meretas solusi problema pendidikan dalam

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
MERETAS SOLUSI PROBLEMA PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
Asrowi
Program Studi S3 Ilmu Pendidikan FKIP UNS
Email: [email protected]
ABSTRAK
Meretas solusi problema pendidikan dalam perspektif global adalah
sebuah pemikiran yang bersifat multidimensional artinya pemikiran komprehensif
melihat dari berbagai sudut pandang, namun yang ditulis di sini hanya sebagian
kecil saja. Maksud tulisan ini sekedar merangsang berpikir saat ini dalam rangka
memprediksi dan menatap masa depan. Masa depan adalah bukan milik kita tapi
milik generasi berikutnya namun kita mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
normatif untuk memikirkan mulai sekarang. Kewajiban saat ini berupa kontribusi
pemikiran komprehensif yang dibutuhkan untuk masa depan. Sedangkan kewajiban
normatif adalah secara kemanusiaan ikut andil memikirkan dan memberikan suatu
konsep-konsep kemanusian yang dapat bermanfaaat bagi pendidikan. Karena
pendidikan saat ini tampaknya sudah mulai melepaskan dari rohnya, artinya
sudah mulai meninggalkan orientasi dan tujuan kemanusiaan. Mulai menjauh dan
melenceng dari akar-akar hakekat manusia, karena pada hakekatnya pendidikan
adalah proses perkembangan yang teleologis bertujuan. Tujuan proses
perkembangan secara alamiah berupa kedewasan, kematangan potensi-potensi dan
kepribadian. Melenceng dari akarnya bahwa aksiologi pendidikan sudah
berorientasi kepada orientasi bisnis. Perlu diakui dan disadari bahwa zaman
sekarang adalah zaman materi, zaman yang memfokuskan dirinya pada materi.
Kita merasakan bahwa pada saat ini eksistensi manusia mulai mengalami
keruntuhan, tersisih dan terancam secara psikologis. Banyak permasalahan dan
pertimbangan tentang nilai yang terkait dengan pencitraan manusia, seolah-olah
tidak ada harganya. Pencitraan dirasakan semakin kuat untuk menjatuhkan
komunitas serta golongan maupun kelompok manusia di kawasan dunia ini.
Kalaupun ada penghargaan tampaknya hanya terbatas pada nilai-nilai yang
berdemensi bisnis dengan ukuran menguntungkan apa tidak. Inilah salah satu
indikator masyarakat modern yang disebut globalisasi dimana masyarakat
bangsa dan negara sudah menyatu mendunia yang berdampak pada pemikiran dan
pola hidup yang terus berubah. Pola perkembangan manusia semakin unik karena
pemikiran dan perilakunya harus bisa diselaraskan dengan norma yang fluktuatif
yang terjadi dimasyarakat atau bangsanya. Dari sisi lain akan berkembangannya
nilai-nilai yang bertentangan dengan identitas diri dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Hal ini akan menjadi ancaman besar baik secara
individual maupun sosial, maka sudah saatnya perlu ada perenungan dan
pemikiran yang komprehensif. Persoalan inilah yang menjadi pokok pembicaraan
dalam tulisan ini dari sisi lain semoga dapat
memotivasi dan merangsang
pemikiran agar tidak mengalami future shock atau sudah terlanjur present shock.
Kata Kunci:problema pendidikan, perspektif global, komprehensif
51
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
orang akan mengakses tanpa melihat lagi
norma-norma yang ada. Inilah yang saya
maksud batas negara sekarang tidak ada
lagi. Manusia diseret ke sifat hidonistik,
materialistik, individualistik, tidak lagi
dipandang sebagai masalah yang melanggar
aspek-aspek
kemanusiaan.
Eksistensi
kemanusian manusia sedikit demi sedikit
akan terseret, tersisih dan terancam secara
pelan-pelan. Ibarat predator memburu
mangsanya dengan pelan-pelan merindik,
mengintai untuk siap dimangsa dalam
hitungan menit dan detik. Pembunuhan
kharakter manusia akan banyak terjadi
dimana-mana , manusia perorangan atau
kelompok tidak lagi berbicara kemanusiaan
, akan tetapi ukurannya menguntungkan
atau tidak.
Jadi masyarakat modern atau istilah
lain disebut globalisasi dimana masyarakat
bangsa dan negara sudah menyatu
mendunia, akan membawa pengaruh yang
sangat positif dan negative. Dari sisi positif
suatu bangsa dan negara akan berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan pola pola
perkembangan yang ada untuk diselaraskan
dengan norma bangsanya. Dari sisi lain juga
akan berkembangan nilai-nilai yang
bertentangan dengan identitas yang ada. Hal
ini akan menjadi ancaman besar
dan
dahsyat. Makalah
ini tidak akan
membicarakan cara mengatasi problem
dunia dan isu yang terjadi akan tetapi
mencoba mendeskrisikan isu-isu global dan
problem-problem yang terjadi dari dampah
globalisasi. Dua persoalan inilah yang
menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan
ini. Secara rinci akan dibahas satu persatu
secara berurutan sebagai berikut.
A. PENDAHULUAN
Masyarakat
modern
adalah
masyarakat yang terus berubah mengikuti
pemikiran manusia yang serba komplek,
salah satu implementasi indikatornya
produk kemajuan teknologi, mekanisasi,
industrialisasi, komunikasi, menyebabkan
manusia
mau tidak mau harus
mengikutinya. Dampak perubahan dalam
berbagai bidang membawa manusia kearah
kehidupan yang sangat komplek dengan
penuh problematika. Problematika tersebut
mulai dari yang terkecil rumit sederhana
sampai kepada yang besar, dan kompleks.
Maka adaptasi atau
penyesuaian diri
terhadap masyarakat modern yang serba
komplek
tersebut tidaklah mudah.
Kesulitan mengadakan adaptasi atau
penyesuain menyebabkan kebingungan,
kecemasan, konflik-konflik , baik yang
terbuka ( eksternal) sifatnya, maupun yang
tersembunyi
( internal ) dalam batin
sendiri.
Sehingga
banyak
orang
mengembangkan pola-pola perilaku yang
menyimpang dari norma-norma umum.
Atau berbuat semaunya sendiri,untuk
kepentingan sendiri, kemudian dampaknya
mengganggu
kepentingan
umum
(merugikan orang lain).
Secara
sosiologis
masyarakat
modern disebut masyarakat yang sudah
mengglobal (globalisasi) artinya batas-batas
antar bangsa dan negara hampir tidak ada
lagi. Sebab yang ada hanyalah batas
teritorial yang sepertinya hanya sebagai
formalitas dan identitas hukum formal suatu
negara. Berdasarkan asumsi dan pemikiran
yang rasional, sejatinya permasalahan
globalisasi itu betul-betul manusia berada
dalam satu identitas dunia dan secara
psikologis menghadapi ancaman besar.
Karena batas-batas antar negara tidak lagi
dibatasi dengan tembok yang kuat atau paga
berduri, akan tetapi arus informasi melalaui
media elektronik sudah masuk kedalam
suatu negara bahkan sampai ke rumahrumah penduduk tanpa permisi. Kemudian
B. MASALAH PENDIDIKAN
Peranan Pendidikan di dalam
kehidupan manusia, lebih-lebih di zaman
modern ini pendidikan diakui sebagai
kekuatan yang menentukan perubahan,
prestasi dan produktivitas seseorang.
Seseorang tidak berfungsi apa-apa di dalam
52
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
masyarakat tanpa melalui proses pendidikan
baik pendidikan formal maupun non formal.
Di dalam masyarakat secara kesuluruhan
dalam kontek negara bangsa di dunia
seseorang
harus
mengalami
proses
pendidikan. Hubungan antar Negara dan
bangsa dan interaksi komunikasi akan
mempengaruhi perkembangan kepribadian
manusia. Menurut Richey dalam bukunya
yang terkenal ― Planning for Teaching,
anIntroduction to Education‖ mengatakan ―
The term “ Education” refers to the broad
function of preserving and improving the
life of group through bringin new members
into its shared concerns. Education is thus a
far broader process than that which accurs
in schools. It is an essential social activity
by which communities continue to exist. In
complex communities this function is
specialized and institutionalized in formal
education, but there is always the education
outside the school with which the formal
process is related.
Istilah ― pendidikan‖ berkenaan
dengan fungsi yang sangat luas untuk
pemeliharaan dan perbaikan kehidupan
suatu masyarakat terutama membawa warga
masyarakat yang baru (generasi muda)
untuk melaksanakan
kewajiban dan
tanggung jawab di dalam masyarakat. Jadi
pendidikan adalah suatu proses yang lebih
luas daripada proses yang berlangsung di
dalam sekolah saja. Pendidikan adalah
merupakan aktivitas sosial yang esensial
yang memungkinkan tetap ada dan
berkembang. Di dalam masyarakat yang
kompleks dan modern seperti sekarang,
fungsi pendidikan mengalami proses
spesialisasi dan melembaga dengan
pendidikan formal, yang tetap berhubungan
dengan proses pendidikan informal di luar
sekolah dengan pernak pernik konsep
program kurikulum dan strateginya.
Konsep dasar pendidikan tersebut
sekurang-kurangnya tiap pribadi seseorang
atau manusia pada umumnya akan terlibat
dengan pengaruh pendidikan dalam arti
yang lebih luas antar negara dan bangsa di
dunia. Secara logika tiap manusia
kenyataannya sekaligus adalah warga
masyarakat, dan pendidikan dalam arti yang
sangat makro berlangsung di dalam dan
oleh proses masyarakat. Lodge mengatakan
bahwa ― hidup adalah pendidikan, dan
pendidikan
adalah
hidup‖.
Dengan
demikian cakupan wilayah pendidikan
meliputi seluruh umat manusia, sepanjang
sejarah adanya manusia, sepajang hidup
manusia. Perubahan-perubahan dari proses
pendidikan yang meliputi aspek-aspek yang
sangat luas akhirnya sulit diukur, jika dapat
diukur itu hanya sebagian kecil dari aspek
yang sangat luas. Hidup adalah pendidikan
dan pendidikan adalah hidup sepanjang
hayat maka tiap-tiap warga negara dikenai
wajib belajar yang disebut compulsory
education sebagai perwujudan urgensinya
pendidikan bagi manusia. Compulsory
education dari sisi-sisi lain untuk
mempersiapkan generasi bangsa negara agar
mampu melakukan adjustment dengan
perkembangan dunia saat ini yang telah
berkembang dengan cepat.
Demi kepentingan serta tanggung
tanggung jawab negara maka bidang
pendidikan yang muncul dalam tataran
dunia saat ini perlu segera menyesuaian diri
untuk
mengejar ketinggalan pola dan
sistem
pendidikan
nasional
segera
disetarakan
tanpa
mengorbankan
kharakteristik dan keinikan budaya bangsa.
Negara yang menjadi acuan perkembangan
ilmu pengetahuan selama ini adalah
Amerika, German, Jepang, Australia dan
negara-negara besar lainnya, karena mereka
sudah berada pada tingkat pendidikan yang
tinggi. Sudah mulai merasakan ada
kekurangan kemudian strategi yang
ditempuh
adalah
salah
satunya
meningkatkan
kualitas
pendidikan.
Kemudian akhirnya negara berusaha
membiayai warganya studi ke negara lain.
Alternatif ini sangat baik, akan tetapi
persoalan yang muncul adalah tidak semua
53
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
nya menguasasi bahasa inggris. Inilah
barangkali yang disebut faktor internal
dalam negeri. Kemudian pola-pola yang
berkembangan adalah menjamurnya kursus
bahasa asing sampai-sampai negara tidak
dapat mengaturnya dan tidak dapat
mengontrolnya. Apakah kursus bahasa yang
dikemas dalam rumah pendidikan itu sesuai
dengan kualitas yang diharapkan atau tidak,
atau hanya sekedar orientasi materi. Dari
sisi lain sekolah-sekolah terdorong untuk
meningkatkan pembelajaran bahasa asing
dengan menambah jam-jam pelajaran atau
bentuk les di luar pelajaran. Hal ini belum
selesai
bahkan
pelaksanaanya
dan
kualitasnya belum pernah dievaluasi.
Kemudian pemerintah menetapkan bahwa
mata pelajaran bahasa inggris diujikan
secara nasional sebagai bentuk antisipasi
bangsa Indonesia dalam era globalisasi.
Persoalan yang terjadi di lapangan adalah
ternyata siswa-siswa yang pandai dalam
mata pelajaran tertentu tidak lulus ujian
bahasa inggris. Jadi terkesan bahwa
pelajaran bahasa inggris mata pelajaran
yang sangat menentukan dan merupakan
satu-satunya ukuran kualitas pendidikan
seseorang. Tidak hanya itu tetapi ada kesan
bahwa selama bersekolah sebagai puncak
ukuran keberhasilannya ditentukan oleh
beberapa mata pelajaran yang diujikan
secara nasional. Tidak sedikit murid-murid
yang tidak lulus kemudian mereka merasa
menjadi korban sebuah keputusan nasional.
Akhirnya
pemerintah
mengambil
kebijaksanaan pada tataran ke dua yaitu
harus mengikuti ujian paket. Ini merupakan
bukti-bukti
yang
masih
dalam
permasalahan
yang
relative
ringan.
Indikator ini terus akan menghantui jiwa
dalam sepanjang masa selama mereka
sekolah. Pada tingkat kelas atas mereka
berusaha mati-matian untuk menepis
kekawatiran menjelang ujian nasional.
Siang malam tidak dapat tidur karena
bayang-bayang
selalu
menyertainya.
Sekarang mengalami perubahan keputusan
bahwa hasil ujian nasional tidak berdiri
sendiri tetapi penggabungan dengan nilai
mata pelajaran lainnya , kemudian di ratarata berdasarkan standar yang telah
ditentukan.
Persoalan-persoalan
yang
menyangkut persekolahan muncul kembali
tentang sekolah yang bertarap internasional,
dengan strategi pembelajaran menggunakan
pengantar bahasa inggris. Kemudian
muncul pertanyaan dari dunia akademik
apakah kurikulumnya juga menggunakan
kurikulum tingkat internasional. Pertanyaan
ini tidak mendapatkan jawaban, karena
popularitas terselubung hanya terbatas nama
dan ciri bahasa pengantar, lalu siapakah
yang akan mengajar. Apakah setiap guru
menguasai bahasa inggris, dan apakah
murid-murid yang ada juga dapat
menangkap maksud materi yang diberikan
guru. Dalam bahasa sendiri masih banyak
yang mengalami kesulitan lebih-lebih
bahasa asing. Cita-cita penggunaan bahasa
asing sangat bagus tetapi sekali lagi itu
bukan ukuran keberhasilan
pendidikan
suatu sekolah. Jika itu dikatakan berhasil
mungkin dari aspek bahasa. Harapan tokohtokoh pendidikan nasional yang tidak bisa
hadir dalam dunia
barangkali sangat
mengharapkan janganlah terjebak pada
arena bisnis dan komersialisasi pendidikan.
Pada persoalan lain yang sangat
menyentuh persoalan akademik yaitu
tentang konsep pendidikan itu sendiri.
Tampaknya pendidikan tidak lagi berada di
dalam rumah ilmu pendidikan, tetapi sudah
mulai bergeser pada bentuk pengajaran
apakah di sekolah atau di lembaga lainnya
yang tetap menamakan dirinya sebagai
lembaga pendidikan. Yang menjadi
pertanyaan
adalah
apakah
bedanya
pendidikan dalam arti teoritis maupun
praktis dan apakah sama antara pengajaran
dengan pendidikan dalam arti yang luas.
Benturan konsep akan terjadi di masyarakat
sehingga terasa kehilangan nilai instrinsik
yang sangat strategis. Ilmu pendidikan
54
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tampaknya mulai bergeser sangat jauh.
Kemudian dari sedikit demi sedikit akan
kehilangan nafas moralnya yang sebenarnya
telah abadi di dalam cita-citanya.
Bimbingan konseling sebagai bagian
dari misi ilmu pendidikan membantu siswa
mengatasi
dampak
dari
peristiwa
pembelajaran,
dampak
keputusan
pendidikan dan dampak permasalahan
kehidupan sebagai pribadi, sosial, belajar
maupun karir. Bimbingan dan konseling
bergerak maju kedepan sebagai pencerah
dalam arena bidangnya yaitu menangani
kesejahteraan jiwa menunjukan jalan yang
gelap menuju terang benderang. Misi
lainnya adalah untuk mendewasakan siswa
dan
memperkembangankan
semua
potensinya yang ada sehingga tujuan
akhirnya mereka dapat direalisasikan di
dalam kehidupan bermasyarakat.
Jadi
posisi ilmu pendidikan dalam arena
pragmatis akan berada dimana-mana,
karena memang sangat luas dan bisa berada
dimana-mana. Ilmu pendidikan ibarat jaket
bisa dipakai siapa saja, sekalipun bukan
orang pendidikan. Inilah yang dikatakan
bahwa ilmu pendidikan telah berkembang
melampaui batas tanpa diketahui posisinya
terkait masa lalunya.
kesadarannya mengahadapi problem yang
jauh lebih sulit dari pada problem-problem
sebelumnya. Manusia mulai bertanya
kapankah pendidikan akan berhasil
memanusiakan
manusia.
Inilah
isu
pendidikan pada tingkatan implementasi
konsep dan tujuan akhir dari pendidikan
yang akan diuji terus menerus. Salah satu
persoalan saat ini apakah sekolah sebagai
lembaga pendidikan masih berpusat dan
ber-orientasi pada pribadi peserta didik atau
mengikuti pesan-pesan pragmatic secara
temporer telah berkembang di masyarakat
saat ini. Tampaknya orientasi pendidikan
mengarah kepada dua orientasi yaitu
orientasi memanusiakan manusia dan
orientasi financial, mana yang didahulukan
atau tidak ada yang didahulukan akan tetapi
secara bersama-sama harus berjalan menuju
tujuan yang mulia. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
telah
memprogramkan
biasiswa ―bidik misi‖ ini merupakan salah
satu solusi yang sangat menjanjikan bagi
mereka yang berprestasi, tapi mereka tidak
mampu.
Kedua orientasi tersebut di atas
menurut aliran Progressivisme mengarah
kepada dua hal yang esensinya sama yaitu
child-centered
(berpusat
kepada
memanusiakan manusia) dan development
community-centered
(berpusat
kepada
perkembangan masyarakat). Child centered
pada umumnya dijadikan sebagai dasar
kurikulum dan prinsip-prinsip pendidikan
terkait dengan perkembangan kepribadian
yang terpusat serta diorientasikan kepada
potensi psikologis. Developmentcommunitycentered ialah suatu deskripsi dan
intrepretasi yang memusatkan perhatian
pada
perubahan paradigma masyarakat
sebagai salah satu totalitas medan orientasi
pendidikan. Terkait dengan
kurikulum
2013 yang memposisikan diri pada unsurunsur perkembangan kepribadian, potensi
prakarsa,
perasaan,
pikiran-pikiran
fluktuatif spontan dan kreatif, ekspressi,
sikap sosial, cerdas dan kritis. Dalam
C. PENDIDIKAN PROSES NORMATIF
Perlu disadari pendidikan adalah
proses normatif dan tidak sekedar proses
teknis yang berhubungan pertumbuhan dan
perkembangan. Proses normatif artinya
bahwa
pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia dalam jangka
waktu yang tidak ditentukan. Pertumbuhan
dan perkembangan tidak lain menyangkut
pengembangan semua potensi manusia
sebagai insan yang mandiri lahir dan batin.
Pendidikan merupakan kekuatan yang
memerdekaan manusia, yang memperkuat
moral, budi pekerti dan memperkuat
kekuatan intelektual dan penalarannya.
Manusia sebagai subjek pendidikan
dihadapkan kepada fenomena baru dalam
55
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kurikulum tersebut mengandung
nilai
bimbingan konseling peminatan, hal ini
menunjukkan bahwa siswa diberikan
kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai
dengan pandangan dan pemikiran sesuai
dengan potensi yang dimiliki. Konsekuensi
asas ini maka guru dituntut benar-benar
mengenal individualitas setiap anak atau
siswa.
Kurikulum 2013 memiliki spirit
yang kuat untuk pemulihan fungsi dan arah
pendidikan kearah yang lebih konsisten
dengan arahanpasal 3 UU No 20/2003,
yang
mengandung makna bahwa watak
dan peradaban bangsa yang sesuai dengan
nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila
dan UUD 1945. Hal ini menjadi tujuan
eksistensial pedidikan, yang melandasi
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagai tujuan kolektif-kultural pendidikan,
yang
diejawantahkan
melalui
pengembangan potensi
peserta didik
sebagai tujuan pendidikan. Kurikulum 2013
dimaksudkan untuk menyiapkan peserta
didik untuk sukses dalam menghadapi
berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan
di era globalisasi dengan tetap berpijak pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Jadi konsep yang terkandung
dalam kurikulum tersebut adalah pendidikan
merupakan proses mewariskan nilai-nilai
budaya, pengembangan ilmu pengetahuan
dan membina manusia Indonesia agar
mengerti dan memahami nilai-nilai Ke
Indonesiaan yang tidak dapat dilepaskan
dari
pribadi
bangsanya.
Socrates
mempunyai pandangan
bahwa antara
pengetahuan dan nilai tidak dapat dipisahpisahkan. Socrates mengatakan ―In Socrates
we find a noble attempt to fuse epistemology
and axiology in the principle that
knowledge is the master key to virtue”. Pada
Socrates ditemukan bahwa suatu usaha yang
mulia ialah mensintesakan antara ilmu
dengan nilai. Nilai adalah kunci kebajikan
dan ilmu dapat diperoleh melalui
pendidikan baik di sekolah formal maupun
non formal, walaupun sebenarnya ilmu
pengetahuan itu sendiri juga mengandung
nilai-nilai praktis dalam kehidupan pribadi
maupun sebagai warga masyarakat dan
bangsa.
Ditinjau dari sisi lain Kurikulum
2013 secara tegas juga menitikberatkan
pada pencapaian kompetensi sikap,
ketarampilan dan pengetahuan sebagai suatu
keutuhan.Konsep
keutuhan
tersebut
menekankan pada
keterpaduan sikap,
keterampilan dan pengetahuan sebagai
kompetensi utuh yang harus dicapai oleh
peserta didik. Secara konseptual terjadi
keterpaduan yang tidak dapat dipisahkan
antara mata pelajaran dangan muatan lokal,
dan tidak memisahkan antara pendidikan
akademik dan pendidikan karakter karena
keduanya dipandang sebagai suatu keutuhan
yang harus memberikan kemaslahatan bagi
bangsa. Sementara dalam kurikulum
sebelumnya,
keterpaduan
sikap,
keterampilan dan pengetahuan, belum
terakomodasi dengan baik. Demikian pula
keterpaduan
kompetensi perkembangan
(nilai-nilai karakter, keseimbangan antara
softskills dan hardskills, kewirausahaan, dan
belajar aktif sesuai dengan tuntutan zaman).
Kurikulum
2013
menekankan
kepada proses, mengandung implikasi pada
pergeseran
peran
pendidikan
yang
mengarah kepada orientasi perkembangan
dan pembudayaan (arahan Pasal 4 UU No.
20/2003) dan pembelajaran akan harus
berorientasi perkembangan, dan oleh karena
itu pembelajaran harus bertolak dari
pemahaman secara mendalam tentang
(proses) perkembangan peserta didik.
Dalam hal ini guru dituntut menguasai
kompetensi asesmen perkembangan peserta
didik atau berkolaborasi dengan, misalnya
konselor/ guru bimbingan dan konseling,
untuk melakukan asesmen perkembangan
peserta
didik
sebagai
landasan
penyelenggaraan pembelajaran. Tugas dan
tanggung perkembangan potensi peserta
didik, yang berbasis perkembangan,
56
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
(arahan Pasal 1 (1) UU No. 20/2003) dapat
dilakukan terutama dengan menerapkan
prinsip-prinsip bimbingan dan konseling di
dalam pembelajaran yang merupakan
tanggung jawab guru dalam mewujudkan
pembelajaran yang mendidik dan kondusif.
Jadi pendidikan dalam wujudnya
selalu bertujuan membina kepribadian
manusia baik demi ultimate goal maupun
tujuan-tujuan dekat (Noor Syam 1984: 176177). Tujuan akhir pendidikan ialah
kesempurnaan pribadi yang berpangkal
pada self realisasi potensi yang meliputi
intelektual, mental, rasa, karsa, kesadaran
moral serta aspek-aspek keterampilan dan
perkembangan
jasmaniah.Esensia
kepribadian manusia telah tersimpul dalam
aspek-aspek individualitas, sosialitas, harga
diri, kepercayaan pada diri sendiri, rasa
tanggung jawab
(self confidence, self
respect, self reliance) yang akan tumbuh
dalam kepribadian manusia melalui
pendidikan.
hormat dan kebanggaan diri terletak pada
aspek tersebut. Dalam kurun waktu tertentu
suatu bangsa akan mengalami suatu
perubahan besar. Pola-pola ber-ekonomi
akan mengalami perubahan besar dan
drastis, sebab
berekonomi yang
dikembangkan pada banyak negara adalah
ekonomi liberalisme. Dalam pengertian
sederhana ekonomi dikuasai oleh sentrasentra perseorangan atau saudagar-saudagar
besar yang bakal melalang buana menguasai
atau menanamkan modalnya di negara lain.
Salah satu yang menjadi sasaran adalah
negara
Indonesia, karena Indonesia
merupakan salah satu negara Asian
penanaman pasar modal yang paling
menjanjikan.
Sesuai
dengan
kultur
Indonesia merupakan Negara yang orangorangnya lebih senang pada konsumsikonsumsi produk-produk asing khususnya
ekonomi atas.
Sistem sosial ekonomi liberal dalam
hitungan waktu akan merusak embriyo
sentra-sentra
per-ekonomian
nasional.
Usaha-usaha kecil secara pelan-pelan akan
kehilangan penghasilannya akan gulung
tikar tidak lagi sebagai penjual tapi mereka
pelan-pelan menyatu kembali sebagai
konsumen. Peristiwa perekonomian ini juga
sebagai penyumbang terbesar terhadap
sikap dan kejiwaan seseorang. Tidak hanya
masalah psikologis tetapi akan mengarah
pandangan atau filsafat hidup seseorang.
Dengan keyakinan dan pengetahuan yang
mereka peroleh akan mengembangkan gaya
hidup sesuai dengan tuntutan kebutuhan
hidup. Nilai-nilai yang dulu berkembang di
masyarakat akan berubah secara drastis.
Suatu keberhasilan dan keuntungan manusia
tidak lagi ditentukan oleh nilai tetapi sudah
mulai bergeser pada kesejahteraan ekonomi.
Dari sinilah
orang sudah tidak lagi
mengindahkan jeritan orang lain. Mereka
mulai bergerak untuk memikirkan diri
sendiri
dan
sangat
individualistik.
Masyarakat
yang
terbentuk
sifat
individualistik itu menunjukkan bahwa
D. KEHIDUPAN SOSIAL DAN NORMA
SOSIAL
Masalah yang berkembangan dalam
suatu kehidupan sosial suatu bangsa akan
mengalami
perubahan
besar-besaran.
Kehidupan sosial dengan bentuk tradisi
yang sudah melekat di daerah tersebut akan
tergesar dan akan kehilangan jati dirinya.
Bentuk Kehidupan sosial yang dahulu
dianggung-agungkan sekarang mulai tidak
lagi tersentuh. Kecuali bentuk tradisi yang
melekat pada nilai agama relative tidak
banyak berubah. Tatanan sosial beserta
lembaganya
akan
mengikuti
perkembangan, norma sosial yang dahulu
sangat ketat akan berubah menjadi longgar.
Hubungan kekerabatan mulai bergeser,
keakraban keluarga tidak sekedar dari
keturunan (trah) tetapi secara tersembunyi
diam-diam akan terjadi persaingan tidak
hanya pada aspek ekonomi, status sosial.
Status sosial ekonomi masyarakat menjadi
satu tolok ukur yang penting sebab rasa
57
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
masyarakat tersebut termasuk masyarakat
yang sakit secara sosial (Kartini Kartono
1980).
Perubahan-perubahan yang terjadi
seperti yang telah terurai di atas, dampak
berikutnya adalah banyak terjadi kejahatan,
gelandangan,
pengemis,
urbanisasi
meningkat, busung lapar, kekezaman antara
kelompok seperti didaerah Papua dan dan
daerah lain.Kekrabatan yang semu adalah
bentuk salah satu kepura-puraan social yang
sejatinya intinya adalah eksibition. Sikap
dan kepribadian eksibition adalah salah satu
bentuk kepribadian yang sakit secara sosial.
Dalam kontek kehidupan dan keramain
kejenuhan zaman beserta problematik yang
sangat komplek dari sisi psikologis banyak
orang
mengembangkan
perilaku
menyimpang. Deviasi lahiriah dalam bentuk
verbal yaitu kata-kata maki-makian, katakata kotor (misoh) dan ungkapan-ungkapan
sandi kriminal dengan penamaan kata babi,
anjing dan lain-lain khususnya dikalangan
anak-anak muda jalanan. Sedangkan aspekaspek non verbal yang berupa simbolsimbol yang tersembunyai (covert behavior)
yaitu sentiment, bermusuhan, dendam
jangka lama dan sebagainya. Pembentukan
pola tingkah laku deviatif tersebut
kemudian dikembangkan dan dirasionalisasi
secara sadar akhirnya menjadi kebiasaankebiasaan perilaku yang patologis.
Bentuk kehidupan sosial lama atau
tradisi yang sudah melekat pada masyarakat
bertahun tahun dijadikan tolok ukur dalam
kehidupan sosial masyarakat. Secara drastis
terjadi ketersinggungan dengan pola
kehidupan sosial baru yang tidak pernah
didengar dan dialami. Bergesernya polapola lama tersebut akhirnya banyak terjadi
kesenjangan yang sangat jauh. Di samping
itu juga terjadi kesenjangan sosial karena
tumbuhnya generasi baru dan para pemikir
yang menginginkan kebebasan berpikir dan
berkreasi. Kemudian munculah aspek-aspek
Kehidupan sosial baru yang tercipta
bersamaan isu-isu global. Sebagian orang
mengatakan bahwa adanya perubahan polapola Kehidupan sosial dianggap sebagai
ancaman karena betul-betul tidak sesuai
dengan nilai-nilai Kehidupan sosial yang
ada.
Gaya-gaya
kehidupan
modern
cenderung kearah konsumtif, hipokritis,
lemah kharakter, cenderung boros ,
perasannya tidak stabil dan lain sebagainya.
Kehidupan masa lalu cenderung tenteram
damai , permissive, gotong royong, dan
masalah sosial ditempatkan dipapan atas
yang dijaga kestabilannya, tiba-tiba ambruk
secara pelan-pelan.
Memang begitulah kenyataanya atau
memang belum menjadi kenyataan yang
sesungguhnya.
Kalau
mengingat
pengalaman masa lalu di zaman Orde Baru
pendidikan moral dan agama adalah mata
pelajaran wajib dan mendapatkan prioritas
untuk praktek-praktek mengahafalkan doadoa untuk orang tua dan guru serta butirbutir Pancasila dilakukan setiap hari
sebelum pelajaran dimulai. Era sekarang
sudah
berubah
pada
kekhususankekhususan tertentu yang berifat praktis
dan pragmatis yang menekankan kepada
unggulan-unggulan strategis. Mata pelajaran
di jenjang pendidikan dasar (SD), menengah
pertama (SMP) dan menengah atas (SMA)
lebih menekankan kepada bidang eksakta,
dan bahasa Inggris, untuk menghadapi
kompetisis internasional. Apakah hal ini
yang menyebabkan menurunnya tingkat
stabilitas kepribadian dan moral seseorang,
sehingga nilai moral dan agama sulit
membentuk kepribadian Indonesia yang
santun dan bermoral. Inilah merupakan
kekuatan
dosen
dan
guru
untuk
mengevaluasi kembali kurikulum yang telah
diimplementasikan ke dalam pendidikan
sekolah pada masa lalu. Kurikulum 2013
dari sisi konsep dan operasionalisasinya
akan menjawab tantangan dan membangun
kembali nilai-nilai yang hilang dan sakit
secara sosial mulai akan disembuhkan.
58
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
E. KONSEP TOKOH PENDIDIKAN
INDONESIA
Mengingat dan memahami kembali
konsep
pendidikan Indonesia dalam
lintasan sejarah pendidikan sebelum
kemerdekaan. Tokoh Pendidikan yang
disampaikan di sini hanya empat tokoh
pendidikan nasional Indonesia. Empat tokoh
tersebut yang selama ini sering dikenal
konsep-konsepnya oleh dunia akademik
maupun anak-anak sekolah. Empat tokoh
tersebut meliputi:
Indonesia, 4) Mempelajari ilmu hitung.
Jadi corak pendidikan ini menempatkan
nilai moral keagamaan pada posisi yang
lebih tinggi, kemudian pengetahuan umum.
KH Hasyim Asy‘ari menyakini pendidikan
moral agama sebagai satu-satunya nilai
yang dapat memperkokoh kepribadian
beriman dan bertaqwa dalam arti luas
maupun kepribadian berbasis nasional yang
akan melahirkan generasi harapan bangsa
masa depan.
KH Hasyim Asy’ari
Di Jombang Jawa Timur telah lahir
seorang tokoh Pendidikan Nasional yaitu
KH. Hasyim Asy‘ari, beliau mendirikan
lembaga pendidikan yaitu pesantren
Tebuireng yang mendidik para santrinya
mendalami ilmu hadits. Karena kedalaman
ilmunya serta pemikiran dalam pendidikan
sangat menyentuh kebutuhan spiritual
keagamaan sampai beliau diberi gelar oleh
masyarakat dengan julukan , ―Hadratus
Syekh‖ yang berarti ―Tuan Guru Besar‖.
Corak pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh lembaga ini pada
mulanya bersikap tradisional dengan hanya
mengajarkan agama saja dengan bersistem
halaqah.
Namun
seiring
dengan
perkembangan zaman
lembaga ini
memasukkan ilmu umum dengan sistem
madrasah. Pendidikan di pesantern ini
banyak mengajarakan ilmu yang sangat
pentingnya yaitu (1) tatakrama guru dan
pelajar atau siswa, (2) mata pelajaran
berbahasa Jawa (3) ilmu akhlak terkait
dengan pemberantasan kemungkaran dan
kemaksiatan, (4) . Pendidikan dalambentuk
menyadarakan akan kematian dan tandatanda datangnya hari kiamat agar manusia
ingat bahwa di dunia harus hati-hati harus
selalu berbuat baik dan dekat kepada Alloh
Di Madrasah beliau diajarkan pengetahuan
umum yang meliputi;1)
Membaca dan
menulis huruf latin, 2) Mempelajari bahasa ,
3) Mempelajari ilmu bumi dan sejarah
2.
1.
KH Ahmad Dahlan (Muhammad
Darwis)
Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta,
1 Agustus 1868 adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di
Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu, dan ibunya puteri dari H. Ibrahim
yang juga menjabat penghulu Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu. Sebelum
mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah,
beliau bergabung sebagai anggota Boedi
Oetomo yang merupakan organisasi
kepemudaan
pertama
di
Indonesia.
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya
strategis untuk menyelamatkan manusia
Indonesia adalah harus meninggalkan pola
pikir yang statis menuju pemikiran yang
dinamis tidak lain melalui pendidikan.
Pendidikan hendaknya ditempatkan pada
skala prioritas utama dalam proses
pembangunan
umat.
Upaya
mengaktualisasikan gagasan tersebut maka
konsep pendidikan diarahkan kepada usaha
membentuk manusia yang berbudi pekerti
luhur,
alim
dalam
agama,
luas
pandangannya dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya dan bangsa
Indonesia. Di satu sisi pendidikan harus
bertujuan untuk menciptakan individu yang
sholeh. Untuk membentuk mausia tersebut
59
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
maka materi pendidikan yang diajrkan
meliputi :
(a) Pendidikan moral, (b)
pendidikan yang dapat menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang
berkesinambungan
antara
moral
,
keyakinan, kecerdasan dan intelektual dunia
akhirat, dan (c) pendidikan kemasyarakatan
atau sosial.
secara fisik, mental dan kerohanian. Pribadi
dibatasi oleh tertib damainya kehidupan
bersama dan ini mendukung sikap-sikap
seperti
keselarasan,
kekeluargaan,
musyawarah,
toleransi,
kebersamaan,
demokrasi, tanggungjawab dan disiplin.
Semboyan yang beliau sampaikan
adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Kalimat ini menjadi slogan yang dijadikan
logo oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia. Tut Wuri diartikan
mengikuti dari belakang, Handayani
memberikan semangat dan motivasi belajar
dan bermoral. Seorang guru dan para
pendidik harus memberikan dorongan,
memberikan
teladan,
menciptakan
kreativitas terhadap anak didiknya sambil
mengawasi, membantu dan memberikan
bimbingan.
3.
Ki Hajar Dewantara (Soewardi
Soerjaningrat)
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh
pendidikan Indonesia yang hampir sama
dengan tokoh pendidikan lainnya. Ki Hajar
Dewantara melihat manusia dari beberapa
aspek yaitu memiliki cipta, rasa dan karya.
Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari
masyarakatnya dan hanya melahirkan
manusia Indonesia yang rasionalistik dan
kurang bermoral. Ki Hajar Dewantara
sendiri dengan mengubah namanya ingin
menunjukkan perubahan sikapnya dalam
melaksanakan pendidikan yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari
pahlawan yang berwatak guru spiritual ke
guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan negara. Harapan Ki
Hajar Dewantara, bahwa para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu
dalam
kepribadian
dan kerohanian,
kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta
didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah
fungsinya sebagai model atau figure
keteladanan, kemudian sebagai fasilitator
atau pengajar. Menurut
Theo Riyanto
tulisannya di dunia maya mengatakan
bahwa
Ki Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan
kebaikan,
keluhuran,
keutamaan. Tujuan pendidikan Taman
Siswa memerdekakan manusia Indonesia
4.
Mohammad Syafei
Mohammad Syafei mendirikan
sekolah yang bernama Indonesische
Nederland School (INS) pada tanggal 31
oktober 1926. Di Kayu Tanam, sekitar 60
km disebelah Utara kota Padang yaitu
dipinggir jalan raya Padang Bukit Tinggi.
Menurut Mohammad Syafei pendidikan
memiliki fungsi membantu manusia
menjadi pemenang dalam perkembangan
kehidupan dan persaingan zaman serta
menyempurnaan hidup secara lahir dan
batin antar bangsa (Thalib Ibarahim,1978:
25). Pendidikan berfungsi sebagai alat
untuk memperbaiki harkat dan martabat
kehidupan manusia. Manusia sebagai warga
bangsa dapat bertahan kalau mereka
mampu
mengikuti
perkembangan
masyarakat atau zamannya. Pemikiran
tersebut akhirnya melahirkan pemikiran
filosofis tentang pendidikan sekolah kerja
yang mempunyai implikasi sebagai sekolah
kehidupan atau sekolah masyarakat. Tujuan
pendidikan
dan
pengajaran
adalah
membentuk kesempurnaan lahir dan batin
untuk mengikuti perkembangan zaman..
60
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Menurut Thalib Ibrahim (1978)
Moh
Syafei
melalui
pemikirannya
menyarankan bahwa kesempurnaan lahir
dan batin manusia Indonesia harus selalu
diperbaharui, sebab zaman selalu berubah
terus menerus. Hal ini terungkap dalam
pemikiran G. Revesz seperti yang dikutip
oleh Syafei : bahwa lapangan pendidikan
mesti berubah menurut zamannya, orang
Indonesia tidak boleh berhenti pada
pemikiran-pemikiran sesaat yang sudah
memuaskan. Apabila orang Indonesia jiwa
dan hatinya terlatih itu tekun, teliti, rajin,
giat, tangguh dengan berbagai tantangan
akan menjadi yang kuat dan juara.
tidak hanya pada masalah daya saing bangsa
dari sisi intelualitasnya akan tetapi yang
lebih memprihatinkan adalah mengenai
moral bangsa. Dalam skala nasional moral
bangsa kita sudah mengalami penurunan
yang sangat drastis, baik moral individual,
moral sosial dalam skala local maupun
moral secara nasional. Indikator sebagai
bukti banyaknya korupsi, pelanggaraan hak
asasi manusia, pembunuhan, perjudian,
pesiksaan, kejahatan dan sebagainya. Para
tokoh pendidikan telah mengingatkan dan
memberi contoh teladan bahwa landasar
moral adalah sangat penting dan merupakan
fondasi yang saat kuat untuk generasi
berikutnya, dan tidak hanya pada
intelektualnya saja, sebab kalau hanya
intelektual akan melahirkan generasi yang
melenceng dari nilai Pancasila dan UndangUndang dasar 1945. Untuk merealisaikan
amanah tersebut kedua-keduanya harus
berjalan
bersama-sama
membangun
kepribadian manusia Indonesia yang cerdas
dan bermoral serta terampil. Amanah ini
perlu adanya evaluasi akhir keberhasilan
pendidikan nasional maka Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan melakukan uji
keberhasilan tersebut dalam bentuk ujian
nasional.
Undang-Undang
Dasar
1945
mengatakan bahwa pemerintah menyusun
dan menyelenggarakan suatu system
pendidikan nasional yang telah dirumuskan
di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003. Sebagai system yang diperlukan
sebagai patokan berhasil atau tidaknya
pendidikan nasional. System pendidikan
nasional termasuk evaluasinya merupakan
salah satu sarana untuk kohesi sosial (Tilaar
2006: 65). Kemudian dalam UndangUndang No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tersebut pada Pasal 58
ayat (2): ―Evaluasi peserta didik, satuan
pendidikan, dan program pendidikan
dilakukan oleh lembaga mandiri secara
berkala,menyeluruh,
transparan,
dan
sistemik untuk menilai pencapaian standar
F. KESIMPULAN
Pendidikan
adalah
merupakan
rangkaian proses perkembangan dalam
rangka
pemberdayaan
potensi
dan
kompetensi
manusia Indonesia untuk
menjadi manusia yang berkualitas. Untuk
mencipatakan manusia berkualitas hanya
dapat diperoleh melalui pendidikan yang
berkualitas. Manusia yang berkualitas
secara nasional berimplikasikan bahwa
manusia harus dibangun di atas landasan
idealogi bangsa dan negara. Landasan
filosofis tersebut mengandung
bahwa
pendidikan harus dapat mengembangkan
sikap nasionalisme bangsa. Sesuai dengan
pendidikan nasional maka pendidikan tidak
hanya mempersiapkan manusia Indonesia
mampu mengeksplorasi, menemukan dan
membangun dirinya menjadi manusia
intelektual saja akan tetapi kata kunci yang
harus dicapai adalah menjadi manusia yang
bermoral, berbudi luhur. Untuk mencapai
cita-citanya tersebur lembaga pendidikan
berjuang untuk merealisasi nilai-nilai
pendidikan dengan membenahi persoalan
pendidikan melalui beberapa upaya
perubahan
kurikulum,
strategi
pembelajaran, mutu pendidikan serta ,
mauatan-muatan nilai moral yang terus
menerus diperjuangkan. Diakui atau tidak
bahwa kekhawatiran saat ini sebenarnya
61
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
nasional pendidikan‖. Peraturan Pemerintah
No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Pasal 63 ayat (1): Penilaian
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah terdiri atas: 1) Penilaian hasil
belajar oleh pendidik; 2) Penilaian hasil
belajar oleh satuan pendidikan; dan 3)
Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Jadi model evaluasi yang dilakukan
oleh Departemen pendidikan Nasional
melibatkan tiga aspek yang masing-masing
komponen harus dipertimbangkan. Sangat
tepat kalau ujian nasional terus menerus
dilakukan sekalipun masih perlu perbaikan,
sebab ujian nasional adalah merupakan
standar
ukuran
kualitas
pendidikan
Indonesia. Hasil belajar satuan pendidikan
bukan merupakan ukuran menyeluruh
terkait dengan kemampuan rata-rata
nasional. Satuan pendidikan merupakan
cerminan kemampuan tujuan institusi
pendidikan dalam skala sekolah atau
lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan ada
yang bersifat tujuan pembelajaran spesifik
pada mata pelajaran atau bidang studi
tertentu,
ada
tujuan
institusional
kelembagaan, dan tujuan yang bersifat
nasional.
Mudah-mudahan tulisan ini
bermanfaat dan mohon maaf atas
kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alvin Toffler. (1988). Kejutan Masa Depan.Jakarta: PT Pantja Simpati.
Agustiar Syah Nur. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung: Lubuk
Agung.
Abuddin Nata.(2005). Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Brouwer, dkk. (1984). Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia
Kartono, Kartini. (1999). Patologi Sosial Jilid 1 (Edisi Baru). Jakarta: PT RajaGrafindo
Parsada.
Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan dasar FilsafatPendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Mohamad Surya.(2008) Mewujudkan Bimbingan & Konseling Profesional; Bandung:
Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan , Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia.
Nurani Soyomukti. (2008). Pendidikan Berperspektif Global. Yagyakarta:
Sindhunata (editor). (200). Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum
Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.
Tilaar. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Zuhairi dkk.(2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html.
diakses….
62
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PERANAN BUDAYA DAN PENDIDIKAN KARAKTER
BAGI PEMBANGUNAN BANGSA
Warsito
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penulisan paper ini mempunyai tujuan sebagai berikut, 1) untuk mengetahui
definisi budaya dan pendidikan karakter, 2) untuk memahami tujuan pendidikan
karakter, 3) untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan guna
meningkatkan karakter atau akhlak terpuji, 4) untuk memahami nilai-nilai yang
perlu diperkuat bagi pembangunan bangsa, 5) untuk mengetahui peranan budaya
dan pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa.
Istilah budaya berasal dari kata budi dan daya, yakni daya dari budi, yang
berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta,
rasa, dan karsa. Pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai
kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.
Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut,
1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting
dan perlu sehingga menjadi kepribadian/ kepemilikan peserta didik yang khas
sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan, 2) Mengoreksi perilaku peserta didik
yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3)
Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam
memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama-sama.
Nilai-nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa saat ini adalah
sebagai berikut 1) jujur, 2) kerja keras, 3). Ikhlas. Adapun Peningkatan karakter
atau akhlak yang terpuji dapat dilaksanakan melalui hal-hal sebagai berikut.1).
Muhasabah, 2) mu‟aqobah, 3) Mu‟ahadah, , 4) Mujahadah,. Sedangkan proses
untuk membangun karakter menggunakan 7 tahapan, yakni 1) muatabah, 2)
muroqobah, 3) mujahadah, 4) musyahadah, 5) mukasyafah, 6) muhabbah, dan 7)
ma‟rifah.
Kata Kunci: Budaya, Pendidikan Karakter, Pembangunan Bangsa
Indonesia tidak saja tampak dari
keberagaman komponen budaya, agama
yang dianut, suku, dan kekayaan yang
dimiliki bangsa ini.
Dilihat dari kekayaan yang dimiliki
bangsa Indonesia dapat dikategorikan
sangat melimpah disertai dengan letak
kepulauan yang berada di lintasan
khatulistiwa. Selain itu juga tanah yang
subur, air yang melimpah, udara yang segar,
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang telah
memproklamasikan kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, dalam
perkembangannya memiliki kondisi yang
unik. Sudah 67 tahun bangsa Indonesia
menjalani kehidupan bernegara secara
merdeka yang telah diakui bangsa-bangsa
lain di dunia internasional. Keunikan bangsa
63
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kekayaan sumber energi dan mineral yang
melimpah di tanah dan laut, semuanya
memberikan
keunikan
bagi
bangsa
Indonesia. Selain itu, keunikan juga dapat
kita lihat dari kondisi yang ada, dirasakan,
dan telah menjadi ciri khas bangsa ini.
Dengan kondisi sosial budaya dan
kekayaan yang melimpah, semestinya
bangsa Indonesia merasakan kehidupan
yang makmur dan sejahtera. Namun,
kenyataan menunjukkan lain dari logika.
Kekayaan alam terekspoitasi besar-besaran,
pembangunan industri terjadi terusmenerus, pergantian pemerintahan berjalan
lancar, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia
belum mendapatkan kehidupan yang
makmur dan merata.
Berbagai kondisi dan pengalaman di
atas, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk
pada kondisi yang dialami bangsa Indonesia
hingga saat ini. Banyak orang dan pihakpihak bertanya, ―apa yang salah dengan
bangsa ini?‖ Beberapa indikasi tentang apa
yang salah dengan bangsa ini dapat
dilaporkan beberapa hal antara lain kondisi
moral/ akhlak bangsa yang hancur, seperti
terjadinya seks bebas, penggunaan narkoba,
KKN, dan sebagainya.
Bangsa Indonesia sekarang mulai
sadar, betapa pentingnya pendidikan nilai,
budaya, dan karakter bangsa. Pendidikan
nilai yang dahulu diwadahi salah satunya
dengan
Pendidikan
Pancasila
dan
Kewarganegaraan, di Era reformasi justru
mulai ditinggalkan. Mata pelajaran di
sekolah-sekolah
sudah
menghapus
Pendidikan Pancasila, tinggal Pendidikan
Kewarganegaraan dengan jam pelajaran
yang minim. Sekarang bangsa Indonesia
sudah mulai sadar, betapa pentingnya
keberadaan pendidikan yang mampu
membentuk moral, etika, dan karakter
bangsa Indonesia.
Berangkat dari pemikiran di atas,
maka dalam paper ini akan dikaji beberapa
hal pertama, definisi pendidikan karakter,
kedua, tujuan pendidikan karakter, ketiga,
Upaya-upaya yang dapat dilakukan guna
meningkatkan karakter atau akhlak terpuji,
keempat nilai-nilai apa saja yang perlu
diperkuat untuk pembangunan bangsa, dan
kelima peranan pendidikan karakter bagi
pembangunan bangsa. Dengan uraian
tersebut, diharapkan kita semakin sadar
bagaimana pentingnya pendidikan budaya
dan karakter bangsa.
2. Perumusan Masalah
Beberapa
permasalahan
yang
diangkat dalam paper ini adalah sebagai
berikut.
a. Bagaimana definisi budaya dan
pendidikan karakter?
b. Apa sajakah tujuan pendidikan
karakter?
c. Upaya-upaya apa saja yang dapat
dilakukan guna meningkatkan karakter
atau akhlak terpuji?
d. Nilai-nilai apa saja yang perlu
diperkuat untuk pembangunan bangsa?
e. Bagaimanakah peranan budaya dan
pendidikan karakter bagi pembangunan
bangsa?
3. Tujuan Penulisan
Dengan mengacu kepada rumusan
masalah sebagaimana tersebut di atas, maka
penulisan paper ini mempunyai tujuan
sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui definisi budaya dan
pendidikan karakter.
b. Untuk memahami tujuan pendidikan
karakter.
c. Untuk mengetahui upaya-upaya apa
saja yang dapat dilakukan guna
meningkatkan karakter atau akhlak
terpuji.
d. Untuk memahami nilai-nilai apa saja
yang
perlu
diperkuat
untuk
pembangunan bangsa.
e. Untuk mengetahui peranan budaya dan
pendidikan karakter bagi pembangunan
bangsa.
64
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sebuah bukunya yang berjudul Primitive
Cultur yang dikutip oleh AAGN Ari
Dwipayana mendefinisikan kebudayaan
sebagai
kompleks
yang
mencakup
pengetahuan,
kepercayaan,
kesenian,
hukum,
adat-istiadat,
kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat
(2001:
38).
Betapapun
goyahnya konsep tentang "budaya"
(cultures, cultural forms ... ) tidak ada
kemungkinan lain baginya kecuali terus
bertahan lestari (Clifford Geertz, 1999: 67).
Pendidikan karakter merupakan
sebuah istilah yang semakin hari semakin
mendapatkan pengakuan dari masyarakat
Indonesia. Hal ini akan semakin tampak
dengan dirasakannya berbagai ketimpangan
hasil pendidikan dilihat dari perilaku
lulusan pendidikan formal saat ini, korupsi,
maraknya seks bebas di kalangan remaja,
narkoba, tawuran, pembunuhan, dan
perampokan.
Istilah pendidikan karakter berasal
dari dua kata, yakni kata pendidikan dan
karakter. Menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan
Nasional,
Pendidikan
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran
agar
peserta
didik
secara
aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara (Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003).
Kata karakter dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tidak ditemukan. Karakter
adalah istilah serapan dari bahasa Inggris
character. Karakter adalah kata benda yang
memiliki arti 1) kualitas-kualitas pembeda,
2) kualitas-kualitas positif, 3) reputasi, 4)
individu
dalam
kaitannya
dengan
kepribadian, tingkah laku atau tampilan
(Dharma Kesuma, dkk. 2011: 23). Menurut
B. PEMBAHASAN
Definisi Budaya dan Pendidikan
Karakter
Kata
budaya
sebagai
suatu
perkembangan dari majemuk "budi-daya
yang berarti daya dari budi", kekuatan dari
akal (lihat misalnya buku PJ. Zoetmulder,
Cultuur, Oost en West Amsterdam, PJ. van
der Peet, 1951). Karena itu mereka
membedakan antara budaya dengan
kebudayaan.
Istilah budaya berasal dari kata budi
dan daya, yakni daya dari budi, yang
berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan
karsa. Budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat. Secara formal,
budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hierarkhi, waktu,
peranan, hubungan ruang, konsep alam
semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari
generasi ke generasi melalui usaha individu
dan kelompok (Dedy Mulyana, 2001: 18).
Menurut Zoetmulder yang dikutip
oleh Warsito (2012: 51), berpendapat bahwa
kebudayaan ialah perkembangan terpimpin
oleh manusia budiawan dari kemungkinankemungkinan
dan
tenaga
alam,
terutamaalam
manusiasehingga
iamerupakan satu kesatuan harmonis.
Dalam
Antropologi
Budaya,
perbedaan
budaya
dan
kebudayaan
ditiadakan. Kata budaya di sini dipakai
sebagai singkatan dari kebudayaan dengan
pengertian
yang
sama.
Sisi
lain
mengemukakan bahwa kebudayaan =
cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa
Inggris) = tsaqafah (bahasa Arab), berasal
dari perkataan latin colere yang artinya
mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
mengembangkan, terutama mengolah tanah
atau bertani. Dari segi arti ini
berkembanglah arti culture sebagai "segala
daya dan aktivitas manusia untuk mengolah
dan mengubah alam. E.B. Taylor dalam
1.
65
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
penulis karakter adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan budi pekerti, tingkah
laku, tata susila, etika, dan yang sejenis.
Dalam wacana dengan pendidikan,
kata karakter terutama berkenaan dengan
orang. Karakter berkenaan dengan kualitas,
bukan kuantitas. Karakter berhubungan
dengan daya pembeda atau pembatas,
membatasi atau membedakan yang satu
dengan yang lain, membedakan masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain.
Karakter dapat merujuk pada kualitas positif
maupun negatif. Kesimpulannya, bahwa
karakter adalah sebuah kata yang merujuk
pada kualitas orang dengan karakteristik
tertentu.
Hurlock (1974: 8) dalam bukunya
Personality Development, secara tidak
langsung mengungkapkan bahwa karakter
terdapat pada kepribadian. Karakter
mengimplikasikan sebuah standar moral dan
melibatkan sebuah pertimbangan nilai.
Karakter berkaitan dengan tingkah laku
yang diatur oleh upaya dan keinginan. Hati
nurani, sebuah unsur esensial dari karakter,
adalah sebuah pola kebiasaan yang
mengontrol tingkah laku seseorang,
membuatnya selaras dengan pola-pola
kelompok yang diterima secara sosial.
Definisi karakter dari Hurlock, sementara
ini dapat digunakan untuk menganalisis
secara lebih jauh tentang karakter dan
implikasinya.
Beberapa masalah ketidaktepatan
makna yang beredar di masyarakat
mengenai makna pendidikan karakter dapat
diidentifikasi diantaranya sebagai berikut.
a. Pendidikan karakter = mata pelajaran
agama dan PKn, karena itu menjadi
tanggung jawab guru agama dan PKn.
b. Pendidikan karakter = mata pelajaran
pendidikan budi pekerti, sehingga
menjadi tanggunga jawab guru yang
bersangkutan.
c. Pendidikan karakter = pendidikan yang
menjadi tanggung jawab keluarga,
bukan tanggung jawab sekolah.
d. Pendidikan
karakter
=
adanya
penambahan mata pelajaran baru dalam
KTSP (Dharma Kesuma, 2011: 5).
Berbagai Makna pendidikan karakter
sebagaimana tersebut di atas, bermunculan
dan berkembang dalam pemikiran banyak
orang, guru, maupun masyarakat umum.
Menurut Djoko Dwiyanto (2012: 34), dalam
pendidikan karakter manusia dipandang
sebagai yang mampu mengatasi determinasi
di luar dirinya. Manusia bertindak dan
mampu mengatasi keterbatasan dirinya
karena ia memiliki nilai yang berharga dan
layak untuk diperjuangkan.
Berikut ini disampaikan definisi
pendidikan karakter menurut para pakar
agar lebih jelas dalam pembahasan
selanjutnya. Menurut Ratna Megawangi
(2004: 95), ―pendidikan karakter adalah
sebuah usaha untuk mendidik anak-anak
agar dapat mengambil keputusan dengan
bijak dan mempraktekkannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan kontribusi yang positif
kepada lingkungannya.‖ Definisi lain
dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1),
pendidikan karakter adalah sebuah proses
transformasi nilai-nilai kehidupan untuk
ditumbuhkembangkan dalam kepribadian
seseorang sehingga menjadi satu dalam
perilaku kehidupan orang itu.‖ Dalam
definisi tersebut terdapat tiga pikiran
penting yakni 1) proses transformasi nilai,
2)
ditumbuhkembangkan
dalam
kepribadian, 3) menjadi satu dalam
perilaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh
Dharma Kesuma dkk. (2011: 5-6), bahwa
pendidikan karakter dalam seting sekolah
sebagai ―pembelajaran yang mengarah pada
penguasaan dan pengembangan perilaku
anak secara utuh yang didasarkan pada
suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh
sekolah.‖ Dalam definisi yang dikemukakan
oleh Dharma Kesuma mengandung tiga
makna yakni 1) pendidikan karakter
merupakan pendidikan yang terintegrasi
66
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dengan pembelajaran yang terjadi pada
semua mata pelajaran, 2) diarahkan pada
penguatan dan pengembangan perilaku anak
secara utuh. Asumsinya anak merupakan
organisme manusia yang memiliki potensi
untuk dikuatkan dan dikembangkan, 3)
penguatan dan pengembangan perilaku
didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah
(lembaga). Melihat definisi tersebut di atas,
maka semua mata pelajaran juga diharapkan
menyampaikan pesan akan pentingnya
karakter bangsa.
siapa yang bertanggung jawab untuk
keberlangsungan fungsi ini.
Fungsi pertama ―Mengembangkan
kemampuan‖ dapat dipahami bahwa
pendidikan nasional menganut aliran
konstruktivisme, yang mempercayai bahwa
peserta didik adalah manusia yang potensial
dan dapat dikembangkan secara optimal
melalui proses pendidikan. Setiap layanan
pendidikan yang ada di Indonesia harus
dipersepsi secara sama bahwa peserta didik
itu memiliki potensi yang luar biasa dan
perlu difasilitasi melalui proses pendidikan
untuk mengembangkan potensinya.
Dalam konteks pendidikan karakter,
kita lihat bahwa kemampuan yang harus
dikembangkan pada peserta didik melalui
persekolahan adalah berbagai kemampuan
yang akan menjadikan manusia sebagai
makhluk
yang
berketuhanan
dan
mengemban amanah sebagai pemimpin di
dunia.
Kemampuan
yang
perlu
dikembangkan pada peserta didik adalah
kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang
menciptakannya,
kemampuan
untuk
menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk
hidup secara harmonis dengan manusia dan
makhluk lainnya, dan kemampuan untuk
menjadikan dunia ini sebagai wahana
kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Fungsi kedua pendidikan nasional
adalah ‖membentuk watak‖ mengandung
makna bahwa pendidikan nasional harus
diarahkan pada pembentukan watak.
Pendidikan yang berorientasi pada watak
peserta didik merupakan suatu hal yang
tepat, tetapi perlu diperjelas mengenai
istilah perlakuan terhadap ‖watak.‖ Apakah
watak
itu
harus
―dikembangkan‖,
―dibentuk‖ atau ―difasilitasi.‖ Perspektif
pedagogik, lebih memandang bahwa
pendidikan
itu
mengembangkan/
menguatkan/ memfasilitasi watak, bukan
membentuk watak. Jika watak dibentuk,
maka tidak ada proses pedagogik/
pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran
(Dharma Kesuma, dkk., 2011: 7).
2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan
Karakter
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan
nasional tidak boleh melupakan landasan
konseptual filosofi pendidikan yang mampu
menyiapkan generasi masa depan untuk
dapat bertahan hidup (survive) dan berhasil
menghadapi tantangan-tantangan zamannya.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional
menurut
Undang-Undang
Sistem
Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bab 2
Pasal 3 adalah sebagai berikut."Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Undang-Undang No. 20 Tahun
2003).
Mencermati
fungsi
pendidikan
nasional,
yakni
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa seharusnya memberikan
pencerahan
yang
memadai
bahwa
pendidikan harus berdampak pada watak
manusia atau bangsa Indonesia. Fungsi ini
amat berat untuk dipikul oleh pendidikan
nasional, terutama apabila dikaitkan dengan
67
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Ukuran keberhasilan pendidikan
yang berhenti pada angka ujian, seperti
halnya ujian nasional, adalah sebuah
kemunduran, karena dengan demikian
pembelajaran akan menjadi sebuah proses
menguasai
keterampilan
dan
mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini
menempatkan peserta didik sebagai pelajar
imitatif dan belajar dari ekspose-ekspose
didaktik yang akan berhenti pada
penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya.
Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi
pendidikan yang digariskan dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional.
Apa tujuan pendidikan karakter
dalam seting sekolah? Pendidikan karakter
dalam seting sekolah memiliki tujuan
sebagai berikut,
a. Menguatkan dan mengembangkan
nilai-nilai kehidupan yang dianggap
penting dan perlu sehingga menjadi
kepribadian/ kepemilikan peserta didik
yang khas sebagaimana nilai-nilai yang
dikembangkan.
Penguatan
dan
pengembangan memiliki makna bahwa
pendidikan dalam seting sekolah
bukanlah sekedar dogmatisasi nilai
kepada peserta didik, tetapi sebuah
proses yang membawa peserta didik
untuk memahami dan merefleksi
bagaimana suatu nilai menjadi penting
untuk diwujudkan dalam perilaku
keseharian.
b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang
tidak bersesuaian dengan nilai-nilai
yang
dikembangkan
oleh
sekolah.Tujuan ini memiliki makna
bahwa pendidikan karakter memiliki
sasaran untuk meluruskan berbagai
perilaku anak yang negatif menjadi
positif. Proses pelurusan yang dimaknai
sebagai
pengkoreksian
perilaku
dipahami
sebagai
proses
yang
pedagogis, bukan suatu pemaksaan atau
pengkondisian yang tidak mendidik.
c. Membangun koneksi yang harmonis
dengan keluarga dan masyarakat dalam
memerankan
tanggung
jawab
pendidikan karakter secara bersamasama. Tujuan ini memiliki makna
bahwa proses pendidikan karakter di
sekolah harus dihubungkan dengan
proses pendidikan di keluarga. Jika
pendidikan karakter di sekolah hanya
bertumpu pada interaksi antara peserta
didik dengan guru di kelas dan sekolah,
maka pencapaian berbagai karakter
yang diharapkan sulit diwujudkan.
3.
Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan
Guna Meningkatkan Karakter atau
Akhlak Terpuji
Peningkatan karakter atau akhlak
yang terpuji dapat dilaksanakan melalui
hal-hal sebagai berikut.
a. Muhasabah, yaitu selalu menghitung
perbuatan yang telah dilakukannya
selama ini, baik perbuatan buruk
beserta akibat yang ditimbulkannya,
atau pun perbuatan baik beserta akibat
yang ditimbulkan olehnya.
b. Mu‘aqobah, memberikan hukuman
terhadap berbagai perbuatan dan
tindakan yang telah dilakukannya.
Hukuman ini tentu bersifat ruhiyah,
seperti melakukan shalat sunah yang
lebih banyak jika dibanding biasanya,
berdzikir, dan sebagainya.
c. Mu‘ahadah, perjanjian dengan hati
nurani (batin), untuk tidak mengulangi
kesalahan dan keburukan tindakan yang
dilakukan serta menggantinya dengan
perbuatan baik.
d. Mujahadah,
berusaha
maksimal
melakukan perbuatan yang baik untuk
mencapai derajat ihsan, sehingga
mampu mendekatkan diri pada Allah
Swt. (muraqobah). Hal ini dilakukan
dengan kesungguhan dan perjuangan
keras,
karena
perjalanan
untuk
mendekatkan diri kepada Allah banyak
rintangannya (Zubaedi, 2011: 119).
Secara lebih terperinci, proses untuk
membangun karakter bisa menggunakan 7
68
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tahapan. Menurut Asifin (2001: 1), tujuh
tahapan itu meliputi muatabah, muroqobah,
mujahadah, musyahadah, mukasyafah,
muhabbah, dan ma‘rifah. Penjelasan 7
Tahapan Membangun Karakter
a. Muatabah atau penyesalan, yakni
meninggalkan dosa-dosa seketika dan
bertekad untuk tidak melakukannya lagi
atau meninggalkan maksiat menuju
taubat. Taubat dalam hal ini adalah
taubat nasuhah, yakni taubat yang
sesungguhnya yaitu suatu upaya untuk
menjauhi dan tidak mengulangi
perbuatan dosa yang pernah dilakukan
untuk kedua kalinya.
b. Muroqobah,
awas-mengawasi,
maksudnya bahwa Tuhan selalu melihat
kita. Kita yakin dengan sepenuh hati
bahwa Allah selalu mendengar,
mengetahui dan mengawasi kita.
c. Mujahadah, dalam definisi kajian
tasawuf, adalah pengendalian atau
kontrol terhadap nafsu dari hal-hal yang
menggiurkan, dan upaya melawan
hawa nafsu itu dilaksanakan pada setiap
saat.
d. Musyahadah, adalah tindak lanjut dari
ajaran ihsan yang mengajarkan konsep
ibadah yang sesungguhnya dengan
suatu ukuran ―seakan-akan seorang
hamba melihat Tuhan-nya, atau kalau
seperti itu pastinya bahwa Allah
melihat hamba-Nya.
e. Mukasyafah, secara bahasa mempunyai
arti terbukanya tirai, yakni terbukanya
segala rahasia alam yang tersembunyi
atau terbukanya pengertian dan hal-hal
yang bersifat ghaib.
f. Muhabah, yang secara harfiah berarti
cinta. Cinta pada hakikatnya berangkat
dari ketulusan, keikhlasan, dan
kesucian yang menghasilkan sikap aluns (suka cita secara kejiwaan).
g. Ma‘rifah, adalah sebuah anugerah
pemberian langsung dari Allah Swt
kepada hamba yang ia kehendaki. Pada
tingkat inilah seorang hamba benar-
benar akan mengetahui
tentang Tuhan.
4.
kebenaran
Nilai-Nilai yang Perlu Diperkuat
Untuk Pembangunan Bangsa
Nilai adalah keyakinan yang
membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya. Definisi ini dikemukakan oleh
Gordon Allport (1964), seorang ahli
psikologi kepribadian. Bagi Allport, nilai
terjadi pada wilayah psikologis yang disebut
keyakinan. Keyakinan ditempatkan sebagai
wilayah psikologi yang lebih tinggi dari
wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap,
keinginan , dan kebutuhan. Karena itu,
keputusan benar-salah, baik-buruk, indahtidak indah pada wilayah ini merupakan
hasil dari serentetan proses psikologis yang
kemudian mengarahkan individu pada
tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan
nilai pilihannya (Rohmat Mulyana, 2011:
9).
Nilai adalah patokan normatif yang
mempengaruhi manusia dalam menentukan
pilihannya diantara cara-cara tindakan
alternatif (Kupperman, 1983). Definisi ini
memiliki tekanan utama pada norma
sebagai
faktor
eksternal
yang
mempengaruhi
perilaku
manusia.
Kupperman memandang norma sebagai
salah satu bagian terpenting dari kehidupan
sosial, sebab dengan penegakan norma
seseorang justru dapat merasa tenang dan
terbebas dari segala tuduhan masyarakat
yang akan merugikan dirinya.
Definisi nilai yang lebih umum,
dalam arti tidak memiliki tekanan pada
sudut pandang tertentu adalah definisi yang
dikemukakan oleh Hans Jonas (Bertens,
1999). Ia mengatakan bahwa nilai adalah
alamat sebuah kata ―ya‖ (value is address of
a yess), atau kalau diterjemahkan secara
kontekstual, nilai adalah sesuatu yang
ditunjukkan dengan kata ―ya.‖Definisi ini
merupakan definisi yang memiliki kerangka
lebih umum dan luas daripada dua definisi
69
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sebelumnya (dari Gordon Allport dan
Kupperman).
Untuk kebutuhan pengertian nilai
yang lebih sederhana namun mencakup
keseluruhan aspek yang terkandung dari
tiga definisi di atas, dapat ditarik suatu
definisi baru tentang nilai, yaitu nilai adalah
rujukan dan keyakinan dalam menentukan
pilihan (Rohmat Mulyana, 2011: 11). Kalau
dibandingkan dengan definisi nilai dari
Hans Jonas, definisi baru ini secara eksplisit
menyertakan proses pertimbangan nilai,
tidak hanya sekedar alamat dari sebuah kata
―ya‖.
Setelah memahami pengertian nilai,
selanjutnya akan dibahas nilai-nilai yang
perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa
itu apa saja. Dalam penjelasan Pusat
Pengkajian
Pedagogik
Universitas
Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai-nilai
yang perlu diperkuat untuk pembangunan
bangsa saat ini adalah sebagai berikut.
a. Kejujuran
Jujur merupakan sebuah karakter
yang dianggap dapat membawa bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
jujur mengandung makna 1) lurus hati, tidak
berbohong (misal dengan berkata apa
adanya); 2) tidak curang (misal di
permainan, dengan mengikuti aturan yang
berlaku); 3) tulus, ikhlas (Hasan Alwi dkk.,
2001: 479).
Jujur
sebagai
sebuah
nilai
merupakan keputusan seseorang untuk
mengungkapkan (dalam bentuk perasaan,
kata-kata dan/atau perbuatan) bahwa realitas
yang ada tidak dimanipulasi dengan cara
berbohong atau menipu orang lain untuk
keuntungan dirinya. Kata jujur identik
dengan ―benar‖ yang lawan katanya adalah
―bohong‖. Makna jujur lebih jauh
dikorelasikan
dengan
kebaikan
(kemaslahatan). Kemaslahatan memiliki
makna kepentingan orang banyak, bukan
kepentingan diri sendiri atau kelompoknya,
tetapi semua orang yang terlibat.
Dalam
konteks
pembangunan
karakter di sekolah, kejujuran menjadi amat
penting untuk menjadi karakter anak-anak
Indonesia saat ini. Karakter ini dapat dilihat
secara langsung di kelas, semisal ketika
anak melaksanakan ujian. Perbuatan
mencontek merupakan perbuatan yang
mencerminkan anak tidak berbuat jujur.
Dengan mencontek, anak menipu diri,
teman, orang tua, dan gurunya. Anak
memanipulasi nilai yang didapatkannya
seolah-oleh merupakan kondisi yang
sebenarnya dari kemampuannya, padahal
yang didapatnya bukan merupakan kondisi
yang sebenarnya.
Di bawah ini dikemukakan ciri-ciri
orang yang jujur. Orang yang memiliki
karakter jujur dicirikan oleh perilaku
sebagai berikut.
1) Jika bertekad (inisiasi keputusan) untuk
melakukan sesuatu, tekadnya adalah
kebenaran dan kemaslahatan;
2) Jika berkata tidak berbohong (benar apa
adanya);
3) Adanya
kesamaan
antara
yang
dikatakan hatinya dengan apa yang
dilakukannya (Dharma Kesuma, dkk.,
2011: 17).
Seseorang yang memiliki karakter
jujur aka diminati orang lain, baik dalam
konteks persahabatan, bisnis, rekan atau
mitra kerja, dan sebagainya. Karakter jujur
ini merupakan salah satu karakter pokok
untuk
menjadikan
seseorang
cinta
kebenaran, apapun resiko yang akan
diterima dirinya dengan kebenaran yang ia
lakukan.
b. Kerja keras
Kerja keras adalah suatu istilah yang
melingkupi suatu upaya yang terus
dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam
menyelesaikan pekerjaan yang menjadi
tugasnya sampai tuntas. Kerja keras bukan
berarti bekerja sampai tuntas lalu berhenti.
Istilah yang dimaksud mengarah pada visi
70
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
―bebas‖
atau
―pengabdian
yang
tulus‖.Menurut ajaran Islam ikhlas berarti
setiap kegiatan yang kita kerjakan sematamata hanya karena mengharapkan ridha
Allah Swt. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ikhlas adalah bersih hati; tulus
hati. Keikhlasan berarti ketulusan hati;
kejujuran; kerelaan (Hasan Alwi, 2001:
420).
Di bawah ini dipaparkan beberapa
definisi ikhlas yakni sebagai berikut.
1) Menjadikan tujuan hanyalah untuk
Allah tatkala beribadah, yaitu jika
engkau sedang beribadah maka hatimu
dan wajahmu engkau arahkan kepada
Allah bukan kepada manusia.
2) Membersihkan amalan dari komentar
manusia, yaitu jika engkau sedang
melakukan suatu amalan tertentu maka
engkau membersihkan dirimu dari
memperhatikan
manusia
untuk
mengetahui apakah perkataan mereka
tentang perbuatan itu.
3) Samanya
amalan-amalan
seorang
hamba antara yang nampak dengan
yang ada di batin.
4) Melupakan pandangan manusia dengan
selalu memandang kepada Allah
(http://www.alislam.agussuwasono.com/artikel/aqidah
/303-ikhlas-dan-bahaya-riya-html).
Berikut ini dikemukakan ciri-ciri
orang ikhlas sebagai berikut.
1) Terjaga dari segala sesuatu yang
diharamkan Allah Swt., baik sedang
bersama manusia mapun sendiri.
2) Senantiasa beramal di jalan Allah baik
sedang sendirian atau bersama orang
lain, baik ada pujian atau .
3) Selalu menerima apa adanya yang
diberikan Allah.
4) Mudah memaafkan kesalahan orang
lain
(http://sites.google.com/site/
otoehkasela/ ikhlas-menurut-islam)
besar yang harus dicapai untuk kebaikan/
kemaslahatan manusia dan lingkungannya.
Dalam sekala mikro, kerja keras
terjadi untuk kemaslahatan diri, keluarga,
RT, RW, desa/ kelurahan. Pada sebagian
orang, kerja keras dilakukan dengan
menghabiskan waktu untuk membuat ide
baru dan menyisihkan waktunya hanya 2
jam untuk tidur. Pada sebagian orang lagi,
kerja keras dilakukan dengan cara pergi
pagi pulang petang (P4) untuk menghidupi
keluarganya, dan sebagainya. Kondisi
variatif ini memiliki satu esensi yang sama,
yaitu bagaimana memberikan kebaikan/
kemaslahatan
kepada
manusia
dan
lingkungannya. Tidak dikategorikan sebagai
kerja keras orang yang menghabiskan
waktunya untuk mengedarkan narkoba, ide
merampok bank. Keduanya dilakukan
bukan untuk memberikan kebaikan kepada
manusia.
Saat ini begitu banyak pemuda yang
merupakan penduduk produktif lebih
memilih bekerja ringan. Tengoklah berapa
banyak pemuda yang meminta-minta di
terminal, atau di perempatan jalan; padahal
bersamaan dengan keberadaan mereka, para
kakek dan nenek masih terus bekerja keras,
misalnya berjualan keliling.
Beberapa karakteristik kerja keras
adalah perilaku yang dicirikan oleh
kecenderungan sebagai berikut.
1) Merasa risau jika pekerjaannya belum
terselesaikan sampai tuntas;
2) Mengecek/ memeriksa terhadap apa
yang harus dilakukan atau apa yang
menjadi tanggung jawabnya dalam
suatu jabatan/ posisi;
3) Mampu mengelola waktu yang
dimilikinya;
4) Mampu mengorganisasi sumber daya
yang ada untuk menyelesaikan tugas
dan tanggung jawabnya (Dharma
Kesuma, 2011: 19-20).
c. Keikhlasan
Ikhlas dalam bahasa Arab memiliki
arti ―murni‖, ―suci‖, ―tidak bercampur‖,
71
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
5.
1) Adigang, adigung, adiguna (ngediredirake kekuwatan, kaluhuran, lan
kapintyeran).
2) Ana
catur
mungkur
(ora
gelemngrungokake rerasaningliyan sing
ala).
3) Criwis cawis (diprentah madoni,
nanging wusanane gelem nglakoni.
4) Dahwen ati open (nacad nanging
nduweni melik arep ngbepek sing
dicacad).
5) Dudu sanak dudu kadang, yen mati
melu kelangan (wong liya, nanging yen
nandhang susah dibelani).
6) Durung pecus, keselak besus (Durung
sembada , wis kepengin warna-warna).
7) Entek amek, kurang goleh (ngunekunekake uwong nganti sakatoge).
8) Gemblung jinurung, edan kuwarisan
(sanajan ndhugal tindake, nanging
tansah slamet).
9) Giri lusi, janma tan kena ingina (ora
kena
ngina
marang
pepadhane
manungsa.
10) Jalukan ora wewehan (gelem njejaluk,
ora gelem weweh).
Peranan Budaya dan Pendidikan
Karakter bagi Pembangunan Bangsa
a. Contoh Budaya Jawa Berupa Tembang
yang Kaya akan Pendidikan Karakter
SINOM
Amenangi zaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Melu edan ora tahan,
Yen tan melu anglakoni,
Boya kaduman melik,
Kaliren wekasanipun,
Dilalah kersa Allah,
Begja-begjane kang lali,
Luwih begja kang eling lawan waspada.
(R. Ng. Ranggawarsita: 1802-1873)
(Warsito, 2008: i).
GUNDHUL-GUNDHUL PACUL
Gundhul-gundhul pacul, gembelengan,
Nyunggi-nyunggi wakul, gembelengan,
Wakul ngglimpang segane dadi sak
ratan (2X).
SLUKU-SLUKU BATHOK
Sluku-sluku bathok,
Bathoke ela-elo,
Si Rama menyang Sala,
Oleh-olehe payung motha,
Mak jenthit lolo lobah,
Wong mati ora obah,
Nek obah medeni bocah,
Nek urip goleka dhuwit (Tembang
Dolanan)
(Muchlas Samani, 2012: 68-69).
c.
1)
2)
b. Contoh Budaya Jawa Berupa Paribasan
yang Kaya akan Pendidikan Karakter
(Paribasan = unen-unen gumathok, ajeg
panganggone, lan ngemu teges wantah.
Tembuge ora kena dioahi utawa diganti
nganggo tembung liya) (Dwijawiyata,
2002: 44)
3)
4)
5)
72
Contoh Budaya Jawa Berupa Bebasan
yang Kaya akan Pendidikan Karakter
(Bebasan = unen-unen gumathok, ajeg
panganggone, lan ngemu teges
pepindhan, sing dipindhakake yaiku
sipat, tindak-tanduk, utawa kaanane
wong). (Dwijawiyata, 2002: 46).
Adol lenga kari busik (dumdum, awake
dhewe malah ora kepanduman).
Dicuthat kaya cacing (ditundhung
kanthi cara sing siya banget).
Dikena iwake, aja nganti buthek
banyune (sing disedya bisaa kena,
tanpa gawe gendra).
Kekudhung walulang macan (nganggo
aling-aling
wong
sing
kuwasa,
supayakatekan sedyane).
Kelacak, kepathak (wis kabukten
lupute, ora bisa mukir maneh).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
6) Lahang karoban manis (lahang=legen)
(rupane bagus/ ayu, tur luhur budine).
7) Lambe satumang, kari samerang (olehe
mituturi wis bola-bali, sing dipituturi
ora nggatekkake).
8) Lanang kemangi (watake wong lanang
sing jirihan).
9) Madu balung tanpa isi (regejeganmung
marga barang sepele).
10) Nabok nyilih tangan (tumindak ala
srana kongkonan wong liya).
Pendidikan menduduki posisi sentral
dalam pembangunan karena sasarannya
adalah peningkatan kualitas SDM. Oleh
sebab itu pendidikan juga merupakan alur
tengah pembangunan dari seluruh sektor
pembangunan (Umar Tirtarahardja, 2005:
300). Terdapat suatu kesan bahwa persepsi
masyarakat
umum
tentang
arti
pembangunan lazimnya bersifat menjurus
pada pembangunan fisik. Pembangunan
semata-mata hanya beruang lingkup
pembangunan material atau pembangunan
fisik
berupa
pembangunan
gedung,
jembatan, pabrik, dan lain-lain. Padahal
sukses tidaknya pembanguan fisik itu justru
sangat ditentukan oleh keberhasilan
pembangunan ruhaniah/ spiritual; yang
secara bulat diartikan pembangunan
manusia, dan ini menjadi tugas utama
pendidikan.
Persepsi yang keliru tentang arti
pembangunan yang menganggap bahwa
pembangunan itu hanya semata-mata
pembangunan material dapat berdampak
menghambat
pembangunan
sistem
pendidikan, sebab yang benar pembangunan
harus bersifat komprehensif. Persepsi yang
mengatakan
bahwa
pembangunan
diasosiasikan
dengan
pembangunan
ekonomi
dan
industri,
sementara
pembangunan SDM tidak secara langsung
terlihat, maka akan menimbulkan gejala
penyerta yang negatif, antara lain
kegoncangan
sosial
politik.
Ini
menuinjukkan bahwa pembangunan dalam
arti yang terbatas pada bidang ekonomi dan
industri saja belum menggambarkan esensi
pembangunan yang sebenarnya.
Saat
proklamasi
kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, the
founding fathers atau para bapak pendiri
bangsa menyadari bahwa paling tidak ada
tiga tantangan besar yang harus dihadapi.
Pertama, adalah mendirikan negara yang
bersatu dan berdaulat, kedua, adalah
membangun
bangsa,
dan
ketiga,
membangun karakter (Muchlas Samani,
2012: 1). Ketiga tantangan tersebut secara
jelas tampak dalam konsep ―Negara Bangsa
(nation-state) dan pembangunan karakter
bangsa (nation and character building).
Salah satu bapak pendiri bangsa,
adalah
presiden
pertama
Republik
Indonesia, Ir. Soekarno, menegaskan bahwa
―Bangsa ini harus dibangun dengan
mendahulukan
pembangunan
karakter
(character building), inilah yang akan
membuat Indonesia menjadi bangsa yang
besar, maju, dan jaya, serta bermartabat.
Kalau character building ini tidak
dilakukan, maka bangsa Indonesia akan
menjadi bangsa kuli.‖ (MuchlasSamani,
2012: 2).
Pembangunan karakterbangsa di
Indonesia
dirasakan
amat
perlu
pengembangannya
apabila
mengingat
semakin meningkatnya tawuran antar
pelajar, mahasiswa, serta bentuk-bentuk
kenakalan remaja di kota-kota besar,
penggunaan narkoba dan lain-lain. Ada hal
yang memprihatinkan lagi yakni kegagalan
―Kantin Kejujuran‖. Keinginan untuk
membangun sifat jujur pada anak dilakukan
melalui kantin kejujuran di beberapa
sekolah. Banyak kantin kejujuran yang
bangkrut dan gagal karena belum
bangkitnya sifat jujur pada anak-anak.
Disiplin dan tertib berlalu lintas,
budaya antre, budaya baca, budaya hidup
bersih dan sehat masih jauh dari standar. Di
kota-kota besar, lampu merah seolah-olah
kurang berfungsi. Jika tidak ada petugas,
menyerobot lampu merah sering dilakukan.
73
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Kebanggaan kita terhadap jati diri dan
kekayaan budaya sendiri masih rendah.
Sebagai bangsa, kita masih mengidap
inferiority complex nasional, terbukti masih
suka dan melahap tanpaseleksi segala
produk dan budaya asing.
Selanjutnya mari kita melihat
beberapa indikasi tentang ―apa yang salah
dengan bangsa ini?‖
Pertama,
kondisi moral/ akhlak
generasi muda banyak yang rusak/ hancur.
Ini ditandai dengan maraknya seks bebas di
kalangan remaja, peredaran narkoba,
tawuran, peredaran foto dan video porno,
dan sebagainya. Data hasil survey mengenai
seks bebas di kalangan remaja Indonesia
menunjukkan 63% remaja Indonesia
melakukan
seks
bebas
(www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option
=com_content&do_pdf...) Adapun remaja
korban narkoba di Indonesi ada 1,1 juta
orang
(http://hizbuttahrir.or.id/2009/12/01/jabar-masih-darurathivaids-dan-seks-bebas/.)
Kedua, pengangguran terdidik yang
mengkhawatirkan (lulusan SMA. SMK, dan
Perguruan Tinggi). Data Badan Pusat
Statistik
menyebutkan
pengangguran
lulusan SMK 17,26%, SMA 14,31 %,
lulusan universitas 12,59 %, Diploma I, II,
III
11,21%
(http:www.tribunjabar.co.id/read/artikel/
4317/ tentangkami).
Ketiga, rusaknya moral bangsa dan
sudah menjadi akut (korupsi, asusila,
kejahatan, tindakan kriminal. Keempat,
bencana yang sering dan terus berulang
dialami
bangsa
Indonesia,
Kelima,
kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus
bertambah. Keenam, daya kompetitif yang
rendah sehingga banyak produk dalam
negeri dan SDM yang tergantikan oleh
produk dan SDM yang tergantikan dari luar
negeri. Ketujuh, Inefisiensi pembiayaan
pendidikan.
Dari berbagai permasalahan dan
kondisi yang sangat memprihatinkan
tersebut, maka di sinilah letak pentingnya
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
PKn atau Civic Education sebagai salah satu
program pendidikan karakter, melakukan
pembelajaran yang secara programatikprosedural
berupaya
memanusiakan
(humanizing)
dan
membudayakan
(civillizing)
serta
memberdayakan
(emprowering) manusia/ anak didik (diri
dan kehidupannya) menjadi warga negara
yang baik sebagaimana tuntutan keharusan /
yuridis konstitusional bangsa/ negara
Indonesia (Dasim Budimansyah (Editor),
2006:
9).
Selain
Pendidikan
Kewarganegaraan, tidak kalah pentingnya
adalah peran Pendidikan Pancasila. Warsito
(2012: 23) dalam bukunya yang berjudul
Pendidikan Pancasila Era Reformasi
menyatakan bahwa melalui Pendidikan
Pancasila, warga negara Republik Indonesia
diharapkan
mampu
memahami,
menganalisis, dan menjawab masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat
bangsanya secara berkesinambungan dan
konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan
bangsa Indonesia.
C. KESIMPULAN
Pendidikan karakter adalah sebuah
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktekkannya
dalam
kehidupan
sehari-hari,
sehingga
mereka
dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya. Pendidikan karakter adalah
sebuah proses transformasi nilai-nilai
kehidupan untuk ditumbuhkembangkan
dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan
orang
itu.
Dalam
seting
sekolah
pendidikankarakter sebagai ―pembelajaran
yang mengarah pada penguasaan dan
pengembangan perilaku anak secara utuh
yang didasarkan pada suatu nilai tertentu
yang dirujuk oleh sekolah.‖
Pendidikan karakter dalam seting
sekolah memiliki tujuan sebagai berikut, 1)
74
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai
kehidupan yang dianggap penting dan perlu,
2) mengoreksi perilaku peserta didik yang
tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah.3)membangun
koneksi yang harmonis dengan keluarga dan
masyarakat dalam memerankan tanggung
jawab pendidikan karakter secara bersama.
Peningkatan karakter atau akhlak
yang terpuji dapat dilaksanakan melalui
hal-hal sebagai berikut.1). Muhasabah, yaitu
selalu menghitung perbuatan yang telah
dilakukannya selama ini, 2) mu‘aqobah,
memberikan hukuman terhadap berbagai
perbuatan dan tindakan yang telah
dilakukannya, 3) Mu‘ahadah, perjanjian
dengan ahti nurani (batin), 4) Mujahadah,
berusaha maksimal untuk melakukan
perbuatan yang baik. Adapun proses untuk
membangun karakter menggunakan 7
tahapan, yakni muatabah, muroqobah,
mujahadah, musyahadah, mukasyafah,
muhabbah, dan ma‘rifah.
Dalam penjelasan Pusat Pengkajian
Pedagogik
Universitas
Pendidikan
Indonesia (P3 UPI) nilai-nilai yang perlu
diperkuat untuk pembangunan bangsa saat
ini adalah sebagai berikut 1) jujur, 2) kerja
keras, 3) ikhlas.
Pembangunan karakter bangsa di
Indonesia
dirasakan
amat
perlu
pengembangannya
apabila
mengingat
semakin
meningkatnya
tawuran
antarpelajar, mahasiswa, serta bentukbentuk kenakalan remaja di kota-kota besar,
penggunaan narkoba dan lain-lain. Ada hal
yang memprihatinkan lagi yakni kegagalan
―Kantin Kejujuran‖. Keinginan untuk
membangun sifat jujur pada anak dilakukan
melalui kantin kejujuran di beberapa
sekolah. Banyak kantin kejujuran yang
gagal karena belum bangkitnya sifat jujur.
Disiplin dan tertib berlalu lintas,
budaya antre, budaya baca, budaya hidup
bersih dan sehat masih jauh dari standar. Di
kota-kota besar, lampu merah seolah-olah
kurang berfungsi. Jika tidak ada petugas,
menyerobot lampu merah sering dilakukan.
Kebanggan kita terhadap jati diri dan
kekayaan budaya sendiri masih rendah.
Sebagai bangsa, kita masih mengidap
inferiority complex nasional, terbukti masih
suka dan melahap tanpaseleksi segala
produk dan budaya asing.
Selanjutnya mari kita melihat
beberapa indikasi tentang ―apa yang salah
dengan bangsa ini?‖ Pertama, kondisi
moral/ akhlak generasi muda banyak yang
rusak/ hancur. Kedua, pengangguran
terdidik yang mengkhawatirkan. Ketiga,
rusaknya moral bangsa dan sudah menjadi
akut. Keempat, bencana yang sering dan
terus berulang dialami bangsa Indonesia,
Kelima, kemiskinan yang mencapai 40 juta
dan terus bertambah. Keenam, daya
kompetitif yang rendah, Ketujuh, Inefisiensi
pembiayaan pendidikan. Dari berbagai
permasalahan dan kondisi yang sangat
memprihatinkan tersebut, maka di sinilah
letak pentingnya pendidikan budaya dan
karakter
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Asifin. (2001). Jalan Menuju Ma‟rifatullah dengan Tahapan (7 M). Surabaya: Terbit
Terang.
75
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dasim Budimansyah (Editor), (2006). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan
Kewarganegaraa. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan, FPISUPI.
Dwijawiyata. (2002). Kawruh Basa Jawa Pepak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Dwipayana, AAGN Ari. (2001). Kelas dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama .
Dwiyanto, Djoko dan Gatot Saksono. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila,
Negara Pancasila: Agama atau Sekuler; Sosialis atau Kapitalis. Yogyakarta:
Ampera Utama.
Gaffar, Mohammad Fakry. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Islam (Disampaikan pada
Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 8-10 April 2010 di Yogyakarta).
Geertz, Clifford. (1999). After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog.
Alih Bahasa Landung Simatupang. Yogyakarta: LKiS Bekerjasama dengan The
Asia Foundation.
Hurlock, Elizabeth B. (1974). Personality Development. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Kesuma, Dharma. (2011). Pendidikan Karakter-Kajian Teori dan Praktek di Sekolah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Kupperman, J.J. (1983). The Foundatin of Morality. London: George Allen&unwin
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk Membangun
Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Mulyana, Dedy, dkk. (2001). Komunikasi antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan
orang-orang Berbeda Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Rohmat. (2011). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Tirta Rahardja, Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama
Pusat Keguruan Depdiknas dengan Penerbit Rineka Cipta.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Warsito. (2008). Perspektif Pendidikan Ilmu Sosial. Klaten: Widya Dharma University
Press.
Warsito. (2012). Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Warsito. (2012). Pendidikan Pancasila Era Reformasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/12/01/jabar-masih-darurat-hivaids-dan-seks-bebas/
http://sites.google.com/site/otoehkasela/ikhlas-menurut-isla
http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-ikhlas-dan-bahaya-riya-html
www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option=com_content&do_pdf.
76
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
MEMBANGUN PERADABAN DENGAN PENDIDIKAN
YANG BERBASIS KARAKTER DAN NILAI-NILAI
BUDAYA BANGSA
Agoes Hendriyanto
PBSI STKIP PGRI Pacitan
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kemajuan Pendidikan di Indonesia sangat tergantung kepada semua pihak
yang terlibat baik secara langsung mauoun tidak langsung. Modal yang paling
utama semua pihak yang terlibat dalam Bidang Pendidikan harus punya Integritas
yang tinggi dalam rangka memperbaiki sistem, struktur, dan proses pendidikan
yang korup, menuju masa depan yang penuh perubahan mendorong terwujudnya
satu Sistem Pendidikan Nasional yang mengarah kepada peningkatan Keimanan
dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di mulai
dari Pendidikan Anak Usia Dini sehingga perlu menanamkan nilai-nilai luhur
bangsa sebelum siswa diajarkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini sebagai
bekal peserta didik untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan
diajarkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan karakter wajib
diberikan kepada peserta didik agar kelak menjadi seorang ilmuan, pemimpin,
anggota DPR, guru, dosen, dan profesi yang lainnya yang punya sikap dan
karakter yang mandiri, tanggung jawab, jujur, penuh integritas, disiplin, rela
berkorban, suka menolong dan nilai-nilai luhur yang erupakan ciri khas bangsa
Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu terobosan baru dalam pengajaran untuk
penanaman nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan jati diri bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang ramah dan memiliki kepribadian yang luhur.
Guru, Dosen, dan Pemimpin baik formal maupun informal yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sistem pendidikan harus
memahami filosofi dari Ki Hadjar Dewantara yaitu: Ing Ngarso Sung Tulado, Ing
Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Untuk itu diperlukan suatu sistem dan
proses perekrutan guru yang transparan, dan tidak adanya KKN di dalamnya
dalam rangka peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang uggul
dan berbudi pekerti luhur.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Ing Ngarso Sung Tulado, Ing Madya
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem Pendidikan Nasional yang mengarah
kepada
peningkatan
keimanan
dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta akhlak mulia dalam rangka
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Undang-undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
tahun
1945
mengamanatkan
agar
pemerintah
77
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat
konstitusi di atas dengan tegas memberikan
perhatian yang besar akan pentingnya
pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya
bangsa yang akan membentuk peserta didik
menjadi manusia berbudaya yang berhati
nurani
luhur
karena
keteladanan,
bimbingan, arahan, dan dorongan dari
pendidik yang benar-benar menjalankan
profesinya dengan menggunakan hati.
Selain yang tersebut di atas pendidikan
diharapkan membantu membumikan nilainilai agama dan mewujudkan ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga
pendidikan harus senantiasa berdasarkan
nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
mewujudkan masyarakat adil, makmur dan
sejahtera melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diajarkan kepada seluruh
peserta didik di lembaga pendidikan formal
dan informal.
Dengan demikian tugas setiap
elemen bangsa yang terlibat dalam
pendidikan
wajib
hukumnya
untuk
mengembangkan sistem pendidikan yang
berkarakter, berhati nurani, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
berlandaskan nilai sosial budaya yang
mengandung filosofi yang sangat luar biasa.
Hal ini semakin diperkuat dengan keluarnya
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS), nomer 20 tahun
2003, menegaskan kembali fungsi dan
tujuan pendidikan nasional kita seperti yang
telah diamanatkan dalam UUD 1945. Pada
pasal 3 Undang-Undang
SISDIKNAS
ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa
yang
bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dilihat dari kacamata pendidikan,
peningkatan
tersebut
haruslah
diterjemahkan secara operasional dan
diimplementasikan
melalui
proses
pembelajaran yang memadai. Pembelajaran
yang
memadai
bukan
hanya
mengembangkan salah satu kecerdasan,
akan tetapi seluruh kecerdasan manusia.
Dengan demikian pembelajaran harus
direncanakan dan diwujudkan dalam rangka
meningkatkan ketiga kecerdasan yaitu;
pengetahuan, sikap, dan hasil karya. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu strategi dan
teknik pembelajaran yang dapat digunakan
untuk mengembangkan ketiga kecerdasan.
Peran dari lembaga sekolah, guru, murid
dan wali siswa sangat diperlukan dalam
rangka pembelajaran yang dapat digunakan
untuk meningkatkan ketiga kecerdasan.
Lebih jelasnya kecerdasan manusia
secara operasional dapat digambarkan
melalui tiga dimensi, yakni kognitif,
psikomotorik,
dan
afektif.
Melalui
pengembangan kognitif, kapasitas berpikir
manusia harus berkembang. Melalui
pengembangan psikomotorik, kecakapan
hidup manusia harus tumbuh. Melalui
pengembangan afektif, kapasitas sikap
manusia harus mulia. Hal ini sejalan dengan
dasar
pendidikan
Indonesia,
yakni
mencerdaskan bangsa yang beriman dan
bertakwa serta berakhlak mulia. Dengan
kata lain, peserta didik bersekolah bukan
hanya untuk menghadapi bahasan soal-soal
ujian, peserta didik bersekolah merupakan
strategi untuk mempersiapkan dirinya
memasuki kehidupan di masa kini dan masa
yang akan datang yang lebih baik.
Secara
empiris,
pelaksanaan
pembelajaran masih diarahkan kepada
pencerdasan yang bersifat kognitif, hal ini
bisa kita lihat di sekolah-sekolah umum.
Pada tataran ini pun, kecerdasan intelektual
yang bersifat kognitif masih terbatas kepada
pengembangan kemampuan menghafal atau
transfer pengetahuan dan keterampilan
menyelesaikan
soal-soal
ujian.
78
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pengembangan kognitif yang lainnya masih
diabaikan,
misalnya,
pengembangan
kognitif untuk meningkatkan daya kritis.
Walaupun sejak tahun 2010 yang
lalu, pendidikan karakter telah dicanangkan
untuk dijadikan gerakan nasional di seluruh
tingkat pendidikan yaitu PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini) sampai dengan perguruan
tinggi. Menteri Pendidikan Nasional
(MENDIKNAS) saat itu mengeluarkan
PERMENDIKNAS (Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional) tentang pendidikan
karakter. Ada 18 nilai budaya dan karakter
bangsa yang seharusnya ditanamkan pada
peserta didik. 18 nilai budaya dan karakter
bangsa itu mencakup Jujur, religius,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai
prestasi,
bersahabat
(komunikatif),
cinta
damai,
gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab.
Pendidikan karakter yang dilakukan
di Indonesia tidak diberi bobot nilai, tetapi
dijadikan pembiasaan keseharian di sekolah
sehingga
membudaya.
Anak
yang
melanggar nilai-nilai karakter yang telah
disepakati
kendalanya
pada
saat
pelaksanaan dan penindakan bagi yang
melaggar. Tidak bisa dipungkiri bahwa
guru mempunyai perasaan yang tidak sama
terhadap anak-anak pejabat yang sekolah di
lembaga
pendidikan
tertentu
pasti
mendapatkan perlakuan yang lebih baik jika
dibandingkan dengan lainnya. Contoh yang
kurang baik ini akan membekas pada hati
anak didik yang pada akhirnya akan
menciptakan karakter pendendam kepada
orang lain. Pada mulanya ingin membuat
sikap yang baik menjadi suatu kebiasaan
malah
kita
sendiri
yang
malah
mencontohkan karakter yang tidak baik
pada siswa yang mendapatkan perlakuan
yang berbeda atau diskriminasi. Kenyataan
seperti ini sering terlihat pada sekolahsekolah yang anak didiknya banyak dari
orang tuanya berpengaruh di suatu daerah
tertentu. Untuk itu maka diperlukan guruguru yang profesional yang mendidik
dengan hati, yang pandai untuk membuat
keteladanan, dorongan, motivasi, dan pujian
kepada anak didiknya yang berprestasi,
serta tidak membedakan perlakuan terhadap
peserta
didiknya.
Sehingga
proses
pembelajaran akan menyenangkan dan tidak
menimbulkan
persoalan
baru
yang
berhubungan dengan perasaan peserta didik.
Dalam mengajarkan pendidikan
karakter tersebut guru harus bisa
memainkan 3 (tiga) peran yaitu, pemberi
perhatian,
panutan,
dan
sekaligus
pembimbing bagi peserta didik. Pendidikan
karakter bukanlah sebuah mata pelajaran
tambahan. Nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa yang terdiri dari 18 tersebut yang
akan diintegrasikan kepada siswa melalui
mata pelajaran yang disampaikan oleh
gurunya.
Guru
juga
turut
mengidentifikasikan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa tersebut yang terdapat pada
mata pelajaran yang diampu. Maka dari itu,
guru harus mampu merancang RPP
(Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran)
berbasis karakter, Silabus berbasis karakter,
dan bahan ajar berbasis karakter.
Hal ini sangat berlawanan dengan
penerapan
Kurikulum
2013
yang
dilaksanakan Juli 2013 mendatang bersifat
pemaksaan
seperti
diwartakan
oleh
Tribunnews.com tanggal 21 April 2013.
Penyusunan kurikulum 2013 bukan berasal
dari penyempurnaan dari kurikulum KTSP
2006 melainkan kebijakan yang bersifat Top
Down dari Pemerintah Pusat dalam hal ini
Kementeriaan Pendidikan dan kebudayaan
Nasional. Kurikulum ini mengkebiri hakhak dari sekolah dan guru yang mengetahui
secara mendetail kondisi pembelajaran,
sarana prasarana, dan kondisi sosial budaya
masyarakat.
Dengan Kurikulum 2013 sekolah
dan guru akan mengalami kesulitan dalam
merancang pembelajaran yang berbasis
79
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sosial budaya masyarakat dan karakter.
Padahal yang mengetahui kondisi realitas
pembelajaran dan sosial budaya bukan
orang yang menentukan kebijakan dari
pusat melainkan guru dan sekolah. Dengan
kondisi yang demikian perencanaan
pendidikan nasional bukannya direncanakan
dari bawah melanikan dari atas atau Top
Down. Kurikulum 2013 amat sentralistik,
bertentangan dengan semangat reformasi
yang menghendaki desentralisasi, yaitu
desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Belum ada riset dan evaluasi yang
mendalam dan sungguh-sungguh tentang
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), baik berdasarkan Permendiknas
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
maupun Permendiknas Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
Hal ini sangat berbeda sekali dalam
pembuatan Kurikulum KTSP 2006 yang
dikembangkan berdasarkan pedoman dan
rambu-rambu yang ditetapkan oleh BSNP
(Badan Standar Nasional Pendidikan), yang
menghargai otonomi guru dan sekolah serta
keanerakagaman budaya dan konteks
setempat. Pada Kurikulum model KTSP
memberi peluang bagi guru dengan harapan
model KTSP dapat menjadi pedoman bagi
guru dalam menyusun silabus yang sesuai
dengan kondisi sekolah dan potensi daerah
masing-masing
yang
diberikannya
kewenangan
kepada
sekolah
untuk
mengambil keputusan berkenaan dengan
pengelolaan pendidikan. Hal ini berlawanan
dalam proses Penyusunan Kurikulum 2013
tidak berdasarkan kajian yang mendalam
dan transparan terhadap situasi yang
menjadi alasan kuat perlunya kurikulum
2013. Rumusannya amat sangat normatif
berdasarkan spekulasi tanpa dukungan hasil
riset dan ujicoba inovasi di lapangan.
Perlu kita renungkan bersama
rendahnya kualitas sumberdaya manusia
Indonesia disebabkan salah satunya sistem
pendidikan yang seakan-akan sudah terurus
tapi masih kurang tepat penanganannya,
seperti orang sakit kepala dikasih obat
penurun panas.
Seringkali kebijakan
tersebut hanya coba-coba atau eksperimen
dengan demikian hasilnya ada dua
kemungkinan yaitu berhasil dan gagal atau
baik dan buruk. Anak didik dan guru
merupakan laboratorium berjalan, yang
harus selalu siap untuk menerima kebijakan
dalam dunia pendidikan yang selalu
berubah-ubah disesuaikan dengan selera
yang mempunyai kekuasaan
Dengan
melihat
permasalahan
bangsa yang semakin hari semakin rumit
marilah kita yang terlibat dalam bidang
pendidikan
untuk mencari solusi dan
sedikit memberikan sesuatu yang berharga
kepada bangsa dan negara Indonesia.
Untuk itu fungsi utama dari dunia
pendidikan kita harus mempunyai niat yang
tulus dalam rangka memajukan pendidikan
Indonesia. Peningkatan yang real dan tidak
manipulatif, dan koruptif yang akan
menumbuhkan pendidikan yang luar biasa
akan melahirkan generasi yang akan datang
yang mempunyai karakter dan nilai-nilai
budaya yang luhur. Untuk itu peran dari
bapak ibu guru, dosen sangat dibutuhkan
dalam rangka terwujudnya tujuan tersebut.
Hal ini sangat berlawanan dengan
pelaksanaan
Kurikulum
2013
yang
merupakan pemaksaan kehendak dari
pemerintah pusat, karena kurikulum 2013
bukan hasil dari evaluasi yang menyeluruh
dari pelaksanaan kurikulum KTSP 2006.
Peran Guru dan sekolah seperti dikebiri oleh
pemerintah, seakan-akan tampak jelas peran
guru dan sekolah tapi kenyataannya
perannya dipangkas. Kurikulum 2013,
perencanaan maupun penyusunan silabus
serta penyusunan dan penerbitan buku
pelajaran ditentukan serta dilakukan oleh
Pemerintah
Pusat,
dalam
hal
ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(sentralisasi).
Tanpa kesungguhan, perubahan
kurikulum hanya mengutak-atik apa yang
ada dengan dibumbui pengantar yang
80
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
muluk. Kurikulum
Pendidikan
yang
Mencerdaskan. Seperti diamanatkan dalam
UU Sikdiknas No 20 Tahun 2003 Bab X
mengenai bentuk kurikulum yaitu pasal 36
ayat 1 yang berbunyi ‖Pengembangan
Kurikulum Di Lakukan Dengan Mengacu
Pada Standar Nasional Pendidikan Untuk
Mewujudkan
Tujuan
Pendidikan
Nasional‖dilanjutkan ayat 2 ―Kurikulum
Pada Semua Jenjang Dan Jenis Pendidikan
Di
Kembangkan
Dengan
Prinsip
Diverisifikasi Sesuai Dengan Satuan
Pendidikan, Potensi Daerah, Dan Peserta
Didik‖,dan ayat 3 berbunyi ―kurikulum
disusun dengan jenjang pendidikan dalam
rangka
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
dengan
memperhatikan
peningkatan iman dan taqwa, peningkatan
akhlak mulia, peningkatan potensi daerah
dan lingkungan, tuntutan pembangunan
daerah dan nasional tuntutan dunia kerja,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, agama, dinamika perkembangan global
dan persatuan nasional dan nilai-nilai
keagamaan.
Diakui atau tidak, tolok ukur bangsa
berkualitas di pandang dari sejauh mana
pendidikan mampu melahirkan manusiamanusia yang handal. Bangsa akan menjadi
berkualitas apabila manusianya yang
berkualitas. Ini tidak dapat di pungkiri dan
harus diakui secara bersama. Oleh karena
itu, sebagai bangsa yang ingin menuju pada
bangsa berkualitas pun harus mampu
melaksakan
peningkatan
kualitas
pendidikan. Oleh karena itu perlu suatu
proses perenungan dan saling mengkoreksi
diri setiap yang terlibat dalam dunia
pendidikan.
Bukan hanya mencari-cari
kambing hitam jika menjumpai atau
menemui suatu persoalan marilah persoalan
itu kita pecahkan bersama..
Kurikulum
KTSP
yang
pencapaiannya belum maksimal diganti
kurikulum baru yang pelaksanaannya pada
tahun 2013. Kurikulum baru ini pasti
menyerap anggaran yang luar biasa dalam
pembuatannya,
pelaksanaanya,
dan
evaluasinya.
Kita sebagai pemerhati
pendidikan kadang-kadang berpikir negatif
bahwa
kebijakan-kebijakan
yang
dikeluarkan
pemerintah
khususnya
Departemen pendidikan Nasional hanya
mencairkan anggaran pendidikan yang
sangat tinggi dari APBN yang mencapai 20
% dari Anggaran APBN yang jumlahnya
sekitar 40 Trilyun Rupiah, jumlah yang
sangat fantastik.
Rendahnya penyerapan anggaran
pada sektor pendidikan akhirnya digunakan
untuk
sarana
mencoba-coba
suatu
kebijakan, kalau kita lihat negara lain yang
sudah tidak merubah suatu kebijakan tapi
hanya mengevaluasi dan memperbaiki yang
masih kurang, dan fokus pada penggarapan
pendidikan dengan penyediaan sarana dan
prasarana belajar mengajar yang mencapai
tingkat yang standar nasional bahkan
international, dalam rangka mempersiapkan
pilar-pilar bangsa yang akan menghadapi
tantangan yang semakin luar biasa.
. Sebaiknya negara kita dalam
membuat kebijakan harus mengumpulkan
ahli-ahli pendidikan yang mempunyai hati
nurani yang luhur yang mempunyai itikad
yang baik, iklas untuk kemajuan pendidikan
di Indonesia untuk membuat suatu konsep
bagi pendidikan di Indonesia yang harus
disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
kita.
Sehingga tidak akan ada lagi
kebijakan yang menyalahi aturan di atasnya
sehingga ada yang menggugat akan
dibatalkan karena bertentangan dengan
UUD 1945.
Carut marutnya pendidikan di
Indonesia sudah mencapai klimaknya,
dimana pemerintah memaksakan Ujian
Nasional serentak yang dianggap gagal..
Kegagalan pertama; pelaksanaan Ujian
Nasional setingkat SMA yang jadwalnya
serentak tanggal 15 April 2013 di 13
Propinsi khususnya di Indonesia Bagian
Barat ditunda sampai hari rabu tanggal 18
April 2013. Kedua pengunduran selama 2
81
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
hari itu juga mengalami permasalahanya
dimana jumlah soalnya untuk beberapa
Kabupaten di 11 propinsi tersebut masih
kurang sehingga diperbolehkan untuk
menggandakan soal dengan cara Fotocopy.
Dari fenomena yang terlihat akhirakhir ini bahwa kebijaksanaan Mendikbud
hanya merupakan kebijakan yang hanya
coba-coba dan tidak dipikirkan secara
matang terlihat jelas pada Pelaksanaan
Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan
SMP yang banyak timbul permasalahan,
padahal pelaksanaannya rutin dilaksanakan
selama bertahun-tahun. Selain itu banyak
sekali produk hukum yang hanya mewakili
suatu kelompok tertentu seperti peraturan
Menteri yang mengatur Perguruan Tinggi
yang merugikan keberadaan Perguruan
Tinggi Swasta, RSBI yang dibubarkan,
pemaksaan pelaksanaan Kurikulum 2013
untuk SMA wajib hukumnya dilaksanakan
pada bulan Juli 2013 dan peraturan lainnya
yang
dibuat
berdasarkan
keinginan
kelompok tertentu saja..
Seperti pernyataan yang menjadi
peringatan bagi kita yang terlibat dalam
Pendidikan, Bapak Busyro Muqodas
mengatakan bahwa sukses di masa depan
sangat tergantung dalam mempersiapkan
segala kebijakan diperlukan integritas yang
tinggi dalam rangka memperbaiki sistem,
struktur, dan proses politik yang korup.
Inilah fakta yang harus kita hadapi apakah
para petinggi-peetinggi di negeri ini sudah
menjalankan kewajibannya sebagai warga
negara, marilah kita saling merenung dan
merefleksikan diri kita masing-masing,
jangan mencari kambing hitam, ibaratkan
bahwa pabrik cat sekarang lebih bayak
memproduksi cat yang berwarna putih
sehingga tidak ada yang perlu dikambing
hitamkan.
Berdasarkan latar belakang di atas
maka kami tertarik untuk mengambil judul
makalah ―Membangun Peradaban Dengan
Pendidikan Yang Berbasis Karakter Dan
Budaya Bangsa.‖
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka kami
mengambil pokok permasalahan sebagai
berikut:
a. Apakah Pendidikan yang berbasis
Karakter dapat diandalkan dalam
menghadapi persaingan Global?
b. Bagaimanakah seharusnya Peran Guru
dan
Dosen
dalam
menyikapi
pelaksanaan Kurikulum 2013?
B. PENDIDIKAN YANG BERBASIS
KARAKTER DAPAT
DIANDALKAN DALAM
MENGHADAPI PERSAINGAN
GLOBAL
Menurut Hamzah B. Uno ( 2007: 1)
pendidikan sebagai suatu sistem yang
bertujuan untuk mencerdasan anak bangsa,
dewasa ini dihadapkan pada berbagai
persoalan yang semakin rumit dan wajib
untuk segera diselesaikan agar persoalan
tersebut tidak semakin menggunung yang
barakibat pada terganggunya proses
pendidikan. Dewasa ini seringnya terjadi
tawuran
antar
pelajar,
pemecahan
masalahnya tidak sampai pada akar
masalahnya tapi hanya menangkap anakanak yang tawuran oleh pihak kepolisian.
Seharusnya lembaga yang menangani
pendidikan harus merubah sistem, dan
proses pendidikan yang ada dengan lebih
mengedepankan
pembelajaran
dalam
peningkatan aspek (sikap) afektif, dan
(hasil) psikomotorik. Dengan mengevaluasi
secara menyeluruh kelemahan kurikulum
KTSP 2006 yang melibatkan ahli-ahli
pendidikan, yang dilakukan bertahun-tahun
membuat kurikulum baru yang disesuaikan
dengan kondisi saat ini.
Pendidikan
menurut
UndangUndang Sikdiknas no. 20 tahun 2003
pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan untuk mempersiapkan peserta
didik
melalui
kegiatan
bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan agar peserta
didik
tersebut
berperan
dalam
82
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kehidupannya. Berdasarkan pengertian di
atas terlihat bahwa seseorang yang
memposisikan dirinya sebagai pendidik
mempunyai
umur
lebih
tua
jika
dibandingkan dengan peserta didik. Dengan
demikian seseorang yang mempunyai usia
lebih muda berhak untuk mengajar peserta
didik yang usianya di atasnya karena
mempunyai kompetensi yang diinginkan
oleh lembaga pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya seperti
dinyatakan para ahli psikologi pendidikan
seperti Chaplin (1972), Tardif (1987), dan
Reber (1988), adalah pengembangan
potensi atau kemampuan menusia secara
menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan
dengan
cara
mengajarkan
berbagai
pengetahuan
dan
kecakapan
yang
dibutuhkan oleh manusia itu sendiri.
Menurut pendapat ahli di atas terlihat jelas
bahwa pendidikan merupakan suatu cara
atau kegiatan yang dilakukan untuk
mengembangkan potensi atau kemampuan
manusia yang pelaksanaannnya dilakukan
oleh manusia dalam hal ini guru atau dosen.
Secara etimologis, kata karakter
(Inggris: character) berasal dari bahasa
Yunani (Greek), yaitu charassein yang
berarti ―to engrave‖ (Ryan and Bohlin,
1999: 5). Kata ―to engrave‖ bisa
diterjemahkan
mengukir,
melukis,
memahatkan, atau menggoreskan (Echols
dan Shadily, 1987: 214). Berdasarkan arti
kata seperti yang disebutkan di atas bahwa
karakter adalah mengukir, melukis,
memahatkan, bahkan menggoreskan sesuatu
yang bersifat abstrak kepada diri seseorang.
Sifat baik yang sifatnya abstrak yang
diukirkan, dilukiskan, dipahatkan, serta
digoreskan kepada
seseorang harus
dilakukan oleh seorang yang benar-benar
profesional.
Kalau bukan seorang
profesional dikawatirkan hasil dari karyanya
malah akan merusak pemandangan yang
sudah ada.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia
kata ―karakter‖ diartikan dengan tabiat,
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan yang
lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti
huruf, angka, ruang, simbul khusus yang
dapat dimunculkan pada layar dengan papan
ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682).
Orang berkarakter berarti orang
yang berkepribadian, berperilaku, bersifat,
bertabiat, atau berwatak. Dengan makna
seperti ini berarti karakter identik dengan
kepribadian atau akhlak. Kepribadian
merupakan ciri atau karakteristik atau sifat
khas dari diri seseorang yang bersumber
dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya keluarga pada masa
kecil, dan juga bawaan sejak lahir
(Koesoema,
2007:
80).
Secara
terminologis, makna karakter dikemukakan
oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter
adalah ―A reliable inner disposition to
respond to situations in a morally good
way.” Selanjutnya Lickona menambahkan,
―Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral
feeling, and moral behavior‖ (Lickona,
1991: 51).
Menurut Lickona, karakter mulia
(good character) meliputi pengetahuan
tentang kebaikan, lalu menimbulkan
komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan
akhirnya benar-benar melakukan kebaikan.
Dengan kata lain, karakter mengacu kepada
serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap
(attitides), dan motivasi (motivations), serta
perilaku (behaviors) dan keterampilan
(skills).
Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa karakter identik dengan
akhlak, sehingga karakter merupakan nilainilai perilaku manusia yang universal yang
meliputi seluruh aktivitas manusia, baik
dalam
rangka
berhubungan
dengan
Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama
manusia, maupun dengan lingkungannya,
yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan,
perkataan,
dan
perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum,
83
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Dengan demikian karakter tersebut sangat
dibutuhkan oleh setiap orang untuk
berinteraksi dengan sesama, sehingga akan
tercipta suatu keselarasan, keseimbangan,
sikap saling menghormati antar sesama.
Dengan demikian seseorang yang
mempunyai
karakter
memiliki
kecenderungan mudah beradaptasi terhadap
lingkungan disekitarnya, bahkan akan
menjadi panutan dalam penanaman nilainilai karakter di daerahnya. Dengan sangat
pentingnya karakter maka muncul konsep
pendidikan karakter (character education).
Terminologi pendidikan karakter mulai
dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas
Lickona dianggap sebagai pengusungnya,
terutama ketika ia menulis buku yang
berjudul The Return of Character Education
dan kemudian disusul bukunya, Educating
for Character: How Our School Can Teach
Respect and Responsibility. Melalui
bukunya, ia menyadarkan dunia Barat akan
pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan
karakter menurut Lickona mengandung tiga
unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan
(knowing the good), mencintai kebaikan
(desiring the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991:
51).
Untuk
melengkapi
pengertian
tentang karakter ini akan dikemukakan juga
pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata
akhlak berasal dari bahasa Arab ―al-akhlaq‖
yang merupakan bentuk jamak dari kata ―alkhuluq‖ yang berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya‘qub,
1988: 11). Berdasarkan pegertian di atas
karakter identik dengan aklak setiap
individu. Aklak disini merupakan sifat baik
yang dimiliki oleh seseorang yang rutin
dilakukankannya, yang mempunyai efek
positif
bagi
lingkungan.
Dalam
mengajarkan pendidikan karakter tersebut
guru harus bisa memainkan 3 (tiga) peran
yaitu, pemberi perhatian, panutan, dan
sekaligus pembimbing bagi peserta didik.
Sedangkan secara terminologis,
akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang
mendorong ke arah melakukan perbuatan
dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah
pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu
Maskawaih.
Sedang
al-Ghazali
mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat
yang tetap pada jiwa yang daripadanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak membutuhkan kepada pikiran
(Rahmat Djatnika, 1996: 27). Dalam
khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia
kata yang setara maknanya dengan akhlak
adalah moral dan etika. Pada dasarnya
secara konseptual kata etika dan moral
mempunyai pengertian serupa, yakni samasama membicarakan perbuatan dan perilaku
manusia ditinjau dari sudut pandang nilai
baik dan buruk. Akan tetapi dalam
aplikasinya etika lebih bersifat teoritis
filosofis sebagai acuan untuk mengkaji
sistem nilai, sedang moral bersifat praktis
sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa‘id,
1986: 23-24).
Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
mengamanatkan
agar
pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang mengarah
kepada
peningkatan
keimanan
dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar
1945 jelas mengatur bahwa pendidikan
diarahkan
untuk
membimbing,
mengarahkan, dan mengajarkan kepada
anak didik untuk: pertama, keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
bukan hanya memeluk agama tetapi
menjadi insan yang bertaqwa yang
menjalankan dan mengaplikasikan di
kehidupan
kemasyarakatan;
kedua,
pendidikan ditujukan untuk membentuk
karakter peserta didik untuk memiliki
akhlak mulia; dan ketiga, mencerdaskan
84
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
anak didik dengan mengajarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui proses
pembelajaran yang efektif dan efisien.
Menteri
Pendidikan
Nasional
(MENDIKNAS) saat itu mengeluarkan
PERMENDIKNAS (Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional) tentang pendidikan
karakter. Ada 18 nilai budaya dan karakter
bangsa yang seharusnya ditanamkan pada
peserta didik. 18 nilai budaya dan karakter
bangsa itu mencakup jujur, religius,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai
prestasi,
bersahabat
(komunikatif),
cinta
damai,
gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab. PERMENDIKNAS di
atas jangan hanya sebagai pajangan saja
marilah diimplementasikan di lapangan
dengan penuh integritas yang tinggi
sehingga akan membuahkan hasil nyata.
Sehingga tidak akan kita jumpai bentukbentuk kekerasan, pemaksaan kehendak,
keputusan didasarkan pada suara terbanyak,
sehingga yang kawannya banyak walaupun
salah akan menang dalam forum diskusi.
Pendidikan karakter tidak sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana
yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu
pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik sehingga
peserta didik paham, mampu merasakan,
dan mau melakukan yang baik. Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan yang Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan
dan bangsa serta negaranya. Pendidikan ini
tidak menyulap anak didik menjadi pintar
saja, melainkan juga membentuk pribadi
yang baik pada diri anak didik tersebut.
Keberhasilan
dari
pendidikan
karakter ini dapat diketahui melalui
pencapaian indikator yang telah ditentukan
oleh masing-masing sekolah bersama
dengan peserta didik yaitu terlihat jelas
pada tingkah laku anak didiknya seperti
terjadi peningkatan tanggung jawab,
disiplin, menghargai pendapat orang lain,
senang bekerjasama, cinta kasih, suka
menolong, kesederhanaan dan kejujuran
yang semakin meningkat. Keberhasilan
lainnya juga terdapat pada tataran sekolah
guru, dosen, dan petugas sekolah semakin
tingginya akhlaknya, sehingga akan
semakin menjadi teladan bagi peserta
didiknya. Selain itu terbentuknya pada
budaya sekolah yaitu perilaku yang luhur,
tradisi, dan kebiasaan keseharian yang
selalu mengedepankan akhlak mulia.
Dengan
demikian
pendidikan
karakter ini membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan
moral.
Pendidikan
karakter
harus
ditempatkan pada posisii yang sama dengan
pendidikan pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian pendidikan karakter harus
mendapatkan penilaian yang sama dan
jangan hanya sebagai pelengkap saja.
Selain fungsi di atas guru harus
memahami makna filosofi dalam ajaran Ki
Hadjar Dewantara yang sangat populer
yaitu Tut Wuri Handayani.
Mengenai
makna dari Tut Wuri
belakng, dan
handayani memberikan dorongan, motivasi
dan semangat kepada peserta didik agar
menjadi insang yang mulia, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
merupakan pribadi-pribadi yang luhur yang
bekerja dengan hatinya.
Ing Ngarso Sung Tulado, seorang
guru an dosen harus selalu berada di garis
terdepan harus bisa memberikan contoh,
dan suri tauladan yang baik bagi muridnya.
Ing Madya Mangun Karso, seorang guru
harus senantiasa untuk memperbaiki
perilaku, mampu melaksanakan nilai-nilai
budaya, mampu memecahkan masalah
bukan untuk membuat suatu persoalan baru,
komitmen untuk mencerdaskan muridnya,
dan mengutamakan kepentingan masyarakat
atau umum. Tut Wuri Handayani: seorang
Guru dan Dosen harus selalu berada di
tengah muridnya dalam rangka memberi
85
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
motivasi, semangat, dan stimulus atau
penghargaan bagi yang berprestasi.
Pendidikan
karakter
bukanlah
sebuah mata pelajaran tambahan oleh
karena iu harus dimasukkan dalam
pembelajaran jangan disisipkan dalam
pengajaran ilmu pengetahuan. Hal ini akan
berdampak bahwa pendidikan karakter
hanya sebuah sisipan pelajaran dengan
demikian jangan mengharapkan karakter
anak akan terjadi peningkatan. Oleh karena
itu kita sebagai dosen harus mengajarkan
karakter pada mahasiswa dan harus
mendapatkan penilaian tersendiri yang akan
mempengaruhi nilai akhir mata kuliah,
berarti harus normatif dan disampaikan
pada awal kuliah.
Nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa tersebut yang akan diintegrasikan
kepada siswa melalui mata pelajaran yang
disampaikan oleh guru harus melalui
identifikasi yang harus terdapat pada mata
pelajaran yang diampu. Maka dari itu, guru
harus mampu merancang RPP (Rencana
Pelaksanaan
Pembelajaran)
berbasis
karakter, Silabus berbasis karakter, dan
bahan ajar berbasis karakter. Dengan
demikian peran guru sangat luar biasa
dalam merancang, merencanakan, dan
pembelajaran yang berbasis karakter,
dengan diberlakukannnya kurikulum 2013
yang memangkas kewenangan guru dalam
merencanakan pembelajaran yang berbasis
karakter akan membawa dampak yang
kurang baik bagi pendidikan karakter.
Pendidikan karakter bertujuan untuk
masa depan bangsa Indonesia yang telah
kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang
santun, ramah dan berbudi pekerti yang
luhur. Dewasa ini bangsa kita telah keluar
dari jati diri tersebut menjadi bangsa yang
beringas, terkorup nomer 3 di dunia, tingkat
kriminalitas yang tinggi, dan moral yang
sangat rendah. Dengan fenomena tersebut
seharusnya
menjadi
warning
bagi
Mendikbud untuk lebih serius dalam
penanganan karakter bangsa. Kementrian
pendidikan dan Kebudayaan harus benarbenar di isi oleh orang-orang pilihan dengan
karakter yang luar biasa sehingga akan
menghasilkan suatu putusan yang luar biasa
dalam rangka untuk mengembalikan jatidiri
bangsa yang telah hilang dari bumi
Indonesia.
Pendidikan
jangan
dicampuradukan dengan dunia politik. Hal
ini akan memperparah pendidikan di
Indonesia yang seakan-akan tidak terusus
kenyataannya
diurus
dengan
mengalokasikan anggaran 20 % dari APBN.
Kriminalitas yang tinggi setiap
harinya, kerusakan lingkungan akibat ulah
tangan manusia, kehidupan ekonomi
masyarakat yang konsumtif, masyarakat
senang kepada budaya yang instan, dan
kehidupan politik yang tidak lagi produktif
cenderung keluar dari etika politik yang
bersih, jujur, berwibawa, dan bermartabat.
Penyebabnya karena disorientasi dan belum
dihayatinya
Nilai-Nilai
Pancasila,
pergeseran nilai etika dalam semangat
nasionalisme
dan
patriotisme, serta
pudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai
budaya bangsa. Suksesnya pendidikan
karakter ini nanti akan berdampak kepada
bangsa sendiri, akan menjadikan bangsa
yang kuat dan berwibawa. Demi kelancaran
program pemerintah khususnya bidang
pendidikan karakter ini, diperlukan kerja
sama dari semua pihak untuk suksesnya
program ini, baik dari tenaga fungsional
maupun struktural.
Membangun budaya sekolah inilah
yang butuh keterlibatan semua warga
sekolah dalam pembelajaran karakter.
Keterlibatan semua warga sekolah dalam
perawatan, pemanfaatan, pemeliharaan
sarana dan prasarana pembelajaran serta
lingkungan sekolah. Nilai-nilai pra-kondisi
sebagai pembentuk pendidikan karakter ini
juga mesti diperhatikan. Nilai nilai
prakondisi tersebut seperti nilai keagamaan,
budaya sekolah, pengembangan proses
pembelajaran, dan identifikasi nilai budaya
dan karakter bangsa.
86
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pendidikan karakter anak usia dini
(masa golden age) diperlukan dikarenakan
saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami
krisis karakter pada diri anak bangsa. Oleh
karena itu diperlukan suatu tindakan nyata
di lapangan dalam merealisasikan pndidikan
karakter pada anak usia emas yaitu pada
anak yang sekolah di PAUD. Pendidikan
karakter inilah diharapkan lahirnya generasi
bangsa yang tumbuh dan berkembang
dengan karakter yang bernafaskan nilainilai luhur bangsa serta agama.
Attitude (dalam bahasa Inggris)
berarti sikap dalam bahasa Indonesia.
Attitude terus berkerut, krisis moral dan
akhlak yang terjadi berkepanjangan. Subjek
dari krisis tersebut adalah manusianya
(generasinya). Setiap generasi memiliki
tanggung jawab atas zamannya. Maka dari
itu, salah satu usaha di bidang pendidikan
dengan dicanangkan pendidikan karakter.
Beberapa tahun terakhir pendidikan karakter
mulai membuming. Ini semua dilakukan,
sebagai
salah
satu
upaya
dalam
mengembalikan moralitas bangsa. Nilainilai budaya dan karakter bangsa tersebut
akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
hingga tercapai dari tujuan pendidikan
karakter itu sendiri, siswa tidak hanya
pintar
melainkan
juga
berkarakter
(berkepribadian yang baik). Diharapkan
dengan adanya pendidikan karakter ini
dapat membantu dalam mengembalikan
sejatinya moralitas bangsa secara bertahap.
Akan lahir generasi-generasi yang mampu
menempatkan hak dan kewajiban sesuai
dengan tempatnya. Berkurangnya atau
bahkan tidak ada lagi kasus korupsi yang
dilakukan sendiri maupun secara berjamaah
terjadi yang dipertontonkan di media setiap
harinya. Nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa tersebut akan diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran hingga tercapai dari
tujuan pendidikan karakter itu sendiri,
siswa tidak hanya pintar melainkan juga
berkarakter (berakhlak yang baik)
Selain faktor tersebut di atas kita lihat
bahwa terdapat suatu ketimpangan yang
sangat mencolok antara fasilitas pendidikan
di sekolah-sekolah perkotaan yang dekat
dengan
kekuasaan
akan
senantiasa
mendapatkan fasilitas yang berlebih jika
dibandingkan dengan sekolah-sekolah di
pelosok. Ini mengambil contoh dilapangan
untuk pelaksanaan ujian Nasional dimana
bahasa
Inggris
yang
menggunakan
Listening, bagi daerah kota yang sudah
terdapat laboratorium dan ruang kelasnya
audionya lebih modern akan berpengaruh
terdapat kemampuan bahasa Inggris siswa
khususnya listening. Pada kurikulum 2013
bahasa Inggris tidak diajarkan di tingkat SD
hal ini akan berdampak pada kemampuan
lulusan Indonesia tidak dapat bersaing
dengan tenaga-tenaga asing.
Dengan demikian kurikulum 2013
sangat tidak efektif untuk segera diterapkan
karena tidak mengadopsi kepentingan
bangsa yang lebih luas yaitu bagaimana
mengurangi tingkat korupsi, menumbuhkan
moralitas yang tinggi kepada masyarakat,
pemerintahan, dan legislator. Kesemuanya
bermuara pada bagaimana pemerintah serius
dalam
merencanakan,
dan
menyelenggarakan Sistem Pendidikan yang
berorientasi
Sumber
Daya
manusia
Indonesia seperti yang telah diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945.
C. PERAN GURU DAN DOSEN
DALAM MENYIKAPI
PELAKSANAAN KURIKULUM
2013.
Sebelum kita membahas lebih jauh
marilah kita baca Undang-Undang nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yaitu manusia terdidik yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha esa, berakhlak Mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Seharusnya dalam pelaksanaannya
di lapangan harus terintegrasi sehingga
87
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
setelah 9 tahun berjalan undang-undang
tersebut
harus
terlihat
hasilnya.
Kenyataannya Indonesia berdasarkan hasil
Studi PISA (Program for International
Student Assesment) menunjukkan peringkat
Indonesia 10 terbawah dari 65 Negara.
Dengan demikian peraturan, kebijakan yang
dibuat seolah-olah tidak perlu dilaksanakan
tapi perlu dilanggar. Melihat kondisi yang
seperti ini kita kadang-kadang miris
terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.
Oleh karenanya memerlukan suatu energi
yang luar biasa untuk merubah pendidikan
Nasional sehingga proses yangtelah
dilakukan
bertahun-tahun
yang
membutuhkan anggaran yang luar biasa
akan menghasilkan suatu masyarakat eperti
yang tertuang dalam Undang-undang dasar
1945. Para pendiri bangsa dengan susah
banyak membuat Undang-undang dasar
sebagai acuan generasi penerusnya dalam
membangun Sistem Pendidikan yang
berkualitas menuju cita-cita nasional.
Kalau
kita
melihat
akan
diberlakukannnya
kurkulum
2013
kadangkala kita tertawa, apakah pendidikan
kita sebagai panggung drama, ketoprak atau
pertunjukan lainnnya, sehingga ada orang
yangbtertawa, sedih, bahkan bahagia pada
saat diberlakukannya Kurikulum 2013
tersebut. Sedangkan menurut Ketua Dewan
Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) Wuryadi terdapat kelemahan dalam
kurikulum 2013, yaitu bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional karena
penekanan pengembangan kurikulum hanya
didasarkan pada orientasi pragmatis. Selain
itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada
evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
sehingga dalam pelaksanaannya bisa
membingungkan guru dan pemangku
pendidikan.
Apalagi di dalam Kurikulum 2013,
pemerintah melihat semua guru dan siswa
memiliki kapasitas yang sama baik sekolah
di pedesaan maupun di perkotaan, walaupun
kenyataannya sangat berbeda dimana
kualitas guru, sarana dan siswa di sekolah
perkotaan lebih baik. Selain itu juga, guru
juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam
proses pengembangan kurikulum 2013.
Padahal kurikulum menunjukkan inti usaha
reformasi pendidikan dan penekanannya
pada arti penting kualitas belajar
dibandingkan kuantitas belajar. Dengan
demikian kualitas pembelajaran harus
ditingkatkan berdasarkan kondisi tekstual
dan kontekstual di satuan pendidikan
masing-masing.
Sebetlnya kurikulum
KTSP
dulu
sudah
bagus
perlu
penyempurnaan sehingga akan terjadi suatu
kesinambungan sistem yang berdampak
pada kelancaran proses menuju reformasi
pendidikan.
Guru atau dosen merupakan salah
satu profesi yang memegang peranan yang
sangat tinggi dalam rangka meningkatkan
sumber daya manusia. Untuk itu diperlukan
guru yang profesional, bukan guru yang
kelihatan profesional yang hanya dilihat
dalam bentuk portofolio saja, melainkan
guru atau dosen yang kualitasnya diakui
oleh anak didiknya atau mahasiswa sebagai
pendidik bukan penilaian dari yang lainnya.
Guru yang profesional merupakan guru
yang mempunyai empat kompetensi dan
kualifikasi yang telah dipersyaratkan
sebagai guru yang profesional.
Untuk itu guru harus dapat menjadi
contoh bagi peserta didik, karena pada
dasarnya guru adalah representasi dari
sekelompok orang pada suatu komunitas
atau masyarakat yang diharapkan dapat
menjadi teladan dan panutan bagi peserta
didik. Menurut hamzah Umno (2007: 17)
seorang guru sangat berpengaruh terhadap
hasil belajar peserta diidik, untuk itu ia
seharusnya dapat selalu meningkatkan
wawasan pengetahuan akademis dan praktis
melalui jalur pendidikan berjenjang.
Dengan
senantiasi
memperbaharui
pengetahuan baik di bidang ilmu
88
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pengetahuan
dan
teknologi
juga
meningkatkan karakter pribadi agar
nantinya dapat dijadikan panutan peserta
didiknya.
Sebagai contohnya: guru
menginginkan anak didiknya mempunyai
perilaku, sopan-santun sedangkan banyak
guru yang tidak berperilaku yang tidak baik,
guru menyuruh anak didiknya untuk
menulis sedangkan gurunya tidak ada karya
tulis.
Dengan demikian Guru dan Dosen
jangan sampai menyalahkan sistem yang
ada salahkanlah diri kita karena yang
terlibat dalam pendidikan, Ubahlah niat kita
untuk mengabdi pada Nusa Bangsa dan
Negara, dan yakinlah bahwa Tuhan Yang
Maha Esa akan selalu menolong hambanya
yang berjalan membela kebenaran, dan
menebarkan kebenaran di muka bumi. Oleh
karena itu marilah kita mencoba untuk
memperbaiki niat kita untuk mengabdi pada
dunia pedidikan demi terciptaya generasi
emas yang nantinya dapat membawa
perubahan bangsa kearah yang luar biasa
dengan mengembalikan jati diri bangsa
sebagai bangsa yang bermartabat, sopan
santun, dan moralitas yang tinggi. .
Dengan tantangan yang sangat luar
biasa beratnya baik dari dalam negeri
maupun dari negara-negara luar negeri pada
masa globalisasi,
sehingga diperlukan
sosok-sosok pendidik yang profesional yang
mempunyai niat yang btulus untuk
meningkatkan kemampuan pesrta didik baik
dari segi: kognitif (pengetahuan), Afektif
(sikap), dan psikomotorik hasil atau karya.
Pendidik
yang
profesioanal
harus
mempunyai empat kompetensi yaitu
kompetensi
pedagogik,
profesional,
kepribadian, dan sosial, serta mempunyai
kualifikasi sebagai sarjana pendidikan.
Pendidik
yang
profesional
tersebut
diharapkan dapat menghasilkan lulusan baik
tingkat SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi
menjadi pribadi-pribadi yang pandai, ulet,
sabar, jujur, tangguh, bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, serta berbudaya
yang dapat menghadapi tantangan dalam
kehidupan yang semakin berat. Pribadipribadi yang tangguh tersebut diharapkan
sebagai generasi penerus yang mandiri,
berjiwa wirausaha, mempunyai komitmen
tinggi dalam pembangunan bangsa dan
negara demi kemajuan dan kesejahteraan
seperti yang telah dirumuskan oleh pendiri
negara ini. Untuk menghasilkan pendidik
yang
profesional
tidak
semudah
membalikkan telapak tangan, diperlukan
suatu kerja keras pantang mundur, mulai
dari proses pendidikannya, perekutannya,
dan pembinaan guru yang dilakukan dengan
niat yang tulus, kesungguhan, serta
tanggung jawab..
Kita sadar bahwa anak-anak didik
kita sudah banyak keluar dari kaidah-kaidah
pendidikan di mana tawuran antar pelajar
sudah menjadi tradisi, sekolah merupakan
kegiatan rutinitas hanya sekedar mencari
ijazah yang hanya mengakui kemampuan
kognitif saja tanpa menyentuh dua
kemampuan lainnya yaitu afektif dan
psikomotorik.
Sekolah
berusaha
semaksimal mungkin agar nilai-nilai
ebtanas
tinggi
dengan
diadakannya
bimbingan tes sehingga banyak lembagalembaga bimbingan yang menjamur karena
permintaan pasar yang tinggi. Dengan
mengejar nilai ebtanas. Banyak lembaga
sekolah yang mengajri anak didiknya
berbuat curang
Dengan kondisi yang seperti pada
uraian di atas maka kita jangan saling
menyalahkan marilah kita yang terlbat
dalam dunia pendidikan mulai intropeksi
diri masing-masing, kita sebagai guru
apakah kita sudah menjadi guru yang baik,
kita menjadi dosen apakah sudah menjadi
dosen yang baik, kita menjadi siswa apakah
telah menjadi siswa yang baik, kita sebagai
pembuat kebijakan apakah kita telah
membuat kebijakan yang baik, kita sebagai
wali murid apakah sudah menjadi wli murid
yang baik, marilah kita mulai dari diri kita
masing-masing.
89
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Anak-anak didik diajarkan dengan
hanya mengerjakan soal-soal yang akan
diajarkan pada saat ebtanas, ujian masuk
Perguuan tinggi, maupun test CPNS.
