CAV LPMG 2-2013.tif - Lemigas

advertisement
Gambar Sampul
“Biotechnology LEMIGAS Culture Collections” (BLCC)
ISSN : 2089-3396
Volume 47, No. 2 Agustus 2013
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media untuk mempromosikan kegiatan penelitian
pengembangan, perekayasaan teknologi dan pengkajian di bidang minyak dan gas bumi yang telah dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Pemimpin Redaksi
: Dra. Yanni Kussuryani, M.Si. (Kimia)
Wakil Pemimpin Redaksi
: Ir. Daru Siswanto (Teknik Kimia)
Redaktur Pelaksana
: Drs. Heribertus Joko Kristadi, M.Si. (Geofisika)
Dewan Redaksi
: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Prof. Dr. Maizar Rahman (Teknik Kimia)
Prof. M. Udiharto (Biologi)
Prof. Dr. E. Suhardono (Kimia Industri)
Dr. Ir. Bambang Widarsono, M.Sc. (Teknik Perminyakan)
Dr. Mudjito (Geologi Minyak)
Dr. Adiwar (Proses Separasi)
Dr. Oberlin Sidjabat (Kimia dan Katalis)
Redaksi
: 1.
2.
3.
4.
5.
Dr. Ir. Usman, M.Eng. (Teknik Perminyakan)
Ir. Sugeng Riyono, M.Phil. (Teknik Perminyakan)
Dr. Ir. Eko Budi Lelono (Ahli Palinologi)
Ir. Bambang Wicaksono T.M., M.Sc. (Geologi Perminyakan)
Abdul Haris, S.Si., M.Si. (Lingkungan dan Kimia)
Mitra Bestari
: 1.
2.
3.
4.
5.
Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Teknik Perminyakan)
Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata (Teknik Geologi))
Prof. Dr. Wahjudi Wiratmoko Wisaksono (Energi dan Lingkungan)
Dr. Ir. M. Kholil, M.Kom. (Manajemen Lingkungan)
Ferry Imanuddin Sadikin, S.T., M.E. (Teknik Elektro)
Sekretaris
: Urusan Publikasi
Penerbit
: Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Pencetak
: Grafika LEMIGAS
Alamat Redaksi
Sub Bidang Informasi, Bidang Afiliasi dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas
Bumi “LEMIGAS” Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230. Tromol Pos: 6022/KBYBJakarta 12120, INDONESIA, STT: No. 119/SK/DITJEN PPG/STT/1976, Telepon: 7394422 - ext. 1222, 1223, 1274, Faks:
62 - 21 - 7246150, E-mail: [email protected]
Majalah Lembaran Publikasi LEMIGAS (LPL) diterbitkan sejak tahun 1970 yang telah berganti nama menjadi Lembaran
Publikasi Minyak dan Gas Bumi, terbit 3 kali setahun. Redaksi menerima Naskah Ilmiah tentang hasil-hasil Penelitian,
yang erat hubungannya dengan Penelitian Minyak dan Gas Bumi.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Penanggung Jawab: Dra. Yanni Kussuryani, M.Si., Redaktur: Ir. Daru Siswanto.
i
ISSN : 2089-3396
Volume 47, No. 2, Agustus 2013
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
ii
PENGANTAR
iii
LEMBAR SARI DAN ABSTRACT
iv
SELEKSI MIKROBA DAN NUTRISI YANG BERPOTENSI
MENGHASILKAN BIOSURFAKTAN UNTUK MEOR
Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani
59 - 67
PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGKAJI PERMASALAHAN
SOSIAL PADA PENGEMBANGAN LAPANGAN TUA
Indah Crystiana dan Trimuji Susantoro
PENINGKATAN SIFAT ALIR DAN STABILITAS BIODIESEL
DENGAN PROSES HIDROGENASI PARSIAL (BAGIAN I):
PENGGUNAAN Ni-Al2O3 SEBAGAI KATALIS
Oberlin Sidjabat
69 - 77
79 - 85
PENINGKATAN PEROLEHAN RESERVOIR MINYAK ‘R’
DENGAN INJEKSI ALKALI-SURFAKTAN-POLIMER
PADA SKALA LABORATORIUM
Edward ML Tobing dan Hestuti Eni
87 - 96
MANFAAT SURFAKTAN DARI BAKTERI LAUT HIDROKARBONOKLASTIK
UNTUK AKSELERATOR PROSES HIDROKARBON MINYAK BUMI
Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari
97 - 104
PEMBUATAN RANCANG BANGUN ADSORBER PENGHILANG MERKURI
BERSKALA PILOT PADA INDUSTRI GAS BUMI
Lisna Rosyamati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan
ii
105 - 114
PENGANTAR
Pembaca yang Budiman,
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi mempunyai peranan penting dalam penyebaran
informasi hasil-hasil penelitian dan kajian migas bagi masyarakat dunia ilmu pengetahuan dan industri
migas di Indonesia.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Volume 47 No. 2 Agustus 2013 menyajikan beberapa
tulisan hasil studi dan penelitian, yakni:
1. Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR;
2. Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan
Tua; 3. Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial
(Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis; 4. Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak 'R'
dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium; 5. Manfaat Surfaktan dari Bakteri
Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi; 6. Pembuatan
Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi . Tim Redaksi
berharap Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi edisi Agustus 2013 ini bisa menjadi rujukan
bagi para penulis/peneliti. Oleh karena itu saran dan masukan pembaca sangat diharapkan untuk lebih
sempurnanya terbitan Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi berikutnya.
Dewan redaksi dan dewan penerbit, serta penanggung jawab majalah Lembaran Publikasi Minyak
dan Gas Bumi mengucapkan terima kasih kepada para penulis, penelaah dan penyunting yang telah
bekerja keras hingga terbitnya majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi edisi ini.
Jakarta, Agustus 2013
Redaksi
iii
LEMBAR SARI DAN ABSTRACT
ISSN : 2089-3396
Terbit : Agustus 2013
Kata Kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembaran Abstrak ini boleh disalin tanpa izin dan biaya.
Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi ”LEMIGAS”)
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi
Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47
No. 2 Agustus 2013 hal. 59 - 67
ABSTRAK
Biosurfaktan merupakan surfaktan yang
dihasilkan oleh mikroba dari golongan bakteri
hidrokarbonoklastik yang memiliki kemampuan
menurunkan tegangan antar muka. Faktor
keberhasilan dalam produksi biosurfaktan ditentukan
dari jenis mikroba dan nutrisi yang digunakan.
Kegiatan penelitian ini terdiri atas empat tahapan
yaitu aktivasi dan kultivasi mikroba, seleksi mikroba
penghasil biosurfaktan, kurva pertumbuhan mikroba,
seleksi nutrisi. Aktivasi dan kultivasi mikroba
dilakukan dalam tiga tahapan dengan masa inkubasi
masing-masing tahapan yaitu 37 oC selama 24
jam. Hasil seleksi mikroba penghasil biosurfaktan
diperoleh tiga jenis mikroba dari tujuh mikroba yang
diuji, berdasarkan indikasi luasnya zona lisis yang
terbentuk pada media agar darah yaitu, BLCC B-3,
BLCC B-4 dan BLCC B-5. Hasil uji lanjut terhadap
ketiga mikroba tersebut pada media minyak dengan
mengukur tegangan antar muka (IFT), menghasilkan
dua mikroba dengan nilai IFT yang terendah yaitu
BLCC B-3 dan BLCC B-5. Hasil screening nutrisi
berdasarkan pengukuran Tegangan Antar Muka
(IFT), Viskositas, Total Plate Count (TPC), dan
pH, menunjukkan media BC-4 dan media PA-4
mendukung aktivitas mikroba dalam memproduksi
biosurfaktan.
Kata kunci: seleksi mikroba, seleksi nutrisi, produksi biosurfaktan
iv
ABSTRACT
Biosurfactant is a surfactant derived from
hydrocarbonoclastic bacteria which are capable to
reduce surface tension. The successful biosurfactant
productions are determined by nutrition and microbial
species. This research consists of 4 main steps:
activation and cultivation of microbes, microbial
growth curves, screening of surfactant producing
bacteria, and screening of nutrition. Microbial
activation and cultivation conducted in 3 sequential
cultivation in 24 hours incubation time at 37oC.
Screening of surfactant producing bacteria from 7
microbial isolates obtained 3 isolates which show
positive result based on diameter of hemolytic area
on blood agar. They are BLCC B-3, BLCC B-4 and
BLCC B-5. The interfacial tension (IFT) examination
result from these 3 isolates showed that BLCC B-3
and BLCC B-5 had the lowest IFT value. The result
of nutrition screening based on IFT, viscosity, Total
Plate Count, and pH show that BC-4 and PA-4 media
are the best composition of media that support the
microbes in producing surfactants.
Author
Keywords: microbe screening, nutrition screening,
biosurfactant production.
Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan
Gas Bumi ”LEMIGAS”)
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji
Permasalahan Sosial pada Pengembangan
Lapangan Tua
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47
No. 2 Agustus 2013 hal. 69 - 77
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan memetakan lokasi sumursumur tua di lapangan X dan lapangan Y. Lapangan
X di wilayah kota madya dan lapangan Y berlokasi
di wilayah kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan.
Pemetaan kondisi penggunaan lahan dilakukan pada
setiap sumur. Hasilnya digunakan untuk menganalisis
kemungkinan permasalahan sosial yang timbul dalam
pengembangan lapangan tua tersebut. Teknologi
penginderaan jauh digunakan untuk memetakan
lokasi sumur. Data tersebut menggunakan Citra
Ikonos 1 meter. Penggunaan citra Ikonos diharapkan
dapat mengidentifikasi lokasi sumur dan penggunaan
lahan detil di sekitarnya. Hasilnya menunjukan bahwa
citra Ikonos mampu memetakan lokasi-lokasi sumur
di Lapangan X dan Y. Hasil lainnya menunjukkan
dengan citra Ikonos mampu untuk menginterpretasi
penggunaan lahan secara detil. Hal ini dapat menjadi
kunci untuk identifikasi permasalahan sosial pada
pengembangan lapangan tua. Kajian permasalahan
pada pengembangan sumur tua menggunakan
buffer dengan pusat kepala sumur pada radius 100
meter. Hal ini untuk menganalisis area yang harus
bebas dari kegiatan sosial masyarakat. Survey
lapangan dilakukan untuk validasi lokasi sumur dan
interpretasi citra Ikonos. Hasil kajian membuktikan
citra satelit Ikonos mampu untuk mengidentifikasi
lokasi sumur dan permasalahan sosial yang terjadi
pada rencana pengembangan sumur tua.
Kata kunci: Citra Ikonos, sumur tua, permasalahan
sosial, penggunaan lahan.
ABSRACT
The Aims of this research is mapping of wells
location in “X” field and “Y” Field. X field is located
in the municipality and Y field is located in the district
of South Sumatera Basin. Mapping of landuse is
conducted for all of well. The Result of landuse
mapping is used for analyzing the possibility of social
problem on Brown field development. Remote sensing
technology is conducted to map of wells location. In
this research is using Ikonos Imagery with 1 meter
of spatial resolution. The use of Ikonos imagery
is expected to identify of wells location and detail
landuse. The Result of this research showing that
Ikonos imagery has capability to map well location
and detail landuse at X and Y Field. Landuse is key
of identification of social problem on Brown Field
development. Research of social problem in Brown
Field Development is using buffer for well head
in radius 100 meter. The function of buffer is for
analysing the area that free for other activities, mainly
social activities. Field survey is conducted to validate
wells location and landuse interpretation results. The
Result of research is proving that Ikonos imagery has
capability for identifying of wells location and social
problem in Brown Field development planning.
Author
Keywords: Ikonos Imagery, old well, social problem,
landuse.
Oberlin Sidjabat (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”LEMIGAS”)
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi
Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial
(Bagian I): Penggunaan Ni-Al 2 O 3 sebagai
Katalis
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47
No. 2 Agustus 2013 hal. 79 - 85
ABSTRAK
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati sebagai
substitusi minyak diesel/solar yang menjanjikan.
Namun masih ada permasalahan dalam hal mutu
seperti kestabilan oksidasi dan sifat alirnya yaitu
titik tuang dan titik kabut yang sangat penting dalam
utilisasi secara komersial. Karakteristik tersebut
sangat tergantung pada komponen bahan bakunya
yang mengandung asam lemak tak-jenuh.yang
mudah teroksidasi membentuk polimer-polimer serta
pengaruh kondisi lingkungannya. Untuk mengatasi
permasalahan ketidak stabilan produk biodiesel,
konsentrasi asam lemak tak jenuh perlu diturunkan
melalui proses hidrogenasi parsial dengan bantuan
katalis nikel (Ni) berpenyangga (support) alumina
(Al 2O 3). Proses hidrogenasi parsial dilakukan
dengan sistem reaktor autoclave berpengaduk
dengan temperatur 80 oC dan tekanan atmosfir.
Karakteristik stabilitas oksidasi dapat meningkat
untuk memenuhi spesifikasi yang ditentukan (>10
jam), juga sifat alirnya meningkat secara signifikan
dengan penggunaan katalis nikel tersebut.
Kata kunci: biodiesel, hidrogenasi parsial, katalis
nikel, stabilitas oksidasi, titik kabut, titik tuang
v
ABSTRACT
Biodiesel is vegetable fuel as promising fuel for
substituted diesel oil. However it has some problems
for its fuel quality such as oxidation stability and
flowing characteristics that is pour point and cloud
point, which are very important in commercial
utilization. Such characteristics depend on the
components that contained in the feedstock such as
unsaturated fatty acids which easier oxidised to form
polymer and its environment conditions. In order to
solve the problem of unstable biodiesel product, the
concentration of unsaturated fatty acids should be
reduced by partial hydrogenation processing with
Nickel (Ni) supported on alumina (Al2O3) as catalyst.
Partial hydrogenation processing was conducted
by autoclave stirred reactor with temperature
80oC and atmosperic pressure. Characteristic of
oxidation stability increase to meet the specification
(>10 hours), also flowing characteristics increase
significantly by using such catalyst.
Author
Keywords: biodiesel, partial hydrogenation, nickel
catalyst, oxidation stability, cloud point, pour point
Edward ML Tobing dan Hestuti Eni (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
“LEMIGAS”)
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’
dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada
Skala Laboratorium
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47
No. 2 Agustus 2013 hal. 87 - 96
ABSTRAK
Kumulatif perolehan minyak reservoir ’R’ setelah
dilakukan injeksi air sampai dengan akhir tahun 2012
sebanyak 33.51% OOIP. Upaya untuk meningkatkan
perolehan minyak pada reservoar tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan metodr Enhanced
Oil Recovery (EOR). Hasil pemilihan metode EOR
terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoar
’R’ menunjukkan bahwa metode yang cocok adalah
injeksi Alkali Surfaktan Polimer (ASP). Tulisan ini
menyajikan hasil studi laboratorium peningkatan
perolehan minyak pada reservoir ’R’ dengan
injeksi ASP. Dan tujuan studi tersebut adalah untuk
mengetahui penambahan perolehan minyak dengan
vi
menginjeksikan ASP pada batuan reservoir ’R’.
Berdasarkan hasil uji compatibility, interfacial
tension, reologi, thermal stability, filtrasi dan
adsorpsi pada fluida injeksi ASP, maka diperoleh
konsentrasi optimum dari masing-masing fluida
injeksi tersebut. Mengacu pada konsentrasi optimum
fluida injeksi ASP tersebut, kemudian dilakukan uji
core flooding berdasarkan rancangan fluida injeksi
yang sudah ditentukan. Hasil utama dari uji core
flooding tersebut menunjukkan adanya peningkatan
perolehan minyak sebanyak 9.94% OOIP. Bila hasil
uji laboratorium tersebut diaplikasikan pada skala
lapangan dengan menginjeksikan fluida ASP melalui
sumur injeksi di reservoar ’R’, serta memenuhi
persyaratan secara teknik, maka diperkirakan
penambahan produksi minyak sebanyak 3.88 juta
bbl.
Kata kunci: injeksi alkali-surfaktan-polimer,
perolehan minyak.
ABSTRACT
Cumulative oil recovery reservoir ‘R’ after
water injection until the end of 2012 was 27.87%
OOIP. Efforts to improve oil recovery in reservoir
‘R’ can be done by applying the method of Enhanced
Oil Recovery (EOR). The result of screening EOR
method to the characteristics of the reservoir rock
and fluid ‘R’ shows that the most suitable method
is to inject Alkaline Surfactant Polymer (ASP).
This paper presents the results of a laboratory
study of enhanced oil recovery in reservoir ‘R’ with
ASP injection. And the purpose of the study is to
investigate the addition of oil recovery by injecting
ASP in reservoir rocks ‘R’. Based on the results
of compatibility, interfacial tension, rheology,
thermal stability, filtration and adsorption test on
ASP injection fluid, the optimum concentration of
each of the injection fluid is obtained. Based on the
optimum concentration of the ASP injection fluid,
then test core flooding refers to the design of the
injection fluid was determined. The main results of
core flooding tests show an increase in oil recovery
9.94% OOIP. When the results of the laboratory test
was applied to the field scale by injecting ASP fluid
through injection wells in the reservoir ‘R’, as well
as satisfy the technical requirements, the additional
oil production is estimated to 3.88 million bbl.
Keywords: alkaline-surfactant-polymer injection,
oil recovery.
Durrotun Najiyah1), Nuning Vita Hidayati1) dan Cut
Nanda Sari2) (1Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas
Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman;
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Minyak dan Gas Bumi ”LEMIGAS”)
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut
Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses
Hidrokarbon Minyak Bumi
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47
No. 2 Agustus 2013 hal. 87 - 94
ABSTRAK
Pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan
minyak bumi telah banyak terjadi di perairan darat
maupun laut. Berbagai upaya telah dilakukan salah
satunya yaitu penambahan senyawa surfaktan sintetik
ke perairan. Pemakaian surfaktan sintetik ternyata
akan menjadi limbah yang menyebabkan kerusakan
lingkungan, sehingga diperlukan upaya untuk
menaggulanginya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui potensi bakteri laut hidrokarbonoklastik
(Halobacillus trueperi dan Rhodobacteraceae
bacterium) dalam memproduksi biosurfaktan.
Penelitian dibagi menjadi 5 perlakuan, yaitu kontrol
(Media+Minyak Bumi dan Media+Minyak Jelantah),
Media+Minyak Bumi+Halobacillus trueperi,
Media+Minyak Bumi+Rhodobacteraceae bacterium,
Media+Minyak Jelantah+Halobacillus trueperi
dan Media+ Minyak Jelantah+Rhodobacteraceae
bacterium. Parameter pengukuran meliputi diameter
zona bening (uji bakteri penghasil biosurfaktan)
bobot biomasa, bobot endapan asam, dan tegangan
permukaan (produksi biosurfaktan). Hasil penelitian
menunjukkan R. bacterium dengan sumber karbon
minyak jelantah lebih berpotensi memproduksi
biosurfaktan dibandingkan dengan bakteri H. truperi.
Produksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri
R. bacterium sebesar 0,7047 g/L. Isolat bakteri R.
bacterium dapat menurunkan tegangan permukaan
dari 40,80 mN/m hingga mencapai 30,09 mN/m,
kemampuan menurunkan hingga 30,09 mN/m
sehingga biosurfaktan yang di produksi bakteri ini
dapat digunakan sebagai akselerator biodegradasi
hidrokarbon pencemaran minyak bumi di laut.
Kata kunci: biosurfaktan bakteri laut
hidrokarbonoklastik, akselerasi biodegradasi Crude
oil
ABSTRACT
Pollution has occurred on landwater and seawater
caused by oil spills from petroleum hydrocarbons.
Numerous attempts have been made, one of which
is the addition of synthetic surfactant compounds
into the water. The use of synthetic surfactants is
apparently going to be waste that causes damage to
the environment, so it takes effort to menaggulanginya.
This research aims to know the potential of marine
hidrokarbonoklastik bacteria (Halobacillus trueperi
and Rhodobacteraceae bacterium) in producing
biosurfactant. The research is divided into 5
treatments, namely control (Petroleum Media and
Media Oil Jelantah), Petroleum Halobacillus
trueperi Media, Media Rhodobacteraceae bacterium
Petroleum Oil Media Jelantah Media trueperi
and Halobacillus Oil Jelantah Rhodobacteraceae
bacterium. Parameters measured is the diameter of
the clear zone (biosurfaktan-producing bacteria test)
weights, weights biomass sludge acid, and surface
tension (biosurfaktan production). The results showed
r. bacterium with carbon jelantah oil biosurfaktan
producing more potent than the bacteria h. truperi.
Biosurfaktan productions produced by r. bacterium
of 0,7047 g/l. Isolates of bacteria r. bacterium can
lower the surface tension of 40,80 mN/m until you
reach 30,09 mN/m, ability to 30,09 mN/m so that
the biosurfaktan in the production of these bacteria
could be used as an accelerator of hydrocarbon
biodegradation of oil pollution at sea.
Author
Keywords: biosurfactant, marine bacteria
hidrocarbonoklastik, acceleration biodegradation
hidrocarbon
Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani
dan Nanang Hermawan (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi
“LEMIGAS”)
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang
Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47
No. 2 Agustus 2013 hal. 105 - 114
ABSTRAK
Penelitian pembuatan adsorber merkuri dalam
skala pilot telah dilakukan melalui tiga tahap yaitu
vii
aktivasi adsorben karbon aktif tempurung kelapa dalam
skala besar, pembuatan alat pilot adsorber merkuri
berskala pilot dan uji kinerja alat untuk mengetahui
kemampuan penyerapan adsorben terhadap merkuri.
Aktivasi karbon aktif tempurung kelapa dilakukan
pada temperatur tinggi menggunakan activator
ZnCl2. Adsorber merkuri berskala pilot dibuat dari
bahan stainlessteel yang terdiri dari separator dan dua
adsorber. Uji kinerja alat dilakukan dengan mengukur
konsentrasi merkuri dalam gas bumi sebelum dan
sesudah melewati kolom adsorber. Hasil uji kinerja
alat selama sekitar 9 jam menunjukkan adanya
penurunan konsentrasi merkuri dengan efisiensi
penyerapan adsorben hampir mencapai 100% pada
tekanan gas 100 psia, temperatur 37oC dan laju alir
gas 50 Cuft/jam.
Kata kunci: adsorber, merkuri, gas bumi.
ABSTRACT
Research of pilot plan mercury adsorber has
been done by three stages, firstly was activation of
viii
coconut shell as activated carbon on a large scale,
secondly was designed a pilot plan of mercury
adsorber and the last stage was performance
test to determine the ability of the adsorbent to
absorb mercury. Coconut shell activated carbon
was activated at high temperature using ZnCl2 as
activator. However, the pilot plan mercury adsorber
was designed with stainlessteel material consisting
separator and two adsorbers. The performance
test of was done by measuring the concentration
of mercury in gas before and after the adsorption
column approximately 9 hours. The test condition
as follows; gas pressure 100 psia, temperature of
37°C and the gas flow rate 50 CUFT / hour. The
test result showed the mercury concentration was
decrease significantly with the efficiency of mercury
absorption almost 100%.
Author
Keywords: adsorber, mercury, natural gas.
ix
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
(Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi
Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: [email protected]; [email protected]
Teregistrasi I tanggal 27 Mei 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 25 Juni 2013
Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK
Biosurfaktan merupakan surfaktan yang dihasilkan oleh mikroba dari golongan bakteri
hidrokarbonoklastik yang memiliki kemampuan menurunkan tegangan antar muka. Faktor keberhasilan
dalam produksi biosurfaktan ditentukan dari jenis mikroba dan nutrisi yang digunakan. Kegiatan penelitian
ini terdiri atas empat tahapan yaitu aktivasi dan kultivasi mikroba, seleksi mikroba penghasil biosurfaktan,
kurva pertumbuhan mikroba, seleksi nutrisi. Aktivasi dan kultivasi mikroba dilakukan dalam tiga tahapan
dengan masa inkubasi masing-masing tahapan yaitu 37oC selama 24 jam. Hasil seleksi mikroba penghasil
biosurfaktan diperoleh tiga jenis mikroba dari tujuh mikroba yang diuji, berdasarkan indikasi luasnya
zona lisis yang terbentuk pada media agar darah yaitu, BLCC B-3, BLCC B-4 dan BLCC B-5. Hasil
uji lanjut terhadap ketiga mikroba tersebut pada media minyak dengan mengukur tegangan antar muka
(IFT), menghasilkan dua mikroba dengan nilai IFT yang terendah yaitu BLCC B-3 dan BLCC B-5. Hasil
screening nutrisi berdasarkan pengukuran Tegangan Antar Muka (IFT), Viskositas, Total Plate Count (TPC),
dan pH, menunjukkan media BC-4 dan media PA-4 mendukung aktivitas mikroba dalam memproduksi
biosurfaktan.
Kata kunci: seleksi mikroba, seleksi nutrisi, produksi biosurfaktan.
ABSTRACT
Biosurfactant is a surfactant derived from hydrocarbonoclastic bacteria which are capable to reduce
surface tension. The successful biosurfactant productions are determined by nutrition and microbial
species. This research consists of 4 main steps: activation and cultivation of microbes, microbial growth
curves, screening of surfactant producing bacteria, and screening of nutrition. Microbial activation
and cultivation conducted in 3 sequential cultivation in 24 hours incubation time at 37oC. Screening of
surfactant producing bacteria from 7 microbial isolates obtained 3 isolates which show positive result
based on diameter of hemolytic area on blood agar. They are BLCC B-3, BLCC B-4 and BLCC B-5. The
interfacial tension (IFT) examination result from these 3 isolates showed that BLCC B-3 and BLCC B-5
had the lowest IFT value. The result of nutrition screening based on IFT, viscosity, Total Plate Count,
and pH show that BC-4 and PA-4 media are the best composition of media that support the microbes in
producing surfactants.
Keywords: microbe screening, nutrition screening, biosurfactant production.
I. PENDAHULUAN
Di beberapa negara telah dilakukan penelitian
untuk menguras sisa cadangan minyak dengan
teknik produksi tersier menggunakan surfaktan.
Surfaktan ini dirancang khusus untuk mengeluarkan
minyak dari formasi geologi dengan menurunkan
tegangan antarmuka minyak-air yang merupakan
parameter utama dalam EOR (Lake 1989; Fox et
al., 1993). Nilai tegangan antarmuka antara minyak
dan air yang rendah (ultra low), dapat diperoleh
dengan menggunakan senyawa aktif permukaan
59
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
yang berasal dari produk mikroba. Senyawa
tersebut biasa disebut dengan biosurfaktan. Teknik
ini merupakan suatu langkah maju karena sangat
potensial untuk memperoleh sisa-sisa minyak dari
reservoir (Ban & Kato, 1993). Oleh karena itu
perlu diproduksi biosurfaktan dengan sistematika
pengolahan yang cermat dengan mikroba yang tepat.
Untuk mendapatkan mikroba yang potensial, perlu
dilakukan suatu penelitian seleksi mikroba penghasil
biosurfaktan dan seleksi nutrisi pendukung aktivitas
metabolisme mikroba penghasil surfaktan.
A. Deskripsi Biosurfaktan
Biosurfaktan adalah senyawa aktif permukaan
ekstraselular yang disekresi sel-sel mikroba yang
ditumbuhkan pada hidrokarbon tertentu, juga
memungkinkan dihasilkan dari subtrat lain seperti
karbohidrat (Chopinean et al., 1988). Keutamaan
kultur mikroba adalah kemampuannya mengekskresi
relatif besar atau substansi aktif permukaan yang
mengemulsi, atau membasahi fase hidrokarbon
sehingga pembuatannya tersedia untuk absorpsi
selular (Margaritis et al., 1979).
Biosurfaktan terdiri dari molekul-molekul
hidrofilik dan hidrofobik seperti halnya surfaktan
kimia. Biosurfaktan mempunyai sifat yang
sama seperti surfaktan sintetik dengan berbagai
karakteristik, sehingga dapat menurunkan tegangan
permukaan udara-air, dan tegangan antarmuka dalam
cairan-cairan misalnya minyak dan air dan cairanpadatan. (Jack, 1993). Biosurfaktan dapat membentuk
partikel-partikel misel, pengemulsi hidrokarbon, dan
mengubah karakteristik permukaan batuan.
Daya tarik biosurfaktan meningkat akhir-akhir
ini karena sangat potensial menurunkan tegangan
antarmuka pada konsentrasi rendah dan homogen
(Cooper & Zajic, 1980), sangat bervariasi sehingga
luas fungsinya, ramah lingkungan, disintesis oleh
beragam mikroba, kemungkinan memproduksinya
melalui fermentasi. Potensinya dapat diterapkan
untuk perlindungan lingkungan, recovery minyak,
kesehatan, dan proses industri makanan. Hal yang
terpenting adalah diterima lingkungan karena
terdegradasi dengan cepat dan mempunyai toksisitas
yang rendah daripada surfaktan sintetik (Margaritis
et al., 1979; Chopinean et al., 1988; Desai & Banat,
1997). Produksi melalui sintesis mikroba lebih
sederhana daripada produksi surfaktan sintetik
(Cooper & Zajic, 1980). Perkembangan bioteknologi
60
mempercepat pengembangan metode biologi untuk
memproduksi surfaktan dalam skala industri.
