TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PAKET WISATA ANTARA SMK BINA TEKNOLOGI PURWOKERTO DENGAN BIRO PERJALANAN WISATA CV. TRISTA ALFA WISATA SKRIPSI Oleh: INTAN NUR LATIFAH E1A006079 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PAKET WISATA ANTARA SMK BINA TEKNOLOGI PURWOKERTO DENGAN BIRO PERJALANAN WISATA CV. TRISTA ALVA WISATA SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : INTAN NUR LATIFAH E1A006079 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 Latar Belakang Lembar Pengesahan Skripsi TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PAKET WISATA ANTARA SMK BINA TEKNOLOGI PURWOKERTO DENGAN BIRO PERJALANAN WISATA CV. TRISTA ALVA WISATA. Disusun Oleh : INTAN NUR LATIFAH E1A006079 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal Februari 2012 Pembimbing I Pembimbing II Penguji Edi Waluyo, SH.,MH. Nur Wakhid,SH.,MH. Budiman Setyo Haryanto,SH.,MH. 19581222 198810 1 001 19621225 198903 1 003 19630620 198901 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. Rochani Urip Salami,SH.,MS. NIP.19520603 198003 2 001 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama : INTAN NUR LATIFAH NIM : E1A006079 Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PAKET WISATA ANTARA SMK BINA TEKNOLOGI PURWOKERTO DENGAN BIRO PERJALANAN WISATA CV.TRISTA ALVA WISATA. Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, Februari 2012 Intan Nur Latifah E1A006079 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PAKET WISATA ANTARA SMK BINA TEKNOLOGI PURWOKERTO DENGAN BIRO PERJALANAN WISATA CV. TRISTA ALVA WISATA. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Edi Waluyo,S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan, waktu dan masukan selama penulisan skripsi ini. 3. Bapak Nur Wakhid,S.H.,M.H., selaku dosen Pembimbing II Skripsi, atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 4. Bapak Budiman Setyo Haryanto, S.H.,M.H., Selaku dosen penguji Skripsi yang telah memberi saran dan perbaikan pada skripsi penulis. 5. Bapak Edi Waluyo, S.H.,M.H., selaku Kepala Bagian Hukum Keperdataan atas semua bantuannya. 6. Bapak Saryono Hanadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas kebaikannya kepada penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum. 7. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 8. Ibu Dewi Paraswati S.E,S.H., yang telah meluangkan waktu untuk membagi ilmunya dalam penelitian penulis di CV.Trista Alva Wisata Purwokerto. 9. Kedua orang tua, adik dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan selalu memberi semangat kepada penulis. 10. Teman-teman penulis dimanapun yang selalu memberi dukungan. 11. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Purwokerto, 20 Februari 2012 Intan Nur Latifah E1A006079 ABSTRAK Perjalanan wisata,” atau “pariwisata” atau “Tour,” yaitu perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perjalanan wisata atau pariwisata atau tour selalu dilakukan untuk mengunjungi “obyek wisata” atau “atraksi wisata,” yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Biro Perjalanan Wisata merupakan sarana yang dibutuhkan orang dalam melakukan perjalanan wisata karena memberikan keuntungan yaitu menghemat biaya, menghemat waktu, memberikan informasi yang lengkap dan dapat dipercaya menjamin keamanan selama berlangsungnya perjalanan wisata. Perjanjian Paket Wisata dimana Biro Perjalanan Wisata mengikatkan diri untuk melakukan jasa-jasa atau pekerjaan pengangkutan, akomodasi, makan/minum dan menikmati obyek dan atau atraksi wisata dalam rangka penyelenggaraan wisata, dan pihak yang lain untuk membayar upah yang telah dijanjikan.” Kata Kunci : 1. Perjalanan Wisata 2. Biro Perjalanan Wisata 3. Perjanjian Paket Wisata, ABSTRACT Travel, "or" tourism "or" Tour, "the journey or part of these activities