Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret MERETAS SOLUSI PROBLEMA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF GLOBAL Asrowi Program Studi S3 Ilmu Pendidikan FKIP UNS Email: [email protected] ABSTRAK Meretas solusi problema pendidikan dalam perspektif global adalah sebuah pemikiran yang bersifat multidimensional artinya pemikiran komprehensif melihat dari berbagai sudut pandang, namun yang ditulis di sini hanya sebagian kecil saja. Maksud tulisan ini sekedar merangsang berpikir saat ini dalam rangka memprediksi dan menatap masa depan. Masa depan adalah bukan milik kita tapi milik generasi berikutnya namun kita mempunyai kewajiban dan tanggung jawab normatif untuk memikirkan mulai sekarang. Kewajiban saat ini berupa kontribusi pemikiran komprehensif yang dibutuhkan untuk masa depan. Sedangkan kewajiban normatif adalah secara kemanusiaan ikut andil memikirkan dan memberikan suatu konsep-konsep kemanusian yang dapat bermanfaaat bagi pendidikan. Karena pendidikan saat ini tampaknya sudah mulai melepaskan dari rohnya, artinya sudah mulai meninggalkan orientasi dan tujuan kemanusiaan. Mulai menjauh dan melenceng dari akar-akar hakekat manusia, karena pada hakekatnya pendidikan adalah proses perkembangan yang teleologis bertujuan. Tujuan proses perkembangan secara alamiah berupa kedewasan, kematangan potensi-potensi dan kepribadian. Melenceng dari akarnya bahwa aksiologi pendidikan sudah berorientasi kepada orientasi bisnis. Perlu diakui dan disadari bahwa zaman sekarang adalah zaman materi, zaman yang memfokuskan dirinya pada materi. Kita merasakan bahwa pada saat ini eksistensi manusia mulai mengalami keruntuhan, tersisih dan terancam secara psikologis. Banyak permasalahan dan pertimbangan tentang nilai yang terkait dengan pencitraan manusia, seolah-olah tidak ada harganya. Pencitraan dirasakan semakin kuat untuk menjatuhkan komunitas serta golongan maupun kelompok manusia di kawasan dunia ini. Kalaupun ada penghargaan tampaknya hanya terbatas pada nilai-nilai yang berdemensi bisnis dengan ukuran menguntungkan apa tidak. Inilah salah satu indikator masyarakat modern yang disebut globalisasi dimana masyarakat bangsa dan negara sudah menyatu mendunia yang berdampak pada pemikiran dan pola hidup yang terus berubah. Pola perkembangan manusia semakin unik karena pemikiran dan perilakunya harus bisa diselaraskan dengan norma yang fluktuatif yang terjadi dimasyarakat atau bangsanya. Dari sisi lain akan berkembangannya nilai-nilai yang bertentangan dengan identitas diri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini akan menjadi ancaman besar baik secara individual maupun sosial, maka sudah saatnya perlu ada perenungan dan pemikiran yang komprehensif. Persoalan inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini dari sisi lain semoga dapat memotivasi dan merangsang pemikiran agar tidak mengalami future shock atau sudah terlanjur present shock. Kata Kunci:problema pendidikan, perspektif global, komprehensif 51 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret orang akan mengakses tanpa melihat lagi norma-norma yang ada. Inilah yang saya maksud batas negara sekarang tidak ada lagi. Manusia diseret ke sifat hidonistik, materialistik, individualistik, tidak lagi dipandang sebagai masalah yang melanggar aspek-aspek kemanusiaan. Eksistensi kemanusian manusia sedikit demi sedikit akan terseret, tersisih dan terancam secara pelan-pelan. Ibarat predator memburu mangsanya dengan pelan-pelan merindik, mengintai untuk siap dimangsa dalam hitungan menit dan detik. Pembunuhan kharakter manusia akan banyak terjadi dimana-mana , manusia perorangan atau kelompok tidak lagi berbicara kemanusiaan , akan tetapi ukurannya menguntungkan atau tidak. Jadi masyarakat modern atau istilah lain disebut globalisasi dimana masyarakat bangsa dan negara sudah menyatu mendunia, akan membawa pengaruh yang sangat positif dan negative. Dari sisi positif suatu bangsa dan negara akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pola pola perkembangan yang ada untuk diselaraskan dengan norma bangsanya. Dari sisi lain juga akan berkembangan nilai-nilai yang bertentangan dengan identitas yang ada. Hal ini akan menjadi ancaman besar dan dahsyat. Makalah ini tidak akan membicarakan cara mengatasi problem dunia dan isu yang terjadi akan tetapi mencoba mendeskrisikan isu-isu global dan problem-problem yang terjadi dari dampah globalisasi. Dua persoalan inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini. Secara rinci akan dibahas satu persatu secara berurutan sebagai berikut. A. PENDAHULUAN Masyarakat modern adalah masyarakat yang terus berubah mengikuti pemikiran manusia yang serba komplek, salah satu implementasi indikatornya produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, komunikasi, menyebabkan manusia mau tidak mau harus mengikutinya. Dampak perubahan dalam berbagai bidang membawa manusia kearah kehidupan yang sangat komplek dengan penuh problematika. Problematika tersebut mulai dari yang terkecil rumit sederhana sampai kepada yang besar, dan kompleks. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang serba komplek tersebut tidaklah mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi atau penyesuain menyebabkan kebingungan, kecemasan, konflik-konflik , baik yang terbuka ( eksternal) sifatnya, maupun yang tersembunyi ( internal ) dalam batin sendiri. Sehingga banyak orang mengembangkan pola-pola perilaku yang menyimpang dari norma-norma umum. Atau berbuat semaunya sendiri,untuk kepentingan sendiri, kemudian dampaknya mengganggu kepentingan umum (merugikan orang lain). Secara sosiologis masyarakat modern disebut masyarakat yang sudah mengglobal (globalisasi) artinya batas-batas antar bangsa dan negara hampir tidak ada lagi. Sebab yang ada hanyalah batas teritorial yang sepertinya hanya sebagai formalitas dan identitas hukum formal suatu negara. Berdasarkan asumsi dan pemikiran yang rasional, sejatinya permasalahan globalisasi itu betul-betul manusia berada dalam satu identitas dunia dan secara psikologis menghadapi ancaman besar. Karena batas-batas antar negara tidak lagi dibatasi dengan tembok yang kuat atau paga berduri, akan tetapi arus informasi melalaui media elektronik sudah masuk kedalam suatu negara bahkan sampai ke rumahrumah penduduk tanpa permisi. Kemudian B. MASALAH PENDIDIKAN Peranan Pendidikan di dalam kehidupan manusia, lebih-lebih di zaman modern ini pendidikan diakui sebagai kekuatan yang menentukan perubahan, prestasi dan produktivitas seseorang. Seseorang tidak berfungsi apa-apa di dalam 52 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret masyarakat tanpa melalui proses pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal. Di dalam masyarakat secara kesuluruhan dalam kontek negara bangsa di dunia seseorang harus mengalami proses pendidikan. Hubungan antar Negara dan bangsa dan interaksi komunikasi akan mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia. Menurut Richey dalam bukunya yang terkenal ― Planning for Teaching, anIntroduction to Education‖ mengatakan ― The term “ Education” refers to the broad function of preserving and improving the life of group through bringin new members into its shared concerns. Education is thus a far broader process than that which accurs in schools. It is an essential social activity by which communities continue to exist. In complex communities this function is specialized and institutionalized in formal education, but there is always the education outside the school with which the formal process is related. Istilah ― pendidikan‖ berkenaan dengan fungsi yang sangat luas untuk pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan adalah merupakan aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan tetap ada dan berkembang. Di dalam masyarakat yang kompleks dan modern seperti sekarang, fungsi pendidikan mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah dengan pernak pernik konsep program kurikulum dan strateginya. Konsep dasar pendidikan tersebut sekurang-kurangnya tiap pribadi seseorang atau manusia pada umumnya akan terlibat dengan pengaruh pendidikan dalam arti yang lebih luas antar negara dan bangsa di dunia. Secara logika tiap manusia kenyataannya sekaligus adalah warga masyarakat, dan pendidikan dalam arti yang sangat makro berlangsung di dalam dan oleh proses masyarakat. Lodge mengatakan bahwa ― hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup‖. Dengan demikian cakupan wilayah pendidikan meliputi seluruh umat manusia, sepanjang sejarah adanya manusia, sepajang hidup manusia. Perubahan-perubahan dari proses pendidikan yang meliputi aspek-aspek yang sangat luas akhirnya sulit diukur, jika dapat diukur itu hanya sebagian kecil dari aspek yang sangat luas. Hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup sepanjang hayat maka tiap-tiap warga negara dikenai wajib belajar yang disebut compulsory education sebagai perwujudan urgensinya pendidikan bagi manusia. Compulsory education dari sisi-sisi lain untuk mempersiapkan generasi bangsa negara agar mampu melakukan adjustment dengan perkembangan dunia saat ini yang telah berkembang dengan cepat. Demi kepentingan serta tanggung tanggung jawab negara maka bidang pendidikan yang muncul dalam tataran dunia saat ini perlu segera menyesuaian diri untuk mengejar ketinggalan pola dan sistem pendidikan nasional segera disetarakan tanpa mengorbankan kharakteristik dan keinikan budaya bangsa. Negara yang menjadi acuan perkembangan ilmu pengetahuan selama ini adalah Amerika, German, Jepang, Australia dan negara-negara besar lainnya, karena mereka sudah berada pada tingkat pendidikan yang tinggi. Sudah mulai merasakan ada kekurangan kemudian strategi yang ditempuh adalah salah satunya meningkatkan kualitas pendidikan. Kemudian akhirnya negara berusaha membiayai warganya studi ke negara lain. Alternatif ini sangat baik, akan tetapi persoalan yang muncul adalah tidak semua 53 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret nya menguasasi bahasa inggris. Inilah barangkali yang disebut faktor internal dalam negeri. Kemudian pola-pola yang berkembangan adalah menjamurnya kursus bahasa asing sampai-sampai negara tidak dapat mengaturnya dan tidak dapat mengontrolnya. Apakah kursus bahasa yang dikemas dalam rumah pendidikan itu sesuai dengan kualitas yang diharapkan atau tidak, atau hanya sekedar orientasi materi. Dari sisi lain sekolah-sekolah terdorong untuk meningkatkan pembelajaran bahasa asing dengan menambah jam-jam pelajaran atau bentuk les di luar pelajaran. Hal ini belum selesai bahkan pelaksanaanya dan kualitasnya belum pernah dievaluasi. Kemudian pemerintah menetapkan bahwa mata pelajaran bahasa inggris diujikan secara nasional sebagai bentuk antisipasi bangsa Indonesia dalam era globalisasi. Persoalan yang terjadi di lapangan adalah ternyata siswa-siswa yang pandai dalam mata pelajaran tertentu tidak lulus ujian bahasa inggris. Jadi terkesan bahwa pelajaran bahasa inggris mata pelajaran yang sangat menentukan dan merupakan satu-satunya ukuran kualitas pendidikan seseorang. Tidak hanya itu tetapi ada kesan bahwa selama bersekolah sebagai puncak ukuran keberhasilannya ditentukan oleh beberapa mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Tidak sedikit murid-murid yang tidak lulus kemudian mereka merasa menjadi korban sebuah keputusan nasional. Akhirnya pemerintah mengambil kebijaksanaan pada tataran ke dua yaitu harus mengikuti ujian paket. Ini merupakan bukti-bukti yang masih dalam permasalahan yang relative ringan. Indikator ini terus akan menghantui jiwa dalam sepanjang masa selama mereka sekolah. Pada tingkat kelas atas mereka berusaha mati-matian untuk menepis kekawatiran menjelang ujian nasional. Siang malam tidak dapat tidur karena bayang-bayang selalu menyertainya. Sekarang mengalami perubahan keputusan bahwa hasil ujian nasional tidak berdiri sendiri tetapi penggabungan dengan nilai mata pelajaran lainnya , kemudian di ratarata berdasarkan standar yang telah ditentukan. Persoalan-persoalan yang menyangkut persekolahan muncul kembali tentang sekolah yang bertarap internasional, dengan strategi pembelajaran menggunakan pengantar bahasa inggris. Kemudian muncul pertanyaan dari dunia akademik apakah kurikulumnya juga menggunakan kurikulum tingkat internasional. Pertanyaan ini tidak mendapatkan jawaban, karena popularitas terselubung hanya terbatas nama dan ciri bahasa pengantar, lalu siapakah yang akan mengajar. Apakah setiap guru menguasai bahasa inggris, dan apakah murid-murid yang ada juga dapat menangkap maksud materi yang diberikan guru. Dalam bahasa sendiri masih banyak yang mengalami kesulitan lebih-lebih bahasa asing. Cita-cita penggunaan bahasa asing sangat bagus tetapi sekali lagi itu bukan ukuran keberhasilan pendidikan suatu sekolah. Jika itu dikatakan berhasil mungkin dari aspek bahasa. Harapan tokohtokoh pendidikan nasional yang tidak bisa hadir dalam dunia barangkali sangat mengharapkan janganlah terjebak pada arena bisnis dan komersialisasi pendidikan. Pada persoalan lain yang sangat menyentuh persoalan akademik yaitu tentang konsep pendidikan itu sendiri. Tampaknya pendidikan tidak lagi berada di dalam rumah ilmu pendidikan, tetapi sudah mulai bergeser pada bentuk pengajaran apakah di sekolah atau di lembaga lainnya yang tetap menamakan dirinya sebagai lembaga pendidikan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bedanya pendidikan dalam arti teoritis maupun praktis dan apakah sama antara pengajaran dengan pendidikan dalam arti yang luas. Benturan konsep akan terjadi di masyarakat sehingga terasa kehilangan nilai instrinsik yang sangat strategis. Ilmu pendidikan 54 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tampaknya mulai bergeser sangat jauh. Kemudian dari sedikit demi sedikit akan kehilangan nafas moralnya yang sebenarnya telah abadi di dalam cita-citanya. Bimbingan konseling sebagai bagian dari misi ilmu pendidikan membantu siswa mengatasi dampak dari peristiwa pembelajaran, dampak keputusan pendidikan dan dampak permasalahan kehidupan sebagai pribadi, sosial, belajar maupun karir. Bimbingan dan konseling bergerak maju kedepan sebagai pencerah dalam arena bidangnya yaitu menangani kesejahteraan jiwa menunjukan jalan yang gelap menuju terang benderang. Misi lainnya adalah untuk mendewasakan siswa dan memperkembangankan semua potensinya yang ada sehingga tujuan akhirnya mereka dapat direalisasikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi posisi ilmu pendidikan dalam arena pragmatis akan berada dimana-mana, karena memang sangat luas dan bisa berada dimana-mana. Ilmu pendidikan ibarat jaket bisa dipakai siapa saja, sekalipun bukan orang pendidikan. Inilah yang dikatakan bahwa ilmu pendidikan telah berkembang melampaui batas tanpa diketahui posisinya terkait masa lalunya. kesadarannya mengahadapi problem yang jauh lebih sulit dari pada problem-problem sebelumnya. Manusia mulai bertanya kapankah pendidikan akan berhasil memanusiakan manusia. Inilah isu pendidikan pada tingkatan implementasi konsep dan tujuan akhir dari pendidikan yang akan diuji terus menerus. Salah satu persoalan saat ini apakah sekolah sebagai lembaga pendidikan masih berpusat dan ber-orientasi pada pribadi peserta didik atau mengikuti pesan-pesan pragmatic secara temporer telah berkembang di masyarakat saat ini. Tampaknya orientasi pendidikan mengarah kepada dua orientasi yaitu orientasi memanusiakan manusia dan orientasi financial, mana yang didahulukan atau tidak ada yang didahulukan akan tetapi secara bersama-sama harus berjalan menuju tujuan yang mulia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memprogramkan biasiswa ―bidik misi‖ ini merupakan salah satu solusi yang sangat menjanjikan bagi mereka yang berprestasi, tapi mereka tidak mampu. Kedua orientasi tersebut di atas menurut aliran Progressivisme mengarah kepada dua hal yang esensinya sama yaitu child-centered (berpusat kepada memanusiakan manusia) dan development community-centered (berpusat kepada perkembangan masyarakat). Child centered pada umumnya dijadikan sebagai dasar kurikulum dan prinsip-prinsip pendidikan terkait dengan perkembangan kepribadian yang terpusat serta diorientasikan kepada potensi psikologis. Developmentcommunitycentered ialah suatu deskripsi dan intrepretasi yang memusatkan perhatian pada perubahan paradigma masyarakat sebagai salah satu totalitas medan orientasi pendidikan. Terkait dengan kurikulum 2013 yang memposisikan diri pada unsurunsur perkembangan kepribadian, potensi prakarsa, perasaan, pikiran-pikiran fluktuatif spontan dan kreatif, ekspressi, sikap sosial, cerdas dan kritis. Dalam C. PENDIDIKAN PROSES NORMATIF Perlu disadari pendidikan adalah proses normatif dan tidak sekedar proses teknis yang berhubungan pertumbuhan dan perkembangan. Proses normatif artinya bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Pertumbuhan dan perkembangan tidak lain menyangkut pengembangan semua potensi manusia sebagai insan yang mandiri lahir dan batin. Pendidikan merupakan kekuatan yang memerdekaan manusia, yang memperkuat moral, budi pekerti dan memperkuat kekuatan intelektual dan penalarannya. Manusia sebagai subjek pendidikan dihadapkan kepada fenomena baru dalam 55 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kurikulum tersebut mengandung nilai bimbingan konseling peminatan, hal ini menunjukkan bahwa siswa diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai dengan pandangan dan pemikiran sesuai dengan potensi yang dimiliki. Konsekuensi asas ini maka guru dituntut benar-benar mengenal individualitas setiap anak atau siswa. Kurikulum 2013 memiliki spirit yang kuat untuk pemulihan fungsi dan arah pendidikan kearah yang lebih konsisten dengan arahanpasal 3 UU No 20/2003, yang mengandung makna bahwa watak dan peradaban bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini menjadi tujuan eksistensial pedidikan, yang melandasi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif-kultural pendidikan, yang diejawantahkan melalui pengembangan potensi peserta didik sebagai tujuan pendidikan. Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik untuk sukses dalam menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan kehidupan di era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Jadi konsep yang terkandung dalam kurikulum tersebut adalah pendidikan merupakan proses mewariskan nilai-nilai budaya, pengembangan ilmu pengetahuan dan membina manusia Indonesia agar mengerti dan memahami nilai-nilai Ke Indonesiaan yang tidak dapat dilepaskan dari pribadi bangsanya. Socrates mempunyai pandangan bahwa antara pengetahuan dan nilai tidak dapat dipisahpisahkan. Socrates mengatakan ―In Socrates we find a noble attempt to fuse epistemology and axiology in the principle that knowledge is the master key to virtue”. Pada Socrates ditemukan bahwa suatu usaha yang mulia ialah mensintesakan antara ilmu dengan nilai. Nilai adalah kunci kebajikan dan ilmu dapat diperoleh melalui pendidikan baik di sekolah formal maupun non formal, walaupun sebenarnya ilmu pengetahuan itu sendiri juga mengandung nilai-nilai praktis dalam kehidupan pribadi maupun sebagai warga masyarakat dan bangsa. Ditinjau dari sisi lain Kurikulum 2013 secara tegas juga menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, ketarampilan dan pengetahuan sebagai suatu keutuhan.Konsep keutuhan tersebut menekankan pada keterpaduan sikap, keterampilan dan pengetahuan sebagai kompetensi utuh yang harus dicapai oleh peserta didik. Secara konseptual terjadi keterpaduan yang tidak dapat dipisahkan antara mata pelajaran dangan muatan lokal, dan tidak memisahkan antara pendidikan akademik dan pendidikan karakter karena keduanya dipandang sebagai suatu keutuhan yang harus memberikan kemaslahatan bagi bangsa. Sementara dalam kurikulum sebelumnya, keterpaduan sikap, keterampilan dan pengetahuan, belum terakomodasi dengan baik. Demikian pula keterpaduan kompetensi perkembangan (nilai-nilai karakter, keseimbangan antara softskills dan hardskills, kewirausahaan, dan belajar aktif sesuai dengan tuntutan zaman). Kurikulum 2013 menekankan kepada proses, mengandung implikasi pada pergeseran peran pendidikan yang mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan (arahan Pasal 4 UU No. 20/2003) dan pembelajaran akan harus berorientasi perkembangan, dan oleh karena itu pembelajaran harus bertolak dari pemahaman secara mendalam tentang (proses) perkembangan peserta didik. Dalam hal ini guru dituntut menguasai kompetensi asesmen perkembangan peserta didik atau berkolaborasi dengan, misalnya konselor/ guru bimbingan dan konseling, untuk melakukan asesmen perkembangan peserta didik sebagai landasan penyelenggaraan pembelajaran. Tugas dan tanggung perkembangan potensi peserta didik, yang berbasis perkembangan, 56 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret (arahan Pasal 1 (1) UU No. 20/2003) dapat dilakukan terutama dengan menerapkan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling di dalam pembelajaran yang merupakan tanggung jawab guru dalam mewujudkan pembelajaran yang mendidik dan kondusif. Jadi pendidikan dalam wujudnya selalu bertujuan membina kepribadian manusia baik demi ultimate goal maupun tujuan-tujuan dekat (Noor Syam 1984: 176177). Tujuan akhir pendidikan ialah kesempurnaan pribadi yang berpangkal pada self realisasi potensi yang meliputi intelektual, mental, rasa, karsa, kesadaran moral serta aspek-aspek keterampilan dan perkembangan jasmaniah.Esensia kepribadian manusia telah tersimpul dalam aspek-aspek individualitas, sosialitas, harga diri, kepercayaan pada diri sendiri, rasa tanggung jawab (self confidence, self respect, self reliance) yang akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui pendidikan. hormat dan kebanggaan diri terletak pada aspek tersebut. Dalam kurun waktu tertentu suatu bangsa akan mengalami suatu perubahan besar. Pola-pola ber-ekonomi akan mengalami perubahan besar dan drastis, sebab berekonomi yang dikembangkan pada banyak negara adalah ekonomi liberalisme. Dalam pengertian sederhana ekonomi dikuasai oleh sentrasentra perseorangan atau saudagar-saudagar besar yang bakal melalang buana menguasai atau menanamkan modalnya di negara lain. Salah satu yang menjadi sasaran adalah negara Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu negara Asian penanaman pasar modal yang paling menjanjikan. Sesuai dengan kultur Indonesia merupakan Negara yang orangorangnya lebih senang pada konsumsikonsumsi produk-produk asing khususnya ekonomi atas. Sistem sosial ekonomi liberal dalam hitungan waktu akan merusak embriyo sentra-sentra per-ekonomian nasional. Usaha-usaha kecil secara pelan-pelan akan kehilangan penghasilannya akan gulung tikar tidak lagi sebagai penjual tapi mereka pelan-pelan menyatu kembali sebagai konsumen. Peristiwa perekonomian ini juga sebagai penyumbang terbesar terhadap sikap dan kejiwaan seseorang. Tidak hanya masalah psikologis tetapi akan mengarah pandangan atau filsafat hidup seseorang. Dengan keyakinan dan pengetahuan yang mereka peroleh akan mengembangkan gaya hidup sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup. Nilai-nilai yang dulu berkembang di masyarakat akan berubah secara drastis. Suatu keberhasilan dan keuntungan manusia tidak lagi ditentukan oleh nilai tetapi sudah mulai bergeser pada kesejahteraan ekonomi. Dari sinilah orang sudah tidak lagi mengindahkan jeritan orang lain. Mereka mulai bergerak untuk memikirkan diri sendiri dan sangat individualistik. Masyarakat yang terbentuk sifat individualistik itu menunjukkan bahwa D. KEHIDUPAN SOSIAL DAN NORMA SOSIAL Masalah yang berkembangan dalam suatu kehidupan sosial suatu bangsa akan mengalami perubahan besar-besaran. Kehidupan sosial dengan bentuk tradisi yang sudah melekat di daerah tersebut akan tergesar dan akan kehilangan jati dirinya. Bentuk Kehidupan sosial yang dahulu dianggung-agungkan sekarang mulai tidak lagi tersentuh. Kecuali bentuk tradisi yang melekat pada nilai agama relative tidak banyak berubah. Tatanan sosial beserta lembaganya akan mengikuti perkembangan, norma sosial yang dahulu sangat ketat akan berubah menjadi longgar. Hubungan kekerabatan mulai bergeser, keakraban keluarga tidak sekedar dari keturunan (trah) tetapi secara tersembunyi diam-diam akan terjadi persaingan tidak hanya pada aspek ekonomi, status sosial. Status sosial ekonomi masyarakat menjadi satu tolok ukur yang penting sebab rasa 57 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret masyarakat tersebut termasuk masyarakat yang sakit secara sosial (Kartini Kartono 1980). Perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang telah terurai di atas, dampak berikutnya adalah banyak terjadi kejahatan, gelandangan, pengemis, urbanisasi meningkat, busung lapar, kekezaman antara kelompok seperti didaerah Papua dan dan daerah lain.Kekrabatan yang semu adalah bentuk salah satu kepura-puraan social yang sejatinya intinya adalah eksibition. Sikap dan kepribadian eksibition adalah salah satu bentuk kepribadian yang sakit secara sosial. Dalam kontek kehidupan dan keramain kejenuhan zaman beserta problematik yang sangat komplek dari sisi psikologis banyak orang mengembangkan perilaku menyimpang. Deviasi lahiriah dalam bentuk verbal yaitu kata-kata maki-makian, katakata kotor (misoh) dan ungkapan-ungkapan sandi kriminal dengan penamaan kata babi, anjing dan lain-lain khususnya dikalangan anak-anak muda jalanan. Sedangkan aspekaspek non verbal yang berupa simbolsimbol yang tersembunyai (covert behavior) yaitu sentiment, bermusuhan, dendam jangka lama dan sebagainya. Pembentukan pola tingkah laku deviatif tersebut kemudian dikembangkan dan dirasionalisasi secara sadar akhirnya menjadi kebiasaankebiasaan perilaku yang patologis. Bentuk kehidupan sosial lama atau tradisi yang sudah melekat pada masyarakat bertahun tahun dijadikan tolok ukur dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara drastis terjadi ketersinggungan dengan pola kehidupan sosial baru yang tidak pernah didengar dan dialami. Bergesernya polapola lama tersebut akhirnya banyak terjadi kesenjangan yang sangat jauh. Di samping itu juga terjadi kesenjangan sosial karena tumbuhnya generasi baru dan para pemikir yang menginginkan kebebasan berpikir dan berkreasi. Kemudian munculah aspek-aspek Kehidupan sosial baru yang tercipta bersamaan isu-isu global. Sebagian orang mengatakan bahwa adanya perubahan polapola Kehidupan sosial dianggap sebagai ancaman karena betul-betul tidak sesuai dengan nilai-nilai Kehidupan sosial yang ada. Gaya-gaya kehidupan modern cenderung kearah konsumtif, hipokritis, lemah kharakter, cenderung boros , perasannya tidak stabil dan lain sebagainya. Kehidupan masa lalu cenderung tenteram damai , permissive, gotong royong, dan masalah sosial ditempatkan dipapan atas yang dijaga kestabilannya, tiba-tiba ambruk secara pelan-pelan. Memang begitulah kenyataanya atau memang belum menjadi kenyataan yang sesungguhnya. Kalau mengingat pengalaman masa lalu di zaman Orde Baru pendidikan moral dan agama adalah mata pelajaran wajib dan mendapatkan prioritas untuk praktek-praktek mengahafalkan doadoa untuk orang tua dan guru serta butirbutir Pancasila dilakukan setiap hari sebelum pelajaran dimulai. Era sekarang sudah berubah pada kekhususankekhususan tertentu yang berifat praktis dan pragmatis yang menekankan kepada unggulan-unggulan strategis. Mata pelajaran di jenjang pendidikan dasar (SD), menengah pertama (SMP) dan menengah atas (SMA) lebih menekankan kepada bidang eksakta, dan bahasa Inggris, untuk menghadapi kompetisis internasional. Apakah hal ini yang menyebabkan menurunnya tingkat stabilitas kepribadian dan moral seseorang, sehingga nilai moral dan agama sulit membentuk kepribadian Indonesia yang santun dan bermoral. Inilah merupakan kekuatan dosen dan guru untuk mengevaluasi kembali kurikulum yang telah diimplementasikan ke dalam pendidikan sekolah pada masa lalu. Kurikulum 2013 dari sisi konsep dan operasionalisasinya akan menjawab tantangan dan membangun kembali nilai-nilai yang hilang dan sakit secara sosial mulai akan disembuhkan. 58 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret E. KONSEP TOKOH PENDIDIKAN INDONESIA Mengingat dan memahami kembali konsep pendidikan Indonesia dalam lintasan sejarah pendidikan sebelum kemerdekaan. Tokoh Pendidikan yang disampaikan di sini hanya empat tokoh pendidikan nasional Indonesia. Empat tokoh tersebut yang selama ini sering dikenal konsep-konsepnya oleh dunia akademik maupun anak-anak sekolah. Empat tokoh tersebut meliputi: Indonesia, 4) Mempelajari ilmu hitung. Jadi corak pendidikan ini menempatkan nilai moral keagamaan pada posisi yang lebih tinggi, kemudian pengetahuan umum. KH Hasyim Asy‘ari menyakini pendidikan moral agama sebagai satu-satunya nilai yang dapat memperkokoh kepribadian beriman dan bertaqwa dalam arti luas maupun kepribadian berbasis nasional yang akan melahirkan generasi harapan bangsa masa depan. KH Hasyim Asy’ari Di Jombang Jawa Timur telah lahir seorang tokoh Pendidikan Nasional yaitu KH. Hasyim Asy‘ari, beliau mendirikan lembaga pendidikan yaitu pesantren Tebuireng yang mendidik para santrinya mendalami ilmu hadits. Karena kedalaman ilmunya serta pemikiran dalam pendidikan sangat menyentuh kebutuhan spiritual keagamaan sampai beliau diberi gelar oleh masyarakat dengan julukan , ―Hadratus Syekh‖ yang berarti ―Tuan Guru Besar‖. Corak pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya bersikap tradisional dengan hanya mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah. Namun seiring dengan perkembangan zaman lembaga ini memasukkan ilmu umum dengan sistem madrasah. Pendidikan di pesantern ini banyak mengajarakan ilmu yang sangat pentingnya yaitu (1) tatakrama guru dan pelajar atau siswa, (2) mata pelajaran berbahasa Jawa (3) ilmu akhlak terkait dengan pemberantasan kemungkaran dan kemaksiatan, (4) . Pendidikan dalambentuk menyadarakan akan kematian dan tandatanda datangnya hari kiamat agar manusia ingat bahwa di dunia harus hati-hati harus selalu berbuat baik dan dekat kepada Alloh Di Madrasah beliau diajarkan pengetahuan umum yang meliputi;1) Membaca dan menulis huruf latin, 2) Mempelajari bahasa , 3) Mempelajari ilmu bumi dan sejarah 2. 1. KH Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibunya puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Sebelum mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia. Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan manusia Indonesia adalah harus meninggalkan pola pikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis tidak lain melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan diarahkan kepada usaha membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangannya dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya dan bangsa Indonesia. Di satu sisi pendidikan harus bertujuan untuk menciptakan individu yang sholeh. Untuk membentuk mausia tersebut 59 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret maka materi pendidikan yang diajrkan meliputi : (a) Pendidikan moral, (b) pendidikan yang dapat menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara moral , keyakinan, kecerdasan dan intelektual dunia akhirat, dan (c) pendidikan kemasyarakatan atau sosial. secara fisik, mental dan kerohanian. Pribadi dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Semboyan yang beliau sampaikan adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Kalimat ini menjadi slogan yang dijadikan logo oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Tut Wuri diartikan mengikuti dari belakang, Handayani memberikan semangat dan motivasi belajar dan bermoral. Seorang guru dan para pendidik harus memberikan dorongan, memberikan teladan, menciptakan kreativitas terhadap anak didiknya sambil mengawasi, membantu dan memberikan bimbingan. 3. Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pendidikan Indonesia yang hampir sama dengan tokoh pendidikan lainnya. Ki Hajar Dewantara melihat manusia dari beberapa aspek yaitu memiliki cipta, rasa dan karya. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya dan hanya melahirkan manusia Indonesia yang rasionalistik dan kurang bermoral. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Harapan Ki Hajar Dewantara, bahwa para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Menurut Theo Riyanto tulisannya di dunia maya mengatakan bahwa Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Tujuan pendidikan Taman Siswa memerdekakan manusia Indonesia 4. Mohammad Syafei Mohammad Syafei mendirikan sekolah yang bernama Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 oktober 1926. Di Kayu Tanam, sekitar 60 km disebelah Utara kota Padang yaitu dipinggir jalan raya Padang Bukit Tinggi. Menurut Mohammad Syafei pendidikan memiliki fungsi membantu manusia menjadi pemenang dalam perkembangan kehidupan dan persaingan zaman serta menyempurnaan hidup secara lahir dan batin antar bangsa (Thalib Ibarahim,1978: 25). Pendidikan berfungsi sebagai alat untuk memperbaiki harkat dan martabat kehidupan manusia. Manusia sebagai warga bangsa dapat bertahan kalau mereka mampu mengikuti perkembangan masyarakat atau zamannya. Pemikiran tersebut akhirnya melahirkan pemikiran filosofis tentang pendidikan sekolah kerja yang mempunyai implikasi sebagai sekolah kehidupan atau sekolah masyarakat. Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk kesempurnaan lahir dan batin untuk mengikuti perkembangan zaman.. 60 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Menurut Thalib Ibrahim (1978) Moh Syafei melalui pemikirannya menyarankan bahwa kesempurnaan lahir dan batin manusia Indonesia harus selalu diperbaharui, sebab zaman selalu berubah terus menerus. Hal ini terungkap dalam pemikiran G. Revesz seperti yang dikutip oleh Syafei : bahwa lapangan pendidikan mesti berubah menurut zamannya, orang Indonesia tidak boleh berhenti pada pemikiran-pemikiran sesaat yang sudah memuaskan. Apabila orang Indonesia jiwa dan hatinya terlatih itu tekun, teliti, rajin, giat, tangguh dengan berbagai tantangan akan menjadi yang kuat dan juara. tidak hanya pada masalah daya saing bangsa dari sisi intelualitasnya akan tetapi yang lebih memprihatinkan adalah mengenai moral bangsa. Dalam skala nasional moral bangsa kita sudah mengalami penurunan yang sangat drastis, baik moral individual, moral sosial dalam skala local maupun moral secara nasional. Indikator sebagai bukti banyaknya korupsi, pelanggaraan hak asasi manusia, pembunuhan, perjudian, pesiksaan, kejahatan dan sebagainya. Para tokoh pendidikan telah mengingatkan dan memberi contoh teladan bahwa landasar moral adalah sangat penting dan merupakan fondasi yang saat kuat untuk generasi berikutnya, dan tidak hanya pada intelektualnya saja, sebab kalau hanya intelektual akan melahirkan generasi yang melenceng dari nilai Pancasila dan UndangUndang dasar 1945. Untuk merealisaikan amanah tersebut kedua-keduanya harus berjalan bersama-sama membangun kepribadian manusia Indonesia yang cerdas dan bermoral serta terampil. Amanah ini perlu adanya evaluasi akhir keberhasilan pendidikan nasional maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan uji keberhasilan tersebut dalam bentuk ujian nasional. Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa pemerintah menyusun dan menyelenggarakan suatu system pendidikan nasional yang telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sebagai system yang diperlukan sebagai patokan berhasil atau tidaknya pendidikan nasional. System pendidikan nasional termasuk evaluasinya merupakan salah satu sarana untuk kohesi sosial (Tilaar 2006: 65). Kemudian dalam UndangUndang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut pada Pasal 58 ayat (2): ―Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala,menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar F. KESIMPULAN Pendidikan adalah merupakan rangkaian proses perkembangan dalam rangka pemberdayaan potensi dan kompetensi manusia Indonesia untuk menjadi manusia yang berkualitas. Untuk mencipatakan manusia berkualitas hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang berkualitas. Manusia yang berkualitas secara nasional berimplikasikan bahwa manusia harus dibangun di atas landasan idealogi bangsa dan negara. Landasan filosofis tersebut mengandung bahwa pendidikan harus dapat mengembangkan sikap nasionalisme bangsa. Sesuai dengan pendidikan nasional maka pendidikan tidak hanya mempersiapkan manusia Indonesia mampu mengeksplorasi, menemukan dan membangun dirinya menjadi manusia intelektual saja akan tetapi kata kunci yang harus dicapai adalah menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur. Untuk mencapai cita-citanya tersebur lembaga pendidikan berjuang untuk merealisasi nilai-nilai pendidikan dengan membenahi persoalan pendidikan melalui beberapa upaya perubahan kurikulum, strategi pembelajaran, mutu pendidikan serta , mauatan-muatan nilai moral yang terus menerus diperjuangkan. Diakui atau tidak bahwa kekhawatiran saat ini sebenarnya 61 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret nasional pendidikan‖. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: 1) Penilaian hasil belajar oleh pendidik; 2) Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan 3) Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Jadi model evaluasi yang dilakukan oleh Departemen pendidikan Nasional melibatkan tiga aspek yang masing-masing komponen harus dipertimbangkan. Sangat tepat kalau ujian nasional terus menerus dilakukan sekalipun masih perlu perbaikan, sebab ujian nasional adalah merupakan standar ukuran kualitas pendidikan Indonesia. Hasil belajar satuan pendidikan bukan merupakan ukuran menyeluruh terkait dengan kemampuan rata-rata nasional. Satuan pendidikan merupakan cerminan kemampuan tujuan institusi pendidikan dalam skala sekolah atau lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan ada yang bersifat tujuan pembelajaran spesifik pada mata pelajaran atau bidang studi tertentu, ada tujuan institusional kelembagaan, dan tujuan yang bersifat nasional. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan mohon maaf atas kekurangan. DAFTAR PUSTAKA Alvin Toffler. (1988). Kejutan Masa Depan.Jakarta: PT Pantja Simpati. Agustiar Syah Nur. (2001). Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Bandung: Lubuk Agung. Abuddin Nata.(2005). Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Brouwer, dkk. (1984). Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Gramedia Kartono, Kartini. (1999). Patologi Sosial Jilid 1 (Edisi Baru). Jakarta: PT RajaGrafindo Parsada. Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan dasar FilsafatPendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Mohamad Surya.(2008) Mewujudkan Bimbingan & Konseling Profesional; Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan , Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Nurani Soyomukti. (2008). Pendidikan Berperspektif Global. Yagyakarta: Sindhunata (editor). (200). Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius. Tilaar. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Zuhairi dkk.(2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html. diakses…. 62 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PERANAN BUDAYA DAN PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PEMBANGUNAN BANGSA Warsito E-mail: [email protected] ABSTRAK Penulisan paper ini mempunyai tujuan sebagai berikut, 1) untuk mengetahui definisi budaya dan pendidikan karakter, 2) untuk memahami tujuan pendidikan karakter, 3) untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan karakter atau akhlak terpuji, 4) untuk memahami nilai-nilai yang perlu diperkuat bagi pembangunan bangsa, 5) untuk mengetahui peranan budaya dan pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa. Istilah budaya berasal dari kata budi dan daya, yakni daya dari budi, yang berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut, 1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/ kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan, 2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3) Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama-sama. Nilai-nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa saat ini adalah sebagai berikut 1) jujur, 2) kerja keras, 3). Ikhlas. Adapun Peningkatan karakter atau akhlak yang terpuji dapat dilaksanakan melalui hal-hal sebagai berikut.1). Muhasabah, 2) mu‟aqobah, 3) Mu‟ahadah, , 4) Mujahadah,. Sedangkan proses untuk membangun karakter menggunakan 7 tahapan, yakni 1) muatabah, 2) muroqobah, 3) mujahadah, 4) musyahadah, 5) mukasyafah, 6) muhabbah, dan 7) ma‟rifah. Kata Kunci: Budaya, Pendidikan Karakter, Pembangunan Bangsa Indonesia tidak saja tampak dari keberagaman komponen budaya, agama yang dianut, suku, dan kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Dilihat dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dikategorikan sangat melimpah disertai dengan letak kepulauan yang berada di lintasan khatulistiwa. Selain itu juga tanah yang subur, air yang melimpah, udara yang segar, A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam perkembangannya memiliki kondisi yang unik. Sudah 67 tahun bangsa Indonesia menjalani kehidupan bernegara secara merdeka yang telah diakui bangsa-bangsa lain di dunia internasional. Keunikan bangsa 63 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kekayaan sumber energi dan mineral yang melimpah di tanah dan laut, semuanya memberikan keunikan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, keunikan juga dapat kita lihat dari kondisi yang ada, dirasakan, dan telah menjadi ciri khas bangsa ini. Dengan kondisi sosial budaya dan kekayaan yang melimpah, semestinya bangsa Indonesia merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Namun, kenyataan menunjukkan lain dari logika. Kekayaan alam terekspoitasi besar-besaran, pembangunan industri terjadi terusmenerus, pergantian pemerintahan berjalan lancar, tetapi kebanyakan rakyat Indonesia belum mendapatkan kehidupan yang makmur dan merata. Berbagai kondisi dan pengalaman di atas, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa Indonesia hingga saat ini. Banyak orang dan pihakpihak bertanya, ―apa yang salah dengan bangsa ini?‖ Beberapa indikasi tentang apa yang salah dengan bangsa ini dapat dilaporkan beberapa hal antara lain kondisi moral/ akhlak bangsa yang hancur, seperti terjadinya seks bebas, penggunaan narkoba, KKN, dan sebagainya. Bangsa Indonesia sekarang mulai sadar, betapa pentingnya pendidikan nilai, budaya, dan karakter bangsa. Pendidikan nilai yang dahulu diwadahi salah satunya dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, di Era reformasi justru mulai ditinggalkan. Mata pelajaran di sekolah-sekolah sudah menghapus Pendidikan Pancasila, tinggal Pendidikan Kewarganegaraan dengan jam pelajaran yang minim. Sekarang bangsa Indonesia sudah mulai sadar, betapa pentingnya keberadaan pendidikan yang mampu membentuk moral, etika, dan karakter bangsa Indonesia. Berangkat dari pemikiran di atas, maka dalam paper ini akan dikaji beberapa hal pertama, definisi pendidikan karakter, kedua, tujuan pendidikan karakter, ketiga, Upaya-upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan karakter atau akhlak terpuji, keempat nilai-nilai apa saja yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa, dan kelima peranan pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa. Dengan uraian tersebut, diharapkan kita semakin sadar bagaimana pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. 2. Perumusan Masalah Beberapa permasalahan yang diangkat dalam paper ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimana definisi budaya dan pendidikan karakter? b. Apa sajakah tujuan pendidikan karakter? c. Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan guna meningkatkan karakter atau akhlak terpuji? d. Nilai-nilai apa saja yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa? e. Bagaimanakah peranan budaya dan pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa? 3. Tujuan Penulisan Dengan mengacu kepada rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka penulisan paper ini mempunyai tujuan sebagai berikut. a. Untuk mengetahui definisi budaya dan pendidikan karakter. b. Untuk memahami tujuan pendidikan karakter. c. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan guna meningkatkan karakter atau akhlak terpuji. d. Untuk memahami nilai-nilai apa saja yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa. e. Untuk mengetahui peranan budaya dan pendidikan karakter bagi pembangunan bangsa. 64 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sebuah bukunya yang berjudul Primitive Cultur yang dikutip oleh AAGN Ari Dwipayana mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat-istiadat, kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (2001: 38). Betapapun goyahnya konsep tentang "budaya" (cultures, cultural forms ... ) tidak ada kemungkinan lain baginya kecuali terus bertahan lestari (Clifford Geertz, 1999: 67). Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat Indonesia. Hal ini akan semakin tampak dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil pendidikan dilihat dari perilaku lulusan pendidikan formal saat ini, korupsi, maraknya seks bebas di kalangan remaja, narkoba, tawuran, pembunuhan, dan perampokan. Istilah pendidikan karakter berasal dari dua kata, yakni kata pendidikan dan karakter. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003). Kata karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak ditemukan. Karakter adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character. Karakter adalah kata benda yang memiliki arti 1) kualitas-kualitas pembeda, 2) kualitas-kualitas positif, 3) reputasi, 4) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku atau tampilan (Dharma Kesuma, dkk. 2011: 23). Menurut B. PEMBAHASAN Definisi Budaya dan Pendidikan Karakter Kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk "budi-daya yang berarti daya dari budi", kekuatan dari akal (lihat misalnya buku PJ. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West Amsterdam, PJ. van der Peet, 1951). Karena itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Istilah budaya berasal dari kata budi dan daya, yakni daya dari budi, yang berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarkhi, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Dedy Mulyana, 2001: 18). Menurut Zoetmulder yang dikutip oleh Warsito (2012: 51), berpendapat bahwa kebudayaan ialah perkembangan terpimpin oleh manusia budiawan dari kemungkinankemungkinan dan tenaga alam, terutamaalam manusiasehingga iamerupakan satu kesatuan harmonis. Dalam Antropologi Budaya, perbedaan budaya dan kebudayaan ditiadakan. Kata budaya di sini dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan pengertian yang sama. Sisi lain mengemukakan bahwa kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa Arab), berasal dari perkataan latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai "segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. E.B. Taylor dalam 1. 65 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret penulis karakter adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan budi pekerti, tingkah laku, tata susila, etika, dan yang sejenis. Dalam wacana dengan pendidikan, kata karakter terutama berkenaan dengan orang. Karakter berkenaan dengan kualitas, bukan kuantitas. Karakter berhubungan dengan daya pembeda atau pembatas, membatasi atau membedakan yang satu dengan yang lain, membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Karakter dapat merujuk pada kualitas positif maupun negatif. Kesimpulannya, bahwa karakter adalah sebuah kata yang merujuk pada kualitas orang dengan karakteristik tertentu. Hurlock (1974: 8) dalam bukunya Personality Development, secara tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian. Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai. Karakter berkaitan dengan tingkah laku yang diatur oleh upaya dan keinginan. Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya selaras dengan pola-pola kelompok yang diterima secara sosial. Definisi karakter dari Hurlock, sementara ini dapat digunakan untuk menganalisis secara lebih jauh tentang karakter dan implikasinya. Beberapa masalah ketidaktepatan makna yang beredar di masyarakat mengenai makna pendidikan karakter dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut. a. Pendidikan karakter = mata pelajaran agama dan PKn, karena itu menjadi tanggung jawab guru agama dan PKn. b. Pendidikan karakter = mata pelajaran pendidikan budi pekerti, sehingga menjadi tanggunga jawab guru yang bersangkutan. c. Pendidikan karakter = pendidikan yang menjadi tanggung jawab keluarga, bukan tanggung jawab sekolah. d. Pendidikan karakter = adanya penambahan mata pelajaran baru dalam KTSP (Dharma Kesuma, 2011: 5). Berbagai Makna pendidikan karakter sebagaimana tersebut di atas, bermunculan dan berkembang dalam pemikiran banyak orang, guru, maupun masyarakat umum. Menurut Djoko Dwiyanto (2012: 34), dalam pendidikan karakter manusia dipandang sebagai yang mampu mengatasi determinasi di luar dirinya. Manusia bertindak dan mampu mengatasi keterbatasan dirinya karena ia memiliki nilai yang berharga dan layak untuk diperjuangkan. Berikut ini disampaikan definisi pendidikan karakter menurut para pakar agar lebih jelas dalam pembahasan selanjutnya. Menurut Ratna Megawangi (2004: 95), ―pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.‖ Definisi lain dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1), pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.‖ Dalam definisi tersebut terdapat tiga pikiran penting yakni 1) proses transformasi nilai, 2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, 3) menjadi satu dalam perilaku. Pendapat lain dikemukakan oleh Dharma Kesuma dkk. (2011: 5-6), bahwa pendidikan karakter dalam seting sekolah sebagai ―pembelajaran yang mengarah pada penguasaan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.‖ Dalam definisi yang dikemukakan oleh Dharma Kesuma mengandung tiga makna yakni 1) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi 66 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran, 2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya anak merupakan organisme manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan, 3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah (lembaga). Melihat definisi tersebut di atas, maka semua mata pelajaran juga diharapkan menyampaikan pesan akan pentingnya karakter bangsa. siapa yang bertanggung jawab untuk keberlangsungan fungsi ini. Fungsi pertama ―Mengembangkan kemampuan‖ dapat dipahami bahwa pendidikan nasional menganut aliran konstruktivisme, yang mempercayai bahwa peserta didik adalah manusia yang potensial dan dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan. Setiap layanan pendidikan yang ada di Indonesia harus dipersepsi secara sama bahwa peserta didik itu memiliki potensi yang luar biasa dan perlu difasilitasi melalui proses pendidikan untuk mengembangkan potensinya. Dalam konteks pendidikan karakter, kita lihat bahwa kemampuan yang harus dikembangkan pada peserta didik melalui persekolahan adalah berbagai kemampuan yang akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang berketuhanan dan mengemban amanah sebagai pemimpin di dunia. Kemampuan yang perlu dikembangkan pada peserta didik adalah kemampuan mengabdi kepada Tuhan yang menciptakannya, kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmonis dengan manusia dan makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Fungsi kedua pendidikan nasional adalah ‖membentuk watak‖ mengandung makna bahwa pendidikan nasional harus diarahkan pada pembentukan watak. Pendidikan yang berorientasi pada watak peserta didik merupakan suatu hal yang tepat, tetapi perlu diperjelas mengenai istilah perlakuan terhadap ‖watak.‖ Apakah watak itu harus ―dikembangkan‖, ―dibentuk‖ atau ―difasilitasi.‖ Perspektif pedagogik, lebih memandang bahwa pendidikan itu mengembangkan/ menguatkan/ memfasilitasi watak, bukan membentuk watak. Jika watak dibentuk, maka tidak ada proses pedagogik/ pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran (Dharma Kesuma, dkk., 2011: 7). 2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang mampu menyiapkan generasi masa depan untuk dapat bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3 adalah sebagai berikut."Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003). Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa seharusnya memberikan pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia atau bangsa Indonesia. Fungsi ini amat berat untuk dipikul oleh pendidikan nasional, terutama apabila dikaitkan dengan 67 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian, seperti halnya ujian nasional, adalah sebuah kemunduran, karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini menempatkan peserta didik sebagai pelajar imitatif dan belajar dari ekspose-ekspose didaktik yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional. Apa tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah? Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut, a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/ kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam seting sekolah bukanlah sekedar dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian. b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah.Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang pedagogis, bukan suatu pemaksaan atau pengkondisian yang tidak mendidik. c. Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersamasama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada interaksi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan sulit diwujudkan. 3. Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan Guna Meningkatkan Karakter atau Akhlak Terpuji Peningkatan karakter atau akhlak yang terpuji dapat dilaksanakan melalui hal-hal sebagai berikut. a. Muhasabah, yaitu selalu menghitung perbuatan yang telah dilakukannya selama ini, baik perbuatan buruk beserta akibat yang ditimbulkannya, atau pun perbuatan baik beserta akibat yang ditimbulkan olehnya. b. Mu‘aqobah, memberikan hukuman terhadap berbagai perbuatan dan tindakan yang telah dilakukannya. Hukuman ini tentu bersifat ruhiyah, seperti melakukan shalat sunah yang lebih banyak jika dibanding biasanya, berdzikir, dan sebagainya. c. Mu‘ahadah, perjanjian dengan hati nurani (batin), untuk tidak mengulangi kesalahan dan keburukan tindakan yang dilakukan serta menggantinya dengan perbuatan baik. d. Mujahadah, berusaha maksimal melakukan perbuatan yang baik untuk mencapai derajat ihsan, sehingga mampu mendekatkan diri pada Allah Swt. (muraqobah). Hal ini dilakukan dengan kesungguhan dan perjuangan keras, karena perjalanan untuk mendekatkan diri kepada Allah banyak rintangannya (Zubaedi, 2011: 119). Secara lebih terperinci, proses untuk membangun karakter bisa menggunakan 7 68 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tahapan. Menurut Asifin (2001: 1), tujuh tahapan itu meliputi muatabah, muroqobah, mujahadah, musyahadah, mukasyafah, muhabbah, dan ma‘rifah. Penjelasan 7 Tahapan Membangun Karakter a. Muatabah atau penyesalan, yakni meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi atau meninggalkan maksiat menuju taubat. Taubat dalam hal ini adalah taubat nasuhah, yakni taubat yang sesungguhnya yaitu suatu upaya untuk menjauhi dan tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan untuk kedua kalinya. b. Muroqobah, awas-mengawasi, maksudnya bahwa Tuhan selalu melihat kita. Kita yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu mendengar, mengetahui dan mengawasi kita. c. Mujahadah, dalam definisi kajian tasawuf, adalah pengendalian atau kontrol terhadap nafsu dari hal-hal yang menggiurkan, dan upaya melawan hawa nafsu itu dilaksanakan pada setiap saat. d. Musyahadah, adalah tindak lanjut dari ajaran ihsan yang mengajarkan konsep ibadah yang sesungguhnya dengan suatu ukuran ―seakan-akan seorang hamba melihat Tuhan-nya, atau kalau seperti itu pastinya bahwa Allah melihat hamba-Nya. e. Mukasyafah, secara bahasa mempunyai arti terbukanya tirai, yakni terbukanya segala rahasia alam yang tersembunyi atau terbukanya pengertian dan hal-hal yang bersifat ghaib. f. Muhabah, yang secara harfiah berarti cinta. Cinta pada hakikatnya berangkat dari ketulusan, keikhlasan, dan kesucian yang menghasilkan sikap aluns (suka cita secara kejiwaan). g. Ma‘rifah, adalah sebuah anugerah pemberian langsung dari Allah Swt kepada hamba yang ia kehendaki. Pada tingkat inilah seorang hamba benar- benar akan mengetahui tentang Tuhan. 4. kebenaran Nilai-Nilai yang Perlu Diperkuat Untuk Pembangunan Bangsa Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Definisi ini dikemukakan oleh Gordon Allport (1964), seorang ahli psikologi kepribadian. Bagi Allport, nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologi yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan , dan kebutuhan. Karena itu, keputusan benar-salah, baik-buruk, indahtidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya (Rohmat Mulyana, 2011: 9). Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman, 1983). Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial, sebab dengan penegakan norma seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. Definisi nilai yang lebih umum, dalam arti tidak memiliki tekanan pada sudut pandang tertentu adalah definisi yang dikemukakan oleh Hans Jonas (Bertens, 1999). Ia mengatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah kata ―ya‖ (value is address of a yess), atau kalau diterjemahkan secara kontekstual, nilai adalah sesuatu yang ditunjukkan dengan kata ―ya.‖Definisi ini merupakan definisi yang memiliki kerangka lebih umum dan luas daripada dua definisi 69 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sebelumnya (dari Gordon Allport dan Kupperman). Untuk kebutuhan pengertian nilai yang lebih sederhana namun mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dari tiga definisi di atas, dapat ditarik suatu definisi baru tentang nilai, yaitu nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan (Rohmat Mulyana, 2011: 11). Kalau dibandingkan dengan definisi nilai dari Hans Jonas, definisi baru ini secara eksplisit menyertakan proses pertimbangan nilai, tidak hanya sekedar alamat dari sebuah kata ―ya‖. Setelah memahami pengertian nilai, selanjutnya akan dibahas nilai-nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa itu apa saja. Dalam penjelasan Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai-nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa saat ini adalah sebagai berikut. a. Kejujuran Jujur merupakan sebuah karakter yang dianggap dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur mengandung makna 1) lurus hati, tidak berbohong (misal dengan berkata apa adanya); 2) tidak curang (misal di permainan, dengan mengikuti aturan yang berlaku); 3) tulus, ikhlas (Hasan Alwi dkk., 2001: 479). Jujur sebagai sebuah nilai merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan/atau perbuatan) bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan dirinya. Kata jujur identik dengan ―benar‖ yang lawan katanya adalah ―bohong‖. Makna jujur lebih jauh dikorelasikan dengan kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan memiliki makna kepentingan orang banyak, bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi semua orang yang terlibat. Dalam konteks pembangunan karakter di sekolah, kejujuran menjadi amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia saat ini. Karakter ini dapat dilihat secara langsung di kelas, semisal ketika anak melaksanakan ujian. Perbuatan mencontek merupakan perbuatan yang mencerminkan anak tidak berbuat jujur. Dengan mencontek, anak menipu diri, teman, orang tua, dan gurunya. Anak memanipulasi nilai yang didapatkannya seolah-oleh merupakan kondisi yang sebenarnya dari kemampuannya, padahal yang didapatnya bukan merupakan kondisi yang sebenarnya. Di bawah ini dikemukakan ciri-ciri orang yang jujur. Orang yang memiliki karakter jujur dicirikan oleh perilaku sebagai berikut. 1) Jika bertekad (inisiasi keputusan) untuk melakukan sesuatu, tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan; 2) Jika berkata tidak berbohong (benar apa adanya); 3) Adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya (Dharma Kesuma, dkk., 2011: 17). Seseorang yang memiliki karakter jujur aka diminati orang lain, baik dalam konteks persahabatan, bisnis, rekan atau mitra kerja, dan sebagainya. Karakter jujur ini merupakan salah satu karakter pokok untuk menjadikan seseorang cinta kebenaran, apapun resiko yang akan diterima dirinya dengan kebenaran yang ia lakukan. b. Kerja keras Kerja keras adalah suatu istilah yang melingkupi suatu upaya yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Kerja keras bukan berarti bekerja sampai tuntas lalu berhenti. Istilah yang dimaksud mengarah pada visi 70 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret ―bebas‖ atau ―pengabdian yang tulus‖.Menurut ajaran Islam ikhlas berarti setiap kegiatan yang kita kerjakan sematamata hanya karena mengharapkan ridha Allah Swt. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ikhlas adalah bersih hati; tulus hati. Keikhlasan berarti ketulusan hati; kejujuran; kerelaan (Hasan Alwi, 2001: 420). Di bawah ini dipaparkan beberapa definisi ikhlas yakni sebagai berikut. 1) Menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. 2) Membersihkan amalan dari komentar manusia, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan mereka tentang perbuatan itu. 3) Samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin. 4) Melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah (http://www.alislam.agussuwasono.com/artikel/aqidah /303-ikhlas-dan-bahaya-riya-html). Berikut ini dikemukakan ciri-ciri orang ikhlas sebagai berikut. 1) Terjaga dari segala sesuatu yang diharamkan Allah Swt., baik sedang bersama manusia mapun sendiri. 2) Senantiasa beramal di jalan Allah baik sedang sendirian atau bersama orang lain, baik ada pujian atau . 3) Selalu menerima apa adanya yang diberikan Allah. 4) Mudah memaafkan kesalahan orang lain (http://sites.google.com/site/ otoehkasela/ ikhlas-menurut-islam) besar yang harus dicapai untuk kebaikan/ kemaslahatan manusia dan lingkungannya. Dalam sekala mikro, kerja keras terjadi untuk kemaslahatan diri, keluarga, RT, RW, desa/ kelurahan. Pada sebagian orang, kerja keras dilakukan dengan menghabiskan waktu untuk membuat ide baru dan menyisihkan waktunya hanya 2 jam untuk tidur. Pada sebagian orang lagi, kerja keras dilakukan dengan cara pergi pagi pulang petang (P4) untuk menghidupi keluarganya, dan sebagainya. Kondisi variatif ini memiliki satu esensi yang sama, yaitu bagaimana memberikan kebaikan/ kemaslahatan kepada manusia dan lingkungannya. Tidak dikategorikan sebagai kerja keras orang yang menghabiskan waktunya untuk mengedarkan narkoba, ide merampok bank. Keduanya dilakukan bukan untuk memberikan kebaikan kepada manusia. Saat ini begitu banyak pemuda yang merupakan penduduk produktif lebih memilih bekerja ringan. Tengoklah berapa banyak pemuda yang meminta-minta di terminal, atau di perempatan jalan; padahal bersamaan dengan keberadaan mereka, para kakek dan nenek masih terus bekerja keras, misalnya berjualan keliling. Beberapa karakteristik kerja keras adalah perilaku yang dicirikan oleh kecenderungan sebagai berikut. 1) Merasa risau jika pekerjaannya belum terselesaikan sampai tuntas; 2) Mengecek/ memeriksa terhadap apa yang harus dilakukan atau apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam suatu jabatan/ posisi; 3) Mampu mengelola waktu yang dimilikinya; 4) Mampu mengorganisasi sumber daya yang ada untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya (Dharma Kesuma, 2011: 19-20). c. Keikhlasan Ikhlas dalam bahasa Arab memiliki arti ―murni‖, ―suci‖, ―tidak bercampur‖, 71 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 5. 1) Adigang, adigung, adiguna (ngediredirake kekuwatan, kaluhuran, lan kapintyeran). 2) Ana catur mungkur (ora gelemngrungokake rerasaningliyan sing ala). 3) Criwis cawis (diprentah madoni, nanging wusanane gelem nglakoni. 4) Dahwen ati open (nacad nanging nduweni melik arep ngbepek sing dicacad). 5) Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan (wong liya, nanging yen nandhang susah dibelani). 6) Durung pecus, keselak besus (Durung sembada , wis kepengin warna-warna). 7) Entek amek, kurang goleh (ngunekunekake uwong nganti sakatoge). 8) Gemblung jinurung, edan kuwarisan (sanajan ndhugal tindake, nanging tansah slamet). 9) Giri lusi, janma tan kena ingina (ora kena ngina marang pepadhane manungsa. 10) Jalukan ora wewehan (gelem njejaluk, ora gelem weweh). Peranan Budaya dan Pendidikan Karakter bagi Pembangunan Bangsa a. Contoh Budaya Jawa Berupa Tembang yang Kaya akan Pendidikan Karakter SINOM Amenangi zaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan ora tahan, Yen tan melu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Dilalah kersa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada. (R. Ng. Ranggawarsita: 1802-1873) (Warsito, 2008: i). GUNDHUL-GUNDHUL PACUL Gundhul-gundhul pacul, gembelengan, Nyunggi-nyunggi wakul, gembelengan, Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan (2X). SLUKU-SLUKU BATHOK Sluku-sluku bathok, Bathoke ela-elo, Si Rama menyang Sala, Oleh-olehe payung motha, Mak jenthit lolo lobah, Wong mati ora obah, Nek obah medeni bocah, Nek urip goleka dhuwit (Tembang Dolanan) (Muchlas Samani, 2012: 68-69). c. 1) 2) b. Contoh Budaya Jawa Berupa Paribasan yang Kaya akan Pendidikan Karakter (Paribasan = unen-unen gumathok, ajeg panganggone, lan ngemu teges wantah. Tembuge ora kena dioahi utawa diganti nganggo tembung liya) (Dwijawiyata, 2002: 44) 3) 4) 5) 72 Contoh Budaya Jawa Berupa Bebasan yang Kaya akan Pendidikan Karakter (Bebasan = unen-unen gumathok, ajeg panganggone, lan ngemu teges pepindhan, sing dipindhakake yaiku sipat, tindak-tanduk, utawa kaanane wong). (Dwijawiyata, 2002: 46). Adol lenga kari busik (dumdum, awake dhewe malah ora kepanduman). Dicuthat kaya cacing (ditundhung kanthi cara sing siya banget). Dikena iwake, aja nganti buthek banyune (sing disedya bisaa kena, tanpa gawe gendra). Kekudhung walulang macan (nganggo aling-aling wong sing kuwasa, supayakatekan sedyane). Kelacak, kepathak (wis kabukten lupute, ora bisa mukir maneh). Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 6) Lahang karoban manis (lahang=legen) (rupane bagus/ ayu, tur luhur budine). 7) Lambe satumang, kari samerang (olehe mituturi wis bola-bali, sing dipituturi ora nggatekkake). 8) Lanang kemangi (watake wong lanang sing jirihan). 9) Madu balung tanpa isi (regejeganmung marga barang sepele). 10) Nabok nyilih tangan (tumindak ala srana kongkonan wong liya). Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas SDM. Oleh sebab itu pendidikan juga merupakan alur tengah pembangunan dari seluruh sektor pembangunan (Umar Tirtarahardja, 2005: 300). Terdapat suatu kesan bahwa persepsi masyarakat umum tentang arti pembangunan lazimnya bersifat menjurus pada pembangunan fisik. Pembangunan semata-mata hanya beruang lingkup pembangunan material atau pembangunan fisik berupa pembangunan gedung, jembatan, pabrik, dan lain-lain. Padahal sukses tidaknya pembanguan fisik itu justru sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan ruhaniah/ spiritual; yang secara bulat diartikan pembangunan manusia, dan ini menjadi tugas utama pendidikan. Persepsi yang keliru tentang arti pembangunan yang menganggap bahwa pembangunan itu hanya semata-mata pembangunan material dapat berdampak menghambat pembangunan sistem pendidikan, sebab yang benar pembangunan harus bersifat komprehensif. Persepsi yang mengatakan bahwa pembangunan diasosiasikan dengan pembangunan ekonomi dan industri, sementara pembangunan SDM tidak secara langsung terlihat, maka akan menimbulkan gejala penyerta yang negatif, antara lain kegoncangan sosial politik. Ini menuinjukkan bahwa pembangunan dalam arti yang terbatas pada bidang ekonomi dan industri saja belum menggambarkan esensi pembangunan yang sebenarnya. Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, the founding fathers atau para bapak pendiri bangsa menyadari bahwa paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, adalah mendirikan negara yang bersatu dan berdaulat, kedua, adalah membangun bangsa, dan ketiga, membangun karakter (Muchlas Samani, 2012: 1). Ketiga tantangan tersebut secara jelas tampak dalam konsep ―Negara Bangsa (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Salah satu bapak pendiri bangsa, adalah presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, menegaskan bahwa ―Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building), inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.‖ (MuchlasSamani, 2012: 2). Pembangunan karakterbangsa di Indonesia dirasakan amat perlu pengembangannya apabila mengingat semakin meningkatnya tawuran antar pelajar, mahasiswa, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja di kota-kota besar, penggunaan narkoba dan lain-lain. Ada hal yang memprihatinkan lagi yakni kegagalan ―Kantin Kejujuran‖. Keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak dilakukan melalui kantin kejujuran di beberapa sekolah. Banyak kantin kejujuran yang bangkrut dan gagal karena belum bangkitnya sifat jujur pada anak-anak. Disiplin dan tertib berlalu lintas, budaya antre, budaya baca, budaya hidup bersih dan sehat masih jauh dari standar. Di kota-kota besar, lampu merah seolah-olah kurang berfungsi. Jika tidak ada petugas, menyerobot lampu merah sering dilakukan. 73 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Kebanggaan kita terhadap jati diri dan kekayaan budaya sendiri masih rendah. Sebagai bangsa, kita masih mengidap inferiority complex nasional, terbukti masih suka dan melahap tanpaseleksi segala produk dan budaya asing. Selanjutnya mari kita melihat beberapa indikasi tentang ―apa yang salah dengan bangsa ini?‖ Pertama, kondisi moral/ akhlak generasi muda banyak yang rusak/ hancur. Ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba, tawuran, peredaran foto dan video porno, dan sebagainya. Data hasil survey mengenai seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukkan 63% remaja Indonesia melakukan seks bebas (www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option =com_content&do_pdf...) Adapun remaja korban narkoba di Indonesi ada 1,1 juta orang (http://hizbuttahrir.or.id/2009/12/01/jabar-masih-darurathivaids-dan-seks-bebas/.) Kedua, pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (lulusan SMA. SMK, dan Perguruan Tinggi). Data Badan Pusat Statistik menyebutkan pengangguran lulusan SMK 17,26%, SMA 14,31 %, lulusan universitas 12,59 %, Diploma I, II, III 11,21% (http:www.tribunjabar.co.id/read/artikel/ 4317/ tentangkami). Ketiga, rusaknya moral bangsa dan sudah menjadi akut (korupsi, asusila, kejahatan, tindakan kriminal. Keempat, bencana yang sering dan terus berulang dialami bangsa Indonesia, Kelima, kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah. Keenam, daya kompetitif yang rendah sehingga banyak produk dalam negeri dan SDM yang tergantikan oleh produk dan SDM yang tergantikan dari luar negeri. Ketujuh, Inefisiensi pembiayaan pendidikan. Dari berbagai permasalahan dan kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut, maka di sinilah letak pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. PKn atau Civic Education sebagai salah satu program pendidikan karakter, melakukan pembelajaran yang secara programatikprosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (civillizing) serta memberdayakan (emprowering) manusia/ anak didik (diri dan kehidupannya) menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharusan / yuridis konstitusional bangsa/ negara Indonesia (Dasim Budimansyah (Editor), 2006: 9). Selain Pendidikan Kewarganegaraan, tidak kalah pentingnya adalah peran Pendidikan Pancasila. Warsito (2012: 23) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Pancasila Era Reformasi menyatakan bahwa melalui Pendidikan Pancasila, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisis, dan menjawab masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. C. KESIMPULAN Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Dalam seting sekolah pendidikankarakter sebagai ―pembelajaran yang mengarah pada penguasaan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.‖ Pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut, 1) 74 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu, 2) mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah.3)membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Peningkatan karakter atau akhlak yang terpuji dapat dilaksanakan melalui hal-hal sebagai berikut.1). Muhasabah, yaitu selalu menghitung perbuatan yang telah dilakukannya selama ini, 2) mu‘aqobah, memberikan hukuman terhadap berbagai perbuatan dan tindakan yang telah dilakukannya, 3) Mu‘ahadah, perjanjian dengan ahti nurani (batin), 4) Mujahadah, berusaha maksimal untuk melakukan perbuatan yang baik. Adapun proses untuk membangun karakter menggunakan 7 tahapan, yakni muatabah, muroqobah, mujahadah, musyahadah, mukasyafah, muhabbah, dan ma‘rifah. Dalam penjelasan Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai-nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa saat ini adalah sebagai berikut 1) jujur, 2) kerja keras, 3) ikhlas. Pembangunan karakter bangsa di Indonesia dirasakan amat perlu pengembangannya apabila mengingat semakin meningkatnya tawuran antarpelajar, mahasiswa, serta bentukbentuk kenakalan remaja di kota-kota besar, penggunaan narkoba dan lain-lain. Ada hal yang memprihatinkan lagi yakni kegagalan ―Kantin Kejujuran‖. Keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak dilakukan melalui kantin kejujuran di beberapa sekolah. Banyak kantin kejujuran yang gagal karena belum bangkitnya sifat jujur. Disiplin dan tertib berlalu lintas, budaya antre, budaya baca, budaya hidup bersih dan sehat masih jauh dari standar. Di kota-kota besar, lampu merah seolah-olah kurang berfungsi. Jika tidak ada petugas, menyerobot lampu merah sering dilakukan. Kebanggan kita terhadap jati diri dan kekayaan budaya sendiri masih rendah. Sebagai bangsa, kita masih mengidap inferiority complex nasional, terbukti masih suka dan melahap tanpaseleksi segala produk dan budaya asing. Selanjutnya mari kita melihat beberapa indikasi tentang ―apa yang salah dengan bangsa ini?‖ Pertama, kondisi moral/ akhlak generasi muda banyak yang rusak/ hancur. Kedua, pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan. Ketiga, rusaknya moral bangsa dan sudah menjadi akut. Keempat, bencana yang sering dan terus berulang dialami bangsa Indonesia, Kelima, kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah. Keenam, daya kompetitif yang rendah, Ketujuh, Inefisiensi pembiayaan pendidikan. Dari berbagai permasalahan dan kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut, maka di sinilah letak pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, dkk. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Asifin. (2001). Jalan Menuju Ma‟rifatullah dengan Tahapan (7 M). Surabaya: Terbit Terang. 75 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dasim Budimansyah (Editor), (2006). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraa. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan, FPISUPI. Dwijawiyata. (2002). Kawruh Basa Jawa Pepak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Dwipayana, AAGN Ari. (2001). Kelas dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama . Dwiyanto, Djoko dan Gatot Saksono. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila, Negara Pancasila: Agama atau Sekuler; Sosialis atau Kapitalis. Yogyakarta: Ampera Utama. Gaffar, Mohammad Fakry. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Islam (Disampaikan pada Workshop Pendidikan Karakter Berbasis Agama, 8-10 April 2010 di Yogyakarta). Geertz, Clifford. (1999). After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Alih Bahasa Landung Simatupang. Yogyakarta: LKiS Bekerjasama dengan The Asia Foundation. Hurlock, Elizabeth B. (1974). Personality Development. New York: McGraw-Hill Book Company. Kesuma, Dharma. (2011). Pendidikan Karakter-Kajian Teori dan Praktek di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Kupperman, J.J. (1983). The Foundatin of Morality. London: George Allen&unwin Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation. Mulyana, Dedy, dkk. (2001). Komunikasi antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan orang-orang Berbeda Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Rohmat. (2011). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tirta Rahardja, Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Pusat Keguruan Depdiknas dengan Penerbit Rineka Cipta. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Warsito. (2008). Perspektif Pendidikan Ilmu Sosial. Klaten: Widya Dharma University Press. Warsito. (2012). Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Warsito. (2012). Pendidikan Pancasila Era Reformasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. http://hizbut-tahrir.or.id/2009/12/01/jabar-masih-darurat-hivaids-dan-seks-bebas/ http://sites.google.com/site/otoehkasela/ikhlas-menurut-isla http://www.al-islam.agussuwasono.com/artikel/aqidah/303-ikhlas-dan-bahaya-riya-html www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option=com_content&do_pdf. 76 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret MEMBANGUN PERADABAN DENGAN PENDIDIKAN YANG BERBASIS KARAKTER DAN NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA Agoes Hendriyanto PBSI STKIP PGRI Pacitan Email: [email protected] ABSTRAK Kemajuan Pendidikan di Indonesia sangat tergantung kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung mauoun tidak langsung. Modal yang paling utama semua pihak yang terlibat dalam Bidang Pendidikan harus punya Integritas yang tinggi dalam rangka memperbaiki sistem, struktur, dan proses pendidikan yang korup, menuju masa depan yang penuh perubahan mendorong terwujudnya satu Sistem Pendidikan Nasional yang mengarah kepada peningkatan Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan karakter harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini sehingga perlu menanamkan nilai-nilai luhur bangsa sebelum siswa diajarkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini sebagai bekal peserta didik untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan diajarkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan karakter wajib diberikan kepada peserta didik agar kelak menjadi seorang ilmuan, pemimpin, anggota DPR, guru, dosen, dan profesi yang lainnya yang punya sikap dan karakter yang mandiri, tanggung jawab, jujur, penuh integritas, disiplin, rela berkorban, suka menolong dan nilai-nilai luhur yang erupakan ciri khas bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu terobosan baru dalam pengajaran untuk penanaman nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan memiliki kepribadian yang luhur. Guru, Dosen, dan Pemimpin baik formal maupun informal yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sistem pendidikan harus memahami filosofi dari Ki Hadjar Dewantara yaitu: Ing Ngarso Sung Tulado, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Untuk itu diperlukan suatu sistem dan proses perekrutan guru yang transparan, dan tidak adanya KKN di dalamnya dalam rangka peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang uggul dan berbudi pekerti luhur. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Ing Ngarso Sung Tulado, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Nasional yang mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan agar pemerintah 77 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi di atas dengan tegas memberikan perhatian yang besar akan pentingnya pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa yang akan membentuk peserta didik menjadi manusia berbudaya yang berhati nurani luhur karena keteladanan, bimbingan, arahan, dan dorongan dari pendidik yang benar-benar menjalankan profesinya dengan menggunakan hati. Selain yang tersebut di atas pendidikan diharapkan membantu membumikan nilainilai agama dan mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga pendidikan harus senantiasa berdasarkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat. mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan kepada seluruh peserta didik di lembaga pendidikan formal dan informal. Dengan demikian tugas setiap elemen bangsa yang terlibat dalam pendidikan wajib hukumnya untuk mengembangkan sistem pendidikan yang berkarakter, berhati nurani, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berlandaskan nilai sosial budaya yang mengandung filosofi yang sangat luar biasa. Hal ini semakin diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), nomer 20 tahun 2003, menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita seperti yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Pada pasal 3 Undang-Undang SISDIKNAS ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dilihat dari kacamata pendidikan, peningkatan tersebut haruslah diterjemahkan secara operasional dan diimplementasikan melalui proses pembelajaran yang memadai. Pembelajaran yang memadai bukan hanya mengembangkan salah satu kecerdasan, akan tetapi seluruh kecerdasan manusia. Dengan demikian pembelajaran harus direncanakan dan diwujudkan dalam rangka meningkatkan ketiga kecerdasan yaitu; pengetahuan, sikap, dan hasil karya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi dan teknik pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan ketiga kecerdasan. Peran dari lembaga sekolah, guru, murid dan wali siswa sangat diperlukan dalam rangka pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan ketiga kecerdasan. Lebih jelasnya kecerdasan manusia secara operasional dapat digambarkan melalui tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus berkembang. Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia harus tumbuh. Melalui pengembangan afektif, kapasitas sikap manusia harus mulia. Hal ini sejalan dengan dasar pendidikan Indonesia, yakni mencerdaskan bangsa yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Dengan kata lain, peserta didik bersekolah bukan hanya untuk menghadapi bahasan soal-soal ujian, peserta didik bersekolah merupakan strategi untuk mempersiapkan dirinya memasuki kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang yang lebih baik. Secara empiris, pelaksanaan pembelajaran masih diarahkan kepada pencerdasan yang bersifat kognitif, hal ini bisa kita lihat di sekolah-sekolah umum. Pada tataran ini pun, kecerdasan intelektual yang bersifat kognitif masih terbatas kepada pengembangan kemampuan menghafal atau transfer pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan soal-soal ujian. 78 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pengembangan kognitif yang lainnya masih diabaikan, misalnya, pengembangan kognitif untuk meningkatkan daya kritis. Walaupun sejak tahun 2010 yang lalu, pendidikan karakter telah dicanangkan untuk dijadikan gerakan nasional di seluruh tingkat pendidikan yaitu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai dengan perguruan tinggi. Menteri Pendidikan Nasional (MENDIKNAS) saat itu mengeluarkan PERMENDIKNAS (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) tentang pendidikan karakter. Ada 18 nilai budaya dan karakter bangsa yang seharusnya ditanamkan pada peserta didik. 18 nilai budaya dan karakter bangsa itu mencakup Jujur, religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat (komunikatif), cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter yang dilakukan di Indonesia tidak diberi bobot nilai, tetapi dijadikan pembiasaan keseharian di sekolah sehingga membudaya. Anak yang melanggar nilai-nilai karakter yang telah disepakati kendalanya pada saat pelaksanaan dan penindakan bagi yang melaggar. Tidak bisa dipungkiri bahwa guru mempunyai perasaan yang tidak sama terhadap anak-anak pejabat yang sekolah di lembaga pendidikan tertentu pasti mendapatkan perlakuan yang lebih baik jika dibandingkan dengan lainnya. Contoh yang kurang baik ini akan membekas pada hati anak didik yang pada akhirnya akan menciptakan karakter pendendam kepada orang lain. Pada mulanya ingin membuat sikap yang baik menjadi suatu kebiasaan malah kita sendiri yang malah mencontohkan karakter yang tidak baik pada siswa yang mendapatkan perlakuan yang berbeda atau diskriminasi. Kenyataan seperti ini sering terlihat pada sekolahsekolah yang anak didiknya banyak dari orang tuanya berpengaruh di suatu daerah tertentu. Untuk itu maka diperlukan guruguru yang profesional yang mendidik dengan hati, yang pandai untuk membuat keteladanan, dorongan, motivasi, dan pujian kepada anak didiknya yang berprestasi, serta tidak membedakan perlakuan terhadap peserta didiknya. Sehingga proses pembelajaran akan menyenangkan dan tidak menimbulkan persoalan baru yang berhubungan dengan perasaan peserta didik. Dalam mengajarkan pendidikan karakter tersebut guru harus bisa memainkan 3 (tiga) peran yaitu, pemberi perhatian, panutan, dan sekaligus pembimbing bagi peserta didik. Pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran tambahan. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang terdiri dari 18 tersebut yang akan diintegrasikan kepada siswa melalui mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Guru juga turut mengidentifikasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut yang terdapat pada mata pelajaran yang diampu. Maka dari itu, guru harus mampu merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berbasis karakter, Silabus berbasis karakter, dan bahan ajar berbasis karakter. Hal ini sangat berlawanan dengan penerapan Kurikulum 2013 yang dilaksanakan Juli 2013 mendatang bersifat pemaksaan seperti diwartakan oleh Tribunnews.com tanggal 21 April 2013. Penyusunan kurikulum 2013 bukan berasal dari penyempurnaan dari kurikulum KTSP 2006 melainkan kebijakan yang bersifat Top Down dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementeriaan Pendidikan dan kebudayaan Nasional. Kurikulum ini mengkebiri hakhak dari sekolah dan guru yang mengetahui secara mendetail kondisi pembelajaran, sarana prasarana, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Dengan Kurikulum 2013 sekolah dan guru akan mengalami kesulitan dalam merancang pembelajaran yang berbasis 79 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sosial budaya masyarakat dan karakter. Padahal yang mengetahui kondisi realitas pembelajaran dan sosial budaya bukan orang yang menentukan kebijakan dari pusat melainkan guru dan sekolah. Dengan kondisi yang demikian perencanaan pendidikan nasional bukannya direncanakan dari bawah melanikan dari atas atau Top Down. Kurikulum 2013 amat sentralistik, bertentangan dengan semangat reformasi yang menghendaki desentralisasi, yaitu desentralisasi pengelolaan pendidikan. Belum ada riset dan evaluasi yang mendalam dan sungguh-sungguh tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), baik berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi maupun Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Hal ini sangat berbeda sekali dalam pembuatan Kurikulum KTSP 2006 yang dikembangkan berdasarkan pedoman dan rambu-rambu yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), yang menghargai otonomi guru dan sekolah serta keanerakagaman budaya dan konteks setempat. Pada Kurikulum model KTSP memberi peluang bagi guru dengan harapan model KTSP dapat menjadi pedoman bagi guru dalam menyusun silabus yang sesuai dengan kondisi sekolah dan potensi daerah masing-masing yang diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan. Hal ini berlawanan dalam proses Penyusunan Kurikulum 2013 tidak berdasarkan kajian yang mendalam dan transparan terhadap situasi yang menjadi alasan kuat perlunya kurikulum 2013. Rumusannya amat sangat normatif berdasarkan spekulasi tanpa dukungan hasil riset dan ujicoba inovasi di lapangan. Perlu kita renungkan bersama rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia disebabkan salah satunya sistem pendidikan yang seakan-akan sudah terurus tapi masih kurang tepat penanganannya, seperti orang sakit kepala dikasih obat penurun panas. Seringkali kebijakan tersebut hanya coba-coba atau eksperimen dengan demikian hasilnya ada dua kemungkinan yaitu berhasil dan gagal atau baik dan buruk. Anak didik dan guru merupakan laboratorium berjalan, yang harus selalu siap untuk menerima kebijakan dalam dunia pendidikan yang selalu berubah-ubah disesuaikan dengan selera yang mempunyai kekuasaan Dengan melihat permasalahan bangsa yang semakin hari semakin rumit marilah kita yang terlibat dalam bidang pendidikan untuk mencari solusi dan sedikit memberikan sesuatu yang berharga kepada bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu fungsi utama dari dunia pendidikan kita harus mempunyai niat yang tulus dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia. Peningkatan yang real dan tidak manipulatif, dan koruptif yang akan menumbuhkan pendidikan yang luar biasa akan melahirkan generasi yang akan datang yang mempunyai karakter dan nilai-nilai budaya yang luhur. Untuk itu peran dari bapak ibu guru, dosen sangat dibutuhkan dalam rangka terwujudnya tujuan tersebut. Hal ini sangat berlawanan dengan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang merupakan pemaksaan kehendak dari pemerintah pusat, karena kurikulum 2013 bukan hasil dari evaluasi yang menyeluruh dari pelaksanaan kurikulum KTSP 2006. Peran Guru dan sekolah seperti dikebiri oleh pemerintah, seakan-akan tampak jelas peran guru dan sekolah tapi kenyataannya perannya dipangkas. Kurikulum 2013, perencanaan maupun penyusunan silabus serta penyusunan dan penerbitan buku pelajaran ditentukan serta dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sentralisasi). Tanpa kesungguhan, perubahan kurikulum hanya mengutak-atik apa yang ada dengan dibumbui pengantar yang 80 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret muluk. Kurikulum Pendidikan yang Mencerdaskan. Seperti diamanatkan dalam UU Sikdiknas No 20 Tahun 2003 Bab X mengenai bentuk kurikulum yaitu pasal 36 ayat 1 yang berbunyi ‖Pengembangan Kurikulum Di Lakukan Dengan Mengacu Pada Standar Nasional Pendidikan Untuk Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional‖dilanjutkan ayat 2 ―Kurikulum Pada Semua Jenjang Dan Jenis Pendidikan Di Kembangkan Dengan Prinsip Diverisifikasi Sesuai Dengan Satuan Pendidikan, Potensi Daerah, Dan Peserta Didik‖,dan ayat 3 berbunyi ―kurikulum disusun dengan jenjang pendidikan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, agama, dinamika perkembangan global dan persatuan nasional dan nilai-nilai keagamaan. Diakui atau tidak, tolok ukur bangsa berkualitas di pandang dari sejauh mana pendidikan mampu melahirkan manusiamanusia yang handal. Bangsa akan menjadi berkualitas apabila manusianya yang berkualitas. Ini tidak dapat di pungkiri dan harus diakui secara bersama. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang ingin menuju pada bangsa berkualitas pun harus mampu melaksakan peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu perlu suatu proses perenungan dan saling mengkoreksi diri setiap yang terlibat dalam dunia pendidikan. Bukan hanya mencari-cari kambing hitam jika menjumpai atau menemui suatu persoalan marilah persoalan itu kita pecahkan bersama.. Kurikulum KTSP yang pencapaiannya belum maksimal diganti kurikulum baru yang pelaksanaannya pada tahun 2013. Kurikulum baru ini pasti menyerap anggaran yang luar biasa dalam pembuatannya, pelaksanaanya, dan evaluasinya. Kita sebagai pemerhati pendidikan kadang-kadang berpikir negatif bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah khususnya Departemen pendidikan Nasional hanya mencairkan anggaran pendidikan yang sangat tinggi dari APBN yang mencapai 20 % dari Anggaran APBN yang jumlahnya sekitar 40 Trilyun Rupiah, jumlah yang sangat fantastik. Rendahnya penyerapan anggaran pada sektor pendidikan akhirnya digunakan untuk sarana mencoba-coba suatu kebijakan, kalau kita lihat negara lain yang sudah tidak merubah suatu kebijakan tapi hanya mengevaluasi dan memperbaiki yang masih kurang, dan fokus pada penggarapan pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana belajar mengajar yang mencapai tingkat yang standar nasional bahkan international, dalam rangka mempersiapkan pilar-pilar bangsa yang akan menghadapi tantangan yang semakin luar biasa. . Sebaiknya negara kita dalam membuat kebijakan harus mengumpulkan ahli-ahli pendidikan yang mempunyai hati nurani yang luhur yang mempunyai itikad yang baik, iklas untuk kemajuan pendidikan di Indonesia untuk membuat suatu konsep bagi pendidikan di Indonesia yang harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya kita. Sehingga tidak akan ada lagi kebijakan yang menyalahi aturan di atasnya sehingga ada yang menggugat akan dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Carut marutnya pendidikan di Indonesia sudah mencapai klimaknya, dimana pemerintah memaksakan Ujian Nasional serentak yang dianggap gagal.. Kegagalan pertama; pelaksanaan Ujian Nasional setingkat SMA yang jadwalnya serentak tanggal 15 April 2013 di 13 Propinsi khususnya di Indonesia Bagian Barat ditunda sampai hari rabu tanggal 18 April 2013. Kedua pengunduran selama 2 81 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret hari itu juga mengalami permasalahanya dimana jumlah soalnya untuk beberapa Kabupaten di 11 propinsi tersebut masih kurang sehingga diperbolehkan untuk menggandakan soal dengan cara Fotocopy. Dari fenomena yang terlihat akhirakhir ini bahwa kebijaksanaan Mendikbud hanya merupakan kebijakan yang hanya coba-coba dan tidak dipikirkan secara matang terlihat jelas pada Pelaksanaan Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan SMP yang banyak timbul permasalahan, padahal pelaksanaannya rutin dilaksanakan selama bertahun-tahun. Selain itu banyak sekali produk hukum yang hanya mewakili suatu kelompok tertentu seperti peraturan Menteri yang mengatur Perguruan Tinggi yang merugikan keberadaan Perguruan Tinggi Swasta, RSBI yang dibubarkan, pemaksaan pelaksanaan Kurikulum 2013 untuk SMA wajib hukumnya dilaksanakan pada bulan Juli 2013 dan peraturan lainnya yang dibuat berdasarkan keinginan kelompok tertentu saja.. Seperti pernyataan yang menjadi peringatan bagi kita yang terlibat dalam Pendidikan, Bapak Busyro Muqodas mengatakan bahwa sukses di masa depan sangat tergantung dalam mempersiapkan segala kebijakan diperlukan integritas yang tinggi dalam rangka memperbaiki sistem, struktur, dan proses politik yang korup. Inilah fakta yang harus kita hadapi apakah para petinggi-peetinggi di negeri ini sudah menjalankan kewajibannya sebagai warga negara, marilah kita saling merenung dan merefleksikan diri kita masing-masing, jangan mencari kambing hitam, ibaratkan bahwa pabrik cat sekarang lebih bayak memproduksi cat yang berwarna putih sehingga tidak ada yang perlu dikambing hitamkan. Berdasarkan latar belakang di atas maka kami tertarik untuk mengambil judul makalah ―Membangun Peradaban Dengan Pendidikan Yang Berbasis Karakter Dan Budaya Bangsa.‖ 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka kami mengambil pokok permasalahan sebagai berikut: a. Apakah Pendidikan yang berbasis Karakter dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan Global? b. Bagaimanakah seharusnya Peran Guru dan Dosen dalam menyikapi pelaksanaan Kurikulum 2013? B. PENDIDIKAN YANG BERBASIS KARAKTER DAPAT DIANDALKAN DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL Menurut Hamzah B. Uno ( 2007: 1) pendidikan sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk mencerdasan anak bangsa, dewasa ini dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin rumit dan wajib untuk segera diselesaikan agar persoalan tersebut tidak semakin menggunung yang barakibat pada terganggunya proses pendidikan. Dewasa ini seringnya terjadi tawuran antar pelajar, pemecahan masalahnya tidak sampai pada akar masalahnya tapi hanya menangkap anakanak yang tawuran oleh pihak kepolisian. Seharusnya lembaga yang menangani pendidikan harus merubah sistem, dan proses pendidikan yang ada dengan lebih mengedepankan pembelajaran dalam peningkatan aspek (sikap) afektif, dan (hasil) psikomotorik. Dengan mengevaluasi secara menyeluruh kelemahan kurikulum KTSP 2006 yang melibatkan ahli-ahli pendidikan, yang dilakukan bertahun-tahun membuat kurikulum baru yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Pendidikan menurut UndangUndang Sikdiknas no. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan agar peserta didik tersebut berperan dalam 82 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kehidupannya. Berdasarkan pengertian di atas terlihat bahwa seseorang yang memposisikan dirinya sebagai pendidik mempunyai umur lebih tua jika dibandingkan dengan peserta didik. Dengan demikian seseorang yang mempunyai usia lebih muda berhak untuk mengajar peserta didik yang usianya di atasnya karena mempunyai kompetensi yang diinginkan oleh lembaga pendidikan Pendidikan pada hakikatnya seperti dinyatakan para ahli psikologi pendidikan seperti Chaplin (1972), Tardif (1987), dan Reber (1988), adalah pengembangan potensi atau kemampuan menusia secara menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan berbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Menurut pendapat ahli di atas terlihat jelas bahwa pendidikan merupakan suatu cara atau kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan potensi atau kemampuan manusia yang pelaksanaannnya dilakukan oleh manusia dalam hal ini guru atau dosen. Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti ―to engrave‖ (Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata ―to engrave‖ bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214). Berdasarkan arti kata seperti yang disebutkan di atas bahwa karakter adalah mengukir, melukis, memahatkan, bahkan menggoreskan sesuatu yang bersifat abstrak kepada diri seseorang. Sifat baik yang sifatnya abstrak yang diukirkan, dilukiskan, dipahatkan, serta digoreskan kepada seseorang harus dilakukan oleh seorang yang benar-benar profesional. Kalau bukan seorang profesional dikawatirkan hasil dari karyanya malah akan merusak pemandangan yang sudah ada. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ―karakter‖ diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80). Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah ―A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, ―Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior‖ (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilainilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, 83 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian karakter tersebut sangat dibutuhkan oleh setiap orang untuk berinteraksi dengan sesama, sehingga akan tercipta suatu keselarasan, keseimbangan, sikap saling menghormati antar sesama. Dengan demikian seseorang yang mempunyai karakter memiliki kecenderungan mudah beradaptasi terhadap lingkungan disekitarnya, bahkan akan menjadi panutan dalam penanaman nilainilai karakter di daerahnya. Dengan sangat pentingnya karakter maka muncul konsep pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui bukunya, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Untuk melengkapi pengertian tentang karakter ini akan dikemukakan juga pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab ―al-akhlaq‖ yang merupakan bentuk jamak dari kata ―alkhuluq‖ yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya‘qub, 1988: 11). Berdasarkan pegertian di atas karakter identik dengan aklak setiap individu. Aklak disini merupakan sifat baik yang dimiliki oleh seseorang yang rutin dilakukankannya, yang mempunyai efek positif bagi lingkungan. Dalam mengajarkan pendidikan karakter tersebut guru harus bisa memainkan 3 (tiga) peran yaitu, pemberi perhatian, panutan, dan sekaligus pembimbing bagi peserta didik. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27). Dalam khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni samasama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa‘id, 1986: 23-24). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengatur bahwa pendidikan diarahkan untuk membimbing, mengarahkan, dan mengajarkan kepada anak didik untuk: pertama, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukan hanya memeluk agama tetapi menjadi insan yang bertaqwa yang menjalankan dan mengaplikasikan di kehidupan kemasyarakatan; kedua, pendidikan ditujukan untuk membentuk karakter peserta didik untuk memiliki akhlak mulia; dan ketiga, mencerdaskan 84 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret anak didik dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Menteri Pendidikan Nasional (MENDIKNAS) saat itu mengeluarkan PERMENDIKNAS (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) tentang pendidikan karakter. Ada 18 nilai budaya dan karakter bangsa yang seharusnya ditanamkan pada peserta didik. 18 nilai budaya dan karakter bangsa itu mencakup jujur, religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat (komunikatif), cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. PERMENDIKNAS di atas jangan hanya sebagai pajangan saja marilah diimplementasikan di lapangan dengan penuh integritas yang tinggi sehingga akan membuahkan hasil nyata. Sehingga tidak akan kita jumpai bentukbentuk kekerasan, pemaksaan kehendak, keputusan didasarkan pada suara terbanyak, sehingga yang kawannya banyak walaupun salah akan menang dalam forum diskusi. Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan bangsa serta negaranya. Pendidikan ini tidak menyulap anak didik menjadi pintar saja, melainkan juga membentuk pribadi yang baik pada diri anak didik tersebut. Keberhasilan dari pendidikan karakter ini dapat diketahui melalui pencapaian indikator yang telah ditentukan oleh masing-masing sekolah bersama dengan peserta didik yaitu terlihat jelas pada tingkah laku anak didiknya seperti terjadi peningkatan tanggung jawab, disiplin, menghargai pendapat orang lain, senang bekerjasama, cinta kasih, suka menolong, kesederhanaan dan kejujuran yang semakin meningkat. Keberhasilan lainnya juga terdapat pada tataran sekolah guru, dosen, dan petugas sekolah semakin tingginya akhlaknya, sehingga akan semakin menjadi teladan bagi peserta didiknya. Selain itu terbentuknya pada budaya sekolah yaitu perilaku yang luhur, tradisi, dan kebiasaan keseharian yang selalu mengedepankan akhlak mulia. Dengan demikian pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Pendidikan karakter harus ditempatkan pada posisii yang sama dengan pendidikan pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian pendidikan karakter harus mendapatkan penilaian yang sama dan jangan hanya sebagai pelengkap saja. Selain fungsi di atas guru harus memahami makna filosofi dalam ajaran Ki Hadjar Dewantara yang sangat populer yaitu Tut Wuri Handayani. Mengenai makna dari Tut Wuri belakng, dan handayani memberikan dorongan, motivasi dan semangat kepada peserta didik agar menjadi insang yang mulia, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan pribadi-pribadi yang luhur yang bekerja dengan hatinya. Ing Ngarso Sung Tulado, seorang guru an dosen harus selalu berada di garis terdepan harus bisa memberikan contoh, dan suri tauladan yang baik bagi muridnya. Ing Madya Mangun Karso, seorang guru harus senantiasa untuk memperbaiki perilaku, mampu melaksanakan nilai-nilai budaya, mampu memecahkan masalah bukan untuk membuat suatu persoalan baru, komitmen untuk mencerdaskan muridnya, dan mengutamakan kepentingan masyarakat atau umum. Tut Wuri Handayani: seorang Guru dan Dosen harus selalu berada di tengah muridnya dalam rangka memberi 85 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret motivasi, semangat, dan stimulus atau penghargaan bagi yang berprestasi. Pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran tambahan oleh karena iu harus dimasukkan dalam pembelajaran jangan disisipkan dalam pengajaran ilmu pengetahuan. Hal ini akan berdampak bahwa pendidikan karakter hanya sebuah sisipan pelajaran dengan demikian jangan mengharapkan karakter anak akan terjadi peningkatan. Oleh karena itu kita sebagai dosen harus mengajarkan karakter pada mahasiswa dan harus mendapatkan penilaian tersendiri yang akan mempengaruhi nilai akhir mata kuliah, berarti harus normatif dan disampaikan pada awal kuliah. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut yang akan diintegrasikan kepada siswa melalui mata pelajaran yang disampaikan oleh guru harus melalui identifikasi yang harus terdapat pada mata pelajaran yang diampu. Maka dari itu, guru harus mampu merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) berbasis karakter, Silabus berbasis karakter, dan bahan ajar berbasis karakter. Dengan demikian peran guru sangat luar biasa dalam merancang, merencanakan, dan pembelajaran yang berbasis karakter, dengan diberlakukannnya kurikulum 2013 yang memangkas kewenangan guru dalam merencanakan pembelajaran yang berbasis karakter akan membawa dampak yang kurang baik bagi pendidikan karakter. Pendidikan karakter bertujuan untuk masa depan bangsa Indonesia yang telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang santun, ramah dan berbudi pekerti yang luhur. Dewasa ini bangsa kita telah keluar dari jati diri tersebut menjadi bangsa yang beringas, terkorup nomer 3 di dunia, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan moral yang sangat rendah. Dengan fenomena tersebut seharusnya menjadi warning bagi Mendikbud untuk lebih serius dalam penanganan karakter bangsa. Kementrian pendidikan dan Kebudayaan harus benarbenar di isi oleh orang-orang pilihan dengan karakter yang luar biasa sehingga akan menghasilkan suatu putusan yang luar biasa dalam rangka untuk mengembalikan jatidiri bangsa yang telah hilang dari bumi Indonesia. Pendidikan jangan dicampuradukan dengan dunia politik. Hal ini akan memperparah pendidikan di Indonesia yang seakan-akan tidak terusus kenyataannya diurus dengan mengalokasikan anggaran 20 % dari APBN. Kriminalitas yang tinggi setiap harinya, kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia, kehidupan ekonomi masyarakat yang konsumtif, masyarakat senang kepada budaya yang instan, dan kehidupan politik yang tidak lagi produktif cenderung keluar dari etika politik yang bersih, jujur, berwibawa, dan bermartabat. Penyebabnya karena disorientasi dan belum dihayatinya Nilai-Nilai Pancasila, pergeseran nilai etika dalam semangat nasionalisme dan patriotisme, serta pudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Suksesnya pendidikan karakter ini nanti akan berdampak kepada bangsa sendiri, akan menjadikan bangsa yang kuat dan berwibawa. Demi kelancaran program pemerintah khususnya bidang pendidikan karakter ini, diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk suksesnya program ini, baik dari tenaga fungsional maupun struktural. Membangun budaya sekolah inilah yang butuh keterlibatan semua warga sekolah dalam pembelajaran karakter. Keterlibatan semua warga sekolah dalam perawatan, pemanfaatan, pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran serta lingkungan sekolah. Nilai-nilai pra-kondisi sebagai pembentuk pendidikan karakter ini juga mesti diperhatikan. Nilai nilai prakondisi tersebut seperti nilai keagamaan, budaya sekolah, pengembangan proses pembelajaran, dan identifikasi nilai budaya dan karakter bangsa. 86 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pendidikan karakter anak usia dini (masa golden age) diperlukan dikarenakan saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter pada diri anak bangsa. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan nyata di lapangan dalam merealisasikan pndidikan karakter pada anak usia emas yaitu pada anak yang sekolah di PAUD. Pendidikan karakter inilah diharapkan lahirnya generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilainilai luhur bangsa serta agama. Attitude (dalam bahasa Inggris) berarti sikap dalam bahasa Indonesia. Attitude terus berkerut, krisis moral dan akhlak yang terjadi berkepanjangan. Subjek dari krisis tersebut adalah manusianya (generasinya). Setiap generasi memiliki tanggung jawab atas zamannya. Maka dari itu, salah satu usaha di bidang pendidikan dengan dicanangkan pendidikan karakter. Beberapa tahun terakhir pendidikan karakter mulai membuming. Ini semua dilakukan, sebagai salah satu upaya dalam mengembalikan moralitas bangsa. Nilainilai budaya dan karakter bangsa tersebut akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran hingga tercapai dari tujuan pendidikan karakter itu sendiri, siswa tidak hanya pintar melainkan juga berkarakter (berkepribadian yang baik). Diharapkan dengan adanya pendidikan karakter ini dapat membantu dalam mengembalikan sejatinya moralitas bangsa secara bertahap. Akan lahir generasi-generasi yang mampu menempatkan hak dan kewajiban sesuai dengan tempatnya. Berkurangnya atau bahkan tidak ada lagi kasus korupsi yang dilakukan sendiri maupun secara berjamaah terjadi yang dipertontonkan di media setiap harinya. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran hingga tercapai dari tujuan pendidikan karakter itu sendiri, siswa tidak hanya pintar melainkan juga berkarakter (berakhlak yang baik) Selain faktor tersebut di atas kita lihat bahwa terdapat suatu ketimpangan yang sangat mencolok antara fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah perkotaan yang dekat dengan kekuasaan akan senantiasa mendapatkan fasilitas yang berlebih jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di pelosok. Ini mengambil contoh dilapangan untuk pelaksanaan ujian Nasional dimana bahasa Inggris yang menggunakan Listening, bagi daerah kota yang sudah terdapat laboratorium dan ruang kelasnya audionya lebih modern akan berpengaruh terdapat kemampuan bahasa Inggris siswa khususnya listening. Pada kurikulum 2013 bahasa Inggris tidak diajarkan di tingkat SD hal ini akan berdampak pada kemampuan lulusan Indonesia tidak dapat bersaing dengan tenaga-tenaga asing. Dengan demikian kurikulum 2013 sangat tidak efektif untuk segera diterapkan karena tidak mengadopsi kepentingan bangsa yang lebih luas yaitu bagaimana mengurangi tingkat korupsi, menumbuhkan moralitas yang tinggi kepada masyarakat, pemerintahan, dan legislator. Kesemuanya bermuara pada bagaimana pemerintah serius dalam merencanakan, dan menyelenggarakan Sistem Pendidikan yang berorientasi Sumber Daya manusia Indonesia seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. C. PERAN GURU DAN DOSEN DALAM MENYIKAPI PELAKSANAAN KURIKULUM 2013. Sebelum kita membahas lebih jauh marilah kita baca Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak Mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Seharusnya dalam pelaksanaannya di lapangan harus terintegrasi sehingga 87 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret setelah 9 tahun berjalan undang-undang tersebut harus terlihat hasilnya. Kenyataannya Indonesia berdasarkan hasil Studi PISA (Program for International Student Assesment) menunjukkan peringkat Indonesia 10 terbawah dari 65 Negara. Dengan demikian peraturan, kebijakan yang dibuat seolah-olah tidak perlu dilaksanakan tapi perlu dilanggar. Melihat kondisi yang seperti ini kita kadang-kadang miris terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Oleh karenanya memerlukan suatu energi yang luar biasa untuk merubah pendidikan Nasional sehingga proses yangtelah dilakukan bertahun-tahun yang membutuhkan anggaran yang luar biasa akan menghasilkan suatu masyarakat eperti yang tertuang dalam Undang-undang dasar 1945. Para pendiri bangsa dengan susah banyak membuat Undang-undang dasar sebagai acuan generasi penerusnya dalam membangun Sistem Pendidikan yang berkualitas menuju cita-cita nasional. Kalau kita melihat akan diberlakukannnya kurkulum 2013 kadangkala kita tertawa, apakah pendidikan kita sebagai panggung drama, ketoprak atau pertunjukan lainnnya, sehingga ada orang yangbtertawa, sedih, bahkan bahagia pada saat diberlakukannya Kurikulum 2013 tersebut. Sedangkan menurut Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Wuryadi terdapat kelemahan dalam kurikulum 2013, yaitu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis. Selain itu, kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan. Apalagi di dalam Kurikulum 2013, pemerintah melihat semua guru dan siswa memiliki kapasitas yang sama baik sekolah di pedesaan maupun di perkotaan, walaupun kenyataannya sangat berbeda dimana kualitas guru, sarana dan siswa di sekolah perkotaan lebih baik. Selain itu juga, guru juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses pengembangan kurikulum 2013. Padahal kurikulum menunjukkan inti usaha reformasi pendidikan dan penekanannya pada arti penting kualitas belajar dibandingkan kuantitas belajar. Dengan demikian kualitas pembelajaran harus ditingkatkan berdasarkan kondisi tekstual dan kontekstual di satuan pendidikan masing-masing. Sebetlnya kurikulum KTSP dulu sudah bagus perlu penyempurnaan sehingga akan terjadi suatu kesinambungan sistem yang berdampak pada kelancaran proses menuju reformasi pendidikan. Guru atau dosen merupakan salah satu profesi yang memegang peranan yang sangat tinggi dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia. Untuk itu diperlukan guru yang profesional, bukan guru yang kelihatan profesional yang hanya dilihat dalam bentuk portofolio saja, melainkan guru atau dosen yang kualitasnya diakui oleh anak didiknya atau mahasiswa sebagai pendidik bukan penilaian dari yang lainnya. Guru yang profesional merupakan guru yang mempunyai empat kompetensi dan kualifikasi yang telah dipersyaratkan sebagai guru yang profesional. Untuk itu guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan dan panutan bagi peserta didik. Menurut hamzah Umno (2007: 17) seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar peserta diidik, untuk itu ia seharusnya dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang. Dengan senantiasi memperbaharui pengetahuan baik di bidang ilmu 88 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pengetahuan dan teknologi juga meningkatkan karakter pribadi agar nantinya dapat dijadikan panutan peserta didiknya. Sebagai contohnya: guru menginginkan anak didiknya mempunyai perilaku, sopan-santun sedangkan banyak guru yang tidak berperilaku yang tidak baik, guru menyuruh anak didiknya untuk menulis sedangkan gurunya tidak ada karya tulis. Dengan demikian Guru dan Dosen jangan sampai menyalahkan sistem yang ada salahkanlah diri kita karena yang terlibat dalam pendidikan, Ubahlah niat kita untuk mengabdi pada Nusa Bangsa dan Negara, dan yakinlah bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan selalu menolong hambanya yang berjalan membela kebenaran, dan menebarkan kebenaran di muka bumi. Oleh karena itu marilah kita mencoba untuk memperbaiki niat kita untuk mengabdi pada dunia pedidikan demi terciptaya generasi emas yang nantinya dapat membawa perubahan bangsa kearah yang luar biasa dengan mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa yang bermartabat, sopan santun, dan moralitas yang tinggi. . Dengan tantangan yang sangat luar biasa beratnya baik dari dalam negeri maupun dari negara-negara luar negeri pada masa globalisasi, sehingga diperlukan sosok-sosok pendidik yang profesional yang mempunyai niat yang btulus untuk meningkatkan kemampuan pesrta didik baik dari segi: kognitif (pengetahuan), Afektif (sikap), dan psikomotorik hasil atau karya. Pendidik yang profesioanal harus mempunyai empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial, serta mempunyai kualifikasi sebagai sarjana pendidikan. Pendidik yang profesional tersebut diharapkan dapat menghasilkan lulusan baik tingkat SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi menjadi pribadi-pribadi yang pandai, ulet, sabar, jujur, tangguh, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berbudaya yang dapat menghadapi tantangan dalam kehidupan yang semakin berat. Pribadipribadi yang tangguh tersebut diharapkan sebagai generasi penerus yang mandiri, berjiwa wirausaha, mempunyai komitmen tinggi dalam pembangunan bangsa dan negara demi kemajuan dan kesejahteraan seperti yang telah dirumuskan oleh pendiri negara ini. Untuk menghasilkan pendidik yang profesional tidak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan suatu kerja keras pantang mundur, mulai dari proses pendidikannya, perekutannya, dan pembinaan guru yang dilakukan dengan niat yang tulus, kesungguhan, serta tanggung jawab.. Kita sadar bahwa anak-anak didik kita sudah banyak keluar dari kaidah-kaidah pendidikan di mana tawuran antar pelajar sudah menjadi tradisi, sekolah merupakan kegiatan rutinitas hanya sekedar mencari ijazah yang hanya mengakui kemampuan kognitif saja tanpa menyentuh dua kemampuan lainnya yaitu afektif dan psikomotorik. Sekolah berusaha semaksimal mungkin agar nilai-nilai ebtanas tinggi dengan diadakannya bimbingan tes sehingga banyak lembagalembaga bimbingan yang menjamur karena permintaan pasar yang tinggi. Dengan mengejar nilai ebtanas. Banyak lembaga sekolah yang mengajri anak didiknya berbuat curang Dengan kondisi yang seperti pada uraian di atas maka kita jangan saling menyalahkan marilah kita yang terlbat dalam dunia pendidikan mulai intropeksi diri masing-masing, kita sebagai guru apakah kita sudah menjadi guru yang baik, kita menjadi dosen apakah sudah menjadi dosen yang baik, kita menjadi siswa apakah telah menjadi siswa yang baik, kita sebagai pembuat kebijakan apakah kita telah membuat kebijakan yang baik, kita sebagai wali murid apakah sudah menjadi wli murid yang baik, marilah kita mulai dari diri kita masing-masing. 