Memetri - e-Journal - Universitas Kanjuruhan Malang

advertisement
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
Makna Komunikasi Simbolik ‘Memetri’ Bagi Masyarakat
Desa Kesamben Ngajum Kabupaten Malang
Yayuk Widyastuti Herawati
Abstrak, komunikasi simbolik dalam suatu acara tertentu sudah cukup lama
berkembang. Tujuan pelaksanaan tersebut merujuk pada agar terhindarnya dari
hal-hal yang dapat menimbulkan efek yang kurang baik. Kajian pada penelitian
terhadap hal tersebut terbatas pada selamatan orang hamil, bayi lahir, selamatan
untuk diri seseorang, atau untuk hajat seseorang. Tujuan yang akan dicapai pada
penelitian adalah deskripsi makna “memetri” dan bentuk-bentuk komunikasi
simbolik yang terjadi pada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
makna “metri” dalam pelaksanaannya memiliki sifat komunal dan individual.
“metri” yang bersifat komunal yaitu bersih desa memiliki 2 kegiatan dan 2
aktivitas ritual, dawuhan yang dilakukan oleh petani untuk menghormati makhluk
yang ada di tempat-tempat irigasi (dam atau bendungan). “metri” yang bersifat
individual yaitu orang hamil yang dilaksanakan pada usia kandungan sudah
mencapai 4 dan 6 bulan dan bayi lahir yang ritualnya dilaksanakan saat usia bayi
mencapai 10 hari bagi laki-laki dan 8 hari bagi wanita yang sebelumnya telah
dilakukan brokohan.
Kata Kunci: Komunikasi Simbolik, “memetri”
“Memetri” atau “Metri” adalah istilah bahasa Jawa yang secara harfiyah
artinya melestarikan atau merawat dengan sungguh-sungguh. Kata ini merujuk
pada acara selamatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di
Kabupaten Malang dan sekitarnya, dengan tujuan untuk memelihara dan merawat
keselamatan diri atau anggota keluarga. Upacara “memetri” biasanya dilakukan di
dalam sebuah keluarga, untuk memberikan doa keselamatan bagi anggota
keluarga atau untuk segala sesuatu yang dianggap penting untuk di
“petri”sehingga tidak akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Di tingkat
desa, acara “memetri” ini berbentuk upacara selamatan desa yang bertujuan untuk
memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari wabah penyakit ataupun
bencana. Salah satu tujuan melakukan “memetri” ini adalah untuk mengirim doa
kepada para leluhurnya yang telah meninggal dunia. Hal ini didasari oleh
keyakinan dalam hadits (agama Islam) bahwa akan putus amal seseorang setelah
ia mati, kecuali tiga perkara yaitu: amal jariyah, shodaqoh, dan doa anak sholih
kepada orang tuanya yang telah meninggal.
Dalam perspektif komunikasi budaya, “memetri” ini merupakan suatu
bentuk komunikasi simbolik. Sebagai suatu komunikasi simbolik, penting untuk
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
378
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
memahami makna dari komunikasi simbolik tersebut dan nilai-nilai yang
termaktub di dalamnya. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah apa makna ”memetri” ini bagi masyarakat yang
mendukungnya, dan apa saja bentuk-bentuk komunikasi simbolik yang muncul
pada acara selamatan atau “metri” yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang khususnya.
KAJIAN PUSTAKA
Komunikasi sebagai Proses Simbolik
Dalam pandangan Buck dan Vanlear (2002), “Symbolic communication is
the intentional communication, using learned, socially shared signal system, of
propotional information transmitted via symbol”. Artinya komunikasi simbolik
dalam jejaring social tentu merupakan proses komunikasi yang disengaja dengan
system tanda dan simbol yang disepakati bersama yang sesuai dengan tujuan dari
orang yang terlibat di dalamnya.
Simbolik interaksionisme adalah cara kita menginterpretasikan dan memberi
makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang
lain. Teori komunikasi simbolik menekankan dua hal: pertama, manusia dalam
masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi social. Kedua, interaksi dalam
masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung
dinamis.
Konsep Herbert Blumer
Blumer (1996) mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik
yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self)
dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar.
1. Meaning: konstruksi realitas sosial.
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang
terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia
pahami tentang objek atau orang tersebut.
2. Language: sumber makna.
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
379
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini
kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
3. Thought: proses pengambilan peran orang lain. Premis ketiga, Blumer
adalah
interpretasi
simbol
seseorang
dimodifikasi
oleh
proses
pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berfikir
sebagai inner conversation, Mead menyebut aktifitas ini sebagai minding.
Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog
dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi tersebut.
Untuk bisa berfikir, maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu
untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa
mengaktifkan mind.
Pemikiran George Herbert Mead
Kontribusi terbesar George Herbert Mead untuk memahami proses berfikir
adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang
unik untuk memerankan orang lain (taking the role of the other). Sebagai contoh,
pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya,
berbicara dengan teman imajiner dan secara terus menerus sering menirukan
peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu
bertindak. Mengambil orang lain sebagai model untuk ia tiru dalam setiap tindaktanduk keseharian.
