BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan tenaga
kerjanya ke luar negeri dalam jumlah yang besar. Besarnya jumlah tenaga kerja,
tingginya jumlah pengangguran, serta minimnya lapangan kerja yang tersedia di
Indonesia menjadi faktor pendukung peningkatan jumlah TKI yang bekerja ke
luar negeri. Hal ini menjadi alternatif bagi Indonesia untuk mengurangi persoalan
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di dalam negeri. Pengiriman tenaga kerja
ke luar negeri ini juga menjadi salah satu sumber devisa yang potensial bagi
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Laporan dari Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia
menyatakan bahwa remittance tahun 2013 (hingga bulan November 2013)
mencapai Rp 81,34 Triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 11.000 per USD.1
Berdasarkan data dari BNP2TKI, Saudi Arabia menempati posisi
pertama sebagai negara yang menerima TKI sejak tahun 2006 hingga tahun 2011.
Meskipun demikian, Saudi Arabia juga menempati posisi pertama sebagai negara
dengan tingkat pengaduan TKI yang tinggi.2 KJRI Jeddah mengatakan bahwa
1
2
BNP2TKI 2013, “Remitansi TKI Tahun 2013 Capai Rp 81,34 Trilyun”, diakses pada 01 Januari
2013,
<http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9227-remitansi-tki-tahun-2013capai-rp-8134-trilyun.html>.
Suprayogi, A 2013, “Malaysia dan Arab Saudi”, Negara Kasus TKI Tertinggi, diakses pada 01
Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/624151/malaysia-dan-arab-saudi-negarakasus-tki-tertinggi>.
1
kasus yang terjadi di Saudi Arabia pada tahun 2010 sebanyak 1.546 kasus.3 Kasus
yang terjadi tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga seperti kekerasan seksual,
uang gaji yang bermasalah, overstayer, putusnya komunikasi dengan keluarga,
tidak mendapatkan cuti ataupun libur, tidak diberikan akses kesehatan, kasus
pembunuhan, dan berbagai kasus lainnya. Bahkan di Saudi Arabia, tidak jarang
TKI dijatuhi hukuman mati dengan berbagai alasan dan ini mengancam hak hidup
TKI, seperti Yanti Iriyanti pada 12 Februari 2008 dan Ruyati pada 18 Juni 2011.
Migrant Care menyatakan bahwa untuk tahun 2013 terdapat 42 kasus hukuman
mati untuk TKI di Saudi Arabia, dimana 9 kasus diantaranya mendapatkan vonis
tetap hukuman mati dan 33 kasus lainnya masih dalam proses.4
Permasalahan TKI di luar negeri sudah terjadi selama bertahun-tahun,
tetapi sampai saat ini tidak ada solusi nyata agar hak dari para TKI di luar negeri
dapat dijamin. Perlakuan yang melanggar hak asasi manusia ini pada umumnya
terjadi pada TKI yang bekerja di sektor informal, yang pada umumnya bekerja
sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), supir, tukang kebun,
pramuniaga, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan keahlian
yang dimiliki, minimnya kemampuan bahasa untuk berkomunikasi, serta tidak
pahamnya terhadap aturan dan budaya di Saudi Arabia sering menjadi kendala
yang sangat besar bagi para TKI. Tidak hanya itu saja, pengiriman TKI secara
tidak resmi ini menjadi salah satu pendorong perlakuan yang tidak manusiawi
3
4
BNP2TKI 2011, “Turun, Penyelesaian Kasus TKI di Arab Saudi”, diakses pada 01 Januari 2014,
<http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/3953-turun-penyelesaian-kasus-tki-diarab-saudi.html>.
Gunawan, R 2013, “Migrant Care: 256 TKI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri”, diakses
pada 02 Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/786508/migrant-care-256-tkiterancam-hukuman-mati-di-luar-negeri>.
2
terhadap TKI, dimana pada umumnya ketidaklengkapan dokumen yang sering
menjadi masalah di kemudian hari.
Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh TKI di Saudi Arabia adalah
penerapan sistem Kafala di negara tersebut. Sistem Kafala merupakan
“sponsorship system that regulates residency and employment of the workers in
the Gulf Cooperation Council (GCC) countries” 5 atau “a system used to monitor
the construction and domestic migrant laborers in the Arab States of the Persian
Gulf” 6. Sistem kafala yang berlaku di Saudi Arabia memberikan ketentuan “an
employer assumes responsibility for a hired migrant worker and must grant
explicit permission before the worker can enter Saudi Arabia, transfer
employment, or leave the country. The kafala system gives the employer immense
control over the worker”.7 Dengan sistem ini, para TKI terikat dengan ketentuan
dari majikan yang memperkerjakan mereka. Sistem ini juga memperbolehkan
tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia TKI di Saudi Arabia.
Pembahasan untuk menghapus sistem ini belum dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam upaya perlindungan TKI.
Pembentukan BNP2TKI merupakan sebuah langkah nyata dalam usaha
perlindungan TKI yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk melindungi TKI.
Tetapi ini juga belum cukup untuk mereduksi tindak kekerasan dan ketidakadilan
yang dialami oleh TKI. Melihat tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk
5
Bajracharya, R, “Kafala or Sponsorship System”, diakses pada 02 Januari 2014,
<http://ceslam.org/mediastorage/files/Kafala%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2%20or%
20%C3%A2%E2%82%AC%CB%9CSponsorship%20System%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%
A2.pdf>.
6
Human Right Watch 2008, “As If I Am Not Human” – Abuses Against Asian Domestic Workers in
Saudi Arabia, Human Right Watch, United States of America.
7
Ibid.
3
melindungi dan menjamin hak-hak TKI di Saudi Arabia, maka diplomasi menjadi
salah satu cara mencapainya. Tentunya dalam menghadapi permasalahan ini,
pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan telah ada upaya diplomasi yang
dilakukan untuk melindungi TKI yang mengalami ketidakadilan di Saudi Arabia.
Diplomasi yang telah dilakukan tersebut antara lain telah diadakan pertemuan
pada 28 Mei 2011 oleh Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi dengan Kepala
BNP2TKI yang menghasilkan Statement of Intens (SOI). Dalam pertemuan ini,
terjadi kesepakatan untuk membahas Memorandum of Understanding (MoU)
mengenai perlindungan dan jaminan sosial TKI antara pemerintah Indonesia dan
Saudi Arabia.
Penempatan TKI di Saudi Arabia saat ini sedang masuk kepada masa
moratorium (penghentian sementara) yang diberlakukan sejak 1 Agustus 2011
dengan alasan terlalu tingginya tingkat kasus ketenagakerjaan sampai kepada
tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara tersebut. Langkah
ini merupakan suatu bentuk ketegasan dalam perlindungan hak dari TKI.
Tanggung jawab pemerintah dalam melindungi TKI ditetapkan dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 2004. Tidak hanya itu saja, Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia di Luar
Negeri juga mewajibkan pemerintah Indonesia untuk tegas dalam pelaksanaan.
Penelitian ini akan memiliki rentang waktu dalam masa moratorium yaitu sejak
Agustus 2011 dimana masa moratorium diberlakukan oleh Indonesia hingga
Februari 2014 yang ditandai dengan penandatanganan MoU antara Indonesia dan
Saudi Arabia terkait perlindungan TKI. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
4
penulis tertarik untuk meneliti dengan judul “Diplomasi Indonesia terhadap Saudi
Arabia sebagai Negara Penerima Tenaga Kerja Indonesia pada Masa
Moratorium”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan
masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: Apa yang dilakukan dan yang
belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui diplomasi terhadap Saudi
Arabia guna melindungi TKI pada masa moratorium?
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai perlindungan terhadap TKI telah banyak dilakukan,
namun dari sekian banyak penelitian yang telah dilakukan, belum ada penelitian
yang membahas mengenai diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
terhadap Saudi Arabia dalam masa moratorium (penghentian sementara).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan terkait perlindungan TKI, sebagian
besar membahas mengenai efektifitas kebijakan yang telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu saja, sebagian besar lainnya membahas
mengenai perlindungan terhadap TKI ditinjau dari peran pemerintah dan NGO,
serta membahas permasalahan TKI dilihat dari aspek hukum yang berlaku di
Indonesia.
