BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perlindungan Konsumen Dalam sejarah perkembangan pola pemenuhan kebutuhan manusia yang saling interdependen, terdapat dua posisi yang saling berhadapan antara produsen dan konsumen. Pihak yang membuat atau menghasilkan barang disebut dengan produsen, sedangkan pihak yang membutuhkan suatu barang yang dihasilkan oleh produsen disebut konsumen. Perkembangan ekonomi yang pesat serta kemajuan teknologi dan industry telah menghasilkan beragam jenis barang dan/atau jasa yang variatif, sehingga konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis pilihan barang dan/atau jasa. Kondisi tersebut dapat menguntungkan konsumen karena kebutuhan terhadap suatu barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, tetapi disisi lain, menempatkan konsumen pada posisi yang lemah karena konsumen hanya sebagai objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang besar melalui kiat promosi dan cara penjualan yang merugikan konsumen.14 Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industry. Kemajuan teknologi tersebut telah memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Dalam pola hidup masyarakat tradisional, mereka dapat memperoduksi barang 14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, 2003, h. 12. 16 17 dan/atau jasa secara sederhana dan hubungan yang terjalin antara konsumen dengan produsen juga masih sederhana, konsumen dan produsen dapat bertatap muka secara langsung.15 Dalam masyarakat modern, produksi barang dan/atau jasa dilakukan secara missal, sehingga menciptakan konsumen secara masal pula (mass consumer consumption )16. Akhirnya, hubungan antara kosumen dan produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal siapa produsennya dan sebaliknya produsen juga dapat berada pada Negara lain.17 Pengaturan perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktivitas pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen diharapkan mampu mendorong iklim dan persaingan usaha yang sehat.18 Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha telah mengalami perubahan konstruksi hukum, yakni hubungan yang semula dibangun atas prinsip caveat emptor19 berubah menjadi caveat venditor.20 15 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h.2. 16 17 18 Ibid. Ibid., h.3 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, 2013, h.4 19 Let the buyer beware; bahwa pembeli menanggung resiko atas kondisi produk yang dibelinya, maka pembeli yang tidak ingin mengalami resiko harus berhati-hati sebelum membeli suatu produk. Doktrin caveat emptor mengharuskan si pembeli berhati-hati. Hal ini memberikan penekanaan terhadap ketentuan bahwa pembeli agar peduli dan sadar bahwa ia sedang membeli haknya orang lain. Maka pembeli harus berhati-hati tentang keadaanya ketika ia membeli hak orang lain. Ibid, dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ( St. Paul, Minnesota : West Publishing, 2004), Eight Edition, h.236. 20 Let the seller beware; adalah kebalikan dari let the buyer beware, yang berarti pihak penjual harus berhati-hati dalam memasarkan produknya, karena jika terjadi sesuatu hal terhadap konsumen yang tidak di kehendaki atas produk tersebut, maka yang bertanggungjawab adalah penjual.. ibid. 18 Intervensi pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan kosumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang- Undang sebagai implementasi dari Negara kesejahteraan untuk melindungi konsumen melalui Undang- Undang Nomer 8 tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen21. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu22: 1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang di serahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah di sepakati. 2. Perlindungan terhadap diberlakukanya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen. Dengan pengertian Perlindungan konsumen diatas, keinginan yang hendak dicapai dalam hukum perlindungan konsumen adalah untuk menciptakan rasa aman dan adil bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta tidak semata-mata mengeksploitasi dan menjadikan konsumen sebagai alat untuk memperoleh keuntungan yang besar bagi para pelaku usaha. 1. Asas Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Asas adalah sesuatu hal penting dalam membentuk peraturan yang dapat berarti dasar, landasan, norma maupun sebuah cita- cita. Tetapi, asas bukan 21 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 22 Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 152. 19 sesuatu yang absolute atau mutlak, dengan arti bahwa dalam menerapkan asas harus mempertimbangkan keadaan- keadaan khusus dan keadaan yang berubahubah.23 Terdapat 5 dasar dibentuknya Undang- Undang Perlindungan Konsumen, yang tertuang dalam Pasal 2 UUPK yaitu : a. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, b. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada kosumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, c. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan, e. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.24 Selain asas yang telah penulis sebutkan diatas, Undang- Undang Perlindungan Konsumen juga mempunyai tujuan agar cita- cita atau sasaran dari lahirnya Undang- Undang tersebut dapat tercapai dengan baik, yaitu telah di sebutkan dalam Pasal 3 UUPK. Untuk mencapai hakikat dari perlindungan konsumen bukan hanya melalui pembentukan Undang- Undang yang dapat melindungi konsumen, tetapi juga perlu ada penerapan pelaksanaan dari peraturan 23 Malayu S.P Hasibuan, Manajemen : Dasar, Pengertian, dan Masalah, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2006, h. 9. 24 Asas hukum perlindungan konsumen yang tertuang pada Pasal 5 Undang- Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 20 tersebut dari masyarakat maupun aparat Negara agar Undang- Undang dapat berjalan dengan efektif. 2. Hak dan Kewajiban Konsumen Hak adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum dan layak untuk diterima atau didapatkan oleh seseorang. Menurut Sudikno Mertokusumo, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Terdapat 3 macam hak berdasarkan sumber pemenuhanya, yaitu : 1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang diperoleh saat lahir seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidak dapat diganggu gugat walaupun oleh Negara sekalipun, bahkan Negara wajib menjamin pemenuhannya. 2. Hak yang lahir dari hukum, yakni hak yang diberikan oleh Negara kepada warga negaranya. Hak ini dapat disebut sebagai hak hukum. 3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan pada perjanjian/kontrak antara para pihak.25 Hak konsumen merupakan hak yang lahir dari hubungan kontraktual yang tercipta antara konsumen dengan pelaku usaha. Hak konsumen sangat bermacammacam dan dikenal dalam berbagai prespektif. Dalam prespektif internasional, hak konsumen telah dikemukakan oleh Presiden Jhon F. Kennedy yang terbagi menjadi 4 yaitu : 25 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, PT. Daya Widya, Jakarta, 2000, h. 55. 21 1. Hak memperoleh keamanan ( the rights to safety ) Pada aspek ini, di tujukan pada pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen.Intervensi dan tanggung jawab pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting, sehingga regulasi perlindungan konsumen sangat di butuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku pelaku usaha yang dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen. 2. Hak untuk memilih ( the rights to choose ) Hak untuk memilih merupakan hak prerogative konsumen apakah konsumen akan membeli atau tidak membeli barang dan/atau jasa tertentu. Oleh karena itu, tanpa di tunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, maka hak konsumen untuk memilih tidak akan ada artinya. 3. Hak mendapat informasi ( the rights to be informed ) Hak ini merupakan hak yang fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan dari konsumen sendiri. Informasi mengenai suatu barang dan/atau jasa tertentu yang akan di beli oleh konsumen, haruslah diberikan secara lengkap dan jujur sehingga tidak menyesatkan konsumen. 4. Hak untuk di dengar ( the rights to be heard ) Hak ini bermaksud untuk menjamin konsumen bahwa kepentingan konsumen harus diperhatikan dan seharusnya konsumen ikut dilibatkan dalam pembentukan sebuah kebijakan yang di bentuk oleh pemerintah.Selain itu, konsumen juga harus di dengar keluhan dan harapannya dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa tertentu yang di sediakan oleh pelaku usaha. 