89 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Anak-anak didik diajarkan dengan hanya mengerjakan soal-soal yang akan diajarkan pada saat ebtanas, ujian masuk Perguuan tinggi, maupun test CPNS. Dengan adanya kegiatan yang hanya mementingkan kemampuan kognitif maka akan timbul generasi penerus yang mempunyai karakter lemah. Jika mereka kelak sudah dewasa sukanya yang instan tidak mau berproses tapi menghasilkan uang yang banyak, sehingga praktek-praktek curang selalu dijadikan kegiatan mereka. Hal ini akan semakin memperburuk nilainilai karakter yang dihasilkan oleh proses pembelajaran yang kurang baik. Pendidikan karakter harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu dan holistik sehingga mutu lulusannya akan mempunyai karakter yang luar biasa. Seorang guru dan dosen yang berhadapan langsung dengan peserta didik dan mahasiswa dimana proses pembelajarannya harus menggunakan metode pembelajaran yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pekerjaan siswa dihargai mulai dari proses, dan bagaimana siswa mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dari pelajaran di kelas. Sistem evaluasi yang disusun seharusnya mengevaluasi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik, atau mahasiswa. Sehingga siswa yang bertindak curang akan kelihatan yang pada akhirnya akan membentuk pribadi-pribadi yang tekun, ulet, disiplin, jujur, dan memilki tanggung jawab. Dengan kondisi yang demikian ini peserta didik akan menjadi pribadi-pribadi yang kuat mentalnya, sehingga jika telah deasa akan menjadi pribadi yang mandiri, bertanggungjawab, bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan jujur. Seharusnya evaluasi untuk penentuan nilai siswa harus menggabungkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa yang diharapkan siswa akan termotivasi dan merasa nyaman yang berakibat pada peningkatan prestasi di sekolah maupun. Ironi sekali jika anak-anak didik yang merupakan hasil dari proses pendidikan kita yang salah urus walaupun kelihatannya sudah benar menduduki jabatan-jabatan strategis maka yang dilakukannya hanya untuk melindungi dan memperkaya kelompok atau golongannya tanpa berpikir bahwa negara ini merupakan hasil perjuangan kita bersama oleh karena itu semua kegiatan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Manurut Hamzah Umno (2012: 42) jabatan guru adalah jabatan profesional, untuk itu guru harus bekerja secara profesional. Bekerja sebagai seorang profesional berarti bekerja dengan keahlian hanya dapat diperoleh melalui pendidikan khusus yaitu pendidikan keguruan dan ilmu pengetahuan. Keahlian dalam bidang pendidikan dengan telah didapatkan sertifikat mengajar atau akta mengajar maka guru berhak untuk melaksanakan proses belajar mengajar di sekolah. Kenyataannya jika berasal dari jurusan sarjana non kependidikan walaupun sudah punya akta mengajar, seharusnya lebih banyak melakukan praktek mengajar baik di lembaga formal maupun non-formal. Selain peran di atas guru merupakan seorang publik figur yang mulia dan dimuliakan oleh masyarakat. Kehadiran guru ditengah-tengah masyarakat yang merupakan pengayom dan dapat membantu masyarakat dalam memecahkan persoalan di tengah masyarakat. Guru menjadi sosok yang ditiru dan diteladani tingkah laku di masyarakat. Hal ini berlaku sejak jaman sebelum Masehi, dimana dengan adanya guru manusia akan berkembang kearah yang lebih baik dan maju, dan norma. budaya, dan agama berkembang disesuaikan dengan kemampuan guru. Guru di daerah diibaratkan sosoknya sebagai seorang yang serba bisa yang dapat menjawab setiap persoalan yang timbul dimasyarakat. Pak 90 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret guru dan bu Guru harus selalu siap sedia tenaganya untuk membantu masyarakat di Desa baik untuk menjadi panitia-panitia setiap event di Desa maupun anggota lembaga di desa. Namun kenyataannya sekarang ini sangat sulit untuk mengajak guru dalam kepanitiaan di desa dengan alasan kesibukannya atau alasan lainnya. Guru merupakan orang pertama yang mencerdaskan manusia, dimana peran guru memberikan bekal pengetahuan, pengalaman, dan menanamkan nilai-nilai, budaya dan agama terhadap anak didik, dalam proses pendidikan. Dengan adanya guru terdapat sebuah peradaban manusia yang dicatat dan dituliskan dalam bentuk prasasti, dimana peran guru dalam perkembangan peradaban manusia sangat luar biasa. Sulit dibayangkan tanpa adanya guru maka peradapan manusia masih dalam taraf yang kuno dimana hukum alam masih berlaku. Tetapi berkat guru maka ilmu pengetahuan akan semakin berkembang menuju kesejahteraan umat manusia. Guru merupakan jabatan professional yang memerlukan berbagai keahlian khusus. Sebagai suatu profesi, maka harus memenuhi kriteria professional sebagai berikut: pertama, fisik maksudnya adalah guru harus sehat jasmani dan rohani, tidak mempunyai cacat tubuh yang dapat menimbulkan cemoohan atau rasa kasihan dari peserta didik; kedua, mental atau kepribadian, maksudnya adalah guru memiliki kepribadian yang baik; mencintai bangsa dan sesama manusia serta rasa kasih saying kepada peserta didik; berbudi pekerti yang luhur; berjiwa kreatif; mampu menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa; mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi; bersikap terbuka, peka, dan inovatif; menunjukkan rasa cinta kepada profesinya; taat kepada disiplin; dan memiliki sense of humor; ketiga, keilmiahan atau pengetahuan, maksudnya adalah guru harus memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkannya dalam tugasnya sebagai pendidik; keempat, memahami, menguasai, dan mencintai ilmu pengetahuan yang diajarkan; kelima, memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang yang lain; senang membaca buku-buku yang ilmiah; Keenam, mampu memecahkan persoalan secara sistematis; dan ketujuh, memahami prinsip-prinsip pembelajaran. Berdasarkan penjelasan di atas, prinsip-prinsip profesionalitas guru dan dosen harus menguasai berbagai aspek keguruan dan disiplin ilmu harus dimiliki. Oleh karena itu, guru perlu ditempa kepribadiannya dan diasah penguasaan materinya sehingga menjadi tenaga yang professional. Yang paling penting yang mengambil kebijakan di Kementerian Pendidikan nasional mengetahui secara menyeluruh dan holistik kekurangan sistem Pendidikan di Indonesia sehingga kebijakannya selalu untuk memperbaiki kualitas pendidikan, jangan kebijakan yang hanya coba-coba yang akan dikorbankan adalah guru, dosen, masyarakat, dan bangsa Indonesia, yang harus kelihatan hasilnya setelah kebijakan tersebut berjalan. Oleh karena jadilah guru dan dosen yang profesional yang bekerja dengan hati, bukan berdasarkan kekuasaan maupun hasrat duniawi yang semu ini. Berdasarkan uraian di atas maka sikap kita sebagai guru dan dosen dalam menanggapi kurikulum 2013 marilah kita koreksi kurikulum 2013 dengan duduk bersama antara pihak-pihak yang terlibat di dalam proses Pendidikan nasional untuk merumuskan suatu kebijaksanaan Pendidikan Nasional yang bukan coba-coba tapi nyata menghasilkan suatu perubahan yaitu eningkatan kualitas lulusan baik tingkat SD/Mi, SMP/MTsN, SMA/Ma/SMK, dan Perguruan Tinggi, dengan menjadi manusia yang cerdas, berilmu, berakhlak mulia, dan bertaqwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. 91 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pengetahuan dan teknologi karena nilainilai karakter pada anak usia 17 tahun tidak mudah untuk dirubah, oleh karena itu marilah kita yang terlibat dalam dunia pendidikan sungguh-sungguh untuk mengajarkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur. 6. Jadilah guru dan dosen yang profesional yang bekerja dengan hati, bukan berdasarkan kekuasaan maupun hasrat Duniawi yang semu ini. Seorang Guru harus memahami filosofi dari Ki Hadjar Dewantara yaitu: a. Ing Ngarso Sung Tulado, seorang guru yang berada di garis terdepan harus bisa memberikan contoh, dan suri tauladan yang baik bagi masyarakat dan anak didiknya. b. Ing Madya Mangun Karso, seorang guru harus senantiasa untuk memperbaiki perilaku, mampu melaksanakan nilai-nilai budaya, mampu memecahkan masalah bukan untuk membuat suatu persoalan baru, komitmen untuk mencerdaskan peserda didiknya dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat atau umum. c. Tut Wuri Handayani: seorang guru harus selalu berada di tengah peserta didik dalam rangka memberi motivasi, semangat, dan stimulus atau penghargaan bagi peserta didik yang berprestasi. D. KESIMPULAN 1. Pendidikan di Indonesia akan maju sangat tergantung kepada unsur yang terlibat dalam Pendidikan di Indonesia harus punya Integritas yang tinggi dalam rangka memperbaiki sistem, struktur, dan proses politik yang korup. 2. kebijaksanaan Pendidikan Nasional yang bukan coba-coba tapi nyata menghasilkan suatu perubahan yaitu eningkatan kualitas lulusan baik tingkat SD/Mi, SMP/MTsN, SMA/Ma/SMK, dan Perguruan Tinggi, dengan menjadi manusia yang cerdas, berilmu, berakhlak mulia, dan bertaqwa kepa Tuhan Yang Maha Esa. 3. Semua yang terlibat di dunia pendidikan harus saling intropeksi diri dan mengakui kesalahannya, untuk membuat suatu perubahan yang akan mendorong terwujudnya satu sistem pendidikan nasional yang mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Pendidikan karakter harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh karena telah lunturnya nilai-nilai keluhuran budi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sehingga nilai luhur bangsa akan semakin menipis berdampak pada Nilai-nilai karakter peserta didik. 5. Pendidikan karakter harus dilaksanakan sebelum siswa di ajarkan ilmu DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Hanzah, Umno. 2007. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan ReformasiPendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Darmiyati Z, Zuhdan; dan Muhsinatun. 2011. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan Komprehensif, Terpadu Dalampembelajaran Bahasa Indonesia, Ipa, Dan Ips Di Sekolah Dasar. Diunduh 02. mar, 2011 by staf_lppm 92 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1987). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XV. Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. Hamzah, Ya‘qub. (1988). Etika Islam: Pembinaan Pengantar).Bandung: CV Diponegoro. Cet. IV Akhlaqulkarimah (Suatu Kevin Ryan & Karen E. Bohlin. (1999). Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books Muka Sa‘id. (1986). Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I. Rachmat Djatnika. (1996). Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Jakarta: Pustaka Panjimas. 93 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 94 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Nur Ahyani Email: nurahyani63@gmail .com ABSTRAK Permasalahan pembelajaran sejarah yang ada saat ini sangat beragam antara lain kurangnya kemampuan berfikir kritis dalam proses pembelajaran sejarah. Hal ini berakibat pembelajaran sejarah menjadi membosankan dan tidak menarik. Untuk memecahkan masalah pembelajaran sejarah, guru merupakan salah satu komponen yang diandalkan karena guru sejarah sebagai ujung tombak yang langsung berhadapan dengan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sejarah guru sebaiknya menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam rangka melatih keterampilan berfikir kritis siswa. Di samping itu guru juga dapat menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, misi dan tujuan pembelajaran sejarah, seperti model pembelajaran kooperatif. Dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keterampilan social dan kemampuan berfikir kritis, dan bekerjasama dengan orang lain. Kata kunci: Kemampuan Berfikir, Pembelajaran Sejarah. berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab, maka sampai saat ini kondisi pendidikan di Indonesia belum memberikan hasil yang memuasakan. Memasuki abad 21 yang ditandai dengan adanya perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan, bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan multidimensional dalam berbagai tatanan kehidupan, yang bukan hanya berhubungan dengan masalah ekonomi tetapi juga, social, budaya, dan akhlak. Seperti diungkapkan A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan upaya terorganisir, berencana dan berlangsung kontinu (sepanjang hayat) ke arah membina manusia /peserta didik menjadi insane paripurna, dewasa dan berbudaya. Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional No 20 Tahun 2003 digariskan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasasna belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif.mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 bab II pasal 3 yang menyatakan bahwa ―Pendidikan nasional 95 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret oleh Banks (1985) bahwa pendidikan IPS harus mampu menjawab tantangan ―perubahan dan ketidakpastian‖, dengan mengembangkan IPS atas hasil analisis yang mendalam terhadap manusia dan masyarakat Indonesia serta berorientasi pada nilai-nilai budaya lokan dan global. Oleh karena itu pembelajaran IPS harus dapat membekali siswa agar mampu mengelola dan mengatasi perubahan dan ketidakpstian tersesbut. Menurut Barr, (1988), dalam pendidikan IPS (P IPS) terdapat tiga tradisi IPS, yaitu IPS sebagai, 1) citizenship transmission, 2) social sciences, 3) reflective inquiry. Pada tradisi pertama, P IPS menanamkan pengetahuan, sikap, nilainoilai dan perilaku sesuai dengan nilai dan norma serta budaya suatu bangsa. Pada tradisi kedua, P IPS mengembangkan kemampuan berfikir kritis sesuai dengan konsep yang terkandung dalam ilmu-ilmu sosial agar tanggap terhadap gejala-gejala social yang terjadi dalam masyarakat. Tradisi ketiga, P PIS mengembangkan kemampuan analisis yang lebih luas dan mendalam terhadap permasalahan factual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. IPS merupakan perpaduan antara konsep-konsep ilmu social (sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, amtropologi, dan tatanegara) dengan konsep pendidikan yang dikaji secara sistematis, psikologis dan fungsional sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik (Wislley dalam Herzberg, 1981). Kemudian menurut Soemantri, (2001) karakteristik utama yang menjadi jatidiri pendidikan IPS di Indonesia adalah kerjasama ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu social untuk tujuan pendidikan. Salah satu mata pelajaran yang tergabung dalam IPS adalah mata pelajaran sejarah. Kondisi pembelajaran sejarah di beberapa sekolah masih sangat memprihatinkan, seperti diungkapkan dalam hasil penelitian Murni (2000), ditemukan adanya berbagai kondisi yang belum menunjang keberhasilan IPS, khususnya pelajaran sejarah antara lain disebabkan profil guru sejarah, yaitu sebagian adanya latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diasuhnya, rendahnya tingkat kinerja guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan minimnya sarana/prasarana yang tersedia, serta belum optimalnya lembaga musyawarah guru bidang studi yang ada. Hasil penelitian lain mengungkapkan bahwa guru cenderung beranggapan bahwa sumber belajar hanyalah buku cetak saja. Media informasi yang berperan besar dalam membantu menyampaikan informasi dan merangsang perhatian/minat siswa justru tidak digunakan (Zainuri dan Suwoko, 1996). Disamping itu Benyamin C Gregory (1988) menemukan bahwa pengajaran sejarah terpaku pada ceramah dan penggunaan buku teks, akibatnya hal ini membawa kemiskinan dalam pelaksanaan. Dari uraian tentang kondisi kekurangan yang ada dalam pembelajaran IPS, khususnya sejarah menunjukkan bahwa pembelajaran yang konstruktivistik tidak terlaksana. Didalam pendekatan konstruktivisme, peserta didik ditempatkan sebagai subjek, bukan objek pembelajaran. Selain itu, peserta didik diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman yang otentik dan bukan memproduksi ulang pengetahuan. B. SEJARAH DAN PEMBELAJARAN SEJARAH Kata sejarah, dalam bahasa Latin disebut historia, bahasa Yunani, histori, dari historein, to inquire, dan history, manusia yang belajar (learned man). Kemudian dalam kamus online (http:/education.yahoo.com/reference/dictio nary/entry?id, diakses 16-4-2013) beberapa 96 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pengertian sejarah, dalam bentuk kata benda, diantaranya : A narrative of events; a story (sebuah narasi dari peristiwaperistiwa, suatu cerita). A chronological record of events (suatu catatan peristiwa secara kronologis). A formal written account of related natural phenomena: a history of volcanoes (penjelasan secara formal ditulis yang terkait dengan fenomena alam: Misal sejarah gunung berapi). The branch of knowledge that records and analyzes past events (cabang ilmu yang mencatat dan menganalisa kejadiankejadian masa lalu). The aggregate of past events or human affairs: basic tools used throughout history ( kumpulan keseluruhan peristiwa-peristiwa masa lampau dari kegiatan-kegiatan manusia). Something that belongs to the past (sesuatu yang merupakan milik (terkait dengan) masa lampau. Sedangkan makna yang berkembang adalah sejarah yang diambil dari bahasa Yunani kono, historia yang berarti belajar dengan cara bertanya (inquiry). Perkembangan berikutnya dialihkan ke bahasa Inggris, history, yang diartikan sebagai sejarah. Sedangkan pengertian sejarah menurut Woolever dan Scoot (1988), bahwa,‖sejarah adalah kajian tentang masa lampau manusia, aktivitas manusia di bidang politik, militer, social, agama, ilmu pengetahuan dan hasil kreativitasnya (seni, music, literature dan lainnya)‖. Berkaitan dengana upaya pemahaman dan perekrontruksian sejarah, maka sejarah juga merupakan sebuah kajian tentang peristiwa masa lalu yang tidak pernah final dikarenakan tidak lengkapnya. Sejarah sebagai suatu kajian tentang masa lampau memberikan catatan-catatan yang tidak lengkap. Seperti yang diungkapkan oleh Lucy dan Mark O`hara (2001), ―…as the study of everething that has happened, which given the incomplete record available, would inevitable be less than full story but would still be extremely large and complex”. Pemahaman dan kajian tentang sejarah terus berkembang, sejarah yang semula hanya terbatas pada cerita masa lalu, kemudian masuk kelompok ilmu pengetahuan, berkat jasa bapak sejarah Herodotus. Oleh sebab itu sebagai suatu kajian peristiwa manusia masa lalu, sejarah sangat memerluka kemampuan berfikir kritis sebagaimana diungkapkan oleh Mc Neil (2000), bahwa, “ history knowledge is no more and less than carefully and critically constructed collective memory‖. Hal itu bisa diartikan, pengetahuan sejarah itu adalah koleksi ingatan yang dibangun secara hati-hati dan kritis. Kemudian dapat dikatakan juga bahwa dalam perekonstruksian peristiwa masa lampau bukanlah dengan mengada-ada, tetapi dengan metode ilmiah. Alasan pentingnya sejarah untuk dipelajari diungkapkan oleh Peter Stearns (2000) bahwa, “… only throught studying history can we graps how things change; only trough history can we understand what of an institutions or a society persist despite change…”. Bahkan Fitzgerald (2001) mengungkapkan bahwa tanpa kesinambungana masa lalu, masyarakat akan bubar, runtuh termasuk juga fungsi pemerintahan, hukum dan pendidikan. Dikatakannya juga bahwa pengajaran masa lalu adalah elemen pusat dalam semua perkembangan atau kemajuan masyarakat Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka tampak bahwa sejarah memang harus dipelajari dan dipahami. Menurut Sjamsuddin (1999), melalui pelajaran sejarah siswa dapat memahami dan mengapresiasikan peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri. Dengan mamahami manfaat belajar sejarah, maka pelajaran sejarah diberikan secara formal sejak pendidikan rendah, hingga pendidikan tinggi sejak .Indonesia 97 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret merdeka sampai sekarang. Sejarah merupakan mata pelajaran wajib diberikan kepada generasi muda, dari jenjang SD hingga perguruan tinggi. Di abad 21, pendidikan sejarah perlu diperbaharui untuk menyiapkan generasi muda yang dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan masa depan, oleh karena itu pembelajaran yang menekankan pada hafalan fakta sudah tidak sesuai lagi, jadi sudah harus menekankan pada aktivitas siswa dengan keterampilan proses. Kenyataan yang terjadi di lapangan, pelajaran IPS, khususnya sejarah sering dianggap sebagai pelajaran hafalan yang membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan membosankan. Menurut Anggara (2007) berdasarkan cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominan group seperti rezim yang berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada jamannya. Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tetapi sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah (Alfian, 2007). C. PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME Proses pembelajaran paradigma baru menuntut guru untuk menempatkan siswa sebagai subjek dan bukan sebagai objek pembelajaran. Menurut Haris (2006), Penempatan siswa sebagai subjek pendidikan merupakan pandangan baru, yang berbeda dengan pandangan paradigma tradisional. Dikemukakannya juga bahwa dalam pendidikan tradisional, pendidikan dianggap sebagai proses tranmisi pengetahuan, fakta, atau kenyataan yang ditemukan di masa-masa sebelumnya, dari guru kepada siswa. Model pembelajaran semacam itu sering disebut sebagai teachercentered learning model, karena proses pembelajaran berpusat pada guru, sedangkan siswa bersikap pasif dan menerima apa yang diajarka oleh guru. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ahmad Sanusi (1998) menyatakan bahwa belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, informasi tentang fakta/konsep, tetapi lebih ditujukan untuk memperdalam dan membangun pengertian atau mengembangkan wawasan makna. Bahkan Gerlach dan Ely (1980) menyatakan bahwa belajar melibatkan keseluruhan diri manusia, yang dibagi dalam tiga bagian yaitu cognitive learning, psychomotor learning dan affective learning. Cognitive learning adalah upaya mengingat, mengenal, mengetahui pengetahuan danpengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Sedangkan psychomotor learning, adalah berhubungan dengan area keterampilan motorik, dan affective learning terkait dengan pengembangan minat, sikap, dan nilai-nilai serta pengembangan rasa apresiasi. Menurut Haris (2006), selain model pembelajaran tradisional, berkembang model-model pembelajaran progesif yang bercirikan keaktifan siswa. Model pembelajaran progresif identik dengan Active learning atau pembelajaran aktif, 98 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yang termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain Active learning, Integrated learning, Problem-based-learning, Insependent Learning atau belajar bebas, Selfmotivated Learning atau Belajar Mandiri, Progressive Learning dengan pendekatan keterampilan proses, Pembelajaran PAMONG, dan Quantum Learning. Model-model baru ini pada umumnya bersumber pada filsafat pendidikan eksperimentalisme dan eksistensialisme, dengan paradigm pembelajaran konstruktivistik. Sementara itu pengajaran yang mendasarkan pada konstruktivisme menampilkan ketrampilan berfikir kritis dan menciptakan suasana siswa aktif dan penuh motivasi (Gray, 1997). Adapun perbandingan antara pendekatan pembelajaran tradisional dengan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dapat dilihat pada table 1sebagai berikut. Tabel 1. Perbandingan antara Pendekatan Pembelajaran Tradisional dengan Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme Traditional Pedagogy Contructivist Approach (Pengajaran Tradisional) (Pendekatan Kontruktivisme) Curriculum is presented part to whole, with empahasis on basic skills (Kurikulum disajikan dari bagian keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan dasar Curriculum is presented whole to part with emphasis on big concept and questions (Kurikulum disajikan dari keseluruhan ke bagian, dengan menempatkan pada konsepkonsep besar dan pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah) Strict adherence to fixed curriculum is Pursuits of students`question is highly highly valued (Kaku, menjalankan valued (Pertanyaan siswa sangat dinilai) kurikulum yang berlaku) Curricular activities rely heavily on textbooks and workbooks (kegiatan kurikuler bertumpu pada buku teks dan buku kerja) Curricular activities rely heavily on primary sources of data and manipulated materials (kegiatan kurikuler bertumpu pada sumber data primer dan bahan-bahan yang disiapkan) Students are viewed as “blank states” onto which the teacher etches information (siswa dinilai sebagai kertas kosong) Teacher generally behaves in a didactic manner, disseminating authoritative information to students (umumnya guru berperan sebagai pemilik otoritas penyampaian informasi) Students are viewed as thinkers with emerging theories about the world ( siswa dinilai sebagai pemikir) Teacher generally behaves inan interactive and mediating the environment (guru umumnya berperan sebagai fasilitator, mediator dalam kegiatan belajar) Teacher seek the correct answer to validate Teacher seek students points of view and student learning (Guru mencari jawaban understandings in order to develop benar dari hasil belajar siswa) subsequent lessons and questions (guru mencari pandangan dan pemahaman siswa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar) 99 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Traditional Pedagogy (Pengajaran Tradisional) Contructivist Approach (Pendekatan Kontruktivisme) Assessment of student learning is separate from teaching and occurs almost entirely through “objective testing” ( penilaian belajar siswa terpisah dengan pengajaran dan terjadi hampir keseluruhan melalui tes objektif)) Assessment is interwoven with and reinforces teaching: it occurs through direct observations and multiple, varied assignments, oral and written (penilaian berkaitan dengan penguatan dan pengajaran, melalui observasi, berbagai cara penilaian, lisan dan tulisan) Students primarily work alone (siswa Students often work and interact in various bekerja sendiri) groups (siswa sering bekerja dan berinteraksi dalam berbagai kelompok) Diadaptasi dari John Samsel dan Darryl Wimberley, 1997. Writing for Interactive media : The Comlete Guide. Dalam Mark E Gabehart. 1997. “Teaching, Learning and reform in Twenty-First 20002003. USA: Education Service Center. Konstruktivisme dalam pendidikan dikembangkan oleh Jean Piaget (1896) yang disebut konstruktivisme kognitif (personal constructivism), serta vygotsky (1896) yang disebut konstruktivisme social (Suparno, 1997). Selanjutnya menurut Haris (2006), dalam paradigm konstruktivisme, belajar adalah proses mengintrnalisasi, membentuk kembali, atau membentuk baru pengetahuan. Pembentukan pengetahuan baru ini dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki. Pengetahuan dan pengalaman yang lama digunakan untuk menginterpretasikan informasi dan fakta baru dari luar, sehingg tercipta pengetahuan baru. Jadi pengalaman dan pengetahuan menjadi semacam kacamata untuk melihat sesuatu fakta baru. Dalam proses pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme, tugas guru bergeser dari menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa ke merangsang siswa untuk menggunakan apa yang telah dimiliki, baik pengetahuan maupun pengalamannya, agar dapat memahami dan menginterpretasi pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Steffe dan Gale (1995), “from a didactic perspective, a teacher is a presenter of knowledge. From a discovery perspective, he or she is simply a provider of experiences. In a contructivitist approach, both these function are combined”. Kemudian hasil penelitian maypole dan Davies (2001) yang berjudul, Students` Perceptions of constructivism Learning in a Community College American History II Survey Course”, menemukan bahwa, (1) siswa merasa lebih percaya diri dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya untuk membangun intepretasi sejarah berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan informasi yang baru didapatnya, (2) siswa mendapatkan kesempatan mengkaji bukti-bukti sejarah dalam berbagai multiperspektif untuk membangun gambaran beasr, dari kompleksitas peristiwa sejarah, (3) siswa merasa lebih menyenangkan dan mudah memahami dengan diberikan otonomi, kebebasan dalam memecahkan masalah, (4) siswa merasa mendapatkan hasil belajar lebih, karena penggunaan primary sources yang konsisten dengan hakekat constructivisme. Para siswa terdorong untuk berfikir kritis, analisis, sintesis dan evaluasi terhadap sumber-sumber tersebut dan membangun pengetahuannya sendiri, (5) kemampuan berfikir kritis siswa menjadi berkembang, (6) siswa merasa senang dan termotivasi dalam melakukan tugas sejarah lisan, (7) 100 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret siswa merasakan pembelajaran dengan bentuk cooperative atau collaborative learning (salah satu komponen constructivisme) sangat menyenangkan dan memberikan kesempatan mengembangkan kemampuan komunikasi/presentasi, (8) meningkatkan rasa ingin tahu siswa atas suatu topic/peristiwa sejarah, (9) ketercapaian siswa atas materi tidak jatuh, atau rendah disbanding metode tradisional, (10) kelas yang menggunakan konstructivisme menuntut keterlibatan siswa yang tinggi dan berfikir kritis. D. KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS Menurut Raths (1986) berfikir adalah salah satu cara menemukan faktafakta untuk suatu tujuan. Kemampuan berfikir kritis menduduki tempat yang penting dalam menjalani kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan warganegara.Dalam hal ini, Lawson (1980) menyatakan bahwa ―effective citizenship‖ tidak mungkin bisa diwujudkan tanpa kemampuan berfikir. Dikatakannya pula bahwa seorang warganegara yang baik adalah seseorang yang memberikan konstribusi secara efektif dan bertanggungjawab terhadap berbagai isu dalam masyarakat terbuka dan mampu mengambil peran di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan berfikir, karena tanpa kemampuan berfikir seorang individu tidak dapat memberikan kontribusi terhadap permasalahan masyarakat dan bangsanya. Hal ini sejalan dengan yang digagas oleh Gagne (1975) bahwa keterampilan berfikir merupakan proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru. Terdapat empat keterampilan berfikir, yaitu pemecahan masalah (problem solving), membuat keputusan (decision making), berfikir kritis (critical thinking), dan berfikir kreatif (creative thinking) (Woolever dan Scooth, 1988). Dari keempat keterampilan berfikir tersebut menurut La Costa (1985) semuanya bermuara pada kemampuan berfikir tingkat tinggi, yang meliputi aktivitas seperti analisa, sintesa dan evaluation. Adapun beberapa bentuk keterampilan berfikir yang berkaitan dengan penggunaan informasi, adalah classify, interpret, analyze, summarize, synthesize, evaluate, information. Tahapan tersebut perlu diberikan kepada siswa agar siswa mempunyai kesempatan mengembangkan ketrampilan berfikirnya. Salah satu jenis ketrampilan berfikir adalah berfikir kritis, menurut Mayer (1986) menyimpulkan bahwa berfikir kritis selalu dimulai dengan masalah dan berakhir dengan solusi/jawaban. Sedangkan Moore dan Parker (2000) berpendapat bahawa berfikir kritis adalah ―ketetapan yang hatihati dan tidak tergesa-gesa untuk apakah kita sebaiknya menerima, menolak atau menagguhkan penilaian terhadap suatu pernyataan, dan tingkat kepercayaan untuk diterima atau ditolak. Sejalan dengan pendapat tersebut Robert H Ennis (2000) mengungkapkan bahwa berfikir kritis adalah berfikir secara reflektif dan masuk akal yang diarahkan pada suatu keputusan apa yang akan dipercaya atau dilakukan. Sementara itu, menurut Perkin (1992), berfikir kritis memiliki empat karakter, yaitu (1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berfikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan berbagai startegi yang tersusun dan memberikan alas an untuk menentukan dan menerapkan standar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Selanjutya, kemapuan berfikir kritis juga diartikan sebagai (1) menentukan kredibilitas suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dengan yang tidak 101 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan (Beyer, 1985). Adapun ciri-ciri berfikir kritis dikemukakan oleh Ferrett, S. (1977), diantaranya suka bertanya, menerima pernyataan dan argumentasi, memiliki rasa ingin tahu, tertarik untuk mendapatkan solusi baru, berkeinginan untuk menguji dan menganalisa fakta yang ada, mampu menyimak dengan hati-hati dan memberikan umpan balik, mencari buktibukti, mampu menolak informasi yang dianggap tidak relevan dan tidak benar. E. KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DALAM PELAJARAN SEJARAH Permasalahan pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia merupakan permasalahan yang mengundang perhatian banyak pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan, mereka berusaha memberikan pendapat dan solusinya dalam memecahkan masalah tersebut. Adapun identifikasi permasalahan pembelajaran sejarah adalah antara lain, masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi buku ajar atau buku teks, masalah media pembelajaran sejarah, sampai dengan masalah profesionalisme guru sejarah. Model pembelajaran yang digunakan oleh para guru sejarah sampai saat ini sebagian besar masih menggunakan model pembelajaran dengan pendekatan tradisional, seperti misalnya menggunakan ceramah dalam memberikan informasi materi. Seperti dikemukakan oleh Hamid Hasan dalam Alfian (2007), bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan masa kini dan masa depan. Pembelajaran sejarah dari mulai Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Sehingga tidak aneh jika pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik dan tidak member kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali amkana dari sebuah peristiwa sejarah. Di samping itu pengalamanpengalaman yang telah dimiliki siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009). Hal ini juga membuktikan bahwa pendekatan konstruktivisme tidak digunakan. Berdasarkan permasalah pembelajaran sejarah tersebut, maka sudah saatnya pembelajaran paradigm lama yang menempatkan siswa sebagai objek dan siswa bersifat pasif mulai ditingglkan dan beralih kepada pembelajaran paradigm baru yang berlandaskan pada pendekatan konstruktivisme. Pembelajaran yang menerapkan konstruktivis menampilkan siswa dengan kesempatan-kesempatan membangun pengetahuan dan pemahaman baru dari pengalaman otentik. Dimana siswa diajak untuk menghadapi masalah dengan penuh makna disebabkan oleh konteks kehidupan nyata mereka. Dalam memecahkan masalah, siswa didorong untuk menggali kemungkinankemungkinan, menginventaris alternative solusi, kolaborasi dengan siswa atau nara sumber lain, mencoba ide dan hipotesis, memperbaiki pikiran mereka, dan pada akhirnya menampilkan solusi terbaik. Kondisi dunia yang semakin berkembang pesat menuntut adanya respon pemikiran kritis di kalangan guru. Untuk itu pembelajaran sejarah dengan penerapan keterampilan berfikir kritis di kelas merupakan salah satu cara yang tepat untuk memperbaiki masalah pribadi dan social 102 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret siswa sehingga siswa tidak lagi bersikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh,malas berfikir, kurangnya rasa tanggung jawab, malas berkomunikasi dan berinteraksi. Sejalan dengan hal tersebut, Soedjatmoko (1976) mengingatkan para guru sejarah agar membuang cara-cara mengajar sejarah yang mengutamakan fakta sejarah saja. Hal ini dikuatirkan tidak membawa siswa kepada pengembangan berpikirnya. Sementara itu dengan pengembangan kemampuan berfikir yang terus meningkat, siswa akan mampu melihat hal-hal di lingkungan kehidupannya dengan kritis. Proses pembelajaran sejarah yang menekankan pada aktivitas siswa menurut Garvey dan Krug (1977) adalah pertama: ― to acquie knowledge of historical facts” (untuk mendapatkan pengetahuan tentang fakta-fakta kesejarahan) dalam belajar sejarah, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah adalah hal yang mutlak. Di dalam pembelajaran sejarah, peran bukti, faktafakta sangat penting, karena kegunaan bukti dan fakta akan menjadikan penelusuran, investigasi masa lampau lebih memungkinkan. Mengajar siswa dengan menggunakan bukti sejarah dapat mengajak siswa melihat bagaimana jalannya masa lampau dan kemudian mengajak siswa untuk lebih peduli dn mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, disekitarnya saat ini dan kemungkinan masa depan (Lee, 1984). Dalam hal ini tentu saja keutuhan pemahaman sejarah tidak akan bisa dibangun tanpa mengenal terlebih dahulu saja fakta sejarah yang ada. Kemudian diperluas hingga membantu siswa menangkap konsep sejarah bahkan sampai ke generalisasi. Dalam proses ini guru sejarah diminta untuk menyiapkan kondisi belajar yang memenuhi tujuan belajar, di samping itu guru juga kaya dengan pemahaman sejarah. Kedua, to again an understanding or appreciation of past events or periods or people (untuk mendapatkan pemahaman atau penghargaan terhadap kejadiankejadian, orang pada masa lampau). Dalam konteks ini, ungkapan ―belajar sejarah akan membuat orang menjadi bijaksana‖. Tetapi tidak mudah untuk memahami peristiwa yang telah lampau tersebut, jika tidak ditumbuhkan ketrampilan berimajinasi, berempati terhadap peristiwa tersebut. Adapun model pembelajaran yang dapat digunakan adalah seperti dikemukakan oleh Garvey dan Krug (1977) yaitu picture study, document study, simulation and drama. Model pembelajaran yang diperlukan adalah model yang dapat memberikan bekal kepada siswa untuk mampu melihat masa lampau secara keseluruhan dengan berimajinasi dan empati, sehingga siswa mendapatkan rangkaian peristiwa dari masa lampau, ke masa sekarang dan yang akan datang. Ketiga, to acquire the ability to evaluate and criticize historical writing (untuk memiliki kemampuan mengevaluasi dan mengkritisi penulisan sejarah). Model yang ditawarkan oleh Garvey dan Krug (1977) adalah text book study, dengan menggunakan buku teks maka diharapkan siswa akan memiliki; reference skills, comprehension skill,analytical and critical skill, imaginative skills and note making skill. Keempat, to learn the techniques of historical research (untuk belajar teknikteknik penelitian sejarah). Dalam hal ini Gravey dan Krug (1977) menyarankan model pembelajaran dengan menggunakan sumber-sumber primer atau juga fieldproject dapata membelajarkan siswa tentang teknik-teknik penelitian sejarah. Siswa dapat diarahkan menjadi sejarawan kecil dengan discovery method, pembelajaran inquiry terhadap sejarah di lingkungannya. Misalnya sejarah desa atau kotanya, atau mesjid besar, tua di kotanya. Kelima, to learn how to write history (untuk belajar bagaimana menulis 103 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sejarah). Jika siswa sudah memiliki pemahaman tentang teknik-teknik penelitian sejarah, maka tentu kemampuan dalam menulis sejarah ikut serta di dalamnya. Dalam hal ini, Meyer (1998) mngungkapkan dari hasil penelitiannya, bahwa perlunya penggunaan dokumen dalam pembelajaran sejarah tidak diragukan lagi, karena dapat mewujudkan belajar dan berfikir kesejarahan. Penggunaan dokumen di dalam pembelajaran sejarah memberikan keterampilan kepada siswa dalam mengajukan pertanyaan kepada data-data yang ada tersebut. Seorang siswa tidak dapat membangun pengetahuan baru tanpa membuat suatu penilaian yang beralasan, dan penilaian ini tidak bisa dibuat tanpa mengajukan pertanyaan yang baik. Seperti halnya mata pelajaran lain, mata pelajaran sejarah juga memiliki karakteristik, yaitu : (1) sejarah terkait dengan masa lampau. Masa lampau berisi peristiwa, dan setiap peristiwa sejarah hanya terjadi satu kali. Oleh karena itu pembelajaran sejarah adalah pembelajaran peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah terjadi. Kemudian, karena materi pokok pembelajaran sejarah merupakan bahan materi masa kini berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, maka pembelajaran sejarah harus lebih cermat, kritis, berdasarkan sumber-sumber dan tidak memihak pihak manapun. (2) sejarah bersifat kronologis, maka dalam mengorganisasikan materi pokok pembelajaran sejarah harus didasarkan pada urutan kronologis peristiwa sejarah. (3) Sejarah mengandung tiga unsure penting, yaitu manusia, ruang dan waktu. Oleh karena itu dalam mengembangkan pembelajaran sejarah harus selalu diingat siapa pelaku peristiwa sejarah, dimana dan kapan. (4) Perspektif waktu merupakan dimensi penting dlam sejarah. Walaupun sejarah selalu terkait dengan masa lampau, tetapi masa lampau it uterus berkesinambungan. Maka dalam sejarah dikenal ada tiga dimensi waktu, yaitu waktu lampau, kini dan yang akan datang. Dalam mendisain materi pokok pembelajaran sejarah dapat dikaitkan dengan persoalan masa kini dan masa depan. Seperti kecakapan hidup, kesetaraan gender, hak asasi manusia maupun kebudayaan yang beragam. (5) Dalam sejarah dikenal prinsip sebab akibat. Dalam merancang pembelajaran sejarah perlu diingat bahwa dalam menjelaskan peristiwa sejarah selalu ada prinsip sebab akibat, baik antara fakta yang satu dengan yang lain maupun antara peristiwa yang satu dengan yang lain. (6) Sejarah pada hakekatnya suatu peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, social, agama, keyakinan, budaya. Oleh karena itu dalam mendesain pembelajaran sejarah perlu menggunakan pendekatan yang bersifat multidimensional, sehingga dalam mengembangkan materi pokok dan uraian materi poko untuk setiap kompetensi dasar digunakan pendekatan multidimensional. F. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bagianbagian sebelumnya seperti ketrampilan berfikir, pendekatan konstruktivisme, masalah pembelajaran sejarah, tentang model pembelajaran sejarah dan karakteristik pembelajaran sejarah, maka di dalam proses pembelajaran sejarah perlu adanya perubahan dari model atau pendekatan pembelajaran yang bersifat tradisional ke model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme dalam rangka melatih keterampilan berfikir kritis siswa dalam pembelajaran sejarah. Karena di dalam pendekatan konstruktivisme, siswa dalam pembelajaran sejarah diberi kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Untuk dapat membangun pengetahuannya siswa dituntut untuk berfikir kritis yaitu diantaranya suka 104 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bertanya, memiliki rasa ingin tahu, tertarik untuk mendapatkan solusi baru, berkeinginan untuk menguji dan menganalisa fakta yang ada, mampu menyimak dengan hati-hati dan memberikan umpan balik, mencari buktibukti, dan mampu menolak informasi yang dianggap tidak relevan dan tidak benar (Ferrett, S, 1977). Jika cirri-ciri berfikir kritis tersebut dimiliki oleh siswa, maka dalam proses pembelajaran sejarah, siswa tidak akan merasa bosan karena proses pembelajarannya menjadi hidup, aktif, dan menyenangkan. Akan tetapi untuk mencapai proses pembelajaran yang demikian, guru perlu memahami tentang pemilihan dan penggunaan model-model pembelajaran yang akan digunakan dalam menyampaikan materi pembelajaran sejarah, karena sifat atau karakter mata pelajaran sejarah yang beragam perlu diperhatikan oleh guru sejarah dalam mempersiapkan perangkat pembelajarannya. Di samping itu guru sejarah perlu juga mengingat bahwa tujuan dan misi pembelajaran sejarah adalah: (1) untuk pendidikan intelektual, (2) pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan, pendidikan pembinaan moralitas, jatidiri, nasionalisme dan identitas bangsa. Kemudian sebagai alternatif penggunaan model pembelajaran sejarah dalam proses pembelajaran sejarah adalah dengan model pembelajaran kooperatif, dalam model pembelajaran kooperatif ini peran guru sebagai fasilitator, director-motivator dan evaluator bagi siswa dalam upaya membantu siswa mengembangkan keterampilan social dan kemampuan berfikir kritis, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu berinteraksi social dengan masyarakat. . DAFTAR PUSTAKA Anggara, Boyi. 2007. Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah-masalah Sosial Kontemporer. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang. Semarang, 16 April 2007. Alfian, Magdalia. 2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang di hadapi. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri semarang. Semarang, 16 April 2007. Ahmad Sanusi. 1999. Kapita Selekta Pembahasan Masalah-masalah Sosial dan pendidikan. Bandung: FPS IKIP Bandung. Banks, JA. 1985. Strategies for the Social Studies. New York: Longman, Inc. Barr, RD. Barth, JL. Dan Shernis. 1988. The nature of Studies. California: ETC Publication. Beyer, BK. 1985. Critical Thinking: What is It? Social Education, 45 (4). Costa, LA. 1985. “Teacher Behaviors that Enable Students Thinking‖ dalam Developing Minds: A resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: ASDC. 105 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Ennis, Robert H. 2000. Critical Thinking. Upper Saddle River. New York: Preatice Hall. Fitzgerald, James. 2000. ―Toward a Theory of History Teaching‖. Dalam A New Look at History Teaching. Australia: The History Teachers` Association of New South Wales. Garvey, B. dan KKrug, M. 1977. Models of History Teaching in The Secondary School. United States: Oxford University Press. Gray, Andrey. 1997. Constructivitist Teaching and Learning. Dalam SSTA Research Centre Report # 97-07 [Online]. http://www.ssta-sk.com/research/instrution/97-07 htm. http://education. Yahoo.com/reference/dictionary/entry?id Diakses 16-4-2013. Hetzberg, Hezel Whitman. 1981. Social Studies Reform 1880-1980. Colorado: Social Science Education Consorcium, Inc. Lawson.AE. 1990. Science Education Information Report. California: Wads Worth Publishing Co. Lee, P.J. 1984. ―Historical Imagination‖ Dalam Learnining History. London: Heinemann Educational Books. Mantanto, SD, dkk. 2009. Pembelajaran Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk meningkatkan Minat Belajar Siswa. PKM-GT. Semarang. Tidak dipublikasikan. Mc. Neil. 2000. Understanding The Past. [Online] http://intogetable. Net/book/guide. Moore, Brooke Noel. Dan Parker, Richard. 1986. Critical Thinking: Evaluating Claims and Arguments in Every Day Life. California: Mayfield Publising Co. Murni. 2000. Profil dan Kemampuan Guru IPS SMP di Kota Palembang. Laporan Penelitian pada Unit lembaga Penelitian FKIP UNSRI Mark E. Gabehatr. 1997. “Teaching, Learning and Reform in Twenty-First 2000-2003.‖ USA: Education Service Centre. Mudjiman, Haris. 2006. Belajar mandiri, self-motivated learning. Surakarta: UNS Press. Maypole, joanne. Dan Darvies, Timothy, Gray. 2001. ―Students` Perceptions of Constructivist Learning in A Community College American History II Survey Course. Dalam Community College Riview, Fall. [Online]. Http://articles. Fidararticles.com/p/articles/mi_mO HCZ/15_2_29/ai_80344771[15-04-2013] 106 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Meyer, John. 1998. “The Trouble With History. History and Social Science Teacher”. 15 (2) 68-70 O`hara, Lucy dan O`hara Mark. 2001. Teaching History. London: Continuur. Parkin, D.N & Weber, R.J. 1992. Invinitive Mind: Creative in Technology. New York: University Press. Raths, Louis E. et al. 1986. Teaching for Thinking: Theory, Strategies, and Activities for the Classroom. New York: teachers College, Columbia University. Suparno. P. 1999. Filsafat Construktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Steffe dan Gale. 1995. Constructivism in Education. New Yersey: Lawrence Erlbaum Association. Syamsudin, Helius. 1999. Sejarah dan pendidikan Sejarah. Mimbar pendidikan. 2 (8) 1217. Stearns, Peter N. 2000. Knowing. Teaching & Learning History. New York: NY Uni 7 American Historical Association. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Woolever, Roberta dan Scoot, Katryn. 1988. Active learning in Social Studies. London: Scoot Foresman and Company. Zainudin dan Suwoko. 1997. Sumber dan Media Pembelajaran IPS. Malang: Depdikbud. 107 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 108 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KARAKTER MAHASISWA MELALUI MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN Sudarmiani IKIP PGRI Madiun Email: [email protected] ABSTRAK Pendidikan karakter pada saat ini menjadi isu utama pendidikan, karena menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Pendidikan karakter pun juga diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Konsep pendidikan karakter menurut Thomas Lickona terdapat 9 pilar utama pendidikan karakter yang saling berkaitan, yaitu ; tanggungjawab, rasa hormat, keadilan, keberanian, kejujuran, kewarganegaraan, disiplin diri, peduli, dan ketekunan. Masuknya mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa baik di LPTK maupun non LPTK diharapkan mampu mengurangi tingginya angka pengangguran, khususnya dari kalangan terdidik (sarjana dan diploma). Melalui mata kuliah diharapkan dapat membentuk karakter generasi muda bangsa tangguh, yang dapat menciptakan lapangan kerja sendiri sebagai wirausahawan muda. Kewirausahaan secara sederhana diartikan sebagai proses di mana seorang wirausahawan (entrepreneur) menciptakan dan mengembangkan perusahaan, sedangkan entrepreneur adalah orang yang menciptakan dan mengembangkan perusahaan (Dabson, 2005). Dalam definisi tadi, unsur prosesmenciptakan dan mengembangkan dapatmerupakan perpaduan antara karakter dan kemampuan teknis seorang wirausahawan. Dalam hal ini Timmons dan Stevenson (dikutip oleh Henry, 2005) menjelaskan bahwa kemampuan teknis seperti akuntansi, keuangan, pemasaran, sistem informasi manajemen dan berfikir kritis bisa diajarkan di kelas secara formal. Akan tetapi kemampuan lainnya atau dapat dikategorikan sebagai karakter wirausahawan seperti kemampuan menilai, keberanian mengambil resiko, mengatasi orang lain, kesabaran dan tanggung jawab tidak dapat diajarkan secara langsung melainkan melaui suatu kegiatan yang berhubungan dengan masalah yang riil. Kewirausahaan menurut Schumpeter seperti dikutip oleh Heinonen dan Poikkijoki (2006) lebih menitikberatkan pada proses atau perilaku wirausaha. Dengan demikian pada tahap aplikasi kegiatan program pendidikan kewirausahaan sudah selayaknya mengkondisikan mahasiwa pada situasi yang menuntut dan merangsang mahasiswa untuk melatih fungsi-fungsi kewirausahaan di atas. Sehingga pelaksanaan perkuliahan tidak hanya dalam bentuk klasikal pengajaran teori di dalam kelas di mana mahasiswa umumnya merupakan peserta yang pasif, tetapi setiap proses pembelajaran supaya efektif peserta didik atau mahasiswa harus terlibat di dalam pengalaman belajarnya(praktek kewirausahaan). Melalui praktek 109 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kewirausahaan mahasiswa, dapat ditanamkan nilai-nilai karakter seorang calon wirausaha yang harus mempunyai karakter tanggungjawab, keberanian, kejujuran, disiplin diri, dan tekun dalam berusaha. Dengan demikian mata kuliah kewirausahaan merupakan sarana yang tepat untuk pengembangan nilai-nilai karakter mahasiswa agar mempunyai rasa tanggungjawab, keberanian mengambil resiko, sikap disiplin, pekerja keras, jujur, dan tekun untuk meraih kesuksesan. Kata Kunci : Pengembangan, Nilai-Nilai Karakter, Kewirausahaan A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menurut PBB, suatu negara mampu untuk berkembang secara mandiri apabila jumlah wirausahawan di negara tersebut minimal 2 persen dari total jumlah penduduk. Saat ini, jumlah wirausahawan di Indonesia hanya sebesar 0,24 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 238 juta jiwa. Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah wirausaha di beberapa negara luar yang tingkat perekonomiannya lebih tinggi, seperti Amerika Serikat yang memiliki wirausaha sejumlah 4 persen dari total penduduknya, Singapura yang jumlah wirausahanya sebesar 7 persen dari jumlah penduduknya, dan Malaysia yang jumlah wirausahanya mencapai 5 persen dari jumlah penduduknya. Berdasarkan data di lapangan, 600 ribu lulusan perguruan tinggi sejak 2009 sampai 2011 masih menganggur. Ini bukti nyata di Indonesia antara pencari kerja dan pencipta kerja tidak berimbang. Bisa jadi pendidikan di Indoensia telah melahirkan para lulusan dengan nilai terbaik dan siap memasuki ke pasar kerja, namun kondisi yang terjadi kenaikan jumlah lapangan kerja kalah cepat dengan kenaikan jumlah lulusan. Melihat kenyataan tersebut perlu diupayakan sebuah terobosan baru dalam bidang pendidikan maka sekolah dan perguruan tinggi kita akan menjadi pabrik penghasil pengangguran khususnya para penganggur terdidik. Kondisi ini akan jadi sumber berbagai kekacauan dan bencana sosial yang mengerikan. Berbagai strategi diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan jumlah wirausahawan di Indonesia, salah satunya adalah dengan memasukkan mata kuliah Kewirausahaan ke dalam kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Adanya mata kuliah Kewirausahaan dimaksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa terhadap dunia kewirausahaan serta memotivasi mereka untuk ikut terlibat langsung dalam dunia wirausaha sebagai wirausahawan muda yang tangguh, sehingga mereka dapat ikut berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian negara Indonesia. Pembelajaran entrepreneurship bukan hanya akan menghasilkan manusiamanusia masa depan yang dapat bebas dari kemiskinan namun para entrepreneur yang bertumbuh dan berhasil adalah sumbersumber kesejahteraan masyarakat yang dapat kita andalkan. Pendidikan entrepreneurship adalah senjata yang dapat digunakan untuk pengangguran dan kemiskinan sekaligus jadi tangga menuju impian setiap warga masyarakat untuk mandiri secara finansial, memiliki kemampuan membangun kemakmuran individu dan sekaligus ikut membangun kesejahteraan masyarakat. Pendidikan Kewirausahaan dilaksanakan dengan menanamkan nilainilai kewirausahaan kepada peserta didik, 110 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret nilai-nilai tersebut antara lain jujur, percaya diri, kreatif, kepemimpinan, inovatif, dan berani menanggung resiko. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai pendidikan karakter. Sehingga pendidikan kewirausahaan menyumbangkan penanaman nilai-nilai pendidikan karakter yang pada akhirnya akan membentuk karakter bangsa, sesuai dengan tujuan dari pendidikan kewirausahaan yaitu untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana mengembangkan nilainilai karakter mahasiswa melalui mata kuliah kewirausahaan ? B. PEMBAHASAN 1. Pendidikan Karakter a. Pengertian Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi kompenen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun negara. Pendidikan karakter yang tertuang dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa: ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab‖. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan adalah pengembangan karakter siswa. Karakter berarti tabiat atau kepribadian seseorang.Coon(Zubaedi,2011: 8) mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima masyarakat. Karakter merupakan keseluruhan kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendifinisikan seseorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikan tipikal dalam cara berfikir dan bertindak. Zainal dan Sujak (2011:2) menyatakan karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (bahaviors), motivasi (motivation), dan ketrampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti ―tomark‖ atau menandai dan memfokuskan bagimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkahlaku. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010:3) ―Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak‖. Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan kepribadian yang merupakan cirri dalam cara berfikir dan bertindak yang melekat pada diri seseorang. Karakter terdiri atas tiga unjuk perilaku terdiri atas pengetahuan moral, perasaan berlandaskan moral, dan perilaku berlandaskan moral. Menurut Megawangi dalam buku Darmiyati (2004:110) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai ―Sebuah 111 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan seharihari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya‖. Sedangkan menurut Koesoema pendidikan karakter merupakan nilai-nilai dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja samasecara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib, sependeritaan, pemecahan konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter (2007:250). Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. b. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter 1) Fungsi Pendidikan Karakter Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010:7) fungsi pendidikan karakter adalah: a) pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa; b) perbaikan : memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggungjawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan b) penyaring : untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak 112 sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bang sayang bermartabat. 2) Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan pendidikan karaktera dalah: a) mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; b) mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilainilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; c) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; d) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan e) mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, sertadenganrasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity) (Ibid,2010). c. Jenis-jenis Pendidikan Karakter Ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu: 1) pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu tuhan (konservasimoral). 2) pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa. 3) pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret lingkungan). 4) Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis) (Yahya Khan,2010:2). d. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya Karakter Menurut Kementerian Pendidikan Nasional(2010) nilai- nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini : 1) Agama Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh Karen aitu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secarapolitis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai- nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. 2) Pancasila Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD1945.Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga Negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. 3) Budaya Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu.Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. 4) Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga Negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut diatas, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikutini : 113 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Tabel2.NilaidanDeskripsiNilaiPendidikanBudayadanKarakterBangsa NO NILAI DESKRIPSI 1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain,dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2 2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang bisa dipercaya. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 3 Toleransi 4 Disiplin 5 Kerja Keras 6 Kreatif 7 Mandiri 8 Demokratis 9 RasaIngin Tahu 10 Semangat Kebangsaan 11 Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12 Menghargai Prestasi 13 Bersahabat/ Komuniktif CintaDamai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 14 15 Gemar Membaca Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas baik. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilakuyangtidak mudahtergantungpadaoranglaindalam menyelesaikantugas-tugas. Cara berfikir, bersikap, dan bertindakyang menilai sama hak dan kewajibandirinyadanoranglain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalamdan meluasdarisesuatuyangdipelajarinya,dilihat,dan didengar. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 114 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret NO 16 NILAI Peduli Lingkungan DESKRIPSI Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki Kerusakan alam yang sudah terjadi. 17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin member bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18 Tanggungjawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dialakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,lingkungan (alam,sosialdanbudaya),Negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Sumber:Kemendiknas(2010:9-10) 2. Pendidikan Kewirausahaan bagi Mahasiswa a. Latar Belakang Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Pendidikan kewirausahaan atau entrepreneurship akan semakin digalakkan di perguruan tinggi agar lulusan perguruan tinggi mampu mandiri. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi diharapkan bisa menyiapkan mahasiswa untuk berani mandiri, tidak lagi terfokus menjadi pencari kerja. Apalagi data pengangguran terdidik di Indonesia menunjukkan, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin rendah kemandirian dan semangat kewirausahaannya. Berdasarkan hasil survei tenaga kerja Badan Pusat Statistik bulan Februari dan Agustus 2009 memprediksi akan naiknya angka pengangguran di Indonesia sekitar 9%. Sementara angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Dari jumlah tersebut, pengangguran dengan gelar sarjana sekitar 12,59%. Dari data di atas, sudah sangat jelas Indonesia mempunyai permasalahan yang tidak ringan dalam mengatasi pengangguran, utamanya yang bergelar sarjana. Sudah kuliah bayar mahal, ujung-ujungnya menganggur juga. Bila tidak segera diatasi, angka ini bukannya semakin turun tapi akan melonjak naik. Krisis global yang menginduk kepada Kapitalisme berimbas juga pada semakin tingginya angka pengangguran. Bila sudah begini, ke mana lagi akan mencari solusi atas tingginya pengangguran sarjana ini? Untuk menjadi negara maju, sebuah negara paling tidak harus memiliki dua persen dari jumlah penduduk. Di Amerika, misalnya, terdapat sekitar 11 persen wirausahawan dari jumlah penduduk, Singapura sekitar 7 persen, dan di Indonesia baru sekitar 0,18 persen. Pola menciptakan lapangan kerja di dunia sudah berubah. Dulu pembukaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekarang semua pihak baik pemerintah, pengusaha, dan lembaga pendidikan bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja. Pendidikan kewirausahaan mesti berjalan secara berkesinambungan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses pendidikan di perguruan tinggi. Upaya tersebut perlu dilakukan untuk mengatasi pengangguran terdidik yang terus meningkat dengan menyiapkan lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya berorientasi sebagai pencari kerja, tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja. Sampai saat ini, sebanyak 82,2 persen lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai pegawai. Adapun masa tunggu lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan 115 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pekerjaan selama enam bulan hingga tiga tahun. Perguruan tinggi belum bisa menghasilkan lulusan yang mampu berkreasi di dalam keterbatasan dan berdaya juang di dalam tekanan. Kondisi tersebut di atas di dukung oleh kenyataan bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan kerja (job creator). Hal ini bisa disebabkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan diberbagai perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan yang siap menciptakan pekerjaan. Di samping itu, aktivitas kewirausahaan (entrepreneurial activiy) relatif masih rendah (Dikti,2011:2). Dengan gencarnya pendidikan kewirausahaan, baik yang diintegrasikan dalam kurikulum maupun kegiatan kemahasiswaan, pada 2014 ditargetkan sebanyak 20 persen lulusan perguruan tinggi berhasil menjadi usahawan. Penciptaan komunitas usahawan dari kalangan dosen dan lulusan perguruan tinggi ini ditargetkan bisa mempercepat penambahan jumlah usahawan Indonesia yang saat ini baru berjumlah 0,18 persen dari ideal 2 persen yang dibutuhkan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Perguruan Tinggi sejak awal telah menyertakan pendidikan kewirausahaan dalam kurikulumnya. Diharapkan dengan adanya pendidikan kewirausahaan tersebut, mahasiswa dapat mengembangkan jiwa wirausaha. b. Arah Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Berbagai bersumber dari fakta rendahnya jumlah entrepreneur dan kesulitan melahirkan entrepreneur menjadikan kebutuhan pendidikan kewirausahaan makin relevan dengan perubahan lingkungan global yang menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan. Peranan perguruan tinggi dalam melaksanakan pembelajaran kewirausahaan menjadi sangat penting. Dahulu, pola pembelajaran kewirausahaan tidak secara formal dilembagakan. Bekal motivasi dan sikap mental entrepreneur terbangun secara alamiah, lahir dari keterbatasan dan semangat survival. Berwirausaha merupakan kegiatan yang dilakukan turun temurun dari mereka yang terlahir dari keturunan pengusaha. Fenomena sekarang menunjukkan bahwa kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan. Menurut Ciputra, kompetensi kewirausahaan bukanlah ilmu magic. Pendidikan tinggi, perlu mengajarkan tiga kompetensi kepada mahasiswanya, yakni menciptakan kesempatan (opportunity creator), menciptakan ide-ide baru yang orisinil (inovator) dan berani mengambil resiko dan mampu menghitungnya (calculated risk taker). Peran yang dilakukan perguruan tinggi adalah: (i) internalisasi nilai-nilai kewirausahaan, (ii) peningkatan ketrampilan (transfer knowledge) dalam aspek pemasaran, finansial, dan teknologi; dan (iii) dukungan berwirausaha (business setup) (Vallini and Simoni, 2007). Jiwa wirausaha diharapkan menjadi kerangka berpikir (mind set) generasi muda di tengah keterbatasan pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja saat ini. Belajar kewirausahaan menekankan pembentukan cara berpikir. Para generasi muda yang sekarang sedang bersekolah atau kuliah kelak mempunyai cara pandang baru dan membawa perubahan dalam menghadapi suatu kehidupan, pengaturan keuangan, dasar manajemen, hingga rencana bisnis. Menurut ASHE Higher Education Report (2007), keberhasilan studi 116 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret mahasiswa ditentukan oleh dua ukuran, yakni (i) jumlah waktu dan upaya mahasiswa terlibat dalam proses pembelajaran dan (ii) kemampuan perguruan tinggi menyediakan layanan sumberdaya, kurikulum, fasilitas dan program aktivitas yang menarik partisipasi mahasiswa untuk meningkatkan aktualisasi, kepuasan dan ketrampilan. Dalam konteks pendidikan kewirausahaan, nampaknya partisipasi mahasiswa dan kemampuan perguruan tinggi perlu disinergikan, agar menyediakan layanan sebaik-baiknya agar melahirkan student entrepreneur. Dengan demikian, melalui pendidikan dapat direncanakan kebutuhan jumlah maupun kualitas entrepreneur. Karakter keilmuan kewirausahaan didisain untuk mengetahui (to know), melakukan (to do), dan menjadi (to be) entrepreneur. Tujuan pendidikan to know dan to doterintegrasi di dalam kurikulum program studi, terdistribusi di dalam mata-mata kuliah keilmuan. Integrasi dimaksudkan untuk internalisasi nilai-nilai kewirausahaan. Dalam tahapan ini, perguruan tinggi menyediakan matakuliah kewirausahaan yang ditujukan untuk bekal motivasi dan pembentukan sikap mental entrepreneur. Sementara itu tujuan to be entrepreneur diberikan dalam pelatihan ketrampilan bisnis praktis. Mahasiswa dilatih merealisasikan inovasi teknologi ke dalam praktek bisnis. Program penguatan untuk mendorong aktivitas berwirausaha dan percepatan pertumbuhan wirausaha baru telah dicanangkan pemerintah. Untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja daripada pencari kerja, maka diperlukan suatu usaha nyata. Departemen Pendidikan Nasional telah mengembangkan berbagai kebijakan dan program mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang lebih siap bekerja dan menciptakan pekerjaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah mengembangkan beragam program kewirausahaan, seperti PKMKewirausahaan, Co-op Education, Magang Kewirausahaan dan Program Mahasiswa Wirausaha atau PMW (Student Entrepreneur Program) untuk menjembatani para mahasiswa memasuki dunia bisnis rill melalui fasilitasi start-up bussines, magang dan kemitraan dengan perusahaan. Aktivitas ekstra kurikuler mahasiswa yang sistematik juga dapat membangun motivasi dan sikap mental entrepreneur. Pembinaan mahasiswa dalam berbagai kegiatan minat dan bakat, keilmuan, kesejahteraan atau keorganisasian lainnya mampu memberikan keterampilan untuk berwirausaha, dalam pengertian wirausaha bisnis, wirausaha sosial maupun wirausaha corporate (atau intrapreneur). Secara nasional, untuk mendukung kebijakan peningkatan akses dan pemerataan pada pendidikan tinggi, semakin bertambah program yang ditawarkan. Perguruan tinggi mendirikan program vokasional yang memberikan ketrampilan wirausaha, setara diploma atau kursus. Ada pula program ekstensi yang memberi peluang para wirausaha untuk kuliah, yang disebut entrepreneur student, yang sudah masuk ranah psikomotorik kewirausahaan. Menurut Robinson, Huefner dan Hunt (1991), mereka ini memiliki karakter yang tinggi dalam inovasi, praktek bisnis, kepercayaan diri dan pengendalian. Mereka adalah pelaku bisnis, yang juga ingin meningkatkan kemampuan berwirausaha. Memang ironis menyaksikan dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak lulusan pendidikan tinggi yang bingung mencari lowongan kerja. Sebaliknya banyak kita jumpai seseorang dengan pendidikan formal minim, tetapi bisa sukses luar biasa dalam pekerjaannya. Mengapa begitu 117 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret banyak pengangguran di negara yang kaya sumber daya alam dan keramahan iklim ini? Adakah yang salah dengan pendidikan formal kita? Atau bahkan, seperti dinyatakan Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society (1972), pendidikan formal terlalu banyak menyerap biaya, hasilnya kurang optimal, dan lebih parah lagi banyak menghasilkan tenaga pemalas yang tidak terampil dan hanya menjurus kepada pekerjaan formal, tanpa mau tahu dengan kondisi riil di lapangan. Konsep pendidikan yang ada di Indoensia sekarang ini cenderung berbentuk institusi bank menurut konsep Freire, di mana pihak pendidik secara searah memberikan pengetahuannya kepada peserta didik sehingga bisa terkumpul segebok ilmu. Pendidikan formal yang diberikan di bangku sekolah maupun perguruan tinggi hanya terpaku pada penguasaan hard skills. Bahkan sangatlah kurang dengan mengkaitkan kenyataan yang terjadi di dunia realitas. Penelitian menunjukkan, keberhasilan seseorang bukan ditentukan oleh kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang sangat penting.Tingkat kecerdasan cuma menyumbang sekitar 2030 persen keberhasilan, selebihnya ditentukan soft skills. Penelitian National Association of Colleges and Employers (NACE) pada tahun 2005 menunjukkan pengguna tenaga kerja membutuhkan keahlian kerja berupa 82 persen soft skills dan 18 persen hard skills. Soft skills, menurut Berthall (dalam Diknas, 2008), adalah tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan kinerja seseorang manusia. Dengan demikian, kemampuan soft skills tercermin dalam perilaku seseorang yang memiliki kepribadian, sikap, dan perilaku yang dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Selaras dengan kemampuan soft skills, maka para peserta didik perlu dibekali dengan pendidikan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) yang andal. Dengan dibekali pengetahuan kewirausahaan yang memadai, disertai segisegi praksisnya, para lulusan mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai, sehingga tidak merasa kebingungan ketika harus memasuki pasaran kerja. Joseph Schumpeter sebagai pakar ekonomi kelembagaan berpendapat, kewirausahaan sangat penting dalam menentukan kemajuan perekonomian suatu negara. 3. Pengembangan NilaiNilai Karakter Mahasiswa Melalui Mata Kuliah Kewirausahaan Jika dahulu kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir dan diasah melalui pengalaman langsung di lapangan, maka sekarang ini paradigma tersebut telah bergeser. Kewirausahaan telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya. Sebagai suatu disiplin ilmu, maka ilmu kewirausahaan dapat dipelajari dan diajarkan, sehingga setiap individu memiliki peluang untuk tampil sebagai seorang wirausahawan (entrepreneur). Bahkan untuk menjadi wirausahawan sukses, memiliki bakat saja tidak cukup, tetapi juga harus memiliki pengetahuan segala aspek usaha yang akan ditekuninya. Tugas dari wirausaha sangat banyak, antara lain tugas mengambil keputusan, kepemimpinan teknis, kepemimpinan organisatoris dan komersial, penyediaan modal dll. Ciri-ciri seseorang yang mempunyai jiwa kewirausahaan adalah 1) Percaya diri; 2) Berorientasi pada tugas dan hasil; 3) Keberanian mengambil resiko; 4) Kepemimpinan; 5) Berorientasi ke masa depan ;6) Kreatif inovatif; 7) Memiliki tenaga dalam. 118 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dari ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan: a. Percaya Diri Percaya diri merupakan suatu sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan. Dalam praktik, sikap dan keyakinan ini merupakan tindakan untuk memulai, melakukan dan menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan yang dihadapi dengan rasa optimis. Orang yang memiliki rasa percaya diri cenderung memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam mencapai keberhasilan,optimis, individualitas, dan ketidaktergantungan. b. Berorientasi pada Tugas dan Hasil Orang yang mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energik, dan berinisiatif. Ia seringkali berpikiran jauh kedepan dan sangat kreatif dalam melihat suatu peluang usaha yang baru. Berinisiatif artinya selalu ingin mencari dan memulai. Untuk memulai diperlukan niat dan tekad yang kuat, serta karsa yang besar. Sekali sukses atau berprestasi, maka sukses berikutnya akan menyusul, sehingga usahanya semakin maju dan semakin berkembang. c. Berani Mengambil Resiko Ciri utama yang paling menonjol adalah keberanian mengambil risiko untuk memulai usaha sendiri. Tanpa keberanian ini, tak ada usaha yang bias terbentuk. Namun, tentu saja keberanian ini bukanlah keberanian yang membabi buta, melainkan keberanian yang disetai dengan perhitungan yang matang sebelum sebuah keputusan yang mengandung risiko diambil.Dengan demikian, berani menanggung risiko yang dimaksudkan adalah pengambilan risiko yang penuh dengan perhitungan dan realistik, bukan asal-asalan. Kepuasan akan diperoleh apabila usaha yang dilakukan berhasil secara maksimal. d. Kepemimpinan Seorang wirausaha yang berhasil selalu memiliki sifat kepernimpinan, kepeloporan, dan keteladanan . Minimal menjadi pemimpin bagi dirinya dalam mengambil keputusan yang terkait dengan usahanya. Kepemimpinan yang baik memang sangat dibutuhkan dalam mengelola sebuah bisnis usaha, terkait nantinya dengan bagaimana cara seseorang tersebut mengelola dan berinteraksi dengan bawahan, serta mengambil berbagai langkah dengan kebijakan di dalam tubuh organisasi bisnis. e. Berorientasi ke Depan Orang yang berorientasi ke masa depan adalah orang yang memiliki perspektif dan pandangan ke masa depan. Karena ia memiliki pandangan yang jauh ke masa depan, maka selalu berusaha untuk berkarsa dan berkarya. Kuncinya pada kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan yang sudah ada sekarang. Meskipun dengan risiko yang mungkin terjadi, ia tetap tabah untuk mencari peluang dan tantangan demi pembaharuan masa depan. Pandangan yang jauh ke depan, membuat wirausaha tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada sekarang. Oleh sebab itu, ia selalu mempersiapkannya dengan mencari suatu peluang. f. Kreativitas dan Inovasi Kreativitas diartikan sebagai kemampuan mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan mencari peluang. Keinovasiandiartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka memecahkan persoalanpersoalan dan peluang untuk mempertinggi dan meningkatkan taraf hidup. Oleh karena itu, kewirausahaan adalah "thinking and doing new things or old thinks in new ways" Kewirausahaan 119 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret adalah berpikir dan bertindak sesuatu yang baru atau berpikir sesuatu yang lama dengan cara-cara baru. g. Memiliki Tenaga Dalam Memiliki tenaga dalam artinya bahwa seorang wirausaha harus memiliki : keuletan, ketabahan, ketekunan, kejujuran, kedisiplinan, ketulusan, keikhlasan, kesopanan, keramahan dll. Ciri-ciri wirausaha di atas apabila dihubungkan dengan pendidikan karakter pada dasarnya sejalan dengan pengembangan nilaiuntukpendidikan budayadan karakterbangsa. Melalui pendidikan kewirausahaan akan memberikan bekal kepada mahasiswa tentang berwirausaha. Apabila dalam diri mahasiswa sudah mulai tumbuh jiwa berwirausahanya, maka dengan sendirinya upaya pembentukan karakter akan berjalan. Pendidikan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yang pertama adalah instruksional effect dan yang kedua adalah natural effect. Intrukasional effect adalah yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan natural effect adalah berkaitan dengan sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku ini yang harus dikembangkan melalui pendidikan karakter. Pendidikan kewirausahaan di Perguruan Tinggi diberikan melalui mata kuliah kewirausaan yang merupakan media yang sesuai untuk membentuk karakter mahasiswa. Melalui mata kuliah kewirausahaan akan dapat dikembangkan karakter mahasiswa yang sesuai dengan budaya dan karakter bangsa yang terus dikembangkan,yaitu ; jujur, disiplin, kreatif dan inovatif, tanggungjawab, kerja keras, ulet, dan rasa peduli sosial. Apabila jiwa kewirausahaan sudah tertanam dalam diri mahasiswa, maka di dalam dirinya akan terbentuk rasa tanggung jawab yang tinggi. Karakter tanggung jawab itu akan muncul karena seorang yang mempunyai jiwa wirausaha pasti mempunyai jiwa kepemimpinan dan rasa percaya diri yang tinggi. Karakter kreatif dan inovatif juga akan terbentuk apabila mahasiswa mempunyai jiwa wirausaha, karena seorang wirausaha harus kreatif mengembangkan usaha yang ditekuninya agar dapat berkembang dan bersaing secara sehat. Seorang wirausahawan juga harus inovatif untuk menemukan ide-ide baru berkaitan dengan pengembangan usahanya. Karakter yang sangat penting dalam berwirausaha adalah disiplin dan jujur, karena tanpa karakter ini seorang wirausahawan akan sulit berkembang dan maju. Kejujuran dalam berbisnis apa saja adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan, banyak orang yang gagal dan hancur usaha bisnisnya karena mereka tidak jujur. Pengembangan karakter yang lain adalah kerja keras, seorang mahasiswa yang mempunyai jiwa kewirausahaan akan muncul di dalam dirinya tenaga dalam yang dapat menggerakkan jiwanya untuk memiliki keuletan, ketabahan, dan ketekunan dalam berusaha. Mereka tidak akan mudah menyerah menghadapai segala tantangan, mereka akan mempunyai semangat untuk selalu menyelesaikan apapun yang telah direncanakan. Budaya dan karakter peduli social juga akan dapat dikembangkan melalui mata kuliah kewirausahaan, karena seorang wirausahawan juga dituntut untuk selalu bersikap ramah dan komunikatif kapada siapapun terutama kepada konsumennya. D. KESIMPULAN Jiwa wirausaha diharapkan menjadi kerangka berpikir (mind set) generasi muda di tengah keterbatasan pemerintah dalam penyediaan lapangan kerja saat ini. Belajar kewirausahaan menekankan pembentukan cara berpikir. Para generasi muda yang sekarang sedang bersekolah atau kuliah kelak mempunyai cara pandang baru dan membawa perubahan dalam menghadapi suatu kehidupan, pengaturan 120 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret keuangan, dasar manajemen, hingga rencana bisnis. Pendidikan kewirausahaan juga tidak terbatas pada mata kuliah tertentu saja. Setiap mata mata kuliah pada dasarnya dapat diintegrasikan ke berbagai bidang lainnya. Setiap bidang kehidupan dapat dikombinasikan dengan kewirausahaan. Dengan demikian, peserta didik mempunyai banyak pilihan dan tidak sekadar menjadi pekerja. Oleh karena itu salah satu kebijakan pemerintah provinsi ke depan ialah menjadikan perguruan tinggi di Yogyakarta sebagai Ecoentrepreneurial Campus. Ecoentrepreneurial Campus adalah sebuah istilah untuk mengembangkan peluang pembangunan ecoentrepreneurial campus di Yogyakarta. Secara ideal, kampus harus menunjukkan keramahan lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana bersifat kewirausahaan. Mata kuliah kewirausahaan diberikan kepada mahasiswa untuk membelajarkan dan malatihkan jiwa kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan budaya dan karakter bangsa yang pada saat ini mendapat perhatian serius dunia pendidikan. Melalui mata kuliah kewirausahaan akan dapat dikembangkan budaya dan karakter; tanggung jawab, kerja keras, keuletan dan ketekunan, kreatif dan inovatif, disiplin, jujur, dan peduli sosial. DAFTAR PUSTAKA Azra,Asyumardi,2006.Paradigma Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta : Penerbit Buku Kompas. DP2M.Kemdiknas-Dikti.2011.Pedoman PMW.Jakarta: DP2M. Gordon, Stewart, 2008. Asia Menguasai Dunia, Jakarta :Ufuk Press. Haris, Iskandar, 2004. Potret Juragan dari SMK, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Depdiknas http://stibainvada.ac.id/kampus/index.php http://korantempo.com/korantempo/2007/12/08 http://widyagama.ac.id/r09/index.php? Jalal, Fasli (ed), 2001. Reformasi Pendidikan dalam KonteksYogyakarta : Adicita Karya Nusa. Kirshheimer, DW., 1989. Public Entrepreneurship and Sub-National Government, Polity, Nomor 22. Muhamad, Fadel, 1992. Industrialisasi dan Wiraswasta Menuju Masyarakat Belah Ketupat, Gramedia, Jakarta. ----------, 2007. Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah Daerah, Gadjah Mada University Press. Suyanto,M. 2007. Revolusi Strategis Mengubah Proses Bisnis untuk Meledak Perusahaan, andi Offset, Yogyakarta. ----------. 2004.Smart in Entrepreneur, Belajar dari pengusaha top Dunia, Andi Offset, Yogyakarta. Tata Sutabri, Peran Pendidikan Tinggi Dalam Memotivasi Sarjana Menjadi WirausahawanHttp://www.E-Net/Artikel/Artikel_Files/Wirausahawan.Doc. 121 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 122 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret STRATEGI PENGUATAN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA SEKOLAH Bambang Sumardjoko Ilmu Pendidikan FKIP UMS Jl. A. Yani, Tromol Pos 1, Pabelan, Kartasura, Surakarta 57102 Email: [email protected] ABSTRAK Globalisasi menjadikan masyarakat dunia semakin terhubungkan satu sama lain dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam perkembangannya, globalisasi telah menciptakan budaya baru yang bercirikan modern. Dalam konteks pendidikan, modernitas selama ini telah menjerumuskan dunia pendidikan ke dalam problem mekanik teknikalistik. Pendidikan pada akhirnya hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan sehingga membuat dunia persekolahan tak ubahnya seperti mesin yang hanya memproduksi lulusan, yang telah kehilangan sisi-sisi kemanusiaannya. Norma agama atau budaya nyaris tak mampu membendung informasi yang mendorong terjadinya dekadensi moral. Karena itulah diperlukan sebuah paradigma baru untuk kepentingan belajar dan mengajar, terutama untuk tujuan pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan adalah memanusiakan manusia dan pembentukan karakter bangsa. Untuk mencapai tujuan itu , maka proses pendidikan secara integratif seharusnya mengembangkan nalar rasional dan spiritual. Karena tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual.Dibutuhkan, model penguatankarakter yang mendasarkan padaketigakecerdasan tersebut. Penguatan karakter peserta didik menjadi tanggung jawab bersama para orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Pendidik adalah pemimpin pendidikan. Melalui kepemimpinannya mereka dapat melakukan peran dancara apa pun, ke peserta didik. Pendidik yang mampu menunjukkan sikap dan keteladanan terpuji akan menjadikan makin menguatnya karakter peserta didik. Budayasekolah yang kuatmampumenyatukantujuan, menciptakanmotivasi, komitmendanloyalitasseluruhanggota.Karenaitu pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dengan mensinergikanlingkungan keluarga, sosial budaya masyarakat, dan bangsa melalui peneladanan dan penciptaan lingkungan yang kondusif bagi penguatan moral dan karkater peserta didik, Kata kunci: kepemimpinan, budaya sekolah, dan penguatan karakter. A. PENDAHULUAN Saat ini, kita bangsa Indonesia berada di era globalisasi. Karena dukungan teknologi informasi dan transportasi maka di era globalisasi ini makin memudahkan manusia bergerak dan pergi ke mana pun tanpa batas, mengubah wajah dunia dan karakteristik lingkungan kehidupan. Begitu pesatnya perubahan yang terjadi akibat globalisasi maka hasilnya sering sulit 123 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret diprediksi. Menurut Drucker (dalam Heller, 2000: 21), perubahan yang begitu pesat dan mendasar, bahkan revolusioner itu disebut sebagai era turbulensi. Pada era ini manusia hidup dalam dunia yang saling berhubungan secara global, di mana fenomena biologis, fisik, sosial, budaya, dan lingkungan saling terjadi ketergantungan. Manusia tidak lagi bersifat antroposentrik tetapi manusia harus menghormati berbagai unsur lainnya dan tidak berhak mendominasi atau menguasai berbagai unsur lainnya yang ada. Dalam perkembangannya globalisasi melahirkan bentuk kapitalisme baru, bahkan dengan dukungan teknologi elektronika telah menciptakan budaya dunia yang baru. Di satu sisi budaya baru ini membawa kemajuan secara signifikan di berbagai bidang akan tetapi pada sisi lain budaya baru itu ternyata menjadi ancaman terhadap eksistensi berbagai bentuk warisan kebudayaan lokal yang selama ini menjadi jati diri bangsa. Globalisasi dunia dapat meleburkan semua identitas bangsa dan membangun tatanan dunia baru yang mengglobal. Dalam keadaan semacam itu, Jameson (1991) mengatakan ‘subjek telah mati‘ dan pada titik tertentu dapat menjadikan masyarakat mengalami keterasingan. Proses dehumanisasi sebagaimana di atas, oleh Kuntowijoyo (2006) digambarkan sebagai masyarakat kapitalis yang kehilangan sifat-sifat manusiawinya, dan kaum tertindas menjadi alat pembuat keuntungan semata. Para pekerja kehilangan jati diri, menjadi atom ekonomi dan bekerja sesuai dengan perintah dari manajemen yang serba atomistik. Begitu juga para manajer industri dapat kehilangan dirinya sendiri, karena seperti juga pekerja, semuanya menghadapi raksasa yang impersonal. Dalam konteks pendidikan, modernitas menjerumuskan dunia pendidikan ke dalam problem mekanik teknikalistik. Pendidikan pada akhirnya hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan sehingga membuat dunia persekolahan tak ubahnya seperti mesin yang hanya memproduksi lulusan, yang telah kehilangan sisi-sisi kemanusiaannya (Abdullah, 2008). Dalam bidang pendidikan, peluang dan ancaman yang ditimbulkan oleh integrasi global menurut Gardner (2004) bergerak melalui tiga saluran utama. Pertama, globalisasi memungkinkan peserta didik dan bangsa-bangsa untuk beroperasi lebih efektif dalam perekonomian global yang semakin kompetitif. Kedua, globalisasi menjadikan negara-negara lebih dekat sehingga diperlukan kemampuan komunikasi lintas nasional. Ketiga, globalisasi berpengaruh terhadap meningkatnya kecepatan perubahan pendidikan. Tantangan penting yang ditimbulkan oleh globalisasi bagi dunia pendidikan adalah ketegangan antara laju perubahan kelembagaan pendidikan dan cepatnya transformasi ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi. Kompleksitas globalisasi yang semakin meningkat sebagaimana di atas mengakibatkan perlunya sebuah paradigma baru untuk kepentingan belajar dan mengajar (Yoesoef, 2012). Penguasaan dan berbagai regulasi mekanik memberi jalan pada paradigma baru yang mampu memobilisasi individu menggunakan pengetahuan dan budaya secara fleksibel (Maksum, 2004). Karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu mempertimbangkan kemampuan masyarakat lokal dan nasional guna mendukung dan memvalidasi ‘pengetahuan dan budaya lokal‘ sebagai sebuah model pendidikan (Al-Shalabi, 2011). Kehidupan anak-anak yang tumbuh dewasa ini dibentuk oleh proses perekonomian dan budaya masyarakat global. Untuk itulah maka sistem pendidikan nasional secara ideal harus proaktif mempersiapkan pembentukan peserta didik agar mampu menghadapi tantangan baru globalisasi. 124 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah dengan sistem pendidikan nasional kita? Sudahkah sistem pendidikan nasional menghasilkan peserta didik berkarakter kuat? Atas pertanyaan tersebut maka sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa proses pendidikan dirasakan belum sepenuhnya berhasil membangun karakter manusia Indonesia seutuhnya. Tampaknya, masih terdapat kesenjangan antara materi yang diajarkan di kelas dengan praktik di tengah masyarakat. Banyak warga bangsa kita yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi, narkoba, tindak kriminal, dan perilaku negatif lainnya, yang notabene dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan. Keteladanan, kepemimpinan, dan dukungan lingkungan sosial budaya yang diharapkan datang dari pribadi dewasa, orang tua, guru, dan tokoh masyarakat dirasakan masih kurang. Bahkan, untuk masalah yang sederhana, yakni kejujuran, sekarang ini menjadi hal yang sangat langka. Memang harus diakui bahwa banyak faktor yang turut menentukan keberhasilan proses pendidikan peserta didik, yang di antaranya adalah faktor kepemimpinan dan budaya sekolah. Karena itu, pertanyaannya adalah bilakah kedua faktor tersebut dapat digunakan sebagai sebuah strategi untuk memberikan penguatan karakter peserta didik?Tulisan ini dimaksudkan memberikan penawaran, yakniadanya sebuah gagasan tentang pentingnya faktor kepemimpinan dan budaya sekolah sebagai sebuah strategi penguatan karakter peserta didik. Sistematika tulisan ini dimulai dari potret pendidikan di tanah air saat ini, kemudian tentang konsep pendidikan humanis sebagaimana diamanatkan undang-undang sisdiknas, dan diakhiri dengan sebuah strategi pendidikan yang sekiranya dapat memberikan penguatan karakter peserta didik yang sesuai dengan jati diri bangsa. B. POTRET PENDIDIKAN DEWASA INI Praktik pendidikan suatu bangsa tidak terlepas dari dan dengan orientasi pendidikan yang dianutnya. Menurut Zamroni (2001), dalam praktik pendidikan akan diketahui dasar-dasar apa yang digunakan untuk meramalkan kualitas yang dihasilkan pendidikan. Meski peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan terus dipacu dengan program rehabilitasi gedunggedung sekolah, penyempurnaan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan peningkatan kualitas guru dan dosen ternyata capaian pendidikan nasional masih di bawah negara-negara tetangga terdekat, seperti Malaysia dan Philipina. Menurut Human Development Index (HDI) 2011, di bidang pendidikan, Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 21 negara-negara di Asia Pasifik. Pendidikan berperan besar dalam pembangunan bangsa. Paradigma pendidikan ini sesuai dengan paradigma pendidikan fungsional yang beranggapan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat disebabkan oleh tidak dimilikinya ilmu pengetahuan, kemampuan, dan sikap modern. Karena itu, pendidikan harus berperan mengembangkan kompetensi individu, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Namun demikian, dalam praktiknya kedua paradigma tersebut melahirkan berbagai ekses negatif, yakni melahirkan pendidikan yang bersifat analitis-mekanistis dengan mendasarkan doktrin reduksionisme dan mekanistik, bahkan para pengambil kebijakan menjadikan pendidikan itu sebagai engine of growth, penggerak, dan sebagai lokomotif pembangunan. Paradigma modern di dunia pendidikan setidaknya telah mampu menghasilkan peserta didik yang cerdas, pandai, terampil, dan menguasai berbagai kompetensi. Hal ini bisa kita saksikan anak- 125 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret anak bangsa ini yang telah mampu meraih prestasi kejuaraan di berbagai ajang kompetisi ilmu pengetahuan dunia dengan nilai tertinggi. Namun, harus diakui bahwa pada sisi lain, kita menyaksikan berbagai hal di tanah air yang menunjukkan dekadensi moral dan karakter bangsa di kalangan peserta didik. Belum lagi, berbagai praktik korupsi para birokrat, kurangnya empati, dan pudarnya solidaritas di tengah masyarakat adalah sekian dari fenomena yang tampak di dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Banyaknya lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian dan berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya ternyata lemah. Banyaknya peserta didik yang hanya mengejar prestasi dengan budaya menerabas, cara-cara instan, dan makin maraknya plagiarisme. Mereka ini telah gagal dalam memahami dan menghargai makna dari sebuah proses karena mereka hanya berorientasi pada hasil akhir yang serba nyata dan kuantitatif. Dalam pada itu, di lingkungan masyarakat sering ditemukan bahwa sejak kecil anak-anak diajarkan menghapal tentang pentingnya sikap jujur, berani, kerja keras, disiplin, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Namun, pada kenyataannya sering kali nilai-nilai kebaikan itu hanya diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan hapalan sebagai bahan yang wajib dipelajari. Belum lagi, dalam masalah praktik Ujian Akhir Nasional (UAN). Ide atau gagasan penyelenggaraan UAN adalah baik. Namun, di lapangan ternyata banyak yang mencoba untuk menyiasati bagaimana agar siswanya bisa lulus semua. Dominasi ipteks dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenaran juga menyebabkan masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, dan krisis sosial. Manusia hanya sebagai alat dominasi terselubung dari imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Proses pendidikan yang hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Norma agama atau budaya nyaris tak mampu membendung informasi yang mendorong terjadinya dekadensi moral. Norma hukum dan peraturan perundangundangan mudah dibongkar-pasang, didekonstruksi, dan direkonstruksi sesuai dengan kepentingan tertentu. Menurut Nata (2003), kegagalan dunia pendidikan di Indonesia disebabkan oleh dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan, dan keterampilan, tanpa diimbangi dengan pembinaan kecerdasan emosional. Pendidikan hanya mengedepankan aspek keilmuan dan kecerdasan intelektual peserta didik. Adapun aspek moral dan etis sebagai basis pembentukan karakter dan budaya bangsa semakin kurang diperhatikan bahkan terpinggirkan. Rapuhnya karakter dan budaya dalam kehidupan suatu bangsa dapat membawa kemunduran dalam peradaban bangsa. Sebaliknya, kehidupan masyarakat yang memiliki karakter dan budaya kuat akan semakin memperkuat eksistensi suatu bangsa dan negara. Bangsa yang kuat pada hakikatnya merupakan representasi dari masyarakatnya yang berkarakter kokoh dan kuat. Inilah gambaran singkat tentang pendidikan kita dewasa ini. Deskripsi praktik pendidikan di atas bukanlah bermaksud menafikan hasil-hasil pendidikan tetapi semata-mata hasil persepsi dan pengamatan terhadap praktik pendidikan di tengah masyarakat sekarang ini. Berhubung filosofi pendidikan secara makro dan hendak ke mana pendidikan nasional diarahkan sering tampak tidak jelas maka dalam membenahi masalah-masalah pendidikan, para pemegang kebijakan pendidikan cenderung hanya melakukan tambal-sulam dan memenuhi selera kepentingan politik. Karena itulah, reformasi paradigma pendidikan agar 126 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tercipta pendidikan yang humanis dan memberdayakan sebagaimana diamanatkan undang-undang sistem pendidikan nasional perlu secara terus-menerus ditingkatkan. C. PENDIDIKAN YANG HUMANIS 1. Pendidikan dan Pemanusiaan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, bab I menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Azra (2002), pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Melalui kegiatan pendidikan dan pembelajaran, peserta didik diharapkan mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas, dan matang. Dengan demikian, pendidikan pada hakikatnya merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri peserta didik. Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Menurut Drost (1998) pendidikan seharusnya diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Pemahaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar pendidikan akan menempatkan harkat dan martabat kemanusiaan tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi terintegratif antara nalar rasional dan spiritual. Dalam konteks seperti ini menjadi penting bila pengembangan kemampuan peserta didik diarahkan pada tiga ranah dasar pembelajaran, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (Bloom, 1995). Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan output pendidikan yang tidak seimbang. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik sehingga potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Nilai dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal, menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan (Tonny, 2004). Tujuan belajar humanis pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Karena itu, proses belajar dianggap berhasil jika peserta didik mampu memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Tugas pendidik adalah membantu peserta didik mengembangkan diri, yaitu membantu masing-masing peserta didik untuk mengenal diri sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Melalui pendidikan pemanusiaan akan membuka area terbuka peserta didik agar tumbuh percaya diri dan lebih mengenal dirinya melalui proses memberi dan menerima informasi tentang diri mereka dan orang lain. Pendidikan pada dasarnya bertujuan agar peserta didik dapat mengembangkan kebebasannya untuk dapat mengambil sikap dengan benar. Suasana kebebasan perlu diciptakan agar peserta didik dapat mengekspresikan diri dan mampu berkreativitas. Pendidikan perlu memperluas horizon kognitif dan seiring dengan hal itu juga mengembangkan kesadaran moral. Dalam pendidikan peserta didik merupakan subjek, bersama dengan pendidik yang juga subjek menggeluti objek. Keduanya bersama-sama memecahkan persoalan yang dihadapi. Karena itu, pendidik lebih berfungsi sebagai fasilitator dan bersama dengan peserta didik menemukan kebenaran. Peran guru menjadi fasilitator sekaligus motivator kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan 127 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Peserta didik berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sehingga mampu mengembangkan potensi dirinya secara positif. Pendidikan berperan dalam membentuk karakter bangsa. Menurut Nuh (2012), peran dunia pendidikan menjadi penting dalam membangun peradaban bangsa yang didasarkan jati diri dan karakter bangsa. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri tiap individu untuk hidup bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung-jawabkan akibat dari keputusannya. Koesoema (2007) menjelaskan bahwa karakter itu sama dengan kepribadian, yakni sebagai ‖ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan dan juga bawaan seseorang sejak lahir‖, sedang karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Karakter menggambarkan kualitas moral seseorang yang tercermin dari segala tingkah lakunya yang mengandung unsur keberanian, ketabahan, kejujuran, dan kesetiaan, atau perilaku dan kebiasaan yang baik. Karakter ini dapat berubah akibat lingkungan. Karena itu, perlu usaha membangun karakter dan menjaganya agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang menyesatkan. Manusia merupakan makhluk budaya yang hanya dapat menyempurnakan dirinya dengan cara membudaya dan pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh aktivitas budaya, yakni budaya yang didasarkan nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia. 2. Pancasila sebagai Nilai-nilai Kemanusiaan Nilai-nilai kemanusiaan yang telah disepakati bangsa Indonesia adalah nilainilai dasar yang dirumuskan dalam Pancasila. Pancasila memiliki sifat-sifat humanistik dan universalistik (Notonagoro, 1980). Dikatakan humanistik, karena Pancasila memuat nilai-nilai kemanusiaan dan universalistik karena nilai-nilai itu bersifat mendasar sehingga dapat berlaku bagi setiap orang. Karena itu pula, pendidikan nasional harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila. Pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan Pancasila memiliki lima ciri, yaitu hormat terhadap keyakinan religius setiap orang, hormat terhadap martabat manusia dan hakhak asasi, berwawasan kebangsaan, demokratis, serta menjunjung dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan mengajarkan peserta didik saling menghormati keyakinan religius masing-masing. Manusia dihormati karena manusia adalah ciptaan Allah yang tertinggi di antara ciptaan-Nya di dunia. Pendidikan yang manusiawi adalah pendidikan yang mendasarkan diri pada penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya yang mengalir darinya. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat, yang memiliki akal budi, kehendak, dan kebebasan. Pendidikan menyiapkan warga negara menjadi partisipan aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Di dalam paham kebangsaan terkandung kesadaran akan kesatuan sosial baru yang disebut bangsa, yang lingkupnya mengatasi kesatuan primordial yang lebih sempit yang didasarkan kesamaan agama, suku, budaya, dan bahasa. Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan apa itu makna demokrasi, tetapi konsepsi pendidikan itu sendiri harus demokratis. Demokrasi adalah suatu proses 128 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yang mengimplikasikan beberapa prinsip politik modern, yaitu kedaulatan rakyat, partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial, toleransi terhadap kemajemukan, persamaan kewarganegaraan, dan pembatasan ruang lingkup politik. Karena itu, pendidikan pada akhirnya harus merupakan pendidikan bagi keadilan sekaligus menjadi perwujudan keadilan sosial. Manusia hanya dapat hidup layak sebagai manusia jika hak-haknya yang fundamental terpenuhi atau keadilan sosial tercapai. 3. Pendidikan sebagai Pemberdayaan Pendidikan yang memanusiakan pada hakikatnya merupakan pendidikan yang memberdayakan. Pemberdayaan sebagai istilah dalam literatur pendidikan menurut Jarvis (1990) diartikan sebagai "memperlengkapi dan meningkatkan kepercayaan individu sehingga mereka dapat menjadi pelajar yang lebih sukses". Selanjutnya, Perkins dan Zimmerman (1995) menjelaskan pemberdayaan sebagai proses yang di dalamnya orang mendapatkan kontrol atas hidup mereka, partisipasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan, upaya untuk mendapatkan akses ke sumber daya, dan beberapa pemahaman kritis terhadap lingkungan sosial politik. Kreisberg (1992) mendefinisikan bahwa dengan pemberdayaan memungkinkan orang atau kelompok mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Pemberdayaan peserta didik merupakan pusat menyuarakan pendapat peserta didik untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikan. Melalui aliran kontruktivisme misalnya, peserta didik akan belajar literatur dan memberikan kontribusi dalam diskusi kelas sehingga mereka memperoleh rasa percaya diri. Pembelajaran ini akan membantu peserta didik tidak hanya mempelajari materi tetapi juga menjadi orang sukses, percaya diri maupun mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan negara mereka. Paradigma belajar yang berpusat pada kebutuhan peserta didik merupakan prasyarat untuk membuat kemajuan dan mengembangkan Negara (Aldrich, 2009). Mengajar dengan berpusat pada pelajar akan menempatkan penekanan pada orang yang melakukan pembelajaran, ada pergeseran dari arti ‗mengetahui‘. Stein (2000) berpendapat pemberdayaan merupakan sebuah konsep ‗dari mampu untuk mengingat dan mengulang informasi menjadi mampu menemukan dan menggunakan‘. Pendidikan sebagai pemberdayaan memungkinkan para peserta didik dapat mengekspresikan pendapatnya dengan cara yang lebih percaya diri (Wiggins, 2004). Kesediaan guru mendengarkan pendapat peserta didik adalah perilaku yang sangat signifikan karena berbagai alasan. Pertama, menunjukkan bahwa guru peduli pada peserta didik. Kedua, guru memberi kesempatan pada peserta didik untuk membuat pernyataan tentang topik yang dibahas. Ketiga, kesediaan itu menunjukkan kemauan guru dan kesiapan untuk membantu peserta didik mendapatkan kembali kepercayaan diri. Keempat, perilaku ini menunjukkan bahwa guru menginginkan para peserta didiknya sukses. Kelima, guru yang mendengarkan peserta didik memberikan indikasi bahwa mereka menghormati setiap titik pandang peserta didik. Dilihat dari perspektif yang berbeda, peserta didik menyuarakan pendapat berarti peserta didik itu telah diberdayakan (memiliki power), karena mereka mampu melakukan sesuatu, yakni membuat pernyataan, memberikan kontribusi untuk diskusi sehingga peserta didik menjadi lebih baik. Menurut Kabeer (1994), power berarti ‗kekuasaan terhadap‘ atau ‗dominasi terhadap‘. Power ini merupakan daya kekuatan, yang terbagi meliputi power to, 129 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yaitu daya kekuatan untuk berbuat; powerwith, yaitu daya kekuatan untuk membangun kerjasama, dan power-within, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia. Dengan demikian, pendidikan sebagai pemberdayaan berarti membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan bagi peserta didik. Pengembangan ketiga daya kemampuan dalam pemberdayaan memungkinkan peserta didik mampu menghadapi berbagai perubahan yang terjadi tanpa terseret ke dalam arus konformisme. Perubahan yang cepat di berbagai bidang akan menghadapkan manusia kepada berbagai pilihan baru, seperti: ideologi, sikap, gaya hidup, sistem nilai, keyakinan, dan Iain-lain. Karena itu, intervensi pendidikan menjadi sangat penting. Pemberdayaan akan menjadikan peserta didik untuk berani mengambil sikap secara kritis. Pendidikan bertujuan membantu peserta didik untuk siap menghadapi perubahan dan beradaptasi dengan perubahan. Salah satu strategi untuk menciptakan pendidikan yang memberdayakan peserta didik dapat dilakukan melalui keteladanan dan penciptaan lingkungan sosial budaya yang kondusif sehingga memungkinkan peserta didik dapat belajar secara aman dan nyaman. D. KEPEMIMPINAN, BUDAYA SEKOLAH, DAN PENGUATAN KARAKTER 1. Kepemimpinan dalam Pendidikan Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mewujudkan tujuan organisasi. Setiap kegiatan manajemen apa pun, termasuk dalam pengelolaan pendidikan, selalu ada individu yang memimpin, merencanakan, mengorganisasikan, dan mengendalikan. Pemimpin menurut Drucker (dalam Moeljono, 2009) adalah individu yang ―make things happen‖, ia adalah yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri. Proses pendidikan di mana pun akan melibatkan seluruh komponen di dalamnya, mulai dari pucuk pimpinan hingga bawahan, yang kesemuanya itu tidak terlepas dengan kepemimpinan. Kepemimpinan pendidikan merupakan faktor potensial dalam meningkatkan kinerja seluruh komponen pendidikan. Dalam penelitian penulis tentang kontribusi kepemimpinan terhadap peran dosen diperoleh angka sebesar 28,09% dengan arah positif (Sumardjoko, 2010). Perubahan yang terjadi pada peran dosen disebabkan oleh adanya perubahan pada kepemimpinan. Temuan ini menjadi bukti bahwa semakin baik praktik kepemimpinan pendidikan semakin baik pula kinerja pendidikan. Temuan itu sejalan dengan penelitian Wiradinata (2004), bahwa kinerja pendidikan yang berwujud prestasi akademik dipengaruhi secara langsung, positif, dan nyata oleh kompetensi individu, kreativitas pimpinan, faktor lingkungan, serta semakin kuat dengan dukungan profil kepemimpinan. Salah satu langkah penting dalam mengimplementasikan manajemen mutu pendidikan adalah kepemimpinan. Semua model kualitas menekankan bahwa tanpa dorongan dari pimpinan senior, maka inisiatif kualitas tidak akan berlangsung lama. Para pimpinan pendidikan perlu menunjukkan komitmen yang kuat dan terus-menerus dan memimpin sambil mendorong para staf, tenaga, dan bawahan untuk melakukan usaha secara serius dalam rangka mewujudkan mutu pendidikan (Sallis, 2008). Pendapat ini sejalan dengan Yukl (2009), bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima atau unggul. Ini berarti bahwa kepemimpinan memberikan 130 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kontribusi yang cukup berarti terhadap mutu pendidikan. Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang penting dan proses pendidikan pada hakikatnya merupakan proses manajemen. Dalam pada itu, pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia. Pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya dan berkarakter kuat, yakni peserta didik yang bermoral, berwatak, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, ada keterkaitan antara kepemimpinan dan pembentukan karakter peserta didik karena faktor kepemimpinan merupakan salah satu komponen utama dalam penguatan karakter peserta didik. Dari sepuluh indikator kepemimpinan, indikator konseptualisasi menunjukkan nilai paling tinggi (Sumardjoko, 2010). Ini dapat dimaknai bahwa setiap pimpinan pendidikan pada jenjang apapun dalam menjalankan fungsi kepemimpinan terutama dalam pembentukan karakter peserta didik senantiasa berpikir visioner dan konsepsional. Pemimpin atau pendidik dalam konteks pendidikan formal adalah guru, sedang dalam konteks pendidikan informal adalah orang tua, dan dalam konteks pendidikan non formal adalah tokoh masyarakat. Pendidik adalah pemimpin pendidikan. Melalui kepemimpinannya mereka dapat melakukan peran dan cara apa pun, termasuk dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai ke peserta didik. Melalui proses sosialisasi, peserta didik akan belajar tentang sikap dan perilaku yang relevan dengan lingkungan sosial budaya dari orang tua, guru, teman sebaya, dan tokoh masyarakat. Pendidik yang mampu menunjukkan sikap dan keteladanan terpuji akan menjadikan makin menguatnya karakter peserta didik. Melalui interaksi sosial, peserta didik akan memahami nilainilai, aturan, dan peran yang sejalan dengan lingkungan sosial budayanya. Tugas pendidik dalam konteks ini adalah membantu mengkondisikan peserta didik pada sikap, perilaku, atau kepribadian yang benar agar peserta didik mampu menjadi agents of change bagi diri sendiri, lingkungan, masyarakat, dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras, dan golongan. 2. Budaya Sekolah Keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran berkaitan dengan budaya organisasi atau dalam hal ini adalah budaya sekolah. Kekuatan dan potensi yang dimiliki sekolah untuk melakukan koordinasi dan kontrol terhadap perilaku anggotanya disebut sebagai budaya sekolah. Salah satu fungsi budaya sekolah adalah sumber penggerak dan pola perilaku siswa. Budaya sekolah pada dasarnya berperan sebagai alat untuk melakukan integrasi internal. Jika peran ini bisa berfungsi dengan baik dan diikuti penyusunan strategi yang tepat, kinerja sekolah akan meningkat. Dari hasil penelitian penulis tentang kontribusi budaya organisasi terhadap peran dosen ditemukan angka koefisien 50,41% dengan arah positif (Sumardjoko, 2010). Budaya organisasi menunjukkan kontribusi yang besar terhadap proses pendidikan. Hal Ini mengindikasikan bahwa semakin baik budaya sekolah semakin baik pula penyelenggaraan pendidikan. Penelitian Sarwoko (2007)menunjukkan bahwa faktor individu, budaya organisasi, dan perilaku kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Variabel yang dominan berpengaruh terhadap kinerja adalah budaya organisasi. Dominasi budaya organisasi ini bisa terjadi karena dalam budaya organisasi akan memadukan perbedaan individu dalam satu nilai atau norma yang dianut bersama oleh anggota, dan mengarahkan perilaku anggota pada satu tujuan, yaitu pencapaian tujuan organisasi. 131 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Menurut Sastrapratedja (2001), budaya adalah perilaku atau gaya suatu organisasi, yang melalui proses sosialisasi diikuti anggotanya. Cunningham dan Gresso (dalam Sastrapratedja, 2001) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat berubah jika diawali pengembangan visi dan misi, ditumbuhkan etos kerja yang meliputi: pembentukan tim, hubungan kolegial, kepercayaan dan dukungan, kepentingan bersama, akses pada informasi, dan pertumbuhan sepanjang hidup. Karena itu, budaya sekolah pada hakikatnya merupakan segenap perilaku atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah. Kotter dan Heskett (1992) menyebutkan salah satu tipe budaya organisasi adalah budaya kuat dan budaya lemah. Nilai-nilai, norma-norma, dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Budaya organisasi dapat dibentuk oleh beberapa indikator dan indikator kompetetif menunjukkan nilai paling tinggi (Sumardjoko, 2010). Ini berarti, budaya kompetisi berprestasi di lingkungan sekolah perlu terus-menerus diciptakan dalam membangun karakter peserta didik. Budaya sekolah yang kuat merupakan salah faktor yang dapat menyatukan tujuan, menciptakan motivasi, komitmen dan loyalitas seluruh anggota, serta memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal. Dengan kata lain, budaya sekolah yang kuat dapat meningkatkan motivasi dan inovasi segenap komponen sekolah sehingga berdampak pada makin meningkatnya kualitas guru dalam praktik pembelajaran (Angela, 2009). Pemberdayaan budaya sekolah merupakan komponen penting dalam penguatan karakter peserta didik. Agar dapat membangun aksesibilitas pelajaran ke arah yang lebih baik, hendaknya dapat menguji dimensi pendidikan multikultural yang berhubungan dengan budaya sekolah dan struktur sosial. Beberapa variabel yang menjadi perhatian adalah praktik-praktik kelompok, iklim sosial, praktik asesmen, partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan harapan serta respon guru dan pegawai terhadap keberagaman. Ini berarti, sekolah pada hakikatnya merupakan motor penggerak di dalam perubahan budaya sekolah dan struktur sosial. Mengingat pentingnya fungsi budaya sekolah maka menjadi relevan apabila penguatan karakter peserta didik memperhatikan budaya sekolah (Tilaar, 2000). Asumsi utama dari lingkungan sosiokultural ini adalah (1) belajar dan perkembangan kognitif bergantung kepada partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan pengaturan lingkungan yang kondusif sehingga memotivasi peserta didik untuk belajar; (2) belajar dan proses pembelajaran sebagian besar diselenggarakan oleh budaya, dan (3) anggota komunitas budaya yang lebih berpengalaman memiliki peran penting dalam menentukan sifat dan partisipasi anak dalam belajar. Proses sosial yang terjadi di sekolah dan dari pengalaman sehari-hari akan memberikan kesempatan untuk belajar dan melatih kemampuan kognitif. Proses sosial yang berbeda menawarkan kesempatan untuk belajar yang berbeda. Melalui proses sosial peserta didik mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang berguna dan dihargai oleh budaya. 3. Strategi Penguatan Karakter Peserta Didik Pembentukan karakter peserta didik dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui 132 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral, dan budi pekerti peserta didik sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi dasar pijakan utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab memberikan dasar-dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Dengan kata lain, tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan pribadi manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Komponen esensial kepribadian manusia adalah nilai (value) dan kebajikan (virtues). Karena itu, komponen itu harus menjadi dasar pengembangan kehidupan manusia yang memiliki peradaban, kebaikan, dan kebahagiaan, baik secara individual maupun sosial. Pendidikan yang menanamkan orientasi dasarnya pada kodrat manusia akan menghasilkan manusia terdidik (Suparlan, 2006). Secara keilmuan terdapat tiga penggolongan bidang kefilsafatan, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dalam kehidupan manusia, ketiga aspek tersebut terperinci menjadi hakikat asal mula, hakikat keberadaan, dan hakikat tujuan manusia. Karena itu, dengan melaksanakan pendidikan menurut hakikat asal-mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan diharapkan dapat menghasilkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional peserta didik (Ginanjar, 2001). Dalam konteks agama, ketiga potensi kecerdasan itu menyiratkan adanya potensi moral syukur, sabar, dan ikhlas. Moral bersyukur pada hakikatnya merupakan buah dari analisis perenungan yang mendalam tentang hakikat asal-mula manusia. Kebanyakan manusia dapat mengidentifikasi waktu dan tempat lahir secara fisis, tetapi tidak satu pun pikiran dan pengalaman manusia yang menjelaskan asal-mula kehidupan secara rinci dan jelas. Tuhan, misalnya merupakan kausa prima, tetapi tidak satu pun pikiran dan pengalaman manusia mampu menjelaskan secara rinci mengenai diri Tuhan. Fakta seperti inilah yang mendorong suatu keyakinan dan memunculkan moral bersyukur. Tidak ada sikap menentang, memprotes, atau menuntut, kecuali harus mensyukuri nikmat yang dirasakannya. "Bersyukurlah kepada Allah dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS.Luqman/31: 12). Dalam perkembangan selanjutnya manusia akan berusaha menjaga keberadaan dirinya. Moral bersabar pada hakikatnya merupakan hasil dari perenungan secara mendalam terhadap eksistensi kehidupan. Kehidupan ini dipenuhi dengan keadaan serba labil, sarat dengan perubahan, dan kondisi yang tidak pasti. Kehidupan di alam dunia ini penuh tantangan dan ujian, tetapi setiap manusia wajib mengatasinya. “Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah” (QS, 31:17). Karena itulah, diperlukan moral kesabaran untuk berbuat secara tekun dan hati-hati dalam menjaga keberadaannya. Akhirnya, dari hasil analisis perenungan tentang tujuan hidup manusia akan dihasilkan moral berikhlas. Dalam AlQuran dinyatakan “...yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” 133 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret (QS, 67: 2). Hasil perenungan tentang tujuan hidup sama dengan ketika kita merenungi asal-mula kehidupan, yakni pikiran hanya mengetahui bahwa tujuan kehidupan itu ada, berhakikat satu, dan bersifat mutlak. Seperti halnya hakikat asalmula yang bersifat misterius, hakikat tujuan hidup ini pun misterius. Apa yang akan terjadi pada esok hari, kita belum tentu mengetahuinya. Fakta misteri masa datang dan tujuan hidup inilah yang mendorong manusia harus menanamkan moral ikhlas. Penguatan karakter peserta didik tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan tetapi dengan penuh kesadaran. Cara pemaksaan tidak sesuai dengan hakikat yang paling mendasar dari pendidikan. Menurut Dewantara (2004), pendidikan tidak boleh dimaknai dengan ‘pemaksaan‘ tetapi lebih tepat dengan ‗panggulawentah‘ atau sistem ‗momong, among, dan ngemong‘. Sistem ini merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan asih, asah, dan asuh. Ini berarti, pendidikan bersendikan dua hal, pertama, pada kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kedua, pada kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin peserta didik sehingga dapat hidup mandiri. Berdasarkan kajian potensi moral dan esensi pendidikan di atas maka praktik pendidikan yang berakar pada kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional perlu dilakukan secara sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penanaman moral bersyukur, moral bersabar, dan moral berikhlas harus dilakukan oleh penanggung jawab pendidikan tersebut. Melalui keteladanan dan dukungan lingkungan sosial budaya para pemimpin pendidikan memberikan penguatan karakter peserta didik dengan penuh kesadaran dan bukan pemaksaan. Dalam dunia pendidikan, pemimpin adalah yang membimbing, mengarahkan, dan menjadi fasilitator bagi keberhasilan tujuan pendidikan. 4. Strategi Pembudayaan Nilai-nilai Pendidikan Penguatan karakter peserta didik menjadi tanggung jawab bersama para orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Pendidikan adalah pembudayaan nilai. Ini berarti setiap penanggung jawab pendidikan harus melakukan pembudayaan dengan berbagai strategi. Strategi pembudayaan ini menyangkut pelestarian, pembiasaan, dan pemantapan nilai-nilai luhur bangsa. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan role model, penghargaan, pengidolaan, fasilitasi, hadiah, dan hukuman. Karena itu, penguatan karakter peserta didik dapat dilaksanakan, baik melalui pembudayaan di ranah pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Pembudayaan pada pendidikan formal, yakni sekolah. Di lingkungan sekolah guru mempunyai peran yang sangat strategis jika ditinjau dari pembinaan akademik dan peserta didik. Guru memiliki peran yang menentukan bagi terbentuknya penguatan karakter peserta didik yang sesuai dengan jati diri bangsa. Guru berada di garda terdepan dalam menunjukkan sikap terpuji bagi peserta didiknya. Guru, ―digugu lan ditiru‖. Karena itu, dalam kondisi dan situasi apa pun, guru harus memberi contoh berperilaku sebagai bentuk cerminan dari manusia Indonesia yang berkarakter. Tidak hanya ditunjukkan dalam pembelajaran di kelas, tetapi juga di setiap terjadi interaksi dengan peserta didiknya, kapan pun dan di mana pun. Guru profesional menetapkan apa yang terbaik untuk peserta didiknya berdasarkan pertimbangan profesionalnya. Guru yang diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik harus mau dan mampu mengubah strategi pembelajarannya. Berbagai strategi pembelajaran yang dapat dilakukan guru di 134 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret antaranya adalah pertama, memulai dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat. Kedua, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik. Ketiga, mengubah citra hubungan guru dan siswa yang bersifat konfrontatif ke hubungan kemitraan. Keempat mengubah orientasi dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai. Kelima mengubah orientasi dari pola konvensional menuju pola pendekatan teknologi informasi dan budaya, dan keenam, dari penampilan tenaga pengajar yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja. Guru profesional mampu menunjukkan kompetensi dalam mendorong dan mengembangkan pemenuhan seluruh kebutuhan peserta didik berdasarkan potensi yang dimilikinya (Sumardjoko, 2011). Guna menjalankan misinya, guru harus benarbenar memahami kognisi dan berbagai cara dalam belajar. Guru memahami perkembangan siswa dan berbagai konsep paedagogi sebaik mereka menguasai materi pembelajaran dan penilaian yang digunakannya untuk mengukur hasil belajar. Dengan demikian, guru mampu menempatkan berbagai substansi perbedaan pengalaman belajar, perbedaan bahasa dan budaya, gaya belajar, talenta, dan intelegensi sebagai dasar dalam melaksanakan berbagai strategi pembelajaran yang dipilihnya. Di sinilah budaya sekolah menjadi penting karena melalui budaya sekolah yang mantap seluruh aktivitas pembelajaran dapat berjalan maksimal. Ini berarti, budaya sekolah memberikan dukungan bagi terciptanya karakter peserta didik. Budaya sekolah yang perlu diciptakan teramat banyak jumlahnya. Dari sekian banyak itu dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, di antaranya adalah memberikan contoh, pembiasaan (pakulinan), pengajaran (wulang-wuruk), perintah (paksaan dan hukuman), disiplin (laku), serta pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngroso). Penciptaan strategi budaya sebagaimana dimaksud dapat mempercepat penguatan karakter peserta didik. Pembudayaan di lingkungan pendidikan informal, yakni keluarga. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi peserta didik. Pendidikan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana. Dalam arti budaya, pendidikan adalah proses sosialisasi dan enkulturasi secara berkelanjutan sehingga peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, tangguh, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli lingkungan, dan sebagainya. Pentingnya peran orang tua dalam membentuk karakter dan kepribadian anak, salah satunya dengan mengajarkan cara berbahasa dalam pergaulan sehari-hari kepada anak dan pembiasaan-pembiasaan lainnya sesuai dengan lingkungan atau budaya masing-masing. Keluarga berperan sebagai pranata yang memberikan keyakinan agama, memberikan nilai-nilai moral dan budaya, memberikan teladan, dan memberikan keterampilan dasar. Akhirnya, pembudayaan nilai di lingkungan pendidikan nonformal berada di masyarakat. Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan abstraksi perilaku manusia. Perilaku manusia dapat dibedakan dengan kepribadiannya karena kepribadian merupakan latar belakang perilaku yang ada dalam diri manusia.Masyarakat bersifat dinamis sehingga nilai-nilai dan norma luhur yang ada sebelumnya, pada saatnya akan mengalami gesekan-gesekan dengan nilai-nilai baru. Pada tahap inilah diperlukan sebuah internalisasi nilai yang kuat, yang perlu dibangun dan dilaksanakan sejak dini agar masyarakat maupun orang-orang 135 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sebagai entitas di dalamnya mampu memfilter berbagai dampak yang muncul sehingga tidak akan kehilangan identitas dan jati dirinya. Ini berarti, masyarakat memiliki peran penting dalam pembudayaan sikap dan karakter peserta didik. Karena peserta didik hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, pengembangan karakter peserta didik hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Maksudnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Pada masyarakat yang budayanya kuat dan karakternya hebat berarti telah ada pribadi yang kuat budaya dan hebat karakternya. E. PENUTUP Globalisasi yang didukung teknologi elektronika telah menciptakan budaya baru. Di satu sisi, budaya baru membawa kemajuan tetapi pada sisi lain menjadi ancaman terhadap eksistensi berbagai kebudayaan yang selama ini menjadi jati diri bangsa. Banyak peluang dan ancaman yang ditimbulkan oleh integrasi global dalam bidang pendidikan. Beberapa di antaranya adalah memungkinkan peserta didik untuk aktif terlibat dalam percaturan global, kemampuan berkomunikasi pada lintas nasional, dan meningkatnya kecepatan perubahan pendidikan. Pembentukan karakter peserta didik dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Berdasarkan kajian potensi itu model pendidikan karakter perlu mendasarkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional. Penguatan karakter peserta didik menjadi tanggung jawab bersama para orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Ini berarti, strategi penguatan karakter peserta didik dapat dilaksanakan secara sinergis, baik di lingkungan pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Kepemimpinan dan budaya sekolah merupakan faktor dari sekian banyak faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan. Dalam kondisi krisis moral seperti saat ini,maka kepemimpinan dan lingkungan sosial budaya yang kondusif bagi terciptanyausaha pembudayaan sangatlah diperlukan. Inilah saat yang tepat bagi para ‗pemimpin‘, yakni: para guru, orang tua, dan tokoh masyarakat menjadi teladan dan ideal tipe pembudayaan karakter bangsa bagi peserta didik dan masyarakatnya. 136 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. (2008). ―Mempertautkan Ulum Al-diin, Al-fikr Al-islamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global‖. Makalah. Disampaikan pada Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Integrasi-Interkoneksi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tanggal 19 Desember 2008. Aldrich, B.A., et.al. (2009). ‖Teaching Approach, Perceived Parental Involvement and Autonomy as Predictors of Achievement‖ in The International Journal of Research and Review. Volume 1. Hal.57. Al-Shalabi. (2011). ―Empowering Learners: Teaching American Literature by Shifting the Focus from the Instruction Paradigm to the Learning Paradigm‖. in International Journal of Humanities and Social Science Vol.1 No. 9 (Special Issue – July 2011). Angela (Chi-Ming Lee). 2009. ―The planning, implementation and evaluation of a character-based school culture project in Taiwan‖. In Journal of Moral Education. National Taiwan Normal University, Taiwan. Vol. 38, No. 2, June 2009, pp. 165– 184 Azra, A. (2002). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Bloom, B.S. et.al. (1995). Taxconomy of Educational Objectives: Book I, Cognitive Domain. London: Longman, Inc. Depdiknas RI. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Biro hukum dan Organisasi Sekjen Depdiknas. Dewantara, K.H. (2004). Bagian Pertama: Pendidikan. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Drost, S.J. (1998). Sekolah: Mengajar atau Mendidik?. Yogyakarta: Kanisius. Gardner, H. (2004). How Education Changes: Considerations of History, Science, and Values. (Edited) Marcelo M.Suarez-Orozco and Desiree Baolian Qin-Hilliar. Berkely. Los Angeles. London: University of California. Ginanjar A.Ary. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi & Spiritual. ESQ. Jakarta: Arga Tilanta. Heller, R. (2000). Business Masterminds Peter Drucker. Alih Bahasa Puji A.L. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Jameson, F. (1991). Postmodernism or the Cultural Logic of Late Capitalism. Durham, NC: Duke University Press. Jarvis, P. (1990). Professional Education. London, Canberra: Crown Helm. 137 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Kabeer, Naila. (1994). Reversed Realities. Gender Hierarchies in Development Thought. London: Verso. Koesoema A. Doni. (2010). Pendidikan Karakter, Jakarta: Kompas Gramedia. Kotter,J.P. & Heskett, J.L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press. Kreisberg, S.(1992). Transforming Power: Domination, Empowerment, and Education. Albany. New York: State University of New York Press. Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Maksum, Ali. & Yunan R.L. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern. Yogyakarta: IRCiSoD. Moeljono. (2009). More About Beyond Leadership. Dua Belas Konsep Kepemimpinan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Nata, A. (2003). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Notonagoro. (1980). Pancasila Dasar Falsafah, Jakarta: Pancuran Tujuh. Nuh, Mohammad. (2012). Sambutan Mendikbud para Peringatan Hardiknas, 2 Mei 2012. Jakarta: Kemendikbud. Perkins, D. & Zimmerman, M. (1995). ―Empowerment Theory, Research, and Application‖. American Journal of Community Psychology. No. 23:569-580. Sallis, E. (2008). Total Quality Management in Education, Manajemen Mutu Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD. Sarwoko, E. (2007). ―Peranan Faktor Individu, Budaya Organisasi, dan Perilaku Kerjaterhadap Kinerja Karyawan Radio Swasta Nasionaldi Malang”. Jurnal penelitian. Fakultas Ekonomi Universitas Kanjuruhan Malang. Sastrapratedja. (2001). Pendidikan sebagai Humanisasi. Yogyakarta: Univ.Sanata Dharma. Stein, S. (2000). ―Equipped for the Future Content Standards: What Adults Need to Know and Be Able to Do in the 21st Century‖. National Institute for Literacy. Sumardjoko, Bambang. (2011). ―Model Penguatan Guru Bersertifikasi melalui Pemaknaan Profesionalisme (Penelitian pada Guru-guru SMA Negeri di Sukoharjo Jateng)‖. Penelitian Reguler Kompetetif (Perekom). LPPM Universitas Muhammadiyah Surakarta. 138 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret ______. (2010). ―Peran Dosen dalam Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi (Studi pada Dosen PTS se-eks Karesidenan Surakarta)‖. Disertasi Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Suparlan S. (2006). Filsafat pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz. Tilaar, HAR. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tonny D. Widiastono (editor). (2004). Pendidikan Manusia Seutuhnya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Wiggins, H. (2004). A Learner-Centered and Participatory Approach to Teaching Community. San Francisco: Jossey-Bass. Yoesoef, Daoed. (2012). ‖Perlu Paradigma Baru dalam Pendidikan Bangsa‖. Dalam harian Kompas, hal 12. Edisi: 12 April 2012. Yukl, G. (2009). Kepemimpinan dalam Organisasi. Edisi 5. Alih Bahasa: Budi Suprianto. Jakarta: Indeks. Zamroni. (2001). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. 139 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 140 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DEKONSTRUKSI PENDIDIKAN SEKOLAH YANG ANTIREALITAS Musa Pelu ............................. ABSTRAK Berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini yang tercermin dari realitas kehidupan masyarakat saat ini, tidak bisa dilepaskan dari praktik pendidikan sekolah kita yang antirealitas. Sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja, tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Pada tahap ini harus dipahami bahwa realitas yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis, dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat sementara, sebab realitas yang dikajinya selalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat sementara pula. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghafal teoriteori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas itu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghafal teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah, sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada. Oleh karena itu, agar permasalahan bangsa dapat segera diatasi maka diperlukan dekonstruksi terhadap pendidikan sekolah kita yang anti realitas. Kata Kunci : Dekonstruksi Pendidikan Sekolah, Antirealitas A. PENDAHULUAN Jika dicermati secara lebih detail dan cerdas terhadap realitas kehidupan masyarakat saat ini, maka akan tampak dengan jelas bahwa dunia pendidikan sekolah kita sebenarnya kurang diorientasikan pada situasi dan kondisi realitas kehidupan secara kreatif dan visioner. Sebagai contoh, bahwa realitas kehidupan bangsa Indonesia saat ini sebagian besar hidup di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian dan perkebunan (masyarakat agraris), ternyata kurang tergarap dengan baik oleh ilmu pertanian dan perkebunan yang diajarkan di sekolahsekolah umum, sejak sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi, baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan riset atau pene;litian. Hal ini dibuktikan dengan ketidakmampuan kita memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Sebuah hal yang ironi, di mana bangsa kita masih mengimpor dan tergantung luar negeri dalam hasil produksi pertanian, seperti beras, gula, buah-buahan, dan kedelai. Sesuatu yang wajar dipertanyaan mengingat bangsa Indonesia adalah negara agraris, yang didukung dengan luasnya lahan pertanian dan perkebunan, serta kondisi tanah yang subur. Selanjutnya, terkait usaha kecil menengah (UKM) yang semakin besar jumlahnya dan banyak menyerap tenaga kerja serta mempunyai andil yang cukup besar dalam mempertahankan perekonomian nasional dalam menghadap krisis ekonomi di tahun 1998, ternyata juga kurang tergarap secara signifikan oleh ilmu ekonomi yang dikembangkan di sekolah- 141 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sekolah umum, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Anehnya, pendidikan ekonomi di sekolah-sekolah umum tersebut, tidak banyak yang dikembangkan untuk pembinaan kualitas sumber daya manusia entrepreneur, dengan mengaitkan ilmu ekonomi di sekolah-sekolah umum sesuai kebutuhan nyata UKM, sehingga dapat mendukung lahirnya kelas menengah yang kuat, yang muncul dari pelaku UKM yang berpendidikan. Dalam kaitannya dengan pendidikan sekolah agama, kita dapat melihat hal yang sama di mana pendidikan agama diajarkan dalam konsep antirealitas. Realita pluralitas dalam kehidupan agama, baik secara internal dalam kehidupan agama itu sendiri maupun secara eksternal dalam kaitannya dengan keberadaan agama-agama yang lain, kurang mendapat perhatian memadai dalam pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu agama, yang diselenggarakan dunia pendidikan sekolah agama kita, baik di SD sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran. Akibatnya cenderung menghakimi atau mengkafirkan orang lain yang berbeda agama dengannya. Padahal disadari bahwa Tuhan dan kebenaran merupakan dua konsep yang tidak pernah dapat dimonopoli seseorang atau sekelompok orang, meskipun mereka itu adalah seorang kyai, ustadz, pendeta, atau penguasa sekalipun. Akibat praktik pendidikan yang demikian maka realitas pluralisme kehidupan agama kurang berfungsi sebagai pengikat rasa persatuan bangsa. Pluralitas seharusnya bisa untuk menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati, menghargai, memiliki rasa empati, serta membangun kerjasama konstruktif untuk memajukan peradaban bangsa. Pluralitas agama dapat menjadi sumber konflik yang utama yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga meresahkan dan memperlemah rasa persaudaraan dan persatuan dalam kehidupan beragama, baik antar agamanya sendiri maupun dalam hubungannya dengan agama-gama lain. Persaudaraan ternyata amat mudah retak oleh adanya konflik politik dan kepentingan kekuasaan, dan sering mengambil bentuk kekerasan, seperti terjadi di Poso dan Ambon. Terkait realitas masyarakat saat ini, banyak dijumpai tindakan anarkis, konflik sosial, penuturan bahasa yang buruk dan tidak santun, pelanggaran dan ketidaktaatan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku. Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong royong, mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur. Sebenarnya sejak lama pemerintah telah memberlakukan pendidikan budi pekerti di Indonesia, yaitu dalam bentuk pengintegrasian pendidikan budi pekerti kedalam mata pelajaran yang relevan seperti agama dan PPKn, namun dengan melihat fenomena krisis mentalitas dan moral yang menjangkiti masyarakat Indonesia, khususnya peserta didik, maka terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan nasional, termasuk pendidikan yang bernuansakan budi pekerti seperti agama dan PPKn. Pertama, pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor. Penilaian dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai 142 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa. Kedua, arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya. Sekolah dan lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi tentang tindakan-tindakannya; salah atau benar, baik atau buruk. Terdapat keengganan di lingkungan guru untuk menegur peserta didik yang melakukan tindakan-tindakan yang kurang pada tempatnya. Terutama di daerah perkotaan, banyak guru merasa tidak memiliki wibawa yang memadai untuk menegur peserta didiknya, yang mungkin secara sosial ekonomi jauh lebih tinggi daripada para gurunya. Kenyataan ini juga terkait erat dengan masih rendahnya tingkat sosialekonomi dan kesejahteraan dari sebagian besar guru. Ketiga, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan sekolah. Lembaga pendidikan pada umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan peserta didik (enkulturisasi). Selain berfungsi pokok untuk mengisi kognisi, afeksi dan psikomotorik peserta didik, sekolah juga berfungsi untuk mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespons dan memecahkan masalah-masalah dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, terjadi proses pendewasaan peserta didik secara bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggung jawab. Pemecahan masalah secara tidak bertanggung jawab seperti melalui tawuran dan bentuk-bentuk kekerasan lain, merupakan indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui masalah. Keempat, proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan para guru. Hal ini karena formalisme sekolah dalam hal administrasi dan proses belajar mengajar yang cenderung sangat ketat, dan beban kurikulum yang sangat berat. Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi dan psikomotoriknya. Lebih parah lagi, interaksi yang berlangsung di sekolah telah hampir kehilangan human dan personal touch-nya. Jadinya proses pendidikan di sekolah hampir sama dengan interaksi manusia di pabrik yang akan menghasilkan produk-produk serba mekanistis dan robotis. Kelima, beban kurikulum yang demikian berat yang hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif dan disampaikan melalui pola delivery system. Pada pihak lain, ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian untuk pengembangan sebaik-baiknya. Padahal kedua ranah ini sangat penting dalam pembentukan akhlak, moral, dan budi pekerti peserta didik. Keenam, mata pelajaran agama yang dapat menumbuhkan rasa afeksi, pada umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang juga disertai dengan rotememorizing. Hal ini berakibat mata pelajaran agama cenderung hanya sekedar untuk diketahui dan dihafalkan agar lulus ujian, tetapi tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktikkan, sehingga betul-betul menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri setiap peserta didik. Kenyataan tidak menguntungkan ini semakin bertambah parah dengan terdapatnya kecenderungan dalam masyarakat luas, dimana terdapat diskrepansi yang cukup mencolok antara keimanan dan ketaatan formal dalam ibadah keagamaan dengan perilaku sosial. Ketujuh, pada saat yang sama para peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentangan. Pada satu pihak, mereka diajar guru pendidikan agamanya untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hemat, rajin, disiplin dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama, banyak orang di 143 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret lingkungan sekolah justru melakukan tindakan berlawanan dengan hal-hal yang diajar guru agamanya tersebut, bahkan dikalangan sekolah sendiri Kedelapan, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di lingkungannya. Mereka mungkin menemukan keteladanan yang baik di lingkungan sekolah, di dalam diri guru tertentu. Namun, mereka sulit menemukan keteladanan dalam lingkungan di luar sekolah. Dalam berbagai survey terlihat bahwa banyak remaja justru menemukan tokoh-tokoh teladan di antara tokoh-tokoh yang sudah wafat (Azyumardi Azra, 2006: 179-181). Kesembilan, metode pendidikan dalam penyampaian nilai-nilai budi pekerti masih memiliki kelemahan karena dikonsentrasikan pada pengembangan otak kiri/kognitif yang cirinya adalah hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktik perilaku dan penerapan nilai-nilai budi pekerti dalam kehidupan di sekolah. Hal ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran budi pekerti bagi manusia dan akan memunculkan banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan pendidikan budi pekerti masih terbengkelai akibat orientasi pendidikan kita yang condong ke dimensi pengetahuan (cognitive oriented). Kebanyakan praktisi pendidikan kita masih memegang asumsi jika aspek kognitif telah dikembangkan secara benar maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif. Asumsi tersebut di atas, merupakan sebuah kekeliruan yang cukup serius. Hal ini mengingat bahwa pengembangan kawasan afektif pada sistem pendidikan sangat memerlukan kondisi yang kondusif. Artinya, perlu dibuat rancangan pembelajaran budi pekerti secara sungguhsungguh. Sebaliknya, pendidikan budi pekerti yang tidak dirancang secara sungguh-sungguh maka hasilnya akan mengecewakan. Banyak temuan ilmiah yang mendukung tesis ini. Salah satunya dikemukakan oleh Krathwol dan Bloom, yang menyatakan bahwa fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa perilaku afektif akan berkembang secepat perkembangan kognitif jika pengalaman pembelajaran afektif diberikan sama banyaknya dengan pengalaman pembelajaran kognitif (Mawardi Lubis, 2011: iii-xiv). Di sisi lain. metode pembelajaran tradisional tersebut dinilai tidak mampu mencapai tujuan pendidikan karena kurang mengakomodir kelangsungan pengalaman peserta didik yang diperoleh dalam kehidupan keluarganya. Padahal peserta didik khususnya pada usia sekolah dasar dan menengah pertama masih mendambakan berlangsungnya pengalaman di lingkungan keluarga dapat dialami pula di sekolah. Pengalaman anak yang masih bersifat global tentu menuntut penerapan model pembelajaran yang relevan dengan karakteristik mereka. Orientasi pendidikan nasional masih cenderung kurang memberri perhatian pada pengembangan aspek sikap dan keterampilan. Orientasi pendidikan yang parsialistik seperti ini sudah tidak relevan dikembangkan mengingat kita sudah bertekad untuk memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sesuai tuntutan KTSP, pembelajaran di sekolahsekolah sudah seharusnya dirancang untuk proses learning to know (belajar uantuk tahu), learning to do (belajar untuk melakukan), learning to livetogether (belajar untuk hidup dalam kebersamaan) serta learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri). Orientasi pendidikan yang parsialistik akan merugikan peserta didik. 144 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pasalnya, mereka akan cenderung mengetahui banyak hal tetapi kurang memiliki sistem nilai, sikap, minat maupun apresiasi secara positif terhadap apa yang diketahui. Akibatnya, anak memiliki perkembangan kepribadian yang kurang seimbang, aspek pandangan hidupnya berkembang, tetapi aspek sikap hidup dan keterampilan hidup kurang berkembang. Ketidakseimbangan perkembangan intelektual dengan kematangan kepribadian yang dialami anak didik seperti pada gilirannya akan membentuk anak sebagai sosok spesialis yang kurang peduli dengan lingkungan sekitar dan cukup rentan terhadap distorsi nilai. Dari sini, dampak selanjutnya adalah anak akan mudah tergelincir dalam praktik pelanggaran moral karena sistem nilai yang seharusnya menjadi standard dan patokan berperilaku sehari-hari masih rapuh (Zubaedi, 2009: 13). Beberapa kekurangan yang masih mewarnai praktik penyelenggaraan pendidikan budi pekerti sebagaimana diuraikan di muka harus segera dibenahi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi problem kemerosotan moral melalui pendidikan budi pekerti di sekolah, namun demikian hasilnya masih jauh dari harapan. B. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Di Indonesia, konflik antarkelompok yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda sudah lama berlangsung dan beberapa di antara konflik itu tidak hanya dilakukan lewat penyerangan fisik, tetapi sudah mengarah pada tataran prasangka yang paling tinggi, yaitu eksterminasi. Tindakan eksterminasi diekspresikan dalam wujud hukuman mati tanpa peradilan (lynching), pembunuhan massal yang terorganisasi (pogrom), pembunuhan besarbesaran (massacre) dan pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu (genocide atau etnis cleansing). Kita masih ingat ―Peristiwa Sanggau Ledo, Sambas, dan Sampit‖ (konflik antar etnis Dayak/Melayu dengan Madura), ― Peristiwa Ambon dan Poso‖ (konflik antar agama) dan ―Peristiwa Mei 1998‖ (konflik politik yang berimbas pada sentiment anti Cina). Dari peristiwaperistiwa tersebut, sifat dan kedalaman konflik yang berlangsung sudah mengarah pada upaya untuk menghilangkan satu kelompok kultural oleh kelompok kultural yang lain. Tindakan yang dilakukan dalam konflik itu sudah tidak lagi memberi penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ironis, karena kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang beradab. Permasalahannya adalah mengapa terjadi konflik? Indonesia merupakan perwujudan masyarakat multikultur secara sosiologis dan demografis. Sifat multikultur ini memiliki potensi bagi munculnya konflik, sebab masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural masing-masing. Para anggota kelompok mengidentifikasikan diri mereka sebagai representasi sebuah budaya partikular. Identifikasi ini pada gilirannya akan menentukan mereka ke dalam ingroup dan outgroup secara kultural. Dalam kondisi masyarakat seperti ini akan sulit dicapai keterpaduan sosial (social cohesion), karena setiap kelompok berada dalam lingkup pergaulan yang eksklusif. Keterpaduan sosial yang dimaksud adalah kondisi yang memungkinkan setiap kelompok dapat berkomunikasi tanpa harus kehilangan identitas kultural mereka. Dalam perspektif komunikasi antar budaya, sebagai representasi masyarakat multikultur, kita selama ini tidak atau belum pernah melakukan komunikasi antar budaya yang efektif, yaitu komunikasi yang bertujuan untuk meminimalkan kesalahpahaman budaya (cultural misunderstanding). Komunikasi yang 145 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret berlangsung selama ini tidak mencerminkan adanya ketulusan kedua belah pihak. Ketidaktulusan dalam berkomunikasi dinyatakan dalam sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness, yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal, kategorikategori yang bersifat rutin dan cara-cara melakukan sesuatu yang sudah lazim. Artinya, ketika melakukan kontak antarbudaya dengan orang lain (stranger, dissimilar other), maka orang yang berada dalam situasi mindless menjalankan aktifitas komunikasinya seperti automatic pilot yang tidak dilandasi kesadaran dalam berpikir (conscious thinking). Individu lebih berada pada tahapan reaktif daripada proaktif. Karenanya, untuk mencapai keadaan mindlful dalam komunikasi antarbudaya, maka seseorang perlu menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan dan kesamaan-kesamaan dalam diri masingmasing anggota kelompok budaya, pihakpihak yang berkomunikasi (communicators) merupakan individu-individu yang unik. Menurut langer bahwa mindfulness terjadi ketika seseorang memberi perhatian pada situasi dan konteks, terbuka terhadap informasi, dan menyadari adanya lebih dari satu perspektif. Konflik yang terjadi berulang kali di negara kita menjadi satu pertanda bahwa situasi mindless masih mewarnai komunikasi antarbudaya yang berlangsung selama ini. Setiap orang dari kelompok yang berbeda lebih bersikap reaktif daripada proaktif, dan menginterpretasikan perilaku kelompok lain berdasarkan cara pandang dari kelompok budayanya. Dalam situasi komunikasi yang terpolarisasi (polarized communication), yaitu ketidakmampuan memahami cara pandang pihak lain, maka tidak ada lagi penghargaan terhadap keberadaan masing-masing kelompok budaya. Kurang atau tidak adanya penghargaan terhadap keberadaan suatu kelompok budaya, dirasakan oleh warga etnis Cina. Di kalangan warga masyarakat non Cina masih berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan mereka. Menjadi menyedihkan, ketika warga etnis Cina sering menjadi sasaran ketidakpuasan atas nama kesenjangan sosial dan ekonomi ketika terjadi peristiwa yang mengundang amuk massa. Konflik antarkelompok budaya yang sering terjadi di Negara kita sebenarnya ingin mengingatkan kembali bahwa sifat multikultur masyarakat Indonesia merupakan persoalan yang perlu dikelola dengan sungguh-sungguh. Pidato Presiden Soekarno pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1954 menegaskan pentingnya memahami kemajemukan budaya yang dimiliki Indonesia. ―Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu”. Penanganan konflik tidak sebatas mengurangi ketegangan dengan upacara perdamaian seperti yang dilakukan selama ini, tetapi harus melewati sebuah proses dialog yang matang. Secara konseptual, Martin Buber, filsuf dan teolog Jerman memperkenalkan pemikirannya tentang bagaimana dialog harus dilakukan. Gagasan teoritiknya dikenal dengan Etika Dialogis. Ia memilah suatu hubungan ke dalam 2 tipe, yaitu hubungan I-It (Aku-Itu) dan hubungan IThou (Aku-Engkau). Dalam hubungan AkuItu, kita memperlakukan orang lain sebagai suatu benda yang digunakan, sebuah objek yang dimanipulasikan. Sedangkan dalam hubungan Aku-Engkau, kita menghormati orang lain sebagai subjek. Kita melihat orang lain diciptakan dalam citra Tuhan dan memutuskan untuk memperlakukannya sebagai pihak yang berharga. Komunikasi antarbudaya yang ideal dalam lingkup hubungan Aku,Engkau, sebab dalam hubungan ini orang lain diterima, diakui, dan diperlakukan sebagai 146 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pribadi yang memiliki ruang gerak untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, kebencian dan konflik karena latar belakang budaya yang berbeda tidak perlu ada bila kita bersedia menjalin komunikasi antarbudaya yang menjadikan orang lain sebagai subjek. Hubungan Aku-Engkau akan menjadi titik pijak bagi upaya kita untuk menghargai perbedaan kultural, karena tidak ada satu pun budaya dalam masyarakat yang lebih unggul (superior) terhadap budaya yang lain. Melihat realitas di atas, maka diperlukan adanya pendidikan multikultural yang mengakomodir komunikasi antar budaya sebagai sebagai sebuah solusi untuk mengatasi budaya kekerasan dalam masyarakat kita. Menurut Choirul Mahfud, ada tiga urgensi pendidikan multikultural di Indonesia. Pertama, pendidika multikultural berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan masalah. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realistis plural. Dengan lain kata, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosialbudaya. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Sekolah maupun perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan dapat mengembangkan pendidikan multikultural dengan model masing-masing sesuai asas otonomi pendidikan atau sekolah. Pendidikan multikultural sebaiknya lebih ditekankan pada mata pelajaran kebangsaan dan moral. Pada dasarnya, model-model pembelajaran sebelumnya yang berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang memadai sebagi sarana pendidikan guna menghargai perbedaan suku, budaya, etnis. Hal itu menunjukkan toleransi masih amat kurang. Kedua, Supaya siswa tidak tercerabut dari akar budaya. Pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala berhadapan dengan realitas sosialbudaya di era globalisasi. Di era globalisasi saat ini, pertemuan antar budaya menjadi ancaman seruis bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya relitas kebudayaan di Indonesia maupun di luar negeri, siswa pada era globalisasi perlu diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikultural, agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya. Ketiga, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional. Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkat tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. Pengembangan kurilkulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut : (1) Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam-seragam seperti saat ini 147 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi dan fungsisetiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan, (2) Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi ke pengertian yang mencakup pula nilai moral, prosedur, proses dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda, (3) Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa , dan dunia yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan, (4) Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphisme yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi posistif, dan (5) Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Pemberlakuan Pendidikan Multikultural Pertentangan etnis yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir, mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural bagi masyarakat. Meskipun secara formal bangsa Indonesia mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya tidak. Pada masa orde baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi politik untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa. Hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan. Yang ada hanyalah kebudayaan nasional. Padahal lokalisme dalam pendidikan multikultural merupakan bagian yang paling penting. Disitulah orang dapat melihat dirinya (self). Disitu pula orang bisa melihat keragaman orang lain (other). Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Ada dua hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pendidikan multikultural yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan untuk berekspresi. Pertama, adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan lain. Dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan. Disamping sebagai pengkayaan, dialog juga sangat penting untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) antar peradaban dan kebudayaan yang ada. Dialog diharapkan dapat mencari titik-titik persamaan sambil memahami titik-titik perbedaan antar kebudayaan. Kedua, adalah toleransi. Toleransi adalah sikap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Dialog dan toleransi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog itu bentuknya, toleransi itu isinya. Toleransi diperlukan tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga pada tingkat teknis operasional. Inilah yang sejak lama absen 148 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dalam sistem pendidikan kita (Jurnal PKn Progresif, Rima, 2006 : 255 – 256). Kritik Terhadap Pendidikan Sekolah yang Antirealitas Pada l970-an Ivan lllich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan, jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat sosial budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Hingga saat ini, sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (market student) sehingga pendidikan tidak lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi tentang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritus pendidikan. Pada awal kalender akademik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah favorit. Memang, muncul pertanyaan yang mengaitkannya dengan grand design pendidikan nasional yang diusung pemerintah. Apakah dalam grand design pendidikan nasional, model pendidikan komunitas bakal mendapat pengakuan? Bagaimanakah model pendidikan yang diinisiasi masyarakat ini, dikaitkan dengan UU Sisdiknas serta birokrasi pendidikan dengan sejumlah regulasinya. Bagaimana peluang menempatkan model pendidikan komunitas dalam garis kebijakan pendidikan nasional? Pemerintah jangan malah bersikap resisten atas model pendidikan altematif yang ditawarkan. Model pendidikan altematif itu sekadar menawarkan jawaban sederhana pendidikan sebagai medium pembebas, bukan pemberi beban. Alasan terjadinya gerakan usulan menghapus keeberadaan sekolah disebabkan karena : a. Model sekolah di Indonesia merupakan model Eropa yang bersifat elit, karena pemerintah tidak memikirkan eksistensi pendidikan yang sebenarnya ―What Kind of Education‖ sehingga tidak mengherankan bila tamatan sarjana ilmunya setingkat SMA, SMA ilmunya setingkat SMP dan seterusnya. b. Sekolah secara sendiri sangat lemah karena tidak memiliki dukungan dari masyarakat. Akibatnya eksistensi sekolah sebagai lembaga yang diharapkan dapat membangun manusia cerdas (being smart) dan manusia yang baik (being good) tidak terealisasi dengan baik karena selain arah sekolah yang tidak jelas juga karena sistim persekolahan yang belum menyentuh substansi tujuan sekolah. c. Sekolah terlepas dari konsep penyiapan tenaga kerja dan tidak memenuhi harapan masyarakat seperti tersedianya tenaga kerja yang siap pakai atau lulusannya terserap dunia indusri dan dunia usaha. Padahal dengan keberadaan SMK, masyarakat sangat berharap tamatan SMK dapat bekerja dan tidak menjadi beban. Pembangunan sekolah SMK tidak dibarengi dengan penyiapan lapangan pekerjaan, jika penyiapan lapangan pekerjaan dibebankan pada masyarakat atau peserta didik dibiarkan untuk mandiri maka seharusnya konsep pendidikan SMK harus mengacu pada kedua solusi itu, tetapi kenyataannya sekarang, SMK dibangun tanpa dasar dan kelayakan 149 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yang jelas, akibatnya SMK menjamur dimana-mana dan ironisnya diperkuat dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang memposisikan persentasi SMK harus lebih banyak dari SMA. Belajar dari negara lain misalnya Jerman, dikembangkan sekolah kejuruan karena daya dukung lingkungan memungkinkan seperti banyaknya industri yang banyak menyerap tenaga kerja atau kepoliteknik. d. Beberapa institusi pendidikan (sekolah) yang ‗lebih cerdas‘ melakukan praktek bisnis namun mereka berpura-pura sedang tidak berbisnis karena dunia pendidikan dianggap ‗musuh gelap‘ dunia bisnis. Kelompok ini menerapkan konsep bisnis tetapi setengah-setengah. Akibatnya, institusi semacam ini sangat sering ditunggangi oleh pihak-pihak yang mengambil ‗kesempatan dalam kesempitan‘. Institusi pendidikan dijadikannya sebagai sapi perah untuk misi pribadinya. Jadi agar keberadaan sekolah menjadi bagian dari sistem kehidupan masyarakat dalam mengembangkan peserta didik, harus dimulai dari modal (capital), baik itu modal sosial (social capital) antara lain trust, networking, relationship dan mapping disekolah maupun modal budaya, seperti language, kompetensi, values, sikap, bealiven education. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh terlepas dari kedua modal tersebut disamping modal-modal yang lain. Selain itu Sekolah harus ditempatkan sebagai isntitusi yang tetap pada tujuan substansinya yaitu sebagai akademik (intelektual dan pengetahuan), vokasional, sosial dan kewarganegaraan serta kebudayaan, dan tujuan personal. Jika tujuan sekolah ini dijadikan pedoman maka sekolah akan menjadi institusi yang menghasilkan manusia yang cerdas (being smart) dan manusia yang baik (being good). Tugas sekolah untuk menyatukan masyarakat karena masyarakat mengalami perkembangan. Nasib Deschooling Dewasa Ini Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa. Deschooling merupakan suatu konsep penghapusan sekolah karena sekolah tidak efektif, menghabiskan dana dan tidak bisa memberikan keadilan bagi siswa. Keberadaan konsep Deschooling bisa berdampak positif bila konsep tersebut di implementasikan dengan baik misalnya : sekolah ―X‖ dengan jumlah siswa yang sangat minimal untuk suatu kategori jumlah siswa tiap kelas atau jumlah siswa pada sekolah yang sangat kurang namun tetap diberi kesempatan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pendidikan maka berdasarkan pertimbangan efisiensi penggunaan biaya pendidikan perlu dilakukan penghapusan dengan cara sekolah tersebut di marger dengan sekolah lain. Hal ini wajar dilakukan mengingat pada aspek pembiayaan sekolah hampir sama antara sekolah yang jumlah siswa banyak dengan siswa yang sedikit belum lagi kesempatan mendapatkan bantuan-bantuan lain. Gerakan deschooling dalam hal ini bisa 150 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret diterapkan selain efisiensi biaya pendidikan, efektifitas proses pembelajaran, juga menghindari ada penyalahgunaan lembaga pendidikan untuk meraih keuntungan dan kepentingan individu seperti kesempatan yang sama mendapatkan bantuan block grand. Keberadaan sekolah elit telah memunculkan pola pendidikan yang bersifat elitis yang dimanfaatkan dan dinikmati oleh sekelompok orang kaya. Pola ini sangat tidak memberikan rasa keadilan bagi peserta didik yang mungkin dari kalangan kelompok miskin tetapi memiliki potensi dan kemampuan yang luar biasa namun oleh karena pendidikan yang diselenggarakan bersifat elitis aka peserta didik tersebut tidak mampu belajar pada sekolah tersebut. Hal ini menggambarkan ketidakadilan dalam pendidikan dan bertentungan dengan tujuan pendidikan sehingga penting dilakukan penghapusan model-model sekolah semacam ini agar tidak ada dikotomi dalam masyarakat terutama dalam menerima perlakuan dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Konsep deschooling tidak dapat bertahan manakala konsep ini dianggap mengganggu kepentingan kelompok tertentu dalam mempertahankan status quo terhadap penyelenggraan pendidikan yang mementingkan kelompok masyarakat yang elit secara ekonomi. Sebab sekolah tidak terlepas dari kepentingan kekuasaan karena lewat pendidikanlah bagian dari kekuasaan diperoleh dengan manfaatkan pendidikan sebagai cara mencapai tujuan politik dan kepentingan kekuasaan. Mengubah Konsep Ilmu Pada hakikatnya, ilmu merupakan obyektivikasi intelek terhadap realitas yang ditangkap dalam suatu momen kehidupan tertentu, baik ruang maupun waktu, yang diabstraksikan melalui logika dan diformulasikan menjadi rumusan dalil atau teori. Pada tahap ini harus dipahami bahwa realitas yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis, dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat sementara, sebab realitas yang dikajinya selalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat sementara pula. Oleh karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghafal teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas itu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghafal teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah, sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada. Pada umumnya, kita masih melihat kenyataan bahwa dunia pendidikan sekolah kita masih mengajarkan teori-teori belaka, tanpa memberi kesempatan kreatif untuk bergumul dan memahami realitas secara intensif. Ironisnya, ketika teori itu diajarkan ternyata sudah tertinggal, karena realitasnya telah berubah sehingga tidak tepat untuk membuktikan teori tersebut atau tidak sesuai lagi. Akibatnya, ketika peserta didik menyelesaikan pendidikannya, mereka sama sekali tidak mengenali realitas yang ada di sekitarnya. Dalam keadaan demikian, respons mereka terhadap realitas pasti menjadi kosong, karena hakikat realitas itu tidak pernah masuk dalam alam sadar pikirannya. Tidak heran bila kita melihat seseorang yang telah menyelesaikan studinya, maka habislah ilmu yang dihafalkannya, sebab ilmunya tidak terkait sama sekali dengan realitas yang dihadapinya. Mereka hanya mendapatkan secarik kertas berupa ijazah atau sertifikat tanda tamat tanpa penguasaan terhadap ilmunya itu sendiri. Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai suatu proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihafalkan. Masalah bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Kegalauan 151 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret intelektual yang mendorong seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan, metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik. Hal yang sama terjadi dalam pendidikan sekolah keagamaan, dengan lebih mengutamakan penekanan pada formalisme agama, normatif, dan tekstual yang terlepas dari konteksnya. Agama seakan menjadi ajaran langit, datang dari langit dan lantas melangit, tidak ada kaitannya sama sekali dengan realitas bumi di mana seseorang hidup membumi. Akibatnya, agama tidak membumi dan antirealitas yang ada di bumi. Realitas kemiskinan dipandangnya sebagai suratan nasib yang harus diterima dengan sabar, karena tidak terkait sama sekali dengan realitas ketimpangan struktural dalam kehidupan ekonomi dan politik suatu masyarakat. Agama telah memabukkan kesadaran manusia terhadap realitas sosial yang ada, dan pesan agama tidak dapat membumi dan dibumikan, apalagi untuk menjadi rahmat bagi semua kehidupan yang ada di muka bumi ini. Mengubah Paradigma Pendidikan Pendidikan sekolah kita seharusnya dikembalikan kepada realitas dinamika masyarakatnya, bukan menjadi menara gading yang tercabut dari akar kehidupan masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas, tetapi menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakatnya sendiri untuk mencari jawab atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan masyarakatnya. Kecenderungan pendidikan yang antirealitas, mendorong menguatnya feodalisme baru yang memuja gelar akademik hanya untuk menaikkan status dan gengsi sosial, sehingga jual beli gelar akademik menjadi laris di mana-mana. Orang merasa tidak malu membeli atau menyandangnya, karena kenyataan menunjukkan bahwa tamatan perguruan tinggi yang mendapatkan gelar akademik secara benar melalui studi panjang yang berjenjang ternyata tidak bisa berbuat apaapa, bahkan banyak yang menganggur, dan secara signifikan tidak ada bedanya atau lebih menghargai hanya beda tipis bedanya dengan orang yang berpendidikan di bawahnya. Untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah, harus ada kebijakan pendidikan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental pendidikan, sebagai subyek dinamik realitas kehidupan masyarakat, sehingga anak didik dapat memahami realitas secara utuh, benar, dan tepat. Penguasaan alat untuk memahami realitas menjadi tugas fundamental dunia pendidikan kita, melalui proses pembelajaran yang kreatif dan visioner untuk memperkaya intelektual dan spiritual anak didiknya. Dunia pendidikan kita tidak boleh terjebak urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan, karena dalam banyak hal, birokrasi pendidikan justru telah membunuh substansi pendidikan itu sendiri. Birokrasi pendidikan sekolah kita telah berkembang secara berlawanan dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bahkan menjadi pusat pembodohan, karena birokrasi pendidikan diselenggarakan sebagai perpanjangan birokrasi kekuasaan dan politik, dengan memberi peluang adanya muatan-muatan politik yang terlalu jauh memasuki birokrasi pendidikan. Kita masih ingat ketika masa Orde Baru, di mana Perguruan Tinggi tidak boleh mempelajari suaatu ideologi tertentu, seperti larangan mempelajari Marxisme hanya karena ketakutan politik terhadap bahaya komunisme. Demikian pula muatan kurikulum Pancasila dan Kewiraan dalam berbagai versinya, telah diajarkan dari SD 152 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sampai Perguruan Tinggi secara berlebihan, melalui proses pengulangan yang sebenarnya hanya memboroskan. C. PENUTUP Jika melihat realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seperti adanya pengangguran kaum terpelajar dan kegagalan dalam swasembada pangan, maka realitas itu sesungguhnya telah membuktikan dengan nyata bahwa pendidikan sekolah telah gagal menjadi praktik hidup bagi peserta didik. Jika melihat kekayaan alam dan luasnya lahan pertanian yang dimiliki bangsa ini, maka seharusnya pendidikan keilmuan pertanian kita dapat memberikan jawaban konkret untuk membangun kemampuan dalam berswasembada pangan. Demikian pula haknya dengan pendidikan keilmuan ekonomi, seharusnya terkait dengan penciptaan sarjana yang berjiwa entrepreneur untuk menciptakan pekerjaan, bukan untuk mencari pekerjaan. Pendidikan kita masih terlalu banyak dibebani muatan untuk menguasai pengetahuan teoritis dan terlalu lemah penguasaan praktiknya dalam kehidupan. Pengetahuan teoritis memang diperlukan, akan tetapi harus disadari bahwa teori selalu dibangun dari pemahaman seorang ilmuwan terhadap realitas, hanya saja realitas yang dijadikan bahan untuk membangun suatu teori adalah realitas yang sudah direduksi oleh pemikiran ilmuwan yang melahirkannya. Ketika teori itu dirumuskan, maka realitas yang menjadi obyek pemikirannya itu sesungguhnya telah berubah. Akibatnya penguasaan sematamata pada teori sudah tidak sesuai lagi dengan realitas yang ada. Bahkan semakin jauh untuk dapat menjadi praktik hidup. Akibatnya, ketika anak didik belajar ilmu dalam lembaga pendidikan, maka mereka akan mengalami kesulitan untuk menjadikannya sebagai praktik hidup dan amat sulit untuk menemukan rujukannya. Ketika anak didik belajar mengenai teori demokrasi politik sebagai wujud ideal dalam berpolitik, maka mereka akan menghadapi kesulitan ketika akan merangkaikannya dengan praktik hidup berpolitik bangsa karena memang tidak ada contoh praktik hidup demokrasi yang ideal dalam kehidupan politik masyarakat yang ada sekarang ini. Hal yang sama dapat terjadi dalam ilmu hukum, ilmu ekonomi, dan ilmu budaya. Sesungguhnya krisis multidimensi yang terjadi sampai saat ini akan semakin sulit diatasi, jika bangsa ini tidak menemukan keteladanan dalam praktik hidup dari para pemimpinnya sendiri. Yang dibutuhkan adalah keteladanan kerja keras, kerja cerdas, kejujuran, berbuat kebajikan, hidup bersahaja, dan damai. Krisis keteladanan pada akhirnya terjadi karena adanya krisis dalam pendidikan kita sendiri dalam berbagai matra dan jenjangnya. Jika ingin menyongsong masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik, maka kuncinya ada pada dunia pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menjadi prioritas dalam pembangunan, bukan ekonomi. Praktik hidup telah menunjukkan bahwa prioritas pembangunan ekonomi ternyata membawa bangsa ini makin terjerat oleh keserakahan dan korupsi yang jauh dari keteladanan kejujuran. Dunia pendidikan harus dilepaskan dari kepentingan politik aliran, kedaerahan, dan keagamaan. Dunia pendidikan harus dibebaskan dari semua kepentingan yang sempit dan dijauhkan dari setiap doktrin sehingga tidak menjadi indoktrinasi ideologi politik dan keagamaan yang sempit agar pendidikan dapat menjadi praktik hidup yang membebaskan, mencerdaskan, dan mencerahkan bangsa. Pendidikan harus menjadi realitas praktik hidup karena realitas lebih kuat daripada kesadaran, praktik hidup lebih kuat daripada teori, tindakan lebih kuat daripada 153 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret perkataan, fakta lebih kuat dari sabda. Dalam masyarakat Jawa ada kata-kata mutiara ‖ngelmu iku kalakone kanti laku‖ yang dimaknai bahwa teori atau ilmu hanya bisa terwujud bila dipraktikkan. Sebaik-baik kurikulum dan proses pembelajaran, kalau tidak jadi praktik hidup, maka semuanya akan tidak ada artinya, tidak bisa mengubah realitas, tetapi diubah oleh realitas. Dunia pendidikan hanya memberikan gelar dan secarik ijazah atau sertifikat, tidak praktik hidup, dan pada saat menghadapi realitas, maka semua teori yang dihafalkan tidak ada gunanya, ‖Jauh Panggang dari Apinya‖. DAFTAR PUSTAKA Achmad Dardiri. (2010). Revitalisasi Fungsi Pendidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Humanis Religius. Pidato. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Agus Salim, dkk. (2007). Indonesia Belajarlah. Yogyakarta: Tiara Wacana Agus Wibowo. (2012). Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. A.Suhaenah Suparno, dkk. (2002). Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof.Dr. H.A.R. Tilaar,M.Sc.Ed. Jakarta: PT Grasindo. Azyumardi Azra. (2006). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Banks,James. 2000. Multicultural Education: Transforming the Mainstreamcurriculum. Connecticut: Dushkin?McGraw-Hill, A Division of The McGraw-Hill Compan Choirul Mahfud. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moh.Yamin. (2009). Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Jogjakarta: Diva Press. Musa Asy‘arie. (2005). NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan. Yogyakarta: LESFI Nurhadiantomo. (2004). Konflik-Konflik Sosial: Pri-nonPri & Hukum Keadilan Sosial. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Nurul Zuriah. (2007). Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Kreatif LKM UNJ. (2011). Restorasi Pendidikan Indonesia: Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Wahyu. (2005). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Hecca Mitra Utama Wina Sanjaya. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik KTSP. Jakarta: Kencana 154 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret JAVANOLOGI: MEMBAHANAKAN IDENTITAS LOKAL Taufiq al Makmun Peer Group Institut Javanologi, LPPM UNS dan Kepala International Office UNS Identitas Jawa dalam konteks logos dan simbol tidaklah hilang sama sekali, berbagai bentuk kesenian Jawa masih kentara dipertunjukkan meski dalam bingkai pelestarian budaya yang peminatnya dalam hitungan jari. Transkripsi Jawa muncul bak ornamen penghias papan-papan nama organisasi pemerintah, seperti di kota Solo, namun tak banyak yang mampu membacanya. Keindahan bahasa Jawa sesekali diperdengarkan pada kesempatankesempatan istimewa, namun tak banyak yang tahu makna pastinya. Mengapa? Konstelasi perang budaya kian garang. Budaya dianggap senjata politik dan ekonomi ketika perang fisik dianggap tak beradab, Joseph Nye Jr. (2004) mengistilahkan soft power. Di tanah Jawa, bahana wacana budaya-budaya impor kian gegap gempita. Kentara dari perilaku: lagu yang didendangkan, fashion yang dikenakan, poster yang dipajang, dan ironis uang dibelanjakan kepada budaya yang diperjualbelikan itu. Budaya orang merebak, popular dan meyedot nilai ekonomi yang kian tak terhitung, menjadi jebakan pasung budaya popular. Tidak salah, tapi menjauhkan nilai identitas lokal ketika ditransfer mentah-mentah. Lalu, apa makna identitas yang telah terbentuk selama berabad-abad? A. JAVANOLOGI DAN IDENTITAS LOKAL Meminjam istilah latin yang sudah lazim dalam dunia akademia kita, Javanologi muncul menjadi nama sebuah lembaga Pusat Studi di Universitas Sebelas Maret (UNS) sejak 2010. Java dan Logos bermakna harfiah ilmu kejawaan, bukan yang pertama, jauh lebih dahulu lembaga dengan judul yang sama berdiri di Jogjakarta. Pro dan kontra muncul, apa perlunya, terlambat, reaksioner, dan latah. Tetapi ada bersit harapan, sebuah kesadaran akan makna identitas scara ilmiah, mendistribusikan nilai keilmuan dalam konteks tentang Jawa –kelokalan– dengan bahasa kekinian, dan tentunya melakukan produksi kebudayaan yang kembali ke akar kejawaannya. Sebuah harapan pula untuk memberi akses dan jembatan kepada generasi mendatang yang kian jauh dari produk-produk budaya Jawa baik itu ideofact maupun artifact. Ketidaktahuan adalah pangkal proses lumernya daya dukung, maka pengetahuan menjadi titik awal. Budaya-budaya lokal yang terpinggirkan memang menarik bagi pihak luar, namun, sebagai bahan penelitian dalam logika konservasi berdasar belas kasihan kekhawatiran akan hilang dan punah. Ketiadaan daya dukung masyarakat adalah bentuk enyahnya rasa kepemilikan. Pudar ditelan ketidakpercayaan pada identitas lokalnya, digeser budaya-budaya pendatang yang silih berganti, popular dan sementara tak pernah berakar apalagi memberikan identitas. Budaya yang melekatkan identitas pada suatu masyarakat tentu bukan suatu yang instan, simbiosis dan adaptasi terhadap lingkungan lokal menjadi bumbu proses produksi budaya suatu masyarakat. Menjadi identitas karena pas dengan kebutuhan 155 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret lokal, kemurnian kreativitas, muncul sebagai local genius dan wisdom pada proses pembentukan identitas budaya. Motivasinya bukanlah alasan ekonomi semata, tetapi falsafah hidup dalam berinteraksi antar manusia dan alamnya. Kuat berakar karena telah teruji. Menyitir teori Darwin, apa yang telah tumbuh mekar dan berakar kuat itulah yang sesuai dengan lingkungan tempat tumbuhnya. Budaya adalah sebuah multidisplin, Javanologi menjadi sebuah kajian wilayah yang mengembangkan identitas lokal sebagai inti kajiannya dengan melihat Jawa tidak hanya melalui bedah dan kajian kitabkitab saja tetapi lebih melihat Jawa sebagai suatu budaya yang tumbuh lekat dengan perkembangan masyarakatnya yang meliputi ilmu-ilmunya: cara hidup, teknologi hidup dan produk-produk kehidupan masyarakat termasuk perilaku interaksi. Kepercayaan pada sifat budaya yang tidak statis, mampu berkomunikasi, bernegosiasi, dan berhibridisasi dengan budaya lain akan menginspirasi keberlanjutan produksi-produksi budaya lokal kekininian, tetap didukung karena berkembang dan tidak ketinggalan jaman. Javanologi tentu bukan alat perang, lebih menyoal ikhwal peran akademik keilmuan, bukan pula sekedar tameng budaya yang mudah rapuh karena miskin dukungan. Peran keilmuan membahasakan kekuatan-kekuatan budaya dan identitas untuk tidak menjadi suatu yang dikeramatkan, ekslusif, dan diisolasi, ataupun hanya dikenal pada kalangan terbatas. Javanologi mengembangkan kelokalan dengan bahasa publik yang boleh diperdebatkan, dikembangkan, dan diadaptasi menjadi kini dengan kekuatan identitas dan keterikatannya pada aspek lokal. Posisi Javanologi ada diantara pemahaman makna identitas dan sifat kebudayaan yang cair, tidak bisa terbendung, dan selalu berinteraksi antarbudaya apalagi ketika kran-kran globalisasi kian terbuka lebar. Yaitu, fungsi mengakrabkan identitas lokal dengan menempatkan setiap penggunanya sebagai subyek yang sadar makna identitas itu sendiri. Melemahnya sebuah identitas adalah lukisan seekor bunglon yang selalu bermimikri, merubah diri untuk bertahan, tak percaya diri dengan warna aslinya. Dalam ekonomi modern yang dipersenjatai oleh soft power, masyarakat lemah identitas budaya adalah sasaran tembak yang tergilas, objek pasar, senyap kreativitas, dan pasti termiskinkan. B. INTERNASIONALISASI PERGURUAN TINGGI Kini, persaingan antar perguruan tinggi dihadapkan pada isu internasionalisasi yang diukur dari berbagai aspek yang bermuara pada kemampuan positioning pada kancah internasional. Interaksi dengan Perguruan Tinggi antarnegara menjadi keharusan, pengakuan lebih di tingkat international menjadi ujung isu (international journal dan proceedings). Apakah lagi-lagi perguruan tinggi harus menjadi menara gading? Tinggi, indah dipandang namun tak tersentuh bak monumen. Menjadi diakui seharusnya adalah sebuah konsekuensi pencapaian bukan tujuan. Memiliki Javanologi yang menjadi salah satu keunggulan UNS, sesungguhnya mampu menjadi sebuah kekuatan yang memendarkan identitas kelokalannya sebagai sebuah perguruan tinggi yang sadar di mana tempatnya berdiri, identitas apa yang melekat pada lingkungannya. Sebuah strategi elok. Dengan identitas yang kuat membuat suatu lembaga mempunyai kekuatan dan menjadi sebuah pusat bukan peniru, menjadi rujukan bukan pengekor. Pemaknaan budaya sebagai cara hidup, menjadikan ilmu kelokalan bukanlah pengkaji karya budaya literer saja tetapi pembaca teks-teks budaya dalam artian luas. 156 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Bentuk ilmu yang dapat digali dari suatu identitas lokal dapat ditemukan dalam cara hidup masyarakat pendukungnya: pertanian, sandang, arsitektur, pengobatan, kemasyarakatan, sastra, dan sebagainya. Demikian juga pengembanngan perguruan tinggi yang berbasis multidispilin ilmu penunjang kehidupan bermasyarakat. Perlu diakui bahwa keterbatasan penjelasan secara ilmiahlah yang menjadikan banyak hal termasuk ilmu-ilmu Jawa ditinggalkan, dianggap tidak teruji. Meng-kuna-kan tradisi adalah strategi dalam perang budaya sebagai senjata ekonomi global, menciptakan label dikotomis budaya modern vs kuna; menghegemoni pilihan. Saintifikasi apa yang sudah tertradisikan menjadi pilihan strategis pengembangan ilmu dan kelokalan. Setiap ilmu yang tumbuh dan berkembang akan unik karena faktor lingkungan tumbuh, sosiologi masyarakat, kondisi geografis, dan sejarah yang melingkupinya. Transfer teknologi pun tidak bisa sekonyong-konyong tanpa adaptasi dengan faktor lokalnya. Kesadaran akan faktor kelokalan menjadikan nilai khas pengembangan suatu ilmu. Menjadi suatu pusat pengembangan ilmu akan memunculkan nilai ke-internasional-an karena kemampuannya mewarnai dengan segala aspek kekhasan bukan sebuah echo yang tak beridentitas. Hidupnya identitas-identitas lokal akan menjadi warna global. Pada akhirnya apa yang ditempuh Javanologi merupakan model penguatan ―suku” (=kaki dalam bahasa Jawa) yang menjadi pilar sangga identitas nasional bahkan global. 157 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 158 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret SOCIAL EVIDENCE BASED PRACTICE SEBAGAI PARADIGMA BARU SISTEM PEMBELAJARAN Pujiriyanto ABSTRAK Era globalisasi mengharuskan perubahan paradigma pendidikan sebagai bagian reformasi pendidikan di Indonesia. Sistim pendidikan dipengaruhi oleh sistem social di seluruh jenjang sehingga sistem pendidikan harus tanggap dan proaktif menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan sistem sosial tersebut. Konsep pekerjaan, keluarga, dan masyarakat akan berubah secara sistimatis menyertainya. Era industrialisasi akan berubah seiring perubahan informasi sehingga masyarakat akan membentuk karakteristik baru yang berbeda dengan sebelumnya. Ada dua aspek penting terkait dengan manajemen dan metoda pembelajaran. Manajemen pendidikan seharusnya lebih terbuka terhadap terhadap tuntutan pengetahuan. Demikian halnya dengan metode pembelajaran, perubahan sangat mendesak dalam rangka membantu peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pencipta ilmu melalui proses belajar. Dua aspek tersebut mengindikasikan perlunya lembaga pendidikan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar secara global. Kata kunci: manajemen, metode belajar, paradigm baru, sistem sosial. A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu sistem yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain di luar dirinya dengan proses pembelajaran di dalamnya sebagai sub sistemnya. Pengalaman historis menunjukkan standar proses pembelajaran masih jauh dari dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik akan kebutuhan belajar bermakna yang akhirnya memenuhi ekspetasi masyarakat akan hadirnya lulusan yang memiliki kualifikasi memadai. Kebijakan pendidikan nasional sebagai acuan proses pembelajaran seringkali justeru tidak konsisten dan terlalu pragmatis, bahkan bersifat kontra produktif dan mendistorsi standar proses. Misalnya kebijakan UAN bagaimanapu telah menyebabkan beroperasinya paradigma lama dalam sistem pembelajaran di banyak lembaga pendidikan khususnya sekolah. Sistem pembelajaran pendidikan paradigma lama menempatkan siswa sebagai objek pembelajaran bukan individu yang aktif mengkontruksi pengetahuan dan menemukan makna belajarnya sendiri. Sekolah seolah menjadi institusi pendidikan yang memiliki batas sistem sangat jelas dan bersifat tertutup. Pengalaman dan keluasan sumber belajar direduksi dalam teks-teks yang terstruktur yang mengkooptasi pemikiran pendidik dan peserta didik, yang miskin aktivitas falsifikasi teori dan konsep. Kelas-kelas seharusnya produktif menghasilkan knowledge creator berdasar pemikiran kritis menjadi knowledgerecontruction bukan knowledgeproduction. Falsifikasi seolah menjadi menjadi tabu, karena pada akhirnya sistem menuntut kembali menjadi para penghafal konsep dan teori. Peserta didik cenderung mengalami cognitive load karena dominasi content transmission yang tidak bisa digeneralisasi dan dioperasikan dalam gelanggang kehidupan karena lepas kontek. 159 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Praktek-praktek ilmiah diredusir dalam nuansa pengabaran teori yang miskin aksi berdasarkan fakta lapangan yang bisa mengantarkan peserta didik pada ―AHA‖. Adam (2009; 180) menyatakan di dunia luar banyak praktek-praktek ilmiah yang bisa menjadi sumber belajar bahkan dikontruksi menjadi teori-teori yang bisa dipelajari. Adam menyatakan pentingnya evidence based practice sebagai kerja sosial pendidikan. Konsekwensinya institusi pendidikan harus menjadi sistem yang lebih berani terbuka sebagai paradigma baru dalam implementasi pembelajaran. Fenomena perubahan sistem sosial yang ada di masyarakat baik pada level makro, meso maupun mikro seringkali luput dari perhatian insititusi pendidikan seolah merepresentasikan diri sebagai sistem yang tertutup. Faktanya mayoritas peserta didik mempelajari fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan beragam pengetahuan yang jauh dari dunia nyata dengan dominasi metode-metode pengabaran buku teks (content transmission) dibanding kontruksi secara induktif. Peserta didik jarang memiliki otonomi atau kontrol terhadap proses belajarnya sendiri, terpola mengikuti aturan dan kebijakan dalam format disiplin yang kaku. Orientasi belajar adalah mengejar prestasi kognitif yang keberhasilannya diukur dengan tolok ukur kuantitatif, sementara idealisme pendidik dipasung dalam kepentingan administratif. Fiksasi dan marjinalisasi terhadap proses pendidikan telah, sedang, dan mungkin masih terus akan terjadi. Cole dalam Luis C. Moll (1990: 106) menegaskan bahwa pendidikan merupakan perangkat intelektual, namun tanpa konteks bagaimana diaplikasikan perangkat ini akan gagal. Interaksi budaya dalam proses pembelajaran seolah menjadi blackbox atau kotak masif yang tabu untuk dibuka bahkan ditinjau kembali untuk menemukan kesadaran perlunya reorientasi paradigma dalam otoritas pendidik. Pemenuhan standar proses pembelajaran seolah menjadi lapis kedua yang seringkali luput dari dialog pengawas sekolah dengan para guru karena masing-masing masih melayani kepentingan penilaian administratif. Di perguruan tinggi saja masih hangat bagaimana akreditasi dilakukan BAN menggunakan instrumen generik untuk beragam prodi sehingga diagnosis menjadi tidak akurat. Beruntung hal ini sudah diperbaiki meskipun spirit administratif masih tetap mendominasi. Eksistensi dominasi metode-metode pembelajaran berpusat pada pendidik secara linear bisa dikorelasikan dengan keengganan untuk merubah dan berinovasi dengan metode pembelajaran yang lebih berpusat kepada peserta didik. Metode yang memenuhi kebutuhan perkembangan dan kebutuhan belajar peserta didik ideal menjadi paradigma dasar dalam memilih dan menetapkan metode. Reigeluth (1983:19) dalam taksonomi variabel pembelajaran telah jelas memposisikan karakteristik siswa sebagai fokus utama manipulasi metode pembelajaran disamping karakteristik bidang studi dan tujuan pembelajaran. Pola relasi kuasa antara peserta didik dan pendidik dalam struktur kelas masih dominan, otoritas yang dimiliki pendidikcenderung dipakai untuk mendukung eksistensi kewibawaan namun mengalahkan kemaslahatan bagi peserta didik. Hal ini diperparah dengan kebiasaan kebijakan pendidikan yang justeru memperkuat struktur relasi yang timpang dengan kuatnya pembakuan instrumentasi dalam mengontrol aktifitas pembelajaran. Data produk instrumentasi justeru dipakai sebagai rujukan bagi penyelesaian masalah pembelajaran semakin menyebabkan fiksasi terhadap program pengembangan kualitas pembelajaran dan kualitas guru oleh pemerintah. Diagnosis riil atas dasar praktek, tacitknowledge, dan suara hati pendidik serta peserta didik sulit 160 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret teraktualisasikan dan diakomodasi dalam perumusan kebijakan pendidikan. Instrumentasi di beberapa perguruan tinggi juga masih nampak masih mensubordinatkan kepentingan akademik yang lambat laun mematikan kreatifitas dan menyebabkan pembusukan akademik (academic decay). Contoh nyata sebelum adanya tenaga administrasi di prodi banyak aktifitas ketua prodi lebih menonjol dalam tugas, fungsi dan jebakan administratif daripada yang seharusnya melakukan pengembangan akademik. Fenomena masalah-masalah di atas bisa menjadi faktor penyebab stagnasi dunia pendidikan yang seringkali menjadi gagap dan beroperasi dalam mode-mode ―discharge‖ berbau proyek. Hal ini bisa dianalogkan bahwa sistem pendidikan beroperasi dalam deret hitung sedangkan perubahan sistem sosial beroperasi dalam deret ukur. Lulusan dunia pendidikan sering mengalami stigmatisasi ―produk gagal‖ atas dasar fakta pengangguran terdidik justeru terus meningkat. Era reformasi tidak berdaya dalam mentransformasi paradigma karena kenyataan digerus oleh politisasi bidang pendidikan dengan kebijakan pemerintah yang lebih bersifat ―deklaratif‖ atau boleh disebut ―kebijakan wacana‖ tanpa komitmen jelas. Contohnya kebijakan 20% anggaran pendidikan merupakan bentuk kebohongan terhadap publik dengan memasukkan unsur gaji dan tunjangan tenaga kependidikan yang berarti mengabaikan peningkatan mutu pendidikan. B. PERUBAHAN SOSIAL DAN IMPLIKASI TERHADAP PERUBAHAN PARADIGMA Paradigma seperti apakah yang diperlukan dan seperti apakah paradigma baru serta implikasi dari paradigma baru tersebut? Untuk menjawab hal tersebut perlu dianalisis dua proses perubahan besar akibat perubahan sosial, yaitu; 1. Proses pertama dimulai adanya upaya untuk merubah namun parsial, dan adanya kegiatan berpikir akan perubahan paradigma (sebatas pemikiran), memodifikasi, dan melakukan penyesuaian 2. Proses kedua adalah perubahan secara sistemik diikuti pergeseran paradigma dan transformasi. Perubahan sistem pendidikan diperlukan karena lingkungan dari sistem berubah secara dramatis. Alvin Toffler‘s (1970) memetakan ada tiga gelombang perubahan yaitu; 1. Pengembangan agrikultur, 2. Revolusi industri (kemampuan fisik), dan 3. Revolusi informasi (kemampuan mental). Gelombang perubahan ini telah mempengaruhi kehidupan terutama keluarga, dunia bisnis, transportasi, dan pendidikan yang bisa digambarkan sebagai berikut:. Tabel 3. Pengaruh Gelombang Perubahan Gelombang Agraris Industri perubahan Keluarga Keluarga besar Keluarga inti (extended family) Bisnis Transportasi Keluarga Kuda Birokrasi Kereta 161 Informasi Orangtua yang bekerja Tim Pesawat dan mobil Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Gelombang perubahan Pendidikan Agraris Sekolah terbatas pada ruang Industri Sistem saat ini Reish dan Kohde (2000: 201) menyatakan ada 6 perubahan besar yang membentuk praktek kerja sosial dan pendidikan yaitu; globalisasi ekonomi, perubahan iklim politik, perkembangan penggunaan teknologi, pergeseran demografi dan dampaknya terhadap kotakota, perubahan layanan agen sosial, dan perubahan yang terjadi di universitas. Perubahan ini nampaknya akan berdampak secara sistemik. Perubahan sistemik merupakan transformasi yang fundamental dan merupakan perubahan besar di masyarakat yang memerlukan perubahan seluruh sistem sosial secara sistemik. Pendidikan sebagai suatu sistem sangat dipengaruhi oleh perubahan sistem yang menjadi lingkungannya baik ada level mikro, mezzo, maupun lingkungan makro. Realitas dunia pendidikan (nasional) dalam posisi tertinggal mengikuti perkembangan dan perubahan sistem dari yang seharusnya berjalan. Sistem pendidikan selalu lambat bereaksi karena minimnya kepemimpinan dan kecenderungan sistem yang dibangun dijiwai kepentingan kestabilan dan kemudahan pengelolaan administratif terhadap kinerja. Orientasi rendah kepada humaninvestment sebagai modal utama dianggap tidak mendukung social glamour menyebabkan keengganan untuk masuk ke dalam sikap visioner. Universitas seharusnya menjadi katalisator perubahan sistemik, namun terjebak pada perlombaan ikon-ikon social glamour seperti universitas kelas dunia, namun tidak siap dengan mereformasi diri dari involusi akademik. Rendahnya Informasi Bagaimana menyamakan perbedaan (fenomena muncul suku-suku virtual) apresiasi akademik dan dominasi anggaran untuk pembangunan fisik masih berkiblat sebatas demi kelancaran dan peningkatan kualitas belajar mengajar (teaching university) namun masih rendah apresiasi untuk kepentingan riset (research university) dan investasi terhadap sumber daya manusia. Involusi yang panjang ini akhirnya menyebabkan investasi sumber daya yang tidak jelas pemakaiannya. Pernyataan diri sebagai world class university (WCU) masih bersifat deklaratif yang tidak didukung komitmen jelas. Tantangan globalisasi di semua sektor mendorong perlunya perubahan paradigma terhadap sistem pendidikan yang baru. Nampak bahwa sense of belonging menjadi kunci penting perubahan, melibatkan kesadaran seluruh masyarakat bahwa sesuatu yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Spirit, keinginan politik, dan komitmen yang kuat dari masyarakat yang menjadi kekuatan paradigma sistem pendidikan yang baru karena masih sulit bisa mengharapkan pemerintah yang selalu sibuk dengan dunia politik. C. PARADIGMA BARU SISTEM PENDIDIKAN YANG DIPERLUKAN Menjawab tantangan dan kebutuhan global dua aspek dalam sistem pendidikan yang memerlukan perubahan dan pengkajian untuk ditransformasikan ke dalam paradigma baru yaitu metode pembelajaran dan manajemen pengelolaaan pendidikan. 162 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 1. Aspek Metode Pembelajaran Metode pembelajaran harus bergerak dari pola komunikasi pembelajaran satu arah (jarum hipodermis) menjadi multi arah. Pendidik bukanlah satu-satunya sumber belajar namun semua adalah sumber belajar. Pendidik yang baik adalah yang belajar dan mengajar demikian peserta didik yang baik adalah yang belajar dan mengajar. Posisi pendidik dan peserta didik bersifat egaliter, pendidik menjadi kolaborator sumber daya dan mitra belajar. Posisi pendidik memang tidak tergantikan meskipun kemajuan teknologi sudah memungkinkan terlaksananya pola interaksi multi arah. Pembelajaran adalah pertemuan budaya (idiosyncratic response) tidak mungkin semua bisa diperankan oleh teknologi layaknya interaksi antara manusia, meskipun postmodernisme menelurkan gagasan munculnya machinic phylum Pembelajaran harus meletakkan otonomi dan kontrol belajar pada peserta didik dan membumikan tanggung jawab untuk menjadi generasi yang mampu belajar berkelanjutan. Pendidikharusmau terus belajar dari praktek empiris (continuousprofessional authentic learning) yang terproyeksikan oleh peserta didik. Paradigma ini merupakan cara pandang dan orientasi baru terhadap keyakinan epistimologis bahwa pengetahuan dan ketrampilan lebih bermakna apabila individu belajar terlibat aktif mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Pada perjalanannya bukan berarti meninggalkan metode-metode di bawah payung behavioristik namun pendidik perlu mengorientasikan diri dalam mengembangkan otonomi belajar. Alasan lain adalah fakta neo behavioristik telah mencapai psikologi transendental dalam upaya meletakkan kontrol diri pada peserta didik dalam merespon lingkungan dan melakukan adaptasi berdasar pengalaman spiritual pribadinya. Metode pembelajaran layak dipilih yang menumbuhkan kepercayaan diri dan konsep diri yang baik, proaktif, saling berbagi informasi, meningkatkan keterampilan kerjasama dan berkomunikasi, berpikir kritis, berempati, memahami, menghormati perbedaan pendapat dan banyak harapan positif lainnya. Hal seperti ini diharapkan memberikan kemampuan peserta didik untuk menghadapi realitas kehidupan dalam konteks kesehariannya. 2. Aspek Manajemen Lembaga Pendidikan Manajemen itu sendiri bergerak dari yang beroperasi sendiri berubah kepada upaya membangun jaringan. Orientasiorientasi lembaga pendidikan yang hanya berada pada red ocean (bermain pada area persaingan yang sama) akan menyebabkan in-efisiensi karena pengaruh struktur birokrasi. Lembaga pendidikan harus membangun lompatan dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam menyuarakan sebagaimana cara kerja Steve Jobsdimana nilai-nilai yang merupakan karakteristik lokal dibangun oleh institusi pendidikan tersebut. Pada tataran ini institusi pendidikan masuk pada blue ocean (penambahan nilai), dan diteruskan dengan perspektif global untuk mengembangkan local wisdom. Sumber-sumber belajar online dalam bentuk jaringan pengetahuan, portal pengetahuan, telelearning, kelas maya, dan bentuk lain akan menggerakkan setiap insitusi menjadi knowledge creator yang produktif, terutama hasil riset. Insitusi pendidikan tidak perlu memandang institusi lain sebagai kompetitor atau rival tetapi sebagai mitra yang saling menghormati keunikan masing-masing. Pemerintah sebagai pengelola pendidikan sebaiknya menempatkan diri sebagai fasilitator untuk menjaga identitas profesionalisme institusi pendidikan dan SDM kependidikan sesuai karakter bangsa bukan justru mendistorsi melalui beragam program dengan pendekatan proyek. 163 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Implementasi tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena melibatkan dukungan banyak pihak dan banyak ekses yang ditimbulkan seperti perubahan peran baik lembaga pendidikan maupun peran pendidik, peserta didik serta orang-orang yang termasuk dalam sistem pendidikan. Namun, sikap visioner melalui konteks perubahan ini akan memberikan kejelasan arah bagaimana sektor pendidikan dapat bersinergi seiring kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan, dunia usaha, dan perubahan sosial masyarakat dengan output pendidikan lebih berkualitas. 3. Bagaimana langkahnya? Perubahan paradigma sistem pendidikan tersebut harus dimulai dari pemahaman mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat informasi sehingga proses pendidikan dan pelatihan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Berikut perubahan beberapa aspek akibat pergeseran dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Tabel 4. Pergeseran dari Masyarakat Industri ke Masyarakat Informasi Industrial age Information age Bureaucratic Team organization organization Autocratic leadership Shared leadership Centralized control Autonomy, Adversarial accountability relationships Cooperative Mass production, etc relationships Compliance Customized Conformity production, etc. One-way Initiative communications Diversity Compartmentalization Networking Division of labor Holism Integration of tasks Perubahan di atas menyebabkan perubahan konsep tentang tempat kerja, keluarga, dan masyarakat namun penulis akan membahas perubahan konsep tempat kerja dan keluarga dalam kaitan dengan pendidikan. 4. Konsep tempat kerja (work place) dan pendidikan Tempat kerja berubah dari suatu aktifitas individual (berpikir dan bertindak sendiri) menjadi suatu tempat untuk saling bekerjasama dan bahkan suatu tempat untuk berinisiatif. Kerjasama bisa dilakukan di era teknologi dan bahkan menghasilkan sesuatu yang bernilai tinggi. Tempat kerja bahkan menurut Webster (2011: 714) menggunakan istilah ―workplace learning” menekankan seorang profesional yang ―belajar‖ bukan pada terminologi ―pengembangan‖ karena ―pengembangan‖ bersifat embbeded dalam aktifitas belajar bukan sekedar partisipasi dalam program yang bersifat isidental dalam pengembangan diri. Identitas profesional dikenali dari aktifitas bekerja sambil belajar. Don Tapscott dalam Macrowikinomic (2010: 07-09) menyatakan adanya lompatan baru dunia dari ekonomi mikro ke ekonomi makro dan teknologi nampak bisa menjadi basis pengembangan profesionalisme. Dunia pendidikan tentu harus menyesuaikan dengan melakukan perubahan kurikulum, namun kenyataan peserta didik tidak mendapatkan kondisi cukup belajar bermakna karena adanya peningkatan biaya pendidikan. Secara implisit nampak ada kebutuhan dalam bentuk hidden curriculum yang bisa memfasilitasi laju dan kebutuhan belajar setiap individu secara fleksibel dengan bantuan teknologi. Implikasinya perlu perubahan paradigma tentang belajar yaitu; 164 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Tabel 5. Implikasinya Perlu Perubahan Paradigma Tentang Belajar Belajar Time-based Attainment-based Group-based Person-based Teacher-based Resource-based Konsep utama yang ingin dipenuhi adalah belajar tuntas yang memberikan penekanan-penekanan pada kemajuan belajar secara berkelanjutan (continuous progress), perencanaan belajar atas kebutuhan individu (personal learning plans customized), penilaian berbasis kinerja (performance-based assessment (PBA), danbelajar berbasis kinerja (performance-based learning (PBL). Selain itu proses belajar lebih bersifat kerjasama (cooperative learning/teams), penggunaan teknologi sebagai alat, menempatkan guru sebagai pelatih atau fasilitator, mengajarkan ketrampilan berpikir, dan membuat makna serta mengembangkan ketrampilan interpersonal. Konsep ini mengisyaratkan bahwa belajar dan aktifitas pendidikanarenanya jauh melampaui insitusi sekolah dan atau pendidikan. Brown (2000: 348) mengatakan arena pendidikan meliputi arena ekonomi untuk mempertahankan keterampilan di dunia kerja, politik untuk pendidikan politik, dan kristalisasi mobilisasi komunitas, dan teknis belajar menggunakan media generasi terbaru. Reigeluth (2009: 14) bahkan menyatakan tanpa perubahan paradigma reformasi yang dilakukan tidak akan berarti dan tetap akan membuang banyak anakanak potensial di sekolah. 5. Konsep keluarga dan pendidikan Pada sisi keluarga juga terjadi pergeseran bahwa pada era sekarang banyak keluarga sebagai institusi sosial mengalami masalah kurangnya komunikasi sesama anggota keluarga, kebutuhan emosional dan fisik kurang terpenuhi, kurangnya disiplin, lebih suka mengontrol secara fisik dan mental terhadap orang lain, dan kurang peduli satu sama lain. Dunia pendidikan perlu merubah paradigma sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada pencapaian target tanpa memperhatikan lingkungan sebagai konteks berlangsungnya proses pendidikan terutama keluarga. Dewey dalam Alan Orstein (1985: 133) menekankan pentingnya sekolah memperkenalkan siswa kepada masyarakat dan budayanya sesuai minat, bakat, dan masalah. Secara spesifik Stephen N. Elliot (2000: 18) menegaskan keluarga khususnya orangtua memiliki dampak pencapaian belajar anak terutama; 1. kesan terhadap sekolah, guru, dan belajar , 2. Aktifitas dan keterlibatan orangtua dalam aktifitas sekolah terproyeksikan oleh anak, dan 3. Pola asuh mempengaruhi keterlibatan anak di sekolah. Pendidikan nampak perlu memperhatikan lingkungan, menjaga komunikasi dengan para orangtua, dan konsen pada masa anak-anak secara keseluruhanyang relatif merupakan generasi terbaru. Konsekwensi dari hal ini maka; a. Pendidik perlu memperhatikan fokus tanggung jawab pada pendidikan usia dini terutama selama masa usia penting. b. Pendidik berorientasi untuk bertanggungjawab mendidik kepada seluruh anak secara keseluruhan, bukan hanya yang ada dalam sistem persekolahan c. Setiap sekolah hendaknya membatasi diri akan jumlah siswa atau class size untuk menjaga efektifitas agar tercipta lingkungan yang kondusif dan perlakuan individu. d. Setiap peserta didik seharusnya mengembangkan kontrak belajar (baik karaktermaupun subtansi) dengan guru dan orangtua untuk memberikan dukungan konteks. Fokus belajar nampak bergeser sehingga diperlukan perubahan-perubahan 165 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret fundamental sistem pendidikan. Ada isu-isu umum yang muncul terkait perubahan paradigma yaitu paradigma tentang mengajar harus fokus kepada kemaslahatan peserta didik dan diperlukannya struktur organisasi yang lebih fleksibel, banyak pilihan, dan bersifat suportif (pendukung) bukan kontrol kekuasaan. Fisher dalam Scrimshaw (1993: 08) bahkan sampai pada kesimpulan bahwa belajar secara efektif bisa benar-benar terjadi jika terjadi pertukaran pengalaman tanpa input dari sumber yang lebih berpengetahuan, guru bisa berdiri di belakang atau membiarkan pebelajar untuk untuk bereksplorasi dengan situasi menurut kebebasan, atau mencari situasi tertentu di mana peserta didik dan pendidik merupakan mitra dalam posisi egaliter. Kesimpulannya institusi pendidikan harus menjadi suatu sistem pembelajaran yang meletakkan orientasinya pada pemberian pengalaman belajar dengan dukungan administrasi dan tata kelola yang baik. Institusi pendidikan harus bisa menjadi agen bagi terjadinya transformasi kultur belajar. Masyarakat perlu dilibatkan dalam mendesain ulang sistem pembelajaran institusi pendidikan dengan proses perancangan yang lebih etis (bebas kepentingan politik) dan perkuatan masyarakat sekolah untuk merancang masa depan sendiri. Otonomi institusi pendidikan dan kewenangan lebih luas bisa menjadi momentum dari keperluan ini. 6. Implikasi terhadap layanan Institusi pendidikan sebagai suatu sistem layanan kependidikan harus lebih terbuka untuk kerjasama yang melibatkan interdisiplin (interdisciplinary collaboration), secara intensif mempertahankan usaha-usaha sekolah berkelanjutan dan kemungkinan menyongsong otonomi yang lebih besar menjadi sekolah mandiri baik dalam kebijakan maupun menjadi sekolah atau guru yang menginspirasi masyarakat. Tuntutan ini berimplikasi kepada penyelenggaraan calon guru atau tenaga kependidikan baik dari sisi metode pendidikan dan latihan guru dalam jabatan maupun pra jabatan. Mulai dari input sampai dengan proses pendidikan dan penempatan. Regulasi yang tepat dan mandat yang jelas kepada LPTK. LPTK perlu diperkuat dalam menyelenggarakan inservice training baik penguatan kapasitas lembaga, SDM penyelenggara pendidikan dan latihan guru, juga dari sisi pengembangan riset di bidang kependidikan. 7. Implementasi paradigma baru Sisdiknas Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita mengimplemantasikan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut: a. Sistem pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip ―muatan lokal, orientasi global‖ sebagaimana ide Don Tapscott dalam Macrowikonomic. b. Kandungan dan muatan kurikulum berbasis penciptaan kompetensi secara holistik (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan mengeliminasi terjadinya proses fiksasi sehingga perlu ada pengkajian ulang UAN. c. Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan, tidak sekedar pengkabaran buku teks penyebab cognitive load dan menghasilkan unschool mind. Proyek-proyek pengadaan buku yang otoriter perlu dihapuskan, arahkan ke publikasi digitalisasi dan 166 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret d. e. f. g. buku murah dengan dukungan dana pemerintah. Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan harus mempunyai kemampuan merangsang dan mengembangkan kecerdasan majemuk peserta didik (group based ke person based), biarkan suku-suku maya berkembang sebatas pada aktifitas keilmuan. Pusatkan peran sebagai kolaborator interdisipliner. Aksesibilitas terhadap teknologi informasi ditingkatkan agar dapat tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya baik melalui pengurangan kesenjangan digital maupun pengembangan melek TIK. Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah yang mengintegrasikan sistem informasi terpadu (EMIS) untuk menunjang proses administrasi yang bernilai strategis Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur pendidikan sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional. Pemerintah pusat berikan contoh penerapan 20 % anggaran APBN secara riil bukan deklaratif. D. PENUTUP Ada kesepakatan bahwa ―nasib‖ keberhasilan anak bangsa ini untuk dapat berkompetisi dan berhasil memenangkan persaingan di segala sektor di era global ini berada pada institusi pendidikan yang didukung oleh sistem pendidikan yang berparadigma baru. Keunggulan kompetitif memerlukan dukungan masyarakat berpartisipasi dalam menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan dunia pendidikan. Tiadanya inovasi menyebabkan ketertinggalan dunia pendidikan akan tuntutan masyarakat terlebih tuntutan masyarakat global. Indonesia tidak seharusnya menghasilkann lulusan yang kurang percaya diri, tidak mandiri, dan selalu tergantung pada pihak lain. Perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi kesenjangan antara proses, hasil, dan pengalaman selama di bangku sekolah dengan kenyataan tuntutan hidup yang riil. Konsep pendidikan menjadi pendidikan tidak terbatas (waktu, lokasi). Marginalisasi diri harus dicegah dengan perubahan paradigma akan sistem pendidikan yang menuju keinginan untuk melakukan suatu perubahan kearah perbaikan. DAFTAR PUSTAKA Adams., Betts, K., Matto, H., Lecroy., & Winston, C. (2009). Limitations of EvidenceBased Practice for Social Work Education: Journal of social work education; spring 2009; 45, 2; proquest sociology pg. 165 Bown, Lalage (2000). Lifelong learning: Ideas and achievements at the threshold of the twenty-first century. Compare; Oct 2000; 30, 3; ProQuest Research Library Elliot, Stephen N., Kratochwill, TR., Cook, JL., & Travers, JF (2000). Educational Psychology (3rd). Effective teaching, effective learning. Boston: Mc. Grawhill Gallo, Carmine (2011). The Innovation Secrets of Steve Jobs. Insanely Different Principles to Breaktrough Success. New York: Mc. Grawhill. 167 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Michael, Reish; Jarman-Rohde, Lily (2000). The Future of Social Work in theUnited States: Implications for Field Education. Journal of Social WorkEducation; Spring/Suhmmer 2000; 36, 2; ProQuest Sociology pg. 201 Moll, Luis C. (1990). Vygotsky and Education. Instructional implications and applications of sociohistorical psychocology. Australia: Cambridge University Press. Ornstein, Alan C., & Levine, Daniel L. (1984). An Introduction to the Foundations on Education. Boston: Hounghton Mifflin Company. Pepperell, Robert (2009). Posthuman (kompleksitas dan kesadaran, manusia dan teknologi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Reigeluth, Charles M (1983). Instructional Design- Theories and Models. An overview of their current status. London: LEA Publisher Reigeluth, Charles M., & Carr-Chellman, Alison A,. (2009). Instructional Design- Theories and Models. Building a common knowledge base (3rd). New York and London: Routledge Tailor and Francis Publisher Sarvage, Laura (2009). Who is the “Professional” in a Professional Learning Community? An Exploration of Teacher Professionalism in Collaborative Professional Development Settings. Canadian Journal Of Education 32, 1 (2009): 149-171 Scrimshaw, Peter. (1993). Language, Classroom and Computers. London: Routledge. Tapscott, Don & William, D. Anthony (2010). Macrowikinomics. Rebooting Business and the World. London: Penguin Group Toffler, Alvin (1970). The Future Shock. USA: Random House Webster-Wright, Ann (2009). ―Reframing Professional Development Through Understanding Authentic Professional Learning‖ Journal of Education, June 2009 pg. 702-739 168 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DASAR-DASAR PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS E-LEARNING Mawardi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga E-mail:[email protected] ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan kaitan antara teori belajar dan pembelajaran dengan rancangan model pembelajaran; hakikat dan komponen pembelajaran; model pembelajaran; dan integrasi konten, strategi dan teknologi penyampaian pembelajaran berbasis e-Learning. Pergeseran orientasi teori berdasarkan teori belajar behavioristik ke orientasi teori belajar kognitifkonstruktivistik mempengaruhi cara guru dalam memilih ataupun merancang model-model pembelajaran. Teori konstruktivisme memiliki pandangan yang berbeda dengan teori behaviorisme tentang deskripsi belajar dan preskripsi pembelajaran.Esensi dari teori behavioristik adalah ide bahwa siswa dikondisikan untuk menerima curahan pengetahuan. Ukuran keberhasilan belajar dan pembelajaran terletak pada seberapa banyak materi pembelajaran telah diserap dan disimpan oleh siswa sebagai bentuk perubahan perilaku.Teori konstruktivime meyakini bahwa pengetahuan berkembang melalui pengalaman, dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Pengetahuan dibangun oleh siswa melalui proses pemberian makna secara unik dan spesifik, bukan diterima begitu saja secara instan. Apapun orientasi teori belajar yang dipilih guru, semestinya model pembelajaran yang dikembangkan mampu memberikan pengalaman belajar yang lebih kaya. Model pembelajaran hakikatnya adalah konkretisasi teori pembelajaran untuk menggambarkan proses-proses dan variabel-variabel yang terdapat dalam sebuah teoriyang melukiskan prosedur sistematis berupa langkahlangkah pembelajaran. Model pembelajaran yang sangat potensial memberikan pengalaman belajar yang lebih kaya diantaranya adalah model pembelajaran berbasis e-Learning. Pembelajaran menggunakan e-Learning bukan hanya sekedar menempatkan materi pembelajaran yang dirancang guru di dalam portal website, kemudian siswa mengunduh dan membaca materi, tetapi suatu rancangan yang dibangun berdasarkan integrasi model pedagogi, strategi pembelajaran dan teknologi penyampaian terpilih. Dalam model pembelajaran berbasis e-Learning, didalamnya terintegrasi konten pembelajaran digital; strategi pembelajaran eksplorasi - forum,chat; serta teknologi penyampaian pembelajaran menggunakan LCMS (Learning Content Management System). Kata kunci : model pembelajaran, e-Learning 169 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret A. PENDAHULUAN Dalam konteks model pembelajaran, perbedaan cara pandang terhadap konsep belajar dan pembelajaran mempengaruhi bagaimana model pembelajaran dirancang. Perkembangan ilmu di bidang psikologi pendidikan berdampak pula terhadap cara pandang guru tentang desain pembelajaran, praktik pembelajaran dan tentu saja asesmen pembelajaran. Pergeseran orientasi teori berdasarkan teori belajar behavioristik ke orientasi teori belajar kognitifkonstruktivistik mempengaruhi cara guru dalam memilih ataupun merancang modelmodel pembelajaran. Teori konstruktivisme memiliki pandangan yang berbeda dengan teori behaviorismetentang deskripsi belajar dan preskripsi pembelajaran. Teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuanadalah objektif, pasti, dan tetap-tidak berubah. Pengetahuan berupafakta-fakta, konsep konsep, dan kaidah-kaidah siap ditransfer dari guru kepada siswa. Behaviorismememandang bahwa belajar merupakan proses pengubahan perilaku dan mengajar adalahproses menanamkan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa. Esensi dari teoribehavioristik adalah ide bahwa siswa dikondisikan untuk menerima curahanpengetahuan. Ukuran keberhasilan belajar dan pembelajaran terletak pada seberapabanyak materi pembelajaran telah diserap dan disimpan oleh siswa sebagai bentuk perubahan perilaku. Landasan berpikir behavioristik berfokus pada perubahan perilaku sebagai hasil pembelajaran. Cara pandang dalam hal belajar dan pembelajaran seperti ini berdampak pula padamodel pembelajaran yang dipilih. Pada awal perkembangannya, model pembelajaran yang berorientasi teori behaviorisme lebih bersifat ekspositorik. Guru memberikan penjelasan dan mengontrol perilaku ssiswa dengan pengulangan (drill) dan latihan. Pada perkembangan selanjutnya, berkembang model-model pembelajaran berbasis behavioristik. Misalnya model pembelajaran berprograma, model tutorial, model CAI (Computer Assisted Instruction) dan pembelajaran berbasis Web. Teori konstruktivime meyakini bahwa proses memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak hasil yang diperoleh siswa dalam mengingat pengetahuan. Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman, dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Pengetahuan dibangun oleh siswa melalui proses pemberian makna secara unik dan spesifik, bukan diterima begitu saja secara instan. Model pembelajaran berdasarkan cara pandang konstruktivisme lebih menekankan keterampilan proses. Misalnya model problem based learning,collaborative learning dan computer supported collaborative learning. Maraknya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), nampaknya juga semakin meramaikan khasanah pengembangan model-model pembelajaran mutakhir. Dukungan teknologi memungkinkan adanya aktivitas pembelajaran otentik berbasis lingkungan meskipun termediasi. Penelitian Depdiknas (2006) menemukan bahwa lemahnya keterampilan siswa dalam berpikir (bahkan hanya terampil dalam menghafal) tidak terlepas dari kebiasaan guru dalam mengembangkan model pembelajaran yang kurang memperkaya pengalaman otentik siswa. Pengaruh globalisasi TIK, memunculkan model-model pembelajaran berbasis komputer dan internet. Misalnya model pembelajaran berbasis e-Learning. E-Learning membawa pengaruh terjadinya proses transformasi pendidikan konvensional ke dalam bentuk digital, baik konten maupun sistemnya. Saat ini konsep e-Learning sudah banyak diterima oleh masyarakat dunia, terbukti dengan maraknya implementasi e-Learning di lembaga pendidikan maupun industri (Cisco System,IBM, HP,Oracle, dsb).Satu hal yang 170 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret harus diperhatikan adalah bahwa mengimplementasikan pembelajaran berbasis e-Learning bukan berarti sekedar meletakkan materi ajar pada Web. Perlu ada pemikiran yang mendalam tentang integrasi materi, model pedagogi dan sistem penyampaian yang memadai, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara lebih efektif. Mengingat bahwa hakikat belajar adalah proses pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan sikap sebagai hasil interaksi siswa dengan lingkungannya, maka apapun orientasi teori belajar yang dipilih guru, semestinya model pembelajaran yang dikembangkan mampu memberikan pengalaman belajar yang lebih kaya. Sekedar pengetahuan awal, berikut ini secara berurutan akan dipaparkan hakikat pembelajaran, model disain pembelajaran, hakikat model pembelajaran berbasis eLearning, dan integrasi konten pembelajaran dengan model pedagogi dan teknologi penyampaian pembelajaran. B. HAKIKAT PEMBELAJARAN Secara terminologis, Knirk & Gustafson (1986:7) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu siswa mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar.Definisi ini lebih menekankan adanya langkah sistematis yang dilakukan oleh guru dalam mengembangkan instructional design (ID), yang mencakup tiga tahapan, yaitu tahap desain, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Tentang pengertaian pembelajaran ini, Mayer (2008:7) menyatakan: ”...Thus, the definition of instruction has two main components: 1. Instructions is something the teachers does, 2. The goal of instruction is to promote learning in the student. This definition of instruction is broad enough to include lectures, discussions, educational games, textbooks, research projects, and Web-based presentations” Rumusan singkat yang dikemukakan Mayer tersebut di atas, nampak bahwa hakikat pembelajaran mencakup apa yang dilakukan oleh guru dalam rangka membelajarkan siswanya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa secara lebih luas termasuk dalam cakupan pengertian pembelajaran ini adalah komponen dosen, metode, strategi, permainan pendidikan, buku, proyek penelitian dan penyampaian pembelajaran berbasis Web.Rumusan legal formal tentang pembelajaran dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang Sisdikan No.20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.Rumusan singkat pembelajaran yang terdapat dalam UU Sisdiknas menekankan adanya interaksi antara guru sebagai pendidik dalam merancang dan menggunakan berbagai lingkungan belajar dan sumber belajar dengan siswa sebagai peserta dalam menyerap bahan pembelajaran. Dari berbagai pengertian pembelajaran yang dikemukakan oleh Knirk & Gustafson (1986:7), Mayer (2008:7), dan pengertian legal formal dalam UU Sisdiknas (2003) di atas, dapat diinventarisir komponen-komponen pembelajarandan pentingnya perancangan pembelajaran berikut : 1) komponen-komponen utama pembelajaran mencakup: (a) tujuan sebagai tolok ukur keberhasilan pembelajaran, (b) bahan pembelajaran, (c) strategi pembelajaran, (d) media dan teknologi penyampaian materi pelajaran, dan (e) evaluasi pembelajaran; dan 2) desain pembelajaran harus dilakukan oleh guru. 171 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dengan demikian pembelajaran hakikatnya adalah kegiatan yang dirancang oleh guru dalam rangka memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa melalui perancangan tujuan, bahan pembelajaran, strategi, media dan teknologi penyampaian materi pelajaran, serta evaluasi untuk mencapai tujuan bidang kajian tertentu. Tentang komponen-komponen pembelajaran ini, R. Ibrahim & Nana Syaodih, S.(2010:4) memerikan komponen sistem pembelajaran yang mencakup: tujuan, bahan ajar, metode, mediadan evaluasi.Dick, Carey & Carey (2009:6-8) komponen pembelajaran, mencakup dentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa, analisis instruksional, identifikasi tujuan instruksional umum, menuliskan tujuan instruksional khusus, mengembangkan creterion referenced test, mengembangkan strategi instruksional, mengembangkan dan memilih sumber dan alat pembelajaran, serta media instruksional, dan melaksanakan evaluasi formatif dan sumatif. Merujuk komponen-komponen pembelajaran yang dikemukakan oleh Ibrahim dan Syaodih dan Dick, Carey & Carry tersebut diatas, nampak bahwa komponen utama pembelajaran mencakup a) tujuan sebagai tolok ukur keberhasilan pembelajaran, (b) bahan pembelajaran, (c) strategi pembelajaran, (d) media dan teknologi penyampaian materi pelajaran, dan (e) evaluasi pembelajaran. Menurut Davis, Alexander dan Yelon (2001:25) mengemukakan bahwa dalam rancangan sistem pembelajaran (learning system design) setiap komponen sistem saling terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sebuah sistem, masing-masing komponen pembelajaran berkontribusi membentuk integritas menjadi satu kesatuan yang utuh. Secara skematis, interaksi komponenkomponen pembelajaran dapat dicermati dalam Gambar 1. berikut. Gambar 1. Skema interaksi komponenkomponen pembelajaran Masing-masing komponen saling berinteraksi satu dengan yang lain menjadi hubungan yang bermakna. Komponen tujuan pembelajaran berisi acuan hierarkhis cita-cita pendidikan nasional, institusional, kurikuler dan instruksional umum maupun khusus. Komponen materi pembelajaran betkaitan dengan materi sebagai muatan atau isi kurikulum, kategori materi dan teknik pemilihan materi pembelajaran. Komponen strategi pembelajaran menekankan pada konsep strategi sebagai wujud paradigma yang diyakini, macammacam strategi dan cara memilih strategi. Komponen media pembelajaran berkaitan dengan konsep media pembelajaran yang dianut, kedudukan media dalam pembelajaran, fungsi media dan klasifikasi media pembelajaran. Sedangkan komponen evaluasi berkaitan dengan konsep dasar evaluasi, pengukuran, penilaian, kriteria penilaiandan prnsip-prinsip evaluasi. C. MODEL DESAIN PEMBELAJARAN Memahami hakikat desain pembelajaran dapat didekati dari hakikatnya sebagai sebuah sistem dan proses. Sebagai sistem, desain pembelajaran merupakan pengembangan sistem 172 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pembelajaran, sistem pelaksanaannya termasuk sarana serta prosedur untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Sedangkan desain pembelajaran sebagai proses menurut Syaiful Sagala (2009:136) adalah pengembangan pengajaran secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori pembelajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa penyusunan perencanaan pembelajaran harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pembelajaran yang dianut dalam kurikulum yang digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan desain pembelajaran adalah praktik penyusunan media teknologi komunikasi dan isi untuk membantu agar dapat terjadi transfer pengetahuan secara efektif antara guru dan peserta didik. Proses pengembangannya didasarkan pada informasi dari teori belajar yang sudah teruji secara pedagogis, berdasarkan analisis karakter siswa, dan dikembangkan oleh guru profesional. Dalam terminologi desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para ahli. Secara umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam model berorientasi kelas, model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural dan model melingkar. Model berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro (kelas) yang hanya dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ASSURE. Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkann suatu produk, biasanya media pembelajaran, misalnya video pembelajaran, multimedia pembelajaran, atau modul. Contoh modelnya adalah model Hannafin and Peck. Model berorientasi sistem merupakan model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannya luas, seperti desain sistem pelatihan, buku, kurikulum sekolah, dan lain-lain. Contohnya adalah model ADDIE. Selain itu, ada model prosedural dan model melingkar. Contoh dari model prosedural adalah model Dick and Carrey, dan contoh model melingkar adalah model Kemp. Berikut uraian singkat tentang Model Dick and Carrey, Model Kemp, Model ASSURE dan Model ADDIE 1. Model Dick and Carrey Salah satu model desain pembelajaran bersifat prosedural adalah model Dick, Carey and Carey (2009:6). Model ini termasuk ke dalam model prosedural. Langkah-langkah Desain Pembelajaran menurut Dick and Carey adalah:a) mengidentifikasi tujuan pembelajaran, b) melakukan analisis instruksional, c) menganalisis karakteristik siswa dan konteks pembelajaran, d) menuliskan tujuan instruksional khusus, e) mengembangkan instrumen penilaian, f) mengembangkan strategi pembelajaran, g) memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran, h) merancang dan mengembangkan evaluasi formatif, i) melakukan revisi terhadap program pembelajaran, dan j) merancang dan mengembangkan evaluasi sumatif. 2. Model Kemp Model Kemp termasuk ke dalam contoh model melingkar jika ditunjukkan dalam sebuah diagram. Secara singkat, menurut model ini terdapat beberapa langkah dalam penyusunan sebuah bahan ajar, yaitu: a) Menentukan tujuan dan daftar topik,menetapkan tujuan umum pembelajaran tiap topiknya; b) Menganalisis karakteristik pelajar, untuk siapa pembelajaran tersebut didesain; c)Menetapkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan syarat dampaknyadapat dijadikan tolak ukur perilaku pelajar; d) Menentukan isi materi pelajaran yang dapat mendukung tiap tujuan; e) Pengembangan prapenilaian/ 173 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret penilaian awal untuk menentukan latar belakang pelajar dan pemberian level pengetahuan terhadap suatu topik; f) Memilih aktivitas pembelajaran dan sumber pembelajaran yang menyenangkan atau menentukan strategi belajar-mengajar, jadi siswa siswa akan mudah menyelesaikan tujuan yang diharapkan; g) Mengkoordinasi dukungan pelayanan atau sarana penunjang yang meliputi personalia, fasilitas-fasilitas, perlengkapan, dan jadwal untuk melaksanakan rencana pembelajaran; h) Mengevaluasi pembelajaran siswa dengan syarat mereka menyelesaikan pembelajaran serta melihat kesalahan-kesalahan dan peninjauan kembali beberapa fase dari perencanaan yang membutuhkan perbaikan yang terus menerus, evaluasi yang dilakukan berupa evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. 3. Model ASSURE Model ASSURE merupakan suatu model yang merupakan sebuah formulasi untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau disebut juga model berorientasi kelas. Menurut Heinich (2005) model ini terdiri atas enam langkah kegiatan yaitu: a) Analyze Learners, b) States Objectives , c) Select Methods, Media, and Material , d) Utilize Media and materials, e) Require Learner Participation dan f) Evaluate and Revise 4. Model ADDIE Ada satu model desain pembelajaran yang lebih sifatnya lebih generik yaitu model ADDIE (Analysis-Design-DevelopImplement- Evaluate). ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu fungsinya ADIDE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri. Model ini menggunakan 5 tahap pengembangan yakni : a) Analysis (analisa), b) Design (disain / perancangan), c) Development (pengembangan), d) Implementation (implementasi/eksekusi) dan e) Evaluation (evaluasi/ umpan balik). Untuk memilih model mana yang dapat digunakan dalam mengembangkan rancangan pemebelajaran, Merrill (2008: 42-55) mengemukakan lima prinsip, yaitu task-centered principle, activation, demonstration, application, and integration. Kelima prinsip tersebut disajikan pada gambar 2. berikut: INTEGRATION ACTIVATION TASK-CENTERED APPLICATION DEMONTRATION Gambar 2. Bagan Prinsip Pengembangan Model Pembelajaran (Merrill.2009.41–56) Model tersebut di atas terdiri dari 5 tahapan pengembangan yang berputar secara siklus, yakni:1) task-centered principle,artinya bahwa pembelajaran mestinya merupakan strategi pembelajaran berbasis tugas dan merupakan tugas-tugas yang kompleks dan utuh yang selalu berkembang., 2) activation, artinya pembelajaran mengaktivasi struktur kognitif dengan cara mengingat, mendeskripsikan, mendemonstrasikan pengetahuan sebelumnya yang relevan serta saling berbagi pengalaman untuk membentuk pengetahuan baru, 3) demonstration, artinya 174 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pembelajaran semestinya menyediakan proses demonstrasi keterampilanketerampilan yang konsisten dan mengobservasi proses demonstrasi melalui media yang sesuai dengan konten pembelajaran,4) application, artinya pembelajaran semestinya membuat siswa mengaplikasikan apa yang dipelajari sesuai dengan komponen-komponen keterampilan, dan 5) integration, artinya pembelajaran semestinya mampu mengintegrasikan pengetahuan baru terhadap struktur kognitif siswa. D. MODEL PEMBELAJARAN Istilah model seringkali menimbulkan berbagai tafsir. Snelbecker (1974:32) menyatakan : ―A model is a concretization of a theory which is meant to be analogous to or representative of the processes and variables involved in the theory” (Model adalah konkretisasi dari sebuah teori yang dimaksudkan untuk menggambarkan proses-proses dan variabel-variabel yang terdapat dalam sebuah teori). Sedangkan John J.O.I Ihalaw (2004:123) menyatakan bahwa model hakikatnya sama dengan teori, yaitu sistem dalil-dalil atau sebuah rangkaian terpadu dari dalil-dalil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa model berbeda dari teori ditijau dari aras abstraksinya. Sebuah model dibangun dari serangkaian dalil-dalil aras abstraksi rendah (sehingga lebih konkrit); sedangkan teori dibangun dari serangkaian dalil-dalil aras abstraksi tinggi. Pada umumnya model dibangun teori-teori dirumuskan. Meskipun ada juga model dikembangkan dalam rangka menghasilkan teori-teori yang pada gilirannya mengarah pada pembangunan model lain untuk verifikasi teori. Dari dua definisi tentang model di di atas, nampak bahwa model merupakan turunan dari teori, oleh karena itu hakikatnya model sebenarnya adalah teori itu sendiri. Oleh karena itu, sejalan dengan pandangan Snelbecker (1974:32) maka model yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah konkretisasi dari sebuah teori yang untuk menggambarkan proses-proses dan variabel-variabel yang terdapat dalam sebuah teori. Gunter (1990) mendefinisikan: model of teaching an instructional model is a step-by step procedure that lead to specific learning outcomes. Sedangkan Soetarno Joyoatmojo (2010) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu kerangka konseptual untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran, mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan/kompetensi, dan sebagai pedoman dalam proses pembelajaran yang melukiskan prosedur sistematis. Joyce, Weil & Calhoun (2011), dalam terminologi yang lebih spesifik, memberikan batasan bahwa model pembelajaran adalah ―kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis berupa langkah-langkah dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Lebih lanjut Joyce, Weil & Calhoun menjelaskan bahwa ada empat rumpun model, yaitu rumpun model pemrosesn informasi (The Information Processing Models),model personal (Personal Models),model interaksi sosial (Social Models) dan rumpun model sistem perilaku (Behavioral Systems). 1. Rumpun Model Pengolahan Informasi (The Information Processing Models). Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun ini bertolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia dengan memperkuat dorongan-dorongan internal (datang dari dalam diri) untuk memahami dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah dan 175 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret mengupayakan jalan keluarnya serta pengembangkan bahasa untuk mengungkapkannya. Kelompok model ini menekankan pada peserta didik agar memilih kemampuan untuk memproses informasi sehingga peserta didik yang berhasil dalam belajar adalah yang memiliki kemampuan dalam memproses informasi. Dalam rumpun model pembelajaran ini terdapat 7 model pembelajaran, yaitu : a) Pencapaian Konsep (Concept Attainment), b). Berpikir induktif (InductiveThinking), c). Latihan Penelitian (Inquiry Training), d). Pemandu Awal (Advance Organizer), e) Memorisasi (Memorization), f) Pengembangan Intelek (Developing Intelect), dan g) Penelitian Ilmiah (Scientic Inquiry). 2. Rumpun Model Personal (Personal Models) Rumpun model personal bertolak dari pandangan kedirian atau ―selfhood‖ dari individu. Proses pendidikan sengaja diusahakan yang memungkinkan seseorang dapat memahami diri sendiri dengan baik , sanggup memikul tanggung jawab untuk pendidikan dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Penggunaan model-model pembelajaran dalam rumpun personal ini lebih memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. Dalam rumpun model personal ini terdapat 4 model pembelajaran, yaitu :a). Pengajaran Tanpa Arahan (Non Directive Teaching), b). Model Sinektik (Synectics Model), c). Latihan Kesadaran (Awareness Training), dan d). Pertemuan Kelas (Classroom Meeting). 176 3. Rumpun Model Interaksi Sosial (Social Models) Penggunaan rumpun model interaksi sosial ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan kerjasama dari para siswa. Model pembelajaran rumpun interaksi sosial didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu (a) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatanm-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial, dan (b) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluasluasnya secara build-in dan terus menerus. Dalam rumpun model interaksi sosial ini terdapat 5 model pembelajaran, yaitu :a). Investigasi Kelompok (Group Investigation), b). Bermain Peran (Role Playing), c). Penelitian Yurisprudensial (Jurisprudential UInquiry), d) Latihan Laboratoris (Laboratory Training), dan e). Penelitian Ilmu Sosial 4. Rumpun Model Sistem Perilaku (Behavioral Systems) Rumpun model system perilaku mementingkan penciptaan sistem lingkungan belajar yang memungkinkan penciptaan sistem lingkungan belajar yang memungkinkan manipulalsi penguatan tingkah laku (reinforcement) secara efektif sehingga terbentuk pola tingkah laku yang dikehendaki. Model ini memusatkan perhatian pada perilaku yang terobservasi dan metode dan tugas yang diberikan dalam rangka mengkomunikaksikan keberhasilan. Dalam rumpun model sistem perilaku ini terdapat 5 model pembelajaran, yaitu :a). Belajar Tuntas (Mastery Learning), b). Pembelajaran Langsung (Direct Instruction), c). Belajar Kontrol Diri (Learning Self Control), d). Latihan Pengembangan Keterampilan dan Konsep (Training for Skill and Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Concept Development), dan e). Latihan Assertif (Assertive Training). Keempat rumpun model pembelajaran yang telah dikemukakan di atas, memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1) Sintaks (Syntax) yaitu urutan langkah pengajaran yang menunjuk pada fase-fase /tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru bila ia menggunakan modelpembelajaran tertentu. Misalnya model deduktif akan menggunakan sintak yang berbeda dengan model induktif; 2). Prinsip Reaksi (Principles of Reaction) berkaitan dengan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap siswa. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya guru menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model; 3) Sistem Sosial (The Social System) adalah pola hubungan guru dengan siswa pada saat terjadinya proses pembelajaran (situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam penggunaan model pembelajaran tertentu); 4). Sistem Pendukung (Support System) yaitu segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran secara optimal; serta 5). Dampak Instruksional (Instructional Effect) dan Dampak Pengiring (Nurturant Effects). Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai atau yang berkaitan langsung dengan materi pembelajaran, sementara dampak pengiring adalah hasil belajar iringan yang dicapai sebagai akibat dari penggunaan model pembelajaran tertentu. Dalam konteks pembelajaran berbasis e-learning, Dabbagh & BannanRitland (2005:165) mengembangkan model pedagogis berdasarkan teori pemrosesan informasi dalam akuisisi pengetahuan berbasis konstruktivis. Model-model pedagogis tersebut adalah: Cognitive Information Processing model (model Pemrosesan Informasi Kognitif), Parallel Distributing model (model Pendistribusian Paralel), dan Situated Cognition model (model Situasi Kognisi). Berikut penjelasan singkat masing-masing model. 1. Cognitive Information Processing model (model Pemrosesan Informasi Kognitif) Model ini menjelaskan bahwa otak manusia memiliki bagian-bagian untuk memproses informasi; sensor pencatat (sensor register), memori jangka pendek ( short term memory atau working memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Bagianbagian tersebut bersinergi menghasilkan pengetahuan baru berdasar pada pengetahuan yang sudah dimiliki (prior knowledge). Dalam sinergi tersebut ada prosedur untuk menyimpan, melacak, menggunakan, mengubah, dan memindah informasi. Informasi yang ditangkap oleh otak manusia melalui indera ditransformasikan dengan suatu cara membentuk skemata (struktur pengetahuan) yang tersimpan di dalam memori jangka panjang. Dalam konteks pembelajaran, jenis pengetahuan yang berbeda (misalnya pengetahuan deklaratif dan prosedural) memerlukan strategi yang berbeda pula karena cara pemrosesan informasinya berbeda. 2. Parallel Distributing model (model Pendistribusian Paralel) Model ini mengganggap bahwa memori jangka panjang dipersepsikan memiliki struktur dinamis sebagai folder pengetahuan yang memiliki banyak jalur koneksi. Skemata atau struktur kognitif perlu diaktifkan bukan dipandang statis tanpa koneksi seperti pada model pemrosesan informasi kognitif. Skemata terkoneksi ke seluruh jaringan struktur pengetahuan secara paralel agar lebih mudah dalam mengakomodasi pengetahuan baru. Pikiran diibaratkan sebagai otak dengan 177 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 3. jaringan syaraf neuron yang masingmasing terbuka untuk menerima rangsangan dan mengembangkan jaringan. Situated Cognition model (model Situasi Kognisi) Model ini menganggap bahwa individu pada dasarnya memiliki persepsi terhadap situasi dimana fenomena tersebut terdistribusikan sehingga sesuatu yang terjadi di dalam pikiran bukan hal yang terisolasi, namun menyangkut apa yang terjadi di dalam dan di luar (lingkungan, interaksi sosial, budaya, benda-benda) sebagai ruang belajar yang dinamis dan kompleks. Individu juga belajar dari berbagai aktivitas, kaitan-kaitan, dan interaksi di antara jaringan pengetahuan tersebut yang dimiliki terkait dengan situasi sebagai konteksnya. Vigotsky (1990) menyatakan bahwa perkembangan mental seseorang tidak hanya dipahami dari kondisi internal individu tersebut, tetapi menelaah juga kondisi sosial (faktor eksternal) dimana individu tersebut berkembang. Artinya bahwa belajar itu bermakna jika ada hubungan antara individu dengan ruang dimana individu tersebut belajar. Model pembelajaran yang berupaya memberikan makna bagi individu pembelajar sering disebut anchored instruction. Model situasi kognitif melahirkan beragam model padagogis berbasis konstruktivistik yang meyakini bahwa individu belajar dan memperoleh pengetahuan dalam kontek aktivitas sehari-hari. Individu belajar melalui interaksi sosial dan tidak lepas dari dunia empiris sebagai lingkungan yang memberikan pengalaman nyata (authentic learning). Dalam konteks pembelajaran termediasi dengan teknologi e-learning, pengalaman nyata sebagai konteks pembelajaran bisa dihadirkan melalui berbagai bahan multimedia. E. INTEGRASI KONTEN, STRATEGI PEMBELAJARAN DAN TEKNOLOGI PENYAMPAIAN DALAM ELEARNING Pembelajaran menggunakan elearning bukan hanya sekedar menempatkan materi perkuliahan yang dirancang guru di dalam portal website, kemudian siswa mengunduh dan membaca materi, tetapi suatu rancangan yang dibangun berdasarkan integrasi model pedagogi, strategi pembelajaran dan teknologi penyampaian terpilih. Berkaitan dengan model pedagogis, Pujiriyanto (2012:201) menyatakan bahwa model pedagogis adalah bangunan teoretik berlandaskan teori belajar sehingga memudahkan pelaksanaan strategi pembelajaran dan belajar. Model pedagogis memiliki pandangan preskripsi pembelajaran (how to teach) dan deskripsi proses belajar (how to learn) yang dapat diterjemahkan dalam praktik pembelajaran. Akuisisi pengetahuan digambarkan dengan sangat jelas dalam teori pemrosesan informasi, bagaimana pengetahuan diperoleh mulai dari proses konstruksi pengetahuan, penyimpanan, pelacakan dan pemanggilan kembali ketika diperlukan. Clark & Mayer (2008:35) menggambarkan proses akuisisi pengetahuan berdasarkan cognitive theory of multimedia learning melalui gambar 3. berikut. 