FILSAFAT -- WINDAR SANTOSO, SJ -- SATURDAY, APRIL 21, 2007 HENRI BERGSON: Antara Intelek dan Intuisi The object of philosophy would be reached if this intuition could be sustained,… of external points of reference in order not to go astray. (Henri Bergson) Bergson adalah seorang filsuf ternama di abad 20 yang menuliskan tentang metafisika. Baginya pengetahuan yang mengabsolutkan adalah pengetahuan yang karena intuisi dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang lebih banyak salah atau palsu. Maka dengan pemikiran semacam ini, Bergson mendobrak banyak filsuf sebelumnya sehingga ia menjadi terkenal sampai ia mendapatkan hadiah nobel tahun 1927 untuk karya Literatur. Ia memperdebatkan bahwa intuisi itu lebih dalam dari intelek. Pemikiran Bergson memang lebih banyak dipengaruhi oleh teori evolusi teutama dari Darwin. Berarti ia lebih banyak berbicara mengenai evolusi biologis dan itu menjadi poin khusus dalam pemikirannya. Bergson dengan pengalaman bersama intuisinya yang juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan yang mendasar mengenai bagaimana manusia itu sendiri melihat realitas bagi dirinya. Lalu bagaimanakah posisi Bergson dalam menghadapi Darwin, apakah ia menentang, setuju, atau memilih jalan lain dengan mengembangkan teorinya sendiri. Banyak orang memandang pemikiran Bergson ini sebagai metafisika yang berisikan misteri-misteri. Walaupun begitu pandangan ini juga memberikan banyak inspirasi bagi beberapa muridnya. Mereka terus memperjelas relasi antara duree dengan elan vital kemudian juga materi dan kehidupan, dan lain sebagainya. Beberapa filsuf kemudian yang dipengaruhi olehnya adalah William James, Scheler, Gabriel Marcel, Whitehead, Maritain, T. de Chardin, Ch. Peguy, dan M. Proust. Koleksi karya-karyanya dan juga kuliahnya lebih menekankan persoalan hakikat intuisi. Ia mencoba menjelaskan bagaimana intuisi itu dapat dimasukan dalam filsafat. Sebelumnya memang banyak filsuf menolak adanya pemikiram metafisis dalam kehidupan manusia. Intuisi, menurutnya, merupakan metode “berpikir dalam durasi” dan selalu mencerminkan adanya realitas yang terus mengalir. Untuk menjelaskan lebih dalam akan filsafatnya, Bergson membedakan dua dasar pemikirannya yaitu intuisi dan pemikiran konseptual. Intuisi dan intelek dapat dikombinasikan untuk mendapatkan pengetahuan dinamis akan realitas. DASAR PEMIKIRAN BERGSON Filsafat Bergson sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Ia menyatakan bahwa cara manusia bertindak lebih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Darwin menekankan bahwa manusia yang sekarang ini merupakan hasil dari proses evolusi di mana manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup . Karakter semacam ini merupakan suatu hal yang alami dalam menjalankan proses hidup. Hal ini bisa terjadi karena ada keterbukaan atau kebahagiaan dalam bertahan hidup. Maka dari itu dalam teori Darwin intelek manusia dan proses berpikirnya merupakan konstruksi dari tujuan-tujuan praktis. Tujuan ini digambarkan untuk membantu manusia mengadaptasikan dirinya dalam dunianya dan juga untuk lebih mudah dalam bertingkah laku. Faktor diri inilah yang kemudian menjadi pandangan dasar Bergson. Dengan melihat pada diri, yang sangat berharga, ia juga megacu pada pikiran, perasaan, persepsi, dan kemauan yang secara alami akan selalu berubah. Perubahan itu ternyata membawa kesenangan baru. Dalam diri itu ternyata tak ada pengulangan masa lalu sehingga diri akan selalu menjadi baru. Manusia akan selalu merasa bebas. Ia akan dengan senang hati menciptakan masa depannya, meskipun masih mendasarkan pada masa lalu. Perubahan ini terjadi bukan karena dipikirkan melainkan sebagai sesuatu yang dialami. Pengalaman menjadi penting dalam suatu proses dan konsep-konsep intelek mulai ditangguhkan. Bergson memandang bahwa intelek itu sebagai suatu instrumen atau alat yang digunakan untuk membantu atau meningkatkan kehidupan . Dengan begitu tersirat kritiknya yang merupakan pengaruh ilmu alam. Kritik pertamanya ia tuju pada proses dinamis kehidupan yang terlalu mekanis ataupun materialis dan proses ini ditempatkan dalam konsep-konsep fisik. Dengan begitu masa depan manusia sangat dipengaruhi oleh masa lalu sehingga durasi, kebebasan, dan kreativitas tidak diakui di dalam kehidupan ini. Untuk yang kedua ia menolak adanya pandangan akhir yang menjelaskan bahwa dunia itu, seakan-akan telah ditetapkan, sedang menuju pada tujuan-tujuan tertentu di masa depan yang memang tak terhindarkan. Kemudian ia juga tidak mengakui adanya vitalisme yang kurang menjelaskan fakta-fakta evolusi. Kritik-kritik ini bagi Bergson merupakan suatu tekanan besar kepada intelek yang selalu menggunakan formula-formula praktis. Lebih jelasnya lagi, Bergson menyebut para ilmuwan terlalu menggunakan pemikiran praktisnya dalam memutuskan atau menganalisa sesuatu. Dengan begitu pengetahuan telah memalsukan kealamiahan gerakan dengan merepresentasikan hal matematis ke dalamnya. Bagi Bergson hal ini tidaklah membantu secara penuh. Ia mengatakan bahwa kita membutuhkan suatu suplemen yaitu intuisi. PANDANGAN AKAN WAKTU Mengenai waktu, Bergson membedakan dua jenis waktu, yaitu waktu murni dan waktu matematis. Waktu murni merupakan durasi yang sebenarnya sedangkan waktu matematis adalah durasi yang terukur. Sifat waktu murni itu continu dan tak dapat dibagi dan waktu matematis sebaliknya yang dapat dibagi menjadi beberapa unit dan interval. Hubungan antara kedua waktu ini tidak seimbang. Analisa matematis terhadap waktu murni akan membuat kekacauan dalam waktu. Waktu murni tidak bisa diintelektualisasi karena dengan mengalami durasinya itu berarti memalsukannya. Waktu murni hanya bisa dialami secara intuitif bukan intelektual. Hal ini oleh Bergson disebut sebagai duree atau waktu murni. Untuk lebih jelasnya Bergson kemudian mendeskripsikan kata duree itu sendiri. Duree adalah perubahan terus menerus yang heterogen atau “becoming”. Duree ini tidak dapat di ubah dan selalu menuju pada masa depan. Duree secara terus menerus menciptakan kebaruan dan secara instrinsik sulit untuk diprediksi dan merupakan sumber yang tidak pernah habis dari kebebasan. Bergson juga mengatakan kemudian bahwa intuisilah yang bisa menerangkan realitas hidup dan bukan konsep-konsep intelek . Eksistensi waktu itu dapat menerangkan mengapa benda-benda itu tidak terjelaskan. Waktu sebagai durasi menjelaskan mengapa benda-benda yang tak terjelaskan kemudian bisa menjadi terjelaskan, dan begitu juga sebaliknya. Jika waktu tidak exsis, secara teoritis, maka segala sesuatu dapat dijelaskan. Oleh karena itu dengan ketidakjelasan akan segala sesuatu, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hidup dapat berubah dan perubahan yang terjadi menunjukan adanya kebebasan dalam bertindak. Kebebasan ini merupakan pengalaman dari intuisi. INTUISI dan INTELEK Dalam realitas sehari-hari, kadang sesuatu