Pelanggaran Hak Konsumen Pasal 4 Huruf B dan Perbuatan yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.1 Perlindungan
konsumen belum dapat terealisasi dengan baik, karena aktivitas usaha yang
dilakukan oleh pelaku usaha tidak luput dari sebuah permainan agar mendapatkan
keuntungan yang besar.
Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 Pasal 1 angka 3 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan :
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.2
Pengertian pelaku usaha diatas cukup luas karena mencakup perusahaan,
koorporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Dengan hal yang demikian, akan memudahkan konsumen dalam menuntut ganti
kerugian jika konsumen dirugikan akibat melakukan transaksi dengan pelaku
usaha dalam barang dan/atau jasa, karena konsumen memiliki resiko yang lebih
1
Lihat pengertian perlindungan konsumen Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 8
tahun 1999.
2
Pengertian Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999.
1
2
besar daripada pelaku usaha dengan kata lain hak-hak yang dimiliki konsumen
sangat rentan.3
Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
“setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan”.4
Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang
merupakan implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena UndangUndang Dasar 1945 di samping sebagai Konstitusi politik juga dapat disebut
Konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan
yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad Sembilan
belas.5
Lahirnya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang
menjamin bahwa adanya kepastian hukum dengan segala upaya untuk memberi
perlindungan kepada konsumen serta yang mengatur dan menetapkan hak
konsumen di Indonesia belum memberikan jaminan bahwa posisi konsumen
dalam praktek yang sebenarnya seimbang dengan pelaku usaha. Pelaku usaha
dengan konsumen memiliki posisi yang tidak seimbang, mengingat bahwa
3
Edmon Makarim, kompilasi hukum telematika, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003,
h. 242.
4
Pengertian konsumen menurut Undang- Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 1 angka 2 .
5
Abdul hakim, hak-hak konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, h. 33.
3
konsumen merupakan pihak yang lemah daripada pelaku usaha karena konsumen
sering diperlakukan secara tidak adil oleh pelaku usaha demi keuntungan semata.
Pada prakteknya setelah adanya Undang-Undang tersebut, pelaku usaha
masih berada dalam posisi yang dominan dan memperlakukan konsumen hanya
sebagai objek keuntungan, melainkan bukan sebagai mitra usaha dalam
melakukan suatu transaksi jual-beli. Lemahnya posisi tawar konsumen di
pengaruhi oleh konsep-konsep pemasaran yang berubah dari waktu kewaktu, yaitu
sebagai berikut 6:
a.
Pertama, memfokuskan pada produk dan pelaku usaha, dengan
membuat produk yang baik berdasarkan standar dan nilai internal;
b.
Kedua, pada dekade enam puluhan, mengalihkan focus pemasaran
dari produk kepada konsumen;
c.
Ketiga, sebagai konsep baru dalam pemasaran, dalam pemasaran,
dengan pembaharuan dari konsep pemasaran menjadi konsep strategi.
Dengan berbagai konsep pemasaran yang telah di sebutkan diatas, para
pelaku usaha cenderung untuk lebih focus mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya dengan hal demikian, menunjukan bahwa para konsumen berada pada
posisi tawar yang rendah dan memerlukan perlindungan hukum dengan pemikiran
yang luas. Peraturan tentang hak-hak yang seharusnya di dapatkan oleh konsumen
nyatanya masih banyak di langgar oleh para pelaku usaha. Posisi konsumen
cenderung berada sebagai pihak yang lemah, hal tersebut juga di akui secara
internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB,
6
Ibid.,hal 7.
4
No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang
menyatakan bahwa:
Taking into account the interest and needs of consumers in all
countries, particularly those in developing countries,
recognizing that consumers often face imbalances in economics
terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in
mind thatconsumers should have the right of access to nonhazard-ous product, as well as the right to promote just,
equitable and sustainable economic and social development.7
Dalam kepentingan melakukan suatu transaksi jual beli barang dan/atau
jasa, seringkali konsumen berada pada pihak yang mempunyai posisi lebih rendah
dibandingkan posisi dari pelaku usaha. Kondisi tersebut terjadi karena kurangnya
pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran konsumen sendiri terhadap hakhak dan kewajibannya.8 Tujuan dari pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan
dalam menjalankan usahanya, mengarah pada pelanggaran hukum dengan tidak
memperhatikan hak- hak dari konsumen yang telah diatur dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Hak-hak konsumen yang telah tertuang dalam Pasal 4 Undang- Undang
Perlindungan Konsumen ternyata belum efektif untuk mencegah terjadinya
kesewenang- wenangan para pelaku usaha dalam melakukan aktivitas usaha.
