filsafat uas

advertisement
FILSAFAT
-- WINDAR SANTOSO, SJ --
SATURDAY, APRIL 21, 2007
HENRI BERGSON: Antara
Intelek dan Intuisi
The object of philosophy would be reached if this intuition could be sustained,…
of external points of reference in order not to go astray. (Henri Bergson)
Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang
metafisika. Baginya pengetahuan yang mengabsolutkan adalah pengetahuan yang
karena intuisi dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang lebih
banyak salah atau palsu. Maka dengan pemikiran semacam ini, Bergson mendobrak
banyak filsuf sebelumnya sehingga ia menjadi terkenal sampai ia mendapatkan
hadiah nobel tahun 1927 untuk karya Literatur. Ia memperdebatkan bahwa intuisi
itu lebih dalam dari intelek.
Pemikiran Bergson memang lebih banyak dipengaruhi oleh teori evolusi teutama
dari Darwin. Berarti ia lebih banyak berbicara mengenai evolusi biologis dan itu
menjadi poin khusus dalam pemikirannya. Bergson dengan pengalaman bersama
intuisinya yang juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan yang
mendasar mengenai bagaimana manusia itu sendiri melihat realitas bagi dirinya.
Lalu bagaimanakah posisi Bergson dalam menghadapi Darwin, apakah ia
menentang, setuju, atau memilih jalan lain dengan mengembangkan teorinya
sendiri.
Banyak orang memandang pemikiran Bergson ini sebagai metafisika yang berisikan
misteri-misteri. Walaupun begitu pandangan ini juga memberikan banyak inspirasi
bagi beberapa muridnya. Mereka terus memperjelas relasi antara duree dengan
elan vital kemudian juga materi dan kehidupan, dan lain sebagainya. Beberapa
filsuf kemudian yang dipengaruhi olehnya adalah William James, Scheler, Gabriel
Marcel, Whitehead, Maritain, T. de Chardin, Ch. Peguy, dan M. Proust.
Koleksi karya-karyanya dan juga kuliahnya lebih menekankan persoalan hakikat
intuisi. Ia mencoba menjelaskan bagaimana intuisi itu dapat dimasukan dalam
filsafat. Sebelumnya memang banyak filsuf menolak adanya pemikiram metafisis
dalam kehidupan manusia. Intuisi, menurutnya, merupakan metode “berpikir
dalam durasi” dan selalu mencerminkan adanya realitas yang terus mengalir.
Untuk menjelaskan lebih dalam akan filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar
pemikirannya yaitu intuisi dan pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat
dikombinasikan untuk mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas.
DASAR PEMIKIRAN BERGSON
Filsafat Bergson sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Ia menyatakan
bahwa cara manusia bertindak lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.
Darwin menekankan bahwa manusia yang sekarang ini merupakan hasil dari proses
evolusi di mana manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup . Karakter semacam
ini merupakan suatu hal yang alami dalam menjalankan proses hidup. Hal ini bisa
terjadi karena ada keterbukaan atau kebahagiaan dalam bertahan hidup. Maka dari
itu dalam teori Darwin intelek manusia dan proses berpikirnya merupakan
konstruksi dari tujuan-tujuan praktis. Tujuan ini digambarkan untuk membantu
manusia mengadaptasikan dirinya dalam dunianya dan juga untuk lebih mudah
dalam bertingkah laku.
Faktor diri inilah yang kemudian menjadi pandangan dasar Bergson. Dengan
melihat pada diri, yang sangat berharga, ia juga megacu pada pikiran, perasaan,
persepsi, dan kemauan yang secara alami akan selalu berubah. Perubahan itu
ternyata membawa kesenangan baru. Dalam diri itu ternyata tak ada pengulangan
masa lalu sehingga diri akan selalu menjadi baru. Manusia akan selalu merasa
bebas. Ia akan dengan senang hati menciptakan masa depannya, meskipun masih
mendasarkan pada masa lalu. Perubahan ini terjadi bukan karena dipikirkan
melainkan sebagai sesuatu yang dialami. Pengalaman menjadi penting dalam suatu
proses dan konsep-konsep intelek mulai ditangguhkan.
Bergson memandang bahwa intelek itu sebagai suatu instrumen atau alat yang
digunakan untuk membantu atau meningkatkan kehidupan . Dengan begitu tersirat
kritiknya yang merupakan pengaruh ilmu alam. Kritik pertamanya ia tuju pada
proses dinamis kehidupan yang terlalu mekanis ataupun materialis dan proses ini
ditempatkan dalam konsep-konsep fisik. Dengan begitu masa depan manusia sangat
dipengaruhi oleh masa lalu sehingga durasi, kebebasan, dan kreativitas tidak diakui
di dalam kehidupan ini. Untuk yang kedua ia menolak adanya pandangan akhir yang
menjelaskan bahwa dunia itu, seakan-akan telah ditetapkan, sedang menuju pada
tujuan-tujuan tertentu di masa depan yang memang tak terhindarkan. Kemudian ia
juga tidak mengakui adanya vitalisme yang kurang menjelaskan fakta-fakta
evolusi.
Kritik-kritik ini bagi Bergson merupakan suatu tekanan besar kepada intelek yang
selalu menggunakan formula-formula praktis. Lebih jelasnya lagi, Bergson
menyebut para ilmuwan terlalu menggunakan pemikiran praktisnya dalam
memutuskan atau menganalisa sesuatu. Dengan begitu pengetahuan telah
memalsukan kealamiahan gerakan dengan merepresentasikan hal matematis ke
dalamnya. Bagi Bergson hal ini tidaklah membantu secara penuh. Ia mengatakan
bahwa kita membutuhkan suatu suplemen yaitu intuisi.
PANDANGAN AKAN WAKTU
Mengenai waktu, Bergson membedakan dua jenis waktu, yaitu waktu murni dan
waktu matematis. Waktu murni merupakan durasi yang sebenarnya sedangkan
waktu matematis adalah durasi yang terukur. Sifat waktu murni itu continu dan tak
dapat dibagi dan waktu matematis sebaliknya yang dapat dibagi menjadi beberapa
unit dan interval. Hubungan antara kedua waktu ini tidak seimbang. Analisa
matematis terhadap waktu murni akan membuat kekacauan dalam waktu. Waktu
murni tidak bisa diintelektualisasi karena dengan mengalami durasinya itu berarti
memalsukannya. Waktu murni hanya bisa dialami secara intuitif bukan intelektual.
Hal ini oleh Bergson disebut sebagai duree atau waktu murni. Untuk lebih jelasnya
Bergson kemudian mendeskripsikan kata duree itu sendiri. Duree adalah perubahan
terus menerus yang heterogen atau “becoming”. Duree ini tidak dapat di ubah dan
selalu menuju pada masa depan. Duree secara terus menerus menciptakan
kebaruan dan secara instrinsik sulit untuk diprediksi dan merupakan sumber yang
tidak pernah habis dari kebebasan. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa
intuisilah yang bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek .
Eksistensi waktu itu dapat menerangkan mengapa benda-benda itu tidak
terjelaskan. Waktu sebagai durasi menjelaskan mengapa benda-benda yang tak
terjelaskan kemudian bisa menjadi terjelaskan, dan begitu juga sebaliknya. Jika
waktu tidak exsis, secara teoritis, maka segala sesuatu dapat dijelaskan. Oleh
karena itu dengan ketidakjelasan akan segala sesuatu, kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa hidup dapat berubah dan perubahan yang terjadi menunjukan
adanya kebebasan dalam bertindak. Kebebasan ini merupakan pengalaman dari
intuisi.
INTUISI dan INTELEK
Dalam realitas sehari-hari, kadang sesuatu yang nisbi atau pasti atau dengan ilmu
pengetahuan sepertinya masih kurang pasti dan sering salah maka untuk dapat
melihat lebih jelas dan menyeluruh diperlukan suatu suplemen yaitu intuisi. Dalam
pengertian ini ada dua argumen yang berbeda yang berfungsi sama-sama untuk
mengetahui sesuatu. Dua hal tersebut adalah karakteristik dari intelek yang
menggunakan berbagai simbol untuk mengekspresikan temuannya dan
menghasilkan suatu pengetahuan yang relatif. Kemudian yang kedua adalah proses
dari intuisi di mana kita masuk ke dalam sesuatu dan mengindentifikasikan diri kita
dengannya lewat rasa simpati intelek. Hal ini seperti kita mengindentifikasikan diri
kita sebagai aktor dalam novel yang kita baca . Tidak ada simbol dan pengetahuan
yang didapatkan itu mutlak dan sempurna. Inilah metode yang di sebut
metafisika.
Intelek dan intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip-prinsip
sains dimasukan dalam kategori intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan
intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan dan akan menghasilkan pengetahuan
yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua
persepsi realitas yang berbeda.
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan
emosi secara harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yg bergantung pada
kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya
suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari
pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari
tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran
spontan.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri
kita. Dalam hal ini Bergson ingin mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang
dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Mengapa?
Karena kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan
proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang
dimaksudkan bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan
yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu
berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas.
Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf
terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional. Dengan melihat hal ini,
Bergson berusaha melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan
fakta konkrit dari gerakan. Maka dengan metafisika menurut Bergson kenyataan itu
berjalan atau mobil sedangkan yang selalu diberikan intelek hanyalah penampilan.
Realitas itu disadari secara intuitif dan tidak terpotong-potong. Dengan begitu
konsep-konsep intelek tidaklah bisa menjawab realitas secara menyeluruh.
ELAN VITAL
Untuk menjawab proses evolusi yang selalu berlangsung yang dipakai untuk
memperbaiki keberadaan hidup, Bergson mengatakan bahwa di situ ada proses
elan vital atau daya hidup. Dengan elan vital evolusi dibawa menuju ke tingkat
yang lebih tinggi yaitu menuju ke keteraturan. Hal ini merupakan sebab mendasar
terciptanya species-species yang bervariasi dan juga merupakan prinsip pokok
exsistensi. Adanya variasi species lebih jelasnya karena ada ledakan-ledakan daya
hidup karena proses evolusi itu sendiri tidak pernah linier. Maka pada saat itu ada
tiga jenis utama garis evolusi yang memungkinkan, yaitu tumbuhan, serangga, dan
manusia. Manusia merupakan produk evolusi yang terbaik dan terkuat karena ia
memiliki vitalisme.
Proses evolusi merupakan proses dinamis. Maka bisa dikatakan bahwa konsep
intelek tidaklah cukup untuk mengatasi proses ini. Intelek yang berada dalam
waktu terukur, bersifat statis, atau berada dalam ruang lingkup matematis
tidaklah cukup menjawab proses ini, malahan yang akan terjadi adalah konsep
yang palsu atau salah. Dengan intuisi elan vital akan terjadi karena dengan begitu
dinamisme akan berjalan dan juga proses terus menerus seperti air mengakir
menuju ke daerah yang rendah akan terjadi.
Elan Vital diasumsikan Bergson sebagai energi primal yang mulai menjadi hilang
atau pudar. Materi, sebaliknya, menjadi didevitalisasi. Maksudnya adalah manusia
mulai melepaskan diri dari dunia materi atau dari determinisme materi. Salah satu
dari fungsi intelek adalah untuk menghadirkan materi yang terus berubah dalam
suatu samaran yang statis. Maka segala sesuatu di sekitar manusia sekarang ini
merupakan hasil atau residu dari proses elan vital sebelumnya. Dengan elan vital
manusia akan berada pada proses menjadi. Kedinamisan dari waktu murni
menjadikan evolusi terus berjalan akhirnya sampai pada tahap seperti sekarang ini.
Di sinilah terjadi evolusi kreatif manusia yang menekankan kebebasan dan
kedinamisan hidup yang juga merupakan akibat dari waktu murni.
ANTI-INTELEKTUALISME BERGSON
Akhirnya pandangan Bergson ini lebih banyak dipandang sebagai suatu pandangan
anti-intelektualisme walaupun Bergson sendiri menyangkalnya dan mengatakan
bahwa metafisikanya merupakan suatu pelengkap dan bukan lawan dari
rasionalisme. Intelek memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi
lebih baik lagi bila pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Bergson
mengajak kita untuk lepas dari konsep analisis yang kemungkinan lebih banyak
gagalnya dan menyarankan untuk menggunakan intuisi karena dengan intuisilah
kita dengan sendirinya akan sukses.
Dengan intuisi ruang sekitar pemikiran Bergson diasumsikan tidak-saintifik. Konsep
intuisi, durasi, dan kebebasan diartikan sebagai konsep yang melawan
intelektualisme, determinisme, dan mekanisme, walaupun ia sendiri menyangkal
pemikiran semacam ini. Ia tetap menganggap adanya pengetahuan konseptual
dalam pemikirannya. Ia tidak menolak adanya aspek semacam itu, hanya ia
menambahkan bahwa berkembang aspek-aspek spiritual di dalamnya.
Kontribusi Bergson dalam dunia filsafat terletak pada pemahaman kebebasan
manusia untuk berkreativitas secara realistik. Pandangannya memang tidak terlalu
berpusat pada pikiran atau rasio melainkan ia lebih menekankan pengalaman.
Dengan pengalaman manusia akan mengkonstruksi eksperimen-eksperimen saintifik
yang realistis.
Intuisi, duree, the self, atau elan vital tidaklah dapat secara akurat dijelaskan
begitu saja karena mereka memang tak teruraikan. Mereka hanya bisa didapatkan
dengan pengalaman yang membawa kita ke pengetahuan dan menemukan
esensinya bagi diri kita sendiri.
TANGGAPAN
Setelah menganalisa pemikiran dari Bergson memang disadari bahwa dia lebih
menekankan proses intuitif sebagai proses menemukan realitas. Banyak kritikus
menganggapnya sebagai filsuf anti intelektualisme dan ada juga yang menganggap
filsafatnya ini merupakan suatu proyeksi dari personal psikologinya yang dibawa ke
luar atau ke dunia. Hal seperti ini terjadi karena proses menemukan realitas
dianggap subjektif dan objektivitas dicoba direduksi. Pada zaman itu, pemikiran
Bergson memang sangat menarik.
Metafisika semacam ini pada zaman dia hidup merupakan suatu ajaran yang baru
karena bidang filsafat sebelumnya sudah mereduksi pemikiran metafisika dan
beralih pada intelektualisme, idealisme, determinisme, dan materialisme. Dalam
filsafat Bergson, manusia mulai dipikirkan lebih dalam dan dimetafisiskan. Intuisi
menjadi bagian yang juga penting dan daya hidup atau elan vital dijadikan sebagai
pegangan untuk meraih fakta-fakta realistis. Bergson mengajarkan bahwa akan
selalu ada kemungkinan untuk mengetahui segala sesuatu secara faktual. Itulah
intuisi yang membawa manusia untuk mengetahui sesuatu dalam dirinya.
Untuk membuktikannya, Bergson mengawalinya dengan memikirkan konsep waktu,
waktu murni dan waktu terukur. Dengan waktu murni intuisi berperanan dalam
membuat kehidupan ini menjadi lebih dinamis dan proses evolusi akan mungkin
terjadi. Pandangan akan waktu terukur yang memiliki sifat statis yang juga
merupakan kritiknya tidak terlalu mampu menjelaskan proses evolusi. Dengan
waktu murni vitalisme terjadi dan mahluk hidup menemukan realitasnya.
Untuk menekuni filsafat Bergson ini kita harus melatih intuisi dengan berbagai
pengalaman hidup. Pengalaman haruslah dibangun berdasarkan informasi-informasi
yang ditangkap melalui experimen-experimen saintific. Dengan pengalaman itu
dapat diketahui bahwa Bergson sama sekali tidak menghilangkan intelektualisme
melainkan memperdalamnya. Sekali lagi metafisikannya merupakan pelengkap
intelektualisme.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bergson, Henri
1955. An Introduction to Metaphysics, New York: The Library of Liberal Arts
Bergson, Henri
1911. Creative Evolution, Boston: University Press of America
Honderich, Ted
1955. The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press
Mudhofir, Ali
2001. Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
POSTED BY WINDAR, SJ AT 3:05 AM
0 COMMENTS:
POST A COMMENT
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home
ABOUT ME
WINDAR, SJ
SLEMAN, NGAYOGYAKARTA, INDONESIA
I'm a graduate student of the Faculty of Theology in Sanata Dharma University
VIEW MY COMPLETE PROFILE
PREVIOUS POSTS