B. Biosintesis Biosurfaktan
Dalam struktur amphifilik, sisi hidrofobik adalah
asam lemak rantai panjang, hidroksi asam lemak, atau
α alkil (β-hidroksi asam lemak, dan sisi hidrofilik
karbohidrat, asam karboksilat, fosfat, asam amino,
peptida siklik, atau alkohol. Dua jalur metabolik
primer yaitu hidrokarbon dan karbohidrat tercakup
dalam sintesis hidrofobik dan hidrofilik. Jalur untuk
sintesis dua kelompok prekursor ini beragam dan
menggunakan seperangkat enzim spesifik. Dalam
berbagai kasus, enzim pertama untuk sintesis
prekursor ini adalah enzim regulator, oleh karena
itu di samping keragaman, ada beberapa kesamaan
umum sintesis dan regulasinya. Kemungkinan sintesis
sisi hidrofobik dan sisi hidrofilik yang berbeda dari
biosurfaktan dan ikatannya adalah: i) hidrofilik dan
hidrofobik disintesis secara de novo oleh dua jalur
yang independen; ii) hidrofilik disintesis de novo
sedangkan sintesis hidrofobik diinduksi oleh subtrat;
iii) hidrofobik disintesis de novo, sedangkan sintesis
hidrofilik tergantung subtrat; iv) sintesis hidrofobik
dan hidrofilik tergantung subtrat (Desai & Banat,
1997).
C. Kinetika Produksi Biosurfaktan
Kinetika produksi biosurfaktan menunjukkan
berbagai variasi di antara berbagai sistem. Parameter
kinetika dapat dikelompokkan ke dalam tipe:
i) Produksi yang berasosiasi dengan pertumbuhan,
yaitu hubungan yang pararel antara pertumbuhan,
penggunaan subtrat dan produksi biosurfaktan.
Produksi biosurfaktan pararel dengan
pertumbuhan pada subtrat hidrokarbon dan
non hidrokarbon selama fase pertumbuhan
eksponensial, namun produksi emulsifier
terus berlanjut setelah pertumbuhan berhenti
(Rosenberg et al., 1979). Produksi rhamnolipida
oleh beberapa Pseudomonas spp, glikoprotein
AP-6 oleh Pseudomonas fluorescent 378, zat
aktif permukaan oleh Bacillus cereus IAF 346,
dan biodispersan oleh Bacillus sp galur IAF343 adalah contoh produksi biosurfaktan yang
berasosiasi dengan pertumbuhan (Desai & Banat,
1997);
ii) Produksi di bawah kondisi terbatas. Produksi
di bawah kondisi pembatasan pendukung
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
(Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
pertumbuhan, mempunyai karakteristik
peningkatan yang tajam dalam produksi
biosurfaktan sebagaimana hasil pembatasan
satu atau lebih komponen medium. Penelitian
menunjukkan produksi biosurfaktan yang
berlebihan oleh Pseudomonas spp jika kultur
telah mencapai fase stasioner karena keterbatasan
nitrogen dan besi (Desai & Banat, 1997);
iii) Produksi oleh sel mati. Produksi oleh sel mati
merupakan tipe produksi biosurfaktan yang tidak
terjadi multiplikasi sel. Sel terus menggunakan
sumber karbon untuk sintesis biosurfaktan.
Contoh tipe ini rhamnosa dari Pseudomonas
spp, dan Pseudomonas aeruginosa CFTR-6,
sophorolipida oleh Torulopsis bombicola, dan
Candida apicola, cellobiolipida oleh Ustilago
maydis, tre-halosa tetraester oleh Rhodococcus
erythropolis, lipida mannosilerithritol oleh
Candida antartica. Biosurfaktan yang diproduksi
oleh sel-sel mati sangat menguntungkan untuk
mengurangi biaya pemanenan produk, karena
fase pertumbuhan dan fase pembentukan produk
dapat dipisahkan (Desai & Banat, 1997);
iv) Produksi dengan penambahan prekursor.
Berbagai penelitian telah dipublikasikan,
bahwa penambahan prekursor biosurfaktan ke
dalam medium menyebabkan perubahan secara
kualitatif dan kuantitatif dalam produksi. Sebagai
contoh penambahan senyawa lipofilik ke dalam
kultur medium T. magnoliae, T. bombicola, dan T.
apicola IMET 43747, menghasilkan peningkatan
produksi biosurfaktan dengan hasil kurang lebih
120-150 mg/l, Hal yang sama, peningkatan
produksi biosurfaktan yang mengandung
monosakarida, disakarida, atau trisakarida yang
berbeda terjadi pada Arthrobacter paraffmeus
DSM 2567, Corynebacterium spp, Nocardia spp,
dan Brevibacterium spp dengan penambahan gula
dalam medium pertumbuhan (Desai & Banat,
1997).
masing 10 mL media NB, diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37oC. Aktivasi kedua dilakukan dengan
menginokulasikan 1 mL kultur aktivasi pertama
ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 mL NB
baru, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 37oC. Aktivasi ketiga dilakukan sama halnya
seperti aktivasi pertama dan kedua, yaitu dengan
cara menginokulasikan 10 mL biakan kultur aktivasi
kedua ke dalam erlenmeyer 200 mL yang telah berisi
90 mL medium NB, diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 37oC. Kultur biakan mikroba yang telah aktif
kemudian dikultivasi.
Kultivasi biakan mikroba pada prinsipnya sama
seperti yang dilakukan pada saat aktivasi biakan
mikroba, hanya saja media dan kultur cair mikroba
yang digunakan dalam volume besar. Kultivasi
dilakukan bertujuan untuk mendapatkan stok kultur
aktif mikroba dalam jumlah optimum. Kultur mikroba
yang telah dikultivasi selanjutnya dapat digunakan
dalam percobaan dan pembuatan kurva tumbuh.
B. Seleksi Mikroba Penghasil Biosurfaktan
Seleksi atau penapisan mikroba dilakukan
dengan tujuan mendapatkan mikroba yang potensial
menghasilkan biosurfaktan, dilakukan dalam dua
tahapan. Tahapan pertama yaitu uji awal pada media
agar darah, dan tahapan kedua uji lanjut pada media
minyak. Melalui uji awal pada media agar darah ini
dapat diamati mikroba-mikroba yang menghasilkan
biosurfaktan melalui indikasi adanya zona bening
pada permukaan agar darah (Gambar 1).
Uji lanjut pada media minyak dilakukan untuk
mengamati pengaruh biosurfaktan yang dihasilkan
oleh mikroba terhadap tegangan antar muka antara
II. TAHAPAN PENELITIAN
A. Aktivasi dan Kultivasi Biakan Mikroba
Aktivasi mikroba dilakukan bertujuan untuk
mengaktifkan biakan mikroba yang akan digunakan
dalam percobaan. Aktivasi pertama dilakukan dengan
cara menginokulasikan 1 ose biakan murni mikroba
ke dalam tabung reaksi yang telah berisikan masing-
Gambar 1
Skema kerja seleksi mikroba
pada media agar darah
61
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
fase minyak dan fase media. Tahapan kerja pada
kegiatan ini adalah sebagai berikut: pertama dipilih
mikroba-mikroba dengan luas zona bening terluas
dari tahapan kegiatan seleksi mikroba menggunakan
agar darah. Mikroba-mikroba terpilih ini kemudian
dikultivasi untuk mendapatkan stok kultur yang
optimum. Setelah kultivasi dilakukan selanjutnya
mikroba ditumbuhkan pada media yang telah
dicampur minyak. Percobaan ini diinkubasi selama
tujuh hari pada suhu 37oC dan pengukuran tegangan
antar muka (IFT) dilakukan pada hari ke-0 dan hari
ke-7 pengamatan.
C. Kurva Pertumbuhan Mikroba
Kurva pertumbuhan menggambarkan
pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur. Kurva
tumbuh dibuat dengan metode cawan hitung Total
Plate Count (TPC). Biakan mikroba yang telah
diaktivasi diambil sebanyak 15 mL dengan Optical
Dencity (OD) ± 0,5 (10 6 sel/mL). Kemudian
dimasukkan ke dalam dua erlenmeyer 500 mL yang
berisikan masing-masing 285 mL medium NB.
Pembuatan kurva tumbuh dimulai dengan mengukur
OD setiap 2 jam selama 24 jam menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 600
nm, dilanjutkan dengan menghitung koloni mikroba.
Sebelum pengukuran kurva tumbuh dimulai, OD
mikroba diukur terlebih dahulu menggunakan
spektrofotometer. Biakan mikroba yang digunakan
dalam pembuatan kurva tumbuh memiliki OD 0,08
sampai 0,1. (Cappucino dan Sherman, 1987).
Perhitungan koloni dilakukan dengan membuat
seri pengenceran dalam akuades. Satu mL biakan
dicuplik dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang berisikan 9 mL akuades sehingga didapatkan
pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2 dilakukan dengan
memindahkan 1 mL dari pengenceran 10-1 ke dalam
tabung reaksi yang berisikan 9 mL akuades. Proses ini
terus dilakukan hingga diperoleh pengenceran 10-13.
Penanaman biakan dilakukan secara duplo, dengan
cara 1 mL dari masing-masing pengenceran tersebut
disebar dengan menggunakan triglaski ke dalam
cawan petri yang berisi 10 mL medium Nutrient
Agar (NA) steril. Biakan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sesuai
dengan aturan perhitungan untuk metode cawan
hitung. Data yang dimasukkan dalam perhitungan
adalah yang memenuhi persyaratan 30-300 koloni
62
dalam satu cawan. Asumsi dasar dari perhitungan ini
adalah satu koloni berasal dari satu sel bakteri.
Penentuan umur inokulum yang terbaik dilakukan
dengan menghitung laju pertumbuhan dari L.
bulgaricus dan S. thermophillus. Laju pertumbuhan
dihitung dengan menggunakan rumus (Fardiaz,
1992):
P
ln Nt ln No
(Tt To)
dengan Nt adalah jumlah sel pada waktu t, No adalah
jumlah sel awal, Tt adalah waktu t dan To adalah
waktu awal. Umur inokulum terbaik ditunjukkan
oleh waktu dengan laju pertumbuhan mikroba yang
tertinggi.
D. Seleksi Nutrisi
Seleksi nutrisi memiliki tujuan memilih nutrisi
yang potensial mendukung aktivitas metabolisme
mikroba memproduksi biosurfaktan. Kegiatan ini
dilakukan setelah seleksi mikroba, karena mikroba
hasil seleksi akan digunakan dalam tahapan kegiatan
ini. Nutrisi yang digunakan yaitu media BC untuk
mikroba BLCC B-3 dan media PA untuk mikroba
BLCC B-5. Media BC dan PA masing-masing terdiri
dari lima formulasi. Formulasi dirancang berdasarkan
kombinasi antara penggunaan variasi konsentrasi
Mineral Salt Medium (MSM) 5%, 10%, 15%, 20%,
25%, dan penggunaan media spesifik mikroba BLCC
B-3 dan media spesifik BLCC B-5 (Tabel 1).
Parameter yang digunakan terdiri dari pengukuran
pH, Populasi Bakteri/Total Plate Count (TPC),
Tegangan Antar Muka/Interfacial Tension (IFT), dan
Viskositas. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0
dan hari ke-7.
III. HASIL UJI DAN PEMBAHASAN
A. Aktivasi dan Kultivasi Biakan Mikroba
Aktivasi mikroorganisme pada medium NB
menunjukkan pertumbuhan mikroba sudah dapat
diamati setelah masa inkubasi 24 jam. Setelah kultur
mikroba yang digunakan berada dalam kondisi aktif,
maka kultur siap digunakan sebagai inokulum atau
stok kultur untuk percobaan dan pembuatan kurva
tumbuh. Berdasarkan kurva pertumbuhan dapat
diketahui umur mikroba terbaik untuk digunakan
dalam proses fermentasi.
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
(Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
B. Hasil Seleksi Mikroba
1. Hasil Uji pada Media Agar Darah
Metode hidrolisis agar darah merupakan salah
satu metode yang digunakan untuk mendeteksi
adanya biosurfaktan yang dihasilkan oleh suatu
mikroba, yaitu dengan indikasi terbentuknya zona
hidrolisis (zona lisis) di sekeliling koloni. Metode
hidrolisis agar darah dilakukan dengan mengacu
pada surfaktan yang merupakan biosurfaktan yang
potensial dari kelompok antibiotik lipopeptida yang
menyebabkan lisis sel-sel eritrosit dan penghambat
pembekuan darah (Anonim, 2004). Gambar 2
menunjukkan pembentukan zona hidrolisis yang
dihasilkan oleh mikroba pada percobaan ini.
Berdasarkan Gambar 2 dan Tabel 2 memperlihatkan
pembentukan diameter zona bening (clear zone)
terbesar pada isolat BLCC B-3 diikuti BLCC B-5
dan BLCC B-4. Sementara BLCC B-1, BLCC B-2,
BLCC B-6, dan BLCC B-7 juga memperlihatkan
zona bening, namun diameternya tidak sebesar BLCC
B-3, BLCC B-4, dan BLCC B-5. Dari uji mikroba
pada agar darah, dipilih tiga jenis mikroba yaitu
BLCC B-3, BLCC B-4, dan BLCC B-5. Terhadap
tiga mikroba yang dipilih ini selanjutnya dilakukan
uji lanjut pada media minyak.
2. Hasil Uji Pada Media Minyak
Hasil uji pada media minyak dari aktivitas
biosurfaktan mengakibatkan menurunnya tegangan
antar muka/interfacial tension (IFT) mikroba BLCC
B-3 dari 7.43 mN/m menjadi 2.15 mN/m. Begitu juga
halnya dengan mikroba BLCC B-5, tegangan antar
muka turun dari 7.15 mN/m menjadi 2.75 mN/m.
Sementara itu mikroba BLCC B-4 juga menunjukkan
penurunan tegangan antar muka, akan tetapi
penurunan yang terjadi tidak setinggi BLCC B-3
dan BLCC B-5 yaitu dari 7.10mN/m turun menjadi
5.25 mN/m (Tabel 3). Dengan demikian dari hasil
percobaan seleksi mikroba penghasil biosurfaktan,
diperoleh dua mikroba potensial yaitu BLCC B-3 dan
BLCC B-5 yang selanjutnya akan digunakan dalam
percobaan seleksi nutrisi.
Selama proses metabolisme, mikroorganisme
penghasil biosurfaktan mampu membentuk emulsi
dari senyawa-senyawa hidrofobik yang larut dalam
air. Emulsi yang dihasilkan berbentuk miselmisel atau gelembung-gelembung yang bertahan
cukup lama sebelum pecah kembali tergantung
Gambar 2
Pembentukan zona hidrolisis
pada medium agar darah
Tabel 1
Formulasi media mikroba
BLCC B-3 dan BLCC B-5
Konsentrasi MSM (%)
Formulasi BLCC B-3 Formulasi BLCC B-5
5
BC-1
PA-1
10
BC-2
PA-2
15
BC-3
PA-3
20
BC-4
PA-4
25
BC-5
PA-5
Tabel 2
Ketebalan zona hidrolisis
yang terbentuk pada medium agar darah
No.
Sampel
Pembentukan Zona Hidrolisis
1.
BLCC B-1
++
2.
BLCC B-2
++
3.
BLCC B-3
++++++++
4.
BLCC B-4
++++
5.
BLCC B-5
+++++
6.
BLCC B-6
+++
7.
BLCC B-7
++
Keterangan: ++ = Luas pembentukan zona bening
kestabilannya. Kemampuan biosurfaktan untuk
membentuk misel serta menempati antar permukaan
berpengaruh terhadap turunnya nilai tegangan
permukaan (IFT).
Jumlah gelembung misel yang semakin banyak
menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan
63
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
semakin banyak jumlahnya, sedangkan semakin
lama gelembung misel bertahan setelah pengocokan
menunjukkan tingkat kestabilan emulsi yang
dihasilkan semakin tinggi. Untuk aplikasinya di
lapangan turunnya tegangan antar muka minyak
dengan air, menyebabkan tekanan kapiler yang
bekerja pada daerah penyempitan pori-pori batuan
reservoir akan berkurang, sehingga sisa minyak yang
terperangkap dalam pori-pori batuan mudah didesak
dan dapat dikeluarkan (Desai & Banat, 1997).
C. Kurva Pertumbuhan Mikroba
Kurva pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui
laju pertumbuhan optimum dan pembentukan
optimum metabolit yang dihasilkan oleh suatu
mikroba. Pada saat mikroba sangat aktif dalam
metabolisme atau memiliki aktivitas sel tertinggi
umumnya terjadi pada fase logaritmik. Penggunaan
inokulum sesuai kondisi tersebut diatas menyebabkan
akan menggunakan substrat pada awal fermentasi
sehingga tidak membutuhkan waktu adaptasi.
(Maldonado, 1975 dalam Rosdyana, 2004).
Kurva pertumbuhan BLCC B-3 (Gambar 3)
tidak menunjukkan adanya fase adaptasi. Mikroba
BLCC B-3 dapat tumbuh dengan baik pada
medium pertumbuhan yang digunakan dan mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang
ada (Fardiaz, 1992). Bakteri dalam medium tersebut
akan langsung menggunakan substrat, dan aktif
mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan (Widiyanti, 2002).
Pertumbuhan mikroba BLCC B-3 terlihat dalam
fase logaritmik, pertumbuhan cepat dan konstan
mengikuti kurva logaritmik. Pada fase ini kecepatan
pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat
tumbuhnya seperti kandungan nutrisi, pH, kondisi
lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara.
Selama fase logaritmik mikroba tumbuh dengan laju
pertumbuhan maksimum (μm). Laju pertumbuhan
maksimum berbeda-beda tergantung pada: 1) spesies
mikroba, 2) kondisi kultur dan 3) panjang rantai
molekul substrat (Rachman, 1989). Fase logaritmik
kurva tumbuh mikroba BLCC B-3, ditunjukkan dari
jam ke-0 sampai jam ke-14, kemudian dilanjutkan
dengan fase stasioner. Fase stasioner merupakan
fase dimana semua sel mikroba berhenti membelah
atau bila sel yang hidup dan sel yang mati mencapai
keseimbangan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan kurva
pertumbuhan umur inokulum mikroba BLCC B-3
yang paling baik digunakan sesuai percobaan yaitu
14 jam.
Pada kurva pertumbuhan mikroba BLCC B-5
terlihat adanya fase adaptasi singkat pada jam ke-0
hingga jam ke-4 (Gambar 4). Menurut Fardiaz (1992)
lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu:
1) medium dan lingkungan pertumbuhan. Jika
medium dan lingkungan pertumbuhan sama
Gambar 3
Kurva pertumbuhan mikroba
BLCC-3 dalam medium NB
Kondisi lingkungan:
suhu 37oC, pH awal medium 6,8
Tabel 3
Analisis tegangan antar muka (interfacial tension) mikroba penghasil biosurfaktan
Interfacial Tension (mN/m)
Jenis Mikroba
64
Hari ke-0
Hari ke-7
Persentase Penurunan
BLCC B-3
7.43
2.15
71%
BLCC B-4
7.10
5.25
26%
BLCC B-5
7.15
2.75
61%
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
(Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
seperti medium dan lingkungan pertumbuhan
yang digunakan sebelumnya, fase adaptasi
terjadi dalam waktu singkat atau bahkan tidak
diperlukan. Jika kondisi lingkungan dan nutrien
berbeda dengan yang digunakan sebelumnya,
maka diperlukan waktu penyesuaian untuk
mensintesis enzim-enzim.
2) jumlah inokulum. Semakin tinggi jumlah awal sel
mikroba yang digunakan maka akan mempercepat
fase adaptasi. Sementara itu menurut Rachman
(1989), lamanya fase adaptasi sangat tergantung
dari kondisi fisiologi mikroorganisme yang
digunakan.
Pada penelitian ini jumlah mikroba BLCC B-5
yang digunakan belum optimum, hal ini terlihat
dari saat dimulainya siklus pertumbuhan, mikroba
membelah dengan kecepatan rendah. Namun
selanjutnya mikroba mulai aktif membelah, terlihat
pada jam ke-4 hingga jam ke-14 terjadinya fase
logaritmik dan kemudian diikuti dengan fase
kematian. Lama fase adaptasi yang terjadi pada kurva
pertumbuhan BLCC B-5 terjadi tidak begitu lama,
hal ini menandakan mikroba telah aktif membelah.
Berdasarkan hasil pengujian ini, umur inokulum
mikroba BLCC B-5 yang paling baik digunakan yaitu
14 jam. Bila dibandingkan antara pertumbuhan BLCC
B-5 dengan BLCC B-3, pertumbuhan BLCC B-3
lebih baik karena tidak mengalami fase adaptasi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa
parameter selama 7 hari inkubasi seperti terlihat pada
Tabel 4, menunjukkan formula nutrisi BC-4 terbaik
untuk pertumbuhan mikroba BLCC B-3. Hasil analisis
IFT yang mempunyai korelasi dengan produksi
biosurfaktan, memperlihatkan penurunan tertinggi
yaitu mencapai 80%. Kondisi ini menunjukkan
adanya produksi biosurfaktan yang signifikan.
Penurunan IFT diikuti dengan menurunnya viskositas
mencapai 67%. Dalam pertumbuhan tersebut juga
dihasilkan produk lain yaitu bioasam, ditandai
dengan adanya penurunan pH sekitar 31%. Bioasam
pada kisaran tertentu dapat membantu memperbesar
porositas batuan reservoir.
Sementara itu dari hasil TPC mikroba BLCC
B-3 dengan nutrisi BC-4 menunjukkan peningkatan
C. Hasil Seleksi Nutrisi
Nutrisi merupakan faktor penting pendukung
aktivitas metabolisme, karena ketersediaan
nutrisi yang diperlukan berpengaruh terhadap
proses pembelahan sel mikroba dan produktivitas
biosurfaktan. Untuk itu formulasi nutrisi yang tepat
dan sesuai sangat diperlukan.
Gambar 4
Kurva Pertumbuhan Mikroba
BLCC B-5 dalam medium NB
Kondisi lingkungan:
suhu 37oC, pH awal medium 6,8
Tabel 4
Hasil analisis untuk melihat pengaruh aktivitas mikroba BLCC B-3 terhadap variasi formula nutrisi
Jenis Nutrisi
(BLCC B-3)
pH
Interfacial Tension (IFT)
(mN/m)
Viskositas (mPas)
Hari ke-0
Hari ke-7
% Penurunan
Hari ke-0
Hari ke-7
% Penurunan Hari ke-0 Hari ke-7 % Penurunan
BC - 1
8.73
7.43
14
5.36
3.68
31
2.12
1.33
37
BC - 2
8.23
7.22
12
5.45
3.48
36
2.56
1.39
45
BC - 3
7.36
6.01
18
5.12
2.67
47
2.60
0.65
75
BC - 4
7.76
5.33
31
5.77
1.89
67
2.45
0.48
80
BC - 5
7.34
5.12
30
5.43
3.95
27
2.76
0.67
75
65
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
populasi merupakan indikasi adanya pertumbuhan
mikroba. Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan dapat
populasi mikroba dari log jumlah sel 2 sel/mL
menjadi log jumlah sel 7.78 sel/mL (Gambar 5).
Peningkatan populasi mikroba dalam media BC-4
tertinggi bila dibandingkan dengan nutrisi yg lain.
Dalam kegiatan lebih lanjut formula nutrisi BC-4
berpotensi mendukung pertumbuhan populasi
mikroba BLCC B-3 dalam produksi biosurfaktan.
Berdasarkan hasil analisis seperti terlihat pada
Tabel 5 dan Gambar 6, menunjukkan media PA-1
tidak baik untuk pertumbuhan mikroorganisme
BLCC B-5. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan
mikroorganismenya cenderung menurun. Namun
dalam kondisi pertumbuhan tidak baik, terjadi
penurunan IFT mencapai 55% dan peningkatan
viskositasnya 44%. Dalam kondisi demikian
mikroorganisme dapat mensintesis berbagai enzim
untuk aktivitas metabolismenya. Produk yang bersifat
surfaktan dihasilkan dalam kondisi tersebut, disamping
itu dapat juga dihasilkan produk ekstraseluler seperti
polisakarida yang dapat meningkatkan viskositas
liquid media dilingkungannya.
Mikroorganisme BLCC B-5 tumbuh dan
berkembang biak dengan baik dalam media PA-3 dan
PA-4, dan selama 7 hari inkubasi pertumbuhannya
tidak berbeda jauh dalam kedua media tersebut. Pada
perioda waktu tersebut terjadi penurunan IFT maupun
viskositas yang cukup tinggi. Dalam kaitannya
dengan penurunan IFT, walaupun perbedaan tidak
mencolok namun dalam media PA-4 lebih baik dari
pada media PA-3. Dengan demikian media PA-4
dipilih sebagai media mikroba BLCC B-5 untuk
penelitian lebih lanjut.
Sementara itu hasil TPC mikroba BLCC B-5
pada nutrisi PA-4 menunjukkan peningkatan populasi
mikroba dari log jumlah sel 2sel/mL menjadi log
jumlah sel 6.48sel/mL (Gambar6). Peningkatan
Gambar 5
Uji populasi mikroba BLCC B-3
pada beberapa variasi nutrisi
Gambar 6
Uji populasi mikroba BLCC B-5
pada beberapa variasi nutrisi
Tabel 5
Hasil analisis untuk melihat pengaruh aktivitas mikroba BLCC B-5 terhadap variasi formula nutrisi
Jenis Nutrisi
(BLCC B-5)
Viskositas (mPas)
Hari ke-0
Hari ke-7
%
Penurunan
Hari ke-0
Hari ke-7
%
Penurunan
PA - 1
7.20
6.96
3
2.41
3.48
44% *
3.34
1.48
55
PA - 2
7.38
7.29
1
3.45
3.78
9*
4.36
4.04
7
PA - 3
6.94
6.35
8
3.33
3.21
3
3.72
2.15
42
PA - 4
6.73
5.76
14
3.21
3.14
2
3.76
2.14
43
PA - 5
5.85
5.30
9
3.17
3.08
2
3.67
2.25
38
Keterangan: *Presentase naik
66
Interfacial Tension (IFT)
(mN/m)
%
Hari ke-0 Hari ke-7
Penurunan
Seleksi Mikroba dan Nutrisi yang Berpotensi Menghasilkan Biosurfaktan untuk MEOR
(Cut Nanda Sari dan Yanni Kussuryani)
didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur
semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme
uniselular (bersel tunggal), pertumbuhan merupakan
pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan
jumlah organisme, misalnya pertumbuhan yang
terjadi pada suatu kultur mikroba.
7.
8.
IV. KESIMPULAN
1. Hasil seleksi mikroba dari tujuh mikroba terpilih
yang berpotensi menghasilkan biosurfaktan
adalah BLCC B-3 dan BLCC B-5.
9.
2. Pertumbuhan optimum mikroba BLCC B-3 dan
BLCC B-5 yaitu pada umur inkubasi 14 jam.
3. Hasil seleksi nutrisi berdasarkan pengukuran
pH, Total Plate Count (TPC), Interfacial tension
(IFT), dan viskositas menunjukkan media BC-4
untuk BLCC B-3 dan media PA-4 untuk BLCC
B-5 optimal mendukung aktivitas mikroba dalam
memproduksi biosurfaktan.
10.
KEPUSTAKAAN
1. Anonim, 2004. Biochemical & Reagents for life
Science Research. Singapura: SIGMA.
2. Ban, T., and Kato, T. 1993, “Aqueous Microbial
Biosurfactant Solution Exhibiting Ultralow Tension
at Oil Water Interfaces”, Di dalam: Premuzic E,
Woohead A, editor. Microbial Enhancement of
Oil Recovery Recent Advances. Proceeding of the
International Conference on Microbial Enhanced Oil
Recovery. J. Elsevier. Amsterdam.
3. Cappucino, J. G., and Sherman. 1987. Microbiology:
A Laboratory Manual. The Benjamin/Cummings
Publishing Company Inc. California.
4. Chopinean et al. 1988, “Production of Biosurfactant
from Sugar Alkohol and Vegetable Oil Catalyzed
by lipasesin a Non Aqueous Medium”, Biotechnol.
Bioeng. 31:208-214.
5. Cooper DG and Zajic JE. 1980, “Surface-Active
Compounds from Microorganisms”, Adv. Appl.
Microbiol. 26: 229-253.
