Document

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.2.1. Pengertian
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih
dari biasa, yaitu tiga kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai
dengan muntah atau tinja yang berdarah (Simatupang, 2004).
Pada literatur Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, neonatus dinyatakan
diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk
bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, frekuensinya lebih dari tiga kali
(Simatupang, 2004).
Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan
konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya,
dan berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu atau kurang dari 14 hari.
Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan
disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan
oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain (Ahlquist & Camilleri,
2005).
13
14
2.2.2. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005) dan Hidayat (2006), berbagai macam faktor
yang dapat menjadi penyebab diare pada bayi :
a. Infeksi
Faktor ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk
dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak
sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya
terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi
usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin
bakteri akan menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa
mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.
1) Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan dan merupakan
penyebab utama terjadinya diare. Infeksi enteral meliputi:
a) Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella Compylobacter,
Yersenia dan Aeromonas.
b) Infeksi virus : Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie dan Poliomyelitis,
Adenovirus, Rotavirus dan Astrovirus).
c) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, dan Strongylodies),
Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Trichomonas
homonis), dan jamur (Candida albicans).
2) Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan,
seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
15
ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak dibawah
dua tahun.
b. Faktor Malabsorbsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan
tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke
rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare.
1) Malabsorbsi kabohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa), pada bayi dan
anak yang terpenting dan tersering (intoleransi laktosa).
2) Maldigesti
protein
lengkap,
karbihidrat
dan
trigliserida
diakibatkan
insufisiensi eksokrin pankreas.
3) Gangguan atau kegagalan ekskresi pancreas menyebabkan kegagalan
pemecahan kompleks protein, karbohidrat dan terigliserida.
4) Pemberian obat pencahar; laktulosa, pemberian magnesium hydroxide
(misalnya susu magnesium).
5) Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat.
6) Pemberian makan atau minum yang tinggi karbohidrat, setelah mengalami
diare menyebabkan kekambuhan diare.
c. Faktor Makanan
Dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik.
Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan
16
kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare.
Contoh makanan basi, beracun, atau alergi terhadap makanan.
d. Faktor Psikologis
Rasa takut dan cemas terutama pada bayi (jarang terjadi pada anak yang
lebih besar) dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang
akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan
diare.
2.2.3. Faktor Resiko
Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita maupun
orang sekitar yang bersentuhan atau tidak langsung melalui lalat ( melalui lima F :
faeces, flies, food, fluid, finger).
Faktor risiko terjadinya diare adalah:
a. Faktor Perilaku
1) Tidak memberikan ASI/ASI eksklusif dan memberikan Makanan
Pendamping (MP ASI) yang terlalu dini akan mempercepat bayi kontak
terhadap kuman.
2) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit
diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.
3) Tidak menerapkan kebiasaaan cuci tangan pakai sabun sebelum memberi
ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan
BAB anak.
17
4) Penyimpanan makanan yang tidak higienis.
b. Faktor Lingkungan
1) Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan
fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK).
2) Kebersihan lingkungan dan kebiasaan pribadi yang buruk.
Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita
yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: kurang
gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi
dan penderita campak (Kemenkes RI, 2011).
Selain faktor resiko di atas teridentifikasi juga faktor-faktor yang dapat
menjadi penyebab maupun pencetus dan dapat mempengaruhi durasi terjadinya
diare, antara lain :
a. Faktor Orang Tua
Pendidikan orang tua adalah faktor yang sangat penting dalam keberhasilan
manajemen diare pada bayi atau anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan
rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang tepat
pada bayi atau anak dengan diare karena kurangnya pengetahuan dan
ketidakmampuan menerima informasi (Khalili, 2006).
b. Faktor anak
Ada beberapa aspek yang dapat menjadi faktor resiko diare yang ada pada
anak, terutama yang berusia kurang dari dua tahun. Tidak diberikan ASI
Eksklusif, status imunisasi yang tidak lengkap, status gizi yang rendah, tidak
diberikan vitamin A dan penyakit yang diderita balita.
18
1) Umur
Kebanyakan episode diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan
(Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2011). Insiden tertinggi pada golongan
umur 6-35 bulan, pada masa diberikan makanan pendamping dan anak mulai aktif
bermain. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya risiko diare pada anak
usia 6-35 bulan antara lain penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan
aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terpapar bakteri tinja dan kontak
lansung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak
(Depkes, 1999; SDKI, 2007). Penelitian tentang aspek epidemiologi dan klinis
pasien dilakukan di Brazil oleh Cameiro, et.al (2005) menemukan bahwa 87 %
anak dirawat dengan gastroenteritis berumur kurang dari empat tahun.
2) Pemberian ASI
ASI adalah makanan terbaik untuk bayi, selain komposisinya yang sesuai
dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat
menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Manfaat ASI pada kelainan
gastrointestinal terutama disebabkan adanya faktor peningkatan pertumbuhan sel
usus dan zat-zat imunologi sehingga vili-vili usus cepat mengalami penyembuhan
setelah rusak karena diare (Lubis, 2003). Anak dengan diare yang tidak mendapat
ASI lebih beresiko dirawat di rumah sakit, dan periode pemberian ASI pada anak
dengan diare akut yang dirawat di rumah sakit lebih pendek dibandingkan dengan
yang tidak dirawat di rumah sakit (Yalcin, Hiszli, Yurdakok dan Ozmert, 2005;
Khalili, 2006).
19
3) Status Imunisasi Campak
Pada balita, 1-7% kejadian diare berhubungan dengan campak, dan diare
yang terjadi pada campak umumnya lebih berat dan lebih lama (sulit diobati,
cenderung menjadi kronis) karena adanya kelainan epitel usus (Suraatmaja, 2007;
WHO, 2009). Anak- anak yang menderita campak atau yang menderita campak
empat minggu sebelumnya mempunyai resiko lebih tinggi untuk mendapat diare
atau disentri yang berat dan fatal (WHO, 2009). Imunisasi campak yang diberikan
pada umur yang dianjurkan dapat mencegah sampai 25 % kematian balita yang
berhubungan dengan diare (Depkes RI, 2009).
4) Status Gizi
Adisasmito (2007) melakukan kajian terhadap faktor risiko diare pada
beberapa penelitian di Indonesia dan dapat disimpulkan bahwa status gizi yang
rendah pada bayi dan balita merupakan faktor resiko terjadinya diare. Status gizi
yang buruk dapat mempengaruhi kejadian diare dan lamanya menderita diare.
Hubungan status gizi dengan lama diare bermakna secara statistik dimana
semakin buruk status gizi maka semakin lama diare yang diderita (Palupi, 2007).