Fudianti Anggani dalam penelitiannya mengenai kebijakan pemerintah
Indonesia tentang perlindungan TKI dalam pemenuhan hak dasar TKI di luar
5
negeri8 menyatakan bahwa program penempatan TKI di Saudi Arabia menjadi
sebuah prospek yang baik bagi pemerintah Indonesia, dimana menjadi solusi atas
permasalahan pengangguran yang sangat tinggi jumlahnya di Indonesia serta
keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Tetapi di sisi lain, hal ini
memunculkan permasalahan baru dengan berbagai kasus kekerasan yang
menimpa TKI diakibatkan pengguna jasa yang kurang menghargai dan
menghormati hak-hak pekerja. Pemerintah Indonesia tentunya menghadapi
hambatan dalam merealisasikan perlindungan TKI di Saudi Arabia karena adanya
perbedaan landasan hukum yang digunakan di negara tersebut. Saudi Arabia
menganut dasar negara yang mengindikasi bahwa sistem politik yang diakui tidak
mengadopsi hukum internasional, seperti halnya dalam penerapan isu hak asasi
manusia dan gender, karena Saudi Arabia tidak meratifikasi konvensi yang
berkaitan dengan kedua isu tersebut.
Fudianti Anggani juga menyatakan bahwa perlindungan TKI secara
mutlak menjadi tanggung jawab penuh dari pemerintah. Peran negara ini tentunya
membutuhkan koordinasi dalam penangangan kasus TKI tersebut supaya tidak
memunculkan kecenderungan tumpang tindih wewenang dan kewajiban bagi
setiap instansi terkait yang menjadi focal point dari program penempatan TKI di
luar negeri. Kerjasama dengan negara penempatan tidak dapat dikesampingkan
dalam hal ini, karena dengan dialog melalui kerjasama bilateral dapat
menghasilkan agreement dasar yang mengikat secara hukum. Permasalahan
8
Anggani, F 2009, “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Perlindungan TKI dalam Pemenuhan
Hak Dasar TKI di Luar Negeri (Studi Kasus: TKI di Arab Saudi)”, Tesis, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
6
mengenai TKI ini apabila tidak diselesaikan sesegera mungkin maka dapat
memicu munculnya konflik dalam hubungan bilateral.
Diplomasi bilateral memiliki peranan yang penting sebagai upaya
preventif perlindungan TKI di luar negeri guna tercapainya keberadaan “bilateral
agreement”
antara
negara
pengirim
dan
negara
penerima
di
bidang
ketenagakerjaan, hingga pengguna jasa TKI dapat menghargai hak-hak dasar dari
TKI. Tidak hanya itu saja, perbaikan tentunya harus dilakukan di dalam negeri,
seperti misalnya apabila pemerintah menginginkan negara penerima menaikkan
upah, maka kualitas dan kemampuan dari TKI tentu juga harus ditingkatkan.
Kebijakan dan peraturan domestik yang telah dirumuskan oleh pemerintah
Indonesia dijadikan prinsip dan dasar dalam proses penempatan TKI di luar
negeri. Kebijakan dan peraturan ini harus mampu memberikan kontribusi
perlindungan bagi keselamatan dan kesejahteraan TKI, walau diakui sangat sulit
untuk dapat membuat serta menyusun suatu peraturan yang dapat memuaskan
semua
pihak.
Meskipun
demikian,
pemerintah
harus
sebisa
mungkin
mengakomodasi kepentingan dari semua pihak yang terkait, sedangkan upaya
hukum yang dapat dilakukan apabila terdapat pelanggaran hak TKI saat
penempatan yaitu tunduk pada peraturan negara setempat dengan mengikuti
kedaulatan teritorial suatu negara.
Ahmad Almaududy Amri meneliti mengenai pelaksanaan perlindungan
hukum bagi TKI sektor informal di Saudi Arabia9 menyatakan bahwa
perlindungan hukum terhadap TKI telah dilakukan dengan berbagai upaya oleh
9
Amri, AA 2011, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia Sektor Informal
di Saudi Arabia”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
7
pemerintah Indonesia, dimana diantaranya menyiapkan perangkat hukum dalam
negeri dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait, terdapat upaya pemerintah
melalui perwakilan Indonesia di Saudi Arabia untuk melakukan penyelesaian
secara langsung dengan para pengguna jasa TKI di Saudi Arabia, dan adanya
upaya hukum oleh pemerintah Indonesia melalui pemerintah Saudi Arabia. Tetapi
meskipun demikian, perlindungan TKI di Saudi Arabia, khususnya di sektor
informal belum dapat dilakukan secara maksimal dikarenakan belum adanya
asuransi lokal di Saudi Arabia untuk menjamin keselamatan dari para TKI
tersebut.