Dengan adanya kegiatan yang hanya
mementingkan kemampuan kognitif maka
akan timbul generasi penerus yang
mempunyai karakter lemah. Jika mereka
kelak sudah dewasa sukanya yang instan
tidak mau berproses tapi menghasilkan uang
yang banyak, sehingga praktek-praktek
curang selalu dijadikan kegiatan mereka.
Hal ini akan semakin memperburuk nilainilai karakter yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran yang kurang baik. Pendidikan
karakter
harus
direncanakan
dan
dilaksanakan secara terpadu dan holistik
sehingga mutu lulusannya akan mempunyai
karakter yang luar biasa.
Seorang guru dan dosen yang
berhadapan langsung dengan peserta didik
dan
mahasiswa
dimana
proses
pembelajarannya
harus
menggunakan
metode pembelajaran yang mencakup aspek
kognitif,
afektif,
dan
psikomotorik.
Pekerjaan siswa dihargai mulai dari proses,
dan bagaimana siswa mengaplikasikan ilmu
yang didapatkan dari pelajaran di kelas.
Sistem evaluasi yang disusun seharusnya
mengevaluasi aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik peserta didik, atau mahasiswa.
Sehingga siswa yang bertindak curang akan
kelihatan yang pada akhirnya akan
membentuk pribadi-pribadi yang tekun,
ulet, disiplin, jujur, dan memilki tanggung
jawab.
Dengan kondisi yang demikian ini
peserta didik akan menjadi pribadi-pribadi
yang kuat mentalnya, sehingga jika telah
deasa akan menjadi pribadi yang mandiri,
bertanggungjawab, bertaqwa Kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan jujur. Seharusnya
evaluasi untuk penentuan nilai siswa harus
menggabungkan kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotorik siswa yang
diharapkan siswa akan termotivasi dan
merasa nyaman yang berakibat pada
peningkatan prestasi di sekolah maupun.
Ironi sekali jika anak-anak didik
yang merupakan hasil dari proses
pendidikan kita yang salah urus walaupun
kelihatannya sudah benar menduduki
jabatan-jabatan strategis maka yang
dilakukannya hanya untuk melindungi dan
memperkaya kelompok atau golongannya
tanpa berpikir bahwa negara ini merupakan
hasil perjuangan kita bersama oleh karena
itu semua kegiatan ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat.
Manurut Hamzah Umno (2012: 42)
jabatan guru adalah jabatan profesional,
untuk itu guru harus bekerja secara
profesional.
Bekerja sebagai seorang
profesional berarti bekerja dengan keahlian
hanya dapat diperoleh melalui pendidikan
khusus yaitu pendidikan keguruan dan ilmu
pengetahuan.
Keahlian dalam bidang
pendidikan dengan telah didapatkan
sertifikat mengajar atau akta mengajar maka
guru berhak untuk melaksanakan proses
belajar mengajar di sekolah. Kenyataannya
jika berasal dari jurusan sarjana non
kependidikan walaupun sudah punya akta
mengajar,
seharusnya
lebih banyak
melakukan praktek mengajar baik di
lembaga formal maupun non-formal.
Selain peran di atas guru merupakan
seorang publik figur yang mulia dan
dimuliakan oleh masyarakat. Kehadiran
guru ditengah-tengah masyarakat yang
merupakan pengayom dan dapat membantu
masyarakat dalam memecahkan persoalan
di tengah masyarakat. Guru menjadi sosok
yang ditiru dan diteladani tingkah laku di
masyarakat. Hal ini berlaku sejak jaman
sebelum Masehi, dimana dengan adanya
guru manusia akan berkembang kearah
yang lebih baik dan maju, dan norma.
budaya, dan agama berkembang disesuaikan
dengan kemampuan guru. Guru di daerah
diibaratkan sosoknya sebagai seorang yang
serba bisa yang dapat menjawab setiap
persoalan yang timbul dimasyarakat. Pak
90
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
guru dan bu Guru harus selalu siap sedia
tenaganya untuk membantu masyarakat di
Desa baik untuk menjadi panitia-panitia
setiap event di Desa maupun anggota
lembaga di desa. Namun kenyataannya
sekarang ini sangat sulit untuk mengajak
guru dalam kepanitiaan di desa dengan
alasan kesibukannya atau alasan lainnya.
Guru merupakan orang pertama
yang mencerdaskan manusia, dimana peran
guru memberikan bekal pengetahuan,
pengalaman, dan menanamkan nilai-nilai,
budaya dan agama terhadap anak didik,
dalam proses pendidikan. Dengan adanya
guru terdapat sebuah peradaban manusia
yang dicatat dan dituliskan dalam bentuk
prasasti, dimana peran guru dalam
perkembangan peradaban manusia sangat
luar biasa. Sulit dibayangkan tanpa adanya
guru maka peradapan manusia masih dalam
taraf yang kuno dimana hukum alam masih
berlaku. Tetapi berkat guru maka ilmu
pengetahuan akan semakin berkembang
menuju kesejahteraan umat manusia.
Guru
merupakan
jabatan
professional yang memerlukan berbagai
keahlian khusus. Sebagai suatu profesi,
maka harus memenuhi kriteria professional
sebagai berikut: pertama, fisik maksudnya
adalah guru harus sehat jasmani dan rohani,
tidak mempunyai cacat tubuh yang dapat
menimbulkan cemoohan atau rasa kasihan
dari peserta didik; kedua, mental atau
kepribadian, maksudnya adalah guru
memiliki kepribadian yang baik; mencintai
bangsa dan sesama manusia serta rasa kasih
saying kepada peserta didik; berbudi pekerti
yang luhur; berjiwa kreatif; mampu
menyuburkan sikap demokrasi dan penuh
tenggang rasa; mampu mengembangkan
kecerdasan yang tinggi; bersikap terbuka,
peka, dan inovatif; menunjukkan rasa cinta
kepada profesinya; taat kepada disiplin; dan
memiliki sense of humor; ketiga,
keilmiahan atau pengetahuan, maksudnya
adalah guru harus memahami ilmu
pendidikan dan keguruan dan mampu
menerapkannya dalam tugasnya sebagai
pendidik; keempat, memahami, menguasai,
dan mencintai ilmu pengetahuan yang
diajarkan; kelima, memiliki pengetahuan
yang cukup tentang bidang-bidang yang
lain; senang membaca buku-buku yang
ilmiah;
Keenam, mampu memecahkan
persoalan secara sistematis; dan ketujuh,
memahami prinsip-prinsip pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan di atas,
prinsip-prinsip profesionalitas guru dan
dosen harus menguasai berbagai aspek
keguruan dan disiplin ilmu harus dimiliki.
Oleh karena itu, guru perlu ditempa
kepribadiannya dan diasah penguasaan
materinya sehingga menjadi tenaga yang
professional. Yang paling penting yang
mengambil kebijakan di Kementerian
Pendidikan nasional mengetahui secara
menyeluruh dan holistik kekurangan sistem
Pendidikan
di
Indonesia
sehingga
kebijakannya selalu untuk memperbaiki
kualitas pendidikan, jangan kebijakan yang
hanya coba-coba yang akan dikorbankan
adalah guru, dosen, masyarakat, dan bangsa
Indonesia, yang harus kelihatan hasilnya
setelah kebijakan tersebut berjalan. Oleh
karena jadilah guru dan dosen yang
profesional yang bekerja dengan hati, bukan
berdasarkan kekuasaan maupun hasrat
duniawi yang semu ini.
Berdasarkan uraian di atas maka
sikap kita sebagai guru dan dosen dalam
menanggapi kurikulum 2013 marilah kita
koreksi kurikulum 2013 dengan duduk
bersama antara pihak-pihak yang terlibat di
dalam proses Pendidikan nasional untuk
merumuskan
suatu
kebijaksanaan
Pendidikan Nasional yang bukan coba-coba
tapi nyata menghasilkan suatu perubahan
yaitu eningkatan kualitas lulusan baik
tingkat
SD/Mi,
SMP/MTsN,
SMA/Ma/SMK, dan Perguruan Tinggi,
dengan menjadi manusia yang cerdas,
berilmu, berakhlak mulia, dan bertaqwa
kepa Tuhan Yang Maha Esa.
91
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pengetahuan dan teknologi karena nilainilai karakter pada anak usia 17 tahun
tidak mudah untuk dirubah, oleh karena
itu marilah kita yang terlibat dalam
dunia pendidikan sungguh-sungguh
untuk mengajarkan nilai-nilai budi
pekerti yang luhur.
6. Jadilah guru dan dosen yang
profesional yang bekerja dengan hati,
bukan berdasarkan kekuasaan maupun
hasrat Duniawi yang semu ini. Seorang
Guru harus memahami filosofi dari Ki
Hadjar Dewantara yaitu:
a. Ing Ngarso Sung Tulado, seorang
guru yang berada di garis terdepan
harus bisa memberikan contoh, dan
suri tauladan yang baik bagi
masyarakat dan anak didiknya.
b. Ing Madya Mangun Karso, seorang
guru harus senantiasa untuk
memperbaiki perilaku, mampu
melaksanakan nilai-nilai budaya,
mampu memecahkan masalah
bukan untuk membuat suatu
persoalan baru, komitmen untuk
mencerdaskan peserda didiknya
dan
selalu
mengutamakan
kepentingan
masyarakat
atau
umum.
c. Tut Wuri Handayani: seorang guru
harus selalu berada di tengah
peserta didik dalam rangka
memberi motivasi, semangat, dan
stimulus atau penghargaan bagi
peserta didik yang berprestasi.
D. KESIMPULAN
1. Pendidikan di Indonesia akan maju
sangat tergantung kepada unsur yang
terlibat dalam Pendidikan di Indonesia
harus punya Integritas yang tinggi
dalam rangka memperbaiki sistem,
struktur, dan proses politik yang korup.
2. kebijaksanaan Pendidikan Nasional
yang bukan coba-coba tapi nyata
menghasilkan suatu perubahan yaitu
eningkatan kualitas lulusan baik tingkat
SD/Mi, SMP/MTsN, SMA/Ma/SMK,
dan Perguruan Tinggi, dengan menjadi
manusia
yang
cerdas,
berilmu,
berakhlak mulia, dan bertaqwa kepa
Tuhan Yang Maha Esa.
3. Semua yang terlibat di dunia
pendidikan harus saling intropeksi diri
dan mengakui kesalahannya, untuk
membuat suatu perubahan yang akan
mendorong terwujudnya satu sistem
pendidikan nasional yang mengarah
kepada peningkatan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Pendidikan karakter harus dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh karena telah
lunturnya nilai-nilai keluhuran budi
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Sehingga nilai luhur bangsa akan
semakin menipis berdampak pada
Nilai-nilai karakter peserta didik.
5. Pendidikan karakter harus dilaksanakan
sebelum siswa di ajarkan ilmu
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20. Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika.
Hanzah, Umno. 2007. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan ReformasiPendidikan
di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Darmiyati Z, Zuhdan; dan Muhsinatun. 2011. Pengembangan Model Pendidikan Karakter
Dengan Pendekatan Komprehensif, Terpadu Dalampembelajaran Bahasa
Indonesia, Ipa, Dan Ips Di Sekolah Dasar. Diunduh 02. mar, 2011 by staf_lppm
92
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1987). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Cet. XV.
Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
Hamzah, Ya‘qub. (1988). Etika Islam: Pembinaan
Pengantar).Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV
Akhlaqulkarimah
(Suatu
Kevin Ryan & Karen E. Bohlin. (1999). Building Character in Schools: Practical Ways to
Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect
and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books
Muka Sa‘id. (1986). Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa. Cet. I.
Rachmat Djatnika. (1996). Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Jakarta: Pustaka
Panjimas.
93
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
94
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH
Nur Ahyani
Email: nurahyani63@gmail .com
ABSTRAK
Permasalahan pembelajaran sejarah yang ada saat ini sangat beragam
antara lain kurangnya kemampuan berfikir kritis dalam proses pembelajaran
sejarah. Hal ini berakibat pembelajaran sejarah menjadi membosankan dan tidak
menarik. Untuk memecahkan masalah pembelajaran sejarah, guru merupakan
salah satu komponen yang diandalkan karena guru sejarah sebagai ujung tombak
yang langsung berhadapan dengan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam
proses pembelajaran sejarah guru sebaiknya menggunakan pendekatan
konstruktivisme dalam rangka melatih keterampilan berfikir kritis siswa. Di
samping itu guru juga dapat menggunakan model pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik, misi dan tujuan pembelajaran sejarah, seperti model
pembelajaran kooperatif. Dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keterampilan social dan
kemampuan berfikir kritis, dan bekerjasama dengan orang lain.
Kata kunci: Kemampuan Berfikir, Pembelajaran Sejarah.
berfungsi mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang
bermanfaat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga yang
demokratis serta bertanggung jawab, maka
sampai saat ini kondisi pendidikan di
Indonesia belum memberikan hasil yang
memuasakan.
Memasuki abad 21 yang ditandai
dengan adanya perubahan mendasar dalam
segala aspek kehidupan, bangsa Indonesia
dihadapkan
pada
permasalahan
multidimensional dalam berbagai tatanan
kehidupan, yang bukan hanya berhubungan
dengan masalah ekonomi tetapi juga, social,
budaya, dan akhlak. Seperti diungkapkan
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan
upaya
terorganisir, berencana dan berlangsung
kontinu (sepanjang hayat) ke arah membina
manusia /peserta didik menjadi insane
paripurna, dewasa dan berbudaya. Di dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan nasional
No 20 Tahun 2003 digariskan bahwa,
pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasasna
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif.mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Jika dihubungkan dengan tujuan
pendidikan nasional yang tercantum dalam
UU No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 yang
menyatakan bahwa ―Pendidikan nasional
95
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
oleh Banks (1985) bahwa pendidikan IPS
harus
mampu
menjawab
tantangan
―perubahan dan ketidakpastian‖, dengan
mengembangkan IPS atas hasil analisis
yang mendalam terhadap manusia dan
masyarakat Indonesia serta berorientasi
pada nilai-nilai budaya lokan dan global.
Oleh karena itu pembelajaran IPS harus
dapat membekali siswa agar mampu
mengelola dan mengatasi perubahan dan
ketidakpstian tersesbut.
Menurut Barr, (1988), dalam
pendidikan IPS (P IPS) terdapat tiga tradisi
IPS, yaitu IPS sebagai, 1) citizenship
transmission, 2) social sciences, 3)
reflective inquiry. Pada tradisi pertama, P
IPS menanamkan pengetahuan, sikap, nilainoilai dan perilaku sesuai dengan nilai dan
norma serta budaya suatu bangsa. Pada
tradisi kedua, P IPS mengembangkan
kemampuan berfikir kritis sesuai dengan
konsep yang terkandung dalam ilmu-ilmu
sosial agar tanggap terhadap gejala-gejala
social yang terjadi dalam masyarakat.
Tradisi ketiga, P PIS mengembangkan
kemampuan analisis yang lebih luas dan
mendalam terhadap permasalahan factual
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
IPS merupakan perpaduan antara
konsep-konsep ilmu social (sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi, amtropologi,
dan tatanegara) dengan konsep pendidikan
yang dikaji secara sistematis, psikologis dan
fungsional
sesuai
dengan
tingkat
perkembangan anak didik (Wislley dalam
Herzberg, 1981). Kemudian menurut
Soemantri, (2001) karakteristik utama yang
menjadi jatidiri pendidikan IPS di Indonesia
adalah kerjasama ilmu pendidikan dengan
disiplin ilmu-ilmu social untuk tujuan
pendidikan.
Salah satu mata pelajaran yang
tergabung dalam IPS adalah mata pelajaran
sejarah. Kondisi pembelajaran sejarah di
beberapa
sekolah
masih
sangat
memprihatinkan, seperti diungkapkan dalam
hasil penelitian Murni (2000), ditemukan
adanya berbagai kondisi yang belum
menunjang keberhasilan IPS, khususnya
pelajaran sejarah antara lain disebabkan
profil guru sejarah, yaitu sebagian adanya
latar belakang pendidikan guru yang tidak
sesuai dengan mata pelajaran yang
diasuhnya, rendahnya tingkat kinerja guru
dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran,
dan
minimnya
sarana/prasarana yang tersedia, serta belum
optimalnya lembaga musyawarah guru
bidang studi yang ada.
Hasil
penelitian
lain
mengungkapkan bahwa guru cenderung
beranggapan bahwa sumber belajar
hanyalah buku cetak saja. Media informasi
yang berperan besar dalam membantu
menyampaikan informasi dan merangsang
perhatian/minat
siswa
justru
tidak
digunakan (Zainuri dan Suwoko, 1996).
Disamping itu Benyamin C Gregory (1988)
menemukan bahwa pengajaran sejarah
terpaku pada ceramah dan penggunaan buku
teks, akibatnya hal ini membawa
kemiskinan dalam pelaksanaan.
Dari
uraian
tentang
kondisi
kekurangan yang ada dalam pembelajaran
IPS, khususnya sejarah menunjukkan bahwa
pembelajaran yang konstruktivistik tidak
terlaksana.
Didalam
pendekatan
konstruktivisme, peserta didik ditempatkan
sebagai subjek, bukan objek pembelajaran.
Selain itu, peserta didik diberi kesempatan
untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru dari pengalaman yang
otentik dan bukan memproduksi ulang
pengetahuan.
B. SEJARAH DAN PEMBELAJARAN
SEJARAH
Kata sejarah, dalam bahasa Latin
disebut historia, bahasa Yunani, histori, dari
historein, to inquire, dan history, manusia
yang belajar (learned man). Kemudian
dalam
kamus
online
(http:/education.yahoo.com/reference/dictio
nary/entry?id, diakses 16-4-2013) beberapa
96
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pengertian sejarah, dalam bentuk kata
benda, diantaranya : A narrative of events; a
story (sebuah narasi dari peristiwaperistiwa, suatu cerita). A chronological
record of events (suatu catatan peristiwa
secara kronologis). A formal written
account of related natural phenomena: a
history of volcanoes (penjelasan secara
formal ditulis yang terkait dengan fenomena
alam: Misal sejarah gunung berapi). The
branch of knowledge that records and
analyzes past events (cabang ilmu yang
mencatat dan menganalisa kejadiankejadian masa lalu). The aggregate of past
events or human affairs: basic tools used
throughout history ( kumpulan keseluruhan
peristiwa-peristiwa masa lampau dari
kegiatan-kegiatan manusia). Something that
belongs to the past (sesuatu yang
merupakan milik (terkait dengan) masa
lampau.
Sedangkan makna yang berkembang
adalah sejarah yang diambil dari bahasa
Yunani kono, historia yang berarti belajar
dengan
cara
bertanya
(inquiry).
Perkembangan berikutnya dialihkan ke
bahasa Inggris, history, yang diartikan
sebagai sejarah.
Sedangkan
pengertian
sejarah
menurut Woolever dan Scoot (1988),
bahwa,‖sejarah adalah kajian tentang masa
lampau manusia, aktivitas manusia di
bidang politik, militer, social, agama, ilmu
pengetahuan dan hasil kreativitasnya (seni,
music, literature dan lainnya)‖.
Berkaitan
dengana
upaya
pemahaman dan perekrontruksian sejarah,
maka sejarah juga merupakan sebuah kajian
tentang peristiwa masa lalu yang tidak
pernah final dikarenakan tidak lengkapnya.
Sejarah sebagai suatu kajian tentang masa
lampau memberikan catatan-catatan yang
tidak lengkap. Seperti yang diungkapkan
oleh Lucy dan Mark O`hara (2001), ―…as
the study of everething that has happened,
which given the incomplete record
available, would inevitable be less than full
story but would still be extremely large and
complex”.
Pemahaman dan kajian tentang
sejarah terus berkembang, sejarah yang
semula hanya terbatas pada cerita masa lalu,
kemudian
masuk
kelompok
ilmu
pengetahuan, berkat jasa bapak sejarah
Herodotus. Oleh sebab itu sebagai suatu
kajian peristiwa manusia masa lalu, sejarah
sangat memerluka kemampuan berfikir
kritis sebagaimana diungkapkan oleh Mc
Neil (2000), bahwa, “ history knowledge is
no more and less than carefully and
critically constructed collective memory‖.
Hal itu bisa diartikan, pengetahuan sejarah
itu adalah koleksi ingatan yang dibangun
secara hati-hati dan kritis. Kemudian dapat
dikatakan
juga
bahwa
dalam
perekonstruksian peristiwa masa lampau
bukanlah dengan mengada-ada, tetapi
dengan metode ilmiah.
Alasan pentingnya sejarah untuk
dipelajari diungkapkan oleh Peter Stearns
(2000) bahwa, “… only throught studying
history can we graps how things change;
only trough history can we understand what
of an institutions or a society persist despite
change…”.
Bahkan
Fitzgerald
(2001)
mengungkapkan
bahwa
tanpa
kesinambungana masa lalu, masyarakat
akan bubar, runtuh termasuk juga fungsi
pemerintahan, hukum dan pendidikan.
Dikatakannya juga bahwa pengajaran masa
lalu adalah elemen pusat dalam semua
perkembangan atau kemajuan masyarakat
Berdasarkan beberapa pendapat
tersebut, maka tampak bahwa sejarah
memang harus dipelajari dan dipahami.
Menurut Sjamsuddin (1999), melalui
pelajaran sejarah siswa dapat memahami
dan mengapresiasikan peristiwa-peristiwa
sejarah itu sendiri.
Dengan mamahami manfaat belajar
sejarah, maka pelajaran sejarah diberikan
secara formal sejak pendidikan rendah,
hingga pendidikan tinggi sejak .Indonesia
97
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
merdeka
sampai
sekarang.
Sejarah
merupakan mata pelajaran wajib diberikan
kepada generasi muda, dari jenjang SD
hingga perguruan tinggi.
Di abad 21, pendidikan sejarah perlu
diperbaharui untuk menyiapkan generasi
muda yang dapat mengantisipasi dan
beradaptasi dengan masa depan, oleh karena
itu pembelajaran yang menekankan pada
hafalan fakta sudah tidak sesuai lagi, jadi
sudah harus menekankan pada aktivitas
siswa dengan keterampilan proses.
Kenyataan yang terjadi di lapangan,
pelajaran IPS, khususnya sejarah sering
dianggap sebagai pelajaran hafalan yang
membosankan. Pembelajaran ini dianggap
tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan
urutan peristiwa yang harus diingat
kemudian diungkap kembali saat menjawab
soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat
dipungkiri, karena masih terjadi sampai
sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama
ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan
membosankan. Menurut Anggara (2007)
berdasarkan cara pandang Pedagogy Kritis,
pembelajaran sejarah seperti ini dianggap
lebih banyak memenuhi hasrat dominan
group seperti rezim yang berkuasa,
kelompok elit, pengembang kurikulum dan
lain-lain, sehingga mengabaikan peran
siswa sebagai pelaku sejarah pada
jamannya.
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan
sejarah mempunyai fungsi sangat penting
dalam membentuk kepribadian bangsa,
kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Tetapi sampai saat ini
masih terus dipertanyakan keberhasilannya,
mengingat fenomena kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia khususnya generasi
muda makin diragukan eksistensinya.
Dengan kenyataan tersebut artinya ada
sesuatu yang harus dibenahi dalam
pelaksanaan pembelajaran sejarah (Alfian,
2007).
C. PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME
Proses pembelajaran paradigma baru
menuntut guru untuk menempatkan siswa
sebagai subjek dan bukan sebagai objek
pembelajaran. Menurut Haris (2006),
Penempatan
siswa
sebagai
subjek
pendidikan merupakan pandangan baru,
yang berbeda dengan pandangan paradigma
tradisional. Dikemukakannya juga bahwa
dalam pendidikan tradisional, pendidikan
dianggap
sebagai
proses
tranmisi
pengetahuan, fakta, atau kenyataan yang
ditemukan di masa-masa sebelumnya, dari
guru kepada siswa. Model pembelajaran
semacam itu sering disebut sebagai teachercentered learning model, karena proses
pembelajaran
berpusat
pada
guru,
sedangkan siswa bersikap pasif dan
menerima apa yang diajarka oleh guru.
Sejalan dengan pendapat tersebut,
Ahmad Sanusi (1998) menyatakan bahwa
belajar bukan hanya untuk memperoleh
pengetahuan,
informasi
tentang
fakta/konsep, tetapi lebih ditujukan untuk
memperdalam dan membangun pengertian
atau mengembangkan wawasan makna.
Bahkan Gerlach dan Ely (1980) menyatakan
bahwa belajar melibatkan keseluruhan diri
manusia, yang dibagi dalam tiga bagian
yaitu cognitive learning, psychomotor
learning dan affective learning. Cognitive
learning
adalah
upaya
mengingat,
mengenal,
mengetahui
pengetahuan
danpengembangan
kemampuan
dan
keterampilan
intelektual.
Sedangkan
psychomotor learning, adalah berhubungan
dengan area keterampilan motorik, dan
affective
learning
terkait
dengan
pengembangan minat, sikap, dan nilai-nilai
serta pengembangan rasa apresiasi.
Menurut Haris (2006), selain model
pembelajaran
tradisional,
berkembang
model-model pembelajaran progesif yang
bercirikan
keaktifan
siswa.
Model
pembelajaran progresif identik dengan
Active learning atau pembelajaran aktif,
98
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yang termasuk dalam kelompok ini adalah
antara lain Active learning, Integrated
learning,
Problem-based-learning,
Insependent Learning atau belajar bebas,
Selfmotivated Learning atau Belajar
Mandiri, Progressive Learning dengan
pendekatan
keterampilan
proses,
Pembelajaran PAMONG, dan Quantum
Learning. Model-model baru ini pada
umumnya
bersumber
pada
filsafat
pendidikan
eksperimentalisme
dan
eksistensialisme,
dengan
paradigm
pembelajaran konstruktivistik. Sementara
itu pengajaran yang mendasarkan pada
konstruktivisme menampilkan ketrampilan
berfikir kritis dan menciptakan suasana
siswa aktif dan penuh motivasi (Gray,
1997).
Adapun
perbandingan
antara
pendekatan pembelajaran tradisional dengan
pendekatan pembelajaran konstruktivisme
dapat dilihat pada table 1sebagai berikut.
Tabel 1. Perbandingan antara Pendekatan Pembelajaran Tradisional dengan Pendekatan
Pembelajaran Konstruktivisme
Traditional Pedagogy
Contructivist Approach
(Pengajaran Tradisional)
(Pendekatan Kontruktivisme)
Curriculum is presented part to whole, with
empahasis on basic skills (Kurikulum
disajikan dari bagian keseluruhan dengan
menekankan pada ketrampilan dasar
Curriculum is presented whole to part with
emphasis on big concept and questions
(Kurikulum disajikan dari keseluruhan ke
bagian, dengan menempatkan pada konsepkonsep besar dan pertanyaan-pertanyaan
atau masalah-masalah)
Strict adherence to fixed curriculum is Pursuits of students`question is highly
highly
valued
(Kaku,
menjalankan valued (Pertanyaan siswa sangat dinilai)
kurikulum yang berlaku)
Curricular activities rely heavily on
textbooks and workbooks (kegiatan
kurikuler bertumpu pada buku teks dan
buku kerja)
Curricular activities rely heavily on primary
sources of data and manipulated materials
(kegiatan kurikuler bertumpu pada sumber
data primer dan bahan-bahan yang
disiapkan)
Students are viewed as “blank states” onto
which the teacher etches information
(siswa dinilai sebagai kertas kosong)
Teacher generally behaves in a didactic
manner,
disseminating
authoritative
information to students (umumnya guru
berperan
sebagai
pemilik
otoritas
penyampaian informasi)
Students are viewed as thinkers with
emerging theories about the world ( siswa
dinilai sebagai pemikir)
Teacher generally behaves inan interactive
and mediating the environment (guru
umumnya berperan sebagai fasilitator,
mediator dalam kegiatan belajar)
Teacher seek the correct answer to validate Teacher seek students points of view and
student learning (Guru mencari jawaban understandings in order to develop
benar dari hasil belajar siswa)
subsequent lessons and questions (guru
mencari pandangan dan pemahaman siswa
dalam kaitannya dengan kegiatan belajar)
99
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Traditional Pedagogy
(Pengajaran Tradisional)
Contructivist Approach
(Pendekatan Kontruktivisme)
Assessment of student learning is separate
from teaching and occurs almost entirely
through “objective testing” ( penilaian
belajar siswa terpisah dengan pengajaran
dan terjadi hampir keseluruhan melalui tes
objektif))
Assessment is interwoven with and
reinforces teaching: it occurs through direct
observations
and
multiple,
varied
assignments, oral and written (penilaian
berkaitan dengan penguatan dan pengajaran,
melalui observasi, berbagai cara penilaian,
lisan dan tulisan)
Students primarily work alone (siswa Students often work and interact in various
bekerja sendiri)
groups (siswa sering bekerja dan
berinteraksi dalam berbagai kelompok)
Diadaptasi dari John Samsel dan
Darryl Wimberley, 1997. Writing for
Interactive media : The Comlete Guide.
Dalam Mark E Gabehart. 1997. “Teaching,
Learning and reform in Twenty-First 20002003. USA: Education Service Center.
Konstruktivisme dalam pendidikan
dikembangkan oleh Jean Piaget (1896) yang
disebut konstruktivisme kognitif (personal
constructivism), serta vygotsky (1896) yang
disebut konstruktivisme social (Suparno,
1997). Selanjutnya menurut Haris (2006),
dalam paradigm konstruktivisme, belajar
adalah proses mengintrnalisasi, membentuk
kembali,
atau
membentuk
baru
pengetahuan. Pembentukan pengetahuan
baru ini dengan menggunakan pengetahuan
yang sudah dimiliki. Pengetahuan dan
pengalaman yang lama digunakan untuk
menginterpretasikan informasi dan fakta
baru dari luar, sehingg tercipta pengetahuan
baru. Jadi pengalaman dan pengetahuan
menjadi semacam kacamata untuk melihat
sesuatu fakta baru.
Dalam proses pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivisme, tugas guru
bergeser
dari
menyampaikan
ilmu
pengetahuan kepada siswa ke merangsang
siswa untuk menggunakan apa yang telah
dimiliki, baik pengetahuan maupun
pengalamannya, agar dapat memahami dan
menginterpretasi
pengetahuan
dan
pengalaman belajar yang baru. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Steffe dan
Gale (1995), “from a didactic perspective, a
teacher is a presenter of knowledge. From a
discovery perspective, he or she is simply a
provider of experiences. In a contructivitist
approach, both these function are
combined”.
Kemudian hasil penelitian maypole
dan Davies (2001) yang berjudul, Students`
Perceptions of constructivism Learning in a
Community College American History II
Survey Course”, menemukan bahwa, (1)
siswa merasa lebih percaya diri dengan
pengetahuan dan kemampuan yang
dimilikinya untuk membangun intepretasi
sejarah berdasarkan pengetahuan yang telah
ada dan informasi yang baru didapatnya, (2)
siswa mendapatkan kesempatan mengkaji
bukti-bukti
sejarah
dalam
berbagai
multiperspektif
untuk
membangun
gambaran beasr, dari kompleksitas peristiwa
sejarah,
(3)
siswa
merasa
lebih
menyenangkan dan mudah memahami
dengan diberikan otonomi, kebebasan
dalam memecahkan masalah, (4) siswa
merasa mendapatkan hasil belajar lebih,
karena penggunaan primary sources yang
konsisten dengan hakekat constructivisme.
Para siswa terdorong untuk berfikir kritis,
analisis, sintesis dan evaluasi terhadap
sumber-sumber tersebut dan membangun
pengetahuannya sendiri, (5) kemampuan
berfikir kritis siswa menjadi berkembang,
(6) siswa merasa senang dan termotivasi
dalam melakukan tugas sejarah lisan, (7)
100
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
siswa merasakan pembelajaran dengan
bentuk cooperative atau collaborative
learning
(salah
satu
komponen
constructivisme) sangat menyenangkan dan
memberikan kesempatan mengembangkan
kemampuan komunikasi/presentasi, (8)
meningkatkan rasa ingin tahu siswa atas
suatu
topic/peristiwa
sejarah,
(9)
ketercapaian siswa atas materi tidak jatuh,
atau rendah disbanding metode tradisional,
(10)
kelas
yang
menggunakan
konstructivisme menuntut keterlibatan
siswa yang tinggi dan berfikir kritis.
D. KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS
Menurut Raths (1986) berfikir
adalah salah satu cara menemukan faktafakta untuk suatu tujuan. Kemampuan
berfikir kritis menduduki tempat yang
penting dalam menjalani kehidupan sebagai
individu,
anggota
masyarakat
dan
warganegara.Dalam hal ini, Lawson (1980)
menyatakan bahwa ―effective citizenship‖
tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa
kemampuan berfikir. Dikatakannya pula
bahwa seorang warganegara yang baik
adalah seseorang yang memberikan
konstribusi
secara
efektif
dan
bertanggungjawab terhadap berbagai isu
dalam masyarakat terbuka dan mampu
mengambil peran di dalamnya. Oleh karena
itu, diperlukan keterampilan berfikir, karena
tanpa kemampuan berfikir seorang individu
tidak dapat memberikan kontribusi terhadap
permasalahan masyarakat dan bangsanya.
Hal ini sejalan dengan yang digagas oleh
Gagne (1975) bahwa keterampilan berfikir
merupakan proses untuk menemukan
kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat
diterapkan dalam upaya mengatasi situasi
baru.
Terdapat
empat
keterampilan
berfikir, yaitu pemecahan masalah (problem
solving), membuat keputusan (decision
making), berfikir kritis (critical thinking),
dan berfikir kreatif (creative thinking)
(Woolever dan Scooth, 1988). Dari keempat
keterampilan berfikir tersebut menurut La
Costa (1985) semuanya bermuara pada
kemampuan berfikir tingkat tinggi, yang
meliputi aktivitas seperti analisa, sintesa dan
evaluation. Adapun beberapa bentuk
keterampilan berfikir yang berkaitan dengan
penggunaan informasi, adalah classify,
interpret, analyze, summarize, synthesize,
evaluate, information. Tahapan tersebut
perlu diberikan kepada siswa agar siswa
mempunyai kesempatan mengembangkan
ketrampilan berfikirnya.
Salah satu jenis ketrampilan berfikir
adalah berfikir kritis, menurut Mayer (1986)
menyimpulkan bahwa berfikir kritis selalu
dimulai dengan masalah dan berakhir
dengan solusi/jawaban. Sedangkan Moore
dan Parker (2000) berpendapat bahawa
berfikir kritis adalah ―ketetapan yang hatihati dan tidak tergesa-gesa untuk apakah
kita sebaiknya menerima, menolak atau
menagguhkan penilaian terhadap suatu
pernyataan, dan tingkat kepercayaan untuk
diterima atau ditolak. Sejalan dengan
pendapat tersebut Robert H Ennis (2000)
mengungkapkan bahwa berfikir kritis
adalah berfikir secara reflektif dan masuk
akal yang diarahkan pada suatu keputusan
apa yang akan dipercaya atau dilakukan.
Sementara itu, menurut Perkin
(1992), berfikir kritis memiliki empat
karakter, yaitu (1) bertujuan untuk mencapai
penilaian yang kritis terhadap apa yang akan
kita terima atau apa yang akan kita lakukan
dengan alasan logis, (2) memakai standar
penilaian sebagai hasil dari berfikir kritis
dan membuat keputusan, (3) menerapkan
berbagai startegi yang tersusun dan
memberikan alas an untuk menentukan dan
menerapkan standar, (4) mencari dan
menghimpun
informasi
yang
dapat
dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang
dapat
mendukung
suatu
penilaian.
Selanjutya, kemapuan berfikir kritis juga
diartikan
sebagai
(1)
menentukan
kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan
antara yang relevan dengan yang tidak
101
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
relevan, (3) membedakan fakta dari
penilaian,
(4)
mengidentifikasi
dan
mengevaluasi
asumsi
yang
tidak
terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang
ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang,
dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan
untuk mendukung pengakuan (Beyer,
1985).
Adapun ciri-ciri berfikir kritis
dikemukakan oleh Ferrett, S. (1977),
diantaranya suka bertanya, menerima
pernyataan dan argumentasi, memiliki rasa
ingin tahu, tertarik untuk mendapatkan
solusi baru, berkeinginan untuk menguji
dan menganalisa fakta yang ada, mampu
menyimak
dengan
hati-hati
dan
memberikan umpan balik, mencari buktibukti, mampu menolak informasi yang
dianggap tidak relevan dan tidak benar.
E. KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS
DALAM PELAJARAN SEJARAH
Permasalahan pembelajaran sejarah
yang terjadi di Indonesia merupakan
permasalahan yang mengundang perhatian
banyak pakar pendidikan sejarah maupun
sejarawan, mereka berusaha memberikan
pendapat dan solusinya dalam memecahkan
masalah tersebut. Adapun identifikasi
permasalahan pembelajaran sejarah adalah
antara lain, masalah model pembelajaran
sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi
buku ajar atau buku teks, masalah media
pembelajaran sejarah, sampai dengan
masalah profesionalisme guru sejarah.
Model
pembelajaran
yang
digunakan oleh para guru sejarah sampai
saat ini sebagian besar masih menggunakan
model pembelajaran dengan pendekatan
tradisional, seperti misalnya menggunakan
ceramah dalam memberikan informasi
materi. Seperti dikemukakan oleh Hamid
Hasan dalam Alfian (2007), bahwa
kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran
sejarah
jauh
dari
harapan
untuk
memungkinkan anak melihat relevansinya
dengan masa kini dan masa depan.
Pembelajaran sejarah dari mulai Sekolah
Dasar sampai dengan Sekolah Menengah
cenderung hanya memanfaatkan fakta
sejarah sebagai materi utama. Sehingga
tidak aneh jika pendidikan sejarah terasa
kering, tidak menarik dan tidak member
kesempatan kepada anak didik untuk belajar
menggali amkana dari sebuah peristiwa
sejarah.
Di samping itu pengalamanpengalaman yang telah dimiliki siswa
sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak
dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga
menempatkan siswa sebagai peserta
pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto,
dkk, 2009). Hal ini juga membuktikan
bahwa pendekatan konstruktivisme tidak
digunakan.
Berdasarkan
permasalah
pembelajaran sejarah tersebut, maka sudah
saatnya pembelajaran paradigm lama yang
menempatkan siswa sebagai objek dan
siswa bersifat pasif mulai ditingglkan dan
beralih kepada pembelajaran paradigm baru
yang berlandaskan pada pendekatan
konstruktivisme.
Pembelajaran
yang
menerapkan konstruktivis menampilkan
siswa dengan kesempatan-kesempatan
membangun pengetahuan dan pemahaman
baru dari pengalaman otentik. Dimana siswa
diajak untuk menghadapi masalah dengan
penuh makna disebabkan oleh konteks
kehidupan
nyata
mereka.
Dalam
memecahkan masalah, siswa didorong
untuk
menggali
kemungkinankemungkinan, menginventaris alternative
solusi, kolaborasi dengan siswa atau nara
sumber lain, mencoba ide dan hipotesis,
memperbaiki pikiran mereka, dan pada
akhirnya menampilkan solusi terbaik.
Kondisi dunia yang semakin
berkembang pesat menuntut adanya respon
pemikiran kritis di kalangan guru. Untuk itu
pembelajaran sejarah dengan penerapan
keterampilan berfikir kritis di kelas
merupakan salah satu cara yang tepat untuk
memperbaiki masalah pribadi dan social
102
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
siswa sehingga siswa tidak lagi bersikap
individualistis, egoistis, acuh tak acuh,malas
berfikir, kurangnya rasa tanggung jawab,
malas berkomunikasi dan berinteraksi.
Sejalan dengan hal tersebut,
Soedjatmoko (1976) mengingatkan para
guru sejarah agar membuang cara-cara
mengajar sejarah yang mengutamakan fakta
sejarah saja. Hal ini dikuatirkan tidak
membawa siswa kepada pengembangan
berpikirnya.
Sementara
itu
dengan
pengembangan kemampuan berfikir yang
terus meningkat, siswa akan mampu melihat
hal-hal di lingkungan kehidupannya dengan
kritis.
Proses pembelajaran sejarah yang
menekankan pada aktivitas siswa menurut
Garvey dan Krug (1977) adalah pertama: ―
to acquie knowledge of historical facts”
(untuk mendapatkan pengetahuan tentang
fakta-fakta kesejarahan) dalam belajar
sejarah, pengetahuan tentang fakta-fakta
sejarah adalah hal yang mutlak. Di dalam
pembelajaran sejarah, peran bukti, faktafakta sangat penting, karena kegunaan bukti
dan fakta akan menjadikan penelusuran,
investigasi
masa
lampau
lebih
memungkinkan. Mengajar siswa dengan
menggunakan bukti sejarah dapat mengajak
siswa melihat bagaimana jalannya masa
lampau dan kemudian mengajak siswa
untuk lebih peduli dn mampu memecahkan
masalah yang dihadapinya, disekitarnya saat
ini dan kemungkinan masa depan (Lee,
1984). Dalam hal ini tentu saja keutuhan
pemahaman sejarah tidak akan bisa
dibangun tanpa mengenal terlebih dahulu
saja fakta sejarah yang ada. Kemudian
diperluas
hingga
membantu
siswa
menangkap konsep sejarah bahkan sampai
ke generalisasi. Dalam proses ini guru
sejarah diminta untuk menyiapkan kondisi
belajar yang memenuhi tujuan belajar, di
samping itu guru juga kaya
dengan
pemahaman sejarah.
Kedua, to again an understanding
or appreciation of past events or periods or
people (untuk mendapatkan pemahaman
atau penghargaan terhadap kejadiankejadian, orang pada masa lampau). Dalam
konteks ini, ungkapan ―belajar sejarah akan
membuat orang menjadi bijaksana‖. Tetapi
tidak mudah untuk memahami peristiwa
yang telah lampau tersebut, jika tidak
ditumbuhkan ketrampilan berimajinasi,
berempati terhadap peristiwa tersebut.
Adapun model pembelajaran yang dapat
digunakan adalah seperti dikemukakan oleh
Garvey dan Krug (1977) yaitu picture study,
document study, simulation and drama.
Model pembelajaran yang diperlukan adalah
model yang dapat memberikan bekal
kepada siswa untuk mampu melihat masa
lampau
secara
keseluruhan
dengan
berimajinasi dan empati, sehingga siswa
mendapatkan rangkaian peristiwa dari masa
lampau, ke masa sekarang dan yang akan
datang.
Ketiga, to acquire the ability to
evaluate and criticize historical writing
(untuk memiliki kemampuan mengevaluasi
dan mengkritisi penulisan sejarah). Model
yang ditawarkan oleh Garvey dan Krug
(1977) adalah text book study, dengan
menggunakan buku teks maka diharapkan
siswa akan memiliki; reference skills,
comprehension skill,analytical and critical
skill, imaginative skills and note making
skill.
Keempat, to learn the techniques of
historical research (untuk belajar teknikteknik penelitian sejarah). Dalam hal ini
Gravey dan Krug (1977) menyarankan
model pembelajaran dengan menggunakan
sumber-sumber primer atau juga fieldproject dapata membelajarkan siswa tentang
teknik-teknik penelitian sejarah. Siswa
dapat diarahkan menjadi sejarawan kecil
dengan discovery method, pembelajaran
inquiry terhadap sejarah di lingkungannya.
Misalnya sejarah desa atau kotanya, atau
mesjid besar, tua di kotanya.
Kelima, to learn how to write
history (untuk belajar bagaimana menulis
103
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sejarah). Jika siswa sudah memiliki
pemahaman tentang teknik-teknik penelitian
sejarah, maka tentu kemampuan dalam
menulis sejarah ikut serta di dalamnya.
Dalam hal ini,
Meyer (1998)
mngungkapkan dari hasil penelitiannya,
bahwa perlunya penggunaan dokumen
dalam pembelajaran sejarah tidak diragukan
lagi, karena dapat mewujudkan belajar dan
berfikir kesejarahan. Penggunaan dokumen
di dalam pembelajaran sejarah memberikan
keterampilan
kepada
siswa
dalam
mengajukan pertanyaan kepada data-data
yang ada tersebut. Seorang siswa tidak
dapat membangun pengetahuan baru tanpa
membuat suatu penilaian yang beralasan,
dan penilaian ini tidak bisa dibuat tanpa
mengajukan pertanyaan yang baik.
Seperti halnya mata pelajaran lain,
mata pelajaran sejarah juga memiliki
karakteristik, yaitu : (1) sejarah terkait
dengan masa lampau. Masa lampau berisi
peristiwa, dan setiap peristiwa sejarah hanya
terjadi satu kali. Oleh karena itu
pembelajaran sejarah adalah pembelajaran
peristiwa sejarah dan perkembangan
masyarakat yang telah terjadi. Kemudian,
karena materi pokok pembelajaran sejarah
merupakan bahan materi masa kini
berdasarkan sumber-sumber sejarah yang
ada, maka pembelajaran sejarah harus lebih
cermat, kritis, berdasarkan sumber-sumber
dan tidak memihak pihak manapun. (2)
sejarah bersifat kronologis, maka dalam
mengorganisasikan
materi
pokok
pembelajaran sejarah harus didasarkan pada
urutan kronologis peristiwa sejarah. (3)
Sejarah mengandung tiga unsure penting,
yaitu manusia, ruang dan waktu. Oleh
karena
itu
dalam
mengembangkan
pembelajaran sejarah harus selalu diingat
siapa pelaku peristiwa sejarah, dimana dan
kapan. (4) Perspektif waktu merupakan
dimensi penting dlam sejarah. Walaupun
sejarah selalu terkait dengan masa lampau,
tetapi
masa
lampau
it
uterus
berkesinambungan. Maka dalam sejarah
dikenal ada tiga dimensi waktu, yaitu waktu
lampau, kini dan yang akan datang. Dalam
mendisain materi pokok pembelajaran
sejarah dapat dikaitkan dengan persoalan
masa kini dan masa depan. Seperti
kecakapan hidup, kesetaraan gender, hak
asasi manusia maupun kebudayaan yang
beragam. (5) Dalam sejarah dikenal prinsip
sebab
akibat.
Dalam
merancang
pembelajaran sejarah perlu diingat bahwa
dalam menjelaskan peristiwa sejarah selalu
ada prinsip sebab akibat, baik antara fakta
yang satu dengan yang lain maupun antara
peristiwa yang satu dengan yang lain. (6)
Sejarah pada hakekatnya suatu peristiwa
sejarah dan perkembangan masyarakat yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan
seperti ekonomi, politik, social, agama,
keyakinan, budaya. Oleh karena itu dalam
mendesain pembelajaran sejarah perlu
menggunakan pendekatan yang bersifat
multidimensional,
sehingga
dalam
mengembangkan materi pokok dan uraian
materi poko untuk setiap kompetensi dasar
digunakan pendekatan multidimensional.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagianbagian sebelumnya seperti ketrampilan
berfikir,
pendekatan
konstruktivisme,
masalah pembelajaran sejarah, tentang
model
pembelajaran
sejarah
dan
karakteristik pembelajaran sejarah, maka di
dalam proses pembelajaran sejarah perlu
adanya perubahan dari model atau
pendekatan pembelajaran yang bersifat
tradisional ke model pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivisme dalam rangka
melatih keterampilan berfikir kritis siswa
dalam pembelajaran sejarah. Karena di
dalam pendekatan konstruktivisme, siswa
dalam
pembelajaran
sejarah
diberi
kesempatan
untuk
membangun
pengetahuannya
sendiri
berdasarkan
pengetahuan yang dimilikinya. Untuk dapat
membangun pengetahuannya siswa dituntut
untuk berfikir kritis yaitu diantaranya suka
104
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bertanya, memiliki rasa ingin tahu, tertarik
untuk
mendapatkan
solusi
baru,
berkeinginan
untuk
menguji
dan
menganalisa fakta yang ada, mampu
menyimak
dengan
hati-hati
dan
memberikan umpan balik, mencari buktibukti, dan mampu menolak informasi yang
dianggap tidak relevan dan tidak benar
(Ferrett, S, 1977). Jika cirri-ciri berfikir
kritis tersebut dimiliki oleh siswa, maka
dalam proses pembelajaran sejarah, siswa
tidak akan merasa bosan karena proses
pembelajarannya menjadi hidup, aktif, dan
menyenangkan.
Akan tetapi untuk mencapai proses
pembelajaran yang demikian, guru perlu
memahami
tentang
pemilihan
dan
penggunaan model-model pembelajaran
yang akan digunakan dalam menyampaikan
materi pembelajaran sejarah, karena sifat
atau karakter mata pelajaran sejarah yang
beragam perlu diperhatikan oleh guru
sejarah dalam mempersiapkan perangkat
pembelajarannya.
Di samping itu guru sejarah perlu
juga mengingat bahwa tujuan dan misi
pembelajaran sejarah adalah: (1) untuk
pendidikan intelektual, (2) pendidikan nilai,
pendidikan
kemanusiaan,
pendidikan
pembinaan moralitas, jatidiri, nasionalisme
dan identitas bangsa. Kemudian sebagai
alternatif penggunaan model pembelajaran
sejarah dalam proses pembelajaran sejarah
adalah dengan model pembelajaran
kooperatif, dalam model pembelajaran
kooperatif ini peran guru sebagai fasilitator,
director-motivator dan evaluator bagi siswa
dalam
upaya
membantu
siswa
mengembangkan keterampilan social dan
kemampuan berfikir kritis, agar mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu
bekerjasama dengan orang lain, dan mampu
berinteraksi social dengan masyarakat.
.
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Boyi. 2007. Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah-masalah
Sosial Kontemporer. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikatan
Himpunan Mahasiswa Sejarah Se Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri
Semarang. Semarang, 16 April 2007.
Alfian, Magdalia. 2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang di hadapi. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se
Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri semarang. Semarang, 16 April 2007.
Ahmad Sanusi. 1999. Kapita Selekta Pembahasan Masalah-masalah Sosial dan
pendidikan. Bandung: FPS IKIP Bandung.
Banks, JA. 1985. Strategies for the Social Studies. New York: Longman, Inc.
Barr, RD. Barth, JL. Dan Shernis. 1988. The nature of Studies. California: ETC Publication.
Beyer, BK. 1985. Critical Thinking: What is It? Social Education, 45 (4).
Costa, LA. 1985. “Teacher Behaviors that Enable Students Thinking‖ dalam Developing
Minds: A resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: ASDC.
105
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Ennis, Robert H. 2000. Critical Thinking. Upper Saddle River. New York: Preatice Hall.
Fitzgerald, James. 2000. ―Toward a Theory of History Teaching‖. Dalam A New Look at
History Teaching. Australia: The History Teachers` Association of New South
Wales.
Garvey, B. dan KKrug, M. 1977. Models of History Teaching in The Secondary School.
United States: Oxford University Press.
Gray, Andrey. 1997. Constructivitist Teaching and Learning. Dalam SSTA Research
Centre Report # 97-07 [Online]. http://www.ssta-sk.com/research/instrution/97-07
htm.
http://education. Yahoo.com/reference/dictionary/entry?id Diakses 16-4-2013.
Hetzberg, Hezel Whitman. 1981. Social Studies Reform 1880-1980. Colorado: Social
Science Education Consorcium, Inc.
Lawson.AE. 1990. Science Education Information Report. California: Wads Worth
Publishing Co.
Lee, P.J. 1984. ―Historical Imagination‖ Dalam Learnining History. London: Heinemann
Educational Books.
Mantanto, SD, dkk. 2009. Pembelajaran Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk
meningkatkan Minat Belajar Siswa. PKM-GT. Semarang. Tidak dipublikasikan.
Mc. Neil. 2000. Understanding The Past. [Online] http://intogetable. Net/book/guide.
Moore, Brooke Noel. Dan Parker, Richard. 1986. Critical Thinking: Evaluating Claims and
Arguments in Every Day Life. California: Mayfield Publising Co.
Murni. 2000. Profil dan Kemampuan Guru IPS SMP di Kota Palembang. Laporan
Penelitian pada Unit lembaga Penelitian FKIP UNSRI
Mark E. Gabehatr. 1997. “Teaching, Learning and Reform in Twenty-First 2000-2003.‖
USA: Education Service Centre.
Mudjiman, Haris. 2006. Belajar mandiri, self-motivated learning. Surakarta: UNS Press.
Maypole, joanne. Dan Darvies, Timothy, Gray. 2001. ―Students` Perceptions of
Constructivist Learning in A Community College American History II Survey
Course. Dalam Community College Riview, Fall. [Online]. Http://articles.
Fidararticles.com/p/articles/mi_mO HCZ/15_2_29/ai_80344771[15-04-2013]
106
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Meyer, John. 1998. “The Trouble With History. History and Social Science Teacher”. 15
(2) 68-70
O`hara, Lucy dan O`hara Mark. 2001. Teaching History. London: Continuur.
Parkin, D.N & Weber, R.J. 1992. Invinitive Mind: Creative in Technology. New York:
University Press.
Raths, Louis E. et al. 1986. Teaching for Thinking: Theory, Strategies, and Activities for the
Classroom. New York: teachers College, Columbia University.
Suparno. P. 1999. Filsafat Construktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Steffe dan Gale. 1995. Constructivism in Education. New Yersey: Lawrence Erlbaum
Association.
Syamsudin, Helius. 1999. Sejarah dan pendidikan Sejarah. Mimbar pendidikan. 2 (8) 1217.
Stearns, Peter N. 2000. Knowing. Teaching & Learning History. New York: NY Uni 7
American Historical Association.
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
Woolever, Roberta dan Scoot, Katryn. 1988. Active learning in Social Studies. London:
Scoot Foresman and Company.
Zainudin dan Suwoko. 1997. Sumber dan Media Pembelajaran IPS. Malang: Depdikbud.
107
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
108
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KARAKTER
MAHASISWA MELALUI MATA KULIAH
KEWIRAUSAHAAN
Sudarmiani
IKIP PGRI Madiun
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan karakter pada saat ini menjadi isu utama pendidikan, karena
menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Pendidikan karakter
pun juga diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia
Emas 2025.
Konsep pendidikan karakter menurut Thomas Lickona terdapat 9 pilar utama
pendidikan karakter yang saling berkaitan, yaitu ; tanggungjawab, rasa hormat,
keadilan, keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, disiplin diri, peduli, dan
ketekunan.
Masuknya mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah yang wajib
ditempuh oleh mahasiswa baik di LPTK maupun non LPTK diharapkan mampu
mengurangi tingginya angka pengangguran, khususnya dari kalangan terdidik
(sarjana dan diploma). Melalui mata kuliah diharapkan dapat membentuk karakter
generasi muda bangsa tangguh, yang dapat menciptakan lapangan kerja sendiri
sebagai wirausahawan muda.
Kewirausahaan secara sederhana diartikan sebagai proses di mana seorang
wirausahawan (entrepreneur) menciptakan dan mengembangkan perusahaan,
sedangkan entrepreneur adalah orang yang menciptakan dan mengembangkan
perusahaan (Dabson, 2005). Dalam definisi tadi, unsur prosesmenciptakan dan
mengembangkan dapatmerupakan perpaduan antara karakter dan kemampuan
teknis seorang wirausahawan.
Dalam hal ini Timmons dan Stevenson (dikutip oleh Henry, 2005) menjelaskan
bahwa kemampuan teknis seperti akuntansi, keuangan, pemasaran, sistem informasi
manajemen dan berfikir kritis bisa diajarkan di kelas secara formal. Akan tetapi
kemampuan lainnya atau dapat dikategorikan sebagai karakter wirausahawan seperti
kemampuan menilai, keberanian mengambil resiko, mengatasi orang lain,
kesabaran dan tanggung jawab tidak dapat diajarkan secara langsung melainkan
melaui suatu kegiatan yang berhubungan dengan masalah yang riil.
Kewirausahaan menurut Schumpeter seperti dikutip oleh Heinonen dan
Poikkijoki (2006) lebih menitikberatkan pada proses atau perilaku wirausaha.
Dengan demikian pada tahap aplikasi kegiatan program pendidikan kewirausahaan
sudah selayaknya mengkondisikan mahasiwa pada situasi yang menuntut dan
merangsang mahasiswa untuk melatih fungsi-fungsi kewirausahaan di atas. Sehingga
pelaksanaan perkuliahan tidak hanya dalam bentuk klasikal pengajaran teori di
dalam kelas di mana mahasiswa umumnya merupakan peserta yang pasif, tetapi
setiap proses pembelajaran supaya efektif peserta didik atau mahasiswa harus terlibat
di dalam pengalaman belajarnya(praktek kewirausahaan). Melalui praktek
109
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kewirausahaan mahasiswa, dapat ditanamkan nilai-nilai karakter seorang calon
wirausaha yang harus mempunyai karakter tanggungjawab, keberanian, kejujuran,
disiplin diri, dan tekun dalam berusaha.
Dengan demikian mata kuliah kewirausahaan merupakan sarana yang tepat
untuk pengembangan nilai-nilai karakter mahasiswa agar mempunyai rasa tanggungjawab, keberanian mengambil resiko, sikap disiplin, pekerja keras, jujur, dan tekun
untuk meraih kesuksesan.
Kata Kunci : Pengembangan, Nilai-Nilai Karakter, Kewirausahaan
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Menurut PBB, suatu negara mampu
untuk berkembang secara mandiri apabila
jumlah wirausahawan di negara tersebut
minimal 2 persen dari total jumlah
penduduk. Saat ini, jumlah wirausahawan di
Indonesia hanya sebesar 0,24 persen dari
jumlah penduduk Indonesia sebesar 238 juta
jiwa. Jumlah tersebut lebih rendah jika
dibandingkan dengan jumlah wirausaha di
beberapa negara luar yang tingkat
perekonomiannya lebih tinggi, seperti
Amerika Serikat yang memiliki wirausaha
sejumlah 4 persen dari total penduduknya,
Singapura yang jumlah wirausahanya
sebesar 7 persen dari jumlah penduduknya,
dan Malaysia yang jumlah wirausahanya
mencapai
5
persen
dari
jumlah
penduduknya.
Berdasarkan data di lapangan, 600
ribu lulusan perguruan tinggi sejak 2009
sampai 2011 masih menganggur. Ini bukti
nyata di Indonesia antara pencari kerja dan
pencipta kerja tidak berimbang. Bisa jadi
pendidikan di Indoensia telah melahirkan
para lulusan dengan nilai terbaik dan siap
memasuki ke pasar kerja, namun kondisi
yang terjadi kenaikan jumlah lapangan kerja
kalah cepat dengan kenaikan jumlah
lulusan.
Melihat kenyataan tersebut perlu
diupayakan sebuah terobosan baru dalam
bidang pendidikan maka sekolah dan
perguruan tinggi kita akan menjadi pabrik
penghasil pengangguran khususnya para
penganggur terdidik. Kondisi ini akan jadi
sumber berbagai kekacauan dan bencana
sosial yang mengerikan. Berbagai strategi
diterapkan
oleh
pemerintah
untuk
meningkatkan jumlah wirausahawan di
Indonesia, salah satunya adalah dengan
memasukkan mata kuliah Kewirausahaan ke
dalam kurikulum pendidikan, khususnya
pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Adanya mata kuliah Kewirausahaan
dimaksudkan untuk menambah wawasan
mahasiswa terhadap dunia kewirausahaan
serta memotivasi mereka untuk ikut terlibat
langsung dalam dunia wirausaha sebagai
wirausahawan muda yang tangguh,
sehingga mereka dapat ikut berkontribusi
dalam meningkatkan perekonomian negara
Indonesia.
Pembelajaran
entrepreneurship
bukan hanya akan menghasilkan manusiamanusia masa depan yang dapat bebas dari
kemiskinan namun para entrepreneur yang
bertumbuh dan berhasil adalah sumbersumber kesejahteraan masyarakat yang
dapat
kita
andalkan.
Pendidikan
entrepreneurship adalah senjata yang dapat
digunakan untuk pengangguran dan
kemiskinan sekaligus jadi tangga menuju
impian setiap warga masyarakat untuk
mandiri
secara
finansial,
memiliki
kemampuan membangun kemakmuran
individu dan sekaligus ikut membangun
kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan
Kewirausahaan
dilaksanakan dengan menanamkan nilainilai kewirausahaan kepada peserta didik,
110
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
nilai-nilai tersebut antara lain jujur, percaya
diri, kreatif, kepemimpinan, inovatif, dan
berani menanggung resiko. Nilai-nilai
tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai
pendidikan karakter. Sehingga pendidikan
kewirausahaan
menyumbangkan
penanaman nilai-nilai pendidikan karakter
yang pada akhirnya akan membentuk
karakter bangsa, sesuai dengan tujuan dari
pendidikan kewirausahaan yaitu untuk
membentuk manusia secara utuh (holistik),
sebagai insan yang memiliki karakter,
pemahaman dan ketrampilan sebagai
wirausaha.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: Bagaimana mengembangkan nilainilai karakter mahasiswa melalui mata
kuliah kewirausahaan ?
B. PEMBAHASAN
1. Pendidikan Karakter
a. Pengertian
Pendidikan Karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi
kompenen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan,
dan
tindakan
untuk
melaksanakannya baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
lingkungan maupun negara.
Pendidikan karakter yang tertuang
dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa:
―Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa
yang
bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, berahlak
mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab‖.
Berdasarkan pernyataan tersebut,
terlihat bahwa tujuan pendidikan nasional
secara keseluruhan adalah pengembangan
karakter siswa.
Karakter
berarti
tabiat
atau
kepribadian seseorang.Coon(Zubaedi,2011:
8)
mendefinisikan karakter sebagai
suatu
penilaian subjektif terhadap kepribadian
seseorang yang berkaitan dengan atribut
kepribadian yang dapat atau tidak dapat
diterima masyarakat. Karakter merupakan
keseluruhan kodrati dan disposisi yang telah
dikuasai secara stabil yang mendifinisikan
seseorang individu dalam keseluruhan tata
perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal
dalam cara berfikir dan bertindak.
Zainal
dan
Sujak
(2011:2)
menyatakan karakter mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(bahaviors), motivasi (motivation), dan
ketrampilan (skills). Karakter berasal dari
bahasa Yunani yang berarti ―tomark‖ atau
menandai dan memfokuskan bagimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkahlaku.
Menurut Kementerian Pendidikan
Nasional (2010:3) ―Karakter
adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang
terbentuk dari hasil
internalisasi
berbagai
kebajikan
(virtues)yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak‖.
Berdasarkan pembahasan di atas
dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan
kepribadian yang merupakan cirri dalam
cara berfikir dan bertindak yang melekat
pada diri seseorang. Karakter terdiri atas
tiga unjuk perilaku
terdiri
atas
pengetahuan moral, perasaan berlandaskan
moral, dan perilaku berlandaskan moral.
Menurut Megawangi dalam buku
Darmiyati (2004:110)
mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai
―Sebuah
111
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikannya dalam kehidupan seharihari, sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi
yang
positif
pada
lingkungannya‖.
Sedangkan menurut Koesoema
pendidikan karakter merupakan nilai-nilai
dasar yang harus dihayati jika sebuah
masyarakat mau hidup
dan bekerja
samasecara
damai. Nilai-nilai seperti
kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang
lain, tanggung jawab pribadi, perasaan
senasib, sependeritaan, pemecahan konflik
secara damai, merupakan nilai-nilai yang
semestinya diutamakan dalam pendidikan
karakter (2007:250).
Pendidikan karakter mengajarkan
kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja
bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk
membuat
keputusan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
1) Fungsi Pendidikan Karakter
Menurut Kementerian Pendidikan
Nasional
(2010:7)
fungsi
pendidikan karakter adalah:
a) pengembangan: pengembangan
potensi peserta didik untuk
menjadi pribadi berperilaku baik;
ini bagi peserta didik yang telah
memiliki sikap dan perilaku yang
mencerminkan
budaya
dan
karakter bangsa;
b) perbaikan : memperkuat kiprah
pendidikan
nasional
untuk
bertanggungjawab
dalam
pengembangan potensi peserta
didik yang lebih bermartabat;
dan
b) penyaring : untuk menyaring
budaya bangsa sendiri dan
budaya bangsa lain yang tidak
112
sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan karakter bang sayang
bermartabat.
2) Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan karaktera dalah:
a) mengembangkan
potensi
kalbu/nurani/afektif
peserta
didik sebagai manusia dan warga
Negara yang memiliki nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa;
b) mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang
terpuji dan sejalan dengan nilainilai universal dan tradisi budaya
bangsa yang religius;
c) menanamkan
jiwa
kepemimpinan dan tanggung
jawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa;
d) mengembangkan
kemampuan
peserta didik menjadi manusia
yang
mandiri,
kreatif,
berwawasan kebangsaan; dan
e) mengembangkan
lingkungan
kehidupan
sekolah sebagai
lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh
kreativitas dan
persahabatan,
sertadenganrasa
kebangsaan yang tinggi dan
penuh
kekuatan
(dignity)
(Ibid,2010).
c. Jenis-jenis Pendidikan Karakter
Ada empat jenis karakter yang
selama ini dikenal dan dilaksanakan
dalam proses pendidikan, yaitu:
1) pendidikan karakter berbasis nilai
religius, yang merupakan kebenaran
wahyu tuhan (konservasimoral).
2) pendidikan karakter berbasis nilai
budaya, antara lain yang berupa
budi pekerti, pancasila, apresiasi
sastra, keteladanan tokoh-tokoh
sejarah dan para pemimpin bangsa.
3) pendidikan
karakter
berbasis
lingkungan
(konservasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
lingkungan).
4) Pendidikan
karakter
berbasis
potensi diri, yaitu sikap pribadi,
hasil
proses
kesadaran
pemberdayaan potensi diri yang
diarahkan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan (konservasi
humanis) (Yahya Khan,2010:2).
d. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya
Karakter
Menurut Kementerian Pendidikan
Nasional(2010)
nilai- nilai yang
dikembangkan dalam pendidikan
budaya
dan
karakter
bangsa
diidentifikasi dari sumber-sumber
berikut ini :
1) Agama
Masyarakat
Indonesia
adalah
masyarakat beragama. Oleh Karen
aitu,
kehidupan
individu,
masyarakat, dan bangsa selalu
didasari pada ajaran agama dan
kepercayaannya.
Secarapolitis,
kehidupan kenegaraan pun didasari
pada nilai-nilai yang berasal dari
agama. Atas dasar pertimbangan
itu, maka nilai- nilai pendidikan
budaya dan karakter bangsa harus
didasarkan pada nilai-nilai dan
kaidah yang berasal dari agama.
2) Pancasila
Negara
kesatuan
Republik
Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang disebut Pancasila.
Pancasila terdapat pada Pembukaan
UUD 1945 dan dijabarkan lebih
lanjut dalam pasal-pasal yang
terdapat dalam UUD1945.Artinya,
nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang
mengatur
kehidupan
politik,
hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya, dan seni. Pendidikan
budaya dan karakter bangsa
bertujuan mempersiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang
lebih baik, yaitu warga Negara yang
memiliki kemampuan, kemauan,
dan
menerapkan
nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupannya
sebagai warga negara.
3) Budaya
Sebagai suatu kebenaran bahwa
tidak ada manusia yang hidup
bermasyarakat yang tidak didasari
oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakat itu. Nilai-nilai budaya
itu dijadikan dasar dalam pemberian
makna terhadap suatu konsep dan
arti dalam komunikasi antaranggota
masyarakat itu.Posisi budaya yang
demikian penting dalam kehidupan
masyarakat mengharuskan budaya
menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter
bangsa.
4) Tujuan Pendidikan Nasional
Sebagai rumusan kualitas yang
harus dimiliki setiap warga Negara
Indonesia, dikembangkan oleh
berbagai satuan pendidikan di
berbagai jenjang dan jalur. Tujuan
pendidikan
nasional
memuat
berbagai nilai kemanusiaan yang
harus dimiliki warga negara
Indonesia. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan nasional adalah sumber
yang paling operasional dalam
pengembangan pendidikan budaya
dan karakter bangsa.
Berdasarkan keempat sumber nilai
tersebut
diatas,
teridentifikasi
sejumlah nilai untuk pendidikan
budaya dan karakter bangsa sebagai
berikutini :
113
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Tabel2.NilaidanDeskripsiNilaiPendidikanBudayadanKarakterBangsa
NO
NILAI
DESKRIPSI
1
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain,dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2 2
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang bisa dipercaya.
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
3
Toleransi
4
Disiplin
5
Kerja Keras
6
Kreatif
7
Mandiri
8
Demokratis
9
RasaIngin
Tahu
10
Semangat
Kebangsaan
11
Cinta Tanah
Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12
Menghargai
Prestasi
13
Bersahabat/
Komuniktif
CintaDamai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
14
15
Gemar
Membaca
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan
tugas baik.
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Sikap dan perilakuyangtidak mudahtergantungpadaoranglaindalam
menyelesaikantugas-tugas.
Cara berfikir, bersikap, dan bertindakyang menilai sama hak dan
kewajibandirinyadanoranglain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalamdan meluasdarisesuatuyangdipelajarinya,dilihat,dan
didengar.
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan
yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
114
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
NO
16
NILAI
Peduli
Lingkungan
DESKRIPSI
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki Kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin member bantuan pada orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18
Tanggungjawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dialakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat,lingkungan (alam,sosialdanbudaya),Negara dan Tuhan
Yang Maha Esa.
Sumber:Kemendiknas(2010:9-10)
2. Pendidikan Kewirausahaan bagi
Mahasiswa
a. Latar Belakang Pendidikan
Kewirausahaan di Perguruan
Tinggi
Pendidikan kewirausahaan atau
entrepreneurship akan semakin digalakkan
di perguruan tinggi agar lulusan perguruan
tinggi mampu mandiri.
Pendidikan
kewirausahaan di perguruan tinggi
diharapkan bisa menyiapkan mahasiswa
untuk berani mandiri, tidak lagi terfokus
menjadi pencari kerja. Apalagi data
pengangguran terdidik di Indonesia
menunjukkan, semakin tinggi pendidikan
seseorang, semakin rendah kemandirian dan
semangat kewirausahaannya.
Berdasarkan hasil survei tenaga
kerja Badan Pusat Statistik bulan Februari
dan Agustus 2009 memprediksi akan
naiknya angka pengangguran di Indonesia
sekitar 9%. Sementara angka pengangguran
terbuka di Indonesia per Agustus 2008
mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen
dari total angkatan kerja. Dari jumlah
tersebut, pengangguran dengan gelar sarjana
sekitar 12,59%. Dari data di atas, sudah
sangat
jelas
Indonesia
mempunyai
permasalahan yang tidak ringan dalam
mengatasi pengangguran, utamanya yang
bergelar sarjana. Sudah kuliah bayar mahal,
ujung-ujungnya menganggur juga. Bila
tidak segera diatasi, angka ini bukannya
semakin turun tapi akan melonjak naik.
Krisis global yang menginduk kepada
Kapitalisme berimbas juga pada semakin
tingginya angka pengangguran. Bila sudah
begini, ke mana lagi akan mencari solusi
atas tingginya pengangguran sarjana ini?
Untuk menjadi negara maju, sebuah
negara paling tidak harus memiliki dua
persen dari jumlah penduduk. Di Amerika,
misalnya, terdapat sekitar 11 persen
wirausahawan dari jumlah penduduk,
Singapura sekitar 7 persen, dan di Indonesia
baru sekitar 0,18 persen. Pola menciptakan
lapangan kerja di dunia sudah berubah.
Dulu pembukaan lapangan kerja menjadi
tanggung jawab pemerintah. Sekarang
semua pihak baik pemerintah, pengusaha,
dan lembaga pendidikan bertanggung jawab
menciptakan lapangan kerja.
Pendidikan kewirausahaan mesti
berjalan secara berkesinambungan dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
seluruh proses pendidikan di perguruan
tinggi. Upaya tersebut perlu dilakukan
untuk mengatasi pengangguran terdidik
yang terus meningkat dengan menyiapkan
lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya
berorientasi sebagai pencari kerja, tetapi
juga sebagai pencipta lapangan kerja.
Sampai saat ini, sebanyak 82,2 persen
lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai
pegawai. Adapun masa tunggu lulusan
perguruan tinggi untuk mendapatkan
115
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pekerjaan selama enam bulan hingga tiga
tahun.
Perguruan tinggi belum bisa
menghasilkan lulusan yang mampu
berkreasi di dalam keterbatasan dan berdaya
juang di dalam tekanan. Kondisi tersebut di
atas di dukung oleh kenyataan bahwa
sebagian besar lulusan perguruan tinggi
adalah lebih sebagai pencari kerja (job
seeker) daripada pencipta lapangan kerja
(job creator). Hal ini bisa disebabkan
karena sistem pembelajaran yang diterapkan
diberbagai perguruan tinggi saat ini lebih
terfokus pada bagaimana menyiapkan para
mahasiswa
yang cepat
lulus dan
mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan
yang siap menciptakan pekerjaan. Di
samping itu, aktivitas kewirausahaan
(entrepreneurial activiy) relatif masih
rendah (Dikti,2011:2).
Dengan
gencarnya
pendidikan
kewirausahaan, baik yang diintegrasikan
dalam
kurikulum
maupun
kegiatan
kemahasiswaan, pada 2014 ditargetkan
sebanyak 20 persen lulusan perguruan
tinggi
berhasil
menjadi
usahawan.
Penciptaan komunitas usahawan dari
kalangan dosen dan lulusan perguruan
tinggi ini ditargetkan bisa mempercepat
penambahan jumlah usahawan Indonesia
yang saat ini baru berjumlah 0,18 persen
dari ideal 2 persen yang dibutuhkan untuk
menggerakkan
pertumbuhan
ekonomi
bangsa.
Perguruan Tinggi sejak awal telah
menyertakan pendidikan kewirausahaan
dalam kurikulumnya. Diharapkan dengan
adanya pendidikan kewirausahaan tersebut,
mahasiswa dapat mengembangkan jiwa
wirausaha.
b. Arah Pendidikan Kewirausahaan
di Perguruan Tinggi
Berbagai bersumber dari fakta
rendahnya jumlah entrepreneur dan
kesulitan
melahirkan
entrepreneur
menjadikan
kebutuhan
pendidikan
kewirausahaan makin relevan dengan
perubahan
lingkungan
global
yang
menuntut adanya keunggulan, pemerataan,
dan persaingan. Peranan perguruan tinggi
dalam
melaksanakan
pembelajaran
kewirausahaan menjadi sangat penting.
Dahulu,
pola
pembelajaran
kewirausahaan
tidak
secara
formal
dilembagakan. Bekal motivasi dan sikap
mental entrepreneur terbangun secara
alamiah, lahir dari keterbatasan dan
semangat
survival.
Berwirausaha
merupakan kegiatan yang dilakukan turun
temurun dari mereka yang terlahir dari
keturunan pengusaha.
Fenomena sekarang menunjukkan
bahwa kewirausahaan adalah suatu disiplin
ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan.
Menurut
Ciputra,
kompetensi
kewirausahaan bukanlah ilmu magic.
Pendidikan tinggi, perlu mengajarkan tiga
kompetensi kepada mahasiswanya, yakni
menciptakan kesempatan (opportunity
creator), menciptakan ide-ide baru yang
orisinil (inovator) dan berani mengambil
resiko
dan
mampu
menghitungnya
(calculated risk taker). Peran yang
dilakukan perguruan tinggi adalah: (i)
internalisasi nilai-nilai kewirausahaan, (ii)
peningkatan
ketrampilan
(transfer
knowledge) dalam aspek pemasaran,
finansial, dan teknologi; dan (iii) dukungan
berwirausaha (business setup) (Vallini and
Simoni, 2007).
Jiwa wirausaha diharapkan menjadi
kerangka berpikir (mind set) generasi muda
di tengah keterbatasan pemerintah dalam
penyediaan lapangan kerja saat ini. Belajar
kewirausahaan menekankan pembentukan
cara berpikir. Para generasi muda yang
sekarang sedang bersekolah atau kuliah
kelak mempunyai cara pandang baru dan
membawa perubahan dalam menghadapi
suatu kehidupan, pengaturan keuangan,
dasar manajemen, hingga rencana bisnis.
Menurut ASHE Higher Education
Report
(2007),
keberhasilan
studi
116
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
mahasiswa ditentukan oleh dua ukuran,
yakni (i) jumlah waktu dan upaya
mahasiswa
terlibat
dalam
proses
pembelajaran
dan
(ii)
kemampuan
perguruan tinggi menyediakan layanan
sumberdaya, kurikulum, fasilitas dan
program aktivitas yang menarik partisipasi
mahasiswa untuk meningkatkan aktualisasi,
kepuasan dan ketrampilan. Dalam konteks
pendidikan kewirausahaan, nampaknya
partisipasi mahasiswa dan kemampuan
perguruan tinggi perlu disinergikan, agar
menyediakan layanan sebaik-baiknya agar
melahirkan student entrepreneur. Dengan
demikian, melalui pendidikan dapat
direncanakan kebutuhan jumlah maupun
kualitas entrepreneur.
Karakter keilmuan kewirausahaan
didisain untuk mengetahui (to know),
melakukan (to do), dan menjadi (to be)
entrepreneur.
Tujuan
pendidikan to
know dan to doterintegrasi di dalam
kurikulum program studi, terdistribusi di
dalam mata-mata kuliah keilmuan. Integrasi
dimaksudkan untuk internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan.
Dalam
tahapan
ini,
perguruan tinggi menyediakan matakuliah
kewirausahaan yang ditujukan untuk bekal
motivasi dan pembentukan sikap mental
entrepreneur. Sementara itu tujuan to
be entrepreneur diberikan dalam pelatihan
ketrampilan bisnis praktis. Mahasiswa
dilatih merealisasikan inovasi teknologi ke
dalam praktek bisnis.
Program
penguatan
untuk
mendorong aktivitas berwirausaha dan
percepatan pertumbuhan wirausaha baru
telah dicanangkan pemerintah.
Untuk
menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan
dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan
agar para lulusan perguruan tinggi lebih
menjadi pencipta lapangan kerja daripada
pencari kerja, maka diperlukan suatu usaha
nyata. Departemen Pendidikan Nasional
telah mengembangkan berbagai kebijakan
dan program mendukung terciptanya
lulusan perguruan tinggi yang lebih siap
bekerja dan menciptakan pekerjaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah
mengembangkan
beragam
program
kewirausahaan,
seperti
PKMKewirausahaan, Co-op Education, Magang
Kewirausahaan dan Program Mahasiswa
Wirausaha
atau
PMW
(Student
Entrepreneur
Program)
untuk
menjembatani para mahasiswa memasuki
dunia bisnis rill melalui fasilitasi start-up
bussines, magang dan kemitraan dengan
perusahaan.
Aktivitas ekstra kurikuler mahasiswa
yang sistematik juga dapat membangun
motivasi dan sikap mental entrepreneur.
Pembinaan mahasiswa dalam berbagai
kegiatan minat dan bakat, keilmuan,
kesejahteraan atau keorganisasian lainnya
mampu memberikan keterampilan untuk
berwirausaha, dalam pengertian wirausaha
bisnis,
wirausaha
sosial
maupun
wirausaha corporate (atau intrapreneur).
Secara nasional, untuk mendukung
kebijakan
peningkatan
akses
dan
pemerataan pada pendidikan tinggi,
semakin
bertambah
program
yang
ditawarkan. Perguruan tinggi mendirikan
program vokasional yang memberikan
ketrampilan wirausaha, setara diploma atau
kursus. Ada pula program ekstensi yang
memberi peluang para wirausaha untuk
kuliah, yang disebut entrepreneur student,
yang sudah masuk ranah psikomotorik
kewirausahaan. Menurut Robinson, Huefner
dan Hunt (1991), mereka ini memiliki
karakter yang tinggi dalam inovasi, praktek
bisnis, kepercayaan diri dan pengendalian.
Mereka adalah pelaku bisnis, yang juga
ingin
meningkatkan
kemampuan
berwirausaha.
Memang ironis menyaksikan dunia
ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak
lulusan pendidikan tinggi yang bingung
mencari lowongan kerja. Sebaliknya banyak
kita jumpai seseorang dengan pendidikan
formal minim, tetapi bisa sukses luar biasa
dalam pekerjaannya. Mengapa begitu
117
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
banyak pengangguran di negara yang kaya
sumber daya alam dan keramahan iklim ini?
Adakah yang salah dengan pendidikan
formal kita? Atau bahkan, seperti
dinyatakan Ivan Illich dalam bukunya
Deschooling Society (1972), pendidikan
formal terlalu banyak menyerap biaya,
hasilnya kurang optimal, dan lebih parah
lagi banyak menghasilkan tenaga pemalas
yang tidak terampil dan hanya menjurus
kepada pekerjaan formal, tanpa mau tahu
dengan kondisi riil di lapangan.
Konsep pendidikan yang ada di
Indoensia sekarang ini cenderung berbentuk
institusi bank menurut konsep Freire, di
mana pihak pendidik secara searah
memberikan
pengetahuannya
kepada
peserta didik sehingga bisa terkumpul
segebok ilmu. Pendidikan formal yang
diberikan di bangku sekolah maupun
perguruan tinggi hanya terpaku pada
penguasaan hard skills. Bahkan sangatlah
kurang dengan mengkaitkan kenyataan yang
terjadi di dunia realitas.
Penelitian
menunjukkan,
keberhasilan seseorang bukan ditentukan
oleh kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh
faktor lainnya yang sangat penting.Tingkat
kecerdasan cuma menyumbang sekitar 2030
persen
keberhasilan,
selebihnya
ditentukan soft skills. Penelitian National
Association of Colleges and Employers
(NACE) pada tahun 2005 menunjukkan
pengguna tenaga kerja membutuhkan
keahlian kerja berupa 82 persen soft skills
dan 18 persen hard skills. Soft skills,
menurut Berthall (dalam Diknas, 2008),
adalah tingkah laku personal dan
interpersonal yang dapat mengembangkan
dan memaksimalkan kinerja seseorang
manusia. Dengan demikian, kemampuan
soft skills tercermin dalam perilaku
seseorang yang memiliki kepribadian, sikap,
dan perilaku yang dapat diterima dalam
kehidupan bermasyarakat.
Selaras dengan kemampuan soft
skills, maka para peserta didik perlu
dibekali dengan pendidikan kemampuan
kewirausahaan (entrepreneurship) yang
andal. Dengan dibekali pengetahuan
kewirausahaan yang memadai, disertai segisegi praksisnya, para lulusan mempunyai
kemauan dan kemampuan yang memadai,
sehingga tidak merasa kebingungan ketika
harus memasuki pasaran kerja. Joseph
Schumpeter sebagai pakar ekonomi
kelembagaan berpendapat, kewirausahaan
sangat penting dalam menentukan kemajuan
perekonomian suatu negara.
3. Pengembangan
NilaiNilai
Karakter Mahasiswa Melalui Mata
Kuliah Kewirausahaan
Jika
dahulu
kewirausahaan
merupakan bakat bawaan sejak lahir dan
diasah melalui pengalaman langsung di
lapangan, maka sekarang ini paradigma
tersebut telah bergeser. Kewirausahaan
telah menjadi suatu disiplin ilmu yang
mempelajari tentang nilai, kemampuan
(ability) dan perilaku seseorang dalam
menghadapi
tantangan hidup untuk
memperoleh peluang dengan berbagai
resiko yang mungkin dihadapinya.
Sebagai suatu disiplin ilmu, maka
ilmu kewirausahaan dapat dipelajari dan
diajarkan, sehingga setiap individu memiliki
peluang untuk tampil sebagai seorang
wirausahawan (entrepreneur).
Bahkan untuk menjadi wirausahawan
sukses, memiliki bakat saja tidak cukup,
tetapi juga harus memiliki pengetahuan
segala aspek usaha yang akan ditekuninya.
Tugas dari wirausaha sangat banyak, antara
lain
tugas
mengambil
keputusan,
kepemimpinan
teknis,
kepemimpinan
organisatoris dan komersial, penyediaan
modal dll.
Ciri-ciri seseorang yang mempunyai
jiwa kewirausahaan adalah 1) Percaya diri;
2) Berorientasi pada tugas dan hasil; 3)
Keberanian
mengambil
resiko;
4)
Kepemimpinan; 5) Berorientasi ke masa
depan ;6) Kreatif inovatif; 7) Memiliki
tenaga dalam.
118
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dari
ciri-ciri
tersebut
dapat
dijelaskan:
a. Percaya Diri
Percaya diri merupakan suatu sikap
dan keyakinan seseorang dalam menghadapi
tugas atau pekerjaan. Dalam praktik, sikap
dan keyakinan ini merupakan tindakan
untuk
memulai,
melakukan
dan
menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan
yang dihadapi dengan rasa optimis. Orang
yang memiliki rasa percaya diri cenderung
memiliki keyakinan akan kemampuannya
dalam mencapai
keberhasilan,optimis,
individualitas, dan ketidaktergantungan.
b. Berorientasi pada Tugas dan Hasil
Orang yang mengutamakan tugas
dan hasil adalah orang yang selalu
mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi,
berorientasi pada laba, ketekunan dan
ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai
dorongan kuat, energik, dan berinisiatif. Ia
seringkali berpikiran jauh kedepan dan
sangat kreatif dalam melihat suatu peluang
usaha yang baru.
Berinisiatif artinya selalu ingin
mencari dan memulai. Untuk memulai
diperlukan niat dan tekad yang kuat, serta
karsa yang besar. Sekali sukses atau
berprestasi, maka sukses berikutnya akan
menyusul, sehingga usahanya semakin maju
dan semakin berkembang.
c. Berani Mengambil Resiko
Ciri utama yang paling menonjol
adalah keberanian mengambil risiko untuk
memulai usaha sendiri. Tanpa keberanian
ini, tak ada usaha yang bias terbentuk.
Namun, tentu saja keberanian ini bukanlah
keberanian yang membabi buta, melainkan
keberanian yang disetai dengan perhitungan
yang matang sebelum sebuah keputusan
yang mengandung risiko diambil.Dengan
demikian, berani menanggung risiko yang
dimaksudkan adalah pengambilan risiko
yang penuh dengan perhitungan dan
realistik, bukan asal-asalan. Kepuasan akan
diperoleh apabila usaha yang dilakukan
berhasil secara maksimal.
d. Kepemimpinan
Seorang wirausaha yang berhasil
selalu memiliki sifat kepernimpinan,
kepeloporan, dan keteladanan . Minimal
menjadi pemimpin bagi dirinya dalam
mengambil keputusan yang terkait dengan
usahanya. Kepemimpinan yang baik
memang
sangat
dibutuhkan
dalam
mengelola sebuah bisnis usaha, terkait
nantinya dengan bagaimana cara seseorang
tersebut mengelola dan berinteraksi dengan
bawahan, serta mengambil berbagai langkah
dengan kebijakan di dalam tubuh organisasi
bisnis.
e. Berorientasi ke Depan
Orang yang berorientasi ke masa
depan adalah orang yang memiliki
perspektif dan pandangan ke masa depan.
Karena ia memiliki pandangan yang jauh ke
masa depan, maka selalu berusaha untuk
berkarsa dan berkarya. Kuncinya pada
kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda dengan yang sudah
ada sekarang. Meskipun dengan risiko yang
mungkin terjadi, ia tetap tabah untuk
mencari peluang dan tantangan demi
pembaharuan masa depan.
Pandangan yang jauh ke depan,
membuat wirausaha tidak cepat puas
dengan karsa dan karya yang sudah ada
sekarang. Oleh sebab itu, ia selalu
mempersiapkannya dengan mencari suatu
peluang.
f. Kreativitas dan Inovasi
Kreativitas
diartikan
sebagai
kemampuan mengembangkan ide-ide baru
dan untuk menemukan cara-cara baru dalam
memecahkan persoalan dan mencari
peluang.
Keinovasiandiartikan
sebagai
kemampuan untuk menerapkan kreatifitas
dalam rangka memecahkan persoalanpersoalan dan peluang untuk mempertinggi
dan meningkatkan taraf hidup.
Oleh karena itu, kewirausahaan
adalah "thinking and doing new things or
old thinks in new ways" Kewirausahaan
119
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
adalah berpikir dan bertindak sesuatu yang
baru atau berpikir sesuatu yang lama dengan
cara-cara baru.
g. Memiliki Tenaga Dalam
Memiliki tenaga dalam artinya
bahwa seorang wirausaha harus memiliki :
keuletan, ketabahan, ketekunan, kejujuran,
kedisiplinan,
ketulusan,
keikhlasan,
kesopanan, keramahan dll.
Ciri-ciri wirausaha di atas apabila
dihubungkan dengan pendidikan karakter
pada
dasarnya
sejalan
dengan
pengembangan
nilaiuntukpendidikan
budayadan
karakterbangsa.
Melalui
pendidikan
kewirausahaan
akan
memberikan bekal kepada mahasiswa
tentang berwirausaha. Apabila dalam diri
mahasiswa sudah mulai tumbuh jiwa
berwirausahanya, maka dengan sendirinya
upaya pembentukan karakter akan berjalan.
Pendidikan
pada
dasarnya
mempunyai dua tujuan, yang pertama
adalah instruksional effect dan yang kedua
adalah natural effect. Intrukasional effect
adalah yang berkaitan dengan penguasaan
ilmu pengetahuan dan natural effect adalah
berkaitan dengan sikap dan perilaku. Sikap
dan perilaku ini yang harus dikembangkan
melalui pendidikan karakter.
Pendidikan
kewirausahaan
di
Perguruan Tinggi diberikan melalui mata
kuliah kewirausaan yang merupakan media
yang sesuai untuk membentuk karakter
mahasiswa.
Melalui
mata
kuliah
kewirausahaan akan dapat dikembangkan
karakter mahasiswa yang sesuai dengan
budaya dan karakter bangsa yang terus
dikembangkan,yaitu ; jujur, disiplin, kreatif
dan inovatif, tanggungjawab, kerja keras,
ulet, dan rasa peduli sosial.
Apabila jiwa kewirausahaan sudah
tertanam dalam diri mahasiswa, maka di
dalam dirinya akan terbentuk rasa tanggung
jawab yang tinggi. Karakter tanggung jawab
itu akan muncul karena seorang yang
mempunyai
jiwa
wirausaha
pasti
mempunyai jiwa kepemimpinan dan rasa
percaya diri yang tinggi. Karakter kreatif
dan inovatif juga akan terbentuk apabila
mahasiswa mempunyai jiwa wirausaha,
karena seorang wirausaha harus kreatif
mengembangkan usaha yang ditekuninya
agar dapat berkembang dan bersaing secara
sehat. Seorang wirausahawan juga harus
inovatif untuk menemukan ide-ide baru
berkaitan dengan pengembangan usahanya.
Karakter yang sangat penting dalam
berwirausaha adalah disiplin dan jujur,
karena tanpa karakter ini seorang
wirausahawan akan sulit berkembang dan
maju. Kejujuran dalam berbisnis apa saja
adalah hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, banyak orang yang gagal dan
hancur usaha bisnisnya karena mereka tidak
jujur. Pengembangan karakter yang lain
adalah kerja keras, seorang mahasiswa yang
mempunyai jiwa kewirausahaan akan
muncul di dalam dirinya tenaga dalam yang
dapat menggerakkan jiwanya untuk
memiliki
keuletan,
ketabahan,
dan
ketekunan dalam berusaha. Mereka tidak
akan mudah menyerah menghadapai segala
tantangan, mereka akan mempunyai
semangat untuk selalu menyelesaikan
apapun yang telah direncanakan. Budaya
dan karakter peduli social juga akan dapat
dikembangkan melalui
mata
kuliah
kewirausahaan,
karena
seorang
wirausahawan juga dituntut untuk selalu
bersikap ramah dan komunikatif kapada
siapapun terutama kepada konsumennya.
D. KESIMPULAN
Jiwa wirausaha diharapkan menjadi
kerangka berpikir (mind set) generasi muda
di tengah keterbatasan pemerintah dalam
penyediaan lapangan kerja saat ini.
Belajar kewirausahaan menekankan
pembentukan cara berpikir. Para generasi
muda yang sekarang sedang bersekolah atau
kuliah kelak mempunyai cara pandang baru
dan
membawa
perubahan
dalam
menghadapi suatu kehidupan, pengaturan
120
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
keuangan, dasar manajemen, hingga
rencana bisnis.
Pendidikan kewirausahaan juga
tidak terbatas pada mata kuliah tertentu saja.
Setiap mata mata kuliah pada dasarnya
dapat diintegrasikan ke berbagai bidang
lainnya. Setiap bidang kehidupan dapat
dikombinasikan dengan kewirausahaan.
Dengan demikian, peserta didik mempunyai
banyak pilihan dan tidak sekadar menjadi
pekerja. Oleh karena itu salah satu
kebijakan pemerintah provinsi ke depan
ialah menjadikan perguruan tinggi di
Yogyakarta
sebagai Ecoentrepreneurial
Campus.
Ecoentrepreneurial
Campus adalah sebuah istilah
untuk
mengembangkan
peluang
pembangunan ecoentrepreneurial
campus di Yogyakarta. Secara ideal,
kampus harus menunjukkan keramahan
lingkungan yang dilengkapi dengan
prasarana bersifat kewirausahaan.
Mata
kuliah
kewirausahaan
diberikan
kepada
mahasiswa
untuk
membelajarkan dan malatihkan jiwa
kewirausahaan.
Jiwa
kewirausahaan
mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan
budaya dan karakter bangsa yang pada saat
ini mendapat perhatian serius dunia
pendidikan.
Melalui
mata
kuliah
kewirausahaan akan dapat dikembangkan
budaya dan karakter; tanggung jawab, kerja
keras, keuletan dan ketekunan, kreatif dan
inovatif, disiplin, jujur, dan peduli sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,Asyumardi,2006.Paradigma Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi,
Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
DP2M.Kemdiknas-Dikti.2011.Pedoman PMW.Jakarta: DP2M.
Gordon, Stewart, 2008. Asia Menguasai Dunia, Jakarta :Ufuk Press.
Haris, Iskandar, 2004. Potret Juragan dari SMK, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan, Depdiknas
http://stibainvada.ac.id/kampus/index.php
http://korantempo.com/korantempo/2007/12/08
http://widyagama.ac.id/r09/index.php?
Jalal, Fasli (ed), 2001. Reformasi Pendidikan dalam KonteksYogyakarta : Adicita Karya
Nusa.
Kirshheimer, DW., 1989. Public Entrepreneurship and Sub-National Government, Polity,
Nomor 22.
Muhamad, Fadel, 1992. Industrialisasi dan Wiraswasta Menuju Masyarakat Belah
Ketupat, Gramedia, Jakarta.
----------, 2007. Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah Daerah,
Gadjah Mada University Press.
Suyanto,M. 2007. Revolusi Strategis Mengubah Proses Bisnis untuk Meledak Perusahaan,
andi Offset, Yogyakarta.
----------. 2004.Smart in Entrepreneur, Belajar dari pengusaha top Dunia, Andi Offset,
Yogyakarta.
Tata Sutabri, Peran Pendidikan Tinggi Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi
WirausahawanHttp://www.E-Net/Artikel/Artikel_Files/Wirausahawan.Doc.
121
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
122
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
STRATEGI PENGUATAN KARAKTER PESERTA DIDIK
MELALUI KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA SEKOLAH
Bambang Sumardjoko
Ilmu Pendidikan FKIP UMS
Jl. A. Yani, Tromol Pos 1, Pabelan, Kartasura, Surakarta 57102
Email: [email protected]
ABSTRAK
Globalisasi menjadikan masyarakat dunia semakin terhubungkan satu sama
lain dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam perkembangannya, globalisasi telah
menciptakan budaya baru yang bercirikan modern. Dalam konteks pendidikan,
modernitas selama ini telah menjerumuskan dunia pendidikan ke dalam problem
mekanik teknikalistik. Pendidikan pada akhirnya hanya diarahkan pada
pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan sehingga membuat dunia
persekolahan tak ubahnya seperti mesin yang hanya memproduksi lulusan, yang
telah kehilangan sisi-sisi kemanusiaannya. Norma agama atau budaya nyaris tak
mampu membendung informasi yang mendorong terjadinya dekadensi moral.
Karena itulah diperlukan sebuah paradigma baru untuk kepentingan belajar dan
mengajar, terutama untuk tujuan pembentukan karakter peserta didik.
Pendidikan adalah memanusiakan manusia dan pembentukan karakter
bangsa. Untuk mencapai tujuan itu , maka proses pendidikan secara integratif
seharusnya mengembangkan nalar rasional dan spiritual. Karena tujuan utama
pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara
intelektual, emosional, dan spiritual.Dibutuhkan, model penguatankarakter yang
mendasarkan padaketigakecerdasan tersebut.
Penguatan karakter peserta didik menjadi tanggung jawab bersama para
orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Pendidik adalah pemimpin
pendidikan. Melalui kepemimpinannya mereka dapat melakukan peran dancara
apa pun, ke peserta didik. Pendidik yang mampu menunjukkan sikap dan
keteladanan terpuji akan menjadikan makin menguatnya karakter peserta didik.
Budayasekolah yang
kuatmampumenyatukantujuan,
menciptakanmotivasi,
komitmendanloyalitasseluruhanggota.Karenaitu pengembangan budaya dan
karakter bangsa hanya dapat dilakukan dengan mensinergikanlingkungan
keluarga, sosial budaya masyarakat, dan bangsa melalui peneladanan dan
penciptaan lingkungan yang kondusif bagi penguatan moral dan karkater peserta
didik,
Kata kunci: kepemimpinan, budaya sekolah, dan penguatan karakter.
A. PENDAHULUAN
Saat ini, kita bangsa Indonesia
berada di era globalisasi. Karena dukungan
teknologi informasi dan transportasi maka
di era globalisasi ini makin memudahkan
manusia bergerak dan pergi ke mana pun
tanpa batas, mengubah wajah dunia dan
karakteristik lingkungan kehidupan. Begitu
pesatnya perubahan yang terjadi akibat
globalisasi maka hasilnya sering sulit
123
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
diprediksi. Menurut Drucker (dalam Heller,
2000: 21), perubahan yang begitu pesat dan
mendasar, bahkan revolusioner itu disebut
sebagai era turbulensi. Pada era ini manusia
hidup dalam dunia yang saling berhubungan
secara global, di mana fenomena biologis,
fisik, sosial, budaya, dan lingkungan saling
terjadi ketergantungan. Manusia tidak lagi
bersifat antroposentrik tetapi manusia harus
menghormati berbagai unsur lainnya dan
tidak berhak mendominasi atau menguasai
berbagai unsur lainnya yang ada.
Dalam perkembangannya globalisasi
melahirkan bentuk kapitalisme baru, bahkan
dengan dukungan teknologi elektronika
telah menciptakan budaya dunia yang baru.
Di satu sisi budaya baru ini membawa
kemajuan secara signifikan di berbagai
bidang akan tetapi pada sisi lain budaya
baru itu ternyata menjadi ancaman terhadap
eksistensi
berbagai
bentuk
warisan
kebudayaan lokal yang selama ini menjadi
jati diri bangsa. Globalisasi dunia dapat
meleburkan semua identitas bangsa dan
membangun tatanan dunia baru yang
mengglobal. Dalam keadaan semacam itu,
Jameson (1991) mengatakan ‘subjek telah
mati‘ dan pada titik tertentu dapat
menjadikan
masyarakat
mengalami
keterasingan.
Proses dehumanisasi sebagaimana di
atas, oleh Kuntowijoyo (2006) digambarkan
sebagai
masyarakat
kapitalis
yang
kehilangan sifat-sifat manusiawinya, dan
kaum tertindas menjadi alat pembuat
keuntungan semata. Para pekerja kehilangan
jati diri, menjadi atom ekonomi dan bekerja
sesuai dengan perintah dari manajemen
yang serba atomistik. Begitu juga para
manajer industri dapat kehilangan dirinya
sendiri, karena seperti juga pekerja,
semuanya menghadapi raksasa yang
impersonal. Dalam konteks pendidikan,
modernitas
menjerumuskan
dunia
pendidikan ke dalam problem mekanik
teknikalistik. Pendidikan pada akhirnya
hanya diarahkan pada pembentukan
kemampuan ilmu pengetahuan sehingga
membuat dunia persekolahan tak ubahnya
seperti mesin yang hanya memproduksi
lulusan, yang telah kehilangan sisi-sisi
kemanusiaannya (Abdullah, 2008).
Dalam bidang pendidikan, peluang
dan ancaman yang ditimbulkan oleh
integrasi global menurut Gardner (2004)
bergerak melalui tiga saluran utama.
Pertama, globalisasi memungkinkan peserta
didik dan bangsa-bangsa untuk beroperasi
lebih efektif dalam perekonomian global
yang
semakin
kompetitif.
Kedua,
globalisasi menjadikan negara-negara lebih
dekat sehingga diperlukan kemampuan
komunikasi
lintas nasional.
Ketiga,
globalisasi
berpengaruh
terhadap
meningkatnya
kecepatan
perubahan
pendidikan. Tantangan penting yang
ditimbulkan oleh globalisasi bagi dunia
pendidikan adalah ketegangan antara laju
perubahan kelembagaan pendidikan dan
cepatnya transformasi ekonomi, sosial, dan
budaya yang terjadi.
Kompleksitas
globalisasi
yang
semakin meningkat sebagaimana di atas
mengakibatkan perlunya sebuah paradigma
baru untuk kepentingan belajar dan
mengajar (Yoesoef, 2012). Penguasaan dan
berbagai regulasi mekanik memberi jalan
pada paradigma baru yang mampu
memobilisasi
individu
menggunakan
pengetahuan dan budaya secara fleksibel
(Maksum, 2004). Karena itu, untuk
meningkatkan kualitas pendidikan perlu
mempertimbangkan
kemampuan
masyarakat lokal dan nasional guna
mendukung dan memvalidasi ‘pengetahuan
dan budaya lokal‘ sebagai sebuah model
pendidikan (Al-Shalabi, 2011). Kehidupan
anak-anak yang tumbuh dewasa ini
dibentuk oleh proses perekonomian dan
budaya masyarakat global. Untuk itulah
maka sistem pendidikan nasional secara
ideal harus proaktif mempersiapkan
pembentukan peserta didik agar mampu
menghadapi tantangan baru globalisasi.
124
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimanakah dengan sistem pendidikan
nasional kita? Sudahkah sistem pendidikan
nasional menghasilkan peserta didik
berkarakter kuat? Atas pertanyaan tersebut
maka
sebagian
pakar
pendidikan
menyatakan bahwa proses pendidikan
dirasakan belum sepenuhnya berhasil
membangun karakter manusia Indonesia
seutuhnya. Tampaknya, masih terdapat
kesenjangan antara materi yang diajarkan di
kelas dengan praktik di tengah masyarakat.
Banyak warga bangsa kita yang terlibat
dalam kasus-kasus korupsi, narkoba, tindak
kriminal, dan perilaku negatif lainnya, yang
notabene dilakukan oleh orang-orang yang
berpendidikan.
Keteladanan,
kepemimpinan, dan dukungan lingkungan
sosial budaya yang diharapkan datang dari
pribadi dewasa, orang tua, guru, dan tokoh
masyarakat dirasakan masih kurang.
Bahkan, untuk masalah yang sederhana,
yakni kejujuran, sekarang ini menjadi hal
yang sangat langka.
Memang harus diakui bahwa banyak
faktor yang turut menentukan keberhasilan
proses pendidikan peserta didik, yang di
antaranya adalah faktor kepemimpinan dan
budaya sekolah. Karena itu, pertanyaannya
adalah bilakah kedua faktor tersebut dapat
digunakan sebagai sebuah strategi untuk
memberikan penguatan karakter peserta
didik?Tulisan ini dimaksudkan memberikan
penawaran, yakniadanya sebuah gagasan
tentang pentingnya faktor kepemimpinan
dan budaya sekolah sebagai sebuah strategi
penguatan
karakter
peserta
didik.
Sistematika tulisan ini dimulai dari potret
pendidikan di tanah air saat ini, kemudian
tentang konsep pendidikan humanis
sebagaimana diamanatkan undang-undang
sisdiknas, dan diakhiri dengan sebuah
strategi pendidikan yang sekiranya dapat
memberikan penguatan karakter peserta
didik yang sesuai dengan jati diri bangsa.
B. POTRET PENDIDIKAN DEWASA
INI
Praktik pendidikan suatu bangsa
tidak terlepas dari dan dengan orientasi
pendidikan yang dianutnya. Menurut
Zamroni (2001), dalam praktik pendidikan
akan diketahui dasar-dasar apa yang
digunakan untuk meramalkan kualitas yang
dihasilkan pendidikan. Meski peningkatan
kualitas dan kuantitas pendidikan terus
dipacu dengan program rehabilitasi gedunggedung sekolah, penyempurnaan penyaluran
dana bantuan operasional sekolah (BOS),
dan peningkatan kualitas guru dan dosen
ternyata capaian pendidikan nasional masih
di bawah negara-negara tetangga terdekat,
seperti Malaysia dan Philipina. Menurut
Human Development Index (HDI) 2011, di
bidang pendidikan, Indonesia berada pada
urutan ke-12 dari 21 negara-negara di Asia
Pasifik.
Pendidikan berperan besar dalam
pembangunan
bangsa.
Paradigma
pendidikan ini sesuai dengan paradigma
pendidikan fungsional yang beranggapan
bahwa keterbelakangan dan kemiskinan
masyarakat
disebabkan
oleh
tidak
dimilikinya ilmu pengetahuan, kemampuan,
dan sikap modern. Karena itu, pendidikan
harus
berperan
mengembangkan
kompetensi
individu,
meningkatkan
produktivitas,
dan
meningkatkan
kemampuan warga masyarakat. Namun
demikian,
dalam
praktiknya
kedua
paradigma tersebut melahirkan berbagai
ekses negatif, yakni melahirkan pendidikan
yang bersifat analitis-mekanistis dengan
mendasarkan doktrin reduksionisme dan
mekanistik, bahkan para pengambil
kebijakan menjadikan pendidikan itu
sebagai engine of growth, penggerak, dan
sebagai lokomotif pembangunan.
Paradigma
modern di
dunia
pendidikan setidaknya telah mampu
menghasilkan peserta didik yang cerdas,
pandai, terampil, dan menguasai berbagai
kompetensi. Hal ini bisa kita saksikan anak-
125
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
anak bangsa ini yang telah mampu meraih
prestasi kejuaraan di berbagai ajang
kompetisi ilmu pengetahuan dunia dengan
nilai tertinggi. Namun, harus diakui bahwa
pada sisi lain, kita menyaksikan berbagai
hal di tanah air yang menunjukkan
dekadensi moral dan karakter bangsa di
kalangan peserta didik. Belum lagi,
berbagai praktik korupsi para birokrat,
kurangnya empati, dan pudarnya solidaritas
di tengah masyarakat adalah sekian dari
fenomena yang tampak di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia saat ini. Banyaknya
lulusan sekolah atau sarjana yang piawai
dalam menjawab soal ujian dan berotak
cerdas, tetapi mental dan moralnya ternyata
lemah. Banyaknya peserta didik yang hanya
mengejar
prestasi
dengan
budaya
menerabas, cara-cara instan, dan makin
maraknya plagiarisme. Mereka ini telah
gagal dalam memahami dan menghargai
makna dari sebuah proses karena mereka
hanya berorientasi pada hasil akhir yang
serba nyata dan kuantitatif.
Dalam pada itu, di lingkungan
masyarakat sering ditemukan bahwa sejak
kecil anak-anak diajarkan menghapal
tentang pentingnya sikap jujur, berani, kerja
keras, disiplin, kebersihan, dan jahatnya
kecurangan. Namun, pada kenyataannya
sering kali nilai-nilai kebaikan itu hanya
diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan
di atas kertas dan hapalan sebagai bahan
yang wajib dipelajari. Belum lagi, dalam
masalah praktik Ujian Akhir Nasional
(UAN). Ide atau gagasan penyelenggaraan
UAN adalah baik. Namun, di lapangan
ternyata banyak yang mencoba untuk
menyiasati bagaimana agar siswanya bisa
lulus semua.
Dominasi ipteks dengan penerapan
rasio manusia sebagai ukuran kebenaran
juga menyebabkan masyarakat modern
mengalami degradasi, krisis moral, dan
krisis sosial. Manusia hanya sebagai alat
dominasi terselubung dari imperialisme dan
hegemoni kapitalistik. Proses pendidikan
yang hanya diarahkan pada kepentingan
rasio atau nalar rasionalitas akan
mendatangkan
bencana
kemanusiaan.
Norma agama atau budaya nyaris tak
mampu membendung informasi yang
mendorong terjadinya dekadensi moral.
Norma hukum dan peraturan perundangundangan
mudah
dibongkar-pasang,
didekonstruksi, dan direkonstruksi sesuai
dengan kepentingan tertentu. Menurut Nata
(2003), kegagalan dunia pendidikan di
Indonesia disebabkan oleh dunia pendidikan
selama ini hanya membina kecerdasan
intelektual, wawasan, dan keterampilan,
tanpa diimbangi dengan pembinaan
kecerdasan emosional. Pendidikan hanya
mengedepankan aspek keilmuan dan
kecerdasan intelektual peserta didik.
Adapun aspek moral dan etis sebagai basis
pembentukan karakter dan budaya bangsa
semakin kurang diperhatikan bahkan
terpinggirkan.
Rapuhnya karakter dan budaya
dalam kehidupan suatu bangsa dapat
membawa kemunduran dalam peradaban
bangsa. Sebaliknya, kehidupan masyarakat
yang memiliki karakter dan budaya kuat
akan semakin memperkuat eksistensi suatu
bangsa dan negara. Bangsa yang kuat pada
hakikatnya merupakan representasi dari
masyarakatnya yang berkarakter kokoh dan
kuat. Inilah gambaran singkat tentang
pendidikan kita dewasa ini.
Deskripsi praktik pendidikan di atas
bukanlah bermaksud menafikan hasil-hasil
pendidikan tetapi semata-mata hasil
persepsi dan pengamatan terhadap praktik
pendidikan di tengah masyarakat sekarang
ini. Berhubung filosofi pendidikan secara
makro dan hendak ke mana pendidikan
nasional diarahkan sering tampak tidak jelas
maka dalam membenahi masalah-masalah
pendidikan, para pemegang kebijakan
pendidikan cenderung hanya melakukan
tambal-sulam dan memenuhi selera
kepentingan
politik.
Karena
itulah,
reformasi paradigma pendidikan agar
126
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tercipta pendidikan yang humanis dan
memberdayakan sebagaimana diamanatkan
undang-undang sistem pendidikan nasional
perlu secara terus-menerus ditingkatkan.
C. PENDIDIKAN YANG HUMANIS
1. Pendidikan dan Pemanusiaan
Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003, bab I
menjelaskan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Menurut Azra (2002), pendidikan
adalah suatu proses penyiapan generasi
muda untuk menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih
efektif dan efisien. Melalui kegiatan
pendidikan dan pembelajaran, peserta didik
diharapkan
mampu
mengubah
dan
mengembangkan diri menjadi semakin
dewasa, cerdas, dan matang. Dengan
demikian, pendidikan pada hakikatnya
merupakan sistem proses perubahan menuju
pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan
diri peserta didik.
Pendidikan adalah memanusiakan
manusia. Menurut Drost (1998) pendidikan
seharusnya diselenggarakan sebagai alat
untuk memanusiakan manusia. Pemahaman
terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai
dasar pendidikan akan menempatkan harkat
dan martabat kemanusiaan tidak hanya
dapat dimainkan oleh nalar rasio semata,
tetapi terintegratif antara nalar rasional dan
spiritual. Dalam konteks seperti ini menjadi
penting bila pengembangan kemampuan
peserta didik diarahkan pada tiga ranah
dasar pembelajaran, yakni ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik (Bloom, 1995).
Ketidakmampuan mengembangkan ketiga
ranah tersebut akan melahirkan output
pendidikan yang tidak seimbang.
Pendidikan
adalah
upaya
mengembangkan potensi-potensi manusiawi
peserta didik sehingga potensi itu menjadi
nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan
hidupnya. Nilai dasar pendidikan adalah
cita-cita
kemanusiaan
universal,
menyiapkan pribadi dalam keseimbangan,
kesatuan organis, harmonis, dan dinamis
guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan
(Tonny, 2004). Tujuan belajar humanis
pada hakikatnya adalah memanusiakan
manusia. Karena itu, proses belajar
dianggap berhasil jika peserta didik mampu
memahami lingkungan dan dirinya sendiri.
Tugas pendidik adalah membantu peserta
didik mengembangkan diri, yaitu membantu
masing-masing peserta
didik
untuk
mengenal diri sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Melalui pendidikan pemanusiaan akan
membuka area terbuka peserta didik agar
tumbuh percaya diri dan lebih mengenal
dirinya melalui proses memberi dan
menerima informasi tentang diri mereka dan
orang lain.
Pendidikan pada dasarnya bertujuan
agar peserta didik dapat mengembangkan
kebebasannya untuk dapat mengambil sikap
dengan benar. Suasana kebebasan perlu
diciptakan agar peserta didik dapat
mengekspresikan
diri
dan
mampu
berkreativitas.
Pendidikan
perlu
memperluas horizon kognitif dan seiring
dengan hal itu juga mengembangkan
kesadaran moral. Dalam pendidikan peserta
didik merupakan subjek, bersama dengan
pendidik yang juga subjek menggeluti
objek.
Keduanya
bersama-sama
memecahkan persoalan yang dihadapi.
Karena itu, pendidik lebih berfungsi sebagai
fasilitator dan bersama dengan peserta didik
menemukan kebenaran. Peran guru menjadi
fasilitator sekaligus motivator kesadaran
mengenai makna belajar dalam kehidupan
127
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
peserta
didik.
Guru
memfasilitasi
pengalaman belajar dan mendampingi
peserta didik untuk memperoleh tujuan
pembelajaran. Peserta didik berperan
sebagai pelaku utama yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sehingga
mampu mengembangkan potensi dirinya
secara positif.
Pendidikan
berperan
dalam
membentuk karakter bangsa. Menurut Nuh
(2012), peran dunia pendidikan menjadi
penting dalam membangun peradaban
bangsa yang didasarkan jati diri dan
karakter bangsa. Karakter adalah cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
tiap individu untuk hidup bekerja sama,
baik
dalam
lingkungan
keluarga,
masyarakat, bangsa, maupun negara.
Individu yang berkarakter adalah individu
yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggung-jawabkan akibat dari
keputusannya.
Koesoema
(2007)
menjelaskan bahwa karakter itu sama
dengan kepribadian, yakni sebagai ‖ciri atau
karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan dan juga bawaan seseorang
sejak lahir‖, sedang karakter bangsa sebagai
kondisi watak yang merupakan identitas
bangsa. Karakter menggambarkan kualitas
moral seseorang yang tercermin dari segala
tingkah lakunya yang mengandung unsur
keberanian, ketabahan, kejujuran, dan
kesetiaan, atau perilaku dan kebiasaan yang
baik. Karakter ini dapat berubah akibat
lingkungan. Karena itu, perlu usaha
membangun karakter dan menjaganya agar
tidak terpengaruh oleh hal-hal yang
menyesatkan. Manusia merupakan makhluk
budaya yang hanya dapat menyempurnakan
dirinya dengan cara membudaya dan
pendidikan
merupakan
bagian
tak
terpisahkan dari seluruh aktivitas budaya,
yakni budaya yang didasarkan nilai-nilai
kemanusiaan bangsa Indonesia.
2. Pancasila
sebagai
Nilai-nilai
Kemanusiaan
Nilai-nilai kemanusiaan yang telah
disepakati bangsa Indonesia adalah nilainilai dasar yang dirumuskan dalam
Pancasila. Pancasila memiliki sifat-sifat
humanistik dan universalistik (Notonagoro,
1980). Dikatakan humanistik, karena
Pancasila memuat nilai-nilai kemanusiaan
dan universalistik karena nilai-nilai itu
bersifat mendasar sehingga dapat berlaku
bagi setiap orang. Karena itu pula,
pendidikan nasional harus bertumpu pada
nilai-nilai Pancasila. Pendidikan yang
berdasarkan
nilai-nilai
kemanusiaan
Pancasila memiliki lima ciri, yaitu hormat
terhadap keyakinan religius setiap orang,
hormat terhadap martabat manusia dan hakhak asasi, berwawasan kebangsaan,
demokratis,
serta
menjunjung
dan
menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pendidikan mengajarkan peserta
didik saling menghormati keyakinan
religius masing-masing. Manusia dihormati
karena manusia adalah ciptaan Allah yang
tertinggi di antara ciptaan-Nya di dunia.
Pendidikan yang manusiawi adalah
pendidikan yang mendasarkan diri pada
penghormatan terhadap martabat manusia
dan hak-hak asasinya yang mengalir
darinya. Manusia harus diperlakukan
sebagai manusia yang bermartabat, yang
memiliki akal budi, kehendak, dan
kebebasan. Pendidikan menyiapkan warga
negara menjadi partisipan aktif dalam
pembangunan bangsa dan negara. Di dalam
paham kebangsaan terkandung kesadaran
akan kesatuan sosial baru yang disebut
bangsa, yang lingkupnya mengatasi
kesatuan primordial yang lebih sempit yang
didasarkan kesamaan agama, suku, budaya,
dan bahasa.
Pendidikan tidak hanya harus
mengajarkan apa itu makna demokrasi,
tetapi konsepsi pendidikan itu sendiri harus
demokratis. Demokrasi adalah suatu proses
128
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yang mengimplikasikan beberapa prinsip
politik modern, yaitu kedaulatan rakyat,
partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial,
toleransi terhadap kemajemukan, persamaan
kewarganegaraan, dan pembatasan ruang
lingkup politik. Karena itu, pendidikan pada
akhirnya harus merupakan pendidikan bagi
keadilan sekaligus menjadi perwujudan
keadilan sosial. Manusia hanya dapat hidup
layak sebagai manusia jika hak-haknya
yang fundamental terpenuhi atau keadilan
sosial tercapai.
3. Pendidikan
sebagai
Pemberdayaan
Pendidikan yang memanusiakan
pada hakikatnya merupakan pendidikan
yang
memberdayakan.
Pemberdayaan
sebagai istilah dalam literatur pendidikan
menurut Jarvis (1990) diartikan sebagai
"memperlengkapi
dan
meningkatkan
kepercayaan individu sehingga mereka
dapat menjadi pelajar yang lebih sukses".
Selanjutnya, Perkins dan Zimmerman
(1995) menjelaskan pemberdayaan sebagai
proses
yang
di
dalamnya
orang
mendapatkan kontrol atas hidup mereka,
partisipasi dengan orang lain untuk
mencapai tujuan, upaya untuk mendapatkan
akses ke sumber daya, dan beberapa
pemahaman kritis terhadap lingkungan
sosial
politik.
Kreisberg
(1992)
mendefinisikan
bahwa
dengan
pemberdayaan memungkinkan orang atau
kelompok mendapatkan kontrol atas
kehidupan mereka sendiri.
Pemberdayaan
peserta
didik
merupakan pusat menyuarakan pendapat
peserta didik untuk memenuhi kebutuhan
dan mencapai tujuan pendidikan. Melalui
aliran kontruktivisme misalnya, peserta
didik akan belajar literatur dan memberikan
kontribusi dalam diskusi kelas sehingga
mereka memperoleh rasa percaya diri.
Pembelajaran ini akan membantu peserta
didik tidak hanya mempelajari materi tetapi
juga menjadi orang sukses, percaya diri
maupun mampu memberikan kontribusi
bagi pengembangan negara mereka.
Paradigma belajar yang berpusat
pada kebutuhan peserta didik merupakan
prasyarat untuk membuat kemajuan dan
mengembangkan Negara (Aldrich, 2009).
Mengajar dengan berpusat pada pelajar
akan menempatkan penekanan pada orang
yang melakukan pembelajaran, ada
pergeseran dari arti ‗mengetahui‘. Stein
(2000)
berpendapat
pemberdayaan
merupakan sebuah konsep ‗dari mampu
untuk mengingat dan mengulang informasi
menjadi
mampu
menemukan
dan
menggunakan‘.
Pendidikan
sebagai
pemberdayaan memungkinkan para peserta
didik dapat mengekspresikan pendapatnya
dengan cara yang lebih percaya diri
(Wiggins, 2004).
Kesediaan guru mendengarkan
pendapat peserta didik adalah perilaku yang
sangat signifikan karena berbagai alasan.
Pertama, menunjukkan bahwa guru peduli
pada peserta didik. Kedua, guru memberi
kesempatan pada peserta didik untuk
membuat pernyataan tentang topik yang
dibahas. Ketiga, kesediaan itu menunjukkan
kemauan guru dan kesiapan untuk
membantu peserta didik mendapatkan
kembali kepercayaan diri. Keempat,
perilaku ini menunjukkan bahwa guru
menginginkan para peserta didiknya sukses.
Kelima, guru yang mendengarkan peserta
didik memberikan indikasi bahwa mereka
menghormati setiap titik pandang peserta
didik.
Dilihat dari perspektif yang berbeda,
peserta didik menyuarakan pendapat berarti
peserta didik itu telah diberdayakan
(memiliki power), karena mereka mampu
melakukan sesuatu, yakni membuat
pernyataan, memberikan kontribusi untuk
diskusi sehingga peserta didik menjadi lebih
baik. Menurut Kabeer (1994), power berarti
‗kekuasaan terhadap‘ atau ‗dominasi
terhadap‘. Power ini merupakan daya
kekuatan, yang terbagi meliputi power to,
129
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yaitu daya kekuatan untuk berbuat; powerwith,
yaitu
daya
kekuatan
untuk
membangun kerjasama, dan power-within,
yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia.
Dengan demikian, pendidikan sebagai
pemberdayaan
berarti
membantu
pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan
bagi peserta didik.
Pengembangan
ketiga
daya
kemampuan
dalam
pemberdayaan
memungkinkan peserta didik mampu
menghadapi berbagai perubahan yang
terjadi tanpa terseret ke dalam arus
konformisme. Perubahan yang cepat di
berbagai bidang akan menghadapkan
manusia kepada berbagai pilihan baru,
seperti: ideologi, sikap, gaya hidup, sistem
nilai, keyakinan, dan Iain-lain. Karena itu,
intervensi pendidikan menjadi sangat
penting. Pemberdayaan akan menjadikan
peserta didik untuk berani mengambil sikap
secara
kritis.
Pendidikan
bertujuan
membantu peserta didik untuk siap
menghadapi perubahan dan beradaptasi
dengan perubahan. Salah satu strategi untuk
menciptakan
pendidikan
yang
memberdayakan peserta didik dapat
dilakukan
melalui
keteladanan
dan
penciptaan lingkungan sosial budaya yang
kondusif sehingga memungkinkan peserta
didik dapat belajar secara aman dan
nyaman.
D. KEPEMIMPINAN, BUDAYA
SEKOLAH, DAN PENGUATAN
KARAKTER
1. Kepemimpinan
dalam
Pendidikan
Kepemimpinan merupakan salah
satu fungsi manajemen yang sangat penting
untuk mewujudkan tujuan organisasi. Setiap
kegiatan manajemen apa pun, termasuk
dalam pengelolaan pendidikan, selalu ada
individu yang memimpin, merencanakan,
mengorganisasikan, dan mengendalikan.
Pemimpin menurut Drucker (dalam
Moeljono, 2009) adalah individu yang
―make things happen‖, ia adalah yang
membuat sesuatu menjadi sesuatu itu
sendiri. Proses pendidikan di mana pun
akan melibatkan seluruh komponen di
dalamnya, mulai dari pucuk pimpinan
hingga bawahan, yang kesemuanya itu tidak
terlepas
dengan
kepemimpinan.
Kepemimpinan pendidikan merupakan
faktor potensial dalam meningkatkan
kinerja seluruh komponen pendidikan.
Dalam penelitian penulis tentang
kontribusi kepemimpinan terhadap peran
dosen diperoleh angka sebesar 28,09%
dengan arah positif (Sumardjoko, 2010).
Perubahan yang terjadi pada peran dosen
disebabkan oleh adanya perubahan pada
kepemimpinan. Temuan ini menjadi bukti
bahwa semakin baik praktik kepemimpinan
pendidikan semakin baik pula kinerja
pendidikan. Temuan itu sejalan dengan
penelitian Wiradinata (2004), bahwa kinerja
pendidikan
yang
berwujud
prestasi
akademik dipengaruhi secara langsung,
positif, dan nyata oleh kompetensi individu,
kreativitas pimpinan, faktor lingkungan,
serta semakin kuat dengan dukungan profil
kepemimpinan.
Salah satu langkah penting dalam
mengimplementasikan manajemen mutu
pendidikan adalah kepemimpinan. Semua
model kualitas menekankan bahwa tanpa
dorongan dari pimpinan senior, maka
inisiatif kualitas tidak akan berlangsung
lama. Para pimpinan pendidikan perlu
menunjukkan komitmen yang kuat dan
terus-menerus
dan
memimpin
sambil mendorong para staf, tenaga, dan
bawahan untuk melakukan usaha secara
serius dalam rangka mewujudkan mutu
pendidikan (Sallis, 2008). Pendapat ini
sejalan dengan Yukl (2009), bahwa suatu
kinerja yang memiliki kualitas unggul
berupa barang atau pun jasa hanya dapat
dihasilkan oleh para pemimpin yang
memiliki kualitas prima atau unggul. Ini
berarti bahwa kepemimpinan memberikan
130
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kontribusi yang cukup berarti terhadap mutu
pendidikan.
Kepemimpinan merupakan salah
satu fungsi manajemen yang penting dan
proses
pendidikan
pada
hakikatnya
merupakan proses manajemen. Dalam pada
itu, pendidikan pada hakikatnya adalah
memanusiakan manusia. Pelaksanaan dan
proses pendidikan harus mampu membantu
peserta didik agar menjadi manusia yang
berbudaya dan berkarakter kuat, yakni
peserta didik yang bermoral, berwatak, dan
bertanggung jawab. Dengan demikian, ada
keterkaitan antara kepemimpinan dan
pembentukan karakter peserta didik karena
faktor kepemimpinan merupakan salah satu
komponen utama dalam penguatan karakter
peserta didik. Dari sepuluh indikator
kepemimpinan, indikator konseptualisasi
menunjukkan
nilai
paling
tinggi
(Sumardjoko, 2010). Ini dapat dimaknai
bahwa setiap pimpinan pendidikan pada
jenjang apapun dalam menjalankan fungsi
kepemimpinan
terutama
dalam
pembentukan karakter peserta didik
senantiasa
berpikir
visioner
dan
konsepsional.
Pemimpin atau pendidik dalam
konteks pendidikan formal adalah guru,
sedang dalam konteks pendidikan informal
adalah orang tua, dan dalam konteks
pendidikan non formal adalah tokoh
masyarakat. Pendidik adalah pemimpin
pendidikan. Melalui kepemimpinannya
mereka dapat melakukan peran dan cara apa
pun, termasuk dalam melakukan sosialisasi
nilai-nilai ke peserta didik. Melalui proses
sosialisasi, peserta didik akan belajar
tentang sikap dan perilaku yang relevan
dengan lingkungan sosial budaya dari orang
tua, guru, teman sebaya, dan tokoh
masyarakat.
Pendidik
yang mampu
menunjukkan sikap dan keteladanan terpuji
akan menjadikan makin menguatnya
karakter peserta didik. Melalui interaksi
sosial, peserta didik akan memahami nilainilai, aturan, dan peran yang sejalan dengan
lingkungan sosial budayanya. Tugas
pendidik dalam konteks ini adalah
membantu mengkondisikan peserta didik
pada sikap, perilaku, atau kepribadian yang
benar agar peserta didik mampu menjadi
agents of change bagi diri sendiri,
lingkungan, masyarakat, dan siapa saja yang
dijumpai tanpa harus membedakan suku,
agama, ras, dan golongan.
2. Budaya Sekolah
Keberhasilan proses pendidikan dan
pembelajaran berkaitan dengan budaya
organisasi atau dalam hal ini adalah budaya
sekolah. Kekuatan dan potensi yang
dimiliki
sekolah
untuk
melakukan
koordinasi dan kontrol terhadap perilaku
anggotanya disebut sebagai budaya sekolah.
Salah satu fungsi budaya sekolah adalah
sumber penggerak dan pola perilaku siswa.
Budaya sekolah pada dasarnya berperan
sebagai alat untuk melakukan integrasi
internal. Jika peran ini bisa berfungsi
dengan baik dan diikuti penyusunan strategi
yang tepat, kinerja sekolah akan meningkat.
Dari hasil penelitian penulis tentang
kontribusi budaya organisasi terhadap peran
dosen ditemukan angka koefisien 50,41%
dengan arah positif (Sumardjoko, 2010).
Budaya organisasi menunjukkan kontribusi
yang besar terhadap proses pendidikan. Hal
Ini mengindikasikan bahwa semakin baik
budaya sekolah semakin baik pula
penyelenggaraan pendidikan. Penelitian
Sarwoko (2007)menunjukkan bahwa faktor
individu, budaya organisasi, dan perilaku
kerja memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan.
Variabel yang dominan berpengaruh
terhadap kinerja adalah budaya organisasi.
Dominasi budaya organisasi ini bisa terjadi
karena dalam budaya organisasi akan
memadukan perbedaan individu dalam satu
nilai atau norma yang dianut bersama oleh
anggota, dan mengarahkan perilaku anggota
pada satu tujuan, yaitu pencapaian tujuan
organisasi.
131
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Menurut Sastrapratedja (2001),
budaya adalah perilaku atau gaya suatu
organisasi, yang melalui proses sosialisasi
diikuti anggotanya. Cunningham dan
Gresso (dalam Sastrapratedja, 2001)
menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
berubah jika diawali pengembangan visi
dan misi, ditumbuhkan etos kerja yang
meliputi: pembentukan tim, hubungan
kolegial, kepercayaan dan dukungan,
kepentingan bersama, akses pada informasi,
dan pertumbuhan sepanjang hidup. Karena
itu, budaya sekolah pada hakikatnya
merupakan
segenap
perilaku
atau
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
seluruh warga sekolah.
Kotter
dan
Heskett
(1992)
menyebutkan salah satu tipe budaya
organisasi adalah budaya kuat dan budaya
lemah. Nilai-nilai, norma-norma, dan
asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan
dipegang teguh oleh para anggota organisasi
dapat
melahirkan
perasaan
tenang,
committed, loyalitas, memacu kerja lebih
keras, kohesivitas, keseragaman sasaran dan
mengendalikan perilaku anggota organisasi,
serta produktivitas. Budaya organisasi dapat
dibentuk oleh beberapa indikator dan
indikator kompetetif menunjukkan nilai
paling tinggi (Sumardjoko, 2010). Ini
berarti, budaya kompetisi berprestasi di
lingkungan sekolah perlu terus-menerus
diciptakan dalam membangun karakter
peserta didik.
Budaya
sekolah
yang
kuat
merupakan salah faktor yang dapat
menyatukan tujuan, menciptakan motivasi,
komitmen dan loyalitas seluruh anggota,
serta memberikan struktur dan kontrol yang
dibutuhkan tanpa harus bersandar pada
birokrasi formal. Dengan kata lain, budaya
sekolah yang kuat dapat meningkatkan
motivasi dan inovasi segenap komponen
sekolah sehingga berdampak pada makin
meningkatnya kualitas guru dalam praktik
pembelajaran (Angela, 2009).
Pemberdayaan budaya
sekolah
merupakan komponen penting dalam
penguatan karakter peserta didik. Agar
dapat membangun aksesibilitas pelajaran ke
arah yang lebih baik, hendaknya dapat
menguji dimensi pendidikan multikultural
yang berhubungan dengan budaya sekolah
dan struktur sosial. Beberapa variabel yang
menjadi perhatian adalah praktik-praktik
kelompok, iklim sosial, praktik asesmen,
partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler,
dan harapan serta respon guru dan pegawai
terhadap keberagaman. Ini berarti, sekolah
pada
hakikatnya
merupakan
motor
penggerak di dalam perubahan budaya
sekolah dan struktur sosial.
Mengingat
pentingnya
fungsi
budaya sekolah maka menjadi relevan
apabila penguatan karakter peserta didik
memperhatikan budaya sekolah (Tilaar,
2000). Asumsi utama dari lingkungan
sosiokultural ini adalah (1) belajar dan
perkembangan kognitif bergantung kepada
partisipasi peserta didik dalam proses
pembelajaran dan pengaturan lingkungan
yang kondusif sehingga memotivasi peserta
didik untuk belajar; (2) belajar dan proses
pembelajaran
sebagian
besar
diselenggarakan oleh budaya, dan (3)
anggota komunitas budaya yang lebih
berpengalaman memiliki peran penting
dalam menentukan sifat dan partisipasi anak
dalam belajar. Proses sosial yang terjadi di
sekolah dan dari pengalaman sehari-hari
akan memberikan kesempatan untuk belajar
dan melatih kemampuan kognitif. Proses
sosial
yang
berbeda
menawarkan
kesempatan untuk belajar yang berbeda.
Melalui proses sosial peserta didik
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
yang berguna dan dihargai oleh budaya.
3. Strategi Penguatan Karakter
Peserta Didik
Pembentukan karakter peserta didik
dan jati diri bangsa merupakan cita-cita
luhur yang harus diwujudkan melalui
132
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
penyelenggaraan pendidikan yang terarah
dan berkelanjutan. Penanaman nilai-nilai
akhlak, moral, dan budi pekerti peserta
didik sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional harus menjadi dasar pijakan utama
dalam mendesain, melaksanakan, dan
mengevaluasi sistem pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab
memberikan dasar-dasar yang kuat dalam
menopang pembangunan karakter dan jati
diri bangsa. Dengan kata lain, tujuan utama
pendidikan adalah menghasilkan pribadi
manusia yang matang secara intelektual,
emosional, dan spiritual. Komponen
esensial kepribadian manusia adalah nilai
(value) dan kebajikan (virtues). Karena itu,
komponen itu harus menjadi dasar
pengembangan kehidupan manusia yang
memiliki
peradaban,
kebaikan,
dan
kebahagiaan, baik secara individual maupun
sosial.
Pendidikan
yang
menanamkan
orientasi dasarnya pada kodrat manusia
akan menghasilkan manusia terdidik
(Suparlan, 2006). Secara keilmuan terdapat
tiga penggolongan bidang kefilsafatan,
yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Dalam kehidupan manusia, ketiga aspek
tersebut terperinci menjadi hakikat asal
mula, hakikat keberadaan, dan hakikat
tujuan manusia. Karena itu, dengan
melaksanakan pendidikan menurut hakikat
asal-mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan
diharapkan dapat menghasilkan kecerdasan
spiritual, intelektual, dan emosional peserta
didik (Ginanjar, 2001). Dalam konteks
agama, ketiga potensi kecerdasan itu
menyiratkan adanya potensi moral syukur,
sabar, dan ikhlas.
Moral bersyukur pada hakikatnya
merupakan buah dari analisis perenungan
yang mendalam tentang hakikat asal-mula
manusia. Kebanyakan manusia dapat
mengidentifikasi waktu dan tempat lahir
secara fisis, tetapi tidak satu pun pikiran dan
pengalaman manusia yang menjelaskan
asal-mula kehidupan secara rinci dan jelas.
Tuhan, misalnya merupakan kausa prima,
tetapi tidak satu pun pikiran dan
pengalaman manusia mampu menjelaskan
secara rinci mengenai diri Tuhan. Fakta
seperti inilah yang mendorong suatu
keyakinan dan memunculkan moral
bersyukur. Tidak ada sikap menentang,
memprotes, atau menuntut, kecuali harus
mensyukuri nikmat yang dirasakannya.
"Bersyukurlah
kepada
Allah
dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur
untuk dirinya sendiri. dan barangsiapa
yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"
(QS.Luqman/31: 12).
Dalam perkembangan selanjutnya
manusia akan berusaha menjaga keberadaan
dirinya. Moral bersabar pada hakikatnya
merupakan hasil dari perenungan secara
mendalam terhadap eksistensi kehidupan.
Kehidupan ini dipenuhi dengan keadaan
serba labil, sarat dengan perubahan, dan
kondisi yang tidak pasti. Kehidupan di alam
dunia ini penuh tantangan dan ujian, tetapi
setiap manusia wajib mengatasinya.
“Bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu, sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah”
(QS, 31:17). Karena itulah, diperlukan
moral kesabaran untuk berbuat secara tekun
dan
hati-hati
dalam
menjaga
keberadaannya.
Akhirnya, dari hasil analisis
perenungan tentang tujuan hidup manusia
akan dihasilkan moral berikhlas. Dalam AlQuran dinyatakan “...yang menjadikan mati
dan hidup supaya Dia menguji kamu siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya”
133
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
(QS, 67: 2). Hasil perenungan tentang
tujuan hidup sama dengan ketika kita
merenungi asal-mula kehidupan, yakni
pikiran hanya mengetahui bahwa tujuan
kehidupan itu ada, berhakikat satu, dan
bersifat mutlak. Seperti halnya hakikat asalmula yang bersifat misterius, hakikat tujuan
hidup ini pun misterius. Apa yang akan
terjadi pada esok hari, kita belum tentu
mengetahuinya. Fakta misteri masa datang
dan tujuan hidup inilah yang mendorong
manusia harus menanamkan moral ikhlas.
Penguatan karakter peserta didik
tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan
tetapi dengan penuh kesadaran. Cara
pemaksaan tidak sesuai dengan hakikat
yang paling mendasar dari pendidikan.
Menurut Dewantara (2004), pendidikan
tidak boleh dimaknai dengan ‘pemaksaan‘
tetapi lebih tepat dengan ‗panggulawentah‘
atau sistem ‗momong, among, dan
ngemong‘. Sistem ini merupakan metode
pengajaran
dan
pendidikan
yang
berdasarkan asih, asah, dan asuh. Ini berarti,
pendidikan bersendikan dua hal, pertama,
pada kodrat alam sebagai syarat untuk
menghidupkan dan mencapai kemajuan
dengan secepat-cepatnya dan kedua, pada
kemerdekaan
sebagai
syarat
untuk
menghidupkan dan menggerakkan kekuatan
lahir dan batin peserta didik sehingga dapat
hidup mandiri.
Berdasarkan kajian potensi moral
dan esensi pendidikan di atas maka praktik
pendidikan yang berakar pada kecerdasan
spiritual, intelektual, dan emosional perlu
dilakukan secara sinergis antara keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Penanaman moral
bersyukur, moral bersabar, dan moral
berikhlas harus dilakukan oleh penanggung
jawab pendidikan tersebut. Melalui
keteladanan dan dukungan lingkungan
sosial budaya para pemimpin pendidikan
memberikan penguatan karakter peserta
didik dengan penuh kesadaran dan bukan
pemaksaan. Dalam dunia pendidikan,
pemimpin adalah yang membimbing,
mengarahkan, dan menjadi fasilitator bagi
keberhasilan tujuan pendidikan.
4. Strategi Pembudayaan Nilai-nilai
Pendidikan
Penguatan karakter peserta didik
menjadi tanggung jawab bersama para
orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan
pemerintah.
Pendidikan
adalah
pembudayaan nilai. Ini berarti setiap
penanggung jawab pendidikan harus
melakukan pembudayaan dengan berbagai
strategi.
Strategi
pembudayaan
ini
menyangkut pelestarian, pembiasaan, dan
pemantapan nilai-nilai luhur bangsa.
Strategi yang dapat dilakukan adalah
dengan
role
model,
penghargaan,
pengidolaan,
fasilitasi,
hadiah,
dan
hukuman. Karena itu, penguatan karakter
peserta didik dapat dilaksanakan, baik
melalui pembudayaan di ranah pendidikan
formal, informal, maupun nonformal.
Pembudayaan pada pendidikan
formal, yakni sekolah. Di lingkungan
sekolah guru mempunyai peran yang sangat
strategis jika ditinjau dari pembinaan
akademik dan peserta didik. Guru memiliki
peran yang menentukan bagi terbentuknya
penguatan karakter peserta didik yang
sesuai dengan jati diri bangsa. Guru berada
di garda terdepan dalam menunjukkan sikap
terpuji bagi peserta didiknya. Guru, ―digugu
lan ditiru‖. Karena itu, dalam kondisi dan
situasi apa pun, guru harus memberi contoh
berperilaku sebagai bentuk cerminan dari
manusia Indonesia yang berkarakter. Tidak
hanya ditunjukkan dalam pembelajaran di
kelas, tetapi juga di setiap terjadi interaksi
dengan peserta didiknya, kapan pun dan di
mana pun. Guru profesional menetapkan
apa yang terbaik untuk peserta didiknya
berdasarkan pertimbangan profesionalnya.
Guru yang diharapkan dapat
membentuk karakter peserta didik harus
mau dan mampu mengubah strategi
pembelajarannya.
Berbagai
strategi
pembelajaran yang dapat dilakukan guru di
134
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
antaranya adalah pertama, memulai dari
belajar terminal ke belajar sepanjang hayat.