178 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Gambar 3. Bagan Cognitive Theory of Multimedia Learning (Clark & Mayer.2008:35) Dari gambar nampak bahwa pemerolehan pengetahuan didasarkan pada empat asumsi dasar berikut. Pertama,asumsi dual‐channel, yaituelearners memiliki dua kanal terpisah untuk memproses materi. Kanal pertamamenangkap materi dalam bentuk kata-kata (disuarakan maupun dalam bentuk teks) melalui pendengaran ataupun penglihatan, kemudian diorganisasaikan melalui model verbal ataupun piktorial.Kanal kedua, elearners menangkap materi dalam bentuk gambar visual melalui penglihatan, kemudian diorganisasaikan melalui model piktorial saja.Kedua, limited capacity, yaitu bahwaelearners memiliki kapasitas memori yang terbatas(kapasitas working memory atau short term memory terbatas) untuk dapat memproses secara aktif informasi yang diterimanya pada setiap kanal dalam satu waktu. Analogi proses ini mirip seperti cache memory dalam central processing unit (CPU) komputer, ketika cache memory sudah penuh maka komputer menjadi hank. Ketiga,active processing, bahwabelajar terjadi ketika elearners terlibat dalam proses kognitif secara aktif seperti memilah materi pembelajaran, mengorganisasikan materi tersebut dalam struktur yang koheren dalam peta mentalnya, dan mengintegrasikan materi dengan apa yang telah diketahui sebelumnya (prior knowledge). Keempat, transfer new knowledge and skills, yaitu bahwa pengetahuan dan keterampilan baru yang telah terintegrasi dalam sistem kognitif elearners disimpan dalam long term memory, dan dapat dipanggil kembali (dalam wujud kinerja kompetensi elearners) bilamana diperlukan. Analogi proses long term memory ini seperti proses penyimpanan file data dari cache memory ke hard disk dalam CPU komputer, dan dapat dibuka kembali bilamana diperlukan. Mencermati proses pemerolehan pengetahuan berdasarkan cognitive theory of multimedia learning, maka konsekuensi implikatif dalam pembelajaran berbasis elearning dapat dikemukakan berikut : 1) pilih materi esensial sebagai bahan pembelajaran untuk ―menghemat‖ working memory, 2) organisasaikan materi pembelajaran dalam penggalan unit-unit dan sub-sub unit, serta alokasikan waktu pembelajaran tidak terlalu lama (maksimal 2 jam perkuliahan setiap penggalan RPP), 3) kelola kapasitas working memory yang terbatasdengan cara melakukan ulanganulangan formatif dan latihan untuk setiap penggal materi perkuliahan sesuai kebutuhan, 4) integrasikan materi 179 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret perkuliahan bersifat auditori dan visual dalam working memory dengan pengetahuan yang telah ada dalam long term memory, caranya dengan melakukan review bahan yang telah dipelajari melalui ulangan yang memadukan teks dan gambar, 5) ungkap kembali pengetahuan dan keterampilan baru yang telah tersimpan dalam long term memory ke dalam short term memory dengan cara melakukan tes akhir terhadap materi-materi perkuliahan yang baru. berdasarkan pandangan teoretik teori belajar tertentu.Pemilihan model pedagogis dan strategi belajar bersifat eklektif dan komplementer. Tergantung kebutuhan pembelajaran yang akan dikembangkan. Dilihat dari sudut pandang model pembelajaran otentik yang dikembangkan berdasarkan paradigm konstruktivisme, dan diyakini lebih bermakna bagi elearners, strategi pembelajaran dikelompokkan menjadi tiga strategi : 1) strategi eksplorasi, 2) strategi dialogis, dan 3) strategi pendukung (Dabbagh & BannanRitland.2005:210). Meskipun berada pada bahasan yang sama berkaitan dengan pembelajaran otentik, masing-masing memberikan penekanan yang berbeda. Secara skematis, irisan dan keselarasan strategi pembelajaran berdasarkan model pedagogik berbasis konstruktivisme dapat dicermati dari Gambar 4 berikut. Bermain peran Aktivitas berhipotesis Aktivitas Eksplorasi masalah pemecahan 1. Strategi pembelajaran Strategi pembelajaran hakikatnya merupakan langkah spesifik untuk memilih dan menyelaraskan urutan kegiatan pembelajaran berdasarkan model pedagodik yang dipilih.Dengan demikian strategi pembelajaran merupakan bentuk konkretisasi model pedagogis.Ada berbagai strategi pembelajaran yang dikembangkan Strategi eksplorasi Artikulasi Kemampuan refleksi AKTIVITAS BELAJAR OTENTIK Pemodelan dan eksplanasi Coaching students Kolaborasi & nego sosial Scaffolding Multiperspekti f Strategi pendukung Strategi dialogik Belajar mandiri Gambar 4. Irisan dan keselarasan strategi pembelajaran berdasarkan model pedagogik berbasis konstruktivisme (adaptasi dari Dabbagh & Bannan-Ritland.2005:207) 180 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dari gambar nampak bahwa strategi pembelajaran otentik sebagai strategi utama mencakup tiga strategi, yaitu strategi eksplorasi, strategi dialogis dan strategi pendukung, serta strategi belajar mandiri. Strategi eksplorasi mencakup : a) strategi pemecahan masalah, yaitu strategi yang berorientasi agar siswa bisa menerapkan pengetahuan yang dipelajari untuk memecahkan permasalahan pada situasi nyata; b) strategi eksplorasi, strategi ini mendorong siswa menjelajah dan menemukan informasi dengan beragam strategi dan sumber, menguji dugaandugaan, dan melihat dampaknya seperti dalam inkuiri dan penemuan; c) strategi pembangkit hipotesis, strategi ini mendukung terjadinya penggabungan konsep-konsep yang kemudian diuji sehingga bisa menimbulkan hipotesishipotesis baru secara terus-menerus sehingga diperoleh suatu kesimpulan., d) strategi bermain peran, strategi ini memberikan kesempatan kepada siswa bertindak layaknya seorang profesional atau tokoh yang diperankan dan bertindak dalam konteks nyata. Strategi pembelajaran dialogis mencakup : a) strategi pengembangan artikulasi, yaitu strategi yang memberikan kesempatan siswa untuk mengartikulasikan pengetahuan dan atau pemahaman mengenai sesuatu dengan menjelaskan dan berbagi informasi dari berbagai sudut pandang, b) strategi pengembangan refleksi, yaitu strategi untuk mengembangkan kemampuan berpikir reflektif dengan meninjau kembali apa yang sudah dilakukan, menganalisis kinerja, membandingkan dengan kinerja orang lain, dan membuat justifikasi untuk situasi yang baru, c) strategi pengembangan kolaborasi dan negosiasi sosial, yaitu suatu strategi yang memberikan kesempatan siswa berinteraksi untuk mengkontruksi pengetahuan dan mendialogkan tujuan yang berbeda-beda dengan menempatkan setiap orang (siswa dan pengajar) sebagai sumber belajar, d) strategi pengembangan multi perspektif, yaitu suatu strategi untuk mengembangkan pemahaman terhadap sesuatu dari berbagai sudut pandang sehingga pengetahuan yang diperolehnya bersifat luwes dan dalam struktur pengetahuan bermakna. Strategi-strategi Pembelajaran Pendukung (supportive instructional strategies) mencakup : a) strategi pengembangan pemodelan dan ekplanasi (modeling and explaining), yaitu suatu strategi yang menyajikan kinerja atau unjuk kerja seorang ahli sebagai model dari kompetensi yang akan dikuasai, b) strategi pengembangan kepelatihan (coaching), yaitu strategi yang bertujuan untuk meningkatkan unjuk kerja siswa dengan cara mengamati atau memonitor siswa pada saat menyelesaikan tugas-tugas belajar dan memberikan bimbingan saat diperlukan. c) strategi pengembangan bersifat bimbingan (scaffolding), yaitu strategi yang mengacu kepada teori zone of proximal development dari Vygotsky, yang menyatakan bahwa dengan bimbingan yang tepat, seorang siswa dengan kemampuan yang sudha dimiliki bisa mencapai level kemampuan lebih tinggi dan mencapai zona perkembangan potensialnya. Strategi pengembangan belajar mandiri (self-motivated learning). Strategi ini mengembangkan kemampuan siswa untuk merencanakan dan mengelola, memonitor dan mengevaluasi proses belajarnya sendiri sebagai inisiatif dari dalam diri siswa yang merupakan bentuk dari belajar mandiri. Siswa yang mandiri mampu menganalisis kebutuhan belajarnya, menentukan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber-sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajarnya, serta mengevaluasi hasil belajarnya. Kemampuan ini erat kaitannya dengan self regulated learning yaitu kemampuan mengatur proses belajarnya sendiri. 181 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 2. Teknologi penyampaian (delivery technology) Engkos Koswara N (2008:2), Staf Ahli Menristek Bidang TIK di Pendidikan Tinggi Berbasis E-Learning menyatakan bahwa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan e-learning adalah teknologi penyampaian materi. Penyampaian materi e-learning dapat melalui synchronous atau asynchronous.Synchronous berarti dosen dan mahasiswa berinteraksi secara waktu nyata (real time), beberapa peralatan yang menggunakan cara itu harganya relatif mahal. Misalnya dengan two-way videoconferences, audio conferencing, internet chat, dan video conferencing.Penyampaian materi dengan asynchronous tidak secara bersamaan.Dosen menyampaikan perkuliahan melalui portal web, kemudian mahasiswa merespons pada lain waktu, misalnya feedback disampaikan melalui email. Meskipun teknologi mempunyai peranan penting dalam penyampaian materi perkuliahan, dosen harus fokus pada apa yang akan disampaikan, bukan pada teknologi penyampaiannya. Kunci elearning yang efektif adalah harus fokus pada kebutuhan mahasiswa, kebutuhan materi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dosen sebelum menggunakan peralatan teknologi informasi. Apa yang disampaikan oleh Staf Ahli Menristek Bidang TIK tersebut diatas menyiratkan bahwa pemilihan teknologi penyampaian materi perkuliahan merupakan tahapan pengembangan e-learning yang penting.Pemilihan harus didasarkan pada kebutuhan mahasiswa, strategi pembelajaran dan keterbatasan pelaksanaannya. Kebutuhan mahasiswa menjadi pemandu utama teknologi penyampaian yang mana yang akan dipilih. Strategi pembelajaran menjadi acuan dasar teoretik pedagogis yang telah digumuli oleh dosen.Sedangkan keterbatasan pelaksanaan memberikan rambu-rambu pilihan teknologi penyampaian yang terjangkau oleh para pihak (mahasiswa, dosen dan institusi pendidikan).Baik keterjangkauan dari segi biaya, sarana yang tersedia, kapasitas pengelola maupun tingkat ICT literacy mahasiswa dan dosennya. Berkaitan dengan pemilihan teknologi penyampaian ini, perlu pemahaman yang memadai untuk menyelaraskan antara strategi pembelajaran, fitur-fitur teknologi e-learning dan karakteristik materi perkuliahan.Integrasi faktor-faktor tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan e-learning yang dikembangkan.Secara teoretik, Dabbagh & Bannan-Ritland (2005:226) memetakan integrasi dan penyelarasan strategi instruksional, teknologi web dan web fitures dalam tabel 1 berikut. 182 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Tabel 6. Pemetaan integrasi dan penyelarasan strategi instruksional, teknologi web dan web fitures Strategi Instruksional Problem solving Eksplorasi Pembangkit hipotesis Role - playing Artikulasi Refleksi Kolaborasi dan Negosiasi sosial Multiperspektif Modeling & explaining Coaching Scaffolding Belajar mandiri Teknologi Web Hyperlink, asynchronous & synchronous, forum diskusi, sharing dokumen, groupware, onloine database Hyperlink, search engines, online database, web-based authoring tools, self-contained instructional modules Plug-ins, web-based authoring tools, web-based animation,audio & video dan dynamic web pages(databasedriven Web sites) MOOs, MUDs, Internet chat, videoconferencing, computer conferencing, groupware Bulletin boards, discussion forums, virtual chat sessions, documentsharing technologies, groupware,email, Web posting areas Web posting areas, bulletin boards, discussion forums, e-mail, note-taking tools Asynchronous and synchronous discussion forums, bulletin boards, groupware, document-sharing technologies, video conferencing technologies, chat, shared databases Hyperlinks, graphics, digital video and audio, listservs, asynchronous discussion forums, search engines. Asynchronous and synchronous discussion forums, graphics, animation, videoconferencing, digital audio and video, web posting areas,email. E-mail, hyperlinks asynchronous and synchronous discussion areas, selfcontained instructional modules, Webbased authoring tools. Hyperlinks, e-mail, search engines, asynchronous and synchronous discussion areas, online databases Asynchronous, Hyperlinks, e-mail, search engines, discussion forums 183 Fitur-fitur Web Hypermedia, asynchronous & synchronous, serta online searching Hypermedia, multimedia, online searching, interactivity Hypermedia, multimedia, online searching, interactivity Asynchronous dan synchronous, multimedia, interactivity Asynchronous dan synchronous Asynchronous dan synchronous, archivability Asynchronous dan synchronous, online searching, multimedia, archivability Hypermedia, multimedia, asynchronous & synchronous, interactivity, serta online searching Hypermedia, multimedia, asynchronous & synchronous, interactivity, archivability Hypermedia, multimedia, asynchronous & synchronous, interactivity, archivability Hypermedia, multimedia, asynchronous & synchronous, interactivity, online searching, archivability Hypermedia, multimedia, asynchronous, online searching, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Strategi Instruksional Teknologi Web Fitur-fitur Web ,online database, Internet chat Mengacu pada karakteristik model desain pembelajaran dan prinsip-prinsip pengembangan model pembelajaran yang dikemukakan oleh Merrill (2009:41-56) seperti telah diuraikan di atas, maka Content : Learning Object Materials (LOM) 1. Silabus 2. Teks Materi 3. Konten multimedia& Hypermedia interactivity integrasi konten, strategi pembelajaran nberbasis e-Learning dan teknologi penyampaian materi dapat dicermati dari gambar 5. berikut. Interaction : Learning Strategy PEMBELAJARAN Pembelajaran DENGAN berbasis MOODLE e-Learning 1. 2. 3. 4. 5. 6. Eksplorasi Problem solving Project Inkuiri Diskusi Kolaborasi Delivery systemtechnology: asynchronous Web–based learning menggunakan LCMS Gambar 5. Integrasi konten, pedagogi (strategi pembelajaran) dan teknologi dalam komponen desain pembelajaran berbasis e-Learning Dari gambar terlihat bahwa konten dipadukan dengan strategi belajar aktif kolaboratif melalui eksplorasi materi, pemecahan masalah, inkuiri, diskusi dan mengerjakan project. Teknologi penyampaian pembelajaran menggunakan LCMS . 3. Learning Content Management System (LCMS). Intinya LCMS adalah aplikasi yang mengotomasi dan mem-virtualisasi proses belajar mengajarsecara elektronik. LCMS secara umum memiliki fitur-fitur standard pembelajaran elektronik antara lain: 1) Fitur Kelengkapan Belajar Mengajar: Daftar Mata Kuliah dan Kategorinya, Silabus Mata Kuliah, Materi Kuliah (Berbasis Text atau Multimedia), Daftar Referensi atau Bahan Bacaan, 2) Fitur Diskusi dan Komunikasi: Forum Diskusi atau Mailing List, Instant Messenger untuk Komunikasi Realtime, Papan Pengumuman, Porfil dan Kontak Instruktur, File and Directory Sharing, 3) Fitur Ujian dan Penugasan, meliputi Ujian Online (Exam), Tugas Mandiri (Assignment), Rapor dan Penilaian. Ada berbagai tools teknologi pembelajaran online yang telah dikembangkan. Baik yang free (gratis) atauopen source maupun yang berbayar (commercial). Tabel 7 berikut macam- 184 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret macam LCMS yang sudah banyak digunakan dalam dunia pendidikan dewasa ini. Tabel7. Macam-Macam LCMS yang Sudah Banyak Digunakan dalam Dunia Pendidikan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 LCMS komersial LCMS open source ANGEL Learning ApexLearning Blackboard Desire2Learn eCollege, IntraLearn Learn.com Meridian KSI NetDimensions Open Learning Environment (OLE) Saba Software SAP Enterprise Learning Atutor Claroline Dokeos dotLRN eFront Fle3 Freestyle Learning KEWL.nextgen LON-CAPA MOODLE OLAT Spaghetti Learning Kriteria pemilihan LCMS sebagai software pembelajaran menurut Pujiriyanto (2012:129) merupakan keputusan pedagogis yang penting, bukan sekedar preferensi atau menurut intuisi pengajar. Pemilihan software pembelajaran hendaknya memperhatikan : 1) kesesuaiannya dengan kurikulum, 2) kesesuaian dengan model pedagogis yang dikembangkan, dan 3) ditinjau terlebih dahulu oleh pengajar dan institusi pendidikan yang bersangkutan. Sementara Dabbagh & Bannan-Ritland (2005:300) menyatakan bahwa pemilihan LCMS sebaiknya berdasarkan teknologi LCMS yang telah familier dengan lingkungan institusi pendidikan penyelenggara. Bukan berdasarkan pada fitur-fitur yang tersedia. Romi Satria Wahono (2008) dalam situsnya www.romisatriawahono.net (diakses tgl 19 januari 2013) menulis tentang memilih sistem e-learning berbasis open source. Tulisan tersebut berisi rambu-rambu pemilihan LCMS disesuaikan dengan kebutuhan di sekolah dan universitas masing-masing. LCMS dengan fiturnya terlalu sederhana mungkin tidak mencukupi untuk sekolah atau universitas yang ingin menerapkan e-learning secara penuh. Di lain pihak LCMS yang kompleks dan fiturnya banyak belum tentu sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Beberapa sekolah dan universitas bahkan ada yang tercukupi hanya dengan menggunakan LCMS blog semacam wordpress. Sekali lagi jangan mengejar teknologi, tetapi pilih yang sesuai untuk memecahkan masalah yang ada. Dalam rangka memilih LCMS ini, menarik untuk mempelajari penelitian dari Sabine Graf dan Beate List (2005) yang dibiayai oleh European Social Fund (ESF) tentang evaluasi dan komparasi LCMS berbasis open source. Graf menggunakan satu metode evaluasi produk software bernama QWS (Qualitative Weight and Sum).QWS menghitung bobot (weight) menggunakan enam simbol kualitatif berdasarkan tingkat kepentingannya (importance level). Simbol-simbol kalau 180 185 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret diurutkan dari yang paling penting: E (Essential), * (Extremely Valuable), # (Very Valuable), + (Valuable), | (Marginally Valuable), 0 (Not Valuable). Ada 8 kategori yang dievaluasi yaitu: Communication Tools, Learning Objects, Management of User Data, Usability, Adaptation, Tehnical Aspect, Administration dan Course Management. Masing-masing kategori memiliki subkategori, misalnya di Communication Tools akan dilihat fiturForum, Char, Mail/Message, Announcements, Conferences, Collaboration, dan Synchronous/Asynchronous Tools. Hasilnya adalah bahwa secara umum LCMS Moodle menempati urutan pertama, terutama di kategori Communication Tools, Learning Objects, Management of User Data, Usability, dan Adaptation. Dokeos di urutan kedua, sedangkan urutan ketiga adalah Atutor, LON-CAPA, Spaghettilearning. Sementara dotLRN ada di posisi terakhir. Harus diakui bahwa LCMS Moodle termasuk yang terbaik secara kelengkapan fitur dibandingkan dengan software LCMS lain. Tercatat lebih dari tiga puluh ribu institusi pendidikan menggunakan LCMS Moodle sebagai engine dasar e-learning mereka. Termasuk sebagian besar Sekolah dan Universitas di Indonesia menggunakan LCMS Moodle. Salah satu yang menarik di Moodle adalah proses customization yang relatif tidak merepotkan, bahkan meskipun kita tidak memahami skill pemrograman dengan baik. Template dan theme yang disediakan juga banyak, dan mendukung 40 bahasa termasuk bahasa Indonesia. Fitur “Lesson” Moodle juga menarik dan tidak ada di LCMS lain. Fitur ―Lesson‖ ini memungkinkan mengarahkan siswa dan peserta e-Learning diarahkan secara otomatis ke halaman lain sesuai dengan jawaban dari pertanyaan di suatu halaman DAFTAR PUSTAKA Balitbang Depdiknas. 2006. Panduan Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Depdiknas. Clark, R. Colvin & Mayer, Richard E. 2008. E-Learning and the science of instruction (second edition). San Francisco : Pfeiffer. Dabbagh, Nada & Bannan-Ritland, Brenda.2005. Online learning, concepts, strategies, and application. New Jersey : Pearson Education Davis Robert, H., Alexander L.T., Yelon S.L.2001. Learning System Design: An Approach to the Improvement of Instruction. New York: Mcgraw Hill. Dick, Walter; Carey, Lou & Carey, James .O. 2009. instruction,(seventh edition).New Jersey : Pearson The systematic design of Engkos Koswara, N. 2008. Pendidikan Tunggi Berbasis E-learning. Retrieved from http://www.drn.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=169&Itemid=2(3 November 2012) Graf, Sabine and List, Beate. 2005. An Evaluation of Open Source E-Learning Platforms Stressing Adaptation Issues, Vol.2, 2005 186 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret John J.O.I. Ihalaw. 2005. Bangunan Teori: Edisi ketiga Milenium. Salatiga : Satya Wacana University Press. Joice, B., Weil, Marsha. & Calhoun, E. 2011. Model of teaching (Alih bahasa : Ahmad Fawaid dan Ateilla Mirza). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Knirk, Frederick G., &Gustafson, Kent L.1986. Instructional technology: A systematic approach to education. NewYork : Holt, Rinehart, and Winston Mayer, Richard.E. 2008. Learning and instruction. Second edition.Ohio:Pearson Merill Prentisce Merrill.M.D,.2009.First Principles of Instruction. In Reigeluth & Carr-Chellman (Eds.).Instructional-Design Theories and Models. Vol. III.Building a Common Knowledge Base (pp.41-56).New York: Routledge. Pujiriyanto.2012. Teknologi untuk Yogyakarta:UNY Press. pengembangan media dan pembelajaran. Romi Satria Wahono.2008.Memilih sistem e-learning berbasis open source. Retrieved from http://www.romisatriawahono.net (diakses tgl 19 januari 2013) Syaiful Sagala.2009.Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar.Bandung:Alfabeta Snelbecker. E. Glenn. 1974. Learning Theory, Instructional Theory and Psychoeducational Design. New York: McGraw-Hill. 187 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 188 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret APLIKASI LEARNING MANAGEMENT SYSTEM (LMS) DALAM MENDUKUNG BLENDED LEARNING MODEL (BLM) MAHASISWA PROGRAM SARJANA (S-1) KEPENDIDIKAN BAGI GURU DALAM JABATAN Sukarno Program Studi PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret E-mail:[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan aplikasi Learning Management System (LMS)dalam mendukung Blended Learning Model (BLM) Mahasiswa Program Sarjana Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan Tahun Akademik 2012/2013. Secara khusus tujuan penelitian ini untuk menyusun draftaplikasi LMS dalam mendukung BLM. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang diringkas dalam 5 tahap yaitu, (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan model, (3) uji coba model, (4) revisi dan validasi, serta (5) desiminasi dan distribusi. Pada tahun pertama penelitian hanya sampai pada tahap kedua. Pada tahap ketiga sampai kelima akan dilaksanakan pada penelitian tahun kedua. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa program Sarjana Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret tahun angkatan 2011 sejumlah 50 mahasiswa. Meraka adalah mahasiswa yang berasal dari guru-guru Pegawai Negeri Sipil maupun Guru Tetap Yayasan lulusan Diploma (D-2 maupun D-3) Program studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Metode pengumpulan data penelitian menggunakan observasi, wawancara dan angket. Sedangkan validasi penelitan menggunakan triangulasi sumber dan metode. Hasil penelitian berupa draft aplikasi Learning Management System (LMS)dalam mendukung Blended Learning Model (BLM) terkoneksi internet dengan situs: http://bening.fkip.uns.ac.id/ beserta panduan pengoperasian LMS dalam pembelajaran. Kata kunci:Learning Management System (LMS), Blended Learning Model (BLM), pembelajaran tatap muka, pembelajaran on line. A. PENDAHULUAN Program Sarjana S-1 Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (SKGJ)merupakan suatu program penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan bagi guru tetap dalam jabatan sebagai upaya percepatan peningkatan kualifikasi akademik guru pada semua satuan pendidikan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2008 yang mengatur tentang 189 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret penyelenggaraan program SKGJ. Pendidikan bagi guru dalam jabatan pada dasarnya merupakan suatu proses interaksi antara guru sebagai peserta didik dengan lingkungan belajarnya yang dilakukan secara terarah, terencana, dan sistemik. Lingkungan belajar yang dimaksud baik lingkungan fisik (alat, media, sumber belajar) maupun sosial (instruktur, nara sumber, dan peserta lain). Sesuai dengan karakteristik mahasiswa program SKGJyang dalam perkuliahannya tidak diperkenankan meninggalkan tugas pokoknya sebagai guru di tempat kerjanya, dan tempat tinggal guru yang tersebar di daerahdaerah se-Provinsi Jawa tengah (berjauhan), maka Blended Learning Model (BLM) merupakan alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan pada mahasiswa program SKGJ. Secara umum, Blended Learning memiliki tiga makna antara lain: 1) perpaduan/integrasi pembelajaran tradisional dengan pendekatan berbasis web on-line; 2) kombinasi media dan peralatan (misalnya buku teks) yang digunakan dalam lingkungan e-learning, dan 3) kombinasi dari sejumlah pendekatan belajar-mengajar terlepas dari teknologi yang digunakan. Blended Learning merupakan model pembelajaran gabungan dua lingkungan belajar. Di satu sisi, ada pembelajaran tatap muka di lingkungan tradisional. Di sisi lain, ada lingkungan pembelajaran terdistribusi yang mulai tumbuh dan berkembang dengan cara-cara eksponensial sebagai teknologi baru yang kemungkinan diperluas untuk distribusi komunikasi dan interaksi. Selain itu Blended learning is defined as a mix of traditional face-to-face instruction and e-learning (Koohang,2009).Sampai sekarang, tidak ada konsensus tentang definisi tunggal untuk blended learning. Selain itu, istilah "blended," "hybrid," dan "mixed-mode" yang digunakan secara bergantian dalam literatur penelitian terbaru ini. Dalam uraian ini, Blended Learning dianggap sebagai integrasi pembelajaran tatap muka dan pembelajaran dengan pendekatan on-line. Terdapatbanyak cara dalam mengembangkan sebuah system pembelajaran online atau e-learning, salah satunya adalah dengan menggunakan aplikasi LearningManagementSystem(LMS). Implementasi kegiatanpembelajaran secara on-linedengan menggunakan aplikasi LMS, yakni suatu aplikasi perangkat lunak untuk keperluan administrasi, dokumentasi, pelacakan dan pelaporan serangkaian program dan aktivitas pembelajaran online (Ellis, 2009:1). LMS adalah sebuah aplikasi perangkat lunak yangdigunakanuntuk dokumentasi,administr asi,pelacakan, danpelaporan program pelatihan, kelas dan kegiatan program pembelajaran secara online,(e-learning program). Sebuah LMS yang kuat harus mampu untuk melakukan hal sebagai berikut: a. memusatkan dan mengotomatisasi admin istrasi; b. menggunakan self-service dan layanan yang dipandu secara mandiri; c. merakit dan menyampaikan isi pembelajaran dengan cepat; d. mengkonsolidasikan inisiatif pembelajaran pada platform berbasisweb scalable dengan dukungan portabilitas dan standar. LMS digunakan untuk mengotomatisasi pencatatan dan pendaftaran dosen, mahasiswa dengan pelayanan mandiri self-service, penggunaan alur kerja (penyampaian informasi atau pemberitahuan soal/tugas oleh dosen dan pengiriman jawaban/ pekerjaan oleh 190 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret mahasiswa), penyediaan pembelajaran secara on-line (misalnya, pembelajaran berbasis komputer, sehingga mahasiswa dapat membaca dan memahami materi perkuliahan), penilaian oleh dosen secara on-line , serta untuk pengelolaan pendidikan yang professional dan berkelanjutan, pembelajaran kolaboratif (berbagi aplikasi materi pembelajaran dan diskusi tentang materi perkuliahan), dan pelatihan manajemen sumber daya (instruktur, fasilitas, peralatan). LMS biasanya berbasis Web yang digunakan untuk memfasilitasi akses ke isi pembelajaran dan administrasi. LMS digunakan oleh beberapa perusahaan dan instansi lain (misalnya : perbankan, perusahaan pharmasi, dan lain-lain) . LMS adalah sebuah dimensi aplikasi untuk sistem manajemen pembelajaran yang digunakan oleh lembaga pendidikan untuk meningkatkan dan mendukung pembelajaran di kelas dan menawarkan kursus untuk populasi yang lebih besar pada peserta didik di seluruh dunia. Karakteristik LMS meliputi: (1) Mengelola pengguna, peran, kursus, instruktur, fasilitas, dan hasil; (2) Laporan Pelatihan; (3) Alur pembelajaran; (4) Pesan/ pemberitahuan untuk mahasiswa; (5) Penilaian sebelum dan setelah ujian; (6) Tampilan dan transkrip nilai; (7) Web-based atau campuran antara pengiriman dengan pekerjaan mahasiswa. Saat ini tersebar banyak aplikasiaplikasi LMS yang tersedia diinternet, baik yang bersifat gratis (opensource) maupun yang komersil atau berbayar, di antaranya: Moodle, ATutor, Claroline,ClaSS,Site At School, Pathlore, Oracle, Learn.com, Docebo, eCollege, Dokeos, Blackboard, WBTSystem. dan sebagainya.Dari salah satu aplikasi LMS tersebut yang paling popular dan yang paling banyak digunakan adalah LMS Moodle dari data yang diperoleh situs resmi Moodle (http://moodle.org/sites/) pada tanggal 7 Juli 2010 terdapat lebih dari 50 ribu situs elearning tersebar dilebih dari 210 negara yang dikembangkan dengan menggunakanMoodle,dan di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 600 situs elearning yang dikembangkan dengan Moodle, diantaranya adalah situs-situs elearning yang dimiliki oleh UI ,ITB ,Unibraw ,UGM, UNY, UPI, UII, dan lainlain. Selain tersedia dengan gratis, fitur-fitur yang ditawarkan Moodle relative lebih lengkap dan mudah digunakan dibandingkan dengan aplikasi lainnya. Moodle dapat dengan mudah dipakai untuk mengembangkan systeme-learning. Dengan Moodle portal e-learning dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan. LMS merupakan pembelajaran yang dapat mendukung BLM, sebab LMS adalah suatu aplikasi perangkat lunak untuk keperluan administrasi, dokumentasi, pelacakan dan pelaporan serangkaian program dan aktivitas pembelajaran online. Dengan aplikasi LMS, mahasiswa dapat mengakses materi pembelajaran kapan saja dan dimana saja dengan koneksi internet. Dengan aplikasi tersebut mahasiswa dapat mengakses materi pembelajaran kapan saja dan dimana saja dengan koneksi internet. Pentingnya BLM dalam sistem pembelajaran jarak jauh menuntut adanya aplikasi sistem informasi yang memadai dan mendukung pelaksanaan pembelajaran. Pemilihan aplikasi yang tepat, akan menjadi faktor pendukung keberhasilan BLM. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai aplikasi telah banyak dikembangkan untuk memadai tujuan tersebut. Salah satunya adalah Learning Management System (LMS) ,yakni suatu aplikasi perangkat lunak untuk keperluan administrasi, dokumentasi, pelacakan dan pelaporan serangkaian program dan aktivitas pembelajaran online (Ellis, 191 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 2009:1). LMS ini merupakan bentuk fasilitas berbasis web yang memungkinkan penggunanya untuk dapat mengakses pengadministrasian dan konten pembelajaran secara online. Dengan aplikasi tersebut mahasiswa dapat mengakses materi pembelajaran kapan saja dan dimana saja asal terkonkesi internet. Uraian diatas menunjukkan bahwa aplikasi LMS sangat urgen untuk mendukung keberhasilan BLM. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian pengembangan aplikasi sistem informasi yang dapat mendukung pelaksanaan BLM di program S-1 Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (SKGJ), yang salah satunya melalui aplikasi LMS. B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang sesuai dengan permasalahan dalam kajian ini adalah penelitian pengembangan. Menurut Sugiono (2008), ―penelitian pengembangan adalah penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut‖. Penelitian ini ditujukan untuk mengembangkan aplikasi Learning Management System (LMS), yang diharapkan dapat mendukung dalam Blended Learning Model (BLM) pada program Sarjana (S-1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan (SKGJ). Sebagaimana penjelasan Nana Syaodih Sukmadinata (2011), bahwa ―penelitian pengembangan adalah suatu proses untuk mengembangkan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan. dalam proses pembelajaran‖. Penelitian ini dilaksanakan di Kampus Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK) Manahan Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Menteri Supeno 13 Manahan Surakarta. Waktu penelitian selama 2 tahun yaitu mulai bulan Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Subjek penelitian ini adalah semua mahasiswa program Sarjana (S-1) Kependidikan Bagi Guru dalam Jabatan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek) FKIP UNS tahun 2011 sejumlah 50 mahasiswa. Meraka adalah mahasiswa yang berasal dari guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Guru Tetap Yayasan (GTY) lulusan SGO, D-1, D-2 maupun D-3 Program studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi berasal dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pengumpulan data dalam penelitian ini dikelompokkan melalui empat tahap, yaitu: studi pendahuluan, pengembangan, uji coba, serta validasi dan kontrol. Dalam setiap tahap penelitian dipilih teknik pengumpulan data tertentu sesuai dengan tujuan masing- masing. (1) Pada studi pendahuluan, dipilih teknik kuosioner,observasi,wawancara dan studi dokumentasi termasuk kajian literature Literaturereview).Data dalam tahap ini berupa : data hasil jawaban kuisioner, data hasil observasi, dan data hasil wawancara; (2) Pada tahap pengembangan ada tahapan melakukan uji coba melalui beberapa tahap. Uji ahlidiberikan pada ahli media, dan dosen yang digunakan untuk menilai aplikasi LMS. Instrumen yang digunakan pada tahap ini adalah (a)kuosioner berstruktur ,dan (b) skala penilaian pengembangan aplikasi LMS. Data dalam tahap ini berupa : data hasil jawaban kuisioner; (3) Pada tahap ujicoba model, yaitu model yang telah dianggap sempurna yang akan diujicobakan pada uji terbatas dan uji luas,teknik pengumpulan data yaitu observasi, angket, tes dan wawancara. Instrumen yang digunakan pada tahap ini adalah 1). Lembar observasi, 2)kuosioner, 3)pedoman wawancara, dan 4) tes produk; (4) Pada tahap validasi dan kontrol, dilakukan pengamatan pelaksanaan pembelajaran digunakan untuk mengetahui kegiatan belajar mahasiswa baik pada waktu tatap muka maupun tugas online 192 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menggunakan pedoman pengamatan yang telah disiapkan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, kuesioner dan wawancara. data hasil jawaban kuisioner, data hasil observasi, dan data hasil wawancara.Setelah semua tahap dilalui, maka untuk menyebar luaskan produk hasil penelitian ini dilaksanakan dengan desiminasi hasil melalui Seminar dan workshop. Borg & Gall (2007) mengemukakan 10 langkah-langkah umum dalam melaksanakan penelitian pengembangan. Dari 10 tahapan itu penulis mringkas dalam 5 tahap yaitu, (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan model, (3) uji coba model, (4) revisi dan validasi, serta (5) desiminasi dan distribusi. Pada tahap awal penelitian, peneliti baru sampai pada tahap ke 2. Sedangkan tahap 3 sampai dengan 5, akan dilaksanakan pada tahapberikutnya. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang kegiatan pembelajaran, Peneliti berupaya membangun dan mengembangkan sistem blended learning yang diimplementasikan dengan pembelajaran on-line terpadu menggunakan Learning Management System (LMS) yang sangat terkenal yaitu Moodle. Moodle merupakan singkatan dari Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment yang berarti tempat belajar dinamis dengan menggunakan model berorientasi objek. Moodle merupakan software open-source yang disediakan secara bebas, dapat diinstall dan dikembangkan dengan gratis. Moodle menyediakan beragam fitur yang dapat dikostumisasiantara lain: 1. User Management (Manajemen Pengguna) Dengan moodle kita dapat menambah, mengedit, dan menghapus user. User dapat ditambahkan dengan menginputkan satu-satu maupun denganmengupload sebuah file berisikan data user. User terdaftar dapat di-assign sebagai administrator, course creator, teacher, dan student. Masing-masing role tersebut dapat diatur Dan menambahkan user role baru sesuai kebutuhan. 2. Course Management (Manajemen Pelatihan/Mata Kuliah) User dapat mengelola pelatihan dengan menambah pelatihan baru, mengedit dan menghapus pelatihan yang sudah ada. User pun dapat mengisi pelatihan dengan aktivitas-aktivitas pelatihan seperti quiz (pretest, posttest), survey, forum, materi pelatihan dengan beragam model (contoh text dan interaktif multimedia file flash), sertifikat, feedback, Wiki, dan lain-lain. 3. Language Setting (Pengaturan Tampilan Bahasa) Secara default, bahasa tampilan yang dipergunakan adalah bahasa Inggris. Namun kita dapat merubah tampilan berbahasakan Indonesia dengan mengaktifkannya pada menu language packs. 4. Modules Management (Manajemen Modul) Modul atau plugin merupakan komponen tambahan pada suatu aplikasi. Moodle menyediakan banyak modul/plugin yang dapat dikostumisasi. Modul-modul itu antara lain modul untuk aktivitas-aktivitas pelatihan, modul blok untuk tampilan, dan modul penyaring konten. 5. Manajemen Keamanan Aplikasi Moodle menyediakan beberapa keamanan aplikasi seperti site policies (kebijakan situs), HTTP security (login dengan menggunakan protocol https), keamanan modul, dan anti virus. Aplikasi keamanan dapat diaktifkan dan dinonaktifkan sesuai keperluan. 6. AppearanceSetting (Pengaturan Tampilan) Tampilan web moodle dapat diatur sedemikian rupa pada menu yang disediakan. Theme (tema) tampilan dapat diubah dan dapat dibuat sesuai keinginan, 193 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret moodle menyediakan thread khusus tentang cara membuat tema moodle. 7. Server Setting (Pengaturan Server) Kebutuhan sistem untuk aplikasi dapat diatur melalui aplikasi, seperti konektivitas dengan server aplikasi email (SMTP server), session aplikasi, statistik pengaksesan situs, performansi server, upload and download file, serta php info. 8. Developer Documentation Web resmi moodle menyediakan dokumentasi bagi developer untuk memudahkan pengembangan aplikasi sesuai kebutuhan user. Terdapat juga forum-forum diskusi untuk memberikan solusi terhadap suatu permasalahan yang ditemukan pada saat pengembangan aplikasi. Adapun tampilan LMS untuk mengelola pembelajaran Blended learning dengan menggunakan Moodle adalah sebagai berikut: 1. Login a. Untuk Login di blended learning FKIP UNS dari internet browser (internet explorer, mozila, dll) alamat: http://bening.fkip.uns.ac.id/ akan tampil halaman sebagai berikut: b. Untuk masuk, Klik login di pojok kanan atas, lalu muncul kotak dialog sbb: c. Masukkan username dan password pada kotak login seperti yang sudah tertera pada gambar diatas lalu klik . d. Jika proses login berhasil, nama kita akan muncul dipojok kanan atas, You are Logged in as <Nama Anda>atau Anda Login sebagai <Nama Anda> Pada contoh di atas, User yang sedang login adalah Blended Learning, Jika ingin keluar dari blended learning tinggal klik (Logout). e. Penjelasan Menu pada laman Utama Situs bening.fkip.uns.ac.id 2. Main Menu Berisi memberi informasi mengenai halaman utama blended learning FKIP UNS 3. Navigation a. My Home Menampilkan informasi semua kursus yang ada di e-learning Bening.fkip.uns.ac.id. 194 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret b. Site Pages Menu ini adalah halaman yang berisi tentang blogs, Tags, dan Calender c. My Profile Berisi tentang informasi profile dari user, Postingan Forum diskusi, posts, Blog, pesan, dan file pribadi. d. Courses Berisi tentang informasi kursus yang diambil oleh user 4. Settings Menu ini menampilkan tentang pengaturan dari sistem yang ada. Berisi tentang pengaturan profile, baik itu mengedit profile pengguna, mengganti password, pesan, dan pengaturan blog. 5. Calendar Menampakkan kalender pada bulan saat ini dengan tanda khusus pada tanggal tertentu terkait dengan aktivitas e-learning. 6. Resent Activity Halaman ini menampilkan aktivitas terakhir yang dilakukan oleh pengguna. 7. Mengorganisasi Pembelajaran a. Mengorganisasi Mata Kuliah 1) Untuk mengakses mata kuliah side panel NAVIGATION| COURSE | | <<MATA KULIAH>> 2) Untuk mulai mengatur silakan klik edit setting yang ada side panel SETTINGS. 195 3) Akan ditampilkan laman Edit Course Setting. Kemudianlakukan perubahan seperlunya. b. Mengelola Materi Kuliah 1) Jika sudah berada pada laman seperti pada gambar di atas, Anda dapat memulai mengelola materi kuliah. Perhatikan menu-menu yang ada. 2) Jika sudah berada pada kelas yang akan dikelola, hidupkan Turn editing on pada sisi sebelah kanan atas atau pada side panel di bawah SETTINGS | COURSE ADMINISTRATION c. Menambahkan sumber/bahan belajar Untuk menmbahkan sumber belajar Klik ―Add a resource‖ d. Menambahkan aktivitas/tugas Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 1) Klik pada tombol Add an activity. 2) Akan ditampilkan pilihan sebagai berikut: a) Untuk memberikan tempat pengumpulan tugas yang akan diberikan pilih atau Klik Advanced uploading of files b) Kemudian mengisikan atribut-atribut yang diperlukan seperti: Assigment Name : adalah nama tugas yang diberikan Description :misalnya disisikan tentang aturan-aturan dalam penyelesaian atau pengumpulan tugas Grade : untuk mempermudah pilih 100 (artinya nilai tugas adalah rentang 0 – 100) Available from : untuk memberikan batas waktu dimulainya pengumpulan tugas Due date : untuk memberikan batas waktu berakhirnya pengumpulan tugas (deadline) Prevent late Submission : jika dipilih No berarti mahasiswa dapat mengumpulkan tugas walaupun sudah melewati batas akhir waktu pengumpulan, jika dipilih Yes maka tugas hanya dapat dikumpulkan dalam rentang waktu yang sudah ditentukan. D. SIMPULAN Pembelajaran Blended Learning Model (BLM) merupakan model pembelajaran campuran antara pertemuan tatap muka dan online. Pembelajaran tatap muka dilakukan pada tiap awal semester di kampus, pembelajaran selanjutnya dilakukan secara online. Pada waktu pembelajaran online inilah diperlukan sistem yang dapat digunakan untuk mengelola pembelajaran berlangsung.Sistem pengelolaan belajar tersebut berupa Aplikasi Learning Management System (LMS) yang dapat digunakan dosen dan mahasiswa yang berdomisili saling berjauhan dan tidak perlu meninggalakan tugas pokoknya sebagai guru untuk berinteraksi dalam pembelajaran. Aplikasi LMS ini mengadopsi dari pembelajaran Moodle yang berarti tempat belajar dinamis dengan menggunakan model berorientasi objek. Moodle merupakan software open-source yang disediakan secara bebas, dapat diinstall dan dikembangkan dengan gratis. Aalasan penggunaan software ini antara lain:100% cocok untuk kelas online dan sama baiknya dengan belajar tambahan yang langsung berhadapan dengan dosen, efisien, dan menggunakan teknologi sederhana; Mudah di Install pada banyak program; Hanya membutuhkan satu database; Menampilkan penjelasan dari materi kuliah dan dapat dibagi kedalam beberapa kategori; Moodle dapat mendukung 1000 lebih materi kuliah dan mempunyai keamanan yang kokoh. 196 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DAFTAR PUSTAKA Allison Littlejohn. Chris Pegler, 2007, Preparing for Blended e-Learning,London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. A. Littlejohn, 2006, Planning Blended Learning Activities. (Routledge-Falmer, London. Bersin, Josh; Howard, Chris; O‘Leonard, Karen; Mallon, David (2009), Learning Management Systems 2009, Bersin& Associates. Bonk, C. J.&Graham,C.R, 2006, The Handbook of Blended Learning, San Francisco: Pfeiffer. Driscoll, M. 2002, Blended learning: Let‟s get beyond the hype. Retrieved October 18, 2007 from E-Learning (54), ttp://elearningmag. com/ ltmagazine. Douglas L. Holton, 2009, Blended Learning with Drupal,Utah State University Logan, UT USA, [email protected]. Ellis, Ryann K. (2009), Field Guide to Learning Management Systems, ASTD Learning CircuitsInternet Time Group Learning Content Management Systems". Gall, M.D., Gall, J.P. & Borg, W.R, 2003, Educational Research. Boston: Pearson Education, Inc. Garrison, D.R., & Kanuka, H, 2004, Blended learning: Uncovering its transformative potential in higher education. Internet and Higher Education, 7, . Graham, C. R, 2005, "Blended learning systems: Definition, current trends, and future directions.". In Bonk, C. J.; Graham, C. R..Handbook of blended learning: Global perspectives, local designs. San Francisco, CA: Pfeiffer. pp. 3–21. ISBN 0787977586. J.Bonkand C.R.Graham, Handbook of Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs. San Francisco,CA: Pfeiffer Publishing, San Francisco,CA, 2005). Koohang, A, 2009, A learner-centered model for blended learning design.International Journal of Innovation and Learning, 6(1), 76–91. Kemendiknas, 2010, Rambu-rambuPenyelenggaraan Program Sarjana (S-1) KependidikanBagi Guru DalamJabatan.Jakarta: DirjenDikti. Shih, Ru-Chu. 2010, Blended Learning Using Video-Based Blogs: Public Speaking for English as a second language students.Australasian Journal of Educational Technology, 26 (6), 883-897. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung :Alfabetha. Vaughan, Norman, 2007, Perspectives on Blended Learning in Higher Education, International Journal on E-Lerning, ttp://findarticles. com/p/articles/mi_hb1408/is_200701/ai_n32211121. 197 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 198 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PRAGMATISASI PENDIDIKAN TERHADAP KETENAGAKERJAAN Nurul Malika ABSTRACT Each of the Education focused on the achievement of objectives among welfare corresponding to educational background. Previously, the condition of education was that a person repeats the behavior because of the relationship between stumulus and response. However, progress requires change of thinking in order to increase the potential for self-motivation and to be motivated by other people as well. Among others, the creation of independent creativity is the right answer to be prepared for employment in the face of changes in globalization. The core of the flow Pragmatic philosophy is a process of formation with a conditioned external environment to mobilize human desire to meet the needs and earn rewards that is shaped, as in a job. This is a development of the latent forces of the self which is a basic human need that is based out of consciousness, which can as well develop self-awareness by improving on self confidence dynamic, as part of men to a long-term goals. Changes as a result of education are geared toward establishment of easy access to information, which can be supported in fulfilling needs without leaving the social function of the individual inevitable in society. 199 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret gagsan terhadap konsep baru dalam upaya perluasan kerja dan keaneragaman dunia industri. Pembuktian ini melalui kecermatan dalam melihat peluang sebagi hasil dari kemampuan berpikir kritis dan berinisistif mencari jeda dan sela untuk dikembangkan menjadi lahan baru yang dapat menyerap tenaga kerja. Berpikir kreatif dan kritis merupakan prosese pembelajaran berkesinambungan dan testruktur dengan pedoman kurikulum yang jelas dan kesesuaia standar evalusi. Penetapan kurikulum ynag lebih besar kaitannya dengan lapangan pekerjaan dimanfaatkan lembaga untuk menhasilkan output yang hanadal dan diterima didunia industi akan tetapi seperti yang disampaikan (Kunandar, 2007: 1 dikutip dalam Kompas, 4 Desember 2004) menyatakan bahwa lembaga Pendidikan kejuruan lebih sering terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif sehingga minimnya kompetensi yang dimiliki. Komponen dalam sistem pendidikan kejuruan memilki porsi jelas untuk tidak meletakan kekeliruan ini pada komponen lainnya sehingga saling menyalahkan jika terjadi hal yang tidak selaras dengan pedoman pendidikan Kejuruan. Dengan demikian, bagaimana sudut pandang filosofi meresponnya keberadaan Sekolah Kejuruan sebagai solusi memanajemen calon tenaga kerja kreatif yang meminimalisir tingginya angaka pengangguran di usia produktif. A. PENDAHULUAN Pendidikan kejuruan adalah pendidikan di Indonesia yang memberi sumbangannya pada ekonomi nasional. Ada kurang lebih 200 program keahlian yang dilaksanakan di SMK-SMK diseluruh Indonesia. bertolak dari peningkatan ekonomi dan peminimalisan penganguran akhirnya penyelenggaraan program keahlian ini disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja baik untuk sektor formal maupun sektor non formal. Pendidikan kejuruan adalah salah satu sistem pendidikan yang memiliki peran penting untuk mewujudkan tenaga trampil dan handal dalam menghadapi era globalisasi yang ditakutkan tidak dapat terlewati oleh para generasi bangsa Indonesa. Ketakutan nampaknya terbukti dengan berbagai penolakan pada produk pendidikan kejuruan karena minimnya kwalitas lulusan SMK yang diterima di perusahaan sebagai dunia industri dengan alasan tingkat standart yang tidak sesuai dengan permintaan pasar kerja. Dan produk SMK bukan hal yang harus ditanggapi positif oleh pemerintah dengana alasan rendahnya kwalitas hasil sehingga kesulitan untuk mendapatkan tempat yang layak dibangsa sendiri. Inilah diantaranya pekerjaan yang harus diselesaikan agar persaingan pasar tenaga kerja dari Sekolah Kejuruan meningkatkan standar kompetnsi sesuai dengan permintaan pasar kerja dan dunia industri bukan hany pemenuhan tujuan kompetensi lifeskill sekolah yang mendapatkan dukungan pemerintah agar eksistensi sekolah kejuruan tidak habis manis sepah terbuang karena terreduksi dengan tantangan global. Pada dasarnya pemerintah telah memberikan kesempatan sama dalam perolehan pembelajaran yang didukung dengan kebijakan bahwa sekolah kejuruan sebagai pemasok tenaga terdidik yang mampu memilki daya kreatifitas dan B. PEMBAHASAN 1. Pandangan filosofi terhadap tujuan pendidikan ketenagakerjaan Pendidikan yang menciptakan tenaga kerja yang terampil dan ahli dalam bidangnya dengan cara membangkitkan kesadaran individu sehingga muncul ketrampilan dan eksistensi individu sebagaimana dijelaskan oleh Ali Maksum 200 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret (2003). Ketrampilan melalui pengalaman yang terus menerus yang menciptakan perubahan. Sebagaimana yang disampaikan Noor Syam (1984), pengalaman itu dinamis, temporal, spasial, dan pluralistis. a. Pengalaman itu dinamis Hidup itu selalu dinamis, menuntut penyesuaian secara terus-menerus dalam semua aspek kehidupan. Realita tersebut menuntut tindakantindakan dinamis yang bersifat alternattif-alternatif. b. Pengalaman itu temporal Seperti alam, kebudayaan pun mengalami perkembangan, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pemgalaman berawal, berlangsung dalam waktu, dan berakhir pula dalam waktu. c. Pengalaman itu spasial Pengalaman terjadi ditempat tertentu lingkungan kehidupan manusia. d. Pengalaman itu pluralistis Pengalaman itu terjadi seluas adanya antar hubungan dan antar aksi manusia dimana individu itu terlibat. Subyek yang mengalami pengalaman menangkap dengan seluruh kepribadiannya, dengan rasa, karsa, kikir, dan pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistik. Tampaknya pengalaman mencapai perubahan dalam mencapai tujuan adalah bagian dari filsafat dengan aliran pragmatis yang bertujuan adalah menyiapkan peserta didik menghadapi masa depannya. Upaya pencapaian tujuan dimaksud adalah maka perlu ditanamkan disiplin dan membekalinya dengan berbagai keahlian dan ketrampilan. Pendidian menurut pragmatisme, merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalamanpengalaman individu. Untuk tercapainya tujuan tersebut, maka lembaga pendidikan harus mengontrolnya melalui kekuatan eksternal dengan cara membuang semua paksaan, membangkitkan kesadaran diri, melakukan aktivitas untuk mencapai keunggulan tertentu, dan harus mengetahui kecakapan dan minat (Ali Maksum:2003). Menurut pandangan pragmatis pendidikan adalah suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatankekuatan laten dengan sendirinya (unfolding). Dalam hal ini dapat dikatakan, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak tidak memihak, dansecara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dan akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka.nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak sebagai kesatuan antara faktor biologis dan sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan dan sebagai suatu ide.( Praja Juhaya S.; 1997) Selanjutnya John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan, karena berdasar atas tiga pokok pikiran yaitu: a. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup karena adanya anggapan bahwa pendidikan selain sebagai alat, pendidikan juga berfungsi sebagai pembaharuan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut terjadi interaksi 201 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret anatara individu dengan lingkungannya, setiap individu dalam masyarakat bisa hancur namun poses hidup akan berlangsung terus karena proses reproduksi. permintaan pasar, sehingga dapat memuasaka pelanggan. Dengan demikian pasar terhadap dunia pendidikan akhirnya muncul prinsip kompetensi untuk pemenuhan pasar senbagimana disampaikan oleh (Tilaar ; 2006) bahwa kompetensi harus dimiliki agar produk atau servis yang dilaksanakannya memberikan hasil yang sesuai dengan kebutuhan atau memenuhi serta memuasakan kebutuhan pelanggan. Dalam hal ini erat kaitannya bahwa pengetahuan dan persepsi pelanggan secara tidak sadar dikuasai oleh dunia permodalan di dalam dunia bisnis. Sehingga pendidikan tidak lagi bertumpu pada idealis pendidikan untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan, tetapi ilmu pengetahuan mengikuti perkembangan yang sesuai dengan selera modal besar, korporasi, dan kehidupan yang dangkal karena kurang pertimbangan moral karena mengikuti cara hidup new life skill yang mengikuti cara hidup hedonistis. Berdasarkan pendapat John Dewey bahwa pengalaman dalah prioritas yang dapat memperbaiki kwalitas manusia dengan menciptakan penemuan baru. Melalui kesadaran, pemahaman dan persepsi dalah titik tolak manusia dapat berubah. Perubahan yang didasari pemahaman permodalan dan investasi memotivasi percepatan kwalitas hasil yang didkung dengan sarana dan perhatian pemerintah. Kondisi ini tampaknya juga terespon sekolah kejuruan untuk memperluas lingkup pendidikan kejuruan un tuk senantia memenuhi gerak pasar yang secara berkelanjutan. Untk menyeimbangkan tujuan yang berorientasi pada cara kesenangan atas prestasi yang dicapai maka beberapa tujuan pendidikan dalam orientasi Islam disampaikan oleh Mohammad Athiyah Al Abrosyi dalam (Muayyin:2008) adalah: b. Pendidikan sebagai pertumbuhan. Menurut Dewey, pertumbuhan mrpakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya. Pertumbuhan ini terjadi karena kebelum matangan. c. Pendidikan sebagai fungsi social. Menurut John Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self renewal. Kelangsungan self renewal ini pun terjadi karena pertumbuhan, karena pendidikan yang harus diberikan kepada anak-anak dan para pemuda di masyarakat.(Tilaar: 2006) Yang dikenal dengan pendidikan demokratisasi. Demokratisasi adalah suatu modal kehidupan bersama sebagai sutu pengalaman yang salaing mengisi dari setiap individu karena pertukaran pndapat Komitmen inilah yang mempersatukan kelompok sebagai kelompok dinamis dan kesepakatan yang dicapai merupakan kebanggaan untuk mewujudkan keadilan yang dikuasai dengan moralitas. Dalam hubungan sekolah sebagai fungsi sosial, Dewey mengemukakan bahwa sekolah sebagai alat tranmisi, merupakan suatu lingkungan yang memiliki tiga fungsi, yaitu; 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang, 2) Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masayarakat yang ada, 3)Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik dari pada yang diciptakan anak-anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan. (Uyoh Sadulloh: 2007). Maka akhirnya pendidikan adalah mengikuti peran pasar yang kompetensinya harus disesuaikan dengan 202 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Dan bahwa mencapai akhlak yang semmpurna adalah tujuan pendidikan sebenarnya. b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagaman saja dan tidak hanya menaruh perhatian pada segi dunia saja, tetapi ia menaruh perhatian pada keduanya dan ia memandang persiapan untuk kedua kehidupan itu sebagai tujuan tertinggi dan terakhira bagi pendidikan. c. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan keinginan hati untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu. Pada waktu pendidik-pendidik muslim menaruh perhatian pada pendidika agama dan akhlak dan mempersiapkan diri untuk kehidupan dunia dan akhirat dan mempersiapkan untuk mencari rezki, mereka juga menumbuhakan perhatian pada sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenisnya. d. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis dan perusahaan supaya ia dapat menguasaiprofesi tertentu, supaya dapat mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara segi kerohanian, keagamaan, dan akhlak. Begitu juga ia tak lupa melatih badan, akal, hati, perasaan, kemauan, tangan, lidah, dan pribadi. e. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum dan aktivitasnya. 2. Konsep Pendidikan Kejuruan Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia di masa depan, yang dimulai sejak manusia mulai dilahirkan sampai akhir hayat. Sumber daya manusia berkualitas merupakan modal pembangunan. Oleh sebab itu, kemajuan pembangunan pendidikan menjadi penting. Berbagai hal berkaitan dengan pembangunanpendidikan sebagai salah satu aspek peningkatan mutu sumber daya manusia perlu dipersiapkan agar jendela kesempatan (Window of Opportunity) dapat dimanfaatkan sebaikbaiknya. Pendidikan sangat penting bagi setiap umat manusia, dalam masyarakat primitif pendidikan menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, orang tua memandang bahwa anak-anak mereka perlu dipersiapkan untuk hidup dalam masyarakat atau lingkungan yang menjadi tempat mereka hidup. Kondisi ini tentu saja mengandung makna bahwa adalah tidak mungkin anak manusia dibiarkan hidup dengan hanya potensi bawaan tanpa ada suatu intervensi apapun dari orang dewasa, di samping itu potensi manusia untuk berfikir menjadikannya sebagai mahluk yang mampu berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya dalam melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya. Menurut Surya (2007: 5), dinyatakan bahwa pendidikan diperlukan untuk meraih kedudukan dan kinerja optimal pada setiap pekerjaan dilakukan. Pendidikan adalah sebuah sistem formal yang mengajarkan tentang pengetahuan, nilai-nilai dan berbagai keterampilan. Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem Pendidikan Nasional memainkan peran yang sangat strategis bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja 203 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret nasional yang terampil. Karena setiap lulusan SMK memang ditempah untuk menjadi sumber daya manusia yang siap pakai, dalam arti ketika mereka telah menyelesaikan sekolahnya lulusan SMK tersebut dapat menerapkan ilmu yang telah mereka dapat sewaktu di sekolah. Tantangan era globalisasi saat ini menuntut adanya kesiapan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi yang berbeda dengan keaadaan sebelumnya. Dengan jumlah angkatan tenaga kerja yang besar, diharapkan benar-benar mampu menyesuaikan diri agar dapat memiliki keunggulan yang kompetitif. Namun pada kenyataannya, tamatan SMK hanya diakui oleh sekolah sendiri dan masih minimnya kepercayaan dunia usaha dan dunia industri. Hal ini dikuatkan oleh Sidi (2001: 137) bahwa pendidikan kejuruan model lama memiliki kelemahan yaitu, penyelenggaraan pendidikan secara sepihak sehingga anak didik tertinggal oleh kemajuan dunia usaha/dunia industri (DU/DI), tidak jelas kompetensi yang dicapai, tidak mengakui keahlian yang diperoleh di luar sekolah. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya pemuda, tidaka saja mengubah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan serta kualitas kerja. Dari konsep ketenagakerjaan fungsi pendidikan memiliki dua dimensi penting. Pertama, dimensi kuantitatif yang meliputui kemampuan sistem pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik atau untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia. Kedua, dimensi kualitatif yang penghasil yenaga kerja terdidik yang selanjutnya dapat dibentik menjadi tenaga penggerak pembangunan atau driving force for development (Wirakarta Kusumah: 1992). Pendidikan kejuruan/vokasi dalam perkembangan terminologinya disebut juga Occupational Education, Workforce Development Education (WDE), Career and Technical Education (CTE). Pendidikan kejuruan/vokasi sebagai pendidikan orang dewasa (adult education) didesain menyiapkan siswa/mahasiswa untuk memasuki dunia kerja yang lebih dikenal dengan dunia usaha dan dunia industri (DU-DI). Dalam konteks ini pendidikan kejuruan/vokasi adalah pendidikan untuk bekerja (education for work). Istilah CTE lebih memberi makna bahwa pendidikan kejuruan/vokasi sebagai jenis pendidikan yang tujuan utamanya adalah menjadikan individu siswa/mahasiswa siap pakai di dunia kerja. 3. Karakter Sekolah Kejuruan Evans (1978) dalam Djojonegoro (1999: 33), mendefinisikan pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya.Definisi lain tentang sekolah kejuruan sebagaimana dinyatakan United States Congress (1976) dalam Djojonegoro (1999: 34), dikatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah program pendidikan yang secara langsung dikaitkan dengan penyiapan seseorang untuk suatu pe kerjaan tertentu atau untuk persiapan tambahan karir seseorang. Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilannya, siswa sekolah kejuruan harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu 204 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pengetahuan dan tekhnologi, memiliki etos kerja yang tinggi dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta mampu mengembangkan diri (UU No. 20 Tahun 2003). Sekolah Menengah kejuruan dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang cerdas (smart), siap kerja dan kompetitif. Cerdas (smart) yang dimaksud bukan hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas secara spiritual dan cerdas secara emosional dan sosial, serta cerdas secara kinestetik. Siap kerja, karena lulusan SMK telah dibekali keterampilan dan kemampuan bekerja di bidangnya, sehingga mereka siap untuk langsung bekerja tanpa perlu ditraining lagi. Mereka juga dibekali kemampuan untuk bisa membuka usaha sendiri. Kompetitif, siswa SMK memiliki jiwa kompetitif yaitu ingin menjadi agen perubahan dan sikap pantang menyerah yang memang sudah ditanamkan sejak tahun pertama di SMK. Kemandirian serta kepribadian siswa SMK yang unggul memicu kesiapan mental untuk bekerja atau membuka lapangan usaha ketika lulus (Buklet Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Pembinaan SMK Depdiknas). Keunggulan pendidikan kejuruan adalah kemampuannya memberikan peluang bagi siswa didik untuk mendapat proses pembelajaran dengan terjun langsung ke dunia usaha/industri, sehingga siswa memperoleh pengalaman yang nyata dan relevan dengan bidang kejuruan yang dipelajarinya, sekaligus memberi bekal keterampilan yang dibutuhkan. pemilikan keterampilan. Bagi pengguna tenaga kerja, yang diinginkan adalah calon yang terampil dan bisa bekerja, meskipun tidak memiliki gelar akademik tinggi. Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia sangat dibutuhkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, karena keterampilan seseorang tidak dapat diukur hanya dengan secarik ijazah yang diperolehnya di bangku sekolah. Sejalan dengan pernyataan di atas ( Hamalik ; 2000) menyatakan bahwa tenaga kerja (ketenagakerjaan) adalah sumber daya manusia yang memiliki potensi, kemampuan, yang tepat guna, berdaya guna, berpribadi dalam kategori tertentu untuk bekerja dan berperan serta dalam pembangunan, sehingga berhasil guna bagi dirinya dan masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya (Sumarsono ; 2003), menyatakan bahwa Sumber daya Manusia (human resources) mengandung dua pengertian, pertama, sumber daya manusia (SDM) mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini SDM mencerminkan usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Kedua, SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Jadi pengertian tenaga kerja adalah semua orang yang bersedia untuk sanggup bekerja menghasilkan suatu output (hasil kerja) kemudian hasil kerja tersebut diukur dengan upah (penghasilan). jika berbicara mengenai ketenagakerjaan tentu tidak terlepas dari produktivitas dan upah yang diperoleh seseorang dalam bekerja. Dalam melakukan pembinaan dan pengembangan SDM melalui program 4. Aspek Ketenagakerjaan Surya (2006: 90), mengemukakan bahwa kualifikasi seorang pegawai (tenaga kerja) tidak semata-mata ditentukan oleh pemilikan gelar akademik, tetapi juga ditentukan oleh 205 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pendidikan dan pelatihan kejuruan/profesi, perlu digaris bawahi bahwa human factor memang merupakan salah satu aspek penting dalam menghadapi pasar kerja global. Akan tetapi keunggulan faktor manusia yang secara populer disebut sebagai kualitas SDM yang kompetitif ini, tidak akan banyak berarti, apabila tidak disertai dengan pengembangan aspek-aspek lain seperti struktur pasar, organisasi perusahaan, hubungan industrial, maupun pengembangan menejemen keuangan dan menejemen SDM. Atau dengan kata lain resources based strategy yang meliputi aspek sumber daya terwujud dan tidak terwujud, aspek keberhasilan yang meliputi ilmu pengetahuan, kohesi sosial, infrastruktur, konektivitas, dan produktivitas, serta aspek belajar yang terus menerus melakukan learning dan learning organization, merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, dalam melakukan pembinaan dan pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan kejuruan/profesi. Semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan pendiidkan dan pelatihan kejuruan/profesi, termasuk keterlibatan dunia industri/dunia usaha dalam semua prosesnya, secara bersamasama diharapkan dapat merubah pemikiran sektoral menjadipemikiran nasional dalam rangka mengejar dan membangun kualitas SDM yang memiliki kompetensi dan berdaya saing global. Titik singgung antara pengembangan SDM dengan pasar kerja global terlihat pada krusialnya posisi manusia sebagai subjek pengembangan. Yaitu manusia yang memiliki kreatifitas dan inovasi (knowledge), kompetensi (skill), dan sikap atau etos kerja (attitude).dari titik singgung seperti ini hal yang menjadi pengalaman berharga adalah adanya kesempatan untuk memiliki bidang kemampuannya melalui proses belajar (learning proces). Baik belajar untuk lebih efektif, efisien, maupun belajar dari kesalahan yang pernah dialaminya, karena hanya dengan proses belajar seperti inilah dapat dibangun kualitas SDM yang mampu bersaing di era global. (Azua dan Azua:1996) Kualitas SDM dengan memiliki kompetensi yang didefinisikan sebagai gabungan dari sebagian keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan sikap (attitude). Keterampilan dapat diperoleh dari pendidikan atau pelatian kejuruan/profesi yang dilakukan dan dapat di prediksi dalam programprogramnya. Demikian pula hal sebaliknya. Sikap profesional angkatan kerja Indonesia perlu terus ditingkatkan dan dijaga semenjak mereka memasuki dunia pendidikan dan pelatihan, dengan cara menjauhkan dari pengaruh negatif agen-agen sosial di atas. Namun keempat agen sosial di atas dijadikan cermin untuk mendorong pemnbinaan angkatan kerja secara dini menuju sikap profesional. 5. Signifikasi Pendidikan Dengan Dunia Kerja. a. Ketenagakerjaan Sejarah pendidikan vokasi pada dasarnya adalah sejarah tenaga kerja manusia untuk meningkatkan kompetensi teknisnya untuk meningkatkan posisi ekonomisnya di masyarakat. Pengarahan keahlian, penajaman dirinya menuju ekonomi yang kuat. Manusia diterima adalah manusia yang memiliki kontribusi pada ekonomi. Kemampuan ekonomi digunakan sebagai ukuran kemampuan ‖Economic man was ―good man‖. Dia diberi hak istimewa membentuk kelas berdasarkan pembagian tenaga kerja di masyarakat. Pendidikan vokasi menekankan pandangan pada manusia sebagai economic, tidak sebagai cultural. 206 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Ekspektasi budaya menyatakan semua manusia bekerja dan saya tahu manusia dari pekerjaannya. Kemampuan seseorang dalam bekerja lebih tinggi, nilai manusia lebih luas dari sekedar bekerja. Sehingga untuk pekerja lebih meningkatkan makna dirinya jika dapat menciptakan pekerjaan. (Thompson ; 1973) dalam (Nurhadi ; 2004). Tenaga kerja yang tidak terserap dalm lingkup dunia kerja dan indstri berdampak pengangguran yang disebatkan karena penyimpangan kapitlisme sebagaimana (Martin Carnoy :1986) diungkapkan bahwa yang menciptakan kondisi adanya pengangguran adalah para kapitalis dan negara, yangm endukung ra kapitalis dalam menentukan pilihan barang-barang yang akan mereka buat, dan dalam hal teknologi yang mereka pergunakan. Agar tidak terjadi kegagalan maka pakar ekonomi pendidikan mengembangkan analisis kebutuhan akan tenaga kerja berdasarkan kebutuhan riil (demand) akan tenaga kerja di pasar tenaga kerja dan prospek lulusan dari dunia pendidikan (supply). Oleh sebab itu survei yang dilakukan tidak hanya survei tenaga kerja oleh pengusaha tetapi juga sistem pengangkatan pegawai, penghargaan pengalaman kerja sebagai pengganti sekolah formal, tersedianya kegiatan training, dan pola mobilitas internal dalam dunia kerja. Metoda survei yang digunakan adalah ‖tracer study‖ atau ‖retrospective tracer study‖ (Nurhadi 2004). Maka pendidikan adalah salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia, selain kesehatan dan migrasi. Pendidikan memberikasn sumbangan secara langsung terhadap pertumbuhan peendapatan nasional melalui peningkatan ketrampilan dan produktivitas kerja. Ketrampialn prakstis yang dapat terserap pasar sesuai potensi ekonomi dan kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga interaksi dengan pengetahuan dapat berdampak pada tingkat kemandirian yang diperlukan dalam kecakapan hidup dalam bekerja. ciri pembelajaran life skiil adalah Ciri pembelajaran life skills menurut (Satori : 2002 ) adalah; (1) terjadinya proses identifikasi kebutuhan belajar, (2) penyadaran untuk belajar bersama, (3) keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, belajar, usaha mandiri, usaha bersama, (4) penguasaan kecakapan personal, sosial, vokasional, akademik, manajerial, kewirausahaan, (5) pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar, menghasilkan produk bermutu, (6) interaksi saling belajar dari ahli, (7) penilaian kompetensi, dan, (8) pendampingan teknis untuk bekerja atau membentuk usaha bersama. b. Lapangan Kerja Lapangan kerja adalah bidang/jenis pekerjaan yang mampu memberikan kesempatan kepada seseorang melakukan aktivitas kegiatan untuk menghasilkan upah (gaji). Lapangan pekerjaan ini terdiri dari berbagai sektor yaitu, 1) Industripengolahan 2) Pertanian, peternakan dan perikanan, 3) Pertambangan dan penggalian, 4) Listrik, gas dan air, 5) Bangunan/konstruksi, 6) Perdagangan, hotel dan restoran, 7) Angkutan, pergudangan dan komunikasi, 8) Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan/tanah dan jasa perusahan, 9) Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Adanya permintaan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan tentunya merupakan peluang kesempatan untuk memperoleh pekerjaan bagi para pencari kerja. Karena kebijaksanan perluasan kerja erat hubungannya dengan 207 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kebijaksanaan kependudukan dan sumber utama penawaran tenaga kerja adalah penduduk. Tidak semua penduduk menawarkan tenaga kerjanya di pasar tenaga kerja, hal ini karena mereka lebih dulu mempertimbangkan kelayakan bekerja berdasarkan kesesuaian pekerjaan dengan upah yang diterimanya, selain itu kemampuannya untuk melakukan pekerjaan tersebut juga merupakan bahan pertimbangan baginya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa tidak semua tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja siap bekerja. Secara umum penyediaan (penawaran) tenaga kerja suatu negara atau daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jumlah penduduk, tenaga kerja, pendidikan, perkembangan ekonomi dan lain sebagainya (Sumarsono ; 2003). Semakin sempitnya daya serap sektor modern terhadap perluasan kesempatan kerja telah menyebabkan sektor tradisional menjadi tempat penampungan angkatan kerja. Hal ini terjadi karena langkanya tenaga yang cukup terdidik karena ekonomi industri membutuhkan tenaga kerja yang terdidik. Mutu angkatan kerja Indonesia dilihat dari keperluan proses industrialisasi sangat tidak memadai. Menurut perkiraan para ahli, sekitar 70%-78% dari angkatan kerja pada tahun 1990 sampai dengan 1995, jumlah pekerja yang secara pasti mendapat pekerjaan di sektor modern hanya sebesar 22%-0% atau berkisar 11 juta sampai dengan 23 juta pekerja (Buchori ; 1995). Sementara menurut Sumarsono (2003: 99), pasar kerja merupakan seluruh aktivitas dari para pelaku yang tujuannnya adalah mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja. Sedangkan pasar tenaga kerja adalah seluruh aktivitas dari pelaku- pelaku yang mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja. Dalam permintaan tenaga kerja biasanya perusahaan selalu memperhatikan dari berbagai aspek, salah satunya adalah bagaimana mengisi lowongan yang ada dengan orang yang sesuai (Sumarsono ; 2003). Jadi dalam hal ini harus ada kesesuaian antara lowongan pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan dari calon tenaga kerja tersebut. Jika berbicara mengenai tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan maka kita dapat membedakan pasar tenaga kerja yang terdidik dan tidak terdidik. Pasar tenaga kerja terdidikadalah pasar tenaga kerja yang membutuhkan persyaratan dengan kualifikasi khusus yang biasanya diperoleh melalui jenjang pendidikan formal dan membutuhkan waktu yang lama serta biaya pendidikan yang cukup besar. Sedangkan pasar tenaga kerja tidak terdidik merupakan pasar kerja yang menawarkan dan meminta tenaga kerja yang tidak membutuhkan kualifikasi khusus dan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Dari konsep ketenagakerjaan, fungsi pendidikan memiliki dua dmensi pertama adalah kemampuan sistem dalam memasok tenaga kerja terdidik dan untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia, kedua penghasil tenaga terdidik yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi tenaga pengerak pembangunan (Wirakarta Kusumah ; 1992). Maka diperlikan potensi manusia cerdas indonesia yang tidak membedakan kepentingan kelompok, suku, keagamaan, kepentingan sosial, maupun keanggoytaannya dalam organisaasi polotik. Manusia cerdas indonesia adalah manisia yang bertendensi moral pancasila yang direalisasikan dalam tindakan yang berdampak positif dan memiliki unsur 208 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret nilai kerja keras sehingga dapat menolong sesama manusia dalam kehidupan persaingan di era globalisasi. Unsur-unsur manusia cerdas diantaranya adalah: a. Manusia indonesia cerdas adalah anggota masyarakat yang berbudaya. Kebudayaan yang dimilikinya tentulah kebudayaan yang beradap. Tentunya ada unsur-unsur budaya yang diukur menurut ukuran nasional ataupun global, tidak pantas untuk dimasukkan di dalam budaya yang beradap. b. Bertalian erat dengan nilai-nilai Pancasila yaitu kepemilikan akan identitas Indonesia. identitas Indonesia bukanlah identitas sukusuku tetapi identitas dari Indonesia yang telah diperjuangkan bersama dalam revolusi 1945. Di dalam era globalisasi dewasa ini identitas suatu bangsa cenderung menghilang. Identitas suatu bangsa sangat perlu dalam menghadapi perubahan global yang sangat cepat. Seorang yang mempunyai identitas sebagai suatu bangsa yang memunyai negara merupakan kebanggaan tersendiri di dalam kehidupan global dewasa ini. c. Indonesia bukanlah suatu pengertian yang beku tetapi sesuatu yang dinamis yang masih perlu dikembangkan dan dihidupkan. Indonesia sebagai suatu imagined community merupakan suatu perjuangan untuk mewujudkannya oleh setiap warga negara Indonesia. hal itu dapat dilakukan apabila warga negara Indonesia menyadari akan hak-haknya dan kewajibannya di dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila. Penghayatan serta tindakan berdasarkan nilai-nilai Pancasila harus terus-terus digalakkan di dalam setiap situasi pendidikan formal, informal dan nonformal. d. Manusia Indonesia cerdas haruslah mempunyai orientasi terhadap perubahan global. Salah satu tuntutan di dalam perubahan global tersebut ialah harus memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat bersaing dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang lain. Seperti yang telah diuraikan, kehidupan global dewasa ini dikuasai oleh prinsip-prinsip ekonomi yang meminta daya saing yang tinggi. Manusia Indonesia sebagai warga negara dunia haruslah mempunyai daya saing yang setara dengan bangsa yang lain. hal ini hanya dapat dicapai melalui kualitas pendidikan nasional yang tinggi. e. Manusia yang cerdas adalah manusia yang mandiri. Manusia mandiri pertama-tama haruslah mempunyai kemampuan intelegensi yang terasah. Sebagai manusia mandiri dia akan merupakan warga negara Indonesia yang tidak tergantung kepada utang luar negeri ataupun belas kasihan karena pertimbangan-pertimbangan politik dari negara lain. Seorang yang mandiri, seorang warga negara yang mandiri adalah seseorang yang mempunyai identitas atau jati diri yang menghormati akan nilai-nilai sendiri, nilai-nilai lokal yang bermanfaat, dan nilai-nilai Pancasila yang dimiliki bersama oleh setiap insan Indonesia. f. Manusia yang cerdas bukan hanya mempunyai kemampuan intelegensi yang tingi karena telah dikembangkan tetapi juga disertai dengan pertimbangan-pertimbangan moral. Sudah tentu pertimbanganpertimbangan moral tersebut merupakan moral Pancasila, moral kehidupan bersama di dalam lingkungan keluarga serta masyarakat sekitar (indigenious values). Tanpa 209 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret moralitas seorang yang cerdas dapat mengrah kepada kerakusan dalam kehiduoan ekonomi global yang didominasi oleh prinsip-prinsip mencari keuntungan. Manusia cerdas tanpa moral adalah manusia yang rakus yang dapat bersifat penggelapan terhadap hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai kebersamaan umat manusia. Mengganti nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan bersama Indonesia berarti membuyarkan kesatuan bangsa dan membuyarkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. (H.A.R. Tilaar: 2006) melalui ide dan gagasannya. Tanpa harus mencari kekurangan orang lain akan tetapi memperbaiki kondisi agar lebih baik. Dalam pembelajaran sekolah kejuruan adalah membimbing manusia siswa melakukan sesuatu untuk mendapatkan pengalaman yang berakibat pada perubahan karena kreativitad dan inovasi yang dilakukan secara mandiri. Kemandirian belajar atas kecerdasan yang dikembangkan selaras dengan perjalanan globalisasi yang tidak dapat ditolak karena salah satu sumber penciptaan kreatifitas yang selaras dengan perkembangan teknologi global. Tanpa meninggalkan budaya bangsa merupakan salah satu penegasan kepribadian sebagai unjuk kerja dan perilaku dalam integritas dan kepercayaan dunia terhadap kemapanan kesejahteraan menuju identitas bangsa yang jelas dan terarah. Dampak Kesejahteraan tidak serta merta membangkitkan perilaku hedonism yang mentoleransi segala upaya untuk mencapai tujuan akan tetapi justru menjadi tolok ukur manusia mengembangkan kreativitas social dengan menciptkan sejumlah perubahan yang berdampak terhadap capaian kesejahteraan dimasyarakat. Menciptakan kreatifitas mandiri dalam pandangan pragmatis merupakan jawaban tepat untuk menghindari ketergantungan dan peningkatan tingkat pengangguran. Kesadaran mengembangkan diri dengan meningkatkan kepercayaan mandiri bagian dari dinamisasi manusia mempersiapkan tujuan jangka panjang. Perubahan sebagai hasil pendidikan yang dipersiapkan menuju kemapanan karena kemudahan akses informasi dalam pemenuhan kebutuhan dengan tanpa meninggalkan fungsi social individu dalam masyarakat. C. KESIMPULAN Pendidikan, belajar dan bekerja adalah kesatuan komponen yang berangkat pengalaman dengan titik tolak investasi terhadap kegiatan pembelajaran. Hasil pendidikan harus mempermudah capaian pekerjaan yang linear telah berkembang dimasyarakat luas. Tidak akan menimbulkan masalah bila berkorelasi posistif antara hasil pendidikan dengan pekerjaan yang diharapkan dan sebaliknya. Antisipasi dengan tidak adanya korelasi inilah yang diwaspadai untuk mempertahankan kepercayaaan masyarakat terhadap hasil pendidikan di sekolah kejuruan. Masyarakat cukup berpengalaman menyikapi ketimpangan demand dan supplay. Hal inilah akhirnya terlalu banyaknya pertimbangan untuk mengeluarkan anggaran biaya karena tidak adanya jaminan jelas setelah melakukan aktivitas belajar. Pemerintah lagi lagi menjadi tumpuan untuk mencarikan alternative penyelesaian masalah. Penyelesaian Masalah adalah sumber manusia dapat beraktivitas jelas 210 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DAFTAR PUSTAKA Tilaar, H.A.R, 2006, Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis,Jakarta: PT Rineka Cipta. Sa.ud, Syaefudin & Makmun, Syamsuddin Abin, 2007, Perencanaan PendidikanSuatu Pendekatan Komprehenshif, Bandung: Kerjasama Program Pascasarjana UPI dengan PT. Remaja Rosdakarya Djojonegoro, Wardiman, 1999, Pengembangan Sumberdaya Manusia: MelaluiSekolah Menengah Kejuruan (SMK), Jakarta: PT. Balai Pustaka (Persero). Surya, Aldwin 2006, Perubahan Sosial Masyarakat Kota Metropolitan, Medan:Kopertis Wilayah I NAD-SUMUT. Hamalik, Oemar, 2000, Pengembangan Sumber Daya Manusia ManajemenPelatihan Ketenagakerjaan: Pendekatan Terpadu, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sumarsono, Sonny, 2003, Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia &Ketenagakerjaan, Jember: Graha Ilmu. Thompson, JF. (1973). Foundations of Vocational Education, New Jersey : PrenticeHall Azua J and S. Azua, 1996, Corporation Strategis for Defining Competitive Industrial Policies, Arthur Andersen & KPMG, Paper Presented In Strategic Management Society Conference, Orlando. Maksum, Ali. 2003. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern “Mencari Misi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita”. Yogyakarta: Pustaka Belajar Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Penddikan. Bandung: Alfabeta Praja Juhaya S., 1997 Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Bandung : Yayasan Piara, Wirakarta Kusumah. 1992 Recent development of food flavor in Indonesia.. Muayyin: 2008 Menjelaskan Tsiqoh .Jogja:. Pustaka Belajar. Surya, Aldwin, 2007 Perubahan Sosial Masyarakat Kota Metropolitan, Medan:. Kopertis Wilayah I NAD-SUMUT Martin Carnoy, Carlos Torres, and Jeff Unsicker) Mexico, 1986 D.F.: Ediciones Gernika, Paris:. International Institute of Educational Planning Sidi, Indra Djati. 2001Menuju masyarakat belajar : menggagas paradigma baru pendidikan. Jakarta :. Kerjasama Paramadina. Djojonegoro, Wardiman, 1999 Pengembangan Sumberdaya Manusia: Melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Jakarta:. PT. Balai Pustaka (Persero). Nurhadi. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta : Penerbit. PT. Gramedia Widiasana Indonesia. Satori. 2002 Profesi Keguruan.Jakarta :Universitas Terbuka. 211 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 212 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR MANDIRI SISWA DENGAN STRATEGI, MODEL DAN MEDIA PEMBELAJARAN GUNA MEMBANGUN PENDIDIKAN BERKARAKTER Noventy Prasetyaningsih dan Sri Anjarwati ABSTRACT The purpose of this article is to give some idea to develop character education with strategy, model and media for increase self motivated learning student. Learning strategy consist of reherseal stategy, organization strategy and elaboration strategy.Kind of learning model are Collaborative Learning, Direct Learning, Contextual Learning and Integrated learning. Media learning devided into visual aids, learning aids and audio video aids. Strategy, models dan media learning conected each other. Because all three component take effectto increase self motivated learning student. Then if student have self motivated learning be expected to increase character education. Kata Kunci:motivasi belajar mandiri, pembelajaran, pendidikan karakter A. PENDAHULUAN Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini memberikan pengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan. Upayaupaya yang dilakukan pemerintah untuk mengimbangi perkembangan IPTEK dengan dunia pendidikan yaitu mengubah Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penerapan KTSP dalam dunia pendidikan Indonesia tidak sekedar pergantian kurikulum, tetapi menyangkut perubahan fundamental dalam sistem pendidikan. Hal ini menuntut perubahan paradigma dalam pembelajaran dan persekolahan, karena dengan penerapan KTSP tidak hanya menyebabkan perubahan konsep, metode dan strategi guru dalam mengajar, tetapi juga menyangkut pola pikir, filosofis, komitmen guru, sekolah dan stakeholder pendidikan (Kunandar, 2007: 113). Pendidikan merupakan salah satu aspek yang berperan penting dalam membentuk sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan juga diharapkan mampu mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan. Saat ini pendidikan menjadi perhatian utama pemerintah. Pendidikan harus memberikan kesempatan pada setiap individu untuk mampu mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya, memperluas pengetahuan, keterampilan dan sikap serta adaptif terhadap perubahan yang cenderung kompleks. Berbagai usaha telah ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan antara lain penyempurnaan kurikulum, perbaikan sistem pengajaran dan mengubah strategi pendidikan guru. 213 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pendidikan adalah salah satu wadah kegiatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk dapat menopang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan pemahaman dan penguasaan ilmu yang mendasarimya. Banyak pihak yang berperan penting dalam suksesnya pendidikan baik jalur sekolah maupun di luar jalur sekolah. Tidak hanya siswa dan guru saja tetapi orang tua siswa, elemen-elemen sekolah yang lain, dinas pendidikan dan kebudayaan juga sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan yang berkualitas. Undang-undang sistem pendidikan nasional No.20 tahun 2003 menggariskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkaan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sudah menjadi fenomena umum di masyarakat, kondisi pendidikan saat ini belum sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No.20 tahun 2003 bab II pasal 3 yang menyatakan bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan cakap‖. Didalam pasal ini bisa diartikan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan pada pembangunan manusia seutuhnya, tidak hanya cerdas dan mumpuni dalam aspek intelektual saja tetapi juga harus berakhlak mulia. Tetapi pada kenyataanya siswa yang seharusnya aktif dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka justru terlena dan tersita waktunya oleh hingar bingar media sosial dan televisi. Banyak dari para pelajar yang semakin hari semakin menunjukkan perilaku yang tidak relevan dengan tugas mereka sebagai seorang pelajar. Beberapa tindakan asusila ataupun tindakan pidana banyak dilakukan oleh sebagian siswa yang nota bene mempunyai kewajiban menuntut ilmu semaksimal mungkin. Media elektronik baik televisi ataupun internet adalah tantangan global yang harus dihadapi pelajar saat ini. Pengaruh budaya baik dari dalam dan luar negeri dapat dengan mudah masuk tanpa adanya filter yang bisa menyaring dengan baik. Hal ini ditambah dengan kondisi psikis para pelajar yang masih labil dan belum bisa terorganisir dengan baik, sehingga lebih mudah terpengaruh degan kondisi yang ada disekitar mereka. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban kita bersama khususnya para pendidik untuk mengarahkan dan memotivasi, agar mereka siap menghadapi tantangan global dan mampu belajar secara mandiri. Siswa dikatakan mampu belajar mandiri jika siswa melakukan kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi guna mengatasi sesuatu masalah dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Ada berbagai macam cara untuk mengembalikan motivasi belajar mereka antara lain dengan metode ARCS yaitu Attention, Relevance, Confodence dan Satisfaction. Keempat komponen tersebut diharapkan dapat membangun motivasi belajar siswa sehingga siswa mampu melakukan kegiatan belajar mandiri. 214 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Didalam proses belajar, siswa selalu mendapatkan informasi yang baru, informasi tersebut secara terus menerus masuk ke dalam otak melalui alat indra. Sebagian informasi itu tersimpan di dalam memori jangka pendek sehingga mudah dilupakan, agar dapat bertahan lama maka perlu adanya proses pengulangan informasi yang dapat dilakukan dengan cara belajar atau strategi belajar. Strategi belajar merupakan suatu proses yang mengacu pada perilaku dan proses berfikir yang digunakan oleh siswa dan mempengaruhi apa yang dipelajari, termasuk proses memori dan metakognitif (Nur, 2000: 6). Tujuan utama pengajaran strategi adalah mengajarkan siswa untuk belajar atas kemauan dan kemampuan diri sendiri agar menjadi pembelajar mandiri. Beberapa macam strategi belajar yang dapat diterapkan menurut Nur (2000), yaitu Strategi Menghafal (Rehearsal Strategis), Strategi Elaborasi (Note Taking, Analogi, Metode PQ4R), Strategi Organisasi Pembuatan Kerangka (Outlining), Pemetaan (Mapping)), dan Strategi Metakognitif. Model Pembelajaran yang digunakan sangat menentukan dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Ada model pembelajaran yang memusatkan perhatian pada siswa, dalam hal ini siswa yang dituntut berperan aktif. Ada pula yang memusatkan perhatiannya pada guru, dimana guru yang lebih berperan aktif. Model pembelajaran merupakan pola yang menggambarkan urutan alur tahaptahap kegiatan (sintaks) keseluruhan yang umumnya disertai dengan rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa. Macam model pembelajaran antara lain: Pembelajaran Kolaboratif, Pembelajaran Langsung, Pembelajaran Kontekstual, Pembelajaran Terpadu. Pembelajaran-pembelajaran tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masingmasing. Didalam masing-masing model pembelajaran masih dibagi lagi menjadi berbagai model pembelajaran. Pada model pembelajaran kolaboratif terdapat model pembelajaran Student Team Achievement Divisions (STAD), Team Game Tournament (TGT), Jigshaw, Group Investigation (GI). Sedangkan didalam pembelajaran terpadu terdapat model pembelajaran connected, pembelajaran tematik dan pembelajaran berbasis masalah Media pembelajaran juga berperan dalam membangun kreatifitas siswa/pelajar dalam mempelajari sesuatu. Hal tersebut dikarenakan media pembelajaran merupakan perantara antara sumber pesan dengan penerima pesan. Sebelum ditemukan media pembelajaran, siswa terkadang hanya dapat membanyangkan yang sedang mereka pelajari, tetapi dengan menggunakan media pembelajaran siswa dapat mengetahui secara langsung pembelajaran yang akan dipelajari. Ada berbagai macam media pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran, antara lain : alat peraga berupa buku, gambar, alat peraga ataupun berupa audio visual. Strategi, metode dan media pembelajaran saling memiliki keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan ketiga hal tersebut berpengaruh dalam menumbuhkan motivasi belajar mandiri siswa. Strategi belajar siswa menuntun siswa untuk lebih kreatif dengan mendapatkan informasi yang baru. Semakin beragamnya strategi pembelajaran tersebut, maka dalam penerapannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar siswa. Apabila guru dapat menyampaikan pembelajaran dengan metode yang melibatkan siswa secara aktif dan kreatif, hal ini akan menumbuhkan motivasi belajar siswa secara mandiri. Tidak dapat dipungkiri pembelajaran kedepan seorang guru dituntut dapat lebih kreatif membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran. Membangun karakter bangsa merupakan bagian integral yang tidak 215 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Dalam membangun karakter bangsa merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan dan orang tua, maka diperlukan kerja sama yang sinergis. Keberhasilan membangun karakter bangsa menjadi penentu eksistensinya di masa depan, baik secara internal maupun eksternal. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti religius, jujur, berani bertindak atas dasar kebenaran, dapat dipercaya, disiplin, kerja keras, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan sosial, tanggungjawab. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu pengembangan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter bangsa itu dilakukan secara berkelanjutan, dilakukan melalui pendidikan formal, non formal, dan informal. Selain itu pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup: nilai budaya yang hidup di masyarakat sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang; sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik; bahasa Indonesia dengan cara berpikir, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi dan seni. Sangatlah penting menanamkan pendidikan berkarakter kepada siswa. Dengan harapan jika siswa mampu belajar mandiri bisa mengembangkan karakter siswa menjadi lebih unggul dalam siap menghadapi tantangan global. B. MOTIVASI BELAJAR MANDIRI SISWA Motivasi belajar adalah kekuatan pendorong dan pengarah dalam melakukan proses belajar. Pendorong dalam arti pemberi kekuatan yang memungkinkan poses belajar dapat berjalan. Pengarahan dalam arti pemberi tuntunan kepada perbuatan belajar ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Model motivasi yang terkenal adalah model yang dikemukakan oleh JM Keller sebagaimana diungkapkan oleh Gagne dan Driscoll (1989) yang disebut ARCS model. Menurut model ini motivasi merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Ada 4 faktor yang dimaksud dalam model ini yaitu : 1. Attention (Perhatian) Menarik perhatian atau minat peserta didik untuk belajar adalah tugas pertama-tama yang harus diciptakan dalam pembelajaran. Para pengelola pembelajaran harus berbuat semaksimal mungkin agar materi pembelajaran yang dibawakan berhasil menarik peserta didik. Rangsanganrangsangan tertentu harus dimunculkan untuk menumbuhkan minat atau perhatian peserta didik. Perhatian itu sendiri akan muncul bila terdapat rasa ingin tahu dari peserta didik. Oleh karenanya, pengelola pembelajaran harus memberi rangsangan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu tersebut. Rangsangan ini dapat berupa: pemunculan hal yang baru, beda dengan yang lainnya, menantang, kontradiktif, kompleks dan lain sebagainya. Unsur-unsur seperti itu seharusnya masuk dalam suatu rangsangan pembelajaran, baik pada bagian pendahuluan proses pembelajaran, maupun bagian inti penyajian proses pembelajaran. Pancingan untuk menumbuhkan minat atau perhatian harus terjadi pula sepanjang 216 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret proses pembelajaran melalui variasi metode dan media pembelajaran yang digunakan. Di samping itu pembelajaran juga dapat diselingi berbagai humor segar, contohcontoh nyata untuk memperjelas konsep yang diutarakan, dan sebagainya. Penggunaan metode tanya jawab sering juga ampuh untuk memancing tumbuhnya minat atau perhatian peserta didik. 2. Relevansi Apa yang akan dipelajari peserta didik harus cukup menyakinkan mereka bahwa materi pembelajaran itu cukup berharga dan penting baginya. Cukup berharga atau pentingnya suatu materi pembelajaran harus benar-benar dilihat dari perspektif atau kepentingan peserta didik bukan kepentingan pengelola atau penyelenggara pendidikan. Cara yang paling ampuh untuk menyakinkan akan pentingnya materi pembelajaran adalah dengan cara mengutarakan apa yang menjadi tujuan pembelajaran, misalnya dalam bentuk kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Mereka harus diberi informasi secara jelas bahwa ketrampilanketrampilan yang tercangkup dalam tujuan pembelajaran atau kompetensi tersebut merupakan hal yang penting yang harus mereka kuasai sehingga mereka merasa yakin penguasaan ketrampilan-ketrampilan seperti itu relevan dengan kebutuhan mereka. Jadi penerapan nyata dalam proses pembelajaran aspek relevansi ini adalah dengan : a. Menginformasikan tujuan pembelajaran secara jelas, yakni menyemapaikan apa yang harus mereka tampilkan sebagai kinerja sebagai wujud hasil belajar. b. Menjelaskan manfaat pengetahuan, kemampuan, atau ketrampilan yang akan dipelajari dan bagaimana hal-hal itu akan dipraktikkan dalam kehidupan nyata. c. Memberikan contoh, latihan atau tes yang berhubungan langsung dengan kondisi sekitar atau profesi tertentu. 3. Confidence (Kepercayaan diri) Rasa percaya diri peserta didik merupakan sumber motivasi yang kuta untuk terus belajar. Rasa percaya diri merupakan potensi untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Dengan rasa percaya diri yang kuat, seseorang akan merasa memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang terkait dengan proses pembelajaran menuju kearah keberhasilan pencapaiab kompetensi. Motivasi diri akan makin meningkat seiring dengan meningkatnya harapan untuk berhasil. Kadang-kadang hal ini juga dipengaruhi oleh pengalaman sukses dimasa lampau. Makin sering pengelaman suskses ini, kepercayaan diri akan makin tumbuh pula sehingga motivasi diri akan makin tinggi. Penerapan prinsip-prinsip penumbuhan rasa percaya diri dalam praktek pembelajaran antara lain : a. Menyusun materi ajar secara bertingkat dari hal yang mudah ke yang lebih komplek sehingga peserta didik akan merasakan keberhasilan/kesuksesan sejak awal. b. Menyusun materi ajar dalam bagianbagian yang lebih kecil sehingga peserta didik dapat menyelesaikannya tahap demi tahap bukan secara bersamaan sekaligus. c. Menyampaikan tujuan pembelajaran serta kriteria yang jelas menyangkut keberhasilan dalam evaluasi sehingga peserta didik dapat mempersiapkan diri sejak dini. d. Menunjukkan bahwa peserta didik memiliki sejumlah pengetahuan atau kemampuan / ketrampilan yang merupakan bekal awal untuk penguasaan materi yang akan dipelajari. 217 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret e. Menyampaikan umpan balik tentang keberhasilan-keberhasilan maupun kekurangan-kekurangan yang ada. Belajar Mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi guna mengatasi sesuatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki. Orang yang sedang menjalankan kegiatan belajar mandiri lebih ditandai, dan ditentukan oleh motif yang mendorongnya belajar. Bukan kenampakan fisik kegiatan belajarnya. Belajar Mandiri sebagai konsep memiliki 4 komponen utama yaitu : a. Konstruktivisme Merupakan paradigma yang meyakini bahwa pembelajaran adalah penambahan pengetahuan baru hasil KOMPETE NSI BELAJAR AKTIF MOTIVASI BELAJAR 4. Satisfaction (Kepuasan) Apabila seorang peserta didik merasa berhasil mencapai tujuan pembelajaran dalam bentuk mampu menunjukkan unjuk kerja yang sesuai dengan tujuan tersebut, dia akan merasa mendapat kepuasan diri. Dalam teori belajar, hal ini disebut dengan penguatan (reinforcement). Penguatan akan muncul bila peserta didik mendapat informasi mengenai keberhasila yang dicapainya. Penerapan penumbuhan hal ini dalam praktek pembelajaran antara lain berupa : a. Pemberian pujian ataupun umpan balik yang tidak bersifat negatif, misalnya ancaman/hukuman/ejekan. b. Berusaha memberi kesempatan peserta didik untuk menerapkan pengetahuan/kemampuan/ketrampilan yang berhasil dikuasai. c. Memberi kesempatan peserta didik yang telah berhasil untuk membantu teman-temannya yang belum berhasil. d. Menunjukkan trend keberhasilan masing-masing individu peserta didik, bukan orang lain. olahan pembelajar sendiri, atas dasar rangsangan yang berupa informasi dari sumber belajar. b. Motivasi Belajar Merupakan kekuatan pendorong kegiatan belajar secara intensif, presisten, terarah dan kreatif c. Belajar Aktif Merupakan kegiatan belajar yang ditandai dengan melakukan tindakan, dan memiliki ciri-ciri efektif, presisten, terarah dan kreatif. d. Kompetensi Merupakan kemampuan melakukan tindakan secara profesional. Hubungan 4 komponen tersebut bisa digambarkan sebagai berikut : KONSTRUKTIVISME C. STRATEGI, MODEL DAN MEDIA PEMBELAJARAN Dalam suatu proses belajar sangat perlu mengajarkan kepada siswa bagaimana belajar. Menurut Weinsten dan Meyer seperti yang dikutip oleh (Nur, 2000: 6) mengatakan bahwa ‖Merupakan hal yang aneh apabila kita mengharapkan siswa belajar namun jarang mengajarkan mereka tentang belajar‖. Pengajaran strategi berlandaskan pada keberhasilan siswa, sebagian besar tergantung pada kemahiran untuk belajar secara mandiri dan memonitor belajar mereka sendiri. Siswa harus belajar tentang berbagai macam strategi yang ada 218 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dan bagaimana menggunakan strategi – strategi itu dengan benar. Strategi belajar merupakan suatu proses yang mengacu pada perilaku dan proses berfikir yang digunakan oleh siswa dan mempengaruhi apa yang dipelajari, termasuk proses memori dan metakognitif (Nur, 2000:6). Tujuan utama pengajaran strategi adalah mengajarkan siswa untuk belajar atas kemauan dan kemampuan diri sendiri agar menjadi pebelajar mandiri. Masih menurut Nur pebelajar mandiri mengacu pada empat hal, (1) secara cermat mendiagnosa suatu situasi pembelajaran tertentu, (2) memilih suatu strategi belajar tertentu untuk menyelesaikan masalah belajar tertentu yang dihadapi, (3) memonitor keefektifan strategi tertentu, (4) cukup termotivasi untuk terlibat dalam situasi belajar tersebut sampai masalah terselesaikan. Beberapa macam strategi belajar yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar antara lain: 1. Strategi mengulang (Rehearsal Strategis) Strategi ini membantu memindah informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang, namun tidak membantu membuat bermakna informasi baru tersebut. Penyerapan informasi yang lebih kompleks memerlukan strategi pengulangan yang lebih kompleks juga. 2. Strategi elaborasi Proses penambahan rincian sehingga informasi baru akan lebih bermakna maka perlu membuat pengkodean lebih mudah dan memberikan kepastian. Strategi elaborasi membantu pemindahan informasi baru dari jangka pendek ke memori jangka panjang dengan menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan yang telah diketahui. Adapun strategi ini mencakup : Note Taking, Analogi, Metode PQ4R. 3. Strategi organisasi Strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide–ide atau istilah– istilah menjadi sub–sub yang lebih kecil, sehingga dapat membantu siswa mengidentifikasi ide-ide dan topik–topik kunci. Strategi ini mencakup: Pembuatan kerangka (Outlining), Pemetaan (Mapping), Mnemonik. 4. Strategi metakognitif Metakognitif adalah pengetahuan seseorang tentang pembelajaran diri sendiri atau ‖berfikir tentang berfikir‖ dan kemampuannya untuk menggunakan strategi–strategi belajar tertentu dengan benar. Sedangkan model pembelajaran merupakan pola yang menggambarkan urutan alur tahap-tahap kegiatan (sintaks) keseluruhan yang umumnya disertai dengan rangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa. Adapun macammacam model pembelajaran adalah sebagai berikut : 1. Pembelajaran kolaboratif Pembelajaran kolaboratif dapat diartikan bahwa peserta didik melakukan kerjasama dalam pasangan atau kelompok kecil untuk saling berbagi peran dalam mencapai tujuan pembelajaran. Peserta didik lebih mementingkan belajar melalui kelompok kerja dibandingkan belajar sendiri-sendiri. Jadi pembelajaran ini menuntut keterlibatan aktif peserta didik sekaligus dapat mengembangkan kemampuan bekerjasama atau kemampuan untuk bekerja dalam tim. Beberapa bentuk pembelajaran kolaboratif menurut Slavin adalah : a. Student Team Achievement Divisions (STAD) STAD merupakan bentuk pembelajaran kolaboratif yang paling sederhana. STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu presentasi kelas yang dilakukan oleh guru, pembentukan kelompok, 219 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret penyelenggaraan kuis, meningkatkan skor kemajuan individual, dan pengakuan atas tim. b. Team Game Tournament (TGT) Hampir sama dengan STAD, bedanya TGT menggunakan turnamen akademik sebagai ganti dari kuis dan perbaikan skor individual. Oleh karena itu urutan langkahnya adalah presentasi kelas oleh guru, pembentukan kelompok, melakukan game, turnamen, dan pengakuan tim. c. Jigsaw Dalam model Jigsaw peserta didik dikelompokkan dengan anggota lima atau enam orang dan bersifat heterogen. Bahan ajar berupa teks dengan topik tertentu disiapkan sebagai bahan untuk dikaji oleh kelompok. Tiap anggota kelompok di beri tanggungjawab untuk menguasai dengan sub topik yang sama. Tiap anggota kelompok dengan sub topik yang sama masuk di kelompok baru yang disebut kelompok ahli. Setelah berdiskusi di kelompok ahli kemudian kembali ke kelompok asal untuk menjadi tutor sebaya d. Group Investigation (GI) Model pembelajaran ini mensyaratkan dimilikinya kemampuan komunikasi yang baik dan ketrampilan kerjasama yang baik pula diantara peserta didik. Kelompok di bentuk berdasarkan atas kesamaan minat terhadap topik atau sub topik tertentu namun bersifat heterogen dari sudut kemampuan akademik maupun latar belakang sosial budaya. Masing-masing kelompok didorong untuk melakukan investigasi yang mendalam atas topik atau sub topik yang telah dipilihnya, kemudian mempersiapkannya untuk dipresentasikan di kelas. Adapun langkah-langkahnya adalah : pemilihan topik, perencanaan secara kooperatif, implementasi, analisis dan sintesis, presentasi produk akhir,dan evaluasi. 2. Pembelajaran langsung Salah satu tujuan pembelajaran yang penting dari setiap mata pelajaran di sekolah adalah memperoleh informasi dan ketrampilan–ketrampilan dasar. Sebelum siswa mempelajari informasi dan keterampilan lanjut, mereka harus terlebih dahulu menguasai informasi dan keterampilan dasar. Untuk mencapai tujuan tersebut maka guru dapat menggunakan model pembelajaran langsung . Pembelajaran langsung merupakan suatu pendekatan pengajaran yang cocok apabila guru menginginkan siswa-siswa belajar pengetahuan deklaratif atau pengetahuan tertentu (menggaris bawahi, membuat rangkuman, dan sebagainya). Model pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dipelajari selangkah demi selangkah. (Kardi, 1999: 2). Pembelajaran langsung adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada guru yang disajikan dalam 5 tahap yaitu : (1) penyampaian tujuan pembelajaran; (2) mendemonstrasikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan; (3) pemberian latihan terbimbing; (4) mengecek pemahaman dan pemberian umpan balik; (5) pemberian kesempatan untuk latihan lanjutan dan penerapan. Menurut Nur (2000), model pembelajaran langsung memiliki ciri–ciri sebagai berikut: 1) Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian hasil belajar siswa, 2) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran, dan 3) Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung dengan berhasil. 220 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 3. Pembelajaran kontekstual Pembelajaran kontekstual merupakan sebuah proses pembelajaran yang berusaha mengaitkan pengalaman yang akan di peroleh peserta didik dengan situasi nyata yang dihadapi atau pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan upaya tersebut diharapkan peserta didik dapat dengan mudah menghubungkan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berhasil dikuasai dengan proses aplikasinya dalam kehidupan dunia nyata. Oleh karena itu, proses pembelajaran akan memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikan hasil belajar mereka apabila proses pembelajaran dikaitkan dengan konteks pengalaman atau kondisi sekitar saat peserta didik memperoleh pengalaman belajar tentang sebuah kompetensi atau hal tertentu. 4. Pembelajaran Terpadu Model pembelajaran ini sangat membantu memfasilitasi proses belajar peserta didik karena masalah-masalah yang dihadapi di dunia nyata tidak semuanya dapat dijelaskan secara terkotak-kotak ke dalam bidang studi atau mata pelajaran melainkan terdapat saling kaitan antar bidang studi atau mata pelajaran. Banyak diantara masalah-masalah tersebut justru memerlukan pengkajian dari berbagai sudut pandang dengan menggunakan konsepkonsep atau prinsip-prinsip yang berasal dari berbagai bidang studi atau mata pelajaran. Ada tiga model pembelajaran terpadu yaitu : a. Model connected Model ini merupakan model yang paling sederhana untuk model pembelajaran terpadu karena tidak memerlukan persyaratan-persyaratan khusus. Peserta didik diarahkan untuk dapat mencari keterkaitan antar beberapa konsep atau prinsip dalam sebuah disiplin ilmu untuk memperjelas suatu fenomena tertentu. Hal ini merupakan upaya untuk memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik tentang bagaimana menggunakan model ini, pembelajaran menyangkut konsep-konsep tersebut dilakukan secara terpisah. Model ini dapat digunakan anatara lain dalam menyoroti fenomena sosial dengan memadukan penggunaan konsepkonsep dalam disiplin ilmu sosial. b. Pembelajaran tematik Merupakan sebuah model pembelajaran yang dalam memfasilitasi terjadinya proses belajar dengan menggabungkan berbagai domein belajar dengan tujuan untuk dapat menyatukannya dalam sebuah tema. Tujuan pembelajaran, aktivitas belajar, sumber-sumber yang digunakan, serta penilaiannya dikaitkan langsung dengan satu kesatuan tema. c. Pembelajaran berbasis masalah Pada pembelajaran berbasis masalah pembelajaran diusahakan untuk memadukan penggunaan berbagai bidang studi atau disiplin ilmu dalam memecahkan suatu masalah. Masalah yang akan dipecahkan dapat berupa masalah yang sedang berlangsung atau secara nyata ada di sekitar kita atau dapat pula berupa masalah yang bersifat hipotetik yang dirancang untuk keperluan pembelajaran Disamping model dan strategi belajar diatas, dalam proses belajar mengajar juga diperlukan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Kata media berasal dari bahasa latin, yang merupakan jamak dari kata medium, yang berarti sesuatu yang terletak ditengah (antara dua pihak). Media juga dapat diartikan sebagai perantara atau penghubung antara dua pihak, yaitu sumber pesan dengan penerima pesan. Media pembelajaran adalah sesuatu yang mengantarkan pesan pembelajaran antara pemberi pesan kepada penerima pesan. Orang, bahan, alat atau peristiwa yang 221 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menciptakan kondisi yang memungkinkan pebelajar menerima pengetahuan, ketrampilan, dan sikap merupakan media pembelajaran. Setiap media merupakan sarana untuk menuju kesuatu tujuan. Didalamnya terkandung informasi yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Informasi ini mungkin didapatkan dari buku-buku, rekaman, internet, film, mikrofilm, dsb. Semua itu adalah media pembelajaran karena memuat informasi yang dapat dikomunikasikan kepada pelajar. Konsep media pembelajaran memiliki dua segi yang satu dengan lainnya saling menunjang yaitu perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Macam-macam media pembelajaran antara lain : a. Alat Peraga Peraga berasal dari kata raga yang berarti jasad atau bentuk. Bila diingat sejenak masa nenek moyang, manusia ini sangat primitif, cara mengajarkan sesuatu dengan melalui pengalaman langsung. Dengan berkembangnya jaman yang tidak memungkinkan lagi semua pembelajaran dengan melalui pengalaman langsung maka berkembanglan bahan-bahan ajar yang berwujud cetakan, sehingga muncul pembelajaran verbalisme yaitu tahu kata-katanya tetapi tidak paham artinya. Kemudian munculpemikiran bahwa segala sesuatu yang diajarkan sebaiknya ditunjukkan realitanya sehingga mudah dip[ahami oleh siswa salah satunya melalui gambar. Karena dengan gambar dimungkinkan terjadi kesalah pahaman pada siswa maka muncul alat peraga yang digunakan untuk menunjukkan wujud atau bentuk sesuatu yang diajarkan. Dengan alat peraga dimaksudkan untuk memperjelas pelajaran yang disajikan. Alat peraga dalam pembelajaran merupakan suatu alat yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang riil sehingga memperjelas pengertian pebelajaran. b. Alat Pelajaran Dalam melaksanakan kegiatan belajar sehari-hari, guru dan pebelajar membutuhkan alat-alat pelajaran. Alat pelajaran adalah alat-alat yang dipakai untuk kegiatan sehari-harui dikelas yaitu karet hapus, pensil, bolpen, penggaris, buku, papan tulis, dll. Alatalat ini sehari-hari selalu tersedia di dalam kelas, karena digunakan baik oleh guru maupun pebelajar. c. Audio-Visual Aids Audio berarti pendengaran, visual berarti penglihatan dan aids adalah bantuan. Jadi audio visual aids diartikan sebagai sesuatu yang membantu pendengaran dan penglihatan. Banyak sekali macamnya, misal radio, tape recorder, fil, slide, televisi yang diharapkan dapat membantu penglihatan dan pendengaranpebelajar sehingga pembelajaran dapat dimengerti dengan jelas dan menarik D. PENDIDIKAN BERKARAKTER Pendidikan karakter adalah proses yang disengaja di dalam masyarakat dan sekolah kita untuk memungkinkan anakanak itu dapat memahami, memperhatikan dan bertindak sesuai dengan etis dan nilai– nilai kewarganegaraan. Keefektifan pendidikan karakter adalah sebuah pendekatan menyeluruh yang mendukung semua aspek pendidikan yang diterima. Pendidik menggabungkan pendidikan karakter kedalam kurikulum akademik dengan diskusi dan refleksi tentang isu-isu etis. Mereka mengembangkan karakter dalam cara lain yang tak terhitung, contoh dengan sengaja mengembangkan peduli lingkungan dimana siswa memiliki rasa milik dan keterhubungan ke sekolah. Peluang lainnya bahwa pendidik digunakan untuk pengembangan karakter termasuk kegiatan ekstra kurikuler (seperti olahraga), 222 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tata kelola manajemen sekolah dan kelas, dan pembelajaran. Orang tua, organisasi, masyarakat dan bisnis lokal merupakan mitra penting yang memperkuat dan mendukung sekolah dalam pendidikan karakter. Penjelasan lebih lanjut tentang pendidikan karakter, dapat lihat sebelas CEP (Character Education Partnership) prinsip pendidikan karakter yang efektif, yang secara singkat dijelaskan di bawah ini: 1. Pendidikan Karakter mempromosikan inti nilai-nilai etika sebagai dasar karakter yang baik. 2. Karakter komprehensif harus didefinisikan untuk mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku. 3. Karakter pendidikan yang efektif memerlukan pendekatan yang disengaja, proaktif dan komprehensif yang mempromosikan nilai-nilai dalam semua fase kehidupan sekolah. 4. Sekolah harus menjadi komunitas yang peduli. 5. Untuk mengembangkan karakter, siswa membutuhkan kesempatan untuk tindakan moral. 6. Pendidikan karakter yang efektif termasuk kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghargai semua pelajar dan membantu mereka berhasil. 7. Karakter pendidikan harus berusaha untuk mengembangkan motivasi intrinsik siswa. 8. Staf sekolah harus menjadi pembelajaran dan komunitas moral di mana semua berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan berusaha untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa. 9. Karakter pendidikan memerlukan kepemimpinan moral dari staf dan siswa. 10. Sekolah, orangtua harus merekrut dan anggota masyarakat sebagai mitra penuh dalam upaya membangun karakter. 11. Evaluasi pendidikan karakter harus menilai karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa menunjukkan karakter yang baik. Josephson Institut mengembangkan pendekatan pendidikan karakter yang disebut The Character Cuunts : The Six Pillar of Character. Pendekatan pendidikan karakter ini tidak menyisihkan siapapun. Oleh karena itu, pendekatan ini mendasarkan program dan bahan ajarnya pada enam nilai etika yang dapat diterima siapapun juga, yaitu nilai–nilai yang tidak berbasis pada politik, budaya, dan agama. Keenam pilar tersebut seperti berikut ini : 1. Trustworthiness ( Dapat dipercaya) : jujur, tidak bermain curang, tidak mencontek, tidak menipu dll. 2. Respect (Rasa hormat) : toleransi terhadap perbedaan, bahasa yang santun, tatakrama, tenggang rasa dll. 3. Responsibility (Tanggung jawab) : melakukan apa yang seharusnya dilakukan, terus mencoba, selalu melakukan yang terbaik, berfikir sebelum bertindak dll. 4. Fairness (Kejujuran) : bermain sesuai aturan, bergiliran dan berbagi, tidak mengambil keuntungan dari orang lain dll. 5. Caring (Peduli) : baik hati, merasa iba dan simpati, kepedulian, memaafkan orang lain, menolong orang yang membutuhkan bantuan. 6. Citizenship (Kewarganegaraan) : bekerjasama, terlibat dalam kegiatan masyarakat, tunjukkan kebersamaan untuk membuat sekolah dan masyarakat anda lebih baik, mematuhi hukum dan aturan dll. 223 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret E. PARADIGMA STRATEGI, MODEL DAN MEDIA PEMBELAJARAN YANG DAPAT MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR MANDIRI SISWA Membangun motivasi belajar mandiri siswa dapat dilakukan dengan pemilihan strategi belajar yang tepat pada siswa, pemilihan model pembelajaran yang digunakan oleh guru dan media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Dalam rangka menumbuhkan motivasi belajar mandiri ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Pemahaman tujuan belajar siswa. Cara yang efektif bagi siswa dalam memahami tujuan belajar adalah dengan menggunakan strategi belajar. Strategi belajar yang cocok digunakan dalam memahami tujuan belajar yaitu strategi elaborasi dan strategi organisasi. Strategi elaborasi mencakup Note Taking, Analogi, Metode PQ4R, sedangkan strategi organisasi mencakup Pembuatan kerangka (Outlining), Pemetaan (Mapping), Mnemonik. 2. Pemahaman materi yang dipelajari siswa Dalam pemahaman terhadap materi pembelajaran tidak terlepas pada penyampaian materi pembelajaran oleh guru. Seorang guru harus menggunakan metode pembelajaran yang menuntut siswa berperan aktif disertai penggunaan media pembelajaran untuk membuat siswa memperoleh pengalaman langsung dengan apa yang mereka lihat dengan alat peraga maupun audio visual yang digunakan guru dalam menyampaikan pembelajaran. Diantara metode pembelajaran yang direkomendasikan adalah metode pembelajaran kolaboratif dan metode pembelajaran terpadu. Metode pembelajaran kolaboratif mencakup Student Teams Achievement Division (STAD), Team Game Tournament (TGT), Jigsaw, dan Group Investigation (GI) sedangkan metode pembelajaran terpadu mencakup connected, tematik, dan pembelajaran berbasis masalah. 3. Manfaat yang di peroleh dari materi yang telah dipelajari siswa Hal ini merupakan tujuan akhir dalam Belajar Mandiri dimana siswa bisa mengambil manfaat dari materi pembelajaran yang sedang dipelajari bahkan dipraktekkan dalam pemecahan permasalahan yang terjadi pada siswa dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya hasil belajar mandiri ini akan meningkatkan motivasi belajar siswa dan juga akan memotivasi teman-teman yang lain. Sehingga tujuan belajar mandiri dapat tercapai. Kefektifan penggunaan strategi, model dan media pembelajaran dalam rangka menumbuhkan motivasi belajar siswa tidak terlepas dari beberapa hal berikut : 1. Perhatian Untuk menarik perhatian siswa guru bisa menggunakan media pembelajaran alat peraga ataupun audio vidual aids. 2. Relevansi Pengorganisasian bahan ajar yang baik dan selalu dikaitkan dengan pembelajaran sebelumnya. Guru juga dapat membantu siswa untuk menemukan tujuan belajar yang jelas. 3. Percaya Diri Meningkatkan percaya diri siswa dapat dilakukan dengan cara memberikan pujian dari guru, dukungan dari orang sekitar siswa. Menumbuhkan motivasi internal siswa juga akan lebih menngkatkan rasa percaya diri siswa 4. Kepuasan Penilaian hasil belajar yang dilakukan secara adil dan jujur oleh guru bisa memumnculkan kepuasan siswa, sehingga termotivasi lebih untuk melakukan belajar mandiri. Mewujudkan iklim kompetisi yang sehat dikalangan siswa dapat meningkatkan kepuasaan bagi siswa 224 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yang berhasil memenangkan kompetisi dan yang lain juga akan termotivasi untuk berusaha agar bisa seperti kawan yang telah berhasil. F. IMPLEMENTASI BELAJAR MANDIRI SISWA GUNA MEMBANGUN PENDIDIKAN BERKARAKTER Dalam membangun pendidikan berkarakter, di tinjau dari implementasi belajar mandiri dibutuhkan campur tangan banyak pihak. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk berpikir, cara pandang, bersikap dan bertindak. Beberapa karakter yang hendak diwujudkan dalam pendidikan berkaraker diantaranya adalah nilai, moral, dan norma (seperti religius, jujur, berani bertindak atas dasar kebenaran, dapat dipercaya, disiplin, kerja keras, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan sosial, tanggungjawab). Tercapainya tujuan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Akan ada banyak pihak yang terlibat dan berperan aktif dalam implementasi belajar mandiri ini yaitu guru, siswa, lingkungan disekitar siswa dan Dinas Pendidikan setempat. Berikut adalah beberapa uraian peran guru siswa, lingkungan disekitar siswa serta dinas pendidikan yang dapat diterapkan guna membangun pendidikan berkarakter; Peran guru dalam implementasi belajar mandiri antara lain : 1. Guru mempunyai kompetensi yang mumpuni dalam bidang studi yang diampunya, sehingga dalam penyampaian materi pembelajaran bisa dengan mudah dipahami oleh siswa. Jika siswa mampu memahami materi pembelajaran akan memperoleh hasil belajar yang maksimal. Jika siswa memperoleh hasil yang maksimal maka akan menumbuhkan motivasi belajar mandiri. 2. Guru menguasai berbagai metode pembelajaran, sehingga dalam penyampaiannya bisa dilakukan secara kondisional (sesuai dengan kondisi yang terjadi). Hal ini diharapkan agar siswa tidak merasa bosan dengan proses belajar mengajar yang dilakukan. Dengan metode pembelajaran yang lebih melibatkan peran aktif siswa maka siswa akan lebih mengerti karena siswa mengalami langsung proses pembelajaran tersebut. 3. Guru memberikan stimulus pada siswa agar termotivasi melakukan belajar mandiri dengan menggunakan media pembelajaran berupa alat peraga maupun audio visual. Dengan adanya media pembelajaran tersebut siswa semakin bersemangat dalam belajar. 4. Guru menumbuhkan niat dan semangat belajar siswa dengan cara memberikan teladan dan contoh secara langsung baik dengan sikap ataupun prestasi yang pernah diperoleh oleh siswa lain. Keberhasilan yang pernah diraih orang lain, dapat menumbuhkan niat dan semangat bahwa sebenarnya mereka juga mampu melakukan hal serupa. 5. Guru memberikan nilai secara objektif, jujur dan adil. Terkadang guru seringkali ―ngaji (ngarang biji)‖ atau memberikan nilai yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki siswa. Dengan kesungguhan guru dalam melakukan penilaian membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar mandiri, karena usaha mereka dinilai dengan baik dan relevan dengan keadaan sebenarnya. Peran siswa dalam implementasi belajar mandiri, antara lain : 1. Menumbuhkan niat dari dalam siswa sendiri untuk senantiasa memotivasi diri (self motivation) untuk senantiasa melakukan belajar mandiri dalam 225 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret meningkatkan kompetensi mereka baik dilakukan secara individu maupun berkelompok. 2. Melakukan belajar aktif tanpa menunggu guru menjelaskan materi tersebut. Rasa ingin tahu yang mendalam terhadap sebuah materi mendorong siswa untuk senantiasa melakukan belajar aktif di lingkungan sekolah maupun lingkungan luar sekolah. 