BAB I PENDAHULUAN Kata sepsis berasal dari bahasa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti daging busuk atau
pembusukan. Hiproccates (460-370 SM) pertama kali mendeskripsikan keadaan
klinis pasien yang mengalami syok septik sebagai “when continuing fever is
present, it is dangerous if the outer parts are cold, but the inner part are burning
hot”.1 Sepsis merupakan keadaan terganggunya respon penjamu secara sistemik
terhadap suatu infeksi yang mengarah pada keadaan sepsis berat (disfungsi organ
sekunder akut yang dicurigai ataupun terbukti akibat adanya infeksi sistemik). 2
Sepsis juga diartikan sebagai respon sistemik penjamu terhadap infeksi dimana
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi
proses inflamasi. Menurut American College of Chest Physician and Society of
Critical Care Medicine tahun 1992 terdapat beberapa istilah terkait keadaan
infeksi sitemik yakni SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik.3
Sepsis berat dan syok septik merupakan masalah kesehatan utama,
dialami banyak orang di dunia setiap tahunnya, membunuh satu orang setiap 4
jam (bahkan lebih sering), dan insidensinya meningkat 1-5. Sebanding dengan
trauma multipel, infark miokar akut, dan stroke, penatalaksanaan yang adekuat di
jam-jam pertama terdiagnosa mengalami sepsis berat adalah teramat penting guna
prognosis yang lebih baik.2
Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera oleh karena semakin cepat syok dapat teratasi, akan
meningkatkan keberhasilan pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ
dan kematian, oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan
optimal perlu diketahui untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
Sepsis merupakan suatu keadaan suspek atau terbukti mengalami infeksi
disertai dengan adanya manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis berat merupakan
sepsis disertai sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan.
(Tabel 1 dan 2). Sepsis-induced hipotension didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik < 90 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) < 70 mmHg atau tekanan
darah sistolik > 40 mmHg atau kurang dari dua standar deviasi di bawah nilai
normal berdasarkan usia tanpa adanya penyebab hipotensi lainnya. Syok septik
didefinisikan sebagai sepsis yang menginduksi hipotensi yang tetap bertahan
meskipun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat atau memerlukan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Sepsis yang
menginduksi hipoperfusi jaringan didefinisikan sebagai infeksi yang menginduksi
hipotensi, peningkatan laktat, atau oligouria.1,3
Terminologi dan defenisi sepsis adalah sebagai berikut3,4 :
a. Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS)
Didefenisikan sebagai respon tubuh terhadap inflamasi sitemik
mencakup 2 atau lebih keadaan berikut: (1) suhu >38°C atau <36°C; (2)
frekuensi jantung >90 kali/menit; (3) frekuensi nafas >20 kali/menit atau
PaCO2 <32 mmHg; (4) leukosit darah >12.000/mm3, <4.000/mm3 atau
batang >10%.
b. Sepsis
SIRS dengan bukti atau kecurigaan adanya infeksi bakterial
c. Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran.
d. Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sitolik <90 mmHg atau penurunan tekanan
darah sistolik >40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi
lainnya.
e. Syok sepsis
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan
secara adekuat minimal 1 jam atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah > 90 mmHg atau MAP > 70 mmHg.
2.2. Etiology
Dari hasil kultur darah, 20-40% positif pada kasus sepsis dan 40-70% positif
pada syok septik. Pada kasus dengan hasil kultur darah positif ditemukan 70%
merupakan bakteri gram positif atau gram negatif dan sisanya merupakan jamur
ataupun campuran mikroorganisme lainnya.4
2.3. Epidemiologi
Insidensi sepsis berat dan syok septik meningkat di USA, dengan >700.000
kasus setiap tahunnya. Dua pertiga kasus timbul pada pasien dengan penyakit lain
yang mendasari. Sepsis berkontribusi terhadap >200.000 kematian setiap
tahunnya di USA. Insidensi tertinggi sepsis berhubungan dengan usia tua,
penyakit kronik, AIDS, pengobatan glukokortikoid atau antibiotik, prosedur
infasif seperti kateterisasi dan ventilasi mekanik.