are carried out voluntarily and to enjoy the temporary objects and attractions. This indicates that the activities of a travel or tourism or to visit the tour is always done "tourist attraction" or "tourist attraction", ie everything that appeals to people to visit a particular area Travel Bureau is a tool that takes people in the leisure traveler as it gives the advantage of saving costs, save time, provide complete and reliable guarantee security during the trip. Agreement Package Travel Agency which committed themselves to perform the services or work transport, accommodation, food / drink and enjoy the object and or tourist attractions in the course of the tour, and the other party to pay the promised wages. " Key word :1. Travel tourism 2. Travel bureau 3. Agreement Package Travel Agency. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia mulai melakukan perjalanan sejak berada di planet bumi ini. Secara sederhana perjalanan dapat diartikan sebagai suatu aktivitas seseorang yang berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai tujuan atas perpindahan tersebut. Dari suatu perjalanan akan mengakibatkan adanya dimensi perjalanan, yaitu jarak dari perjalanan, tempat asal dari orang yang melakukan perjalanan, tempat tujuan dari perjalanan dan lamanya tinggal ditempat tujuan. Sedangkan suatu perjalanan baru dapat dilaksanakan apabila timbul keinginan untuk mengadakan perjalanan, mempunyai biaya untuk mengadakan perjalanan dan tersedianya waktu untuk mengadakan perjalanan.1 Banyak bentuk-bentuk kegiatan perjalanan yang dilakukan orang, apabila kegiatan perjalanan mempunyai ciri-ciri bersifat santai, gembira, dan untuk bersenang-senang, perjalanan yang demikian disebut ”perjalanan wisata,” atau yang kini populer lazim disebut “pariwisata” atau “Tour” (dalam istilah kata bahasa Inggris). Orang yang melakukan perjalanan wisata disebut “wisatawan.” Oka A Yoeti mengemukakan ada empat kriteria suatu perjalanan dapat dikategorikan sebagai ”perjalanan wisata,” atau “pariwisata” atau “Tour,” yaitu : pertama perjalanan itu tujuannya semata-mata untuk bersenang-senang; kedua perjalanan itu harus dilakukan dari suatu tempat di mana orang itu tinggal 1 http: //www.google.co.id/search=kepariwisataanIndonesia/.Dari Internet, diakses tanggal 17 Desember 2011 berdiam, ke tempat lain yang bukan kota atau negara di mana ia biasa tinggal; ketiga, Perjalanan itu dilakukan minimal selama 24 jam; keempat, perjalanan itu tidak dikaitkan dengan mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan orang yang melakukan perjalanan itu semata-mata sebagai konsumen di tempat yang dikunjungi.2 Tercatat dalam sejarah bangsa yang pertama dianggap sebagai orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bersenang-senang (travel for plesasure) adalah bangsa Romawi. Pada waktu mereka telah melakukan perjalanan beratusratus mil dengan menunggang kuda untuk melihat candi-candi dan piramid peninggalan Mesir kuno. Pada saat itu Yunani di Asia Kecil sudah dianggap sebagai daerah tujuan wisata yang populer seperti halnya daerah-daerah di bagian Timur Laut Tengah lainnya. Bangsa Romawi dalam melakukan perjalanan ke Yunani, selain untuk menyaksikan pertandingan olahraga Olympiade, mereka juga mencari sumber-sumber air panas untuk tujuan kesehatan. Dalam perjalanan tersebut mereka juga menyaksikan atraksi kesenian rakyat dan festival yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat-tempat peristirahatan di mana mereka menginap.3 Berdasarkan fenomena tersebut Fandeli memberikan definisi yang luas tentang ”perjalanan wisata,” atau “pariwisata” atau “Tour,” yaitu perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.4 Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perjalanan wisata atau pariwisata atau tour selalu dilakukan untuk 2 Oka A Yoeti, 2006. Ilmu Pariwisata, Sejarah, Perkembangan dan Prospeknya, PT. Perca, hal. 10. 