6. Desai, J. D., and Banat, I. M. 1997, “Microbial
Production of Surfactant by Anthrobacter paraffineus
11.
12.
13.
14.
15.
ATCC 19558”, J. Biotech. Bioeng. 24:165-175.
Fardiaz, S. 1992, ”Mikrobiologi Pangan I”, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fox, S. L et al., 1993, “Comperative Analysis of
Microbially Mediated Oil Recovery by Surfactant
Produced by Bacillus licheniformis and Bacillus
subtilis”, Di dalam: Premuzic E, Woohead A, editor,
Microbial Enhancement of Oil Recovery Recent
advances, Proceedings of the 1992 International
Conferences on Microbial Enhanced Oil Recovery.
Amsterdam: Elsevier.
Jack TR. 1993, “ MORE to MEOR: an overview
of Microbially Enhanced Oil Recovery in Microbial
Enhancement of Oil Recovery Recent Advances”, Di
dalam: Premuzic E, Woohead A, editor, Microbial
Enhancement of Oil Recovery Recent Advances,
Proceedings of the 1992 International Conferences
on Microbial Enhanced Oil Recovery, Amsterdam:
Elsevier Lake, L. W. 1989. “Enhanced Oil Recovery”,
New Jersey : Prentice Hall.
Margaritis et al., 1979, “Production and Surface
Active Properties of Microbial Surfactant”, Biotech.
Bioeng. 21: 1151-1162.
Marshall KC. 1980. Reactions of Microorganism,
Ion and Macromolecules at Interfaces. Contemporary
Microbial Ecology. London. Academic Press.
Rachman, A. 1989, ”Pengantar Teknologi Fermentasi”.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Rosdyana, A. 2004. Optimasi Produksi Vinegar
Dari Buah Nanas (Ananas comosus) Menggunakan
Metoda Quick Proccess Dengan Melibatkan Ragi
Saccharomyces cerevisiae dan Bakteri Acetobacter
aceti. Skripsi. Departemen Biologi. Institut Teknologi
Bandung.
Rosenberg E et al., 1979, ”Emulsifier of Arthrobacter
RAG-1: Specificity of Hydrocarbon Substrat”, Appl.
Environ. Microbiol, 37: 409-413.
Widiyanti, D. 2002. Pembuatan Keju dari Bahan
Baku Keledai dengan Proses Fermentasi oleh Bakteri
Lactobacillus bulgaricus (Luerssen & Kuhn) Holland
dan Jamur Penicillium roqueforti Thom. Skripsi.
Departemen Biologi. Institut Teknologi Bandung.
67
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 59 - 67
68
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua
(Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji
Permasalahan Sosial pada Pengembangan
Lapangan Tua
Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: [email protected]; [email protected]
Teregistrasi I tanggal 18 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 11 Juli 2013
Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan memetakan lokasi sumur-sumur tua di lapangan X dan lapangan Y. Lapangan
X di wilayah kotamadya dan lapangan Y berlokasi di wilayah kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan.
Pemetaan kondisi penggunaan lahan dilakukan pada setiap sumur. Hasilnya digunakan untuk menganalisis
kemungkinan permasalahan sosial yang timbul dalam pengembangan lapangan tua tersebut. Teknologi
penginderaan jauh digunakan untuk memetakan lokasi sumur. Data tersebut menggunakan Citra Ikonos
1 meter. Penggunaan citra Ikonos diharapkan dapat mengidentifikasi lokasi sumur dan penggunaan lahan
detil di sekitarnya. Hasilnya menunjukan bahwa citra Ikonos mampu memetakan lokasi-lokasi sumur
di Lapangan X dan Y. Hasil lainnya menunjukkan dengan citra Ikonos mampu untuk menginterpretasi
penggunaan lahan secara detil. Hal ini dapat menjadi kunci untuk identifikasi permasalahan sosial pada
pengembangan lapangan tua. Kajian permasalahan pada pengembangan sumur tua menggunakan buffer
dengan pusat kepala sumur pada radius 100 meter. Hal ini untuk menganalisis area yang harus bebas dari
kegiatan sosial masyarakat. Survey lapangan dilakukan untuk validasi lokasi sumur dan interpretasi citra
Ikonos. Hasil kajian membuktikan citra satelit Ikonos mampu untuk mengidentifikasi lokasi sumur dan
permasalahan sosial yang terjadi pada rencana pengembangan sumur tua.
Kata kunci: Citra Ikonos, Sumur Tua, Permasalahan Sosial, Penggunaan Lahan.
ABSRACT
The Aims of this research is mapping of wells location in “X” field and “Y” Field. X field is located
in the municipality and Y field is located in the district of South Sumatera Basin. Mapping of landuse is
conducted for all of well. The Result of landuse mapping is used for analyzing the possibility of social
problem on Brown field development. Remote sensing technology is conducted to map of wells location.
In this research is using Ikonos Imagery with 1 meter of spatial resolution. The use of Ikonos imagery is
expected to identify of wells location and detail landuse. The Result of this research showing that Ikonos
imagery has capability to map well location and detail landuse at X and Y Field. Landuse is key of
identification of social problem on Brown Field development. Research of social problem in Brown Field
Development is using buffer for well head in radius 100 meter. The function of buffer is for analysing
the area that free for other activities, mainly social activities. Field survey is conducted to validate wells
location and landuse interpretation results. The Result of research is proving that Ikonos imagery has
capability for identifying of wells location and social problem in Brown Field development planning.
Keywords: Ikonos Imagery, Old Well, Social Problem, Landuse.
I. PENDAHULUAN
Cadangan minyak bumi secara umum terus
mengalami penurunan. Di lain pihak harga minyak
terus naik. Kondisi mengakibatkan seluruh stake
holder berusaha mencari cadangan baru, termasuk
di dalamnya mengembangkan lapangan-lapangan
69
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
tua. Terlebih di Indonesia banyak lapangan tua yang
sudah ditinggalkan, padahal secara umum masih
mempunyai potensi untuk diproduksikan kembali.
Usaha untuk mengembangkan dan mengaktifkan
kembali lapangan tua merupakan alternatif tercepat
untuk penambahan cadangan migas baru. Selain
kesempatan investasi di wilayah kerja baru,
peluang investasi terbuka untuk mengusahakan
dan memproduksikan Minyak Bumi di lapanganlapangan tua. Mengingat terms and conditions-nya
dibedakan dari kontrak bagi hasil konvensional.
Pada pengusahaan dan pemroduksian minyak di
Sumur Tua, Pemerintah c.q Menteri ESDM telah
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 01 Tahun
2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan
Minyak Bumi pada Sumur Tua. Berdasarkan Permen
MESDM No. 01/2008 ini KUD, BUMD, Usaha
Kecil atau Koperasi berkesempatan mengusahakan
dan memproduksikan minyak di Sumur Tua bekerja
sama dengan Kontraktor KKS dengan mekanisme
imbal hasil (Kementerian ESDM, 2011).
Pemerintah berupaya mengembangkan Lapangan
tua (Brown Field) dan lapangan kecil (Marginal
Field) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
produksi minyak yang memungkinkan Indonesia
memperpanjang cadangan minyak. Pengembangan
lapangan tua telah dikaji oleh pemerintah untuk
meningkatkan produksi. SKK Migas bersama
Kontraktor KKS telah menginventarisasi sumur-sumur
lama yang masih berpotensi untuk diproduksikan
kembali (reaktivasi). Sumur-sumur lama tersebut
sebelumnya ditinggalkan karena berbagai penyebab.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan, kandidat
sumur-sumur untuk direaktivasi sebagian besar
berada di wilayah kerja PT Pertamina EP. Sumur
yang telah diinventarisasi sebanyak 5.144 sumur dan
setelah dievaluasi hanya terdapat 1.755 sumur yang
secara teknis dapat diproduksikan kembali. Sumursumur tersebut terdapat di region Sumatera sebanyak
454 sumur, di region Jawa sebanyak 437 sumur, dan
di region Kalimantan sebanyak 864 sumur. Selama
2012, jumlah sumur yang sudah direaktivasi sebanyak
154 sumur, dimana sebanyak 118 sumur direaktivasi
menjadi sumur produksi dan 36 sumur direaktivasi
menjadi sumur injeksi. Kegiatan tersebut berhasil
menambah produksi (initial gain) minyak bumi
sebesar 18,6 BOPD/sumur dan gas bumi sebesar 2,7
MMSCFD/sumur. Pada tahun 2013 direncanakan
130 sumur akan direaktivasi, dan diperkirakan
70
memberikan kontribusi produksi sekitar 953 BOPD
(SKK MIGAS, 2013).
Diterangkan oleh Kementerian ESDM (2013)
pemerintah menawarkan 13 ribu sumur minyak
bumi tua kepada KUD dan BUMD untuk diproduksi
kembali, melalui kerja sama Kontrak Jasa dengan
KKKS dan PT Pertamina. Langkah ini diharapkan
bisa menambah produksi minyak nasional sekitar
5 ribu hingga 12 ribu barel per hari (bph). Saat ini
setidaknya terdapat sumur tua minyak bumi aktif
745 dan non aktif 13.079. Sebagian besar berada di
wilayah kerja migas PT Pertamina. Sebagian lainnya
berada di wilayah kerja perusahaan KKKS. Sumur
tua yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia
ini adalah sumur yang dioperasikan hingga tahun
1970.
Kegiatan pengelolaan sumur tua secara sosial
mempunyai resiko konflik yang tinggi. Hal ini
disebabkan banyak sumur tua yang terletak di
permukiman atau lokasi strategis lainnya. Oleh
karena itu dalam rangka mengkaji kondisi sumur
tua diperlukan informasi mengenai kondisi terkini
dari masing-masing sumur tua tersebut. Hal tersebut
penting untuk menganalisis cara penanggulangan
permasalahan sosial yang akan muncul. Selama ini
pemetaan sumur tua langsung dilakukan melalui
survei lapangan. Padahal hal ini mengalami hambatan
yang cukup tinggi dan memerlukan waktu yang lama.
Hambatan tersebut diantaranya koordinat sumur lama
pada umumnya koordinat lokal dan bergeser dengan
lokasi yang sebenarnya sehingga banyak sumur yang
tidak dapat ditemukan. Salah satu alternatif yang baik
untuk mengkaji kondisi sumur tua adalah dengan
menggunakan citra satelit resolusi tinggi.
Citra satelit terutama citra resolusi tinggi dengan
kenampakan yang detil mampu digunakan untuk
interpretasi lokasi sumur dengan baik berikut dengan
penggunaan lahan disekitarnya. Sumur-sumur tua
terutama yang berlokasi di daerah terbuka dapat
terlihat dengan baik dengan citra Ikonos. Diterangkan
oleh Wiji (2001) Citra Ikonos dapat memberikan
informasi yang aktual sesuai dengan kondisi di
lapangan sesuai dengan waktu perekamannya.
Kemampuan tersebut memungkinkan akan mendapat
informasi yang lebih lengkap dan terkini mengenai
kondisi wilayah yang akan dikaji.
Maksud dan tujuan dari kajian ini adalah untuk
memetakan lokasi sumur-sumur tua di lapangan X
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua
(Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
yang berlokasi di wilayah kotamadya dan lapangan
Y yang berlokasi di wilayah kabupaten di Cekungan
Sumatera Selatan. Selain itu dilakukan pemetaan
kondisi penggunaan lahan disetiap sumur untuk dapat
menganalisis kemungkinan permasalahan sosial yang
timbul dalam pengembangan lapangan tua tersebut.
Dimana kondisi penggunaan lahan di sekitar sumur
tua dari lapangan tua dapat memberikan gambaran
peluang terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar
sehingga dapat diantisipasi dampak negatifnya.
II. LANDASAN TEORI
Penelitian dengan menggunakan data
penginderaan jauh untuk kegiatan migas telah banyak
dilakukan, diantaranya untuk pemetaan tumpahan
minyak (Fingas and Brown, 2005: Hengstermann
and Robbe, 2008). Penggunaan data penginderaan
jauh lainnya di bidang migas adalah mendeteksi
pengaruh kegiatan migas terhadap lingkungan
dengan menggunakan berbagai data citra (Kumpula,
et.al, 2010) dan penggunaan data citra satelit untuk
pemetaan geologi dan eksplorasi diantaranya
dilakukan oleh Drury, 1987; Gupta, 2003; Sabins,
1987; Sarp, 2005; Ouattara, 2004; Gloaguen et
al., 2007. Penelitian lainnya yang ada diantaranya
analisis perkembangan vegetasi pada Lapangan
minyak Gudong dengan data penginderaan jauh
(Xiaqin, et al., 2005);
Pada penelitian ini digunakan citra non foto
atau biasa dikenal dengan citra satelit. Dan citra
satelit yang digunakan yaitu Citra Ikonos. Satelit
ini diluncurkan tahun 1999. Ikonos membawa satu
sensor pankromatik dan satu sensor multispectral.
Ikonos adalah satelit observasi bumi komersial
pertama dengan resolusi mencapai satu meter,
resolusi tersebut sangat menguntungkan dalam
kemampuannya pengenalan lahan hingga tingkat
detil. Resolusi spatial 1 meter yang dihasilkan oleh
Citra Ikonos tersebut adalah sebanding dengan
resolusi medan (ground resolution distance) foto
udara skala 1 : 40.000 dengan resolusi film 40 lines/
mm (Rifai, 2009).
Citra Ikonos dapat diaplikasikan untuk pemetaan
sumberdaya alam daerah pedalaman dan perkotaan,
analisis bencana alam, kehutanan, pertanian,
pertambangan, teknik konstruksi, pemetaan
perpajakan, dan deteksi perubahan. Selain itu citra
Ikonos mampu menyediakan data yang relevan
untuk studi lingkungan. Keunggulan yang dimiliki
oleh Citra Ikonos digunakan dalam penelitian ini
sebagai panduan untuk pemetaan penggunaan lahan
pada lapangan tua yang akan dikembangkan. Hal
tersebut dilakukan untuk mendapatkan gambaran
secara menyeluruh kondisi aktivitas penduduk di
sekitar sumur.
Sumur tua yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah seperti yang tertuang dalam batasan atau
definisi sumur tua dalam Permen ESDM No. 01 Tahun
2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan
Minyak Bumi Pada Sumur Tua disebutkan bahwa
yang dimaksud sumur tua adalah sumur-sumur
Minyak Bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan
pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan
yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang
terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan
lagi oleh Kontraktor . Sumur-sumur migas itu pada
umumnya saat ini sudah bercampur dengan kegiatan
sosial masayarakat, karena sumur-sumur itu sudah
dikelola sejak jaman Belanda. Kondisi tersebut
sangatlah berbahaya bagi keselamatan penduduk
sekitar sumur.
Pada pengembangan sumur tua pihak kontraktor
harus mematuhi Peraturan Ditjen Migas yaitu SNI
13-6910-2002 tentang Operasi Pemboran Darat yang
Aman di Indonesia. Peraturan tersebut menjelaskan
bahwa jarak lokasi sumur dengan penduduk
minimal 100 meter. Hal tersebut dimaksudkan untuk
keamanan kerja baik penduduk setempat maupun
yang sedang melakukan kegiatan atau luasan 1 hektar
(100 meter x 100 meter) lahan disekitar sumur harus
bersih dari kegiatan sosial masyarakat. Pertimbangan
tersebut maka pada kegiatan ini dilakukan pemetaan
penggunaan lahan dengan menggunakan Ikonos.
Dijelaskan oleh BPMIGAS (sekarang SKK
MIGAS, 2005) bahwa lapangan tua (Brown Field)
dan lapangan kecil (Marginal Field) mampu
mempertahankan produksi migas Indonesia. Hal ini
terlihat jelas pada Gambar 1. Pada gambar tersebut
dijelaskan bahwa dengan adanya lapangan tua
dan lapangan kecil bersama dengan optimalisasi
pemeliharaan maka penurunan produksi minyak
dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu.
III. METODE PENELITIAN
Pada Kajian ini dilakukan studi kasus dengan
lokasi dibedakan pada lapangan X dan Lapangan Y.
Lapangan X merupakan lapangan tua yang berlokasi
di wilayah Kotamadya dan Lapangan Y merupakan
71
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
lapangan tua yang berlokasi di wilayah
kabupaten di Cekungan Sumatera Selatan.
Pengambilan lokasi yang berbeda dari segi
perkembangan wilayahnya sehingga dapat
diperoleh informasi tingkat kesulitan
pengembangan lapangan tua pada wilayah
kotamadya dan kabupaten. Pengambilan
lokasi ini berdasarkan pendekatan
kewilayahan yang merupakan kombinasi
antara analisa keruangan dan lingkungan.
Wilayah dihampiri dengan pengertian
interaksi antar wilayah akan berkembang
karena pada hakekatnya berbeda antara
wilayah satu dengan wilayah lainnya.
Data primer yang digunakan adalah
citra Ikonos. Data-data pendukung lain
yang digunakan adalah peta persil tanah
(kepemilikan lahan) yang bersumber
Gambar 1
dari BPN setempat, peta administrasi
Profil Proyeksi Produksi Minyak Indonesia 1994 – 2015
kelurahan dari Pemda dan Badan Informasi
(BPMIGAS, 2005)
Geospasial (BIG) serta peta kawasan
daya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hutan dari Kementerian Kehutanan. Pendekatan
hidupnya baik materil maupun spiritual (Vink
yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan
1975 dalam Gandasasmita 2001). Barlowe (1986)
geografi dimana prinsip keruangan sebagai inti
menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan
analisis geografi (Johnston, 1983; Hagget, 1984).
lahan, terdapat tiga faktor penting yang perlu
Interpretasi citra Ikonos secara on screen
dipertimbangkan yaitu faktor fisik lahan, faktor
digitizing, yaitu mendigitasi penggunaan lahan
ekonomi, serta faktor kelembagaan. Selain itu faktor
secara manual langsung di computer. Kemampuan
kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat
interpretasi penggunaan lahan sekitar sumur dapat
juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan
dilakukan secara detil karena resolusi spasial Ikonos
(Gandasasmita 2001). Hal inilah yang digunakan
adalah 1 meter x 1 meter. Pada resolusi tersebut obyek
sebagai dasar bahwa penggunaan lahan dapat
pada ukuran 1 meter x 1 meter diwakili oleh 1 piksel
dikaitkan untuk menganalisis permasalahan yang
pada citra Ikonos. Interpretasi secara detil dilakukan
mungkin timbul pada pengembangan lapangan tua.
pada setiap sumur yang akan dikembangkan dan
dilakukan validasi pada setiap sumur tersebut. Pada
Survei lapangan dilakukan untuk validasi hasil
area di sekitar sumur di Citra Ikonos dilakukan
interpretasi. Survey lapangan dilakukan dengan
buffering 100 meter. Hal ini mengikuti Peraturan
menggunakan metode stratified proportional random
Ditjen Migas yaitu SNI 13-6910-2002 tentang
sampling yaitu metode pengambilan sampel yang
Operasi Pemboran Darat yang Aman di Indonesia.
dilakukan pada setiap jenis penggunaan lahan, jumlah
Peraturan tersebut menjelaskan bahwa jarak lokasi
sampel disesuaikan secara proporsional dengan
sumur dengan penduduk minimal 100 meter. Artinya
mempertimbangkan luas area keanekaragaman
pada luasan 1 hektar (100 m x 100 m) harus bebas
pengggunaan lahan yang tersebar di daerah kritikal
dari kegiatan sosial masyarakat. Hasil bufferring
atau buffer dan sampelnya terdistribusi secara acak.
tersebut adalah merupakan batas kritikal kegiatan
Data penggunaan lahan yang telah dimutakhirkan
sosial masyarakat dan merupakan batas titik fokus
ditumpangsusunkan dengan peta kepemilikan
kajian.
lahan dan peta kawasan hutan, sehingga didapatkan
penggunaan-penggunaan lahan yang mempunyai
Penggunaan lahan merupakan setiap
permasalahan sosial yang rendah hingga tinggi.
bentuk campur tangan manusia terhadap sumber
72
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua
(Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data penginderaan jauh
lokasi sumur dapat dikenali dengan ciri
rona dan warna yang cerah atau hijau cerah
karena merupakan lahan terbuka yang
tidak bervegetasi atau bervegetasi rendah
berupa alang-alang. Bentuknya relatif
kotak terdapat titik hitam menunjukkan
lokasi sumur, ukuran hampir seragam
dan pola teratur. Sedangkan tekstur untuk
pengenalan lokasi sumur tampak relatif
halus karena berupa lahan terbuka untuk
lokasi sumur yang aktif atau hamparan
Gambar 2
Contoh kenampakan lokasi sumur pada Citra Ikonos di lapangan
alang-alang untuk sumur yang tidak
X dan lapangan Y
aktif. Untuk unsur situs, lokasi sumur
pada umumnya kondisi seperti seperti
ditunjukkan pada ciri-ciri di atas terdapat
dalam satu komplek, dan berasosiasi
dengan jalanan yang berujung pada lahan
terbuka dan terdapat komplek pengolahan
minyak.
Berdasarkan data penginderaan jauh
lokasi sumur yang ada dapat diidentifikasi
dengan baik. Verifikasi melalui survey
lapangan pada lapangan X dengan sumur
yang berjumlah 288 dan lapangan Y
dengan jumlah sumur 212 diperoleh data
80% sumur dapat diinterpretasi dari citra
Gambar 2
Penginderaan jauh. Lokasi sumur yang
Contoh kenampakan sumur pada citra Ikonos dan kondisi di
tidak dapat dideteksi merupakan sumurlapangan dimana kepala sumur sudah tidak ada lagi
sumur yang lokasinya sudah menjadi
penggunaan lahan lainnya, seperti permukiman,
lapangan X penggunaan lahan di sekitar lokasi sumur
kebun, industri ataupun kegiatan sosial lainnya.
berada di sekitar kegiatan sosial kemasyarakat yang
Pada lapangan tua migas, sumur-sumur yang sudah
aktif seperti permukiman yang teratur (kompleks
dianggap tidak produktif pada umumnya sudah
perumahan), permukiman tidak teratur (rumah
banyak yang hilang tertimbun secara alami atau sudah
di pedesaan), ladang, perkebunan, jasa strategis
berubah bentuk penggunaan lahannya sehingga tidak
(perhotelan) dan perdagangan. Sedangkan pada
dapat diinterpretasi dari penginderaan jauh. Pada saat
lapangan Y berada di perkebunan. Identifikasi obyek
survey lapangan sumur yang tidak dapat diinterpretasi
pada interpretasi penggunaan lahan ini hingga pada
di citra penginderaan jauh dilakukan validasi melalui
batas satuan bangunan. Kendala yang dihadapi adalah
informasi penduduk lokal terutama dari tetua
saat identifikasi pada bangunan dengan ukuran kecil
kampung. Sumur-sumur yang tidak teridentifikasi ini
di bagian kawasan yang padat dengan konfigurasi
diperlukan lokasinya untuk menghindari bahaya yang
bangunan yang sangat kecil.
mengancam jika dilakukan pengembangan sumur.
Permasalahan sosial yang mungkin timbul dalam
Pada penelitian ini, selain dilakukan intepretasi
pengembangan sumur terutama terkait dengan
lokasi sumur juga dilakukan intepretasi penggunaan
pembebasan lahan area sumur. Peluang konflik
lahan. Intepretasi penggunaan lahan ini digunakan
dengan penduduk akan terjadi karena perdasarkan
untuk mengetahui kegiatan sosial kemasyarakatan
interpretasi penggunaan lahan, lokasi sumur tua
di sekitar lokasi sumur. Dari hasil interpretasi, pada
merupakan kawasan permukiman, pertanian dan
73
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
Gambar 3
Contoh kondisi sumur tua yang berada di lingkungan permukiman padat dan teratur
perkebunan bahkan hotel dan perkantoran lainnya
terutama di lapangan X yang berlokasi di wilayah
kotamadya. Tumpang susun (overlay) antara lokasi
sumur dan penggunaan lahan diperoleh data lokasilokasi sumur berdekatan dan atau berada di lokasi
kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi tersebut
menyulitkan dalam pengembangan lapangan terutama
pengaktifan sumur kembali dengan injeksi atau EOR
(Enhanced Oil Recovery). Hal ini dikhawatirkan
apabila ada semburan minyak/lumpur/gas (blow
up) terjadi di sekitar kegiatan masyarakat. Ganti
untung untuk upaya pembebasan lahan merupakan
74
salah satu jalur alternatif yang bisa dilakukan
oleh operator sebelum pengembangan lapangan.
Faktor inilah yang menjadi alasan dan memperkuat
mengapa perlu digunakan citra satelit beresolusi
tinggi dalam hal ini citra Ikonos pada penelitian ini,
karena kemampuannya mengenali obyek-obyek di
permukaan bumi dengan resolusi 1 meter tersebut.
Ini berarti obyek-obyek dipermukaan bumi yang
mempunyai ukuran 1 meter x 1 meter dapat dicitra.
Pada kajian ini dilakukan juga tumpang susun
lokasi sumur dengan data persil tanah dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Tumpang
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua
(Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
susun ini dilakukan untuk mengetahui
lahan-lahan yang telah atau yang
belum mempunyai kekuatan hukum
(tersertifikasi). Hal ini untuk memudahkan
dalam ganti untung dan memudahkan
dalam administrasi yaitu terkait dengan
status kepemilikan lahannya. Lahan-lahan
yang terkena dampak pengembangan
lapangan. Berdasarkan data BPN
setempat merupakan lahan-lahan yang
sudah bersertifikat atau setidaknya sudah
memiliki surat ukur/gambar ukur maka
secara tidak langsung tanah itu sudah sah
secara hukum merupakan milik pribadi,
Gambar 4
Contoh sumur tua yang sudah tertimbun
dan berdiri bangunan/rumah
Gambar 5
Contoh sumur tua yang berada di dekat kawasan hotel
75
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
sehingga menyulitkan dalam proses pengembangan
sumur tua (Gambar 3).
Berdasarkan buffer, pada lokasi penelitian
diperoleh fakta-fakta bahwa kegiatan strategis
masyarakat ada yang terlalu dekat dengan sumur.
Kegiatan strategis tersebut seperti adanya rumah,
hotel, perkantoran, dan perkebunan pada jarak
kurang dari 50 meter. Pada umumnya kondisi ini
terjadi karena ketidaktahuan penduduk akan bahaya
yang timbul jika melakukan kegiatan di daerah
sumur tersebut. Ditambah lagi untuk sumur-sumur
yang sudah lama ditinggalkan dan tidak terurus
keberadaannya sangat rentan untuk diambil alih oleh
penduduk. Hal itu terjadi karena biasanya kondisi
bekas lapangan migas yang umumnya relatif datar
dan terbuka, sehingga memungkinkan untuk dijadikan
tempat tinggal atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya
tanpa dihiraukan bahaya yang akan muncul. Pada
Gambar 3 contoh sumur yang akan dikembangkan
yang berada di tengah-tengah permukiman penduduk
yang padat dan teratur. Pada Gambar 3 tersebut garis
kuning menunjukkan batas berdasarkan SNI 136910-2002, jadi di dalam garis tersebut seharunya
bebas dari kegiatan sosial penduduk.
Pada kajian ini melalui survey lapangan ditemukan
sumur yang sudah berada tepat di rumah penduduk.
Data ini diperoleh berdasarkan pengakuan penduduk
setempat, dimana ditemukan lokasi sumur tua yang
sekarang berada tepat di atas dapur rumah warga. Hal
ini tentunya mengkhawatikan apabila lapang tersebut
mengandung gas dan terjadi kebocoran dari sumur
yang ditimbun oleh warga karena dianggap tidak
aktip. Bahaya lain yang timbul adalah keracunan gas
methan atau sulfur yang mungkin keluar dari sumur
tersebut. Gambar 4 adalah contoh lokasi sumur yang
berada di dalam rumah.
Hasil interpretasi dan didukung oleh survey
lapangan ditemukan sumur tua yang lokasinya di
dalam kawasan komersial yang berupa hotel dan pusat
kegiatan masyarakat (perkantoran dan pertokoan).
Kondisi tersebut tidaklah mengherankan karena
pada umumnya lapangan tua migas di Indonesia saat
ini banyak yang sudah berkembang pesat menjadi
kawasan permukiman, hotel dan perkantoran yang
tumbuh menjadi kawasan komersial tersebut. Pada
daerah yang berkembang di dekat sumur tua tersebut
sebuah perkebunan hal tersebut tidaklah terlalu sulit
untuk dilakukan negosiasi tentang pengantian ganti
untung, tetapi akan berbeda jika yang berkembang
76
adalah hotel berbintang atau kawasan perkantoran.
Gambar 5 menunjukkan contoh sumur tua berada di
dekat hotel berbintang.