Infeksi bakteri infasif
merupakan penyebab utama kematian di dunia, terutama pada anak. Daerah subShara Afrika memiliki insidensi seperempat anak meninggal usia >1 tahun akibat
bakterimia (community acquired bacterimia) seperti Salmonella sp, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Escherichia coli.4
2.4. Patogenesis dan Patofisiologi
2.4.1. Inflamasi terlokalisasi dan produksi sitokin
Respon imun tubuh terhadap suatu patogen terdiri dari dua jenis yakni
bawaan (innate) dan adaptativ. Tahap pertama pertahanan tubuh berupa barier
fisik seperti kulit, membran mukosa pada traktus digestifus, respiratori, dan
genitourinaria. Pertahanan kedua merupakan respon cepat dari sistem imun
bawaan (protein komplement, sel fagosit, natural killer cell) yang memainkan
peran sebagai aktivator dan pengontrol sistem imun adaptativ. Sistem imun
bawaan ini bertindak dengan mengenali berbagai macam antigen terutama
pathogen-associated molecular patterns (PAMP) dari permukaan sel patogen.
Selain PAMP, pada keadaan kerusakan jaringan akibat trauma, terbakar, iskemik,
pankreatitis, operasi besar, dan lain-lain, akan terbentuk molekul yang sangat
mirip dengan PAMP dan disebut sebagai damage-associated molecular pattern
(DAMP) yang dihasilkan dari mitokondria sel-sel yang mengalami nekrosis.
Ketika respon lokal menyebar secara sistemik terjadi aktivasi dari berbagai
tingkatan reseptor yang menghasilkan suatu badai sitokin dan kemokin.5
Tujuan dari bekerjanya respon imun bawaan adalah untuk mengeradikasi
keberadaan DAMP atau PAMP yang nantinya diikuti oleh respon imun adaptatif.
Aktivasi dari netrofil, makrofag, dan monosit pada daerah infeksi lah yang akan
memacu respon imun adaptatif lokal. Respon imun adaptatif didasarkan oleh
maturasi dan proliferasi yang timbul setelah keluarnya sitokin dari respon imun
bawaan. Dilain sisi, setiap sel memiliki sitokin tertentu berdasarkan patogen
tertentu pula. Pada keadaan normal, proses tersebut teregulasi dengan baik dimana
terjadi usaha menghancurkan patogen dan secara bersamaan melokalisasi respon
inflamasi hanya di daerah infeksi. Namun, pada keadaan ketidakseimbangan
(proinflamatori
dan
anti-inflamatori),
gangguan
regulasi
(maturasi
dan
proliferasi), proses lokalisasi infeksi dan inflamasi menjadi gagal dan menyebar
secara sistemik. Hal ini menimbulkan manifestasi klinis sistemik.5
Secara ringkas, respon bawaan meliputi aktifitas netrofil dan makrofag
melepaskan sitokin tertentu yang menyebabkan sel dendritik memberikan sinyal
pada sel limfosit T dan B untuk berproliferasi dan mengalami maturasi, yang
selanjutnya akan mengekspresikan berbagai reseptor permukaan sel. Sementara
respon imun adaptatif merupakan matrik solubel terdiri dari berbagai tipe kaskade
aktifasi sitokin, koagulasi faktor, pelepasan protein pada fase akut inflamasi,
pelepasan hormon stres, berbagai kemokin dan hormokin. Kunci dari berakhirnya
respon imun pada proses infeksi tersebut adalah terjadinya keseimbangan antara
proinflamasi dan anti-inflamasi yang diindentifikasi sebagai keseimbangan antara
hubungan Th1, Th2, Th17, dan �ΔT dengan yang lainnya.5
2.4.2. Respon inflamasi sistemik dan imunoparalisis
Respon inflamasi sitemik diartikan sebagai sindrom sepsis tanpa bukti
adanya infeksi. Dahulu, keadaan SIRS dikaitkan dengan ketidakseimbangan
antara proinflamasi dengan anti-inflamasi namun ternyata lebih komplek dari
keadaan tersebut. Ketika proinflamasi dan anti-inflamasi bekerja bersama-sama
pada suatu keadaan infeksi atau non-infeksi, proinflamasi pada awalnya akan
mendesak keberadaan anti-inflamasi. Keadaan ini disebut sebagai dominasi
proinflamasi dan berlangsung 2-4 hari, namun pada keadaan respon yang
berlebihan dimana infeksi yang terlokalisasi menjadi tersebar secara sitemik, akan
terjadi berbagai tingkat kerusakan jaringan, syok, dan gagal organ. Selama
penyakit berlangsung, respon adaptatif akan terbentuk dan diinisiasi oleh reaksi
Th1 (menghasilkan TNF-α, interferon-γ, IL2). Pada fase selanjutnya, komponen
pro-inflamasi akan secara bertahap menurunkan kinerjanya “turns itself off”
sementara itu adaptatif respon akan merubah reaksinya menjadi reaksi Th2
(menghasilkan IL4 dan IL10) untuk mempertahankan proses proinflamasi setelah
eradikasi patogen yang ada. Sayangnya, disregulasi dari respon adaptatis sistemik
akan menyebabkan imunoparalisis yang mebahayakan pertahanan tubuh,
menyebabkan kerusakan jaringan lanjut dan bahkan infeksi opotunistik.5,6
2.4.3. Perubahan respon imun
Pada fase selanjutnya, pasien dengan keadaan sepsis dan pasien SIRS noninfeksius (seperti luka bakar, trauma, bedar mayor, perdarahan, iskemik setelah
