1 I. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, banyak dikonsumsi karena rasanya lezat. Komoditas kerapu diekspor dalam keadaan hidup ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan Amerika Serikat (Saptanto dkk., 2006). Budidaya ikan kerapu di Indonesia kini menjadi salah satu usaha yang menjanjikan omzet tinggi, karena pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi secara masal. Beberapa spesies ikan kerapu yang banyak dibudidayakan di Indonesia saat ini antara lain kerapu macan, kerapu tikus, kerapu kertang dan kerapu sunu (Kitamura et al., 2007). Salah satu kendala dan menjadi pembatas dalam akuakultur adalah adanya serangan penyakit. Penyakit pada ikan merupakan suatu keadaan abnormal yang ditandai dengan mempertahankan penurunan fungsi kemampuan fisiologis normal ikan secara (Irianto, gradual 2005). dalam Berdasarkan kemampuan transmisinya, penyakit ikan terbagi dua yaitu infeksius yang menular dan non infeksius yang tidak menular. Penyakit infeksius pada ikan terjadi sebagai hasil kompilasi tiga faktor utama yaitu sistem imun ikan (inang), paparan lingkungan dan patogen. Patogen penyebab penyakit infeksi pada ikan yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Penyakit infeksi oleh virus merupakan penyebab utama yang sangat merugikan bagi usaha budidaya perikanan karena dapat menyebabkan kematian dengan jumlah besar (masal) dan mendadak. 2 Megalocytivirus termasuk famili Iridoviridae yang banyak menyerang organisme perairan baik ikan maupun amphibi. Menurut Johnny et al. (2005) serangan virus ini telah menyebabkan mortalitas pada benih ikan kerapu lumpur hingga mencapai 100%. Laporan Sung et al. (2010) infeksi Megalocytvirus pada Ornamental fish menyebabkan kematian antara 30 sampai 100%. Lebih dari 30 spesies ikan laut yang dibudidayakan di berbagai negara dilaporkan telah terinfeksi Megalocytivirus (Kurita and Nakajima, 2012). Di Indonesia, infeksi Megalocytivirus telah terdeteksi pada jenis ikan air tawar dan air laut (Abidin, 2013). Jenis ikan air tawar di Indonesia yang dilaporkan terinfeksi adalah ikan gurami hias, sedangkan pada ikan air laut yaitu ikan kerapu bebek, kerapu lumpur, kerapu macan, serta ikan capungan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan daerah penyebaran Megalocytivirus di Indonesia saat ini adalah Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta dan Bali. Gejala klinis pada ikan kerapu yang terinfeksi Megalocytivirus terlihat dari perubahan tingkah lakunya yaitu nafsu makan berkurang, berenangnya lemah, dan malas bergerak. Tubuh ikan kerapu yang terinfeksi, terlihat lebih gelap baik pada permukaan maupun pada sirip dan bagian ekor (Mahardika et al., 2004). Secara patologi anatomi ikan yang terinfeksi Megalocytivirus menunjukkan gejala anemia, radang dan pembengkakan pada limpa dan ginjal, pada sel-sel yang diserang terbentuk inclusion body-bearing cell (IBC) serta mengalami nekrosis jaringan (Mahardika et al., 2008). 3 Serangan Megalocytivirus pada ikan kerapu belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk mengatasinya. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan Megalocytivirus sebagai salah satu kelompok Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) golongan I (Anonim, 2013). Oleh karena itu deteksi dini untuk mengetahui adanya infeksi Megalocytivirus pada komoditas ikan kerapu sangat diperlukan untuk mengurangi dampak kerugian yang disebabkan karena serangan Megalocytivirus. Ditambah lagi adanya potensi penularan virus ini, sehingga pemeriksaan dan pengawasan kesehatan ikan perlu dilakukan untuk mencegah meluasnya penyebaran. Metode terkini yang umum digunakan untuk deteksi Megalocytivirus adalah dengan Polimerase Chain Reaction (PCR) (Oshima