J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.3 Hal.1 - 11 Jakarta, Desember 2010 ISSN 1907-1043 Bakteri Penghasil Biosurfaktan yang Diisolasi dari Pulau Laki Kepulauan Seribu Rini Riffiani Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Jakarta-Bogor km 46, Cibinong Naskah diterima : 5 Mei 2010 - Revisi terakhir 28 Juli 2010 Abstract Biosurfactants are the surface-active molecules synthesized by microorganisms. The microbial surfactant were interesting because of the biodegradable and have many application in industry. With the advantage of environmental compatibility, the demand for biosurfactants has been steadily increasing and may eventually replace their chemically synthesized counterparts. Marine biosurfactants produced by some marine microorganisms have been paid more attention particularly for the bioremediation of the sea polluted by crude oil. The aim of this research is to screening microorganisms that produce biosurfactant from Pulau Laki, Kepulauan Seribu, Jakarta. The isolate which produce biosurfactant showed by clear ring zone on ONR7a crude oil medium. Three isolates were identified their characteristics based on the composition of nitrogen base. Molecular identification based on 16S rRNA gene sequences indicated that bacteria had the highest similarity with Marinobacter satoriniensis strain NKSGI, Paracoccus sp and Pseudomonas sp. Key words: biosurfactant, marine microorganisms, bioremediatioan, crude oil 1. PENDAHULUAN Perairan yang terkontaminasi oleh limbah minyak, terutama di daerah penambangan kilang minyak, dapat menyebabkan pencemaran di daerah terrestrial dan ekosistem laut. Salah satu cara yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini yaitu melalui proses biodegradasi. Dalam proses biodegradasi, crude oil digunakan mikroorganisme sebagai sumber karbon (Zang et al., 2005). Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya dan bioavailability yang rendah (Francy et al., 1991), sehingga senyawa hidrokarbon sulit untuk berinteraksi dengan sel. Upaya yang umum dilakukan untuk meningkatkan kelarutan hidrokarbon adalah dengan pemberian surfaktan sintetis. Penggunaan surfaktan ini menimbulkan masalah bagi organisme hidup karena bersifat toksik, non-degradable serta dapat menghambat proses degradasi oleh mikroorganisme (Desai and Banat, 1997). Alternatif lain untuk meningkatkan biodegradasi hidrokarbon adalah penggunaan biosurfaktan. Penggunaan surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme ini mempunyai keuntungan lebih dibanding penggunaan Koresponden Penulis Email: [email protected] 9 Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Penurunan..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 1 - 11 surfaktan sintetis, karena sifatnya yang tidak toksik dan lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme ( Makkar and Rockne, 2003) Surfaktan merupakan molekul amphipatric yang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik (umumnya hidrokarbon) yang berada diantara permukaan fase dua zat cair dengan derajat polaritas dan ikatan hidrogen yang berbeda, misalnya permukaan antara minyak dengan air. Surfaktan mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan permukaan dan membentuk mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat terlarut di dalam air atau sebaliknya.Emulsifikasi yang terjadi dapat mempermudah degradasi hidrokarbon (Desai and Banat, 1997) Dalam upaya mengoptimalkan bioremediasi lingkungan perairan di Indonesia, pencarian strain lokal yang mempunyai kapasitas tinggi dalam mendegradasi senyawa pencemar dan menghasilkan biosurfaktan sangat diharapkan. (SW) yang diaugmentasi dengan crude oil. Koloni yang membentuk zona bening