3. Senang belajar, semua berawal dari rasa senang. Jika sudah merasa senang apapun akan terasa mudah dan menyenangkan, demikian juga halnya dengan belajar. Dengan mewujudkan rasa senang belajar akan mewujudkan belajar secara mandiri. 4. Mengupayakan hasil belajar yang optimal. Peran orang-orang di sekitar siswa dalam implementasi belajar mandiri antara lain : 1. Menciptakan suasana yang kondusif supaya siswa terkondisi untuk belajar mandiri. Dengan suasana yang kondusif di lingkungan keluarga, orang tua yang harmonis, lingkungan sekitar yang mendukung akan memudahkan siswa untuk belajar mandiri. 2. Melatih sedini mungkin untuk senang belajar. Sejak dalam kandungan orang tua sudah membiasakan untuk senantiasa belajar, membaca buku maka tidak mustahil siswa akan tumbuh menjadi pribadi yang gemar belajar. 3. Memberi dukungan atas pencapaian hasil belajar siswa. Pengakuan ini penting sekali dalam meningkatkan motivasi belajar mandiri siswa. Melalui foto-foto momen keberhasilan dalam pencapaian sesuatu juga akan meningkatkan motivasi siswa. Peran dinas pendidikan setempat dalam menumbuhkan belajar mandiri siswa antara lain : 1. Memperbaiki sarana dan prasana belajar di sekolah. Dengan sarana dan prasarana yang memadai akan memudahkan siswa untuk belajar mandiri di lingkungan sekolah. Adanya laboratorium, perpustakaan, bengkel kerja untuk siswa akan menambahkan motivasi belajar siswa secar mandiri. 2. Mengadakan program-program beasiswa untuk siswa yang kurang mampu sehingga tidak ada siswa yang putus sekolah dikarenakan tidak adanya biaya. Sehingga anak-anak yang kurang mampu-pun mempunyai kesempatan untuk belajar mandiri di lingkungan sekolah. 3. Mengadakan berbagai kompetisi dalam bidang pengetahuan, teknologi, olah raga dan seni untuk menumbuhkan sifat kompetitif siswa. Dengan adanya pengakuan atas keberhasilan siswa dalam memenangkan kompetisi tertentu akan meningkatkan rasa percaya diri siswa yang. Hal ini tentu akan menambah motivasi siswa untuk melakukan belajar mandiri dengan lebih giat. Dengan upaya-upaya diatas, dimaksudkan agar siswa termotivasi untuk belajar mandiri sehingga tujuan pendidikan nasinal tercapai dan pembangunan pendidikan berkarakter bisa dioptimalkan. G. PENUTUP Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 menggariskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkaan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam rangka mewujudkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang diyakini 226 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Beberapa karakter yang hendak diwujudkan dalam pendidikan berkaraker diantaranya nilai, moral, dan norma, seperti religius, jujur, berani bertindak atas dasar kebenaran, dapat dipercaya, disiplin, kerja keras, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan sosial, tanggungjawab. Hal tersebut dapat dilakukan dengan implementasi strategi, model dan media pembelajaran untuk menumbuhkan motivasi belajar mandiri siswa guna membangun pendidikan berkarakter. DAFTAR RUJUKAN Haris Mudjiman, 2011. Belajar Mandiri : Pembekalan dan Penerapan. Surakarta : UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Kunandar. Guru Profesional. 2007. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kardi, Soeparman dan Nur Mohamad. 1999. Pengantar pada Pengajaran dan Pengelolaan Kelas. Surabaya. UNESA. Sri Anitah, 2011. Media Pembelajaran. Surakarta : UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Nur, Mohamad. 2000. Strategi – Strategi Belajar. Surabaya: Unipres. Nur, Mohamad & Soeparman Kardi. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya:Unipres. Soetarno Joyoatmojo, 2011. Pembelajaran Efektif : Pembelajaran yang Membelajarkan . Surakarta : UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). 227 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 228 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI BUDAYA BERSIH DI SEKOLAH DAN PEMANFAATAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR Suwarto WA A. PENDAHULUAN Tujuan pembangunan bagi bangsa di Indonesia telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke empat ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan nasional bagi bangsa Indonesia juga berorientasi pada pembangunan dunia, yaitu suatu pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, yang diselenggarakan di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972, kemudian dilanjutkan dengan konferensi lingkungan hidup pada tanggal 3 Juni 1992 di Rio de Jeneiro tentang asas pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang diselenggarakan oleh PBB. Undang-undang Republik IndonesiaNomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar danterencana, yang mendukung lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalamproses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidupgenerasi masa kini dan generasi masa depan. Pembangunan nasional juga berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadumenyeluruh dengan memperhitungkan generasi masa kini dan generasi masadepan yang wawasan lingkungan yang tinggi meliputi sadar terhadap lingkunganyang sehat, bersih, akan mempertinggi ketahanan fisik dan mental sumber dayamanusia Indonesia.Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan(sustainable development) ini, salah satu faktor diperlukan pada: ―aspekpenyiapan sumber daya manusia‖. Salah satu usaha untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dan peningkatan kualitas lingkungan yaitu dengan menyiapkan sumber daya manusia melalui pembangunan dalam pendidikan. Manusia pada dasarnya sangat memerlukan pendidikan untuk menggali dan menumbuhkembangkan segenap potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Melalui pendidikan, setiap orang akan dapat mengasah kemampuan diri hingga diharapkan dapat muncul secara maksimal. Pendidikan sesungguhnya merupakan sesuatu unsur yang harus menyatu dengan masing-masing diri manusia, yang akan dapat memberikan suluh penerang yang menuntun setiap manusia yang telah terdidik tersebut menuju arah, tujuan dan makna yang hendak didapatkan dalam meniti kehidupannya. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi untuk segenap warga negara sehingga diharapkan akan dapat berkembang menjadi manusia yang unggul, berkualitas mampu 229 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bersaing dengan bangsa lain dan mengejar ketinggalannya. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan kualitas, relevansi serta efesiensi menejemen pendidikan yang diharapkan dapat membentuk manusia unggul, berkualitas, untuk menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkelanjutan. Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2003 pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan: Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi pada dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalmenyebutkan: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan yang hendak dicapai pemerintah Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pemerintah telah memberikan kesempatan yang luas untuk memperoleh pendidikan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebagai sebuah proses, pendidikan merupakan usaha dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Akibat adanya pembangunan di bidang pendidikan, maka ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi membawa peningkatan kesejahteraan hidup manusia, akan tetapi di sisi lain juga tidak dapat dipungkiri bahwa penurunan kualitas lingkungan hidup antara lain terjadinya kerusakan merupakan dampak dari perkembangan tehnologi. Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana dan membawa korban nyawa dan harta benda yang tak terhitung nilainya. Isu lingkungan hidup semakin menggelinding dan menjadi topik pembicaraan di berbagai kalangan karena penurunan kualitas lingkungan tidak seimbang dengan upaya perbaikan dan pelestariannya. Oleh karena itu bangsa Indonesia perlu memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup. Pengetahuan tentang lingkungan hidup perlu diberikan kepada warga negara Indonesia termasuk kepada generasi muda penerus dan pewaris bangsa melalui pendidikan tentang lingkungan hidup yang diberikan dalam bentuk mata pelajaran di semua tingkatan lembaga pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Melalui pendidikan formalmerupakan cara yang paling tepat membangkitkankesadaran dan kecintaan terhadaplingkungan hidup (LH). Pendidikan pengetahuanlingkungan hidup berperan untuk memastikankeadaan lingkungan hidup dapat dijaga dan tidak mengalami kerusakan lagi sepenuhnya untuk terlaksananya pembangunan berkelanjutan yaitu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Sistem pendidikan di Indonesia khususnya pada tahap pendidikan dasar (SD dan SMP), dan tahap pendidikan menengah 230 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret atas (SMA/SMK) sampai saat ini belum ada matapelajaran tentang lingkungan hidup secara khusus. Dalam merespon tantangan yang ada, maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah pengembangan pendidikan berwawasan lingkungan hidup melalui budaya bersih di sekolah dan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan pengembangan pendidikan berwawasan lingkungan hidup? Bagaimana menciptakan budaya bersih di lingkungan sekolah? Dan bagaimana pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar? B. PEMBAHASAN 1. Pengembangan Pendidikan Berwawasan Lingkungan Hidup a. Pengertian lingkungan hidup Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat (1) menyebutkan: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Menurut Beroya (2000: 16) Lingkungan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang melengkapi sebuah organisme, yakni kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhannya. Menurut Sudharto P Hadi, ( 2000: 2) lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dengan perilakunya mempengaruhi kelangsungan perikehidupan lainnya Ungkapan di atas mengandung arti bahwa lingkungan hidup terdiri atas benda-benda mati, makhlukmakhluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan), serta interaksi di antara komponen-komponen tersebut yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan. Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan, adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di bumi atau bagian dari bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang berlebihan (http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan_hi dup). Sastrawijaya (2000: 6) mengatakan: ―Lingkungan hidup ialah semua benda yang hidup dan tidak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati‖. Lingkungan hidupadalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (http://www.dephut.go.id/.) Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua makhluk baik yang hidup maupun tidak hidup serta kondisi-kondisi yang ada di dalamnya baik daya, keadaan, dan perilaku makhluk hidup dalam mempengaruhi kelangsungan hidupnya. b. Pengembangan Pendidikan Berwawasan Lingkungan Agar manusia mampu berbuat maksimal dalam memanfaatkan lingkungan dan berupaya mencegah kerusakan lingkungan, maka pembangunan yang dilakukan tentunya harus berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah serta segenap sumber daya yang ada di dalamnya sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak terancam atau rusak (Sastrawijaya: 2000). Menurut pendapat ini, berarti bahwa dalam memanfaatkan ekosistem untuk kehidupan manusia, semua yang dilakukan harus 231 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret memperhatikan lingkungan sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan kerusakan. Salim, (1993) mengatakan bahwa: pembangunan berwawasan lingku ngan adalah pemahaman tentang kebijaksanaan, strategi dan sistem penge lolaan lingkungan hidup untuk peningkatan keseimbangan alam lingkungan dalam mengolah sumber alam dengan secara bijaksana agar tertopang proses pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kualitas hidup rakyat generasi demi generasi sepanjang masa dengan memperhatikan tiga hal yaitu: (1)pengelolaan sumber alam secara bijaksana, (2) pembangunan berkesinam bungan sepanjang masa, dan (3) peningkatan kualitas hidup generasi demi generasi. Uraian tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu strategi yang memanfaatkan ekosistem alamiah serta sumber yang ada di dalamnya secara bijaksana guna peningkatan kualitas hidup dengan tidak merusak lingkungan. Faktorfaktor yang mempengaruhi sumber alam antara lain: jumlah, kualitas, dan lokasi penduduk, teknologi yang dipakai; sifat sumber alam, apakah bisa diperbaharui atau tidak, dan pola hidup yang mengkonsumsi sumber alam. Pembangunan sumber daya alam berkaitan dengan tujuan dan ruang lingkup pembangunan yang berwawasan lingkungan dan mengarah pada menciptakan kualitas warga negara yang baik, yakni yang memiliki kualitas hidup (Meadows: 1972) Dalam kaitannya dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan inilah peranan pendidikan menjadi sangat penting. Melalui pengembangan pendidikan berwawasan lingkungan diharapkan mampu meramalkan, merekayasa dan mendorong sikap dan menciptakan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hati demi pembangunan yang berwawasan lingkungan 2. Budaya Bersih di Lingkungan Sekolah Sekolah memiliki nilai strategis yang signifikan dalam mengubah masa depan bangsa dan negara, yaitu dengan menyiapkan SDM yang baik untuk mengisi semua lini kehidupan, termasuk pelestarian lingkungan. Sekolah juga dituntut mampu menyelenggarakan ESD (education for sustainable development) pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan guna terwujudnya masa depan yang lebih baik. Dalam hal ini, sekolah merupakan komunitas masyarakat yang terdiri dari peserta didik, guru, kepala sekolah, dan seluruh staf tata usaha dan karyawan. Semuanya akan saling berkaitan dan menjadi medium efektif bagi pembelajaran dan penyadaran peserta didik terhadap upaya menghentikan laju kerusakan lingkungan yang disebabkan tangan manusia. Sekolah tidak hanya dapat menentukan masa depan suatu bangsa dan negara secara khusus, tetapi sekolah juga harus memiliki mind set bahwa sekolah merupakan kawah candradimuka untuk memproses peradaban dunia termasuk menyelamatkan masa depan planet bumi ini secara keseluruhannya. a. Budaya Sekolah Deal and Peterson (2004: 4) mengungkapkan tentang budaya sekolah sebagai berikut, “deep patterns of values, beliefs, and traditions that have formed over the course of [the school‟s] history.” Over time, a school leader can, in conjunction with other staekholders in the school, change its culture by discarding old values and beliefs, estasblising new ones, or modifying elements that need to be changed. Artinya susunan terdalam pada nilainilai, keyakinan dan tradisi yang telah terbentuk dalam rangkaian sejarah pelajaran sekolah dariwaktu ke waktu. 232 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Seorang kepala sekolah mampu bekerjasama dengan orang-orang berpengaruh lainnya di sekolah tersebut, merubah budaya ini dengan membuang nilai-nilai dan keyakinan lama membentuk yang baru atau mengubah unsur-unsur yang perlu untuk diubah. Budaya sekolah juga menggambarkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki budaya yang sesungguhnya tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu-individu yang bekerja dalam suatu organisasi sekolah, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut dan dianggap sebagai ciri yang membedakan sebuah organsasi dengan organisasi lainnya. Budaya sekolah terbentuk dari hubungan tiga faktor yaitu sikap dan kepercayaan orang yang berada di sekolah dan di lingkungan luar sekolah, normanorma budaya sekolah, dan hubungan antar individu di dalam sekolah. Sekolah sebagai rumah kedua bagi peserta didik memiliki peran yang besar pada terbentuknya sikap-sikap yang berujung pada karakter. Peserta didik menghabiskan waktu 7-8 jam perhari di sekolah, sehingga apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan akan membekas karena dilakukan berulangkali sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Kegiatan yang berulang-ulang akan menimbulkan kebiasaan, kebiasaan akan memunculkan sikap atau karakter. Lebih jauh dalam Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk masing-masing jenis atau Satuan Pendidikan (SKL-SP) disebutkan bahwa: Kompetensi peduli lingkungan yang harus dimiliki lulusan pada satuan Pendidikan antara lain: (1) menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan sosial, (2) memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab, (3) menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan. Perhatian peserta didik terhadap lingkungan hidup di sekolah dapat diberikan melalui program-program intrakurikuler mata pelajaran yang terstruktur dalam kurikulum, misalnya dalam mata pelajaran Biologi, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) maupun mata pelajaran lainnya yang diberikan secara terpadu, atau pembelajaran tematik khususnya di SD, IPS Terpadu di SMP, IPS di SMK dan SMA dan melalui kegiatan ekstra kurikuler seperti kelompok aktivis lingkungan, atau kelompok ilmiah remaja, Pramuka dan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.. Kepedulian terhadap lingkungan juga dapat dibangun melalui kegiatankegiatan kokurikuler sehingga terbentuklah sebuah budaya sekolah. Kementrian Pendidikan Nasional juga telah membuat grand design pendidikan karakter dengan menjadikan sekolah sebagai inti dari proses pembudayaan dan pemberdayaan untuk mencapai berbagai karakter, termasuk peduli lingkungan. Visi pendidikan lingkungan hidup adalah terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan, kesadaran dan keterampilan untuk berperan aktif dalam melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Pekerjaan yang tidak sederhana adalah seberapa jauh sekolah mampu mewujudkan budaya hidup bersih dan ramah lingkungan sehingga mampu menjadikan peserta didik memiliki sikap peduli terhadap lingkungan. Selain budaya, lingkungan fisik sekolah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu memberi suasana yang kuat dalam mencapai pengetahuan, 233 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana. Oleh karena itu sekolah sebagai sistem seyogyanya mempunyai perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitor, evaluasi dan tindak lanjut dalam program-program budaya bersih dan menata lingkungan fisik yang ramah lingkungan. b. Budaya Bersih Budaya bersih adalah pangkal dari kerapian dan kesehatan. Tetapi realita yang terjadi di masyarakat saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Bahkan banyak anak-anak yang dengan santainya membuang sampah tidak pada tempatnya. Pertanyaannya adalah apakah orang tuanya tidak mengajarkan? Kenyataannya orang tua pun banyak yang membuang sampah sembarangan. Lalu siapa lagi yang harus memberikan contoh dan pelajaran dalam hal kebersihan? Di beberapa negara lain sudah diterapkan aturan yang sangat ketat mengenai pembuangan sampah. Tidak main-main, bagi siapa saja yang ketahuan membuang sampah tidak pada tempatnya maka akan langsung didenda sesuai dengan peraturan yang berlaku. http://adnananwar.net/opini/ budaya-bersih. Berkaitan dengan budaya bersih, tidak perlulah menunggu pemerintah membuat undang-undang mengenai sampah, tidak perlulah menunggu masyarakat sadar mengenai kebersihan. Kitalah yang harus bisa memberikan contoh dan pelajaran, minimal pada diri kita sendiri kemudian meluas ke keluarga kita dan bisa jadi ke masyarakat sekitar kita dan seterusnya. Bayangkan jika setiap orang melakukan hal tersebut maka pastilah terwujud Indonesia yang bersih dan nyaman. Mulailah dari hal-hal kecil, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah sekarang. Masing-masing kita punya tanggung jawab untuk itu lalu mengapa harus menunggu orang lain. Mari kita wujudkan lingkungan yang bersih dan nyaman. Sekolah sehat merupakan perwujudan nyata dari SKB 4 menteri (Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departe men Agama dan Departemen Dalam Negeri) tahun 1984 mengenai UKS. Sekolah sehat adalah sekolah yang bersih, hijau, indah dan rindang, peserta didiknya sehat dan bugar serta senantiasa berperilaku hidup bersih dan sehat. Pembinaan lingkungan kehidupan sekolah sehat, baik fisik, mental, sosial maupun lingkungan dilaksanakan dengan: a. Pelaksanaan 7 K (Kebersihan, Keindahan, Kenyamanan, Ketertiban, Keamanan, Kerapihan, Kekeluargaan). b. Pembinaan dan pemeliharaan kesehatan lingkungan. c. Pembinaan kerjasama antar masyarakat sekolah (guru, murid, pegawai sekolah, orang tua murid dan masyarakat sekitar). Sekolah perlu membuat kebijakan tertentu untuk mewujudkan sekolah peduli dan berbudaya lingkungan. Kebijakan ini antara lain dapat diwujudkan dalam visi dan misi sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan, pengem bangan Pendidikan Lingkungan Hidup, peningkatan pendidikan SDM, penghema tan SDA, Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta pengalokasian dana Kegiatan Lingkungan Hidup. Pengembangan kurikulum berbasis lingkungan dilakukan dengan cara mengembangkan model pembelajaran lintas mata pelajaran, penggalian dan pengembangan materi dan persoalan lingkungan hidup yang ada di masyarakat sekitar, mengembangkan metode belajar berbasis lingkungan dan budaya, mengembangkan kegiatan kurikuler untuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang lingkungan hidup. Di samping itu sekolah juga perlu 234 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menyelenggarakan kegiatan yang bersifat parsitipatif seperti: mengadakan kegiatan ekstrakurikuler/kurikuler di bidang lingkungan hidup, mengikuti kegiatan aksi lingkungan hidup yang dilakukan oleh pihak luar, serta membangun kegiatan kemitraan atau memprakarsai pengembangan pendidikan lingkungan hidup di sekolah. Sedangkan pengelolaan dan atau pengembangan sarana pendukung sekolah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) Pengembangan fungsi sarana pendukung sekolah yang ada untuk pendidikan lingkungan hidup, (2) Peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan di dalam dan di luar kawasan sekolah, (3) Penghematan sumberdaya alam (listrik, air dan ATK), (4) Pening katan kualitas pelayanan makanan sehat, (5) Pengembangan sistem pengelo laan sampah, dll yang sesuai kondisi sekolah yang ada. Bicara tentang budaya, maka tidak lepas dari kebiasaan manusia. Tentu kebersihan penting untuk dijaga, karena berkaitan erat dengan kesehatan dan kenyamanan. Namun pada kenyataan masih banyak yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Untuk dapat mencintai kebersihan, maka kita harus tau apa saja dampak terburuk yang dapat ditimbulkan karena membuang sampah sembarangan. Kita harus tau manfaat terbaik yang kita dapat jika menjaga kebersihan. Karena itu kita harus memulai dari diri sendiri untuk membiasakan bersih anatara lain membuang sampah pada tempatnya. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya diunduh 22 April 2013. Kebersihan adalah salah satu persoalan yang menuntut kita untuk sadar dan peduli terhadap lingkungan. Persoalan ini tidak hanya menuntut kinerja pemerintah saja. Akan tetapi harus ada kesadaran dari semua pihak untuk menjaga lingkungan tetap bersih, nyaman dan asri. Disadari atau tidak, kenyataan yang terjadi sekarang adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan. Hal ini karena: 1) Masih banyak orang yang membuang sampah di selokan dan sungai. 2) Masih banyak orang yang membuang sampah di jalanan. 3) Masih banyak orang demo membakar ban di jalan raya. 4) Masih banyak orang yang mencoratcoret fasilitas umum. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka untuk menumbuhkem bangkan budaya bersih di sekolah antara lain dapat ditempuh sebagai berikut: 1) Membuat peraturan dan tata tertib tentang kebersihan lingkungan sekolah beserta sanksi bagi yang melakukan pelanggaran 2) Mensosialisasikan kepada seluruh warga sekolah 3) Menyediakan sarana tempat pembuangan sampah 4) Mengatur, mengelola, menertibkan, menjaga, dan mengawasi pembuangan sampah sehingga selalu terjaga kebersihannya 5) Melibatkan partisipasi warga sekolah termasuk siswa untuk memperhatikan, menjaga, membiasakan diri, mengendalikan dan mengawasi kebersihan lingkungan sekolah. Kebersihan lingkungan merupakan salah satu tolok ukur kualitas hidup masyarakat. Masyarakat yang telah mementingkan kebersihan lingkungan dipandang sebagai masyarakat yang kualitas hidupnya lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang belum mementingkan kebersihan. Salah satu aspek yang dapat dijadikan indikator kebersihan lingkungan adalah sampah. Bersih atau kotornya suatu lingkungan tercipta melalui tindakantindakan manusia dalam mengelola dan menanggulangi sampah yang mereka hasilkan. Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap sampah dapat 235 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menyebabkan munculnya masalah dan kerusakan lingkungan. Bila perilaku manusia semata-mata mengarah lebih pada kepentingan pribadinya, dan kurang atau tidak mempertimbangkan kepentingan umum/kepentingan bersama, maka dapat diprediksi bahwa daya dukung lingkungan alam semakin terkuras habis dan akibatnya kerugian dan kerusakan lingkungan tak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, sampah dan benda-benda buangan yang banyak terdapat di lingkungan kehidupan kita perlu ditanggapi secara serius dan perlu dicari cara yang tepat untuk menanggulanginya. Budaya bersih yang diteliti adalah berupa rangkaian dari berbagai wujud perilaku/tindakan yang dilakukan orang terhadap sampah, mencakup perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan seperti tindakan mengotori lingkungan hingga tindakan-tindakan yang bertanggung jawab seperti tindakan-tindakan memelihara dan membersihkan lingkungan. Secara keseluruhan, gambaran perilaku kebersihan yang ditampilkan orang dalam kehidupan keseharian di perkotaan merupakan hubungan yang saling terkait antara makna subjektif pelaku dengan situasi lingkungan di sekitarnya Peran perilaku jauh lebih penting dalam memelihara kebersihan lingkungan dibanding persoalan kelengkapan sarana. Tanpa tindakan nyata, sarana selengkap apa pun tidak akan mampu berfungsi untuk mewujudkan kebersihan lingkungan. Masalah-masalah di sekitar perilaku kebersihan bersifat kompleks dan berlangsung dalam berbagai situasi di wilayah perkotaan, di daerah permukiman, di kawasan industri dan perkantoran serta di tempat-tempat umum, sehingga pantas diakui sebagai masalah bersama atau tanggung jawab setiap orang/penghuni kota. Hal itu merupakan kombinasi dari bermacam-macam factor dari berbagai unsur yang terkait. Keterkaitan hubungan antara berbagai unsur memang menentukan pola perilaku kebersihan mereka. Hingga di sini, dapat diasumsikan bahwa budaya bersih yang dimaksud adalah tindakan kolektif siswa terhadap sampah yang bertujuan untuk memelihara dan membersihkan lingkungan kota. Upaya–upaya kebersihan diri meliputi; 1) Menjaga kebersihan kulit seluruh tubuh. 2) Menjaga kebersihan rambut dengan shampo minimal seminggu sekali 3) Tidak mempergunakan sisir, pisau cukur, serta alat pribadi lainnya secara bergantian. 4) Menjaga kebersihan tangan dan kuku. 5) Menjaga kebersihan pakaian. 6) Alat tidur (ganti dan cuci pakaian setelab mandi. Alat tidur/sprai dapat dicuci satu minggu sekali) Upaya yang perlu dilakukan dalam menjaga kebersihan lingkungan antara lain sebagai berikut 1) Menjaga pemukiman.yang bersih dan sehat. 2) Tersedianya sarana air minum/air bersih yang memenuhi syarat. 3) Tersedianya sarana pembuangan air kotor (limbah). 4) Tersedianya sarana pembuangan kotoran manusia (wc/septic tank) 5) Pembuangan tempat sampah. 6) Menjaga kondisi dapur, ruang makan yang bersih. 7) Menjaga kondisi kamar mandi dan tempat cuci. 3. Pemanfaatan Lingkungan Sekolah sebagai Sumber Belajar Kurikulum 2013 yang berlaku sekarang ini, memerlukan strategi baru terutama dalam kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang sebelumnya lebih banyak didominasi oleh peran guru (teacher centered) diperbaharui dengan 236 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa (studentcentered). Dalam implementasinya guru harus mampu memilih dan menerapkan model, motode atau strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi sehingga mampu mengembangkan daya nalar siswa secara optimal. Dengan demikian dalam pembelajaran guru tidak hanya terpaku dengan pembelajaran di dalam kelas, melainkan guru harus mampu melaksanakan pembelajaran dengan motode yang variatif. Di samping itu sesuai dengan pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan), guru harus mampu menghadapkan siswa dengan dunia nyata sesuai dengan yang dialaminya sehari-hari. Model strategi pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan PAIKEM yang memungkinkan bisa mengembangkan kreativitas, motivasi dan partisipasi siswa dalam pembelajaran antara lain adalah dengan memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Salah satu pilar dari pendekatan contekstual yaitu masyarakat belajar (learning commonity). Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu cara belajar yang disarankan dalam Kurikulum 2013 sebagai upaya mendekatkan aktivitas belajar siswa pada berbagai fakta kehidupan sehari-hari di sekitar lingkungan siswa. Memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar menjadi alternatif strategi pembelajaran untuk memberikan kedekatan teoritis dan praktis bagi pengembangan hasil belajar siswa secara optimal. Ekowati (2001) mengatakan, memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar merupakan bentuk pembelajaran yang berpihak pada pembelajaran melalui penggalian dan penemuan (experiencing) serta keterkaitan (relating) antara materi pelajaran dengan konteks pengalaman kehidupan nyata melalui kegiatan proyek. Pada pembelajaran dengan setrategi ini guru bertindak sebagai pelatih metakognitif yaitu membantu pebelajar dalam menemukan materi belajar, mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan dalam pembuatan laporan dan dalam penampilan hasil dalam bentuk presentasi. Berdasarkan hasil pantauan penulis, selama ini para guru masih jarang memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Lingkungan sekolah tidak lebih hanya digunakan sebagai tempat bermain-main siswa pada saat istirahat. Kalau tidak jam istirahat, guru lebih sering memilih mengkarantina siswa di dalam kelas, meskipun siswa sudah merasa sangat jenuh berada di dalam kelas. Guru-guru di sekolah tersebut memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar hanya dua sampai tiga kali dalam satu semester. Guru lebih sering menyajikan pelajaran di dalam kelas walaupun materi yang disajikan berkaitan dengan lingkungan sekolah. Dari wawancara yang dilakukan peneliti, sebagian besar guru mengaku enggan mengajak siswa belajar di luar kelas, karena alasan susah mengawasi. Selain itu ada guru yang menyampaikan bahwa mereka tidak bisa dan tidak tahu dalam memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Nilai-nilai kegunaan sumber belajar masyarakat adalah: (1) menghubung kan kurikulum dengan kegiatan-kegiatan masyarakat akan mengembangkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah sosial; (2) menggunakan minat-minat pribadi peserta didik akan menyebabkan belajar lebih bermakna baginya; (3) mempelajari kondisi-kondisi masyarakat merupakan latihan berpikir ilmiah (scientif methode); (4) mempelajari masyarakat akan memperkuat dan memper kaya kurikulum melalui pelaksanaan praktis didalam situasi sesungguhnya; (5) peserta didik 237 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret memperoleh pengalaman langsung yang kongkrit, realistis dan verbalisme. Pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar mengarahkan anak pada peristiwa atau keadaan yang sebenarnya atau keadaan yang alami sehingga lebih nyata, lebih faktual dan kebenarannya lebih dapat dipertanggung jawabkan. Manfaat nyata yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan lingkungan ini adalah : (1) menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak, (2) memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningful learning), (3) memungkinkan terjadinya proses pembentukan kepribadian anak, (4) kegiatan belajar akan lebih menarik bagi anak, dan (5) menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning aktivities). Mohd. Ansyar dan H. Nurtain (1992: 57) mengatakan bahwa, alam sekitar terbuka lebar sebagai alat bantu atau sumber, yaitu belajar sesuai dengan ungkapan Minangkabau, ―Alam takambang jadi guru‖, artinya lingkungan alam dan budaya tersedia untuk bahan pelajaran. Manfaat lain dari lingkungan sekitar sebagai sumber belajar adalah untuk menghindarkan keterasingan murid dengan alam sekitarnya. Misalnya, murid diajak untuk mengamati bunga, pohon, sungai, burung, bukit, petir, dan sebagainya untuk didiskusikan bersama teman sekelas. Sharpe mengatakan environmental education is “largely directed toward school-age groups, and takes place in such widely diverse areas as schoolrooms, school yards, city streets, and on field trips to museums, parks, and forests”(Ted T. Cable danLuAnn Cadden, 2006: 40). Pendapat di atas berarti bahwa lingkungan pendidikan merupakan lingkungan yang ditujukan secara luas untuk kelompok usia masuk sekolah dan berada di beragam tempat seperti ruang sekolah, halaman sekolah, jalan kota, dan perjalanan ke musium, taman, dan hutan. Lingkungan di sekitar sekolah, dapat dijadikan sarana untuk mendidik siswa baik dari bentuk fisik maupun bentuk sosialnya. Menurut Ovide Decroly (dalam Oemar Hamalik, 2009: 194) Sekolah adalah dari kehidupan dan untuk kehidupan(Ecole pour la vie par lavie), artinya bawalah kehidupan ke dalam sekolah agar kelak anak didik dapat hidup di masyarakat.Bertolak dari pendapat di atas berarti bahwa, kehidupan merupakan sarana untuk mendidik dan membekali siswa, agar mampu membangun kehidupan fisik dan sosial di lingkungan masyarakat. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Novrianti (2008: 3) lingkungan adalah situasi yang tersedia di mana pesan itu dapat diterima oleh siswa. Makhluk hidup berasal dari suatu lingkungan, dari lingkungan itu mereka belajar cara hidup dan membina kehidupan dengan lingkungannya. Situasi di sekitar terjadinya proses belajar mengajar di mana pebelajar menerima pesan (Aristo Rahadi, 2003: 7). Siswa mengalami proses belajar berarti ia menerima pesan atau informasi. Dalam menerima informasi ini siswa harus berinteraksi dengan situasi di sekitar informasi berada, agar informasi yang diterima dapat disampaikan kepada siswa dengan baik. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, lingkungan sekolah adalah keadaan di sekitar sekolah baik di dalam sekolah maupun di lluar sekol;ah berupa orang, masyarakat, lingkungan fisik, gedung, halaman, barang, dan peristiwa alam atau budaya. a. Pengertian Sumber Belajar Menurut Sri Joko Y (2004: 20) sumber belajar adalah bahan yang mencakup media belajar, alat peraga, alat permainan untuk memberikan informasi maupun berbagai keterampilan kepada anak maupun orang dewasa yang berperan mendampingi anak dalam belajar.Bertolak 238 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dari pendapat di atas dapat berarti bahwa, segala sesuatu yang mendampingi siswa belajar seperti media, peraga, dan alat bermain untuk memperoleh informasi dinamakan sumber belajar. Menurut AECT (dalam Asep Herry Hernawan, dkk 2008: 11.22) sumber belajar berarti semua sumber baik berupa data, orang maupun wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam kegiatan belajar, baik secara terpisah maupun terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan, bahwa sumber belajar merupakan segala sumber baik berupa sumber asli maupun sumber buatan, yang digunakan terpisah atau bersama untuk memudahkan siswa mencapai tujuan belajarnya. Menurut Udin S. Winataputra, dkk (2007: 1.20)sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan oleh peserta didik dan pendidik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dari pendapat di atas berarti bahwa, siswa dan guru dapat menggunakan secara bersama segala sesuatu yang dapat membantu proses pembelajaran. Menurut Mudhoffir (dalam Yudhi Munadi, 2008: 37) menyatakan bahwa sumber belajar merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Bertolak dari pendapat tersebut berarti bahwa, hasil belajar siswa dipengaruhi oleh sumber belajar yang berupa pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan. Menurut Abdul Majid (2008: 170)segala tempat atau lingkungan sekitar benda, dan orang yang mengandung informasi dapat digunakan sebagai wahana bagi peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku. Pendapat tersebut berarti bahwa, belajar merupakan proses perubahan tingkah laku, sehingga diperlukan adanya lingkungan atau tempat di sekitar siswa, untuk menjadikan tingkah laku setelah belajar lebih baik daripada tingkah laku sebelumnya. Bertolak dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber belajar adalah segala sumber yang dapat digunakan untuk membantu memudahkan peserta didik untuk memperoleh informasi dan tujuan belajarnya. b. Jenis-jenis Sumber Belajar Terdapat empat jenis sumber belajar yang memiliki manfaat, yaitu: (1) Masyarakat di sekitar sekolah, (2) Lingkungan fisik dekat sekolah, (3) Barang sisa atau bekas, (4) Peristiwa alam atau peristiwa budaya. (Cony Semiawan et. al 1988 dalam Mohd. Ansyar dan H. Nurtain, 1992: 57). Sumber belajar yang dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan belajarnya dapat berasal dari masyarakat sekitar, lingkungan terdekat, barang-barang sisa, dan peristiwa alam atau budaya yang terjadi baru-baru ini dan dahulu terjadi. Sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, jika dilihat dari asalnya, yaitu: 1) sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) adalah sumber belajar yang sengaja dibuat untuk tujuan pembelajaran, dan 2) sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan (learning resources by utilization) adalah sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran, namun dapat ditemukan, dipilih, dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran (Aristo R, 2003: 7-8). Menurut Abdul Majid (2008: 170171) sumber belajar dapat dikategorikan menjadi 5, yaitu: (1) Tempat atau lingkungan alam sekitar (2) Benda (3) Orang (4) Buku dan (5) Peristiwa dan fakta yang sedang terjadi, Belajar dapat meningkat dengan adanya berbagai sumber yang memudahkan siswa untuk memperoleh informasi. 239 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Misalnya sumber belajar yang berupa buku, peristiwa yang terjadi, orang, tempat atau lingkungan, dan benda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, ada 2 jenis sumber belajar, yaitu sumber belajar alami dan sumber belajar buatan. Sumber belajar alami meliputi lingkungan fisik, peristiwa alam, dan bahan sisa, sedangkan sumber belajar buatan meliputi masyarakat dan peristiwa yang ditimbulkannya. kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara langsung dengan pancainderanya untuk belajar berkomunikasi dengan lingkungan tersebut. Bertolak dari beberapa pendapat di atas maka, lingkungan sebagai sumber belajar adalah pemanfaatan sumber daya (alam dan manusia) yang ada di sekitar untuk digunakan oleh guru bersama siswa agar dapat memperoleh informasi dan meningkatkan pengetahuan. c. Pengertian Lingkungan sebagai sumber belajar Lingkungan merupakan suatu sumber yang menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak. Lingkungan yang disebut sebagai sumber belajar adalah tempat atau ruangan yang dapat mempengaruhi siswa (Novrianti, 2008: 3).Sumber belajar dengan menggunakan lingkungan berarti bahwa proses belajar siswa tidak hanya mengenal kelas saja, tetapi juga mengenal tempat lainnya di luar kelas. Menurut Ahmad E, dkk (bahwa lingkungan sebagai sumber belajar berkenaan dengan interaksi sosial dengan kehidupan bermasyarakat seperti organisasi sosial, adat dan kebiasaan, mata pencaharian, kebudayaan, pendidikan, kependudukan, struktur kepemerintahan, dan agama. Selama siswa belajar di lingkungan akan terjadi interaksi sosial yang terdapat di masayarakat. dalam http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/01/ makalah-lingkungan-sebagai-sumber.html, 2010: 2). Menurut Udin S. Winataputra, dkk (2007:9.31) ...proses belajar mengajar yang memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dapat menciptakan suasana belajar aktif dan kreatif serta mengembangkan kemampuan berpikir. Sumber belajar melalui lingkungan akan memperkaya wawasan dan pengetahuan anak, karena mereka dapat belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu d. Kelebihan Lingkungan sebagai Sumber Belajar Kelebihan lingkungan dipilih sebagai sumber belajar di SD, misalnya : 1) lingkungan yaitu sesuatu yang paling dekat dengan siswa, dikenal dalam kehidupan sehari-hari, 2) lingkungan merupakan sumber belajar yang sangat kaya, dan 3) lingkungan merupakan tempat nyata kehidupan siswa (NN dalam http://www.scribd.com/LingkunganSebagai-Sumber-Belajar-Sains /d/18476707, 2010: 5-6). Pemilihan lingkungan sebagai sumber belajar memiliki kelebiahan, yaitu: 1) sesuatu yang sudah dikenal siswa adalah limgkungan, 2) kaya akan informasi, dan 3) siswa dapat berinteraksi langsung dengan sumber belajar. e. Kekurangan Lingkungan sebagai Sumber Belajar Terdapat beberapa kekurangan dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, yaitu: 1) kegiatan belajar yang kurang persiapan menyebabkan siswa terkesan main-main saat siswa diajak ke tempat tujuan, 2) kegiatan mempelajari lingkungan memerlukan waktu yang lebih lama daripada waktu untuk belajar di kelas, dan 3) sempitnya pandangan guru bahwa kegiatan belajar hanya terjadi di dalam kelas (Ahmad E, dkk, 2010: 2). Selain kelebihan yang dimiliki lingkungan sebagai sumber belajar terdapat 240 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pula kekurangan baik saat pelaksanaan maupun pelaksananya, yaitu: 1) kurangnya persiapan dalam menyusun kegiatan belajar dapat mengesankan siswa kurang serius, 2) waktunya lebih lama dibandingkan belajar di kelas, dan 3) kurangnya pemahaman guru tentang sumber belajar. f. Peranan Lingkungan sebagai Sumber Belajar Beberapa keuntungan penggunaan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar: (1) Membuat siswa mendapatkan informasi berdasarkan pengalaman langsung. (2) Membuat siswa mudah mencapai sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan. (3)Membuat siswa mengenal dan mencintai lingkungan yang pada akhirnya mengagumi dan mengagungkan penciptanya. (4) Membuat pelajaran lebih konkrit. (5) Biaya relatif murah. (6) Penerapan ilmu menjadi lebih mudah, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehariharinya, sehingga siswa akan merasakan bahwa belajar itu bermakna dan menarik. (7) Sesuai prinsip perkembangan yaitu (a) Anak berbeda kemampuan belajarnya; (b) Anak berkembang sesuai perkembangan fisik, intelektual, sosial/perasaan; (c) Belajar dari konkrit ke abstrak, mudah ke sukar, dekat ke jauh, dan sudah diketahui ke yang belum diketahui; dan (d) Mengembangkan motivasi/prinsip ―belajar bagaimana belajar‖ (Jeperis, 2009: 2). Lingkungan sebagai sumber belajar memberikan keuntungan terutama bagi siswa. Misalnya informasi dapat diperoleh secara langsung, mudah mencapai tujuan belajar yang telah direncanakan, lebih mengenal lingkungan, pembelajaran bersifat nyata, menarik, dan sesuai perkembangan siswa. Selain itu terdapat pendapat lain yaitu: 1) Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya, 2) Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya, dan 3) Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak. Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak (NN dalam http://ilmuwanmuda.wordpress.com/ pemanfaatan-lingkungan-sebagai-sumberbelajar-untuk-anak-usia-dini/, 2009: 2-3). Keuntungan lingkungan juga dapat berarti menjadikan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa, sehingga siswa lebih mencintai lingkungannya, dan kegiatan belajar menjadi lebih menarik. Lingkungan sebagai sumber belajar memiliki keuntungan antara lain, (1) Siswa menjadi lebih mengenal koperasi, pasar, dan aktivitas ekonomi di daerahnya, (2) Adanya kunjungan langsung ke sumber belajar, membuat siswa dapat mencapai sasaran yang ditetapkan gurunya/ dalam kegiatan belajarnya, (3) Adanya kegiatan ini siswa diharapkan dapat lebih menghargai dan menghormati lingkungan sekitar baik individu atau kelompok, (4) Siswa menjadi lebih paham dengan adanya pembelajaran dengan sumber informasi yang asli, (5) Pembelajaran yang dilakukan dapat mudah diserap siswa, apabila sumber pengetahuan tidak jauh dari sekolah dan kemampuan siswa, (6) Siswa lebih senang belajar dengan pengetahuan yang diperolehnya dari kesehariannya, dan (7) Siswa dapat mengembangkan pengetahuannya sesuai perkembangan fisik dan psikologisnya. g. Jenis-Jenis Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Menurut Oemar Hamalik (2009: 196) Lingkungan terdiri dari: 1) lingkungan sosial adalah lingkungan masyarakat 2) lingkungan personal meliputi individuindividu yang berpengaruh terhadap individu lainnya; 3) lingkungan alam (fisik) meliputi semua sumber daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar; 241 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dan 4) lingkungan kultural mencakup hasil budaya dan teknologi yang dapat dijadikan sumber belajar dan yang dapat menjadi faktor pendukung pengajaran, termasuk sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan. Siswa dapat belajar dari lingkungan sosial, alam, dan kultural masyarakat sekitar, bahkan lingkungan yang sering mempengaruhi belajar adalah lingkungan personal. Lingkungan belajar ada tiga yaitu: 1) Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan), tumbuh-tumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan sebagainya; 2) Lingkungan sosial, pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar ini misalnya:mengenal adat istiadat dan kebiasaan penduduk setempat di mana anak tinggal, mengenal jenis-jenis mata pencaharian penduduk di sektiar tempat tinggal dan sekolah, mengenal organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat sekitar tempat tinggal dan sekolah dan mengenal kehidupan beragama yang dianut oleh penduduk sekitar tempat tinggal dan sekolah; dan 3) Lingkungan budaya, ada lingkungan budaya atau buatan yakni lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. (NN dalam http://ilmuwanmuda.wordpress.com/pemanf aatan-lingkungan-sebagai-sumber-belajaruntuk-anak-usia-dini/, 2009: 7-8). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenisjenis lingkungan sebagai sumber belajar ada tiga, meliputi 1) lingkungan fisik atau alami;2) lingkungan sosial; dan 3) lingkungan budaya. h. Penerapan Lingkungan sebagai Sumber Belajar pada Pembelajaran Penerapan suatu sumber belajar dalam pembelajaran tentu memiliki langkah-langkah penggunaannya, agar dapat berlangsung sesuai tujuan yang diharapkan. Terdapat beberapa langkah untuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar, yaitu: Identifikasi berbagai sumber dan objek di lingkungan sebagai sumber belajar; dan (2) Manfaatkan sumber tersebut untuk kepentingan belajar murid; pertama, lakukan persiapan, misalnya menetapkan jadwal, menyediakan alat, dan lembar kerja, kedua gunakan Lembar Kerja Murid (LKM) sebagai panduan dalam melakukan pengamatan, demonstrasi atau kegiatan belajarnya (Tim SBM, 2007: 185). Lingkungan sebagai sumber belajar dalam penerapannya melalui beberapa langkah yang dimulai dari mengamati objek, meneliti manfaat sumber tersebut bagi siswa, dan merencanakan kegiatan pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2009: 100-101) ada empat kegiatan dalam menerapkan pembelajaran berdasarkan lingkungan, yaitu: 1) kegiatan persiapan; menentukan objek, 2) kegiatan pelaksanaan; mengunjungi objek dan wawancara, 3) kegiatan penafsiran pengalaman; kegiatan membuat laporan kelompok, dan 4) kegiatan tindak lanjut; mengaitkan pengalaman dengan materi dari sekolah. Kegiatan-kegiatan yang dapat memudahkan penerapan lingkungan sebagai sumber belajar, yaitu kegiatan persiapan yang berupa rencana pembelajaran dan penentuan objek, kegiatan pelaksanaan berupa kunjungan ke objek yang direncanakan dan melakukan wawancara, kegiatan penafsiran pengalaman dapat berupa membuat laporan hasil kunjungan, dan kegiatan tindak lanjut berupa, kegiatan menghubungkan pengalaman dari hasil kunjungan dengan materi yang diperoleh dari sekolah. Langkah-langkah untuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar meliputi: 1) amati terlebih dahulu sumber atau objek yang akan dikunjungi dan 2) persiapkan kegiatan belajar dengan baik, dan 3) lakukan tindak lanjut. 242 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret C. PENUTUP Demikian makalah singkat ini kami sajikan sebagai bahan pembahasan dalam seminar ini. Semoga bermanfaat bagi pengembangan pendidikan khususnya pendidikan yang berwawasan lingkungan. Masukan, saran dan kritik dari peserta seminar sangat kami harapkan DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid. 2008. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ahmad E, dkk. 2010. Makalah Lingkungan sebagai Sumber http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/01/makalah-lingkungan-sebagaisumber.html diunduh tanggal 15 April 2013. Belajar. Aristo Rahadi. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas Dirjendikdasmen. Depdiknas, 2006. Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk masing-masing jenis atau Satuan Pendidikan (SKL-SP), Jakarta: Sekretariat Jendral Emil Salim, 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Jakarta: LPES. Jeperis. 2009. Lingkungan sebagai Sumber Belajar. http://jeperis.wordpress.com/2009/01/06/lingkungan-sebagai-sumber-belajar/ diunduh tanggal 24 April 2013. Mary Antonette A. Beroya, 2000, Mengenal Lingkungan Hidup, Jakarta: Yakoma. Meadows. D. ,1972, Limits to Growth, Washington D.C: Potomac Associates. Mohd. Ansyar dan H. Nurtain. 1992. Pengembangan dan Inovasi /Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjendikti Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. NNhttp://adnananwar.-net/opini/budaya-bersih/ diunduh 22 April 2013 NN dalam http://ilmuwanmuda.wordpress.com/ pemanfaatan-lingkungan-sebagai-sumberbelajar-untuk-anak-usia-dini/, 2009. diunduh tanggal 24 April 2013 NN dalam http://www.scribd.com/Lingkungan-Sebagai-Sumber-Belajar-Sains /d/18476707, 2010). diunduh tanggal 24 April 2013 Novrianti. 2008. Pemanfaatan Lingkungan sebagai Sumber Belajar. http://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/pemanfaatan-lingkungan-sebagaisumber-belajar/ diunduh tanggal 28 April 2013. Oemar Hamalik. 2009. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Peterson. Kent D and E. Deal. 2004. Shaping School Culture “The heart of Leadership‖ Sun Francisco, US: Josiey Boss. 243 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Republik Indonesia. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi. 2005 _____.Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. _____. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Sastrawijaya .A.Tresna, 2000. Perencanaan Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta. SKB 4 menteri (Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri) tahun 1984 mengenai UKS. Sri Joko Yunanto. 2004. Sumber Belajar Anak Cerdas. Jakarta: Grasindo. Sudharto P Hadi, 2000,Manusia dan Lingkungan, Semarang: UNDIP. Suranto S. Siswaya dan Setya Ningrum R. 2008. Kesehatan Lingkungan dan Keluarga. Surakarta: Suara Media Sejahtera. Ted T. Cable dan LuAnn Cadden. 2006. The Common Roots of Environmental Education and Interpretation. Journal of Interpretation Research, 2006, Vol 11(2). Tim SBM. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: UNS Press. Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Yudhi Munadi. 2008. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada Press. 244 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret STRATEGI PEMBANGUNAN DI BIDANG PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI (Kajian Strategi Memasukkan Pendidikan Kesehatan Reproduksi menjadi Kurikulum Muatan Lokal) Soepri Tjahjono M.W, S.Pd, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta Pengembangan mata pelajaran muatan lokal memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu dilembagakan/diorganisir. Beberapa unsur kesehatan reproduksi sudah ada dalam mata pelajaran yang ada,tetapi masih kurang bobotnya dan kurang terintegrasi. Penerapan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum yang paling mungkin adalah dalam kurikulum lokal yang pada keadaan daerah dan kebutuhan peserta didik. Landasan hukum penerapan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum lokal adalah Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2), serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kebijakan pengembangan kurikulum berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan, diatur berdasarkan tiga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permen Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Permen Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006. Kata kunci : Pendidikan, Pendidikan Kesehatan Reproduksi, Kurikulum Muatan Lokal, Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia Sistem Pendidikan Nasional Indonesia berlandaskan pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UndangUndang tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, 245 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Selain itu, pemerintah juga membentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan. Anggota BSNP adalah para ahli-ahli bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum dan manajemen pendidikan, dengan masa jabatan 4 tahun. Para anggota BSNP bertanggungjawab pada Menteri Pendidikan Nasional. Dari 8 standar yang ditargetkan, dalam tahun 2006, depdiknas baru menggarap 2 standar yakni Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. 2 Standar ini diatur berdasarkan tiga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permen Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Permen Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006. Bagan Pengembangan Kurikulum Konteks Pendidikan : Lokal, Nasional, Regional, Internasional Landasan : Spirirtual Filosofis Sosiologis Psikologis Tujuan Pendidikan Nasional Standar Pendidikan Nasional KURIKULUM NASIONAL Standar Isi : - Kerangka Dasar - Struktur Kurikulum - Beban Belajar - Kalender Pendidikan Standar Komptensi : SKL SK-KMP SK-MP KD Kurikulum Operasional KTSP SILABUS RPP Kurikulum Aktual Proses Pembelajaran Sumber: Depdiknas 2006 dalam Mulyasa, 2006: 147 246 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret KTSP, Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam konteks kurikulum nasional, diatur sebuah standar minimal tentang isi kurikulum di tingkat satuan pendidikan, yang dikenal dengan Standar Isi (SI). SI berisi 4 hal, yakni (1) Kerangka Dasar Kurikulum, (2) Struktur Kurikulum, (3) Beban Pelajaran, dan (4) Kalender Pendidikan Kerangka Dasar Kurikulum diterjemahkan ke dalam kelompok Mata Pelajaran yang berisi 5 kelompok yakni : (1) Agama dan Akhlak Mulia, (2) Kewarganegaraan dan Kepribadian, (3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Estetika, dan (5) Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan. Alokasi waktu untuk pelaksanaan Kurikulum nasional telah disusun secara sistematis dalam struktur kurikulum. Struktur kurikulm adalah pola dan susunan Mata Pelajaran yang harus ditempuh oleh poeserta dididk dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum setiap Mata Pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam komptensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi tersbut terdiri atas Kompetensi dasar dan Standar Kompetensi yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Secara garis besar, struktur kurikulum membuka peluang bagi setiap satuan pendidikan di setiap jenjang pendidikan untuk ―menambah empat jam pelajaran per minggu‖. (Pusat Kurikulum, Struktur Kurikulum, 2004). Secara detail pembagian beban jam per jenjang pendidikan bisa dilihat dalam tabel di bawah Tabel. 1 Struktur Kurikulum di Setiap Jenjang Pendidikan SD/MI kelas 1 – III 8 + Mulok+Pengembangan diri SD/MI kelas IV – VI SMP/MTs 8 + Mulok+Pengembangan diri 10 + Mulok+Pengembangan diri JUMLAH JAM PER MINGGU I =26 II=27 III = 28 32 32 SMA kelas X 16+ Mulok+Pengembangan diri 38 JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH MATA PELAJARAN SMA kelas XI – XII 13 + Mulok+Pengembangan diri semua program (Bahasa, IPA, IPS) MA kelas XI – XII 13 + Mulok+Pengembangan diri program keagamaan SMK 13 (4 macam Mata Pelajaran kejuruan)+ Mulok+Pengembangan diri 247 39 38 36 jam equivalen dengan durasi waktu 3950 jam/tahun Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret SDLB kelas I – III Sesuai dengan jenis tuna 30 – 34 SDLB kelas IV– VI sda 36 SMPLB Sda 36 SMALB sda 38 (Diolah dari Pusat Kajian Kurikulum, Struktur Kurikulum, 2004) KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. KTSP secara garis besar memiliki enam komponen penting sebagai berikut : 1. Visi dan Misi 2. Tujuan Pendidikan Satuan Pendidikan 3. Menyusun Kalender Pendidikan 4. Struktur Muatan KTSP 5. Silabus 6. RPP Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum. 1. Mata pelajaran Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi. 2. Muatan Lokal Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal. 3. Kegiatan Pengembangan Diri Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan 248 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pengembangan diri dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik serta kegiatan keparamukaan, kepemimpinan, dan kelompok ilmiah remaja. Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier. Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik. Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran. Penilaian kegiatan pengembangan diri dilakukan secara kualitatif, tidak kuantitatif seperti pada mata pelajaran. Model Mata Pelajaran Muatan Lokal. Pengembangan model mata pelajaran Muatan Lokal berlatar belakang dari adanya Otonomi Daerah, Sentralisasi menjadi Desentralisasi, dan Multikultural. Landasan pengembangan mata pelajaran muatan lokal adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Tujuan pengembangan mata pelajaran muatan lokal adalah memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Secara lebih jelas ditujukan agar peserta didik dapat: 1. Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya, 2. Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya, 3. Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilainilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Ruang lingkup pengembangan mata pelajaran muatan lokal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lingkup keadaan dan kebutuhan daerah, dan lingkup isi/jenis muatan lokal. Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan arah perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan. Jenis muatan lokal dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Kebutuhan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Masuk Kurikulum Pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu dilembagakan/diorganisir. Banyak yang beranggapan bahwa materi kesehatan 249 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret reproduksi selama ini telah masuk dalam mata pelajaran yang ada. Beberapa unsur kesehatan reproduksi memang sudah ada dalam mata pelajaran yang ada. Namun pada dasarnya materi tersebut masih kurang bobotnya dan kurang terintegrasi. Hal tersebut menyebabkan permasalahanpermasalahan remaja terkait dengan kesehatan reproduksi, tidak mendapatkan solusi yang tepat. Beberapa pihak juga masih khawatir jika pendidikan kesehatan reproduksi masuk dalam kurikulum. Mereka khawatir dengan adanya materi reproduksi dalam kurikulum maka akan semakin mendorong remaja untuk mempraktekan hubungan seksual. Pada dasarnya kekhawatiran tersebut tidak perlu, karena berdasarkan penelitian WHO yang dilakukan di 68 negara di seluruh dunia menunjukkan, bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja di sekolah malah menunda keinginan remaja untuk berhubungan seksual pada usia muda dan mendorong mereka melindungi diri mereka dari HIV/AIDS. Contohnya di Uganda, adanya pendidikan kesehatan reproduksi, IMS (Infeksi Menular Seksual) pada remaja perempuan menurun secara dramatis dari 23% menjadi 5% pada tahun 2002, hal yang sama juga terjadi di Zambia. Fenomena tersebut juga terjadi pada laki-laki Thailand, dari 143.000 menjadi 29.000 orang per tahun selama satu dekade terakhir. PSS PKBI DIY pada tahun 2005 telah melakukan sebuah assesment kebutuhan akan pendidikan kesehatan reproduksi untuk dimasukkan ke dalam kurikulum. Hasil assesmen tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden siswa (94%) merasa membutuhkan pelajaran kesehatan reproduksi karena sangat berguna untuk memahami, menjaga dan berperilaku seks yang sehat. Kebutuhan akan Mata Pelajaran kesehatan reproduksi pada sebagian besar responden siswa (84,8%) dikarenakan materi kesehatan reproduksi belum terdapat pada Mata Pelajaran lainnya dan Mata Pelajaran yang ada dirasa belum cukup untuk mengetahui dan menjaga organ reproduksinya oleh 57,8% responden siswa. Hanya 36,4% responden yang merasa bahwa Mata Pelajaran yang ada sudah memberikan materi untuk memahami dan menjaga kesehatan reproduksi-nya. Dalam penelitian tersebut juga ditunjukkan fakta sebanyak 58,3% siswa sekolah menengah menghendaki Mata Pelajaran kesehatan reproduksi jika ada tambahan pelajaran. Data ini juga didukung oleh data lain tentang pilihan jenis mata pelajaran tambahan. Sebanyak 61,8% responden menghendaki menjadikan Mata Pelajaran kesehatan reproduksi sebagai pilihan pertamanya. Ada kekhawatiran dari pihak pengajar tentang asumsi kepadatan jam mata pelajaran ketika akan ditambah mata pelaharan kesehatan reproduksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa merasa tidak sulit untuk menerima materi kesehatan reproduksi sebagai Mata Pelajaran tersendiri. Hal itu ditunjukkan oleh sebanyak (54,7%) responden yang menghendaki agar Mata Pelajaran kesehatan reproduksi itu dijadikan sebagai muatan lokal. Alokasi waktu yang dikehendaki sebagian besar siswa (47,3%) untuk memberikan Mata Pelajaran kesehatan reproduksi adalah 2 jam dalam seminggu. Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Mata Pelajaran Tingkat Satuan Pendidikan. Pendidikan kesehatan reproduksi yang ada dalam kurikulum standar kompetensi lulusan mata pelajaran dirasakan masih sangat kurang/minim. Dalam standar kompetensi lulusan mata pelajaran ada beberapa mata pelajaran yang membahas mengenai kesehatan reproduksi. Namun karena hal tersebut dibahas dalam tiap mata pelajaran yang berbeda maka 250 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tujuan utama pendidikan kesehatan reproduksi menjadi tidak tercapai. Minimnya materi kesehatan reproduksi dalam kurikulum mata pelajaran terjadi merata, pada tingkat satuan pendidikan SD, SLTP/MTs maupun SMA/MA. Berikut adalah unsur-unsur kesehatan reproduksi yang ada dalam mata pelajaran yang ada saat ini, sesuai dengan Standar Kompetensi dan Standar Isi. SD/MI a) Pendidikan Agama Berperilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari serta menghindari perilaku tercela. b) Pendidikan Kewarganegaraan i. Menerapkan hidup rukun dalam perbedaan ii. Memahami dan menerapkan hidup rukundi rumah dan di sekolah c) Ilmu Pendidikan Alam (IPA) Memahami bagian-bagian tubuh pada manusia, hewan, dan tumbuhan, serta fungsinya dan perubahan pada makhluk hidup d) Ilmu Pendidikan Sosial (IPS) i. Memahami identitas diri dan keluarga, serta mewujudkan sikap saling menghormati dalam kemajemukan keluarga ii. Mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dan lingkungan tetangga, serta kerja sama di antara keduanya e) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (Penjaskes). Memahami budaya hidup sehat dalam bentuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengenal makanan sehat, mengenal berbagai penyakit dan pencegahannya serta menghindarkan diri dari narkoba. Pada kurikulum mata pelajaran tingkat satuan pendidikan SD di atas tampak bahwa materi kesehatan reproduksi masih sangat minim. Jika dilihat dari perkembangan anak sekarang ini, peserta didik untuk tingkat satuan pendidikan SD organ reproduksinya sudah mulai matang. Hal ini dapat diketahui dari kenyataan bahwa sebagian besar peserta didik perempuan pada tingkat satuan pendidikan SD, rata-rata mendapatkan menstruasi pertama pada usia 10 -12 tahun (kira-kira antara kelas III -VI). Bahkan pada kasuskasus tertentu ada juga peserta didik yang mengalami menstruasi sebelum itu. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya gizi, dan pergaulan di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Pada peserta didik laki-laki juga terjadi hal yang hampir sama. Mereka mengalami mimpi basah pada usia yang kurang lebih sama dengan usia mendapatkan menstruasi pertama pada peserta didik perempuan, yaitu pada usia 11-12 tahun. SLTP/MTs a) Pendidikan Kewarganegaraan Ada 2 (dua) point yang ‖masih mungkin‖ walau masih sangat umum sekali, yaitu: i. Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma kebiasaan, adat istiadat dan peraturan ii. Menunjukkan sikap kritis dan apresiatif terhadap dampak globalisasi b) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (Penjaskes). Hanya ada 1 (satu) point dan itu pun lebih ditekankan pada sifat-sifat yang masih sangat mendasar, yaitu: Memahami budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari seperti perawatan tubuh serta lingkungan, mengenal berbagai penyakit dan cara pencegahannya serta menjauhi narkoba. c) Ilmu Pendidikan Alam (IPA) Hanya ada 1 (satu) point dan sifatnya masih sangat umum, yaitu: Memahami sistem organ pada manusia dan kelangsungan makhluk hidup. 251 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret d) Ilmu Pendidikan Sosial (IPS). Ada 3 (tiga) point yang bisa dikritisi, yaitu: i. Memahami proses interaksi dan sosialisasi pembentukan kepribadian manusia ii. Mendeskripsikan perubahan sosialbudaya dan tipe-tipe perilaku masyarakat, mengidentifikasi berbagai penyakit sosial akibat penyimpangan sosial dalam masyarakat, dan upaya pencegahannya iii. Mendeskripsikan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi, mengidentifikasi tindakan ekonomi berdasar motif dan prinsip ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya SMA/MA a) Pendidikan Kewarganegaraan. Ada 2 (dua) point yang ‖masih mungkin‖ walau masih sangat umum sekali, yaitu: i. Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap penegakan hukum, peradilan nasional ii. Menganalisis pola-pola dan partisipasi aktif dalam pemajuan, penghormatan serta penegakan HAM baik di Indonesia maupun di luar negeri b) Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (Penjaskes). Hanya ada 1 point dan itu pun lebih ditekankan pada sifat-sifat yang masih sangat mendasar, yaitu: Memahami budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari seperti perawatan tubuh serta lingkungan yang sehat, mengenal berbagai penyakit dan cara pencegahannya serta menghindari NARKOBA dan HIV/AIDS c) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Hanya ada 1 (satu) point dan sifatnya masih sangat umum, yaitu: Memahami konsep sel dan jaringan, keterkaitan antara struktur dan fungsi organ, kelainan dan penyakit yang mungkin terjadi pada sistem organ serta implikasinya pada sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat d) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Ada 6 (enam) point yang bisa dikritisi, yaitu: i. Memahami proses interaksi sosial di dalam masyarakat dan norma yang mengatur hubungan tersebut serta kaitannya dengan dinamika kehidupan sosial ii. Mengindentifikasi kegiatan bersosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian iii. Mengidentifikasi berbagai perilaku menyimpang dan anti sosial dalam masyarakat iv. Menganalisis hubungan antara struktur dan mobilitas sosial dalam kaitannya dengan konflik sosial v. Mendeskripsikan berbagai bentuk kelompok sosial dan perkembangannya dalam masyarakat yang multikultural vi. Menjelaskan proses perubahan sosial pada masyarakat dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat Berdasarkan uraian beberapa materi kesehatan reproduksi yang terdapat dalam mata pelajaran untuk tingkat satuan pendidikan SMP dan SMA yang saat ini ada, dapat diketahui bahwa materi pendidikan kesehatan reproduksi masih sangat minim. Oleh karena itu, perlu untuk segera ditambahi dan dijadikan satu mata pelajaran tersendiri agar tujuan kesehatan reproduksi yang ingin dicapai dapat terwujud. Polling yang dilakukan oleh divisi PSS (Pusat Studi Seksualitas), PKBI DIY, menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi memang sudah sangat mendesakuntuk segera diterapkan pada 252 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret remaja. Hal tersebut ditunjukkan oleh sikap responden yang sebagian besar (60,71%) memilih kesehatan reproduksi masuk dalam mata pelajaran sendiri. Sisanya memilih untuk disisipkan dalam mata pelajaran tertentu dan menjadi kegiatan ekstrakurikuler. Berdasarkan polling yang sama, juga diketahui permasalahan-permasalahan yang menghambat masuknya materi pendidikan kesehatan reproduksi untuk menjadi mata pelajaran tersendiri. Permasalahan yang paling banyak menghambat adalah tidak adanya kebijakan yang mengatur (68,75%), disusul kepadatan jam pelajaran (64,29%), ketersediaan tenaga pengajar (59,82%), ketersediaan materi terkait pendidikan kesehatan reproduksi (41,07%), dan ketersediaan dana (37,50%) Landasan Peraturan Penerapan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Penerapan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum yang paling mungkin adalah dalam kurikulum lokal. Hal tersebut didasarkan pada keadaan daerah dan kebutuhan peserta didik akan informasi kesehatan reproduksi di tiap-tiap daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, materi kesehatan reproduksi yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan di daerah masing-masing. Landasan hukum penerapan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum lokal adalah Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2), serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kebijakan pengembangan kurikulum berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan, diatur berdasarkan tiga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permen Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Permen Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, terdapat beberapa hal yang dapat dicermati dan dapat dijadikan landasan hukum untuk mengusulkan adanya Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam mata pelajaran di tingkat SLTP dan SMA. a. Pasal 1 1) Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan UU No.20 Tahun 2003, PP. No.19 Tahun 2005, Permen No.22 Tahun 2006, dan Permen No.23 Tahun 2006. 2) Pengembangan dan penetapan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah memperhatikan panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) 253 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 3) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP 4) Kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah atau Komite Madrasah b. Pasal 3 1) Gubernur dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan menengah dan satuan pendidikan khusus, disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di propinsi masing-masing 2) Bupati/walikota dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan dasar, disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan di kabupaten/kota masing-masing 3) Menteri Agama dapat mengatur jadwal pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan yang bersangkutan c. Pasal 4 1) BSNP melakukan pemantauan perkembangan dan evaluasi pelaksanaan Permen No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permen No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, pada tingkat satuan pendidikan, secara nasional 2) BSNP dapat mengajukan usul revisi Permen No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permen No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai dengan keperluan berdasarkan pemantauan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) d. Pasal 7 1) Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional: a) mengembangkan model-model kurikulum sebagai masukan bagi BSNP; b) mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif; c) mengembangkan dan mengujicobakan model 254 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kurikulum untuk pendidikan layanan khusus; d) bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau LPMP melakukan pendampingan satuan pedidikan dasar dan menengah dalam pengembangan kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah; e) memonitor secara nasional penerapan Permen No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permen No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kopetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mengevaluasinya, dan mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada BSNP dan/atau Menteri; e. Pasal 8 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memfasilitasi pengembangan kurikulum dan tenaga dosen LPTK yang mendukung pelaksanaan Permen No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permen No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kopetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Prinsip-Prinsip Dasar Mengembangkan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sebagai Muatan Lokal (Mulok) Ruang Lingkup Mulok Kurikulum mulok terdiri dari beberapa mata pelajaran yang berfungsi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menumbuhkembangkan pengetahuan dan kompetensinya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan. Kurikulum muatan local adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masingmasing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Depdikbud dalam E. Mulyasa, 1999: 5). Penentuan isi dan bahan pelajaran mulok didasarkan pada keadaan dan kebutuhan lingkungan, yang dituangkan dalam mata pelajaran dengan alokasi waktu yang berdiri sendiri. a. Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, ligkungan sosial dan ekonomi, serta lingkungan budaya. b. Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat sesuai dengan arah perkembangan serta potensi daerah yang bersangkutan. Misal kebutuhan daerah 1) Melestarikan dan mengembangakan budaya daerah yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat 2) Meningkatkan penguasaan bahasa asing untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi globalisasi. 3) Meningkatkan kemampuan untuk mendongkrak kebutuhan daerah. 4) Meningkatkan life skill yang menunjang pemberdayaan individu dalam melakukan tugas pembelajaran lebih lanjut 5) Meningkatkan kemampuan berwirausaha untuk mendongkrak kemampuan ekonomi masyarakat, baik secara individu, kelompok maupun daerah Tujuan Mulok Secara umum mulok bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap hidup pada peserta 255 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan dan masyarakat sesuai dengan nilai yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional (Depdiknas, 2006) Secara khusus tujuan mulok adalah sebagai berikut : 1. mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial dan budayanya 2. memiliki bekal kemampuan dan ketarmpilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya sendiri maupuan lingkungan masyarakat pada umumnya 3. memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Lingkup Pelaksanaan Mulok Setiap sekolah dapt memilih dan melaksanakan mulok sesuai dengan karakteristik peserta didik, kondisi masyarakat, serta kemampuan dan kondisi sekolah dan daerah masing-masing. Beberapa kemungkinan lingkup wilayah berlakunya kurikulum mulok : 1. Pada seluruh kabupaten/kota dalam suatu propinsi, khususnya di SMA/MS dan SMK 2. hanya pada satu kabupaten/kota atau beberapa kab/kota tertentu dalam suatu propinsi yang memiliki karakteristik yang sama 3. Pada seluruh kecamatan dalam suatu kabupaten/kota yang memiliki karakteristik yang sama. Waktu Untuk Mulok di Setiap Jenjang Pendidikan Dalam dokumen struktur kurikulum tentang standar isi, alokasi waktu untuk mulok di setiap jenjang pendidikan hampir sama, yakni 2 jam pelajaran per minggu. Bedanya terletak pada lama waktu per jam untuk masing-masing jenjang. Secara detail bisa dijelaskan sebagai berikut : a. Jenjang Pendidikan Dasar 1) SD/MI/SDLB, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 35 menit) 2) SMP/MTs/SMPLB, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 40 menit) b. Jenjang Pendidikan Menengah 1) SMA/MS/SMALB, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 45 menit) 2) SMK/MAK, masing-masing 2 jam pelajaran per minggu (1 jam pelajaran = 45 menit dan durasi waktu 192 jam) Kalau dilihat secara lebih jeli, struktur kurikulum membuka peluang bagi satuan pendidikan untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar secara efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester), baik untuk jenjang pendidikan dasar atau menengah, sebanyak 34 sampai 38 minggu. Tersedianya waktu kisaran dalam satu tahun pelajaran tersebut membuka peluang untuk mewajibkan bagi adanya muatan lokal dari setiap jenjang pendidikan dan untuk setiap kelas. Akan tetapi hal yang perlu didalami lagi adalah pelaksanaan per sekolah berbeda-beda tergantung pengambangan kurikulum di setiap sekolah. Pengembangan Kurikulum Mulok Langkah-langkah dalam pengembangan mata pelajaran muatan lokal, antara lain: 1. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah 2. Menentukan fungsi dan susunan atau komposisi Mulok 3. Mengidentifikasi bahan kajian Mulok 4. Menentukan Mata Pelajaran Mulok 256 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 5. Mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta silabusnya Pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan mata pelajaran muatan lokal antara lain TPK, LPMP, Perguruan Tinggi, Instansi/lembaga di luar Depdiknas (Pemerintah Daerah/Bapeda, dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat). Beberapa batasan-batasan yang harus dipenuhi dalam pengembangan mata pelajaran muatan lokal, yaitu: a. Sekolah yang mampu mengembangkan SK dan KD beserta silabusnya dapat melaksanakan Mulok. Bila belum mampu, dapat melaksanakan Mulok berdasarkan kegiatan-kegiatan yang direncanakan oleh sekolah, atau dapat meminta bantuan kepada sekolah yang terdekat yang masih dalam satu daerahnya. Bila beberapa sekolah dalam satu daerah belum mampu mengembangkan dapat meminta bantuan TPK daerah, atau meminta bantuan dari LPMP di propinsinya. b. Bahan kajian disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik (pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan sosial). Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diatur sedemikian rupa agar tidak memberatkan peserta didik dan tidak mengganggu penguasaan pada kurikulum nasional. Oleh karena itu dalam pelaksanaan Mulok dihindarkan adanya pekerjaan rumah (PR). c. Program pengajaran hendaknya dikembangkan dengan melihat kedekatan secara fisik dan secara psikis. Dekat secara fisik, maksudnya dalam lingkungan tempat tinggal dan sekolah peserta didik. Sedangkan dekat secara psikis maksudnya bahan kajian tersebut mudah dipahami oleh kemampuan berpikir dan mencernakan informasi sesuai dengan usianya. d. 2. 3. 257 Untuk itu, bahan pengajaran hendaknya disusun berdasarkan prinsip (1) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit. Selain itu bahan kajian/pelajaran hendaknya bermakna bagi peserta didik yaitu bermanfaat karena dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Bahan kajian/pelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi guru dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara sumber. Dalam kaitan dengan sumber belajar, guru diharapkan dapat mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan memanfaatkan potensi di lingkungan sekolah, misalnya dengan memanfaatkan tanah/kebun sekolah, meminta bantuan dari instansi terkait atau dunia usaha/industri (lapangan kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses belajar mengajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial. Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik. Namun demikian bahan kajian muatan lokal tertentu tidak harus secara terusmenerus diajarkan mulai dari kelas I s.d VI atau dari kelas VII s.d IX, dan X s.d XII. Bahan kajian muatan lokal juga dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester, dua semester atau satu tahun ajaran. Alokasi waktu untuk bahan kajian/pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu efektif Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret untuk mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester. Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Prosedur Pengembangan Kurikulum Mulok Di Wilayah Pengembangan kurikulum Mulok di setiap daerah dan wilayah pada dasarnya dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan tiap propinsi, dan Kepala Dinas Pendidikan tiap Kota dan Kabupaten. (E. Mulyasa, 2006: 277). Ada beberapa prosedur yang harus ditempuh dalam pengembangan kurikulum Mulok A. Pengembangan kurikulum Mulok di tingkat propinsi 1. Mengkaji kelengkapan Mata Pelajaran Mulok yang diusulkan oleh setiap kota/kabupaten dan kecamatan 2. Menentuan Mata Pelajaran Mulok yang layak untuk dilaksankan di wialyah yang bersangkutan, dengan berbagai pertimbangan dari Tim Pengambangan Kurikulum (TPK) Mulok tingkat propinsi 3. Memberlakukan kurikulum Mulok dengan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan Propinsi. Dalam SK tersebut, diatur Mulok pilihan dan mulok wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap sekolah dalam satu propinsi. B. Pengembangan kurikulum Mulok di tingkat kota atau kabupaten 1. Mengkaji kelengkapan Mata Pelajaran Mulok yang diusulkan oleh setiap kecamatan 2. Menentuan Mata Pelajaran Mulok yang layak untuk dilaksankan di wialyah yang bersangkutan, dengan berbagai pertimbangan dari Tim Pengambangan Kurikulum (TPK) Mulok tingkat kota/kabupaten untuk diusulkan ke Dinas Pendidikan Propinsi 3. Memilih dan mengembangkan Mata Pelajaran Mulok yang telah ditetapkan Kepala Dinas Pendidikan Propinsi untuk SMA, dan Kepala Dinas Pendidikan Kota atau kabupaten untuk SD dan SMP. C. Pengembangan kurikulum Mulok di tingkat kecamatan 1. Mengusulkan jenis-jenis Mulok kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota/kabupaten berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat 2. Memilih Mata Pelajaran Mulok yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan kota/kabupaten dan Kepala Dinas Pendidikan kecamatan untuk dilaksanakan di masingmasing sekolah D. Pengembangan kurikulum Mulok di tingkat sekolah 1. Sekolah yang tidak dapat melaksanakan atau memilih Mata Pelajaran Mulok yang telah ditetapkan Kepala Dinas Pendidikan dapat mengambangka Mata Pelajaran Mulok sesuai dengan keadaaan dan kebutuhan dan kemampuan masing-masing dengan persetujuan Dinas Pendidikan 2. Untuk itu, sekolah ini harus mengusulkan jenis Mulok kepada Kepala Dinas Pendidikan kota/kabupaten melalaui Kepala Dinas Pendidikan kecamatan 3. menentukan Mata Pelajaran Mulok dengan persetujuan Kepala Dinas Pendidikan kecamtan dan kota/kabupaten 4. bersama-sama dengan Dinas Pendidikan kecamatan menentukan Mata Pelajaran Mulok dengan 258 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret persetujuan Dinas Pendidikan kota/kabupaten. (E. Mulyasa, 2006: 277 - 279). Kompetensi dalam Mulok Kesehatan Reproduksi Persoalan kompetensi memang menjadi suatu wacana yang signifikan menyusual sekian perubahan dalam kebijakan di tanah Air. Dalam KTSP, kompetnsi diturunkan menjadi bebeapa tingkatan yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, tak terkecuali kurikuluam kespro. (Mulyasa, 2006: 91 – 124) 1. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) SKL adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. SKL pada pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. SKL pada jenjang pendidikan menengah bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. SKL pada jenjang pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Secara lebih detail SKL untuk setiap jenjang pendidikan sudah diatur dalam Permen No 24/2006. 2. Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) Setelah SKL, kompetensi kemudian diperinci lagi ke dalam Standar Komptensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP). SK-KMP adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang dicapai pada setiap tingkat dan atau semester untuk kelompok Mata Pelajaran tertentu. Dalam sistem pendidikan nasional dan kerangka dasar kurikulum di Indonesia (UU 20/2003) dikenal 5 kelompok Mata Pelajaran yakni (1) Agama dan Akhlak Mulia, (2) Kewarganegaraan dan Kepribadian, (3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Estetika, dan (5) Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan. 3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) SKKD adalah arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegitan pembelajaran, dan indikator pencapaian komptensi untuk penilaian. Sedangkan untuk merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan standar proses dan standar penilaian. SKKD sudah dibuatkan secara nasional oleh Depdiknas. Sekolah tinggal menjabarkan, menganalisa dan mengembangkan indikator dan menyuesuaikan SKKD degan karakteristik dan perkembangan peserta didik, situasi dan kondisi sekolah serta kondisi dan kebutuhan daerah. Tugas guru dengan demikian adalah mengemas hasil analisis tersebut dalam KTSP yang berisi Silabus dan RPP. SKKD dalam suatu Mata Pelajaran, misalanya Kespro, minimal memiliki 4 unsur, yakni (1) Latar Belakang yang menggambarkan pentingnya bahan pembelajaran untuk 1 tingkat/semester dalam jenjang pendidikan tertentu, (2) Tujuan pembelajaran dalam 1 tingkat/semester dalam jenjang pendidikan tertentu, dan (3) ruang Lingkup pembelajaran dalam 1 tingkat/semester dalam jenjang pendidikan tertentu, dan (4) tabel SK dan KD. 259 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 4. Menurunkan SKKD ke Dalam Indikator Kompetensi Setelah SKKD tersusun, maka KD dijabarkan ke dalam indikator komptensi. Mulyasa menggunakan teori pendidikan Moore (2001: 92-94) untuk menjelaskan indikator ini. Ada 3 aspek penting dalam melihat indikator yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Setiap aspek memiliki sub aspek, dan setiap sub-aspek memiliki inidikator kemampuan aktual masing-masing. (1) Aspek kognitif ada sub-aspek pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. (2) Aspek afektif memiliki sub aspek penerimaan, menanggapi, penanaman nilai, pengorganisasian, dan karakterisasi. (3) Aspek psikomotor memiliki sub aspek seperti pengamatan, peniruan, pembiasaan, dan penyesuaian. Setiap sub aspek ini memliki beberapa indikator yang berupa beberapa kata kerja turunan yang bisa dilihat dari diri peserta didik seperti menyebutkan, menuliskan, mengurutkan, mengidentifikasi, mencocokkan, dan lain sebagainya. Secara lebih lengkap baca di Mulyasa (2006: 130 – 144). Pelaksanaan Pembelajaran Mulok Kesehatan Reproduksi Dalam konteks KTSP, mulok kespro sebenarnya adalah bagian kecil yang harus dibuat oleh sekolah dalam menyusun KTSP secara komprehensif dengan memperhatikanm 6 komponen KTSP. Pembuatan bahan pembelajaran mulok kespro adalah usulan yang bisa membantu pihak sekolah untuk memasukkannya ke dalam struktur KTSP. Pelaksanaan penyusunan bahan pembelajaran Mulok hampir sama dengan Mata Pelajaran lain yang secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji SI, SKL, SK-KMP, SK-MP, SKKD. Hal ini sudah diterangkan di atas. 2. Mengkaji Silabus Ada beberapa langkah menyusun silabus yakni : a. Mengisi Kolom identitas b. Memasukkan hasil analisi SK-KD c. Merumuskan Indikator Pencapaian Komptensi d. Mengidentifikasi Materi Standar e. Mengambangkan Pengalaman (standar proses) f. Menentukan Jenis Penilaian g. Alokasi Waktu h. Menentukan Sumber Belajar 3. membuat Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Ada beberapa langkah menyusun silabus yakni : a. Mengisi Kolom identitas b. Menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan c. Menentukan SKKD dan indikator sebagaimana dalam silabus d. Merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan SKKS dan indikator e. Mengidentifikasi materi standar berdasarkan materi pokok f. Menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan g. Merumuskan langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti dan akhir h. Menentukan sumber belajar yang digunakan i. Menyusun kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal dan teknik penskoran 4. Mempersiapkan Penilaian Secara garis besar penilian melewati proses (1) Pre-Test, (2) Pembentukan Komptensi lewat kegiatan belajar mengajar, (3) Post Test. Bentuk Penilaian pendidikan dalam KTSP secara jenis bisa dibagi menjadi 260 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret (a) Penilaian kelas : ulangan baik harian, umum atau ujian akhir (b) Tes Kemampuan Dasar : sebagai program intensif dan remedial yang dilakukan secara periodik, misalnya setiap akhir tahun pelajaran (c) Penilaian Akhir : untuk mendapatkan sertifikasi kelulusan (d) Benchmarking : standar kerja dan proses untuk mengukur hasil dan keunggulan tertentu. (e) Penilaian Program : untuk mengukur program pembelajarn di tiap-tiap satuan pendidikan. Kesimpulan Kasus-kasus terkait dengan kesehatan reproduksi, seperi kematian ibu dan anak saat proses melahirkan, kehamilan tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), HIV/AIDS, mempunyai kecenderungan yang terus meningkat. Kasus-kasus tersebut tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tapi saat ini justru banyak terjadi pada remaja (peserta didik). Hal tersebut disebabkan minimnya informasi mengenai kesehatan reproduksi dan atau akibat pemahaman informasi yang salah. Perkembangan teknologi informasi menyebabkan semakin mudahnya akses terhadap segala informasi yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Segala informasi dapat diakses mulai dari yang dapat dipertanggungjawabkan sampai yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kurang DAFTAR PUSTAKA Embrio Edisi 23, Juni 2006. Mulyasa, E., 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Rosda Karya, Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006, Standar Isi Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006, Standar Kompetensi Lulusan Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006, Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Standar Pendidikan Nasional PSS PKBI DIY, 2005, Analisa Kebutuhan dan Kebijakan Pendidikan Kesehatan Reproduksi. Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2004, Struktur Kurikulum, Jakarta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintahan Daerah 261 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 262 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DIMENSI PEMBANGUNAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Rr. Wariyanti dan Ahmad Bashori UniversitasSebelas Maret ABSTRACT The purpose of this article is to show the education of national, the development and the problems in education of national, the national development, education as part from development of human being and development strategy in culture and education. Therefore, nasional development of Indonesia in the end have to aim to reach unity state which is have democracy fair and also prosperous and pursuant to Pancasila. Keywords: education, culture, Pancasila A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, serta dilaksanakan dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pendidikan harus dikelola dalam sistem yang terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan antar berbagai jenis jenjang dan jenisnya. Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada Pancasila dan UUD 1945. SISDIKNAS mengamanatkan pendidikan sebagai proses pemberdayaan yang mampu membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermatabat, menjadikan manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Setiap kali pembicaraan seputar pendidikan nasional, pada saat yang bersamaan, bayang-bayang ideologi tertentu selalu mengikuti. Pendidikan nasional yang berada di bawah bayang-bayang ideologi penguasa kemudian menjelma menjadi jalur paling efektif untuk melanggengkan kekuasaan. Ketika pendidikan nasional sudah menjadi bagian dari kepentingan politik tertentu, maka tujuannya menjadi mengambang. Bahkan, tujuan akan terasa semakin kabur ketika intervensi penguasa kelewat dominan. Pendidikan nasional juga tidak mengemban tugas mulia membangun mentalitas bangsa. Justru, pendidikan nasional menjelma menjadi agen kepentingan politik penguasa. Ketika pendidikan nasional sudah menjadi alat bagi para penguasa, yang terjadi bukannya proses pembangunan mentalitas manusia-manusia Indonesia, justru malah suatu proses pembunuhan karakter bangsa sendiri. Pendidikan nasional kemudian menjadi semacam alat untuk menindas melalui kepentingan politik tertentu. Penindasan yang diakibatkan dari kebijakan sistem pendidikan nasional justru tidak mengenal ampun. Yang paling merasakan penderitaan ini adalah kalangan masyarakat bawah. Mereka menanggung beban berat akibat kebijakan timpang. Tanpa kritik untuk meluruskan atau mengingatkan para penguasa yang memegang otoritas kekuasaan, selamanya 263 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pendidikan nasional akan menjadi ―kambing hitam.‖ Pendidikan akan selalu menjadi bulan-bulanan para penguasa untk menjejalkan kepentingan politik mereka. Fungsi pendidikan menjadi tumpul. Pendidikan bukannya berfungsi sebagai proses mencerdaskan kehidupan bangsa atau untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, melainkan sebagai praktek penindasan yang tertata secara sitematis (struktural). Oleh itu, agenda kritik atas kebijakan pendidikan nasional dalam hal ini cukup penting. Orientasi pembangunan, terutama di bidang pendidikan, baru sebatas keberhasilan dari segi kuantitasnya. Tetapi dari segi kualitasnya, kita semua masih bisa membantah atau bahkan mendebatnya. Mengentaskan kebodohan sepantasnya menjadi agenda utama dalam sistem pendidikan nasional. Melalui tulisan ini saya ingin mendeskripsikan pendidikan nasional. Perkembangan dan problematika dalam pendidikan nasional, pembangunan nasional, pendidikan sebagai bagian dari pembangunan manusia, peranan manusia dalam pembangunan, strategi pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan, dan peranan pendidikan dalam pembangunan. B. PENDIDIKAN NASIONAL 1. Pembangunan Pendidikan Pembangunan Pendidikan adalah proses perombakan structural subsistem administrative yang berkenaan dengan pengelolaan pendidikan dan subsistem operasional yang berkenaan dengan pengelolaan pendidikan dan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar setiap satuan pendidikan agar tercapai tingkat partisipasi, efisiensi, efektivitas, dan relevansi pendidikan yang tinggi. Masalah pokok pendidikan nasional menurut (Redja Mudyahardjo, 2012) yaitu (1) masalah partisipasi, (2) masalah efisiensi pendidikan, (3) masalah efektivitas pendidikan, dan (4) masalah relevansi pendidikan. Adapun karakteristik pembangunan pendidikan adalah (1) pembangunan manusia seutuhnya, (2) pembangunan pendidikan berpusat pada pembangunan operasional dalam bentuk kegiatan belajarmengajar yang ditunjang oleh pembangunan transformasi pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, wilayah dan sekolah yang membangun komponen-komponen pendidikan, (3) pembangunan pelayanan umum yang professional atau yang tepat dan menyenangkan/memberi kepuasan kepada para pelanggannya, dalam hal pengembangan keseluruhan kemampuan secara optimal dan bermanfaat bagi hidup, (4) pembangunan yang memerlukan waktu yang panjang dan berkesinambungan, paling tidak satu generasi untuk dapatmelihat hasil-hasilnya secara utuh, dan (5) pembangunan pendidikan menghasilkan orang-orang terpelajar, yang biasanya disebut mencapai kedewasaan. 2. Fungsi dan Peranan hasil pendidikan Selanjutnya fungsi pendidikan pada umumnya adalah pendidikan mewariskan peradaban masa lampau, karena melalui orang-orang terdidik kehidupan masa lampau dipertahankan sehingga peradaban masa lampau tidak disia-siakan atau disalah gunakan. Pendidkan melindungi masyarakat dengan cara menyumbangkan kemampuan mengendalikan diri pada orang-orang yang menjadi anggota dan mengikat kesadaran mereka debgan lembaga-lembaga social, hukum dan tata tertib. Pendidikan tidak hanya berfungsi mewariskan peradaban lama, tetapi dapat pula menyumbangkannya melalui karya-karya orang terdidik melalui sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Peranan hasil pendidikan adalah pengembangan tehnologi baru, menjadi tenaga produktif dalam bidang konstruksi, menjadi tenaga produktif yang 264 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menghasilkan barang dan jasa, pelaku generasi dan penciptaan budaya, dan sebagai konsumen barang dan jasa. C. PERKEMBANGAN DAN PROBLEMATIKA DALAM PENDIDIKAN NASIONAL 1. Perkembangan Pendidikan Nasional Kebijakan-kebijakan pendidikan nasional seringkali mengabaikan kepentingan rakyat jelata. Orientasi pendidikan telah banyak diselewengkan oleh para penguasa dan berakibat vatal bagi rakyat jelata. Karena, setiap kebijakan pasti akan berpengaruh terhadap kehidupan rakyat jelata. Kelompok social yang tak berpunya (Non the have) atau lazim disebut rakyat jelata akan menjadi tumbal dari penindasan yang dilakukan secara sistematis melalui jalur pendidikan nasional. Inilah kenyataan fatal yang akhir-akhir ini mulai menggejola. Sebenarnya, fenomena penindasan yang hampir kasat mata itu sudah mulai sejak rezim orde baru (ORBA). Namun, karena 32 tahun kebebasan berekpresi telah dikekang oleh rezim otoriter orba, seolaholah rakyat jelata dalam kondisi adem ayem, tenteram-nyaman, dan sejahtera. Sringkali mendengar dari para orang tua yang mengatakan jika dulu, pada masa pemerintahan orba kehidupan di Indonesia terasa lebih sejahtera. Rakyat hidup tenteram, kondisi terasa adem ayem tanpa berfikir neko-neko. Justru itulah gejala yang oleh Paulo Freire sering disebut-sebut budaya bisu (submerged of culture silent). Kondisi masyarakat Indonesia pada masa rezim orde baru sebenarnya, sedang tenggelam dalam suatu keterkekangan. Mereka sebenarnya berontak, tetapi tidak kuasa untuk meluapkan aspirasi. Kampanye-kampanye kesejahteraan melalui program-program pemerintah pada waktu itu merupakan proses pembunuhan secara masal terhadap karakter bangsa. Meskipun agak terkesan makmur, namun kesadaran kritis masyarakat justru makin tenggelam bersama program-program pemerintah yang seringnya mengatasnamakan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat. Pendidikan pada masa orba telah dijadikan sebagai ―kambing hitam.‖ Pendidikan telah dijadikan sebagai ajang bulan-bulanan kepentingan politik orba. Pendidikan juga telah menjadi media indroktrinasi untuk menciptakan suatu stigma akan kebesaran dan kemakmuran bangsa di bawah kekuasaan orba. Pemerintahan orba sering dinilai sebagai puncak keberhasilan perekonomian rakyat Indonesia. Padahal, dibalik itu, penguasa sangat berkepentingan untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Itu semua telah terbukti selama 32 tahun pemerintahan rezim orba dipegang secara mutlak oleh Suharto. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada waktu itu semakin menguatkan otoritas kekuasaan rezim ini. Pendidikan sudah menjelma menjadi media indoktrinasi kepentingan kekuasaan. Bahkan, mata pelajaran sejarah telah dibelokkan oleh kepentingan rezim untuk maksud-maksud tertentu. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-pelatihan serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi seperti itulah yang sebenarnya telah dikritik secara habishabisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik system pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung sentralistik dan banyak diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk melanggengkan kekuasaan rezim. Akibatnya, pendidikan nasional hanya mampu melahirkan manusia-manusia bermental budak. Manusia-manusia hasil 265 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret proses pendidikan nasional adalah mereka yang bermental ―kuli‖ dan ―babu.‖ Manusia-manusia bernmental ―kuli‖ dan ―babu‖ tentu memiliki sifat inferior. Ketidakberdayaan mereka sering dilukiskan secara puitis lagi apik oleh Paulo Freire dengan istilah budaya bisu. Yaitu suatu kondisi ketakberdayaan kaum lemah yang tidak kuasa meluapkan segala aspirasi mereka. Kondisi yang demikian, sebenarnya, bukan karena factor alamiah, tetapi lebih disebabkan oleh otoritas kekuasaan yang berwenang-wenang. Dalam istilah Dr. Mansour Faqih, kondisi mereka bukan karena miskin sejak awalnya, tetapi memang karena dimiskinkan oleh serangkaian kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat jelata (Mansour Faqih, 2004). Pendidikan nasional yang telah menjadi alat legitimasi kekuasaan pada rezim orba bisa dilihat dari beberapa kasus. Seperti pada pelaksanaan penataranpenataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan lain-lain (Singgih Nugroho, 2004). Pendidikan pada masa orba jelas tak sejalan dengan tujuan nasional. Pendidikan hanya mampu melahirkan manusia-manusia bermental budak yang selalu terjajah. Bahkan, ketika muncul tokoh-tokoh yang kritis dan justru harus berhadapan dengan kekuasaan tiranik yang anti kritik. Tak jarang beberapa aktivis dan politisi kritis menjadi sasaran pencekalan, atau sampai harus dibunuh dengan alasan demi menjaga stabilitas (kekuasaan?) Negara. Aneh stabilitas kekuasaan lebih diidentikkan dengan stabilitas nasional. Inilah pembodohan yang paling parah dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Setelah reformasi bergulir (1998), bangsa Indonesia baru sadar akan kebodohan dan kenistaan selama dipimpin oleh rezim orba. Dengan tumbangnya rezim orba, setelah Soeharto lengser dari jabatannya 21 Mei 1998, bangsa Indonesia secara bebas dan terbuka mengkritik segala kebijakan pemerintah. Pasca reformasi, iklim demokrasi mulai bersemi. Dampak positif dari reformasi pada tahun 1998 telah membuka kesadaran kolektif bangsa dan sekaligus membuka ruang bagi public untuk mengungkapkan segala bentuk aspirasi mereka. Dari situlah bangsa ini mulai sadar bahwa selama 32 tahun Indonesia telah dicengkeram oleh kekuatan otoriter bernama rezim orba. Kesadaran rakyat jelas semakin kritis pasca reformasi bergulir. Iklim kebebasan berekspresi dan menyalurkan aspirasi semakin menjamin kehidupan berbangsa di negeri ini. Jika dicermati secara seksama, pada rezim orba banyak dilakukan proyek pembangunan untuk tujuan pemerataan. Namun, rakyat Indonesia pada waktu itu tidak tahu-menahu soal system yang berkuasa. Padahal, di dalamnya telah mengerak system penuh nepotisme, kolusi, dan korupsi. Rakyat hanya tahu jika pada masa itu banyak di bangun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang jumlahnya luar biasa. Seakan-akan orba sangat berjasa dalam pembangunan bangsa. Sampai-sampai Soeharto mendapat gelar ―Bapak Pembangunan Indonesia.‖ Dalam konteks pembangunan pendidikan nasional, kita semua tahu, bahwa pada masa rezim orba banyak dibangun gedung-gedung sekolah inpres (instruksi presiden). Gedung-gedung Sekolah Dasar (SD) dibangun dengan jumlah ribuan sehingga mengesankan, bahwa pembangunan telah merata. Dan memang, pada waktu itu, asa pembangunan nasional salah satu diantaranya adalah untuk pemerataan. Akan tetapi pembangunan besarbesaran di bidang pendidikan pada masa orba mengindikasikan sebatas pembangunan fisik semata. Orientasi pembangunan, terutama dibidang pendidikan, baru sebatas keberhasilan dari 266 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret segi kualitasnya, kita semua masih bisa membantah atau bahkan mendebatnya. Kita harus sadar yang namanya pendidikan itu memiliki tanggung jawab yang berat. Pendidikan bertujuan untuk membangun mentalitas manusia-manusia bukannya pembangunan fisik semata. Dalam system pendidikan nasional pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Praktek penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) merupakan bukti riil dari indoktrinasi ideologi penguasa pada wakti itu. Memasuki Indonesia baru, setelah lengsernya Soeharto, tampil Preseiden Bj. Habibie memimpin bangsa ini. Namun, bangsa Indonesiabelum sepenuhnya tercerahkan melalui kepemimpinannya. Sebab, kekuatan orba pada waktu itu masih mendominasi di parlemen. Hal itu pun kemudian tidak terlalu banyak membawa perubahan-perubahan yang mendasar pada beberapa sector kehidupan berbangsa, termasuk di dalamnya masalah pendidikan nasional. Pada tahun 1999, Indonesia kemudian berhasil menggelar Pemilu system multi partai. Dari situlah menjadi awal dari perkembangan demokrasi yang telah dinanti-nanti. Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid menggantikn Bj. Habibie membawa angin segar untuk perubahan-perubahan. Bahkan, karakter presiden yang telah lama tertempa melalui beberapa LSM ini semakin menciptakan stigma baru untuk posisi lembaga kepresidenan. Jika pada masa rezim orba, lembaga kepresidenan itu bersifat immunited dari kritik, dipandang sacral, kekuasaannya melebihi DPR, tetapi di tangan Gus Dur menjadi semakin cair. Maksudnya Gus Dur lebih membuka peluang seluas-luasnya untuk mengkritik pemerintah dan tidak mensakralkan kembali posisi lembaga kepresidenan. Dengan sikap dan karakter pemegang kekuasaan eksekutif berpengaruh besar pada segala aspek kehidupan bangsa. Termasuk masalah pendidikan nasional yang pada waktu itu di pegang oleh Yahya Muhaimin. Pendidikan nasional, meskipun belum tampak perubahan-perubahan yang cukup signifikan, akan tetapi beberapa agenda telah disiapkan untuk merekonstruksi system pendidikan warisan orba. Beberapa aspek penyelengaraan pendidikan nasional mulai dikaji ulang. Terdapat bebrapa agenda pembenahan pada waktu itu untuk pendidikan nasional ke depan. Namun, agenda tersebut sempat berhenti sesaat ketika presiden K.H. Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh parlemen melalui Sidang Istimewa (SI) pada 23 Juli 2001. Konflik politik pada waktu itu malah menambah ruwet persoalan bangsa. Pendidikan nasional juga ikut terkena imbasnya. Setelah kepeimpinan Gus Dur, tampil Megawati Soekarno Putri sebagai presiden RI ke-5. Duet Mega-Hamzah Haz mengawali agenda perubahan di segala bidang. Agenda reformasi sempat tersendatsendat akibat pertikaian polotik pada waktu itu. Kepemimpinan Mega-Hamzah Haz ternyata kurang memiliki daya tawar di pentas politik internasional. Bahkan, kepemimpinan Mega sungguh-sungguh menunjukkan karakter kepemimpinan yang sangat lembek, sangat rawan terhadap intervensi asing sehingga membuat runyam persoalan-persoalan kebangsaan. Posisi Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu dipegang oleh Malik Fadjar. Saat itu, memang belum banyak persoalan system pendidikan nasional yang dibenahi. Akan, tetapi, sedikit demi sedikit bebrapa agenda mulai diusung sehingga terdapat 267 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sebuah kesan jika pendidikan nasional sedang dalam proses pembaruan. Pascareformasi dengan tumbangnya rezim orba, dalam tataran konstitusional, ada beberapa konstitusi yang sempat diperbarui lewat amandemen UUD 1945. Yang paling berpengaruh pada konteks pendidikan nasional adalah dengan diberlakukannya otonomi daerah (desentralisasi) dan perubahan pada pasalpasal yang cukup strategis dalam system pendidikan nasional. Khusus mengenai pasal cukup berpengaruh dalam menjawab serta mengantisipasi berbagai persoalan pendidikan nasional adalah pasal 31 ayat 4 tentang anggaran pendidikan (20%). Lain juga dengan kebijakan pendidikan di era Bambang Sudibyo sekarang ini. Meskipun kebijakan program Mendiknas Bambang Sudibyo melanjutkan pendahulunya, Malik Fadjar, akan tetapi kompetensinya menduduki jabatan ini diragukan oleh beberapa kalangan. Bahkan, pertama kali menjabat sebagai mendiknas telah banyak kebijakan controversial yang menuai kritik disana-sini. Mulai dari kebijakan Wajar 12 tahun, Ujian Nasional (UN) hingga kasus privatisasi pendidikan, masalah subsidi pendidikan setelah kenaikan BBM, Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan terakhir tentang Badan Hukum Pendidikan (BPH). Dibalik agenda otonomi pendidikan ternyata diboncengi dengan suatu kepentingan. Dibalik itu semua ternyata muncul kekuatan kapitalisme yang hendak menjamah wilayah pendidikan nasional. Dengan demikian, kedepan pendidikan di Indonesia sedang berhadapan dengan fenomena kapitalisasi. Masih ketika posisi mendiknas dipegang oleh Malik Fadjar. Pda waktu itu, Departemen Pendidikan Nasional sedang giat-giatnya menyelenggarakan program sekolah unggulan. Beberapa institusi pendidikan di tanah air pun banyak yang menyesuaikan diri dengan program tersebut. Maka, banyak sekali menjamur sekolahsekolah unggulan dengan bermacam-macam label. Kesemuanya itu dalam rangka merespon kebijakan Mendiknas tersebut. Dalam prakteknya, ternyata banyak institusi pendidikan dengan status unggulan melimpahkan biaya pendidikan pada masyarakat. Tidak terbayang lagi berapa besar biaya pendidikan disekolah unggulan, jumlahnya bukan hanya ratusan ributetapi mencapai jutaan rupiah. Secara umum fenomena pendidikan yang mengarah pada komersialisasi telah menggejala dimana-mana. Bukan hanya pada institusi pendidikan yg berstatus unggulan tetapi sekolah-sekolah umum atau standarpun menerapkan system manajemen pendidikan yang serupa. 2. Problematika Pendidikan Nasional a. Profesionalisme Mendiknas Menguatnya wacana pendidikan nasional, terutama sekali setelah pembentukan struktur Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), semakin banyak mengisi diskusi-diskusi lokal ditanah air. Beberapa jabatan menteri memang telah di nilai bernuansa kompromi sehingga berakibat mengabaikan profesionalisme, sebagai contoh Mendiknas mulai dari KIB dibentuk. Sebagai akibat dari carut marut sistem pendidikan yang dipegang oleh seorang menteri yang tidak sejalan antara kompetensi dengan jabatannya, kesemuanya itu akan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi masa depan pendidikan. Terutama sekali berkaitan dengan seluruh elemen terkait dengan sistem pendidikan. Seperti masalah profesionalisme dan kesejahteraan guru dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tujuan pendidikan manusia yaitu untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya belum sepenuhnya terwujud. Bahkan terkesan jika selama ini pemerintah terlalu mengabaikan pendidikan. Terbukti 268 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dengan banyaknya kasus yang sangat memalukan mencoreng wajah pendidikan kita. Sebenarnya problem pendidikan nasional bertumpu pada tiga faktor, yaitu konsistensi kebijakan pemerintah, visi pendidikan yang harus bernafas kerakyatan (pemerataan), dan problem kesadaran masyarakat yang akan menunjang kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dalam kaitannya dengan dengan konsistensi kebijakan pemerintah, Mendiknas baru dihadapkan pada tugas berat untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% yang diambil dari APBN dan APBD. Jika pemerintah konsisten dengan kebijakan sebagaimana tertuang dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4 itu, maka ke depan pendidikan nasional tidak perlu dipatok dengan harga yang sangat mahal. Bahkan bisa jadi pendidikan itu gratis, mengingat begitu besarnya anggaran minimal 20% untuk pendidikan itu. Nah, melihat kompetensi Mendiknas, beberapa kalangan menjadi ketar-ketir untuk mengusung agenda merealisasikan anggaran minimal 20%. Problem pendidikan nasional selama ini juga belum bervisi kerakyatan. Artinya, pendidikan nasional belum sepenuhnya berfihak pada rakyat banyak yang rata-rata kurang mampu. Isyarat di balik itu ternyata pendidikan kita diselenggarakan dengan sistem bisnis. Akibatnya, pendidikan terlampau mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat banyak. Rakyat jelata jelas tidak bisa mencicipi pendidikan itu. Apalagi untuk lembaga pendidikan Sekolah Unggulan, Sekolah Favorit, Sekolah percontohan, dan sebagainya. Tentunya dengan harap-harap cemas, mereka para praktisi pendidikan sangat menghendaki kebijakan strategis untuk segera membenahi sistem pendidikan kita. Karena, diakui bahwa sistem pendidikan nasional kita selama ini terlalu rapuh untuk dipertahankan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional sangat menantinanti kebijakan mendiknas yang bisa mengubah wajah pendidikan kita itu. b. Kurikulum yang Mengambang Sekolah hanya mendidik siswa menjadi manusia setengah-setengah artinya tidak satupun kemampuan untuk bidangbidang tertentu secara mendalam. Persoalan ini kemudian menjadikan sebuah bahan diskusi yang cukup berkaitan dengan Kurikulum Pendidikan kita. Selama ini apa yang diajarkan pada sekolah-sekolah hanya gagasan-gagasan idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang kemudian lebih hafal dengan rumus-rumus kimia, fisika, matematika atau teori-teori lain yang secara langsung tidak bisa menjawab persoalan realitas yang dihadapi peserta didik. Wajar sekali kalau ada pernyataan yang lebih menyudutkan persoalan pendidikan kita ini. Pendidikan kita Anti Realitas! (Musa Asy‘ari, 2002). Tidak bisa mengantarkan seseorang untuk menghadapi persolan yang dihadapinya. Artinya pula kalau pendidikan kita ini telah gagal. Namun akhir-akhir ini terdapat sebuah gagasan dari hasil diskusi-diskusi tentang pendidikan sampai melahirkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setidak-tidaknya ini menjadi sebuah loncatan yang cukup jauh kedepan. Tetapi kenyataannya dengan di tumpanginya pendidikan dengan politik, carut marut yang menjadi hasilnya. Sebagai contoh pelajaran bahasa daerah dan bahasa Inggris, yang semula bahasa Jawa temasuk kedalam muatan lokal digabung ke dalam budaya dan pelajatan bahasa Inggris untuk anakanak SD dijadikan ekskul (ekstra kurikuler) dari dua persoalan tersebut jelas pendidikan dipengaruhi oleh muatan politik sehingga pendidikan menjadi kelinci percobaan pejabat yang berwenang tanpa melihat kondisi lapangan dan dampak dari kebijakan tersebut. 269 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret c. Kontroversi Ujian Nasional Ujian Nasional diperlukan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap akhir jenjang pendidikan. Mendiknas mentargetkan standar nilai nasional 5.5 yaitu gabungan antara nilai UN dengan sekolah dimana nilai UN 60% dan nilai dari sekolah 40%. Kebijakan mendiknas itu memicu polemik dari kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita yang sebelumnya telah menyepakati bersama pemerintah untuk menghapus UN. Sebab pada prinsipnya penyelenggaraan UN yang sentralistik, disamping berseberangan dengan konsep otonomi pendidikan yang rentan terhadap intervensi kepentingan negara, juga berakibat pada pengabaian nilai-nilai khas kultural di beberapa wilayah di Indonesia. Pelaksanaan ujian secara nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah (Diknas) pada tahun ini 2013 menuai kontroversi dalam pelaksanaanya. Terbukti ditundanya UN untuk siswa SMA dengan alasan kesalahan teknis. Padahal UN adalah agenda rutin tahunan yang digelar oleh diknas setiap tahun tetapi masi ada permasalahan dalam pelaksanaannya. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab kalau bukan Mendiknasnya. Penulis berpendapat agar kebijakan Mendiknas tentang Ujian Nasional itu untuk segera dikaji kembali. Lebih tegas lagi, penulis sepakat kebijakan UN itu dicabut. Masalah penentuan kualitas yang menjadi standr pendidikan sebaiknya diserahkan kepada masing-masing lembaga pendidikan yang ada. Sebab untuk menentukan akan kemampuan dan potensi para siswa yang dimilikinya. d. Masalah Kekuatan Iptek Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi bila ia tidak mengambil dan mengembangkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa dimuka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan Iptek. Masalah yang sering kita hadapi adalah kecepatan perkembangan yang terjadi di dunia pendidikan selalu lebih lambat dari kecepatan perkembangan yang terjadi di dunia industri dan dunia luar pendidikan lainnya. Memang demikianlah sifat dasar pendidikan. Menyadari karakteristik seperti itu, langkah yang perlu kita tempuh bukanlah dengan serta merta mengubah kurikulum agar lebih terkait dengan kebutuhan sesaat. Saya yakin, bahwa konsep keterkaitan dan kesepadanan (link and match) yang dicanangkan Mendiknas juga tidak diartikan sesempit itu. Keterkaitan dan kesepadanan antara dunia pendidikan dengan dunia industri dan dunia usaha lainnya serta tuntutan perkembangan pembangunan perlu diartikan dan dijabarkan dengan seksama. Menurut hemat saya adalah dengan cara memberikan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik untuk siap berkembang dan dalam waktu relatif singkat mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan nyata dilapangan. Jika keterkaitan dan kesepadanan dengan dunia industri ingin ditingkatkan, materi kurikulum yng dirancang bukanlah kurikulum industri dalam arti hanya sekedar mengajarkan teknik-teknik yang ada dan pada saat sekarang dibutuhkan oleh indutri. Mengapa? Karena bukan lah tidak mungkin besok lusa teknologi sekarang ada itu berubah. Contoh konkrit adalah teknologi komputer yang demikian cepat berkembang dan berubah. Materi kurikulum yang perlu diberikan kepadaanak didik adalah materi dasar yang membangun kemajuan Iptek, bukan tingkat Iptek yang sekarang sedang digunakan. Dengan cara seperti itu, konsep keterkaitan dan kesepadanan kan dapat diterapkan (implementable) dan lestari (sustainable). 270 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret D. PEMBANGUNAN NASIONAL Sumitro Djojohadikusumo menyatakan bahwa Pembangunan ekonomi berarti suatu proses perubahan struktural dalam perimbangan-perimbangan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat. Pembangunan ekonomi dan budaya berarti suatu proses perubahan struktur produksi atau pendapatan nasional, struktur penduduk dan mata pencaharian atau lapangan pekerjaan dan struktur lalu lintas barang, jasa dan modal dalam hubungan internasional. Apabila konsep ini diterapkan untuk pengertian pembangunan negarakebangsaan, maka pembangunan berarti suatu proses perubahan struktural kehidupan bernegara kebangsaan, yang tercakup di dalam struktural politik dan pertahanan keamanan, struktur ekonomi, serta struktur tata masyarakat dan budaya. Pembangunan kehidupan negara kebangsaan Indonesia atau pembangunan nasional Indonesia pada akhirnya harus bertujuan mencapai negara kesatuan yang berkedaulatan rakyat serta adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pencapaian tujuan akhir pembangunan nasional Indonesia dilakukan dengan jalan melaksanakan serangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan bernegara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila. Rangkaian upaya pembangunan tersebut dibagi dalam tahaptahap pembangunan jangka panjang selama 25 tahun, dan setiap pembangunan jangka panjang di bagi dalam lima tahap jangka pendek yang berlangsung selama lima tahun. Strategi dasar pembangunan nasional Indonesia selama kurang lebih 30 tahun baik jangka panjang maupun jangka pendek, bertumpu pada pembangunan ekonomi yang terkait dalam pembangunan dibidangbidang lainnya. Pembangunan Pendidikan merupakan subordinat atau bagian dari keseluruhan Pembangunan Nasional Indonesia. Dalam bahasa sistem dapat dikatakan bahwa sistem Pembangunan Nasional Indonesia terdiri dari tujuh subsistem pembangunan, dan pembangunan pendidikan merupakan salah satu dari komponen atau sektor pembangunan dari subsistem atau bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan. Pembangunan Nasional merupakan lingkungan proksimal dari pembangunan pendidikan nasional. Sebagai lingkungan proksimal, Pembangunan Nasional mempunyai peranan sebagai berikut: 1. Payung pembangunan pendidikan nasional yang berfungsi menjadi salah satu pembatas lingkungan pembangunan pendidikan nasional dan parometer atau tolak ukur kontribusi keberhasilan fungsi pembangunan pendidikan terhadap pembangunan nasional. 