karakteristik tindak pidana pemilu dalam sistem hukum

advertisement
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PEMILU
DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
EDI SUSANTO
ABSTRAK
Pemilu pada dasarnya merupakan sarana pelaksana kedaulatan rakyat untuk memiih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi rakyat berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta menjamin prinsip-prinsip keterwakilan,
akuntabilitas dan legitimasi. Terdapat karakteristik Tindak pidana pemilu dalam
hukum dan sistim hukum Indonesia dengan segala problematikanya. Maka dalam
Penelitian ini difokuskan pada Karakteristik yang eksis berkaitan dengan tindak
pidana pemilu dan Apakah sudah terdapat pengaturan yang berkontribusi terhadap
penyelesaian sengketa pemilu berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk
menjawabnya digunakan metode Yuridis Normative dengan sejumlah pendekatan
berupa konseptual, Historis dan kasus. Selain aturan normative dipaparkan juga
teori yang dipilih untuk mendukung hasil Penelitian seperti teori Teori negara
hokum, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Keadilan, Kepastian Hukum.
Kata Kunci : Pemilu, Sengketa Pemilu, Problematika
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum, artinya segala sesuatu berdasarkan
pada hukum yang berlaku. Hukum merupakan acuan hidup bermasyarakat. Dalam
kehidupan masyarakat tentunya kita selalu berhadapan dengan aneka norma hukum
yang harus ditaati dan dipatuhi, karena dalam norma hukum tersebut memuat aturan
yang menjadi acuan atau pegangan hidup bagi setiap individu. Salah satu tujuan
dari norma hukum tersebut adalah mengadakan keselamatan dan tata tertib di dalam
masyarakat. Norma-norma hukum tersebut adakalanya dalam bentuk pelarangan
supaya dihindari atau tidak dilakukan, sehingga didalam masyarakat ada suatu
sanksi yang bersifat tegas dan memaksa kepada mereka yang dianggap sebagai
pelanggar aturan tersebut. Begitupula halnya dengan Pemilihan Umum (selanjutnya
disebut Pemilu), dimana dalam pelaksanaannya sering terjadi penyimpanganpenyimpangan yang sangat bertentangan dengan aturan hukum yang sudah
ditetapkan dalam masyarakat.
Pemilu pada dasarnya merupakan sarana pelaksana kedaulatan rakyat untuk
memiih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil
Presiden. Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi rakyat berdasarkan asas
2
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta menjamin prinsip-prinsip
keterwakilan, akuntabilitas dan legitimasi. Partai politik dalam negara Republik
Indonesia pada satu sisi berperan sebagai saluran utama untuk memperjuankan
kehendak masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagai amanat reformasi kualitas
penyelenggaraan pemilu harus ditingkatkan agar lebih menjamin kompetisi yang
sehat, partisipasif yang dinamis, derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan
mekanisme serta pertanggungjawaban yang jelas. Tujuan diselenggarakannya
pemilu adalah adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil derah untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009, bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan 10 (sepuluh) kali pemilihan umum, yakni tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari sekian pemilihan umum
tersebut dapat diketahui bagaimana mencari bentuk dan sistem pemilihan umum
yang cocok dan sesuai untuk Indonesia dengan masyarakatnya yang heterogen.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “luber”, singkatan dari langsung,
umum, bebas dan rahasia”. Asal kata “luber” sudah ada sejak zaman Orde Baru.
Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan
tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga
negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih
diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian
rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui
oleh si pemilih itu sendiri.1
Di era reformasi berkembang pula asas “jurdil” yang merupakan singkatan
dari “jujur dan adil”. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan, bahwa setiap warga negara
yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara
pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan
terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih,
tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih
tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta
pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.2
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
a. bahwa berdasarkan UUD Tahun 1945, Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berkedaulatan rakyat;
b. bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
c. bahwa pemilihan umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/ Perwakilan, melainkan
juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan
1
Ryas Rasjid, Demokrasi Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 2009), hlm, 14
2
Ryas Rasjid, Ibid, hlm, 17
3
negara yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD Tahun 1945 dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.3
Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun
1945. Hubungan pemilu dengan jaminan hak-hak dasar warga negara yang juga
merupakan salah satu bentuk dari hak asasi manusia (HAM). Pada setiap hak
melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban
asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya HAM. Hukum akan membuat diri manusia merasa aman dan tenteram
dalam mengarungi bahtera kehidupan. Tanpa hukum, kehidupan manusia tidak
bahagia, serta keadilan dan kesejahteraan tidak terwujud; yang ada hanyalah
kekacauan dan kehancuran. Kejahatan merupakan masalah manusia yang berupa
kenyataan sosial yang sebab-musababnya kurang kita pahami, terjadi dimanadimana dan kapan saja dalam pergaulan hidup. Naik turunnya angka kejahatan
tergantung pada keadaan masyarakat, keadaan politik, ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya.
Ketentuan undang-undang telah jelas dijelaskan macam-macam perilaku yang
boleh untuk dilakukan dan perilaku yang disertai dengan sanksi-sanksi bagi siapa
saja yang melanggar, akan tetapi kejahatan masih terus mewarnai kehidupan
manusia. Hal ini sangatlah wajar karena dalam diri manusia ada 2 (dua) unsur yang
saling bertentangan, yakni manusia memiliki akal yang lebih cenderung pada
kebaikan, serta nafsu yang lebih berat kepada kejahatan. Akan tetapi tidak jarang
manusia tidak kuat menahan kehendak syahwatnya, sehingga akal dapat dikalahkan
oleh hawa nafsunya, kemudian lahirlah apa yang dinamakan tindak pidana.4 Tindak
Pidana merupakan salah satu wujud norma hukum yang lahir dalam bentuk
larangan seperti tindak pidana pemilu, yang pada akhirnya akan masuk dalam ruang
lingkup hukum pidana. Hukum pidana merupakan hukum publik, yaitu hukum yang
memberikan sanksi pidana pelanggaran norma hukum lainnya, norma-norma yang
dianggap penting bagi kehidupan masyarakat yang aman dan tertib. Karena itu, ada
asas dalam hukum pidana bahwa “seseorang hanya bisa dipidana kalau ada aturan
yang menentukan hal tersebut terlebih dahulu dan tidak berlaku surut”.5
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) diterangkan, bahwa pembedaan dan
pengelompokan tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran, didasarkan pada
pemikiran bahwa :
1) Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang
pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum) yang
karenanya pembuatnya patut dijatuhi pidana walaupun kadang-kadang
perbuatan seperti itu tidak dinyatakan dalam undang-undang.
2) Di samping itu ada perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang
dan kepada pembuatnya diancam dengan pidana setelah perbuatan dinyatakan
dalam undang-undang.6
3
4
Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Presidensiel, (Bandung: Eresco, 2010), hlm, 24
Tb. Rony R Nitibaskara, Konflik Sosial, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), hlm, 14
5
Inu Kencana Syafiie dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2010), hlm, 23
6
Basrofi dan Sudikun, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, (Surabaya: Insan
Cendekia, 2003), hlm, 34-36.
4
Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi undangundang, pada pokoknya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan besar, yakni:
a) Kepentingan hukum perseorangan (individuale belangen); b) Kepentingan
hukum masyarakat (sosiale of maatchppelijke belangen); dan c) Kepentingan
hukum negara (staats belangen)7. Walaupun dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
kelompok kepentingan hukum, adakalanya suatu kepentingan hukum dapat
dimasukkan dari satu golongan kepentingan hukum tersebut. Seperti pada tindak
pidana pemilu yang akhir-akhir ini sering terjadi dan untuk memenangkan partainya
atau golongannya, segala usaha akan dilakukan termasuk melakukan kejahatan,
pelanggaran, penyuapan maupun Black Campiun. Dalam menggunakan HAM,
diwajibkan untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang
juga dimiliki oleh orang lain. John Locke menggambarkan keadaan status naturalis,
ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan
bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, Locke
berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak
dasarnya dilindungi oleh negara.
HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Artinya HAM
mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada
Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah
Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti
melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang
dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain. Setiap hak
akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak
memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau
kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(selanjutnya disingkat UUD 1945) yang bekaitan dengan Pemilu dalam Jaminan
Hak Warga Negara adalah :
a. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945:
“Segala warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.
b. Pasal 28 UUD 1945:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
c. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”.
d. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008:
(1) WargaNegara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuhbelas) tahun atau lebih atau sudah / pernah kawin mempunyai
hak memilih.
7
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Pidana, 2001), hlm, 28
5
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat(1) didaftar oleh
penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut, dimaksudkan untuk mengoptimalkan
dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang dianut negara Indonesia; karena
pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah
lembaga negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi melalui cara-cara
dan oleh berbagai lembaga yang ditentukan oleh UUD Tahun 1945. Atas dasar
pemikiran bahwa kedaulatan rakyat ditentukan oleh UUD Tahun 1945 yang
menentukan bagian mana dari kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diserahkan
kepada badan/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas, dan fungsinya
ditentukan oleh UUD Tahun 1945 itu, serta bagian mana yang langsung
dilaksanakan oleh rakyat. Dengan kata lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak
diserahkan kepada badan/lembaga manapun, tetapi langsung dilaksanakan oleh
rakyat itu sendiri melalui Pemilihan Umum.
Melaksanakan kedaulatan itu bagi rakyat adalah dengan cara menentukan
atau turut menentukan sesuatu kebijakan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan
sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu. Namun kadangkala yang terjadi
banyaknya peyimpangan dan pelanggaran terhadap Pemilu, dan seolah-olah
pelaksanaan kedaulatan rakyat bukan lagi di tangan rakyat sepenuhnya. Sebagai
contoh adalah terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu mulai dari
pemutakhiran data calon pemilih tetap hinggapenetapan hasil Pemilu dan perolehan
suara sejak reformasi pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009 sudah tidak terhindarkan
lagi. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena
kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak, bahkan dapat
dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu
yang selanjutnya disebut setiap orang. Sebagai upaya antisipasi, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
yang mengatur pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan
tambahan ancaman atau sanksi, dan Undang-Undang tersebut membaginya
berdasarkan kategori jenis pelanggaran dan tata cara penyelesaiannya pada Bab XXI:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Pasal 251 dan 252,
Pelanggaran Administrasi Pemilu, Pasal 253, 254 dan 256,
Sengketa Pemilu, Pasal 258 dan 259,
Tindak Pidana Pemilu, Pasal 260, 261, 262, 263, 264, 265 dan 266,
Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, Pasal 268, 269 dan 270,
Perselisihan Hasil Pemilu, Pasal 271 dan 272.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, dapat dirumusklan
permasalahan sebagai berikut;
a. Apa karakteristik tindak pidana pemilu ?
b. Apakah tindak pidana pemilu sudah diatur dalam sistem hukum Indonesia ?
TINJAUAN LITERATUR
6
Dalam penelitian ini, kerangka teori yang dijadikan pedoman oleh peneliti dibagi
menjadi 3 (tiga), yakni Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory.
Adapun yang menjadi Grand Theory adalah, Teori Negara Hukum, Teori
Demokrasi dan Teori Hak Asasi Manusia.
1)
Teori Negara Hukum
Secara tegas Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 menjelaskan bahwa, negara
Indonesia adalah negara hukum. Jadi, konstitusi Indonesia telah menegaskan bahwa
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Konsep
rechtsstaat dan the rule of law, memiliki keterkaitan dengan konsep nomocracy
yang secara etimologis berasal dari kosa kata Yunani nomos dan cratos. Kata
nomokrasi dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam
demokrasi nomos berarti norma, sedangkan cratos artinya kekuasaan8. Faktor
penentu penyelenggara kekuasaan merupakan norma atau hukum. Istilah nomokrasi
pada dasarnya berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum
sebagai kekuasaan tertinggi. Wacana konsep negara hukum pertama kali muncul
dalam sebuah istilah Inggris dikembangkan oleh A.V. Dicey rule of law.
Selanjutnya berkembang dan terkenal di Amerika Serikat dengan istilah the rule of
law, and not a man, yang mempunyai makna pemimpin merupakan hukum itu
sendiri, dan bukan orang. Plato dalam karyanya berjudul “Nomoi”, kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris “The Laws”9, nampak jelas ide nomokrasi
tersebut sesungguhnya telah ada sejak lama dan dikembangkan berawal dari Yunani
kuno.
2)
Teori Demokrasi
Esensi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, demokrasi bermakna
sebagai pemerintahan oleh rakyat, dan karena itu demokrasi tidak dapat dipisahkan
dengan kedaulatan rakyat. Dalam kaitan ini, Sigmund Neumann merinci sistem
demokrasi menjadi 6 (enam) unsur utama yaitu: (a) kedaulatan nasional di tangan
rakyat; (b) memilih alternatif dengan bebas; (c) kepemimpinan yang dipilih secara
demokratis; (d) pemerintahan yang berdasarkan the rule of law; (e) adanya partaipartai politik; dan (f) adanya kemajemukan (pluralisme) dalam masyarakat10.