disekitar koloni yang tumbuh diprediksi menghasilkan biosurfaktan. Media SW yang digunakan dibuat dengan komposisi per liter : 1 g NH4NO3, 0,2 g KH2PO4, 20 mg Feric Sitrat, 20 mg yeast extract, 19 gr agar. 2. Materi dan Metode a. Sampling Uji pertumbuhan mikroba yang dilakukan berdasarkan pada variasi salinitas, menggunakan media SW dengan variasi salinitas, 0, 2, 5 dan 10 %. Kultur diinkubasi pada shaker inkubator dengan suhu 300C dan kecepatan 100 rpm selama 4 hari. Pengukuran pertumbuhan mikroba (OD) dilakukan dengan spektrofotometer pada 600 nm. Sampel penelitian ini diambil dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Eksplorasi dan pengumpulan sampel yang dilakukan berasal dari air laut. Sampel air yang diambil sebanyak 100 mL. Untuk menghindari terjadinya degradasi jumlah bakteri bahkan kematian bakteri pada sampel, dilakukan metode pengayaan atau enrichment pada sampel air laut. Proses pengayaan ini menggunakan Medium ONR7a yang ditambahkan crude oil. Media ONR7a yang digunakan dibuat dengan komposisi per liter: 22,79 g NaCl, 3,99 g Na2SO4, 0,72 g KCl, 83 mg NaBr, 31 mg NaHCO3, 27 mg H3BO3, 2.6 g NaF, 0,27 g NH4Cl, 83 mg Na2HPO4, 1,3 g TAPSO, 11,18 g MgCl2, 1,46 g CaCl2, 24 mg SrCl2, 2 mg FeCl2 (Sheryl et al, 1995). b. Metode Kerja Isolasi mikroba penghasil biosurfaktan Mikroba penghasil biosurfaktan diisolasi dengan menggunakan Sea Water Medium 10 3. Uji Konfirmasi Uji konfirmasi dilakukan untuk memastikan kemampuan biak terseleksi dalam menghasilkan biosurfaktan. Pada uji konfirmasi dilakukan dengan menginokulasikan kembali biak terseleksi pada medium SW cair dan ditambahkan cruide oil (100 µl/100 ml media SW cair) kemudian diamati kelarutan crude oil dibandingkan dengan kontrol. 4. Uji Pertumbuhan Mikroba pada Variasi Salinitas 5. Identifikasi Biakan Murni Penghasil Biosurfaktan Bakteri Identifikasi yang dilakukan adalah identifikasi secara molekular (16s rDNA). Identifikasi molekuler dilakuan dengan 16S rDNA. Analisis molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekunsing. A. Ekstraksi DNA dan Amplifikasi. Ekstraksi DNA menggunakan intragene matrix kit (Biorad) dilanjutkan dengan amplifikasi. Hasil optimasi PCR diperoleh komposisi per reaksi sebesar 25 µL menggunakan Primer 9 F Mawardi, I., 2010 (5`GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan 1510 R (5` GGCTACCTTGTTACGACTT) 20 pmol masing-masing sebesar 1,25 µL, DNA templete 2,5 µL, Go Taq® master mix (Promega) sebesar 12,5 µL dan 7,5 µL deionized water. Reaksi PCR dengan menggunakan Thermalcycler (Takara Shuzo Co., Ltd., Shiga, Japan) selama 35 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 94 ºC selama 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi 1 menit pada suhu 94 ºC, annealing 1 menit pada suhu 56 ºC dan 2 menit ekstensi pada suhu 72 ºC. Setelah 35 siklus selesai, diikuti 4 menit pada suhu 72 ºC dan pendinginan pada suhu 4 ºC selama 30 menit. Hasil amplifikasi di fraksinasi secara elektroforesis menggunakan Mupid Mini Cell (Exu) pada gel agarose 1% dalam buffer TEA (Tris-EDTA) selama 20 menit pada 100 V. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi 1 µL/100 mL selama 15 menit. Hasil pemisahan divisualisasi pada Gel Doc Printgraph (Bioinstrument, ATTO) menggunakan UV transluminator dengan menggunakan standar 100 bp DNA ladder (Promega) untuk mengetahui hasil dan ukuran pita DNA hasil amplifikasi. B. Purifikasi Produk PCR Purifikasi DNA produk PCR dilakuan dengan metode prisipitasi. Produk PCR ditambah dengan 0,1 dan 2 kali total volume dengan 3M Na-Acetat pH 5,2 dan 95% Ethanol kemudian didinginkan pada suhu -20 ºC selama 1 jam. Tahap selanjutnya adalah disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 xg selama 30 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan dicuci dengan 85% ethanol untuk kemudian disentrifugasi ulang 10.000 xg selama 45 menit. Supernatan dibuang dan pelet dipresipitasi pada suhu ruang. Pelet DNA dilarutkan dengan 15 µL deionized water. 