BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Pada dasarnya komunikasi sangat sulit untuk didefinisikan, komunikasi memiliki banyak makna sebagai kata yang abstrak.Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Professor Wilbur Schramm (1982) mengatakan “komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi”. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahu peluang-peluang yang ada untk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya.Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa.Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang diterima dari lingkungan sekitarnya.1 1 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2000; 1-3 14 15 2.1.1 Definisi Komunikasi Komunikasi dalam bahasa Inggris “ communication ” berasal dari bahasa Latin “ communication ”, dan bersumber dari kata “ communis ” yang berarti sama.2Bisa juga diartikan membuat kebersamaan antara dua orang atau lebih.Akar kata communis adalah communico yang artinya berbagi.3 Dalam buku pengantar komunikasi menyebutkan beberapa pengertian komunikasi menurut beberapa ahli: 1. Menurut Everett M.Rogres Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerimaan atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.4 2. D. Laurence Kincaid (1981) Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukanpertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.5 3. Everett M. Rogres Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.6 2 Onong UchianaEffendy, Ilmu, Teori & Filsafat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000; 30 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2000; 18 4 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT.Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2000; 19-20 5 Ibid 3 16 4. Shanon dan Weaver (1949) Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengarui satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja.7 Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa, jelas sekali jika komunikasi antar manusia hanya bisa terjadi jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepad orang lain dengan tujuan tertentu. Dengan kata lain, setiap proses komunikasi selalu mendukung unsur pengiriman (komunikator), unsur penerima (komunikan), dan unsur pesan (message) yang bertujuan untuk mengadakan persamaan dalam mengartikan pesan. Komunikasi akan terus berlangsung selama ada persamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang digunakan belum tentu menjadi patokan berhasilnya suatu proses komunikasi dalam suatu percakapan, kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan harus diperhatikan oleh komunikator. Akan tetapi pengertian komunikasi yang dipaparkan diatas sifatnya disariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antar dua pihak yang terlibat yaitu komunikator (yang menyampaikan pesan) dan komunikan (yang menerima pesan). Dikatakan minimal, karena kegiatan komunikasi bukan hanya 6 7 Ibid Ibid 17 komunikatif, yakni agar orang lain bersedia menerima suatu faham atau keyakinan. 2.1.2 Unsur-unsur Komunikasi Unsur-unsur dalam komunikasi yaitu (source), pesan (message), saluran (channel) dan penerima (receiver) serta (effect). Menurut (Harold D. Lasswell), bila kita ingin memahami komunikasi massa, kita harus mengerti unsur-unsur yang diformulasikan olehnya dalam bentuk pertanyaan.8antara lain : who, what, in which channel, to whom and what effect ? Bagan 2.1 Unsur-unsur Komunikasi Who (source) Says What (messeges) Komunikator Pesan In Which Channel Media To Whom (receiver) With What Effect (feed back) Komunikan efek Sumber :Dani Verdiansyah, 2004 : 115 1. Unsur who (sumber atau komunikator) Tanpa komunikator maka komunikasi tidak akan terjadi karena dialah yang mengambil inisiatif. Sumber utama dalam komunikasi massa adalah lembaga, organisasi atau orang yang bekerja dalam fasilitas lembaga atau organisasi 8 Dani Verdiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi, Ghalia, 2004 : 115 18 (institutionalized person). Yang dimaksud dengan institutionalized person adalah orang seperti redaktur surat kabar yang melalui tajuk rencana menyatakan pendapatnya dengan fasilitas lembaga. 2. Unsur says what (pesan) Pada dasarnya komunikasi bersifat abstrak. Untuk membuatnya konkrit, agar dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan akal budinya menciptakan sejumlah lambang komunikasi.9 Pesan-pesan komunikasi massa dapat menjangkau audience yang sangat banyak jumlahnya. Pesan dalam program berita dapat dinikmati oleh semua orang yang mengakses televisi, surat kabar dan rasio. Pesan yang disampaikan program berita dapat dinikmati oleh semua kalangan. 3. Unsur in which channel (saluran atu media) Cara komunikator menyampaikan pesan, agar pesan komunikator dapat sampai ke komunikan. Media massa terdiri dari : A. Media cetak, yaitu surat kabar dan majalah B. Media elektronik, yaitu radio, televise, dan media online (internet). Dan terdapat dua cara untuk menyampaikan pesan: 1. Tanpa media (nonmediated communication) yang berlangsung secara langsung face- to- face (tatap muka) 2. Dengan media komunikasi. Media komunikasi adalah alat yang digunakn komunikator dalam menyampaikan pesan.10 9 Dani Verdiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi, Ghalia, 2004 : 23 19 4. Unsur to whom (penerima atau komunikan) Orang yang menerima pesan.Bisa satu orang, banyak orang atau kelompok.Jka komunikasi antar pribadi atau percakapan biasa maka fungsi komunikator dan komunikan bersifat diamis, saling berganti. Dialah yang memutuskan untuk menghentikan sauatu pembicaraan jika tidak berkenan dengan cara tidak member feed back. 5. Unsur with what effect (unsure efek atau akibat) Efek merupakan pengaruh yang timbul dalam diri komunikan akibat pesan yang disampaikan oleh komunikator. Terdapat tiga tataran pengaruh dalam diri komunikan, yaitu : a. Efek kognitif Akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya nirmatif bagi dirinya atau komunikan menjadi tahu. Misalnya : Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa Sumanto adalah pemkan bangkai manusia atau Robot Gedek adalah pelaku sodomi terhadap anak laki-laki dibawah umur.Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu tentang peristiwa tersebut.Tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja, tidak lebih dari itu. 10 Elviaro Ardianto, Lukiati & Sitti Karlina, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung , 2007; 40 20 b. Efek Afektif Sikap seseorang terbentuk, setuju atau tidak setuju. Misalnya : Setelah mendengar atau membaca berita Sumanto atau Robot Gedek, maka muncul perasaan kesal, jengkel, marah atau senang karena Sumanto atau Robot Gedek telah tertangkap. c. Efek konatif Tingkah laku yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu atau akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk prilaku, tindakan atau kegiatan. Misalnya : Berbagai jenis buku, majalah maupun surat kabar yang telah membahas macam keterampilan. Dengan demikian, media tersebut dapat dijadikan atau digunakan sebagai media pendidikan.11 Komponen pembentuk komunikasi yang saling terkait dan berhubungan dengan yang lain, yaitu: 1. Source Sumber pesan, seseorang atau sekelompok orang yang berinisiatif mengirimkan 11 pesan.Sumber harus melakukan Dani Verdiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi, Ghalia, 2004; 19-27 encoding (proses 21 mengubah ide, gagasan, atau perasaan, kedalam seperangkat simbol dan tanda) untuk menyampaikan pesannya. 2. Message Pesan atau apa yang dikomunikasikan oleh source kepada penerima dalam bentuk berupa simbol-simbol dan tanda. 3. Media Saluran / sarana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya. Dapat berupa media fisik, seperti suara, cahaya, sistem syaraf, dsb, maupun cara penyajian pesannya. 4. Receiver Orang yang menerima pesan dari sumber. Receiver malakukan decoding, kebalikan dari encoding. Yaitu proses menafsirkan seperangkat tanda yang ia terima menjadi gagasan yang dapat dipahaminya. 5. Effect Apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan, berupa perubahan persepsi, perilaku. 6. Feedback Reaksi atau tanggapan dari pihak receiver sebagai petunjuk efektif tidaknya pesan yang disampaikan sebelumnya. Umpan balik tidak harus disengaja.Misalnya kejang-kejang dan histeris setelah mendengar berita duka. 22 7. Noise Faktor-faktor berupa rangsangan tambahan yang mengganggu penyampaian pesan atau mengurangi akurasi pesan.Sebuah kursi yang tidak nyaman selama kuliah dapat menjadi suber noise, kita tidak dapat menerima pesan hanya melalui mata dan telinga kita.Pikiran-pikiran yang lebih menarik dari pada kata-kata dosen juga merupakan gangguan.12 2.2 Komunikasi Verbal dan NonVerbal Dalam melakukan komunikasi kita pasti menggunakan bahasa sebagai suatu cara untuk berkomunikasi. Baik itu sacara lisan (verbal) ataupun tulisan, lambang, gerak tubuh, symbol (non verbal). Berikut penjelasan dari komunikasi verbal dan non verbal. 2.2.1 Komunikasi Verbal Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.13 12 Elviaro Ardianto, Lukiati & Sitti Karlina, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung , 2007; 31- 48 13 Dede Mulyana, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002:237 23 Bahasa dapat didefenisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita.Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.Konsekuensinya, katakata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. 