V. KESIMPULAN
Identifikasi permasalahan sosial yang ada dalam
perencanaan pengembangan lapangan tua dapat
dilakukan melalui interpertasi citra satelit resolusi
tinggi (IKONOS). Kemampuan ini terbukti dalam
kajian di lapangan X dan Y di cekungan Sumatera
Selatan. Lokasi sumur 80% dapat diinterpretasi
melalui citra Ikonos. Hasil interpretasi penggunaan
lahan dari citra IKONOS menunjukkan bahwa
sumur-sumur pada lapangan tua sudah beralih
fungsi menjadi kawasan komersial, pertanian,
perkebunan dan permukiman. Berdasarkan data
BPN di lapangan X (kotamadya) lokasi sumur sudah
tersertifikasi menjadi tanah penduduk setempat. Hal
ini perlu menjadi pertimbangan untuk merencanakan
pengembangan sumur tua. Kehati-hatian dalam
pendekatan dengan masyarakat untuk sosialisasi
dan negosiasi rencana pembebasan lahan sangat
diperlukan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada PT Pertamina EP dan instansi terkait yang
telah membantu dalam penyediaan data dan informasi
sehingga proses penyusunan penelitian ini dapat
terselesaikan.
KEPUSTAKAAN
1. BPMIGAS, 2005. Peranan Strategis Litbang Migas
dalam Menunjang Industri Migas dan Kebijakan
Pemerintah. Luncheon Talk 40 Tahun Lemigas.
2. Barlowe, R. 1986. Land Resource Economics. The
Economics of Real Estate.Prentice-Hall Inc. New
York, 653 p.
3. Brown, C.E and MF. Fingas, 2005. A review of
Current Global Oil Spill Surveillance, Monitoring
and Remote Sensing Capabilities, Proceedings of the
Twenty-Eighth Artic and Marine Oil Spill Program
Technical Seminar. Environment Canada, Ottawa,
Ontario, pp 789-798.
4. Drury, S.A.1987. Image Interpretation in Geology.
Department of Earth Sciences. The Open University.
Allen & Unwin. London.
5. Gandasasmita K, 2001. Analisis Penggunaan
Lahan Sawah dan Tegalan di Daerah Aliran Sungai
Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua
(Indah Crystiana dan Tri Muji Susantoro)
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Cimanuk Hulu Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pasca
Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Gloaguen, R., P. R. Marpu and I. Niemeyer, 2007.
Automatic Extraction of Faults and Fractal Analysis
from Remote Sensing Data. Nonlin Processes
Geophys., 14. 131- 138.
Gupta, R.P., 1991. Remote Sensing Geology.
Department of Sciences. University of Roorkee.
India.
Hagget, Peter. (1984). Geography: A Modern
Synthesis. New York: Harper and Row.
Hengsterman, T and N Robbe, 2008. Airborne oil
Spill Remote Sensing. Hydro International. Vol 10.
Pp 10-15.
Johnston, R.J. (1983). Philosophy and Human
Geography: An Introduction To Comtemporary
Approach. London : Edward Arnold.
Kementerian ESDM, 2011. Peluang Investasi Sektor
ESDM (Buku). Diterbitkan oleh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral.
Kementerian ESDM, 2013. 13 ribu Sumur Minyak
Bumi Tua ditawarkan Kepada KUD dan BUMD.
http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/1636-13-ribusumur-minyak-bumi-tua-ditawarkan-kepada-kuddan-bumd.html.
Kumpula, T., BC. Forbes and Stammler, 2010
Remote Sensing and Local Knowledge of Hydrocarbon
Exploitation; The Case of Bovanenkovo, Yamal
Peninsula, West Siberia, Rusia. Artic. VOl. 63. No 2
(June, 2010) P. 165-178.
Ouattara, T., R. Couture, P.T. Bobrowsky and
A. More, 2004. Remote Sensing and Geosciences.
Geological Survey of Canada. Ottawa.
15. Permen ESDM No. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada
Sumur Tua.
16. Rifai M. 2009.Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk
Identifikasi Objek-Objek Kekotaan. Jurnal “ruang“
VOLUME 1 NOMOR 1 September 2009. Fakultas
Teknik Jurusan Arsitektur. Universitas Tadulako.
17. Sabin, F.F. 1987. Remote Sensing Principles and
Interpretation. W. H. Freeman and Company. New
York.
18. Sarp, G., 2005. Lineament Analysis from Satellite
Images, North-West of Ankara, Thesis. The Graduate
School of Natural and Applied Sciences of Middle
East Technical University. http.etd.lib.metu.edu.tr/
upload/12606520/index.pdf.
19. SNI 13-6910-2002 tentang Operasi Pemboran Darat
yang Aman di Indonesia.
20. Suara merdeka, 2005. Caltek Pacifik Nyatakan Minat
Kembangkan Lapangan Migas Marginal. http://www.
merdeka.com/ekonomi/nasional/caltex-pacifik-nyatakan-minat-kembangkan-lapangan-migas-marginal1gholo8.html.
21. SKKMIGAS, 2013. Laporan Tahunan 2012. http://
www.skkmigas.go.id/wp-content/uploads/2012/08/
Laporan-Tahunan-2012.pdf.
22. Wiji L. 2001. Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk
Identifikasi Obyek Pajak Bumi Dan Bangunan. http://
bumipenjelajah.blogspot.com/2011/12/pemanfaatancitra-ikonos-untuk.html.
23. Xiaoqin, W., W. Qinmin, L. Gaohuan and L.
Huiguo, 2005. Vegetation Evolvement Analysis
at Gudong Oil Field Using Remote Sensing Data.
Geoinformation Science. Vol. 7 No. 4.
77
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 69 - 77
78
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I):
Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi
Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial
(Bagian I): Penggunaan Ni-Al2O3
Sebagai Katalis
Oberlin Sidjabat
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: [email protected]
Teregistrasi I tanggal 13 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 1 Juli 2013
Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati sebagai substitusi minyak diesel/solar yang menjanjikan.
Namun masih ada permasalahan dalam hal mutu seperti kestabilan oksidasi dan sifat alirnya yaitu titik
tuang dan titik kabut yang sangat penting dalam utilisasi secara komersial. Karakteristik tersebut sangat
tergantung pada komponen bahan bakunya yang mengandung asam lemak tak-jenuh.yang mudah teroksidasi
membentuk polimer-polimer serta pengaruh kondisi lingkungannya. Untuk mengatasi permasalahan ketidak
stabilan produk biodiesel, konsentrasi asam lemak tak jenuh perlu diturunkan melalui proses hidrogenasi
parsial dengan bantuan katalis nikel (Ni) berpenyangga (support) alumina (Al2O3). Proses hidrogenasi
parsial dilakukan dengan sistem reaktor autoclave berpengaduk dengan temperatur 80oC dan tekanan
atmosfir. Karakteristik stabilitas oksidasi dapat meningkat untuk memenuhi spesifikasi yang ditentukan
(>10 jam), juga sifat alirnya meningkat secara signifikan dengan penggunaan katalis nikel tersebut.
Kata kunci: biodiesel, hidrogenasi parsial, katalis nikel, stabilitas oksidasi, titik kabut, titik tuang
ABSTRACT
Biodiesel is vegetable fuel as promising fuel for substituted diesel oil. However it has some problems
for its fuel quality such as oxidation stability and flowing characteristics that is pour point and cloud point,
which are very important in commercial utilization. Such characteristics depend on the components that
contained in the feedstock such as unsaturated fatty acids which easier oxidised to form polymer and its
environment conditions. In order to solve the problem of unstable biodiesel product, the concentration of
unsaturated fatty acids should be reduced by partial hydrogenation processing with Nickel (Ni) supported
on alumina (Al2O3) as catalyst. Partial hydrogenation processing was conducted by autoclave stirred reactor
with temperature 80oC and atmosperic pressure. Characteristic of oxidation stability increase to meet the
specification (>10 hours), also flowing characteristics increase significantly by using such catalyst.
Keywords: biodiesel, partial hydrogenation, nickel catalyst, oxidation stability, cloud point, pour point
I. PENDAHULUAN
Bahan bakar biodiesel, merupakan suatu bahan
bakar alternatif setara minyak solar, yang diproduksi
dari sumber terbarukan seperti minyak nabati
dan lemak hewani dengan proses sederhana yaitu
transesterifikasi [1, 2].
Secara kimia, biodiesel adalah ester metil asam
lemak dan hanya disebut biodiesel bila digunakan
sebagai bahan bakar dalam mesin diesel dan sistem
pemanasan[3,4]. Biodiesel mempunyai keuntungan
sebagai berikut: (a) mengurangi ketergantungan
terhadap minyak bumi; (b) bahan bakar terbarukan,
(c) mereduksi emisi gas rumah kaca, (d) dapat terurai
atau terdegradasi secara biologi dan tidak toksis,
(e) dalam penanganannya sangat aman (titik nyala
lebih tinggi daripada bahan bakar minyak diesel)3].
79
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar
campuran dengan minyak solar dengan berbagai
perbandingan dan/atau langsung digunakan tanpa
memodifikasi mesin kendaraan.
Biodiesel merupakan bahan bakar minyak
diesel/solar alternatif yang menjanjikan, namun dari
beberapa penelitian dan literatur menyebutkan bahwa
karakteristiknya, baik dalam penggunaan maupun
dalam penyimpanan, masih ada permasalahan
terutama dalam hal mutu seperti kestabilan oksidasi
dan sifat alirnya yaitu titik tuang dan titik kabut,
sifat-sifat ini sangat penting dalam penggunaan
secara komersial[5, 6]. Karakteristik tersebut sangat
tergantung pada bahan bakunya untuk memproduksi
biodiesel yaitu kandungan asam lemak tak-jenuh
yang terdapat dalam bahan baku. Dari beberapa
penelitian menunjukkan bahwa senyawa-senyawa
tidak-jenuh (adanya ikatan rangkap) merupakan
penyebab ketidak stabilan biodiesel karena mudah
teroksidasi oleh oksigen dari udara membentuk
polimer-polimer serta pengaruh faktor lain seperti
panas, logam dsb[5, 7]. Telah banyak dilaporkan bahwa
semakin bertambah ikatan rangkap maka laju oksidasi
akan meningkat kira-kira 10 kali setiap tahap[5].
Mutu biodiesel merupakan hal yang penting
dalam penggunaannya secara komersial. Bahan baku
yang mengandung komponen asam lemak jenuh
tinggi menunjukkan stabilitas oksidasi yang lebih
baik. Tetapi bila kandungan asam lemak jenuh yang
tinggi dalam bahan baku, akan memberikan sifat alir
yang lebih rendah terutama pada kondisi dingin.
Masalah utama dari pengaruh karakteristik
stabilitas oksidasi adalah selain bahan bakar bias
rusak juga menyebabkan penyumbatan saringan
mesin atau pompa mesin. Menggunakan bodiesel
pada kondisi cuaca dingin juga merupakan masalah
serius dalam sifat alir pada kondisi dingin. Dalam hal
penggunaan biodiesel maka diperlukan peningkatan
mutunya untuk menghindari masalah yang timbul
akibat mutu atau spesifikasi yang tidak sesuai.
Secara khusus proses hidrogenasi adalah proses
praktis karena proses ini juga sering digunakan
di kilang pengolahan minyak untuk mereduksi
kandungan aromatik. Prinsip hidrogenasi adalah
menambahkan atom hidrogen ke asam lemak yang
tidak jenuh untuk meningkatkan jumlah kejenuhan
dan mengurangi ikatan rangkap. Proses hidrogenasi
dapat meningkatkan stabilitas oksidasi biodiesel
tanpa menambahkan antioksidan.
80
Proses hidrogenasi sudah sering digunakan untuk
minyak yang dapat dimakan (edible oil) menjadi
margarin dengan bantuan katalis nikel. Namun untuk
proses hidrogenasi parsial biodiesel (metil ester asam
lemak) bertujuan untuk meningkatkan kestabilan
oksidasi dan tetap mempertahankan karakteristik
biodiesel sebagai bahan bakar setara minyak solar,
dalam bentuk cair.
Stabilitas oksidasi merupakan mata uji yang
sangat penting pada spesifikasi biodiesel yang
dimasukkan dalam Standard Nasional Indonesia
Biodiesel tahun 2012 (SNI 7182-2012).
Penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan
karakteristik biodiesel sebagai substitusi minyak
solar dan khususnya sifat stabilitas oksidasi yang
sering menjadi masalah pada mesin kendaraan diesel.
dan juga selama penyimpanan[8, 9]. Juga menjadikan
acuan untuk mengantisipasi spesifikasi stabilitas
oksidasi yang diterapkan dalam SNI (Standar
Nasional Indonesia) Biodiesel.
II. BAHAN DAN METODOLOGI
A. Bahan-Bahan
Biodiesel yang digunakan dalam penelitian ini
diproduksi dari minyak sawit sebagai bahan baku
dengan proses transesterifikasi dan proses dilakukan
di pilot plant biodiesel LEMIGAS dengan kapasitas
8 ton per hari. Biodiesel tersebut sudah memenuhi
spesifikasi sesuai dengan SNI 04-7182-2006 atau
ASTM D-6751.
Katalis yang digunakan untuk proses hidrogenasi
parsial yaitu logam nikel (Ni) dengan penyangga
alumina (Al 2 O 3 ). Katalis dipreparasi dengan
mengimpregnasikan logam tersebut ke dalam
alumina (Al2O3) dan dikalsinasi pada temperatur
400oC selama 1 jam.
B. Proses Hidrogenasi
Reaksi hidrogenasi parsial dilakukan pada
reaktor autoclave berpengaduk secara tumpak
(batch) seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Biodiesel
(200 ml) dan katalis (1 gram) dimasukkan dalam
reaktor autoclave dengan pengadukan. Gas N 2
dialirkan untuk mengusir oksigen dalam reaktor dan
dipanaskan sampai temperatur reaktor dicapai 80oC
(sekitar 0,5 jam). Kemudian hidrogenasi dilakukan
dengan mengalirkan gas hidrogen 100 ml/menit
dengan tekanan atmosfir, serta waktu reaksi yang
divariasikan dari 0 sampai 1,5 jam.
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I):
Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
C. Uji Sifat Alir (Titik Tuang dan Titik Kabut)
Produk-produk biodiesel yang sudah dihidrogenasi
di uji sifat alirnya (titik tuang dan titik kabut) dengan
mengikuti prosedur metode uji ASTM D-97 dan
ASTM D-2500 untuk masing-masing mata uji.
D. Uji Stabilitas Oksidasi
Stabilitas oksidasi produk-produk biodiesel diuji
dengan alat uji Rancimat Model 743, dengan diagram
seperti disajikan pada Gambar 2 yang mengikuti
prosedur metode uji EN 14112.
Sampel biodiesel sebanyak 3 gram dipanaskan
pada temperatur 110°C dengan mengalirkan udara
sejumlah 10 liter/jam. Konduktivitas dicatat secara
kontinyu sampai pada 100mS/cm.
Gambar 1
Diagram alir proses hidrogenasi biodiesel
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses produksi biodiesel dilakukan dengan
proses transesterifikasi dengan bahan baku minyak
sawit (CPO, crude palm oil) dan metil alkohol
(CH3OH), serta menggunakan katalis NaOH pada
temperatur 60°C. Tipikal karakteristik dari biodiesel
yang diproduksi dengan bahan baku minyak sawit
disajikan pada Tabel 1. Karakteristik biodiesel yang
diperoleh dari hasil proses produksi biodiesel sudah
memenuhi spesifikasi yang sudah ditentukan (SNI
04-7182-2006 atau ASTM D-6751).
Salah satu proses untuk peningkatan mutu
biodiesel yang disebabkan adanya ikatan rangkap
adalah dengan proses hidrogenasi dengan bantuan
suatu katalis tertentu. Katalis yang digunakan dalam
percobaan penelitian adalah logam nikel (Ni) dengan
pendukung alumina (Al2O3), yaitu Ni-Al2O3. Katalis
tersebut dipreparasi dengan metoda impregnasi. Hasil
dari proses hidrogenasi produk biodiesel adalah
indikasi dari perubahan karakteristik sifat alir produk,
antara lain adalah titik tuang (pour point).
Setelah proses hidrogenasi, karakteristik produk
biodiesel yang dianalisis adalah titik tuang (pour
point), titik kabut (cloud point) dan sifat stabilitas
oksidasi. Hasil karakterisasi tersebut disajikan pada
Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 untuk masingmasing titik tuang (pour point), titik kabut (cloud
point), dan sifat stabilitas oksidasi (perioda induksi),
dengan menggunakan katalis Ni-Al2O3.
Titik tuang produk biodiesel sebelum hidrogenasi
adalah 12oC dan titik kabut adalah 13oC (Tabel 1), dan
Gambar 2
Diagram alat uji Rancimat
sesudah mengalami proses hidrogenasi meningkat
dengan lamanya waktu reaksi dan kecepatan
pengadukan. Kenaikan nilai titik tuang dan titik kabut
tersebut mengindikasikan bahwa ikatan rangkap telah
mengalami penjenuhan (saturated). Pada umumnya
senyawa yang jenuh mempunyai titik tuang dan titik
kabut yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa
tidak jenuh[5, 10]. Hasil yang diperoleh dari proses
hidrogenasi terhadap titik tuang menunjukkan bahwa
pengaruh waktu reaksi, dan kecepatan pengadukan
dengan katalis Ni-Al2O3 sangat berpengaruh terhadap
kenaikan nilai titik tuang (Gambar 3). Secara
keseluruhan bahwa nilai yang diperoleh masih
memenuhi spesifikasi biodiesel atau minyak solar,
kecuali hasil pada waktu reaksi 1,5 jam dengan katalis
Ni-Al2O3 (Run-1) yang melebihi nilai spesifikasi
(off-spec) >18oC. Salah satu masalah utama terkait
dengan penggunaan biodiesel khususnya di negaranegara yang beriklim dingin, adalah sifat alir pada
kondisi dingin (cold flow properties) yaitu titik
tuang dan titik kabut. Dalam hal kondisi dingin, nilai
81
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
Tabel 1
Tipikal karakteristik produk biodiesel berbahan baku minyak sawit
(POME, Palm Oil Metil Ester) dan minyak solar
No
KARAKTERISTIK
PRODUK
POME SOLAR
o
SPESIFIKASI MINYAK SOLAR
MIN
MAKS
1 Spesifik Gravitas, 60/60 F
0.865
0.858
2 Kalkulasi Indeks Setana
58.3
54.3
48
-
D 976
5.72
4.19
2.0
5.0
D 445
12
3
-
18
D 97
3 Viskositas Kinematik, 40/40 oC, cSt
0.820 0.870
METODA ASTM
D 1298
Titik Tuang
o
5
Titik Kabut
o
13
5
-
18
D 2500
6
Residu Karbon Conradson, %-brt (pada 10% -vol bottom)
2.24
0.05
-
0.1
D 189
7
Kandungan sulphur, %-brt
0.01
0.37
-
0,5
D 1551
8
Korosi Bilah Tembaga, 100 oC, 2 jam
1a
1a
-
No 1
D 130
370
180
150
-
D 93
4.0
L3
-
3
D 1500
Nil
Nil
-
Nil
D 664
12.31
0.06
-
0.6
C
303.0
202.5
-
-
C
-
>371
-
-
4
9
o
Titik Nyala PMCC
C
C
F
10 Warna ASTM (ASTM Colour)
Nilai Netralisasi
11 - Strong Acid Number, mg KOH/gr
- Total Acid Number,
mg KOH/gr
Distilasi
12
- IBP
o
- EP
o
- Rec. 300oC
17.45
50.50
40
-
13 Nilai Kalor
Btu/lb
17455
19250
-
-
D 240
14 Sedimen
%-brt
Nil
Nil
-
0.01
D 473
15 Air dan Sedimen
%-vol
Nil
Nil
-
-
D 1796
16 Kandungan Air
%-vol
1.35
0.02
-
-
D 95
Jam
-
-
6
-
17 Stabilitas Oksidasi
titik tuang dan titik kabut tinggi maka bahan bakar
biodiesel mengalami pembentukan kristal-kristal dan
padatan sehingga akan menyumbat saringan dan pipa
saluran bahan bakar [5, 11]. Pada umumnya solusi yang
dilakukan untuk mengatasi titik tuang tinggi adalah
menurunkannya dengan cara yang mencampurkan
biodiesel dengan minyak solar atau dengan kerosin
(minyak tanah) pada rasio tertentu.
Demikian juga terhadap hasil karakteristik titik
kabut, mengalami kenaikan nilai akibat proses
hidrogenasi dan dipengaruhi oleh waktu reaksi dan
kecepatan pengadukan, dengan menggunakan katalis
Ni-Al2O3 (Gambar 4). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa katalis Ni-Al2O3 dan waktu reaksi 1,5 jam dan
kecepatan pengadukan 1000 rpm tidak memenuhi
spesifikasi yang ditentukan (>18oC) dan hasil lainya
masih memenuhi spesifikasi.
Menurut beberapa laporan penelitian bahwa
hidrogenasi parsial minyak nabati tak jenuh tidak
82
D 86
Rancimat – SNI 7182-2012
hanya menghasilkan reduksi ikatan rangkap (tak
jenuh), tetapi juga perpindahan atau migrasi ikatan
rangkap dan isomerisasi ikatan rangkap-cis menjadi
konfigurasi trans yang lebih stabil[12-14].
Uji stabilitas oksidasi adalah salah satu kriteria
penting untuk mengevaluasi kualitas (mutu) biodiesel.
Pengujian stabilitas oksidasi dilakukan dengan alat
Rancimat berdasarkan perioda induksi (induction
period) yang didefinisikan sebagai kerentanan atau
kelemahan dari biodiesel terhadap oksidasi dengan
keberadaan udara atau oksigen dan ditentukan
perioda induksi (waktu) pada nilai konduktivitas
100mS/cm.
Hasil karakterisasi stabilitas oksidasi yang
disajikan pada Gambar 5 menunjukkan bahwa
stabilitas oksidasi (perioda induksi) meningkat dengan
pengaruh waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan
jenis katalis. Standar spesifikasi untuk stabilitas
oksidasi biodiesel di Indonesia (SNI 04-7182-2006)
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I):
Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
Gambar 3
Pengaruh proses hidrogenasi dengan kondisi
operasi pada temperatur 80oC, waktu reaksi, dan
kecepatan pengadukan, dengan katalis Ni-Al2O3
terhadap titik tuang (pour point)
Gambar 4
Pengaruh proses hidrogenasi dengan kondisi
operasi pada temperatur 80oC, waktu reaksi, dan
kecepatan pengadukan, dengan katalis Ni-Al2O3
terhadap titik kabut (cloud point)
belum dimasukkan dan masih diusulkan pada tahun
2012 dengan nilai 6 jam. Sedangkan stabilitas
oksidasi yang terdapat pada standar Amerika ASTM
D 6751-07b adalah minimal 3 jam dan standar
Gambar 5
Pengaruh proses hidrogenasi dengan kondisi
operasi pada temperatur 80oC, waktu reaksi, dan
kecepatan pengadukan, dengan katalis Ni-Al2O3
terhadap stabilitas oksidasi (perioda induksi)
Gambar 6
Komposisi senyawa-senyawa poli-,
mono-tak jenuh dan jenuh biodiesel
dari beberapa bahan baku
(Sumber: Ramos, M. J dkk, Bioresources
Technology, 2009, 100 [16])
Eropa EN-14214 telah menetapkan minimal 6 jam.
Beberapa Negara di Asia menetapkan stabilitas
oksidasi minimal 6 jam, dan WWFC (World Wide
Fuel Charter) menetapkan minimal 10 jam [15].
83
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
Mengacu hasil yang diperoleh pada penelitian ini
menunjukkan bahwa karakteristik stabilitas oksidasi
dapat memenuhi kriteria atau standar spesifikasi
yang ada. Dengan adanya penjenuhan atau saturasi
ikatan rangkap akan mengurangi terjadinya reaksi
oksidasi.
Dari data yang diperoleh menunjukkan
bahwa untuk memenuhi standar spesifikasi untuk
karakteristik sifat alir (titik tuang dan titik kabut)
dan krakteristik stabilitas oksidasi dari produk
biodiesel yang mengalami proses hidrogenasi
dengan katalis Ni-Al2O3 harus ada kondisi proses
yang dikompromikan. Artinya stabilitas oksidasi
sudah baik nilainya, tetapi nilai titik tuang dan
titik kabut harus diperhatikan pada kondisi proses
yang lebih menguntungkan. Dalam hal ini, kondisi
operasi proses hidrogenasi yaitu waktu reaksi 0,5
jam dan kecepatan pengadukan 500 rpm sudah
dapat memenuhi kriteria standar spesifikasi untuk
ketiga karakteristik yang diteliti (titik tuang, titik
kabut, dan stabilitas oksidasi). Bila kondisi operasi
proses hidrogenasi tidak dikompromikan maka untuk
menurunkan sifat alir (titik tuang dan titik kabut)
adalah dengan menambahkan aditif peningkat sifat
alir (cold flow improver)[5].
Salah satu hasil penelitian dari Ramos dkk[16]
menyatakan bahwa kejenuhan (saturated) dan
ke-tidakjenuhan (un-saturated) bahan baku
mempengaruhi karakteristik produk biodiesel
seperti terlihat pada diagram segitiga dalam
Gambar 6. Daerah warna kuning mengindikasikan
angka setana, nilai iod dan stabilitas oksidasi yang
paling baik. Sedangkan daerah warna biru adalah
mengidentifikasikan yang paling baik untuk sifat alir
(titik tuang, titik kabut) dan daerah warna hijau adalah
mengidentifikasikan daerah kompromi.
Berdasarkan gambaran dari diagram segitiga
tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memperbaiki
mutunya dapat dikompromikan melalui suatu proses
seperti hidrogenasi parsial sehingga didapatkan
karakteristik yang diinginkan dengan kompromi
dengan mengusahakan karakteristik yang mendekati
daerah hijau. Hal ini disebabkan bahan baku
yang sangat berbeda karakteristiknya dan harus
disesuaikan terhadap spesifikasi serta sifat kestabilan
produk, baik dalam penyimpanan maupun dalam
penggunaan di lapangan.
84
IV. KESIMPULAN
Dari data percobaan proses peningkatan kualitas
biodiesel dengan pengembangan teknologi proses
pengolahan produksi biodiesel melalui proses
hidrogenasi parsial dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Proses hidrogenasi parsial akan menaikkan
nilai titik tuang (pour point) dan titik kabut (cloud
point) biodiesel, dengan lamanya waktu reaksi dan
kecepatan pengadukan dengan meggunakan katalis
Ni-Al2O3.
Sifat stabilitas oksidasi biodiesel dapat
ditingkatkan melalui proses hidrogenasi.
Berdasarkan hasil penelitan ini bahwa lamanya
proses hidrogenasi selama setengah (0,5) jam
dengan katalis Ni-Al2O3 sudah dapat memberikan
hasil terbaik untuk sifat alir dan stabilitas oksidasi
biodiesel.
Dalam perbaikan atau peningkatan kualitas
(mutu) biodiesel diperlukan proses kompromi dengan
mengatur kondisi operasi seperti lamanya reaksi
dan juga mungkin variabel yang lain yang belum
diteliti.
KEPUSTAKAAN
1. Durrett, T. P.; Benning, C.; Ohlrogge, J., 2008, Plant
triacylglycerols as feedstocks for the production of
biofuels. Plant J., 54 (4), 593-607
2. Giakoumis, E. G., 2013, A statistical investigation of
biodiesel physical and chemical properties, and their
correlation with the degree of unsaturation, Renewable Energy”, Vol. 50, pp. 858-878, doi: 10.1016/j.
renene.2012.07.040
3. Goto, S., Oguma, M and Chollacoop, N., 2010,
Biodiesel Fuel Quality, EAS-ERIA Biodiesel Fuel
Trade Handbook: 2010, Benchmarking of Biodiesel
Fuel Standardization in East Asia Working Group ,
Jakarta: ERIA, 27-62.
4. Gunstone, F. D., 1996, Fatty Acid and Lipid
Chemistry. Chapman & Hall, London (UK).
5. HartEnergy, International Fuel Quality Center
(IFQC), 2011 Worldwide Fuel Specifications, 12th
Edition,
6. Lopes, J.C.A., L. Boros., M. A. Krähenbühl, A. J. A.
Meirelles, J. L. Daridon, J. Pauly, I. M. Marrucho,
and J. A. P. Coutinho, 2008, Prediction of Cloud
Points of Biodiesel, Energy & Fuels, 22, 747-752
7. Meher, L.C., Sagar, D.V. and Naik, S.N., Technical
Aspects of Biodiesel Production by Transesterification:
A review, Renew. Sustainable Energy Rev. 3, 1-21
Peningkatan Sifat Alir dan Stabilitas Oksidasi Biodiesel dengan Proses Hidrogenasi Parsial (Bagian I):
Penggunaan Ni-Al2O3 sebagai Katalis (Oberlin Sidjabat)
8. Mittelbach, M. and Remschmidt, C., 2004,
Biodiesel, The Comprehensive Handbook, First
edition, Austria,
9. Mittelbach, M.; Gangl, S., 2001, Long Storage
Stability of Biodiesel Made from Rapeseed and Used
Frying Oil. JAOCS, 78(6), 573-577.