Kedua, dari belajar berfokus penguasaan
pengetahuan ke belajar holistik. Ketiga,
mengubah citra hubungan guru dan siswa
yang bersifat konfrontatif ke hubungan
kemitraan. Keempat mengubah orientasi
dari
pengajar
yang
menekankan
pengetahuan skolastik (akademik) ke
penekanan keseimbangan fokus pendidikan
nilai. Kelima mengubah orientasi dari pola
konvensional menuju pola pendekatan
teknologi informasi dan budaya, dan
keenam, dari penampilan tenaga pengajar
yang terisolasi ke penampilan dalam tim
kerja.
Guru
profesional
mampu
menunjukkan kompetensi dalam mendorong
dan mengembangkan pemenuhan seluruh
kebutuhan peserta didik berdasarkan potensi
yang dimilikinya (Sumardjoko, 2011). Guna
menjalankan misinya, guru harus benarbenar memahami kognisi dan berbagai cara
dalam
belajar.
Guru
memahami
perkembangan siswa dan berbagai konsep
paedagogi sebaik mereka menguasai materi
pembelajaran
dan
penilaian
yang
digunakannya untuk mengukur hasil belajar.
Dengan
demikian,
guru
mampu
menempatkan berbagai substansi perbedaan
pengalaman belajar, perbedaan bahasa dan
budaya, gaya belajar, talenta, dan
intelegensi
sebagai
dasar
dalam
melaksanakan
berbagai
strategi
pembelajaran yang dipilihnya. Di sinilah
budaya sekolah menjadi penting karena
melalui budaya sekolah yang mantap
seluruh aktivitas pembelajaran dapat
berjalan maksimal. Ini berarti, budaya
sekolah memberikan dukungan bagi
terciptanya karakter peserta didik.
Budaya
sekolah
yang
perlu
diciptakan teramat banyak jumlahnya. Dari
sekian banyak itu dapat dibagi ke dalam
beberapa kategori, di antaranya adalah
memberikan
contoh,
pembiasaan
(pakulinan), pengajaran (wulang-wuruk),
perintah (paksaan dan hukuman), disiplin
(laku), serta pengalaman lahir dan batin
(nglakoni, ngroso). Penciptaan strategi
budaya sebagaimana dimaksud dapat
mempercepat penguatan karakter peserta
didik.
Pembudayaan
di
lingkungan
pendidikan informal, yakni keluarga.
Keluarga merupakan tempat pendidikan
pertama dan utama bagi peserta didik.
Pendidikan dalam keluarga sangat berperan
dalam mengembangkan watak, kepribadian,
nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan
dan moral, serta keterampilan sederhana.
Dalam arti budaya, pendidikan adalah
proses sosialisasi dan enkulturasi secara
berkelanjutan sehingga peserta didik
menjadi manusia yang beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur,
tangguh, mandiri, kreatif, inovatif, beretos
kerja, setia kawan, peduli lingkungan, dan
sebagainya. Pentingnya peran orang tua
dalam membentuk karakter dan kepribadian
anak, salah satunya dengan mengajarkan
cara berbahasa dalam pergaulan sehari-hari
kepada anak dan pembiasaan-pembiasaan
lainnya sesuai dengan lingkungan atau
budaya masing-masing. Keluarga berperan
sebagai
pranata
yang
memberikan
keyakinan agama, memberikan nilai-nilai
moral dan budaya, memberikan teladan, dan
memberikan keterampilan dasar.
Akhirnya, pembudayaan nilai di
lingkungan pendidikan nonformal berada di
masyarakat. Masyarakat dan kebudayaan
sebenarnya merupakan abstraksi perilaku
manusia. Perilaku manusia dapat dibedakan
dengan kepribadiannya karena kepribadian
merupakan latar belakang perilaku yang ada
dalam diri manusia.Masyarakat bersifat
dinamis sehingga nilai-nilai dan norma
luhur yang ada sebelumnya, pada saatnya
akan mengalami gesekan-gesekan dengan
nilai-nilai baru. Pada tahap inilah diperlukan
sebuah internalisasi nilai yang kuat, yang
perlu dibangun dan dilaksanakan sejak dini
agar masyarakat maupun orang-orang
135
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sebagai entitas di dalamnya mampu
memfilter berbagai dampak yang muncul
sehingga tidak akan kehilangan identitas
dan jati dirinya. Ini berarti, masyarakat
memiliki peran penting dalam pembudayaan
sikap dan karakter peserta didik. Karena
peserta didik hidup dalam lingkungan sosial
dan budaya tertentu, pengembangan
karakter peserta didik hanya dapat
dilakukan dalam lingkungan sosial dan
budaya yang bersangkutan. Maksudnya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa
hanya dapat dilakukan dalam suatu proses
pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan sosial, budaya
masyarakat, dan budaya bangsa. Pada
masyarakat yang budayanya kuat dan
karakternya hebat berarti telah ada pribadi
yang kuat budaya dan hebat karakternya.
E. PENUTUP
Globalisasi yang didukung teknologi
elektronika telah menciptakan budaya baru.
Di satu sisi, budaya baru membawa
kemajuan tetapi pada sisi lain menjadi
ancaman terhadap eksistensi berbagai
kebudayaan yang selama ini menjadi jati
diri bangsa. Banyak peluang dan ancaman
yang ditimbulkan oleh integrasi global
dalam bidang pendidikan. Beberapa di
antaranya adalah memungkinkan peserta
didik untuk aktif terlibat dalam percaturan
global, kemampuan berkomunikasi pada
lintas
nasional,
dan
meningkatnya
kecepatan perubahan pendidikan.
Pembentukan karakter peserta didik
dan jati diri bangsa merupakan cita-cita
luhur yang harus diwujudkan melalui
penyelenggaraan pendidikan yang terarah
dan
berkelanjutan.
Tujuan
utama
pendidikan
adalah
menghasilkan
kepribadian manusia yang matang secara
intelektual, emosional, dan spiritual.
Berdasarkan kajian potensi itu model
pendidikan karakter perlu mendasarkan
kecerdasan spiritual, intelektual, dan
emosional. Penguatan karakter peserta didik
menjadi tanggung jawab bersama para
orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan
pemerintah. Ini berarti, strategi penguatan
karakter peserta didik dapat dilaksanakan
secara sinergis, baik di lingkungan
pendidikan formal, informal, maupun
nonformal.
Kepemimpinan dan budaya sekolah
merupakan faktor dari sekian banyak faktor
yang menentukan keberhasilan pendidikan.
Dalam kondisi krisis moral seperti saat
ini,maka kepemimpinan dan lingkungan
sosial budaya yang kondusif bagi
terciptanyausaha pembudayaan sangatlah
diperlukan. Inilah saat yang tepat bagi para
‗pemimpin‘, yakni: para guru, orang tua,
dan tokoh masyarakat menjadi teladan dan
ideal tipe pembudayaan karakter bangsa
bagi peserta didik dan masyarakatnya.
136
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. (2008). ―Mempertautkan Ulum Al-diin, Al-fikr Al-islamiy dan Dirasat
Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global‖. Makalah.
Disampaikan pada Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Integrasi-Interkoneksi,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 19 Desember 2008.
Aldrich, B.A., et.al. (2009). ‖Teaching Approach, Perceived Parental Involvement and
Autonomy as Predictors of Achievement‖ in The International Journal of Research
and Review. Volume 1. Hal.57.
Al-Shalabi. (2011). ―Empowering Learners: Teaching American Literature by Shifting the
Focus from the Instruction Paradigm to the Learning Paradigm‖. in International
Journal of Humanities and Social Science Vol.1 No. 9 (Special Issue – July 2011).
Angela (Chi-Ming Lee). 2009. ―The planning, implementation and evaluation of a
character-based school culture project in Taiwan‖. In Journal of Moral Education.
National Taiwan Normal University, Taiwan. Vol. 38, No. 2, June 2009, pp. 165–
184
Azra, A. (2002). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Bloom, B.S. et.al. (1995). Taxconomy of Educational Objectives: Book I, Cognitive
Domain. London: Longman, Inc.
Depdiknas RI. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Biro hukum dan Organisasi Sekjen Depdiknas.
Dewantara, K.H. (2004). Bagian Pertama: Pendidikan. Cetakan ke-3. Yogyakarta:
Diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Drost, S.J. (1998). Sekolah: Mengajar atau Mendidik?. Yogyakarta: Kanisius.
Gardner, H. (2004). How Education Changes: Considerations of History, Science, and
Values. (Edited) Marcelo M.Suarez-Orozco and Desiree Baolian Qin-Hilliar.
Berkely. Los Angeles. London: University of California.
Ginanjar A.Ary. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi & Spiritual. ESQ.
Jakarta: Arga Tilanta.
Heller, R. (2000). Business Masterminds Peter Drucker. Alih Bahasa Puji A.L. Jakarta:
Gelora Aksara Pratama.
Jameson, F. (1991). Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism. Durham, NC:
Duke University Press.
Jarvis, P. (1990). Professional Education. London, Canberra: Crown Helm.
137
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Kabeer, Naila. (1994). Reversed Realities. Gender Hierarchies in Development Thought.
London: Verso.
Koesoema A. Doni. (2010). Pendidikan Karakter, Jakarta: Kompas Gramedia.
Kotter,J.P. & Heskett, J.L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: The
Free Press.
Kreisberg, S.(1992). Transforming Power: Domination, Empowerment, and Education.
Albany. New York: State University of New York Press.
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maksum, Ali. & Yunan R.L. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post-Modern. Yogyakarta: IRCiSoD.
Moeljono. (2009). More About Beyond Leadership. Dua Belas Konsep Kepemimpinan.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Nata, A. (2003). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Notonagoro. (1980). Pancasila Dasar Falsafah, Jakarta: Pancuran Tujuh.
Nuh, Mohammad. (2012). Sambutan Mendikbud para Peringatan Hardiknas, 2 Mei 2012.
Jakarta: Kemendikbud.
Perkins, D. & Zimmerman, M. (1995). ―Empowerment Theory, Research, and
Application‖. American Journal of Community Psychology. No. 23:569-580.
Sallis, E. (2008). Total Quality Management in Education, Manajemen Mutu Pendidikan.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Sarwoko, E. (2007). ―Peranan Faktor Individu, Budaya Organisasi, dan Perilaku
Kerjaterhadap Kinerja Karyawan Radio Swasta Nasionaldi Malang”. Jurnal
penelitian. Fakultas Ekonomi Universitas Kanjuruhan Malang.
Sastrapratedja. (2001). Pendidikan sebagai Humanisasi. Yogyakarta: Univ.Sanata Dharma.
Stein, S. (2000). ―Equipped for the Future Content Standards: What Adults Need to Know
and Be Able to Do in the 21st Century‖. National Institute for Literacy.
Sumardjoko, Bambang. (2011). ―Model Penguatan Guru Bersertifikasi melalui Pemaknaan
Profesionalisme (Penelitian pada Guru-guru SMA Negeri di Sukoharjo Jateng)‖.
Penelitian Reguler Kompetetif (Perekom). LPPM Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
138
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
______. (2010). ―Peran Dosen dalam Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi (Studi pada
Dosen PTS se-eks Karesidenan Surakarta)‖. Disertasi Manajemen Pendidikan.
Universitas Negeri Semarang.
Suparlan S. (2006). Filsafat pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz.
Tilaar, HAR. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tonny D. Widiastono (editor). (2004). Pendidikan Manusia Seutuhnya. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Wiggins, H. (2004). A Learner-Centered and Participatory Approach to Teaching
Community. San Francisco: Jossey-Bass.
Yoesoef, Daoed. (2012). ‖Perlu Paradigma Baru dalam Pendidikan Bangsa‖. Dalam harian
Kompas, hal 12. Edisi: 12 April 2012.
Yukl, G. (2009). Kepemimpinan dalam Organisasi. Edisi 5. Alih Bahasa: Budi Suprianto.
Jakarta: Indeks.
Zamroni. (2001). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
139
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
140
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DEKONSTRUKSI PENDIDIKAN SEKOLAH YANG
ANTIREALITAS
Musa Pelu
.............................
ABSTRAK
Berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini yang tercermin dari
realitas kehidupan masyarakat saat ini, tidak bisa dilepaskan dari praktik
pendidikan sekolah kita yang antirealitas. Sistem pendidikan nasional tidak pernah
mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Masyarakat hanya
dianggap sebagai obyek saja, tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai
subyek dalam pendidikan. Pada tahap ini harus dipahami bahwa realitas yang
ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis, dan bersifat terbatas, baik dari sudut
waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat sementara, sebab realitas
yang dikajinya selalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat
sementara pula. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghafal teoriteori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas itu sendiri, agar tidak terjadi
kecenderungan menghafal teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya
sendiri sudah berubah, sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
Oleh karena itu, agar permasalahan bangsa dapat segera diatasi maka diperlukan
dekonstruksi terhadap pendidikan sekolah kita yang anti realitas.
Kata Kunci : Dekonstruksi Pendidikan Sekolah, Antirealitas
A. PENDAHULUAN
Jika dicermati secara lebih detail dan
cerdas
terhadap
realitas
kehidupan
masyarakat saat ini, maka akan tampak
dengan jelas bahwa dunia pendidikan
sekolah
kita
sebenarnya
kurang
diorientasikan pada situasi dan kondisi
realitas kehidupan secara kreatif dan
visioner. Sebagai contoh, bahwa realitas
kehidupan bangsa Indonesia saat ini
sebagian besar hidup di pedesaan dan
bekerja di ladang pertanian dan perkebunan
(masyarakat agraris), ternyata kurang
tergarap dengan baik oleh ilmu pertanian
dan perkebunan yang diajarkan di sekolahsekolah umum, sejak sekolah dasar (SD)
sampai perguruan tinggi, baik dalam proses
pembelajaran maupun kegiatan riset atau
pene;litian. Hal ini dibuktikan dengan
ketidakmampuan kita memenuhi kebutuhan
dalam negeri sendiri. Sebuah hal yang ironi,
di mana bangsa kita masih mengimpor dan
tergantung luar negeri dalam hasil produksi
pertanian, seperti beras, gula, buah-buahan,
dan kedelai. Sesuatu yang wajar
dipertanyaan mengingat bangsa Indonesia
adalah negara agraris, yang didukung
dengan luasnya lahan pertanian dan
perkebunan, serta kondisi tanah yang subur.
Selanjutnya, terkait usaha kecil
menengah (UKM) yang semakin besar
jumlahnya dan banyak menyerap tenaga
kerja serta mempunyai andil yang cukup
besar
dalam
mempertahankan
perekonomian nasional dalam menghadap
krisis ekonomi di tahun 1998, ternyata juga
kurang tergarap secara signifikan oleh ilmu
ekonomi yang dikembangkan di sekolah-
141
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sekolah umum, mulai dari SD sampai
Perguruan Tinggi. Anehnya, pendidikan
ekonomi di sekolah-sekolah umum tersebut,
tidak banyak yang dikembangkan untuk
pembinaan kualitas sumber daya manusia
entrepreneur, dengan mengaitkan ilmu
ekonomi di sekolah-sekolah umum sesuai
kebutuhan nyata UKM, sehingga dapat
mendukung lahirnya kelas menengah yang
kuat, yang muncul dari pelaku UKM yang
berpendidikan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan
sekolah agama, kita dapat melihat hal yang
sama di mana pendidikan agama diajarkan
dalam konsep antirealitas. Realita pluralitas
dalam kehidupan agama, baik secara
internal dalam kehidupan agama itu sendiri
maupun secara eksternal dalam kaitannya
dengan keberadaan agama-agama yang lain,
kurang mendapat perhatian memadai dalam
pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu
agama, yang diselenggarakan dunia
pendidikan sekolah agama kita, baik di SD
sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan
agama masih diajarkan sebagai bagian dari
usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan
dan kebenaran. Akibatnya cenderung
menghakimi atau mengkafirkan orang lain
yang berbeda agama dengannya. Padahal
disadari bahwa Tuhan dan kebenaran
merupakan dua konsep yang tidak pernah
dapat
dimonopoli
seseorang
atau
sekelompok orang, meskipun mereka itu
adalah seorang kyai, ustadz, pendeta, atau
penguasa sekalipun.
Akibat praktik pendidikan yang
demikian
maka
realitas
pluralisme
kehidupan agama kurang berfungsi sebagai
pengikat rasa persatuan bangsa. Pluralitas
seharusnya bisa untuk menumbuhkan
kearifan dan sikap rendah hati untuk saling
menghormati, menghargai, memiliki rasa
empati, serta membangun kerjasama
konstruktif untuk memajukan peradaban
bangsa. Pluralitas agama dapat menjadi
sumber konflik yang utama yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu,
sehingga meresahkan dan memperlemah
rasa persaudaraan dan persatuan dalam
kehidupan beragama, baik antar agamanya
sendiri maupun dalam hubungannya dengan
agama-gama lain. Persaudaraan ternyata
amat mudah retak oleh adanya konflik
politik dan kepentingan kekuasaan, dan
sering mengambil bentuk kekerasan, seperti
terjadi di Poso dan Ambon.
Terkait realitas masyarakat saat ini,
banyak dijumpai tindakan anarkis, konflik
sosial, penuturan bahasa yang buruk dan
tidak santun, pelanggaran dan ketidaktaatan
terhadap peraturan dan hukum yang
berlaku. Masyarakat Indonesia yang
terbiasa
santun
dalam
berperilaku,
melaksanakan musyawarah untuk mufakat
dalam menyelesaikan masalah, mempunyai
kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas,
serta bersikap toleran dan gotong royong,
mulai cenderung berubah menjadi hegemoni
kelompok-kelompok
yang
saling
mengalahkan dan berperilaku tidak jujur.
Sebenarnya sejak lama pemerintah
telah memberlakukan pendidikan budi
pekerti di Indonesia, yaitu dalam bentuk
pengintegrasian pendidikan budi pekerti
kedalam mata pelajaran yang relevan seperti
agama dan PPKn, namun dengan melihat
fenomena krisis mentalitas dan moral yang
menjangkiti
masyarakat
Indonesia,
khususnya peserta didik, maka terdapat
beberapa masalah pokok yang turut menjadi
akar krisis mentalitas dan moral di
lingkungan pendidikan nasional, termasuk
pendidikan yang bernuansakan budi pekerti
seperti agama dan PPKn. Pertama,
pelajaran-pelajaran yang mengembangkan
karakter
bangsa
seperti
Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn),
Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan
Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya
lebih banyak menekankan pada aspek
kognitif daripada aspek afektif dan
psikomotor. Penilaian dalam mata pelajaran
yang berkaitan dengan pendidikan nilai
142
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
belum secara total mengukur sosok utuh
pribadi siswa.
Kedua, arah pendidikan telah
kehilangan objektivitasnya. Sekolah dan
lingkungannya tidak lagi merupakan tempat
peserta didik melatih diri untuk berbuat
sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan
akhlak, di mana mereka mendapat koreksi
tentang tindakan-tindakannya; salah atau
benar, baik atau buruk. Terdapat
keengganan di lingkungan guru untuk
menegur peserta didik yang melakukan
tindakan-tindakan yang kurang pada
tempatnya. Terutama di daerah perkotaan,
banyak guru merasa tidak memiliki wibawa
yang memadai untuk menegur peserta
didiknya, yang mungkin secara sosial
ekonomi jauh lebih tinggi daripada para
gurunya. Kenyataan ini juga terkait erat
dengan masih rendahnya tingkat sosialekonomi dan kesejahteraan dari sebagian
besar guru.
Ketiga, proses pendewasaan diri
tidak berlangsung baik di lingkungan
sekolah. Lembaga pendidikan pada
umumnya cenderung lupa pada fungsinya
sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan
peserta didik (enkulturisasi). Selain
berfungsi pokok untuk mengisi kognisi,
afeksi dan psikomotorik peserta didik,
sekolah
juga
berfungsi
untuk
mempersiapkan mereka meningkatkan
kemampuan merespons dan memecahkan
masalah-masalah dirinya sendiri maupun
orang lain. Dengan demikian, terjadi proses
pendewasaan peserta didik secara bertahap
dalam memecahkan masalah yang mereka
hadapi
secara
bertanggung
jawab.
Pemecahan
masalah
secara
tidak
bertanggung jawab seperti melalui tawuran
dan
bentuk-bentuk
kekerasan
lain,
merupakan indikator tidak terjadinya proses
pendewasaan melalui masalah.
Keempat, proses pendidikan di
sekolah sangat membelenggu peserta didik
dan para guru. Hal ini karena formalisme
sekolah dalam hal administrasi dan proses
belajar mengajar yang cenderung sangat
ketat, dan beban kurikulum yang sangat
berat. Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi
ruang bagi para peserta didik untuk
mengembangkan imajinasi dan kreativitas
kognisi, afeksi dan psikomotoriknya. Lebih
parah lagi, interaksi yang berlangsung di
sekolah telah hampir kehilangan human dan
personal
touch-nya.
Jadinya
proses
pendidikan di sekolah hampir sama dengan
interaksi manusia di pabrik yang akan
menghasilkan
produk-produk
serba
mekanistis dan robotis.
Kelima, beban kurikulum yang
demikian berat yang hampir sepenuhnya
diorientasikan pada pengembangan ranah
kognitif dan disampaikan melalui pola
delivery system. Pada pihak lain, ranah
afeksi dan psikomotorik hampir tidak
mendapat perhatian untuk pengembangan
sebaik-baiknya. Padahal kedua ranah ini
sangat penting dalam pembentukan akhlak,
moral, dan budi pekerti peserta didik.
Keenam, mata pelajaran agama yang
dapat menumbuhkan rasa afeksi, pada
umumnya disampaikan dalam bentuk
verbalisme, yang juga disertai dengan rotememorizing. Hal ini berakibat mata
pelajaran agama cenderung hanya sekedar
untuk diketahui dan dihafalkan agar lulus
ujian, tetapi tidak untuk diinternalisasikan
dan dipraktikkan, sehingga betul-betul
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
diri setiap peserta didik. Kenyataan tidak
menguntungkan ini semakin bertambah
parah dengan terdapatnya kecenderungan
dalam masyarakat luas, dimana terdapat
diskrepansi yang cukup mencolok antara
keimanan dan ketaatan formal dalam ibadah
keagamaan dengan perilaku sosial.
Ketujuh, pada saat yang sama para
peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai
yang sering bertentangan. Pada satu pihak,
mereka diajar guru pendidikan agamanya
untuk bertingkah laku yang baik, jujur,
hemat, rajin, disiplin dan sebagainya, tetapi
pada saat yang sama, banyak orang di
143
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
lingkungan sekolah justru melakukan
tindakan berlawanan dengan hal-hal yang
diajar guru agamanya tersebut, bahkan
dikalangan sekolah sendiri
Kedelapan, peserta didik sering
mengalami kesulitan dalam mencari contoh
teladan yang baik di lingkungannya. Mereka
mungkin menemukan keteladanan yang
baik di lingkungan sekolah, di dalam diri
guru tertentu.
Namun, mereka sulit
menemukan keteladanan dalam lingkungan
di luar sekolah. Dalam berbagai survey
terlihat bahwa banyak remaja justru
menemukan tokoh-tokoh teladan di antara
tokoh-tokoh yang sudah wafat (Azyumardi
Azra, 2006: 179-181).
Kesembilan, metode pendidikan
dalam penyampaian nilai-nilai budi pekerti
masih
memiliki
kelemahan
karena
dikonsentrasikan pada pengembangan otak
kiri/kognitif yang cirinya adalah hanya
mewajibkan peserta didik untuk mengetahui
dan menghafal (memorization) konsep dan
kebenaran tanpa menyentuh perasaan,
emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak
dilakukan praktik perilaku dan penerapan
nilai-nilai budi pekerti dalam kehidupan di
sekolah. Hal ini merupakan kesalahan
metodologis
yang
mendasar
dalam
pengajaran budi pekerti bagi manusia dan
akan
memunculkan
banyak
sekali
inkonsistensi antara apa yang diajarkan di
sekolah dan apa yang diterapkan anak di
luar sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa
penanganan pendidikan budi pekerti masih
terbengkelai akibat orientasi pendidikan kita
yang condong ke dimensi pengetahuan
(cognitive oriented). Kebanyakan praktisi
pendidikan kita masih memegang asumsi
jika aspek kognitif telah dikembangkan
secara benar maka aspek afektif akan ikut
berkembang secara positif.
Asumsi tersebut di atas, merupakan
sebuah kekeliruan yang cukup serius. Hal
ini mengingat bahwa pengembangan
kawasan afektif pada sistem pendidikan
sangat memerlukan kondisi yang kondusif.
Artinya,
perlu
dibuat
rancangan
pembelajaran budi pekerti secara sungguhsungguh. Sebaliknya, pendidikan budi
pekerti yang tidak dirancang secara
sungguh-sungguh maka hasilnya akan
mengecewakan. Banyak temuan ilmiah
yang mendukung tesis ini. Salah satunya
dikemukakan oleh Krathwol dan Bloom,
yang menyatakan bahwa fakta-fakta yang
ada menunjukkan bahwa perilaku afektif
akan berkembang secepat perkembangan
kognitif jika pengalaman pembelajaran
afektif diberikan sama banyaknya dengan
pengalaman
pembelajaran
kognitif
(Mawardi Lubis, 2011: iii-xiv).
Di sisi lain. metode pembelajaran
tradisional tersebut dinilai tidak mampu
mencapai tujuan pendidikan karena kurang
mengakomodir kelangsungan pengalaman
peserta didik yang diperoleh dalam
kehidupan keluarganya. Padahal peserta
didik khususnya pada usia sekolah dasar
dan
menengah
pertama
masih
mendambakan berlangsungnya pengalaman
di lingkungan keluarga dapat dialami pula
di sekolah. Pengalaman anak yang masih
bersifat global tentu menuntut penerapan
model pembelajaran yang relevan dengan
karakteristik mereka.
Orientasi pendidikan nasional masih
cenderung kurang memberri perhatian pada
pengembangan
aspek
sikap
dan
keterampilan. Orientasi pendidikan yang
parsialistik seperti ini sudah tidak relevan
dikembangkan mengingat kita sudah
bertekad untuk memberlakukan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sesuai
tuntutan KTSP, pembelajaran di sekolahsekolah sudah seharusnya dirancang untuk
proses learning to know (belajar uantuk
tahu), learning to do (belajar untuk
melakukan), learning to livetogether
(belajar untuk hidup dalam kebersamaan)
serta learning to be (belajar untuk menjadi
diri sendiri).
Orientasi
pendidikan
yang
parsialistik akan merugikan peserta didik.
144
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pasalnya,
mereka
akan
cenderung
mengetahui banyak hal tetapi kurang
memiliki sistem nilai, sikap, minat maupun
apresiasi secara positif terhadap apa yang
diketahui. Akibatnya, anak memiliki
perkembangan kepribadian yang kurang
seimbang, aspek pandangan hidupnya
berkembang, tetapi aspek sikap hidup dan
keterampilan hidup kurang berkembang.
Ketidakseimbangan
perkembangan
intelektual dengan kematangan kepribadian
yang dialami anak didik seperti pada
gilirannya akan membentuk anak sebagai
sosok spesialis yang kurang peduli dengan
lingkungan sekitar dan cukup rentan
terhadap distorsi nilai. Dari sini, dampak
selanjutnya adalah anak akan mudah
tergelincir dalam praktik pelanggaran moral
karena sistem nilai yang seharusnya
menjadi standard dan patokan berperilaku
sehari-hari masih rapuh (Zubaedi, 2009: 13).
Beberapa kekurangan yang masih
mewarnai
praktik
penyelenggaraan
pendidikan budi pekerti sebagaimana
diuraikan di muka harus segera dibenahi.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah
untuk mengatasi problem kemerosotan
moral melalui pendidikan budi pekerti di
sekolah, namun demikian hasilnya masih
jauh dari harapan.
B. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
DAN URGENSI PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
Di Indonesia, konflik antarkelompok
yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda sudah lama berlangsung dan
beberapa di antara konflik itu tidak hanya
dilakukan lewat penyerangan fisik, tetapi
sudah mengarah pada tataran prasangka
yang paling tinggi, yaitu eksterminasi.
Tindakan eksterminasi diekspresikan dalam
wujud hukuman mati tanpa peradilan
(lynching), pembunuhan massal yang
terorganisasi (pogrom), pembunuhan besarbesaran (massacre) dan pemusnahan
terhadap kelompok etnis tertentu (genocide
atau etnis cleansing). Kita masih ingat
―Peristiwa Sanggau Ledo, Sambas, dan
Sampit‖ (konflik antar etnis Dayak/Melayu
dengan Madura), ― Peristiwa Ambon dan
Poso‖ (konflik antar agama) dan ―Peristiwa
Mei 1998‖ (konflik politik yang berimbas
pada sentiment anti Cina). Dari peristiwaperistiwa tersebut, sifat dan kedalaman
konflik yang berlangsung sudah mengarah
pada upaya untuk menghilangkan satu
kelompok kultural oleh kelompok kultural
yang lain. Tindakan yang dilakukan dalam
konflik itu sudah tidak lagi memberi
penghargaan
terhadap
nilai-nilai
kemanusiaan. Ironis, karena kita sering
membanggakan diri sebagai bangsa yang
beradab.
Permasalahannya adalah mengapa
terjadi konflik? Indonesia merupakan
perwujudan masyarakat multikultur secara
sosiologis dan demografis. Sifat multikultur
ini memiliki potensi bagi munculnya
konflik, sebab masyarakat terbagi ke dalam
kelompok-kelompok berdasarkan identitas
kultural masing-masing. Para anggota
kelompok mengidentifikasikan diri mereka
sebagai representasi sebuah budaya
partikular. Identifikasi ini pada gilirannya
akan menentukan mereka ke dalam ingroup
dan outgroup secara kultural. Dalam kondisi
masyarakat seperti ini akan sulit dicapai
keterpaduan sosial (social cohesion), karena
setiap kelompok berada dalam lingkup
pergaulan yang eksklusif. Keterpaduan
sosial yang dimaksud adalah kondisi yang
memungkinkan setiap kelompok dapat
berkomunikasi tanpa harus kehilangan
identitas kultural mereka.
Dalam perspektif komunikasi antar
budaya, sebagai representasi masyarakat
multikultur, kita selama ini tidak atau belum
pernah melakukan komunikasi antar budaya
yang efektif, yaitu komunikasi yang
bertujuan
untuk
meminimalkan
kesalahpahaman
budaya
(cultural
misunderstanding).
Komunikasi
yang
145
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
berlangsung selama ini tidak mencerminkan
adanya ketulusan kedua belah pihak.
Ketidaktulusan
dalam
berkomunikasi
dinyatakan dalam sebuah konsep yang
dikenal dengan mindlessness, yaitu orang
yang sangat percaya pada kerangka
referensi yang sudah dikenal, kategorikategori yang bersifat rutin dan cara-cara
melakukan sesuatu yang sudah lazim.
Artinya,
ketika
melakukan
kontak
antarbudaya dengan orang lain (stranger,
dissimilar other), maka orang yang berada
dalam situasi mindless menjalankan
aktifitas komunikasinya seperti automatic
pilot yang tidak dilandasi kesadaran dalam
berpikir (conscious thinking). Individu lebih
berada pada tahapan reaktif daripada
proaktif. Karenanya, untuk mencapai
keadaan mindlful dalam komunikasi
antarbudaya,
maka
seseorang perlu
menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan
dan kesamaan-kesamaan dalam diri masingmasing anggota kelompok budaya, pihakpihak yang berkomunikasi (communicators)
merupakan individu-individu yang unik.
Menurut langer bahwa mindfulness terjadi
ketika seseorang memberi perhatian pada
situasi dan konteks, terbuka terhadap
informasi, dan menyadari adanya lebih dari
satu perspektif.
Konflik yang terjadi berulang kali di
negara kita menjadi satu pertanda bahwa
situasi
mindless
masih
mewarnai
komunikasi antarbudaya yang berlangsung
selama ini. Setiap orang dari kelompok
yang berbeda lebih bersikap reaktif daripada
proaktif, dan menginterpretasikan perilaku
kelompok lain berdasarkan cara pandang
dari kelompok budayanya. Dalam situasi
komunikasi yang terpolarisasi (polarized
communication), yaitu ketidakmampuan
memahami cara pandang pihak lain, maka
tidak ada lagi penghargaan terhadap
keberadaan
masing-masing
kelompok
budaya. Kurang atau tidak adanya
penghargaan terhadap keberadaan suatu
kelompok budaya, dirasakan oleh warga
etnis Cina. Di kalangan warga masyarakat
non Cina masih berkembang pandangan
yang tidak menguntungkan terhadap
keberadaan mereka. Menjadi menyedihkan,
ketika warga etnis Cina sering menjadi
sasaran
ketidakpuasan
atas
nama
kesenjangan sosial dan ekonomi ketika
terjadi peristiwa yang mengundang amuk
massa.
Konflik antarkelompok budaya yang
sering terjadi di Negara kita sebenarnya
ingin mengingatkan kembali bahwa sifat
multikultur
masyarakat
Indonesia
merupakan persoalan yang perlu dikelola
dengan sungguh-sungguh. Pidato Presiden
Soekarno pada peringatan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1954 menegaskan
pentingnya
memahami
kemajemukan
budaya yang dimiliki Indonesia. ―Ingat kita
ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita
ini bukan dari satu agama, Bhinneka
Tunggal Ika, berbeda tetapi satu”.
Penanganan
konflik
tidak
sebatas
mengurangi ketegangan dengan upacara
perdamaian seperti yang dilakukan selama
ini, tetapi harus melewati sebuah proses
dialog yang matang.
Secara konseptual, Martin Buber,
filsuf dan teolog Jerman memperkenalkan
pemikirannya tentang bagaimana dialog
harus dilakukan. Gagasan teoritiknya
dikenal dengan Etika Dialogis. Ia memilah
suatu hubungan ke dalam 2 tipe, yaitu
hubungan I-It (Aku-Itu) dan hubungan IThou (Aku-Engkau). Dalam hubungan AkuItu, kita memperlakukan orang lain sebagai
suatu benda yang digunakan, sebuah objek
yang dimanipulasikan. Sedangkan dalam
hubungan Aku-Engkau, kita menghormati
orang lain sebagai subjek. Kita melihat
orang lain diciptakan dalam citra Tuhan dan
memutuskan untuk memperlakukannya
sebagai pihak yang berharga.
Komunikasi antarbudaya yang ideal
dalam lingkup hubungan Aku,Engkau,
sebab dalam hubungan ini orang lain
diterima, diakui, dan diperlakukan sebagai
146
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pribadi yang memiliki ruang gerak untuk
menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian,
kebencian dan konflik karena latar belakang
budaya yang berbeda tidak perlu ada bila
kita
bersedia
menjalin
komunikasi
antarbudaya yang menjadikan orang lain
sebagai subjek. Hubungan Aku-Engkau
akan menjadi titik pijak bagi upaya kita
untuk menghargai perbedaan kultural,
karena tidak ada satu pun budaya dalam
masyarakat yang lebih unggul (superior)
terhadap budaya yang lain.
Melihat realitas di atas, maka
diperlukan adanya pendidikan multikultural
yang mengakomodir komunikasi antar
budaya sebagai sebagai sebuah solusi untuk
mengatasi budaya kekerasan dalam
masyarakat kita. Menurut Choirul Mahfud,
ada tiga urgensi pendidikan multikultural di
Indonesia. Pertama, pendidika multikultural
berfungsi
sebagai
sarana
alternatif
pemecahan masalah. Penyelenggaraan
pendidikan
multikultural
di
dunia
pendidikan diyakini dapat menjadi solusi
nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang
terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap
terjadi di masyarakat Indonesia yang secara
realistis plural. Dengan lain kata,
pendidikan multikultural dapat menjadi
sarana alternatif pemecahan konflik sosialbudaya.
Spektrum
kultur masyarakat
Indonesia yang amat beragam menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan guna
mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu
aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini,
pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan
bangsa Indonesia untuk siap menghadapi
arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari
berbagai macam budaya.
Sekolah maupun perguruan tinggi
sebagai
institusi
pendidikan
dapat
mengembangkan pendidikan multikultural
dengan model masing-masing sesuai asas
otonomi
pendidikan
atau
sekolah.
Pendidikan multikultural sebaiknya lebih
ditekankan pada mata pelajaran kebangsaan
dan moral.
Pada
dasarnya,
model-model
pembelajaran sebelumnya yang berkaitan
dengan kebangsaan memang sudah ada.
Namun, hal itu masih kurang memadai
sebagi sarana pendidikan guna menghargai
perbedaan suku, budaya, etnis. Hal itu
menunjukkan toleransi masih amat kurang.
Kedua,
Supaya
siswa
tidak
tercerabut dari akar budaya. Pendidikan
multikultural juga signifikan dalam
membina siswa agar tidak tercerabut dari
akar budaya yang ia miliki sebelumnya,
tatkala berhadapan dengan realitas sosialbudaya di era globalisasi.
Di era globalisasi saat ini, pertemuan
antar budaya menjadi ancaman seruis bagi
anak didik. Untuk mensikapi realitas global
tersebut,
siswa
hendaknya
diberi
penyadaran akan pengetahuan yang
beragam, sehingga mereka memiliki
kompetensi yang luas akan pengetahuan
global termasuk aspek kebudayaan.
Mengingat beragamnya relitas kebudayaan
di Indonesia maupun di luar negeri, siswa
pada era globalisasi perlu diberi materi
tentang pemahaman banyak budaya, atau
pendidikan multikultural, agar siswa tidak
tercerabut dari akar budayanya.
Ketiga,
sebagai
landasan
pengembangan kurikulum nasional. Dalam
melakukan
pengembangan
kurikulum
sebagai titik tolak dalam proses belajar
mengajar, atau guna memberikan sejumlah
materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai
oleh siswa dengan ukuran atau tingkat
tertentu, pendidikan multikultural sebagai
landasan pengembangan kurikulum menjadi
sangat penting.
Pengembangan kurilkulum masa
depan yang berdasarkan pendekatan
multikultural dapat dilakukan berdasarkan
langkah-langkah sebagai berikut : (1)
Mengubah filosofi kurikulum dari yang
berlaku seragam-seragam seperti saat ini
147
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kepada filosofi yang lebih sesuai dengan
tujuan, misi dan fungsisetiap jenjang
pendidikan dan unit pendidikan, (2) Teori
kurikulum tentang konten (curriculum
content) haruslah berubah dari teori yang
mengartikan
konten
sebagai
aspek
substantif yang berisikan fakta, teori,
generalisasi ke pengertian yang mencakup
pula nilai moral, prosedur, proses dan
keterampilan (skills) yang harus dimiliki
generasi muda, (3) Teori belajar yang
digunakan dalam kurikulum masa depan
yang memperhatikan keragaman sosial,
budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh
lagi hanya mendasarkan diri pada teori
psikologi belajar yang menempatkan siswa
sebagai makhluk sosial, budaya, politik,
yang hidup sebagai anggota aktif
masyarakat, bangsa , dan dunia yang harus
diseragamkan oleh institusi pendidikan, (4)
Proses belajar yang dikembangkan untuk
siswa haruslah berdasarkan proses yang
memiliki tingkat isomorphisme yang tinggi
dengan kenyataan sosial. Artinya, proses
belajar yang mengandalkan siswa belajar
secara individualistis harus ditinggalkan dan
diganti dengan cara belajar berkelompok
dan bersaing secara kelompok dalam suatu
situasi posistif, dan (5) Evaluasi yang
digunakan haruslah meliputi keseluruhan
aspek kemampuan dan kepribadian peserta
didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembangkan.
Pemberlakuan Pendidikan Multikultural
Pertentangan etnis yang terjadi di
Indonesia
beberapa
tahun
terakhir,
mengajarkan betapa pentingnya pendidikan
multikultural bagi masyarakat. Meskipun
secara formal bangsa Indonesia mengakui
keragaman, namun dalam kenyataannya
tidak.
Pada masa orde baru, pendidikan
merupakan bagian dari indoktrinasi politik
untuk mendukung rezim yang sedang
berkuasa. Hampir tidak ada ruang untuk
mengungkapkan identitas lokal dalam
sistem pendidikan. Yang ada hanyalah
kebudayaan nasional. Padahal lokalisme
dalam pendidikan multikultural merupakan
bagian yang paling penting. Disitulah orang
dapat melihat dirinya (self). Disitu pula
orang bisa melihat keragaman orang lain
(other).
Pada
prinsipnya,
pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang
menghargai
perbedaan.
Pendidikan
multikultural
senantiasa
menciptakan
struktur dan proses dimana setiap
kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Ada
dua hal yang harus diperhatikan untuk
mewujudkan pendidikan multikultural yang
mampu memberikan ruang kebebasan bagi
semua kebudayaan untuk berekspresi.
Pertama, adalah dialog. Pendidikan
multikultural tidak mungkin berlangsung
tanpa
dialog.
Dalam
pendidikan
multikultural, setiap peradaban dan
kebudayaan yang ada berada dalam posisi
yang sejajar dan sama. Tidak ada
kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap
lebih tinggi (superior) dari kebudayaan lain.
Dialog meniscayakan adanya persamaan
dan kesamaan di antara pihak-pihak yang
terlibat. Dengan dialog, diharapkan terjadi
sumbang pemikiran yang pada gilirannya
akan memperkaya kebudayaan atau
peradaban yang bersangkutan.
Disamping sebagai pengkayaan,
dialog juga sangat penting untuk mencari
titik temu (kalimatun sawa) antar peradaban
dan kebudayaan yang ada. Dialog
diharapkan dapat mencari titik-titik
persamaan sambil memahami titik-titik
perbedaan antar kebudayaan.
Kedua, adalah toleransi. Toleransi
adalah sikap menerima bahwa orang lain
berbeda dengan kita. Dialog dan toleransi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Bila dialog itu bentuknya,
toleransi itu isinya. Toleransi diperlukan
tidak hanya pada tataran konseptual,
melainkan juga pada tingkat teknis
operasional. Inilah yang sejak lama absen
148
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dalam sistem pendidikan kita (Jurnal PKn
Progresif, Rima, 2006 : 255 – 256).
Kritik Terhadap Pendidikan Sekolah
yang Antirealitas
Pada l970-an Ivan lllich pernah
melontarkan gagasan kontroversial tentang
Deschooling Society (masyarakat tanpa
sekolah).
Illich
meramalkan,
jika
pengetahuan dan tingkat kedewasaan
masyarakat sudah berkembang dengan
wajar, institusi-institusi pendidikan formal
tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan
mampu menjalankan fungsi pendidikan
lewat sosial budaya yang luas, tanpa harus
terikat dengan otoritas kelembagaan seperti
sekolah.
Hingga saat ini, sekolah formal
masih memosisikan anak didik pada
orientasi pasar (market student) sehingga
pendidikan tidak lagi berbasis pada
keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik.
Kedua, munculnya mitologi tentang
pendidikan yang dikukuhkan dengan ritus
pendidikan. Pada awal kalender akademik
misalnya, kita akan menjumpai ritual
kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang
gedung, uang seragam, dan ritual lainnya
yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah
justru menjadi penjaga utama mitos
tersebut. Dengan bangga pemerintah
memilih posisi untuk berpihak pada
kalangan elite dan menutup harapan kaum
miskin untuk duduk di bangku sekolah
favorit.
Memang, muncul pertanyaan yang
mengaitkannya dengan grand design
pendidikan
nasional
yang
diusung
pemerintah. Apakah dalam grand design
pendidikan nasional, model pendidikan
komunitas bakal mendapat pengakuan?
Bagaimanakah model pendidikan yang
diinisiasi masyarakat ini, dikaitkan dengan
UU Sisdiknas serta birokrasi pendidikan
dengan sejumlah regulasinya. Bagaimana
peluang menempatkan model pendidikan
komunitas
dalam
garis
kebijakan
pendidikan nasional? Pemerintah jangan
malah bersikap resisten atas model
pendidikan altematif yang ditawarkan.
Model pendidikan altematif itu sekadar
menawarkan jawaban sederhana pendidikan
sebagai medium pembebas, bukan pemberi
beban.
Alasan
terjadinya
gerakan
usulan
menghapus
keeberadaan
sekolah
disebabkan karena :
a. Model sekolah di Indonesia merupakan
model Eropa yang bersifat elit, karena
pemerintah tidak memikirkan eksistensi
pendidikan yang sebenarnya ―What
Kind of Education‖ sehingga tidak
mengherankan bila tamatan sarjana
ilmunya setingkat SMA, SMA ilmunya
setingkat SMP dan seterusnya.
b. Sekolah secara sendiri sangat lemah
karena tidak memiliki dukungan dari
masyarakat.
Akibatnya
eksistensi
sekolah
sebagai
lembaga
yang
diharapkan dapat membangun manusia
cerdas (being smart) dan manusia yang
baik (being good) tidak terealisasi
dengan baik karena selain arah sekolah
yang tidak jelas juga karena sistim
persekolahan yang belum menyentuh
substansi tujuan sekolah.
c. Sekolah terlepas dari konsep penyiapan
tenaga kerja dan tidak memenuhi
harapan masyarakat seperti tersedianya
tenaga kerja yang siap pakai atau
lulusannya terserap dunia indusri dan
dunia
usaha.
Padahal
dengan
keberadaan SMK, masyarakat sangat
berharap tamatan SMK dapat bekerja
dan tidak menjadi beban. Pembangunan
sekolah SMK tidak dibarengi dengan
penyiapan lapangan pekerjaan, jika
penyiapan
lapangan
pekerjaan
dibebankan pada masyarakat atau
peserta didik dibiarkan untuk mandiri
maka seharusnya konsep pendidikan
SMK harus mengacu pada kedua solusi
itu, tetapi kenyataannya sekarang, SMK
dibangun tanpa dasar dan kelayakan
149
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yang jelas, akibatnya SMK menjamur
dimana-mana dan ironisnya diperkuat
dengan kebijakan Pemerintah Indonesia
yang memposisikan persentasi SMK
harus lebih banyak dari SMA. Belajar
dari negara lain misalnya Jerman,
dikembangkan sekolah kejuruan karena
daya
dukung
lingkungan
memungkinkan seperti banyaknya
industri yang banyak menyerap tenaga
kerja atau kepoliteknik.
d. Beberapa institusi pendidikan (sekolah)
yang ‗lebih cerdas‘ melakukan praktek
bisnis namun mereka berpura-pura
sedang tidak berbisnis karena dunia
pendidikan dianggap ‗musuh gelap‘
dunia bisnis. Kelompok ini menerapkan
konsep bisnis tetapi setengah-setengah.
Akibatnya, institusi semacam ini sangat
sering ditunggangi oleh pihak-pihak
yang mengambil ‗kesempatan dalam
kesempitan‘.
Institusi
pendidikan
dijadikannya sebagai sapi perah untuk
misi pribadinya.
Jadi agar keberadaan sekolah
menjadi bagian dari sistem kehidupan
masyarakat dalam mengembangkan peserta
didik, harus dimulai dari modal (capital),
baik itu modal sosial (social capital) antara
lain trust, networking, relationship dan
mapping disekolah maupun modal budaya,
seperti language, kompetensi, values, sikap,
bealiven education. Oleh karena
itu,
sekolah tidak boleh terlepas dari kedua
modal tersebut disamping modal-modal
yang lain.
Selain
itu
Sekolah
harus
ditempatkan sebagai isntitusi yang tetap
pada tujuan substansinya yaitu sebagai
akademik (intelektual dan pengetahuan),
vokasional, sosial dan kewarganegaraan
serta kebudayaan, dan tujuan personal. Jika
tujuan sekolah ini dijadikan pedoman maka
sekolah akan menjadi institusi yang
menghasilkan manusia yang cerdas (being
smart) dan manusia yang baik (being good).
Tugas
sekolah
untuk
menyatukan
masyarakat karena masyarakat mengalami
perkembangan.
Nasib Deschooling Dewasa Ini
Sistem pendidikan nasional yang
ada selama ini mengandung banyak
kelemahan. Dari soal buruknya manajemen
pendidikan sampai pada soal mengenai
minimnya dana untuk pengembangan
pendidikan. Pertama, sistem pendidikan itu
kaku dam sentralistik. Pola uniformitas
dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam
pembuatan kurikulum yang tidak dipahami
menurut
kebutuhan
masing-masing
penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem
pendidikan
nasional
tidak
pernah
mempertimbangkan kenyataan yang ada di
masyarakat. Di sini masyarakat hanya
dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat
tidak pernah diperlakukan atau diposisikan
sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga,
dua problem di atas didukung oleh sistem
birokrasi kaku yang dijadikan alat
kekuasaan atau alat politik penguasa.
Deschooling
merupakan
suatu
konsep penghapusan sekolah karena sekolah
tidak efektif, menghabiskan dana dan tidak
bisa memberikan keadilan bagi siswa.
Keberadaan konsep Deschooling bisa
berdampak positif bila konsep tersebut di
implementasikan dengan baik misalnya :
sekolah ―X‖ dengan jumlah siswa yang
sangat minimal untuk suatu kategori jumlah
siswa tiap kelas atau jumlah siswa pada
sekolah yang sangat kurang namun tetap
diberi kesempatan untuk melaksanakan
proses penyelenggaraan pendidikan maka
berdasarkan
pertimbangan
efisiensi
penggunaan biaya pendidikan perlu
dilakukan penghapusan dengan cara sekolah
tersebut di marger dengan sekolah lain. Hal
ini wajar dilakukan mengingat pada aspek
pembiayaan sekolah hampir sama antara
sekolah yang jumlah siswa banyak dengan
siswa yang sedikit belum lagi kesempatan
mendapatkan
bantuan-bantuan
lain.
Gerakan deschooling dalam hal ini bisa
150
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
diterapkan selain efisiensi biaya pendidikan,
efektifitas proses pembelajaran, juga
menghindari ada penyalahgunaan lembaga
pendidikan untuk meraih keuntungan dan
kepentingan individu seperti kesempatan
yang sama mendapatkan bantuan block
grand.
Keberadaan sekolah elit telah
memunculkan pola pendidikan yang bersifat
elitis yang dimanfaatkan dan dinikmati oleh
sekelompok orang kaya. Pola ini sangat
tidak memberikan rasa keadilan bagi peserta
didik yang mungkin dari kalangan
kelompok miskin tetapi memiliki potensi
dan kemampuan yang luar biasa namun oleh
karena pendidikan yang diselenggarakan
bersifat elitis aka peserta didik tersebut
tidak mampu belajar pada sekolah tersebut.
Hal ini menggambarkan ketidakadilan
dalam pendidikan dan bertentungan dengan
tujuan pendidikan sehingga penting
dilakukan
penghapusan
model-model
sekolah semacam ini agar tidak ada
dikotomi dalam masyarakat terutama dalam
menerima perlakuan dalam mendapatkan
kesempatan pendidikan.
Konsep deschooling tidak dapat
bertahan manakala konsep ini dianggap
mengganggu
kepentingan
kelompok
tertentu dalam mempertahankan status quo
terhadap penyelenggraan pendidikan yang
mementingkan kelompok masyarakat yang
elit secara ekonomi. Sebab sekolah tidak
terlepas dari kepentingan kekuasaan karena
lewat pendidikanlah bagian dari kekuasaan
diperoleh dengan manfaatkan pendidikan
sebagai cara mencapai tujuan politik dan
kepentingan kekuasaan.
Mengubah Konsep Ilmu
Pada hakikatnya, ilmu merupakan
obyektivikasi intelek terhadap realitas yang
ditangkap dalam suatu momen kehidupan
tertentu, baik ruang maupun waktu, yang
diabstraksikan
melalui
logika
dan
diformulasikan menjadi rumusan dalil atau
teori. Pada tahap ini harus dipahami bahwa
realitas yang ditangkap intelek itu berubah
terus, dinamis, dan bersifat terbatas, baik
dari sudut waktu, ruang, maupun
bidangnya. Suatu teori bersifat sementara,
sebab realitas yang dikajinya selalu dalam
keadaan berubah, sehingga validitasnya
bersifat sementara pula. Oleh karena itu,
yang lebih diperlukan bukan menghafal
teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat
terhadap realitas itu sendiri, agar tidak
terjadi kecenderungan menghafal teori-teori
tentang realitas, sementara realitasnya
sendiri sudah berubah, sehingga tidak
memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
Pada umumnya, kita masih melihat
kenyataan bahwa dunia pendidikan sekolah
kita masih mengajarkan teori-teori belaka,
tanpa memberi kesempatan kreatif untuk
bergumul dan memahami realitas secara
intensif. Ironisnya, ketika teori itu diajarkan
ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya
telah berubah sehingga tidak tepat untuk
membuktikan teori tersebut atau tidak
sesuai lagi. Akibatnya, ketika peserta didik
menyelesaikan pendidikannya, mereka sama
sekali tidak mengenali realitas yang ada di
sekitarnya. Dalam keadaan demikian,
respons mereka terhadap realitas pasti
menjadi kosong, karena hakikat realitas itu
tidak pernah masuk dalam alam sadar
pikirannya. Tidak heran bila kita melihat
seseorang yang telah menyelesaikan
studinya, maka habislah ilmu yang
dihafalkannya, sebab ilmunya tidak terkait
sama sekali dengan realitas yang
dihadapinya. Mereka hanya mendapatkan
secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat
tanda tamat tanpa penguasaan terhadap
ilmunya itu sendiri.
Pendidikan kita sebenarnya kurang
memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi
hanya ilmu sebagai produk, dengan
memindahkan teori-teori para ilmuwan ke
pikiran anak didik untuk dihafalkan.
Masalah bagaimana ilmuwan itu melahirkan
teori-teorinya,
tidak
pernah
dapat
dimengerti secara benar. Kegalauan
151
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
intelektual yang mendorong seorang
ilmuwan melakukan pergumulan dengan
realitas melalui berbagai pendekatan,
metodologi, dan pengujian untuk dapat
mengungkapkan fakta dan kebenaran di
balik suatu realitas, tidak pernah
menggugah kesadaran pikiran anak didik.
Hal yang sama terjadi dalam
pendidikan sekolah keagamaan, dengan
lebih mengutamakan penekanan pada
formalisme agama, normatif, dan tekstual
yang terlepas dari konteksnya. Agama
seakan menjadi ajaran langit, datang dari
langit dan lantas melangit, tidak ada
kaitannya sama sekali dengan realitas bumi
di mana seseorang hidup membumi.
Akibatnya, agama tidak membumi dan
antirealitas yang ada di bumi. Realitas
kemiskinan dipandangnya sebagai suratan
nasib yang harus diterima dengan sabar,
karena tidak terkait sama sekali dengan
realitas ketimpangan struktural dalam
kehidupan ekonomi dan politik suatu
masyarakat. Agama telah memabukkan
kesadaran manusia terhadap realitas sosial
yang ada, dan pesan agama tidak dapat
membumi dan dibumikan, apalagi untuk
menjadi rahmat bagi semua kehidupan yang
ada di muka bumi ini.
Mengubah Paradigma Pendidikan
Pendidikan sekolah kita seharusnya
dikembalikan kepada realitas dinamika
masyarakatnya, bukan menjadi menara
gading yang tercabut dari akar kehidupan
masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah
bukan untuk mengajarkan mimpi dan
antirealitas, tetapi menjadi bagian yang sah
dari realitas hidup masyarakatnya sendiri
untuk mencari jawab atas proses dialektik
yang terus bergolak dalam kehidupan
masyarakatnya. Kecenderungan pendidikan
yang antirealitas, mendorong menguatnya
feodalisme baru yang memuja gelar
akademik hanya untuk menaikkan status
dan gengsi sosial, sehingga jual beli gelar
akademik menjadi laris di mana-mana.
Orang merasa tidak malu membeli atau
menyandangnya,
karena
kenyataan
menunjukkan bahwa tamatan perguruan
tinggi yang mendapatkan gelar akademik
secara benar melalui studi panjang yang
berjenjang ternyata tidak bisa berbuat apaapa, bahkan banyak yang menganggur, dan
secara signifikan tidak ada bedanya atau
lebih menghargai hanya beda tipis bedanya
dengan orang yang berpendidikan di
bawahnya.
Untuk
mengubah
paradigma
pendidikan sekolah, harus ada kebijakan
pendidikan yang radikal, dengan mengubah
secara fundamental pendidikan, sebagai
subyek
dinamik
realitas
kehidupan
masyarakat, sehingga anak didik dapat
memahami realitas secara utuh, benar, dan
tepat. Penguasaan alat untuk memahami
realitas menjadi tugas fundamental dunia
pendidikan
kita,
melalui
proses
pembelajaran yang kreatif dan visioner
untuk memperkaya intelektual dan spiritual
anak didiknya. Dunia pendidikan kita tidak
boleh terjebak urusan birokrasi yang
melelahkan dan tidak mencerdaskan, karena
dalam banyak hal, birokrasi pendidikan
justru
telah
membunuh
substansi
pendidikan itu sendiri.
Birokrasi pendidikan sekolah kita
telah berkembang secara berlawanan
dengan
tujuan
pendidikan
untuk
mencerdaskan bangsa, bahkan menjadi
pusat pembodohan, karena birokrasi
pendidikan
diselenggarakan
sebagai
perpanjangan birokrasi kekuasaan dan
politik, dengan memberi peluang adanya
muatan-muatan politik yang terlalu jauh
memasuki birokrasi pendidikan. Kita masih
ingat ketika masa Orde Baru, di mana
Perguruan Tinggi tidak boleh mempelajari
suaatu ideologi tertentu, seperti larangan
mempelajari Marxisme hanya karena
ketakutan
politik
terhadap
bahaya
komunisme. Demikian pula muatan
kurikulum Pancasila dan Kewiraan dalam
berbagai versinya, telah diajarkan dari SD
152
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sampai Perguruan Tinggi secara berlebihan,
melalui
proses
pengulangan
yang
sebenarnya hanya memboroskan.
C. PENUTUP
Jika melihat realitas sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat, seperti
adanya pengangguran kaum terpelajar dan
kegagalan dalam swasembada pangan,
maka realitas itu sesungguhnya telah
membuktikan
dengan
nyata
bahwa
pendidikan sekolah telah gagal menjadi
praktik hidup bagi peserta didik. Jika
melihat kekayaan alam dan luasnya lahan
pertanian yang dimiliki bangsa ini, maka
seharusnya pendidikan keilmuan pertanian
kita dapat memberikan jawaban konkret
untuk membangun kemampuan dalam
berswasembada pangan. Demikian pula
haknya dengan pendidikan keilmuan
ekonomi, seharusnya terkait dengan
penciptaan
sarjana
yang
berjiwa
entrepreneur untuk menciptakan pekerjaan,
bukan untuk mencari pekerjaan.
Pendidikan kita masih terlalu
banyak dibebani muatan untuk menguasai
pengetahuan teoritis dan terlalu lemah
penguasaan praktiknya dalam kehidupan.
Pengetahuan teoritis memang diperlukan,
akan tetapi harus disadari bahwa teori selalu
dibangun dari pemahaman seorang ilmuwan
terhadap realitas, hanya saja realitas yang
dijadikan bahan untuk membangun suatu
teori adalah realitas yang sudah direduksi
oleh
pemikiran
ilmuwan
yang
melahirkannya. Ketika teori itu dirumuskan,
maka realitas yang menjadi obyek
pemikirannya itu sesungguhnya telah
berubah. Akibatnya penguasaan sematamata pada teori sudah tidak sesuai lagi
dengan realitas yang ada. Bahkan semakin
jauh untuk dapat menjadi praktik hidup.
Akibatnya, ketika anak didik belajar
ilmu dalam lembaga pendidikan, maka
mereka akan mengalami kesulitan untuk
menjadikannya sebagai praktik hidup dan
amat sulit untuk menemukan rujukannya.
Ketika anak didik belajar mengenai teori
demokrasi politik sebagai wujud ideal
dalam berpolitik, maka mereka akan
menghadapi
kesulitan
ketika
akan
merangkaikannya dengan praktik hidup
berpolitik bangsa karena memang tidak ada
contoh praktik hidup demokrasi yang ideal
dalam kehidupan politik masyarakat yang
ada sekarang ini. Hal yang sama dapat
terjadi dalam ilmu hukum, ilmu ekonomi,
dan ilmu budaya.
Sesungguhnya krisis multidimensi
yang terjadi sampai saat ini akan semakin
sulit diatasi, jika bangsa ini tidak
menemukan keteladanan dalam praktik
hidup dari para pemimpinnya sendiri. Yang
dibutuhkan adalah keteladanan kerja keras,
kerja cerdas, kejujuran, berbuat kebajikan,
hidup bersahaja, dan damai.
Krisis keteladanan pada akhirnya
terjadi karena adanya krisis dalam
pendidikan kita sendiri dalam berbagai
matra dan jenjangnya. Jika ingin
menyongsong masa depan kehidupan
bangsa yang lebih baik, maka kuncinya ada
pada dunia pendidikan. Oleh karena itu,
pendidikan seharusnya menjadi prioritas
dalam pembangunan, bukan ekonomi.
Praktik hidup telah menunjukkan bahwa
prioritas pembangunan ekonomi ternyata
membawa bangsa ini makin terjerat oleh
keserakahan dan korupsi yang jauh dari
keteladanan kejujuran.
Dunia pendidikan harus dilepaskan
dari kepentingan politik aliran, kedaerahan,
dan keagamaan. Dunia pendidikan harus
dibebaskan dari semua kepentingan yang
sempit dan dijauhkan dari setiap doktrin
sehingga tidak menjadi indoktrinasi
ideologi politik dan keagamaan yang sempit
agar pendidikan dapat menjadi praktik
hidup yang membebaskan, mencerdaskan,
dan mencerahkan bangsa.
Pendidikan harus menjadi realitas
praktik hidup karena realitas lebih kuat
daripada kesadaran, praktik hidup lebih kuat
daripada teori, tindakan lebih kuat daripada
153
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
perkataan, fakta lebih kuat dari sabda.
Dalam masyarakat Jawa ada kata-kata
mutiara ‖ngelmu iku kalakone kanti laku‖
yang dimaknai bahwa teori atau ilmu hanya
bisa terwujud bila dipraktikkan. Sebaik-baik
kurikulum dan proses pembelajaran, kalau
tidak jadi praktik hidup, maka semuanya
akan tidak ada artinya, tidak bisa mengubah
realitas, tetapi diubah oleh realitas. Dunia
pendidikan hanya memberikan gelar dan
secarik ijazah atau sertifikat, tidak praktik
hidup, dan pada saat menghadapi realitas,
maka semua teori yang dihafalkan tidak ada
gunanya, ‖Jauh Panggang dari Apinya‖.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Dardiri. (2010). Revitalisasi Fungsi Pendidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan
Yang Humanis Religius. Pidato. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Agus Salim, dkk. (2007). Indonesia Belajarlah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Agus Wibowo. (2012). Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
A.Suhaenah Suparno, dkk. (2002). Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70
Tahun Prof.Dr. H.A.R. Tilaar,M.Sc.Ed. Jakarta: PT Grasindo.
Azyumardi Azra. (2006). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Banks,James. 2000. Multicultural Education: Transforming the Mainstreamcurriculum.
Connecticut: Dushkin?McGraw-Hill, A Division of The McGraw-Hill Compan
Choirul Mahfud. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moh.Yamin. (2009). Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Jogjakarta: Diva Press.
Musa Asy‘arie. (2005). NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan. Yogyakarta: LESFI
Nurhadiantomo. (2004). Konflik-Konflik Sosial: Pri-nonPri & Hukum Keadilan Sosial.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nurul Zuriah. (2007). Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Kreatif LKM UNJ. (2011). Restorasi Pendidikan Indonesia: Menuju Masyarakat
Terdidik Berbasis Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Wahyu. (2005). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Hecca Mitra Utama
Wina Sanjaya. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik KTSP. Jakarta:
Kencana
154
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
JAVANOLOGI: MEMBAHANAKAN IDENTITAS LOKAL
Taufiq al Makmun
Peer Group Institut Javanologi, LPPM UNS dan
Kepala International Office UNS
Identitas Jawa dalam konteks logos
dan simbol tidaklah hilang sama sekali,
berbagai bentuk kesenian Jawa masih
kentara dipertunjukkan meski dalam bingkai
pelestarian budaya yang peminatnya dalam
hitungan jari. Transkripsi Jawa muncul bak
ornamen penghias papan-papan nama
organisasi pemerintah, seperti di kota Solo,
namun
tak
banyak
yang mampu
membacanya. Keindahan bahasa Jawa
sesekali diperdengarkan pada kesempatankesempatan istimewa, namun tak banyak
yang tahu makna pastinya. Mengapa?
Konstelasi perang budaya kian
garang. Budaya dianggap senjata politik dan
ekonomi ketika perang fisik dianggap tak
beradab,
Joseph
Nye
Jr.
(2004)
mengistilahkan soft power. Di tanah Jawa,
bahana wacana budaya-budaya impor kian
gegap gempita. Kentara dari perilaku: lagu
yang
didendangkan,
fashion
yang
dikenakan, poster yang dipajang, dan ironis
uang dibelanjakan kepada budaya yang
diperjualbelikan itu. Budaya orang merebak,
popular dan meyedot nilai ekonomi yang
kian tak terhitung, menjadi jebakan pasung
budaya popular. Tidak salah, tapi
menjauhkan nilai identitas lokal ketika
ditransfer mentah-mentah. Lalu, apa makna
identitas yang telah terbentuk selama
berabad-abad?
A. JAVANOLOGI DAN IDENTITAS
LOKAL
Meminjam istilah latin yang sudah
lazim dalam dunia akademia kita,
Javanologi muncul menjadi nama sebuah
lembaga Pusat Studi di Universitas Sebelas
Maret (UNS) sejak 2010. Java dan Logos
bermakna harfiah ilmu kejawaan, bukan
yang pertama, jauh lebih dahulu lembaga
dengan judul yang sama berdiri di
Jogjakarta. Pro dan kontra muncul, apa
perlunya, terlambat, reaksioner, dan latah.
Tetapi ada bersit harapan, sebuah kesadaran
akan makna identitas scara ilmiah,
mendistribusikan nilai keilmuan dalam
konteks tentang Jawa –kelokalan– dengan
bahasa kekinian, dan tentunya melakukan
produksi kebudayaan yang kembali ke akar
kejawaannya. Sebuah harapan pula untuk
memberi akses dan jembatan kepada
generasi mendatang yang kian jauh dari
produk-produk budaya Jawa baik itu
ideofact maupun artifact. Ketidaktahuan
adalah pangkal proses lumernya daya
dukung, maka pengetahuan menjadi titik
awal.
Budaya-budaya
lokal
yang
terpinggirkan memang menarik bagi pihak
luar, namun, sebagai bahan penelitian dalam
logika konservasi berdasar belas kasihan
kekhawatiran akan hilang dan punah.
Ketiadaan daya dukung masyarakat adalah
bentuk enyahnya rasa kepemilikan. Pudar
ditelan ketidakpercayaan pada identitas
lokalnya, digeser budaya-budaya pendatang
yang silih berganti, popular dan sementara
tak pernah berakar apalagi memberikan
identitas.
Budaya yang melekatkan identitas
pada suatu masyarakat tentu bukan suatu
yang instan, simbiosis dan adaptasi terhadap
lingkungan lokal menjadi bumbu proses
produksi budaya suatu masyarakat. Menjadi
identitas karena pas dengan kebutuhan
155
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
lokal, kemurnian kreativitas, muncul
sebagai local genius dan wisdom pada
proses pembentukan identitas budaya.
Motivasinya bukanlah alasan ekonomi
semata, tetapi falsafah hidup dalam
berinteraksi antar manusia dan alamnya.
Kuat berakar karena telah teruji. Menyitir
teori Darwin, apa yang telah tumbuh mekar
dan berakar kuat itulah yang sesuai dengan
lingkungan tempat tumbuhnya.
Budaya adalah sebuah multidisplin,
Javanologi menjadi sebuah kajian wilayah
yang mengembangkan identitas lokal
sebagai inti kajiannya dengan melihat Jawa
tidak hanya melalui bedah dan kajian kitabkitab saja tetapi lebih melihat Jawa sebagai
suatu budaya yang tumbuh lekat dengan
perkembangan
masyarakatnya
yang
meliputi
ilmu-ilmunya:
cara
hidup,
teknologi hidup dan produk-produk
kehidupan masyarakat termasuk perilaku
interaksi. Kepercayaan pada sifat budaya
yang tidak statis, mampu berkomunikasi,
bernegosiasi, dan berhibridisasi dengan
budaya
lain
akan
menginspirasi
keberlanjutan produksi-produksi budaya
lokal kekininian, tetap didukung karena
berkembang dan tidak ketinggalan jaman.
Javanologi tentu bukan alat perang,
lebih menyoal ikhwal peran akademik
keilmuan, bukan pula sekedar tameng
budaya yang mudah rapuh karena miskin
dukungan. Peran keilmuan membahasakan
kekuatan-kekuatan budaya dan identitas
untuk
tidak
menjadi
suatu
yang
dikeramatkan, ekslusif, dan diisolasi,
ataupun hanya dikenal pada kalangan
terbatas.
Javanologi
mengembangkan
kelokalan dengan bahasa publik yang boleh
diperdebatkan,
dikembangkan,
dan
diadaptasi menjadi kini dengan kekuatan
identitas dan keterikatannya pada aspek
lokal. Posisi Javanologi ada diantara
pemahaman makna identitas dan sifat
kebudayaan yang cair, tidak bisa
terbendung,
dan
selalu
berinteraksi
antarbudaya apalagi ketika kran-kran
globalisasi kian terbuka lebar. Yaitu, fungsi
mengakrabkan identitas lokal dengan
menempatkan setiap penggunanya sebagai
subyek yang sadar makna identitas itu
sendiri.
Melemahnya sebuah identitas adalah
lukisan seekor bunglon yang selalu
bermimikri, merubah diri untuk bertahan,
tak percaya diri dengan warna aslinya.
Dalam ekonomi modern yang dipersenjatai
oleh soft power, masyarakat lemah identitas
budaya adalah sasaran tembak yang tergilas,
objek pasar, senyap kreativitas, dan pasti
termiskinkan.
B. INTERNASIONALISASI
PERGURUAN TINGGI
Kini, persaingan antar perguruan
tinggi
dihadapkan
pada
isu
internasionalisasi yang diukur dari berbagai
aspek yang bermuara pada kemampuan
positioning pada kancah internasional.
Interaksi
dengan
Perguruan
Tinggi
antarnegara menjadi keharusan, pengakuan
lebih di tingkat international menjadi ujung
isu
(international
journal
dan
proceedings). Apakah lagi-lagi perguruan
tinggi harus menjadi menara gading?
Tinggi, indah dipandang namun tak
tersentuh bak monumen. Menjadi diakui
seharusnya adalah sebuah konsekuensi
pencapaian bukan tujuan.
Memiliki Javanologi yang menjadi
salah satu keunggulan UNS, sesungguhnya
mampu menjadi sebuah kekuatan yang
memendarkan
identitas
kelokalannya
sebagai sebuah perguruan tinggi yang sadar
di mana tempatnya berdiri, identitas apa
yang melekat pada lingkungannya. Sebuah
strategi elok. Dengan identitas yang kuat
membuat suatu lembaga mempunyai
kekuatan dan menjadi sebuah pusat bukan
peniru, menjadi rujukan bukan pengekor.
Pemaknaan budaya sebagai cara
hidup, menjadikan ilmu kelokalan bukanlah
pengkaji karya budaya literer saja tetapi
pembaca teks-teks budaya dalam artian luas.
156
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Bentuk ilmu yang dapat digali dari suatu
identitas lokal dapat ditemukan dalam cara
hidup masyarakat pendukungnya: pertanian,
sandang,
arsitektur,
pengobatan,
kemasyarakatan, sastra, dan sebagainya.
Demikian juga pengembanngan perguruan
tinggi yang berbasis multidispilin ilmu
penunjang kehidupan bermasyarakat.
Perlu diakui bahwa keterbatasan
penjelasan
secara
ilmiahlah
yang
menjadikan banyak hal termasuk ilmu-ilmu
Jawa ditinggalkan, dianggap tidak teruji.
Meng-kuna-kan tradisi adalah strategi
dalam perang budaya sebagai senjata
ekonomi
global,
menciptakan label
dikotomis budaya modern vs kuna;
menghegemoni pilihan. Saintifikasi apa
yang sudah tertradisikan menjadi pilihan
strategis pengembangan ilmu dan kelokalan.
Setiap ilmu yang tumbuh dan
berkembang akan unik karena faktor
lingkungan tumbuh, sosiologi masyarakat,
kondisi geografis, dan sejarah yang
melingkupinya. Transfer teknologi pun
tidak bisa sekonyong-konyong tanpa
adaptasi dengan faktor lokalnya. Kesadaran
akan faktor kelokalan menjadikan nilai khas
pengembangan suatu ilmu. Menjadi suatu
pusat
pengembangan
ilmu
akan
memunculkan nilai ke-internasional-an
karena kemampuannya mewarnai dengan
segala aspek kekhasan bukan sebuah echo
yang tak beridentitas.
Hidupnya identitas-identitas lokal
akan menjadi warna global. Pada akhirnya
apa yang ditempuh Javanologi merupakan
model penguatan ―suku” (=kaki dalam
bahasa Jawa) yang menjadi pilar sangga
identitas nasional bahkan global.
157
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
158
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
SOCIAL EVIDENCE BASED PRACTICE SEBAGAI
PARADIGMA BARU SISTEM PEMBELAJARAN
Pujiriyanto
ABSTRAK
Era globalisasi mengharuskan perubahan paradigma pendidikan sebagai
bagian reformasi pendidikan di Indonesia. Sistim pendidikan dipengaruhi oleh
sistem social di seluruh jenjang sehingga sistem pendidikan harus tanggap dan
proaktif menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan sistem sosial tersebut.
Konsep pekerjaan, keluarga, dan masyarakat akan berubah secara sistimatis
menyertainya. Era industrialisasi akan berubah seiring perubahan informasi
sehingga masyarakat akan membentuk karakteristik baru yang berbeda dengan
sebelumnya. Ada dua aspek penting terkait dengan manajemen dan metoda
pembelajaran. Manajemen pendidikan seharusnya lebih terbuka terhadap terhadap
tuntutan pengetahuan. Demikian halnya dengan metode pembelajaran, perubahan
sangat mendesak dalam rangka membantu peserta didik untuk mengembangkan
diri sebagai pencipta ilmu melalui proses belajar. Dua aspek tersebut
mengindikasikan perlunya lembaga pendidikan untuk mengembangkan jaringan
kerjasama dengan pihak-pihak luar secara global.
Kata kunci: manajemen, metode belajar, paradigm baru, sistem sosial.
A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu sistem
yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain
di luar dirinya dengan proses pembelajaran
di dalamnya sebagai sub sistemnya.
Pengalaman historis menunjukkan standar
proses pembelajaran masih jauh dari dalam
memenuhi kebutuhan belajar peserta didik
akan kebutuhan belajar bermakna yang
akhirnya memenuhi ekspetasi masyarakat
akan hadirnya lulusan yang memiliki
kualifikasi memadai. Kebijakan pendidikan
nasional sebagai acuan proses pembelajaran
seringkali justeru tidak konsisten dan terlalu
pragmatis, bahkan bersifat kontra produktif
dan mendistorsi standar proses. Misalnya
kebijakan UAN bagaimanapu telah
menyebabkan beroperasinya paradigma
lama dalam sistem pembelajaran di banyak
lembaga pendidikan khususnya sekolah.
Sistem pembelajaran pendidikan
paradigma lama menempatkan siswa
sebagai objek pembelajaran bukan individu
yang aktif mengkontruksi pengetahuan dan
menemukan makna belajarnya sendiri.
Sekolah seolah menjadi institusi pendidikan
yang memiliki batas sistem sangat jelas dan
bersifat tertutup. Pengalaman dan keluasan
sumber belajar direduksi dalam teks-teks
yang terstruktur yang mengkooptasi
pemikiran pendidik dan peserta didik, yang
miskin aktivitas falsifikasi teori dan konsep.
Kelas-kelas
seharusnya
produktif
menghasilkan knowledge creator berdasar
pemikiran
kritis
menjadi
knowledgerecontruction
bukan
knowledgeproduction. Falsifikasi seolah
menjadi menjadi tabu, karena pada akhirnya
sistem menuntut kembali menjadi para
penghafal konsep dan teori. Peserta didik
cenderung mengalami cognitive load karena
dominasi content transmission yang tidak
bisa digeneralisasi dan dioperasikan dalam
gelanggang kehidupan karena lepas kontek.
159
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Praktek-praktek ilmiah diredusir dalam
nuansa pengabaran teori yang miskin aksi
berdasarkan fakta lapangan yang bisa
mengantarkan peserta didik pada ―AHA‖.
Adam (2009; 180) menyatakan di dunia luar
banyak praktek-praktek ilmiah yang bisa
menjadi sumber belajar bahkan dikontruksi
menjadi teori-teori yang bisa dipelajari.
Adam menyatakan pentingnya evidence
based practice sebagai kerja sosial
pendidikan.
Konsekwensinya
institusi
pendidikan harus menjadi sistem yang lebih
berani terbuka sebagai paradigma baru
dalam implementasi pembelajaran.
Fenomena perubahan sistem sosial
yang ada di masyarakat baik pada level
makro, meso maupun mikro seringkali luput
dari perhatian insititusi pendidikan seolah
merepresentasikan diri sebagai sistem yang
tertutup. Faktanya mayoritas peserta didik
mempelajari fakta, konsep, prinsip,
prosedur, dan beragam pengetahuan yang
jauh dari dunia nyata dengan dominasi
metode-metode pengabaran buku teks
(content transmission) dibanding kontruksi
secara induktif.
Peserta didik jarang
memiliki otonomi atau kontrol terhadap
proses belajarnya sendiri, terpola mengikuti
aturan dan kebijakan dalam format disiplin
yang kaku. Orientasi belajar adalah
mengejar
prestasi
kognitif
yang
keberhasilannya diukur dengan tolok ukur
kuantitatif, sementara idealisme pendidik
dipasung dalam kepentingan administratif.
Fiksasi dan marjinalisasi terhadap proses
pendidikan telah, sedang, dan mungkin
masih terus akan terjadi. Cole dalam Luis C.
Moll (1990: 106) menegaskan bahwa
pendidikan
merupakan
perangkat
intelektual, namun tanpa konteks bagaimana
diaplikasikan perangkat ini akan gagal.
Interaksi budaya dalam proses
pembelajaran seolah menjadi blackbox atau
kotak masif yang tabu untuk dibuka bahkan
ditinjau kembali untuk menemukan
kesadaran perlunya reorientasi paradigma
dalam otoritas pendidik. Pemenuhan standar
proses pembelajaran seolah menjadi lapis
kedua yang seringkali luput dari dialog
pengawas sekolah dengan para guru karena
masing-masing masih melayani kepentingan
penilaian administratif. Di perguruan tinggi
saja masih hangat bagaimana akreditasi
dilakukan BAN menggunakan instrumen
generik untuk beragam prodi sehingga
diagnosis menjadi tidak akurat. Beruntung
hal ini sudah diperbaiki meskipun spirit
administratif masih tetap mendominasi.
Eksistensi dominasi metode-metode
pembelajaran berpusat pada pendidik secara
linear
bisa
dikorelasikan
dengan
keengganan untuk merubah dan berinovasi
dengan metode pembelajaran yang lebih
berpusat kepada peserta didik. Metode yang
memenuhi kebutuhan perkembangan dan
kebutuhan belajar peserta didik ideal
menjadi paradigma dasar dalam memilih
dan menetapkan metode. Reigeluth
(1983:19) dalam taksonomi variabel
pembelajaran telah jelas memposisikan
karakteristik siswa sebagai fokus utama
manipulasi metode pembelajaran disamping
karakteristik bidang studi dan tujuan
pembelajaran. Pola relasi kuasa antara
peserta didik dan pendidik dalam struktur
kelas masih dominan, otoritas yang dimiliki
pendidikcenderung
dipakai
untuk
mendukung eksistensi kewibawaan namun
mengalahkan kemaslahatan bagi peserta
didik.
Hal ini diperparah dengan kebiasaan
kebijakan
pendidikan
yang
justeru
memperkuat struktur relasi yang timpang
dengan kuatnya pembakuan instrumentasi
dalam mengontrol aktifitas pembelajaran.
Data produk instrumentasi justeru dipakai
sebagai rujukan bagi penyelesaian masalah
pembelajaran semakin menyebabkan fiksasi
terhadap program pengembangan kualitas
pembelajaran dan kualitas guru oleh
pemerintah. Diagnosis riil atas dasar
praktek, tacitknowledge, dan suara hati
pendidik serta peserta didik sulit
160
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
teraktualisasikan dan diakomodasi dalam
perumusan kebijakan pendidikan.
Instrumentasi di beberapa perguruan
tinggi juga masih nampak masih mensubordinatkan kepentingan akademik yang
lambat laun mematikan kreatifitas dan
menyebabkan
pembusukan
akademik
(academic decay). Contoh nyata sebelum
adanya tenaga administrasi di prodi banyak
aktifitas ketua prodi lebih menonjol dalam
tugas, fungsi dan jebakan administratif
daripada yang seharusnya melakukan
pengembangan akademik.
Fenomena masalah-masalah di atas
bisa menjadi faktor penyebab stagnasi dunia
pendidikan yang seringkali menjadi gagap
dan
beroperasi
dalam
mode-mode
―discharge‖ berbau proyek. Hal ini bisa
dianalogkan bahwa sistem pendidikan
beroperasi dalam deret hitung sedangkan
perubahan sistem sosial beroperasi dalam
deret ukur.
Lulusan dunia pendidikan
sering mengalami stigmatisasi ―produk
gagal‖ atas dasar fakta pengangguran
terdidik justeru terus meningkat. Era
reformasi
tidak
berdaya
dalam
mentransformasi
paradigma
karena
kenyataan digerus oleh politisasi bidang
pendidikan dengan kebijakan pemerintah
yang lebih bersifat ―deklaratif‖ atau boleh
disebut
―kebijakan
wacana‖
tanpa
komitmen jelas. Contohnya kebijakan 20%
anggaran pendidikan merupakan bentuk
kebohongan terhadap publik dengan
memasukkan unsur gaji dan tunjangan
tenaga
kependidikan
yang
berarti
mengabaikan peningkatan mutu pendidikan.
B. PERUBAHAN SOSIAL DAN
IMPLIKASI TERHADAP
PERUBAHAN PARADIGMA
Paradigma seperti apakah yang
diperlukan dan seperti apakah paradigma
baru serta implikasi dari paradigma baru
tersebut? Untuk menjawab hal tersebut
perlu dianalisis dua proses perubahan besar
akibat perubahan sosial, yaitu;
1. Proses pertama dimulai adanya upaya
untuk merubah namun parsial, dan
adanya
kegiatan
berpikir
akan
perubahan
paradigma
(sebatas
pemikiran),
memodifikasi,
dan
melakukan penyesuaian
2. Proses kedua adalah perubahan secara
sistemik diikuti pergeseran paradigma
dan transformasi.
Perubahan
sistem
pendidikan
diperlukan karena lingkungan dari sistem
berubah secara dramatis. Alvin Toffler‘s
(1970) memetakan ada tiga gelombang
perubahan yaitu;
1.
Pengembangan
agrikultur, 2. Revolusi industri (kemampuan
fisik), dan 3. Revolusi informasi
(kemampuan
mental).
Gelombang
perubahan
ini
telah
mempengaruhi
kehidupan terutama keluarga, dunia bisnis,
transportasi, dan pendidikan yang bisa
digambarkan
sebagai
berikut:.
Tabel 3. Pengaruh Gelombang Perubahan
Gelombang
Agraris
Industri
perubahan
Keluarga
Keluarga besar
Keluarga inti
(extended family)
Bisnis
Transportasi
Keluarga
Kuda
Birokrasi
Kereta
161
Informasi
Orangtua yang bekerja
Tim
Pesawat dan mobil
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Gelombang
perubahan
Pendidikan
Agraris
Sekolah terbatas
pada ruang
Industri
Sistem saat ini
Reish dan Kohde (2000: 201)
menyatakan ada 6 perubahan besar yang
membentuk praktek kerja sosial dan
pendidikan yaitu; globalisasi ekonomi,
perubahan iklim politik, perkembangan
penggunaan
teknologi,
pergeseran
demografi dan dampaknya terhadap kotakota, perubahan layanan agen sosial, dan
perubahan yang terjadi di universitas.
Perubahan ini nampaknya akan berdampak
secara sistemik.
Perubahan sistemik merupakan
transformasi yang fundamental dan
merupakan perubahan besar di masyarakat
yang memerlukan perubahan seluruh sistem
sosial secara sistemik. Pendidikan sebagai
suatu sistem sangat dipengaruhi oleh
perubahan
sistem
yang
menjadi
lingkungannya baik ada level mikro, mezzo,
maupun lingkungan makro. Realitas dunia
pendidikan
(nasional)
dalam
posisi
tertinggal mengikuti perkembangan dan
perubahan sistem dari yang seharusnya
berjalan. Sistem pendidikan selalu lambat
bereaksi karena minimnya kepemimpinan
dan kecenderungan sistem yang dibangun
dijiwai
kepentingan
kestabilan
dan
kemudahan
pengelolaan
administratif
terhadap kinerja. Orientasi rendah kepada
humaninvestment sebagai modal utama
dianggap tidak mendukung social glamour
menyebabkan keengganan untuk masuk ke
dalam sikap visioner.
Universitas seharusnya menjadi
katalisator perubahan sistemik, namun
terjebak pada perlombaan ikon-ikon social
glamour seperti universitas kelas dunia,
namun tidak siap dengan mereformasi diri
dari involusi akademik. Rendahnya
Informasi
Bagaimana menyamakan
perbedaan (fenomena muncul
suku-suku virtual)
apresiasi akademik dan dominasi anggaran
untuk pembangunan fisik masih berkiblat
sebatas demi kelancaran dan peningkatan
kualitas belajar mengajar (teaching
university) namun masih rendah apresiasi
untuk
kepentingan
riset
(research
university) dan investasi terhadap sumber
daya manusia. Involusi yang panjang ini
akhirnya menyebabkan investasi sumber
daya yang tidak jelas pemakaiannya.
Pernyataan diri sebagai world class
university (WCU) masih bersifat deklaratif
yang tidak didukung komitmen jelas.
Tantangan globalisasi di semua
sektor mendorong perlunya perubahan
paradigma terhadap sistem pendidikan yang
baru. Nampak bahwa sense of belonging
menjadi
kunci
penting
perubahan,
melibatkan kesadaran seluruh masyarakat
bahwa sesuatu yang tidak berubah adalah
perubahan itu sendiri. Spirit, keinginan
politik, dan komitmen
yang kuat dari
masyarakat
yang menjadi
kekuatan
paradigma sistem pendidikan yang baru
karena masih sulit bisa mengharapkan
pemerintah yang selalu sibuk dengan dunia
politik.
C. PARADIGMA BARU SISTEM
PENDIDIKAN YANG
DIPERLUKAN
Menjawab tantangan dan kebutuhan
global dua aspek dalam sistem pendidikan
yang
memerlukan
perubahan
dan
pengkajian untuk ditransformasikan ke
dalam paradigma baru yaitu metode
pembelajaran dan manajemen pengelolaaan
pendidikan.
162
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
1. Aspek Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran harus bergerak
dari pola komunikasi pembelajaran satu
arah (jarum hipodermis) menjadi multi arah.
Pendidik bukanlah satu-satunya sumber
belajar namun semua adalah sumber belajar.
Pendidik yang baik adalah yang belajar dan
mengajar demikian peserta didik yang baik
adalah yang belajar dan mengajar. Posisi
pendidik dan peserta didik bersifat egaliter,
pendidik menjadi kolaborator sumber daya
dan mitra belajar. Posisi pendidik memang
tidak tergantikan meskipun kemajuan
teknologi
sudah
memungkinkan
terlaksananya pola interaksi multi arah.
Pembelajaran adalah pertemuan budaya
(idiosyncratic response) tidak mungkin
semua bisa diperankan oleh teknologi
layaknya
interaksi
antara
manusia,
meskipun postmodernisme menelurkan
gagasan munculnya machinic phylum
Pembelajaran harus meletakkan
otonomi dan kontrol belajar pada peserta
didik dan membumikan tanggung jawab
untuk menjadi generasi yang mampu belajar
berkelanjutan. Pendidikharusmau terus
belajar
dari
praktek
empiris
(continuousprofessional authentic learning)
yang terproyeksikan oleh peserta didik.
Paradigma ini merupakan cara pandang dan
orientasi
baru
terhadap
keyakinan
epistimologis bahwa pengetahuan dan
ketrampilan lebih bermakna apabila
individu belajar terlibat aktif mengkontruksi
pengetahuannya sendiri. Pada perjalanannya
bukan berarti meninggalkan metode-metode
di bawah payung behavioristik namun
pendidik perlu mengorientasikan diri dalam
mengembangkan otonomi belajar.
Alasan lain adalah fakta neo
behavioristik telah mencapai psikologi
transendental dalam upaya meletakkan
kontrol diri pada peserta didik dalam
merespon lingkungan dan melakukan
adaptasi berdasar pengalaman spiritual
pribadinya. Metode pembelajaran layak
dipilih yang menumbuhkan kepercayaan
diri dan konsep diri yang baik, proaktif,
saling berbagi informasi, meningkatkan
keterampilan kerjasama dan berkomunikasi,
berpikir kritis, berempati, memahami,
menghormati perbedaan pendapat dan
banyak harapan positif lainnya. Hal seperti
ini diharapkan memberikan kemampuan
peserta didik untuk menghadapi realitas
kehidupan dalam konteks kesehariannya.
2. Aspek Manajemen Lembaga
Pendidikan
Manajemen itu sendiri bergerak dari
yang beroperasi sendiri berubah kepada
upaya membangun jaringan. Orientasiorientasi lembaga pendidikan yang hanya
berada pada red ocean (bermain pada area
persaingan yang sama) akan menyebabkan
in-efisiensi karena pengaruh struktur
birokrasi. Lembaga pendidikan harus
membangun
lompatan
dengan
memanfaatkan teknologi informasi dalam
menyuarakan sebagaimana cara kerja Steve
Jobsdimana nilai-nilai yang merupakan
karakteristik lokal dibangun oleh institusi
pendidikan tersebut. Pada tataran ini
institusi pendidikan masuk pada blue ocean
(penambahan nilai), dan diteruskan dengan
perspektif global untuk mengembangkan
local wisdom.
Sumber-sumber belajar online dalam
bentuk jaringan pengetahuan, portal
pengetahuan, telelearning, kelas maya, dan
bentuk lain akan menggerakkan setiap
insitusi menjadi knowledge creator yang
produktif, terutama hasil riset. Insitusi
pendidikan tidak perlu memandang institusi
lain sebagai kompetitor atau rival tetapi
sebagai mitra yang saling menghormati
keunikan
masing-masing.
Pemerintah
sebagai pengelola pendidikan sebaiknya
menempatkan diri sebagai fasilitator untuk
menjaga identitas profesionalisme institusi
pendidikan dan SDM kependidikan sesuai
karakter bangsa bukan justru mendistorsi
melalui
beragam
program
dengan
pendekatan proyek.
163
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Implementasi tidaklah semudah
membalik
telapak
tangan,
karena
melibatkan dukungan banyak pihak dan
banyak ekses yang ditimbulkan seperti
perubahan peran baik lembaga pendidikan
maupun peran pendidik, peserta didik serta
orang-orang yang termasuk dalam sistem
pendidikan. Namun, sikap visioner melalui
konteks perubahan ini akan memberikan
kejelasan arah bagaimana sektor pendidikan
dapat bersinergi seiring kemajuan dan
perkembangan teknologi, pengetahuan,
dunia usaha, dan perubahan sosial
masyarakat dengan output pendidikan lebih
berkualitas.
3. Bagaimana langkahnya?
Perubahan
paradigma
sistem
pendidikan tersebut harus dimulai dari
pemahaman mengenai apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat informasi sehingga proses
pendidikan dan pelatihan dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat. Berikut perubahan
beberapa aspek akibat pergeseran dari
masyarakat
industri
ke
masyarakat
informasi.
Tabel 4. Pergeseran dari Masyarakat
Industri
ke Masyarakat Informasi
Industrial age
Information age
Bureaucratic
Team
organization
organization
Autocratic leadership Shared leadership
Centralized control
Autonomy,
Adversarial
accountability
relationships
Cooperative
Mass production, etc
relationships
Compliance
Customized
Conformity
production, etc.
One-way
Initiative
communications
Diversity
Compartmentalization Networking
Division of labor
Holism
Integration of
tasks
Perubahan di atas menyebabkan
perubahan konsep tentang tempat kerja,
keluarga, dan masyarakat namun penulis
akan membahas perubahan konsep tempat
kerja dan keluarga dalam kaitan dengan
pendidikan.
4. Konsep tempat kerja (work place) dan
pendidikan
Tempat kerja berubah dari suatu
aktifitas individual (berpikir dan bertindak
sendiri) menjadi suatu tempat untuk saling
bekerjasama dan bahkan suatu tempat untuk
berinisiatif. Kerjasama bisa dilakukan di era
teknologi dan bahkan menghasilkan sesuatu
yang bernilai tinggi. Tempat kerja bahkan
menurut Webster (2011: 714) menggunakan
istilah ―workplace learning” menekankan
seorang profesional yang ―belajar‖ bukan
pada terminologi ―pengembangan‖ karena
―pengembangan‖ bersifat embbeded dalam
aktifitas belajar bukan sekedar partisipasi
dalam program yang bersifat isidental
dalam pengembangan diri. Identitas
profesional dikenali dari aktifitas bekerja
sambil belajar. Don Tapscott dalam
Macrowikinomic (2010: 07-09) menyatakan
adanya lompatan baru dunia dari ekonomi
mikro ke ekonomi makro dan teknologi
nampak bisa menjadi basis pengembangan
profesionalisme.
Dunia pendidikan tentu harus
menyesuaikan
dengan
melakukan
perubahan kurikulum, namun kenyataan
peserta didik tidak mendapatkan kondisi
cukup belajar bermakna karena adanya
peningkatan biaya pendidikan.
Secara
implisit nampak ada kebutuhan dalam
bentuk hidden curriculum yang bisa
memfasilitasi laju dan kebutuhan belajar
setiap individu secara fleksibel dengan
bantuan teknologi. Implikasinya perlu
perubahan paradigma tentang belajar yaitu;
164
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Tabel 5. Implikasinya Perlu Perubahan
Paradigma Tentang Belajar
Belajar
Time-based
Attainment-based
Group-based
Person-based
Teacher-based
Resource-based
Konsep utama yang ingin dipenuhi
adalah belajar tuntas yang memberikan
penekanan-penekanan
pada
kemajuan
belajar secara berkelanjutan (continuous
progress), perencanaan belajar atas
kebutuhan individu (personal learning
plans customized), penilaian berbasis
kinerja (performance-based assessment
(PBA),
danbelajar
berbasis
kinerja
(performance-based learning (PBL). Selain
itu proses belajar lebih bersifat kerjasama
(cooperative learning/teams), penggunaan
teknologi sebagai alat, menempatkan guru
sebagai pelatih atau fasilitator, mengajarkan
ketrampilan berpikir, dan membuat makna
serta
mengembangkan
ketrampilan
interpersonal. Konsep ini mengisyaratkan
bahwa
belajar
dan
aktifitas
pendidikanarenanya
jauh
melampaui
insitusi sekolah dan atau pendidikan. Brown
(2000: 348) mengatakan arena pendidikan
meliputi
arena
ekonomi
untuk
mempertahankan keterampilan di dunia
kerja, politik untuk pendidikan politik, dan
kristalisasi mobilisasi komunitas, dan teknis
belajar menggunakan media generasi
terbaru. Reigeluth (2009: 14) bahkan
menyatakan tanpa perubahan paradigma
reformasi yang dilakukan tidak akan berarti
dan tetap akan membuang banyak anakanak potensial di sekolah.
5. Konsep keluarga dan pendidikan
Pada sisi keluarga juga terjadi
pergeseran bahwa pada era sekarang banyak
keluarga sebagai institusi sosial mengalami
masalah kurangnya komunikasi sesama
anggota keluarga, kebutuhan emosional dan
fisik kurang terpenuhi, kurangnya disiplin,
lebih suka mengontrol secara fisik dan
mental terhadap orang lain, dan kurang
peduli satu sama lain.
Dunia pendidikan perlu merubah
paradigma sistem pendidikan yang hanya
berorientasi pada pencapaian target tanpa
memperhatikan lingkungan sebagai konteks
berlangsungnya proses pendidikan terutama
keluarga. Dewey dalam Alan Orstein (1985:
133) menekankan pentingnya sekolah
memperkenalkan siswa kepada masyarakat
dan budayanya sesuai minat, bakat, dan
masalah. Secara spesifik Stephen N. Elliot
(2000: 18) menegaskan keluarga khususnya
orangtua memiliki dampak pencapaian
belajar anak terutama; 1. kesan terhadap
sekolah, guru, dan belajar , 2. Aktifitas dan
keterlibatan orangtua dalam aktifitas
sekolah terproyeksikan oleh anak, dan 3.
Pola asuh mempengaruhi keterlibatan anak
di sekolah.
Pendidikan
nampak
perlu
memperhatikan
lingkungan,
menjaga
komunikasi dengan para orangtua, dan
konsen pada masa anak-anak secara
keseluruhanyang relatif merupakan generasi
terbaru. Konsekwensi dari hal ini maka;
a. Pendidik perlu memperhatikan fokus
tanggung jawab pada pendidikan usia
dini terutama selama masa usia penting.
b. Pendidik
berorientasi
untuk
bertanggungjawab mendidik kepada
seluruh anak secara keseluruhan, bukan
hanya yang ada dalam sistem
persekolahan
c. Setiap sekolah hendaknya membatasi
diri akan jumlah siswa atau class size
untuk menjaga efektifitas agar tercipta
lingkungan
yang
kondusif
dan
perlakuan individu.
d. Setiap peserta didik seharusnya
mengembangkan kontrak belajar (baik
karaktermaupun subtansi) dengan guru
dan orangtua untuk memberikan
dukungan konteks.
Fokus belajar nampak bergeser
sehingga diperlukan perubahan-perubahan
165
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
fundamental sistem pendidikan. Ada isu-isu
umum yang muncul terkait perubahan
paradigma yaitu paradigma tentang
mengajar harus fokus kepada kemaslahatan
peserta didik dan diperlukannya struktur
organisasi yang lebih fleksibel, banyak
pilihan, dan bersifat suportif (pendukung)
bukan kontrol kekuasaan. Fisher dalam
Scrimshaw (1993: 08) bahkan sampai pada
kesimpulan bahwa belajar secara efektif
bisa benar-benar terjadi jika terjadi
pertukaran pengalaman tanpa input dari
sumber yang lebih berpengetahuan, guru
bisa berdiri di belakang atau membiarkan
pebelajar untuk untuk bereksplorasi dengan
situasi menurut kebebasan, atau mencari
situasi tertentu di mana peserta didik dan
pendidik merupakan mitra dalam posisi
egaliter.
Kesimpulannya institusi pendidikan
harus menjadi suatu sistem pembelajaran
yang meletakkan orientasinya
pada
pemberian pengalaman belajar dengan
dukungan administrasi dan tata kelola yang
baik. Institusi pendidikan harus bisa
menjadi agen bagi terjadinya transformasi
kultur belajar. Masyarakat perlu dilibatkan
dalam
mendesain
ulang
sistem
pembelajaran institusi pendidikan dengan
proses perancangan yang lebih etis (bebas
kepentingan
politik)
dan
perkuatan
masyarakat sekolah untuk merancang masa
depan sendiri. Otonomi institusi pendidikan
dan kewenangan lebih luas bisa menjadi
momentum dari keperluan ini.
6. Implikasi terhadap layanan
Institusi pendidikan sebagai suatu
sistem layanan kependidikan harus lebih
terbuka untuk kerjasama yang melibatkan
interdisiplin
(interdisciplinary
collaboration),
secara
intensif
mempertahankan usaha-usaha
sekolah
berkelanjutan
dan
kemungkinan
menyongsong otonomi yang lebih besar
menjadi sekolah mandiri baik dalam
kebijakan maupun menjadi sekolah atau
guru yang menginspirasi masyarakat.
Tuntutan ini berimplikasi kepada
penyelenggaraan calon guru atau tenaga
kependidikan baik dari sisi metode
pendidikan dan latihan guru dalam jabatan
maupun pra jabatan. Mulai dari input
sampai dengan proses pendidikan dan
penempatan. Regulasi yang tepat dan
mandat yang jelas kepada LPTK. LPTK
perlu diperkuat dalam menyelenggarakan
inservice training baik penguatan kapasitas
lembaga, SDM penyelenggara pendidikan
dan latihan guru, juga dari sisi
pengembangan
riset
di
bidang
kependidikan.
7. Implementasi paradigma baru
Sisdiknas
Output yang bagaimana yang dapat
kita harapkan dari suatu proses perubahan
pendidikan
dalam
menuju
kearah
peningkatan kualitas adalah tergantung dari
bagaimana kita mengimplemantasikan,
dengan tetap berkomitmen dan berpegang
pada aspek perubahan paradigma baru
sistem pendidikan dan stressing nya
difokuskan terhadap hal-hal berikut:
a. Sistem
pendidikan
harus
diimplementasikan dengan berpegang
pada prinsip ―muatan lokal, orientasi
global‖ sebagaimana ide Don Tapscott
dalam Macrowikonomic.
b. Kandungan dan muatan kurikulum
berbasis penciptaan kompetensi secara
holistik
(kognitif,
afektif,
dan
psikomotorik)
dan
mengeliminasi
terjadinya proses fiksasi sehingga perlu
ada pengkajian ulang UAN.
c. Proses
belajar
mengajar
harus
berorientasi pada pemecahan masalah
riil dalam kehidupan, tidak sekedar
pengkabaran buku teks penyebab
cognitive load dan menghasilkan unschool mind. Proyek-proyek pengadaan
buku yang otoriter perlu dihapuskan,
arahkan ke publikasi digitalisasi dan
166
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
d.
e.
f.
g.
buku murah dengan dukungan dana
pemerintah.
Sumber daya manusia yang terlibat
dalam
proses
pendidikan
harus
mempunyai kemampuan merangsang
dan
mengembangkan
kecerdasan
majemuk peserta didik (group based ke
person based), biarkan suku-suku maya
berkembang sebatas pada aktifitas
keilmuan. Pusatkan peran sebagai
kolaborator interdisipliner.
Aksesibilitas
terhadap
teknologi
informasi ditingkatkan agar dapat
tercipta jejaring pendidikan antar
sekolah dan lembaga lainnya baik
melalui
pengurangan
kesenjangan
digital maupun pengembangan melek
TIK.
Manajemen pendidikan harus berbasis
sekolah yang mengintegrasikan sistem
informasi terpadu (EMIS) untuk
menunjang proses administrasi yang
bernilai strategis
Otoritas pemerintah daerah diharapkan
lebih berperan dalam menunjang
infrastruktur pendidikan sesuai strategi
otonomi daerah yang diterapkan secara
nasional. Pemerintah pusat berikan
contoh penerapan 20 % anggaran APBN
secara riil bukan deklaratif.
D. PENUTUP
Ada kesepakatan bahwa ―nasib‖
keberhasilan anak bangsa ini untuk dapat
berkompetisi dan berhasil memenangkan
persaingan di segala sektor di era global ini
berada pada institusi pendidikan yang
didukung oleh sistem pendidikan yang
berparadigma baru. Keunggulan kompetitif
memerlukan
dukungan
masyarakat
berpartisipasi dalam menumbuhkan dan
menciptakan inovasi yang berharga bagi
perkembangan dunia pendidikan. Tiadanya
inovasi menyebabkan ketertinggalan dunia
pendidikan akan tuntutan masyarakat
terlebih tuntutan masyarakat global.
Indonesia tidak seharusnya menghasilkann
lulusan yang kurang percaya diri, tidak
mandiri, dan selalu tergantung pada pihak
lain. Perspektif masyarakat terhadap
pendidikan harus mampu menjembatani dan
mengatasi kesenjangan antara proses, hasil,
dan pengalaman selama di bangku sekolah
dengan kenyataan tuntutan hidup yang riil.
Konsep pendidikan menjadi pendidikan
tidak terbatas (waktu, lokasi). Marginalisasi
diri harus dicegah dengan perubahan
paradigma akan sistem pendidikan yang
menuju keinginan untuk melakukan suatu
perubahan kearah perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adams., Betts, K., Matto, H., Lecroy., & Winston, C. (2009). Limitations of EvidenceBased Practice for Social Work Education: Journal of social work education; spring
2009; 45, 2; proquest sociology pg. 165
Bown, Lalage (2000). Lifelong learning: Ideas and achievements at the threshold of the
twenty-first century. Compare; Oct 2000; 30, 3; ProQuest Research Library
Elliot, Stephen N., Kratochwill, TR., Cook, JL., & Travers, JF (2000). Educational
Psychology (3rd). Effective teaching, effective learning. Boston: Mc. Grawhill
Gallo, Carmine (2011). The Innovation Secrets of Steve Jobs. Insanely Different Principles
to Breaktrough Success. New York: Mc. Grawhill.
167
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Michael, Reish; Jarman-Rohde, Lily (2000). The Future of Social Work in theUnited
States: Implications for Field Education. Journal of Social WorkEducation;
Spring/Suhmmer 2000; 36, 2; ProQuest Sociology pg. 201
Moll, Luis C. (1990). Vygotsky and Education. Instructional implications and applications
of sociohistorical psychocology. Australia: Cambridge University Press.
Ornstein, Alan C., & Levine, Daniel L. (1984). An Introduction to the Foundations on
Education. Boston: Hounghton Mifflin Company.
Pepperell, Robert (2009). Posthuman (kompleksitas dan kesadaran, manusia dan
teknologi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Reigeluth, Charles M (1983). Instructional Design- Theories and Models. An overview of
their current status. London: LEA Publisher
Reigeluth, Charles M., & Carr-Chellman, Alison A,. (2009). Instructional Design- Theories
and Models. Building a common knowledge base (3rd). New York and London:
Routledge Tailor and Francis Publisher
Sarvage, Laura (2009). Who is the “Professional” in a Professional Learning Community?
An Exploration of Teacher Professionalism in Collaborative Professional
Development Settings. Canadian Journal Of Education 32, 1 (2009): 149-171
Scrimshaw, Peter. (1993). Language, Classroom and Computers. London: Routledge.
Tapscott, Don & William, D. Anthony (2010). Macrowikinomics. Rebooting Business and
the World. London: Penguin Group
Toffler, Alvin (1970). The Future Shock. USA: Random House
Webster-Wright, Ann (2009). ―Reframing Professional Development Through
Understanding Authentic Professional Learning‖ Journal of Education, June 2009
pg. 702-739
168
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DASAR-DASAR PENGEMBANGAN MODEL
PEMBELAJARAN BERBASIS E-LEARNING
Mawardi
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kaitan antara teori belajar dan
pembelajaran dengan rancangan model pembelajaran; hakikat dan komponen
pembelajaran; model pembelajaran; dan integrasi konten, strategi dan teknologi
penyampaian pembelajaran berbasis e-Learning. Pergeseran orientasi teori
berdasarkan teori belajar behavioristik ke orientasi teori belajar kognitifkonstruktivistik mempengaruhi cara guru dalam memilih ataupun merancang
model-model pembelajaran. Teori konstruktivisme memiliki pandangan yang
berbeda dengan teori behaviorisme tentang deskripsi belajar dan preskripsi
pembelajaran.Esensi dari teori behavioristik adalah ide bahwa siswa dikondisikan
untuk menerima curahan pengetahuan. Ukuran keberhasilan belajar dan
pembelajaran terletak pada seberapa banyak materi pembelajaran telah diserap
dan disimpan oleh siswa sebagai bentuk perubahan perilaku.Teori konstruktivime
meyakini bahwa pengetahuan berkembang melalui pengalaman, dan semakin kuat
apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Pengetahuan dibangun oleh siswa
melalui proses pemberian makna secara unik dan spesifik, bukan diterima begitu
saja secara instan. Apapun orientasi teori belajar yang dipilih guru, semestinya
model pembelajaran yang dikembangkan mampu memberikan pengalaman belajar
yang lebih kaya. Model pembelajaran hakikatnya adalah konkretisasi teori
pembelajaran untuk menggambarkan proses-proses dan variabel-variabel yang
terdapat dalam sebuah teoriyang melukiskan prosedur sistematis berupa langkahlangkah pembelajaran. Model pembelajaran yang sangat potensial memberikan
pengalaman belajar yang lebih kaya diantaranya adalah model pembelajaran
berbasis e-Learning. Pembelajaran menggunakan e-Learning bukan hanya sekedar
menempatkan materi pembelajaran yang dirancang guru di dalam portal website,
kemudian siswa mengunduh dan membaca materi, tetapi suatu rancangan yang
dibangun berdasarkan integrasi model pedagogi, strategi pembelajaran dan
teknologi penyampaian terpilih. Dalam model pembelajaran berbasis e-Learning,
didalamnya terintegrasi konten pembelajaran digital; strategi pembelajaran
eksplorasi - forum,chat; serta teknologi penyampaian pembelajaran menggunakan
LCMS (Learning Content Management System).
Kata kunci : model pembelajaran, e-Learning
169
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
A. PENDAHULUAN
Dalam konteks model pembelajaran,
perbedaan cara pandang terhadap konsep
belajar dan pembelajaran mempengaruhi
bagaimana model pembelajaran dirancang.
Perkembangan ilmu di bidang psikologi
pendidikan berdampak pula terhadap cara
pandang guru tentang desain pembelajaran,
praktik pembelajaran dan tentu saja
asesmen pembelajaran. Pergeseran orientasi
teori berdasarkan teori belajar behavioristik
ke orientasi teori belajar kognitifkonstruktivistik mempengaruhi cara guru
dalam memilih ataupun merancang modelmodel pembelajaran. Teori konstruktivisme
memiliki pandangan yang berbeda dengan
teori behaviorismetentang deskripsi belajar
dan preskripsi pembelajaran.
Teori behaviorisme memandang
bahwa pengetahuanadalah objektif, pasti,
dan tetap-tidak berubah. Pengetahuan
berupafakta-fakta, konsep konsep, dan
kaidah-kaidah siap ditransfer dari guru
kepada siswa. Behaviorismememandang
bahwa
belajar
merupakan
proses
pengubahan
perilaku
dan
mengajar
adalahproses menanamkan pengetahuan dan
keterampilan kepada siswa. Esensi dari
teoribehavioristik adalah ide bahwa siswa
dikondisikan
untuk
menerima
curahanpengetahuan. Ukuran keberhasilan
belajar dan pembelajaran terletak pada
seberapabanyak materi pembelajaran telah
diserap dan disimpan oleh siswa sebagai
bentuk perubahan perilaku. Landasan
berpikir behavioristik berfokus pada
perubahan
perilaku
sebagai
hasil
pembelajaran. Cara pandang dalam hal
belajar dan pembelajaran seperti ini
berdampak pula padamodel pembelajaran
yang dipilih. Pada awal perkembangannya,
model pembelajaran yang berorientasi teori
behaviorisme lebih bersifat ekspositorik.
Guru
memberikan
penjelasan
dan
mengontrol perilaku ssiswa dengan
pengulangan (drill) dan latihan. Pada
perkembangan selanjutnya, berkembang
model-model
pembelajaran
berbasis
behavioristik. Misalnya model pembelajaran
berprograma, model tutorial, model CAI
(Computer Assisted Instruction) dan
pembelajaran berbasis Web.
Teori konstruktivime meyakini
bahwa proses memperoleh pengetahuan
lebih diutamakan dibandingkan seberapa
banyak hasil yang diperoleh siswa dalam
mengingat
pengetahuan.
Pengetahuan
tumbuh berkembang melalui pengalaman,
dan semakin kuat apabila selalu diuji
dengan pengalaman baru. Pengetahuan
dibangun oleh siswa
melalui proses
pemberian makna secara unik dan spesifik,
bukan diterima begitu saja secara instan.
Model pembelajaran berdasarkan cara
pandang
konstruktivisme
lebih
menekankan keterampilan proses. Misalnya
model
problem
based
learning,collaborative
learning
dan
computer supported collaborative learning.
Maraknya perkembangan teknologi
informasi
dan
komunikasi
(TIK),
nampaknya juga semakin meramaikan
khasanah pengembangan model-model
pembelajaran
mutakhir.
Dukungan
teknologi memungkinkan adanya aktivitas
pembelajaran otentik berbasis lingkungan
meskipun termediasi. Penelitian Depdiknas
(2006) menemukan bahwa lemahnya
keterampilan siswa dalam berpikir (bahkan
hanya terampil dalam menghafal) tidak
terlepas dari kebiasaan guru dalam
mengembangkan model pembelajaran yang
kurang memperkaya pengalaman otentik
siswa.
Pengaruh
globalisasi
TIK,
memunculkan model-model pembelajaran
berbasis komputer dan internet. Misalnya
model pembelajaran berbasis e-Learning.
E-Learning membawa pengaruh
terjadinya proses transformasi pendidikan
konvensional ke dalam bentuk digital, baik
konten maupun sistemnya. Saat ini konsep
e-Learning sudah banyak diterima oleh
masyarakat
dunia,
terbukti
dengan
maraknya implementasi e-Learning di
lembaga pendidikan maupun industri (Cisco
System,IBM, HP,Oracle, dsb).Satu hal yang
170
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
harus
diperhatikan
adalah
bahwa
mengimplementasikan
pembelajaran
berbasis e-Learning bukan berarti sekedar
meletakkan materi ajar pada Web. Perlu ada
pemikiran yang mendalam tentang integrasi
materi, model pedagogi dan sistem
penyampaian yang memadai, sehingga
tujuan pembelajaran dapat tercapai secara
lebih efektif.
Mengingat bahwa hakikat belajar
adalah proses pengembangan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap sebagai hasil
interaksi siswa dengan lingkungannya,
maka apapun orientasi teori belajar yang
dipilih
guru,
semestinya
model
pembelajaran yang dikembangkan mampu
memberikan pengalaman belajar yang lebih
kaya. Sekedar pengetahuan awal, berikut ini
secara berurutan akan dipaparkan hakikat
pembelajaran, model disain pembelajaran,
hakikat model pembelajaran berbasis eLearning,
dan
integrasi
konten
pembelajaran dengan model pedagogi dan
teknologi penyampaian pembelajaran.
B. HAKIKAT PEMBELAJARAN
Secara terminologis,
Knirk &
Gustafson (1986:7) menjelaskan bahwa
pembelajaran merupakan setiap kegiatan
yang dirancang oleh guru untuk membantu
siswa mempelajari suatu kemampuan dan
atau nilai yang baru dalam suatu proses
yang sistematis melalui tahap rancangan,
pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks
kegiatan belajar mengajar.Definisi ini lebih
menekankan adanya langkah sistematis
yang dilakukan oleh guru dalam
mengembangkan instructional design (ID),
yang mencakup tiga tahapan, yaitu tahap
desain, tahap pelaksanaan dan tahap
evaluasi. Tentang pengertaian pembelajaran
ini, Mayer (2008:7) menyatakan:
”...Thus, the definition of instruction
has two main components:
1. Instructions is something the teachers
does,
2. The goal of instruction is to promote
learning in the student.
This definition of instruction is broad
enough to include lectures, discussions,
educational games, textbooks, research
projects,
and
Web-based
presentations”
Rumusan singkat yang dikemukakan
Mayer tersebut di atas, nampak bahwa
hakikat pembelajaran mencakup apa yang
dilakukan oleh guru dalam rangka
membelajarkan siswanya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa secara lebih luas termasuk
dalam cakupan pengertian pembelajaran ini
adalah komponen dosen, metode, strategi,
permainan pendidikan, buku, proyek
penelitian dan penyampaian pembelajaran
berbasis Web.Rumusan legal formal tentang
pembelajaran dapat ditemukan dalam Pasal
1 angka (1) Undang-undang Sisdikan No.20
Tahun 2003, yang menyatakan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.Rumusan
singkat pembelajaran yang terdapat dalam
UU Sisdiknas menekankan adanya interaksi
antara guru sebagai pendidik dalam
merancang dan menggunakan berbagai
lingkungan belajar dan sumber belajar
dengan siswa sebagai peserta dalam
menyerap bahan pembelajaran.
Dari
berbagai
pengertian
pembelajaran yang dikemukakan oleh Knirk
& Gustafson (1986:7), Mayer (2008:7), dan
pengertian legal formal dalam UU Sisdiknas
(2003) di atas, dapat diinventarisir
komponen-komponen
pembelajarandan
pentingnya perancangan pembelajaran
berikut : 1) komponen-komponen utama
pembelajaran mencakup: (a) tujuan sebagai
tolok ukur keberhasilan pembelajaran, (b)
bahan
pembelajaran,
(c)
strategi
pembelajaran, (d) media dan teknologi
penyampaian materi pelajaran, dan (e)
evaluasi pembelajaran; dan 2) desain
pembelajaran harus dilakukan oleh guru.
171
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dengan demikian pembelajaran hakikatnya
adalah kegiatan yang dirancang oleh guru
dalam rangka memberikan pengalaman
belajar yang bermakna bagi siswa melalui
perancangan tujuan, bahan pembelajaran,
strategi, media dan teknologi penyampaian
materi pelajaran, serta evaluasi untuk
mencapai tujuan bidang kajian tertentu.
Tentang
komponen-komponen
pembelajaran ini, R. Ibrahim & Nana
Syaodih, S.(2010:4) memerikan komponen
sistem pembelajaran yang mencakup:
tujuan, bahan ajar, metode, mediadan
evaluasi.Dick, Carey & Carey (2009:6-8)
komponen
pembelajaran,
mencakup
dentifikasi
kemampuan
awal
dan
karakteristik siswa, analisis instruksional,
identifikasi tujuan instruksional umum,
menuliskan tujuan instruksional khusus,
mengembangkan creterion referenced test,
mengembangkan strategi instruksional,
mengembangkan dan memilih sumber dan
alat pembelajaran, serta media instruksional,
dan melaksanakan evaluasi formatif dan
sumatif. Merujuk komponen-komponen
pembelajaran yang dikemukakan oleh
Ibrahim dan Syaodih dan Dick, Carey &
Carry
tersebut diatas, nampak bahwa
komponen utama pembelajaran mencakup
a) tujuan sebagai tolok ukur keberhasilan
pembelajaran, (b) bahan pembelajaran, (c)
strategi pembelajaran, (d) media dan
teknologi penyampaian materi pelajaran,
dan (e) evaluasi pembelajaran. Menurut
Davis, Alexander dan Yelon (2001:25)
mengemukakan bahwa dalam rancangan
sistem pembelajaran (learning system
design) setiap komponen sistem saling
terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai
sebuah sistem, masing-masing komponen
pembelajaran berkontribusi membentuk
integritas menjadi satu kesatuan yang utuh.
Secara skematis, interaksi komponenkomponen pembelajaran dapat dicermati
dalam Gambar 1. berikut.
Gambar 1. Skema interaksi komponenkomponen pembelajaran
Masing-masing komponen saling
berinteraksi satu dengan yang lain menjadi
hubungan yang bermakna. Komponen
tujuan pembelajaran berisi acuan hierarkhis
cita-cita pendidikan nasional, institusional,
kurikuler dan instruksional umum maupun
khusus. Komponen materi pembelajaran
betkaitan dengan materi sebagai muatan
atau isi kurikulum, kategori materi dan
teknik pemilihan materi pembelajaran.
Komponen
strategi
pembelajaran
menekankan pada konsep strategi sebagai
wujud paradigma yang diyakini, macammacam strategi dan cara memilih strategi.
Komponen media pembelajaran berkaitan
dengan konsep media pembelajaran yang
dianut,
kedudukan
media
dalam
pembelajaran, fungsi media dan klasifikasi
media pembelajaran. Sedangkan komponen
evaluasi berkaitan dengan konsep dasar
evaluasi, pengukuran, penilaian, kriteria
penilaiandan prnsip-prinsip evaluasi.
C. MODEL DESAIN
PEMBELAJARAN
Memahami
hakikat
desain
pembelajaran
dapat
didekati dari
hakikatnya sebagai sebuah sistem dan
proses. Sebagai sistem, desain pembelajaran
merupakan
pengembangan
sistem
172
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pembelajaran,
sistem
pelaksanaannya
termasuk sarana serta prosedur untuk
meningkatkan
mutu
pembelajaran.
Sedangkan desain pembelajaran sebagai
proses menurut Syaiful Sagala (2009:136)
adalah pengembangan pengajaran secara
sistematik yang digunakan secara khusus
teori-teori pembelajaran untuk menjamin
kualitas pembelajaran. Pernyataan tersebut
mengandung arti bahwa penyusunan
perencanaan pembelajaran harus sesuai
dengan
konsep
pendidikan
dan
pembelajaran
yang
dianut
dalam
kurikulum
yang digunakan. Dengan
demikian dapat disimpulkan desain
pembelajaran adalah praktik penyusunan
media teknologi komunikasi dan isi untuk
membantu agar dapat terjadi transfer
pengetahuan secara efektif antara guru dan
peserta didik. Proses pengembangannya
didasarkan pada informasi dari teori belajar
yang sudah teruji secara pedagogis,
berdasarkan analisis karakter siswa, dan
dikembangkan oleh guru profesional.
Dalam
terminologi
desain
pembelajaran dikenal beberapa model yang
dikemukakan oleh para ahli. Secara umum,
model
desain
pembelajaran
dapat
diklasifikasikan
ke
dalam
model
berorientasi kelas, model berorientasi
sistem, model berorientasi produk, model
prosedural dan model melingkar. Model
berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk
mendesain pembelajaran level mikro
(kelas) yang hanya dilakukan setiap dua jam
pelajaran atau lebih. Contohnya adalah
model ASSURE. Model berorientasi produk
adalah model desain pembelajaran untuk
menghasilkann suatu produk, biasanya
media pembelajaran, misalnya video
pembelajaran, multimedia pembelajaran,
atau modul. Contoh modelnya adalah model
Hannafin and Peck. Model berorientasi
sistem
merupakan
model
desain
pembelajaran untuk menghasilkan suatu
sistem pembelajaran yang cakupannya luas,
seperti desain sistem pelatihan, buku,
kurikulum
sekolah,
dan
lain-lain.
Contohnya adalah model ADDIE. Selain itu,
ada model prosedural dan model melingkar.
Contoh dari model prosedural adalah model
Dick and Carrey, dan contoh model
melingkar adalah model Kemp. Berikut
uraian singkat tentang Model Dick and
Carrey, Model Kemp, Model ASSURE dan
Model ADDIE
1. Model Dick and Carrey
Salah
satu
model
desain
pembelajaran bersifat prosedural adalah
model Dick, Carey and Carey (2009:6).
Model ini termasuk ke dalam model
prosedural.
Langkah-langkah
Desain
Pembelajaran menurut Dick and Carey
adalah:a)
mengidentifikasi
tujuan
pembelajaran, b) melakukan analisis
instruksional, c) menganalisis karakteristik
siswa dan konteks pembelajaran, d)
menuliskan tujuan instruksional khusus, e)
mengembangkan instrumen penilaian, f)
mengembangkan strategi pembelajaran, g)
memilih dan mengembangkan bahan
pembelajaran,
h)
merancang
dan
mengembangkan evaluasi formatif, i)
melakukan revisi terhadap program
pembelajaran, dan j) merancang dan
mengembangkan evaluasi sumatif.
2. Model Kemp
Model Kemp termasuk ke dalam
contoh model melingkar jika ditunjukkan
dalam sebuah diagram. Secara singkat,
menurut model ini terdapat beberapa
langkah dalam penyusunan sebuah bahan
ajar, yaitu: a) Menentukan tujuan dan
daftar topik,menetapkan tujuan umum
pembelajaran tiap topiknya; b) Menganalisis
karakteristik
pelajar,
untuk
siapa
pembelajaran
tersebut
didesain;
c)Menetapkan tujuan pembelajaran yang
ingin
dicapai
dengan
syarat
dampaknyadapat dijadikan tolak ukur
perilaku pelajar; d) Menentukan isi materi
pelajaran yang dapat mendukung tiap
tujuan; e) Pengembangan prapenilaian/
173
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
penilaian awal untuk menentukan latar
belakang pelajar dan pemberian level
pengetahuan terhadap suatu topik; f)
Memilih aktivitas pembelajaran dan sumber
pembelajaran yang menyenangkan atau
menentukan strategi
belajar-mengajar,
jadi
siswa
siswa
akan
mudah
menyelesaikan tujuan yang diharapkan; g)
Mengkoordinasi dukungan pelayanan atau
sarana
penunjang
yang
meliputi
personalia, fasilitas-fasilitas, perlengkapan,
dan jadwal untuk melaksanakan rencana
pembelajaran;
h)
Mengevaluasi
pembelajaran
siswa
dengan
syarat
mereka menyelesaikan pembelajaran serta
melihat
kesalahan-kesalahan
dan
peninjauan kembali beberapa fase dari
perencanaan
yang
membutuhkan
perbaikan yang terus menerus, evaluasi
yang dilakukan berupa evaluasi formatif
dan evaluasi sumatif.
3. Model ASSURE
Model ASSURE merupakan suatu
model yang merupakan sebuah formulasi
untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
atau disebut juga model berorientasi
kelas. Menurut Heinich (2005) model ini
terdiri atas enam langkah kegiatan yaitu: a)
Analyze Learners, b) States Objectives , c)
Select Methods, Media, and Material , d)
Utilize Media and materials, e) Require
Learner Participation dan f) Evaluate and
Revise
4. Model ADDIE
Ada satu model desain pembelajaran
yang lebih sifatnya lebih generik yaitu
model ADDIE (Analysis-Design-DevelopImplement- Evaluate). ADDIE muncul
pada tahun 1990-an yang dikembangkan
oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu
fungsinya ADIDE yaitu menjadi pedoman
dalam
membangun perangkat
dan
infrastruktur program pelatihan yang
efektif, dinamis dan mendukung kinerja
pelatihan
itu
sendiri.
Model
ini
menggunakan 5 tahap pengembangan yakni
: a) Analysis (analisa), b) Design (disain /
perancangan),
c)
Development
(pengembangan),
d)
Implementation
(implementasi/eksekusi) dan e) Evaluation
(evaluasi/ umpan balik). Untuk memilih
model mana yang dapat digunakan dalam
mengembangkan rancangan pemebelajaran,
Merrill (2008: 42-55) mengemukakan lima
prinsip, yaitu task-centered principle,
activation, demonstration, application, and
integration. Kelima prinsip tersebut
disajikan pada gambar 2. berikut:
INTEGRATION
ACTIVATION
TASK-CENTERED
APPLICATION
DEMONTRATION
Gambar 2. Bagan Prinsip Pengembangan Model Pembelajaran (Merrill.2009.41–56)
Model tersebut di atas terdiri dari 5
tahapan pengembangan yang berputar
secara siklus, yakni:1) task-centered
principle,artinya
bahwa
pembelajaran
mestinya merupakan strategi pembelajaran
berbasis tugas dan merupakan tugas-tugas
yang kompleks dan utuh yang selalu
berkembang.,
2)
activation, artinya
pembelajaran mengaktivasi struktur kognitif
dengan cara mengingat, mendeskripsikan,
mendemonstrasikan
pengetahuan
sebelumnya yang relevan serta saling
berbagi pengalaman untuk membentuk
pengetahuan baru, 3) demonstration, artinya
174
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pembelajaran semestinya menyediakan
proses
demonstrasi
keterampilanketerampilan
yang
konsisten
dan
mengobservasi proses demonstrasi melalui
media yang sesuai dengan konten
pembelajaran,4)
application,
artinya
pembelajaran semestinya membuat siswa
mengaplikasikan apa yang dipelajari sesuai
dengan komponen-komponen keterampilan,
dan 5) integration, artinya pembelajaran
semestinya
mampu
mengintegrasikan
pengetahuan baru terhadap struktur kognitif
siswa.
D. MODEL PEMBELAJARAN
Istilah
model
seringkali
menimbulkan berbagai tafsir. Snelbecker
(1974:32) menyatakan : ―A model is a
concretization of a theory which is meant to
be analogous to or representative of the
processes and variables involved in the
theory” (Model adalah konkretisasi dari
sebuah teori yang dimaksudkan untuk
menggambarkan
proses-proses
dan
variabel-variabel yang terdapat dalam
sebuah teori). Sedangkan John J.O.I Ihalaw
(2004:123) menyatakan bahwa model
hakikatnya sama dengan teori, yaitu sistem
dalil-dalil atau sebuah rangkaian terpadu
dari dalil-dalil. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa model berbeda dari teori ditijau dari
aras abstraksinya. Sebuah model dibangun
dari serangkaian dalil-dalil aras abstraksi
rendah (sehingga lebih konkrit); sedangkan
teori dibangun dari serangkaian dalil-dalil
aras abstraksi tinggi. Pada umumnya model
dibangun teori-teori dirumuskan. Meskipun
ada juga model dikembangkan dalam
rangka menghasilkan teori-teori yang pada
gilirannya mengarah pada pembangunan
model lain untuk verifikasi teori. Dari dua
definisi tentang model di di atas, nampak
bahwa model merupakan turunan dari teori,
oleh karena itu hakikatnya model
sebenarnya adalah teori itu sendiri. Oleh
karena itu, sejalan dengan pandangan
Snelbecker (1974:32) maka model yang
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah
konkretisasi dari sebuah teori yang untuk
menggambarkan
proses-proses
dan
variabel-variabel yang terdapat dalam
sebuah teori.
Gunter (1990)
mendefinisikan:
model of teaching an instructional model is
a step-by step procedure that lead to
specific learning outcomes. Sedangkan
Soetarno Joyoatmojo (2010) menyatakan
bahwa model pembelajaran adalah suatu
kerangka konseptual untuk merancang dan
melaksanakan
pembelajaran,
mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan/kompetensi, dan
sebagai
pedoman
dalam
proses
pembelajaran yang melukiskan prosedur
sistematis.
Joyce, Weil & Calhoun (2011),
dalam terminologi yang lebih spesifik,
memberikan
batasan
bahwa
model
pembelajaran adalah ―kerangka konseptual
yang melukiskan prosedur sistematis berupa
langkah-langkah dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu dan berfungsi sebagai
pedoman bagi para perancang pembelajaran
dan para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran. Lebih lanjut
Joyce, Weil & Calhoun menjelaskan bahwa
ada empat rumpun model, yaitu rumpun
model
pemrosesn
informasi
(The
Information Processing Models),model
personal (Personal Models),model interaksi
sosial (Social Models) dan rumpun model
sistem perilaku (Behavioral Systems).
1. Rumpun Model Pengolahan Informasi
(The Information Processing Models).
Model-model
pembelajaran
yang
termasuk dalam rumpun ini bertolak
dari
prinsip-prinsip
pengolahan
informasi oleh manusia dengan
memperkuat
dorongan-dorongan
internal (datang dari dalam diri) untuk
memahami dunia dengan cara menggali
dan
mengorganisasikan
data,
merasakan adanya masalah dan
175
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
mengupayakan jalan keluarnya serta
pengembangkan
bahasa
untuk
mengungkapkannya. Kelompok model
ini menekankan pada peserta didik agar
memilih kemampuan untuk memproses
informasi sehingga peserta didik yang
berhasil dalam belajar adalah yang
memiliki
kemampuan
dalam
memproses informasi. Dalam rumpun
model pembelajaran ini terdapat 7
model pembelajaran, yaitu : a)
Pencapaian
Konsep
(Concept
Attainment), b). Berpikir induktif
(InductiveThinking),
c).
Latihan
Penelitian (Inquiry Training), d).
Pemandu Awal (Advance Organizer),
e) Memorisasi (Memorization), f)
Pengembangan Intelek (Developing
Intelect), dan g) Penelitian Ilmiah
(Scientic Inquiry).
2. Rumpun Model Personal (Personal
Models) Rumpun model personal
bertolak dari pandangan kedirian atau
―selfhood‖ dari individu. Proses
pendidikan sengaja diusahakan yang
memungkinkan
seseorang
dapat
memahami diri sendiri dengan baik ,
sanggup memikul tanggung jawab
untuk pendidikan dan lebih kreatif
untuk mencapai kualitas hidup yang
lebih baik. Penggunaan model-model
pembelajaran dalam rumpun personal
ini lebih memusatkan perhatian pada
pandangan perseorangan dan berusaha
menggalakkan
kemandirian
yang
produktif sehingga manusia menjadi
semakin sadar diri dan bertanggung
jawab atas tujuannya. Dalam rumpun
model personal ini terdapat 4 model
pembelajaran, yaitu :a). Pengajaran
Tanpa
Arahan
(Non
Directive
Teaching),
b).
Model
Sinektik
(Synectics
Model),
c).
Latihan
Kesadaran (Awareness Training), dan
d). Pertemuan Kelas (Classroom
Meeting).
176
3. Rumpun Model Interaksi Sosial (Social
Models) Penggunaan rumpun model
interaksi sosial ini menitik beratkan
pada
pengembangan
kemampuan
kerjasama dari para siswa. Model
pembelajaran rumpun interaksi sosial
didasarkan pada dua asumsi pokok,
yaitu (a) masalah-masalah sosial
diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar
dan melalui kesepakatanm-kesepakatan
yang diperoleh di dalam dan dengan
menggunakan proses-proses sosial, dan
(b) proses sosial yang demokratis perlu
dikembangkan
untuk
melakukan
perbaikan masyarakat dalam arti seluasluasnya secara build-in dan terus
menerus. Dalam rumpun model
interaksi sosial ini terdapat 5 model
pembelajaran, yaitu :a). Investigasi
Kelompok (Group Investigation), b).
Bermain Peran (Role Playing), c).
Penelitian
Yurisprudensial
(Jurisprudential UInquiry), d) Latihan
Laboratoris (Laboratory Training), dan
e). Penelitian Ilmu Sosial
4. Rumpun Model Sistem Perilaku
(Behavioral Systems) Rumpun model
system
perilaku
mementingkan
penciptaan sistem lingkungan belajar
yang memungkinkan penciptaan sistem
lingkungan
belajar
yang
memungkinkan manipulalsi penguatan
tingkah laku (reinforcement) secara
efektif sehingga terbentuk pola tingkah
laku yang dikehendaki. Model ini
memusatkan perhatian pada perilaku
yang terobservasi dan metode dan tugas
yang
diberikan
dalam
rangka
mengkomunikaksikan
keberhasilan.
Dalam rumpun model sistem perilaku
ini terdapat 5 model pembelajaran,
yaitu :a). Belajar Tuntas (Mastery
Learning), b). Pembelajaran Langsung
(Direct Instruction), c). Belajar Kontrol
Diri (Learning Self Control), d).
Latihan Pengembangan Keterampilan
dan Konsep (Training for Skill and
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Concept Development), dan e). Latihan
Assertif (Assertive Training).
Keempat
rumpun
model
pembelajaran yang telah dikemukakan di
atas, memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1) Sintaks (Syntax) yaitu urutan langkah
pengajaran yang menunjuk pada fase-fase
/tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru
bila ia menggunakan modelpembelajaran
tertentu. Misalnya model deduktif akan
menggunakan sintak yang berbeda dengan
model induktif;
2). Prinsip Reaksi
(Principles of Reaction) berkaitan dengan
pola kegiatan yang menggambarkan
bagaimana seharusnya guru melihat dan
memperlakukan para siswa, termasuk
bagaimana seharusnya guru memberikan
respon terhadap siswa. Prinsip ini memberi
petunjuk bagaimana seharusnya guru
menggunakan aturan permainan yang
berlaku pada setiap model; 3) Sistem Sosial
(The Social System) adalah pola hubungan
guru dengan siswa pada saat terjadinya
proses pembelajaran (situasi atau suasana
dan norma yang berlaku dalam penggunaan
model pembelajaran tertentu); 4). Sistem
Pendukung (Support System) yaitu segala
sarana, bahan dan alat yang diperlukan
untuk menunjang terlaksananya proses
pembelajaran secara optimal; serta 5).
Dampak Instruksional (Instructional Effect)
dan Dampak Pengiring (Nurturant Effects).
Dampak instruksional adalah hasil belajar
yang dicapai atau yang berkaitan langsung
dengan materi pembelajaran, sementara
dampak pengiring adalah hasil belajar
iringan yang dicapai sebagai akibat dari
penggunaan model pembelajaran tertentu.
Dalam
konteks
pembelajaran
berbasis e-learning, Dabbagh & BannanRitland (2005:165) mengembangkan model
pedagogis berdasarkan teori pemrosesan
informasi dalam akuisisi pengetahuan
berbasis
konstruktivis.
Model-model
pedagogis tersebut adalah: Cognitive
Information Processing model (model
Pemrosesan Informasi Kognitif), Parallel
Distributing model (model Pendistribusian
Paralel), dan Situated Cognition model
(model Situasi Kognisi). Berikut penjelasan
singkat masing-masing model.
1. Cognitive Information Processing
model (model Pemrosesan Informasi
Kognitif)
Model ini menjelaskan bahwa otak
manusia memiliki bagian-bagian untuk
memproses informasi; sensor pencatat
(sensor register), memori jangka
pendek ( short term memory atau
working memory) dan memori jangka
panjang (long term memory). Bagianbagian
tersebut
bersinergi
menghasilkan
pengetahuan
baru
berdasar pada pengetahuan yang sudah
dimiliki (prior knowledge). Dalam
sinergi tersebut ada prosedur untuk
menyimpan, melacak, menggunakan,
mengubah, dan memindah informasi.
Informasi yang ditangkap oleh otak
manusia
melalui
indera
ditransformasikan dengan suatu cara
membentuk
skemata
(struktur
pengetahuan) yang tersimpan di dalam
memori jangka panjang. Dalam konteks
pembelajaran, jenis pengetahuan yang
berbeda
(misalnya
pengetahuan
deklaratif dan prosedural) memerlukan
strategi yang berbeda pula karena cara
pemrosesan informasinya berbeda.
2. Parallel Distributing model (model
Pendistribusian Paralel)
Model ini mengganggap bahwa memori
jangka panjang dipersepsikan memiliki
struktur dinamis sebagai folder
pengetahuan yang memiliki banyak
jalur koneksi. Skemata atau struktur
kognitif perlu diaktifkan bukan
dipandang statis tanpa koneksi seperti
pada model pemrosesan informasi
kognitif. Skemata terkoneksi ke seluruh
jaringan struktur pengetahuan secara
paralel agar lebih mudah dalam
mengakomodasi pengetahuan baru.
Pikiran diibaratkan sebagai otak dengan
177
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
3.
jaringan syaraf neuron yang masingmasing terbuka untuk menerima
rangsangan
dan
mengembangkan
jaringan.
Situated Cognition model (model
Situasi Kognisi)
Model ini menganggap bahwa individu
pada dasarnya memiliki persepsi
terhadap situasi dimana fenomena
tersebut
terdistribusikan
sehingga
sesuatu yang terjadi di dalam pikiran
bukan hal yang terisolasi, namun
menyangkut apa yang terjadi di dalam
dan di luar (lingkungan, interaksi
sosial, budaya, benda-benda) sebagai
ruang belajar yang dinamis dan
kompleks. Individu juga belajar dari
berbagai aktivitas, kaitan-kaitan, dan
interaksi di antara jaringan pengetahuan
tersebut yang dimiliki terkait dengan
situasi sebagai konteksnya. Vigotsky
(1990)
menyatakan
bahwa
perkembangan mental seseorang tidak
hanya dipahami dari kondisi internal
individu tersebut, tetapi menelaah juga
kondisi sosial (faktor eksternal) dimana
individu tersebut berkembang. Artinya
bahwa belajar itu bermakna jika ada
hubungan antara individu dengan ruang
dimana individu tersebut belajar. Model
pembelajaran
yang
berupaya
memberikan makna bagi individu
pembelajar sering disebut anchored
instruction.
Model
situasi
kognitif
melahirkan beragam model padagogis
berbasis konstruktivistik yang meyakini
bahwa
individu
belajar
dan
memperoleh pengetahuan dalam kontek
aktivitas sehari-hari. Individu belajar
melalui interaksi sosial dan tidak lepas
dari dunia empiris sebagai lingkungan
yang memberikan pengalaman nyata
(authentic learning). Dalam konteks
pembelajaran
termediasi
dengan
teknologi e-learning, pengalaman nyata
sebagai konteks pembelajaran bisa
dihadirkan melalui berbagai bahan
multimedia.
E. INTEGRASI KONTEN,
STRATEGI PEMBELAJARAN
DAN TEKNOLOGI
PENYAMPAIAN DALAM ELEARNING
Pembelajaran menggunakan
elearning
bukan
hanya
sekedar
menempatkan materi perkuliahan yang
dirancang guru di dalam portal website,
kemudian siswa mengunduh dan membaca
materi, tetapi suatu rancangan yang
dibangun berdasarkan integrasi model
pedagogi, strategi pembelajaran dan
teknologi penyampaian terpilih. Berkaitan
dengan model pedagogis, Pujiriyanto
(2012:201) menyatakan bahwa model
pedagogis adalah bangunan teoretik
berlandaskan teori belajar sehingga
memudahkan
pelaksanaan
strategi
pembelajaran dan belajar. Model pedagogis
memiliki
pandangan
preskripsi
pembelajaran (how to teach) dan deskripsi
proses belajar (how to learn) yang dapat
diterjemahkan dalam praktik pembelajaran.