26 PBB melalui resolusi Nomor A/ RES/39/248 tanggal 16 April 1985, yang telah diamandemen pada 26 Juli 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for consumer Protection) merumuskan 6 (enam) kepentingan konsumen yang harus dilindungi, yaitu : 1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamananya. 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen. 3. Tersedianya informasi yang memadahi bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi. 4. Pendidikan konsumen. 26 Zulham, Op., cit, h. 48. 22 5. Tersedianya ganti rugi yang efektif. 6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.27 Organisasi konsumen sedunia ( International Organization of Consumers Union-IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi yaitu28 : 1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup. 2. Hak untuk memperoleh ganti rugi. 3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen. 4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Masyarakat ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu29: 1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan. 2. Hak kepentingan ekonomi. 3. Hak mendapat ganti rugi. 4. Hak atas penerangan. 5. Hak untuk didengar. 27 6 kepentingan konsumen yang dilindungi melalui PBB melalui resolusi Nomor A/ RES/39/248 tanggal 16 April 1985, yang telah diamandemen pada 26 Juli 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for consumer Protection. 28 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, h.39. 29 Inosentius Samsul, Op. cit., h.7 23 Selain hak-hak internasional di atas, Indonesia juga telah mengatur hakhak dasar konsumen sebagaimana telah diatur melalui Pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu sebagai berikut : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.30 Hak- hak konsumen diatas pada intinya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen agar konsumen merasa mempunyai posisi yang seimbang dengan pelaku usaha, sehingga diharapkan konsumen sadar akan hak-hak yang dimilikinya yang telah diatur dalam Undang-Undang maupun yang tidak secara langsung diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain memiliki hak, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual yang sepatutnya diberikan dan harus dijalankan. Kewajiban konsumen sendiri telah 30 Hak-hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK. 24 diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut.31 3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha mempunyai hak yaitu : 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lain-nya.32 31 Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK. 32 Hak Pelaku usaha dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 6. 25 Selain memiliki Hak yang telah disebutkan diatas, pelaku usaha juga memiliki kewajiban. Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.33 Dilihat dari uraian di atas, jelas bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti bahwa hak konsumen merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, dan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Selain memiliki hak yang dapat diterima dan kewajiban yang harus dijalankan, dalam upaya untuk melindungi hak-hak konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai penyedia barang dan jasa, pelaku usaha juga memiliki keterbatasan untuk melakukan kegiatan usahanya yang diharapkan agar pelaku usaha tidak bertindak sembarangan dalam melakukan kegiatan usahanya yaitu yang pada prinsipnya Undang-Undang nomor 33 Kewajiban pelaku usaha dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 7. 26 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengatur 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.34 Dengan perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha yang telah diatur dalam Undang-undang dan telah disebutkan dalam pasal diatas, merupakan suatu 34 Perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK. 27 kewajiban yang harus dijalankan oleh pelaku usaha dalam melaksanakan transaksi dengan konsumenya. Agar pelaku usaha dapat menjaga hubungan baik dengan konsumen dengan tidak melanggar ketetapan yang telah diatur Undang-Undang Perlindungan konsumen. B. Pengertian Nilai Tukar dan Kondisi/ Jaminan yang dijanjikan dalam Hukum Perlindungan Konsumen Pada pasal 4 huruf (b) UUPK, telah disebutkan bahwa konsumen berhak untuk : “memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”. Unsur- unsur yang terkandung dalam Pasal 4 huruf (b) adalah : 1. Barang dan/atau jasa 2. Nilai tukar 3. Kondisi barang dan/atau jasa 4. Jaminan yang dijanjikan. 1. Pengertian barang dan atau jasa Menurut KUHPerdata, dalam Pasal 499 KUHPerdata disebutkan bahwa barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik. Tiap benda yang dimaksud juga dibagi dalam beberapa kategori yaitu barang yang bertubuh dan tidak bertubuh, barang bergerak dan tidak bergerak, barang yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan.35 Selain dalam KUHPerdata, UUPK juga memberikan pengertian barang adalah setiap benda baik berwujud maupun 35 Pembagian barang dalam Pasal 503 sampai Pasal 505 KUHPerdata. 28 tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.36 Barang atau komoditas dalam pengertian ekonomi adalah suatu objek yang memiliki nilai. Nilai tersebut ditentukan jika barang mempunyai makroekonomi dan kemampuan akuntansi, untuk barang memenuhi merupakan kebutuhan. suatu produk Dalam fisik (berwujud,tangible) yang dapat diberikan pada seorang pembeli dan melibatkan perpindahan kepemilikan dari penjual ke pelanggan.37 Selanjutnya, Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen38. Menurut KBBI, Jasa merupakan aktivitas, kemudahan, manfaat, dan sebagainya yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen) yang menggunakan atau menikmatinya. Sedangkan pengertian jasa menurut para ahli adalah sebagai berikut: 1. 2. 36 Philip Kotler jasa yaitu setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Christian Gronross, jasa merupakan proses yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasanya terjadi pada interaksi antara pelanggan dan karyawan jasa dan atau sumber daya fisik atau barang, dan atau sistem penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan konsumen 37 https://id.m.wikipedia.org/wiki/barang,dikunjungi pada Sabtu, 02 Januari 2016, pukul 00.13 38 Pasal 1 angka 5 UUPK. 29 3. Djaslim Saladin, Jasa merupakan kegiatan atau suatu manfaat yang tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya.39 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jasa merupakan sebuah aktivitas atau tindakan yang dilakukan dari suatu pihak ke pihak lain dan bersifat abstrak untuk memenuhi kepuasan pihak tertentu. 2. Nilai tukar Pada pasal tersebut tidak jelas mengenai apa yang dimaksud dengan nilai tukar dan kondisi suatu barang tertentu, serta apa yang menjadi jaminan yang dijanjikan apabila pelaku usaha melanggar hak konsumen pada pasal 4 huruf (b) tersebut. Apabila membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari nilai tukar adalah jumlah uang yang sebenarnya diterima yang diperoleh dalam pertukaran suatu barang. Jadi, konsumen berhak untuk menerima barang dan/atau jasa sesuai dengan apa yang sudah di beli dan ditentukan dengan jumlah uang dan harga dari suatu barang dan/atau jasa yang dibeli tersebut. Dalam kaitanya dengan nilai tukar barang dan jasa, nilai barang adalah kemampuan pakai barang untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kemampuan tukar barang terhadap barang lain. Jadi berdasarkan pengertian tersebut, nilai suatu barang dan/atau jasa dapat dibedakan menjadi 2 yaitu berdasarkan nilai pakai dan nilai tukar. 1. Nilai pakai ( value in use ) , dapat digolongkan menjadi 2 yaitu: 39 www.seputarpengetahuan.com/2015/08/6-pengertian-jasa-menurut-para-ahli.html?m=1, dikunjungi pada Sabtu, 02 januari 2016, pukul. 00.51 30 a. Nilai pakai subjektif, artinya nilai yang diberikan seseorang terhadap suatu barang karena barang tersebut dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhannya. b. Nilai pakai objektif, atrinya kemampuan dari suatu barang untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia pada umumnya. 