Georg Lukacs: Menuju Kesadaran Murni Proletar
Who has the last word?
Strukturalisme dan Analisis Semiotik terhadap Buda...
Globalisasi
Carl Smitt: Tindakan Kekerasan
Filsafat Pendidikan Al-farabi
Subscribe to
Posts [Atom]
Henri Bergson
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Henri Bergson
Western Philosophy
20th century philosophy
Portrait of Henri Bergson by J.E. Blanche 1891
Nama: Henri-Louis Bergson
Lahir: 18 Oktober 1859
Mening 4 Januari 1941 (umur 81)
gal:
Aliran/t Continental philosophy
radisi: Penghargaan Nobel dalam Sastra
1927
Minat Metaphysics, Epistemology,philosophy of
utama: language,
philosophy of mathematics
Gagasan Duration, Intuition,
penting: Élan Vital,
Open Society
Dipenga Kierkegaard, Spinoza, Kant,James, Ravai
ruhi: sson, Spencer,Schelling, Maine de Biran
Memeng Deleuze, Kazantzakis, Kuki,Merleauaruhi: Ponty, Proust,Whitehead, Vladimir
Jankélévitch
Henri-Louis Bergson (lahir
di Paris, Perancis, 18 Oktober 1859 –
meninggal di Paris,Perancis, 4
Januari 1941 pada umur 81 tahun)
merupakan seorang filsuf Perancis yang
berpengaruh besar terutama pada
awal abad ke 20. Ia lahir dari seorang ibu
berdarahInggris dan seorang ayah
berdarah Yahudi Polandia. Sebagian
besar masa produktifnya dihabiskannya
sebagai seorang dosen filsafat dan
seorang penulis. Bergson pernah
memperoleh nobel untuk sastra pada 19
27.
Daftar isi
[sembunyikan]