Akuisisi pengetahuan digambarkan dengan
sangat jelas dalam teori pemrosesan
informasi,
bagaimana
pengetahuan
diperoleh mulai dari proses konstruksi
pengetahuan, penyimpanan, pelacakan dan
pemanggilan kembali ketika diperlukan.
Clark & Mayer (2008:35) menggambarkan
proses akuisisi pengetahuan berdasarkan
cognitive theory of multimedia learning
melalui
gambar
3.
berikut.
178
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Gambar 3. Bagan Cognitive Theory of Multimedia Learning (Clark & Mayer.2008:35)
Dari gambar nampak bahwa
pemerolehan pengetahuan didasarkan pada
empat
asumsi
dasar
berikut.
Pertama,asumsi
dual‐channel,
yaituelearners memiliki dua kanal terpisah
untuk
memproses
materi.
Kanal
pertamamenangkap materi dalam bentuk
kata-kata (disuarakan maupun dalam bentuk
teks)
melalui
pendengaran
ataupun
penglihatan, kemudian diorganisasaikan
melalui
model
verbal
ataupun
piktorial.Kanal kedua, elearners menangkap
materi dalam bentuk gambar visual melalui
penglihatan, kemudian diorganisasaikan
melalui model piktorial saja.Kedua, limited
capacity, yaitu bahwaelearners memiliki
kapasitas memori yang terbatas(kapasitas
working memory atau short term memory
terbatas) untuk dapat memproses secara
aktif informasi yang diterimanya pada
setiap kanal dalam satu waktu. Analogi
proses ini mirip seperti cache memory
dalam central processing unit (CPU)
komputer, ketika cache memory sudah
penuh maka komputer menjadi hank.
Ketiga,active processing, bahwabelajar
terjadi ketika elearners terlibat dalam
proses kognitif secara aktif seperti memilah
materi pembelajaran, mengorganisasikan
materi tersebut dalam struktur yang koheren
dalam
peta
mentalnya,
dan
mengintegrasikan materi dengan apa yang
telah
diketahui
sebelumnya
(prior
knowledge). Keempat, transfer new
knowledge and skills, yaitu bahwa
pengetahuan dan keterampilan baru yang
telah terintegrasi dalam sistem kognitif
elearners disimpan dalam long term
memory, dan dapat dipanggil kembali
(dalam wujud kinerja kompetensi elearners)
bilamana diperlukan. Analogi proses long
term
memory
ini
seperti
proses
penyimpanan file data dari cache memory
ke hard disk dalam CPU komputer, dan
dapat dibuka kembali bilamana diperlukan.
Mencermati proses pemerolehan
pengetahuan berdasarkan cognitive theory
of multimedia learning, maka konsekuensi
implikatif dalam pembelajaran berbasis elearning dapat dikemukakan berikut : 1)
pilih materi esensial sebagai bahan
pembelajaran untuk ―menghemat‖ working
memory,
2)
organisasaikan
materi
pembelajaran dalam penggalan unit-unit dan
sub-sub unit, serta alokasikan waktu
pembelajaran tidak terlalu lama (maksimal
2 jam perkuliahan setiap penggalan RPP),
3) kelola kapasitas working memory yang
terbatasdengan cara melakukan ulanganulangan formatif dan latihan untuk setiap
penggal
materi
perkuliahan
sesuai
kebutuhan,
4)
integrasikan
materi
179
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
perkuliahan bersifat auditori dan visual
dalam
working
memory
dengan
pengetahuan yang telah ada dalam long
term memory, caranya dengan melakukan
review bahan yang telah dipelajari melalui
ulangan yang memadukan teks dan gambar,
5) ungkap kembali pengetahuan dan
keterampilan baru yang telah tersimpan
dalam long term memory ke dalam short
term memory dengan cara melakukan tes
akhir terhadap materi-materi perkuliahan
yang baru.
berdasarkan pandangan teoretik teori belajar
tertentu.Pemilihan model pedagogis dan
strategi belajar bersifat eklektif dan
komplementer.
Tergantung kebutuhan
pembelajaran yang akan dikembangkan.
Dilihat dari sudut pandang model
pembelajaran otentik yang dikembangkan
berdasarkan paradigm konstruktivisme, dan
diyakini lebih bermakna bagi elearners,
strategi
pembelajaran
dikelompokkan
menjadi tiga strategi : 1) strategi eksplorasi,
2) strategi dialogis, dan 3) strategi
pendukung
(Dabbagh
&
BannanRitland.2005:210). Meskipun berada pada
bahasan yang sama berkaitan dengan
pembelajaran
otentik,
masing-masing
memberikan penekanan yang berbeda.
Secara skematis, irisan dan keselarasan
strategi pembelajaran berdasarkan model
pedagogik berbasis konstruktivisme dapat
dicermati dari Gambar 4 berikut.
Bermain
peran
Aktivitas berhipotesis
Aktivitas Eksplorasi
masalah
pemecahan
1. Strategi pembelajaran
Strategi
pembelajaran
hakikatnya
merupakan langkah spesifik untuk memilih
dan menyelaraskan urutan kegiatan
pembelajaran berdasarkan model pedagodik
yang dipilih.Dengan demikian strategi
pembelajaran
merupakan
bentuk
konkretisasi model pedagogis.Ada berbagai
strategi pembelajaran yang dikembangkan
Strategi eksplorasi
Artikulasi
Kemampuan refleksi
AKTIVITAS
BELAJAR
OTENTIK
Pemodelan dan
eksplanasi
Coaching students
Kolaborasi & nego sosial
Scaffolding
Multiperspekti
f
Strategi pendukung
Strategi dialogik
Belajar
mandiri
Gambar 4. Irisan dan keselarasan strategi pembelajaran berdasarkan model pedagogik
berbasis konstruktivisme (adaptasi dari Dabbagh & Bannan-Ritland.2005:207)
180
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dari gambar nampak bahwa strategi
pembelajaran otentik sebagai strategi utama
mencakup tiga strategi, yaitu strategi
eksplorasi, strategi dialogis dan strategi
pendukung, serta strategi belajar mandiri.
Strategi eksplorasi mencakup : a)
strategi pemecahan masalah, yaitu strategi
yang berorientasi agar siswa bisa
menerapkan pengetahuan yang dipelajari
untuk memecahkan permasalahan pada
situasi nyata; b) strategi eksplorasi, strategi
ini mendorong siswa menjelajah dan
menemukan informasi dengan beragam
strategi dan sumber, menguji dugaandugaan, dan melihat dampaknya seperti
dalam inkuiri dan penemuan; c) strategi
pembangkit
hipotesis,
strategi
ini
mendukung
terjadinya
penggabungan
konsep-konsep yang kemudian diuji
sehingga bisa menimbulkan hipotesishipotesis baru secara terus-menerus
sehingga diperoleh suatu kesimpulan., d)
strategi bermain peran, strategi ini
memberikan kesempatan kepada siswa
bertindak layaknya seorang profesional atau
tokoh yang diperankan dan bertindak dalam
konteks nyata.
Strategi
pembelajaran
dialogis
mencakup : a) strategi pengembangan
artikulasi, yaitu strategi yang memberikan
kesempatan siswa untuk mengartikulasikan
pengetahuan
dan
atau
pemahaman
mengenai sesuatu dengan menjelaskan dan
berbagi informasi dari berbagai sudut
pandang, b) strategi pengembangan refleksi,
yaitu strategi untuk mengembangkan
kemampuan berpikir reflektif dengan
meninjau kembali apa yang sudah
dilakukan,
menganalisis
kinerja,
membandingkan dengan kinerja orang lain,
dan membuat justifikasi untuk situasi yang
baru, c) strategi pengembangan kolaborasi
dan negosiasi sosial, yaitu suatu strategi
yang memberikan kesempatan siswa
berinteraksi
untuk
mengkontruksi
pengetahuan dan mendialogkan tujuan yang
berbeda-beda dengan menempatkan setiap
orang (siswa dan pengajar) sebagai sumber
belajar, d) strategi pengembangan multi
perspektif, yaitu suatu strategi untuk
mengembangkan pemahaman terhadap
sesuatu dari berbagai sudut pandang
sehingga pengetahuan yang diperolehnya
bersifat luwes dan dalam struktur
pengetahuan bermakna.
Strategi-strategi
Pembelajaran
Pendukung
(supportive
instructional
strategies) mencakup : a) strategi
pengembangan pemodelan dan ekplanasi
(modeling and explaining), yaitu suatu
strategi yang menyajikan kinerja atau unjuk
kerja seorang ahli sebagai model dari
kompetensi yang akan dikuasai, b) strategi
pengembangan kepelatihan (coaching),
yaitu strategi yang bertujuan untuk
meningkatkan unjuk kerja siswa dengan
cara mengamati atau memonitor siswa pada
saat menyelesaikan tugas-tugas belajar dan
memberikan bimbingan saat diperlukan. c)
strategi pengembangan bersifat bimbingan
(scaffolding), yaitu strategi yang mengacu
kepada teori zone of proximal development
dari Vygotsky, yang menyatakan bahwa
dengan bimbingan yang tepat, seorang
siswa dengan kemampuan yang sudha
dimiliki bisa mencapai level kemampuan
lebih
tinggi
dan
mencapai
zona
perkembangan potensialnya.
Strategi pengembangan belajar
mandiri (self-motivated learning). Strategi
ini mengembangkan kemampuan siswa
untuk merencanakan dan mengelola,
memonitor dan mengevaluasi proses
belajarnya sendiri sebagai inisiatif dari
dalam diri siswa yang merupakan bentuk
dari belajar mandiri. Siswa yang mandiri
mampu menganalisis kebutuhan belajarnya,
menentukan tujuan belajar, mengidentifikasi
sumber-sumber belajar, memilih dan
melaksanakan strategi belajarnya, serta
mengevaluasi hasil belajarnya. Kemampuan
ini erat kaitannya dengan self regulated
learning yaitu kemampuan mengatur proses
belajarnya sendiri.
181
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
2. Teknologi penyampaian (delivery
technology)
Engkos Koswara N (2008:2), Staf
Ahli Menristek Bidang TIK di Pendidikan
Tinggi Berbasis E-Learning menyatakan
bahwa hal penting yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan e-learning adalah
teknologi
penyampaian
materi.
Penyampaian materi e-learning dapat
melalui
synchronous
atau
asynchronous.Synchronous berarti dosen
dan mahasiswa berinteraksi secara waktu
nyata (real time), beberapa peralatan yang
menggunakan cara itu harganya relatif
mahal. Misalnya dengan two-way videoconferences, audio conferencing, internet
chat, dan video conferencing.Penyampaian
materi dengan asynchronous tidak secara
bersamaan.Dosen
menyampaikan
perkuliahan melalui portal web, kemudian
mahasiswa merespons pada lain waktu,
misalnya feedback disampaikan melalui email. Meskipun teknologi mempunyai
peranan penting dalam penyampaian materi
perkuliahan, dosen harus fokus pada apa
yang akan disampaikan, bukan pada
teknologi penyampaiannya. Kunci elearning yang efektif adalah harus fokus
pada kebutuhan mahasiswa, kebutuhan
materi dan hambatan-hambatan yang
dihadapi dosen sebelum menggunakan
peralatan teknologi informasi.
Apa yang disampaikan oleh Staf
Ahli Menristek Bidang TIK tersebut diatas
menyiratkan bahwa pemilihan teknologi
penyampaian materi perkuliahan merupakan
tahapan pengembangan e-learning yang
penting.Pemilihan harus didasarkan pada
kebutuhan
mahasiswa,
strategi
pembelajaran
dan
keterbatasan
pelaksanaannya. Kebutuhan mahasiswa
menjadi
pemandu
utama
teknologi
penyampaian yang mana yang akan dipilih.
Strategi pembelajaran menjadi acuan dasar
teoretik pedagogis yang telah digumuli oleh
dosen.Sedangkan keterbatasan pelaksanaan
memberikan rambu-rambu pilihan teknologi
penyampaian yang terjangkau oleh para
pihak (mahasiswa, dosen dan institusi
pendidikan).Baik keterjangkauan dari segi
biaya, sarana yang tersedia, kapasitas
pengelola maupun tingkat ICT literacy
mahasiswa dan dosennya.
Berkaitan
dengan
pemilihan
teknologi
penyampaian
ini,
perlu
pemahaman
yang
memadai
untuk
menyelaraskan antara strategi pembelajaran,
fitur-fitur
teknologi
e-learning
dan
karakteristik materi perkuliahan.Integrasi
faktor-faktor tersebut menjadi salah satu
kunci keberhasilan e-learning yang
dikembangkan.Secara teoretik, Dabbagh &
Bannan-Ritland (2005:226) memetakan
integrasi
dan
penyelarasan
strategi
instruksional, teknologi web dan web fitures
dalam
tabel
1
berikut.
182
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Tabel 6. Pemetaan integrasi dan penyelarasan strategi instruksional, teknologi web dan
web fitures
Strategi
Instruksional
Problem
solving
Eksplorasi
Pembangkit
hipotesis
Role - playing
Artikulasi
Refleksi
Kolaborasi dan
Negosiasi sosial
Multiperspektif
Modeling &
explaining
Coaching
Scaffolding
Belajar mandiri
Teknologi Web
Hyperlink, asynchronous &
synchronous, forum diskusi, sharing
dokumen, groupware, onloine
database
Hyperlink, search engines, online
database, web-based authoring tools,
self-contained instructional modules
Plug-ins, web-based authoring tools,
web-based animation,audio & video
dan dynamic web pages(databasedriven Web sites)
MOOs, MUDs, Internet chat,
videoconferencing, computer
conferencing, groupware
Bulletin boards, discussion forums,
virtual chat sessions, documentsharing technologies, groupware,email, Web posting areas
Web posting areas, bulletin boards,
discussion forums, e-mail, note-taking
tools
Asynchronous and synchronous
discussion forums, bulletin boards,
groupware, document-sharing
technologies, video conferencing
technologies, chat, shared databases
Hyperlinks, graphics, digital video
and audio, listservs, asynchronous
discussion forums, search engines.
Asynchronous and synchronous
discussion forums, graphics,
animation, videoconferencing, digital
audio and video, web posting areas,email.
E-mail, hyperlinks asynchronous and
synchronous discussion areas, selfcontained instructional modules, Webbased authoring tools.
Hyperlinks, e-mail, search engines,
asynchronous and synchronous
discussion areas, online databases
Asynchronous, Hyperlinks, e-mail,
search engines, discussion forums
183
Fitur-fitur Web
Hypermedia, asynchronous &
synchronous, serta online
searching
Hypermedia, multimedia, online
searching, interactivity
Hypermedia, multimedia, online
searching, interactivity
Asynchronous dan synchronous,
multimedia, interactivity
Asynchronous dan synchronous
Asynchronous dan synchronous,
archivability
Asynchronous dan synchronous,
online searching, multimedia,
archivability
Hypermedia, multimedia,
asynchronous & synchronous,
interactivity, serta online searching
Hypermedia, multimedia,
asynchronous & synchronous,
interactivity, archivability
Hypermedia, multimedia,
asynchronous & synchronous,
interactivity, archivability
Hypermedia, multimedia,
asynchronous & synchronous,
interactivity, online searching,
archivability
Hypermedia, multimedia,
asynchronous, online searching,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Strategi
Instruksional
Teknologi Web
Fitur-fitur Web
,online database, Internet chat
Mengacu pada karakteristik model
desain pembelajaran dan prinsip-prinsip
pengembangan model pembelajaran yang
dikemukakan oleh Merrill (2009:41-56)
seperti telah diuraikan di atas, maka
Content : Learning Object
Materials (LOM)
1. Silabus
2. Teks Materi
3. Konten multimedia&
Hypermedia
interactivity
integrasi konten, strategi pembelajaran
nberbasis e-Learning dan teknologi
penyampaian materi dapat dicermati dari
gambar 5. berikut.
Interaction :
Learning Strategy
PEMBELAJARAN
Pembelajaran
DENGAN
berbasis
MOODLE
e-Learning
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Eksplorasi
Problem solving
Project
Inkuiri
Diskusi
Kolaborasi
Delivery
systemtechnology:
asynchronous
Web–based learning
menggunakan LCMS
Gambar 5. Integrasi konten, pedagogi (strategi pembelajaran) dan teknologi dalam
komponen desain pembelajaran berbasis e-Learning
Dari gambar terlihat bahwa konten
dipadukan dengan strategi belajar aktif
kolaboratif melalui eksplorasi materi,
pemecahan masalah, inkuiri, diskusi dan
mengerjakan
project.
Teknologi
penyampaian pembelajaran menggunakan
LCMS .
3. Learning
Content
Management
System (LCMS).
Intinya LCMS adalah aplikasi yang
mengotomasi dan mem-virtualisasi proses
belajar mengajarsecara elektronik. LCMS
secara umum memiliki fitur-fitur standard
pembelajaran elektronik antara lain: 1) Fitur
Kelengkapan Belajar Mengajar: Daftar
Mata Kuliah dan Kategorinya, Silabus Mata
Kuliah, Materi Kuliah (Berbasis Text atau
Multimedia), Daftar Referensi atau Bahan
Bacaan, 2) Fitur Diskusi dan Komunikasi:
Forum Diskusi atau Mailing List, Instant
Messenger untuk Komunikasi Realtime,
Papan Pengumuman, Porfil dan Kontak
Instruktur, File and Directory Sharing, 3)
Fitur Ujian dan Penugasan, meliputi Ujian
Online
(Exam),
Tugas
Mandiri
(Assignment), Rapor dan Penilaian.
Ada berbagai tools teknologi
pembelajaran
online
yang
telah
dikembangkan. Baik yang free (gratis)
atauopen source maupun yang berbayar
(commercial). Tabel 7 berikut macam-
184
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
macam LCMS yang sudah banyak
digunakan dalam dunia pendidikan dewasa
ini.
Tabel7. Macam-Macam LCMS yang Sudah Banyak Digunakan dalam Dunia Pendidikan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
LCMS komersial
LCMS open source
ANGEL Learning
ApexLearning
Blackboard
Desire2Learn
eCollege,
IntraLearn
Learn.com
Meridian KSI
NetDimensions
Open Learning Environment (OLE)
Saba Software
SAP Enterprise Learning
Atutor
Claroline
Dokeos
dotLRN
eFront
Fle3
Freestyle Learning
KEWL.nextgen
LON-CAPA
MOODLE OLAT
Spaghetti Learning
Kriteria pemilihan LCMS sebagai
software pembelajaran menurut Pujiriyanto
(2012:129) merupakan keputusan pedagogis
yang penting, bukan sekedar preferensi atau
menurut intuisi pengajar. Pemilihan
software
pembelajaran
hendaknya
memperhatikan : 1) kesesuaiannya dengan
kurikulum, 2) kesesuaian dengan model
pedagogis yang dikembangkan, dan 3)
ditinjau terlebih dahulu oleh pengajar dan
institusi pendidikan yang bersangkutan.
Sementara Dabbagh & Bannan-Ritland
(2005:300) menyatakan bahwa pemilihan
LCMS sebaiknya berdasarkan teknologi
LCMS yang telah familier dengan
lingkungan
institusi
pendidikan
penyelenggara. Bukan berdasarkan pada
fitur-fitur yang tersedia. Romi Satria
Wahono
(2008)
dalam
situsnya
www.romisatriawahono.net (diakses tgl 19
januari 2013) menulis tentang memilih
sistem e-learning berbasis open source.
Tulisan tersebut berisi rambu-rambu
pemilihan LCMS disesuaikan dengan
kebutuhan di sekolah dan universitas
masing-masing. LCMS dengan fiturnya
terlalu sederhana mungkin tidak mencukupi
untuk sekolah atau universitas yang ingin
menerapkan e-learning secara penuh. Di
lain pihak LCMS yang kompleks dan
fiturnya banyak belum tentu sesuai dengan
kebutuhan riil di lapangan. Beberapa
sekolah dan universitas bahkan ada yang
tercukupi hanya dengan menggunakan
LCMS blog semacam wordpress. Sekali lagi
jangan mengejar teknologi, tetapi pilih yang
sesuai untuk memecahkan masalah yang
ada.
Dalam rangka memilih LCMS ini,
menarik untuk mempelajari penelitian dari
Sabine Graf dan Beate List (2005) yang
dibiayai oleh European Social Fund (ESF)
tentang evaluasi dan komparasi LCMS
berbasis open source. Graf menggunakan
satu metode evaluasi produk software
bernama QWS (Qualitative Weight and
Sum).QWS menghitung bobot (weight)
menggunakan enam simbol kualitatif
berdasarkan
tingkat
kepentingannya
(importance level). Simbol-simbol kalau
180
185
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
diurutkan dari yang paling penting: E
(Essential), * (Extremely Valuable), # (Very
Valuable), + (Valuable), | (Marginally
Valuable), 0 (Not Valuable). Ada 8 kategori
yang dievaluasi yaitu: Communication
Tools, Learning Objects, Management of
User Data, Usability, Adaptation, Tehnical
Aspect, Administration dan Course
Management. Masing-masing kategori
memiliki
subkategori,
misalnya
di
Communication
Tools
akan
dilihat
fiturForum,
Char,
Mail/Message,
Announcements,
Conferences,
Collaboration,
dan
Synchronous/Asynchronous Tools. Hasilnya
adalah bahwa secara umum LCMS Moodle
menempati urutan pertama, terutama di
kategori Communication Tools, Learning
Objects, Management of User Data,
Usability, dan Adaptation. Dokeos di urutan
kedua, sedangkan urutan ketiga adalah
Atutor, LON-CAPA, Spaghettilearning.
Sementara dotLRN ada di posisi terakhir.
Harus diakui bahwa LCMS Moodle
termasuk yang terbaik secara kelengkapan
fitur dibandingkan dengan software LCMS
lain. Tercatat lebih dari tiga puluh ribu
institusi pendidikan menggunakan LCMS
Moodle sebagai engine dasar e-learning
mereka. Termasuk sebagian besar Sekolah
dan Universitas di Indonesia menggunakan
LCMS Moodle. Salah satu yang menarik di
Moodle adalah proses customization yang
relatif tidak merepotkan, bahkan meskipun
kita tidak memahami skill pemrograman
dengan baik. Template dan theme yang
disediakan juga banyak, dan mendukung 40
bahasa termasuk bahasa Indonesia. Fitur
“Lesson” Moodle juga menarik dan tidak
ada di LCMS lain. Fitur ―Lesson‖ ini
memungkinkan mengarahkan siswa dan
peserta e-Learning diarahkan secara
otomatis ke halaman lain sesuai dengan
jawaban dari pertanyaan di suatu halaman
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Depdiknas. 2006. Panduan Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Depdiknas.
Clark, R. Colvin & Mayer, Richard E. 2008. E-Learning and the science of instruction
(second edition). San Francisco : Pfeiffer.
Dabbagh, Nada & Bannan-Ritland, Brenda.2005. Online learning, concepts, strategies, and
application. New Jersey : Pearson Education
Davis Robert, H., Alexander L.T., Yelon S.L.2001. Learning System Design: An Approach
to the Improvement of Instruction. New York: Mcgraw Hill.
Dick, Walter; Carey, Lou & Carey, James .O. 2009.
instruction,(seventh edition).New Jersey : Pearson
The
systematic
design
of
Engkos Koswara, N. 2008. Pendidikan Tunggi Berbasis E-learning. Retrieved from
http://www.drn.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=169&Itemid=2(3
November 2012)
Graf, Sabine and List, Beate. 2005. An Evaluation of Open Source E-Learning Platforms
Stressing Adaptation Issues, Vol.2, 2005
186
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
John J.O.I. Ihalaw. 2005. Bangunan Teori: Edisi ketiga Milenium. Salatiga : Satya Wacana
University Press.
Joice, B., Weil, Marsha. & Calhoun, E. 2011. Model of teaching (Alih bahasa : Ahmad
Fawaid dan Ateilla Mirza). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Knirk, Frederick G., &Gustafson, Kent L.1986. Instructional technology: A systematic
approach to education. NewYork : Holt, Rinehart, and Winston
Mayer, Richard.E. 2008. Learning and instruction. Second edition.Ohio:Pearson Merill
Prentisce
Merrill.M.D,.2009.First Principles of Instruction. In Reigeluth & Carr-Chellman
(Eds.).Instructional-Design Theories and Models. Vol. III.Building a Common
Knowledge Base (pp.41-56).New York: Routledge.
Pujiriyanto.2012. Teknologi untuk
Yogyakarta:UNY Press.
pengembangan
media
dan
pembelajaran.
Romi Satria Wahono.2008.Memilih sistem e-learning berbasis open source. Retrieved from
http://www.romisatriawahono.net (diakses tgl 19 januari 2013)
Syaiful Sagala.2009.Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar.Bandung:Alfabeta
Snelbecker. E. Glenn. 1974. Learning Theory, Instructional Theory and Psychoeducational
Design. New York: McGraw-Hill.
187
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
188
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
APLIKASI LEARNING MANAGEMENT SYSTEM (LMS)
DALAM MENDUKUNG BLENDED LEARNING MODEL
(BLM) MAHASISWA PROGRAM SARJANA (S-1)
KEPENDIDIKAN BAGI GURU DALAM JABATAN
Sukarno
Program Studi PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan aplikasi Learning
Management System (LMS)dalam mendukung Blended Learning Model
(BLM) Mahasiswa Program Sarjana Kependidikan Bagi Guru dalam
Jabatan Tahun Akademik 2012/2013. Secara khusus tujuan penelitian ini
untuk menyusun draftaplikasi LMS dalam mendukung BLM. Penelitian ini
adalah penelitian pengembangan yang diringkas dalam 5 tahap yaitu, (1)
studi pendahuluan, (2) pengembangan model, (3) uji coba model, (4) revisi
dan validasi, serta (5) desiminasi dan distribusi. Pada tahun pertama
penelitian hanya sampai pada tahap kedua. Pada tahap ketiga sampai
kelima akan dilaksanakan pada penelitian tahun kedua. Subjek penelitian
ini adalah mahasiswa program Sarjana
Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan Program Studi Pendidikan
Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek) Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret tahun angkatan 2011 sejumlah
50 mahasiswa. Meraka adalah mahasiswa yang berasal dari guru-guru
Pegawai Negeri Sipil maupun Guru Tetap Yayasan lulusan Diploma (D-2
maupun D-3) Program studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi
berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Metode pengumpulan data
penelitian menggunakan observasi, wawancara dan angket. Sedangkan
validasi penelitan menggunakan triangulasi sumber dan metode. Hasil
penelitian
berupa
draft
aplikasi
Learning
Management
System
(LMS)dalam mendukung Blended Learning Model (BLM) terkoneksi
internet
dengan
situs:
http://bening.fkip.uns.ac.id/
beserta
panduan
pengoperasian LMS dalam pembelajaran.
Kata kunci:Learning Management System (LMS), Blended Learning
Model (BLM), pembelajaran tatap muka, pembelajaran on line.
A. PENDAHULUAN
Program
Sarjana
S-1
Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan
(SKGJ)merupakan
suatu
program
penyelenggaraan
pendidikan
yang
diperuntukkan bagi guru tetap dalam
jabatan
sebagai
upaya
percepatan
peningkatan kualifikasi akademik guru
pada semua satuan pendidikan. Hal itu
sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun
2008
yang
mengatur
tentang
189
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
penyelenggaraan
program
SKGJ.
Pendidikan bagi guru dalam jabatan
pada dasarnya merupakan suatu proses
interaksi antara guru sebagai peserta
didik dengan lingkungan belajarnya
yang
dilakukan
secara
terarah,
terencana, dan sistemik. Lingkungan
belajar yang dimaksud baik lingkungan
fisik (alat, media, sumber belajar)
maupun sosial (instruktur, nara sumber,
dan peserta lain).
Sesuai
dengan
karakteristik
mahasiswa program SKGJyang dalam
perkuliahannya
tidak
diperkenankan
meninggalkan tugas pokoknya sebagai
guru di tempat kerjanya, dan tempat
tinggal guru yang tersebar di daerahdaerah
se-Provinsi
Jawa
tengah
(berjauhan), maka Blended Learning
Model (BLM) merupakan alternatif
model
pembelajaran
yang
dapat
diterapkan pada mahasiswa program
SKGJ.
Secara umum, Blended Learning
memiliki tiga makna antara lain: 1)
perpaduan/integrasi
pembelajaran
tradisional dengan pendekatan berbasis web
on-line; 2) kombinasi media dan peralatan
(misalnya buku teks) yang digunakan dalam
lingkungan e-learning, dan 3) kombinasi
dari sejumlah pendekatan belajar-mengajar
terlepas dari teknologi yang digunakan.
Blended Learning merupakan model
pembelajaran gabungan dua lingkungan
belajar. Di satu sisi, ada pembelajaran tatap
muka di lingkungan tradisional. Di sisi lain,
ada lingkungan pembelajaran terdistribusi
yang
mulai tumbuh dan berkembang
dengan cara-cara eksponensial sebagai
teknologi
baru
yang
kemungkinan
diperluas untuk distribusi komunikasi dan
interaksi. Selain itu Blended learning is
defined as a mix of traditional face-to-face
instruction
and
e-learning
(Koohang,2009).Sampai sekarang, tidak ada
konsensus tentang definisi tunggal untuk
blended learning. Selain itu, istilah
"blended," "hybrid," dan "mixed-mode"
yang digunakan secara bergantian dalam
literatur penelitian terbaru ini. Dalam uraian
ini, Blended Learning dianggap sebagai
integrasi pembelajaran tatap muka dan
pembelajaran dengan pendekatan on-line.
Terdapatbanyak
cara
dalam
mengembangkan
sebuah
system
pembelajaran online atau e-learning, salah
satunya adalah dengan menggunakan
aplikasi
LearningManagementSystem(LMS).
Implementasi kegiatanpembelajaran secara
on-linedengan menggunakan aplikasi LMS,
yakni suatu aplikasi perangkat lunak untuk
keperluan
administrasi,
dokumentasi,
pelacakan dan pelaporan serangkaian
program dan aktivitas pembelajaran online
(Ellis, 2009:1). LMS adalah sebuah
aplikasi perangkat
lunak
yangdigunakanuntuk dokumentasi,administr
asi,pelacakan, danpelaporan program
pelatihan, kelas
dan kegiatan
program
pembelajaran secara online,(e-learning
program). Sebuah LMS yang kuat harus
mampu untuk melakukan hal sebagai
berikut:
a. memusatkan
dan mengotomatisasi admin
istrasi;
b. menggunakan self-service dan layanan
yang dipandu secara mandiri;
c. merakit dan
menyampaikan
isi
pembelajaran dengan cepat;
d. mengkonsolidasikan inisiatif
pembelajaran
pada
platform berbasisweb scalable dengan
dukungan
portabilitas dan standar.
LMS
digunakan
untuk
mengotomatisasi
pencatatan
dan
pendaftaran dosen, mahasiswa dengan
pelayanan mandiri
self-service, penggunaan
alur kerja
(penyampaian
informasi
atau
pemberitahuan soal/tugas oleh dosen dan
pengiriman jawaban/ pekerjaan oleh
190
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
mahasiswa), penyediaan
pembelajaran
secara
on-line (misalnya, pembelajaran
berbasis komputer, sehingga mahasiswa
dapat membaca dan memahami materi
perkuliahan), penilaian oleh dosen secara
on-line , serta
untuk pengelolaan
pendidikan
yang
professional
dan
berkelanjutan,
pembelajaran kolaboratif
(berbagi aplikasi materi pembelajaran dan
diskusi tentang materi perkuliahan), dan
pelatihan
manajemen sumber
daya
(instruktur, fasilitas, peralatan).
LMS biasanya berbasis Web yang
digunakan untuk memfasilitasi akses ke isi
pembelajaran
dan administrasi.
LMS
digunakan oleh beberapa perusahaan dan
instansi lain
(misalnya : perbankan,
perusahaan pharmasi, dan lain-lain) . LMS
adalah
sebuah
dimensi aplikasi
untuk sistem manajemen
pembelajaran
yang
digunakan
oleh
lembaga pendidikan untuk
meningkatkan
dan mendukung pembelajaran di kelas dan
menawarkan kursus untuk populasi yang
lebih besar pada peserta didik di seluruh
dunia.
Karakteristik
LMS
meliputi: (1)
Mengelola
pengguna, peran,
kursus, instruktur, fasilitas, dan hasil; (2)
Laporan Pelatihan; (3) Alur pembelajaran;
(4) Pesan/ pemberitahuan untuk mahasiswa;
(5) Penilaian sebelum dan setelah ujian; (6)
Tampilan dan transkrip nilai; (7) Web-based
atau campuran antara pengiriman dengan
pekerjaan mahasiswa.
Saat ini tersebar banyak aplikasiaplikasi LMS yang tersedia diinternet, baik
yang bersifat gratis (opensource) maupun
yang komersil atau berbayar, di antaranya:
Moodle, ATutor, Claroline,ClaSS,Site At
School, Pathlore, Oracle, Learn.com,
Docebo, eCollege, Dokeos, Blackboard,
WBTSystem. dan sebagainya.Dari salah
satu aplikasi LMS tersebut yang paling
popular
dan yang paling
banyak
digunakan adalah LMS Moodle dari data
yang diperoleh situs resmi Moodle
(http://moodle.org/sites/) pada tanggal 7 Juli
2010 terdapat lebih dari 50 ribu situs elearning tersebar dilebih dari 210 negara
yang
dikembangkan
dengan
menggunakanMoodle,dan di Indonesia
sendiri terdapat lebih dari 600 situs elearning yang dikembangkan dengan
Moodle, diantaranya adalah situs-situs elearning yang dimiliki oleh UI ,ITB
,Unibraw ,UGM, UNY, UPI, UII, dan lainlain. Selain tersedia dengan gratis, fitur-fitur
yang ditawarkan Moodle relative lebih
lengkap
dan
mudah
digunakan
dibandingkan dengan aplikasi lainnya.
Moodle dapat dengan mudah dipakai untuk
mengembangkan systeme-learning. Dengan
Moodle portal e-learning dapat dimodifikasi
sesuai kebutuhan.
LMS
merupakan
pembelajaran
yang dapat mendukung BLM, sebab
LMS adalah suatu aplikasi perangkat
lunak untuk keperluan administrasi,
dokumentasi, pelacakan dan pelaporan
serangkaian
program
dan
aktivitas
pembelajaran online. Dengan aplikasi
LMS,
mahasiswa
dapat
mengakses
materi pembelajaran kapan saja dan
dimana saja dengan koneksi internet.
Dengan aplikasi tersebut mahasiswa
dapat mengakses materi pembelajaran
kapan saja dan dimana saja dengan
koneksi internet.
Pentingnya BLM dalam sistem
pembelajaran jarak jauh menuntut adanya
aplikasi sistem informasi yang memadai dan
mendukung pelaksanaan pembelajaran.
Pemilihan aplikasi yang tepat, akan menjadi
faktor pendukung keberhasilan BLM.
Sejalan dengan perkembangan teknologi
informasi, berbagai aplikasi telah banyak
dikembangkan untuk memadai tujuan
tersebut. Salah satunya adalah Learning
Management System (LMS) ,yakni suatu
aplikasi perangkat lunak untuk keperluan
administrasi, dokumentasi, pelacakan dan
pelaporan serangkaian program dan
aktivitas pembelajaran online (Ellis,
191
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
2009:1). LMS ini merupakan bentuk
fasilitas berbasis web yang memungkinkan
penggunanya untuk dapat mengakses
pengadministrasian
dan
konten
pembelajaran secara online. Dengan
aplikasi
tersebut
mahasiswa
dapat
mengakses materi pembelajaran kapan saja
dan dimana saja asal terkonkesi internet.
Uraian diatas menunjukkan bahwa
aplikasi LMS sangat urgen untuk
mendukung keberhasilan BLM. Oleh sebab
itu perlu adanya penelitian pengembangan
aplikasi sistem informasi yang dapat
mendukung pelaksanaan BLM di program
S-1 Kependidikan bagi Guru dalam
Jabatan (SKGJ), yang salah satunya
melalui aplikasi LMS.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang sesuai dengan
permasalahan dalam kajian ini adalah
penelitian pengembangan. Menurut Sugiono
(2008), ―penelitian pengembangan adalah
penelitian
yang
digunakan
untuk
menghasilkan produk tertentu, dan menguji
keefektifan produk tersebut‖. Penelitian ini
ditujukan untuk mengembangkan aplikasi
Learning Management System (LMS), yang
diharapkan dapat mendukung dalam
Blended Learning Model (BLM) pada
program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi
Guru dalam Jabatan (SKGJ). Sebagaimana
penjelasan Nana Syaodih Sukmadinata
(2011), bahwa ―penelitian pengembangan
adalah suatu proses untuk mengembangkan
produk yang telah ada yang dapat
dipertanggungjawabkan.
dalam proses
pembelajaran‖.
Penelitian ini dilaksanakan di
Kampus Jurusan Pendidikan Olahraga dan
Kesehatan (POK) Manahan Fakultas
Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Jl. Menteri
Supeno 13 Manahan Surakarta. Waktu
penelitian selama 2 tahun yaitu mulai bulan
Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013.
Subjek penelitian ini adalah semua
mahasiswa
program
Sarjana
(S-1)
Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan
Program
Studi
Pendidikan
Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek)
FKIP UNS tahun 2011 sejumlah 50
mahasiswa. Meraka adalah mahasiswa yang
berasal dari guru-guru Pegawai Negeri Sipil
(PNS) maupun Guru Tetap Yayasan (GTY)
lulusan SGO, D-1, D-2 maupun D-3
Program
studi
Pendidikan
Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi berasal dari
berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Pengumpulan data dalam penelitian
ini dikelompokkan melalui empat tahap,
yaitu: studi pendahuluan, pengembangan,
uji coba, serta validasi dan kontrol. Dalam
setiap tahap penelitian dipilih teknik
pengumpulan data tertentu sesuai dengan
tujuan masing- masing. (1) Pada studi
pendahuluan,
dipilih
teknik
kuosioner,observasi,wawancara dan studi
dokumentasi termasuk kajian literature
Literaturereview).Data dalam tahap ini
berupa : data hasil jawaban kuisioner, data
hasil observasi, dan data hasil wawancara;
(2) Pada tahap pengembangan ada tahapan
melakukan uji coba melalui beberapa tahap.
Uji ahlidiberikan pada ahli media, dan
dosen yang digunakan untuk menilai
aplikasi LMS. Instrumen yang digunakan
pada tahap ini adalah (a)kuosioner
berstruktur ,dan (b) skala penilaian
pengembangan aplikasi LMS. Data dalam
tahap ini berupa : data hasil jawaban
kuisioner; (3) Pada tahap ujicoba model,
yaitu model yang telah dianggap sempurna
yang akan diujicobakan pada uji terbatas
dan uji luas,teknik pengumpulan data yaitu
observasi, angket, tes dan wawancara.
Instrumen yang digunakan pada tahap ini
adalah 1). Lembar observasi, 2)kuosioner,
3)pedoman wawancara, dan 4) tes produk;
(4) Pada tahap validasi dan kontrol,
dilakukan
pengamatan
pelaksanaan
pembelajaran digunakan untuk mengetahui
kegiatan belajar mahasiswa baik pada waktu
tatap muka maupun tugas online
192
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menggunakan pedoman pengamatan yang
telah disiapkan. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan metode observasi,
kuesioner dan wawancara. data hasil
jawaban kuisioner, data hasil observasi, dan
data hasil wawancara.Setelah semua tahap
dilalui, maka untuk menyebar luaskan
produk hasil penelitian ini dilaksanakan
dengan desiminasi hasil melalui Seminar
dan workshop.
Borg & Gall (2007) mengemukakan
10
langkah-langkah
umum
dalam
melaksanakan penelitian pengembangan.
Dari 10 tahapan itu penulis mringkas dalam
5 tahap yaitu, (1) studi pendahuluan, (2)
pengembangan model, (3) uji coba model,
(4) revisi dan validasi, serta (5) desiminasi
dan distribusi. Pada tahap awal penelitian,
peneliti baru sampai pada tahap ke 2.
Sedangkan tahap 3 sampai dengan 5, akan
dilaksanakan pada tahapberikutnya.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam rangka mengoptimalkan
pemanfaatan teknologi informasi untuk
menunjang kegiatan pembelajaran, Peneliti
berupaya membangun dan mengembangkan
sistem
blended
learning
yang
diimplementasikan dengan pembelajaran
on-line terpadu menggunakan Learning
Management System (LMS) yang sangat
terkenal yaitu Moodle. Moodle merupakan
singkatan dari Modular Object-Oriented
Dynamic Learning Environment yang
berarti tempat belajar dinamis dengan
menggunakan model berorientasi objek.
Moodle merupakan software open-source
yang disediakan secara bebas, dapat
diinstall dan dikembangkan dengan gratis.
Moodle menyediakan beragam fitur yang
dapat dikostumisasiantara lain:
1. User
Management
(Manajemen
Pengguna)
Dengan
moodle
kita
dapat
menambah, mengedit, dan menghapus user.
User
dapat
ditambahkan
dengan
menginputkan
satu-satu
maupun
denganmengupload sebuah file berisikan
data user. User terdaftar dapat di-assign
sebagai administrator, course creator,
teacher, dan student. Masing-masing role
tersebut dapat diatur Dan menambahkan
user role baru sesuai kebutuhan.
2. Course Management (Manajemen
Pelatihan/Mata Kuliah)
User dapat mengelola pelatihan
dengan menambah pelatihan baru, mengedit
dan menghapus pelatihan yang sudah ada.
User pun dapat mengisi pelatihan dengan
aktivitas-aktivitas pelatihan seperti quiz
(pretest, posttest), survey, forum, materi
pelatihan dengan beragam model (contoh
text dan interaktif multimedia file flash),
sertifikat, feedback, Wiki, dan lain-lain.
3. Language
Setting
(Pengaturan
Tampilan Bahasa)
Secara default, bahasa tampilan yang
dipergunakan adalah bahasa Inggris. Namun
kita dapat merubah tampilan berbahasakan
Indonesia dengan mengaktifkannya pada
menu language packs.
4. Modules Management (Manajemen
Modul)
Modul atau plugin merupakan
komponen tambahan pada suatu aplikasi.
Moodle menyediakan banyak modul/plugin
yang dapat dikostumisasi. Modul-modul itu
antara lain modul untuk aktivitas-aktivitas
pelatihan, modul blok untuk tampilan, dan
modul penyaring konten.
5. Manajemen Keamanan Aplikasi
Moodle menyediakan beberapa
keamanan aplikasi seperti site policies
(kebijakan situs), HTTP security (login
dengan menggunakan protocol https),
keamanan modul, dan anti virus. Aplikasi
keamanan dapat diaktifkan dan dinonaktifkan sesuai keperluan.
6. AppearanceSetting
(Pengaturan
Tampilan)
Tampilan web moodle dapat diatur
sedemikian rupa pada menu yang
disediakan. Theme (tema) tampilan dapat
diubah dan dapat dibuat sesuai keinginan,
193
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
moodle menyediakan thread khusus tentang
cara membuat tema moodle.
7. Server Setting (Pengaturan Server)
Kebutuhan sistem untuk aplikasi
dapat diatur melalui aplikasi, seperti
konektivitas dengan server aplikasi email
(SMTP server), session aplikasi, statistik
pengaksesan situs, performansi server,
upload and download file, serta php info.
8. Developer Documentation
Web resmi moodle menyediakan
dokumentasi
bagi
developer
untuk
memudahkan pengembangan aplikasi sesuai
kebutuhan user. Terdapat juga forum-forum
diskusi untuk memberikan solusi terhadap
suatu permasalahan yang ditemukan pada
saat pengembangan aplikasi.
Adapun tampilan LMS untuk
mengelola pembelajaran Blended learning
dengan menggunakan Moodle adalah
sebagai berikut:
1. Login
a. Untuk Login di blended learning
FKIP UNS dari internet browser
(internet explorer, mozila, dll)
alamat: http://bening.fkip.uns.ac.id/
akan tampil halaman sebagai
berikut:
b. Untuk masuk, Klik login di pojok
kanan atas, lalu muncul kotak dialog
sbb:
c. Masukkan username dan password
pada kotak login seperti yang sudah
tertera pada gambar diatas lalu klik .
d. Jika proses login berhasil, nama kita
akan muncul dipojok kanan atas,
You are Logged in as <Nama
Anda>atau Anda Login sebagai
<Nama Anda>
Pada contoh di atas, User yang sedang
login adalah Blended Learning, Jika
ingin keluar dari blended learning
tinggal klik (Logout).
e. Penjelasan Menu pada laman Utama
Situs bening.fkip.uns.ac.id
2. Main Menu
Berisi memberi informasi mengenai
halaman utama blended learning FKIP UNS
3. Navigation
a. My Home
Menampilkan informasi semua
kursus yang ada di e-learning
Bening.fkip.uns.ac.id.
194
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
b. Site Pages
Menu ini adalah halaman yang berisi
tentang blogs, Tags, dan Calender
c. My Profile
Berisi tentang informasi profile dari
user, Postingan Forum diskusi,
posts, Blog, pesan, dan file pribadi.
d. Courses
Berisi tentang informasi kursus yang
diambil oleh user
4. Settings
Menu ini menampilkan tentang
pengaturan dari sistem yang ada. Berisi
tentang pengaturan profile, baik itu
mengedit profile pengguna, mengganti
password, pesan, dan pengaturan blog.
5. Calendar
Menampakkan kalender pada bulan
saat ini dengan tanda khusus pada tanggal
tertentu terkait dengan aktivitas e-learning.
6. Resent Activity
Halaman ini menampilkan aktivitas
terakhir yang dilakukan oleh pengguna.
7. Mengorganisasi Pembelajaran
a. Mengorganisasi Mata Kuliah
1) Untuk mengakses mata kuliah
side panel
NAVIGATION| COURSE | |
<<MATA KULIAH>>
2) Untuk mulai mengatur silakan
klik edit setting yang ada side
panel SETTINGS.
195
3) Akan ditampilkan laman Edit
Course
Setting.
Kemudianlakukan perubahan
seperlunya.
b. Mengelola Materi Kuliah
1) Jika sudah berada pada laman
seperti pada gambar di atas,
Anda
dapat
memulai
mengelola materi
kuliah.
Perhatikan menu-menu yang
ada.
2) Jika sudah berada pada kelas
yang akan dikelola, hidupkan
Turn editing on pada sisi
sebelah kanan atas atau pada
side panel di bawah
SETTINGS
|
COURSE
ADMINISTRATION
c. Menambahkan
sumber/bahan
belajar
Untuk
menmbahkan
sumber
belajar Klik ―Add a resource‖
d. Menambahkan aktivitas/tugas
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
1) Klik pada tombol Add an
activity.
2) Akan ditampilkan pilihan
sebagai berikut:
a) Untuk memberikan tempat
pengumpulan tugas yang
akan diberikan pilih atau
Klik Advanced uploading
of files
b) Kemudian
mengisikan
atribut-atribut
yang
diperlukan seperti:
Assigment Name : adalah nama tugas yang
diberikan
Description
:misalnya
disisikan
tentang
aturan-aturan
dalam penyelesaian atau
pengumpulan tugas
Grade
: untuk mempermudah
pilih 100 (artinya nilai
tugas adalah rentang 0 –
100)
Available from : untuk memberikan
batas waktu dimulainya
pengumpulan tugas
Due date
: untuk memberikan
batas waktu berakhirnya
pengumpulan
tugas
(deadline)
Prevent late
Submission
: jika dipilih No berarti
mahasiswa
dapat
mengumpulkan
tugas
walaupun
sudah
melewati batas akhir
waktu pengumpulan, jika
dipilih Yes maka tugas
hanya
dapat
dikumpulkan
dalam
rentang waktu yang
sudah ditentukan.
D. SIMPULAN
Pembelajaran Blended Learning
Model
(BLM)
merupakan
model
pembelajaran campuran antara pertemuan
tatap muka dan online. Pembelajaran tatap
muka dilakukan pada tiap awal semester di
kampus,
pembelajaran selanjutnya
dilakukan secara online. Pada waktu
pembelajaran online inilah diperlukan
sistem yang dapat digunakan untuk
mengelola
pembelajaran
berlangsung.Sistem pengelolaan belajar
tersebut
berupa
Aplikasi
Learning
Management System (LMS) yang dapat
digunakan dosen dan mahasiswa yang
berdomisili saling berjauhan dan tidak perlu
meninggalakan tugas pokoknya sebagai
guru
untuk
berinteraksi
dalam
pembelajaran.
Aplikasi
LMS
ini
mengadopsi dari pembelajaran Moodle yang
berarti tempat belajar dinamis dengan
menggunakan model berorientasi objek.
Moodle merupakan software open-source
yang disediakan secara bebas, dapat
diinstall dan dikembangkan dengan gratis.
Aalasan penggunaan software ini antara
lain:100% cocok untuk kelas online dan
sama baiknya dengan belajar tambahan
yang langsung berhadapan dengan dosen,
efisien, dan menggunakan teknologi
sederhana; Mudah di Install pada banyak
program; Hanya membutuhkan satu
database; Menampilkan penjelasan dari
materi kuliah dan dapat dibagi kedalam
beberapa
kategori;
Moodle
dapat
mendukung 1000 lebih materi kuliah dan
mempunyai keamanan yang kokoh.
196
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DAFTAR PUSTAKA
Allison Littlejohn. Chris Pegler, 2007, Preparing for Blended e-Learning,London and New
York: Routledge Taylor & Francis Group.
A. Littlejohn, 2006, Planning Blended Learning Activities. (Routledge-Falmer, London.
Bersin, Josh; Howard, Chris; O‘Leonard, Karen; Mallon, David (2009), Learning
Management Systems 2009, Bersin& Associates.
Bonk, C. J.&Graham,C.R, 2006, The Handbook of Blended Learning, San Francisco:
Pfeiffer.
Driscoll, M. 2002, Blended learning: Let‟s get beyond the hype. Retrieved
October 18, 2007 from E-Learning (54), ttp://elearningmag. com/ ltmagazine.
Douglas L. Holton, 2009, Blended Learning with Drupal,Utah State University Logan, UT
USA, [email protected].
Ellis, Ryann K. (2009), Field Guide to Learning Management Systems, ASTD
Learning CircuitsInternet Time Group Learning Content Management Systems".
Gall, M.D., Gall, J.P. & Borg, W.R, 2003, Educational Research. Boston:
Pearson Education, Inc.
Garrison, D.R., & Kanuka, H, 2004, Blended learning: Uncovering its transformative
potential in higher education. Internet and Higher Education, 7, .
Graham, C. R, 2005, "Blended learning systems: Definition, current trends, and future
directions.". In Bonk, C. J.; Graham, C. R..Handbook of blended learning: Global
perspectives, local designs. San Francisco, CA: Pfeiffer. pp. 3–21.
ISBN 0787977586.
J.Bonkand C.R.Graham, Handbook of Blended Learning: Global Perspectives, Local
Designs. San Francisco,CA: Pfeiffer Publishing, San Francisco,CA, 2005).
Koohang, A, 2009, A learner-centered model for blended learning design.International
Journal of Innovation and Learning, 6(1), 76–91.
Kemendiknas, 2010, Rambu-rambuPenyelenggaraan Program Sarjana (S-1)
KependidikanBagi Guru DalamJabatan.Jakarta: DirjenDikti.
Shih, Ru-Chu. 2010, Blended Learning Using Video-Based Blogs: Public Speaking for
English as a second language students.Australasian Journal of Educational
Technology, 26 (6), 883-897.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung
:Alfabetha. Vaughan, Norman, 2007, Perspectives on Blended Learning in Higher
Education,
International
Journal
on
E-Lerning,
ttp://findarticles.
com/p/articles/mi_hb1408/is_200701/ai_n32211121.
197
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
198
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PRAGMATISASI PENDIDIKAN TERHADAP
KETENAGAKERJAAN
Nurul Malika
ABSTRACT
Each of the Education focused on the achievement of objectives among
welfare corresponding to educational background. Previously, the condition of
education was that a person repeats the behavior because of the relationship
between stumulus and response. However, progress requires change of thinking in
order to increase the potential for self-motivation and to be motivated by other
people as well. Among others, the creation of independent creativity is the right
answer to be prepared for employment in the face of changes in globalization. The
core of the flow Pragmatic philosophy is a process of formation with a conditioned
external environment to mobilize human desire to meet the needs and earn rewards
that is shaped, as in a job. This is a development of the latent forces of the self
which is a basic human need that is based out of consciousness, which can as well
develop self-awareness by improving on self confidence dynamic, as part of men to
a long-term goals. Changes as a result of education are geared toward
establishment of easy access to information, which can be supported in fulfilling
needs without leaving the social function of the individual inevitable in society.
199
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
gagsan terhadap konsep baru dalam upaya
perluasan kerja dan keaneragaman dunia
industri.
Pembuktian
ini
melalui
kecermatan dalam melihat peluang sebagi
hasil dari kemampuan berpikir kritis dan
berinisistif mencari jeda dan sela untuk
dikembangkan menjadi lahan baru yang
dapat menyerap tenaga kerja. Berpikir
kreatif dan kritis merupakan prosese
pembelajaran berkesinambungan dan
testruktur dengan pedoman kurikulum
yang jelas dan kesesuaia standar evalusi.
Penetapan kurikulum ynag lebih besar
kaitannya dengan lapangan pekerjaan
dimanfaatkan lembaga untuk menhasilkan
output yang hanadal dan diterima didunia
industi akan tetapi seperti yang
disampaikan (Kunandar, 2007: 1 dikutip
dalam Kompas, 4 Desember 2004)
menyatakan bahwa lembaga Pendidikan
kejuruan lebih sering terpaku pada teori,
sehingga peserta didik kurang inovatif
dan
kreatif
sehingga
minimnya
kompetensi yang dimiliki. Komponen
dalam sistem pendidikan kejuruan
memilki porsi jelas untuk tidak meletakan
kekeliruan ini pada komponen lainnya
sehingga saling menyalahkan jika terjadi
hal yang tidak selaras dengan pedoman
pendidikan Kejuruan. Dengan demikian,
bagaimana sudut pandang filosofi
meresponnya
keberadaan
Sekolah
Kejuruan sebagai solusi memanajemen
calon tenaga kerja kreatif yang
meminimalisir
tingginya
angaka
pengangguran di usia produktif.
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
kejuruan
adalah
pendidikan di Indonesia yang memberi
sumbangannya pada ekonomi nasional.
Ada kurang lebih 200 program keahlian
yang dilaksanakan di SMK-SMK
diseluruh Indonesia. bertolak dari
peningkatan ekonomi dan peminimalisan
penganguran akhirnya penyelenggaraan
program keahlian ini disesuaikan dengan
kebutuhan lapangan kerja baik untuk
sektor formal maupun sektor non formal.
Pendidikan kejuruan adalah salah satu
sistem pendidikan yang memiliki peran
penting untuk mewujudkan tenaga
trampil dan handal dalam menghadapi era
globalisasi yang ditakutkan tidak dapat
terlewati
oleh para generasi bangsa
Indonesa. Ketakutan nampaknya terbukti
dengan berbagai penolakan pada produk
pendidikan kejuruan karena minimnya
kwalitas lulusan SMK yang diterima di
perusahaan sebagai dunia industri dengan
alasan tingkat standart yang tidak sesuai
dengan permintaan pasar kerja. Dan
produk SMK bukan hal yang harus
ditanggapi positif oleh pemerintah
dengana alasan rendahnya kwalitas hasil
sehingga kesulitan untuk mendapatkan
tempat yang layak dibangsa sendiri.
Inilah diantaranya pekerjaan yang harus
diselesaikan agar persaingan pasar tenaga
kerja
dari
Sekolah
Kejuruan
meningkatkan standar kompetnsi sesuai
dengan permintaan pasar kerja dan dunia
industri bukan hany pemenuhan tujuan
kompetensi lifeskill sekolah yang
mendapatkan dukungan pemerintah agar
eksistensi sekolah kejuruan tidak habis
manis sepah terbuang karena terreduksi
dengan tantangan global.
Pada dasarnya pemerintah telah
memberikan kesempatan sama dalam
perolehan pembelajaran yang didukung
dengan kebijakan bahwa
sekolah
kejuruan sebagai pemasok tenaga terdidik
yang mampu memilki daya kreatifitas dan
B. PEMBAHASAN
1. Pandangan
filosofi
terhadap
tujuan
pendidikan
ketenagakerjaan
Pendidikan yang menciptakan
tenaga kerja yang terampil dan ahli dalam
bidangnya dengan cara membangkitkan
kesadaran individu sehingga muncul
ketrampilan dan eksistensi individu
sebagaimana dijelaskan oleh Ali Maksum
200
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
(2003). Ketrampilan melalui pengalaman
yang terus menerus yang menciptakan
perubahan.
Sebagaimana
yang
disampaikan
Noor
Syam
(1984),
pengalaman itu dinamis, temporal,
spasial, dan pluralistis.
a. Pengalaman itu dinamis
Hidup itu selalu dinamis, menuntut
penyesuaian secara terus-menerus
dalam semua aspek kehidupan.
Realita tersebut menuntut tindakantindakan dinamis yang bersifat
alternattif-alternatif.
b. Pengalaman itu temporal
Seperti alam, kebudayaan pun
mengalami
perkembangan,
mengalami perubahan dari waktu ke
waktu.
Pemgalaman
berawal,
berlangsung dalam waktu, dan
berakhir pula dalam waktu.
c. Pengalaman itu spasial
Pengalaman terjadi ditempat tertentu
lingkungan kehidupan manusia.
d. Pengalaman itu pluralistis
Pengalaman itu terjadi seluas adanya
antar hubungan dan antar aksi
manusia dimana individu itu terlibat.
Subyek yang mengalami pengalaman
menangkap
dengan
seluruh
kepribadiannya, dengan rasa, karsa,
kikir, dan pancainderanya. Sehingga
pengalaman itu bersifat pluralistik.
Tampaknya pengalaman mencapai
perubahan dalam mencapai tujuan adalah
bagian dari filsafat dengan aliran
pragmatis
yang
bertujuan
adalah
menyiapkan peserta didik menghadapi
masa depannya. Upaya pencapaian tujuan
dimaksud adalah maka perlu ditanamkan
disiplin dan membekalinya dengan
berbagai keahlian dan ketrampilan.
Pendidian
menurut
pragmatisme,
merupakan suatu proses reorganisasi dan
rekonstruksi
dari
pengalamanpengalaman individu. Untuk tercapainya
tujuan tersebut, maka lembaga pendidikan
harus mengontrolnya melalui kekuatan
eksternal dengan cara membuang semua
paksaan, membangkitkan kesadaran diri,
melakukan aktivitas untuk mencapai
keunggulan
tertentu,
dan
harus
mengetahui kecakapan dan minat (Ali
Maksum:2003). Menurut pandangan
pragmatis pendidikan adalah suatu proses
pembentukan dari luar, dan juga bukan
merupakan suatu pemerkahan kekuatankekuatan laten dengan sendirinya
(unfolding). Dalam hal ini dapat
dikatakan, baik anak maupun orang
dewasa
selalu
belajar
dari
pengalamannya.
Pragmatisme
menyarankan untuk menguji kualitas nilai
dengan cara yang sama seperti kita
menguji kebenaran pengetahuan. Kita
harus mempertimbangkan perbuatan
manusia dengan tidak tidak memihak,
dansecara ilmiah memiliki nilai-nilai
yang tampaknya memungkinkan untuk
memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi manusia.nilai-nilai itu tidak akan
dipaksakan dan akan disetujui setelah
diadakan diskusi secara terbuka.nilai lahir
dari keinginan, dorongan, dan perasaan
serta kebiasaan manusia, sesuai dengan
watak sebagai kesatuan antara faktor
biologis dan sosial dalam diri dan
kepribadiannya. Nilai merupakan suatu
realitas dalam kehidupan, yang dapat
dimengerti sebagai suatu wujud dalam
perilaku
manusia,
sebagai
suatu
pengetahuan dan sebagai suatu ide.( Praja
Juhaya S.; 1997)
Selanjutnya
John
Dewey
mengemukakan perlunya atau pentingnya
pendidikan, karena berdasar atas tiga
pokok pikiran yaitu:
a. Pendidikan merupakan kebutuhan
untuk hidup
Pendidikan merupakan kebutuhan
untuk hidup karena adanya anggapan
bahwa pendidikan selain sebagai alat,
pendidikan juga berfungsi sebagai
pembaharuan hidup. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup tersebut terjadi interaksi
201
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
anatara individu dengan lingkungannya,
setiap individu dalam masyarakat bisa
hancur namun poses hidup akan
berlangsung
terus
karena
proses
reproduksi.
permintaan pasar, sehingga dapat
memuasaka pelanggan. Dengan demikian
pasar terhadap dunia pendidikan akhirnya
muncul prinsip kompetensi untuk
pemenuhan
pasar
senbagimana
disampaikan oleh (Tilaar ; 2006) bahwa
kompetensi harus dimiliki agar produk
atau servis yang dilaksanakannya
memberikan hasil yang sesuai dengan
kebutuhan
atau
memenuhi
serta
memuasakan
kebutuhan
pelanggan.
Dalam hal ini erat kaitannya bahwa
pengetahuan dan persepsi pelanggan
secara tidak sadar dikuasai oleh dunia
permodalan di dalam dunia bisnis.
Sehingga pendidikan tidak lagi bertumpu
pada idealis pendidikan untuk menguasai
dan mengembangkan ilmu pengetahuan
untuk
kemanusiaan,
tetapi
ilmu
pengetahuan mengikuti perkembangan
yang sesuai dengan selera modal besar,
korporasi, dan kehidupan yang dangkal
karena kurang pertimbangan moral
karena mengikuti cara hidup new life skill
yang mengikuti cara hidup hedonistis.
Berdasarkan
pendapat
John
Dewey bahwa
pengalaman dalah
prioritas yang dapat memperbaiki
kwalitas manusia dengan menciptakan
penemuan baru.
Melalui kesadaran,
pemahaman dan persepsi dalah titik tolak
manusia dapat berubah. Perubahan yang
didasari pemahaman permodalan dan
investasi memotivasi percepatan kwalitas
hasil yang didkung dengan sarana dan
perhatian pemerintah. Kondisi ini
tampaknya juga
terespon sekolah
kejuruan untuk memperluas lingkup
pendidikan kejuruan un tuk senantia
memenuhi gerak pasar yang secara
berkelanjutan. Untk menyeimbangkan
tujuan yang berorientasi pada cara
kesenangan atas prestasi yang dicapai
maka beberapa tujuan pendidikan dalam
orientasi Islam disampaikan
oleh
Mohammad Athiyah Al Abrosyi dalam
(Muayyin:2008) adalah:
b. Pendidikan sebagai pertumbuhan.
Menurut Dewey, pertumbuhan
mrpakan suatu perubahan tindakan yang
berlangsung terus untuk mencapai suatu
hasil selanjutnya. Pertumbuhan ini terjadi
karena kebelum matangan.
c. Pendidikan sebagai fungsi social.
Menurut
John
Dewey,
kelangsungan hidup terjadi karena self
renewal. Kelangsungan self renewal ini
pun terjadi karena pertumbuhan, karena
pendidikan yang harus diberikan kepada
anak-anak dan para pemuda di
masyarakat.(Tilaar: 2006) Yang dikenal
dengan
pendidikan
demokratisasi.
Demokratisasi adalah suatu modal
kehidupan
bersama
sebagai
sutu
pengalaman yang salaing mengisi dari
setiap individu karena pertukaran pndapat
Komitmen inilah yang mempersatukan
kelompok sebagai kelompok dinamis dan
kesepakatan yang dicapai merupakan
kebanggaan untuk mewujudkan keadilan
yang dikuasai dengan moralitas. Dalam
hubungan sekolah sebagai fungsi sosial,
Dewey mengemukakan bahwa sekolah
sebagai alat tranmisi, merupakan suatu
lingkungan yang memiliki tiga fungsi,
yaitu;
1)
menyederhanakan
dan
menertibkan faktor-faktor bawaan yang
dibutuhkan untuk berkembang, 2)
Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan
masayarakat yang ada, 3)Menciptakan
suatu lingkungan yang lebih luas, dan
lebih baik dari pada yang diciptakan
anak-anak tersebut dan menjadi milik
mereka untuk dikembangkan. (Uyoh
Sadulloh: 2007).
Maka akhirnya pendidikan adalah
mengikuti
peran
pasar
yang
kompetensinya harus disesuaikan dengan
202
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
a. Untuk
membantu
pembentukan
akhlak
yang
mulia.
Islam
menetapkan
bahwa
pendidikan
akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
Dan bahwa mencapai akhlak yang
semmpurna adalah tujuan pendidikan
sebenarnya.
b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Pendidikan Islam
tidak hanya menaruh perhatian pada
segi keagaman saja dan tidak hanya
menaruh perhatian pada segi dunia
saja, tetapi ia menaruh perhatian pada
keduanya dan ia memandang
persiapan untuk kedua kehidupan itu
sebagai tujuan tertinggi dan terakhira
bagi pendidikan.
c. Menumbuhkan ruh ilmiah pada
pelajaran dan memuaskan keinginan
hati
untuk
mengetahui
dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu
sekedar sebagai ilmu. Pada waktu
pendidik-pendidik muslim menaruh
perhatian pada pendidika agama dan
akhlak dan mempersiapkan diri untuk
kehidupan dunia dan akhirat dan
mempersiapkan untuk mencari rezki,
mereka
juga
menumbuhakan
perhatian pada sains, sastra, kesenian
dalam berbagai jenisnya.
d. Menyiapkan pelajar dari segi
profesional, teknis dan perusahaan
supaya ia dapat menguasaiprofesi
tertentu, supaya dapat mencari rezeki
dalam hidup dengan mulia di
samping
memelihara
segi
kerohanian, keagamaan, dan akhlak.
Begitu juga ia tak lupa melatih
badan, akal, hati, perasaan, kemauan,
tangan, lidah, dan pribadi.
e. Persiapan untuk mencari rezeki dan
pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
Pendidikan Islam tidaklah semuanya
bersifat agama atau akhlak, atau
spiritual semata-mata, tetapi menaruh
perhatian pada segi kemanfaatan
pada tujuan-tujuan, kurikulum dan
aktivitasnya.
2. Konsep Pendidikan Kejuruan
Pendidikan merupakan investasi
sumber daya manusia di masa depan,
yang dimulai sejak manusia mulai
dilahirkan sampai akhir hayat. Sumber
daya manusia berkualitas merupakan
modal pembangunan. Oleh sebab itu,
kemajuan pembangunan pendidikan
menjadi penting. Berbagai hal berkaitan
dengan pembangunanpendidikan sebagai
salah satu aspek peningkatan mutu
sumber daya manusia perlu dipersiapkan
agar jendela kesempatan (Window of
Opportunity) dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya.
Pendidikan sangat penting bagi
setiap umat manusia, dalam masyarakat
primitif pendidikan menjadi bagian dari
kehidupan itu sendiri, orang tua
memandang bahwa anak-anak mereka
perlu dipersiapkan untuk hidup dalam
masyarakat atau lingkungan yang menjadi
tempat mereka hidup. Kondisi ini tentu
saja mengandung makna bahwa adalah
tidak mungkin anak manusia dibiarkan
hidup dengan hanya potensi bawaan tanpa
ada suatu intervensi apapun dari orang
dewasa, di samping itu potensi manusia
untuk berfikir menjadikannya sebagai
mahluk yang mampu berubah dan
beradaptasi dengan lingkungannya dalam
melanjutkan
dan
mengembangkan
kehidupannya.
Menurut Surya (2007: 5),
dinyatakan bahwa pendidikan diperlukan
untuk meraih kedudukan dan kinerja
optimal pada setiap pekerjaan dilakukan.
Pendidikan adalah sebuah sistem formal
yang mengajarkan tentang pengetahuan,
nilai-nilai dan berbagai keterampilan.
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu
bagian dari sistem Pendidikan Nasional
memainkan peran yang sangat strategis
bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja
203
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
nasional yang terampil. Karena setiap
lulusan SMK memang ditempah untuk
menjadi sumber daya manusia yang siap
pakai, dalam arti ketika mereka telah
menyelesaikan sekolahnya lulusan SMK
tersebut dapat menerapkan ilmu yang
telah mereka dapat sewaktu di sekolah.
Tantangan era globalisasi saat ini
menuntut adanya kesiapan tenaga kerja
yang memiliki kualifikasi yang berbeda
dengan keaadaan sebelumnya. Dengan
jumlah angkatan tenaga kerja yang besar,
diharapkan
benar-benar
mampu
menyesuaikan diri agar dapat memiliki
keunggulan yang kompetitif. Namun pada
kenyataannya, tamatan SMK hanya
diakui oleh sekolah sendiri dan masih
minimnya kepercayaan dunia usaha dan
dunia industri. Hal ini dikuatkan oleh Sidi
(2001: 137) bahwa pendidikan kejuruan
model lama memiliki kelemahan yaitu,
penyelenggaraan
pendidikan
secara
sepihak sehingga anak didik tertinggal
oleh kemajuan dunia usaha/dunia industri
(DU/DI), tidak jelas kompetensi yang
dicapai, tidak mengakui keahlian yang
diperoleh di luar sekolah.
Pendidikan merupakan salah satu
faktor yang penting dalam pengembangan
sumber daya pemuda, tidaka saja
mengubah pengetahuan, akan tetapi juga
meningkatkan keterampilan serta kualitas
kerja. Dari konsep ketenagakerjaan fungsi
pendidikan memiliki dua dimensi penting.
Pertama, dimensi kuantitatif yang
meliputui kemampuan sistem pendidikan
sebagai pemasok tenaga kerja terdidik
atau untuk mengisi lowongan kerja yang
tersedia. Kedua, dimensi kualitatif yang
penghasil yenaga kerja terdidik yang
selanjutnya dapat dibentik menjadi tenaga
penggerak pembangunan atau driving
force for development (Wirakarta
Kusumah: 1992).
Pendidikan kejuruan/vokasi dalam
perkembangan terminologinya disebut
juga Occupational Education, Workforce
Development Education (WDE), Career
and
Technical
Education
(CTE).
Pendidikan
kejuruan/vokasi
sebagai
pendidikan
orang
dewasa
(adult
education)
didesain
menyiapkan
siswa/mahasiswa untuk memasuki dunia
kerja yang lebih dikenal dengan dunia
usaha dan dunia industri (DU-DI). Dalam
konteks ini pendidikan kejuruan/vokasi
adalah
pendidikan
untuk
bekerja
(education for work). Istilah CTE lebih
memberi makna bahwa pendidikan
kejuruan/vokasi sebagai jenis pendidikan
yang tujuan utamanya adalah menjadikan
individu siswa/mahasiswa siap pakai di
dunia kerja.
3. Karakter Sekolah Kejuruan
Evans (1978) dalam Djojonegoro
(1999: 33), mendefinisikan pendidikan
kejuruan adalah bagian dari sistem
pendidikan
yang
mempersiapkan
seseorang agar lebih mampu bekerja pada
satu kelompok pekerjaan atau satu bidang
pekerjaan
daripada
bidang-bidang
pekerjaan lainnya.Definisi lain tentang
sekolah kejuruan sebagaimana dinyatakan
United States Congress (1976) dalam
Djojonegoro (1999: 34), dikatakan bahwa
pendidikan kejuruan adalah program
pendidikan yang secara langsung
dikaitkan dengan penyiapan seseorang
untuk suatu pe kerjaan tertentu atau untuk
persiapan tambahan karir seseorang.
Pendidikan kejuruan bertujuan
untuk
meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia
serta keterampilan peserta didik untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut sesuai dengan program
kejuruannya. Agar dapat bekerja secara
efektif dan efisien serta mengembangkan
keahlian dan keterampilannya, siswa
sekolah kejuruan harus memiliki stamina
yang
tinggi,
menguasai
bidang
keahliannya dan dasar-dasar ilmu
204
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pengetahuan dan tekhnologi, memiliki
etos kerja yang tinggi dan mampu
berkomunikasi sesuai dengan tuntutan
pekerjaannya,
serta
mampu
mengembangkan diri (UU No. 20 Tahun
2003).
Sekolah Menengah kejuruan dapat
menghasilkan tenaga-tenaga yang cerdas
(smart), siap kerja dan kompetitif. Cerdas
(smart) yang dimaksud bukan hanya
cerdas secara intelektual, namun juga
cerdas secara spiritual dan cerdas secara
emosional dan sosial, serta cerdas secara
kinestetik. Siap kerja, karena lulusan
SMK telah dibekali keterampilan dan
kemampuan bekerja di bidangnya,
sehingga mereka siap untuk langsung
bekerja tanpa perlu ditraining lagi.
Mereka juga dibekali kemampuan untuk
bisa membuka usaha sendiri. Kompetitif,
siswa SMK memiliki jiwa kompetitif
yaitu ingin menjadi agen perubahan dan
sikap pantang menyerah yang memang
sudah ditanamkan sejak tahun pertama di
SMK. Kemandirian serta kepribadian
siswa SMK yang unggul memicu
kesiapan mental untuk bekerja atau
membuka lapangan usaha ketika lulus
(Buklet Sekolah Menengah Kejuruan,
Direktorat Pembinaan SMK Depdiknas).
Keunggulan pendidikan kejuruan
adalah kemampuannya memberikan
peluang bagi siswa didik untuk mendapat
proses pembelajaran dengan terjun
langsung ke dunia usaha/industri,
sehingga siswa memperoleh pengalaman
yang nyata dan relevan dengan bidang
kejuruan yang dipelajarinya, sekaligus
memberi bekal keterampilan yang
dibutuhkan.
pemilikan keterampilan. Bagi pengguna
tenaga kerja, yang diinginkan adalah
calon yang terampil dan bisa bekerja,
meskipun tidak memiliki gelar akademik
tinggi.
Pernyataan tersebut di atas
menunjukkan bahwa pengembangan
sumber daya manusia sangat dibutuhkan
untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas, karena
keterampilan seseorang tidak dapat
diukur hanya dengan secarik ijazah yang
diperolehnya di bangku sekolah.
Sejalan dengan pernyataan di atas
( Hamalik ; 2000) menyatakan bahwa
tenaga kerja (ketenagakerjaan) adalah
sumber daya manusia yang memiliki
potensi, kemampuan, yang tepat guna,
berdaya guna, berpribadi dalam kategori
tertentu untuk bekerja dan berperan serta
dalam pembangunan, sehingga berhasil
guna bagi dirinya dan masyarakat secara
keseluruhan.
Selanjutnya (Sumarsono ; 2003),
menyatakan bahwa Sumber daya Manusia
(human resources) mengandung dua
pengertian, pertama, sumber daya
manusia (SDM) mengandung pengertian
usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan
dalam proses produksi. Dalam hal ini
SDM
mencerminkan
usaha
yang
diberikan oleh seseorang dalam waktu
tertentu untuk menghasilkan barang dan
jasa. Kedua, SDM menyangkut manusia
yang mampu bekerja untuk memberikan
jasa atau usaha kerja tersebut.
Jadi pengertian tenaga kerja
adalah semua orang yang bersedia untuk
sanggup bekerja menghasilkan suatu
output (hasil kerja) kemudian hasil kerja
tersebut
diukur
dengan
upah
(penghasilan). jika berbicara mengenai
ketenagakerjaan tentu tidak terlepas dari
produktivitas dan upah yang diperoleh
seseorang dalam bekerja.
Dalam melakukan pembinaan dan
pengembangan SDM melalui program
4. Aspek Ketenagakerjaan
Surya (2006: 90), mengemukakan
bahwa kualifikasi seorang pegawai
(tenaga
kerja)
tidak
semata-mata
ditentukan
oleh
pemilikan
gelar
akademik, tetapi juga ditentukan oleh
205
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pendidikan
dan
pelatihan
kejuruan/profesi, perlu digaris bawahi
bahwa human factor memang merupakan
salah satu aspek penting dalam
menghadapi pasar kerja global. Akan
tetapi keunggulan faktor manusia yang
secara populer disebut sebagai kualitas
SDM yang kompetitif ini, tidak akan
banyak berarti, apabila tidak disertai
dengan pengembangan aspek-aspek lain
seperti
struktur
pasar,
organisasi
perusahaan, hubungan industrial, maupun
pengembangan menejemen keuangan dan
menejemen SDM. Atau dengan kata lain
resources based strategy yang meliputi
aspek sumber daya terwujud dan tidak
terwujud, aspek keberhasilan yang
meliputi ilmu pengetahuan, kohesi sosial,
infrastruktur,
konektivitas,
dan
produktivitas, serta aspek belajar yang
terus menerus melakukan learning dan
learning organization, merupakan aspek
yang tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya, dalam melakukan
pembinaan dan pengembangan SDM
melalui pendidikan dan pelatihan
kejuruan/profesi. Semua pihak yang
terkait dengan pelaksanaan pembinaan
dan pengembangan pendiidkan dan
pelatihan kejuruan/profesi, termasuk
keterlibatan dunia industri/dunia usaha
dalam semua prosesnya, secara bersamasama
diharapkan
dapat
merubah
pemikiran sektoral menjadipemikiran
nasional dalam rangka mengejar dan
membangun kualitas SDM yang memiliki
kompetensi dan berdaya saing global.
Titik
singgung
antara
pengembangan SDM dengan pasar kerja
global terlihat pada krusialnya posisi
manusia sebagai subjek pengembangan.
Yaitu manusia yang memiliki kreatifitas
dan inovasi (knowledge), kompetensi
(skill), dan sikap atau etos kerja
(attitude).dari titik singgung seperti ini
hal yang menjadi pengalaman berharga
adalah adanya
kesempatan untuk
memiliki bidang kemampuannya melalui
proses belajar (learning proces). Baik
belajar untuk lebih efektif, efisien,
maupun belajar dari kesalahan yang
pernah dialaminya, karena hanya dengan
proses belajar seperti inilah dapat
dibangun kualitas SDM yang mampu
bersaing di era global. (Azua dan
Azua:1996)
Kualitas SDM dengan memiliki
kompetensi yang didefinisikan sebagai
gabungan dari sebagian keterampilan
(skill), pengetahuan (knowledge), dan
sikap (attitude). Keterampilan dapat
diperoleh dari pendidikan atau pelatian
kejuruan/profesi yang dilakukan dan
dapat di prediksi dalam programprogramnya.
Demikian
pula
hal
sebaliknya. Sikap profesional angkatan
kerja Indonesia perlu terus ditingkatkan
dan dijaga semenjak mereka memasuki
dunia pendidikan dan pelatihan, dengan
cara menjauhkan dari pengaruh negatif
agen-agen sosial di atas. Namun keempat
agen sosial di atas dijadikan cermin untuk
mendorong pemnbinaan angkatan kerja
secara dini menuju sikap profesional.
5. Signifikasi Pendidikan Dengan
Dunia Kerja.
a. Ketenagakerjaan
Sejarah pendidikan vokasi pada
dasarnya adalah sejarah tenaga kerja
manusia untuk meningkatkan kompetensi
teknisnya untuk meningkatkan posisi
ekonomisnya di masyarakat. Pengarahan
keahlian, penajaman dirinya menuju
ekonomi yang kuat. Manusia diterima
adalah manusia yang memiliki kontribusi
pada ekonomi. Kemampuan ekonomi
digunakan sebagai ukuran kemampuan
‖Economic man was ―good man‖. Dia
diberi hak istimewa membentuk kelas
berdasarkan pembagian tenaga kerja di
masyarakat.
Pendidikan vokasi menekankan
pandangan pada manusia sebagai
economic, tidak sebagai cultural.
206
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Ekspektasi budaya menyatakan semua
manusia bekerja dan saya tahu manusia
dari
pekerjaannya.
Kemampuan
seseorang dalam bekerja lebih tinggi,
nilai manusia lebih luas dari sekedar
bekerja. Sehingga untuk pekerja lebih
meningkatkan makna dirinya jika dapat
menciptakan pekerjaan. (Thompson ;
1973) dalam (Nurhadi ; 2004). Tenaga
kerja yang tidak terserap dalm lingkup
dunia kerja dan indstri berdampak
pengangguran yang disebatkan karena
penyimpangan kapitlisme sebagaimana
(Martin Carnoy :1986) diungkapkan
bahwa yang menciptakan kondisi adanya
pengangguran adalah para kapitalis dan
negara, yangm endukung ra kapitalis
dalam menentukan pilihan barang-barang
yang akan mereka buat, dan dalam hal
teknologi yang mereka pergunakan. Agar
tidak terjadi kegagalan maka pakar
ekonomi pendidikan mengembangkan
analisis kebutuhan akan tenaga kerja
berdasarkan kebutuhan riil (demand) akan
tenaga kerja di pasar tenaga kerja dan
prospek lulusan dari dunia pendidikan
(supply). Oleh sebab itu survei yang
dilakukan tidak hanya survei tenaga kerja
oleh pengusaha tetapi juga sistem
pengangkatan pegawai, penghargaan
pengalaman kerja sebagai pengganti
sekolah formal, tersedianya kegiatan
training, dan pola mobilitas internal
dalam dunia kerja. Metoda survei yang
digunakan adalah ‖tracer study‖ atau
‖retrospective tracer study‖ (Nurhadi
2004). Maka pendidikan adalah salah satu
bentuk investasi dalam sumber daya
manusia, selain kesehatan dan migrasi.
Pendidikan memberikasn sumbangan
secara langsung terhadap pertumbuhan
peendapatan
nasional
melalui
peningkatan
ketrampilan
dan
produktivitas kerja. Ketrampialn prakstis
yang dapat terserap pasar sesuai potensi
ekonomi dan kebutuhan ekonomi
masyarakat sehingga interaksi dengan
pengetahuan dapat berdampak pada
tingkat kemandirian yang diperlukan
dalam kecakapan hidup dalam bekerja.
ciri pembelajaran life skiil adalah Ciri
pembelajaran life skills menurut (Satori :
2002 ) adalah; (1) terjadinya proses
identifikasi kebutuhan belajar, (2)
penyadaran untuk belajar bersama, (3)
keselarasan kegiatan belajar untuk
mengembangkan diri, belajar, usaha
mandiri, usaha bersama, (4) penguasaan
kecakapan personal, sosial, vokasional,
akademik, manajerial, kewirausahaan, (5)
pemberian pengalaman dalam melakukan
pekerjaan dengan benar, menghasilkan
produk bermutu, (6) interaksi saling
belajar
dari
ahli,
(7)
penilaian
kompetensi, dan, (8) pendampingan
teknis untuk bekerja atau membentuk
usaha bersama.
b. Lapangan Kerja
Lapangan
kerja
adalah
bidang/jenis pekerjaan yang mampu
memberikan
kesempatan
kepada
seseorang melakukan aktivitas kegiatan
untuk
menghasilkan
upah
(gaji).
Lapangan pekerjaan ini terdiri dari
berbagai sektor yaitu,
1) Industripengolahan
2) Pertanian, peternakan dan perikanan,
3) Pertambangan dan penggalian,
4) Listrik, gas dan air,
5) Bangunan/konstruksi,
6) Perdagangan, hotel dan restoran,
7) Angkutan,
pergudangan
dan
komunikasi,
8) Keuangan, asuransi, usaha persewaan
bangunan/tanah dan jasa perusahan,
9) Jasa kemasyarakatan, sosial dan
perorangan.
Adanya permintaan tenaga kerja
oleh perusahaan-perusahaan tentunya
merupakan peluang kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan bagi para pencari
kerja. Karena kebijaksanan perluasan
kerja
erat
hubungannya
dengan
207
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kebijaksanaan kependudukan dan sumber
utama penawaran tenaga kerja adalah
penduduk. Tidak semua penduduk
menawarkan tenaga kerjanya di pasar
tenaga kerja, hal ini karena mereka lebih
dulu
mempertimbangkan
kelayakan
bekerja berdasarkan kesesuaian pekerjaan
dengan upah yang diterimanya, selain itu
kemampuannya
untuk
melakukan
pekerjaan tersebut juga merupakan bahan
pertimbangan baginya. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa tidak semua tenaga
kerja atau penduduk dalam usia kerja siap
bekerja.
Secara
umum
penyediaan
(penawaran) tenaga kerja suatu negara
atau daerah dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti jumlah penduduk, tenaga
kerja,
pendidikan,
perkembangan
ekonomi dan lain sebagainya (Sumarsono
; 2003).
Semakin sempitnya daya serap
sektor modern terhadap perluasan
kesempatan kerja telah menyebabkan
sektor tradisional menjadi tempat
penampungan angkatan kerja. Hal ini
terjadi karena langkanya tenaga yang
cukup terdidik karena ekonomi industri
membutuhkan tenaga kerja yang terdidik.
Mutu angkatan kerja Indonesia dilihat
dari keperluan proses industrialisasi
sangat tidak memadai.
Menurut perkiraan para ahli,
sekitar 70%-78% dari angkatan kerja
pada tahun 1990 sampai dengan 1995,
jumlah pekerja yang secara pasti
mendapat pekerjaan di sektor modern
hanya sebesar 22%-0% atau berkisar 11
juta sampai dengan 23 juta pekerja
(Buchori ; 1995). Sementara menurut
Sumarsono (2003: 99), pasar kerja
merupakan seluruh aktivitas dari para
pelaku
yang
tujuannnya
adalah
mempertemukan pencari kerja dan
lowongan kerja. Sedangkan pasar tenaga
kerja adalah seluruh aktivitas dari pelaku-
pelaku yang mempertemukan pencari
kerja dan lowongan kerja.
Dalam permintaan tenaga kerja
biasanya
perusahaan
selalu
memperhatikan dari berbagai aspek, salah
satunya adalah bagaimana mengisi
lowongan yang ada dengan orang yang
sesuai (Sumarsono ; 2003). Jadi dalam hal
ini harus ada kesesuaian antara lowongan
pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan
keterampilan dari calon tenaga kerja
tersebut.
Jika berbicara mengenai tenaga
kerja yang memiliki tingkat pendidikan
dan keterampilan maka kita dapat
membedakan pasar tenaga kerja yang
terdidik dan tidak terdidik. Pasar tenaga
kerja terdidikadalah pasar tenaga kerja
yang membutuhkan persyaratan dengan
kualifikasi khusus yang biasanya
diperoleh melalui jenjang pendidikan
formal dan membutuhkan waktu yang
lama serta biaya pendidikan yang cukup
besar. Sedangkan pasar tenaga kerja tidak
terdidik merupakan pasar kerja yang
menawarkan dan meminta tenaga kerja
yang tidak membutuhkan kualifikasi
khusus dan tingkat pendidikan yang
relatif rendah.
Dari konsep ketenagakerjaan,
fungsi pendidikan memiliki dua dmensi
pertama adalah kemampuan sistem dalam
memasok tenaga kerja terdidik dan untuk
mengisi lowongan kerja yang tersedia,
kedua penghasil tenaga terdidik yang
selanjutnya dapat dibentuk menjadi
tenaga
pengerak
pembangunan
(Wirakarta Kusumah ; 1992). Maka
diperlikan potensi manusia cerdas
indonesia yang tidak membedakan
kepentingan kelompok, suku, keagamaan,
kepentingan
sosial,
maupun
keanggoytaannya dalam organisaasi
polotik. Manusia cerdas indonesia adalah
manisia yang bertendensi moral pancasila
yang direalisasikan dalam tindakan yang
berdampak positif dan memiliki unsur
208
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
nilai kerja keras sehingga dapat menolong
sesama manusia dalam kehidupan
persaingan di era globalisasi. Unsur-unsur
manusia cerdas diantaranya adalah:
a. Manusia indonesia cerdas adalah
anggota masyarakat yang berbudaya.
Kebudayaan
yang
dimilikinya
tentulah kebudayaan yang beradap.
Tentunya ada unsur-unsur budaya
yang diukur menurut ukuran nasional
ataupun global, tidak pantas untuk
dimasukkan di dalam budaya yang
beradap.
b. Bertalian erat dengan nilai-nilai
Pancasila yaitu kepemilikan akan
identitas
Indonesia.
identitas
Indonesia bukanlah identitas sukusuku tetapi identitas dari Indonesia
yang telah diperjuangkan bersama
dalam revolusi 1945. Di dalam era
globalisasi dewasa ini identitas suatu
bangsa
cenderung
menghilang.
Identitas suatu bangsa sangat perlu
dalam menghadapi perubahan global
yang sangat cepat. Seorang yang
mempunyai identitas sebagai suatu
bangsa yang memunyai negara
merupakan kebanggaan tersendiri di
dalam kehidupan global dewasa ini.
c. Indonesia bukanlah suatu pengertian
yang beku tetapi sesuatu yang
dinamis
yang
masih
perlu
dikembangkan
dan
dihidupkan.
Indonesia sebagai suatu imagined
community
merupakan
suatu
perjuangan untuk mewujudkannya
oleh setiap warga negara Indonesia.
hal itu dapat dilakukan apabila warga
negara Indonesia menyadari akan
hak-haknya dan kewajibannya di
dalam
mewujudkan
nilai-nilai
pancasila.
Penghayatan
serta
tindakan berdasarkan nilai-nilai
Pancasila
harus
terus-terus
digalakkan di dalam setiap situasi
pendidikan formal, informal dan
nonformal.
d. Manusia Indonesia cerdas haruslah
mempunyai
orientasi
terhadap
perubahan global. Salah satu tuntutan
di dalam perubahan global tersebut
ialah harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan sehingga dapat
bersaing dan bekerja sama dengan
bangsa-bangsa yang lain. Seperti
yang telah diuraikan, kehidupan
global dewasa ini dikuasai oleh
prinsip-prinsip
ekonomi
yang
meminta daya saing yang tinggi.
Manusia Indonesia sebagai warga
negara dunia haruslah mempunyai
daya saing yang setara dengan
bangsa yang lain. hal ini hanya dapat
dicapai melalui kualitas pendidikan
nasional yang tinggi.
e. Manusia yang cerdas adalah manusia
yang mandiri. Manusia mandiri
pertama-tama haruslah mempunyai
kemampuan intelegensi yang terasah.
Sebagai manusia mandiri dia akan
merupakan warga negara Indonesia
yang tidak tergantung kepada utang
luar negeri ataupun belas kasihan
karena pertimbangan-pertimbangan
politik dari negara lain. Seorang yang
mandiri, seorang warga negara yang
mandiri adalah seseorang yang
mempunyai identitas atau jati diri
yang menghormati akan nilai-nilai
sendiri, nilai-nilai lokal yang
bermanfaat, dan nilai-nilai Pancasila
yang dimiliki bersama oleh setiap
insan Indonesia.
f. Manusia yang cerdas bukan hanya
mempunyai kemampuan intelegensi
yang
tingi
karena
telah
dikembangkan tetapi juga disertai
dengan pertimbangan-pertimbangan
moral. Sudah tentu pertimbanganpertimbangan
moral
tersebut
merupakan moral Pancasila, moral
kehidupan bersama di dalam
lingkungan keluarga serta masyarakat
sekitar (indigenious values). Tanpa
209
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
moralitas seorang yang cerdas dapat
mengrah kepada kerakusan dalam
kehiduoan ekonomi global yang
didominasi
oleh
prinsip-prinsip
mencari keuntungan. Manusia cerdas
tanpa moral adalah manusia yang
rakus
yang
dapat
bersifat
penggelapan terhadap hak-hak asasi
manusia dan nilai-nilai kebersamaan
umat manusia. Mengganti nilai-nilai
Pancasila di dalam kehidupan
bersama
Indonesia
berarti
membuyarkan kesatuan bangsa dan
membuyarkan eksistensi Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
(H.A.R. Tilaar: 2006)
melalui ide dan gagasannya. Tanpa harus
mencari kekurangan orang lain akan
tetapi memperbaiki kondisi agar lebih
baik. Dalam pembelajaran sekolah
kejuruan adalah membimbing manusia
siswa
melakukan
sesuatu
untuk
mendapatkan pengalaman yang berakibat
pada perubahan karena kreativitad dan
inovasi yang dilakukan secara mandiri.
Kemandirian belajar atas kecerdasan yang
dikembangkan selaras dengan perjalanan
globalisasi yang tidak dapat ditolak
karena salah satu sumber penciptaan
kreatifitas
yang
selaras
dengan
perkembangan teknologi global.
Tanpa meninggalkan budaya
bangsa merupakan salah satu penegasan
kepribadian sebagai unjuk kerja dan
perilaku dalam integritas dan kepercayaan
dunia terhadap kemapanan kesejahteraan
menuju identitas bangsa yang jelas dan
terarah. Dampak Kesejahteraan tidak
serta merta membangkitkan perilaku
hedonism yang mentoleransi segala upaya
untuk mencapai tujuan akan tetapi justru
menjadi
tolok
ukur
manusia
mengembangkan
kreativitas
social
dengan menciptkan sejumlah perubahan
yang berdampak terhadap capaian
kesejahteraan dimasyarakat.
Menciptakan kreatifitas mandiri
dalam pandangan pragmatis merupakan
jawaban tepat untuk menghindari
ketergantungan dan peningkatan tingkat
pengangguran.
Kesadaran
mengembangkan
diri
dengan
meningkatkan
kepercayaan
mandiri
bagian
dari
dinamisasi
manusia
mempersiapkan tujuan jangka panjang.
Perubahan sebagai hasil pendidikan yang
dipersiapkan menuju kemapanan karena
kemudahan akses informasi dalam
pemenuhan kebutuhan dengan tanpa
meninggalkan fungsi social individu
dalam masyarakat.
C. KESIMPULAN
Pendidikan, belajar dan bekerja
adalah
kesatuan
komponen
yang
berangkat pengalaman dengan titik tolak
investasi terhadap kegiatan pembelajaran.
Hasil pendidikan harus mempermudah
capaian pekerjaan yang
linear telah
berkembang dimasyarakat luas. Tidak
akan
menimbulkan
masalah
bila
berkorelasi
posistif
antara
hasil
pendidikan dengan pekerjaan yang
diharapkan dan sebaliknya. Antisipasi
dengan tidak adanya korelasi inilah yang
diwaspadai
untuk
mempertahankan
kepercayaaan masyarakat terhadap hasil
pendidikan
di
sekolah
kejuruan.
Masyarakat
cukup
berpengalaman
menyikapi ketimpangan demand dan
supplay.
Hal inilah akhirnya terlalu
banyaknya
pertimbangan
untuk
mengeluarkan anggaran biaya karena
tidak adanya jaminan jelas setelah
melakukan aktivitas belajar. Pemerintah
lagi lagi menjadi tumpuan untuk
mencarikan alternative penyelesaian
masalah.
Penyelesaian Masalah adalah
sumber manusia dapat beraktivitas jelas
210
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DAFTAR PUSTAKA
Tilaar, H.A.R, 2006, Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis,Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Sa.ud, Syaefudin & Makmun, Syamsuddin Abin, 2007, Perencanaan PendidikanSuatu
Pendekatan Komprehenshif, Bandung: Kerjasama Program Pascasarjana UPI
dengan PT. Remaja Rosdakarya
Djojonegoro, Wardiman, 1999, Pengembangan Sumberdaya Manusia: MelaluiSekolah
Menengah Kejuruan (SMK), Jakarta: PT. Balai Pustaka (Persero).
Surya, Aldwin 2006, Perubahan Sosial Masyarakat Kota Metropolitan, Medan:Kopertis
Wilayah I NAD-SUMUT.
Hamalik, Oemar, 2000, Pengembangan Sumber Daya Manusia ManajemenPelatihan
Ketenagakerjaan: Pendekatan Terpadu, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sumarsono, Sonny, 2003, Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia &Ketenagakerjaan,
Jember: Graha Ilmu.
Thompson, JF. (1973). Foundations of Vocational Education, New Jersey : PrenticeHall
Azua J and S. Azua, 1996, Corporation Strategis for Defining Competitive Industrial
Policies, Arthur Andersen & KPMG, Paper Presented In Strategic Management
Society Conference, Orlando.
Maksum, Ali. 2003. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern
“Mencari Misi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita”. Yogyakarta: Pustaka
Belajar
Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Penddikan. Bandung: Alfabeta
Praja Juhaya S., 1997 Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Bandung : Yayasan Piara,
Wirakarta Kusumah. 1992 Recent development of food flavor in Indonesia..
Muayyin: 2008 Menjelaskan Tsiqoh .Jogja:. Pustaka Belajar.
Surya, Aldwin, 2007 Perubahan Sosial Masyarakat Kota Metropolitan, Medan:. Kopertis
Wilayah I NAD-SUMUT
Martin Carnoy, Carlos Torres, and Jeff Unsicker) Mexico, 1986 D.F.: Ediciones Gernika,
Paris:. International Institute of Educational Planning
Sidi, Indra Djati. 2001Menuju masyarakat belajar : menggagas paradigma baru
pendidikan. Jakarta :. Kerjasama Paramadina.
Djojonegoro, Wardiman, 1999 Pengembangan Sumberdaya Manusia: Melalui Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), Jakarta:. PT. Balai Pustaka (Persero).
Nurhadi. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta : Penerbit. PT. Gramedia
Widiasana Indonesia.
Satori. 2002 Profesi Keguruan.Jakarta :Universitas Terbuka.
211
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
212
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR MANDIRI SISWA
DENGAN STRATEGI, MODEL DAN MEDIA
PEMBELAJARAN GUNA MEMBANGUN PENDIDIKAN
BERKARAKTER
Noventy Prasetyaningsih dan Sri Anjarwati
ABSTRACT
The purpose of this article is to give some idea to develop character
education with strategy, model and media for increase self motivated learning
student. Learning strategy consist of reherseal stategy, organization strategy and
elaboration strategy.Kind of learning model are Collaborative Learning, Direct
Learning, Contextual Learning and Integrated learning. Media learning devided
into visual aids, learning aids and audio video aids. Strategy, models dan media
learning conected each other. Because all three component take effectto increase
self motivated learning student. Then if student have self motivated learning be
expected to increase character education.
Kata Kunci:motivasi belajar mandiri, pembelajaran, pendidikan karakter
A. PENDAHULUAN
Perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi saat ini
memberikan
pengaruh
terhadap
perkembangan dunia pendidikan. Upayaupaya yang dilakukan pemerintah untuk
mengimbangi
perkembangan
IPTEK
dengan dunia pendidikan yaitu mengubah
Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Penerapan KTSP dalam dunia
pendidikan Indonesia tidak sekedar
pergantian kurikulum, tetapi menyangkut
perubahan fundamental dalam sistem
pendidikan. Hal ini menuntut perubahan
paradigma dalam pembelajaran dan
persekolahan, karena dengan penerapan
KTSP tidak hanya menyebabkan perubahan
konsep, metode dan strategi guru dalam
mengajar, tetapi juga menyangkut pola
pikir, filosofis, komitmen guru, sekolah dan
stakeholder pendidikan (Kunandar, 2007:
113).
Pendidikan merupakan salah satu
aspek yang berperan penting dalam
membentuk sumber daya manusia yang
beriman dan bertaqwa serta memiliki
kemampuan
dalam
bidang
ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pendidikan juga
diharapkan mampu mencetak generasi yang
siap menghadapi tantangan masa depan.
Saat ini pendidikan menjadi perhatian
utama pemerintah. Pendidikan harus
memberikan kesempatan pada setiap
individu untuk mampu mengaktualisasikan
seluruh potensi dirinya, memperluas
pengetahuan, keterampilan dan sikap serta
adaptif terhadap perubahan yang cenderung
kompleks. Berbagai usaha telah ditempuh
oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan antara lain penyempurnaan
kurikulum, perbaikan sistem pengajaran dan
mengubah strategi pendidikan guru.
213
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pendidikan adalah salah satu wadah
kegiatan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Untuk
dapat
menopang
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi diperlukan pemahaman dan
penguasaan ilmu yang mendasarimya.
Banyak pihak yang berperan penting dalam
suksesnya pendidikan baik jalur sekolah
maupun di luar jalur sekolah. Tidak hanya
siswa dan guru saja tetapi orang tua siswa,
elemen-elemen sekolah yang lain, dinas
pendidikan dan kebudayaan juga sangat
menentukan
keberhasilan
sebuah
pendidikan yang berkualitas.
Undang-undang sistem pendidikan
nasional No.20 tahun 2003 menggariskan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkaan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun
sistem
pendidikan
nasional
adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional yang kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Sudah menjadi fenomena umum di
masyarakat, kondisi pendidikan saat ini
belum sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang tercantum dalam UU No.20
tahun 2003 bab II pasal 3 yang menyatakan
bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermanfaat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu dan cakap‖. Didalam pasal ini bisa
diartikan bahwa pendidikan seharusnya
diarahkan pada pembangunan manusia
seutuhnya, tidak hanya cerdas dan mumpuni
dalam aspek intelektual saja tetapi juga
harus berakhlak mulia. Tetapi pada
kenyataanya siswa yang seharusnya aktif
dalam mengembangkan potensi yang ada
dalam diri mereka justru terlena dan tersita
waktunya oleh hingar bingar media sosial
dan televisi. Banyak dari para pelajar yang
semakin hari semakin menunjukkan
perilaku yang tidak relevan dengan tugas
mereka sebagai seorang pelajar. Beberapa
tindakan asusila ataupun tindakan pidana
banyak dilakukan oleh sebagian siswa yang
nota bene mempunyai kewajiban menuntut
ilmu
semaksimal
mungkin.
Media
elektronik baik televisi ataupun internet
adalah tantangan global yang harus dihadapi
pelajar saat ini. Pengaruh budaya baik dari
dalam dan luar negeri dapat dengan mudah
masuk tanpa adanya filter yang bisa
menyaring dengan baik. Hal ini ditambah
dengan kondisi psikis para pelajar yang
masih labil dan belum bisa terorganisir
dengan baik, sehingga lebih mudah
terpengaruh degan kondisi yang ada
disekitar mereka. Oleh sebab itu, sudah
menjadi kewajiban kita bersama khususnya
para pendidik untuk mengarahkan dan
memotivasi, agar mereka siap menghadapi
tantangan global dan mampu belajar secara
mandiri.
Siswa dikatakan mampu belajar
mandiri jika siswa melakukan kegiatan
belajar aktif, yang didorong oleh niat atau
motif untuk menguasai sesuatu kompetensi
guna mengatasi sesuatu masalah dan
dibangun dengan bekal pengetahuan atau
kompetensi yang dimiliki. Ada berbagai
macam cara untuk mengembalikan motivasi
belajar mereka antara lain dengan metode
ARCS
yaitu
Attention,
Relevance,
Confodence dan Satisfaction. Keempat
komponen tersebut diharapkan dapat
membangun motivasi belajar siswa
sehingga siswa mampu melakukan kegiatan
belajar mandiri.
214
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Didalam proses belajar, siswa selalu
mendapatkan
informasi
yang
baru,
informasi tersebut secara terus menerus
masuk ke dalam otak melalui alat indra.
Sebagian informasi itu tersimpan di dalam
memori jangka pendek sehingga mudah
dilupakan, agar dapat bertahan lama maka
perlu adanya proses pengulangan informasi
yang dapat dilakukan dengan cara belajar
atau strategi belajar.
Strategi belajar merupakan suatu
proses yang mengacu pada perilaku dan
proses berfikir yang digunakan oleh siswa
dan mempengaruhi apa yang dipelajari,
termasuk proses memori dan metakognitif
(Nur, 2000: 6). Tujuan utama pengajaran
strategi adalah mengajarkan siswa untuk
belajar atas kemauan dan kemampuan diri
sendiri agar menjadi pembelajar mandiri.
Beberapa macam strategi belajar yang dapat
diterapkan menurut Nur (2000), yaitu
Strategi Menghafal (Rehearsal Strategis),
Strategi Elaborasi (Note Taking, Analogi,
Metode PQ4R), Strategi Organisasi
Pembuatan Kerangka (Outlining), Pemetaan
(Mapping)), dan Strategi Metakognitif.
Model
Pembelajaran
yang
digunakan sangat menentukan dalam proses
belajar mengajar yang dilakukan oleh guru
dan siswa. Ada model pembelajaran yang
memusatkan perhatian pada siswa, dalam
hal ini siswa yang dituntut berperan aktif.
Ada pula yang memusatkan perhatiannya
pada guru, dimana guru yang lebih berperan
aktif. Model pembelajaran merupakan pola
yang menggambarkan urutan alur tahaptahap kegiatan (sintaks) keseluruhan yang
umumnya disertai dengan rangkaian
kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru
dan siswa. Macam model pembelajaran
antara lain: Pembelajaran Kolaboratif,
Pembelajaran Langsung, Pembelajaran
Kontekstual,
Pembelajaran
Terpadu.
Pembelajaran-pembelajaran
tersebut
memiliki kelebihan dan kelemahan masingmasing. Didalam masing-masing model
pembelajaran masih dibagi lagi menjadi
berbagai model pembelajaran. Pada model
pembelajaran kolaboratif terdapat model
pembelajaran Student Team Achievement
Divisions (STAD), Team Game Tournament
(TGT), Jigshaw, Group Investigation (GI).
Sedangkan didalam pembelajaran terpadu
terdapat model pembelajaran connected,
pembelajaran tematik dan pembelajaran
berbasis masalah
Media pembelajaran juga berperan
dalam membangun kreatifitas siswa/pelajar
dalam mempelajari sesuatu. Hal tersebut
dikarenakan
media
pembelajaran
merupakan perantara antara sumber pesan
dengan
penerima
pesan.
Sebelum
ditemukan media pembelajaran, siswa
terkadang hanya dapat membanyangkan
yang sedang mereka pelajari, tetapi dengan
menggunakan media pembelajaran siswa
dapat
mengetahui
secara
langsung
pembelajaran yang akan dipelajari. Ada
berbagai macam media pembelajaran yang
dapat
dimanfaatkan
dalam
proses
pembelajaran, antara lain : alat peraga
berupa buku, gambar, alat peraga ataupun
berupa audio visual.
Strategi,
metode
dan
media
pembelajaran saling memiliki keterikatan
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal
ini dikarenakan ketiga hal tersebut
berpengaruh dalam menumbuhkan motivasi
belajar mandiri siswa. Strategi belajar siswa
menuntun siswa untuk lebih kreatif dengan
mendapatkan informasi yang baru. Semakin
beragamnya strategi pembelajaran tersebut,
maka
dalam
penerapannya
dapat
disesuaikan dengan kebutuhan belajar
siswa. Apabila guru dapat menyampaikan
pembelajaran
dengan
metode
yang
melibatkan siswa secara aktif dan kreatif,
hal ini akan menumbuhkan motivasi belajar
siswa secara mandiri. Tidak dapat
dipungkiri pembelajaran kedepan seorang
guru dituntut dapat lebih kreatif membuat
siswa aktif dalam proses pembelajaran.
Membangun
karakter
bangsa
merupakan bagian integral yang tidak
215
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Oleh karena itu harus dikembangkan secara
komprehensif sebagai proses pembudayaan.
Dalam membangun karakter bangsa
merupakan tanggungjawab bersama antara
pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga
pendidikan dan orang tua, maka diperlukan
kerja sama yang sinergis. Keberhasilan
membangun karakter bangsa menjadi
penentu eksistensinya di masa depan, baik
secara internal maupun eksternal. Karakter
adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti religius, jujur, berani
bertindak atas dasar kebenaran, dapat
dipercaya, disiplin, kerja keras, mandiri,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta
damai, peduli lingkungan dan sosial,
tanggungjawab. Interaksi seseorang dengan
orang
lain
menumbuhkan
karakter
masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu
pengembangan karakter bangsa dapat
dilakukan melalui pengembangan karakter
individu seseorang.
Proses pengembangan nilai-nilai
yang menjadi landasan dari karakter bangsa
itu
dilakukan
secara
berkelanjutan,
dilakukan melalui pendidikan formal, non
formal, dan informal. Selain itu pendidikan
harus
membangun
pula
kesadaran,
pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan
dengan lingkungan tempat diri dan
bangsanya hidup: nilai budaya yang hidup
di masyarakat sistem sosial yang berlaku
dan
sedang
berkembang;
sistem
ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik;
bahasa Indonesia dengan cara berpikir,
kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi
dan seni. Sangatlah penting menanamkan
pendidikan berkarakter kepada siswa.
Dengan harapan jika siswa mampu belajar
mandiri bisa mengembangkan karakter
siswa menjadi lebih unggul dalam siap
menghadapi tantangan global.
B. MOTIVASI BELAJAR MANDIRI
SISWA
Motivasi belajar adalah kekuatan
pendorong dan pengarah dalam melakukan
proses belajar. Pendorong dalam arti
pemberi kekuatan yang memungkinkan
poses belajar dapat berjalan. Pengarahan
dalam arti pemberi tuntunan kepada
perbuatan belajar ke arah tujuan yang telah
ditetapkan. Model motivasi yang terkenal
adalah model yang dikemukakan oleh JM
Keller sebagaimana diungkapkan oleh
Gagne dan Driscoll (1989) yang disebut
ARCS model. Menurut model ini motivasi
merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh terhadap hasil belajar peserta
didik. Ada 4 faktor yang dimaksud dalam
model ini yaitu :
1. Attention (Perhatian)
Menarik perhatian atau minat
peserta didik untuk belajar adalah tugas
pertama-tama yang harus diciptakan dalam
pembelajaran. Para pengelola pembelajaran
harus berbuat semaksimal mungkin agar
materi pembelajaran yang dibawakan
berhasil menarik peserta didik. Rangsanganrangsangan tertentu harus dimunculkan
untuk menumbuhkan minat atau perhatian
peserta didik.
Perhatian itu sendiri akan muncul
bila terdapat rasa ingin tahu dari peserta
didik.
Oleh
karenanya,
pengelola
pembelajaran harus memberi rangsangan
untuk menumbuhkan rasa ingin tahu
tersebut. Rangsangan ini dapat berupa:
pemunculan hal yang baru, beda dengan
yang lainnya, menantang, kontradiktif,
kompleks dan lain sebagainya. Unsur-unsur
seperti itu seharusnya masuk dalam suatu
rangsangan pembelajaran, baik pada bagian
pendahuluan proses pembelajaran, maupun
bagian inti penyajian proses pembelajaran.
Pancingan untuk menumbuhkan minat atau
perhatian harus terjadi pula sepanjang
216
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
proses pembelajaran melalui variasi metode
dan media pembelajaran yang digunakan.
Di samping itu pembelajaran juga dapat
diselingi berbagai humor segar, contohcontoh nyata untuk memperjelas konsep
yang
diutarakan,
dan
sebagainya.
Penggunaan metode tanya jawab sering juga
ampuh untuk memancing tumbuhnya minat
atau perhatian peserta didik.
2. Relevansi
Apa yang akan dipelajari peserta
didik harus cukup menyakinkan mereka
bahwa materi pembelajaran itu cukup
berharga dan penting baginya. Cukup
berharga atau pentingnya suatu materi
pembelajaran harus benar-benar dilihat dari
perspektif atau kepentingan peserta didik
bukan
kepentingan
pengelola
atau
penyelenggara pendidikan. Cara yang
paling ampuh untuk menyakinkan akan
pentingnya materi pembelajaran adalah
dengan cara mengutarakan apa yang
menjadi tujuan pembelajaran, misalnya
dalam bentuk kompetensi yang harus
dikuasai peserta didik. Mereka harus diberi
informasi secara jelas bahwa ketrampilanketrampilan yang tercangkup dalam tujuan
pembelajaran atau kompetensi tersebut
merupakan hal yang penting yang harus
mereka kuasai sehingga mereka merasa
yakin penguasaan ketrampilan-ketrampilan
seperti itu relevan dengan kebutuhan
mereka.
Jadi penerapan nyata dalam proses
pembelajaran aspek relevansi ini adalah
dengan :
a. Menginformasikan tujuan pembelajaran
secara jelas, yakni menyemapaikan apa
yang harus mereka tampilkan sebagai
kinerja sebagai wujud hasil belajar.
b. Menjelaskan manfaat pengetahuan,
kemampuan, atau ketrampilan yang
akan dipelajari dan bagaimana hal-hal
itu akan dipraktikkan dalam kehidupan
nyata.
c. Memberikan contoh, latihan atau tes
yang berhubungan langsung dengan
kondisi sekitar atau profesi tertentu.
3. Confidence (Kepercayaan diri)
Rasa percaya diri peserta didik
merupakan sumber motivasi yang kuta
untuk terus belajar. Rasa percaya diri
merupakan potensi untuk berinteraksi secara
positif dengan lingkungan. Dengan rasa
percaya diri yang kuat, seseorang akan
merasa memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang terkait
dengan proses pembelajaran menuju kearah
keberhasilan
pencapaiab
kompetensi.
Motivasi diri akan makin meningkat seiring
dengan meningkatnya harapan untuk
berhasil. Kadang-kadang hal ini juga
dipengaruhi oleh pengalaman sukses dimasa
lampau. Makin sering pengelaman suskses
ini, kepercayaan diri akan makin tumbuh
pula sehingga motivasi diri akan makin
tinggi.
Penerapan
prinsip-prinsip
penumbuhan rasa percaya diri dalam
praktek pembelajaran antara lain :
a. Menyusun materi ajar secara bertingkat
dari hal yang mudah ke yang lebih
komplek sehingga peserta didik akan
merasakan
keberhasilan/kesuksesan
sejak awal.
b. Menyusun materi ajar dalam bagianbagian yang lebih kecil sehingga
peserta didik dapat menyelesaikannya
tahap demi tahap bukan secara
bersamaan sekaligus.
c. Menyampaikan tujuan pembelajaran
serta kriteria yang jelas menyangkut
keberhasilan dalam evaluasi sehingga
peserta didik dapat mempersiapkan diri
sejak dini.
d. Menunjukkan bahwa peserta didik
memiliki sejumlah pengetahuan atau
kemampuan / ketrampilan yang
merupakan
bekal
awal
untuk
penguasaan
materi
yang
akan
dipelajari.
217
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
e.
Menyampaikan umpan balik tentang
keberhasilan-keberhasilan
maupun
kekurangan-kekurangan yang ada.
Belajar Mandiri adalah kegiatan
belajar aktif, yang didorong oleh niat atau
motif untuk menguasai sesuatu kompetensi
guna mengatasi sesuatu masalah, dan
dibangun dengan bekal pengetahuan atau
kompetensi yang dimiliki. Orang yang
sedang menjalankan kegiatan belajar
mandiri lebih ditandai, dan ditentukan oleh
motif yang mendorongnya belajar. Bukan
kenampakan fisik kegiatan belajarnya.
Belajar Mandiri sebagai konsep memiliki 4
komponen utama yaitu :
a. Konstruktivisme
Merupakan paradigma yang meyakini
bahwa
pembelajaran
adalah
penambahan pengetahuan baru hasil
KOMPETE
NSI
BELAJAR AKTIF
MOTIVASI
BELAJAR
4. Satisfaction (Kepuasan)
Apabila seorang peserta didik
merasa
berhasil
mencapai
tujuan
pembelajaran dalam bentuk mampu
menunjukkan unjuk kerja yang sesuai
dengan tujuan tersebut, dia akan merasa
mendapat kepuasan diri. Dalam teori
belajar, hal ini disebut dengan penguatan
(reinforcement). Penguatan akan muncul
bila peserta didik mendapat informasi
mengenai keberhasila yang dicapainya.
Penerapan penumbuhan hal ini dalam
praktek pembelajaran antara lain berupa :
a. Pemberian pujian ataupun umpan balik
yang tidak bersifat negatif, misalnya
ancaman/hukuman/ejekan.
b. Berusaha memberi kesempatan peserta
didik
untuk
menerapkan
pengetahuan/kemampuan/ketrampilan
yang berhasil dikuasai.
c. Memberi kesempatan peserta didik
yang telah berhasil untuk membantu
teman-temannya yang belum berhasil.
d. Menunjukkan
trend
keberhasilan
masing-masing individu peserta didik,
bukan orang lain.
olahan pembelajar sendiri, atas dasar
rangsangan yang berupa informasi dari
sumber belajar.
b. Motivasi Belajar
Merupakan
kekuatan
pendorong
kegiatan belajar secara intensif,
presisten, terarah dan kreatif
c. Belajar Aktif
Merupakan kegiatan belajar yang
ditandai dengan melakukan tindakan,
dan memiliki ciri-ciri efektif, presisten,
terarah dan kreatif.
d. Kompetensi
Merupakan kemampuan melakukan
tindakan secara profesional.
Hubungan 4 komponen tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut :
KONSTRUKTIVISME
C. STRATEGI, MODEL DAN MEDIA
PEMBELAJARAN
Dalam suatu proses belajar sangat
perlu mengajarkan kepada siswa bagaimana
belajar. Menurut Weinsten dan Meyer
seperti yang dikutip oleh (Nur, 2000: 6)
mengatakan bahwa ‖Merupakan hal yang
aneh apabila kita mengharapkan siswa
belajar namun jarang mengajarkan mereka
tentang belajar‖. Pengajaran strategi
berlandaskan pada keberhasilan siswa,
sebagian besar tergantung pada kemahiran
untuk belajar secara mandiri dan memonitor
belajar mereka sendiri. Siswa harus belajar
tentang berbagai macam strategi yang ada
218
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dan bagaimana menggunakan strategi –
strategi itu dengan benar.
Strategi belajar merupakan suatu
proses yang mengacu pada perilaku dan
proses berfikir yang digunakan oleh siswa
dan mempengaruhi apa yang dipelajari,
termasuk proses memori dan metakognitif
(Nur, 2000:6). Tujuan utama pengajaran
strategi adalah mengajarkan siswa untuk
belajar atas kemauan dan kemampuan diri
sendiri agar menjadi pebelajar mandiri.
Masih menurut Nur pebelajar mandiri
mengacu pada empat hal, (1) secara cermat
mendiagnosa suatu situasi pembelajaran
tertentu, (2) memilih suatu strategi belajar
tertentu untuk menyelesaikan masalah
belajar tertentu yang dihadapi, (3)
memonitor keefektifan strategi tertentu, (4)
cukup termotivasi untuk terlibat dalam
situasi belajar tersebut sampai masalah
terselesaikan.
Beberapa macam strategi belajar
yang dapat diterapkan dalam proses belajar
mengajar antara lain:
1. Strategi
mengulang
(Rehearsal
Strategis)
Strategi ini membantu memindah
informasi dari memori jangka pendek ke
memori jangka panjang, namun tidak
membantu membuat bermakna informasi
baru tersebut. Penyerapan informasi yang
lebih kompleks
memerlukan strategi
pengulangan yang lebih kompleks juga.
2. Strategi elaborasi
Proses penambahan rincian sehingga
informasi baru akan lebih bermakna maka
perlu membuat pengkodean lebih mudah
dan memberikan kepastian. Strategi
elaborasi membantu pemindahan informasi
baru dari jangka pendek ke memori jangka
panjang dengan menciptakan gabungan dan
hubungan antara informasi baru dengan
yang telah diketahui. Adapun strategi ini
mencakup : Note Taking, Analogi, Metode
PQ4R.
3. Strategi organisasi
Strategi organisasi dapat terdiri dari
pengelompokan ulang ide–ide atau istilah–
istilah menjadi sub–sub yang lebih kecil,
sehingga
dapat
membantu
siswa
mengidentifikasi ide-ide dan topik–topik
kunci. Strategi ini mencakup: Pembuatan
kerangka (Outlining), Pemetaan (Mapping),
Mnemonik.
4. Strategi metakognitif
Metakognitif adalah pengetahuan
seseorang tentang pembelajaran diri sendiri
atau ‖berfikir tentang berfikir‖ dan
kemampuannya
untuk
menggunakan
strategi–strategi belajar tertentu dengan
benar.
Sedangkan model pembelajaran
merupakan pola yang menggambarkan
urutan alur tahap-tahap kegiatan (sintaks)
keseluruhan yang umumnya disertai dengan
rangkaian kegiatan pembelajaran yang
dilakukan guru dan siswa. Adapun macammacam model pembelajaran adalah sebagai
berikut :
1. Pembelajaran kolaboratif
Pembelajaran kolaboratif dapat
diartikan bahwa peserta didik melakukan
kerjasama dalam pasangan atau kelompok
kecil untuk saling berbagi peran dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Peserta
didik lebih mementingkan belajar melalui
kelompok kerja dibandingkan belajar
sendiri-sendiri. Jadi pembelajaran ini
menuntut keterlibatan aktif peserta didik
sekaligus
dapat
mengembangkan
kemampuan bekerjasama atau kemampuan
untuk bekerja dalam tim. Beberapa bentuk
pembelajaran kolaboratif menurut Slavin
adalah :
a. Student Team Achievement Divisions
(STAD)
STAD merupakan bentuk pembelajaran
kolaboratif yang paling sederhana.
STAD terdiri dari lima komponen utama
yaitu presentasi kelas yang dilakukan
oleh guru, pembentukan kelompok,
219
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
penyelenggaraan kuis, meningkatkan
skor
kemajuan
individual,
dan
pengakuan atas tim.
b. Team Game Tournament (TGT)
Hampir sama dengan STAD, bedanya
TGT menggunakan turnamen akademik
sebagai ganti dari kuis dan perbaikan
skor individual. Oleh karena itu urutan
langkahnya adalah presentasi kelas oleh
guru,
pembentukan
kelompok,
melakukan game, turnamen, dan
pengakuan tim.
c. Jigsaw
Dalam model Jigsaw peserta didik
dikelompokkan dengan anggota lima
atau enam orang dan bersifat heterogen.
Bahan ajar berupa teks dengan topik
tertentu disiapkan sebagai bahan untuk
dikaji oleh kelompok. Tiap anggota
kelompok di beri tanggungjawab untuk
menguasai dengan sub topik yang sama.
Tiap anggota kelompok dengan sub topik
yang sama masuk di kelompok baru yang
disebut
kelompok
ahli.
Setelah
berdiskusi di kelompok ahli kemudian
kembali ke kelompok asal untuk menjadi
tutor sebaya
d. Group Investigation (GI)
Model pembelajaran ini mensyaratkan
dimilikinya kemampuan komunikasi
yang baik dan ketrampilan kerjasama
yang baik pula diantara peserta didik.
Kelompok di bentuk berdasarkan atas
kesamaan minat terhadap topik atau sub
topik tertentu namun bersifat heterogen
dari sudut kemampuan akademik
maupun latar belakang sosial budaya.
Masing-masing kelompok didorong
untuk melakukan investigasi yang
mendalam atas topik atau sub topik yang
telah
dipilihnya,
kemudian
mempersiapkannya
untuk
dipresentasikan
di kelas. Adapun
langkah-langkahnya adalah : pemilihan
topik, perencanaan secara kooperatif,
implementasi, analisis dan sintesis,
presentasi produk akhir,dan evaluasi.
2. Pembelajaran langsung
Salah satu tujuan pembelajaran yang
penting dari setiap mata pelajaran di sekolah
adalah
memperoleh
informasi
dan
ketrampilan–ketrampilan dasar. Sebelum
siswa
mempelajari
informasi
dan
keterampilan lanjut, mereka harus terlebih
dahulu
menguasai
informasi
dan
keterampilan dasar. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka guru dapat menggunakan
model pembelajaran langsung .
Pembelajaran langsung merupakan
suatu pendekatan pengajaran yang cocok
apabila guru menginginkan siswa-siswa
belajar pengetahuan deklaratif atau
pengetahuan tertentu (menggaris bawahi,
membuat rangkuman, dan sebagainya).
Model pembelajaran langsung dirancang
secara khusus untuk mengembangkan
belajar
siswa
tentang
pengetahuan
prosedural dan pengetahuan deklaratif yang
terstruktur dengan baik dan dipelajari
selangkah demi selangkah. (Kardi, 1999: 2).
Pembelajaran langsung adalah suatu
model pembelajaran yang berpusat pada
guru yang disajikan dalam 5 tahap yaitu :
(1) penyampaian tujuan pembelajaran; (2)
mendemonstrasikan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan;
(3)
pemberian
latihan
terbimbing; (4) mengecek pemahaman dan
pemberian umpan balik; (5) pemberian
kesempatan untuk latihan lanjutan dan
penerapan.
Menurut Nur (2000), model
pembelajaran langsung memiliki ciri–ciri
sebagai berikut: 1) Adanya tujuan
pembelajaran dan pengaruh model pada
siswa termasuk prosedur penilaian hasil
belajar siswa, 2) Sintaks atau pola
keseluruhan
dan
alur
kegiatan
pembelajaran, dan 3) Sistem pengelolaan
dan lingkungan belajar yang diperlukan
agar
kegiatan
pembelajaran
dapat
berlangsung dengan berhasil.
220
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
3. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran
kontekstual
merupakan sebuah proses pembelajaran
yang berusaha mengaitkan pengalaman
yang akan di peroleh peserta didik dengan
situasi
nyata
yang dihadapi
atau
pengalaman yang dimiliki oleh peserta
didik. Dengan upaya tersebut diharapkan
peserta didik dapat dengan mudah
menghubungkan ilmu pengetahuan dan
tehnologi yang berhasil dikuasai dengan
proses aplikasinya dalam kehidupan dunia
nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran
akan memudahkan peserta didik dalam
mengaplikasikan hasil belajar mereka
apabila proses pembelajaran dikaitkan
dengan konteks pengalaman atau kondisi
sekitar saat peserta didik memperoleh
pengalaman belajar tentang sebuah
kompetensi atau hal tertentu.
4. Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran ini sangat
membantu memfasilitasi proses belajar
peserta didik karena masalah-masalah yang
dihadapi di dunia nyata tidak semuanya
dapat dijelaskan secara terkotak-kotak ke
dalam bidang studi atau mata pelajaran
melainkan terdapat saling kaitan antar
bidang studi atau mata pelajaran. Banyak
diantara masalah-masalah tersebut justru
memerlukan pengkajian dari berbagai sudut
pandang dengan menggunakan konsepkonsep atau prinsip-prinsip yang berasal
dari berbagai bidang studi atau mata
pelajaran. Ada tiga model pembelajaran
terpadu yaitu :
a. Model connected
Model ini merupakan model yang
paling
sederhana
untuk
model
pembelajaran terpadu karena tidak
memerlukan persyaratan-persyaratan
khusus. Peserta didik diarahkan untuk
dapat mencari keterkaitan antar
beberapa konsep atau prinsip dalam
sebuah disiplin ilmu untuk memperjelas
suatu fenomena tertentu. Hal ini
merupakan upaya untuk memberikan
pengalaman belajar kepada peserta
didik tentang bagaimana menggunakan
model ini, pembelajaran menyangkut
konsep-konsep tersebut dilakukan
secara terpisah. Model ini dapat
digunakan
anatara
lain
dalam
menyoroti fenomena sosial dengan
memadukan
penggunaan
konsepkonsep dalam disiplin ilmu sosial.
b. Pembelajaran tematik
Merupakan sebuah model pembelajaran
yang dalam memfasilitasi terjadinya
proses belajar dengan menggabungkan
berbagai domein belajar dengan tujuan
untuk dapat menyatukannya dalam
sebuah tema. Tujuan pembelajaran,
aktivitas belajar, sumber-sumber yang
digunakan, serta penilaiannya dikaitkan
langsung dengan satu kesatuan tema.
c. Pembelajaran berbasis masalah
Pada pembelajaran berbasis masalah
pembelajaran
diusahakan
untuk
memadukan penggunaan berbagai
bidang studi atau disiplin ilmu dalam
memecahkan suatu masalah. Masalah
yang akan dipecahkan dapat berupa
masalah yang sedang berlangsung atau
secara nyata ada di sekitar kita atau
dapat pula berupa masalah yang
bersifat hipotetik yang dirancang untuk
keperluan pembelajaran
Disamping model dan strategi
belajar diatas, dalam proses belajar
mengajar
juga
diperlukan
media
pembelajaran
dalam
proses
belajar
mengajar. Kata media berasal dari bahasa
latin, yang merupakan jamak dari kata
medium, yang berarti sesuatu yang terletak
ditengah (antara dua pihak). Media juga
dapat diartikan sebagai perantara atau
penghubung antara dua pihak, yaitu sumber
pesan dengan penerima pesan. Media
pembelajaran
adalah
sesuatu
yang
mengantarkan pesan pembelajaran antara
pemberi pesan kepada penerima pesan.
Orang, bahan, alat atau peristiwa yang
221
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menciptakan kondisi yang memungkinkan
pebelajar
menerima
pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap merupakan media
pembelajaran. Setiap media merupakan
sarana untuk menuju kesuatu tujuan.
Didalamnya terkandung informasi yang
dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Informasi ini mungkin didapatkan dari
buku-buku, rekaman, internet, film,
mikrofilm, dsb. Semua itu adalah media
pembelajaran karena memuat informasi
yang dapat dikomunikasikan kepada pelajar.
Konsep
media
pembelajaran
memiliki dua segi yang satu dengan lainnya
saling menunjang yaitu perangkat keras
(hardware) dan perangkat lunak (software).
Macam-macam media pembelajaran antara
lain :
a. Alat Peraga
Peraga berasal dari kata raga yang
berarti jasad atau bentuk. Bila diingat
sejenak masa nenek moyang, manusia
ini sangat primitif, cara mengajarkan
sesuatu dengan melalui pengalaman
langsung. Dengan berkembangnya
jaman yang tidak memungkinkan lagi
semua pembelajaran dengan melalui
pengalaman
langsung
maka
berkembanglan bahan-bahan ajar yang
berwujud cetakan, sehingga muncul
pembelajaran verbalisme yaitu tahu
kata-katanya tetapi tidak paham artinya.
Kemudian munculpemikiran bahwa
segala
sesuatu
yang
diajarkan
sebaiknya
ditunjukkan
realitanya
sehingga mudah dip[ahami oleh siswa
salah satunya melalui gambar. Karena
dengan gambar dimungkinkan terjadi
kesalah pahaman pada siswa maka
muncul alat peraga yang digunakan
untuk menunjukkan wujud atau bentuk
sesuatu yang diajarkan. Dengan alat
peraga
dimaksudkan
untuk
memperjelas pelajaran yang disajikan.
Alat peraga dalam pembelajaran
merupakan suatu alat yang digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang riil
sehingga
memperjelas
pengertian
pebelajaran.
b. Alat Pelajaran
Dalam melaksanakan kegiatan belajar
sehari-hari,
guru
dan
pebelajar
membutuhkan alat-alat pelajaran. Alat
pelajaran adalah alat-alat yang dipakai
untuk kegiatan sehari-harui dikelas
yaitu karet hapus, pensil, bolpen,
penggaris, buku, papan tulis, dll. Alatalat ini sehari-hari selalu tersedia di
dalam kelas, karena digunakan baik
oleh guru maupun pebelajar.
c. Audio-Visual Aids
Audio berarti pendengaran, visual
berarti penglihatan dan aids adalah
bantuan. Jadi audio visual aids diartikan
sebagai sesuatu yang membantu
pendengaran dan penglihatan. Banyak
sekali macamnya, misal radio, tape
recorder, fil, slide, televisi yang
diharapkan
dapat
membantu
penglihatan dan pendengaranpebelajar
sehingga
pembelajaran
dapat
dimengerti dengan jelas dan menarik
D. PENDIDIKAN BERKARAKTER
Pendidikan karakter adalah proses
yang disengaja di dalam masyarakat dan
sekolah kita untuk memungkinkan anakanak itu dapat memahami, memperhatikan
dan bertindak sesuai dengan etis dan nilai–
nilai
kewarganegaraan.
Keefektifan
pendidikan
karakter
adalah
sebuah
pendekatan menyeluruh yang mendukung
semua aspek pendidikan yang diterima.
Pendidik
menggabungkan
pendidikan
karakter kedalam kurikulum akademik
dengan diskusi dan refleksi tentang isu-isu
etis. Mereka mengembangkan karakter
dalam cara lain yang tak terhitung, contoh
dengan sengaja mengembangkan peduli
lingkungan dimana siswa memiliki rasa
milik dan keterhubungan ke sekolah.
Peluang lainnya bahwa pendidik digunakan
untuk pengembangan karakter termasuk
kegiatan ekstra kurikuler (seperti olahraga),
222
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tata kelola manajemen sekolah dan kelas,
dan pembelajaran. Orang tua, organisasi,
masyarakat dan bisnis lokal merupakan
mitra penting yang memperkuat dan
mendukung sekolah dalam pendidikan
karakter. Penjelasan lebih lanjut tentang
pendidikan karakter, dapat lihat sebelas
CEP (Character Education Partnership)
prinsip pendidikan karakter yang efektif,
yang secara singkat dijelaskan di bawah ini:
1. Pendidikan Karakter mempromosikan
inti nilai-nilai etika sebagai dasar
karakter yang baik.
2. Karakter
komprehensif
harus
didefinisikan
untuk
mencakup
pemikiran, perasaan, dan perilaku.
3. Karakter pendidikan yang efektif
memerlukan
pendekatan
yang
disengaja, proaktif dan komprehensif
yang mempromosikan nilai-nilai dalam
semua fase kehidupan sekolah.
4. Sekolah harus menjadi komunitas yang
peduli.
5. Untuk mengembangkan karakter, siswa
membutuhkan
kesempatan
untuk
tindakan moral.
6. Pendidikan karakter yang efektif
termasuk kurikulum akademik yang
bermakna dan menantang yang
menghargai
semua
pelajar
dan
membantu mereka berhasil.
7. Karakter pendidikan harus berusaha
untuk
mengembangkan
motivasi
intrinsik siswa.
8. Staf
sekolah
harus
menjadi
pembelajaran dan komunitas moral di
mana semua berbagi tanggung jawab
untuk pendidikan karakter dan berusaha
untuk mematuhi nilai-nilai inti yang
sama yang membimbing pendidikan
siswa.
9. Karakter
pendidikan
memerlukan
kepemimpinan moral dari staf dan
siswa.
10. Sekolah, orangtua harus merekrut dan
anggota masyarakat sebagai mitra
penuh dalam upaya membangun
karakter.
11. Evaluasi pendidikan karakter harus
menilai karakter sekolah, fungsi staf
sekolah sebagai pendidik karakter, dan
sejauh mana siswa menunjukkan
karakter yang baik.
Josephson Institut mengembangkan
pendekatan pendidikan karakter yang
disebut The Character Cuunts : The Six
Pillar of Character. Pendekatan pendidikan
karakter ini tidak menyisihkan siapapun.
Oleh
karena
itu,
pendekatan
ini
mendasarkan program dan bahan ajarnya
pada enam nilai etika yang dapat diterima
siapapun juga, yaitu nilai–nilai yang tidak
berbasis pada politik, budaya, dan agama.
Keenam pilar tersebut seperti berikut ini :
1. Trustworthiness ( Dapat dipercaya) :
jujur, tidak bermain curang, tidak
mencontek, tidak menipu dll.
2. Respect (Rasa hormat) : toleransi
terhadap perbedaan, bahasa yang
santun, tatakrama, tenggang rasa dll.
3. Responsibility (Tanggung jawab) :
melakukan apa yang seharusnya
dilakukan, terus mencoba, selalu
melakukan yang terbaik, berfikir
sebelum bertindak dll.
4. Fairness (Kejujuran) : bermain sesuai
aturan, bergiliran dan berbagi, tidak
mengambil keuntungan dari orang lain
dll.
5. Caring (Peduli) : baik hati, merasa iba
dan simpati, kepedulian, memaafkan
orang lain, menolong orang yang
membutuhkan bantuan.
6. Citizenship
(Kewarganegaraan)
:
bekerjasama, terlibat dalam kegiatan
masyarakat, tunjukkan kebersamaan
untuk membuat sekolah dan masyarakat
anda lebih baik, mematuhi hukum dan
aturan dll.
223
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
E. PARADIGMA STRATEGI, MODEL
DAN MEDIA PEMBELAJARAN
YANG DAPAT MENUMBUHKAN
MOTIVASI BELAJAR MANDIRI
SISWA
Membangun
motivasi
belajar
mandiri siswa dapat dilakukan dengan
pemilihan strategi belajar yang tepat pada
siswa, pemilihan model pembelajaran yang
digunakan
oleh
guru
dan
media
pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran. Dalam rangka menumbuhkan
motivasi belajar mandiri ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pemahaman tujuan belajar siswa.
Cara yang efektif bagi siswa dalam
memahami tujuan belajar adalah dengan
menggunakan strategi belajar. Strategi
belajar yang cocok digunakan dalam
memahami tujuan belajar yaitu strategi
elaborasi dan strategi organisasi. Strategi
elaborasi mencakup Note Taking, Analogi,
Metode
PQ4R,
sedangkan
strategi
organisasi mencakup Pembuatan kerangka
(Outlining),
Pemetaan
(Mapping),
Mnemonik.
2. Pemahaman materi yang dipelajari siswa
Dalam pemahaman terhadap materi
pembelajaran
tidak
terlepas
pada
penyampaian materi pembelajaran oleh
guru. Seorang guru harus menggunakan
metode pembelajaran yang menuntut siswa
berperan aktif disertai penggunaan media
pembelajaran untuk membuat siswa
memperoleh pengalaman langsung dengan
apa yang mereka lihat dengan alat peraga
maupun audio visual yang digunakan guru
dalam
menyampaikan
pembelajaran.
Diantara metode pembelajaran yang
direkomendasikan
adalah
metode
pembelajaran kolaboratif dan metode
pembelajaran terpadu. Metode pembelajaran
kolaboratif mencakup
Student Teams
Achievement Division (STAD), Team
Game Tournament (TGT), Jigsaw, dan
Group Investigation (GI) sedangkan metode
pembelajaran terpadu mencakup connected,
tematik, dan pembelajaran berbasis
masalah.
3. Manfaat yang di peroleh dari materi yang
telah dipelajari siswa
Hal ini merupakan tujuan akhir
dalam Belajar Mandiri dimana siswa bisa
mengambil
manfaat
dari
materi
pembelajaran yang sedang dipelajari bahkan
dipraktekkan
dalam
pemecahan
permasalahan yang terjadi pada siswa dalam
kehidupan sehari-hari. Tentunya hasil
belajar mandiri ini akan meningkatkan
motivasi belajar siswa dan juga akan
memotivasi teman-teman yang lain.
Sehingga tujuan belajar mandiri dapat
tercapai.
Kefektifan penggunaan strategi,
model dan media pembelajaran dalam
rangka menumbuhkan motivasi belajar
siswa tidak terlepas dari beberapa hal
berikut :
1. Perhatian
Untuk menarik perhatian siswa guru
bisa menggunakan media pembelajaran alat
peraga ataupun audio vidual aids.
2. Relevansi
Pengorganisasian bahan ajar yang
baik dan selalu dikaitkan dengan
pembelajaran sebelumnya. Guru juga dapat
membantu siswa untuk menemukan tujuan
belajar yang jelas.
3. Percaya Diri
Meningkatkan percaya diri siswa
dapat dilakukan dengan cara memberikan
pujian dari guru, dukungan dari orang
sekitar siswa. Menumbuhkan motivasi
internal siswa juga akan lebih menngkatkan
rasa percaya diri siswa
4. Kepuasan
Penilaian hasil
belajar
yang
dilakukan secara adil dan jujur oleh guru
bisa memumnculkan kepuasan siswa,
sehingga termotivasi lebih untuk melakukan
belajar mandiri. Mewujudkan iklim
kompetisi yang sehat dikalangan siswa
dapat meningkatkan kepuasaan bagi siswa
224
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yang berhasil memenangkan kompetisi dan
yang lain juga akan termotivasi untuk
berusaha agar bisa seperti kawan yang telah
berhasil.
F. IMPLEMENTASI BELAJAR
MANDIRI SISWA GUNA
MEMBANGUN PENDIDIKAN
BERKARAKTER
Dalam membangun pendidikan
berkarakter, di tinjau dari implementasi
belajar mandiri dibutuhkan campur tangan
banyak pihak. Hal ini bertujuan untuk
menumbuhkan watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk berpikir,
cara pandang, bersikap dan bertindak.
Beberapa karakter yang hendak diwujudkan
dalam pendidikan berkaraker diantaranya
adalah nilai, moral, dan norma (seperti
religius, jujur, berani bertindak atas dasar
kebenaran, dapat dipercaya, disiplin, kerja
keras, mandiri, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, cinta damai, peduli lingkungan
dan sosial, tanggungjawab).
Tercapainya tujuan tersebut tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan.
Akan ada banyak pihak yang terlibat dan
berperan aktif dalam implementasi belajar
mandiri ini yaitu guru, siswa, lingkungan
disekitar siswa dan Dinas Pendidikan
setempat. Berikut adalah beberapa uraian
peran guru siswa, lingkungan disekitar
siswa serta dinas pendidikan yang dapat
diterapkan guna membangun pendidikan
berkarakter;
Peran guru dalam implementasi
belajar mandiri antara lain :
1. Guru mempunyai kompetensi yang
mumpuni dalam bidang studi yang
diampunya,
sehingga
dalam
penyampaian materi pembelajaran bisa
dengan mudah dipahami oleh siswa.