et al., 1996; Kurita et al., 1998). Namun teknik ini hanya dapat dilakukan di laboratorium yang mempunyai fasilitas memadai dengan perangkat yang cukup mahal sehingga penerapannya terbatas (Tampubolon, 2012). Metode deteksi yang dapat diaplikasikan dengan sederhana, cepat, ekonomis dan memberikan hasil yang spesifik serta sensitif sangat dibutuhkan. Metode Loop-mediated Isothermal Amplification (LAMP) of DNA dapat dipertimbangkan menjadi pilihan untuk kebutuhan tersebut. LAMP dikembangkan oleh Notomi et al. (2000) dengan memanfaatkan aktivitas strand displacement (pemisahan untai) pada kondisi isothermal oleh enzim DNA polymerase. Metode LAMP dalam prakteknya menggunakan peralatan sederhana yaitu water bath, memiliki kelebihan spesifitas dan sensitifitas yang tinggi (Notomi et al., 2000), aplikasi lapangan lebih praktis, dimana hasilnya dapat diamati langsung dengan mata telanjang (Mao et al., 2008). 4 Teknik LAMP telah banyak dikembangkan untuk tujuan deteksi berbagai patogen yang banyak merugikan pada budidaya perikanan, yaitu virus (Sun et al., 2006), bakteri (Wei et al., 2008), parasit (Iseki et al., 2010) dan Fungi (Niessen and Vogel, 2010). Hasil penelitian dengan metode LAMP telah berhasil dilakukan untuk deteksi Megalocytivirus isolat Jepang pada ikan Red Sea Bream (Pagrus major) dengan target PstI-restriction DNA fragment (Caipang et al., 2004), isolat China pada ikan Turbot (Scophthalmus maximus) dengan target MspI-restriction DNA fragment (Zhang et al., 2009), sedangkan pengembangan teknik LAMP untuk deteksi Megalocytivirus pada ikan kerapu dari isolat Indonesia dengan target gen Major Capsid Protein (MCP) belum pernah dilaporkan. 1.2 Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah teknik LAMP dapat digunakan untuk deteksi Megalocytivirus pada target gen MCP isolat Indonesia? 2. Apakah teknik LAMP lebih sensitif dibandingkan dengan teknik PCR dalam deteksi Megalocytivirus? 3. Apakah teknik LAMP dapat digunakan untuk deteksi Megalocytivirus pada sampel lapangan? 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode LAMP dapat digunakan untuk deteksi Megalocytivirus isolat Indonesia pada target gen MCP. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum reaksi LAMP, mengetahui sensitifitas metode LAMP dibandingkan dengan PCR serta untuk 5 mengetahui metode LAMP dapat diaplikasikan untuk deteksi Megalocytivirus pada ikan kerapu dari sampel lapangan. 1.4 Manfaat Hasil pengembangan metode LAMP yang dilakukan diharapkan dapat digunakan sebagai metode deteksi yang cepat, mudah diaplikasikan, ekonomis serta mempunyai spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi khususnya untuk Megalocytivirus pada ikan kerapu. Penelitian ini sangat berguna untuk diagnosis dalam upaya pencegahan penyebaran hama dan penyakit ikan (HPI) khususnya golongan HPI karantina (HPIK). 1.5 Keterbaruan Penelitian Keterbaruan penelitian ini terdapat pada sekuen DNA target deteksi, jenis ikan serta asal isolat Megalocytivirus yang digunakan. Telah diketahui bahwa Megalocytivirus terbagi dalam tiga klaster yakni Infectious Spleen and Kidney Necrosis Virus (ISKNV), Turbot Reddish Body Iridovirus (TRBIV) dan Red Sea Bream Iridovirus (RSIV). Hasil penelusuran menunjukkan bahwa metode LAMP telah berhasil dilakukan untuk deteksi Megalocytivirus kluster RSIV isolat asal Jepang pada ikan Red Sea Bream dengan target PstI-restriction DNA fragment (Caipang et al., 2004), juga untuk deteksi Megalocytivirus kluster TRBIV isolat dari China pada ikan Turbot dengan target MspI-restriction DNA fragment (Zhang et al., 2009). Sedangkan deteksi Megalocytivirus dengan teknik LAMP isolat dari Indonesia pada ikan kerapu dengan target gen MCP sejauh ini belum pernah ditemukan publikasinya.