2. Nilai Tukar ( Value in Exchange ) Nilai tukar, yaitu kemampuan suatu barang untuk dapat ditukarkan dengan barang atau jasa lain. Berdasarkan nilai tukarnya, suatu barang dapat dikelompokkan dalam nilai tukar subjektif dan nilai tukar objektif yaitu : a. Nilai tukar subjektif, yaitu nilai yang diberikan seseorang terhadap suatu barang karena barang tersebut dapat ditukarkan dengan barang lain. b. Nilai tukar objektif, yaitu kemampuan dari suatu barang untuk dapat ditukarkan dengan barang yang lain.40 Berdasarkan pengertian diatas, Nilai Tukar erat sekali kaitanya dengan sebuah nilai yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha dalam bentuk Harga yang dibayarkan dengan uang. Dengan demikian, Penulis mendefinisikan nilai tukar dalam Pasal 4 huruf (b) merupakan sebuah HARGA. Konsumen mendapatkan suatu barang dan/atau jasa apabila konsumen membayar dan pelaku usaha berkewajiban memberikan barang dan/atau jasa yang diinginkan konsumen dengan membayar 40 www.temukanpengertian.com/2014//01/pengertian-nilai-barang.html?m=1, dikunjungi pada Selasa,12 Januari 2016, pukul. 19.53. 31 sebuah harga tersebut yang telah ditentukan oleh pelaku usaha.Secara umum, Harga adalah sejumlah uang yang harus dibayar konsumen sebagai alat tukar yang berfungsi untuk memperoleh barang dan/atau jasa. Tetapi banyak juga pengertian harga dari para ahli yaitu : 1. Menurut Kotler dan Amstrong, Harga adalah jumlah semua nilai yang konsumen tukarkan dalam rangka mendapatkan manfaat (dari) memiliki atau menggunakan barang dan /atau jasa. 2. Menurut Tjiptono, Harga merupakan satuan moneter atau ukuran lainnya (termasuk barang dan/atau jasa) yang ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau pengunaan suatu barang dan/atau jasa. 3. Menurut Husain Umar, Harga adalah “sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan oleh pembeli dan penjual melalui tawar menawar, atau ditetapkan oleh penjual untuksatu harga yang sama terhadap semua pembeli”.41 Bagi konsumen harga adalah factor penting yang menentukan untuk membeli barang atau tidak. Konsumen akan memutuskan untuk membeli suatu barang dengan pengaruh sebuah manaat yang akan didapatkan dengan ketentuan sebuah harga yang akan dibayarkan. Pembelian konsumen dipengaruhi juga oleh pendapatan konsumen, dimana penghasilan yang tinggi biasanya akan diikuti 41 Endang Wijayanti, “Pengaruh Harga dan Kualitas Produk Terhadap Keputusan Pembelian Toyota Kijang (Studi Kasus Pada Pt. Nasmoco Kaligawe Semarang),” Desember 2006, http://www.foxitsoftware.com, dikunjungi pada rabu, 13 Januari 2016, pukul 17.00. 32 dengan pembelian yang besar, sebaliknya penghasilan yang rendah maka pembelian yang dilakukan cenderung lebih kecil. 3. Kondisi barang dan/atau jasa Kondisi adalah keadaan atau persyaratan suatu barang atau jasa. Setiap barang dan/atau jasa memiliki keadaan atau bisa juga memiliki persyaratan tersendiri yang akan mempengaruhi minat konsumen untuk membelinya. Sehingga barang dan/atau jasa yang di jual oleh pelaku usaha kepada konsumen haruslah barang dan/atau jasa dengan kondisi yang baik dan tidak cacat, hal ini selaras dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha yaitu beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dengan memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Kondisi dari suatu barang dan/atau jasa dipengaruhi oleh sebuah kualitas dari barang dan/atau jasa itu sendiri. Kualitas diperlukan untuk memenuhi harapan konsumen, dimana suatu produk tersebut memiliki kualitas yang sesuai standar yang telah ditentukan. Untuk menetapkan standar kualitas, pemerintah telah mengintervensi hal tersebut dengan membuat suatu ukuran standar kualitas dengan membuat ketetapan yang secara langsung harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu sesuai dengan : 1. SNI ( Standar Nasional Indonesia ) 33 SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dan berlaku secara nasional.42Kaitan SNI dengan hak-hak konsumen adalah bahwa SNI mampu melindungi hak-hak konsumen. Tujuan SNI adalah menjamin konsumen untuk mendapatkan barang- barang yang bagus dan berkualitas di pasaran sesuai dengan standarisasi nasional yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional, selain itu SNI juga bertujuan untuk membangun persaingan yang sehat pada pelaku usaha. Artinya SNI berpihak kepada konsumen. Dengan kata lain SNI adalah kepastian hukum kepada konsumen.43 2. BPOM ( Badan Pengawas Obat dan Makanan )44 Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden serta bertanggungjawab kepada presiden sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 tahun 2001. BPOM juga merupakan kepastian hukum yang menjamin konsumen untuk mendapatkan kualitas yang baik dan layak konsumsi agar konsumen terhindar dari obat dan makanan yang berbahaya. BPOM juga berfungsi untuk mengawasi serta memberikan standarisasi tentang kelayakan produk dalam obat dan makanan sesuai dengan 42 Pengertian SNI, dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000. 43 Roli Harni Yance S. Garingging Runtung, Dkk, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Terhadap Industri Elektronik Rumah Tangga Di Sumatera Utara (Studi Pada Pt. Neo National Medan), Usu Law Jurnal, Vol.2.No.2, September 2014, h. 82. 44 www.landasanteori.com/2015/10/badan-pengawas-obat-dan-makanan-bpom.com, dikunjungi pada Senin, 28 Maret 2016, pukul 21.51. 34 PerKa BPOM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia. 3. Sertifikasi Halal45 Sertifikasi halal diterbitkan oleh LPPOM MUI untuk menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat islam, yaitu : a. Tidak mengandung DNA babi dan bahan- bahan tradisional yang berasal dari babi, b. Tidak mengandung bahan- bahan yang diharamkan; seperti bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah, dan kotoran, c. Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat islam, d. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan dan trasnportasinya tidak digunakan untuk daging babi; jika pernah digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainya terlebih dulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat islam. Sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan kosmetika-Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen. Selain itu juga pelaku usaha berkewajiban memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta 45 https://id.m.wikipedia.org/wiki/LPPOM_MUI , dikunjungi Selasa, 5 April 2016 35 memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan, memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan apabila konsidi barang dan/atau jasa tersebut tidak sesuai dengan perjanjian. Sebaliknya, konsumen juga harus cerdas membeli dengan memilih sesuai dengan kondisi barang dan/atau jasa yang baik dan sesuai dengan apa yang di inginkan. 4. Jaminan yang di janjikan. Dalam melakukan sebuah usaha, pelaku usaha selalu memberikan sebuah jaminan yang di janjikan untuk menarik minat konsumen agar membeli barang dan/atau jasa yang di jualnya. Melalui pasal 4 huruf (b) UUPK telah memberikan kepastian hukum untuk konsumen menerima barang dan/atau jasa yang di belinya sesuai dengan Kondisi serta jaminan yang di janjikan tetapi dalam pasal 4 huruf (b) UUPK tersebut tidak di jelaskan secara konkrit mengenai jaminan yang di janjikan oleh pelaku usaha. Pengertian Jaminan yang di janjikan adalah suatu janji seseorang untuk menanggung biaya atas kerusakan barang yang dibeli untuk jangka waktu tertentu apabila kewajibannya tidak terpenuhi. Pasal 1491 KUHPerdata, telah disebutkan bahwa: “penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu: pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian”. Dalam pasal tersebut, penjual atau dalam hal ini pelaku 36 usaha berkewajiban untuk menanggung ganti kerugian terhadap konsumen apabila dalam barang dan/atau jasa yang dijual terdapat cacat tersembunyi yang tidak diketahui oleh konsumen. Apabila pelaku usaha tidak memperjanjikan sebaliknya, maka pelaku usaha berkewajiban menanggung cacat tersembunyi pada barang yang diperjualbelikan, baik pelaku usaha tersebut mengetahui akan cacat tersembunyi maupun tidak menyadari adanya cacat tersembunyi pada barang tersebut.46 Tetapi, pelaku usaha tidak wajib untuk menjamin barang terhadap cacat yang kelihatan dan dapat diketahui sendiri oleh konsumen.47 Dalam pasal 27 UUPK, ditentukan bahwa Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Dalam hal jasa, pasal 26 UUPK mengatur bahwa:”Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan”.Sehingga apabila konsumen kurang puas terhadap jasa yang telah di beli dari pelaku usaha, konsumen berhak untuk 46 Pasal 1504 jo. Pasal 1506 KUHPerdata. 47 Ibid., Pasal 1505. 37 menuntut kerugian terhadap ketidakpuasan yang dialami dan pelaku usaha berkewajiban untuk memenuhi tuntutan konsumen sepanjang pelaku usaha memberikan jaminan garansi yang telah disepakati dan /atau yang diperjanjikan. C. Pengertian Memproduksi/ Memperdagangkan Barang Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Selain melanggar hak konsumen yang berada pada Pasal 4 huruf (b) UUPK, pelaku usaha SPBU juga melanggar Pasal 8 ayat 1 huruf (c) yang merupakan perbuatan yang di larang bagi pelaku usaha yaitu : ”Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya”. 