Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang Makna Komunikasi Simbolik ‘Memetri’ Bagi Masyarakat Desa Kesamben Ngajum Kabupaten Malang Yayuk Widyastuti Herawati Abstrak, komunikasi simbolik dalam suatu acara tertentu sudah cukup lama berkembang. Tujuan pelaksanaan tersebut merujuk pada agar terhindarnya dari hal-hal yang dapat menimbulkan efek yang kurang baik. Kajian pada penelitian terhadap hal tersebut terbatas pada selamatan orang hamil, bayi lahir, selamatan untuk diri seseorang, atau untuk hajat seseorang. Tujuan yang akan dicapai pada penelitian adalah deskripsi makna “memetri” dan bentuk-bentuk komunikasi simbolik yang terjadi pada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna “metri” dalam pelaksanaannya memiliki sifat komunal dan individual. “metri” yang bersifat komunal yaitu bersih desa memiliki 2 kegiatan dan 2 aktivitas ritual, dawuhan yang dilakukan oleh petani untuk menghormati makhluk yang ada di tempat-tempat irigasi (dam atau bendungan). “metri” yang bersifat individual yaitu orang hamil yang dilaksanakan pada usia kandungan sudah mencapai 4 dan 6 bulan dan bayi lahir yang ritualnya dilaksanakan saat usia bayi mencapai 10 hari bagi laki-laki dan 8 hari bagi wanita yang sebelumnya telah dilakukan brokohan. Kata Kunci: Komunikasi Simbolik, “memetri” “Memetri” atau “Metri” adalah istilah bahasa Jawa yang secara harfiyah artinya melestarikan atau merawat dengan sungguh-sungguh. Kata ini merujuk pada acara selamatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di Kabupaten Malang dan sekitarnya, dengan tujuan untuk memelihara dan merawat keselamatan diri atau anggota keluarga. Upacara “memetri” biasanya dilakukan di dalam sebuah keluarga, untuk memberikan doa keselamatan bagi anggota keluarga atau untuk segala sesuatu yang dianggap penting untuk di “petri”sehingga tidak akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Di tingkat desa, acara “memetri” ini berbentuk upacara selamatan desa yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari wabah penyakit ataupun bencana. Salah satu tujuan melakukan “memetri” ini adalah untuk mengirim doa kepada para leluhurnya yang telah meninggal dunia. Hal ini didasari oleh keyakinan dalam hadits (agama Islam) bahwa akan putus amal seseorang setelah ia mati, kecuali tiga perkara yaitu: amal jariyah, shodaqoh, dan doa anak sholih kepada orang tuanya yang telah meninggal. Dalam perspektif komunikasi budaya, “memetri” ini merupakan suatu bentuk komunikasi simbolik. Sebagai suatu komunikasi simbolik, penting untuk Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 378 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang memahami makna dari komunikasi simbolik tersebut dan nilai-nilai yang termaktub di dalamnya. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apa makna ”memetri” ini bagi masyarakat yang mendukungnya, dan apa saja bentuk-bentuk komunikasi simbolik yang muncul pada acara selamatan atau “metri” yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang khususnya. KAJIAN PUSTAKA Komunikasi sebagai Proses Simbolik Dalam pandangan Buck dan Vanlear (2002), “Symbolic communication is the intentional communication, using learned, socially shared signal system, of propotional information transmitted via symbol”. Artinya komunikasi simbolik dalam jejaring social tentu merupakan proses komunikasi yang disengaja dengan system tanda dan simbol yang disepakati bersama yang sesuai dengan tujuan dari orang yang terlibat di dalamnya. Simbolik interaksionisme adalah cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori komunikasi simbolik menekankan dua hal: pertama, manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi social. Kedua, interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung dinamis. Konsep Herbert Blumer Blumer (1996) mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar. 1. Meaning: konstruksi realitas sosial. Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut. 2. Language: sumber makna. Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 379 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. 