10. Monyem, A.; Canakci, M.; Van Gerpen, J. 2000,
Investigation of Biodiesel thermal Stability Under
Simulated In-Use Conditions. Applied Engineering
in Agriculture, 16 (4), 373-378.
11. Moser, B. R., Haasb, M. J., Winkler, J. k., Jackson,
M. A., Erhan, S. Z, and List, G. R., 2007, Evaluation
of partially hydrogenated methyl esters of soybean oil
as biodiesel, Eur. J. Lipid Sci. Technol. 109 17-24 DOI
10.1002 lejlt.200600215.
12. Ramos, M. J., Fernandez, C. M., Casa, A.,
Rodrguez, L., and Perez, A., 2009, Influence of
Fatty Acid Composition of Raw Material on Biodiesel
Properties, Bioresources Technology, 100, 261-268.
13. Scrimgeour, C., 2005, Chemistry of Fatty Acids in:
Bailey’s Industrial Oil and Fat products, Fereidoon
Shahidi (Editor), 6th edition, John Wiley & Sons,
Inc.
14. Sidjabat, O., 1995, Studi Proses Transesterifikasi
Minyak Kelapa Sawit Menjadi Bahan Bakar Motor
Setara Solar, Proceedings Diskusi Ilmiah VIII PPPTMGB ”LEMIGAS”, Jakarta, 13-14 Juni 1995, hal.
227-233.
15. Vicente, G., Martinez, M. and Aracil, J., 2004,
Integrated Biodiesel Production: A comparison of
different homogeneous catalyst systems, Biores.
Technol, 2004, 92, 297-305.
16. Waynick, J. A., 2005, Characterization Of Biodiesel
Oxidation And Oxidation Products, The Coordinating
Research Council, Task 1 Results, CRC Project No.
AVFL-2b, National Renewable Energy Laboratory,
U.S. Department of Energy.
85
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 79 - 85
86
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium
(Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ’R’
dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada
Skala Laboratorium
Edward ML Tobing dan Hestuti Eni
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: [email protected]; [email protected]
Teregistrasi I tanggal 21 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 25 Juli 2013
Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK
Kumulatif perolehan minyak reservoar ’R’ setelah dilakukan injeksi air sampai dengan akhir tahun
2012 sebanyak 33.51% OOIP. Upaya untuk meningkatkan perolehan minyak pada reservoir tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan metode Enhanced Oil Recovery (EOR). Hasil pemilihan metode EOR
terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir ’R’ menunjukkan bahwa metoda yang cocok adalah
injeksi Alkali Surfaktan Polimer (ASP). Tulisan ini menyajikan hasil studi laboratorium peningkatan
perolehan minyak pada reservoir ’R’ dengan injeksi ASP. Dan tujuan studi tersebut adalah untuk mengetahui
penambahan perolehan minyak dengan menginjeksikan ASP pada batuan reservoir ’R’. Berdasarkan hasil
uji compatibility, interfacial tension, reologi, thermal stability, filtrasi dan adsorpsi pada fluida injeksi ASP,
maka diperoleh konsentrasi optimum dari masing-masing fluida injeksi tersebut. Mengacu pada konsentrasi
optimum fluida injeksi ASP tersebut, kemudian dilakukan uji core flooding berdasarkan rancangan fluida
injeksi yang sudah ditentukan. Hasil utama dari uji core flooding tersebut menunjukkan adanya peningkatan
perolehan minyak sebanyak 9.94% OOIP. Bila hasil uji laboratorium tersebut diaplikasikan pada skala
lapangan dengan menginjeksikan fluida ASP melalui sumur injeksi di reservoar ’R’, serta memenuhi
persyaratan secara teknik, maka diperkirakan penambahan produksi minyak sebanyak 3.88 juta bbl.
Kata kunci: Injeksi alkali-surfaktan-polimer, perolehan minyak.
ABSTRACT
Cumulative oil recovery reservoir 'R' after water injection until the end of 2012 was 27.87% OOIP.
Efforts to improve oil recovery in reservoir 'R' can be done by applying the method of Enhanced Oil
Recovery (EOR). The result of screening EOR method to the characteristics of the reservoir rock and
fluid ‘R’ shows that the most suitable method is to inject Alkaline Surfactant Polymer (ASP). This paper
presents the results of a laboratory study of enhanced oil recovery in reservoir 'R' with ASP injection. And
the purpose of the study is to investigate the addition of oil recovery by injecting ASP in reservoir rocks
‘R’. Based on the results of compatibility, interfacial tension, rheology, thermal stability, filtration and
adsorption test on ASP injection fluid, the optimum concentration of each of the injection fluid is obtained.
Based on the optimum concentration of the ASP injection fluid, then test core flooding refers to the design of
the injection fluid was determined. The main results of core flooding tests show an increase in oil recovery
9.94% OOIP. When the results of the laboratory test was applied to the field scale by injecting ASP fluid
through injection wells in the reservoir 'R', as well as satisfy the technical requirements, the additional
oil production is estimated to 3.88 million bbl.
Keywords: alkaline-surfactant-polymer injection, oil recovery.
87
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
I. PENDAHULUAN
Pada umumnya potensi cadangan minyak tersisa
setelah tahap awal pengurasan atau “primary recovery”
masih cukup besar. Sedangkan operasi produksi
minyak pada tahap ini menyebabkan turunnya
tekanan reservoir, sehingga produktivitas sumur akan
mengecil. Upaya peningkatan produksi dan perolehan
minyak dapat dilakukan dengan usaha pengurasan
tahap lanjut (secondary recovery) secara intensif.
Usaha tersebut diantaranya dengan menginjeksikan
air, yang ditujukan untuk mempertahankan tekanan
reservoir dan mendorong minyak tersisa setelah
tahap awal pengurasan. Zerpa dan Queipo (1)
menyatakan bahwa dari proses injeksi air tersebut,
minyak tersisa yang masih ada di dalam reservoir
kurang lebih sebanyak 70% OOIP. Penyebab
masih tingginya minyak tersisa di dalam reservoar
adalah adanya daerah penyempitan pori-pori batuan
sehingga minyak terperangkap di dalamnya. Serta
perbandingan mobilitas antara fluida pendesak
dengan fluida yang didesak lebih dari 1(satu), yang
berarti fluida injeksi lebih mudah menembus daerah
minyak sehingga menyebabkan breakthrough yang
terlalu dini. Upaya untuk mengurangi minyak tersisa
di dalam reservoir tersebut dapat dilakukan dengan
menerapkan metode Enhanced Oil Recovery (EOR),
atau metoda perolehan minyak tahap tertiary.
Salah satu metode EOR yang secara teknis telah
berhasil diterapkan dan memberi sumbangan yang
signifikan dalam peningkatan perolehan minyak
adalah injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer (ASP). Dari
beberapa uji pilot yang dilaporkan oleh Zerpa dan
Queipo(1) menunjukkan bahwa kumulatif perolehan
minyak mencapai lebih dari 60% OOIP. Kon dkk(2)
dalam tulisannya mengungkapkan bahwa pada
metode injeksi ASP terdapat beberapa mekanisme dan
proses. Alkali mempunyai 3(tiga) fungsi diantaranya:
(1). Menaikkan pH. (2). Menurunkan adsorpsi
surfaktan yang bersifat anionik ke dalam batuan
reservoar dan (3). Batuan reservoir menjadi lebih
bersifat water wet. Surfaktan berperan untuk
menurunkan Interfacial Tension (IFT) antara fase
minyak dan air sehingga dapat meningkatkan
mobilitas minyak yang terperangkap. Sedangkan
peran polimer adalah untuk menaikkan viskositas
fluida pendesak, dan menurunkan perbandingan
mobilitas antara fluida pendesak dan fluida yang
didesak sehingga akan memperbaiki efisiensi
penyapuan volumetrik.
88
Lapangan ‘Q’ adalah lapangan minyak tua yang
diproduksikan sejak tahun 1954 terletak di cekungan
Sumatera Selatan. Reservoar minyak produktif
pada lapangan ini terdiri dari 20 reservoir, dan yang
menjadi fokus dalam studi laboratorium ini adalah
reservoir ’R’. Berdasarkan metoda volumetrik,
diperkirakan OOIP dari reservoir ini 39.01 juta bbl,
dan produksi kumulatif sampai dengan akhir tahun
2012 setelah menerapkan teknologi pengurasan
tahap lanjut dengan injeksi air adalah 13.07 juta bbl
(33.51% OOIP). Dengan demikian minyak yang
masih tertinggal di dalam reservoir sebesar 25.93 juta
bbl (66.49% OOIP), yang selanjutnya akan menjadi
target untuk diproduksikan dengan menerapkan
teknologi EOR.
Karakteristik fluida dan batuan reservoir minyak
pada umumnya memiliki sifat yang unik, sehingga
interaksi antara fluida dan batuan reservoir dengan
fluida injeksi ASP memberikan hasil yang unik juga.
Dengan demikian studi laboratorium mutlak dilakukan
sebelum diterapkan metode EOR injeksi ASP pada
reservoir ‘R’. Studi laboratorium ini dilakukan untuk
menguji layak atau tidaknya diterapkan metode EOR
injeksi ASP pada reservoir ‘R’, dan seberapa banyak
peningkatan perolehan minyak yang diperoleh. Dan
berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa
hingga saat ini studi laboratorium untuk mengetahui
kemungkinan dapat atau tidaknya diterapkan injeksi
ASP pada reservoir ‘R’ belum pernah dilakukan.
Adapun metode studi laboratorium yang dilakukan
terdiri atas 2(dua) kegiatan utama yaitu: (1). Uji
terhadap batuan dan fluida reservoir (minyak dan air
formasi), serta larutan ASP yang akan digunakan. (2).
Uji coreflooding untuk mengetahui efektifitas larutan
ASP yang diinjeksikan ke dalam batuan reservoir
terhadap peningkatan pengurasan minyak.
II. BAHAN DAN METODE UJI
LABORATORIUM
Fluida injeksi yang digunakan dalam studi
laboratorium ini adalah Alkali-Surfaktan-Polimer
(ASP). Alkali terpilih adalah Na2CO3 dan surfaktan
‘S’ termasuk golongan anionik dengan bahan dasar
petroleum sulfonate. Sedangkan polimer ‘P’ termasuk
jenis polyacrilamide yang khusus dirancang untuk
suhu reservoir tinggi.
Sebelum uji laboratorium dilakukan dalam studi
ini, terlebih dahulu dilakukan pemilihan metode
EOR, untuk memperoleh salah satu metoda yang
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium
(Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
cocok diterapkan pada reservoir ‘R”. Pemilihan
tersebut dilakukan dengan membandingkan data
karakteristik fluida dan batuan reservoir ‘R’ terhadap
kriteria pemilihan metode EOR yang dikembangkan
oleh Taber dkk(3,4).
Dalam merancang proses injeksi ASP harus
dicapai 3 (tiga) tujuan utama yaitu: penyebaran
larutan ASP, jumlah injeksi larutan ASP yang
cukup, dan penyapuan maksimal dari daerah yang
menjadi sasaran sehingga akan menaikkan perolehan
minyak. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh pemilihan konsentrasi dan ukuran
slug injeksi larutan ASP, yang kemudian dapat
ditentukan berdasarkan beberapa analisis hasil uji
laboratorium.
Analisis terhadap air formasi atau brine (sumur
R-9) dan air injeksi (stasiun pengumpul) dilakukan
untuk mengetahui jumlah kation dan anion yang
terdapat di dalamnya, dan Total Dissolved Solid
(TDS) dengan menerapkan metode titrasi, serta
pengukuran derajat keasaman (pH). Don dan Paul(5)
mengemukakan bahwa keberadaan ion kalsium
dan magnesium pada air formasi serta air injeksi
akan menyebabkan degradasi pada viskositas
polimer. Untuk menghindari hal tersebut, kemudian
dikembangkan softened water. Softened water adalah
brine sintetik yang di dalamnya terdapat kandungan
kation dan anion yang setara dengan air formasi, akan
tetapi tidak ada kation kalsium dan magnesium.
Sampel minyak diambil dari sumur R-9
pada kondisi permukaan di kepala sumur. Dua
karakteristik minyak yang diukur yaitu viskositas
dan densitas pada kondisi suhu reservoir, 107oC.
Uji compatibility terhadap larutan alkali-surfaktan
(AS) dan alkali-surfaktan-polimer (ASP) dilakukan
untuk memastikan apakah akan terbentuk endapan
atau tidak pada larutan selama beberapa hari dengan
kondisi suhu ruang. Pengukuran Interfacial Tension
(IFT) dilakukan dengan spinning drop tensiometer
terhadap larutan ASP. Dan uji reologi dilakukan
untuk mengamati kinerja larutan melalui pengukuran
viskositas dengan viscometer.
Uji thermal stability dilakukan untuk mengetahui
daya tahan larutan ASP terhadap panas pada suhu
reservoar. Menurut Hirasaki dkk(6) larutan ASP
memadai bila kinerjanya tetap stabil oleh pengaruh
panas. Uji ini dilakukan dengan cara memasukkan
larutan pada kapsul kaca yang tertutup rapat
kemudian diletakkan pada oven pada suhu reservoir.
Pada selang waktu 0, 3, 7, 14 dan 30 hari dilakukan
pengukuran IFT dan viskositas terhadap larutan
ASP.
Uji filtrasi dilakukan untuk melihat apakah
surfaktan, polimer dan ASP terlarut sempurna
(membentuk fasa tunggal) jika dilarutkan pada
softened water. Uji ini dilakukan dengan melewatkan
sejumlah volume larutan pada kertas saring yang
diberi tekanan 1 (satu) atmosfir. Pada sejumlah
volume tertentu larutan surfaktan, polimer dan
ASP yang melewati kertas saring dicatat waktunya.
Kemudian hasil pencatatan diplot, antara volume (ml)
terhadap waktu (detik).
Uji adsorpsi dilakukan untuk mengetahui
chemical loss akibat terserap oleh batuan. Uji
ini dilakukan dengan cara menghaluskan batuan
reservoir dan disaring dengan ukuran 50-200 mesh
dan dikeringkan. Selanjutnya, 50 gram batuan
tersaring tersebut direndam dalam larutan surfaktan
dan polimer pada suhu reservoir selama 2 hari.
Kemudian dilakukan pemisahan antara batuan dan
larutan yang berupa filtrat. Konsentrasi filtrat diukur
dengan UV Spektrofoto meter sebagai konsentrasi
akhir. Adsorpsi dihitung sebagai konsentrasi yang
hilang akibat terserap oleh batuan (selisih konsentrasi
awal dan akhir dari larutan).
Uji pendesakan atau core flooding dilakukan
untuk mengetahui seberapa banyak peningkatan
perolehan minyak dari rancangan fluida yang akan
diinjeksikan. Sampel core yang akan digunakan
untuk core flooding diperoleh dari sumur R-9 pada
rentang kedalaman (1367.9-1368.85) meter, yang
merupakan hasil coring (conventional core) dengan
diameter 3.5 inci. Berdasarkan hasil analisis jenis
batuan, batuan reservoir ‘R’ termasuk batu pasir.
Dari conventional core sepanjang 0.95 m tersebut
diambil core plug dengan diameter rata-rata 3.8 cm
dan panjang rata-rata 6.97 cm. Dari 17 (tujuh belas)
core plug yang diperoleh, dipilih 4 (empat) core plug
yang mempunyai harga porositas dan permeabilitas
absolute yang hampir sama. Kemudian keempat core
plug tersebut disusun secara seri (nomor core plug
10, 8, 9 dan 6) dan membentuk stacked core dengan
panjang 27.89 cm (Gambar 1). Harga porositas ratarata stacked core 30.08% dan karakteristik batuan
staked core yang akan digunakan dalam uji core
flooding ditunjukkan pada Tabel 1.
Rangkaian alat untuk uji core flooding disusun
dan secara skematik dapat dilihat pada Gambar
89
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
2. Susunan alat utama yang digunakan
terdiri dari: pompa injeksi, tabung fluida
(minyak, air dan ASP), core holder, back
No.
pressure, dan gelas ukur. Pompa injeksi
Core
yang digunakan adalah jenis pompa torak
Plug
yang dapat menginjeksikan fluida dengan
6
laju alir konstan (laju alir injeksi minimum
9
sebesar 0.01 cc/menit). Dengan pompa
8
tersebut dapat menginjeksikan fluida
10
(minyak, air, ASP dan polimer) secara
bergantian menuju core holder. Stacked
Core tersimpan pada core holder yang dilengkapi
dengan overburden pressure agar fluida pendesak
hanya melewati permukaan stacked core, dan tidak
melewati sisi bagian luar. Sedangkan back pressure
mendapat tekanan dari gas nitrogen, berfungsi
mempertahankan sistem bertekanan pada core
holder, akan tetapi tetap dapat mengalirkan fluida
ke gelas ukur pada tekanan ruang.
Tabel 1
Data karakteristik core plug
Luas
Porositas Permeabilitas
penampang
(%)
Absolut (mD)
2
(cm )
Panjang
(cm)
Diameter
(cm)
7.61
3.8
11.34
30.50
3646
6.98
3.8
11.34
31.00
3897
6.72
3.8
11.34
29.80
3922
6.58
3.8
11.34
29.00
4286
Gambar 1
Susunan stacked core
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data karakteristik fluida dan batuan reservoir ‘R’
ditunjukkan pada Tabel 2, dan kemudian data tersebut
dibandingkan dengan parameter kriteria pemilihan
metode EOR yang dikembangkan oleh Taber dkk(3,4).
Hasil pemilihan metode EOR yang dilakukan
terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir,
pada umumnya diperoleh lebih dari satu metode
yang cocok. Namun hasil pemilihan metode EOR
terhadap karakteristik fluida dan batuan reservoir ’R’
menunjukkan bahwa metoda injeksi ASP saja yang
cocok untuk diterapkan. Meskipun suhu reservoar
sebesar 224.64oF melebihi batas kriteria suhu (lebih
kecil dari 200oF), namun surfaktan ‘S’ maupun
polimer ‘P’ yang terpilih memadai untuk reservoir
yang mempunyai suhu tinggi.
Hasil analisis terhadap brine (air formasi dan air
injeksi) yang ditampilkan pada Tabel 3, menunjukkan
bahwa harga Total Dissolved Solid (TDS) untuk
kedua brine tersebut tidak berbeda secara signifikan,
yaitu sebesar 18176.7 mg/L dan 19196.8 mg/L.
Air formasi dan air injeksi mempunyai harga pH
masing masing sebesar 8.78 dan 8.24. Komposisi
softened water yang dikembangkan (dengan pH
8.48), didalamnya terdapat kandungan kation dan
anion yang setara dengan air formasi, akan tetapi
tidak dijumpai kation kalsium dan magnesium, dapat
dilihat pada Tabel 4. Analisis terhadap air formasi dan
air injeksi telah dilakukan dan menunjukkan bahwa
90
Gambar 2
Skema rangkaian peralatan core flooding
kedua jenis air ini termasuk dalam kategori hard
brine (kesadahan tinggi). Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya kation divalen Ca++ dan Mg++ pada air
formasi masing masing sebesar 30.1 mg/L dan 42.5
mg/L. Dan pada air injeksi masing masing sebesar
30.7 mg/L dan 42.5 mg/L. Jika polimer dilarutkan
dalam air injeksi tersebut (dengan kesadahan yang
tinggi) untuk pembuatan larutan polimer, maka akan
terjadi degradasi yang signifikan terhadap larutan
polimer 5), yaitu turunnya harga viskositas larutan
polimer akibat adanya kation divalen Ca++ dan
Mg++. Demikian juga bila larutan polimer tersebut
diinjeksikan ke dalam batuan reservoir yang di
dalamnya sudah terdapat air formasi. Bila surfaktan
dilarutkan dalam air injeksi (kesadahan yang tinggi)
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium
(Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
Tabel 2
Hasil penyaringan metode injeksi ASP pada reservoir ‘R’
Kriteria Penyaringan
Metoda Injeksi ASP
Karakteristik Fluida dan Batuan Reservoar
No.
o
API
24
Viskositas Minyak
cp
2.02
< 35
13
Saturasi Minyak
%
61
> 35
53
SS/CB
SS
Permeabilitas rata-rata
mD
3941
Kedalaman
ft, ss
1
Gravity Minyak
2
3
4
Jenis Batuan
5
6
o
> 20
35
Keterangan
Memadai untuk Injeksi
ASP
Disukai SS
> 10
450
4484.4
< 9,000
3250
F
224.64
< 200
80
7
Suhu reservoar
8
Tekanan reservoir
psig
1500
TK
9
Porositas rata-rata
%
17
TK
10
Saturasi air rata-rata
%
39
TK
= Disarankan untuk harga karakteristik reservoar yang lebih tinggi
= Disarankan untuk harga karakteristik reservoir yang lebih rendah
80
= Harga rata-rata karakteristik reservoar yang digunakan
TK
= Tidak Kritis
Tabel 3
Analisis air formasi dan air injeksi
Komponen
Air Formasi
Air Injeksi
meq
mg/L
meq
mg/L
KATION
Sodium
Na2+
297.3
6835.4
304.79
7009.3
Kalsium
2+
1.50
30.1
1.53
30.7
2+
3.50
42.5
3.50
42.5
2+
0.00
0.0
0.01
0.3
2+
0.17
11.5
0.12
8.1
280.00
9928.0
280.00
9928.0
Magnesium
Besi
Barium
Ca
Mg
Fe
Ba
ANION
Klorida
Bikarbonat
Sulfat
Karbonat
Hidroksida
Cl-
21.19
1293.2
32.09
1958.1
2-
0.00
0.0
0.00
0.0
CO3
2-
1.20
36.0
1.80
54.0
OH
-
0.00
0.0
0.00
HCO3
SO4
TDS (mg/L)
untuk pembuatan larutan surfaktan, maka akan
terbentuk senyawa yang tidak larut sempurna dalam
bentuk endapan akibat reaksi kimia antara anion
surfaktan dengan kation divalen Ca++ dan Mg++,
yang dapat menyebabkan plugging (penyumbatan)
18176.70
0.0
19196.80
pada pore throat batuan reservoir. Untuk mengatasi
degradasi polimer dan terbentukya endapan pada
larutan surfaktan tersebut, maka dikembangkan
softened water yang mempunyai kandungan ionion menyerupai air formasi, tanpa adanya kation
91
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
divalen Ca++ dan Mg++. Derajat keasaman (pH) dari
softened water sebesar 8.48 yang menunjukkan
dalam suasana basa sehingga memadai untuk dapat
diterapkan injeksi ASP, seperti apa yang dinyatakan
oleh Han dkk(8). Hasil analisis karakteristik minyak
menunjukkan bahwa viskositas minyak dan densitas
minyak pada suhu reservoar (107oC), masing-masing
2.02 cp dan 0.8842 gr/cm3.
Hasil uji compatibility larutan AS yang terdiri dari
alkali (Na2CO3) dengan konsentrasi masing-masing
0.5%, 0.1%, 1.5% dan surfaktan pada konsentrasi
tetap yaitu 0.1%, yang dilarutkan dalam brine (air
formasi, air injeksi dan softened water) menunjukkan
semua campuran larutan tampak jernih dan tidak
terbentuk endapan, atau dapat dikatakan compatible.
Pada Gambar 3 ditampilkan hasil uji compatibility
larutan AS dengan brine softened water. Mengingat
salinitas air formasi dan air injeksi hampir sama,
maka pada uji compatibility campuran alkali,
surfaktan dan polimer (ASP) dilakukan hanya dengan
brine air formasi dan softened water. Pada campuran
ini digunakan konsentrasi alkali 1%, surfaktan
0.1% dan polimer 750 ppm. Hasil uji tersebut dapat
dilihat pada Tabel 5. Campuran ASP dengan air
formasi menunjukkan warna larutan menjadi agak
kekuningan tetapi tidak terbentuk endapan, dan
campuran ASP dengan softened water tampak jernih.
Warna kekuningan tersebut disebabkan adanya
interaksi antara polimer dengan ion-ion yang tidak
terdapat pada softened water. Karena yang diamati
dari uji compatibility adalah terbentuknya endapan
yang kemungkinan akan menyumbat batuan, maka
terjadinya perubahan warna tidak dianggap sebagai
keadaan incompatibility.
Hasil pengukuran IFT campuran alkali-surfaktan
dapat dilihat pada Tabel 6. Harga IFT terendah dicapai
pada penambahan 1.0% alkali yaitu sebesar 5.31
x10-3 dyne/cm. Oleh karena itu, pada campuran ASP
yang akan diuji konsentrasi alkali yang digunakan
adalah 1.0%. Rancangan campuran ASP yang akan
diuji terdiri atas konsentrasi alkali 1% dan surfaktan
0.1%, serta konsentrasi polimer 750 ppm dan 1500
ppm. Pada Tabel 7 ditunjukkan hasil pengukuran
IFT larutan ASP, dimana harga IFT konsentrasi
polimer 750 ppm (2.72x10-3 dyne/cm) lebih rendah
dibanding IFT larutan ASP dengan konsentrasi
polimer 1500 ppm (8.30x10-3 dyne/cm). Mengacu
pada plot perolehan minyak terhadap bilangan
kapiler yang dikemukakan Berger dan Lee(7) pada
92
Tabel 4
Komposisi softened water
Bahan Kimia
g/L
KCl
0.238
Na2CO3
0.276
NaHCO3
2.251
NaCl
14.439
Gambar 3
Uji compatibility AS dengan brine softened water
Gambar 4, untuk meningkatkan perolehan minyak
yang signifikan, setidaknya bilangan kapiler harus
naik menjadi 10-4 atau lebih. Bilangan kapiler yang
didapat setelah selesai injeksi air adalah sekitar 10-6,
sedangkan harga IFT antara minyak dan air selama
injeksi air berlangsung berkisar antara 1 sampai 10
Dyne/cm. Untuk menaikkan bilangan kapiler dari
harga 10-6 menjadi 10-4, harga IFT harus diturunkan
sekitar 10-2 atau lebih agar dapat meningkatkan
efisiensi pendesakan minyak. Berdasarkan harga IFT
dari campuran alkali 1%, surfaktan 0.1% dan polimer
750 ppm sebesar 2.72x10-3 dyne/cm, maka menurut
Berger dan Lee(9) cukup memadai sebagai fluida
injeksi ASP untuk dapat meningkatkan perolehan
minyak.
Hasil pengukuran viskositas larutan polimer 1150
ppm pada suhu 107oC adalah sebesar 5.371 cp. Harga
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium
(Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
viskositas tersebut merupakan hasil ekstrapolasi
harga viskositas pada suhu 30, 50, 70 dan 85oC,
karena pengukuran viskositas pada suhu di atas titik
didih air (85oC) dengan sistem terbuka tidak mungkin
dilakukan. Berdasarkan harga viskositas polimer
yang sudah diukur, maka dilakukan pencampuran
alkali, surfaktan dan polimer. Konsentrasi alkali dan
surfaktan masing-masing 1% dan 0.1%, sedangkan
konsentrasi polimer terdiri atas 750 ppm dan 1500
ppm. Kedua konsentrasi tersebut dipilih mengingat
penambahan surfaktan berpengaruh secara signifikan
terhadap viskositas larutan. Hasil pengukuran
viskositas ASP ditampilkan pada Tabel 8, dan
terlihat bahwa keberadaan surfaktan menurunkan
harga viskositas larutan secara signifikan. Viskositas
campuran ASP pada suhu 107oC dengan konsentrasi
polimer 750 ppm dan 1500 ppm masing masing
2.731 cp dan 3.318 cp. Tujuan polimer ditambahkan
pada fluida injeksi adalah untuk meningkatkan
viskositas larutan agar lebih tinggi dari viskositas
minyak. Wei dan Yongun (10) mengemukakan
bahwa hal ini dilakukan untuk menghindari efek
“fingering”. Mengingat viskositas minyak pada
suhu 107oC adalah 2.02 cp, maka viskositas fluida
injeksi harus lebih tinggi dari viskositas minyak
tersebut. Hasil pengukuran viskositas larutan
polimer dengan konsentrasi 1150 ppm pada suhu
107oC adalah 5.371 cp, atau sama dengan 2.65 kali
harga viskositas minyak. Sehingga diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi pendorongan minyak secara
makro, dalam hal ini sebagai penerapan pada injeksi
slug polimer.