1 Karya-karya
2 Akhir Riwayat
3 Pemikiran-pemikirannya
o 3.1 Intuisi
4 Pranala luar
[sunting]Karya-karya
Berikut ini adalah hasil karya Bergson
yang terkenal:



Waktu dan Kehendak
Bebas (1889)
Materi dan Memori (1896)
Evolusi Kreatif (1907)
[sunting]Akhir
Riwayat
Pada tahun-tahun terakhir masa
hidupnya, pemikiran Bergson mulai
bergeser ke arah religius. Ia bergabung
dalam Gereja Katolik Roma tidak lama
sebelum kematiannya. Walaupun
demikian, hal ini sengaja ditunda dan
dirahasiakan, karena ia tidak ingin
memberi kesan mengkhianati
bangsa Yahudi, sewaktu Perancis masih
ada dalam pendudukan Jerman.
[sunting]Pemikiran-
pemikirannya
[sunting]Intuisi
Bergson percaya bahwa manusia harus
dijelaskan pertama-tama dalam kerangka
proses evolutif. Menurutnya, fungsi indra
pada makhluk hidup sejak awal bukanlah
untuk memberikan gambaran-gambaran
dari lingkungannya, melainkan untuk
merangsang reaksi-reaksi untuk
mempertahankan hidup. Mula-mula
organ sensoris, kemudian sistem saraf
pusat, lalu akal budi. Itu semua
berkembang selama berabad-abad
sebagai bagian dari mekanisme
pertahanan hidup organisme yang selalu
diperlengkapi dengan perilaku.
Yang diberikan indra kepada kita
bukanlah gambar objektif dari lingkungan
kita. Akan tetapi, pesanlah yang
menyebabkan kita berperilaku secara
tertentu. Pemahaman kita mengenai
lingkungan sama sekali tidak secermat
foto. Pemahaman kita sangatlah selektif,
selalu pragmatis dan terarah pada
kepentingan diri sendiri.
[sunting]Pranala
luar
Artikel
bertopik biografi tokoh Perancis ini
adalah sebuah rintisan. Anda dapat
membantu Wikipedia
denganmengembangkannya.
l
•b•s
Prudhomme (1901) · Mommsen (1902) · Bjørnso
1901–
(1909) · Heyse (1910) · Maeterlinck (1911) · Ha
1925
Hamsun (1920) · France (1921) · Benavente (192
1926– Deledda (1926) · Bergson (1927) · Undset (1928
1950 Martin du Gard (1937) · Buck (1938) · Sillanpää
Lagerkvist (1951) · Mauriac (1952) · Churchill (
1951–
e (1960) · Andrić (1961) · Steinbeck (1962) · Sef
1975
· Solzhenitsyn (1970) · Neruda (1971) · Böll (19
Bellow (1976) · Aleixandre (1977) · Singer (197
1976–
Márquez (1982) · Golding (1983) · Seifert(1984)
2000
tt (1992) · Morrison(1993) · Ōe (1994) · Heaney
2001– Naipaul (2001) · Kertész (2002) · Coetzee (2003
kini Clézio (2008) · Müller (2009) ·Llosa (2010) · Tr
Templat:Nobel Sastra · Templat:Nobel Fisika · Templ
Kategori:






Tanggal kelahiran 18
Oktober
Kelahiran 1859
Tanggal kematian 4 Januari
Kematian 1941
Tokoh Perancis
Filsuf Perancis


Tokoh Perancis pemenang
Hadiah Nobel
Pemenang Hadiah Nobel
dalam bidang sastra
Menu navigasi







Buat akun baru
Masuk log
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Versi terdahulu





Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan
Wikipedia
Cetak/ekspor
Peralatan
Bahasa lain
 Aragonés
 ‫ية‬
‫ال عرب‬
 Asturianu
 Azərbaycanca
 Беларуская
 Беларуская (тарашкевіца)
 Български
 বাাংলা
 Bosanski
 Català
 Česky
 Cymraeg
 Dansk
 Deutsch
 Ελληνικά
 English
 Esperanto
 Español
 Eesti
 Euskara
 ‫ف ار سی‬

























Suomi
Français
Gàidhlig
Galego
‫עברית‬
हिन्दी
Hrvatski
Magyar
Հայերեն
Ilokano
Ido
Íslenska
Italiano
日本語
ქართული
Қазақша
한국어
Kurdî
Кыргызча
Latina
Lietuvių
Latviešu
മലയാളം
‫یاورزای‬
‫ر‬
Nederlands























Norsk (nynorsk)
Norsk (bokmål)
Occitan
Polski
Piemontèis
Português
Română
Русский
Slovenčina
Slovenščina
Shqip
Српски / srpski
Svenska
Kiswahili
தமிழ்
Türkçe
Українська
‫اردز‬
Tiếng Việt
Volapük
Yorùbá
中文
Bân-lâm-gú

Halaman ini terakhir diubah pada
02.03, 27 September 2012.





Teks tersedia di bawah Lisensi
Atribusi/Berbagi Serupa Creative
Commons; ketentuan tambahan
mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan
Penggunaan untuk lebih
jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Tampilan seluler


T
E
O
R
I
D
A
N
P
E
R
I
L
A
K
U
O
R
G
A
N
I
S
A
S
I
M
E
M
P
E
R
O
L
E
H
P
E
N
G
E
T
A
H
U
A
N
D
I
P
E
R
L
U
K
A
N
B
A
K
A
T
D
A
N
K
E
R
I
N
G
A
T
–
L
I
E
K
W
I
L
A
R
D
J
O
Main menu
Skip to content

HOME

ABOUT
BEST QUOTES

CONTACT US


PRIVACY POLICY
ROLE MODELS

SITEMAP

TERM OF USES

TA G
ARCHIVES: SOREN
KIERKEGAARD
POSTED ON JANUARY 27, 2012 BY FERRY
ROEN
30 KUTIPAN
TENTANG VISI
Leadership
Seorang pemimpin
memiliki
visi dan keyakinan bahwa mimpi
dapat dicapai. Dia menginspirasi
kekuatan dan energi untuk
menyelesaikannya.
- Ralph Lauren
Visi yang memuliakan Anda
dalam pikiran Anda, ideal yang
menobatkan dalam hati Anda, ini
akan membangun hidup Anda,
dan dengan ini Anda menjadi.
- Anonim
Kekaisaran masa depan adalah
kerajaan
pikiran.
- Winston
Churchill CONTINUE
READING →
POSTED IN KUTIPAN | TAGGED ABRAHAM
LINCOLN, ALVIN TOFFLER, HENRY DAVID
THOREAU,HENRY KISSINGER, JONATHAN
SWIFT, KEPEMIMPINAN, KUTIPAN, MARK
TWAIN, MIMPI, PEMIMPIN,PEPATAH, QUOT
ES, RALPH LAUREN, RONALD
REAGAN, ROSABETH MOSS
KANTER, SOREN
KIERKEGAARD, VISI, VISION, WARREN
BENNIS, WINSTON CHURCHILL | LEAVE A
COMMENT |
RECENT POSTS








Teori Penguatan
Teori Penetapan Tujuan
Teori Harapan
Teori Keseimbangan
Teori Dua Faktor
Teori Tiga Motif Sosial
Teori ERG
Teori Hirarki Kebutuhan
SPONSOR
RECENT COMMENTS







