Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam di NAD: Analisis Prinsip-prinsip dan Peluang Yuridis Konstitusional Oleh: Sirajuddin M * Abstract This paper explores the principles of constitutional and legal opportunities in the implementation of Islamic law in Aceh (NAD). It is based on the assumption that the implementation of Islamic law in Aceh is often affected by political factors, history, legal developments, and its institutions. In general, people in NAD responded positively to the implementation of Islamic law in Aceh as an effort to achieve justice and social welfare. The implementation of Islamic law in Aceh was based on the principles of fairness, usefulness, and legal certainty. The implementation of Islamic law in Aceh has a strong legal foundation, with the implementation of Law No. 44 of 1999 on the Special Province of Aceh, and has given hope to the people of Aceh to be able to hold the privilege given to this area. It is strengthened by the issuance of Law No. 18 of 2001 on Special Autonomy for the Special Province of Aceh as the province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). This opens a greater expectation to the implementation of Islamic law as it allows the establishment of sharia courts in Aceh. Key words: darǔriyat, hājiyāt, tahsiniyāt, qanun, and taţbiq as-syar'i. Abstrak Tulisan ini mengupas tentang prinsip-prinsip dan peluang yuridis konstitusional dalam pemberlakuan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tulisan ini didasari asumsi bahwa pemberlakuan syari’at Islam di NAD dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sejarah, perkembangan hukum, dan lembagalembaganya. Secara umum masyarakat NAD menyambut positif terhadap pemberlakuan syari’at Islam di NAD sebagai upaya dalam mewujudkan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan sosial. Pemberlakuan syari’at Islam di NAD didasarkan pada prinsip asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Pemberlakuan syari’at Islam di NAD memiliki landasan hukum yang kuat, dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah memberikan harapan bagi masyarakat Aceh untuk dapat menyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada daerah ini. Hal tersebut diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, harapan untuk terlaksananya syari’at * Ketua STAIN Bengkulu SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 74 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... Islam lebih besar lagi karena memungkinkan pembentukan peradilan syari’at Islam di Aceh. Kata kunci: darǔriyat, hājiyāt, tahsiniyāt, qanun, dan taţbiq as-syar’i. A. Pendahuluan Pemberlakuan syari’at Islam di NAD mengalami pasang surut, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sejarah, perkembangan hukum, dan lembaga-lembaganya. Kelahiran Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang UU Pemerintahan Aceh (UUPA), telah membawa legitimasi dalam pemberlakuan syari’at Islam. Pemerintah Provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus dan keistimewaan di bidang kehidupan beragama (syari’at Islam) telah membentuk beberapa lembaga pendukung dan mengesahkan beberapa Peraturan Daerah/Qanun, salah satu diantaranya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan syari’at Islam. Secara umum masyarakat NAD menyambut positif terhadap pemberlakuan syari’at Islam di NAD sebagai upaya dalan mewujudkan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan sosial. Meskipun demikian, implementasi syari’at Islam ini masih diwarnai dengan kecenderungan formalistik-pragmatis, parsialistik-disintegratif dan reaktif. Akibatnya, kesadaran hukum masyarakat yang terbangun dengan formalisasi syari’at Islam sepertinya masih kesadaran semu. Masyarakat lebih takut kepada hukuman manusia daripada hukuman Allah. Bukan bermaksud menafikkan upaya-upaya amar-makruf melalui penerapan syari’at Islami, namun diperlukan strategi yang lebih komprehensif sehingga mental masyarakat terbangun dengan kesadaranya akan hakikat syari’at Islam itu sendiri. Logika yang terbangun seringkali hanya logika hukum yang dimaknai sebagai hitam putih yang menjadikan gerak kehidupan muslim menjadi sangat kaku. Hukum Islam yang berlaku sudah dianggap sebagai hukum rumusan ilahi dan cetak biru bagi masyarakat. Penafsiran-penafsiran baru akan wahyu dan risalah seringkali dianggap oleh ulama yang sudah mapan sebagai sebuah pemikiran yang radikal atau oleh sebagian umat Islam SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 75 dianggap sebagai sebuah dosa yang harus dihindari.1 Ijtihad (interpretasi pribadi) tidak lagi diperlukan atau diijinkan. Masyarakat cukup meniru atau mengikuti pada pedoman tradisi yang disakralkan sebagaimana yang dirumuskan dan terekam dalam hukum Islam. Akibat yang lain, penerapan syari’at Islam di NAD tidak serta merta membawa dampak hukum sesuai harapan. Pemberlakuan syari’at Islam di NAD belum mampu menghilangkan Aceh sebagai provinsi dengan tingkat korupsi tinggi. Kaum muslimahnya dengan mudah