henti jantung) mengalami keadaan dimana komponen anti-inflamasi melebihi proinflamasi. Keadaan ini sering disebut sebagai suatu “anergy” atau “intolerasi
endotoksin”. Terjadi perubahan respon imun pada fase ini yakni penurunan
keberadaan sel-sel dari kompartemen hematopoietik seperti sumsum tulang, lien,
nodus limpatik, dan darah. Sebaliknya sel-sel dari berbagai jaringan dan organ
padat (liver, ginjal, paru-paru, otak, dan traktus intestinal) menjadi hiperreaktif
sehingga terjadi hiperinflamasi di organ-organ tersebut terutama pada organ yang
terinfeksi.5 Anergy merupakan keadaan nonresponsif terhadap antigen. Sel T
dikatakan anergi ketia ia gagal berproliferasi atau mensekresikan sitokin sebagai
respon terhadap antigen spesifik mereka. Gangguan proliferasi dan sekresi sitokin
tersebut berhubungan dengan mortalitas pasien. Sel berapoptosis dapat
mencetuskan keadaan anergi pada pasien sepsis. Penelitian menemukan sejumlah
besar sel-sel limfosit dan GI tract rusak akibat apoptosis selama sepsis.
Mekanisme yang memungkinkan keadaan tersebut adalah akibat terlepasnya
hormon glukokortikoid selama keadaan stres pada pasien sepsis. Sel yang
beraptosis akan menginduksi sitokin antiinflamasi yang merusak respon tubuh
terhadap patogen, sementara itu sel-sel yang mengalami nekrosis menstimulasi
respon imun dan meningkatkan pertahanan antimikroba. Penelitian dari hasil
autopsi pasien-pasien yang meninggal akibat sepsis menemukan apoptosis
progresif pada sel-sel adaptatif imun sistem (sel limfosit B, CD 4, dan sel
dendritik) yang menyebabkan penurunan antibodi, aktifasi makrofag, dan
presentasi antigen.6
Gambar 2.1 Respon Inflamasi. Suatu pencetus menyebabkan pelepasan PAMP dan
atau DAMP yang akan dideteksi oleh resptor PRR pada permukaan sel atau pada
sitosol atau nukleus sel pengenal. Oleh karena itu respon berbagai sel dapat
berbeda termasuk organ atau jaringan, protein/ berbagai molekul, dimana mereka
akan bekerja sebagai efektor yang mengenali antigen dan memodulasi berbagai
respon imun lanjutan melalui biomarker pro atau anti-inflamasi. Sebagai
akibatnya, penyebab/ pencetus inflamasi dapat terlokalisasi atau tidak dan fungsi
organ dapat secara sementara atau permanen mengalami gangguan.1
Disfungsi organ multipel dapat berkembang menjadi MOF
Kebocoran
Edema inter
Mediator inflamasi
Penurunan
Aktivasi sitem imun
Disregulasi simpatis atau aktivasi
Fibrinolisis/ reperfusi
Kerusakan sel
Statis ata
Koagulopati konsumtif
Gambar 2.2. Patofisiologi syok dan komplikasinya7
Sepsis dihubungkan dengan terjadinya trombus mikrovaskular yang
disebabkan oleh aktivasi secara terus menerus sistem koagulasi (dimediasi oleh
faktor jaringan) dan gangguan kerja antikoagulan sebagai akibat menurunannya
aktivitas jalur antikoagulan endogen (dimediasi oleh protein C, antitrombin, dan
inhibitor faktor jaringan), ditambah lagi dengan gangguan fibrinolisis yang
meningkatkan pelepasan inhibitor plasminogen tipe 1 (PAI-1). Penurunan
produksi protein C disebabkan oleh penurunan ekspresi reseptor trombomodulin
(TM) dan protein C reseptor di permukaan endotel. Pembentukan trombus
terbentuk akibat pelepasan neutrophil extracellular trap (NETs) dari netrofil yang
mati. Terbentuknya trombus akan menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan
yang telah diperberat dengan keadaan vasodilatasi, hipotensi, dan penurunan sel
darah merah normal. Oksigenasi jaringan terganggu lebih lanjut akibat kehilangan
barier endoltelial akibat hilangnya vascular endothelial cadherin (VE), perubahan
pada taut sel, dan tingginya angiopoietin 2. Pada tingkat seluler, terjadi penurunan
penggunaan oksigen akibat kerusakan mitokondria oleh stres oksidatif pada sel. 7
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptif akan menyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/ gagal organ
multipel (MODS/MOF). Proses ini terjadi akibat timbulnya kerusakan pada
tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi organ ke jaringan
(akibat mikrotrombus, iskemia perfusi, hipoperfusi). Berbagai faktro lain yang
diperkirakan ikut berperan antara lain terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(miocardial depresion substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin
bakteri, gangguan eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.3
2.5. Diagnosis
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign 2012, kriteria diagnosis sepsis
adalah adanya infeksi yang telah terbukti atau masih dicurigai dengan tambahan
beberapa hal di bawah ini yaitu2:
