif tergantung pada respon pasien untuk mendapatkan koreksi tajam penglihatan yang terbaik (Perdami, 2007). Sedangkan pada pemeriksaan objektif hasil refraksi dapat ditentukan tanpa mengandalkan masukan atau respons dari pasien (Launardo, 2010). Pemeriksaan refraksi commit to user 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id objektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi. Pada saat pemeriksaan dengan retinoskopi, pasien disuruh melihat ke suatu benda pada jarak tertentu yang diperkirakan tidak membutuhkan daya akomodasi. Pemeriksaan ini dilakukan saat akomodasi mata pasien relaksasi (Perdami, 2007). Benjamin dalam Launardo (2010) mengatakan bahwa pemeriksaan refraksi pada anak usia pra sekolah paling tepat dilakukan mulai usia 3 tahun, karena pada usia tersebut anak sudah dapat diajak kooperatif, namun pemeriksaan refraksi subjektif masih sulit dilakukan karena membutuhkan kerjasama penuh pasien. e. Koreksi Mata Miopia Koreksi mata miopia biasanya menggunakan lensa sferis konkaf (minus) terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Lensa ini berfungsi memundurkan bayangan ke retina. Sebagai contoh apabila pasien dikoreksi dengan -3.0 D memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S -3.25 D maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0 D untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi (Vaughan dan Asbury, 2009; Ilyas, 2010). Pemakaian kaca mata dapat terjadi pengecilan ukuran benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan pengecilan benda sebesar 2% (Perdami, 2007). commit to user 17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Lensa kontak merupakan pilihan kedua yang sering digunakan oleh penderita miopia. Ada berbagai pertimbangan pemakaian lensa kontak, di antaranya yaitu termasuk usia pasien, motivasi untuk memakai lensa kontak, perawatan lensa kontak harus sesuai prosedur, fisiologi kornea, dan pertimbangan keuangan (Goss et al, 2006). Penggunaan lensa kontak tidak dianjurkan untuk anak-anak. Pembedahan refraksi untuk mengurangi daya optik lensa juga tidak dianjurkan hingga perkembangan media refrakta stabil yaitu mencapai 20 tahun. Yang paling sering digunakan untuk koreksi miopia pada anak adalah kacamata (Morgan et al., 2012). f. Komplikasi Miopia Komplikasi yang sering terjadi pada miopia adalah visual loss, glaukoma, katarak, dan ablasio retina. Risiko ablasio retina meningkat seiring dengan perkembangan miopia (Goss et al., 2006). Pemanjangan aksis bola mata yang berlebihan dapat menyebabkan kelainan mata patologis seperti katarak, glaukoma, abnormalitas diskus opticus, dan degenerasi makular (Wilson, 2011). 5. Pengukuran Tinggi Badan menurut Umur Tinggi badan merupakan pengukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Pengukuran ini memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Pengaruh defisiensi zat terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Keadaan indeks ini erat commit to user 18 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kaitannya dengan status sosial ekonomi, yang pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Supariasa, 2001; Depkes RI, 2004). Tabel 2.1 Penilaian Indeks TB/U, Standart Baku Antropometeri WHONCHS Indeks yang Batas dipakai Pengelompokan TB/U Keterangan < -3 SD Sangat Pendek - 3 s/d <-2 SD Pendek - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Tinggi (Depkes RI, 2004) Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standart deviation score = z). Waterlow merekomendasikan penggunaan SD untuk menyatakan hasil pengukuran pertumbuhan atau Growth Monitoring (Supariasa, 2001). Kategori pengukuran ini juga dipakai untuk pembaruan pada WHO 2007 (WHO, 2013). Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus (Depkes RI, 2008) : commit to user 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id z-skor = Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan 6. Anak Usia Sekolah Anak sekolah merupakan salah satu sektor yang paling penting dalam masyarakat karena pertumbuhan yang berkelanjutan dan pembangunan di semua tingkatan (Moselhy et al, 2011). Tumbuh kembang anak secara optimal dalam semua aspek kehidupan sangat penting. Banyak faktor yang yang mempengaruhi kesehatan anak termasuk di antaranya pemberian asi saat bayi, imunisasi, status gizi, dan penyakit infeksi (Adhiwiryono, 2010). Sebuah studi menunjukkan bahwa anak-anak