BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri dalam jumlah yang besar. Besarnya jumlah tenaga kerja, tingginya jumlah pengangguran, serta minimnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia menjadi faktor pendukung peningkatan jumlah TKI yang bekerja ke luar negeri. Hal ini menjadi alternatif bagi Indonesia untuk mengurangi persoalan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di dalam negeri. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ini juga menjadi salah satu sumber devisa yang potensial bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Laporan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia menyatakan bahwa remittance tahun 2013 (hingga bulan November 2013) mencapai Rp 81,34 Triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 11.000 per USD.1 Berdasarkan data dari BNP2TKI, Saudi Arabia menempati posisi pertama sebagai negara yang menerima TKI sejak tahun 2006 hingga tahun 2011. Meskipun demikian, Saudi Arabia juga menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat pengaduan TKI yang tinggi.2 KJRI Jeddah mengatakan bahwa 1 2 BNP2TKI 2013, “Remitansi TKI Tahun 2013 Capai Rp 81,34 Trilyun”, diakses pada 01 Januari 2013, <http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9227-remitansi-tki-tahun-2013capai-rp-8134-trilyun.html>. Suprayogi, A 2013, “Malaysia dan Arab Saudi”, Negara Kasus TKI Tertinggi, diakses pada 01 Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/624151/malaysia-dan-arab-saudi-negarakasus-tki-tertinggi>. 1 kasus yang terjadi di Saudi Arabia pada tahun 2010 sebanyak 1.546 kasus.3 Kasus yang terjadi tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga seperti kekerasan seksual, uang gaji yang bermasalah, overstayer, putusnya komunikasi dengan keluarga, tidak mendapatkan cuti ataupun libur, tidak diberikan akses kesehatan, kasus pembunuhan, dan berbagai kasus lainnya. Bahkan di Saudi Arabia, tidak jarang TKI dijatuhi hukuman mati dengan berbagai alasan dan ini mengancam hak hidup TKI, seperti Yanti Iriyanti pada 12 Februari 2008 dan Ruyati pada 18 Juni 2011. Migrant Care menyatakan bahwa untuk tahun 2013 terdapat 42 kasus hukuman mati untuk TKI di Saudi Arabia, dimana 9 kasus diantaranya mendapatkan vonis tetap hukuman mati dan 33 kasus lainnya masih dalam proses.4 Permasalahan TKI di luar negeri sudah terjadi selama bertahun-tahun, tetapi sampai saat ini tidak ada solusi nyata agar hak dari para TKI di luar negeri dapat dijamin. Perlakuan yang melanggar hak asasi manusia ini pada umumnya terjadi pada TKI yang bekerja di sektor informal, yang pada umumnya bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), supir, tukang kebun, pramuniaga, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan keahlian yang dimiliki, minimnya kemampuan bahasa untuk berkomunikasi, serta tidak pahamnya terhadap aturan dan budaya di Saudi Arabia sering menjadi kendala yang sangat besar bagi para TKI. Tidak hanya itu saja, pengiriman TKI secara tidak resmi ini menjadi salah satu pendorong perlakuan yang tidak manusiawi 3 4 BNP2TKI 2011, “Turun, Penyelesaian Kasus TKI di Arab Saudi”, diakses pada 01 Januari 2014, <http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/3953-turun-penyelesaian-kasus-tki-diarab-saudi.html>. Gunawan, R 2013, “Migrant Care: 256 TKI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri”, diakses pada 02 Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/786508/migrant-care-256-tkiterancam-hukuman-mati-di-luar-negeri>. 2 terhadap TKI, dimana pada umumnya ketidaklengkapan dokumen yang sering menjadi masalah di kemudian hari. Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh TKI di Saudi Arabia adalah penerapan sistem Kafala di negara tersebut. Sistem Kafala merupakan “sponsorship system that regulates residency and employment of the workers in the Gulf Cooperation Council (GCC) countries” 5 atau “a system used to monitor the construction and domestic migrant laborers in the Arab States of the Persian Gulf” 6. Sistem kafala yang berlaku di Saudi Arabia memberikan ketentuan “an employer assumes responsibility for a hired migrant worker and must grant explicit permission before the worker can enter Saudi Arabia, transfer employment, or leave the country. The kafala system gives the employer immense control over the worker”.7 Dengan sistem ini, para TKI terikat dengan ketentuan dari majikan yang memperkerjakan mereka. Sistem ini juga memperbolehkan tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia TKI di Saudi Arabia. Pembahasan untuk menghapus sistem ini belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan TKI. Pembentukan BNP2TKI merupakan sebuah langkah nyata dalam usaha perlindungan TKI yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk melindungi TKI. Tetapi ini juga belum cukup untuk mereduksi tindak kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh TKI. Melihat tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk 5 Bajracharya, R, “Kafala or Sponsorship System”, diakses pada 02 Januari 2014, <http://ceslam.org/mediastorage/files/Kafala%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2%20or% 20%C3%A2%E2%82%AC%CB%9CSponsorship%20System%C3%A2%E2%82%AC%E2%84% A2.pdf>. 6 Human Right Watch 2008, “As If I Am Not Human” – Abuses Against Asian Domestic Workers in Saudi Arabia, Human Right Watch, United States of America. 7 Ibid. 3 melindungi dan menjamin hak-hak TKI di Saudi Arabia, maka diplomasi menjadi salah satu cara mencapainya. Tentunya dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan telah ada upaya diplomasi yang dilakukan untuk melindungi TKI yang mengalami ketidakadilan di Saudi Arabia. Diplomasi yang telah dilakukan tersebut antara lain telah diadakan pertemuan pada 28 Mei 2011 oleh Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi dengan Kepala BNP2TKI yang menghasilkan Statement of Intens (SOI). Dalam pertemuan ini, terjadi kesepakatan untuk membahas Memorandum of Understanding (MoU) mengenai perlindungan dan jaminan sosial TKI antara pemerintah Indonesia dan Saudi Arabia. Penempatan TKI di Saudi Arabia saat ini sedang masuk kepada masa moratorium (penghentian sementara) yang diberlakukan sejak 1 Agustus 2011 dengan alasan terlalu tingginya tingkat kasus ketenagakerjaan sampai kepada tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara tersebut. Langkah ini merupakan suatu bentuk ketegasan dalam perlindungan hak dari TKI. Tanggung jawab pemerintah dalam melindungi TKI ditetapkan dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 2004. Tidak hanya itu saja, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia di Luar Negeri juga mewajibkan pemerintah Indonesia untuk tegas dalam pelaksanaan. Penelitian ini akan memiliki rentang waktu dalam masa moratorium yaitu sejak Agustus 2011 dimana masa moratorium diberlakukan oleh Indonesia hingga Februari 2014 yang ditandai dengan penandatanganan MoU antara Indonesia dan Saudi Arabia terkait perlindungan TKI. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka 4 penulis tertarik untuk meneliti dengan judul “Diplomasi Indonesia terhadap Saudi Arabia sebagai Negara Penerima Tenaga Kerja Indonesia pada Masa Moratorium”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: Apa yang dilakukan dan yang belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui diplomasi terhadap Saudi Arabia guna melindungi TKI pada masa moratorium? C. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai perlindungan terhadap TKI telah banyak dilakukan, namun dari sekian banyak penelitian yang telah dilakukan, belum ada penelitian yang membahas mengenai diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Saudi Arabia dalam masa moratorium (penghentian sementara). Berbagai penelitian yang telah dilakukan terkait perlindungan TKI, sebagian besar membahas mengenai efektifitas kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu saja, sebagian besar lainnya membahas mengenai perlindungan terhadap TKI ditinjau dari peran pemerintah dan NGO, serta membahas permasalahan TKI dilihat dari aspek hukum yang berlaku di Indonesia. Fudianti Anggani dalam