a. Gejala umum
1. Demam ( > 38,3˚C ).
2. Hipotermi ( < 36 ˚C).
3. Heart rate > 90 x / menit atau lebih dari dua standar deviasi diatas
nilai normal berdasarkan usia.
4. Takipnea.
5. Perubahan status mental.
6. Edema signifikan atau balance cairan positif (> 20 ml/kg selama 24
jam).
7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl atau 7,7 mmol/L),
namun tidak menderita diabetes.
b. Variabel inflamasi
1. Leukositosis (Leukosit > 12.000 µL-1)
2. Leukopenia (Leukosit < 4000 µL-1)
3. Nilai leukosit normal, namun dengan > 10% bentuk sel yang imatur.
4. Protein C-reaktif plasma > 2 SD diatas nilai normal.
c. Variabel hemodinamik
Hipotensi arteri (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg atau turun > 40
mmHg pada orang dewasa atau < 2 SD di bawah nilai normal sesuai
usia.
d. Variabel disfungsi organ
1. Hipoksemia arteri (PaO2/FiO2 < 300)
2. Oliguria akut (urin output < 0,5ml/kg/jam selama 2 jam pemberian
resusitasi cairan yang adekuat).
3. Peningkatan kreatinin > 0,5mg/dl atau 44,2 μmol/L.
4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik).
5. Ileus : Bising Usus (-).
6. Trombositopenia (trombosit < 100.000/μL ).
7. Hiperbilirubinemia (Bilirubin total > 4 mg/dl atau 70 μmol/L).
e. Variabel perfusi jaringan
1. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L).
2. Capillary Refill Time menurun.
Sepsis berat didefenisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipoperfusi
atau gangguan organ (hal-hal di bawah ini yang timbul akibat adanya infeksi)
1. Sepsis-induced hipotension.
2. Kadar laktat meningkat jauh diatas batas normal.
3. Urine output < 0,5 ml/kg/jam selama resusitasi cairan adekuat > 2 jam.
4. Kerusakan paru akut dengan Pao2/Fio2 < 250 tanpa ada nya pneumonia
sebagai sumber infeksi.
5. Keruskan paru akut dengan Pao2/Fio2 < 200 dengan adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi.
6. Kreatinin > 2 mg/dL.
7. Bilirubin > 2 mg/dL.
8. Jumlah platelet < 100.000/μL.
9. Koagulopati.
2.6. Penatalaksanaan
Berdasarkan SSC 2012, penatalaksanaan awal pasien dengan sepsis pada
jam-jam awal kedatangan ke pihak medis meliputi:
a. Hal-hal yang harus diselesaikan dala 3 jam pertama
1. Menilai kadar laktat
2. Melakukan kultur darah sebelum pemberian antibiotik
3. Memberikan antibiotik spektrum luas
4. Memberikan 30ml/kgBB kristaloid jika hipotensi atau laktat
>4mmol/L
b. Hal-hal yang harus diselesaikan dalam 6 jam kedua
5. Berikan
vasopresor
(jika
hipotensi
tidak
berespon
terhadappemberian cairan awal) untuk mempertahankan tekanan
MAP >65 mmHg
6. Pada hipotensi arterial yang menetap setelah pemberian cairan
(syok septik) atau nilai laktat >4 mmol/L (36mg/dL) lakukan
penilaian CVP (target resusitasi CVP >8 mmHg) dan Scvo2 (target
>70%)
7. Nilai ulang kadar laktat
Untuk tatalaksana sepsis berat meliputi beberapa komponen yaitu2:
a. Resusitasi awal
Resusitasi pada pasien hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis
(sepsis-induced tissue hypoperfusion) yaitu pasien yang tetap mengalami
hipotensi setelah diberikan terapi cairan awal atau konsentrasi laktat ≥ 4
mmol/L.