Banyak terjadi masalah yang berhubungan dengan terlanggarnya hak konsumen,
Masalah perlindungan konsumen yang muncul atas dasar pelanggaran terhadap
hak-hak konsumen dalam Pasal 4 undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
7
Resolusi Majelis Umum PBB, No. A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for
Consumer Protection.
8
Susanti nugroho,proses penyelesaian sengketa konsumen, kencana, Jakarta, 2011, h. 1.
5
perlindungan konsumen terjadi pada konsumen SPBU dan masalah ini masih
menjadi isu penting hingga saat ini.
SPBU sebagai penyedia jasa pengisian BBM bisa memberikan pelayanan
yang efektif dan memuaskan kepada konsumen tetapi pada kenyataannya tidak.
Berbagai kasus praktek kecurangan dan penyimpangan SPBU yang melanggar
hak-hak konsumen yang sudah sejak lama berlangsung, perlu dicermati secara
kritis salah satunya adalah praktek kecurangan yang dilakukan oleh petugas SPBU
saat melayani konsumen yaitu dengan tidak memberikan kembalian uang receh
dan memberikan BBM tidak sesuai dengan nilai tukar yang seharusnya menjadi
hak konsumen tersebut walaupun sekecil apapun nilainya uang kembalian dan
takaran BBM yang sesuaidengan nilai tukar tersebut tetap menjadi hak konsumen
yang seharusnya diberikan petugas kepada konsumen.
Praktek kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan petugas SPBU
tersebut memberikan dampak yang sangat negatif terhadap diri dan kerugian
konsumen. Pelanggaran hak konsumen SPBU yang terjadi di Indonesia
disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya faktor sikap pelaku usaha SPBU
yang masih memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi.
Konsumen diperlakukan sebagai pihak yang dengan mudah dipengaruhi.
Eksploitasi yang dilakukan pelaku usaha adalah lewat kinerja petugas SPBU yang
melakukan pembulatan nominal harga sehingga BBM yang diterima oleh
konsumen tidak sesuai dengan nilai tukar dan tidak memberikan kembalian uang
receh sebagai hak dari konsumen dalam melakukan transaksi pembelian BBM.
6
Berdasarkan fakta yang terjadi di masyarakat Indonesia sendiri,
masyarakat seakan-akan dibuat apatis terhadap tidakan para operator SPBU yang
dengan jelas banyak melanggar hak konsumen.
Stasiun Pengisian Bahan Bakar adalah tempat di mana kendaraan
bermotor bisa memperoleh bahan bakar. Di Indonesia, Stasiun Pengisian Bahan
Bakar dikenal dengan nama SPBU (singkatan dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum). Namun, masyarakat juga memiliki sebutan lagi bagi SPBU.Misalnya di
kebanyakan daerah, SPBU disebut Pom Bensin yang adalah singkatan dari Pompa
Bensin. Di beberapa daerah di Maluku, SPBU disebut Stasiun bensin.9
Beberapa SPBU sekarang telah di lengkapi oleh logo Pertamina PASTI
PAS! SPBU dengan logo tersebut adalah SPBU yang telah tersertifikasi dapat
memberikan pelayanan terbaik memenuhi standard kelas dunia. Konsumen dapat
mengharapkan kualitas dan kuantitas BBM yang terjamin, pelayanan yang ramah,
serta fasilitas nyaman.
Kualitas dan kuantitas BBM terjamin karena SPBU PASTI PAS!
menggunakan alat-alat pengukur kualitas dan kuantitas lebih akurat juga
menerapkan prosedur monitoring yang lebih ketat.10Untuk menjamin ketepatan
takaran, SPBU melakukan test ketepatan volume secara rutin dengan batas
toleransi akurasi lebih ketat dari SPBU biasa. Dinas Metrologi akan melakukan
kalibrasi ulang pompa yang telah melewati batas toleransi. Untuk menjamin
9
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Stasiun_pengisian_bahan_bakar, dikunjungi pada
Minggu, 17 Mei 2015, pukul 18.09
10
http://pastipas.pertamina.com/mengenal.asp, dikunjungi pada Rabu, 20 Mei 2015,
pukul 15.45.