muda yang bertubuh pendek (stunting) nantinya akan berkaitan dengan kinerja pendidikan yang buruk, penurunan lama pendidikan dan penurunan pendapatan ketika dewasa (Unicef, 2012). Penyakit mata merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di masa anak sekolah. Gangguan mata pada usia anak sekolah dapat berefek ke karir, pendidikan, sosial ekonomi, dan tingkat kecerdasan (Tiharyo et al., 2008). Kelainan refraksi pada anak dengan prevalensi 22,1% menjadi salah satu masalah serius di Indonesia. Diduga sebesar 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi, dan angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah yaitu 12,5%. Apabila hal ini tidak ditangani maka akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan commit to user 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id proses pembelajarannya yang selanjutnya bisa mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja, sehingga diperlukan usaha seperti uji skrinning sebagai langkah awal untuk menuntaskan masalah kelainan refraksi tersebut (Depkes RI, 2005). 7. Hubungan Tinggi Badan dengan Miopia Pengukuran tinggi badan merupakan salah satu bentuk pengukuran untuk mengetahui perkembangan tumbuh kembang individu yang sering digunakan karena mudah diukur dan diamati (Wijanarko et al., 2011). Dengan melihat faktor-faktor lain, perawakan tubuh dikatakan memiliki hubungan dengan penyakit mata, di mana panjang bola mata kemungkinan memiliki hubungan dengan tinggi badan (Saw et al., 2002). Peningkatan terjadinya miopia berkaitan dengan hubungan faktor lingkungan dengan panjang aksis bola mata (Morgan et al., 2005). Seperti yang dikatakan Cordain et al., dalam Ojaimi et al., (2005) bahwa orang yang lebih tinggi cenderung mengalami miopia daripada orang yang bertubuh pendek. Anak-anak yang badannya tinggi memiliki bola mata lebih panjang, badan kaca yang lebih dalam, lensa yang tipis, camera okuli anterior lebih dalam, kornea datar, refraksi lebih negatif, dan rasio AL/CR lebih tinggi daripada anak yang tubuhnya pendek (Saw et al., 2002). commit to user 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Peningkatan BMI dan tinggi badan pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya berhubungan dengan panjang aksis bola mata. Sebuah studi baru-baru ini pada mata kembar anak China menunjukkan hubungan yang signifikan antara tinggi badan dengan panjang aksis bola mata (Jung et al., 2012). Secara teoritis, hubungan tinggi badan dengan panjang aksis bola mata dapat mengakibatkan deregulasi miopia (Ojaimi et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitiannya pada anak usia 6-7 tahun dan 12-13 tahun, Ojaimi et al., (2005) memperoleh hasil bahwa setiap penambahan tinggi badan 10 cm dengan mengontrol usia, jenis kelamin, berat badan, dan parental history miopia didapatkan penambahan panjang aksis sebesar 0,29 mm. Peneliti Ojaimi mengemukakan bahwa terdapat bukti kuat tinggi badan berhubungan dengan panjang aksis bola mata dan radius kornea, dimana hubungan antara tinggi badan dan aksis bola mata dengan tinggi badan dan radius kornea saling mengkompensasi satu sama lain. Namun, hal ini tidak berhubungan dengan derajat besarnya myopia. Seiring dengan pertumbuhan badan, maka miopia seseorang cenderung akan bertambah, hal ini disebabkan karena sumbu bola mata yang ikut memanjang. Saw et al., (2002) mengatakan bahwa kecenderungan hubungan tinggi badan dengan myopia pada anak lakilaki dan perempuan berbeda. Pada penelitiannya ditemukan bahwa tinggi badan berhubungan dengan miopia, terutama pada perempuan. Perempuan mengalami masa pubertas lebih cepat dibandingkan lakicommit to user 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id laki, hal ini memungkinkan bahwa percepatan pertumbuhan ketika pubertas berhubungan dengan miopia. Sementara itu, studi lain menunjukkan bahwa tinggi badan berhubungan dengan kelainan refraksi pada anak laki-laki dan tidak berhubungan pada anak perempuan (Choo V, 2003). B. Kerangka Pemikiran Indikator pengukuran TB/U Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi Tidak Tinggi Aksis bola mata lebih panjang Bayangan jatuh di depan retina Miopia C. Hipotesis Dari kerangka pemikiran di atas, kemudian diajukan rumusan hipotesis sebagai berikut: “Terdapat hubungan antara tinggi badan menurut umur dengan kejadian miopia pada anak di SDN Cemara Dua Surakarta.” commit to user 23