Adapun tujuan resusitasi awal 6 jam pertama pada pasien sepsisinduced tissue hypoperfusion harus mencakup semua hal berikut sebagai
bagian dari protokol pengobatan :
1. CVP 8–12 mm Hg.
2. MAP ≥ 65 mm Hg.
3. Urine output ≥ 0.5 mL/kg/jam.
4. Superior vena cava oxygenation saturation (Scvo2) atau mixed
venous oxygen saturation (Svo2) 70% or 65%.
Pada pasien dengan peningkatan kadar serum laktat, target resusistasi
adalah apda nilai laktat normal
b. Skrining sepsis dan peningkatan tetalaksana
Disarankan untuk melakukan skrining rutin pada pasien dengan
penyakit infeksi berat yang berpotensi menyebabkan sepsis sehingga dapat
diterapi lebih awal.
Upaya perbaikan kinerja terhadap pasien sepsis berat dapat
memberikan perbaikan pada outcome pasien sepsis. Sepsis memerlukan tim
multidisiplin (dokter, perawat, farmasi, ahli diet, dan administrasi) serta
kolaborasi multispeciality (medicine, surgery, dan emergency medicine).
c. Diagnosis
Mendapatkan kultur yang sesuai sebelum terapi anti-mikroba dimulai
jika kultur tersebut tidak menyebabkan penundaan yang signifikan (> 45
menit) di awal pemberian antimikroba (grade 1C). Disarankan mendapatkan
setidaknya dua set kultur darah (aerob dan anaerob) sebelum terapi
antimikroba, dengan setidaknya satu dari perkutan dan satu melalui
vascular. Pencitraan juga harus dilakukan segera dalam upaya untuk
mengkonfirmasi potensi sumber infeksi.
d. Terapi antimikroba
1) Pemberian antimikroba intravena pada satu jam pertama terdeteksinya
sepsis berat ataupun syok septik merupakan tujuan terapi.
2) Pemberian terapi empiris satu atau lebih yang dapat melawan semua
pathogen (bakteri, fungi, virus) dan konsentrasi obat harus adekuat
agar mampu berpenetrasi ke jaringan yang dianggap sebagai sumber
infeksi.
3) Penggunaan
prokalsitonin rendah/biomarker yang serupa untuk
membantu dokter dalam penghentian pemberian antibiotik empiris
pada pasien yang awalnya muncul septik, tetapi tidak memiliki bukti
terdapatnya infeksi.
4) a. Untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan pasien yang sulit
diobati seperti multidrug resistant bakteri patogen (Acinetobacter dan
Pseudomonas spp). Pasien dengan infeksi berat berhubungan dengan
kegagalan pernapasan dan syok septik dapat diberikan terapi beta
lactam dikombinasi dengan aminoglikosida atau fluorokuinolon untuk
P. aeruginosa bacteremia, sedangkan kombinasi beta-laktam dan
makrolida untuk pasien syok septik karena bacteremia Streptococcus
pneumoniae.
b. Terapi kombinasi empiris tidak boleh diberikan selama lebih dari 3-5
hari.
5) Durasi terapi antimikroba biasanya selama 7-10 hari.
6) Terapi antiviral dimulai sedini mungkin pada pasien dengan sepsis
berat atau syok septik penyebab virus.
7) Antimikroba tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan
inflamasi berat yang merupakan keadaan sepsis non infeksi.
e. Kontrol penyebab
Intervensi dilakukan untuk mengontrol sumber infeksi selama 12 jam
pertama setelah terdiagnosis.
Ketika infeksi dari nekrosis peripankreatik teridentifikasi sebagai
sumber infeksi potensial, intervensi defenitif lebih baik ditunda sampai
demarkasi antara jaringan yang hidup dan jaringan yang nekrosis menjadi
jelas.
