Pelayanan dan “Kepemimpinan” Paulus Rekonstruksi Konsep Pelayanan dan “Kepemimpinan” dalam Tulisan-Tulisan Paulus1 Pdt. Yusak B. Setyawan,MATS,Ph.D2 VEpi,steusa( dio. evla,lhsa()) Aku percaya, maka aku berkata-kata (2 Kor 4:13) Abstract This article constitutes a reconstruction of the concept of ministry and leadership as deducted from reading of undisputed Pauline letters. Four significant emphases regarding the concept of ministry and leadership are explicated, i.e. apostle of other nations, urban context, the servant of the Lord Jesus Christ, and ecclesiastical context. This article suggests that ethic of ministry and leadership Paul practices grounds on belief in Jesus Christ, making his ministry and leadership are Christological. Exercising in the context of ecclesia, however, the ethos of Paul’s ministry and leadership is potentially significant for practicing ministry and leadership in the wider public context. Pendahuluan Topik pelayanan dan kepemimpinan dalam hubungannya dengan hidup, karya dan teologi Paulus dari Tarsus sangatlah menantang untuk dikupas, bukan karena kesederhanaan dari topik tersebut melainkan justru karena kompleksitasnya. Catatan pertama yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah bahwa Paulus sendiri melalui catatan-catatan yang terekam dalam Perjanjian Kedua3 sangat mungkin tidak menyadari makna kata pelayanan dan kepemimpinan sebagaimana yang dipahami dalam konteks masa kini, khususnya dalam lingkup kegerejaan sekarang ini. Bahkan walaupun memang topik pelayanan dapat langsung diinferensi dari tulisan-tulisan Paulus, topik kepemimpinan amat jarang, kalau tidak sulit, ditemukan dalam tulisan-tulisannya. Sangat bisa dikatakan bahwa Paulus sebenarnya tidak mengembangkan konsep kepemimpinan melainkan justru pemikiranpemikirannya khususnya dalam konteks sosio-budaya pada saat dimana ia hidup dapat dikategorikan sebagai anti-kepemimpinan. Kedua, perihal catatan-catatan Paulus yang terekam dalam Perjanjian Yang Kedua, ahli-ahli biblika mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Namun demikian dalam paper ini, saya mengikuti pendapat yang sekarang ini secara mayoritas dipegang oleh ahli-ahli 1 Makalah penelitian disampaikan dalam Simposium Nasional Ikatan Sarjana Biblika Indonesia (ISBI), Jakarta, 26-28 Juli 2012. 2 Pdt. Yusak B. Setyawan, S.Si.,MATS, Ph.D adalah dosen pada Program Pasca-Sarjana Sosiologi Agama dan Ketua Program Studi Teologi, Fakultas Teologi, UKSW. Memperoleh gelar MATS (Master of Arts: Theological Studies) dari Associated Mennonite Biblical Seminary (AMBS), Indiana, USA, kemudian memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) dari Flinders University, Australia. Pdt. Dr. Yusak B. Setyawan mempunyai minat pada postcolonial hermeneutics, New Testament studies, seksualitas dalam agama dan masyarakat, peace studies, dan sosiologi gereja perdana. 3 Saya lebih merasa nyaman dengan penyebutan Perjanjian Pertama dan Perjanjian Kedua daripada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Penggunaan istilah Perjanjian Pertama dan Perjanjian Kedua menunjukkan penghargaan secara setara di antara keduanya serta menegaskan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam terang iman Kristen. 1 mengingat pendapat tersebut mempunyai dasar-dasar argumentatif yang meyakinkan. Pendapat tersebut adalah bahwa Surat Roma, I dan II Korintus, Galatia, Filipi, dan I Tesalonika serta Filemon adalah surat-surat yang diterima sebagai undisputed letters of Paul, sedangkan surat-surat lain selain tersebut di atas dalam kategori Corpus Paulinum dapat dikelompokkan sebagai surat pseudepigrafa dan atau sebagai surat-surat yang ditulis oleh penerus Paulus.4 Maka di atas dasar surat-surat yang dikategorikan sebagai undisputed letters of Paul topik pelayanan dan kepemimpinan Paulus dalam paper ini akan dianalisa dan dielaborasi. Paling tidak, melalui paper ini saya mau melihat apa persepsi dan konsepsi tentang pelayanan dan kepemimpinan sebagaimana Paulus sendiri pikirkan, walaupun demikian persepsi dan konsepsi tersebut tetap merupakan suatu rekonstruksi yang saya lakukan yang tidak lepas dari identitas saya sebagai orang Kristen Indonesia yang dilatih dalam pendidikan tinggi teologi dan berasal dari latar belakang Mennonit-Anabaptis. Suratsurat selain yang tersebut di atas akan diperlakukan sebagai sumber sekunder bersamasama dengan Kisah Para Rasul yang juga menyebut perihal kehidupan dan pelayanan Paulus walaupun sering terdapat ketidaksesuaian khususnya dari persepsi tentang peristiwa yang terjadi. Berdasarkan dua catatan tersebut di atas, saya akan memaparkan pemikiran-pemikiran tentang pelayanan dan kepemimpinan Paulus dengan mengacu pada analisa kritis teks-teks yang ditulis oleh Paulus sebagaimana tersedia dalam Perjanjian Kedua. Mengingat Paulus adalah tokoh historis yang pernah hidup pada masanya, maka perlu dikemukakan serba sedikit tentang latar belakang kehidupannya. Pembahasan tentang hal ini membawa saya pada pembahasan yang tak kalah pentingnya yakni Paulus dalam konteks sosio-historisnya. Paulus adalah sosok manusia urban dalam konteks Kekaisaran Romawi. Setelah itu pandangan dan sikap Paulus dalam kaitannya dengan pelayanan dan kepemimpinan dapat dideduksi dari surat-surat yang ia tulis. Pelayanan dan kepemimpinan Paulus terkait erat dengan paham teologis yang ia kembangkan yakni Kristologi. Berikutnya, manakala Paulus menyinggung baik secara ekplisit maupun terutama secara implisit tentang pelayanan dan kepemimpinan, maka dua hal tersebut selalu ditempatkan dalam konteks kongkrit yakni eklesia. Yang terakhir, saya akan menyampaikan kesimpulan dengan menekankan pada dinamika paradoksal dalam kaitannya dengan kepemimpinan dan pelayanan Paulus sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisnanya sendiri. Pelayanan Paulus: Rasul Bangsa-Bangsa Lain Citra paling kuat dari pelayanan dan kepemimpinan Paulus adalah sebagai pekabar Injil keliling dan pembentuk gereja-gereja khususnya di luar wilayah Palestina. Dua hal ini perlu mendapat perhatian ekstra, karena pada zaman pasca-Paskah Kristen, yakni masa setelah kebangkitan Yesus, aktifitas pekabaran Injil keliling tidak hanya dilakukan oleh Paulus.5 Telah banyak pengikut-pengikut Yesus yang lain, termasuk terutama Kelompok Dua Belas Murid, the Twelve, yang juga melakukan kegiatan pekabaran Injil di daerah-daerah dalam wilayah Mediterania bahkan keluar dari wilayah Mediterania juga. Dari sumber-sumber 4 Misalnya Bart D. Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings (Oxford: Oxford University, 1997); Norman Perrin, The New Testament: An Introduction. (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1974); Pheme Perkins, Reading the New Testament, An Introduction (New York/Mahwah: Paulist, 1988); juga Brian Schmisek, “Paul’s Vision of the Risen Lord,” Biblical Theology Bulletin, Vol. 41, No. 2, 77. 5 Lihat 2 Kor 10:15; juga Gal 1:8. 2 tradisi, Thomas melakukannya sampai di India, Petrus telah berada di Roma dan rasul-rasul lain yang tidak terdeteksi kegiatannya yang tidak berarti mereka berdiam di Yerusalem saja. Entah kapan persisnya, bahwa pada masa yang sangat awal, pusat Kekristenan tidak lagi di Yerusalem, melainkan berpindah di luar Palestina, yang salah satunya adalah Anthiokia, Efesus (di Asia Kecil) dan kemudian Alexanderia dan Roma. Hal ini menunjukkan juga bahwa Kekristenan telah semakin tersebar di luar Palestina berkat kegiatan pekabaran Injil yang dilakukan oleh pekebar-pekabar Injil keliling. Tidak semua pekabar Injil keliling yang menghasilkan komunitas-komunitas Kristen pada masa awal sejauh yang dapat disimpulkan dari catatan-catatan yang termuat dalam Perjanjian Kedua. Apolos, misalnya adalah pekabar Injil keliling yang sempat mampir di komunitas Kristen yang telah terbentuk karena pelayanan Paulus di Korintus dan sempat menjadi pemicu ketegangan di antara jemaat Korintus,6 namun hampir belum ada bukti yang meyakinkan bahwa Apolos membentuk komunitas Kristen sebagaimana Paulus lakukan, setidak-tidaknya berdasarkan catatan-catatan kanonis yang selama ini dikenal. Dalam surat-surat baik surat-surat Paulus maupun surat-surat lain dalam Kitab Perjanjian Kedua, dijumpai utusan-utusan (rasul), atau pekabar-pekabar Injil yang melakukan pelayanan baik dengan cara yang baik maupun dengan cara yang dianggap mencari keuntungan sendiri.7 Namun dengan sangat meyakinkan, Paulus, sebagaimana sedikit pekabar-pekabaran Injil yang lain tidak hanya mengabarkan Injil belaka (evangelist) melainkan memulai, membentuk dan bahkan membina komunitas Kristen tersebut (church planter). Namun kiranya sosok pekabar Injil keliling jauh lebih dominan daripada sebagai penanam gereja saja terbukti sampai pada catatan-catatnya Paulus mempuinyai hasrat yang sangat besar untuk terus melakukan pekabaran Injil sampai ke Spanyol.8 Gerd Theissen telah menegaskan bahwa pekabar Injil keliling (itinerant preachers) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni itenerant charismatics, pekabar Injil keliling karismatis dan the community organizers, pembentuk komunitas.9 Nampaknya Paulus harus digolongkan lebih sebagai pekabar Injil keliling yang juga sebagai pembentuk komunitas. Dalam perjalanan pekabaran Injil keliling itu, Paulus telah kira-kira menempuh jarak lebih 16.000 km,10 dengan melakukan perjalanan baik dengan jalan darat maupun dengan jalan laut dengan kerinduan untuk melakukan pekabaran Injil tak pernah pudar. Lokus pelayanan Paulus dalam pekabaran Injil melampaui batas-batas geografis sebagaimana yang dilakukan Yesus namun secara lebih masif dan global. Yesus lebih banyak bergerak di wilayah-wilayah pedesaan, yakni wilayah-wilayah pedalaman Palestina dan cenderung menghindari kota-kota, terutama kota-kota yang telah dipengaruhi oleh budaya Helenis, tetapi Paulus bergerak di wilayah urban, pertama-tama di wilayah Asia di sebelah utara Palestina, dan kemudian merambah ke wilayah-wilayah Eropa dalam Kekaisaran Romawi. Maka komunitas-komunitas Kristen yang dihasilkan dari usaha pekabaran Injil adalah komunitas-komunitas Kristen urban dengan persoalan-persoalannya dalam konteks 6 Lihat 1 Kor 1:12. 2 Kor 2:17, 8 Rom 15:28. 9 Gerd Theissen, The Social Setting of Pauline Christianity (Edinburg: T&T Clark, 1982), 29. 10 Wayne A. Meeks, The First Urban Christians: The Social World of the Apostle Paul (New Haven and London: Yale University Press, 1983), 16. 7 3 wilayah Mediterania yang secara politik dikuasai oleh Kekaisaran Romawi tetapi yang secara kultural dirembesi oleh budaya Yunani. Dalam pelayanannya, Paulus menyebut diri sebagai rasul,11 rasul Kristus Yesus,12 atau rasul (bagi) bangsa-bangsa lain.13 Sementara pemberitaan Injil dilakukan dan pembentukan komunitas-komunitas terus diusahakan, identitas Paulus semakin terbentuk yakni sebagai rasul bangsa-bangsa lain. Sebenarnya pemahaman diri Paulus ini terdorong keluar karena konflik-konflik yang terus menerus terjadi khususnya yang dicuatkan oleh komunitaskomunitas yang dibentuknya sendiri. Walaupun Paulus dapat diangap sebagai orang yang paling berjasa dalam pembentukan komunitas-komunitas tersebut namun lambat laun, komunitas-komunitas ini mempertanyakan juga keabsahan jabatan kerasulannya. Hal ini disebabkan, Paulus bukanlah murid Yesus yang berasal dari lingkaran dua belas murid (the Twleve) yang pernah secara bersama-sama mengikut Yesus selama masa pelayanan Yesus yang pendek, melainkan pengikut Yesus yang kehadiran dan perannya sangat kontroversial. Berlatar belakang dari kelompok pembasmi pengikut jalan Tuhan (begitu istilah Kisah Para Rasul), tiba-tiba menjadi pemberita kabar tentang Yesus. Setidaknya dari kenyataan ini, bahkan teks-teks yang ditulisnya sendiri menegaskan bahwa pada masa perkembangan awal dari Kekristenan, Paulus bukanlah sosok populer,14 melainkan sosok yang patut dipertanyakan kerasulannya. Dengan membandingkan diri dengan antara lain Petrus, Paulus menganggap diri sebagai rasul yang sah bukan karena pengalaman kebersamaannya