3. Thought: proses pengambilan peran orang lain. Premis ketiga, Blumer adalah interpretasi simbol seseorang dimodifikasi oleh proses pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berfikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktifitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi tersebut. Untuk bisa berfikir, maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind. Pemikiran George Herbert Mead Kontribusi terbesar George Herbert Mead untuk memahami proses berfikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (taking the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu bertindak. Mengambil orang lain sebagai model untuk ia tiru dalam setiap tindaktanduk keseharian. Setelah memahami konsep meaning, language, dan thought, maka kita dapat memperkirakan konsep Mead tentang diri. Mead menolak anggapan bahwa seseorang bisa mengetahui siapa dirinya melalui introspeksi. Ia menyatakan bahwa untuk mengetahui diri kita maka kita harus melukis potret diri kita melalui sapuan kuas yang datang dari proses pengambilan peran. Proses ini berusaha membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita. Para interaksionis menyebut gambaran mental ini sebagai the looking glass self dan hal itu dikonstruksi secara sosial. Menurut Blumer (1996) konsepsi diri berkembang melalui interaksi simbolik melalui apa yang disebut looking-glass-self, yakni gambaran mental Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 380 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang tentang self yang dihasilkan dari mengambil peran dari orang lain. Tanpa bahasa kita tidak dapat mengembangkan konsep diri. Blumer (1996) mengatakan bahwa dalam proses sosial yang berlaku bukanlah “you become whatever you tell yourself you are”, tetapi “you become whatever those around you tell you are”. Yang berlaku bukan “anda menjadi apapun apa yang anda katakana tentang diri anda”, tetapi “Anda menjadi apapun yang orang lain di sekitar anda katakana mengenai siapa anda”. Kajian Riset Sebelumnya Riset sebelumnya mengenai komunikasi simbolik ini pernah dilakukan oleh Gumgum Gumelar (2008) dalam judul “Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung”. Tato merupakan salah satu bentuk komunikasi simbolik, yang mengalami banyak pergeseran makna. Pada masyarakat tradisional, tato merupakan penanda masa peralihan (rites of passage). Sementara pada zaman orde baru, tato mengalami pemaknaan yang mengerikan karena peristiwa penembakan misterius terhadap para gali, preman yang mana gali dan preman ini diidentikkan dengan tato pada tubuhnya. Sekarang tato identik dengan seni dan keindahan dan berkembang menjadi bagian dari budaya popular yang berkembang dalam masyarakat modern. Tato sendiri sebagai alat komunikasi simbolik, mempunyai fungsi sebagai symbol, tanda kenal, atau hiasan yang merupakan system tanda atau tanda visual yang meliputi symbol, ikon, indeks, ligisign, qualisign, dan sinsign. Studi lain dengan pendekatan interaksi simbolik juga pernah dilakukan oleh Hariyati dengan judul “Studi interaksionisme simbolik: Budaya Telepon Genggam pada Masyarakat Perkotaan” (Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 10. No. 1). Studi ini menyimpulkan bahwa dalam masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai kebendaan atau materi, kepemilikan benda-benda yang mengandung symbol tertentu merupakan kebutuhan. Interaksi social yang muncul merupakan pertukaran simbol melalui benda-benda. Pengakuan orang lain akan gengsi dan status social menjadi kebutuhan untuk diterima lingkungannya. Studi mengenai komunikasi simbolik juga dilakukan oleh Yenrizal (2010) menegenai komunikasi ritual dalam tradisi Kepala Menyan; Studi terhadap Pertautan tradisi Lokal dan Nilai Keislaman di Desa Air Keruh dan Desa Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 381 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang Sukarami, Kecamatan Rambang, Kabupaten Muara Enim. Studi ini menyimpulkan bahwa proses adaptasi nilai budaya lokal serta masuknya nilai keislaman terhadap Kepala Menyan berlangsung alami dan komunikasi ritual berlangsung atas interaksi dengan alam. Kepala Menyan adalah budaya lokal, nilai penghargaan terhadap alam semesta, keyakinan penguasa alam semesta diwujudkan melalui ritual yang dipimpin kepala menyan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kajian fenomenologis metode kualitatif ini dilakukan berdasarkan pertimbangan yaitu: 1) Penelitian ini menganalisis gejala sosial yang tidak bisa dipisahkan dari konteksnya (Moleong, 1989: 15). 