Akan tetapi pada penelitian Wilunda dan Panza (2006) menemukan tidak ada
hubungan yang signifikan antara status gizi dan status imunisasi campak dengan
kejadian diare.
c. Faktor Sosial Ekonomi
Pendapatan keluarga dan status sosial ekonomi dapat menjadi faktor resiko
yang signifikan terhadap kejadian diare. Diare lebih sering muncul pada keluarga
dengan status sosial ekonomi yang rendah. Darmawan, et.al (2008), menemukan
20
95% keluarga yang memiliki anak dengan diare berasal dari status sosial ekonomi
menengah ke bawah. Wiluda dan Panza (2006) juga menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara status sosial dengan kejadian diare pada balita.
Status sosial ekonomi rendah meningkatkan resiko terjadinya diare pada balita
yang kemungkinan disebabkan oleh tidak adekuatnya fasilitas sanitasi lingkungan
dan lingkungan rumah yang kurang bersih serta kurangnya kebersihan diri
keluarga yang mempengaruhi balita.
2.2.4. Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi / patomekanisme
di bawah ini:
a. Diare Sekretorik
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus akan merangsang usus
untuk mengeluarkannya sehingga terjadi diare. Yang khas pada diare ini yaitu
secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe
ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum (Simadibrata,
2006).
b. Diare Osmotik
Epitel usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan
elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus
dengan cairan ekastraseluler. Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak
dapat diserap seperti magnesium, glukosa, sukrosa, laktosa, dan maltosa
21
sehingga akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi,
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga
usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
timbul diare (Simadibrata, 2006).
c. Malabsorpsi Asam Empedu dan Lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle
empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata, 2006).
d. Defek Sistem Pertukaran Anion/Transport Elektrolit Aktif di Enterosit
Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif NA+,
K+, ATPase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal (Simadibrata,
2006).
e. Motilitas dan Waktu Transit Usus yang Abnormal
Hipermotilitas (peningkatan pergerakan usus) dan iregularitas motilitas
usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan
diare pula. Penyebabnya antara lain: Diabetes Melitus, pasca vagotomi, hipertiroid
(Simadibrata, 2006).
f. Gangguan Permeabilitas Usus
Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan
adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus (Simadibrata,
2006).
22
g. Diare Inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada
beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction,
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air,
elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih
menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan
tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik (Juffrie, 2010).
h. Diare Infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut
kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak
mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresikan
oleh bakteri tersebut (Simadibrata, 2006).
2.2.5. Gejala
Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah
dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak
ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan
lendir ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijauhijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet
karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat
banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh
usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan
dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006).
23
Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala
dehidrasi mulai tampak. Akan terjadi penurunan volume dan tekanan darah, nadi
cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan diakhiri
dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata dan ubun-ubun
cekung, dan selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering (Ngastiyah,
2005).
2.2.6. Penanganan
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai
diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi
dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare
juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan
menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit,
yaitu:
a. Rehidrasi dengan Menggunakan Oralit
Oralit disini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah, lebih mendekati
osmolaritas
plasma,
sehingga
kurang
menyebabkan
risiko
terjadinya
hipernatremia.. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini
digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit
baru dengan osmolaritas rendah ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi
intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi
24
kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah
direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada
anak.
Tabel 2.1 Komposisi Oralit Baru
Sumber: Juffrie, 2010
Ketentuan pemberian oralit :
1) Larutkan satu bungkus oralit dalam satu liter air matang, persediaan 24 jam.
2) Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a) Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB
b) Untuk anak dua tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB
3) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa
larutan harus dibuang.
a. Zinc Diberikan Selama 10 Hari Berturut-Turut
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan
nafsu makan anak.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan
pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna
25
dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc
pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus,
meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush
border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan
patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya
kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan
daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi
dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya
dehidrasi pada anak.
Dosis zinc untuk anak-anak:
1) Anak di bawah umur enam bulan : 10 mg (setengah tablet) per hari
2) Anak di atas umur enam bulan : 20 mg (satu tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah
sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang,
ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau
dilarutkan dalam air matang atau oralit.
b. ASI dan Makanan Tetap Diteruskan
Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah
sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak
mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul
kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan
mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan
26
menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi
dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan
menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan
kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada anak diare
tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit
serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama
dengan yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus
diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI
harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap tiga jam. Pengenceran
susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak
diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan
untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau
bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan
pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang
mereduksi dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap
dilanjutkan selama dua hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula
biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3 hari.
Bila anak berumur empat bulan atau lebih dan sudah mendapatkan
makanan lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari
energi diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering
(enam kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula
dengan makanan tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi
dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang lebih besar, dapat
27
diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat, misalnya nasi,
kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya
dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan.
Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur
makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta
ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik
untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang
mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman
ringan, sebaiknya dihindari.
c. Antibiotik Selektif
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah
atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang
lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium
difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,
pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman
terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada
penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik
terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik
oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan
perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotik.
28
d. Nasihat Kepada Orang Tua
Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera ke pelayanan kesehatan
jika demam, tinja berdarah dan berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus,
diare makin sering, atau belum membaik dalam tiga hari.
Berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara berkembang
lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam
keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan
dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan
secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900
dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam
keadaan dehidrasi berat, satu diantaranya disertai komplikasi serta penyakit
penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai
dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara
sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan
pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak
direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.
Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi
berat.
a. Pengobatan Diare Tanpa Dehidrasi (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga
untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayursayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga
penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia
29
< 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun
adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB.
Untuk anak dibawah umur dua tahun cairan harus diberikan dengan sendok
dengan cara satu sendok setiap satu sampai dua menit. Pemberian dengan botol
tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir
atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama
10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya satu sendok setiap 2 – 3
menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. Selain
cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus diberikan.
Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang enam kali sehari)
serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang
merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena
dapat menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare
tetap berlangsung atau bertambah hebat dan keadaan anak bertambah berat serta
jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-sedang, obati dengan cara pengobatan
dehidrasi ringan – sedang (Juffrie, 2010)
b. Pengobatan Diare Dehidrasi Ringan-Sedang (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana
kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit
yang diberikan tiga jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui,
meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan
dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300
ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400
30
ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya
diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tandatanda dehidrasi.
Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi.
Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian
oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar.
Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi.
Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan
secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang
sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah tiga jam keadaan penderita
dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita
membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah dengan
memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa
dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat,
penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah
pemberian cairan parenteral.
c. Pengobatan Diare Dehidrasi Berat (Terapi Rehidrasi Parenteral)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah
Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit
sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit
selama pemberian cairan intravena (± 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum
dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak
31
yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa
dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian
cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat
dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun satu jam pertama
30 cc/kgBB, dilanjutkan lima jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas satu tahun ½
jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan dua setengah jam berikutnya 70 cc/kgBB.