dengan Yesus selama tiga setengah tahun, melainkan karena penyataan tentang kebersamaannya dengan Yesus.15 Penyebutan diri sebagai rasul bangsa-bangsa lain sungguhpun sarat kepentingan apologetis, namun menjadi salah satu motivasi utama dalam pelayanan pekabaran Injil yang menembus batas-batas geografis dan kultural-religius.16 Tak dapat dipungkiri, pekabarpekabar Injil keliling yang dalam jumlah sangat signifikan seolah-olah menetapkan batasbatas wilayah pelayanan. Paulus sadar akan hal ini, dan menghormati batas-batas wilayah imajiner yang telah dibuat,17 namun sepertinya Paulus melakukan kegiatan pekabarana Injil jauh melampaui batas-batas wilayah tersebut. Penyebutan diri sebagai rasul bagi bangsabangsa lain ini teramat konsisten dengan kinerja Paulus sebagai pekabar Injil keliling. Namun lingkup kelilingnya jauh lebih luas daripada lingkup batas-batas wilayah yang dipatok oleh pekabar-pekabar Injil yang lain. Garis batas yang tegas dari identitas Paulus adalah rasul bukan bagi bangsa Yahudi, melainkan bagi bangsa-bangsa lain. Terkandung dalam penyataan ini adalah rasul yang lingkup pelayanannya amat luas. Entah ini merupakan pernyataan Paulus yang tulus atau mengandung arogansi narsistis, hal ini bisa diperdebatkan, namun yang jelas penegesan identitas diri sebagai rasul bangsa-bangsa lain telah mewarnai pelayanan Paulus dan sangat menentukan perkembangan Kekristenan pada masa yang akan datang. 11 Gal 1:1, Rom 1:1. 1 Kor 1:1; juga 2 Kor 1:1 13 Rom 15:16. 14 Lihat Gal 1:22. 15 Lihat 2 Kor 12:1-10. 16 Misalnya dalam Gal 2:8, kerasulannya diyakini sebagai yang setara dengan kerasulan Petrus. Petrus adalah rasul bagi orang bersunat, sedangkan Paulus adalah (rasul) bagi orang-orang yang tak bersunat. 17 Lihat 2 Kor 10:15. 12 4 Paulus sebagai Manusia Urban dalam Konteks Kekaisaran Roma Identitas Paulus sebagai rasul bangsa-bangsa lain dengan kegiatan utama sebagai pekabar Injil keliling dalam skopa wilayah yang luas tak dapat dipisahkan dari latar belakang kehidupan Paulus sebagai manusia urban.18 Ia dibesarkan sebagai keturunan Yahudi yang secara rinci dikemukakan dalam surat-suratnya baik di Korintus maupun Galatia, namun bukan sebagai seorang Yahudi Palestina.19 Surat-surat yang ia tulis mencerminkan pemahaman yang amat luas dan dalam dalam pemahaman teks-teks dari Kitab Perjanjian Pertama terutama dalam bahasa Yunani, Septuaginta. 20 Namun demikian, ia dibesarkan di Tarsus, sebuah kota yang telah terkenal sebgai salah satu pusat intelektual di Kekaisaran Roma, dan kemudian tinggal di Yerusalem, pusat keagamaan dan kultural Yahudi. Maka, gagasan-gagasan agamanya walaupun masih tetap dalam bingkai ke-Yahudian, sebagaimana diakui sendiri tetapi yang dituturkan bukan melalui mulut pertama bahwa ia didik oleh Gamaliel21 telah mengalami proses pendialogan kalau bukan perembesan membabi-buta dengan gagasan-gagasan intelektual filosofis.22 Kiranya Stoikisme yang pada saat Paulus hidup merupakan gagasan filsafat yang sangat berkembang dan kemungkinan mempengaruhi ide-ide Paulus tentang universalitas eklesia, kebersatuan antara Yahudi dan bangsa-bangsa lain, cita-cita ideal terutama gagasannya tentang penihilan garis batas antara laki-laki dan perempuan, tuan dan budak, dan Yahudi-Yunani.23 Paulus adalah manusia urban hibrid terutama dalam gagasan-gagasan keagamaannya. Sebagai manusia urban, Paulus adalah a city boy, orang kota.24 Jika Yesus sering memakai metafora-metafora dengan mengambil elemen-elemen masyarakat agraris-pedesaan seperti ilalang dan gandum, kebun anggur, penaburan benih-benih, dan sebagainya, Paulus memakai analogi-analogi masyarakat urban, misalnya ahli bangunan,25 tubuh dengan bagian-bagiannya yang tersusun rapih,26 dan eklesia adalah tubuh Kristus.27 Gaya tulisan Paulus terkesan sebagai orang yang terlatih dalam akademi-akademi yang selalu berada di wilayah perkotaan yang mengajarkan retorika, walaupun ada kemungkinan besar cara bicara Paulus tidak terlalu mengesankan sehingga sebagian jemaat Korintus lebih tertarik pada Apolos yang mampu memikat orang dengan cara bicara yang mengesankan. Paulus bahkan terkesan minder (rendah diri) menghadapi jemaat secara langsung ketika diperhadapkan pada persoalan yang menyangkut identitas jabatan kerasulannya.28 Tidak hanya sebagai keturunan Yahudi Diaspora, Paulus dalam pengakuannya adalah juga seorang warga Roma mengingat ia melakukan naik banding dengan peradilan di hadapan 18 Paul Trebilco, The Early Christians in Ephesus from Paul to Ignatius (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2007); juga Meeks, The First Urban Christians. 19 Lihat 2 Kor 11: 22, Gal 1:13-24, 20 Penelitian tentang pengaruh Kitab Perjanjian Pertama terhadap tulisan-tulisan Paulus telah dilakukan oleh Geoffrey Turner dalam artikelnya, “Paul and the Old Testament – His Legacy and Ours,” New Blackfriars, DOI: 10.11111/j.1741-2005.2009 (2010). 21 Lihat Kis 22:3. 22 Mark Strom, “Paul and the Reframing of Leadership,” Stimulus, Vol. 14, No. 2 (May 2006), 2. 23 Gal 3:28; Lihat juga 1 Kor 11:11. 24 Strom, “Paul and the Reframing of Leadership,” 1. 25 Lihat 1 Kor 3:10. 26 Lihat 1 Kor 12:12. 27 Lihat 1 kor 12:27. 28 Lihat 2 Kor 10:1. 