7
kualitas BBM, SPBU melakukan pengujian kualitas 3 kali lebih banyak dari
SPBU biasa, juga dengan batas toleransi lebih ketat.
Tetapi, SPBU dengan logo tersebut hanya merupakan ide dari pelaku
usaha untuk menarik minat dari konsumen SPBU, jika di cermati lagi apabila
konsumen melakukan pengisian BBM fulltank di SPBU dan misalnya nominal
yang tertera pada layar pengisian sebesar Rp. 18.700 menunjukan bahwa tanki
sudah penuh, dan pada saat pembayaran konsumen tidak membayar dengan uang
pas melainkan dengan uang Rp. 20.000 maka petugas atau operator SPBU hanya
akan memberikan kembalian sebesar Rp. 1.000 dengan alasan tidak ada uang
receh sebesar Rp. 300. 11
Dengan kasus yang demikian terjadi banyak pelanggaran hak konsumen
SPBU diantaranya dalam Pasal 4 huruf (b) dan pelaku usaha juga telah melanggar
ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf (c) tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum
konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata
dan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa untuk
sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1.
Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming
van dengenen die zich verbiden);
11
contoh kasus pelanggaran hak konsumen berdasarkan dari observasi yang penulis
lakukan pada beberapa SPBU di Salatiga dan sekitarnya.
8
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om
een verbintenis aan te gaan);
3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata, mengatur syarat-syarat untuk
menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan
bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut.
Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat
„kesepakatan‟ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku
usaha dengan konsumen yang tidak seimbang. Suatu kesepakatan menjadi tidak
sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya
untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat
menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan.
Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak dipenuhi, maka
berakibat batalnyaperikatan yang ada atau bahkan
mengakibatkan tuntutan
penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Pelaku usaha sangat di untungkan mendapatkan laba yang begitu besar
dengan perbuatan curang yang dilakukan oleh operator yang jelas melanggar hak
9
yang seharusnya konsumen terima.Pasal 4 huruf (b) Undang-Undang nomor 8
tahun 1999 yaitu : “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.” Dalam perbuatan yang dilakukan oleh operator SPBU
tersebut jelas telah melanggar hak konsumen. Karena, telah disebutkan dalam
Pasal 4 huruf (b) bahwa konsumen berhak mendapatkan barang sesuai dengan
nilai tukar. Dalam hal ini seharusnya berapa liter bensin yang konsumen dapatkan
sesuai dengan apa yang telah konsumen bayarkan.
Konsumen pun mempunyai hak untuk mendapat informasi yang jelas dan
jujur dengan jasa yang ditawarkan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang berbunyi, “ konsumen berhak untuk
mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa‟‟ sehingga konsumen tidak akan merasa dirugikan.
Selain itu, juga terdapat pelanggaran pada Pasal 8 ayat (1) huruf c yaitu :
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya”.
Maka atas dasar isu tersebut, yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
pertama, telah terjadi pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha di bidang
pelayanan publik yaitu pada SPBU terutama pada Pasal 4 huruf (b) dan Pasal 8
ayat (1) huruf c dan kedua, sanksi terhadap pelaku yang telah melakukan
pelanggaran hak konsumen dalam hal ini adalah operator SPBU yang bekerja dan
bertindak sebagai pelaku usaha dalam perusahaan pelayanan publik.
10
Dalam kasus tersebut, penulis berargumen bahwa pelaku usaha telah
melakukan perbuatan yang dengan sengaja telah melanggar hak daripada
konsumen yang telah diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen. Atas dasar tersebut, pelaku usaha juga yang
harus memberikan pertanggungjawaban secara penuh terhadap kerugian yang
dialami konsumen yang diatur pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999, Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian,
secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha,
sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus
diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah
maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga
tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1.
Apakah bentuk pelanggaran Pasal 4 huruf (b) dan Pasal 8 ayat (1)
huruf c yang dilakukan SPBU berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?
2.
Bagaimana hubungan hukum antara Pelaku usaha dengan Konsumen
SPBU serta bentuk pertanggungjawaban SPBU dalam hal terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak konsumen ?