Ferry Roen on Karl Marx:
Pertentangan Kelas Dan
Struktur Ekonomi
Moh Tohir on Karl Marx:
Pertentangan Kelas Dan
Struktur Ekonomi
Ferry Roen on Teori Pertukaran
Sosial dan Pilihan Rasional
Ratih Juliati on Teori
Pertukaran Sosial dan Pilihan
Rasional
Ferry Roen on Teori Organisasi
dan Konteks Sejarah
Joe on Teori Organisasi dan
Konteks Sejarah
Ferry Roen on Harold
Garfinkel: Ethnometodology

yunus on Harold Garfinkel:
Ethnometodology
ARCHIVES















November 2012
October 2012
September 2012
June 2012
May 2012
April 2012
March 2012
February 2012
January 2012
December 2011
November 2011
October 2011
September 2011
August 2011
July 2011

April 2010
META




Log in
Entries RSS
Comments RSS
WordPress.org
PROUDLY POWERED BY
WORDPRESS | DIGINEWS THEME
World’s
Masterpiece:
Kierkegaard—
The Sickness
Unto Death
By Lucky Natalia
April 5th, 2011 | Categories: Books
Seri yang satu ini termasuk yang telah
terbit pertengahan tahun lalu. Namun,
karena kisahnya yang menarik,
Jagat Review tergoda untuk tetap mereviewnya walaupun sudah edar di
toko buku sejak lama.
Seperti seri World’s Masterpiece pada
umumnya, seri ini juga dibuat dalam
bentuk komik. Seri ini menceritakan
filosofi yang dikemukakan oleh Soren
Kierkegaard mengenai cara
seseorang hidup sebagai seorang
individu. Keseluruhan pemikiran
Kierkegaard berpusar di psikologi
kemanusiaan.
Buku ini berkisah mengenai seorang
anak bernama Masamichi Aida yang
seumur hidupnya diatur oleh ayahnya;
bahkan sampai jalan hidup dan “hasil
akhir” seorang Masamichi pun sudah
ditentukan oleh ayahnya. Kegelisahan
Masamichi atas hidup yang
dijalaninya ini membuatnya nyaris
bunuh diri. Lalu, ia bertemu bibinya,
Haruko, yang menceritakan kisah
Kiergaard sebagai cerminan
kehidupan Masamichi.
Kierkegaard adalah seorang anak dari
petani miskin yang kemudian menjadi
kaya raya karena banting setir
menjadi pedagang dan sukses besar.
Kierkegaard merupakan anak bungsu
dari tujuh bersaudara. Melihat potensi
bakat di diri anaknya, Michael, ayah
Kierkegaard,
memberikanpendidikan khusus
kepadanya; juga kepastian masa
depan yang ditentukan olehnya.
Memasuki masa kuliah, Soren
mengambil jurusan teologi dan
filsafat. Di sanalah ia
mengenal Friedrich Hegel dan
pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran Hegel mengenai teori
idealisme absolut dan dialektika yang
menganggap dunia bersifat mutlak
sehingga manusia harus mengikuti
perubahan dunia untuk dapat
“bergerak”. Kierkegaard pun
mengajukan teori tangkisan yang
menyatakan bahwa kebebasan
individu lebih penting dari apa pun.
Sedikit banyak pemikiran tersebut
imbas dari perjalanan hidup
Kierkegaard yang selalu berada di
bawah pengaruh ayahnya.
Kisah ini tidak berakhir di situ saja.
Perjalanan hidup Kierkegaard tidak
mulus. Puncaknya terjadi saat ia
mengetahui rahasia terbesar ayahnya
yang menjadi titik balik
pemikirannnya. Lalu, bagaimana
dengan Masamichi setelah
mendengar kisah tentang Kiergaard?
Bagi Anda yang tidak menyukai
filsafst karena kebanyakan buku-buku
filsafat menggunakan bahasa yang
berat dan halaman berjumlah ratusan,
seri World’s Masterpiece memang
dapat menjadi pilihan yang menarik.
Di seri ini, Anda akan mendapatkan
penjabaran gamblang mengenai
pemikiran Kierkegaard. Cerita ini
menjadi menarik karena penyusun
buku ini memberikan pondasi cerita
berupa permasalahan yang dialami
Masamichi yang menuntun pembaca
untuk memahami awal mula
terbentuknya pemikiran Kierkegaard.
Bagi Anda yang sejak dahulu
menyukai pemikiran-pemikiran yang
diajukan para filsuf dunia, tentunya
komik ini akan memberikan jalan baru
menuju pemahaman filsafat yang
lebih mudah dengan cara yang
menyenangkan. Happy reading!
Penyusun:
Variety Art Works
Terbit:
Juni 2010
Kategori:
Komik
Harga:
Rp29.800
Jumlah halaman:
220 halaman
Penerbit:
Elex Media Komputindo
NOV
9
SOREN KIERKEGAARD
DAN
EKSISTENSIALISME
Kebebasan dan tanggung jawab
adalah tema-tema yang secara kuat
diangkat
oleh
eksistensialisme.
Sebagai filsafat yang menjadikan
eksistensi manusia sebagai tema
sentral,
eksistensialisme
tumbuh
sebagai ragam filsafat manusia yang
sangat berkembang terutama setelah
Perang Dunia II. Namun, ini bukan
berarti eksistensialisme itu baru
terwujud sesudah Perang Dunia II,
karena Kierkegaard sebagai peletak
fondasinya menulis karyanya bahkan
sebelum Perang Dunia I. Sebagian
karya Heidegger, Jaspers, dan Sartre
pun ditulis sebelum Perang Dunia II.
Bahkan, terdapat alasan untuk
menunjukkan bahwa dasar-dasar
eksistensialisme juga ditemukan pada
karya tokoh pengarang Rusia, seperti
Dostoyevski, atau filsuf Jerman,
Nietzsche, padahal keduanya tidak
sampai mengalami Perang Dunia I.
Eksistensialisme pada abad ke-20
adalah
filsafat
dan
gerakan
kesusastraan
yang
terutama
diidentifikasikan
pada
sejumlah
intelektual Perancis, di mana salah
satu tokohnya yang terkemuka adalah
Jean-Paul Sartre. Eksistensialisme
memperoleh pengaruh cukup besar
sesudah Perang Dunia II, terutama
pada tahun 1945-1955. Perwujudan
populer
lewat
karya-karya
kesusastraan
dengan
tema
eksistensialis
juga
membantu
masyarakat untuk menangkap pesanpesan
eksistensialisme
tersebut.
Makin lama, aliran ini tersebar ke
seluruh Eropa, bahkan pengaruhnya
meluas sampai ke benua-benua lain.
Suasana psikologis masyarakat di
Perancis saat itu adalah adanya
perang dan pendudukan Perancis
oleh Jerman, yang meningkatkan
keprihatinan
eksistensial
tentang
tema-tema kebebasan, tanggung
jawab, dan kematian. Ada suatu
perasaan
bahwa
individualitas
manusia semakin dikaburkan dan
ditolak oleh adat-istiadat atau aturanaturan sosial yang umum dari massa.
Sehingga
muncul
perlawanan
terhadap determinasi moralitas atau
nilai-nilai dari luar, serta penolakan
terhadap penekanan yang berlebihan
pada rasionalitas dan kemajuan, yang
dikedepankan
oleh
zaman
Pencerahan
(Enlightenment).
Eksistensialisme
secara
populer
diasosiasikan dengan keterkenalan
yang dinikmatinya di Paris pada tahun
1940-an, ketika oposisi --terhadap
bentuk-bentuk dominasi yang tersirat
pada kekuasaan dan ideologi-didiskusikan dan mungkin dihidupkan
di suasana khas kafe-kafe dan klub
malam Paris. Identifikasi gerakan
filosofis dengan gaya hidup itu
berumur
pendek.
Namun,
filsafat
eksistensialisnya
sendiri memiliki implikasi yang lebih
luas daripada sekedar revolusi muda
yang terkungkung dalam gerakan
protes.
Akar-akar eksistensialisme bervariasi,
dan bisa ditemukan pada karya-karya
sejumlah
pemikir.
Jika
para
eksistensialis ini secara garis besar
harus dibagi dalam dua mazhab,
maka mazhab pertama adalah
mereka yang theis atau percaya pada
Tuhan, sedangkan mazhab kedua
adalah mereka yang atheis atau tidak
percaya pada Tuhan. Filsuf pertama
yang
dianggap
perintis
eksistensialisme
dan
mewakili
mazhab pertama adalah teolog
Denmark dari abad ke-19, Søren
Kierkegaard
(1813-55).
Kierkegaard
pernah
mengagumi
filsafat Hegel karena dianggap
mampu memberikan jawaban yang
sangat mendalam dan menyeluruh
tentang sejarah umat manusia, dalam
perspektif yang sama sekali baru saat
itu. Namun, kemudian Kierkegaard
melihat idealisme Hergel itu terlalu
abstrak,
serta
tidak
mampu
menjangkau kehidupan konkret dan
faktual
manusia
serta
permasalahannya.
Persoalanpersoalan
manusia
seperti
kebahagiaan,
kebebasan,
kecemasan,
penderitaan,
dan
sebagainya harus dicari jawabannya
atau maknanya. Namun, persoalanpersoalan seperti itu tidak mungkin
diterangkan
oleh
--atau
dapat
dijelaskan dalam kerangka pemikiran
–
Hegel.
Kritik Kierkegaard atas idealisme
Hegel,
teori-teori
umum,
dan
obyektivisme ilmu adalah bahwa
pendekatan
Hegel
itu
seperti
menganjurkan manusia untuk sekadar
menjadi pengamat bisu, yang tidak
punya komitmen dan keterlibatan
dengan hal-hal yang terjadi di pentas
teater dunia. Padahal, sebenarnya
manusia adalah aktor yang secara
langsung atau tak langsung juga
berperan
dalam
cerita
yang
dipentaskan di teater tersebut.
Dalam kaitan itulah, Kierkegaard
berpendapat,
subyektivitas
merupakan kebenaran pertama, hal
mana menjadi dasar bagi eksistensi
pribadi. Bahkan, menjadi subyektif
adalah tugas bagi setiap manusia.
Kierkegaard membela pengalaman
subyektif terhadap totalisasi dan
obyektivisasi
sistem
Hegelian.
Kierkegaard juga menolak segala
bentuk ilmu tentang manusia, jika
ilmu-ilmu itu justru mengorbankan
individualitas dan keunikan manusia
yang
dikajinya.
Dalam kaitan agama, Kierkegaard
beranggapan, kepercayaan pada
Tuhan akan selalu melibatkan pilihan
individual, suatu ”loncatan iman”
individual. Apa yang dilibatkan dalam
kehidupan iman tidak dapat disangkal,
atau dalam hal ini divalidasi, oleh
logika konvensional atau sintesis
rasional.
Dengan
demikian,
Kierkegaard
praktis
menolak
pandangan Hegel. Jika filsafat agama
secara
tradisional
berusaha
mendamaikan iman dan nalar (rasio),
Kierkegaard
justru
mengambil
langkah yang bertentangan dan
menegaskan ketidakcocokan antara
keduanya. Yakni, ada diskontinuitas
mutlak antara yang manusiawi dan
yang
ilahiah.
Perlu diakui bahwa –setidaknya