Jika siswa mampu memahami materi
pembelajaran akan memperoleh hasil
belajar yang maksimal. Jika siswa
memperoleh hasil yang maksimal maka
akan menumbuhkan motivasi belajar
mandiri.
2. Guru menguasai berbagai metode
pembelajaran,
sehingga
dalam
penyampaiannya bisa dilakukan secara
kondisional (sesuai dengan kondisi
yang terjadi). Hal ini diharapkan agar
siswa tidak merasa bosan dengan
proses
belajar
mengajar
yang
dilakukan.
Dengan
metode
pembelajaran yang lebih melibatkan
peran aktif siswa maka siswa akan lebih
mengerti karena siswa mengalami
langsung proses pembelajaran tersebut.
3. Guru memberikan stimulus pada siswa
agar termotivasi melakukan belajar
mandiri dengan menggunakan media
pembelajaran berupa alat peraga
maupun audio visual. Dengan adanya
media pembelajaran tersebut siswa
semakin bersemangat dalam belajar.
4. Guru menumbuhkan niat dan semangat
belajar siswa dengan cara memberikan
teladan dan contoh secara langsung
baik dengan sikap ataupun prestasi
yang pernah diperoleh oleh siswa lain.
Keberhasilan yang pernah diraih orang
lain, dapat menumbuhkan niat dan
semangat bahwa sebenarnya mereka
juga mampu melakukan hal serupa.
5. Guru memberikan nilai secara objektif,
jujur dan adil. Terkadang guru
seringkali ―ngaji (ngarang biji)‖ atau
memberikan nilai yang tidak sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki
siswa. Dengan kesungguhan guru
dalam melakukan penilaian membuat
siswa lebih termotivasi dalam belajar
mandiri, karena usaha mereka dinilai
dengan baik dan relevan dengan
keadaan sebenarnya.
Peran siswa dalam implementasi
belajar mandiri, antara lain :
1. Menumbuhkan niat dari dalam siswa
sendiri untuk senantiasa memotivasi
diri (self motivation) untuk senantiasa
melakukan belajar mandiri dalam
225
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
meningkatkan kompetensi mereka baik
dilakukan secara individu maupun
berkelompok.
2. Melakukan
belajar
aktif
tanpa
menunggu guru menjelaskan materi
tersebut. Rasa ingin tahu yang
mendalam terhadap sebuah materi
mendorong siswa untuk senantiasa
melakukan belajar aktif di lingkungan
sekolah maupun lingkungan luar
sekolah.
3. Senang belajar, semua berawal dari rasa
senang. Jika sudah merasa senang
apapun akan terasa mudah dan
menyenangkan, demikian juga halnya
dengan belajar. Dengan mewujudkan
rasa senang belajar akan mewujudkan
belajar secara mandiri.
4. Mengupayakan hasil belajar yang
optimal.
Peran orang-orang di sekitar siswa
dalam implementasi belajar mandiri antara
lain :
1. Menciptakan suasana yang kondusif
supaya siswa terkondisi untuk belajar
mandiri. Dengan suasana yang kondusif
di lingkungan keluarga, orang tua yang
harmonis, lingkungan sekitar yang
mendukung akan memudahkan siswa
untuk belajar mandiri.
2. Melatih sedini mungkin untuk senang
belajar. Sejak dalam kandungan orang
tua
sudah
membiasakan
untuk
senantiasa belajar, membaca buku
maka tidak mustahil siswa akan tumbuh
menjadi pribadi yang gemar belajar.
3. Memberi dukungan atas pencapaian
hasil belajar siswa. Pengakuan ini
penting sekali dalam meningkatkan
motivasi belajar mandiri siswa. Melalui
foto-foto momen keberhasilan dalam
pencapaian
sesuatu
juga
akan
meningkatkan motivasi siswa.
Peran dinas pendidikan setempat
dalam menumbuhkan belajar mandiri siswa
antara lain :
1. Memperbaiki sarana dan prasana
belajar di sekolah. Dengan sarana dan
prasarana
yang
memadai
akan
memudahkan siswa untuk belajar
mandiri di lingkungan sekolah. Adanya
laboratorium, perpustakaan, bengkel
kerja untuk siswa akan menambahkan
motivasi belajar siswa secar mandiri.
2. Mengadakan
program-program
beasiswa untuk siswa yang kurang
mampu sehingga tidak ada siswa yang
putus sekolah dikarenakan tidak adanya
biaya. Sehingga anak-anak yang kurang
mampu-pun mempunyai kesempatan
untuk belajar mandiri di lingkungan
sekolah.
3. Mengadakan berbagai kompetisi dalam
bidang pengetahuan, teknologi, olah
raga dan seni untuk menumbuhkan sifat
kompetitif siswa. Dengan adanya
pengakuan atas keberhasilan siswa
dalam memenangkan kompetisi tertentu
akan meningkatkan rasa percaya diri
siswa yang. Hal ini tentu akan
menambah motivasi siswa untuk
melakukan belajar mandiri dengan
lebih giat.
Dengan
upaya-upaya
diatas,
dimaksudkan agar siswa termotivasi untuk
belajar mandiri sehingga tujuan pendidikan
nasinal
tercapai
dan
pembangunan
pendidikan berkarakter bisa dioptimalkan.
G. PENUTUP
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No.20 tahun 2003 menggariskan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkaan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam
rangka mewujudkan watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang diyakini
226
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Beberapa karakter yang hendak diwujudkan
dalam pendidikan berkaraker diantaranya
nilai, moral, dan norma, seperti religius,
jujur, berani bertindak atas dasar kebenaran,
dapat dipercaya, disiplin, kerja keras,
mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, cinta damai, peduli lingkungan dan
sosial, tanggungjawab. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan implementasi strategi,
model dan media pembelajaran untuk
menumbuhkan motivasi belajar mandiri
siswa guna membangun pendidikan
berkarakter.
DAFTAR RUJUKAN
Haris Mudjiman, 2011. Belajar Mandiri : Pembekalan dan Penerapan. Surakarta : UPT
Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press).
Kunandar. Guru Profesional. 2007. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kardi, Soeparman dan Nur Mohamad. 1999. Pengantar pada Pengajaran dan Pengelolaan
Kelas. Surabaya. UNESA.
Sri Anitah, 2011. Media Pembelajaran. Surakarta : UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS
(UNS Press).
Nur, Mohamad. 2000. Strategi – Strategi Belajar. Surabaya: Unipres.
Nur, Mohamad & Soeparman Kardi. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya:Unipres.
Soetarno Joyoatmojo, 2011. Pembelajaran Efektif : Pembelajaran yang Membelajarkan .
Surakarta : UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press).
227
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
228
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERWAWASAN
LINGKUNGAN HIDUP MELALUI BUDAYA BERSIH DI
SEKOLAH DAN PEMANFAATAN LINGKUNGAN
SEBAGAI SUMBER BELAJAR
Suwarto WA
A. PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan bagi bangsa di
Indonesia
telah
dirumuskan
dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
alinea ke empat ialah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia
dan
untuk
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pembangunan nasional bagi bangsa
Indonesia
juga
berorientasi
pada
pembangunan
dunia,
yaitu
suatu
pembangunan yang berwawasan lingkungan
hidup, yang diselenggarakan di Stokholm
pada tanggal 5 Juni 1972, kemudian
dilanjutkan dengan konferensi lingkungan
hidup pada tanggal 3 Juni 1992 di Rio de
Jeneiro tentang asas pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development)
yang diselenggarakan oleh PBB.
Undang-undang
Republik
IndonesiaNomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat
3 menyebutkan bahwa: Pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup adalah upaya sadar danterencana,
yang mendukung lingkungan hidup,
termasuk sumber daya, ke dalamproses
pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidupgenerasi
masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan
nasional
juga
berdasarkan kebijaksanaan nasional yang
terpadumenyeluruh
dengan
memperhitungkan generasi masa kini dan
generasi masadepan yang wawasan
lingkungan yang tinggi meliputi sadar
terhadap lingkunganyang sehat, bersih, akan
mempertinggi ketahanan fisik dan mental
sumber
dayamanusia
Indonesia.Untuk
mewujudkan
pembangunan
yang
berwawasan
lingkungan(sustainable
development) ini, salah satu faktor
diperlukan pada: ―aspekpenyiapan sumber
daya manusia‖. Salah satu usaha untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia
dan
peningkatan
kualitas
lingkungan yaitu dengan menyiapkan
sumber daya manusia melalui pembangunan
dalam pendidikan.
Manusia pada dasarnya sangat
memerlukan pendidikan untuk menggali
dan
menumbuhkembangkan
segenap
potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Melalui pendidikan, setiap orang akan dapat
mengasah
kemampuan
diri
hingga
diharapkan dapat muncul secara maksimal.
Pendidikan
sesungguhnya
merupakan
sesuatu unsur yang harus menyatu dengan
masing-masing diri manusia, yang akan
dapat memberikan suluh penerang yang
menuntun setiap manusia yang telah
terdidik tersebut menuju arah, tujuan dan
makna yang hendak didapatkan dalam
meniti kehidupannya.
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan
merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi
untuk segenap warga negara sehingga
diharapkan akan dapat berkembang menjadi
manusia yang unggul, berkualitas mampu
229
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bersaing dengan bangsa lain dan mengejar
ketinggalannya.
Sistem pendidikan nasional harus
mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan kualitas, relevansi
serta efesiensi menejemen pendidikan yang
diharapkan dapat membentuk manusia
unggul, berkualitas, untuk menghadapi
tantangan sesuai tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional dan global
sehingga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah dan
berkelanjutan.
Undang-undang Nomor: 20 Tahun
2003 pasal 1 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
menyebutkan:
Pendidikan
merupakan suatu usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif dapat mengembangkan potensi
pada dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat,
bangsa,
dan
negara.
Selanjutnya pasal 3 UU RI No. 20 tahun
2003
tentang
Sistem
Pendidikan
Nasionalmenyebutkan: Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan yang hendak
dicapai pemerintah Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh
karena itu pemerintah telah memberikan
kesempatan yang luas untuk memperoleh
pendidikan bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Sebagai
sebuah
proses,
pendidikan
merupakan usaha dengan metode-metode
tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara
bertingkah laku yang sesuai dengan
kebutuhan.
Akibat adanya pembangunan di
bidang pendidikan, maka ilmu pengetahuan
berkembang.
Perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi di satu sisi
membawa peningkatan kesejahteraan hidup
manusia, akan tetapi di sisi lain juga tidak
dapat dipungkiri bahwa penurunan kualitas
lingkungan hidup antara lain terjadinya
kerusakan
merupakan
dampak
dari
perkembangan tehnologi.
Kerusakan lingkungan terjadi di
mana-mana dan membawa korban nyawa
dan harta benda yang tak terhitung nilainya.
Isu
lingkungan
hidup
semakin
menggelinding
dan
menjadi
topik
pembicaraan di berbagai kalangan karena
penurunan kualitas lingkungan tidak
seimbang dengan upaya perbaikan dan
pelestariannya. Oleh karena itu bangsa
Indonesia perlu memiliki pengetahuan
tentang lingkungan hidup.
Pengetahuan tentang lingkungan
hidup perlu diberikan kepada warga negara
Indonesia termasuk kepada generasi muda
penerus dan pewaris bangsa melalui
pendidikan tentang lingkungan hidup yang
diberikan dalam bentuk mata pelajaran di
semua tingkatan lembaga pendidikan mulai
dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Melalui
pendidikan
formalmerupakan cara yang paling tepat
membangkitkankesadaran dan kecintaan
terhadaplingkungan hidup (LH). Pendidikan
pengetahuanlingkungan hidup berperan
untuk memastikankeadaan lingkungan
hidup dapat dijaga dan tidak mengalami
kerusakan
lagi
sepenuhnya
untuk
terlaksananya pembangunan berkelanjutan
yaitu upaya sadar dan terencana, yang
memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumber
daya,
ke
dalam
proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan.
Sistem pendidikan di Indonesia
khususnya pada tahap pendidikan dasar (SD
dan SMP), dan tahap pendidikan menengah
230
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
atas (SMA/SMK) sampai saat ini belum ada
matapelajaran tentang lingkungan hidup
secara khusus. Dalam merespon tantangan
yang ada, maka salah satu upaya yang perlu
dilakukan adalah pengembangan pendidikan
berwawasan lingkungan hidup melalui
budaya bersih di sekolah dan pemanfaatan
lingkungan sebagai sumber belajar.
Makalah ini akan membahas apa
yang dimaksud dengan pengembangan
pendidikan berwawasan lingkungan hidup?
Bagaimana menciptakan budaya bersih di
lingkungan sekolah? Dan bagaimana
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber
belajar?
B. PEMBAHASAN
1. Pengembangan Pendidikan
Berwawasan Lingkungan Hidup
a. Pengertian lingkungan hidup
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat (1)
menyebutkan: Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya
keadaan dan makhluk hidup, termasuk
manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
Menurut
Beroya
(2000:
16)
Lingkungan didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang melengkapi sebuah organisme,
yakni kondisi-kondisi yang mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhannya.
Menurut Sudharto P Hadi, ( 2000: 2)
lingkungan hidup adalah sistem yang
merupakan kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dengan
perilakunya mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan lainnya Ungkapan di atas
mengandung arti bahwa lingkungan hidup
terdiri atas benda-benda mati, makhlukmakhluk hidup (manusia, hewan, dan
tumbuhan), serta interaksi di antara
komponen-komponen
tersebut
yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan.
Lingkungan hidup, sering disebut
sebagai lingkungan, adalah istilah yang
dapat mencakup segala makhluk hidup dan
tak hidup di alam yang ada di bumi atau
bagian dari bumi, yang berfungsi secara
alami tanpa campur tangan manusia yang
berlebihan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan_hi
dup). Sastrawijaya (2000: 6) mengatakan:
―Lingkungan hidup ialah semua benda yang
hidup dan tidak hidup serta kondisi yang
ada dalam ruang yang kita tempati‖.
Lingkungan hidupadalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan
perikehidupan
dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain (http://www.dephut.go.id/.)
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
maka yang dimaksud dengan lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
makhluk baik yang hidup maupun tidak
hidup serta kondisi-kondisi yang ada di
dalamnya baik daya, keadaan, dan perilaku
makhluk hidup dalam mempengaruhi
kelangsungan hidupnya.
b. Pengembangan Pendidikan Berwawasan
Lingkungan
Agar manusia mampu berbuat
maksimal dalam memanfaatkan lingkungan
dan
berupaya
mencegah
kerusakan
lingkungan, maka pembangunan yang
dilakukan tentunya harus berwawasan
lingkungan. Pembangunan berwawasan
lingkungan
adalah
suatu
strategi
pemanfaatan ekosistem alamiah serta
segenap sumber daya yang ada di dalamnya
sedemikian rupa sehingga kapasitas
fungsionalnya untuk memberikan manfaat
bagi kehidupan manusia tidak terancam atau
rusak (Sastrawijaya: 2000). Menurut
pendapat ini, berarti bahwa dalam
memanfaatkan ekosistem untuk kehidupan
manusia, semua yang dilakukan harus
231
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
memperhatikan lingkungan sedemikian rupa
hingga tidak menimbulkan kerusakan.
Salim, (1993) mengatakan bahwa:
pembangunan berwawasan lingku ngan
adalah pemahaman tentang kebijaksanaan,
strategi dan sistem penge lolaan lingkungan
hidup untuk peningkatan keseimbangan
alam lingkungan dalam mengolah sumber
alam dengan secara bijaksana agar
tertopang proses pembangunan yang
berkesinambungan
bagi
peningkatan
kualitas hidup rakyat generasi demi generasi
sepanjang masa dengan memperhatikan tiga
hal yaitu: (1)pengelolaan sumber alam
secara
bijaksana,
(2)
pembangunan
berkesinam bungan sepanjang masa, dan (3)
peningkatan kualitas hidup generasi demi
generasi.
Uraian tersebut mengindikasikan
bahwa
pembangunan
berwawasan
lingkungan merupakan suatu strategi yang
memanfaatkan ekosistem alamiah serta
sumber yang ada di dalamnya secara
bijaksana guna peningkatan kualitas hidup
dengan tidak merusak lingkungan. Faktorfaktor yang mempengaruhi sumber alam
antara lain: jumlah, kualitas, dan lokasi
penduduk, teknologi yang dipakai; sifat
sumber alam, apakah bisa diperbaharui atau
tidak, dan pola hidup yang mengkonsumsi
sumber alam.
Pembangunan sumber daya alam
berkaitan dengan tujuan dan ruang lingkup
pembangunan yang berwawasan lingkungan
dan mengarah pada menciptakan kualitas
warga negara yang baik, yakni yang
memiliki kualitas hidup (Meadows: 1972)
Dalam
kaitannya
dengan
pembangunan yang berwawasan lingkungan
inilah peranan pendidikan menjadi sangat
penting. Melalui pengembangan pendidikan
berwawasan lingkungan diharapkan mampu
meramalkan, merekayasa dan mendorong
sikap dan menciptakan perilaku manusia
dalam
kehidupan
sehari-hati
demi
pembangunan yang berwawasan lingkungan
2. Budaya Bersih di Lingkungan
Sekolah
Sekolah memiliki nilai strategis
yang signifikan dalam mengubah masa
depan bangsa dan negara, yaitu dengan
menyiapkan SDM yang baik untuk mengisi
semua lini kehidupan, termasuk pelestarian
lingkungan. Sekolah juga dituntut mampu
menyelenggarakan ESD (education for
sustainable development) pendidikan untuk
pembangunan yang berkelanjutan guna
terwujudnya masa depan yang lebih baik.
Dalam hal ini, sekolah merupakan
komunitas masyarakat yang terdiri dari
peserta didik, guru, kepala sekolah, dan
seluruh staf tata usaha dan karyawan.
Semuanya akan saling berkaitan dan
menjadi medium efektif bagi pembelajaran
dan penyadaran peserta didik terhadap
upaya menghentikan laju kerusakan
lingkungan yang disebabkan tangan
manusia.
Sekolah
tidak
hanya
dapat
menentukan masa depan suatu bangsa dan
negara secara khusus, tetapi sekolah juga
harus memiliki mind set bahwa sekolah
merupakan kawah candradimuka untuk
memproses peradaban dunia termasuk
menyelamatkan masa depan planet bumi ini
secara keseluruhannya.
a. Budaya Sekolah
Deal and Peterson (2004: 4)
mengungkapkan tentang budaya sekolah
sebagai berikut,
“deep patterns of values, beliefs,
and traditions that have formed over
the course of [the school‟s] history.”
Over time, a school leader can, in
conjunction with other staekholders in
the school, change its culture by
discarding old values and beliefs,
estasblising new ones, or modifying
elements that need to be changed.
Artinya susunan terdalam pada nilainilai, keyakinan dan tradisi yang telah
terbentuk dalam rangkaian sejarah
pelajaran sekolah dariwaktu ke waktu.
232
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Seorang kepala sekolah mampu
bekerjasama
dengan
orang-orang
berpengaruh lainnya di sekolah
tersebut, merubah budaya ini dengan
membuang nilai-nilai dan keyakinan
lama membentuk yang baru atau
mengubah unsur-unsur yang perlu
untuk diubah.
Budaya
sekolah
juga
menggambarkan bahwa sekolah sebagai
organisasi
memiliki
budaya
yang
sesungguhnya tumbuh karena diciptakan
dan dikembangkan oleh individu-individu
yang bekerja dalam suatu organisasi
sekolah, dan diterima sebagai nilai-nilai
yang harus dipertahankan dan diturunkan
kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai
tersebut digunakan sebagai pedoman bagi
setiap anggota selama mereka berada dalam
lingkungan organisasi tersebut dan dianggap
sebagai ciri yang membedakan sebuah
organsasi dengan organisasi lainnya.
Budaya sekolah terbentuk dari
hubungan tiga faktor yaitu sikap dan
kepercayaan orang yang berada di sekolah
dan di lingkungan luar sekolah, normanorma budaya sekolah, dan hubungan antar
individu di dalam sekolah.
Sekolah sebagai rumah kedua bagi
peserta didik memiliki peran yang besar
pada terbentuknya sikap-sikap yang
berujung pada karakter. Peserta didik
menghabiskan waktu 7-8 jam perhari di
sekolah, sehingga apa yang didengar,
dilihat, dan dirasakan akan membekas
karena dilakukan berulangkali sehingga
menjadi sebuah kebiasaan. Kegiatan yang
berulang-ulang
akan
menimbulkan
kebiasaan, kebiasaan akan memunculkan
sikap atau karakter.
Lebih jauh dalam Permendiknas
N0.23/2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan untuk masing-masing jenis atau
Satuan Pendidikan (SKL-SP) disebutkan
bahwa: Kompetensi peduli lingkungan yang
harus dimiliki lulusan pada
satuan
Pendidikan antara lain: (1) menunjukkan
kemampuan menganalisis gejala alam dan
sosial, (2) memanfaatkan lingkungan secara
produktif dan
bertanggung jawab, (3)
menjaga kesehatan dan keamanan diri,
kebugaran jasmani, serta kebersihan
lingkungan.
Perhatian peserta didik terhadap
lingkungan hidup di sekolah dapat diberikan
melalui program-program intrakurikuler
mata pelajaran yang terstruktur dalam
kurikulum, misalnya dalam mata pelajaran
Biologi, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) maupun mata pelajaran lainnya
yang diberikan secara terpadu, atau
pembelajaran tematik khususnya di SD, IPS
Terpadu di SMP, IPS di SMK dan SMA dan
melalui kegiatan ekstra kurikuler seperti
kelompok
aktivis
lingkungan,
atau
kelompok ilmiah remaja, Pramuka dan
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber
belajar..
Kepedulian terhadap lingkungan
juga dapat dibangun melalui kegiatankegiatan kokurikuler sehingga terbentuklah
sebuah budaya sekolah. Kementrian
Pendidikan Nasional juga telah membuat
grand design pendidikan karakter dengan
menjadikan sekolah sebagai inti dari proses
pembudayaan dan pemberdayaan untuk
mencapai berbagai karakter, termasuk
peduli lingkungan.
Visi pendidikan lingkungan hidup
adalah terwujudnya manusia Indonesia yang
memiliki pengetahuan, kesadaran dan
keterampilan untuk berperan aktif dalam
melestarikan dan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup.
Pekerjaan yang tidak sederhana
adalah seberapa jauh sekolah mampu
mewujudkan budaya hidup bersih dan
ramah lingkungan sehingga mampu
menjadikan peserta didik memiliki sikap
peduli terhadap lingkungan.
Selain budaya, lingkungan fisik
sekolah harus ditata sedemikian rupa
sehingga mampu memberi suasana yang
kuat
dalam
mencapai
pengetahuan,
233
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
keterampilan dan sikap yang pada akhirnya
dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen
untuk melindungi, memperbaiki serta
memanfaatkan lingkungan hidup secara
bijaksana. Oleh karena itu sekolah sebagai
sistem
seyogyanya
mempunyai
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
monitor, evaluasi dan tindak lanjut dalam
program-program budaya bersih dan menata
lingkungan fisik yang ramah lingkungan.
b. Budaya Bersih
Budaya bersih adalah pangkal dari
kerapian dan kesehatan. Tetapi realita yang
terjadi di masyarakat saat ini sungguh
sangat memprihatinkan. Bahkan banyak
anak-anak
yang
dengan
santainya
membuang sampah tidak pada tempatnya.
Pertanyaannya adalah apakah orang tuanya
tidak mengajarkan? Kenyataannya orang tua
pun banyak yang membuang sampah
sembarangan. Lalu siapa lagi yang harus
memberikan contoh dan pelajaran dalam hal
kebersihan? Di beberapa negara lain sudah
diterapkan aturan yang sangat ketat
mengenai pembuangan sampah. Tidak
main-main, bagi siapa saja yang ketahuan
membuang sampah tidak pada tempatnya
maka akan langsung didenda sesuai dengan
peraturan yang berlaku. http://adnananwar.net/opini/ budaya-bersih.
Berkaitan dengan budaya bersih,
tidak perlulah menunggu pemerintah
membuat
undang-undang
mengenai
sampah,
tidak
perlulah
menunggu
masyarakat sadar mengenai kebersihan.
Kitalah yang harus bisa memberikan contoh
dan pelajaran, minimal pada diri kita sendiri
kemudian meluas ke keluarga kita dan bisa
jadi ke masyarakat sekitar kita dan
seterusnya. Bayangkan jika setiap orang
melakukan hal tersebut maka pastilah
terwujud Indonesia yang bersih dan
nyaman.
Mulailah dari hal-hal kecil, mulailah
dari diri sendiri, dan mulailah sekarang.
Masing-masing kita punya tanggung jawab
untuk itu lalu mengapa harus menunggu
orang lain. Mari kita wujudkan lingkungan
yang bersih dan nyaman.
Sekolah
sehat
merupakan
perwujudan nyata dari SKB 4 menteri
(Departemen
Kesehatan,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Departe men
Agama dan Departemen Dalam Negeri)
tahun 1984 mengenai UKS. Sekolah sehat
adalah sekolah yang bersih, hijau, indah dan
rindang, peserta didiknya sehat dan bugar
serta senantiasa berperilaku hidup bersih
dan sehat.
Pembinaan lingkungan kehidupan
sekolah sehat, baik fisik, mental, sosial
maupun lingkungan dilaksanakan dengan:
a. Pelaksanaan
7
K
(Kebersihan,
Keindahan, Kenyamanan, Ketertiban,
Keamanan, Kerapihan, Kekeluargaan).
b. Pembinaan dan pemeliharaan kesehatan
lingkungan.
c. Pembinaan kerjasama antar masyarakat
sekolah (guru, murid, pegawai sekolah,
orang tua murid dan masyarakat sekitar).
Sekolah perlu membuat kebijakan
tertentu untuk mewujudkan sekolah peduli
dan berbudaya lingkungan. Kebijakan ini
antara lain dapat diwujudkan dalam visi dan
misi sekolah yang peduli dan berbudaya
lingkungan, pengem bangan Pendidikan
Lingkungan Hidup, peningkatan pendidikan
SDM, penghema tan SDA, Pola Hidup
Bersih
dan
Sehat
(PHBS)
serta
pengalokasian dana Kegiatan Lingkungan
Hidup.
Pengembangan kurikulum berbasis
lingkungan
dilakukan
dengan
cara
mengembangkan model pembelajaran lintas
mata
pelajaran,
penggalian
dan
pengembangan materi dan persoalan
lingkungan hidup yang ada di masyarakat
sekitar, mengembangkan metode belajar
berbasis
lingkungan
dan
budaya,
mengembangkan kegiatan kurikuler untuk
peningkatan pengetahuan dan kesadaran
siswa tentang lingkungan hidup. Di
samping
itu
sekolah
juga
perlu
234
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menyelenggarakan kegiatan yang bersifat
parsitipatif seperti: mengadakan kegiatan
ekstrakurikuler/kurikuler
di
bidang
lingkungan hidup, mengikuti kegiatan aksi
lingkungan hidup yang dilakukan oleh
pihak luar, serta membangun kegiatan
kemitraan
atau
memprakarsai
pengembangan pendidikan lingkungan
hidup di sekolah. Sedangkan pengelolaan
dan atau pengembangan sarana pendukung
sekolah dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut: (1) Pengembangan fungsi
sarana pendukung sekolah yang ada untuk
pendidikan
lingkungan
hidup,
(2)
Peningkatan
kualitas
pengelolaan
lingkungan di dalam dan di luar kawasan
sekolah, (3) Penghematan sumberdaya alam
(listrik, air dan ATK), (4) Pening katan
kualitas pelayanan makanan sehat, (5)
Pengembangan sistem pengelo laan sampah,
dll yang sesuai kondisi sekolah yang ada.
Bicara tentang budaya, maka tidak
lepas dari kebiasaan manusia. Tentu
kebersihan penting untuk dijaga, karena
berkaitan erat dengan kesehatan dan
kenyamanan. Namun pada kenyataan masih
banyak yang membuang sampah tidak pada
tempatnya.
Untuk
dapat
mencintai
kebersihan, maka kita harus tau apa saja
dampak terburuk yang dapat ditimbulkan
karena membuang sampah sembarangan.
Kita harus tau manfaat terbaik yang kita
dapat jika menjaga kebersihan. Karena itu
kita harus memulai dari diri sendiri untuk
membiasakan bersih anatara lain membuang
sampah
pada
tempatnya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
diunduh 22 April 2013.
Kebersihan adalah salah satu
persoalan yang menuntut kita untuk sadar
dan peduli terhadap lingkungan. Persoalan
ini tidak hanya menuntut kinerja pemerintah
saja. Akan tetapi harus ada kesadaran dari
semua pihak untuk menjaga lingkungan
tetap bersih, nyaman dan asri.
Disadari atau tidak, kenyataan yang
terjadi sekarang adalah masih rendahnya
kesadaran masyarakat tentang pentingnya
kebersihan. Hal ini karena:
1) Masih banyak orang yang membuang
sampah di selokan dan sungai.
2) Masih banyak orang yang membuang
sampah di jalanan.
3) Masih banyak orang demo membakar
ban di jalan raya.
4) Masih banyak orang yang mencoratcoret fasilitas umum.
Berdasarkan pendapat tersebut di
atas, maka untuk menumbuhkem bangkan
budaya bersih di sekolah antara lain dapat
ditempuh sebagai berikut:
1) Membuat peraturan dan tata tertib
tentang kebersihan lingkungan sekolah
beserta sanksi bagi yang melakukan
pelanggaran
2) Mensosialisasikan kepada seluruh warga
sekolah
3) Menyediakan sarana tempat pembuangan
sampah
4) Mengatur, mengelola, menertibkan,
menjaga, dan mengawasi pembuangan
sampah
sehingga
selalu
terjaga
kebersihannya
5) Melibatkan partisipasi warga sekolah
termasuk siswa untuk memperhatikan,
menjaga,
membiasakan
diri,
mengendalikan
dan
mengawasi
kebersihan lingkungan sekolah.
Kebersihan lingkungan merupakan
salah satu tolok ukur kualitas hidup
masyarakat. Masyarakat
yang telah
mementingkan
kebersihan
lingkungan
dipandang sebagai masyarakat yang kualitas
hidupnya lebih tinggi dibandingkan
masyarakat yang belum mementingkan
kebersihan. Salah satu aspek yang dapat
dijadikan indikator kebersihan lingkungan
adalah sampah. Bersih atau kotornya suatu
lingkungan tercipta melalui tindakantindakan manusia dalam mengelola dan
menanggulangi sampah yang mereka
hasilkan. Perilaku manusia yang tidak
bertanggung jawab terhadap sampah dapat
235
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menyebabkan munculnya masalah dan
kerusakan lingkungan.
Bila perilaku manusia semata-mata
mengarah
lebih
pada
kepentingan
pribadinya, dan kurang atau tidak
mempertimbangkan
kepentingan
umum/kepentingan bersama, maka dapat
diprediksi bahwa daya dukung lingkungan
alam semakin terkuras habis dan akibatnya
kerugian dan kerusakan lingkungan tak
dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu,
sampah dan benda-benda buangan yang
banyak terdapat di lingkungan kehidupan
kita perlu ditanggapi secara serius dan perlu
dicari
cara
yang
tepat
untuk
menanggulanginya.
Budaya bersih yang diteliti adalah
berupa rangkaian dari berbagai wujud
perilaku/tindakan yang dilakukan orang
terhadap sampah, mencakup perilaku yang
bertanggung jawab terhadap lingkungan
seperti tindakan mengotori lingkungan
hingga tindakan-tindakan yang bertanggung
jawab seperti tindakan-tindakan memelihara
dan membersihkan lingkungan. Secara
keseluruhan, gambaran perilaku kebersihan
yang ditampilkan orang dalam kehidupan
keseharian di perkotaan merupakan
hubungan yang saling terkait antara makna
subjektif pelaku dengan situasi lingkungan
di sekitarnya Peran perilaku jauh lebih
penting dalam memelihara kebersihan
lingkungan
dibanding
persoalan
kelengkapan sarana. Tanpa tindakan nyata,
sarana selengkap apa pun tidak akan mampu
berfungsi untuk mewujudkan kebersihan
lingkungan.
Masalah-masalah di sekitar perilaku
kebersihan
bersifat
kompleks
dan
berlangsung dalam berbagai situasi di
wilayah perkotaan, di daerah permukiman,
di kawasan industri dan perkantoran serta di
tempat-tempat umum, sehingga pantas
diakui sebagai masalah bersama atau
tanggung jawab setiap orang/penghuni kota.
Hal itu merupakan kombinasi dari
bermacam-macam factor dari berbagai
unsur yang terkait.
Keterkaitan
hubungan
antara
berbagai unsur memang menentukan pola
perilaku kebersihan mereka. Hingga di sini,
dapat diasumsikan bahwa budaya bersih
yang dimaksud adalah tindakan kolektif
siswa terhadap sampah yang bertujuan
untuk memelihara dan membersihkan
lingkungan kota. Upaya–upaya kebersihan
diri meliputi;
1) Menjaga kebersihan kulit seluruh tubuh.
2) Menjaga kebersihan rambut dengan
shampo minimal seminggu sekali
3) Tidak mempergunakan sisir, pisau cukur,
serta alat pribadi lainnya secara
bergantian.
4) Menjaga kebersihan tangan dan kuku.
5) Menjaga kebersihan pakaian.
6) Alat tidur (ganti dan cuci pakaian setelab
mandi. Alat tidur/sprai dapat dicuci satu
minggu sekali)
Upaya yang perlu dilakukan dalam
menjaga kebersihan lingkungan antara lain
sebagai berikut
1) Menjaga pemukiman.yang bersih dan
sehat.
2) Tersedianya sarana air minum/air bersih
yang memenuhi syarat.
3) Tersedianya sarana pembuangan air
kotor (limbah).
4) Tersedianya sarana pembuangan kotoran
manusia (wc/septic tank)
5) Pembuangan tempat sampah.
6) Menjaga kondisi dapur, ruang makan
yang bersih.
7) Menjaga kondisi kamar mandi dan
tempat cuci.
3. Pemanfaatan Lingkungan Sekolah
sebagai Sumber Belajar
Kurikulum 2013 yang berlaku
sekarang ini, memerlukan strategi baru
terutama dalam kegiatan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran yang sebelumnya
lebih banyak didominasi oleh peran guru
(teacher centered) diperbaharui dengan
236
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sistem pembelajaran yang berpusat pada
siswa
(studentcentered).
Dalam
implementasinya guru harus mampu
memilih dan menerapkan model, motode
atau strategi pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik materi sehingga
mampu mengembangkan daya nalar siswa
secara optimal. Dengan demikian dalam
pembelajaran guru tidak hanya terpaku
dengan pembelajaran di dalam kelas,
melainkan guru harus mampu melaksanakan
pembelajaran dengan motode yang variatif.
Di samping itu sesuai dengan pendekatan
PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif
Kreatif dan Menyenangkan), guru harus
mampu menghadapkan siswa dengan dunia
nyata sesuai dengan yang dialaminya
sehari-hari.
Model strategi pembelajaran yang
sesuai dengan pendekatan PAIKEM yang
memungkinkan
bisa
mengembangkan
kreativitas, motivasi dan partisipasi siswa
dalam pembelajaran antara lain adalah
dengan memanfaatkan lingkungan sekolah
sebagai sumber belajar.
Salah satu pilar dari pendekatan
contekstual yaitu masyarakat belajar
(learning commonity). Untuk mencapai
tujuan tersebut, salah satu cara belajar yang
disarankan dalam Kurikulum 2013 sebagai
upaya mendekatkan aktivitas belajar siswa
pada berbagai fakta kehidupan sehari-hari di
sekitar lingkungan siswa.
Memanfaatkan lingkungan sekolah
sebagai sumber belajar menjadi alternatif
strategi pembelajaran untuk memberikan
kedekatan teoritis dan praktis bagi
pengembangan hasil belajar siswa secara
optimal. Ekowati (2001) mengatakan,
memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai
sumber
belajar
merupakan
bentuk
pembelajaran
yang
berpihak
pada
pembelajaran melalui penggalian dan
penemuan (experiencing) serta keterkaitan
(relating) antara materi pelajaran dengan
konteks pengalaman kehidupan nyata
melalui kegiatan proyek.
Pada pembelajaran dengan setrategi
ini guru bertindak sebagai pelatih
metakognitif yaitu membantu pebelajar
dalam
menemukan
materi
belajar,
mengintegrasikan
pengetahuan
dan
ketrampilan dalam pembuatan laporan dan
dalam penampilan hasil dalam bentuk
presentasi.
Berdasarkan hasil pantauan penulis,
selama ini para guru masih jarang
memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai
sumber belajar. Lingkungan sekolah tidak
lebih hanya digunakan sebagai tempat
bermain-main siswa pada saat istirahat.
Kalau tidak jam istirahat, guru lebih sering
memilih mengkarantina siswa di dalam
kelas, meskipun siswa sudah merasa sangat
jenuh berada di dalam kelas.
Guru-guru di sekolah tersebut
memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai
sumber belajar hanya dua sampai tiga kali
dalam satu semester. Guru lebih sering
menyajikan pelajaran di dalam kelas
walaupun materi yang disajikan berkaitan
dengan
lingkungan
sekolah.
Dari
wawancara yang dilakukan peneliti,
sebagian besar guru mengaku enggan
mengajak siswa belajar di luar kelas, karena
alasan susah mengawasi. Selain itu ada guru
yang menyampaikan bahwa mereka tidak
bisa dan tidak tahu dalam memanfaatkan
lingkungan sekolah sebagai sumber belajar.
Nilai-nilai kegunaan sumber belajar
masyarakat adalah: (1) menghubung kan
kurikulum
dengan
kegiatan-kegiatan
masyarakat
akan
mengembangkan
kesadaran dan kepekaan terhadap masalah
sosial; (2) menggunakan minat-minat
pribadi peserta didik akan menyebabkan
belajar lebih bermakna baginya; (3)
mempelajari kondisi-kondisi masyarakat
merupakan latihan berpikir ilmiah (scientif
methode); (4) mempelajari masyarakat akan
memperkuat dan memper kaya kurikulum
melalui pelaksanaan praktis didalam situasi
sesungguhnya;
(5)
peserta
didik
237
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
memperoleh pengalaman langsung yang
kongkrit, realistis dan verbalisme.
Pemanfaatan lingkungan sekolah
sebagai sumber belajar mengarahkan anak
pada peristiwa atau keadaan yang
sebenarnya atau keadaan yang alami
sehingga lebih nyata, lebih faktual dan
kebenarannya lebih dapat dipertanggung
jawabkan.
Manfaat nyata yang dapat diperoleh
dengan memanfaatkan lingkungan ini
adalah : (1) menyediakan berbagai hal yang
dapat dipelajari anak, (2) memungkinkan
terjadinya proses belajar yang lebih
bermakna (meaningful learning), (3)
memungkinkan
terjadinya
proses
pembentukan kepribadian anak, (4) kegiatan
belajar akan lebih menarik bagi anak, dan
(5) menumbuhkan aktivitas belajar anak
(learning aktivities).
Mohd. Ansyar dan H. Nurtain
(1992: 57) mengatakan bahwa, alam sekitar
terbuka lebar sebagai alat bantu atau
sumber, yaitu belajar sesuai dengan
ungkapan Minangkabau, ―Alam takambang
jadi guru‖, artinya lingkungan alam dan
budaya tersedia untuk bahan pelajaran.
Manfaat lain dari lingkungan sekitar sebagai
sumber belajar adalah untuk menghindarkan
keterasingan murid dengan alam sekitarnya.
Misalnya, murid diajak untuk mengamati
bunga, pohon, sungai, burung, bukit, petir,
dan sebagainya untuk didiskusikan bersama
teman sekelas.
Sharpe mengatakan environmental
education is “largely directed toward
school-age groups, and takes place in such
widely diverse areas as schoolrooms,
school yards, city streets, and on field trips
to museums, parks, and forests”(Ted T.
Cable danLuAnn Cadden, 2006: 40).
Pendapat di atas berarti bahwa lingkungan
pendidikan merupakan lingkungan yang
ditujukan secara luas untuk kelompok usia
masuk sekolah dan berada di beragam
tempat seperti ruang sekolah, halaman
sekolah, jalan kota, dan perjalanan ke
musium, taman, dan hutan. Lingkungan di
sekitar sekolah, dapat dijadikan sarana
untuk mendidik siswa baik dari bentuk fisik
maupun bentuk sosialnya.
Menurut Ovide Decroly (dalam
Oemar Hamalik, 2009: 194) Sekolah adalah
dari kehidupan dan untuk kehidupan(Ecole
pour la vie par lavie), artinya bawalah
kehidupan ke dalam sekolah agar kelak
anak
didik
dapat
hidup
di
masyarakat.Bertolak dari pendapat di atas
berarti bahwa, kehidupan merupakan sarana
untuk mendidik dan membekali siswa, agar
mampu membangun kehidupan fisik dan
sosial di lingkungan masyarakat. Sejalan
dengan pendapat di atas, menurut Novrianti
(2008: 3) lingkungan adalah situasi yang
tersedia di mana pesan itu dapat diterima
oleh siswa.
Makhluk hidup berasal dari suatu
lingkungan, dari lingkungan itu mereka
belajar cara hidup dan membina kehidupan
dengan lingkungannya. Situasi di sekitar
terjadinya proses belajar mengajar di mana
pebelajar menerima pesan (Aristo Rahadi,
2003: 7). Siswa mengalami proses belajar
berarti ia menerima pesan atau informasi.
Dalam menerima informasi ini siswa harus
berinteraksi dengan situasi di sekitar
informasi berada, agar informasi yang
diterima dapat disampaikan kepada siswa
dengan baik.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa, lingkungan
sekolah adalah keadaan di sekitar sekolah
baik di dalam sekolah maupun di lluar
sekol;ah berupa orang, masyarakat,
lingkungan fisik, gedung, halaman, barang,
dan peristiwa alam atau budaya.
a. Pengertian Sumber Belajar
Menurut Sri Joko Y (2004: 20)
sumber belajar adalah bahan yang
mencakup media belajar, alat peraga, alat
permainan untuk memberikan informasi
maupun berbagai keterampilan kepada anak
maupun
orang dewasa yang berperan
mendampingi anak dalam belajar.Bertolak
238
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dari pendapat di atas dapat berarti bahwa,
segala sesuatu yang mendampingi siswa
belajar seperti media, peraga, dan alat
bermain untuk memperoleh informasi
dinamakan sumber belajar. Menurut AECT
(dalam Asep Herry Hernawan, dkk 2008:
11.22) sumber belajar berarti semua sumber
baik berupa data, orang maupun wujud
tertentu yang dapat digunakan oleh siswa
dalam kegiatan belajar, baik secara terpisah
maupun
terkombinasi
sehingga
mempermudah siswa dalam mencapai
tujuan belajarnya. Dari pendapat tersebut
dapat dikatakan, bahwa sumber belajar
merupakan segala sumber baik berupa
sumber asli maupun sumber buatan, yang
digunakan terpisah atau bersama untuk
memudahkan siswa mencapai tujuan
belajarnya.
Menurut Udin S. Winataputra, dkk
(2007: 1.20)sumber belajar adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan oleh peserta
didik dan pendidik dalam proses belajar dan
pembelajaran. Dari pendapat di atas berarti
bahwa, siswa dan guru dapat menggunakan
secara bersama segala sesuatu yang dapat
membantu proses pembelajaran.
Menurut Mudhoffir (dalam Yudhi
Munadi, 2008: 37) menyatakan bahwa
sumber belajar merupakan komponen
sistem instruksional yang meliputi pesan,
orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan
yang dapat mempengaruhi hasil belajar
siswa. Bertolak dari pendapat tersebut
berarti bahwa, hasil belajar siswa
dipengaruhi oleh sumber belajar yang
berupa pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan
lingkungan.
Menurut Abdul Majid (2008:
170)segala tempat atau lingkungan sekitar
benda, dan orang yang mengandung
informasi dapat digunakan sebagai wahana
bagi peserta didik untuk melakukan proses
perubahan tingkah laku. Pendapat tersebut
berarti bahwa, belajar merupakan proses
perubahan
tingkah
laku,
sehingga
diperlukan adanya lingkungan atau tempat
di sekitar siswa, untuk menjadikan tingkah
laku setelah belajar lebih baik daripada
tingkah laku sebelumnya.
Bertolak dari beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa, sumber
belajar adalah segala sumber yang dapat
digunakan untuk membantu memudahkan
peserta didik untuk memperoleh informasi
dan tujuan belajarnya.
b. Jenis-jenis Sumber Belajar
Terdapat empat jenis sumber belajar
yang memiliki manfaat, yaitu: (1)
Masyarakat di sekitar sekolah, (2)
Lingkungan fisik dekat sekolah, (3) Barang
sisa atau bekas, (4) Peristiwa alam atau
peristiwa budaya. (Cony Semiawan et. al
1988 dalam Mohd. Ansyar dan H. Nurtain,
1992: 57).
Sumber
belajar
yang
dapat
membantu siswa untuk mencapai tujuan
belajarnya dapat berasal dari masyarakat
sekitar, lingkungan terdekat, barang-barang
sisa, dan peristiwa alam atau budaya yang
terjadi baru-baru ini dan dahulu terjadi.
Sumber belajar dapat dibedakan
menjadi dua, jika dilihat dari asalnya, yaitu:
1) sumber belajar yang dirancang (learning
resources by design) adalah sumber belajar
yang sengaja dibuat untuk tujuan
pembelajaran, dan 2) sumber belajar yang
sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan
(learning resources by utilization) adalah
sumber belajar yang tidak secara khusus
dirancang untuk keperluan pembelajaran,
namun dapat ditemukan, dipilih, dan
dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran
(Aristo R, 2003: 7-8).
Menurut Abdul Majid (2008: 170171) sumber belajar dapat dikategorikan
menjadi 5, yaitu: (1) Tempat atau
lingkungan alam sekitar (2) Benda (3)
Orang (4) Buku dan (5) Peristiwa dan fakta
yang sedang terjadi,
Belajar dapat meningkat dengan
adanya berbagai sumber yang memudahkan
siswa untuk memperoleh informasi.
239
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Misalnya sumber belajar yang berupa buku,
peristiwa yang terjadi, orang, tempat atau
lingkungan, dan benda.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa, ada 2 jenis
sumber belajar, yaitu sumber belajar alami
dan sumber belajar buatan. Sumber belajar
alami meliputi lingkungan fisik, peristiwa
alam, dan bahan sisa, sedangkan sumber
belajar buatan meliputi masyarakat dan
peristiwa yang ditimbulkannya.
kebenarannya lebih akurat, sebab anak
dapat mengalami secara langsung dengan
pancainderanya
untuk
belajar
berkomunikasi dengan lingkungan tersebut.
Bertolak dari beberapa pendapat di
atas maka, lingkungan sebagai sumber
belajar adalah pemanfaatan sumber daya
(alam dan manusia) yang ada di sekitar
untuk digunakan oleh guru bersama siswa
agar dapat memperoleh informasi dan
meningkatkan pengetahuan.
c. Pengertian Lingkungan sebagai sumber
belajar
Lingkungan
merupakan
suatu
sumber yang menyediakan berbagai hal
yang dapat dipelajari anak. Lingkungan
yang disebut sebagai sumber belajar adalah
tempat
atau
ruangan
yang
dapat
mempengaruhi siswa (Novrianti, 2008:
3).Sumber belajar dengan menggunakan
lingkungan berarti bahwa proses belajar
siswa tidak hanya mengenal kelas saja,
tetapi juga mengenal tempat lainnya di luar
kelas. Menurut Ahmad E, dkk (bahwa
lingkungan
sebagai
sumber
belajar
berkenaan dengan interaksi sosial dengan
kehidupan bermasyarakat seperti organisasi
sosial,
adat
dan
kebiasaan,
mata
pencaharian,
kebudayaan,
pendidikan,
kependudukan, struktur kepemerintahan,
dan agama. Selama siswa belajar di
lingkungan akan terjadi interaksi sosial
yang terdapat di masayarakat. dalam
http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/01/
makalah-lingkungan-sebagai-sumber.html,
2010: 2).
Menurut Udin S. Winataputra, dkk
(2007:9.31) ...proses belajar mengajar yang
memanfaatkan lingkungan sebagai sumber
belajar dapat menciptakan suasana belajar
aktif dan kreatif serta mengembangkan
kemampuan berpikir. Sumber belajar
melalui lingkungan akan memperkaya
wawasan dan pengetahuan anak, karena
mereka dapat belajar tidak terbatas oleh
empat
dinding
kelas.
Selain
itu
d. Kelebihan Lingkungan sebagai Sumber
Belajar
Kelebihan
lingkungan
dipilih
sebagai sumber belajar di SD, misalnya : 1)
lingkungan yaitu sesuatu yang paling dekat
dengan siswa, dikenal dalam kehidupan
sehari-hari, 2)
lingkungan merupakan
sumber belajar yang sangat kaya, dan 3)
lingkungan merupakan tempat nyata
kehidupan
siswa
(NN
dalam
http://www.scribd.com/LingkunganSebagai-Sumber-Belajar-Sains
/d/18476707, 2010: 5-6).
Pemilihan
lingkungan
sebagai
sumber belajar memiliki kelebiahan, yaitu:
1) sesuatu yang sudah dikenal siswa adalah
limgkungan, 2) kaya akan informasi, dan 3)
siswa dapat berinteraksi langsung dengan
sumber belajar.
e. Kekurangan Lingkungan sebagai Sumber
Belajar
Terdapat
beberapa
kekurangan
dalam memanfaatkan lingkungan sebagai
sumber belajar, yaitu: 1) kegiatan belajar
yang kurang persiapan menyebabkan siswa
terkesan main-main saat siswa diajak ke
tempat tujuan, 2) kegiatan mempelajari
lingkungan memerlukan waktu yang lebih
lama daripada waktu untuk belajar di kelas,
dan 3) sempitnya pandangan guru bahwa
kegiatan belajar hanya terjadi di dalam kelas
(Ahmad E, dkk, 2010: 2).
Selain kelebihan yang dimiliki
lingkungan sebagai sumber belajar terdapat
240
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pula kekurangan baik saat pelaksanaan
maupun pelaksananya, yaitu: 1) kurangnya
persiapan dalam menyusun kegiatan belajar
dapat mengesankan siswa kurang serius, 2)
waktunya lebih lama dibandingkan belajar
di kelas, dan 3) kurangnya pemahaman guru
tentang sumber belajar.
f. Peranan Lingkungan sebagai Sumber
Belajar
Beberapa keuntungan penggunaan
lingkungan sekitar sebagai sumber belajar:
(1) Membuat siswa mendapatkan informasi
berdasarkan pengalaman langsung. (2)
Membuat siswa mudah mencapai sasaran
pembelajaran yang telah ditetapkan.
(3)Membuat siswa mengenal dan mencintai
lingkungan yang pada akhirnya mengagumi
dan mengagungkan penciptanya. (4)
Membuat pelajaran lebih konkrit. (5) Biaya
relatif murah. (6) Penerapan ilmu menjadi
lebih mudah, sesuai dengan permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan sehariharinya, sehingga siswa akan merasakan
bahwa belajar itu bermakna dan menarik.
(7) Sesuai prinsip perkembangan yaitu (a)
Anak berbeda kemampuan belajarnya; (b)
Anak berkembang sesuai perkembangan
fisik, intelektual, sosial/perasaan; (c) Belajar
dari konkrit ke abstrak, mudah ke sukar,
dekat ke jauh, dan sudah diketahui ke yang
belum diketahui; dan (d) Mengembangkan
motivasi/prinsip
―belajar
bagaimana
belajar‖ (Jeperis, 2009: 2).
Lingkungan sebagai sumber belajar
memberikan keuntungan terutama bagi
siswa. Misalnya informasi dapat diperoleh
secara langsung, mudah mencapai tujuan
belajar yang telah direncanakan, lebih
mengenal lingkungan, pembelajaran bersifat
nyata, menarik, dan sesuai perkembangan
siswa. Selain itu terdapat pendapat lain
yaitu:
1)
Penggunaan
lingkungan
memungkinkan terjadinya proses belajar
yang lebih bermakna (meaningfull learning)
sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan
situasi yang sebenarnya, 2) Penggunaan
lingkungan sebagai sumber belajar akan
mendorong pada penghayatan nilai-nilai
atau aspek-aspek kehidupan yang ada di
lingkungannya, dan 3) Penggunaan
lingkungan dapat menarik bagi anak.
Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih
menarik
bagi
anak
(NN
dalam
http://ilmuwanmuda.wordpress.com/
pemanfaatan-lingkungan-sebagai-sumberbelajar-untuk-anak-usia-dini/, 2009: 2-3).
Keuntungan lingkungan juga dapat
berarti menjadikan pembelajaran lebih
bermakna bagi siswa, sehingga siswa lebih
mencintai lingkungannya, dan kegiatan
belajar menjadi lebih menarik. Lingkungan
sebagai
sumber
belajar
memiliki
keuntungan antara lain, (1) Siswa menjadi
lebih mengenal koperasi, pasar, dan
aktivitas ekonomi di daerahnya, (2) Adanya
kunjungan langsung ke sumber belajar,
membuat siswa dapat mencapai sasaran
yang ditetapkan gurunya/ dalam kegiatan
belajarnya, (3) Adanya kegiatan ini siswa
diharapkan dapat lebih menghargai dan
menghormati lingkungan sekitar baik
individu atau kelompok, (4) Siswa menjadi
lebih paham dengan adanya pembelajaran
dengan sumber informasi yang asli, (5)
Pembelajaran yang dilakukan dapat mudah
diserap siswa, apabila sumber pengetahuan
tidak jauh dari sekolah dan kemampuan
siswa, (6) Siswa lebih senang belajar
dengan pengetahuan yang diperolehnya dari
kesehariannya, dan (7) Siswa dapat
mengembangkan pengetahuannya sesuai
perkembangan fisik dan psikologisnya.
g. Jenis-Jenis Lingkungan Sebagai Sumber
Belajar
Menurut Oemar Hamalik (2009:
196) Lingkungan terdiri dari: 1) lingkungan
sosial adalah lingkungan masyarakat 2)
lingkungan personal meliputi individuindividu yang berpengaruh terhadap
individu lainnya; 3) lingkungan alam (fisik)
meliputi semua sumber daya alam yang
dapat diberdayakan sebagai sumber belajar;
241
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dan 4) lingkungan kultural mencakup hasil
budaya dan teknologi yang dapat dijadikan
sumber belajar dan yang dapat menjadi
faktor pendukung pengajaran, termasuk
sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan.
Siswa dapat belajar dari lingkungan sosial,
alam, dan kultural masyarakat sekitar,
bahkan
lingkungan
yang
sering
mempengaruhi belajar adalah lingkungan
personal.
Lingkungan belajar ada tiga yaitu: 1)
Lingkungan alam atau lingkungan fisik
adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah,
seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah,
batu-batuan), tumbuh-tumbuhan dan hewan
(flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan
sebagainya;
2)
Lingkungan
sosial,
pemanfaatan lingkungan sosial sebagai
sumber belajar ini misalnya:mengenal adat
istiadat dan kebiasaan penduduk setempat di
mana anak tinggal, mengenal jenis-jenis
mata pencaharian penduduk di sektiar
tempat tinggal dan sekolah, mengenal
organisasi-organisasi sosial yang ada di
masyarakat sekitar tempat tinggal dan
sekolah dan mengenal kehidupan beragama
yang dianut oleh penduduk sekitar tempat
tinggal dan sekolah; dan 3) Lingkungan
budaya, ada lingkungan budaya atau buatan
yakni lingkungan yang sengaja diciptakan
atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
(NN
dalam
http://ilmuwanmuda.wordpress.com/pemanf
aatan-lingkungan-sebagai-sumber-belajaruntuk-anak-usia-dini/, 2009: 7-8).
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenisjenis lingkungan sebagai sumber belajar ada
tiga, meliputi 1) lingkungan fisik atau
alami;2) lingkungan sosial; dan 3)
lingkungan budaya.
h. Penerapan Lingkungan sebagai Sumber
Belajar pada Pembelajaran
Penerapan suatu sumber belajar
dalam pembelajaran tentu memiliki
langkah-langkah penggunaannya, agar dapat
berlangsung sesuai tujuan yang diharapkan.
Terdapat
beberapa
langkah
untuk
menggunakan lingkungan sebagai sumber
belajar, yaitu: Identifikasi berbagai sumber
dan objek di lingkungan sebagai sumber
belajar; dan (2) Manfaatkan sumber tersebut
untuk kepentingan belajar murid; pertama,
lakukan persiapan, misalnya menetapkan
jadwal, menyediakan alat, dan lembar kerja,
kedua gunakan Lembar Kerja Murid (LKM)
sebagai
panduan
dalam
melakukan
pengamatan, demonstrasi atau kegiatan
belajarnya (Tim SBM, 2007: 185).
Lingkungan sebagai sumber belajar
dalam penerapannya melalui beberapa
langkah yang dimulai dari mengamati
objek, meneliti manfaat sumber tersebut
bagi siswa, dan merencanakan kegiatan
pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik
(2009: 100-101) ada empat kegiatan dalam
menerapkan pembelajaran berdasarkan
lingkungan, yaitu: 1) kegiatan persiapan;
menentukan objek, 2) kegiatan pelaksanaan;
mengunjungi objek dan wawancara, 3)
kegiatan penafsiran pengalaman; kegiatan
membuat laporan kelompok, dan 4)
kegiatan
tindak
lanjut;
mengaitkan
pengalaman dengan materi dari sekolah.
Kegiatan-kegiatan yang dapat memudahkan
penerapan lingkungan sebagai sumber
belajar, yaitu kegiatan persiapan yang
berupa rencana pembelajaran dan penentuan
objek, kegiatan pelaksanaan berupa
kunjungan ke objek yang direncanakan dan
melakukan wawancara, kegiatan penafsiran
pengalaman dapat berupa membuat laporan
hasil kunjungan, dan kegiatan tindak lanjut
berupa,
kegiatan
menghubungkan
pengalaman dari hasil kunjungan dengan
materi yang diperoleh dari sekolah.
Langkah-langkah untuk menggunakan
lingkungan sebagai sumber belajar meliputi:
1) amati terlebih dahulu sumber atau objek
yang akan dikunjungi dan 2) persiapkan
kegiatan belajar dengan baik, dan 3)
lakukan tindak lanjut.
242
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
C. PENUTUP
Demikian makalah singkat ini kami sajikan sebagai bahan pembahasan dalam
seminar ini. Semoga bermanfaat bagi pengembangan pendidikan khususnya pendidikan
yang berwawasan lingkungan. Masukan, saran dan kritik dari peserta seminar sangat kami
harapkan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2008. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ahmad
E, dkk. 2010. Makalah Lingkungan sebagai Sumber
http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/01/makalah-lingkungan-sebagaisumber.html diunduh tanggal 15 April 2013.
Belajar.
Aristo Rahadi. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas Dirjendikdasmen.
Depdiknas, 2006. Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
masing-masing jenis atau Satuan Pendidikan (SKL-SP), Jakarta: Sekretariat Jendral
Emil Salim, 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Jakarta: LPES.
Jeperis.
2009.
Lingkungan
sebagai
Sumber
Belajar.
http://jeperis.wordpress.com/2009/01/06/lingkungan-sebagai-sumber-belajar/
diunduh tanggal 24 April 2013.
Mary Antonette A. Beroya, 2000, Mengenal Lingkungan Hidup, Jakarta: Yakoma.
Meadows. D. ,1972, Limits to Growth, Washington D.C: Potomac Associates.
Mohd. Ansyar dan H. Nurtain. 1992. Pengembangan dan Inovasi /Kurikulum. Jakarta:
Depdikbud Dirjendikti Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
NNhttp://adnananwar.-net/opini/budaya-bersih/ diunduh 22 April 2013
NN dalam http://ilmuwanmuda.wordpress.com/ pemanfaatan-lingkungan-sebagai-sumberbelajar-untuk-anak-usia-dini/, 2009. diunduh tanggal 24 April 2013
NN
dalam
http://www.scribd.com/Lingkungan-Sebagai-Sumber-Belajar-Sains
/d/18476707, 2010). diunduh tanggal 24 April 2013
Novrianti.
2008.
Pemanfaatan
Lingkungan
sebagai
Sumber
Belajar.
http://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/pemanfaatan-lingkungan-sebagaisumber-belajar/ diunduh tanggal 28 April 2013.
Oemar Hamalik. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Peterson. Kent D and E. Deal. 2004. Shaping School Culture “The heart of Leadership‖
Sun Francisco, US: Josiey Boss.
243
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Republik Indonesia. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945,
Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi. 2005
_____.Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
_____. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Sastrawijaya .A.Tresna, 2000. Perencanaan Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta.
SKB 4 menteri (Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri) tahun 1984 mengenai UKS.
Sri Joko Yunanto. 2004. Sumber Belajar Anak Cerdas. Jakarta: Grasindo.
Sudharto P Hadi, 2000,Manusia dan Lingkungan, Semarang: UNDIP.
Suranto S. Siswaya dan Setya Ningrum R. 2008. Kesehatan Lingkungan dan Keluarga.
Surakarta: Suara Media Sejahtera.
Ted T. Cable dan LuAnn Cadden. 2006. The Common Roots of Environmental Education
and Interpretation. Journal of Interpretation Research, 2006, Vol 11(2).
Tim SBM. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: UNS Press.
Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Yudhi Munadi. 2008. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung
Persada Press.
244
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
STRATEGI PEMBANGUNAN DI BIDANG PENDIDIKAN
KESEHATAN REPRODUKSI
(Kajian Strategi Memasukkan Pendidikan Kesehatan
Reproduksi menjadi Kurikulum Muatan Lokal)
Soepri Tjahjono M.W, S.Pd,
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta
Pengembangan mata pelajaran muatan lokal memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka
memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan
mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja merupakan hal yang sangat
penting sehingga perlu dilembagakan/diorganisir. Beberapa unsur kesehatan
reproduksi sudah ada dalam mata pelajaran yang ada,tetapi masih kurang
bobotnya dan kurang terintegrasi. Penerapan pendidikan kesehatan reproduksi
dalam kurikulum yang paling mungkin adalah dalam kurikulum lokal yang pada
keadaan daerah dan kebutuhan peserta didik.
Landasan hukum penerapan pendidikan kesehatan reproduksi dalam
kurikulum lokal adalah Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
daerah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2), serta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Kebijakan pengembangan kurikulum berdasarkan standar isi
dan standar kompetensi lulusan, diatur berdasarkan tiga Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permen Nomor
23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, dan Permen Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23
Tahun 2006.
Kata kunci : Pendidikan, Pendidikan Kesehatan Reproduksi, Kurikulum Muatan
Lokal,
Kebijakan Pengembangan Kurikulum di
Indonesia
Sistem
Pendidikan
Nasional
Indonesia berlandaskan pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. UndangUndang tersebut dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Peraturan
Pemerintah ini memberikan arahan tentang
perlunya disusun dan dilaksanakan delapan
standar nasional pendidikan, yaitu: standar
isi, standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana,
245
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
standar pengelolaan, standar pembiayaan,
dan standar penilaian pendidikan.
Selain
itu,
pemerintah
juga
membentuk Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). BSNP adalah badan
mandiri dan independen yang bertugas
mengembangkan, memantau pelaksanaan,
dan
mengevaluasi
standar
nasional
pendidikan. Anggota BSNP adalah para
ahli-ahli bidang psikometri, evaluasi
pendidikan, kurikulum dan manajemen
pendidikan, dengan masa jabatan 4 tahun.
Para anggota BSNP bertanggungjawab pada
Menteri Pendidikan Nasional.
Dari 8 standar yang ditargetkan,
dalam tahun 2006, depdiknas baru
menggarap 2 standar yakni Standar Isi dan
Standar Kompetensi Lulusan. 2 Standar ini
diatur berdasarkan tiga Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional, yaitu Peraturan
Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, Permen Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan Permen Nomor 24 Tahun
2006 tentang Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006.
Bagan Pengembangan Kurikulum
Konteks Pendidikan :
Lokal, Nasional, Regional, Internasional
Landasan :
Spirirtual
Filosofis
Sosiologis
Psikologis
Tujuan
Pendidikan
Nasional
Standar
Pendidikan
Nasional
KURIKULUM NASIONAL
Standar Isi :
- Kerangka Dasar
- Struktur Kurikulum
- Beban Belajar
- Kalender Pendidikan
Standar Komptensi :
SKL
SK-KMP
SK-MP
KD
Kurikulum Operasional
KTSP
SILABUS
RPP
Kurikulum Aktual
Proses Pembelajaran
Sumber: Depdiknas 2006 dalam Mulyasa, 2006: 147
246
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
KTSP, Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan
Kurikulum
adalah
seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan
sebagai
pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam konteks kurikulum nasional,
diatur sebuah standar minimal tentang isi
kurikulum di tingkat satuan pendidikan,
yang dikenal dengan Standar Isi (SI). SI
berisi 4 hal, yakni (1) Kerangka Dasar
Kurikulum, (2) Struktur Kurikulum, (3)
Beban Pelajaran, dan (4) Kalender
Pendidikan
Kerangka
Dasar
Kurikulum
diterjemahkan ke dalam kelompok Mata
Pelajaran yang berisi 5 kelompok yakni : (1)
Agama
dan
Akhlak
Mulia,
(2)
Kewarganegaraan dan Kepribadian, (3)
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4)
Estetika, dan (5) Jasmani, Olah Raga dan
Kesehatan.
Alokasi waktu untuk pelaksanaan
Kurikulum nasional telah disusun secara
sistematis dalam struktur kurikulum.
Struktur kurikulm adalah pola dan susunan
Mata Pelajaran yang harus ditempuh oleh
poeserta
dididk
dalam
kegiatan
pembelajaran.
Kedalaman
muatan
kurikulum setiap Mata Pelajaran pada setiap
satuan pendidikan dituangkan dalam
komptensi yang harus dikuasai peserta didik
sesuai dengan beban belajar yang tercantum
dalam struktur kurikulum. Kompetensi
tersbut terdiri atas Kompetensi dasar dan
Standar Kompetensi yang dikembangkan
berdasarkan standar kompetensi lulusan.
Secara
garis
besar,
struktur
kurikulum membuka peluang bagi setiap
satuan pendidikan di setiap jenjang
pendidikan untuk ―menambah empat jam
pelajaran per minggu‖. (Pusat Kurikulum,
Struktur Kurikulum, 2004). Secara detail
pembagian beban jam per jenjang
pendidikan bisa dilihat dalam tabel di
bawah
Tabel. 1 Struktur Kurikulum di Setiap Jenjang Pendidikan
SD/MI kelas 1 – III
8 + Mulok+Pengembangan diri
SD/MI kelas IV – VI
SMP/MTs
8 + Mulok+Pengembangan diri
10 + Mulok+Pengembangan diri
JUMLAH
JAM PER
MINGGU
I =26
II=27
III = 28
32
32
SMA kelas X
16+ Mulok+Pengembangan diri
38
JENJANG
PENDIDIKAN
JUMLAH MATA PELAJARAN
SMA kelas XI – XII 13 + Mulok+Pengembangan diri
semua program (Bahasa,
IPA, IPS)
MA kelas XI – XII 13 + Mulok+Pengembangan diri
program keagamaan
SMK
13 (4 macam Mata Pelajaran
kejuruan)+ Mulok+Pengembangan
diri
247
39
38
36 jam
equivalen
dengan durasi
waktu 3950
jam/tahun
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
SDLB kelas I – III
Sesuai dengan jenis tuna
30 – 34
SDLB kelas IV– VI
sda
36
SMPLB
Sda
36
SMALB
sda
38
(Diolah dari Pusat Kajian Kurikulum, Struktur Kurikulum, 2004)
KTSP adalah kurikulum operasional
yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan. KTSP
terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan
pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan, dan silabus.
KTSP secara garis besar memiliki
enam komponen penting sebagai berikut :
1. Visi dan Misi
2. Tujuan Pendidikan Satuan Pendidikan
3. Menyusun Kalender Pendidikan
4. Struktur Muatan KTSP
5. Silabus
6. RPP
Silabus adalah rencana pembelajaran
pada suatu dan/atau kelompok mata
pelajaran/tema tertentu yang mencakup
standar kompetensi , kompetensi dasar,
materi
pokok/pembelajaran,
kegiatan
pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi
waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.
Silabus merupakan penjabaran standar
kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam
materi
pokok/pembelajaran,
kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian.
Muatan KTSP meliputi sejumlah
mata pelajaran yang keluasan dan
kedalamannya merupakan beban belajar
bagi peserta didik pada satuan pendidikan.
Di samping itu materi muatan lokal dan
kegiatan pengembangan diri termasuk ke
dalam isi kurikulum.
1. Mata pelajaran
Mata pelajaran beserta alokasi waktu
untuk masing-masing tingkat satuan
pendidikan berpedoman pada struktur
kurikulum yang tercantum dalam
Standar Isi.
2. Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan
kurikuler
untuk
mengembangkan
kompetensi yang disesuaikan dengan
ciri khas dan potensi daerah, termasuk
keunggulan daerah, yang materinya
tidak sesuai menjadi bagian dari mata
pelajaran lain dan atau terlalu banyak
sehingga harus menjadi mata pelajaran
tersendiri. Substansi muatan lokal
ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak
terbatas
pada
mata
pelajaran
keterampilan. Muatan lokal merupakan
mata pelajaran, sehingga satuan
pendidikan harus mengembangkan
Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar untuk setiap jenis muatan lokal
yang
diselenggarakan.
Satuan
pendidikan dapat menyelenggarakan
satu mata pelajaran muatan lokal setiap
semester. Ini berarti bahwa dalam satu
tahun
satuan
pendidikan
dapat
menyelenggarakan dua mata pelajaran
muatan lokal.
3. Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri adalah kegiatan
yang bertujuan memberikan kesempatan
kepada
peserta
didik
untuk
mengembangkan dan mengekspresikan
diri sesuai dengan kebutuhan, bakat,
minat, setiap peserta didik sesuai dengan
kondisi
sekolah.
Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan/atau
dibimbing oleh konselor, guru, atau
tenaga kependidikan yang dapat
dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler.
Kegiatan
248
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pengembangan diri dapat dilakukan
antara lain melalui kegiatan pelayanan
konseling yang berkenaan dengan
masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar, dan pengembangan karier
peserta
didik
serta
kegiatan
keparamukaan, kepemimpinan, dan
kelompok ilmiah remaja.
Khusus untuk sekolah menengah kejuruan
pengembangan diri terutama ditujukan
untuk pengembangan kreativitas dan
bimbingan karier.
Pengembangan diri untuk satuan
pendidikan khusus menekankan pada
peningkatan
kecakapan
hidup
dan
kemandirian sesuai dengan kebutuhan
khusus peserta didik. Pengembangan diri
bukan merupakan mata pelajaran. Penilaian
kegiatan pengembangan diri dilakukan
secara kualitatif, tidak kuantitatif seperti
pada mata pelajaran.
Model Mata Pelajaran Muatan Lokal.
Pengembangan
model
mata
pelajaran Muatan Lokal berlatar belakang
dari adanya Otonomi Daerah, Sentralisasi
menjadi Desentralisasi, dan Multikultural.
Landasan pengembangan mata pelajaran
muatan lokal adalah Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Pendidikan Nasional.
Tujuan
pengembangan
mata
pelajaran muatan lokal adalah memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan dan
perilaku kepada peserta didik agar mereka
memiliki wawasan yang mantap tentang
keadaan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan
yang berlaku di daerahnya dan mendukung
kelangsungan pembangunan daerah serta
pembangunan nasional. Secara lebih jelas
ditujukan agar peserta didik dapat:
1. Mengenal dan menjadi lebih akrab
dengan lingkungan alam, sosial, dan
budayanya,
2. Memiliki bekal kemampuan dan
keterampilan
serta
pengetahuan
mengenai daerahnya yang berguna bagi
dirinya maupun lingkungan masyarakat
pada umumnya,
3. Memiliki sikap dan perilaku yang
selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan
yang berlaku di daerahnya, serta
melestarikan dan mengembangkan nilainilai luhur budaya setempat dalam
rangka
menunjang
pembangunan
nasional.
Ruang lingkup pengembangan mata
pelajaran muatan lokal dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu lingkup keadaan dan
kebutuhan daerah, dan lingkup isi/jenis
muatan lokal. Keadaan daerah adalah
segala sesuatu yang terdapat di daerah
tertentu yang pada dasarnya berkaitan
dengan lingkungan alam, lingkungan sosial
ekonomi, dan lingkungan sosial budaya.
Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu
yang diperlukan oleh masyarakat di suatu
daerah, khususnya untuk kelangsungan
hidup dan peningkatan taraf kehidupan
masyarakat tersebut, yang disesuaikan
dengan arah perkembangan daerah serta
potensi daerah yang bersangkutan.
Jenis muatan lokal dapat berupa:
bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian
daerah, keterampilan dan kerajinan daerah,
adat istiadat, dan pengetahuan tentang
berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar,
serta hal-hal yang dianggap perlu oleh
daerah yang bersangkutan.
Kebutuhan Pendidikan Kesehatan
Reproduksi Masuk Kurikulum
Pendidikan kesehatan reproduksi
bagi remaja merupakan hal yang sangat
penting
sehingga
perlu
dilembagakan/diorganisir. Banyak yang
beranggapan bahwa materi kesehatan
249
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
reproduksi selama ini telah masuk dalam
mata pelajaran yang ada. Beberapa unsur
kesehatan reproduksi memang sudah ada
dalam mata pelajaran yang ada. Namun
pada dasarnya materi tersebut masih kurang
bobotnya dan kurang terintegrasi. Hal
tersebut
menyebabkan
permasalahanpermasalahan remaja terkait dengan
kesehatan reproduksi, tidak mendapatkan
solusi yang tepat.
Beberapa pihak juga masih khawatir
jika pendidikan kesehatan reproduksi masuk
dalam kurikulum. Mereka khawatir dengan
adanya materi reproduksi dalam kurikulum
maka akan semakin mendorong remaja
untuk mempraktekan hubungan seksual.
Pada dasarnya kekhawatiran tersebut tidak
perlu, karena berdasarkan penelitian WHO
yang dilakukan di 68 negara di seluruh
dunia menunjukkan, bahwa pendidikan
kesehatan reproduksi remaja di sekolah
malah menunda keinginan remaja untuk
berhubungan seksual pada usia muda dan
mendorong mereka melindungi diri mereka
dari HIV/AIDS. Contohnya di Uganda,
adanya pendidikan kesehatan reproduksi,
IMS (Infeksi Menular Seksual) pada remaja
perempuan menurun secara dramatis dari
23% menjadi 5% pada tahun 2002, hal yang
sama juga terjadi di Zambia. Fenomena
tersebut juga terjadi pada laki-laki Thailand,
dari 143.000 menjadi 29.000 orang per
tahun selama satu dekade terakhir.
PSS PKBI DIY pada tahun 2005
telah
melakukan
sebuah
assesment
kebutuhan akan pendidikan kesehatan
reproduksi untuk dimasukkan ke dalam
kurikulum. Hasil assesmen tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas responden
siswa
(94%)
merasa
membutuhkan
pelajaran kesehatan reproduksi karena
sangat berguna untuk memahami, menjaga
dan berperilaku seks yang sehat. Kebutuhan
akan Mata Pelajaran kesehatan reproduksi
pada sebagian besar responden siswa
(84,8%) dikarenakan materi kesehatan
reproduksi belum terdapat pada Mata
Pelajaran lainnya dan Mata Pelajaran yang
ada dirasa belum cukup untuk mengetahui
dan menjaga organ reproduksinya oleh
57,8% responden siswa. Hanya 36,4%
responden yang merasa bahwa Mata
Pelajaran yang ada sudah memberikan
materi untuk memahami dan menjaga
kesehatan reproduksi-nya.
Dalam penelitian tersebut juga
ditunjukkan fakta sebanyak 58,3% siswa
sekolah menengah menghendaki Mata
Pelajaran kesehatan reproduksi jika ada
tambahan pelajaran. Data ini juga didukung
oleh data lain tentang pilihan jenis mata
pelajaran tambahan. Sebanyak 61,8%
responden menghendaki menjadikan Mata
Pelajaran kesehatan reproduksi sebagai
pilihan pertamanya. Ada kekhawatiran dari
pihak pengajar tentang asumsi kepadatan
jam mata pelajaran ketika akan ditambah
mata pelaharan kesehatan reproduksi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa
merasa tidak sulit untuk menerima materi
kesehatan
reproduksi
sebagai
Mata
Pelajaran tersendiri. Hal itu ditunjukkan
oleh sebanyak (54,7%) responden yang
menghendaki agar Mata Pelajaran kesehatan
reproduksi itu dijadikan sebagai muatan
lokal. Alokasi waktu yang dikehendaki
sebagian besar siswa (47,3%) untuk
memberikan Mata Pelajaran kesehatan
reproduksi adalah 2 jam dalam seminggu.
Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam
Mata
Pelajaran
Tingkat
Satuan
Pendidikan.
Pendidikan kesehatan reproduksi
yang ada dalam kurikulum standar
kompetensi
lulusan
mata
pelajaran
dirasakan masih sangat kurang/minim.
Dalam standar kompetensi lulusan mata
pelajaran ada beberapa mata pelajaran yang
membahas mengenai kesehatan reproduksi.
Namun karena hal tersebut dibahas dalam
tiap mata pelajaran yang berbeda maka
250
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tujuan utama
pendidikan kesehatan
reproduksi menjadi tidak tercapai.
Minimnya
materi
kesehatan
reproduksi dalam kurikulum mata pelajaran
terjadi merata, pada tingkat satuan
pendidikan SD, SLTP/MTs maupun
SMA/MA. Berikut adalah unsur-unsur
kesehatan reproduksi yang ada dalam mata
pelajaran yang ada saat ini, sesuai dengan
Standar Kompetensi dan Standar Isi.
SD/MI
a) Pendidikan Agama
Berperilaku terpuji dalam kehidupan
sehari-hari serta menghindari perilaku
tercela.
b) Pendidikan Kewarganegaraan
i. Menerapkan hidup rukun dalam
perbedaan
ii. Memahami dan menerapkan hidup
rukundi rumah dan di sekolah
c) Ilmu Pendidikan Alam (IPA)
Memahami bagian-bagian tubuh pada
manusia, hewan, dan tumbuhan, serta
fungsinya dan perubahan pada makhluk
hidup
d) Ilmu Pendidikan Sosial (IPS)
i. Memahami identitas diri dan
keluarga, serta mewujudkan sikap
saling
menghormati
dalam
kemajemukan keluarga
ii. Mendeskripsikan kedudukan dan
peran anggota dalam keluarga dan
lingkungan tetangga, serta kerja
sama di antara keduanya
e) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan (Penjaskes).
Memahami budaya hidup sehat dalam
bentuk menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, mengenal makanan sehat,
mengenal berbagai penyakit dan
pencegahannya serta menghindarkan
diri dari narkoba.
Pada kurikulum mata pelajaran
tingkat satuan pendidikan SD di atas
tampak bahwa materi kesehatan reproduksi
masih sangat minim. Jika dilihat dari
perkembangan anak sekarang ini, peserta
didik untuk tingkat satuan pendidikan SD
organ reproduksinya sudah mulai matang.
Hal ini dapat diketahui dari kenyataan
bahwa sebagian besar peserta didik
perempuan pada tingkat satuan pendidikan
SD, rata-rata mendapatkan menstruasi
pertama pada usia 10 -12 tahun (kira-kira
antara kelas III -VI). Bahkan pada kasuskasus tertentu ada juga peserta didik yang
mengalami menstruasi sebelum itu. Hal
tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak
faktor, misalnya gizi, dan pergaulan di
rumah maupun di lingkungan masyarakat.
Pada peserta didik laki-laki juga terjadi hal
yang hampir sama. Mereka mengalami
mimpi basah pada usia yang kurang lebih
sama dengan usia mendapatkan menstruasi
pertama pada peserta didik perempuan,
yaitu pada usia 11-12 tahun.
SLTP/MTs
a) Pendidikan Kewarganegaraan
Ada 2 (dua) point yang ‖masih
mungkin‖ walau masih sangat umum
sekali, yaitu:
i.
Memahami dan menunjukkan sikap
positif
terhadap
norma-norma
kebiasaan, adat istiadat dan
peraturan
ii. Menunjukkan sikap kritis dan
apresiatif
terhadap
dampak
globalisasi
b) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan (Penjaskes).
Hanya ada 1 (satu) point dan itu pun
lebih ditekankan pada sifat-sifat yang
masih sangat mendasar, yaitu:
Memahami budaya hidup sehat dalam
kehidupan sehari-hari seperti perawatan
tubuh serta lingkungan, mengenal
berbagai
penyakit
dan
cara
pencegahannya serta menjauhi narkoba.
c) Ilmu Pendidikan Alam (IPA)
Hanya ada 1 (satu) point dan sifatnya
masih sangat umum, yaitu:
Memahami sistem organ pada manusia
dan kelangsungan makhluk hidup.
251
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
d) Ilmu Pendidikan Sosial (IPS).
Ada 3 (tiga) point yang bisa dikritisi,
yaitu:
i.
Memahami proses interaksi dan
sosialisasi
pembentukan
kepribadian manusia
ii. Mendeskripsikan perubahan sosialbudaya dan tipe-tipe perilaku
masyarakat,
mengidentifikasi
berbagai penyakit sosial akibat
penyimpangan
sosial
dalam
masyarakat,
dan
upaya
pencegahannya
iii. Mendeskripsikan manusia sebagai
makhluk sosial dan ekonomi,
mengidentifikasi tindakan ekonomi
berdasar motif dan prinsip ekonomi
dalam memenuhi kebutuhannya
SMA/MA
a) Pendidikan Kewarganegaraan.
Ada 2 (dua) point yang ‖masih
mungkin‖ walau masih sangat umum
sekali, yaitu:
i.
Memahami dan menunjukkan sikap
positif terhadap penegakan hukum,
peradilan nasional
ii. Menganalisis
pola-pola
dan
partisipasi aktif dalam pemajuan,
penghormatan serta penegakan
HAM baik di Indonesia maupun di
luar negeri
b) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan (Penjaskes).
Hanya ada 1 point dan itu pun lebih
ditekankan pada sifat-sifat yang masih
sangat mendasar, yaitu:
Memahami budaya hidup sehat dalam
kehidupan
sehari-hari
seperti
perawatan tubuh serta lingkungan yang
sehat, mengenal berbagai penyakit dan
cara pencegahannya serta menghindari
NARKOBA dan HIV/AIDS
c) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Hanya ada 1 (satu) point dan sifatnya
masih sangat umum, yaitu:
Memahami konsep sel dan jaringan,
keterkaitan antara struktur dan fungsi
organ, kelainan dan penyakit yang
mungkin terjadi pada sistem organ serta
implikasinya pada sains, lingkungan,
teknologi, dan masyarakat
d) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ada 6 (enam) point yang bisa dikritisi,
yaitu:
i.
Memahami proses interaksi sosial di
dalam masyarakat dan norma yang
mengatur hubungan tersebut serta
kaitannya
dengan
dinamika
kehidupan sosial
ii. Mengindentifikasi
kegiatan
bersosialisasi
sebagai
proses
pembentukan kepribadian
iii. Mengidentifikasi berbagai perilaku
menyimpang dan anti sosial dalam
masyarakat
iv.
Menganalisis
hubungan
antara
struktur dan mobilitas sosial dalam
kaitannya dengan konflik sosial
v.
Mendeskripsikan berbagai bentuk
kelompok
sosial
dan
perkembangannya
dalam
masyarakat yang multikultural
vi.
Menjelaskan proses perubahan
sosial
pada
masyarakat
dan
dampaknya terhadap kehidupan
masyarakat
Berdasarkan uraian beberapa materi
kesehatan reproduksi yang terdapat dalam
mata pelajaran untuk tingkat satuan
pendidikan SMP dan SMA yang saat ini
ada, dapat diketahui bahwa materi
pendidikan kesehatan reproduksi masih
sangat minim. Oleh karena itu, perlu untuk
segera ditambahi dan dijadikan satu mata
pelajaran tersendiri agar tujuan kesehatan
reproduksi yang ingin dicapai dapat
terwujud.
Polling yang dilakukan oleh divisi
PSS (Pusat Studi Seksualitas), PKBI DIY,
menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan
reproduksi
memang
sudah
sangat
mendesakuntuk segera diterapkan pada
252
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
remaja. Hal tersebut ditunjukkan oleh sikap
responden yang sebagian besar (60,71%)
memilih kesehatan reproduksi masuk dalam
mata pelajaran sendiri. Sisanya memilih
untuk disisipkan dalam mata pelajaran
tertentu
dan
menjadi
kegiatan
ekstrakurikuler.
Berdasarkan polling yang sama, juga
diketahui permasalahan-permasalahan yang
menghambat masuknya materi pendidikan
kesehatan reproduksi untuk menjadi mata
pelajaran tersendiri. Permasalahan yang
paling banyak menghambat adalah tidak
adanya kebijakan yang mengatur (68,75%),
disusul kepadatan jam pelajaran (64,29%),
ketersediaan tenaga pengajar (59,82%),
ketersediaan materi terkait pendidikan
kesehatan reproduksi (41,07%), dan
ketersediaan dana (37,50%)
Landasan
Peraturan
Penerapan
Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Penerapan pendidikan kesehatan
reproduksi dalam kurikulum yang paling
mungkin adalah dalam kurikulum lokal. Hal
tersebut didasarkan pada keadaan daerah
dan kebutuhan peserta didik akan informasi
kesehatan reproduksi di tiap-tiap daerah
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, materi
kesehatan reproduksi yang akan diterapkan
harus disesuaikan dengan keadaan dan
kebutuhan di daerah masing-masing.
Landasan
hukum
penerapan
pendidikan kesehatan reproduksi dalam
kurikulum lokal adalah Undang-Undang
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
daerah,
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat
(1) dan pasal 38 ayat (2), serta Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Kebijakan pengembangan kurikulum
berdasarkan standar isi dan standar
kompetensi lulusan, diatur berdasarkan tiga
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional,
yaitu Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Permen Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
Permen Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor
23 Tahun 2006.
Peraturan
Menteri
Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi
Lulusan
untuk
Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, terdapat
beberapa hal yang dapat dicermati dan dapat
dijadikan
landasan
hukum
untuk
mengusulkan adanya Pendidikan Kesehatan
Reproduksi dalam mata pelajaran di tingkat
SLTP dan SMA.
a. Pasal 1
1) Satuan pendidikan dasar dan
menengah mengembangkan dan
menetapkan
kurikulum
tingkat
satuan pendidikan dasar dan
menengah sesuai kebutuhan satuan
pendidikan
yang
bersangkutan
berdasarkan UU No.20 Tahun 2003,
PP. No.19 Tahun 2005, Permen
No.22 Tahun 2006, dan Permen
No.23 Tahun 2006.
2) Pengembangan dan penetapan
kurikulum tingkat satuan pendidikan
dasar dan menengah memperhatikan
panduan penyusunan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah yang disusun Badan
Standar
Nasional
Pendidikan
(BSNP)
253
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
3) Satuan pendidikan dasar dan
menengah dapat mengadopsi atau
mengadaptasi model kurikulum
tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah yang disusun oleh BSNP
4) Kurikulum satuan pendidikan dasar
dan menengah ditetapkan oleh
kepala satuan pendidikan dasar dan
menengah setelah memperhatikan
pertimbangan dari Komite Sekolah
atau Komite Madrasah
b. Pasal 3
1) Gubernur dapat mengatur jadwal
pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah,
untuk satuan pendidikan menengah
dan satuan pendidikan khusus,
disesuaikan dengan kondisi dan
kesiapan satuan pendidikan di
propinsi masing-masing
2) Bupati/walikota dapat mengatur
jadwal
pelaksanaan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah,
untuk satuan pendidikan dasar,
disesuaikan dengan kondisi dan
kesiapan satuan pendidikan di
kabupaten/kota masing-masing
3) Menteri Agama dapat mengatur
jadwal
pelaksanaan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah,
untuk satuan pendidikan Madrasah
Ibtidaiyah
(MI),
Madrasah
Tsanawiyah
(MTs),
Madrasah
Aliyah (MA), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan
(MAK),
disesuaikan
dengan kondisi dan kesiapan satuan
pendidikan yang bersangkutan
c. Pasal 4
1) BSNP
melakukan
pemantauan
perkembangan
dan
evaluasi
pelaksanaan Permen No.22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Permen No. 23
Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah,
pada tingkat satuan pendidikan,
secara nasional
2) BSNP dapat mengajukan usul revisi
Permen No.22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Permen
No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah
sesuai
dengan
keperluan
berdasarkan pemantauan hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
d. Pasal 7
1) Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional:
a) mengembangkan model-model
kurikulum sebagai masukan bagi
BSNP;
b) mengembangkan
dan
mengujicobakan model-model
kurikulum inovatif;
c) mengembangkan
dan
mengujicobakan
model
254
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kurikulum untuk pendidikan
layanan khusus;
d) bekerjasama dengan perguruan
tinggi
dan/atau
LPMP
melakukan
pendampingan
satuan pedidikan dasar dan
menengah dalam pengembangan
kurikulum satuan pendidikan
dasar dan menengah;
e) memonitor secara nasional
penerapan Permen No.22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Permen No. 23
Tahun 2006 tentang Standar
Kopetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah,
mengevaluasinya,
dan mengusulkan rekomendasi
kebijakan
kepada
BSNP
dan/atau Menteri;
e. Pasal 8
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
memfasilitasi pengembangan kurikulum
dan tenaga dosen LPTK yang
mendukung pelaksanaan Permen No.22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan
Pendidikan
Dasar
dan
Menengah dan Permen No. 23 Tahun
2006 tentang Standar Kopetensi
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah
Prinsip-Prinsip Dasar Mengembangkan
Pendidikan
Kesehatan
Reproduksi
Sebagai Muatan Lokal (Mulok)
Ruang Lingkup Mulok
Kurikulum mulok terdiri dari
beberapa mata pelajaran yang berfungsi
memberikan kesempatan kepada peserta
didik
untuk
menumbuhkembangkan
pengetahuan dan kompetensinya sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
Kurikulum muatan local adalah
seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pelajaran yang
ditetapkan oleh daerah sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan daerah masingmasing serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar (Depdikbud dalam E. Mulyasa,
1999: 5).
Penentuan isi dan bahan pelajaran
mulok didasarkan pada keadaan dan
kebutuhan lingkungan, yang dituangkan
dalam mata pelajaran dengan alokasi waktu
yang berdiri sendiri.
a. Keadaan daerah adalah segala sesuatu
yang terdapat di daerah tertentu yang
pada dasarnya berkaitan dengan
lingkungan alam, ligkungan sosial dan
ekonomi, serta lingkungan budaya.
b. Kebutuhan daerah adalah segala
sesuatu
yang
diperlukan
oleh
masyarakat di suatu daerah, khususnya
untuk
kelangsungan
hidup
dan
peningkatan
taraf
kehidupan
masyarakat sesuai dengan arah
perkembangan serta potensi daerah
yang bersangkutan. Misal kebutuhan
daerah
1) Melestarikan dan mengembangakan
budaya daerah yang positif dan
bermanfaat bagi masyarakat
2) Meningkatkan penguasaan bahasa
asing
untuk
mempersiapkan
masyarakat menghadapi globalisasi.
3) Meningkatkan kemampuan untuk
mendongkrak kebutuhan daerah.
4) Meningkatkan life skill yang
menunjang pemberdayaan individu
dalam
melakukan
tugas
pembelajaran lebih lanjut
5) Meningkatkan
kemampuan
berwirausaha untuk mendongkrak
kemampuan ekonomi masyarakat,
baik secara individu, kelompok
maupun daerah
Tujuan Mulok
Secara umum mulok bertujuan
untuk memberikan bekal pengetahuan,
ketrampilan dan sikap hidup pada peserta
255
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
didik agar memiliki wawasan yang mantap
tentang lingkungan dan masyarakat sesuai
dengan nilai yang berlaku di daerahnya dan
mendukung kelangsungan pembangunan
daerah serta pembangunan nasional
(Depdiknas, 2006)
Secara khusus tujuan mulok adalah
sebagai berikut :
1. mengenal dan menjadi lebih akrab
dengan lingkungan alam, sosial dan
budayanya
2. memiliki bekal kemampuan dan
ketarmpilan
serta
pengetahuan
mengenai daerahnya yang berguna bagi
dirinya sendiri maupuan lingkungan
masyarakat pada umumnya
3. memiliki sikap dan perilaku yang
selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan
yang berlaku di daerahnya, serta
melestarikan dan mengembangkan
nilai-nilai luhur budaya setempat dalam
rangka
menunjang
pembangunan
nasional.
Lingkup Pelaksanaan Mulok
Setiap sekolah dapt memilih dan
melaksanakan mulok sesuai dengan
karakteristik
peserta
didik,
kondisi
masyarakat, serta kemampuan dan kondisi
sekolah dan daerah masing-masing.
Beberapa kemungkinan lingkup wilayah
berlakunya kurikulum mulok :
1. Pada seluruh kabupaten/kota dalam
suatu propinsi, khususnya di SMA/MS
dan SMK
2. hanya pada satu kabupaten/kota atau
beberapa kab/kota tertentu dalam suatu
propinsi yang memiliki karakteristik
yang sama
3. Pada seluruh kecamatan dalam suatu
kabupaten/kota
yang
memiliki
karakteristik yang sama.
Waktu Untuk Mulok di Setiap Jenjang
Pendidikan
Dalam dokumen struktur kurikulum
tentang standar isi, alokasi waktu untuk
mulok di setiap jenjang pendidikan hampir
sama, yakni 2 jam pelajaran per minggu.
Bedanya terletak pada lama waktu per jam
untuk masing-masing jenjang. Secara detail
bisa dijelaskan sebagai berikut :
a. Jenjang Pendidikan Dasar
1) SD/MI/SDLB, masing-masing 2 jam
pelajaran per minggu (1 jam
pelajaran = 35 menit)
2) SMP/MTs/SMPLB, masing-masing
2 jam pelajaran per minggu (1 jam
pelajaran = 40 menit)
b. Jenjang Pendidikan Menengah
1) SMA/MS/SMALB, masing-masing
2 jam pelajaran per minggu (1 jam
pelajaran = 45 menit)
2) SMK/MAK, masing-masing 2 jam
pelajaran per minggu (1 jam
pelajaran = 45 menit dan durasi
waktu 192 jam)
Kalau dilihat secara lebih jeli,
struktur kurikulum membuka peluang bagi
satuan pendidikan untuk mengadakan
kegiatan belajar mengajar secara efektif
dalam satu tahun pelajaran (dua semester),
baik untuk jenjang pendidikan dasar atau
menengah, sebanyak 34 sampai 38 minggu.
Tersedianya waktu kisaran dalam satu tahun
pelajaran tersebut membuka peluang untuk
mewajibkan bagi adanya muatan lokal dari
setiap jenjang pendidikan dan untuk setiap
kelas. Akan tetapi hal yang perlu didalami
lagi adalah pelaksanaan per sekolah
berbeda-beda tergantung pengambangan
kurikulum di setiap sekolah.
Pengembangan Kurikulum Mulok
Langkah-langkah
dalam
pengembangan mata pelajaran muatan
lokal, antara lain:
1. Mengidentifikasi
keadaan
dan
kebutuhan daerah
2. Menentukan fungsi dan susunan atau
komposisi Mulok
3. Mengidentifikasi bahan kajian Mulok
4. Menentukan Mata Pelajaran Mulok
256
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
5. Mengembangkan Standar Kompetensi
dan
Kompetensi
Dasar
beserta
silabusnya
Pihak-pihak yang terlibat dalam
pengembangan mata pelajaran muatan lokal
antara lain TPK, LPMP, Perguruan Tinggi,
Instansi/lembaga di luar Depdiknas
(Pemerintah
Daerah/Bapeda,
dunia
usaha/industri, dan tokoh masyarakat).
Beberapa batasan-batasan yang
harus dipenuhi dalam pengembangan mata
pelajaran muatan lokal, yaitu:
a. Sekolah yang mampu mengembangkan
SK dan KD beserta silabusnya dapat
melaksanakan Mulok. Bila belum
mampu, dapat melaksanakan Mulok
berdasarkan kegiatan-kegiatan yang
direncanakan oleh sekolah, atau dapat
meminta bantuan kepada sekolah yang
terdekat yang masih dalam satu
daerahnya. Bila beberapa sekolah
dalam satu daerah belum mampu
mengembangkan
dapat
meminta
bantuan TPK daerah, atau meminta
bantuan dari LPMP di propinsinya.
b. Bahan kajian disesuaikan dengan
tingkat perkembangan peserta didik
(pengetahuan dan cara berpikir,
emosional, dan sosial). Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar diatur
sedemikian
rupa
agar
tidak
memberatkan peserta didik dan tidak
mengganggu
penguasaan
pada
kurikulum nasional. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan Mulok dihindarkan
adanya pekerjaan rumah (PR).
c. Program
pengajaran
hendaknya
dikembangkan
dengan
melihat
kedekatan secara fisik dan secara
psikis. Dekat secara fisik, maksudnya
dalam lingkungan tempat tinggal dan
sekolah peserta didik. Sedangkan dekat
secara psikis maksudnya bahan kajian
tersebut
mudah
dipahami
oleh
kemampuan berpikir dan mencernakan
informasi sesuai dengan usianya.
d.
2.
3.
257
Untuk itu, bahan pengajaran hendaknya
disusun berdasarkan prinsip (1) bertitik
tolak dari hal-hal konkret ke abstrak;
(2) dikembangkan dari yang diketahui
ke yang belum diketahui; (3) dari
pengalaman lama ke pengalaman baru;
(4) dari yang mudah/sederhana ke yang
lebih sukar/rumit. Selain itu bahan
kajian/pelajaran hendaknya bermakna
bagi peserta didik yaitu bermanfaat
karena dapat membantu peserta didik
dalam kehidupan sehari-hari.
Bahan kajian/pelajaran hendaknya
memberikan keluwesan bagi guru
dalam memilih metode mengajar dan
sumber belajar seperti buku dan nara
sumber. Dalam kaitan dengan sumber
belajar,
guru
diharapkan
dapat
mengembangkan sumber belajar yang
sesuai dengan memanfaatkan potensi di
lingkungan sekolah, misalnya dengan
memanfaatkan tanah/kebun sekolah,
meminta bantuan dari instansi terkait
atau dunia usaha/industri (lapangan
kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat.
Selain itu guru hendaknya dapat
memilih dan menggunakan strategi
yang melibatkan peserta didik aktif
dalam proses belajar mengajar, baik
secara mental, fisik, maupun sosial.
Bahan kajian muatan lokal yang
diajarkan harus bersifat utuh dalam arti
mengacu
kepada
suatu
tujuan
pengajaran yang jelas dan memberi
makna kepada peserta didik. Namun
demikian bahan kajian muatan lokal
tertentu tidak harus secara terusmenerus diajarkan mulai dari kelas I
s.d VI atau dari kelas VII s.d IX, dan X
s.d XII. Bahan kajian muatan lokal juga
dapat disusun dan diajarkan hanya
dalam jangka waktu satu semester, dua
semester atau satu tahun ajaran.
Alokasi
waktu
untuk
bahan
kajian/pelajaran muatan lokal perlu
memperhatikan jumlah minggu efektif
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
untuk mata pelajaran muatan lokal
pada setiap semester.
Penilaian pencapaian kompetensi
dasar peserta didik dilakukan berdasarkan
indikator. Penilaian dilakukan dengan
menggunakan tes dan non tes dalam bentuk
tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja,
pengukuran sikap, penilaian hasil karya
berupa tugas, proyek dan/atau produk,
penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Prosedur Pengembangan Kurikulum
Mulok Di Wilayah
Pengembangan kurikulum Mulok di
setiap daerah dan wilayah pada dasarnya
dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan
tiap propinsi, dan Kepala Dinas Pendidikan
tiap Kota dan Kabupaten. (E. Mulyasa,
2006: 277). Ada beberapa prosedur yang
harus ditempuh dalam pengembangan
kurikulum Mulok
A. Pengembangan kurikulum Mulok di
tingkat propinsi
1. Mengkaji
kelengkapan
Mata
Pelajaran Mulok yang diusulkan
oleh setiap kota/kabupaten dan
kecamatan
2. Menentuan Mata Pelajaran Mulok
yang layak untuk dilaksankan di
wialyah yang bersangkutan, dengan
berbagai pertimbangan dari Tim
Pengambangan Kurikulum (TPK)
Mulok tingkat propinsi
3. Memberlakukan kurikulum Mulok
dengan Surat Keputusan (SK)
Kepala Dinas Pendidikan Propinsi.
Dalam SK tersebut, diatur Mulok
pilihan dan mulok wajib yang harus
dilaksanakan oleh setiap sekolah
dalam satu propinsi.
B. Pengembangan kurikulum Mulok di
tingkat kota atau kabupaten
1. Mengkaji
kelengkapan
Mata
Pelajaran Mulok yang diusulkan
oleh setiap kecamatan
2. Menentuan Mata Pelajaran Mulok
yang layak untuk dilaksankan di
wialyah yang bersangkutan, dengan
berbagai pertimbangan dari Tim
Pengambangan Kurikulum (TPK)
Mulok tingkat kota/kabupaten untuk
diusulkan ke Dinas Pendidikan
Propinsi
3. Memilih dan mengembangkan Mata
Pelajaran
Mulok
yang telah
ditetapkan Kepala Dinas Pendidikan
Propinsi untuk SMA, dan Kepala
Dinas Pendidikan Kota atau
kabupaten untuk SD dan SMP.
C. Pengembangan kurikulum Mulok di
tingkat kecamatan
1. Mengusulkan jenis-jenis Mulok
kepada Kepala Dinas Pendidikan
Kota/kabupaten
berdasarkan
kebutuhan masyarakat setempat
2. Memilih Mata Pelajaran Mulok
yang ditetapkan oleh Kepala Dinas
Pendidikan kota/kabupaten dan
Kepala Dinas Pendidikan kecamatan
untuk dilaksanakan di masingmasing sekolah
D. Pengembangan kurikulum Mulok di
tingkat sekolah
1. Sekolah
yang
tidak
dapat
melaksanakan atau memilih Mata
Pelajaran
Mulok
yang telah
ditetapkan Kepala Dinas Pendidikan
dapat
mengambangka
Mata
Pelajaran Mulok sesuai dengan
keadaaan dan kebutuhan dan
kemampuan masing-masing dengan
persetujuan Dinas Pendidikan
2. Untuk itu, sekolah ini harus
mengusulkan jenis Mulok kepada
Kepala
Dinas
Pendidikan
kota/kabupaten melalaui Kepala
Dinas Pendidikan kecamatan
3. menentukan Mata Pelajaran Mulok
dengan persetujuan Kepala Dinas
Pendidikan
kecamtan
dan
kota/kabupaten
4. bersama-sama
dengan
Dinas
Pendidikan kecamatan menentukan
Mata Pelajaran Mulok dengan
258
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
persetujuan
Dinas
Pendidikan
kota/kabupaten.
(E. Mulyasa, 2006: 277 - 279).
Kompetensi dalam Mulok Kesehatan
Reproduksi
Persoalan kompetensi memang
menjadi suatu wacana yang signifikan
menyusual sekian perubahan dalam
kebijakan di tanah Air. Dalam KTSP,
kompetnsi diturunkan menjadi bebeapa
tingkatan yang harus diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum, tak terkecuali
kurikuluam kespro. (Mulyasa, 2006: 91 –
124)
1. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
SKL adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang digunakan
sebagai pedoman penilaian dalam
penentuan kelulusan peserta didik dari
satuan
pendidikan.
SKL
pada
pendidikan dasar bertujuan untuk
meletakkan
dasar
kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia,
serta ketrampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
SKL pada jenjang pendidikan menengah
bertujuan
untuk
meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
akhlak mulia, serta ketrampilan untuk
hidup
mandiri
dan
mengikuti
pendidikan lebih lanjut. SKL pada
jenjang pendidikan menengah kejuruan
bertujuan
untuk
meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
akhlak mulia, serta ketrampilan untuk
hidup
mandiri
dan
mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya. Secara lebih detail SKL
untuk setiap jenjang pendidikan sudah
diatur dalam Permen No 24/2006.
2. Standar Kompetensi Kelompok Mata
Pelajaran (SK-KMP)
Setelah SKL, kompetensi kemudian
diperinci lagi ke dalam Standar
Komptensi Kelompok Mata Pelajaran
(SK-KMP). SK-KMP adalah kualifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang
dicapai pada setiap tingkat dan atau
semester untuk kelompok Mata
Pelajaran tertentu.
Dalam sistem pendidikan nasional dan
kerangka dasar kurikulum di Indonesia
(UU 20/2003) dikenal 5 kelompok Mata
Pelajaran yakni (1) Agama dan Akhlak
Mulia, (2) Kewarganegaraan dan
Kepribadian, (3) Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, (4) Estetika, dan (5)
Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan.
3. Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar (SKKD)
SKKD adalah arah dan landasan untuk
mengembangkan materi pokok, kegitan
pembelajaran, dan indikator pencapaian
komptensi untuk penilaian. Sedangkan
untuk merancang kegiatan pembelajaran
dan penilaian perlu memperhatikan
standar proses dan standar penilaian.
SKKD sudah dibuatkan secara nasional
oleh Depdiknas. Sekolah tinggal
menjabarkan,
menganalisa
dan
mengembangkan
indikator
dan
menyuesuaikan
SKKD
degan
karakteristik dan perkembangan peserta
didik, situasi dan kondisi sekolah serta
kondisi dan kebutuhan daerah. Tugas
guru dengan demikian adalah mengemas
hasil analisis tersebut dalam KTSP yang
berisi Silabus dan RPP.
SKKD dalam suatu Mata Pelajaran,
misalanya Kespro, minimal memiliki 4
unsur, yakni (1) Latar Belakang yang
menggambarkan pentingnya bahan
pembelajaran untuk 1 tingkat/semester
dalam jenjang pendidikan tertentu, (2)
Tujuan
pembelajaran
dalam
1
tingkat/semester
dalam
jenjang
pendidikan tertentu, dan (3) ruang
Lingkup
pembelajaran
dalam
1
tingkat/semester
dalam
jenjang
pendidikan tertentu, dan (4) tabel SK
dan KD.
259
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
4. Menurunkan SKKD ke Dalam Indikator
Kompetensi
Setelah SKKD tersusun, maka KD
dijabarkan
ke
dalam
indikator
komptensi. Mulyasa menggunakan teori
pendidikan Moore (2001: 92-94) untuk
menjelaskan indikator ini. Ada 3 aspek
penting dalam melihat indikator yakni
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Setiap aspek memiliki sub aspek, dan
setiap sub-aspek memiliki inidikator
kemampuan aktual masing-masing.
(1) Aspek kognitif ada sub-aspek
pengetahuan, pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis dan evaluasi.
(2) Aspek afektif memiliki sub aspek
penerimaan, menanggapi, penanaman
nilai,
pengorganisasian,
dan
karakterisasi.
(3) Aspek psikomotor memiliki sub
aspek seperti pengamatan, peniruan,
pembiasaan, dan penyesuaian.
Setiap sub aspek ini memliki beberapa
indikator yang berupa beberapa kata
kerja turunan yang bisa dilihat dari diri
peserta didik seperti menyebutkan,
menuliskan,
mengurutkan,
mengidentifikasi, mencocokkan, dan
lain sebagainya. Secara lebih lengkap
baca di Mulyasa (2006: 130 – 144).
Pelaksanaan Pembelajaran Mulok
Kesehatan Reproduksi
Dalam konteks KTSP, mulok kespro
sebenarnya adalah bagian kecil yang harus
dibuat oleh sekolah dalam menyusun KTSP
secara
komprehensif
dengan
memperhatikanm 6 komponen KTSP.
Pembuatan bahan pembelajaran mulok
kespro adalah usulan yang bisa membantu
pihak sekolah untuk memasukkannya ke
dalam
struktur
KTSP.
Pelaksanaan
penyusunan bahan pembelajaran Mulok
hampir sama dengan Mata Pelajaran lain
yang secara garis besar adalah sebagai
berikut :
1. Mengkaji SI, SKL, SK-KMP, SK-MP,
SKKD. Hal ini sudah diterangkan di
atas.
2. Mengkaji Silabus
Ada beberapa langkah menyusun silabus
yakni :
a. Mengisi Kolom identitas
b. Memasukkan hasil analisi SK-KD
c. Merumuskan Indikator Pencapaian
Komptensi
d. Mengidentifikasi Materi Standar
e. Mengambangkan Pengalaman
(standar proses)
f. Menentukan Jenis Penilaian
g. Alokasi Waktu
h. Menentukan Sumber Belajar
3. membuat Rencana pelaksanaan
Pembelajaran (RPP)
Ada beberapa langkah menyusun silabus
yakni :
a. Mengisi Kolom identitas
b. Menentukan alokasi waktu yang
dibutuhkan untuk pertemuan yang
telah ditetapkan
c. Menentukan SKKD dan indikator
sebagaimana dalam silabus
d. Merumuskan tujuan pembelajaran
berdasarkan SKKS dan indikator
e. Mengidentifikasi materi standar
berdasarkan materi pokok
f. Menentukan metode pembelajaran
yang akan digunakan
g. Merumuskan
langkah-langkah
pembelajaran yang terdiri dari
kegiatan awal, inti dan akhir
h. Menentukan sumber belajar yang
digunakan
i. Menyusun kriteria penilaian, lembar
pengamatan, contoh soal dan teknik
penskoran
4. Mempersiapkan Penilaian
Secara garis besar penilian melewati
proses (1) Pre-Test, (2) Pembentukan
Komptensi lewat kegiatan belajar
mengajar, (3) Post Test.
Bentuk Penilaian pendidikan dalam
KTSP secara jenis bisa dibagi menjadi
260
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
(a) Penilaian kelas : ulangan baik
harian, umum atau ujian akhir
(b) Tes Kemampuan Dasar : sebagai
program intensif dan remedial yang
dilakukan secara periodik, misalnya
setiap akhir tahun pelajaran
(c) Penilaian
Akhir
:
untuk
mendapatkan sertifikasi kelulusan
(d) Benchmarking : standar kerja dan
proses untuk mengukur hasil dan
keunggulan tertentu.
(e) Penilaian Program :
untuk
mengukur program pembelajarn di
tiap-tiap satuan pendidikan.
Kesimpulan
Kasus-kasus
terkait
dengan
kesehatan reproduksi, seperi kematian ibu
dan anak saat proses melahirkan, kehamilan
tak diinginkan, aborsi, penyakit menular
seksual (PMS), HIV/AIDS, mempunyai
kecenderungan yang terus meningkat.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya terjadi
pada orang dewasa, tapi saat ini justru
banyak terjadi pada remaja (peserta didik).
Hal
tersebut
disebabkan
minimnya
informasi mengenai kesehatan reproduksi
dan atau akibat pemahaman informasi yang
salah. Perkembangan teknologi informasi
menyebabkan semakin mudahnya akses
terhadap segala informasi yang terkait
dengan kesehatan reproduksi. Segala
informasi dapat diakses mulai dari yang
dapat dipertanggungjawabkan sampai yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kurang
DAFTAR PUSTAKA
Embrio Edisi 23, Juni 2006.
Mulyasa, E., 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Rosda Karya,
Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006, Standar Isi
Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006, Standar Kompetensi Lulusan
Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006, Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Standar Pendidikan Nasional
PSS PKBI DIY, 2005, Analisa Kebutuhan dan Kebijakan Pendidikan Kesehatan
Reproduksi.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2004, Struktur Kurikulum, Jakarta
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintahan Daerah
261
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
262
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DIMENSI PEMBANGUNAN DALAM
BIDANG PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Rr. Wariyanti dan Ahmad Bashori
UniversitasSebelas Maret
ABSTRACT
The purpose of this article is to show the education of national, the
development and the problems in education of national, the national development,
education as part from development of human being and development strategy in
culture and education. Therefore, nasional development of Indonesia in the end
have to aim to reach unity state which is have democracy fair and also prosperous
and pursuant to Pancasila.
Keywords: education, culture, Pancasila
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan
proses
budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia, dan berlangsung
sepanjang hayat, serta dilaksanakan
dilingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Karena itu, pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara
keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Pendidikan harus dikelola dalam sistem
yang terpadu dan serasi, baik antar sektor
pendidikan dan sektor pembangunan
lainnya; antar daerah dan antar berbagai
jenis jenjang dan jenisnya.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus
mengartikan pendidikan sebagai perjuangan
bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada
Pancasila dan UUD 1945. SISDIKNAS
mengamanatkan pendidikan sebagai proses
pemberdayaan yang mampu membentuk
watak dan peradaban bangsa yang
bermatabat, menjadikan manusia beriman,
bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Setiap kali pembicaraan seputar
pendidikan nasional, pada saat yang
bersamaan, bayang-bayang ideologi tertentu
selalu mengikuti. Pendidikan nasional yang
berada di bawah bayang-bayang ideologi
penguasa kemudian menjelma menjadi jalur
paling efektif untuk melanggengkan
kekuasaan. Ketika pendidikan nasional
sudah menjadi bagian dari kepentingan
politik tertentu, maka tujuannya menjadi
mengambang. Bahkan, tujuan akan terasa
semakin kabur ketika intervensi penguasa
kelewat dominan. Pendidikan nasional juga
tidak mengemban tugas mulia membangun
mentalitas bangsa. Justru, pendidikan
nasional
menjelma
menjadi
agen
kepentingan politik penguasa.
Ketika pendidikan nasional sudah
menjadi alat bagi para penguasa, yang
terjadi bukannya proses pembangunan
mentalitas manusia-manusia Indonesia,
justru malah suatu proses pembunuhan
karakter bangsa sendiri. Pendidikan
nasional kemudian menjadi semacam alat
untuk menindas melalui kepentingan politik
tertentu.
Penindasan yang diakibatkan dari
kebijakan sistem pendidikan nasional justru
tidak mengenal ampun. Yang paling
merasakan penderitaan ini adalah kalangan
masyarakat bawah. Mereka menanggung
beban berat akibat kebijakan timpang.
Tanpa kritik untuk meluruskan atau
mengingatkan
para
penguasa
yang
memegang otoritas kekuasaan, selamanya
263
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pendidikan nasional akan menjadi ―kambing
hitam.‖ Pendidikan akan selalu menjadi
bulan-bulanan
para
penguasa
untk
menjejalkan kepentingan politik mereka.
Fungsi pendidikan menjadi tumpul.
Pendidikan bukannya berfungsi sebagai
proses mencerdaskan kehidupan bangsa
atau untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya, melainkan sebagai praktek
penindasan yang tertata secara sitematis
(struktural). Oleh itu, agenda kritik atas
kebijakan pendidikan nasional dalam hal ini
cukup penting.
Orientasi pembangunan, terutama di
bidang
pendidikan,
baru
sebatas
keberhasilan dari segi kuantitasnya. Tetapi
dari segi kualitasnya, kita semua masih bisa
membantah atau bahkan mendebatnya.
Mengentaskan kebodohan sepantasnya
menjadi agenda utama dalam sistem
pendidikan nasional.
Melalui tulisan ini saya ingin
mendeskripsikan pendidikan
nasional.
Perkembangan dan problematika dalam
pendidikan
nasional,
pembangunan
nasional, pendidikan sebagai bagian dari
pembangunan manusia, peranan manusia
dalam pembangunan, strategi pembangunan
di bidang pendidikan dan kebudayaan, dan
peranan pendidikan dalam pembangunan.
B. PENDIDIKAN NASIONAL
1. Pembangunan Pendidikan
Pembangunan Pendidikan adalah
proses perombakan structural subsistem
administrative yang berkenaan dengan
pengelolaan pendidikan dan subsistem
operasional yang berkenaan dengan
pengelolaan pendidikan dan pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar setiap satuan
pendidikan agar tercapai tingkat partisipasi,
efisiensi,
efektivitas,
dan
relevansi
pendidikan yang tinggi.
Masalah pokok pendidikan nasional
menurut (Redja Mudyahardjo, 2012) yaitu
(1) masalah partisipasi, (2) masalah efisiensi
pendidikan, (3)
masalah efektivitas
pendidikan, dan (4) masalah relevansi
pendidikan.
Adapun karakteristik pembangunan
pendidikan adalah (1) pembangunan
manusia seutuhnya, (2) pembangunan
pendidikan berpusat pada pembangunan
operasional dalam bentuk kegiatan belajarmengajar yang ditunjang oleh pembangunan
transformasi pengelolaan pendidikan di
tingkat pusat, wilayah dan sekolah yang
membangun
komponen-komponen
pendidikan, (3) pembangunan pelayanan
umum yang professional atau yang tepat
dan menyenangkan/memberi kepuasan
kepada para pelanggannya, dalam hal
pengembangan keseluruhan kemampuan
secara optimal dan bermanfaat bagi hidup,
(4) pembangunan yang memerlukan waktu
yang panjang dan berkesinambungan,
paling
tidak
satu
generasi
untuk
dapatmelihat hasil-hasilnya secara utuh, dan
(5) pembangunan pendidikan menghasilkan
orang-orang terpelajar, yang biasanya
disebut mencapai kedewasaan.
2. Fungsi dan Peranan hasil pendidikan
Selanjutnya fungsi pendidikan pada
umumnya adalah pendidikan mewariskan
peradaban masa lampau, karena melalui
orang-orang terdidik kehidupan masa
lampau dipertahankan sehingga peradaban
masa lampau tidak disia-siakan atau disalah
gunakan. Pendidkan melindungi masyarakat
dengan cara menyumbangkan kemampuan
mengendalikan diri pada orang-orang yang
menjadi anggota dan mengikat kesadaran
mereka debgan lembaga-lembaga social,
hukum dan tata tertib. Pendidikan tidak
hanya berfungsi mewariskan peradaban
lama, tetapi dapat pula menyumbangkannya
melalui karya-karya orang terdidik melalui
sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan
lainnya.
Peranan hasil pendidikan adalah
pengembangan tehnologi baru, menjadi
tenaga produktif dalam bidang konstruksi,
menjadi
tenaga
produktif
yang
264
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menghasilkan barang dan jasa, pelaku
generasi dan penciptaan budaya, dan
sebagai konsumen barang dan jasa.
C. PERKEMBANGAN DAN
PROBLEMATIKA DALAM
PENDIDIKAN NASIONAL
1. Perkembangan Pendidikan
Nasional
Kebijakan-kebijakan
pendidikan
nasional
seringkali
mengabaikan
kepentingan rakyat jelata. Orientasi
pendidikan telah banyak diselewengkan
oleh para penguasa dan berakibat vatal bagi
rakyat jelata. Karena, setiap kebijakan pasti
akan berpengaruh terhadap kehidupan
rakyat jelata. Kelompok social yang tak
berpunya (Non the have) atau lazim disebut
rakyat jelata akan menjadi tumbal dari
penindasan yang dilakukan secara sistematis
melalui jalur pendidikan nasional. Inilah
kenyataan fatal yang akhir-akhir ini mulai
menggejola.
Sebenarnya, fenomena penindasan
yang hampir kasat mata itu sudah mulai
sejak rezim orde baru (ORBA). Namun,
karena 32 tahun kebebasan berekpresi telah
dikekang oleh rezim otoriter orba, seolaholah rakyat jelata dalam kondisi adem
ayem, tenteram-nyaman, dan sejahtera.
Sringkali mendengar dari para orang tua
yang mengatakan jika dulu, pada masa
pemerintahan orba kehidupan di Indonesia
terasa lebih sejahtera. Rakyat hidup
tenteram, kondisi terasa adem ayem tanpa
berfikir neko-neko. Justru itulah gejala yang
oleh Paulo Freire sering disebut-sebut
budaya bisu (submerged of culture silent).
Kondisi masyarakat Indonesia pada
masa rezim orde baru sebenarnya, sedang
tenggelam dalam suatu keterkekangan.
Mereka sebenarnya berontak, tetapi tidak
kuasa
untuk
meluapkan
aspirasi.
Kampanye-kampanye kesejahteraan melalui
program-program pemerintah pada waktu
itu merupakan proses pembunuhan secara
masal terhadap karakter bangsa. Meskipun
agak terkesan makmur, namun kesadaran
kritis masyarakat justru makin tenggelam
bersama program-program pemerintah yang
seringnya mengatasnamakan pemerataan
kesejahteraan bagi rakyat.
Pendidikan pada masa orba telah
dijadikan sebagai ―kambing hitam.‖
Pendidikan telah dijadikan sebagai ajang
bulan-bulanan kepentingan politik orba.
Pendidikan juga telah menjadi media
indroktrinasi untuk menciptakan suatu
stigma akan kebesaran dan kemakmuran
bangsa di bawah kekuasaan orba.
Pemerintahan orba sering dinilai
sebagai puncak keberhasilan perekonomian
rakyat Indonesia. Padahal, dibalik itu,
penguasa sangat berkepentingan untuk
melanggengkan kekuasaan mereka. Itu
semua telah terbukti selama 32 tahun
pemerintahan rezim orba dipegang secara
mutlak oleh Suharto. Budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) pada waktu itu
semakin menguatkan otoritas kekuasaan
rezim ini.
Pendidikan sudah menjelma menjadi
media indoktrinasi kepentingan kekuasaan.
Bahkan, mata pelajaran sejarah telah
dibelokkan oleh kepentingan rezim untuk
maksud-maksud tertentu. Beberapa mata
pelajaran, pelatihan-pelatihan serta program
pendidikan lain lebih diarahkan kepada
peneguhan nilai-nilai yang kemudian
dimanfaatkan dengan baik oleh rezim
penguasa.
Kondisi
seperti
itulah
yang
sebenarnya telah dikritik secara habishabisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh
yang satu ini banyak mengkritik system
pendidikan nasional pada masa rezim orba
yang cenderung sentralistik dan banyak
diintervensi oleh penguasa. Pendidikan
kemudian hanya berfungsi sebagai alat
(media) untuk melanggengkan kekuasaan
rezim. Akibatnya, pendidikan nasional
hanya mampu melahirkan manusia-manusia
bermental budak. Manusia-manusia hasil
265
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
proses pendidikan nasional adalah mereka
yang bermental ―kuli‖ dan ―babu.‖
Manusia-manusia bernmental ―kuli‖
dan ―babu‖ tentu memiliki sifat inferior.
Ketidakberdayaan mereka sering dilukiskan
secara puitis lagi apik oleh Paulo Freire
dengan istilah budaya bisu. Yaitu suatu
kondisi ketakberdayaan kaum lemah yang
tidak kuasa meluapkan segala aspirasi
mereka.
Kondisi
yang
demikian,
sebenarnya, bukan karena factor alamiah,
tetapi lebih disebabkan oleh otoritas
kekuasaan yang berwenang-wenang. Dalam
istilah Dr. Mansour Faqih, kondisi mereka
bukan karena miskin sejak awalnya, tetapi
memang
karena
dimiskinkan
oleh
serangkaian kebijakan pemerintah yang
sama sekali tidak berpihak kepada rakyat
jelata (Mansour Faqih, 2004).
Pendidikan nasional yang telah
menjadi alat legitimasi kekuasaan pada
rezim orba bisa dilihat dari beberapa kasus.
Seperti pada pelaksanaan penataranpenataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan
lain-lain (Singgih Nugroho, 2004).
Pendidikan pada masa orba jelas tak
sejalan dengan tujuan nasional. Pendidikan
hanya mampu melahirkan manusia-manusia
bermental budak yang selalu terjajah.
Bahkan, ketika muncul tokoh-tokoh yang
kritis dan justru harus berhadapan dengan
kekuasaan tiranik yang anti kritik. Tak
jarang beberapa aktivis dan politisi kritis
menjadi sasaran pencekalan, atau sampai
harus dibunuh dengan alasan demi menjaga
stabilitas (kekuasaan?) Negara. Aneh
stabilitas kekuasaan lebih diidentikkan
dengan
stabilitas
nasional.
Inilah
pembodohan yang paling parah dalam
sejarah kehidupan bangsa Indonesia.
Setelah reformasi bergulir (1998),
bangsa Indonesia baru sadar akan
kebodohan dan kenistaan selama dipimpin
oleh rezim orba. Dengan tumbangnya rezim
orba, setelah Soeharto lengser dari
jabatannya 21 Mei 1998, bangsa Indonesia
secara bebas dan terbuka mengkritik segala
kebijakan pemerintah. Pasca reformasi,
iklim demokrasi mulai bersemi.
Dampak positif dari reformasi pada
tahun 1998 telah membuka kesadaran
kolektif bangsa dan sekaligus membuka
ruang bagi public untuk mengungkapkan
segala bentuk aspirasi mereka. Dari situlah
bangsa ini mulai sadar bahwa selama 32
tahun Indonesia telah dicengkeram oleh
kekuatan otoriter bernama rezim orba.
Kesadaran rakyat jelas semakin kritis pasca
reformasi bergulir.
Iklim kebebasan berekspresi dan
menyalurkan aspirasi semakin menjamin
kehidupan berbangsa di negeri ini. Jika
dicermati secara seksama, pada rezim orba
banyak dilakukan proyek pembangunan
untuk tujuan pemerataan. Namun, rakyat
Indonesia pada waktu itu tidak tahu-menahu
soal system yang berkuasa. Padahal, di
dalamnya telah mengerak system penuh
nepotisme, kolusi, dan korupsi. Rakyat
hanya tahu jika pada masa itu banyak di
bangun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang
jumlahnya luar biasa. Seakan-akan orba
sangat berjasa dalam pembangunan bangsa.
Sampai-sampai Soeharto mendapat gelar
―Bapak Pembangunan Indonesia.‖
Dalam
konteks
pembangunan
pendidikan nasional, kita semua tahu,
bahwa pada masa rezim orba banyak
dibangun gedung-gedung sekolah inpres
(instruksi
presiden).
Gedung-gedung
Sekolah Dasar (SD) dibangun dengan
jumlah ribuan sehingga mengesankan,
bahwa pembangunan telah merata. Dan
memang, pada waktu itu, asa pembangunan
nasional salah satu diantaranya adalah untuk
pemerataan.
Akan tetapi pembangunan besarbesaran di bidang pendidikan pada masa
orba
mengindikasikan
sebatas
pembangunan fisik semata. Orientasi
pembangunan,
terutama
dibidang
pendidikan, baru sebatas keberhasilan dari
266
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
segi kualitasnya, kita semua masih bisa
membantah atau bahkan mendebatnya. Kita
harus sadar yang namanya pendidikan itu
memiliki tanggung jawab yang berat.
Pendidikan bertujuan untuk membangun
mentalitas manusia-manusia bukannya
pembangunan fisik semata.
Dalam system pendidikan nasional
pada masa orba, muatan kurikulumnya
sempat dimanfaatkan oleh pemerintah yang
bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan.
Praktek
penataran
P4
(Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
merupakan bukti riil dari indoktrinasi
ideologi penguasa pada wakti itu.
Memasuki Indonesia baru, setelah
lengsernya Soeharto, tampil Preseiden Bj.
Habibie memimpin bangsa ini. Namun,
bangsa
Indonesiabelum
sepenuhnya
tercerahkan melalui kepemimpinannya.
Sebab, kekuatan orba pada waktu itu masih
mendominasi di parlemen. Hal itu pun
kemudian tidak terlalu banyak membawa
perubahan-perubahan yang mendasar pada
beberapa sector kehidupan berbangsa,
termasuk di dalamnya masalah pendidikan
nasional.
Pada
tahun
1999, Indonesia
kemudian berhasil menggelar Pemilu
system multi partai. Dari situlah menjadi
awal dari perkembangan demokrasi yang
telah dinanti-nanti. Terpilihnya K.H.
Abdurrahman Wahid menggantikn Bj.
Habibie membawa angin segar untuk
perubahan-perubahan. Bahkan, karakter
presiden yang telah lama tertempa melalui
beberapa LSM ini semakin menciptakan
stigma baru untuk posisi lembaga
kepresidenan.
Jika pada masa rezim orba, lembaga
kepresidenan itu bersifat immunited dari
kritik, dipandang sacral, kekuasaannya
melebihi DPR, tetapi di tangan Gus Dur
menjadi semakin cair. Maksudnya Gus Dur
lebih membuka peluang seluas-luasnya
untuk mengkritik pemerintah dan tidak
mensakralkan kembali posisi lembaga
kepresidenan.
Dengan
sikap
dan
karakter
pemegang kekuasaan eksekutif berpengaruh
besar pada segala aspek kehidupan bangsa.
Termasuk masalah pendidikan nasional
yang pada waktu itu di pegang oleh Yahya
Muhaimin. Pendidikan nasional, meskipun
belum tampak perubahan-perubahan yang
cukup signifikan, akan tetapi beberapa
agenda
telah
disiapkan
untuk
merekonstruksi system pendidikan warisan
orba. Beberapa aspek penyelengaraan
pendidikan nasional mulai dikaji ulang.
Terdapat bebrapa agenda pembenahan pada
waktu itu untuk pendidikan nasional ke
depan.
Namun, agenda tersebut sempat
berhenti sesaat ketika presiden K.H.
Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh
parlemen melalui Sidang Istimewa (SI)
pada 23 Juli 2001. Konflik politik pada
waktu itu malah menambah ruwet persoalan
bangsa. Pendidikan nasional juga ikut
terkena imbasnya.
Setelah kepeimpinan Gus Dur,
tampil Megawati Soekarno Putri sebagai
presiden RI ke-5. Duet Mega-Hamzah Haz
mengawali agenda perubahan di segala
bidang. Agenda reformasi sempat tersendatsendat akibat pertikaian polotik pada waktu
itu.
Kepemimpinan Mega-Hamzah Haz
ternyata kurang memiliki daya tawar di
pentas politik internasional. Bahkan,
kepemimpinan Mega sungguh-sungguh
menunjukkan karakter kepemimpinan yang
sangat lembek, sangat rawan terhadap
intervensi asing sehingga membuat runyam
persoalan-persoalan kebangsaan.
Posisi Menteri Pendidikan Nasional
pada waktu itu dipegang oleh Malik Fadjar.
Saat itu, memang belum banyak persoalan
system pendidikan nasional yang dibenahi.
Akan, tetapi, sedikit demi sedikit bebrapa
agenda mulai diusung sehingga terdapat
267
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sebuah kesan jika pendidikan nasional
sedang dalam proses pembaruan.
Pascareformasi dengan tumbangnya
rezim orba, dalam tataran konstitusional,
ada beberapa konstitusi yang sempat
diperbarui lewat amandemen UUD 1945.
Yang paling berpengaruh pada konteks
pendidikan
nasional
adalah
dengan
diberlakukannya
otonomi
daerah
(desentralisasi) dan perubahan pada pasalpasal yang cukup strategis dalam system
pendidikan nasional. Khusus mengenai
pasal cukup berpengaruh dalam menjawab
serta mengantisipasi berbagai persoalan
pendidikan nasional adalah pasal 31 ayat 4
tentang anggaran pendidikan (20%).
Lain juga
dengan kebijakan
pendidikan di era Bambang Sudibyo
sekarang ini. Meskipun kebijakan program
Mendiknas Bambang Sudibyo melanjutkan
pendahulunya, Malik Fadjar, akan tetapi
kompetensinya menduduki jabatan ini
diragukan oleh beberapa kalangan. Bahkan,
pertama kali menjabat sebagai mendiknas
telah banyak kebijakan controversial yang
menuai kritik disana-sini. Mulai dari
kebijakan Wajar 12 tahun, Ujian Nasional
(UN) hingga kasus privatisasi pendidikan,
masalah subsidi
pendidikan setelah
kenaikan BBM, Biaya Operasional Sekolah
(BOS) dan terakhir tentang Badan Hukum
Pendidikan (BPH).
Dibalik agenda otonomi pendidikan
ternyata
diboncengi
dengan
suatu
kepentingan. Dibalik itu semua ternyata
muncul kekuatan kapitalisme yang hendak
menjamah wilayah pendidikan nasional.
Dengan demikian, kedepan pendidikan di
Indonesia sedang berhadapan dengan
fenomena kapitalisasi.
Masih ketika posisi mendiknas
dipegang oleh Malik Fadjar. Pda waktu itu,
Departemen Pendidikan Nasional sedang
giat-giatnya menyelenggarakan program
sekolah unggulan. Beberapa institusi
pendidikan di tanah air pun banyak yang
menyesuaikan diri dengan program tersebut.
Maka, banyak sekali menjamur sekolahsekolah unggulan dengan bermacam-macam
label. Kesemuanya itu dalam rangka
merespon kebijakan Mendiknas tersebut.
Dalam prakteknya, ternyata banyak
institusi pendidikan dengan status unggulan
melimpahkan biaya pendidikan pada
masyarakat. Tidak terbayang lagi berapa
besar biaya pendidikan disekolah unggulan,
jumlahnya bukan hanya ratusan ributetapi
mencapai jutaan rupiah.
Secara umum fenomena pendidikan
yang mengarah pada komersialisasi telah
menggejala dimana-mana. Bukan hanya
pada institusi pendidikan yg berstatus
unggulan tetapi sekolah-sekolah umum atau
standarpun menerapkan system manajemen
pendidikan yang serupa.
2. Problematika Pendidikan
Nasional
a. Profesionalisme Mendiknas
Menguatnya wacana pendidikan
nasional,
terutama
sekali
setelah
pembentukan struktur Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB), semakin banyak mengisi
diskusi-diskusi lokal ditanah air. Beberapa
jabatan menteri memang telah di nilai
bernuansa kompromi sehingga berakibat
mengabaikan profesionalisme, sebagai
contoh Mendiknas mulai dari KIB dibentuk.
Sebagai akibat dari carut marut sistem
pendidikan yang dipegang oleh seorang
menteri yang tidak sejalan antara
kompetensi dengan jabatannya, kesemuanya
itu akan menimbulkan dampak yang luar
biasa bagi masa depan pendidikan.
Terutama sekali berkaitan dengan seluruh
elemen terkait dengan sistem pendidikan.
Seperti masalah profesionalisme dan
kesejahteraan guru dan kualitas sumber
daya manusia (SDM).
Tujuan pendidikan manusia yaitu
untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya belum sepenuhnya terwujud.
Bahkan terkesan jika selama ini pemerintah
terlalu mengabaikan pendidikan. Terbukti
268
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dengan banyaknya kasus yang sangat
memalukan mencoreng wajah pendidikan
kita.
Sebenarnya problem pendidikan
nasional bertumpu pada tiga faktor, yaitu
konsistensi kebijakan pemerintah, visi
pendidikan yang harus bernafas kerakyatan
(pemerataan), dan problem kesadaran
masyarakat yang akan menunjang kualitas
sumber daya manusia Indonesia.
Dalam kaitannya dengan dengan
konsistensi
kebijakan
pemerintah,
Mendiknas baru dihadapkan pada tugas
berat untuk merealisasikan anggaran
pendidikan minimal 20% yang diambil dari
APBN dan APBD. Jika pemerintah
konsisten dengan kebijakan sebagaimana
tertuang dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4 itu,
maka ke depan pendidikan nasional tidak
perlu dipatok dengan harga yang sangat
mahal. Bahkan bisa jadi pendidikan itu
gratis, mengingat begitu besarnya anggaran
minimal 20% untuk pendidikan itu. Nah,
melihat kompetensi Mendiknas, beberapa
kalangan
menjadi
ketar-ketir
untuk
mengusung agenda merealisasikan anggaran
minimal 20%.
Problem pendidikan nasional selama
ini juga belum bervisi kerakyatan. Artinya,
pendidikan nasional belum sepenuhnya
berfihak pada rakyat banyak yang rata-rata
kurang mampu. Isyarat di balik itu ternyata
pendidikan kita diselenggarakan dengan
sistem bisnis. Akibatnya, pendidikan
terlampau mahal dan tidak terjangkau oleh
rakyat banyak. Rakyat jelata jelas tidak bisa
mencicipi pendidikan itu. Apalagi untuk
lembaga pendidikan Sekolah Unggulan,
Sekolah Favorit, Sekolah percontohan, dan
sebagainya.
Tentunya
dengan
harap-harap
cemas, mereka para praktisi pendidikan
sangat menghendaki kebijakan strategis
untuk segera membenahi sistem pendidikan
kita. Karena, diakui bahwa sistem
pendidikan nasional kita selama ini terlalu
rapuh untuk dipertahankan. Oleh karena itu,
sistem pendidikan nasional sangat menantinanti kebijakan mendiknas yang bisa
mengubah wajah pendidikan kita itu.
b. Kurikulum yang Mengambang
Sekolah hanya mendidik siswa
menjadi manusia setengah-setengah artinya
tidak satupun kemampuan untuk bidangbidang tertentu secara mendalam. Persoalan
ini kemudian menjadikan sebuah bahan
diskusi yang cukup berkaitan dengan
Kurikulum Pendidikan kita. Selama ini apa
yang diajarkan pada sekolah-sekolah hanya
gagasan-gagasan
idealis
tanpa
mau
menyentuh persoalan realitas. Orang
kemudian lebih hafal dengan rumus-rumus
kimia, fisika, matematika atau teori-teori
lain yang secara langsung tidak bisa
menjawab persoalan realitas yang dihadapi
peserta didik.
Wajar sekali kalau ada pernyataan
yang
lebih
menyudutkan
persoalan
pendidikan kita ini. Pendidikan kita Anti
Realitas! (Musa Asy‘ari, 2002). Tidak bisa
mengantarkan seseorang untuk menghadapi
persolan yang dihadapinya. Artinya pula
kalau pendidikan kita ini telah gagal.
Namun akhir-akhir ini terdapat
sebuah gagasan dari hasil diskusi-diskusi
tentang pendidikan sampai melahirkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Setidak-tidaknya ini menjadi sebuah
loncatan yang cukup jauh kedepan. Tetapi
kenyataannya dengan di tumpanginya
pendidikan dengan politik, carut marut yang
menjadi hasilnya. Sebagai contoh pelajaran
bahasa daerah dan bahasa Inggris, yang
semula bahasa Jawa temasuk kedalam
muatan lokal digabung ke dalam budaya
dan pelajatan bahasa Inggris untuk anakanak SD dijadikan ekskul (ekstra kurikuler)
dari dua persoalan tersebut jelas pendidikan
dipengaruhi oleh muatan politik sehingga
pendidikan menjadi kelinci percobaan
pejabat yang berwenang tanpa melihat
kondisi lapangan dan dampak dari
kebijakan tersebut.
269
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
c. Kontroversi Ujian Nasional
Ujian Nasional diperlukan untuk
mengukur keberhasilan belajar peserta didik
pada setiap akhir jenjang pendidikan.
Mendiknas mentargetkan standar nilai
nasional 5.5 yaitu gabungan antara nilai UN
dengan sekolah dimana nilai UN 60% dan
nilai dari sekolah 40%. Kebijakan
mendiknas itu memicu polemik dari
kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita
yang sebelumnya telah menyepakati
bersama pemerintah untuk menghapus UN.
Sebab pada prinsipnya penyelenggaraan UN
yang sentralistik, disamping berseberangan
dengan konsep otonomi pendidikan yang
rentan terhadap intervensi kepentingan
negara, juga berakibat pada pengabaian
nilai-nilai khas kultural di beberapa wilayah
di Indonesia.
Pelaksanaan ujian secara nasional
yang diselenggarakan oleh pemerintah
(Diknas) pada tahun ini 2013 menuai
kontroversi dalam pelaksanaanya. Terbukti
ditundanya UN untuk siswa SMA dengan
alasan kesalahan teknis. Padahal UN adalah
agenda rutin tahunan yang digelar oleh
diknas setiap tahun tetapi masi ada
permasalahan dalam pelaksanaannya. Kalau
sudah begini siapa yang bertanggung jawab
kalau bukan Mendiknasnya.
Penulis berpendapat agar kebijakan
Mendiknas tentang Ujian Nasional itu untuk
segera dikaji kembali. Lebih tegas lagi,
penulis sepakat kebijakan UN itu dicabut.
Masalah penentuan kualitas yang menjadi
standr pendidikan sebaiknya diserahkan
kepada masing-masing lembaga pendidikan
yang ada. Sebab untuk menentukan akan
kemampuan dan potensi para siswa yang
dimilikinya.
d. Masalah Kekuatan Iptek
Suatu masyarakat atau bangsa tidak
akan memiliki keunggulan dan kemampuan
daya saing yang tinggi bila ia tidak
mengambil dan mengembangkan Iptek.
Bisa dimengerti bila setiap bangsa dimuka
bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta
bersaing secara ketat dalam penguasaan dan
pengembangan Iptek.