2. Sumber yang memberikan masukan pada pembangunan pendidikan nasional berupa hasil-hasil pembangunan dari sektor-sektor yang lainnya, yang diterima oleh Pembangunan Pendidikan Nasional, berupa informasi, energi (tenaga) dan bahan-bahan (penyediaan sarana dan prasarana). E. PENDIDIKAN SEBAGAI BAGIAN DARI PEMBANGUNAN MANUSIA Pendidikan Indonesia sebagai pencapaian peradapan manusia selalu menjadi bagian pendidikan dunia. Pendidikan bukan hanya masalah pengajaran membaca dan menulis, namun merupakan wujud hubungan antar manusia. Tujuan pendidikan adalah penyebarluasan seni, budaya, pengetahuan, keahlian, nilai-nilai dan kepercayaan. Pendidikan adalah agen penyebarluasan tersebut. Namun itu saja tidak belum cukup. Pendidikan juga mempunyai tanggung jawab lain, yaitu mempersiapkan dunia kerja, mendampingi anak-anak muda, dan meningkatkan hubungan kelompok sebaya. Tujuan pendidikan berhubungan dengan 271 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kemajuan perkembangan manusia. Manusia dengan latar belakang berbeda membutuhkan pendidikan yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mengembangkan pemikiran kritis bagi insan-insan muda. Penghambat atas upaya pengembangan ini adalah syaratnya beban aneka pelajaran dan tata penilaian dengan angka. Syaratnya beban yang berlebihan ini membawa kedangkalan pemikiran. Pengajaran hendaknya menjadikan bahan pelajaran sebagai hadiah yang berharga, bukan kewajiban yang mengancam. Apa implikasi pernyataan dalam GBHN 1993 dalam bidang pendidikan sebagai pengembangan SDM bagi pembangunan nasional? Pertama, haruslah kita melihat bahwa pembangunan nasional itu mempunyai dua dimensi dari manusia Indonesia. Dimensi pertama adalah bahwa pembangunan nasional itu untuk manusia Indonesia, dak kedua adalah pembangunan itu oleh manusia dan untuk manusia Indonesia itu sendiri. Disinilah letak etnis dari usaha pendidikan dalam rangka pengembangan SDM. Nilai etnis itu menyatakan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab dari pelaku tindakan pendidikan dan orang yang dididik. Pada akhirnya pembangunan nasional untuk menuju masyarakat maju yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila itu adalah tanggung jawab manusia Indonesia sebagai individu dan sebagai manusia keseluruhan. Jadi, inti dari kegiatan pendidikan sebagai pengembangan SDM adalah mengembangkan tanggung jawab pribadi bagi peningkatan mutu hidup individu, dan sekaligus tanggung jawab dalam membangun seluruh masyarakat Indonesia. Yang terakhir adalah tidak lain sikap nasionalisme patriotisme Indonesia yang sesungguhnya. F. STRATEGI PEMBANGUNAN DI BIDANG PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan dalam pembangunan dibidang pendidikan dan kebudayaan di Indonesia supaya tujuan pembangunan nasional dan tujuan pendidikan nasional tercapai, yaitu: 1. Pentingnya Investasi Sumber Daya Manusia Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia Timur telah mencatat prestasi pembangunan yang sangat mengesankan dan bahkan penuh keajaiban, kunci keajaibannya terletak pada kemampuan untuk menciptakan dan menggerakkan investasi dan meningkatkan produktivitas melalui penciptaan investasi kapital fisik dan investasi modal sumber daya manusia yang memadai. Dalam hal ini jelas terbukti bahwa pendidikan sebagai bentuk pembangunan sumber daya manusia mempunyai peranan yang bermakna terhadap pertumbuhan ekonomi yang sustainable karena disertai dengan pemerataan pendapatan. Sehingga Indonesia tergolong sebagai negara industri baru mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan laju pertumbuhan dengan cukup tinggi serta pemerataan yang lebih baik dalam 25 tahun mendatang, dalam hal ini tergantung pada kemampuan meningkatkan produktivitas faktor-faktor produksinya secara keseluruhan. 2. Industrialisasi Dan Transformasi Teknologi Pentingnya peningkatan ketrampilan tenaga kerja dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia di masa mendatang sejalan dengan perkembangan yang berlangsung dalam proses industrialisasi di negara kita. Perkembangan industri yang berlangsung di masa datang harus lebih cepat daripada perkembangan selama ini. Hal ini berkaitan erat dengan proses 272 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tranformasi teknologi untuk menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dan pembudayaan teknologi. 3. Strategi Penguasaan Iptek Kemajuan teknologi hanya mungkin dicapai melalui kemajuan ilmu pengetahuan karena teknologi merupakan produk aplikatif dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri tidak mungkin terwujud tanpa adanya critical mass sumber daya manusia berkualitas. Tingkat penguasaan teknologi menentukan pula tingkat kemajuan suatu bangsa, dan pada gilirannya menentukan tingkat peradaban. Maka budaya iptek adalah cara pandang, sikap, dan perilaku yang didasari dengan wawasan dan kemampuan Iptek yang mendarah daging dalam diri seseorang. 4. Membangun Profesionalisme dan Keunggulan Profesionalisme dan keunggulan merupakan kata kunci yang perlu terus kita dengungkan dalam upaya kita membangun sumber daya menusia yang membangun profesionalisme yang handal diperlukan manusia yang mempunyai kompetensi dalam bidangnya dan mempunyai tanggung jawab moral. Keunggulan Iptek harus terus diupayakan, ditingkatkan, dan dikembangkan. Melalui paket-paket penelitian seperti itu para peneliti di perguruan tinggi dan lembaga penelitian departemen dan non departemen mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengembangkan kemampuan dalam melakukan penelitian terutama untuk menghasilkan produk-produk unggulan. 5. Pentingnya Evaluasi Kurikulum dan Penambahan Kurikulum (Kurikulum Anti Korupsi dan Kurikulum Pendidikan Karakter) Penulis setuju dengan pentingnya dilakukan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesuaian, efektivitas, dan efisiensi kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya. Informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu direvisi atau harus diganti dengan yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kebutuhan pasar yang berubah. Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai areaarea kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat menilai kebaikan kurikulum, apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal dengan evaluasi sumatif. Tindak korupsi di Indonesia memang sudah sangat parah. Bahkan Prof. Dr. A. Syafi‘i Ma‘arif sering mengatakan dalam berbagai forum jika korupsi di Indonesia telah membudaya. Korupsi tidak hanya mewarnai struktur pemerintah saja yang banyak bergelimangan harta, fasilitas dan jabatan. Melainkan telah merambat pada wilayah kultural di bangsa ini. Maka, tidak heran jika banyak pengamat mengatakan jika Indonesia telah terjangkiti penyakit moral yang cukup kronis dan hampir mematikan. Saya setuju dengan pandangan Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Amin Abdullah, menyisipkan agenda penyadaran anti korupsi lewat jalur pendidikan merupakan langkah yang dinilai paling efektif. Minimal untuk membangun kesadaran masing-masing individu agar 273 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret mengerti akan seluk beluk korupsi dan dampaknya bagi masa depan bangsa. Berkaitan dengan agenda untuk memasukkan materi anti korupsi dan pendidikan karakter ke dalam silabus (kurikulum) pendidikan kita, ada beberapa hal yang perlu dicermati yaitu (1) urgensi materi anti korupsi dan pendidikan karakter (2) tujuan di diterapkannya kurikulum anti korupsi dan pendidikan karakter (3) pengertian korupsi dan pendidikan karakter (4) metode atau strategi yang digunakan dalam kurikulum itu. Namun, lebih lanjut, saya berpandangan bahwa menyampaikan materi anti korupsi bukan terpaut hanya pada beberapa mata pelajaran saja. Justru seluruh mata pelajaran dipandang sangat urgen dan relevan untuk ditambahi denganmateri yang satu ini. Seperti ketika materi anti korupsi diterapkan pada mata pelajaran sosiologi, antropologi, ilmu pendidikan, hukum, ekonomi, politik, bahasa dan sebagainya. Berbeda dengan materi pendidikan karakter, hendaknya materi ini diberikan sejak PAUD sampai perguruan tinggi. Dengan menyisipkan materi anti korupsi dan pendidikan karakter lewat jalur pendidikan diharapkan agar masyarakat kita sadar akan tindakan korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya. 6. Keselarasan Imtaq dan Iptek ―Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu‖ (Al-Hadist). Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), harus diakui telah memberikan kemudahan terhadap berbagai aktivitas dan kebutuhan hidup manusia. Disisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru yang cenderung menjauh dan nilai-nilai spiritualitas. Semua ini menurut perhatian ekstra orang tua serta pendidik, khususnya guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa. Dari sisi positif, perkembangan Iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan ketrampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumnya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu. Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman tentang arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional, sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kalbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan perilaku menyimpang yang justru akan merugikan. G. PENUTUP Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, serta dilaksanakan dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang 274 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret berakar pada Pancasila dan UUD 1945. SISDIKNAS mengamanatkan pendidikan sebagai proses pemberdayaan yang mampu membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, menjadikan manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Kurikulum hendaknya disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mempertimbangkan: peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, penigkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan nasional, tuntutan dunia kerja, pembangunan pengetahuan, teknologi dan seni, agama, dinamika perkembangan global, peraturan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Pembangunan nasional untuk menuju masyarakat maju yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila itu adalah tanggung jawab manusia Indonesia sebagai individu dan sebagai manusia keseluruhan. Jadi, inti dari kegiatan pendidikan sebagai pengembangan SDM adalah mengembangkan tanggung jawab pribadi bagi peningkatan mutu hidup individu, dan sekaligus tanggung jawab pribadi dalam membangun seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi problematika dalam pembangunan nasional dan pendidikan nasional selama ini perlu dikembangkan beberapa strategi yaitu pentingnya investasi sumber daya manusia, industrialisasi dan transformasi teknologi, strategi penguasaan iptek, dan membangun profesionalisme dan keunggulan. Dengan strategi diatas diharapkan fungsi pendidikan dapat terwujud sesuai harapan rakyat Indonesia yaitu mengembangkan kemauan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. DAFTAR PUSTAKA Budi Ningsih C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. PT Rineka Cipta. Djumberansyah, Indar. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya. Karya Abditama. Faqih, Mansour, Topasimatupang, Roem, dan Rahardjo, Toto. 2001. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta. Read Books bekerjasama dengan Insist. Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta, Read dan Pustaka Pelajar. Harefa, Andreas. 2001. Pembelajaran Di Era Serba Otonomi. Jakarta. Kompas. Marzali, Amri. Antropologi & Pembangunan Indonesia. 2007. Jakarta. Kencana. Mu‘arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta. Pinus Book Publisher. Mudyahardjo, Redja. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Nadjamuddin, Ramly. 2005. Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan. Jakarta. Grafindo. Nugroho, Singgih. 2003. Pendidikan Pemerdekaan dan Islam. Yogyakarta. Pondok Edukasi. Sadulloh Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta. Suardi, Moh. 2012. Pengantar Pendidikan: Teori Dan Aplikasi. Jakarta. PT Indeks. Tirtaharja, Umar dkk. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta. William F. O‘neil. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 275 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 276 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PERANAN UNIVERSITAS DALAM PENDIDIKAN PADA ABAD 21 UNTUK PERUBAHAN SECARA GLOBAL Peduk Rintayati Dosen PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret ABSTRAK Universitas merupakan medium untuk nilai-nilai ilmiah yang baru dan lama pendidikan intelektual, pengorganisasian dan penertiban ilmu pengetahuan dengan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran, nilai-nilai yang dianggap penting untuk meningkatkan martabat manusia maupun masyarakat lingkungannya melalui penelitian yang menentukan dalam kemajuan negara.. Dengan demikian universitas bersifat future oriented (= berorientasi ke masa depan) artinya mencerminkan kegiatannya dalam efektifitas dan dampaknya terhadap masa depan bangsa maupun ummat manusia pada umumnya. Universitas sebagai pusat kebebasan intelektual, sebagai pendorong orang untuk belajar, menemukan hal-hal yang baru, mengajar dan berdiskusi serta memberikan kritik dimana perlu, universitas memberikan sumbangannya terbesar kepada bangsanya dalam bidang persiapan tenaga manusia dan universitas sebagai pembentuk kepribadian dan lembaga sosialisasi yakni sosialisasi bidang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan kebudayaan, karena universitas sebagai agent of change dengan mendidik orang-orang untuk hidup dalam suatu masyarakat yang lebih modern, karena setiap kemajuan mengakibatkan adanya perubahan mental disertai pembangunan fisik dan teknologi. Perubahan kondisi sosial ekonomi yang dipacu perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan demensi nilai yang sebenarnya dan perubahan masyarakat selalu ada dalam proses perkembangannya, hal ini menjadi tanggungjawab pendidikan untuk: (1) melihat implikasi nilai etik dalam setiap perubahan yang terjadi; (2) membantu untuk berkembang nya nilai-nilai dalam diri seseorang, dan (3) membantu agar anak didik dapat mengambil sikap keputusan dalam merencanakan kehidupan secara berarti, proses ini disebut dengan Value Clarification. Pendidikan karakter bagi gerasi baru merupakan pengembangan karakter adalah proses terus menerus, karena karakter bukanlah kenyataan melainkan keutuhan perilaku, melainkan usaha hidup bagi proyek masa depannya. Pendidikan merupakan sistem yang harus diperbaiki secara berkelanjutan baik proses maupun prosedur kerja, sehingga fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran selalu dijalankan, maka sistem pendidikan pendidikan dapat diperbaiki mutu setiap prosesnya. Perlunya logika, etika, estetika dan epistemologi. Kata kunci: peranan universitas, pendidikan, kemajuan teknologi, penelitian dan generasi baru 277 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret A. PENDAHULUAN Universitas adalah suatu lembaga sosial mempunyai tugas utama mendidik dan meneruskan pengetahuan yang telah dihimpunnya, serta memberi gelar berdasarkan penilaian lembaga terhadap kemampuan nak didiknya berdasarkan kriteria tertentu. Gelar yang diperoleh alumnus universitas, akan menaikkan status sosialnya sesuai dengan penilaian masyarakat luas terhadap hasil almamaternya sertaharapan-harapan yang dimilikinya terhadap alumninya. Pendidikan universitas tingkat universitas cukup mahal dan meminta banyak pengorbanan uang dan waktu. Tujuan pendidikan universitas: ―membentuk kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah manusiawi dan menolong manusia membentuk suatu dunia yang lebih baik baginya‖ esensi suatu universitas sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi pada umumnya kurang dipahami. Karena perguruan tinggi menyampaikan nilai-nilai ilmiah dan moral relevansinya hubungannya dengan lingkungan. Dengan unsur lingkungan ini pendidikan prguruan tinggi yang menjadi titik perhatian yakni: (1) mutu ilmu yang diterima ditentukan o mutu tenaga pengajar; (2) mutu peserta didik ditentukan oleh mutu yang diperoleh sebelum memasuki universitas; (3) perlu partisipasi aktif dari tenaga pengajar dalam penelitian yang relevan sebagai kebutuhan (langsung) masyarakat, dan (4) mutu pengajaran dan pendidikan ditentukan o peralatan penelitian dan fasilitas-fasilitas pelaksanaan. Universitas secara otomatik akan terlibat dalam kejadian-kjadian aktual masyarakat dan ikut menentukan pembentukan pribadipribadi yang harus mengatasi dan membentuk peserta didik atau anak didik untuk belajar dan menganalisa situasi sosial dan lingkungan sesuai dengan kebutuhan, karena mendidik ke arah penyesuaian diri dengan lingkungan, melalui proses sosialisasi yang serasi, sehingga peserta didik mampu menjadi anggota masyarakat yang baik dan berperan dalam lingkungannya. Kemampuan ini akan dicapai oleh anak didik melalui kombinasi dan penyatuan antara nilai-nilai sosialbudaya-agama dan pengetahuan ilmu pengetahuan. Universitas merupakan medium untuk nilai-nilai ilmiah yang baru dan lama pendidikan intelektual, pengorganisasian dan penertiban ilmu pengetahuan dengan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran, nilai-nilai yang dianggap penting untuk meningkatkan martabat manusia maupun masyarakat lingkungannya melalui penelitian yang menentukan dalam kemajuan negara.. Dengan demikian universitas bersifat future oriented (= berorientasi ke masa depan) artinya mencerminkan kegiatannya dalam efektifitas dan dampaknya terhadap masa depan bangsa maupun ummat manusia pada umumnya. Universitas sebagai pusat kebebasan intelektual, sebagai pendorong orang untuk belajar, menemukan hal-hal yang baru, mengajar dan berdiskusi serta memberikan kritik dimana perlu, universitas memberikan sumbangannya terbesar kepada bangsanya dalam bidang persiapan tenaga manusia dan universitas sebagai pembentuk kepribadian dan lembaga sosialisasi yakni sosialisasi bidang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan kebudayaan di masyarakat, karena universitas sebagai agent of change dengan mendidik orangorang untuk hidup dalam suatu masyarakat yang lebih modern, karena setiap kemajuan mengakibatkan adanya perubahan mental disertai pembangunan fisik pengetahuan dan teknologi. B. PEMBAHASAN Dalam situasi sekarang di abad 21 menunjukkan makin berkurangnya wibawa lembaga-lembaga sosial terjadilah situasi dimana pengentasan masalah perlu langkahlangkah untuk mengatasi masalah pada era modernisasi melalui proses dan akselerasi 278 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret terutama di negara berkembang perlu diarahkan kepada membentuk manusiamanusia yang berhasil dalam proses invidualisasi, menjadi manusia-manusia yang produktif kreatif. Proses modernisasi meningkatnya ketegangan, penyakit jiwa, kekerasan, perceraian, kenakalan remaja, serta ketegangan rasial, agama dan kelas. Transformasi besar membawa perubahan kepada pola hidup manusia, cara kerja manusia telah berubah. Manusia lebih aktif untuk memperdalam kapasitas individu, ia makin ingin menampilkan nilai-nilai manusiawi dan identitas budayanya dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional, sebagai tantangan pembangunan sikap mandiri dalam kebersamaan, tenggang rasa, musyawarah untuk mufakat, hemat, cermat, sederhana, tertib, menghargai waktu serta pengabdian. Terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat yang maju dalam suasana yang tentram, sejahtera lahir dan batin dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila yang akan meningkatkan martabat manusia dan masyarakat, melalui proses adaptasi dan individualisasi untuk mengatasi masalahmasalah duniawi dan terutama dalam bidang pendidikan nilai. Perubahan kondisi sosial ekonomi yang dipacu perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, cara menghargai hidup dan kenyataan ini semua membawa kekaburan demensi nilai yang sebenarnya dan perubahan masyarakat selalu ada dalam proses perkembangannya, hal ini menjadi tanggungjawab pendidikan untuk: (1) melihat implikasi nilai etik dalam setiap perubahan yang terjadi; (2) membantu untuk berkembang nya nilai-nilai dalam diri seseorang, dan (3) membantu agar anak didik dapat mengambil sikap keputusan dalam merencanakan kehidupan secara berarti, proses ini disebut dengan Value Clarification. Yang harus ditekankan dalam konteks ini ialah masing-masing orang harus menemukan sendiri nilai yang hendak akan diperkembangkan. Ini berarti harus ada proses pengalaman nilai. Pendekatan baru harus ditempuh karena nilai mencakup komponen-komponen: (1) segi kognitif; (2) segi afektif; dan (3) segi psikomotorik. Suatu nilai menjadi pegangan sseorang, suatu norma, prinsip hidup seseorang. Nilainilai ditanamkan pada masa kecil, nilai akan diinternalisasi, dipelihara dan menjadi pegangan hidup seseorang. Nilai akan memberi arah hidup dan menjadi kaidah hidupnya, memiliki semangat yang tinggi dalam mewujudkan mutu nilai yang tinggi. Nilai merupakan realitas abstrak yang dirasakan masing-masing pribadi seseorang atau kelompok sebagai pola tingkah laku, pola berpikir dan sikap-sikap. Nilai yang harus dikembangkan pada pendidikan di sekolah yakni: (1) partisipasi; (2) tanggungjawab; (3) keterampilan; (4) kepemimpinan; (5) kreativitas; (6) kerja sama; (7) solidaritas; (8) mengatur waktu; (9) sense of belonging; (10) kebanggaan; (11) perhatian terhadap sesama; (12) penyaluran bakat; (13) kepercayaan diri; (14) penampilan di depan umum; (15) komunikasi; (16) sportifitas; (17) originalitas; (18) identitas sekolah, dan (20) penghargaan terhadap orang lain. Maka dengan nilai-nilai ini dapat dikembangkan dalam semua kegiatan dalam pembelajaran di sekolah. Karena komponen-komponen pendidikan nilai mencakup: (1) memilih (segi kognitif); (2) menghargai (segi afektif), dan (3) bertindak (segi psikomotorik). Hal kegiatan pendidikan dan pembangunan manusia, maka besar kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan memperbaiki serta menyempurnakan manusia dalam praktek kegiatan pendidikan. Pendidikan nilai menanamkan sikap hidup sederhana 279 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sehingga terdapat keselarasan dengan ekologik, sehingga membangun manusia yang sadar terhadap lingkungan, merujuk pada tahap sikap sampai ke tahap psikomotor yakni sebagai pengelola lingkungan hidup agar pelestarian lingkungan yang selaras demi kelangsungan hidup manusia dan alam lingkungan sebagai habitatnya (tempat hidup) . Pendidikan nilai di dalam pendidikan formal merupakan pembentukan pola-pola kebudayaan dan pembentukan nilai-nilai peradaban masa depan suatu bangsa. Kebudayaan ialah sesuatu yang khas insani menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda dari manusia dalam alam dunia, manusia sebagai pelaku kebudayaan. Jadi segala kegiatan manusia mengarah ke karya budi sebagai tujuan. Agar budi berfungsi sempurna dibutuhkan keutuhan dan kesehatan badan yang diusahankan dengan teknik-teknik yang menyediakan keperluan-keperluan kehidupan. Kedudukan manusia dalam kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang, melainkan sebagai pribadi serta kepadanya segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan. Maka tetap perlu diperhatikan perkembangan budaya dalam hubungan dengan diserapnya pengaruh-pengaruh dari luar yang sulit dibendung, karena kebudayaan mengandung nilai-nilai yang dihubungkan dengan hal-hal baik yang bermanfaat, yang indah bagi kehidupan manusia, hal ini memerlukan sikap mantap untuk mempertahankan dan memupuk kepribadian bangsa sendiri agar tidak menjadi bangsa tiruan. Kita berkembang ke arah masyarakat modern yang mampu hidup dalam suasana modern dengan watak modern dan sanggup pula menggunakan teknologi modern namun tanpa kehilangan kepribadian budaya sebagai bangsa yang berdaulat, baik fisik maupun secara mental spiritual, maka perlu penentuan sikap terutama dalam memberi arah pada pengembangan kebijaksanaan kebudayaan nasional. Pengembangan kepribadian dan pengetahuan anak dimulai dari pendidikan dasar agar menjadi orang dewasa yang mampu menghayati iman secara otentik, mampu melakasanakan tanggungjawab sebagai warga negara, sebagai dasar/landasan bagaimana mendidik anak seutuhnya dalam semua aspek: spiritual (agama), moral, sosial, kewarganegaraan, intelektual, estetik, jasmani, keterampilan dan sebagainya. Dalam pendidikan agama yang harus disampaikan: (1) mengenal, menemukan dan mencantai Allah; (2) mengarahkan pikiran kepada Allah, karena segala sesuatu yang dilaksanakan di jalan Alllah, dan (3) memilih segala yang baik, benar dan adil. Pendidikan agama menolong masyarakat untuk menjadi orang-orang yang tidak hanyut dalam era perubahan, kemudian menjadi sadar dan sabar karena mempunyai pegangan hidup. Karena agama mengajarkan norma-norma yang kokoh dan mereka akan menjadi anggota masyarakat yang mengenal ketertiban yaitu hidup yang bermakna dan mempunyai tujuan. Pendidikan intelektual mencakup: (1) mengamati dan mawas lingkungan, mengembangkan rasa ingin tahu; (2) mengembangkan cara berpikir konvergen (melipatgandakan pengetahuan) dan divergen (kreatif, mengupayakan pengetahuan); (3) menyesuaikan diri dengan bantuan bahasa yang sesuai dengan zamannya, terutama bahasa ibu, atau dengan alat laiinya; (4) menilai setiap pendapat, keadaan dan sikap secara sehat; (5) menguasai teknik dan keterampilan dasar, membaca, menulis, bahasa dan matematika, dan (6) menemukan metode dan kebiasaan kerja yang efektif. Pendidikan estetika mencakup: (1) melihat, menikmati dan menghargai segala sesuatu yang indah dalam alam dan yang merupakan hasil karya manusia; (2) mengagumi karya artistik dan seni, dan (3) menyatakan diri secara orininal berkaitan 280 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dengan wujud ekspresi daya seni pribadi. Pendidikan jasmani mencakup: (1) mengekspresikan diri melalui anggota badan seperti menari, menyanyi,, deklamasi; (2) memiliki pengendalian diri (psikomotor berfungsi dengan baik, penyangkalan diri), dan mengembangkan tubuh secara serasi dengan sasaran perkembangan pribadi seutuhnya dan agar mampu melaksanakan tugasnya. Sesungguhnya pendidikan merupakan drama of discontinuity yang diarahkan pada perubahan yaitu yang mengacu ”a sort delibrate violence to other people‟s developed personality” . Ini secara samar-samar disebut keinginan akan realisasi suatu masyarakat dimana manusianya bertanggung jawab, hidup sebagai manusia yang bermartabat. Martabat adalah merupakan kategori etis yang mencermikan sikap moral pribadi terhadap diri sendiri dan sikap masyarakat terhadap seorang pribadi sebagai bentuk pengedalian diri. Martabat seperti suara hati suatu bentuk realisasi kewajiban dan tanggungjawab manusia terhadap masyarakat. Proses pendidikan diarahkan pada perubahan perbaikkan yang harus disusun ialah rencana struktur sebagai fungsi perubahan proyeksi masa depan sebagai tindakan yang segera diperlukan mengingat lembaga pendidikan berkompetensi untuk perubahan dan berpegang pada falsafah pendidikan tradisional seperti kata-kata Margaret Mead:‖ it is necesary for this generation to work at high speed if the whole of modern world, if not whole humanities is to be rescued from destriction”. Universitas perlu memikirkan dan menelaah bahwa modernisasi dan teknisi menyesuaikan kondisi geografik dan mental daerah. Keadaan mental sekarang mulai mencerminkan sikap: oposisi terhadap modernisasi, separatisme, manusia tidak bertanggung jawab, manusia yang apatis, frustasi merupakan krisis kemampuan, memang pendidikan sebagai alat utama dalam menciptakan manusia modern, peranan pendidikan dalam menanam rasa loyalitas nasional dan dalam menciptakan keahlian dan sikap yang sangat diperlukan oleh pembaharuan teknologi, maka ia bisa menghasilkan peningkatan jumlah sarjana yang berkeahlian dan bersikap modern. Perubahan kemajuan teknologi modern sebagai pengetahuan penemuan baru yang hendak dimanfaatkan dan disalurkan kepada mahasiswa mengingat masa depan bangsa adalah milik generasi muda, karena ilmu pengetahuan makin lama makin bertambah dengan sendirinya dan dengan volume dalam kecepatannya, bersamaan dengan perkembangan kecerdasan manusia. Implikasi perubahan yang harus dihadapi hendaknya menangani sebab-sebab yang mendasari krisis. Kita menghadapi transformasi pendidikan yang mendasar dalam nilai-nilai dan institusi pendidikan. Dengan demikian universitas diharapkan menemukan masalah yang dihadapinya masyarakat modern saat ini di era globalisasi, untuk mencapai program pendidikan mutu yang selalu mencakup 4 (empat) komponen penting. Pertama, mesti ada komitmen untuk berubah, serta anggota dewan dan para administrator memperlihatkan komitmen terhadap perubahan. Penerapan filsafat mutu untuk meraih keunggulan kompetitif pada setiap lingkungan pasar yang kompetitif. Kedua, pemahaman dengan baik dimana menunjukkan upaya memecahkan masalah dengan mengikhtiarkan perubahan yang langgeng dan berhasil pada sistem yang sedang berjalan. Ketiga, memiliki visi masa depan yang jelas dan visi merupakan mercu suar yang menjadi pedoman pengembaraan mutu itu. Visi tetap terfokus dan berkomitmen terhadap trasformasi mutu. Ke empat, memiliki rencana untuk mengimplementasikan mutu pendidikan, rencana mutu merupakan dokumen hidup, baik faktor internal maupun faktor eksternal 281 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret memiliki dampak terhadap pendidikan akan berubah dan progres. Hal ini perlu dilakukan kontrol mutu dalam upaya menemukan prinsip-prinsip dasar proses manajemen untuk menfokuskan diri pada mutu sebagai tujuan utama. Beberapa pandangan Juran tentang mutu lembaga adalah: (1) meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir; (2) perbaikkan mutu merupakan proses berkesinambungan bukan program sekali berjalan; (3) mutu memerlukan kepemimoinan dari anggota dewan dan administrator; (4) pelatihan massal merupakan prasyarat mutu, dan setiap orang di lingkungan pendidikan mesti mendapatkan pelatihan. Bila Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan metodologi yang dapat membantu para profesional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. MMT dapat memberikan fokus pendidikan dan masyarakat. MMT membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. MMT dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu. MMT memudahkan pengelolaan perubahan, yang prosesnya dengan mengembangkan visi dan misi mutu. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan konsumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan peserta didik untuk mengelola perubahan, serta perbaikkan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi baik, dan setiap unsur terkait dalam pendidikan mesti terlibat dalam transformasi mutu perlu mengadopsi paradigma baru pendidikan, cara pikir dan kerja lama harus disingkirkan. Manajemen mesti memilki komitmen untuk menfokuskan pada mutu, tanpa adanya komitmen program mutu tidak akan berhasil. Perlu diingat bahwa pendidikan bukanlah suatu ramuan ajaib yang dapat mengubah masyarakat untuk menjadi masyarakat maju. Ada empat pilar pendidikan adalah, learning to doartinya meningkatkan interaksi dengan siswa dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, sosial maupun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia sekitarnya, learning to know diharapkan hasil interaksi dengan lingkungannya siswa dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya, learning to be kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu atau kelompok yang bervarias iand learning to live together akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukkan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan hidup. Perubahan masyarakat merupakan proses yang sangat rumit bersamaan dengan proses pendidikan. Pendidikan yang merupakan pengaruh dari orang dewasa kepada anak agar menjadi orang dewasa yang bertangung jawab terbentuk pribadi yang berkarakter, bermoral, berbudi pekerti, dan bertoleransi pada orang lain dan juga tidak bergantung pada orang lain, hal ini berkaitan dengan pendidikan karakter, dengan menggunakan akal budi dalam mengatur tata kehidupan bersama dalam masyarakat membangun nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama dan nilai-nilai pengetahuan. Titik pijak inilah yang menjadi jiwa bagi pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang berisi sifat budi pekerti luhur berakhlak mulia. Tujuan tema pendidikan pendidikan dalam pembangunan adalah ―nation and character building‖ dalam hal ini selain pembangunan fisik juga pembangunan psikis untuk meningkatkan kualitas manusia 282 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret agar cinta pada nusa, bangsa, negara, jujur, bertanggung jawab pada Tuhan dan diri sendiri serta orang lain. Pendidikan yang menekankan pada pembentukan manusia yang berbudi luhur dan berakhlak mulia perlu dilakukan secara konkret sejak anak usia dini sampai perguruan tinggi. Jika hal ini benar dilakasanakan dengan baik, maka tingkah laku yang baik akan terbentuk kearah manusia yang baik, oleh karena itu pendidikan moral merupakan ajaran atau prinsip dasar tentang nilai baik dan buruk atas perbuatan dan kelakukan dalam kehidupan manusia di lingkungan ke hidupan pribadi, keluarga masyarakat, bangsa dan negara, terbentuk sikap batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perbuatan, tabiat, budi pekerti. Nilai-nilai yang membentuk individu dewasa tanggungjawab bagi kelangsungan hidup bersama, manusia mampu mengatasi determinasi di luar dirinya. Manusia mampu mengatasi keterbatasan dirinya, karena ia memiliki nilai yang berharga dan layak untuk diperjuangkan akan terwujud nyata dalam keputusan dan tindakan. Pendidikan karakter merupakan pengembangan karakter adalah proses terus menerus, karena karakter bukanlah kenyataan melainkan keutuhan perilaku, melainkan usaha hidup bagi proyek masa depannya. Pendidikan merupakan suatu sistem yang harus diperbaiki secara berkelanjutan baik proses maupun prosedur kerja, sehingga fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran selalu dijalankan, maka sistem pendidikan yang harus dapat diperbaiki mutu setiap prosesnya. Perlunya logika, etika, estetika dan epistemologi. Logika merupakan cara bepikir logis atau masuk akal mengetahui salah dan benar sehingga kemampuan logika peningkatan melalui pendidikan. Etika yakni berperilaku yang baik atau etis yaitu berkaitan dengan kesopanan, kesantunan hormat kepada orang lain. Estetika berkaitan dengan keindahan dalam hal bertutur kata, berpenampilan, dalam menulis, mengambil atau memilih kata yang indah dan tepat, diharapkan kalimatnya santun dan indah, serta membicarakan tentang bagaimana terjadinya ilmu pengetahuan, hal ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana ilmu tersebut diketemukan dengan mengetahui objek, metode dan sistematisasi, maka tersusunlah ilmu pengetahuan tersebut. Paradigma baru pendidikan untuk dikembangkan agar mahasiswa menjadi warga negara yang bernilai dan yang dipersiapkan agar lebih baik menghadapi tantangan akademik dan bisnis di masa depan. Dalam pendidikan mutu, mahasiswa dididik dapat mengkontruksi pribadi untuk mudah memahami diri serta fungsinya dalam masyarakat, terutama bidang sosial, serta sebagai perintis perubahan menuju kemajuan masa depan lebih baik dalam bidang pengetahuan dan membiasakan diri mempergunakan pengetahuan demi peningkatan martabat manusia, dan bukan demi penghimpunan ilmu belaka. Dengan pengetahuan dapat digunakan sebagai pengabdian kepada ummat manusia agar dapat hidup dengan bermartabat agar menjadi warga negara yang baik dan keprasahajaan hidup. Sifat keprasahajaan hidup perlu ditanamkan pada peserta didik agar tidak sombong selalu bersahaja dalam hidup, artinya selalu memikirkan orang disekelilingnya yang mengalami kekurangan. Maka mahasiswa sebagai perintis perubahan, mahasiswa harus juga melakukan berbagai kesibukkan pencarian dan meneruskan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai ilmiah yang telah dihimpunnya selama proses dibangku kuliah, berpikir secara sehat dan berpegang pada patokanpatokan moral yang telah ditanamkan oleh almamater serta mampu mengkombinasikan dan membuat kesatuan baru bagi dirinya berdasarkan patokan moral dan nilai-nilai. Pendidikan di abad 21 menghadapi tantangan: (1) persatuan dan kesatuan bangsa dan bernegara; (2) sistem hukum 283 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yang adil; (3) sistem politik yang demokratis; (4) sistem ekonomi yang adil dan produktif; (5) sistem sosial budaya yang beradab; (6) sumber daya manusia yang bermutu; dan (7) dalam era globalisasi rakyat perlu diberikan ketahanan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai warga negara yang kuat sebagai bangsa yang bernegara. Soal mutu SDM ( sumber daya manusia) tidak saja menyangkut para guru atau dosen tetapi juga para anak didik artinya orang-orang yang berinisistif yakni orang-orang yang produktif mempunyai suatu sikap, dan watak yang baik serta kemauan untuk membuahkan sesuatu dari hidupnya untuk kemajuan bangsa dan negara. Pendidikan diharapkan membentuk dan membangun dasar-dasar bagi suatu cara hidup yang baru, memiliki SDM berkompetensi pendidik artinya kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kompetensi paedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya mencakup: (1) memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, moral, kultural, emosinal dan intelektual; (2) memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar dalam konteks kebhinekaan budaya; (3) memahami gaya belajar dan kesulitan belajar peserta didik; (4) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik; (5) menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik; (6) mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran; (7) merancang pembelajaran yang mendidik, dan (8) mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Kompetensi kepribadian yaitu memiliki kepribadian yang mantap stabil, dewasa, arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia yang dapat: (1) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (3) mengevaluasi kinerja sendiri, dan (4) mengembangkan diri secara berkelanjutan. Kompetensi profesional kemampuan dan keahlian profesional utama yang harus dimiliki oleh para pendidik yakni kemampuan bidang pendidikan dan keguruan khususnya terkait dengan stategi pembelajaran yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang mencakup: (1) menguasai substansi bidang studi dan metodologi keilmuannya; (2) mengusai struktur dan materi kurikulum bidang studi; (3) menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran; (4) mengorgnisasi materi kurikulum bidang studi, dan (5) meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. Seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang studi yang diajarkan, tetapi juga harus menguasai dan mampu mengajarkan pengetahuan dan keterampilan dengan penerapan pembelajaran pakem aktif inovativ. Strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Hasil pembelajaran yaitu kecercapaian pembelajaran mencakup: (1) keefektifan (effectiveness); (2) efisiensi (effeciency), dan data tarik (appeal). Strategi pembelajaran dipengaruhi oleh: (1) pengorganisasian pembelajaran; (2) strategi penyampaian pembelajaran, dan (3) strategi pengelolaan pembelajaran. 284 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Kompetensi sosial yaitu kemampuan terkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar, kompetensi yang mencakup: (1) berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat; (2) berkomunikasi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat; (3) berkontrubusi terhadap pengembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional dan global, dan (4) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. Hal ini sesuai dengan Declaration Education For All UNESCO tahun 1990 agar bangsa Indonesia memiliki warga negara yang dapat: (1) mengembangkan diri secara optimal; (2) berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat; (3) memperoleh pekerjaan; dan (4) belajar sepanjang hayat, hal ini bagi bangsa Indonesia masih perlu melaksanakan seruan tersebut di atas, sebagai perwujudan keberhasilan pendidikan yang sedang berjalan ke depan. Terpenting dalam pendidikan tinggi kecukupan tenaga dosen yang relevan, buku-buku perpustakaan, laboratorium-laboratorium untuk setiap bidang studi serta melakukan penelitian juga asrama-asrama, dan alat-alat rekreasi. Kedudukan universitas sangat berperan sebagai katalisator modernisasi serta sebagai lembaga penerus kebudayaan terutama kebudayaan ilmiah dan kebudayaan lingkungannya. Dengan demikian universitas sebagai lembaga sosial harus mengkombinasikan dua patokan: (1) menjadi pengubah masyarakat demi menyesuaikan diri sebaik mungkin dalam situasi abad 21, demi peningkatan martabat manusia; (2) menjadi penerus dari kebudayaan ilmiah dan kebudayaan masyarakatnya, dengan tentunya menitik beratkan serta meneruskan nilai-nilai budaya yang dihayatinya kepada generasigerasi berikutnya, sehingga budaya tidak hilang begitu saja oleh perkembangan zaman, yang tidak bisa dipungkiri budaya asing telah melanda keseluruh dunia. Hal ini telah banyak mempengaruhi budaya sendiri akan ada peluang di ambil negara lain. Sangatlah penting bagi universitas menjadi pusat-pusat penelitian, maka universitas harus banyak memiliki tenaga-tenaga peneliti yang diperlukan untuk tugas-tugas melakukan penelitian baik dalam bidang budaya dan pula mengeksplorasi pengetahuan baru baik segi teknologiteknologi modern dalam bidang sumber alam, lingkungan kedokteran dan sebagainya. Sehingga diperlukan motivasi bagi tenaga dosen untuk meningkatkan kemauan untuk melakukan banyak penelitian, dan membentuk wadah kelompok spesialisasi peneliti yang handal, sebagai ilmuwan ahli dalam penelitian untuk kemajuan pengetahuan dan penemuan baru serta untuk perkembangan universitas dan sebagai universitas yang modern. Sehingga perlu diperhatikan banyak sejumlah tenaga pendidik baik pria maupun wanita yang memiliki bakat-bakat yang besar, banyak yang terdiam dalam lingkungan akademisnya dengan semangat yang menurun karena terisolir dari dorongan-dorongan dari atasan dan frustasi karena birokrasi dan intrik-intrik universitas. Jalan keluar adalah dengan memusatkan mereka yang benar-benar berbakat dalam bidangnya dalam suatu wadah. Serta sosialisasi proyek-proyek penelitian baik dalam maupun luar negeri secara nyata agar termotivasi untuk tergabung dalam proyek-proyek tersebut, maka memantapkan kedudukan dosen dan tenaga penelitian dalam masyarakat intelektual internasional. Dalam banyak hal universitas terikat dalam kegiatan penelitian yakni : (1) mengadakan refleksi tentang lingkungannya; (2) meneliti manfaat dari 285 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret ide-ide tentang manusia dalam segala bentuk kegiatannya sehubungan dengan eksistensinya; (3) meneliti hubungan manusia dengan alam semesta; (4) meneliti hubungan manusia dengan zamannya; (5) meneliti hubungan manusia dengan hidup; dan (6) meneliti hubungan manusia dengan manusia lainnya. Penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, merupakan sebab utama dari perubahan yang tempat lahir ide baru yakni ada di universitas. Untuk pengkokohan kemauan untuk meneliti bukanlah sekedar pengaturan badan-badan yang bersangkutan, tetapi perlu memperkuat tekad mereka untuk menghindarkan diri dari godaan malasmalasan dan diperlukan kekuatan watak yang kuat sebagai sikap cerdas dan tindak manusia yang dapat menyerasi harmonisai antara keterikatan dan kebebasan, ketertiban dan ketentraman, kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kelestarian dan inovasi dengan berdasarkan tata nilai akan membentuk kepribadian yang baik, maka perlu dilakukan benchmarking merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang dapat memuaskan, penilaian dapat dilakukan secara berkesinambungan yang sesuai dengan kemampuan usaha dan keuletannya. Memang laju perubahan masyarakat pendidikan modern sangat dipengaruhi situasi-situasi kebebasan ilmiah serta pemikiran-pemikiran (way of thinking) akan menghasilkan: berpikir kritis (critical thinking), kreativitas (creativity), membuat keputusan (decision making), motivasi (motivtaion), learning to learn, meta cognition. Critical thinking (berpikir kritis) pikiran yang berkaitan secara dengan otak, merupakan proses aktif yang memungkinkan dunia objektif reffleksikan dalam konsep, putusan teori mencakup abstraksi, analisis, sintesis, perumusan tugas-tugas tertentu dan penemuan pemecahan-pemecahannya, peningkatan hipotesis, ide dan sebagainya. Proses pikiran secara tetap menghasilkan suatu ide. Pikiran berkaitan dengan kegiatan seperti kerja dan ucapan. Fakta bahwa pikiran memungkinkan refleksi umum atas realitas terungkap dalam kemampuan manusia membentuk konsep-konsep umum. Pembentukan konsep-konsep ilmiah berkaitan dengan perumusan hukum-hukum yang saling berkaitan. Fakta bahwa pikiran memungkinkan refleksi tak langsung atas realitas terjelma dalam kemampuan manusia mencapai inferensi, konklusi dan buktibukti logis. Kemampuan ini meningkatkan jangkauan pengenalan, memungkinkan manusia bertolak dari suatu analisis faktafakta yang bisa diamati secara langsung kepada pengenalan tentang apa yang tidak dapat diamati melalui indera. Berpikir kritis adalah merupakan memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran merupakan bentuk berpikir kritis yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasimempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju, berpikir kritis suatu langkah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. sistematika berpikir yang ternyata berproses. Berpikir kritis harus 286 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret melalui beberapa tahapan untuk sampai kepada sebuah kesimpulan atau penilaian. Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir kritis yang dilontarkan pula oleh Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sistesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan Creativity, kemampuan kreatifitas merupakan kemampuan untuk menampilkan tata hubungan unik atau tata hubungan baru non konvensional yang bermakna antara sejumlah sesuatu, merupakan berpikir konvergen serta berpikir horisontal divergen. Tata pikir berpikir konvergen adalah logis hirarkhis, sedang tata pikir divergen adalah kemampuan tata pikir kreatif. Kemampuan kreatif manusia dikembangkan secara horisontal untuk makna menemukan prinsip-prinsip untuk sukses. Tata pikir kreatif kritis merupakan penggabungan antara berpikir konvergen dan berpikir divergen atau menghubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak berhubungan. Hal ini memerlukan pengumpulan fakta dalam pikiran, jika fakta itu digabungkan maka terlihatlah hubungan menyeluruh yang baru dan dapatlah ditemukan sesuatu. Kreatifitas manusia ada 6 (lima) macam yaitu: kreavitas rasional (pemanfaatan hasil eksprimen fisika dan biologi), kreativita rekayasa (penerapan prinsip-prinsip fisika dan biologi membuat instrumentasi eksprimen), kreativitas aestetis (dikembangkan dari alur-alur naturalistik, ekspresionistik), kreativitas moral (relativisme dalam makna keragaman kriteria baik-buruk), kreativitas sosial (perilaku yang dibangun dari inteligensia sosial); dan analitis kreatif: berpikir analitis memberi pemecahan dan menghasilkan sejumlah besar ide, yang kemudian dianalis ke pemecahan masalah dihubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak selanjutnya, berpikir kreatif menghubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak berhubungan. Di masyarakat barat, kreativitas ditampilkan dalam arti pengambilan prakarsa, karena dipergunakan untuk memberikan sugesti, bahwa krisis ekonomi saat ini disebabkan oleh kurangnya prakarsa dan keberanian, juga dissabkan sikap pasif. Kreativitas memupuk sikap kemandirian dan percaya diri, secara keseluruhan merupakan keterampilan artistik, estetik, tangan dan fisik. Decision making, kemampuan membuat keputusan sama halnya dengan memberi penilaian dan pengukuran, menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk merupakan penilaian kualitatif, sedang pengukuran membandingkan sesuatu dengan satu ukuran bersifat kuantitatif. Tujuan dan fungsi penilaian adalah: (1) melakukan seleksi; (2) diagnostik, (3) pengelompokkan, dan (4) mengukur keberhasilan Motivation, (motivasi) adalah hasil proses-proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menimbulkan sikap entusias dan persistensi untuk mengikuti arah tindakan-tindakan tertentu. Motivasi merupakan proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya pengarahan, dan persistensi kegiatankegiatan sukarela yang ditujukan ke arah pencapaian tujuan. Motivasi memiliki sifat yang mendasar yakni: (1) fenomin individual (individu bersifat unik dan fakta); (2) intensional (tindakan sadar untuk memilih); (3) ingin memiliki faset (penyebab timbulnya persistensi); dan (4) perilaku dan kinerja (motivasi efektif kinerja tinggi). Tetapi dari manakah datangnya motivasi itu?, yakni motivasi berasal dari kejadian-kejadian dalam 287 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret lingkungan sekitar yang dapat menimbulkan dorongan untuk untuk menciptakan dorongan tersebut. Para dosen yang berhasil dalam hal memotivasi para mahasiswa dengan menyediakan lingkungan belajar dimana tujuan-tujuan tepat (intensif) tersedia untuk pemenuhan kebutuhan ketercapaian dalam pembelajaran. Learning to learn, belajar yaitu proses berpikir atau pengalaman sensori, sebagai faktor penting dalam belajar yang dilakukan orang, variabel-variabel khusus yang berpengaruh pada belajar. Variabel yang dikenali ialah: (1) asosiasi sistem respons dengan stimulus melalui pasangan stimulus; (2) pautan stimulus dan respons melalui subsitusi‘ dan reorganisasi perseptual unsur-unsur masalah yang berpengaruh pada pemecahannya, membelajarkan berkaitan dengan mengajar merupakan suatu kiat yang dapat dipelajari oleh guru dalam menyampaikan pelajaran kepada anak didik. Seorang pendidik sebagai seorang berpengetahuan yang terampil dalam memecahkan masalah artinya dapat berinteraksi dengan lingkungannya dalam menguji hipotesa dan menarik generalisasi. Mengajar mencakup emosi yang tidak dapat diterapkan secara sistematis serta nilai-nilai manusiawi yang berada di luar ilmu pengetahuan dan mengajar adalah seni. Oleh karena itu pendidikan harus meningkatkan perkembangan intelektual (cognitif) anak didik, sehingga siswa dididik dalam penyelidikan (inquiry) dan penemuan (discovery). Maka dari itu mata ajaran yang disampaikan harus dinyatakan menurut cara bagaimana anak melihat dunianya sesuai perkembangan kognitifnya yakni: enaktif (represenatasi pengetahuan dalam melakukan tindakan); (2) ikonik (perangkuman bayangan secara visual); dan (3) representasi simbolik ( gunakan katakata dan lambang-lambang untuk melukiskan pengalaman). Perspektif pembelajaran yang berhasil atau sukses dikemukakan oleh Heinich dan kawankawan (2005). Mereka mengemukakan bahwa untuk mencapai sebuah pembelajaran sukses ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: (1) peran aktif siswa; (2) pemberian latihan; (3) perhatian terhadap adanya perbedan individual; (4) pemberian umpan balik; dan (5) penerapan pengetahuan dan keterampilan dalam situasi yang nyata yakni: (1) Peran aktif siswa dimana proses belajar akan berlangsung efektif jika siswa terlibat secara aktif dalam tugas-tugas yang bermakna, dan berinteraksi dengan materi pelajaran yang intensif. Keterlibatan mental siswa dalam melakukan proses belajar diyakini akan memperbesar kemungkinan terjadinya proses belajar dalam dirinya; (2) Latihan yang dilakukan dalam berbagai konteks akan dapat memperbaiki tingkat daya ingat atau retensi (daya ingat) mahasiswa. Selain itu, latihan juga akan memberi kemungkinan bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari. Tugastugas belajar berupa pemberian latihan akan dapat membantu dalam meningkatkan penguasaan siswa terhadap pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari; (3) Perbedaan Individual karena setiap individu memiliki karakteristik yang bersifat unik yang dapat membedakannya dari individu yang lainnya. Setiap individu juga memiliki potensi yang perlu dikembangkan secara optimal. Tugas guru/dosen atau instruktur dalam hal ini adalah mengembangkan potensi yang dimiliki oleh individu seoptimal mungkin melalui proses pembelajaran yang berkualitas; (4) Umpan balik sangat diperlukan oleh mahasiswa untuk mengetahui kemampuan dirinya dalam mempelajari isi atau materi pelajaran. Umpan balik pada umumnya dapat dapat diberikan dalam bentuk pengetahuan tentang hasil belajar (learning utcomes) yang telah dicapai siswa setelah menempuh 288 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret program dan aktivitas pembelajaran. Informasi dan pengetahuan tentang hasil belajar pada hakikatnya akan memacu seseorang untuk berprestasi lebih baik lagi; (5) Konteks nyata siswa perlu mempelajari materi pelajaran yang berisi pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam sebuah situasi yang nyata. Mahasiswa yang mengetahui kegunaan dari pengetahuan dan keterampilan yang tengah dipelajarinya akan memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, aktivitas pembelajaran perlu dirancang agar mahasiswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari dalam ―setting‖ yang realistic, dan (6) Interaksi sosial sangat diperlukan oleh mahasiswa agar dapat memperoleh dukungan sosial dalam belajar. Interaksi yang berkesinambungan dengan sejawat atau sesama siswa akan memberi kemungkinan bagi siswa untuk melakukan konfirmasi terhadap pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari. Meta kognitif, dimulai dari meta artinya merupakan ciri-ciri (hakikat), kualitas atau kondisi, serta mengandung arti mengatasi masalah (hakikat epistemologis dan logis. Kognisi (cognition) mengacu baik kepada perbuatan atau proses mengetahui maupun pengetahuan sendiri. Dalam beberapa pengertian kognisi dalah intelektual, hal mengenal, mengetahui. Mencapai pengetahuan tentang sesuatu; proses mental yang menjadikan kita sadar akan benda-benda. Proses kegiatan kognitif manusia yang dirancang untuk membentuk pengetahuannya, proses pembentukan pengetahuan ini pada gilirannya merupakan sasaran dan motif tindakan manusia. Kognisi melibatkan persepsi, ingatan intuisi dan putusan. Konsep kognisi dapat didefinisikan sebagai gambaran ketepatan kesetaraan arti dari: (1) kesadaran adalah berperan pada kognisi merupakan suatu keputusan yang kita bangun untuk informasi yang kita dapatkan; (2) inteligensi adalah bagaimana kemampuan berpikir sesorang secara bijaksana mampu memproses informasi; (3) intuisi adalah wawasan mendadak menghasilkan jawaban untuk suatu masalah serta kejelasan informasi; (4) mengenal artinya untuk mengetahui lagi ketika mengenal sesuatu yang telah dikelompokkan pada pengalaman sebelumnya, dengan jalan tinjauan kembali dan perbaikan, sehingga kita secara aktif mengingat kejadian terdahulu; (5) ketrampilan kemampuan berpikir untuk pemecahan masalah, dengan mengamati kemudian membentuk pengetahuan praktis; (6) mengerti adalah kemampuan untuk membuat keputusan, alasan tentang apa yang kita tahu. Menurut Guilford seorang ahli psikologi Amerika manusia memiliki kemampuan tiga demensi, demensi kedua adalah terdiri 5 sub kategori yakni: (1) kognisi yaitu pendalam informasi; (2) memori yaitu retensi, pengutaraan kembali dan reproduksi informasi; (3) pikiran konvergen yaitu proses menghasilkan jawaban yang tepat dan benar dari informasi yang telah diketahui; (4) pikiran divergen yaitu proses pikiran dengan arah yang berbeda-beda dan berakaneka ragam dari informasi yang telah diketahui; dan (5) evaluasi yaitu proses pengambilan keputusan atas informasi yang diterima. Para kritisi masih kurang memahami bahwa sifat abstrak penyajian bahan materi yang disajikan merupakan esensi pendidikan dan kehidupan intelektual, bahwa kebiasaan orang untuk berpikir menurut sistematika dan abstrak dapat menolong menyatukan banyak variabel dan mengambil kesimpulan-kesimpulan tanpa perlu mengalami sendiri. Pengalaman orang lain atau pengalaman abstrak haruslah cukup untuk seseorang yang dididik dalam berpikir secara intelektuil untuk mampu mengambil kesimpulan dari materi yang dibahas. 289 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Latihan-latihan berpikir abstrak intelektual juga latihan-latihan pengalaman nyata di lapangan atau dalam laboratorium inilah bagi mahasiswa,, sehingga mampu mengkombinasikan teori dengan praktek setelah ia menerima ilmu pengetahuan dalam rangkaian mata kuliah-mata kuliah, ia sendiri akan mampu secara abstrak dan nyata melalui analisa serta mengkontruksi pengetahuannya dalam intelektual (kognitif). Tugas universitas disini adalah meneruskan pengetahuan teknis-praktis dan menanamkan nilai-nilai sosial yang lama dan baru sebagai pembentukan karakter kepada generasi baru dengan juga kecukupan laboratorium pada setiap mata kuliah sebagai wadah latihan langsung sehingga dapat mengkontruksi pengetahuan berdasarkan pengalamannya, dengan harapan untuk berhasil dalam mendidik dan membentuk manusia-manusia intelektual oleh C Wright Mills mengartikan: ―person who have recieved a sound education and with the aid of mental abilities aquired hear, practise their profesion with a full knowledge not only of its requirements, possibilities and consequences of ( analisis intelectual), that he would jugde the political and moral standards by which socienty is guided according to their steadfasness” Peserta didik (mahasiswa) telah memiliki kemampuan dan kesediaan untuk meningkatkan kegiatan intelektualnya menjadi kesadaran dan penghayatan bagi dirinya serta secara jujur menyesuaikan dengan sistem nilai masyarakat. Dengan demikian setiap peserta didik universitas akan menggunakan nilai-nilai yang diperolehnya berdasarkan hasil pendidikan maupun kemampuan intelektual pribadi dan akan mencari patokan-patokan dan mengembangkan cara pemecahan masalahnya sendiri-sendiri, seperti sesuai dengan keseluruhan dinamika dalam masyarakat. Kombinasi berpikir abstrak dengan kebudayaan dan nilai-nilai hasil pendidikan akan diterima dalam masyarakat. Di negara berkembang universitas menjadi motivasi untuk sarana tempat belajar, pengembangan pengetahuan dan pengembangan teknologi, karena universitas milik nasional yang juga menggunakan pengetahuan dari universitas luar negeri, dengan sendirinya melalui pertambahan dan pengembangan pengetahuan ilmiah mahasiswa mampu mengkombinasikan pengetahuan ilmiah dengan nilai dan moralitas negaranya sendiri, sehingga tidak bertentangan dengan nilai lokal dan nasional, tidak terjadi konformitas dengan nilai tradisi setempat akan menghambat kemajuan dan kurang memberi penilaian terhadap orang terelajar sebagai cukup intelek dan maju. Semua ini karena perkembangan dan pengajaran keterampilan, pendidikan profesi, pendidikan dalam bidang sosial dan ekonomi serta kecakapan pengelolaan organisasi universitas. Apabila universitasuniversitas tidak mampu memenuhi tuntutan ini, maka seluruh bangsa dan negara akan menderita karenanya, sehubungan dengan ini ketahanan nasional negara akan berkurang. Menurut tututan mahasiswa, universitas harus mengajar dalam waktu tersingkat, suatu profesi yang menyelesaikan studi, akan memberi kepadanya suatu kesempatan kerja, hasil materi dan keuangan serta status sosial yang mereka kejar. Disini dosen harus mampu memecahkan semua masalah mereka, disamping memberikan gelar akademik juga mempunyai tugas memberi pekerjaan kepadanya; guru/dosen ber tanggungjawab dan selalu siap untuk membimbing, menolong (bekas) anak didiknya dalam segala bidang. Dengan demikian terbentuklah nilai tentang peranan universitas dan pembinaannya dalam segala bidang dalam era modernisasi mahasiswa telah memiliki kemampuan: (1) mandiri; (2) 290 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan bangsa dan negara, yang menyadarkan adanya perubahan: (1) fisik; (2) emosi, dan (3) mental sehingga mampu dalam penyesuaian diri dan pengatasi masalah- masalah sosial dari modernisasi menjadi adaptif dinamik yaitu manusia produktif kreatif, sehingga meningkatnya di bidang sosial dan ekonomi mengurangi kemiskinan masyarakat pada umumnya,. DAFTAR PUSTAKA Benny A. Pribadi, Model ASSURE untuk Mendesain Pembelajaran Succes. Jakarta: Dian Rakyat. 2011. Dasim Budimansyah. Model Pembelajaran Berbasis Portofolio Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Genesindo. 2003 Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2007. EM K. Kaswadi. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT Gramedia Widisarana Indonesia. 2000. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin. 2001. Ivor K. Davies. Pengelolaan Belajar. Jakarta: CV Rajawali. 1991. J.W.M. Bakker SJ. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia. 1992. Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: FBS. UNJ. 1996. M. Soeparno, Rekayasa Pembangunan Watak dan Moral Bangsa. Jakarta: PT Purel Mondial. 1992. Made Wena. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Myron Weiner. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1981. Phil. Astrid S. Susanto. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial . Bandung: Putra A Bardin. 1999. Sofian Effendi. Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. 1993. Toeti Sukamto. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Pusat antara Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Akvitas Instruksional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. 291 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 292 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI PENINGKATAN MUTU DAN DAYA SAING BANGSA DALAM KAJIAN EKONOMI PENDIDIKAN Bambang Ismanto Dosen Pendidikan Ekonomi FKIP UKSW Salatiga HP : 08156525255 Email : [email protected] ABSTRAK Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui kontribusi pendidikan dalam peningkatan mutu dan daya saing bangsa Indonesia. Berbagai program pendidikan akan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengembangan nilai-nilai kepribadian, sosial dan kebangsaan bagi peserta didik. Pendidikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya kompetensi seseorang dan masyarakat akan meningkatkan produksi dan secara agregat akan meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto. Investasi pendidikan menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan memerlukan alokasi anggaran. Kajian ini dilakukan dengan metode dokumentasi tentang kotribusi pendidikan dalam peningkatan kompetensi dan daya saing SDM. Dalam kajian ini ditemukan bahwa program wajib belajar 12 tahun dapat meningkatkan Gross Dometic Product dan Competitiveness Global Index. Fungsi regresi Wajib belajar terhadap PDRB adalah Y = - 26025,17+4251,5X dengan R2 sekitar = 0,87 dan terhadap CGI adalah Y = 2,27 + 0,22 X dengan R2 = 0,93. Kajian ini menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Pemerintah. Pendidikan memiliki kontribusi dalam peningkatkan kompetensi (mutu) dan daya saing SDM. Peningkatan jenjang pendidikan akan meningkatkan PDRB dan daya saing global bangsa Indonesia. Kata kunci : Pendidikan, Investasi, mutu, daya saing, SDM A. PENDAHULUAN Pendidikan menjadi penting dan strategis dalam peningkatan mutu SDM suatu bangsa. Sebagai bentuk investasi modal manusia (human investment), pendidikan akan meningkatkan kompetensi seperti pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan nilai-nilai kemartabatan. Kompetensi ini akan meningkatkan partisipasi angkatan kerja dan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena semakin bertambahnya jumlah penduduk yang berpendidikan akan meningkatkan kemampuan angkatan kerja dalam memasuki (berpartisipasi) berbagai lapangan pekerjaan. Meningkatnya pengetahuan, ketrampilan dan keahlian melalui berbagai program pendidikan yang dikembangkannya juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam bidang / karier / profesi yang ditekuninya. Pendidikan bermutu merupakan suatu investasi yang mahal. Pendidikan membutuhkan biaya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan anggaran SDM, biaya operasional, kebutuhan sarana dan prasarana serta program pengembangan (Ismanto:2011:1). Sebagai investasi jangka panjang, pendidikan memberi kontribusi 293 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret secara pribadi, sosial dan negara dalam peningkatan mutu dan daya SDM. Pembangunan pendidikan dipandang srategis dan penting (urgent) seperti bidang ekonomi dan kesehatan. Oleh karena pendidikan menjadi salah satu indicator dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) termasuk pelayanan kesehatan dan pendapatan per kapita. Kinerja pembangunan pendidikan mengukur prestasi relatif dalam hal melek huruf orang dewasa maupun gabungan angka partisipasi sekolah di tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Meningkatkan kualitas penduduk Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, peningkatan kehidupan sosial politik serta kesejahteraan masyarakat. Laporan Human Development Report 2013 dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di posisi 121 dari 187 negara di dunia (mitrainvestor.com). Sesuai dengan rangking tersebut Indonesia dinilai masih berada di kalangan ekonomi lemah. Namun demikian sepanjang tahun 1980 hingga 2012 IPM Indonesia naik sebesar 49 persen dari 0,422 menjadi 0,629. Harapan hidup penduduk Indonesia telah meningkat sebesar 12,2 tahun dari presentase sebelumnya yaitu 57,6 persen menjadi 69,8 persen. Pada rentang tahun yang sama juga harapan lama sekolah meningkat 4,6 tahun dari 8,3 tahun di tahun 1980 menjadi 12,9 pada tahun 2012. Dilihat dari segi ekonomi, pendapatan per kapita masyarakat juga meningkat sebesar 225 persen. Meskipun saat ini Indonesia tergolong dalam rangkin rendah namun UNDP memproyeksi bahwa Indonesia, China dan Thailand akan menjadi Negara terdepan dalam percepatan pembangunan di Asia-Pasifik. Peringkat IPM dari negaranegara di kawasan Asia Tenggara adalah Singapura (18), Brunei Darussalam (30), Malaysia (64), Thailand (103), Filipina (114), Indonesia (121), Vietnam (127), Laos (138), Kamboja (138) dan Myanmar (149).Pemerintah akan menggulirkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau Wajib Belajar 12 tahun pada 2013. PMU bertujuan untuk menjaga kesinambungan dan konsekuensi logis keberhasilan Wajib Belajar 9 tahun yang telah mencapai 98%. Program ini masih disebut rintisan karena hingga saat ini, program wajib belajar 12 tahun belum diamanahkan dalam undang-undang, tidak seperti pendidikan dasar 9 tahun. Kemendikbud akan mewajibkan setiap daerah untuk membuat standar biaya pendidikan jenjang Pendidikan Menengah Universal (Rusdi : 2012:2). B. PEMBAHASAN 1. Pendidikan Sebagai Human Investment Dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi Investasi di dalam konsep umum diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah barang ataupun jasa di kemudian hari dengan mengorbankan nilai konsumsi sekarang (Cohn, 1979). Investasi SDM dalam pendidikan memiliki prinsip yang tidak berbeda dengan konsep investasi di atas yang juga bisa dianggap sebagai suatu entitas yang nilainya bisa berkembang di kemudian hari melalui suatu proses pengembangan nilai-nilai, seperti peningkatan perilaku, wawasan, keahlian, dan keterampilan. Pengembangan SDM tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan latihan pada berbagai jenjang dan jalur. SDM ini bernilai, jika kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan hidup dan sektor pembangunan yang memberikan keuntungan, baik kepada individu maupun kepada masyarakat. 294 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dalam teori Harord-Domar, investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka mengatakan bahwa ―tabungan dan investasi merupakan kekuatan sentral dibalik pertumbuhan ekonomi‖ (saving and investment is central forces behind economic growth). Menurut Sitepu (Model pertumbuhan baru pada dasarnya merupakan pengembangan dari model Solow sebelumnya, yang mengungkapkan bahwa peranan kapital, termasuk modal manusia (human capital) atau investasi dalam sumberdaya manusia (human capital investment) lebih besar daripada apa yang diukur oleh pertumbuhan Solow. Ide dasar dari model pertumbuhan baru tersebut adalah bahwa investasi kapital, baik itu dalam mesin maupun dalam manusia, menciptakan eksternalitas yang positif (positive externalities). Artinya investasi tidak hanya meningkatkan kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja, tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam model pertumbuhan baru ini inovasi teknologi (technological innovation) dan pembentukan modal manusia (human capital formation) dilihat sebagai sumber utama dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan produktivitas itu sendiri pada gilirannya merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth). Johns (1983:37) mengemukakan the benefits of education may be broadly defined as including anything which (a) increase production through enhancement of the capacity of the labor force; (b) increase efficiency by reducing cost, thus reserving or releasing resources for other productive pursuits; and (c) increase the social consciousness of the community s that the standard of living is enhanced. Dikatakan bahwa manfaat pendidikan bisa secara luas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang (a) meningkatkan produksi melalui kapasitas tenaga kerja; (b) meningkatkan efisiensi dengan mengurangi biaya, sehingga menghemat atau menyediakan sumberdaya untuk kepentingan produktif lainnya; dan (c) meningkatkan kesadaran sosial masyarakat sehingga standar hidup bisa meningkat. Dengan mengkaji pandangan Schultz (1963) tentang konsepsi ekonomi pendidikan, Cohn, (1979:32-37) mengkategorikan manfaat pendidikan terdiri dari 1) manfaat ekonomi dari penelitian pendidikan, 2) pengembangan dan penemuan bakat potensial, 3) peningkatan ―kapabilitas orang-orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan dalam kesempatan pekerjaan, 4) dan pengaturan sumber daya manusia untuk kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Outcomes pendidikan dapat digolongkan menjadi dua: yaitu outcome yang bersifat konsumtif dan outcome yang bersifat investatif (Schulz (1963), dan Cohn (1979:168-169). Aspek konsumtif berhubungan dengan kesenangan dan manfaat-manfaat yang diterima oleh siswa, keluarganya, dan masyarakat keseluruhan. Siswa bisa saja mengalami konsumtif yang kurang baik, namun kegiatan-kegiatan seperti musik, olah raga, seni dan kerajinan bisa membantu kesenangan siswa di sekolah. Keluarga merasa diringankan tugasnya ketika anaknya berada di sekolah, manfaat yang besar pun dirasakan oleh guru dan orang lain. Komponen investatif mencakup berbagai output yang berkaitan dengan tujuan untuk mempertinggi keahlian individu dan masyarakat di masa depan. Dalam jangka pendek, masyarakat lebih menghitung biaya dan kesibukan dalam menyiapkan program-program pendidikan yang harus dilaksanakan. Karakteristik investatif dari output pendidikan tidak dapat dipetik di masa sekarang namun dalam jangka menengah dan jangka panjang. 295 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Penelitian Garcia Soelistianingsih (l998) dan Wibisiono (2001) menyatakan bahwa human capital yang dilihat dari aspek pendidikan dan kesehatan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Pfeffer dalam Jeffrey Mello melihat bahwa keunggulan bersaing sebagai wujud kontribusi pengelolaan SDM secara efektif. Sejalan dengan temuan ini, Fitz-Enz (2009) menjelaskan bahwa human capital merupakan kombinasi dari tiga faktor, yaitu: 1) karakter atau sifat yang dibawa ke pekerjaan, misalnya intelegensi, energi,sikap positif, keandalan, dan komitmen, 2) kemampuan seseorang untuk belajar, yaitu kecerdasan,imajinasi, kreatifitas dan bakat dan 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan, yaitu semangat tim dan orientasi tujuan. Garavan. Et al (2001) sebagaimana dikemukakan oleh M. Marimuthu dkk bahwa modal manusia memiliki empat atribut kunci yaitu: (1) fleksibilitas dan adaptabilitas (2) peningkatan kompetensi individu (3) pengembangan kompetensi organisasi dan (4) individu yang dipekerjakan (Sumual : 2012:3). 2. Pendidikan yang Berkelnajutan akan Menjamin Mutu dan Daya Saing SDM Wajib belajar 9 tahun pendidikan dasar merupakan merupakan langkah awal Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kecerdasan bangsa. Menurut UU Nomor 20 tahun 2003, Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam Pendidikan Dasar ditandai semakin meningkatnya Angka Partisipasi Kasar dan Murni (APK/M) tingkat SD/MI, dan SMP/MTs serta paket belajar yang relevan. Seperti yang tampak pada tabel berikut APK SD/MI dan Paket A selama 5 tahun di atas 100 % dan APK SMP/MTs dan paket C sekitar 89,57. Capaian target wajar 9 tahun ini perlu ditindaklanjuti program pendidikan jenjang menengah SMA/MA/SMK/MAK. APK SMA/MA dan paket C masih relative rendah sekitar 64,60 %. Keberhasilan wajar 9 tahun perlu dipertimbangkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menempatkan pendidikan menengah sebagai wajib belajar 12 tahun. 296 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Tabel 1. Partisipasi Pendidikan Indonesia Tahun 2007 - 2011 Partisipasi Pendidikan APK SD/MI APK SMP/MTs APK SM/MA APK PT 2007 2008 2009 2010 110.35 109.41 110.35 111.63 82.03 81.38 81.09 80.35 56.71 57.42 62.37 62.53 13.31 14.42 14.59 16.35 APM SD/MI 93.75 66.64 44.56 9.64 94.72 67.62 45.48 11.01 90.95 67.98 47.81 11.99 112.19 111.12 110.42 111.68 86.37 86.86 81.25 80.59 59.46 59.06 62.55 62.85 102.58 89.57 64.66 APM SMP/MTs APM SM/MA APM PT APK SD/MI/Paket A APK SMP/MTs/Paket B APK SM/MA/Paket C APM SD/MI/Paket A APM SMP/MTs/Paket B APM SM/MA/Paket C 93.99 66.98 44.75 10.07 93.78 66.9 44.84 93.99 67.39 44.97 94.37 67.4 45.06 10.3 2011 102.44 89.09 63.86 17.28 94.37 67.43 45.11 94.76 67.73 45.59 91.03 68.12 47.97 Sumber : BPS.go.id (diolah) Wajib belajar 12 tahun yang dalam rintisan Pendidikan Menengah Universal (PMU) pada SMA/MA/SMK menjadi strategis dalam peningkatan mutu dan daya saing SDM bangsa Indonesia. Berdasarkan pengalaman implementasi program Wajar 6 tahun ternyata dapat meningkatkan akses pendidikan bagi penduduk usia sekolah dan menjangkau (pemerataan) pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Pentingnya Wajib Belajar 12 Tahun Wajib Belajar vs IPM Total 1 0.7 0.9 0.8 0.6 0.5 Indonesia (dibawah rata-rata) 0.4 0.3 Indeks HDI Total Indeks HDI Pendidikan Wajib Belajar vs IPM Pendidikan 0.8 0.2 0.1 0 0.7 Indonesia (dibawah ratarata) 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 Y = 0,43 + 0,019 x 0.1 R² = 0,95 0 Y = 0,23 + 0,052 x R² = 0,99 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314 Wajib belajar (tahun) Wajib belajar (tahun) 1. Wajib belajar adalah data terkini yang diambil dari nation master http://www.nationmaster.com/graph/edu_dur_of_com_edu-education-duration-of-compulsory 5/6/2013 2. Nilai indeks Pendidikan diambil dari Human Development Report 2011 Gambar 1. Grafik Korelasi Wajib Belajar 12 Tahun 297 36 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Seperti yang tampak pada gambar di atas wajib belajar 12 tahun akan mempengaruhi secara positif Indeks Pembangunan Pendidikan. Dengan persamaan regresi Y = 0,23 + 0,052 X dapat diprediksikan bahwa meningkatnya akses pendidikan 12 tahun pada jenjang SMA/MA/SMK akan mampu meningkatkan IPM bidang pendidikan 0,052. Dengan R2 sekitar 0,99 % bermakna bahwa variabel wajib belajar dapat mempengaruhi IPM bidang pendidikan. Pada gambar berikut juga dijelaskan bahwa meningkatnya akses pendidikan menengah akan dapat meningkatkan IPM secara total. Meskipun relative lebih rendah dibandingkan koefisien IPM pendidikan, dengan persamaaan Y (IPM Total) = 0,43 + 0,019 X bermakna bahwa meningkatnya akses pendidikan SMA/MA/SMK dapat meningkatkan IPM total sekitar 0,019. Sosok sumberdaya manusia yang dibutuhkan memiliki (1) kemandirian berpikir kritis, sintetik, dan praktikal; (2) kepedulian, empathi, dan tanggung jawab yang tinggi; (3) kemampuan emulasi daripada emitasi; (4) kemampuan learning, unlearning, relearning dan networking; (5) kepribadian dan kerja tim yang baik; (6) kemampuan berpikir global dalam memecahkan masalah lokal; (7) sifat terbuka terhadap dilektika perubahan, dan (8) budaya kerja yang tinggi (Mukhadis : 2012). Karakteristik sosok manusia ini berpotensi mampu mengembangkan kemampuan emulatif (mengembangkan, dan memanfaatkan keunggulan teknologi berdasar-kan sinergi empat dimensi utama teknologi), yaitu human-ware, info-ware, organo-ware, dan techno-ware untuk menghasilkan produk teknologi yang ‖high quality, low-cost, low-risk, high competitive‖ di era global. Daya saing Indonesia yang rendah terlihat dari kualitas SDM tenaga kerja (naker) yang rendah. Dari 110.808.154 tenaga kerja sebesar 68,27% diantaranya atau 74.873.270 orang berpendidikan di bawah SD dan SMP (http://www.igi.or.id/3). Padahal, SDM yang berkualitas merupakan amunisi yang dapat meningkatkan daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan global di masa depan, khususnya dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka sosok ideal generasi Indonesia 2045 adalah generasi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki karakter yang baik, kuat dan unggul, serta mampu berkompetisi dalam kehidupan masyarakat global yang semakin bebas dan terbuka ( Dardiri : 2012:4). Di samping itu, generasi Indonesia 2045 juga harus memiliki sikap optimistis, percaya diri, dan mampu menjalin kerjasama dengan bangsabangsa lain, serta memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Untuk menghasilkan sosok ideal generasi Indonesia tersebut diperlukan pendidikan yang kompetitif dan inovatif dan didukung dengan sistem pendidikan yang memiliki visi strategis. Implementasi Pasar Tunggal ASEAN 2015 tampaknya akan menjadi kendala bagi Bangsa Indoensia. Oleh kaeran kesiapan daya saing Indonesia dalam menghadapi kondisi tersebut masih sangat mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari posisi daya saing Indonesia yang rata-rata masih di bawah negara-negara pesaing di kawasan ASEAN. Peringkat daya saing global yang dilakukan dalam World Economic Forum (WEF) pada 2012, ternyata Indonesia berada diperingkat ke-50 dari 144 negara atau hanya menempati posisi ke-5 di kawasan ASEAN di bawah Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (ke25), Brunei Darussalam (ke-28), dan Thailand (ke-38). Sementara itu produktivitas tenaga kerja Indonesia 298 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menempati posisi ke-15. dari 23 negara di Asia (http://www.shnews.co/). Berbagai konvensi yang telah disepakati Pemerintah Indonesia seperti Education for All, Perdagangan Bebas, Go green dan berbagai hal lainnya perlu ditindaklanjuti dengan program pendidikan yang akuntabel. Visi program pendidikan yang semakin global perlu didukung dengan program, SDM, Teknologi Informasi, sarana prasarana serta pembiayaan yang dapat meningkatkan akses, pemerataan dan mutu para peserta program pendidikan. Output pendidikan akan menjadi outcome dan memiliki dampak (effect) apabila mampu meningkatkan kesejahteraan pribadi, masyarakat dan bangsa Indonesia. Terkait dengan rendahnya daya saing tenaga kerja ini, Suharyadi menuturkan masih tingginya angka pengangguran tenaga kerja terdidik serta terbatasnya pendanaan publik pemerintah terhadap sektor pendidikan menjadi tantangan yang harus dihadapi dan segera dibenahi agar Indonesia siap menghadapi persaingan pasar kerja di AEC mendatang. Dalam hal ini direkomendasikan tiga kebijakan dan strategi yang bisa diterapkan. Pertama, pemerintah harus memadukan arah pembangunan dunia pendidikan yang selaras dengan skema pembangunan industri nasional. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kading) Indonesia Bidang Pendidikan dan Kesehatan James T. Riady, mengusulkan untuk menghasilkan tenaga kerja yang produktif, maka memerlukan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan dan tingkat kesehatan masyarakat yang memadai (http://www.igi.or.id/3). Pendidikan tidak hanya menjadi tanggungjawab Pemerintah dan masyarakat dalam hal ini keluarga. Pihak pengguna lulusan pendidikan juga turut bertanggung jawab dalam memberikan informasi kebutuhan (criteria) keahlian dan jumlah yang dibutuhkan serta mendukung pembiayaan dan sarana prasarana pendidikan yang relevan dengan dinamika lingkungan kerja. C. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Relative rendahnya daya saing dan produktivitas tenaga kerja di Indonesia menjadi tantangan program pendidikan. Hal ini sebagai implikasi dari rendahnya akses dan mutu pendidikan di Indonesia. Keberhasilan wajib belajar 9 tahun perlu ditindaklanjuti program pendidikan menengah yang lebih bermutu dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Meningkatnya kompetensi yang didukung Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan peradaban SDM akan meningkatkan kesejahteraan secara pribadi, masyarakat dan bangsa Indonesia. Secara ekonomis, meningkatnya kompetensi ini akan member peluang kepada setiap angkatan kerja (labour force) dalam mengoptimalkan sumber daya guna menciptakan nilai tambah (produktivitas) baik sebagai pengusaha (wirausaha) dan atau berkarier di perusahaan/industry. Meningkatnya produktivitas akan meningkatkan penghasilan secara pribadi dan secara akumulatif akan meningkatkan Pendapatan nasional. Pentingnya mutu dan daya saing SDM membawa implikasi pendidikan untuk meningkatkan visi dan program yang relevan dengan kompetisi tenaga kerja dan berbagai peluang dalam mengoptimalkan sumber daya (resources). Relative rendahnya daya saing SDM bangsa Indonesia di pasaran tenaga kerja perlu ditindaklanjuti peningkatan wajib belajar 12 tahun pada jenjang SMA/MA/SMK. Pemerintah, Masyarakat (keluarga) dan Perusahaan/Industri harus saling mendukung dalam menyusun visi dan program serta pembiayaan program pendidikan. 299 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DAFTAR PUSTAKA Cohn, Elchanan., (1979). The Economics of Education. Revised Edition, Massachusetts: A Subsidiary of Harper & Row Publisher, Inc, Dardiri, Achmad, 2012, Menggagas Sosok Ideal Generasi Indonesia 2045 yang Berkarakter dan Kompetitif, Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 http://www.igi.or.id/3-view.php?subaction=showfull&id=1367276301&archive=&start_ from=&ucat= 1&, diunduh, 5 Mei 2013 http://www.mitrainvestor.com/blog/2013/03/18/human-development-index-indonesianomor-121-tingkat-dunia/, diunduh Minggu 5 Mei 2013 http://www.shnews.co/detile-16990-daya-saing-ri-mengkhawatirkan.html, diunduh, 5 Mei 2013 Ismanto, Bambang, 2011, Kebijakan Pendanaan Pendidikan, (Studi tentang Program, Implementasi, Dampak, Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pendanaan Pendidikan di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah), Disertasi (tidak dipublikasikan) Sekolah Pasca Sarjana, UPI, Bandung Johns, Roe L, Edgar l. Morphet dan Kern Alexander., (1983). The Economics & Financing of Education Fourth Edition, New Jersey: Prentice Hall, Inc, Mukhadis, Sosok Manusia Indonesia Unggul dan Berkarakter dalam Bidang Teknologi sebagai Tuntutan Hidup di Era Globalisasi, Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 Mulyono, 2010, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar-Ruzz, Media Group, Jogjakarta Nuh, M, 2012, Bahan Paparan Pendidikan Menengah Universal 12 Tahun, 6 Maret 2012 (tidak dipublikasikan), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rusdi, 2012,Pendidikan Menengah Universal (PMU),Disajikan Dalam Workshop Pendidikan Menengah Universal (PMU), DPRD Kota Semarang, Sitepu, Rasidin K, 2010, Dampak Investasi Sumber Daya Manusia Dan Bantuan Langsung Tunai Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Di Indonesia, Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 13, No. 2 Tahun 2010 Sumual, Tinneke E.M., 2012, Membangun Keunggulan Kompetitif Sumber Daya Manusia di Era Milenium Ketiga Indonesia Melalui Penciptaan Human Capital dan Sosial Capital, Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012 300 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret KURIKULUM 2013 DALAM PENDIDIKAN NASIONAL Nana Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Penulisan makalah kurikulum 2013 ini bertujuan untuk: 1) mengetahui penerapan kurikulum 2013 di Indonesia, 2) mengetahui standar kompetensi lulusan kurikulum 2013, dan 3) mengetahui struktur dari kurikulum 2013. Pembahasan dalam makalah ini yaitu dimulai dengan penerapan kurikulum 2013 di Indonesia. Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelas-kelas tersebut, maka pada tahun ajaran 2014/15 secara berjenjang dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnya di SD dapat dilaksanakan pada kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X. Standar kompetensi lulusan pada jenjang SD, SMP, dan SMA yaitu terdiri dari domain Sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Untuk sikap diharapkan siswa mempunyai sikap menerima + menanggapi + menghargai + mengkhayaati + mengamalkan. Untuk keterampilan yaitu siswa dapat mengamati + menanya + mencoba + mengolah + menyaji + menalar + mencipta. Sedangkan untuk pengetahuan diharapkan siswa daparmengetahui + memahami + menerapkan + menganalisis + mengevaluasi. Struktur kurikulum 2013 pada setiap jenjang sekolah berbeda-beda. SD mempunyai banyak dasar perancangan kurikulum 2013 diantaranya permasalahan yang ada misalnya capaian pembelajaran disusun berdasarkan materi pelajaran bukan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik, penyelesaiannya yaitu perlunya ditetapkan standar kompetensi kelulusan dan standar kompetensi kelas untuk menyatakan capaian pembelajaran. SMP mempunyai usulan perancangan kurikulum sama dengan SD yaitu akan disusun berdasarkan kompetensi yang dimiliki peserta didik dalam ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: a) TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri, b) Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya, Prakarya dan Budidaya,c) Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran. SMA mempunyai rancangan kurikulum diantaranya apakah masih perlu penjurusan di SMA mengingat sudah tidak ada negara yang menganut sistem penjurusan SMA, dapat melanjutkan ke semua jurusan di perguruan tinggi. Tanpa penjurusan akan menyebabkan mata pelajaran menjadi terlalu banyak seperti pada SMA Kelas X saat ini, sehingga diperlukan mata pelajaran pilihan dan mata pelajaran wajib. Kata Kunci:Kurikulum 2013, pendidikan nasional 301 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret A. PENDAHULUAN Dalam era teknologi informasi dan komunikasi, dan era reformasi khususnya di bidang pendidikan yang terus berkembang secara dinamis telah memberikan pengaruh luar biasa terhadap sistem tata nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi tantangan lain yang perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya. Pengaruh dan tantangan itu perlu disikapi secara bijak dan cerdas agar tidak menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang. Hal demikian mengisyaratkan mengenai penting dan perlunya membangun pendidikan yang bermutu dan bermakna untuk mewujudkan generasi bangsa Indonesia yang bermartabat, beradab, berbudaya, berkarakter, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab. Secara empirik dapat diketahui bahwa keberhasilan pembangunan pendidikan yang bermutu dipengaruhi oleh ketersediaan berbagai komponen pendukungnya. Salah satu di antaranya yaitu kurikulum yang dikembangkan dan digunakan pada tataran satuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta perkembangan berbagai tantangan dan tuntutan kompetensi yangdiperlukan dalam pembangunan peradaban manusia Indonesia yang dicitacitakan pada masa mendatang. Sejak tahun 2001, Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, sekarang bernomenklatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan seterusnya pada tahun 2006 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 2006 memuat sejumlah permasalahan diantaranya: (1) Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3) Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (4) Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (6) Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (7) Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. Oleh karena itu, kurikulum harus dirancang mampu membangun peserta didik untuk: (1) mengembangkan minat dan bakat peserta didik dalam menghadapi kehidupan, meningkatkan kesiapan peserta didik untuk 302 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bekerja; (3) mengembangkan kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya; serta (4) mengembangkan rasa tanggungjawab peserta didik terhadap lingkungan. Dilandasi oleh cita-cita luhur untuk menyiapkan dan membangun generasi muda Indonesia yang demikian itulah, Pemerintah melalui Kemdikbud, mengembangkan Kurikulum 2013 secara nasional. Pengembangan Kurikulum 2013 didesain untuk menyiapkan dan membangun generasi muda Indonesia masa depan yang tangguh dan madani. Generasi muda Indonesia yang beradab, bermartabat, berbudaya, berkarakter, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab dalam mengawal kehidupan bangsa dan negara. B. PEMBAHASAN 1. Penerapan Kurikulum 2013 Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelaskelas tersebut, maka pada tahunajaran 2014/15 secara berjenjang dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnyadi SD dapat dilaksanakan pada kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X. Ada enam mata pelajaran yang akan diberikan pada siswa kelas I-III SD, yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Mata pelajaran seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) rencananya akan dihapuskan, namun tidak akan dihapus begitu saja, tetapi akan diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. Sementara itu, untuk kelas 4 dan 6 SD sampai tulisan ini dibuat, masih belum disepakati. Sementara untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), kepastian mengenai mata pelajaran yang akan diberikan masih dibicarakan. Pembahasan perubahan kurikulum ditargetkan selesai akhir tahun ini. Rencananya, kurikulum baru ini akan mulai disosialisasikan dan diuji publik sebelum Februari 2013 dan mulai diberlakukan pada tahun ajaran 2013-2014. Nantinya kurikulum baru ini akan menitikberatkan pada mata pelajaran yang membentuk sikap untuk siswa SD, mengasah keterampilan untuk siswa SMP dan membangun pengetahuan untuk siswa SMA. Sejak wacana pengembangan kurikulum 2013 digulirkan, muncul tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan pakar dan praktisi pendidikan serta masyarakat lainnya. Wacana pro dan kontra menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan memiliki kepedulian dan begitu pentingnya pembangunan sistem pendidikan di negeri ini dalam menyiapkan generasi emas memasuki perkembangan global yang semakin kompetitif dan berorientasi pada keunggulan. Semakin banyak kritik dan saran terhadap kurikulum 2013 ini diharapkan lebih mematangkan kurikulum yang sedang dikembangkan. 303 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Kurikulum mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangantantangan di masa depan melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan keahlian untuk beradapati serta bisa bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan menegaskan peurbahan dan pengembangan kurikulum 2013 merupakan persoalan yang penting dan genting. Alasan perubahan kurikulum, kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Karena zaman berubah, maka kurikulum harus lebih berbasis pada penguatan penalaran, bukan lagi hafalan semata. Perubahan ini diputuskan dengan merujuk hasil survei internasional tentang kemampuan siswa Indonesia. Salah satunya adalah survei "Trends in International Math and Science" oleh Global Institute pada tahun 2007. Menurut survei ini, hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sebagai perbandingan, siswa Korea yang sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang hanya memerlukan hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang bisa mengerjakan soal semacam itu hanya 10 persen. Indikator lain datang dari Programme for International Student Assessment(PISA) yang di tahun 2009 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar paling buncit dari 65 negara peserta PISA. Kriteria penilaian mencakup kemampuan kognitif dan keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Dan hampir semua siswa Indonesia ternyata cuma menguasai pelajaran sampai level 3 saja. Sementara banyak siswa negara maju maupun berkembang lainnya, menguasai pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Kesimpulan dari dua survei itu adalah: prestasi siswa Indonesia terkebelakang. Periubahan kurikulum meliputi empat elemen yaitu : pertama; standar kompetensi kelulusan, kedua standar isi, ketiga, standar proses dan keempat, standar penilaian. Pengembangan kurikulum 2013 menitikberatkan pada penyederhanaan, pendekatan tematik-integratif dilatarbelakangi oleh masih terdapat beberapa permasalahan pada Kurikulum 2006 (KTSP) antara lain ; (1) konten kurikulum yang masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak; (2) belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (3) kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (4) belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada 304 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pembelajaran yang berpusat pada guru; (6) standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (7) dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir (Draft Kurikulum 2013). Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud akan mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara bertahap mulai tahun pembelajaran baru bulan Juli 2013. Kurikulum 2013 merupakan kelanjutan dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Pengembangan Kurikulum pada Kurikulum 2013 dilakukan seiring dengan tuntutan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan melaksanakan amanah Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang SIstem Pendidikan Nasional serta Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Mencermati draft bahan sosialisasi Kurikulum 2013, pengembangan kurikulum 2013 untuk meningkatkan capaian pendidikan dilakukan dengan dua strategi utama yaitu peningkatan efektivitas pembelajaran pada satuan pendidikan dan penambahan waktu pembelajaran di sekolah. Efektivitas pembelajaran dicapai melalui tiga tahapan yaitu efektivitas interaksi, efektivitas pemahaman, dan efektivitas penyerapan. (1) Efektivitas Interaksi akan terwujud dengan adanya harmonisasi iklim atau atmosfir akademik dan budaya sekolah . Iklim atau atmosfir akademik dan budaya sekolah sangat kental dipengaruhi oleh manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah beserta jajarannya. Efektivitas Interaksi dapat terjaga apabila kesinambungan manajemen dan kepemimpinan pada satuan pendidikan. Tantangan saat ini adalah sering dijumpai pergantian manajemen dan kepemimpinan sekolah secara cepat sebagai efek adanya otonomi pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh politik daerah. (2) Efektivitas pemahaman menjadi bagian penting dalam pencapaian efektivitas pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dapat tercapai apabila pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal siswa melalui observasi (menyimak, mengamati, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan dan mengomunikasikan. Oleh karena itu penilaian berdasarkan proses dan hasil pekerjaan serta kemampuan menilai sendiri. (3) Efektivitas penyerapan dapat tercipta ketika adanya kesinambungan pembelajaran secara horisontal dan vertikal. Kesinambungan pembelajaran secara horizontal bermakna adanya kesinambungan mata pelajaran dari kelas I sampai dengan kelas VI pada tingkat satuan pendidikan SD, kelas VII sampai dengan IX pada tingkat satuan pendidikan SMP dan kelas X sampai dengan kelas XII tingkat SMA/SMK. Selanjutnya kesinambungan pembelajaran vertikal bermakna adanya kesinambungan antara mata pelajaran pada tingkat saatuan pendidikan SD, SMP, sampai dengan satuan pendidikan SMA/SMK. Sinergitas dari ketiga efektivitas pembelajaran tersebut akan menghasilkan sebuah transfomasi nilai yang bersifat universal, nasional dengan 305 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tetap menghayati kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang berkarakter mulia. a. Penambahan Jam Pelajaran Salah satu ciri kurikulum 2013 yaitu adanya penambahan jam pelajaran. Penambahan jam pelajaran sebagai konsekuensi dari adanya perubahan proses pembelajaran yang semula dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu. Selain itu, akan merubah pula proses penilaian yang semula dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output. Penambahan jam pelajaran dalam kurikulum 2013, karena kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran seperti KIPP dan MELT di AS dan Korea Selatan. Jika dibandingan dengan negaranegara lain jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat. Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial. Pada saat ini dalam pengembangan kurikulum 2013 telah melewati tahap ketiga yaitu uji publik dan sosialisasi untuk memperoleh masukan dari berbagai stakeholders guna penyempurnaan draft kurikulum 2013. Uji publik draft kurikulum 2013 dari bulan November hingga Desember 2012 dan desain kurikulum 2013 sudah final. Pada bulan Januari-februari atau awal Maret ini tengah dilakukan penyusunan buku pelajaran dengan pendekatan tematik integratif kelas I sampai dengan kelas V Sekolah Dasar dan pendekatan berbasis mata pelajaran untuk SMP dan SMA/SMK. Selanjutnya dalam rangka persiapan penerapan kurikulum baru pada pertengahan Juli 2013 yang akan datang, pelatihan guru inti dan instruktur nasional akan segera dilakukan pada bulan Mei mendatang bertepatan dengan libur tahun ajaran. Setelah pelatihan guru inti, pemerintah akan melanjutkan dengan pelatihan massal yang menyasar pada 712.947 guru. Guru inti yang akan dijadikan sebagai pelatih guru massal ditargetkan berjumlah 46.213 guru. Guru inti dipilih dari prestasi guru dan skor UKG yang sudah dilakukan, Pelatihan untuk guru inti dan guru massal yang terdiri atas guru kelas dan guru mata pelajaran dilakukan masing-masing 52 jam pertemuan atau setara dengan lima hari. Selanjutnya, saat kurikulum diterapkan satu guru akan didampingi setidaknya dua guru inti di dalam kelas. b. Kurikulum 2013 sebagai Inovasi Pengembangan kurikulum merupakan salah satu bentuk inovasi pendidikan. Terhadap suatu inovasi apapun tidak serta merta sasaran penerima inovasi dalam hal ini pendidik dan tenaga kependidikan begitu saja menerima atau mengadopsi inovasi tersebut merupakan suatu hal yang wajar. Dalam teori inovasi, kefektivan inovasi akan terwujud jika memenuhi karakteristik Inovasi. Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: 1) keunggulan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), 3) kerumitan (complexity), 4) kemampuan diuji cobakan (trialability) dan 5) kemampuan diamati (observability). Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi, prestise 306 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible). Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di ujicobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya. Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi. c. Kesiapan Guru Dalam mengimplementasikan kurikulum, yang jauh lebih penting adalah guru sebagai ujung tombak bahkan bisa menjadi ujung tombok serta garda terdepan dalam pelaksanakan kurikulum. Oleh karena itu betapa pentingnya kesiapan guru dalam mengimplementasikan kurikulum itu selain kompetensi, komitmen dan tanggung jawabnya serta kesejahteraannya yang harus terjaga. Kompetensi guru bukan saja menguasai apa yang harus dibelajarkan (content) tapi bagaimana membelajarkan siswa yang menantang, menyenangkan, memotivasi, menginspirasi dan memberi ruang kepada siswa untuk melakukan keterampilan proses yaitu mengobservasi, bertanya, mencari tahu, merefleksi sebagaimana dinyatakan filosof Betrand Russel ―More important than the curriculum is the question of the methods of teaching and the spirit in which the teaching is given‖. Kurikulum penting, tetapi yang tak kalah pentingnya juga adalah bagaimana strategi membelajarkan dan spiritnya. Dengan strategi pembelajaran yang tepat dalam mengimplementasikan kurikulum disertai dengan spirit pendidikan yang selalu menggelora pada setiap guru atau pendidik dan peserta didik, maka proses pendidikan itu sendiri tidak terlepas dari rohnya. Sebuah kata bijak mengatakan bahwa ―At-Thariqatu Afdalu Minal Mad” (Metodologi tidak kalah pentingnya dibanding substansi). Betapapun baiknya kurikulum yang telah dikembangkan, buku 307 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pelajaran dan media pembelajaran disediakan serta dilaksanakan Diklat baik Kepala Sekolah, Pengawas, Guru Inti, Guru Pelatih maupun Diklat guru secara massal pada akhirnya berpulang kepada ada tidaknya kemauan untuk berubah (willingness to change) dari para pemangku kepentingan utama pendidikan tersebut. Semoga siap untuk berubah. Tujuan pendidikan diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: a. Tujuan Pendidikan Nasional Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa ― Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. b. Tujuan Institusional Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan sebagai berikut. 1) Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2) Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3) Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. c. Tujuan Kurikuler Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran. d. Tujuan Instruksional atau Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan 308 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 2. Standar Kompetensi Lulusan Domain SD SMP SMA-SMK Sikap Menerima + Menanggapi + Menghargai + Menghayati + Mengamalkan. Pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab. Berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya. Keterampilan Mengamati + Menanya + Mencoba + Mengolah + Menyaji + Menalar + Mencipta Pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkrit Pengetahuan Mengetahui + Memahami + Menerapkan + Menganalisa + Mengevaluasi Pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban. 3. Struktur Kurikulum 1. Dasar pemikiran perancangan kurikulm SD No Permasalahan Penyelesaian 1 Capaian pembelajaran disusun Perlunya ditetapkan standar kompetensi berdasarkan materi pelajaran bukan kelulusan dan standar kompetensi kelas kompetensi yang harus dimiliki untuk peserta didik menyatakan capaian pembelajaran 2 Kompetensi diturunkan dari Kompetensi dirumuskan dalam tiga domain, pengetahuan yaitu sikap, keteramilan, dan pengetahuan yang diperoleh dari mata pelajaran 3 Walaupun kelas I – III menerapkan Perlunya merumuskan kompetensi inti untuk pembelajaran tematik, tidak ada masing-masing kelas kompetensi inti yang mengikat semua mata pelajaran 4 Walaupun kelas I-III menerapkan Mata pelajaran harus dipergunakan sebagai pembelajaran tematik, tetapi warna sumber kompetensi bukan yang yang mata pelajaran sangat kental bahkan diajarkan berjalan sendiri-sendiri dan saling mengabaikan 5 Kompetensi siswa hanya diukur dari Penilaian terhadap semua domain kompetensi pengetahuan yang kompetensi menggunakan penilaian otentik diperolehnya melalui penilaian [proses dan hasil] berbasis tes tertulis 6 7 Penilaian hanya berdasarkan kompetensi dasar saja Peserta didik pada jenjang satuan Penilaian berdasarkan kompetensi dasar dan kompetensi inti Perlunya proses pembelajaran yang 309 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret No 8 9 10 11 Permasalahan sekolah dasar belum perlu diajak berfikir tersegmentasi dalam mata pelajaran-mata pelajaran terpisah karena masih berfikir utuh Banyak sekolah alternatif yang menerapkan sistem pembelajaran integratif berbasis tema yang menujukkan hasil menggembirakan Adanya keluhan banyaknya buku yang harus dibawaoleh anak sekolah dasar sesuai dengan banyaknya mata pelajaran Indonesia menerapkan sistem guru kelas dimana semua mata pelajaran [kecuali agama, seni budaya, dan pendidikan jasmani] diampu oleh satu orang guru Banyak negara menerapkan sistem pembelajaran berbasis tematikintegratif sampai SD kelas VI, seperti Finlandia, England, Jerman, Scotland, Perancis, Amerika Serikat (sebagian), Korea Selatan, Australia, Singapura, New Zealand,, Hongkong, Filipina Penyelesaian menyuguhkan keutuhan pada peserta didik melalui pemilihan tema Perlunya menerapkan sistem pembelajaran integratif berbasis tema Perlunya penyederhanaan mata pelajaran Perlunya membantu memudahkan tugas guru dalammenyampaikan pelajaran sebagai suatu keutuhan dengan meminimumkan jumlah mata pelajaran tanpa melanggar ketentuan konstitusi [idealnya tanpa mata pelajaran sama] Dapat dipergunakan sebagai acuan dalam usaha meringankan beban guru kelas yang harus mengampu sejumlah mata pelajaran 2. Usulan rancangan kurikulm SMP No Komponen Rancangan 1 Sama dengan SD, akan disusun berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik SMP dalam ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan 2 Menggunakan mata pelajaran sebagai sumber kompetensi dan substansi pelajaran 3 Menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran 4 Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: -TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri -Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya, Prakarya dan Budidaya -Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran 5 IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial. 6 Bahasa Inggris diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa 7 Menambah 6 jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan pendekatan proses pembelajaran dan proses penilaian 310 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 3. Usulan rancangan kurikulm SMA No Komponen Rancangan 1 Apakah masih perlu penjurusan di SMA mengingat: - Sudah tidak ada lagi negara yang menganut sistem penjurusan di SMA - Kesulitan dalam penyetaraan ijazah - Dapat melanjutkan ke semua jurusan di perguruan tinggi 2 Tanpa penjurusan akan menyebabkan mata pelajaran menjadi terlalu banyak seperti pada SMA Kelas X saat ini, sehingga diperlukan mata pelajaran pilihan dan mata pelajaran wajib 3 Perlunya memberi kesempatan bagi mereka yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata untuk menyelesaikan lebih cepat atau belajar lebih banyak melalui mata pelajaran pilihan 4 5 6 7 8 Perlunya ujian nasional yang lebih fleksibel [dapat diambil di kelas XI] Perlunya integrasi vertikal dengan perguruan tinggi Perlunya memperkuat pelajaran bahasa Indonesia, termasuk sastra, terutama menulis dan membaca dengan cepat dan paham Perlunya meningkatkan tingkat abstraksi mata pelajaran matematika Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif 4. Isu Kurikulum SMK a. Ujian nasional sebaiknya tahun ke XI sehingga tahun ke XII konsentrasi ke ujian sertifikasi keahlian b. Bidang keahlian yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan global c. Penambahan life and career skills [bukan sebagai mata pelajaran] d. Perlunya melibatkan pengguna [industri terkait] dalam penyusunan kurikulum e. Pembelajaran SMK berbasis proyek dan sekolah terbuka bagi siswa untuk waktu yang lebih lama dari jam pelajaran. C. PENUTUP Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan dilaksanakan pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di SMA dilaksanakan di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan pada kelaskelas tersebut, maka pada tahunajaran 2014/15 secara berjenjang dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnyadi SD dapat dilaksanakan pada kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X. Dalam pelaksanaan kurikulum 2013 ini diterapkan perencanaan pembelajaran dimana dari teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. 311 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana. DAFTAR PUSTAKA Alma Buchori, dkk. 2008. Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan.Badung: Afabeta Alwasillah C, et al. (2008). Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusi. Jakarta:Kedebutian Bidang Koordinasi Pendidikan, Agama dan Aparatur Negara Kementrian Koordinator Bidang Kesejehteraan Rakyat. Ibrahim. 1988. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas Nasution. 2001. Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management). Jakarta: Ghalia Indonesia Kemendikbud, 2013. Pedoman Pemberian Implementasi Kurikulum Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud Tim Redaksi Fokusmedia.2003. Undang-Undang tentangSISDIKNAS. Jakarta: Fokusmedia RI No 20 Tahun 2003 Tim Redaksi Fokusmedia.2004. Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jakarta: Fokusmedia Tilaar H.A.R. 2008. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosda Karya. http://dl.dropboxusercontent.com/u/76277102/syadiash/syadiash_doc_down/Doc_Kurikulu m_2013/kompetensi-inti-dan-kompetensi-dasar diambil pada tanggal 15 April 2013 pukul 20.00 WIB http://www.hidayatjayagiri.net/2012/10/seputar-wacana-penerapan-kurikulum-baru.html diambil pada tanggal 15 April 2013 pukul 20.00 WIB http://yuviter88.blogspot.com/2012/12/pengembangan-kurikulum-2013.html diambil pada tanggal 15 April 2013 pukul 20.00 WIB. 312 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM BIDANG PENDIDIKAN Tukiyo ABSTRAK Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam suatu organisasi merupakan salah satu peran yang harus dilaksanakan oleh setiap pemimpin pendidikan yang berkaitan dengan semua fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasaian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan. Ada beberapa model pengambilan keputusan yang perlu dipahami para pemimpin pendidikan, antara lain: (1) model Mintzberg, Drucker, dan Simon, (2) model pengambilan keputusan rasional, (3) model pengambilan keputusan klasik, (4) model pengambilan keputusan perilaku, (5) model Vroom & Yetton, (6) model pengambilan keputusan Carnegie, (7) model pengambilan keputusan gaya kepemimpinan Chung & Megginson, (8) model pengambilan keputusan berdasarkan manfaat, (9) model pengambilan keputusan berdasarkan masalah, (10) model pengambilan keputusan berdasarkan lapangan, (11) model pengambilan keputusan pohon masalah, dan (12) model pengambilan keputusan strategis Hunger & Wheelen. Keputusan manajerial didasarkan atas dua dimensi yang berhubungan dengan masalah, yaitu kompleksitas masalah dan dampak ketidakpastian. Selanjutnya dalam pengambilan keputusan ada enam metode, yaitu: keputusan yang kurang tanggapan, keputusan dengan otoriter, keputusan minoritas, keputusan mayoritas, keputusan konsensus, dan keputusan yang bulat. Secara umum proses pemecahan masalah meliputi tahap-tahap: selidiki situasi masalah, kembangkan alternatif, evaluasi alternatif, dan lakukan keputusan dan tindak lanjut. Dengan banyaknya model pengambilan keputusan, maka para pemimpin pendidikan hendaknya dapat menerapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Situasi dan kondisi yang dimaksud di sini antara lain kemampuan diri pemimpin, kemampuan para anggota organisasi pendidikan, sarana dan prasarana yang tersedia, maupun hal-hal lain yang bersangkut paut dengan organisasi yang bersangkutan. Kata kunci: pengambilan keputusan, model pengambilan keputusan, pemecahan masalah A. PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari orang sering melakukan pengambilan keputusan meskipun kadang-kadang kurang disadari. Dalam suatu organisasi, membuat keputusan dan pemecahan masalah merupakan salah satu peran yang harus dilaksanakan oleh setiap leader dan manajer, yang berkaitan dengan semua fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasaian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan. 313 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Perubahan situasi dan kondisi yang sangat cepat menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam manajemen yang mendorong manajer untuk mampu membuat keputusan dalam waktu yang tepat dan tepat. Untuk mampu mengimbangi cepatnya perubahan waktu, seorang pemimpin harus sanggup menghadapi minimal tiga tantangan, yaitu (1) keadaan yang sangat kompleks, (2) keadaan yang tidak menentu, (3) tuntutan untuk bertindak luwes (Husaini Usman, 2013: 349). Kualitas suatu keputusan merupakan cermin dari daya pikir manajer. Oleh karena itu, berpikir dalam hugungannya dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah harus diusahakan agar tidak tersesat ke jalan yang tidak efektif dan efisien. Poernomosidi Hadjisarosa (2003: 333) menyatakan bahwa pengambilan keputusan berlangsung dalam dua tingkat, yaitu tingkat pendahuluan dan tingkat final. Pengambilan keputusan secara universal didefinisikan sebagai pemilihan di antara berbagai alternatif. Pengertian ini mencakup baik pembuatan pilihan (choice making) maupun pemecahan masalah (problem solving) (Reksohadiprodjo dan Handoko, 1997: 143). Menurut Husaini Usman (2013: 440), pengambilan keputusan ialah proses memilih sejumlah alternatif. Pengambilan keputusan penting bagi administrator pendidikan karena proses pengambilan keputusan mempunyai peran penting dalam memotivasi, kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dan perubahan organisasi. Setiap level administrator sekolah mengambil keputusan secara hierarkhis. Keputusan yang diambil administrator berpengaruh terhadap pelanggan pendidikan terutama peserta didik. Oleh karena itu, setiap administrator pendidikan harus memiliki keterampilan mengambil keputusan secara cepat, tepat, efektif, dan efisien. Beberapa langkah penting yang perlu dilalui dalam pengambilan keputusan yang efektif dapat dikategorikan dalam lima tahap: (1) menerima tantangan; pengambilan keputusan dimulai jika seseorang dihadapkan pada suatu tantangan; (2) mencari alternatif; bila suatu jalur tindakan yang sedang berlaku mendapat tantangan, pengambil keputusan yang efektif mulai mencari alternatif; (3) penilaian alternatif; pada tahap ini kelebihan-kelebihan serta kekurangankekurangan dari masing-masing alternatif dipertimbangkan dengan cermat; (4) menjadi terikat; pada tahap ini pilihan terakhir sudah dibuat dan pengambil keputusan menjadi terikat kepada suatu jalur tindakan baru; dan (5) berpegang pada keputusan (Manullang, 1994: 7 – 18). Setiap pengambil keputusan tentu berharap agar semua hal dapat berjalan lancer setelah keputusan diambil. Oleh karena itu seorang pengambil keputusan harus siap menerima dan menangani hambatan-hambatan maupun kegagalan dengan menerima tantangan baru melalui siklus lagi dari kelima tahap tersebut untuk mengambil keputusan tentang jalur tindakan yang baru. B. MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN Ada beberapa model pengambilan keputusan yang perlu dipahami. Menurut Soekanto Reksohadiprodjo dan Hani Handoko (1997: 152 – 156), model-model pengambilan keputusan antara lain: (1) model perilaku pengambilan keputusan dalam manajemen yang meliputi: (a) model ekonomi yang dikemukakan oleh ahli ekonomi klasik yang menyatakan bahwa keputusan orang itu rasional, (b) model keputusan administratif yang dikemukakan Simon yang menyatakan bahwa orang tidak menginginkan maksimalisasi tetapi cukup keuntungan (laba) yang memuaskan (satisficing profit), (c) model mobicentrik yang dikemukakan oleh Jennings yang menyatakan bahwa perubahan merupakan nilai utama sehingga orang selalu harus 314 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bergerak bebas untuk mengambil keputusan, (d) model manusia organisasi yang dikemukakan oleh Whyte yang sifatnya setia dan penuh kerjasama dalam pengambilan keputusan, (e) model pengusaha baru yang dikemukakan oleh Wright Mills yang bersifat kompetitif, dan (f) model sosial yang dikemukakan Freud dan Veblen yang menyatakan bahwa orang itu sering tak rasional dalam mengambil keputusan, diliputi oleh perasaan, emosi, dan situasi di bawah sadar; dan (2) model preskriptif dan deskriptif. Model preskriptif dan deskriptif dijelaskan oleh Fisher (Reksohadiprodjo dan Handoko, 1997: 155), bahwa model preskriptif atau pemberian resep perbaikan, menerangkan bagaimana kelompok seharusnya mengambil keputusan, sedangkan model deskriptif menerangkan bagaimana kelompok mengambil keputusan tertentu. Menurut Muhammad Muslich (2009: 324 – 344), ada beberapa teori pengambilan keputusan, yaitu: (1) pengambilan keputusan dalam kondisi pasti; (2) pengambilan keputusan dalam kondisi risiko; (3) pengambilan keputusan dalam kondisi tidak pasti; (4) pengambilan keputusan dalam kondisi risiko dan fungsi utilitas; (5) decision tree, dan (6) expected value of perfect information (EVPI) dan expected value of sample information (EVSI). Pengambilan keputusan dalam kondisi pasti menyiratkan bahwa hasil dari setiap alternatif tindakan dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini disebabkan karena akan dapat diketahui hasil yang diperoleh untuk setiap keputusan yang diambil. Contoh pengambilan keputusan dengan kondisi pasti misalnya suatu model linear programming yang bertujuan memaksimalkan laba/keuntungan. Karena tujuannya jelas, yaitu untuk memaksimalkan laba dan kondisinya pasti (dalam konteks model) maka alternatif investasi atau produk yang memberikan laba terbesar yang akan dipilih. Pengambilan keputusan dalam kondisi risiko adalah bahwa pengambil keputusan mempunyai lebih dari satu alternatif tidakan, dan diasumsikan bahwa pengambil keputusan mengetahui probabilitas yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasilnya. Pengambilan keputusan dalam kondisi tidak pasti menyiratkan bahwa keputusan tidak dapat menentukan probabilitas terjadinya berbagai kondisi atau outcomes. Pengambil keputusan hanya mengetahui kemungkinan outcome dari suatu tindakan, tetapi dia tidak dapat memprediksi berapa probabilitas dari setiap outcome tersebut. Pengambilan keputusan dalam kondisi risiko dan fungsi utilitas dapat dideskripsikan bahwa jika nilai suatu moneter masih relatif rendah maka orang cenderung risk seeking, sedangkan jika nilai moneternya terlalu besar maka orang cenderung risk averse. Konsep tentang preferensi ini, baik risk seeking maupun risk averse, dipresentasikan dalam konsep utilitas. Untuk pengambilan keputusan dengan decision tree banyak digunakan untuk memecahkan masalah yang di dalamnya terdapat rangkaian keputusan, dan setiap keputusan mengasilkan outcome. Pengambilan keputusan dengan expected value of sample information (EVSI) merupakan nilai tambahan yang diperoleh karena organisasi mendapat informasi baru. EVSI dihitung sebagai selisih antara nilai maksimum expected return dengan sample information dan nilai maksimum expected return tanpa sample information. EVPI (expected value of perfect information) merupakan nilai tambahan maksimum yang dapat diperoleh jika organisasi mendapatkan informasi secara tepat tentang kondisi yang tidak pasti. EVPI merupakan selisih antara nilai maksimum expected return dengan perfect information dan nilai expected return tanpa perfect information. 315 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Untuk melengkapi uraian di atas, perlu dikemukakan di sini bahwa pengambilan keputusan yang berkualitas setidaknya mencakup hal-hal berikut yang perlu diperhatikan: (1) bingkai masalah, (2) orang yang tepat, (3) proses yang benar, (4) sebuah set yang lengkap dengan berbagai alternatif, (5) menilai terhadap berbagai alternatif, dan (6) informasi yang menggambarkan nilai setiap alternatif (http://decision-quality.com/intro.php). Husaini Usman (2013) mengemukakan bahwa model pengambilan keputusan setidaknya ada dua belas macam. Secara garis besar model-model pengambilan keputusan tersebut dikemukakan berikut ini. 1. Model Mintzberg, Drucker, dan Simon Minsberg dkk (1976) memberikan tiga tahap dalam proses pengambilan keputusan, yaitu (1) tahap identifikasi, (2) tahap pengembangan, dan (3) tahap pemilihan. Pada tahap identifikasi, pengambil keputusan memahami masalah dan peluang membuat diagsnostis. Pada tahap pengembangan, pengambil keputusan mencari standart prosedur yang tersedia atau pemecahan masalah sebagai desain baru. Kadang-kadang tahap ini mengandung coba gagal (trial and error). Pada tahap pemilihan, pengambil keputusan dapat memilih dengan menggunakan pertimbanangan, analisis logis, basis sistematis, atau bargain (Husaini Usman, 2013: 440). Druker (1993), seorang ahli pemimpin organisasi memberikan enam langkah dalam proses pengambilan keputusan, yaitu (1) mendefinisikan masalah, (2) menganalisis masalah, (3) mengembangkan alternatif pemecahan masalah, (4) memutuskan satu pemecahan masalah terbaik, (5) merencanakan tindakan yang efektif, dan (6) memantau dan menilai hasilnya. Sementara itu, Simon (1997) pemenang Nobel teori pengambilan keputusan menggambarkan proses pengambilan keputusan atas tiga tahap, yaitu (1) kegiatan inteligen, (2) kegiatan desain dan (3) kegiatan pemilihan. Kegiatan inteligen seperti halnya di militer, pengambil keputusan diawali dengan mengintai dan mengidentifikasi situasi dan kondisi lingkungan. Kegiatan desain pengambil keputusan menemukan, mengembangkan, dan menganalisis kemungkinan dari aksi yang akan diambil. Kegiatan pemilihan, pengambil keputusan memilih satu yang terbaik dari sejumlah alternatif. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, Husaini Usman (2013: 441) menyimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan meliputi tiga kegiatan, yaitu (1) kegiatan yang menyangkut pengenalan, penentuan dan diagnosis masalah, (2) kegiatan yang mencakup pengembangan alternatif pemecahan masalah, (3) kegiatan yang menyangkut evaluasi dan memilih pemecahan masalah terbaik. 