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat
dipercepat. Setelah enam jam pada bayi atau tiga jam pada anak lebih besar,
lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan
diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi
(Juffrie, 2010)
2.2.7. Perawatan Bayi Diare di Rumah
Peran keluarga terutama orang tua dalam penanganan apabila bayi atau
anak diare di rumah sangat penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi,
mengurangi risiko kematian akibat diare dan mengurangi risiko bayi atau
anak dirawat di rumah sakit. Menurut Suraatmaja (2007) tindakan yang
harus dilakukan keluarga jika bayi atau anak menderita diare adalah :
a. Memberikan bayi atau anak cairan lebih banyak dari biasanya untuk
mencegah dehidrasi. Cairan yang dapat diberikan di rumah yaitu larutan
gula garam, air tajin, air sayur bagi yang sudah mendapat MP-ASI. ASI
harus terus diberikan.
b. Melanjutkan pemberian makanan. Ibu hendaknya membujuk bayi atau anak
untuk tetap makan dan memberikan makanan yang baru disiapkan sesuai
32
dengan usia. Memberikan makanan pada bayi atau anak setiap 3-4 jam
(enam kali sehari). Makanan yang dapat diberikan yaitu bubur dengan ikan
atau daging dengan porsi kecil tetapi sering pisang, sari buah segar.
c. Membawa bayi atau anak ke petugas kesehatan apabila buang air besar
bertambah sering, sangat haus, mata menjadi cekung atau kering, bayi
atau anak demam, tidak mau makan atau minum seperti biasa, dan adanya
darah dalam tinja.
d. Memberikan bayi atau anak oralit dengan benar. Banyaknya oralit yang harus
diberikan untuk anak umur < 2 tahun =50-100 ml ( ½-1/4 gelas) setiap
buang air besar. Anak umur > 2 tahun diberikan oralit 100-200 ml (1/2-1
gelas) setiap kali buang air besar. Anak yang lebih besar diberikan minum
sebanyak mungkin. Apabila anak muntah, tunggu 10 menit kemudian
pemberian oralit diteruskan tetapi lebih lambat yaitu satu sendok makan
setiap 2-3 menit.
2.2.8. Komplikasi
Penderita diare dapat sembuh tanpa mengalami komplikasi, namun
sebagian kecil mengalami komplikasi dari dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit
atau pengobatan yang diberikan. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
antara lain (Depkes RI, 1999; Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2011) :
a. Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit dapat terjadi karena elektrolit ikut
keluar dalam tinja cair saat diare terjadi. Gangguan keseimbangan elektrolit akibat
diare ada tiga yang sering terjadi yaitu hipo/hipernatremia dan hipokalemia.
33
Hiponatremia dapat terjadi pada anak yang diare yang hanya minum air
putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam. Hiponatremia sering
terjadi pada anak dengan shigellosis dan anak malnutrisi berat dengan oedema.
Kejadian hiponatremia ditemukan sebanyak 44,8% pada diare akut dengan
dehidrasi berat.
Hipernatremia biasanya terjadi pada diare yang disertai muntah dengan
intake cairan/makanan yang kurang, atau cairan yang diminum terlalu banyak
mengandung natrium. Ditemukan 10,3% anak yang menderita diare akut dengan
dehidrasi berat mengalami hipernatremia.
Penggantian
Kalium
selama
rehidrasi
yang
tidak
cukup,
akan
menyebabkan terjadinya hipokalemia yang ditandai dengan kelemahan otot, ileus
paralitik, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia ditemukan
pada sebanyak 62% anak yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat
(Jurnalis, Sayoeti & Dewi, 2008)
b. Demam
Infeksi shigella disentriae dan rotavirus sering menyebabkan demam. Pada
umumnya demam timbul bila penyebab diare masuk dalam sel epitel usus.
Demam juga dapat terjadi karena dehidrasi. Demam yang timbul karena dehidrasi
biasanya tidak tinggi dan akan turun setelah mendapat hidrasi yang cukup.
Demam dan muntah ditemukan sebanyak 41,3% pada anak dengan diare akut
yang disebabkan oleh rotavirus (Grace & Jerald, 2010).
34
c. Oedema atau Overhidrasi
Oedema (penumpukan cairan) dapat terjadi jika pemberian hidrasi tidak
diamati sehingga cairan yang diberikan lebih dari yang seharusnya.
d. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya
basa cairan ekstraseluler. Sebagai kompensasi, terjadi alkalosis respiratorik, yang
ditandai dengan pernapasan kusmaul. Sinuhaji (2007) menemukan 6,6%-7%
bayi/anak yang dirawat dengan diare akut mengalami asidosis metabolik.
Komplikasi diare akut dengan dehidrasi berat yang ditemukan terbanyak adalah
asidosis metabolik sebesar 75,9% (Jurnalis, Sayoeti & Dewi, 2008) .
e. Ileus Paralitik
Ileus paralitik dapat terjadi akibat penggunaan obat antimotalitas. Ileus
paralitik ditandai dengan perut kembung, muntah, dan peristaltik usus berkurang
atau tidak ada.
f. Kejang
Kejang dapat terjadi pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi
atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh
hipoglikemia,
kebanyakan
terjadi
pada
anak
hiperpireksia, hipernatremia atau hiponatremia.
dengan
malnutrisi
berat,
35
g. Gagal Ginjal Akut
Dapat terjadi pada penderita dehidrasi berat dan syok. Bila pengeluaran
kencing belum terjadi dalam waktu 12 jam setelah hidrasi cukup, maka dapat
didiagnosis gagal ginjal akut.
2.2 Dehidrasi
2.2.1. Pengertian
Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan cairan yang disertai
“output” yang melebihi “intake” sehingga jumlah air pada tubuh berkurang.
Meskipun yang hilang cairan tubuh ,tetapi dehidrasi juga seringkali disertai
gangguan elektrolit (Price, 2006).
Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena
nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi
bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air
kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan
ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan
status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala (Wingate,2001).
2.2.2. Patofisiologi
Kekurangan cairan atau dehidrasi terjadi jika cairan yang dikeluarkan
tubuh melebihi cairan yang masuk. Tentu, mekanisme tubuh manusia yang sangat
dinamis menjaga manusia untuk terhindar dari kekurangan banyak cairan. Ketika
keseimbangan cairan dalam tubuh mulai terganggu, misalnya rasa haus akan
muncul. Tubuh lalu menghasilkan hormon anti-diuretik (ADH) untuk mereduksi
36
produksi kencing diginjal. Tujuannya menjaga agar cairan yang keluar tidak
banyak. Air yang kita minum umumnya cukup untuk mengganti cairan yang
hilang saat beraktivitas normal seperti bernapas, berkeringat, buang air kecil, atau
buang air besar. Dehidrasi kebanyakan disebabkan kondisi tertentu. Misalnya
penyakit macam diare, muntah, dan diabetes, atau berkeringat berlebihan dan
tidak segera menggantinya dengan minum. Saat dehidrasi, tubuh tidak hanya
kehilangan air, tapi juga kehilangan elektrolit dan glukosa.
Kehilangan sekitar 2 % cairan tubuh. Mulanya adalah rasa haus yang
teramat sangat. Mulut dan lidah kering, air liur pun berkurang. Produksi kencing
pun menurun.