Setelah memahami konsep meaning, language, dan thought, maka kita dapat
memperkirakan konsep Mead tentang diri. Mead menolak anggapan bahwa
seseorang bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan
bahwa untuk mengetahui diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui
sapuan kuas yang datang dari proses pengambilan peran. Proses ini berusaha
membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita. Para interaksionis
menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu
dikonstruksi secara sosial.
Menurut Blumer (1996) konsepsi diri berkembang melalui interaksi
simbolik melalui apa yang disebut looking-glass-self, yakni gambaran mental
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
380
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
tentang self yang dihasilkan dari mengambil peran dari orang lain. Tanpa bahasa
kita tidak dapat mengembangkan konsep diri. Blumer (1996) mengatakan bahwa
dalam proses sosial yang berlaku bukanlah “you become whatever you tell
yourself you are”, tetapi “you become whatever those around you tell you are”.
Yang berlaku bukan “anda menjadi apapun apa yang anda katakana tentang diri
anda”, tetapi “Anda menjadi apapun yang orang lain di sekitar anda katakana
mengenai siapa anda”.
Kajian Riset Sebelumnya
Riset sebelumnya mengenai komunikasi simbolik ini pernah dilakukan oleh
Gumgum Gumelar (2008) dalam judul “Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan
Pengguna Tato Kota Bandung”. Tato merupakan salah satu bentuk komunikasi
simbolik, yang mengalami banyak pergeseran makna. Pada masyarakat
tradisional, tato merupakan penanda masa peralihan (rites of passage). Sementara
pada zaman orde baru, tato mengalami pemaknaan yang mengerikan karena
peristiwa penembakan misterius terhadap para gali, preman yang mana gali dan
preman ini diidentikkan dengan tato pada tubuhnya. Sekarang tato identik dengan
seni dan keindahan dan berkembang menjadi bagian dari budaya popular yang
berkembang dalam masyarakat modern. Tato sendiri sebagai alat komunikasi
simbolik, mempunyai fungsi sebagai symbol, tanda kenal, atau hiasan yang
merupakan system tanda atau tanda visual yang meliputi symbol, ikon, indeks,
ligisign, qualisign, dan sinsign.
Studi lain dengan pendekatan interaksi simbolik juga pernah dilakukan oleh
Hariyati dengan judul “Studi interaksionisme simbolik: Budaya Telepon Genggam
pada Masyarakat Perkotaan” (Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 10. No. 1). Studi
ini menyimpulkan bahwa dalam masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai
kebendaan atau materi, kepemilikan benda-benda yang mengandung symbol
tertentu merupakan kebutuhan. Interaksi social yang muncul merupakan
pertukaran simbol melalui benda-benda. Pengakuan orang lain akan gengsi dan
status social menjadi kebutuhan untuk diterima lingkungannya.
Studi mengenai komunikasi simbolik juga dilakukan oleh Yenrizal (2010)
menegenai komunikasi ritual dalam tradisi Kepala Menyan; Studi terhadap
Pertautan tradisi Lokal dan Nilai Keislaman di Desa Air Keruh dan Desa
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
381
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
Sukarami,
Kecamatan
Rambang,
Kabupaten
Muara
Enim.
Studi
ini
menyimpulkan bahwa proses adaptasi nilai budaya lokal serta masuknya nilai
keislaman terhadap Kepala Menyan berlangsung alami dan komunikasi ritual
berlangsung atas interaksi dengan alam. Kepala Menyan adalah budaya lokal, nilai
penghargaan terhadap alam semesta, keyakinan penguasa alam semesta
diwujudkan melalui ritual yang dipimpin kepala menyan.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
dengan
kajian
fenomenologis metode kualitatif ini dilakukan berdasarkan pertimbangan yaitu: 1)
Penelitian ini menganalisis gejala sosial yang tidak bisa dipisahkan dari
konteksnya (Moleong, 1989: 15). 2) penelitian ini bertindak sebagai instrument
kunci. Kajian fenomenologi digunakan untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu
melihat dan menganalisis pemahaman terhadap tradisi “memetri” yang meliputi,
nilai, persepsi masyarakat Jwa terhadap berbagai praktik “memetri”.
Satuan analisis penelitian ini adalah individu, karena peneliti menggunakan
paradigma definisi sosial yang kerkarakter mikrosubyektif, yaitu konstruksi sosial
dari masyarakat dan juga didukung oleh penggalian data observasi lapangan.
Penelitian ini akan melihat berbagai factor seperti historis dan cultural sebagai
dasar untuk memahami praktik budaya ‘memetri”. Setting historis didapat dari
kajian mendalam latar belakang kehidupan peneliti untuk proses pemahaman
“memetri” ini.
Lokasi penelitian ini di Desa Kesamben, Kecamatan Ngajum Kabupaten
Malang. Pemilihan infiormasi kunci dilakukan kepada beberapa (anggota)
keluarga di Desa Kesamben dengan teknik sampling bertujuan (purposive
sampling). Disamping itu, beberapa tokoh informan masyarakat juga menjadi
informan kunci untuk memahami kegiatan memetri. Pemilihan informan
selanjutnya dilakukan dengan teknik bola salju (snow-ball sampling) (Moleong,
1989: 165-166), yang didasarkan pada informasi yang berkembang dari informasi
kunci.