menurut
pemahaman
superfisial
tentang kaum eksistensialis pascaHeidegger-eksistensialisme
tampaknya menolak kemungkinan
iman. Padahal iman adalah sesuatu
yang oleh Kierkegaard –dengan
caranya sendiri-- justru dipegang
dengan kukuh. Jean-Paul Sartre dan
para eksistensialis Perancis lainnya
adalah atheis, bahkan sekalipun
Merleau-Ponty pernah jadi penganut
Katolik.
Bagaimanapun, perlu digarisbawahi di
sini bahwa Sartre mengisyaratkan,
deklarasi
atheisme
bukanlah
komponen yang diperlukan dalam
pemikiran eksistensial. Hal ini karena
eksistensialisme
bukanlah,
atau
setidaknya bukan dimaksudkan untuk
menjadi, metafisika. Eksistensialisme
bukanlah upaya metafisis untuk
menjelaskan dan mengkategorikan
apa itu dunia dan apa yang
melampaui dunia, dan karena itu
eksistensialisme
tidak
berusaha
membuktikan ada-tidaknya Tuhan.
Berbeda dengan Kierkegaard, kaum
eksistensialis abad ke-20 umumnya
lebih
bergairah
mengeksplorasi
seluruh implikasi dari atheisme yang
sempurna, walaupun ada tokoh
eksistensialis Katolik ternama, seperti
Gabriel Marcel di Perancis, dan tokoh
eksistensialis Protestan, Karl Jaspers
di Jerman. Eksistensialisme religius
dari Kierkegaard, Jaspers, dan Marcel
berbeda dengan atheisme yang tegas
dari Sartre, Simone de Beauvoir, dan
Albert Camus. Meskipun demikian,
pada semua tokoh eksistensialis
tersebut
terdapat
asumsi-asumsi
esensial
tertentu
yang
sama.
Dalam
kaitan
dengan
eksistensialisme, ada tokoh lain yang
terkadang disebut, yakni filsuf Jerman
ternama, Friedrich Nietzsche (18441900). Nietzsche sangat menaruh
perhatian pada masalah moral dan
nilai. Memandang bahwa moralitas
yang ada di masyarakatnya sering
digunakan untuk melayani tujuantujuan yang tidak bermoral, Nietzsche
pun menyerukan evaluasi ulang
terhadap
seluruh
nilai-nilai.
Ia
menegaskan, tidak ada penentu akhir
atas nilai-nilai itu di luar pengalaman
kepuasan (satisfaction). Penolakan
Nietzsche terhadap setiap standar
moral yang absolut jelas sangat
berpengaruh pada Sartre dan Albert
Camus.
Namun,
kecenderungan
Nietzsche untuk menolak bahwa
manusia bertindak secara bebas,
serta pandangan Nietzsche tentang
naturalisme
biologis,
menempatkannya pada jarak tertentu
dari
eksistensialisme.
Seperti
pada
Kierkegaard,
eksistensialisme juga tumbuh di
sejumlah kalangan religius, seperti
Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.
Filsuf asal Jerman, Jaspers (18831969), berusaha mengkombinasikan
wawasan-wawasan
terbaik
Kierkegaard dan Nietzsche, dan
memperluas pemikiran mereka ke
masalah hubungan antara agama dan
sains.
Jaspers juga mengangkat tema
existenz (eksistensi), yang dapat
diringkas sebagai gagasan bahwa
tidak ada diri (self) yang tetap atau
esensial. Sebaliknya, diri itu hanyalah
kemungkinan-kemungkinannya
dan
apa yang akan menjadi dari
kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pernyataan bahwa diri itu tidaklah
tetap, namun hakikatnya terutama
adalah tentang orientasinya ke masa
depan, berpengaruh secara langsung
terhadap karya Heidegger, dan
secara tak langsung pada Sartre,
Merleau-Ponty, dan Simone de
Beauvoir. Pandangan Jaspers ini bisa
dikatakan sampai sekian lama tetap
dominan pada pemikiran kontemporer
Perancis.
Yang
lebih
penting,
Jaspers
berpendapat bahwa kondisi existenz,
pengungkapan bahwa tidak ada diri
apapun
yang
esensial,
akan
terungkap dengan sangat jelas pada
”situasi-situasi
batas,”
termasuk
kematian, penderitaan, rasa bersalah,
dan
–seperti
dinyatakan
Kierkegaard—situasi
keputusan.
ketidakpastian
Keyakinan bahwa perasaan dan
suasana
hati
tertentu
dapat
mengungkapkan
kebenarankebenaran filosofis tentang struktur
dunia, juga memainkan peran yang
lebih besar dalam karya Heidegger
dan Sartre. Namun bagi Jaspers,
penderitaan, rasa bersalah, dan
ketidakpastian terjadi ketika terdapat
konflik antara situasi menggantung
(contingent) dan kebutuhan untuk
memilih secara mutlak: dengan kata
lain, antara situasi --di mana di dalam
dan dari dirinya sendiri tidak terdapat
makna inheren-- dengan aspirasiaspirasi
manusia.
Sementara itu, filsuf Perancis, Gabriel
Marcel (1889-1973), memberikan
pandangan yang lebih optimistis
tentang dunia dan hubungan manusia
dengan yang lain, dibandingkan
pandangan Sartre, Kierkegaard, dan
tokoh-tokoh eksistensialis lainnya.
Pada saat yang sama, seperti para
eksistensialis lain, Marcel juga
menolak pandangan eksklusif teknis
terhadap
dunia.
Arti
penting
Marcel
bagi
eksistensialisme terutama adalah
upayanya memperkenalkan kembali
masalah tubuh (body). Secara
historis, banyak tradisi filsafat Barat
yang mengecilkan arti tubuh, karena
dipandang dapat menyimpangkan
kita, dan jelas bahwa tubuh tidaklah
seandal pemikiran abstrak. Plato dan
Rene Descartes adalah contoh nyata
dalam tradisi pemikiran ini. Walaupun
isu tubuh dalam karya Heidegger itu
rumit, cukup aman untuk mengatakan
bahwa seluruh pemikir eksistensialis
abad ke-20 menekankan pentingnya
pengalaman yang kita jalani dan
menubuh (embodied experience),
serta pentingnya relasi perseptual
terhadap dunia. Bahkan, sekalipun
mereka tidak sepakat satu dengan
yang
lain
tentang
bagaimana
persisnya bentuk hubungan tersebut.
Penekanan pada pengalaman yang
menubuh
ini
juga
melibatkan
penekanan pada seksualitas. Bahkan
sebelum Simone de Beauvoir menulis
karyanya yang monumental, The
Second Sex (1949), Sartre dan
Merleau-Ponty telah menulis sejumlah
karya
tentang
seksualitas.
Sementara itu, novelis, dramawan,
dan filsuf Perancis, Albert Camus
(1913-60), tidak sering disinggung
dalam pengajaran eksistensialisme
dewasa
ini.
Walaupun
selalu
membantah bahwa dirinya adalah
seorang eksistensialis, Camus selalu
diasosiasikan dengan sebutan itu.
Dalam bukunya The Myth of Sisyphus
(1942), Camus tidak memfokuskan
diri pada masalah-masalah yang
terkait dengan isu kebebasan, tetapi
menekankan pada hakikat absurd dari
eksistensi,
bagaimana
manusia
menanganinya,
dan
bagaimana
meneruskan
kehidupan.
Camus merujuk absurditas sebagai
jurang antara apa yang diharapkan
manusia dalam kehidupan dan apa
yang mereka benar-benar temukan.
Individu-individu
yang
mencari
ketertiban, harmoni dan bahkan
kesempurnaan, menurut Camus, tidak
bisa menemukan bukti bahwa hal-hal
yang
diharapkannya
itu
eksis.
Figur lain yang menonjol dalam
hubungan dengan eksistensialisme
adalah
filsuf
Jerman,
Martin
Heidegger (1889-1976). Hubungan
Heidegger dengan eksistensialisme
menjadi isu yang agak kontroversial,
bukan hanya karena kritiknya --dalam
esei Letter on Humanism (1945)-terhadap
fokus
Sartre
tentang
kesadaran dan subyektivitas, tetapi
juga karena beberapa perbedaan
filosofis substantif antara proyek
Heidegger dengan tokoh-tokoh filsuf
Perancis saat itu. Pada saat yang
sama, tak perlu diragukan begitu
besarnya pengaruh Heidegger pada
eksistensialisme.
Bahkan faktanya, pemahaman yang
memadai tentang eksistensialisme
tidaklah
dimungkinkan
tanpa
sedikitnya mengulas karya Heidegger,
Sein und Zeit (Being and Time, 1927).
Karya Heidegger itu dan karya Sartre
L'Être et le néant (Being and
Nothingness, 1943) mungkin adalah
karya eksistensialis yang paling
banyak dikenal pada abad ke-20. Tak
satu pun dari karya-karya itu yang
mendiskusikan eksistensi manusia
dalam
arti
yang
biasa.
Sebagian besar ”analisis eksistensial”
Heidegger dalam Being and Time
menangani
analisis
tentang
bagaimana manusia secara tak
terhindarkan
terperangkap
dan
terseret ke dalam banalitas sehari-hari
(kejatuhan dan ketidakotentisitasan).
Juga, untuk mengungkapkan gerakan
yang berlawanan, di mana anonimitas
ini diekspos sebagaimana apa
adanya, dan kita secara radikal
diindividualisasikan lewat pengalaman
kecemasan (anxiety), ketika kita
dipaksa untuk membuat keputusan
yang sulit, atau ketika berkonfrontasi
dengan kemungkinan kematian kita
sendiri (otentisitas). Di sini terlihat
adanya hubungan yang jelas terhadap
konsep Jaspers tentang situasi-situasi
batas, walau hal ini tidak diakui
Heidegger.
(Dikutip dari berbagai sumber)
Posted 9th November 2010 by Satrio
Arismunandar
0
Add a comment
S
a
t
r
i
o
A
r
i
s
m
u
n
a
n
d
a
r
-
J
a
n
g
a
n
T
u
n
g
g
u
L
a
g
i
,
B
a
n
g
k
i
t
l
a
h
I
n
d
o
n
e
s
i
a
!
S
o
b
a
t
,
b
l
o
g
s
e
d
e
r
h
a
n
a
i
n
i
b
e
r
i
s
i
b
e
r
b
a
g
a
i
k
a
r
y
a
s
a
y
a
,
s
e
l
a
k
u
j
u
r
n
a
l
i
s
,
d
o
s
e
n
i
l
m
u
k
o
m
u
n
i
k
a
s
i
,
p
r
a
k
t
i
s
i
m
e
d
i
a
,
m
a
u
p
u
n
p
r
i
b
a
d
i
.
M
a
k
a
,
i
s
i
n
y
a
p
u
n
b
e
r
v
a
r
i
a
s
i
.
M
u
l
a
i
d
a
r
i
a
r
t
i
k
e
l
d
i
m
e
d
i
a
,
m
a
t
e
r
i
k
u
l
i
a
h
y
a
n
g
s
a
y
a
a
j
a
r
k
a
n
d
i
k
a
m
p
u
s
,
m
a
k
a
l
a
h
y
a
n
g
d
i
p
r
e
s
e
n
t
a
s
i
k
a
n
d
i
s
e
j
u
m
l
a
h
t
r
a
i
n
i
n
g
,
s
a
m
p
a
i
f
i
k
s
i
y
a
n
g
b
e
r
n
a
p
a
s
k
a
n
p
r
i
b
a
d
i
.
.
.
.
S
e
m
o
g
a
a
d
a
m
a
n
f
a
a
t
n
y
a
b
u
a
t
s
i
a
p
a
p
u
n
y
a
n
g
m
a
m
p
i
r
d
i
b
l
o
g
i
n
i
.
.
.
K
a
r
y
a
y
a
n
g
t
i
d
a
k
m
e
m
b
e
r
i
m
a
n
f
a
a
t
s
e
d
i
k
i
t
p
u
n
b
a
g
i
o
r
a
n
g
l
a
i
n
,
a
d
a
l
a
h
s
e
b
u
a
h
k
e
s
i
a
-
s
i
a
a
n
.
.
.
Magazine