2.2.1.1 Asal-Usul Bahasa Hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul di permukaan bumi.Ada dugaan kuat bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal.Dulu, nenek moyang kita yang juga disebut Cro Magnon ini tinggal di gua-gua.Ketika mereka belum mampu berbahasa verbal, mereka berkomunikasi lewat gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, tanduk, cadas dan dinding gua yang banyak ditemukan di Spanyol dan Prancis Selatan.Dalam tahap perkembangan berikutnya, antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan.Ini dimungkinkan karena mereka memiliki struktur tengkorak, lidah, dan kotak suara yang mirip dengan yang kita miliki sekarang.Kemampuan berbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini. Karena Cro Magnon dapat berpikir 24 lewat bahasa, mereka mampu membuat rencana, konsep dan berburu dengan cara yang lebih baik.14 Sekitar 5000 tahun lalu manusia melakukan tansisi komunikasi dengan memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang.Transisi paling dini dilakukan bangsa Sumeria dan Mesir kuno yang mengembangkan tulisan mereka secara independen. Tahun 2000 Sebelum Masehi, papirus digunakan secara luas di Mesir untuk menyebarkan pesan tertulis dan merekam informasi. Sistem tulisan dan bahasa lisan itu terus berkembang hingga kini.Kita pun memasuki era cetak pada abad ke 15, yang beberapa abad kemudian disusul oleh era radio, era telekomunikasi, dan kini era komunikasi.Kesemuanya telah merekam hasil peradaban manusia untuk disempurnakan lagi oleh generasigenerasi mendatang lewat kemampuan mereka dalam berbahasa. 2.2.1.2 Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Manusia Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanjang hidup menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa, misalnya ketika kita berupaya berkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak memahami bahasa kita yang membuat kita frustasi; ketika kita sulit menerjemahkan suatu kata, frase atau kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain; ketika kita harus dihadapkan pada situasi baru yang menuntut pola interaksi komunikasi timbal balik. 14 Ibid. 241 25 Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek dan peristiwa. Menurut Larry L.Barker, bahasa memiliki tiga fungsi : penamaan (naming atau labeling), interaksi dan transmisi informasi.15Penamaan atau penjulukan merujuk pda usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau keamrahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain, baiks secara langsung ataupun tidak (misalnya melalui media massa). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi dari lintas/waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan., memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi; kita tidak mungkin menghadirkan semua objek ditempat untuk rujuk dalam komunikasi kita. 2.2.1.3 Gramatika Bahasa Binan Pada dekade 1990-an ini, khalayak pendengar radiodan penonton televisi mau tak mau mendengar suatu jenis bahasa baru yang kata-katanya ada yang sepintas dengar terkendali, akan tetapi konteks penggunaan dan maknanya, 15 Ibid. 243 26 setidaknya pada awal, terkesan tidak pada tempatnya; ada yang asing sama sekali; dan ada pula yang menggunakan gaya bahasa khas waria yang latah atau dilatahlatahkan. Yang boleh dikatakan baru dalam media elektronik dalam dekade 1990-an ini adalah meluasnya penggunaan ragam bahasa yang awalnya berasal dari ragam yang dipakai oleh komunitas kaum gay /homoseks. Dengan perkataan lain, ragam bahasa yang dalam komunitas asalnya dikenal sebagai bahasa binan kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses pembentukan kata-kata bahasa binan.16 Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni : 1. Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa Indonesia 2. Proses penciptaan kata atau istilah baru atau pun penggeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahsa Indonesia. Jenis yang pertama ditemui di Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota berbasis budaya Jawa lainnya, dan umumnya berupa perubahan bunyi terhadap kata-kata bahasa Jawa.Dari suatu kata dasar hanya suku kata pertamanya yang dipertahankan.Bilamana suku kata pertama berakhir 16 Dede Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu, Yogyakarta : Galang Press, 2001:63 27 dengan vokal, maka konsonan pertama kata beriktunya dipertahankan pula. Kemudian pada awal potongan itu ditambahkan awalan si-, Contohnya : banci→ban→siban lanang”laki-laki”(Jawa)→lan→silan wedok→wed→siwed homo→hom→sihom Jenis yang kedua dan ketiga ditemui di semua kota di Indonesia pada kalangan yang terpengaruh bahasa Indonesia Jakarta. Prosesnya adalah mengubah suku kata terakhir sehingga berakhir dengan –ong (jenis kedua) atau –es (jenis ketiga), dan mengubah bunyi/huruf vokal suku kata sebelumnya dengan e- diucapkan (-e). Jenis kedua biasa dinamakan omong cong atau bahasa ong-ong, sedangkan jenis ketiga biasa dinamakan omong ces atau bahasa es-es. Contohnya : laki→lekong (lėkong) atau lekes (lėkes) homo→hemong (hėmong) atau (hėmes) banci→bencong (bencong) atau bences (bėnces) Penggunaan jenis –ong atau pun -es tidak mengikuti suatu kaidah ayng pasti.Terkesan orang menggunakannya secara manasuka atau sembarang. Sekitar pertengahan tahun 1990-an muncul varian yang mengganti bentuk akhir –ong atau –es itu dengan –i, meskipun pembentukan ini tidak seproduktif varian kedua dan ketiga. 28 Maksudnya , apabila dengan proses transformasi gaya –ong dan –es praktis kata manapun dapat dijadikan kata bahasa binan, dengan proses –i, ini hanya sejumlah kata tertentu saja yang dapt dijadikan sebagai kata bahasa binan. Contoh proses transformasi ini : alih-alih mengatakan kentong atau kenti (sebagai transformasi dari kata:‘zakar, penis’), orang mengatakan kenti atau bukannya lagi pentong (transformasi dari pantat) melainkan penti. Jenis yang keempat tampaknya hanya dipakai di Jakarta dan Bandung, setidaknya pada awalnya namun didalam perkembangannya menyebar ke kotakota lain. Prosesnya adalah penyisipan –in- sesudah konsonan awal suku katasuku kata pada kata tertentu, sehingga kata menjadi dua kali lebih panjang.Kemudian kata yang panjang itu dipendekkan lagi. Contohnya : bule→binuline→binul lesbi→linesbini→lines gay→ginay Jenis yang kelima mirip dengan jenis pertama, yaitu kata asal dipotong sehingga hanya tinggal suku kata pertama dan (kalau suku kata pertama berakhir dengan vokal) konsonan pertama suku kata berikutnya, kemudian ditambahkan akhiran –se’. Contohnya : homo→hom→homse’ cina→cin→cinse’ 29 Perlu dicatat bahwa dibeberapa kalangan, kata se’ sendiri dipakai dengan makna ‘gay, homoseks.’Kadang-kadang jenis ini digabungkan dengan kata-kata yang sudah diubah melalui proses –ong atau –es, seperti : Dorong ‘semburit, sanggama dubur’→dorong/deres→derse’. Akhirnya, masih ada lagi jenis yang keenam, yang konon berawal di Medan dan kemudian menyebar disemua kota-kota Indonesia. Jenis ini berupa pemertahanan suku kata atau bagian suku kata awal kata dasar, sementara selebihnya diubah sehingga seakan-akan kata lain. Contohnya : sundal→sund→sundari enak→en-→endang sekal→s-→sulastri sudah→su-→sutra tidak→ti-→tinta emang→em→ember,embrong sakit ‘gay, homoseks’→sak→sakinah Jenis inilah yang pada dekade 1990-an amat populer. Berkembang pesat dan meluas di seantero nusantara, dan kemudian dipakai sebagai bahasa gaul. Setiap komunitas waria atau gay senantiasa menciptakan sendiri kata-kata jenis ini, dan dari kunjung-mengunjungi maupun komunikasi melalui berbagai medium tersebar ke komunitas lain. 30 Selain itu masih ada kata-kata yang tidak dipakai sama sekali dalam bahasa masyarakt umum, seperti cucok ‘cakep’, rumpik ‘sialan, penipu,’ balabala ‘bagi-bagi, ‘ tau kata-kata yang maknanya lain dari yang dipakai umum, seperti racun ‘perempuan, istri, ‘jeruk’pemeras, ‘kucing’pelacur laki- laki,’ngebom ‘meledek, ‘serta seruan-seruan panggilan seperti nek (tak diketahui asalnya, mungkinkah dari nenek?). Kecuali kata-kata khas yang dipakai didalam berbahasa daerah (semisal proses si- dalam berbahasa Jawa) jenis-jenis yang lima lagi dapat dan memang senantiasa dipakai berganti-ganti secara mana suka atau sembarang. Selain itu juga suatu hasil transformasi dari proses yang satu dapat mengalami transformasi lagi melalui proses yang lain, seperti yang ktia lihat pada kasus kata dorong→derong,deres→derse’ tadi. Yang lain umpamanya : Pura (bentuk dasar pura-pura) →peres→per→persi tidak→ti-→tint→tin-→tintring lumayan→luma-→lumajang→lumejong silit ‘dubur(Jawa)’→sil→sisil→sisilia silit→sil→sisil→susil→susilo→susilo sudarman Ciri pembeda bahasa binan di atas peringkat tata bunyi dan kosa kata adalah intonasi agak centil (atau sangat centil, bergantung pada penuturnya) dalam berbicara, serta juga pada sebagian penuturnya, kebiasaan latah yang sesungguhnya atau yang dibuat-buat. 31 Satu lagi ciri pembeda wacana pada bahasa binan adalah materi pembicaraan yang lebih lugas, bebas atau bahkan vulgar seperti penyebutan bagian-bagian dan cairan tubuh yang dilibatkan dalam hubungan seks (kenti:’zakar,’susil atau pentil :’dubur, pantat,’pejong :’mani,’dan sebagainya). Serta perbuatan-perbuatan seksual (meong :’main, berhubungan seks, ’karaoke:’seks oro-gential, fellatio,’cuci WC :menjialti dubur, seks oro-anal’, dan sebagainya). Penggunaan bahasa binan di kalangan waria dan gay merupakan salah satu ciri pembeda yang menunjukkan apakah seseorang itu kerap bergaul dalam komunitasnya ataukah hanya hidup terselubung (yang dilakukan cukup banyak gay kalengan/tertutup karena takut akan stigma dari keluarga dan masyarakat).17 2.2.2 Komunikasi Nonverbal Menurut Samovar (1981), Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita sadari. Padahal kebanyakan ahli komunikasi akan sepakat apabila dikatakan bahwa dalam interaksi tatap muka umumnya, hanya 35 persen dari “social context” suatu pesan yang disampaikan dengan kata-kata. Maka ada yang mengatakan bahwa bahasa verbal penting, tetapi bahasa nonverbal tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, dalam peristiwa komunikasi.18 17 Ibid. 67 Lusiana Lubis, Komunikasi Antar Budaya, Medan :USU Press,2008 :34 18 32 Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya.Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A.Samovar dan Richard E.Porter, komunnikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima; jadi defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.19 2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memiliki potensi untuk merangsang makna dalam pikiran individu atau individu-individu lain.20 Untuk merumuskan pengertian “komunikasi nonverbal”, biasanya ada beberapa defenisi : 19 Ibid Ibid. 35 20 33 1. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata. 2. Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara. 3. Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh sesorang yang diberi makna oleh orang lain. 4. Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan, waktu, gerak, isyarat, bau, perilaku, mata dan lain-lain. 2.2.2.2 Fungsi Komunikasi Nonverbal Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai : 1. Emblem, gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan “Saya tidak sungguhsungguh”. 2. Ilustrator, pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan. 3. Regulator, kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi. 4. Penyesuaian, kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan respons yang tidak disadari yang merupakanupaya tubuh untuk mengurangi kecemasan. 34 5. Affect Display, pembesaran manik mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut atau senang. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut : 1. Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal, misalnya anda mengganggukkan kepala ketika mengatakan “ya”, atau menggelengkan kepala ketika mengatakan “tidak”. 2. Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya melambaikan tangan seraya mengucapkan “selamat tinggal”. 3. Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi berdiri sendiri. Misalnya menggantikan kata-kata haru dengan linangan air mata. 4. Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya melirik kearah jam tangan menjelang kuliah berakhir, sehingga dosen menyadari untuk mengakhiri perkuliahan. 5. Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. Misalnya seorang dosen menyatakan kalau dia memiliki waktu untuk berbicara kepada seorang mahasiswa, tetapi matanya berulangkali menatap kearah jam tangannya.21 21 Dede Mulyana, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Bandung : Remaja Rosdakarya,2003:315 35 2.2.2.3 Klasifikasi Pesan Nonverbal Berdasarkan analisis Edward T.Hall dan Bridstell, pesan nonverbal digolongkan menjadi tiga jenis umum, yaitu kinesik, prosemik, dan paralinguistic.22 2.2.2.3.1 Kinesik Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L.Birdwhistell.Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan oandangan mata), tangan, kepala, kaki dan simbolik.Karena kita hidup, semua anggota badan kita senantiasa bergerak. Dalam pelajaran pesan nonverbal dikenal beberapa jenis kinesik yaitu : 1. Ekspresi wajah Berbagai penelitian melaporkan bahwa emosi dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah karena wajah dianggap sangat kuat menampilkan ‘keadaan dalam’ seseorang yang membuat orang lain dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Sylvan S.Tomkins menemukan sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) dasar emosi wajah yang mencengangkan, yakni emosi yang menyatakan surprise, 22 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya: Yogyakarta, LkiS, 2003:193 36 minat, gembira, gusar, takut, jijik atau muak, malu dan kesedihan yang mendalam. Wajah manusia menyimpan banyak sekali misteri.Para ahli psikologi menyebut wajah dan ekspresi wajah sebagai the organ of emotion. Karena tanda-tanda yang ada di wajah berkaitan dengan perasaan manusia,d an tanda-tanda itu dapat diinterpretasikan oleh orang lain di sekeliling kita. Wajah merupakan kekuatan saluran komunikasi nonverbal yang diterjemahkan atau di-encode oleh pengirim dan kemudian di-decode oleh penerima dengan makna yang berlaku dalam suatu konteks sosial atau budaya tertentu. 2. Kontak mata dan pandangan Kontak mata/cara pandang mata merupakan komunikasi nonverbal yang ditampilkan bersama ekspresi wajah. Tak mengherankan kalau banyak orang menggerakkan alis mata ketika mereka bercakap-cakap karena mereka menganggap bahwa kontak mata yang ditampilkan komunikator akan menarik umpan balik dari komunikan. Dalam Hattori (1987) pelbagai kebudayaan, pandangan mata kerap kali ditafsirkan sebagai pernyataan tingkat keseriusan perhatian, mendengarkan, melihat, mengerti, melamun, menerawang, bingung, marah, cinta, sayu, menggoda, sensual, menguasai, membiarkan, dan masa bodoh yang semuanya harus ditafsir dalam konteks sosial budaya tertentu.23 23 Ibid. 197 37 3. Isyarat tangan Kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.Sebagian orang menggunakan tangan mereka dengan leluasa, sebagaian lagi moderat dan sebagian lagi hemat. Untuk memperteguh pesan verbal mereka, orang-orang Prancis, Italia, Spanyol, Mexico dan Arab termasuk orang-orang yang sangat aktif menggunakan tangan mereka, lebih aktif daripada orang Amerika atau orang Inggris, seakan-akan mereka tidak mau diam. Penggunaan isyarat tangan dan maknanya jelas berlainan dari budaya ke budaya. 4. Postur Tubuh Postur tubuh sering bersifat simbolik.Postur tubuh memang mempengaruhi citra diri.beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fisik dan karakter atau tempramen.Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan oleh William Sheldon misalnya menunjukkan hubungan antara bentuk tubuh dan tempramen.Sebagian anggapan mengenai bentuk tubuh dan karakter yang dihubungkannya mungkin sekadar stereotip. 2.2.2.3.2 Sentuhan Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics). Sentuhan seperti foto, adalah suatu perilaku nonverbal yang multimakna., dapat menggantikan seribu kata. Menurut Heslin terdapat lima kategori sentuhan, yang 38 merupakan suatu rentang dari yang sangat impersonal hingga yang sangat personal.24 Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut : 1. Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat “dingin” dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih pakaian. 2. Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh pengharapan, aturan dan praktek sosial yang berlaku, msialnya berjabat tangan. 3. Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yang akrab, msialnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah. 4. Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang meyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan, misalnya mencium pipi orangtua dengan lembut; orang yang sepenuhnya memeluk orang lain; dua orang yang “bermain kaki” di bawah meja; orang eskimo yang saling menggosokkan hidung. 5. Rangsangan-seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman. Seperti makna pesan verbal, makna pesan nonverbal, termasuk sentuhan, bukan hanya bergantung pada budaya, tetapi juga pada konteks. 24 Dede Mulyana, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Bandung : Remaja Rosdakarya,2003:336 39 2.2.2.3.3 Parabahasa Parabahasa, atau vokalika (vocalics), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, dialek, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita.Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan atau ketakutan. Terkadang kita bosan mendengarkan pembicaraan orang, bukan karena isi pembicaraannya, melainkan karena cara menyampaikannya yang lamban dn monoton. Mehrabian dan Ferris menyebutkan bahwa parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi.menurut formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan. Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari keseluruhan impak pesan, lebih dari 90% isi emosionalnya ditentukan secara nonverbal. 2.2.2.3.4 Penampilan Fisik Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna) dan juga ornamen lain 40 yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali orang juga memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dn sebagainya. Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan dan tujuan pencitraan, semua itu mempengaruhi cara kita berdandan. Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang terhadap pakaian mencerminkan kepribadiannya, apakah ia orang yang konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Kita memang cenderung mempersepsi dan memperlaukan orang yang sama dengan cara yang berbeda bila ia mengenakan pakaian yang berbeda. 2.2.2.3.5 Bau-Bauan Bau-bauan terutama yang menyenangkan (wewangian, seperti deodorant, eau de toilette, eau de cologne, dan parfum) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan, mirip dengan cara yang juga dilakukan hewan. Kebanyakan hewan menggunakan bau-bauan untuk memastikan kehadiran musuh, menandai wilayah mereka, mengidentifikasi keadaan emosional dan menarik lawan jenis. Mereka yang ahli dalam wewangian dapat membedakan bau parfum lakilaki dengan parfum perempuan, bau parfum yang mahal dengan bau parfum yang 41 murah. Bau parfum yang digunakan seseorang dapat menyampaikan pesan bahwa ia berasal dari kelas tertentu; kau eksekutif, selebritis atau wanita tunasusila, kelas atas atau kelas bawah. Wewangian dapat mengirim pesan sebagai godaan, rayuan, ekspresi feminimitas atau maskulinitas. Dalam bisnis,wewangian melambangkan kesan, citra, status dan bonafiditas. 2.2.2.3.6 Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi Setiap budaya punya cara khas dalam mengkonseptualiasikan ruang, baik di dalam rumah, di luar rumah ataupun dalam berhubungan dengan orang lain. Edward T.Hall adalah antropolog yang menciptakan istilah proxemics (proksemika) sebagai studi yang menelaah persepsi manusia atas ruang (pribadi dan sosial), cara manusia menggunakan ruang dan pengaruh ruang terhadap komunikasi.25 Beberapa pakar lainnya memperluas konsep prosemika ini dengan memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin berpengaruh terhadap proses komunikasi, termasuk iklim (temperatur), pencahayaan dan kepadatan penduduk. 