1. Pelaku usaha48 Pengertian pelaku usaha diatas, cukup luas karena meliputi grosir, levenasir, pengecer, dan sebagainya. Dengan pengertian yang cukup luas tersebut, memudahkan para konsumen untuk menuntut kerugian apabila konsumen merasa dirugikan akibat penggunaan barang dan/atau jasa dari pelaku usaha. Dalam UUPK, pelaku usaha yang dimaksud memang cukup luas tetapi tidak mencakup eksportir atau pelaku usaha diluar negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan 48 Vide BAB I tentang pengertian pelaku usaha. 38 badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.49 2. Di larang Pengertian dilarang, berasal dari kata larangan yang berarti mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu. Larangan merupakan kebalikan dari perintah. Dalam hukum perdata, dilarang merupakan pencegahan untuk tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigedaad) yang dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum diperlukan 4 syarat, yaitu50: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain; 3. Bertentangan dengan kesusilaan; 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian. Sedangkan dalam konteks hukum pidana, Perbuatan melawan hukum dikenal sebagai unsur “melawan hukum” yang menurut Satochid Kartanegara dibedakan menjadi: 1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang- Undang. 49 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit.,h.9. 50 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH UI, 2003, h.117. 39 2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UndangUndang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum. Menurut Andi Hamzah, “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus”, contoh Pasal 372 KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” contoh Pasal 351 KUHP.51 3. Memproduksi/ memperdagangkan Memproduksi adalah kegiatan membuat atau menghasilkan atau menambah nilai guna terhadap suatu barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan oleh orang atau badan (produsen). Orang atau badan yang melakukan kegiatan produksi dikenal dengan sebutan produsen.Barang dan/atau jasa yang dihasilkan disebut produk.52Sedangkan memperdagangkan berarti menjualbelikan suatu produk yang telah dihasilkan kepada konsumen. Dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (c), telah dijelaskan bahwa pelaku usaha harus memberikan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya. Secara umum, ukuran,takaran, timbangan, dan jumlah merupakan suatu bilangan yang 51 denpasar.bpk.go.id/?p=3209, Perbuatan melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana, BPK RI, dikunjungi pada Sabtu, 16 Januari 2016 pukul 19.05. dikutip dari Andi Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, h. 168. 52 www.artikelsiana.com/2015/09/pengertian-produksi-faktor-faktor.html?=, dikunjungi pada Sabtu, 16 januari 2016 pukul 18.56. 40 menunjukan besar satuan ukuran (meter, gram, dll ) yang dapat di hitung atau tentukan oleh suatu alat ukur. Untuk menentukan ketepatan jumlah dalam pengukuran dan untuk memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat, Pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1981 tentang Metrology Legal. Berdasarkan Undang- Undang tersebut, disebutkan bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukur, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapanya. Bidang metrology memegang peran penting dalam aspek standarisasi berbagai alat ukur seperti timbangan berat, volume bahan cairan, suhu ruangan, dan masih banyak lagi. Adanya standarisasi ini penting untuk memastikan akurasi dari obyek yang di ukurnya yang dapat memberikan jaminan ketepatan pengukuran serta pengendalian mutu. Pengertian alat ukur, alat takar, alat timbangan di dalam undang-undang nomor 2 tahun 1981 tentang metrologi legal adalah : a. Alat ukur ialah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas dan atau kualitas.53 b. Alat takar ialah alat yang diperuntukan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas atau penakaran.54 c. Alat timbang ialah alat yang diperuntukan atau dipakai bagi pengukuran massa atau penimbangan.55 53 Pasal 1 huruf k Undang- Undang nomor 2 tahun 1981 tentang metrology legal. 54 Ibid, Pasal 1 huruf l. 41 Selain pengertian dari Undang- Undang Metrologi diatas, Dalam KBBI, alat ukur adalag perkakas untuk mengukur ( mencocokan atau mengetahui jarak, bobot, luas, panas, getaran, kecepatan, tegangan, tekanan, volume, dan sebagainya ). Alat takar alat untuk menakar yaitu mengukur banyaknya barang cair, beras, dan sebagainya dengan satuan liter, dll. Dengan pengertian di atas, seharusnya penjelasan mengenai ukuran, takaran, dan timbangan dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (c) UUPK, di sesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang metrology legal. Selain pengertian dari Undang- Undang Metrologi diatas, Dalam KBBI, alat ukur adalah perkakas untuk mengukur ( mencocokan atau mengetahui jarak, bobot, luas, panas, getaran, kecepatan, tegangan, tekanan, volume, dan sebagainya ). Alat takar alat untuk menakar yaitu mengukur banyaknya barang cair, beras, dan sebagainya dengan satuan liter, dll. D. Hubungan antara Pelaku Usaha dengan Konsumen Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang langsung. Hubungan langsung yang di maksudkan adalah hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian.56 Menurut KBBI, Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Pengertian mengenai perjanjian juga diatur di 55 Ibid, Pasal 1 huruf m. Ahmadi Miru,prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia , (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2013), h. 34. 56 42 dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu: “Suatu Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berkaitan dengan Perjanjian, J. Satrio mengungkapkan dalam bukunya bahwa: “Persetujuan adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.”57 Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah perikatan, karena salah satu sumber perikatan adalah perjanjian selain Undang-undang. Dari perikatan tersebut muncul suatu kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subyek hukum tersebut. Satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (consensus); 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity); 3. Suatu hal tertentu (a certain subject matter); 4. Suatu sebab yang halal (legal cause). 57 J. Satrio, Hukum Perikatan (Perjanjian pada umumnya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, h. 20 43 Kesepakatan dan kecakapan adalah syarat subjektif, yaitu mengenai orangorang atau subjek yang mengadakan perjanjian, dimana apabila salah satu syarat subyektif (kesepakatan atau kecakapan) tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut “dapat dibatalkan” atau perjanjian tidak sah. Sedangkan suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat mengenai objek yang diperjanjikan. Apabila salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi (suatu hal tertentu atau suatu sebab yang halal), maka perjanjian tersebut “batal demi hukum”, artinya bahwa sejak awal perjanjian tersebut dianggap tidak ada. Pengertian dari ke-empat syarat sahnya suatu perjanjian menurut tersebut yaitu: 1. Kesepakatan Dalam perjanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadaphadapan dan mempunyai kehendak untuk saling mengisi. Orang dikatakan telah memberikan persetujuannya/sepakatnya (toestemming), jika orang tersebut memang menghendaki apa yang disepakati. Dengan demikian, sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kehendak seseorang baru nyata bagi pihak lain kalau kehendak tersebut dinyatakan atau diutarakan, jadi perlu ada pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbul nya hubungan hukum.58 2. Kecakapan 58 J.Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian : Buku I), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 128 44 Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum.Cakap adalah mereka yang telah berumur 21 tahun, atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah menikah (Pasal 330 KUHPerdata). Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUHPerdata, ditentukan bahwa tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah: a. Orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UndangUndang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 3. Hal Tertentu Obyek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan, bisa merupakan suatu perilaku tertentu, memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Syarat bahwa obyek perjanjian (prestasi) itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.Sehingga jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian dapat dipergunakan sebagai bukti. Perjanjian tanpa “suatu hal tertentu” adalah batal demi hukum. Selanjutnya, dalam Pasal 1334 KUHPerdata ditentukan bahwa barangbarang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat menjadi obyek suatu 45 perjanjian. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-Undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. 4. Sebab yang Halal Suatu hal tertentu merupakan pokok dari perjanjian, atau merupakan prestasi yang dipenuhi dalam suatu perjanjian. Disamping itu, pokok dari perjanjian isinya harus halal (tidak terlarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan dilaksanakan. Dengan kata lain, kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama para pihak. Tujuan perjanjian tidak sama dengan isi perjanjian. Isi dari suatu perjanjian di samping harus jelas dan tertentu juga tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Menurut bentuknya, kontrak dibedakan menjadi 2 yaitu tertulis dan lisan/tidak tertulis. Dalam melakukan transaksi, konsumen dan pelaku usaha sering memakai kontrak lisan atau tidak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja.59 59 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia: Buku : I , Sinar Grafika, Jakarta, 2003, h.19. 46 Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan yang telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan adanya consensus maka perjanjian itu telah terjadi, termasuk dalam golongan ini adalah konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Di dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat tetapi perlu diucapkan kata-kata yang suci dan perjanjian itu harus didasarkan atas penyerahan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang terjadi apabila ada kesepakatan para pihak, sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjianyang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.60 Selain terdapat syarat sah mengikatnya sebuah perjanjian, terdapat juga akibat perjanjian untuk para pihak yang membuatnya adalah : 1. Perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian- perjanjian yang dibuat hanya berlaku diantara para pihak yang membuatnya. Hal ini bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya Pasal 1131 KUHPerdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian tersebut. Jadi apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian hanya merupakan dan menjadi kewajibannya semata-mata.61 Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga yang kemudian melaksanakan kewajibanya tersebut kepada kreditor, maka ini tidak berarti debitor dilepaskan atau dibebaskan dari kewajibannya tersebut. Pihak ketiga yang melakukan 60 Ibid. 61 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2003, h.165. 47 pemenuhan kewajiban debitor, demi hukum diberikan hak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban debitor dari debitor.62 Hak ini dinamakan hak subrogasi yang diatur dalam Pasal 1400 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai berikut : “Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditor itu, terjadi, baik dengan perjanjian, maupun demi Undang-undang”. Dengan demikian, jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUHPerdata bersifat personal dan tidak dapat dialihkan dengan begitu saja. Semua perjanjian yang telah dibuat dengan sah akan berlaku bagi mereka yang membuatnya ( Asas Pacta Sund Servanda ). Jadi perjanjian tersebut akan mengikat dan melahirkan perikatan bagi para pihak dalam perjanjian. 63 Selain hal tersebut, dalam Pasal 1338 KUHPerdata menentukan bahwa : “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dengan ketentuan tersebut, jelas bahwa apa yang disepakati para pihak tidak boleh diubah oleh siapa pun juga, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh para pihak, ataupun ditentukan demikian oleh 62 63 Ibid. Ibid, h.166. 48 undang-undang berdasarkan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum tertentu. 1. Mengenai kebatalan atau nulitas dalam perjanjian Seperti yang telah dijelaskan sebelunya, perjanjian pada dasarnya bersifat konsensuil, tetapi terdapat perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan suatu tindakan yang lebih dari sekedar kesepakatan lisan, sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut dapat dianggap sah dan karenanya mengikat serta melahirkan perikatan diantara para pihak yang membuatnya. a. Dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian maupun pihak ketiga diluar perjanjian. Perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian maupun oleh pihak ketiga di luar perjanjian. Perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian apabila terdapat alasan pembatalan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang telah diatur dalam KUHPerdata yang disebut sebagai alasan subjektif yaitu : 1. Tidak terjadi kesapakatan bebas antara para pihak dalam membuat perjanjian, baik terdapat paksaan, kekhilafan, ataupun penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian saat perjanjian itu dibuat. ( Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata ); 2. Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dan atau tidak memiliki kewenangan dalam melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. (Pasal 1330 sampai dengan Pasal 1331 KUPerdata ). 49 Selain dapat dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, sebuah perjanjian juga dapat dibatalkan oleh pihak ketiga di luar perjanjian. Pada dasarnya perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan tidak membawa akibat apapun bagi pihak ketiga. Walaupun demikian, untuk melindungi kepentingan kreditor dalam perikatan dengan debitor dan agar ketentuan Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUHPerdata dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka dibuatlah ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata yang dikenal dengan Actio Pauliana. Action Pauliana dapat dilaksanakan apabila syarat dalam Pasal 1341 dipenuhi, yaitu : 1. Kreditor harus membuktikan bahwa debitor melakukan tindakan yang tidak diwajibkan. 2. Kreditor harus membuktikan bahwa tindakan debitor merugikan kreditor. 3. Terhadap perikatan timbal balik yang dibuat oleh debitor dengan suatu pihak tertentu dalam perjanjian, yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan debitor, maka kreditor harus dapat membuktikan pada saat perjanjian tersebut dilakukan, debitor dan orang yang dengannya itu berjanji, mengetahui bahwa perjanjian itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditor. 4. Sedangkan untuk perjanjian atau perbuatan hukum yang bersifat cumacuma, cukuplah kreditor membuktikan bahwa pada waktu membuat perjanjian atau melakukan tindakan itu debitor mengetahui bahwa 50 dengan cara demikian dia merugikan kreditor, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.64 b. Batal demi hukum Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum apabila perjanjian tersebut melanggar syarat objektif dari sahnya suatu perikatan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu mengenai suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang halal. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian ini dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata; yang diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang mengatur mengenai suatu sebab yang halal yaitu sebab yang tidak dilarang oleh Undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.65 Di samping tidak dipenuhinya syarat objektif seperti yang telah disebutkan di atas, Undang- Undang juga merumuskan secara konkrit untuk tiap-tiap perbuatan hukum terutama pada perjanjian formil yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang- Undang, yang jika tidak di penuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya. Disamping pembedaan diatas, nulitas juga dapat dibedakan menjadi nulitas relative dan nulitas mutlak. Kebatalan di sebut relative jika hanya 64 Ibid, h.181. 65 Ibid, h. 182. 