5 Kaisar.29 Penjelasan ini walaupun tidak terdapat dalam tulisan-tulisannya sendiri namun mempunyai kemungkinan yang amat kuat berhubung dengan keleluasaannya melakukan perjalanan yang sangat masif dalam wilayah Kekairasan Romawi. Lebih dari itu, perjalanan ke Roma yang terhubung dengan peradilannya dapat menjelaskan dengan sangat kuat bahwa Paulus adalah warga Kekaisaran Romawi yang karenanya diperlukan peradilan tertentu sampai pada tingkat banding di hadapan Kaisar. Ahli-ahli telah menemukan beberapa hal yang memungkinkan seseorang yang bukan keturunan warga negara Kekaisaran Romawi dapat memperoleh kewarganegaraan, antara lain dengan cara membeli, lahir dari orang yang telah mendapatkan kewarganegaraan, mendapatkan kewarganegaraan karena berjasa, atau budak warga negara Roma yang dibebaskan. Namun, data dalam surat-surat yang ia tulis dan data sekunder tentang bagaimana Paulus menjadi warga negara Roma tak cukup memadai untuk ditarik menjadi kesimpulankesimpulan tentang hal itu, walaupun tentu saja Paulus tidak menjadi warga negara Roma karena pembebasannya sebagai budak. Lahir dari orang tua yang telah mendapatkan kewargenegaraan atau membeli kewarganegaraan adalah kemungkinan, namun tetap bagaimana Paulus memperoleh kewarganegaraan Roma tetaplah menjadi hal yang tidak dapat ditentukan. Yang penting dalam hal ini adalah sebagaima warga negara Roma, Paulus sedikit banyak memahami bagiamana kekaisaran Roma beroperasi. Sebagaimana yang telah dianalisa oleh Mackenzie, respon Paulus terhadap dominasi Kekaisaran Romawi dapat dikelompokkan ke dalam kategori: kritik, subversi dan alternatif eklesia.30 Pandangan-pandangan tersebut tidak dapat diabaikan mengingat masing-masing mempunyai argumentasi yang sangat kuat. Namun tanpa mengabaikan ketiga pandangan tersebut, secara simplistis dapat dikatakan bahwa Paulus sedikit banyak mengetahui sistim kemasyarakat beserta ideologi kekaisaran yang mendukungnya. Ia kemungkinan besar sangat familiar dengan ide-ide Pax-Romana, damai sejahtera Kekaisaran Roma dengan elemen-elemen pendukungnya. Ioannis Karavidopoulos telah melakukan penelitian yang menghubungkan kesadaran politis Paulus dalam lingkup Kekaisran Romawi sebagaimana yang terekam dalam istilah-istilah yang ia gunakan dalam tulisan-tulisannya. Paulus dengan sadar memakai istilah Tuhan, juru selamat, kehadiran, penampakan, keadilan, damai dan sebagainya yang semuanya merupakan istilah-istilah politik dan ideologi Kekaisaran Romawi.31 Bahkan istilah-istilah yang begitu memainkan peranan penting dalam Kekristenan masa kini sebenarnya merupakan istilah-istilah politik yang biasa dipakai dalam Kekaisaran Romawi, seperti iman dan kebenaran.32 Walaupun Mackenzie berargumen bahwa Paulus sebenarnya tidak terlibat dalam politik, namun tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan terminologiterminologi tersebut tidak hanya menunjukkan transfromasi istilah politik ke dalam ranah terminologi teologi, melainan terutama menjukkan betapa familiarnya Paulus terhadap dinamika politik dan ideologi dalam Kekaisaran Romawi. Bahkan harus dikatakan, sebagai rasul Kristus yang memberitakan Injil Kristus Yesus, Paulus sangat amat menyadari akan 29 Misalnya, Kis 25:11-12. Ed Mackenzie, The Quest for the Political Paul: Assessing the Apostle’s Approach to Empire,” European Journal of Theology, Vol. 20, No.1 (2011), 41. 31 Ioannis Karavidopoulos, “From Roman Politics to Christian Theology: The Transformation of Contemporary Political Terminology into a New Theological Terminology in St. Paul’s First Letter to the Thessalonians,” Sacra Scripta, Vol. IX, No. 2 (2011), 145. 32 Mackenzie, “The Quest for the Political Paul,” 41. 30 6 konteks politik dan ideologi serta hidup senyata-nyatanya di dalamnya. Sangat amat meyakinkan bahwa Paulus tidak pernah mengajarkan dan tidak pernah mempraktekkan hidup menarik diri dengan membentuk masyarakat terttup, sebuah gettho yang memisahkan diri dari masyarakat luas.33 Maka pekabaran Injil memperoleh bentuk yang khas dalam pelayanan Paulus. Injil mendapatkan bentuk yang dapat didengar dan atau diterima oleh (sebagian) warga Roma karena diartikulasikan dalam istilah-istilah yang tidak asing bagi telinga mereka. Saya berpendapat bahwa pernyataan Paulus tentang dirinya sebagai rasul bagi bangsa-bangsa lain tidak hanya bersangkut paut dengan sasaran pelayanan melainkan juga dengan bagaimana media bangsa-bangsa lain dipergunakan untuk menyampaikan berita Injil. Kristo-sentrisme Pelayanan dan Kepemimpinan Paulus: Hamba Kristus Hal yang paling menonjol dalam pelayanan dan kepemimpinan Paulus adalah ciri Kristosentrismenya. Kristus tidak hanya menjadi sentral dalam teologi Paulus, melainkan juga dalam hidup dan kinerjanya. Dalam tulisan-tulisan Paulus, hal yang sangat menarik adalah secara sengaja Kristus tidak lagi menjadi gelar dari Yesus melainkan menjadi nama diri yang sangat sering dirangkai dengan Yesus. Penggunaan nama Yesus secara indenpenden amat sangat jarang, tetapi Kristus dipakai secara sangat masif baik secara indenpenden maupun dirangkai dalam istilah-istlah antara Kristus Yesus, Yesus Kristus, Tuhan Yesus Kristus.34 Nampaknya Paulus terpesona pada Kristus bukan pertama-tama pada Yesus. Hal ini menjadi sangat jelas ketika dipahami bahwa surat-surat Paulus yang ditulis pada masa yang lebih dahulu dibandingkan dengan penulisan Injil-Injil kanonis tidak memuat kisah kelahiran Yesus, melainkan lebih mefokuskan pada kisah kebangkitanNya. Bahkan kebangkitan Yesus yang dengannya menjadi Kristus merupakan dasar dari iman Kristen, pusat pewartaan Paulus.35 Pemberitaan Injil menjadi bertindih tepat dengan pemberitaan akan kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus adalah kerygma, inti sari dari Injil dan pewartaannya. Jika Yesus dikemukakan, maka Kristuslah yang menerangi pemahaman tentangNya. Walaupun tetap tak dapat dipisahkan antara peristiwa kebangkitan dan penyaliban, dan antara Kristus dan Yesus, namun kiranya Kristus yang dibangkitkanlah yang merupakan pusat utama dalam hidup dan teologi, pelayanan dan kepemimpinan Paulus. Kristus yang telah memesona Paulus agaknya dimulai dari pengalaman keagamaan yang di kemudian hari mengubah seluruh kehidupan Paulus serta orientasi hidupnya. Sebagai orang Yahudi terpandang yang terdididk dalam Taurat dalam mazab Farisi, Paulus menguasai benar tradaisi nenek moyang, yang merupakan istilah untuk Yudaisme Rabinis (Rabinic Judaism).36 Dalam tradisi semacam itu, Paulus menganggap bahwa orang-orang Kristen awal melakukan hal yang telah menodai dan merusak ajaran rabinis tentang kemesiasan. Orang Kristen pada masa awal meyakini bahwa Yesus adalah mesias, Anak Allah, padahal Yesus mati tersalib di atas kayu. Dalam Ulangan 21:22-23, orang yang mati di atas kayu atau tergantung di atas kayu dikategorikan sebagai orang yang terkutuk. Keyakinan Paulus yang 33 Strom, “Paul and the Reframing of Leadership,” 6. Douglas E. Oakman, “The Perrenial Relevance of Saint Paul: Paul’s Understanding of Christ and a Time of Radical Pluralism,” Biblical Theology Bulletin, Vol. 39, No. 1 (2009), 8. 