Apabila hilangnya air meningkat menjadi 3-4 % dari berat badan, terjadi
penurunan gangguan performa tubuh. Suhu tubuh menjadi panas dan naik,
biasanya diikuti meriang. Tubuh menjadi sangat tidak nyaman. Nafsu makan
hilang, kulit kering dan memerah, dan muncul rasa mual.
Ketika cairan yang hilang mencapai 5%-6% dari berat badan, frekuensi
nadi meningkat, denyut jantung menjadi cepat. Frekuensi pernapasan juga makin
tinggi, napas jadi memburu. Yang terjadi selanjutnya adalah penurunan
konsentrasi, sakit kepala, mual, dan rasa mengantuk yang teramat sangat.
Kehilangan cairan tubuh 10%-15% dapat menyebabkan otot menjadi kaku,
kulit keriput, gangguan penglihatan, gangguan buang air kecil, dan gangguan
kesadaran.
Apabila mencapai lebih dari 15% akan mengakibatkan kegagalan
multiorgan dan mengakibatkan kematian (Price, 2006).
37
2.2.3. Cara Menentukan Derajat Dehidrasi
Cara objektif menentukan derajat dehidrasi adalah membandingkan berat
badan sebelum dan selama diare dan secara subyektif menggunakan kriteria
WHO, kriteria Mortality Morbidity Weekly Review (MMWR).
Table 2.2 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO 2005
Cara membaca tabel untuk menentukan kesimpulan derajat dehidrasi :
a. Baca tabel penilaian derajat dehidrasi dari kolom kanan ke kiri (C ke A)
b. Kesimpulan derajat dehidrasi penderita ditentukan dari adanya satu gejala
kunci (yang diberi tanda bintang) ditambah minimal satu gejala yang lain
(minimal satu gejala) pada kolom yang sama.
38
Table 2.3 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut MMWR 2003
Sumber: Juffrie, 2010
2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Dehidrasi
a. Umur
Kebutuhan cairan bervariasi tergantung dari usia, karena usia akan
berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan. Bayi dan
anak-anak lebih mudah mengalami dehidrasi dibanding usia dewasa. Resiko
dehidrasi pada anak balita menjadi lebih besar karena komposisi cairan tubuh
yang besar dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara bebas
39
(Huang dkk., 2012). Pada usia lanjut juga lebih rentan mengalami dehidrasi
maupun gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dikarenakan penurunan
atau gangguan fungsi ginjal atau jantung sehingga hal tersebut dapat
meningkatkan keparahan dari dehidrasi.
b. Iklim
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan kelembaban
udaranya rendah mengalami peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit
melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di lingkungan yang panas
dapat kehilangan cairan sampai dengan lima liter per hari. Maka dari itu kondisi
lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kejadian dehidrasi
maupun tingkat keparahan dehidrasi.
c. Diet
Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika
intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak
sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal
keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini
akan menyebabkan edema.
Apalagi saat mengalami diare, asupan cairan dan nutrisi yang tidak adekuat
dapat memperparah kondisi diare dan dehidrasi itu sendiri. Peningkatan peristaltik
menyebabkan makanan dan cairan tidak terserap dengan baik, sehingga tubuh
mengalami kekurangan, maka diharapkan saat mengalami dehidrasi maupun
diare, asupan nutrisi dan cairan ditingkatkan untuk tetap menjaga keseimbangan
40
cairan dan nutrisi sampai tubuh kembali pulih dan dapat menyerap nutrisi dengan
baik.
d. Stres
Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan pemecahan
glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi air
sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah.
Stress juga dapat mempengaruhi tingkat dehidrasi melalui peningkatan
metabolisme sel dan pengeluaran keringat sehingga pemakaian dan pengeluaran
cairan dalam tubuh meningkat dan jika tidak dibarengi dengan asupan cairan yang
adekuat, tubuh akan mengalami dehidrasi.
e. Kondisi Sakit
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan
dan elektrolit sehingga sangat berpengaruh terhadap kejadian dan tingkat
keparahan dehidrasi misalnya:
1) Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL.
2) Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
3) Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami ganguan
pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemapuan untuk memenuhinya
secara mandiri.
4) Diare dapat menjadi penyebab terjadinya dehidrasi. Selama diare akan terjadi
peningkatan kehilangan cairan dan elektrolit melalui feses. Kehilangan cairan
yang terus berlangsung dan tidak diimbangi dengan penggantian yang cukup,
41
maka akan berakhir menjadi dehidrasi. Dan jika keadaan ini berlangsung
terus maka dapat terjadi dehidrasi berat dan bahkan kematian (WHO, 2005).
f. Orang Tua
Khalili (2006) menjelaskan pendidikan orang tua adalah faktor yang
sangat penting dalam keberhasilan manajemen diare terutama dalam pencegahan
maupun penaganan dehidrasi pada anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan
rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang
tepat pada anak diare dengan dehidrasi karena kurangnya pengetahuan dan
kurangnya kemampuan untuk menerima informasi.
g. Pengobatan
Pengobatan seperti pemberian diuretik, laksatif dapat berpengaruh pada
kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
Ketepatan penanganan dehidrasi juga dapat mempengaruhi derajat
dehidrasi itu sendiri, jika penanganan dehidrasi tidak tepat sesuai kondisi
dehidrasi dan gagal, maka derajat dehidrasi akan tetap atau mungkin meningkat.
2.2.5. Dehidrasi pada Diare
Penderita dengan diare mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila
ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat
menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi
merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan
hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.
42
Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik,
dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik.
Diare juga dapat diklasifikasilan menurut derajat dehidrasinya, bisa tanpa
dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat (Juffrie, 2010).
a. Diare Tanpa Dehidrasi
Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi
diare masih dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.
b. Diare dengan Dehidrasi Ringan-Sedang (3%-10%)
Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare tiga kali atau lebih,
kadang-kadang muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan
menurun, aktifitas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau
takikardia yang minimum dan pemeriksaan fisik dalam batas normal.
Jika dehidrasi sudah sampai pada tingkat sedang penderita akan mengalami
takikardi, kencing yang kurang atau langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu,
mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir
bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air mata berkurang dan masa pengisian
kapiler memanjang (≥ dua detik) dengan kulit yang dingin yang dingin dan pucat.
c. Diare dengan Dehidrasi Berat (10%-15%)
Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan
biasanya pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang
melemah, hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin,
mata dan ubun-ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata,
43
tidak mampu minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan
juga masa pengisian kapiler sangat memanjang (≥ tiga detik) dengan kulit yang
dingin dan pucat.
