Saudara Edi, PCM Geyer

advertisement
Hewan Sembelihan untuk Selamatan
Hukum Hewan Sembelihan
yang Digunakan untuk Selamatan
Pertanyaan Dari:
Saudara Edi, PCM Geyer
(disidangkan pada hari Jum’at, 7 Jumadilawal 1433 H / 30 Maret 2012)
Pertanyaan:
As-Salamu ‘alaikum wr. wb.
Hewan sembelihan yang digunakan untuk selamatan 3 hari, 7 hari dan lain-lain, halal atau
haram?
Terimakasih.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih kami ucapkan atas pertanyaan saudara. Pada dasarnya, memakan daging
sembelihan itu dibolehkan (mubah), karena segala sesuatu yang ada di bumi ini boleh untuk
dimakan dan boleh untuk digunakan selama tidak ada dalil al-Qur’an atau al-hadis yang
melarangnya, sebagaimana kaidah usuliyah:
Artinya: “Asalnya sesuatu itu mubah/boleh.”
Adapun yang saudara tanyakan itu mengenai memakan daging sembelihan yang
digunakan untuk selamatan 3 hari, 7 hari dan lain-lain. Sedangkan upacara selamatan tiga hari,
lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme,
serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu mengakar dalam masyarakat. Tahlilan atau
selamatan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur pendeta
dalam sebuah acara berikut ini:
“Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jawa Timur, diselenggarakan kongres Asia para
penganut agama Hindu, Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang
cukup mendalam kepada Tuhan mereka, karena bermanfaatnya salah satu ajaran agama mereka
yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap
tahun yang disebut geblake dalam istilah Jawa, untuk kemaslahatan manusia yang terbukti
dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam.”
Selain itu, karena hal semacam ini ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali
kepada tuntunan Islam. Dan terkadang upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya yang
besar, yang kadang-kadang harus meminjam uang kepada tetangga atau saudaranya, sehingga
selamatan ini akan semakin memberatkan pihak keluarga si mayit.
Muhammadiyah pernah menetapkan hukum tahlilan ini dalam fatwa tarjih yang dimuat
pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003, bahwa upacara yang dikaitkan dengan
tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana
dilakukan oleh pemeluk agama Hindu, ditambah lagi harus mengeluarkan biaya besar, sehingga
terkesan tabzir (berbuat mubazir) itu dilarang, karena tidak ada dalil al-Qur’an dan hadis Nabi
saw yang menjelaskan kebolehannya. Senada dengan itu, pada fatwa tarjih yang dimuat dalam
Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun 2005, bahwa setelah jenazah selesai dimakamkan,
tuntunan Rasulullah saw yang ada adalah tentang pemberian tanda dengan batu atau benda lain
yang tahan lama, berdoa kepada Allah memohon kebaikan kepada kedua orang tua yang sudah
meninggal dan ziarah kubur. Selain itu tidak ditemukan tuntunan dari Nabi saw di dalam hadishadis yang maqbul.
Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang
Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin
kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan
mereka ketika masih beragama Yahudi. Tetapi Nabi Muhammad saw tidak memberikan izin, dan
kemudian turunlah ayat:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” [QS. al-Baqarah (2): 208]
Dalam syari’at Islam, ketika ada orang yang meninggal dunia, seharusnya kita
bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian dengan membawa
bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Hal ini seperti yang pernah
diajarkan Nabi saw ketika Ja'far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh
kepada para sahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah
keluarga Ja'far untuk makan dan minum, seperti sabda Nabi saw:
Artinya: “Diriwayatkan dari „Abdullah bin Ja‟far, ia berkata: Ketika datang berita kematian
Ja‟far, Rasulullah saw bersabda: „Buatlah makanan untuk keluarga Ja‟far, karena telah datang
suatu urusan yang menyibukkan mereka‟.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]
Selain itu, makan hidangan yang berasal dari upacara selamatan 3 hari, 7 hari, hal ini
termasuk dari nihayah (ratapan), sebagaimana dalil-dalil berikut ini:
1. Hadist mauqûf atau âtsar yang sahih:
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajaly dia berkata: Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit serta menghidangkan
makanan merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” [HR. Ibnu Majah]
2.
Dalam kitab Mushannif Ibnu Abi Syaibah hal 291 dengan susunan sanad yang sahih
disebutkan:
Artinya: “Diriwayatkan dari Thalhah ia berkata: Jarir mendatangi Umar. Umar berkata:
Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit? Jarir menjawab: Tidak. Umar berkata: Apakah di
antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan
hidangannya? Jarir menjawab: Ya. Umar berkata: Hal itu sama dengan niyahah (meratap)”.
3.
Dalam atsar lain yang juga sahih menyebutkan:
Artinya: “Diceritakan oleh Waki‟ bin Jarrah dari Sufyan, dari Hilal bin Khabbab, dari Abi alBakhtari, ia berkata: Makanan atas mayit itu termasuk perbuatan jahiliyah dan niyahah
(ratapan) itu termasuk perbuatan jahiliyah.
Dalam kaidah usuliyah juga disebutkan:
Artinya: “Hukum sarana itu menyesuaikan maksud atau tujuannya.”
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya, bisa jadi daging sembelihan tersebut
halal secara zatnya, karena tetap disembelih dengan menyebut nama Allah, namun karena
maksud atau tujuan dari penyembelihan tersebut adalah untuk dihidangkan pada upacara
selamatan tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya, maka penyembelihan tersebut tidak dapat
dibenarkan, sehingga daging hewan yang disembelih pun tidak boleh dimakan. Penyembelihan
dan menghidangkan daging hewan sembelihan untuk upacara selamatan tersebut tidak sesuai
dengan ajaran Islam, karena tuntunan Nabi saw justru menganjurkan kita membawa makanan
pada keluarga yang berduka, bukan sebaliknya, yaitu makan-makan di rumah keluarga yang
berduka. Bahkan hal tersebut juga termasuk dalam kategori niyahah (ratapan) yang dilarang.
Oleh karena itu, sebagai langkah untuk ihtiyat (berhati-hati), lebih baik memakan daging
dari hewan yang disembelih untuk acara selamatan itu tidak dilakukan.
Wallahu a‟lam bish-shawab. putmpi*)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: [email protected] dan [email protected]
Download