11 C. Cycle Sequencing Tahap selanjutnya adalah cyle sequencing dengan menggunakan primer tunggal 9 F. Komposisi yang digunakan untuk tiap tabung adalah 1 µL primer 5 pmol, 150 ng DNA hasil purifikasi, 0,2 µL Big Dye Terminator sequen premix kit (Applied Biosystems Inc., Warington, UK), 5 kali sequen bufer 2 µL dan deionized water sampai volume 10 µL. Selanjutnya dilakukan amplifikasi dengan PCR sebanyak 30 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 96 ºC selama 20 detik diikuti dengan siklus yang terdiri dari denaturasi 10 detik pada suhu 96 ºC, annealing 5 detik pada suhu 50 ºC dan 4 menit ekstensi pada suhu 60 ºC. D. Preparasi dan Sekuensing Preparasi dilakukan dengan mencampurkan 10 µL produk cycle sequencing dengan 1 µL 3M Na-acetat dan 25 µL ethanol absolut kemudian di vortex dan didiamkan selama 15 menit. Tahap berikutnya dilakuan sentrifugasi 16.000 xg selama 20 menit pada temperatur ruang. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 70% ethanol untuk kemudian disentrifugasi ulang 16.000 xg selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet dipresipitasi selama 5 menit. Pelet DNA yang sudah kering ditambah dengan 15 µL HiDi-Formamide (Applied Biosystems Inc., Warington, UK) dan di vortex. Sampel kemudian dipanasakan 95 ºC selama 2 menit dan segera didinginkan dalam es. Tahap selanjutnnya sampel diinjeksi dengan sekuenser model ABI 3130 (Applied Biosystems Inc., Foster, California). Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada Bank Gen NCBI dataLibrary HASIL Dari hasil enrichment pada sampel air laut, didapatkan hasil seperti pada tabel 1 Tabel 1. Diversitas Mikroba Penghasil Biosurfaktan dari Kepulauan Seribu pulau Laki Kode sampel Titik GPS Jenis Sampel 1 Tanah Mangrove M1 S: 050. 57' 36.5" E: 1060 31' 14. 0". 7,40 negatif 2 Tanah Mangrove M1-2 S: 050. 57' 36.5' E: 1060 31' 14. 4" 7.89 positif 3 Tanah Mangrove M2 S: 050. 57' 35.4' E: 1060 31' 13.4" 7,83 positif 4 Tanah Mangrove M2-1 S: 05O. 58' 46.3' E: 1060 32' 10.5" 7,75 negatif 5 Tanah Mangrove M1-3 S: 05O. 57' 35.8' E: 1060 31' 12. 6". 7,83 positif 6 Air Mangrove M1 A S: 05O. 57' 35.5" E: 1060 31' 14. 0". 7,63 positif 7 Air Mangrove M2 A S: 050. 57' 35.4" E: 1060 31' 13.4" 8,32 positif 8 Air Mangrove M3 A S: 05O. 57' 35.8" E: 1060 31' 12. 6". 8,51 positif 9 Air Mangrove M4 S: 05O. 57' 36.0" E: 1060 32' 12. 3". 8,48 positif 10 Air laut L1 S: 05O. 67' 36.6" E: 1060 31' 19. 3". 8,18 positif 11 Air laut L2 S: 05O. 67' 36.6" E: 1060 31' 19. 10". 8,21 positif 12 Air laut L3 S: 05O. 57' 36.0" E: 1060 31' 19. 3". 7,77 positif 13 Air laut L4 S: 05O. 58' 36.0" E: 1060 31' 13. 5". 8,34 positif 14 Air laut L5 S: 06O. 00' 2.34" E: 1060 33' 0. 19". 8,35 positif 15 Air laut L6 S: 06O. 01' 6.99" E: 1060 34' 1. 90". 7,65 positif 16 Air laut L7 S: 06O. 01' 50.3" E: 1060 34' 10. 3". 8,48 positif Pada gambar 1 terlihat, crude oil pada proses pengayaan lebih larut bila dibandingkan dengan kontrol. Hal ini kemungkinan adanya pembentukan biosurfaktan oleh bakteri-bakteri. Pada proses pembentukan biosurfaktan, substrat yang berbentuk cairan akan teremulsi ke luar dan menyebar pada permukaan sel mikroorganisme. Substrat yang terbentuk tersebut merupakan misel. Misel-misel yang terbentuk akan teroksidasi oleh eksoenzim dan diangkut masuk ke dalam sel bakteri untuk digunakan ( Martienssens et al., 2003). Mikroba penghasil biosurfaktan diisolasi dengan menggunakan medium SW yang diaugmentasi