Ahmad Almaududy Amri dalam penelitiannya menuliskan bahwa pada
tahun 2002, pemerintah Saudi Arabia melakukan kebijakan baru dalam bidang
ketenagakerjaan, yaitu program Saudisasi. Program Saudisasi merupakan suatu
pembangunan untuk melatih dan mendidik tenaga kerja Saudi Arabia dan
menggantikan para tenaga kerja asing yang ada di Saudi Arabia, dengan target
80% tenaga kerja Saudi Arabia harus sudah mengisi semua sektor lapangan kerja
di Saudi Arabia pada tahun 2012. Kebijakan ini tentunya dapat mengancam
lapangan kerja bagi para TKI dan tentunya dapat mempersempit lapangan kerja di
Saudi Arabia. Tujuan utama dari kebijakan Saudisasi adalah:
1. Meningkatkan lapangan kerja bagi warga negara Saudi Arabia di semua sektor
kegiatan ekonomi.
2. Mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing.
8
3. Menangkap kembali dan mereinvestasi pendapat yang diperoleh para tenaga
kerja asing di Saudi Arabia, yang selama ini dikirimkan sebagai remittance ke
negara asalnya.
Muslan Abdurrahman mengkaji mengenai permasalahan ketenagakerjaan
sebagai sebuah efek diskriminasi hukum dengan melihat banyaknya kasus TKI
illegal terutama yang ada di Malaysia.10 Ia menyatakan bahwa peraturan tentang
penempatan dan perlindungan TKI tidak sejalan dengan peraturan yang telah
ditetapkan melalui Kepmenakertrans Nomor 44 A/MEN/2002 yang kemudian
diganti dengan Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan
dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Kasus TKI illegal atau ketidakpatuhan TKI
dalam menjalankan prosedur resmi dari pemerintah dikarenakan perlakukan
eksploitasi oleh para calo yang pada akhirnya TKI tersebut menjadi permasalahan
baru yang harus ditangani oleh pemerintah. Selain itu, ia juga membahas tentang
hal-hal
yang
memicu
munculnya
perilaku
ketidakpatuhan
dikarenakan
diskriminasi melalui peraturan perundangan tentang penempatan TKI, dimana hal
ini menjadi pemicu dan faktor yang kuat terjadinya kasus TKI illegal.
Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa penelitian diatas, peneliti
memandang bahwa penelitian yang selama ini dilakukan terkait dengan
perlindungan TKI lebih berfokus pada kebijakan dan perlindungan hukum, serta
tanggung jawab pemerintah dalam melindungi TKI tersebut. Pada pembahasan
mengenai perlindungan TKI, tidak ada pembahasan mengenai diplomasi yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia, mengingat bahwa diplomasi menjadi suatu
10
Abdurrahman, M 2006, Ketidakpatuhan TKI: Sebuah Efek Diskriminasi Hukum, UMM Press,
Malang.
9
jalan untuk mencapai berbagai kepentingan yang ada baik dari negara pengirim
maupun negara penerima. Maka dari itu, hal ini yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, dimana penelitian ini
pun menggunakan masa moratorium yang diberlakukan untuk penempatan TKI ke
Saudi Arabia sebagai pembeda yang lainnya dan menjadi nilai kebaruan dari
penelitian ini.
D. Kerangka Konseptual
1.
Kebijakan Luar Negeri
Holsti memberikan pernyataan mengenai kebijakan luar negeri yaitu
“foreign policy also incorporates ideas that are planned by policy makers in order
to solve a problem or uphold some changes in the environment, which can be in
the forms of policies, attitudes, or actions of another states or states”.11 Dalam
buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia,
politik luar negeri didefinisikan sebagai suatu kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha
untuk mencapai tujuan nasional. Melalui politik luar negeri, pemerintah
memproyeksikan kepentingan nasional ke dalam masyarakat antar bangsa.12
Kepentingan nasional dari Indonesia adalah kepentingan bangsa Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia, adalah Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan
Pancasila. Tujuan Nasional dari Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
11
12
Holsti, KJ 1983, International Politics, A Framework for Analysis, Prentice Hall, London.
Sabir, M 1987, Politik Bebas Aktif: Tantangan dan Kesempatan, CV. Haji Masagung, Jakarta.