51 berlaku terhadap individu orang perseorangan tertentu saja, dan di sebut mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relative atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.66 E. Tanggung jawab Pelaku Usaha Terdapat beberapa Prinsip- prinsip pertanggungjawaban dalam perlindungan konsumen yaitu : 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian/ Kesalahan ( Negligence ) Prinsip tanggung jawab ini adalah bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang di tentukan oleh perilaku Pelaku usaha. Hal ini dapat ditemukan dalam rumusan teori negligence, yaitu the failure to exercise the standart of care that reasonably prudent would have exercised in a similar situation.67Negliger dapat dijadikan dasar gugatan manakala memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal. 2. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati terhadap penggugat. 66 Ibid, h. 184. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota: West Publishing,2004), Eight Edition, h.1061, dikutip dari Zulham, Op.cit., h. 83. 67 52 3. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata ( proximate cause ) dari kerugian yang timbul. 2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi ( Breach of Warranty ) Tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan wanprestasi merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan kontrak (contractual liability). Keuntungan yang diperoleh konsumen dalam teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak (strict obligation), yaitu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku usaha untuk memenuhi janjinya. Artinya, walaupun pelaku usaha telah berupaya memenuhi kewajibannya tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka pelaku usaha tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian dari konsumen tersebut. Terdapat juga kelemahan dalam teori ini yaitu pembatasan waktu gugatan, persyaratan pemberitahuan, kemungkinan adanya bantahan (disclaimer), dan harus adanya persyaratan kontrak.68 3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak ( Strict Product Liability ) Tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen sangat penting, paling tidak didasarkan pada alasan bahwa : pertama, tanggung jawab mutlak merupakan instrument hukum yang relative masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen untuk memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukum di bidang ekonomi. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi pelaku usaha, yaitu bagaimana pelaku usaha akan menangani 68 Ibid, h. 93. 53 resiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh Negara yang menggambarkan dua kesenjangan yaitu, antara standart norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen.69 Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan sistem tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan pelaku usaha dan prinsip ini lebih responsive terhadap kepentingan konsumen. F. ANALISIS 1. Kasus posisi Praktek kecurangan yang dilakukan SPBU kepada konsumen memang sering terjadi pada saat pengisian BBM, berbagai macam praktek kecurangan tersebut diantaranya menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Bentuk kecurangan yang terjadi pada SPBU bermacam-macam, hal ini ditegaskan pada salah satu keterangan dari mantan operator SPBU yang ditulis dalam artikael berikut : Ini pengakuan dari salah satu operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum di daerah, Jakarta Timur. Meski pegawai itu mengatakan jika bicara soal kecurangan dilakukan di SPBU pasti menimbulkan pandangan berbeda. Nama pegawai itu berisial MAK dan usianya 30 tahun. Sejak tahun 2004, dia sudah menjadi pegawai SPBU dan lumayan mahfum betul polapola kecurangan dilakukan ketika dia bekerja. Meski tak semua SPBU melakukan hal serupa, namun kecurangan ini dia jelaskan dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan memainkan mesin dispenser pengisian BBM. Menurut MAK, mesin dispenser pengisian bahan bakar terkadang suka dimainkan untuk menangguk keuntungan. Caranya ialah dengan 69 Inosentius samsul., Op.cit., h.1 54 memainkan flow meter yaitu alat untuk mengatur kecepatan arus dan jumlah BBM yang dikeluarkan oleh pompa dispenser sesuai angka.Biasanya ini bakal diketahui jika si pengisi bensin jeli dengan jumlah pembeliannya Misal, jika si pembeli mengisi bensin sebanyak dua liter. Bensin yang dituangkan melalui selang dispenser sejatinya tidak berisi jumlah tersebut, namun sudah dikurangi. MAK sendiri mengakui jika kecurangan yang pernah dilakukan hanya sekedar menjual kuitansi kosong. Karena di tempatnya bekerja memang menjadi langganan para sopir pembawa barang dari perusahaan, biasanya MAK bekerjasama untuk menjual kuitansi kosong sudah di cap resmi SPBU. Misal, sopir tersebut membeli bensin Rp 50 ribu, kemudian kuitansi yang diberikan sebesar Rp 150 ribu.“Paling sering mainkan bon (kuitansi),” tutur MAK.Sejatinya menurut MAK, kecurangan dilakukan oleh pegawai SPBU memang memiliki berbagai macam jenis cara.Sebagai contoh lain MAK menjelaskan, jika kecurangan berupa mengelabui pelanggan dengan mengurangi takaran tidak sesuai jumlah pembelian disebut main keong. Misal jika pembeli membeli BBM dengan nominal Rp 15 ribu kemudian pegawai SPBU buru-buru dikembalikan ke angka 0, bensin yang masuk hanya sekitar Rp 13 ribu.“Bahasanya maen keong, kalo misalnya beli Rp 15 ribu terus di kasih cuma Rp 13 ribu, terus mesinnya buru-buru di netralin ke angka 0 lagi, pembeli enggak tahu kalo yang masuk ke tangkinya cuma Rp 13 ribu,” ujar MAK. Biasanya modus ini dilakukan pegawai SPBU ketika terjadi antrean panjang dan saat pembeli lengah. Di wawancara terpisah, salah seorang pegawai SPBU berisial BM, 29 tahun dengan pangkat pengawas punya penjelasan berbeda soal praktik kecurangan di SPBU. Menurut dia kecurangan di SPBU harus dilihat dulu titik persoalannya. Misal jika kecurangan itu dilakukan melalui mesin dispenser pompa bensin, bisa jadi memang mesin tersebut eror bukan lantaran disengaja.70 Hal diatas, dapat terjadi karena berbagai factor yang melatarbelakangi di antaranya adalah pelaku usaha yang selalu menganggap konsumen pada posisi rendah sehingga mudah bagi pelaku usaha untuk mengekploitasi konsumen dengan segala hak yang di miliki oleh konsumen. Tindakan pelaku usaha yang demikian banyak menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen. Praktek 70 http://www.redaksi9.com/2015/11/modus-kecurangan-operator-spbu.html?m=1, dikunjungi pada Rabu, 10 februari 2016, pukul 19.45. 55 kecurangan SPBU yang sering terjadi ialah, penjualan BBM yang tidak sesuai dengan takaran yang di beli konsumen, hal ini terjadi apabila operator SPBU memainkan gagang pompa saat pengisian membuat argo menjadi lebih cepat dan angka yang ditunjukan pompa bensin loncat dan menghitung dengan cepat, sehingga yang keluar hanya angin dan takaran BBM yang dibeli konsumen dapat selisih 2-5 liter dari yang seharusnya konsumen terima. Selain kasus posisi yang telah disebutkan diatas, Contoh nyata lain yang dialami konsumen SPBU adalah : “Akan tetapi yang mengherankan adalah rupanya kecepatan argo di setiap SPBU berbeda-beda…selain itu, saya beberapa kali terkejut saat beli minyak Rp. 250.000; untuk mengisi full tank kendaraan saya, argonya melompat dari Rp. 130.000; menjadi langsung Rp. 150.000…”71 Selain beberapa contoh kasus diatas, praktek kecurangan yang terjadi di SPBU adalah terjadi pembulatan harga yang dilakukan oleh pegawai saat konsumen melakukan pengisian BBM “full tank”. Pembulatan tersebut terjadi dikarenakan semakin langkanya nominal pecahan uang receh misal Rp. 50. Terkait dengan pembulatan harga yang dilakuakan oleh operator SPBU, pelanggaran juga terjadi apabila operator SPBU tidak memberikan kembalian yang harus konsumen terima terkait dalam transaksi pembelian BBM. Hal ini terjadi apabila konsumen mengisi BBM di SPBU dan operator SPBU dengan membulatkan harga yang seharusnya konsumen bayar, selain itu operator tidak memberikan uang kembalian kepada konsumen. 71 Asaaro Lahagu, 23 Oktober 2015, “hati- hati modus kecurangan di SPBU Pertamina”, m.kompasiana.com,/lahagu/hati-hati-modus-kecurangan-di-spbupertamina_5629b0f521afbd210505cf97, dikunjungi pada Senin, 1 Februari 2016, pukul 19.05. 