penelitiannya mengenai kebijakan pemerintah Indonesia tentang perlindungan TKI dalam pemenuhan hak dasar TKI di luar 5 negeri8 menyatakan bahwa program penempatan TKI di Saudi Arabia menjadi sebuah prospek yang baik bagi pemerintah Indonesia, dimana menjadi solusi atas permasalahan pengangguran yang sangat tinggi jumlahnya di Indonesia serta keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Tetapi di sisi lain, hal ini memunculkan permasalahan baru dengan berbagai kasus kekerasan yang menimpa TKI diakibatkan pengguna jasa yang kurang menghargai dan menghormati hak-hak pekerja. Pemerintah Indonesia tentunya menghadapi hambatan dalam merealisasikan perlindungan TKI di Saudi Arabia karena adanya perbedaan landasan hukum yang digunakan di negara tersebut. Saudi Arabia menganut dasar negara yang mengindikasi bahwa sistem politik yang diakui tidak mengadopsi hukum internasional, seperti halnya dalam penerapan isu hak asasi manusia dan gender, karena Saudi Arabia tidak meratifikasi konvensi yang berkaitan dengan kedua isu tersebut. Fudianti Anggani juga menyatakan bahwa perlindungan TKI secara mutlak menjadi tanggung jawab penuh dari pemerintah. Peran negara ini tentunya membutuhkan koordinasi dalam penangangan kasus TKI tersebut supaya tidak memunculkan kecenderungan tumpang tindih wewenang dan kewajiban bagi setiap instansi terkait yang menjadi focal point dari program penempatan TKI di luar negeri. Kerjasama dengan negara penempatan tidak dapat dikesampingkan dalam hal ini, karena dengan dialog melalui kerjasama bilateral dapat menghasilkan agreement dasar yang mengikat secara hukum. Permasalahan 8 Anggani, F 2009, “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Perlindungan TKI dalam Pemenuhan Hak Dasar TKI di Luar Negeri (Studi Kasus: TKI di Arab Saudi)”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 6 mengenai TKI ini apabila tidak diselesaikan sesegera mungkin maka dapat memicu munculnya konflik dalam hubungan bilateral. Diplomasi bilateral memiliki peranan yang penting sebagai upaya preventif perlindungan TKI di luar negeri guna tercapainya keberadaan “bilateral agreement” antara negara pengirim dan negara penerima di bidang ketenagakerjaan, hingga pengguna jasa TKI dapat menghargai hak-hak dasar dari TKI. Tidak hanya itu saja, perbaikan tentunya harus dilakukan di dalam negeri, seperti misalnya apabila pemerintah menginginkan negara penerima menaikkan upah, maka kualitas dan kemampuan dari TKI tentu juga harus ditingkatkan. Kebijakan dan peraturan domestik yang telah dirumuskan oleh pemerintah Indonesia dijadikan prinsip dan dasar dalam proses penempatan TKI di luar negeri. Kebijakan dan peraturan ini harus mampu memberikan kontribusi perlindungan bagi keselamatan dan kesejahteraan TKI, walau diakui sangat sulit untuk dapat membuat serta menyusun suatu peraturan yang dapat memuaskan semua pihak. Meskipun demikian, pemerintah harus sebisa mungkin mengakomodasi kepentingan dari semua pihak yang terkait, sedangkan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila terdapat pelanggaran hak TKI saat penempatan yaitu tunduk pada peraturan negara setempat dengan mengikuti kedaulatan teritorial suatu negara. Ahmad Almaududy Amri meneliti mengenai pelaksanaan perlindungan hukum bagi TKI sektor informal di Saudi Arabia9 menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap TKI telah dilakukan dengan berbagai upaya oleh 9 Amri, AA 2011, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia Sektor Informal di Saudi Arabia”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 7 pemerintah Indonesia, dimana diantaranya menyiapkan perangkat hukum dalam negeri dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait, terdapat upaya pemerintah melalui perwakilan Indonesia di Saudi Arabia untuk melakukan penyelesaian secara langsung dengan para pengguna jasa TKI di Saudi Arabia, dan adanya upaya hukum oleh pemerintah Indonesia melalui pemerintah Saudi Arabia. Tetapi meskipun demikian, perlindungan TKI di Saudi Arabia, khususnya di sektor informal belum dapat dilakukan