2.3 Pijat Bayi
2.3.1. Pengertian Pijat Bayi
Salah satu stimulasi yaitu stimulasi taktil (perabaan dan sentuhan) adalah
suatu jenis rangsangan sensori yang paling penting untuk perkembangan bayi
yang optimal. Sensasi sentuhan adalah yang paling berkembang pada saat lahir,
karena sensasi ini telah berfungsi sejak dalam kandungan sebelum sensasi yang
lain berkembang. Contoh rangsang taktil yang dapat dilakukan dan penting antara
lain memegang, menimang, mengurut, menepuk, menggoncang dan gerakan
termasuk memijat dan memandikan bayi. Cara lain yang dapat digunakan untuk
merangsang dengan taktil adalah melalui mainan yang mempunyai permukaan
yang lembut, licin, fleksibel dan kaku (Hammer dan Turner, dalam Soedjatmiko,
2006).
Salah satu bentuk terapi sentuhan adalah pijat bayi. Sentuhan alamiah pada
bayi sesungguhnya sama artinya dengan tindakan mengurut atau memijat. Apabila
tindakan ini dilakukan secara teratur dan sesuai dengan tata cara dan teknik
pemijatan bayi, maka terapi ini bisa menjadi terapi untuk mendapatkan banyak
manfaat bagi bayi (Nadjibah Yahya, 2011).
Pijat bayi adalah suatu terapi atau seni perawatan kesehatan yang sudah
lama dikenal oleh manusia dan merupakan pengobatan yang dipraktekkan sejak
awal manusia diciptakan ke dunia, karena prosesnya berhubungan dengan
44
kehamilan dan kelahiran manusia. Manusia mengalami pengalaman pertama
dipijat pada saat dilahirkan di dunia dengan adanya proses kelahiran dimana harus
meninggalkan rahim yang hangat dan melewati jalan lahir yang sempit sehingga
menimbulkan pengalaman traumatik dan kecemasan. Sentuhan dan pijat bayi
yang dilakukan segera setelah lahir akan membuat bayi mempertahankan rasa
aman setelah mendapat jaminan adanya kontak tubuh bayi (Roesli, 2001).
Pijat bayi berbeda dengan pijat yang dilakukan terhadap orang dewasa.
Perbedaan ini terletak pada besarnya tekanan yang diberikan. Pada pijat bayi
biasanya lebih cenderung berupa sentuhan-sentuhan lembut, sehingga disebut juga
stimulus touch (Prasetyono, 2009).
Sentuhan dan pandangan mata yang terjadi pada saat pijat bayi
berlangsung dapat mengalirkan kasih sayang di antara ibu atau yang memijat
dengan bayi yang merupakan dasar untuk meningkatkan rasa aman, mengurangi
kecemasan, menciptakan hubungan emosi yang baik antara keduanya, dan
meningkatkan kemampuan fisik (Prasetyono, 2009). Semakin padat frekuensi
sentuhan, semakin dekat hubungan batin yang terjalin, lebih dari itu, sentuhan,
belaian, dan pijatan akan memperat ikatan kasih sayang orang tua dengan anak
namun bila dilakukan secara berlebihan, hal tersebut justru akan menimbulkan
ketergantungan pada bayi. Oleh sebab itu, pemijatan sebaiknya juga dilakukan
oleh ayah kakek atau nenek agar bayi tidak semakin tinggi ketergantungannya
hanya terhadap ibu (Subakti, 2008).
45
2.3.2. Fisiologi Pijat Bayi
Secara umum mekanisme fisiologis dasar dari terapi sentuhan (pijat bayi)
ada tiga, yaitu pengeluaran beta endorphin, peningkatan aktivitas nervus vagus
dan peningkatan produksi serotonin. Masing-masing akan dijelaskan sebagai
berikut :
a. Beta Endorphin Mempengaruhi Mekanisme Pertumbuhan.
Penelitian
mengungkapkan
bahwa
pijatan
akan
meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tahun 1989, Scanberg dari Duke
University Medical School melakukan penelitian pada bayi-bayi tikus. Pakar ini
menemukan bahwa jika hubungan taktil (jilatan-jilatan) ibu tikus ke bayinya
terganggu akan menyebabkan terjadinya penurunan enzim ODC (ornithine
decarboxylase) suatu enzim yang menjadi petunjuk bagi pertumbuhan sel dan
jaringan, dan terjadinya penurunan pengeluaran hormon pertumbuhan.
b. Aktivitas
Nervus
Vagus
Mempengaruhi
Mekanisme
Penyerapan
Makanan.
Penelitian Field dan Schanberg (1986) menunjukkan bahwa pada bayi yang
dipijat atau dilakukan terapi sentuhan mengalami peningkatan tonus nervus vagus
(saraf otak ke-10) yang akan menyebabkan peningkatan kadar enzim penyerapan
gastrin dan insulin. Dengan demikian, penyerapan makanan akan menjadi lebih
baik. Itu sebabnya mengapa berat badan bayi yang dipijat meningkat lebih banyak
daripada yang tidak dipijat.
46
c. Aktivitas Nervus Vagus Meningkatkan Konsumsi ASI
Penyerapan makanan menjadi lebih baik karena peningkatan aktivitas
Nervus Vagus menyebabkan bayi cepat lapar sehingga akan lebih sering menyusu
pada ibunya. Akibatnya, ASI akan lebih banyak diproduksi. Seperti diketahui,
ASI akan semakin banyak diproduksi jika semakin banyak diminta. Selain itu, ibu
yang memijat bayinya akan merasa lebih tenang dan hal ini berdampak positif
pada peningkatan volume ASI.
d. Produksi Serotonin Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
Pemijatan akan meningkatkan aktivitas neurotransmiter serotonin, yaitu
meningkatkan kapasitas sel reseptor yang berfungsi mengikat glucocorticoid
(adrenalin, suatu hormon stres). Proses ini akan menyebabkan terjadinya
penurunan kadar hormon kortisol. Penurunan kadar hormon stres ini akan
meningkatkan daya tahan tubuh, terutama IgM dan IgG selain itu penurunan kadar
hormon stres ini akan menyebabkan keadaan rileks.
e. Mengubah Gelombang Otak
Pijat bayi akan membuat bayi tidur lebih lelap dan meningkatkan
kesiagaan (alertness) atau konsentrasi. Hal ini disebabkan pijatan dapat mengubah
gelombang otak. Pengubahan ini terjadi dengan cara menurunkan gelombang
alpha dan meningkatkan gelombang beta serta tetha, yang dapat dibuktikan
dengan penggunaan EEG (electro encephalogram) (Roesli, 2001; Nadjibah
Yahya, 2011).
47
2.3.3. Manfaat Pijat Bayi
Pijat bayi menurut Roesli (2001) juga memiliki efek biokimia yang positif,
antara lain menurunkan kadar hormon stres (catecholamine) dan meningkatkan
kadar serotonin. Selain itu, ada beberapa hasil laporan penelitian para pakar
tentang manfaat pijat bayi, antara lain; 1) Meningkatkan berat badan, 2)
Meningkatkan
pertumbuhan,
3)
Meningkatkan
daya
tahan
tubuh,
4)
Meningkatkan konsentrasi bayi dan membuat bayi tidur lebih lelap, 5) Membina
ikatan kasih sayang orangtua dan anak, 6) Meningkatkan produksi ASI.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sleuwen, dkk (2007)
menunjukkan pembedongan yang juga diikuti pemijatan pada bayi membuat
tangis bayi berkurang dan mengurangi nyeri pada bayi. Begitu banyak manfaat
dari pijat bayi sehingga disarankan kepada orangtua memberikan pijat bayi
kepada bayinya, semakin dini pijat bayi yang dilakukan secara terus menerus
maka semakin besar manfaat yang dapat dirasakan. Setelah mengetahui manfaat
pijat bayi, untuk dapat melaksanakan pijat bayi ada waktu terbaik untuk
melakukan pijat bayi dan beberapa persiapan sebelum memijat bayi (Roesli,
2001).