56 Berkaitan dengan hak konsumen untuk menerima uang kembalian, terjadi apabila konsumen membeli BBM dan ternyata nilai nominal yang tertera pada layar pompa bensin menunjukan angka ganjil dan tidak ada mata uang yang sesuai dengan pecahan tersebut, sehingga operator SPBU membulatkan nilai rupiah menjadi sesuai dengan pecahan mata uang rupiah yang bisa dibayarkan. Tetapi hal tersebut malah merugikan konsumen, karena takaran BBM yang diterima tidak sesuai dengan nilai tukar, hal ini dialami oleh beberapa konsumen. Jumlahnya memang tidak besar, namun tindakan ini tentu saja dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang membuat konsumen merasa tidak nyaman. Operator SPBU memberikan kembalian yang kurang dan tidak sesuai dengan nominal yang harus konsumen terima. Jumlah pembulatan dan kurangnya kembalian uang tersebut memang tidak besar, tetapi sekecil apapun pecahan nominal uang yang dibulatkan maupun yang tidak diberikan oleh operator SPBU merupakan pelanggaran hak konsumen yang dapat merugikan konsumen dan menguntungkan pihak pelaku usaha. Hal ini jelas melanggar nilai tukar yaitu harga yang telah ditetapkan dengan ukuran harga per liter. Misalnya, konsumen melakukan pengisian BBM fulltank di SPBU dan nominal yang tertera pada layar pengisian sebesar Rp. 18.700 menunjukan bahwa tanki sudah penuh, dan pada saat pembayaran konsumen tidak membayar dengan uang pas melainkan dengan uang Rp. 20.000 maka petugas atau operator SPBU hanya akan memberikan kembalian sebesar Rp. 1.000 dengan alasan tidak ada uang receh sebesar Rp. 300. Dengan demikian konsumen mengalami kerugian sebesar Rp. 300 karena operator SPBU telah membulatkan harga yang seharusnya dibayarkan konsumen sebesar Rp. 18.700 57 menjadi Rp. 19.000, padahal hitungan liter jika konsumen membeli dengan harga Rp. 18.700 dengan Rp. 19.000 akan berbeda takarannya karena nilai tukar dengan harga yang telah disepakati mempengaruhi jumlah barang dan/atau jasa yang akan diperoleh konsumen. 2. Pelanggaran Hak konsumen SPBU Pasal 4 huruf (b) dan Pasal 8 ayat (1) huruf C UUPK Dengan berbagai bentuk kecurangan dari SPBU diatas, penulis akan membahas mengenai bentuk pelanggaran yang dilakukan SPBU berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada Pasal 4 huruf (b) adalah SPBU tidak memenuhi hak konsumen untuk : “memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”. Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam Pasal 4 huruf (b) yaitu: 1. Barang dan/atau jasa 2. Nilai tukar 3. Kondisi barang dan/atau jasa 4. Jaminan yang dijanjikan. Selain keempat unsure diatas, dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c juga terdapat beberapa unsure yaitu : 1. Pelaku usaha 2. Dilarang 3. Memproduksi/memperdagangkan 58 4. Takaran, ukuran, timbangan dan jumlah. Pengertian barang dalam UUPK adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Selanjutnya dalam UUPK, Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen Dalam unsur barang dan/atau jasa kaitanya dengan kasus pelanggaran hak konsumen SPBU adalah bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan barang yang diperdagangkan antara pelaku usaha SPBU dan dibeli oleh konsumen dalam pengisian pada SPBU. Nilai Tukar erat sekali kaitanya dengan sebuah nilai yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha dalam bentuk Harga yang dibayarkan dengan uang.Nilai tukar dalam Pasal 4 huruf (b) merupakan sebuah HARGA. Pada konsumen SPBU, harga telah ditetapkan ukuranya dalam ukuran per liter. Pada saat ini, tahun 2016 pada bulan Januari BBM telah turun harga, harga untuk bensin adalah Rp. 7.150/liter dari harga semula Rp. 7.300/liter, dan solar Rp. 5.950/liter dari harga sebelumnya Rp. 6.700/ liter 72 dan pertamax dari Rp. 8.650/liter menjadi Rp. 8.450/liter, pertalite turun dari Rp. 8.200 jadi Rp. 7.950.73 72 www.migas.esdm.go.id/post/read/mulai-5-januari-2016,-harga-bbm-turun, dikunjungi pada Jumat, 12 Februari 2016 pukul 17.55. 73 www. Jogja.tribunnews.com/2016/01/04/harga-pertalite-juga-turun-per-5-januari-2016, dikunjungi pada Jumat, 12 februari 2016 pukul 19.06. 59 Konsumen SPBU akan mendapatkan BBM apabila membayar BBM tersebut sesuai dengan harga per liter dan takaran yang ia inginkan dan pelaku usaha melalui operator SPBU sebagai karyawan yang bekerja pada SPBU tersebut berkewajiban untuk memberikan BBM yang konsumen beli dengan takaran yang pas dan jujur sesuai dengan apa yang sudah konsumen bayarkan. Kondisi barang dan/atau jasa yang berkaitan dengan pelanggaran hak konsumen SPBU dalam hal ini adalah kondisi BBM. Kondisi BBM yang diperjual-belikan oleh SPBU haruslah kondisi BBM dengan kondisi yang baru, murni dan baik tanpa campuran apapun dan layak untuk diperjual-belikan dan telah memenuhi Standart Nasional Indonesia (SNI). Pertamina sebagai pelaku usaha SPBU memberikan Jaminan dengan memberikan pelayanan yang baik, jaminan kualitas dan kuantitas BBM, fasilitas dan peralatan yang terawat dengan baik, memiliki format fisik yang konsisten, dan penawaran produk serta pelayanan bernilai tambah dengan operator yang selalu menerapkan 3 S ( Salam, Senyum, Sapa ). Dalam SOPnya, Pertamina mencanangkan program yaitu : 1. Pertamina way Pertamina way adalah program yang diluncurkan PT. Pertamina dengan penerapan standar pelayanan yang terdiri dari 5 (lima) elemen, yaitu pelayanan staff yang terlatih dan bermotivasi, jaminan kualitas dan kuantitas, fasilitas dan peralatan yang terawatt dengan baik, memiliki format fisik yang konsisten, dan penawaran produk dan pelayanan bernilai tambah dengan operator yang selalu menerapkan 3S (senyum, salam, sapa). 2. Pertamina PASTI PAS Pasti PAS adalah SPBU yang telah mendapatkan sertifikat Pasti pas! Dari auditor independen dengan jaminan pelayanan terbaik yang memenuhi standar kelas dunia. Konsumen akan mendapatkan kualitas dan kuantitas BBM yang terjamin dengan 60 takaran yang pas, pelayanan yang ramah, serta fasilitas yang nyaman.74 Dengan jaminan yang telah disebutkan diatas, seharusnya pelaku usaha dalam hal ini pertamina harus membekali para karyawan agar dapat menerapkan slogan yang telah dipakai dengan memberikan pelayanan yang baik dan jujur sesuai dengan Standar Operasional Prosedur ( SOP ) dan menjalankan program yang telah dicanangkan dalam SOP Pertamina diatas, sehingga konsumen merasa nyaman untuk mengisi dan membeli BBM dan tidak kecewa serta tidak merasa dirugikan dengan pelayanan yang sesuai dengan SOP yang telah ditentukan. Pelaku usaha dalam penelitian ini adalah SPBU yang dapat berbentuk Badan hukum yaitu PT. PERTAMINA, ataupun SPBU NON- PERTAMINA yang dimiliki oleh perseorangan ataupun perusahaan yang melakukan kerjasama dengan PT. PERTAMINA. Dalam hal SPBU NON- PERTAMINA, PERTAMINA berkedudukan sebagai produsen yang memberikan pasokan BBM yang akan diperjualbelikan oleh SPBU tersebut, tetapi masalah tanggungjawab berada pada pemilik SPBU sendiri walaupun SOP yang dipakai adalah SOP dari PERTAMINA. Konsumen SPBU berhak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, yang dimaksud dengan nilai tukar pada Pasal tersebut adalah sebuah harga yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa yang konsumen inginkan. Tetapi seringkali hak untuk mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar di langgar oleh Pelaku usaha ( Operator SPBU ). 74 www.agenpelumas.com/standar-operasional-pelayanan-pertamina/ dikunjungi pada Jumat, 12 februari 2016, pukul 16.20. 61 Dalam kasus diatas, Selain melanggar Pasal 4 huruf (b) UUPK, dengan tidak memberikan BBM sesuai dengan nilai tukar/ harga, ini berarti bahwa pelaku usaha juga telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c UUPK mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Hal ini terjadi karena BBM yang telah dibeli konsumen SPBU tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. Ketidaksesuaian takaran BBM yang di dapatkan oleh konsumen terjadi karena operator SPBU telah memberikan harga yang tidak seharusnya dibayarkan oleh konsumen, harga yang tertera dalam mesin pengisian BBM tidak sesuai dengan BBM yang telah konsumen terima. Seharusnya apabila operator ingin melakukan hal tersebut haruslah ada kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya dengan konsumen agar konsumen mengetahui hal yang sebenarnya dan apabila konsumen tidak sepakat dengan hal tersebut, konsumen dapat menuntut agar nilai tukar yang telah operator katakan, yang tidak sesuai dengan mesin pengisian BBM, dapat di sesuaikan dengan nominal yang operator sebutkan sebagai harga (nilai tukar) terhadap BBM yang dibeli konsumen, sehingga tidak ada pelanggaran hak konsumen dan konsumen mendapatkan takaran semestinya serta konsumen tidak merasa dirugikan. 