Negara yang demokratis atau berkedaulatan rakyat adalah negara atau
pemerintahan yang memberdayakan rakyat, sehingga rakyat berkemampuan untuk
menentukan hidup dan masa depannya sendiri. Sistem politik dan pemerintahan
yang dibangun seharusnya memberi kemampuan kepada rakyat untuk dapat
mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan, dengan memilih langsung
para wakil-wakilnya yang akan duduk pada jabatan legislatif maupun eksklusif.
Gerak pemerintah harus bersifat terbuka dan transparan, sehingga masyarakat dapat
mengetahui dan menilai dengan baik atau buruknya pemerintahan.
3)
Teori Hak Asasi Manusia
8
Jimmly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, orasi ilmiah pada
Wisuda Sarjana Hukum FH Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, dimuat dalam Jurnal
Simbur Cahaya, No. 25 Tahun IX, Mei 2004, hal 166.
9
Lihat, karya Plato, The Laws, Penguin Classecs, edisi 1986, diberi kata pengantar oleh
Trevor J. Saunders.
10
Prinsip Permusyawaratan Rakyat Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dan Implementasinya
dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999, hal. 59.
7
Hak asasi berarti hak yang bersifat mendasar. Hak mendasar tersebut
melekat pada diri setiap manusia semenjak dilahirkan, sebagai karunia dari Tuhan.
Hak tersebut tidak dapat dicabut atau dihilangkan oleh siapapun. Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan hak-hak mendasar yang melekat pada diri setiap
manusia semenjak ia dilahirkan, tidak dapat dicabut atau dihilangkan oleh siapapun,
karena merupakan karunia dari Tuhan. Hak asasi manusia dipahami sebagai hak
yang melekat dengan harkat dan hakekat kemanusiaan, apapun latar belakang ras,
etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, usia atau pekerjaan kita. Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam realis-nya mengatakan: “Human rights could generally be
defined as those rights which are inherent in our nature and without which we
cannot live as human beings”.11 Jadi hak asasi manusia merupakan hak yang
melekat dalam hakekat manusia, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat hidup
sebagai manusia.
Pandangan mengenai HAM sebagai sesuatu yang melekat pada diri
manusia, mengisyaratkan dan mensyaratkan dua hal, yaitu: 1) bahwa setiap
manusia dilahirkan dalam posisi merdeka dan memiliki hak serta martabat yang
sama; 2) bahwa setiap manusia patut dijunjung tinggi hak dan martabatnya sebagai
manusia, agar kemanusiaannya tidak lenyap akibat pencabutan hak tersebut oleh
kekuatan apapun. Dua hal ini menegaskan dengan jelas perlunya penghormatan atas
hak dan martabat manusia, sehingga setiap tindakan dan kondisi yang tidak
memungkinkan manusia untuk mendapatkan hak-hak dasarnya merupakan suatu
bentuk pelanggaran hak asasi. HAM juga tidak boleh dijadikan dasar untuk
mempertahankan kondisi yang tidak adil dan diskriminatif.
4.
Teori Keadilan Hukum
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan
hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya,
hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya,
sedapat mungkin merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap
ada yang berpendapat, bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan
merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat,
bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya12. Ulpianus (200 M)
menggambarkan keadilan sebagai justitia constans et perpetua voluntas ius suum
cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap
memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya), atau tribuere
cuique suum to give everybody his own, keadilan memberikan kepada setiap orang
yang menjadi haknya13. Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing-masing
person terhadap lainnya, serta apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian
pula sebaliknya.
Keadilan sudah dibicarakan sejak zaman dulu kala. Dalam hubungan antara
keadilan dengan negara, Plato (428-348 SM) menyatakan, bahwa negara ideal
apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan dan
harmoni. Harmoni di sini artinya warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan
negara (polis), di mana masing-masing warga negara menjalani hidup secara baik
11
United Nations, Human Rights Questions and Answers (Center of Rights), (New York:
2003), hlm, 4
12
Soetanto Soepiadhy, Keadilan Hukum, Surabaya Pagi, 28 Maret 2012.
13
O. Notohamidjojo, Masalah Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, hal. 18-19.
8
sesuai dengan kodrat dan posisi sosialnya masing-masing14. Aristoteles (384-322
SM) dalam karyanya Nichomachean Ethics mengungkapkan, bahwa keadilan
mengandung arti berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah
kebijakan yang utama. Menurut Aristoteles, justice consists in treating equals
equality and un-equals un-equality, in proportion to their inequality. Prinsip ini
beranjak dari asumsi “untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang
tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional”.15
Perkembangan lebih lanjut tentang keadilan, Thomas Aquinas (1225-1274)
mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu a) hubungan antar
individu (ordo partium ad partes); b) hubungan antar masyarakat sebagai
keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes); dan c) hubungan antar individu
terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum). Menurut Thomas
Aquinas, keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap
person manusia dan keluhurannya. Dalam konteks keadilan distributif, keadilan dan
kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual,
melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal lainnya. Ada dua
bentuk kesamaan, yaitu a) kesamaan proporsional; dan b) kesamaan kuantitas atau
jumlah16.
Friedmann menyatakan, bahwa formulasi keadilan Aristoteles merupakan
suatu kontribusi terbesarnya bagi filsafat hukum. Di samping itu, ia juga
membedakan keadilan menurut hukum, dan keadilan menurut alam. Keadilan
alamiah adalah keadilan yang daya berlakunya tidak dipengaruhi oleh ruang dan
waktu, serta keberadaannya bukan hasil pemikiran masyarakat. Keadilan hukum
adalah keadilan yang pada asalnya tidak berbeda, tetapi bilamana telah dijadikan
landasan, ia menjadi berlainan17.
Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum
(iustitia generalis) dan keadilan khusus (iustitia specialis). Keadilan umum adalah
keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum. Selanjutnya, keadilan khusus adalah keadilan atas dasar
kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi 1) keadilan
distributif (iustitia distributiva), 2) keadilan komutatif (iustitia commutativa), dan
3) keadilan vindikatif (iustitia vindicativa). Keadilan distributif adalah keadilan
yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seorang menjadi hakim, apabila
orang itu memiliki kecakapan menjadi hakim. Keadilan komutatif adalah keadilan
dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Keadilan vindikatif
adalah keadilan dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana
badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas
tindak pidana yang dilakukannya18.
Pemikiran kritis memandang, bahwa keadilan tidak lain sebuah
fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah kelihatan, akan tetapi
tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun
demikian, haruslah diakui, bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi kesewenang14
Soetanto Soepiadhy, op. cit.
Ibid.
16
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 124.
17
Soetanto Soepiadhy, op. cit.
18
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, Rajawali
Press, Jakarta, 1990, hal. 52.
15
9
wenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai kebajikan yang
paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilai apapun. Dari
sisi teori etis ini, lebih mengutamakan keadilan hukum dengan mengurangi sisi
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul (pendulum) jam.
Mengutamakan keadilan hukum saja, maka akan berdampak pada kurangnya
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.
5.
Teori Kepastian Hukum
Aristoteles dalam bukunya Rhetorica menjelaskan, bahwa tujuan hukum
adalah menghendaki keadilan semata-mata; dan isi (materi muatan) hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang
dikatakan tidak adil. Menurut teori ini, hukum mempunyai tugas suci dan luhur,
yakni keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang berhak
diterima, serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk
terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini, hukum harus membuat apa yang
dinamakan algemene regels (peraturan/ketentuan umum); di mana
peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum19.
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketenteraman dan ketertiban
dalam masyarakat, karena kepastian hukum mempunyai sifat sebagai berikut: a)
adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan
dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya; b) sifat undangundang yang berlaku bagi siapa saja20.
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak
mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan
adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi
kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi
sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut, atau menjadikannya
perbuatan yang nyata atau konkrit21. Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti,
karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundangundangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma22.
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian
hukum, yaitu “kepastian hukum oleh karena hukum”, dan “kepastian hukum dalam
atau dari hukum”. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam
masyarakat adalah hukum yang berguna. “Kepastian hukum oleh karena hukum”
memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta hukum
harus tetap berguna; sedangkan “kepastian hukum dalam hukum” tercapai, apabila
hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang
tersebut tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang
berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat
berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm, 3
Ibid.
21
Soetanto Soepiadhy, Kepastian Hukum, Surabaya Pagi, Rabu, 4 April 2012.
22
Ibid.
20
10
secara berlain-lainan23. Dalam prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan
dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun
hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsipprinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan
prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus
diutamakan. Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari
hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang
konkrit.
6.
Teori Kemanfaatan Hukum
Menurut Achmad Ali, bahwa aliran etis dapat dianggap sebagai ajaran
moral ideal, atau ajaran moral teoretis; sebaliknya ada aliran yang dapat
dimasukkan dalam ajaran moral praktis, yaitu aliran utilitas. Pakar-pakar penganut
aliran utilitas ini, terutama adalah Jeremy Bentham, yang dikenal sebagai the father
of legal utilitarianism. Selain Bentham, juga James Mill, dan John Stuart Mill; tetapi
Jaremy Bentham-lah merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar utilitas.24
Penganut aliran utilitas ini menganggap, bahwa tujuan hukum semata-mata untuk
memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyakbanyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial,
bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah
satu alatnya25.
Jeremy Benthan (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, yuris, dan
reformer hukum, yang memiliki kemampuan untuk memformulasikan “prinsip
kegunaan/kemanfaatan” (utilitas) menjadi doktrin etika, yang dikenal sebagai
utilitarianism atau madhab utilitis. Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh
Bentham dalam karya monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (1789). Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut
cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk
mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta
ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya dipertimbangkan26. Menurut
Bentham, alam telah menempatkan manusia di bawah pengaturan dua “penguasa”
yang berdaulat (two sovereign masters), yaitu penderitaan (pain) dan kegembiraan
(pleasure). Keduanya menunjukkan apa yang harus dilakukan, dan menentukan apa
yang akan dilakukan. Fakta bahwa kita menginginkan kesenangan, dan berharap
untuk menghindari penderitaan, digunakan oleh Bentham untuk membuat
keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan27.
Aliran utilitas yang menganggap, bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Aliran
utilitas memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan
untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
sebanyak mungkin warga masyarakat. Bentham berpendapat, bahwa negara dan
hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas
23
E. Utrecht dalam Sudiman Sidabukke, Kepastian Hukum Perolehan Hak atas Tanah bagi
Investor, Disertasi, Program Pascsarjana Universitas Brawijaya, Malang, 2007.
24
Soetanto Soepiadhy, Kemanfaatan Hukum, Surabaya Pagi, Kamis, 12 April 2012.
25
Ibid.
26
Achmad Ali, Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi Undang-Undang,
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 273.
27
Ibid.
11
rakyat. Itulah sebabnya Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya,
bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan yang terbedar, untuk terbanyak orang) 28. Konsep
Jeremy Bentham mendapat kritikan yang cukup keras. Dengan adanya kritik-kritik
terhadap prinsip kemanfaatan hukum tersebut, maka John Rawls, mengembangkan
sebuah teori baru yang menghindari banyak masalah yang tidak terjawab oleh
utilitarianism. Teori kritikan terhadap utilitas dinamakan teori Rawls atau justice as
fairness (keadilan sebagai kejujuran)29.
Kritik Rawls tegasnya, bahwa untuk memperbesar kebahagiaan, terlebih
dahulu tentunya, harus memiliki ukuran kebahagiaan. Lalu, bagaimana caranya
mengukur kebahagiaan itu? Sesuatu yang menyenangkan seseorang, belum tentu
juga menyenangkan bagi orang lain. Seseorang yang senang membaca,
kemungkinan besar tidak senang berjudi. Sebaliknya, seseorang yang senang
berjudi, juga kemungkinan besar tidak senang membaca. Bahkan, bagi kita sendiri,
sangat sulit untuk mengukur kebahagiaan. Hal-hal yang berbeda memberikan
kesenangan yang berbeda pula, yang sulit untuk diperbandingkan. Bagaimana
caranya membandingkan kebahagiaan yang diperoleh dari makan dan kebahagiaan
yang diperoleh dari membaca? Bahkan, hal yang serupa, seperti makan, dapat
memberikan kesenangan yang berbeda tingkatannya, pada waktu dan suasana yang
berbeda. Makan, jauh lebih menyenangkan ketika sedang kelaparan, daripada
ketika sedang kenyang. Jadi, dapat dilihat, bahwa kebahagiaan tidak mungkin untuk
didefinisikan dan diukur secara konkret30.