secara maksimal dikarenakan belum adanya asuransi lokal di Saudi Arabia untuk menjamin keselamatan dari para TKI tersebut. Ahmad Almaududy Amri dalam penelitiannya menuliskan bahwa pada tahun 2002, pemerintah Saudi Arabia melakukan kebijakan baru dalam bidang ketenagakerjaan, yaitu program Saudisasi. Program Saudisasi merupakan suatu pembangunan untuk melatih dan mendidik tenaga kerja Saudi Arabia dan menggantikan para tenaga kerja asing yang ada di Saudi Arabia, dengan target 80% tenaga kerja Saudi Arabia harus sudah mengisi semua sektor lapangan kerja di Saudi Arabia pada tahun 2012. Kebijakan ini tentunya dapat mengancam lapangan kerja bagi para TKI dan tentunya dapat mempersempit lapangan kerja di Saudi Arabia. Tujuan utama dari kebijakan Saudisasi adalah: 1. Meningkatkan lapangan kerja bagi warga negara Saudi Arabia di semua sektor kegiatan ekonomi. 2. Mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing. 8 3. Menangkap kembali dan mereinvestasi pendapat yang diperoleh para tenaga kerja asing di Saudi Arabia, yang selama ini dikirimkan sebagai remittance ke negara asalnya. Muslan Abdurrahman mengkaji mengenai permasalahan ketenagakerjaan sebagai sebuah efek diskriminasi hukum dengan melihat banyaknya kasus TKI illegal terutama yang ada di Malaysia.10 Ia menyatakan bahwa peraturan tentang penempatan dan perlindungan TKI tidak sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan melalui Kepmenakertrans Nomor 44 A/MEN/2002 yang kemudian diganti dengan Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Kasus TKI illegal atau ketidakpatuhan TKI dalam menjalankan prosedur resmi dari pemerintah dikarenakan perlakukan eksploitasi oleh para calo yang pada akhirnya TKI tersebut menjadi permasalahan baru yang harus ditangani oleh pemerintah. Selain itu, ia juga membahas tentang hal-hal yang memicu munculnya perilaku ketidakpatuhan dikarenakan diskriminasi melalui peraturan perundangan tentang penempatan TKI, dimana hal ini menjadi pemicu dan faktor yang kuat terjadinya kasus TKI illegal. Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa penelitian diatas, peneliti memandang bahwa penelitian yang selama ini dilakukan terkait dengan perlindungan TKI lebih berfokus pada kebijakan dan perlindungan hukum, serta tanggung jawab pemerintah dalam melindungi TKI tersebut. Pada pembahasan mengenai perlindungan TKI, tidak ada pembahasan mengenai diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, mengingat bahwa diplomasi menjadi suatu 10 Abdurrahman, M 2006, Ketidakpatuhan TKI: Sebuah Efek Diskriminasi Hukum, UMM Press, Malang. 9 jalan untuk mencapai berbagai kepentingan yang ada baik dari negara pengirim maupun negara penerima. Maka dari itu, hal ini yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, dimana penelitian ini pun menggunakan masa moratorium yang diberlakukan untuk penempatan TKI ke Saudi Arabia sebagai pembeda yang lainnya dan menjadi nilai kebaruan dari penelitian ini. D. Kerangka Konseptual 1. Kebijakan Luar Negeri Holsti memberikan pernyataan mengenai kebijakan luar negeri yaitu “foreign policy also incorporates ideas that are planned by policy makers in order to solve a problem or uphold some changes in the environment, which can be in the forms of policies, attitudes, or actions of another states or states”.11 Dalam buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia, politik luar negeri didefinisikan sebagai suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasional ke dalam masyarakat antar bangsa.12 Kepentingan nasional dari Indonesia adalah kepentingan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia, adalah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila. Tujuan Nasional dari Indonesia adalah melindungi segenap bangsa 11 12 Holsti, KJ 1983, International Politics, A Framework for Analysis, Prentice Hall, London. Sabir, M 1987, Politik Bebas Aktif: Tantangan dan Kesempatan, CV. Haji Masagung, Jakarta. 