Home
DEC
13
Kebebasan Pers dan
Penerapan Perda
Syariat di Aceh
Pengantar
Setelah gerakan reformasi Mei 1998
menjatuhkan rezim Orde Baru yang
otoriter, rakyat menikmati kebebasan
pers dan kebebasan berekspresi yang
sangat besar. Tidak ada lagi hambatan
perizinan untuk menerbitkan surat kabar
dan majalah. Tidak ada lagi ancaman
penyensoran dan pembreidelan, yang
sebelumnya menjadi momok bagi
pekerja media. Jumlah stasiun TV
swasta, yang melakukan siaran dari
Jakarta dan berbagai kota di daerah,
juga bertambah secara drastis.
Selain di bidang media, banyak aspirasi
rakyat lain --yang sekian lama teredam-akhirnya muncul ke permukaan. Era
reformasi membuka jalan bagi
desentralisasi kekuasaan, lewat otonomi
daerah yang lebih besar.
JUN
1
Urutan Langkah dalam Membuat
TKA (Tugas Karya Akhir)
Broadcasting di Ilmu Komunikasi
FISIP UI
Kadang-kadang ada mahasiswa
broadcasting yang mau main cepat
dalam membuat TKA (tugas karya akhir).
Ini kasus di Ilmu komunikasi FISIP UI, di
mana saya sering diserahi tugas sebagai
pembimbing TKA. Persoalannya adalah
si mahasiswa yang sedang membuat
TKA tidak secara step by step
berkonsultasi dengan saya. Tahu-tahu
saya disodori TKA yang sudah jadi.
Tetapi, TKA itu seumpama masakan
yang sudah terlanjur jadi.
APR
12
Usulan Perkuliahan Teknologi
Informasi dan Komunikasi untuk
Bidang Pendidikan
Usulan Perkuliahan Teknologi Informasi
dan Komunikasi untuk Bidang
Pendidikan
Usulan 1:
Tiap kelompok ditugaskan membuat blog
bersama, dengan menggunakan fasilitas
blog gratis yang tersedia di pasar
(misalnya: Wordpress.com,
Blogger.com). Dalam blog ini, seluruh
karya perorangan dan kelompok yang
sudah pernah dibuat, bisa dimasukkan.
Namun, bukan cuma konten. Kelompok
juga harus ”menghias” blog-nya agar
secara visual menarik.
APR
12
Perencanaan Strategik dan
Implementasinya pada
Pendidikan Nasional di Indonesia
Pendahuluan
Pendidikan nasional bagi negara
berkembang seperti Indonesia
merupakan program besar, yang
menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini
karena jumlah penduduk yang luar biasa,
mencapai sekitar 235 juta dan posisinya
tersebar ke berbagai pulau.
Ditambah lagi Indonesia merupakan
masyarakat multi-etnis dan sangat
pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi
yang beragam. Hal ini menuntut adanya
sistem pendidikan nasional yang
kompleks, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan seluruh rakyat.
2
MAR
17
Korlip dan Korda Trans TV:
Ujung Tombak yang Harus
Tajam
Apa sih yang membedakan satu stasiun
TV dengan stasiun TV lain? Filmnya,
sinetronnya, program musiknya, ataukah
program komedinya? Jawabannya:
bukan semua itu. Karena, yang secara
mendasar membedakan sebuah stasiun
TV dengan stasiun TV lainnya adalah
pemberitaannya (news).
Asalkan punya cukup uang, setiap
stasiun TV bisa membeli program film,
sinetron, musik, komedi, atau kuliner dari
mana saja. Sehingga tidak ada bedanya,
menonton film Tom Cruise di RCTI atau
di Trans TV.
1
MAR
13
Renungan Kehidupan - Jika Usia
Anda Sudah di Atas 50 Tahun
Sesuatu yang sudah terbiasa akan
dirasakan sebagai biasa-biasa saja.
Begitulah hidup kita. Orang umumnya
abai tentang hidupnya sendiri. Orang
sibuk mengejar hal-hal di luar dirinya:
kekayaan, jabatan, pangkat, kekuasaan,
perempuan (seks), ketenaran, dan lainlain. Tetapi orang abai terhadap hakikat
dirinya, tentang batinnya, tentang
jiwanya.
MAR
9
KOES PLUS - Riwayat Trans TV,
Minggu 11 Maret 2012, Pkl.13.00
WIB
KOES PLUS – Grup Musik Legendaris
Indonesia
Saksikan di RIWAYAT, Trans TV,
Minggu, 11 Maret 2012, pukul 13.00 WIB
Bicara tentang sejarah musik pop
Indonesia, tidak mungkin tanpa
menyebut Koes Plus. Koes Plus adalah
grup musik Indonesia yang dibentuk
pada tahun 1969, sebagai kelanjutan dari
Koes Bersaudara. Grup musik yang
terkenal pada dasawarsa 1970-an ini
sering dianggap sebagai pelopor musik
pop dan rock 'n roll di Indonesia.
MAR
2
Essay - Terharu Menonton
Stairway to Heaven (Drama
Korea)
Di hari libur, saya sempat nonton drama
Korea, Stairway to Heaven. Kisahnya
mengharukan banget. Para pemainnya
berakting total. Cara menggambarkan
kisahnya halus, nggak kaya sinetron
Indonesia.
Berkisah tentang percintaan anak
seorang konglomerat dengan gadis yang
dicintainya sejak kecil. Percintaan
mereka menghadapi banyak hambatan.
Si gadis sempat mengalami amnesia
karena ditabrak oleh saudara tirinya yang
ingin merebut sang pacar. si gadis juga
sempat buta dan mengidap kanker
mematikan.
MAR
2
PERAN MEDIA MASSA DALAM
PEMBENTUKAN KARAKTER
BANGSA
Oleh Satrio Arismunandar
Makalah sebagai masukan dalam
Pertemuan Terbatas Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
Bidang Pendidikan dan Kebudayaan,
Selasa, 28 Februari 2012, di Kantor
Wantimpres, Jl. Veteran III, Jakarta
Pusat. Tulisan ini adalah pandangan
pribadi, tidak mewakili pandangan
institusi Trans TV.
Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi
ekonomi Indonesia secara makro telah
makin membaik.
MAR
2
SEPENGGAL SEJARAH Program Dokumenter News
Trans TV, yang
Direkomendasikan Remotivi
untuk Maret 2012
SEPENGGAL SEJARAH adalah program
dokumenter karya Divisi News Trans TV,
yang direkomendasikan oleh Remotivi
untuk bulan Maret 2012 ini.
Sepenggal sejarah adalah tayangan
dokumenter mengenai peristiwa terkait
tokoh-tokoh, artis, pemusik,
olahragawan, penemu terkenal, dan
penemuan berbagai hal yang mengubah
dunia. Program ini berdurasi tiga puluh
menit dengan tiga segmen.
Loading
Send feedback
Hubungan
antara Teori
Kritis dan
Marxisme
OPINI | 08 August 2012 | 08:17 Dibaca: 974
Komentar: 2 1 bermanfaat
Teori Kritis adalah filsafat yang dipraktekkan dalam Mazhab Frankfurt (Bertens,2006:196).
Penentuan posisi teori kritis dalam rangka sejarah filsafat mengharuskan ditentukannya tiga
faktor pengaruh teori ini. Ketiga faktor itu adalah pemikiran Hegel, pemikiran Marx, dan
pemikiran Freud. Unsur paling dominan dari ketiga faktor dimaksud dalam tubuh teori kritis
adalah unsur filsafat Karl Marx, sehingga tidak jarang kepada teori kritis disematkan label
“neomarxisme”.
Meski demikian, para pemikir Mazhab Frankfurt memandang Marx dari cara yang berbeda.
Marx dipahami Mazhab Frankfurt sebagai kelanjutan filsafat Hegel. Mikroskop pemikiran
Mazhab Frankfurt memposisikan Marx sebagai sayap kiri pemikiran Hegel. Objek kajian
Mazhab Frankfurt terhadap Marx adalah tulisan-tulisan awal Marx yang dikenal dengan
“karangan-karangan Marx muda” atau juga disebut “naskah-naskah dari Paris”. Pada
karangan Marx muda, nampak jelas hubungan antara Marx dan Hegel.
Marxisme sendiri adalah pemikiran filosofis Karl Marx. Anthony Giddens (1986:xvii)
mencatat bahwa istilah Marxisme menjadi begitu populer justru sebagai hasil pekerjaan
Engels. Engels menyediakan sebuah basis pemikiran yang disebutnya materialisme filsafat
yang kemudian menjadi terkenal dengan nama marxisme. Dalam bahasa Giddens
:”…Marxisme, menyediakan suatu kerangka teori bagi Demokrasi Sosial, yang membiarkan
dan membenarkan adanya perbedaan besar antara teori dan praktek”. Tetapi pekerjaan besar
Karl Marx dalam filsafatnya adalah roh marxisme. Tema-tema yang diangkat Marx dalam
filsafatnya (Giddens, 1996:23-25) adalah (a) kondisi “swa-penciptaan” (self-creation) yang
menunjukan adanya manusia progresif: sebuah konsep yang dipinjam Marx dari Hegel; (b)
gagasan tentang keterasingan atau alianasi; (c) kritik terhadap negara; (d) dasar-dasar utama
materialisme sejarah; (e) suatu konsep ringkas tentang teori Praksis yang revolusioner.
Hubungan antara Teori Kritis dan Marxisme digambarkan secara gamblang oleh Bertens
(2006:194-5) dengan kalimat :”Oleh karenanya Institut Penelitian ini tidak mau tergantung
pada universitas Frankfurt, yang pada saat itu masih muda, biarpun beberapa anggotanya
mengajar di universitas tersebut. Kebanyakan anggotanya merasa simpati kepada marxisme
dan beberapa diantaranya menjadi anggota partai komunis Jerman…” Para pemikir Mazhab
Frankfurt seperti Max Horkheimer, Friedrich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin,