Pengumpulan data dilakukan dengan: partisipant observation, wawancara
mendalam, life history dan studi dokumen. Teknis analisis data dilakukan dengan
prinsip on-going analisis, yaitu teknis analisis data yang dilakukan secara simultan
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
382
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
antara pengumpulan data dan analisis data. Data yang didapat berikutnya
dibandingkan dengan data sebelumnya dan demikian seterusnya. Dalam konteks
inilah, pemahaman pada level subyek penelitian dinyatakan sebagai the first order
understanding (Sumaryono, 1993: 54-55). Untuk pengecekan data, peneliti
menggunakan beberapa cara. Pertama, memperpanjang masa participant
observation. Kedua, peneliti akan menggunakan triangulasi. Ketiga, peneliti juga
melakukan member-check (Lincoln and Guba, 1985: 373-374 dalam Moleong
1989)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bersifat Komunal
Acara “metri” yang dilakukan di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum
Kabupaten Malang yang secara komunal yaitu “Metri” Desa dan “metri” sungai
yang mengalir di Desa Kesamben Ngajum Malang.
“Bersih Desa”
“Metri” desa dilakukan pada Bulan besar, hari Senin Legi yang terkenal
dengan sebutan “bersih desa”. Kegiatan ini ada 2 macam yaitu: memberi sesajian
dan melakukan selamatan di 2 tempat yaitu di Mbah Sodoto dan Mbah Bawuk.
Mbah Sodoto dan Mbah Bawuk ini adalah 2 punden yang ada di Desa Kesamben,
pertama terletak di Desa Kesamben dan yang kedua, di punden yang ada di Dusun
Talun.
Menurut Pak Dasuki yaitu orang yang dianggap sebagai sesepuh desa
sekaligus yang memimpin acara selamatan atau “metri” desa, selamatan desa atau
bersih desa atau metri desa itu sama dengan atur dedahar teng sing mengku dusun
memberikan “sesuatu” kepada yang memegang desa tersebut. Ritual yang
dilakukan ada 2 kali: Pertama, di pagi hari yaitu di Punden Desa Kesamben
Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. Bahan yang disiapkan antara lain “cok
bakal” dan “sesaji”. “Cok bakal” merupakan “takir” (tempat dari kulit pohon
pisang alias debog yang dibentuk seperti nampan) berisi bumbu selengkapnya
yaitu cikalan (1/4 kelapa), tumbar, bawang merah, bawang putih, cabe, kencur,
jahe, trasi, dan 1 telur ayam kampung. “Sesaji” berisi berisi beras, gedang sak
tangkep (pisang 2 sisir), yang diatasnya ada “cok bakal” tadi. Di saat pagi hari itu,
Kepala Desa juga diwajibkan ngasah (menyediakan makanan untuk dibagikan
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
383
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
pada para undangan yang dating) berisi nasi kuning, dan lauk-pauk yang kering
(misalnya: yang wajib harus ada mi, sambal goreng, rempeyek teri, untuk yang
lain seperti perkedel ayam goring dan lain-lain itu terserah bisa ada bisa tidak
ada). Sedangkan masyarakat lain selain Kepala Desa yang ikut ngasah bebas
menentukan nasi, lauk pauk, dan sayur mayurnya yang penting ikhlash, boleh nasi
ketan, buah-buahan dan sebagainya.
Ritual kedua dilakukan pada sore hari di rumah Kepala Desa Kesamben.
Pada waktu ritual kedua ini, siapapun juga diperbolehkan ngasah khususnya bagi
keluarga yang tidak bisa ngasah di pagi hari. Selain ada selamatan yang ditandai
dengan ngasah tadi, masyarakat desa juga dihibur dengan pertunjukkan wayang
kulit semalam suntuk. Pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang dilakukan di
Desa Kesamben ini harus tanpa sinden (orang yang mengiringi wayang kulit
dengan lagu dan suara yang merdu) untuk menghindari kejadian yang tidak
diinginkan.
Menurut Pak Dasuki, makna yang tersirat adalah asuk dedhahar untuk yang
baurekso desa + cikal bakalnya itu (perangkat desa dan perangkat makhluk
halus). Ini adalah salah satu upaya untuk nguri-nguri budoyo yaitu menghormati
sesepuh yang dahulu yang memulai berdirinya desa ini. Karena, sesusah-susahnya
kita hari ini masih lebih susah beliau yang mbedah krawang atau mbabat alas atau
mereka yang pertama kalinya menempati Desa Kesamben. Dengan melakukan 2
ritual ini, masyarakat Desa Kesamben berharap bisa selamat tidak ada wabah atau
bencana yang dating di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang.