10
Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kebijakan
luar
negeri
dibutuhkan
oleh
sebuah
negara
dalam
perjalanannya, karena suatu negara tentu akan berinteraksi dengan negara lain,
sehingga perlu dimiliki pedoman dasar sehingga mampu mencegah konflik yang
dapat merusak hubungan diplomatik dengan negara lainnya. Kebijakan luar negeri
dalam prosesnya dibagi mejadi tiga ruang lingkup, yaitu: pengaruh kebijakan luar
negeri (the influences of foreign policy), pembuatan kebijakan luar negeri (the
making of foreign policy), dan implementasi kebijakan luar negeri (the
implementation of foreign policy).13 Konsep dasar dalam pembuatan kebijakan
luar negeri adalah:14
1. Pembuat kebijakan
2. Tujuan
3. Prinsip
4. Kekuasaan untuk melaksanakan
5. Konteks dimana kebijakan luar negeri dirumuskan dan diimplementasikan.
Barston menyatakan bahwa dalam penetapan sebuah kebijakan luar negeri,
pemerintah suatu negara perlu memperhatikan perubahan yang terjadi di
lingkungan domestik maupun lingkungan internasional.15 Faktor internal atau
domestik menyangkut lokasi, latar belakang sejarah, budaya, organisasi,
13
Dawisha, A 1983, Islam in Foreign Policy, Cambridge University Press, London.
Dugis, V 2007, Analysing Foreign Policy, dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. 20 (2); pp.
41 – 52.
15
Barston, RP 1989, Modern Diplomacy, Longman, London and New York.
14
11
kepentingan-kepentingan organisasi non-pemerintahan, stabilitas domestik,
pengaruh ekonomi, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal mencakup
bentuk struktur yang berlaku di dalam sistem internasional, bentuk hubungan
lokal dan regional, pergerakan mata uang internasional, kebijakan negara tetangga
yang memiliki power yang kuat atau bekerjanya institusi internasional, serta
pengaruh transnasional.
Dalam pembahasan penelitian, kebijakan luar negeri akan lebih berfokus
pada pembuatan kebijakan luar negeri, dimana hal ini dibutuhkan dalam
merumuskan MoU ataupun Agreement antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah Saudi Arabia yang dihasilkan melalui diplomasi bilateral. Dengan
berdasarkan pada tujuan nasional dari Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan tumpah darah Indonesia, maka pemerintah dapat menggunakan hal
ini sebagai landasan untuk mengadakan perjanjian dengan Saudi Arabia. Dalam
konteks ini, kepentingan dari Indonesia adalah melindungi TKI yang bekerja di
Saudi Arabia dan dapat merespon setiap kondisi yang terjadi di Saudi Arabia
(kondisi internasional) dan kondisi internal bangsa (kondisi nasional) melalui
kebijakan luar negeri yang akan dirumuskan. Dengan kebijakan luar negeri yang
tepat, maka pemerintah dapat mencapai tujuan dan kepentingannya untuk
melindungi TKI yang mengalami ketidakadilan di Saudi Arabia.
2.
Diplomasi
Diplomasi sangat dibutuhkan dalam hubungan internasional, dimana
interaksi dari negara-negara yang sering terjadi menjadikan diplomasi sebagai
12
salah satu cara dalam hubungan tersebut. Diplomasi juga merupakan cara untuk
pelaksanaan politik luar negeri sebuah negara. Diplomasi merupakan komunikasi
yang dilakukan suatu negara-bangsa untuk mencapai kepentingan nasionalnya,
dimana diplomasi adalah “metode”-nya.16 Dari perspektif negara, diplomasi
merupakan proses implementasi politik luar negeri yang dilakukan melalui
korespondensi, pertukaran pandangan, lobi, kunjungan, maupun ancaman.
17
Untuk mencapai kepentingan Indonesia dalam konteks perlindungan TKI yang
berada di Saudi Arabia, maka Indonesia perlu melakukan diplomasi dengan
pemerintah Saudi Arabia.
Dalam mengimplementasikan diplomasi oleh suatu negara dapat dilakukan
melalui beberapa bentuk, yaitu:18
1. Direct Telecommunication
Direct telecommunication merupakan diplomasi yang dilakukan dengan
cara berkomunikasi secara langsung antar negara yang bersangkutan melalui
siaran radio, televisi, telepon, faximile, ataupun email.