2. Model Pengambilan Keputusan Rasional Keputusan dapat dibedakan atas dua tipe, (a) yaitu terprogram (structured) dan (b) tidak terprogram (unstructured). Keputusan terprogram ialah keputusan yang selalu diulang kembali. Contohnya: keputusan tentang kenaikan kelas peserta didik, keputusan pengangkatan, keputusan penetapan gaji pegawai baru, keputusan pensiun dan sebagainya. Keputusan tidak terprogram ialah keputusan yang diambil untuk menghadapi situasi rumit dan atau baru. Contohnya keputusan lembaga baru, keputusan terjadinya musibah kebakaran, kebanjiran, robohnya sekolah dan sebagainya. Keputusan tidak terprogram disebut juga pemecahan masalah. 316 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 3. Model Pengambilan Keputusan Klasik Model pengambilan keputusan klasikberasussi bahwa keputusan merupakanproses rasional dimana keputusan diambil dari salah satu alternatif terbaik. Model klasik didasarkan rasionalitas lengkap (complete rationality). Sesuai dengan model klasik, proses pengambilan keputusan dibagi atas enam langkah logis yang meliputi: (a) identifikasi masalah, (b) menentukan alternatif, (c) menilai alternatif, (d) memilih alternatif, (e) menerapkan alternatif, dan (6) menilai keputusan (Husaini Usman, 2013: 443). 4. Model Pengambilan Keputusan Perilaku Model ini didasarkan pada seberapa jauh keputusan itu dapat memberikan kepuasan. Model ini juga mempertimbangkan pengambilan keputusan atas dasar rasionalitas kontekstual dan rasionalitas respektif. Rasionalitas kontekstual artinya keputusan tidak hanya didasarkan oleh ketentuan tersurat (tekstual) tetapi juga yang tersirat (kontekstual). 5. Model Vroom & Yetton (Decision Tree) Ada lima gaya pengambilan keputusan yang disarankan oleh Vroom & Yetton, yaitu: a. Gaya 1 : Tetapkan keputusan sendiri dengan menggunakan informasi, yang ada saat itu. Partisipasi bawahan tidak ada. b. Gaya 2 : Dapatkan informasi dari bawahan dan selesaikan masalah oleh kita sendiri. Tidak perlu memberitahukan kepada bawahan apa yang menjadi masalah ketika meminta informasi kepada mereka, peran yang diharapkan dari bawahan hanya memerlukan sumber informasi dan bukan mengemban alternatif penyelesaian. Partisipasi bawahan rendah. c. Gaya 3: Ikutsertakan bawahan yang bersangkutan dengan masalah, minta ide dan sarannya secara sendiri-sendiri. Kemudian ambil keputusan, baik sendiri atau tidak disertai pengaruh dan saran-saran bawahan. Partisipasi bawahan sedang. d. Gaya 4: Ikutsertakan bawahan sebagai satu kelompok, dapatkan ide dan saran dari mereka. Kemudian ambil keputusan sendiri disertai pengaruh dan saran bawahan. Partisipasi bawahan tinggi. e. Gaya 5: Ikutsertakan bawahan sebagai suatu kelompok dalam memecahkan masalah. Bersama mereka kembangkan dan evaluasi alternatif. Usahakan mencapai consensus. Anda sebagai pemimpin berperan sebagai ketua. Tidak dibenarkan mempengaruhi kelompok dengan apa yang hendak Anda putuskan dan Anda bersedia untuk menerima dan melaksanakan setiap keputusan kelompok. Partisipasi bawahan sangat tinggi (Husaini Usman, 2013). Model ini kemudian disempurnakan oleh Vroom dan Artur Jago, menggantikan sistem pohon keputusan dari model asli dengan sistem pakar yang didasarkan pada model matematika. Karena itu maka berkembanglah model Vroom-Yetton, Vroom-Jago, dan Vroom-Yetton-Jago (http://www.mindtoos.com/pages/ article/ newTED_91.htm). Selanjutnya dikemukakan bahwa gaya konsultatif atau kolaboratif tepat diperlukan jika: (1) diperlukan informasi dari orang lain untuk memecahkan masalah; (2) definisi masalah tidak jelas, (3) anggota tim mendukung terhadap keputusan penting, dan (4) memiliki cukup waktu untuk mengelola keputusan kelompok. 317 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 6. Model Pengambilan Keputusan Carnegie Model ini lebih mengakui akan kepuasan, keterbatasan rasionalitas, dan koalisi organisasi. Perbedaan antara pengambilan keputusan rasional dengan Carnegie ditunjukkan oleh tabel berikut. Tabel 1. Perbedaan model Rasional dengan Carnegie Model Rasional Banyak informasi yang tersedia Murah Bebas nilai Alternatif banyak Keputusan diambil dengan suara bulat Model Carnegie Sedikit informasi yang tersedia Mahal, karena masih mencari informasi Terikat nilai Alternatif sedikit Keputusan dengan kompromi, persetujuan, dan akomodasi antara koalisi organisasi Keputusan dipilih yang terbaik bagi Keputusan yang dipilih adalah yang organisasasi memuaskan organisasi Sumber: Husaini Usman (2013: 444) 7. Model Pengambilan Keputusan Gaya Kepemimpinan Chung & Megginson Chung dan Megginson (1981) memberikan cara pengambilan keputusan oleh pimpinan dengan membuat enam pertanyaan berikut: (a) apakah tugas kelompok tertruktur? (b) Apakah hubungan pemimpin dan bawahan baik? (c) Apakah bawahan memiliki pengetahuan kerja? (d) Apakah pemimpin memiliki kedudukan kekuasaan yang kuat? (e) Apakah pemimpin memiliki pengetahuan kerja? (f) Apakah kelompok memiliki waktu menyelesaikan tugas? Setiap pertanyaan ada dua jawaban ya atau tidak. Akhirnya dari berbagai variasi jawaban didapatkan perilaku kepemimpinan yang akan diambil pemimpin, yang variasinya ada 9 macam, yakni: Gaya 1: Suportif (YYYYYY) Gaya 2: Suportif&direktif (YNYYYY) Gaya 3: Konsensus (NYYYYY) Gaya 4: Demokratis (NYYYYN) Gaya 5 : Direktif (NNYYNY/N) Gaya 6: Demokratis (NNYYYY/N) Gaya 7: Konsultatif (NNYYNY/N) Gaya 8 : Direktif (NNNYY/NY/N) Gaya 9: Ganti kepemimpinan (NNNNY/NY/N) (Y=Yes, N=No dari pertanyaan-pertanyaan di atas). Dimodifikasi dari Model Chung &Megginson (Husaini Usman, 2013: 445). 8. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Manfaat Dasar pemikirannya adalah (a) mutu keputusan, (b) kreativitas keputusan (c) penerimaan keputusan, (d) pemahaman keputusan, (e) pertimbangan keputusan, dan (f) ketepatan keputusan. Mutu keputusan artinya pengetahuan dan informasi kelompok melebihi individu. Kelompok dapat mengatasi atau menutupi kelemahan dan kekurangan individu. Asumsinya bahwa keputusan kelompok lebih bermutu dibandingkan dengan keputusan individu. Manfaat keputusan lebih besar dirasakan kelompok dibandingkan dengan manfaat bagi individu. Kreativitas keputusan artinya kreavifitas kelompok lebih banyak dan cenderung lebih baik dari pada kreativitas individu. Asumsinya kreativitas bersama lebih bermanfaat dari pada kreativitas individu. Penerimaan keputusan 318 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret artinya pembuatan keputusan secara partisipasi kelompok lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh individu. Kelompok merasa dilibatkan dalam membuat keputusan, konsekuensinya adalah kelompok merasa turut bertanggung jawab dan akan menerima keputusan itu. Asumsinya, keputusan yang dibuat secara kelompok lebih bermanfaat karena lebih diterima kelompok daripada keputusan dibuat individual. Pemahaman keputusan artinya kelompok akan lebih memahami keputusan yang dibuatnya bersama daripada memahami keputusan yang dibuat individual. Pertimbangan keputusan artinya kelompok akan lebih efektif dalam menentukan pilihan terbaik dibandingkan dengan pilihan individu. Asumsinya manfaat pilihan bagi kelompok akan lebih besar jika ditentukan oleh kelompok daripada individu. Ketepatan keputusan artinya kelompok lebih tepat memutuskan daripada individu. Asumsinya kelompok lebih dapat mengontrol pikiran individu secara obyektif dan dapat menghindari kesalahan individu. 9. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Masalah Ada tiga tendensi khusus yang dapat merusak proses keputusan kelompok, yaitu (a) pikiran kelompok, (b) perubahan beresiko, dan (c) ekskalasi komitmen. Pikiran kelompok yang dapat mengganggu proses keputusan berupa: (a) tanpa sengaja menjadi sangat optimis dan berani mengambil resiko terberat, (b) pembenaran oleh kelompok yang belum tentu benar menurut individu lainnya, (c) kelompok mengabaikan moral dan etika, (d) kelompok membangaun stereotype sebagai pihak yang menentang kepemimpinan, (e) kelompok mendapat tekanan pihak lain, (f) kelompok kurang menyensor dirinya, (g) kebulatan suara hanya untuk mendapatkan keseragaman, dan (h) kelompok melindungi pola pikirnya. Gejala perubahan tanggung jawab: (a) kelompok menyebarkan tanggung jawabnya ke anggota, (b) ketua kelompok paling besar resikonya dari pada anggotanya, dan mengajak para anggotanya untuk lebih besar lagi resikonya, (c) diskusi kelompok menguji pro dan kontra, konsekuensinya rasa kekeluargaan lebih besar dalam seluruh aspek masalah dan mengarah kepada tingginya resiko, dan (d) resiko dalam masyarakat diharapkan oleh budaya kita, jika masyarakat ingin maju. Komitmen yang berlebihan juga dapat mengganggu keputusan kelompok karena tidak semua anggota senang bekerja keras. 10. Model Pengambilan Putusan Berdasarkan Lapangan Model ini paling banyak digunakan sekolah karena ingin melibatkan partisipasi warga sekolah dalam mengambil keputusan. Beberapa teknik penting dalam pengambilan keputusan berdasarkan lapangan adalah (a) curah pendapat (brainstorming), (b) teknik grup nominal, (c) teknik Delphi, (d) pembela yang menantang apa yang dianggap baik (devil‟s advocate). Langkah curah pendapat: (a) sebelum curah pendapat tentukan dahulu topiknya, (b) setiap anggota bertanggung jawab atas ucapannya; (c) setiap anggota menyampaikan pendapatnya bergiliran sampai semua memberikan pendapatnya; (d) anggota yang belum memberikan pendapatnya dapat menyatakan ―pass‖sampai kesempatan berikutnya; (e) jangan mengomentari pendapat orang lain; (f) kalau ada yang mengomentari, pimpinan sidang harus menyetopnya: (g) akan lebih cepat kalau pendapat ditulis; (h) apabila tidak ada lagi pendapat yang masuk, curah pendapat dinyatakan selesai; (i) pendapat yang sama dikelompokkan; (j) pendapat yang masuk masuk nominasi diteliti dan 319 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dibahas; (k) jika tidak ada kesempatan untuk memutuskan pendapat terbaik, baru diadakan footing. Teknik grup nominal mirip dengan sumbang saran. Bedanya ialah ide-ide harus dievaluasi dahulu baru dikelompokkan, teknik Delphi dikembangkan para peneliti di Rand Corporation pada tahun 1960 –an. Berbeda dengan sumbang saran dan teknik kelompok nominal, teknik Delphi melengkapi teknik kelompok nominal yang yang tidak langsung bertemu muka, tetapi melalui surat atau internet. Pembela yang menantang apa yang dianggap baik, menggunakan konsep pencegah pikiran kelompok. Mula-mula mereka menganggap pikiran kelompok terlalu premature, mereka dapat menghapuskan pikiran kelompok.setelah kelompok berhasil memutuskan satu alternatif terbaik, kelompok devil ini mengajarkan kegagalan-kegagalan yang akan dialamijika menggunakan alternatif tersebut. Walaupun kelompok devil dianggap sebagai pihak oposisi tetapi sering digunakan orang untuk mengambil keputusan karena setelah dikoreksi, pengambil keputusan memperbaiki keputusannya menjadi lebih baik lagi. 11. Model Pengambilan Keputusan Pohon Masalah Pohon masalah adalah suatu teknik untuk mengidentifikasi masalah dalam situasi tertentu, menyusun dan memperagakan informasi ini sebagai rangkaian hubungan sebab akibat. Mulailah dengan masalah atau kebutuhan spesifik yang harus dipecahkan. Catat semua masalah lainnya yang diidentifikasikan. Tenik curah pendapat (brainstorming) dapat digunakan atau mengemukakan setiap masalah yang diidentifikasi dengan pertanyaan: apa yang menjadi sebab masalah ini? Apa yang menjadi akibat masalah ini? Kemudian susunlah masalah yang diidentifikasi dalam hubungan sebab akibat yang logis dalam bentuk sebuah pohon. Apabila telah selesai susunlah ia menyerupai bagan jenjang organisasi sederhana. Esensi pernyataan masalah dibuat singkat, jelas dan bermakna negatif. Sebagai contoh, dikemukakan berikut ini. Sumber: Husaini Usman (2013: 449) Gambar 1. Pohon masalah (pernyataan negatif) 320 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Keterangan dari gambar tersebut adalah: Pohon masalah: masalah prioritas adalah buruknya manajemen pendidikan. a. Masalah yang dihadapi adalah buruknya manajemen pendidikan. b. Akibatnya adalah rendahnya mutu pendidikan. c. Penyebabnya adalah perencanaan tidak mantap, pelaksanaan tidak tepat, pengawasan tidak ketat. d. Pilih lagi satu penyebab yang menjadi prioritas misalnya pelaksanaan tidak tepat. e. Penyebab pelaksanaan tidak tepat ialah rendahnya motivasi kerja guru, lemahnya kepemimpinan pendidikan, lambatnya memecahkan masalah, kurang baiknya komunikasi, dan kurang baiknya koordinasi. Penyebab pelaksanaan tidak tepat tidak boleh sama maknanya. Misalnya lemahnya koordinasi, yang lain kurang baiknyakoordinasi atau koordinasi belum efektif. f. Masalah dipilih berdasarkan kewenangan dan kepentingan organisasi yang bersangkutan. g. Jangan mengambil masalah di luar kewenangan kita karena bukan tugas pokok kita (Husaini Usman, 2013: 449). Setelah pohon masalah selesai dibuat, langkah selanjutnya adalah membuat pohon sasaran. Pohon sasaran adalah teknik untuk mengidentifikasi sasaran yang ingin diwujudkan. Pohon sasaran merupakan kebalikan pohon masalah. Yakni pernyataan negatif pada pohon masalah diganti secara konsisten menjadi pernyataan positif pada pohon sasaran. Sasaran pada pohon sasaran merupakan akibat dari sasaran lain. Tentukan sebab akibat antara sasaran itu, kemudian susunlah pohon sasaran. Mengingat terbatasnya sumber daya organisasi maka pohon sasaran perlu dianalisis dengan menentukan cabang mana yang yang sekiranya mampunyai dampak paling besar bagi unit organisasi. Semakin rindang pohon masalah dan pohonsasaran, semakin mendekati kenyataan. Sasaran dinyatakan dalam kalimat yang menyatakan dalam keadaan selesai (tercapai) oleh karena itu kalimat dimulai dengan awalan ter- (Gambar 2). Perlu dipikirkan pila agar sasaran itu memenuhi syarat SMART singkatan dari specific, measurable, attainable, realistic, and time bounding. Specific artinya tujuan itu harus khas. Measurable artinya tujuan yang akan dicapai dapat diukur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Attainable artinya dapat dicapai. Realistic artinya nyata dapat diwujudkan. Time bounding artinya ada batasan waktunya kapan dimulai dan kapan harus selesai. Pohon sasaran perlu dibuat sebagai kelanjutan pohon masalah. Setelah pohon sasaran selesai dibuat, langkah berikutnya adalah membuat pohon alternatif. Pohon alternatif adalah teknik untuk mengidentifikasikan atau mengembangkan teknik pemecahan masalah atau arah tindakan yang dapat dipakai untuk mewujudkan sasaran tertentu dan memperagakan informasi ini dalam format yang sederhana. Pada pohon sasaran pada jajaran kotak paling bawah untuk menentukan alternatif cabang mana yang paling mungkin menjamin pencapaian sasaran yang lebih tinggi di atasnya. Untuk lebih jelasnya diambil contoh tentang tentang terciptanya kepemimpinan pendidikan yang kuat (Gambar 3). 321 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Gambar 2. Pohon Sasaran (Pernyataan Positif) Kemudian dibuat pohon alternatifnya seperti gambar berikut. Sumber: Husaini Usman (2013: 451). Gambar 3. Pohon Alternatif 322 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dari pohon alternatif didapat tiga alternatif pemecahan masalah untuk mewujudkan kepemimpinan pendidikan yang kuat. Ketiga alternatif tadi dipilih satu Kriteria Bobot 1 yang terbaik menurut organisasi, caranya dengan menilai ketiga alternatif tersebut dengan menggunakan tabel sebagai berikut. Tabel 2. Kriteria ResBaK dan Bobot Penilaian Baiknya bagi Realistis (Re) Sumber Daya (S) organisasi (Ba) Sangat tidak Re Sangat tidak S Sangat tidak Ba 2 Tidak Tidak 3 Ragu-ragu Ragu-ragu 4 Re S 5 Sangat Re Sangat S Sumber: Husaini Usman (2013: 452) Apabila tidak senang memakai kriteria ReSbaK, dapat pula menggunakan Tidak Ragu-ragu Ba Sangat Ba Tidak Ragu-ragu K Sangat K kriteria realistis, praktis, dan legalistis dengan tabel sebagai berikut. Tabel 3. Kriteria RPL dan Bobot Penilaian Kriteria Bobot Realistis (Re) Praktis (P) 1 Sangat tidak Re Sangat tidak P 2 Tidak Tidak 3 Ragu-ragu Ragu-ragu 4 Re P 5 Sangat Re Sangat P Sumber: Husaini Usman (2008: 452) Kemudian ketiga alternatif pemecahan masalah tersebut di atas dievaluasi dengan menggunakan kriteria misalnya diambil model table 7.3. pembobotan berdasarkan perasaan merupakan seni manajemen karena manajemen adalah art and science. Masing –masing alternatif pemecahan masalah dibobot. Pembobotan dapat dilakukan sendiri oleh pimpinan atau lebih baik lagi dibobot bersama-sama kelompok kemudian Kewenangan legalitas Sangat tidak K Legalitas (L) Sangat tidak Ba Tidak Ragu-ragu Ba Sangat Ba setiap pembobotan dihitung rata-ratanya. Nilai pembobotan selanjutnya dikalikan bukan ditambahkan. Alasannya biar terjadi perbedaan nilai yang besar sehingga pengambilan keputusan semakin mantap. Akhirnya dipilih nilai yang terbesar sebagai pilihan terbaik. Jika ada nilai yang sama besar maka keputusan ditentukan dengan undian atas pertimbangan anggota organisasi. Sebagai contoh hasilnya seperti tabel berikut. 323 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Tabel 4 Pemilihan Alternatif Terbaik Bobot Alternatif Realitas Sumber Baiknya Kewenangan Pemecahan (Re) Daya bagi (Legalitas) Masalah (S) organisasi (L) (Ba) Mengadakan pelati-han 5 4 5 3 kepemimpian Memperbaiki sistem 5 3 5 3 pengangkatan tenaga kependidikan Mengirim studi lanjut 4 4 5 3 manajemen pendidikan *) Pemecahan masalah terbaik yang diputuskan untuk dipilih. Sumber: Husaini Usman (2013: 453) 12. Model Pengambilan Keputusan Strategis Hunger & Wheelen Keputusan strategis ialah keputusan jangka panjang. Jangka panjang di lingkungan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota adalah lima tahun sehingga perencanaan strategis (renstra) berlaku untuk lima tahun. Namun pengertian jangka panjang di dunia pnedidikan adalah 4 tahun sampai 10 tahun. Jangka menengah satu tahun lebih sampai 4 tahun dan jangka pendek 1 tahun. Strategi berasal dari bahasa Yunani, stratos yang artinya tentara, dan ago yang artinya pimpinan. Makna strategi dalam dunia kemiliteran ialah ilmu untuk mengarahkan dan merencanakan operasi- Re x S x Ba x L 300*) 225 240 operasi militer berskala besar dalam menggerakkan pasukan ke posisi yang palingmenguntungkan sebelum pertempuran sebenarnya dengan musuh dilakukan; sedangkan arti dari strategis adalah berhubungan atau berkaitan dengan strategi. C. TIPE KEPUTUSAN MANAJERIAL Chung & Megginson (1981) memberikan tipologi keputusan manajerial yang didasarkan atas dua dimensi yang berhubungan dengan masalah, yaitu (1) kompleksitas masalah, dan (2) dampak ketidakpastian. Gambar berikut menunjukkan empat tipe keputusan manajerial. Gambar 4. Tipe keputusan manajerial menurut Chung & Mengginson, 1981 (Husaini Usman, 2013: 455 ) 324 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret D. METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pengamatan proses pengambilan keputusan dalam kelompok diarahkan pada cara atau metode dalam pengambilan keputusan. Suatu metode belum tentu lebih baik dibandingkan dengan metode lainnya. Setiap metode mempunyai kegunaan sendiri-sendiri tergantung pada kelompoknya, waktu yang tersedia, dan fasilitas yang ada. Berikut ini disajikan enam metode pengambilan keputusan. 1. Keputusan yang Kurang Tanggapan Metode ini banyak digunakan dan sekaligus merupakan metode yang biasanya kurang diperhatikan. Seseorang mengemukakan suatu saran dan sebelumnya belum didiskusikan, orang lain mengusulkan gagasan lain. Prosesnya berulang dengan sendirinya sehingga akhirnya kelompok mendapatkan beberapa gagasan. Semua gagasan telah menjadi keputusan bersama, tanpa pertimbangan atau pengulasan. Sering terjadi dalam suatu konferensi ada saran yang tidak pernah dipertimbangkan untuk didiskusikan. 2. Keputusan dengan Otoriter Suatu metode yang efisien jika pimpinan sidang atau rapat mendengarkan secara seksama gagasan anggotanya. Gagasan yang disampaikan didiskusikan, pimpinan mendengarkan dengan baik. Setelah pimpinan mendapatkan informasi yang cukup, ia kemudian memutuskan dengan menggunakan otoritasnya. Jika gagasan anggota sering tidak terakomodasi, maka muncul kemungkinan adanya anggota yang merasa kecewa sehingga pad rapat berikutnya dapat mengurangi partisipasi anggotanya dalam memberi masukan. 3. Keputusan Minoritas Keputusan minoritas terjadi jika satu atau dua anggota kelompok dapat mengatasi kelompok atau nggota lainnya. 4. Keputusan Mayoritas Keputusan mayoritas merupakan metode pengambilan keputusan yang paling banyak dikenal di negara yang menerapkan demokrasi. Keputusan diadakan dengan cara pemungutan suara. Suara terbanyak adalah pemenangnya. Kelemahan metode ini adalah pemungutan suara cenderung mengarah ke pembentukan koalisi sehingga ada minoritas yang dikalahkan, walaupun sebenarnya suara minoritas kadang-kadang lebih baik dari pada mayoritas. 5. Keputusan Konsensus Keputusan konsensus merupakan metode yang banyak menyita waktu, memberikan kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk berkonsensus. Keputusannya tidak selalu bulat karena memungkinkan ada sebagian kecil anggota kelompok yang tidak setuju. 6. Keputusan Bulat Metode ini yang paling ideal, tetapi sulit direalisasikan. Keputusan ini terjadi apabila semua anggota kelompok telah menyetujui keputusan yang akan diambil (Husaini Usman, 2013: 455-456). Keenam metode pengambilan keputusan tersebut sering dilakukan dalam suatu organisasi. Metode mana yang diterapkan lebih banyak ditentukan oleh pemimpin organisasi yang bersangkutan. E. KEPUTUSAN YANG DIPUTUSKAN SENDIRI Adakalanya administrator harus memutuskan sendiri terhadap suatu keputusan. Keputusan sendiri dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) apabila administrator tidak dapat membagi tanggung jawabnya pada keputusnnya itu; contoh: rekomendasi guru yang akan dipindahkan, diberhentikan atau dipensiunkan, keputusan mengenai efektivitas mengajar guru, keputusan mengenai penilaian kinerja guru; (2) apabila waktu sangat mendesak dan diperlukan tindakan segera; contoh: kecelakaan berat 325 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret terhadap guru, tata usaha, dan siswa; permintaan izin yang tidak dapat ditunda, permintaan bahan yang tidak dapat ditunda; (3) apabila sudah ada kesepakatan tentang prosedur kerja dengan bawahannya; dan (4) apabila dilakukan spontan karena sudah pernah mengatasi kasus yang hampir sama; keputusan ini disebut keputusan intuitif (Husaini Usman, 2013: 458). F. PEMECAHAN MASALAH Pemecahan masalah ialah suatu proses pengamatan dan pengenalan serta usaha mengurangi perbedaan antara usaha yang sekarang (das sein) dengan keadaan yang akan dating yang diharapkan (das sollen). Pemecahan masalah mengusahakan pendekatan antara jurang pemisah kesenjangan yang ada. Masalah ialah perbedaan das sein dengan das sollen. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, manajer pendidikan selalu berhadapan dengan berbagai masalah karena masalah merupakan dinamika kehidupan. Selama manusia masih hidup, selama itu pula masalah tetap pasti ada, baik itu masalah besar maupun masalah kecil. Jika masalah satu telah berhasil dipecahkan, maka timbul pula masalah yang lainnya. Tidak jarang pemecahan masalah itu justru menimbulkan masalah baru. Demikian seterusnya. Permasalahan yang mungkin dihadapi oleh manajer pendidikan antara lain ialah masalah proses belajar mengajar, kesiswaan, ketenagaan, sarana, prasarana, keuangan, laboratorium, perpustakaan, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. Agar permasalahan itu dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, manajer pendidikan harus mampu mengintegrasikan permasalahan yang dihadapinya dan mensinkronisasikan ketatalaksanaannya melalui teori pemecahan masalah. Proses pemecahan masalah secara umum meliputi: (1) selidiki situasi masalah (tentukan masalah, kenali tujuan dan keputusan, diagnosis penyebabnya); (2) kembangkan alternatif (cari alternatif kreatif, jangan dahulu mengevaluasi); (3) evaluasi alternatif dan pilih yang terbaik (evaluasi alternatif, pilih alternatif terbaik); dan (4) lakukan keputusan dan tindaklanjuti (rencana pelaksanaan, lakukan rencana, monitor pelaksanaan dan adakan penyesuaian) (Husaini Usman, 2013: 459). Verma (1996) memberikan tiga langkah manajemen konflik dengan menggunakan pemecahan masalah (Husaini Usman, 2013: 460), yaitu: (1) langkah kesatu: membutuhkan komunikasi efektif (mengetahui ada konflik, membentuk landasan dasar atau keberamaan tujuan); (2) langkah kedua: fungsi lebih utama daripada ego dan kepribadian (memisahkan masalah dengan orangnya, mengembangkan alternatif); dan (3) langkah ketiga: membutuhkan pendekatan, analisis, strategi (menilai alternatif, memilih dan menerapkan alternatif). Menurut Husaini Usman (2013: 461) secara sederhana langkah-langkah pemecahan masalah dapat disingkat IDEAL, yaitu singkatan dari identifikasi masalah, dipilih masalah yang penting dan mendesak (prioritas), ekspos pemecahan masalah yang terbaik dari sejumlah alternatif pamecahan masalah, aksi (action) pemecahan masalah terbaik tersebut, dan lihat hasilnya untuk umpan balik. G. MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMECAHAN MASALAH Norman Maier (Stonner & Wankel, 2003: 229) membedakan dua kriteria untuk menilai efektivitas potensial suatu keputusan. Pertama adalah kualitas sasaran keputusan itu, sedangkan yang kedua adalah penerimaan orang-orang yang harus melaksanakannya. Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pengambilan keputusan yang efektif antara lain: (1) tentukan prioritas: seorang pemimpin dihadapkan pada banyak pekerjaan dan 326 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sehari-hari, oleh karena itu ia perlu melakukan prioritas beban kerja setiap hari; (2) dapatkan informasi yang relevan, baik informasi dasar, informasi terinci, maupun informasi kinerja; dan (3) melangkah secara metodis dan hati-hati (2003: 234 – 235). Inilah beberapa cara untuk meningkatkan efektivitas pemecahan masalah yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin organisasi. kecenderungan gayapengambilan keputusan seseorang, maka Manning & Curtis membuat angket sebagai berikut. Isilah angket di bawah ini dengan jujur sesuai dengan yang Anda alami saat memecahkan masalah dengan cara memberi angka di depan pernyataan yang disediakan. Jika Anda mengisi 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak sesuai, 3 = ragu-ragu, 4 = sesuai, 5 = sangat sesuai. H. GAYA PEMECAHAN MASALAH Manning & Curtis membagi gaya pengambilan keputusan seseorang dalam empat kecenderungan gaya, yaitu (1) gaya Darwin, (2) gaya Einstein, (3) gaya Socrates, (4) gaya Ford. Untuk mengetahui N Eksperiental (E) Reflektif (R) Teoritis (T) .. Pengikutan insting .. Perhatian pada kejadian .. Pengembangan pendapat .. Pencapaian tujuan .. Percaya perasaan .. Pertimbangan fakta .. Pertimbangan potensi .. Percobaan jalan keluar .. Harus menjadi perspetif .. Pelibatan emosional .. Pengukuran pengaruh ..Penemuan imparsial .. Pemikiran sesuatu .. Pembicaraan tindakan ..Penerapan praktek .. Harus menjadi kesadaran .. Penggunaan intuisi .. Pertanyaan rinci .. Penggunaan alasan .. Pencatatan informasi .. Rangkuman kebenaran .. Orientasi sekarang .. Orientasi evaluasi .. Orientasi kedepan .. Orientasi pencapaian .. Terbuka dialami .. Melalui observasi .. Pengungkapan ideide .. Penerapan pengetahuan .. Menyadari peristiwa .. Mempelajari data ,, Membentuk teoriteori .. Berani ambil risiko ..Pengalaman nyata .. Inkuiri tidak bias .. Berfikir abstrak .. Memproduksi hasil-hasil .. Analisis rasional Sumber: Husaini Usman, 2013: 465 327 Aktif (A) .. Penampilan tindakan .. Penerapan solusi Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Selanjutnya dijumlahkan berapa masing-masing nilai E, R, T, dan A, dan kemudian dimasukkan pada angka yang terdapat pada gambar di bawah ini. Gambar 5. Gambar Gaya Pemecahan Masalah I. IMPLIKASI DALAM BIDANG PENDIDIKAN Pemahaman tentang pengambilan keputusan dan pemecahan masalah sangat penting bagi semua orang yang berada dalam suatu organisasi, termasuk organisasi pendidikan. Terutama bagi para pemimpin organisasi, teori tentang pengambilan keputusan dan pemecahan masalah menjadi sangat penting karena mereka harus dapat mengambil suatu keputusan pada organisasi yang dipimpinnya dengan tepat. Dengan banyaknya model pengambilan keputusan seperti diuraikan di muka, maka para pemimpin pendidikan hendaknya dapat menerapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Situasi dan kondisi yang dimaksud di sini antara lain kemampuan diri pemimpin, kemampuan para anggota organisasi pendidikan, sarana dan prasarana yang tersedia, maupun halhal lain yang bersangkut paut dengan organisasi yang bersangkutan. Penelitian yang dilakukan Nurul Ulfatin, 1999 (Husaini Usman, 2013: 463) menunjukkan bahwa tingkat kecenderungan faktor sosiokultural yang terdiri dari budaya pribadi, budaya keluarga, budaya masyarakat, iklim sekolah, hubungan kolegial, kerja sama dan norma sosial, umumnya berpengaruh terhadap pengambilan keputusan kepala sekolah dasar baik pria maupun wanita baik di daerah perkotaan, pinggiran kota maupun pedesaan. Salah satu faktor sosiokultural yang cenderung kurang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan adalah budaya keluarga kepala sekolah pria. Sedangkan bagi kepala sekolah wanita, faktor budaya keluarga justru cenderung berpengaruh. Satu faktor yang paling berpengaruh dalam mengambil keputusan, baik kepala sekolah pria maupun wanita adalah kerja sama. Untuk daerah perkotaan kerja sama ini cenderung sangat berpengaruh. Lebih lanjut Nurul Ulfatin menemukan bahwa kecenderungan faktor psikologi yang terdiri dari perasaan dan sifat-sifat pribadi, rasionalitas, motivasi, keputusan, kreativitas dan keberanian pribadi umumnya memiliki pengaruh yang bervasiasi. Variasi itu tampak pada kepala sekolah pria dan wanita di daerah perkotaan dan pinggiran kota, sedangkan di pedesaan 328 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret antara kepala sekolah pria dan wanita pengaruhnya terhadap pengambilan memiliki kecenderungan yang sama. Dua keputusan jika dibandingkan dengan kepala faktor psikologis yang menonjol adalah sekolah pria di daerah yang sama atau perbedaan kreativitas dan keberanian. dengan kepala sekolah wanita dan pria di Kreativitas dan keberanian bagi kepala pinggiran kota dan pedesaan sekolah wanita di perkotaan lebih rendah . DAFTAR PUSTAKA Admosudirdjo, Prajudi. 1985. Dasar-dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Decision Making Process. http://decision-quality.com/intro.php. Diakses tanggal 2 Mei 2013. Decision Making. http://en.wikipedia.org/wiki/Decision_making. Diakses tanggal 2 Mei 2013. Hadjisarosa, Poernomosidi. 2003. Pendekatan Sistem dalam Manajemen dan Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Manullang, M. 1994. Pedoman Praktis Pengambilan Keputusan. Edisi I. Yogyakarta: BPFE. Muslich, Muhammad. 2009. Metode Pengambilan Keputusan Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara. Reksohadiprodjo, Sukanto. 1997. Organisasi Perusahaan: Teori, Struktur, dan Perilaku. Yogyakarta: BPFE. Stoner, James A.F., & Wankel, Charles. 2003. Management, 2nd Edition. Perencanaan dan Pengambilan Keputusan dalam Manajemen. Jakarta: Rineka Cipta. The Vroom-Yetton-Jago Decision Model.http://www.mindtools.com/pages/article/ newTED_91.htm. Diakses tanggal 2 Mei 2013. Usman, Husaini. 2013. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Edisi Keempat. Jakarta: Bumi Aksara. Biodata: Drs. Tukiyo, M.Pd., dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Widya Dharma Klaten dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 329 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 330 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret MENINGKATKAN PROFESIONALISME SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI JERMAN DAN PERBANDINGANNYA DENGAN DI INDONESIA Ervan Johan Wicaksana Program Pascasarjana S-3 Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret 2013 ABSTRAK Sistem pendidikan nasional adalah suatu sistem dalam suatu negara yang mengatur pendidikan yang ada di negaranya agar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, agar tercipta kesejahteraan umum dalam masyarakat. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa,meskipun secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional bangsabangsa lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa itu sendiri yang secara geografis, demokrafis, histories, dan kultural berciri khas. Pancasila menjadi dasar sistem pendidikan nasional dalam rangka memencerdaskan kehidupan bangsa, seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945.Agar pendidikan di Indonesia ke depannya menjadi lebih baik lagi dan berkualitas, sehingga diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak ada salahnya jika Pemerintah melihat negara asing yang sistem pendidikannya sudah maju. Pada makalah ini kami akan menyampaikan bagaimana keunggulan sistem pendidikan di negara Jerman yang dapat kita adopsi untuk kepentingan kemajuan di bidang pendidikan negara Indonesia. Adapun beberapa hal mengenai kemajuan pendidikan di negara Jerman yang dapat kita ambil untuk meningkatkan kemajuan sistem pendidikan di Indonesia, anatara lain: Penyaluran Kerja Bagi Lulusan dari Negara Jerman; Kemajuan di berbagai bidang; Kualitas pendidikan di negara Jerman sudah tergolong sangat baik karena sudah merata di seluruh bidang study maupun seluruh universitas; serta biaya pendidikan di negara Jerman adalah free atau gratis. Kata Kunci:profesionalisme, system pendidikan nasional A. PENDAHULUAN Pancasila menjadi dasar sistem pendidikan nasional dalam rangka memencerdaskan kehidupan bangsa, seperti termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, pancasila merupakan pedoman yang menunjukan arah, cita-cita dan tujuan bangsa. Karena itu, pancasila harus menjadi semua dasar kegiatan pendidikan di Indonesia. Selain berdasarkan panca sila, pendidikan nasional juga bercita-cita membentuk manusia yang pancasilais, yaitu manusia yang menghayati dan mengamalkan pancasila dalam sikap, perbuatan dan tingkah laku, baik dalam kehidupan ber masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan nasional mempunyai 331 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret landasan ideal adalah pancasila, landasan konstitusional yaitu UUD 1945, dan landasan operasional yaitu ketetapan MPR tentang GBHN. Sistem pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan globalisasi. Era globalisasi yang sedang terjadi saat ini dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dan persaingan sumber daya manusia yang semakin ketat, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang unggul dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu upaya pemerintah untuk dapat menghasilkan sumber daya manusia yang unggul tersebut adalah melalui pendidikan. Terlepas dari harapan tersebut di atas, Indonesia sebenarnya menghadapi masalah mendasar yaitu mutu pendidikan yang cenderung masih rendah. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan di Indonesia yang buruk. Dari hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat di Kompas pada tanggal 5 September 2001 (Yuliana, 2007), disebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei Indonesia menduduki urutan ke-12. Menurut Depdiknas (2001: 1-2), rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain disebabkan oleh sistem pendidikan yang sentralistik (terpusat) dan partisipasi masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah selama ini sangat minim. Kebijakan penyelenggaraan yang bersifat sentralistik (terpusat) dimana hampir semua hal diatur secara rinci dari pusat telah menyebabkan sekolah kehilangan kemandirian, kreativitas dan insiatif untuk mengambil kebijakan yang diperlukan tanpa adanya petunjuk dari birokrasi pendidikan di atasnya. Partitipasi masyarakat (stakeholders) selama ini lebih berupa dukungan dana, kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan akuntabiltas, sehingga sekolah tidak memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan proses dan hasil pendidikan kepada masyarakat (stakeholders). Menghadapi rendahnya mutu pendidikan tersebut, maka perlu dilakukan upaya perbaikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Upaya pemerintah dalam menyikapi hal tersebut adalah dengan melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan yaitu dari manajemen pendidikan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan muru berbasis sekolah atau manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2001: 3). Perubahan sistem penyelenggaraan pendidikan ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan pendidikan yang ada. Mulyasa (2003: 11) menyampaikan bahwa melalui manajemen berbasis sekolah pemerintah memberikan otonomi luas kepada sekolah dengan mengikutsertakan masyarakat untuk mengelola sumber daya sekolah dan mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar masyarakat lebih memahami, membantu, dan mengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sekolah bersama masyarakat diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya sekolah dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas, kebutuhan, dan potensi setempat, serta mempertanggungjawabkannya baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Manajemen berbasis sekolah yang ditandai dengan otonomi sekolah serta pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala ketidakpuasan yang muncul dari masyarakat terhadap kinerja sekolah dan rendahnya mutu pendidikan. Dijelaskan lebih lanjut, 332 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret manajemen berbasis sekolah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, mutu, pemerataan, dan relevansi. Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi pada kelompok tertentu terutama masyarakat tidak mampu. Sedangkan peningaktan relevansi antara lain dapat dilakukan melalui fleksibilitas dan keleluasaan sekolah untuk melakukan pengembangan kurikulum sekolah sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan melakukan penataan jurusan atau program keahlian. Implementasi manajemen berbasis sekolah ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51, ayat (1), ―pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah‖. Kemudian dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 49, ayat (1), ―pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Dengan implementasi manajemen berbasis sekolah diharapkan tumbuh kemandirian sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, peningkatan kerjasama atau kemitraan sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat, peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sekolah. Agar pendidikan di Indonesia ke depannya menjadi lebih baik lagi dan berkualitas, sehingga diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak ada salahnya jika Pemerintah melihat negara asing yang sistem pendidikannya sudah maju. Pada makalah ini kami akan menyampaikan bagaimana keunggulan sistem pendidikan di negara Jerman yang dapat kita adopsi untuk kepentingan kemajuan di bidang pendidikan negara Indonesia. B. GAMBARAN SISTEM PENDIDIKAN DI NEGARA JERMAN Sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan German (VET), juga disebut sebagai sistem ganda, berakar pada kerajinan abad pertengahan model pelatihan magang yang murni berdasarkan atas keterampilan kerja yang bersangkutan. Akan tetapi karena magang yang tinggal di keluarga besar. Dia juga diperkenalkan bahwa perajin harus berperan dalam masyarakat. Pada dekade akhir abad ke-19 model ini diadopsi oleh industri pembelajaran praktis di tempat kerja pelatihan. Tapi proses kerja industri membutuhkan fondasi teoritis baik perintah membaca, aritmatika menulis, dan, misalnya, teknis gambar. Sekolah umum yang didirikan adalah magang diajarkan dalam teori kerja. Perkembangan ini melahirkan nama Sistem Ganda, pendidikan dan pelatihan di perusahaan dan sekolah. Di hari-hari awal magang bersekolah di malam hari setelah bekerja dan pada akhir pekan, tetapi dalam dekade pertama abad ke-20 yang hari pertama kerja sekolah ("Berufsschule") didirikan. Selama hampir setengah abad magang dibagi seminggu menjadi empat sampai lima hari belajar di tempat kerja/ workshop dan satu hari di sekolah, sebelum tahun enam puluhan dan tujuh puluhan dari 333 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret abad terakhir, sebuah sekolah kedua hari diperkenalkan. Dari awal hasil kerja yang dibutuhkan di tempat kerja menetapkan standar kerja. Standar di Sistem Ganda, oleh karena itu, selalu penghasilan sesuai. Kurikulum sekolah, sejauh pendudukan yang bersangkutan, dikembangkan sesuai dengan incompany-pelatihan-standar. Pada hari-hari awal memimpin industri teknik elektro dan logam menetapkan standar kerja oleh penataan pelatihan menjadi satu tahun pelatihan dasar dan dua pelatihan spesialisasi tahun. Pelatihan dasar agak sistematis dan biasanya terjadi di lokakarya. Kursus pertama dikembangkan dan diterbitkan oleh insinyur dan kemudian untuk pekerjaan lain oleh para profesional dari sektor-sektor ini. Kursus-kursus, yang menemukan perhatian internasional, adalah yang pertama standar. Pada tahun 1905 majikan dipimpin German Teknik Asosiasi mendirikan Komite untuk Sekolah Teknis ("Deutscher Ausschuss für Technisches Schulwesen ", DATSCH) yang mulai mengembangkan dan memperbaharui standar kerja sistematis. Kemudian, di Weimar Republik dua puluhan, pemerintah menerima DATSCH sebagai lembaga pengembangan standar, setelah pengusaha menerima perdagangan serikat pekerja sebagai mitra dalam proses ini. Standar kerja menjadi masyarakat peduli. Sejak tahun 1919 mereka dikeluarkan sebagai kerja nasional standar oleh pemerintah. Pelatihan Kejuruan Act ("Berufsbildungsgesetz") tahun 1969, yang mendirikan Institut Federal untuk Pelatihan Kejuruan ("Bundesinstitut fuer Berufsbildung", Bibb), mengatur panggung untuk Sistem Ganda modern, yang menjadi bagian dari sistem pendidikan publik. Bibb menyediakan Temuan penelitian, tenaga profesional dan platform untuk social mitra, pemerintah federal dan negara untuk bertemu dan mengembangkan dan memperbaharui kerja standar, yang diberi nama "pelatihan kerja peraturan"dan dikeluarkan oleh pemerintah federal untuk di-companytrainingdan untuk sekolah oleh menteri pendidikan negara. Bilangan, struktur, hasil dan namanama standar memiliki berubah dalam lima puluh tahun terakhir secara signifikan, meskipun dasar hokum dan kerangka tetap sama. Di tahun lima puluhan ada beberapa 900 pekerjaan pelatihan yang berbeda. Ketika Bibb mulai bekerja di 1.970 jumlah itu turun ke 600 sudah. Pengenalan yang luas pelatihan dasar melalui UndangUndang Pelatihan Kejuruan tahun 1969 berkurang ini mencari lebih lanjut ke beberapa 360 tahun 1990. Dalam perjalanan akhir tahun dua puluh tahun jumlah tetap hampir sama (345), meskipun beberapa enam puluh pekerjaan tradisional lenyap. Tetapi beberapa lima puluh yang baru bergabung dengan klasifikasi, di antaranya di sektor media, informasi dan teknologi komunikasi, jasa dan sektor kesehatan. Logam standar teknis telah direstrukturisasi dari empat puluh dua tradisional pekerjaan ke enam dengan tujuh belas profil. Jika kita membandingkan jumlah standar pelatihan (345) dengan orang-orang di negara-negara lain tampaknya menjadi agak tinggi, tetapi kita harus mempertimbangkan bahwa hampir 90% dari semua peserta dilatih dalam waktu kurang dari seratus pekerjaan pelatihan. 1. Pendidikan Pra Perguruan Tinggi Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pendidikan tiga jenjang SD-SLTP-SLTA, Jerman hanya memiliki dua jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule atau Berufschule). Jenjang Pendidikan Pra Perguruan Tinggi di Jerman memerlukan waktu tempuh normal selama 13 tahun (berbeda dengan di Indonesia, dimana pendidikan 334 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret SD-SLTP-SLTA bisa diselesaikan hanya dalam waktu 12 tahun). Pendidikan sekolah dasar (Grundschule) diberikan dari kelas 1 6, dan setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk memilih melanjutkan ke Gymnasium, Realschule atau Berufschule. Gymnasium diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai yang dianggap mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari kelas 7 – 13, dan setelah lulus mereka diberi ijazah yang dikenal sebagai ―Abitur―. Jadi sebelum masuk ke perguruan tinggi, seorang siswa menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah selama 13 tahun. Berufschule diperuntukkan bagi siswa-siswa yang langsung dipersiapkan memasuki dunia kerja dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan Realschule ada di tengah-tengah keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga langsung memasuki dunia kerja. 2. Pendidikan Tinggi Setelah mendapatkan Abitur, siswa langsung bisa mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi. Berbeda dengan calon mahasiswa di Indonesia yang harus mengikuti ujian tertulis (UMPTN), disini calon siswa sama sekali tidak perlu mengikuti ujian seleksi. Calon mahasiswa tinggal mengirimkan berkas lamarannya, dan universitas akan langsung memutuskan berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut bisa dilakukan karena pendidikan di seluruh Jerman, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, memiliki kualitas yang bisa dikatakan sama. Untuk menjamin kualitas yang merata di semua sekolah, setiap anak wajib masuk ke sekolah terdekat yang telah ditunjuk oleh pemerintah (Bila memilih untuk belajar di sekolah selain yang telah ditunjuk, maka orang tuanya harus mengajukan permintaan khusus disertai dengan alasan-alasannya). Sebaliknya, pemerintah pun menyediakan guru-guru dan fasilitas pendidikan yang merata di semua sekolah, baik di kota besar maupun di pelosok yang jauh dari kota. 3. Jenis Universitas(University dan Fachhochschule) Ada dua jenis pendidikan tinggi di Jerman, yaitu Universität (university,selanjutnya disingkat UNI) dan Fachhochschule (applied university, selanjutnya disingkat FH). Perbedaan antara UNI dan FH diantaranya bisa disebutkan sebagai berikut: a. Materi perkuliahan UNI lebih menekankan ke teori dan kepadanya diberikan tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Komposisi antara teori dan praktek di UNI berkisar 60:40. Sebaliknya, FH (sesuai dengan namanya) lebih menitik beratkan ke aspek terapan, dengan komposisi teori dan terapan 40:60. b. Jadwal perkuliahan Jadwal perkuliahan di UNI adalah Okt-Maret untuk musim dingin (Winter Semester) dan April-September untuk musim panas (Sommer Semester). Sebaliknya untuk FH perkuliahan dimulai lebih dini, yaitu Agustus-Januari untuk musim dingin (WS) dan Februari-Juli untuk musim panas (SS). c. Waktu melamar Karena perbedaan waktu kuliah, maka jadwal untuk proses seleksi pun juga berbeda. Pendaftaran di FH ditutup lebih cepat dibandingkan dengan di UNI. 4. Wajib Belajar di Negara Jerman Menurut ―Grundgesetz‖ Undang Undang Dasar Jerman, pendidikan merupakan kewengan masing-masing negara bagian, walaupun demikian untuk sinkronisasi arah pendidikan, pada tahun 1970 semua negara bagian membentuk 335 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret ―Bund-Länder-Kommission für Bildungsplan und Forschungsförderung‖ Komisi Bersama untuk Rancangan Pendidikan dan Bantuan Penelitian. Dengan adanya Konferensi Tahunan antar Menteri Kultur dan Kebudayaan negara-negara bagian, secara institusional merupakan Gremium terpenting untuk mengkoordinasikan arah pendidikan dari masing-masing negara bagian di Jerman.Rentang waktu Wajib Sekolah lamanya berkisar antara 9 – 10 tahun, dimulai dari usia 6 tahun sampai dengan 18 tahun. 5. Biaya Pendidikan Study di Jerman adalah free atau gratis, namun demikian, pada setiap semester, para mahasiswa akan dikenakan biaya untuk uang administrasi mahasiswa, uang sosial dan Semester ticket (tidak wajib di setiap tempat) dan ada kemungkinan biaya tambahan yang lain, keseluruhannya berkisar € 150, tergantung kebijakan dari masing-masing universitas. Semesterticket adalah tiket para pelajar untuk menggunakan jasa angkutan untuk suatu daerah tertentu selama 1 semester. Jadi dalam 1 semester, mahasiswa tersebut tidak perlu membayar uang angkutan. Perlu diingat, semester ticket hanya diperuntukkan bagi calon mahasiswa ataupun seseorang yang terdaftars sebagai mahasiswa. Peserta kursus bahasa tidak mendapatkan semester ticket. Sebagai salah satu solusinya adalah membeli tiket tiket bulanan yang harganya lebih murah daripada tiket mingguan ataupun tiket harian. 6. Beasiswa (Bantuan Belajar) Negara Jerman menyediakan beasiswa 5.000 (lima ribu) orang Indonesia untuk studi Program S3 kuliah di Jerman. Program ini berlangsung selama 10 tahun. Bisa dibayangkan betapa besarnya jaringan Jerman dalam 5 tahun mendatang dan seterusnya di Indonesia. Jika Program 5.000 doktor itu bisa mulus maka dalam beberapa tahun ke depan begitu banyak para intelektual Indonesia alumni Jerman yang mewarnai dan berkarya di tanah air. Ini adalah sebuah jejaringan intelektual yang luar biasa jika anda bersinerji di dalamnya. 7. Kualitas Pendidikan yang Merata Kualitas pendidikan di negara Jerman sudah tergolong sangat baik karena sudah merata di seluruh bidang study maupun seluruh universitas yang ada di Jerman. Ada sekitar 375 Perguruan Tinggi di Jerman dan semuanya berkualifikasi yang bermutu secara merata. Semuanya berkualitas baik. Kalau di Universitas Jerman hanya orang yang memenuhi standard kualitas akademik tradisi Jerman lah yang bisa lulus. Jika kita lulusan dari negara Jerman, maka kita cukup menjawab: Made in Germany! Masyarakat dunia sudah mengetahui jaminan dari tradisi pendidikan berkualitas dan butuh dedikasi serta integritas tinggi untuk bisa lulus dari tradisi pendidikan tersebut! Pertanyaan paling tidak relevan bagi calon mahasiswa baru yang akan kuliah ke Jerman: ―Universitas apa di Jerman yang paling bagus?‖ Pertanyaan itu tidak relevan karena semua universitas di Jerman itu kualitasnya bagus atau malah bagus sekali. Jadi, yang terpenting anda diterima dan bisa lulus. 8. Kemajuan di Berbagai Bidang Bidang teknologi, Sains canggih. Bidang Ekonomi memimpin dunia. Bidang Filsafat, Seni, Sosial terdepan. Kemajuan di berbagai bidang tersebut juga diterapkan untuk menunjang kemajuan di dunia penddikan. Nyaris tidak ada negara yang mampu mengimbangi Jerman dalam Inovasi sains dan Teknologi. 336 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 9. Penyaluran Kerja Bagi Lulusan dari Negara Jerman Bagi lulusan dari negara Jerman, tersedia Program ZAV yaitu kerja sama Pemerintah Jerman dengan Pemerintah Indonesia. Dicarikan kerja dan juga mendapat subsidi 600 Eur /bulan selama 2 tahun selain honor yang diterima dari pemerintah Indonesia. Anda pun dibiayai kembali tanah air dan pekerjaan sudah siap menunggu anda. Syarat untuk ikuti Program ZAV ini adalah anda harus lulus kuliah. Lalu tinggal daftar tawaran kerja yang tersedia di website-nya. Setelah anda diterima dan prosedur administrasi dipenuhi maka sudah ada instansi di Indonesia yang siap terima anda tanpa harus di tanah air anda bawabawa map lamaran kerja dan cari kerja dulu. 10. Profesional Standar untuk Spesialis VET Spesialis VET pendidikan dan pelatihan dalam sistem VET Jerman adalah guru dan pelatih.Guru di SMK penuh atau paruh-waktu harus menyelesaikan empat sampai lima tahun saja studi dan lulus dari universitas (pertama ujian guru) sebelum mereka melakukan dua tahun masa percobaan mereka sebagai Guru SMP berakhir dengan ujian guru kedua dan masa percobaan. Pelatih di perusahaan yang bertanggung jawab untuk pelatihan sistem ganda sesuai dengan standar harus memenuhi syarat sesuai dengan Pelatihan Kejuruan Act. Mereka menyelesaikan kursus di psikologi dan pedagogik pelatihan, perencanaan, melaksanakan dan memantau di tempat kerja dan dalam lokakarya sebelum mereka berdiri pemeriksaan di ruangan. 11. Pemerataan Penggunaan Bahasa oleh guru dan dosen di negara Jerman melalui standar AFMLTA yang berlaku untuk semua guru Penjelasan tersebut tidak mengharuskan semua guru dari Jerman akan menggunakan pengetahuan mereka dengan cara yang sama. Tetapi harus diakui bahwa kemungkinan masing-masing guru harus menggunakan dan mengembangkan kemampuan profesional mereka sebagai guru Jerman akan berbeda. Standar AFMLTA dirancang untuk menjadi generik di seluruh bahasa dan bagi banyak dari standar masing-masing tidak ada penjelasan spesifik yang hanya berlaku untuk Jerman. Ini adalah standar yang terdaftar di bawah judul bahasa dan budaya yang paling relevan untuk Jerman. Dalam bagian-bagian dari penjelasan yang berhubungan dengan pengetahuan bahasa dan budaya, kami telah digunakan sebagai dasar, pengetahuan yang non-pribumi guru speaker harus diharapkan menjadi guru yang efektif dari Jerman. Mengakui bahwa penutur asli dan non-pribumi speaker memperoleh pengetahuan mereka tentang bahasa dan budaya dengan cara yang berbeda. Namun, ditekankan bahwa penjelasan mengenai pengetahuan khusus tentang bahasa dan budaya berlaku untuk semua guru secara independen dari latar belakang bahasa mereka. Dalam beberapa kasus, para guru dari Jerman yang bekerja untuk mengembangkan penjelasan merasa bahwa ada beberapa masalah yang tidak benarbenar spesifik untuk Jerman, tetapi mereka ingin menyorot sebagai pertimbangan penting bagi pengajaran dan pembelajaran bahasa Jerman. Hal ini ditunjukkan dalam teks penjelasan. Penjelasan tersebut tidak boleh dianggap unik untuk Jerman atau menjadi satu-satunya cara bahwa standar sendiri berlaku untuk Jerman. 12. Penghargaan untuk Guru yang Memiliki Standar Jerman Bahasa dan budaya Guru bahasa dan budaya keduanya pengguna dan guru pengetahuan linguistik dan budaya. Mereka 337 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret memiliki pengetahuan tentang bahasa (s) dan budaya (s) mereka mengajar yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam interaksi mudah dalam bahasa masuk dan keluar dari kelas. Selain itu, mereka memiliki kesadaran antarbudaya maju dan tahu bagaimana berkomunikasi melalui bahasa dan budaya. Mereka secara aktif terlibat dalam menjaga dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang bahasa dan budaya mereka mengajar dan mencari kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan untuk tetap up to date dengan bagaimana bahasa dan budaya yang digunakan dalam komunitas bahasa target. Guru berprestasi Jerman dapat menggunakan Jerman dalam berbagai kelas yang berhubungan dengan fungsi: a. Untuk manajemen kelas reguler / organisasi dan instruksi, membahas dan menciptakan lingkungan kelas yang positif, dan untuk menegosiasikan kurikulum b. Menyelidiki dan mengajar bahasa dan budaya dalam topik yang tepat untuk kelompok usia c. Sumber dan memproduksi teks lisan dan tertulis berkelanjutan menggunakan jenis kelas teks yang relevan dan menunjukkan kemampuan untuk model ini untuk siswa d. Mengidentifikasi, mengenali dan menggunakan bahasa jerman dan budaya untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang lebih umum dari bahasa, budaya dan keanekaragaman e. Melibatkan siswa dalam pembelajaran mereka melalui penggunaan dari jerman f. Mengajar melalui jerman menggunakan jenis yang relevan kosakata, sintaks dan teks yang relevan dengan usia dan tingkat peserta didik mereka Guru berprestasi Jerman memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Jerman untuk berkomunikasi dengan pembicara Jerman lainnya untuk tujuan profesional dan pribadi, seperti: a. Terlibat dalam percakapan santai dengan pembicara lain dari Jerman, termasuk non-penutur asli b. Mendiskusikan topik kelas yang terkait dengan rekan-rekan di forum pengembangan profesional di sekolah dan di luar c. Mengelola kebutuhan transaksional hidup dan perjalanan di negara-negara berbahasa Jerman d. Berpartisipasi dalam beberapa konteks bahasa formal (seperti mengunjungi sekolah berbahasa Jerman, pertemuan anggota masyarakat setempat, negosiasi kontak internasional) e. Membuat panggilan telepon, membaca dan menulis e-mail dan / atau huruf, f. Membaca surat kabar dan majalah, menonton siaran televisi dan mendengarkan program radio g. Membaca literatur untuk kesenangan h. Menggunakan media kontemporer misalnya majalah saat ini, surat kabar, film, TIK (podcast, vodcasts dll) untuk mengikuti isu-isu saat ini di negaranegara berbahasa Jerman dan sebagai alat belajar mengajar untuk kelas C. GAMBARAN SISTEM PENDIDIKAN DI NEGARA INDONESIA 1. Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru. Di era globalisasi sekarang ini, proses peningkatan mutu pendidikan sangat diperlukan oleh sebuah sistem. Yang mana sistem tersebut mampu menggerakan beberapa komponen, antara lain berupa program kegiatan pembelajaran, peserta didik sarana prasarana pembelajaran, dana, lingkungan masyarakat, kepemimpinan kepala sekolah,dan lain- lain. Namun semua itu tidak akan efektif terhadap perubahan 338 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pengalaman perserta didik, apabila tidak didukung oleh keberadaan guru yang profesional. Guru merupakan salah satu pilar atau komponen utama yang dinamis dalam mencapai tujuan ―mencerdaskan kehidupan bangsa‖,dan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki kemampuan yang maksimal untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun profesional. Profesional artinya dilaksanakan secara sungguh- sungguh dan didukung oleh para petugas secara profesional. Petugas yang profesional adalah petugas yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yanng kuat. Profesionalisme guru merupakan acuan yang sangat penting bagi peningkatan dunia pendidikan.Makna profesional menurut UU No. 14 Tahun 2005 adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sistem pengembangan profesionalisme dosen di Indonesia dilaksanakan dengan dasar hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 Tentang Dosen, Peraturan Mendiknas Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi PNS di lingkungan Depdiknas, Peraturan Mendiknas Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, serta peraturan-peraturan lain yang relevan.Banyak cara yang dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Jalan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan Profesionalisme guru antara lain: a. Peningkatan Kesejahteraan. Mutu pendidikan di Indonesia yang jauh tertinggal dari Negara lain, menimbulkan kritik tajam dari kalangan masyarakat yang di alamatkan pada institusi pendidikan. Berbagai program perbaikan mutu telah dilakukan, diantaranya sertifikasi professional guru. Sertifikasi dan resertifikasi ini di harapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan kepercayaan kepada stakeholders. Rasionalisai perlunya sertifikasi bagi guru adalah Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 39, globalisasi pendidikan dan rencana pemberlakuan standar nasional pendidikan. Dosen menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (Pasal 51 huruf a). Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja. Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen dilakukan dengan upaya peningkatan gaji dan tunjangan secara berkala. b. Pendidik Memenuhi Kualifikasi, Kompetensi, sertifikasi, dan Jabatan Akademik Dosen 1) Kualifikasi Dosen Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik (diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana): Lulusan program magister untuk program diploma dan program sarjana, serta lulusan program doktor untuk program pascasarjana (Pasal 45 dan 46). 2) Kompetensi Dosen Kompetensi dosen meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. 339 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 3) Sertifikasi Dosen Dosen dipersyaratkan lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang ditetapkan pemerintah sebagai penyelenggara sertifkasi dosen (Pasal 47 huruf c). Dosen yang telah lulus sertifikasi diberikat sertifikat pendidik, sebagai pengakuan menjadi pendidik profesional. 4) Jabatan Akademik Dosen Jabatan akademik dosen meliputi: Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Profesor (Pasal 48). Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional, dapat diangkat menjadi Profesor Paripurna (Pasal 49). c. Untuk melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban: 1) Melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 2) Merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai danmengevaluasi hasil pembelajaran. 3) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 4) Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran. 5) Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dank ode etik, serta nilai-nilai agama dan etika. 6) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa (Pasal 60 huruf a sampai f). d. Penyelenggaraan pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Memberi kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya. Contohnya diklat, seminar dan workshop. e. Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. f. Memahami tuntutan standar profesi yang ada Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada (di Indonesia dan yang berlaku di dunia) harus ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru kita ingin meningkatkan profesionalismenya. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara. Kedua, sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan vang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belaiar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan membuka diri yakni mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya. 340 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret g. Mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan. Upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan juga tidak kalah pentingnya bagi guru. Dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melalui inservice training dan berbagai upaya lain untuk memperoleh sertifikasi h. Membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi. Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Hal tersebut dimaksudkan untuk memacu semangat guru atau dosen tersebut untuk berkembang. i. Mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen. Selanjutnya upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelavanan bermutu tinggi kepada konstituen merupakan suatu keharusan di zaman sekarang. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituennya yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik vang didanai. diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. j. Mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar senantiasa tidak ketinggalan dalam kemampuannya mengelola pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media presentasi, komputer (hard technologies) dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan (soft technologies). Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya tersebut pada akhirnya memerlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud. Pihak-pihak yang harus memberikan dukungannya tersebut adalah organisasi profesi seperti PGRI, pemerintah dan juga masyarakat. D. HAL-HAL YANG DAPAT KITA AMBIL DARI KEUNGGULAN SISTEM PENDIDIKAN DI JERMAN UNTUK PENINGKATAN PROFESONALISME GURU DAN DOSEN DI INDONESIA 1. Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pendidikan tiga jenjang SD-SLTP-SLTA. Jerman hanya memiliki dua jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule atau Berufschule). Pendidikan sekolah dasar (Grundschule) diberikan dari kelas 1 6, dan setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk memilih melanjutkan ke Gymnasium, Realschule atau Berufschule. Gymnasium diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai yang dianggap mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari kelas 7 – 13, dan setelah lulus mereka 341 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 2. 3. 4. diberi ijazah yang dikenal sebagai ―Abitur―. Berufschule diperuntukkan bagi siswasiswa yang langsung dipersiapkan memasuki dunia kerja dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan Realschule ada di tengahtengah keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga langsung memasuki dunia kerja. Cara untuk masuk di pendidikan tinggi di Indonesia juga berbeda dengan di Jerman. Setelah mendapatkan Abitur, siswa langsung bisa mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi. Berbeda dengan calon mahasiswa di Indonesia yang harus mengikuti ujian tertulis (UMPTN), disini calon siswa sama sekali tidak perlu mengikuti ujian seleksi. Calon mahasiswa tinggal mengirimkan berkas lamarannya, dan universitas akan langsung memutuskan berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut bisa dilakukan karena pendidikan di seluruh Jerman, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, memiliki kualitas yang bisa sama. Berbeda dengan jenis perguruan tinggi di Indonesia yang diklasifikasikan menjadi akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Pendidikan tinggi di Jerman hanya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu Universität (university,selanjutnya disingkat UNI) lebih menekankan ke teori dan kepadanya diberikan tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Komposisi antara teori dan praktek di UNI berkisar 60:40 dan Fachhochschule (applied university, selanjutnya disingkat FH) lebih menitik beratkan ke aspek terapan, dengan komposisi teori dan terapan 40:60. Wajib belajar di Negara Jerman tidak berbeda jauh dengan di Indonesia yang 5. 6. 7. 342 mewajibkan belajar 9 tahun. Dengan adanya konferensi tahunan antar Menteri Kultur dan Kebudayaan negara-negara bagian, secara institusional merupakan Gremium terpenting untuk mengkoordinasikan arah pendidikan dari masing-masing negara bagian di Jerman.Rentang waktu wajib sekolah lamanya berkisar antara 9 – 10 tahun, dimulai dari usia 6 tahun sampai dengan 18 tahun. Perbedaan yang sangat signifikan juga terlihat pada biaya pendidikan. Di Indonesia pendidikan terbilang mahal bagi orang yang kurang mampu. Bahkan semakin tinggi pendidikan yang ditempuh semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini sangat berbeda dengan study di Jerman adalah free atau gratis, namun demikian, pada setiap semester, para mahasiswa akan dikenakan biaya untuk uang administrasi mahasiswa, uang sosial dan semester ticket (tidak wajib di setiap tempat) dan ada kemungkinan biaya tambahan yang lain, keseluruhannya berkisar € 150, tergantung kebijakan dari masingmasing universitas. Kualitas pendidikan di negara Jerman sudah tergolong sangat baik karena sudah merata di seluruh bidang study maupun seluruh universitas yang ada di Jerman. Ada sekitar 375 Perguruan Tinggi di Jerman dan semuanya berkualifikasi yang bermutu secara merata. Semuanya berkualitas baik. Kalau di Universitas Jerman hanya orang yang memenuhi standard kualitas akademik tradisi Jerman lah yang bisa lulus. Kemajuan di berbagai bidang, diantaranya: bidang teknologi, sains canggih, bidang ekonomi yang memimpin dunia. Bidang Filsafat, Seni, Sosial terdepan. Kemajuan di berbagai bidang tersebut juga diterapkan untuk Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 8. 9. menunjang kemajuan di dunia penddikan. Penyaluran Kerja Bagi Lulusan dari Negara Jerman. Dengan disediakannya Program ZAV yaitu kerja sama pemerintah Jerman dengan pemerintah negara lain. Pemerintah Jerman juga menjamin lulusannya untuk mendapat subsidi 600 Eur /bulan selama 2 tahun selain honor yang diterima. Profesional Standar untuk Spesialis (VET) pendidikan dan pelatihan dalam sistem VET Jerman yang mendapatkannya adalah guru dan pelatih.Guru di SMK penuh atau paruhwaktu harus menyelesaikan empat sampai lima tahun saja studi dan lulus dari universitas (pertama ujian guru) sebelum mereka melakukan dua tahun masa percobaan mereka sebagai Guru SMP berakhir, dilanjutkan dengan ujian guru kedua dan masa percobaan. 10. Pemerataan Penggunaan Bahasa oleh guru dan dosen di negara Jerman melalui standar AFMLTA yang berlaku untuk semua guru. Penjelasan tersebut tidak mengharuskan semua guru dari Jerman akan menggunakan pengetahuan mereka dengan cara yang sama. Tetapi harus diakui bahwa kemungkinan masing-masing guru harus menggunakan dan mengembangkan kemampuan profesional mereka sebagai guru Jerman akan berbeda. 11. Penghargaan untuk Guru yang Memiliki Standar Jerman di bidang bahasa dan Bahasa dan budaya. Mereka memiliki pengetahuan tentang bahasa dan budaya mereka mengajar yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam interaksi dengan mudah dalam bahasa masuk dan keluar dari kelas DAFTAR PUSTAKA Aqib Zainal. 2002. Profesionalisme guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Cendikia. Depdikbud. 1989. UU RI No. 2 Tahun 1982 tentang Sistem Pendidikan Nasional besrta penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka. Depdikbud. 1989. UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta penjelasannya. Jakarta: Balai Pustaka. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2012.Buku Pedoman Sertifikasi Pendidik untuk Dosen (serdos) Terintegrasi. Buku 1 Naskah Akademik. Jakarta: Ditjen Dikti Kemendiknas. Kunandar. 2007. Guru Profesional-Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Nawawi, Hadari. 1983. Perundang-Undangan Pendidikan. Jakarta: Ghalia. Peraturan Mendiknas Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi Peraturan Mendiknas Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi PNS di lingkungan Depdiknas. 343 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 Tentang Dosen Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran, Mengembangkan ProfesionalismeGuru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Tirtarahardja, Umar dan La sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 39, globalisasi pendidikan dan rencana pemberlakuan standar nasional pendidikan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/search/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExtSea rch_SearchValue_0=EJ467072&ERICExtSearch_SearchType_0=no&accno=EJ467 072 344 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU Sunhaji STAIN Purwokerto Jawa Tengah ABSTRACT Teachers play a significant role in the progress of national education, which supports to the national development. As a result, teachers should be the center of national development, especially human resources development. Ideally, teachers should have certain qualifications such as: personal, professional, and social ones. In reality, however, not all the products this pre-service education can achieve such qualifications. Besides, the materials and learning methods are easily lest behind from the newest innovation of science and technology. For that reason, improving teachers' quality is very important.The effort to improve teachers' professionalism are intended to guide teachers to be able to create more effective learning process, which then results in the improvement of learners' achievement. Since teachers play a significant role in the progress of national education, any efforts to improve teachers' quality will result in higher quality of education in this country. There are at least three strategies to develop teachers' professionalism: their own initiatives, supports from the institutions, and development efforts, which should be the responsibility of the government through providing good facilities. Keywords: Teacher, Professionally, Development and Strategy. A. PENDAHULUAN Istilah guru adalah salah satu istilah untuk menyebut pihak atau seseorang yang mengajarkan, membantu, atau membimbing peserta didik dalam menjalani proses pendidikan. Dalam teori pendidikan Islam ada banyak istilah lain untuk menyebut guru misalnya; Ustadz, Mu'allim, Mursyid, Mudarris, Muaddib dan sebagainya. Istilahistilah tersebut sesungguhnya digunakan dalam makna yang umum untuk menyebut semua orang yang menjalankan tugastugas kependidikan. Termasuk dalam pengertian ini adalah istilah murabbi yang diambil dari kata rabb (Tuhan), dalam ungkapan rabbil 'alamin bahwa Tuhan adalah pencipta dan sekaligus pendidik seluruh alam. Dari istilah-istilah tersebut muncul kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang guru serta peran yang harus dilakukannya. Seorang guru haruslah seseorang yang memiliki pengetahuan (dari istilah 'alim) yang berperan untuk mengajarkan pengetahuan (mu'allim). Guru juga haruslah seorang yang memiliki tingkat moralitas yang bisa diteladani oleh peserta didik (dari istilah muaddib), yang bertugas untuk membina akhlak siswa. Seorang guru bertugas untuk memberikan bimbingan kepada peserta didik (mursyid), seorang guru juga harus profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru (dari istilah ustadz, yang biasanya dipergunakan untuk memanggil seorang profesor dalam konteks pendidikan di Arab), dan sebagainya. Pada tataran praktis, istilah guru ini kemudian lebih dimaknai secara khusus yakni seseorang yang melaksanakan tugas keguruan dan berada dalam sebuah istitusi pendidikan (lebih tepatnya pendidikan persekolahan). Orang tua, tokoh masyarakat, atau siapapun juga yang memberikan atau melaksanakan tugas pendidikan kepada anak 345 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret didik tidak disebut sebagai guru karena mereka tidak melaksanakan perannya dalam institusi pendidikan seperti madrasah dan sekolah. Dalam konteks inilah kajian tentang konsep guru ini dilakukan, yakni guru sebagai salah satu unsur yang ada dalam suatu institusi pendidikan. Selanjutnya tulisan ini sedikit akan membahas guru berkait dengan kompetensi guru, profesionalisme guru dan strategi pengembangannya. B. KOMPETENSI GURU Sebagaimana tercermin dari istilahistilah di atas, bahwa seorang guru (khususnya yang melaksanakan tugas dalam lembaga formal) harus memiliki kualifikasi ideal yang berlaku umum, di samping kualifikasi-kualifikasi khusus yang ditetapkan oleh institusi penyelenggara pendidikan. Hal ini penting untuk difahami karena tugas seorang guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, akan tetapi di samping itu guru juga bertugas untuk membimbing serta melatih para peserta didik agar mereka dapat terkembangkan seluruh potensinya untuk mencapai tujuan pendidikan. Kualifikasi-kualifikasi guru ini dalam khazanah ilmu pendidikan kemudian dikenal dengan istilah kompetensi guru yang meliputi kompetensi personal, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi personal adalah kesiapan atau kematangan pribadi seorang guru menyangkut nilai-nilai (ke-Tuhan-an, kebenaran, etika, kejujuran, tanggung jawab dan sebagainya) yang tercermin baik dalam pola fikir maupun sikapnya, sehingga seseorang "layak" untuk menjalankan tugas keguruan. Erat berkait dengan kompetensi personal adalah kompetensi sosial, dan oleh karena itu A.S. Lardizaba sebagaimana dikutip oleh Samana, menyatukan kompetensi personal dan kompetensi sosial.Di samping kedua kompetensi tersebut yang juga sangat penting harus ada dan dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi profesional. Secara umum kompetensi profesional difahami sebagai kesiapan seorang guru baik secara materi (penguasaan materi ajar) maupun secara metodologis yakni mampu melaksanakan tugasnya secara ilmiah sesuai dengan metodologi pengajaran untuk mencapai efektifitas proses pendidikan. Terdapat sepuluh kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh seorang guru agar mereka dapat memenuhi kompetensi profesional ini. Kesepuluh kemampuan dasar tersebut adalah: 1. Menguasai dasar-dasar filosofi pendidikan 2. Menguasai bahan-bahan materi ajar. 3. Kemampuan mengelola program kegiatan belajar mengajar. 4. Kemampuan mengelola kelas. 5. Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar. 6. Kemampuan menggunakan media dan sumber belajar. 7. Kemampuan mengevaluasi hasil belajar siswa. 8. Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan. 9. Kemampuan memahami prinsip dan menafsirkan hasil penelitian untuk keperluan mengajar. 10. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi madrasah. Selain kemampuan-kemampuan tersebut menurut Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 Indikator guru profesional tersebut, selanjutnya menjadi standar dalam mengukur kinerja guru. Sebagaimana dijadikan dasar penilaian sertifikasi guru dalam jabatan dalam bentuk portofolio yang terdiri 10 (sepuluh) komponen. 1. Kualifikasi Akademik 2. Pendidikan & Pelatihan 3. Pengalaman Mengajar 4. Perencanaan & Pelaksanaan Pembelajaran 5. Penilaian dari Atasan 346 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 6. 7. 8. 9. Prestaqsi Akademik Karya Pengembangan Profesi Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah Pengalaman menjadi Pengurus di idang Pendidikan dan Sosial 10. Penghargaan yang relevan di bidang Pendidikan Guru ke depan menghadapi berbagai tantangan yang berat, bukan hanya dalam level lokal, melainkan nasional dan global. Terlebih setelah diundangkannya UU RI NO.20 Tahun 2003, UUGD No. 14 Tahun 2005,PP NO. 19 Tahun 2005 tentang Stándar Nasional Pendidikan, PP No.74 Tahun 2008 tentang guru ,Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Stándar Kualifikasi pendidik dan kompetensi pendidik serta Permendiknas No. 10 Tahun 2009 tentang sertifikasi Guru dalam Jabatan maka tuntutan terhadap profesionalisme guru semakin besar. Program sertifikasi guru merupakan amanah undang-undang yang harus dilaksanakan dan diharapkan akan mampu menjadikan guru yang bermutu tinggi dan profesional. Dengan kompetensi-kompetensi tersebut para guru diharapkan akan dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang pengajar, pendidik, pembimbing dan sekaligus pelatih bagi para siswa. Abdurrahman An-Nahlawi menyebutkan dua tugas penting seorang guru. Pertama, guru berperan untuk melakukan tugas "penyucian", artinya seorang guru berfungsi sebagai pembersih diri, pemelihara diri, pengembang serta pemelihara fitrah manusia. Kedua, fungsi pengajaran, yakni sebagai seorang yang bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan.Fungsi yang pertama lebih merupakan tugas mendidik dan melatih sedangkan yang kedua merupakan implementasi dari tugas mengajar. C. PROFESIONALISME GURU Sebelum sampai kepada pemahaman tentang konsep profesionalisme guru, pada bagian ini akan dikaji terlebih dahulu tentang konsep profesi secara umum. Dalam kajian ini pula nantinya akan dicoba dieksplorasi istilah-istilah lain yang merupakan derivasi dari istilah profesi. Pemahaman tentang konsep profesi dan derivasinya secara umum ini nantinya diharapkan akan dapat menjadi kerangka dalam memahami profesi, profesionalisme dan profesionalitas guru. Istilah profesi berasal dari akar kata to profess yang berarti janji terbuka, bahwa seseorang melaksanakan pekerjaan tertentu karena ada semacam janji yang berupa panggilan nurani atau pengabdian seseorang terhadap pekerjaan tersebut. Di samping itu istilah profesi juga dapat dilacak dari akar kata profession (Inggris) dan profecus (latin) yang berarti mengakui, pengakuan, menyatakan mampu atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu. Dari kedua istilah ini kemudian muncul istilahistilah lain seperti profesi, profesional, profesionalitas, profesionalisme, dan profesionalisa. Secara terminologis istilah profesi dimaknai sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan atau ketrampilan khusus bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual, artinya bahwa sebuah profesi harus didukung oleh pengetahuan teoritis yang menjadi acuan dalam melakukan pekerjaan praktis. Menurut Dictionary of Education yang dikutip Oleh Syafruddin Nurdin; Profession in an occupation usually involving long and specialized preparation on the level of higher education and governed by its own code of ethic; Sementara istilah profesional dapat difahami sebagai sesorang yang menekuni suatu profesi (sebagaimana ungkapan " sebagai seorang profesional, saya...") dan tampil dengan semangat, jiwa, serta sikap profesional atau memiliki sifat profesional. Istilah profesional dalam hal ini menggaris 347 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bawahi perlunya, pertama, kepandaian atau keahlian tertentu dari seorang profesional, kedua, seorang profesional selalu berorientasi kepada mutu dan sikap profesional, ketiga, usaha kerja keras yang merupakan perwujudan dari panggilan terhadap professio (janji yang diucapkan di muka umum) guna merealisasikan terwujudnya nilai-nilai mulya yang diamanatkan oleh Tuhan. Istilah profesionalisme lebih merupakan sebuah nilai (nilai-nilai profesional) yang harus dipegangi dan diimplementasikan oleh seorang profesional. Menurut Ahmad Tafsir, profesionalisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional oleh orang yang profesional. Sedangkan Istilah profesionalitas lebih difahami sebagai derajat, tingkat atau kualitas pencapaian seseorang dalam mengimplementasikan nilai-nilai profesional dan segala upaya yang dilakukan untuk menanamkan jiwa serta meningkatkan derajat atau kualitas sikap profesional seseorang disebut sebagai profesionalisasi. Mengacu kepada paparan di atas, tersirat bahwa sebuah profesi haruslah merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang benar-benar memiliki kapabilitas baik berupa pengetahuan konseptual ataupun kemampuan yang berupa skill aplikatif, sehingga seseorang itu memang layak untuk disebut sebagai ahli dalam pekerjaan yang dilakukannya. Di samping itu yang juga tidak kalah penting adalah bahwa sebuah profesi menuntut kepada para pelakunya; tanggung jawab, dedikasi ataupun komitmen terhadap pekerjaan. Hal ini sejalan dengan perspektif yang dipergunakan oleh Sahertian dalam memaknai profesionalisme. Menurut Piet A. Sahertian terdapat tiga dimensi dalam konsep profesi, yaitu expert (keahlian), responsibility (tanggung jawab) dan rasa kesejawatan." Sementara Sudarwan Danim menuturkan setidaknya terdapat tiga pilar pokok yang harus ada sehingga suatu pekerjaan itu layak disebut sebagai suatu profesi; 1. Pengetahuan (knowladge), yang difahami sebagai kapasitas kognitif yang dimiliki oleh seseorang melalui proses belajar. 2. Keahlian (expert) yakni penguasaan substansi keilmuan atau juga kepakaran dalam cabang ilmu tertentu dan 3. Persiapan akademik (Academic Preparation) yakni bahwa untuk untuk menekuni sebuah bidang pekerjaan tertentu yang masuk dalam kategori profesi seseorang harus menempuh sebuah proses pendidikan khusus. Indikator-indikator profesional yang lain banyak dieksplorasi oleh para pakar manajemen umum ataupun manajemen pendidikan, seperti Oteng Sutrisna yang memaparkan ciri-ciri profesional, bahwa profesi itu selalu didasarkan pada: 1. Suatu dasar ilmu atau teori sistematis, 2. Kewenangan profesional yang diakui oleh klien, 3. Sanksi-sanksi dan pengakuan masyarakat akan keabsahan kewenangannya. 4. Kode etik yang regulatif. 5. Kebudayaan profesi dan 6. Persatuan profesi. Westby dan Gibson sebagaimana yang dikutip oleh Sardiman menjelaskan ciri-ciri suatu pekerjaan yang termasuk dalam profesi, yaitu; 1. Diakui oleh masyarakat dan layanan yang diberikan itu hanya dikerjakan oleh pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi. 2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu pengetahuan sebagai landasan dari sejumlah tehnik dan prosedur yang unik. 3. Diperlukan persiapan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis sebelum seseorang menekuni sutu pekerjaan profesional. 348 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 4. Adanya mekanisme seleksi sehingga hanya orang yang memenuhi kualifikasi saja yang bisa bekerja dalam sebuah profesi. 5. Dimilikinya organisasi profesional untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat. Kemudian dari hasil pengkajian Danim terhadap telaah yang dilakukan oleh para ahli menyimpulkan bahwa ada enam karakteristik profesi yaitu: 1. Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. 2. Memiliki pengetahuan spesialisasi. 3. Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien. 4. Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan. 5. Mementingkan kepentingan orang lain Memiliki kode etik. Guru adalah pendidik profsional dengan tugas utama mendidik, mengajar dan membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menegah. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7 ayat 1, profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: 1. Memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme. 2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. 3. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. 4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. 5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. 6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. 7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi berkelanjutan. 8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan keprofesionalan. 9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur halhal yang berkaitan dengan keprofesian. Bagi guru profesional, pekerjaan sebagai seorang guru merupakan sebuah pilihan dan keinginan kuatnya bukan karena keterpaksaan. Pekerjaan sebagai guru merupakan panggilan jiwa, minat dan citacitanya. Dengan demikian seorang guru akan melaksanakan pekerjaan ini penuh dengan kerja keras dan dedikasi yang tinggi. Sikap seperti ini dapat lahir dari sebuah pengetahuan bahwa pekerjaan sebagai guru merupakan pekerjaan yang sangat mulia, Pekerjaan guru akan memberikan investasi pahala pasca kematiannya dan pengetahuanpegetahuan normatif lainnya. Dari paparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa pekerjaan yang dapat disebut sebagai profesi adalah: 1. Didasarkan pada adanya keahlian baik secara teoritis konseptual serta keluasan wawasan dan kemampuan praktis aplikatif yang diperoleh melalui proses pendidikan atau latihan yang dilakukan secara khusus. 2. Dilakukan dengan penuh tanggung jawab untuk memenuhi tuntutan ideal dengan berupaya untuk terus melakukan perbaikan dan pengembangan. 3. Berada dalam suatu wadah profesi (adanya ikatan kesejawatan) dengan berbagai regulasi dan kode etik yang harus dipenuhi. Berdasarkan uraian di atas dapat difahami bahwa tidak semua jenis pekerjaan dapat disebut sebagai profesi. Dalam realitas kehidupan, meskipun ada banyak pilihan pekerjaan yang menghasilkan imbalan, akan tetapi hanya sebagian yang termasuk dalam kategori profesi, salah satunya adalah profesi guru. 349 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pekerjaan sebagai guru disebut sebagai profesi karena tidak semua orang dapat menekuni profesi ini. Terdapat banyak kualifikasi yang dituntut termasuk salah satu yang penting adalah dimilikinya pengetahuan yang diperolehnya melalui suatu proses pendidikan khusus. Apalagi jika hendak mencapai idealisasi seorang guru sebagai seorang profesional, maka akan semakin banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Dalam era yang semakin maju seperti sekarang ini, di mana kompetisi antar berbagai bidang kehidupan semakin ketat, maka profesionalisme menjadi suatu tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu bagi siapapun yang hendak menekuni profesi apapun jenisnya, harus mempersiapkan diri untuk menjadi seorang profesional dan selalu berupaya untuk meningkatkan profesionalismenya, termasuk profesi sebagai guru. Derivasi dari istilah profesi ini (profesional dan profesionalisme) kemudian menjadi sebuah istilah yang semakin lama semakin kerap didengar hinga saat ini. Manusia modern saat ini semakin dituntut untuk bisa tampil sebagai profesional yang memiliki profesionalisme yang tinggi baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun dalam keterlibatannya sebagai anggota institusi, seiring dengan perkembangan dan kemajuan berbagai sektor kehidupan manusia baik dalambidang ekonomi, politik, sosial, budaya, science dan sebagainya. D. PENGEMBANGAN PROFESIONALITAS GURU Eksistensi guru dalam proses pembelajaran adalah suatu keniscayaan, baik dalam konteks proses pendidikan dalam arti yang luas (meliputi pendidikan formal ataupun non formal) atau lebih-lebih dalam konteks khusus yakni dalam pendidikan formal yang diselenggarakan dan dikelola oleh sebuah institusi pendidikan. Meskipun bukan merupakan satu-satunya unsur, guru menjadi faktor kunci (key factor) yang menetukan bagi seluruh proses yang berupaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Guru merupakan pihak yang berada pada garis depan {frontliner) yang secara langsung terlibat dalam proses pembelajaran dengan siswa dan oleh karena itu guru menjadi salah satu fihak yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan atau bahkan kegagalan sebuah proses pendidikan. Untuk bisa menjalankan peran dan tanggung jawabnya yang sedemikian besar itu, maka seorang guru haruslah memiliki perangkat kualifikasi-kualifikasi, baik yang berupa kekayaan materi keilmuan ataupun keahlian metodologis dalam menjalankan tugas. Di samping itu yang juga tidak kalah penting adalah adanya kualifikasi yang berupa kesiapan mental dari para guru yang berupa komitmen guru terhadap tugastugas keguruan. Untuk mewujudkan idealisasi tersebut tentunya harus ada komitmen dan aksi nyata dari semua pihak, (pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan dan khususnya para guru itu sendiri). Masingmasing pihak tersebut mempunyai peran dan tanggung jawab sendiri dalam upaya pengembangan profesionalitas guru, dan semuanya harus dilakukan secara searah, terpadu dan berkelanjutan, sehingga akan dapat mencapai sasaran yang lebih besar secara efektif dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. 1. Pengertian Pengembangan Profesional Collin Marsh mendefisikan pengembangan profesional "Professional development is the process whereby members go about improving their competencies". Yakni sebuah proses yang berlangsung di mana para anggota kelompok ( dalam konteks keguruan adalah para guru) berupaya untuk mengembangkan kompetensi mereka. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Joan Dean bahwa, Pengembangan profesionalitas guru (professional development teacher) 350 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret dimaknai sebagai a process whereby teacher become more professional, yakni suatu proses yang dilakukan untuk menjadikan guru dapat tampil secara lebih profesional. Sedangkan Soekidjo Notoatmojo menjelaskan pandangannya tentang pengembangan profesional (dalam konteks manajemen sumber daya manusia secara umum), bahwa pengembangan sumber daya manusia adalah suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan organisasi (mikro) atau pembangunan bangsa (makro). Bahasa lain untuk menyebut upaya pengembangan profesionalitas guru ini adalah profesionalisasi guru. Dalam tulisan ini, pengembangan profesionalitas guru dimaksudkansebagai suatu upaya untuk meningkatkan taraf atau derajat profesional seorang guru menyangkut kemampuan guru; baik penguasaan materi ajar ataupun penguasaan metodologi pengajaran, serta sikap profesional guru menyangkut motivasi dan komitmen guru dalam menjalankan tugas sebagai guru. Dengan pengertian ini proses pengembangan profesional guru sesungguhnya merupakan bagian dari wilayah kerja bidang supervisi pendidikan yang berupa melakukan pembinaan guru agar dapat menjalankan tugas keguruannya secara maksimal. Urgensitas program pengembangan profesionalitas guru ini didasari oleh asumsi bahwa tidak semua guru dan tenaga kependidikan yang dihasilkan dalam pre-service education yang mencapai well trained dan well qualified. Di samping itu adanya perkembangan pada berbagai sektor kehidupan manusia khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berimplikasi. pada "usang"nya materimateri dan metodologi pengajaran yang disampaikan oleh para guru. Dengan berlandaskan pada asumsiasumsi di atas, serta agar para guru dapat memberikan kontribusinya secara maksimal bagi pencapaian tujuan pendidikan, maka harus ada upaya pengembangan profesional guru yang dilakukan secara terus-menerus. Jika tidak, maka proses pendidikan akan selalu ketinggalan dengan perkembangan bidang-bidang kehidupan yang lain. 2. Tujuan Pengembangan Bruce Joyce mengemukakan adanya tiga sasaran yang dituju dari sebuah proses pengembangan profesional, yakni untuk memenuhi kebutuhan sosial, untuk mengembangkan potensi akademik dan untuk mendorong guru agar menikmati kehidupan pribadinya. Sungguhpun ketiga perspektif tujuan ini memiliki perbedaanperbedaan penekanan, namun pada akhirnya akan bermuara pada satu titik yakni terwujudnya sebuah sistem pendidikan yang lebih baik yang terdiri dari para personel yang memiliki kemampuan dan kehidupan yang lebih baik pula sehingga organisasi atau lembaga akan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih berkualitas. Dari perspektif individu kegiatan pengembangan ini diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan personal seorang guru sehingga akan dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas kerja mereka. Dari perspektif kelembagaan program pengembangan ini dilakukan agar dapat memperbaiki kualitas proses belajar yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar. Dengan kualitas guru, proses belajar-mengajar di sekolah, dan kualitas hasil belajar di sekolah tentu akan berimplikasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan inilah manfaat yang hendak dituju oleh masyarakat secara lebih umum terhadap upaya pengembangan guru. Ace Suryadi sebagaimana dikutip oleh Safruddin Chamidi menjelaskan bahwa pengembangan profesionalitas guru akan dapat melahirkan guru yang bermutu. Dalam konteks ini guru yang bermutu dapat dilihat dari lima faktor utama yaitu kemampuan 351 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret profesional, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan professional, kesesuaian antara keahlian, serta pekerjaan dan kesejahteraan yang memadai. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka diperlukan upaya dan langkah-langkah manajemen yang kongkrit, baik pada tingkat makro berupa kebijakan manajemen pendidikan yang dirumuskan oleh pemerintah yang berlaku secara riasional maupun pada tingkat mikro berupa upaya-upaya manajerial yang dirancang dan diimplementasikan oleh instusi pendidikan secara mandiri. Untuk itu maka diperlukan adanya pihak yang bersedia dan mampu berperan sebagai inisiator pengembangan profesionalitas guru. 3. Pengembangan Profesional Guru Pengembangan profesionalitas guru merupakan sebuah upaya profesionalisasi tenaga kependidikan dalam hal ini adalah guru. Untuk melakukan profesionalisasi ini ada tiga pendekatan yang ditawarkan oleh R.D. Lansbury, yang dapat dijadikan sebagai kerangka dalam merumuskan strategi pengembangan; yakni pendekatan karakteristik, pendekatan institusional, dan pendekatan legalistik. Pendekatan karakteristik berupaya untuk memunculkan karakter yang melekat dari suatu profesi, sehinga profesi itu benarbenar dapat dijalankan sesuai dengan tuntutan profesional. Sedangkan pendekatan institusional lebih memandang profesionalisasi sebagai suatu proses institusional atau perkembangan asosiasional. Kemudian pendekatan legalistik adalah upaya profesionalisasi yang menekankan pada adanya pengakuan suatu profesi oleh negara. Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi oleh undang-undang negara. Sementara itu Bruce Joyce mengemukakan bahwa pengembangan profesional itudapat didekati berdasarkan tiga orientasi (yang dalam konteks pendidikan di Indonesia dikenal dengan kompetensi guru); yaitu orientasi kemasyarakatan, orientasi sekolah dan orientasi perseorangan. Dari pendekatan-pendekatan di atas, dapat diajukan formulasi strategi yang bisa dilakukan dalam upaya pengembangan profesional ke dalam tiga level; Pertama upaya-upaya profesionalisasi yang dilakukan oleh guru secara pribadi agar mereka dapat meningkatkan kualitas profesional, dengan atau tanpa bantuan dari pihak lain. Contoh yang paling sederhana dari upaya ini adalah penambahan waktu membaca bagi para guru, atau kegiatan-kegiatan lain yang dapat menunjang kapabilitas guru dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang guru. Kedua, upaya-upaya pengembangan yang dilakukan oleh manajemen lembaga melalui berbagai kebijakan manajerial yang dilakukan. Kedua level ini dapat dikategorikan dalam strategi mikro pengembangan profesionalitas guru. Sedangkan level ketigaadalah upaya pengembangan pada level makro yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara luas dalam kerangka manajemen pendidikan nasional (strategi makro). Dalam konteks manajemen makro dalam sistem pendidikan nasional, Tilaar menawarkan langkah-langkah yang ia sebut sebagai strategi baru pengembangan profesionalitas guru yaitu: 1. Mengupayakan terjadinya peningkatan status profesi guru agar dapat sejajar dengan profesi lain. 2. Pengembangan profesionalitas guru harus lebih berorientasi pada peningkatan kualitas, bukannya kuantitas. Untuk kepentingan ini maka diperlukan sumbersumber yang memadai baik SDM maupun finansial. 3. Profesionalisasi guru membutuhkan upaya pendataan kembali terhadap guru agar 352 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret mereka dapat dikembangkan. Dalam konteks yang berbeda namun kiranya cukup relevan dengan konteks pendidikan nasional di Indonesia; The Holmes Group sebagaimana yang dikutip oleh Sutjipto, merekomendasikan beberapa rancangan pendidikan guru masa depan yang cukup relevan dengan upaya profersionalisasi guru; pertama, membuat agar pendidikan guru lebih solid secara akademik, kedua, menyadari perbedaan dalam pengetahuan, ketrampilan dan komitmen guru dalam pendidikan, sertifikasi dan kerja mereka, ketiga, menciptakan standar untuk memasuki profesi guru yang secara profesional relevan dan dapat dipertanggung jawabkan secara intelektual, keempat, menghubungkan antara pendidikan guru dan sekolah dan kelima, membuat agar sekolah merupakan tempat yang lebih baik untuk guru, baik untuk bekerja maupun untuk belajar. Dari paparan tentang strategi pengembangan profesionalitas guru sebagaimana di atas, menjadi jelas bahwa pengembangan profesionalitas guru tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu unsur saja. Seluruh unsur yang ada dalam sistem pendidikan baik pada level nasional maupun kelembagaan memiliki peran masingmasing. Pengembangan profesionalitas guru tidak mungkin bisa dilakukan hanya pada level kelembagaan atau bahkan personal para guru secara pribadi. Guru secara personal, manajemen sekolah (kepala dan pengelola sekolah yang lain) juga yang sangat penting adalah adanya dukungan dari kebijakan pemerintah yang berupa political will untuk menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas pembangunan, kesemuanya merupakan faktor-faktor penting yang berperan dalam upaya pengembangan profesional guru. E. PENUTUP Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Beragam istilah untuk menyebut seorang yang disebut dengan guru, misalnya ustadz, muallim, murobbi, mudarris, muadib dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut memiliki kualifikasi-kualifikasi tertentu yang melekat di dalamnya, kualifikasi tersebut dapat dirankum menjadi kualifikasi personal, profesional dan sosial kemasyarakatan. 2. Betapapun kualifikasi-kualifikasi tersebut secara konseptual telah melekat, akan tetapi tdak semua guru yang dihasilkan dalam pre-serviceeducation dapat mencapai well qualified, di samping cepat usangnya subyek matter dan varisi metodologl berkaitan dengan cepatnya ilmu dan tenologi, sehingga pengembangan profesionalitas merupakan coditio sine quanon. 3. Kegiatan pengembangan profesionalitas guru dapat berimplikasi pada meningkatnya kualitas pembelajaran di sekolah yang akhirnya berimbas pada meningkatnya hasil belajar audien yang akan berimbas pula pada meningkatnya SDM di masa depan. 4. Banyak strategi pengembangan profesionaltas guru antara lain upaya pengembangan yang dilakukan secara mandiri oleh guru misanya dengan membaca buku atau kegiatan lain yang menunjang kapabilitas guru, kemudian upaya yang dimanaj oleh lembaga misalnya sekolah memprogramkan guru untuk studi lanjut dan sebagainya dan upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat luas dalam kerangka menajeman pendidikan nasional. 353 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, terj. Hery Noer Ali, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandun: Remaja Rosdakarya, 1994. Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Collin Marsh, Handbook For Begening Teacher, South Melbourme: Logngman, 1996. Depag RI, Manajemen Madrasah Aliyah, Jakarta: Ditjend Binbaga Islam Depag RI, 1988/1999. H.A.R. Tillar, Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Piet Sahertian, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Audi Ofset, 1994. Samana, Profesionalisme Keguruan, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Sardinian AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Syafrudin Nurdin dan Basyirudin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikuhlm, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Soekijdo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2002. Sutjipto, Pendidikan Guru: Masalaha dan Strategi Pemecahanya dalam Mengurai Benang Kusut Pendidikan Gagasan Para Pakar Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Transformasi UNY, 2000. UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas 354 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret KEBUDAYAAN JAWA (Tinjauan Etnografis Dalam Supervisi Pendidikan) Suharno Prodi PGSD FKIP UNS dan Pascasarjana (S2) Teknologi Pendidikan UNS Surakarta, serta Fasilitator PEKERTI-AA pada Pusat Pengembangan Sistem Pembelajaran (PPSP) LPP UNS Surakarta. Email:[email protected] ABSTRAK Kebudayaan Jawa sudah merupakan kesatuan kosmos bagi kehidupan orang Jawa. Demikian pula dalam pembinaan profesionalisme guru dan pengawas Sekolah Dasar. Pertanyaannya, bagaimana supervisi tersebut dalam mempengaruhi kinerja para guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah dasar, dalam kerangka pembelajaran di sekolah dasar (SD)? Kajian ini menggunakan pendekatan etnografi, dimana secara triangulatif akan melihat bagaimana perilaku budaya Jawa itu dapat mempengaruhi perilaku pengawas, kepala sekolah dan guru sekolah dasar (SD). Dari kajian tersebut ditemukan bahwa secara representatif kebudayaan Jawa tidak sepenuhnya dapat mempengaruhi perilaku para pengawas dan kepala sekolah terhadap pembinaan profesionalisme guru sekolah dasar. Hal ini dapat dipahami bahwa, kini telah ada kecenderungan keterbukaan budaya, yang dari „sumbernya‟ (keraton Surakarta maupun Yogyakarta) memang telah „memudar‟ (open culture). Sehingga perilaku pengawas sekolah dasar bisa dikaji lebih mendalam lagi dari berbagai aspek, selain dari sisi budaya Jawa. Kata kunci:kebudayaan jawa, supervisi pembelajaran. A. PENDAHULUAN Grand master pembangunan pendidikan dan kebudayaan hingga saat kini, salah satu fokusnya masih dalam prioritas kebijakan peningkatan mutu dan inovasi pendidikan. Jika hal tersebut telah menjadi pilihan kebijakan pendidikan, maka konsekuensinya adalah perlu ditingkatkan keseluruhan komponen sistem pendidikan, baik yang bersifat human resources maupun yang bersifat material resources. Pembinaan guru pada umumnya didasarkan pada asumsi, bahwa ditangan gurulah mutu pendidikan banyak bergantung. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan tersebut yakni, tidak berdayanya sekolah-sekolah, bila tidak ada gurunya. Pembinaan guru hingga saat kini masih dititikberatkan pada kemampuan profesionalnya dan berlangsung secara terus-menerus. Pembinaan yang secara terus-menerus ini, tidak saja secara konseptual dibenarkan, tetapi sangat empirik pun sangat besar manfaatnya. Hal tersebut dapat dilihat dengan terbitnya buku ―Pedoman Pembinaan Guru‖ sebagai salah satu perangkat dalam pedoman pelaksanaan kurikulum dan pembinaan guru. Pembinaan guru adalah stratetgis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dapat dipahami dari hakikat guru yang selama ini dijadikan sebagai asumsi programatik pendidikan guru. Asumsi programatik tersebut bahwa guru adalah: a) sebagai agen pembaharuan, b) sebagai fasilitator bagi peserta didik, c) 355 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik, d) bertanggung-jawab secara profesional meningkatkan kemampuannya, dan e) menjungjung tinggi kode etik profesionalnya. Namun dalam redefinisi dan restrukturisasi peranan guru semakin lebih kompleks, yakni mendiagnosis kegiatan belajar yang dibutuhkan peserta didik, perencana program pembelajaran, pengajar, penilai kemajuan peserta didik, dan sebagai manajer di garis depan bagi kegiatan pembelajaran di kelas. Sungguhpun peran guru sangat berat, tetapi masih pula mereka harus belajar dan belajar sampai kapan pun selama mereka masih menjadi guru. Disamping itu, guru harus mampu memanifestasikan kompetensinya sebagai orang yang sedang belajar dan menunjukkan minat yang besar menjadi guru. Hal tersebut dimaksudkan agar para guru selalu mutakhir dalam kemampuannya dan tidak ketinggalan dengan informasi (pengetahuan). Bahkan pada abad 21 kini guru dituntut untuk: 1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, 2) memiliki dasar ilmu yang kuat, 3) memiliki keterampilan untuk membangkitkan minat peserta didik kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 4) mengembangkan profesi secara berkesinambungan (Sergiovani, Th., dan Starratt, RJ., 2003:113) Betapapun baiknya pembinaan secara internal, jika mereka kembali ke lingkungan pekerjaannya, mereka kembali kepada sikap semula. Kecil kemungkinan mereka mengembang-kan dirinya (inner development). Para pelaksana pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD) seperti guru, kepala sekolah, maupun pengawas sekolah di eks Karesidenan Surakarta termasuk di daerah Kabupaten Boyolali, pada umumnya masih kuat terikat oleh tradisi dan tata-gaul feodalistik budaya Jawa. Feodalistik ini tidak lain adalah mental attitude, dimana sikap mental terhadap sesamanya, dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya perbedaan dalam usia dan kedudukan atau jabatan. Secara mental mereka (orang Jawa) dibebani dengan tradisi dan tata-gaul yang terwarisi olehnya selagi tidak bisa dan tidak berani mereka membebaskan dirinya sendiri. Pada sisi lain masih terdapat sikap mental orang Jawa seperti nrima dan pasrah. Orang yang nrima, artinya tidak loba dan ngangsa (terlalu mengaharapkan haknya, tetapi belum sampai waktunya). Nrima, berarti tidak menginginkan hak milik orang lain, serta tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Orang yang nrima juga orang yang tahu bersyukur kepada Tuhan. Sedangkan pasrah, berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, pemimpin, penguasa, maupun atasannya tentang apa saja yang diterimanya (fatalistik). Karakter orang Jawa lainnya adalah, masih kentalnya sikap feodalismenya, di mana yang berkuasa sangat tidak suka mendengar kritik, dan orang lain (bawahan) amat sangat segan untuk melontarkan kritik atau koreksi kepada atasannya. Melihat uraian di atas cukup jelas bahwa situasi sosio-kultural masyarakat Jawa sangat mempengaruhi sikap-perilaku mereka dalam berkomunikasi, baik secara vertikal maupun horisontal. Pada gilirannya muncul pertanyaan, apakah kebudayaan Jawa berpengaruh terhadap perilaku pengawas dalam pembinaan profesional guru sekolah dasar (SD), khususnya di daerah Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali? Kajian ini difokuskan pada satu permasalahan pokok, yakni bagaimanakah perilaku pengawas dalam pembinaan profesional guru sekolah dasar (SD) dalam konteks budaya Jawa? Oleh karena itu, dalam kajian ini penulis ingin mengamati pola pembinaan profesional guru sekolah dasar (SD di daerah kecamatan Andong 356 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kabupaten Boyolali, yang berlatar kebudayaan Jawa. Kecocokan tersebut diukur terutama dari pola pembinaan (mereka berkomunikasi) antar sesamanya. Kriteria tersebut didasarkan pada postulat (1) bahwa pembinaan profesional guru SD dilakukan oleh atasannya, baik kepala sekolah dan pengawas sekolah, (2) bahwa pembinaan profesional guru SD dapat dilakukan oleh antar sesama guru, dan (3) bahwa proses pembinaan profesional guru SD dilakukan secara formal dan informal. Bertolak dari fokus kajian tersebut, maka permasalahan kajian ini dapat dirumuskan seperti berikut: (1) Apakah kebiasaan-kebiasaan sehari-hari para pembina guru SD dapat berpengaruh terhadap tugasnya? (2) Bagaimanakah polapola hubungan antar pribadi dan anatar kelompok yang dikembangkan melalui unitunit kerja seperti pada Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG), (3) Bagaimanakah ekspresi kebudayaan Jawa dalam kelompok dapat mempengaruhi terhadap pembinaan pro-fesional guru SD?, dan (4) Nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan Jawa manakah yang dapat memberi sumbangan terhadap pembinaan profesional guru SD? B. PERILAKU ORANG JAWA 1. Kebiasaan-kebiasaan Orang Jawa Kebiasaan adalah perbuatan yang sering dilakukan sehari-hari, dan kebiasaan yang telah terbentuk pada diri seseorang atau yang telah ―mempribadi‖ akan selalu terbawa ke mana pun ia berada. Baik dalam hubungan formal maupun informal, perseorangan maupun kelembagaan (institusi). Demikian juga kebiasaankebiasaan itu melekat pada setiap pembina guru SD di eks karesidenan Surakarta (meliputi Kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, dan Kota Surakarta). Mereka, para pembina guru SD pada umumnya masih sangat kuat terikat oleh tradisi dan tata-gaul feodalistik. Feodalistik ini tidak lain adalah mental attitude, di mana sikap mental sesamanya dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya perbedaan usia dan kedudukan atau jabatan. Secara mental, mereka (orang Jawa) dibebani dengan tradisi dan tata-gaul yang terwarisi olehnya selagi tidak bisa dan tidak berani mereka membebaskan dirinya sendiri. Beban ini lebih berat lagi dalam hubungannya dengan pekerjaan, misalnya para guru (bawahan) kepada kepala sekolah dan pengawas sebagai atasannya. Di hadapan atasan tidak pernah seorang bawahan Jawa mau mengatakan ‗tidak‘ (mboten, Jawa) dan selalu menyatakan penolakannya secara halus dengan senyum dibibir, dengan maksud supaya tidak mengecewakan, dan menyakiti hati pihak yang ditolak tawaran atau permintaannya. Inggih (ya, Jawa) pada sikap orang Jawa pada kenyataannya belum tentu berarti ‗ya‘, sebab kata mboten (tidak) tak ada dalam tata-gaul masyarakat Jawa. Dan terlebih lagi dalam organisasi formal, seperti forum pembinaan, baik oleh kepala sekolah, pengawas sekolah ataupun kepala Kantor Dinas Pendidikan Nasional di tingkat kecamatan. Orang Jawa sebagai bawahan tidak mengenal bantahan dan hanya persetujuan. Dengan demikian ‗ya‘ berarti ‗tidak‘, dan ‗tidak‘ yang diucapkan dengan ragu-ragu bisa berarti ‗ya‘ (Marbangun Hardjowirogo, 1984: 12-13). Suatu sikap mental orang Jawa yang lain adalah nrima dan pasrah. Orang yang nrima tidak loba/ sombong/takabur. Sikap nrima juga tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Nrima, juga berarti syukur kepada pemberian Tuhan. Sedangan pasrah, berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan ataupun pimpinan, penguasa, maupun atasannya tentang apa saja yang telah diterimanya fatalistik. Ciri kebiasaan orang Jawa lainnya adalah rasa sungkan (enggan) terhadap perilaku orang lain, sekalipun kadang- 357 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret kadang mengganggu perasaannya sendiri, apalagi bila mereka mendasarkan pada sikap kula raos (saya rasa) atau mbokmenawi (barangkali). Karena membuka hati orang lain begitu saja dinilainya negatif. Me-reka, orang Jawa yang berstatus lebih rendah di antara sesamanya seperti guru SD, mereka akan lebih bersifat rila, nrima, sabar, dan pasrah terhadap segala sesuatu yang telah diputuskan atau kebijakan atasannya (Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah ataupun pembina lainnya), karena hidup ini penuh toleransi (Budi Hersatoto, 2000: 73). Pembinaan profesional ter-hadap para guru SD dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang antara lain sistematis, objektif, realistis, antisipatif, konstruktif, kooperatif, dan kekeluargaan. Pembinaan guru yang dilakukan secara kooperatif, artinya pembinaan yang mengembangkan perasaan kebersamaan untuk menciptakan dan mengembangkan situasi belajarpembelajaran yang lebih baik. Sedangkan kekeluargaan, artinya pembina (supervisor) mempertim-bangkan saling asuh, asah, asih, dan tut wuri handayani. Proses pembinaan semacam ini dalam istilah lain dinamakan normative, yakni dalam setiap pembinaan akan selalu mempertimbangkan subjek yang disupervisi, yakni para guru SD, tentnag bagaimana para guru itu melihat masalahnya, apakah yang mereka yakini, apakah keinginan mereka, bagaimanakah pengetahuan mereka yang mereka miliki, dan bagaimana cara pemecahan permasalahannya (Sergiovani dan Starrat, 1993: 81). 2. Pola-pola Hubungan Kerja Guru SD Pola-pola kerja yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah interaksi sosial yang dilaksanakan oleh para pengawas, terutama dalam hubungan kerja secara formal. Salah satu pola hubungan adalah kooperatif dan kekeluargaan. Kooperatif dan kekeluargaan itu merupakan sebagian perilaku sosial orang Jawa, yang lebih menekankan kepada prinsip kerukunan dan hormat (Magnis Suseno, 1996: 168). Pada dasarnya kunci sukses hubungan-hubungan antar pribadi orang Jawa adalah, wawasan bahwa tidak ada orang yang sederajat dan bahwa hubungan satu sama lain secara hirarkhis. Yakni, para guru merasa sebagai bawahan dan para pembina (seperti Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan) merasa sebagai atasan (Niels Mulder, 1985:56-57). Kenyataan hubungan antar pribadi yang tak sederajat ini memperoleh pengakuan luas dalam hubungan tata-gaul orang Jawa, yang selalu mengakui status yang berbeda dari orang lain dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Secara terus-menerus (guru sebagai bawahan) merasa di bawah tekanan kekuasaan oleh pembina (sebagai atasannya) untuk bertindak sesuai dengan kedua prinsip di atas, yakni kerukunan dan hormat. Tekanan dari luar tersebut (kerukunan dan hormat), masih dipadu lagi dengan tekanan dari dalam diri manusia Jawa, yaitu rasa isin (malu) dan sungkan (enggan). Hal tersebut terlihat bahwa, tidak seorang bawahan yang berani menolak apalagi membantah instruksi atasannya yang lebih tinggi, sekalipun tak sesuai dengan perasaan dan nalarnya. Mereka lebih baik mencari aman, diam membisu the silent majority (Suharno, 2011: 36). 3. Nilai-nilai dan Norma-norma Kebudayaan Jawa Nilai-nilai dan norma-norma ada pada setiap jenis kebudayaan termasuk kebudayaan Jawa. Nilai-nilai dan normanorma (Norms and Values) merupakan ‗sesuatu‘ yang diyakini kebenarannya dan selalu diikuti oleh anggota kelompok tersebut. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut merupakan pondasi atau dasar pada setiap kebudayaan organisasi yang dapat membantu atau justru dapat merintangi pada 358 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret setiap penentuan strategi (Michael L, dan Charles A., 1997: 72). Salah satu nilai-nilai dan normanorma kebudayaan Jawa adalah simbolisme (Kompas, 10 Desember 2000: 6). Dimana dalam kebidupan sehari-hari orang Jawa sebagai realisasi dari pan-dangan dan sikap hidupnya selalu diperlihatkan dalam bentuk-bentuk simbul. Simbol-simbol juga diwujudkan dalam bentuk religi, tradisi dan kesenian simbolisme. Tradisi memiliki empat tingkatan nilai, yakni dari segi budaya, nilai-nilai dan norma-norma, nilai hukum dan aturan khusus. Nilai-nilai dan norma-norma adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya dan selalu diikuti anggota kelompok dan merupakan bagian dari kebudayaan secara keseluruhan. Bahkan dengan memanfaatkan hal-hal tersebut justru sebuah organisasi akan lebih efektif dan jarang terjadi disfunction (Hoy, dan Miskel, 2001: 182). Orang Jawa, yang selalu diidentifikasikan Surakarta dan Yogyakarta, sebagai pusat kebuada-yaan Jawa masih kental dengan perilaku feodalisme-nya. Dimana perilaku ini secara khusus dikarenakan adanya perbedaan usia dan kedudukan, anak dengan ayah (orang tua), bawahan dengan atasan sebagai kawulagusti. Dimana yang berkuasa sangat tidak suka mendengar kritik atau koreksi, dan sebaliknya orang lain (bawahan) amat segan untuk melontarkan kritik atau koreksi kepada atasannya. Kajian pendahulu yang berhubungan dengan peranan kebudayaan Jawa terhadap perilaku pengawas dan guru Sekolah Dasar telah dilakukan Niels Mulder sejak 19701980, yakni betapa pentingnya selalu menghormati semua hirarkhi yang mengandung tatanan moral kehidupan, seperti misalnya hubungan dengan kakak laki-laki, guru, dan penguasa (birokrasi). Penyerahan diri pada birokrasi, bahasa resmi pemerintah, dan daya tarik duniawi ini juga dihubungkan dengan perubahan yang mengguncang tatanan sosial tempat dimana mistisisme itu tumbuh. Corak susunan kultural kesultanan terkikis dengan cepat. Keraton tidak lagi menjadi titik orientasi yang dominan, sedangkan orang membebaskan diri dari kerangka berpikir yang sifatnya hirarkhis dan tata krama yang bisa dihindari di dalam tatanan kerajaan. Pada zaman kerajaan ini, kebatinan justru berfungsi sebagai pembebas dari tekanan hirarkhi yang sekarang sudah lemah. Keterlibatan budaya (Jawa) dalam kekuasaan dari hasil temuan Kuntowijoyo, menyatakan bahwa ada dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaan affirmative dan kebudayaan critical. Dimana kebudayaan affirmative bila ia mendukung kekuasaan (birokrasi), dan menjadi alat dominasi. Sedangkan, kebudayaan kritis, bila ia menolak kekuasaan, dan tidak mau menjadi alat dominasi. Dalam hubungannya antara pimpinan dan bawahan digunakan istilah priyayi dan kawula. Kawula mempunyai jarak sosial-budaya dengan priyayi. Kawula mempunyai mentalitas tersendiri, karena simbol-simbol kekuasaan makin melemah setelah mengalami perjalanan sosial yang begitu jauh.. ada batas sosial-budaya yang tak terjembatani, ―priyayi adalah priyayi, dan kawula adalah kawula. Dimana atasan adalah atasan, dan bawahan adalah bawahan. Dari temuan Antlov dan Cederrorth, dinyatakan bahwa sejak melunturnya ketertiban kesultanan dan terbukanya pintu ke dunia luar, orang telah terbebas dari semua acuan yang meliputi hirarkhi dan berperilaku bebas, tidak terhambat oleh rasa sungkan, rikuh, dan pekewuh yang sebelumnya masih terasa, yang semuanya ini mengacu pada perasaan larangan di hadapan yang lebih tua. Dari hasil temuan Dwi Purwanto dan Siswo Sugiarto, menyatakan bahwa lurah di Kotamadya Surakarta dalam praktik penyelenggaraan kepemerintahan mereka masih patuh pada aturan sebagai aparatur 359 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret pemerintah yakni menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam hal-hal tertentu, dan berdasarkan pertimbangan bahwa warga negara di tingkat kelurahan sebagian besar adalah warga masyarakat tutur Jawa dengan tingkat pemahaman dan penguasaan, mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bercampur dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa. Dengan alasan lebih mudah dipahami dan familier. P.M. Laksono, dalam tesisnya yang menyatakan bahwa, kebayanyakan orang Jawa menggunakan konsep jumbuhing kawula Gusti untuk menginterpretasi dan mengorganisasi jalan hidup dalam masyarakat nyata (eksisten). Seperti diketahui bahwa dalam setiap organisasi sosial, termasuk negara, selalu ada dua elemen manusiawi yaitu pengorganisasi dan yang diorganisasi, atau pemerintah dan rakyat, atau raja dan rakyat, atau penggedhe dan wong cilik. Dalam hubungan ini orang Jawa, berdasar konsep jumbuhing kawulaGusti, menganggap bahwa raja dan rakyat sama pentingnya berbeda lebih karena fungsinya (keduniawian; daripada karena nilainya; transeden-esensial). Kemanunggalan ini dimungkinkan karena menurut mistik Jawa ada cirri umum yang sama antara manusia dan Tuhan yang terletak dalam esensi dan subsatnsi yang tidak bisa diterangkan, yaitu suksma (dari kata India berarti roh) atau Nur (dari kata Arab berarti cahaya). Melalui identifikasiidentifikasi tersebut orang Jawa secara tersirat mengidam-idamkan suatu keadaan yang tata-tentrem, karena-jumbuhing kawula Gusti adalah satu-satunya jalan menuju tata-tentrem.konsekuensi lain dari konsep jumbuhing kawula Gusti adalah identifikasi raja idaman, bahwa orang Jawa harus menempatkan posisi raja secara sempurna-hanya dalam idaman-idaman dan tidak bisa secara wadaq atau konkrit pada simpul hubungan antara bayangan mengenai tata-tentrem eksistensial (dari makrokosmos). Pada simpul inilah menurut pikiran Jawa terletak kekuatan yang maha besar dan mutlak benar-benar untuk menimbulkan tata-tentrem, atau mengembali-kannya jika ada kekisruhan (kekacauan). Tentang hubungan antara raja dan rakyat, hubungan kawula-gusti tidak hanya menunjukkan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapi lebih menunjukkan kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda namun tak terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari hal yang sama (Sinkritisme). Sinkritisme ini sudah menjadi ungkapan orang Jawa tentang persatuan unsur-unsur yang berlainan, misalnya patung Kertanegara yang terkenal di Singhasari sebagai Batara Ciwa-Budha. Tetapi sesuai dengan sifat mistik yang mana pun, pikiran-pikiran yang sinkretis ini berusaha membuktikan bahwa benda-benda hanya merupakan aspek, cakti, pancaran, bagian dari integral dari ke-Esaan Utuh yang menyeluruh, yang meliputi segala sesuatu, dan dalam pemikiran orang Jawa ini diwujudkan dalam dewa Sang Hyang Wenang (Yang Mahakuasa). Dengan pemikiran imaginatifproyektifnya, orang Jawa mela-mbangkan kesatuan kawula-gusti ini dengan benda yang amat tepat sekali, yaitu keris, suatu senjata kebesaran. Kedua bagian keris, sarungnya (warangka) dan matanya (curiga), diberikan penafsiran yang amat mistik. Sarung disamakan dengan rakyat (pengikut, bawahan, kawula) dan mata kerisnya adalah raja (atasan, pemimpin, penguasa). Jadi melukiskan hubungan yang mutlak ada, yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain, dan juga saling ketergantungan, dalam arti sarungnya melindungi matanya dari kerusakan. Tetapi karena mata kerisnya melambangkan raja sebagai inti, pokok, sebagai kekuatan yang memimpin Negara, maka raja (mata keris) 360 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret harus layak, sesuai dengan patokan mana pun juga, bagi rakyat (sarung). 