“Dawuhan”
Acara yang bersifat komunal kedua yaitu “dawuhan”. Dawuhan yaitu
selamatan yang dilakukan oleh para petani yang ada di Desa Kesamben
Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. Acara ini dilaksanakan pada bulan Suro,
di sungai yang bernama “gesang”, di pagi hari jam 06.00. Menurut Pak Dasuki,
kegiatan ini dilakukan untuk menghormati makhluk yang ada di dam atau
bendungan yang ada di Desa Kesamben. Dan selamatan ini diikuti oleh semua
petani di Desa Kesamben khusus bagi mereka yang punya sawah.
Bahan atau “ubo rampe” yang harus dibawa yaitu “asahan” berupa nasi
putih, lauk-pauk yang kering atau digoreng saja misalnya: sambal goreng,
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
384
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
perkedel, mi, telur goreng, atau juga makanan dari beras ketan, asal bukan nasi
dan sayur yang berkuah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan budaya di
masa lampau.
Bersifat Individual
Acara selamatan atau “metri” yang dilakukan individu juga bermacammacam. Ada selamatan/”metri” orang hamil, selamatan/”metri” bayi lahir,
selamatan/”metri” untuk segala keperluan yang punya hajat, misalnya “metri”
awak” atau saat weton kita atau hari lahir sesuai dengan pasaran di penanggalan
Jawa, selamatan/”metri” rumah, saat melaksanakan pernikahan, selamatan orang
meninggal, selamatan atau “metri” sawah, dan lain-lain. Dalam penelitian ini,
hanya selamatan atau “metri” orang hamil dan bayi lahir yang akan dijelaskan.
“Metri orang hamil”
Dalam selamatan atau “metri” orang hamil, dimulai saat usia kehamilan 4
bulan yang biasa disebut dengan telonan/neloni, dan saat usia kehamilan mencapai
6 bulan, masyarakat Desa Kesamben melakukan tingkep atau mitoni.
Saat neloni, asahan atau ambengan yang disediakan antara lain: nasi putih
yang disebut dengan sego bruk yaitu yang ditempatkan di nampan tanpa dibentuk
atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah
santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan
kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi,
tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap,
juga lauk-pauknya yaitu ayam kampong yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya
biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan
banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas.
Selamatan atau “metri” orang hamil yang kedua saat usia kehamilan berusia
7 bulan yang disebut dengan mitoni atau tingkep. Saat mitoni atau tingkep ini,
“metri” orang hamil bisa memanggil dukun bayi atau tidak. Kalau memanggil
dukun bayi, keluarga orang hamil sedikitnya menyediakan 3 asahan dan
jenangsengkolo. Tapi diperbolehkan juga tanpa dukun bayi, sehingga asahan yang
disediakan hanya 2 macam.
Pertama, nasi putih atau disebut sego bruk yang gurih dengan lauk-pauk
yang serba kering, misalnya mi, sambal goreng kentang dan tempe atau tahu, telur
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
385
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
dadar, dan jenang sengkolo. Sebagian masyarakat Desa Kesamben tidak
menggunakan telur tapi ayam kampong yang digoreng. Mereka menghindari telur
karena beralasan bentuk alaminya yang bulat, yang mengandung arti bisa
berpindah kemana-mana tapi tidak bisa pecah dalam bahasa Jawa glundangglundung ora pecah. Hal ini diibaratkan pada pikiran si calon anak yang
dikandung yang walaupun berfikir keras tapi tidak bisa memecahkan masalah.
Oleh karena itu, untuk lauk-pauknya sebagian menhindari telur, khusus untuk
selamatan atau “metri” orang hamil dan bayi lahir.
Asahan kedua, masyarakat menyediakan tumpeng bucu pitu yaitu nasi yang
dibentuk lancip seperti gunung berjumlah 7 buah. Satu tumpeng besar diletakkan
di tengah, dan enam buah lainnya disampingnya kiri dan kanan yang semuanya
dibentuk seperti gunung tapi lebih kecil dari yang tengah. Untuk sayurnya,
disediakan sayur-berkuah santan, urap-urap sayur-mayur yang macamnya bebas
bisa ambil dari 3 atau lebih macam sayuran dan trancaman yaitu mentimun, daun
kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu
urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampong yang digoreng. Sayur-mayur
dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang.
Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak
terbatas. Khusus bagi mereha yang hamil melewati tahun baru Islam (Hijriyah)
atau disebut dengan melangkahi tahun, bentuk tumpeng berubah, yaitu ada daun
pisang yang diletakkan memutar di tumpengnya yang disebut kendit atau ikat
pinggang, atau disebut dengan tumpengkendit.
Asahan ketiga disediakan kalau saat tingkep atau mitoni memanggil dukun
bayi. Asahan ketiga ini disebut polopendem dan juga jajanan lengkap. Polo
pendem ini terdiri dari makanan yang diambil dari umbi-umbian atau kacangkacangan yang terletak di dalam tanah, misalnya ketela manis, ketela pohon,
kacang tanah, dan lainnya yang penting jumlahnya 7 macam yang menandai usia
kehamilan 7 bulan. Jajanan lengkap juga berjumlah 7, antara lain: nagasari,
jenang, jadah, wajik, dan jajanan lainnya yang jumlahnya hars lengkap tujuh
macam.