Hasil uji thermal stability terhadap larutan ASP
(1% alkali Na2CO3 + 0.1% surfaktan + 750 ppm
polimer), yaitu pengukuran IFT dan viskositas
ditunjukkan pada Tabel 9. Harga IFT larutan ASP
mengalami kenaikan sebanyak 16 kali dari 3.77x10-3
pada hari ke-0 (sebelum dipanaskan) sampai harga
6.03x10 -2 Dyne/cm pada hari ke-30. Meskipun
demikian harga IFT sebesar 6.03x10 -2 masih
dianggap memadai untuk fluida injeksi. Sedangkan
harga viskositas larutan ASP, mengalami penurunan
sebesar 2.3 kali, yaitu dari 3.318 cp sebelum
dipanaskan menjadi 1.427 cp setelah pemanasan
pada hari ke-30. Sebagai fluida ASP harga viskositas
tersebut masih memadai.
Gambar 5 menampilkan hasil uji filtrasi berupa
plot volume terhadap waktu untuk surfaktan 0.1%,
polimer 1150 ppm dan ASP (1% alkali Na2CO3 +
Tabel 5
Hasil uji kompatibilitas ASP
Campuran ASP
1% Alkali
0,1% Surfaktan
750 ppm Polimer
Brine
Hasil Pengamatan
Air Formasi
Jernih, warna agak kuning
Softened Water
Jernih
Tabel 6
Hasil pengukuran IFT Alkali dan surfaktan
Konsentrasi surfaktan
0.1%
Konsentrasi alkali
IFT (dyne/cm)
0.5%
3.81,E-02
1.0%
5.31,E-03
1.5%
6.18,E-03
Tabel 7
Hasil pengukuran IFT Alkali-surfaktan-polimer
Campuran AS
Konsentrasi Polimer (ppm)
1% Alkali
750
IFT (dyne/cm)
2.72,E-03
0,1% Surfaktan
1500
8.30,E-03
Gambar 4
Plot perolehan minyak terhadap bilangan kapiler9)
0.1% surfaktan + 750 ppm polimer). Uji filtrasi
dinyatakan memadai jika plot antara volume larutan
melewati kertas saring terhadap waktu berbentuk
garis lurus, yang berarti tidak terbentuk endapan.
Selain itu, harga filtration ratio (FR) yang disarankan
oleh Don dan Paul(5) lebih kecil dari 1.2. Filtration
Ratio untuk surfaktan, polimer dan ASP masing
masing sebesar 1.018, 1.073 dan 1.094. Ketiga harga
FR untuk surfaktan, polimer dan ASP lebih kecil
dari 1.2, serta membentuk garis lurus. Hal ini berarti
bahwa ketiga larutan tersebut memenuhi syarat
sebagai fluida injeksi.
Hasil uji adsorpsi surfaktan dan polimer tertera
pada Tabel 10. Uji adsorpsi surfaktan secara statik
dan dinamik masing masing 115.346 μg/g dan
328.496 μg/g. Sedangkan uji adsorpsi statik dan
93
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
dinamik polimer berturut-turut 331.34 μg/g dan
383.22 μg/g. Uji adsorpsi merupakan langkah yang
penting karena dari hasil uji tersebut diketahui
Chemical loss akibat interaksi dengan batuan.
Chemical loss yang terlalu besar akan menyebabkan
upaya peningkatan perolehan minyak menjadi kurang
efektif, karena dengan menurunnya konsentrasi dari
alkali, surfaktan maupun polimer maka akan turun
juga fungsi dari masing-masing larutan tersebut. Oleh
karena itu, harus dipastikan bahwa chemical yang
terserap oleh batuan seminimal mungkin. Seluruh
harga adsorpsi yang diuji tidak lebih dari 400 μg/g.
Hal ini menunjukkan bahwa chemical loss surfaktan
dan polimer relatif kecil, seperti yang dikemukakan
Han dkk8) sehingga diharapkan akan efektif sebagai
fluida injeksi.
Dengan pertimbangan dapat diterapkannya
teknologi injeksi ASP di reservoar ’R’, maka fluida
injeksi dirancang berdasarkan hasil uji laboratorium
yang diperoleh dan data karakteristik reservoir.
Dengan menerapkan metode perhitungan yang
dikembangkan Don dan Paul(5), maka rancangan
injeksi fluida pada stacked core secara bersinambung
dengan mengikuti urutan berikut: (1). Tahap pertama
menginjeksikan slug softened water sebanyak 1.55
PV. (2). Tahap kedua menginjeksikan slug larutan
ASP sebanyak 0.35 PV (1% alkali Na2CO3 + 0.1%
surfaktan + 750 ppm polimer). (3). Tahap ketiga
menginjeksikan slug polimer 1150 ppm sebanyak
0.3 PV. (4). Tahap keempat menginjeksikan slug
“air injeksi” sebanyak 0.8 PV. Sebelum melakukan 4
(empat) tahap tersebut didahului 2 (dua) tahap untuk
dapat memenuhi kondisi awal yang terdiri atas: (1).
Saturasi air formasi hingga mencapai 100%. (2).
Injeksi minyak sehingga dicapai kondisi Soi (Saturasi
minyak initial) dan Swc (Saturasi water connate).
Seluruh tahap langkah kerja tersebut digambarkan
dalam diagram alir dan ditunjukkan pada Gambar
6. Plot perolehan minyak terhadap volume injeksi
dari 6 (enam) tahap rancangan fluida injeksi tersebut,
ditampilkan pada Gambar 7.
Pada tahap-1 diperoleh volume pori atau
pore volume (PV) sebanyak 71.73 cc, dan harga
permeabilitas absolut sebesar 2462.5 mD. Pada
tahap-2 diperoleh saturasi water connate (Swc)
34.89% dan saturasi minyak initial (Soi) 65.11% atau
sebanyak 46.70 cc. Perolehan minyak akibat injeksi
air-1 sebanyak 1.55 PV didapat sebanyak 55.91%
OOIP. Dari plot perolehan minyak terhadap volume
injeksi pada Gambar 7, menunjukkan bahwa injeksi air
dari 1.3 PV hingga 1.55 PV memberikan penambahan
perolehan minyak hanya 0.71% OOIP. Hal tersebut
karena perolehan minyak sudah mendekati kondisi
saturasi minyak tersisa atau residual oil saturation.
Akibat injeksi larutan ASP 0.35 PV pada stacked
Gambar 5
Hasil uji filtrasi surfaktan, polimer dan ASP
Tabel 8
Hasil reologi polimer (Alkali 1%+Surfaktan 0.1%)
Viskositas (cP)
o
Konsentrasi polimer
Suhu ( C)
1500 ppm
2250 ppm
30
7.646
13.693
50
5.747
9.925
70
4.158
6.877
85
3.968
5.307
107
3.318
4.59
Tabel 9
Uji thermal stability ASP
94
Pengamatan Hari ke-
Parameter
Satuan
0
3
7
14
30
IFT
dyne/cm
3,770E-03
2,030E-02
3,120E-02
4,050E-02
6,030E-02
Viskositas
cp
3.318
3.971
2.563
2.114
1.427
Peningkatan Perolehan Reservoir Minyak ‘R’ dengan Injeksi Alkali-Surfaktan-Polimer pada Skala Laboratorium
(Edward ML Tobing dan Hestuti Eni)
core telah menambah perolehan minyak sebanyak
3.62% OOIP, dan pengaruh injeksi larutan polimer
(1150 ppm) sebanyak 0.3 PV menambah perolehan
minyak sebanyak 6.32% OOIP. Perolehan minyak
akibat injeksi polimer tersebut masih mungkin untuk
ditingkatkan dengan cara menambah jumlah PV
injeksi larutan polimer, karena pada bagian akhir dari
plot perolehan minyak terhadap volume injeksi masih
menunjukkan kecenderungan meningkat. Han dkk(8)
menyatakan bahwa peran larutan alkali pada slug
ASP selain dapat menurunkan tegangan antar muka
antara fase minyak dan air, juga dapat merubah sifat
kebasahan batuan dari yang bersifat oil wet menjadi
lebih water wet, sehingga dapat melepaskan sisa
minyak dari batuan. Sementara peran surfaktan juga
dapat menurunkan tegangan antar muka antara fase
minyak dan air (5.31x10-3 dyne/cm), sehingga dapat
menaikkan mobilitas minyak yang sudah terlepas
dari proses yang diperankan alkali sebelumnya. Dan
peran polimer adalah untuk menaikkan viskositas
fluida pendesak (5.371 cp), yang akan menurunkan
perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dan
fluida yang didesak sehingga akan memperbaiki
efisiensi penyapuan volumetrik (6.32% OOIP).
Kemudian penambahan perolehan minyak akibat
injeksi air-2 sebanyak 0.8 PV setelah akhir injeksi
larutan polimer adalah sebesar 2.32% OOIP.
Sehingga kumulatif perolehan minyak yang didapat
dari rancangan injeksi fluida tersebut adalah sebesar
65.84% OOIP. Dengan demikian penambahan
perolehan minyak pada uji stacked core flooding
akibat dilakukannya injeksi kimia dengan urutan slug
ASP 0.35 PV (1% Alkali Na2CO3 + 0.1% Surfaktan +
750 ppm Polimer), slug 0.30 PV (Polimer 1150 ppm)
dan slug 0.8 PV (air) adalah sebanyak 9.94% OOIP.
Berdasarkan hasil studi laboratorium yang telah
dilakukan, maka selanjutnya dapat dikembangkan
pemodelan simulasi injeksi ASP pada skala stacked
core. Kemudian dilakukan scale up pada reservoar
dengan pola sumur injeksi tertentu (misalkan pola
injeksi five spot) dan menggunakan simulator injeksi
kimia tiga dimensi. Dari pemodelan simulasi ini
dapat dilakukan uji sensitivitas guna memperoleh
rancangan fluida injeksi dan pola sumur injeksi
yang optimum untuk diterapkan pada skala pilot
dan skala lapangan. Bila rancangan core flooding
tersebut diatas diaplikasikan pada skala lapangan
di reservoir ’R” melalui beberapa sumur injeksi
dengan laju injeksi tertentu dari fluida ASP, serta
memenuhi persyaratan secara teknik, maka perkiraan
penambahan produksi minyak sebanyak 3.88 juta
Gambar 6
Diagram alir langkah kerja core flooding
Gambar 7
Plot perolehan minyak terhadap volume injeksi
Tabel 10
Hasil uji adsorbsi surfaktan dan polimer
Larutan
Uji Absorbsi (P
Pg/g)
Statik
Dinamik
0,1% Surfaktan
115,346
328,496
750 ppm Polimer
331.34
383.22
bbl. Pada akhirnya pengujian layak atau tidaknya
diterapkan metoda injeksi ASP pada reservoir ‘R’,
tergantung hasil kajian keekonomian dan kriteria
ukuran keberhasilan yang ditetapkan.
IV. KESIMPULAN
1. Hasil penyaringan metode EOR terhadap
karakteristik fluida dan batuan reservoir ’R’
menunjukkan bahwa metode injeksi ASP cocok
untuk diterapkan.
95
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 87 - 96
2. Dari hasil uji compatibility campuran ASP dengan
softened water tidak membentuk endapan yang
menunjukkan campuran tersebut compatible.
3. Berdasarkan hasil uji reologi, thermal stability,
filtrasi, serta adsorpsi statik dan dinamik terhadap
alkali Na 2CO, surfaktan dan polimer, maka
larutan ASP tersebut memadai untuk digunakan
pada uji core flooding.
4. Uji core flooding dengan menginjeksikan slug
air, ASP dan Polimer menghasilkan kumulatif
perolehan minyak sebesar 65.84% OOIP.
5. Penambahan perolehan minyak pada uji core
flooding setelah dilakukan injeksi ASP dan
polimer adalah sebesar 9.94% OOIP.
6. Bila rancangan core flooding ASP diaplikasikan
pada skala lapangan di reservoar ’R”, dan
memenuhi persyaratan secara teknik, maka
penambahan produksi minyak diperkirakan
sebanyak 3.88 juta bbl.
2.
Green W. Don., dan Willhite, G. Paul. (2003), Enhanced Oil Recovery, Society of Petroleum Engineers
Richarrdson, Texas, USA, p. 272-278.
3.
6
4.
Luis E. Zerpa,. dan Nestor V. Queipo. (2004), An
Optimization Methodology of Alkaline-SurfactantPolymer Flooding Processes Using Field Scale
Numerical Simulation and Multiple Surrogates, SPE
89387.
5.
7
6.
9
7.
3
8.
4
9.
10
DAFTAR SIMBOL
FR
= (T300 ml – T200 ml) / (T200 ml – T100 ml)
IFT
= Interfacial tension, dyne/cm
Nc
= Capillary number
v
= Kecepatan Darcy, m/detik
μ
= Viskositas, cp
σ
= Interfacial tension, dyne/cm
OOIP = Original Oil In Place, bbl
KEPUSTAKAAN
1.
96
Dong, Han., Hong, Yuan., dan Rui, Weng. (2006),
The Effect of Wettability on Oil Recovery of Alkaline/
Surfactant/Polymer Flooding, SPE 102564.
8
5
Hirasaki, J. George., Miller, A. Clarence., dan
Puerto Maura. (2011), Recent Advances in Surfactant EOR, SPE Journal, p. 889-907.
1
P.D. Berger,. dan C.H. Lee. (2002), Ultra Low
Concentration Surfactants for Sandstone and
Limestone Flood, SPE 75186.
P.D. Berger,. dan C.H. Lee. (2006), Improve ASP
Process Using Organic Alkali, SPE 99581.
Taber J.J., Martin F.D., dan Seright, R.S. (1997),
EOR Screening Criteria Revisited-Part 1: Introduction
to Screening Criteria and Enhanced Recovery Field
Projects, SPE Reservoir Engineering, p. 189-198.
Taber J.J., Martin F.D., dan Seright, R.S. (1997),
EOR Screening Criteria Revisited-Part 2: Aplications
and Impact of Oil Prices, SPE Reservoir Engineering,
p. 199-205.
Wang, Wei., dan Gu, Yongan. (2005), Experimental Studies of the Detection and Reuse of Produced
Chemicals in Alkaline/Surfactant/Polymer Floods,
SPE Reservoir Evaluation & Engineering, p. 362371.
10. 2Wyatt, Kon., Pitts, Malcolm.J. dan Surkalo, Harry.
(2002), Mature Waterfloods Renew Oil Production by
Alkaline-Surfactant-Polymer Flooding, SPE 78711.
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi
(Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut
Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator
Proses Hidrokarbon Minyak Bumi
Durrotun Najiyah1), Nuning Vita Hidayati1) dan Cut Nanda Sari2)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Jenderal Soedirman
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: [email protected]
1)
Teregistrasi I tanggal 16 Mei 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 10 Juli 2013
Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK
Pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi telah banyak terjadi di perairan darat
maupun laut. Berbagai upaya telah dilakukan salah satunya yaitu penambahan senyawa surfaktan sintetik
ke perairan. Pemakaian surfaktan sintetik ternyata akan menjadi limbah yang menyebabkan kerusakan
lingkungan, sehingga diperlukan upaya untuk menanggulanginya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
potensi bakteri laut hidrokarbonoklastik (Halobacillus trueperi dan Rhodobacteraceae bacterium)
dalam memproduksi biosurfaktan. Penelitian dibagi menjadi 5 perlakuan, yaitu kontrol (Media+Minyak
Bumi dan Media+Minyak Jelantah), Media+Minyak Bumi+Halobacillus trueperi, Media+Minyak
Bumi+Rhodobacteraceae bacterium, Media+Minyak Jelantah+Halobacillus trueperi dan Media+ Minyak
Jelantah+Rhodobacteraceae bacterium. Parameter pengukuran meliputi diameter zona bening (uji
bakteri penghasil biosurfaktan) bobot biomasa, bobot endapan asam, dan tegangan permukaan (produksi
biosurfaktan). Hasil penelitian menunjukkan R. bacterium dengan sumber karbon minyak jelantah lebih
berpotensi memproduksi biosurfaktan dibandingkan dengan bakteri H. truperi. Produksi biosurfaktan yang
dihasilkan oleh bakteri R. bacterium sebesar 0,7047 g/L. Isolat bakteri R. bacterium dapat menurunkan
tegangan permukaan dari 40,80 mN/m hingga mencapai 30,09 mN/m, kemampuan menurunkan hingga
30,09 mN/m sehingga biosurfaktan yang di produksi bakteri ini dapat digunakan sebagai akselerator
biodegradasi hidrokarbon pencemaran minyak bumi di laut.
Kata kunci: biosurfaktan bakteri laut hidrokarbonoklastik, akselerasi biodegradasi crude oil
ABSTRACT
Pollution has occurred on landwater and seawater caused by oil spills from petroleum hydrocarbons.
Numerous attempts have been made, one of which is the addition of synthetic surfactant compounds into
the water. The use of synthetic surfactants is apparently going to be waste that causes damage to the
environment, so it takes effort to menaggulanginya. This research aims to know the potential of marine
hidrokarbonoklastik bacteria (Halobacillus trueperi and Rhodobacteraceae bacterium) in producing
biosurfactant. The research is divided into 5 treatments, namely control (Petroleum Media and Media Oil
Jelantah), Petroleum Halobacillus trueperi Media, Media Rhodobacteraceae bacterium Petroleum Oil
Media Jelantah Media trueperi and Halobacillus Oil Jelantah Rhodobacteraceae bacterium. Parameters
measured is the diameter of the clear zone (biosurfaktan-producing bacteria test) weights, weights biomass
sludge acid, and surface tension (biosurfaktan production). The results showed r. bacterium with carbon
jelantah oil biosurfaktan producing more potent than the bacteria h.. truperi. Biosurfaktan productions
produced by r. bacterium of 0,7047 g/l. Isolates of bacteria r. bacterium can lower the surface tension of
40,80 mN/m until you reach 30,09 mN/m, ability to 30,09 mN/m so that the biosurfaktan in the production
of these bacteria could be used as an accelerator of hydrocarbon biodegradation of oil pollution at sea.
Keywords: biosurfactant, marine bacteria hidrocarbonoklastik, acceleration biodegradation
hidrocarbon
97
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
I. PENDAHULUAN
Surfaktan merupakan senyawa komplek yang
terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga
bersifat larut dalam air maupun minyak (Bica dkk.,
1999; Vater dkk., 2002). Sifat tersebut menyebabkan
surfaktan memiliki kemampuan menurunkan
tegangan permukaan cairan (surface tension).
Kemampuan ini dapat diaplikasikan dalam berbagai
bidang diantaranya bidang farmasi, industri dan
lingkungan (Mishra dkk., 2009; Dehghan dkk.,
2008; Nitschke dkk., 2002; Schramm dkk., 2000;
Ni’matuzahroh dkk., 2006)
Di bidang lingkungan khususnya lingkungan
perairan laut, surfaktan digunakan sebagai
akselerator proses biodegradasi hidrokarbon
untuk penanggulangan pencemaran minyak di
laut (Ni’matuzahroh dkk., 2006). Jenis surfaktan
yang banyak digunakan dalam penanggulangan
ini adalah surfaktan sintetik. Surfaktan sintetik
setelah digunakan akan menjadi limbah yang sukar
terdegradasi sehingga berdampak pada kerusakan
lingkungan. Adanya permasalahan inilah yang
menyebabkan diperlukan suatu alternatif surfaktan
yang mudah terdegradasi sehingga lebih ramah
lingkungan.
Biosurfaktan merupakan jenis surfaktan yang
dihasilkan oleh mikroorganisme bersifat alami, dan
lebih ramah lingkungan. Biosurfaktan mempunyai
sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, namun lebih
rendah tingkat toksisitasnya dan mudah terurai secara
biologi. Oleh sebab itu penggunaan surfaktan jenis
biosurfaktan mendapat perhatian sebagai teknologi
alternatif dalam mempercepat proses biodegradasi
hidrokarbon minyak bumi. Selain itu, biosurfaktan
juga lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan
sintetik (Christova dan Ivshina, 2002).
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,
mikroorganisme yang mempunyai kemampuan
menghasilkan biosurfaktan adalah jenis bakteri
laut hidrokarbonoklastik. Bakteri ini adalah bakteri
yang ditemukan di lingkungan perairan laut yang
tercemar minyak dan mempunyai kemampuan untuk
mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi
(Nugroho, 2006). Kemampuan biosurfaktan dalam
mempercepat proses biodegradasi hidrokarbon
minyak bumi dapat dilihat dari kemampuan senyawa
ini dalam menurunkan tegangan permukaan (Hidayati
dkk., 2011; Kasai dkk., 2001). Suatu jenis surfaktan
98
dikatakan efektif apabila dapat menurunkan tegangan
permukaan mencapai ≤35 mN/m (Mulligan dkk.,
2004).
Bacillus megaterium merupakan bakteri yang
ditemukan di perairan yang tercemar minyak dari
sedimen mangrove Cilacap Jawa Tengah. Bakteri
ini terbukti menghasilkan biosurfaktan ≥ 2,5 gr/L,
mampu menurunkan tegangan permukaan mencapai
28,38 mN/m juga terbukti dapat mempercepat proses
biodegradasi Polyaromatic Aromatic Hydrokarbon
(PAH) yaitu fluorene hingga 230% (Hidayati dkk.,
2011). Berdasarkan hasil penelitian Hidayati dkk.,
2011 tersebut maka perlu dilakukan penelitian
mengenai bakteri lain yang diisolasi di perairan
yang sama dengan bakteri tersebut. Dua jenis bakteri
telah diisolasi dari perairan yang sama dengan B.
megaterium yaitu H.trueperi dan R.bacterium.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah kedua
bakteri tersebut juga memiliki potensi yang sama
dalam produksi biosurfaktan sebagai pemercepat
biodegradasi hidrokarbon minyak bumi
Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan
bakteri uji yang berpotensi memproduksi biosurfaktan.
Juga untuk mengetahui besar biosurfaktan yang
dihasilkan dari bakteri terpilih, dan mengetahui
kemampuan biosurfaktan tersebut dalam menurunkan
tegangan permukaan. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat sebagai bahan acuan mengenai
bakteri yang dapat memproduksi biosurfaktan
dan selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu alternatif teknologi sebagai akselerator proses
bioremediasi hidrokarbon minyak bumi.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dua jenis bakteri laut hidrokarbonoklastik
H. trueperi dan R. bacterium hasil isolasi dari
sedimen mangrove Cilacap, Jawa Tengah yang
terkontaminasi minyak bumi (Syakti dkk., 2008).
Terhadap kedua bakteri ini dilakukan pengujian untuk
menentukan bakteri penghasil biosurfaktan yang
terbaik. Setelah medapatkan bakteri terbaik maka
bakteri inilah yang akan digunakan untuk studi lebih
lanjut untuk memproduksi biosurfaktan. Sebagai
sumber hidrokarbon digunakan crude oil dan minyak
jelantah. Pada penelitian ini juga menggunakan
Mineral Salt Medium (MSM) untuk adaptasi bakteri
pada media uji.
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi
(Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
B. Metode
Metode penelitian ini terdiri dari dua tahapan,
tahapan pertama yaitu metode uji potensi bakteri
penghasil biosurfaktan dan yang kedua yaitu metode
produksi biosurfaktan. Rancangan Penelitian ini
menggunakan metode eksperimental. Dua perlakuan
dari organisme uji dan 2 perlakuan dari media uji.
Perlakuan ini masing-masing diulang sebanyak 6
kali. Faktor penelitian ini meliputi sumber karbon
dan jenis bakteri:
Kontrol : Media+M. bumi dan Media+M. Jelantah
P1B1 : Media+M. Bumi+H. trueperi
P1B2 : Media+M. Bumi+R. bacterium
P2B1 : Media+M. Jelantah+H. trueperi
P2B2 : Media+M. Jelantah+R. bacterium
kultur adaptasi kedua dan 300 mL medium MSM
serta penambahan sumber karbon (crude oil dan
minyak jelantah) 2%. Selanjutnya diinkubasi pada
waterbath shaker dengan suhu 37°C selama 48 jam.
Kultur mikroba yang telah teradaptasi ini selanjutnya
digunakan untuk uji produksi biosurfaktan.
3. Uji Pendahuluan Produksi Biosurfaktan
a. Oil Spreading Test
Uji ini adalah uji untuk mendeteksi awal bakteri
penghasil biosurfaktan, Uji ini dilakukan dengan
memasukan 50 mL akuades steril ke cawan petri,
kemudian ditambahkan 20 μl crude oil. Selanjutnya
ditambahkan 10 μl supernatant dari adaptasi 3. Zona
bening yang terbentuk kemudian diukur dan dihitung
dengan menggunakan rumus ODA (Oil Displacement
Area) (Morikawa dkk., 2000):
1. Penyegaran dan Kultivasi Isolat Bakteri
Penyegaran bakteri dilakukan melalui
pengenceran dengan larutan NaCl 0,85%. Bakteri
hasil pengenceran dikultivasi pada media marine
agar untuk perbanyakan. Sedangkan peremajaan
dilakukan dengan cara memindahkan kultur bakteri
hasil kultivasi ke dalam medium marine agar miring
dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
Kultivasi dilakukan dengan menambahkan 3 ose
kultur bakteri pada medium marine broth 100 mL,
kemudian diinkubasi pada waterbath shaker pada
suhu 37°C selama 48 jam, setelah itu dilakukan
adaptasi.
2. Adaptasi bakteri dengan media uji
Adaptasi bakteri dilakukan melalui tiga tahapan.
Adaptasi pertama dengan menambahkan 50 mL
kultivasi bakteri dan 50 mL Mineral Salt Medium
(MSM) pada erlenmeyer 250 mL dengan komposisi:
(g/L) NaNO3 15, KH2PO4 3.4, K2HPO4 4.4, KCl
1.1, MgSO 4 .7H 2 O 0.5, FeSO 4 .7H 2 O 0.00028,
NaCl 1.1, Glukosa 20, Yeast ekstrak 0.5 dan 0.5
mL larutan trace element berisi (g/L) CaCl2.4H2O
0.24, CuSO4.5H2O 0.25, MnSO4.5H2O 0.17, ZnSO4
.7H 2O 0.29. Adaptasi kedua dilakukan dengan
menambahkan 25 mL kultur adaptasi pertama dan
75 mL medium MSM serta penambahan 1% sumber
karbon (crude oil dan minyak jelantah). Selanjutnya
diinkubasi pada waterbath shaker dengan suhu 37°C
selama 36 jam dengan kecepatan 120 rpm. Adaptasi
ketiga dilakukan dengan menambahkan 100 mL
22
x (r ) 2
7
r diameter zona bening
ODA (cm 2 )
Setelah zona bening terbentuk dilakukan skoring
berdasarkan Techaoei dkk., (2011) diantaranya
sebagai berikut :
-
: tidak terbentuk zona bening
+
: zone baning 0,1-3,14 cm2
++
: zona bening 3,14-12,57 cm2
+++
: zona bening 12,57-28,28 cm2
++++ : zona bening > 28,28 cm2
b. Kondisi Lingkungan Pertumbuhan Bakteri
Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan
kondisi pertumbuhan optimal, yaitu dilakukan pada
kondisi pH 6.0, 7.0, dan 8,0, suhu ruang dan suhu
37°C, dan salinitas 20 ‰, 30 ‰.
c. Kurva Pertumbuhan
Tahapan dilakukan secara duplo dan diamati setiap
12 jam yang dimulai pada jam ke-0. Pengamatan
dilakukan hingga diperoleh fase stasioner dengan
menghitung populasinya menggunakan metode Total
Plate Count (TPC).
4. Produksi Biosurfaktan
Tahapan ini dilakukan dalam erlenmeyer sekali
unduh dalam fermentor kapasitas 6 L untuk volume
kerja 4 L, prosesnya menggabungkan medium MSM
3,5 L dan prosentase inokulasi biakan bakteri serta
99
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
sumber karbon 2% dari total kultur produksi tersebut,
kemudian ditumbuhkan hingga 96 jam (mengacu
pada kurva pertumbuhan). Pengamatan dilakukan
pada jam ke-0 hingga jam ke-96.
a. Ekstraksi Biosurfaktan
Cairan fermentasi sebanyak 100 mL disentrifugasi
selama 20 menit pada suhu 4oC dan kecepatan 8.000
rpm untuk memisahkan cairan media, supernatant
dan pellet (biomasa sel). Kemudian cairan supernatan
diasamkan dengan larutan HCl 10 N sampai pH
menjadi 2 dan disimpan pada suhu 4oC selama 12
jam. Selanjutnya larutan disentrifugasi kembali pada
suhu 4oC dan kecepatan 11.000 rpm selama 20 menit.