35 Lihat 1 Kor 15:14-17. 36 Johnny Awwad, “From Saul to Paul: The Conversion of Paul the Apostle,” Theological Review, Vol. 32 (2011), 6; Lihat juga Gal 1:15-16. 34 7 terdahulu dalam bingkai Yudaisme Rabinis menjadi begitu bertentangan secara radikal dengan keyakinan iman bahwa Yesus yang disalib adalah Kristus (Mesias). Alasan religius inilah yang kiranya dapat menjelaskan aksi teroris yang dilakukan oleh Paulus terhadap orang-orang Kristen pada masa perkembanganya yang sangat awal.37 Pengalaman perjumpaan Paulus dengan Yesus yang disebut Kristus dan Tuhan di Jalan Damaskus adalah kali pertama Paulus menjadi Kristus sebagai alasan bagi kehidupan, karya, pelayanan dan kepemimpinannya. Tiga teks yang ditulis oleh Paulus sendiri, yakni Gal 1:1516, 1 Kor 15:9-10, dan Fil 3:4-11 yang semuanya ditulis dengan aroma apologetis mengisahkan perjumpaan dengan Kristus yang dibangkitkan bukan merupakan perjumpaan secara fisik,38 walaupun ada yang pernah berusaha menjelaskan pengalaman perjumpaan dengan Yesus sebagai perjumpaan fisik karena Yesus setelah bangkit tetap berada di bumi dan bahkan melakukan perjalanan keliling untuk mengajar tentang Kerajaan Sorga.39 Tulisan-tulisan Paulus menegasan bahwa pengalaman perjumpaan itu terjadi melalui penyataan, yakni semacam pengalaman religiusitas, pengalaman ekstasi. Pengalaman perjumpaan dengan Yesus adalah pengalaman real walaupun bersifat interior.40 Paulus berjumpa dengan Kristus yang dibangkitkan. Dari pengalaman perjumpaan itu, menjadi sangat nyata bahwa Yesuslah Kristus, dan pengalaman iman dari orang-orang Kristen awal menjadi pengalaman Paulus juga. Pengalaman perjumpaan dengan Yesus dalam suatu peristiwa yang disebut sebagai Christophany,41 mengubah dan menentukan hidup Paulus secara definitif.42 Panggilan orang Kristen awal untuk memberitakan Injil juga menjadi panggilan Paulus juga. Maka ajaran Yesus Kristus menjadi bagian-bagian penting dalam surat-surat Paulus, sebagiaman telah dibuktikan oleh penelitian Davies, Bruce dan Tabor.43 Begitu banyak kutipan-kutipan ajaran Yesus nampak dalam surat-surat Paulus. Namun yang paling mengesankan bagi Paulus adalah kehidupan Kristus sendiri. Kristus hidup dalam diri Paulus.44 Jika dilihat dalam bingkai latar belakang kehidupan Paulus sebagaimana dikisahkan dalam teks-teks yang ditulis sendiri maupun dalam sumber sekunder dalam Kisah Rasul-rasul dimana Paulus dapat dianggap sebagai salah satu pemimpin Yahudi yang secara provokatif memimpin program pembasmian terhadap orang-orang Kristen awal,45 maka perjumpaan dengan Kristus yang dibangkitkan mengubah haluan kepemimpinannya. Ia tidak lagi memimpin dalam arti melakukan gerakan sapu bersih atas nama keyakinan agama, melainkan mempraktekkan “kepemimpinan” yang menghamba. Terdapat perubahan radikal dalam diri Paulus, penekanan “memimpin” berubah menjadi “menghamba” yakni melayani 37 Awwad, “From Saul to Paul,” 8. Awwad, “From Saul to Paul,” 3. 39 Barbara Thiering, Jesus The Man: A New Interpretation from the Dead Sea Scrolls (Sydney: Bantam Books, 1993). 40 Schmisek, “Paul’s Vision of the Risen Lord,” 277. 41 Awwad, “From Saul to Paul,” 9. 42 Schmisek, “Paul’s Vision of the Risen Lord,” 77. 43 W.D Davies, Paul and Rabbinic Judaism (New York: Harper & Row, 1967), 139-140; Lihat juga, Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia!: Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990), 178. 44 Gal 2:20. 45 Strom, “Paul and the Reframing of Leadership,” 1. 38 8 Tuhannya.46 Paulus yang mengaku diri sebagai bagian dari golongan Farisi,47 yakni salah satu kelompok keagamaan ternama dalam agama Yahudi, mengalami perubahan menjadi salah satu dari pengikut Kristus. Kristuslah Tuhan, dan dirinya adalah hamba Kristus. Hidup adalah bagi Kristus,48 merupakan salah satu nilai etis terpenting dalam kinerjanya sebagai pelayanan dan kepemimpinan. Konsep-konsep kristologis sebagaimana dipahami oleh Paulus dalam surat-suratnya telah diteliti oleh ahli-ahli, misalnya Douglas E. Oakman,49 namun aspek kristologis yang menonjol dalam kaitannya dengan pelayanan dan kepemimpinan Paulus adalah Kristus sebagai teladan. Meneladani Kristus Yesus menjadi etos pelayanan dan kepemimpinan Paulus, yang dikemudian hari menjadi penekanan yang amat krusial dalam teologi Mennonite Anabaptis sebagaimana yang ditonjolkan oleh Hans Denck.50 Walaupun berkalikali Paulus mengatakan “teladanilah aku,” namun ia mengatakannya dalam konteks “karena aku menedani Kristus Yesus.”51 Teks yang ditulis untuk jemaat di Filipi merupakan teks yang krusial (Fil 2). Di dalam teks ini Paulus mendasarkan konsep hidup, pelayanan dan kepemimpinan pada meneladani Kristus Yesus yang telah mengosongkan diri. Teologi kenosis menjadi muara utama dalam praksis pelayanan dan kepemimpinan Paulus. Penting untuk diperhatikan, walaupun Paulus menekankan Kristus Yesus dan bukan sekedar Yesus, namun tekanan humanitas begitu menonjol dibandingkan dengan penekanan Kristus Yesus dari aspek divinitasNya.52 Walaupun demikian penyebutan Kristus Yesus sering dilakukan bergandengan erat dengan penyebutan Allah, yang begaimanapun dapat ditafsirkan bahwa Paulus memahami Kristus Yesus lebih dari sekedar manusia biasa. Berkat-berkat, misalnya, diberikan dari Allah dan Kristus Yesus, yang mengindikasikan walaupun aspek humanitas Yesus ditekankan namun kesangat-dekatan Kristus Yesus dengan Allah begitu kental, yang sampai-sampai Kristus Yesus dan Allah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, suatu hal yang sangat berbeda dengan pemahaman dari penulis-penulis Injil, khususnya Injil Matius. Jadi barangkali kita tidak hanya cukup memakai istilah Kristosentrisme, melainkan Kristo-theosentrisme pelayanan dan kepemimpinan Paulus. Maka nilai etis kepemimpinan yang mendasarkan pada pemahaman kehambaan didasarkan pada pemahaman Kristotheosentris. Peneladanan hidup Kristus Yesus yang mengosongkan diri dan yang mengambil rupa seorang hamba inilah yang merupakan pusat dari pelayanan dan kepemimpinan Paulus. Bagi Paulus, Kristus adalah Tuhan yang telah mengasingkan diri, dan karena itu Paulus menyebut diri sebagai hamba. Di semua tulisan Paulus dalam Kitab Perjanjian Kedua, dan yang dikemudian hari dikutip dan diterus-alihkan oleh penerus-penerus tradisi Paulin, Paulus selalu menyebut diri sebagai hamba Kristus.53 Karenanya keinginannya adalah Kristus menjadi pusat pelayanan. Paulus mengklaim bahwa pelayanannya adalah untuk 46 Strom, “Paul and the Reframing of Leadership,” 2. Fil 3:5, Lihat juga Turner, “Paul and the Old Testament,” 128. 