Teori lain yang mencoba untuk mencari jalan tengah di antara kedua teori
di atas, yakni Teori Pengayoman. Dalam teori ini dinyatakan, tujuan hukum adalah
untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif yakni
upaya menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses
yang berlangsung secara wajar; sedangkan secara pasif adalah mengupayakan
pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Memang teori tersebut tampak berusaha menggabungkan kelemahan-kelemahan
terhadap keadilan hukum dan kepastian hukum. Teori Pengayoman dalam
pandangan secara aktif, menunjukkan pada suatu teori kemanfaatan hukum;
sementara dalam pandangan secara pasif, menunjukkan pada suatu teori keadilan
hukum31. Sebagai Applied Theory yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini
adalah peraturan perundang-undangan dan hukum positif serta ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan tindak pidana pemilu.
Pengertian Tindak Pidana Pemilu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang merupakan
peninggalan Belanda telah dimuat lima pasal yang substansinya adalah tindak
pidana pemilu tanpa menyebutkan sama sekali apa yang dimaksud dengan tindak
pidana pemilu.32 Pembentuk Kitab Undang-undang Pidana kita tidak memberikan
suatu penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu, sehingga
di dalam doktrin menimbulkan berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan tindak pidana pemilu.
28
Soetanto Soepiadhy, op. cit.
Ibid.
30
Ibid.
31
Muchsin, Ihtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 12.
32
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu,Cetakan I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm, 1.
29
12
Menurut Djoko Prakoso, memberikan pengertian Tindak Pidana Pemilu dengan:
“Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar
hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan
umum yang diselenggarakan menurut undang-undang.”33
Menurut Topo Santoso, berbagai buku yang menjadikan tindak Pidana Pemilu
sebagai sorotan tampaknya belum ada yang secara mendalam membahas mengenai
pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu. Sintong Silaban misalnya
ketika memberi pengertian tindak pidana pemilu, ia menguraikan apa yang
dimaksud dengan tindak pidana secara umum, kemudian menerapkannya dalam
kaitannya dengan pemilu.34
Sedangkan Polri dalam buku Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Pemilu
memberikan pengertian mengenai tindak pidana Pemilu adalah :
a.
Tindak pidana atau pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap
ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
b.
Ketentuan pidana Pemilu diatur pasal 260 s/d pasal 311 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
terdapat juga istilah Tindak Pidana pemilu dalam pasal 29, 31, 74, 76, 78, 80, 82,
84, 99, dan pasal 102. Namun tidak ada satupun pasal yang memberikan definisi
apa itu tindak pidana pemilu.
Sedangkan Undang-Undang No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah telah memiliki definisi ruang lingkup apa yang disebut
dengan tindak pidana pemilu.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan
mengunakan peraturan perundang-undangan. Titik berat penelitian yuridis
normatif, sesuai dengan karakter keilmuan hukum yang khas, terletak pada telaah
hukum atau kajian hukum terhadap hukum positif, yang meliputi tiga lapisan
keilmuan hukum, tediri atas telaah dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat
hukum. Pada tataran dogmatika hukum, pengkajiannya dilakukan terhadap
identifikasi dalam hukum positif, khususnya undang-undang. Sedangkan pada
tataran teori hukum dilakukan telaah terhadap teori-teori yang dapat digunakan.
Jenis penelitian disertasi ini, merupakan penelitian yuridis normatif yang mengkaji
secara kritis dan komprehensif mengenai tindak pidana pemilu dalam sistem
pemilihan umum di Indonesia. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) digunakan, karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yang berkaitan
dengan penelitian ini. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana pemilu dalam sistem
pemilihan umum di Indonesia. Pendekatan ini perlu memahami hirarki dan asasasas peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini juga digunakan untuk
menemukan jawaban terhadap materi muatan hukum yang dirumuskan dalam
penelitian ini. Pendekatan peraturan perundang-undangan ini merupakan
33
34
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu,Sinar Harapan, (Jakarta: 1987, hlm, 148.
Topo Santoso, Op. cit.,hlm, 3
13
pendekatan yang mengharuskan, mengkaji, maupun mempelajari konsistensi dan
kesesuaian peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain, terkait
dengan permasalahan yang dirumuskan dalam disertasi ini.
Pendekatan konseptual (conceptual approach), merupakan pendekatan
penelitian, yang bertitik tolak pada pandangan dan doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum. Dengan melihat pandangan dan doktrin tersebut, akan ditemukan
pengertian-pengertian hukum, serta konsep-konsep hukum, sesuai dengan
permasalahan atau materi muatan hukum yang akan diteliti. Dengan pendekatan
konsep ini, diharapkan dapat membuat argumentasi hukum guna menjawab materi
muatan hukum yang menjadi titik tolak penelitian. Pendekatan historis (historical
approach) dilakukan mengetahui latar belakang lahirnya aturan perundangundangan. Dengan mengetahui latar belakang sejarah dibuat aturan perundangundangan. Para penegakan hukum akan memiliki interprestasi yang sama terhadap
permasalahan hukum yang telah diatur dalam aturan perundang-undangan yang
dimaksud. Latar belakang aturan perundang-undangan yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi dalam permasalahan
penelitian.
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan
untuk memahami penerapan norma-norma hukum yang ditarapkan dalam praktik
hukum. Terutama terhadap kasus-kasus yang telah diputus, sebagaimana yang
dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus
penelitian. Suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak penormaan dalam suatu aturan hukum;
serta mengunakan analisisnya sebagai bahan masukan dalam penjelasan hukum.
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara telaah terhadap kasus yang telah diputus
yang bertalian dengan permasalahan baik pada tingkat judex factie maupun putusan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Studi kasus merupakan studi terhadap
kasus tertentu dari berbagai aspek hukum.
Dalam penelitian ini mempergunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, sebagai berikut.
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penulisan
disertasi ini akan mempergunakan bahan hukum primer sebagai berikut.
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah.
c. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum.
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik.
e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti studi kepustakaan dan studi
dokumentasi, arsip, data resmi pemerintah, buku-buku hukum, jurnal, majalah
yang dipublikasikan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan ini.
14
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian disertasi ini, diawali
dengan studi kepustakaan, yaitu inventarisasi semua bahan hukum yang terkait
dengan pokok permasalahan, baik bahan hukum primer, maupun bahan hukum
sekunder. Kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait, selanjutnya
bahan hukum tersebut disusun secara sistematis untuk lebih mudah membaca dan
mempelajarinya. Bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, kemudian
dikumpulkan dan dikelompokkan, untuk dipilih dan dipilah sesuai dengan karakter
bahan hukum yang diperlukan; terutama yang ada relevansinya dengan
permasalahan yang dibahas. Untuk bahan hukum yang kurang relevan, untuk
sementara disisihkan, dan akan dipergunakan apabila bahan hukum tersebut
diperlukan. Analisis bahan hukum dilakukan dengan terlebih dulu mengidentifikasi
bahan hukum yang terkumpul, kemudian didiskripsikan, disistematisasikan dengan
mendasarkan pada teori keilmuan hukum dan konsep-konsep ilmu hukum, prinsipprinsip atau asas-asas hukum. Selanjutnya, analisis bahan hukum yang
dipergunakan dalam penelitian disertasi ini adalah analisis yuridis kualitatif, yaitu
analisis yang mendasarkan atau bertumpu pada penalaran hukum (legal reasoning),
intepretasi hukum (legal intepretation), dan argumentasi hukum (legal
argumentation) secara runtut. Penggunaan analisis bahan hukum yang demikian,
diharapkan dapat menjelaskan permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian
disertasi ini secara memuaskan.
HASIL KAJIAN
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PEMILU DI INDONESIA
Ruang Lingkup Karakteristis Pidana Pemilu
Pidana pemilu biasanya dilakukan oleh para politisi sebelum mendapatkan
kekuasaan. Politisi melakukan praktek-praktek haram pada saat Pemilu untuk
mempengaruhi pemilih. Manifestasi yang paling umum dan mencolok dari pidana
pemilu adalah menyuap pemilih secara langsung.35
Karakteristik dalam penelitian ini diartikan sebagai ciri atau bawaan yang umum
dan sering terjadi ketika pemilihan umum akan, sedang dan telah berlangsung. Hasil
pengamatan peneliti, beberapa karakteristik pidana pemilu tersebut adalah;
1. Beli suara (vote buying), dimana partai politik atau kandidat membeli suara
pemilih dengan menggunakan uang, barang, jasa, jabatan ataupun keuntungan
finansial lainnya.
2. Beli kursi (candidacy buying), dimana orang ataupun kelompok kepentingan
mencoba untuk membeli nominasi agar dicalonkan dalam pemilu.
3. Manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu (electoral administrative
corruption)
4. Dana kampanye yang ‘mengikat’ (abusive donation) menjadikan sumbangan
kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik.
ad. 1. Beli suara (vote buying)
Beli suara (vote buying) merupakan modus yang umum dilakukan, dimana partai
politik atau kandidat (juga tim kampanye/sukses) membeli suara pemilih dengan
memberikan uang ataupun keuntungan finansial lainnya. Praktek beli suara pada
35
Silke Pfeiffer, Vote Buying and Its Implication for Democracy: evidence from Latin
America, (TI Global Report 2004), hlm, 76
15
pemilu tahun 1999 terjadi di banyak tempat dengan modus yang berbeda-beda
seperti;
(1) Penggunaan Dana KUT dan dana JPS36
(2) Membagi-bagikan uang kepada pemilih secara langsung,
(3) Pembagian barang dan sembako
(4) memberi uang kepada massa kampanye,
(5) Memberi bantuan dana pembangunan rumah ibadah,
(6) membagikan uang melalui temu kader,
(7) Janji-janji memberi sesuatu.
Praktek politik uang ini ’menyiasati’ kondisi kesulitan ekonomi yang dihadapi
masyarakat menyebabkan sebagian pemilih tergantung pada pemberian uang atau
keuntungan finansial lainnya demi kebutuhan sesaat.
ad. 2 Modus Membeli Nominasi (Candidacy Buying),
Modus Membeli Nominasi (Candidacy Buying) dimana politisi berupaya untuk
dinominasikan menjadi calon legislatif atau eksekutif dengan cara membayar atau
mengiming-imingi elit partai. Pembelian ’kursi’ masih menjamur akibat dari proses
seleksi dan penetapan calon oleh partai-partai politik masih jauh untuk disebut
demokratis dan partisipatif.
Faktor-faktor yang menentukan dalam pencalonan berupa hubungan kedekatan atau
perkoncoan antara elit partai, loyalitas calon terhadap faksi tertentu, dan juga
kekuatan finansial kandidat.
Pola-pola inilah yang melanggengkan patronase politik di dalam partai politik.
Akibatnya, kandidat yang memiliki kompetensi dan komitmen, tapi tanpa dana
yang memadai ataupun patron politik bakal tersingkir.
ad.3 Manipulasi Administratif Dalam Tahapan dan Proses Pemilu (Electoral
Administrative Corruption)
Manipulasi Administratif Dalam Tahapan dan Proses Pemilu dilakukan dengan
merubah, menghambat atau memanipulasi tahapan dan kelengkapan administratif
untuk kepentingan pemenangan peserta pemilu tertentu. Pelanggaran modus ini
terjadi dalam hubungan antara peserta pemilu dan pelaksana pemilu. Modus ini
masih marak di tahun 1999 karena pelaksana pemilu adalah anggota partai-partai
politik. Dengan insentif tertentu seperti promosi pekerjaan dan uang pelaksana
pemilu sulit bersifat independen. Tahapan-tahapan pemilu yang rawan manipulasi
biasanya sebelum pemungutan suara, pada saat perhitungan suara, dan pada saat
rekapitulasi hasil perhitungan suara. Pada tahap pendaftaran pemilih, sering kali
ditemukan adanya phantom voters atau multiple vote.
Phantom voters adalah pemilih yang sudah meninggal atau belum
mempunyai hak mimiliih tetapi didaftarkan. Biasanya, kartu dari pemilih ini
digunakan oleh pemilih lain untuk mencoblos calon tertentu. Sedangkan multiple
voters adalah pemilih yang dapat datang mencoblos berkali-kali. Selain itu, kartu
pemilih bagi kelompok pemilih yang diidentifikasi akan memberikan suara kepada
kandidat lawan, tidak diberikan sehingga mereka tidak dapat memilih. Modus
manipulasi suara yang lain adalah dengan sengaja merusak kertas suara yang
memilih parpol tertentu pada saat perhitungan suara dan manipulasi angka hasil
perhitungan suara pada saat rekapitulasi perhitungan suara. Praktek pidana pemilu
36
Tim Yipika, Menabur Uang, Menuai Suara; Analisis kasus money politics pada Pemilu
1999 di 8 daerah Pemantauan, hlm, 6 – 18
16
dalam bentuk pelanggaran administratif ini bukan hanya sekedar merusak hasil
pemilu tetapi juga menyelewengkan aspirasi politik pemilih dalam pemilu.
ad.4 Pendanaan kampanye yang mengikat (Abusive Donation).