Setelah sentrifugasi berjalan membentuk pellet atau
endapan asam, pellet tersebut dikeringkan dalam
oven suhu 45oC sampai kering hingga diperoleh
bobot konstan biosurfaktan. Kemudian endapan kasar
biosurfaktan ditimbang dimana bobot endapan asam
(Y) dapat di peroleh dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Hidayati dkk,. 2011):
Y
g
l
a b g x 10 2
volume contoh (ml )
a = bobot tabung berisi endapan asam
b = bobot kosong tabung
b. Tegangan permukaan (Surface tension)
Pengukuran tegangan permukaan dilakukan
dengan menggunakan Processor Tensiometer
(Krüss) yang dilengkapi dengan ring plate (Kim
dkk., 2000).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan
Hasil oil spreading (Tabel 1) menunjukkan
kedua kultur isolat bakteri H. truperi dan R.
bacterium yang diteteskan pada lapisan minyak dan
air dapat membentuk zona bening pada berbagai
media sumber karbon. Hasil oil spreading kultur
isolat bakteri H. truperi dan R. bacterium dapat
membentuk zona bening 24.64 cm dan 45.38 cm
pada media dengan sumber karbon minyak jelantah
sedangkan pada media dengan sumber karbon crude
oil membentuk zona bening sebesar 1.54 cm dan 2.55
cm. Hasil ini berbeda dengan kontrol, yang mana
100
tidak terbentuk zona bening. Hal ini disebabkan
karena pada zona bening masing-masing kontrol
tidak adanya penambahan isolat bakteri ke dalam
media uji, sehingga tidak ada aktifitas bakteri guna
memanfaatkan sumber karbon dalam memproduksi
biosurfaktan. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 1)
kultur bakteri R. bacterium dapat membentuk zona
bening terlebar dengan skoring (****) pada sumber
karbon minyak jelantah dan skoring (***) pada
sumber karbon crude oil. Faktor yang mempengaruhi
produksi biosurfaktan diantaranya adalah kemampuan
bakteri dalam mensintesis hidrokarbon yang dapat
dilihat dari terbentuknya zona bening. Berdasarkan
pernyataan diatas bakteri R. bacterium memiliki
kemampuan menghasilkan biosurfaktan yang lebih
besar dibandingkan dengan bakteri H. truperi.
Hasil oil spreading menunjukkan bahwa kedua
kultur isolat bakteri uji H. truperi dan R. bacterium
yang diteteskan pada lapisan minyak dan air dapat
membentuk zona bening pada berbagai media sumber
karbon (Gambar 1).
Sementara itu hasil oil displacement area (ODA)
menjelaskan bahwa media dengan sumber karbon
minyak jelantah pada kedua bakteri uji membentuk
zona bening lebih besar yaitu 94-95% dari pada
media dengan sumber karbon crude oil. Sumber
karbon sangat penting dalam produksi biosurfaktan.
Dari beberapa hasil penelitian mengenai produksi
biosurfaktan dengan berbagai sumber karbon berbeda
dapat menghasilkan zona bening yang berbeda juga
(Techaoei, 2011), dan penggunaan sumber karbon
yang berbeda dapat menghasilkan biosurfaktan yang
berbeda juga (Hidayati dkk., 2011; Robert dkk.,
dalam Prastikasari, 2000).
Dalam biosintesis biosurfaktan selain faktor
kemampuan bakteri ada beberapa faktor lain
yang mempengaruhi pembentukan biosurfaktan
yaitu lingkungan, nutrien, dan sumber karbon.
Pembentukan struktur gugus hidrofilik (karbohidrat,
asam amino, peptida siklik, alkohol) dan hidrofobik
(asam lemak rantai panjang, asam lemak hidroksi)
pada berbagai jenis biosurfaktan tergantung pada
sumber karbon yang ada. Gugus-gugus ini disintesis
oleh bakeri melalui dua jalur metabolisme, yaitu jalur
kabohidrat dan jalur lemak (hidrokarbon) (Desai
dan Banat, 1997). Sumber karbon yang ada pada
media pertumbuhan bakteri akan digunakan untuk
kebutuhan hidup sehingga akan terjadi perubahan
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi
(Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
Tabel 1
Hasil uji oil spreading oleh bakteri laut H. truperi dan R. bacterium pada dua media
Media
MSM+M.Jelantah
MSM+M.Crude Oil
Diameter Zona Bening (cm)
U1
U2
U3
U4
U5
U6
Rata-rata
oil displacement area
2
(ODA)(cm )
H. truperi
4.8
5.7
4.9
5.5
6.5
5.7
5.5
24.64***
R. bacterium
5.9
7.3
8.6
8.3
7.5
8
7.6
45.38****
Kontrol
0
0
0
0
0
0
0
0
H. truperi
0.9
1.6
1.7
1.1
1.6
1.2
1.4
1.54*
R. bacterium
2
2.3
2
2
1.9
1.5
1.95
2.55***
Kontrol
0
0
0
0
0
0
0
0
Jenis Isolat Bakteri
Keterangan skoring: tidak terbentuk zona bening = -, diameter zona bening 0,1-3,14 cm2 = *, diameter zona bening 3,14-12,57 cm2 = **,
diameter zona bening 12,57-28,28 cm2 = *** diameter zona bening > 28,28 cm2 = **** (Techaoei dkk., 2011)
sumber karbon yang ada menjadi energi dan senyawa
metabolit sekunder (biosurfaktan) dengan melalui
dua jalur pembentukan tersebut.
Selain dua jalur diatas beberapa peneliti juga
menggolongkan pembentukan gugus hidrofobik
dan hidrofilik pada biosurfaktan dalam mensitesis
senyawa hidrokarbon (de novo synthesis) yaitu
(Sineriz dkk., 2010):
1. Bagian hidrofilik dan hidrofobik disintesis secara
de novo yaitu oleh dua jalur metabolisme
2. Bagian hidrofilik disintesis de novo dan bagian
hidrofobik disintesis oleh substrat
3. Bagian hidrofobik disintesis oleh de novo dan
bagian hidrofilik disintesis oleh substrat
4. Bagian hidrofilik dan hidrofobik disintesis oleh
substrat yang digunakan.
Dari hasil oil displacement area (ODA)
menjelaskan bahwa kedua kultur bakteri uji dengan
sumber karbon minyak jelantah membentuk zona
bening lebih besar yaitu 94-95% dari pada kultur
dengan sumber karbon crude oil. Hidrokarbon
pada minyak jelantah lebih cepat dimanfaatkan
oleh masing-masing bakteri uji untuk kebutuhan
hidup dibandingkan dengan crude oil. Hal ini
disebabkan rantai hidrokarbon pada minyak jelantah
lebih dominan tersusun dari rantai karbon panjang
bercabang namun tidak rangkap (Prastikasari,
2000). Kondisi ini lebih mudah terdegradasi oleh
bakteri R. bacterium dan H. truperi daripada crude
oil yang sebagian besar rantai karbonnya tersusun
oleh rantai panjang bercabang dan berikatan
rangkap membentuk cincin dengan 3 ikatan rangkap
(hidrokarbon aromatik) (Syakti, 2004; Nugroho,
2006). Kompleksnya struktur ini menyebabkan crude
Gambar 1
Diagram oil displacement area (oda) (cm2) bakteri
hidrokarbonoklastik pada media tumbuh dan
sumber karbon yang berbeda
oil yang terdegradasi membutuhkan waktu cukup
lama karena ikatan rangkap yang panjang, sehingga
dengan waktu inkubasi yang sama dan sumber karbon
berbeda menghasilkan produksi biosurfaktan yang
berbeda pula.
B. Produksi Biosurfaktan
1. Ekstraksi biosurfaktan dan bobot biomasa sel
Produksi biosurfaktan dilakukan setelah
mendapatkan umur optimum pertumbuhan bakteri
R. bacterium melalui kurva pertumbuhan yaitu pada
jam ke-48. Berdasarkan hasil pengamatan produksi
biosurfaktan menunjukkan bahwa peningkatan
produksi biosurfaktan berbanding lurus dengan
peningkatan biomasa sel isolat bakteri R. bacterium
(Gambar 2). Peningkatan terjadi pada jam ke-0
sampai jam ke-12 kemudian diikuti sedikit penurunan
101
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
hingga jam ke-24. Penurunan ini disebabkan sedang
terjadinya penyesuaian bakteri dengan kondisi
lingkungan pada media tumbuh, sehingga pada jam
tersebut isolat bakteri R. bacterium berada pada fase
adaptasi. Pada fase ini energi yang di dapat biasanya
hanya digunakan untuk melakukan adaptasi terhadap
lingkungan. Kondisi ini berkorelasi positif terhadap
hasil ektraksi endapan asam (biosurfaktan), terlihat
dari hasil pengukuran pada jam ke-0 hingga jam ke12 menunjukkan tidak diperolehnya endapan asam.
Bobot sel dan endapan asam bakteri mulai
meningkat stabil dari jam ke-24 sampai jam ke60. Waktu yang ditempuh R. bacterium dalam
meningkatan bobot biosurfaktan terjadi pada jam
ke-24 bersamaan dengan meningkatnya populasi
bakteri. Pada jam ke-24 hingga jam ke-60 kenaikan
bobot biomasa dan endapan asam terus berlangsung,
hingga diperoleh bobot biomasa dan endapan
asam maksimum (jam ke-60) sebesar 0,059 g/L
dan 0,7047 g/L. Kestabilan peningkatan bobot
biosurfaktan ini terjadi sejalan dengan waktu kurva
tumbuh bakteri memasuki fase eksponensial yang
diperoleh saat pembuatan kurva pertumbuhan.
Kadarwati dan Leni (2008) menegaskan bahwa,
pada saat bakteri memasuki fase eksponensial maka
produksi biosurfaktan mulai meningkat stabil. Hasil
pembentukan endapan asam selama pertumbuhan
bakteri (Gambar 2) menunjukkan bahwa, dengan
meningkatnya bobot biomassa maka meningkat pula
endapan asam yang diperoleh. Konsentrasi endapan
asam mulai meningkat setelah jam ke-12 hingga
jam ke-60, selanjutnya relatif konstan. Kosentrasi
endapan asam maksimum bakteri dicapai pada
jam ke-60 bersamaan dengan tercapainya biomasa
maksimum. Hal ini menunjukkan pola peningkatan
produksi yang seiring dengan peningkatan biomassa.
Berdasarkan hasil ini produksi biosurfaktan mengikuti
pola pembentukan produk yang berasosiasi dengan
pertumbuhan.
2. Ekstraksi biosurfaktan dan tegangan
permukaan
Kemampuan suatu bakteri sebagai akselerator
proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi
dapat dilihat dari kemampuan biosurfaktan dalam
menurunkan tegangan permukaan (Hidayati dkk.,
2011; Nugroho, 2006; Ni’matuzaroh dkk., 2006).
Tegangan permukaan dapat dijadikan parameter
untuk memprediksi biosurfaktan yang dihasilkan
oleh bakteri selama masa pertumbuhan (Morikawa
102
Gambar 2
Kurva biomasa sel dan
produksi biosurfaktan isolate bakteri R. bacterium
selama pertumbuhan pada media dengan sumber
karbon minyak jelantah
Gambar 3
Kurva tegangan permukaan biosurfaktan oleh
bakteri R. bacterium selama masa pertumbuhan
dkk., 2000). Nilai tegangan permukaan berkorelasi
dengan tingginya biosurfaktan yang dihasilkan oleh
media kultivasi.
Tegangan permukaan adalah usaha yang
dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan
per satuan luas. Tegangan permukaan merupakan
suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan
suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya
kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Hasil
pengukuran tegangan permukaan (Gambar 3) media
biak bakteri R. bacterium mengalami penurunan dari
40,8 mN/m menjadi 31,09 mN/m dan memproduksi
biosurfaktan 0 g/L sampai 0,7047 g/L. Penurunan
ini terjadi karena media biakan bakteri R. bacterium
mulai menghasilkan senyawa ekstraselular yang
mempunyai sifat aktif permukaan (biosurfaktan).
Manfaat Surfaktan dari Bakteri Laut Hidrokarbonoklastik untuk Akselerator Proses Hidrokarbon Minyak Bumi
(Durrotun Najiyah, Nuning Vita Hidayati dan Cut Nanda Sari)
Biosurfaktan tersusun atas gugus hidrofobik
dan hidrofilik pada molekulnya dan memiliki
kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara
dua fase yang berbeda derajat polaritasnya (Nitschke
dan Pastore, 2002).
Biosurfaktan mampu menurunkan tegangan
permukaan diantara dua fase. Sifat kepolaran yang
berbeda diantara kedua fase mengakibatkannya
tidak dapat saling terlarut, dengan adanya molekul
surfaktan yang memiliki kecenderungan terhadap
kedua fase tersebut maka keduanya dapat saling
bercampur. Molekul-molekul cairan yang ada
dipermukaan mengalami resultan gaya ke arah
dalam badan cairan. Hal ini mengakibatkan molekulmolekul tersebut cenderung menekan atau berdesakan
ke dalam menghindari permukaan, dimana molekulmolekul di dalam cairan mengalami resultan gaya
yang seimbang. Adanya kecenderungan ke dalam
badan cairan menghasilkan gaya, besar daya yang
diperlukan untuk memecah permukaan cairan
sehingga terbentuk satu luasan baru pada permukaan
disebut dengan tegangan permukaan (Vater dkk.,
2002).
Molekul-molekul non polar tidak mampu
menyeimbangkan gaya molekul pada permukaan
cairan polar sehingga terdapat batas antara cairan
polar dan non polar. Pada gugus polarnya biosurfaktan
menyeimbangkan gaya molekul permukaan cairan
dan rantai nonpolarnya mengarah pada molekulmolekul hidrofobik. Setiap molekul dalam cairan
mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari
molekul tetangga. Molekul yang berada di permukaan
cairan mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat
di tiga arah gaya lainnya.
Setelah jam ke-60 sampai jam ke-72 penurunan
tegangan permukaan tidak begitu signifikan yaitu
dari 31,09 mN/m sampai 30,39 mN/m. Penurunan
yang tidak signifikan menandakan bahwa pada jam
tersebut tegangan permukaan mencapai konsentrasi
misel kritis. Konsentrasi misel kritis merupakan
kelarutan surfaktan dalam fase cair atau kosentrasi
minimum yang dibutuhkan untuk mencapai nilai
tegangan permukaan. Penurunan tegangan permukaan
akibat penambahan biosurfaktan hanya terjadi
sampai tercapainya konsentrasi-konsentrasi misel
kritis. Hal ini di buktikan pada jam ke-60 (Gambar
3) diperkirakan mencapai masa Critical Micelle
Concentration dengan produksi biosurfaktan
maksimal. Pada jam ke-72 biosurfaktan yang
dihasilkan menurun, akan tetapi tegangan permukaan
yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan surfaktan
yang dihasilkan pada jam ke-60 yang mencapai
maksimal. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan
Karsonic dkk., (1987) dimana kosentrasi misel
kritis menjadi jenuh dengan biosurfaktan, sehingga
penambahan biosurfaktan di atas kosentrasi misel
kritis tidak secara nyata menurunkan tegangan
permukaan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kedua bakteri uji yaitu bakteri H. truperi dan
R. bacterium memiliki kemampuan memproduksi
biosurfaktan yang di tandai dengan terbentuknya
zona bening pada uji Oil Spreading Test. Selanjutnya
dari kedua isolat bakteri, bakteri R. bacterium
dengan sumber karbon minyak jelantah lebih
berpotensi memproduksi biosurfaktan lebih tinggi
dibandingkan dengan bakteri H. truperi karena zona
bening yang di bentuk lebih lebar berdasarkan uji
Oil Spreading Test, dan menunjukkan hasil produksi
biosurfaktan sebesar 0,7047 g/L. Isolat bakteri R.
bacterium dapat menurunkan tegangan permukaan
dari 40,80 mN/m hingga mencapai 30,09 mN/m,
kemampuan menurunkan hingga 30,09 mN/m dapat
diartikan biosurfaktan yang di produksi bakteri ini
dapat digunakan sebagai akselerator biodegradasi
hidrokarbon pencemaran minyak bumi di laut.
B. Saran
Saran terhadap penelitian ini adalah perlu adanya
penelitian lebih lanjut mengenai karakteristrik
biosurfaktan dari R. bacterium.
KEPUSTAKAAN
1. Bica F.C., L.C. Fleck and M.A. Zachio. 1999.
Production of Biosurfactant by Hydrocarbon
Degrading Rhodococcus rubber and Rhodococcus
erythropolis. J. Microbiol, 30: 231-236.
2. Christova, N., Ivshina, I.B. 2002. Microbial
Surfactants and Their Use in Field Studies of Soil
Remediation. J. Applied Microbiol., 93: 915-929.
3. Dehghan, G., Behravan, dan Moshafi. 2008.
Studies on Biosurfactants Production by Bacillus
licheniformis Iran. Pharmaceutics Research Center,
Kerman University of Medical Sciences.
103
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 97 - 104
4. Desai, JD., Banat, IM. 1997. Microbial Production
of Surfactants and Their Comersial Potential.
Microbiology and Molecular Biology Review, 61:
47-64.
5. Hidayati , N. V., Endang, H., Abdul, H., Hefni, E.,
Michel, G., Pierre, D., Agung D. S. 2011. Fluorene
Removal by Biosurfactants Producing Bacillus
megaterium. Waste and Biomass Valorization. 2: 415422.
6. Kadarwati, S., Leni, H. 2008. Effect Of Biosurfactant
Produced By Bacillus In Oily Wastewater Degradation.
Lemigas Research and Development Centre for Oil
and Gas Technology. 31 (3) : 40-41.
7. Kasai, Y., Kishira, H., Syutsubo, K., Harayama,
S. 2001. Molecular detection of Marine Bacterial
Popullations on Beaches Contaminated by The
Nakhodka Tanker Oil-spill Accident. Environ
Microbiol, 3: 46-55.
8. Kim S, Lim E, Lee S, Lee J, dan Lee T. 2000.
Purification and Characterization of Biosurfactants
from Nocardia sp. L-417. Biotechnology and Applied
Biochemistry 31: 249-253.
9. Kosaric, N. 1992. Biosurfactants in Industry. Pure
and Appl. Chem, 64: 1731-1737.
10. Mishra, M., Muthuprasanna, Surya, Sobhita,
Satish, Sarath, G.Arunachalam and Shalini. 2009.
Basics and Potential Applications of Surfactants-A
Review. International Journal of PharmTech Research.
1: 1354-1365.
11. Morikawa, Hirata Y, Imanaka T. 2000. A Study
On The Structure Function Relationship Of The
Lipopeptide Biosurfactants. Biochim Biophys Acta.
1488: 211-218.
12. Mulligan, C.N. and Bernard F. Gibbs. 2004. Types,
Productiont Applications of Biosurfactants. Proc.
Indian Natn Sci Acad. 1; 31-55.
13. Ni’matuzahroh, Arif Y., dan Mulyadi, T. 2006.
Studi Perbandingan Biosurfaktan pseudomonas
aeruginosa Ia7d dan Surfaktan Sintetik tween-80
dalam Biodegradasi Solar oleh Mikroba Perairan
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Berk. Penel.
Hayati: 12:13-18.
104
14. Nitschke, M. and Pastore, G. M., 2002. Biosurfactants:
Properties and Applications. Quim. Nova; 25; 772776.
15. Nugroho, Astri. 2006. Bioremediasi Hidrokarbon
Minyak Bumi. Graha Ilmu Yogyakarta. Yogyakarta.
158 hal.
16. Prastikasari, R. 2000. Pengaruh Hidrokarbon
Sebagai Sumber Karbon Terhadap Pertumbuhan,
Produksi Rhamnolipid serta Aktivitas Degradasi
Hidrokarbon Oleh Pseudomonas aeruginosa. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
17. Schramm, L. L, Elaine N. S. and Gerrard M. 2000.
Surfactants and Their Applications. Annu. Rep. Prog.
Chem., Sect. C. 99: 3-48.
18. Sineriz, F., Hommel, K.R., Kleber, P.H. 2010.
Production of Biosurfactants. Biotechnology, 5.
19. Syakti, A.D. 2004. Biotransformation des
hydrocarbures pétroliers et effets sur les acides gras
phospholipidiques des bactéries hidrocarbonoclastes
marines. Thése-Doctorat. Université Paul Cezzanne
Aix Marseille III. 220p.
20. Syakti AD., Hidayati, N.V,. Yani, M., Sidiana, I.M.
2008. PAH-Degaders Marine Bacteria Isolated From
Chronically Contamined Sediment by Petroleum
Hydrocarbons. Seminar Nasional Perhimpunan
Mikrobiologi Indonesia (PERMI).
21. Techaoei S., P., Lumyong, S., Prathumpai, W.,
Santiarwan, D., Leelapornpisid, P. 2011. Screening
Characterization and Stability of Biosurfactant
Produced by Pseudomonas aeruginosa SCMU106
Isolated From Soil in Northern Thailand. Asian
Journal of Biological Sciences, 4 (4): 340-351.
22. Vater J, Kablitz B, Wilde C, Franke P, Mehta N, and
Cameotra SS. 2002. Matrix assisted Laser Desorption
Ionization-time of Flihgt Mass Spectrometry of
Lipopeptide biosurfactant in Whole Cell and Culture
Filtrates of Bacillus subtilis C-1 Isolated from
Petroleum Slude. J. Appl. Environ. Microbiol 68:
6210-6219.
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi
(Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber
Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada
Industri Gas Bumi
Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: [email protected]; [email protected]; [email protected];
[email protected]
Teregistrasi I tanggal 13 Maret 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal 19 Agustus 2013
Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
ABSTRAK
Penelitian pembuatan adsorber merkuri dalam skala pilot telah dilakukan melalui tiga tahap yaitu
aktivasi adsorben karbon aktif tempurung kelapa dalam skala besar, pembuatan alat pilot adsorber merkuri
berskala pilot dan uji kinerja alat untuk mengetahui kemampuan penyerapan adsorben terhadap merkuri.
Aktivasi karbon aktif tempurung kelapa dilakukan pada temperatur tinggi menggunakan activator ZnCl2.
Adsorber merkuri berskala pilot dibuat dari bahan stainlessteel yang terdiri dari separator dan dua adsorber.
Uji kinerja alat dilakukan dengan mengukur konsentrasi merkuri dalam gas bumi sebelum dan sesudah
melewati kolom adsorber. Hasil uji kinerja alat selama sekitar 9 jam menunjukkan adanya penurunan
konsentrasi merkuri dengan efisiensi penyerapan adsorben hampir mencapai 100% pada tekanan gas 100
psia, temperatur 37oC dan laju alir gas 50 Cuft/jam.
Kata Kunci: adsorber, merkuri, gas bumi.
ABSTRACT
Research of pilot plan mercury adsorber has been done by three stages, firstly was activation of coconut
shell as activated carbon on a large scale, secondly was designed a pilot plan of mercury adsorber and
the last stage was performance test to determine the ability of the adsorbent to absorb mercury. Coconut
shell activated carbon was activated at high temperature using ZnCl2 as activator. However, the pilot
plan mercury adsorber was designed with stainlessteel material consisting separator and two adsorbers.
The performance test of was done by measuring the concentration of mercury in gas before and after the
adsorption column approximately 9 hours. The test condition as follows; gas pressure 100 psia, temperature
of 37°C and the gas flow rate 50 CUFT/hour. The test result showed the mercury concentration was decrease
significantly with the efficiency of mercury absorption almost 100%.
Keywords: adsorber, mercury, natural gas.
I. PENDAHULUAN
Gas bumi yang dihasilkan dari berbagai lapangan
gas biasanya mengandung senyawa berbahaya seperti
CO2, H2S, RSH, COS termasuk pula merkuri (Hg)
[Radisav]. Kontaminan yang terikut dalam gas bumi
memiliki potensi menurunkan kualitas gas bumi dan
dapat merusak peralatan yang digunakan pada saat
proses produksi gas bumi. Merkuri (Hg) merupakan
salah satu kontaminan dalam gas bumi yang harus
dieliminasi karena sifatnya yang merugikan,
yang dapat menginisiasi korosi, meracuni katalis,
merusak peralatan, membahayakan kesehatan dan
lingkungan [Oil & Gas]. Untuk mengatasi dan
meminimalkan bahaya dalam pemanfaatan gas
bumi baik sebagai bahan bakar maupun bahan
baku industri, maka permasalahan tersebut harus
diatasi dengan pengembangan teknologi adsorpsi
adsorben menggunakan alat penghilang merkuri.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penelitian
sebelumnya mengenai Rancang Bangun Adsorben
Mercury Removal, hasilnya terbukti secara signifikan
mampu menyerap merkuri cukup besar [Lisna].
105
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
Permasalahannya adalah penelitian yang telah
dilakukan masih dalam skala laboratorium.
Dari hasil penelitian sebelumnya,data
menunjukkan bahwa adsorben dengan kondisi ukuran
70 mesh, yang direndam dengan activator ZnCl2
setelah pengaktifan pada suhu 700oC menghasilkan
prosentasi Cl yang lebih tinggi. Data ini menjelaskan
pula bahwa selain pengaruh luas permukaan dan
pori, jumlah Cl yang terbentuk dan terikat pada
rancai C adsorben dari hasil perendaman ZnCl2 turut
mempengaruhi kemampuan adsorben karbon aktif
tersebut dalam menurunkan konsentrasi merkuri
(Hg) [Zeng].
Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini
adalah karbon (arang) komersial yang berasal dari
material tempurung kelapa yang diaktifkan melalui
suatu proses pengaktifan fisika dan kimia, sehingga
menjadi karbon aktif yang dapat dimanfaatkan
sebagai adsorben untuk mengeliminasi kandungan
merkuri (Hg) dalam gas bumi [Kismurtono]. Karbon
aktif adalah arang yang diproses sedemikian rupa
sehingga mempunyai daya serap/adsorpsi yang
tinggi [Jankowska,Kismurtono]. Karakterisasi
dilakukan setelah pengaktifan karbon dilakukan,
diantaranya adalah analisa bilangan iodine untuk
mengetahui kemampuan adsorben dalam penyerapan
merkuri. Selanjutnya karakterisasi pengukuran luas
permukaan dan pori dari adsorben. Karakterisasi
adsorben karbon aktif lainnya adalah analisa SEM
(Scanning Electron Microscopy) dan EDX (Energy
Dispersive X-ray). Hasil analisa SEM dan EDX
tersebut menjelaskan bahwa besarnya jumlah
prosentasi Cl yang terbentuk atau terikat pada rantai
C dari adsorben turut mempengaruhi besarnya
kemampuan adsorben dalam menurunkan konsentrasi
merkuri (Hg) dalam gas.
Hingga saat ini industri gas bumi di Indonesia
mengharapkan adanya rancang bangun adsorben
penghilang merkuri dalam skala pilot plant. Untuk
itu suatu kajian rancang bangun pilot plant adsorben
penghilang merkuri untuk gas bumi, sangat penting
dilakukan untuk mendapatkan alternatif adsorben
Hg removal gas bumi yang dapat digunakan oleh
industri migas. Kegiatan yang dilakukan ini sesuai
dengan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun
2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
beracun, yang mengamanatkan agar mendapatkan
hasil produk yang aman dan tidak membahayakan
106
lingkungan terhadap produk yang dihasilkan oleh
industri migas.
Penelitian pembuatan pilot plant adsorber
penghilang merkuri dalam gas bumi ini, dilakukan
dengan tujuan pertama mendapatkan suatu sistem
peralatan adsorber merkuri (Hg) removal berskala
pilot yang sesuai dengan kondisi lapangan gas bumi di
Indonesia. Kedua adalah untuk mendapatkan karbon
aktif yang optimum mengadsorpsi merkuri dalam
gas bumi dan terakhir memperoleh nilai tambah dari
peningkatan kualitas gas bumi melalui hasil rekayasa
peralatan adsorben merkuri (Hg) removal.
Dari hasil kegiatan ini diharapkan dapat
menunjang kinerja kegiatan industri migas dalam
menghilangkan dan atau mengurangi kandungan
merkuri (Hg) dalam gas bumi, dapat diaplikasikan
untuk menghilangkan dan atau meminimalkan
kandungan merkuri dalam gas bumi, khususnya
aplikasi di KKKS Indonesia dan meningkatkan
kualitas gas bumi di industri gas bumi Indonesia
dengan biaya proses seefisien mungkin.
Dalam rangka peningkatan kualitas gas bumi
Indonesia dan usaha untuk menghasilkan gas
bumi dengan kandungan kontaminan seminimal
mungkin, dibutuhkan teknologi dan alat yang mampu
menanganinya. Kualitas gas bumi yang dihasilkan oleh
setiap industri gas bumi sangat mempengaruhi harga
jual dan pemanfaatannya. Kualitas gas bumi sangat
dipengaruhi oleh adanya kandungan kontaminan gas,
salah satunya adalah merkuri. Merkuri merupakan
salah satu kontaminan dalam gas bumi yang dapat
membahayakan kesehatan lingkungan dan dapat
merusak fasilitas serta peralatan proses di industri
gas bumi [Spiric]. Untuk meminimalkan bahaya dari
merkuri ini, terkait dengan penanganan gas bumi di
lingkungan industri migas, maka aplikasi adsorber
untuk eliminasi merkuri dalam skala pilot merupakan
salah satu cara pemecahan masalah. Hasil kegiatan ini
diharapkan dapat menunjang kinerja kegiatan industri
migas dalam menghilangkan dan atau mengurangi
kandungan merkuri (Hg) dalam gas bumi.