11
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan, lebih-lebih penelitian dalam
rangka penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui apa saja hak-hak yang konsumen harus dapatkan sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
2.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan konsumen ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3.
Untuk mengetahui proses pertanggungjawaban pelaku usaha SPBU dalam
pelanggaran hak konsumen.
4.
Untuk mengetahui sanksi yang di peroleh pelaku usaha apabila ada hak
konsumen yang dilanggar.
5.
Untuk memberikan kesadaran kepada konsumen agar menjadi konsumen
yang cerdas dan mengetahui hak-hak apa saja yang seharusnya mereka peroleh.
D. Manfaat Penelitian
Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang
diteliti. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan
yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis
sangat berharap akan dapat memberikan manfaat :
1.
Manfaat teoritis
12
a.
Sebagai bahan masukan teoritis
bagi penulis untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman hukum perlindungan konsumen pada sistem
pengembalian uang dan pembelian BBM yang tidak sesuai takaran.
b.
Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat
mengetahui bagaimana hak konsumen yang terlanggar oleh petugas maupun
pelaku usaha SPBU dan mempertahankan haknya ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
c.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pelaku
usaha jika konsumen merasa hak nya telah terlanggar.
d.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
ilmu pengetahuan hukum khususnya pada hukum perlindungan konsumen.
2.
Manfaat Praktis
a.
Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan
pada khususnya tentang pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hukum
perlindungan konsumen.
b.
Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang
hukum perlindungan konsumen.
c.
Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi
penulis.
d.
miliki
Untuk membangun kesadaran dari konsumen atas hak-hak yang konsumen
13
e.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperjelas tanggungjawab pelaku
usaha apabila terjadi pelanggaran hak konsumen yang tertuang dalam undangundang perlindungan konsumen.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka penulisan skripsi ini sebagai upaya untuk mendapatkan
hasil yang bersifat objektif maka diperlukan adanya data dan informasi yang valid
dan relevan serta berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Sebagai upaya
dalam perolehan data yang valid, penulis mempergunakan metode penelitian yang
berfungsi sebagai sarana dan pedoman dalam perolehan data serta untuk
mengoperasionalkan tujuan penelitian, meliputi :
1. Jenis Penelitian Yang Digunakan
Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi konsep dan asas-asas serta prinsip-prinsip perlindungan
konsumen.
2. Pendekatan Yang Digunakan
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)
pendekatan perundang-undangan adalah suatu pendekatan yang dilakukan
terhadap berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
14
penelitian12 yang dikaji seperti : Undang-Undang Dasar 1945, Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, dan pendekatan konseptual adalah suatu
pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin didalam ilmu hukum,sehingga peneliti akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum ,konsep-konsep hukum dan asasasas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.13
3. Bahan Hukum
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bahan Hukum Primer
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
c. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
d. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1981 tentang Metrology Legal.
2. Bahan Hukum Sekunder
Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan yang mendukung bahan hukum
primer seperti artikel-artikel baik dari internet, yang berisikan tentang
hukum dan properti.
4. Unit Amatan
12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Surabaya, 2005,h.302.
13
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,
2005, hal.135-136.
15
Unit amatan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang merupakan acuan penulis untuk
menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak konsumen SPBU terhadap Pasal
4 huruf b dan Pasal 8 ayat (1) huruf c.
5. Unit Analisa
Unit analisa dalam penelitian ini yaitu hubungan hukum yang terjadi
antara Pelaku usaha, operator SPBU, dan konsumen yang menimbulkan
pertanggung jawaban pelaku usaha.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi kedalam 3 Bab, yaitu :
I.
Bab I Pendahuluan berisi uraian mengenai Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan, Manfaat, Metode Peneltian, dan Sistematika
Penulisan.
II.
Bab II Pembahasan membahas dan menjawab permasalahan yang telah
ditentukan sebelumnya, yaitu Apakah telah terjadi pelanggaran hak
konsumen SPBU oleh pelaku usaha SPBU dan bagaimana hubungan
hukum antara pelaku usaha dan konsumen, dan pertanggungjawaban
pelaku usaha SPBU terhadap pelanggaran Pasal 4 huruf b dan Pasal 8
ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
III.
Bab III Penutup berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang
menjadi obyek penelitian dan saran-saran.
Download