Theodor W.Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas menyimpan jiwa
Marxisme dalam filsafat mereka. Kritik Jurgen Habermas pada positivisme misalnya
menampakan dengan jelas ciri pemikiran Marx tentang ilmu pengetahuan kritis. Habermas
mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tidak semata-mata dalam
hubungan antara dirinya dengan kenyataan yang netral. Kenyataan selalu dilekatkan dengan
kepentingan.
Habermas
mengajukan
tesis
tentang Erkenntnisleitende
Interesse atau
kepentingan yang menjuruskan pengenalan. Dalam hal ini ada tiga macam kepentingan : (a)
kepentingan pengenalan teknis, (b) kepentingan pengenalan praktis, dan (c) kepentingan
pengenalan emansipatoris.
Bertens (2006:243) mencatat dengan jelas ketiga jenis kepentingan pengenalan itu.
Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan teknis dapat ditemukan dalam ilmu
alam dan ilmu sosial teknis.
Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan praktis ditemukan dalam ilmu
sejarah, ilmu komunikasi dan ilmu hermeneutis.
Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan emansipatoris dapat ditemukan
dalam psikoanalisis dan teori-teori kritis tentang masyarakat.
Dialektika Hegel
(Thesis, AntiThesis,
Sintesis): Ritme Tiga
Hentakan Proses Sosial
Yang Cukup Melenakan
Diterbitkan Sabtu, 9 Juni 2007 Tak
Berkategori 34 Komentar
Kaitkata:artikel, diri, dunia, filsafat, hidup, ma
nusia, masyarakat, orang, pemikiran,politik, s
osial
Dialektika Hegel saya rasa cukup dikenal di kalangan para
pecinta Ilmu ilmu sosial. Sebagai sebuah doktrin yang cukup
mampu bertahan dan diikuti oleh banyak orang dialektika
Hegel ibarat sebuah teori Newton yang diamini dan
dianggukki oleh sosiolog maupun pemerhati sosial yang
lainnya. Ketika menjelaskan atau berusaha menerangkan
tentang proses-proses sosial, dialektika hegel ini selalu saja
banyak dicopot dan dijadikan sebuah penjelasan. Proses
sosial memang sepertinya bekerja seperti dialektika Hegel
ini, namun bagi saya Dialektika Hegel cukup melenakan dan
menjauhkan atas kekomplekan apa yang terjadi sebenarnya.
Doktrin
ini
melemahkan,
menyempitkan
dan
menyederhanakan realita Proses Sosial yang ada. Doktrin
Hegel ini memang cukup menarik dan cukup memberikan
suatu penjelasan yang keliatannya rasional.
Dikembangkan dari filsafatnya Kant yang tertulis di Critique
of Pure Reason, Dialektika Hegel kemudian mereduksi dan
mengembangkan cirinya sendiri. Sebagai sebuah penjelasan
atas proses-proses tertentu, dialektika itu sendiri sudah jauh
dari apa yang dimaksudkan oleh Kant. Dialektik terdiri dari
Ritme Tiga Hentakan: Thesis, AntiThesis dan Sintesis. Thesis
dan Anti Thesis dikembangkan oleh hegel dari Antinomiantinominya Kant yang notabene membahas mengenai
batas-batas dari rasionalitas kita atau merupakan kritik atas
rasionalitas kita (Critique of Pure Reason) yang mengatakan
bahwa kita tidak akan mampu memahami sesuatu yang
sifatnya seperti ketakberhinggaan dan bersifat dua kutub,
bipolar. Kita akan selalu menemui jalan buntu (antinomi)
yang berlawanan satu sama lain ketika berusaha memahami
semisal waktu atau ruang. Silahkan search tulisan saya yang
lain mengenai Antinomi Kant soal waktu dan ruang ini. Akan
tetapi Hegel mengambil jalan lain. Sembari mengatakan
bahwa Kant memang benar bahwa dalam banyak hal di
kehidupan kita adalah merukpakan antinomi-antinomi akan
tetapi diantara dua buah kutub tersebut bisa muncul
gabungan dari dua kutub tersebut.
Dalam hal ini sebenarnya Hegel membuat antinomi Kant
menjadi melebar dan menyentuh apa yang sebenarnya tidak
ingin dikatakan oleh Kant. Hegel kemudian mengadopsi
antinomi Kant ini dalam sebuah doktrin Dialektika Sosialnya.
Thesis,
merupakan
sesuatu
yang
pada
dasarnya
berkebalikan dengan AntiThesis. Dalam sebuah ide
AntiThesis merupakan lawan atau kutub yang berkebalikan
dengan Thesis. Pro dan Kontra istilahnya. Namun ketika
Thesis dan AntiThesis ini bergejolak dan bertemu di dunia
nyata maka suatu saat akan timbul hal baru yang
merupakan akomodasi atau hasil-hasil dari benturan
keduanya (entah itu kompromi, win-win solution, perjanjian,
atau ide2 baru, dan semua proses sosial atau budaya baru)
yang ia sebut sebagai Sintesis. Sintesis kemudian bisa
menjadi Thesis dan kemudian menemukan AntiThesisnya
dan melahirkan Sintesis baru. Demikian seterusnya.
Setidaknya menurut Hegel Dialektika ini merupakan sebuah
proses yang mati. Istilah kerennya Dialektika ini adalah
Hukum Sosial yang berlaku untuk semua waktu dan semua
tempat. Kalau dalam Fisika atau ilmu dikenal dengan Hukum
Newton maka Dialektikanya ini merupakan Hukum Sosialnya.
Seluruh Proses Sosial kemasyarakatan merupakan proses
yang pada dasarnya berdialektika seperti ini, demikian kata
Hegel. Tentunya ini merupakan dukungan dari Ide Sosial
yang ia sebut sebagai Roh Masyarakat (Zeitgeis kalau tidak
salah, tolong dikoreksi ya). Akan tetapi sebagai sebuah
doktrin yang sudah mengurat akar di kalangan sosial (saya
kok yakin setiap ilmuan sosial mengenal bahkan sering
meyakini Doktrin ini), jika dianggap sebagai sebuah
keimanan, hal ini akan membahayakan dan merupakan
kekeliruan
atau
penyederhanaan
yang
berlebihan.
Kecenderugan Historisis dalam Dialektika ini sangatlah
tinggi. Seperti Kehendak Hukum Tuhan mungkin.
Ah, saya juga tidak begitu mengerti. Tolong dikoreksi dan
dibantah jika saya keliru dalam memahaminya.
Salam Penuh Tanya
Haqiqie Suluh
Teori Hegel
Dialektika Hegel
George Wilhein Friederich Hegel
( GWF Hegel ) ( 1770 – 1831 ) ,
merupakan filsuf dari Jerman . Dia
sangat terkenal dalam dunia ilmu
social , karena melahirkan teori
yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan social / kehidupan
masyarakat.
GWF Hegel dalam
membahas teorinya , berpedoman
pada 3 tokoh ilmuwan besar yang
sekaligus mengilhami teori yang
dilahirkannya .
Ke 3 ( tiga ) ilmuwan tersebut
, adalah :
1.
Immanuel Kant .
2.
Johan Gottlieb Fichte .
3.
Friedrich Wilhelm Joseph
Schelling .
=== Prinsip yang melandasi teori
Hegel .
GWF Hegel dalam membangun
teorinya , selalu berpedoman pada
3 ( tiga ) ilmuwan besar tersebut di
Atas , sehingga Hegel dalam
menciptakan dan membangun
teorinya , berpedoman pada prinsip
- prinsip sebagai berikut :
1.
IDEALISME .
Berdasarkan prinsip ini , Hegel
membangun teorinya dengan
mengutamakan pemikiran yang
mengutamakan ide / gagasan ,
sehingga ide dan gagasan itu
merupakan sumber kebenaran .
2.
ROH MUTLAK .
Pada prinsip ini , Hegel menjunjung
tinggi adanya kebebasan /
ketidakterikatan dan melahirkan
konsepsi social , politik dalam
suatu negara .
Prinsip Roh Mutlak , dipakai Hegel
berdasarkan pendekatan Filsafat ,
Agama dan Seni .
3.
ESSENSIALISME .
Prinsip ini menjelaskan bahwa
pendidikan itu didasarkan pada
nilai – nilai kebudayaan yang telah
ada , sehingga dapat memberikan
kestabilan dan nilai – nilai terpilih
yang punya tata / ketentuan yang
jelas .
4.
REALISME .
Prinip ini menjelaskan bahwa
pendidikan itu didasarkan pada
kenyataan – kenyataan yang ada (
nyata / realis ) .
Hasil Pemikiran Hegel .
Hegel sebagai filsuf besar dari
Jerman , menghasilkan teori yang
dikenal dengan istilah DIALEKTIKA
HEGEL . Teori ini lahir berdasarkan
3 komponen , yatu filsafat Agama ,
Seni dan lahir berdasarkan prisnsip
idealisme dan roh mutlak .
Teori Dialektika Hegel itu ,
adalah :
1.
THESIS .
Teori ini didasarkan pada adanya
ide / gagasan .
Artinya : Suatu pernyataan /
pendapat yang diungkapkan untuk
suatu keadaan
tertentu
Contoh
: Tanah ini basah
karena hujan .
Perutku kenyang
karena sudah makan .
2. ANTITHESIS .
Teori ini berdasarkan pada alam /
Natura
Artinya : Suatu pernyataan /
pendapat yang menyanggah
terhadap suatu pernyataan
atau suatu pendapat .
Contoh : Hari ini tidak hujan .
3. SINTESA .
Dialektika ini ada berdasarkan
ROH MUTLAK .
Artinya : Suatu pernyataan /
pendapat berdasarkan rangkuman
yang
mennggabungkan dua
pernyataan yang berlawanan ,
sehingga muncul
pernyataan / pendapat
yang baru .
Contoh : Oleh kaena hari ini
tidak hujan , maka tanah ini tidak
basah kena hujan .
Download