2.2.2.3.7 Warna Kita sering menggunakan warna untuk menunjukkan suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik dan bahkan mungkin keyakinan agam kita.Dalam tiap budaya terdapat konvensi tidak tertulis mengenai warna pakaian yang layak dipakai ataupun tidak.Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara 25 Dede Mulyana, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Bandung : Remaja Rosdakarya,2003:356 42 warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia, meskipun kita memerlukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan dugaan ini. 2.2.2.3.8 Artefak Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan yang telah dibahas sebelumnya. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu.Bidang studi mengenai ini disebut objektika (objectics). 2.3 Teori Queer Sejarah label ‘teori queer’ terbentuk dengan latar belakang politik seksual radikal tahun 1970-an, khususnya asumsi bahwa homosekusalitas adalah tatanan sosiobudaya. Perkembangan pendekatan teoretis terhadap seksualitas ini muncul bukan hanya dari pembangian-pembangian sosial yang tampil seputar makna homoseksualitas sepanjang tahun 1980-an, tetapi juga upaya-upaya baru untuk menghindari strategi oposisi politik eksklusionis dan separatis terhadap dinamika heteroseksual maskulinis Kebudayaan Barat. Jika generasi pertama aktivis dan teoretikus gay, lesbian, dan feminis berusaha manganalisis homoseksualitas sebagai pengalaman minoritas, maka fokus 43 teoretikus queer ialah menentang pembangian biner antara pengalaman mayoritaas dan minoritas, juga dinamika sosial heteroseksualitas dan homoseksualitas. Landasan teori queer terletak pada dekonstruksionisme pustaka dan pos – strukturalisme, dan banyak dibanyangi pengaruh teoretikus sosial seperti Foucault, Lacan, dan Derrida. Lebih merupakan kumpulan alat konseptual dan strategi politik daripada kumpulan pemikiran yang koheren dan berupa kesatuan, teori queer berupaya menumbangkan stereotipe-stereotipe budaya yang biasa dipakai untuk memahami kaum gay, lesbian, atau biseksual untuk lebih fokus kepada ‘pengetahuanpengetahuan queer’ yang telah dibebaskan modernitas dalam bingkai identitas dan perbedaan seksualnya. Teresa de Laureties (1991:v) menjelaskan teori queer yang melanggar batas ini: Kini, di satu sisi kita menghadapi istilah”lesbian” dan “gay” untuk menyebut jenis tertentu gaya hidup, seksualitas, praktik sosial, komunitas, isu, publikasi, dan wacana; di sisi lain, frasa ‘gay dan lesbian’, atau yang semakin kerap terdengar, ‘lesbian dan gay’ (perempuan lebih dahulu), sudah menjadi pengakuan standar. Dalam, satu pengertian, istilah ‘Teori Queer’ muncul sebagai upaya untuk menghindari semua perbedaan halus ini dalam protokolprotokol diskursif kita, bukan untuk mengikuti satu istiilah tertentu, bukan pula untuk memikul tanggung jawab ideologis mereka, melainkan untuk melanggar batas dan mengatasi mereka semua atau sedikitnya mempermasalahkan pembedaan-pembedaan itu. Jadi, teori queer tidak hanya merangkul lebsian, gay, dan biseksual, melainkan juga para sadis, fetisis, orang yang terangsang secara seksual dengan menonton tubuh telanjang orang lain secara diam-diam atau menyaksikan mereka melakukan perbuatan seksual (voyeurs), laki-laki gemar berdandan dengan pakaian perempuan (drag queens), trans-seksual orang yang mengubah alat kelaminnya atau 44 mengidentifikasi diri berlawanan dengan alat kelaminnya, orang yang gemarberdandan dan seringkali berprilaku seperti lawan jenis kelaminnya (trans vestites), laki-laki maskulin dan kuat (butches), orang yang mengenakan pakaian lawan jenisnya dan meniru-niru prilaku lawan jenisnya (gender benders), dan semua praktik lain yang menarik label ‘seksualitas menyimpang’ dalam relasi-relasi kekuasaan asimetris patriarki. Dalam Essentially Speaking (1989), Diana Fuss mengembangkan kritik pos-strukturalis tentang binarisme homoseksual atau heteroseksual. Heteroseksualitas, kata Fuss, memperoleh makna dalam hubungannya dengan lawannya; fondasi seksual heteroseksualitas dibingkai berdasarkan eksklusi dan represi kepada homoseksualitas; produksi pembagian dan perbedaan hetero dan homoseksual sangat penting bagi aktivitaspenindasan seksual. Hal ini membawa implikasi-implikasi rasdikal untuk memahami identitas seksual, khususnya konstruksi identitas gay danlesbian. Fuss berpendapat bahwa oposisi hetero dan homoseksual merupakan normativitas tetap untuk identitas-identitas seksual, sebuah tatanan budaya kaku tempat perbedaan-perbedaan seksual diganti dan disangkal untuk selamanya. Jadi, penegasan komunitas lesbian dan gay berbasis identitas telah menimbulkan efek paradoks menguatnya heteroseksualitas dan homofobia sebagai dinamika utama organisasi sosio-seksual. Berlawanan dengan politik identitas, Fuss (1991) mendorong para radikal seksual untuk menggugat, sehingga mengguncang 45 kestabilan hierarki hetero dan homoseksual. Pendeknya Fuss menganjurkan politik tentang identitas-identitasrelasional. Eve Kosotsky Sedgwick, yang kadang-kadang dijuluki ‘ibu teori queer’, selangkah lebih jauh. Dalam The Epistemology of the Closet, dia mengemukakan bahwa binarisme hetero dan homoseksual tidak Cuma membentuk dan menyusun identitas dan perbedaan seksual, tetapi juga mewarnai kategori-kategori pemikiran dan kebudayaan utama Barat. Menurut Sedgwick, binarisme hetero dan homoseksual mengorganisasi pengalaman dan pengetahuan orang tentang dunia, terutama bentukbentuk pengatahuan diri, pengungkapan diri, pembukaakn rahasia diri. ‘Pengakuan’ dan ‘rahasia’ adalah istilah-istilah kunci untuk memahami pengalaman seseorang gay dan lesbian. Tetapi, kategori-kategori umum definisi diri ini juga sangan mempengaruhi kaum heteroseksual, yang meletakkan identitas dan praktik mereka sendiri dalam hubungannya dengan homoseksualitas, khususnya kemampuan homoseksualitas untuk mengusik dan mengganti. Krisis kontemporer dalam definisi homo dan heteroseksual pada dasarnya merupakan hasrat akan kepastian ditingkat pengetahuan seksual. Mengikuti Foucault, Sedgwick berpendapat bahwa kerahasiaan yang melingkungi pengetahuan rahasia itu terus dipelihara dan diakcaukan dikarenakan oleh resiko dari pengungkapan rahasia tersebut. Agak mirip dengan deskripsi phallus Lacan sebagai ‘penanda master’, Sedgwick menjelaskaan pembagian hetero dan homoseksualsangat penting bagi logika budaya di negar-negara maju. Pengetahuan tentang rahasia dan segala 46 misterinya, kata Sedgwick, ditanamkan dengan banyak energi dan kecemasan, kumpulan ketekutan dan fantasi, yang menjamin adanya jarak antar penampilan dan realitas, norma dan patologi, kekuasaan dan ketidak berdayaan. Pengaruh karya Sedgwick dalam teori queer sangat besar, terutama sejak dia memindahkan debat ke luar definisi-definisi sempit politik identitas, juga oposisioposisi dasar penindasan dan perlawanan. Dengan menolak mengakui bahwa dunia dapat dengan mudah dibagi antara orang homoseksual dan orang heteroseksual, Sedgwick berusaha menegaskan : a. Bahwa pengetahuan adalah konsekuensi-konsekuensi dari tubuh. b. Bahwa seks bukanlah inti atau fondasi subjek manusia. c. Bahwa identitas-identitas seksual pada dasarnya bersifat sementara, mudah berubah, terpecah-pecah. d. Bahwa ketidakstabilan oposisi biner hetero dan homoseksual akan terus membuka kemungkinan-kemungkinan untuk ditemukannya kembali identitas, hastar, praktik, komunitas, pengetahuan, dan struktur sosial.26 Teori karya Judith Butler ini tidak hanya berpengaruh dalam teori yang menampilkan identitas, tetapi dalam ranah kajian yang dikenal juga sebagai teori queer. Secara historis, istilah queer mempunyai beragam makna. Istilah ini mengacu pada sesuatu yang ganjil atau tidak biasa, seperti pada kata querky yang ditujukan pada karakteristik yang negatif, seperti kegilaan, yang ada di luar norma-norma 26 George Ritzer & Barry Smart, Teori Sosial, Jakarta : Nusa Media, 2011 : 872-874 47 sosial, seperti dalam kaliamat “that’s a bit queer or unsusual”, dan keduanya digunakan baik secara menyanjung atau memaki yang ditujukan kepada pelaku homoseksual.27 Teori queer berusaha “membuat ganjil, memusingkan, meniadakan, membetalkan, melebih-lebihkan pengetahuan, dan institusi yang heternormative. Teori queer mencoba “mengganggu” kategori identitas dan seksualitas dengan menunjukkannya supaya menjadi konstruksi sosial yang diciptakan dalam wacana daripada kategori yang biologis dan esensial.28 2.4 Homoseksualitas Istilah homoseks merupakan istilah yang diciptakan (pada tahun 1869) untuk mengacu pada psikoseksual yang berkonotasi klinis. Sifat atau orang yang homoseks dimanifestasikan dari gaya hidup tertentu (seperti jalan-jalan ke alunalun, berkumpul di taman, atau tempat eksklusif pilihan para kaum homoseks).29 Homoseksualitas adalah kesenangan yang terus menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau prilaku seksual dengan sesama jenis. Homoseksualitas 27 Stephen W Littlejohn, Teori Komunikasi Theories of Human Communication, USA : WadsworthPublishing Company, 1996 :137 28 Ibid. 138 29 Dede Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu, Yogyakarta : Galang Press, 2001:7 48 juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama. Dengan demikian istilah homoseks dapat melibatkan laki-laki maupun perempuan yang menyukai sesama jenis.Namun demikian pada kenyataannya kaum homoseks biasanya lebih mengacu pada kaum laki-laki yang menyukai sesma jenis dan jika hal itu terjadi pada wanita maka disebut Sebagai lesbi/lesbian.Gay sendiri adalah kata yang lazim digunakan untuk homoseksual laki-laki. 2.4.1 Pengertian Homoseksual Seorang dokter Hongaria bernama Karoly Maria Benkert yang telah mengubah namanya menjadi Kertbeny pada tahun 1848 pertama kalinya menemukan istilah “homoseksual” pada tahun 1869. Sebagaimana yang dikutip oleh Colin Spencer dalam buku “Histoire de I’homosexualité: De I’antiquité à nos jours” dengan judul buku edisi bahasa Indonesianya, “Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno hingga Sekarang”, mengatakan bahwa: “Selain hasrat laki-laki dan