Strategi Menghadapi Globalisasi

advertisement
Strategi Menghadapi Globalisasi
"I have but one lamp by which my feet are guided, and this is the lamp
of experience. I know no way of judging the future, but by the past"
(Edward Gibbon).
Januari 2007, the Development, Concept and Doctrine Centre, sebuah
direktorat jenderal di bawah Kementerian Pertahanan Inggris merilis
laporan Global Strategic Trends, 2007-2036.
Dokumen setebal 90 halaman itu merupakan analisis strategis terhadap
tantangan yang bakal dihadapi 30 tahun mendatang, yakni perubahan
iklim, globalisasi, dan ketimpangan global.
Bagaimanapun, globalisasi telah membawa perubahan kehidupan. Ia
menyita perhatian negara maju yang berupaya memahami dan
mengantisipasi perubahan global. Inggris, misalnya, menyadari,
perubahan iklim dan pemanasan global seiring berakhirnya the golden
age of cheap energy, disusul meningkatnya kerusakan alam di planet Bumi.
Globalisasi ekonomi mewartakan brutalnya hukum permintaan dan
penawaran (baca: pasar bebas), menciptakan ketergantungan,
kontradiksi, dan konflik baru. Meluasnya ketimpangan global ditengarai
bakal menyuburkan perlawanan kelompok antikapitalisme global.
Jika Inggris sibuk dengan konstelasi global, bagaimana bangsa
Indonesia membaca dan menyiasati tren perubahan global pada masa
depan? Adakah kebijakan yang dirancang dalam bentuk blue print atau
paper policy untuk menghadapinya?
Indeks globalisasi
Tiap negara memiliki strategi dalam menghadapi globalisasi sehingga
dampak integrasi dan globalisasi pun beragam. Posisi sebuah negara
bisa diketahui dalam indeks globalisasi yang diukur dengan beberapa
indikator, seperti konektivitas global, integrasi, dan ketergantungan
pada ruang ekonomi, sosial, teknologi, budaya, politik, dan ekologi.
Dalam indeks globalisasi tahunan yang dikeluarkan AT Kearney/Foreign
Policy 2003-2006, posisi Indonesia tidak berubah, yakni peringkat ke-3
dari belakang (least globalized country). Indonesia menduduki urutan
60 dari 62 negara. Peringkat atas (most globalized country) ditempati
negara maju, seperti Singapura, Swiss, Denmark, Kanada, AS, Australia,
dan Inggris. Indeks ini diukur melalui indikator ekonomi, politik,
teknologi, dan personalitas. Dalam integrasi ekonomi, Indonesia pada
urutan ke-52, kontak personal ke-59, koneksitas teknologi ke-51, dan
kesepakatan politik ke-50.
Tak jauh beda dengan indeks AT Kearney, indeks globalisasi KOF juga
mengukur dimensi ekonomi, sosial, dan politik globalisasi. Hanya saja,
KOF mengukur indeks globalisasi dengan jumlah negara lebih banyak dan
dalam kurun waktu lebih lama.
Dalam daftar indeks globalisasi KOF 2007, posisi Indonesia pada urutan
78 dari 122 negara. Peringkat globalisasi ini didasarkan pada data
tahun 1970 hingga 2004 dengan 25 variabel.
Wajah globalisasi ekonomi memang lebih dominan dibandingkan dengan
dimensi lain karena dampaknya nyata dan signifikan.
Strategi nasional
Globalisasi yang lari tunggang langgang membuat negara berkembang
kerepotan. Globalisasi sejatinya menempatkan Indonesia dalam kompetisi
yang tidak pada levelnya. Ibarat Mike Tyson melawan Elly Pical atau
Manchester United melawan Persikabo atau ExxonMobil berkompetisi
dengan penambang liar. Pada saat yang sama Indonesia masih menghadapi
masalah struktural yang tak kunjung usai, seperti kepastian hukum,
separatisme, relasi agama dan negara dan lain.
Celakanya, hingga kini Indonesia tidak memiliki visi dalam menghadapi
globalisasi. Ia hanya dilihat selayang pandang, belum pernah diurai
bagaimana peluang dan tantangannya. Belum ada dokumen resmi yang
dikeluarkan pemerintah sebagai acuan dalam menghadapi era globalisasi.
Tidak ada analisis dan uraian memadai dalam rencana pembangunan
(RPJM/RPJP) yang membahas globalisasi meski hal itu merupakan
satu-satunya panduan bagi pemerintah dan masyarakat. Jadi, kepentingan
nasional harus dirumuskan kembali berupa strategi nasional Indonesia
di tengah gejolak globalisasi dan regionalisasi.
Indonesia harus memiliki posisi ekonomi politik nasional yang jelas.
Globalisasi juga harus dilihat sebagai peluang bagi negara berkembang,
seperti dilakukan China yang memanfaatkan international aggreement
untuk kepentingan ekonomi domestik.
Taiwan memiliki visi dan policy yang konsisten sehingga dapat
memanfaatkan mengambil peluang dari globalisasi dengan membangun daya
saing ekonomi internasional (Berger dan Lester, 2005). Korea justru
berhasil mengarungi globalisasi dengan memanfaatkan potensi lokal
untuk bersaing dalam kancah global (Park, Jang, dan Lee, 2007).
Selain visi, penataan kelembagaan juga tidak boleh diabaikan dalam
mendesain kebijakan. Instrumen yang bisa digunakan untuk mendapat
peluang dari globalisasi adalah dengan memperkuat diplomasi ekonomi
yang harus didukung kekuatan ekonomi internal. Peran, posisi, dan
strategi Indonesia dalam forum-forum internasional juga belum
menunjukkan hasil maksimal sehingga harus dipacu melalui investasi
peningkatan kapasitas kelembagaan dalam membangun institusi dan
menyiapkan kader-kader pemimpin yang tangguh.
Sejarawan Inggris, Edward Gibbon, mengingatkan agar kita belajar dari
pengalaman masa silam sebagai panduan melangkah kedepan. Menghadapi
hiruk-pikuk globalisasi, Indonesia harus jeli mengantisipasi situasi
dan kondisi agar mendapat beneficiary. Agar kita tidak terus miskin,
menangis sepanjang hari, dan menyesali diri mengapa harus dilahirkan
di negeri ini!
Imam Cahyono Program Officer Globalisasi Perkumpulan Prakarsa
Download