Disamping nasi dan lauk-pauknya, orang hamil juga menyediakan rujak
manis yang dibuat dari 7 macam bahan atau buah-buahan. Diantara 7 buah itu,
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
386
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
harus ada 2 degancengkirgading (satu dicampur dalam rujak manis dan yang lain
untuk mandi) dan jeruk bali. Macam buah lainnya bisa seperti mangga,
bengkuang, blimbing, kedondong, mentimun, dan lain-lain. Semua bahan ini
diparut kasar, diberi air matang dan juga bumbu rujak manis yaitu ada cabe, garam
dan gula jawa merah. Saat dibagi kepada para tamu undangan yang kenduri, rujak
manis ini harus disisakan 1 gelas, yang nantinya akan dibeli oleh ayah dari ibu
hamil tadi. Artinya ayah yang akan nebus atau menggantikan sakit yang nantinya
akan dirasakan ibu hamil saat melahirkan nanti. Selain itu, para tamu undangan
juga dianjurkan untuk membayar untuk bisa membawa pulang rujak manis tadi,
tapi tidak wajib membayar. Uang hasil “penjualan” tadi digunakan untuk membeli
jamu “anton-anton tuwo” yaitu jamu khusus untuk ibu hamil tua.
Sedangkan, satu kelapa muda atau “cengkir gading” tadi dipecah, dicampur
dengan kembang telon wangi kemudian dibuat untuk mandi oleh ibu yang hamil
tadi. “Cengkir” mengandung arti “kencenge pikir” atau lurusnya pikiran jadi
diharapkan ibu yang hamil tadi akan tetap lurus pikirannya pada Allah SWT.
Setelah mandi, si ibu hamil akan mulai memakai jarit atau kain panjang satu per
satu sampai tujuh kali baru berhenti. Ini berarti menandai kalau usia kehamilan
sudah mencapai 7 bulan.
Khusus untuk mereka yang hamil melewati tahun baru Hijriyah atau
“nglangkahi tahun” harus menyediakan juga “asahan” berupa “maron” yaitu
tempat dari tanah liat yang di dalamnya diisi nasi “liwet”, ingkung yaitu satu ayam
yang telah dipanggang tetap diutuhkan, dan pisang 1 tundun yang nantinya juga
dibagi kepada para undangan kenduri yang datang.
“Metri bayi lahir”
Dalam “metri” bayi lahir, masyarakat Desa Kesamben juga mempunyai
kebiasaan saat kapan saja si bayi harus di”petri”. Pertama, selamatan atau “metri”
bayi dilakukan saat bayi lahir yang disebut dengan brokohan, artinya untuk
mendoakan si bayi biar mendapat berkah dari Allah SWT. “Asahan” yang
disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayur-mayur dan laukpauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit
bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai
dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
387
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu
mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang
diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng.
Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan
diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau
sampai tak terbatas.
Kedua, “metri” bayi atau “sepasaran” dilakukan bila bayi laki-laki berusia
10 hari atau saat bayi perempuan berusia 8 hari. “Asahan” yang disediakan sama
dengan “brokohan” sebelumnya. “Asahan” yang disediakan yaitu nasi putih yang
disebut sego bruk dengan sayur-mayur dan lauk-pauknya.
“Asahan” ini
ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk
atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah
santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan
kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi,
tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap,
juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya
biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan
banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas.
Ketiga, selamatan selanjutnya yaitu saat bayi berusia 40 hari atau disebut
dengan “selapan”. “Asahan” yang disiapkan sama dengan selamatan sebelumnya.
“Asahan” yang disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayurmayur dan lauk-pauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan
besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk
tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe,
kadang-kadang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman
yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang
yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang
digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang
yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4
orang atau sampai tak terbatas.
Keempat, saat bayi berusia 4 bulan atau 120 hari, dilakukan “telu/neloni”.
Asahan yang disediakan juga sama dengan sebelumnya. “Asahan” yang
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
388
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayur-mayur dan laukpauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit
bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai
dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang
ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu
mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang
diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng.
Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan
diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau
sampai tak terbatas.
Kelima, “metri” bayi dilakukan saat bayi berusia 8/9/10 bulan yang biasa
disebut dengan mitoni. Selamatan atau “metri” bayi “mitoni” ini ada dua macam.
Di”petri” di rumah sendiri atau di”petri” yang dua-duanya mendatangkan dukun
bayi. Perbedaan ada pada ramainya suasana atau tidak diramaikan. Yang pertama,
yang tidak diramaikan. Saat ini waktunya bayi “digebyak” yaitu dimana bayi
direbahkan di tempat tidur yang dibuat dari bambu. Kemudian dukun bayi akan
memulai berdoa diakhiri dengan menggebrak tempat tidur di sisi kiri dan kanan si
bayi sebanyak 3 kali. Berharap bahwa nantinya si bayi akan terbiasa dengan suara
keras yang mendadak dimaksudkan agar tidak mudah kaget. Yang kedua, yang
diramaikan. Biasanya selain ritual “digebyak” tadi, bayi juga dimandikan di
sungai seperti yang dapat dilihat di dokumentasi. Bayi 7 bulan di”karak” (dibawa
ramai-ramai, bisa naik andong dan disertai “terbang jidor” atau drumband ke
sungai diikuti oleh para undangan yang terdiri dari anak-anak yang ditemui di
jalan karena siapapun boleh ikut dan dipimpin oleh si dukun bayi. Saat di sungai,
si dukun bayi meletakkan sesaji yang terdiri dari “ripih” (yaitu boneka terbuat dari
adonan tepung terigu), juga “asahan” yang telah disiapkan untuk dibagi kepada
anak-anak yang datang sebagai “berkat” atau makanan yang dibawa pulang.