Modus keempat adalah pendanaan kampanye yang mengikat (abusive
donation), yaitu para donatur menjadikan sumbangan kepada partai ataupun
kandidat sebagai investasi politik. Investor atau rentenir politik ini dikemudian hari
akan berusaha menggunakan partai yang didukungnya untuk mempengaruhi
kebijakan publik untuk kepentingan bisnis atau politiknya. Belajar dari beberapa
Pemilu, manipulasi yang sering dilakukan adalah dengan tidak mencatatkan jumlah
sumbangan dan data penyumbang sehingga mempersulit audit dana kampanye
karena sumbangan tidak bisa terlacak. Modus yang lain adalah dengan sumbangan
kepada rekening partai politik baru kemudian ditarnsfer ke rekening khusus dana
kampaye. Dengan demikian, sumbagan dalam jumlah besar dianggap seoleh-olah
merupakan kontribusi dari partai. Hal yang paling mengkhawatirkan dari
manipulasi pendanaan politik adalah penggunaan dana-dana publik, baik dari
departemen, BUMN ataupun institusi publik lainya.
Dampak yang disebabkan oleh pidana pemilu sangatlah besar. Pemenangan
yang diperoleh dengan melakukan kecurangan mengakibatkan pemilih akhirnya
menyadari bahwa siapapun yang dipilih, kebijakan publik, proses penyelenggaraan
negara dan penegakan hukum takkan bisa disentuh. Penyebabnya, ada tangan tak
terlihat (invisible hand), yang mengatur negara, di luar jangkauan dan kontrol
pemilih. Akibatnya, partisipasi pemilih rendah bukan akibat dari tingkat
pemahaman politik yang rendah; justru sebaliknya, pemilih sangat paham dan sadar
bahwa pemilu tak pernah efektif untuk mempengaruhi kebijakan. Karakteristik
pidana pemilu, menarik untuk disimak untuk dapat membaca strategi dirty politic
serta merancang antisipasi agar penyimpangan ini dapat dicegah. Juga penting
untuk dicermati perubahan pola dalam konteks konstelasi politik serta hubungan
antar aktor dalam pemilu.
Pihak atau aktor yang menjadi pelaku pidana pemilu dapat dikategorikan dalam tiga
unsur aktor utama, yaitu; pengurus partai, kader/ simpatisan partai dan birokrasi
pemerintahan. Mencuatnya peran aktivis partai dalam melakukan korupsi pemilu
dikarenakan terjadinya ’kompetisi bebas’ antar partai dalam upaya pemenangan
pemilu. Memang masih ada keterlibatan birokrasi, yang diinstruksikan oleh elit
pemerintahan yang merupakan politisi. Tetapi keterlibatan ini dilakukan secara
sporadis dan tidak se-sistimatis pada masa Orde baru.
Kompilasi data kasus-kasus politik uang pada Pemilu Legislatif 2009 hasil
pantauan ICW dan Transparency International Indonesia,37 ditemukan kurang lebih
7 modus politik uang dengan dua aktor utama, yaitu pengurus partai politik dan
kandidat legislatif. Modus vote-buying pada pemilu legislatif 2009 didominasi oleh
praktek pembagian uang secara langsung selama kampanye, rapat akbar atau
deklarasi partai politik. Pembagian uang dilakukan baik secara terbuka ataupun
tertutup melalui pimpinan rombongan atau diberikan dengan dalih biaya
transportasi dan konsumsi.
Alibi yang diutarakan selalu seragam; sebagai ongkos politik ataupun biaya
partisipasi dalam kegiatan kampanye. Hanya saja, dengan jumlah yang cukup besar
(bervariasi antara Rp. 50,000 sampai dengan Rp. 200,000 (tergantung dari daerah
dan acara kampanye) sulit dikatakan bahwa uang tersebut sebagai ongkos politik
37
Pemantauan dilakukan di 28 daerah tingkat dua yang tersebar merata di seluruh Indonesia.
Pemantauan dilakukan pada masa sebelum masa kampanye sampai pada hari pemungutan suara.
17
disamping pembagian atribut kampanye (kaos, bendera, poster, stiker, dll). Selain
pembagian uang ini yang menjadi faktor penarik bagi orang berduyun-duyun
mengikuti kampanye, juga dilakukan dengan cara yang cukup sistematis.Modus
kedua terbanyak adalah pembagian barang-barang mewah lewat undian/doorprize.
Seringkali acara kampanye yang digelar diselingi dengan pembagian hadiah yang
cukup mewah dengan kamuflase undian. Acara lain yang jamak digelar adalah bakti
sosial. Mendadak, selama musim kampanye, dibanyak tempat diadakan acara bakti
sosial seperti pengobatan gratis, sunatan massal, kerja bakti, dan lain-lain. Pihak
‘panitia’ berharap, dengan selubung undian, maka tidak akan dikategorikan sebagai
praktek pembelian suara. Cara lain adalah dengan memberikan bantuan
pembangunan infra struktur seperti menyumbang semen, pasir, alat berat dalam
pembangunan jalan, gedung serba guna, dll. Pembangunan infrastruktur secara
karikatif ini jelas tidak membawa perubahan atau perbaikan infrastruktur yang
dapat menunjang kemajuan kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara jangka
panjang. Pemberian sumbangan kepada Lembaga keagamaan dan pada acara
keagamaan juga dipandang efektif untuk mengaet simpati pemilih. Sama seperti
acara bakti sosial, sumbangan atau sedekah marak terjadi di musim kampanye.
Siasat lainnya adalah dengan memberikan sembako.
PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMILU DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
A.
Subjek dan Jenis Tindak Pidana Pemilu
1.
Subjek Tindak Pidana Pemilu
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 terdapat 24 ketentuan pidana ditujukan
kepada setiap orang, 19 ketentuan secara langsung ditujukan ke penyelenggara, 2
ketentuan untuk pengawas, 11 ketentuan dilakukan pelaksana, peserta, dan petugas
kampanye. Selebihnya dilakukan oleh aparat pemerintah (3), perusahaan
percetakan (2), lembaga survei (3), dan petugas pembantu pemilih (1)38
Menurut Topo Santoso, subjek hukum pidana pemilu, itu macam-macam, dari
perorangan, partai politik, hingga perusahaan yang menjadi rekanan KPU.39
Menurut Abdul Fickar Hadjar subjek yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu
antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event
organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung
pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim
pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI,
serta Pejabat Badan Usaha Milik negara ), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga
Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan
Pengawas Pemilu.40
Lebih detil lagi menurut Marsudin Nainggolan, subjek hukum dari tindak pidana
pemilu terdiri dari :
38
Veri Junaedi, Penegakkan Pidana Pemilu Rawan Dipecundangi,dalam
www.reformasihukum.org, diakses tanggal 25 April 2009.
39
Topo Santoso, Banyak Salah Kaprah Penerapan Pidana Pemilu, dalam
http://www.republika.co.id/berita/31876/Banyak_Salah_Kaprah_Penerapan_Pidana_Pemilu,
diakses tanggal 25 April 2009.
40
Abdul
Fickar
Hadjar,
Penegakan
Hukum
Tindak
Pidana
Pemilu,
www.fickar15.blog.friendster.com, diakses tanggal 25 April 2009.
18
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
–
Setiap Orang
Pejabat Yudikatif.
Pejabat BPK.
Pejabat Bank Indonesia.
Pejabat BUMN / BUMD
PNS
TNI
Polri
Kepala Desa / Perangkat,BPD.
WNI yang tidak memiliki hak pilih.
Petugas PPS atau PPLN
KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten / Kota.
Pegawai KPU Setjen KPU, Sekretaris KPU Prop, Sekretaris KPU Kabupaten /
Kota.
Ketua KPPS / KPPSLN.
Setiap Pelaksana, Peserta atau Petugas Kampanye.
Pengawas Pemilu (Bawaslu , Panwaslu).
Orang/ Lembaga Penghitungan Cepat.
Setiap Perusahaan Percetakan Surat Suara.
Setiap Majikan atau Atasan.41
Tindak Pidana Pemilu Berdasarkan Tahapan Pemilu
Menurut Topo Santoso, Pada tahapan-tahapan pemilu dimulai dari tahapan
pendaftaran baik pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta, maupun pendaftaran
DPR, DPRD, dan DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian
tahapan kampanye pemilu, tahapan pemungutan suara, dan yang terakhir tahapan
pasca pemungutan suara.
Berdasarkan ketentuan UU No 10 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) Tahapan
penyelenggaraan Pemilu meliputi :
1. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
2. pendaftaran Peserta Pemilu;
3. penetapan Peserta Pemilu;
4. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
5. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
6. masa kampanye;
7. masa tenang;
8. pemungutan dan penghitungan suara;
9. penetapan hasil Pemilu; dan
10. pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Kalau dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan umum penyelenggara pemilu berdasarkan
Pasal tersebut di atas, yaitu tahapan sebelum pemungutan suara, tahapan saat
41
DR. Marsudin Nainggolan, Pelanggaran Pidana Pemilu Dalam UU Pemilu No. 10 Tahun
2008 dan UU No. 42 Tahun 2008, di dalam www.pakpakbharatkab.go.id, diakses tanggal 27 April
2009.