2) penelitian ini bertindak sebagai instrument kunci. Kajian fenomenologi digunakan untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu melihat dan menganalisis pemahaman terhadap tradisi “memetri” yang meliputi, nilai, persepsi masyarakat Jwa terhadap berbagai praktik “memetri”. Satuan analisis penelitian ini adalah individu, karena peneliti menggunakan paradigma definisi sosial yang kerkarakter mikrosubyektif, yaitu konstruksi sosial dari masyarakat dan juga didukung oleh penggalian data observasi lapangan. Penelitian ini akan melihat berbagai factor seperti historis dan cultural sebagai dasar untuk memahami praktik budaya ‘memetri”. Setting historis didapat dari kajian mendalam latar belakang kehidupan peneliti untuk proses pemahaman “memetri” ini. Lokasi penelitian ini di Desa Kesamben, Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. Pemilihan infiormasi kunci dilakukan kepada beberapa (anggota) keluarga di Desa Kesamben dengan teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Disamping itu, beberapa tokoh informan masyarakat juga menjadi informan kunci untuk memahami kegiatan memetri. Pemilihan informan selanjutnya dilakukan dengan teknik bola salju (snow-ball sampling) (Moleong, 1989: 165-166), yang didasarkan pada informasi yang berkembang dari informasi kunci. Pengumpulan data dilakukan dengan: partisipant observation, wawancara mendalam, life history dan studi dokumen. Teknis analisis data dilakukan dengan prinsip on-going analisis, yaitu teknis analisis data yang dilakukan secara simultan Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 382 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang antara pengumpulan data dan analisis data. Data yang didapat berikutnya dibandingkan dengan data sebelumnya dan demikian seterusnya. Dalam konteks inilah, pemahaman pada level subyek penelitian dinyatakan sebagai the first order understanding (Sumaryono, 1993: 54-55). Untuk pengecekan data, peneliti menggunakan beberapa cara. Pertama, memperpanjang masa participant observation. Kedua, peneliti akan menggunakan triangulasi. Ketiga, peneliti juga melakukan member-check (Lincoln and Guba, 1985: 373-374 dalam Moleong 1989) HASIL DAN PEMBAHASAN Bersifat Komunal Acara “metri” yang dilakukan di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang yang secara komunal yaitu “Metri” Desa dan “metri” sungai yang mengalir di Desa Kesamben Ngajum Malang. “Bersih Desa” “Metri” desa dilakukan pada Bulan besar, hari Senin Legi yang terkenal dengan sebutan “bersih desa”. Kegiatan ini ada 2 macam yaitu: memberi sesajian dan melakukan selamatan di 2 tempat yaitu di Mbah Sodoto dan Mbah Bawuk. Mbah Sodoto dan Mbah Bawuk ini adalah 2 punden yang ada di Desa Kesamben, pertama terletak di Desa Kesamben dan yang kedua, di punden yang ada di Dusun Talun. Menurut Pak Dasuki yaitu orang yang dianggap sebagai sesepuh desa sekaligus yang memimpin acara selamatan atau “metri” desa, selamatan desa atau bersih desa atau metri desa itu sama dengan atur dedahar teng sing mengku dusun memberikan “sesuatu” kepada yang memegang desa tersebut. Ritual yang dilakukan ada 2 kali: Pertama, di pagi hari yaitu di Punden Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. Bahan yang disiapkan antara lain “cok bakal” dan “sesaji”. “Cok bakal” merupakan “takir” (tempat dari kulit pohon pisang alias debog yang dibentuk seperti nampan) berisi bumbu selengkapnya yaitu cikalan (1/4 kelapa), tumbar, bawang merah, bawang putih, cabe, kencur, jahe, trasi, dan 1 telur ayam kampung. “Sesaji” berisi berisi beras, gedang sak tangkep (pisang 2 sisir), yang diatasnya ada “cok bakal” tadi. Di saat pagi hari itu, Kepala Desa juga diwajibkan ngasah (menyediakan makanan untuk dibagikan Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 383 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang pada para undangan yang dating) berisi nasi kuning, dan lauk-pauk yang kering (misalnya: yang wajib harus ada mi, sambal goreng, rempeyek teri, untuk yang lain seperti perkedel ayam goring dan lain-lain itu terserah bisa ada bisa tidak ada). Sedangkan masyarakat lain selain Kepala Desa yang ikut ngasah bebas menentukan nasi, lauk pauk, dan sayur mayurnya yang penting ikhlash, boleh nasi ketan, buah-buahan dan sebagainya. Ritual kedua dilakukan pada sore hari di rumah Kepala Desa Kesamben. Pada waktu ritual kedua ini, siapapun juga diperbolehkan ngasah khususnya bagi keluarga yang tidak bisa ngasah di pagi hari. Selain ada selamatan yang ditandai dengan ngasah tadi, masyarakat desa juga dihibur dengan pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang dilakukan di Desa Kesamben ini harus tanpa sinden (orang yang mengiringi wayang kulit dengan lagu dan suara yang merdu) untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Menurut Pak Dasuki, makna yang tersirat adalah asuk dedhahar untuk yang baurekso desa + cikal bakalnya itu (perangkat desa dan perangkat makhluk halus). Ini adalah salah satu upaya untuk nguri-nguri budoyo yaitu menghormati sesepuh yang dahulu yang memulai berdirinya desa ini. Karena, sesusah-susahnya kita hari ini masih lebih susah beliau yang mbedah krawang atau mbabat alas atau mereka yang pertama kalinya menempati Desa Kesamben. Dengan melakukan 2 ritual ini, masyarakat Desa Kesamben berharap bisa selamat tidak