2.3.4. Faktor-Faktor Yang Diperhatikan dalam Melakukan Pijat Bayi
a. Waktu Pemijatan
Pijat bayi dapat segera dimulai setelah bayi dilahirkan, sesuai dengan
keinginan orang tua. Dengan lebih cepat mengawali pemijatan, bayi akan
mendapat keuntungan yang lebih besar. Apalagi jika pemijatan dapat dilakukan
48
setiap hari dari sejak kelahiran sampai bayi berusia enam sampai tujuh bulan
(Roesli, 2009 ; Nadjibah Yahya, 2011).
Waktu terbaik untuk memijat bayi ketika bayi terjaga dan senang.
Demikian pula dengan orang tua sendiri harus dalam kondisi tenang dan santai,
sehingga bayi juga merasa tenang (Heath dan Bainbridge, 2007).
Menurut Roesli (2009) bayi dapat dipijat pada waktu-waktu yang tepat,
meliputi:
1) Pagi hari, pada saat orang tua dan anak siap untuk memulai hari baru
2) Malam hari, sebelum tidur. Ini sangat baik untuk membantu bayi tidur lebih
nyenyak
b. Cara Memijat Sesuai Usia
1) 0 - 1 bulan, disarankan gerakan yang lebih mendekat usapan-usapan halus.
Sebelum tali pusat lepas sebaiknya tidak dilakukan pemijatan di daerah perut.
2) 1 - 3 bulan, disarankan gerakan halus disertai dengan tekanan ringan dalam
waktu yang singkat.
3) 3 bulan - 3 tahun, disarankan seluruh gerakan dilakukan dengan tekanan dan
waktu yang semakin meningkat (Roesli, 2009).
c. Hal yang Dilakukan dan Diperhatikan Selama Pemijatan
1) Memandang mata bayi, disertai pancaran kasih sayang selama pemijatan
berlangsung.
2) Bernyanyilah atau putarkanlah lagu-lagu yang tenang atau lembut, guna
membantu menciptakan suasana tenang selama pemijatan berlangsung.
49
3) Awalilah pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan, kemudian secara
bertahap tambahkanlah tekanan pada sentuhan yang dilakukan, khususnya
apabila pemijat sudah merasa yakin bahwa bayi mulai terbiasa dengan
pemijatan yang sedang dilakukan.
4) Sebelum melakukan pemijatan, lumurkanlah baby oil atau lotion yang lembut
sesering mungkin.
5) Sebaiknya, pemijatan dimulai dari kaki karena umumnya bayi lebih menerima
apabila dipijat sebelum bagian lain dari badannya disentuh. Urutan pemijatan
bayi dianjurkan dimulai dari bagian kaki, perut, dada, tangan, muka dan
diakhiri pada bagian punggung.
6) Tanggaplah pada isyarat yang diberikan oleh bayi. Jika bayi menangis,
cobalah untuk menenangkannya sebelum melanjutkan pemijatan. Jika bayi
menangis lebih keras, hentikanlah pemijatan karena mungkin bayi
mengharapkan untuk digendong, disusui atau sudah mengantuk dan sangat
ingin tidur.
7) Mandikan bayi segera setelah pemijatan berakhir agar bayi merasa segar dan
bersih setelah terlumuri minyak bayi (baby oil). Namun, kalau pemijatan
dilakukan pada malam hari, bayi cukup diseka dengan air hangat agar bersih
dari minyak.
8) Lakukan konsultasi pada dokter atau perawat untuk mendapatkan keterangan
lebih lanjut tentang pemijatan bayi.
9) Hindarkan mata bayi dari baby oil/ lotion (Roesli, 2009).
50
2.3.5. Kontra Indikasi Pijat Bayi
a. Memijat bayi langsung setelah makan.
b. Membangunkan bayi khusus untuk pemijatan.
c. Memijat bayi pada saat bayi dalam keadaan tidak nyaman.
d. Memijat bayi pada saat bayi tak mau dipijat.
e. Memaksakan posisi pijat tertentu pada bayi (Roesli, 2009).
2.3.6. Efek Samping Pijat Bayi
Efek samping pijat bayi terjadi apabila pemijatan dilakukan dengan cara
yang salah dan tidak sesuai dengan ketentuan medis/ teknik pemijatan yang telah
ada.
Efek samping dari kesalahan pemijatan diantaranya adalah pembengkakan,
terdapatnya lebam, adanya rasa sakit pada bayi sehingga bayi menjadi rewel,
pergeseran urat dan cedera. Oleh karena itu, banyak orang tua yang enggan
melakukan pijat bayi, mereka takut akan terjadi resiko pijat payi pada buah
hatinya.
Resiko pijat bayi tersebut biasanya disebabkan oleh kelalaian praktisi pijat
dalam memijat, salah pijat, dan kurangnya pengetahuan pemijat. Untuk
memperkecil resiko pijat bayi, sebaiknya orang tua mengetahui dan melakukan
cara pijat bayi yang sesuai dengan ketentuan pemijatan serta lebih teliti dalam
memilih praktisi pijat untuk bayinya (Roesli, 2009).
2.3.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Melakukan Pijat Bayi
Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu melakukan pijat bayi antara lain ibu
yang enggan untuk melakukan pemijatan secara rutin kepada bayinya apalagi
51
diawal kelahirannya. Para ibu beranggapan bahwa bayi tidak boleh sering dipijat,
badannya masih lemah atau alasan lain seperti tidak berani memijat karena takut
salah akibat tidak tahu mengenai teknik memijat yang baik dan benar yang tidak
pernah dibuktikan kebenarannya (Subakti ; Anggraini, 2009). Selain itu faktor
pengetahuan, sosial budaya, alat, waktu, dukungan suami serta keluarga dan peran
petugas kesehatan juga mempengaruhi ibu untuk melakukan pemijatan kepada
bayinya.