Jika perangkat akses intravascular merupakan kemungkinan sumber
terjadinya sepsis berat atau syok septik, maka akses intravaskular dilepas
setelah akses intravena di tempat lain terpasang.
f. Pencegahan infeksi
Dekontaminasi oral selektif (DOS) dan dekontaminasi digestif selektif
(DDS)
harus
dilakukan
untuk
mengurangi
insidensi
Pneumonia
berhubungan ventilator salah satunya menggunakan klorheksidin glukonat
oral pada pasien ICU dengan sepsis berat.
g. Terapi cairan
1) Pada kasus sepsis berat dan syok septik digunakan cairan kristaloid
sebagai terapi awal untuk resusitasi. (grade 1 B)
2) Selain itu juga dapat digunakan hydroxyethyl starches (HES) sebagai
cairan resusitasi untuk sepsis berat dan syok septik. (grade 1 B)
3) Pemberian Albumin dalam resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok
septik diberikan ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid.
(grade 2 C)
4) Pemberian cairan awal pada pasien dengan sepsis yang menyebabkan
hipoperfusi jaringan dengan kecurigaan hipovolemia diberikan
minimal 30 mL/kg kristaloid (dosis ini mungkin setara albumin).
Kecepatan dan jumlah yang lebih dalam pemberian mungkin
dibutuhkan pada beberapa pasien. (grade 1 B)
5) Terapi cairan dilanjutkan selama ada perbaikan hemodinamik baik
berdasarkan dinamis (misalnya, perubahan tekanan nadi, variasi stroke
volume) atau statis (misalnya, tekanan arteri, denyut jantung).
h. Vasopresor
1) Terapi vasopressor diperlukan untuk mempertahankan perfusi pada
hipotensi yang mengancam jiwa.
2) Target awal terapi vasopressor adalah MAP 65 mmHg. (grade 1 C)
3) Norepinefrin merupakan vasopressor pilihan pertama. (grade 1 B)
4) Epinefrin (ditambahkan ke dan berpotensi menggantikan norepinefrin)
ketika agen tambahan dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat. (grade 2 B)
5) Vasopresin (hingga 0,03 U/min) dapat ditambahkan ke norepinefrin
dengan maksud meningkatkan MAP atau menurunkan dosis
norepinefrin.
6) Vasopressin dosis rendah tidak dianjurkan sebagai vasopressor awal
dengan single dose untuk pengobatan sepsis-induced hypotension dan
dosis vasopressin dosis lebih tinggi dari 0,03-0,04 unit / menit harus
disediakan untuk terapi penyelamatan (jika dengan vasopresor lain
terjadi kegagalan mencapai MAP yang adekuat). (grade 2 C)
7) Penggunaan dopamin sebagai agen vasopressor alternatif norepinefrin
hanya pada pasien tertentu (misalnya , pasien dengan risiko rendah
takiaritmia dan bradikardi absolut atau relatif).
i. Inotropik
Berdasarkan penelitian dapat diberikan infus dobutamin hingga 20 mg
/kg/menit atau ditambahkan bersamaan vasopressor (jika digunakan) pada
keadaan: (grade 1 C)
1) Disfungsi miokard, dengan peningkatan tekanan pengisian jantung
dan cardiac output rendah.
2) Tanda-tanda hipoperfusi berkelanjutan, meskipun telah mencapai
volume intravaskular dan MAP yang memadai
j. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai
pengobatan pasien syok septik dewasa jika resusitasi cairan yang adekuat
dan terapi vasopressor dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik. Jika
hal ini tidak tercapai, disarankan hidrokortison intravena tunggal dengan
dosis 200 mg per hari. (grade 2 C) Kortikosteroid tidak diberikan pada
pasien sepsis tanpa adanya syok. (grade 1 D). Ketika hidrokortison dosis
rendah yang diberikan, disarankan menggunakan infus kontinu daripada
suntikan bolus berulang. (grade 2 D)
k. Transfusi darah
1) Setelah hipoperfusi jaringan terselesaikan dan tidak ada keadaan khusus,
seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit
jantung iskemik, dapat diberikan transfusi sel darah merah jika konsentrasi
hemoglobin menurun sampai < 7.0 g / dL dan ditargetkan konsentrasi
hemoglobin 7,0 -9,0 g / dL pada orang dewasa. (grade 1 B)
2) Jangan gunakan erythropoietin sebagai pengobatan khusus pada pasien
anemia dengan sepsis berat (grade 1 B).
3) Fresh frozen plasma tidak digunakan untuk memperbaiki kelainan
pembekuan tanpa adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif.
(grade 2 D).
4) Jangan gunakan antitrombin untuk pengobatan sepsis berat dan syok septik
(grade 1 B).