ada wabah atau bencana yang dating di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. “Dawuhan” Acara yang bersifat komunal kedua yaitu “dawuhan”. Dawuhan yaitu selamatan yang dilakukan oleh para petani yang ada di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang. Acara ini dilaksanakan pada bulan Suro, di sungai yang bernama “gesang”, di pagi hari jam 06.00. Menurut Pak Dasuki, kegiatan ini dilakukan untuk menghormati makhluk yang ada di dam atau bendungan yang ada di Desa Kesamben. Dan selamatan ini diikuti oleh semua petani di Desa Kesamben khusus bagi mereka yang punya sawah. Bahan atau “ubo rampe” yang harus dibawa yaitu “asahan” berupa nasi putih, lauk-pauk yang kering atau digoreng saja misalnya: sambal goreng, Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 384 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang perkedel, mi, telur goreng, atau juga makanan dari beras ketan, asal bukan nasi dan sayur yang berkuah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan budaya di masa lampau. Bersifat Individual Acara selamatan atau “metri” yang dilakukan individu juga bermacammacam. Ada selamatan/”metri” orang hamil, selamatan/”metri” bayi lahir, selamatan/”metri” untuk segala keperluan yang punya hajat, misalnya “metri” awak” atau saat weton kita atau hari lahir sesuai dengan pasaran di penanggalan Jawa, selamatan/”metri” rumah, saat melaksanakan pernikahan, selamatan orang meninggal, selamatan atau “metri” sawah, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, hanya selamatan atau “metri” orang hamil dan bayi lahir yang akan dijelaskan. “Metri orang hamil” Dalam selamatan atau “metri” orang hamil, dimulai saat usia kehamilan 4 bulan yang biasa disebut dengan telonan/neloni, dan saat usia kehamilan mencapai 6 bulan, masyarakat Desa Kesamben melakukan tingkep atau mitoni. Saat neloni, asahan atau ambengan yang disediakan antara lain: nasi putih yang disebut dengan sego bruk yaitu yang ditempatkan di nampan tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampong yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Selamatan atau “metri” orang hamil yang kedua saat usia kehamilan berusia 7 bulan yang disebut dengan mitoni atau tingkep. Saat mitoni atau tingkep ini, “metri” orang hamil bisa memanggil dukun bayi atau tidak. Kalau memanggil dukun bayi, keluarga orang hamil sedikitnya menyediakan 3 asahan dan jenangsengkolo. Tapi diperbolehkan juga tanpa dukun bayi, sehingga asahan yang disediakan hanya 2 macam. Pertama, nasi putih atau disebut sego bruk yang gurih dengan lauk-pauk yang serba kering, misalnya mi, sambal goreng kentang dan tempe atau tahu, telur Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 385 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang dadar, dan jenang sengkolo. Sebagian masyarakat Desa Kesamben tidak menggunakan telur tapi ayam kampong yang digoreng. Mereka menghindari telur karena beralasan bentuk alaminya yang bulat, yang mengandung arti bisa berpindah kemana-mana tapi tidak bisa pecah dalam bahasa Jawa glundangglundung ora pecah. Hal ini diibaratkan pada pikiran si calon anak yang dikandung yang walaupun berfikir keras tapi tidak bisa memecahkan masalah. Oleh karena itu, untuk lauk-pauknya sebagian menhindari telur, khusus untuk selamatan atau “metri” orang hamil dan bayi lahir. Asahan kedua, masyarakat menyediakan tumpeng bucu pitu yaitu nasi yang dibentuk lancip seperti gunung berjumlah 7 buah. Satu tumpeng besar diletakkan di tengah, dan enam buah lainnya disampingnya kiri dan kanan yang semuanya dibentuk seperti gunung tapi lebih kecil dari yang tengah. Untuk sayurnya, disediakan sayur-berkuah santan, urap-urap sayur-mayur yang macamnya bebas bisa ambil dari 3 atau lebih macam sayuran dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampong yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Khusus bagi mereha yang hamil melewati tahun baru Islam (Hijriyah) atau disebut dengan melangkahi tahun, bentuk tumpeng berubah, yaitu ada daun pisang yang diletakkan memutar di tumpengnya yang disebut kendit atau ikat pinggang, atau disebut dengan tumpengkendit. Asahan ketiga disediakan kalau saat tingkep atau mitoni memanggil dukun bayi. Asahan ketiga ini disebut polopendem dan juga jajanan lengkap. Polo pendem ini terdiri dari makanan yang diambil dari umbi-umbian atau kacangkacangan yang terletak di dalam tanah, misalnya ketela manis, ketela pohon, kacang tanah, dan lainnya yang penting jumlahnya 7 macam yang menandai usia kehamilan 7 bulan. Jajanan lengkap juga berjumlah 7, antara lain: nagasari, jenang, jadah, wajik, dan jajanan lainnya yang jumlahnya hars lengkap tujuh macam. Disamping