19
pemungutan suara, dan tahapan pasca pemungutan suara, maka tindak pidana
pemilu berdasarkan 3 tahapan tersebut terdiri dari :
1) Tahapan sebelum Pemungutan suara :
Tindak pidana yang berkaitan dengan tahapan sebelum pemungutan suara yaitu :
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b. pendaftaran Peserta Pemilu;
c. penetapan Peserta Pemilu;
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e. pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f. masa kampanye;
g. masa tenang;
Pasal-Pasal ketentuan tindak pidana yang terkait tahapan sebelum pemungutan
suara bisa di lihat dalam tabel berikut :
Tabel
Perumusan Tindak Pidana
Berdasarkan tahapan sebelum pemungutan suara
No Tahapan
Psl
Perbuatan
Sanksi/Pidana
Sebelum
Pemungutan
suara
Penjara
Denda
Min/Max
Min/Max
(Rp)
1
pemutakhiran
260
Setiap orang yang dengan 12
Bln–24 12.000.000
data pemilih
sengaja
menyebabkan Bln
24.000.000
dan
orang lain kehilangan hak
penyusunan
pilihnya
daftar pemilih
261
Setiap orang yang dengan 3 Bln – 12 Bln 3.000.000
sengaja
memberikan
12.000.000
keterangan yang tidak
benar
mengenai
diri
sendiri atau diri orang lain
tentang suatu hal yang
diperlukan
untuk
pengisian daftar pemilih
262
Setiap orang yang dengan 12 Bln – 36 12.000.000kekerasan atau dengan Bln
36.000.000
ancaman kekerasan atau
dengan
menggunakan
kekuasaan
yang
ada
padanya
pada
saat
pendaftaran
pemilih
menghalang-halangi
seseorang untuk terdaftar
sebagai pemilih dalam
Pemilu menurut UndangUndang ini
-
-
20
263
264
2
pendaftaran
Peserta Pemilu
265
Petugas PPS/PPLN yang
dengan sengaja tidak
memperbaiki
daftar
pemilih sementara setelah
mendapat masukan dari
masyarakat dan Peserta
Pemilu
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36
ayat (6), Pasal 37 ayat (2),
dan Pasal 43 ayat (5)
Setiap anggota KPU, KPU
provinsi,
KPU
kabupaten/kota,
PPK,
PPS, dan PPLN yang tidak
menindaklanjuti temuan
Bawaslu,
Panwaslu
provinsi,
Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu
kecamatan,
Pengawas
Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar
Negeri dalam melakukan
pemutakhiran
data
pemilih, penyusunan dan
pengumuman
daftar
pemilih
sementara,
perbaikan
dan
pengumuman
daftar
pemilih
sementara,
penetapan
dan
pengumuman
daftar
pemilih
tetap,
dan
rekapitulasi daftar pemilih
tetap yang merugikan
Warga Negara Indonesia
yang memiliki hak pilih
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2)
Setiap orang yang dengan
sengaja
melakukan
perbuatan curang untuk
menyesatkan
seseorang
atau dengan memaksa atau
dengan menjanjikan atau
memberikan uang atau
materi lainnya untuk
memperoleh
dukungan
bagi pencalonan anggota
DPD
dalam
Pemilu
3 Bln - 6 Bln
3.000.000
6.000.000
6 Bln – 36 Bln 6.000.000
36.000.000
12 Bln – 36 12.000.000Bln
36.000.000
-
-
21
266
3
Penetapan
Peserta
Pemilu
267
268
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 13
Setiap orang yang dengan
sengaja membuat surat
atau dokumen dengan
maksud untuk memakai
atau menyuruh orang
memakai, atau setiap
orang yang dengan sengaja
menggunakan surat atau
dokumen yang dipalsukan
untuk menjadi bakal calon
anggota
DPR,
DPD,
DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota atau calon
Peserta
Pemilu
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 63 dan dalam
Pasal 73
Setiap anggota KPU, KPU
provinsi,
dan
KPU
kabupaten/kota yang tidak
menindaklanjuti temuan
Bawaslu,
Panwaslu
provinsi, dan Panwaslu
kabupaten/kota
dalam
melaksanakan verifikasi
partai politik calon Peserta
Pemilu
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3)
Setiap anggota KPU, KPU
provinsi,
dan
KPU
kabupaten/kota yang tidak
menindaklanjuti temuan
Bawaslu,
Panwaslu
provinsi dan Panwaslu
kabupaten/kota
dalam
pelaksanaan
verifikasi
partai politik calon Peserta
Pemilu dan verifikasi
kelengkapan administrasi
bakal calon anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD
kabupaten/kota
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (3)
36 Bln – 72 36.000.000Bln
72.000.000
6 Bln – 36 Bln 6.000.000
36.000.000
-
6 Bln – 36 Bln 6.000.000
36.000.000
-
22
4
5
6
Penetapan
jumlah kursi
dan penetapan
daerah
pemilihan
pencalonan
anggota DPR,
DPD, DPRD
provinsi, dan
DPRD,
kabupaten/kota
masa
271
kampanye
272
273
274
dan dalam Pasal 70 ayat
(3)
-
-
-
-
-
Setiap
pelaksana
kampanye yang melanggar
larangan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84
ayat (2)
Setiap
Ketua/Wakil
Ketua/Ketua Muda/hakim
Agung/hakim Konstitusi,
hakim-hakim pada semua
badan
peradilan,
Ketua/Wakil Ketua dan
anggota Badan Pemeriksa
Keuangan,
Gubernur,
Deputi Gubernur Senior,
dan Deputi Gubernur Bank
Indonesia serta Pejabat
BUMN/BUMD
yang
melanggar
larangan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (3)
Setiap pegawai negeri
sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia dan
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia,
kepala desa, dan perangkat
desa, dan anggota badan
permusyaratan desa yang
melanggar
larangan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (3)
dan ayat (5)
Pelaksana kampanye yang
dengan
sengaja
menjanjikan
atau
memberikan uang atau
3 Bln – 12 Bln 30.000.00060.000.000
6 Bln – 24 Bln 25.000.000
50.000.000
-
3 Bln – 12 Bln 3.000.000
12.000.000
-
6 Bln – 24 Bln 6.000.000
24.000.000
-
23
275
276
277
278
materi lainnya sebagai
imbalan kepada peserta
kampanye secara langsung
ataupun tidak langsung
agar tidak menggunakan
haknya untuk memilih,
atau memilih Peserta
Pemilu tertentu, atau
menggunakan
haknya
untuk memilih dengan
cara tertentu sehingga
surat suaranya tidak sah
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 87
Anggota KPU, KPU
provinsi,
KPU
kabupaten/kota, Sekretaris
Jenderal KPU, pegawai
Sekretariat Jenderal KPU,
sekretaris KPU provinsi,
pegawai sekretariat KPU
provinsi, sekretaris KPU
kabupaten/kota,
dan
pegawai sekretariat KPU
kabupaten/kota
yang
terbukti melakukan tindak
pidana Pemilu dalam
pelaksanaan
kampanye
Pemilu
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 123
ayat (1)
Setiap
orang
yang
memberi atau menerima
dana kampanye melebihi
batas yang ditentukan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 131 ayat (1)
dan ayat (2) dan Pasal 133
ayat (1) dan ayat (2)
Pelaksana kampanye yang
terbukti
menerima
sumbangan
dan/atau
bantuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139
Setiap orang yang dengan
sengaja
mengacaukan,
menghalangi,
atau
mengganggu
jalannya
kampanye Pemilu
6 Bln – 24 Bln 6.000.000
24.000.000
-
6 Bln – 24 Bln 1.000.000.000 5.000.000.000
12 Bln – 36 12.000.000Bln
36.000.000
6 Bln – 24 Bln 6.000.000
24.000.000
-
24
279
ayat
1
279
ayat
2
280
281
7
masa tenang
280
Pelaksana kampanye yang
karena
kelalaiannya
mengakibatkan
terganggunya
tahapan
penyelenggaraan Pemilu
di tingkat desa/kelurahan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 105
Dalam hal tindak pidana
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dilakukan
karena kesengajaan
Setiap pelaksana, peserta,
atau petugas kampanye
yang terbukti dengan
sengaja atau lalai yang
mengakibatkan
terganggunya
tahapan
penyelenggaraan Pemilu
Setiap orang yang dengan
sengaja
memberikan
keterangan tidak benar
dalam
laporan
dana
kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134
dan Pasal 135 ayat (1) dan
ayat (2)
Setiap pelaksana, peserta,
atau petugas kampanye
yang terbukti dengan
sengaja atau lalai yang
mengakibatkan
terganggunya
tahapan
penyelenggaraan Pemilu
3 Bln – 12 Bln 3.000.000
12.000.000
-
6 Bln – 18 Bln 6.000.000
18.000.000
-
6 Bln – 24 Bln 6.000.000
24.000.000
-
6 Bln – 24 Bln 6.000.000
24.000.000
-
6 Bln – 24 Bln 6.000.000
24.000.000
-
Dilihat dari tahapan pemilu pada tahapan masa kampanye, lamanya masa
kampanye berdasarkan Lampiran I, Peraturan KPU Nomor: 19 Tahun 2009 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Perwakilan Rakyat Daerah, bahwa
(Kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas mulai (tgl 12 Juli 2008 sampai dengan
tgl 5 April 2009), kampanye untuk calon anggota DPR, DPD dan DPRD
(Kampanye dalam bentuk rapat umum tgl 16 Maret 2009 sampai dengan 5 April
2009). Sedangkan antara tanggal 6 April 2009 sampai dengan 8 April 2009 adalah
masa tenang dimana tidak boleh ada kegiatan kampanye pemilihan umum.
Jika dilihat dari definisi kampanye pemilu berdasarkan Pasal 1 ayat (26) UU
No 10 Tahun 2008, kampanye pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk
meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta
Pemilu. Dan Pasal 1 ayat (26) tersebut dikaitkan dengan ketentuan pidana pada
tahapan masa kampanye maka definisi tersebut masih sangat sempit. Akibatnya jika
25
terjadi pada masa kampanye peserta pemilu melakukan kegiatan kampanye yang
sudah sesuai prosedur tentang pelaksanaan kampanye pemilu baik ke KPU dan
Kepolisian, namun dalam isinya tidak pernah menawarkan visi, misi, dan program
peserta pemilu seperti contoh : “contreng nomor 60 !!!”. Maka, hal tersebut
bukanlah dikatakan kampanye pemilu yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (26).
Akibatnya Pasal Pasal tentang ketentuan tindak pidana pada tahapan masa
kampanye tidak dapat diterapkan. Namun definisi kampanye pemilu diperluas di
dalam Lampiran Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2009 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Perwakilan Rakyat Daerah, di dalam Ketentuan
Umum angka 7 yaitu . Kampanye pemilihan umum adalah kegiatan peserta pemilu
untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta
pemilu termasuk mengajak memilih seseorang atau partai tertentu.
2)
Tahapan Saat Pemungutan Suara :
Tindak pidana yang berkaitan dengan tahapan saat pemungutan suara adalah:
a.
tahapan pemungutan; dan
b.
penghitungan suara.
Pasal-Pasal ketentuan tindak pidana yang terkait tahapan saat pemungutan suara
bisa di lihat dalam tabel berikut :
No
Tabel
Perumusan Tindak Pidana Pemilu
Berdasarkan tahapan saat Pemungutan suara
Tahapan Saat Pasal Perbuatan
Pemungutan
suara
Sanksi/Pidana
Penjara
Min/Max
1
tahapan
pemungutan
Suara
286
287
Denda
Min/Max
(Rp)
Setiap orang yang dengan sengaja 12 Bln – 6.000.000 pada saat pemungutan suara 36 Bln
36.000.000
menjanjikan atau memberikan
uang atau materi lainnya kepada
pemilih
supaya
tidak
menggunakan hak pilihnya atau
memilih Peserta Pemilu tertentu
atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga
surat suaranya tidak sah
Setiap orang yang dengan sengaja 6 Bln - 24 6.000.000 menggunakan kekerasan atau Bln
24.000.000
ancaman kekerasan dan/atau
menghalangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih
atau melakukan kegiatan yang
menimbulkan
gangguan
ketertiban dan ketenteraman
pelaksanaan pemungutan suara
26
288
289
290
291
292
294
295
2
penghitungan
suara
288
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan
perbuatan
yang
menyebabkan suara seorang
pemilih menjadi tidak bernilai
atau menyebabkan Peserta Pemilu
tertentu mendapat tambahan suara
atau perolehan suara Peserta
Pemilu menjadi berkurang
Setiap orang yang dengan sengaja
pada saat pemungutan suara
mengaku dirinya sebagai orang
lain
Setiap orang yang pada waktu
pemungutan suara dengan sengaja
memberikan suaranya lebih dari
satu kali di satu atau lebih TPS
Setiap orang yang dengan sengaja
menggagalkan pemungutan suara
Seorang majikan/atasan yang
tidak memberikan kesempatan
kepada seorang pekerja untuk
memberikan
suaranya
pada
pemungutan suara, kecuali dengan
alas an bahwa pekerjaan tersebut
tidak bisa ditinggalkan
Ketua
dan
anggota
KPPS/KPPSLN yang dengan
sengaja tidak memberikan surat
suara pengganti hanya satu kali
kepada pemilih yang menerima
surat suara yang rusak dan tidak
mencatat surat suara yang rusak
dalam berita acara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 155 ayat
(2)
Setiap orang yang bertugas
membantu pemilih yang dengan
sengaja memberitahukan pilihan
pemilih kepada orang lain
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 156 ayat (2)
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan
perbuatan
yang
menyebabkan suara seorang
pemilih menjadi tidak bernilai
atau menyebabkan Peserta Pemilu
tertentu mendapat tambahan suara
atau perolehan suara Peserta
Pemilu menjadi berkurang
12 Bln – 12.000.000 36 Bln
36.000.000
6 Bln - 18 6.000.000 Bln
18.000.000
7 Bln - 18 6.000.000 Bln
18.000.000
24 Bln –
60 Bln
6 Bln - 12
Bln
24.000.000 60.000.000
6.000.000 12.000.000
3 Bln - 12 3.000.000 Bln
12.000.000
3 Bln - 12 3.000.000 Bln
12.000.000
12 Bln – 12.000.000 36 Bln
36.000.000
27
Dilihat dari tahapan tahapan pemilu, ketentuan tindak pidana pemilu yang terdapat
dalam KUHP jika diperbandingkan dengan Pasal Pasal UU No 10 Tahun 2008
dalam tabel 2 dan tabel 4 nomor (1) adalah berada dalam tahapan pada saat
pemungutan suara. Berdasarkan Peraturan KPU No.03 Tahun 2009 tentang
Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat
Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009, bahwa tahapan
pelaksanaan pemilu dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 adalah tahapan
pemungutan suara. Pukul 12.00 sampai selesai adalah tahapan penghitungan suara
yang dilakukan KPPS.
3)
Tahapan Pasca Pemungutan Suara :
Tindak pidana yang berkaitan dengan tahapan pasca pemunguta suara adalah :
a.
penetapan hasil Pemilu; dan
b.
pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Pasal-Pasal ketentuan tindak pidana yang terkait tahapan pasca pemungutan suara
bisa di lihat dalam tabel berikut :
Tabel
Perumusan Tindak Pidana
Berdasarkan tahapan sesudah pemungutan suara
No Tahapan Pasca Psl
Perbuatan
Sanksi/Pidana
Pemungutan
suara
Penjara
Denda
Min/Max
Min/Max
(Rp)
1
penetapan hasil 288 Setiap orang yang dengan sengaja 12 Bln – 12.000.000 Pemilu
melakukan
perbuatan
yang 36 Bln
36.000.000
menyebabkan suara seorang
pemilih menjadi tidak bernilai
atau menyebabkan Peserta Pemilu
tertentu mendapat tambahan suara
atau perolehan suara Peserta
Pemilu menjadi berkurang
297 Setiap orang yang karena 12 Bln – 500.000.000
kelalaiannya menyebabkan rusak 60 Bln
atau hilangnya berita acara
120.000.000
pemungutan dan penghitungan
suara
dan
sertifikat
hasil
penghitungan suara yang sudah
Disegel
298 Setiap orang yang dengan sengaja 13 Bln – 500.000.000
mengubah berita acara hasil 60 Bln
penghitungan suara dan/atau
120.000.001
sertifikat hasil penghitungan suara
28
299
ayat
1
299
ayat
2
300
301
302
303
304
Anggota KPU, KPU provinsi,
KPU kabupaten/kota, dan PPK
yang
karena
kelalaiannya
mengakibatkan
hilang
atau
berubahnya berita acara hasil
rekapitulasi penghitungan
perolehan suara dan/atau sertifikat
penghitungan suara
Dalam
hal
tindak
pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan karena kesengajaan
6 Bln – 12 6.000.000 Bln
12.000.000
Setiap orang yang dengan sengaja
merusak, mengganggu, atau
mendistorsi sistem informasi
penghitungan suara hasil Pemilu
Ketua
dan
anggota
KPPS/KPPSLN yang dengan
sengaja tidak membuat dan
menandatangani berita acara
perolehan suara Peserta Pemilu
dan calon anggota DPR, DPD, dan
DPRD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 154 ayat (3)
Setiap KPPS/KPPSLN yang
dengan sengaja tidak memberikan
salinan satu eksemplar berita
acara
pemungutan
dan
penghitungan suara, dan sertifikat
hasil penghitungan suara kepada
saksi Peserta Pemilu, Pengawas
Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK
melalui
PPS
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 180 ayat
(2) dan ayat (3)
Setiap KPPS/KPPSLN yang tidak
menjaga, mengamankan keutuhan
kotak suara, dan menyerahkan
kotak suara tersegel yang berisi
surat
suara,
berita
acara
pemungutan suara, dan sertifikat
hasil penghitungan suara, kepada
PPK melalui PPS atau kepada
PPLN bagi KPPSLN pada hari
yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 180 ayat (4) dan ayat
(5)
Setiap
Pengawas
Pemilu
Lapangan yang tidak mengawasi
60 Bln - 500.000.000
120 Bln
1.000.000.0
00
12 Bln – 12.000.000 24 Bln
24.000.000
12 Bln – 6.000.000 24 Bln
12.000.000
3 Bln – 12 3,000,000 Bln
12,000,000
6 Bln – 18 6,000,000 Bln
18,000,000
6 Bln – 24 6,000,000 Bln
24,000,000
29
305
306
2
pengucapan
sumpah/janji
anggota
DPR,
DPD,
DPRD
provinsi,
dan
DPRD
kabupaten/kota
penyerahan kotak suara tersegel
kepada PPK dan Panwaslu
kecamatan yang tidak mengawasi
penyerahan kotak suara tersegel
kepada KPU kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 180 ayat (6)
Setiap PPS/PPLN yang tidak
mengumumkan
hasil
penghitungan suara dari seluruh
TPS/TPSLN di wilayah kerjanya
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 181
Dalam hal KPU tidak menetapkan
perolehan hasil Pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota secara
nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 199 ayat (2), anggota
KPU
-
3 Bln – 12 3,000,000 Bln
12,000,000
24 Bln – 240,000,000
60 Bln
600,000,000
-
Dilihat dari beberapa tabel tersebut di atas, ada beberapa tahapan pemilu yang tidak
ada ketentuan pidana pemilu secara definitif berdasarkan tahapan pemilu. Tahapantahapan Pemilu yang tidak ada ketentuan pidana pemilu tersebut adalah :
1. Tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
2. Tahapan pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD,
kabupaten/kota; dan
3. Tahapan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Kemudian jika dilihat lebih jauh tentang tindak pidana money politic
berdasarkan tahapan di atas yang terdapat dalam Pasal 265 (tahapan pendaftaran
pemilih untuk dukungan Pencalonan Anggota DPD) , Pasal 274 (tahapan masa
kampanye), dan Pasal 286 (tahapan pemungutan suara). Maka, di luar ketiga
tahapan tersebut tidak ada ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana pemilu
money politic. Tindak pidana Pasal 265 adalah tindak pidana money politic tahapan
pendaftaran pemilih untuk dukungan calon anggota DPD walau subjek hukumnya
adalah setiap orang, namun hanya dikhususkan untuk pemilihan dukungan caleg
DPD sedangkan pendaftaran pemilih untuk caleg DPR, DPRD kabupaten maupun
propinsi tidak diatur tentang money politic.Walau memang jika dilihat ketentuan
persyaratan untuk menjadi caleg DPR, DPRD berbeda dengan DPD karena untuk
jadi peserta caleg DPR,DPRD dalam Pasal 7 UU pemilu adalah partai politik.
Sedangkan tindak pidana money politic dalam Pasal 274 subjek hukum yang hanya
-
30
bisa dikenai adalah pelaksana kampanye, sedangkan pelaksana kampanye adalah
orang yang terdaftar di dalam daftar pelaksana kampanye di KPU secara resmi. Di
luar itu yang tidak terdaftar sebagai pelaksana kampanye resmi dari daftar KPU,
tidak ada ketentuan yang mengatur tentang money politic. Pasal 286 adalah tindak
pidana money politic yang hanya bisa diterapkan pada masa pemungutan suara
yaitu tanggal 9 April tahun 2009 dari jam 07.00 sampai dengan jam 12.00.
Akibatnya di luar jam tersebut Pasal ini tidak bisa diterapkan.
Tindak Pidana Pemilu Berdasarkan Asas-Asas Pemilihan Umum
Seperti diketahui asas-asas penyelenggara pemilihan Umum bisa diketemukan
dalam ketentuan UU No 22 Tahun 2007 Pasal 2 yang berbunyi : Penyelenggara
Pemilu berpedoman kepada asas:
a. mandiri;
b. jujur;
c. adil;
d. kepastian hukum;
e. tertib penyelenggara Pemilu;
f. kepentingan umum;
g. keterbukaan;
h. proporsionalitas;
i. profesionalitas;
j. akuntabilitas;
k. efisiensi; dan
l. efektivitas.
Sedangkan asas-asas pemilihan Umum Legislatif dalam UU No 10 Tahun 2008
Pasal 2 berbunyi; “Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
Tindak pidana pemilu yang di atur dalam Bab XXI UU No 10 tahun 2008 tentang
Ketentuan Pidana Pemilu merupakan satu kesatuan baik dengan asas penyelenggara
pemilu yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 2007 maupun asas-asas pemilu
Legislatif di dalam UU No 10 Tahun 2008. Sehingga Ketentuan Pidana Pemilu
tidak bisa bertentangan dengan asas-asas tersebut. Karena di dalam konsiderans UU
No 10 Tahun 2008 salah satu dasar hukum rasio legis dibuatnya UU No 10 Tahun
2008 adalah UU No 22 tahun 2007.
Dalam hal ini yang akan dibahas hanyalah mengenai asas-asas pemilihan umum
yaitu asas Langsung, Umum, Bebas, rahasia, Jujur dan Adil.
a.
Asas Langsung
Dalam penjelasan UU No 10 Tahun 2008 pengertian asas Langsung adalah Rakyat
sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan umum secara
langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Asas ini berusaha melindungi WNI dari tahapan pendaftaran untuk mendapatkan
hak suara atau menjadi pemilih hingga pada tahapan saat pemungutan suara.
Maksud dengan “pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya” berati
setiap pemilih memiliki nilai satu suara dan setiap orang tidak diperbolehkan
menghilangkan secara sengaja hak orang lain untuk memberikan suaranya, dengan
kekerasan/ancaman kekerasan menghalangi orang untuk menjadi pemilih untuk
31
mendapatkan hak memberikan suara. Tindakan tersebut merupakan tindakan
pidana pemilu.
Maksud dengan kehendak hati nuraninya berarti tanpa paksaan, ancaman kekerasan
atau dengan kekerasan atau pengaruh dari orang lain. Apabila perbuatan tersebut
dilakukan, hal tersebut dikatakan sebagai tindak pidana pemilu.
Pasal 260 yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”;
Pasal 262 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan
menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih
menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu
menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan
dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).”;
Pasal 286 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan
hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Pasal 287 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk
memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan
ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta upiah).”
Pasal 288 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara
seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu
mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama
36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Online42 kata perantara mengandung makna:
1. orang (negara dsb) yg menjadi penengah (dl perselisihan, perbantahan, dsb)
atau penghubung (dl perundingan);
2. pialang; makelar; calo (dl jual beli dsb);
Sistem Pemilu Indonesia menjamin setiap WNI memiliki wakil yang duduk di
lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat disetiap tingkatan
42
Kamus Besar Bahasa Indonesia, didalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index. php,
diakses pada tanggal 29 April 2009.
32
pemerintahan pusat hingga daerah secara langsung tanpa perantara. Berarti
berdasarkan asas ini setiap orang WNI yang mempunyai hak pilih dilarang
menggunakan perantara seperti makelar suara, calo suara, orang yang mengaku
orang lain bukan dirinya dan sebagainya.
Hal ini dilindungi dalam ketentuan tindak pidana pemilu dalam Pasal 289 yang
berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya
sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta
rupiah).” Adapun bagi pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dijamin oleh pemerintah
untuk tetap memberikan suaranya tanpa perantara dan sesuai hati nurani. Hal ini
diatur dalam Pasal 156 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 yang berbunyi :
“Adapun bagi pemilih tunanetra, tunadaksa , dan yang mempunyai halangan fisik
lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan
pemilih.” Pasal tersebut di atas disebutkan adanya pembantu pemilih, pembantu
pemilih diperbolehkan oleh undang-undang selama atas permintaan pemilih
Pembantu pemilih bukanlah disebut sebagai perantara jika selama berfungsi hanya
sebagai pembantu tidak dalam posisi sebegai pemegang hak memilih. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pembantu hanya berfungsi sebagai memberi
sokongan (tenaga dsb) supaya kuat (kukuh, berhasil baik, dsb); menolong: kita
wajib - orang yg lemah;. Sehingga pembantu pemilih berfungsi sebagai membantu
memberikan sokongan tenaga supaya pemilih kuat berhasil baik menggunakan hak
pilihnya secara maksimal.
b.
Asas Umum
Penjelasan UU No.10 Tahun 2008 yang dimaksud dengan asas umum
adalah berarti menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan pekerjaan dan status sosial. Berdasarkan pengertian pemilih adalah
Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih
atau sudah/pernah kawin. Maka pengertian tersebut tidak bertentangan dengan asas
umum, karena yang didiskrimanisikan adalah berdasarkan umur. Bagi warga negara
Indonesia yang belum berumur genap 17 Tahun belum dijamin kesempatannya
dalam menjadi pemilih dalam pemilu kecuali sudah/pernah kawin. Sesuai ketentuan
Bab VI tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam UU No 10 tahun 2008, pemilih
baru bisa menggunakan hak pilihnya jika sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih
Tetap. Daftar Pemilih Tetap merujuk kepada Daftar Pemilih Sementara yang di
umumkan ke masyarakat yang diambil dari data penduduk baik dari data nama,
umur, jenis kelamin, status keluarga, pekerjaan, yang diberikan pemerintah pusat
maupun daerah. Sehingga Daftar Pemilih Tetap adalah seluruh data Penduduk
Warga Negara Indonesia baik berdomisili di Dalam Negeri maupun Luar Negeri
yang sudah berumur genap 17 Tahun ke atas atau sudah/pernah menikah. Dengan
demikian data penduduk yang masih berumur di bawah 17 tahun tidak terdaftar
dalam DPT dan di luar daftar pemilih tetap tidak bisa melaksanakan hak pilihnya.
Perihal demikian tentu berpotensi menimbulkan beberapa kemungkinan
permasalahan seperti :
33
1. Ada warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun atau
sudah/pernah menikah tidak terdaftar di dalam DPT.
2. Ada warga negara Indonesia yang belum mempunyai hak pilih atau belum
memiliki kriteria sebagai pemilih terdaftar dalam DPT.
3. Adanya data pemilih fiktif yang sebenarnya tidak ada warga Negara Indonesia
tersebut namun terdaftar dalam DPT.
Hal ini tentu jika terjadi akan sangat merugikan semua pihak, dan akan mencederai
kualitas demokrasi yang menginginkan hasil yang murni. Dengan demikian rawan
dan pentingnya DPT karena menentukan jumlah total pemilih yang bisa
menggunakan hak pilihnya sesuai dengan asas umum maka hal ini perlu diadakan
ketentuan pidana pemilu yang mengaturnya. Hal ini terdapat di dalam Pasal :
Sengaja menyebabkan Orang Lain Kehilangan Hak Pilih.
Pasal 260
“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Memberi Keterangan Tidak Benar.
Pasal 261
“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk
pengisian daftar pemilih, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Dengan Kekerasan/ancaman kekerasan menghalangi orang terdaftar sebagai
pemilih.
Pasal 262
“Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan
menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih
menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu
menurut Undang-Undang ini, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan
dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).”
Penyelenggara Pemilu sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara.
Pasal 263
“Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih
sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat
(5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6
(enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Penyelenggara Pemilihan tidak menindaklanjuti temuan Penyelenggara
Pengawas Pemilihan tentang data pemilih yang merugikan warga Negara
Indonesia yang memiliki hak pilih.
Pasal 264
“Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN
yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
34
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan
pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih
sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar
pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan
denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
c.
Asas Bebas
Dalam penjelasan UU NO 10 Tahun 2008 yang dimaksud dengan asas bebas adalah
berarti setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya
tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.
Menurut Sukarna pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan secara bebas. Syarat
agar pemilu berlangsung secara bebas ada sepuluh, yakni:
1. Aman. Dalam suatu negara yang tidak aman tidak akan dapat dilakukan
pemilihan umum.
2. Tertib. Suatu pemilihan umum yang tidak berjalan tertib tidak akan menjamin
suatu hasil yang baik.
3. Adil. Suatu pemilihan umum dalam suatu negara demokrasi harus tetap
menjunjung tinggi keadilan yaitu tidak adanya penindasan dan paksaan.
4. Kemerdekaan perorangan. Pemilihan umum yang bebas hanya akan dapat
dilakukan apabila setiap orang sebagai warga Negara dilindungi atau dijamin
kemerdekaannya oleh undang-undang.
5. Kesejahteraan Masyarakat. Suatu masyarakat yang sejahtera yaitu bebas dari
kemiskinan dan ketakutan akan dapat melakukan pilihannya secara bebas tanpa
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat mengganggu kemerdekaannya untuk
memilih.
6. Pendidikan. Dalam masyarakat yang warga negaranya sebagaian besar buta
huruf akan sukar untuk dijalankan pemilihan umum secara bebas karena
komunikasi dua arah tidak bisa dijalankan secara sempurna.
7. Terdapat partai politik dari satu. Pemilihan umum yang bebas hanya dapat
terselenggara apabila dalam negara itu terdapat lebih dari satu partai politik,
sehingga rakyat dapat memilih mana yang lebih cocok dengan pendiriannya
masing-masing.
8. Terdapat media pers yang bebas. Pers yang bebas merupakan syarat untuk alat
komunikasi antara pemimpin politik dengan rakyat sehingga pemimpin politik
dapat mengemukakan tujuan dari partainya tadi, maka rakyat akan dapat
menilai mana yang paling baik untuk menentukan pilihannya.
9. Terdapat open management. Suatu pemilihan umum yang bebas hanya dapat
terselenggara apabila negara itu menjalankan open management yaitu adanya
free social support atau dukungan yang bebas dari masyarakat terhadap
pemerintahan dan adanya free social control atau pengawasan yang bebas dari
masyarakat terhadap aparatur pemerintahan dan adanya free social
responsibility atau pertanggungjawaban yang bebas dari kebohongan oleh pihak
pemerintah.
35
10. Terdapat Rule of law. Suatu pemilihan umum yang bebas hanya dapat dilakukan
dalam negara yang menjalankan rule of law yaitu baik pemerinta maupun rakyat
sama-sama taat menjalankan undang-undang.43
Terkait dengan tindak pidana pemilu, Asas bebas tercermin kepada ketentuan Pasal
:
Pasal 265 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi
pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Pasal 274 yang berbunyi :
“Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung
ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau
memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan
cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Pasal 278 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu
jalannya kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah).”
Pasal 286 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan
hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Pasal 287 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk
memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan
ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Pasal 292 yang berbunyi :
43
Sukarna, Sistem Politik, (Bandung: Alumni, 1981), hlm, 83
36
“Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang
pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara, kecuali dengan alasan
bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Pasal 295 yang berbunyi :
“Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja
memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 156 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
d.
Asas Rahasia
Rahasia, berarti di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin
keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nuraninya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihanya tidak
akan diketahui oleh pihak manapun.
Hal ini tercermin di dalam ketentuan Pasal 285 dalam hal kewajiban perusahan
pencetak surat suara untuk menjaga surat suara.
Pasal 285 berbunyi :
“Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasian, keamanan,
dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama
48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
e.
Asas Jujur dan Adil
Jujur dan adil berarti pemilih memberikan suaranya pada surat suara bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Menurut Aristoteles, Keadilan itu terdiri dari keadilan distributif dan keadilan
kumutatif. Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang jatah sesuai jasanya. Sedangkan keadilan kumutatif yaitu keadilan yang
memberikan kepada setiap orang jatah yang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa
masing-masing. Hal asas adil dalam pemilu yang dimaksud adalah keadilan
kumutatif, di mana setiap orang memiliki satu suara tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama. Asas ini tercermin dan dilindungi oleh ketentuan pidana
pemilu Pasal 289 dan Pasal 290 :
Pasal 289 yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara mengaku dirinya
sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta
rupiah).”
Pasal 290 yang berbunyi :
“Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan
suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
37
Jika ditinjau lebih jauh dari segi pelakunya, tindak pidana pemilu dalam UU No. 10
Tahun 2008 dapat dibagi menjadi dua jenis tindak pidana (delik), yaitu delik komun
(tindak pidana yang bisa dilakukan setiap orang/siapa saja) dan delik Propia (tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan tertentu,
jadi tidak setiap orang). Dalam undang-undang ini sebanyak 24 Pasal yang disebut
dengan delik komun yang bisa dilakukan oleh siapa saja, ini tercermin dari kata
“setiap orang”. Adapun seperti Pasal 292 tergolong delik propia karena pelaku
tindak pidananya hanya mereka yang tergolong “majikan/atasan”. Jadi, tidak setiap
orang dapat melakukan tindak pidana di dalam Pasal 292 itu.
2
Beberapa Perbandingan Ketentuan Khusus Hukum Pidana Pemilu
yang Menyimpang atau Berbeda Dari Ketentuan Hukum Pidana Umum
Hukum Pidana Pemilu sebagai hukum pidana khusus mempunyai watak tersendiri,
yang menyimpang dari hukum pidana umum.
a.
Perluasan Subjek Hukum Pidana (Pemidanaan Badan Hukum)
Bahwa kalau hukum pidana umum hanya mengenal orang perseorang sebagai
subyek hukum, hukum pidana pemilu telah memperluas tidak hanya orang
perseorang yang dapat dituntut karena melakukan tindak pidana pemilu, akan tetapi
badan hukum pun dapat dituntut karena melakukan tindak pidana pemilu.
Menurut Fully Handayani R yang dapat dikategorisasikan sebagai subjek hukum
adalah Manusia (Natuurlijk Persoon) dan Badan Hukum (Recth Persoon).
Sedangkan Badan Hukum adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh
hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subyek hukum badan hukum
mempunyai syarat syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu : (teori kekayaan
bertujuan) : 1.Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya. 2. Hak
dan kewajiban badan hokum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum terbagi menjadi dua macam yaitu badan hukum privat (seperti PT,
Koperasi, Yayasan), dan badan hukum publik (seperti Negara dan Instansi
Pemerintah).44
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 284 dan Pasal 285 UU No 10 tahun 2008
:
Pasal 284 yang berbunyi :
“Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara
melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal
146 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 285 yang berbunyi :
“Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasian, keamanan,
dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama
48 (empat puluh delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Ada dua cara untuk memidana korporasi, yaitu :
1. Korporasi dapat dikenakan pidana atas dasar asas strict liability atas kejahatan
yang dilakukan oleh pegawainya;
44
Fully Handayani, Pengantar Ilmu Hukum, di dalam http://repository.ui.ac.id, diakses
pada tanggal 05 Juni 2009.
38
2. Korporasi dapat dikenakan pidana atas dasar teori identifikasi. Teori
Identifikasi sebagaimana disebutkan di atas adalah salah satu teori yang
menjustifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini
menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur adalah juga
merupakan tindakan dan kehendak dari korporasi (the acts and state of mind of
the persooan are the acts and state of mind of the corporation).45
Namun badan hukum yang dimaksud dalam kedua Pasal tersebut di atas adalah
badan hukum atau perusahaan yang berkaitan dengan pencetak surat suara
pemilu yang subjek hukumnya bersifat hanya khusus untuk perusahaan
pencetak surat suara pemilu yang ditunjuk. Akibatnya tidak semua perusahaan
bisa dikenai sanksi tindak pidana pemilu.
b.
Perbedaan Delik Pemilu Berupa Pelanggaran.
Tindak pidana pemilu dalam hal ini melakukan hal pembaharuan tindak pidana
terkait dengan masalah kualifikasi dan klasifikasi tindak pidana. Menurut KUHP
(WvS) tindak pidana dibagi dalam dua bentuk yaitu Pelanggaran (tindak pidana
yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan) dan kejahatan (ancaman
hukumannya 12 bulan ke atas). Sedangkan dalam tindak pidana pemilu tidak
membedakan Kejahatan dan Pelanggaran, namun lebih menggunakan istilah
pelanggaran tindak pidana pemilu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 252
UU No 10 Tahun 2008 yang berbunyi :
“Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu
yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”
c.
Stelsel Pemidanaan Pemilu Berbentuk Kumulatif
Dalam KUHP maupun dalam UU lain ada beberapa rumusan bentuk sanksi :
1.
Stelsel Alternatif
Ciri khas suatu UU mengatur stelsel pemidanaan yang alternatif yaitu norma dalam
UU ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam UU yang berbunyi “…
diancam dengan pidana penjara atau pidana denda …”. Contoh UU yang menganut
stelsel ini yaitu KUHP, UU Merek.
2.
Stelsel Kumulatif
Stelsel kumulatif ini ditandai dengan cirri khas adanya kata “dan”. UU Tindak
Pidana Korupsi merupakan salah satu contoh UU yang menganut stelsel ini.
Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya.
3.
Stelsel Alternatif Kumulatif
Berbeda halnya dengan dua stelsel di atas, berdasarkan stelsel alternative kumulatif
ini, ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu UU yang menganut stelsel ini,
memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif
(memilih) ataukah kumulatif (menggabungkan). UU yang menganut stelsel ini
antara lain UU Merek.46
Dalam KUHP Bentuk sanksi Pidana pemilu terdiri dari :
• pidana tunggal = penjara
• pidana alternative= penjara atau denda
• pidana kumulatif= penjara dan denda
45
Setya Wahyudi, Pembaharuan Hukum Pidana, (Purwokerto: Universitas Jenderal
Soedirman, 2006), hlm, 40
46
Didik Endro Purwoleksono, Pengaturan Sanksi Pidana dalam Ketentuan UU (Bagian
III), di dalam http://gagasanhukum.wordpress.com, diakses pada tanggal 6 Mei 2009.
39
• pidana alternative kumulatif= penjara dan atau denda
Kalau dilihat lebih khusus lagi ketentuan pidana Umum yang berkaitan dengan
Pasal Pasal pidana pemilu dalam KUHP yaitu Pasal 148, 149, 150, 151 dan Pasal
152, bentuk sanksi pidana pemillu hanya terdiri dari;
• pidana tunggal yaitu Pasal : 148, 150, 151, dan Pasal 152;
• pidana alternatif yaitu Pasal : 149.
Namun di dalam ketentuan hukum pidana khusus pemilu dalam UU No 10 Tahun
2008 dipersempit hanya menggunakan bentuk Sanksi pidana Pemilu Stelsel
Kumulatif dengan rentang perbedaan sanksi minimal dan maksimal yang cukup
tinggi. Hal ini bisa dilihat dengan ciri-ciri menggunakan kata-kata “dan” dalam
sanksi pemidanaannya.
d.
Jenis-jenis Sanksi Hukum Pidana Pemilu
Jenis-jenis sanksi hukum tindak pidana yang diatur dalam KUHP, terdiri dari : 1).
Pidana Pokok; 2). Pidana Tambahan. Hal ini bisa diuraikan lebih lanjut dalam
ketentuan Pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok:
1. Pidana Mati
2. Pidana penjara
3. Kurungan
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.”
Dilihat dari ketentuan Pasal KUHP yang mengatur tentang pidana pemilu hanya
terdiri dari pidana pokok penjara dan denda dan pidana tambahan hanya berupa
pencabutan hak-hak tertentu.
Sedangkan dalam Ketentuan pidana pemilu UU No 10 Tahun 2008 kalau
berdasarkan pembagian di atas, hanya terdiri dari Pidana Pokok berupa pidana
penjara dan pidana denda. Pidana tersebut tidak dimuat atau dibatasi dalam satu
Pasal seperti di dalam Pasal 10 KUHP, namun tersebar di setiap ketentuan pidana
pemilu UU No 10 Tahun 2008.