Masalah yang sering kita hadapi
adalah kecepatan perkembangan yang
terjadi di dunia pendidikan selalu lebih
lambat dari kecepatan perkembangan yang
terjadi di dunia industri dan dunia luar
pendidikan lainnya. Memang demikianlah
sifat
dasar
pendidikan.
Menyadari
karakteristik seperti itu, langkah yang perlu
kita tempuh bukanlah dengan serta merta
mengubah kurikulum agar lebih terkait
dengan kebutuhan sesaat. Saya yakin,
bahwa konsep keterkaitan dan kesepadanan
(link and match) yang dicanangkan
Mendiknas juga tidak diartikan sesempit itu.
Keterkaitan dan kesepadanan antara
dunia pendidikan dengan dunia industri dan
dunia usaha lainnya serta tuntutan
perkembangan
pembangunan
perlu
diartikan dan dijabarkan dengan seksama.
Menurut hemat saya adalah dengan cara
memberikan bekal ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada anak didik untuk siap
berkembang dan dalam waktu relatif singkat
mampu
menyesuaikan
diri
dengan
kebutuhan nyata dilapangan.
Jika keterkaitan dan kesepadanan
dengan dunia industri ingin ditingkatkan,
materi kurikulum yng dirancang bukanlah
kurikulum industri dalam arti hanya sekedar
mengajarkan teknik-teknik yang ada dan
pada saat sekarang dibutuhkan oleh indutri.
Mengapa? Karena bukan lah tidak mungkin
besok lusa teknologi sekarang ada itu
berubah. Contoh konkrit adalah teknologi
komputer yang demikian cepat berkembang
dan berubah. Materi kurikulum yang perlu
diberikan kepadaanak didik adalah materi
dasar yang membangun kemajuan Iptek,
bukan tingkat Iptek yang sekarang sedang
digunakan. Dengan cara seperti itu, konsep
keterkaitan dan kesepadanan kan dapat
diterapkan (implementable) dan lestari
(sustainable).
270
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
D. PEMBANGUNAN NASIONAL
Sumitro
Djojohadikusumo
menyatakan bahwa Pembangunan ekonomi
berarti suatu proses perubahan struktural
dalam perimbangan-perimbangan ekonomi
yang
terdapat
dalam
masyarakat.
Pembangunan ekonomi dan budaya berarti
suatu proses perubahan struktur produksi
atau
pendapatan
nasional,
struktur
penduduk dan mata pencaharian atau
lapangan pekerjaan dan struktur lalu lintas
barang, jasa dan modal dalam hubungan
internasional. Apabila konsep ini diterapkan
untuk pengertian pembangunan negarakebangsaan, maka pembangunan berarti
suatu proses perubahan struktural kehidupan
bernegara kebangsaan, yang tercakup di
dalam struktural politik dan pertahanan
keamanan, struktur ekonomi, serta struktur
tata masyarakat dan budaya.
Pembangunan kehidupan negara
kebangsaan Indonesia atau pembangunan
nasional Indonesia pada akhirnya harus
bertujuan mencapai negara kesatuan yang
berkedaulatan rakyat serta adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Pencapaian tujuan
akhir pembangunan nasional Indonesia
dilakukan dengan jalan melaksanakan
serangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh
kehidupan bernegara kebangsaan yang
berdasarkan Pancasila. Rangkaian upaya
pembangunan tersebut dibagi dalam tahaptahap pembangunan jangka panjang selama
25 tahun, dan setiap pembangunan jangka
panjang di bagi dalam lima tahap jangka
pendek yang berlangsung selama lima
tahun. Strategi dasar pembangunan nasional
Indonesia selama kurang lebih 30 tahun
baik jangka panjang maupun jangka pendek,
bertumpu pada pembangunan ekonomi yang
terkait dalam pembangunan dibidangbidang lainnya.
Pembangunan
Pendidikan
merupakan subordinat atau bagian dari
keseluruhan
Pembangunan
Nasional
Indonesia. Dalam bahasa sistem dapat
dikatakan bahwa sistem Pembangunan
Nasional Indonesia terdiri dari tujuh
subsistem pembangunan, dan pembangunan
pendidikan merupakan salah satu dari
komponen atau sektor pembangunan dari
subsistem atau bidang kesejahteraan rakyat,
pendidikan, dan kebudayaan.
Pembangunan Nasional merupakan
lingkungan proksimal dari pembangunan
pendidikan nasional. Sebagai lingkungan
proksimal,
Pembangunan
Nasional
mempunyai peranan sebagai berikut:
1. Payung pembangunan pendidikan
nasional yang berfungsi menjadi salah
satu
pembatas
lingkungan
pembangunan pendidikan nasional dan
parometer atau tolak ukur kontribusi
keberhasilan fungsi pembangunan
pendidikan terhadap pembangunan
nasional.
2. Sumber yang memberikan masukan
pada pembangunan pendidikan nasional
berupa hasil-hasil pembangunan dari
sektor-sektor yang lainnya, yang
diterima oleh Pembangunan Pendidikan
Nasional, berupa informasi, energi
(tenaga) dan bahan-bahan (penyediaan
sarana dan prasarana).
E. PENDIDIKAN SEBAGAI BAGIAN
DARI PEMBANGUNAN MANUSIA
Pendidikan
Indonesia
sebagai
pencapaian peradapan manusia selalu
menjadi
bagian
pendidikan
dunia.
Pendidikan
bukan
hanya
masalah
pengajaran membaca dan menulis, namun
merupakan wujud hubungan antar manusia.
Tujuan
pendidikan
adalah
penyebarluasan seni, budaya, pengetahuan,
keahlian, nilai-nilai dan kepercayaan.
Pendidikan adalah agen penyebarluasan
tersebut. Namun itu saja tidak belum cukup.
Pendidikan juga mempunyai tanggung
jawab lain, yaitu mempersiapkan dunia
kerja, mendampingi anak-anak muda, dan
meningkatkan hubungan kelompok sebaya.
Tujuan pendidikan berhubungan dengan
271
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kemajuan perkembangan manusia. Manusia
dengan
latar
belakang
berbeda
membutuhkan pendidikan yang berbeda
pula.
Pendidikan yang bermutu adalah
pendidikan
yang
mengembangkan
pemikiran kritis bagi insan-insan muda.
Penghambat atas upaya pengembangan ini
adalah syaratnya beban aneka pelajaran dan
tata penilaian dengan angka. Syaratnya
beban yang berlebihan ini membawa
kedangkalan
pemikiran.
Pengajaran
hendaknya menjadikan bahan pelajaran
sebagai hadiah yang berharga, bukan
kewajiban yang mengancam.
Apa implikasi pernyataan dalam
GBHN 1993 dalam bidang pendidikan
sebagai
pengembangan
SDM
bagi
pembangunan nasional? Pertama, haruslah
kita melihat bahwa pembangunan nasional
itu mempunyai dua dimensi dari manusia
Indonesia. Dimensi pertama adalah bahwa
pembangunan nasional itu untuk manusia
Indonesia, dak kedua adalah pembangunan
itu oleh manusia dan untuk manusia
Indonesia itu sendiri. Disinilah letak etnis
dari usaha pendidikan dalam rangka
pengembangan SDM. Nilai etnis itu
menyatakan bahwa pendidikan adalah
tanggung jawab dari pelaku tindakan
pendidikan dan orang yang dididik.
Pada
akhirnya
pembangunan
nasional untuk menuju masyarakat maju
yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila itu adalah tanggung jawab
manusia Indonesia sebagai individu dan
sebagai manusia keseluruhan. Jadi, inti dari
kegiatan pendidikan sebagai pengembangan
SDM adalah mengembangkan tanggung
jawab pribadi bagi peningkatan mutu hidup
individu, dan sekaligus tanggung jawab
dalam membangun seluruh masyarakat
Indonesia. Yang terakhir adalah tidak lain
sikap nasionalisme patriotisme Indonesia
yang sesungguhnya.
F. STRATEGI PEMBANGUNAN DI
BIDANG PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
Ada beberapa strategi yang bisa
diterapkan dalam pembangunan dibidang
pendidikan dan kebudayaan di Indonesia
supaya tujuan pembangunan nasional dan
tujuan pendidikan nasional tercapai, yaitu:
1. Pentingnya Investasi Sumber Daya
Manusia
Indonesia bersama negara-negara
berkembang lainnya di kawasan Asia Timur
telah mencatat prestasi pembangunan yang
sangat mengesankan dan bahkan penuh
keajaiban, kunci keajaibannya terletak pada
kemampuan untuk menciptakan dan
menggerakkan investasi dan meningkatkan
produktivitas melalui penciptaan investasi
kapital fisik dan investasi modal sumber
daya manusia yang memadai. Dalam hal
ini jelas terbukti bahwa pendidikan sebagai
bentuk pembangunan sumber daya manusia
mempunyai peranan yang bermakna
terhadap pertumbuhan ekonomi yang
sustainable
karena
disertai
dengan
pemerataan pendapatan. Sehingga Indonesia
tergolong sebagai negara industri baru
mampu mempertahankan atau bahkan
meningkatkan laju pertumbuhan dengan
cukup tinggi serta pemerataan yang lebih
baik dalam 25 tahun mendatang, dalam hal
ini
tergantung
pada
kemampuan
meningkatkan produktivitas faktor-faktor
produksinya secara keseluruhan.
2. Industrialisasi Dan Transformasi
Teknologi
Pentingnya peningkatan ketrampilan
tenaga kerja dalam rangka peningkatan
mutu sumber daya manusia di masa
mendatang sejalan dengan perkembangan
yang
berlangsung
dalam
proses
industrialisasi di negara kita.
Perkembangan
industri
yang
berlangsung di masa datang harus lebih
cepat daripada perkembangan selama ini.
Hal ini berkaitan erat dengan proses
272
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tranformasi teknologi untuk menunjukkan
betapa
pentingnya
pendidikan
dan
pembudayaan teknologi.
3. Strategi Penguasaan Iptek
Kemajuan teknologi hanya mungkin
dicapai
melalui
kemajuan
ilmu
pengetahuan karena teknologi merupakan
produk aplikatif dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu sendiri tidak mungkin
terwujud tanpa adanya critical mass sumber
daya
manusia
berkualitas.
Tingkat
penguasaan teknologi menentukan pula
tingkat kemajuan suatu bangsa, dan pada
gilirannya menentukan tingkat peradaban.
Maka budaya iptek adalah cara pandang,
sikap, dan perilaku yang didasari dengan
wawasan dan kemampuan Iptek yang
mendarah daging dalam diri seseorang.
4. Membangun Profesionalisme dan
Keunggulan
Profesionalisme
dan
keunggulan merupakan kata kunci yang
perlu terus kita dengungkan dalam upaya
kita membangun sumber daya menusia
yang membangun profesionalisme yang
handal
diperlukan
manusia
yang
mempunyai kompetensi dalam bidangnya
dan mempunyai tanggung jawab moral.
Keunggulan Iptek harus terus
diupayakan,
ditingkatkan,
dan
dikembangkan.
Melalui
paket-paket
penelitian seperti itu para peneliti di
perguruan tinggi dan lembaga penelitian
departemen
dan
non
departemen
mempunyai peluang yang lebih besar untuk
mengembangkan
kemampuan
dalam
melakukan penelitian terutama untuk
menghasilkan produk-produk unggulan.
5. Pentingnya Evaluasi Kurikulum dan
Penambahan
Kurikulum
(Kurikulum Anti Korupsi dan
Kurikulum Pendidikan Karakter)
Penulis setuju dengan pentingnya
dilakukan evaluasi kurikulum. Evaluasi
kurikulum dapat menyajikan informasi
mengenai kesuaian, efektivitas, dan efisiensi
kurikulum tersebut terhadap tujuan yang
ingin dicapai dan penggunaan sumber daya.
Informasi ini sangat berguna sebagai bahan
pembuat keputusan apakah kurikulum
tersebut masih dijalankan tetapi perlu
direvisi atau harus diganti dengan yang
baru. Evaluasi kurikulum juga penting
dilakukan dalam rangka penyesuaian
dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
kemajuan teknologi, dan kebutuhan pasar
yang berubah.
Evaluasi
kurikulum
dapat
menyajikan bahan informasi mengenai areaarea kelemahan kurikulum sehingga dari
hasil evaluasi dapat dilakukan proses
perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi
ini dikenal dengan evaluasi formatif.
Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu
proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga
dapat menilai kebaikan kurikulum, apakah
kurikulum
tersebut
masih
tetap
dilaksanakan atau tidak, yang dikenal
dengan evaluasi sumatif.
Tindak korupsi di Indonesia
memang sudah sangat parah. Bahkan Prof.
Dr. A. Syafi‘i Ma‘arif sering mengatakan
dalam berbagai forum jika korupsi di
Indonesia telah membudaya. Korupsi tidak
hanya mewarnai struktur pemerintah saja
yang banyak bergelimangan harta, fasilitas
dan jabatan. Melainkan telah merambat
pada wilayah kultural di bangsa ini. Maka,
tidak heran jika banyak pengamat
mengatakan jika Indonesia telah terjangkiti
penyakit moral yang cukup kronis dan
hampir mematikan. Saya setuju dengan
pandangan Rektor UIN Sunan Kalijaga
Prof. Dr. Amin Abdullah, menyisipkan
agenda penyadaran anti korupsi lewat jalur
pendidikan merupakan langkah yang dinilai
paling efektif. Minimal untuk membangun
kesadaran masing-masing individu agar
273
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
mengerti akan seluk beluk korupsi dan
dampaknya bagi masa depan bangsa.
Berkaitan dengan agenda untuk
memasukkan materi anti korupsi dan
pendidikan karakter ke dalam silabus
(kurikulum) pendidikan kita, ada beberapa
hal yang perlu dicermati yaitu (1) urgensi
materi anti korupsi dan pendidikan karakter
(2) tujuan di diterapkannya kurikulum anti
korupsi dan pendidikan karakter
(3)
pengertian korupsi dan pendidikan karakter
(4) metode atau strategi yang digunakan
dalam kurikulum itu.
Namun,
lebih
lanjut,
saya
berpandangan bahwa menyampaikan materi
anti korupsi bukan terpaut hanya pada
beberapa mata pelajaran saja. Justru seluruh
mata pelajaran dipandang sangat urgen dan
relevan untuk ditambahi denganmateri yang
satu ini. Seperti ketika materi anti korupsi
diterapkan pada mata pelajaran sosiologi,
antropologi, ilmu pendidikan, hukum,
ekonomi, politik, bahasa dan sebagainya.
Berbeda dengan materi pendidikan karakter,
hendaknya materi ini diberikan sejak PAUD
sampai
perguruan
tinggi.
Dengan
menyisipkan materi anti korupsi dan
pendidikan karakter lewat jalur pendidikan
diharapkan agar masyarakat kita sadar akan
tindakan korupsi dan berbagai dampak yang
ditimbulkannya.
6. Keselarasan Imtaq dan Iptek
―Barang siapa ingin menguasai
dunia dengan ilmu, barang siapa ingin
menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang
siapa ingin menguasai kedua-duanya juga
harus dengan ilmu‖ (Al-Hadist).
Perubahan lingkungan yang serba
cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek), harus diakui telah
memberikan kemudahan terhadap berbagai
aktivitas dan kebutuhan hidup manusia.
Disisi
lain,
memunculkan
kekhawatiran
terhadap
perkembangan
perilaku khususnya para pelajar dan
generasi muda kita, dengan tumbuhnya
budaya kehidupan baru yang cenderung
menjauh dan nilai-nilai spiritualitas. Semua
ini menurut perhatian ekstra orang tua serta
pendidik, khususnya guru, yang kerap
bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari sisi positif, perkembangan Iptek
telah memunculkan kesadaran yang kuat
pada sebagian pelajar kita akan pentingnya
memiliki keahlian dan ketrampilan.
Utamanya untuk menyongsong kehidupan
masa depan yang lebih baik, dalam rangka
mengisi era milenium ketiga yang disebut
sebagai era informasi dan era bio-teknologi.
Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan
sikap optimis, generasi pelajar kita
umumnya telah memiliki kesiapan dalam
menghadapi perubahan itu.
Sikap optimis terhadap keadaan
sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi
dengan memberikan pemahaman tentang
arti penting mengembangkan aspek spiritual
keagamaan dan aspek pengendalian
emosional, sehingga tercapai keselarasan
pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kalbu).
Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai
agama memberi jaminan kepada siswa akan
kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan
saja selama di dunia tapi juga kelak di
akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak
menutup kemungkinan para siswa akan
terhindar dari kemungkinan melakukan
perilaku menyimpang yang justru akan
merugikan.
G. PENUTUP
Pendidikan
merupakan
proses
budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia, dan berlangsung
sepanjang hayat, serta dilaksanakan
dilingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Karena itu, pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara
keluarga,
masyarakat,
dan
pemerintah.Sebagai bangsa Indonesia, kita
harus mengartikan pendidikan sebagai
perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang
274
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
berakar pada Pancasila dan UUD 1945.
SISDIKNAS mengamanatkan pendidikan
sebagai proses pemberdayaan yang mampu
membentuk watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat, menjadikan manusia
beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Kurikulum
hendaknya
disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan mempertimbangkan:
peningkatan iman dan taqwa, peningkatan
akhlak
mulia,
penigkatan
potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik, potensi
daerah
dan
lingkungan,
tuntutan
pembangunan nasional, tuntutan dunia
kerja, pembangunan pengetahuan, teknologi
dan seni, agama, dinamika perkembangan
global, peraturan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan.
Pembangunan
nasional
untuk
menuju masyarakat maju yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila itu adalah
tanggung jawab manusia Indonesia sebagai
individu dan sebagai manusia keseluruhan.
Jadi, inti dari kegiatan pendidikan sebagai
pengembangan
SDM
adalah
mengembangkan tanggung jawab pribadi
bagi peningkatan mutu hidup individu, dan
sekaligus tanggung jawab pribadi dalam
membangun seluruh masyarakat Indonesia.
Untuk mengatasi
problematika
dalam
pembangunan
nasional
dan
pendidikan nasional selama ini perlu
dikembangkan beberapa strategi yaitu
pentingnya investasi sumber daya manusia,
industrialisasi dan transformasi teknologi,
strategi penguasaan iptek, dan membangun
profesionalisme dan keunggulan. Dengan
strategi diatas diharapkan fungsi pendidikan
dapat terwujud sesuai harapan rakyat
Indonesia yaitu mengembangkan kemauan
dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Ningsih C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Djumberansyah, Indar. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya. Karya Abditama.
Faqih, Mansour, Topasimatupang, Roem, dan Rahardjo, Toto. 2001. Pendidikan Popular:
Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta. Read Books bekerjasama dengan
Insist.
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Yogyakarta, Read dan Pustaka Pelajar.
Harefa, Andreas. 2001. Pembelajaran Di Era Serba Otonomi. Jakarta. Kompas.
Marzali, Amri. Antropologi & Pembangunan Indonesia. 2007. Jakarta. Kencana.
Mu‘arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta. Pinus Book Publisher.
Mudyahardjo, Redja. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Nadjamuddin, Ramly. 2005. Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan
Mencerahkan. Jakarta. Grafindo.
Nugroho, Singgih. 2003. Pendidikan Pemerdekaan dan Islam. Yogyakarta. Pondok
Edukasi.
Sadulloh Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta.
Suardi, Moh. 2012. Pengantar Pendidikan: Teori Dan Aplikasi. Jakarta. PT Indeks.
Tirtaharja, Umar dkk. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta.
William F. O‘neil. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
275
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
276
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PERANAN UNIVERSITAS DALAM PENDIDIKAN PADA
ABAD 21 UNTUK PERUBAHAN SECARA GLOBAL
Peduk Rintayati
Dosen PGSD FKIP
Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Universitas merupakan medium untuk nilai-nilai ilmiah yang baru dan
lama pendidikan intelektual, pengorganisasian dan penertiban ilmu pengetahuan
dengan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran, nilai-nilai yang dianggap penting
untuk meningkatkan martabat manusia maupun masyarakat lingkungannya melalui
penelitian yang
menentukan dalam kemajuan negara.. Dengan demikian
universitas bersifat future oriented (= berorientasi ke masa depan) artinya
mencerminkan kegiatannya dalam efektifitas dan dampaknya terhadap masa depan
bangsa maupun ummat manusia pada umumnya. Universitas sebagai pusat
kebebasan intelektual, sebagai pendorong orang untuk belajar, menemukan hal-hal
yang baru, mengajar dan berdiskusi serta memberikan kritik dimana perlu,
universitas memberikan sumbangannya terbesar kepada bangsanya dalam bidang
persiapan tenaga manusia dan universitas sebagai pembentuk kepribadian dan
lembaga sosialisasi yakni sosialisasi bidang ilmu pengetahuan sesuai dengan
perkembangan kebudayaan, karena universitas sebagai agent of change dengan
mendidik orang-orang untuk hidup dalam suatu masyarakat yang lebih modern,
karena setiap kemajuan mengakibatkan adanya perubahan mental disertai
pembangunan fisik dan teknologi.
Perubahan kondisi sosial ekonomi yang dipacu perkembangan ilmu dan
teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berpikir, cara
menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan
demensi nilai yang sebenarnya dan perubahan masyarakat selalu ada dalam
proses perkembangannya, hal ini menjadi tanggungjawab pendidikan untuk: (1)
melihat implikasi nilai etik dalam setiap perubahan yang terjadi; (2) membantu
untuk berkembang nya nilai-nilai dalam diri seseorang, dan (3) membantu agar
anak didik dapat mengambil sikap keputusan dalam merencanakan kehidupan
secara berarti, proses ini disebut dengan Value Clarification.
Pendidikan karakter bagi gerasi baru merupakan pengembangan karakter
adalah proses terus menerus, karena karakter bukanlah kenyataan melainkan
keutuhan perilaku, melainkan usaha hidup bagi proyek masa depannya. Pendidikan
merupakan sistem yang harus diperbaiki secara berkelanjutan baik proses maupun
prosedur kerja, sehingga fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran selalu dijalankan,
maka sistem pendidikan pendidikan dapat diperbaiki mutu setiap prosesnya.
Perlunya logika, etika, estetika dan epistemologi.
Kata kunci: peranan universitas, pendidikan, kemajuan teknologi,
penelitian dan generasi baru
277
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
A. PENDAHULUAN
Universitas adalah suatu lembaga
sosial mempunyai tugas utama mendidik
dan meneruskan pengetahuan yang telah
dihimpunnya,
serta
memberi
gelar
berdasarkan penilaian lembaga terhadap
kemampuan nak didiknya berdasarkan
kriteria tertentu. Gelar yang diperoleh
alumnus universitas, akan menaikkan status
sosialnya
sesuai
dengan
penilaian
masyarakat
luas
terhadap
hasil
almamaternya sertaharapan-harapan yang
dimilikinya terhadap alumninya. Pendidikan
universitas tingkat universitas cukup mahal
dan meminta banyak pengorbanan uang dan
waktu. Tujuan pendidikan universitas:
―membentuk
kemampuan
untuk
memecahkan masalah-masalah manusiawi
dan menolong manusia membentuk suatu
dunia yang lebih baik baginya‖ esensi suatu
universitas
sebagai
suatu
lembaga
pendidikan tinggi pada umumnya kurang
dipahami.
Karena
perguruan
tinggi
menyampaikan nilai-nilai ilmiah dan moral
relevansinya
hubungannya
dengan
lingkungan. Dengan unsur lingkungan ini
pendidikan prguruan tinggi yang menjadi
titik perhatian yakni: (1) mutu ilmu yang
diterima ditentukan o mutu tenaga pengajar;
(2) mutu peserta didik ditentukan oleh mutu
yang
diperoleh sebelum memasuki
universitas; (3) perlu partisipasi aktif dari
tenaga pengajar dalam penelitian yang
relevan sebagai kebutuhan (langsung)
masyarakat, dan (4) mutu pengajaran dan
pendidikan ditentukan o peralatan penelitian
dan
fasilitas-fasilitas
pelaksanaan.
Universitas secara otomatik akan terlibat
dalam kejadian-kjadian aktual masyarakat
dan ikut menentukan pembentukan pribadipribadi yang harus mengatasi dan
membentuk peserta didik atau anak didik
untuk belajar dan menganalisa situasi sosial
dan lingkungan sesuai dengan kebutuhan,
karena mendidik ke arah penyesuaian diri
dengan
lingkungan,
melalui
proses
sosialisasi yang serasi, sehingga peserta
didik mampu menjadi anggota masyarakat
yang
baik dan berperan dalam
lingkungannya. Kemampuan ini akan
dicapai oleh anak didik melalui kombinasi
dan penyatuan antara nilai-nilai sosialbudaya-agama dan pengetahuan ilmu
pengetahuan.
Universitas
merupakan
medium untuk nilai-nilai ilmiah yang baru
dan
lama
pendidikan
intelektual,
pengorganisasian dan penertiban ilmu
pengetahuan dengan menyebarluaskan
pemikiran-pemikiran,
nilai-nilai
yang
dianggap penting untuk meningkatkan
martabat manusia maupun masyarakat
lingkungannya melalui penelitian yang
menentukan dalam kemajuan negara..
Dengan demikian universitas bersifat future
oriented (= berorientasi ke masa depan)
artinya mencerminkan kegiatannya dalam
efektifitas dan dampaknya terhadap masa
depan bangsa maupun ummat manusia pada
umumnya. Universitas sebagai pusat
kebebasan intelektual, sebagai pendorong
orang untuk belajar, menemukan hal-hal
yang baru, mengajar dan berdiskusi serta
memberikan kritik dimana perlu, universitas
memberikan sumbangannya terbesar kepada
bangsanya dalam bidang persiapan tenaga
manusia dan universitas sebagai pembentuk
kepribadian dan lembaga sosialisasi yakni
sosialisasi bidang ilmu pengetahuan sesuai
dengan perkembangan kebudayaan di
masyarakat, karena universitas sebagai
agent of change dengan mendidik orangorang untuk hidup dalam suatu masyarakat
yang lebih modern, karena setiap kemajuan
mengakibatkan adanya perubahan mental
disertai pembangunan fisik pengetahuan dan
teknologi.
B. PEMBAHASAN
Dalam situasi sekarang di abad 21
menunjukkan makin berkurangnya wibawa
lembaga-lembaga sosial terjadilah situasi
dimana pengentasan masalah perlu langkahlangkah untuk mengatasi masalah pada era
modernisasi melalui proses dan akselerasi
278
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
terutama di negara berkembang perlu
diarahkan kepada membentuk manusiamanusia yang
berhasil dalam proses
invidualisasi, menjadi manusia-manusia
yang produktif kreatif. Proses modernisasi
meningkatnya ketegangan, penyakit jiwa,
kekerasan, perceraian, kenakalan remaja,
serta ketegangan rasial, agama dan kelas.
Transformasi besar membawa perubahan
kepada pola hidup manusia, cara kerja
manusia telah berubah. Manusia lebih aktif
untuk memperdalam kapasitas individu, ia
makin ingin menampilkan nilai-nilai
manusiawi dan identitas budayanya dalam
rangka
melaksanakan
pembangunan
nasional, sebagai tantangan pembangunan
sikap mandiri dalam kebersamaan, tenggang
rasa, musyawarah untuk mufakat, hemat,
cermat, sederhana, tertib, menghargai waktu
serta pengabdian. Terciptanya kualitas
manusia dan kualitas masyarakat yang
maju dalam suasana yang
tentram,
sejahtera lahir dan batin dalam tata
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
yang berdasarkan Pancasila yang akan
meningkatkan martabat manusia dan
masyarakat, melalui proses adaptasi dan
individualisasi untuk mengatasi masalahmasalah duniawi dan terutama dalam
bidang pendidikan nilai.
Perubahan kondisi sosial ekonomi
yang dipacu perkembangan ilmu dan
teknologi yang
pesat, membawa serta
perubahan dalam cara berpikir, cara
menilai, cara menghargai hidup dan
kenyataan ini semua membawa kekaburan
demensi nilai yang sebenarnya dan
perubahan masyarakat selalu ada dalam
proses perkembangannya, hal ini menjadi
tanggungjawab pendidikan untuk: (1)
melihat implikasi nilai etik dalam setiap
perubahan yang terjadi; (2) membantu
untuk berkembang nya nilai-nilai dalam diri
seseorang, dan (3) membantu agar anak
didik dapat mengambil sikap keputusan
dalam merencanakan kehidupan secara
berarti, proses ini disebut dengan Value
Clarification.
Yang
harus ditekankan dalam
konteks ini ialah masing-masing orang
harus menemukan sendiri nilai yang hendak
akan diperkembangkan. Ini berarti harus ada
proses pengalaman nilai. Pendekatan baru
harus ditempuh karena nilai mencakup
komponen-komponen: (1) segi kognitif; (2)
segi afektif; dan (3) segi psikomotorik.
Suatu nilai menjadi pegangan sseorang,
suatu norma, prinsip hidup seseorang. Nilainilai ditanamkan pada masa kecil, nilai akan
diinternalisasi, dipelihara dan menjadi
pegangan hidup seseorang. Nilai akan
memberi arah hidup dan menjadi kaidah
hidupnya, memiliki semangat yang tinggi
dalam mewujudkan mutu nilai yang tinggi.
Nilai merupakan realitas abstrak yang
dirasakan masing-masing pribadi seseorang
atau kelompok sebagai pola tingkah laku,
pola berpikir dan sikap-sikap. Nilai yang
harus dikembangkan pada pendidikan di
sekolah yakni: (1) partisipasi; (2)
tanggungjawab; (3) keterampilan; (4)
kepemimpinan; (5) kreativitas; (6) kerja
sama; (7) solidaritas; (8) mengatur waktu;
(9) sense of belonging; (10) kebanggaan;
(11) perhatian terhadap sesama; (12)
penyaluran bakat; (13) kepercayaan diri;
(14) penampilan di depan umum; (15)
komunikasi;
(16)
sportifitas;
(17)
originalitas; (18) identitas sekolah, dan (20)
penghargaan terhadap orang lain.
Maka dengan nilai-nilai ini dapat
dikembangkan dalam semua kegiatan dalam
pembelajaran
di
sekolah.
Karena
komponen-komponen pendidikan nilai
mencakup: (1) memilih (segi kognitif); (2)
menghargai (segi afektif), dan (3) bertindak
(segi
psikomotorik).
Hal
kegiatan
pendidikan dan pembangunan manusia,
maka besar kaitannya dengan nilai-nilai
kemanusiaan dengan memperbaiki serta
menyempurnakan manusia dalam praktek
kegiatan
pendidikan. Pendidikan nilai
menanamkan sikap hidup sederhana
279
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sehingga terdapat keselarasan dengan
ekologik, sehingga membangun manusia
yang sadar terhadap lingkungan, merujuk
pada tahap sikap sampai ke tahap
psikomotor yakni sebagai pengelola
lingkungan
hidup
agar
pelestarian
lingkungan yang selaras demi kelangsungan
hidup manusia dan alam lingkungan sebagai
habitatnya (tempat hidup) .
Pendidikan
nilai
di
dalam
pendidikan formal merupakan pembentukan
pola-pola kebudayaan dan pembentukan
nilai-nilai peradaban masa depan suatu
bangsa. Kebudayaan ialah sesuatu yang
khas insani menyinggung daya cipta bebas
dan serba ganda dari manusia dalam alam
dunia, manusia sebagai pelaku kebudayaan.
Jadi segala kegiatan manusia mengarah ke
karya budi sebagai tujuan. Agar budi
berfungsi sempurna dibutuhkan keutuhan
dan kesehatan badan yang diusahankan
dengan teknik-teknik yang menyediakan
keperluan-keperluan kehidupan. Kedudukan
manusia dalam kebudayaan adalah sentral,
bukan manusia sebagai orang, melainkan
sebagai pribadi serta kepadanya segala
kegiatan diarahkan sebagai tujuan.
Maka tetap perlu diperhatikan
perkembangan budaya dalam hubungan
dengan diserapnya pengaruh-pengaruh dari
luar yang sulit dibendung, karena
kebudayaan mengandung nilai-nilai yang
dihubungkan dengan hal-hal baik yang
bermanfaat, yang indah bagi kehidupan
manusia, hal ini memerlukan sikap mantap
untuk mempertahankan dan memupuk
kepribadian bangsa sendiri agar tidak
menjadi bangsa tiruan. Kita berkembang ke
arah masyarakat modern yang mampu
hidup dalam suasana modern dengan watak
modern dan sanggup pula menggunakan
teknologi modern namun tanpa kehilangan
kepribadian budaya sebagai bangsa yang
berdaulat, baik fisik maupun secara mental
spiritual, maka perlu penentuan sikap
terutama dalam memberi arah pada
pengembangan kebijaksanaan kebudayaan
nasional. Pengembangan kepribadian dan
pengetahuan anak dimulai dari pendidikan
dasar agar menjadi orang dewasa yang
mampu menghayati iman secara otentik,
mampu melakasanakan tanggungjawab
sebagai
warga
negara,
sebagai
dasar/landasan bagaimana mendidik anak
seutuhnya dalam semua aspek: spiritual
(agama), moral, sosial, kewarganegaraan,
intelektual, estetik, jasmani, keterampilan
dan sebagainya.
Dalam pendidikan agama yang
harus
disampaikan:
(1)
mengenal,
menemukan dan mencantai Allah; (2)
mengarahkan pikiran kepada Allah, karena
segala sesuatu yang dilaksanakan di jalan
Alllah, dan (3) memilih segala yang baik,
benar dan adil. Pendidikan agama menolong
masyarakat untuk menjadi orang-orang
yang tidak hanyut dalam era perubahan,
kemudian menjadi sadar dan sabar karena
mempunyai pegangan hidup. Karena agama
mengajarkan norma-norma yang kokoh dan
mereka akan menjadi anggota masyarakat
yang mengenal ketertiban yaitu hidup yang
bermakna
dan
mempunyai
tujuan.
Pendidikan intelektual mencakup: (1)
mengamati dan mawas lingkungan,
mengembangkan rasa ingin tahu; (2)
mengembangkan cara berpikir konvergen
(melipatgandakan
pengetahuan)
dan
divergen
(kreatif,
mengupayakan
pengetahuan); (3) menyesuaikan diri dengan
bantuan bahasa yang
sesuai dengan
zamannya, terutama bahasa ibu, atau
dengan alat laiinya; (4) menilai setiap
pendapat, keadaan dan sikap secara sehat;
(5) menguasai teknik dan keterampilan
dasar, membaca, menulis, bahasa dan
matematika, dan (6) menemukan metode
dan kebiasaan kerja yang
efektif.
Pendidikan estetika mencakup: (1)
melihat, menikmati dan menghargai segala
sesuatu yang indah dalam alam dan yang
merupakan hasil karya manusia; (2)
mengagumi karya artistik dan seni, dan (3)
menyatakan diri secara orininal berkaitan
280
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dengan wujud ekspresi daya seni pribadi.
Pendidikan jasmani mencakup: (1)
mengekspresikan diri melalui anggota
badan
seperti
menari,
menyanyi,,
deklamasi; (2) memiliki pengendalian diri
(psikomotor berfungsi dengan baik,
penyangkalan diri), dan mengembangkan
tubuh secara serasi dengan sasaran
perkembangan pribadi seutuhnya dan agar
mampu melaksanakan tugasnya.
Sesungguhnya
pendidikan
merupakan drama of discontinuity yang
diarahkan pada perubahan yaitu yang
mengacu ”a sort delibrate violence to other
people‟s
developed personality” . Ini
secara samar-samar disebut keinginan akan
realisasi
suatu
masyarakat
dimana
manusianya bertanggung jawab, hidup
sebagai
manusia
yang bermartabat.
Martabat adalah merupakan kategori etis
yang mencermikan sikap moral pribadi
terhadap diri sendiri dan sikap masyarakat
terhadap seorang pribadi sebagai bentuk
pengedalian diri. Martabat seperti suara hati
suatu bentuk realisasi kewajiban dan
tanggungjawab
manusia
terhadap
masyarakat. Proses pendidikan diarahkan
pada perubahan perbaikkan yang harus
disusun ialah rencana struktur sebagai
fungsi perubahan proyeksi masa depan
sebagai tindakan yang segera diperlukan
mengingat
lembaga
pendidikan
berkompetensi untuk perubahan dan
berpegang pada falsafah pendidikan
tradisional seperti kata-kata Margaret
Mead:‖ it is necesary for this generation to
work at high speed if the whole of modern
world, if not whole humanities is to be
rescued from destriction”.
Universitas perlu memikirkan dan
menelaah bahwa modernisasi dan teknisi
menyesuaikan kondisi geografik dan mental
daerah. Keadaan mental sekarang mulai
mencerminkan sikap: oposisi terhadap
modernisasi, separatisme, manusia tidak
bertanggung jawab, manusia yang apatis,
frustasi merupakan krisis kemampuan,
memang pendidikan sebagai alat utama
dalam menciptakan manusia modern,
peranan pendidikan dalam menanam rasa
loyalitas nasional dan dalam menciptakan
keahlian dan sikap yang sangat diperlukan
oleh pembaharuan teknologi, maka ia bisa
menghasilkan peningkatan jumlah sarjana
yang berkeahlian dan bersikap modern.
Perubahan kemajuan teknologi
modern sebagai pengetahuan penemuan
baru yang hendak dimanfaatkan dan
disalurkan kepada mahasiswa mengingat
masa depan bangsa adalah milik generasi
muda, karena ilmu pengetahuan makin lama
makin bertambah dengan sendirinya dan
dengan volume dalam kecepatannya,
bersamaan
dengan
perkembangan
kecerdasan manusia. Implikasi perubahan
yang harus dihadapi hendaknya menangani
sebab-sebab yang mendasari krisis. Kita
menghadapi transformasi pendidikan yang
mendasar dalam nilai-nilai dan institusi
pendidikan. Dengan demikian universitas
diharapkan menemukan masalah yang
dihadapinya masyarakat modern saat ini di
era globalisasi, untuk mencapai program
pendidikan mutu yang selalu mencakup 4
(empat) komponen penting. Pertama, mesti
ada komitmen untuk berubah, serta anggota
dewan
dan
para
administrator
memperlihatkan
komitmen
terhadap
perubahan. Penerapan filsafat mutu untuk
meraih keunggulan kompetitif pada setiap
lingkungan pasar yang kompetitif. Kedua,
pemahaman
dengan
baik
dimana
menunjukkan upaya memecahkan masalah
dengan mengikhtiarkan perubahan yang
langgeng dan berhasil pada sistem yang
sedang berjalan. Ketiga, memiliki visi masa
depan yang jelas dan visi merupakan mercu
suar yang menjadi pedoman pengembaraan
mutu itu. Visi tetap terfokus dan
berkomitmen terhadap trasformasi mutu. Ke
empat,
memiliki
rencana
untuk
mengimplementasikan mutu pendidikan,
rencana mutu merupakan dokumen hidup,
baik faktor internal maupun faktor eksternal
281
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
memiliki dampak terhadap pendidikan akan
berubah dan progres. Hal ini perlu
dilakukan kontrol mutu dalam upaya
menemukan prinsip-prinsip dasar proses
manajemen untuk menfokuskan diri pada
mutu sebagai tujuan utama.
Beberapa pandangan Juran tentang
mutu lembaga adalah: (1) meraih mutu
merupakan proses yang tidak mengenal
akhir; (2) perbaikkan mutu merupakan
proses berkesinambungan bukan program
sekali berjalan; (3) mutu memerlukan
kepemimoinan dari anggota dewan dan
administrator;
(4)
pelatihan
massal
merupakan prasyarat mutu, dan setiap
orang di lingkungan pendidikan mesti
mendapatkan pelatihan. Bila Manajemen
Mutu
Terpadu
(MMT)
merupakan
metodologi yang dapat membantu para
profesional pendidikan menjawab tantangan
lingkungan masa kini. MMT dapat
memberikan
fokus
pendidikan
dan
masyarakat. MMT membentuk infrastruktur
yang fleksibel yang dapat memberikan
respons yang cepat terhadap perubahan
tuntutan
masyarakat.
MMT
dapat
membantu pendidikan menyesuaikan diri
dengan keterbatasan dana dan waktu. MMT
memudahkan pengelolaan perubahan, yang
prosesnya dengan mengembangkan visi dan
misi mutu.
Visi
mutu
difokuskan
pada
pemenuhan
kebutuhan
konsumer,
mendorong keterlibatan total komunitas
dalam program, mengembangkan sistem
pengukuran nilai tambah pendidikan,
menunjang sistem yang diperlukan staf dan
peserta didik untuk mengelola perubahan,
serta perbaikkan berkelanjutan dengan
selalu berupaya keras membuat produk
pendidikan menjadi baik, dan setiap unsur
terkait dalam pendidikan mesti terlibat
dalam transformasi mutu perlu mengadopsi
paradigma baru pendidikan, cara pikir dan
kerja lama harus disingkirkan. Manajemen
mesti
memilki
komitmen
untuk
menfokuskan pada mutu, tanpa adanya
komitmen program mutu tidak akan
berhasil.
Perlu diingat bahwa pendidikan
bukanlah suatu ramuan ajaib yang dapat
mengubah masyarakat untuk menjadi
masyarakat maju. Ada empat pilar
pendidikan adalah, learning to doartinya
meningkatkan interaksi dengan siswa
dengan lingkungannya baik lingkungan
fisik, sosial maupun budaya, sehingga
mampu membangun pemahaman dan
pengetahuannya terhadap dunia sekitarnya,
learning to know diharapkan hasil interaksi
dengan
lingkungannya
siswa
dapat
membangun pengetahuan dan kepercayaan
dirinya, learning to be kesempatan
berinteraksi dengan berbagai individu atau
kelompok yang bervarias iand learning to
live
together
akan
membentuk
kepribadiannya
untuk
memahami
kemajemukkan dan melahirkan sikap-sikap
positif
dan
toleran
terhadap
keanekaragaman dan perbedaan hidup.
Perubahan masyarakat merupakan
proses yang sangat rumit bersamaan dengan
proses pendidikan. Pendidikan yang
merupakan pengaruh dari orang dewasa
kepada anak agar menjadi orang dewasa
yang bertangung jawab terbentuk pribadi
yang berkarakter, bermoral, berbudi pekerti,
dan bertoleransi pada orang lain dan juga
tidak bergantung pada orang lain, hal ini
berkaitan dengan pendidikan karakter,
dengan menggunakan akal budi dalam
mengatur tata kehidupan bersama dalam
masyarakat
membangun
nilai-nilai
kebangsaan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai
agama dan nilai-nilai pengetahuan. Titik
pijak inilah yang
menjadi jiwa bagi
pendidikan karakter.
Pendidikan karakter yang berisi sifat
budi pekerti luhur berakhlak mulia. Tujuan
tema
pendidikan
pendidikan
dalam
pembangunan adalah ―nation and character
building‖
dalam hal ini selain
pembangunan
fisik juga pembangunan
psikis untuk meningkatkan kualitas manusia
282
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
agar cinta pada nusa, bangsa, negara, jujur,
bertanggung jawab pada Tuhan dan diri
sendiri serta orang lain. Pendidikan yang
menekankan pada pembentukan manusia
yang berbudi luhur dan berakhlak mulia
perlu dilakukan secara konkret sejak anak
usia dini sampai perguruan tinggi. Jika hal
ini benar dilakasanakan dengan baik, maka
tingkah laku yang baik akan terbentuk
kearah manusia yang baik, oleh karena itu
pendidikan moral merupakan ajaran atau
prinsip dasar tentang nilai baik dan buruk
atas perbuatan dan kelakukan dalam
kehidupan manusia di lingkungan ke
hidupan pribadi, keluarga masyarakat,
bangsa dan negara, terbentuk sikap batin
yang
mempengaruhi segenap pikiran,
perbuatan, tabiat, budi pekerti. Nilai-nilai
yang
membentuk individu dewasa
tanggungjawab bagi kelangsungan hidup
bersama, manusia mampu mengatasi
determinasi di luar dirinya. Manusia mampu
mengatasi keterbatasan dirinya, karena ia
memiliki nilai yang berharga dan layak
untuk diperjuangkan akan terwujud nyata
dalam keputusan dan tindakan.
Pendidikan karakter merupakan
pengembangan karakter adalah proses terus
menerus,
karena
karakter
bukanlah
kenyataan melainkan keutuhan perilaku,
melainkan usaha hidup bagi proyek masa
depannya. Pendidikan merupakan suatu
sistem yang harus diperbaiki secara
berkelanjutan baik proses maupun prosedur
kerja, sehingga fungsi-fungsi bisa berjalan
lantaran selalu dijalankan, maka sistem
pendidikan yang harus dapat diperbaiki
mutu setiap prosesnya. Perlunya logika,
etika, estetika dan epistemologi. Logika
merupakan cara bepikir logis atau masuk
akal mengetahui salah dan benar sehingga
kemampuan logika peningkatan melalui
pendidikan. Etika yakni berperilaku yang
baik atau etis yaitu berkaitan dengan
kesopanan, kesantunan hormat kepada
orang lain. Estetika berkaitan dengan
keindahan dalam hal bertutur kata,
berpenampilan, dalam menulis, mengambil
atau memilih kata yang indah dan tepat,
diharapkan kalimatnya santun dan indah,
serta membicarakan tentang bagaimana
terjadinya ilmu pengetahuan, hal ini sangat
berkaitan erat dengan bagaimana ilmu
tersebut diketemukan dengan mengetahui
objek, metode dan sistematisasi, maka
tersusunlah ilmu pengetahuan tersebut.
Paradigma baru pendidikan untuk
dikembangkan agar mahasiswa menjadi
warga negara yang bernilai dan yang
dipersiapkan agar lebih baik menghadapi
tantangan akademik dan bisnis di masa
depan. Dalam pendidikan mutu, mahasiswa
dididik dapat mengkontruksi pribadi untuk
mudah memahami diri serta fungsinya
dalam masyarakat, terutama bidang sosial,
serta sebagai perintis perubahan menuju
kemajuan masa depan lebih baik dalam
bidang pengetahuan dan membiasakan diri
mempergunakan
pengetahuan
demi
peningkatan martabat manusia, dan bukan
demi penghimpunan ilmu belaka. Dengan
pengetahuan dapat digunakan sebagai
pengabdian kepada ummat manusia agar
dapat hidup dengan bermartabat agar
menjadi warga negara yang baik dan
keprasahajaan hidup. Sifat keprasahajaan
hidup perlu ditanamkan pada peserta didik
agar tidak sombong selalu bersahaja dalam
hidup, artinya selalu memikirkan orang
disekelilingnya
yang
mengalami
kekurangan. Maka mahasiswa sebagai
perintis perubahan, mahasiswa harus juga
melakukan berbagai kesibukkan pencarian
dan meneruskan ilmu pengetahuan serta
nilai-nilai ilmiah yang telah dihimpunnya
selama proses dibangku kuliah, berpikir
secara sehat dan berpegang pada patokanpatokan moral yang telah ditanamkan oleh
almamater serta mampu mengkombinasikan
dan membuat kesatuan baru bagi dirinya
berdasarkan patokan moral dan nilai-nilai.
Pendidikan di abad 21 menghadapi
tantangan: (1) persatuan dan kesatuan
bangsa dan bernegara; (2) sistem hukum
283
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yang
adil; (3) sistem politik yang
demokratis; (4) sistem ekonomi yang adil
dan produktif; (5) sistem sosial budaya yang
beradab; (6) sumber daya manusia yang
bermutu; dan (7) dalam era globalisasi
rakyat perlu diberikan ketahanan untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai
warga negara yang kuat sebagai bangsa
yang bernegara. Soal mutu SDM ( sumber
daya manusia) tidak saja menyangkut para
guru atau dosen tetapi juga para anak didik
artinya orang-orang yang berinisistif yakni
orang-orang yang produktif mempunyai
suatu sikap, dan watak yang baik serta
kemauan untuk membuahkan sesuatu dari
hidupnya untuk kemajuan bangsa dan
negara. Pendidikan diharapkan membentuk
dan membangun dasar-dasar bagi suatu cara
hidup yang
baru, memiliki SDM
berkompetensi pendidik artinya kompetensi
paedagogik,
kompetensi
kepribadian,
kompetensi
sosial
dan
kompetensi
profesional.
Kompetensi
paedagogik
yaitu
kemampuan mengelola pembelajaran yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran dan pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasi
berbagai potensi yang
dimilikinya
mencakup: (1) memahami karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, sosial, moral,
kultural, emosinal dan intelektual; (2)
memahami latar belakang keluarga dan
masyarakat peserta didik dan kebutuhan
belajar dalam konteks kebhinekaan budaya;
(3) memahami gaya belajar dan kesulitan
belajar peserta didik; (4) memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik; (5)
menguasai teori dan prinsip belajar serta
pembelajaran yang
mendidik; (6)
mengembangkan
kurikulum
yang
mendorong keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran; (7) merancang pembelajaran
yang mendidik, dan (8) mengevaluasi
proses dan hasil pembelajaran.
Kompetensi
kepribadian
yaitu
memiliki kepribadian yang mantap stabil,
dewasa, arif dan berwibawa menjadi teladan
bagi peserta didik dan berakhlak mulia yang
dapat: (1) menampilkan diri sebagai pribadi
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa; (2) menampilkan diri sebagai
pribadi yang
berakhlak mulia sebagai
teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
(3) mengevaluasi kinerja sendiri, dan (4)
mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Kompetensi profesional kemampuan
dan keahlian profesional utama yang harus
dimiliki oleh para pendidik yakni
kemampuan bidang pendidikan dan
keguruan khususnya terkait dengan stategi
pembelajaran yaitu kemampuan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang
memungkinkannya
membimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang mencakup: (1)
menguasai substansi bidang studi dan
metodologi keilmuannya; (2) mengusai
struktur dan materi kurikulum bidang studi;
(3) menguasai dan memanfaatkan teknologi
informasi
dan
komunikasi
dalam
pembelajaran; (4) mengorgnisasi materi
kurikulum
bidang
studi,
dan
(5)
meningkatkan
kualitas
pembelajaran
melalui penelitian tindakan kelas. Seorang
guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk
menguasai bidang studi yang diajarkan,
tetapi juga harus menguasai dan mampu
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan
dengan penerapan pembelajaran pakem
aktif inovativ. Strategi pembelajaran
merupakan cara-cara yang berbeda untuk
mencapai hasil pembelajaran yang berbeda
di bawah kondisi yang berbeda. Hasil
pembelajaran
yaitu
kecercapaian
pembelajaran mencakup: (1) keefektifan
(effectiveness); (2) efisiensi (effeciency),
dan
data
tarik
(appeal).
Strategi
pembelajaran dipengaruhi
oleh: (1)
pengorganisasian pembelajaran; (2) strategi
penyampaian pembelajaran, dan (3) strategi
pengelolaan pembelajaran.
284
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Kompetensi sosial yaitu kemampuan
terkomunikasi secara efektif dengan peserta
didik,
sesama
pendidik,
tenaga
kependidikan, orang tua/wali peserta didik,
dan masyarakat sekitar, kompetensi yang
mencakup: (1) berkomunikasi secara efektif
dan empatik dengan peserta didik, sesama
pendidik,
tenaga
kependidikan
dan
masyarakat; (2) berkomunikasi terhadap
pengembangan pendidikan di sekolah dan
masyarakat; (3) berkontrubusi terhadap
pengembangan pendidikan di tingkat lokal,
regional, nasional dan global, dan (4)
memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan
pengembangan diri.
Hal ini sesuai dengan Declaration
Education For All UNESCO tahun 1990
agar bangsa Indonesia memiliki warga
negara yang dapat: (1) mengembangkan
diri secara optimal; (2) berpartisipasi aktif
dalam
kehidupan
masyarakat;
(3)
memperoleh pekerjaan; dan (4) belajar
sepanjang hayat, hal ini bagi bangsa
Indonesia masih perlu melaksanakan seruan
tersebut di atas, sebagai perwujudan
keberhasilan pendidikan yang
sedang
berjalan ke depan. Terpenting dalam
pendidikan tinggi kecukupan tenaga dosen
yang relevan, buku-buku perpustakaan,
laboratorium-laboratorium untuk setiap
bidang studi serta melakukan penelitian
juga asrama-asrama, dan alat-alat rekreasi.
Kedudukan
universitas
sangat
berperan sebagai katalisator modernisasi
serta sebagai lembaga penerus kebudayaan
terutama
kebudayaan
ilmiah
dan
kebudayaan
lingkungannya.
Dengan
demikian universitas sebagai lembaga sosial
harus mengkombinasikan dua patokan: (1)
menjadi pengubah masyarakat demi
menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam
situasi abad 21, demi peningkatan martabat
manusia; (2) menjadi penerus dari
kebudayaan ilmiah dan kebudayaan
masyarakatnya, dengan tentunya menitik
beratkan serta meneruskan nilai-nilai
budaya yang dihayatinya kepada generasigerasi berikutnya, sehingga budaya tidak
hilang begitu saja oleh perkembangan
zaman, yang tidak bisa dipungkiri budaya
asing telah melanda keseluruh dunia. Hal ini
telah banyak mempengaruhi budaya sendiri
akan ada peluang di ambil negara lain.
Sangatlah penting bagi universitas menjadi
pusat-pusat penelitian, maka universitas
harus banyak memiliki tenaga-tenaga
peneliti yang diperlukan untuk tugas-tugas
melakukan penelitian baik dalam bidang
budaya
dan
pula
mengeksplorasi
pengetahuan baru baik segi teknologiteknologi modern dalam bidang sumber
alam,
lingkungan
kedokteran
dan
sebagainya. Sehingga diperlukan motivasi
bagi tenaga dosen untuk meningkatkan
kemauan
untuk
melakukan
banyak
penelitian,
dan
membentuk
wadah
kelompok spesialisasi peneliti yang handal,
sebagai ilmuwan ahli dalam penelitian
untuk kemajuan pengetahuan dan penemuan
baru serta untuk perkembangan universitas
dan sebagai universitas yang modern.
Sehingga
perlu diperhatikan banyak
sejumlah tenaga pendidik baik pria maupun
wanita yang memiliki bakat-bakat yang
besar, banyak yang terdiam dalam
lingkungan akademisnya dengan semangat
yang
menurun karena terisolir dari
dorongan-dorongan dari atasan dan frustasi
karena
birokrasi
dan
intrik-intrik
universitas. Jalan keluar adalah dengan
memusatkan mereka yang
benar-benar
berbakat dalam bidangnya dalam suatu
wadah. Serta sosialisasi proyek-proyek
penelitian baik dalam maupun luar negeri
secara nyata agar termotivasi untuk
tergabung dalam proyek-proyek tersebut,
maka memantapkan kedudukan dosen dan
tenaga penelitian dalam masyarakat
intelektual internasional.
Dalam banyak hal universitas terikat
dalam kegiatan penelitian yakni : (1)
mengadakan
refleksi
tentang
lingkungannya; (2) meneliti manfaat dari
285
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
ide-ide tentang manusia dalam segala
bentuk kegiatannya sehubungan dengan
eksistensinya; (3) meneliti hubungan
manusia dengan alam semesta; (4) meneliti
hubungan manusia dengan zamannya; (5)
meneliti hubungan manusia dengan hidup;
dan (6) meneliti hubungan manusia dengan
manusia lainnya. Penemuan-penemuan baru
dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, merupakan sebab utama dari
perubahan yang tempat lahir ide baru yakni
ada di universitas.
Untuk pengkokohan kemauan untuk
meneliti bukanlah sekedar pengaturan
badan-badan yang bersangkutan, tetapi
perlu memperkuat tekad mereka untuk
menghindarkan diri dari godaan malasmalasan dan diperlukan kekuatan watak
yang kuat sebagai sikap cerdas dan tindak
manusia yang dapat menyerasi harmonisai
antara keterikatan dan kebebasan, ketertiban
dan ketentraman, kepentingan umum dan
kepentingan pribadi, kelestarian dan inovasi
dengan berdasarkan tata nilai akan
membentuk kepribadian yang baik, maka
perlu dilakukan benchmarking merupakan
suatu standar untuk mengukur kinerja yang
sedang berjalan, proses dan hasil untuk
mencapai suatu keunggulan yang dapat
memuaskan, penilaian dapat dilakukan
secara berkesinambungan yang
sesuai
dengan kemampuan usaha dan keuletannya.
Memang laju perubahan masyarakat
pendidikan modern sangat dipengaruhi
situasi-situasi kebebasan ilmiah serta
pemikiran-pemikiran (way of thinking) akan
menghasilkan: berpikir kritis (critical
thinking), kreativitas (creativity), membuat
keputusan (decision making), motivasi
(motivtaion), learning to learn, meta
cognition. Critical thinking (berpikir kritis)
pikiran yang berkaitan secara dengan otak,
merupakan
proses
aktif
yang
memungkinkan dunia objektif reffleksikan
dalam konsep, putusan teori mencakup
abstraksi, analisis, sintesis, perumusan
tugas-tugas
tertentu
dan
penemuan
pemecahan-pemecahannya,
peningkatan
hipotesis, ide dan sebagainya. Proses
pikiran secara tetap menghasilkan suatu ide.
Pikiran berkaitan dengan kegiatan seperti
kerja dan ucapan. Fakta bahwa pikiran
memungkinkan refleksi umum atas realitas
terungkap dalam kemampuan manusia
membentuk
konsep-konsep
umum.
Pembentukan
konsep-konsep
ilmiah
berkaitan dengan perumusan hukum-hukum
yang saling berkaitan. Fakta bahwa pikiran
memungkinkan refleksi tak langsung atas
realitas terjelma dalam kemampuan manusia
mencapai inferensi, konklusi dan buktibukti logis. Kemampuan ini meningkatkan
jangkauan pengenalan, memungkinkan
manusia bertolak dari suatu analisis faktafakta yang bisa diamati secara langsung
kepada pengenalan tentang apa yang tidak
dapat diamati melalui indera. Berpikir kritis
adalah
merupakan
memberdayakan
keterampilan atau strategi kognitif dalam
menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui
setelah
menentukan
tujuan,
mempertimbangkan, dan mengacu langsung
kepada sasaran merupakan bentuk berpikir
kritis yang perlu dikembangkan dalam
rangka memecahkan masalah, merumuskan
kesimpulan,
mengumpulkan
berbagai
kemungkinan, dan membuat keputusan
ketika menggunakan semua keterampilan
tersebut secara efektif dalam konteks dan
tipe yang tepat. Berpikir kritis juga
merupakan
kegiatan
mengevaluasimempertimbangkan kesimpulan yang akan
diambil manakala menentukan beberapa
faktor
pendukung
untuk
membuat
keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut
directed thinking, sebab berpikir langsung
kepada fokus yang akan dituju, berpikir
kritis suatu langkah
mengaplikasikan
rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang
meliputi
kegiatan
menganalisis,
mensintesis, mengenal permasalahan dan
pemecahannya,
menyimpulkan,
dan
mengevaluasi. sistematika berpikir yang
ternyata berproses. Berpikir kritis harus
286
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
melalui beberapa tahapan untuk sampai
kepada sebuah kesimpulan atau penilaian.
Penekanan kepada proses dan
tahapan berpikir kritis yang dilontarkan
pula oleh Scriven, berpikir kritis yaitu
proses intelektual yang aktif dan penuh
dengan keterampilan dalam membuat
pengertian atau konsep, mengaplikasikan,
menganalisis, membuat sistesis, dan
mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut
berdasarkan hasil observasi, pengalaman,
pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi,
yang akan membimbing dalam menentukan
sikap dan tindakan
Creativity, kemampuan kreatifitas
merupakan kemampuan untuk menampilkan
tata hubungan unik atau tata hubungan baru
non konvensional yang bermakna antara
sejumlah sesuatu, merupakan berpikir
konvergen
serta
berpikir
horisontal
divergen. Tata pikir berpikir konvergen
adalah logis hirarkhis, sedang tata pikir
divergen adalah kemampuan tata pikir
kreatif. Kemampuan kreatif manusia
dikembangkan secara horisontal untuk
makna menemukan prinsip-prinsip untuk
sukses. Tata pikir kreatif kritis merupakan
penggabungan antara berpikir konvergen
dan berpikir divergen atau menghubungkan
ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak
berhubungan.
Hal ini memerlukan
pengumpulan fakta dalam pikiran, jika fakta
itu digabungkan maka terlihatlah hubungan
menyeluruh yang
baru dan dapatlah
ditemukan sesuatu. Kreatifitas manusia ada
6 (lima) macam yaitu: kreavitas rasional
(pemanfaatan hasil eksprimen fisika dan
biologi), kreativita rekayasa (penerapan
prinsip-prinsip fisika dan biologi membuat
instrumentasi
eksprimen),
kreativitas
aestetis (dikembangkan
dari alur-alur
naturalistik, ekspresionistik), kreativitas
moral (relativisme dalam makna keragaman
kriteria baik-buruk), kreativitas sosial
(perilaku yang dibangun dari inteligensia
sosial); dan analitis kreatif: berpikir analitis
memberi pemecahan dan menghasilkan
sejumlah besar ide, yang kemudian dianalis
ke pemecahan masalah dihubungkan ide
atau hal-hal yang sebelumnya tidak
selanjutnya,
berpikir
kreatif
menghubungkan ide atau hal-hal yang
sebelumnya
tidak
berhubungan.
Di
masyarakat barat, kreativitas ditampilkan
dalam arti pengambilan prakarsa, karena
dipergunakan untuk memberikan sugesti,
bahwa krisis ekonomi saat ini disebabkan
oleh kurangnya prakarsa dan keberanian,
juga dissabkan sikap pasif. Kreativitas
memupuk sikap kemandirian dan percaya
diri, secara keseluruhan merupakan
keterampilan artistik, estetik, tangan dan
fisik.
Decision
making,
kemampuan
membuat keputusan sama halnya dengan
memberi penilaian dan pengukuran, menilai
adalah mengambil suatu keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik buruk
merupakan penilaian kualitatif, sedang
pengukuran
membandingkan
sesuatu
dengan satu ukuran bersifat kuantitatif.
Tujuan dan fungsi penilaian adalah: (1)
melakukan seleksi; (2) diagnostik, (3)
pengelompokkan, dan (4) mengukur
keberhasilan
Motivation, (motivasi) adalah hasil
proses-proses yang bersifat internal atau
eksternal bagi seorang individu, yang
menimbulkan sikap entusias dan persistensi
untuk mengikuti arah tindakan-tindakan
tertentu. Motivasi merupakan proses
psikologikal yang menyebabkan timbulnya
pengarahan, dan persistensi kegiatankegiatan sukarela yang ditujukan ke arah
pencapaian tujuan. Motivasi memiliki sifat
yang
mendasar yakni: (1) fenomin
individual (individu bersifat unik dan fakta);
(2) intensional
(tindakan sadar untuk
memilih); (3) ingin memiliki faset
(penyebab timbulnya persistensi); dan (4)
perilaku dan kinerja (motivasi efektif
kinerja tinggi). Tetapi dari manakah
datangnya motivasi itu?, yakni motivasi
berasal dari kejadian-kejadian dalam
287
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
lingkungan sekitar yang dapat menimbulkan
dorongan untuk untuk menciptakan
dorongan tersebut. Para dosen yang
berhasil dalam hal memotivasi para
mahasiswa
dengan
menyediakan
lingkungan belajar dimana tujuan-tujuan
tepat (intensif) tersedia untuk pemenuhan
kebutuhan
ketercapaian
dalam
pembelajaran.
Learning to learn, belajar yaitu
proses berpikir atau pengalaman sensori,
sebagai faktor penting dalam belajar yang
dilakukan orang, variabel-variabel khusus
yang berpengaruh pada belajar. Variabel
yang dikenali ialah: (1) asosiasi sistem
respons dengan stimulus melalui pasangan
stimulus; (2) pautan stimulus dan respons
melalui
subsitusi‘
dan
reorganisasi
perseptual unsur-unsur masalah yang
berpengaruh
pada
pemecahannya,
membelajarkan berkaitan dengan mengajar
merupakan suatu kiat yang dapat dipelajari
oleh guru dalam menyampaikan pelajaran
kepada anak didik. Seorang pendidik
sebagai seorang berpengetahuan yang
terampil dalam memecahkan masalah
artinya
dapat
berinteraksi
dengan
lingkungannya dalam menguji hipotesa dan
menarik generalisasi. Mengajar mencakup
emosi yang tidak dapat diterapkan secara
sistematis serta nilai-nilai manusiawi yang
berada di luar ilmu pengetahuan dan
mengajar adalah seni. Oleh karena itu
pendidikan
harus
meningkatkan
perkembangan intelektual (cognitif) anak
didik, sehingga siswa dididik dalam
penyelidikan (inquiry) dan penemuan
(discovery). Maka dari itu mata ajaran yang
disampaikan harus dinyatakan menurut cara
bagaimana anak melihat dunianya sesuai
perkembangan kognitifnya yakni: enaktif
(represenatasi
pengetahuan
dalam
melakukan
tindakan);
(2)
ikonik
(perangkuman bayangan secara visual); dan
(3) representasi simbolik ( gunakan katakata
dan
lambang-lambang
untuk
melukiskan
pengalaman).
Perspektif
pembelajaran yang berhasil atau sukses
dikemukakan oleh Heinich dan kawankawan (2005). Mereka mengemukakan
bahwa
untuk
mencapai
sebuah
pembelajaran sukses ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan yaitu: (1) peran aktif
siswa; (2) pemberian latihan; (3) perhatian
terhadap adanya perbedan individual; (4)
pemberian umpan balik; dan (5) penerapan
pengetahuan dan keterampilan dalam situasi
yang nyata yakni: (1) Peran aktif siswa
dimana proses belajar akan berlangsung
efektif jika siswa terlibat secara aktif dalam
tugas-tugas
yang
bermakna,
dan
berinteraksi dengan materi pelajaran yang
intensif. Keterlibatan mental siswa dalam
melakukan proses belajar diyakini akan
memperbesar kemungkinan terjadinya
proses belajar dalam dirinya; (2) Latihan
yang dilakukan dalam berbagai konteks
akan dapat memperbaiki tingkat daya ingat
atau retensi (daya ingat) mahasiswa. Selain
itu,
latihan
juga
akan
memberi
kemungkinan bagi mahasiswa untuk
mengaplikasikan
pengetahuan
dan
keterampilan yang sedang dipelajari. Tugastugas belajar berupa pemberian latihan akan
dapat membantu dalam meningkatkan
penguasaan siswa terhadap pengetahuan dan
keterampilan yang sedang dipelajari; (3)
Perbedaan Individual karena setiap individu
memiliki karakteristik yang bersifat unik
yang dapat membedakannya dari individu
yang lainnya. Setiap individu juga memiliki
potensi yang perlu dikembangkan secara
optimal. Tugas guru/dosen atau instruktur
dalam hal ini adalah mengembangkan
potensi yang dimiliki oleh individu
seoptimal
mungkin
melalui
proses
pembelajaran yang berkualitas; (4) Umpan
balik sangat diperlukan oleh mahasiswa
untuk mengetahui kemampuan dirinya
dalam mempelajari isi atau materi pelajaran.
Umpan balik pada umumnya dapat dapat
diberikan dalam bentuk pengetahuan
tentang hasil belajar (learning utcomes)
yang telah dicapai siswa setelah menempuh
288
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
program dan aktivitas pembelajaran.
Informasi dan pengetahuan tentang hasil
belajar pada hakikatnya akan memacu
seseorang untuk berprestasi lebih baik lagi;
(5) Konteks nyata siswa perlu mempelajari
materi pelajaran yang berisi pengetahuan
dan keterampilan yang dapat diterapkan
dalam sebuah situasi yang nyata.
Mahasiswa yang mengetahui kegunaan dari
pengetahuan dan keterampilan yang tengah
dipelajarinya akan memiliki motivasi tinggi
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh
karena itu, aktivitas pembelajaran perlu
dirancang
agar
mahasiswa
dapat
menerapkan pengetahuan dan keterampilan
yang dipelajari dalam ―setting‖ yang
realistic, dan (6) Interaksi sosial sangat
diperlukan oleh mahasiswa agar dapat
memperoleh dukungan sosial dalam belajar.
Interaksi yang berkesinambungan dengan
sejawat atau sesama siswa akan memberi
kemungkinan bagi siswa untuk melakukan
konfirmasi terhadap pengetahuan dan
keterampilan yang sedang dipelajari.
Meta kognitif, dimulai dari meta
artinya merupakan ciri-ciri (hakikat),
kualitas atau kondisi, serta mengandung arti
mengatasi masalah (hakikat epistemologis
dan logis. Kognisi (cognition) mengacu
baik kepada perbuatan atau proses
mengetahui maupun pengetahuan sendiri.
Dalam beberapa pengertian kognisi dalah
intelektual, hal mengenal, mengetahui.
Mencapai pengetahuan tentang sesuatu;
proses mental yang menjadikan kita sadar
akan benda-benda. Proses kegiatan kognitif
manusia yang dirancang untuk membentuk
pengetahuannya,
proses
pembentukan
pengetahuan ini pada gilirannya merupakan
sasaran dan motif tindakan manusia.
Kognisi melibatkan persepsi, ingatan intuisi
dan putusan. Konsep kognisi dapat
didefinisikan sebagai gambaran ketepatan
kesetaraan arti dari: (1) kesadaran adalah
berperan pada kognisi merupakan suatu
keputusan yang kita bangun untuk informasi
yang kita dapatkan; (2) inteligensi adalah
bagaimana kemampuan berpikir sesorang
secara bijaksana mampu memproses
informasi; (3) intuisi adalah wawasan
mendadak menghasilkan jawaban untuk
suatu masalah serta kejelasan informasi; (4)
mengenal artinya untuk mengetahui lagi
ketika mengenal sesuatu yang telah
dikelompokkan
pada
pengalaman
sebelumnya, dengan jalan tinjauan kembali
dan perbaikan, sehingga kita secara aktif
mengingat
kejadian
terdahulu;
(5)
ketrampilan kemampuan berpikir untuk
pemecahan masalah, dengan mengamati
kemudian membentuk pengetahuan praktis;
(6) mengerti adalah kemampuan untuk
membuat keputusan, alasan tentang apa
yang kita tahu.
Menurut Guilford seorang ahli
psikologi Amerika manusia memiliki
kemampuan tiga demensi, demensi kedua
adalah terdiri 5 sub kategori yakni: (1)
kognisi yaitu pendalam informasi;
(2)
memori yaitu retensi, pengutaraan kembali
dan reproduksi informasi; (3) pikiran
konvergen yaitu proses menghasilkan
jawaban yang
tepat dan benar dari
informasi yang telah diketahui; (4) pikiran
divergen yaitu proses pikiran dengan arah
yang berbeda-beda dan berakaneka ragam
dari informasi yang telah diketahui; dan (5)
evaluasi
yaitu
proses
pengambilan
keputusan atas informasi yang diterima.
Para kritisi masih kurang memahami
bahwa sifat abstrak penyajian bahan materi
yang
disajikan merupakan esensi
pendidikan dan kehidupan intelektual,
bahwa kebiasaan orang untuk berpikir
menurut sistematika dan abstrak dapat
menolong menyatukan banyak variabel dan
mengambil kesimpulan-kesimpulan tanpa
perlu mengalami sendiri. Pengalaman orang
lain atau pengalaman abstrak haruslah
cukup untuk seseorang yang dididik dalam
berpikir secara intelektuil untuk mampu
mengambil kesimpulan dari materi yang
dibahas.
289
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Latihan-latihan berpikir abstrak
intelektual juga latihan-latihan pengalaman
nyata di lapangan atau dalam laboratorium
inilah bagi mahasiswa,, sehingga mampu
mengkombinasikan teori dengan praktek
setelah ia menerima ilmu pengetahuan
dalam rangkaian mata kuliah-mata kuliah, ia
sendiri akan mampu secara abstrak dan
nyata melalui analisa serta mengkontruksi
pengetahuannya
dalam
intelektual
(kognitif). Tugas universitas disini adalah
meneruskan pengetahuan teknis-praktis dan
menanamkan nilai-nilai sosial yang lama
dan baru sebagai pembentukan karakter
kepada generasi baru dengan juga
kecukupan laboratorium pada setiap mata
kuliah sebagai wadah latihan langsung
sehingga dapat mengkontruksi pengetahuan
berdasarkan
pengalamannya,
dengan
harapan untuk berhasil dalam mendidik dan
membentuk manusia-manusia intelektual
oleh C Wright Mills mengartikan: ―person
who have recieved a sound education and
with the aid of mental abilities aquired
hear, practise their profesion with a full
knowledge not only of its requirements,
possibilities and consequences of ( analisis
intelectual), that he would jugde the
political and moral standards by which
socienty is guided according to their
steadfasness”
Peserta didik (mahasiswa) telah
memiliki kemampuan dan kesediaan untuk
meningkatkan
kegiatan
intelektualnya
menjadi kesadaran dan penghayatan bagi
dirinya serta secara jujur menyesuaikan
dengan sistem nilai masyarakat. Dengan
demikian setiap peserta didik universitas
akan menggunakan nilai-nilai
yang
diperolehnya berdasarkan hasil pendidikan
maupun kemampuan intelektual pribadi dan
akan
mencari
patokan-patokan
dan
mengembangkan
cara
pemecahan
masalahnya sendiri-sendiri, seperti sesuai
dengan keseluruhan dinamika dalam
masyarakat. Kombinasi berpikir abstrak
dengan kebudayaan dan nilai-nilai hasil
pendidikan
akan
diterima
dalam
masyarakat.
Di negara berkembang universitas
menjadi motivasi untuk sarana tempat
belajar, pengembangan pengetahuan dan
pengembangan teknologi, karena universitas
milik nasional yang juga menggunakan
pengetahuan dari universitas luar negeri,
dengan sendirinya melalui pertambahan dan
pengembangan
pengetahuan
ilmiah
mahasiswa mampu mengkombinasikan
pengetahuan ilmiah dengan nilai dan
moralitas negaranya sendiri, sehingga tidak
bertentangan dengan nilai lokal dan
nasional, tidak terjadi konformitas dengan
nilai tradisi setempat akan menghambat
kemajuan dan kurang memberi penilaian
terhadap orang terelajar sebagai cukup
intelek dan maju. Semua ini karena
perkembangan
dan
pengajaran
keterampilan,
pendidikan
profesi,
pendidikan dalam bidang sosial dan
ekonomi serta kecakapan pengelolaan
organisasi universitas. Apabila universitasuniversitas tidak mampu memenuhi
tuntutan ini, maka seluruh bangsa dan
negara
akan
menderita
karenanya,
sehubungan dengan ini ketahanan nasional
negara akan berkurang.
Menurut
tututan
mahasiswa,
universitas harus mengajar dalam waktu
tersingkat,
suatu
profesi
yang
menyelesaikan studi, akan memberi
kepadanya suatu kesempatan kerja, hasil
materi dan keuangan serta status sosial yang
mereka kejar. Disini dosen harus mampu
memecahkan semua masalah mereka,
disamping memberikan gelar akademik juga
mempunyai tugas memberi pekerjaan
kepadanya; guru/dosen ber tanggungjawab
dan selalu siap untuk membimbing,
menolong (bekas) anak didiknya dalam
segala
bidang.
Dengan
demikian
terbentuklah
nilai
tentang
peranan
universitas dan pembinaannya dalam segala
bidang dalam era modernisasi mahasiswa
telah memiliki kemampuan: (1) mandiri; (2)
290
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri
dan bangsa dan negara, yang menyadarkan
adanya perubahan: (1) fisik; (2) emosi, dan
(3) mental sehingga mampu dalam
penyesuaian diri dan pengatasi masalah-
masalah sosial dari modernisasi menjadi
adaptif dinamik yaitu manusia produktif
kreatif, sehingga meningkatnya di bidang
sosial dan ekonomi mengurangi kemiskinan
masyarakat pada umumnya,.
DAFTAR PUSTAKA
Benny A. Pribadi, Model ASSURE untuk Mendesain Pembelajaran Succes. Jakarta: Dian
Rakyat. 2011.
Dasim Budimansyah. Model Pembelajaran Berbasis Portofolio Pendidikan Agama Islam.
Bandung: PT Genesindo. 2003
Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2007.
EM K. Kaswadi. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia
Widisarana Indonesia. 2000.
H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme.
Yogyakarta: Rake Sarasin. 2001.
Ivor K. Davies. Pengelolaan Belajar. Jakarta: CV Rajawali. 1991.
J.W.M. Bakker SJ. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia.
1992.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: FBS. UNJ. 1996.
M. Soeparno, Rekayasa Pembangunan Watak dan Moral Bangsa. Jakarta: PT Purel
Mondial. 1992.
Made Wena. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Myron Weiner. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. 1981.
Phil. Astrid S. Susanto. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial . Bandung: Putra A
Bardin. 1999.
Sofian Effendi. Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Press. 1993.
Toeti Sukamto. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Pusat antara
Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Akvitas Instruksional
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1996.
291
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
292
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI
PENINGKATAN MUTU DAN DAYA SAING BANGSA
DALAM KAJIAN EKONOMI PENDIDIKAN
Bambang Ismanto
Dosen Pendidikan Ekonomi FKIP UKSW Salatiga
HP : 08156525255 Email : [email protected]
ABSTRAK
Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui kontribusi pendidikan dalam
peningkatan mutu dan daya saing bangsa Indonesia. Berbagai program pendidikan
akan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengembangan nilai-nilai
kepribadian, sosial dan kebangsaan bagi peserta didik. Pendidikan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya kompetensi seseorang dan masyarakat akan
meningkatkan produksi dan secara agregat akan meningkatkan Pendapatan
Domestik Bruto. Investasi pendidikan menjadi tanggung jawab keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Pendidikan memerlukan alokasi anggaran. Kajian ini
dilakukan dengan metode dokumentasi tentang kotribusi pendidikan dalam
peningkatan kompetensi dan daya saing SDM. Dalam kajian ini ditemukan bahwa
program wajib belajar 12 tahun dapat meningkatkan Gross Dometic Product dan
Competitiveness Global Index. Fungsi regresi Wajib belajar terhadap PDRB
adalah Y = - 26025,17+4251,5X dengan R2 sekitar = 0,87 dan terhadap CGI
adalah Y = 2,27 + 0,22 X dengan R2 = 0,93. Kajian ini menyimpulkan bahwa
pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang menjadi tanggung jawab
keluarga, masyarakat dan Pemerintah. Pendidikan memiliki kontribusi dalam
peningkatkan kompetensi (mutu) dan daya saing SDM. Peningkatan jenjang
pendidikan akan meningkatkan PDRB dan daya saing global bangsa Indonesia.
Kata kunci : Pendidikan, Investasi, mutu, daya saing, SDM
A. PENDAHULUAN
Pendidikan menjadi penting dan
strategis dalam peningkatan mutu SDM
suatu bangsa. Sebagai bentuk investasi
modal manusia (human investment),
pendidikan akan meningkatkan kompetensi
seperti pengetahuan, ketrampilan, keahlian
dan nilai-nilai kemartabatan. Kompetensi
ini akan meningkatkan partisipasi angkatan
kerja dan produktivitas tenaga kerja. Oleh
karena semakin bertambahnya
jumlah
penduduk yang berpendidikan akan
meningkatkan kemampuan angkatan kerja
dalam memasuki (berpartisipasi) berbagai
lapangan
pekerjaan.
Meningkatnya
pengetahuan, ketrampilan dan keahlian
melalui berbagai program pendidikan yang
dikembangkannya
juga
meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dalam bidang /
karier / profesi yang ditekuninya.
Pendidikan bermutu merupakan
suatu investasi yang mahal. Pendidikan
membutuhkan biaya diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan anggaran SDM, biaya
operasional,
kebutuhan
sarana
dan
prasarana serta program pengembangan
(Ismanto:2011:1). Sebagai investasi jangka
panjang, pendidikan memberi kontribusi
293
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
secara pribadi, sosial dan negara dalam
peningkatan mutu dan daya SDM.
Pembangunan
pendidikan
dipandang srategis dan penting (urgent)
seperti bidang ekonomi dan kesehatan. Oleh
karena pendidikan menjadi salah satu
indicator dalam perhitungan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) termasuk
pelayanan kesehatan dan pendapatan per
kapita. Kinerja pembangunan pendidikan
mengukur prestasi relatif dalam hal melek
huruf orang dewasa maupun gabungan
angka partisipasi sekolah di tingkat dasar,
menengah,
dan
perguruan
tinggi.
Meningkatkan kualitas penduduk Indonesia
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
dan daya saing bangsa, peningkatan
kehidupan sosial politik serta kesejahteraan
masyarakat.
Laporan
Human
Development
Report
2013
dari
United
Nation
Development
Program
(UNDP)
menunjukkan Human Development Index
(HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Indonesia berada di posisi 121 dari
187 negara di dunia (mitrainvestor.com).
Sesuai dengan rangking tersebut Indonesia
dinilai masih berada di kalangan ekonomi
lemah. Namun demikian sepanjang tahun
1980 hingga 2012 IPM Indonesia naik
sebesar 49 persen dari 0,422 menjadi 0,629.
Harapan hidup penduduk Indonesia telah
meningkat sebesar 12,2 tahun dari
presentase sebelumnya yaitu 57,6 persen
menjadi 69,8 persen. Pada rentang tahun
yang sama juga harapan lama sekolah
meningkat 4,6 tahun dari 8,3 tahun di tahun
1980 menjadi 12,9 pada tahun 2012. Dilihat
dari segi ekonomi, pendapatan per kapita
masyarakat juga meningkat sebesar 225
persen. Meskipun saat ini Indonesia
tergolong dalam rangkin rendah namun
UNDP memproyeksi bahwa Indonesia,
China dan Thailand akan menjadi Negara
terdepan dalam percepatan pembangunan di
Asia-Pasifik. Peringkat IPM dari negaranegara di kawasan Asia Tenggara adalah
Singapura (18), Brunei Darussalam (30),
Malaysia (64), Thailand (103), Filipina
(114), Indonesia (121), Vietnam (127),
Laos (138), Kamboja (138) dan Myanmar
(149).Pemerintah
akan
menggulirkan
program Pendidikan Menengah Universal
(PMU) atau Wajib Belajar 12 tahun pada
2013. PMU bertujuan untuk menjaga
kesinambungan dan konsekuensi logis
keberhasilan Wajib Belajar 9 tahun yang
telah mencapai 98%. Program ini masih
disebut rintisan karena hingga saat ini,
program wajib belajar 12 tahun belum
diamanahkan dalam undang-undang, tidak
seperti pendidikan dasar 9 tahun.
Kemendikbud akan mewajibkan setiap
daerah untuk membuat standar biaya
pendidikan jenjang Pendidikan Menengah
Universal (Rusdi : 2012:2).
B. PEMBAHASAN
1. Pendidikan
Sebagai
Human
Investment
Dan
Sumber
Pertumbuhan Ekonomi
Investasi di dalam konsep umum
diartikan
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan nilai tambah barang ataupun
jasa
di
kemudian
hari
dengan
mengorbankan nilai konsumsi sekarang
(Cohn, 1979). Investasi SDM dalam
pendidikan memiliki prinsip yang tidak
berbeda dengan konsep investasi di atas
yang juga bisa dianggap sebagai suatu
entitas yang nilainya bisa berkembang di
kemudian hari melalui suatu proses
pengembangan
nilai-nilai,
seperti
peningkatan perilaku, wawasan, keahlian,
dan keterampilan. Pengembangan SDM
tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan
dan latihan pada berbagai jenjang dan jalur.
SDM ini bernilai, jika kemampuan,
keterampilan, dan pengetahuan yang
dimiliki sesuai dengan kebutuhan hidup dan
sektor pembangunan yang memberikan
keuntungan, baik kepada individu maupun
kepada masyarakat.
294
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dalam teori Harord-Domar, investasi
merupakan faktor penentu yang sangat
penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Bahkan mereka mengatakan bahwa
―tabungan dan investasi merupakan
kekuatan sentral dibalik pertumbuhan
ekonomi‖ (saving and investment is central
forces behind economic growth). Menurut
Sitepu (Model pertumbuhan baru
pada dasarnya merupakan pengembangan
dari model Solow sebelumnya, yang
mengungkapkan bahwa peranan kapital,
termasuk modal manusia (human capital)
atau investasi dalam sumberdaya manusia
(human capital investment) lebih besar
daripada apa yang diukur oleh pertumbuhan
Solow. Ide dasar dari model pertumbuhan
baru tersebut adalah bahwa investasi
kapital, baik itu dalam mesin maupun dalam
manusia, menciptakan eksternalitas yang
positif (positive externalities). Artinya
investasi tidak hanya meningkatkan
kapasitas produktif dari perusahaan yang
melakukan investasi atau tenaga kerja,
tetapi juga kapasitas produktif dari
perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja
lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam
model pertumbuhan baru ini inovasi
teknologi (technological innovation) dan
pembentukan modal manusia (human
capital formation) dilihat sebagai sumber
utama dari pertumbuhan produktivitas, dan
pertumbuhan produktivitas itu sendiri pada
gilirannya merupakan motor penggerak dari
pertumbuhan ekonomi (engine of growth).
Johns (1983:37) mengemukakan the
benefits of education may be broadly
defined as including anything which (a)
increase production through enhancement
of the capacity of the labor force; (b)
increase efficiency by reducing cost, thus
reserving or releasing resources for other
productive pursuits; and (c) increase the
social consciousness of the community s
that the standard of living is enhanced.
Dikatakan bahwa manfaat pendidikan bisa
secara luas didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang (a) meningkatkan produksi
melalui kapasitas tenaga kerja; (b)
meningkatkan efisiensi dengan mengurangi
biaya,
sehingga
menghemat
atau
menyediakan
sumberdaya
untuk
kepentingan produktif lainnya; dan (c)
meningkatkan kesadaran sosial masyarakat
sehingga standar hidup bisa meningkat.
Dengan
mengkaji
pandangan
Schultz (1963) tentang konsepsi ekonomi
pendidikan,
Cohn,
(1979:32-37)
mengkategorikan
manfaat
pendidikan
terdiri dari 1) manfaat ekonomi dari
penelitian pendidikan, 2) pengembangan
dan penemuan bakat potensial, 3)
peningkatan ―kapabilitas orang-orang untuk
menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan dalam kesempatan pekerjaan, 4)
dan pengaturan sumber daya manusia untuk
kelangsungan pertumbuhan ekonomi.
Outcomes
pendidikan
dapat
digolongkan menjadi dua: yaitu outcome
yang bersifat konsumtif dan outcome yang
bersifat investatif (Schulz (1963), dan Cohn
(1979:168-169).
Aspek
konsumtif
berhubungan dengan kesenangan dan
manfaat-manfaat yang diterima oleh siswa,
keluarganya, dan masyarakat keseluruhan.
Siswa bisa saja mengalami konsumtif yang
kurang baik, namun kegiatan-kegiatan
seperti musik, olah raga, seni dan kerajinan
bisa membantu kesenangan siswa di
sekolah. Keluarga merasa diringankan
tugasnya ketika anaknya berada di sekolah,
manfaat yang besar pun dirasakan oleh guru
dan orang lain. Komponen investatif
mencakup berbagai output yang berkaitan
dengan tujuan untuk mempertinggi keahlian
individu dan masyarakat di masa depan.
Dalam jangka pendek, masyarakat lebih
menghitung biaya dan kesibukan dalam
menyiapkan program-program pendidikan
yang harus dilaksanakan. Karakteristik
investatif dari output pendidikan tidak dapat
dipetik di masa sekarang namun dalam
jangka menengah dan jangka panjang.
295
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Penelitian Garcia Soelistianingsih
(l998) dan Wibisiono (2001) menyatakan
bahwa human capital yang dilihat dari aspek
pendidikan dan kesehatan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Pfeffer
dalam Jeffrey Mello melihat bahwa
keunggulan bersaing sebagai wujud
kontribusi pengelolaan SDM secara efektif.
Sejalan dengan temuan ini, Fitz-Enz (2009)
menjelaskan
bahwa
human
capital
merupakan kombinasi dari tiga faktor, yaitu:
1) karakter atau sifat yang dibawa ke
pekerjaan,
misalnya
intelegensi,
energi,sikap positif, keandalan, dan
komitmen, 2) kemampuan seseorang untuk
belajar,
yaitu
kecerdasan,imajinasi,
kreatifitas dan bakat dan 3) motivasi untuk
berbagi informasi dan pengetahuan, yaitu
semangat tim dan orientasi tujuan. Garavan.
Et al (2001) sebagaimana dikemukakan oleh
M. Marimuthu dkk bahwa modal manusia
memiliki empat atribut kunci yaitu: (1)
fleksibilitas
dan
adaptabilitas
(2)
peningkatan kompetensi individu (3)
pengembangan kompetensi organisasi dan
(4) individu yang dipekerjakan (Sumual :
2012:3).
2. Pendidikan yang Berkelnajutan
akan Menjamin Mutu dan Daya
Saing SDM
Wajib belajar 9 tahun pendidikan
dasar merupakan merupakan langkah awal
Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan
kecerdasan bangsa. Menurut UU Nomor 20
tahun 2003, Pendidikan dasar merupakan
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar
berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah pertama
(SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs),
atau bentuk lain yang sederajat.
Keberhasilan Pemerintah Indonesia
dalam Pendidikan Dasar ditandai semakin
meningkatnya Angka Partisipasi Kasar dan
Murni (APK/M) tingkat SD/MI, dan
SMP/MTs serta paket belajar yang relevan.
Seperti yang tampak pada tabel berikut
APK SD/MI dan Paket A selama 5 tahun di
atas 100 % dan APK SMP/MTs dan paket C
sekitar 89,57. Capaian target wajar 9 tahun
ini perlu ditindaklanjuti program pendidikan
jenjang menengah SMA/MA/SMK/MAK.
APK SMA/MA dan paket C masih relative
rendah sekitar 64,60 %. Keberhasilan wajar
9 tahun perlu dipertimbangkan Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
dalam
menempatkan
pendidikan
menengah
sebagai wajib belajar 12 tahun.
296
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Tabel 1. Partisipasi Pendidikan Indonesia
Tahun 2007 - 2011
Partisipasi Pendidikan
APK SD/MI
APK SMP/MTs
APK SM/MA
APK PT
2007 2008 2009 2010
110.35 109.41 110.35 111.63
82.03 81.38 81.09 80.35
56.71 57.42 62.37 62.53
13.31 14.42 14.59 16.35
APM SD/MI
93.75
66.64
44.56
9.64
94.72
67.62
45.48
11.01
90.95
67.98
47.81
11.99
112.19 111.12 110.42 111.68
86.37 86.86 81.25 80.59
59.46 59.06 62.55 62.85
102.58
89.57
64.66
APM SMP/MTs
APM SM/MA
APM PT
APK SD/MI/Paket A
APK SMP/MTs/Paket B
APK SM/MA/Paket C
APM SD/MI/Paket A
APM SMP/MTs/Paket B
APM SM/MA/Paket C
93.99
66.98
44.75
10.07
93.78
66.9
44.84
93.99
67.39
44.97
94.37
67.4
45.06
10.3
2011
102.44
89.09
63.86
17.28
94.37
67.43
45.11
94.76
67.73
45.59
91.03
68.12
47.97
Sumber : BPS.go.id (diolah)
Wajib belajar 12 tahun yang dalam
rintisan Pendidikan Menengah Universal
(PMU) pada SMA/MA/SMK menjadi
strategis dalam peningkatan mutu dan daya
saing SDM bangsa Indonesia. Berdasarkan
pengalaman implementasi program Wajar 6
tahun ternyata dapat meningkatkan akses
pendidikan bagi penduduk usia sekolah dan
menjangkau (pemerataan) pendidikan di
seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Pentingnya Wajib Belajar 12 Tahun
Wajib Belajar vs IPM Total
1
0.7
0.9
0.8
0.6
0.5
Indonesia (dibawah
rata-rata)
0.4
0.3
Indeks HDI Total
Indeks HDI Pendidikan
Wajib Belajar vs IPM Pendidikan
0.8
0.2
0.1
0
0.7
Indonesia
(dibawah ratarata)
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
Y = 0,43 + 0,019 x
0.1
R² = 0,95
0
Y = 0,23 + 0,052 x
R² = 0,99
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314
Wajib belajar (tahun)
Wajib belajar (tahun)
1.
Wajib belajar adalah data terkini yang diambil dari nation master
http://www.nationmaster.com/graph/edu_dur_of_com_edu-education-duration-of-compulsory
5/6/2013
2. Nilai indeks Pendidikan diambil dari Human Development Report 2011
Gambar 1. Grafik Korelasi Wajib Belajar 12 Tahun
297
36
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Seperti yang tampak pada gambar di
atas wajib belajar 12 tahun akan
mempengaruhi secara positif Indeks
Pembangunan
Pendidikan.
Dengan
persamaan regresi Y = 0,23 + 0,052 X dapat
diprediksikan bahwa meningkatnya akses
pendidikan 12 tahun pada jenjang
SMA/MA/SMK akan mampu meningkatkan
IPM bidang pendidikan 0,052. Dengan R2
sekitar 0,99 % bermakna bahwa variabel
wajib belajar dapat mempengaruhi IPM
bidang pendidikan. Pada gambar berikut
juga dijelaskan bahwa meningkatnya akses
pendidikan
menengah
akan
dapat
meningkatkan IPM secara total. Meskipun
relative lebih rendah dibandingkan koefisien
IPM pendidikan, dengan persamaaan Y
(IPM Total) = 0,43 + 0,019 X bermakna
bahwa meningkatnya akses pendidikan
SMA/MA/SMK dapat meningkatkan IPM
total sekitar 0,019.
Sosok sumberdaya manusia yang
dibutuhkan memiliki (1) kemandirian
berpikir kritis, sintetik, dan praktikal; (2)
kepedulian, empathi, dan tanggung jawab
yang tinggi; (3) kemampuan emulasi
daripada emitasi; (4) kemampuan learning,
unlearning, relearning dan networking; (5)
kepribadian dan kerja tim yang baik; (6)
kemampuan
berpikir
global
dalam
memecahkan masalah lokal; (7) sifat
terbuka terhadap dilektika perubahan, dan
(8) budaya kerja yang tinggi (Mukhadis :
2012). Karakteristik sosok manusia ini
berpotensi
mampu
mengembangkan
kemampuan emulatif (mengembangkan, dan
memanfaatkan
keunggulan
teknologi
berdasar-kan sinergi empat dimensi utama
teknologi), yaitu human-ware, info-ware,
organo-ware, dan techno-ware untuk
menghasilkan produk teknologi yang ‖high
quality,
low-cost,
low-risk,
high
competitive‖ di era global.
Daya saing Indonesia yang rendah
terlihat dari kualitas SDM tenaga kerja
(naker) yang rendah. Dari 110.808.154
tenaga kerja sebesar 68,27% diantaranya
atau 74.873.270 orang berpendidikan di
bawah
SD
dan
SMP
(http://www.igi.or.id/3).
Padahal, SDM
yang berkualitas merupakan amunisi yang
dapat meningkatkan daya saing Indonesia
dibandingkan dengan negara lain.
Dalam
menghadapi
berbagai
tantangan kehidupan global di masa depan,
khususnya dalam menyongsong satu abad
kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
maka sosok ideal generasi Indonesia 2045
adalah generasi Indonesia yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
karakter yang baik, kuat dan unggul, serta
mampu berkompetisi dalam kehidupan
masyarakat global yang semakin bebas dan
terbuka ( Dardiri : 2012:4). Di samping itu,
generasi Indonesia 2045 juga harus
memiliki sikap optimistis, percaya diri, dan
mampu menjalin kerjasama dengan bangsabangsa lain, serta memiliki semangat
nasionalisme
yang
tinggi.
Untuk
menghasilkan
sosok
ideal
generasi
Indonesia tersebut diperlukan pendidikan
yang kompetitif dan inovatif dan didukung
dengan sistem pendidikan yang memiliki
visi strategis.
Implementasi
Pasar
Tunggal
ASEAN 2015 tampaknya akan menjadi
kendala bagi Bangsa Indoensia. Oleh kaeran
kesiapan daya saing Indonesia dalam
menghadapi kondisi tersebut masih sangat
mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari
posisi daya saing Indonesia yang rata-rata
masih di bawah negara-negara pesaing di
kawasan ASEAN. Peringkat daya saing
global yang dilakukan dalam World
Economic Forum (WEF) pada 2012,
ternyata Indonesia berada diperingkat ke-50
dari 144 negara atau hanya menempati
posisi ke-5 di kawasan ASEAN di bawah
Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke25), Brunei Darussalam (ke-28), dan
Thailand
(ke-38).
Sementara
itu
produktivitas tenaga kerja Indonesia
298
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menempati posisi ke-15. dari 23 negara di
Asia (http://www.shnews.co/).
Berbagai konvensi yang telah
disepakati Pemerintah Indonesia seperti
Education for All, Perdagangan Bebas, Go
green dan berbagai hal lainnya perlu
ditindaklanjuti dengan program pendidikan
yang akuntabel. Visi program pendidikan
yang semakin global perlu didukung dengan
program, SDM, Teknologi Informasi,
sarana prasarana serta pembiayaan yang
dapat meningkatkan akses, pemerataan dan
mutu para peserta program pendidikan.
Output pendidikan akan menjadi outcome
dan memiliki dampak (effect) apabila
mampu
meningkatkan
kesejahteraan
pribadi, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Terkait dengan rendahnya daya
saing tenaga kerja ini, Suharyadi
menuturkan masih tingginya
angka
pengangguran tenaga kerja terdidik serta
terbatasnya pendanaan publik pemerintah
terhadap sektor pendidikan menjadi
tantangan yang harus dihadapi dan segera
dibenahi agar Indonesia siap menghadapi
persaingan pasar kerja di AEC mendatang.
Dalam hal ini direkomendasikan tiga
kebijakan dan strategi yang bisa diterapkan.
Pertama, pemerintah harus memadukan arah
pembangunan dunia pendidikan yang
selaras dengan skema pembangunan industri
nasional. Wakil Ketua Umum Kamar
Dagang dan Industri (Kading) Indonesia
Bidang Pendidikan dan Kesehatan James T.
Riady, mengusulkan untuk menghasilkan
tenaga kerja yang produktif, maka
memerlukan pendidikan yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan pembangunan
dan tingkat kesehatan masyarakat yang
memadai (http://www.igi.or.id/3).
Pendidikan tidak hanya menjadi
tanggungjawab Pemerintah dan masyarakat
dalam hal ini keluarga. Pihak pengguna
lulusan pendidikan juga turut bertanggung
jawab dalam memberikan informasi
kebutuhan (criteria) keahlian dan jumlah
yang
dibutuhkan
serta
mendukung
pembiayaan
dan
sarana
prasarana
pendidikan yang relevan dengan dinamika
lingkungan kerja.
C. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Relative rendahnya daya saing dan
produktivitas tenaga kerja di Indonesia
menjadi tantangan program pendidikan. Hal
ini sebagai implikasi dari rendahnya akses
dan mutu pendidikan di Indonesia.
Keberhasilan wajib belajar 9 tahun perlu
ditindaklanjuti
program
pendidikan
menengah yang lebih bermutu dan merata di
seluruh wilayah Indonesia. Meningkatnya
kompetensi
yang
didukung
Ilmu
Pengetahuan, Teknologi dan peradaban
SDM akan meningkatkan kesejahteraan
secara pribadi, masyarakat dan bangsa
Indonesia. Secara ekonomis, meningkatnya
kompetensi ini akan member peluang
kepada setiap angkatan kerja (labour force)
dalam mengoptimalkan sumber daya guna
menciptakan nilai tambah (produktivitas)
baik sebagai pengusaha (wirausaha) dan
atau berkarier di perusahaan/industry.
Meningkatnya
produktivitas
akan
meningkatkan penghasilan secara pribadi
dan secara akumulatif akan meningkatkan
Pendapatan nasional.
Pentingnya mutu dan daya saing
SDM membawa implikasi pendidikan untuk
meningkatkan visi dan program yang
relevan dengan kompetisi tenaga kerja dan
berbagai peluang dalam mengoptimalkan
sumber
daya
(resources).
Relative
rendahnya daya saing SDM bangsa
Indonesia di pasaran tenaga kerja perlu
ditindaklanjuti peningkatan wajib belajar 12
tahun pada jenjang SMA/MA/SMK.
Pemerintah, Masyarakat (keluarga) dan
Perusahaan/Industri
harus
saling
mendukung dalam menyusun visi dan
program serta pembiayaan program
pendidikan.
299
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DAFTAR PUSTAKA
Cohn, Elchanan., (1979). The Economics of Education. Revised Edition, Massachusetts: A
Subsidiary of Harper & Row Publisher, Inc,
Dardiri, Achmad, 2012, Menggagas Sosok Ideal Generasi Indonesia 2045 yang
Berkarakter dan Kompetitif, Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
http://www.igi.or.id/3-view.php?subaction=showfull&id=1367276301&archive=&start_
from=&ucat= 1&, diunduh, 5 Mei 2013
http://www.mitrainvestor.com/blog/2013/03/18/human-development-index-indonesianomor-121-tingkat-dunia/, diunduh Minggu 5 Mei 2013
http://www.shnews.co/detile-16990-daya-saing-ri-mengkhawatirkan.html, diunduh, 5 Mei
2013
Ismanto, Bambang, 2011, Kebijakan Pendanaan Pendidikan, (Studi tentang Program,
Implementasi, Dampak, Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pendanaan
Pendidikan di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah),
Disertasi (tidak dipublikasikan) Sekolah Pasca Sarjana, UPI, Bandung
Johns, Roe L, Edgar l. Morphet dan Kern Alexander., (1983). The Economics & Financing
of Education Fourth Edition, New Jersey: Prentice Hall, Inc,
Mukhadis, Sosok Manusia Indonesia Unggul dan Berkarakter dalam Bidang Teknologi
sebagai Tuntutan Hidup di Era Globalisasi, Konaspi VII Universitas Negeri
Yogyakarta, 2012
Mulyono, 2010, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar-Ruzz, Media Group, Jogjakarta
Nuh, M, 2012, Bahan Paparan Pendidikan Menengah Universal 12 Tahun, 6 Maret 2012
(tidak dipublikasikan), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Rusdi, 2012,Pendidikan Menengah Universal (PMU),Disajikan Dalam Workshop
Pendidikan Menengah Universal (PMU), DPRD Kota Semarang,
Sitepu, Rasidin K, 2010, Dampak Investasi Sumber Daya Manusia Dan Bantuan Langsung
Tunai Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Di Indonesia, Jurnal Keuangan
dan Moneter, Volume 13, No. 2 Tahun 2010
Sumual, Tinneke E.M., 2012, Membangun Keunggulan Kompetitif Sumber Daya Manusia
di Era Milenium Ketiga Indonesia Melalui Penciptaan Human Capital dan Sosial
Capital, Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
300
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
KURIKULUM 2013 DALAM PENDIDIKAN NASIONAL
Nana
Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan
Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Penulisan makalah kurikulum 2013 ini bertujuan untuk: 1) mengetahui
penerapan kurikulum 2013 di Indonesia, 2) mengetahui standar kompetensi lulusan
kurikulum 2013, dan 3) mengetahui struktur dari kurikulum 2013.
Pembahasan
dalam makalah ini yaitu dimulai dengan penerapan
kurikulum 2013 di Indonesia. Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akan
dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan pada
kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan
di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan pada
kelas-kelas tersebut, maka pada tahun ajaran 2014/15 secara berjenjang
dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnya di SD dapat dilaksanakan pada
kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di
SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X. Standar kompetensi lulusan pada jenjang
SD, SMP, dan SMA yaitu terdiri dari domain Sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Untuk sikap diharapkan siswa mempunyai sikap menerima +
menanggapi + menghargai + mengkhayaati + mengamalkan. Untuk keterampilan
yaitu siswa dapat mengamati + menanya + mencoba + mengolah + menyaji +
menalar + mencipta. Sedangkan untuk pengetahuan diharapkan siswa
daparmengetahui + memahami + menerapkan + menganalisis + mengevaluasi.
Struktur kurikulum 2013 pada setiap jenjang sekolah berbeda-beda. SD
mempunyai banyak dasar perancangan kurikulum 2013 diantaranya permasalahan
yang ada misalnya capaian pembelajaran disusun berdasarkan materi pelajaran
bukan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik, penyelesaiannya yaitu
perlunya ditetapkan standar kompetensi kelulusan dan standar kompetensi kelas
untuk menyatakan capaian pembelajaran. SMP mempunyai usulan perancangan
kurikulum sama dengan SD yaitu akan disusun berdasarkan kompetensi yang
dimiliki peserta didik dalam ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai
menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: a) TIK menjadi
sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri, b) Muatan
lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya, Prakarya dan Budidaya,c) Mata
pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran. SMA
mempunyai rancangan kurikulum diantaranya apakah masih perlu penjurusan di
SMA mengingat sudah tidak ada negara yang menganut sistem penjurusan SMA,
dapat melanjutkan ke semua jurusan di perguruan tinggi. Tanpa penjurusan akan
menyebabkan mata pelajaran menjadi terlalu banyak seperti pada SMA Kelas X
saat ini, sehingga diperlukan mata pelajaran pilihan dan mata pelajaran wajib.
Kata Kunci:Kurikulum 2013, pendidikan nasional
301
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
A. PENDAHULUAN
Dalam era teknologi informasi dan
komunikasi, dan era reformasi khususnya di
bidang pendidikan yang terus berkembang
secara dinamis telah memberikan pengaruh
luar biasa terhadap sistem tata nilai dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara
itu,
perkembangan
ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi
tantangan lain yang perlu diantisipasi
dengan sebaik-baiknya. Pengaruh dan
tantangan itu perlu disikapi secara bijak dan
cerdas
agar
tidak
menimbulkan
ketimpangan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di masa yang akan datang.
Hal demikian mengisyaratkan mengenai
penting
dan
perlunya
membangun
pendidikan yang bermutu dan bermakna
untuk mewujudkan generasi bangsa
Indonesia yang bermartabat, beradab,
berbudaya, berkarakter, beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang
demokratis, dan bertanggung jawab.
Secara empirik dapat diketahui
bahwa
keberhasilan
pembangunan
pendidikan yang bermutu dipengaruhi oleh
ketersediaan
berbagai
komponen
pendukungnya. Salah satu di antaranya
yaitu kurikulum yang dikembangkan dan
digunakan pada tataran satuan pendidikan.
Oleh karena itu, kurikulum harus
dikembangkan dari waktu ke waktu seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, serta perkembangan
berbagai tantangan dan tuntutan kompetensi
yangdiperlukan
dalam
pembangunan
peradaban manusia
Indonesia
yang
dicitacitakan pada masa mendatang.
Sejak tahun 2001, Pemerintah
melalui Departemen Pendidikan Nasional,
sekarang bernomenklatur Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
telah
mengembangkan
kurikulum
berbasis
kompetensi (KBK), dan seterusnya pada
tahun 2006 menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum
2006 memuat sejumlah permasalahan
diantaranya:
(1)
Kurikulum
belum
sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai
dengan tuntutan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum
menggambarkan secara holistik domain
sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3)
Beberapa kompetensi yang dibutuhkan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan
(misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills
dan hard skills, kewirausahaan) belum
terakomodasi di dalam kurikulum; (4)
Kurikulum belum peka dan tanggap
terhadap perubahan sosial yang terjadi pada
tingkat lokal, nasional, maupun global; (5)
Standar proses pembelajaran belum
menggambarkan urutan pembelajaran yang
rinci sehingga membuka peluang penafsiran
yang beraneka ragam dan berujung pada
pembelajaran yang berpusat pada guru; (6)
Standar penilaian belum mengarahkan pada
penilaian berbasis kompetensi (proses dan
hasil) dan belum secara tegas menuntut
adanya remediasi secara berkala; dan (7)
Dengan KTSP memerlukan dokumen
kurikulum yang lebih rinci agar tidak
menimbulkan multi tafsir.
Oleh karena itu, kurikulum harus
dirancang mampu membangun peserta didik
untuk: (1) mengembangkan minat dan bakat
peserta didik dalam menghadapi kehidupan,
meningkatkan kesiapan peserta didik untuk
302
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bekerja; (3) mengembangkan kecerdasan
sesuai dengan bakat/minatnya; serta (4)
mengembangkan
rasa
tanggungjawab
peserta
didik
terhadap
lingkungan.
Dilandasi oleh cita-cita luhur untuk
menyiapkan dan membangun generasi
muda Indonesia yang demikian itulah,
Pemerintah
melalui
Kemdikbud,
mengembangkan Kurikulum 2013 secara
nasional. Pengembangan Kurikulum 2013
didesain
untuk
menyiapkan
dan
membangun generasi muda Indonesia masa
depan yang tangguh dan madani. Generasi
muda Indonesia yang beradab, bermartabat,
berbudaya, berkarakter, beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif,
mandiri,
demokratis,
dan
bertanggung jawab dalam mengawal
kehidupan bangsa dan negara.
B. PEMBAHASAN
1. Penerapan Kurikulum 2013
Dalam pelaksanaan Kurikulum
2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan
berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan
pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP
dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan
di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14
Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelaskelas tersebut, maka pada tahunajaran
2014/15 secara berjenjang dilaksanakan
pada kelas-kela berikutnya. Misalnyadi SD
dapat dilaksanakan pada kelas II dan V,
sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada
kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan
pada kelas X.
Ada enam mata pelajaran yang
akan diberikan pada siswa kelas I-III SD,
yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa
Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Mata
pelajaran seperti Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
rencananya akan dihapuskan, namun tidak
akan dihapus begitu saja, tetapi akan
diintegrasikan dengan mata pelajaran lain.
Sementara itu, untuk kelas 4 dan 6 SD
sampai tulisan ini dibuat, masih belum
disepakati.
Sementara untuk jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA), kepastian mengenai
mata pelajaran yang akan diberikan masih
dibicarakan.
Pembahasan
perubahan
kurikulum ditargetkan selesai akhir tahun
ini. Rencananya, kurikulum baru ini akan
mulai disosialisasikan dan diuji publik
sebelum Februari 2013 dan mulai
diberlakukan pada tahun ajaran 2013-2014.
Nantinya kurikulum baru ini akan
menitikberatkan pada mata pelajaran yang
membentuk sikap untuk siswa SD,
mengasah keterampilan untuk siswa SMP
dan membangun pengetahuan untuk siswa
SMA.
Sejak wacana
pengembangan
kurikulum 2013 digulirkan, muncul
tanggapan pro dan kontra dari berbagai
kalangan pakar dan praktisi pendidikan
serta masyarakat lainnya. Wacana pro dan
kontra menunjukkan bahwa para pemangku
kepentingan memiliki kepedulian dan
begitu pentingnya pembangunan sistem
pendidikan di negeri ini dalam menyiapkan
generasi emas memasuki perkembangan
global yang semakin kompetitif dan
berorientasi pada keunggulan. Semakin
banyak kritik dan saran terhadap kurikulum
2013 ini diharapkan lebih mematangkan
kurikulum yang sedang dikembangkan.
303
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Kurikulum mempersiapkan peserta
didik dalam menghadapi tantangantantangan di masa depan melalui
pengetahuan, keterampilan, sikap dan
keahlian untuk beradapati serta bisa
bertahan hidup dalam lingkungan yang
senantiasa berubah. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhammad Nuh dalam
berbagai
kesempatan
menegaskan
peurbahan dan pengembangan kurikulum
2013 merupakan persoalan yang penting
dan genting. Alasan perubahan kurikulum,
kurikulum pendidikan harus disesuaikan
dengan tuntutan zaman. Karena zaman
berubah, maka kurikulum harus lebih
berbasis pada penguatan penalaran, bukan
lagi hafalan semata. Perubahan ini
diputuskan dengan merujuk hasil survei
internasional tentang kemampuan siswa
Indonesia. Salah satunya adalah survei
"Trends in International Math and Science"
oleh Global Institute pada tahun 2007.
Menurut survei ini, hanya 5 persen siswa
Indonesia yang mampu mengerjakan soal
berkategori tinggi yang memerlukan
penalaran. Sebagai perbandingan, siswa
Korea yang sanggup mengerjakannya
mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen
siswa Indonesia dapat mengerjakan soal
berkategori rendah yang hanya memerlukan
hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang
bisa mengerjakan soal semacam itu hanya
10
persen.
Indikator
lain
datang
dari Programme for International Student
Assessment(PISA) yang di tahun 2009
menempatkan Indonesia di peringkat 10
besar paling buncit dari 65 negara peserta
PISA.
Kriteria
penilaian
mencakup
kemampuan kognitif dan keahlian siswa
membaca, matematika, dan sains. Dan
hampir semua siswa Indonesia ternyata
cuma menguasai pelajaran sampai level 3
saja. Sementara banyak siswa negara maju
maupun berkembang lainnya, menguasai
pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6.
Kesimpulan dari dua survei itu adalah:
prestasi siswa Indonesia terkebelakang.
Periubahan kurikulum meliputi empat
elemen yaitu : pertama; standar kompetensi
kelulusan, kedua standar isi, ketiga,
standar proses dan keempat, standar
penilaian.
Pengembangan kurikulum 2013
menitikberatkan pada penyederhanaan,
pendekatan
tematik-integratif
dilatarbelakangi oleh masih terdapat
beberapa permasalahan pada Kurikulum
2006 (KTSP) antara lain ; (1) konten
kurikulum yang masih terlalu padat yang
ditunjukkan dengan banyaknya mata
pelajaran dan banyak materi yang keluasan
dan tingkat kesukarannya melampaui
tingkat perkembangan usia anak; (2) belum
sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai
dengan tuntutan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional; (3) kompetensi belum
menggambarkan secara holistik domain
sikap, keterampilan, dan pengetahuan;
beberapa kompetensi yang dibutuhkan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan
(misalnya pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills
dan hard skills, kewirausahaan) belum
terakomodasi di dalam kurikulum; (4)
belum peka dan tanggap terhadap
perubahan sosial yang terjadi pada tingkat
lokal, nasional, maupun global; (5) standar
proses
pembelajaran
belum
menggambarkan urutan pembelajaran yang
rinci sehingga membuka peluang penafsiran
yang beraneka ragam dan berujung pada
304
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pembelajaran yang berpusat pada guru; (6)
standar penilaian belum mengarahkan pada
penilaian berbasis kompetensi (proses dan
hasil) dan belum secara tegas menuntut
adanya remediasi secara berkala; dan (7)
dengan KTSP memerlukan dokumen
kurikulum yang lebih rinci agar tidak
menimbulkan multi tafsir (Draft Kurikulum
2013).
Pemerintah
dalam
hal
ini
Kemdikbud akan mengimplementasikan
Kurikulum 2013 secara bertahap mulai
tahun pembelajaran baru bulan Juli 2013.
Kurikulum 2013 merupakan kelanjutan dan
pengembangan dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang telah dirintis pada tahun
2004 dengan mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara
terpadu. Pengembangan Kurikulum pada
Kurikulum 2013 dilakukan seiring dengan
tuntutan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan dan melaksanakan amanah
Undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang SIstem Pendidikan Nasional serta
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
Mencermati draft bahan sosialisasi
Kurikulum
2013,
pengembangan
kurikulum 2013 untuk meningkatkan
capaian pendidikan dilakukan dengan dua
strategi utama yaitu peningkatan efektivitas
pembelajaran pada satuan pendidikan dan
penambahan waktu pembelajaran di
sekolah. Efektivitas pembelajaran dicapai
melalui tiga tahapan yaitu efektivitas
interaksi, efektivitas pemahaman, dan
efektivitas penyerapan. (1) Efektivitas
Interaksi akan terwujud dengan adanya
harmonisasi iklim atau atmosfir akademik
dan budaya sekolah . Iklim atau atmosfir
akademik dan budaya sekolah sangat kental
dipengaruhi
oleh
manajemen
dan
kepemimpinan kepala sekolah beserta
jajarannya.
Efektivitas Interaksi dapat terjaga
apabila kesinambungan manajemen dan
kepemimpinan pada satuan pendidikan.
Tantangan saat ini adalah sering dijumpai
pergantian manajemen dan kepemimpinan
sekolah secara cepat sebagai efek adanya
otonomi
pendidikan
yang
sangat
dipengaruhi oleh politik daerah. (2)
Efektivitas pemahaman menjadi bagian
penting dalam pencapaian efektivitas
pembelajaran. Efektivitas pembelajaran
dapat tercapai apabila pembelajaran yang
mengedepankan pengalaman personal siswa
melalui observasi (menyimak, mengamati,
membaca, mendengar), asosiasi, bertanya,
menyimpulkan dan mengomunikasikan.
Oleh
karena
itu
penilaian
berdasarkan proses dan hasil pekerjaan
serta kemampuan menilai sendiri. (3)
Efektivitas penyerapan dapat tercipta ketika
adanya kesinambungan pembelajaran secara
horisontal dan vertikal. Kesinambungan
pembelajaran secara horizontal bermakna
adanya kesinambungan mata pelajaran dari
kelas I sampai dengan kelas VI pada tingkat
satuan pendidikan SD, kelas VII sampai
dengan IX pada tingkat satuan pendidikan
SMP dan kelas X sampai dengan kelas XII
tingkat
SMA/SMK.
Selanjutnya
kesinambungan
pembelajaran
vertikal
bermakna adanya kesinambungan antara
mata pelajaran pada tingkat saatuan
pendidikan SD, SMP, sampai dengan satuan
pendidikan SMA/SMK. Sinergitas dari
ketiga efektivitas pembelajaran tersebut
akan menghasilkan sebuah transfomasi nilai
yang bersifat universal, nasional dengan
305
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tetap menghayati kearifan lokal yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia
yang berkarakter mulia.
a. Penambahan Jam Pelajaran
Salah satu ciri kurikulum 2013 yaitu
adanya
penambahan jam
pelajaran.
Penambahan jam
pelajaran
sebagai
konsekuensi dari adanya perubahan proses
pembelajaran yang semula dari siswa diberi
tahu menjadi siswa mencari tahu. Selain itu,
akan merubah pula proses penilaian yang
semula dari berbasis output menjadi
berbasis proses dan output. Penambahan
jam pelajaran dalam kurikulum 2013,
karena kecenderungan akhir-akhir ini
banyak negara menambah jam pelajaran
seperti KIPP dan MELT di AS dan Korea
Selatan. Jika dibandingan dengan negaranegara lain jam pelajaran di Indonesia
relatif
lebih
singkat.
Walaupun
pembelajaran di Finlandia relatif singkat,
tetapi didukung dengan pembelajaran
tutorial.
Pada saat ini dalam pengembangan
kurikulum 2013 telah melewati tahap ketiga
yaitu uji publik dan sosialisasi untuk
memperoleh masukan dari berbagai
stakeholders guna penyempurnaan draft
kurikulum 2013. Uji publik draft kurikulum
2013 dari bulan November hingga
Desember 2012 dan desain kurikulum 2013
sudah final. Pada bulan Januari-februari
atau awal Maret ini tengah dilakukan
penyusunan buku pelajaran dengan
pendekatan tematik integratif kelas I
sampai dengan kelas V Sekolah Dasar dan
pendekatan berbasis mata pelajaran untuk
SMP dan SMA/SMK. Selanjutnya dalam
rangka persiapan penerapan kurikulum baru
pada pertengahan Juli 2013 yang akan
datang, pelatihan guru inti dan instruktur
nasional akan segera dilakukan pada bulan
Mei mendatang bertepatan dengan libur
tahun ajaran. Setelah pelatihan guru inti,
pemerintah akan melanjutkan dengan
pelatihan massal yang menyasar pada
712.947 guru. Guru inti yang akan dijadikan
sebagai pelatih guru massal ditargetkan
berjumlah 46.213 guru.
Guru inti dipilih dari prestasi guru
dan skor UKG yang sudah dilakukan,
Pelatihan untuk guru inti dan guru massal
yang terdiri atas guru kelas dan guru mata
pelajaran dilakukan masing-masing 52 jam
pertemuan atau setara dengan lima hari.
Selanjutnya, saat kurikulum diterapkan satu
guru akan didampingi setidaknya dua guru
inti di dalam kelas.
b. Kurikulum 2013 sebagai Inovasi
Pengembangan
kurikulum
merupakan salah satu bentuk inovasi
pendidikan. Terhadap suatu inovasi apapun
tidak serta merta sasaran penerima inovasi
dalam hal ini pendidik dan tenaga
kependidikan begitu saja menerima atau
mengadopsi inovasi tersebut merupakan
suatu hal yang wajar. Dalam teori inovasi,
kefektivan inovasi akan terwujud jika
memenuhi karakteristik Inovasi. Rogers
(1983) mengemukakan lima karakteristik
inovasi meliputi: 1) keunggulan relatif
(relative
advantage),
kompatibilitas
(compatibility), 3) kerumitan (complexity),
4) kemampuan diuji cobakan (trialability)
dan 5) kemampuan diamati (observability).
Keunggulan relatif adalah derajat
dimana suatu inovasi dianggap lebih
baik/unggul dari yang pernah ada
sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari
beberapa segi, seperti segi ekonomi, prestise
306
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain.
Semakin besar keunggulan relatif dirasakan
oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi
tersebut dapat diadopsi. Kompatibilitas
adalah derajat dimana inovasi tersebut
dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang
berlaku, pengalaman masa lalu dan
kebutuhan pengadopsi.
Sebagai contoh, jika suatu inovasi
atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi
itu tidak dapat diadopsi dengan mudah
sebagaimana halnya dengan inovasi yang
sesuai (compatible). Kerumitan adalah
derajat dimana inovasi dianggap sebagai
suatu yang sulit untuk dipahami dan
digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada
yang dengan mudah dapat dimengerti dan
digunakan oleh pengadopsi dan ada pula
yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami
dan dimengerti oleh pengadopsi, maka
semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
Kemampuan untuk diujicobakan
adalah derajat dimana suatu inovasi dapat
diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang
dapat di ujicobakan dalam seting
sesungguhnya umumnya akan lebih cepat
diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat
diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus
mampu menunjukan (mendemonstrasikan)
keunggulannya. Kemampuan untuk diamati
adalah derajat dimana hasil suatu inovasi
dapat terlihat oleh orang lain. Semakin
mudah seseorang melihat hasil dari suatu
inovasi, semakin besar kemungkinan orang
atau
sekelompok
orang
tersebut
mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
semakin
besar
keunggulan
relatif;
kesesuaian (compatibility); kemampuan
untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk
diamati serta semakin kecil kerumitannya,
maka semakin cepat kemungkinan inovasi
tersebut dapat diadopsi.
c. Kesiapan Guru
Dalam
mengimplementasikan
kurikulum, yang jauh lebih penting adalah
guru sebagai ujung tombak bahkan bisa
menjadi ujung tombok serta garda terdepan
dalam pelaksanakan kurikulum. Oleh
karena itu betapa pentingnya kesiapan guru
dalam mengimplementasikan kurikulum itu
selain kompetensi, komitmen dan tanggung
jawabnya serta kesejahteraannya yang harus
terjaga. Kompetensi guru bukan saja
menguasai apa yang harus dibelajarkan
(content) tapi bagaimana membelajarkan
siswa yang menantang, menyenangkan,
memotivasi, menginspirasi dan memberi
ruang kepada siswa untuk melakukan
keterampilan proses yaitu mengobservasi,
bertanya, mencari tahu, merefleksi
sebagaimana dinyatakan filosof Betrand
Russel ―More important than the
curriculum is the question of the methods
of teaching and the spirit in which the
teaching is given‖.
Kurikulum penting, tetapi yang tak
kalah pentingnya juga adalah bagaimana
strategi membelajarkan dan spiritnya.
Dengan strategi pembelajaran yang tepat
dalam mengimplementasikan kurikulum
disertai dengan spirit pendidikan yang
selalu menggelora pada setiap guru atau
pendidik dan peserta didik, maka proses
pendidikan itu sendiri tidak terlepas dari
rohnya.
Sebuah kata bijak mengatakan
bahwa ―At-Thariqatu Afdalu Minal
Mad” (Metodologi tidak kalah pentingnya
dibanding substansi). Betapapun baiknya
kurikulum yang telah dikembangkan, buku
307
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pelajaran
dan
media
pembelajaran
disediakan serta dilaksanakan Diklat baik
Kepala Sekolah, Pengawas, Guru Inti, Guru
Pelatih maupun Diklat guru secara massal
pada akhirnya berpulang kepada ada
tidaknya
kemauan
untuk
berubah
(willingness to change) dari para pemangku
kepentingan utama pendidikan tersebut.
Semoga siap untuk berubah.
Tujuan pendidikan diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu:
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam
perspektif
pendidikan
nasional, tujuan pendidikan nasional dapat
dilihat secara jelas dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa ― Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab‖.
b. Tujuan Institusional
Tujuan institusional adalah tujuan
yang harus dicapai oleh setiap lembaga
pendidikan. Dalam Permendiknas No. 22
Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar
dan menengah dirumuskan sebagai berikut.
1) Tujuan pendidikan dasar adalah
meletakkan
dasar
kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian,
akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut.
2) Tujuan pendidikan menengah adalah
meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian,
akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut.
3) Tujuan pendidikan menengah kejuruan
adalah
meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian,
akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
c. Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang
harus dicapai oleh setiap bidang studi atau
mata pelajaran.
d. Tujuan Instruksional atau Tujuan
Pembelajaran
Tujuan
pembelajaran
yang
merupakan bagian dari tujuan kurikuler,
dapat didefinisikan sebagai kemampuan
yang harus dimiliki oleh anak didik setelah
mereka mempelajari bahasan tertentu dalam
bidang studi tertentu dalam satu kali
pertemuan
308
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
2. Standar Kompetensi Lulusan
Domain
SD
SMP
SMA-SMK
Sikap
 Menerima + Menanggapi + Menghargai + Menghayati +
Mengamalkan.
 Pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung
jawab.
 Berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta
dunia dan peradabannya.
Keterampilan  Mengamati + Menanya + Mencoba + Mengolah + Menyaji + Menalar
+ Mencipta
 Pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif
dalam ranah abstrak dan konkrit
Pengetahuan
 Mengetahui + Memahami + Menerapkan + Menganalisa +
Mengevaluasi
 Pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang
berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban.
3.
Struktur Kurikulum
1. Dasar pemikiran perancangan kurikulm SD
No
Permasalahan
Penyelesaian
1
Capaian pembelajaran disusun
Perlunya ditetapkan standar kompetensi
berdasarkan materi pelajaran bukan
kelulusan dan standar kompetensi kelas
kompetensi yang harus dimiliki
untuk
peserta didik
menyatakan capaian pembelajaran
2
Kompetensi diturunkan dari
Kompetensi dirumuskan dalam tiga domain,
pengetahuan
yaitu sikap, keteramilan, dan pengetahuan
yang diperoleh dari mata pelajaran
3
Walaupun kelas I – III menerapkan
Perlunya merumuskan kompetensi inti untuk
pembelajaran tematik, tidak ada
masing-masing kelas
kompetensi inti yang mengikat semua
mata pelajaran
4
Walaupun kelas I-III menerapkan
Mata pelajaran harus dipergunakan sebagai
pembelajaran tematik, tetapi warna
sumber kompetensi bukan yang yang
mata pelajaran sangat kental bahkan
diajarkan
berjalan sendiri-sendiri dan saling
mengabaikan
5
Kompetensi siswa hanya diukur dari
Penilaian terhadap semua domain
kompetensi pengetahuan yang
kompetensi menggunakan penilaian otentik
diperolehnya melalui penilaian
[proses dan hasil]
berbasis tes tertulis
6
7
Penilaian hanya berdasarkan
kompetensi
dasar saja
Peserta didik pada jenjang satuan
Penilaian berdasarkan kompetensi dasar dan
kompetensi inti
Perlunya proses pembelajaran yang
309
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
No
8
9
10
11
Permasalahan
sekolah dasar belum perlu diajak
berfikir tersegmentasi dalam mata
pelajaran-mata pelajaran terpisah
karena masih berfikir utuh
Banyak sekolah alternatif yang
menerapkan sistem pembelajaran
integratif berbasis tema yang
menujukkan hasil menggembirakan
Adanya keluhan banyaknya buku yang
harus dibawaoleh anak sekolah dasar
sesuai dengan banyaknya
mata pelajaran
Indonesia menerapkan sistem guru
kelas dimana semua mata pelajaran
[kecuali agama, seni budaya, dan
pendidikan jasmani] diampu oleh satu
orang guru
Banyak negara menerapkan sistem
pembelajaran berbasis tematikintegratif sampai SD kelas VI, seperti
Finlandia, England, Jerman, Scotland,
Perancis, Amerika Serikat (sebagian),
Korea Selatan, Australia, Singapura,
New Zealand,, Hongkong, Filipina
Penyelesaian
menyuguhkan keutuhan pada peserta didik
melalui pemilihan tema
Perlunya menerapkan sistem pembelajaran
integratif berbasis tema
Perlunya penyederhanaan mata pelajaran
Perlunya membantu memudahkan tugas
guru dalammenyampaikan pelajaran sebagai
suatu keutuhan dengan meminimumkan
jumlah mata pelajaran tanpa melanggar
ketentuan konstitusi [idealnya tanpa mata
pelajaran sama]
Dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
usaha meringankan beban guru kelas yang
harus mengampu sejumlah mata pelajaran
2. Usulan rancangan kurikulm SMP
No
Komponen Rancangan
1
Sama dengan SD, akan disusun berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki peserta
didik SMP dalam ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan
2
Menggunakan mata pelajaran sebagai sumber kompetensi dan substansi pelajaran
3
Menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya,
mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran
4
Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai menjadi
10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran:
-TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri
-Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya, Prakarya dan Budidaya
-Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran
5
IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative
social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan
berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa
ingin tahu, dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan alam dan sosial.
6
Bahasa Inggris diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa
7
Menambah 6 jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan pendekatan
proses pembelajaran dan proses penilaian
310
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
3. Usulan rancangan kurikulm SMA
No
Komponen Rancangan
1
Apakah masih perlu penjurusan di SMA mengingat:
- Sudah tidak ada lagi negara yang menganut sistem penjurusan di SMA
- Kesulitan dalam penyetaraan ijazah
- Dapat melanjutkan ke semua jurusan di perguruan tinggi
2
Tanpa penjurusan akan menyebabkan mata pelajaran menjadi terlalu banyak seperti
pada SMA Kelas X saat ini, sehingga diperlukan mata pelajaran pilihan dan mata
pelajaran wajib
3
Perlunya memberi kesempatan bagi mereka yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata
untuk menyelesaikan lebih cepat atau belajar lebih banyak melalui mata pelajaran
pilihan
4
5
6
7
8
Perlunya ujian nasional yang lebih fleksibel [dapat diambil di kelas XI]
Perlunya integrasi vertikal dengan perguruan tinggi
Perlunya memperkuat pelajaran bahasa Indonesia, termasuk sastra, terutama menulis
dan membaca dengan cepat dan paham
Perlunya meningkatkan tingkat abstraksi mata pelajaran matematika
Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif
4. Isu Kurikulum SMK
a. Ujian nasional sebaiknya
tahun ke XI sehingga tahun
ke XII konsentrasi ke ujian
sertifikasi keahlian
b. Bidang keahlian yang tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan
global
c. Penambahan life and career
skills [bukan sebagai mata
pelajaran]
d. Perlunya
melibatkan
pengguna [industri terkait]
dalam penyusunan kurikulum
e. Pembelajaran SMK berbasis
proyek dan sekolah terbuka
bagi siswa untuk waktu yang
lebih lama dari jam pelajaran.
C. PENUTUP
Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013
akan dilaksanakan secara terbatas dan
berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan
pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP
dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan
di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14
Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelaskelas tersebut, maka pada tahunajaran
2014/15 secara berjenjang dilaksanakan
pada kelas-kela berikutnya. Misalnyadi SD
dapat dilaksanakan pada kelas II dan V,
sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada
kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan
pada kelas X.
Dalam pelaksanaan kurikulum 2013
ini diterapkan perencanaan pembelajaran
dimana dari teori manajemen, sebagai
sistem perencanaan pembelajaran yang
baik, kurikulum harus mencakup empat hal.
311
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus
dicapai peserta didik (keluaran), dan
dirumuskan sebagai kompetensi lulusan.
Kedua, kandungan materi yang harus
diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta
didik (masukan/standar isi), dalam usaha
membentuk kompetensi lulusan yang
diinginkan.
Ketiga, pelaksanaan pembelajaran
(proses, termasuk metodologi pembelajaran
sebagai bagian dari standar proses), supaya
ketiga
kompetensi
yang diinginkan
terbentuk pada diri peserta didik. Keempat,
penilaian
kesesuaian
proses
dan
ketercapaian tujuan pembelajaran sedini
mungkin
untuk
memastikan
bahwa
masukan, proses, dan keluaran tersebut
sesuai dengan rencana.
DAFTAR PUSTAKA
Alma Buchori, dkk. 2008. Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa
Pendidikan.Badung: Afabeta
Alwasillah C, et al. (2008). Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusi.
Jakarta:Kedebutian Bidang Koordinasi Pendidikan, Agama dan Aparatur Negara
Kementrian Koordinator Bidang Kesejehteraan Rakyat.
Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas
Nasution. 2001. Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management). Jakarta:
Ghalia Indonesia
Kemendikbud, 2013. Pedoman Pemberian Implementasi Kurikulum Tahun 2013. Jakarta:
Kemendikbud
Tim
Redaksi Fokusmedia.2003. Undang-Undang
tentangSISDIKNAS. Jakarta: Fokusmedia
RI
No
20
Tahun
2003
Tim Redaksi Fokusmedia.2004. Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jakarta: Fokusmedia
Tilaar H.A.R. 2008. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
http://dl.dropboxusercontent.com/u/76277102/syadiash/syadiash_doc_down/Doc_Kurikulu
m_2013/kompetensi-inti-dan-kompetensi-dasar diambil pada tanggal 15 April
2013 pukul 20.00 WIB
http://www.hidayatjayagiri.net/2012/10/seputar-wacana-penerapan-kurikulum-baru.html
diambil pada tanggal 15 April 2013 pukul 20.00 WIB
http://yuviter88.blogspot.com/2012/12/pengembangan-kurikulum-2013.html diambil pada
tanggal 15 April 2013 pukul 20.00 WIB.
312
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN PEMECAHAN
MASALAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM BIDANG
PENDIDIKAN
Tukiyo
ABSTRAK
Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam suatu organisasi
merupakan salah satu peran yang harus dilaksanakan oleh setiap pemimpin
pendidikan yang berkaitan dengan semua fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasaian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Ada
beberapa model pengambilan keputusan yang perlu dipahami para pemimpin
pendidikan, antara lain: (1) model Mintzberg, Drucker, dan Simon, (2) model
pengambilan keputusan rasional, (3) model pengambilan keputusan klasik, (4)
model pengambilan keputusan perilaku, (5) model Vroom & Yetton, (6) model
pengambilan keputusan Carnegie, (7) model pengambilan keputusan gaya
kepemimpinan Chung & Megginson, (8) model pengambilan keputusan
berdasarkan manfaat, (9) model pengambilan keputusan berdasarkan masalah,
(10) model pengambilan keputusan berdasarkan lapangan, (11) model
pengambilan keputusan pohon masalah, dan (12) model pengambilan keputusan
strategis Hunger & Wheelen.
Keputusan manajerial didasarkan atas dua dimensi yang berhubungan
dengan masalah, yaitu kompleksitas masalah dan dampak ketidakpastian.
Selanjutnya dalam pengambilan keputusan ada enam metode, yaitu: keputusan
yang kurang tanggapan, keputusan dengan otoriter, keputusan minoritas,
keputusan mayoritas, keputusan konsensus, dan keputusan yang bulat. Secara
umum proses pemecahan masalah meliputi tahap-tahap: selidiki situasi masalah,
kembangkan alternatif, evaluasi alternatif, dan lakukan keputusan dan tindak
lanjut.
Dengan banyaknya model pengambilan keputusan, maka para pemimpin
pendidikan hendaknya dapat menerapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada. Situasi dan kondisi yang dimaksud di sini antara lain kemampuan diri
pemimpin, kemampuan para anggota organisasi pendidikan, sarana dan prasarana
yang tersedia, maupun hal-hal lain yang bersangkut paut dengan organisasi yang
bersangkutan.
Kata kunci: pengambilan keputusan, model pengambilan keputusan, pemecahan
masalah
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari orang
sering melakukan pengambilan keputusan
meskipun kadang-kadang kurang disadari.
Dalam
suatu
organisasi,
membuat
keputusan
dan
pemecahan
masalah
merupakan salah satu peran yang harus
dilaksanakan oleh setiap leader dan
manajer, yang berkaitan dengan semua
fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasaian,
pengarahan,
pengkoordinasian, dan pengawasan.
313
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Perubahan situasi dan kondisi yang
sangat cepat menjadi faktor yang harus
dipertimbangkan dalam manajemen yang
mendorong manajer untuk mampu membuat
keputusan dalam waktu yang tepat dan
tepat. Untuk mampu mengimbangi cepatnya
perubahan waktu, seorang pemimpin harus
sanggup
menghadapi
minimal
tiga
tantangan, yaitu (1) keadaan yang sangat
kompleks, (2) keadaan yang tidak menentu,
(3) tuntutan untuk bertindak luwes (Husaini
Usman, 2013: 349).
Kualitas suatu keputusan merupakan
cermin dari daya pikir manajer. Oleh karena
itu, berpikir dalam hugungannya dalam
mengambil keputusan dan memecahkan
masalah harus diusahakan agar tidak
tersesat ke jalan yang tidak efektif dan
efisien. Poernomosidi Hadjisarosa (2003:
333) menyatakan bahwa pengambilan
keputusan berlangsung dalam dua tingkat,
yaitu tingkat pendahuluan dan tingkat final.
Pengambilan
keputusan
secara
universal didefinisikan sebagai pemilihan di
antara berbagai alternatif. Pengertian ini
mencakup baik pembuatan pilihan (choice
making) maupun pemecahan masalah
(problem solving) (Reksohadiprodjo dan
Handoko, 1997: 143). Menurut Husaini
Usman (2013: 440), pengambilan keputusan
ialah proses memilih sejumlah alternatif.
Pengambilan keputusan penting bagi
administrator pendidikan karena proses
pengambilan keputusan mempunyai peran
penting dalam memotivasi, kepemimpinan,
komunikasi, koordinasi, dan perubahan
organisasi. Setiap level administrator
sekolah mengambil keputusan secara
hierarkhis. Keputusan yang diambil
administrator
berpengaruh
terhadap
pelanggan pendidikan terutama peserta
didik. Oleh karena itu, setiap administrator
pendidikan harus memiliki keterampilan
mengambil keputusan secara cepat, tepat,
efektif, dan efisien.
Beberapa langkah penting yang
perlu dilalui dalam pengambilan keputusan
yang efektif dapat dikategorikan dalam lima
tahap:
(1)
menerima
tantangan;
pengambilan keputusan dimulai jika
seseorang dihadapkan pada suatu tantangan;
(2) mencari alternatif; bila suatu jalur
tindakan yang sedang berlaku mendapat
tantangan, pengambil keputusan yang
efektif mulai mencari alternatif; (3)
penilaian alternatif; pada tahap ini
kelebihan-kelebihan serta kekurangankekurangan dari masing-masing alternatif
dipertimbangkan dengan cermat; (4)
menjadi terikat; pada tahap ini pilihan
terakhir sudah dibuat dan pengambil
keputusan menjadi terikat kepada suatu
jalur tindakan baru; dan (5) berpegang pada
keputusan (Manullang, 1994: 7 – 18).
Setiap pengambil keputusan tentu berharap
agar semua hal dapat berjalan lancer setelah
keputusan diambil. Oleh karena itu seorang
pengambil keputusan harus siap menerima
dan
menangani
hambatan-hambatan
maupun kegagalan dengan menerima
tantangan baru melalui siklus lagi dari
kelima tahap tersebut untuk mengambil
keputusan tentang jalur tindakan yang baru.
B. MODEL PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
Ada beberapa model pengambilan
keputusan yang perlu dipahami. Menurut
Soekanto Reksohadiprodjo dan Hani
Handoko (1997: 152 – 156), model-model
pengambilan keputusan antara lain: (1)
model perilaku pengambilan keputusan
dalam manajemen yang meliputi: (a) model
ekonomi yang dikemukakan oleh ahli
ekonomi klasik yang menyatakan bahwa
keputusan orang itu rasional, (b) model
keputusan administratif yang dikemukakan
Simon yang menyatakan bahwa orang tidak
menginginkan maksimalisasi tetapi cukup
keuntungan (laba) yang memuaskan
(satisficing profit), (c) model mobicentrik
yang dikemukakan oleh Jennings yang
menyatakan bahwa perubahan merupakan
nilai utama sehingga orang selalu harus
314
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bergerak
bebas
untuk
mengambil
keputusan, (d) model manusia organisasi
yang dikemukakan oleh Whyte yang
sifatnya setia dan penuh kerjasama dalam
pengambilan
keputusan,
(e)
model
pengusaha baru yang dikemukakan oleh
Wright Mills yang bersifat kompetitif, dan
(f) model sosial yang dikemukakan Freud
dan Veblen yang menyatakan bahwa orang
itu sering tak rasional dalam mengambil
keputusan, diliputi oleh perasaan, emosi,
dan situasi di bawah sadar; dan (2) model
preskriptif dan deskriptif. Model preskriptif
dan deskriptif dijelaskan oleh Fisher
(Reksohadiprodjo dan Handoko, 1997:
155), bahwa model preskriptif atau
pemberian resep perbaikan, menerangkan
bagaimana
kelompok
seharusnya
mengambil keputusan, sedangkan model
deskriptif
menerangkan
bagaimana
kelompok mengambil keputusan tertentu.