nasi dan lauk-pauknya, orang hamil juga menyediakan rujak manis yang dibuat dari 7 macam bahan atau buah-buahan. Diantara 7 buah itu, Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 386 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang harus ada 2 degancengkirgading (satu dicampur dalam rujak manis dan yang lain untuk mandi) dan jeruk bali. Macam buah lainnya bisa seperti mangga, bengkuang, blimbing, kedondong, mentimun, dan lain-lain. Semua bahan ini diparut kasar, diberi air matang dan juga bumbu rujak manis yaitu ada cabe, garam dan gula jawa merah. Saat dibagi kepada para tamu undangan yang kenduri, rujak manis ini harus disisakan 1 gelas, yang nantinya akan dibeli oleh ayah dari ibu hamil tadi. Artinya ayah yang akan nebus atau menggantikan sakit yang nantinya akan dirasakan ibu hamil saat melahirkan nanti. Selain itu, para tamu undangan juga dianjurkan untuk membayar untuk bisa membawa pulang rujak manis tadi, tapi tidak wajib membayar. Uang hasil “penjualan” tadi digunakan untuk membeli jamu “anton-anton tuwo” yaitu jamu khusus untuk ibu hamil tua. Sedangkan, satu kelapa muda atau “cengkir gading” tadi dipecah, dicampur dengan kembang telon wangi kemudian dibuat untuk mandi oleh ibu yang hamil tadi. “Cengkir” mengandung arti “kencenge pikir” atau lurusnya pikiran jadi diharapkan ibu yang hamil tadi akan tetap lurus pikirannya pada Allah SWT. Setelah mandi, si ibu hamil akan mulai memakai jarit atau kain panjang satu per satu sampai tujuh kali baru berhenti. Ini berarti menandai kalau usia kehamilan sudah mencapai 7 bulan. Khusus untuk mereka yang hamil melewati tahun baru Hijriyah atau “nglangkahi tahun” harus menyediakan juga “asahan” berupa “maron” yaitu tempat dari tanah liat yang di dalamnya diisi nasi “liwet”, ingkung yaitu satu ayam yang telah dipanggang tetap diutuhkan, dan pisang 1 tundun yang nantinya juga dibagi kepada para undangan kenduri yang datang. “Metri bayi lahir” Dalam “metri” bayi lahir, masyarakat Desa Kesamben juga mempunyai kebiasaan saat kapan saja si bayi harus di”petri”. Pertama, selamatan atau “metri” bayi dilakukan saat bayi lahir yang disebut dengan brokohan, artinya untuk mendoakan si bayi biar mendapat berkah dari Allah SWT. “Asahan” yang disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayur-mayur dan laukpauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 387 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Kedua, “metri” bayi atau “sepasaran” dilakukan bila bayi laki-laki berusia 10 hari atau saat bayi perempuan berusia 8 hari. “Asahan” yang disediakan sama dengan “brokohan” sebelumnya. “Asahan” yang disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayur-mayur dan lauk-pauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Ketiga, selamatan selanjutnya yaitu saat bayi berusia 40 hari atau disebut dengan “selapan”. “Asahan” yang disiapkan sama dengan selamatan sebelumnya. “Asahan” yang disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayurmayur dan lauk-pauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Keempat, saat bayi berusia 4 bulan atau 120 hari, dilakukan “telu/neloni”. Asahan yang disediakan juga sama dengan sebelumnya. “Asahan” yang Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 388 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang disediakan yaitu nasi putih yang disebut sego bruk dengan sayur-mayur dan laukpauknya. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Kelima, “metri” bayi dilakukan saat bayi berusia 8/9/10 bulan yang biasa disebut dengan mitoni. Selamatan atau “metri” bayi “mitoni” ini ada dua macam. Di”petri” di rumah sendiri atau di”petri” yang dua-duanya mendatangkan dukun bayi. Perbedaan ada pada ramainya suasana atau tidak diramaikan. Yang pertama, yang tidak diramaikan. Saat ini waktunya bayi “digebyak” yaitu dimana bayi direbahkan di tempat tidur yang dibuat dari bambu. Kemudian dukun bayi akan memulai berdoa diakhiri dengan menggebrak tempat tidur di sisi kiri dan kanan si bayi sebanyak 3 kali. Berharap bahwa nantinya si bayi akan terbiasa dengan suara keras yang mendadak dimaksudkan agar tidak mudah kaget. Yang kedua, yang diramaikan. Biasanya selain ritual “digebyak” tadi, bayi juga dimandikan di sungai seperti yang dapat dilihat di dokumentasi. Bayi 7 bulan di”karak” (dibawa ramai-ramai, bisa naik andong dan disertai “terbang jidor” atau drumband ke sungai diikuti oleh para undangan yang terdiri dari anak-anak yang ditemui di jalan karena siapapun boleh ikut dan dipimpin oleh si dukun bayi. Saat di sungai, si dukun bayi meletakkan sesaji yang terdiri dari “ripih” (yaitu boneka terbuat dari adonan tepung terigu), juga “asahan” yang telah disiapkan untuk dibagi kepada anak-anak yang datang sebagai “berkat” atau makanan yang dibawa pulang. “Asahan” yang disiapkan selain nasi beserta lauk-pauk yang serba digoreng, juga disediakan “keleman” seperti kacang, nogo sari, tetelan, jenang, pisang satu tundun untuk yang ikut kenduri. Selain itu ada yang disebut “polo gimbal” (yaitu beras ketan digoreng sangrai tanpa minyak di maron yang terbuat dari tanah liat, dtaburi kelapa yang diparut, kemudian dicampur dengan gula putih, dibungkus Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 389 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang dengan bentuk kerucut atau contong kecil-kecil untuk “berkat” juga. Sedangkan “pologinsing” adalah pasangannya. Pologimbal dan pologinsing (ojo ditinggal, lek ditinggal muring-muring) artinya jangan ditinggal, kalau ditinggal akan marag-marah. Ini mengacu pada anak 7 bulan tadi yang sudah mulai bisa protes bila ada sesuatu yang tidak cocok dengan perasaannya. Setelah dimandikan oleh dukun bayi, si bayi kemudian dipakaikan baju sampai 7 kali, sampai baju terakhir ke 7 baru berhenti ganti baju. Kemudian diberi ayam goreng dan dikalungi uang receh, berharap si bayi mendapatkan rejeki yang barokah dunia akherat. Setelah sampai di rumah lagi, si bayi dimasukkan ke dalam “kurungan” yang di dalamnya disediakan barang-barang seperti buku, jagung, uang, pensil, ayam, dan lain-lain. Si bayi pastinya memilih sesuatu yang dipercaya merupakan ketertarikan di masa yang akan datang dan berhubungan dengan bidang yang akan digeluti saat dewasa sebagai mata pencahariannya. Selain selamatan atau “metri” di atas, ada juga selamatan untuk segala keperluan, misalnya “metri” mobil baru, “metri” awak atau tubuh yang di”petri”, “metri” rumah yang baru dibangun, atu mungkin karena sering kemalingan, dan hajat lainnya. Biasanya “asahan”nya adalah nasibruk dengan sayur dan laukpauknya seperti kebanyakan acara selamatan atau “metri” dilakukan. “Asahan” ini ditempatkan di tampah (-yaitu nampan besar dari kulit bambu-) tanpa dibentuk atau ditumpuk biasa tidak membentuk tumpeng, disertai dengan sayur-berkuah santan (biasanya berisi tahu dan tempe, kadang-kadang ditambah dengan kentang), urap-urap sayur-mayur dan trancaman yaitu mentimun, daun kemangi, tempe bakar diiris kecil-kecil, dan kecambah yang yang diberi bumbu urap-urap, juga lauk-pauknya yaitu ayam kampung yang digoreng. Sayur-mayur dan lauknya biasanya sudah dibungkus sebanyak orang yang akan diundang. Sedangkan banyaknya undangan terserah, bisa sedikitnya 4 orang atau sampai tak terbatas. Kalau ada pernikahan, selamatan yang dilakukan adalah seperti biasa di atas ditambah dengan nasi tumpeng dengan lauk yang serba digoreng. Selain itu, disediakan juga jenangsengkolo untuk tolak bala. Untuk selamatan weton atau hari lahir biasanya tidak harus selalu ada “asahan” berupa sego bruk dan sayur mayor juga lauk-pauknya. Kadang-kadang, kalau tidak ada uang untuk selamatan yang mengundang orang dan membagi Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 390 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang “berkat”, masyarakat Desa Kesamben hanya membuat jenang merah dan jenang sengkolo yaitu jenang merah yang diberi jenang putih di atasnya yang berfungsi untuk tolak bala. Selain itu juga ada kembang wangi atau kembang telon yang diletakkan di “lepek” gerabah untuk alas gelas. Setelah itu, kita berdoa memohon pada Allah keselamatan dunia akherat. Dari ubo rampe atau macam sajian yang disediakan, ada tumpeng jejek atau lancip yang berbentuk contong yang berarti njejekne pikire sing dislameti atau meluruskan pikiran orang yang di”petri”. Tumpeng bruk atau sego bruk berarti untuk memohonkan berkah untuk yang di”petri”. Cengkir gading berarti kencenge piker sing dislameti atau lurusnya pikiran yang di”petri”. Cok bakal adalah cikal bakale urip sing di”petri” atau asal muasal hidup yang di”petri”. Gedhang setangkep atau pisang 2 sisir menandai saudara-saudara yang di”petri”. Jenang putih sebagai simbol roh dari bapak. Jenang abang adalah simbol roh dari ibu. Sedangkan jenang sengkolo untuk tolak bala. Jenang tua berarti ngaweruhi dulure sing tua adoh tanpa wangenan cedhak tanpa senggolan atau memberi tahu saudara yang lebih tua, yang jauh tanpa batas dan yang dekat tanpa bersentuhan. Maksudnya adalah yang di”petri” masih berada diantara keluarga yang mendukungnya walaupun mereka jauh maupun dekat tempat tinggalnya. Tradisi “metri” yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang sudah turun-temurun. Di Agama Islam, tradisi “metri” ini bisa diartikan shodaqoh dari keluarga yang di”petri” untuk para undangan