5) Pada pasien dengan sepsis berat, dapat diberikan platelet profilaksis jika
trombosit < 10.000/mm3 pada pasien tanpa perdarahan yang jelas. Selain
itu, dianjurkan pada pasien dengan trombosit < 20.000/ mm 3 jika memiliki
risiko perdarahan yang signifikan. Pada pasien dengan jumlah trombosit
lebih tinggi (≥50,000 / mm3 [50 x 109 / L]), pemberian profilaksis
disarankan jika perdarahan aktif, operasi, atau prosedur invasif (grade 2D).
l. Immunoglobulin
Jangan gunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan
sepsis berat atau syok septik. (Grade 2B)
m. Selenium
Jangan gunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.
(Grade 2C).
n. Recombinant activated protein C
Penggunaan rhAPC tidak lagi tersedia.
o. Ventilasi mekanik pada sepsis induced ARDS
1) Target volume tidal nya adalah 6 mL / kg berat badan pada pasien
dengan sepsis-induced ARDS (grade 1A vs 12 mL / kg).
2) Pada pasien dengan ARDS, Tekanan Plateau diukur dan tujuan batas
atas awal untuk tekanan plateau paru menjadi ≤30 cm H2O (grade 1B).
3) Positive end - expiratory pressure (PEEP) diterapkan untuk
menghindari kolaps alveolar pada akhir ekspirasi (atelectotrauma)
(grade 1B).
4) Posisi pronasi digunakan pada pasien sepsis – induced ARDS dengan
rasio PaO2 / FiO2 ≤ 100 mm Hg di fasilitas yang memiliki pengalaman
dalam praktik (grade 2B).
5) Ventilasi mekanik dipertahankan dengan kepala tempat tidur diangkat
ke 30-45 derajat untuk membatasi risiko aspirasi dan untuk mencegah
perkembangan ventilator-associated pneumonia. (grade 1B)
6) Penghentian ventilasi mekanis dilakukan ketika memenuhi kriteria
sebagai berikut: a) hemodinamik stabil (tanpa agen vasopressor), b)
tidak ada kondisi baru yang berpotensi serius, c ) ventilasi rendah dan
adanya tekanan ekspirasi di akhir , dan d) FiO2 rendah merupakan
persyaratan untuk penggunaan face mask atau nasal kanula. Jika uji
pernapasan spontan berhasil, pertimbangan dilakukan ekstubasi.
(grade 1A)
7) Jika tidak adanya indikasi spesifik seperti bronkospasme , tidak perlu
menggunakan beta 2-agonis untuk pengobatan sepsis-induced ARDS. .
(grade 1B)
p. Sedasi, analgetik, neuromuskular blockade
Sedasi terus menerus atau intermiten diminimalkan pada pasien sepsis
dengan ventilasi mekanik. (grade 1B) Pada pasien septik tanpa ARDS,
pemberian Neuromuskular Blocking Agen (NMBAs) harus dihindari jika
memungkinkan
karena
berisiko
terjadinya
blokade
neuromuskular
berkepanjangan setelah penghentian pemberian. (grade 1C)
q. Kontrol glukosa
Pendekatan protokol manajemen glukosa darah pada pasien ICU
dengan sepsis berat dimulai ketika 2 kali pemeriksaan kadar glukosa darah
berturut-turut adalah > 180 mg/dL. Pendekatan harus menargetkan glukosa
darah atas ≤ 180 mg/dL. (grade 1A). Nilai glukosa darah dimonitor setiap
jam 1-2 sampai nilai glukosa dan tingkat infus insulin stabil dan selanjutnya
dimonitor setiap 4 jam. (grade 1C).
r. Renal replacement therapy
Terapi pengganti ginjal terus menerus dan hemodialisis intermiten
dilakukan sama pada pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut.
(grade 2B)
s. Terapi bicarbonat
Jangan gunakan terapi natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki
hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien dengan
hipoperfusi yang menginduksi acidemia laktat dengan pH ≥ 7.15. (grade 2B)
t. Pencegahan Deep Vein Thrombosis
Pasien dengan sepsis berat menerima terapi prophylaxis harian
terhadap tromboemboli vena (VTE) dengan pemberian harian subkutan
LMWH. Jika kreatinin clearence < 30 mL/menit , gunakan dalteparin atau
bentuk lain dari LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal yang
rendah.