perempuan yang normal, alam dengan segenap kekuasaannya telah memberi beberapa orang lelaki dan perempuan-perempuan tertentu suatu hasrat homoseksual, dengan demikian menempatkan mereka dalam ‘perbudakan’ seksual yang secara fisik dan psikis menjadikan mereka tidak berdaya, meskipun besar keinginan untuk ereksi secara normal. Hasrat yang lebih dahulu (sebelumnya) menciptakan rasa ngeri yang nyata dari jenis seks 49 lawannya.”30 Istilah ini sedikit demi sedikit menjadi istilah akademis, meskipun naskah dari Kertbeny mulai samar-samar menghilang dari ingatan hingga akhirnya seorang dokter dari Jerman bernama Magnus Hirschfeld mengeluarkannya lagi pada tahun 1905. Istilah ini dalam bahasa Inggris pertama kali dipergunakan dalam sebuah surat dari J.A. Symonds pada tahun 1892. Kemunculannya pertama kali dalam terjemahan oleh Charles Gilbert Chaddock tentang “Psychopathia Sexualis” dari Krafft-Ebing kurang lebih pada abad yang sama. Namun Hirschfeld dan Havelock Elis yang memperkenalkan istilah tersebut pada publik yang lebih luas. Orang sebenarnya pernah menemukan istilah-istilah lain mengenai homoseksual yang ternyata tidak pernah dipergunakan.Karl Heinrich Ulrichs (1825-1895) adalah salah satu perintis pertama yang berpegang teguh demi keadilan dan kemanusiaan terhadap para penyuka sesama jenis. Antara tahun 1865 dan 1875 ia mempublikasikan banyak naskah dibawah perlindungan undang-undang karena ia tinggal di Hanover. Ia menciptakan istilah urning yang berasal dari alusi terhadap Uranus dalam “Banquet” karya Plato. Ia mendukung bahwa naluri yang disebut abnormal itu berasal dari pembawaan, dengan demikian memang alamiah. Pada awal pertumbuhannya semua embrio adalah identik dan selanjutnya terbagi menjadi 30 Colin Spencer,Sejarah Homoseksual Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004: 346 50 tiga kategori yaitu, jantan, betina dan urning. Kelompok terakhir ini memiliki karakter fisik salah satu gender beserta satu insting seksual yang tidak terkait dengan organ-organ seksual. Menurut Jane Pavanel dalam bukunya yang berjudul “The Sex Book” sebagaimana yang dikutip oleh Liana Mutiawati mengatakan bahwa, ”Homoseksual adalah seseorang yang merasa tertarik secara romantis maupun seksual terhadap sesama jenisnya.”31 Istilah homoseksual dapat diterapkan pada laki-laki maupun perempuan, karena istilah ini secara umum ditujukan untuk kesamaan jenis kelamin. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Atkinson, Smith dan Bern (2000: 59) yang dikutip oleh Mutiawati mengatakan bahwa, “Individu dianggap homoseksual apabila mereka secara seksual tertarik terutama kepada individu berjenis kelamin sama.”32 Menurut Coville, Costello, dan Rouke (1969: 482) sebagaimana yang dikutip oleh Mutiawati mengatakan bahwa, “Homosexual behavior is sexual activity with a partner of the same sex (Perilaku homoseksual adalah melakukan kegiatan seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama).”33 Sedangkan sebagaimana 31 yang untuk definisi homoseksualitas dikutip oleh Liana Mutiawati Ullman dan Krasner mengatakan bahwa, Liana Mutiawati,Komunikasi Verbal dan Non Verbal. Bandung: Universitas Islam Bandung, 2004: 71 32 Ibid. 35 33 Ibid. 36 51 “Homosexuality refers to sexual desire or behavior directed towerd a member of one’s own sex (Homoseksualitas berkenaan dengan hasrat atau perilaku seksual dengan jenis kelamin yang sama).”34 Disini dapat dilihat bahwa homoseksual berbeda dengan homoseksualitas dalam pengartiannya.Perilaku homoseksual merupakan kegiatan seksual dengan sesama jenisnya yang ditujukan kepada individu yang memiliki ketertarikan secara perasaan ataupun secara erotis dengan melakukan hubungan fisik ataupun tanpa melakukan hubungan fisik.Pendeknya, bahwa homoseksual bukan berarti homoseksualitas tetapi homoseksualitas merupakan kebalikannya. Group for Advancement of Psychiatry (GAP) menyebutkan bahwa pengertian homoseksualitas dan perilaku homoseksual dalam cakupan yang berbeda. Sebagaimana yang tercantum dalam karya Ullman dan Krasner, yang kemudian dikutip oleh Liana Mutiawati, mengatakan bahwa: “Homosexuality and homosexual behavior are not synonymous. The term homosexuality is ordinarily used to indicate persistent emotional and physical attraction to members of the same sex. As such, it is an abnormal personality development. Homosexual behavior, on the other hand, must be considered in the light of circumstances in which it occurs. For example an individual who is isolated from member of the opposite sex over a long period of time, or is under the influence of alcohol, or one is prompted by curiosity or by desire for a ‘thrill’, may participate in a single or isolated homosexual act which may never be repeated (Homoseksualitas dan perilaku homoseksual tidaklah sama. Istilah homoseksualitas biasanya digunakan untuk menyatakan kegigihan secara emosional dan ketertarikan fisik terhadap sesama jenis.Dengan demikian hal ini merupakan suatu perkembangan kepribadian yang tidak normal.Perilaku homoseksual, dengan kata lain, harus dipertimbangkan secara jelas darimana asalnya. Sebagai contoh 34 Ibid 37 52 orang yang terasing dari anggota lawan jenisnya dalam waktu yang lama, atau dalam pengaruh alkohol, atau seseorang yang terdorong karena rasa ingin tahu atau oleh hasrat untuk sebuah ‘sensasi’, mungkin akan memilih untuk membujang atau yang berpura-pura sebagai homoseksual mungkin tidak akan melakukan perbuatan 35 homoseksualnya lagi).” Homoseksualitas juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama.36 Dengan demikian istilah homoseks dapat melibatkan laki-laki maupun perempuan yang menyukai sesama jenis.Namun demikan pada kenyataannya kaum homoseks biasanya lebih mengacu pada kaum laki-laki yang menyukai sesama jenis dan jika hal itu terjadi pada wanita maka disebut sebagai lesbi/lesbian.37 Individu yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenisnya tanpa melibatkan perasaan dan melakukannya dengan tendensi lain diluar hasrat maka termasuk kedalam perilaku homoseksual. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal yang mendukungnya, misalnya melakukan hubungan intim dengan sesama jenis karena pengaruh minuman keras.Individu yang melakukan hubungan dengan sesama jenisnya karena memiliki perasaan-perasaan romantis dan hasrat erotis, maka digolongkan kedalam homoseksualitas.Jadi perilaku 35 Ibid 38 Dede Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu, Yogyakarta : Galang Press, 2001:6 37 Ibid 7 36 53 homoseksualitas mencakup kedalam perilaku homoseksual yang juga melibatkan hasrat romantis dan erotis kedalam bagiannya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan sedikitnya mengenai keterbukaan akan homoseksual telah membawa berbagai penafsiran baru mengenai pandangan homoseksual. Definisi dan penjelasan mengenai homoseksualitas dan homoseksual pun semakin menyempit.Terjadi penyamarataan dan kesamaan penjelasan mengenai homoseksual dan homoseksualitas yang tadinya memiliki sedikit perbedaan dalam kasus dan praktek homoseksnya.Homoseksual lebih mengarah pada penjelasan homoseks secara umum dan homoseksualitas mengacu pada orang-orang yang terlibat secara jelas dalam perilaku homoseks. 2.4.2 Homoseksual Menurut Psikologi Perilaku homoseksual erat kaitannya dengan bidang kajian ilmu psikologi, karena hasrat-hasrat homoseksual merupakan kajian mental dan pembawaan yang bersifat tidak nyata (abstrak) secara fisik tetapi memiliki kejelasan dalam mental mengenai hasrat dan ketertarikan secara psikis.Bidang kajian psikologi ini membantu penanganan homoseksual dalam hal penjelasan dan penanganannya.Sifat kejiwaan homoseksual dapat terungkap dengan pendekatan secara psikologis yang memungkinkannya untuk mengerti lebih dalam lagi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang laki-laki menjadi homoseksual, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartini Kartono dalam buku 54 “Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual”,38 yakni: 1. Faktor herediter, yaitu berupa ketidakseimbangan hormon-hormon. 2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagiperkembangan kematangan seksual yang normal. 3. Seseorang yang selalu mencari kepuasan relasi homoseks karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang mengairahkan pada masa remaja. 4. Seorang anak laki-laki pernah mengalami traumatis dengan ibunya, sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita, lalu muncul dorongan homoseks yang menjadi menetap. Homoseksual dapat timbul secara independent dalam diri seseorang secara biologis dan alamiah, yaitu dengan adanya ketidakseimbangan hormonal dari setiap individu. Apabila ditilik dari alasan ini, setiap orang memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi seorang homoseksual. Faktor ini kemudian berkembang dengan keadaan sosial yang tidak baik dan mendukung terhadap perkembangan mental homoseksual yang semakin berkembang.Faktor psikologis juga memiliki andil yang besar terhadap pengaruh homoseksual seseorang seperti halnya pengalaman traumatis atau pengalaman homoseksual sebelumnya. Mindset masyarakat yang menjatuhkan “hukuman” secara sepihak terhadap homoseksualitas sebagai penyakit “kotor”, tidak bermoral, aib dan 38 Kartono, K. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju.2006: 37 55 abnormalitas seksual yang sepertinya telah menyudutkan kaum homoseks pada posisi sulit dalam masyarakat. Semua hal yang berada diluar jalur keharusan yang normal dimasyarakat, dianalogikan sebagai suatu penyimpangan yang abnormal.Stigma ini seakan mendarah daging sebagai warisan ortodoks yang berada dalam tatanan sosial yang salah, bahkan diwariskan sebagai doktrin melalui pola asuh anak dan lain-lain. Beberapa ahli psikologi menyimpulkan bahwa homoseksual bukanlah merupakan perbuatan yang menyimpang, penyakit ataupun hal yang memalukan secara psikologis. Hal ini dikemukakan oleh Havelock Ellis (1901) yang dikutip oleh Robinson (1976) yang menyatakan bahwa: “Homosexuality is born and there fore not immoral, that was not disease and that many homosexual made outstanding contributions to society (Homoseksualitas adalah pembawaan sejak lahir oleh karena itu bukan merupakan perbuatan tidak bermoral, bukan merupakan penyakit dan banyak homoseksual yang memberikan kontribusi yang luar biasa kepada masyarakat).” 