“Asahan” yang disiapkan selain nasi beserta lauk-pauk yang serba digoreng, juga
disediakan “keleman” seperti kacang, nogo sari, tetelan, jenang, pisang satu
tundun untuk yang ikut kenduri. Selain itu ada yang disebut “polo gimbal” (yaitu
beras ketan digoreng sangrai tanpa minyak di maron yang terbuat dari tanah liat,
dtaburi kelapa yang diparut, kemudian dicampur dengan gula putih, dibungkus
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
389
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
dengan bentuk kerucut atau contong kecil-kecil untuk “berkat” juga. Sedangkan
“pologinsing” adalah pasangannya. Pologimbal dan pologinsing (ojo ditinggal,
lek ditinggal muring-muring) artinya jangan ditinggal, kalau ditinggal akan
marag-marah. Ini mengacu pada anak 7 bulan tadi yang sudah mulai bisa protes
bila ada sesuatu yang tidak cocok dengan perasaannya. Setelah dimandikan oleh
dukun bayi, si bayi kemudian dipakaikan baju sampai 7 kali, sampai baju terakhir
ke 7 baru berhenti ganti baju. Kemudian diberi ayam goreng dan dikalungi uang
receh, berharap si bayi mendapatkan rejeki yang barokah dunia akherat. Setelah
sampai di rumah lagi, si bayi dimasukkan ke dalam “kurungan” yang di dalamnya
disediakan barang-barang seperti buku, jagung, uang, pensil, ayam, dan lain-lain.
Si bayi pastinya memilih sesuatu yang dipercaya merupakan ketertarikan di masa
yang akan datang dan berhubungan dengan bidang yang akan digeluti saat dewasa
sebagai mata pencahariannya.
Selain selamatan atau “metri” di atas, ada juga selamatan untuk segala
keperluan, misalnya “metri” mobil baru, “metri” awak atau tubuh yang di”petri”,
“metri” rumah yang baru dibangun, atu mungkin karena sering kemalingan, dan
hajat lainnya. Biasanya “asahan”nya adalah nasibruk dengan sayur dan laukpauknya seperti kebanyakan acara selamatan atau “metri” dilakukan. “Asahan”
ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk
atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah
santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan
kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi,
tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap,
juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya
biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan
banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas.
Kalau ada pernikahan, selamatan yang dilakukan adalah seperti biasa di atas
ditambah dengan nasi tumpeng dengan lauk yang serba digoreng. Selain itu,
disediakan juga jenangsengkolo untuk tolak bala.
Untuk selamatan weton atau hari lahir biasanya tidak harus selalu ada
“asahan” berupa sego bruk dan sayur mayor juga lauk-pauknya. Kadang-kadang,
kalau tidak ada uang untuk selamatan yang mengundang orang dan membagi
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
390
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
“berkat”, masyarakat Desa Kesamben hanya membuat jenang merah dan jenang
sengkolo yaitu jenang merah yang diberi jenang putih di atasnya yang berfungsi
untuk tolak bala. Selain itu juga ada kembang wangi atau kembang telon yang
diletakkan di “lepek” gerabah untuk alas gelas. Setelah itu, kita berdoa memohon
pada Allah keselamatan dunia akherat.
Dari ubo rampe atau macam sajian yang disediakan, ada tumpeng jejek atau
lancip yang berbentuk contong yang berarti njejekne pikire sing dislameti atau
meluruskan pikiran orang yang di”petri”. Tumpeng bruk atau sego bruk berarti
untuk memohonkan berkah untuk yang di”petri”. Cengkir gading berarti kencenge
piker sing dislameti atau lurusnya pikiran yang di”petri”. Cok bakal adalah cikal
bakale urip sing di”petri” atau asal muasal hidup yang di”petri”. Gedhang
setangkep atau pisang 2 sisir menandai saudara-saudara yang di”petri”. Jenang
putih sebagai simbol roh dari bapak. Jenang abang adalah simbol roh dari ibu.
Sedangkan jenang sengkolo untuk tolak bala. Jenang tua berarti ngaweruhi dulure
sing tua adoh tanpa wangenan cedhak tanpa senggolan atau memberi tahu
saudara yang lebih tua, yang jauh tanpa batas dan yang dekat tanpa bersentuhan.
Maksudnya adalah yang di”petri” masih berada diantara keluarga yang
mendukungnya walaupun mereka jauh maupun dekat tempat tinggalnya.