u. Pencegahan stress ulcer
Stress ulcer prophylaxis menggunakan H2 blocker atau proton pump
inhibitor diberikan kepada pasien dengan sepsis berat / syok septik yang
memiliki faktor risiko perdarahan. (Grade 1B) Proton pump inhibitor lebih
digunakan daripada H2RA. (Grade 2D) Pasien tanpa faktor risiko tidak
menerima profilaksis. (grade 2B)
v. Nutrisi
Hindari makanan tinggi kalori di minggu pertama, disarankan
makanan rendah kalori (hingga 500 kalori per hari). (grade 2B). Sebaiknya
menggunakan glukosa intravena dan nutrisi enteral daripada nutrisi
parenteral total ( TPN ) sendiri atau nutrisi parenteral dalam 7 hari pertama
setelah diagnosis sepsis berat / syok septik. (grade 2B).
w. Setting goals of care
Diskusikan tujuan perawatan dan prognosis dengan pasien dan
keluarga. (grade 1B). Memasukkan tujuan perawatan ke dalam perencanaan
perawatan, Memanfaatkan prinsip-prinsip perawatan paliatif bila perlu.
(grade 1B)
Tatalaknana syok septik disebut sebgai early goal directed treament. Inti
dari penatalaksanaan ini bahwa terapi mencakup penyesuaian beban jantung
preload, afterload, dan kontraktilitas dengan deliveri oksigen dan kebutuhan.
Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid 500 ml tiap 30 menit
untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan MAP <65
mmHg, diberikan vasopresor hingga MAP >65 mmHg dan bila MAP >90 mmHg
diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi oksigen vena sentral (ScvO2);
bila ScvO2 <70% dilakukan koreksi hematokrit hingga diatas 30%. Setelah CVP,
MAP, dan hematokrit optimal namun ScvO2 <70% dibulai pemberian inotropik.
Inotropik diturunkan bila MAP <65 mmHg atau frekuensi jantung >120
kali/menit.2,3,7
Gambar 2.3. Bagan Early Goal Directed Therapy2
2.7. Prognosis
Pada sekitar 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40-60% pasien dengan
syok septik meninggal dalam 30 hari dan lebih lanjut dapat meninggal dalam 60
hari. Beratnya penyakit yang mendasari merupakan faktor terbesar yang
mempengaruhi tingkat mortaliitas pasien sepsis.
BAB III
KESIMPULAN
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil,
tampak toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus
dicurigai terjadinya sepsis (tersangka sepsis). Pada keadaan sepsis gejala yang
nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka sepsis disertai hasil
pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia, trombositopenis,
granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), dan hasil biakan kuman
penyebab dapat (+) atau (-). Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis
sepsis disertai tanda-tanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan
dingin, penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan darah).
Resusitasi cairan yang adekuat merupakan dasar pengelolaan syok yang
bertujuan mencukupi volume intravaskular, memperbaiki perfusi jaringan dan
mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen jaringan.
Resusitasi cairan dapat berupa kristaloid dan koloid alami atau buatan. Obat
vasoaktif sebaiknya diberikan bila hipotensi menetap atau MAP < 65 mmHg
sesudah resusitasi cairan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Reinhart K, Bauer M, Riedmann NC, Hartog CS. New approach to sepsis:
Molecular diagnostics and biomarker. JournalASM. Oct 2012;25:p. 609634. Didownload dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23034322
Pada tanggal: 07 Januari 2016
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annanne D, Gerlach H, Opal SM, et
all. Surviving sepsis campaign: International guidelines for management
of severe sepsis and septic shock 2012. CCMjounal. Feb 2012;41:p.580637. Didownload dari:
http://www.survivingsepsis.org/guidelines Pada
tanggal: 07 Januari 2016
3. Persatuan Dokter Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid V. Jakarta: Internal Publishing; 2010: hal. 252-257
4. Faucy AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
et all (editors). Harrison’s manual of medicine 17th edition. E-book. McGraw Hill. 2009: pg 63-66
5. Laszlo I, Trazy D, Molnar Z, and Fazakas J. Sepsis: From pathophysiology
to individual patient care. Journal of Immunology Research. Jun 2015; 13
pages.
Didownload
http://www.hindawi.com/journals/jir/2015/510436/
dari:
Pada tanggal:
08
Januari 2016
6. Hotchkiss RS, and Karl IR. Medical progress: The pathophysiology and
treatment sepsis. N Engl J Med. Jan 2013;348: pg. 138-150. Didownload
dari: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra021333 . Pada tanggal:
08 Januari 2016
7. Persatuan Dokter
Penyakit
Dalam
Indonesia.
EIMED
PAPDI:
Kegawatdaruratan penyakit dalam. Jakarta: Internal Publishing; 2012: Hal.
234-237
Download