dengan crude oil. Koloni yang membentuk zona bening disekitar koloni yang tumbuh diprediksi menghasilkan biosurfaktan. Hal ini ditampilkan pada gambar 2. Pada kontrol tidak terlihat perubahan dan terbentuk zona bening karena tidak ada aktivitas bakteri. Fungsi dari biosurfaktan pada mikroorganisme belum sepenuhnya dapat dipahami. Akan tetapi, telah diketahui bahwa biosurfaktan merupakan 12 pH Penghasil biosurfaktan No metabolit sekunder yang dapat mempercepat tranpor nutrien melewati membran sel (Lin, 1996). Gambar 2. Kelarutan crude oil pada perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol Pemurnian Biakan Potensial Penghasil Biosurfaktan Setelah menemukan zona bening di sekitar biakan potensial yang telah terisolasi, Gambar 2. Zona bening disekitar koloni bakteri yang diduga menghasilkan biosurfaktan secara aseptik biakan-biakan potensial tersebut diinokulasi kembali pada medium kaya yaitu marine agar. Beberapa isolat murni penghasil biosurfaktan ditampilkan pada gambar 3. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rRNA menggunakan program BLAST. Berikut ini adalah tiga bakteri yang memiliki nilai kesamaan Gambar 3. Isolat murni bakteri-bakteri penghasil biosurfaktan Identifikasi Molekuler Kultur Bakteri Secara Ketiga bakteri potensial, yaitu R4, R5 dan R6 yang telah diisolasi DNA genomnya dengan mengunakan Prepman Ultra DNA Isolation Kit, dideteksi dengan metode elektroforesis dan hasilnya didapatkan pita DNA yang berukuran diatas 1500 bp (base pairs). Selanjutnya, hasil isolasi DNA diamplifikasi dengan metode PCR. Hasil amplifikasi dideteksi dengan menggunakan teknik elektroforesis dimana gen 16S rRNA yang telah berhasil diamplifikasi ditunjukkan berupa pita DNA yang jika disejajarkan dengan penanda ukuran DNA, memiliki ukuran 1500 bp (gambar 4) 13 tertinggi setelah dibandingkan dengan urutan nukleotida pada program BLAST (tabel 3) Gambar 4. Produk PCR dari DNA bakteri R4, R5, R6 Tabel 3. Hasil analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rRNA dari 3 kultur bakteri dengan menggunakan program BLAST No. Isolat Nilai kesamaan tertinggi (BLAST) Terindentifikasi 1. R4 FJ889574_1 Paracoccus sp. K3B-8, 100% Paracoccus sp. 2. R5 AF264683_1 Marinobacter satoriniensis MR-1, 100% Marinobacter satoriniensis. 3. R6 FJ405409_1 Pseudomonas sp. LC5b, 99% Pseudomonas sp. Oleh karena ketiga isolat bakteri penghasil biosurfaktan berasal dari laut, maka untuk mengetahui tingkat toleransinya terhadap salinitas, dilakukanlah uji pertumbuhan ketiga isolat tersebut dalam medium ONR7a dengan variasi salinitas (NaCl) 0%, 2%, 5%, dan 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum bakteri Paracoccus sp terjadi pada medium dengan salinitas (NaCl) 2% (Gambar 5). Menurut Anthoni (2006), NaCl sangat mempengaruhi salinitas air laut, karena konsentrasinya paling dominan dibandingkan dengan senyawa lainnya. Air laut dengan salinitas 3,5% mengandung sekitar 85,62% NaCl, artinya konsentrasi senyawa NaCl di dalam air laut sebesar 3%. Oleh karena itu, bakteri Paracoccus sp dapat tumbuh optimum pada medium dengan salinitas (NaCl) 2%, karena konsentrasi NaCl yang terkandung di dalamnya hampir menyerupai habitat aslinya (air laut) yaitu sebesar 3%. semua tipe salinitas. Akan tetapi dengan pertumbuhan optimal terjadi pada salinitas 2%. Hal ini disebabkan karena air laut memiliki kandungan NaCl rata-rata sebesar 3,5% (Tomczak, 2003). Konsentrasi Na+ yang tinggi ternyata tidak dapat ditoleransi oleh bakteri Paracoccus sp. dan bakteri Pseudomonas sp. Hal ini terlihat dengan rendahnya pertumbuhan di dalam medium dengan salinitas (NaCl) 10% (Gambar 7). Bakteri Pseudomonas sp memiliki pertumbuhan tertinggi pada salinitas dengan