yang nisbi atau pasti atau dengan ilmu pengetahuan sepertinya masih kurang pasti dan sering salah maka untuk dapat melihat lebih jelas dan menyeluruh diperlukan suatu suplemen yaitu intuisi. Dalam pengertian ini ada dua argumen yang berbeda yang berfungsi sama-sama untuk mengetahui sesuatu. Dua hal tersebut adalah karakteristik dari intelek yang menggunakan berbagai simbol untuk mengekspresikan temuannya dan menghasilkan suatu pengetahuan yang relatif. Kemudian yang kedua adalah proses dari intuisi di mana kita masuk ke dalam sesuatu dan mengindentifikasikan diri kita dengannya lewat rasa simpati intelek. Hal ini seperti kita mengindentifikasikan diri kita sebagai aktor dalam novel yang kita baca . Tidak ada simbol dan pengetahuan yang didapatkan itu mutlak dan sempurna. Inilah metode yang di sebut metafisika. Intelek dan intuisi adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. Prinsip-prinsip sains dimasukan dalam kategori intelek dan prinsip-prinsip metafisika merupakan intuisi. Sains dan filsafat dapat disatukan dan akan menghasilkan pengetahuan yang intelektual dan intuitif. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi realitas yang berbeda. Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harafiah. Kita harus melihatnya sebagai sesuatu yg bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan kesadaran spontan. Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri kita. Dalam hal ini Bergson ingin mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Mengapa? Karena kita dapat menemukan kepribadian kita dengan berjalannya waktu dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Inilah yang dimaksudkan bahwa dengan intuisi kita akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu continu dan tak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas. Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional. Dengan melihat hal ini, Bergson berusaha melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan fakta konkrit dari gerakan. Maka dengan metafisika menurut Bergson kenyataan itu berjalan atau mobil sedangkan yang selalu diberikan intelek hanyalah penampilan. Realitas itu disadari secara intuitif dan tidak terpotong-potong. Dengan begitu konsep-konsep intelek tidaklah bisa menjawab realitas secara menyeluruh. ELAN VITAL Untuk menjawab proses evolusi yang selalu berlangsung yang dipakai untuk memperbaiki keberadaan hidup, Bergson mengatakan bahwa di situ ada proses elan vital atau daya hidup. Dengan elan vital evolusi dibawa menuju ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menuju ke keteraturan. Hal ini merupakan sebab mendasar terciptanya species-species yang bervariasi dan juga merupakan prinsip pokok exsistensi. Adanya variasi species lebih jelasnya karena ada ledakan-ledakan daya hidup karena proses evolusi itu sendiri tidak pernah linier. Maka pada saat itu ada tiga jenis utama garis evolusi yang memungkinkan, yaitu tumbuhan, serangga, dan manusia. Manusia merupakan produk evolusi yang terbaik dan terkuat karena ia memiliki vitalisme. Proses evolusi merupakan proses dinamis. Maka bisa dikatakan bahwa konsep intelek tidaklah cukup untuk mengatasi proses ini. Intelek yang berada dalam waktu terukur, bersifat statis, atau berada dalam ruang lingkup matematis tidaklah cukup menjawab proses ini, malahan yang akan terjadi adalah konsep yang palsu atau salah. Dengan intuisi elan vital akan terjadi karena dengan begitu dinamisme akan berjalan dan juga proses terus menerus seperti air mengakir menuju ke daerah yang rendah akan terjadi. Elan Vital diasumsikan Bergson sebagai energi primal yang mulai menjadi hilang atau pudar. Materi, sebaliknya, menjadi didevitalisasi. Maksudnya adalah manusia mulai melepaskan diri dari dunia materi atau dari determinisme materi. Salah satu dari fungsi intelek adalah untuk menghadirkan materi yang terus berubah dalam suatu samaran yang statis. Maka segala sesuatu di sekitar manusia sekarang ini merupakan hasil atau residu dari proses elan vital sebelumnya. Dengan elan vital manusia akan berada pada proses menjadi. Kedinamisan dari waktu murni menjadikan evolusi terus berjalan akhirnya sampai pada tahap seperti sekarang ini. Di sinilah terjadi evolusi kreatif manusia yang menekankan kebebasan dan kedinamisan hidup yang juga merupakan akibat dari waktu murni. ANTI-INTELEKTUALISME BERGSON Akhirnya pandangan Bergson ini lebih banyak dipandang sebagai suatu pandangan anti-intelektualisme walaupun Bergson sendiri menyangkalnya dan mengatakan bahwa metafisikanya merupakan suatu pelengkap dan bukan lawan dari rasionalisme. Intelek memang mampu memberikan pengetahuan kepada kita tetapi lebih baik lagi bila pengetahuan itu juga didapatkan dengan intuisi. Bergson mengajak kita untuk lepas dari konsep analisis yang kemungkinan lebih banyak gagalnya dan menyarankan untuk menggunakan intuisi karena dengan intuisilah kita dengan sendirinya akan sukses. Dengan intuisi ruang sekitar pemikiran Bergson diasumsikan tidak-saintifik. Konsep intuisi, durasi, dan kebebasan diartikan sebagai konsep yang melawan intelektualisme, determinisme, dan mekanisme, walaupun ia sendiri menyangkal pemikiran semacam ini. Ia tetap menganggap adanya pengetahuan konseptual dalam pemikirannya. Ia tidak menolak adanya aspek semacam itu, hanya ia menambahkan bahwa berkembang aspek-aspek spiritual di dalamnya. Kontribusi Bergson dalam dunia filsafat terletak pada pemahaman kebebasan manusia untuk berkreativitas secara realistik. Pandangannya memang tidak terlalu berpusat pada pikiran atau rasio melainkan ia lebih menekankan pengalaman. Dengan pengalaman manusia akan mengkonstruksi eksperimen-eksperimen saintifik yang realistis. Intuisi, duree, the self, atau elan vital tidaklah dapat secara akurat dijelaskan begitu saja karena mereka memang tak teruraikan. Mereka hanya bisa didapatkan dengan pengalaman yang membawa kita ke pengetahuan dan menemukan esensinya bagi diri kita sendiri. TANGGAPAN Setelah menganalisa pemikiran dari Bergson memang disadari bahwa dia lebih menekankan proses intuitif sebagai proses menemukan realitas. Banyak kritikus menganggapnya sebagai filsuf anti intelektualisme dan ada juga yang menganggap filsafatnya ini merupakan suatu proyeksi dari personal psikologinya yang dibawa ke luar atau ke dunia. Hal seperti ini terjadi karena proses menemukan realitas dianggap subjektif dan objektivitas dicoba direduksi. Pada zaman itu, pemikiran Bergson memang sangat menarik. Metafisika semacam ini pada zaman dia hidup merupakan suatu ajaran yang baru karena bidang filsafat sebelumnya sudah mereduksi pemikiran metafisika dan beralih pada intelektualisme, idealisme, determinisme, dan materialisme. Dalam filsafat Bergson, manusia mulai dipikirkan lebih dalam dan dimetafisiskan. Intuisi menjadi bagian yang juga penting dan daya hidup atau elan vital dijadikan sebagai pegangan untuk meraih fakta-fakta