Tradisi “metri” yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kesamben Kecamatan
Ngajum Kabupaten Malang sudah turun-temurun. Di Agama Islam, tradisi “metri”
ini bisa diartikan shodaqoh dari keluarga yang di”petri” untuk para undangan yang
biasanya tetangga yang ada di kiri-kanan rumah kita. “Metri” di Desa Kesamben
Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang merupakan acara selamatan yang
dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan merawat
keselamatan diri atau anggota keluarga. Upacara “metri” dilakukan di dalam
sebuah keluarga, untuk memberikan doa keselamatan bagi anggota keluarga atau
untuk segala sesuatu yang dianggap penting untuk di “petri”sehingga tidak akan
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Acara memetri biasanya diadakan
untuk mendoakan arwah anggota keluarga atau leluhur yang telah meninggal, atau
untuk mendoakan anggota keluarga pada waktu hari lahir (weton), atau untuk
mendoakan keselamatan diri atau untuk menghilangkan hal-hal buruk (tolak bala).
Selain itu, ada juga selamatan rumah, mulai dibangun sampai mau menempati
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
391
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
rumah itu juga harus di “petri” waktu dan tempatnya. Bahkan, masyarakat “metri”
sepeda motor atau benda yang baru dibeli.
Memetri dilakukan di tingkat keluarga biasanya dilakukan dengan
mempersiapkan hidangan makanan nasi “berkat” yang biasanya berupa nasi bruk
atau sego bruk yang mengandung arti “berkah” berupa nasi putih dan sayur-mayur
serta lauk termasuk menyembelih ayam jawa. Kepala keluarga akan memanggil
beberapa tetangganya kiri-kanan (jumlahnya terserah tidak harus banyak orang).
Setelah didoakan oleh sesepuh yang diundang, kemudian mereka makan hidangan
yang telah disajikan dan membawa pulang “berkat” yakni berupa nasi beserta
lauk-pauknya.
Salah satu tujuan melakukan “memetri” ini adalah untuk mengirim doa
kepada para leluhurnya yang telah meninggal dunia. Hal ini didasari oleh
keyakinan dalam hadits (agama Islam) bahwa akan putus amal seseorang setelah
ia mati, kecuali tiga perkara yaitu: amal jariyah, shodaqoh, dan doa anak sholih
kepada orang tuanya yang telah meninggal. Dengan demikian ada motivasi yang
kuat secara komunal untuk melakukan “memetri”, terutama “memetri” yang
dilakukan untuk mendoakan orang tua dan para leluhurnya yang telah meninggal.
Selain itu, memetri juga dilakukan untuk memanjatkan doa selamat untuk anggota
keluarga atau anak-anaknya. Jenis “memetri” ini biasanya dilakukan pada hari
lahir sesuai penanggalan Jawa (weton). Sementara orang yang melakukan
“memetri” untuk “mendoakan keselamatan keluarga karena telah membeli
kendaraan baru misalnya, mempunyai fungsi yang lebih luas lagi, yakni
mendoakan keselamatan keluarga dan memberi sedekah kepada masyarakat
sekelilingnya. Ada juga keluarga yang melakukan “metri” untuk anaknya,
misalnya, karena dianggap ‘nakal’ atau “metri” karena anggota keluarganya
beberapa kali jatuh sakit. Dalam hal ini fungsi “metri” ini menjadi sangat luas
dalam mengejawantahkan makna memelihara dan merawat.
Dalam perspektif komunikasi simbolik, manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka. Dalam hal ini
masyarakat yang masih melakukan “metri” mempunyai makna yang kuat terhadap
aktivitas itu. Makna itu secara melekat dalam diri dan kehidupan mereka. Makna
ini muncul dari interaksi social seseorang dengan orang lain. Ada perasaan
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
392
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
bersalah dan tidak nyaman yang luar biasa ketika orang tidak melakukan “metri”.
Makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses
interaksi sosial” berlangsung.
“Metri” ini masih menjadi pranata sosial yang cukup kuat di kalangan
masyarakat terutama masyarakat pedesaan di sekitar Malang, karena masih
kuatnya kohesi masyarakat. Masyarakat menurut Mead (1996) adalah kumpulan
“self” yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa
hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi masyarakat
karenanya terdiri dari respon yang sama. Masyarakat dipelihara oleh kemampuan
individu untuk melakukan “role-taking” (pengambilan peran) dan “generalized
others” (hal-hal yang disepakati bersama). Yang menarik juga dalam tradisi
“memetri” ini adalah peran yang diambil setiap anggota masyarakat maupun “elit
masyarakat”, yakni orang yang dituakan (Kyai, dukun atau orang yang dituakan)
dalam penyelenggaraan “memetri”. Selain itu, ada interaksi yang kuat antar
anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dan Kyai, sehingga
menegaskan peran dan kekuasaan masing-masing dalam interaksi ini.