Menurut
Muhammad
Muslich
(2009: 324 – 344), ada beberapa teori
pengambilan
keputusan,
yaitu:
(1)
pengambilan keputusan dalam kondisi pasti;
(2) pengambilan keputusan dalam kondisi
risiko; (3) pengambilan keputusan dalam
kondisi tidak pasti; (4) pengambilan
keputusan dalam kondisi risiko dan fungsi
utilitas; (5) decision tree, dan (6) expected
value of perfect information (EVPI) dan
expected value of sample information
(EVSI). Pengambilan keputusan dalam
kondisi pasti menyiratkan bahwa hasil dari
setiap alternatif tindakan dapat ditentukan
dengan pasti. Hal ini disebabkan karena
akan dapat diketahui hasil yang diperoleh
untuk setiap keputusan yang diambil.
Contoh pengambilan keputusan dengan
kondisi pasti misalnya suatu model linear
programming
yang
bertujuan
memaksimalkan laba/keuntungan. Karena
tujuannya
jelas,
yaitu
untuk
memaksimalkan laba dan kondisinya pasti
(dalam konteks model) maka alternatif
investasi atau produk yang memberikan
laba terbesar yang akan dipilih.
Pengambilan
keputusan
dalam
kondisi risiko adalah bahwa pengambil
keputusan mempunyai lebih dari satu
alternatif tidakan, dan diasumsikan bahwa
pengambil
keputusan
mengetahui
probabilitas yang akan terjadi terhadap
berbagai
tindakan
dan
hasilnya.
Pengambilan keputusan dalam kondisi tidak
pasti menyiratkan bahwa keputusan tidak
dapat menentukan probabilitas terjadinya
berbagai kondisi atau outcomes. Pengambil
keputusan hanya mengetahui kemungkinan
outcome dari suatu tindakan, tetapi dia tidak
dapat memprediksi berapa probabilitas dari
setiap outcome tersebut.
Pengambilan
keputusan
dalam
kondisi risiko dan fungsi utilitas dapat
dideskripsikan bahwa jika nilai suatu
moneter masih relatif rendah maka orang
cenderung risk seeking, sedangkan jika nilai
moneternya terlalu besar maka orang
cenderung risk averse. Konsep tentang
preferensi ini, baik risk seeking maupun risk
averse, dipresentasikan dalam konsep
utilitas. Untuk pengambilan keputusan
dengan decision tree banyak digunakan
untuk memecahkan masalah yang di
dalamnya terdapat rangkaian keputusan, dan
setiap keputusan mengasilkan outcome.
Pengambilan keputusan dengan
expected value of sample information
(EVSI) merupakan nilai tambahan yang
diperoleh karena organisasi mendapat
informasi baru. EVSI dihitung sebagai
selisih antara nilai maksimum expected
return dengan sample information dan nilai
maksimum expected return tanpa sample
information. EVPI (expected value of
perfect information) merupakan nilai
tambahan maksimum yang dapat diperoleh
jika organisasi mendapatkan informasi
secara tepat tentang kondisi yang tidak
pasti. EVPI merupakan selisih antara nilai
maksimum expected return dengan perfect
information dan nilai expected return tanpa
perfect information.
315
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Untuk melengkapi uraian di atas,
perlu dikemukakan di sini bahwa
pengambilan keputusan yang berkualitas
setidaknya mencakup hal-hal berikut yang
perlu diperhatikan: (1) bingkai masalah, (2)
orang yang tepat, (3) proses yang benar, (4)
sebuah set yang lengkap dengan berbagai
alternatif, (5) menilai terhadap berbagai
alternatif, dan (6) informasi yang
menggambarkan nilai setiap alternatif
(http://decision-quality.com/intro.php).
Husaini
Usman
(2013)
mengemukakan bahwa model pengambilan
keputusan setidaknya ada dua belas macam.
Secara
garis
besar
model-model
pengambilan
keputusan
tersebut
dikemukakan berikut ini.
1. Model Mintzberg, Drucker, dan
Simon
Minsberg dkk (1976) memberikan
tiga tahap dalam proses pengambilan
keputusan, yaitu (1) tahap identifikasi, (2)
tahap pengembangan, dan (3) tahap
pemilihan.
Pada
tahap
identifikasi,
pengambil keputusan memahami masalah
dan peluang membuat diagsnostis. Pada
tahap pengembangan, pengambil keputusan
mencari standart prosedur yang tersedia
atau pemecahan masalah sebagai desain
baru. Kadang-kadang tahap ini mengandung
coba gagal (trial and error). Pada tahap
pemilihan, pengambil keputusan dapat
memilih
dengan
menggunakan
pertimbanangan, analisis logis, basis
sistematis, atau bargain (Husaini Usman,
2013: 440).
Druker (1993), seorang ahli
pemimpin organisasi memberikan enam
langkah dalam
proses pengambilan
keputusan, yaitu (1) mendefinisikan
masalah, (2) menganalisis masalah, (3)
mengembangkan alternatif pemecahan
masalah, (4) memutuskan satu pemecahan
masalah terbaik, (5) merencanakan tindakan
yang efektif, dan (6) memantau dan menilai
hasilnya. Sementara itu, Simon (1997)
pemenang Nobel teori pengambilan
keputusan
menggambarkan
proses
pengambilan keputusan atas tiga tahap,
yaitu (1) kegiatan inteligen, (2) kegiatan
desain dan (3) kegiatan pemilihan. Kegiatan
inteligen seperti halnya di militer,
pengambil keputusan diawali dengan
mengintai dan mengidentifikasi situasi dan
kondisi lingkungan. Kegiatan desain
pengambil
keputusan
menemukan,
mengembangkan,
dan
menganalisis
kemungkinan dari aksi yang akan diambil.
Kegiatan pemilihan, pengambil keputusan
memilih satu yang terbaik dari sejumlah
alternatif.
Berdasarkan beberapa pendapat
tersebut di atas, Husaini Usman (2013: 441)
menyimpulkan bahwa proses pengambilan
keputusan meliputi tiga kegiatan, yaitu (1)
kegiatan yang menyangkut pengenalan,
penentuan dan diagnosis masalah, (2)
kegiatan yang mencakup pengembangan
alternatif pemecahan masalah, (3) kegiatan
yang menyangkut evaluasi dan memilih
pemecahan masalah terbaik.
2. Model
Pengambilan
Keputusan
Rasional
Keputusan dapat dibedakan atas dua
tipe, (a) yaitu terprogram (structured) dan
(b) tidak terprogram (unstructured).
Keputusan terprogram ialah keputusan yang
selalu diulang kembali. Contohnya:
keputusan tentang kenaikan kelas peserta
didik, keputusan pengangkatan, keputusan
penetapan gaji pegawai baru, keputusan
pensiun dan sebagainya. Keputusan tidak
terprogram ialah keputusan yang diambil
untuk menghadapi situasi rumit dan atau
baru. Contohnya keputusan lembaga baru,
keputusan terjadinya musibah kebakaran,
kebanjiran,
robohnya
sekolah
dan
sebagainya. Keputusan tidak terprogram
disebut juga pemecahan masalah.
316
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
3. Model
Pengambilan
Keputusan
Klasik
Model
pengambilan keputusan
klasikberasussi
bahwa
keputusan
merupakanproses
rasional
dimana
keputusan diambil dari salah satu alternatif
terbaik.
Model
klasik
didasarkan
rasionalitas lengkap (complete rationality).
Sesuai dengan model klasik, proses
pengambilan keputusan dibagi atas enam
langkah logis yang meliputi: (a) identifikasi
masalah, (b) menentukan alternatif, (c)
menilai alternatif, (d) memilih alternatif, (e)
menerapkan alternatif, dan (6) menilai
keputusan (Husaini Usman, 2013: 443).
4. Model
Pengambilan
Keputusan
Perilaku
Model ini didasarkan pada seberapa
jauh keputusan itu dapat memberikan
kepuasan.
Model
ini
juga
mempertimbangkan pengambilan keputusan
atas dasar rasionalitas kontekstual dan
rasionalitas
respektif.
Rasionalitas
kontekstual artinya keputusan tidak hanya
didasarkan oleh ketentuan tersurat (tekstual)
tetapi juga yang tersirat (kontekstual).
5. Model Vroom & Yetton (Decision
Tree)
Ada lima gaya pengambilan
keputusan yang disarankan oleh Vroom &
Yetton, yaitu:
a. Gaya 1 : Tetapkan keputusan sendiri
dengan menggunakan informasi, yang
ada saat itu. Partisipasi bawahan tidak
ada.
b. Gaya 2 : Dapatkan informasi dari
bawahan dan selesaikan masalah oleh
kita
sendiri.
Tidak
perlu
memberitahukan kepada bawahan apa
yang menjadi masalah ketika meminta
informasi kepada mereka, peran yang
diharapkan dari bawahan hanya
memerlukan sumber informasi dan
bukan
mengemban
alternatif
penyelesaian. Partisipasi bawahan
rendah.
c. Gaya 3: Ikutsertakan bawahan yang
bersangkutan dengan masalah, minta
ide dan sarannya secara sendiri-sendiri.
Kemudian ambil keputusan, baik
sendiri atau tidak disertai pengaruh dan
saran-saran
bawahan.
Partisipasi
bawahan sedang.
d. Gaya 4: Ikutsertakan bawahan sebagai
satu kelompok, dapatkan ide dan saran
dari
mereka.
Kemudian
ambil
keputusan sendiri disertai pengaruh dan
saran bawahan. Partisipasi bawahan
tinggi.
e. Gaya 5: Ikutsertakan bawahan sebagai
suatu kelompok dalam memecahkan
masalah. Bersama mereka kembangkan
dan evaluasi alternatif. Usahakan
mencapai consensus. Anda sebagai
pemimpin berperan sebagai ketua.
Tidak
dibenarkan
mempengaruhi
kelompok dengan apa yang hendak
Anda putuskan dan Anda bersedia
untuk menerima dan melaksanakan
setiap keputusan kelompok. Partisipasi
bawahan sangat tinggi (Husaini Usman,
2013).
Model ini kemudian disempurnakan
oleh Vroom dan Artur Jago, menggantikan
sistem pohon keputusan dari model asli
dengan sistem pakar yang didasarkan pada
model matematika. Karena itu maka
berkembanglah model
Vroom-Yetton,
Vroom-Jago,
dan
Vroom-Yetton-Jago
(http://www.mindtoos.com/pages/ article/
newTED_91.htm).
Selanjutnya
dikemukakan bahwa gaya konsultatif atau
kolaboratif tepat diperlukan jika: (1)
diperlukan informasi dari orang lain untuk
memecahkan masalah; (2) definisi masalah
tidak jelas, (3) anggota tim mendukung
terhadap keputusan penting, dan (4)
memiliki cukup waktu untuk mengelola
keputusan kelompok.
317
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
6. Model
Pengambilan
Keputusan
Carnegie
Model ini lebih mengakui akan
kepuasan, keterbatasan rasionalitas, dan
koalisi organisasi. Perbedaan antara
pengambilan keputusan rasional dengan
Carnegie ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan model Rasional dengan Carnegie
Model Rasional
Banyak informasi yang tersedia
Murah
Bebas nilai
Alternatif banyak
Keputusan diambil dengan suara bulat
Model Carnegie
Sedikit informasi yang tersedia
Mahal, karena masih mencari informasi
Terikat nilai
Alternatif sedikit
Keputusan dengan kompromi, persetujuan,
dan akomodasi antara koalisi organisasi
Keputusan dipilih yang terbaik bagi
Keputusan yang dipilih adalah yang
organisasasi
memuaskan organisasi
Sumber: Husaini Usman (2013: 444)
7. Model Pengambilan Keputusan Gaya
Kepemimpinan Chung & Megginson
Chung dan Megginson (1981)
memberikan cara pengambilan keputusan
oleh pimpinan dengan membuat enam
pertanyaan berikut: (a) apakah tugas
kelompok tertruktur? (b) Apakah hubungan
pemimpin dan bawahan baik? (c) Apakah
bawahan memiliki pengetahuan kerja? (d)
Apakah pemimpin memiliki kedudukan
kekuasaan yang kuat? (e) Apakah pemimpin
memiliki pengetahuan kerja? (f) Apakah
kelompok memiliki waktu menyelesaikan
tugas?
Setiap pertanyaan ada dua jawaban
ya atau tidak. Akhirnya dari berbagai variasi
jawaban didapatkan perilaku kepemimpinan
yang akan diambil pemimpin, yang
variasinya ada 9 macam, yakni:
Gaya 1: Suportif
(YYYYYY)
Gaya 2: Suportif&direktif (YNYYYY)
Gaya 3: Konsensus
(NYYYYY)
Gaya 4: Demokratis
(NYYYYN)
Gaya 5 : Direktif
(NNYYNY/N)
Gaya 6: Demokratis
(NNYYYY/N)
Gaya 7: Konsultatif
(NNYYNY/N)
Gaya 8 : Direktif
(NNNYY/NY/N)
Gaya 9: Ganti kepemimpinan
(NNNNY/NY/N)
(Y=Yes, N=No dari pertanyaan-pertanyaan
di atas).
Dimodifikasi
dari
Model
Chung
&Megginson (Husaini Usman, 2013: 445).
8. Model
Pengambilan
Keputusan
Berdasarkan Manfaat
Dasar pemikirannya adalah (a) mutu
keputusan, (b) kreativitas keputusan (c)
penerimaan keputusan, (d) pemahaman
keputusan, (e) pertimbangan keputusan, dan
(f) ketepatan keputusan.
Mutu
keputusan artinya
pengetahuan dan
informasi kelompok melebihi individu.
Kelompok dapat mengatasi atau menutupi
kelemahan dan kekurangan individu.
Asumsinya bahwa keputusan kelompok
lebih bermutu dibandingkan dengan
keputusan individu. Manfaat keputusan
lebih
besar
dirasakan
kelompok
dibandingkan
dengan
manfaat
bagi
individu.
Kreativitas
keputusan
artinya
kreavifitas kelompok lebih banyak dan
cenderung lebih baik dari pada kreativitas
individu. Asumsinya kreativitas bersama
lebih bermanfaat dari pada kreativitas
individu.
Penerimaan
keputusan
318
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
artinya pembuatan keputusan secara
partisipasi
kelompok
lebih
besar
manfaatnya dibandingkan dengan keputusan
yang dibuat oleh individu. Kelompok
merasa
dilibatkan
dalam
membuat
keputusan,
konsekuensinya
adalah
kelompok merasa turut bertanggung jawab
dan akan menerima keputusan itu.
Asumsinya, keputusan yang dibuat secara
kelompok lebih bermanfaat karena lebih
diterima kelompok daripada keputusan
dibuat individual.
Pemahaman
keputusan
artinya
kelompok akan lebih memahami keputusan
yang
dibuatnya
bersama
daripada
memahami
keputusan
yang
dibuat
individual. Pertimbangan keputusan artinya
kelompok akan lebih efektif dalam
menentukan pilihan terbaik dibandingkan
dengan pilihan individu. Asumsinya
manfaat pilihan bagi kelompok akan lebih
besar jika ditentukan oleh kelompok
daripada individu. Ketepatan keputusan
artinya kelompok lebih tepat memutuskan
daripada individu. Asumsinya kelompok
lebih dapat mengontrol pikiran individu
secara obyektif dan dapat menghindari
kesalahan individu.
9. Model
Pengambilan
Keputusan
Berdasarkan Masalah
Ada tiga tendensi khusus yang dapat
merusak proses keputusan kelompok, yaitu
(a) pikiran kelompok, (b) perubahan
beresiko, dan (c) ekskalasi komitmen.
Pikiran kelompok yang dapat
mengganggu proses keputusan berupa: (a)
tanpa sengaja menjadi sangat optimis dan
berani mengambil resiko terberat, (b)
pembenaran oleh kelompok yang belum
tentu benar menurut individu lainnya, (c)
kelompok mengabaikan moral dan etika, (d)
kelompok membangaun stereotype sebagai
pihak yang menentang kepemimpinan, (e)
kelompok mendapat tekanan pihak lain, (f)
kelompok kurang menyensor dirinya, (g)
kebulatan suara hanya untuk mendapatkan
keseragaman, dan (h) kelompok melindungi
pola pikirnya.
Gejala perubahan tanggung jawab:
(a) kelompok menyebarkan tanggung
jawabnya ke anggota, (b) ketua kelompok
paling besar resikonya dari pada
anggotanya, dan mengajak para anggotanya
untuk lebih besar lagi resikonya, (c) diskusi
kelompok menguji pro dan kontra,
konsekuensinya rasa kekeluargaan lebih
besar dalam seluruh aspek masalah dan
mengarah kepada tingginya resiko, dan (d)
resiko dalam masyarakat diharapkan oleh
budaya kita, jika masyarakat ingin maju.
Komitmen yang berlebihan juga dapat
mengganggu keputusan kelompok karena
tidak semua anggota senang bekerja keras.
10. Model
Pengambilan
Putusan
Berdasarkan Lapangan
Model ini paling banyak digunakan
sekolah karena ingin melibatkan partisipasi
warga sekolah dalam mengambil keputusan.
Beberapa
teknik
penting
dalam
pengambilan
keputusan
berdasarkan
lapangan adalah (a) curah pendapat
(brainstorming), (b) teknik grup nominal,
(c) teknik Delphi, (d) pembela yang
menantang apa yang dianggap baik (devil‟s
advocate).
Langkah curah pendapat: (a)
sebelum curah pendapat tentukan dahulu
topiknya, (b) setiap anggota bertanggung
jawab atas ucapannya; (c) setiap anggota
menyampaikan pendapatnya bergiliran
sampai semua memberikan pendapatnya;
(d) anggota yang belum memberikan
pendapatnya
dapat
menyatakan
―pass‖sampai kesempatan berikutnya; (e)
jangan mengomentari pendapat orang lain;
(f) kalau ada yang mengomentari, pimpinan
sidang harus menyetopnya: (g) akan lebih
cepat kalau pendapat ditulis; (h) apabila
tidak ada lagi pendapat yang masuk, curah
pendapat dinyatakan selesai; (i) pendapat
yang sama dikelompokkan; (j) pendapat
yang masuk masuk nominasi diteliti dan
319
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dibahas; (k) jika tidak ada kesempatan
untuk memutuskan pendapat terbaik, baru
diadakan footing.
Teknik grup nominal mirip dengan
sumbang saran. Bedanya ialah ide-ide harus
dievaluasi dahulu baru dikelompokkan,
teknik Delphi dikembangkan para peneliti
di Rand Corporation pada tahun 1960 –an.
Berbeda dengan sumbang saran dan teknik
kelompok
nominal,
teknik
Delphi
melengkapi teknik kelompok nominal yang
yang tidak langsung bertemu muka, tetapi
melalui surat atau internet.
Pembela yang menantang apa yang
dianggap baik, menggunakan konsep
pencegah pikiran kelompok. Mula-mula
mereka menganggap pikiran kelompok
terlalu
premature,
mereka
dapat
menghapuskan pikiran kelompok.setelah
kelompok berhasil memutuskan satu
alternatif terbaik, kelompok devil ini
mengajarkan kegagalan-kegagalan yang
akan dialamijika menggunakan alternatif
tersebut. Walaupun kelompok devil
dianggap sebagai pihak oposisi tetapi sering
digunakan
orang
untuk
mengambil
keputusan karena setelah dikoreksi,
pengambil
keputusan
memperbaiki
keputusannya menjadi lebih baik lagi.
11. Model
Pengambilan
Keputusan
Pohon Masalah
Pohon masalah adalah suatu teknik
untuk mengidentifikasi masalah dalam
situasi
tertentu,
menyusun
dan
memperagakan informasi ini sebagai
rangkaian hubungan sebab akibat. Mulailah
dengan masalah atau kebutuhan spesifik
yang harus dipecahkan. Catat semua
masalah lainnya yang diidentifikasikan.
Tenik curah pendapat (brainstorming) dapat
digunakan atau mengemukakan setiap
masalah yang diidentifikasi dengan
pertanyaan: apa yang menjadi sebab
masalah ini? Apa yang menjadi akibat
masalah ini? Kemudian susunlah masalah
yang diidentifikasi dalam hubungan sebab
akibat yang logis dalam bentuk sebuah
pohon. Apabila telah selesai susunlah ia
menyerupai bagan jenjang organisasi
sederhana. Esensi pernyataan masalah
dibuat singkat, jelas dan bermakna negatif.
Sebagai contoh, dikemukakan berikut ini.
Sumber: Husaini Usman (2013: 449)
Gambar 1. Pohon masalah (pernyataan negatif)
320
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Keterangan dari gambar tersebut
adalah:
Pohon masalah: masalah prioritas
adalah buruknya manajemen pendidikan.
a. Masalah
yang
dihadapi
adalah
buruknya manajemen pendidikan.
b. Akibatnya adalah rendahnya mutu
pendidikan.
c. Penyebabnya adalah perencanaan tidak
mantap, pelaksanaan tidak tepat,
pengawasan tidak ketat.
d. Pilih lagi satu penyebab yang menjadi
prioritas misalnya pelaksanaan tidak
tepat.
e. Penyebab pelaksanaan tidak tepat ialah
rendahnya motivasi kerja guru,
lemahnya kepemimpinan pendidikan,
lambatnya
memecahkan
masalah,
kurang baiknya komunikasi, dan
kurang baiknya koordinasi. Penyebab
pelaksanaan tidak tepat tidak boleh
sama maknanya. Misalnya lemahnya
koordinasi,
yang
lain
kurang
baiknyakoordinasi atau koordinasi
belum efektif.
f. Masalah
dipilih
berdasarkan
kewenangan
dan
kepentingan
organisasi yang bersangkutan.
g. Jangan mengambil masalah di luar
kewenangan kita karena bukan tugas
pokok kita (Husaini Usman, 2013:
449).
Setelah pohon masalah selesai
dibuat, langkah selanjutnya adalah membuat
pohon sasaran. Pohon sasaran adalah teknik
untuk mengidentifikasi sasaran yang ingin
diwujudkan. Pohon sasaran merupakan
kebalikan pohon masalah. Yakni pernyataan
negatif pada pohon masalah diganti secara
konsisten menjadi pernyataan positif pada
pohon sasaran. Sasaran pada pohon sasaran
merupakan akibat dari sasaran lain.
Tentukan sebab akibat antara sasaran itu,
kemudian
susunlah
pohon
sasaran.
Mengingat terbatasnya sumber daya
organisasi maka pohon sasaran perlu
dianalisis dengan menentukan cabang mana
yang yang sekiranya mampunyai dampak
paling besar bagi unit organisasi. Semakin
rindang pohon masalah dan pohonsasaran,
semakin mendekati kenyataan. Sasaran
dinyatakan dalam kalimat yang menyatakan
dalam keadaan selesai (tercapai) oleh
karena itu kalimat dimulai dengan awalan
ter- (Gambar 2). Perlu dipikirkan pila agar
sasaran itu memenuhi syarat SMART
singkatan dari specific, measurable,
attainable, realistic, and time bounding.
Specific artinya tujuan itu harus khas.
Measurable artinya tujuan yang akan
dicapai dapat diukur, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Attainable artinya dapat
dicapai. Realistic artinya nyata dapat
diwujudkan. Time bounding artinya ada
batasan waktunya kapan dimulai dan kapan
harus selesai.
Pohon sasaran perlu dibuat sebagai
kelanjutan pohon masalah. Setelah pohon
sasaran selesai dibuat, langkah berikutnya
adalah membuat pohon alternatif. Pohon
alternatif
adalah
teknik
untuk
mengidentifikasikan atau mengembangkan
teknik pemecahan masalah atau arah
tindakan yang dapat dipakai untuk
mewujudkan
sasaran
tertentu
dan
memperagakan informasi ini dalam format
yang sederhana. Pada pohon sasaran pada
jajaran kotak paling bawah untuk
menentukan alternatif cabang mana yang
paling mungkin menjamin pencapaian
sasaran yang lebih tinggi di atasnya. Untuk
lebih jelasnya diambil contoh tentang
tentang
terciptanya
kepemimpinan
pendidikan yang kuat (Gambar 3).
321
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Gambar 2. Pohon Sasaran (Pernyataan Positif)
Kemudian dibuat pohon alternatifnya seperti gambar berikut.
Sumber: Husaini Usman (2013: 451).
Gambar 3. Pohon Alternatif
322
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dari pohon alternatif didapat tiga
alternatif pemecahan masalah untuk
mewujudkan kepemimpinan pendidikan
yang kuat. Ketiga alternatif tadi dipilih satu
Kriteria
Bobot
1
yang terbaik menurut organisasi, caranya
dengan menilai ketiga alternatif tersebut
dengan menggunakan tabel sebagai berikut.
Tabel 2. Kriteria ResBaK dan Bobot Penilaian
Baiknya bagi
Realistis (Re)
Sumber Daya (S)
organisasi (Ba)
Sangat tidak Re
Sangat tidak S
Sangat tidak Ba
2
Tidak
Tidak
3
Ragu-ragu
Ragu-ragu
4
Re
S
5
Sangat Re
Sangat S
Sumber: Husaini Usman (2013: 452)
Apabila tidak senang memakai
kriteria ReSbaK, dapat pula menggunakan
Tidak
Ragu-ragu
Ba
Sangat Ba
Tidak
Ragu-ragu
K
Sangat K
kriteria realistis, praktis, dan legalistis
dengan tabel sebagai berikut.
Tabel 3. Kriteria RPL dan Bobot Penilaian
Kriteria Bobot
Realistis (Re)
Praktis (P)
1
Sangat tidak Re
Sangat tidak P
2
Tidak
Tidak
3
Ragu-ragu
Ragu-ragu
4
Re
P
5
Sangat Re
Sangat P
Sumber: Husaini Usman (2008: 452)
Kemudian
ketiga
alternatif
pemecahan masalah tersebut di atas
dievaluasi dengan menggunakan kriteria
misalnya diambil model table 7.3.
pembobotan
berdasarkan
perasaan
merupakan seni
manajemen karena
manajemen adalah art and science. Masing
–masing alternatif pemecahan masalah
dibobot. Pembobotan dapat dilakukan
sendiri oleh pimpinan atau lebih baik lagi
dibobot bersama-sama kelompok kemudian
Kewenangan
legalitas
Sangat tidak K
Legalitas (L)
Sangat tidak Ba
Tidak
Ragu-ragu
Ba
Sangat Ba
setiap pembobotan dihitung rata-ratanya.
Nilai pembobotan selanjutnya dikalikan
bukan ditambahkan. Alasannya biar terjadi
perbedaan nilai yang besar sehingga
pengambilan keputusan semakin mantap.
Akhirnya dipilih nilai yang terbesar sebagai
pilihan terbaik. Jika ada nilai yang sama
besar maka keputusan ditentukan dengan
undian
atas
pertimbangan
anggota
organisasi. Sebagai contoh hasilnya seperti
tabel berikut.
323
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Tabel 4 Pemilihan Alternatif Terbaik
Bobot Alternatif
Realitas Sumber
Baiknya Kewenangan
Pemecahan
(Re)
Daya
bagi
(Legalitas)
Masalah
(S)
organisasi
(L)
(Ba)
Mengadakan pelati-han
5
4
5
3
kepemimpian
Memperbaiki sistem
5
3
5
3
pengangkatan tenaga
kependidikan
Mengirim studi lanjut
4
4
5
3
manajemen pendidikan
*) Pemecahan masalah terbaik yang diputuskan untuk dipilih.
Sumber: Husaini Usman (2013: 453)
12. Model Pengambilan Keputusan
Strategis Hunger & Wheelen
Keputusan strategis ialah keputusan
jangka panjang. Jangka panjang di
lingkungan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota adalah lima tahun
sehingga perencanaan strategis (renstra)
berlaku untuk lima tahun. Namun
pengertian jangka panjang di dunia
pnedidikan adalah 4 tahun sampai 10
tahun. Jangka menengah satu tahun lebih
sampai 4 tahun dan jangka pendek 1 tahun.
Strategi berasal dari bahasa Yunani,
stratos yang artinya tentara, dan ago yang
artinya pimpinan. Makna strategi dalam
dunia kemiliteran ialah ilmu untuk
mengarahkan dan merencanakan operasi-
Re x S
x
Ba x L
300*)
225
240
operasi militer berskala besar dalam
menggerakkan pasukan ke posisi yang
palingmenguntungkan
sebelum
pertempuran sebenarnya dengan musuh
dilakukan; sedangkan arti dari strategis
adalah berhubungan atau berkaitan dengan
strategi.
C. TIPE KEPUTUSAN MANAJERIAL
Chung & Megginson (1981)
memberikan tipologi keputusan manajerial
yang didasarkan atas dua dimensi yang
berhubungan dengan masalah, yaitu (1)
kompleksitas masalah, dan (2) dampak
ketidakpastian.
Gambar
berikut
menunjukkan empat tipe keputusan
manajerial.
Gambar 4. Tipe keputusan manajerial menurut Chung & Mengginson, 1981
(Husaini Usman, 2013: 455 )
324
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
D. METODE PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
Pengamatan proses pengambilan
keputusan dalam kelompok diarahkan pada
cara atau metode dalam pengambilan
keputusan. Suatu metode belum tentu lebih
baik dibandingkan dengan metode lainnya.
Setiap metode mempunyai kegunaan
sendiri-sendiri
tergantung
pada
kelompoknya, waktu yang tersedia, dan
fasilitas yang ada. Berikut ini disajikan
enam metode pengambilan keputusan.
1. Keputusan yang Kurang Tanggapan
Metode ini banyak digunakan dan
sekaligus merupakan metode yang biasanya
kurang
diperhatikan.
Seseorang
mengemukakan suatu saran dan sebelumnya
belum
didiskusikan,
orang
lain
mengusulkan gagasan lain. Prosesnya
berulang dengan sendirinya sehingga
akhirnya kelompok mendapatkan beberapa
gagasan. Semua gagasan telah menjadi
keputusan bersama, tanpa pertimbangan
atau pengulasan. Sering terjadi dalam suatu
konferensi ada saran yang tidak pernah
dipertimbangkan untuk didiskusikan.
2. Keputusan dengan Otoriter
Suatu metode yang efisien jika
pimpinan sidang atau rapat mendengarkan
secara seksama gagasan anggotanya.
Gagasan yang disampaikan didiskusikan,
pimpinan mendengarkan dengan baik.
Setelah pimpinan mendapatkan informasi
yang cukup, ia kemudian memutuskan
dengan menggunakan otoritasnya. Jika
gagasan anggota sering tidak terakomodasi,
maka muncul kemungkinan adanya anggota
yang merasa kecewa sehingga pad rapat
berikutnya dapat mengurangi partisipasi
anggotanya dalam memberi masukan.
3. Keputusan Minoritas
Keputusan minoritas terjadi jika satu
atau dua anggota kelompok dapat mengatasi
kelompok atau nggota lainnya.
4. Keputusan Mayoritas
Keputusan mayoritas merupakan
metode pengambilan keputusan yang paling
banyak dikenal di negara yang menerapkan
demokrasi. Keputusan diadakan dengan
cara pemungutan suara. Suara terbanyak
adalah pemenangnya. Kelemahan metode
ini adalah pemungutan suara cenderung
mengarah ke pembentukan koalisi sehingga
ada minoritas yang dikalahkan, walaupun
sebenarnya suara minoritas kadang-kadang
lebih baik dari pada mayoritas.
5. Keputusan Konsensus
Keputusan konsensus merupakan
metode yang banyak
menyita waktu,
memberikan kesempatan kepada semua
anggota kelompok untuk berkonsensus.
Keputusannya tidak selalu bulat karena
memungkinkan ada sebagian kecil anggota
kelompok yang tidak setuju.
6. Keputusan Bulat
Metode ini yang paling ideal, tetapi
sulit direalisasikan. Keputusan ini terjadi
apabila semua anggota kelompok telah
menyetujui keputusan yang akan diambil
(Husaini Usman, 2013: 455-456). Keenam
metode pengambilan keputusan tersebut
sering dilakukan dalam suatu organisasi.
Metode mana yang diterapkan lebih banyak
ditentukan oleh pemimpin organisasi yang
bersangkutan.
E. KEPUTUSAN YANG
DIPUTUSKAN SENDIRI
Adakalanya administrator harus
memutuskan sendiri terhadap suatu
keputusan. Keputusan sendiri dilakukan
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
(1) apabila administrator tidak dapat
membagi
tanggung
jawabnya
pada
keputusnnya itu; contoh: rekomendasi guru
yang akan dipindahkan, diberhentikan atau
dipensiunkan,
keputusan
mengenai
efektivitas mengajar guru, keputusan
mengenai penilaian kinerja guru; (2) apabila
waktu sangat mendesak dan diperlukan
tindakan segera; contoh: kecelakaan berat
325
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
terhadap guru, tata usaha, dan siswa;
permintaan izin yang tidak dapat ditunda,
permintaan bahan yang tidak dapat ditunda;
(3) apabila sudah ada kesepakatan tentang
prosedur kerja dengan bawahannya; dan (4)
apabila dilakukan spontan karena sudah
pernah mengatasi kasus yang hampir sama;
keputusan ini disebut keputusan intuitif
(Husaini Usman, 2013: 458).
F. PEMECAHAN MASALAH
Pemecahan masalah ialah suatu
proses pengamatan dan pengenalan serta
usaha mengurangi perbedaan antara usaha
yang sekarang (das sein) dengan keadaan
yang akan dating yang diharapkan (das
sollen). Pemecahan masalah mengusahakan
pendekatan
antara
jurang
pemisah
kesenjangan yang ada. Masalah ialah
perbedaan das sein dengan das sollen.
Dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari, manajer pendidikan selalu
berhadapan dengan berbagai masalah
karena masalah merupakan dinamika
kehidupan. Selama manusia masih hidup,
selama itu pula masalah tetap pasti ada, baik
itu masalah besar maupun masalah kecil.
Jika masalah satu telah berhasil dipecahkan,
maka timbul pula masalah yang lainnya.
Tidak jarang pemecahan masalah itu justru
menimbulkan masalah baru. Demikian
seterusnya. Permasalahan yang mungkin
dihadapi oleh manajer pendidikan antara
lain ialah masalah proses belajar mengajar,
kesiswaan, ketenagaan, sarana, prasarana,
keuangan, laboratorium, perpustakaan, dan
hubungan sekolah dengan masyarakat. Agar
permasalahan itu dapat diselesaikan secara
efektif dan efisien, manajer pendidikan
harus
mampu
mengintegrasikan
permasalahan yang dihadapinya dan
mensinkronisasikan
ketatalaksanaannya
melalui teori pemecahan masalah.
Proses pemecahan masalah secara
umum meliputi: (1) selidiki situasi masalah
(tentukan masalah, kenali tujuan dan
keputusan, diagnosis penyebabnya); (2)
kembangkan alternatif (cari alternatif
kreatif, jangan dahulu mengevaluasi); (3)
evaluasi alternatif dan pilih yang terbaik
(evaluasi alternatif, pilih alternatif terbaik);
dan (4) lakukan keputusan dan tindaklanjuti
(rencana pelaksanaan, lakukan rencana,
monitor
pelaksanaan
dan
adakan
penyesuaian) (Husaini Usman, 2013: 459).
Verma (1996) memberikan tiga
langkah manajemen konflik dengan
menggunakan pemecahan masalah (Husaini
Usman, 2013: 460), yaitu: (1) langkah
kesatu: membutuhkan komunikasi efektif
(mengetahui ada konflik, membentuk
landasan dasar atau keberamaan tujuan); (2)
langkah kedua: fungsi lebih utama daripada
ego dan kepribadian (memisahkan masalah
dengan
orangnya,
mengembangkan
alternatif); dan (3) langkah ketiga:
membutuhkan pendekatan, analisis, strategi
(menilai
alternatif,
memilih
dan
menerapkan alternatif).
Menurut Husaini Usman (2013:
461) secara sederhana langkah-langkah
pemecahan masalah dapat disingkat
IDEAL, yaitu singkatan dari identifikasi
masalah, dipilih masalah yang penting dan
mendesak (prioritas), ekspos pemecahan
masalah yang terbaik dari sejumlah
alternatif pamecahan masalah, aksi (action)
pemecahan masalah terbaik tersebut, dan
lihat hasilnya untuk umpan balik.
G. MENINGKATKAN EFEKTIVITAS
PEMECAHAN MASALAH
Norman Maier (Stonner & Wankel,
2003: 229) membedakan dua kriteria untuk
menilai
efektivitas
potensial
suatu
keputusan. Pertama adalah kualitas sasaran
keputusan itu, sedangkan yang kedua adalah
penerimaan orang-orang yang harus
melaksanakannya. Selanjutnya dikatakan
bahwa ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk melakukan pengambilan
keputusan yang efektif antara lain: (1)
tentukan prioritas: seorang pemimpin
dihadapkan pada banyak pekerjaan dan
326
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sehari-hari, oleh karena itu ia perlu
melakukan prioritas beban kerja setiap hari;
(2) dapatkan informasi yang relevan, baik
informasi dasar, informasi terinci, maupun
informasi kinerja; dan (3) melangkah secara
metodis dan hati-hati (2003: 234 – 235).
Inilah beberapa cara untuk meningkatkan
efektivitas pemecahan masalah yang perlu
diperhatikan
oleh
setiap
pemimpin
organisasi.
kecenderungan gayapengambilan keputusan
seseorang, maka Manning & Curtis
membuat angket sebagai berikut.
Isilah angket di bawah ini dengan
jujur sesuai dengan yang Anda alami saat
memecahkan masalah dengan cara memberi
angka di depan pernyataan yang disediakan.
Jika Anda mengisi 1 = sangat tidak sesuai, 2
= tidak sesuai, 3 = ragu-ragu, 4 = sesuai, 5 =
sangat sesuai.
H. GAYA PEMECAHAN MASALAH
Manning & Curtis membagi gaya
pengambilan keputusan seseorang dalam
empat kecenderungan gaya, yaitu (1) gaya
Darwin, (2) gaya Einstein, (3) gaya
Socrates, (4) gaya Ford. Untuk mengetahui
N Eksperiental (E)
Reflektif (R)
Teoritis (T)
.. Pengikutan insting
.. Perhatian pada
kejadian
.. Pengembangan
pendapat
.. Pencapaian tujuan
.. Percaya perasaan
.. Pertimbangan
fakta
.. Pertimbangan
potensi
.. Percobaan jalan
keluar
.. Harus menjadi
perspetif
.. Pelibatan
emosional
.. Pengukuran
pengaruh
..Penemuan
imparsial
.. Pemikiran sesuatu
.. Pembicaraan
tindakan
..Penerapan praktek
.. Harus menjadi
kesadaran
.. Penggunaan
intuisi
.. Pertanyaan rinci
.. Penggunaan alasan
.. Pencatatan
informasi
.. Rangkuman
kebenaran
.. Orientasi sekarang
.. Orientasi evaluasi
.. Orientasi kedepan
.. Orientasi
pencapaian
.. Terbuka dialami
.. Melalui observasi
.. Pengungkapan ideide
.. Penerapan
pengetahuan
.. Menyadari
peristiwa
.. Mempelajari data
,, Membentuk teoriteori
.. Berani ambil
risiko
..Pengalaman nyata
.. Inkuiri tidak bias
.. Berfikir abstrak
.. Memproduksi
hasil-hasil
.. Analisis rasional
Sumber: Husaini Usman, 2013: 465
327
Aktif (A)
.. Penampilan
tindakan
.. Penerapan solusi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Selanjutnya dijumlahkan berapa masing-masing nilai E, R, T, dan A, dan kemudian
dimasukkan pada angka yang terdapat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5. Gambar Gaya Pemecahan Masalah
I. IMPLIKASI DALAM BIDANG
PENDIDIKAN
Pemahaman tentang pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah sangat
penting bagi semua orang yang berada
dalam suatu organisasi, termasuk organisasi
pendidikan. Terutama bagi para pemimpin
organisasi, teori tentang pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah menjadi
sangat penting karena mereka harus dapat
mengambil suatu keputusan pada organisasi
yang dipimpinnya dengan tepat.
Dengan
banyaknya
model
pengambilan keputusan seperti diuraikan di
muka, maka para pemimpin pendidikan
hendaknya dapat menerapkan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada. Situasi dan
kondisi yang dimaksud di sini antara lain
kemampuan diri pemimpin, kemampuan
para anggota organisasi pendidikan, sarana
dan prasarana yang tersedia, maupun halhal lain yang bersangkut paut dengan
organisasi yang bersangkutan.
Penelitian yang dilakukan Nurul
Ulfatin, 1999 (Husaini Usman, 2013: 463)
menunjukkan bahwa tingkat kecenderungan
faktor sosiokultural yang terdiri dari budaya
pribadi,
budaya
keluarga,
budaya
masyarakat, iklim sekolah, hubungan
kolegial, kerja sama dan norma sosial,
umumnya
berpengaruh
terhadap
pengambilan keputusan kepala sekolah
dasar baik pria maupun wanita baik di
daerah perkotaan, pinggiran kota maupun
pedesaan. Salah satu faktor sosiokultural
yang cenderung kurang berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan adalah
budaya keluarga kepala sekolah pria.
Sedangkan bagi kepala sekolah wanita,
faktor budaya keluarga justru cenderung
berpengaruh. Satu faktor yang paling
berpengaruh dalam mengambil keputusan,
baik kepala sekolah pria maupun wanita
adalah kerja sama. Untuk daerah perkotaan
kerja
sama
ini
cenderung sangat
berpengaruh. Lebih lanjut Nurul Ulfatin
menemukan bahwa kecenderungan faktor
psikologi yang terdiri dari perasaan dan
sifat-sifat pribadi, rasionalitas, motivasi,
keputusan, kreativitas dan keberanian
pribadi umumnya memiliki pengaruh yang
bervasiasi. Variasi itu tampak pada kepala
sekolah pria dan wanita di daerah perkotaan
dan pinggiran kota, sedangkan di pedesaan
328
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
antara kepala sekolah pria dan wanita pengaruhnya
terhadap
pengambilan
memiliki kecenderungan yang sama. Dua keputusan jika dibandingkan dengan kepala
faktor psikologis yang menonjol adalah sekolah pria di daerah yang sama atau
perbedaan kreativitas dan keberanian. dengan kepala sekolah wanita dan pria di
Kreativitas dan keberanian bagi kepala pinggiran kota dan pedesaan
sekolah wanita di perkotaan lebih rendah
.
DAFTAR PUSTAKA
Admosudirdjo, Prajudi. 1985. Dasar-dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Decision Making Process. http://decision-quality.com/intro.php. Diakses tanggal 2 Mei
2013.
Decision Making. http://en.wikipedia.org/wiki/Decision_making. Diakses tanggal 2 Mei
2013.
Hadjisarosa, Poernomosidi. 2003. Pendekatan Sistem dalam Manajemen dan Bisnis.
Yogyakarta: BPFE.
Manullang, M. 1994. Pedoman Praktis Pengambilan Keputusan. Edisi I. Yogyakarta:
BPFE.
Muslich, Muhammad. 2009. Metode Pengambilan Keputusan Kuantitatif. Jakarta: Bumi
Aksara.
Reksohadiprodjo, Sukanto. 1997. Organisasi Perusahaan: Teori, Struktur, dan Perilaku.
Yogyakarta: BPFE.
Stoner, James A.F., & Wankel, Charles. 2003. Management, 2nd Edition. Perencanaan dan
Pengambilan Keputusan dalam Manajemen. Jakarta: Rineka Cipta.
The
Vroom-Yetton-Jago
Decision
Model.http://www.mindtools.com/pages/article/
newTED_91.htm. Diakses tanggal 2 Mei 2013.
Usman, Husaini. 2013. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Edisi Keempat.
Jakarta: Bumi Aksara.
Biodata: Drs. Tukiyo, M.Pd., dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Widya Dharma Klaten dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
329
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
330
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
MENINGKATKAN PROFESIONALISME
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI JERMAN DAN
PERBANDINGANNYA DENGAN DI INDONESIA
Ervan Johan Wicaksana
Program Pascasarjana S-3 Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
2013
ABSTRAK
Sistem pendidikan nasional adalah suatu sistem dalam suatu negara
yang mengatur pendidikan yang ada di negaranya agar dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa, agar tercipta kesejahteraan umum dalam masyarakat.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa,meskipun
secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional bangsabangsa lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa itu
sendiri yang secara geografis, demokrafis, histories, dan kultural berciri khas.
Pancasila menjadi dasar sistem pendidikan nasional dalam rangka
memencerdaskan kehidupan bangsa, seperti termaktub dalam pembukaan UUD
1945.Agar pendidikan di Indonesia ke depannya menjadi lebih baik lagi dan
berkualitas, sehingga diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak ada
salahnya jika Pemerintah melihat negara asing yang sistem pendidikannya sudah
maju. Pada makalah ini kami akan menyampaikan bagaimana keunggulan sistem
pendidikan di negara Jerman yang dapat kita adopsi untuk kepentingan kemajuan
di bidang pendidikan negara Indonesia.
Adapun beberapa hal mengenai kemajuan pendidikan di negara Jerman
yang dapat kita ambil untuk meningkatkan kemajuan sistem pendidikan di
Indonesia, anatara lain: Penyaluran Kerja Bagi Lulusan dari Negara Jerman;
Kemajuan di berbagai bidang; Kualitas pendidikan di negara Jerman sudah
tergolong sangat baik karena sudah merata di seluruh bidang study maupun
seluruh universitas; serta biaya pendidikan di negara Jerman adalah free atau
gratis.
Kata Kunci:profesionalisme, system pendidikan nasional
A. PENDAHULUAN
Pancasila menjadi dasar sistem
pendidikan
nasional
dalam
rangka
memencerdaskan kehidupan bangsa, seperti
termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Sebagai dasar negara, pandangan hidup
bangsa, pancasila merupakan pedoman yang
menunjukan arah, cita-cita dan tujuan
bangsa. Karena itu, pancasila harus menjadi
semua dasar kegiatan pendidikan di
Indonesia. Selain berdasarkan panca sila,
pendidikan nasional juga bercita-cita
membentuk manusia yang pancasilais, yaitu
manusia
yang
menghayati
dan
mengamalkan pancasila dalam sikap,
perbuatan dan tingkah laku, baik dalam
kehidupan ber masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pendidikan nasional mempunyai
331
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
landasan ideal adalah pancasila, landasan
konstitusional yaitu UUD 1945, dan
landasan operasional yaitu ketetapan MPR
tentang GBHN.
Sistem
pendidikan
nasional
Indonesia dimaksudkan untuk menjamin
pemerataan
kesempatan
pendidikan,
meningkatkan
mutu
dan
relevansi
pendidikan, serta efisiensi manajemen
pendidikan dalam menghadapi tuntutan
globalisasi. Era globalisasi yang sedang
terjadi saat ini dihadapkan pada tantangan
yang lebih kompleks dan persaingan sumber
daya manusia yang semakin ketat, sehingga
dibutuhkan sumber daya manusia yang
unggul
dengan
menguasai
ilmu
pengetahuan dan teknologi. Salah satu
upaya
pemerintah
untuk
dapat
menghasilkan sumber daya manusia yang
unggul tersebut adalah melalui pendidikan.
Terlepas dari harapan tersebut di
atas, Indonesia sebenarnya menghadapi
masalah mendasar yaitu mutu pendidikan
yang cenderung masih rendah. Hal ini
disebabkan oleh sistem pendidikan di
Indonesia yang buruk. Dari hasil survei
Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang dimuat di Kompas pada
tanggal 5 September 2001 (Yuliana, 2007),
disebutkan bahwa sistem pendidikan di
Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu
dari 12 negara yang disurvei Indonesia
menduduki
urutan
ke-12.
Menurut
Depdiknas (2001: 1-2), rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia antara lain
disebabkan oleh sistem pendidikan yang
sentralistik (terpusat) dan partisipasi
masyarakat khususnya orang tua dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah
selama ini sangat minim. Kebijakan
penyelenggaraan yang bersifat sentralistik
(terpusat) dimana hampir semua hal diatur
secara rinci dari pusat telah menyebabkan
sekolah kehilangan kemandirian, kreativitas
dan insiatif untuk mengambil kebijakan
yang diperlukan tanpa adanya petunjuk dari
birokrasi pendidikan di atasnya.
Partitipasi
masyarakat
(stakeholders) selama ini lebih berupa
dukungan dana, kurang dilibatkan dalam
proses
pengambilan
keputusan,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan
akuntabiltas, sehingga sekolah tidak
memiliki
beban
untuk
mempertanggungjawabkan proses dan hasil
pendidikan
kepada
masyarakat
(stakeholders). Menghadapi rendahnya
mutu pendidikan tersebut, maka perlu
dilakukan upaya perbaikan terhadap sistem
pendidikan di Indonesia. Upaya pemerintah
dalam menyikapi hal tersebut adalah dengan
melakukan reorientasi penyelenggaraan
pendidikan
yaitu
dari
manajemen
pendidikan mutu berbasis pusat menuju
manajemen peningkatan muru berbasis
sekolah atau manajemen berbasis sekolah
(Depdiknas, 2001: 3). Perubahan sistem
penyelenggaraan pendidikan ini diharapkan
dapat mengatasi permasalahan pendidikan
yang ada.
Mulyasa (2003: 11) menyampaikan
bahwa melalui manajemen berbasis sekolah
pemerintah memberikan otonomi luas
kepada sekolah dengan mengikutsertakan
masyarakat untuk mengelola sumber daya
sekolah dan mengalokasikannya sesuai
dengan kebutuhan setempat. Pelibatan
masyarakat dimaksudkan agar masyarakat
lebih
memahami,
membantu,
dan
mengontrol penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Sekolah bersama masyarakat diberi
kewenangan untuk mengelola sumber daya
sekolah dan mengalokasikannya sesuai
dengan prioritas, kebutuhan, dan potensi
setempat,
serta
mempertanggungjawabkannya baik kepada
masyarakat maupun pemerintah.
Manajemen berbasis sekolah yang
ditandai dengan otonomi sekolah serta
pelibatan masyarakat merupakan respon
pemerintah
terhadap
gejala-gejala
ketidakpuasan yang muncul dari masyarakat
terhadap kinerja sekolah dan rendahnya
mutu pendidikan. Dijelaskan lebih lanjut,
332
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
manajemen berbasis sekolah diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi, mutu,
pemerataan, dan relevansi. Peningkatan
efisiensi antara lain diperoleh melalui
keleluasaan mengelola sumber daya,
partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan
birokrasi. Sementara peningkatan mutu
dapat diperoleh antara lain melalui
partisipasi orang tua terhadap sekolah,
fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas,
berlakunya sistem insentif dan disinsentif.
Peningkatan pemerataan antara lain
diperoleh melalui peningkatan partisipasi
pada
kelompok
tertentu
terutama
masyarakat tidak mampu. Sedangkan
peningaktan relevansi antara lain dapat
dilakukan
melalui
fleksibilitas
dan
keleluasaan sekolah untuk melakukan
pengembangan kurikulum sekolah sesuai
dengan
kebutuhan
lingkungan
dan
melakukan penataan jurusan atau program
keahlian.
Implementasi manajemen berbasis
sekolah ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 51, ayat (1), ―pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah
atau madrasah‖. Kemudian dalam PP No.
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) Pasal 49, ayat (1),
―pengelolaan satuan pendidikan dasar dan
menengah menerapkan manajemen berbasis
sekolah
yang
ditunjukkan
dengan
kemandirian,
kemitraan,
partisipasi,
keterbukaan, dan akuntabilitas. Dengan
implementasi manajemen berbasis sekolah
diharapkan tumbuh kemandirian sekolah
untuk mengelola sumber daya sekolah,
peningkatan kerjasama atau kemitraan
sekolah, peningkatan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat, peningkatan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
sekolah.
Agar pendidikan di Indonesia ke
depannya menjadi lebih baik lagi dan
berkualitas, sehingga diharapkan kepada
seluruh lapisan masyarakat. Tidak ada
salahnya jika Pemerintah melihat negara
asing yang sistem pendidikannya sudah
maju. Pada makalah ini kami akan
menyampaikan bagaimana keunggulan
sistem pendidikan di negara Jerman yang
dapat kita adopsi untuk kepentingan
kemajuan di bidang pendidikan negara
Indonesia.
B. GAMBARAN SISTEM
PENDIDIKAN DI NEGARA
JERMAN
Sistem Pendidikan dan Pelatihan
Kejuruan German (VET), juga disebut
sebagai sistem ganda, berakar pada
kerajinan abad pertengahan model pelatihan
magang yang murni berdasarkan atas
keterampilan kerja yang bersangkutan.
Akan tetapi karena magang yang tinggal di
keluarga besar. Dia juga diperkenalkan
bahwa perajin harus berperan dalam
masyarakat.
Pada dekade akhir abad ke-19 model
ini diadopsi oleh industri pembelajaran
praktis di tempat kerja pelatihan. Tapi
proses kerja industri membutuhkan fondasi
teoritis baik perintah membaca, aritmatika
menulis, dan, misalnya, teknis gambar.
Sekolah umum yang didirikan adalah
magang diajarkan dalam teori kerja.
Perkembangan ini melahirkan nama Sistem
Ganda, pendidikan dan pelatihan di
perusahaan dan sekolah. Di hari-hari awal
magang bersekolah di malam hari setelah
bekerja dan pada akhir pekan, tetapi dalam
dekade pertama abad ke-20 yang hari
pertama kerja sekolah ("Berufsschule")
didirikan. Selama hampir setengah abad
magang dibagi seminggu menjadi empat
sampai lima hari belajar di tempat kerja/
workshop dan satu hari di sekolah, sebelum
tahun enam puluhan dan tujuh puluhan dari
333
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
abad terakhir, sebuah sekolah kedua hari
diperkenalkan.
Dari awal hasil kerja yang
dibutuhkan di tempat kerja menetapkan
standar kerja. Standar di Sistem Ganda, oleh
karena itu, selalu penghasilan sesuai.
Kurikulum sekolah, sejauh pendudukan
yang bersangkutan, dikembangkan sesuai
dengan incompany-pelatihan-standar. Pada
hari-hari awal memimpin industri teknik
elektro dan logam menetapkan standar kerja
oleh penataan pelatihan menjadi satu tahun
pelatihan dasar dan dua pelatihan
spesialisasi tahun. Pelatihan dasar agak
sistematis dan biasanya terjadi di lokakarya.
Kursus pertama dikembangkan dan
diterbitkan oleh insinyur dan kemudian
untuk pekerjaan lain oleh para profesional
dari sektor-sektor ini.
Kursus-kursus, yang menemukan
perhatian internasional, adalah yang
pertama standar. Pada tahun 1905 majikan
dipimpin
German
Teknik
Asosiasi
mendirikan Komite untuk Sekolah Teknis
("Deutscher Ausschuss für Technisches
Schulwesen ", DATSCH) yang mulai
mengembangkan
dan
memperbaharui
standar kerja sistematis. Kemudian, di
Weimar Republik dua puluhan, pemerintah
menerima DATSCH sebagai lembaga
pengembangan standar, setelah pengusaha
menerima perdagangan serikat pekerja
sebagai mitra dalam proses ini. Standar
kerja menjadi masyarakat peduli. Sejak
tahun 1919 mereka dikeluarkan sebagai
kerja nasional standar oleh pemerintah.
Pelatihan
Kejuruan
Act
("Berufsbildungsgesetz") tahun 1969, yang
mendirikan Institut Federal untuk Pelatihan
Kejuruan
("Bundesinstitut
fuer
Berufsbildung", Bibb), mengatur panggung
untuk Sistem Ganda modern, yang menjadi
bagian dari sistem pendidikan publik. Bibb
menyediakan Temuan penelitian, tenaga
profesional dan platform untuk social mitra,
pemerintah federal dan negara untuk
bertemu
dan
mengembangkan
dan
memperbaharui kerja standar, yang diberi
nama "pelatihan kerja peraturan"dan
dikeluarkan oleh pemerintah federal untuk
di-companytrainingdan untuk sekolah oleh
menteri pendidikan negara.
Bilangan, struktur, hasil dan namanama standar memiliki berubah dalam lima
puluh tahun terakhir secara signifikan,
meskipun dasar hokum dan kerangka tetap
sama. Di tahun lima puluhan ada beberapa
900 pekerjaan pelatihan yang berbeda.
Ketika Bibb mulai bekerja di 1.970 jumlah
itu turun ke 600 sudah. Pengenalan yang
luas pelatihan dasar melalui UndangUndang Pelatihan Kejuruan tahun 1969
berkurang ini mencari lebih lanjut ke
beberapa 360 tahun 1990. Dalam perjalanan
akhir tahun dua puluh tahun jumlah tetap
hampir sama (345), meskipun beberapa
enam puluh pekerjaan tradisional lenyap.
Tetapi beberapa lima puluh yang baru
bergabung dengan klasifikasi, di antaranya
di sektor media, informasi dan teknologi
komunikasi, jasa dan sektor kesehatan.
Logam standar teknis telah direstrukturisasi
dari empat puluh dua tradisional pekerjaan
ke enam dengan tujuh belas profil. Jika kita
membandingkan jumlah standar pelatihan
(345) dengan orang-orang di negara-negara
lain tampaknya menjadi agak tinggi, tetapi
kita harus mempertimbangkan bahwa
hampir 90% dari semua peserta dilatih
dalam waktu kurang dari seratus pekerjaan
pelatihan.
1.
Pendidikan Pra Perguruan Tinggi
Berbeda dengan di Indonesia yang
menganut sistem pendidikan tiga jenjang
SD-SLTP-SLTA, Jerman hanya memiliki
dua jenjang pendidikan Pra Perguruan
Tinggi,
yaitu
pendidikan
dasar
(Grundschule) dan pendidikan lanjutan
(Gymnasium, Realschule atau Berufschule).
Jenjang Pendidikan Pra Perguruan
Tinggi di Jerman memerlukan waktu
tempuh normal selama 13 tahun (berbeda
dengan di Indonesia, dimana pendidikan
334
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
SD-SLTP-SLTA bisa diselesaikan hanya
dalam waktu 12 tahun). Pendidikan sekolah
dasar (Grundschule) diberikan dari kelas 1 6, dan setelah itu siswa diberikan
kesempatan untuk memilih melanjutkan ke
Gymnasium, Realschule atau Berufschule.
Gymnasium diperuntukkan bagi
siswa-siswa pandai yang dianggap mampu
melanjutkan pendidikan sampai jenjang
perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh
mulai dari kelas 7 – 13, dan setelah lulus
mereka diberi ijazah yang dikenal sebagai
―Abitur―. Jadi sebelum masuk ke perguruan
tinggi, seorang siswa menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengah selama 13
tahun.
Berufschule diperuntukkan bagi
siswa-siswa yang langsung dipersiapkan
memasuki dunia kerja dan tidak bisa
melanjutkan
ke
perguruan
tinggi.
Sedangkan Realschule ada di tengah-tengah
keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari
Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium
untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga
langsung memasuki dunia kerja.
2.
Pendidikan Tinggi
Setelah mendapatkan Abitur, siswa
langsung bisa mendaftarkan diri ke
Perguruan Tinggi. Berbeda dengan calon
mahasiswa di Indonesia yang harus
mengikuti ujian tertulis (UMPTN), disini
calon siswa sama sekali tidak perlu
mengikuti ujian seleksi. Calon mahasiswa
tinggal mengirimkan berkas lamarannya,
dan universitas akan langsung memutuskan
berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut bisa
dilakukan karena pendidikan di seluruh
Jerman, baik pendidikan dasar maupun
pendidikan tinggi, memiliki kualitas yang
bisa dikatakan sama.
Untuk menjamin kualitas yang
merata di semua sekolah, setiap anak wajib
masuk ke sekolah terdekat yang telah
ditunjuk oleh pemerintah (Bila memilih
untuk belajar di sekolah selain yang telah
ditunjuk, maka orang tuanya harus
mengajukan permintaan khusus disertai
dengan alasan-alasannya). Sebaliknya,
pemerintah pun menyediakan guru-guru dan
fasilitas pendidikan yang merata di semua
sekolah, baik di kota besar maupun di
pelosok yang jauh dari kota.
3.
Jenis Universitas(University dan
Fachhochschule)
Ada dua jenis pendidikan tinggi di
Jerman,
yaitu
Universität
(university,selanjutnya disingkat UNI) dan
Fachhochschule
(applied
university,
selanjutnya disingkat FH). Perbedaan antara
UNI dan FH diantaranya bisa disebutkan
sebagai berikut:
a. Materi perkuliahan
UNI lebih menekankan ke teori dan
kepadanya diberikan tanggung jawab dalam
mengembangkan
ilmu
pengetahuan.
Komposisi antara teori dan praktek di UNI
berkisar 60:40. Sebaliknya, FH (sesuai
dengan namanya) lebih menitik beratkan ke
aspek terapan, dengan komposisi teori dan
terapan 40:60.
b. Jadwal perkuliahan
Jadwal perkuliahan di UNI adalah
Okt-Maret untuk musim dingin (Winter
Semester) dan April-September untuk
musim
panas
(Sommer
Semester).
Sebaliknya untuk FH perkuliahan dimulai
lebih dini, yaitu Agustus-Januari untuk
musim dingin (WS) dan Februari-Juli untuk
musim panas (SS).
c. Waktu melamar
Karena perbedaan waktu kuliah,
maka jadwal untuk proses seleksi pun juga
berbeda. Pendaftaran di FH ditutup lebih
cepat dibandingkan dengan di UNI.
4.
Wajib Belajar di Negara Jerman
Menurut ―Grundgesetz‖ Undang
Undang
Dasar
Jerman,
pendidikan
merupakan
kewengan
masing-masing
negara bagian, walaupun demikian untuk
sinkronisasi arah pendidikan, pada tahun
1970 semua negara bagian membentuk
335
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
―Bund-Länder-Kommission
für
Bildungsplan und Forschungsförderung‖
Komisi
Bersama
untuk
Rancangan
Pendidikan dan Bantuan Penelitian. Dengan
adanya Konferensi Tahunan antar Menteri
Kultur dan Kebudayaan negara-negara
bagian, secara institusional merupakan
Gremium
terpenting
untuk
mengkoordinasikan arah pendidikan dari
masing-masing
negara
bagian
di
Jerman.Rentang waktu Wajib Sekolah
lamanya berkisar antara 9 – 10 tahun,
dimulai dari usia 6 tahun sampai dengan 18
tahun.
5.
Biaya Pendidikan
Study di Jerman adalah free atau
gratis, namun demikian, pada setiap
semester, para mahasiswa akan dikenakan
biaya untuk uang administrasi mahasiswa,
uang sosial dan Semester ticket (tidak
wajib di setiap tempat) dan ada
kemungkinan biaya tambahan yang lain,
keseluruhannya berkisar € 150, tergantung
kebijakan dari masing-masing universitas.
Semesterticket adalah tiket para pelajar
untuk menggunakan jasa angkutan untuk
suatu daerah tertentu selama 1 semester.
Jadi dalam 1 semester, mahasiswa tersebut
tidak perlu membayar uang angkutan. Perlu
diingat,
semester
ticket
hanya
diperuntukkan bagi calon mahasiswa
ataupun seseorang yang terdaftars sebagai
mahasiswa. Peserta kursus bahasa tidak
mendapatkan semester ticket. Sebagai salah
satu solusinya adalah membeli tiket tiket
bulanan yang harganya lebih murah
daripada tiket mingguan ataupun tiket
harian.
6.
Beasiswa (Bantuan Belajar)
Negara
Jerman
menyediakan
beasiswa 5.000 (lima ribu) orang Indonesia
untuk studi Program S3 kuliah di Jerman.
Program ini berlangsung selama 10 tahun.
Bisa dibayangkan betapa besarnya jaringan
Jerman dalam 5 tahun mendatang dan
seterusnya di Indonesia. Jika Program 5.000
doktor itu bisa mulus maka dalam beberapa
tahun ke depan begitu banyak para
intelektual Indonesia alumni Jerman yang
mewarnai dan berkarya di tanah air. Ini
adalah sebuah jejaringan intelektual yang
luar biasa jika anda bersinerji di dalamnya.
7.
Kualitas Pendidikan yang Merata
Kualitas pendidikan di negara
Jerman sudah tergolong sangat baik karena
sudah merata di seluruh bidang study
maupun seluruh universitas yang ada di
Jerman. Ada sekitar 375 Perguruan Tinggi
di Jerman dan semuanya berkualifikasi yang
bermutu
secara
merata.
Semuanya
berkualitas baik. Kalau di Universitas
Jerman hanya orang yang memenuhi
standard kualitas akademik tradisi Jerman
lah yang bisa lulus. Jika kita lulusan dari
negara Jerman, maka kita cukup menjawab:
Made in Germany!
Masyarakat dunia sudah mengetahui
jaminan dari tradisi pendidikan berkualitas
dan butuh dedikasi serta integritas tinggi
untuk bisa lulus dari tradisi pendidikan
tersebut!
Pertanyaan paling tidak relevan bagi
calon mahasiswa baru yang akan kuliah ke
Jerman: ―Universitas apa di Jerman yang
paling bagus?‖
Pertanyaan itu tidak relevan karena semua
universitas di Jerman itu kualitasnya bagus
atau malah bagus sekali. Jadi, yang
terpenting anda diterima dan bisa lulus.
8.
Kemajuan di Berbagai Bidang
Bidang teknologi, Sains canggih.
Bidang Ekonomi memimpin dunia. Bidang
Filsafat, Seni, Sosial terdepan. Kemajuan di
berbagai bidang tersebut juga diterapkan
untuk menunjang kemajuan di dunia
penddikan. Nyaris tidak ada negara yang
mampu mengimbangi Jerman dalam Inovasi
sains dan Teknologi.
336
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
9.
Penyaluran Kerja Bagi Lulusan dari
Negara Jerman
Bagi lulusan dari negara Jerman,
tersedia Program ZAV yaitu kerja sama
Pemerintah Jerman dengan Pemerintah
Indonesia. Dicarikan kerja dan juga
mendapat subsidi 600 Eur /bulan selama 2
tahun selain honor yang diterima dari
pemerintah Indonesia. Anda pun dibiayai
kembali tanah air dan pekerjaan sudah siap
menunggu anda.
Syarat untuk ikuti Program ZAV ini
adalah anda harus lulus kuliah. Lalu tinggal
daftar tawaran kerja yang tersedia di
website-nya. Setelah anda diterima dan
prosedur administrasi dipenuhi maka sudah
ada instansi di Indonesia yang siap terima
anda tanpa harus di tanah air anda bawabawa map lamaran kerja dan cari kerja dulu.
10. Profesional Standar untuk Spesialis
VET
Spesialis VET pendidikan dan
pelatihan dalam sistem VET Jerman adalah
guru dan pelatih.Guru di SMK penuh atau
paruh-waktu harus menyelesaikan empat
sampai lima tahun saja studi dan lulus dari
universitas (pertama ujian guru) sebelum
mereka melakukan dua tahun masa
percobaan mereka sebagai Guru SMP
berakhir dengan ujian guru kedua dan masa
percobaan.
Pelatih
di
perusahaan
yang
bertanggung jawab untuk pelatihan sistem
ganda sesuai dengan standar harus
memenuhi syarat sesuai dengan Pelatihan
Kejuruan Act. Mereka menyelesaikan
kursus di psikologi dan pedagogik
pelatihan, perencanaan, melaksanakan dan
memantau di tempat kerja dan dalam
lokakarya
sebelum
mereka
berdiri
pemeriksaan di ruangan.
11. Pemerataan Penggunaan Bahasa
oleh guru dan dosen di negara
Jerman melalui standar AFMLTA
yang berlaku untuk semua guru
Penjelasan
tersebut
tidak
mengharuskan semua guru dari Jerman akan
menggunakan pengetahuan mereka dengan
cara yang sama. Tetapi harus diakui bahwa
kemungkinan masing-masing guru harus
menggunakan
dan
mengembangkan
kemampuan profesional mereka sebagai
guru Jerman akan berbeda.
Standar AFMLTA dirancang untuk
menjadi generik di seluruh bahasa dan bagi
banyak dari standar masing-masing tidak
ada penjelasan spesifik yang hanya berlaku
untuk Jerman. Ini adalah standar yang
terdaftar di bawah judul bahasa dan budaya
yang paling relevan untuk Jerman. Dalam
bagian-bagian dari penjelasan yang
berhubungan dengan pengetahuan bahasa
dan budaya, kami telah digunakan sebagai
dasar, pengetahuan yang non-pribumi guru
speaker harus diharapkan menjadi guru
yang efektif dari Jerman. Mengakui bahwa
penutur asli dan non-pribumi speaker
memperoleh pengetahuan mereka tentang
bahasa dan budaya dengan cara yang
berbeda. Namun, ditekankan bahwa
penjelasan mengenai pengetahuan khusus
tentang bahasa dan budaya berlaku untuk
semua guru secara independen dari latar
belakang bahasa mereka.
Dalam beberapa kasus, para guru
dari
Jerman
yang
bekerja
untuk
mengembangkan penjelasan merasa bahwa
ada beberapa masalah yang tidak benarbenar spesifik untuk Jerman, tetapi mereka
ingin menyorot sebagai pertimbangan
penting bagi pengajaran dan pembelajaran
bahasa Jerman. Hal ini ditunjukkan dalam
teks penjelasan. Penjelasan tersebut tidak
boleh dianggap unik untuk Jerman atau
menjadi satu-satunya cara bahwa standar
sendiri berlaku untuk Jerman.
12. Penghargaan untuk Guru yang
Memiliki Standar Jerman
Bahasa dan budaya Guru bahasa
dan budaya keduanya pengguna dan guru
pengetahuan linguistik dan budaya. Mereka
337
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
memiliki pengetahuan tentang bahasa (s)
dan budaya (s) mereka mengajar yang
memungkinkan mereka untuk berpartisipasi
dalam interaksi mudah dalam bahasa masuk
dan keluar dari kelas. Selain itu, mereka
memiliki kesadaran antarbudaya maju dan
tahu bagaimana berkomunikasi melalui
bahasa dan budaya.
Mereka secara aktif terlibat dalam
menjaga dan mengembangkan pengetahuan
mereka tentang bahasa dan budaya mereka
mengajar dan mencari kesempatan untuk
menggunakan pengetahuan dan untuk tetap
up to date dengan bagaimana bahasa dan
budaya yang digunakan dalam komunitas
bahasa target.
Guru berprestasi Jerman dapat
menggunakan Jerman dalam berbagai kelas
yang berhubungan dengan fungsi:
a. Untuk manajemen kelas reguler /
organisasi dan instruksi, membahas dan
menciptakan lingkungan kelas yang
positif, dan untuk menegosiasikan
kurikulum
b. Menyelidiki dan mengajar bahasa dan
budaya dalam topik yang tepat untuk
kelompok usia
c. Sumber dan memproduksi teks lisan
dan tertulis berkelanjutan menggunakan
jenis kelas teks yang relevan dan
menunjukkan kemampuan untuk model
ini untuk siswa
d. Mengidentifikasi,
mengenali
dan
menggunakan bahasa jerman dan
budaya untuk meningkatkan kesadaran
tentang isu-isu yang lebih umum dari
bahasa, budaya dan keanekaragaman
e. Melibatkan siswa dalam pembelajaran
mereka melalui penggunaan dari
jerman
f. Mengajar melalui jerman menggunakan
jenis yang relevan kosakata, sintaks dan
teks yang relevan dengan usia dan
tingkat peserta didik mereka
Guru berprestasi Jerman memiliki
kemampuan untuk menggunakan bahasa
Jerman untuk berkomunikasi dengan
pembicara Jerman lainnya untuk tujuan
profesional dan pribadi, seperti:
a. Terlibat dalam percakapan santai
dengan pembicara lain dari Jerman,
termasuk non-penutur asli
b. Mendiskusikan topik kelas yang terkait
dengan
rekan-rekan
di
forum
pengembangan profesional di sekolah
dan di luar
c. Mengelola kebutuhan transaksional
hidup dan perjalanan di negara-negara
berbahasa Jerman
d. Berpartisipasi dalam beberapa konteks
bahasa formal (seperti mengunjungi
sekolah berbahasa Jerman, pertemuan
anggota masyarakat setempat, negosiasi
kontak internasional)
e. Membuat panggilan telepon, membaca
dan menulis e-mail dan / atau huruf,
f. Membaca surat kabar dan majalah,
menonton
siaran
televisi
dan
mendengarkan program radio
g. Membaca literatur untuk kesenangan
h. Menggunakan media kontemporer
misalnya majalah saat ini, surat kabar,
film, TIK (podcast, vodcasts dll) untuk
mengikuti isu-isu saat ini di negaranegara berbahasa Jerman dan sebagai
alat belajar mengajar untuk kelas
C. GAMBARAN SISTEM
PENDIDIKAN DI NEGARA
INDONESIA
1. Upaya-upaya untuk meningkatkan
profesionalisme guru.
Di era globalisasi sekarang ini,
proses peningkatan mutu pendidikan sangat
diperlukan oleh sebuah sistem. Yang mana
sistem tersebut mampu menggerakan
beberapa komponen, antara lain berupa
program kegiatan pembelajaran, peserta
didik sarana prasarana pembelajaran, dana,
lingkungan masyarakat, kepemimpinan
kepala sekolah,dan lain- lain. Namun semua
itu tidak akan efektif terhadap perubahan
338
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pengalaman perserta didik, apabila tidak
didukung oleh keberadaan guru yang
profesional. Guru merupakan salah satu
pilar atau komponen utama yang dinamis
dalam mencapai tujuan ―mencerdaskan
kehidupan bangsa‖,dan untuk mewujudkan
pendidikan yang bermutu.
Oleh sebab itu, diperlukan guru
yang memiliki kemampuan yang maksimal
untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional
dan
diharapkan
secara
berkesinambungan
mereka
dapat
meningkatkan
kompetensinya,
baik
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial,
maupun profesional. Profesional artinya
dilaksanakan secara sungguh- sungguh dan
didukung oleh para petugas secara
profesional. Petugas yang profesional
adalah petugas yang memiliki keahlian,
tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang
didukung oleh etika profesi yanng kuat.
Profesionalisme guru merupakan
acuan yang sangat penting bagi peningkatan
dunia
pendidikan.Makna
profesional
menurut UU No. 14 Tahun 2005 adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.
Sistem
pengembangan
profesionalisme dosen di Indonesia
dilaksanakan dengan dasar hukum, antara
lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi, Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2009 Tentang Dosen, Peraturan
Mendiknas Nomor 47 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi
PNS di lingkungan Depdiknas, Peraturan
Mendiknas Nomor 17 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di
Perguruan Tinggi, serta peraturan-peraturan
lain yang relevan.Banyak cara yang
dilakukan
untuk
meningkatkan
profesionalisme guru. Jalan yang dapat
dilakukan
untuk
meningkatkan
Profesionalisme guru antara lain:
a. Peningkatan Kesejahteraan.
Mutu pendidikan di Indonesia yang
jauh
tertinggal
dari
Negara
lain,
menimbulkan kritik tajam dari kalangan
masyarakat yang di alamatkan pada institusi
pendidikan. Berbagai program perbaikan
mutu telah dilakukan, diantaranya sertifikasi
professional
guru.
Sertifikasi
dan
resertifikasi ini di harapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan dan
memberikan
kepercayaan
kepada
stakeholders.
Rasionalisai
perlunya
sertifikasi bagi guru adalah Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 pasal 39, globalisasi
pendidikan dan rencana pemberlakuan
standar nasional pendidikan.
Dosen menurut Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen.Memperoleh penghasilan di atas
kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial (Pasal 51 huruf a).
Mendapatkan promosi dan penghargaan
sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen
dilakukan dengan upaya peningkatan gaji
dan tunjangan secara berkala.
b. Pendidik Memenuhi Kualifikasi,
Kompetensi, sertifikasi, dan Jabatan
Akademik Dosen
1) Kualifikasi Dosen
Dosen
wajib
memiliki
kualifikasi akademik (diperoleh
melalui pendidikan tinggi program
pascasarjana): Lulusan program
magister untuk program diploma
dan program sarjana, serta lulusan
program doktor untuk program
pascasarjana (Pasal 45 dan 46).
2) Kompetensi Dosen
Kompetensi dosen meliputi
kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional.
339
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
3) Sertifikasi Dosen
Dosen dipersyaratkan lulus
sertifikasi yang dilakukan oleh
perguruan tinggi yang ditetapkan
pemerintah sebagai penyelenggara
sertifkasi dosen (Pasal 47 huruf c).
Dosen yang telah lulus sertifikasi
diberikat sertifikat pendidik, sebagai
pengakuan
menjadi
pendidik
profesional.
4) Jabatan Akademik Dosen
Jabatan akademik dosen
meliputi: Asisten Ahli, Lektor,
Lektor Kepala, dan Profesor (Pasal
48). Profesor yang memiliki karya
ilmiah atau karya monumental
lainnya yang sangat istimewa dalam
bidangnya dan mendapat pengakuan
internasional,
dapat
diangkat
menjadi Profesor Paripurna (Pasal
49).
c.
Untuk
melaksanakan
tugas
keprofesionalan,
dosen
berkewajiban:
1) Melaksanakan
pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
2) Merencanakan, melaksanakan proses
pembelajaran,
serta
menilai
danmengevaluasi
hasil
pembelajaran.
3) Meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi
akademik
dan
kompetensi secara berkelanjutan
sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4) Bertindak objektif dan tidak
diskriminatif
atas
dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama,
suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau
latar belakang sosioekonomi peserta
didik dalam pembelajaran.
5) Menjunjung
tinggi
peraturan
perundang-undangan, hukum, dank
ode etik, serta nilai-nilai agama dan
etika.
6) Memelihara dan memupuk persatuan
dan kesatuan bangsa (Pasal 60 huruf
a sampai f).
d. Penyelenggaraan
pelatihan
dan
sarana.
Salah
satu
usaha
untuk
meningkatkan profesionalitas guru adalah
pendalaman materi pelajaran melalui
pelatihan-pelatihan. Memberi kesempatan
guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
tanpa beban biaya atau melengkapi sarana
dan kesempatan agar guru dapat banyak
membaca buku-buku materi pelajaran yang
dibutuhkan guru untuk memperdalam
pengetahuannya. Contohnya diklat, seminar
dan workshop.
e. Pembinaan perilaku kerja.
Studi-studi sosiologi sejak zaman
Max Weber di awal abad ke-20 dan
penelitian penelitian manajemen dua puluh
tahun belakangan bermuara pada satu
kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada
berbagai
wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh
perilaku manusia, terutama perilaku kerja.
f. Memahami tuntutan standar profesi
yang ada
Upaya memahami tuntutan standar
profesi yang ada (di Indonesia dan yang
berlaku di dunia) harus ditempatkan sebagai
prioritas utama jika guru kita ingin
meningkatkan profesionalismenya. Hal ini
didasarkan kepada beberapa alasan sebagai
berikut: Pertama, persaingan global
sekarang memungkinkan adanya mobilitas
guru secara lintas negara. Kedua, sebagai
profesional seorang guru harus mengikuti
tuntutan perkembangan profesi secara
global, dan tuntutan masyarakat yang
menghendaki pelayanan vang lebih baik.
Cara satu-satunya untuk memenuhi standar
profesi ini adalah dengan belaiar secara
terus menerus sepanjang hayat, dengan
membuka diri yakni mau mendengar dan
melihat perkembangan baru di bidangnya.
340
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
g.
Mencapai kualifikasi dan kompetensi
yang dipersyaratkan.
Upaya mencapai kualifikasi dan
kompetensi yang dipersyaratkan juga tidak
kalah pentingnya bagi guru. Dengan
dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi
yang memadai maka guru memiliki posisi
tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang
dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan
kompetensi ini dapat ditempuh melalui inservice training dan berbagai upaya lain
untuk memperoleh sertifikasi
h. Membangun hubungan kesejawatan
yang baik dan luas termasuk lewat
organisasi profesi.
Upaya
membangun
hubungan
kesejawatan yang baik dan luas dapat
dilakukan guru dengan membina jaringan
kerja atau networking. Guru harus berusaha
mengetahui apa yang telah dilakukan oleh
sejawatnya yang sukses. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memacu semangat guru
atau dosen tersebut untuk berkembang.
i. Mengembangkan etos kerja atau
budaya kerja yang mengutamakan
pelayanan bermutu tinggi kepada
konstituen.
Selanjutnya upaya membangun etos
kerja
atau
budaya
kerja
yang
mengutamakan pelavanan bermutu tinggi
kepada konstituen merupakan suatu
keharusan di zaman sekarang. Semua
bidang
dituntut
untuk
memberikan
pelayanan prima. Guru pun harus
memberikan pelayanan prima kepada
konstituennya yaitu siswa, orangtua dan
sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi
pelayanan pendidikan adalah termasuk
pelayanan publik vang didanai. diadakan,
dikontrol oleh dan untuk kepentingan
publik. Oleh karena itu guru harus
mempertanggungjawabkan
pelaksanaan
tugasnya kepada publik.
j.
Mengadopsi
inovasi
atau
mengembangkan kreativitas dalam
pemanfaatan teknologi komunikasi
dan informasi mutakhir agar
senantiasa tidak ketinggalan dalam
kemampuannya
mengelola
pembelajaran.
Guru dapat memanfaatkan media
dan ide-ide baru bidang teknologi
pendidikan seperti media presentasi,
komputer (hard technologies) dan juga
pendekatan-pendekatan
baru
bidang
teknologi pendidikan (soft technologies).
Upaya-upaya guru untuk meningkatkan
profesionalismenya tersebut pada akhirnya
memerlukan adanya dukungan dari semua
pihak yang terkait agar benar-benar
terwujud.
Pihak-pihak
yang
harus
memberikan dukungannya tersebut adalah
organisasi profesi seperti PGRI, pemerintah
dan juga masyarakat.
D. HAL-HAL YANG DAPAT KITA
AMBIL DARI KEUNGGULAN
SISTEM PENDIDIKAN DI
JERMAN UNTUK PENINGKATAN
PROFESONALISME GURU DAN
DOSEN DI INDONESIA
1. Berbeda dengan di Indonesia yang
menganut sistem pendidikan tiga
jenjang SD-SLTP-SLTA. Jerman hanya
memiliki dua jenjang pendidikan Pra
Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan
dasar (Grundschule) dan pendidikan
lanjutan (Gymnasium, Realschule atau
Berufschule).
Pendidikan
sekolah
dasar
(Grundschule) diberikan dari kelas 1 6, dan setelah itu siswa diberikan
kesempatan untuk memilih melanjutkan
ke Gymnasium, Realschule atau
Berufschule.
Gymnasium
diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai
yang dianggap mampu melanjutkan
pendidikan sampai jenjang perguruan
tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari
kelas 7 – 13, dan setelah lulus mereka
341
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
2.
3.
4.
diberi ijazah yang dikenal sebagai
―Abitur―.
Berufschule diperuntukkan bagi siswasiswa yang langsung dipersiapkan
memasuki dunia kerja dan tidak bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sedangkan Realschule ada di tengahtengah keduanya. Kalau dianggap
bagus, siswa dari Realschule bisa
meneruskan ke Gymnasium untuk
mendapatkan Abitur, atau bisa juga
langsung memasuki dunia kerja.
Cara untuk masuk di pendidikan tinggi
di Indonesia juga berbeda dengan di
Jerman. Setelah mendapatkan Abitur,
siswa langsung bisa mendaftarkan diri
ke Perguruan Tinggi. Berbeda dengan
calon mahasiswa di Indonesia yang
harus
mengikuti
ujian
tertulis
(UMPTN), disini calon siswa sama
sekali tidak perlu mengikuti ujian
seleksi. Calon mahasiswa tinggal
mengirimkan berkas lamarannya, dan
universitas akan langsung memutuskan
berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut
bisa dilakukan karena pendidikan di
seluruh Jerman, baik pendidikan dasar
maupun pendidikan tinggi, memiliki
kualitas yang bisa sama.
Berbeda dengan jenis perguruan tinggi
di Indonesia yang diklasifikasikan
menjadi akademi, sekolah tinggi,
institut, dan universitas. Pendidikan
tinggi di Jerman hanya dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu Universität
(university,selanjutnya disingkat UNI)
lebih menekankan ke teori dan
kepadanya diberikan tanggung jawab
dalam
mengembangkan
ilmu
pengetahuan. Komposisi antara teori
dan praktek di UNI berkisar 60:40 dan
Fachhochschule (applied university,
selanjutnya disingkat FH) lebih menitik
beratkan ke aspek terapan, dengan
komposisi teori dan terapan 40:60.
Wajib belajar di Negara Jerman tidak
berbeda jauh dengan di Indonesia yang
5.
6.
7.
342
mewajibkan belajar 9 tahun. Dengan
adanya konferensi tahunan antar
Menteri Kultur dan Kebudayaan
negara-negara
bagian,
secara
institusional merupakan Gremium
terpenting untuk mengkoordinasikan
arah pendidikan dari masing-masing
negara bagian di Jerman.Rentang waktu
wajib sekolah lamanya berkisar antara
9 – 10 tahun, dimulai dari usia 6 tahun
sampai dengan 18 tahun.
Perbedaan yang sangat signifikan juga
terlihat pada biaya pendidikan. Di
Indonesia pendidikan terbilang mahal
bagi orang yang kurang mampu.
Bahkan semakin tinggi pendidikan
yang ditempuh semakin mahal pula
biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini
sangat berbeda dengan study di Jerman
adalah free atau gratis, namun
demikian, pada setiap semester, para
mahasiswa akan dikenakan biaya untuk
uang administrasi mahasiswa, uang
sosial dan semester ticket (tidak wajib
di setiap tempat) dan ada kemungkinan
biaya
tambahan
yang
lain,
keseluruhannya berkisar € 150,
tergantung kebijakan dari masingmasing universitas.
Kualitas pendidikan di negara Jerman
sudah tergolong sangat baik karena
sudah merata di seluruh bidang study
maupun seluruh universitas yang ada di
Jerman. Ada sekitar 375 Perguruan
Tinggi di Jerman dan semuanya
berkualifikasi yang bermutu secara
merata. Semuanya berkualitas baik.
Kalau di Universitas Jerman hanya
orang yang memenuhi standard kualitas
akademik tradisi Jerman lah yang bisa
lulus.
Kemajuan
di
berbagai
bidang,
diantaranya: bidang teknologi, sains
canggih, bidang ekonomi
yang
memimpin dunia. Bidang Filsafat, Seni,
Sosial terdepan. Kemajuan di berbagai
bidang tersebut juga diterapkan untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
8.
9.
menunjang
kemajuan
di
dunia
penddikan.
Penyaluran Kerja Bagi Lulusan dari
Negara Jerman. Dengan disediakannya
Program ZAV yaitu kerja sama
pemerintah Jerman dengan pemerintah
negara lain. Pemerintah Jerman juga
menjamin lulusannya untuk mendapat
subsidi 600 Eur /bulan selama 2 tahun
selain honor yang diterima.
Profesional Standar untuk Spesialis
(VET) pendidikan dan pelatihan dalam
sistem
VET
Jerman
yang
mendapatkannya adalah guru dan
pelatih.Guru di SMK penuh atau paruhwaktu harus menyelesaikan empat
sampai lima tahun saja studi dan lulus
dari universitas (pertama ujian guru)
sebelum mereka melakukan dua tahun
masa percobaan mereka sebagai Guru
SMP berakhir, dilanjutkan dengan ujian
guru kedua dan masa percobaan.
10. Pemerataan Penggunaan Bahasa oleh
guru dan dosen di negara Jerman
melalui standar AFMLTA yang berlaku
untuk semua guru. Penjelasan tersebut
tidak mengharuskan semua guru dari
Jerman
akan
menggunakan
pengetahuan mereka dengan cara yang
sama. Tetapi harus diakui bahwa
kemungkinan masing-masing guru
harus
menggunakan
dan
mengembangkan
kemampuan
profesional mereka sebagai guru
Jerman akan berbeda.
11. Penghargaan
untuk
Guru
yang
Memiliki Standar Jerman di bidang
bahasa dan Bahasa dan budaya. Mereka
memiliki pengetahuan tentang bahasa
dan budaya mereka mengajar yang
memungkinkan
mereka
untuk
berpartisipasi dalam interaksi dengan
mudah dalam bahasa masuk dan keluar
dari kelas
DAFTAR PUSTAKA
Aqib Zainal. 2002. Profesionalisme guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Cendikia.
Depdikbud. 1989. UU RI No. 2 Tahun 1982 tentang Sistem Pendidikan Nasional besrta
penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1989. UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta
penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2012.Buku Pedoman Sertifikasi Pendidik untuk
Dosen (serdos) Terintegrasi. Buku 1 Naskah Akademik. Jakarta: Ditjen Dikti
Kemendiknas.
Kunandar. 2007. Guru Profesional-Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Nawawi, Hadari. 1983. Perundang-Undangan Pendidikan. Jakarta: Ghalia.
Peraturan Mendiknas Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Plagiat di Perguruan Tinggi
Peraturan Mendiknas Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar
bagi PNS di lingkungan Depdiknas.
343
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 Tentang Dosen
Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran, Mengembangkan ProfesionalismeGuru.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Tirtarahardja, Umar dan La sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 39, globalisasi pendidikan dan rencana
pemberlakuan standar nasional pendidikan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/search/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExtSea
rch_SearchValue_0=EJ467072&ERICExtSearch_SearchType_0=no&accno=EJ467
072
344
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU
Sunhaji
STAIN Purwokerto Jawa Tengah
ABSTRACT
Teachers play a significant role in the progress of national education,
which supports to the national development. As a result, teachers should be the center
of national development, especially human resources development. Ideally, teachers
should have certain qualifications such as: personal, professional, and social ones. In
reality, however, not all the products this pre-service education can achieve such
qualifications. Besides, the materials and learning methods are easily lest behind
from the newest innovation of science and technology. For that reason, improving
teachers' quality is very important.The effort to improve teachers' professionalism are
intended to guide teachers to be able to create more effective learning process, which
then results in the improvement of learners' achievement. Since teachers play a
significant role in the progress of national education, any efforts to improve
teachers' quality will result in higher quality of education in this country. There
are at least three strategies to develop teachers' professionalism: their own
initiatives, supports from the institutions, and development efforts, which should be
the responsibility of the government through providing good facilities.
Keywords: Teacher, Professionally, Development and Strategy.
A. PENDAHULUAN
Istilah guru adalah salah satu istilah
untuk menyebut pihak atau seseorang yang
mengajarkan, membantu, atau membimbing
peserta didik dalam menjalani proses
pendidikan. Dalam teori pendidikan Islam
ada banyak istilah lain untuk menyebut
guru misalnya; Ustadz, Mu'allim, Mursyid,
Mudarris, Muaddib dan sebagainya. Istilahistilah tersebut sesungguhnya digunakan
dalam makna yang umum untuk menyebut
semua orang yang menjalankan tugastugas kependidikan. Termasuk dalam
pengertian ini adalah istilah murabbi yang
diambil dari kata rabb (Tuhan), dalam
ungkapan rabbil 'alamin bahwa Tuhan
adalah pencipta dan sekaligus pendidik
seluruh alam.
Dari istilah-istilah tersebut muncul
kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi
oleh seorang guru serta peran yang harus
dilakukannya. Seorang guru haruslah
seseorang yang memiliki pengetahuan (dari
istilah 'alim) yang berperan untuk
mengajarkan pengetahuan (mu'allim). Guru
juga haruslah seorang yang memiliki
tingkat moralitas yang bisa diteladani oleh
peserta didik (dari istilah muaddib), yang
bertugas untuk membina akhlak siswa.
Seorang guru bertugas untuk memberikan
bimbingan kepada peserta didik (mursyid),
seorang guru juga harus profesional dalam
menjalankan tugasnya sebagai guru (dari
istilah ustadz, yang biasanya dipergunakan
untuk memanggil seorang profesor dalam
konteks pendidikan di Arab), dan sebagainya.
Pada tataran praktis, istilah guru ini
kemudian lebih dimaknai secara khusus
yakni seseorang yang melaksanakan tugas
keguruan dan berada dalam sebuah istitusi
pendidikan (lebih tepatnya pendidikan
persekolahan). Orang tua, tokoh masyarakat,
atau siapapun juga yang memberikan atau
melaksanakan tugas pendidikan kepada anak
345
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
didik tidak disebut sebagai guru karena
mereka tidak melaksanakan perannya dalam
institusi pendidikan seperti madrasah dan
sekolah. Dalam konteks inilah kajian tentang
konsep guru ini dilakukan, yakni guru sebagai
salah satu unsur yang ada dalam suatu
institusi pendidikan. Selanjutnya tulisan ini
sedikit akan membahas guru berkait dengan
kompetensi guru, profesionalisme guru dan
strategi pengembangannya.
B. KOMPETENSI GURU
Sebagaimana tercermin dari istilahistilah di atas, bahwa seorang guru
(khususnya yang melaksanakan tugas dalam
lembaga formal) harus memiliki kualifikasi
ideal yang berlaku umum, di samping
kualifikasi-kualifikasi
khusus
yang
ditetapkan oleh institusi penyelenggara
pendidikan. Hal ini penting untuk difahami
karena tugas seorang guru tidak hanya
mengajarkan pengetahuan, akan tetapi di
samping itu guru juga bertugas untuk
membimbing serta melatih para peserta
didik agar mereka dapat terkembangkan
seluruh potensinya untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Kualifikasi-kualifikasi guru ini
dalam khazanah ilmu pendidikan kemudian
dikenal dengan istilah kompetensi guru
yang meliputi kompetensi personal,
kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial. Kompetensi personal adalah
kesiapan atau kematangan pribadi seorang
guru menyangkut nilai-nilai (ke-Tuhan-an,
kebenaran, etika, kejujuran, tanggung jawab
dan sebagainya) yang tercermin baik dalam
pola fikir maupun sikapnya, sehingga
seseorang "layak" untuk menjalankan tugas
keguruan. Erat berkait dengan kompetensi
personal adalah kompetensi sosial, dan oleh
karena itu A.S. Lardizaba sebagaimana
dikutip
oleh
Samana,
menyatukan
kompetensi personal dan kompetensi
sosial.Di samping kedua kompetensi
tersebut yang juga sangat penting harus ada
dan dimiliki oleh seorang guru adalah
kompetensi profesional. Secara umum
kompetensi profesional difahami sebagai
kesiapan seorang guru baik secara materi
(penguasaan materi ajar) maupun secara
metodologis yakni mampu melaksanakan
tugasnya secara ilmiah sesuai dengan
metodologi pengajaran untuk mencapai
efektifitas proses pendidikan. Terdapat
sepuluh kemampuan dasar yang harus
dikuasai oleh seorang guru agar mereka
dapat memenuhi kompetensi profesional ini.
Kesepuluh kemampuan dasar tersebut
adalah:
1. Menguasai dasar-dasar filosofi
pendidikan
2. Menguasai bahan-bahan materi ajar.
3. Kemampuan mengelola program
kegiatan belajar mengajar.
4. Kemampuan mengelola kelas.
5. Kemampuan mengelola interaksi
belajar mengajar.
6. Kemampuan menggunakan media dan
sumber belajar.
7. Kemampuan mengevaluasi hasil belajar
siswa.
8. Kemampuan mengenal dan
menyelenggarakan administrasi
pendidikan.
9. Kemampuan memahami prinsip dan
menafsirkan hasil penelitian untuk
keperluan mengajar.
10. Mengenal dan menyelenggarakan
administrasi madrasah.
Selain
kemampuan-kemampuan
tersebut menurut Permendiknas Nomor 16
tahun 2007 Indikator guru profesional
tersebut, selanjutnya menjadi standar dalam
mengukur kinerja guru. Sebagaimana
dijadikan dasar penilaian sertifikasi guru
dalam jabatan dalam bentuk portofolio yang
terdiri 10 (sepuluh) komponen.
1. Kualifikasi Akademik
2. Pendidikan & Pelatihan
3. Pengalaman Mengajar
4. Perencanaan
&
Pelaksanaan
Pembelajaran
5. Penilaian dari Atasan
346
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
6.
7.
8.
9.
Prestaqsi Akademik
Karya Pengembangan Profesi
Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah
Pengalaman menjadi Pengurus di idang
Pendidikan dan Sosial
10. Penghargaan yang relevan di bidang
Pendidikan
Guru ke depan menghadapi berbagai
tantangan yang berat, bukan hanya dalam
level lokal, melainkan nasional dan global.
Terlebih setelah diundangkannya UU RI
NO.20 Tahun 2003, UUGD No. 14 Tahun
2005,PP NO. 19 Tahun 2005 tentang
Stándar Nasional Pendidikan, PP No.74
Tahun 2008 tentang guru ,Permendiknas
No. 16 Tahun 2007 tentang Stándar
Kualifikasi pendidik dan kompetensi
pendidik serta Permendiknas No. 10 Tahun
2009 tentang sertifikasi Guru dalam Jabatan
maka tuntutan terhadap profesionalisme
guru semakin besar. Program sertifikasi
guru merupakan amanah undang-undang
yang harus dilaksanakan dan diharapkan
akan mampu menjadikan guru yang
bermutu tinggi dan profesional.
Dengan
kompetensi-kompetensi
tersebut para guru diharapkan akan dapat
menjalankan tugasnya sebagai seorang
pengajar, pendidik, pembimbing dan
sekaligus pelatih bagi para siswa.
Abdurrahman An-Nahlawi menyebutkan
dua tugas penting seorang guru. Pertama,
guru berperan untuk melakukan tugas
"penyucian", artinya seorang guru berfungsi
sebagai pembersih diri, pemelihara diri,
pengembang serta pemelihara fitrah
manusia. Kedua, fungsi pengajaran, yakni
sebagai
seorang
yang
bertugas
menyampaikan ilmu pengetahuan.Fungsi
yang pertama lebih merupakan tugas
mendidik dan melatih sedangkan yang
kedua merupakan implementasi dari tugas
mengajar.
C. PROFESIONALISME GURU
Sebelum sampai kepada pemahaman
tentang konsep profesionalisme guru, pada
bagian ini akan dikaji terlebih dahulu
tentang konsep profesi secara umum. Dalam
kajian ini pula nantinya akan dicoba
dieksplorasi istilah-istilah lain yang
merupakan derivasi dari istilah profesi.
Pemahaman tentang konsep profesi dan
derivasinya secara umum ini nantinya
diharapkan akan dapat menjadi kerangka
dalam memahami profesi, profesionalisme
dan profesionalitas guru.
Istilah profesi berasal dari akar kata
to profess yang berarti janji terbuka, bahwa
seseorang melaksanakan pekerjaan tertentu
karena ada semacam janji yang berupa
panggilan nurani atau pengabdian seseorang
terhadap pekerjaan tersebut. Di samping itu
istilah profesi juga dapat dilacak dari akar
kata profession (Inggris) dan profecus
(latin) yang berarti mengakui, pengakuan,
menyatakan mampu atau ahli dalam
melaksanakan pekerjaan tertentu. Dari
kedua istilah ini kemudian muncul istilahistilah lain seperti profesi, profesional,
profesionalitas,
profesionalisme,
dan
profesionalisa.
Secara terminologis istilah profesi
dimaknai sebagai suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan
pendidikan
atau
ketrampilan khusus bagi pelakunya yang
ditekankan pada pekerjaan mental, bukan
pekerjaan manual, artinya bahwa sebuah
profesi harus didukung oleh pengetahuan
teoritis yang menjadi acuan dalam
melakukan pekerjaan praktis. Menurut
Dictionary of Education yang dikutip Oleh
Syafruddin Nurdin; Profession in an
occupation usually involving long and
specialized preparation on the level of higher
education and governed by its own code of
ethic;
Sementara istilah profesional dapat
difahami sebagai sesorang yang menekuni
suatu profesi (sebagaimana ungkapan "
sebagai seorang profesional, saya...") dan
tampil dengan semangat, jiwa, serta sikap
profesional atau memiliki sifat profesional.
Istilah profesional dalam hal ini menggaris
347
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bawahi perlunya, pertama, kepandaian atau
keahlian tertentu dari seorang profesional,
kedua,
seorang
profesional
selalu
berorientasi kepada mutu dan sikap
profesional, ketiga, usaha kerja keras yang
merupakan perwujudan dari panggilan
terhadap professio (janji yang diucapkan di
muka
umum)
guna
merealisasikan
terwujudnya
nilai-nilai
mulya
yang
diamanatkan oleh Tuhan.
Istilah
profesionalisme
lebih
merupakan sebuah nilai (nilai-nilai
profesional) yang harus dipegangi dan
diimplementasikan oleh seorang profesional.
Menurut Ahmad Tafsir, profesionalisme
adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa
setiap pekerjaan harus dilakukan secara
profesional oleh orang yang profesional.
Sedangkan Istilah profesionalitas lebih
difahami sebagai derajat, tingkat atau
kualitas pencapaian seseorang dalam
mengimplementasikan nilai-nilai profesional
dan segala upaya yang dilakukan untuk
menanamkan jiwa serta meningkatkan
derajat atau kualitas sikap profesional
seseorang disebut sebagai profesionalisasi.
Mengacu kepada paparan di atas,
tersirat bahwa sebuah profesi haruslah
merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh seseorang yang benar-benar memiliki
kapabilitas
baik
berupa
pengetahuan
konseptual ataupun kemampuan yang berupa
skill aplikatif, sehingga seseorang itu memang
layak untuk disebut sebagai ahli dalam
pekerjaan yang dilakukannya. Di samping
itu yang juga tidak kalah penting adalah
bahwa sebuah profesi menuntut kepada
para pelakunya; tanggung jawab, dedikasi
ataupun komitmen terhadap pekerjaan. Hal
ini sejalan dengan perspektif yang
dipergunakan
oleh
Sahertian
dalam
memaknai profesionalisme. Menurut Piet A.
Sahertian terdapat tiga dimensi dalam konsep
profesi, yaitu expert (keahlian), responsibility
(tanggung jawab) dan rasa kesejawatan."
Sementara
Sudarwan
Danim
menuturkan setidaknya terdapat tiga pilar
pokok yang harus ada sehingga suatu
pekerjaan itu layak disebut sebagai suatu
profesi;
1. Pengetahuan
(knowladge),
yang
difahami sebagai kapasitas kognitif yang
dimiliki oleh seseorang melalui proses
belajar.
2. Keahlian (expert) yakni penguasaan
substansi keilmuan atau juga kepakaran
dalam cabang ilmu tertentu dan
3. Persiapan
akademik
(Academic
Preparation) yakni bahwa untuk untuk
menekuni sebuah bidang pekerjaan
tertentu yang masuk dalam kategori
profesi seseorang harus menempuh
sebuah proses pendidikan khusus.
Indikator-indikator profesional yang
lain banyak dieksplorasi oleh para pakar
manajemen umum ataupun manajemen
pendidikan, seperti Oteng Sutrisna yang
memaparkan ciri-ciri profesional, bahwa
profesi itu selalu didasarkan pada:
1. Suatu dasar ilmu atau teori sistematis,
2. Kewenangan profesional yang diakui
oleh klien,
3. Sanksi-sanksi
dan
pengakuan
masyarakat
akan
keabsahan
kewenangannya.
4. Kode etik yang regulatif.
5. Kebudayaan profesi dan
6. Persatuan profesi.
Westby dan Gibson sebagaimana
yang dikutip oleh Sardiman menjelaskan
ciri-ciri suatu pekerjaan yang termasuk
dalam profesi, yaitu;
1. Diakui oleh masyarakat dan layanan
yang diberikan itu hanya dikerjakan
oleh pekerja yang dikategorikan
sebagai suatu profesi.
2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu
pengetahuan sebagai landasan dari
sejumlah tehnik dan prosedur yang
unik.
3. Diperlukan persiapan yang dilakukan
secara sengaja dan sistematis sebelum
seseorang menekuni sutu pekerjaan
profesional.
348
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
4.
Adanya mekanisme seleksi sehingga
hanya
orang
yang
memenuhi
kualifikasi saja yang bisa bekerja dalam
sebuah profesi.
5. Dimilikinya organisasi profesional
untuk meningkatkan layanan kepada
masyarakat.
Kemudian dari hasil pengkajian
Danim terhadap telaah yang dilakukan
oleh para ahli menyimpulkan bahwa ada
enam karakteristik profesi yaitu:
1. Kemampuan intelektual yang diperoleh
melalui pendidikan.
2. Memiliki pengetahuan spesialisasi.
3. Memiliki pengetahuan praktis yang
dapat digunakan langsung oleh orang
lain atau klien.
4. Memiliki teknik kerja yang dapat
dikomunikasikan.
5. Mementingkan kepentingan orang lain
Memiliki kode etik. Guru adalah
pendidik profsional dengan tugas utama
mendidik, mengajar dan membimbing,
mengarahkan, melatih,
menilai
dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menegah.
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen pasal 7 ayat 1,
profesi guru merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan, dan
idealisme.
2. Memiliki
komitmen
untuk
meningkatkan
mutu
pendidikan,
keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
3. Memiliki kualifikasi pendidikan dan
latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan
sesuai dengan bidang tugas.
5. Memiliki
tanggung
jawab
atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6. Memperoleh
penghasilan
yang
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7.
Memiliki
kesempatan
untuk
mengembangkan profesi berkelanjutan.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum
dalam melaksanakan keprofesionalan.
9. Memiliki organisasi profesi yang
mempunyai kewenangan mengatur halhal yang berkaitan dengan keprofesian.
Bagi guru profesional, pekerjaan
sebagai seorang guru merupakan sebuah
pilihan dan keinginan kuatnya bukan karena
keterpaksaan. Pekerjaan sebagai guru
merupakan panggilan jiwa, minat dan citacitanya. Dengan demikian seorang guru
akan melaksanakan pekerjaan ini penuh
dengan kerja keras dan dedikasi yang tinggi.
Sikap seperti ini dapat lahir dari sebuah
pengetahuan bahwa pekerjaan sebagai guru
merupakan pekerjaan yang sangat mulia,
Pekerjaan guru akan memberikan investasi
pahala pasca kematiannya dan pengetahuanpegetahuan normatif lainnya.
Dari paparan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa pekerjaan yang dapat
disebut sebagai profesi adalah:
1. Didasarkan pada adanya keahlian baik
secara teoritis konseptual serta
keluasan wawasan dan kemampuan
praktis aplikatif yang diperoleh
melalui proses pendidikan atau latihan
yang dilakukan secara khusus.
2. Dilakukan dengan penuh tanggung
jawab untuk memenuhi tuntutan ideal
dengan
berupaya
untuk
terus
melakukan
perbaikan
dan
pengembangan.
3. Berada dalam suatu wadah profesi
(adanya ikatan kesejawatan) dengan
berbagai regulasi dan kode etik yang
harus dipenuhi.
Berdasarkan uraian di atas dapat
difahami bahwa tidak semua jenis
pekerjaan dapat disebut sebagai profesi.
Dalam realitas kehidupan, meskipun ada
banyak
pilihan
pekerjaan
yang
menghasilkan imbalan, akan tetapi hanya
sebagian yang termasuk dalam kategori
profesi, salah satunya adalah profesi guru.
349
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pekerjaan sebagai guru disebut
sebagai profesi karena tidak semua orang
dapat menekuni profesi ini. Terdapat banyak
kualifikasi yang dituntut termasuk salah satu
yang
penting
adalah
dimilikinya
pengetahuan yang diperolehnya melalui
suatu proses pendidikan khusus. Apalagi
jika hendak mencapai idealisasi seorang
guru sebagai seorang profesional, maka
akan semakin banyak tuntutan yang harus
dipenuhi.
Dalam era yang semakin maju
seperti sekarang ini, di mana kompetisi
antar berbagai bidang kehidupan semakin
ketat, maka profesionalisme menjadi suatu
tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Oleh
karena itu bagi siapapun yang hendak
menekuni profesi apapun jenisnya, harus
mempersiapkan diri untuk menjadi seorang
profesional dan selalu berupaya untuk
meningkatkan
profesionalismenya,
termasuk profesi sebagai guru.
Derivasi dari istilah profesi ini
(profesional dan profesionalisme) kemudian
menjadi sebuah istilah yang semakin lama
semakin kerap didengar hinga saat ini.
Manusia modern saat ini semakin dituntut
untuk bisa tampil sebagai profesional yang
memiliki profesionalisme yang tinggi baik
dalam kapasitasnya sebagai individu
maupun dalam keterlibatannya sebagai
anggota
institusi,
seiring
dengan
perkembangan dan kemajuan berbagai
sektor
kehidupan
manusia
baik
dalambidang ekonomi, politik, sosial,
budaya, science dan sebagainya.
D. PENGEMBANGAN
PROFESIONALITAS GURU
Eksistensi guru dalam proses
pembelajaran adalah suatu keniscayaan, baik
dalam konteks proses pendidikan dalam
arti yang luas (meliputi pendidikan formal
ataupun non formal) atau lebih-lebih
dalam konteks khusus yakni dalam
pendidikan formal yang diselenggarakan
dan dikelola oleh sebuah institusi
pendidikan. Meskipun bukan merupakan
satu-satunya unsur, guru menjadi faktor
kunci (key factor) yang menetukan bagi
seluruh proses yang berupaya untuk
memperbaiki kualitas pendidikan. Guru
merupakan pihak yang berada pada garis
depan {frontliner) yang secara langsung
terlibat dalam proses pembelajaran dengan
siswa dan oleh karena itu guru menjadi salah
satu fihak yang bertanggung jawab terhadap
keberhasilan atau bahkan kegagalan sebuah
proses pendidikan.
Untuk bisa menjalankan peran dan
tanggung jawabnya yang sedemikian besar
itu, maka seorang guru haruslah memiliki
perangkat kualifikasi-kualifikasi, baik yang
berupa kekayaan materi keilmuan ataupun
keahlian metodologis dalam menjalankan
tugas. Di samping itu yang juga tidak kalah
penting adalah adanya kualifikasi yang
berupa kesiapan mental dari para guru yang
berupa komitmen guru terhadap tugastugas keguruan. Untuk mewujudkan
idealisasi tersebut tentunya harus ada
komitmen dan aksi nyata dari semua pihak,
(pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan
dan khususnya para guru itu sendiri). Masingmasing pihak tersebut mempunyai peran dan
tanggung jawab sendiri dalam upaya
pengembangan profesionalitas guru, dan
semuanya harus dilakukan secara searah,
terpadu dan berkelanjutan, sehingga akan
dapat mencapai sasaran yang lebih besar
secara efektif dalam upaya peningkatan
kualitas pendidikan.
1. Pengertian Pengembangan Profesional
Collin
Marsh
mendefisikan
pengembangan profesional "Professional
development is the process whereby members
go about improving their competencies".
Yakni sebuah proses yang berlangsung di
mana para anggota kelompok ( dalam konteks
keguruan adalah para guru) berupaya untuk
mengembangkan kompetensi mereka. Definisi
yang lebih jelas dikemukakan oleh Joan Dean
bahwa, Pengembangan profesionalitas guru
(professional
development
teacher)
350
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
dimaknai sebagai a process whereby teacher
become more professional, yakni suatu
proses yang dilakukan untuk menjadikan
guru dapat tampil secara lebih profesional.
Sedangkan Soekidjo Notoatmojo
menjelaskan
pandangannya
tentang
pengembangan profesional (dalam konteks
manajemen sumber daya manusia secara
umum), bahwa pengembangan sumber daya
manusia adalah suatu proses peningkatan
kualitas atau kemampuan manusia dalam
rangka mencapai suatu tujuan organisasi
(mikro) atau pembangunan bangsa (makro).
Bahasa lain untuk menyebut upaya
pengembangan profesionalitas guru ini adalah
profesionalisasi guru.
Dalam tulisan ini, pengembangan
profesionalitas guru dimaksudkansebagai
suatu upaya untuk meningkatkan taraf atau
derajat profesional seorang guru menyangkut
kemampuan guru; baik penguasaan materi ajar
ataupun penguasaan metodologi pengajaran,
serta sikap profesional guru menyangkut
motivasi dan komitmen guru dalam
menjalankan tugas sebagai guru. Dengan
pengertian ini proses pengembangan
profesional guru sesungguhnya merupakan
bagian dari wilayah kerja bidang supervisi
pendidikan yang berupa melakukan
pembinaan guru agar dapat menjalankan
tugas keguruannya secara maksimal.
Urgensitas program pengembangan
profesionalitas guru ini didasari oleh
asumsi bahwa tidak semua guru dan
tenaga kependidikan yang dihasilkan
dalam
pre-service
education
yang
mencapai well trained dan well qualified.
Di samping itu adanya perkembangan pada
berbagai sektor kehidupan manusia
khususnya
perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
berimplikasi. pada "usang"nya materimateri dan metodologi pengajaran yang
disampaikan oleh para guru.
Dengan berlandaskan pada asumsiasumsi di atas, serta agar para guru dapat
memberikan kontribusinya secara maksimal
bagi pencapaian tujuan pendidikan, maka
harus ada upaya pengembangan profesional
guru yang dilakukan secara terus-menerus.
Jika tidak, maka proses pendidikan akan
selalu ketinggalan dengan perkembangan
bidang-bidang kehidupan yang lain.
2. Tujuan Pengembangan
Bruce Joyce mengemukakan adanya
tiga sasaran yang dituju dari sebuah proses
pengembangan profesional, yakni untuk
memenuhi
kebutuhan
sosial,
untuk
mengembangkan potensi akademik dan
untuk mendorong guru agar menikmati
kehidupan pribadinya. Sungguhpun ketiga
perspektif tujuan ini memiliki perbedaanperbedaan penekanan, namun pada akhirnya
akan bermuara pada satu titik yakni
terwujudnya sebuah sistem pendidikan yang
lebih baik yang terdiri dari para personel
yang memiliki kemampuan dan kehidupan
yang lebih baik pula sehingga organisasi
atau lembaga akan dapat menghasilkan
sesuatu yang lebih berkualitas.
Dari perspektif individu kegiatan
pengembangan ini diharapkan akan dapat
meningkatkan kemampuan personal seorang
guru sehingga akan dapat meningkatkan
kualitas dan produktifitas kerja mereka. Dari
perspektif
kelembagaan
program
pengembangan ini dilakukan agar dapat
memperbaiki kualitas proses belajar yang
pada akhirnya akan dapat meningkatkan
kualitas hasil belajar. Dengan kualitas guru,
proses belajar-mengajar di sekolah, dan
kualitas hasil belajar di sekolah tentu akan
berimplikasi pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan inilah manfaat
yang hendak dituju oleh masyarakat secara
lebih umum terhadap upaya pengembangan
guru.
Ace Suryadi sebagaimana dikutip
oleh Safruddin Chamidi menjelaskan bahwa
pengembangan profesionalitas guru akan
dapat melahirkan guru yang bermutu. Dalam
konteks ini guru yang bermutu dapat dilihat
dari lima faktor utama yaitu kemampuan
351
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
profesional, waktu yang dicurahkan untuk
kegiatan professional, kesesuaian antara
keahlian, serta pekerjaan dan kesejahteraan
yang memadai.
Untuk
mencapai
tujuan-tujuan
tersebut maka diperlukan upaya dan
langkah-langkah manajemen yang kongkrit,
baik pada tingkat makro berupa kebijakan
manajemen pendidikan yang dirumuskan
oleh pemerintah yang berlaku secara
riasional maupun pada tingkat mikro berupa
upaya-upaya manajerial yang dirancang dan
diimplementasikan oleh instusi pendidikan
secara mandiri. Untuk itu maka diperlukan
adanya pihak yang bersedia dan mampu
berperan sebagai inisiator pengembangan
profesionalitas guru.
3. Pengembangan Profesional Guru
Pengembangan
profesionalitas
guru
merupakan
sebuah
upaya
profesionalisasi tenaga kependidikan
dalam hal ini adalah guru. Untuk
melakukan profesionalisasi ini ada tiga
pendekatan yang ditawarkan oleh R.D.
Lansbury, yang dapat dijadikan sebagai
kerangka dalam merumuskan strategi
pengembangan;
yakni
pendekatan
karakteristik, pendekatan institusional, dan
pendekatan legalistik.
Pendekatan karakteristik berupaya
untuk memunculkan karakter yang melekat
dari suatu profesi, sehinga profesi itu benarbenar dapat dijalankan sesuai dengan
tuntutan profesional. Sedangkan pendekatan
institusional
lebih
memandang
profesionalisasi sebagai suatu proses
institusional
atau
perkembangan
asosiasional.
Kemudian
pendekatan
legalistik adalah upaya profesionalisasi yang
menekankan pada adanya pengakuan suatu
profesi oleh negara. Suatu pekerjaan disebut
profesi jika dilindungi oleh undang-undang
negara.
Sementara itu Bruce Joyce
mengemukakan bahwa pengembangan
profesional itudapat didekati berdasarkan
tiga orientasi (yang dalam konteks
pendidikan di Indonesia dikenal dengan
kompetensi
guru);
yaitu
orientasi
kemasyarakatan, orientasi sekolah dan
orientasi perseorangan.
Dari pendekatan-pendekatan di atas,
dapat diajukan formulasi strategi yang bisa
dilakukan dalam upaya pengembangan
profesional ke dalam tiga level; Pertama
upaya-upaya
profesionalisasi
yang
dilakukan oleh guru secara pribadi agar
mereka dapat meningkatkan kualitas
profesional, dengan atau tanpa bantuan
dari pihak lain. Contoh yang paling
sederhana
dari
upaya
ini
adalah
penambahan waktu membaca bagi para
guru, atau kegiatan-kegiatan lain yang dapat
menunjang
kapabilitas
guru
dalam
menjalankan kewajibannya sebagai seorang
guru. Kedua, upaya-upaya pengembangan
yang dilakukan oleh manajemen lembaga
melalui berbagai kebijakan manajerial yang
dilakukan. Kedua level ini dapat
dikategorikan
dalam
strategi
mikro
pengembangan
profesionalitas
guru.
Sedangkan level ketigaadalah upaya
pengembangan pada level makro yang
menjadi tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat secara luas dalam kerangka
manajemen pendidikan nasional (strategi
makro).
Dalam konteks manajemen makro
dalam sistem pendidikan nasional, Tilaar
menawarkan langkah-langkah yang ia sebut
sebagai strategi baru pengembangan
profesionalitas guru yaitu:
1. Mengupayakan terjadinya peningkatan
status profesi guru agar dapat sejajar
dengan profesi lain.
2. Pengembangan profesionalitas guru harus
lebih berorientasi pada peningkatan
kualitas, bukannya kuantitas. Untuk
kepentingan ini maka diperlukan sumbersumber yang memadai baik SDM maupun
finansial.
3. Profesionalisasi guru membutuhkan upaya
pendataan kembali terhadap guru agar
352
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
mereka dapat dikembangkan.
Dalam konteks yang berbeda namun
kiranya cukup relevan dengan konteks
pendidikan nasional di Indonesia; The
Holmes Group sebagaimana yang dikutip
oleh Sutjipto, merekomendasikan beberapa
rancangan pendidikan guru masa depan yang
cukup relevan dengan upaya profersionalisasi
guru; pertama, membuat agar pendidikan guru
lebih solid secara akademik, kedua, menyadari
perbedaan dalam pengetahuan, ketrampilan
dan komitmen guru dalam pendidikan,
sertifikasi dan kerja mereka, ketiga,
menciptakan standar untuk memasuki
profesi guru yang secara profesional
relevan dan dapat dipertanggung jawabkan
secara intelektual, keempat, menghubungkan
antara pendidikan guru dan sekolah dan
kelima, membuat agar sekolah merupakan
tempat yang lebih baik untuk guru, baik untuk
bekerja maupun untuk belajar.
Dari paparan tentang strategi
pengembangan
profesionalitas
guru
sebagaimana di atas, menjadi jelas bahwa
pengembangan profesionalitas guru tidak
mungkin dilakukan hanya oleh satu unsur
saja. Seluruh unsur yang ada dalam sistem
pendidikan baik pada level nasional maupun
kelembagaan memiliki peran masingmasing. Pengembangan profesionalitas guru
tidak mungkin bisa dilakukan hanya pada
level kelembagaan atau bahkan personal para
guru secara pribadi. Guru secara personal,
manajemen sekolah (kepala dan pengelola
sekolah yang lain) juga yang sangat penting
adalah adanya dukungan dari kebijakan
pemerintah yang berupa political will untuk
menjadikan sektor pendidikan sebagai
prioritas
pembangunan,
kesemuanya
merupakan faktor-faktor penting yang
berperan dalam upaya pengembangan
profesional guru.
E. PENUTUP
Dari uraian-uraian di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Beragam istilah untuk menyebut seorang
yang disebut dengan guru, misalnya
ustadz, muallim, murobbi, mudarris,
muadib dan sebagainya. Istilah-istilah
tersebut memiliki kualifikasi-kualifikasi
tertentu yang melekat di dalamnya,
kualifikasi tersebut dapat dirankum
menjadi
kualifikasi
personal,
profesional dan sosial kemasyarakatan.
2. Betapapun
kualifikasi-kualifikasi
tersebut secara konseptual telah
melekat, akan tetapi tdak semua guru
yang dihasilkan dalam pre-serviceeducation dapat mencapai well
qualified, di samping cepat usangnya
subyek matter dan varisi metodologl
berkaitan dengan cepatnya ilmu dan
tenologi, sehingga pengembangan
profesionalitas merupakan coditio sine
quanon.
3. Kegiatan pengembangan profesionalitas
guru
dapat
berimplikasi
pada
meningkatnya kualitas pembelajaran di
sekolah yang akhirnya berimbas pada
meningkatnya hasil belajar audien yang
akan berimbas pula pada meningkatnya
SDM di masa depan.
4. Banyak
strategi
pengembangan
profesionaltas guru antara lain upaya
pengembangan yang dilakukan secara
mandiri oleh guru misanya dengan
membaca buku atau kegiatan lain yang
menunjang kapabilitas guru, kemudian
upaya yang dimanaj oleh lembaga
misalnya sekolah memprogramkan
guru
untuk
studi
lanjut
dan
sebagainya dan upaya yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat luas dalam
kerangka
menajeman
pendidikan
nasional.
353
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, terj.
Hery Noer Ali, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandun: Remaja Rosdakarya, 1994.
Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Collin Marsh, Handbook For Begening Teacher, South Melbourme: Logngman, 1996.
Depag RI, Manajemen Madrasah Aliyah, Jakarta: Ditjend Binbaga Islam Depag RI, 1988/1999.
H.A.R. Tillar, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001.
Piet Sahertian, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Audi Ofset, 1994. Samana,
Profesionalisme Keguruan, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Sardinian AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001.
Syafrudin Nurdin dan Basyirudin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikuhlm,
Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Soekijdo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme
Tenaga Kependidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Sutjipto, Pendidikan Guru: Masalaha dan Strategi Pemecahanya dalam Mengurai Benang
Kusut Pendidikan Gagasan Para Pakar Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Transformasi UNY, 2000.
UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
354
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
KEBUDAYAAN JAWA
(Tinjauan Etnografis Dalam Supervisi Pendidikan)
Suharno
Prodi PGSD FKIP UNS dan Pascasarjana (S2) Teknologi Pendidikan UNS Surakarta, serta
Fasilitator PEKERTI-AA pada Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran (PPSP) LPP
UNS Surakarta. Email:[email protected]
ABSTRAK
Kebudayaan Jawa sudah merupakan kesatuan kosmos bagi kehidupan
orang Jawa. Demikian pula dalam pembinaan profesionalisme guru dan pengawas
Sekolah Dasar. Pertanyaannya, bagaimana supervisi tersebut dalam
mempengaruhi kinerja para guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah dasar,
dalam kerangka pembelajaran di sekolah dasar (SD)? Kajian ini menggunakan
pendekatan etnografi, dimana secara triangulatif akan melihat bagaimana perilaku
budaya Jawa itu dapat mempengaruhi perilaku pengawas, kepala sekolah dan guru
sekolah dasar (SD). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa secara representatif
kebudayaan Jawa tidak sepenuhnya dapat mempengaruhi perilaku para pengawas
dan kepala sekolah terhadap pembinaan profesionalisme guru sekolah dasar. Hal
ini dapat dipahami bahwa, kini telah ada kecenderungan keterbukaan budaya,
yang dari „sumbernya‟ (keraton Surakarta maupun Yogyakarta) memang telah
„memudar‟ (open culture). Sehingga perilaku pengawas sekolah dasar bisa dikaji
lebih mendalam lagi dari berbagai aspek, selain dari sisi budaya Jawa.
Kata kunci:kebudayaan jawa, supervisi pembelajaran.
A. PENDAHULUAN
Grand
master
pembangunan
pendidikan dan kebudayaan hingga saat
kini, salah satu fokusnya masih dalam
prioritas kebijakan peningkatan mutu dan
inovasi pendidikan. Jika hal tersebut telah
menjadi pilihan kebijakan pendidikan, maka
konsekuensinya adalah perlu ditingkatkan
keseluruhan komponen sistem pendidikan,
baik yang bersifat human resources maupun
yang bersifat material resources.
Pembinaan guru pada umumnya
didasarkan pada asumsi, bahwa ditangan
gurulah
mutu
pendidikan
banyak
bergantung. Hal ini dapat dipahami dari
pernyataan tersebut yakni, tidak berdayanya
sekolah-sekolah, bila tidak ada gurunya.
Pembinaan guru hingga saat kini masih
dititikberatkan
pada
kemampuan
profesionalnya dan berlangsung secara
terus-menerus. Pembinaan yang secara
terus-menerus ini, tidak saja secara
konseptual dibenarkan, tetapi sangat
empirik pun sangat besar manfaatnya. Hal
tersebut dapat dilihat dengan terbitnya buku
―Pedoman Pembinaan Guru‖ sebagai salah
satu perangkat dalam pedoman pelaksanaan
kurikulum dan pembinaan guru.
Pembinaan guru adalah stratetgis
dalam
usaha
meningkatkan
mutu
pendidikan. Hal ini dapat dipahami dari
hakikat guru yang selama ini dijadikan
sebagai asumsi programatik pendidikan
guru. Asumsi programatik tersebut bahwa
guru adalah: a) sebagai agen pembaharuan,
b) sebagai fasilitator bagi peserta didik, c)
355
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bertanggung jawab atas tercapainya hasil
belajar subjek didik, d) bertanggung-jawab
secara
profesional
meningkatkan
kemampuannya, dan e) menjungjung tinggi
kode etik profesionalnya. Namun dalam
redefinisi dan restrukturisasi peranan guru
semakin
lebih
kompleks,
yakni
mendiagnosis kegiatan belajar yang
dibutuhkan peserta didik, perencana
program pembelajaran, pengajar, penilai
kemajuan peserta didik, dan sebagai
manajer di garis depan bagi kegiatan
pembelajaran di kelas.
Sungguhpun peran guru sangat
berat, tetapi masih pula mereka harus
belajar dan belajar sampai kapan pun
selama mereka masih menjadi guru.
Disamping itu, guru harus mampu
memanifestasikan kompetensinya sebagai
orang
yang
sedang
belajar
dan
menunjukkan minat yang besar menjadi
guru. Hal tersebut dimaksudkan agar para
guru selalu mutakhir dalam kemampuannya
dan tidak ketinggalan dengan informasi
(pengetahuan). Bahkan pada abad 21 kini
guru dituntut untuk: 1) memiliki
kepribadian yang matang dan berkembang,
2) memiliki dasar ilmu yang kuat, 3)
memiliki
keterampilan
untuk
membangkitkan minat peserta didik kepada
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 4)
mengembangkan profesi secara berkesinambungan (Sergiovani, Th., dan Starratt, RJ.,
2003:113)
Betapapun
baiknya
pembinaan
secara internal, jika mereka kembali ke
lingkungan pekerjaannya, mereka kembali
kepada sikap semula. Kecil kemungkinan
mereka mengembang-kan dirinya (inner
development). Para pelaksana pendidikan di
tingkat sekolah dasar (SD) seperti guru,
kepala sekolah, maupun pengawas sekolah
di eks Karesidenan Surakarta termasuk di
daerah Kabupaten Boyolali, pada umumnya
masih kuat terikat oleh tradisi dan tata-gaul
feodalistik budaya Jawa. Feodalistik ini
tidak lain adalah mental attitude, dimana
sikap mental terhadap sesamanya, dengan
mengadakan sikap khusus, karena adanya
perbedaan dalam usia dan kedudukan atau
jabatan. Secara mental mereka (orang Jawa)
dibebani dengan tradisi dan tata-gaul yang
terwarisi olehnya selagi tidak bisa dan tidak
berani mereka membebaskan dirinya
sendiri.
Pada sisi lain masih terdapat sikap
mental orang Jawa seperti nrima dan
pasrah. Orang yang nrima, artinya tidak
loba dan ngangsa (terlalu mengaharapkan
haknya, tetapi belum sampai waktunya).
Nrima, berarti tidak menginginkan hak
milik orang lain, serta tidak iri hati dengan
kebahagiaan orang lain. Orang yang nrima
juga orang yang tahu bersyukur kepada
Tuhan.
Sedangkan
pasrah,
berarti
menyerahkan diri sepenuhnya kepada
Tuhan, pemimpin, penguasa, maupun
atasannya tentang apa saja yang diterimanya
(fatalistik). Karakter orang Jawa lainnya
adalah, masih kentalnya sikap feodalismenya, di mana yang berkuasa sangat tidak
suka mendengar kritik, dan orang lain
(bawahan) amat sangat segan untuk
melontarkan kritik atau koreksi kepada
atasannya.
Melihat uraian di atas cukup jelas
bahwa situasi sosio-kultural masyarakat
Jawa sangat mempengaruhi sikap-perilaku
mereka dalam berkomunikasi, baik secara
vertikal maupun horisontal. Pada gilirannya
muncul pertanyaan, apakah kebudayaan
Jawa berpengaruh terhadap perilaku
pengawas dalam pembinaan profesional
guru sekolah dasar (SD), khususnya di
daerah Kecamatan Andong, Kabupaten
Boyolali?
Kajian ini difokuskan pada satu
permasalahan pokok, yakni bagaimanakah
perilaku pengawas dalam pembinaan
profesional guru sekolah dasar (SD) dalam
konteks budaya Jawa? Oleh karena itu,
dalam kajian ini penulis ingin mengamati
pola pembinaan profesional guru sekolah
dasar (SD di daerah kecamatan Andong
356
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kabupaten
Boyolali,
yang
berlatar
kebudayaan Jawa. Kecocokan tersebut
diukur terutama dari pola pembinaan
(mereka berkomunikasi) antar sesamanya.
Kriteria tersebut didasarkan pada postulat
(1) bahwa pembinaan profesional guru SD
dilakukan oleh atasannya, baik kepala
sekolah dan pengawas sekolah, (2) bahwa
pembinaan profesional guru SD dapat
dilakukan oleh antar sesama guru, dan (3)
bahwa proses pembinaan profesional guru
SD dilakukan secara formal dan informal.
Bertolak dari fokus kajian tersebut,
maka permasalahan kajian ini dapat
dirumuskan seperti berikut: (1) Apakah
kebiasaan-kebiasaan
sehari-hari
para
pembina guru SD dapat berpengaruh
terhadap tugasnya? (2) Bagaimanakah polapola hubungan antar pribadi dan anatar
kelompok yang dikembangkan melalui unitunit kerja seperti pada Kelompok Kerja
Pengawas Sekolah (KKPS), Kelompok
Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok
Kerja Guru (KKG), (3) Bagaimanakah
ekspresi kebudayaan Jawa dalam kelompok
dapat mempengaruhi terhadap pembinaan
pro-fesional guru SD?, dan (4) Nilai-nilai
dan norma-norma kebudayaan Jawa
manakah yang dapat memberi sumbangan
terhadap pembinaan profesional guru SD?
B. PERILAKU ORANG JAWA
1. Kebiasaan-kebiasaan Orang Jawa
Kebiasaan adalah perbuatan yang
sering dilakukan sehari-hari, dan kebiasaan
yang telah terbentuk pada diri seseorang
atau yang telah ―mempribadi‖ akan selalu
terbawa ke mana pun ia berada. Baik dalam
hubungan formal maupun informal,
perseorangan
maupun
kelembagaan
(institusi). Demikian juga kebiasaankebiasaan itu melekat pada setiap pembina
guru SD di eks karesidenan Surakarta
(meliputi Kabupaten Boyolali, Klaten,
Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri,
dan Kota Surakarta). Mereka, para pembina
guru SD pada umumnya masih sangat kuat
terikat oleh tradisi dan tata-gaul feodalistik.
Feodalistik ini tidak lain adalah mental
attitude, di mana sikap mental sesamanya
dengan mengadakan sikap khusus, karena
adanya perbedaan usia dan kedudukan atau
jabatan. Secara mental, mereka (orang
Jawa) dibebani dengan tradisi dan tata-gaul
yang terwarisi olehnya selagi tidak bisa dan
tidak berani mereka membebaskan dirinya
sendiri. Beban ini lebih berat lagi dalam
hubungannya dengan pekerjaan, misalnya
para guru (bawahan) kepada kepala sekolah
dan pengawas sebagai atasannya. Di
hadapan atasan tidak pernah seorang
bawahan Jawa mau mengatakan ‗tidak‘
(mboten, Jawa) dan selalu menyatakan
penolakannya secara halus dengan senyum
dibibir, dengan maksud
supaya tidak
mengecewakan, dan menyakiti hati pihak
yang ditolak tawaran atau permintaannya.
Inggih (ya, Jawa) pada sikap orang Jawa
pada kenyataannya belum tentu berarti ‗ya‘,
sebab kata mboten (tidak) tak ada dalam
tata-gaul masyarakat Jawa. Dan terlebih lagi
dalam organisasi formal, seperti forum
pembinaan, baik oleh kepala sekolah,
pengawas sekolah ataupun kepala Kantor
Dinas Pendidikan Nasional di tingkat
kecamatan. Orang Jawa sebagai bawahan
tidak mengenal bantahan dan hanya
persetujuan. Dengan demikian ‗ya‘ berarti
‗tidak‘, dan ‗tidak‘ yang diucapkan dengan
ragu-ragu bisa berarti ‗ya‘ (Marbangun
Hardjowirogo, 1984: 12-13).
Suatu sikap mental orang Jawa yang
lain adalah nrima dan pasrah. Orang yang
nrima tidak loba/ sombong/takabur. Sikap
nrima juga tidak iri hati dengan
kebahagiaan orang lain. Nrima, juga berarti
syukur kepada pemberian Tuhan. Sedangan
pasrah,
berarti
menyerahkan
diri
sepenuhnya
kepada
Tuhan ataupun
pimpinan, penguasa, maupun atasannya
tentang apa saja yang telah diterimanya
fatalistik. Ciri kebiasaan orang Jawa lainnya
adalah rasa sungkan (enggan) terhadap
perilaku orang lain, sekalipun kadang-
357
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
kadang mengganggu perasaannya sendiri,
apalagi bila mereka mendasarkan pada
sikap kula raos (saya rasa) atau
mbokmenawi
(barangkali).
Karena
membuka hati orang lain begitu saja
dinilainya negatif. Me-reka, orang Jawa
yang berstatus lebih rendah di antara
sesamanya seperti guru SD, mereka akan
lebih bersifat rila, nrima, sabar, dan pasrah
terhadap segala sesuatu yang telah
diputuskan atau kebijakan atasannya
(Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah
ataupun pembina lainnya), karena hidup ini
penuh toleransi (Budi Hersatoto, 2000: 73).
Pembinaan profesional ter-hadap
para guru SD dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang antara lain sistematis,
objektif, realistis, antisipatif, konstruktif,
kooperatif, dan kekeluargaan. Pembinaan
guru yang dilakukan secara kooperatif,
artinya pembinaan yang mengembangkan
perasaan kebersamaan untuk menciptakan
dan mengembangkan situasi belajarpembelajaran yang lebih baik. Sedangkan
kekeluargaan, artinya pembina (supervisor)
mempertim-bangkan saling asuh, asah, asih,
dan tut wuri handayani. Proses pembinaan
semacam ini dalam istilah lain dinamakan
normative, yakni dalam setiap pembinaan
akan selalu mempertimbangkan subjek yang
disupervisi, yakni para guru SD, tentnag
bagaimana para guru itu melihat
masalahnya, apakah yang mereka yakini,
apakah keinginan mereka, bagaimanakah
pengetahuan mereka yang mereka miliki,
dan bagaimana cara pemecahan permasalahannya (Sergiovani dan Starrat, 1993: 81).
2. Pola-pola Hubungan Kerja Guru SD
Pola-pola kerja yang dimaksudkan
dalam kajian ini adalah interaksi sosial yang
dilaksanakan oleh para pengawas, terutama
dalam hubungan kerja secara formal. Salah
satu pola hubungan adalah kooperatif dan
kekeluargaan. Kooperatif dan kekeluargaan
itu merupakan sebagian perilaku sosial
orang Jawa, yang lebih menekankan kepada
prinsip kerukunan dan hormat (Magnis
Suseno, 1996: 168).
Pada
dasarnya
kunci
sukses
hubungan-hubungan antar pribadi orang
Jawa adalah, wawasan bahwa tidak ada
orang yang sederajat dan bahwa hubungan
satu sama lain secara hirarkhis. Yakni, para
guru merasa sebagai bawahan dan para
pembina (seperti Kepala Sekolah, Pengawas
Sekolah, dan Kepala Cabang Dinas
Pendidikan Nasional Kecamatan) merasa
sebagai atasan (Niels Mulder, 1985:56-57).
Kenyataan hubungan antar pribadi yang tak
sederajat ini memperoleh pengakuan luas
dalam hubungan tata-gaul orang Jawa, yang
selalu mengakui status yang berbeda dari
orang lain dalam berkomunikasi dengan
lawan bicaranya. Secara terus-menerus
(guru sebagai bawahan) merasa di bawah
tekanan kekuasaan oleh pembina (sebagai
atasannya) untuk bertindak sesuai dengan
kedua prinsip di atas, yakni kerukunan dan
hormat. Tekanan dari luar tersebut
(kerukunan dan hormat), masih dipadu lagi
dengan tekanan dari dalam diri manusia
Jawa, yaitu rasa isin (malu) dan sungkan
(enggan). Hal tersebut terlihat bahwa, tidak
seorang bawahan yang berani menolak
apalagi membantah instruksi atasannya
yang lebih tinggi, sekalipun tak sesuai
dengan perasaan dan nalarnya. Mereka lebih
baik mencari aman, diam membisu the
silent majority (Suharno, 2011: 36).
3. Nilai-nilai dan Norma-norma
Kebudayaan Jawa
Nilai-nilai dan norma-norma ada
pada setiap jenis kebudayaan termasuk
kebudayaan Jawa. Nilai-nilai dan normanorma (Norms and Values) merupakan
‗sesuatu‘ yang diyakini kebenarannya dan
selalu diikuti oleh anggota kelompok
tersebut. Nilai-nilai dan norma-norma
tersebut merupakan pondasi atau dasar pada
setiap kebudayaan organisasi yang dapat
membantu atau justru dapat merintangi pada
358
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
setiap penentuan strategi (Michael L, dan
Charles A., 1997: 72).
Salah satu nilai-nilai dan normanorma kebudayaan Jawa adalah simbolisme
(Kompas, 10 Desember 2000: 6). Dimana
dalam kebidupan sehari-hari orang Jawa
sebagai realisasi dari pan-dangan dan sikap
hidupnya selalu diperlihatkan dalam
bentuk-bentuk simbul. Simbol-simbol juga
diwujudkan dalam bentuk religi, tradisi dan
kesenian simbolisme. Tradisi memiliki
empat tingkatan nilai, yakni dari segi
budaya, nilai-nilai dan norma-norma, nilai
hukum dan aturan khusus. Nilai-nilai dan
norma-norma adalah sesuatu yang diyakini
kebenarannya dan selalu diikuti anggota
kelompok dan merupakan bagian dari
kebudayaan secara keseluruhan. Bahkan
dengan memanfaatkan hal-hal tersebut
justru sebuah organisasi akan lebih efektif
dan jarang terjadi disfunction (Hoy, dan
Miskel, 2001: 182).