realistis. Bergson mengajarkan bahwa akan selalu ada kemungkinan untuk mengetahui segala sesuatu secara faktual. Itulah intuisi yang membawa manusia untuk mengetahui sesuatu dalam dirinya. Untuk membuktikannya, Bergson mengawalinya dengan memikirkan konsep waktu, waktu murni dan waktu terukur. Dengan waktu murni intuisi berperanan dalam membuat kehidupan ini menjadi lebih dinamis dan proses evolusi akan mungkin terjadi. Pandangan akan waktu terukur yang memiliki sifat statis yang juga merupakan kritiknya tidak terlalu mampu menjelaskan proses evolusi. Dengan waktu murni vitalisme terjadi dan mahluk hidup menemukan realitasnya. Untuk menekuni filsafat Bergson ini kita harus melatih intuisi dengan berbagai pengalaman hidup. Pengalaman haruslah dibangun berdasarkan informasi-informasi yang ditangkap melalui experimen-experimen saintific. Dengan pengalaman itu dapat diketahui bahwa Bergson sama sekali tidak menghilangkan intelektualisme melainkan memperdalamnya. Sekali lagi metafisikannya merupakan pelengkap intelektualisme. DAFTAR PUSTAKA Buku: Bergson, Henri 1955. An Introduction to Metaphysics, New York: The Library of Liberal Arts Bergson, Henri 1911. Creative Evolution, Boston: University Press of America Honderich, Ted 1955. The Oxford Companion to Philosophy, New York: Oxford University Press Mudhofir, Ali 2001. Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar POSTED BY WINDAR, SJ AT 3:05 AM 0 COMMENTS: POST A COMMENT Subscribe to Post Comments [Atom] << Home ABOUT ME WINDAR, SJ SLEMAN, NGAYOGYAKARTA, INDONESIA I'm a graduate student of the Faculty of Theology in Sanata Dharma University VIEW MY COMPLETE PROFILE PREVIOUS POSTS Georg Lukacs: Menuju Kesadaran Murni Proletar Who has the last word? Strukturalisme dan Analisis Semiotik terhadap Buda... Globalisasi Carl Smitt: Tindakan Kekerasan Filsafat Pendidikan Al-farabi Subscribe to Posts [Atom] Henri Bergson Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Henri Bergson Western Philosophy 20th century philosophy Portrait of Henri Bergson by J.E. Blanche 1891 Nama: Henri-Louis Bergson Lahir: 18 Oktober 1859 Mening 4 Januari 1941 (umur 81) gal: Aliran/t Continental philosophy radisi: Penghargaan Nobel dalam Sastra 1927 Minat Metaphysics, Epistemology,philosophy of utama: language, philosophy of mathematics Gagasan Duration, Intuition, penting: Élan Vital, Open Society Dipenga Kierkegaard, Spinoza, Kant,James, Ravai ruhi: sson, Spencer,Schelling, Maine de Biran Memeng Deleuze, Kazantzakis, Kuki,Merleauaruhi: Ponty, Proust,Whitehead, Vladimir Jankélévitch Henri-Louis Bergson (lahir di Paris, Perancis, 18 Oktober 1859 – meninggal di Paris,Perancis, 4 Januari 1941 pada umur 81 tahun) merupakan seorang filsuf Perancis yang berpengaruh besar terutama pada awal abad ke 20. Ia lahir dari seorang ibu berdarahInggris dan seorang ayah berdarah Yahudi Polandia. Sebagian besar masa produktifnya dihabiskannya sebagai seorang dosen filsafat dan seorang penulis. Bergson pernah memperoleh nobel untuk sastra pada 19 27. Daftar isi [sembunyikan] 1 Karya-karya 2 Akhir Riwayat 3 Pemikiran-pemikirannya o 3.1 Intuisi 4 Pranala luar [sunting]Karya-karya Berikut ini adalah hasil karya Bergson yang terkenal: Waktu dan Kehendak Bebas (1889) Materi dan Memori (1896) Evolusi Kreatif (1907) [sunting]Akhir Riwayat Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, pemikiran Bergson mulai bergeser ke arah religius. Ia bergabung dalam Gereja Katolik Roma tidak lama sebelum kematiannya. Walaupun demikian, hal ini sengaja ditunda dan dirahasiakan, karena ia tidak ingin memberi kesan mengkhianati bangsa Yahudi, sewaktu Perancis masih ada dalam pendudukan Jerman. [sunting]Pemikiran- pemikirannya [sunting]Intuisi Bergson percaya bahwa manusia harus dijelaskan pertama-tama dalam kerangka proses evolutif. Menurutnya, fungsi indra pada makhluk hidup sejak awal bukanlah untuk memberikan gambaran-gambaran dari lingkungannya, melainkan untuk merangsang reaksi-reaksi untuk mempertahankan hidup. Mula-mula organ sensoris, kemudian sistem saraf pusat, lalu akal budi. Itu semua berkembang selama berabad-abad sebagai bagian dari mekanisme pertahanan hidup organisme yang selalu diperlengkapi dengan perilaku. Yang diberikan indra kepada kita bukanlah gambar objektif dari lingkungan kita. Akan tetapi, pesanlah yang menyebabkan kita berperilaku secara tertentu. Pemahaman kita mengenai lingkungan sama sekali tidak secermat foto. Pemahaman kita sangatlah selektif, selalu pragmatis dan terarah pada kepentingan diri sendiri. [sunting]Pranala luar Artikel bertopik biografi tokoh Perancis ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia denganmengembangkannya. l •b•s Prudhomme (1901) · Mommsen (1902) · Bjørnso 1901– (1909) · Heyse (1910) · Maeterlinck (1911) · Ha 1925 Hamsun (1920) · France (1921) · Benavente (192 1926– Deledda (1926) · Bergson (1927) · Undset (1928 1950 Martin du Gard (1937) · Buck (1938) · Sillanpää Lagerkvist (1951) · Mauriac (1952) · Churchill ( 1951– e (1960) · Andrić (1961) · Steinbeck (1962) · Sef 1975 · Solzhenitsyn (1970) · Neruda (1971) · Böll (19 Bellow (1976) · Aleixandre (1977) · Singer (197 1976– Márquez (1982) · Golding (1983) · Seifert(1984) 2000 tt (1992) · Morrison(1993) · Ōe (1994) · Heaney 2001– Naipaul (2001) · Kertész (2002) · Coetzee (2003 kini Clézio (2008) · Müller (2009) ·Llosa (2010) · Tr Templat:Nobel Sastra · Templat:Nobel Fisika · Templ Kategori: Tanggal kelahiran 18 Oktober Kelahiran 1859 Tanggal kematian 4 Januari Kematian 1941 Tokoh Perancis Filsuf Perancis Tokoh Perancis pemenang Hadiah Nobel Pemenang Hadiah Nobel dalam bidang sastra Menu navigasi Buat akun baru Masuk log Halaman Pembicaraan Baca Sunting Versi terdahulu Halaman Utama Perubahan terbaru Peristiwa terkini Halaman baru Halaman sembarang Komunitas Warung Kopi Portal komunitas Bantuan Wikipedia Cetak/ekspor Peralatan Bahasa lain Aragonés ية ال عرب Asturianu Azərbaycanca Беларуская Беларуская (тарашкевіца) Български বাাংলা Bosanski Català Česky Cymraeg Dansk Deutsch Ελληνικά English Esperanto Español Eesti Euskara ف ار سی Suomi Français Gàidhlig Galego עברית हिन्दी Hrvatski Magyar Հայերեն Ilokano Ido Íslenska Italiano 日本語 ქართული Қазақша 한국어 Kurdî Кыргызча Latina Lietuvių Latviešu മലയാളം یاورزای ر Nederlands Norsk (nynorsk) Norsk (bokmål) Occitan Polski Piemontèis Português Română Русский Slovenčina Slovenščina Shqip Српски / srpski Svenska Kiswahili தமிழ் Türkçe Українська اردز Tiếng Việt Volapük Yorùbá 中文 Bân-lâm-gú Halaman ini terakhir diubah pada 02.03, 27 September 2012. Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. Kebijakan privasi Tentang Wikipedia Penyangkalan Tampilan seluler T E O R I D A N P E R I L A K U O R G A N I S A S I M E M P E R O L E H P E N G E T A H U A N D I P E R L U K A N B A K A T D A N K E R I N G A T – L I E K W I L A R D J O Main menu Skip to content HOME ABOUT BEST QUOTES CONTACT US PRIVACY POLICY ROLE MODELS SITEMAP TERM OF USES TA G ARCHIVES: SOREN KIERKEGAARD POSTED ON JANUARY 27, 2012 BY FERRY ROEN 30 KUTIPAN TENTANG VISI Leadership Seorang pemimpin memiliki visi dan keyakinan bahwa mimpi dapat dicapai. Dia menginspirasi kekuatan dan energi untuk menyelesaikannya. - Ralph Lauren Visi yang memuliakan Anda dalam pikiran Anda, ideal yang menobatkan dalam hati Anda, ini akan membangun hidup Anda, dan dengan ini Anda menjadi. - Anonim Kekaisaran masa depan adalah kerajaan pikiran. - Winston Churchill CONTINUE READING → POSTED IN KUTIPAN | TAGGED ABRAHAM LINCOLN, ALVIN TOFFLER, HENRY DAVID THOREAU,HENRY KISSINGER, JONATHAN SWIFT, KEPEMIMPINAN, KUTIPAN, MARK TWAIN, MIMPI, PEMIMPIN,PEPATAH, QUOT ES, RALPH LAUREN, RONALD REAGAN, ROSABETH MOSS KANTER, SOREN KIERKEGAARD, VISI, VISION, WARREN BENNIS, WINSTON CHURCHILL | LEAVE A COMMENT | RECENT POSTS Teori Penguatan Teori Penetapan Tujuan Teori Harapan Teori Keseimbangan Teori Dua Faktor Teori Tiga Motif Sosial Teori ERG Teori Hirarki Kebutuhan SPONSOR RECENT COMMENTS Ferry Roen on Karl Marx: Pertentangan Kelas Dan Struktur Ekonomi Moh Tohir on Karl Marx: Pertentangan Kelas Dan Struktur Ekonomi Ferry Roen on Teori Pertukaran Sosial dan Pilihan Rasional Ratih Juliati on Teori Pertukaran Sosial dan Pilihan Rasional Ferry Roen on Teori Organisasi dan Konteks Sejarah Joe on Teori Organisasi dan Konteks Sejarah Ferry Roen on Harold Garfinkel: Ethnometodology yunus on Harold Garfinkel: Ethnometodology ARCHIVES November 2012 October 2012 September 2012 June 2012 May 2012 April 2012 March 2012 February 2012 January 2012 December 2011 November 2011 October 2011 September 2011 August 2011 July 2011 April 2010 META Log in Entries RSS Comments RSS WordPress.org PROUDLY POWERED BY WORDPRESS | DIGINEWS THEME World’s Masterpiece: Kierkegaard— The Sickness Unto Death By Lucky Natalia April 5th, 2011 | Categories: Books Seri yang satu ini termasuk yang telah terbit pertengahan tahun lalu. Namun, karena kisahnya yang menarik, Jagat Review tergoda untuk tetap mereviewnya walaupun sudah edar di toko buku sejak lama. Seperti seri World’s Masterpiece pada umumnya, seri ini juga dibuat dalam bentuk komik. Seri ini menceritakan filosofi yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard mengenai cara seseorang hidup sebagai seorang individu. Keseluruhan pemikiran Kierkegaard berpusar di psikologi kemanusiaan. Buku ini berkisah mengenai seorang anak bernama Masamichi Aida yang seumur hidupnya diatur oleh ayahnya; bahkan sampai jalan hidup dan “hasil akhir” seorang Masamichi pun sudah ditentukan oleh ayahnya. Kegelisahan Masamichi atas hidup yang dijalaninya ini membuatnya nyaris bunuh diri. Lalu, ia bertemu bibinya, Haruko, yang menceritakan kisah Kiergaard sebagai cerminan kehidupan Masamichi. Kierkegaard adalah seorang anak dari petani miskin yang kemudian menjadi kaya raya karena banting setir menjadi pedagang dan sukses besar. Kierkegaard merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Melihat potensi bakat di diri anaknya, Michael, ayah Kierkegaard, memberikanpendidikan khusus kepadanya; juga kepastian masa depan yang ditentukan olehnya. Memasuki masa kuliah, Soren mengambil jurusan teologi dan filsafat. Di sanalah ia mengenal Friedrich Hegel dan pemikiran-pemikirannya. Pemikiran Hegel mengenai teori idealisme absolut dan dialektika yang menganggap dunia bersifat mutlak sehingga manusia harus mengikuti perubahan dunia untuk dapat “bergerak”. Kierkegaard pun mengajukan teori tangkisan yang menyatakan bahwa kebebasan individu lebih penting dari apa pun. Sedikit banyak pemikiran tersebut imbas dari perjalanan hidup Kierkegaard yang selalu berada di bawah pengaruh ayahnya. Kisah ini tidak berakhir di situ saja. Perjalanan hidup Kierkegaard tidak mulus. Puncaknya terjadi saat ia mengetahui rahasia terbesar ayahnya yang menjadi titik balik pemikirannnya. Lalu, bagaimana dengan Masamichi setelah mendengar kisah tentang Kiergaard? Bagi Anda yang tidak menyukai filsafst karena kebanyakan buku-buku filsafat menggunakan bahasa yang berat dan halaman berjumlah ratusan, seri World’s Masterpiece memang dapat menjadi pilihan yang menarik. Di seri ini, Anda akan mendapatkan penjabaran gamblang mengenai pemikiran Kierkegaard. Cerita ini menjadi menarik karena penyusun buku ini memberikan pondasi cerita berupa permasalahan yang dialami Masamichi yang menuntun pembaca untuk memahami awal mula terbentuknya pemikiran Kierkegaard. Bagi Anda yang sejak dahulu menyukai pemikiran-pemikiran yang diajukan para filsuf dunia, tentunya komik ini akan memberikan jalan baru menuju pemahaman filsafat yang lebih mudah dengan cara yang menyenangkan. Happy reading! Penyusun: Variety Art Works Terbit: Juni 2010 Kategori: Komik Harga: Rp29.800 Jumlah halaman: 220 halaman Penerbit: Elex Media Komputindo NOV 9 SOREN KIERKEGAARD DAN EKSISTENSIALISME Kebebasan dan tanggung jawab adalah tema-tema yang secara kuat diangkat oleh eksistensialisme. Sebagai filsafat yang menjadikan eksistensi manusia sebagai tema sentral, eksistensialisme tumbuh sebagai ragam filsafat manusia yang sangat berkembang terutama setelah Perang Dunia II. Namun, ini bukan berarti eksistensialisme itu baru terwujud sesudah Perang Dunia II, karena Kierkegaard sebagai peletak fondasinya menulis karyanya bahkan sebelum Perang Dunia I. Sebagian karya Heidegger, Jaspers, dan Sartre pun ditulis sebelum Perang Dunia II. Bahkan, terdapat alasan untuk menunjukkan bahwa dasar-dasar eksistensialisme juga ditemukan pada karya tokoh pengarang Rusia, seperti Dostoyevski, atau filsuf Jerman, Nietzsche, padahal keduanya tidak sampai mengalami Perang Dunia I. Eksistensialisme pada abad ke-20 adalah filsafat dan gerakan kesusastraan yang terutama diidentifikasikan pada sejumlah intelektual Perancis, di mana salah satu tokohnya yang terkemuka adalah Jean-Paul Sartre. Eksistensialisme memperoleh pengaruh cukup besar sesudah Perang Dunia II, terutama pada tahun 1945-1955. Perwujudan populer lewat karya-karya kesusastraan dengan tema eksistensialis juga membantu masyarakat untuk menangkap pesanpesan eksistensialisme tersebut. Makin lama, aliran ini tersebar ke seluruh Eropa, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke benua-benua lain. Suasana psikologis masyarakat di Perancis saat itu adalah adanya perang dan pendudukan Perancis oleh Jerman, yang meningkatkan keprihatinan eksistensial tentang tema-tema kebebasan, tanggung jawab, dan kematian. Ada suatu perasaan bahwa individualitas manusia semakin dikaburkan dan ditolak oleh adat-istiadat atau aturanaturan sosial yang umum dari massa. Sehingga muncul perlawanan terhadap determinasi moralitas atau nilai-nilai dari luar, serta penolakan terhadap penekanan yang berlebihan pada rasionalitas dan kemajuan, yang dikedepankan oleh zaman Pencerahan (Enlightenment). Eksistensialisme secara populer diasosiasikan dengan keterkenalan