BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.1 Perlindungan konsumen belum dapat terealisasi dengan baik, karena aktivitas usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak luput dari sebuah permainan agar mendapatkan keuntungan yang besar. Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 Pasal 1 angka 3 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan : Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.2 Pengertian pelaku usaha diatas cukup luas karena mencakup perusahaan, koorporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain. Dengan hal yang demikian, akan memudahkan konsumen dalam menuntut ganti kerugian jika konsumen dirugikan akibat melakukan transaksi dengan pelaku usaha dalam barang dan/atau jasa, karena konsumen memiliki resiko yang lebih 1 Lihat pengertian perlindungan konsumen Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999. 2 Pengertian Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. 1 2 besar daripada pelaku usaha dengan kata lain hak-hak yang dimiliki konsumen sangat rentan.3 Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu: “setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.4 Signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui Undang-Undang merupakan implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena UndangUndang Dasar 1945 di samping sebagai Konstitusi politik juga dapat disebut Konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad Sembilan belas.5 Lahirnya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang menjamin bahwa adanya kepastian hukum dengan segala upaya untuk memberi perlindungan kepada konsumen serta yang mengatur dan menetapkan hak konsumen di Indonesia belum memberikan jaminan bahwa posisi konsumen dalam praktek yang sebenarnya seimbang dengan pelaku usaha. Pelaku usaha dengan konsumen memiliki posisi yang tidak seimbang, mengingat bahwa 3 Edmon Makarim, kompilasi hukum telematika, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 242. 4 Pengertian konsumen menurut Undang- Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 1 angka 2 . 5 Abdul hakim, hak-hak konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, h. 33. 3 konsumen merupakan pihak yang lemah daripada pelaku usaha karena konsumen sering diperlakukan secara tidak adil oleh pelaku usaha demi keuntungan semata. Pada prakteknya setelah adanya Undang-Undang tersebut, pelaku usaha masih berada dalam posisi yang dominan dan memperlakukan konsumen hanya sebagai objek keuntungan, melainkan bukan sebagai mitra usaha dalam melakukan suatu transaksi jual-beli. Lemahnya posisi tawar konsumen di pengaruhi oleh konsep-konsep pemasaran yang berubah dari waktu kewaktu, yaitu sebagai berikut 6: a. Pertama, memfokuskan pada produk dan pelaku usaha, dengan membuat produk yang baik berdasarkan standar dan nilai internal; b. Kedua, pada dekade enam puluhan, mengalihkan focus pemasaran dari produk kepada konsumen; c. Ketiga, sebagai konsep baru dalam pemasaran, dalam pemasaran, dengan pembaharuan dari konsep pemasaran menjadi konsep strategi. Dengan berbagai konsep pemasaran yang telah di sebutkan diatas, para pelaku usaha cenderung untuk lebih focus mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya dengan hal demikian, menunjukan bahwa para konsumen berada pada posisi tawar yang rendah dan memerlukan perlindungan hukum dengan pemikiran yang luas. Peraturan tentang hak-hak yang seharusnya di dapatkan oleh konsumen nyatanya masih banyak di langgar oleh para pelaku usaha. Posisi konsumen cenderung berada sebagai pihak yang lemah, hal tersebut juga di akui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB, 6 Ibid.,hal 7. 4 No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa: Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalances in economics terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind thatconsumers should have the right of access to nonhazard-ous product, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development.7 Dalam kepentingan melakukan suatu transaksi jual beli barang dan/atau jasa, seringkali konsumen berada pada pihak yang mempunyai posisi lebih rendah dibandingkan posisi dari pelaku usaha. Kondisi tersebut terjadi karena kurangnya pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran konsumen sendiri terhadap hakhak dan kewajibannya.8 Tujuan dari pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan dalam menjalankan usahanya, mengarah pada pelanggaran hukum dengan tidak memperhatikan hak- hak dari konsumen yang telah diatur dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen yang telah tertuang dalam Pasal 4 Undang- Undang Perlindungan Konsumen ternyata belum efektif untuk mencegah terjadinya kesewenang- wenangan para pelaku usaha dalam melakukan aktivitas usaha. Banyak terjadi masalah yang berhubungan dengan terlanggarnya hak konsumen, Masalah perlindungan konsumen yang muncul atas dasar pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dalam Pasal 4 undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang 7 Resolusi Majelis Umum PBB, No. A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection. 8 Susanti nugroho,proses penyelesaian sengketa konsumen, kencana, Jakarta, 2011, h. 1. 