2. Bilateral Diplomacy
Bilateral diplomacy merupakan komunikasi yang dilakukan dengan
melibatkan dua negara yang memiliki kepentingan di dalamnya. Bentuknya dapat
berupa negosiasi, pertemuan formal, lobi, ataupun representasi.
3. Multilateral Diplomacy
Diplomasi jenis ini melibatkan banyak negara di dalamnya. Diplomasi
multilateral banyak bermunculan dan digunakan dalam hubungan internasional.
16
Roy, SL 1995, Diplomasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Barston, RP 1989, Modern Diplomacy, Longman, London and New York.
18
Berridge, GR 2005, Diplomacy Theory and Practice, Palgrave Macmillan, London.
17
13
Diplomasi multilateral terefleksi melalui organisasi-organisasi internasional,
seperti PBB, IMF, ataupun organisasi internasional lainnya yang melibatkan
banyak negara didalamnya.
4. Summitry
Summitry
merupakan
bagian
dari
diplomasi
multilateral
yang
menempatkan diplomasi pada konferensi tingkat tinggi, dimana diwakili oleh
Perdana Menteri atau Presiden. Summitry terkadang dapat menggagalkan
diplomasi dan selalu beresiko, dan mungkin hanya melayani tujuan propaganda
asing dan domestik.
5. Mediation
Mediasi merupakan bentuk khusus dari negosiasi yang dibentuk untuk
memberikan penyelesaian dari sebuah konflik. Dalam negosiasi ini, peranan
khusus dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dengan konflik
yang bersangkutan. Perubahan dalam tatanan politik global akhir-akhir ini
membuat diplomasi juga mengalami perubahan, terutama di dalam aktor yang
terlibat dalam diplomasi. Pada abad 21 ini, diplomasi tidak lagi mutlak dilakukan
oleh pemerintah saja, tetapi terdapat aktor-aktor non-pemerintah yang juga dapat
terlibat langsung di dalam diplomasi. Perubahan aktor-aktor dalam diplomasi
dikenal dengan istilah multi-track diplomacy yang dibagi menjadi 9 bagian, yaitu:
Track One: Goverment; Track Two: Nongoverment/Professional; Track Three:
Business; Track Four: Private Citizen; Track Five: Research, Training, and
14
Education; Track Six: Activism; Track Seven: Religion; Track Eight: Funding;
Track Nine: Communication/Media.19
Meskipun yang bertanggung jawab penuh dalam melakukan diplomasi
guna melindungi TKI dari pelanggaran hak asasinya adalah pemerintah, tetapi
pemerintah juga dapat melibatkan pihak swasta yang juga mengambil andil dalam
perekrutan dan penempatan TKI di luar negeri, sehingga pihak ini dapat
membantu pemerintah untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, diplomasi
yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini lebih kepada diplomasi bilateral
antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Saudi Arabia. Keberhasilan
diplomasi Indonesia dalam menghasilkan Statement of Intent telah meningkatkan
posisi tawar Indonesia terhadap Saudi Arabia. Diplomasi menjadi sangat penting
terutama dalam pembahasan MoU penempatan dan perlindungan TKI di Saudi
Arabia dan juga dalam Senior Official Meeting, karena keberhasilan diplomasi
yang dilaksanakan akan menentukan hubungan bilateral Indonesia dan Saudi
Arabia kedepannya. Diharapkan kedua negara ini dapat menemukan jalan keluar
dari permasalahan TKI yang telah terjadi selama bertahun-tahun, tanpa
melibatkan pihak ketiga ataupun organisasi internasional di dalamnya.
3.
Human Security
Gagasan mengenai human security ditekankan dengan jelas dalam Laporan
UNDP mengenai Human Development Report of the United Nations yang
memberikan definisi “the concept of security must change-from an exclusive
19
Diamond, L & McDonald, J 1996, Multi-track Diplomacy: A Systems Approach to Peace,
Kumarian Press, Connecticut.
15
stress on national security to a much greater stress on people security, from
security through armaments to security through human development, from
territorial to food, employment, and environmental security”.20 Melalui konsep ini
dapat dilihat terjadinya pergeseran paradigma mengenai keamanan di dalam
negara dan hubungan internasional. Terdapat tujuh komponen human security
menurut UNDP, yaitu keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan
(food security), keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan
hidup (environment security), keamanan personal (personal security), keamanan
komunitas (community security), dan keamanan politik (political security).