yang dinikmatinya di Paris pada tahun 1940-an, ketika oposisi --terhadap bentuk-bentuk dominasi yang tersirat pada kekuasaan dan ideologi-didiskusikan dan mungkin dihidupkan di suasana khas kafe-kafe dan klub malam Paris. Identifikasi gerakan filosofis dengan gaya hidup itu berumur pendek. Namun, filsafat eksistensialisnya sendiri memiliki implikasi yang lebih luas daripada sekedar revolusi muda yang terkungkung dalam gerakan protes. Akar-akar eksistensialisme bervariasi, dan bisa ditemukan pada karya-karya sejumlah pemikir. Jika para eksistensialis ini secara garis besar harus dibagi dalam dua mazhab, maka mazhab pertama adalah mereka yang theis atau percaya pada Tuhan, sedangkan mazhab kedua adalah mereka yang atheis atau tidak percaya pada Tuhan. Filsuf pertama yang dianggap perintis eksistensialisme dan mewakili mazhab pertama adalah teolog Denmark dari abad ke-19, Søren Kierkegaard (1813-55). Kierkegaard pernah mengagumi filsafat Hegel karena dianggap mampu memberikan jawaban yang sangat mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia, dalam perspektif yang sama sekali baru saat itu. Namun, kemudian Kierkegaard melihat idealisme Hergel itu terlalu abstrak, serta tidak mampu menjangkau kehidupan konkret dan faktual manusia serta permasalahannya. Persoalanpersoalan manusia seperti kebahagiaan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, dan sebagainya harus dicari jawabannya atau maknanya. Namun, persoalanpersoalan seperti itu tidak mungkin diterangkan oleh --atau dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran – Hegel. Kritik Kierkegaard atas idealisme Hegel, teori-teori umum, dan obyektivisme ilmu adalah bahwa pendekatan Hegel itu seperti menganjurkan manusia untuk sekadar menjadi pengamat bisu, yang tidak punya komitmen dan keterlibatan dengan hal-hal yang terjadi di pentas teater dunia. Padahal, sebenarnya manusia adalah aktor yang secara langsung atau tak langsung juga berperan dalam cerita yang dipentaskan di teater tersebut. Dalam kaitan itulah, Kierkegaard berpendapat, subyektivitas merupakan kebenaran pertama, hal mana menjadi dasar bagi eksistensi pribadi. Bahkan, menjadi subyektif adalah tugas bagi setiap manusia. Kierkegaard membela pengalaman subyektif terhadap totalisasi dan obyektivisasi sistem Hegelian. Kierkegaard juga menolak segala bentuk ilmu tentang manusia, jika ilmu-ilmu itu justru mengorbankan individualitas dan keunikan manusia yang dikajinya. Dalam kaitan agama, Kierkegaard beranggapan, kepercayaan pada Tuhan akan selalu melibatkan pilihan individual, suatu ”loncatan iman” individual. Apa yang dilibatkan dalam kehidupan iman tidak dapat disangkal, atau dalam hal ini divalidasi, oleh logika konvensional atau sintesis rasional. Dengan demikian, Kierkegaard praktis menolak pandangan Hegel. Jika filsafat agama secara tradisional berusaha mendamaikan iman dan nalar (rasio), Kierkegaard justru mengambil langkah yang bertentangan dan menegaskan ketidakcocokan antara keduanya. Yakni, ada diskontinuitas mutlak antara yang manusiawi dan yang ilahiah. Perlu diakui bahwa –setidaknya menurut pemahaman superfisial tentang kaum eksistensialis pascaHeidegger-eksistensialisme tampaknya menolak kemungkinan iman. Padahal iman adalah sesuatu yang oleh Kierkegaard –dengan caranya sendiri-- justru dipegang dengan kukuh. Jean-Paul Sartre dan para eksistensialis Perancis lainnya adalah atheis, bahkan sekalipun Merleau-Ponty pernah jadi penganut Katolik. Bagaimanapun, perlu digarisbawahi di sini bahwa Sartre mengisyaratkan, deklarasi atheisme bukanlah komponen yang diperlukan dalam pemikiran eksistensial. Hal ini karena eksistensialisme bukanlah, atau setidaknya bukan dimaksudkan untuk menjadi, metafisika. Eksistensialisme bukanlah upaya metafisis untuk menjelaskan dan mengkategorikan apa itu dunia dan apa yang melampaui dunia, dan karena itu eksistensialisme tidak berusaha membuktikan ada-tidaknya Tuhan. Berbeda dengan Kierkegaard, kaum eksistensialis abad ke-20 umumnya lebih bergairah mengeksplorasi seluruh implikasi dari atheisme yang sempurna, walaupun ada tokoh eksistensialis Katolik ternama, seperti Gabriel Marcel di Perancis, dan tokoh eksistensialis Protestan, Karl Jaspers di Jerman. Eksistensialisme religius dari Kierkegaard, Jaspers, dan Marcel berbeda dengan atheisme yang tegas dari Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus. Meskipun demikian, pada semua tokoh eksistensialis tersebut terdapat asumsi-asumsi esensial tertentu yang sama. Dalam kaitan dengan eksistensialisme, ada tokoh lain yang terkadang disebut, yakni filsuf Jerman ternama, Friedrich Nietzsche (18441900). Nietzsche sangat menaruh perhatian pada masalah moral dan nilai. Memandang bahwa moralitas yang ada di masyarakatnya sering digunakan untuk melayani tujuantujuan yang tidak bermoral, Nietzsche pun menyerukan evaluasi ulang terhadap seluruh nilai-nilai. Ia menegaskan, tidak ada penentu akhir atas nilai-nilai itu di luar pengalaman kepuasan (satisfaction). Penolakan Nietzsche terhadap setiap standar moral yang absolut jelas sangat berpengaruh pada Sartre dan Albert Camus. Namun, kecenderungan Nietzsche untuk menolak bahwa manusia bertindak secara bebas, serta pandangan Nietzsche tentang naturalisme biologis, menempatkannya pada jarak tertentu dari eksistensialisme. Seperti pada Kierkegaard, eksistensialisme juga tumbuh di sejumlah kalangan religius, seperti Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Filsuf asal Jerman, Jaspers (18831969), berusaha mengkombinasikan wawasan-wawasan terbaik Kierkegaard dan Nietzsche, dan memperluas pemikiran mereka ke masalah hubungan antara agama dan sains. Jaspers juga mengangkat tema existenz (eksistensi), yang dapat diringkas sebagai gagasan bahwa tidak ada diri (self) yang tetap atau esensial. Sebaliknya, diri itu hanyalah kemungkinan-kemungkinannya dan apa yang akan menjadi dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Pernyataan bahwa diri itu tidaklah tetap, namun hakikatnya terutama adalah tentang orientasinya ke masa depan, berpengaruh secara langsung terhadap karya Heidegger, dan secara tak langsung pada Sartre, Merleau-Ponty, dan Simone de Beauvoir. Pandangan Jaspers ini bisa dikatakan sampai sekian lama tetap dominan pada pemikiran kontemporer Perancis. Yang lebih penting, Jaspers berpendapat bahwa kondisi existenz, pengungkapan bahwa tidak ada diri apapun yang esensial, akan terungkap dengan sangat jelas pada ”situasi-situasi batas,” termasuk kematian, penderitaan, rasa bersalah, dan –seperti dinyatakan Kierkegaard—situasi keputusan. ketidakpastian Keyakinan bahwa perasaan dan suasana hati tertentu dapat mengungkapkan kebenarankebenaran filosofis tentang struktur dunia, juga memainkan peran yang lebih besar dalam karya Heidegger dan Sartre. Namun bagi Jaspers, penderitaan, rasa bersalah, dan ketidakpastian terjadi ketika terdapat konflik antara situasi menggantung (contingent) dan kebutuhan untuk memilih secara mutlak: dengan kata lain, antara situasi --di mana di dalam dan dari dirinya sendiri tidak terdapat makna inheren-- dengan aspirasiaspirasi manusia. Sementara itu, filsuf Perancis, Gabriel Marcel (1889-1973), memberikan pandangan yang lebih optimistis tentang dunia dan hubungan manusia dengan yang lain, dibandingkan pandangan Sartre, Kierkegaard, dan tokoh-tokoh eksistensialis lainnya. Pada saat yang sama, seperti para eksistensialis lain, Marcel juga menolak pandangan eksklusif teknis terhadap dunia. Arti penting Marcel bagi eksistensialisme terutama adalah upayanya memperkenalkan kembali masalah tubuh (body). Secara historis, banyak tradisi filsafat Barat yang mengecilkan arti tubuh, karena dipandang dapat menyimpangkan kita, dan jelas bahwa tubuh tidaklah seandal pemikiran abstrak. Plato dan Rene Descartes adalah contoh nyata dalam tradisi pemikiran ini. Walaupun isu tubuh dalam karya Heidegger itu rumit, cukup aman untuk mengatakan bahwa seluruh pemikir eksistensialis abad ke-20 menekankan pentingnya pengalaman yang kita jalani dan menubuh (embodied experience), serta pentingnya relasi perseptual terhadap dunia. Bahkan, sekalipun mereka tidak sepakat satu dengan yang lain tentang bagaimana persisnya bentuk hubungan tersebut. Penekanan pada pengalaman yang menubuh ini juga melibatkan penekanan pada seksualitas. Bahkan sebelum Simone de Beauvoir menulis karyanya yang monumental, The Second Sex (1949), Sartre dan Merleau-Ponty telah menulis sejumlah karya tentang seksualitas. Sementara itu, novelis, dramawan, dan filsuf Perancis, Albert Camus (1913-60), tidak sering disinggung dalam pengajaran eksistensialisme dewasa ini. Walaupun selalu membantah bahwa dirinya adalah seorang eksistensialis, Camus selalu diasosiasikan dengan sebutan itu. Dalam bukunya The Myth of Sisyphus (1942), Camus tidak memfokuskan diri pada masalah-masalah yang terkait dengan isu kebebasan, tetapi menekankan pada hakikat absurd dari eksistensi, bagaimana manusia menanganinya, dan bagaimana meneruskan kehidupan. Camus merujuk absurditas sebagai jurang antara apa yang diharapkan manusia dalam kehidupan dan apa yang mereka benar-benar temukan. Individu-individu yang mencari ketertiban, harmoni dan bahkan kesempurnaan, menurut Camus, tidak bisa menemukan bukti bahwa hal-hal yang diharapkannya itu eksis. Figur lain yang menonjol dalam hubungan dengan eksistensialisme adalah filsuf Jerman, Martin Heidegger (1889-1976). Hubungan Heidegger dengan eksistensialisme menjadi isu yang agak kontroversial, bukan hanya karena kritiknya --dalam esei Letter on Humanism (1945)-terhadap fokus Sartre tentang kesadaran dan subyektivitas, tetapi juga karena beberapa perbedaan filosofis substantif antara proyek Heidegger dengan tokoh-tokoh filsuf Perancis saat itu. Pada saat yang sama, tak perlu diragukan begitu besarnya pengaruh Heidegger pada eksistensialisme. Bahkan faktanya, pemahaman yang memadai tentang eksistensialisme tidaklah dimungkinkan tanpa sedikitnya mengulas karya Heidegger, Sein und Zeit (Being and Time, 1927). Karya Heidegger itu dan karya Sartre L'Être et le néant (Being and Nothingness, 1943) mungkin adalah karya eksistensialis yang paling banyak dikenal pada abad ke-20. Tak satu pun dari karya-karya itu yang mendiskusikan eksistensi manusia dalam arti yang biasa. Sebagian besar ”analisis eksistensial” Heidegger dalam Being and Time menangani analisis tentang bagaimana manusia secara tak terhindarkan terperangkap dan terseret ke dalam banalitas sehari-hari (kejatuhan dan ketidakotentisitasan). Juga, untuk mengungkapkan gerakan yang berlawanan, di mana anonimitas ini diekspos sebagaimana apa adanya, dan kita secara radikal diindividualisasikan lewat pengalaman kecemasan (anxiety), ketika kita dipaksa untuk membuat keputusan yang sulit, atau ketika berkonfrontasi dengan kemungkinan kematian kita sendiri (otentisitas). Di sini terlihat adanya hubungan yang jelas terhadap konsep Jaspers tentang situasi-situasi batas, walau hal ini tidak diakui Heidegger. (Dikutip dari berbagai sumber) Posted 9th November 2010 by Satrio Arismunandar 0 Add a comment S a t r i o A r i s m u n a n d a r - J a n g a n T u n g g u L a g i , B a n g k i t l a h I n d o n e s i a ! S o b a t , b l o g s e d e r h a n a i n i b e r i s i b e r b a g a i k a r y a s a y a , s e l a k u j u r n a l i s , d o s e n i l m u k o m u n i k a s i , p r a k t i s i m e d i a , m a u p u n p r i b a d i . M a k a , i s i n y a p u n b e r v a r i a s i . M u l a i d a r i a r t i k e l d i m e d i a , m a t e r i k u l i a h y a n g s a y a a j a r k a n d i k a m p u s , m a k a l a h y a n g d i p r e s e n t a s i k a n d i s e j u m l a h t r a i n i n g , s a m p a i f i k s i y a n g b e r n a p a s k a n p r i b a d i . . . . S e m o g a a d a m a n f a a t n y a b u a t s i a p a p u n y a n g m a m p i r d i b l o g i n i . . . K a r y a y a n g t i d a k m e m b e r i m a n f a a t s e d i k i t p u n b a g i o r a n g l a i n , a d a l a h s e b u a h k e s i a - s i a a n . . . Magazine Home DEC 13 Kebebasan Pers dan Penerapan Perda Syariat di Aceh Pengantar Setelah gerakan reformasi Mei 1998 menjatuhkan rezim Orde Baru yang otoriter, rakyat menikmati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang sangat besar. Tidak ada lagi hambatan perizinan untuk menerbitkan surat kabar dan majalah. Tidak ada lagi ancaman penyensoran dan pembreidelan, yang sebelumnya menjadi momok bagi pekerja media. Jumlah stasiun TV swasta, yang melakukan siaran dari Jakarta dan berbagai kota di daerah, juga bertambah secara drastis. Selain di bidang media, banyak aspirasi rakyat lain --yang sekian lama teredam-akhirnya muncul ke permukaan. Era reformasi membuka jalan bagi desentralisasi kekuasaan, lewat otonomi daerah yang lebih besar. JUN 1 Urutan Langkah dalam Membuat TKA (Tugas Karya Akhir) Broadcasting di Ilmu Komunikasi FISIP UI Kadang-kadang ada mahasiswa broadcasting yang mau main cepat dalam membuat TKA (tugas karya akhir). Ini kasus di Ilmu komunikasi FISIP UI, di mana saya sering diserahi tugas sebagai pembimbing TKA. Persoalannya adalah si mahasiswa yang sedang membuat TKA tidak secara step by step berkonsultasi dengan saya. Tahu-tahu saya disodori TKA yang sudah jadi. Tetapi, TKA itu seumpama masakan yang sudah terlanjur jadi. APR 12 Usulan Perkuliahan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Bidang Pendidikan Usulan Perkuliahan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Bidang Pendidikan Usulan 1: Tiap kelompok ditugaskan membuat blog bersama, dengan menggunakan fasilitas blog gratis yang tersedia di pasar (misalnya: Wordpress.com, Blogger.com). Dalam blog ini, seluruh karya perorangan dan kelompok yang sudah pernah dibuat, bisa dimasukkan. Namun, bukan cuma konten. Kelompok juga harus ”menghias” blog-nya agar secara visual menarik. APR 12 Perencanaan Strategik dan Implementasinya pada Pendidikan Nasional di Indonesia Pendahuluan Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa, mencapai sekitar 235 juta dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. 