konsentrasi 2%. Konsentrasi Na+ yang tinggi ini diduga telah mengganggu stabilitas membran, aktivitas enzim, maupun mekanisme transpor aktif kedua bakteri ( Kogure et.al ,1991). Gambar 5. Kurva pertumbuhan kultur bakteri Paracoccus sp (R4) pada medium ONR7 cair, pada berbagai salinitas (0%,2%,5%,10%) Gambar 6 Bakteri Marinobacter sp memiliki rentang toleransi salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri Paracoccus sp (Gambar 6). Bakteri Marinobacter sp. dapat tumbuh pada Hasil uji pertumbuhan pada berbagai tipe salinitas menunjukkan bahwa bakteri Paracoccus sp dan Pseudomonas sp memiliki karakteristik pertumbuhan yang lebih lambat 14 Kurva pertumbuhan kultur bakteri Marinobacter satoriniensis sp (R5) pada medium ONR7 cair, pada berbagai salinitas (0%,2%,5%,10%) Daftar Pustaka Gambar 7 Kurva pertumbuhan kultur bakteri Pseudomonas sp (R6) pada medium ONR7 cair, pada berbagai salinitas (0%,2%,5%,10%) pada kadar NaCl 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua bakteri ini tidak dapat tumbuh pada kondisi air laut dengan salinitas tinggi. Bakteri Marinobacter sp memiliki karakteristik pertumbuhan yang sama yaitu tumbuh baik pada semua tipe salinitas dengan pertumbuhan optimal pada NaCl 2%. Hal ini disebabkan karena air laut memiliki kandungan NaCl ratarata sebesar 3,5% (Tomczak, 2003). KESIMPULAN Tiga bakteri yang diduga menghasikan biosurfaktan dari Pulau Laki, Kepulauan Seribu telah diisolasi, masing-masing Marinobacter satoriniensis strain NKSGI, Paracoccus sp and Pseudomonas sp yang ketiga dapat tumbuh optimal pada perlakuan dengan penambahan 2%, akan tetapi bakteri Marinobacter sp dapat tumbuh pada semua tipe salinitas. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada, Drs YB. Subowo. Msi, Dr. I Made Sudiana, dan Sulistiani MKes, yang telah memberikan kontribusi yang besar selama penelitian. 15 Anthoni, J. Floor. 2006. The Chemical Composition of Seawater. http://www. seafriends.org.nz/oceano/seawater.htm. Desai, J.D. and Banat, I. M. 1997. Microbial production of surfactant and their commercial potential. Microbiology and Molecular Biology Reviews 61 (1): 47-64 Francy, D.S., Thomas , J.M., Raymond, R.L., and Ward, C.H. 1991. Emulsification of hydrocarbons by surface bacteria. J. Ind. Microbiol. 8: 234-246 Kogure, K, O. Suwan, K. Ohwada, and U. Simidu. 1991. Correlation between Possession of a Respiration-Dependent Na+ Pump and Na+ Requirement for Growth of Marine Bacteria”. Applied And Environmental Microbiology. 57- 1844-1846. Lin, S., 1996. Biosurfactants: Recent Reviews.J. Chem. Tech. Biotechnol 66: 109-120 Makkar, R.S. and Rockne, K. J. 2003. Comparison of synthetic surfactants and biosurfactant in enhancing biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs). Envir. Toxicology and Chemistry 22 (10): 2280-2292. Martienssen, M., Reichel,O., and Scheimer, M. 2003. Use of surfactants to improve the biological degradability of petroleum hydrocarbons. Chemie Ingenieur Teck 75 (11): 1749-1755 Pelczar, M. J. Jr., & E. C. S. Chan. 2005. DasarDasar Mikrobiologi 1. Jakarta: UI Press. Sheryl, E Dykstershouse, James P. Gray, Russell P. Herwig, Canolara and James T. Staley. 1995. Cycloclasticus pugetii gen. Nov, sp. Nov, on Aromatic Hydrocarbon-Degrading Bacterium from Marine Sadiments. International Journal of Systematic Bacteriology. 116-123. Tomczak, M. 2003. Properties of seawater. http://www.cmima.csic.es/ mirror /mattom/ IntroOc/lecture03.html, Zang, Haimou, Aristeidis K., Anna I. Koukkou, dan Constantin D. 2004. “Isolation and characterization of novel bacteria degrading polycyclic aromatic hydrocarbons from polluted Greek soils”. Applied Microbiology and Biotechnology, Vol. 65, Hal: 124-131. 16