2.3.8. Persiapan Sebelum Melakukan Terapi Pijat Bayi
a. Sebelum memijat, tangan dipastikan bersih dan hangat. Hindari kuku panjang
dan perhiasan dilepaskan untuk menghindari goresan pada kulit bayi. Bayi
sebaiknya sudah makan atau tidak sedang lapar. Akan tetapi, jangan memijat
segera setelah bayi selesai makan atau membangunkan bayi hanya untuk
dipijat. Pemijatan pada bayi jangan dilakukan bila bayi sedang tidak merasa
nyaman atau tidak mau dipijat. Tidak boleh memaksakan posisi pijat tertentu
pada bayi.
b. Sebelum pijat dimulai, handuk, popok, baju ganti, dan baby oil/baby lotion
disiapkan kemudian bayi dibaringkan diatas permukaan kain rata, lembut, dan
bersih. Pilih ruangan yang nyaman, hangat, dan tidak pengap.
c. Sebelum memijat, mintalah izin pada bayi sebelum melakukan pemijatan
dengan cara memberikan gerakan pembuka berupa sentuhan ringan di
sepanjang sisi wajah bayi dan mengusap-usap rambut kepala, sambil
mengajak bayi berbicara. Sebelum dan selama pemijatan, kulit bayi perlu
sesering mungkin dilumuri baby oil atau baby lotion (Febriani, 2008).
52
2.3.9. Prosedur Pijat Bayi
a. Melakukan Pemijatan pada Daerah Kaki
Gerakan tangan dari pangkal paha sampai ke pergelangan kaki seperti
memerah susu atau memeras.
Mengurut telapak kaki bayi secara bergantian, pijat jari kaki dengan
gerakan memutar dan diakhiri dengan tarikan lembut pada setiap ujungnya. Untuk
punggung kaki secara bergantian kemudian buat gerakan menggulung dari
pangkal paha ke pergelangan kaki.
b. Melakukan Usapan pada Daerah Perut
Lakukan gerakan seperti mengayuh pedal sepeda, dari atas kebawah perut.
Letakkan kedua ibu jari di samping kanan dan kiri pusar perut, gerakkan kedua
ibu jari ke arah tepi kanan dan kiri perut. Lakukan gerakan “I LOVE U” mengusap
dari kanan atas perut bayi kemudian ke kiri bawah membentuk “L” terbalik.
“YOU” mengusap dari kanan bawah ke atas kemudian ke kiri dan berakhir di
perut kiri bawah membentuk huruf “U”.
c. Melakukan Pemijatan pada Daerah Dada
Lakukan pijatan kupu-kupu. Letakkan kedua tangan kita di tengah dada
bayi kita dan gerakan keatas kemudian ke sisi luar tubuh dan kembali ke ulu hati
tanpa mengangkat tangan seperti membentuk hati. Lalu dari tengah dada bayi
dipijat menyilang dengan telapak tangan kita kearah bahu seperti membentuk
kupu-kupu.
53
d. Melakukan Pijatan pada Daerah Tangan
Buatlah gerakan memijat ketiak dari atas ke bawah, jika terdapat
pembengkakan kelenjar di daerah ketiak jangan lakukan gerakan ini. Gerakan
tangan seperti memerah susu atau seperti memeras dari pundak ke pergelangan
tangan. Pijat telapak tangan dengan kedua ibu jari, dari pergelangan tangan kearah
jari-jari. Pijat lembut jari bayi satu persatu menuju ke arah ujung jari dengan
gerakan memutar, akhiri dengan tarikan lembut pada setiap ujung jari. Bentuklah
gerakan menggulung dari pangkal lengan menuju kearah pergelangan tangan.
e. Melakukan Pemijatan pada Daerah Wajah
Gerakan tangan kita dari tengah wajah samping seperti membasuh mata.
Tekankan jari-jari kita dari tengah dahi kesamping seperti menyetrika dahi.
Letakkan kedua ibu jari anda pada pertengahan alis, tekankan ibu jari anda dari
pertengahan kedua alis turun melalui tepi hidung ke arah pipi dengan membuat
gerakan kesamping dan ke atas seolah membuat bayi tersenyum (senyum I).
Letakkan kedua ibu jari anda diatas mulut didaerah sekat hidung. Gerakkan
kedua ibu jari dari tengah kesamping dan ke atas daerah pipi seolah membuat bayi
tersenyum (senyum II).
Letakkan kedua ibu jari anda di tengah dagu. Tekankan kedua ibu jari pada
dagu dengan gerakan dari tengah ke samping, kemudian ke atas ke arah pipi
seolah membuat bayi tersenyum (senyum III). Buatlah lingkaran-lingkaran kecil
di daerah rahang bayi dengan kedua jari telunjuk tangan anda, berikan tekanan
lembut pada daerah belakang telinga kanan dan kiri.
54
f. Melakukan Pemijatan pada Daerah Punggung
Menggerakkan tangan kita maju mundur dari bawah leher ke pantat bayi.
Pegang dan tahan pantat bayi dengan tangan kanan, kemudian usapkan telapak
tangan kiri kita seperti menyetrika punggung, dari leher ke pantat (Roesli, 2009).
2.3.10. Gerakan Relaksasi dan Gerakan Peregangan Lembut
Membuat
goyangan-goyangan
ringan,
tepukan-tepukan
halus
dan
melambung-lambungkan secara lembut. Teknik sentuhan relaksasi mudah dan
sederhana. Dapat dikerjakan bersama-sama pijat bayi atau terpisah dari pijat bayi.
Misalnya, waktu ibu mulai memijat bagian kaki bayi ternyata kakinya tegang dan
kaku.
Gerakan-gerakan sederhana yang meregangkan tangan dan kaki bayi,
memijat perut dan pinggul, serta meluruskan tulang belakang bayi. Peregangan
lembut ini dilakukan di akhir pemijatan atau diantara pijatan, setiap gerakan
peregangan dapat dilakukan sebanyak empat sampai lima kali.
a. Tangan Disilangkan
1) Pegang kedua pergelangan tangan bayi dan silangkan keduanya di dada.
2) Luruskan kembali kedua tangan bayi ke samping
b. Membentuk Diagonal Tangan-Kaki
1) Pertemukan ujung kaki kanan dan ujung tangan kiri bayi diatas tubuh bayi
sehingga membentuk garis diagonal. Selanjutnya, tarik kembali kaki kanan
dan tangan kiri bayi ke posisi semula.
55
2) Pertemukan ujung kaki kiri dengan ujung tangan kanan bayi diatas tubuh bayi.
Selanjutnya, tarik kembali tangan dan kaki bayi ke posisi semula. Gerakan
membentuk diagonal ini dapat diulang empat sampai lima kali.
c. Menyilangkan Kaki
1) Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi, lalu silangkan ke atas. Buatlah
silangan sehingga mata kaki kanan luar bertemu dengan mata kaki kiri dalam.
Setelah itu, kembalikan pada posisi semula.
2) Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi, lalu silangkan ke atas. Buatlah
silangan sehingga mata kaki kanan dalam bertemu dengan mata kaki kiri luar.
Setelah itu, kembalikan pada posisi semula. Gerakan ini dapat diulang
sebanyak empat sampai lima kali.
d. Menekuk Kaki
Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi dalam posisi kaki lurus, lalu
tekuk kaki perlahan menuju ke arah perut. Gerakan menekuk lutut ini dapat
diulang sebanyak empat sampai lima kali.
e. Menekuk Kaki Bergantian
Gerakan sama seperti menekuk kaki, tetapi dengan mempergunakan kaki
secara bergantian (Roesli, 2008).