2 MAR 17 Korlip dan Korda Trans TV: Ujung Tombak yang Harus Tajam Apa sih yang membedakan satu stasiun TV dengan stasiun TV lain? Filmnya, sinetronnya, program musiknya, ataukah program komedinya? Jawabannya: bukan semua itu. Karena, yang secara mendasar membedakan sebuah stasiun TV dengan stasiun TV lainnya adalah pemberitaannya (news). Asalkan punya cukup uang, setiap stasiun TV bisa membeli program film, sinetron, musik, komedi, atau kuliner dari mana saja. Sehingga tidak ada bedanya, menonton film Tom Cruise di RCTI atau di Trans TV. 1 MAR 13 Renungan Kehidupan - Jika Usia Anda Sudah di Atas 50 Tahun Sesuatu yang sudah terbiasa akan dirasakan sebagai biasa-biasa saja. Begitulah hidup kita. Orang umumnya abai tentang hidupnya sendiri. Orang sibuk mengejar hal-hal di luar dirinya: kekayaan, jabatan, pangkat, kekuasaan, perempuan (seks), ketenaran, dan lainlain. Tetapi orang abai terhadap hakikat dirinya, tentang batinnya, tentang jiwanya. MAR 9 KOES PLUS - Riwayat Trans TV, Minggu 11 Maret 2012, Pkl.13.00 WIB KOES PLUS – Grup Musik Legendaris Indonesia Saksikan di RIWAYAT, Trans TV, Minggu, 11 Maret 2012, pukul 13.00 WIB Bicara tentang sejarah musik pop Indonesia, tidak mungkin tanpa menyebut Koes Plus. Koes Plus adalah grup musik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1969, sebagai kelanjutan dari Koes Bersaudara. Grup musik yang terkenal pada dasawarsa 1970-an ini sering dianggap sebagai pelopor musik pop dan rock 'n roll di Indonesia. MAR 2 Essay - Terharu Menonton Stairway to Heaven (Drama Korea) Di hari libur, saya sempat nonton drama Korea, Stairway to Heaven. Kisahnya mengharukan banget. Para pemainnya berakting total. Cara menggambarkan kisahnya halus, nggak kaya sinetron Indonesia. Berkisah tentang percintaan anak seorang konglomerat dengan gadis yang dicintainya sejak kecil. Percintaan mereka menghadapi banyak hambatan. Si gadis sempat mengalami amnesia karena ditabrak oleh saudara tirinya yang ingin merebut sang pacar. si gadis juga sempat buta dan mengidap kanker mematikan. MAR 2 PERAN MEDIA MASSA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA Oleh Satrio Arismunandar Makalah sebagai masukan dalam Pertemuan Terbatas Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa, 28 Februari 2012, di Kantor Wantimpres, Jl. Veteran III, Jakarta Pusat. Tulisan ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili pandangan institusi Trans TV. Pengantar Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi ekonomi Indonesia secara makro telah makin membaik. MAR 2 SEPENGGAL SEJARAH Program Dokumenter News Trans TV, yang Direkomendasikan Remotivi untuk Maret 2012 SEPENGGAL SEJARAH adalah program dokumenter karya Divisi News Trans TV, yang direkomendasikan oleh Remotivi untuk bulan Maret 2012 ini. Sepenggal sejarah adalah tayangan dokumenter mengenai peristiwa terkait tokoh-tokoh, artis, pemusik, olahragawan, penemu terkenal, dan penemuan berbagai hal yang mengubah dunia. Program ini berdurasi tiga puluh menit dengan tiga segmen. Loading Send feedback Hubungan antara Teori Kritis dan Marxisme OPINI | 08 August 2012 | 08:17 Dibaca: 974 Komentar: 2 1 bermanfaat Teori Kritis adalah filsafat yang dipraktekkan dalam Mazhab Frankfurt (Bertens,2006:196). Penentuan posisi teori kritis dalam rangka sejarah filsafat mengharuskan ditentukannya tiga faktor pengaruh teori ini. Ketiga faktor itu adalah pemikiran Hegel, pemikiran Marx, dan pemikiran Freud. Unsur paling dominan dari ketiga faktor dimaksud dalam tubuh teori kritis adalah unsur filsafat Karl Marx, sehingga tidak jarang kepada teori kritis disematkan label “neomarxisme”. Meski demikian, para pemikir Mazhab Frankfurt memandang Marx dari cara yang berbeda. Marx dipahami Mazhab Frankfurt sebagai kelanjutan filsafat Hegel. Mikroskop pemikiran Mazhab Frankfurt memposisikan Marx sebagai sayap kiri pemikiran Hegel. Objek kajian Mazhab Frankfurt terhadap Marx adalah tulisan-tulisan awal Marx yang dikenal dengan “karangan-karangan Marx muda” atau juga disebut “naskah-naskah dari Paris”. Pada karangan Marx muda, nampak jelas hubungan antara Marx dan Hegel. Marxisme sendiri adalah pemikiran filosofis Karl Marx. Anthony Giddens (1986:xvii) mencatat bahwa istilah Marxisme menjadi begitu populer justru sebagai hasil pekerjaan Engels. Engels menyediakan sebuah basis pemikiran yang disebutnya materialisme filsafat yang kemudian menjadi terkenal dengan nama marxisme. Dalam bahasa Giddens :”…Marxisme, menyediakan suatu kerangka teori bagi Demokrasi Sosial, yang membiarkan dan membenarkan adanya perbedaan besar antara teori dan praktek”. Tetapi pekerjaan besar Karl Marx dalam filsafatnya adalah roh marxisme. Tema-tema yang diangkat Marx dalam filsafatnya (Giddens, 1996:23-25) adalah (a) kondisi “swa-penciptaan” (self-creation) yang menunjukan adanya manusia progresif: sebuah konsep yang dipinjam Marx dari Hegel; (b) gagasan tentang keterasingan atau alianasi; (c) kritik terhadap negara; (d) dasar-dasar utama materialisme sejarah; (e) suatu konsep ringkas tentang teori Praksis yang revolusioner. Hubungan antara Teori Kritis dan Marxisme digambarkan secara gamblang oleh Bertens (2006:194-5) dengan kalimat :”Oleh karenanya Institut Penelitian ini tidak mau tergantung pada universitas Frankfurt, yang pada saat itu masih muda, biarpun beberapa anggotanya mengajar di universitas tersebut. Kebanyakan anggotanya merasa simpati kepada marxisme dan beberapa diantaranya menjadi anggota partai komunis Jerman…” Para pemikir Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Friedrich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, Theodor W.Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas menyimpan jiwa Marxisme dalam filsafat mereka. Kritik Jurgen Habermas pada positivisme misalnya menampakan dengan jelas ciri pemikiran Marx tentang ilmu pengetahuan kritis. Habermas mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tidak semata-mata dalam hubungan antara dirinya dengan kenyataan yang netral. Kenyataan selalu dilekatkan dengan kepentingan. Habermas mengajukan tesis tentang Erkenntnisleitende Interesse atau kepentingan yang menjuruskan pengenalan. Dalam hal ini ada tiga macam kepentingan : (a) kepentingan pengenalan teknis, (b) kepentingan pengenalan praktis, dan (c) kepentingan pengenalan emansipatoris. Bertens (2006:243) mencatat dengan jelas ketiga jenis kepentingan pengenalan itu. Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan teknis dapat ditemukan dalam ilmu alam dan ilmu sosial teknis. Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan praktis ditemukan dalam ilmu sejarah, ilmu komunikasi dan ilmu hermeneutis. Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan emansipatoris dapat ditemukan dalam psikoanalisis dan teori-teori kritis tentang masyarakat. Dialektika Hegel (Thesis, AntiThesis, Sintesis): Ritme Tiga Hentakan Proses Sosial Yang Cukup Melenakan Diterbitkan Sabtu, 9 Juni 2007 Tak Berkategori 34 Komentar Kaitkata:artikel, diri, dunia, filsafat, hidup, ma nusia, masyarakat, orang, pemikiran,politik, s osial Dialektika Hegel saya rasa cukup dikenal di kalangan para pecinta Ilmu ilmu sosial. Sebagai sebuah doktrin yang cukup mampu bertahan dan diikuti oleh banyak orang dialektika Hegel ibarat sebuah teori Newton yang diamini dan dianggukki oleh sosiolog maupun pemerhati sosial yang lainnya. Ketika menjelaskan atau berusaha menerangkan tentang proses-proses sosial, dialektika hegel ini selalu saja banyak dicopot dan dijadikan sebuah penjelasan. Proses sosial memang sepertinya bekerja seperti dialektika Hegel ini, namun bagi saya Dialektika Hegel cukup melenakan dan menjauhkan atas kekomplekan apa yang terjadi sebenarnya. Doktrin ini melemahkan, menyempitkan dan menyederhanakan realita Proses Sosial yang ada. Doktrin Hegel ini memang cukup menarik dan cukup memberikan suatu penjelasan yang keliatannya rasional. Dikembangkan dari filsafatnya Kant yang tertulis di Critique of Pure Reason, Dialektika Hegel kemudian mereduksi dan mengembangkan cirinya sendiri. Sebagai sebuah penjelasan atas proses-proses tertentu, dialektika itu sendiri sudah jauh dari apa yang dimaksudkan oleh Kant. Dialektik terdiri dari Ritme Tiga Hentakan: Thesis, AntiThesis dan Sintesis. Thesis dan Anti Thesis dikembangkan oleh hegel dari Antinomiantinominya Kant yang notabene membahas mengenai batas-batas dari rasionalitas kita atau merupakan kritik atas rasionalitas kita (Critique of Pure Reason) yang mengatakan bahwa kita tidak akan mampu memahami sesuatu yang sifatnya seperti ketakberhinggaan dan bersifat dua kutub, bipolar. Kita akan selalu menemui jalan buntu (antinomi) yang berlawanan satu sama lain ketika berusaha memahami semisal waktu atau ruang. Silahkan search tulisan saya yang lain mengenai Antinomi Kant soal waktu dan ruang ini. Akan tetapi Hegel mengambil jalan lain. Sembari mengatakan bahwa Kant memang benar bahwa dalam banyak hal di kehidupan kita adalah merukpakan antinomi-antinomi akan tetapi diantara dua buah kutub tersebut bisa muncul gabungan dari dua kutub tersebut. Dalam hal ini sebenarnya Hegel membuat antinomi Kant menjadi melebar dan menyentuh apa yang sebenarnya tidak ingin dikatakan oleh Kant. Hegel kemudian mengadopsi antinomi Kant ini dalam sebuah doktrin Dialektika Sosialnya. Thesis, merupakan sesuatu yang pada dasarnya berkebalikan dengan AntiThesis. Dalam sebuah ide AntiThesis merupakan lawan atau kutub yang berkebalikan dengan Thesis. Pro dan Kontra istilahnya. Namun ketika Thesis dan AntiThesis ini bergejolak dan bertemu di dunia nyata maka suatu saat akan timbul hal baru yang merupakan akomodasi atau hasil-hasil dari benturan keduanya (entah itu kompromi, win-win solution, perjanjian, atau ide2 baru, dan semua proses sosial atau budaya baru) yang ia sebut sebagai Sintesis. Sintesis kemudian bisa menjadi Thesis dan kemudian menemukan AntiThesisnya dan melahirkan Sintesis baru. Demikian seterusnya. Setidaknya menurut Hegel Dialektika ini merupakan sebuah proses yang mati. Istilah kerennya Dialektika ini adalah Hukum Sosial yang berlaku untuk semua waktu dan semua tempat. Kalau dalam Fisika atau ilmu dikenal dengan Hukum Newton maka Dialektikanya ini merupakan Hukum Sosialnya. Seluruh Proses Sosial kemasyarakatan merupakan proses yang pada dasarnya berdialektika seperti ini, demikian kata Hegel. Tentunya ini merupakan dukungan dari Ide Sosial yang ia sebut sebagai Roh Masyarakat (Zeitgeis kalau tidak salah, tolong dikoreksi ya). Akan tetapi sebagai sebuah doktrin yang sudah mengurat akar di kalangan sosial (saya kok yakin setiap ilmuan sosial mengenal bahkan sering meyakini Doktrin ini), jika dianggap sebagai sebuah keimanan, hal ini akan membahayakan dan merupakan kekeliruan atau penyederhanaan yang berlebihan. Kecenderugan Historisis dalam Dialektika ini sangatlah tinggi. Seperti Kehendak Hukum Tuhan mungkin. Ah, saya juga tidak begitu mengerti. Tolong dikoreksi dan dibantah jika saya keliru dalam memahaminya. Salam Penuh Tanya Haqiqie Suluh Teori Hegel Dialektika Hegel George Wilhein Friederich Hegel ( GWF Hegel ) ( 1770 – 1831 ) , merupakan filsuf dari Jerman . Dia sangat terkenal dalam dunia ilmu social , karena melahirkan teori yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan social / kehidupan masyarakat. GWF Hegel dalam membahas teorinya , berpedoman pada 3 tokoh ilmuwan besar yang sekaligus mengilhami teori yang dilahirkannya . Ke 3 ( tiga ) ilmuwan tersebut , adalah : 1. Immanuel Kant . 2. Johan Gottlieb Fichte . 3. Friedrich Wilhelm Joseph Schelling . === Prinsip yang melandasi teori Hegel . GWF Hegel dalam membangun teorinya , selalu berpedoman pada 3 ( tiga ) ilmuwan besar tersebut di Atas , sehingga Hegel dalam menciptakan dan membangun teorinya , berpedoman pada prinsip - prinsip sebagai berikut : 1. IDEALISME . Berdasarkan prinsip ini , Hegel membangun teorinya dengan mengutamakan pemikiran yang mengutamakan ide / gagasan , sehingga ide dan gagasan itu merupakan sumber kebenaran . 2. ROH MUTLAK . Pada prinsip ini , Hegel menjunjung tinggi adanya kebebasan / ketidakterikatan dan melahirkan konsepsi social , politik dalam suatu negara . Prinsip Roh Mutlak , dipakai Hegel berdasarkan pendekatan Filsafat , Agama dan Seni . 3. ESSENSIALISME . Prinsip ini menjelaskan bahwa pendidikan itu didasarkan pada nilai – nilai kebudayaan yang telah ada , sehingga dapat memberikan kestabilan dan nilai – nilai terpilih yang punya tata / ketentuan yang jelas . 4. REALISME . Prinip ini menjelaskan bahwa pendidikan itu didasarkan pada kenyataan – kenyataan yang ada ( nyata / realis ) . Hasil Pemikiran Hegel . Hegel sebagai filsuf besar dari Jerman , menghasilkan teori yang dikenal dengan istilah DIALEKTIKA HEGEL . Teori ini lahir berdasarkan 3 komponen , yatu filsafat Agama , Seni dan lahir berdasarkan prisnsip idealisme dan roh mutlak . Teori Dialektika Hegel itu , adalah : 1. THESIS . Teori ini didasarkan pada adanya ide / gagasan . Artinya : Suatu pernyataan / pendapat yang diungkapkan untuk suatu keadaan tertentu Contoh : Tanah ini basah karena hujan . Perutku kenyang karena sudah makan . 2. ANTITHESIS . Teori ini berdasarkan pada alam / Natura Artinya : Suatu pernyataan / pendapat yang menyanggah terhadap suatu pernyataan atau suatu pendapat . Contoh : Hari ini tidak hujan . 3. SINTESA . Dialektika ini ada berdasarkan ROH MUTLAK . Artinya : Suatu pernyataan / pendapat berdasarkan rangkuman yang mennggabungkan dua pernyataan yang berlawanan , sehingga muncul pernyataan / pendapat yang baru . Contoh : Oleh kaena hari ini tidak hujan , maka tanah ini tidak basah kena hujan .