48 Lihat Fil 1:21. 49 Oakman, “The Perennial Relevance of Saint Paul.” 50 Hans Denck, “The Contention the Scripture Says,” 1526, in Walter Klaassen, ed., Anabaptisme in Outline (Waterloo/Scottdale: Herald, 1998), 87. 51 Lihat Fil 3:17, 1 Kor 11:1, Lihat juga Fletcher, Lihatlah Sang Manusia!, 181. 52 Oakman, “The Perennial Relevance of Saint Paul,” 8 53 Roma 1:1, 1 Kor 4:1, Fil 1:1, I Tes 1:1 47 9 Kristus, untuk kemuliaan Allah, dan bukan untuk kekuasaan, kemuliaan, kemasyuran dan kekayaan. Upah dalam pemberitaan Injil adalah mengabarkan Injil sendiri.54 Dilihat dari elan vital masyarakat Mediterania yang dikuasai oleh budaya Yunani- Romawi, ide kepemimpinan dengan pengosongan diri berkat menaladani Kristus Yesus adalah ide sinting dan asing. Pemimpin menurut tradisi Yunani-Romawi adalah mereka yang dapat menguasai diri dan menguasai orang lain untuk mencari kemuliaan dan hormat. Pengosongan diri dalam kepemimpinan adalah berbahaya dan tidak mungkin dilakukan, karena pemimpin akan menjadi lemah, dan orang yang lemah tak mungkin menjadi pemimpin. Tetapi Paulus menawarkan model pelayanan dan kepemimpinan yang menekankan pada pengosongan diri, kelemahaan, dan tidak terfokus pada kemuliaan dan hormat diri. Maka dilihat dari konteks sosio-politik, ide kepemimpinan Paulus adalah “antikepemimpinan.”55 Oleh sebab itu kepemimpinan sebagaimana yang dipakai sebagai sebuah istilah dalam paper ini, selalu ditundukkan pada ide pelayanan sebagai hamba, yang bahkan sampai mengosongkan diri. Ide tersebut di atas akan menjadi amat jelas ketika surat-surat Paulus hampir tidak pernah menyebut secara eksplisit tentang kepemimpinan itu sendiri. Dalam 1 Kor 7 secara tegas Paulus menybut bahwa ia memberi peraturan bagi gereja-gereja,56 namun lagi-lagi ide pelayanan yang mengosongkan diri, rentan, dengan pengakuan diri sebagai orang yang lemah menjadi aspek-aspek yang menentukan definisi “memberi perintah.” Autobiografi Paulus lebih banyak menonjolkan tentang penderitaan, penyiksaan, kelemahan tubuh, dibandingkan dengan kekuasaan dan kekuatan. Terhadap jemaat yang mempertanyakan jabatan kerasulanannya, Paulus menegaskan bahwa kelemahannyalah yang merupakan kekuatannya.57 Pelayanan dan Kepemimpinan dalam Konteks Eklesia Pelayanan dan kepemimpinan Paulus dilakukan dalam konteks komunitas Kristen, ekklesia. Walaupun dalam pemberitaan Injil, Paulus mengabarkan Injil kepada siapa saja, terkhusus kepada orang-orang bukan Yahudi, namun dalam surat-surat yang ia tulis, tidak ditemukan indikasi bahwa Paulus melakukan fungsi pelayanan dan kepemimpinan yang ditujukan bagi masyarakat umum. Maka tak ada jejak yang dapat ditengarai bahwa Paulus bermaksud untuk menjadi pemimpin masyarakat pada umumnya. Ia melakukan praksis pelayanan dan kepemimpinan bagi masyarakat baru yang dibentuk berdasarkan iman akan Kristus yang dibangkitkan. Sebagai eklesia, komunitas-komunitas yang muncul sebagai hasil dari pekabaran Injil mengalami perkembangan khususnya dalam hal problem-problem kejemaatan yang muncul. Problem-problem tersebut dapat dianalisa secara lebih mendalam dari sudut pandang sosiologi keagamaan, namun cukuplah kalau dikatakan bahwa sebagaimana komunitas-komunitas pada umumnya yang mencakup aspek relasi antar manusia, eklesia juga menghadapi problem yang sama. Daftar persoalan kejemaatan sangat berlimpah yang 54 1 Kor 9:27. Strom, “Paul and the Reframing of Leadership,” 5. 56 David J. Rudolph, “Paul’s ‘Rule in All the Churches’ (1 Cor 7:17-24) and Torah-Defined Ecclesiological Variegation,” Studies in Christian-Jewish Relations, Vol. 5 (2010). 57 Lihat 2 Kor 12:10. 55 10 mencakup persoalan keyakinan iman, kerumah-tanggaan anggota jemaat, moralitas, cara pelayanan, dan sebagainya. Sekali lagi, persoalan-persoalan yang muncul dalam komunitaskomunitas Kristen sebagai buah dari pekabaran Injil Paulus adalah persoalan-persoalan yang dapat muncul secara umum pada komunitas-komunitas urban. Maka surat-surat Paulus dengan sedikit mengesampingkan Surat Roma mengingat tujuannya bukanlah komunitas yang dihasilkan oleh pekabaran Injil Paulus, merefleksikan bagaimana Paulus bertindak sebagai pelayan-pemimpin yang memberi tegoran, perintah, wejangan, permohonan dengan nada bervariasi mulai dari lembut, kecewa, marah, sukacita dan bahagia. Tak pernah dijumpai dalam surat-suratnya bahwa Paulus adalah pelayanpemimpin yang selalu sabar, selalu mampu menahan kemarahan dan perasaan, dan selalu “mengalah” dan menahan diri. Paulus adalah sosok manusia yang seutuh-utuhnya yang tidak merasa bersalah untuk mengakui kelemahan, kemarahan, kekecewaan, bahkan kebodohan. Baginya yang terpenting adalah hidup bagi Kristus, bukan untuk berusaha selalu menjadi baik dalam pemandangan masyarakat pada umumnya dan jemaat pada khususnya. Walaupun Paulus tidak bermaksud mengajarkan dan mempraktekkan kehidupan dalam komunitas tertutup, sebuah ghetto, namun garis batas yang tegas antara eklesia dan masyarakat pada umumnya begitu jelas ditarik oleh Paulus. Sebagiamana yang telah dianalisa oleh Margareth Y. MacDonald, komunitas-komunitas yang terbentuk berkat pekabaran Injil Paulus berada pada tahap awal pembentukan komunitas, communitybuilding