39 Homoseksualitas dapat terjadi kepada siapa saja dengan kemungkinan yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa homoseksualitas dapat terjadi dan dirasakan oleh berbagai kalangan tanpa melihat status, jabatan, pendidikan, lingkungan, ras, agama atau budaya sekalipun sebagai pembedanya. Berbagai kemungkinan akan homoseksual dapat terjadi, karena pada dasarnya manusia memang memiliki dua sisi seksual yang memungkinkan homoseksualitas terjadi dalam diri masing-masing individu. 39 Homoseksual.University of California Davis [online]. Diakses pada tanggal 18 september 2012 dari http://psychology.ucdavis.edu/rainbow, California, 2004. 56 Perempuan memiliki sisi feminin dan maskulin dengan perbandingan sisi feminin yang jauh lebih besar, begitu juga dengan pria yang memiliki sisi maskulin dan feminin dengan perbandingan maskulinitas yang jauh lebih besar.Keadaan dapat berbanding terbalik oleh berbagai macam faktor ekstern dan intern sehingga dapat berubah termasuk orientasi seks.Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadikan seseorang mengalami gradasi orientasi seks yang berpeluang terhadap adanya homoseksualitas. Hal ini sejalan dengan Sigmund Freud yang mengatakan bahwa: “Human being were innately bisexual, and they become heterosexual or homosexual as result of their experience with parents and others(Manusia secara lahiriah merupakan biseksual, dan kemudian menjadi heteroseksual atau homoseksual sebagai hasil dari pengalamannya dengan orang tua mereka dan hal pendukung lainnya).”40 Pernyataan Sigmund Freud ini, memberikan penjelasan bahwa setiap orang dilahirkan dengan kecenderungan biseksual yang setara dalam diri masingmasing individu yang kemudian akan berkembang seiring dengan berbagai pengadopsian pola pikir dan pola hidup. Perkembangan seksual menjadi heteroseksual ataupun homoseksual kedepannya didukung oleh berbagai faktor dominan secara intern dan ekstern. Pengalaman dan pola didikan yang didapat dari orang tua menjadi faktor penentu akan perkembangan seksual individu, maka dapat dimengerti bahwa banyak faktor lain yang menyeret orang terhadap 40 Homoseksual.University of California Davis [online]. Diakses pada tanggal 18 september 2012 dari http://psychology.ucdavis.edu/rainbow, California, 2004.. 57 perilaku homoseksual. Telah dijelaskan bahwa menjadi homoseksual merupakan pilihan pribadi yang berimbas pada konsekuensi yang akan diterima oleh masing-masing individu. Dilihat dari berbagai pernyataan dan studi yang dilakukan oleh para ahli, menjadi homoseksual tidaklah merugikan orang-orang sekitar.Homoseksual bukanlah kejahatan nyata yang dapat merusak kondusifitas sosial secara langsung. Hal ini sejalan dengan Sigmund Freud yang mengungkapkan bahwa: “Homosexuality is assurelly no advantage, but it is nothing to be ashamed, no vice, no degradation, it cannot be classified as an illness. We consider it to be a variation of sexual function produced by a certain arrest of sexual development (Homoseksualitas secara jelas tidak memiliki keuntungan, tetapi bukan merupakan sesuatu yang memalukan, bukan suatu kejahatan, bukan merupakan suatu penurunan martabat, hal ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit. Kita menganggapnya sebagai sebuah variasi fungsi seksual yang dihasilkan dari perkembangan seksual seseorang).”41 Pendapat Ellis dan Freud ini dengan yakin mendukung tentang adanya homoseksual sebagai pembawaan lahir yang seharusnya dapat dimengerti dengan baik oleh masyarakat.Individu yang merasakan sifat homoseksual dalam dirinya seharusnya tidak merasakannya sebagai suatu penyakit yang memalukan atau penurunan martabat bahkan aib sekalipun.Penjelasan mengenai sifat homoseksual yang terjadi pada banyak orang dengan faktor yang berbeda seharusnya dijadikan alasan dari individu yang merasakan sifat homoseks untuk memahaminya sebagai suatu perbedaan fungsi seksual semata walaupun sosialitas tetap sulit untuk dapat 41 Homoseksual.University of California Davis [online]. Diakses pada tanggal 18 september 2012 dari http://psychology.ucdavis.edu/rainbow, California, 2004. 58 memahaminya. 2.4.3 Klasifikasi Homoseksual Homoseksual merupakan hal yang kompleks dan menyangkut banyak aspek pendukung lainnya.Homoseksual tidak berasal dari satu segi kemungkinan, karena banyak faktor pendukung dan berbagai macam latar belakang sebagai suspectnya. Para peneliti seperti Field dan Mac Culloch dalam laporannya tahun 1971, yang dikutip oleh Ary R.M membagi homoseksual dalam dua bagian, yaitu: 1. Homoseksual Primer, yaitu individu yang sama sekali tidak mempunyai minat kepada lawan jenisnya setelah mengalami masa kedewasaan. 2. Homoseksual Sekunder, yaitu individu yang pernah memiliki minat, pengalaman, serta sejarah seks heteroseksual dengan lawan jenisnya42 Homoseksual primer diartikan sebagai orang yang murni homoseksual, ia tidak pernah merasa tertarik kepada lawan jenisnya. Homoseksual primer merasa hanya kepada sesama jenisnya saja bisa merasa tertarik secara romantisme ataupun seksual, homoseksual ini biasanya merasa bahwa perasaan homoseksualnya ada semenjak dia kecil bahkan semenjak dia lahir.Homoseksual sekunder dapat diartikan sebagai orang yang pernah menaruh minat dan tertarik kepada lawan jenis tetapi merasa bahwa faktor homoseksualnya lebih dominan dari pada heteroseksualnya karena berbagai hal. 42 Ary R.M. Gay, Dunia GAnjil Kaum Homofil. Jakarta: Grafiti Pers, 1987: 9 59 Homoseksual ini dapat dikatakan Biseksual karena juga memiliki ketertarikan kepada lawan jenis selain kepada sesama jenisnya walaupun dengan persentase yang kecil dan kian tergradasi.Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi homoeksual sekunder, misalnya pernah mengalami kegiatan homoseksual dan merasa lebih nyaman, keadaan yang cenderung memaksanya untuk melakukan perbuatan homoseksual, merasa hilag hasrat terhadap lawan jenis karena dikecewakan dan lain-lain. Tabel 2.1 Tabel Tingkatan Orientasi Seksual Skala Kinsey Orientasi Seksual Keterangan Heteroseksual eksklusif - Heteroseksual predominan Homoseksualnya cuma kadang-kadang Heteroseksual predominan Homoseksualnya lebih jarang-jarang Heteroseksual dan homoseksual Seimbang (biseksual) Heteroseksualnya lebih dari kadang- Homoseksual predominan kadang Homoseksual predominan Heteroseksualnya cuma kadang-kadang Homoseksual eksklusif - Sumber: www.chem-is-try.org, 2008 Ullman dan Krasner mengemukakan yang mengacu kepada Kinsey 60 mngenai tingkatan homoseksual yang dikutip oleh Liana Mutiawati,43 yaitu: 1. 0 = Entire heterosexual experience (Sepenuhnya heteroseksual) Skala individu 0 yaitu individu-individu yang mengadakan kontak fisik yang menyebabkan rangsangan erotik atau orgasme dan tidak memberi respon psikis kepada individu-individu dan seks mereka sendiri.Kontak sosioseksual dan respon khususnya dengan individu dari seks yang berlawanan. 2. 1 = Atleast some homosexual experience (setidaknya pernah mengalami pengalaman homoseksual) Skala 1 yaitu individu-individu yang mengadakan kontak homoseksual insidental yang meliputi respon fisik dan psikis insidental tanpa kontak fisik.Banyaknya penalaman sosioseksual dan reaksi mereka ditujukan kepada individu-individu dari seks yang berlawanan.pengalaman homoseksual demikian yang terjadi pada orang-orang ini mungkin hanya sekali atau dua kali, sekurang-kurangnya lebih jarang dibandingkan dengan jumlah pengalaman heteroseksualnya. Pengalaman homoseksual mereka tidak pernah diliputi reaksi psikis yang sama spesifiknya dengan stimuli heteroseksual. Terkadang reaksi homoseksual terlibat hanya diilhami oleh rasa ingin tahu, dipaksakan, atau dengan keadaan yang tidak lazim, seperti keadaan mabuk. 43 Liana Mutiawati, Komunikasi Verbal dan Non Verbal. Bandung: Universitas Islam Bandung, 2004: 483 61 3. 2 = More than incidental homosexual experience (lebih dari sekedar kebetulan dalam pengalaman homoseksual) Skala 2 yaitu individu-individu yang memiliki lebih dari pengalaman homoseksual insidental atau bila mereka memberi respon secara sedikit pasti kepada stimuli homoseksual.Pengalaman heteroseksual masih melebihi pengalaman homoseksualnya. 4. 3 = Homosexual as much or more than heterosexual (pengalaman homoseksualnya banyak atau lebih banyak dari pada heteroseksualnya) Skala 3 yaitu individu-individu yang memiliki pengalaman heteroseksual dan homoseksual yang sama. Pada umumnya menerima dan sama-sama menikmati kontak seksual dan tidak mempunyai pilihan kuat satu sama lain. 5. 4 = Mostly homosexual experience (kebanyakan pengalaman homoseksual) Skala 4 yaitu individu-individu yang mempunyai kegiatan lebih terbuka atau reaksi psikis terhadap homoseksual sementara masih mempertahankan kegiatan heteroseksualnya yang cukup atau memberi respon secara sedikit pasti terhadap stimuli heteroseksual. 6. 5 = Almost exclusive homosexual experience (Hampir termasuk kedalam homoseksual eksklusif) Skala 5 yaitu individu-individu yang hampir seluruhnya homoseksual 62 dalam kegiatan dan reaksi psikisnya. 7. 