5 perlindungan konsumen terjadi pada konsumen SPBU dan masalah ini masih menjadi isu penting hingga saat ini. SPBU sebagai penyedia jasa pengisian BBM bisa memberikan pelayanan yang efektif dan memuaskan kepada konsumen tetapi pada kenyataannya tidak. Berbagai kasus praktek kecurangan dan penyimpangan SPBU yang melanggar hak-hak konsumen yang sudah sejak lama berlangsung, perlu dicermati secara kritis salah satunya adalah praktek kecurangan yang dilakukan oleh petugas SPBU saat melayani konsumen yaitu dengan tidak memberikan kembalian uang receh dan memberikan BBM tidak sesuai dengan nilai tukar yang seharusnya menjadi hak konsumen tersebut walaupun sekecil apapun nilainya uang kembalian dan takaran BBM yang sesuaidengan nilai tukar tersebut tetap menjadi hak konsumen yang seharusnya diberikan petugas kepada konsumen. Praktek kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan petugas SPBU tersebut memberikan dampak yang sangat negatif terhadap diri dan kerugian konsumen. Pelanggaran hak konsumen SPBU yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya faktor sikap pelaku usaha SPBU yang masih memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi. Konsumen diperlakukan sebagai pihak yang dengan mudah dipengaruhi. Eksploitasi yang dilakukan pelaku usaha adalah lewat kinerja petugas SPBU yang melakukan pembulatan nominal harga sehingga BBM yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan nilai tukar dan tidak memberikan kembalian uang receh sebagai hak dari konsumen dalam melakukan transaksi pembelian BBM. 6 Berdasarkan fakta yang terjadi di masyarakat Indonesia sendiri, masyarakat seakan-akan dibuat apatis terhadap tidakan para operator SPBU yang dengan jelas banyak melanggar hak konsumen. Stasiun Pengisian Bahan Bakar adalah tempat di mana kendaraan bermotor bisa memperoleh bahan bakar. Di Indonesia, Stasiun Pengisian Bahan Bakar dikenal dengan nama SPBU (singkatan dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Namun, masyarakat juga memiliki sebutan lagi bagi SPBU.Misalnya di kebanyakan daerah, SPBU disebut Pom Bensin yang adalah singkatan dari Pompa Bensin. Di beberapa daerah di Maluku, SPBU disebut Stasiun bensin.9 Beberapa SPBU sekarang telah di lengkapi oleh logo Pertamina PASTI PAS! SPBU dengan logo tersebut adalah SPBU yang telah tersertifikasi dapat memberikan pelayanan terbaik memenuhi standard kelas dunia. Konsumen dapat mengharapkan kualitas dan kuantitas BBM yang terjamin, pelayanan yang ramah, serta fasilitas nyaman. Kualitas dan kuantitas BBM terjamin karena SPBU PASTI PAS! menggunakan alat-alat pengukur kualitas dan kuantitas lebih akurat juga menerapkan prosedur monitoring yang lebih ketat.10Untuk menjamin ketepatan takaran, SPBU melakukan test ketepatan volume secara rutin dengan batas toleransi akurasi lebih ketat dari SPBU biasa. Dinas Metrologi akan melakukan kalibrasi ulang pompa yang telah melewati batas toleransi. Untuk menjamin 9 http://id.m.wikipedia.org/wiki/Stasiun_pengisian_bahan_bakar, dikunjungi pada Minggu, 17 Mei 2015, pukul 18.09 10 http://pastipas.pertamina.com/mengenal.asp, dikunjungi pada Rabu, 20 Mei 2015, pukul 15.45. 7 kualitas BBM, SPBU melakukan pengujian kualitas 3 kali lebih banyak dari SPBU biasa, juga dengan batas toleransi lebih ketat. Tetapi, SPBU dengan logo tersebut hanya merupakan ide dari pelaku usaha untuk menarik minat dari konsumen SPBU, jika di cermati lagi apabila konsumen melakukan pengisian BBM fulltank di SPBU dan misalnya nominal yang tertera pada layar pengisian sebesar Rp. 18.700 menunjukan bahwa tanki sudah penuh, dan pada saat pembayaran konsumen tidak membayar dengan uang pas melainkan dengan uang Rp. 20.000 maka petugas atau operator SPBU hanya akan memberikan kembalian sebesar Rp. 1.000 dengan alasan tidak ada uang receh sebesar Rp. 300. 11 Dengan kasus yang demikian terjadi banyak pelanggaran hak konsumen SPBU diantaranya dalam Pasal 4 huruf (b) dan pelaku usaha juga telah melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf (c) tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen die zich verbiden); 11 contoh kasus pelanggaran hak konsumen berdasarkan dari observasi yang penulis lakukan pada beberapa SPBU di Salatiga dan sekitarnya. 8 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan); 3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan 4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak). Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata, mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat „kesepakatan‟ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang tidak seimbang. Suatu kesepakatan menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnyaperikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Pelaku usaha sangat di untungkan mendapatkan laba yang begitu besar dengan perbuatan curang yang dilakukan oleh operator yang jelas melanggar hak 9 yang seharusnya konsumen terima.Pasal 4 huruf (b) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 yaitu : “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.” Dalam perbuatan yang dilakukan oleh operator SPBU tersebut jelas telah melanggar hak konsumen. Karena, telah disebutkan dalam Pasal 4 huruf (b) bahwa konsumen berhak mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar. Dalam hal ini seharusnya berapa liter bensin yang konsumen dapatkan sesuai dengan apa yang telah konsumen bayarkan. Konsumen pun mempunyai hak untuk mendapat informasi yang jelas dan jujur dengan jasa yang ditawarkan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang berbunyi, “ konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa‟‟ sehingga konsumen tidak akan merasa dirugikan. Selain itu, juga terdapat pelanggaran pada Pasal 8 ayat (1) huruf c yaitu : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya”. Maka atas dasar isu tersebut, yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pertama, telah terjadi pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha di bidang pelayanan publik yaitu pada SPBU terutama pada Pasal 4 huruf (b) dan Pasal 8 ayat (1) huruf c dan kedua, sanksi terhadap pelaku yang telah melakukan pelanggaran hak konsumen dalam hal ini adalah operator SPBU yang bekerja dan bertindak sebagai pelaku usaha dalam perusahaan pelayanan publik. 