Peralatan pilot plant penghilang merkuri
berskala pilot hasil rancangan tim peneliti sudah
mempertimbangan faktor keamanan dan keselamatan
kerja (safety), persyaratan material dan teknologi
adsorpsi. Perancangan peralatan ini didasarkan
kepada beberapa literatur yang sudah ada, hanya saja
pada peralatan ini dilakukan beberapa modifikasi
untuk lebih meningkatkan kinerja alatnya.
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi
(Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Desain peralatan penghilang merkuri removal
secara umum dikelompokkan menjadi :
1. Peralatan pemisahan
2. Peralatan penyerapan/adsorben
3. Peralatan Metering
4. Peralatan kontrol
Pengujian kinerja alat rancang bangun
adsorber merkuri removal dilakukan di GDS
(Gas Demonstration System) plant di PPPTMGB
“LEMIGAS” dengan kondisi pengujian sebagai
berikut tekanan aliran gas bumi 100 psi, temperatur
lingkungan 39 o C. Percobaan diawali dengan
pengaliran gas bumi yang mengandung konsentrasi
merkuri tanpa melalui adsorber. Dengan mercury
analyzer diketahui konsentrasi merkuri awal adalah
14.570,49 μg/m3. Pengujian dilanjutkan dengan
mengalirkan gas bumi melalui adsorber yang telah
diisi adsorben karbon aktif terpengaktifan. Di akhir
pengujian, konsentrasi merkuri yang melewati
adsorber terukur sebesar 3,99 μg/m3 dengan volume
gas yang melewati adsorber sebesar 442 cuft. Dari
data hasil kinerja alat yang dihasilkan, efisiensi
penyerapan merkuri dalam aliran gas bumi yang
melewati alat pilot plant adsorber adalah sebesar
99,97%.
dimasukkan ke dalam Tungku Pengaktifan (Furnace)
lalu di panaskan dengan kenaikan temperature 5oC
permenit sampai pada suhu 600oC ditahan selama 1
jam. selama pemanasan, di alirkan gas Nitrogen yang
berfungsi sebagai gas pengaktif.
b. Pengaktifan Kimia
- Proses awal dari pengaktifan kimia yaitu
melakukan penyaringan terhadap karbon
aktif yang telah di pengaktifan fisika dengan
membilasnya dengan air hangat.
- Pada saat pH karbon aktif telah netral maka
tahap perendaman dapat dilakukan, lamanya
waktu perendaman adalah 24 jam. Setelah tahap
perendaman selesai, tahap berikutnya yaitu
penyaringan karbon aktif. Selanjutnya karbon
aktif yang sudah terpisah dimasukkan ke dalam
oven dengan temperatur 70-80oC. Karbon aktif
yang telah di oven dimasukkan ke dalam desikator
guna mengurangi proses pengembunan.
2. Pembuatan pilot plant adsorber penghilang
merkuri berskala pilot
Secara skematis metode pembuatan adsorber
adalah sebagai berikut:
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Peralatan Pengaktifan
- Karbon Aktif 30 mesh
- Gas Nitrogen
- ZnCl2
- desikan
- HCl
- Gemuk lumas suhu tinggi
- Hot Plate + stirer (Pemanas)
- Oven pengering
- Wadah perendam kapasitas 5 dan 10 kg
- Desicator
- Furnace 1000oC
- Reaktor pengaktifan fisika
B. Metode
1. Pengaktifan Fisika dan Kimia
a. Pengaktifan Fisika
Bahan baku Arang di timbang sebanyak 10 kg dan
Gambar 1
Skema metodologi pembuatan rancang bangun
adsorber penghilang merkuri
107
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
3. Prosedur Pengujian
Gas bumi dialirkan melalui vessel yang
mengandung merkuri standar dengan tekanan yang
diatur pressure gauge masuk ke vessel separator.
Dari separator aliran gas bumi tersebut masuk ke
dalam reaktor adsorber yang sudah terisi media
adsorben karbon aktif hasil pengaktifan. Gas bumi
yang keluar dari reaktor adsorber selanjutnya akan
melewati rangkaian tabung yang berisi larutan
penangkap logam merkuri, yaitu campuran kalium
permanganate dan asam sulfat. Selanjutnya cairan
penangkap akan langsung dianalisa dengan alat
mercury analyzer untuk mengetahui konsentrasi
merkuri yang terkandung dalam gas bumi pada outlet
alat adsorber. Dari hasil analisa mercury analyzer
tersebut, maka dapat diketahui konsentrasi merkuri
yang terserap di dalam adsorben.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari kegiatan penelitian pilot plant adsorber
penghilang merkuri dalam gas bumi salah satunya
adalah sistem peralatan adsorber penghilang merkuri
(Gambar 2) sebagai berikut:
Gambar 2
Pilot plant adsorber penghilang merkuri
A. Media Adsorben
Pelaksanaan penelitian rancang bangun pilot
plant adsorber penghilang merkuri pada dasarnya
meliputi 3 kegiatan, yaitu pengaktifan adsorben
108
karbon aktif tempurung kelapa dalam skala besar,
pembuatan alat adsorber penghilang merkuri serta
pengujian alat. Berikut adalah hasil karakterisasi
adsorben setelah dilakukan pengaktifan.
Hasil karakterisasi bilangan iodine menunjukkan
bahwa adsorben setelah dipengaktifan kimia memiliki
bilangan iodine yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sebelum dipengaktifan. Hal tersebut terlihat
pada Gambar 3 grafik hasil analisis bilangan iodine
sebelum dan sesudah perendaman dengan activator
ZnCl2 yang dilakukan selama 6 kali [ASTM D-1510].
Adanya kenaikan bilangan iodine ini menunjukkan
bahwa potensi penyerapan adsorben yang telah
dipengaktifan terhadap analit lebih besar.
Karakterisasi selanjutnya adalah pengukuran luas
permukaan dan pori dari adsorben. Hasil karakterisasi
Bett Elmer Teller (BET) ini menghasilkan data yang
menunjukkan bahwa adsorben hasil pengaktifan
kimia memiliki luas permukaan yang lebih kecil
dari sebelumnya, karena sebagian permukaan dari
adsorben telah ditutupi oleh gugus Cl dari activator
ZnCl2 yang terikat pada atom karbon adsorben.
Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya luas
permukaan dari adsorben, akan tetapi sekaligus
menjelaskan bahwa sebagian permukaan adsorben
telah ditempati oleh gugus Cl yang siap mengikat
gugus merkuri.
Analisis luas permukaan BET memberikan
evaluasi yang tepat spesifik dari bahan dengan
adsorpsi nitrogen multilayer diukur sebagai fungsi
dari tekanan relatif dengan menggunakan analisa
sepenuhnya otomatis. Teknik ini meliputi wilayah
eksternal dan evaluasi daerah pori-pori untuk
menentukan total luas permukaan spesifik dalam m2/g
menghasilkan informasi penting dalam mempelajari
efek dari permukaan porositas dan ukuran partikel
dalam banyak aplikasi [Bloom]. Hasil analisa BET
dari sampel adsorben karbon aktif tempurung kelapa
yang telah dipengaktifan secara fisika dan kimia dapat
dilihat pada Gambar 4.
Karakterisasi terakhir adalah analisa SEM dan
EDX. Hasil analisa SEM dan EDX tersebut (Gambar
5 dan 6) menjelaskan tentang bentuk morfologi
permukaan adsorben karbon aktif saat sebelum dan
sesudah perendaman dengan activator kimia. Pada
Gambar 5 ditampilkan bahwa bentuk permukaan
adsorben saat sebelum dan sesudah perendaman jelas
berbeda, di mana permukaan adsorben saat sebelum
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi
(Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
perendaman lebih kasar dengan celah pori
yang lebih sempit. Setelah perendaman
dengan bahan kimia, permukaan adsorben
tersebut lebih halus dengan celah pori
yang lebih lebar. Hal tersebut disebabkan
oleh efek dari perendaman dengan bahan
kimia (activator) ZnCl 2 yang dapat
membentuk pori baru dan memperlebar
pori yang sudah ada. Demikian pula
dengan besarnya jumlah prosentasi Cl
yang terbentuk atau terikat pada rantai
C dari adsorben turut mempengaruhi
besarnya kemampuan adsorben dalam
menurunkan konsentrasi merkuri (Hg)
dalam gas. Peranan ZnCl2 sebagai aktifator
kimia sangatlah penting karena selain dapat
menghasilkan pori-pori baru yang mampu
meningkatkan kemampuan adsorpsi
merkuri, perendaman ZnCl2 juga dapat
menghasilkan terbentuknya ikatan C-Cl
di mana gugus Cl tersebut dapat mengikat
merkuri (Hg) secara ikatan kimia menjadi
HgCl atau HgCl2 [Zeng].
Karakterisasi terakhir dilakukan dengan
mikroskop pemindai elektron (SEM), yaitu
mikroskop yang menggunakan hamburan
elektron dalam bentuk bayangan elektron
berinteraksi dengan atom-atom yang
membentuk sample menghasilkan sinyal
yang berisi informasi tentang topografi
permukaan sample, komposisi dan sifatsifat lain seperti konduktifitas listrik.
SEM merupakan pencitraan material
dengan mengunakan prinsip mikroskopi.
Mirip dengan mikroskop optik, namun SEM
menggunakan elektron sebagai sumber pencitraan
dan medan elektromagnetik sebagai lensanya.
Elektron diemisikan dari katoda (elektron gun)
melalui efek foto listrik dan dipercepat menuju anoda.
Filamen yang digunakan biasanya adalah tungsten
atau lanthanum hexaboride (LaB6). Scanning coil,
akan mendefleksikan berkas electron menjadi
sekumpulan array (berkas yang lebih kecil), disebut
scanning beam dan lensa obyektif (magnetik) akan
memfokuskannya pada permukaan sampel.
SEM dipakai untuk mengetahui struktur mikro
suatu material meliputi tekstur, morfologi, komposisi
dan informasi kristalografi permukaan partikel.
Morfologi yang diamati oleh SEM berupa bentuk,
Gambar 3
Grafik hasil analisa bilangan iodine
Gambar 4
Grafik hasil analisa BET (Bett Elmer Teller)
ukuran dan susunan partikel. SEM menghasilkan
bayangan dengan resolusi yang tinggi, yang
maksudnya adalah pada jarak yang sangat dekat tetap
dapat menghasilkan perbesaran yang maksimal tanpa
memecahkan gambar.
Persiapan sampel relative mudah. Kombinasi
dari perbesaran kedalaman jarak focus, resolusi yang
bagus dan persiapan yang mudah, membuat SEM
merupakan satu dari alat-alat yang sangat penting
utuk digunakan dalam penelitian saat ini. Hasil
karakterisasi morfologi SEM (Scanning Electron
Microscope) - ADX menunjukkan perbedaan yang
cukup signifikan dengan pembesaran 200x dan atom
Cl muncul pada peak kromatogram karbon aktif
setelah direndam sebesar 73%.
109
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
EDX (Energy Dispersive X-ray), merupakan
karakterisasi material menggunakan sinar-x yang
diemisikan ketika material mengalami tumbukan
dengan elektron. Sinar-x di emisikan dari transisi
elektron dari lapisan kulit atom, karena itu tingkat
energinya tergantung dari tingkatan energi kulit
atom. Setiap elemen di dalam tabel periodik atom
memiliki susunan elektronik yang unik, sehingga
akan memancarkan sinar-x yang unik pula. Dengan
mendeteksi tingkat energi yang dipancarkan dari
sinar-x dan intenisitasnya, maka dapat diketahui
atom-atom penyusun material dan persentase
masanya.
B. Sistem Peralatan Adsorber Penghilang
Merkuri berskala Pilot
Peralatan pilot plant penghilang merkuri
berskala pilot dirancang oleh Tim Peneliti dengan
mempertimbangan faktor keamanan dan keselamatan
kerja (safety), persyaratan material dan teknologi
adsorpsi. Dasar perancangan peralatan ini didasarkan
kepada beberapa literatur yang sudah ada, hanya saja
pada peralatan ini dilakukan beberapa modifikasi
untuk lebih meningkatkan kinerja alat. Alat ini terdiri
dari 2 silinder adsorber dan 1 separator.
ini menggunakan adsorben karbon tempurung
kelapa yang telah dipengaktifan fisika dan kimia
menggunakan ZnCl2.
3. Adsorber Merkuri I dan II
Adsorber (Reaktor) Penyerapan dibuat dari
Plat SUS 304 5mm di-roll menggunakan mesin
roll plat untuk ukuran plat jenis tebal, lalu di las
menggunakan las type Circum welding. Dengan las
dasar menggunakan Argon tungsten 2.6.
4. Metering
Metering digunakan untuk mengukur volume gas
yang masuk ke peralatan merkuri removal, dimana
volume gas tersebut merupakan salah satu parameter
yang digunakan dalam perhitungan konsentrasi
merkuri yang terserap pada merkuri removal. Jenis
metering yang digunakan pada peralatan ini adalah
type orifice karena tipe tersebut termasuk salah satu
jenis matering gas yang cukup akurat dan relatif
murah.
C. Hasil Uji Coba
Dalam pelaksanaan pengujian alat, digunakan
gas bumi (natural gas) dengan tekanan 100 psig.
1. Peralatan Pemisahan (merkuri
separator)
-
-
-
Merkuri separator digunakan untuk
memisahkan kandungan liquid yaitu
berupa air dan kondensat.
Liquid hasil pemisahan akan di alirkan
kesaluran pembuangan sedangkan
gas dilewatkan metering (flow meter)
untuk di proses penyerapan merkuri/
adsorber.
Gas yang masuk separator ini tekanan
maksimumnya sebesar 500 psig.
Material terbuat dari Plat SUS 316
di-roll menggunakan mesin roll
plat untuk ukuran plat jenis tebal,
lalu di las menggunakan las type
Circum welding. Dengan las dasar
menggunakan Argon tungsten 2.6.
2. Peralatan Penyerapan/adsorber
Fungsi dari peralatan merkuri
adsorber adalah untuk menurunkan
kandungan merkuri. Proses penyerapan
110
Gambar 5
Hasil karakterisasi SEM permukaan adsorben karbon aktif
tempurung kelapa sebelum dan sesudah pengaktifan kimia
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi
(Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Gambar 6
Hasil karakterisasi ADX adsorben karbon aktif tempurung kelapa
Gas bumi yang digunakan pada uji
kinerja alat tergolong bersih (dry
gas) yang dialirkan ke sistem melalui
silinder yang mengandung merkuri
standar. Komposisi Gas Bumi yang
digunakan dalam pengujian kinerja
alat dapat dilihat pada Tabel 1 dan
hasil uji kinerja ada pada Tabel 2 di
bawah ini.
Komposisi gas bumi di atas
diperoleh dari hasil analisa sampel
gas bumi dengan instrumentasi
kromatografi gas dengan tipe GCNGA HP 6890 menggunakan detektor
TCD. Analisa komposisi dilakukan
dengan menggunakan metode GPA
2261-2000 dan untuk perhitungan nilai
kalornya menggunakan metode GPA
2172-2009. Kandungan kontaminan
gas bumi, seperti Hidrogen Sulfida
Gambar 7
Skema sistem adsorber penghilang merkuri
111
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
Tabel 1
Komposisi Gas Bumi
No
Parameter Analisa Gas Bumi
Satuan
Nilai
Nitrogen
I
0.6577
Karbondioksida
4.3393
Metana
89.3271
Etana
3.3558
Propana
1.3399
%Mol
Iso Butana
N-Butana
0.3388
Iso Pentana
0.1312
N-Pentana
0.082
Heksana Plus
0.2218
0.647
Gross Heating Value (GHV)
Btu/Ft3
1034.9986
Nett Heating Value (NHV)
Btu/Ft4
934.3538
Compressibility Factor (Z)
GPA 2172
0.9975
Hidrogen Sulfida (H2S)
III
GPA 2261:2000
0.2963
Relative Density
II
Metoda
ppmv
Pg/m
Merkuri (Hg)
Kandungan Air
2.27
3
Lb/MMscf
ASTM D2385
0.37
ISO 6978
7.72
ASTM D1142
Tabel 2
Data hasil uji kinerja alat
No
Pengujian tanpa adsorber
Kons. Merkuri (P
Pg/m3)
Volume gas bumi (Cuft)
1
Merkuri awal
14570,9
74
No
Pengujian melalui adsorber
Kons. Merkuri (Pg/m )
1
Pengamatan 1
14571
0
2
Pengamatan 2
312,3
124
3
Pengamatan 3
13,36
174
4
Pengamatan 4
8,07
274
5
Pengamatan 5
5,91
374
6
Pengamatan 6
3,99
424
dilakukan dengan metode ASTM D-2385,
merkuri menggunakan metode standar ISO
6978 dan kadar air menggunakan metode
ASTM D-1142.
Konsentrasi merkuri (Hg) yang terukur
adalah konsentrasi merkuri yang keluar
dari adsorber dan ditangkap oleh cairan
kimia KMnO 4 + H 2SO 4 yang kemudian
langsung diukur dengan instrumen Lumex
Analyzer. Hasil uji kinerja alat selama 8 jam,
menunjukkan efisiensi penyerapan adsorben
sebesar 99,97% dengan tekanan gas 100 psia,
temperatur 37oC dan laju alir gas 50 Cuft/jam.
112
3
Volume gas bumi (Cuft)
Gambar 8
Grafik hasil uji kinerja alat
Pembuatan Rancang Bangun Adsorber Penghilang Merkuri Berskala Pilot pada Industri Gas Bumi
(Lisna Rosmayati, Nofrizal, Yayun Andriani dan Nanang Hermawan)
Konsentrasi merkuri pada awal percobaan adalah
14.570,9 μg/m3 dialirkan dengan media gas bumi
dan ketika volume gas bumi mencapai 424 Cuft,
konsentrasi merkurinya terukur 3.99μg/m3. Hal
tersebut membuktikan bahwa sebagian besar uap
merkuri telah terserap oleh adsorben karbon aktif
yang terdapat di dalam adsorber.
IV. KESIMPULAN
Sistem peralatan adsorber merkuri (Hg) removal
berskala pilot ini telah disesuaikan dengan kondisi
operasi di lapangan gas bumi baik temperatur,
tekanan dan kapasitasnya. Adsorben karbon hasil
aktifasi fisika dan kimia dalam skala industri telah
mampu menyerap merkuri dalam aliran gas bumi
secara optimal. Peralatan penghilang merkuri ini
mampu mengadsorpsi merkuri dalam aliran gas
bumi sebanyak 99,97% dalam waktu 8 jam 50 menit
dengan volume aliran gas bumi 442 Cuft, tekanan gas
sumber 100 psi dan laju alir gas 50 Cuft/jam. Peneliti
berharap aplikasinya di lapangan dapat menunjang
kinerja kegiatan industri migas dalam menghilangkan
dan atau mengurangi kandungan merkuri (Hg) dalam
gas bumi serta meningkatkan kualitas gas bumi di
Indonesia dengan biaya proses seefisien mungkin.
V. SARAN
Untuk aplikasi di lapangan gas bumi, masih
banyak faktor lingkungan dan kondisi operasi yang
lebih kompleks yang harus diantisipasi, sehingga
masih diperlukan pengujian terkait dengan parameter
pressure drop, kapasitas adsorben, lifetime adsorben
dll.
KEPUSTAKAAN
1. AWWA.1974.Standard for Granular Carbon. AWWA
B604-74. Colorado.
2. ASTM D 1510-03. Standard Test Method for
Determination of Carbon Black-Iodine Adsorption
Number.
3. Anonim, “Mercury in Natural Gas Production and
Processing, Industry”: Petroleum (Oil & Gas) WS
2012-01.
4. Bloom, N. S., “Analysis and Stability of Mercury
Speciation in Petroleum Hydrocarbons”, Fresenius’
J. Anal. Chem., 366:438 (2000).
5. Hancai Zeng, Removal of Elemental Mercury from
Coal Combustion Flue Gas by Chloride-Impregnated
Activated Carbon, ELSEVIER Science Direct, May
2003.
6. Jankowska H, Swiatkowski and Choma J. (1991).
Active Carbon. Elis Horwood Ltd.
7. Lisna, Yayun dkk “Rancang Bangun Adsorben
Penghilang Merkuri” Nomor 04.06.02.8191.00047.F
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
PPPTMGB “LEMIGAS”. Desember 2010.
8. Lisna, Yayun dkk, “Rancang Bangun Pilot
Plant Adsorber Penghilang merkuri” Nomor:
04.1913.005.019.521213 Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, PPPTMGB “LEMIGAS”.
Desember 2012.
9. M. Kismurtono; Sumarsono, 1999 “Pembuatan
Arang Aktif dari Tempurung Kelapa” Prosiding
Seminar Nasional III Kimia dalam Pembangunan
ISSN : 0854-4778.
10. Mitariten, M. “Adsorption Advances” World Coal,
September (2002).
11. Radisav D.Vidic, Control of Mercury Emissions
in Flue gases by Activated Carbon Adsorption,
University of Pittsburgh, PA 15261.
12. Zdravko Spiric, Innovative Approach to the Mercury
Control during Natural Gas Processing, Proceedings
of ETCE 2001.
113
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi Vol. 47 No. 2, Agustus 2013: 105 - 114
114
INDEKS SUBYEK
A
M
Akselerasi biodegradasi crude oil 97
Microbe screening 59
Acceleration biodegradation hidrocarbon 97
Marine bacteria hidrocarbonoklastik 97
Adsorber 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112,
113
Adsorben 105, 106, 107, 108, 109, 11, 112,
113
Alkali surfaktan polymer injection 87
Merkuri 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111,
112, 113
Mercury 105, 107, 108, 113, 114
N
Nickel catalyst 79
Nutrition screening 59
B
Natural gas 105, 110, 113, 114
Biodiesel 79, 80, 81, 82, 83, 84
O
Biosurfactant production 59
Oxidation stability 79
Biosurfaktan bakteri laut hidrokarbonoklastik
97
Old well 69
Biosurfactant 97, 103, 104
C
Cloud point 79, 81, 84
Citra ikonos 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77
Oil recovery 87, 88, 96
P
Partial hydrogenation 79
Pour point 79, 81, 84
Produksi biosurfaktan 67
H
Permasalahan sosial 69, 70, 71, 72, 73
Hidrogenasi parsial 79, 80, 82, 84
Penggunaan lahan 69, 70, 71, 72, 73, 74,
G
76
Gas bumi 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112,
113
Perolehan minyak 87, 88, 89, 92, 94, 95, 96
I
Stabilitas oksidasi 79, 80, 81, 82, 83, 84
Ikonos imagery 69
Seleksi mikroba 59, 60, 61, 62, 63, 67
Injeksi alkali surfaktan polimer 87, 88
Seleksi nutrisi 67
K
Sumur tua 69, 70, 71, 72, 73
Katalis nikel 79, 80
Social problem 69
L
T
Land use 69
S
Titik kabut 79, 80, 81, 82, 84
Titik tuang 79, 80, 81, 82, 84
1
2
PEDOMAN PENULISAN MAJALAH LEMBARAN PUBLIKASI MINYAK dan GAS BUMI
UMUM
1. Majalah Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi adalah media yang khusus diperuntukan bagi karya tulis para Peneliti dan Tenaga
Fungsional PPPTMGB “LEMIGAS”, memuat analisis, kajian dan tinjauan ilmiah mengenai subjek-subjek yang berkaitan dengan industri
minyak dan gas bumi, terutama yang dilakukan oleh PPPTMGB “LEMIGAS”.
2. Redaksi Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi, secara selektif juga menerima tulisan-tulisan dari para ahli baik perseorangan
ataupun kelompok, baik atas nama pribadi maupun instansi pemerintah/swasta namun lebih berbobot. Hal ini dimaksudkan sebagai
contoh guna mendorong dan meningkatkan mutu para penulis intern LEMIGAS.
STANDAR PENULISAN
1. Bahasa
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kaidah/istilah bahasa Indonesia yang telah dibakukan berpedoman
pada: a. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Lembaga Pembinaan Bangsa. b. Kamus Miyak dan Gas Bumi, terbitan PPPTMGB
“LEMIGAS”. c Kamus bahasa Inggris.
2. Naskah/Artikel
Judul artikel ditulis pada baris pertama (paling atas), rata kiri (left), memakai huruf besar kecil ukuran 24 points.
- Nama penulis ditulis pada baris kedua di bawah judul artikel.
- Abstrak/Sinopsis/Sari karangan merupakan keharusan ditulis dalam bahasa Indonesia serta bahasa Inggris dan ditetapkan pada
awal artikel/tulisan. Abstrak tidak boleh lebih dari 200 kata.
- Artikel disertai dengan kata kunci yang ditulis dibawah judul artikel.
- Teks artikel diketik dengan komputer (MS Word), di atas kertas putih ukuran A4, dengan jarak baris 1 ½ spasi.
- Sitasi (kutipan) atas pendapat para ahli, disamping dapat dengan dikutip secara verbatim, juga harus diberi nomor urut dengan
hurup arab superscript untuk penjelasannya dalam catatan kaki.
- Catatan kaki ditulis dalam satu halaman sesuai dangan nomor catatan kaki yang bersangkutan. Catatan kaki ditulis horizontal
dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, tahun penerbitan, judul, halaman yang dikutip. Data Publikasi (Kota Penerbitan,
Nama Penerbitan, jumlah halaman).
- Pendahuluan secara
ara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan subbab.
- Bahan dan Metode harus secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan
peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait.
- Hasil disajikan secara jelas tanpa detil yang tidak perlu. Hasil tidak boleh disajikan sekaligus dalam tabel dan gambar.
- Tabel disajikan dalam bahasa Indonesia, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan. Tabel diketik menggunakan program
MS-Excel.
- Gambar, grafik, potret dan lain-lain: semuanya asli, jelas memenuhi syarat untuk peroses pencetakan: serta diberi nomor urut
dan judul.
- Kesimpulan disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian.
- Di samping naskah dan lampiran penunjang seperti gambar/grafik, kirimkan juga disket/CD nya ke redaksi atau melalui e-mail:
[email protected]
3 Kepustakaan
Kepustakaan adalah daftar literaktur (buku atau non buku) yang dipakai oleh Penulis dalam meyusun naskah/artikel.
Kepustakaan ditulis pada akhir karangan dengan urutan secara alfabetis berdasarkan nama pengarang, seperti contoh sebagai
berikut;
a. Buku
- Satu pengarang
Davis, Gordon B., 1976, Management Information System, Conceptual Foundation Structur and developnet, Me Graw Hill.
- Dua Pengarang
Newman W.H. dan E. Kirby Warren, 1977, The Procces of Management, Concept, Behavior, and Pratice, Pretice-Hall of India
Privat Ltd., New Delhi, hlm. 213.
- Lebih dari tiga pengarang
Bennet J.D., Bridge D. Mcc, Cancron N. R., Djunudin A, Ghazali S. A, Jeffry D.H., Kartawa W., Keats W Rock N.M.S., dan
Thompos S.J 1981, The Geology of the Langsa Quadrange, Sumatra, GRDC, Bandung.
Atau disingkat
Bannet J.D., dkk., 1981. The Geology of the Langsa Quadrangle, Sumatra, GRDC, Bandung.
b. Non buku
- Udiharto M., 1992. “Pengaruh Aktivitas Bakteri Termofil terhadap Porositas Batuan”, Diskusi Ilmia VII Hasil Penelitian LEMIGAS,
Februari, PPTMG “LEMIGAS”, Jakarta.
- Weissmann J., Dr.: 1972, ”Fuel for internal Contribution Engines and Furnace”, Report, Inhouse Research, Mei, ”LEMIGAS”, Jakarta.
- Gianita Gandawijaya, 1994,”Teknologi GPS, Alat Bantu Navigasi Pesawat Terbang”, Kompas, Juli 27, Jakarta.
c. Web sites :
http://www.environmental law net.com. Sebutkan tanggal bulan dan tahun.
WEWENANG REDAKSI
a. Dewan redaksi berhak melakukan penyuntingan atas suatu artikel termasuk mengubah judul artikel.
b. Naskah yang telah diperiksa dewan redaksi dan dianggap perlu perbaikan akan dikirim kembali kepada penulis untuk diperbaiki.
c. Naskah yang tidak bisa dimuat akan dikembalikan kepada penulis.
LAIN-LAIN
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi menerima sumbangan naskah dari penulisan di luar Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” dengan ketentuan isinya memenuhi kriteria standar Majalah Lembaran Publikasi Minyak
dan Gas Bumi
Download