Pemenuhan ketujuh komponen dalam human security ini merupakan tanggung
jawab penuh pemerintah setiap negara.
Barbara Von Tigerstorm mengatakan bahwa kehadiran konsep human
security adalah sebagai perluasan konsep keamanan tradisional yang semula
berorientasi pada keselamatan dan keutuhan negara yang bergeser pada
perlindungan dan jaminan keamanan individu atau yang disebut “people centre
approach”.21 Meskipun konsep dari human security menitikberatkan kepada
keamanan manusia sebagai individu, tetapi peranan dan keberadaan negara tidak
terlepas dari hal ini. Konsep human security dan keamanan tradisional bukanlah
menjadi dua hal yang terpisah dalam tataran praktis. Jaminan terhadap human
security akan membuat kestabilan dari sebuah negara tetap terjaga, dimana hal ini
didasarkan pada terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar warga negaranya.
20
21
United Nation Development Program (UNDP), 1994, Human Development Report, Oxford
University Press, Oxford.
Tigerstorm, BV 2007, Human Security and International Law: Prospects and Problems, Hart
Publishing, Oxford and Portland.
16
Johan Galtung menyatakan bahwa manusia perlu dijamin empat kebutuhan
dasar hidupnya, yaitu keberlangsungan hidup, kesejahteraan, identitas, dan bebas
dari tekanan yaitu bebas dari ancaman kekerasan baik yang bersifat langsung,
kultural, maupun struktural.22 Dengan melihat konsep human security, maka
pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab penuh dalam melindungi para
TKI yang bekerja di luar negeri. Komponen keamanan ekonomi, keamanan
pangan, keamanan kesehatan, dan keamanan personal harus dipenuhi dalam
perlindungan TKI, sehingga TKI yang bekerja di Saudi Arabia dapat menikmati
kesejahteraan hidup sebagai individu. Empat kebutuhan dasar tersebut pun
menjadi dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, karena sering
sekali hal ini tidak dirampas dari para TKI dengan permasalahan-permasalahan
yang selama ini terjadi.
4.
Convention on Protection on Migrant Workers and Their Families
Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan
Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya. Tujuan utama dari konvensi ini adalah melindungi hak-hak
buruh migran beserta dengan keluarganya. Dalam konvensi ini ingin ditekankan
bahwa buruh migran bukan sebagai komoditas ekonomi, tetapi manusia yang
memiliki hak asasinya yang perlu dihormati dan dilindungi. Konvensi ini
menekankan bahwa seluruh buruh migran dan anggota keluarganya untuk
memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa pembedaan apapun, seperti
22
Galtung, J & Webel, C 2007, Handbooks of Peace and Conflict Studies, Routledge, London and
New York.
17
jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik
atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia,
kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau status
lainnya.
Hak-hak yang tercantum dalam ketentuan Konvensi Internasional tentang
Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya antara lain:23
1. Hak anti diskriminasi, dimana hak ini berkaitan dengan hak pekerja migran
guna memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa diskriminasi, baik
jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, kepercayaan, etnis, dan
sebagainya.
2. Hak hidup
3. Hak bebas dari kekerasan, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
4. Kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
5. Hak berpendapat.
6. Hak untuk bebas bekerja.
7. Hak keamanan pribadi dan privasi serta komunikasi dengan orang lain.
8. Perlindungan yang baik dalam proses kerja.
9. Hak atas perawatan kesehatan.
10. Hak atas pendidikan berdasarkan persamaan perlakuan dengan warga negara
dari negara yang bersangkutan.
11. Hak untuk berlibur, dan sebagainya.
Konvensi ini mengecualikan orang-orang yang berada di luar negeri tetapi
sebagai pekerja atau buruh, misalnya orang-orang yang bekerja pada organisasi
atau badan-badan internasional, atau oleh suatu negara, yang prosedurnya diatur
dalam hukum internasional atau berdasarkan perjanjian negara masing-masing.
Buruh migran juga tidak berlaku bagi penanam modal yang berada di negara lain,
pengungsi atau orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, pelajar, dan pelaut
serta buruh pada instansi lepas pantai yang belum diterima untuk bertempat
tinggal. Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 22 September
23
Lihat, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya, ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 45/158 tertanggal 18 Desember 1990.