10 Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kebijakan luar negeri dibutuhkan oleh sebuah negara dalam perjalanannya, karena suatu negara tentu akan berinteraksi dengan negara lain, sehingga perlu dimiliki pedoman dasar sehingga mampu mencegah konflik yang dapat merusak hubungan diplomatik dengan negara lainnya. Kebijakan luar negeri dalam prosesnya dibagi mejadi tiga ruang lingkup, yaitu: pengaruh kebijakan luar negeri (the influences of foreign policy), pembuatan kebijakan luar negeri (the making of foreign policy), dan implementasi kebijakan luar negeri (the implementation of foreign policy).13 Konsep dasar dalam pembuatan kebijakan luar negeri adalah:14 1. Pembuat kebijakan 2. Tujuan 3. Prinsip 4. Kekuasaan untuk melaksanakan 5. Konteks dimana kebijakan luar negeri dirumuskan dan diimplementasikan. Barston menyatakan bahwa dalam penetapan sebuah kebijakan luar negeri, pemerintah suatu negara perlu memperhatikan perubahan yang terjadi di lingkungan domestik maupun lingkungan internasional.15 Faktor internal atau domestik menyangkut lokasi, latar belakang sejarah, budaya, organisasi, 13 Dawisha, A 1983, Islam in Foreign Policy, Cambridge University Press, London. Dugis, V 2007, Analysing Foreign Policy, dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. 20 (2); pp. 41 – 52. 15 Barston, RP 1989, Modern Diplomacy, Longman, London and New York. 14 11 kepentingan-kepentingan organisasi non-pemerintahan, stabilitas domestik, pengaruh ekonomi, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal mencakup bentuk struktur yang berlaku di dalam sistem internasional, bentuk hubungan lokal dan regional, pergerakan mata uang internasional, kebijakan negara tetangga yang memiliki power yang kuat atau bekerjanya institusi internasional, serta pengaruh transnasional. Dalam pembahasan penelitian, kebijakan luar negeri akan lebih berfokus pada pembuatan kebijakan luar negeri, dimana hal ini dibutuhkan dalam merumuskan MoU ataupun Agreement antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Saudi Arabia yang dihasilkan melalui diplomasi bilateral. Dengan berdasarkan pada tujuan nasional dari Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, maka pemerintah dapat menggunakan hal ini sebagai landasan untuk mengadakan perjanjian dengan Saudi Arabia. Dalam konteks ini, kepentingan dari Indonesia adalah melindungi TKI yang bekerja di Saudi Arabia dan dapat merespon setiap kondisi yang terjadi di Saudi Arabia (kondisi internasional) dan kondisi internal bangsa (kondisi nasional) melalui kebijakan luar negeri yang akan dirumuskan. Dengan kebijakan luar negeri yang tepat, maka pemerintah dapat mencapai tujuan dan kepentingannya untuk melindungi TKI yang mengalami ketidakadilan di Saudi Arabia. 2. Diplomasi Diplomasi sangat dibutuhkan dalam hubungan internasional, dimana interaksi dari negara-negara yang sering terjadi menjadikan diplomasi sebagai 12 salah satu cara dalam hubungan tersebut. Diplomasi juga merupakan cara untuk pelaksanaan politik luar negeri sebuah negara. Diplomasi merupakan komunikasi yang dilakukan suatu negara-bangsa untuk mencapai kepentingan nasionalnya, dimana diplomasi adalah “metode”-nya.16 Dari perspektif negara, diplomasi merupakan proses implementasi politik luar negeri yang dilakukan melalui korespondensi, pertukaran pandangan, lobi, kunjungan, maupun ancaman. 17 Untuk mencapai kepentingan Indonesia dalam konteks perlindungan TKI yang berada di Saudi Arabia, maka Indonesia perlu melakukan diplomasi dengan pemerintah Saudi Arabia. Dalam mengimplementasikan diplomasi oleh suatu negara dapat dilakukan melalui beberapa bentuk, yaitu:18 1. Direct Telecommunication Direct telecommunication merupakan diplomasi yang dilakukan dengan cara berkomunikasi secara langsung antar negara yang bersangkutan melalui siaran radio, televisi, telepon, faximile, ataupun email. 2. Bilateral Diplomacy Bilateral diplomacy merupakan komunikasi yang dilakukan dengan melibatkan dua negara yang memiliki kepentingan di dalamnya. Bentuknya dapat berupa negosiasi, pertemuan formal, lobi, ataupun representasi. 3. Multilateral Diplomacy Diplomasi jenis ini melibatkan banyak negara di dalamnya. Diplomasi multilateral banyak bermunculan dan digunakan dalam hubungan internasional. 