6 = Exclusively homosexual experience (Homoseksual Eksklusif) Skala 6 yaitu homoseksual eksklusif, baik dalam hubungan, pengalaman, dan reaksi psikis mereka. Berdasarkan skala Kinsey dapat diambil kesimpulan bahwa seksualitas manusia berada di tengah-tengah antara homoseksual dan heteroseksual. Apabila kekuatan heteroseksual lebih kuat maka ia menjadi seorang heteroseksual eksklusif. Dapat dimengerti bahwa sekali pun seseorang memiliki orientasi seksual dengan sesama jenisnya, ia juga mampu melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya. James C. Colleman dalam bukunya “Abnormal Psychology and modern life” yang dikutip oleh Mutiawati, mengkategorikan homoseksual menjadi lima bagian,44 yaitu: 1. “The Blatant homosexual. Is individual who fit the popular stereotype of the homosexual-the lisping, limp wristed, swishing caricature of femininity, in the case of the male. His lesbian counterpart, called a “dyke”, “stud”, or “butch”, flaunts her masculinity, even to the point of trying to look like a man. (Homoseksual Jelas. Individu ini terlihat seperti ciri-ciri orang yang diidentikan dengan homoseksual - cara bicaranya, gerak tangan yang gemulai, terlihat seperti gambaran dari feminitas yang dalam hal ini adalah laki-laki. Berbeda dengan lesbian “laki-lakinya”, mereka biasa disebut “dyke”, “stud”, atau “butch”, memperlihatkan sisi maskulinitasnya, yang secara langsung mencoba untuk terlihat layaknya laki-laki). “ 2. “The Desperate homosexual. The so called desperate homosexual are males who tend to haunt public toilets or steam bath, apparently driven to homosexual behavior but unable to face the strains of establishing and sustaining a serious 44 Liana Mutiawati, Komunikasi Verbal dan Non Verbal. Bandung: Universitas Islam Bandung, 2004: 91 63 homosexual relationship. (Homoseksual Nekat. Yang dipanggil homoseksual nekat adalah laki-laki yang mengawasi toilet umum dan sauna (tempat-tempat umum), secara jelas memperlihatkan ketertarikan terhadap perilaku homoseksual tetapi tidak mampu secara jelas dalam berpendirian dan sulit untuk mempertahankan hubungan homoseksual yang serius).” 3. “The Secret homosexual. Although members of this group range across all class and racial lines, they tend to come from the middle class and to hold position that they try to protect by concealing their homosexuality. Often they are married, wear wedding rings, and have wife and employers who never know about their double lives. They are extremely skilled at camouflage and at passing as stright. They generally prefer subdued clothes, and maintain a suitably conservative masculine appearance. (Homoseksual Tersembunyi. Meskipun bagian dari kelompok ini terdiri dari berbagai bagian kelas sosial dan ras, mereka biasanya berasal dari kalangan menengah dan untuk mempertahankan posisinya mereka berusaha untuk melindungi dengan menyembunyikan sifat homoseksualnya. Kerap kali mereka menikah, menggunakan cincin pernikahan, memiliki istri dan pekerjaan dan tidak ada yang mengetahui kehidupan gandanya. Mereka sangat terlatih dalam penyamarannya dan sekilas terlihat seperti laki-laki normal. Secara umum mereka menggunakan pakaian laki-laki dan berusaha untuk tetap terlihat maskulin).” 4. “The Situational homosexual. There are a variety of situations in which individuals commitment. Both males and females may engaged in homosexuality in prisons and other institutions, for example. (Homoseksual situasional. Banyak ragam situasi yang menunjukan komitmen individual. Menjadi laki-laki dan wanita yang mungkin saja sedang dipraktekan, sebagai contohnya oleh homoseksual dalam penjara dan situasi lainnya).” 5. “The Bisexual. Individuals who engage in both homosexual and heterosexual practice during a sustained period of their lives are considers bisexual. Many desperate homosexual would fit into this category, particularly those who are married. (Biseksual. Individu yang berada diantara praktek homoseksual dan heteroseksual selama masa hidupnya dengan jelas termasuk ke dalam biseksual. Banyak homoseksual yang merasa nyaman berada pada posisi ini, khususnya bagi mereka yang menikah).” 64 2.5 Fenomenologi dan Fenomena 2.5.1 Fenomenologi Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phainomai yang berarti “menampak”.Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Menurut Husserl, dengan fenomenologi kita dapat mempelajari bentuk-bentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri.45 Fenomenologi merupakan cara yang digunakan manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung.46 Stanley Deetz dalam buku Teori Komunikasi, mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi.yaitu: 1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman sadar. 2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu objek, bergantung pada makna objek bagi Anda. 3. Bahasa adalah “kendaraan makna” (vehicle meaning). Kita mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan menjelaskan dunia kita. 45 Kuswarno,Metode Penelitian Komunikasi, 2009: 10 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, USA : Wadsworth Publishing Company, 1996 : 57 46 65 Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Seperti yang disebutkan dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.47 Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.Salah satu tokoh fenomenologi yang menonjol adalah Alfred Schutz.Inti pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran.Schutz meletakan hakikat manusia dalam pengalaman subjektif, terutama ketika mengambil tindakan dan mengambil sikap terhadap dunia kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Schutz mengikuti pemikiran Husserl, yaitu proses pemahaman aktual kegiatan kita, dan pemberian makna terhadapnya, sehingga ter-refleksi dalam tingkah laku.48 Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Dramaturgis, Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Identitas Sosial, Teori Nilai. 47 Lexy Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005 : 9 Kuswarno,Metode Penelitian Komunikasi, 2009 : 18 48 66 2.5.2 Fenomena Fenomena adalah rangkaian peristiwa serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah atau lewat disiplin ilmu tertentu.Fenomena terjadi di semua tempat yang bisa diamati oleh semua.49 Fenomena berasal dari bahasa yunani phainomenon, “apa yang terlihat”, fenomena juga bisa berarti : 1. Gejala, misalkan gejala alam 2. Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra 3. Fakta, kenyataan 2.6 Teori Dramaturgis Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.50 Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan 49 Fenomena.Answers [online]. Diakses pada tanggal 18 september 2012 dari http://id.answers.yahoo.com 50 Stephen WLittlejohn, Theories of Human Communication, USA : Wadsworth Publishing Company, 1996:165 67 mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan.Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita.Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya : seoranggay senantiasa berpenampilan serta bersikap layaknya pria normal. Tetapi, saat bertemu dengan komunitasnya, sang gaybisa bersikap lebih 68 santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul gay/binan dengan temannya atau bersikap mesra/intim untuk melepaskan segala hasrat. Saat sang berada di depan publik, merupakan saat penampilan normalbaginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menjaga identitas dia sebagai seorang pria normal sehingga tidak dicurigai oleh masyarakat secara umum dan menghindari pelanggaran norma-norma yang berlaku. Oleh karenanya, perilaku sang gayjuga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh masyarakat/publik. Saat sang gay berada bersama komunitas gay nya, diabebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh sang gay adalah bagaimana sang gaytersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya. Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri.Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri.Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya.Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. 69 Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya. Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total.Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya: sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin 70 dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan. Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”.Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan.Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan. Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme.Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan.Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah).Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. 2.7 Teori Interaksionisme Simbolik Yang menarik dari perspektif ini adalah orang yang diidentifikasikan sebagai Bapak Teori Interaksionisme Simbolik, yaitu George Herbert Mead tak pernah menggunakan term ini.Bagaimanapun, usahanya telah mempengaruhi banyak sarjana yang menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan 71 pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial. Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran : Iowa dan Chicago. Meski mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran interaksionisme simbolik, kalangan pemikir Iowa banyak yang menganut tradisi epistemology dan metodologi post positivis.Sebaliknya aliran Chicago yang banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran Mead. Karya Mead yang paling terkenal berjudul Mind, Self, and Society (Mead:1934), menggaris bawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal pertama yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama, “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal-balik antara masyarakat, pengalaman individu, dan interaksi menjadi bahan bagi penelaahan dalam tradisi interaksionisme simbolik seperti ringkasan Holstein dan Gubrium berikut ini : “Teori interaksionisme simbolik berorientasipada prinsip bahwa orangorang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu 72 sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat, dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka”.51 Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Contohnya Mead berbicara tentang simbol signifikan (significant symbols) dengan makna yang sama dalam sebuah hal-hal atas dasar makna yang dimiliki oleh hal-hal tersebut. Kedua, makna itu berkaitan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan teman-temannya. Ketiga, makna ini diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang-orang tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia hadapi. Yang paling dasar dari interaksionisme simbolik adalah dua karakteristik yang sangat penting. Perilaku manusia berbeda dengan yang lain, bersifat “sosial” dan terdiri dari “tindakan”. Karena itu, manusia secara inheren adalah organisme yang aktif secara sosial yang proses penafsirannya, yakni kemampuan simbolisnya membuatnya menjadi makhluk yang unik.52 Sejauh ini Mead dan Blummer telah menjadi sumber-sumber utama bagi filsafat dasar dalam teori ini, yang melandasi model interaksional komunikasi 51 Elvinaro Ardianto, dan Bambang Q - Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2007:136 52 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 2004:241 73 manusia.Secara lebih khusus lagi, arah perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali dari pendekatan interaksional pada studi komunikasi manusia. Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses dalam komunikasi manusia. Barangkali implikasi yang paling penting dari perspektif interaksionisme simbolik bagi studi komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian, implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang dijalankan oleh peneliti.Daripada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, tidak bias, dan tidak tertarik atas fenomena empiris, peneltii interaksional menjalankan perannya sebagai seorang pengamat partisipan dalam melaksanakan penelitiannya.Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar dapat menemukan sudut pandang subjek penelitian. Perspektif interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik perhatian orang dalam pengertian bahwa ia berada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian sebagai “revolusi yang masih belum tuntas”, setiap penemuan penelitian secara relatif masih baru dan mengarah ke banyak arah baru. Penelitian yang kontemporer mencerminkan jiwa penelitian yang sesungguhnya, bahwa para peneliti tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pengukuhan atau 74 verifikasi hipotesis, akan tetapi lebih banyak berusaha menemukan bagaimana hipotesis itu seharusnya. Pada sisi yang lain, penelitian interaksionalis kurang memiliki arah atau fokus dalam upaya-upayanya. Para peneliti masih harus mengembangkan metodologi baru yang diperlukan bagi panduan interaksional/dialogis. Oleh karenanya para peneliti yang didorong paham interksionisme harus mengembangkan fokus bersama tentang variabel apa yang paling penting, konsep apa yang perlu dikembangkan atau dikaji, dan ke arah mana usaha mereka selayaknya diarahkan. 2.8 Teori Identitas Sosial Setiap orang membangun sbuah identitas sosial.Identitas sosial merupakan sebuah defenisi diri yang membantu seseorang mengkonseptualisasikan dan mengevaluasi dirinya sendiri. Dalam identitas sosial tercakup personal identitiy/atribut pribadi (nama,konsep diri) dan social identity, yaitu atribut yang dibaginya bersama orang lain (kelompok) seperti gender dan ras.53 Konsep diri (self concept) merupakan identitas diri seseorang yang terdiri dari keyakinan diri dan persepsi diri yang terorganisir sebagai sebuah skema kognitif.Skema kognitif merupakan struktur kognitif yang menggambarkan pengetahuan tentang konsep atau tipe stimulus termasuk atribut dan hubungan antar atribut tersebut. 53 Robert Barondan Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jakarta : Erlangga, 2003:25 75 Higgins (dalam Hogg dan Vaughn, 2002) merngatakan ada tiga tipe dari Self schema yakni actual self (bagaimana kita saat ini), ideal self (akan menjadi apa kita), dan ‘ought’self (bagaimana kita seharusnya). Menurut Baron dan byrne (2004), konsep diri seseorang pada saat tertentu (actual self) hanyalah konsep diri yang bekerja (working self concept). Mereka yang memiliki ideal self/kemungkinan self yang lebih banyak akan lebih mampu menyesuaikan diri dibandingkan dengan seseorang yang hanya memiliki satu kemungkinan self. Sedikides dan Skowronski (dalam Baron&Byrne,2005) menyatakan bahwa self berevolusi sebagai sebuah karakteristik adaptif yang dinamakan kesadaran diri (self awarness). Kesadaran diri memunculkan beberapa aspek yaitu: 1. Kesadaran diri subjektif (subjective self awarness), yang merupakan kemampuan organisma untuk membedakan dirinya dari lingkungan fisik dan sosialnya. 2. Kesadaran diri objektif (objective self awarness), yaitu kapasitas organisma untuk menjadi objek perhatiannya sendiri, kesadaran akankeadaan pikirannya dan mengetahui bahwa ia tahu dan mengingat bahwa ia ingat. 3. Kesadaran diri simbolik (symbolic self awarness), yaitu kemampuan untuk membentuk representasi kognitif diri yang abstrak melalui bahasa. Representasi ini pada gilirannya menciptakan kemungkinan bagi kita untuk berkomunikasi, menjalin hubungan, menentukan tujuan, mengevaluasi hasil, 76 membangun sikap yang berhubungan dengan diri dan membela diri terhadap komunikasi yang mengancam. Aspek kesadaran diri yang pertama dan kedua tidak hanya ditemukan pada manusia, tapi aspek ketiga hanya mampu dicapai oleh manusia. Karena self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang dan karena skema diri berkembang dengan sangat baik, maka hal itu akan mendukung kemampuan kita untuk bekerja lebih baik dalam memproses informasi yang relevan dengan diri daripada informasi lain. Fenomena ini dikenal dengan nama self reference effect, yaitu suatu efek dari perhatian dan memori yang terjadi karena pemrosesan kognitif terhadap informasi yang relevan terhadap diri lebih efisien daripada pemrosesan terhadap informasi jenis lain, contoh : nama keluarga, zodiak,. Efek self references mencakup dua hal, yaitu : 1. Pemprosesan elaboratif (elaborative processing). Kita lebih banyak menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kata-kata atau peristiwa yang relevan dengan diri kita sendiri. 2. Pemrosesan kategorisasi (categorical processing). Kita mengorganisasikan informasi yang relevan dengan diri kita dalam kategori yang telah ada. Sebagai lawan dari diri personal, diri sosial diartikan sebagai suatu identitas kolektif yang meliputi dua komponen yaitu : 1. Berasal dari hubungan interpersonal 77 2. Aspek-aspek identitas yang berasal dari keanggotaan pada kelompok yang lebih besar dan kurang pribadi seperti ras, budaya dan etnis. Sedikkides mengemukakan ada tiga kemungkinan motif dalam evaluasi diri : a. Self assesment (pengukuran diri) : untuk memperoleh pengetahuan yang akurat tentang diri sendiri. b. Self enchancement (peningkatan diri) : untuk mendapatkan informasi yang positif tentang diri mereka sendiri. c. Self verification (pembuktian diri) : untuk mengkonfirmasi ssesuatu yang sudah mereka ketahui tentang diri mereka sendiri. Self Esteem merupakan evaluasi terhadap diri sendiri.Sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang positif-negatif. Aspek lain dari dari fungsi self adalah : a. Self focussing (fokus diri) : perhatian yang diarahkan pada diri sendiri bukan sekelilingnya. b. External focussing (fokus eksternal) : perhatian diarahkan pada hal lain di luar diri. c. Self regulation : proses mengubah fokus diri dengan mengelola diri terhadap pikiran diri sendiri. d. Self monitoring : pengaturan tingkah laku seseorang dengan dasar situasi eksternal, seperti bagaimana seseorang bereaksi (self monitoring yang tinggi) 78 atau dengan dasar faktor eksternal, seperti keyakinan, sikap dan nilai (self monitoring yang rendah). e. Self efficacy : keyakinan seseorang akan kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan atau mengatasi sebuah hambatan. Markus dan Kityama membedakan individu dari budaya individual (misalnya di Eropa Barat, Amerika Serikat dan Australia) lebih memiliki independent self, sedangkan individu dari budaya kolektif (misalnya di Asia, Amerika Selatan dan Afrika) memiliki interdependent self.54 Tabel 2.2 Perbedaan antara Independent dengan Interdependent Self Independent Self Interdependent self Self Unik, otonomi, terpisah Selalu Definiton dari terhubungan konteks, dengan orang lain, tidak representasinya pada terlepas dari konteks sifat perasaan, pikiran sosial, merepresentasikan dan kemampuan internal 54 dan peran dan hubungan. Self Unitary stabil, Tidak stabil dan berubah- Structure konstan terhadap situasi ubah, berubah Baron, Robert dan Donn Byrne, Psikologi Sosial, Jakarta : Erlangga, 2003:27 sesuai 79 dan hubungan Self Unik dan Activities berperan situasi dan hubungan. ekspresif, Rasa memiliki, sesuai menyesuaikan diri, keyakinan dan perasaan berperan sesuai norma internal, asertif, dan mengutamakan tujuan tidak langsung dan tidak pribadi menunjukkan perbedaannya orang lain dan berani lebih dengan tujuan peran kelompok, berkonfrontasi, mengutamakan kelompok dan harmonisasi kelompok. (Markus dan Kityama dalam Hogg dan Vaughan, 2002) Tanpa sistem penyimbolan yang sama, aksi yang terkoordinasi adalah tidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang lain yang significant (significant others), yaitu “orang yang berpengaruh dalam kehidupan anda”, lalu orang lain yang digeneralisasikan (generalized others) yakni konsep anda tentang bagaimana orang lain merasakan anda, dan “tata cara yang dipakai” (role taking) yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk menyediakan sebuah gambaran kompleks dari 80 pengaruh persepsi individu dan kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat. Oleh karenanya teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada defenisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan defenisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yangcocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh defenisi bersama yang sedemikian itu, dan dikonstruksikan melalui proses intera