yang biasanya tetangga yang ada di kiri-kanan rumah kita. “Metri” di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang merupakan acara selamatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan merawat keselamatan diri atau anggota keluarga. Upacara “metri” dilakukan di dalam sebuah keluarga, untuk memberikan doa keselamatan bagi anggota keluarga atau untuk segala sesuatu yang dianggap penting untuk di “petri”sehingga tidak akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Acara memetri biasanya diadakan untuk mendoakan arwah anggota keluarga atau leluhur yang telah meninggal, atau untuk mendoakan anggota keluarga pada waktu hari lahir (weton), atau untuk mendoakan keselamatan diri atau untuk menghilangkan hal-hal buruk (tolak bala). Selain itu, ada juga selamatan rumah, mulai dibangun sampai mau menempati Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 391 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang rumah itu juga harus di “petri” waktu dan tempatnya. Bahkan, masyarakat “metri” sepeda motor atau benda yang baru dibeli. Memetri dilakukan di tingkat keluarga biasanya dilakukan dengan mempersiapkan hidangan makanan nasi “berkat” yang biasanya berupa nasi bruk atau sego bruk yang mengandung arti “berkah” berupa nasi putih dan sayur-mayur serta lauk termasuk menyembelih ayam jawa. Kepala keluarga akan memanggil beberapa tetangganya kiri-kanan (jumlahnya terserah tidak harus banyak orang). Setelah didoakan oleh sesepuh yang diundang, kemudian mereka makan hidangan yang telah disajikan dan membawa pulang “berkat” yakni berupa nasi beserta lauk-pauknya. Salah satu tujuan melakukan “memetri” ini adalah untuk mengirim doa kepada para leluhurnya yang telah meninggal dunia. Hal ini didasari oleh keyakinan dalam hadits (agama Islam) bahwa akan putus amal seseorang setelah ia mati, kecuali tiga perkara yaitu: amal jariyah, shodaqoh, dan doa anak sholih kepada orang tuanya yang telah meninggal. Dengan demikian ada motivasi yang kuat secara komunal untuk melakukan “memetri”, terutama “memetri” yang dilakukan untuk mendoakan orang tua dan para leluhurnya yang telah meninggal. Selain itu, memetri juga dilakukan untuk memanjatkan doa selamat untuk anggota keluarga atau anak-anaknya. Jenis “memetri” ini biasanya dilakukan pada hari lahir sesuai penanggalan Jawa (weton). Sementara orang yang melakukan “memetri” untuk “mendoakan keselamatan keluarga karena telah membeli kendaraan baru misalnya, mempunyai fungsi yang lebih luas lagi, yakni mendoakan keselamatan keluarga dan memberi sedekah kepada masyarakat sekelilingnya. Ada juga keluarga yang melakukan “metri” untuk anaknya, misalnya, karena dianggap ‘nakal’ atau “metri” karena anggota keluarganya beberapa kali jatuh sakit. Dalam hal ini fungsi “metri” ini menjadi sangat luas dalam mengejawantahkan makna memelihara dan merawat. Dalam perspektif komunikasi simbolik, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka. Dalam hal ini masyarakat yang masih melakukan “metri” mempunyai makna yang kuat terhadap aktivitas itu. Makna itu secara melekat dalam diri dan kehidupan mereka. Makna ini muncul dari interaksi social seseorang dengan orang lain. Ada perasaan Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 392 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang bersalah dan tidak nyaman yang luar biasa ketika orang tidak melakukan “metri”. Makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Metri” ini masih menjadi pranata sosial yang cukup kuat di kalangan masyarakat terutama masyarakat pedesaan di sekitar Malang, karena masih kuatnya kohesi masyarakat. Masyarakat menurut Mead (1996) adalah kumpulan “self” yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi masyarakat karenanya terdiri dari respon yang sama. Masyarakat dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan “role-taking” (pengambilan peran) dan “generalized others” (hal-hal yang disepakati bersama). Yang menarik juga dalam tradisi “memetri” ini adalah peran yang diambil setiap anggota masyarakat maupun “elit masyarakat”, yakni orang yang dituakan (Kyai, dukun atau orang yang dituakan) dalam penyelenggaraan “memetri”. Selain itu, ada interaksi yang kuat antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dan Kyai, sehingga menegaskan peran dan kekuasaan masing-masing dalam interaksi ini. Artinya komunikasi simbolik dalam “memetri” merupakan proses komunikasi yang disengaja dengan system tanda dan symbol yang disepakati bersama di kalangan masyarakat Desa Kesamben yang sesuai dengan tujuan dari orang yang terlibat. Komunikasi simbolik ini terjadi antara anggota masyarakat satu dengan anggota masyarakat lain, dan