10 Dalam kasus tersebut, penulis berargumen bahwa pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dengan sengaja telah melanggar hak daripada konsumen yang telah diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Atas dasar tersebut, pelaku usaha juga yang harus memberikan pertanggungjawaban secara penuh terhadap kerugian yang dialami konsumen yang diatur pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen. B. Rumusan Masalah Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah bentuk pelanggaran Pasal 4 huruf (b) dan Pasal 8 ayat (1) huruf c yang dilakukan SPBU berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ? 2. Bagaimana hubungan hukum antara Pelaku usaha dengan Konsumen SPBU serta bentuk pertanggungjawaban SPBU dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen ? 11 C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan, lebih-lebih penelitian dalam rangka penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa saja hak-hak yang konsumen harus dapatkan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Untuk mengetahui proses pertanggungjawaban pelaku usaha SPBU dalam pelanggaran hak konsumen. 4. Untuk mengetahui sanksi yang di peroleh pelaku usaha apabila ada hak konsumen yang dilanggar. 5. Untuk memberikan kesadaran kepada konsumen agar menjadi konsumen yang cerdas dan mengetahui hak-hak apa saja yang seharusnya mereka peroleh. D. Manfaat Penelitian Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat memberikan manfaat : 1. Manfaat teoritis 12 a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum perlindungan konsumen pada sistem pengembalian uang dan pembelian BBM yang tidak sesuai takaran. b. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui bagaimana hak konsumen yang terlanggar oleh petugas maupun pelaku usaha SPBU dan mempertahankan haknya ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha jika konsumen merasa hak nya telah terlanggar. d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya pada hukum perlindungan konsumen. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan pada khususnya tentang pertanggungjawaban pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen. b. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang hukum perlindungan konsumen. c. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis. d. miliki Untuk membangun kesadaran dari konsumen atas hak-hak yang konsumen 13 e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperjelas tanggungjawab pelaku usaha apabila terjadi pelanggaran hak konsumen yang tertuang dalam undangundang perlindungan konsumen. E. Metode Penelitian Dalam rangka penulisan skripsi ini sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang bersifat objektif maka diperlukan adanya data dan informasi yang valid dan relevan serta berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Sebagai upaya dalam perolehan data yang valid, penulis mempergunakan metode penelitian yang berfungsi sebagai sarana dan pedoman dalam perolehan data serta untuk mengoperasionalkan tujuan penelitian, meliputi : 1. Jenis Penelitian Yang Digunakan Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas serta prinsip-prinsip perlindungan konsumen. 2. Pendekatan Yang Digunakan Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan perundang-undangan adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu 14 penelitian12 yang dikaji seperti : Undang-Undang Dasar 1945, Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan pendekatan konseptual adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum,sehingga peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum ,konsep-konsep hukum dan asasasas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.13 3. Bahan Hukum Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Bahan Hukum Primer a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. c. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan d. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1981 tentang Metrology Legal. 2. Bahan Hukum Sekunder Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer seperti artikel-artikel baik dari internet, yang berisikan tentang hukum dan properti. 4. Unit Amatan 12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Surabaya, 2005,h.302. 13 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, hal.135-136. 15 Unit amatan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang merupakan acuan penulis untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak konsumen SPBU terhadap Pasal 4 huruf b dan Pasal 8 ayat (1) huruf c. 5. Unit Analisa Unit analisa dalam penelitian ini yaitu hubungan hukum yang terjadi antara Pelaku usaha, operator SPBU, dan konsumen yang menimbulkan pertanggung jawaban pelaku usaha. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi kedalam 3 Bab, yaitu : I. Bab I Pendahuluan berisi uraian mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Metode Peneltian, dan Sistematika Penulisan. II. Bab II Pembahasan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu Apakah telah terjadi pelanggaran hak konsumen SPBU oleh pelaku usaha SPBU dan bagaimana hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, dan pertanggungjawaban pelaku usaha SPBU terhadap pelanggaran Pasal 4 huruf b dan Pasal 8 ayat (1) huruf c Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. III. Bab III Penutup berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran.