BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.2.1. Pengertian Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu tiga kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah (Simatupang, 2004). Pada literatur Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, frekuensinya lebih dari tiga kali (Simatupang, 2004). Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu atau kurang dari 14 hari. Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain (Ahlquist & Camilleri, 2005). 13 14 2.2.2. Etiologi Menurut Ngastiyah (2005) dan Hidayat (2006), berbagai macam faktor yang dapat menjadi penyebab diare pada bayi : a. Infeksi Faktor ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat. 1) Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan dan merupakan penyebab utama terjadinya diare. Infeksi enteral meliputi: a) Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella Compylobacter, Yersenia dan Aeromonas. b) Infeksi virus : Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie dan Poliomyelitis, Adenovirus, Rotavirus dan Astrovirus). c) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, dan Strongylodies), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Trichomonas homonis), dan jamur (Candida albicans). 2) Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, 15 ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak dibawah dua tahun. b. Faktor Malabsorbsi Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare. 1) Malabsorbsi kabohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa), pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering (intoleransi laktosa). 2) Maldigesti protein lengkap, karbihidrat dan trigliserida diakibatkan insufisiensi eksokrin pankreas. 3) Gangguan atau kegagalan ekskresi pancreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat dan terigliserida. 4) Pemberian obat pencahar; laktulosa, pemberian magnesium hydroxide (misalnya susu magnesium). 5) Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat. 6) Pemberian makan atau minum yang tinggi karbohidrat, setelah mengalami diare menyebabkan kekambuhan diare. c. Faktor Makanan Dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan 16 kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare. Contoh makanan basi, beracun, atau alergi terhadap makanan. d. Faktor Psikologis Rasa takut dan cemas terutama pada bayi (jarang terjadi pada anak yang lebih besar) dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare. 2.2.3. Faktor Resiko Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita maupun orang sekitar yang bersentuhan atau tidak langsung melalui lalat ( melalui lima F : faeces, flies, food, fluid, finger). Faktor risiko terjadinya diare adalah: a. Faktor Perilaku 1) Tidak memberikan ASI/ASI eksklusif dan memberikan Makanan Pendamping (MP ASI) yang terlalu dini akan mempercepat bayi kontak terhadap kuman. 2) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu. 3) Tidak menerapkan kebiasaaan cuci tangan pakai sabun sebelum memberi ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan BAB anak. 17 4) Penyimpanan makanan yang tidak higienis. b. Faktor Lingkungan 1) Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK). 2) Kebersihan lingkungan dan kebiasaan pribadi yang buruk. Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: kurang gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita campak (Kemenkes RI, 2011). Selain faktor resiko di atas teridentifikasi juga faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab maupun pencetus dan dapat mempengaruhi durasi terjadinya diare, antara lain : a. Faktor Orang Tua Pendidikan orang tua adalah faktor yang sangat penting dalam keberhasilan manajemen diare pada bayi atau anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang tepat pada bayi atau anak dengan diare karena kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan menerima informasi (Khalili, 2006). b. Faktor anak Ada beberapa aspek yang dapat menjadi faktor resiko diare yang ada pada anak, terutama yang berusia kurang dari dua tahun. Tidak diberikan ASI Eksklusif, status imunisasi yang tidak lengkap, status gizi yang rendah, tidak diberikan vitamin A dan penyakit yang diderita balita. 18 1) Umur Kebanyakan episode diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan (Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2011). Insiden tertinggi pada golongan umur 6-35 bulan, pada masa diberikan makanan pendamping dan anak mulai aktif bermain. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya risiko diare pada anak usia 6-35 bulan antara lain penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terpapar bakteri tinja dan kontak lansung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak (Depkes, 1999; SDKI, 2007). Penelitian tentang aspek epidemiologi dan klinis pasien dilakukan di Brazil oleh Cameiro, et.al (2005) menemukan bahwa 87 % anak dirawat dengan gastroenteritis berumur kurang dari empat tahun. 2) Pemberian ASI ASI adalah makanan terbaik untuk bayi, selain komposisinya yang sesuai dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Manfaat ASI pada kelainan gastrointestinal terutama disebabkan adanya faktor peningkatan pertumbuhan sel usus dan zat-zat imunologi sehingga vili-vili usus cepat mengalami penyembuhan setelah rusak karena diare (Lubis, 2003). Anak dengan diare yang tidak mendapat ASI lebih beresiko dirawat di rumah sakit, dan periode pemberian ASI pada anak dengan diare akut yang dirawat di rumah sakit lebih pendek dibandingkan dengan yang tidak dirawat di rumah sakit (Yalcin, Hiszli, Yurdakok dan Ozmert, 2005; Khalili, 2006). 19 3) Status Imunisasi Campak Pada balita, 1-7% kejadian diare berhubungan dengan campak, dan diare yang terjadi pada campak umumnya lebih berat dan lebih lama (sulit diobati, cenderung menjadi kronis) karena adanya kelainan epitel usus (Suraatmaja, 2007; WHO, 2009). Anak- anak yang menderita campak atau yang menderita campak empat minggu sebelumnya mempunyai resiko lebih tinggi untuk mendapat diare atau disentri yang berat dan fatal (WHO, 2009). Imunisasi campak yang diberikan pada umur yang dianjurkan dapat mencegah sampai 25 % kematian balita yang berhubungan dengan diare (Depkes RI, 2009). 4) Status Gizi Adisasmito (2007) melakukan kajian terhadap faktor risiko diare pada beberapa penelitian di Indonesia dan dapat disimpulkan bahwa status gizi yang rendah pada bayi dan balita merupakan faktor resiko terjadinya diare. Status gizi yang buruk dapat mempengaruhi kejadian diare dan lamanya menderita diare. Hubungan status gizi dengan lama diare bermakna secara statistik dimana semakin buruk status gizi maka semakin lama diare yang diderita (Palupi, 2007). Akan tetapi pada penelitian Wilunda dan Panza (2006) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dan status imunisasi campak dengan kejadian diare. c. Faktor Sosial Ekonomi Pendapatan keluarga dan status sosial ekonomi dapat menjadi faktor resiko yang signifikan terhadap kejadian diare. Diare lebih sering muncul pada keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah. Darmawan, et.al (2008), menemukan 20 95% keluarga yang memiliki anak dengan diare berasal dari status sosial ekonomi menengah ke bawah. Wiluda dan Panza (2006) juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial dengan kejadian diare pada balita. Status sosial ekonomi rendah meningkatkan resiko terjadinya diare pada balita yang kemungkinan disebabkan oleh tidak adekuatnya fasilitas sanitasi lingkungan dan lingkungan rumah yang kurang bersih serta kurangnya kebersihan diri keluarga yang mempengaruhi balita. 2.2.4. Patofisiologi Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi / patomekanisme di bawah ini: a. Diare Sekretorik Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga terjadi diare. Yang khas pada diare ini yaitu secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum (Simadibrata, 2006). b. Diare Osmotik Epitel usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekastraseluler. Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap seperti magnesium, glukosa, sukrosa, laktosa, dan maltosa 21 sehingga akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare (Simadibrata, 2006). c. Malabsorpsi Asam Empedu dan Lemak Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata, 2006). d. Defek Sistem Pertukaran Anion/Transport Elektrolit Aktif di Enterosit Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif NA+, K+, ATPase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal (Simadibrata, 2006). e. Motilitas dan Waktu Transit Usus yang Abnormal Hipermotilitas (peningkatan pergerakan usus) dan iregularitas motilitas usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula. Penyebabnya antara lain: Diabetes Melitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Simadibrata, 2006). f. Gangguan Permeabilitas Usus Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus (Simadibrata, 2006). 22 g. Diare Inflamasi Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik (Juffrie, 2010). h. Diare Infeksi Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresikan oleh bakteri tersebut (Simadibrata, 2006). 2.2.5. Gejala Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan lendir ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijauhijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006). 23 Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Akan terjadi penurunan volume dan tekanan darah, nadi cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan diakhiri dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata dan ubun-ubun cekung, dan selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering (Ngastiyah, 2005). 2.2.6. Penanganan Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: a. Rehidrasi dengan Menggunakan Oralit Oralit disini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah, lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan osmolaritas rendah ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi 24 kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak. Tabel 2.1 Komposisi Oralit Baru Sumber: Juffrie, 2010 Ketentuan pemberian oralit : 1) Larutkan satu bungkus oralit dalam satu liter air matang, persediaan 24 jam. 2) Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB b) Untuk anak dua tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB 3) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus dibuang. a. Zinc Diberikan Selama 10 Hari Berturut-Turut Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna 25 dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Dosis zinc untuk anak-anak: 1) Anak di bawah umur enam bulan : 10 mg (setengah tablet) per hari 2) Anak di atas umur enam bulan : 20 mg (satu tablet) per hari Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. b. ASI dan Makanan Tetap Diteruskan Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan 26 menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap tiga jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama dua hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3 hari. Bila anak berumur empat bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (enam kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang lebih besar, dapat 27 diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat, misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari. c. Antibiotik Selektif Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotik. 28 d. Nasihat Kepada Orang Tua Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera ke pelayanan kesehatan jika demam, tinja berdarah dan berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam tiga hari. Berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, satu diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat. a. Pengobatan Diare Tanpa Dehidrasi (Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayursayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia 29 < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB. Untuk anak dibawah umur dua tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara satu sendok setiap satu sampai dua menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya satu sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang enam kali sehari) serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-sedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan – sedang (Juffrie, 2010) b. Pengobatan Diare Dehidrasi Ringan-Sedang (Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan tiga jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 30 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tandatanda dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah tiga jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral. c. Pengobatan Diare Dehidrasi Berat (Terapi Rehidrasi Parenteral) Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan intravena (± 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak 31 yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun satu jam pertama 30 cc/kgBB, dilanjutkan lima jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas satu tahun ½ jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan dua setengah jam berikutnya 70 cc/kgBB. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat. Setelah enam jam pada bayi atau tiga jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi (Juffrie, 2010) 2.2.7. Perawatan Bayi Diare di Rumah Peran keluarga terutama orang tua dalam penanganan apabila bayi atau anak diare di rumah sangat penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi, mengurangi risiko kematian akibat diare dan mengurangi risiko bayi atau anak dirawat di rumah sakit. Menurut Suraatmaja (2007) tindakan yang harus dilakukan keluarga jika bayi atau anak menderita diare adalah : a. Memberikan bayi atau anak cairan lebih banyak dari biasanya untuk mencegah dehidrasi. Cairan yang dapat diberikan di rumah yaitu larutan gula garam, air tajin, air sayur bagi yang sudah mendapat MP-ASI. ASI harus terus diberikan. b. Melanjutkan pemberian makanan. Ibu hendaknya membujuk bayi atau anak untuk tetap makan dan memberikan makanan yang baru disiapkan sesuai 32 dengan usia. Memberikan makanan pada bayi atau anak setiap 3-4 jam (enam kali sehari). Makanan yang dapat diberikan yaitu bubur dengan ikan atau daging dengan porsi kecil tetapi sering pisang, sari buah segar. c. Membawa bayi atau anak ke petugas kesehatan apabila buang air besar bertambah sering, sangat haus, mata menjadi cekung atau kering, bayi atau anak demam, tidak mau makan atau minum seperti biasa, dan adanya darah dalam tinja. d. Memberikan bayi atau anak oralit dengan benar. Banyaknya oralit yang harus diberikan untuk anak umur < 2 tahun =50-100 ml ( ½-1/4 gelas) setiap buang air besar. Anak umur > 2 tahun diberikan oralit 100-200 ml (1/2-1 gelas) setiap kali buang air besar. Anak yang lebih besar diberikan minum sebanyak mungkin. Apabila anak muntah, tunggu 10 menit kemudian pemberian oralit diteruskan tetapi lebih lambat yaitu satu sendok makan setiap 2-3 menit. 2.2.8. Komplikasi Penderita diare dapat sembuh tanpa mengalami komplikasi, namun sebagian kecil mengalami komplikasi dari dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit atau pengobatan yang diberikan. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara lain (Depkes RI, 1999; Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2011) : a. Gangguan Keseimbangan Elektrolit Gangguan keseimbangan elektrolit dapat terjadi karena elektrolit ikut keluar dalam tinja cair saat diare terjadi. Gangguan keseimbangan elektrolit akibat diare ada tiga yang sering terjadi yaitu hipo/hipernatremia dan hipokalemia. 33 Hiponatremia dapat terjadi pada anak yang diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam. Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan shigellosis dan anak malnutrisi berat dengan oedema. Kejadian hiponatremia ditemukan sebanyak 44,8% pada diare akut dengan dehidrasi berat. Hipernatremia biasanya terjadi pada diare yang disertai muntah dengan intake cairan/makanan yang kurang, atau cairan yang diminum terlalu banyak mengandung natrium. Ditemukan 10,3% anak yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat mengalami hipernatremia. Penggantian Kalium selama rehidrasi yang tidak cukup, akan menyebabkan terjadinya hipokalemia yang ditandai dengan kelemahan otot, ileus paralitik, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia ditemukan pada sebanyak 62% anak yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat (Jurnalis, Sayoeti & Dewi, 2008) b. Demam Infeksi shigella disentriae dan rotavirus sering menyebabkan demam. Pada umumnya demam timbul bila penyebab diare masuk dalam sel epitel usus. Demam juga dapat terjadi karena dehidrasi. Demam yang timbul karena dehidrasi biasanya tidak tinggi dan akan turun setelah mendapat hidrasi yang cukup. Demam dan muntah ditemukan sebanyak 41,3% pada anak dengan diare akut yang disebabkan oleh rotavirus (Grace & Jerald, 2010). 34 c. Oedema atau Overhidrasi Oedema (penumpukan cairan) dapat terjadi jika pemberian hidrasi tidak diamati sehingga cairan yang diberikan lebih dari yang seharusnya. d. Asidosis Metabolik Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya basa cairan ekstraseluler. Sebagai kompensasi, terjadi alkalosis respiratorik, yang ditandai dengan pernapasan kusmaul. Sinuhaji (2007) menemukan 6,6%-7% bayi/anak yang dirawat dengan diare akut mengalami asidosis metabolik. Komplikasi diare akut dengan dehidrasi berat yang ditemukan terbanyak adalah asidosis metabolik sebesar 75,9% (Jurnalis, Sayoeti & Dewi, 2008) . e. Ileus Paralitik Ileus paralitik dapat terjadi akibat penggunaan obat antimotalitas. Ileus paralitik ditandai dengan perut kembung, muntah, dan peristaltik usus berkurang atau tidak ada. f. Kejang Kejang dapat terjadi pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh hipoglikemia, kebanyakan terjadi pada anak hiperpireksia, hipernatremia atau hiponatremia. dengan malnutrisi berat, 35 g. Gagal Ginjal Akut Dapat terjadi pada penderita dehidrasi berat dan syok. Bila pengeluaran kencing belum terjadi dalam waktu 12 jam setelah hidrasi cukup, maka dapat didiagnosis gagal ginjal akut. 2.2 Dehidrasi 2.2.1. Pengertian Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan cairan yang disertai “output” yang melebihi “intake” sehingga jumlah air pada tubuh berkurang. Meskipun yang hilang cairan tubuh ,tetapi dehidrasi juga seringkali disertai gangguan elektrolit (Price, 2006). Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala (Wingate,2001). 2.2.2. Patofisiologi Kekurangan cairan atau dehidrasi terjadi jika cairan yang dikeluarkan tubuh melebihi cairan yang masuk. Tentu, mekanisme tubuh manusia yang sangat dinamis menjaga manusia untuk terhindar dari kekurangan banyak cairan. Ketika keseimbangan cairan dalam tubuh mulai terganggu, misalnya rasa haus akan muncul. Tubuh lalu menghasilkan hormon anti-diuretik (ADH) untuk mereduksi 36 produksi kencing diginjal. Tujuannya menjaga agar cairan yang keluar tidak banyak. Air yang kita minum umumnya cukup untuk mengganti cairan yang hilang saat beraktivitas normal seperti bernapas, berkeringat, buang air kecil, atau buang air besar. Dehidrasi kebanyakan disebabkan kondisi tertentu. Misalnya penyakit macam diare, muntah, dan diabetes, atau berkeringat berlebihan dan tidak segera menggantinya dengan minum. Saat dehidrasi, tubuh tidak hanya kehilangan air, tapi juga kehilangan elektrolit dan glukosa. Kehilangan sekitar 2 % cairan tubuh. Mulanya adalah rasa haus yang teramat sangat. Mulut dan lidah kering, air liur pun berkurang. Produksi kencing pun menurun. Apabila hilangnya air meningkat menjadi 3-4 % dari berat badan, terjadi penurunan gangguan performa tubuh. Suhu tubuh menjadi panas dan naik, biasanya diikuti meriang. Tubuh menjadi sangat tidak nyaman. Nafsu makan hilang, kulit kering dan memerah, dan muncul rasa mual. Ketika cairan yang hilang mencapai 5%-6% dari berat badan, frekuensi nadi meningkat, denyut jantung menjadi cepat. Frekuensi pernapasan juga makin tinggi, napas jadi memburu. Yang terjadi selanjutnya adalah penurunan konsentrasi, sakit kepala, mual, dan rasa mengantuk yang teramat sangat. Kehilangan cairan tubuh 10%-15% dapat menyebabkan otot menjadi kaku, kulit keriput, gangguan penglihatan, gangguan buang air kecil, dan gangguan kesadaran. Apabila mencapai lebih dari 15% akan mengakibatkan kegagalan multiorgan dan mengakibatkan kematian (Price, 2006). 37 2.2.3. Cara Menentukan Derajat Dehidrasi Cara objektif menentukan derajat dehidrasi adalah membandingkan berat badan sebelum dan selama diare dan secara subyektif menggunakan kriteria WHO, kriteria Mortality Morbidity Weekly Review (MMWR). Table 2.2 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO 2005 Cara membaca tabel untuk menentukan kesimpulan derajat dehidrasi : a. Baca tabel penilaian derajat dehidrasi dari kolom kanan ke kiri (C ke A) b. Kesimpulan derajat dehidrasi penderita ditentukan dari adanya satu gejala kunci (yang diberi tanda bintang) ditambah minimal satu gejala yang lain (minimal satu gejala) pada kolom yang sama. 38 Table 2.3 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut MMWR 2003 Sumber: Juffrie, 2010 2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Dehidrasi a. Umur Kebutuhan cairan bervariasi tergantung dari usia, karena usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan. Bayi dan anak-anak lebih mudah mengalami dehidrasi dibanding usia dewasa. Resiko dehidrasi pada anak balita menjadi lebih besar karena komposisi cairan tubuh yang besar dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara bebas 39 (Huang dkk., 2012). Pada usia lanjut juga lebih rentan mengalami dehidrasi maupun gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dikarenakan penurunan atau gangguan fungsi ginjal atau jantung sehingga hal tersebut dapat meningkatkan keparahan dari dehidrasi. b. Iklim Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan kelembaban udaranya rendah mengalami peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan lima liter per hari. Maka dari itu kondisi lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kejadian dehidrasi maupun tingkat keparahan dehidrasi. c. Diet Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini akan menyebabkan edema. Apalagi saat mengalami diare, asupan cairan dan nutrisi yang tidak adekuat dapat memperparah kondisi diare dan dehidrasi itu sendiri. Peningkatan peristaltik menyebabkan makanan dan cairan tidak terserap dengan baik, sehingga tubuh mengalami kekurangan, maka diharapkan saat mengalami dehidrasi maupun diare, asupan nutrisi dan cairan ditingkatkan untuk tetap menjaga keseimbangan 40 cairan dan nutrisi sampai tubuh kembali pulih dan dapat menyerap nutrisi dengan baik. d. Stres Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan pemecahan glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah. Stress juga dapat mempengaruhi tingkat dehidrasi melalui peningkatan metabolisme sel dan pengeluaran keringat sehingga pemakaian dan pengeluaran cairan dalam tubuh meningkat dan jika tidak dibarengi dengan asupan cairan yang adekuat, tubuh akan mengalami dehidrasi. e. Kondisi Sakit Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga sangat berpengaruh terhadap kejadian dan tingkat keparahan dehidrasi misalnya: 1) Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL. 2) Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. 3) Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami ganguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemapuan untuk memenuhinya secara mandiri. 4) Diare dapat menjadi penyebab terjadinya dehidrasi. Selama diare akan terjadi peningkatan kehilangan cairan dan elektrolit melalui feses. Kehilangan cairan yang terus berlangsung dan tidak diimbangi dengan penggantian yang cukup, 41 maka akan berakhir menjadi dehidrasi. Dan jika keadaan ini berlangsung terus maka dapat terjadi dehidrasi berat dan bahkan kematian (WHO, 2005). f. Orang Tua Khalili (2006) menjelaskan pendidikan orang tua adalah faktor yang sangat penting dalam keberhasilan manajemen diare terutama dalam pencegahan maupun penaganan dehidrasi pada anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang tepat pada anak diare dengan dehidrasi karena kurangnya pengetahuan dan kurangnya kemampuan untuk menerima informasi. g. Pengobatan Pengobatan seperti pemberian diuretik, laksatif dapat berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh. Ketepatan penanganan dehidrasi juga dapat mempengaruhi derajat dehidrasi itu sendiri, jika penanganan dehidrasi tidak tepat sesuai kondisi dehidrasi dan gagal, maka derajat dehidrasi akan tetap atau mungkin meningkat. 2.2.5. Dehidrasi pada Diare Penderita dengan diare mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. 42 Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Diare juga dapat diklasifikasilan menurut derajat dehidrasinya, bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat (Juffrie, 2010). a. Diare Tanpa Dehidrasi Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi diare masih dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi. b. Diare dengan Dehidrasi Ringan-Sedang (3%-10%) Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare tiga kali atau lebih, kadang-kadang muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan menurun, aktifitas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau takikardia yang minimum dan pemeriksaan fisik dalam batas normal. Jika dehidrasi sudah sampai pada tingkat sedang penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang atau langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air mata berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ dua detik) dengan kulit yang dingin yang dingin dan pucat. c. Diare dengan Dehidrasi Berat (10%-15%) Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan biasanya pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang melemah, hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin, mata dan ubun-ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata, 43 tidak mampu minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan juga masa pengisian kapiler sangat memanjang (≥ tiga detik) dengan kulit yang dingin dan pucat. 2.3 Pijat Bayi 2.3.1. Pengertian Pijat Bayi Salah satu stimulasi yaitu stimulasi taktil (perabaan dan sentuhan) adalah suatu jenis rangsangan sensori yang paling penting untuk perkembangan bayi yang optimal. Sensasi sentuhan adalah yang paling berkembang pada saat lahir, karena sensasi ini telah berfungsi sejak dalam kandungan sebelum sensasi yang lain berkembang. Contoh rangsang taktil yang dapat dilakukan dan penting antara lain memegang, menimang, mengurut, menepuk, menggoncang dan gerakan termasuk memijat dan memandikan bayi. Cara lain yang dapat digunakan untuk merangsang dengan taktil adalah melalui mainan yang mempunyai permukaan yang lembut, licin, fleksibel dan kaku (Hammer dan Turner, dalam Soedjatmiko, 2006). Salah satu bentuk terapi sentuhan adalah pijat bayi. Sentuhan alamiah pada bayi sesungguhnya sama artinya dengan tindakan mengurut atau memijat. Apabila tindakan ini dilakukan secara teratur dan sesuai dengan tata cara dan teknik pemijatan bayi, maka terapi ini bisa menjadi terapi untuk mendapatkan banyak manfaat bagi bayi (Nadjibah Yahya, 2011). Pijat bayi adalah suatu terapi atau seni perawatan kesehatan yang sudah lama dikenal oleh manusia dan merupakan pengobatan yang dipraktekkan sejak awal manusia diciptakan ke dunia, karena prosesnya berhubungan dengan 44 kehamilan dan kelahiran manusia. Manusia mengalami pengalaman pertama dipijat pada saat dilahirkan di dunia dengan adanya proses kelahiran dimana harus meninggalkan rahim yang hangat dan melewati jalan lahir yang sempit sehingga menimbulkan pengalaman traumatik dan kecemasan. Sentuhan dan pijat bayi yang dilakukan segera setelah lahir akan membuat bayi mempertahankan rasa aman setelah mendapat jaminan adanya kontak tubuh bayi (Roesli, 2001). Pijat bayi berbeda dengan pijat yang dilakukan terhadap orang dewasa. Perbedaan ini terletak pada besarnya tekanan yang diberikan. Pada pijat bayi biasanya lebih cenderung berupa sentuhan-sentuhan lembut, sehingga disebut juga stimulus touch (Prasetyono, 2009). Sentuhan dan pandangan mata yang terjadi pada saat pijat bayi berlangsung dapat mengalirkan kasih sayang di antara ibu atau yang memijat dengan bayi yang merupakan dasar untuk meningkatkan rasa aman, mengurangi kecemasan, menciptakan hubungan emosi yang baik antara keduanya, dan meningkatkan kemampuan fisik (Prasetyono, 2009). Semakin padat frekuensi sentuhan, semakin dekat hubungan batin yang terjalin, lebih dari itu, sentuhan, belaian, dan pijatan akan memperat ikatan kasih sayang orang tua dengan anak namun bila dilakukan secara berlebihan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketergantungan pada bayi. Oleh sebab itu, pemijatan sebaiknya juga dilakukan oleh ayah kakek atau nenek agar bayi tidak semakin tinggi ketergantungannya hanya terhadap ibu (Subakti, 2008). 45 2.3.2. Fisiologi Pijat Bayi Secara umum mekanisme fisiologis dasar dari terapi sentuhan (pijat bayi) ada tiga, yaitu pengeluaran beta endorphin, peningkatan aktivitas nervus vagus dan peningkatan produksi serotonin. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut : a. Beta Endorphin Mempengaruhi Mekanisme Pertumbuhan. Penelitian mengungkapkan bahwa pijatan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tahun 1989, Scanberg dari Duke University Medical School melakukan penelitian pada bayi-bayi tikus. Pakar ini menemukan bahwa jika hubungan taktil (jilatan-jilatan) ibu tikus ke bayinya terganggu akan menyebabkan terjadinya penurunan enzim ODC (ornithine decarboxylase) suatu enzim yang menjadi petunjuk bagi pertumbuhan sel dan jaringan, dan terjadinya penurunan pengeluaran hormon pertumbuhan. b. Aktivitas Nervus Vagus Mempengaruhi Mekanisme Penyerapan Makanan. Penelitian Field dan Schanberg (1986) menunjukkan bahwa pada bayi yang dipijat atau dilakukan terapi sentuhan mengalami peningkatan tonus nervus vagus (saraf otak ke-10) yang akan menyebabkan peningkatan kadar enzim penyerapan gastrin dan insulin. Dengan demikian, penyerapan makanan akan menjadi lebih baik. Itu sebabnya mengapa berat badan bayi yang dipijat meningkat lebih banyak daripada yang tidak dipijat. 46 c. Aktivitas Nervus Vagus Meningkatkan Konsumsi ASI Penyerapan makanan menjadi lebih baik karena peningkatan aktivitas Nervus Vagus menyebabkan bayi cepat lapar sehingga akan lebih sering menyusu pada ibunya. Akibatnya, ASI akan lebih banyak diproduksi. Seperti diketahui, ASI akan semakin banyak diproduksi jika semakin banyak diminta. Selain itu, ibu yang memijat bayinya akan merasa lebih tenang dan hal ini berdampak positif pada peningkatan volume ASI. d. Produksi Serotonin Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Pemijatan akan meningkatkan aktivitas neurotransmiter serotonin, yaitu meningkatkan kapasitas sel reseptor yang berfungsi mengikat glucocorticoid (adrenalin, suatu hormon stres). Proses ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon kortisol. Penurunan kadar hormon stres ini akan meningkatkan daya tahan tubuh, terutama IgM dan IgG selain itu penurunan kadar hormon stres ini akan menyebabkan keadaan rileks. e. Mengubah Gelombang Otak Pijat bayi akan membuat bayi tidur lebih lelap dan meningkatkan kesiagaan (alertness) atau konsentrasi. Hal ini disebabkan pijatan dapat mengubah gelombang otak. Pengubahan ini terjadi dengan cara menurunkan gelombang alpha dan meningkatkan gelombang beta serta tetha, yang dapat dibuktikan dengan penggunaan EEG (electro encephalogram) (Roesli, 2001; Nadjibah Yahya, 2011). 47 2.3.3. Manfaat Pijat Bayi Pijat bayi menurut Roesli (2001) juga memiliki efek biokimia yang positif, antara lain menurunkan kadar hormon stres (catecholamine) dan meningkatkan kadar serotonin. Selain itu, ada beberapa hasil laporan penelitian para pakar tentang manfaat pijat bayi, antara lain; 1) Meningkatkan berat badan, 2) Meningkatkan pertumbuhan, 3) Meningkatkan daya tahan tubuh, 4) Meningkatkan konsentrasi bayi dan membuat bayi tidur lebih lelap, 5) Membina ikatan kasih sayang orangtua dan anak, 6) Meningkatkan produksi ASI. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sleuwen, dkk (2007) menunjukkan pembedongan yang juga diikuti pemijatan pada bayi membuat tangis bayi berkurang dan mengurangi nyeri pada bayi. Begitu banyak manfaat dari pijat bayi sehingga disarankan kepada orangtua memberikan pijat bayi kepada bayinya, semakin dini pijat bayi yang dilakukan secara terus menerus maka semakin besar manfaat yang dapat dirasakan. Setelah mengetahui manfaat pijat bayi, untuk dapat melaksanakan pijat bayi ada waktu terbaik untuk melakukan pijat bayi dan beberapa persiapan sebelum memijat bayi (Roesli, 2001). 2.3.4. Faktor-Faktor Yang Diperhatikan dalam Melakukan Pijat Bayi a. Waktu Pemijatan Pijat bayi dapat segera dimulai setelah bayi dilahirkan, sesuai dengan keinginan orang tua. Dengan lebih cepat mengawali pemijatan, bayi akan mendapat keuntungan yang lebih besar. Apalagi jika pemijatan dapat dilakukan 48 setiap hari dari sejak kelahiran sampai bayi berusia enam sampai tujuh bulan (Roesli, 2009 ; Nadjibah Yahya, 2011). Waktu terbaik untuk memijat bayi ketika bayi terjaga dan senang. Demikian pula dengan orang tua sendiri harus dalam kondisi tenang dan santai, sehingga bayi juga merasa tenang (Heath dan Bainbridge, 2007). Menurut Roesli (2009) bayi dapat dipijat pada waktu-waktu yang tepat, meliputi: 1) Pagi hari, pada saat orang tua dan anak siap untuk memulai hari baru 2) Malam hari, sebelum tidur. Ini sangat baik untuk membantu bayi tidur lebih nyenyak b. Cara Memijat Sesuai Usia 1) 0 - 1 bulan, disarankan gerakan yang lebih mendekat usapan-usapan halus. Sebelum tali pusat lepas sebaiknya tidak dilakukan pemijatan di daerah perut. 2) 1 - 3 bulan, disarankan gerakan halus disertai dengan tekanan ringan dalam waktu yang singkat. 3) 3 bulan - 3 tahun, disarankan seluruh gerakan dilakukan dengan tekanan dan waktu yang semakin meningkat (Roesli, 2009). c. Hal yang Dilakukan dan Diperhatikan Selama Pemijatan 1) Memandang mata bayi, disertai pancaran kasih sayang selama pemijatan berlangsung. 2) Bernyanyilah atau putarkanlah lagu-lagu yang tenang atau lembut, guna membantu menciptakan suasana tenang selama pemijatan berlangsung. 49 3) Awalilah pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan, kemudian secara bertahap tambahkanlah tekanan pada sentuhan yang dilakukan, khususnya apabila pemijat sudah merasa yakin bahwa bayi mulai terbiasa dengan pemijatan yang sedang dilakukan. 4) Sebelum melakukan pemijatan, lumurkanlah baby oil atau lotion yang lembut sesering mungkin. 5) Sebaiknya, pemijatan dimulai dari kaki karena umumnya bayi lebih menerima apabila dipijat sebelum bagian lain dari badannya disentuh. Urutan pemijatan bayi dianjurkan dimulai dari bagian kaki, perut, dada, tangan, muka dan diakhiri pada bagian punggung. 6) Tanggaplah pada isyarat yang diberikan oleh bayi. Jika bayi menangis, cobalah untuk menenangkannya sebelum melanjutkan pemijatan. Jika bayi menangis lebih keras, hentikanlah pemijatan karena mungkin bayi mengharapkan untuk digendong, disusui atau sudah mengantuk dan sangat ingin tidur. 7) Mandikan bayi segera setelah pemijatan berakhir agar bayi merasa segar dan bersih setelah terlumuri minyak bayi (baby oil). Namun, kalau pemijatan dilakukan pada malam hari, bayi cukup diseka dengan air hangat agar bersih dari minyak. 8) Lakukan konsultasi pada dokter atau perawat untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang pemijatan bayi. 9) Hindarkan mata bayi dari baby oil/ lotion (Roesli, 2009). 50 2.3.5. Kontra Indikasi Pijat Bayi a. Memijat bayi langsung setelah makan. b. Membangunkan bayi khusus untuk pemijatan. c. Memijat bayi pada saat bayi dalam keadaan tidak nyaman. d. Memijat bayi pada saat bayi tak mau dipijat. e. Memaksakan posisi pijat tertentu pada bayi (Roesli, 2009). 2.3.6. Efek Samping Pijat Bayi Efek samping pijat bayi terjadi apabila pemijatan dilakukan dengan cara yang salah dan tidak sesuai dengan ketentuan medis/ teknik pemijatan yang telah ada. Efek samping dari kesalahan pemijatan diantaranya adalah pembengkakan, terdapatnya lebam, adanya rasa sakit pada bayi sehingga bayi menjadi rewel, pergeseran urat dan cedera. Oleh karena itu, banyak orang tua yang enggan melakukan pijat bayi, mereka takut akan terjadi resiko pijat payi pada buah hatinya. Resiko pijat bayi tersebut biasanya disebabkan oleh kelalaian praktisi pijat dalam memijat, salah pijat, dan kurangnya pengetahuan pemijat. Untuk memperkecil resiko pijat bayi, sebaiknya orang tua mengetahui dan melakukan cara pijat bayi yang sesuai dengan ketentuan pemijatan serta lebih teliti dalam memilih praktisi pijat untuk bayinya (Roesli, 2009). 2.3.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Melakukan Pijat Bayi Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu melakukan pijat bayi antara lain ibu yang enggan untuk melakukan pemijatan secara rutin kepada bayinya apalagi 51 diawal kelahirannya. Para ibu beranggapan bahwa bayi tidak boleh sering dipijat, badannya masih lemah atau alasan lain seperti tidak berani memijat karena takut salah akibat tidak tahu mengenai teknik memijat yang baik dan benar yang tidak pernah dibuktikan kebenarannya (Subakti ; Anggraini, 2009). Selain itu faktor pengetahuan, sosial budaya, alat, waktu, dukungan suami serta keluarga dan peran petugas kesehatan juga mempengaruhi ibu untuk melakukan pemijatan kepada bayinya. 2.3.8. Persiapan Sebelum Melakukan Terapi Pijat Bayi a. Sebelum memijat, tangan dipastikan bersih dan hangat. Hindari kuku panjang dan perhiasan dilepaskan untuk menghindari goresan pada kulit bayi. Bayi sebaiknya sudah makan atau tidak sedang lapar. Akan tetapi, jangan memijat segera setelah bayi selesai makan atau membangunkan bayi hanya untuk dipijat. Pemijatan pada bayi jangan dilakukan bila bayi sedang tidak merasa nyaman atau tidak mau dipijat. Tidak boleh memaksakan posisi pijat tertentu pada bayi. b. Sebelum pijat dimulai, handuk, popok, baju ganti, dan baby oil/baby lotion disiapkan kemudian bayi dibaringkan diatas permukaan kain rata, lembut, dan bersih. Pilih ruangan yang nyaman, hangat, dan tidak pengap. c. Sebelum memijat, mintalah izin pada bayi sebelum melakukan pemijatan dengan cara memberikan gerakan pembuka berupa sentuhan ringan di sepanjang sisi wajah bayi dan mengusap-usap rambut kepala, sambil mengajak bayi berbicara. Sebelum dan selama pemijatan, kulit bayi perlu sesering mungkin dilumuri baby oil atau baby lotion (Febriani, 2008). 52 2.3.9. Prosedur Pijat Bayi a. Melakukan Pemijatan pada Daerah Kaki Gerakan tangan dari pangkal paha sampai ke pergelangan kaki seperti memerah susu atau memeras. Mengurut telapak kaki bayi secara bergantian, pijat jari kaki dengan gerakan memutar dan diakhiri dengan tarikan lembut pada setiap ujungnya. Untuk punggung kaki secara bergantian kemudian buat gerakan menggulung dari pangkal paha ke pergelangan kaki. b. Melakukan Usapan pada Daerah Perut Lakukan gerakan seperti mengayuh pedal sepeda, dari atas kebawah perut. Letakkan kedua ibu jari di samping kanan dan kiri pusar perut, gerakkan kedua ibu jari ke arah tepi kanan dan kiri perut. Lakukan gerakan “I LOVE U” mengusap dari kanan atas perut bayi kemudian ke kiri bawah membentuk “L” terbalik. “YOU” mengusap dari kanan bawah ke atas kemudian ke kiri dan berakhir di perut kiri bawah membentuk huruf “U”. c. Melakukan Pemijatan pada Daerah Dada Lakukan pijatan kupu-kupu. Letakkan kedua tangan kita di tengah dada bayi kita dan gerakan keatas kemudian ke sisi luar tubuh dan kembali ke ulu hati tanpa mengangkat tangan seperti membentuk hati. Lalu dari tengah dada bayi dipijat menyilang dengan telapak tangan kita kearah bahu seperti membentuk kupu-kupu. 53 d. Melakukan Pijatan pada Daerah Tangan Buatlah gerakan memijat ketiak dari atas ke bawah, jika terdapat pembengkakan kelenjar di daerah ketiak jangan lakukan gerakan ini. Gerakan tangan seperti memerah susu atau seperti memeras dari pundak ke pergelangan tangan. Pijat telapak tangan dengan kedua ibu jari, dari pergelangan tangan kearah jari-jari. Pijat lembut jari bayi satu persatu menuju ke arah ujung jari dengan gerakan memutar, akhiri dengan tarikan lembut pada setiap ujung jari. Bentuklah gerakan menggulung dari pangkal lengan menuju kearah pergelangan tangan. e. Melakukan Pemijatan pada Daerah Wajah Gerakan tangan kita dari tengah wajah samping seperti membasuh mata. Tekankan jari-jari kita dari tengah dahi kesamping seperti menyetrika dahi. Letakkan kedua ibu jari anda pada pertengahan alis, tekankan ibu jari anda dari pertengahan kedua alis turun melalui tepi hidung ke arah pipi dengan membuat gerakan kesamping dan ke atas seolah membuat bayi tersenyum (senyum I). Letakkan kedua ibu jari anda diatas mulut didaerah sekat hidung. Gerakkan kedua ibu jari dari tengah kesamping dan ke atas daerah pipi seolah membuat bayi tersenyum (senyum II). Letakkan kedua ibu jari anda di tengah dagu. Tekankan kedua ibu jari pada dagu dengan gerakan dari tengah ke samping, kemudian ke atas ke arah pipi seolah membuat bayi tersenyum (senyum III). Buatlah lingkaran-lingkaran kecil di daerah rahang bayi dengan kedua jari telunjuk tangan anda, berikan tekanan lembut pada daerah belakang telinga kanan dan kiri. 54 f. Melakukan Pemijatan pada Daerah Punggung Menggerakkan tangan kita maju mundur dari bawah leher ke pantat bayi. Pegang dan tahan pantat bayi dengan tangan kanan, kemudian usapkan telapak tangan kiri kita seperti menyetrika punggung, dari leher ke pantat (Roesli, 2009). 2.3.10. Gerakan Relaksasi dan Gerakan Peregangan Lembut Membuat goyangan-goyangan ringan, tepukan-tepukan halus dan melambung-lambungkan secara lembut. Teknik sentuhan relaksasi mudah dan sederhana. Dapat dikerjakan bersama-sama pijat bayi atau terpisah dari pijat bayi. Misalnya, waktu ibu mulai memijat bagian kaki bayi ternyata kakinya tegang dan kaku. Gerakan-gerakan sederhana yang meregangkan tangan dan kaki bayi, memijat perut dan pinggul, serta meluruskan tulang belakang bayi. Peregangan lembut ini dilakukan di akhir pemijatan atau diantara pijatan, setiap gerakan peregangan dapat dilakukan sebanyak empat sampai lima kali. a. Tangan Disilangkan 1) Pegang kedua pergelangan tangan bayi dan silangkan keduanya di dada. 2) Luruskan kembali kedua tangan bayi ke samping b. Membentuk Diagonal Tangan-Kaki 1) Pertemukan ujung kaki kanan dan ujung tangan kiri bayi diatas tubuh bayi sehingga membentuk garis diagonal. Selanjutnya, tarik kembali kaki kanan dan tangan kiri bayi ke posisi semula. 55 2) Pertemukan ujung kaki kiri dengan ujung tangan kanan bayi diatas tubuh bayi. Selanjutnya, tarik kembali tangan dan kaki bayi ke posisi semula. Gerakan membentuk diagonal ini dapat diulang empat sampai lima kali. c. Menyilangkan Kaki 1) Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi, lalu silangkan ke atas. Buatlah silangan sehingga mata kaki kanan luar bertemu dengan mata kaki kiri dalam. Setelah itu, kembalikan pada posisi semula. 2) Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi, lalu silangkan ke atas. Buatlah silangan sehingga mata kaki kanan dalam bertemu dengan mata kaki kiri luar. Setelah itu, kembalikan pada posisi semula. Gerakan ini dapat diulang sebanyak empat sampai lima kali. d. Menekuk Kaki Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi dalam posisi kaki lurus, lalu tekuk kaki perlahan menuju ke arah perut. Gerakan menekuk lutut ini dapat diulang sebanyak empat sampai lima kali. e. Menekuk Kaki Bergantian Gerakan sama seperti menekuk kaki, tetapi dengan mempergunakan kaki secara bergantian (Roesli, 2008). 2.4 Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Derajat Dehidrasi Pada Bayi Diare erat hubungannya dengan kejadian dehidrasi dan kurang gizi. Setiap episode diare dapat menyebabkan dehidrasi akibat ketidakseimbangan antara cairan yang masuk dan cairan yang keluar akibat diare serta dapat terjadi 56 kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodenya berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan bayi (Firmansyah, 1992). Ketidaknyamanan yang dirasakan bayi saat diare dapat mengakibatkan nafsu makan menurun atau bahkan menghilang dan bayi cenderung rewel dan gelisah. Padahal di saat bersamaan bayi membutuhkan asupan nutrisi yang adekuat untuk membantunya dalam proses penyembuhan dan pemulihan dari diare. Pemberian asupan nutrisi yang adekuat akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama (Brown & Lean, 1984; Sandhu, 2001; WH0, 1995). Pijat bayi sebagai terapi sentuhan memiliki banyak manfaat positif yang dapat mendukung bayi dalam pertumbuhan dan perkembangannya serta dapat menjadi terapi pendukung pada bayi diare. Pijat bayi memiliki manfaat meningkatkan nafsu makan bayi dan membantu bayi untuk relaksasi sehingga bayi merasa nyaman dan tidak rewel. Melalui pijat bayi, dimana ibu memberikan sentuhan disertai dengan penekanan lembut pada bayi akan menyebabkan ujung-ujung saraf yang terdapat dipermukaan kulit bereaksi terhadap sentuhan. Pijatan pada tubuh diyakini dapat menstimulasi sirkulasi darah lokal. Pembuluh darah pada bagian tubuh yang dipijat akan mengalami dilatasi dan aliran darah pada daerah ini akan meningkat. 57 Peningkatan aliran darah dapat dinilai dengan membandingkan suhu dari daerah pemijatan sebelum dan sesudah dipijat menggunakan tangan (Field, 1998 dalam Field, 2001). Berdasarkan teori tersebut, diasumsikan bahwa dengan menstimulasi sirkulasi darah, maka dapat melancarkan juga peredaran darah ke organ pencernaan. Mekanisme diare diakibatkan karena masuknya patogen yang menyebabkan rusaknya mukosa usus dan mengganggu proses absorpsi. Dengan peredaran yang lancar, dapat mengatasi infeksi yang terjadi di dalam organ pencernaan dan memperbaiki kemampuan absorpsi usus. Meningkatnya derajat dehidrasi pada bayi dengan diare akut salah satunya disebabkan karena kemampuan absorpsi usus terganggu, maka apabila kemampuan absorpsi usus membaik, bayi akan cepat merasa lapar atau nafsu makan meningkat sehingga dapat mempermudah pemberian asupan nutrisi, pemberian ASI dan rehidrasi oral untuk mencegah perburukan kondisi dan memperbaiki kondisi dehidrasi. Sinclair (2005) menyatakan bahwa pijat dapat merangsang sistem saraf dan hormon. Pijatan merupakan rangsangan taktil di permukaan kulit dan merangsang persarafan di sekitarnya. Sel-sel saraf akan bekerja memberikan informasi ke otak, sehingga otak dapat menginstruksikan enzim ODC (ornithin decarboxylase) untuk meningkatkan produksinya. Enzim ini bekerja untuk menjadi petunjuk peka bagi pertumbuhan sel dan jaringan. Pada anak diare, pertumbuhan sel dan jaringan bermanfaat untuk memperbaiki kondisi saluran pencernaan yang rusak akibat invasi mikroorganisme. Kondisi saluran cerna yang membaik menyebabkan daya serap saluran pencernaan menjadi baik juga, sehingga keadaan dehidrasi yang biasanya terjadi pada bayi dengan diare diharapkan dapat teratasi. 58 Penelitian yang dilakukan Field dan Schanberg (1986) dalam Roesli (2008) menunjukkan bahwa pada bayi yang dipijat mengalami peningkatan tonus nervus vagus yang akan menyebabkan peningkatan kadar enzim penyerapan gastrin dan insulin. Dengan demikian penyerapan makanan akan menjadi lebih baik. Anak dengan diare mendapatkan terapi cairan baik oral maupun intravena. Terapi tersebut bertujuan untuk mengatasi dehidrasi akibat diare. Dengan peningkatan kadar enzim penyerapan akan membantu kerja cairan tersebut untuk cepat diserap dalam tubuh anak, dengan begitu keadaan dehidrasi menjadi cepat teratasi. Meningkatnya kadar enzim penyerapan juga membuat asupan makanan menjadi cepat terserap oleh tubuh, sehingga tubuh memiliki energi yang cukup untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada organ pencernaan. Sistem pencernaan mendapatkan nutrisi yang cukup untuk memperbaiki kerusakan akibat invasi mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya diare. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pijat bayi terhadap diare. Peneliti Vonda K. Jump (2006) dalam penelitian yang dilakukannya pada anak-anak yang tinggal di dua panti asuhan di Quito, Ecuador dengan membandingkan pengaruh terapi pijat dengan terapi bermain. 37 bayi dengan usia 10-11 bulan secara acak dibagi dalam kelompok intervensi yang diberikan pijat bayi dan kelompok control yang diberikan terapi bermain. Kelompok intervensi diberikan pijat bayi selama 15 menit setiap harinya, khususnya pada pagi hari sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi bermain selama 15 menit tiap harinya. Hasil yang didapatkan pijat bayi mengurangi lama hari anak-anak di panti asuhan merasakan gejala sakit dan juga pjat bayi memiliki 59 efek positif terhadap gejala sakit yang mereka alami. Untuk lebih mudah dipahami gejala individual dari fase sakit dikategorikan sama dengan yang biasa dokter pakai. Bayi pada kelompok pijat bayi memiliki rata-rata rendah kejadian gejala infeksi. Ketika gejala individual dianalisa, kelompok pijat bayi memiliki frekuensi diare yang lebih rendah dan memiliki temperamen yang lebih positif jika dibandingkan dengan kelompok terapi bermain. Di Indonesia sendiri juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Sri Wulandari Novianti (2010) mengenai pengaruh terapi pijat dalam penurunan frekuensi BAB dan tingkat dehidrasi pada anak usia nol sampai dua tahun dengan diare di RSUD Cibabat Cimahi, hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kondisi pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol yaitu kelompok intervensi lebih tenang, rileks, tidur lebih nyenyak dan mengalami peningkatan nafsu makan.