juga komunikasi simbolik antara masyarakat dengan tokoh masyarakat atau orang yang paling dihormati di komunitasnya. Dalam penelitian ini, jelas sekali menunjukkan bahwa kegiatan “metri” ini sudah tertata rapi, ada waktu tertentu dan ubo rampe atau alat yang disiapkan sebagai syarat wajib yang harus ada. KESIMPULAN Dalam perspektif komunikasi simbolik, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka. Dalam hal ini masyarakat yang masih melakukan “memetri” mempunyai makna yang kuat terhadap aktivitas itu. Makna itu secara melekat dalam diri dan kehidupan mereka. Makna ini muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Ada perasaan bersalah dan tidak nyaman yang luar biasa ketika orang tidak melakukan Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 393 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang “memetri”. Makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi social” berlangsung. Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. “Metri” di Desa Kesamben Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang merupakan acara selamatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memelihara dan merawat keselamatan diri atau anggota keluarga. 2. “Metri” ini masih menjadi pranata sosial yang cukup kuat di kalangan masyarakat terutama masyarakat pedesaan di sekitar Malang, karena masih kuatnya kohesi masyarakat. 3. Kegiatan “metri” dilakukan masyarakat Desa Kesamben sebagai bentuk komunikasi simbolik yaitu proses komunikasi yang disengaja dengan sistem tanda dan symbol yang disepakati bersama di kalangan masyarakat Desa Kesamben yang sesuai dengan tujuan dari orang yang terlibat. 4. Komunikasi simbolik ini terjadi antara anggota masyarakat satu dengan anggota masyarakat lain, dan juga komunikasi simbolik antara masyarakat dengan tokoh masyarakat atau orang yang paling dihormati di komunitasnya. 5. Salah satu tujuan melakukan “memetri” ini adalah untuk mengirim doa kepada para leluhurnya yang telah meninggal dunia. Hal ini didasari oleh keyakinan dalam hadits (agama Islam) bahwa akan putus amal seseorang setelah ia mati, kecuali tiga perkara yaitu: amal jariyah, shodaqoh, dan doa anak sholih kepada orang tuanya yang telah meninggal. Penelitian ini sangat terbatas hanya pada selamatan orang hamil, bayi lahir, selamatan untuk diri seseorang, atau untuk hajat seseorang. Untuk penelitian selanjutnya seharusnya lebih mendalam dalam mengobservasi semua jenis selamatan atau acara “metri” sehingga hasil yang dilakukan bisa lebih utuh. DAFTAR RUJUKAN Bachtiar, Harya. 1981. Komentar, dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Berger. P. L. dan Luckman. 1991. Tafsir Risalah Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 394 Jurnal Inspirasi Pendidikan Universitas Kanjuruhan Malang Bogdan, Robert dan Steven Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Science. New York: John Wiley & Sons. Bruinnessen, Martin van. 2005. The Genealogies of Islamic Radicalism in Post Suharto Indonesia. http://www.let.uu.nl/martin.vanbruinessen/personal/ publications/ genealogies-islamic-radicalism.htm Buck, Ross and Vanlear Arthur C (2002). Verbal and Nonverbal Communication: Distinguishing Symbolic, Spontaneous, and Pseudospontaneous Non Verbal Behaviour. Journal of Communication, September 2002. Geertz H. 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press. Griffin, E. (1997). A First Look at Communication Theory. New York: The McGrawHill Companies. Gumilar, Gumgum. 2008. Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung dlam Mediator. Vol. 9 No. 1 Haryati. Studi Interaksionisme Simbolik: Budaya Telpon Genggam pada Masyarakat Perkotaan. Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 10 No. 1 Herman-Kinney Nancy J., Reynolds, Larry T. (2003). Handbook of Symbolic Inteactionism. New York: AltaMira. Maharsi. 2008. Islam Melayu Vs Islam Jawa. UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Moleong, Lexy. J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya Bandung. Nelson, L. (Spring, 1998) Herbert Blumer’s Symbolic Interactionism. Meta Discourse: Human Communication Theory. University of Colorado at Boulder. Retrieved on: 2011-0920. The Society for More Creative Speech. 1996. Symbolic Interactionism as Defined by Herbert Blumer. http://www.thepoint.net/-usul/text/blumer.html. Yenrizal. 2010. Komunikasi Ritual dalam Tradisi Kepala Menyan; Studi terhadap Pertautan Tradisi Lokal dan Nilai Keislaman di Desa Air Keruh dan Desa Sukarami, Kec. Rembang, Kab. Muara Enim. Paper dipresentasikan dalam ACISIS 2010. Yayuk Widyastuti Herawati, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Kanjuruhan Malang 395