Orang
Jawa,
yang
selalu
diidentifikasikan Surakarta dan Yogyakarta,
sebagai pusat kebuada-yaan Jawa masih
kental dengan perilaku feodalisme-nya.
Dimana perilaku ini secara khusus
dikarenakan adanya perbedaan usia dan
kedudukan, anak dengan ayah (orang tua),
bawahan dengan atasan sebagai kawulagusti. Dimana yang berkuasa sangat tidak
suka mendengar kritik atau koreksi, dan
sebaliknya orang lain (bawahan) amat segan
untuk melontarkan kritik atau koreksi
kepada atasannya.
Kajian pendahulu yang berhubungan
dengan peranan kebudayaan Jawa terhadap
perilaku pengawas dan guru Sekolah Dasar
telah dilakukan Niels Mulder sejak 19701980, yakni betapa pentingnya selalu
menghormati
semua
hirarkhi
yang
mengandung tatanan moral kehidupan,
seperti misalnya hubungan dengan kakak
laki-laki, guru, dan penguasa (birokrasi).
Penyerahan diri pada birokrasi, bahasa
resmi pemerintah, dan daya tarik duniawi
ini juga dihubungkan dengan perubahan
yang mengguncang tatanan sosial tempat
dimana mistisisme itu tumbuh. Corak
susunan kultural kesultanan terkikis dengan
cepat. Keraton tidak lagi menjadi titik
orientasi yang dominan, sedangkan orang
membebaskan diri dari kerangka berpikir
yang sifatnya hirarkhis dan tata krama yang
bisa dihindari di dalam tatanan kerajaan.
Pada zaman kerajaan ini, kebatinan justru
berfungsi sebagai pembebas dari tekanan
hirarkhi yang sekarang sudah lemah.
Keterlibatan
budaya
(Jawa)
dalam
kekuasaan dari hasil temuan Kuntowijoyo,
menyatakan bahwa ada dua macam
kebudayaan, yaitu kebudayaan affirmative
dan
kebudayaan
critical.
Dimana
kebudayaan affirmative bila ia mendukung
kekuasaan (birokrasi), dan menjadi alat
dominasi. Sedangkan, kebudayaan kritis,
bila ia menolak kekuasaan, dan tidak mau
menjadi
alat
dominasi.
Dalam
hubungannya antara pimpinan dan bawahan
digunakan istilah priyayi dan kawula.
Kawula mempunyai jarak sosial-budaya
dengan priyayi. Kawula mempunyai
mentalitas tersendiri, karena simbol-simbol
kekuasaan
makin
melemah
setelah
mengalami perjalanan sosial yang begitu
jauh.. ada batas sosial-budaya yang tak
terjembatani, ―priyayi adalah priyayi, dan
kawula adalah kawula. Dimana atasan
adalah atasan, dan bawahan adalah
bawahan. Dari temuan Antlov dan
Cederrorth, dinyatakan bahwa sejak
melunturnya ketertiban kesultanan dan
terbukanya pintu ke dunia luar, orang telah
terbebas dari semua acuan yang meliputi
hirarkhi dan berperilaku bebas, tidak
terhambat oleh rasa sungkan, rikuh, dan
pekewuh yang sebelumnya masih terasa,
yang semuanya ini mengacu pada perasaan
larangan di hadapan yang lebih tua.
Dari hasil temuan Dwi Purwanto
dan Siswo Sugiarto, menyatakan bahwa
lurah di Kotamadya Surakarta dalam praktik
penyelenggaraan kepemerintahan mereka
masih patuh pada aturan sebagai aparatur
359
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
pemerintah yakni menggunakan bahasa
Indonesia. Namun dalam hal-hal tertentu,
dan berdasarkan pertimbangan bahwa
warga negara di tingkat kelurahan sebagian
besar adalah warga masyarakat tutur Jawa
dengan
tingkat
pemahaman
dan
penguasaan, mereka tetap menggunakan
bahasa Indonesia, tetapi bercampur dengan
ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa.
Dengan alasan lebih mudah dipahami dan
familier.
P.M. Laksono, dalam tesisnya yang
menyatakan bahwa, kebayanyakan orang
Jawa menggunakan konsep jumbuhing
kawula Gusti untuk menginterpretasi dan
mengorganisasi
jalan
hidup
dalam
masyarakat nyata (eksisten). Seperti
diketahui bahwa dalam setiap organisasi
sosial, termasuk negara, selalu ada dua
elemen manusiawi yaitu pengorganisasi dan
yang diorganisasi, atau pemerintah dan
rakyat, atau raja dan rakyat, atau penggedhe
dan wong cilik. Dalam hubungan ini orang
Jawa, berdasar konsep jumbuhing kawulaGusti, menganggap bahwa raja dan rakyat
sama pentingnya berbeda lebih karena
fungsinya (keduniawian; daripada karena
nilainya;
transeden-esensial).
Kemanunggalan ini dimungkinkan karena
menurut mistik Jawa ada cirri umum yang
sama antara manusia dan Tuhan yang
terletak dalam esensi dan subsatnsi yang
tidak bisa diterangkan, yaitu suksma (dari
kata India berarti roh) atau Nur (dari kata
Arab berarti cahaya). Melalui identifikasiidentifikasi tersebut orang Jawa secara
tersirat mengidam-idamkan suatu keadaan
yang
tata-tentrem,
karena-jumbuhing
kawula Gusti adalah satu-satunya jalan
menuju tata-tentrem.konsekuensi lain dari
konsep jumbuhing kawula Gusti adalah
identifikasi raja idaman, bahwa orang Jawa
harus menempatkan posisi raja secara
sempurna-hanya dalam idaman-idaman dan
tidak bisa secara wadaq atau konkrit pada
simpul
hubungan
antara
bayangan
mengenai tata-tentrem eksistensial (dari
makrokosmos). Pada simpul inilah menurut
pikiran Jawa terletak kekuatan yang maha
besar dan mutlak benar-benar untuk
menimbulkan
tata-tentrem,
atau
mengembali-kannya jika ada kekisruhan
(kekacauan).
Tentang hubungan antara raja dan
rakyat, hubungan kawula-gusti tidak hanya
menunjukkan hubungan antara yang tinggi
dengan yang rendah, tetapi lebih
menunjukkan kesalingtergantungan yang
erat antara dua unsur yang berbeda namun
tak
terpisahkan,
dua
unsur
yang
sesungguhnya merupakan dua aspek dari
hal yang sama (Sinkritisme). Sinkritisme ini
sudah menjadi ungkapan orang Jawa
tentang persatuan unsur-unsur yang
berlainan, misalnya patung Kertanegara
yang terkenal di Singhasari sebagai Batara
Ciwa-Budha. Tetapi sesuai dengan sifat
mistik yang mana pun, pikiran-pikiran yang
sinkretis ini berusaha membuktikan bahwa
benda-benda hanya merupakan aspek, cakti,
pancaran, bagian dari integral dari ke-Esaan Utuh yang menyeluruh, yang meliputi
segala sesuatu, dan dalam pemikiran orang
Jawa ini diwujudkan dalam dewa Sang
Hyang Wenang (Yang Mahakuasa).
Dengan
pemikiran
imaginatifproyektifnya, orang Jawa mela-mbangkan
kesatuan kawula-gusti ini dengan benda
yang amat tepat sekali, yaitu keris, suatu
senjata kebesaran. Kedua bagian keris,
sarungnya (warangka) dan matanya
(curiga), diberikan penafsiran yang amat
mistik. Sarung disamakan dengan rakyat
(pengikut, bawahan, kawula) dan mata
kerisnya adalah raja (atasan, pemimpin,
penguasa). Jadi melukiskan hubungan yang
mutlak ada, yang satu tidak sempurna tanpa
kehadiran yang lain, dan juga saling
ketergantungan, dalam arti sarungnya
melindungi matanya dari kerusakan. Tetapi
karena mata kerisnya melambangkan raja
sebagai inti, pokok, sebagai kekuatan yang
memimpin Negara, maka raja (mata keris)
360
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
harus layak, sesuai dengan patokan mana
pun juga, bagi rakyat (sarung).
4. Paradigma Kajian
Tujuan pembinaan guru SD adalah
untuk
meningkatkan profesionalitasnya.
Proses pembinaan tersebut berlangsung
melalui interaksi antara pengawas sekolahguru-kepala sekolah dan atau Kepala
Cabang Dinas Pendidikan Nasional
Kecama-tan sebagai pembina dengan guru
sebagai terbina. Proses interaksi tak
terlepaskan dengan iklim sosial budaya
sekelilingnya.
Budaya, dalam konteks ini lebih
difokuskan kepada nilai-nilai dan normanorma serta kebiasaan-kebiasaan yang
diekspresikan
dalam
berinteraksi/
berkomunikasi antara pembina dengan yang
dibina. Nilai-nilai, norma-norma serta
kebiasaan telah dimiliki/melekat
atau
‗mempribadi‘ pada kedua belah pihak,
pembina maupun yang terbina (pengawas
sekolah, kepala sekolah maupun kepala
cabang Dinas Pendidikan Nasional dengan
para guru). Karena telah dimilikinya hal
tersebut,
dimungkinkan
akan
mempengaruhi perilaku pada setiap
berinteraksi/ berkomu-nikasi, baik secara
vertikal maupun horisontal.
Melihat hal-hal tersebut di atas,
diduga bahwa kebudayaan Jawa yang
meliputi nilai-nilai, norma-norma, serta
kebiasaan-kebiasaan yang diekspresikan
dalam berkomunikasi atau berinteraksi
dapat mempengaruhi proses pembinaan
profesional guru SD di daerah Kecamatan
Andong Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa
Tengah. Sesuai dengan fenomena tersebut,
maka kajian ini menggunakan paradigma
tertentu dalam
menganalisis datanya.
Dimana
paradigma
ini
merupakan
seperangkat kepercayaan yang sistematis,
yang diikuti metode tertentu (Lincoln, YS.,
dan Guba, EG, 1985: 15). Metode yang
dimaksud dalam kajian ini adalah etnografi.
C. METODE KAJIAN
Kajian ini adalah kajian kualitatif
dalam bentuk etnografi. Etnografi adalah
kajian yang bertujuan untuk memahami
sudut pandang subjek, hubungannya dengan
kehidupan, serta untuk mendapatkan
pandangan mengenai dunianya (Spradley,
1997: 5-6). Dunia yang dimaksudkan dalam
kajian ini adalah lingkungan atau latar dan
tempat terjadinya kegiatan pembinaan
profesional guru SD seperti apa adanya
tanpa rekayasa dari penulis. Dalam kajian
ini, yang dimaksud perilaku adalah proses
kegiatan
pengawas
sekolah
dalam
pembinaan profesional guru. Etnografi pada
hakikatnya adalah belajar dari masyarakat,
dalam arti memahami tindakan dari
kejadian subjek yang ingin dipahami.
Tindakan dari kejadian subjek dalam kajian
ini adalah interaksi antara pengawas SDkepala sekolah- guru SD. Dalam kajian ini
diharapkan dapat menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari perilaku subjek yang diamati
(Moleong, 1991: 3).
Kajian ini dilaksanakan di Kantor
Cabang Dinas Pendidikan Nasional
Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali
Jawa Tengah. Data kajian berupa informasi
tentang
perilaku
pengawas
dalam
pembinaan profesional guru SD digali dari
tiga sumber data: peristiwa, informan dan
dokumen. Peristiwa, di sini mengacu pada
perilaku pengawas SD dalam kegiatan
pembinaan profesional para kepala sekolah
dan guru SD. Informan, meliputi Kepala
Cabang Dinas Pendidikan Nasional
Kecamatan Andong, pengawas, kepala
sekolah dan guru SD. Sedangkan dokumen
dalam kajian ini adalah Peraturan
Pemerintah Nomor: 16 tahun 1994 tentang
jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil,
dan KEPMENPAN Nomor 18 tahun 1996
tentang Jabatan Fungsional Pengawas
Sekolah dan Angka Kreditnya, yang
kemudian
diperbaharui
dengan
KepMendiknas RI No.12/2007: Standar
361
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pengawas
Sekolah/Madrasah.
Sejalan
dengan sumber datanya, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah
pengamatan, wawancara, dan analisis
dokumen.
Pengamatan
dilaksanakan
sebanyak 8 kali. Teknik pengamatan yang
digunakan adalah pengamatan berperanserta secara pasif. Wawancara dilakukan sebanyak 2 kali dengan kepala
cabang Dinas Pendidikan Nasional Cabang
Kecamatan Andong, 1 kali dengan 4
pengawas SD, 4 kepala SD, dan 4 guru SD
di wilayah kecamatan Andong Boyolali.
Analisis dokumen dilakukan terhadap
dokumen-dokumen sebagaimana telah
dikemukakan di atas.
Data yang telah terkumpul dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis data
kualitatif model Spradley (1980: 87-88),
yang terdiri atas tiga langkah: analisis
domein, analisis taksonomi, dan analisis
tema. Dalam pelaksanaannya, ketiga
langkah analisis tersebut tidak dilakukan
secara linier berurutan setelah semua data
terkumpul, melainkan dilakukan secara
simultan pada saat dan setelah data
dikumpulkan. Dengan demikian terjadi
interaksi antara proses pengumpulan data
dengan analisis data serta elemen-elemen
lain seperti pencatatan data, penulisan
laporan sementara, pengajuan pertanyaan
kajian. Interaksi berbagai eleman tersebut
membentuk pola siklikal (Spradley, 1980:
29).
Sebelum dianalisis, data yang masuk
diuji terlebih dulu keabsahan-nya. Teknikteknik yang digunakan untuk keperluan
tersebut adalah perpanjangan keikutsertaan,
ketekunan pengamatan, trianggulasi, dan
review informan kunci (Moleong, 1995:
175-178).
D. TEMUAN
Temuan temuan berikut meliputi dua
hal dasar yang dilakukan oleh para
supervisor pendidikan di lapangan, yakni
kegiatan yang bersifat administratif dan
teknis supervisi. Meskipun dalam sajian ini
dituliskan secara bersamaan. Hal tersebut
cukup
beralasan,
karena
kegiatan
administratif
maupun
teknis
sudah
―menyatu‖.
1. Kegiatan supervisi yang dilakukan
oleh supervisor Sekolah Dasar (SD) di
Kecamatan
Andong
Kabupaten
Boyolali
Pengawas
tidak
membuat
perencanaan program supervisi ke sekolah
yang disosialisasikan kepada para kepala
sekolah dan guru. Keengganan pengawas
menyusun
dan
mengkomunikasikan
program kunjungan supervisi secara
kultural dapat dipahami, karena masih
kentalnya budaya lisan, dan mengandalkan
informasi serba lisan, serta malas membuat
catatan tertulis dalam masyarakat Jawa.
Meskipun hal tersebut terbantahkan oleh
adanya prasasti, piagam dan batu bertulis
―candra sengkala‖.
Budaya tulis yang ketat khususnya
dalam penyusunan perencanaan dan
program kerja seorang pejabat, nampaknya
tidak ―lumrah‖ untuk ditetahui bawahan.
Selian itu perencanaan kerja yang disusun
pegawai (termasuk pengawas sekolah)
biasanya hanya diorientasikan ke atas, yaitu
untuk memenuhi tuntutan administratif
pejabat atasannya. Pengawas bukannya
tidak membuat sama sekali perencanaan
supervisi.
Mereka
dalam
membuat
perencanaan (formalitas–tertulis) sebagai
perwu-judan tanggung jawab pelaksanaan
tugas kepada atasan. Dengan demikian,
secara kultural (dalam latar budaya Jawa)
pengawas yang berposisi sebagai atasan,
menyusun program kerjanya hanya untuk
kepentingan atasan semata. Hal ini
dipengaruhi oleh hubungannya yang
paternalistik (dalam hubungan kerja dengan
atasannya, pengawas berposisi sebagai
clien).
Fokus supervisi pengawas hanya
ditekankan pada administratif saja. Artinya,
362
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bahwa
para
pelaksana
supervisor
pendidikan cenderung mempersepsikan
bahwa supervisi pembelajaran sama dengan
penilaian dan inspeksi. Kenyataannya,
pelaksa-naan
supervisi
pembelajaran
memang cenderung menilai dan mengawasi
serta hanya tertuju pada aspek teknis
administratif saja. Hal tersebut terlihat
sangat kontras sekali dengan hakikat peran
dan fungsi supervisor yang seharusnya
mereka laksanakan. Mereka para supervisor
atau pengawas sekolah mempunyai
kawasan tugas ke dalam kegiatan sekolah
secara keseluruhan, yakni supervisi,
mengajar,
administrasi
umum,
dan
pelayanan khusus (Soetjipto dan Raflis
Kosasi, 1999: 234). Disamping itu, tugas
pengawas
sekolah
adalah
untuk
meningkatkan efektivitas pembelaja-ran dan
sekolah serta kepemimpinan kepala sekolah
yang kuat (Sergiovanni dan Starratt, 1993:
3-4).
Proses supervisi pendidikan yang
diterapkan
masih
serupa
dengan
pemeriksaan. Hal tersebut juga tidak dapat
dilepaskan dengan kategori supervisi yang
dikembangkan, yaitu supervisi administrasi
umum. Namun hal tersebut malah
dipersepsi negatif oleh para guru dan kepala
sekolah sebagai sikap ―otoriter‖ pengawas
atau supervisor dipahami sebagai upaya
untuk menjamin
adanya kesera-gaman
(uniformity) dalam pelaksanaan kegiatan
sampai yang sekecil-kecilnya. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari sistem
pendidikan Indonesia dalam rangka
menciptakan persatuan dan kesatuan
nasional. Oleh karena itu, pembinaan guru
masih banyak dikendalikan secara terpusat
dan berbau otoriter. Hal tersebut dapat
dilihat pada aturan yang memang
―mengkondisikan‖
perilaku
pengawas
sekolah yang seolah-olah menjadi payung
kekuasaan. Seperti terlihat pada surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
nomor. 020/U/1998, tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional
Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya
pada pasal 1 (Satu)
menyebutkan:
Pengawas Sekolah adalah Pegawai Negeri
Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan
wewenang secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan pengawasan
pendidikan
di
sekolah
dengan
melaksanakan penilaian dan pembinaan
dari segi teknis pendidikan dan administrasi
pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar
dan menengah …
Diktum di atas menyiratkan bahwa
unsur kepengawasan dan penilaian lebih
penting daripada pembinaan. Oleh karena
itu, tentu penjiwaan dan penafsiran petugas
di tingkat lapangan juga sebagai pengawas
yang melakukan pengawasan dengan jalan
memeriksa segala sesuatu yang dilakukan di
sekolah.
Komunikasi masih berjalan searah.
Ini terkait dengan temuan sebelumnya.
Sebagai kegiatan pemeriksaan, supervisi
yang dilakukan pengawas sekolah memang
tidak memberikan ruang gerak yang lebar
untuk terjadinya komunikasi dua arah.
Mestinya mereka pengawas lebih bersifat
demokratis (Zainal Aqib dan Elham
Rohmanto, 2007: 189), artinya mau
mendengarkan dan menghargai pendapat
para guru dan kepala sekolah, dan mau
menerima kritik dan saran. Pengawas pun
juga manusia biasa, ia juga pernah salah,
dan menyadari hal itu semua ―nglenggana‖.
Program supervisi tidak dievaluasi.
Hal ini bermula tidak adanya tujuan atau
tidak operasional. Itu terlihat dari tidak
dikomunikasikannya rencana atau program
supervisi kepada para guru dan kepala
sekolah. Mestinya setiap kegiatan supervisi
yang diutamakan membantu para guru yang
kurang dapat memenuhi standar kerja yang
telah ditetapkan dalam pembelajaran harus
dikomunikasikan terlebih dahulu, sehingga
para guru lebih mudah mengemukakan
permasalahan
pembelajaran
yang
dialaminya (Sergiovanni dan Starratt, 1993:
220). Dilihat dari sudut atasan pengawas,
363
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
tuntutan terhadap laporan kerja pengawas
juga terbatas pada bentuk laporan
administratif formal. Target-target kerja
yang dibenankan kepada pengawas hanya
diukur secara kuantitatif, yaitu berapa kali
kunjungan ke sekolah, berapa guru yang
disupervisi, dan sebagainya. Dengan target
kerja yang kuantitatif, maka seringkali
kehadiran pengawas di sekolah lebih
banyak bersifat formalitas dalam rangka
memperoleh
stempel
(tanda
bukti
kehadiran) dari kepala sekolah. Ini berarti
bahwa
evaluasi
program
supervisi
nampaknya tidak penting bagi para pejabat
yang bertanggung jawab terhadap kinerja
pengawas sekolah.
Kegiatan supervisi oleh kepala
sekolah hanya berisi informasi dinas dan
pembinaan administratif. Secara struktural
kepala sekolah berperan ganda, yaitu
sebagai administrator dan sekaligus
supervisor. Hal ini memang ditekankan oleh
peraturan maupun pernyataan kepala
Cabang Dinas Pendidikan Nasional
Kecamatan. Namun demikian pelimpahan
tang-gung jawab supervisor kepala sekolah
nampaknya
tidak
dibarengi
dengan
pembekalan
keterampilan-keterampilan
kesupervisian maupun dinamika kelompok.
Inilah yang menyebabkan kepala sekolah
mempersepsi kegiatan pertemuan supervisi
rutin sebagai agenda pertemuan untuk
menyampai-kan informasi dan pembinaan.
Realita supervisi kepala sekolah
melalui pertemuan (rapat) guru secara rutin
telah membudaya oleh sebagian besar. Dari
yang dikerjakan para kepala sekolah, paling
tidak
mempunyai
kesamaan
dalam
merancang dan mengisi kegiatan supervisi
kelompok melalui pertemuan (rapat) guru,
antara lain (1) pemilihan waktu pertemuan
diadakan ketika kegiatan sekolah telah
berakhir, dan para guru dalam kondisi lelah;
(2) kebanyakan berisi informasi-informasi
dan didominasi oleh kepala sekolah; (3)
jarang memberikan kesempatan penuh
kepada para guru untuk berpartisipasi; (4)
sempitnya waktu yang disediakan, sehingga
sedikit sekali persoalan substansial dalam
kegiatan belajar-pembelajaran yang dapat
didiskusikan. Terkait dengan kegiatan
kepala sekolah tersebut, dan menurut
bahasa informan kajian ini, supervisi yang
dilaksanakan oleh kepala sekolah sering
dilakukan secara jawilan Maksudnya tidak
harus tepat jadwal yang diprogramkan,
namun bila akan dilaksanakan saja secara
tiba-tiba kepala sekolah njawil. Artinya
undangan secara lisan dari mulut ke mulut.
2. Orientasi Supervisi yang Diterapkan
oleh Supervisor
Temuan-temuan ini lebih terkait
dengan norma, nilai, sikap dan perilaku
manusia (dalam hal ini supervisor
pendidikan). Pada temuan kajian yang
pertama, supervisor lebih berorientasi
langsung (direct) dalam menghadapi
permasalahan yang bersifat fungsionalprofesional. Maksudnya seketika itu
supervisor
melakukan
koreksi
bila
menemukan
kesalahan
guru
dalam
menyusun
administrasi
kelas/sekolah
ataupun kekeliruan dalam pembelajaran.
Sebaliknya supervisor berorientasi tidak
langsung (indirect) bila menghadapi
persoalan personal-individual, misalnya
menghadapi guru yang malas, kepala
sekolah yang tidak disiplin atau bahkan
kepala
sekolah
yang
melakukan
penyimpangan. Supervisor merasa pekewuh
memberi-kan teguran kepada bawahannya
tersebut. Hal tersebut menunjukkan sikap
dualisme supervisor dalam menjalankan
tugasnya. Sikap dualisme tersebut jika
dirunut dari pemahaman supervisor akan
status dan fungsinya (self-concept). Dalam
hubungan fungsional-profesional supervisor
memiliki pandangan terhadap peran dan
fungsinya sebagai ―pejabat‖. Dalam latar
sejarah bangsa Jawa, pejabat dalam bidang
pemerintahan disebut Pangreh Praja yang
berarti ―yang memerintah suatu daerah‖
(Sujanto, 2000: 69-71). Meskipun telah
364
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
diperhalus menjadi Pamong Praja, namun
hakikat kesadaran dan perlakuan dalam
interaksi atasan dengan bawahan masih
kental terasa sebagai pangreh yang
memiliki otoritas untuk memerintah.
Otoritas untuk memberikan perintah bagi
seorang pejabat nampaknya berlaku
absolute. Dalam kepemimpinan Jawa yang
berlatar feodalis kuat, maka absolutisme
masih subur. Hal tersebut ditunjukkan
bahwa orang Jawa hanya kenal satu hal
dalam masalah kepemimpinan, yakni
absolutism (Hans Antlov dan Sven
Cederroth, 2000: 47-48). Pengalaman
kekuasaan politik orang Jawa dalam sejarah
kebudayaannya yang panjang adalah
kerajaan. Sebagai kepala Negara, raja punya
wewenang tak terbatas dan tidak dapat
diganggu-gugat.
Karena kekuasaan raja absolute,
maka pengaruhnya terasa hingga ke pejabatpejabat di tingkat bawah. Kesadaran akan
otoritas dan kewenangannya inilah yang
melatar-belakangi orientasi pengawas dalam
menghadapi persoalan supervisi yang
bersifat fungsional dan profesional.
Sehingga dalam diri pengawas terdapat
konsep diri, bahwa dirinyalah yang
berkuasa, dirinyalah yang benar. Oleh
karena itu, pengawas dalam bertindak tidak
wigah-wigih (ragu-ragu).
Dalam menyelesaikan masalah
personal-individual
supervisor
menggunakan bahasa sindiran dan melalui
orang ketiga. Langkah pengawas untuk
meminta orang ketiga menegur guru yang
bermasalah, bukan tanpa alasan. Ia menggunakan salah satu prinsip dasar interaksi
masyarakat Jawa, yakni kerukunan. Prinsip
kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang
harmonis, selaras, tenang dan tenteram,
tanpa perselisihan dan pertentangan (Franz
Magnis Suseno, 1996: 61). Rukun juga
menunjuk pada cara bertindak, yaitu
menghilangkan tanda-tanda ketegangan
dalam masyarakat atau antar pribadi,
sehingga hubungan sosial tetap kelihatan
selaras dan baik-baik. Dalam realisasi
hubungan antara supervisor dengan para
guru maupun kepala sekolah yang
bermasalah, meski-pun supervisor telah
menyuruh guru lain untuk memperingatkan
guru tersebut, namun supervisor tetap
tenang dan tidak menampakan emosi di
hadapan guru yang bersangkutan. Inilah
yang disebut dengan seni ethok-ethok
(berpura-pura).
Kepala sekolah dasar (SD) merasa
pekewuh untuk melakukan kunjungan ke
kelas pada saat guru mengajar. Salah satu
temuan menunjukkan bahwa sekalipun
kepala sekolah memilik kewenangan untuk
melakukan supervise dengan teknik
kunjungan kelas, tetapi tidak dilaksanakan,
karena ia merasa pekewuh jika harus
menunggui guru yang sedang mengajar di
kelas. Rasa pekewuh kepala sekolah
tersebut cukup beralasan. Pertama, asumsi
yang berkembang bila seorang guru telah
resmi diangkat, dipandang telah ―cakap‖
dan ―mampu‖ melaksanakan tugasnya
sebagai guru. Ketika guru telah masuk ke
dalam kelas untuk mengajar, maka dia
memiliki otoritas penuh. Kelas laksana
kamar dalam rumah yang tidak selayaknya
dimasuki orang lain, meskipun lebih dulu
meminta ijin. Orang Jawa tidak bisa memisahkan antara lingkup kehidu-pan (lifespace) dengan lingkup kerja (work-space).
Artinya ruang hidup dan ruang kerjanya
sama-sama tidak disukai bila dimasuki
orang lain. Kedua, rasa pekewuh kepala
sekolah untuk melakukan kunjungan kelas,
dapat dijelaskan sebagai pelaksanaan dan
―prinsip rasa hormat‖, yaitu pekewuh dan
sungkan.Pekewuh dan sungkan adalah rasa
malu dalam arti positif. Sungkan merupakan
rasa hormat kepada atasan atau sesamanya
(dalam hal ini kepala sekolah menganggap
guru pada posisi yang sejajar), sebagai
pengekangan halus terhadap kepribadian
sendiri demi hormat terhadap pribadi lain
(Niels Mulder, 1985:58)
365
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Dengan demikian kepala sekolah
pada hakikatnya tidak mau menempatkan
diri sebagai atasan guru sebagai bawahan.
Oleh karena itu, kepala sekolah pekewuh
(sungkan dan tidak leluasa) untuk
melakukan
kunjungan
kelas
dan
menyupervisi guru. Ke-sungkan-an tersebut
didasari oleh keinginan untuk tidak
dianggap meragukan kemampuan mengajar
guru. Bila kepala sekolah melakukan
kunjungan kelas, maka persepsi awal yang
muncul pada duiri guru adalah bahwa
kepala sekolah meragukan kemampuannya
dalam mengajar. Hal inilah yang dihindari
oleh kepala sekolah, karena dianggap dapat
menimbulkan perasaan tidak enak, yang
pada gilirannya dapat menjadi konflik.
3. Sikap dan tanggapan guru terhadap
supervisi yang dilaksanakan
supervisor
Orientasi supervisi yang diterapkan
oleh supervisor direpon dengan sikap dan
tanggapan para guru dan kepala sekolah.
Sikap dan tanggapan mereka sebagai-mana
orientasi yang diterapkan supervisor dilatari
oleh nilai dan norma budaya Jawa. Pada
fokus ketiga ini ada dua temuan.
Pertama, guru tidak mengatakan
secara langsung ketidakpuasannya terhadap
supervisi yang dilakukan pengawas sekolah.
Para guru menya-dari bahwa hakikat
supervisi bukan hanya sekedar pemeriksaan
adminis-trasi, tetapi menyangkut proses
perbaikan pembelajaran secara keseluruhan.
Namun, supervisi yang diberikan pengawas
juga sering monoton, bahkan cenderung
menyampaikan hal-hal yang keliru kalau
tidak informasi yang sudah kedaluwarsa.
Tanggapan yang paling esen-sial yang
nampak dari perilaku guru tersebut adalah
―prinsip hormat‖. Prinsip ini mengatakan
bahwa setiap orang dalam cara berbicara
dan
membawa
diri
selalu
harus
menunjukkan sikap hormat terhadap orang
lain
sesuai
dengan
derajat
dan
kedudukannya (Franz Magnis Suseno,
1996: 30). Mereka yang berkedudukan
tinggi (pengawas sekolah, kepala sekolah)
harus dihormati, dan mereka yang
berkedudukan lebih rendah harus di-emong.
Artinya terhadap orang yang lebih rendah
harus menempatkan diri. Mereka (bawahan)
menghormati para pejabat (atasan) dengan
mematuhi amanat atau pesannya, bahkan
mengikuti jejak langkahnya. Hal inilah yang
mengakibatkan
berkembangnya
sikap
paternalistik, yang dampak buruknya adalah
berkembangnya sikap ABS, asal bapak
senang (Muchtar Lubis, 1978: 28).
Disamping itu, dorongan-dorongan guru
untuk menyampaikan rasa tidak pusanya
terhadap supervisor dikendalikan oleh
perasaan takut (ajrih) dan sungkan
(pekewuh). Rasa ajrih yang menghinggapi
para guru, sebab secara struktural
pengawas memiliki otoritas yang besar,
tidak saja untuk memeriksa guru, tetapi atau
bahkan untuk merekomendasikan kenaikan
pangkat (nasib). Sedangkan rasa pekewuh
dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan
senioritas,
pengalaman,
usia
dan
sebagainya, yang menjadikan guru merasa
sungkan untuk menumpahkan isi hati
sebenarnya.
Kedua, kebanyakan guru memilih
bersikap pasif dan tidak mengindahkan apa
yang disarankan supervisor. Sikap pasif ini
dibarengi dengan sikap (tindakan) inggihinggih, ananging mboten kepanggih.
Artinya dalam perbedaan pendapat atau
ketidakpuasan guru dengan supervisor, guru
mengambil tindakan mengiyakan di depan
supervisor, namun tidak melaksanakan apa
yang telah diiyakan tersebut. Perasaan ajrih
sebagai pangkal tolak mental, maka orang
dapat saja menyetujui atau mengiyakan saja
kehendak orang (untuk sementara), dan
baru kemudian menentukan perasaan
negatif atau positif terhadap orang tersebut
setelah menelaahnya. Menuruti atau
menyetujui kehendak orang lain juga
366
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
termasuk suatu konsep budaya Jawa yang
penting, yaitu manut (Koentjaraningrat,
1984).
Kerukunan yang dituntut dalam
masyarakat Jawa tidak menjangkau ranah
batiniah. Batin manusia Jawa tetap
dibiarkan bebas untuk setuju atau tidak
setuju, manut atau berontak. Apa yang
menjadi pikiran dan perasaan adalah urusan
diri sendiri. Masyarakat menuntut agar
seseorang bisa membawa diri secara rukun,
tetapi masyarakat tidak menuntut agar
seseorang merasa bersalah, bila hatinya
tidak setuju.
Ketidaksetujuan hati tersebut pada
akhirnya dapat dimanifestasikan melalui
beberapa cara, tanpa harus bertengkar
(konflik terbuka). Perwujudan tersebut
antara lain adalah melalui pemisahan ruang
(tak saling berdekatan), menghindar jika
bertemu, dan tidak ngomong satu sama lain
untuk sementara waktu (jothakan) tidak
terbatas, dan pada akhirnya dapat digunakan
pihak ketiga untuk mencairkan hubungan
tersebut. Jothakan memang tidak menutupi
konflik, dan bahkan membukanya, namun
tidak disertai dengan pertengkaran fisik.
Satu hal lagi, temuan yang biasa dilakukan
oleh para guru adalah dengan cara mencabut
persetujuannya (sikap manut-nya) dengan
diwujudkan
dalam
tindakan
tidak
melakukan apa-apa. Dengan demikian tidak
melaksanakan apa yang sepertinya pernah
disetujui, haki-katnya merupakan upaya
menampakkan ketidaksetujuannya tanpa
harus menimbul-kan konflik fisik.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Sesuai dengan fokus dan tujuan
kajian, maka temuan hasil kajian ini dapat
disimpulkan menjadi tiga yaitu berkaitan
dengan: (a) Proses kegiatan supervisi, (b)
Orientasi supervisi serta (c) Sikap dan
tanggapan guru terhadap pelaksanaan
supervisi yang dilaksanakan supervisor.
a. Proses Kegiatan Supervisi dalam
latar Budaya jawa
Pelaksanaan kegiatan supervisi
pengajaran dalam latar budaya Jawa kurang
efektif untuk meningkatkan kemampuan
dan kualitas guru dalam mengelola proses
belajar mengajar. Hal ini disebabkan oleh:
(1) Supervisor tidak mengkomunikasikan
rencana/ program supervisinya kepada para
guru sebagai subyek supervisi. Kecuali itu
dalam menyusun rencana supervisi. Kecuali
itu dalam menyusun rencana supervisi,
supervisor juga tidak melibatkan guru
sehingga rencana yang telah disusun tidak
didasarkan pada kebutuhan guru, (2) Fokus
supervisi hanya terarah pada aspek
administrasi, kurang menyentuh pada
pengembangan kemampuan guru dalam
mengelola proses belajar mengajar.
Supervisor tidak melaksana-kan kunjungan
kelas secara serius, (3) Dalam pertemuanpertemuan
supervisi
supervisor
mendominasi pembicaraan dan berjalan satu
arah, sehingga kurang memberi kesempatan
pada guru untuk mengemukakan persoalan
yang dihadapinya, dan (4) Tidak ada
penilaian sebagai umpan balik terhadap
kegiatan supervisi yang telah dilaksanakan
supervisor, baik dari bawahan maupun
atasan yang berwenang. Dari supervisor
sendiri juga tidak pernah meminta pada
guru untuk memberikan komentar maupun
penilaian terhadap supervisi yang telah
dilaksanakan.
Kejadian-kejadian tersebut tidak
terlepas dari latar budaya Jawa yang
menjunjung tinggi prinsip rukun dan prinsip
hormat dalam interaksi sosial serta tradisi
kepemimpinan Jawa yang absolut dan
paternalistis. Supervisor tidak melibatkan
guru dalam menyusun program supervisi,
karena supervisor menganggap bahwa hal
itu merupakan hak mutlak supervisor dan
tidak perlu ada campur tangan dari guru.
Begitu juga tidak ada penilaian dari guru,
karena memang tidak lazim bawahan
menilai atasan dan hal ini dianggap saru
367
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
(tidak etis), tidak pada tempatnya. Dalam
budaya Jawa disebut dengan istilah ―ora
empan papan” atau ”ora bisa nyelehake
bokonge dhewe‖ (guru dianggap tidak bisa
menempatkan dirinya sebagai bawahan).
Dalam hal fokus supervisi yang
lebih ditekankan pada aspek administrasi,
karena secara umum sistem birokrasi
pendidikan di Indonesia menghendaki
demikian. Segala pertanggung jawaban
pelaksanaan tugas pada atasan bersifat
administratif, sehingga hal ini berpengaruh
pada perilkau supervisor.
Sedangkan tidak dilaksanakannya
kunjungan kelas secara serius ada dua hal
yang mendasari. Pertama, guru yang telah
resmi diangkat dipandang telah cakap dan
mampu melaksanakan tugasnya sebagai
guru, sehingga ia memiliki otoritas penuh
untuk mengelola kelasnya. Guru tidak
senang bila ada pihak lain yang ―masuk‖
wilayah
kewenangannya.
Hal
ini
dilatarbelakangi oleh budaya Jawa bahwa
otonomi hidup pribadi dihargai tinggi dalam
masyarakat Jawa. Orang Jawa memang sulit
membedakan antara lingkup kehidupan
dengan lingkup kerja, sehingga keduaduanya tidak suka bila dimasuki orang lain.
Kedua, pelaksanaan prinsip hormat yang
diwujudkan
dalam
perasaan
sungkan/pekewuh (malu dalam arti positif).
Sungkan merupakan rasa hormat kepada
atasan atau sesama (dalam hal ini kepala
sekolah menganggap guru pada posisi
sejajar), sebagai pengekangan halus
terhadap pepribadian sendiri demi hormat
terhadap pribadi lain.
b. Orientasi Supervisi dalam Latar
Budaya Jawa
Orientasi supervisi yang digunakan
oleh supervisor dalam menghadapi dan
memecahkan persoa-lan yang muncul
tergantung pada sifat permasalahannya. Jika
masalah bersifat fungsional-profesional,
supervisor
menggunakan
orientasi
langsung, dan jika masalah bersifat
personal-individual,
supervisor
menggunakan orientasi tidak langsung.
1) Orientasi Langsung
Supervisor dalam membe-rikan
arahan, teguran, koreksi terhadap persoalan
fungsional-profesional disampaikan secara
langsung kepada yang bersangkutan, tanpa
tedheng aling-aling dengan menggunakan
bahasa Jawa ngoko. Dalam budaya Jawa
terkenal dengan istilah thok-lek.
Asumsi yang mendasari perilaku
tersebut adalah tradisi kepemimpinan Jawa
yang absolut dan peternalistik. Supervisor
sebagai atasan memiliki kekuasaan mutlak
dan menganggap dirinya serba lebih tahu
mana yang benar dan mana yang salah.
Orientasi
ini
lebih
mengedepankan
pendekatan
birokratik,
supervisor
memandang guru sebagai bawahan, bukan
teman sejawat.
Orientasi ini ternyata kurang efektif
karena sebenarnya guru tidak suka
diperlakukan dengan cara demikian. Namun
ketidaksukaan guru itu tidak secara terbuka
disampaikan pada supervisor. Hal ini
dilakukan
demi
menjaga
hubungan
harmonis (melaksanakan prinsip rukun) dan
menaruh rasa hormat kepada atasan. Para
guru lebih memilih sikap diam dan tidak
melaksanakan apa yang mereka iyakan/
setujui di hadapan supervisor. Hasilnya
inggih-inggih boten kepanggih.
2) Orientasi Tidak Langsung
Supervisor
dalam
memberikan
koreksi terhadap persoalan personalindividual tidak disampaikan secara thoklek,
namun lebih sering menggunakan bahasa
sendirian (pasemon) dalam forum-forum
pertemuan secara umum. Untuk tidak
menyinggung perasaan dan demi menjaga
kerukunan digunakan bahasa kembang,
lambang, dan sinamuning samudana.
Prinsip ini dipegang teguh oleh supervisor.
Dengan cara demikian pihak yang
bermasalah diharapkan dapat menangkap
maksud yang sebenarnya (tanggap ing
368
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sasmita) sehingga yang bersangkutan segera
dapat
melakukan
instrospeksi
dan
memperbaiki diri, yang dalam budaya Jawa
terkenal dengan istilah bisa rumangsa
(ngrumangsani). Cara lain yang ditempuh
supervisor, jika dengan cara di atas tidak
berhasil adalah meminta bantuan orang
ketiga untuk menegur/mengingatkan guru
yang bermasalah tersebut. Orang ketiga
yang dimintai bantuan tersebut biasanya
teman dekat guru yang bermasalah
tersebut.Melalui dua cara tersebut ternyata
supervisor berhasil memecahkan persoalan
guru yang bersifat personal-individual.
Asumsi yang mendasari perilaku
supervisor tersebut adalah prinsip rukun dan
budaya
kepemim-pinan
Jawa
yang
paternalistik. Supervisor sebagai Bapak
harus ngemong anak buahnya. Supervisor
tidak ingin menyinggung perasaan dan
melukai hatinya.
3) Sikap dan Tanggapan Guru
Guru menyadari benar, bahwa
supervisi pengajaran pada hakikatnya bukan
sekedar pemeriksaan admi-nistrasi seperti
yang dilakukan oleh supervisornya.
Supervisi yang dilakukan oleh pengawas
dinilainya
monoton
dan
cenderung
membosankan,
bahkan
pengawas
kadangkala menyampaikan hal-hal yang
keliru kepada guru-guru.
Guru merasa tidak puas terhadap
supervisi yang dilakukan oleh pengawas,
namun tidak menyatakannya secara
langsung pada pengawas. Guru cenderung
bersikap pasif dan diam, menunggu apa
yang dikehendaki pengawas. Bila pengawas
memaksakan kehendaknya meskipun tidak
disukai guru, maka guru mengiyakan saja
apa yang dikehendaki pengawas, namun
tidak dilaksanakan.
Prinsip yang melandasi perilaku
guru tersebut adalah prinsip hormat dan
prinsip rukun yang dijunjung tinggi oleh
orang Jawa. Guru cenderung berbohong,
pura-pura mengiyakan (ethok-ethok), tetapi
tidak melaksanakan (inggih-inggih boten
kepanggih), demi menjaga kerukunan/
menghindari konflik terbuka dan menghormati atasan.
Guru memiliki tanggapan yang tidak
terlalu positif terhadap supervisi yang
dilakukan supervisor. Supervisi yang
dilakukan supervisor dianggap biasa-biasa
saja dan monoton, bahkan nampak
diacuhkan.
Namun
guru
tidak
menampakkan ketidaksetujuan dihadapan
supervisor, karena dilandasi rasa hormat,
sekaligus tidak ingin menimbulkan konflik
(prinsip rukun). Berdasarkan temuantemuan kajian tersebut, dapat dibuat suatu
teori substansi berikut ini.
Mengenai ketidakefektifan supervisi
yang dilaksanakan supervisor dalam latar
budaya Jawa, penulis beranggapan bahwa
hal tersebut tidak semata-mata dipe-ngaruhi
oleh latar budaya Jawa. Faktor-faktor lain
yang mungkin berpengaruh dan perlu
diteliti lebih lanjut antara lain: (1) kebijakan
pemerintah yang menegaskan bahwa
supervisor adalah ―pengawas‖ yang
tugasnya mengawasi serta memeriksa yang
disupervisi; (2) perubahan yang terjadi
dilingkungan keraton (Surakarta maupun
Ngayogyakarta), seperti guru, kepala
sekolah, dan pengawas yang bukan
keturunan raja, peserta didik yang sudah
tidak terbatas hanya dari lingkungan dan
kerabat Keraton sehingga terjadi perubahan
norma; (3) keterampilan manajerial
supervisor
yang
meliputi
tingkat
pemahaman terhadap supervisi yang benar,
keterampilan teknis, dan keterampilan
dalam menciptakan hubungan yang baik
sesama guru dan kepala sekolah.
2. Implikasi
Hasil
kajian
sebagaimana
dikemukakan di atas, terutama yang
berkenaan
dengan
pengaruh
latar
kebudayaan Jawa terhadap perilaku
pengawas sekolah dalam pembinaan
profesionalisme
guru
SD,
mengimplikasikan perlunya
pengawas
369
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sekolah lebih menghayati peran dan
tanggung jawabnya sebagai pembina,
pengayom, dan teman bagi para guru dan
kepala sekolah. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa meskipun para
pengawas sekolah telah memiliki dan
melaksanakan program kerja rancangan
pembinaan, namun keberhasilannya bukan
semat-mata karena programnya, tetapi
latar/setting yang kondusif ikut berperan.
Oleh sebab itu, pengawas (superintendts)
sangat ditekankan tidak saja mempertahan
kekuasaannya,
tetapi
harus
mampu
memaksimalkan
lingkungan
sekolah
sebagai sistem (Sange, Peter M, 2000:14).
Agar mereka, para pengawas dapat
melaksanakan tugasnya tanpa ha-rus
merusak system budaya yang masih ada.
Nyekel iwak tanpa buthek banyune. Karena
pada dasarnya orang Jawa termasuk guru
dan
kepala
sekolah
akan
selalu
menyerahkan diri pada birokrasi, bahasa
resminya pemerintah (pengawas sekolah),
dan daya tarik duniawi ini yang sangat
terikat dengan perubahan tatanan sosial,
yakni otoritas yang dimiliki pengawas
sekolah (Niels Mulder, 2006: 262).
Menurut Glidewell, John C (1986:
11), kebudayaan adalah kumpulan beberapa
asumsi di mana beberapa kelompok telah
tersusun dalam sebuah pembe-lajaran
dimana sama-sama saling mempertahankan
eksistensinya dengan cara bagaimana
mereka memanaj dirinya sebagai anggota
kelompok. Artinya, bagai-mana kelompok
pengawas sekolah maupun kelompok
kepala sekolah dan guru, keduanya saling
belajar, saling mengisi. Dan bukannya
saling mencari kesalahan.
3. Saran-saran
Berdasarkan hasil temuan dalam
kajian ini seperti dikemukakan pada
kesimpulan, maka dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut:
a. Saran untuk Supervisor (Pengawas
dan Kepala Sekolah)
Memanfaatkan secara taktis dan
strategis ―prinsip rukun‖ dan ―prinsip
hormat‖ dalam budaya Jawa untuk
menyusun rencana supervisi, melaksanakan
supervisi, dan menilai keberhasilan
supervisi. Hal-hal yang perlu dilakukan
antara lain, (1) melibatkan guru dalam
menyusun rencana supervisi agar sesuai
dengan kebutuhan guru. Hal ini jangan
dianggap saru, tapi justru memanfaatkan
prinsip hormat, menghargai pendapat guru,
sehingga para guru menjadi terbuka dan
rumangsa diwongke. Dengan demikian guru
ikut
bertanggung
jawab
terhadap
keberhasilan, (2) kunjungan kelas tetap
harus dilakukan. Melakukan kunju-ngan
kelas tidak berarti melanggar prinsip hormat
terhadap guru, asal tidak sekedar mencari
kesalahan melalui pemeriksaan. Justru
dalam hal ini harus memanfaatkan prinsip
rukun, sehingga masing-masing pihak
saling menghormati dan menyadari dengan
cara yang rukun, (3) Dalam pertemuanpertemuan supervisi supervisor jangan
mendominasi pembicaraan, namun lebih
banyak memberi kesempatan pada para
guru untuk menyam-paikan hal-hal atau
persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Para guru hendaknya dipandang sebagai
teman sejawat yang perlu diajak berdiskusi,
(4) Karena hasil kajian ini menunjukkan
bahwa supervisi antar teman sejawat
(meskipun tidak direncanakan) lebih efektif,
maka disarankan agar supervisor lebih
banyak memanfaatkan supervisi kolegial,
(5) Agar mendapatkan umpan balik tentang
supervisi
yang
telah
dilaksanakan,
hendaknya supervisor secara terbuka
memberi kesempatan pada guru untuk
memberikan komentar, baik yang berkaitan
dengan kekurangan maupun kelebihan.
Komentar dari guru hendaknya jangan
dipandang seperti atasan memberikan
penilaian pada supervisor, tapi lebih
ditekankan pada umpan balik untuk
370
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
perbaikan dan penyempurnaan. Hal ini akan
terlaksana jika masing-masing pihak dapat
melaksanakan prinsip rukun dan prinsip
hormat secara tepat, masing-masing bisa
menempatkan diri (empan papan, bisa
nyelehake bokonge dhewe), dan (6) Fokus
supervisi hendaknya tidak hanya ditekankan
pada administrasi, namun lebih ditekankan
pada kemampuan guru dalam mengelola
proses belajar mengajar, melalui kunjungan
kelas. Manfaatkan budaya pekewuh untuk
hal-hal yang positif. Misalnya supervisor
atau guru pekewuh jika tidak berhasil dalam
melak-sanakan tugasnya.
prinsip rukun dan hormat tetap terjaga.
Gunakan kebiasaan yang dipakai orang
Jawa dengan kata-kata raos kula (saya rasa)
atau mbok menawi (barangkali) jika
terpaksa harus mengambil sikap konfrontasi
dengan supervisor; dan ketiga, guru
hendaknya aktif, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dalam menyikapi
pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh
supervisor.
Memanfaatkan
kunjungan
supervisor untuk menyampaikan segala
persoalan yang dihadapi dalam proses
belajar mengajar. Jangan hanya diam dan
manut.
b. Saran untuk Para Guru Sekolah
Dasar
Sebagaimana supervisor, hendaknya
guru juga dapat memanfaatkan prinsip
hormat dan prinsip rukun secara tepat
kaitannya dengan pelaksanaan supervisi
yang dilakukan oleh supervisor. Pertama,
guru hendaknya berani menyampaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi secara
terus terang/terbuka demi peningkatan
kemampuannya dalam mengelola proses
belajar-mengajar; kedua, jika guru tahu
bahwa supervisor melakukan kesalahan,
hendaknya tetap disampaikan kepadanya
dengan menggunakan tutur bahasa yang
tidak menyinggung perasaan, sehingga
c. Saran untuk Penulis dan
Pengembang Supervisi Pengajaran
Sebagaimana telah disampaikan
pada akhir kesimpulan kajian ini bahwa
ketidak-efektifan
supervisi
yang
dilaksanakan supervisor dalam latar budaya
Jawa, penulis beranggapan bahwa hal
tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh
latar budaya Jawa. Karena itu, perlu
dilakukan kajian lanjut untuk mengetahui
semua faktor yang menyebabkan supervisi
tidak efektif dalam latar budaya Jawa. Juga
perlu dilakukan kajian di situs yang lain
seperti di Kecamatan Andong atau di
Kabupaten lain.
DAFTAR PUSTAKA
Antlov, Hans., dan Cederrorth, Sven., Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan
Kasar. Penerjemah: P Soemitro.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Bodgan, Robert C and Biklen, Sari Knopp., Qualitative Research For Education: An
Introduction to Theory and Methods .Toronto: Allyn and Bacon, Inc., 1982
Cook, Curtis W., Hunsaker, Phillips L. and Coffey, Robert E., Management and
Organizatio-nal Behavior, Boston: Irwin McGraw-Hill, 1997
Cunningham, William G., and Corderio, Paula A., Educational Administration: A
Problem-Based Approach. Boston: Allyn and Bacon, 2000
Douglas H. Powell, Understanding Human Adjustment. Canada: Little, Brown and
Company, 1983
Echols, John M., dan Shadily, Hassan., Kamus Inggris Indo-nesia. Jakarta: Gramedia,
1982
371
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Gordon Judith R., , Organizational Behavior: A Diagnostic Appro-ach New Jersey:
Prentice Hall, 1999
Glesne, Corrine., Becoming Qualitative Researchers: An Introduction. New York: Longman, 1999
Hardjowirogo, Marbangun., Manusia Jawa. Jakarta: Idayu Press, 1984
Harris, Ben M., Supervisory Behavior in Education. New Jersey: Prenctice-Hall, Inc, 1975
Hersey, Paul., Kenneth H. Blanchard and Dewey E. Johnson, , Management Of
Organizational Behavior . New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1996
Herusatoto,Budi., Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita: 2000
Hoy, Wayne K dan Miskel, Cecil G, Educational Administration; Theory, Research, and
Practice. Boston: McGraw Hill, 2001
Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 118/1996 tentang
Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan-Bagian Proyek Pengendalian Kebutu-han GuruDikdasmen, 2000
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No.12/2007 tentang Standar Pengawas
Sekolah/Madrasah.
Kreitner, Robert., and Sngelo Kinicki, Organization Behavior. Boston: Irwin, 1998
―Krisis Kepastian Dalam Budaya Jawa‖, Kompas, 10 Desember 2000, p 6.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa: Seri Etnografi Indonesia. Nomor 2 .Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak, 2006.
Krishna, Anand., Madah Agung Kehidupan: Wedhatama Bagi Orang Modern. Jakarta:
Gra-media, 1998
Ladew, Donald P. How to Supervise People: Techniques for Getting Results Through
Others. Diindonesiakan Mitra Communications. Jakarta: Pustaka Tangga, 2003
Michael L. Tushman, and Charles A. O‘Reilly III, Winning Through Innovation: A
Practical Guide To Leading Organizational Change and Renewal. Boston: Harvard
Business School Press, 1997
Miles, Mattehew B. dan Huberman, A. Michael. Analaisis data kualitatif. Terjemahan
Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press, 1992
Moeljono, Djokosantoso dan Sudjatmiko, Steve (editor), Corporate Culture: Challenge to
Excellence. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007
Moleong, Lexy J., Metodologi Kajian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Mulder, Niels., Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1985
Nasution, S., Metode Peneltian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito: 1996
Nugraha,Yusro Edy., Serat Wedhatama: Sebuah Master Piece Jawa dalam Respon
Pembaca. Semarang: Mimbar Offset kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi
dan The Ford Foundation, 2001
Pedoman Pengelolaan Gugus TK/SD, Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,
1995
Pedoman Penulisan Tesis & Disertasi Program Pascasar-jana. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2003
372
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pene-tapan Angka Kredit
Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah. Semarang: Duta Nusindo, 2006
Powell Douglas H. ,Understanding Human Adjustment. Canada: Little, Brown and
Company, 1983
Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa Depdiknas, 2001
Robbins, Stephen P., The Truth About Managing People ... and Nothing but The Truth.
London: Prentice Hall PTR, 2002
Sadiman Arief S.,‖Pengaruh Televisi pada Perubahan Perilaku‖ Teknodik No.7/IV
Oktober1999. http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t7.7-3.htm 2/3/04
Sallis, Edward, Total Quality Mana-gement in Education. London: Kogan Page Ltd, 1993
Senge, Peter M., Schools That Learn: A Fith Discipline Filed-book for Educators, Parents,
and Everyone Who Cares About Education (New York: Doubleday, 2000
Sergiovani, Thomas J., and Starratt, Robert J., Supervision: A Redefinition. New York:
McGraw-Hill, Inc., 1993
Soetjipto dan Kosasi,Raflis., Profesi Keguruan (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan-Rineka Cipta, 1999
Spradley, James P., Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston, t.th.
―SupervisiPendidikan‖, http://www.bpkpenabur.or.id/kwiyata/91/lap3.htm 1/27/04
Suharno, Peranan Kebudayaan Jawa Terhadap Perilaku Pengawas Dalam Pembinaan
Profesionalisme Guru SD. 2011. Tidak diterbitkan.
Suseno, Franz., Magnis Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1996
The New Encyclopaedia Britanica Chicago: Encyclopaedia. Britanica,Inc.,1994
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Yogyakarta: Galangpress, 2007
Undang-undang Republik Indon-sia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur, 2003
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000
373
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
374
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
BUDAYA, BAHASA, DAN SIFAT DASAR MANUSIA
Isnaini Nurrahmah
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut, 1) untuk mengetahui
definisi budaya, kebudayaan,dan bahasa, 2) untuk memahami wujud-wujud
kebudayaan, 3) untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan,
4) untuk memahami
hakikat manusia dan pengembangannya, 5) untuk
mendeskripsikan sifat-sifat khas kepribadian manusia, 6) untuk mendeskripsikan
sifat khas individu yang lain , misalnya masalah intelegensi, 7) untuk memahami
hubungan budaya, bahasa dengan sifat dasar manusia.
Budaya adalah daya dari budi, yang berupa, cipta, rasa dan karsa;
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Bahasa adalah
sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Wujud kebudayaan
dibedakan menjadi tiga bagian yaitu 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; 2)
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia; 3) wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia.
Antar hubungan kehidupan individu di masyarakat tidak akan berjalan baik
dan serasi tanpa adanya media. Media komunikasi yang pertama dan yang
terutama digunakan di masyarakat, yaitu bahasa.
Budaya terkait erat dengan bahasa dan sifat dasar manusia. Keterkaitan
antara budaya, bahasa dengan sifat dasar atau hakikat dasar manusia salah
satunya dapat dibuktikan dengan banyaknya paribasan maupun bebasan yang
mencerminkan dan menggambarkan hakikat manusia sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan.
Kata kunci: budaya, bahasa, sifat dasar manusia
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Penulisan
Sasaran pendidikan adalah manusia.
Manusia dalam tinjauan ini adalah manusia
yang berbudaya. Pendidikan bermaksud
membantu manusia (peserta didik) untuk
menumbuhkembangkan
potensi-potensi
kemanusiaan.
Potensi
kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk
menjadi manusia yang berbudaya. Ibarat
biji rambutan bagaimanapun wujudnya jika
ditanam dengan baik, Insya Allah menjadi
pohon rambutan dan bukannya menjadi
pohon srikaya.
1.
Tugas
mendidik
akan
dapat
dilakukan dengan benar dan tepat sasaran,
jika pendidik memiliki gambaran yang jelas
tentang siapa manusia itu sebenarnya,
termasuk sifat dasarnya. Manusia memiliki
sifat dasar dan ciri khas yang secara
prinsipiil berbeda dari binatang. Ciri khas
manusia yang membedakannya dengan
binatang terbentuk dari kumpulan terpadu
(integrated) dari apa yang disebut sifat
hakikat manusia atau sifat dasar manusia.
Disebut sifat hakikat manusia karena secara
hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh
375
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
manusia dan tidak terdapat pada hewan atau
binatang.
Pemahaman pendidik terhadap sifat
hakikat manusia akan membentuk peta
tentang karakteristik manusia. Peta ini akan
menjadi landaan serta memberikan acuan
baginya dalam bersikap, menyusun strategi,
metode, dan teknik, serta memilih
pendekatan dan orientasi dalam merancang
dan melaksanakan komunikasi transaksional
di dalam interaksi edukatif. Dengan kata
lain, penggunaan peta sebagai acuan akan
membantu pendidik tidak mudah terkecoh
ke dalam bentuk-bentuk transaksional yang
patologis dan berakibat merugikan subjek
didik.
Alasan kedua mengapa gambaran
yang benar dan jelas tentang manusia itu
perlu dimiliki pendidik adalah karena
adanya perkembangan sains dan teknologi
yang sangat pesat dewasa ini, lebih-lebih
pada masa mendatang. Memang banyak
manfaat yang dapat diraih bagi kehidupan
manusia darinya, namun di sisi lain tidak
dapat dielakkan akan adanya dampak
negatif. Dampak negatif perkembangan
sains dan teknologi terkadang tanpa disadari
sangat
merugikan
bahkan
mungkin
mengancam keutuhan eksistensi manusia,
seperti ditemukannya bom kimia dan
bakteri, video, dan DBS (Direct Broadcasting System), rekayasa genetika, dan
lain-lain, yang digunakan secara tidak
bertanggung jawab. Oleh karena itu sangat
strategis pembahasan tentang budaya
dikaitkan dengan sifat dasar manusia.
Berangkat dari pemikiran di atas maka
disusun paper dengan judul ―Budaya dan
Sifat Dasar Manusia.‖
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
sebagaimana tersebut di atas serta pokok
kajian tentang budaya dan sifat dasar
manusia
dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut.
a. Apakah definisi budaya, kebudayaan,
dan bahasa?
b. Bagaimanakah wujud-wujud
kebudayaan?
c. Faktor-faktor apa sajakah yang
mempengaruhi kebudayaan?
d. Bagaimanakah peranan bahasa dalam
kehidupan masyarakat?
e. Bagaimanakah hakikat manusia dan
pengembangannya?
f. Bagaimanakah sifat-sifat khas
kepribadian manusia?
g. Bagaimanakah sifat khas individu yang
lain , misalnya masalah intelegensi?
h. Bagaimanakah hubungan budaya dengan
sifat dasar manusia?
3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan
masalah
sebagaimana tersebut di atas dapat
dirumuskan tujuan-tujuan penulisan sebagai
berikut.
a. Untuk mengetahui definisi budaya,
kebudayaan, dan bahasa.
b. Untuk
memahami
wujud-wujud
kebudayaan.
c. Untuk menemukan Faktor-faktor yang
mempengaruhi kebudayaan.
d. Untuk memahami peranan bahasa dalam
kehidupan masyarakat.
e. Untuk memahami hakikat manusia dan
pengembangannya.
f. Untuk mendeskripsikan sifat-sifat khas
kepribadian manusia.
g. Untuk mendeskripsikan sifat khas
individu yang lain , misalnya masalah
intelegensi.
h. Untuk memahami hubungan budaya
dengan sifat dasar manusia.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Budaya dan Kebudayaan
Kebudayaan adalah sebuah konsep
yang definisinya sangat beragam. Pada abad
ke-19, istilah kebudayaan umumnya
digunakan untuk seni rupa, sastra, filsafat,
ilmu alam, dan musik yang menunjukkan
semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan
ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan
376
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
sosialnya (Peter Burke, 2001: 176-177).
Kata kebudayaan berasal dari kata
Sanskerta "buddhayah", yaitu bentuk jamak
dari "buddhi yang berarti budi atau akal"
(Hari Poerwanto, 2000: 51). Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan: "halhal
yang
bersangkutan
dengan
akal"(Koentjaraningrat, 2000: 9). Ada
sarjana lain yang mengupas kata budaya
sebagai suatu perkembangan dari majemuk
"budi-daya yang berarti daya dari budi",
kekuatan dari akal (lihat misalnya buku PJ.
Zoetmulder, Cultuur, Oost en West
Amsterdam, PJ. van der Peet, 1951). Karena
itu mereka membedakan antara budaya
dengan kebudayaan.
Budaya berasal dari kata budi dan
daya, yakni daya dari budi, yang berupa,
cipta, rasa dan karsa; sedangkan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa,
dan karsa (Warsito, 2012: 49). Budaya
adalah suatu konsep yang membangkitkan
minat. Secara formal, budaya didefinisikan
sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarkhi,
waktu, peranan, hubungan ruang, konsep
alam semesta, objek-objek materi dan milik
yang diperoleh sekelompok besar orang dari
generasi ke generasi melalui usaha individu
dan kelompok (Dedy Mulyana, 2001: 18).
Dalam Antropologi Budaya, perbedaan itu
ditiadakan. Kata budaya di sini dipakai
sebagai singkatan dari kebudayaan dengan
pengertian yang sama.
Sisi lain mengemukakan bahwa
kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) =
culture (bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa
Arab), berasal dari perkataan latin colere
yang artinya mengolah, mengerjakan,
menyuburkan
dan
mengembangkan,
terutama mengolah tanah atau bertani. Dari
segi arti ini berkembanglah arti culture
sebagai "segala daya dan aktivitas manusia
untuk mengolah dan mengubah alam. E.B.
Taylor dalam sebuah bukunya yang
berjudul Primitive Cultur yang dikutip oleh
AAGN Ari Dwipayana mendefinisikan
kebudayaan sebagai kompleks yang
mencakup
pengetahuan,
kepercayaan,
kesenian,
hukum,
adat-istiadat,
kemampuan-kemampuan serta kebiasaankebiasaan yang didapat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat (2001: 38).
Betapapun goyahnya konsep tentang
"budaya" (cultures, cultural forms ... ) tidak
ada kemungkinan lain baginya kecuali terus
bertahan lestari (Clifford Geertz, 1999: 67).
Dilihat sepintas definisi-definisi
tersebut memang terlihat kesimpangsiuran.
Kebudayaan pada umumnya, kelihatan
didukung oleh pengertian yang kabur. ltu
pula sebabnya beberapa ahli banyak
mengemukakan pandangan dan batasan/
definisi. Dewasa ini tidak kurang dari 160
buah definisi yang telah dikemukakan para
ahli. Seandainya dipakai serempak, jelas
tidak mungkin. Meskipun masing-masing
batasan
mengandung
kebenaran,
mengandung pula kelemahan.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri; berbahasa adalah menggunakan
bahasa, sopan santun, tahu adat (Hasan
Alwi, 2001: 88-89).
2.
Wujud-Wujud Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat, wujud
kebudayaan dibedakan menjadi tiga bagian
yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai,
norma-norma,
peraturan,
dan
sebagainya; kedua wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat; ketiga wujud kebudayaan
berupa benda-benda hasil karya manusia
(2000: 5). Pernyataan ini relevan yang
disampaikan oleh Simuh bahwa wujud
kebudayaan terdiri atas sistem budaya, ide
dan gagasan-gagasan, sistem sosial, tingkah
laku dan tindakan, dan kebudayaan yang
377
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
bersifat fisik dalam artefact dan bendabenda hasil budaya yang bersifat materiil
(1999: 109).
Penjelasan:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya.
Wujud pertama ini merupakan
wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya
abstrak, tak dapat diraba atau difoto.
Lokasinya ada di dalam kepala, atau
dengan perkataan lain, ada dalam
pikiran warga masyarakat dimana
kebudayaan yang bersangkutan hidup.
Kalau
warga
masyarakat
tadi
menyatakan gagasan mereka dalam
tulisan, maka lokasi dari kebudayaan
ideal sering berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis.
Sekarang kebudayaan ideal juga banyak
tersimpan dalam disk, arsip, koleksi,
micro-film dan micro-fish, kartu
komputer, dan lain-lain.
Ide-ide dan gagasan manusia
banyak yang hidup bersama dalam
suatu masyarakat, memberi jiwa kepada
masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu
tidak berada lepas satu dari yang lain,
tetapi selalu berkaitan, menjadi suatu
sistem. Para ahli Antropologi dan
Sosiologi menyebut sistem ini dengan
sistem budaya (cultural system ).
Dalam bahasa Indonesia terdapat juga
istilah lain yang sangat tepat untuk
menyebut wujud ideal dari kebudayaan
ini, yaitu "adat" atau "adat-istiadat"
untuk bentuk jamaknya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan
berpola
dari
manusia
dalam
masyarakat.
Tindakan berpola dari manusia
atau sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas
manusia
yang
berinteraksi,
berhubungan,
serta
bergaul satu dengan yang lain dari detik
ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke
tahun, selalu menurut pola-pola tertentu
berdasar adat tata kelakuan. Sebagai
rangkaian aktivitas manusia dalam
suatu masyarakat, sistem sosial itu
bersifat konkrit, terjadi di sekeliling
kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto, didokumentasi.
c. Wujud kebudayaan berupa bendabenda hasil karya manusia.
Wujud kebudayaan ketiga ini
disebut "kebudayaan fisik". Karena
berupa seluruh total dari hasil fisik,
aktivitas, perbuatan, dan karya manusia,
maka sifatnya paling konkrit, dan
berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada
benda-benda yang sangat besar seperti
pabrik baja; ada benda-benda yang amat
kompleks
dan
canggih
seperti
komputer, atau benda-benda besar dan
bergerak seperti kapal laut, kapal udara;
ada benda-benda atau bangunan hasil
seni arsitek seperti candi, pura ; atau
benda-benda kecil seperti kain batik ;
atau lebih kecil lagi seperti kancing
baju.
Ketiga wujud yang telah disebutkan
di atas, dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan
adat-istiadat mengatur dan memberi arah
kepada tindakan dan karya manusia.
Pikiran-pikiran dan ide-ide maupun
tindakan dan karya manusia menghasilkan
benda-benda kebudayaan fisik. Sebaliknya,
kebudayaan fisik membentuk suatu
lingkungan hidup tertentu yang makin lama
semakin
menjauhkan
manusia
dari
lingkungan
alamiahnya
sehingga
mempengaruhi pola-pola perbuatannya,
bahkan juga cara berpikirnya.
Semua unsur kebudayaan dapat
dipandang dari sudut ketiga wujud
kebudayaan itu. Sebagai contoh dapat kita
ambil misalnya Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Sebagai
suatu
Lembaga
378
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Pendidikan Tinggi, universitas tersebut
merupakan suatu unsur dalam rangka
kebudayaan Indonesia sebagai keseluruhan.
Oleh karena itu, universitas dapat
merupakan suatu unsur kebudayaan yang
ideal, yang terdiri dari cita-cita universitas,
norma-norma untuk para karyawan, dosen
dan mahasiswa, aturan ujian, pandanganpandangan dan sebagainya. Universitas ini
juga terdiri dari suatu rangkaian aktivitas
dan tindakan dimana manusia saling
berhubungan atau berinteraksi dalam
berbagai hal. Ada yang memberi kuliah,
mengikuti kuliah, ada yang mengetik surat,
ada yang mengatur buku, dan lain-lain.
TerIepas dari itu semua, orang dapat
juga mengadakan penelitian tentang
Universitas
Sebelas
Maret
sebagai
himpunan benda fisik yang harus
diinventarisasi. Itulah sebabnya ia hanya
melihat universitas sebagai suatu kompleks
gedung-gedung, ruang-ruang kuliah, deretan
bangku kuliah, himpunan buku-buku,
mesin-mesin
ketik,
komputer,
dan
sebagainya.
3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kebudayaan
Kebudayaan sebagai hasil budi daya
manusia atau hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia
dalam
perkembangannya
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktorfaktor tersebut adalah :
a. Faktor Ras
Menurut teori ini terdapat ras yang
superior dan ras yang imperior. Ras yang
superior ialah ras yang mampu menciptakan
kebudayaan. Ras yang imperior ialah ras
yang hanya mampu mempergunakan hasil
budaya dan menurut saja. Di dalam
kenyataannya pengaruh ras terhadap
perkembangan kebudayaan bukan sematamata karena kecakapan ras-ras tersebut,
melainkan karena adanya kecakapan dari
individu yang termasuk ke dalam suatu
golongan ras tersebut. Bila di dalam suatu
waktu ada individu di dalam golongan suatu
ras yang cakap dan mampu menghasilkan
kebudayaan, maka golongan ras itu akan
tampak
berkembang
secara
pesat
kebudayaannya. Dan apabila pada suatu
waktu ras tidak atau belum terdapat diantara
anggota-anggotanya
yang
mampu
menghasilkan kebudayaan, maka akan
tampak bahwa perkembangan kebudayaan
tersebut akan lamban.
b. Faktor Lingkungan Geografis
Faktor ini biasanya dihubungkan
dengan keadaan tanah, iklim, temperatur/
suhu adara, dimana manusia bertempat
tinggal. Menurut teori ini lingkungan alam
sangat mempengaruhi suatu kebudayaan
daerah tertentu. Keadaan alam misalnya
diantara daerah tropis, sedang, dan dingin,
terjadi suatu perbedaan di dalam
berpakaian, membuat rumah, dan lain-lain.
Dengan kemajuan teknologi yang pesat,
pengaruh lingkungan geografis terhadap
kebudayaan agak berkurang.
c. Faktor Perkembangan Teknologi
Di dalam kehidupan modern
sekarang ini, tingkat teknologi merupakan
faktor yang sangat
penting yang
mempengaruhi kebudayaan. Semakin tinggi
tingkat teknologi manusia, pengaruh
lingkungan
geografis
terhadap
perkembangan
kebudayaan
semakin
berkurang. Semakin tinggi tingkat teknologi
suatu bangsa semakin tinggi pula tingkat
kebudayaan, oleh karena teknologi suatu
bangsa dapat dengan mudah mengatasi
lingkungan alam.
d. Faktor Hubungan antar Bangsa
Hubungan antarbangsa mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap
kebudayaan. Hal ini dapat kita lihat dengan
adanya peristiwa-peristiwa :
1) Penetration Pasifique atau perembesan
kebudayaan secara damai.
Ini terjadi karena adanya kaum imigran
yang pindah menjadi penduduk suatu
negeri
lain.
Mereka
membawa
kebudayaan yang masuk dan diterima
oleh
negeri
tersebut
tanpa
379
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
menimbulkan kekacauan/ kegoncangan
masyarakat penerima.
2) Culture Contact / Akulturasi
Akulturasi
merupakan
proses
perkawinan unsur-unsur kebudayaan
dimana unsur-unsur kebudayaan asing
yang
datang
dicerna
menjadi
kebudayaan
sendiri,
atau
juga
pertemuan dua unsur kebudayaan yang
berbeda di daerah yang lain.
3) Difusi kebudayaan
Yaitu penyebaran unsur kebudayaan
dari suatu tempat ke tempat lain.
4) Culture Creisse,
Ialah proses persilangan antara dua
unsur kebudayaan yang berbeda. Hal
ini terjadi karena kedua unsur
kebudayaan itu bertemu pada suatu
daerah tertentu di luar daerah kedua
kebudayaan tersebut.
e. Faktor Sosial
Susunan suatu masyarakat dan
hubungan interaksi sosial diantara warganya
membentuk suatu watak dan ciri-ciri dari
masyarakat tersebut. Hubungan antara
anggota masyarakat dengan sesamanya
serta dengan kelompok sosial yang lain
akan mempunyai pengaruh terhadap
kebudayaan misalnya masyarakat yang
masih
mempunyai
jenjang
dimensi
stratifikasi sosial tertentu.
f. Faktor Religi
Kepercayaan suatu masyarakat yang
telah diyakini sejak masa yang telah lalu
sulit hilang begitu saja. Sebagaimana
evolusi religi yang telah berjalan dalam
masa yang lama. Penghilangan suatu bentuk
costum habits membutuhkan keberanian
dari individu-individu sebagai inovator
dalam pembangunan.
g. Faktor Prestige
Faktor
ini
biasanya
bersifat
individual yang dipopulerkan di dalam
kehidupan sosial. Konkritisasi dari faktor
ini biasanya mempunyai efek negatif berupa
pemaksaan diri ataupun keluarga, misalnya
perayaan dan pesta besar-besaran. Hal ini
secara
ekonomis
tidak
bisa
dipertanggungjawabkan.
h. Faktor Mode
Faktor mode bukanlah motif
ekonomi. Suatu mode merupakan hasil
budaya pada saat-saat tertentu. Ini lebih
bersifat temporer sebagai siklus yang terusmenerus. Faktor mode ini sedikit banyak
berpengaruh terhadap kebudayaan.
4. Hakikat Manusia dan
Pengembangannya
Sifat
hakikat
manusiadiartikan
sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara
prinsipiil
(bukan
hanya
gradual)
membedakan
manusia
dari
hewan,
meskipun antara manusia dengan hewan
terdapat banyak kemiripan terutama jika
dilihat dari segi biologisnya. Dari
bentuknya, misalnya orang hutan; bertulang
belakang seperti manusia, berjalan tegak
dengan menggunakan kedua kakinya,
melahirkan dan menyusui anaknya,
pemakan segala, dan adanya persamaan
metabolisme dengan manusia. Bahkan
beberapa
filosof
seperti
Socrates
menamakan manusia itu Zoon Politicon
(hewan yang bermasyarakat), Max Scheller
menggambarkan manusia sebagai Das
Kranke Tier (hewan yang sakit) (Umar
Tirtarahardja, 2005: 3).
Kenyataan
dan
pernyataan
sebagaimana tersebut di atas dapat
menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya
berbeda secara gradual, yaitu suatu
perbedaan yang dengan melalui rekayasa
dapat dibuat menjadi sama keadaannya,
misalnya air karena perubahan temperatur
lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan
kemahiran rekayasa pendidikan orang hutan
dapat dijadikan manusia.
Upaya manusia untuk mendapatkan
keterangan bahwa hewan tidak identik
dengan manusia telah ditemukan. Charles
Darwin (dengan teori evolusinya) telah
berjuang untuk menemukan bahwa manusia
380
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata
gagal. Ada misteri yang dianggap
menjembatani proses perubahan dari primat
ke
manusia
yang
tidak
sanggup
diungkapkan yang disebut The missing Link
yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada
suatu proses antara yang tidak dapat
dijelaskan. Intinya tidak ditemukan buktibukti yang menunjukkan bahwa manusia
muncul sebagai bentuk ubah dari primat
atau kera melalui proses evolusi yang
bersifat gradual.
5. Peranan Bahasa dalam Kehidupan
Masyarakat
Antar hubungan kehidupan individu
di masyarakat tidak akan berjalan baik dan
serasi tanpa adanya media. Media
komunikasi yang pertama dan yang
terutama digunakan di masyarakat, yaitu
bahasa. Bahasa memiliki kemampuan dan
keampuhan mendekatkan jarak social,
ekonomi,
budaya
anggota-anggota
masyarakat.
Secara praktis, pengertian bahasa
dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya
berupa rangkaian kata-kata, susunan
kalimat, tata bahasa dan gaya bahasa,
melainkan mencakup pula ungkapan
konsep, prinsip, nilai, pembakuan, dan
norma yang hidup di masyarakat yang
bersangkutan.
Bahasa
merupakan
ungkapan
pikiran, perasaan, gagasan, kemauan, dan
lain-lain yang hidup dan berkembang di
masyarakat di mana manusia tinggal di
dalamya
(Warsito,
2010:
7).
Pengaruhindividu terhadap perkembangan
kemajuan
masyarakat,
tidak
hanya
terbataskepada
ungkapan
tingkahlaku,
perbuatan
dan
tindakan-tindakannya,
melainkan lebih jauh daripada itu,
terungkap pula pada tutur katanya.
Buah pikiran dan gagasan seseorang
untuk mengembangkan dqan memajukan
masyarakat, pada umumnya tertuang pada
ucapan atau tulisan berupa bahasa ysng
digunakan pada masyarakat tersebut.
Pelaksanaan pendidikan, penerangan dan
penyuluhan, dilaksanakan melalui media
bahasa. Selanjutnya materi, dari seseorang
kepada pihak lain atau seseorang kepada
suatu kelompok dan sebaliknya, dinyatakan
dengan menggunakan media bahasa.
Dalam
kehidupan
masyarakat,
bahasa menjadi media utama terjadinya
asimilasi
dan
difusi
unsur-unsur
kebudayaan. Penyebaran informasi dari
penguasa
kepada
masyarakat
dan
sebaliknya,
disampaikan
dengan
menggunakan
bahasa.
Dengan
memanfaatkan
kemajuan
teknologi
komunikasi,
penyebaran
informasi,
gagasan, perintah menjadi lebih lancer.
Dengan demikian tidak hanya jarak social,
ekonomi, budaya yang dapat diperpendek,
jarak politik pemerintahan pun demikian
juga.
Ungkapan yang mengatakan ―
bahasa
adalah ciri suatu bangsa‖
merupakan
konsep
yang
memiliki
pengertian luas. Ungkapan itu tidak hanya
menyatakan bahwa tiap bangsa/ suku
bangsa memiliki bahasanya masing-masing,
melainkan juga mengungkapkan kualitas
sosial budayanya. Di dalam ungkapan ini,
tercermin pula kualitas intelektual individu
bangsa yang bersangkutan. Bahasa selain
menjadi alat kemajuan bangsa, juga menjadi
pencerminan kemauan masyarakat.
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Para ahli ilmu-ilmu social dan
kemanusiaan,
sebelum
melakukan
penelitian pada masyarakat tertentu, terlebih
dahulu mempelajari bahasa masyarakat
yang ditelitinya. Dengan menguasai bahasa,
pendekatan-pendekatan
yang
akan
digunakan untuk mengungkapkan aspek
sosial budaya dan sosial ekonomi
masyarakattersebut, akan menjadi lancar
dan baik sehingga kesalahan penafsiran dan
kesalahan penarikan kesimpulan dapat
dihindarkan.
381
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Para
penyebar
agama
dan
penyebarinovasi
untuk
meningkatkan
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat,
sebelum melakukan pendekatan-pendekatan
untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan, mempelajari dahulu bahasa
setempat yang digunakan masyarakat yang
bersangkutan. Jadi, faktor bahasa ini,
terutama bahasa masyarakat yang menjadi
objek perhatian, harus kita pahami benarbenar untuk dapat berintegrasi dengan
masyarakat yang bersangkutan. Pendek
kata, bahasa yang menjadi media
komunikasi-informasi, dapat digunakan
untuk mengembangkan dan memajukan
masyarakat dan lingkungan.
6. Sifat-Sifat Khas Kepribadian
Manusia
Jika kita mengadakan orientasi
dalam lapangan psikologi kepribadian,
maka secara garis besar akan kita dapatkan
dua
macam
pendekatan
mengenai
kepribadian. Berpangkal pada kenyataan,
bahwa kepribadian manusia itu sangat
bermacam-macam,
mungkin
sama
banyaknya dengan banyaknya orang.
Segolongan ahli berusaha menggolonggolongkan manusia ke dalam tipe-tipe
tertentu, karena mereka berpendapat bahwa
cara itulah yang paling efektif untuk
mengenal sesama manusia dengan baik.
Pada sisi lain, sekelompok ahli berpendapat
bahwa
cara
bekerja
seperti
yang
dikemukakan di atas tidak memenuhi tujuan
psikologi kepribadian, yaitu mengenal
manusia menurut apa adanya, menurut sifatsifat yang khas.
1. Beberapa Teori Tipologi
a. Teori Hippocrates-Galenus
Terpengaruh
oleh
kosmologi
Empedokles, yang menganggap alam
semesta beserta isinya tersusun atas empat
unsur pokok yaitu tanah, air, udara, dan api
yang masing-masing mendukung sifat
tertentu. Tanah mendukung sifat kering, air
mendukung sifat basah, udara mendukung
sifat dingin, dan api mendukung sifat panas.
Hippocrates (460-370) berpendapat, bahwa
di dalam tubuh manusia juga terdapat sifatsifat tersebut yang didukung oleh cairancairan yang ada di dalam tubuh, yaitu:
1) Sifat kering didukung oleh chole,
2) Sifat basah didukung oleh melanchole,
3) Sifat dingin didukung oleh phlegma,
dan
4) Sifat panas didukung oleh sanguis
Cairan-cairan tersebut ada dalam
tubuh dalam perbandingan tertentu. Di
dalam kenyataannya adanya cairan-cairan
tersebut di dalam tubuh banyak kali
menyimpang dari perbandingan yang
seharusnya (menyimpang dari perbandingan
yang normal), sehingga menyebabkan
adanya kelainan-kelainan. Sifat kejiwaan
tertentu yang khas ini, yang adanya
tergantung kepada dominasi cairan dalam
tubuh itu oleh Galenus disebut temperament
(Sumadi Suryabrata, 1998: 79).
b. Tipologi Mazhab Italia dan Perancis
1) Tipologi Mazhab Italia
Berdasarkan atas data-data yang
diperoleh
De-Giovani, serta hukum
deformasi yang dirumuskan oleh DeGiovani, Viola dalam penyelidikannya
menemukanan adanya 3 macam tipe
manusia berdasarkan keadaan tubuhnya,
yaitu,
a) Microsplanchnis;
ukuran-ukuran
menegak relatif dominan, sehingga
orangnya kelihatan tinggi jangkung,
b) Macrosplanchnis;
ukuran-ukuran
mendatarnya
relatif
dominan
sehingga orangnya kelihatan pendek
gemuk,
c) Normosplanchnis;
ukuran-ukuran
menegak dan mendatar seimbang,
sehingga orang kelihatan seimbang.
2) Tipologi Mazhab Perancis
Mazhab Perancis yang dipimpin
oleh Sigaud berpendapat bahwa keadaan
serta bentuk tubuh manusia serta kelainankelainannya pada pokoknya ditentukan oleh
sekitar atau lingkungan. Ada bermacam-
382
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
macam lingkungan yang menimbulkan
reaksi yang bermacam-macam, yaitu:
a) Lingkungan yang berwujud udara
menjadi sumber reaksi respiratoris,
b) Lingkungan
yang
berwujud
makanan-makanan menjadi sumber
reaksi digestif,
c) Lingkungan
yang
berwujud
keadaan-keadaan alam menjadi
sumber reaksi-reaksi muskuler,
d) Lingkungan yang berwujud keadaan
sosial menimbulkan reaksi-reaksi
cerebral.
3) Tipologi Kretschmer
a) Tipe-tipe manusia menurut keadaan
jasmaninya,
b) Tipe-tipe
manusia
menurut
Temperamennya,
c) Hubungan keadaan jasmani dan
temperamen
4) Teori Sheldon
Sheldon
menggambarkan
kepribadian manusia terdiri dari komponenkomponen , yakni;
a) Komponen-komponen kejasmanian,
b) Komponen-komponen temperament
c) Komponen-komponen psikiatris
5) Tipologi
Berdasarkan
Keadaan
Kejiwaan Semata-mata
a) Tipologi Plato
Plato membedakan adanya 3 bagian
jiwa, yaitu:
(1) Pikiran
(logos)
yang
berkedudukan di kepala,
(2) Kemauan
(thumos)
yang
berkedudukan di dada,
(3) Hasrat
(epithumid)
yang
berkedudukan di perut.
b) Tipologi Queyrat
Queyrat menyusun tipologi atas
dasar dominasi daya-daya jiwa, yaitu
daya-daya kognitif, afektif, dan
konatif.
c) Tipologi Malapert
Malapert
menggolong-golongkan
manusia atas dasar dominasi daya
tertentu.
(1) Tipe intelektual, terdiri atas
golongan analitis dan reflektif,
(2) Tipe afektif, terdiri atas
golongan
emosional
dan
bernafsu,
(3) Tipe volunter , terdiri atas
golongan tanpa kemauan dan
besar kemauan
6) Tipologi Heymans
Heymans
berpendapat
bahwa
manusia
itu
sangat
berlainan
kepribadiannya, dapat dikatakan sebanyak
orangnya. Sebagai dasar penggolongan
manusia, adalah kualitas kejiwaan, yaitu:
a) Emosionalitas,
b) Proses pengiring,
c) Aktivitas.
7) Tipologi Spranger
Pokok-pokok
pikiran
Spranger
mengenai kepribadian manusia diwarnai
aspek-aspek kerohanian.
2. Beberapa Teori Kepribadian yang
Memakai Cara Pendekatan Lain
a. Psikoanalisis Teori Sigmund Freud
Teori kepribadian Freud dapat
diihtisarkan
dalam
rangka
struktur,
dinamika, dan perkembangan kepribadian.
1) Struktur kepribadian
Menurut Freud, kepribadian terdiri
atas 3 sistem/ aspek, yaitu:
a) Das Es (the id), yaitu aspek biologis.
b) Das Ich (the ego), yaitu aspek
psikologis.
c) Das Ueber Ich (the super ego), yaitu
aspek sosiologis.
2) Dinamika kepribadian
Menurut Freud di dalam diri kita ada
2 macam kelompok instink-instink, yaitu,
a) Instink-instink hidup
383
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
b) Instink-instink mati
3) Perkembangan kepribadian
Perkembangan kepribadian adalah
belajar mempergunakan cara-cara baru
dalam mereduksikan tegangan, yang timbul
karena individu menghadapi berbagai hal
yang menjadi sumber tegangan (tension).
Sumber tegangan yang pokok adalah:
a) Proses pertumbuhan fisiologis
b) Frustasi
c) Konflik
d) Ancaman.
4) Psiko Analitis, Teori Carl Gustav Jung
Jung mula-mula adalah murid Freud.
Tetapi karena perbedaan pendirian,
akhirnya memisahkan diri dan mendirikan
aliran sendiri yang diberi nama Psikologi
Analitis. Dia tidak berbicara tentang
kepribadian tetapi berbicara tentang psike.
Psike adalah segala peristiwa psikis, baik
yang disadari maupun tidak disadari.
Menurut Jung, kepribadian terdiri dari 2
alam, yaitu:
a) Alam sadar (kesadaran), yang
berfungsi mengadakan penyesuan
terhadap dunia luar,
b) Alam tak sadar (ketidaksadaran)
yang mengadakan penyesuaian
terhadap dunia dalam, yaitu dunia
batin sendiri.
5) Individual Psychologie, Teori Alfred
Adler
Seperti Jung, Adler mula-mula juga
murid Freud, tetapi karena perbedaan
pendapat memisahkan diri dan mendirikan
aliran tersendiri. Teori Adler dapat kita
pahami lewat pengertian-pengertian pokok
yang dipergunakannya untuk membahas
kepribadian. Adapun pengertian-pengertian
pokok tersebut adalah:
a) Individualitas
sebagai
pokok
persoalan
b) Pandangan
teleologis,
―filsafat
seakan-akan‖
c) Dua
dorongsn
pokok,
yaitu
dorongan
kemasyarakatan
dan
keakuan.
d) Rasa rendah diri dan kompensasi
7.
Sifat Khas Individu yang Lain :
Masalah Inteligensi
Inti persoalan di sini adalah ―apakah
inteligensi itu?‖ Secara garis besar
dikemukakan berbagai konsepsi mengenai
inteligensi yang digolongkan menjadi 5
macam,yaitu:
1. Konsepsi-konsepsi
yang
bersifat
spekulatif-filsafati.
Spearman, dalam bukunya yang
terkenal yaitu The Abilities of Man (1927)
mengelompokkan konsepsi-konsepsi yang
bersifat spekulatif-filsafati menjadi 3
kelompok, yaitu:
a. Yang memberikan definisi mengenai
inteligensi umum,
b. Yang memberi definisi mengenai dayadaya jiwa khusus yang merupakan
bagian dari inteligensi,
c. Yang memberi definisi inteligensi
sebagai taraf umum dari sejumlah besar
daya-daya khusus.
2. Konsepsi-konsepsi
yang
bersifat
pragmatis.
Dasar dari konsepsi ini kiranya
dinyatakan oleh Boring, bahwa intelegensi
adalah apa yang dites oleh tes inteligensi.
Konsepsi ini cocok sekali dengan selera
banyak ahli di Amerika Serikat. Kurang
radikal daripada pendapat Boring itu adalah
pernyataan Terman, bahwa inteligensi itu
dapat diukur sesuai dengan definisinya.
Pernyataan ini dianalogikan dengan
pengetahuan tentang listrik, pengukuran
terhadap listrik tergantung kepada definisi
yang diberikannya, panasnya, alirannya, dan
sebagainya. Jika sekiranya ini benar, maka
sebenarnya dengan tes itu kita tidak
mendapatkan pengetahuan baru sama sekali,
karena yang diukur kita sudah mengerti
sebelumnya.
3. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas
analitis faktor,
384
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Konsepsi ini dinamakan demikian
sebenarnya beralas pada kenyataan bahwa
di dalam menyelidiki dan mencari sifat
hakiki inteligensi itu orang mempergunakan
teknik analisis faktor, suatu teknik yang
mula-mula dirintis oleh Spearman, dan
kemudian cepat berkembang, terutama di
daerah Anglosaksis. Psikologi yang begitu
besar peranannya dalam psikologi dewasa
ini banyak sekali bersandar kepada analisis
faktor itu.
4. Konsepsi-konsepsi
yang
bersifat
operasional
Apakah inteligensi itu? Jawaban
terhadap pertanyaan ini dengan memberikan
definisi yang disusun secara sekehendak,
umumnya dianggap tidak memuaskan oleh
para ahli psikologi. Ahli-ahli yang
mengikuti operasionalisme mengajukan
keberatan-keberatan terhadap pendapat para
pengikut teori faktor itu, yaitu pertama
mendefinisikan, kedua mengukurnya.
Keberatan yang pertama ialah
karena tindak (operation) pengukuran itu
sendiri sebenarnya secara implisit telah pula
mendefinisikan. Selanjutnya, keberatan
yang kedua ditujukan pada jalan pikiran ini:
dengan menganalisis hasil tes-tes, ahli-ahli
yang mengikuti teori faktor berpendapat
telah mengetahui faktor-faktor inteligensi
itu, tetapi kata pengikut operasionalisme-di
manakah letak faktor itu? Cara yang
demikian itu secara operasional tak dapat
diterima.
5. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas
analitis fungsional
Konsepsi ini disusun atas dasar
pemikiran
atau
analisis
mengenai
bagaimana berfungsinya inteligensi itu, lalu
dirumuskan sifat-sifat hakikatnya atau
definisinya. Salah satu teori yang disusun
atas dasar cara seperti yang dikemukakan
itu adalah teori Binet. Binet menyatakan
sifat hakikat inteligensi ada 3 macam,
yakni:
a) Kecenderungan untuk menetapkan dan
mempertahankan
(memperjuangkan)
tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang,
akan makin cakaplah dia membuat tujuan
sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak
menunggu perintah saja.
b) Kemampuan
untuk
mengadakan
penyesuaian dengan maksud untuk
mencapai tujuan itu. Makin cerdas
seseorang dia akan makin dapat
menyesuaikan cara-cara menghadapi
sesuatu dengan semestinya, makin dapat
bersikap kritis.
c) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu
kemampuan untuk mengkritik diri
sendiri, kemampuan untuk belajar dari
kesalahan yang telah dibuatnya. Makin
cerdas seseorang, makin dapat dia belajar
dari kesalahannya, kesalahan yang telah
dibuatnya tidak mudah diulangi lagi
(Sumadi Suryabrata, 1998: 133)
8. Hubungan Budaya dengan Sifat
Dasar Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang paling lengkap dan sempurna.
Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang
membentuknya, mulai dari makhluk yang
paling sederhana sampai yang paling unik.
Secara garis besar, makhluk ciptaan Tuhan
dibagi menjadi dua, yakni yang tidak dapat
dilihat mata seperti malaikat, syaitan, iblis,
dan sebagainya. Yang kedua adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang dapat dilihat
mata.
Makhluk yang dapat dilihat dengan
mata ada 4 tingkatan, yakni:
Pertama, yang mempunyai bentuk dan
wujud, yakni benda-benda mati seperti batu,
tanah, pasir, dan sebagainya.
Kedua, yang mempunyai bentuk, wujud,
dan unsur kehidupan, yakni segala jenis
tumbuh-tumbuhan.
Ketiga, yang mempunyai bentuk, wujud,
unsur kehidupan, dan insting, yakni semua
jenis hewan/ binatang.
385
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Keempat, yang mempunyai bentuk, wujud,
unsur kehidupan, insting, dan akal serta
pikiran, yakni manusia.
Secara kodrati, manusia adalah
makhluk individu, makhluk sosial, dan
otomatis adalah makhluk Ciptaan Tuhan
(Al-Khaliq). Dari kodrati makhluk manusia
di sini, akan kita kaji dan kita hubungkan
dengan budaya atau dengan kata lain
hubungan antara budaya dan hakikat dasar
manusia.
Di bawah ini ditampilkan budayabudaya khususnya budaya Jawa yang terkait
erat dengan hakikat dasar manusia
(paribasan dan bebasan).
(Paribasan yaiku unen-unen gumathok, ajeg
panganggone, lan ngemu teges wantah.
Tembuge ora kena diowahi utawa diganti
nganggo tembung liya. Bebasan yaiku
unen-unen gumathok, ajeg panganggone,
lan ngemu teges pepindhan. Sing
dipindhakake yaiku: sipat, tindak-tanduk,
utawa kaanane wong) (Dwijawiyata, 2002:
44-45).
1. Manusia sebagai Makhluk Individu
a. Seje kulit seje anggit (saben uwong
duwe kekarepan dhewe-dhewe)
b. Ciri wanci lelai ginawa mati (cacat
utawa padatan ala, ora bisa ilang
nganti tekaning pati)
c. Adigang,
Adigung,
adiguna
(ngedir-edirake
kekuwatan,
kaluhuran, kapinteran)
d. Durung ilang pupuk lempuyange
(dipadhakake bocah sing isih cilik)
e. Durung pecus, keselak besus
(durung sembada, wis kepengin
warna-warna)
f. Gemblung
jinurung,
edan
kuwarisan ( sanajan ndhugal
tindake, nanging tansah slamet)
g. Kenes ora ethes (wanita umuk,
nanging bodho)
h. Kongsi jambul wanen (nganti tuwa
banget)
i. Kerot tanpa untu (duwe panjangka,
ora duwe srana).
Lahang karoban manis (rupane
bagus/ ayu, tur luhur budine).
k. Lanang kemangi (watake wong
lanang sing jirihan).
l. Mbalung
usus
(kekarepane
kendho-kenceng, ora mantep).
m. Nggenthong umos (ora bisa
nyimpen wewadi)
2. Manusia sebagai Makhluk Sosial
a. Ana rembug dirembug, aja padha
grusa-grusu (ana prakara dirembug,
ora grusa-grusu)
b. Mangan ora mangan anggere
ngumpul (sanajan kadhang kala
padha ora mangan, sing penting
bisa awor)
c. Sapa nandur bakal ngunduh (sapa
sing gawe prakara bakal nemahi)
d. Becik ketitik ala ketara (sapa sing
gawe kabecikan katon lan sapa
sing gawe ala uga katon)
e. Kebo nusu gudel (wong tuwa
takon/ sinau marang wong enom)
f. Aja cedhak kebo gupak (aja
kekancan karo uwong sing seneng
tumindak ala, mundhak ketularan
alane)
g. Ana catur mungkur (ora gelem
ngrungokake rerasaning liyan sing
ala)
h. Anak molah, bapa kepradah (nemu
pakewuh marga saka pokale anake)
i. Busuk ketekuk, pinter keblinger
(sing pinter lan sing bodho padha
dene nemu cilaka)
j. Bapa kesulah, anak kepolah (anak
wajib nanggung prekarane bapakne
sing wis mati)
k. Criwis cawis (diprentah madoni,
namging
wusanane
gelem
nglakoni)
l. Didhadhunga medhot, dipalangana
mlumpat (kekarepane wis ora bisa
diendhakake maneh)
m. Dudu sanak dudu kadang, yen mati
melu kelangan (wong liya, nanging
yen nandhang susah dibelani)
386
j.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
n.
Entek amek, kurang golek
(ngunek-unekake wong nganti
sakatoge)
o. Giri lusi, janma tan kena ingina
(ora kena ngina marang pepadhane
manungsa).
p. Jalukan ora wewehan (gelem
njejaluk, ora gelem weweh)
q. Kadang konang ( gelem ngaku
sadulur mung yen sugih)
r. Kepara, kepere ( pangedume ora
padha)
s. Keplok ora tombok (melu senengseneng, ora melu ngetokake ragad).
t. Kulak warta, adol prongon (goleki
kabar lan nerusake kabar sing
dirungu)
u. Dicuthat kaya cacing (ditundhung
kanthi cara sing siya banget).
v. Glundhung
suling
(miwiti
mbangun brayat, sing lanang tanpa
nggegawa apa-apa).
w. Glundhung
semprong
(wong
wadon omah-omah tanpa nggawa
gawan).
x. Katon cepaka sawakul (disenengi
dening wong akeh).
y. Madu balung tanpa isi (regejegan
mung marga barang sepele).
z. Nabok nyilih tangan (tumindak ala
srana kongkonan wong liya).
aa. Nggutuk lor kena kidul (nyemoni)
bb. Ngubak-ubak banyu bening (gawe
rerusuh ing papan sing tentrem).
3.
Manusia sebagai Makhluk Ciptaan
Tuhan
a. Sangkan paraning dumadi (kabeh
manungsa dititahke dening Allah,
Swt.)
b. Narima ing pandum (ikhlas nampa
apa wae sing diparingake Allah,
Swt)
c. Pasrah ‗Allah (tawakal sawise
tumindak)
d. Kineban lawang tobat (wis ora bisa
oleh pangapura)
C. KESIMPULAN
Tugas
mendidik
akan
dapat
dilakukan dengan benar dan tepat sasaran,
jika pendidik memiliki gambaran yang jelas
tentang siapa manusia itu sebenarnya,
termasuk sifat dasarnya. Manusia memiliki
sifat dasar dan ciri khas yang secara
prinsipiil berbeda dari binatang. Ciri khas
manusia yang membedakannya dengan
binatang terbentuk dari kumpulan terpadu
(integrated) dari apa yang disebut sifat
hakikat manusia atau sifat dasar manusia.
Disebut sifat hakikat manusia karena secara
hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh
manusia dan tidak terdapat pada hewan atau
binatang.
Sifat
hakikat
manusiadiartikan
sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara
prinsipiil
(bukan
hanya
gradual)
membedakan
manusia
dari
hewan,
meskipun antara manusia dengan hewan
terdapat banyak kemiripan terutama jika
dilihat dari segi biologisnya.
Budaya adalah daya dari budi, yang
berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan
kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa,
dan karsa. Budaya adalah suatu konsep
yang membangkitkan minat. Menurut
Koentjaraningrat,
wujud
kebudayaan
dibedakan menjadi tiga bagian yaitu
pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, dan sebagainya,
kedua wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat, ketiga
wujud kebudayaan berupa benda-benda
hasil karya manusia.
Secara kodrati, manusia adalah
makhluk individu, makhluk sosial, dan
otomatis adalah makhluk Ciptaan Tuhan
(Al-Khaliq). Secara personal, setiap
manusia memiliki kepribadian. Kepribadian
manusia itu sangat bermacam-macam,
mungkin
sama
banyaknya
dengan
banyaknya
orang.
Perkembangan
kepribadian adalah belajar mempergunakan
387
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
cara-cara baru dalam mereduksikan antara budaya, bahasa dengan sifat dasar
tegangan, yang timbul karena individu atau hakikat dasar manusia salah satunya
menghadapi berbagai hal yang menjadi dapat dibuktikan dengan banyaknya
sumber tegangan (tension). Sumber paribasan
maupun
bebasan
yang
tegangan yang pokok adalah proses mencerminkan dan menggambarkan hakikat
pertumbuhan fisiologis, frustasi, konflik, manusia sebagai makhluk individu,
dan ancaman.
makhluk sosial, dan makhluk ciptaan
Bila dilakukan kajian yang lebih Tuhan.
mendalam, budaya terkait erat dengan
bahasa dan sifat dasar manusia. Keterkaitan
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Burke, Peter. (2003). Sejarah dan Teori Sosial. Alih Bahasa Mestika Zed & Zulfami.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dwijawiyata. (2002). Kawruh Basa Jawa Pepak 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
(Anggota IKAPI).
Dwipayana, AAGN Ari. (2001). Kelas dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama .
Geertz, Clifford. (1999). After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog.
Alih Bahasa Landung Simatupang. Yogyakarta: LKiS Bekerjasama dengan The
Asia Foundation.
Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana, Dedy, dkk. (2001). Komunikasi antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan
orang-orang Berbeda Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Poerwanto, Hari. (2000). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).
Simuh. (1999). Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Suryabrata, Sumadi. (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tirtarahardja, Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.
Warsito. (2010). Perspektif Pendidikan Ilmu Sosial. Klaten: Widya Dharma University
Press.
Warsito. (2012). Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak (Anggota IKAPI).
388
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
IMPLEMENTASI EMPAT PILAR KEBUDAYAAN JAWA
DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sahid Teguh Widodo
Pusat Studi Javanologi LPPM Universitas Sebelas Maret
[email protected]
ABSTRAK
Kebudayaan Jawa ditopang oleh empat pilar yang kokoh yaitu mithos,
logos, etos, dan patos. Keempatnya memiliki sifat relasi komplementer sebagai
self-cultivation ‟pembudidayaan pribadi‟ setiap insan Indonesia yang memiliki
intensitas dramatik dan suasana (atmosphere) yang khas. Paper ini bertujuan
memaparkan beberapa pokok pikiran mengenai implementasi empat pilar budaya
Jawa dalam sistem pendidikan di Indonesial. Selain memaparkan deskripsi
operasional dan filosofis, paper ini juga memaparkan peran strategis budaya
Jawa, khususnya sebagaimana dipaparkan dalam keempat pilarnya. Budaya
dalam konteks ini seharusnya berposisi sebagai pemrakarsa, pendinamisir, dan
inspirasi pengembangan pendidikan di Indonesia.
Kata kunci: pilar, budaya, Jawa, kurikulum, indonesia
‖Was du ererbt von deinen Vatern hast
Arwirb es um es zu basitzen"
(Muhamad Yamin)
"Apa yang telah kau warisi dari nenek
moyangmu
Upayakanlah agar tetap menjadi hak
miliknya"
A. PENGANTAR
Wacana Kebudayaan Jawa saat ini
berada pada kitaran wilayah yang bipolarkontradiktif. Satu sisi, kebudayaan Jawa
dianggap sebagai budaya adi luhung, dan di
sisi lain menganggap budaya Jawa sebagai
budaya masa lampau yang tidak mampu
mengikuti perkembangan zaman. Budaya
popular yang lahir belakangan selalu
dianggap sebagai budaya yang miskin
estetika, dangkal nilai, dan bersumbu
pendek (Cohen, 1971), namun pada
kenyataannya paling menyedot perhatian
publik. Sedangkan wilayah, penghayat dan
penikmat
budaya adi luhung semakin
menyusut dan terbatas.
Budaya Jawa merupakan bagian dari
kebudayaan bangsa Indonesia memiliki
peran dan kedudukan strategis dalam
kerangka kemajuan adab, memberi arti yang
mempertinggi derajat kemanusiaan, dan
usaha bina persatuan. Kebudayaan Jawa
memiliki wilayah yang sangat luas, meliputi
berbagai aspek kehidupan, yaitu: pranata
sosial, bahasa, sastra, tatanegara, politik,
pertahanan,
ekonomi,
pertanian,
perbintangan, mata uang, penanggalan,
bahari, lingkungan hidup, dan berbagai
bentuk seni dan tradisi. Budaya Jawa
memilki wilayah pengaruh yang sangat luas
meliputi daratan Madagaskar, Kamboja,
Thailand, Melayu, dan Myanmar (Birma)
sebagai daerah penyebaran Sastra Panji.
Tentu saja hal itu tidak lepas dari
kemampuan dan ketahanan, wujud dan
karakter budaya Jawa di dalam menerima
389
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
budaya dan pengaruh asing dari waktu ke
waktu tanpa meninggalkan ciri dan corak
khasnya dengan cara adaptasi, akulturasi,
inkulturasi, asimilasi, dan sinkretisme.
Adalah pelajaran yang berharga jika
generasi terpelajar Indonesia mampu
menangkap dan mempelajarinya sebagai
bahan dasar kajian mengenai substansi, pola
dan tata nilai kearifan berfikir, besikap, dan
bertingkah laku dalam membangun manusia
Indonesia seutuhnya, baik lahir maupun
batin.
Tulisan pendek ini bertujuan untuk
memaparkan
implementasi
pilar
kebudayaan Jawa dalam kurikulum
pendidikan berbasis budaya. Konteks
Indonesia sebagai negara yang memiliki
begitu banyak kekayaan budaya, paparan ini
sangat
penting
dalam
kerangka
mewujudkan pendidikan yang tepat guna
dan sasaran. Yaitu pendidikan yang mampu
menangkap dan mengungkap dasar
kekuatan di balik kekokohan peradaban
guna mencerdaskan bangsa Indonesia yang
multikultural.
B. PILAR KEBUDAYAAN JAWA
Kebudayaan Jawa selalu mengalami
pasang surut kejayaan dari masa ke masa
(Oesman Arif, 2004). Kejayaan kebudayaan
Jawa semestinya ditopang oleh pilar-pilar
yang kokoh. Kebudayaan Jawa ditopang
oleh empat Pilar yang memungkinkan ia
berdiri dan bertahan hingga kini. Keempat
Pilar itu bernama Mithos, Logos, Ethos, dan
Pathos. Syarat sebagai pilar antara lain
adalah: kuat, kokoh, tepat pada tempatnya,
sejajar, selaras, merata, sama besar, dan
memenuhi keperluan estetika (Haugen,
1972; Eagleton, 2000). Empat Pilar
Kebudayaan adalah matra yang tersusun
dari sejarah panjang yang terpilih, teruji,
dan menjadi warisan nenek moyang kepada
kita.
1. Mithos
Mithos sering dipahami sebagai
dongeng, gugon tuhon, klenik, atau cerita
kuno yang tidak nyata. Mithos (Myth) dalam
konteks ini mithos adalah semangat
bersama yang dilandasi oleh oleh cita-cita,
harapan, dan nilai luhur yang dipikirkan,
dipahami, dipertahankan, dan diperjuangkan
bersama, sehingga setiap orang dengan iklas
rela berkorban dan menderita (prihatin)
untuk mencapai kehidupan berkebangsaan
yang lebih baik, kesejahteraan yang
meningkat dan berkualitas, keamanan dan
ketentraman yang senantiasa terjaga.
2. Logos
Logos dalam konteks ini memiliki
arti 'akal budi', yaitu kecerdasan yang terus
menerus berproses maju (progressive)
untuk mewujudkan mithos yang teiah
dimiliki. Masalahnya adalah bagaimana
menjabarkan mithos itu dengan kekuatan
nalar dengan cara mengklasifikasikan,
mengkategorikan,
dan
merumuskan
opreasionalisasi mithos di dalam realitas
objektif (overt) dan realitas subjektif
(covert).
3. Ethos
Pilar yang ketiga adalah Ethos.
Yaitu pandangan hidup yang khas tentang
sesuatu yang dibentuk dari mithos hingga
memiliki nilai, watak, dan sifat yang
dijunjung dan menjadi milik besama sebuah
komunitas. Pada konteks kebudayaan, ethos
adalah kemampuan mengatur (manage)
sehinga masing-masing orang memiliki
tugas dan peran berdasarkan kemampuan
dan keahlian masin-masing.
4. Pathos
Pilar yang keempat adalah Pathos.
Pathos adalah kekuatan besar yang
tersembunyi karena adanya rasa penderitaan
yang lama. Setiap orang memiliki kepekaan
yang berbeda-beda terhadap pengalaman
penderitaannya. Pada kenyataannya, banyak
390
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
orang yang memiliki masa lalu penderitaan,
namun tidak mampu membuat dirinya
menjadi lebih kuat. Penderitaan triwikrama
menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat
apabila seseorang sadar akan tiga kekuatan
yang ada pada dirinya, yaitu mithos, ethos,
dan logos. Ketiganya harus diatur
sedemikian rupa sehingga membuahkan
kesadaran dan pemahaman akan arti sebuah
penderitaan. Pathos adalah kesadaran yang
membeni ruang kepada manusia untuk
belajar dari sebuah pendenitaan. Bahwa
nasib hanya dapat dapat dirubah dengan
memperkuat persatuan dan kerjasama
segenap elemen bangsa.
C. IMPLEMENTASI DALAM
PENDIDIKAN
Tidak ada warga negara Indonesia
yang bodoh. Inilah ‖jimat sakti‖ yang harus
dimiliki dunia pendidikan kita. Keempat
pilar
kebudayaan
tersebut
bersifat
komplementer, saling bertaut, dan saling
mengisi. Artinya, pendidikan berbasis
budaya yang hendak dibangun seharusnya
melibatkan keempat pilar budaya tersebut
sekaligus.
1. Implementasi Mytos
Mithos biasanya diselipkan dalam
bentuk dongeng-dongeng, cerita rakyat
(folklore), misalnya tentang konsep Ratu
Adil, budi pekerti, kebaikan dan keluhuran,
kebahagian lahir batin (Prudentia, 2010),
dan konsep guyup (gotong royong). Mithos
adalah daya hidup yang digali dari nilainilai keluhuran dan kebersamaan sepanjang
sejarah hidup dan kehidupan manusia. Pada
masyarakat moderen, mithos tampak
sebagai sebuah gejala life style 'gaya hidup'
yang menggiring ke gemerlap dunia
material, angka-angka, fantasi, trend,
glamounitas, konsumeritas, dan hedonisme
yang semakin mendorong manusia ke luar
dari posisi kosmiknya. Kesemua itu
berdampak pada semakin memudarnya
landasan agama, nilai-nilai, dan keyakinan
hidup. Pudarnya mithos juga berakibat pada
semakin lemahnya daya hidup masyarakat.
Dalam kegelapan nilai, orientasi, posisi, dan
pegangan, masyarakat Jawa yang gelisah
Iebih memilih apa yang tampak lebih
mudah, sesaat, dan instan.
Kurikulum pendidikan di Indonesia
seharusnya
mampu
memanfaatkan
kekayaan tradisi lisan lokal yang banyak
dimiliki bangsa ini. Nilai-nilai keluhuran,
kearifan, pikiran, tabiat, sifat, ide, semangat,
konsep kesejahteraan, keselamatan, dan
kebahagiaan hidup lahir dan batin
(Karkono, 1986) yang terkandung dalam
cerita rakyat Nusantara harus terus digali
dan dibudidayakan melalui pendidikan.
Peninggalan yang berupa manuskrip,
naskah-naskah langka, dan benda-benda
bersejarah seperti candi-candi, prasasti, dan
tempat bersejarah lain harus menjadi bahan
dasar yang dapat mengembangkan cinta
tanah air dan bangsa. Begitu banyak sumber
ilmu pengetahuan Jawa sebagaimana
termuat dalam serat Wulang Reh (Paku
Buwana IV), Sasana Sunu (Yasadipura II),
Wedhatama (Mangkunegara IV), Surya
Ngalam (Yasadipura I), dll. Jika kandungan
nilai di dalam kitab-kitab lama tersebut ada,
hidup, dan tumbuh di dalam diri manusia
Jawa, tentu cita-cita akan lahirnya satu
tatanan situasi yang tenteram dan damai,
bebas dan keraguan dan kegelisahan, serta
terhidar dari amarah yang menceraiberaikan
dapat terwujud.
2. Implementasi Logos
Budaya Jawa memiliki 'logos' yang
luar biasa. Misalnya tentang diversitas
makanan, pakaian, adat istiadat, arsitektur
dan interior rumah, pertanian, teknologi,
pengobatan, hukum, pendidikan, dan lainlain. Adalah sebuah kenyataan, bahwa
orang Jawa telah berhasil membuat
berbagai-bagai jenis minuman yang seratus
persen murni dan menyehatkan, sistem
pertanian
yang
ramah
lingkungan,
pengelolaan air dan hutan, sistem guyup dan
gotong royong, dan berbagai bidang lain
391
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
yang terbukti unggul dan berkualitas.
Mentalitas inteletual Jawa seharusnya terus
menerus berjalan dan ditujukan membangun
bangsa ini lebih bahagia dan sejahtera.
Kurikulum pendidikan nasional
Indonesia seharusnya mampu mengungkap
lebih dalam kekayaan intelektual bangsa
sendiri. Ilmu pengetahuan moderen tidaklah
berseberangan dengan ilmu pengetahuan
tradisional. Mengapa, karena pengetahuan
tradisional justru menjadi bahan bakar bagi
penemuan format baru pendidikan modern.
Disadari benar, hingga sekarang masih
terdapat dikotomi ruang tujuan antara tradisi
dan modern. Tujuan ilmu pengetahuan
moderen adalah mencapai the logical truth
(rasional), sedangkan Jawa lebih kepada
pencapaian the ethical truth (Sunarko,
2004). Rasional yang beretika, etika yang
cerdas dan berhati nurani, adalah modal
yang besar untuk mengejar kekurangan kita
dalam modern complexes seperti sekarang
mi terjadi. Ujungnya, ternyata akal budi
Jawa tidak berhenti kepada faktor manusia
(antrophosentrik) saja, namun meliputi
alam sosial dan alam semesta di
sekelilingnya (kosmosentrik).
3. Implementasi Etos
Ethos adalah pandangan hidup yang
khas tentang sesuatu yang dibentuk dari
mithos hingga memiliki nilai, watak, dan
sifat yang dijunjung dan menjadi milik
besama sebuah komunitas. Pada konteks
kebudayaan, ethos adalah kemampuan
mengatur (manage) sehinga masing-masing
orang memiliki tugas dan peran berdasarkan
kemampuan dan keahlian masing-masing.
Etos budaya Jawa sangat jelas
tergambar di dalam 5 Wasiat Dalem
K.G.P.A.A. Mangkunegara III yang tetap
aktual digunakan hingga kini.
Mantep:
Temen:
Gelem,
nglakoni:
Aja
gumunan:
Aja
kagetan:
setia
dan
kukuh
dalam
pengabdian,
tidak
ragu-ragu
melakukan pekerjaan karena
dilandasi oleh kejujuran dan
kebenaran
sungguh-sungguh, jujur, dan baik.
Tidak mudah tergiur oleh janji,
teguh dari godaan
pantang
menolak
sebarang
tantangan,
bersedia
dalam
penderitaan (prihatin, Jw), dan
menjalani hidup dengan ringan
dan iklas
tidak mudah merasa heran, takjub,
dan
terlena.
Semua
itu
melemahkan kewaspadaan dan
merendahkan martabat
Tidak mudah kaget dan goyah
pendirian akan keadaan yang
menimpa karena ketenangan
mampu mendatang kekuatan yang
sangat besar
(Sumber: Sahid, 2011)
4. Implementasi Pathos
Masyarakat
Jawa
mempunyai
berbagai bentuk pengalaman lahir batin
berupa
bermacam-macam
pengaruh,
tekanan, pergeseran dan perubahan (lambat
atau cepat dan radikal). Namun yang
menarik, semua itu dapat diterimanya
(kamot) dengan ramah (Karkono, 2004)
dengan sifat khas kejawaannya: organistik,
holistik, integralistik, dan ekologikal
(Soenarto Timur, 1993). ltulah patos Jawa,
yang justru tidak menemukan diri dan
berkembang kekhasannya dalam isolasi,
melainkan dalam pencernakan asupan
kultural darl berbagai arah luar (Frans
Magnis, 1984).
Kurikulum pendidikan sepatutnya
mempertimbangkan pathos bangsa sebagai
dasar
pengembangan
pendidikan.
Penggalian ulang secara detail dan
mendalam nilai mitos, logos, dan etos
budaya merupakan upaya riil membangun
pathos baru. Pengalaman yang pahit dan
menekan secara gradual akan dapat
digantikan atmosphere yang positif.
392
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
Suasana
yang
membebaskan
membanggakan setiap yang punya.
dan
D. PENUTUP
Pemanfaatan dan pemuliaan budaya
Jawa dalam konteks nasional bukanlah
sesuatu hal yang buruk. Budaya Jawa
adalah satu dari sekian banyak suku ‘kaki‘
budaya Indonesia. Dalam pikiran saya,
"Javanese culture is not belongs to one
country but it belongs to civilization/whole
world". Itulah mengapa dalam waktu yang
tak terlalu lama harus segera dilakukan
renaissance Budaya.
Kebudayaan adalah penjelmaan dari
budi manusia (Soenarto, 1992). Yaitu,
manusia
sebagai
pribadi,
anggota
masyarakat, warga Negara, dan bagian dari
semesta
alam
seisinya.
Sebagai
khalifatullah, manusia tercipta ke dunia
tiada lain mengemban misi memayu
hayuning bawana, yang dapat dijabarkan
menjadi memayu hayuning sarira, memayu
hayuning bangsa, dan memayu hayuning
bawana (Ki Hadjar Dewantara dalam
Soenarto Timoer, 1993).
Tidak ada kata "seketika" dalam
budaya. Implementasi empat pilar budaya
Jawa dalam sistem kurikulum pendidikan di
Indonesia harus mau melalui tahapantahapan yang ada, yaitu: tepung 'mengenal
dan menerima', dunung 'memahami,
trangtrawaca‘, srawung 'berpartisipasi,
mengambil bagian', manggung 'tampil di
depan, mendunia'.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, Y. A. (1971). The shaping of men's mind: Adaptation of imperative of culture.
DIm. M. L. Wax, (Eds.). An-Anthropological perspectives on education (hlm. 237244); New York: Basic Book, Inc.
Eagleton, T. (2000). The idea of culture. Massachusetts USA: Blackwell Publisher Ltd.
Frans, Magnis Suseno. (1984). Etika iowa. Jakarta: PT. Gramedia.
Haugen, E. (1972). Dialect, language, Nation; in Dill, S.A. (ed), The Ecology of Language.
California: Stanford University Press.
Karkono, Kamajaya. (1986). Manusia Jawa dan Kebudayaannya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Disampaikan dalam Ceramah Lembaga Javanoiogi Yayasan
Panunggalan, Kemis Wage Jumat Kaliwon, 1 Suro 1919 Jw. atau 4 september.
Yogyakarta: Javanologi Panunggalan.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Baiai Pustaka.
Oesman, Arif. (2004). Empat Pilar Penyangga Budaya, dalam Majalah Ilmiah Haluan
Sastra Budaya. No. 48 Vol 23, hal. 12-18.
Prudentia, MPSS. 2010. Kearifan Lokal Tradisi Lisan sebagai Sumber Pembentukan
Identitas dan Karakter. Makalah International Coference, Renaisance Budaya
Nusantara I. Surakarta: FSSR-UNS.
Soenarko, Setyodarmodjo. (2004). ―Visi dan Misi Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan‖ dalam Buletin Jambatan, 2, Th. 22
September.
Soenarto, Timoer. (1992). Percikan Renungan Filsafat Jawa: Hidup Berselaras. Surabaya:
Paguyuban Sasrakartanan.
Soenarto, Timoer. (1993). Nilai Keterbukaan Budaya Tradisional Jawa (Makalah
Sarasehan). Surabaya: Lembaga Javanologi.
393
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
394
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
THE CONTRIBUTION OF LANGUAGE
FOR CHARACTER EDUCATION
Douglas Obura
Universiti of Sebelas Maret, Surakarta
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
This paper discusses the contribution of language to character education on
positive aspects, with great recommendations of how language has helped in the
shaping of individual characters. Besides, the paper highlights some benefits which
can be reaped as a result of character education, for instance, by students, teachers
and the institution such as; schools, colleges or universities. However, greater
emphasis is put on the implementation of character education and its adverse
magnificent input in the development of good morals and behaviours.
The paper also points out the existing relationship between language and
characte Education, which acts as factors for building desired and acceptable
behaviours within the society. To ascertain relevent reasons as to why students feel
they should study a foreign language (English), two simple open-ended questions
were administered, and the responses obtained were and are in deed educationally
and culturally eye-openers. For instance, 29 responses showed that students
were/are studying English as a foreign language because its an intenational
language.
Keywords:contribution of language, character education, positive aspects
A. BACKGROUND
The
intertwining
relationship
between language and character education
has been into existence for a very long time,
but I should admit that the definition of
character education can be somewhat
complicated and difficult because of the
many values it encompasses. Once we take
a look at the absolute value of education in
both urban and rural areas within our
community, it is easy to find out that many
children and adolescents are spending a lot
of time in schools. Child and adolescent's
day are spent entirely at the school, where
they learn how to cope academically and
then end up taking coaching lessons or extra
curriculum activities such as drama, dance
& music, etc. These students tend to
develop mentally, psychologically, socially,
and emotionally from their nearest mentors
who happens to be their classroom teachers
or school counselors, administrators,
support staff and other students. This
therefore, calls for a proper knowledge of
character education.
To both educated and uneducated
individuals, language is that smooth and
comforting channel through which people
identify themselves with the required
norms, because individuals can find peace,
freedom, self-expressions and above all an
identity recognition. A lot of people tend to
fight for their ethnic identity through the
acquisition of the local or common
language, and this makes them feel a strong
sense of uniformity, togetherness and
belonging. Michael, Violet and Deborah,
(2009), asserts that character education,
395
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
variously known as values education, moral
education, transmission of cultural values,
and socialization is regarded to have been
around for centuries. They also cited
Farris‘s (2001) reoprt which states that
historically, many leaders such as Aristotle,
Quintilian, Muhammad, Martin Luther,
Johann Herbart, Horace Mann and John
Dewey have advocated for character
education in schools.
To some researchers, educators and
educational analysts, character education
helps learners to acquire the norms of the
society.Other educators such as; Marvin and
Melinda, (2005), cited Character Education
Partnership which states that, character
education is a national movement creating
schools that foster ethical, responsible, and
caring young people by modeling and
teaching good character through emphasis
on universal values that we all share. It is
the intentional, proactive effort by schools,
districts, and states to instill in their students
important core, ethical values such as
caring, honesty, fairness, responsibility, and
respect for self and others. They also shared
a similar defination from the Association
for
Supervision
and
Curriculum
Development, which stated that Character
education is teaching children about basic
human values, including honesty, kindness,
generosity, courage, freedom, equality, and
respect. The goal is to raise children to
become
morally
responsible,
selfdisciplined citizens.
On the other hand, Winton (2007),
who cited Benninga, 1997; Character
Education Partnership, 2003; Ontario
Ministry of Education, 2006, asserts that
Character education is the explicit attempt
by schools to teach values to students, while
advocating claims that character education
increases academic achievement, improves
student behaviour, and amongst others.
However, character education is that
terminology which means the development
of knowledge, skills, and abilities that
enable the learners, in this case students to
make informed and responsible choices, in
their lives, and it involves uniform sharing
of educational commitment between
students and their lecturers/teachers, which
emphasizes the responsibilities and rewards
of productive living in this current global
era, a diverse societat challenges. Besides,
without any doubts, educators can argue
that character education enables students to
come face to face with the realities of life
that encourages them to think critically and
then act responsibly, due to the urgency.
The ultimate goal of all education is
character and therefore, it is practically
important to point out that, your character is
what makes you, who you are today as a
result of everything you have made of
yourself and could have overcome in your
life so far, till today." But an actual
individual‘s character is reflected in
habitual action at all time, that implies a
person is possesed and indicated by what
he/she does. That is, a student‘s character
plays a major role in his or her academic
success, and not forgetting that institution
such as; universities, colleges or schools can
build into students, the habits of good
character that will drive students‘
behaviours in a well motivated and
acceptable way, that is, not only
academically but also in their everyday
lives,
such
as;
interactions
or
communication, sharing, prayers in
mosques, churches, etc. However, basic
habits that are acceptable and increases
students‘ odds of being successful in their
universities, colleges, schools, includes:
1. Show up for lecture from the beginning
till the end of the semester,
2. Being on time for all school‘s, college
or university programs,
3. Honouring and following lecturers‘
instructions and directions at all time,
during the course,
4. Ensuring that academic tasks are
finished on time,
396
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
5. building a team spirit and a common
sense of getting along with others.
B. THE RELATIONSHIP BETWEEN
LANGUAGE AND CULTURE
According to Aubrey‘s (September
2008) article on published on EFL.net,
which highlights clearly the relationship
between language and culture amidst
character up building, where he suggests
that teachers must instruct their students on
the cultural background of language usage.
If one teaches language without teaching
about the culture in which it operates, the
students are learning empty or meaningless
symbols or they may attach the incorrect
meaning to what is being taught. The
students, when using the learnt language,
may use the language inappropriately or
within the wrong cultural context, thus
defeating the purpose of learning a
language. Besides, Aubrey also cites that,
because language is so closely entwined
with culture, language teachers entering a
different culture must respect their cultural
values. As Englebert (2004) describes:
―…to teach a foreign language is also to
teach a foreign culture, and it is important to
be sensitive to the fact that our students, our
colleges, our administrators, and, if we live
abroad, our neighbours, do not share all of
our cultural paradigms.‖
PRACTICAL GRASSROOT EXAMPLE: (A FOREIGNER IN INDONESIA)
Foreigner OverseasForeigner in Indonesia
Mr. XMr. X Mr. X
Foreign Language
English
Indonesia (New
Env’t)
Bahasa Insonesia
(Observable Expectation)
- Own Language
- Cultural Values
- Learning Bhsa Indonesia
- Cultural Ethics
- Religious Believes
- Moral Values
- etc
397
Character Education
(Informal)
Character
Manifestation
- Social Skills
Awareness
- Religious Perspectives
- Cultural Appreciation
(Greeting, thanking,
etc)
- Communication Skills
- Moral Values
- Right Attitudes &
Ideas
- Right or Desired
Actions
- Positively Acceptable
Behaviour
- etc
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
From the above relationship model
between the language and character
education, it categorically clear that there is
a huge connection because we can see
elements of character manifestation, after
the foreigner in question (Mr. X) living in
Indonesia for a period of 2-3 years, or even
for just 1 year after learning Bahasa
Indonesia. The knowledge of linguistic puts
forward the concept of learning a language
and a specific culture of that respective
language, for easier communication which
includes; proper tone in the speaker‘s voice,
and intonations applied, proper synonyms to
be used, proper gestures to be used, proper
non-verbal cues, proper idioms to be used,
proper probing techniques, and proper and
polite disagreeing techniques, etc.
C. ALARMING ISSUES WHICH
CALLS FOR LANGUAGE
TEACHING AND CHARACTER
EDUCATION IN TODAY’S
WORLD
Willinger (2009), proposes that the
goal of character education is to raise
emotionally
balanced,
socially
compassionate, and caring individuals with
a solid value system. Those educators who
focus mainly on test scores are in for a rude
awakening when larger issues arise (the
child is cheating on tests, or stealing from
classmates, for example). For instance,
courses on etiquette and character
development can sweep potential minefields
by imparting the building blocks of
successful emotional growth: integrity,
honesty,
empathy,
leadership,
and
responsibility, to name just a few. If your
child grows up to be a doctor but is greedy
and uncaring, that advanced degree counts
for very little, for you would have failed
miserably in nurturing a true human being.
However, as educators, a lot needs
to pointed out to the youth that desired and
good character is not formed out of the
blues or automatically but instead it is
developed over a significant period of time
through sustained process of teaching,
learning and practice. The intentional
teaching of good character is particularly
important in today‘s society since our youth
face many opportunities and dangers
unknown to earlier generations because of
the following;
1. Youth are exposed to the consumption
of unappropriate, divastating and
uncontrolled internet products or
general information, which is affecting
their moral values.
2. Youth are tortured with many negative
influences through the media and other
external sources that finds their ways to
children/students in today‘s culture.
3. Youth are confused by many existing
day-to-day pressures from their
environment and peers which is
impinging on them.
4. Uncontrolled peer pressure from friends
through their home environment,
schools and social media.
5. The impact of international influence
and globalization are two strong
components that are currently driving
young university students into setting
their lifestyles to their counterparts in
China, Korea, USA, UK, Canada and
France. This is also supported by many
universities seeking affiliations or
collaboration policies with universities
around the world.
6. Many documentation and research
highlights that many families today are
very busy vending for their needs and
therefore providing less supervision
and moral guidance to the children and
the youth, than the previous generations
of 30-50 years ago, this had actually
left children vulnerable and not capable
of developing any social behaviors,
manners,
skills
and
societal
expectations, expected of them in terms
of their contribution to the society. So it
is easily seen that the entire moral task
398
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
challenge is left for the schools and
teachers to build and shape.
that is protective, preserving and
nurturing
D. THE ROLE AND CONTRIBUTION
OF LANGUAGE EDUCATION
Communication is complete between
the sender and the receiver due to a
common language that the two does share.
Therefore, as an educator, I can vividly say
that, is an aid to effective communication
between two or more individuals, and
language is very important because it plays
the
following
roles;
i)
breaking
communication barriers, ii) to biuld
individual character, iii) to develop science
and technology. However, Michael, Violet
and Deborah, (2009), suggests that apart
from the ability of literature, which
embades language to encourage the moral
development of students, it is also utilized
extensively. It is believed that it would
enable students to gain further practice in
the key areas to;
I. Acquire knowledge and
understanding
of
society,
appreciation of their culture
including languages, traditions,
songs, ceremonies, customs, social
norms and a sense of citizenship.
II. Acquire a good knowledge
and practice of moral standards and
health practices that will prepare
them for responsible family and
community life.
III. Develop their own special
interests, talents and skills whether
these are; physical strength,
intellectual ability, and/or artistic
gifts.
IV. Develop critical thinking,
problem solving ability, individual
initiative, interpersonal; and inquiry
skills.
V. Develop desirable attitudes
or behavioral patterns in interacting
with the environment in a manner
E. OBJECTIVES OF CHARACTER
EDUCATION FOR STUDENTS
AND VALUES
1. The development of a student‘s
Knowledge and understanding of basic
moral and behaviour ideology, which
puts forward, his/her understanding of
the social nature of moral character and
conduct, which are expected of
him/her, within different affiliations,
such as; universities, religiously
(Islamic, Christians, Hindus, etc).
2. The development of a student‘s
Knowledge of the general concept of
―what is right or wrong‖ in particular
situations frequently recurring in a
student‘s daily life, such as; within
his/her campus (university), boarding
houses,
lecture
theaters/rooms,
mosques/churches, etc.
3. The development of the student‘s
ability to understand vividly, the good
and evil consequences to himself or
herself and others of any other peer
contemplated actions, within any
environment where students might find
themselves. It is always difficult for
students to fight peer influences and
pressure due to their inability to
analyze good and evil decisions that
they frequently make.
4. The development of a student‘s right
attitudes, desires and purposes within
the student‘s immediate environment,
that is, where a student develops a
feeling of obligation to render any
possible services to other individuals as
well
as
to
social
groups
(home/school/community),
and
possessing willingness of accepting
personal responsibility.
5. The development of a student‘s attitude
of appreciation and gratitude toward
others for benefits received, and of
399
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
consideration for the comfort and
happiness of all. This brings the idea of
―we aren‘t islands‖. So because we live
amongst (within a community) other
people, we should have a character of
appreciation, honour, gratitude, trust,
sincerity,etc.
6. The development and systematic
formation of a student‘s desirable
patterns of conduct. Whereby, the
direction of a student‘s life is effective
due to consistent guidance and
supervision from his/her lecturers,
supervisors, mentors, and an increasing
amount of inner control based upon
intelligent purpose, built by character
education.
F. EDUCATOR'S ROLE IN
CHARACTER EDUCATION FOR
AN ATTAINMENT OF POSITIVE
LEARNING
Our roles as educators are quite
geared towards that of facilitators, whereby
educators should actively participate in
assisting and giuding students in their
processes of decision making and aiding an
effective character discussions at all time,
so that students can clearly understand and
comprehend without any bias judgement.
1. Effective introduction of the topic.
2. Don't indicate any persons bias
ideology concerning the topic under
discussion.
3. Try to include every member of the
group in the discussion.
4. Try to prevent any one member of the
group from dominating the discussion.
5. Ask questions to stimulate group
members to explore other points of
view.
6. At the conclusion of the discussion,
review the various points of view
contributed by group members.
7. Assist students in understanding more
clearly the benefits of making informed
and responsible choices.
8. Encourage students to explore a variety
of problem-solving techniques as
alternatives to antisocial behavior.
G. PRINCIPLES OF EFFECTIVE
CHARACTER EDUCATION
(CHARACTER EDUCATION
PARTNERSHIP LANDMARK
REPORT, 2010)
According to Character Education
Partnership CEP‘s (2010), Framework for
School Success, it states that character
education provides effective solutions to
ethical and academic issues that are of
growing concern. However, educators have
successfully used character education to
transform their schools, improve school
culture, increase achievement for all
learners, develop global citizens, restore
civility, prevent antisocial and unhealthy
behaviors, and improve job satisfaction and
retention among teachers. Besides, based on
the practices of effective schools, the
Eleven Principles of Effective Character
Education form the cornerstone of CEP‘s
philosophy on how best to develop and
implement high-quality character education
initiatives. As broad principles that define
excellence in character education, the 11
Principles serve as guideposts that schools
and others responsible for youth character
development can use to plan. These
principles include;
1. The school community promotes core
ethical and performance values as the
foundation of good character.
2. The school defines ―character‖
comprehensively to include thinking,
feeling, and doing.
3. The school uses a comprehensive,
intentional, and proactive approach to
character development.
4. The school creates a caring community.
5. The school provides students with
opportunities for moral action.
6. The school offers a meaningful and
challenging academic curriculum that
400
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
respects all learners, develops their
character, and helps them to succeed.
7. The school fosters students‘ selfmotivation.
8. The school staff is an ethical learning
community that shares responsibility
for character education and adheres to
the same core values that guide the
students.
9. The school fosters shared leadership
and long-range support of the character
education initiative.
10. The school engages families and
community members as partners in the
character-building effort.
11. The school regularly assesses its culture
and climate, the functioning of its staff
as character educators, and the extent to
which its students manifest good
character.
H. IDEAL ACADEMIC
ENVIRONMENTAL FACTORS
AFFECTING
CHARACTEREDUCATION
The growth of character cannot be
separated in practice from the process of
education as a whole. Every factor in the
entire school environment tends to
contribute in some measure to the character
of every student. The following are some
relevant and predominant factors which
educators should consider at all time,
whenever language in the core contributor
to education because they are worthy in
influencing Character Education;
1. The institutional principal;
It is vital to point out that the
administrative head of any educational
institution in that lady or man whom people
look up to, consult, and rely on for so many
technical, administrative and managerial
reasons. Besides, students are always
motivated by their institutional principal.
2. The teachers;
Teachers are not only educators or
instructors but they are all sorts of
educational iconic pillars, such as; parents,
caretakers, counsellors, and mentors. These
are people who tirelessly share their
thoughts, experience and ideas with
students, and they are true motivators,
which is very important in positive
character manifestation.
3. Academic Curriculum;
Many educators argue that an academic
curriculum is the foundation of every
country‘s educational standards and a
benchmark for that country‘s labour force
or human resource. Therefore, for a good
character education, there should be a
reliable curriculum that supports language
development and teaching within schools
and colleges or universities. Apparently,
Ministry of Education has approved the new
curriculum (Kurikulum 2013) but the
question that we should keep asking
ourselves is, where will we go with English
being excluded from the list of compulsory
subjects.
4. Discipline and Guidance,
The main goal is to raise children to
become disciplined, morally responsible,
and are in position to develop problem
solving and decision making techniques,
and conflict resolution are important parts
of developing moral character. Discipline is
one difficult factor of human moral
behavior which is very difficult to be
shaped or developed at a later time in a
person‘s life. It should therefore be
developed right from childhood so that a
person grows up with a substantial amount
of good behavior, and flexible with the
concept of behavior change, which is very
important in character education, and the
building of good and acceptable societal
morals.
5. Methods of teaching,
Many senior educators, school
inspectors and career guidance and
counseling teachers have always raised the
question of, ‗what is your classroom method
of teaching?‘ Character education promotes
401
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret
an effective method of teaching techniques
such as; student role-play, student-centered
learning, to mention but a few. These are
techniques which will allow students to
practice discussion, moral values of
competition,
communication
skills,
cooperation, etc. Therefore method of
teaching is very important to be looked at
whenever, a school or an institution is
thinking of developing character education.
6. Students’Activities,
Apparently, this globalization era
has proved to be the most challenging
moment in human mankind because we are
faced with competition, emergency
scenarios, insecurity, poverty, inventions,
and internet with its demanding knowledge,
social networks around every child, etc. For
every educator, this is when character
education is very important since children
and youths are exposed to a number of
products which can be consumed freely but
can have an everlasting impact to their
moral, or rather, to say, could lead to moral
decay. Therefore schools should encourage
character education in order to enable
students equip themselves with those
appropriate techniques moral values,
relevant academic activities, etc.
7. School
Environment, such as;
classrooms, structural organization
and management,
School environment plays a very
important role in character education
because this is that real, standard and
immediate place where students dwells or
rather spends the rest of their day. School
environment starts from the school
organizational structure and management,
that is; the structure should be clear,
indicating who is responsible for what and
who should the students go to incase of any
problem, or an emergency. The students‘
classrooms should be built or set in a way
which
facilitates
effective
rotation/movements, with good condition
and facilities.
8. Relations with the homes and other
social agencies.
As it is said, ―wisdom begins from
home!‖ Once students are having a
supportive,
guiding,
tolerant,
and
understanding parents, educators would
assume that such children or students are
not coming from a dysfunctional families.
This is so because children raised or
brought up from a dysfunctional family has
always had trouble coping and socializing
with their peers, according to many
psychologist, psychiatrists, social workers
and therapists. And the vice versa is true.
Therefore, educators handling or conduction
character education should look beyond the
school environment or factors, for their
students‘ character manifestation and
elicitation of desired positive attitudes,
behaviours and morals.
THE TEACHING OF ENGLISH
LANGUAGE AND CHARACTER
EDUCATION
According to EF EPI Report (2012),
although English skills have long been an
explicit requirement in certain types of jobs
like diplomacy and translation, those skills
today are an implicit advantage in nearly
any job across all sectors of the economy.
Recruiters and HR managers around the
world report that candidates with English
skills above the local average stand out
from the crowd and garner 30-50% higher
salaries than similarly-qualified candidates
without English skills. On a broader scale,
countries with higher income levels per
capita are also more proficient at English.
Besides, English skills and income levels
appear to be in a virtuous cycle where better
proficiency leads to higher incomes.
Documentations, publications and
media including a lot of research conducted
shows that in Indonesia, many companies
pre
Download