2.4 Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Derajat Dehidrasi Pada Bayi
Diare erat hubungannya dengan kejadian dehidrasi dan kurang gizi. Setiap
episode diare dapat menyebabkan dehidrasi akibat ketidakseimbangan antara
cairan yang masuk dan cairan yang keluar akibat diare serta dapat terjadi
56
kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan
menyerap sari makanan, sehingga apabila episodenya berkepanjangan akan
berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan bayi (Firmansyah, 1992).
Ketidaknyamanan yang dirasakan bayi saat diare dapat mengakibatkan
nafsu makan menurun atau bahkan menghilang dan bayi cenderung rewel dan
gelisah. Padahal di saat bersamaan bayi membutuhkan asupan nutrisi yang
adekuat untuk membantunya dalam proses penyembuhan dan pemulihan dari
diare. Pemberian asupan nutrisi yang adekuat akan mempercepat kembalinya
fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi
berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling
tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan
berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan
lebih lama (Brown & Lean, 1984; Sandhu, 2001; WH0, 1995).
Pijat bayi sebagai terapi sentuhan memiliki banyak manfaat positif yang
dapat mendukung bayi dalam pertumbuhan dan perkembangannya serta dapat
menjadi terapi pendukung pada bayi diare. Pijat bayi memiliki manfaat
meningkatkan nafsu makan bayi dan membantu bayi untuk relaksasi sehingga
bayi merasa nyaman dan tidak rewel.
Melalui pijat bayi, dimana ibu memberikan sentuhan disertai dengan
penekanan lembut pada bayi akan menyebabkan ujung-ujung saraf yang terdapat
dipermukaan kulit bereaksi terhadap sentuhan. Pijatan pada tubuh diyakini dapat
menstimulasi sirkulasi darah lokal. Pembuluh darah pada bagian tubuh yang
dipijat akan mengalami dilatasi dan aliran darah pada daerah ini akan meningkat.
57
Peningkatan aliran darah dapat dinilai dengan membandingkan suhu dari daerah
pemijatan sebelum dan sesudah dipijat menggunakan tangan (Field, 1998 dalam
Field, 2001). Berdasarkan teori tersebut, diasumsikan bahwa dengan menstimulasi
sirkulasi darah, maka dapat melancarkan juga peredaran darah ke organ
pencernaan. Mekanisme diare diakibatkan karena masuknya patogen yang
menyebabkan rusaknya mukosa usus dan mengganggu proses absorpsi. Dengan
peredaran yang lancar, dapat mengatasi infeksi yang terjadi di dalam organ
pencernaan dan memperbaiki kemampuan absorpsi usus. Meningkatnya derajat
dehidrasi pada bayi dengan diare akut salah satunya disebabkan karena
kemampuan absorpsi usus terganggu, maka apabila kemampuan absorpsi usus
membaik, bayi akan cepat merasa lapar atau nafsu makan meningkat sehingga
dapat mempermudah pemberian asupan nutrisi, pemberian ASI dan rehidrasi oral
untuk mencegah perburukan kondisi dan memperbaiki kondisi dehidrasi.
Sinclair (2005) menyatakan bahwa pijat dapat merangsang sistem saraf dan
hormon. Pijatan merupakan rangsangan taktil di permukaan kulit dan merangsang
persarafan di sekitarnya. Sel-sel saraf akan bekerja memberikan informasi ke otak,
sehingga otak dapat menginstruksikan enzim ODC (ornithin decarboxylase) untuk
meningkatkan produksinya. Enzim ini bekerja untuk menjadi petunjuk peka bagi
pertumbuhan sel dan jaringan. Pada anak diare, pertumbuhan sel dan jaringan
bermanfaat untuk memperbaiki kondisi saluran pencernaan yang rusak akibat
invasi mikroorganisme. Kondisi saluran cerna yang membaik menyebabkan daya
serap saluran pencernaan menjadi baik juga, sehingga keadaan dehidrasi yang
biasanya terjadi pada bayi dengan diare diharapkan dapat teratasi.
58
Penelitian yang dilakukan Field dan Schanberg (1986) dalam Roesli (2008)
menunjukkan bahwa pada bayi yang dipijat mengalami peningkatan tonus nervus
vagus yang akan menyebabkan peningkatan kadar enzim penyerapan gastrin dan
insulin. Dengan demikian penyerapan makanan akan menjadi lebih baik. Anak
dengan diare mendapatkan terapi cairan baik oral maupun intravena. Terapi
tersebut bertujuan untuk mengatasi dehidrasi akibat diare. Dengan peningkatan
kadar enzim penyerapan akan membantu kerja cairan tersebut untuk cepat diserap
dalam tubuh anak, dengan begitu keadaan dehidrasi menjadi cepat teratasi.
Meningkatnya kadar enzim penyerapan juga membuat asupan makanan menjadi
cepat terserap oleh tubuh, sehingga tubuh memiliki energi yang cukup untuk
memperbaiki kerusakan yang terjadi pada organ pencernaan. Sistem pencernaan
mendapatkan nutrisi yang cukup untuk memperbaiki kerusakan akibat invasi
mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya diare.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pijat bayi
terhadap diare. Peneliti Vonda K. Jump (2006) dalam penelitian yang
dilakukannya pada anak-anak yang tinggal di dua panti asuhan di Quito, Ecuador
dengan membandingkan pengaruh terapi pijat dengan terapi bermain. 37 bayi
dengan usia 10-11 bulan secara acak dibagi dalam kelompok intervensi yang
diberikan pijat bayi dan kelompok control yang diberikan terapi bermain.
Kelompok intervensi diberikan pijat bayi selama 15 menit setiap harinya,
khususnya pada pagi hari sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi bermain
selama 15 menit tiap harinya. Hasil yang didapatkan pijat bayi mengurangi lama
hari anak-anak di panti asuhan merasakan gejala sakit dan juga pjat bayi memiliki
59
efek positif terhadap gejala sakit yang mereka alami. Untuk lebih mudah dipahami
gejala individual dari fase sakit dikategorikan sama dengan yang biasa dokter
pakai. Bayi pada kelompok pijat bayi memiliki rata-rata rendah kejadian gejala
infeksi. Ketika gejala individual dianalisa, kelompok pijat bayi memiliki frekuensi
diare yang lebih rendah dan memiliki temperamen yang lebih positif jika
dibandingkan dengan kelompok terapi bermain.
Di Indonesia sendiri juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Sri
Wulandari Novianti (2010) mengenai pengaruh terapi pijat dalam penurunan
frekuensi BAB dan tingkat dehidrasi pada anak usia nol sampai dua tahun dengan
diare di RSUD Cibabat Cimahi, hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan
kondisi pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol yaitu kelompok
intervensi lebih tenang, rileks, tidur lebih nyenyak dan mengalami peningkatan
nafsu makan.
Download