18
2004 dan meratifikasi konvensi tersebut pada 2 Mei 2012. Dengan meratifikasi
konvensi ini, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak setiap
buruh migran Indonesia yang ada di luar negeri, tidak hanya itu saja, tetapi juga
melindungi kepentingan negara penerima buruh migran terkait dengan
pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya.
E. Argumen Utama
Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diuraikan diatas, maka yang
menjadi argumen utama dari penulis adalah dalam rangka perlindungan TKI di
Saudi Arabia, pemerintah Indonesia telah melakukan diplomasi terhadap
pemerintah Saudi Arabia, yaitu dengan diadakannya pertemuan Indonesia dan
Saudi Arabia yang menghasilkan Statement of Intens (SoI) serta telah
ditandatanganinya
MoU
antara
Indonesia
dengan
Saudi
Arabia
untuk
perlindungan TKI. Selain itu, telah dilaksanakan juga beberapa SOM lainnya
terkait perlindungan TKI di Saudi Arabia. Meskipun demikian, masih terdapat
hal-hal yang tidak dilakukan Indonesia melalui diplomasi, yaitu tidak melakukan
diplomasi untuk penghapusan sistem Kafala yang ada di Saudi Arabia dan tidak
mempercepat penandatanganan MoU untuk dapat melindungi TKI yang masih
ada di Saudi Arabia selama masa moratorium. Selain itu, pemerintah Indonesia
belum dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi oleh TKI di Saudi
Arabia selama masa moratorium.
19
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu mengidentifikasi
permasalahan yang menyangkut diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia
dalam rangka perlindungan TKI di Saudi Arabia. Penelitian ini menggunakan
analisis data deskriptif dengan ditunjang teori-teori yang mendukung fakta yang
ada dan sedang berlangsung yang kemudian disusun dan dianalisis dalam sebuah
pembahasan yang sistematis.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui
dokumen resmi dari Kementerian Luar Negeri serta berbagai sumber lainnya,
seperti buku, jurnal, surat kabar, annual review, dan media lainnya yang relevan
dengan penelitian ini yaitu mengenai diplomasi Indonesia terkait perlindungan
TKI di Saudi Arabia pada masa moratorium. Tidak hanya itu saja, teknik
pengumpulan data lainnya dilakukan melalui wawancara kepada pihak yang
memiliki otoritas terkait dengan penelitian ini, seperti Direktorat Perlindungan
Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri
dan BNP2TKI. Data yang telah dikumpulkan kemudian akan dianalisis untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang pada akhirnya dapat menghasilkan
kesimpulan penelitian berdasarkan temuan data tersebut.
20
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana pembahasan dalam masingmasing bab akan dijelaskan secara rinci dalam sub-sub bab. Adapun sistematika
penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENAGA KERJA INDONESIA DI SAUDI
ARABIA
Bab ini berisi tentang kondisi TKI yang ada di Saudi Arabia dan
permasalahan yang dihadapi, serta kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah
Indonesia
dalam
melindungi
dan
menyelesaikan
permasalahan TKI di Saudi Arabia.
BAB III DIPLOMASI
YANG
DILAKUKAN
INDONESIA
TERKAIT
PERLINDUNGAN TKI DI SAUDI ARABIA PADA MASA
MORATORIUM
Bab ini berisi tentang diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia baik untuk menyelesaikan permasalahan TKI yang terjadi di
Saudi Arabia maupun diplomasi preventif untuk merumuskan
perjanjian dalam rangka perlindungan TKI di masa mendatang.
21
BAB IV HAL
YANG
BELUM
DILAKUKAN
INDONESIA
DALAM
MELINDUNGI TKI DI SAUDI ARABIA DAN TANTANGAN
YANG DIHADAPI
Bab ini berisi tentang hal-hal yang belum dilakukan oleh pemerintah
Indonesia selama masa moratorium guna melindungi TKI di Saudi
Arabia serta tantangan dan kendala dalam melakukan diplomasi dengan
pemerintah Saudi Arabia sehingga hal-hal tersebut belum dapat
dilakukan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian mengenai
diplomasi Indonesia terhadap Saudi Arabia pada masa moratorium dan
juga berisi saran terkait penelitian ini.
22
Download