3. Hubungan Hukum yang terjadi antara Pelaku usaha dengan Konsumen SPBU Dalam interaksi jual beli antara operator SPBU dengan konsumen, dapat dikatakan sebagai salah satu perjanjian jual beli, sekalipun perjanjian jual beli secara tidak tertulis, yang mana pelaku usaha atau penjual mengikatkan diri 62 dengan pihak pembeli. Para pihak diantaranya mempunyai hak dan kewajiban. Hak dari pelaku usaha adalah menerima uang atau pembayaran seharga BBM yang telah dijual, kewajibannya adalah memberikan BBM yang dibeli oleh pembeli (konsumen SPBU) dan memberikan semua yang menjadi hak dari pembeli tersebut. Sedangkan hak dari konsumen adalah mendapatkan bensin yang diinginkan, dan kewajibannya adalah membayar sesuai dengan nominal yang tertera di layar monitor atau sesuai dengan harga yang telah disepakati. Pada kasus pelanggaran diatas, hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha SPBU dengan konsumen SPBU merupakan sebuah perikatan yang terjadi secara lisan dalam transaksi jual-beli. Pemilik SPBU dikategorikan sebagai pelaku usaha, yang dalam hal ini di wakilkan oleh operator SPBU yang telah terikat perjanjian kerja dengan pelaku usaha, dan pembeli sebagai konsumen. Dengan demikian, Operator SPBU dapat bertindak untuk dan atas nama Pelaku Usaha SPBU. Pada kasus yang telah diuraikan diatas, dapat dinyatakan bahwa konsumen telah mengalami kerugian. Tetapi, kerugian yang telah di derita konsumen tersebut tidak selalu disebabkan oleh perusahaan, tetapi dapat juga terjadi akibat dari kesalahan karyawan yang sengaja melakukan tindakan yang dapat merugikan konsumen demi keuntungan pribadi. Disamping hubungan hukum yang tercipta antara Pelaku usaha SPBU dengan konsumen yang melahirkan perjanjian jual-beli, hubungan hukum juga terjadi antara pelaku usaha dengan operator SPBU yang merupakan hubungan hukum antara atasan dengan bawahan. Hubungan tersebut dapat muncul 63 dikarenakan, dalam mendirikan suatu perusahaan tentu tidak lepas dari sebuah tanggung jawab karena tanggung jawab merupakan salah satu kewajiban dari pelaku usaha terhadap konsumen, karyawan maupun lingkungan sekitarnya. Pasal 1367 KUHPerdata, telah diatur bahwa seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatanya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggunganya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasanya. Terdapat 2 hubungan hukum antara pelaku usaha dengan pekerja, yaitu hubungan kerja dan hubungan pemberi kuasa. Hubungan kerja yaitu suatu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah serta melaksanakan perintah dari atasan atau pengusaha perusahaan dan dimana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Dalam hal ini ada hubungan antara atasan dengan bawahan ( sub-ordinasi ). Sementara itu, Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Perjanjian kerja adalah antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Hubungan pemberi kuasa, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata, dalam hal ini pengusaha (pemilik/pendiri badan usaha) memberikan kuasa kepada para pembantunya untuk menjalankan suatu kegiatan bisnis. Dari hubungan hukum yang telah disebutkan diatas, maka dapat dikatakan 64 bahwa perusahaan SPBU selaku pelaku usaha yang mempekerjakan operator SPBU untuk membantu kegiatan bisnisnya wajib bertanggung jawab kepada konsumen atas segala kerugian yang diderita oleh konsumen, baik kesalahan tersebut disebabkan oleh perusahaan SPBU itu sendiri maupun operator SPBU, karena operator SPBU bekerja atas perintah perusahaan hanya saja dalam melaksanakan pekerjaannya, operator SPBU tersebut tidak melakukannya dengan itikad baik. 4. Bentuk Pertanggungjawaban SPBU Kosumen dapat menuntut SPBU dengan mengajukan gugatan kepada PERTAMINA apabila SPBU tersebut milik PERTAMINA, maupun kepada pemilik SPBU atau direksi apabila SPBU tersebut milik NON-PERTAMINA atau melalui Badan Perlindungan Sengketa Konsumen, dengan gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pelaku usaha SPBU walaupun telah melakukan perbuatan melawan hukum atas perbuatan operator SPBU dapat pula digugat dengan gugatan wanprestasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Pelaku usaha dapat dikatakan wanprestasi apabila: 1. Tidak melakukan sesuatu 2. Melaksanakan prestasi, tetapi terlambat 3. Melaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha SPBU dapat digugat untuk membayar ganti biaya, kerugian, dan bunga kepada konsumen sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata, atas wanprestasi karena pelaku usaha SPBU tidak melakukan 65 kewajiban dengan melaksanakan isi dari perjanjian jual- beli sekalipun bukan perjanjian tertulis tetapi tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan yaitu tidak memberikan BBM sesuai dengan nilai tukar yang dibayarkan oleh konsumen. Ganti kerugian akibat wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha SPBU tersebut, konsumen dapat menuntut ganti biaya, ganti kerugian dan juga bunga yang konsumen alami selama pelaku usaha SPBU tidak melaksanakan prestasi yang harus dipenuhi dan diperjanjikan. Pelaku usaha SPBU wajib bertanggungjawab atas kerugian yang telah dialami oleh konsumen dalam pelanggaran hak konsumen SPBU Pasal 4 huruf (b) dan Pasal 8 ayat (1) huruf c, walaupun pelaku usaha tidak secara langsung melanggar hak konsumen melainkan berdasarkan perbuatan dari operator selaku karyawan SPBU yang telah melanggar hak konsumen yang dilakukan secara sengaja demi keuntungan pribadi maupun tidak mengetahui bahwa hal tersebut telah melanggar hak konsumen yang mengakibatkan kerugian. Hal tersebut sejalan dengan bunyi Pasal 1367 KUHPerdata yaitu : “seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatanya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggunganya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasanya.” Pelaku usaha SPBU baik PERTAMINA maupun NON-PERTAMINA dapat dikatakan sebagai penanggung dan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh operator selaku karyawan dari SPBU tersebut yang merupakan tanggunganya dan berada dibawah pengawasannya. 66 Pertanggungjawaban lain yang harus diberikan pelaku usaha SPBU kepada konsumen menurut Undang- Undang Perlindungan Konsumen adalah memberikan ganti kerugian yang telah diatur dalam Pasal 19 UUPK yaitu : (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Dengan bunyi dari Pasal tersebut diatas dapat di pahami bahwa Pelaku usaha harus memberikan ganti rugi yang terjadi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang 67 dihasilkan atau diperdagangkan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan konsumen. Ganti kerugian yang dapat diberikan oleh pelaku usaha dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pelaku usaha telah memberikan ganti kerugian hal tersebut tidak menghapuskan kemungkinan jika terjadi tuntutan pidana selama adanya unsur kesalahan pelaku usaha yang dapat dibuktikan oleh konsumen dan tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan sebaliknya. Pelaku usaha yang tidak mau memberikan pertanggungjawaban sesuai apa yang telah diatur dalam Pasal 19 UUPK diatas, dapat dikenakan sanksi administrative yang dijatuhkan oleh BPSK yang termuat dalam Pasal 60 ayat (2) UUPK, yaitu berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00(duaratus juta rupiah). Selain pertanggungjawaban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 19 UUPK, dalam kasus diatas, pelaku usaha telah melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf c UUPK dengan tidak memberikan BBM sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya. Dengan demikian, pelaku usaha dapat dijatuhi hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK, yaitu : “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan 68 pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”. Dan terhadap sanksi pidana dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK, dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang telah diatur dalam Pasal 63 UUPK, yaitu berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha. Selain memberikan tanggung jawab kepada konsumen berupa ganti kerugian, SPBU juga wajib memberi sanksi terhadap karyawan yang melakukan kesalahan sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen, sanksi yang diberikan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. SPBU juga berkewajiban untuk menekankan seluruh karyawannya untuk bekerja dan memberikan pelayanan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur dari SPBU tersebut sehingga kegiatan operasional dari SPBU tersebut dapat berjalan dengan baik tanpa merugikan siapapun. 69 Evaluasi SOP juga harus diterapkan oleh SPBU mengingat peran karyawan sangat penting sehingga diperlukan evaluasi terhadap berjalannya SOP, karena SOP merupakan sebuah dasar untuk karyawan SPBU agar dapat bekerja dengan sungguh-sungguh menjadi sumber daya manusia ( SDM ) yang professional, handal, dan jujur sehingga dapat mewujudkan visi dan misi dari SPBU itu sendiri. Sanksi yang diberikan pada karyawan yang telah terbukti melakukan pelanggaran hak konsumen dan menyebabkan konsumen mengalami kerugian atas perbuatan tersebut dapat berupa peringatan dan jika dirasa sangat fatal, sanksi dapat berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan tersebut.