menanggalkan jilbabnya ketika berada di luar provinsi. Belum lagi penghamburan uang negara untuk hal-hal yang tidak menyentuh kesejahteraan umat. Kondisi demikian mendorong penulis untuk melacak sejauhmana perhatian pemerintah (pusat/daerah) terhadap prinsip penerapan syari’at Islami dengan mengesampingkan aspek yuridis konstitusional sebagai identitas keislaman yang berperanan dalam mengekang perbuatan keji dan munkar. B. Prinsip Pemberlakuan Syari’at Islam Secara normatif, syari’at merupakan hukum Tuhan yang dengan prinsip-prinsipnya mengatur semua aspek hubungan antar manusia, dari ekonomi sampai politik, serta dari kehidupan batin sampai pertalian suami dan istri. Hukum Tuhan ini juga disertai prinsip adanya keyakinan akan Tuhan yang hadir di mana-mana dan Dia juga mengetahui apa yang tidak diketahui manusia. Dalam hal ini, syari’at adalah jalan menuju sumber kehidupan selama dua puluh empat jam agar manusia senantiasa dekat dan dilindungi oleh penciptanya.2 Tujuan Allah mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-Quran dan hadis. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian para ahli teori hukum Islam, ada lima hal pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (4) harta. Seorang mukallaf (subjek hukum) akan memperoleh kemaslahatan jika ia mampu memelihara kelima hal itu, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat jika ia tidak dapat memelihara kelima hal utama itu dengan baik.3 1Abdul Munir Mulkan, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadyah, (Yogyakarta: Roykhan, 2005), p. 45. 2 Lihat Roger Garaudy, “Hak-hak Asasi dalam Islam: Ketegangan Visi dan Tradisi”, dalam Jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993, p. 105. 3 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), p. 30. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 76 Untuk kepentingan penetapan hukum, kelima hal pokok di atas dibedakan menjadi peringkat darǔriyat, hājiyāt, dan tahsiniyāt. Pengklasifikasian ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan tingkat kebutuhan ini akan tampak urgensinya jika kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat itu bertentangan satu sama lain. Dalam hubungan ini, peringkat darǔriyat menempati urutan pertama, disusul oleh hājiyāt, kemudian disusul oleh tahsiniyāt. Akan tetapi, dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.4 Pemeliharaan dimensi darǔriyat dilaksanakan dengan menjaga terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial (primer) bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, dalam batas jangan sampai terancamnya keberadaan kelima hal pokok itu. Tidak terpenuhinya kebutuhankebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima hal pokok di atas.5 Sedangkan kebutuhan dalam kelompok hājiyāt tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok hajiyat ini tidak akan mengancam eksistensi kelima hal pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi subjek hukum. Kelompok ini erat kaitannya dengan keringanan (rukhsah) dalam ilmu fikih. Kebutuhan dalam kelompok tahsiniyāt adalah kebutuhan yang menopang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.6 Pada hakikatnya, baik aspek darǔriyat, hājiyāt maupun tahsiniyāt bertujuan untuk memelihara kelima hal pokok sebagaimana yang disebutkan di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda antara satu dengan yang lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer kalau kelima hal pokok itu diabaikan akan berakibat terancamnya keberadaan kelima hal pokok itu. Kebutuhan dalam kelompok kedua dapat disebut sebagai kebutuhan sekunder. Artinya, jika kelima hal pokok dalam kelompok ini diabaikan, tidak akan mengancam keberadaannya, melainkan akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok ketiga erat kaitannya dengan upaya untuk menjaga etika sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam Ibid, p. 40. Al-Syatibi, al-Muwafaqat filsafat Ushul Al-Qur’an-Ahkam, (Ttp: Mustafa Muhammad. 1341), II.,. p. 4 6 Ibid, p. 5. 4 5 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 77 eksistensi kelima hal pokok itu. Dengan kata lain, bahwa kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat komplementer.7 Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa, syari’at Islam perlu diterapkan dalam kehidupan (taţbiq as-syar’i). Dalam penerapannya harus memperhatikan asas-asas tertentu agar tidak keluar dari maksud dan tujuan dari hukum itu sendiri. Perkataan asas di sini berasal dari bahasa Arab, asāsun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti dasar, alas, atau pondamen.8 Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum pidana misalnya, adalah tolok ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya, berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum. Asas hukum Islam berasal dari sumber hukum Islam terutama alQur’an dan Hadis yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum Islam banyak, disamping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asasnya sendiri-sendiri. Tim pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984 (laporan 1983/1984:14-27) menyebut beberapa asas hukum Islam (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, (3) dalam lapangan hukum perdata. Sebagai sumbangan dalam penyusunan asas-asas hukum nasional tim itu hanya mengedepankan halhal berikut.9 1. Asas-asas Umum Asas-asas umum hukum Islam ini meliputi tiga hal dalam bidang hukum Islam. Pertama, asas keadilan yang merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai asas semua asas hukum Islam. Di dalam al-Qur’an, karena pentingnya kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan. Banyak ayat-ayat yang menyuruh manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Dari sini dapat dikatakan bahwa keadilan adalah asas, titiktolak, proses dan sasaran hukum Islam. Kedua, asas kepastian hukum Fathurrahman Djamil, Metode..., p. 41. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: IAIN, 1976), p. 60. 9 A.M. Saefuddin, Sistem Ekonomi Islam, dalam Panjimas, No. 4111983., p. 45 7 8 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 78 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundangundangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam.10 Ketiga, asas kemanfaatan yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogianya dipertimbangkan asas kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan. 2. Asas-asas dalam Lapangan Hukum Pidana Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam mencakup tiga asas. Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas legalitas telah ada dalam hukum Islam sejak alQur’an diturunkan. Dalam al-Quran surat Al-Isra’ ayat 15 dihubungkan dengan anak kalimat dalam surat Al-An’am ayat 19. Kedua, Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain. Asas ini terdapat di dalam berbagai surat dan ayat al-Quran (6: 164, 35: 18, 39: 7, 53:38, 74: 38). Dalam ayat 164 surat Al-An’am, Allah menyatakan bahwa setiap pribadi yang melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya. Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Pertanggungjawaban pidana itu sifatnya individual, kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Ketiga, asas praduga tak bersalah. Dalam asas ini, seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.11 3.Asas-asas dalam Lapangan Hukum Perdata Dalam lapangan hukum perdata Islam berlaku delapan belas asas. Pertama, asas kebolehan atau mubah, asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh al-Qur’an dan 10 Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), p. 155. 11 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), pp. 18-23. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 79 Sunnah. Dengan kata lain, pada dasarnya segala bentuk hubungan perdata adalah boleh dilakukan, kecuali kalau telah dtentukan lain dalam al-Qur’an dan Sunnah. In berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan zaman dan kebutuhan masyarakat. Tuhan memudahkan dan tidak menyempitkan kehidupan manusia seperti yang dinyatakan-Nya antara lain dalam alQur’an surat al-Baqarah ayat 185, 286. Kedua, asas kemaslahatan hidup, ketiga, asas kebangsaan dan kesukarelaan keempat, asas menolak mudarat, mengambil manfaat, kelima, asas kebajikan keenam, asas kekeluargaan, ketujuh, asas adil dan berimbang, kedelapan, asas mendahulukan kewajiban dari hak, kesembilan, asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, kesepuluh,asas kemampuan berbuat, kesebelas, asas kebebasan berusaha, kedua belas, asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa, ketiga belas, asas perlindungan hak, keempat belas, asas hak milik berfungsi sosial, kelima belas, asas yang beritikad baik harus dilindungi, keenam belas, asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja, ketujuh belas, asas mengatur, kedelapan belas, asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.12 Menurut M. Yahya Harahap, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum acara adalah tonggak atau pedoman dasar yang menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum dan masyarakat luas dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana.13 Prinsip juga dapat disebut sebagai asas, dasar, serta kode etik dari hukum acara. Secara umum, baik dalam masalah pidana atau perdata, pengadilan harus berpegang pada prinsip-prinsip atau asas-asas hukum acara berikut ini. Pertama, larangan bertindak sebagai hakim sendiri. Kedua, hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan. Ketiga, kekuasaan pengadilan harus bebas dan pengaruh kekuasaan badan negara lainnya. Keempat, semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum. Kelima, sidang pengadilan terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan terbuka, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. 14 Sementara dalam bidang hukum pidana berlaku asas-asas sebagai berikut: a. Asas persamaan di muka hukum, bahwa setiap orang diperlakukan sama di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam,,,. p. 18-23. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Ed. 2, Cet. 5, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), p. 35. 14Ibid., p. 36. 12 13M. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 80 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... b. Asas legalitas, bahwa semua tindakan yang berkaitan dengan penegakan hukum diatur oleh hukum dan undang-undang yang tertulis. Dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, harus dilakukan dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang. c. Asas praduga tak bersalah (presemptium of innocent), bahwa setiap yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah dan memiliki kekuatan hukum tetap. d. Asas ganti kerugian dan rehabilitasi, bahwa kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan orang (salah tangkap) atau kekeliruan hukum yang diterapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaian melanggar asas tersebut, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman administrasi; e. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak, bahwa proses peradilan tidak boleh berjalan lambat, berbelitbelit, mahal, memaksa, curang, dan memihak harus dihindarkan; f. Asas memperoleh bantuan hukum, bahwa tersangka atau terdakwa berhak mendapat kesempatan mengusahakan bantuan hukum untuk kepentingan dirinya; g. Asas pengakuan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa, bahwa tersangka atau terdakwa memiliki berbagai hak seperti hak diperiksa segera, hak mengetahui dakwaan dan dasar hukumnya dan sebagainya, h.Asas hadirnya terdakwa, bahwa pengadilan hanya memeriksa perkara dengan kehadiran terdakwa, i. Asas terbuka untuk umum, kecuali diatur lain oleh undang undang, dan j. Asas pengawasan pelaksanaan putusan, bahwa ketua pengadilan mengawasi pelaksanaan putusan untuk menjaga ketepatan pelaksanaannya. Seluruh asas di atas adalah ketentuan-ketentuan dasar yang sangat mungkin dilanggar oleh aparat penegak hukum. Karena itu, pelanggaran terhadap asas-asas ini dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. C. Peluang Yuridis Konstitusional Pemberlakuan Syari’at Islam di NAD Bangsa Indonesia pada umumnya menyadari bahwa salah satu sebab terjadinya krisis bangsa adalah kooptasi kekuasaan daerah oleh pusat. Untuk mengatasi ini maka ditempuh pemberlakuan otonomi daerah yang berjalan pada awal pemerintahan Habibie dan juga dilanjutkan pada zaman Abdurrahman Wahid adalah otonomi daerah. Proses otonomi ini diatur SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 81 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, PP Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertangggungjawaban Keuangan Daerah, PP Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertangggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantu, dan PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 7 (1) dikatakan bahwa kewenangan daerah meliputi seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain yang dimaksud dalam ayat tersebut dijelaskan dalam ayat (2) Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 1999, yaitu kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana pertimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Berkenaan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah itu, di beberapa wilayah nusantara, muncul tuntutan yang lebih besar terhadap otonomi daerah. Salah satu tuntutan masyarakat yang sangat besar adalah tuntutan tentang pelaksanaan syari’at Islam. Reformasi dimanfaatkan oleh berbagai kalangan kaum muslimin Indonesia untuk menggelorakan penerapan syari’at Islam di Indonesia. Kaum muslimin di sejumlah daerah, seperti Daerah Istimewa Aceh, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Maluku. UU Otonomi Daerah biasanya dianggap sebagai pintu masuk untuk menerapkan syari’at Islam. 15 Tuntutan penerapan syari’at Islam di Provinsi NAD meluas dari beberapa kabupaten atau kota. Sejak awal reformasi, ulama NAD semakin intens dalam bertukar pikiran tentang berbagai persoalan kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang penuh konflik di NAD, mulai dari masalah yang sederhana sampai masalah yang rumit yang terkait dengan keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan; masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya, serta mencoba merumuskan strategi 15 Jaih Mubarok, "Gerakan Pelaksanaan Syari’at Islam" dalam Ikadabandung online, p. 6. http:// ikadabandung. wordpress.com/ 2007/ 11/15/ gerakan-pelaksanaansyari’at-islam/ SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 82 pemecahannya. Dari berbagai diskusi tersebut, menurut sebagian ulama, solusinya bermuara pada kebutuhan penerapan syari’at Islam secara utuh. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 - Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar'iyah NAD yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar'iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun.16 Mahkamah Syar’iyah tersebut terdiri dari: 1. Mahkamah Syari'ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama; 2. Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Provinsi, yaitu di Banda Aceh. 3. Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. UU PNAD ternyata menyisakan banyak "pekerjaan rumah" dalam pembenahan sistem peradilan di Aceh, khususnya menyangkut Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di PNAD menyatakan bahwa, "Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi'ar." Permasalahan hukum materiil dan kewenangan ini perlu mendapat penegasan lebih lanjut, agar dapat membedakan dengan kewenangan yang dimiliki badan peradilan lain. Pengaturan lebih lanjut Mahkamah Syar’iyah dalam qanun dapat menimbulkan permasalahan berkaitan dengan hukum acara yang berlaku. Kesiapan membentuk Mahkamah Syar’iyah. Pascapemberian otonomi Muhammad Rusdi Ali, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi, Cet. I (Jakarta: Logos, 2003), p. 34. 16 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 83 khusus kepada PNAD saat ini mengharuskan adanya pembenahanpembenahan lembaga peradilan yang sesuai dengan UU PNAD. 17 Penerapan syari’at Islam melalui Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pandangan sebagian orang hakikatnya merupakan proses kelahiran kembali berkat perjuangan. Pemberlakuan Syari’at Islam bukan hadiah dari pemerintah pusat kepada masyarakat Aceh, tetapi lebih merupakan "pengembalian hak masyarakat Aceh yang telah pernah hilang”.18 Oleh karena itu, kehadiran dan kiprahnya di tengah masyarakat Aceh, sebagai bagian dari pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah) di Aceh, merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Pelaksanaan syari’at Islam dalam wujud peradilan syari’at di Aceh mempunyai sejarah yang panjang. Pada zaman Kerajaan Aceh, kekuasaan peradilan dipegang oleh Qadli Malikul ‘Adil (seperti Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi bidang peradilan) yang berkedudukan di ibu kota kerajaan. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutus perkara-perkara dalam daerahnya. Keputusan Qadli Uleebalang, dapat dibanding kepada Qadli Malikul ‘Adil. Keputusan Qadli Malikul Adil merupakan keputusan terakhir yang harus dijalankan. Pada zaman Hiindia Belanda, untuk daerah Aceh, khusus untuk bumiputera asli telah diundangkan Ordonansi 17 Juni 1916 Stbl. 1916 Nomor 432 jo. 435 yang beberapa kali sudah diubah dan terakhir dengan Ordonansi tahun 1930 Stbl. Nomor 58. Saat Jepang berkuasa, maka pengadilan Hindia Belanda ditutup, perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Praja yang berlangsung sampai bulan Mei 1942. Kekuasaan peradilan dilakukan oleh Gunpokaigi, Gunritugaiki, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Pada masa kemerdekaan, dalam upaya melaksanakan syari’at Islam, melalui lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh, Gubernur Sumatera melalui surat kawat nomor 1189, tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh untuk membentuk Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah). Keadaan ini berlangsung sampai dengan pembubaran Provinsi Aceh pada tahun 1950 yang berlanjut dengan dibentuknya UndangUndang Nomor 1 Darurat 1951 yang intinya membubarkan semua Peradilan Swapraja dan meleburkannya ke dalam Pengadilan Negeri.19 Muslim Ibrahim, Langkah-langkah Penerapan Syari’at Islam di Aceh, dalam Penerapan Syari’at Islam di Indonesia, (Jakarta: Global Media Advertising, 2004), p. 23. 18 M. Fajrul Falaakh, et.all, “Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Komisi Hukum Nasional RI online, (Jakarta: KHN RI), diakses pada tanggal 23 April 2008, p. Vii 19 Syamsul Rijal, Dinamika Sosial Keagamaan dalam Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2007), p. 36. 17 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 84 Keadaan itu berakhir setelah pada bulan Agustus 1957, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Seluruh Aceh, serta Susunan dan kewenangannya. Akan tetapi Peraturan Pemerintah ini menyisakan masalah yaitu kompetensi absolut yang cenderung mengambang. Putusan Pengadilan Agama hanya dapat dijalankan setelah memperoleh pengukuhan dari Pengadilan Negeri dan yang menjalankannya pun adalah Pengadilan Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mencabut peraturan tersebut, justru menguatkan keadaan tersebut untuk seluruh Indonesia.20 Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, terdapat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959. Dengan keputusan ini, Provinsi Aceh mendapat sebutan baru, yaitu sebagai Daerah Istimewa Aceh. Akan tetapi keistimewaan ini seperti terhapus oleh Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Undangundang Nomor 18 Tahun 1965), karena menyamakan otonomi yang diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh dengan otonomi yang diberikan kepada semua daerah Indonesia lainnya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum tidak banyak membantu karena dimungkinkannya campur tangan badan eksekutif dalam peradilan.21 Pada masa Orde Baru, lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, namun tidak menyebutkan status keistimewaan Aceh. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam di Daerah Istimewa Aceh yang dibuat tahun 1967, mendapat penolakan oleh pemerintah pusat pada waktu itu. UndangUndang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) sebagai tindak lanjut dari Undangundang Nomor 14 tahun 1970 relatif lebih membantu pelaksanaan syari’ah Islam dalam wujud peradilan meskipun belum maksimal. Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah memberikan harapan bagi masyarakat Aceh untuk dapat menyelenggarakan keistimewaan yang Pagar, “Dualisme Hukum Pidana Di Nangroe Aceh Darussalam: Analisis Terhadap Dampak Penerapan Hukum Islam” Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam, Bandung: 2006, p. 22. 21 Mudzakir, "Integrasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional: Upaya Restrukturisasi Perundang-Undangan Nasional", dalam Jurnal Mazhabuna, No. 2 Tahun II/2003, p. 23. 20 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 85 diberikan kepada daerah ini sejak tahun 1959, yaitu dalam bidang-bidang (a) penyelenggaraan kehidupan beragama; (b) penyelenggaraan kehidupan adat; (c) penyelenggaraan pendidikan; dan (d) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Inti dari penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’ah Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, harapan untuk terlaksananya syari’at Islam lebih besar lagi karena memungkinkan pembentukan Peradilan syari’at Islam di Aceh. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan (2) Undang-undang tersebut, peradilan syari’at Islam di Aceh sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah dengan kewenangannya didasarkan atas syari’at Islam yang diatur lebih lanjut dengan Qanun (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengeluarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 -tentang Peradilan syari’at Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2002/7 Sya'ban 1423 H.22 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 itu mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 4 Maret 2003 (1 Muharram 1424 H). Pada hari itu juga, diresmikan pembentukan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Aceh oleh Menteri Agama RI sekaligus dilakukan pelantikan Ketua-Ketua Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota dan Ketua Mahkamah Syar'iyah Provinsi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan disaksikan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Dalam Negeri dan beberapa orang pejabat tinggi lainnya dengan mengambil tempat di Gedung DPRD Provinsi Aceh di Banda Aceh. Dalam perkembangannya, lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan disusul dengan pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 tentang UU Pemerintahan Aceh (UUPA). semakin memperkuat keberadaan peradilan syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam.23 Dengan berpijak pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dipelajari mengenai kewenangan 22 Tim Redaksi Tatanusa, Pemerintahan Aceh “Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh”, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2006), p. 23. 23 M. Fajrul Falaakh, et.all, “Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam”, p. x. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 86 yang diperoleh keempat lingkungan peradilan. Pada prinsipnya, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Peradilan Syari’ah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang putusannya ditentukan pada Mahkamah Syar’iyah Kota atau Kabupaten untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding. Jika dilihat berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka tampak adanya keunikan yang berbeda dengan badan peradilan khusus lainnya. Hal ini karena ia merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. 24 Seperti diketahui bahwa syari’at Islam mencakup seluruh aspek hukum, baik dalam aspek hukum publik maupun privat. Karena itu, kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah yang ditetapkan dalam Qanun Nomor 10 tahun 2002 mencakup pula seluruh aspek hukum yang memerlukan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Pokok pikiran tersebut antara lain termaktub dalam penjelasan umum angka 4 Qanun Nomor 10 tahun 2002. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang al-ahwal as-syakhsiyah, mu'amalah dan jinayah.25 Bidang al-ahwal as-syakhsiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kecuali wakaf, hibah dan shadaqah. Bidang mu'amalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti: jual beli, hutang piutang, qirad (permodalan), musāqah, muzāra'ah, mukhābarah (bagi hasil pertanian), wakalah (kuasa), syirkah (perkongsian), 'ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh) dan rahnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma'din (tambang), luqatah (barang ternuan), perbankan, ijārah (sewa-menyewa), takaful (penjaminan), perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, shadagah dan hadiah. Bidang jinayah adalah: 1. Hudud, yang meliputi zina, menuduh berzina (qaż۠af), mencuri, merampok, minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan (bugah). 