16 Roy, SL 1995, Diplomasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Barston, RP 1989, Modern Diplomacy, Longman, London and New York. 18 Berridge, GR 2005, Diplomacy Theory and Practice, Palgrave Macmillan, London. 17 13 Diplomasi multilateral terefleksi melalui organisasi-organisasi internasional, seperti PBB, IMF, ataupun organisasi internasional lainnya yang melibatkan banyak negara didalamnya. 4. Summitry Summitry merupakan bagian dari diplomasi multilateral yang menempatkan diplomasi pada konferensi tingkat tinggi, dimana diwakili oleh Perdana Menteri atau Presiden. Summitry terkadang dapat menggagalkan diplomasi dan selalu beresiko, dan mungkin hanya melayani tujuan propaganda asing dan domestik. 5. Mediation Mediasi merupakan bentuk khusus dari negosiasi yang dibentuk untuk memberikan penyelesaian dari sebuah konflik. Dalam negosiasi ini, peranan khusus dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dengan konflik yang bersangkutan. Perubahan dalam tatanan politik global akhir-akhir ini membuat diplomasi juga mengalami perubahan, terutama di dalam aktor yang terlibat dalam diplomasi. Pada abad 21 ini, diplomasi tidak lagi mutlak dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi terdapat aktor-aktor non-pemerintah yang juga dapat terlibat langsung di dalam diplomasi. Perubahan aktor-aktor dalam diplomasi dikenal dengan istilah multi-track diplomacy yang dibagi menjadi 9 bagian, yaitu: Track One: Goverment; Track Two: Nongoverment/Professional; Track Three: Business; Track Four: Private Citizen; Track Five: Research, Training, and 14 Education; Track Six: Activism; Track Seven: Religion; Track Eight: Funding; Track Nine: Communication/Media.19 Meskipun yang bertanggung jawab penuh dalam melakukan diplomasi guna melindungi TKI dari pelanggaran hak asasinya adalah pemerintah, tetapi pemerintah juga dapat melibatkan pihak swasta yang juga mengambil andil dalam perekrutan dan penempatan TKI di luar negeri, sehingga pihak ini dapat membantu pemerintah untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, diplomasi yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini lebih kepada diplomasi bilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Saudi Arabia. Keberhasilan diplomasi Indonesia dalam menghasilkan Statement of Intent telah meningkatkan posisi tawar Indonesia terhadap Saudi Arabia. Diplomasi menjadi sangat penting terutama dalam pembahasan MoU penempatan dan perlindungan TKI di Saudi Arabia dan juga dalam Senior Official Meeting, karena keberhasilan diplomasi yang dilaksanakan akan menentukan hubungan bilateral Indonesia dan Saudi Arabia kedepannya. Diharapkan kedua negara ini dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan TKI yang telah terjadi selama bertahun-tahun, tanpa melibatkan pihak ketiga ataupun organisasi internasional di dalamnya. 3. Human Security Gagasan mengenai human security ditekankan dengan jelas dalam Laporan UNDP mengenai Human Development Report of the United Nations yang memberikan definisi “the concept of security must change-from an exclusive 19 Diamond, L & McDonald, J 1996, Multi-track Diplomacy: A Systems Approach to Peace, Kumarian Press, Connecticut. 15 stress on national security to a much greater stress on people security, from security through armaments to security through human development, from territorial to food, employment, and environmental security”.20 Melalui konsep ini dapat dilihat terjadinya pergeseran paradigma mengenai keamanan di dalam negara dan hubungan internasional. Terdapat tujuh komponen human security menurut UNDP, yaitu keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan (food security), keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan hidup (environment security), keamanan personal (personal security), keamanan komunitas (community security), dan keamanan politik (political security). Pemenuhan ketujuh komponen dalam human security ini merupakan tanggung jawab penuh pemerintah