institutionalization.58 Maka Paulus berusaha untuk membentuk identitas komunitas secara tegas. Komunitas membutuhkan keyakinan yang tegas, peraturan jemaat yang kokoh, perilaku etis yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Di sini, Paulus memainkan perananan kepemimpinan yang begitu kuat. Benturan hebat antara dirinya dan pekabar-pekabarn Injil keliling serta rasul-rasul yang menyebut diri sebagai super-rasul dapat dilihat dalam konteks pembentukan komunitas tahap awal yang mengharuskan Paulus seolah-oleh perlu menampilkan kekuataannya sebagai pemimpin. Bagi jemaat-jemaatnya, Paulus mengangap diri sebagai orang tua dan jemaat-jemaat yang dibentuknya sebagai anak-anak,59 terutama juga sebagai ibu yang rindu pada anakanaknya.60 Namun dalam hubungannya dengan manajemen gerejawi, sosok sebagai seorang bapa teramat menonjol dibandingkan dengan sosok sebagai ibu. Walaupun Paulus tidak pernah menyebut eksplisit bahwa dirinya adalah bapa bagi jemaat-jemaat yang didirikan, namun pemahamannya tentang posisi Allah-suami-istri yang ditentutakan secara hirarkis, yakni laki-laki adalah kepala perempuan, dan Allah adalah kepala laki-laki, maka sangat mungkin sosok orang tua yang dimaksudkan Paulus tentang dirinya adalah figur bapa. Beberapa kali secara eksplisit Paulus meng-analogikan perasaannya sebagai ibu, yakni dalam Gal 4:19 dan 1 Tes 2:7. Sangat mungkin, Paulus menghindari penyebutan dirinya sebagai bapa, karena Allah sendirilah bapa bagi orang-orang beriman.61 Barangkali sangat aman kalau dikatakan bahwa figur kepemimpinan Paulus adalah kombinasi figur ayah dan 58 Margareth Y. MacDonald, The Pauline Churches: A Socio-historical Study of Institutionalization in the Pauline and Deutero-Pauline Writings (Cambridge: Cambridge University, 1988), 29. 59 Lihat 2 Kor 6:13. 60 Lihat Gal 4:19, juga 1 Tes 2:7. 61 1 Kor 8:6. 11 Ibu (orang tua) bagi jemaat-jemaatnya. Dalam kaitannya dengan Kristus, Paulus adalah hamba, dalam kaitannya dengan tugas perutusan, rasul bangsa-bangsa lain, tetapi dalam kaitannya dengan komunitas-komunitas Kristen yang dibentuk, Paulus adalah orang tua. Walaupun secara teologis, Paulus meyakini bahwa dalam Kristus tidak ada lagi perbedaan hirarki,62 namun tak dapat dipungkiri peran bapa/ibu yang menuntun, mengarahkan, mengontrol atas keadaan jemaatnya menjadi tidak terhindarkan. Paulus tidak hidup di dunia yang ideal, melainkan ada dalam kenyataan pentingnya tatatan dan ketertiban, dan karenanya walaupun prinsip egalitarian merupakan keyakinan utama, namun tetap dibutuhkan respek dan hormat, yang dalam masyarakat pagtriarkal Mediteria dicakup dalam pengertian “orang tua,” atau “bapa.” Sebagai orang tua dari komunitas-komunitas yang dibentuknya, Paulus tak segan-segan memberi peraturan yang berlaku bagi komunitas-komunitas tersebut. Misalnya dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan kejemaatan, Paulus memberi peraturanperaturan yang berlaku bagi jemaat-jemaat yang ia bentuk: “Selanjutnya hendaklah tiaptiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat” (I Kor 7:7).63 Sosok Paulus sebagai pemimpin yang mengatur dan memberi panduan sangat mencolok. Komunitas-komunitas Kristen ini bukan tidak mungkin dikemudian hari tampil ciri khas unik sebagai komunitas-komunitas yang menganggap Paulus sebagai rasul yang paling dihargai. Terbukti dikemudian hari tulisan-tulisan yang muncul dalam konteks komunitas-komunitas ini meneruskan tradisi dan ajaran Paulus sebagaimana terlihat dengan sangat jelas dalam Corpus Paulinum. Pembentukan komunitas yang oleh Paulus dianggap sebagai anak-anak juga membawa konsekuensi yang sangat signifikan dalam kaitannya dengan komunitas-komunitas Kristen lain, terutama komunitas Kristen awal di Yerusalem. Selain perbedaan pemahaman tentang peran Yesus, kepemimpinan Paulus bagi komunitas-komunitasnya dapat melemahkan peran rasul-rasul utama Yerusalem, yakni Petrus , Yakobus dan Yohanes, yang dikemudian hari sosok Yakobus saudara Yesus yang entah bagaimana menjadi pemimpin utama dari komunitas Kristen di Yerusalem. Ketegangan dan perbedaan yang telah mulai muncul sangat disadari oleh Paulus. Di lain pihak, Paulus tetap ingin menjaga relasi harmonis dengan komunitas Kristen di Yerusalem. Maka penggalangan dana yang dilakukan di wilayah-wilayah pekabaran Injilnya dan di komunitas-komunitas yang dibentuk bagi kepentingan orang-orang Kristen (orang-orang kudus) di Yersualem dapat dilihat sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa walaupun komunitas-komunitas Kristen Paulus mempunyai arah yang semakin berbeda namun relasi dengan jemaat perdana di Yerusalem tetap dipertahankan. Ide universalimes gereja yang dikonsepkan oleh Paulus tidak melulu mecakup komuntas-kominutas yang dibentuknya melainkan juga mencakup hubunganhubungan dengan komunitas-komintas Kristen yang lain. Penutup: Pelayanan dan Kepimimpinan dalam Ketegangan Dinamis Penelitian terhadap konsep pelayanan dan kepemimpinan dengan mendasarkan pada sumber-sumber tertulis sebagaimana yang dihasilkan oleh pemikiran Paulus yang tertuang 62 63 Gal 3:28, juga 1 Kor 11:11. Untuk penelitian yang berhubungan dengan peraturan yang dibuat Paulus untuk jemaat-jemaatnya dapat diperiksa dalam Rudolph, Paul’s “Rule in All the Churches” (1Cor 7:17-24).” 