BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Interaksi Obat Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007). 22 2.2 Mekanisme Interaksi Obat Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut: 1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik). 2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi farmakokinetik). a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas). b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial). c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar. d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan. (Hashem, 2005). 23 Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat : 1. Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : a. Interaksi pada absorbsi obat i. Efek perubahan pH gastrointestinal Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008). ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008). 24 iii. Perubahan motilitas gastrointestinal Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008). iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008). v. Malabsorbsi dikarenakan obat Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008). b. Interaksi pada distribusi obat i. Interaksi ikatan protein Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara 25 molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008). ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008). c. Interaksi pada metabolisme obat i. Perubahan pada metabolisme fase pertama Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadangkadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) 26 untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008). ii. Induksi Enzim Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008). iii. Inhibisi enzim Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008). iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian 27 kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008). v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008). d. Interaksi pada ekskresi obat i. Perubahan pH urin Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008). ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan 28 meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008). iii. Perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008). 2. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obatobat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009). a. Interaksi aditif atau sinergis Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008). 29 b. Interaksi antagonis atau berlawanan Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008). 2.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level : minor, moderate, atau major. 1. Keparahan minor Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004). 2. Keparahan moderate Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya potensial intervensi/monitor mungkin sering terjadi diperlukan. pada pasien, Efek interaksi dan beberapa moderate tipe mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004). 30 3. Keparahan major Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005). 2.4 Prevalensi Interaksi Obat Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena (1) dokumentasinya masih sangat jarang; (2) seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan pada dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan (3) kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik) (Setiawati, 2007). Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) yang menjadi kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survai yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita yang 31 mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2007). Estimasi/perkiraan terbaik terhadap prevalensi reaksi obat merugikan berasal dari program survey yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug dimana interaksi obat ditetapkan sebanyak 7% dari reaksi obat merugikan di rumah sakit (Caruthers, 2000). Laporan secara keseluruhan terhadap frekuensi interaksi obat-obat sangat bervariasi di literatur. Laju insidensi yang dilaporkan pada tahun 1970-an dan 1980-an dalam range 2,2 – 70,3 % untuk pasien rawat jalan, rawat inap, atau pasien yang mendapat perawatan di rumah. Secara keseluruhan, insidensi interaksi obat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi pada populasi seperti orang tua, orang-orang dengan kemampuan metabolisme lama atau lambat, orangorang dengan disfungsi hati dan ginjal, dan orang-orang yang mendapatkan banyak obat, khususnya penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data yang dikumpulkan pada tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa interaksi obat potensial sebesar 75% pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi yang signifikansi klinisnya aktual sebesar 25% (Piscitelli, 2005). Di Indonesia, sebuah hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta menunjukkan bahwa interaksi obat terjadi pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan (Rahmawati, 2006). 32 2.5 Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari interaksi antara obat dan obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003). Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006). 2.6 Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit: a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan rumah sakit 33 Rumah Sakit mempunyai fungsi: a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). 2.7 Rekam Medis Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien yang rawat inap sekurangkurangnya harus membuat data mengenai : a. Identitas pasien b. Anamnesis c. Riwayat penyakit 34 d. Hasil pemeriksaan laboratorium e. Diagnosis f. Persetujuan tindakan medis (informed consent) g. Tindakan / pengobatan h. Catatan Perawat i. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan, dan j. Resume akhir dan evaluasi pengobatan Rekam medis pasien ini wajib diisi pada semua tindakan medis yang diinstruksikan oleh dokter dan juga terhadap semua hasil observasi pada pasien selama dirawat, mengingat arti pentingnya rekam medis ini maka rekam medis ini harus dibubuhi tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, Permenkes ini juga melarang atau tidak memperbolehkan adanya penghapusan tulisan dengan cara apapun juga, baik dengan menggunakan karet penghapus, tip-ex serta alat penghapus lainnya. Cukup dengan pencoretan, yaitu dengan sebuah garis, baru kemudian diparaf (Iskandar, 1998). 35