2. Qisas/diyat, yang meliputi : pembunuhan, penganiayaan. Ibid., p. 61. Thabary, Muhibuth, Konsep dan Implementasi Wilayatul Hisbah dalam penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Disertasi Tidak di terbitkan, Tahun 2007), p. 35. 24 25 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 87 3. Ta'zir, yaitu hukuman terhadap pelanggaran syari’at selain hudud dan qisas/diyat, seperti; judi, khalwat, meninggalkan salat fardu dan puasa ramadan (hukum materilnya telah diatur dalam Qanun Nomor 11 tahun 2002), penipuan, pemalsuan dan lain-lain.26 Pelaksanaan kewenangan Mahkamah Syar’iyah, khususnya dalam bidang jinayah, diwujudkan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan, kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia. Hal ini secara tegas telah digariskan dalam Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden RI Nomor 11 tahun 2003. Hukum materil yang dibuat dan digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah bersumber dari syari’ah Islam dan atau paling tidak dari sumber lain termasuk hukum adat, tetapi sesuai dengan syari’at Islam. Sementara hukum materil yang telah ada akan ditinjau kembali dengan syari’at Islam. Begitulah semangat dari ketentuan yang terdapat pada ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Di samping itu, penggunaan hukum materil yang islami tersebut haruslah melalui proses “taqnīn” (pengundangan) baik dalam bentuk Undang-undang. Peraturan Pemerintah ataupun qanun yang digunakan Mahkamah Syar’iyah dapat berbentuk: 1. Undang-undang (antara lain: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan lain lain). 2. Peraturan Pemerintah (antara lain: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan lain-lain). 3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 4. Qanun-qanun. Dengan melihat beberapa ketentuan perundang-undangan yang telah dikemukakan di atas, maka secara yuridis hukum materil yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem peradilan nasional, oleh karenanya hukum materil yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah memiliki landasan hukum yang kuat, bahkan beberapa peraturan daerah atau qanun tentang dan atau yang berkaitan dengan Mahkamah Syar’iyah dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas Lex Specialis derogat lex generalis, meskipun Chalil, Zaki Fuad, Melihat Syari’at Islam dari Berbagai Dimensi, (Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007), pp. 12-17. 26 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 88 karena kedudukannya berada di bawah Undang-undang terhadap qanun, Mahkamah Agung dapat atau berwenang melakukan uji materil.27 Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagai dampak kebijakan otonomi daerah sekarang ini, di masa yang akan datang akan semakin banyak menyaksikan berkembangnya gejala pluralisme dalam pengaturan mengenai materi hukum dan desentralisasi dalam pengelolaan dan pembinaan hukum nasional.28 Kecenderungan desentralisasi dan keragaman sistem hukum itu berkembang sesuai dengan prinsip ‘lex specialis derogat lex generalis’ yang dikenal dan diakui sebagai doktrin yang universal dalam hukum. Akan tetapi, semua ini haruslah dilihat sebagai elemen substantif dari sistem hukum nasional. Aspek substansi itu masih harus ditata dan dilembagakan dalam bentuk-bentuk hukum yang memang disepakati bersama secara demokratis. Artinya, keragaman isi atau esensi tidak harus dilembagakan dalam keragaman bentuk. Oleh karena itu, norma-norma syari’at agama Islam juga perlu dituangkan dalam format peraturan yang dapat disepakati bersama.29 Sementara itu, perangkat peraturan perundang-undangan yang mendasari legitimasi kelembagaan Mahkamah Syar'iyah sebagai organ pelaksana syari’at Islam di NAD adalah: 1. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah lstimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang ini merupakan landasan pembentukan peradilan syari'ah yang dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah dan berisi perintah untuk mengeluarkan Qanun tentang kewenangan Mahkamah Syar'iyah. 2. Keputusan Presiden RI Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keputusan Presiden ini intinya berisi penegasan tentang peralihan lembaga Peradilan Agama yang telah ada di Aceh, beserta seluruh perangkat pendukungnya, menjadi bagian dari Mahkamah Syar'iyah. 3. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, yang mengatur susunan organisasi dan kewenangan Mahkamah Syar'iyah. Alyasa Abu Bakar, Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2008), p. 15. 28 A. Rahmat Rosyadi & Rais Ahmad, Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006). p. 99 29 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001). p. 52 27 SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 89 4. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, sebagai Hukum Materil antara lain mengatur tentang beberapa pelanggaran tentang Aqidah dan Ibadah yang pelakunya diadili di Mahkamah Syar'iyah. 5. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat yang mengatur Hukum Materil Bidang Jinayah yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah. D. Kesimpulan Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan syari’at Islam di NAD didasarkan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Pemberlakuan syari’at Islam di NAD memiliki landasan hukum yang kuat dengan pemberlakuan UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 90 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... Daftar Pustaka Abdullah, Abdul Ghani, "Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia" dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V, Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI. Abubakar, Al Yasa', Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2008. Adan, Hasanuddin Yusuf, Politik dan Tamaddun Aceh, Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh, 2006. Ahmad, Abdullah Sf. Dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Al-Asyarif, Muhammad Abd al-Ghafar, Teori Pemberlakuan Syari’at Islam Secara Bertahap, Darussalam Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2003. Amal, Taufik Adnan, Politik Syari’at Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan ProsPeknya, Jakarta: Gema Insani Press. 1996. Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966. Assegaf, Salim dkk, Penerapan Syari’at Islam di Indonesia antara Peluang dan Tantangan, Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004. At-Tarusani, Jalaluddin, Safinat al-Hukkam Fi Takhlish al-Khashsham, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2001. Bhakti, Ikrar Nusa (peny.), Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik/P2P LIPI, 2008. Chalil, Zaki Fuad, Melihat Syari’at Islam dari Berbagai Dimensi, Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... 91 Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-undang, Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, dan lain-lain berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam, Banda Aceh: 2003 Falaakh, M. Fajrul, et.all, “Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Komisi Hukum Nasional RI online, Jakarta: KHN RI, diakses pada tanggal 23 April 2008. Fanani, Muhyar, Membumikan Hukum Langit, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2008. Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag RI, 2008. Hardi, Daerah Istimewa Aceh:Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta: Karya Unipers, 1993. Ibrahim, Muslim, Langkah-langkah Penerapan Syari’at Islam di Aceh, dalam Penerapan Syari’at Islam di Indonesia, Jakarta: Global Media Advertising, 2004. Jakobi, Tgk. A.K., Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, Jakarta: Gramedia, 1998. Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999. Koran Serambi Indonesia, Mahkamah Syari'ah Aceh, Lebih Didasari Politis, Kamis, 06 Maret 2003 Lubis, M. Solly, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Manan, Bagir, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: IN-HILLCO, 1992. Mu’alimin, Amir, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press Indonesia 2001. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 92 Sirajuddin M: Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam... Muhammad, Rusdi Ali, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi, Cet. I Jakarta: Logos, 2003 Nurrohman, “Syari’at Islam, Negara Islam dan Transformasi Hukum Islam”, dalam Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Forum Studi Asy-Syari’ah; volume 25, Nomor 2, Juli-Desember 2002. Pagar, “Dualisme Hukum Pidana Di Nangroe Aceh Darussalam: Analisis Terhadap Dampak Penerapan Hukum Islam” Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam, Bandung: 2006. Rasyid, A. Rahmat dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum, Bandung: Citra Aditya bakti, 2002. Rijal, Syamsul, Dinamika Sosial Keagamaan dalam Pelaksanaan Syari’at Islam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2007. Rosyadi, Rahmat dan HM Rais Ahmad, Formalisasi Syari’at Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006. SA, Ichtiyanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: Ind-Hill Co, 1990. Sunny, Isma’il dkk, Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998. Thabary, Muhibuth, Konsep dan Implementasi Wilayatul Hisbah dalam penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Disertasi Tidak di terbitkan, Tahun 2007. Thalib, Sajuti, Receptio A Contrario; Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Tim Redaksi Tatanusa, Pemerintahan Aceh ”Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh”, Jakarta: PT. Tatanusa, 2006. Yamani, Zaki, Syari’at Islam yang Abadi: Menjawab Tantangan Masa Kini Bandung: Al-Ma’arif, 1980. Yurnal, "Mahkamah Syar’iyah di Aceh dalam Sistem Kekuasaan Kehak iman di Indonesia " Disertasi tidak diterbitkan, 2009. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012