Artinya komunikasi simbolik dalam “memetri” merupakan proses
komunikasi yang disengaja dengan system tanda dan symbol yang disepakati
bersama di kalangan masyarakat Desa Kesamben yang sesuai dengan tujuan dari
orang yang terlibat. Komunikasi simbolik ini terjadi antara anggota masyarakat
satu dengan anggota masyarakat lain, dan juga komunikasi simbolik antara
masyarakat dengan tokoh masyarakat atau orang yang paling dihormati di
komunitasnya. Dalam penelitian ini, jelas sekali menunjukkan bahwa kegiatan
“metri” ini sudah tertata rapi, ada waktu tertentu dan ubo rampe atau alat yang
disiapkan sebagai syarat wajib yang harus ada.
KESIMPULAN
Dalam perspektif komunikasi simbolik, manusia bertindak terhadap sesuatu
berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka. Dalam hal ini
masyarakat yang masih melakukan “memetri” mempunyai makna yang kuat
terhadap aktivitas itu. Makna itu secara melekat dalam diri dan kehidupan mereka.
Makna ini muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Ada perasaan
bersalah dan tidak nyaman yang luar biasa ketika orang tidak melakukan
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
393
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
“memetri”. Makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat
“proses interaksi social” berlangsung.
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
“Metri” di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang
merupakan acara selamatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan
untuk memelihara dan merawat keselamatan diri atau anggota keluarga.
2.
“Metri” ini masih menjadi pranata sosial yang cukup kuat di kalangan
masyarakat terutama masyarakat pedesaan di sekitar Malang, karena masih
kuatnya kohesi masyarakat.
3.
Kegiatan “metri” dilakukan masyarakat Desa Kesamben sebagai bentuk
komunikasi simbolik yaitu proses komunikasi yang disengaja dengan sistem
tanda dan symbol yang disepakati bersama di kalangan masyarakat Desa
Kesamben yang sesuai dengan tujuan dari orang yang terlibat.
4.
Komunikasi simbolik ini terjadi antara anggota masyarakat satu dengan
anggota masyarakat lain, dan juga komunikasi simbolik antara masyarakat
dengan tokoh masyarakat atau orang yang paling dihormati di komunitasnya.
5.
Salah satu tujuan melakukan “memetri” ini adalah untuk mengirim doa
kepada para leluhurnya yang telah meninggal dunia. Hal ini didasari oleh
keyakinan dalam hadits (agama Islam) bahwa akan putus amal seseorang
setelah ia mati, kecuali tiga perkara yaitu: amal jariyah, shodaqoh, dan doa
anak sholih kepada orang tuanya yang telah meninggal.
Penelitian ini sangat terbatas hanya pada selamatan orang hamil, bayi lahir,
selamatan untuk diri seseorang, atau untuk hajat seseorang. Untuk penelitian
selanjutnya seharusnya lebih mendalam dalam mengobservasi semua jenis
selamatan atau acara “metri” sehingga hasil yang dilakukan bisa lebih utuh.
DAFTAR RUJUKAN
Bachtiar, Harya. 1981. Komentar, dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Berger. P. L. dan Luckman. 1991. Tafsir Risalah Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
394
Jurnal Inspirasi Pendidikan
Universitas Kanjuruhan Malang
Bogdan, Robert dan Steven Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research
Methods: A Phenomenological Approach to the Social Science. New York:
John Wiley & Sons.
Bruinnessen, Martin van. 2005. The Genealogies of Islamic Radicalism in Post
Suharto
Indonesia.
http://www.let.uu.nl/martin.vanbruinessen/personal/
publications/ genealogies-islamic-radicalism.htm
Buck, Ross and Vanlear Arthur C (2002). Verbal and Nonverbal Communication:
Distinguishing Symbolic, Spontaneous, and Pseudospontaneous Non Verbal
Behaviour. Journal of Communication, September 2002.
Geertz H. 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press.
Griffin, E. (1997). A First Look at Communication Theory. New York: The
McGrawHill Companies.
Gumilar, Gumgum. 2008. Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna
Tato Kota Bandung dlam Mediator. Vol. 9 No. 1
Haryati. Studi Interaksionisme Simbolik: Budaya Telpon Genggam pada
Masyarakat Perkotaan. Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 10 No. 1
Herman-Kinney Nancy J., Reynolds, Larry T. (2003). Handbook of Symbolic
Inteactionism. New York: AltaMira.
Maharsi. 2008. Islam Melayu Vs Islam Jawa. UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta.
Moleong, Lexy. J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya
Bandung.
Nelson, L. (Spring, 1998) Herbert Blumer’s Symbolic Interactionism. Meta
Discourse: Human Communication Theory. University of Colorado at
Boulder. Retrieved on: 2011-0920.
The Society for More Creative Speech. 1996. Symbolic Interactionism as Defined
by Herbert Blumer. http://www.thepoint.net/-usul/text/blumer.html.
Yenrizal. 2010. Komunikasi Ritual dalam Tradisi Kepala Menyan; Studi terhadap
Pertautan Tradisi Lokal dan Nilai Keislaman di Desa Air Keruh dan
Desa
Sukarami,
Kec.
Rembang,
Kab.
Muara
Enim.
Paper
dipresentasikan dalam ACISIS 2010.
Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Kanjuruhan Malang
395
Download