setiap negara. Barbara Von Tigerstorm mengatakan bahwa kehadiran konsep human security adalah sebagai perluasan konsep keamanan tradisional yang semula berorientasi pada keselamatan dan keutuhan negara yang bergeser pada perlindungan dan jaminan keamanan individu atau yang disebut “people centre approach”.21 Meskipun konsep dari human security menitikberatkan kepada keamanan manusia sebagai individu, tetapi peranan dan keberadaan negara tidak terlepas dari hal ini. Konsep human security dan keamanan tradisional bukanlah menjadi dua hal yang terpisah dalam tataran praktis. Jaminan terhadap human security akan membuat kestabilan dari sebuah negara tetap terjaga, dimana hal ini didasarkan pada terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar warga negaranya. 20 21 United Nation Development Program (UNDP), 1994, Human Development Report, Oxford University Press, Oxford. Tigerstorm, BV 2007, Human Security and International Law: Prospects and Problems, Hart Publishing, Oxford and Portland. 16 Johan Galtung menyatakan bahwa manusia perlu dijamin empat kebutuhan dasar hidupnya, yaitu keberlangsungan hidup, kesejahteraan, identitas, dan bebas dari tekanan yaitu bebas dari ancaman kekerasan baik yang bersifat langsung, kultural, maupun struktural.22 Dengan melihat konsep human security, maka pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab penuh dalam melindungi para TKI yang bekerja di luar negeri. Komponen keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, dan keamanan personal harus dipenuhi dalam perlindungan TKI, sehingga TKI yang bekerja di Saudi Arabia dapat menikmati kesejahteraan hidup sebagai individu. Empat kebutuhan dasar tersebut pun menjadi dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, karena sering sekali hal ini tidak dirampas dari para TKI dengan permasalahan-permasalahan yang selama ini terjadi. 4. Convention on Protection on Migrant Workers and Their Families Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Tujuan utama dari konvensi ini adalah melindungi hak-hak buruh migran beserta dengan keluarganya. Dalam konvensi ini ingin ditekankan bahwa buruh migran bukan sebagai komoditas ekonomi, tetapi manusia yang memiliki hak asasinya yang perlu dihormati dan dilindungi. Konvensi ini menekankan bahwa seluruh buruh migran dan anggota keluarganya untuk memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa pembedaan apapun, seperti 22 Galtung, J & Webel, C 2007, Handbooks of Peace and Conflict Studies, Routledge, London and New York. 17 jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau status lainnya. Hak-hak yang tercantum dalam ketentuan Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya antara lain:23 1. Hak anti diskriminasi, dimana hak ini berkaitan dengan hak pekerja migran guna memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa diskriminasi, baik jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, kepercayaan, etnis, dan sebagainya. 2. Hak hidup 3. Hak bebas dari kekerasan, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. 4. Kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama. 5. Hak berpendapat. 6. Hak untuk bebas bekerja. 7. Hak keamanan pribadi dan privasi serta komunikasi dengan orang lain. 8. Perlindungan yang baik dalam proses kerja. 9. Hak atas perawatan kesehatan. 10. Hak atas pendidikan berdasarkan persamaan perlakuan dengan warga negara dari negara yang bersangkutan. 11. Hak untuk berlibur, dan sebagainya. Konvensi ini mengecualikan orang-orang yang berada di luar negeri tetapi sebagai pekerja atau buruh, misalnya orang-orang yang bekerja pada organisasi atau badan-badan internasional, atau oleh suatu negara, yang prosedurnya diatur dalam hukum internasional atau berdasarkan perjanjian negara masing-masing. Buruh migran juga tidak berlaku bagi penanam modal yang berada di negara lain, pengungsi atau orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, pelajar, dan pelaut serta buruh pada instansi lepas pantai yang belum diterima untuk bertempat tinggal. Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 22 September 23 Lihat, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 45/158 tertanggal 18 Desember 1990. 18 2004 dan meratifikasi konvensi tersebut pada 2 Mei 2012. Dengan meratifikasi konvensi ini, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak setiap buruh migran Indonesia yang ada di luar negeri, tidak hanya itu saja, tetapi juga melindungi kepentingan negara penerima buruh migran terkait dengan pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya. E. Argumen Utama Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi argumen utama dari penulis adalah dalam rangka perlindungan TKI di Saudi Arabia, pemerintah Indonesia telah melakukan diplomasi terhadap pemerintah Saudi Arabia, yaitu dengan diadakannya pertemuan Indonesia dan Saudi Arabia yang menghasilkan Statement of Intens (SoI) serta telah ditandatanganinya MoU antara Indonesia dengan Saudi Arabia untuk perlindungan TKI. Selain itu, telah dilaksanakan juga beberapa SOM lainnya terkait perlindungan TKI di Saudi Arabia. Meskipun demikian, masih terdapat hal-hal yang tidak dilakukan Indonesia melalui diplomasi, yaitu tidak melakukan diplomasi untuk penghapusan sistem Kafala yang ada di Saudi Arabia dan tidak mempercepat penandatanganan MoU untuk dapat melindungi TKI yang masih ada di Saudi Arabia selama masa moratorium. Selain itu, pemerintah Indonesia belum dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi oleh TKI di Saudi Arabia selama masa moratorium. 19 F. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu mengidentifikasi permasalahan yang menyangkut diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan TKI di Saudi Arabia. Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif dengan ditunjang teori-teori yang mendukung fakta yang ada dan sedang berlangsung yang kemudian disusun dan dianalisis dalam sebuah pembahasan yang sistematis. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui dokumen resmi dari Kementerian Luar Negeri serta berbagai sumber lainnya, seperti buku, jurnal, surat kabar, annual review, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengenai diplomasi Indonesia terkait perlindungan TKI di Saudi Arabia pada masa moratorium. Tidak hanya itu saja, teknik pengumpulan data lainnya dilakukan melalui wawancara kepada pihak yang memiliki otoritas terkait dengan penelitian ini, seperti Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI. Data yang telah dikumpulkan kemudian akan dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pada akhirnya dapat menghasilkan kesimpulan penelitian berdasarkan temuan data tersebut. 20 G. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana pembahasan dalam masingmasing bab akan dijelaskan secara rinci dalam sub-sub bab. Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II GAMBARAN UMUM TENAGA KERJA INDONESIA DI SAUDI ARABIA Bab ini berisi tentang kondisi TKI yang ada di Saudi Arabia dan permasalahan yang dihadapi, serta kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam melindungi dan menyelesaikan permasalahan TKI di Saudi Arabia. BAB III DIPLOMASI YANG DILAKUKAN INDONESIA TERKAIT PERLINDUNGAN TKI DI SAUDI ARABIA PADA MASA MORATORIUM Bab ini berisi tentang diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik untuk menyelesaikan permasalahan TKI yang terjadi di Saudi Arabia maupun diplomasi preventif untuk merumuskan perjanjian dalam rangka perlindungan TKI di masa mendatang. 21 BAB IV HAL YANG BELUM DILAKUKAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI TKI DI SAUDI ARABIA DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI Bab ini berisi tentang hal-hal yang belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama masa moratorium guna melindungi TKI di Saudi Arabia serta tantangan dan kendala dalam melakukan diplomasi dengan pemerintah Saudi Arabia sehingga hal-hal tersebut belum dapat dilakukan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian mengenai diplomasi Indonesia terhadap Saudi Arabia pada masa moratorium dan juga berisi saran terkait penelitian ini. 22