4. Paradigma Kajian Tujuan pembinaan guru SD adalah untuk meningkatkan profesionalitasnya. Proses pembinaan tersebut berlangsung melalui interaksi antara pengawas sekolahguru-kepala sekolah dan atau Kepala Cabang Dinas Pendidikan Nasional Kecama-tan sebagai pembina dengan guru sebagai terbina. Proses interaksi tak terlepaskan dengan iklim sosial budaya sekelilingnya. Budaya, dalam konteks ini lebih difokuskan kepada nilai-nilai dan normanorma serta kebiasaan-kebiasaan yang diekspresikan dalam berinteraksi/ berkomunikasi antara pembina dengan yang dibina. Nilai-nilai, norma-norma serta kebiasaan telah dimiliki/melekat atau ‗mempribadi‘ pada kedua belah pihak, pembina maupun yang terbina (pengawas sekolah, kepala sekolah maupun kepala cabang Dinas Pendidikan Nasional dengan para guru). Karena telah dimilikinya hal tersebut, dimungkinkan akan mempengaruhi perilaku pada setiap berinteraksi/ berkomu-nikasi, baik secara vertikal maupun horisontal. Melihat hal-hal tersebut di atas, diduga bahwa kebudayaan Jawa yang meliputi nilai-nilai, norma-norma, serta kebiasaan-kebiasaan yang diekspresikan dalam berkomunikasi atau berinteraksi dapat mempengaruhi proses pembinaan profesional guru SD di daerah Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah. Sesuai dengan fenomena tersebut, maka kajian ini menggunakan paradigma tertentu dalam menganalisis datanya. Dimana paradigma ini merupakan seperangkat kepercayaan yang sistematis, yang diikuti metode tertentu (Lincoln, YS., dan Guba, EG, 1985: 15). Metode yang dimaksud dalam kajian ini adalah etnografi. C. METODE KAJIAN Kajian ini adalah kajian kualitatif dalam bentuk etnografi. Etnografi adalah kajian yang bertujuan untuk memahami sudut pandang subjek, hubungannya dengan kehidupan, serta untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya (Spradley, 1997: 5-6). Dunia yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah lingkungan atau latar dan tempat terjadinya kegiatan pembinaan profesional guru SD seperti apa adanya tanpa rekayasa dari penulis. Dalam kajian ini, yang dimaksud perilaku adalah proses kegiatan pengawas sekolah dalam pembinaan profesional guru. Etnografi pada hakikatnya adalah belajar dari masyarakat, dalam arti memahami tindakan dari kejadian subjek yang ingin dipahami. Tindakan dari kejadian subjek dalam kajian ini adalah interaksi antara pengawas SDkepala sekolah- guru SD. Dalam kajian ini diharapkan dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku subjek yang diamati (Moleong, 1991: 3). Kajian ini dilaksanakan di Kantor Cabang Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan Andong, Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Data kajian berupa informasi tentang perilaku pengawas dalam pembinaan profesional guru SD digali dari tiga sumber data: peristiwa, informan dan dokumen. Peristiwa, di sini mengacu pada perilaku pengawas SD dalam kegiatan pembinaan profesional para kepala sekolah dan guru SD. Informan, meliputi Kepala Cabang Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan Andong, pengawas, kepala sekolah dan guru SD. Sedangkan dokumen dalam kajian ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor: 16 tahun 1994 tentang jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, dan KEPMENPAN Nomor 18 tahun 1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, yang kemudian diperbaharui dengan KepMendiknas RI No.12/2007: Standar 361 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pengawas Sekolah/Madrasah. Sejalan dengan sumber datanya, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Pengamatan dilaksanakan sebanyak 8 kali. Teknik pengamatan yang digunakan adalah pengamatan berperanserta secara pasif. Wawancara dilakukan sebanyak 2 kali dengan kepala cabang Dinas Pendidikan Nasional Cabang Kecamatan Andong, 1 kali dengan 4 pengawas SD, 4 kepala SD, dan 4 guru SD di wilayah kecamatan Andong Boyolali. Analisis dokumen dilakukan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana telah dikemukakan di atas. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif model Spradley (1980: 87-88), yang terdiri atas tiga langkah: analisis domein, analisis taksonomi, dan analisis tema. Dalam pelaksanaannya, ketiga langkah analisis tersebut tidak dilakukan secara linier berurutan setelah semua data terkumpul, melainkan dilakukan secara simultan pada saat dan setelah data dikumpulkan. Dengan demikian terjadi interaksi antara proses pengumpulan data dengan analisis data serta elemen-elemen lain seperti pencatatan data, penulisan laporan sementara, pengajuan pertanyaan kajian. Interaksi berbagai eleman tersebut membentuk pola siklikal (Spradley, 1980: 29). Sebelum dianalisis, data yang masuk diuji terlebih dulu keabsahan-nya. Teknikteknik yang digunakan untuk keperluan tersebut adalah perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, trianggulasi, dan review informan kunci (Moleong, 1995: 175-178). D. TEMUAN Temuan temuan berikut meliputi dua hal dasar yang dilakukan oleh para supervisor pendidikan di lapangan, yakni kegiatan yang bersifat administratif dan teknis supervisi. Meskipun dalam sajian ini dituliskan secara bersamaan. Hal tersebut cukup beralasan, karena kegiatan administratif maupun teknis sudah ―menyatu‖. 1. Kegiatan supervisi yang dilakukan oleh supervisor Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali Pengawas tidak membuat perencanaan program supervisi ke sekolah yang disosialisasikan kepada para kepala sekolah dan guru. Keengganan pengawas menyusun dan mengkomunikasikan program kunjungan supervisi secara kultural dapat dipahami, karena masih kentalnya budaya lisan, dan mengandalkan informasi serba lisan, serta malas membuat catatan tertulis dalam masyarakat Jawa. Meskipun hal tersebut terbantahkan oleh adanya prasasti, piagam dan batu bertulis ―candra sengkala‖. Budaya tulis yang ketat khususnya dalam penyusunan perencanaan dan program kerja seorang pejabat, nampaknya tidak ―lumrah‖ untuk ditetahui bawahan. Selian itu perencanaan kerja yang disusun pegawai (termasuk pengawas sekolah) biasanya hanya diorientasikan ke atas, yaitu untuk memenuhi tuntutan administratif pejabat atasannya. Pengawas bukannya tidak membuat sama sekali perencanaan supervisi. Mereka dalam membuat perencanaan (formalitas–tertulis) sebagai perwu-judan tanggung jawab pelaksanaan tugas kepada atasan. Dengan demikian, secara kultural (dalam latar budaya Jawa) pengawas yang berposisi sebagai atasan, menyusun program kerjanya hanya untuk kepentingan atasan semata. Hal ini dipengaruhi oleh hubungannya yang paternalistik (dalam hubungan kerja dengan atasannya, pengawas berposisi sebagai clien). Fokus supervisi pengawas hanya ditekankan pada administratif saja. Artinya, 362 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bahwa para pelaksana supervisor pendidikan cenderung mempersepsikan bahwa supervisi pembelajaran sama dengan penilaian dan inspeksi. Kenyataannya, pelaksa-naan supervisi pembelajaran memang cenderung menilai dan mengawasi serta hanya tertuju pada aspek teknis administratif saja. Hal tersebut terlihat sangat kontras sekali dengan hakikat peran dan fungsi supervisor yang seharusnya mereka laksanakan. Mereka para supervisor atau pengawas sekolah mempunyai kawasan tugas ke dalam kegiatan sekolah secara keseluruhan, yakni supervisi, mengajar, administrasi umum, dan pelayanan khusus (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999: 234). Disamping itu, tugas pengawas sekolah adalah untuk meningkatkan efektivitas pembelaja-ran dan sekolah serta kepemimpinan kepala sekolah yang kuat (Sergiovanni dan Starratt, 1993: 3-4). Proses supervisi pendidikan yang diterapkan masih serupa dengan pemeriksaan. Hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dengan kategori supervisi yang dikembangkan, yaitu supervisi administrasi umum. Namun hal tersebut malah dipersepsi negatif oleh para guru dan kepala sekolah sebagai sikap ―otoriter‖ pengawas atau supervisor dipahami sebagai upaya untuk menjamin adanya kesera-gaman (uniformity) dalam pelaksanaan kegiatan sampai yang sekecil-kecilnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sistem pendidikan Indonesia dalam rangka menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pembinaan guru masih banyak dikendalikan secara terpusat dan berbau otoriter. Hal tersebut dapat dilihat pada aturan yang memang ―mengkondisikan‖ perilaku pengawas sekolah yang seolah-olah menjadi payung kekuasaan. Seperti terlihat pada surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor. 020/U/1998, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya pada pasal 1 (Satu) menyebutkan: Pengawas Sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah … Diktum di atas menyiratkan bahwa unsur kepengawasan dan penilaian lebih penting daripada pembinaan. Oleh karena itu, tentu penjiwaan dan penafsiran petugas di tingkat lapangan juga sebagai pengawas yang melakukan pengawasan dengan jalan memeriksa segala sesuatu yang dilakukan di sekolah. Komunikasi masih berjalan searah. Ini terkait dengan temuan sebelumnya. Sebagai kegiatan pemeriksaan, supervisi yang dilakukan pengawas sekolah memang tidak memberikan ruang gerak yang lebar untuk terjadinya komunikasi dua arah. Mestinya mereka pengawas lebih bersifat demokratis (Zainal Aqib dan Elham Rohmanto, 2007: 189), artinya mau mendengarkan dan menghargai pendapat para guru dan kepala sekolah, dan mau menerima kritik dan saran. Pengawas pun juga manusia biasa, ia juga pernah salah, dan menyadari hal itu semua ―nglenggana‖. Program supervisi tidak dievaluasi. Hal ini bermula tidak adanya tujuan atau tidak operasional. Itu terlihat dari tidak dikomunikasikannya rencana atau program supervisi kepada para guru dan kepala sekolah. Mestinya setiap kegiatan supervisi yang diutamakan membantu para guru yang kurang dapat memenuhi standar kerja yang telah ditetapkan dalam pembelajaran harus dikomunikasikan terlebih dahulu, sehingga para guru lebih mudah mengemukakan permasalahan pembelajaran yang dialaminya (Sergiovanni dan Starratt, 1993: 220). Dilihat dari sudut atasan pengawas, 363 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret tuntutan terhadap laporan kerja pengawas juga terbatas pada bentuk laporan administratif formal. Target-target kerja yang dibenankan kepada pengawas hanya diukur secara kuantitatif, yaitu berapa kali kunjungan ke sekolah, berapa guru yang disupervisi, dan sebagainya. Dengan target kerja yang kuantitatif, maka seringkali kehadiran pengawas di sekolah lebih banyak bersifat formalitas dalam rangka memperoleh stempel (tanda bukti kehadiran) dari kepala sekolah. Ini berarti bahwa evaluasi program supervisi nampaknya tidak penting bagi para pejabat yang bertanggung jawab terhadap kinerja pengawas sekolah. Kegiatan supervisi oleh kepala sekolah hanya berisi informasi dinas dan pembinaan administratif. Secara struktural kepala sekolah berperan ganda, yaitu sebagai administrator dan sekaligus supervisor. Hal ini memang ditekankan oleh peraturan maupun pernyataan kepala Cabang Dinas Pendidikan Nasional Kecamatan. Namun demikian pelimpahan tang-gung jawab supervisor kepala sekolah nampaknya tidak dibarengi dengan pembekalan keterampilan-keterampilan kesupervisian maupun dinamika kelompok. Inilah yang menyebabkan kepala sekolah mempersepsi kegiatan pertemuan supervisi rutin sebagai agenda pertemuan untuk menyampai-kan informasi dan pembinaan. Realita supervisi kepala sekolah melalui pertemuan (rapat) guru secara rutin telah membudaya oleh sebagian besar. Dari yang dikerjakan para kepala sekolah, paling tidak mempunyai kesamaan dalam merancang dan mengisi kegiatan supervisi kelompok melalui pertemuan (rapat) guru, antara lain (1) pemilihan waktu pertemuan diadakan ketika kegiatan sekolah telah berakhir, dan para guru dalam kondisi lelah; (2) kebanyakan berisi informasi-informasi dan didominasi oleh kepala sekolah; (3) jarang memberikan kesempatan penuh kepada para guru untuk berpartisipasi; (4) sempitnya waktu yang disediakan, sehingga sedikit sekali persoalan substansial dalam kegiatan belajar-pembelajaran yang dapat didiskusikan. Terkait dengan kegiatan kepala sekolah tersebut, dan menurut bahasa informan kajian ini, supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolah sering dilakukan secara jawilan Maksudnya tidak harus tepat jadwal yang diprogramkan, namun bila akan dilaksanakan saja secara tiba-tiba kepala sekolah njawil. Artinya undangan secara lisan dari mulut ke mulut. 2. Orientasi Supervisi yang Diterapkan oleh Supervisor Temuan-temuan ini lebih terkait dengan norma, nilai, sikap dan perilaku manusia (dalam hal ini supervisor pendidikan). Pada temuan kajian yang pertama, supervisor lebih berorientasi langsung (direct) dalam menghadapi permasalahan yang bersifat fungsionalprofesional. Maksudnya seketika itu supervisor melakukan koreksi bila menemukan kesalahan guru dalam menyusun administrasi kelas/sekolah ataupun kekeliruan dalam pembelajaran. Sebaliknya supervisor berorientasi tidak langsung (indirect) bila menghadapi persoalan personal-individual, misalnya menghadapi guru yang malas, kepala sekolah yang tidak disiplin atau bahkan kepala sekolah yang melakukan penyimpangan. Supervisor merasa pekewuh memberi-kan teguran kepada bawahannya tersebut. Hal tersebut menunjukkan sikap dualisme supervisor dalam menjalankan tugasnya. Sikap dualisme tersebut jika dirunut dari pemahaman supervisor akan status dan fungsinya (self-concept). Dalam hubungan fungsional-profesional supervisor memiliki pandangan terhadap peran dan fungsinya sebagai ―pejabat‖. Dalam latar sejarah bangsa Jawa, pejabat dalam bidang pemerintahan disebut Pangreh Praja yang berarti ―yang memerintah suatu daerah‖ (Sujanto, 2000: 69-71). Meskipun telah 364 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret diperhalus menjadi Pamong Praja, namun hakikat kesadaran dan perlakuan dalam interaksi atasan dengan bawahan masih kental terasa sebagai pangreh yang memiliki otoritas untuk memerintah. Otoritas untuk memberikan perintah bagi seorang pejabat nampaknya berlaku absolute. Dalam kepemimpinan Jawa yang berlatar feodalis kuat, maka absolutisme masih subur. Hal tersebut ditunjukkan bahwa orang Jawa hanya kenal satu hal dalam masalah kepemimpinan, yakni absolutism (Hans Antlov dan Sven Cederroth, 2000: 47-48). Pengalaman kekuasaan politik orang Jawa dalam sejarah kebudayaannya yang panjang adalah kerajaan. Sebagai kepala Negara, raja punya wewenang tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat. Karena kekuasaan raja absolute, maka pengaruhnya terasa hingga ke pejabatpejabat di tingkat bawah. Kesadaran akan otoritas dan kewenangannya inilah yang melatar-belakangi orientasi pengawas dalam menghadapi persoalan supervisi yang bersifat fungsional dan profesional. Sehingga dalam diri pengawas terdapat konsep diri, bahwa dirinyalah yang berkuasa, dirinyalah yang benar. Oleh karena itu, pengawas dalam bertindak tidak wigah-wigih (ragu-ragu). Dalam menyelesaikan masalah personal-individual supervisor menggunakan bahasa sindiran dan melalui orang ketiga. Langkah pengawas untuk meminta orang ketiga menegur guru yang bermasalah, bukan tanpa alasan. Ia menggunakan salah satu prinsip dasar interaksi masyarakat Jawa, yakni kerukunan. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan (Franz Magnis Suseno, 1996: 61). Rukun juga menunjuk pada cara bertindak, yaitu menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antar pribadi, sehingga hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Dalam realisasi hubungan antara supervisor dengan para guru maupun kepala sekolah yang bermasalah, meski-pun supervisor telah menyuruh guru lain untuk memperingatkan guru tersebut, namun supervisor tetap tenang dan tidak menampakan emosi di hadapan guru yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan seni ethok-ethok (berpura-pura). Kepala sekolah dasar (SD) merasa pekewuh untuk melakukan kunjungan ke kelas pada saat guru mengajar. Salah satu temuan menunjukkan bahwa sekalipun kepala sekolah memilik kewenangan untuk melakukan supervise dengan teknik kunjungan kelas, tetapi tidak dilaksanakan, karena ia merasa pekewuh jika harus menunggui guru yang sedang mengajar di kelas. Rasa pekewuh kepala sekolah tersebut cukup beralasan. Pertama, asumsi yang berkembang bila seorang guru telah resmi diangkat, dipandang telah ―cakap‖ dan ―mampu‖ melaksanakan tugasnya sebagai guru. Ketika guru telah masuk ke dalam kelas untuk mengajar, maka dia memiliki otoritas penuh. Kelas laksana kamar dalam rumah yang tidak selayaknya dimasuki orang lain, meskipun lebih dulu meminta ijin. Orang Jawa tidak bisa memisahkan antara lingkup kehidu-pan (lifespace) dengan lingkup kerja (work-space). Artinya ruang hidup dan ruang kerjanya sama-sama tidak disukai bila dimasuki orang lain. Kedua, rasa pekewuh kepala sekolah untuk melakukan kunjungan kelas, dapat dijelaskan sebagai pelaksanaan dan ―prinsip rasa hormat‖, yaitu pekewuh dan sungkan.Pekewuh dan sungkan adalah rasa malu dalam arti positif. Sungkan merupakan rasa hormat kepada atasan atau sesamanya (dalam hal ini kepala sekolah menganggap guru pada posisi yang sejajar), sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain (Niels Mulder, 1985:58) 365 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Dengan demikian kepala sekolah pada hakikatnya tidak mau menempatkan diri sebagai atasan guru sebagai bawahan. Oleh karena itu, kepala sekolah pekewuh (sungkan dan tidak leluasa) untuk melakukan kunjungan kelas dan menyupervisi guru. Ke-sungkan-an tersebut didasari oleh keinginan untuk tidak dianggap meragukan kemampuan mengajar guru. Bila kepala sekolah melakukan kunjungan kelas, maka persepsi awal yang muncul pada duiri guru adalah bahwa kepala sekolah meragukan kemampuannya dalam mengajar. Hal inilah yang dihindari oleh kepala sekolah, karena dianggap dapat menimbulkan perasaan tidak enak, yang pada gilirannya dapat menjadi konflik. 3. Sikap dan tanggapan guru terhadap supervisi yang dilaksanakan supervisor Orientasi supervisi yang diterapkan oleh supervisor direpon dengan sikap dan tanggapan para guru dan kepala sekolah. Sikap dan tanggapan mereka sebagai-mana orientasi yang diterapkan supervisor dilatari oleh nilai dan norma budaya Jawa. Pada fokus ketiga ini ada dua temuan. Pertama, guru tidak mengatakan secara langsung ketidakpuasannya terhadap supervisi yang dilakukan pengawas sekolah. Para guru menya-dari bahwa hakikat supervisi bukan hanya sekedar pemeriksaan adminis-trasi, tetapi menyangkut proses perbaikan pembelajaran secara keseluruhan. Namun, supervisi yang diberikan pengawas juga sering monoton, bahkan cenderung menyampaikan hal-hal yang keliru kalau tidak informasi yang sudah kedaluwarsa. Tanggapan yang paling esen-sial yang nampak dari perilaku guru tersebut adalah ―prinsip hormat‖. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Franz Magnis Suseno, 1996: 30). Mereka yang berkedudukan tinggi (pengawas sekolah, kepala sekolah) harus dihormati, dan mereka yang berkedudukan lebih rendah harus di-emong. Artinya terhadap orang yang lebih rendah harus menempatkan diri. Mereka (bawahan) menghormati para pejabat (atasan) dengan mematuhi amanat atau pesannya, bahkan mengikuti jejak langkahnya. Hal inilah yang mengakibatkan berkembangnya sikap paternalistik, yang dampak buruknya adalah berkembangnya sikap ABS, asal bapak senang (Muchtar Lubis, 1978: 28). Disamping itu, dorongan-dorongan guru untuk menyampaikan rasa tidak pusanya terhadap supervisor dikendalikan oleh perasaan takut (ajrih) dan sungkan (pekewuh). Rasa ajrih yang menghinggapi para guru, sebab secara struktural pengawas memiliki otoritas yang besar, tidak saja untuk memeriksa guru, tetapi atau bahkan untuk merekomendasikan kenaikan pangkat (nasib). Sedangkan rasa pekewuh dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan senioritas, pengalaman, usia dan sebagainya, yang menjadikan guru merasa sungkan untuk menumpahkan isi hati sebenarnya. Kedua, kebanyakan guru memilih bersikap pasif dan tidak mengindahkan apa yang disarankan supervisor. Sikap pasif ini dibarengi dengan sikap (tindakan) inggihinggih, ananging mboten kepanggih. Artinya dalam perbedaan pendapat atau ketidakpuasan guru dengan supervisor, guru mengambil tindakan mengiyakan di depan supervisor, namun tidak melaksanakan apa yang telah diiyakan tersebut. Perasaan ajrih sebagai pangkal tolak mental, maka orang dapat saja menyetujui atau mengiyakan saja kehendak orang (untuk sementara), dan baru kemudian menentukan perasaan negatif atau positif terhadap orang tersebut setelah menelaahnya. Menuruti atau menyetujui kehendak orang lain juga 366 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret termasuk suatu konsep budaya Jawa yang penting, yaitu manut (Koentjaraningrat, 1984). Kerukunan yang dituntut dalam masyarakat Jawa tidak menjangkau ranah batiniah. Batin manusia Jawa tetap dibiarkan bebas untuk setuju atau tidak setuju, manut atau berontak. Apa yang menjadi pikiran dan perasaan adalah urusan diri sendiri. Masyarakat menuntut agar seseorang bisa membawa diri secara rukun, tetapi masyarakat tidak menuntut agar seseorang merasa bersalah, bila hatinya tidak setuju. Ketidaksetujuan hati tersebut pada akhirnya dapat dimanifestasikan melalui beberapa cara, tanpa harus bertengkar (konflik terbuka). Perwujudan tersebut antara lain adalah melalui pemisahan ruang (tak saling berdekatan), menghindar jika bertemu, dan tidak ngomong satu sama lain untuk sementara waktu (jothakan) tidak terbatas, dan pada akhirnya dapat digunakan pihak ketiga untuk mencairkan hubungan tersebut. Jothakan memang tidak menutupi konflik, dan bahkan membukanya, namun tidak disertai dengan pertengkaran fisik. Satu hal lagi, temuan yang biasa dilakukan oleh para guru adalah dengan cara mencabut persetujuannya (sikap manut-nya) dengan diwujudkan dalam tindakan tidak melakukan apa-apa. Dengan demikian tidak melaksanakan apa yang sepertinya pernah disetujui, haki-katnya merupakan upaya menampakkan ketidaksetujuannya tanpa harus menimbul-kan konflik fisik. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Sesuai dengan fokus dan tujuan kajian, maka temuan hasil kajian ini dapat disimpulkan menjadi tiga yaitu berkaitan dengan: (a) Proses kegiatan supervisi, (b) Orientasi supervisi serta (c) Sikap dan tanggapan guru terhadap pelaksanaan supervisi yang dilaksanakan supervisor. a. Proses Kegiatan Supervisi dalam latar Budaya jawa Pelaksanaan kegiatan supervisi pengajaran dalam latar budaya Jawa kurang efektif untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan oleh: (1) Supervisor tidak mengkomunikasikan rencana/ program supervisinya kepada para guru sebagai subyek supervisi. Kecuali itu dalam menyusun rencana supervisi. Kecuali itu dalam menyusun rencana supervisi, supervisor juga tidak melibatkan guru sehingga rencana yang telah disusun tidak didasarkan pada kebutuhan guru, (2) Fokus supervisi hanya terarah pada aspek administrasi, kurang menyentuh pada pengembangan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Supervisor tidak melaksana-kan kunjungan kelas secara serius, (3) Dalam pertemuanpertemuan supervisi supervisor mendominasi pembicaraan dan berjalan satu arah, sehingga kurang memberi kesempatan pada guru untuk mengemukakan persoalan yang dihadapinya, dan (4) Tidak ada penilaian sebagai umpan balik terhadap kegiatan supervisi yang telah dilaksanakan supervisor, baik dari bawahan maupun atasan yang berwenang. Dari supervisor sendiri juga tidak pernah meminta pada guru untuk memberikan komentar maupun penilaian terhadap supervisi yang telah dilaksanakan. Kejadian-kejadian tersebut tidak terlepas dari latar budaya Jawa yang menjunjung tinggi prinsip rukun dan prinsip hormat dalam interaksi sosial serta tradisi kepemimpinan Jawa yang absolut dan paternalistis. Supervisor tidak melibatkan guru dalam menyusun program supervisi, karena supervisor menganggap bahwa hal itu merupakan hak mutlak supervisor dan tidak perlu ada campur tangan dari guru. Begitu juga tidak ada penilaian dari guru, karena memang tidak lazim bawahan menilai atasan dan hal ini dianggap saru 367 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret (tidak etis), tidak pada tempatnya. Dalam budaya Jawa disebut dengan istilah ―ora empan papan” atau ”ora bisa nyelehake bokonge dhewe‖ (guru dianggap tidak bisa menempatkan dirinya sebagai bawahan). Dalam hal fokus supervisi yang lebih ditekankan pada aspek administrasi, karena secara umum sistem birokrasi pendidikan di Indonesia menghendaki demikian. Segala pertanggung jawaban pelaksanaan tugas pada atasan bersifat administratif, sehingga hal ini berpengaruh pada perilkau supervisor. Sedangkan tidak dilaksanakannya kunjungan kelas secara serius ada dua hal yang mendasari. Pertama, guru yang telah resmi diangkat dipandang telah cakap dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai guru, sehingga ia memiliki otoritas penuh untuk mengelola kelasnya. Guru tidak senang bila ada pihak lain yang ―masuk‖ wilayah kewenangannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya Jawa bahwa otonomi hidup pribadi dihargai tinggi dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa memang sulit membedakan antara lingkup kehidupan dengan lingkup kerja, sehingga keduaduanya tidak suka bila dimasuki orang lain. Kedua, pelaksanaan prinsip hormat yang diwujudkan dalam perasaan sungkan/pekewuh (malu dalam arti positif). Sungkan merupakan rasa hormat kepada atasan atau sesama (dalam hal ini kepala sekolah menganggap guru pada posisi sejajar), sebagai pengekangan halus terhadap pepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. b. Orientasi Supervisi dalam Latar Budaya Jawa Orientasi supervisi yang digunakan oleh supervisor dalam menghadapi dan memecahkan persoa-lan yang muncul tergantung pada sifat permasalahannya. Jika masalah bersifat fungsional-profesional, supervisor menggunakan orientasi langsung, dan jika masalah bersifat personal-individual, supervisor menggunakan orientasi tidak langsung. 1) Orientasi Langsung Supervisor dalam membe-rikan arahan, teguran, koreksi terhadap persoalan fungsional-profesional disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan, tanpa tedheng aling-aling dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Dalam budaya Jawa terkenal dengan istilah thok-lek. Asumsi yang mendasari perilaku tersebut adalah tradisi kepemimpinan Jawa yang absolut dan peternalistik. Supervisor sebagai atasan memiliki kekuasaan mutlak dan menganggap dirinya serba lebih tahu mana yang benar dan mana yang salah. Orientasi ini lebih mengedepankan pendekatan birokratik, supervisor memandang guru sebagai bawahan, bukan teman sejawat. Orientasi ini ternyata kurang efektif karena sebenarnya guru tidak suka diperlakukan dengan cara demikian. Namun ketidaksukaan guru itu tidak secara terbuka disampaikan pada supervisor. Hal ini dilakukan demi menjaga hubungan harmonis (melaksanakan prinsip rukun) dan menaruh rasa hormat kepada atasan. Para guru lebih memilih sikap diam dan tidak melaksanakan apa yang mereka iyakan/ setujui di hadapan supervisor. Hasilnya inggih-inggih boten kepanggih. 2) Orientasi Tidak Langsung Supervisor dalam memberikan koreksi terhadap persoalan personalindividual tidak disampaikan secara thoklek, namun lebih sering menggunakan bahasa sendirian (pasemon) dalam forum-forum pertemuan secara umum. Untuk tidak menyinggung perasaan dan demi menjaga kerukunan digunakan bahasa kembang, lambang, dan sinamuning samudana. Prinsip ini dipegang teguh oleh supervisor. Dengan cara demikian pihak yang bermasalah diharapkan dapat menangkap maksud yang sebenarnya (tanggap ing 368 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sasmita) sehingga yang bersangkutan segera dapat melakukan instrospeksi dan memperbaiki diri, yang dalam budaya Jawa terkenal dengan istilah bisa rumangsa (ngrumangsani). Cara lain yang ditempuh supervisor, jika dengan cara di atas tidak berhasil adalah meminta bantuan orang ketiga untuk menegur/mengingatkan guru yang bermasalah tersebut. Orang ketiga yang dimintai bantuan tersebut biasanya teman dekat guru yang bermasalah tersebut.Melalui dua cara tersebut ternyata supervisor berhasil memecahkan persoalan guru yang bersifat personal-individual. Asumsi yang mendasari perilaku supervisor tersebut adalah prinsip rukun dan budaya kepemim-pinan Jawa yang paternalistik. Supervisor sebagai Bapak harus ngemong anak buahnya. Supervisor tidak ingin menyinggung perasaan dan melukai hatinya. 3) Sikap dan Tanggapan Guru Guru menyadari benar, bahwa supervisi pengajaran pada hakikatnya bukan sekedar pemeriksaan admi-nistrasi seperti yang dilakukan oleh supervisornya. Supervisi yang dilakukan oleh pengawas dinilainya monoton dan cenderung membosankan, bahkan pengawas kadangkala menyampaikan hal-hal yang keliru kepada guru-guru. Guru merasa tidak puas terhadap supervisi yang dilakukan oleh pengawas, namun tidak menyatakannya secara langsung pada pengawas. Guru cenderung bersikap pasif dan diam, menunggu apa yang dikehendaki pengawas. Bila pengawas memaksakan kehendaknya meskipun tidak disukai guru, maka guru mengiyakan saja apa yang dikehendaki pengawas, namun tidak dilaksanakan. Prinsip yang melandasi perilaku guru tersebut adalah prinsip hormat dan prinsip rukun yang dijunjung tinggi oleh orang Jawa. Guru cenderung berbohong, pura-pura mengiyakan (ethok-ethok), tetapi tidak melaksanakan (inggih-inggih boten kepanggih), demi menjaga kerukunan/ menghindari konflik terbuka dan menghormati atasan. Guru memiliki tanggapan yang tidak terlalu positif terhadap supervisi yang dilakukan supervisor. Supervisi yang dilakukan supervisor dianggap biasa-biasa saja dan monoton, bahkan nampak diacuhkan. Namun guru tidak menampakkan ketidaksetujuan dihadapan supervisor, karena dilandasi rasa hormat, sekaligus tidak ingin menimbulkan konflik (prinsip rukun). Berdasarkan temuantemuan kajian tersebut, dapat dibuat suatu teori substansi berikut ini. Mengenai ketidakefektifan supervisi yang dilaksanakan supervisor dalam latar budaya Jawa, penulis beranggapan bahwa hal tersebut tidak semata-mata dipe-ngaruhi oleh latar budaya Jawa. Faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh dan perlu diteliti lebih lanjut antara lain: (1) kebijakan pemerintah yang menegaskan bahwa supervisor adalah ―pengawas‖ yang tugasnya mengawasi serta memeriksa yang disupervisi; (2) perubahan yang terjadi dilingkungan keraton (Surakarta maupun Ngayogyakarta), seperti guru, kepala sekolah, dan pengawas yang bukan keturunan raja, peserta didik yang sudah tidak terbatas hanya dari lingkungan dan kerabat Keraton sehingga terjadi perubahan norma; (3) keterampilan manajerial supervisor yang meliputi tingkat pemahaman terhadap supervisi yang benar, keterampilan teknis, dan keterampilan dalam menciptakan hubungan yang baik sesama guru dan kepala sekolah. 2. Implikasi Hasil kajian sebagaimana dikemukakan di atas, terutama yang berkenaan dengan pengaruh latar kebudayaan Jawa terhadap perilaku pengawas sekolah dalam pembinaan profesionalisme guru SD, mengimplikasikan perlunya pengawas 369 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sekolah lebih menghayati peran dan tanggung jawabnya sebagai pembina, pengayom, dan teman bagi para guru dan kepala sekolah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa meskipun para pengawas sekolah telah memiliki dan melaksanakan program kerja rancangan pembinaan, namun keberhasilannya bukan semat-mata karena programnya, tetapi latar/setting yang kondusif ikut berperan. Oleh sebab itu, pengawas (superintendts) sangat ditekankan tidak saja mempertahan kekuasaannya, tetapi harus mampu memaksimalkan lingkungan sekolah sebagai sistem (Sange, Peter M, 2000:14). Agar mereka, para pengawas dapat melaksanakan tugasnya tanpa ha-rus merusak system budaya yang masih ada. Nyekel iwak tanpa buthek banyune. Karena pada dasarnya orang Jawa termasuk guru dan kepala sekolah akan selalu menyerahkan diri pada birokrasi, bahasa resminya pemerintah (pengawas sekolah), dan daya tarik duniawi ini yang sangat terikat dengan perubahan tatanan sosial, yakni otoritas yang dimiliki pengawas sekolah (Niels Mulder, 2006: 262). Menurut Glidewell, John C (1986: 11), kebudayaan adalah kumpulan beberapa asumsi di mana beberapa kelompok telah tersusun dalam sebuah pembe-lajaran dimana sama-sama saling mempertahankan eksistensinya dengan cara bagaimana mereka memanaj dirinya sebagai anggota kelompok. Artinya, bagai-mana kelompok pengawas sekolah maupun kelompok kepala sekolah dan guru, keduanya saling belajar, saling mengisi. Dan bukannya saling mencari kesalahan. 3. Saran-saran Berdasarkan hasil temuan dalam kajian ini seperti dikemukakan pada kesimpulan, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: a. Saran untuk Supervisor (Pengawas dan Kepala Sekolah) Memanfaatkan secara taktis dan strategis ―prinsip rukun‖ dan ―prinsip hormat‖ dalam budaya Jawa untuk menyusun rencana supervisi, melaksanakan supervisi, dan menilai keberhasilan supervisi. Hal-hal yang perlu dilakukan antara lain, (1) melibatkan guru dalam menyusun rencana supervisi agar sesuai dengan kebutuhan guru. Hal ini jangan dianggap saru, tapi justru memanfaatkan prinsip hormat, menghargai pendapat guru, sehingga para guru menjadi terbuka dan rumangsa diwongke. Dengan demikian guru ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan, (2) kunjungan kelas tetap harus dilakukan. Melakukan kunju-ngan kelas tidak berarti melanggar prinsip hormat terhadap guru, asal tidak sekedar mencari kesalahan melalui pemeriksaan. Justru dalam hal ini harus memanfaatkan prinsip rukun, sehingga masing-masing pihak saling menghormati dan menyadari dengan cara yang rukun, (3) Dalam pertemuanpertemuan supervisi supervisor jangan mendominasi pembicaraan, namun lebih banyak memberi kesempatan pada para guru untuk menyam-paikan hal-hal atau persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Para guru hendaknya dipandang sebagai teman sejawat yang perlu diajak berdiskusi, (4) Karena hasil kajian ini menunjukkan bahwa supervisi antar teman sejawat (meskipun tidak direncanakan) lebih efektif, maka disarankan agar supervisor lebih banyak memanfaatkan supervisi kolegial, (5) Agar mendapatkan umpan balik tentang supervisi yang telah dilaksanakan, hendaknya supervisor secara terbuka memberi kesempatan pada guru untuk memberikan komentar, baik yang berkaitan dengan kekurangan maupun kelebihan. Komentar dari guru hendaknya jangan dipandang seperti atasan memberikan penilaian pada supervisor, tapi lebih ditekankan pada umpan balik untuk 370 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret perbaikan dan penyempurnaan. Hal ini akan terlaksana jika masing-masing pihak dapat melaksanakan prinsip rukun dan prinsip hormat secara tepat, masing-masing bisa menempatkan diri (empan papan, bisa nyelehake bokonge dhewe), dan (6) Fokus supervisi hendaknya tidak hanya ditekankan pada administrasi, namun lebih ditekankan pada kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, melalui kunjungan kelas. Manfaatkan budaya pekewuh untuk hal-hal yang positif. Misalnya supervisor atau guru pekewuh jika tidak berhasil dalam melak-sanakan tugasnya. prinsip rukun dan hormat tetap terjaga. Gunakan kebiasaan yang dipakai orang Jawa dengan kata-kata raos kula (saya rasa) atau mbok menawi (barangkali) jika terpaksa harus mengambil sikap konfrontasi dengan supervisor; dan ketiga, guru hendaknya aktif, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam menyikapi pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh supervisor. Memanfaatkan kunjungan supervisor untuk menyampaikan segala persoalan yang dihadapi dalam proses belajar mengajar. Jangan hanya diam dan manut. b. Saran untuk Para Guru Sekolah Dasar Sebagaimana supervisor, hendaknya guru juga dapat memanfaatkan prinsip hormat dan prinsip rukun secara tepat kaitannya dengan pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh supervisor. Pertama, guru hendaknya berani menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapi secara terus terang/terbuka demi peningkatan kemampuannya dalam mengelola proses belajar-mengajar; kedua, jika guru tahu bahwa supervisor melakukan kesalahan, hendaknya tetap disampaikan kepadanya dengan menggunakan tutur bahasa yang tidak menyinggung perasaan, sehingga c. Saran untuk Penulis dan Pengembang Supervisi Pengajaran Sebagaimana telah disampaikan pada akhir kesimpulan kajian ini bahwa ketidak-efektifan supervisi yang dilaksanakan supervisor dalam latar budaya Jawa, penulis beranggapan bahwa hal tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh latar budaya Jawa. Karena itu, perlu dilakukan kajian lanjut untuk mengetahui semua faktor yang menyebabkan supervisi tidak efektif dalam latar budaya Jawa. Juga perlu dilakukan kajian di situs yang lain seperti di Kecamatan Andong atau di Kabupaten lain. DAFTAR PUSTAKA Antlov, Hans., dan Cederrorth, Sven., Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Kasar. Penerjemah: P Soemitro.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Bodgan, Robert C and Biklen, Sari Knopp., Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory and Methods .Toronto: Allyn and Bacon, Inc., 1982 Cook, Curtis W., Hunsaker, Phillips L. and Coffey, Robert E., Management and Organizatio-nal Behavior, Boston: Irwin McGraw-Hill, 1997 Cunningham, William G., and Corderio, Paula A., Educational Administration: A Problem-Based Approach. Boston: Allyn and Bacon, 2000 Douglas H. Powell, Understanding Human Adjustment. Canada: Little, Brown and Company, 1983 Echols, John M., dan Shadily, Hassan., Kamus Inggris Indo-nesia. Jakarta: Gramedia, 1982 371 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Gordon Judith R., , Organizational Behavior: A Diagnostic Appro-ach New Jersey: Prentice Hall, 1999 Glesne, Corrine., Becoming Qualitative Researchers: An Introduction. New York: Longman, 1999 Hardjowirogo, Marbangun., Manusia Jawa. Jakarta: Idayu Press, 1984 Harris, Ben M., Supervisory Behavior in Education. New Jersey: Prenctice-Hall, Inc, 1975 Hersey, Paul., Kenneth H. Blanchard and Dewey E. Johnson, , Management Of Organizational Behavior . New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1996 Herusatoto,Budi., Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita: 2000 Hoy, Wayne K dan Miskel, Cecil G, Educational Administration; Theory, Research, and Practice. Boston: McGraw Hill, 2001 Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Bagian Proyek Pengendalian Kebutu-han GuruDikdasmen, 2000 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No.12/2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Kreitner, Robert., and Sngelo Kinicki, Organization Behavior. Boston: Irwin, 1998 ―Krisis Kepastian Dalam Budaya Jawa‖, Kompas, 10 Desember 2000, p 6. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa: Seri Etnografi Indonesia. Nomor 2 .Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak, 2006. Krishna, Anand., Madah Agung Kehidupan: Wedhatama Bagi Orang Modern. Jakarta: Gra-media, 1998 Ladew, Donald P. How to Supervise People: Techniques for Getting Results Through Others. Diindonesiakan Mitra Communications. Jakarta: Pustaka Tangga, 2003 Michael L. Tushman, and Charles A. O‘Reilly III, Winning Through Innovation: A Practical Guide To Leading Organizational Change and Renewal. Boston: Harvard Business School Press, 1997 Miles, Mattehew B. dan Huberman, A. Michael. Analaisis data kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press, 1992 Moeljono, Djokosantoso dan Sudjatmiko, Steve (editor), Corporate Culture: Challenge to Excellence. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007 Moleong, Lexy J., Metodologi Kajian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 Mulder, Niels., Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1985 Nasution, S., Metode Peneltian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito: 1996 Nugraha,Yusro Edy., Serat Wedhatama: Sebuah Master Piece Jawa dalam Respon Pembaca. Semarang: Mimbar Offset kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, 2001 Pedoman Pengelolaan Gugus TK/SD, Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1995 Pedoman Penulisan Tesis & Disertasi Program Pascasar-jana. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, 2003 372 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pene-tapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah. Semarang: Duta Nusindo, 2006 Powell Douglas H. ,Understanding Human Adjustment. Canada: Little, Brown and Company, 1983 Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2001 Robbins, Stephen P., The Truth About Managing People ... and Nothing but The Truth. London: Prentice Hall PTR, 2002 Sadiman Arief S.,‖Pengaruh Televisi pada Perubahan Perilaku‖ Teknodik No.7/IV Oktober1999. http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t7.7-3.htm 2/3/04 Sallis, Edward, Total Quality Mana-gement in Education. London: Kogan Page Ltd, 1993 Senge, Peter M., Schools That Learn: A Fith Discipline Filed-book for Educators, Parents, and Everyone Who Cares About Education (New York: Doubleday, 2000 Sergiovani, Thomas J., and Starratt, Robert J., Supervision: A Redefinition. New York: McGraw-Hill, Inc., 1993 Soetjipto dan Kosasi,Raflis., Profesi Keguruan (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Rineka Cipta, 1999 Spradley, James P., Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston, t.th. ―SupervisiPendidikan‖, http://www.bpkpenabur.or.id/kwiyata/91/lap3.htm 1/27/04 Suharno, Peranan Kebudayaan Jawa Terhadap Perilaku Pengawas Dalam Pembinaan Profesionalisme Guru SD. 2011. Tidak diterbitkan. Suseno, Franz., Magnis Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1996 The New Encyclopaedia Britanica Chicago: Encyclopaedia. Britanica,Inc.,1994 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yogyakarta: Galangpress, 2007 Undang-undang Republik Indon-sia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Kloang Klede Putra Timur, 2003 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000 373 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 374 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret BUDAYA, BAHASA, DAN SIFAT DASAR MANUSIA Isnaini Nurrahmah E-mail: [email protected] ABSTRAK Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut, 1) untuk mengetahui definisi budaya, kebudayaan,dan bahasa, 2) untuk memahami wujud-wujud kebudayaan, 3) untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan, 4) untuk memahami hakikat manusia dan pengembangannya, 5) untuk mendeskripsikan sifat-sifat khas kepribadian manusia, 6) untuk mendeskripsikan sifat khas individu yang lain , misalnya masalah intelegensi, 7) untuk memahami hubungan budaya, bahasa dengan sifat dasar manusia. Budaya adalah daya dari budi, yang berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga bagian yaitu 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia; 3) wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia. Antar hubungan kehidupan individu di masyarakat tidak akan berjalan baik dan serasi tanpa adanya media. Media komunikasi yang pertama dan yang terutama digunakan di masyarakat, yaitu bahasa. Budaya terkait erat dengan bahasa dan sifat dasar manusia. Keterkaitan antara budaya, bahasa dengan sifat dasar atau hakikat dasar manusia salah satunya dapat dibuktikan dengan banyaknya paribasan maupun bebasan yang mencerminkan dan menggambarkan hakikat manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan. Kata kunci: budaya, bahasa, sifat dasar manusia A. PENDAHULUAN Latar Belakang Penulisan Sasaran pendidikan adalah manusia. Manusia dalam tinjauan ini adalah manusia yang berbudaya. Pendidikan bermaksud membantu manusia (peserta didik) untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaan. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia yang berbudaya. Ibarat biji rambutan bagaimanapun wujudnya jika ditanam dengan baik, Insya Allah menjadi pohon rambutan dan bukannya menjadi pohon srikaya. 1. Tugas mendidik akan dapat dilakukan dengan benar dan tepat sasaran, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya, termasuk sifat dasarnya. Manusia memiliki sifat dasar dan ciri khas yang secara prinsipiil berbeda dari binatang. Ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia atau sifat dasar manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh 375 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret manusia dan tidak terdapat pada hewan atau binatang. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi landaan serta memberikan acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif. Dengan kata lain, penggunaan peta sebagai acuan akan membantu pendidik tidak mudah terkecoh ke dalam bentuk-bentuk transaksional yang patologis dan berakibat merugikan subjek didik. Alasan kedua mengapa gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki pendidik adalah karena adanya perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini, lebih-lebih pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih bagi kehidupan manusia darinya, namun di sisi lain tidak dapat dielakkan akan adanya dampak negatif. Dampak negatif perkembangan sains dan teknologi terkadang tanpa disadari sangat merugikan bahkan mungkin mengancam keutuhan eksistensi manusia, seperti ditemukannya bom kimia dan bakteri, video, dan DBS (Direct Broadcasting System), rekayasa genetika, dan lain-lain, yang digunakan secara tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu sangat strategis pembahasan tentang budaya dikaitkan dengan sifat dasar manusia. Berangkat dari pemikiran di atas maka disusun paper dengan judul ―Budaya dan Sifat Dasar Manusia.‖ 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana tersebut di atas serta pokok kajian tentang budaya dan sifat dasar manusia dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut. a. Apakah definisi budaya, kebudayaan, dan bahasa? b. Bagaimanakah wujud-wujud kebudayaan? c. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kebudayaan? d. Bagaimanakah peranan bahasa dalam kehidupan masyarakat? e. Bagaimanakah hakikat manusia dan pengembangannya? f. Bagaimanakah sifat-sifat khas kepribadian manusia? g. Bagaimanakah sifat khas individu yang lain , misalnya masalah intelegensi? h. Bagaimanakah hubungan budaya dengan sifat dasar manusia? 3. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas dapat dirumuskan tujuan-tujuan penulisan sebagai berikut. a. Untuk mengetahui definisi budaya, kebudayaan, dan bahasa. b. Untuk memahami wujud-wujud kebudayaan. c. Untuk menemukan Faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan. d. Untuk memahami peranan bahasa dalam kehidupan masyarakat. e. Untuk memahami hakikat manusia dan pengembangannya. f. Untuk mendeskripsikan sifat-sifat khas kepribadian manusia. g. Untuk mendeskripsikan sifat khas individu yang lain , misalnya masalah intelegensi. h. Untuk memahami hubungan budaya dengan sifat dasar manusia. B. PEMBAHASAN 1. Definisi Budaya dan Kebudayaan Kebudayaan adalah sebuah konsep yang definisinya sangat beragam. Pada abad ke-19, istilah kebudayaan umumnya digunakan untuk seni rupa, sastra, filsafat, ilmu alam, dan musik yang menunjukkan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan 376 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret sosialnya (Peter Burke, 2001: 176-177). Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta "buddhayah", yaitu bentuk jamak dari "buddhi yang berarti budi atau akal" (Hari Poerwanto, 2000: 51). Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: "halhal yang bersangkutan dengan akal"(Koentjaraningrat, 2000: 9). Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk "budi-daya yang berarti daya dari budi", kekuatan dari akal (lihat misalnya buku PJ. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West Amsterdam, PJ. van der Peet, 1951). Karena itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya berasal dari kata budi dan daya, yakni daya dari budi, yang berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa (Warsito, 2012: 49). Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarkhi, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Dedy Mulyana, 2001: 18). Dalam Antropologi Budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya di sini dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan pengertian yang sama. Sisi lain mengemukakan bahwa kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa Arab), berasal dari perkataan latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai "segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. E.B. Taylor dalam sebuah bukunya yang berjudul Primitive Cultur yang dikutip oleh AAGN Ari Dwipayana mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaankebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (2001: 38). Betapapun goyahnya konsep tentang "budaya" (cultures, cultural forms ... ) tidak ada kemungkinan lain baginya kecuali terus bertahan lestari (Clifford Geertz, 1999: 67). Dilihat sepintas definisi-definisi tersebut memang terlihat kesimpangsiuran. Kebudayaan pada umumnya, kelihatan didukung oleh pengertian yang kabur. ltu pula sebabnya beberapa ahli banyak mengemukakan pandangan dan batasan/ definisi. Dewasa ini tidak kurang dari 160 buah definisi yang telah dikemukakan para ahli. Seandainya dipakai serempak, jelas tidak mungkin. Meskipun masing-masing batasan mengandung kebenaran, mengandung pula kelemahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; berbahasa adalah menggunakan bahasa, sopan santun, tahu adat (Hasan Alwi, 2001: 88-89). 2. Wujud-Wujud Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga bagian yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; ketiga wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia (2000: 5). Pernyataan ini relevan yang disampaikan oleh Simuh bahwa wujud kebudayaan terdiri atas sistem budaya, ide dan gagasan-gagasan, sistem sosial, tingkah laku dan tindakan, dan kebudayaan yang 377 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret bersifat fisik dalam artefact dan bendabenda hasil budaya yang bersifat materiil (1999: 109). Penjelasan: a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala, atau dengan perkataan lain, ada dalam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi, micro-film dan micro-fish, kartu komputer, dan lain-lain. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, tetapi selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli Antropologi dan Sosiologi menyebut sistem ini dengan sistem budaya (cultural system ). Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu "adat" atau "adat-istiadat" untuk bentuk jamaknya. b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Tindakan berpola dari manusia atau sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu berdasar adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, didokumentasi. c. Wujud kebudayaan berupa bendabenda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ketiga ini disebut "kebudayaan fisik". Karena berupa seluruh total dari hasil fisik, aktivitas, perbuatan, dan karya manusia, maka sifatnya paling konkrit, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja; ada benda-benda yang amat kompleks dan canggih seperti komputer, atau benda-benda besar dan bergerak seperti kapal laut, kapal udara; ada benda-benda atau bangunan hasil seni arsitek seperti candi, pura ; atau benda-benda kecil seperti kain batik ; atau lebih kecil lagi seperti kancing baju. Ketiga wujud yang telah disebutkan di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan dan karya manusia menghasilkan benda-benda kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama semakin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketiga wujud kebudayaan itu. Sebagai contoh dapat kita ambil misalnya Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sebagai suatu Lembaga 378 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Pendidikan Tinggi, universitas tersebut merupakan suatu unsur dalam rangka kebudayaan Indonesia sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, universitas dapat merupakan suatu unsur kebudayaan yang ideal, yang terdiri dari cita-cita universitas, norma-norma untuk para karyawan, dosen dan mahasiswa, aturan ujian, pandanganpandangan dan sebagainya. Universitas ini juga terdiri dari suatu rangkaian aktivitas dan tindakan dimana manusia saling berhubungan atau berinteraksi dalam berbagai hal. Ada yang memberi kuliah, mengikuti kuliah, ada yang mengetik surat, ada yang mengatur buku, dan lain-lain. TerIepas dari itu semua, orang dapat juga mengadakan penelitian tentang Universitas Sebelas Maret sebagai himpunan benda fisik yang harus diinventarisasi. Itulah sebabnya ia hanya melihat universitas sebagai suatu kompleks gedung-gedung, ruang-ruang kuliah, deretan bangku kuliah, himpunan buku-buku, mesin-mesin ketik, komputer, dan sebagainya. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebudayaan Kebudayaan sebagai hasil budi daya manusia atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam perkembangannya dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktorfaktor tersebut adalah : a. Faktor Ras Menurut teori ini terdapat ras yang superior dan ras yang imperior. Ras yang superior ialah ras yang mampu menciptakan kebudayaan. Ras yang imperior ialah ras yang hanya mampu mempergunakan hasil budaya dan menurut saja. Di dalam kenyataannya pengaruh ras terhadap perkembangan kebudayaan bukan sematamata karena kecakapan ras-ras tersebut, melainkan karena adanya kecakapan dari individu yang termasuk ke dalam suatu golongan ras tersebut. Bila di dalam suatu waktu ada individu di dalam golongan suatu ras yang cakap dan mampu menghasilkan kebudayaan, maka golongan ras itu akan tampak berkembang secara pesat kebudayaannya. Dan apabila pada suatu waktu ras tidak atau belum terdapat diantara anggota-anggotanya yang mampu menghasilkan kebudayaan, maka akan tampak bahwa perkembangan kebudayaan tersebut akan lamban. b. Faktor Lingkungan Geografis Faktor ini biasanya dihubungkan dengan keadaan tanah, iklim, temperatur/ suhu adara, dimana manusia bertempat tinggal. Menurut teori ini lingkungan alam sangat mempengaruhi suatu kebudayaan daerah tertentu. Keadaan alam misalnya diantara daerah tropis, sedang, dan dingin, terjadi suatu perbedaan di dalam berpakaian, membuat rumah, dan lain-lain. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, pengaruh lingkungan geografis terhadap kebudayaan agak berkurang. c. Faktor Perkembangan Teknologi Di dalam kehidupan modern sekarang ini, tingkat teknologi merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi kebudayaan. Semakin tinggi tingkat teknologi manusia, pengaruh lingkungan geografis terhadap perkembangan kebudayaan semakin berkurang. Semakin tinggi tingkat teknologi suatu bangsa semakin tinggi pula tingkat kebudayaan, oleh karena teknologi suatu bangsa dapat dengan mudah mengatasi lingkungan alam. d. Faktor Hubungan antar Bangsa Hubungan antarbangsa mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya peristiwa-peristiwa : 1) Penetration Pasifique atau perembesan kebudayaan secara damai. Ini terjadi karena adanya kaum imigran yang pindah menjadi penduduk suatu negeri lain. Mereka membawa kebudayaan yang masuk dan diterima oleh negeri tersebut tanpa 379 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret menimbulkan kekacauan/ kegoncangan masyarakat penerima. 2) Culture Contact / Akulturasi Akulturasi merupakan proses perkawinan unsur-unsur kebudayaan dimana unsur-unsur kebudayaan asing yang datang dicerna menjadi kebudayaan sendiri, atau juga pertemuan dua unsur kebudayaan yang berbeda di daerah yang lain. 3) Difusi kebudayaan Yaitu penyebaran unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain. 4) Culture Creisse, Ialah proses persilangan antara dua unsur kebudayaan yang berbeda. Hal ini terjadi karena kedua unsur kebudayaan itu bertemu pada suatu daerah tertentu di luar daerah kedua kebudayaan tersebut. e. Faktor Sosial Susunan suatu masyarakat dan hubungan interaksi sosial diantara warganya membentuk suatu watak dan ciri-ciri dari masyarakat tersebut. Hubungan antara anggota masyarakat dengan sesamanya serta dengan kelompok sosial yang lain akan mempunyai pengaruh terhadap kebudayaan misalnya masyarakat yang masih mempunyai jenjang dimensi stratifikasi sosial tertentu. f. Faktor Religi Kepercayaan suatu masyarakat yang telah diyakini sejak masa yang telah lalu sulit hilang begitu saja. Sebagaimana evolusi religi yang telah berjalan dalam masa yang lama. Penghilangan suatu bentuk costum habits membutuhkan keberanian dari individu-individu sebagai inovator dalam pembangunan. g. Faktor Prestige Faktor ini biasanya bersifat individual yang dipopulerkan di dalam kehidupan sosial. Konkritisasi dari faktor ini biasanya mempunyai efek negatif berupa pemaksaan diri ataupun keluarga, misalnya perayaan dan pesta besar-besaran. Hal ini secara ekonomis tidak bisa dipertanggungjawabkan. h. Faktor Mode Faktor mode bukanlah motif ekonomi. Suatu mode merupakan hasil budaya pada saat-saat tertentu. Ini lebih bersifat temporer sebagai siklus yang terusmenerus. Faktor mode ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kebudayaan. 4. Hakikat Manusia dan Pengembangannya Sifat hakikat manusiadiartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil (bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan, meskipun antara manusia dengan hewan terdapat banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Dari bentuknya, misalnya orang hutan; bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) (Umar Tirtarahardja, 2005: 3). Kenyataan dan pernyataan sebagaimana tersebut di atas dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang hutan dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia 380 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari primat ke manusia yang tidak sanggup diungkapkan yang disebut The missing Link yaitu suatu mata rantai yang putus. Ada suatu proses antara yang tidak dapat dijelaskan. Intinya tidak ditemukan buktibukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera melalui proses evolusi yang bersifat gradual. 5. Peranan Bahasa dalam Kehidupan Masyarakat Antar hubungan kehidupan individu di masyarakat tidak akan berjalan baik dan serasi tanpa adanya media. Media komunikasi yang pertama dan yang terutama digunakan di masyarakat, yaitu bahasa. Bahasa memiliki kemampuan dan keampuhan mendekatkan jarak social, ekonomi, budaya anggota-anggota masyarakat. Secara praktis, pengertian bahasa dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya berupa rangkaian kata-kata, susunan kalimat, tata bahasa dan gaya bahasa, melainkan mencakup pula ungkapan konsep, prinsip, nilai, pembakuan, dan norma yang hidup di masyarakat yang bersangkutan. Bahasa merupakan ungkapan pikiran, perasaan, gagasan, kemauan, dan lain-lain yang hidup dan berkembang di masyarakat di mana manusia tinggal di dalamya (Warsito, 2010: 7). Pengaruhindividu terhadap perkembangan kemajuan masyarakat, tidak hanya terbataskepada ungkapan tingkahlaku, perbuatan dan tindakan-tindakannya, melainkan lebih jauh daripada itu, terungkap pula pada tutur katanya. Buah pikiran dan gagasan seseorang untuk mengembangkan dqan memajukan masyarakat, pada umumnya tertuang pada ucapan atau tulisan berupa bahasa ysng digunakan pada masyarakat tersebut. Pelaksanaan pendidikan, penerangan dan penyuluhan, dilaksanakan melalui media bahasa. Selanjutnya materi, dari seseorang kepada pihak lain atau seseorang kepada suatu kelompok dan sebaliknya, dinyatakan dengan menggunakan media bahasa. Dalam kehidupan masyarakat, bahasa menjadi media utama terjadinya asimilasi dan difusi unsur-unsur kebudayaan. Penyebaran informasi dari penguasa kepada masyarakat dan sebaliknya, disampaikan dengan menggunakan bahasa. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi, penyebaran informasi, gagasan, perintah menjadi lebih lancer. Dengan demikian tidak hanya jarak social, ekonomi, budaya yang dapat diperpendek, jarak politik pemerintahan pun demikian juga. Ungkapan yang mengatakan ― bahasa adalah ciri suatu bangsa‖ merupakan konsep yang memiliki pengertian luas. Ungkapan itu tidak hanya menyatakan bahwa tiap bangsa/ suku bangsa memiliki bahasanya masing-masing, melainkan juga mengungkapkan kualitas sosial budayanya. Di dalam ungkapan ini, tercermin pula kualitas intelektual individu bangsa yang bersangkutan. Bahasa selain menjadi alat kemajuan bangsa, juga menjadi pencerminan kemauan masyarakat. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Para ahli ilmu-ilmu social dan kemanusiaan, sebelum melakukan penelitian pada masyarakat tertentu, terlebih dahulu mempelajari bahasa masyarakat yang ditelitinya. Dengan menguasai bahasa, pendekatan-pendekatan yang akan digunakan untuk mengungkapkan aspek sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakattersebut, akan menjadi lancar dan baik sehingga kesalahan penafsiran dan kesalahan penarikan kesimpulan dapat dihindarkan. 381 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Para penyebar agama dan penyebarinovasi untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, sebelum melakukan pendekatan-pendekatan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan, mempelajari dahulu bahasa setempat yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Jadi, faktor bahasa ini, terutama bahasa masyarakat yang menjadi objek perhatian, harus kita pahami benarbenar untuk dapat berintegrasi dengan masyarakat yang bersangkutan. Pendek kata, bahasa yang menjadi media komunikasi-informasi, dapat digunakan untuk mengembangkan dan memajukan masyarakat dan lingkungan. 6. Sifat-Sifat Khas Kepribadian Manusia Jika kita mengadakan orientasi dalam lapangan psikologi kepribadian, maka secara garis besar akan kita dapatkan dua macam pendekatan mengenai kepribadian. Berpangkal pada kenyataan, bahwa kepribadian manusia itu sangat bermacam-macam, mungkin sama banyaknya dengan banyaknya orang. Segolongan ahli berusaha menggolonggolongkan manusia ke dalam tipe-tipe tertentu, karena mereka berpendapat bahwa cara itulah yang paling efektif untuk mengenal sesama manusia dengan baik. Pada sisi lain, sekelompok ahli berpendapat bahwa cara bekerja seperti yang dikemukakan di atas tidak memenuhi tujuan psikologi kepribadian, yaitu mengenal manusia menurut apa adanya, menurut sifatsifat yang khas. 1. Beberapa Teori Tipologi a. Teori Hippocrates-Galenus Terpengaruh oleh kosmologi Empedokles, yang menganggap alam semesta beserta isinya tersusun atas empat unsur pokok yaitu tanah, air, udara, dan api yang masing-masing mendukung sifat tertentu. Tanah mendukung sifat kering, air mendukung sifat basah, udara mendukung sifat dingin, dan api mendukung sifat panas. Hippocrates (460-370) berpendapat, bahwa di dalam tubuh manusia juga terdapat sifatsifat tersebut yang didukung oleh cairancairan yang ada di dalam tubuh, yaitu: 1) Sifat kering didukung oleh chole, 2) Sifat basah didukung oleh melanchole, 3) Sifat dingin didukung oleh phlegma, dan 4) Sifat panas didukung oleh sanguis Cairan-cairan tersebut ada dalam tubuh dalam perbandingan tertentu. Di dalam kenyataannya adanya cairan-cairan tersebut di dalam tubuh banyak kali menyimpang dari perbandingan yang seharusnya (menyimpang dari perbandingan yang normal), sehingga menyebabkan adanya kelainan-kelainan. Sifat kejiwaan tertentu yang khas ini, yang adanya tergantung kepada dominasi cairan dalam tubuh itu oleh Galenus disebut temperament (Sumadi Suryabrata, 1998: 79). b. Tipologi Mazhab Italia dan Perancis 1) Tipologi Mazhab Italia Berdasarkan atas data-data yang diperoleh De-Giovani, serta hukum deformasi yang dirumuskan oleh DeGiovani, Viola dalam penyelidikannya menemukanan adanya 3 macam tipe manusia berdasarkan keadaan tubuhnya, yaitu, a) Microsplanchnis; ukuran-ukuran menegak relatif dominan, sehingga orangnya kelihatan tinggi jangkung, b) Macrosplanchnis; ukuran-ukuran mendatarnya relatif dominan sehingga orangnya kelihatan pendek gemuk, c) Normosplanchnis; ukuran-ukuran menegak dan mendatar seimbang, sehingga orang kelihatan seimbang. 2) Tipologi Mazhab Perancis Mazhab Perancis yang dipimpin oleh Sigaud berpendapat bahwa keadaan serta bentuk tubuh manusia serta kelainankelainannya pada pokoknya ditentukan oleh sekitar atau lingkungan. Ada bermacam- 382 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret macam lingkungan yang menimbulkan reaksi yang bermacam-macam, yaitu: a) Lingkungan yang berwujud udara menjadi sumber reaksi respiratoris, b) Lingkungan yang berwujud makanan-makanan menjadi sumber reaksi digestif, c) Lingkungan yang berwujud keadaan-keadaan alam menjadi sumber reaksi-reaksi muskuler, d) Lingkungan yang berwujud keadaan sosial menimbulkan reaksi-reaksi cerebral. 3) Tipologi Kretschmer a) Tipe-tipe manusia menurut keadaan jasmaninya, b) Tipe-tipe manusia menurut Temperamennya, c) Hubungan keadaan jasmani dan temperamen 4) Teori Sheldon Sheldon menggambarkan kepribadian manusia terdiri dari komponenkomponen , yakni; a) Komponen-komponen kejasmanian, b) Komponen-komponen temperament c) Komponen-komponen psikiatris 5) Tipologi Berdasarkan Keadaan Kejiwaan Semata-mata a) Tipologi Plato Plato membedakan adanya 3 bagian jiwa, yaitu: (1) Pikiran (logos) yang berkedudukan di kepala, (2) Kemauan (thumos) yang berkedudukan di dada, (3) Hasrat (epithumid) yang berkedudukan di perut. b) Tipologi Queyrat Queyrat menyusun tipologi atas dasar dominasi daya-daya jiwa, yaitu daya-daya kognitif, afektif, dan konatif. c) Tipologi Malapert Malapert menggolong-golongkan manusia atas dasar dominasi daya tertentu. (1) Tipe intelektual, terdiri atas golongan analitis dan reflektif, (2) Tipe afektif, terdiri atas golongan emosional dan bernafsu, (3) Tipe volunter , terdiri atas golongan tanpa kemauan dan besar kemauan 6) Tipologi Heymans Heymans berpendapat bahwa manusia itu sangat berlainan kepribadiannya, dapat dikatakan sebanyak orangnya. Sebagai dasar penggolongan manusia, adalah kualitas kejiwaan, yaitu: a) Emosionalitas, b) Proses pengiring, c) Aktivitas. 7) Tipologi Spranger Pokok-pokok pikiran Spranger mengenai kepribadian manusia diwarnai aspek-aspek kerohanian. 2. Beberapa Teori Kepribadian yang Memakai Cara Pendekatan Lain a. Psikoanalisis Teori Sigmund Freud Teori kepribadian Freud dapat diihtisarkan dalam rangka struktur, dinamika, dan perkembangan kepribadian. 1) Struktur kepribadian Menurut Freud, kepribadian terdiri atas 3 sistem/ aspek, yaitu: a) Das Es (the id), yaitu aspek biologis. b) Das Ich (the ego), yaitu aspek psikologis. c) Das Ueber Ich (the super ego), yaitu aspek sosiologis. 2) Dinamika kepribadian Menurut Freud di dalam diri kita ada 2 macam kelompok instink-instink, yaitu, a) Instink-instink hidup 383 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret b) Instink-instink mati 3) Perkembangan kepribadian Perkembangan kepribadian adalah belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksikan tegangan, yang timbul karena individu menghadapi berbagai hal yang menjadi sumber tegangan (tension). Sumber tegangan yang pokok adalah: a) Proses pertumbuhan fisiologis b) Frustasi c) Konflik d) Ancaman. 4) Psiko Analitis, Teori Carl Gustav Jung Jung mula-mula adalah murid Freud. Tetapi karena perbedaan pendirian, akhirnya memisahkan diri dan mendirikan aliran sendiri yang diberi nama Psikologi Analitis. Dia tidak berbicara tentang kepribadian tetapi berbicara tentang psike. Psike adalah segala peristiwa psikis, baik yang disadari maupun tidak disadari. Menurut Jung, kepribadian terdiri dari 2 alam, yaitu: a) Alam sadar (kesadaran), yang berfungsi mengadakan penyesuan terhadap dunia luar, b) Alam tak sadar (ketidaksadaran) yang mengadakan penyesuaian terhadap dunia dalam, yaitu dunia batin sendiri. 5) Individual Psychologie, Teori Alfred Adler Seperti Jung, Adler mula-mula juga murid Freud, tetapi karena perbedaan pendapat memisahkan diri dan mendirikan aliran tersendiri. Teori Adler dapat kita pahami lewat pengertian-pengertian pokok yang dipergunakannya untuk membahas kepribadian. Adapun pengertian-pengertian pokok tersebut adalah: a) Individualitas sebagai pokok persoalan b) Pandangan teleologis, ―filsafat seakan-akan‖ c) Dua dorongsn pokok, yaitu dorongan kemasyarakatan dan keakuan. d) Rasa rendah diri dan kompensasi 7. Sifat Khas Individu yang Lain : Masalah Inteligensi Inti persoalan di sini adalah ―apakah inteligensi itu?‖ Secara garis besar dikemukakan berbagai konsepsi mengenai inteligensi yang digolongkan menjadi 5 macam,yaitu: 1. Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif-filsafati. Spearman, dalam bukunya yang terkenal yaitu The Abilities of Man (1927) mengelompokkan konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif-filsafati menjadi 3 kelompok, yaitu: a. Yang memberikan definisi mengenai inteligensi umum, b. Yang memberi definisi mengenai dayadaya jiwa khusus yang merupakan bagian dari inteligensi, c. Yang memberi definisi inteligensi sebagai taraf umum dari sejumlah besar daya-daya khusus. 2. Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis. Dasar dari konsepsi ini kiranya dinyatakan oleh Boring, bahwa intelegensi adalah apa yang dites oleh tes inteligensi. Konsepsi ini cocok sekali dengan selera banyak ahli di Amerika Serikat. Kurang radikal daripada pendapat Boring itu adalah pernyataan Terman, bahwa inteligensi itu dapat diukur sesuai dengan definisinya. Pernyataan ini dianalogikan dengan pengetahuan tentang listrik, pengukuran terhadap listrik tergantung kepada definisi yang diberikannya, panasnya, alirannya, dan sebagainya. Jika sekiranya ini benar, maka sebenarnya dengan tes itu kita tidak mendapatkan pengetahuan baru sama sekali, karena yang diukur kita sudah mengerti sebelumnya. 3. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analitis faktor, 384 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Konsepsi ini dinamakan demikian sebenarnya beralas pada kenyataan bahwa di dalam menyelidiki dan mencari sifat hakiki inteligensi itu orang mempergunakan teknik analisis faktor, suatu teknik yang mula-mula dirintis oleh Spearman, dan kemudian cepat berkembang, terutama di daerah Anglosaksis. Psikologi yang begitu besar peranannya dalam psikologi dewasa ini banyak sekali bersandar kepada analisis faktor itu. 4. Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional Apakah inteligensi itu? Jawaban terhadap pertanyaan ini dengan memberikan definisi yang disusun secara sekehendak, umumnya dianggap tidak memuaskan oleh para ahli psikologi. Ahli-ahli yang mengikuti operasionalisme mengajukan keberatan-keberatan terhadap pendapat para pengikut teori faktor itu, yaitu pertama mendefinisikan, kedua mengukurnya. Keberatan yang pertama ialah karena tindak (operation) pengukuran itu sendiri sebenarnya secara implisit telah pula mendefinisikan. Selanjutnya, keberatan yang kedua ditujukan pada jalan pikiran ini: dengan menganalisis hasil tes-tes, ahli-ahli yang mengikuti teori faktor berpendapat telah mengetahui faktor-faktor inteligensi itu, tetapi kata pengikut operasionalisme-di manakah letak faktor itu? Cara yang demikian itu secara operasional tak dapat diterima. 5. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analitis fungsional Konsepsi ini disusun atas dasar pemikiran atau analisis mengenai bagaimana berfungsinya inteligensi itu, lalu dirumuskan sifat-sifat hakikatnya atau definisinya. Salah satu teori yang disusun atas dasar cara seperti yang dikemukakan itu adalah teori Binet. Binet menyatakan sifat hakikat inteligensi ada 3 macam, yakni: a) Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakaplah dia membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. b) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan itu. Makin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis. c) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang, makin dapat dia belajar dari kesalahannya, kesalahan yang telah dibuatnya tidak mudah diulangi lagi (Sumadi Suryabrata, 1998: 133) 8. Hubungan Budaya dengan Sifat Dasar Manusia Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling lengkap dan sempurna. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang membentuknya, mulai dari makhluk yang paling sederhana sampai yang paling unik. Secara garis besar, makhluk ciptaan Tuhan dibagi menjadi dua, yakni yang tidak dapat dilihat mata seperti malaikat, syaitan, iblis, dan sebagainya. Yang kedua adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dapat dilihat mata. Makhluk yang dapat dilihat dengan mata ada 4 tingkatan, yakni: Pertama, yang mempunyai bentuk dan wujud, yakni benda-benda mati seperti batu, tanah, pasir, dan sebagainya. Kedua, yang mempunyai bentuk, wujud, dan unsur kehidupan, yakni segala jenis tumbuh-tumbuhan. Ketiga, yang mempunyai bentuk, wujud, unsur kehidupan, dan insting, yakni semua jenis hewan/ binatang. 385 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Keempat, yang mempunyai bentuk, wujud, unsur kehidupan, insting, dan akal serta pikiran, yakni manusia. Secara kodrati, manusia adalah makhluk individu, makhluk sosial, dan otomatis adalah makhluk Ciptaan Tuhan (Al-Khaliq). Dari kodrati makhluk manusia di sini, akan kita kaji dan kita hubungkan dengan budaya atau dengan kata lain hubungan antara budaya dan hakikat dasar manusia. Di bawah ini ditampilkan budayabudaya khususnya budaya Jawa yang terkait erat dengan hakikat dasar manusia (paribasan dan bebasan). (Paribasan yaiku unen-unen gumathok, ajeg panganggone, lan ngemu teges wantah. Tembuge ora kena diowahi utawa diganti nganggo tembung liya. Bebasan yaiku unen-unen gumathok, ajeg panganggone, lan ngemu teges pepindhan. Sing dipindhakake yaiku: sipat, tindak-tanduk, utawa kaanane wong) (Dwijawiyata, 2002: 44-45). 1. Manusia sebagai Makhluk Individu a. Seje kulit seje anggit (saben uwong duwe kekarepan dhewe-dhewe) b. Ciri wanci lelai ginawa mati (cacat utawa padatan ala, ora bisa ilang nganti tekaning pati) c. Adigang, Adigung, adiguna (ngedir-edirake kekuwatan, kaluhuran, kapinteran) d. Durung ilang pupuk lempuyange (dipadhakake bocah sing isih cilik) e. Durung pecus, keselak besus (durung sembada, wis kepengin warna-warna) f. Gemblung jinurung, edan kuwarisan ( sanajan ndhugal tindake, nanging tansah slamet) g. Kenes ora ethes (wanita umuk, nanging bodho) h. Kongsi jambul wanen (nganti tuwa banget) i. Kerot tanpa untu (duwe panjangka, ora duwe srana). Lahang karoban manis (rupane bagus/ ayu, tur luhur budine). k. Lanang kemangi (watake wong lanang sing jirihan). l. Mbalung usus (kekarepane kendho-kenceng, ora mantep). m. Nggenthong umos (ora bisa nyimpen wewadi) 2. Manusia sebagai Makhluk Sosial a. Ana rembug dirembug, aja padha grusa-grusu (ana prakara dirembug, ora grusa-grusu) b. Mangan ora mangan anggere ngumpul (sanajan kadhang kala padha ora mangan, sing penting bisa awor) c. Sapa nandur bakal ngunduh (sapa sing gawe prakara bakal nemahi) d. Becik ketitik ala ketara (sapa sing gawe kabecikan katon lan sapa sing gawe ala uga katon) e. Kebo nusu gudel (wong tuwa takon/ sinau marang wong enom) f. Aja cedhak kebo gupak (aja kekancan karo uwong sing seneng tumindak ala, mundhak ketularan alane) g. Ana catur mungkur (ora gelem ngrungokake rerasaning liyan sing ala) h. Anak molah, bapa kepradah (nemu pakewuh marga saka pokale anake) i. Busuk ketekuk, pinter keblinger (sing pinter lan sing bodho padha dene nemu cilaka) j. Bapa kesulah, anak kepolah (anak wajib nanggung prekarane bapakne sing wis mati) k. Criwis cawis (diprentah madoni, namging wusanane gelem nglakoni) l. Didhadhunga medhot, dipalangana mlumpat (kekarepane wis ora bisa diendhakake maneh) m. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan (wong liya, nanging yen nandhang susah dibelani) 386 j. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret n. Entek amek, kurang golek (ngunek-unekake wong nganti sakatoge) o. Giri lusi, janma tan kena ingina (ora kena ngina marang pepadhane manungsa). p. Jalukan ora wewehan (gelem njejaluk, ora gelem weweh) q. Kadang konang ( gelem ngaku sadulur mung yen sugih) r. Kepara, kepere ( pangedume ora padha) s. Keplok ora tombok (melu senengseneng, ora melu ngetokake ragad). t. Kulak warta, adol prongon (goleki kabar lan nerusake kabar sing dirungu) u. Dicuthat kaya cacing (ditundhung kanthi cara sing siya banget). v. Glundhung suling (miwiti mbangun brayat, sing lanang tanpa nggegawa apa-apa). w. Glundhung semprong (wong wadon omah-omah tanpa nggawa gawan). x. Katon cepaka sawakul (disenengi dening wong akeh). y. Madu balung tanpa isi (regejegan mung marga barang sepele). z. Nabok nyilih tangan (tumindak ala srana kongkonan wong liya). aa. Nggutuk lor kena kidul (nyemoni) bb. Ngubak-ubak banyu bening (gawe rerusuh ing papan sing tentrem). 3. Manusia sebagai Makhluk Ciptaan Tuhan a. Sangkan paraning dumadi (kabeh manungsa dititahke dening Allah, Swt.) b. Narima ing pandum (ikhlas nampa apa wae sing diparingake Allah, Swt) c. Pasrah ‗Allah (tawakal sawise tumindak) d. Kineban lawang tobat (wis ora bisa oleh pangapura) C. KESIMPULAN Tugas mendidik akan dapat dilakukan dengan benar dan tepat sasaran, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya, termasuk sifat dasarnya. Manusia memiliki sifat dasar dan ciri khas yang secara prinsipiil berbeda dari binatang. Ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia atau sifat dasar manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan atau binatang. Sifat hakikat manusiadiartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil (bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan, meskipun antara manusia dengan hewan terdapat banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Budaya adalah daya dari budi, yang berupa, cipta, rasa dan karsa; sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga bagian yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, ketiga wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia. Secara kodrati, manusia adalah makhluk individu, makhluk sosial, dan otomatis adalah makhluk Ciptaan Tuhan (Al-Khaliq). Secara personal, setiap manusia memiliki kepribadian. Kepribadian manusia itu sangat bermacam-macam, mungkin sama banyaknya dengan banyaknya orang. Perkembangan kepribadian adalah belajar mempergunakan 387 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret cara-cara baru dalam mereduksikan antara budaya, bahasa dengan sifat dasar tegangan, yang timbul karena individu atau hakikat dasar manusia salah satunya menghadapi berbagai hal yang menjadi dapat dibuktikan dengan banyaknya sumber tegangan (tension). Sumber paribasan maupun bebasan yang tegangan yang pokok adalah proses mencerminkan dan menggambarkan hakikat pertumbuhan fisiologis, frustasi, konflik, manusia sebagai makhluk individu, dan ancaman. makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Bila dilakukan kajian yang lebih Tuhan. mendalam, budaya terkait erat dengan bahasa dan sifat dasar manusia. Keterkaitan DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Burke, Peter. (2003). Sejarah dan Teori Sosial. Alih Bahasa Mestika Zed & Zulfami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dwijawiyata. (2002). Kawruh Basa Jawa Pepak 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Dwipayana, AAGN Ari. (2001). Kelas dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama . Geertz, Clifford. (1999). After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Alih Bahasa Landung Simatupang. Yogyakarta: LKiS Bekerjasama dengan The Asia Foundation. Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mulyana, Dedy, dkk. (2001). Komunikasi antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan orang-orang Berbeda Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poerwanto, Hari. (2000). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). Simuh. (1999). Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Suryabrata, Sumadi. (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tirtarahardja, Umar. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta. Warsito. (2010). Perspektif Pendidikan Ilmu Sosial. Klaten: Widya Dharma University Press. Warsito. (2012). Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak (Anggota IKAPI). 388 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret IMPLEMENTASI EMPAT PILAR KEBUDAYAAN JAWA DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DI INDONESIA Sahid Teguh Widodo Pusat Studi Javanologi LPPM Universitas Sebelas Maret [email protected] ABSTRAK Kebudayaan Jawa ditopang oleh empat pilar yang kokoh yaitu mithos, logos, etos, dan patos. Keempatnya memiliki sifat relasi komplementer sebagai self-cultivation ‟pembudidayaan pribadi‟ setiap insan Indonesia yang memiliki intensitas dramatik dan suasana (atmosphere) yang khas. Paper ini bertujuan memaparkan beberapa pokok pikiran mengenai implementasi empat pilar budaya Jawa dalam sistem pendidikan di Indonesial. Selain memaparkan deskripsi operasional dan filosofis, paper ini juga memaparkan peran strategis budaya Jawa, khususnya sebagaimana dipaparkan dalam keempat pilarnya. Budaya dalam konteks ini seharusnya berposisi sebagai pemrakarsa, pendinamisir, dan inspirasi pengembangan pendidikan di Indonesia. Kata kunci: pilar, budaya, Jawa, kurikulum, indonesia ‖Was du ererbt von deinen Vatern hast Arwirb es um es zu basitzen" (Muhamad Yamin) "Apa yang telah kau warisi dari nenek moyangmu Upayakanlah agar tetap menjadi hak miliknya" A. PENGANTAR Wacana Kebudayaan Jawa saat ini berada pada kitaran wilayah yang bipolarkontradiktif. Satu sisi, kebudayaan Jawa dianggap sebagai budaya adi luhung, dan di sisi lain menganggap budaya Jawa sebagai budaya masa lampau yang tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Budaya popular yang lahir belakangan selalu dianggap sebagai budaya yang miskin estetika, dangkal nilai, dan bersumbu pendek (Cohen, 1971), namun pada kenyataannya paling menyedot perhatian publik. Sedangkan wilayah, penghayat dan penikmat budaya adi luhung semakin menyusut dan terbatas. Budaya Jawa merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia memiliki peran dan kedudukan strategis dalam kerangka kemajuan adab, memberi arti yang mempertinggi derajat kemanusiaan, dan usaha bina persatuan. Kebudayaan Jawa memiliki wilayah yang sangat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu: pranata sosial, bahasa, sastra, tatanegara, politik, pertahanan, ekonomi, pertanian, perbintangan, mata uang, penanggalan, bahari, lingkungan hidup, dan berbagai bentuk seni dan tradisi. Budaya Jawa memilki wilayah pengaruh yang sangat luas meliputi daratan Madagaskar, Kamboja, Thailand, Melayu, dan Myanmar (Birma) sebagai daerah penyebaran Sastra Panji. Tentu saja hal itu tidak lepas dari kemampuan dan ketahanan, wujud dan karakter budaya Jawa di dalam menerima 389 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret budaya dan pengaruh asing dari waktu ke waktu tanpa meninggalkan ciri dan corak khasnya dengan cara adaptasi, akulturasi, inkulturasi, asimilasi, dan sinkretisme. Adalah pelajaran yang berharga jika generasi terpelajar Indonesia mampu menangkap dan mempelajarinya sebagai bahan dasar kajian mengenai substansi, pola dan tata nilai kearifan berfikir, besikap, dan bertingkah laku dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Tulisan pendek ini bertujuan untuk memaparkan implementasi pilar kebudayaan Jawa dalam kurikulum pendidikan berbasis budaya. Konteks Indonesia sebagai negara yang memiliki begitu banyak kekayaan budaya, paparan ini sangat penting dalam kerangka mewujudkan pendidikan yang tepat guna dan sasaran. Yaitu pendidikan yang mampu menangkap dan mengungkap dasar kekuatan di balik kekokohan peradaban guna mencerdaskan bangsa Indonesia yang multikultural. B. PILAR KEBUDAYAAN JAWA Kebudayaan Jawa selalu mengalami pasang surut kejayaan dari masa ke masa (Oesman Arif, 2004). Kejayaan kebudayaan Jawa semestinya ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh. Kebudayaan Jawa ditopang oleh empat Pilar yang memungkinkan ia berdiri dan bertahan hingga kini. Keempat Pilar itu bernama Mithos, Logos, Ethos, dan Pathos. Syarat sebagai pilar antara lain adalah: kuat, kokoh, tepat pada tempatnya, sejajar, selaras, merata, sama besar, dan memenuhi keperluan estetika (Haugen, 1972; Eagleton, 2000). Empat Pilar Kebudayaan adalah matra yang tersusun dari sejarah panjang yang terpilih, teruji, dan menjadi warisan nenek moyang kepada kita. 1. Mithos Mithos sering dipahami sebagai dongeng, gugon tuhon, klenik, atau cerita kuno yang tidak nyata. Mithos (Myth) dalam konteks ini mithos adalah semangat bersama yang dilandasi oleh oleh cita-cita, harapan, dan nilai luhur yang dipikirkan, dipahami, dipertahankan, dan diperjuangkan bersama, sehingga setiap orang dengan iklas rela berkorban dan menderita (prihatin) untuk mencapai kehidupan berkebangsaan yang lebih baik, kesejahteraan yang meningkat dan berkualitas, keamanan dan ketentraman yang senantiasa terjaga. 2. Logos Logos dalam konteks ini memiliki arti 'akal budi', yaitu kecerdasan yang terus menerus berproses maju (progressive) untuk mewujudkan mithos yang teiah dimiliki. Masalahnya adalah bagaimana menjabarkan mithos itu dengan kekuatan nalar dengan cara mengklasifikasikan, mengkategorikan, dan merumuskan opreasionalisasi mithos di dalam realitas objektif (overt) dan realitas subjektif (covert). 3. Ethos Pilar yang ketiga adalah Ethos. Yaitu pandangan hidup yang khas tentang sesuatu yang dibentuk dari mithos hingga memiliki nilai, watak, dan sifat yang dijunjung dan menjadi milik besama sebuah komunitas. Pada konteks kebudayaan, ethos adalah kemampuan mengatur (manage) sehinga masing-masing orang memiliki tugas dan peran berdasarkan kemampuan dan keahlian masin-masing. 4. Pathos Pilar yang keempat adalah Pathos. Pathos adalah kekuatan besar yang tersembunyi karena adanya rasa penderitaan yang lama. Setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap pengalaman penderitaannya. Pada kenyataannya, banyak 390 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret orang yang memiliki masa lalu penderitaan, namun tidak mampu membuat dirinya menjadi lebih kuat. Penderitaan triwikrama menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat apabila seseorang sadar akan tiga kekuatan yang ada pada dirinya, yaitu mithos, ethos, dan logos. Ketiganya harus diatur sedemikian rupa sehingga membuahkan kesadaran dan pemahaman akan arti sebuah penderitaan. Pathos adalah kesadaran yang membeni ruang kepada manusia untuk belajar dari sebuah pendenitaan. Bahwa nasib hanya dapat dapat dirubah dengan memperkuat persatuan dan kerjasama segenap elemen bangsa. C. IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN Tidak ada warga negara Indonesia yang bodoh. Inilah ‖jimat sakti‖ yang harus dimiliki dunia pendidikan kita. Keempat pilar kebudayaan tersebut bersifat komplementer, saling bertaut, dan saling mengisi. Artinya, pendidikan berbasis budaya yang hendak dibangun seharusnya melibatkan keempat pilar budaya tersebut sekaligus. 1. Implementasi Mytos Mithos biasanya diselipkan dalam bentuk dongeng-dongeng, cerita rakyat (folklore), misalnya tentang konsep Ratu Adil, budi pekerti, kebaikan dan keluhuran, kebahagian lahir batin (Prudentia, 2010), dan konsep guyup (gotong royong). Mithos adalah daya hidup yang digali dari nilainilai keluhuran dan kebersamaan sepanjang sejarah hidup dan kehidupan manusia. Pada masyarakat moderen, mithos tampak sebagai sebuah gejala life style 'gaya hidup' yang menggiring ke gemerlap dunia material, angka-angka, fantasi, trend, glamounitas, konsumeritas, dan hedonisme yang semakin mendorong manusia ke luar dari posisi kosmiknya. Kesemua itu berdampak pada semakin memudarnya landasan agama, nilai-nilai, dan keyakinan hidup. Pudarnya mithos juga berakibat pada semakin lemahnya daya hidup masyarakat. Dalam kegelapan nilai, orientasi, posisi, dan pegangan, masyarakat Jawa yang gelisah Iebih memilih apa yang tampak lebih mudah, sesaat, dan instan. Kurikulum pendidikan di Indonesia seharusnya mampu memanfaatkan kekayaan tradisi lisan lokal yang banyak dimiliki bangsa ini. Nilai-nilai keluhuran, kearifan, pikiran, tabiat, sifat, ide, semangat, konsep kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir dan batin (Karkono, 1986) yang terkandung dalam cerita rakyat Nusantara harus terus digali dan dibudidayakan melalui pendidikan. Peninggalan yang berupa manuskrip, naskah-naskah langka, dan benda-benda bersejarah seperti candi-candi, prasasti, dan tempat bersejarah lain harus menjadi bahan dasar yang dapat mengembangkan cinta tanah air dan bangsa. Begitu banyak sumber ilmu pengetahuan Jawa sebagaimana termuat dalam serat Wulang Reh (Paku Buwana IV), Sasana Sunu (Yasadipura II), Wedhatama (Mangkunegara IV), Surya Ngalam (Yasadipura I), dll. Jika kandungan nilai di dalam kitab-kitab lama tersebut ada, hidup, dan tumbuh di dalam diri manusia Jawa, tentu cita-cita akan lahirnya satu tatanan situasi yang tenteram dan damai, bebas dan keraguan dan kegelisahan, serta terhidar dari amarah yang menceraiberaikan dapat terwujud. 2. Implementasi Logos Budaya Jawa memiliki 'logos' yang luar biasa. Misalnya tentang diversitas makanan, pakaian, adat istiadat, arsitektur dan interior rumah, pertanian, teknologi, pengobatan, hukum, pendidikan, dan lainlain. Adalah sebuah kenyataan, bahwa orang Jawa telah berhasil membuat berbagai-bagai jenis minuman yang seratus persen murni dan menyehatkan, sistem pertanian yang ramah lingkungan, pengelolaan air dan hutan, sistem guyup dan gotong royong, dan berbagai bidang lain 391 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret yang terbukti unggul dan berkualitas. Mentalitas inteletual Jawa seharusnya terus menerus berjalan dan ditujukan membangun bangsa ini lebih bahagia dan sejahtera. Kurikulum pendidikan nasional Indonesia seharusnya mampu mengungkap lebih dalam kekayaan intelektual bangsa sendiri. Ilmu pengetahuan moderen tidaklah berseberangan dengan ilmu pengetahuan tradisional. Mengapa, karena pengetahuan tradisional justru menjadi bahan bakar bagi penemuan format baru pendidikan modern. Disadari benar, hingga sekarang masih terdapat dikotomi ruang tujuan antara tradisi dan modern. Tujuan ilmu pengetahuan moderen adalah mencapai the logical truth (rasional), sedangkan Jawa lebih kepada pencapaian the ethical truth (Sunarko, 2004). Rasional yang beretika, etika yang cerdas dan berhati nurani, adalah modal yang besar untuk mengejar kekurangan kita dalam modern complexes seperti sekarang mi terjadi. Ujungnya, ternyata akal budi Jawa tidak berhenti kepada faktor manusia (antrophosentrik) saja, namun meliputi alam sosial dan alam semesta di sekelilingnya (kosmosentrik). 3. Implementasi Etos Ethos adalah pandangan hidup yang khas tentang sesuatu yang dibentuk dari mithos hingga memiliki nilai, watak, dan sifat yang dijunjung dan menjadi milik besama sebuah komunitas. Pada konteks kebudayaan, ethos adalah kemampuan mengatur (manage) sehinga masing-masing orang memiliki tugas dan peran berdasarkan kemampuan dan keahlian masing-masing. Etos budaya Jawa sangat jelas tergambar di dalam 5 Wasiat Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegara III yang tetap aktual digunakan hingga kini. Mantep: Temen: Gelem, nglakoni: Aja gumunan: Aja kagetan: setia dan kukuh dalam pengabdian, tidak ragu-ragu melakukan pekerjaan karena dilandasi oleh kejujuran dan kebenaran sungguh-sungguh, jujur, dan baik. Tidak mudah tergiur oleh janji, teguh dari godaan pantang menolak sebarang tantangan, bersedia dalam penderitaan (prihatin, Jw), dan menjalani hidup dengan ringan dan iklas tidak mudah merasa heran, takjub, dan terlena. Semua itu melemahkan kewaspadaan dan merendahkan martabat Tidak mudah kaget dan goyah pendirian akan keadaan yang menimpa karena ketenangan mampu mendatang kekuatan yang sangat besar (Sumber: Sahid, 2011) 4. Implementasi Pathos Masyarakat Jawa mempunyai berbagai bentuk pengalaman lahir batin berupa bermacam-macam pengaruh, tekanan, pergeseran dan perubahan (lambat atau cepat dan radikal). Namun yang menarik, semua itu dapat diterimanya (kamot) dengan ramah (Karkono, 2004) dengan sifat khas kejawaannya: organistik, holistik, integralistik, dan ekologikal (Soenarto Timur, 1993). ltulah patos Jawa, yang justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernakan asupan kultural darl berbagai arah luar (Frans Magnis, 1984). Kurikulum pendidikan sepatutnya mempertimbangkan pathos bangsa sebagai dasar pengembangan pendidikan. Penggalian ulang secara detail dan mendalam nilai mitos, logos, dan etos budaya merupakan upaya riil membangun pathos baru. Pengalaman yang pahit dan menekan secara gradual akan dapat digantikan atmosphere yang positif. 392 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret Suasana yang membebaskan membanggakan setiap yang punya. dan D. PENUTUP Pemanfaatan dan pemuliaan budaya Jawa dalam konteks nasional bukanlah sesuatu hal yang buruk. Budaya Jawa adalah satu dari sekian banyak suku ‘kaki‘ budaya Indonesia. Dalam pikiran saya, "Javanese culture is not belongs to one country but it belongs to civilization/whole world". Itulah mengapa dalam waktu yang tak terlalu lama harus segera dilakukan renaissance Budaya. Kebudayaan adalah penjelmaan dari budi manusia (Soenarto, 1992). Yaitu, manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara, dan bagian dari semesta alam seisinya. Sebagai khalifatullah, manusia tercipta ke dunia tiada lain mengemban misi memayu hayuning bawana, yang dapat dijabarkan menjadi memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning bawana (Ki Hadjar Dewantara dalam Soenarto Timoer, 1993). Tidak ada kata "seketika" dalam budaya. Implementasi empat pilar budaya Jawa dalam sistem kurikulum pendidikan di Indonesia harus mau melalui tahapantahapan yang ada, yaitu: tepung 'mengenal dan menerima', dunung 'memahami, trangtrawaca‘, srawung 'berpartisipasi, mengambil bagian', manggung 'tampil di depan, mendunia'. DAFTAR PUSTAKA Cohen, Y. A. (1971). The shaping of men's mind: Adaptation of imperative of culture. DIm. M. L. Wax, (Eds.). An-Anthropological perspectives on education (hlm. 237244); New York: Basic Book, Inc. Eagleton, T. (2000). The idea of culture. Massachusetts USA: Blackwell Publisher Ltd. Frans, Magnis Suseno. (1984). Etika iowa. Jakarta: PT. Gramedia. Haugen, E. (1972). Dialect, language, Nation; in Dill, S.A. (ed), The Ecology of Language. California: Stanford University Press. Karkono, Kamajaya. (1986). Manusia Jawa dan Kebudayaannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disampaikan dalam Ceramah Lembaga Javanoiogi Yayasan Panunggalan, Kemis Wage Jumat Kaliwon, 1 Suro 1919 Jw. atau 4 september. Yogyakarta: Javanologi Panunggalan. Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Baiai Pustaka. Oesman, Arif. (2004). Empat Pilar Penyangga Budaya, dalam Majalah Ilmiah Haluan Sastra Budaya. No. 48 Vol 23, hal. 12-18. Prudentia, MPSS. 2010. Kearifan Lokal Tradisi Lisan sebagai Sumber Pembentukan Identitas dan Karakter. Makalah International Coference, Renaisance Budaya Nusantara I. Surakarta: FSSR-UNS. Soenarko, Setyodarmodjo. (2004). ―Visi dan Misi Lembaga Javanologi. Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan‖ dalam Buletin Jambatan, 2, Th. 22 September. Soenarto, Timoer. (1992). Percikan Renungan Filsafat Jawa: Hidup Berselaras. Surabaya: Paguyuban Sasrakartanan. Soenarto, Timoer. (1993). Nilai Keterbukaan Budaya Tradisional Jawa (Makalah Sarasehan). Surabaya: Lembaga Javanologi. 393 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 394 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret THE CONTRIBUTION OF LANGUAGE FOR CHARACTER EDUCATION Douglas Obura Universiti of Sebelas Maret, Surakarta E-mail: [email protected] ABSTRACT This paper discusses the contribution of language to character education on positive aspects, with great recommendations of how language has helped in the shaping of individual characters. Besides, the paper highlights some benefits which can be reaped as a result of character education, for instance, by students, teachers and the institution such as; schools, colleges or universities. However, greater emphasis is put on the implementation of character education and its adverse magnificent input in the development of good morals and behaviours. The paper also points out the existing relationship between language and characte Education, which acts as factors for building desired and acceptable behaviours within the society. To ascertain relevent reasons as to why students feel they should study a foreign language (English), two simple open-ended questions were administered, and the responses obtained were and are in deed educationally and culturally eye-openers. For instance, 29 responses showed that students were/are studying English as a foreign language because its an intenational language. Keywords:contribution of language, character education, positive aspects A. BACKGROUND The intertwining relationship between language and character education has been into existence for a very long time, but I should admit that the definition of character education can be somewhat complicated and difficult because of the many values it encompasses. Once we take a look at the absolute value of education in both urban and rural areas within our community, it is easy to find out that many children and adolescents are spending a lot of time in schools. Child and adolescent's day are spent entirely at the school, where they learn how to cope academically and then end up taking coaching lessons or extra curriculum activities such as drama, dance & music, etc. These students tend to develop mentally, psychologically, socially, and emotionally from their nearest mentors who happens to be their classroom teachers or school counselors, administrators, support staff and other students. This therefore, calls for a proper knowledge of character education. To both educated and uneducated individuals, language is that smooth and comforting channel through which people identify themselves with the required norms, because individuals can find peace, freedom, self-expressions and above all an identity recognition. A lot of people tend to fight for their ethnic identity through the acquisition of the local or common language, and this makes them feel a strong sense of uniformity, togetherness and belonging. Michael, Violet and Deborah, (2009), asserts that character education, 395 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret variously known as values education, moral education, transmission of cultural values, and socialization is regarded to have been around for centuries. They also cited Farris‘s (2001) reoprt which states that historically, many leaders such as Aristotle, Quintilian, Muhammad, Martin Luther, Johann Herbart, Horace Mann and John Dewey have advocated for character education in schools. To some researchers, educators and educational analysts, character education helps learners to acquire the norms of the society.Other educators such as; Marvin and Melinda, (2005), cited Character Education Partnership which states that, character education is a national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through emphasis on universal values that we all share. It is the intentional, proactive effort by schools, districts, and states to instill in their students important core, ethical values such as caring, honesty, fairness, responsibility, and respect for self and others. They also shared a similar defination from the Association for Supervision and Curriculum Development, which stated that Character education is teaching children about basic human values, including honesty, kindness, generosity, courage, freedom, equality, and respect. The goal is to raise children to become morally responsible, selfdisciplined citizens. On the other hand, Winton (2007), who cited Benninga, 1997; Character Education Partnership, 2003; Ontario Ministry of Education, 2006, asserts that Character education is the explicit attempt by schools to teach values to students, while advocating claims that character education increases academic achievement, improves student behaviour, and amongst others. However, character education is that terminology which means the development of knowledge, skills, and abilities that enable the learners, in this case students to make informed and responsible choices, in their lives, and it involves uniform sharing of educational commitment between students and their lecturers/teachers, which emphasizes the responsibilities and rewards of productive living in this current global era, a diverse societat challenges. Besides, without any doubts, educators can argue that character education enables students to come face to face with the realities of life that encourages them to think critically and then act responsibly, due to the urgency. The ultimate goal of all education is character and therefore, it is practically important to point out that, your character is what makes you, who you are today as a result of everything you have made of yourself and could have overcome in your life so far, till today." But an actual individual‘s character is reflected in habitual action at all time, that implies a person is possesed and indicated by what he/she does. That is, a student‘s character plays a major role in his or her academic success, and not forgetting that institution such as; universities, colleges or schools can build into students, the habits of good character that will drive students‘ behaviours in a well motivated and acceptable way, that is, not only academically but also in their everyday lives, such as; interactions or communication, sharing, prayers in mosques, churches, etc. However, basic habits that are acceptable and increases students‘ odds of being successful in their universities, colleges, schools, includes: 1. Show up for lecture from the beginning till the end of the semester, 2. Being on time for all school‘s, college or university programs, 3. Honouring and following lecturers‘ instructions and directions at all time, during the course, 4. Ensuring that academic tasks are finished on time, 396 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret 5. building a team spirit and a common sense of getting along with others. B. THE RELATIONSHIP BETWEEN LANGUAGE AND CULTURE According to Aubrey‘s (September 2008) article on published on EFL.net, which highlights clearly the relationship between language and culture amidst character up building, where he suggests that teachers must instruct their students on the cultural background of language usage. If one teaches language without teaching about the culture in which it operates, the students are learning empty or meaningless symbols or they may attach the incorrect meaning to what is being taught. The students, when using the learnt language, may use the language inappropriately or within the wrong cultural context, thus defeating the purpose of learning a language. Besides, Aubrey also cites that, because language is so closely entwined with culture, language teachers entering a different culture must respect their cultural values. As Englebert (2004) describes: ―…to teach a foreign language is also to teach a foreign culture, and it is important to be sensitive to the fact that our students, our colleges, our administrators, and, if we live abroad, our neighbours, do not share all of our cultural paradigms.‖ PRACTICAL GRASSROOT EXAMPLE: (A FOREIGNER IN INDONESIA) Foreigner OverseasForeigner in Indonesia Mr. XMr. X Mr. X Foreign Language English Indonesia (New Env’t) Bahasa Insonesia (Observable Expectation) - Own Language - Cultural Values - Learning Bhsa Indonesia - Cultural Ethics - Religious Believes - Moral Values - etc 397 Character Education (Informal) Character Manifestation - Social Skills Awareness - Religious Perspectives - Cultural Appreciation (Greeting, thanking, etc) - Communication Skills - Moral Values - Right Attitudes & Ideas - Right or Desired Actions - Positively Acceptable Behaviour - etc Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret From the above relationship model between the language and character education, it categorically clear that there is a huge connection because we can see elements of character manifestation, after the foreigner in question (Mr. X) living in Indonesia for a period of 2-3 years, or even for just 1 year after learning Bahasa Indonesia. The knowledge of linguistic puts forward the concept of learning a language and a specific culture of that respective language, for easier communication which includes; proper tone in the speaker‘s voice, and intonations applied, proper synonyms to be used, proper gestures to be used, proper non-verbal cues, proper idioms to be used, proper probing techniques, and proper and polite disagreeing techniques, etc. C. ALARMING ISSUES WHICH CALLS FOR LANGUAGE TEACHING AND CHARACTER EDUCATION IN TODAY’S WORLD Willinger (2009), proposes that the goal of character education is to raise emotionally balanced, socially compassionate, and caring individuals with a solid value system. Those educators who focus mainly on test scores are in for a rude awakening when larger issues arise (the child is cheating on tests, or stealing from classmates, for example). For instance, courses on etiquette and character development can sweep potential minefields by imparting the building blocks of successful emotional growth: integrity, honesty, empathy, leadership, and responsibility, to name just a few. If your child grows up to be a doctor but is greedy and uncaring, that advanced degree counts for very little, for you would have failed miserably in nurturing a true human being. However, as educators, a lot needs to pointed out to the youth that desired and good character is not formed out of the blues or automatically but instead it is developed over a significant period of time through sustained process of teaching, learning and practice. The intentional teaching of good character is particularly important in today‘s society since our youth face many opportunities and dangers unknown to earlier generations because of the following; 1. Youth are exposed to the consumption of unappropriate, divastating and uncontrolled internet products or general information, which is affecting their moral values. 2. Youth are tortured with many negative influences through the media and other external sources that finds their ways to children/students in today‘s culture. 3. Youth are confused by many existing day-to-day pressures from their environment and peers which is impinging on them. 4. Uncontrolled peer pressure from friends through their home environment, schools and social media. 5. The impact of international influence and globalization are two strong components that are currently driving young university students into setting their lifestyles to their counterparts in China, Korea, USA, UK, Canada and France. This is also supported by many universities seeking affiliations or collaboration policies with universities around the world. 6. Many documentation and research highlights that many families today are very busy vending for their needs and therefore providing less supervision and moral guidance to the children and the youth, than the previous generations of 30-50 years ago, this had actually left children vulnerable and not capable of developing any social behaviors, manners, skills and societal expectations, expected of them in terms of their contribution to the society. So it is easily seen that the entire moral task 398 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret challenge is left for the schools and teachers to build and shape. that is protective, preserving and nurturing D. THE ROLE AND CONTRIBUTION OF LANGUAGE EDUCATION Communication is complete between the sender and the receiver due to a common language that the two does share. Therefore, as an educator, I can vividly say that, is an aid to effective communication between two or more individuals, and language is very important because it plays the following roles; i) breaking communication barriers, ii) to biuld individual character, iii) to develop science and technology. However, Michael, Violet and Deborah, (2009), suggests that apart from the ability of literature, which embades language to encourage the moral development of students, it is also utilized extensively. It is believed that it would enable students to gain further practice in the key areas to; I. Acquire knowledge and understanding of society, appreciation of their culture including languages, traditions, songs, ceremonies, customs, social norms and a sense of citizenship. II. Acquire a good knowledge and practice of moral standards and health practices that will prepare them for responsible family and community life. III. Develop their own special interests, talents and skills whether these are; physical strength, intellectual ability, and/or artistic gifts. IV. Develop critical thinking, problem solving ability, individual initiative, interpersonal; and inquiry skills. V. Develop desirable attitudes or behavioral patterns in interacting with the environment in a manner E. OBJECTIVES OF CHARACTER EDUCATION FOR STUDENTS AND VALUES 1. The development of a student‘s Knowledge and understanding of basic moral and behaviour ideology, which puts forward, his/her understanding of the social nature of moral character and conduct, which are expected of him/her, within different affiliations, such as; universities, religiously (Islamic, Christians, Hindus, etc). 2. The development of a student‘s Knowledge of the general concept of ―what is right or wrong‖ in particular situations frequently recurring in a student‘s daily life, such as; within his/her campus (university), boarding houses, lecture theaters/rooms, mosques/churches, etc. 3. The development of the student‘s ability to understand vividly, the good and evil consequences to himself or herself and others of any other peer contemplated actions, within any environment where students might find themselves. It is always difficult for students to fight peer influences and pressure due to their inability to analyze good and evil decisions that they frequently make. 4. The development of a student‘s right attitudes, desires and purposes within the student‘s immediate environment, that is, where a student develops a feeling of obligation to render any possible services to other individuals as well as to social groups (home/school/community), and possessing willingness of accepting personal responsibility. 5. The development of a student‘s attitude of appreciation and gratitude toward others for benefits received, and of 399 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret consideration for the comfort and happiness of all. This brings the idea of ―we aren‘t islands‖. So because we live amongst (within a community) other people, we should have a character of appreciation, honour, gratitude, trust, sincerity,etc. 6. The development and systematic formation of a student‘s desirable patterns of conduct. Whereby, the direction of a student‘s life is effective due to consistent guidance and supervision from his/her lecturers, supervisors, mentors, and an increasing amount of inner control based upon intelligent purpose, built by character education. F. EDUCATOR'S ROLE IN CHARACTER EDUCATION FOR AN ATTAINMENT OF POSITIVE LEARNING Our roles as educators are quite geared towards that of facilitators, whereby educators should actively participate in assisting and giuding students in their processes of decision making and aiding an effective character discussions at all time, so that students can clearly understand and comprehend without any bias judgement. 1. Effective introduction of the topic. 2. Don't indicate any persons bias ideology concerning the topic under discussion. 3. Try to include every member of the group in the discussion. 4. Try to prevent any one member of the group from dominating the discussion. 5. Ask questions to stimulate group members to explore other points of view. 6. At the conclusion of the discussion, review the various points of view contributed by group members. 7. Assist students in understanding more clearly the benefits of making informed and responsible choices. 8. Encourage students to explore a variety of problem-solving techniques as alternatives to antisocial behavior. G. PRINCIPLES OF EFFECTIVE CHARACTER EDUCATION (CHARACTER EDUCATION PARTNERSHIP LANDMARK REPORT, 2010) According to Character Education Partnership CEP‘s (2010), Framework for School Success, it states that character education provides effective solutions to ethical and academic issues that are of growing concern. However, educators have successfully used character education to transform their schools, improve school culture, increase achievement for all learners, develop global citizens, restore civility, prevent antisocial and unhealthy behaviors, and improve job satisfaction and retention among teachers. Besides, based on the practices of effective schools, the Eleven Principles of Effective Character Education form the cornerstone of CEP‘s philosophy on how best to develop and implement high-quality character education initiatives. As broad principles that define excellence in character education, the 11 Principles serve as guideposts that schools and others responsible for youth character development can use to plan. These principles include; 1. The school community promotes core ethical and performance values as the foundation of good character. 2. The school defines ―character‖ comprehensively to include thinking, feeling, and doing. 3. The school uses a comprehensive, intentional, and proactive approach to character development. 4. The school creates a caring community. 5. The school provides students with opportunities for moral action. 6. The school offers a meaningful and challenging academic curriculum that 400 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret respects all learners, develops their character, and helps them to succeed. 7. The school fosters students‘ selfmotivation. 8. The school staff is an ethical learning community that shares responsibility for character education and adheres to the same core values that guide the students. 9. The school fosters shared leadership and long-range support of the character education initiative. 10. The school engages families and community members as partners in the character-building effort. 11. The school regularly assesses its culture and climate, the functioning of its staff as character educators, and the extent to which its students manifest good character. H. IDEAL ACADEMIC ENVIRONMENTAL FACTORS AFFECTING CHARACTEREDUCATION The growth of character cannot be separated in practice from the process of education as a whole. Every factor in the entire school environment tends to contribute in some measure to the character of every student. The following are some relevant and predominant factors which educators should consider at all time, whenever language in the core contributor to education because they are worthy in influencing Character Education; 1. The institutional principal; It is vital to point out that the administrative head of any educational institution in that lady or man whom people look up to, consult, and rely on for so many technical, administrative and managerial reasons. Besides, students are always motivated by their institutional principal. 2. The teachers; Teachers are not only educators or instructors but they are all sorts of educational iconic pillars, such as; parents, caretakers, counsellors, and mentors. These are people who tirelessly share their thoughts, experience and ideas with students, and they are true motivators, which is very important in positive character manifestation. 3. Academic Curriculum; Many educators argue that an academic curriculum is the foundation of every country‘s educational standards and a benchmark for that country‘s labour force or human resource. Therefore, for a good character education, there should be a reliable curriculum that supports language development and teaching within schools and colleges or universities. Apparently, Ministry of Education has approved the new curriculum (Kurikulum 2013) but the question that we should keep asking ourselves is, where will we go with English being excluded from the list of compulsory subjects. 4. Discipline and Guidance, The main goal is to raise children to become disciplined, morally responsible, and are in position to develop problem solving and decision making techniques, and conflict resolution are important parts of developing moral character. Discipline is one difficult factor of human moral behavior which is very difficult to be shaped or developed at a later time in a person‘s life. It should therefore be developed right from childhood so that a person grows up with a substantial amount of good behavior, and flexible with the concept of behavior change, which is very important in character education, and the building of good and acceptable societal morals. 5. Methods of teaching, Many senior educators, school inspectors and career guidance and counseling teachers have always raised the question of, ‗what is your classroom method of teaching?‘ Character education promotes 401 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke 37 Universitas Sebelas Maret an effective method of teaching techniques such as; student role-play, student-centered learning, to mention but a few. These are techniques which will allow students to practice discussion, moral values of competition, communication skills, cooperation, etc. Therefore method of teaching is very important to be looked at whenever, a school or an institution is thinking of developing character education. 6. Students’Activities, Apparently, this globalization era has proved to be the most challenging moment in human mankind because we are faced with competition, emergency scenarios, insecurity, poverty, inventions, and internet with its demanding knowledge, social networks around every child, etc. For every educator, this is when character education is very important since children and youths are exposed to a number of products which can be consumed freely but can have an everlasting impact to their moral, or rather, to say, could lead to moral decay. Therefore schools should encourage character education in order to enable students equip themselves with those appropriate techniques moral values, relevant academic activities, etc. 7. School Environment, such as; classrooms, structural organization and management, School environment plays a very important role in character education because this is that real, standard and immediate place where students dwells or rather spends the rest of their day. School environment starts from the school organizational structure and management, that is; the structure should be clear, indicating who is responsible for what and who should the students go to incase of any problem, or an emergency. The students‘ classrooms should be built or set in a way which facilitates effective rotation/movements, with good condition and facilities. 8. Relations with the homes and other social agencies. As it is said, ―wisdom begins from home!‖ Once students are having a supportive, guiding, tolerant, and understanding parents, educators would assume that such children or students are not coming from a dysfunctional families. This is so because children raised or brought up from a dysfunctional family has always had trouble coping and socializing with their peers, according to many psychologist, psychiatrists, social workers and therapists. And the vice versa is true. Therefore, educators handling or conduction character education should look beyond the school environment or factors, for their students‘ character manifestation and elicitation of desired positive attitudes, behaviours and morals. THE TEACHING OF ENGLISH LANGUAGE AND CHARACTER EDUCATION According to EF EPI Report (2012), although English skills have long been an explicit requirement in certain types of jobs like diplomacy and translation, those skills today are an implicit advantage in nearly any job across all sectors of the economy. Recruiters and HR managers around the world report that candidates with English skills above the local average stand out from the crowd and garner 30-50% higher salaries than similarly-qualified candidates without English skills. On a broader scale, countries with higher income levels per capita are also more proficient at English. Besides, English skills and income levels appear to be in a virtuous cycle where better proficiency leads to higher incomes. Documentations, publications and media including a lot of research conducted shows that in Indonesia, many companies pre