Jenis sanksi selama ini dalam produk kebijakan legislasi masih dijadikan “sanksi
utama”. Dilihat dari sudut kebijakan kriminal, wajah perundang-undangan seperti
ini banyak mengandung kelemahan karena pendekatan sanksi yang dipakai dalam
upaya menanggulangi suatu kejahatan bersifat terbatas dan terarah pada pidananya
si pelaku saja. Dengan kata lain, jenis sanksi pidana bila dilihat dari aspek tujuannya
lebih mengarah pada “pencegahan agar orang tidak melakukan kejahatan”, bukan
bertujuan “ mencegah agar kejahatan tidak terjadi”. Jadi lebih bersifat individual.47
e.
Jumlah atau Lamanya Ancaman Pidana Pemilu
Dalam hal ini yang dibahas hanyalah Pidana penjara dan pidana denda dalam
KUHP maupun UU No 10 Tahun 2008. Secara garis besar lamanya ancaman pidana
terdiri dari :
a.
Ancaman Pidana Paling Lama
Ciri suatu UU mengatur sanksi pidana dengan ancaman pidana paling lama, hal ini
nampak dari normanya yang berbunyi “Setiap orang yang … diancam dengan
47
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, Cetakan I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm, 170
40
pidana penjara paling lama …”. Berdasarkan ketentuan UU yang mengatur dengan
ancaman pidana paling lama ini, maka salah satu kelemahannya yakni memberikan
peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang berbeda kepada pelaku yang
melakukan tindak pidana yang sama.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) KUHP, lamanya pidana penjara di Indonesia dikenal
:
1)
Algemeene Straf Minima
Artinya, secara umum pidana penjara paling singkat 1 hari.
2)
Algemeene Straf Maxima
Artinya, secara umum pidana penjara paling lama 15 tahun.
b.
Ancaman Pidana Paling Singkat
Patut dicatat di sini, bahwa hakim terikat dengan ketentuan tersebut yaitu hakim
harus menjatuhkan pidana paling singkat sebagaimana diatur oleh UU tersebut.
Dengan perkataan lain, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara kurang dari
yang sudah ditetapkan oleh UU tersebut, yang diperbolehkan adalah menjatuhkan
pidana penjara lebih lama dari pidana paling singkat yang diancamkan.
c.
Ancaman Paling Singkat dan Paling Lama
UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, dalam Pasal-Pasalnya mengancam
dengan ancaman pidana penjara paling singkat … tahun dan paling lama … tahun.
Sepertinya huruf c di atas, maka dengan adanya ketentuan ini, rentang lamanya
pidana sudah ditentukan yaitu diantara paling singkat dan paling lama.
Dilihat dari pembagian tersebut UU Nomor 10 Tahun 2008 masih menganut sistem
absolut (indefinite/ sistem maksimum dan minimum). Sistem absolut adalah sistem
penetapan jumlah ancaman pidana untuk setiap tindak pidana ditetapkan
bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana
maksimum (dapat juga ancaman minimum) untuk tiap-tiap tindak pidana.48
Tidak ada pola baku dalam pembagian lamanya ancaman pidana pemilu, namun
secara sederhana bisa kita lihat dari ketentuan ketentuan Pasal tindak pidana pemilu
yang menerapkan lamanya ancaman pidana.
Dalam hal ini dikategorisasikan berdasarkan minimal ancaman pidana. Hal ini bisa
dilihat dalam Tabel di bawah ini tentang penerapan lamanya ancaman pidana :
No
1
2
48
Tabel
Penerapan Lamanya Ancaman Pidana
Ancaman Tindak Penjara
Denda
Dalam
Pidana
Rupiah
Minimal 3 bulan 3 – 6 Bulan
3 – 6 juta
sampai
dengan 3 – 12 bulan
3 - 12 juta
maksimal 36 bulan
30 – 60 juta
3 - 36 bulan
3 – 36 juta
Minimal 6 Bulan 6 - 12 bulan
6 – 12 juta
sampai
dengan 6 – 18 bulan
6 – 18 juta
maksimal 36 bulan 6 - 24 bulan
6 – 24 juta
25 – 30 juta
1 – 5 miliar
6 – 36 bulan
6 – 36 juta
Setya Wahyudi,Op.cit, hlm, 61
41
3
4
5
6
Minimal 12 Bulan 12 - 24 bulan
sampai dengan 60
bulan
12 - 36 bulan
12 – 60 bulan
Minimal 24 Bulan 24 – 48 Bulan
sampai dengan 60 24 – 60 Bulan
bulan
Minimal 36 Bulan 36 – 72 bulan
36 – sampai dengan
72 Bulan
Minimal 60 Bulan 60 – 120 Bulan
sampai dengan 120
bulan.
12 - 24 juta
120 - 240 juta
6 – 36 juta
12 - 36 juta
500 – 1 miliar
500 jt – 1 miliar
24 – 60 juta
36 – 72 juta
500 jt – 1 miliar
Berdasarkan tersebut di atas dapat diketahui bahwa penerapan pidana
penjara yang paling ringan minimal 3 bulan, sedangkan pidana penjara yang paling
berat adalah maksimal 120 bulan. Sedangkan Sanksi pidana denda paling ringan
adalah sebesar Rp 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah), dan pidana denda yang paling
besar adalah sebesar Rp Rp 1.000.000.000,- (Satu Miliar rupiah). Kemudian masih
berdasarkan tabel 7 tersebut di atas dapat diketahui bahwa penerapan pidana
minimal maksimal dan denda minimal dan maksimal mempunyai jarak interval
yang sangat jauh sehingga dapat menimbulkan disparitas penerapan sanksi pidana.
Sehubungan dengan masalah kebijakan legislatif, maka sanksi pidana denda juga
menjadi fokus pembahasan. Sanksi pidana denda menjadi sanksi kumulatif bersama
pidana penjara. Sering diungkapkan bahwa berdasar hasil-hasil penelitian, pidana
denda merupakan jenis sanksi pidana yang lebih efektif dan lebih penting sebagai
alternatif daripada pidana pencabutan kemerdekaan.49
Dalam sistem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dipandangi
sebagai jenis pidana pokok yang paling ringan. Hal ini dikarenakan dari kedudukan
urut-urutan pidana pokok di dalam Pasal 10 KUHP, pada umumnya pidana denda
dirumuskan sebagai pidana alternatif daripada pidana penjara atau kurungan, dan
jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP pada umunya relatif ringan.50
Namun dengan demikian, maka pidana denda menjadi jarang diterapkan oleh hakim
berdasarkan KUHP. Untuk mengefektifkan pidana denda, UU No 10 Tahun 2008
telah mengalami peningkatan jumlah ancaman pidana denda bahkan
dikumulatifkan dengan pidana penjara. Namun demikian kebijakan tentang
ancaman pidana tersebut di dalam UU No 10 Tahun 2008 tidak dibarengi dengan
kebijakan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan ancaman pidana denda.
Permasalahan yang timbul adalah apabila ancaman pidana tidak dibayar,
lalu diganti dengan ancaman pidana alternatif lainnya namun di dalam sistem UU
No 10 Tahun 2008 tidak diatur adanya pidana alternatif, atau batas waktu pidana
denda dibayar. Jika dibandingan dengan Pasal 30 KUHP maka dapat dilihat bahwa
pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan. Hal itu dapat dilaksanakan
apabila ancaman pidana dalam system KUHP hanya bersifat alternatif. Sedangkan
Muladi & Barda Nawawi, Teoriā€teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1984),
49
hlm, 175
50
Ibid, hlm, 178
42
di dalam UU No 10 Tahun 2008 ancaman pidana denda bersifat kumulatif dan tidak
ada sama sekali yang bersifat alternatif. Dengan demikian betapapun tingginya
ancaman pidana denda dijatuhkan, apabila terpidana tidak mau membayar hal ini
terjadi kekosongan hukum di dalam kebijakan hukum pidana pemilu di dalam UU
No 10 Tahun 2008.
Ketentuan pidana pemilu dalam UU No 10 Tahun 2008 tidak mengatur
tentang masalah peringanan. Sedangkan untuk pemberatan hanya terdapat satu
pasal saja yaitu Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang berbunyi :
“Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal
266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287,
Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal
298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu
pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Pasal-Pasal tersebut.”
Tentang hal-hal yang dapat memberatkan pidana dalam ketentuan Pasal tersebut di
atas hanya dibebankan kepada Penyelenggara Pemilu yang melanggar suatu pidana
pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa pemberatan pidana memang dikhususkan
untuk penyelenggara pemilu dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Baik
Tingkat Pusat, Daerah baik di Dalam Negeri maupun Luar Negeri. Sedangkan
bentuk pemberatannya adalah ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana
yang ditetapkan dalam Pasal-Pasal tersebut.
Dalam KUHP Tindak Pidana Percobaan diatur dalam Pasal 53, kemudian
Tindak pidana Pembantuan diatur dalam Pasal 56, dan Tindak Pidana Pemufakatan
diatur dalam Pasal 88. Dengan demikian hal tersebut ketentuan pidana pemilu yang
terdapat di dalam Pasal 148,149, 150, 151 dan Pasal 152 KUHP dapat diperluas
perbuatan pidana pemilu menyangkut percobaan, pembantuan dan pemufakatan.
Tidak demikian halnya Tindak Pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tidak
secara tegas mengatur tentang Tindak Pidana Pemilu percobaan, Pembantuan, dan
pemufakatan. Sehingga bagi setiap orang yang berusaha melakukan perbuatan
percobaan, pemufakatan dan pembantuan dalam kaitannya dengan Tindak Pidana
Pemilu dalam UU No 10 Tahun 2008 tidak dapat dikenai sanksi pidana pemilu.
DAFTAR BACAAN
Buku:
Achmad Ali, Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi UndangUndang, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
Afiah dan Ratna Nurul, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika
Pressindo, 1986.
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Pusat Studi
Hukum Pidana, Jakarta, 2001.
Anton Baker dalam Harun Pudjiarto, Hak Asasi Manusia, Kajian Filosofis dan
Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1999.
43
Artidjo Alkotsar, Human Rights Court, Indonesia and Civilization, PUSHAM UII,
Jakarta, 2003.
Basrofi dan Sudikun, Teori-teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Insan
Cendekia, Surabaya, 2003.
Bouileau Julian, Functional Group Politics in Indonesia, 1989.
Daniel Dakidae, Partai-partai Politik di Indonesia, Litbang Kompas, 1999.
Dede Rosyada, el.al, Demokrasi, Hak Asaasi Manusia, dan Masyarakat Madani,
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Emirito S. Quito, Fundamental of Ethics, De La Salle University Press, Philippines,
1998.
F.M. Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum,
Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Harun Nasution (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1987.
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Hendarmin Ranadireksa dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep,
dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Heri Kusmanto dan TK. Brahmana, Pemilu dan Harapan Demokrasi di Indonesia,
Demokrasi danProblema Otonomi Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Inu Kencana Syafi’I dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2010.
Jimmly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, orasi ilmiah
pada Wisuda Sarjana Hukum FH Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004.
----------, Pengantar Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
J.J Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, terjemah oleh
Wiratmo dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, PT. Pembangunan, Jakarta, 1980.
44
Liddle William, Partisipasi partai Politik di Awal Orde Baru, Grafiti, Jakarta,
1992.
M. Ryaas Rasyid, Penjaga Hati Nurani Pemerintahan, Pusat Kajian Etika Politik
dan Pemerintahan (Pskap) Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI),
Jakarta, 2002.
Mahfud M.D, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999.
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003.
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media
Group, Jakarta, 2007.
Marpaung Leden, Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan,
Djambatan, Jakarta, 2001.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta,
2008.
Muchsin, Ihtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005.
O. Notohamidjojo, Masalah Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987.
Plato, The Laws, Penguin Classecs, 1986,
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Soetanto Soepiadhy, Keadilan Hukum, Surabaya Pagi, 28 Maret 2012.
----------, Kepastian Hukum, Surabaya Pagi, Rabu, 4 April 2012.
----------, Kemanfaatan Hukum, Surabaya Pagi, Kamis, 12 April 2012.
Soewoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis
terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Sudiman Sidabukke, Kepastian Hukum Perolehan Hak atas Tanah bagi Investor,
Disertasi, Program Pascsarjana Universitas Brawijaya, Malang, 2007.
Sudjito Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, makalah dalam
Kongress Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gajah
Mada, tanggal 1 Juni 2009.
Tasrif S., Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru, Peradin, Jakarta, 1971.
45
United Nations, Human Rights Questions and Answers (Center of Rights), New
York. 2003.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, ichtiar, Jakarta, 1962.
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
-----------------, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
-----------------, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum.
-----------------, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
-----------------, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Internet:
Faisal Sungkep.blogspot.com
Nico Harjanto, comic.file.wordpress.com.
Download