12 dalam kitab-kitab kanonis dan Kitab Perjanjian Kedua mendorong disimpulkannya pemikiran tentang pelayanan dan kepemimpinan Paulus dalam beberapa kristalisasi pemikiran. Mengingat penelitian ini mencakup pendalaman terhadap data yang amat luas dari surat-surat Paulus (undispitted letters of Paul), maka kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari padanya lebih bersifat jeneral dan prinsipial yang mungkin juga agak simplistis. Hal ini sangat saya sadari mengingat teks-teks yang ditulis Paulus bersifat kontekstual (yakni selalu terhubung dengan persoalan-persoalan yang terjadi dalam konteks) dan pastoral (berkaitan dengan penyelesaian persoalan dalam konteks tertentu), dan atau mempunyai kepentingan yang bersifat misiologis (yakni terkait dengan aktifitas penyebaran Injil). Dalam kerangka kesadaran seperti itulah kesimpulan-kesimpulan di bawah ini dipaparkan. Pertama, ide pelayanan dan kepemimpinan dalam pemahaman dan pemikiran Paulus merupakan dua istilah yang tidak pernah identik. Pemahaman tentang pelayanan memberi kualitas pada konsep kepemimpinan. Ide pelayanan jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan ide kepemimpinan, karena dalam tulisan-tulisan Paulus nampak sangat jelas bahwa pemahaman tentang kepemimpinan justru bersifat anti-kepemimpinan bila dilihat dalam konteks sosio-politis-kultural masyarakat Greko-Romawi. Karena itu jika istilah kepemimpinan dipakai dan dihubungkan dengan sepak terjang karya Paulus, maka istilah itu selalu di tempatkan dalam terang pelayanannya dan ditulis dalam tanda kutip dan atau ditempatkan dalam tanda kurung. Kedua, pelayanan dan kepemimpinan Paulus terjelma dalam citra diri yang dibangunnya sendiri sebagai rasul-hamba Kristus Yesus. Istilah rasul menunjuk pada tugas perutusan sebagai rasul Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa lain, yakni bangsa-bangsa di luar Bangsa Yahudi; sedangkan istilah hamba menunjuk pada pengakuan dan pemahaman diri sebagai orang yang merendahkan diri di hadapan Kristus Yesus. Kedua istilah tersebut tak dapat dipisahkan dari pengakuan Paulus yang terpusat pada Kristus yang dibangkitkan. Mengingat Kristus Yesus dipahami oleh Paulus tidak hanya dari segi humanitasnya melainkan juga terhubung dengan Allah, maka rasul-hamba bersifat tidak hanya kristosentris melainkan theo-kristosentris. Teo-kristosentrisme pelayanan dan kepemimpinan Paulus ini sangat ditentukan oleh Peristiwa Jalan Damaskus yang terjadi dalam awal masa pertobatan atau pemanggilannya. Ketiga, pola pelayanan dan kepemimpinan Paulus pertama-tama tidak ditujukan untuk melayani masyarakat secara umum, melainkan dipraktekkan dalam konteks eklesia. Eklesia adalah komunitas baru dengan substansi pembaharuan baik dalam hubungannya dengan ide kebangsaan, ras, struktur sosial dan gender. Walaupun demikian Paulus tidak berpikir membentuk komunitas-komuntas gettho di tengah-tengah masyarakat dalam Kekaisaran Roma. Paulus dalam mempraktekkan pelayanan dan kepemimpinan bahkan bersentuhan dengan politik dan ideologi Kekaisaran Roma, serta menyadari realitasnya. Istilah-istilah yang ia pakai menunjukkan betapa memadainya pemahamannya tentang realitas tersebut. Bahkan istilah-istilah politik dan ideologi Kekaisaran Roma ditransformasikan sedemikian rupa menjadi istilah-istilah teologi. Pelayanan dan kepemimpinan yang Paulus praktekkan nampak teramat peka dengan konteksnya. Karena itu walaupun pelayanan dan kepemimpinan Paulus bercirikan eklesiogis, namun mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam pelayanan dan kepemimpinan dalam lokus masyarakat luas. 13 Keempat, pelayanan dan kepemimpinan Paulus diwarnai dengan ketegangan dinamis paradoksal, ciri khas dari pelayanan dan kepemimpinan manusiawi, yakni: Antara mengosongkan diri dan kepenuhan diri/memegahkan diri. Antara kelemahan dan kekuatan. Antara kebapakan/keibuan dan kekanak-kanakan. Antara keotoriteran dan kedemokratan. Antara kesetaraan dan hirarki. Antara pengalaman dan intelektual. Di atas semuanya itu, pelayanan dan kepemimpinan Paulus termotivasi oleh keyakinan kristologisnya , “aku percaya maka aku berkata-kata.” 14 BIBLIOGRAFI Awwad, Johnny. “From Saul to Paul: The Conversion of Paul the Apostle.” Theological Review, Vol. 32 (2011). Davies, W.D. Paul and Rabbinic Judaism. New York: Harper & Row, 1967. Ehrman, Bart D. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. Oxford: Oxford University, 1997. Elliot, Neil. “Paul and the Politics of Empire: Problems and Prospects.” In Paul and Politics: Ekklesia, Israel, Imperium, Interpretation, edited by Richard A. Horsley, 17-35. Harrisburg: Trinity, 2000. Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia!: Suatu Pendekatan pada Etika Kristen Dasar. Yogyakarta: Duta Wacana University, 1990. Karavidopoulos, Ioannnis. “From Roman Politics to Christian Theology: The Transformation of Contemporary Political Terminology into a New Theological Terminology in St. Paul’s First Letter to the Thessalonians.” Sacra Scripta, Vol. IX, No. 2 (2011). MacDonald, Margaret Y. The Pauline Churches, A Socio-historical Study of Institutionalization in the Pauline and Deutero-Pauline Writings. Cambridge: Cambridge University, 1988. Mackenzie, Ed. “The Quest for the Political Paul: Assessing the Apostle’s Approach to Empire.” European Journal of Theology Vol. 20, No.1 (2011). Meeks, Wayne A. The First Urban Christians: The Social World of the Apostle Paul. New Haven and London: Yale University, 1983. Oakman, Douglas E. “The Perrenial Relevance of Saint Paul: Paul’s Understanding of Christ and a Time of Radical Pluralism.” Biblical Theology Bulletin, Vol. 39, No. 1 (2009). Perkins, Pheme. Reading the New Testament: An Introduction. New York/Mahwah: Paulist Press, 1988. Perrin, Norman. The New Testament: An Introduction. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1974. Rudolph, David J. “Paul’s ‘Rule in All the Churches’ (1 Cor 7:17-24) and Torah-Defined Ecclesiological Variegation.” Studies in Christian-Jewish Relations, Vol. 5 (2010). Schmisek, Brian. “Paul’s Vision of the Risen Lord.” Biblical Theology Bulletin, Vol. 41, No. 2 (2010). Steenbrink, Karel A. “Muslim-Christian Relations in the Pancasila State of Indonesia.” MuW LXXXVIII, no. 3-4 (July-October, 1998): 320-352. Theissen, Gerd. The Social Setting of Pauline Christianity. Edinburg: T&T Clark, 1982. Thiering, Barbara. Jesus The Man: A New Interpretation from the Dead Sea Scrolls. Sydney: Bantam Books, 1993. Trebilco, Paul. The Early Christians in Ephesus from Paul to Ignatius. Grand Rapids: William B. Eerdmans, 2007. Turner, Geoffrey. “Paul and the Old Testament – His Legacy and Ours.” New Blackfriars, DOI: 10.11111/j.1741-2005.2009 (2010). 15