3 Oka A Yoeti, 1987, Pengantar Ilmu Pariwisata, Angkasa, Bandung, hal. 3. 4 http://fielduphly.multiply.com/journal/item/6. Diakses yanggal 15 Desember 2011. mengunjungi “obyek wisata” atau “atraksi wisata,” yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Obyek wisata atau atraksi wisata yang dapat menarik orang untuk berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata pada pinsipnya harus memenuhi tiga persyaratan yaitu ada yang dilihat (something to see), ada yang dikerjakan (something to do) dan ada yang dibeli (something to buy), diantaranya5 : 1. Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta (Natural Amenities), meliputi Iklim, misalnya cuaca cerah banyak cahaya matahari, sejuk, panas, hujan, dan sebagainya; Fauna dan flora seperti tanaman-tanaman yang aneh (uncommon vegetation), burung-burung, ikan, binatang buas (wild life), taman nasional (national park), daerah perburuan dan sebagainya; Pusat-pusat kesehatan (health center), sumber air mineral (natural spring of mineral water), sumber air panas (hot spring). 2. Hasil ciptaan manusia (man-made suppty) yaitu benda-benda yang bersejarah, kebudayaan dan keagamaan, seperti monumen bersejarah, dan sisa peradaban masa lampau, museum, art gallery, perpustakaan, kesenian rakyat, handi craft, Acara tradisional, pameran, festival, upacara perkawinan dan lain-lain, Rumah-rumah beribadah, seperti mesjid, gereja, kuil atau candi maupun pura. 3. Tata Cara Hidup Masyarakat (The way of life) tradisional dari suatu masyarakat merupakan salah satu sumber yang amat panting untuk ditawarkan kepada para masyarakat. Hal semacam ini sudah terbukti, 5 http:// www.google.co.id//pengertian pariwisata secara umum dan source//, Diakses yanggal 15 Desember 2011. betapa besar pengaruhnya dalam bidang ekonomi sehingga dapat dijadikan events yang dijual. Contoh yang terkenal diantarannya adalah pembakaran mayat (ngaben) di Bali, upacara pemakaman mayat di Tanah Toraja, upacara Batagak penghulu di Minangkabau I, upacara khitanan di daerah Parahyangan, upacara Sekaten di Yogyakarta, upacara Waisyak di Candi mendut dan Borobudur. (Sesuatu disebut “obyek wisata,” bila untuk melihat obyek itu tidak ada kesiapan dilakukan terlebih dahulu, tanpa bantuan orang lain misalnya : pemandangan, gunung, danau, lembah dan lain-lain sedangkan disebut “atraksi wisata” ialah sesuatu yang dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat, dinikmati, dan yang termasuk dalam hal ini : tari-tarian, nyanyian, kesenian rakyat tradisonal, upacara adat dan lain-lain). Sesuai dengan potensi yang dimiliki atau warisan yang ditinggalkan nenek moyang pada suatu daerah, maka timbulah bermacam-macam jenis pariwisata berdasarkan obyeknya diantaranya6 : 1. Wisata Budaya (Cultural Tourism), yaitu jenis wisata di mana motivasi orang untuk melakukan perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik seni budaya suatu tempat yang merupakan warisan nenek moyang dan benda-benda kuno. Biasanya perjalanan semacam ini pengunjung diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan kebudayaan. 2. Wisata Kebudayaan (Recuperasional Tourism), yaitu jenis wisata di mana motivasi orang untuk melakukan perjalanan untuk menyembuhkan penyakit, seperti mandi di sumber air panas, mandi lumpur atau mandi susu (Eropa) atau mandi kopi (Jepang). 6 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 116. 3. Wisata Perdagangan (Commercial Torism), yaitu perjalanan wisata yang dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional atau internasional pada umumnya berupa kegiatan expo, fair atau exhibition. 4. Wisata Olah Raga (Sport Tourism), yaitu jenis wisata di mana tujuan perjalanan adalah untuk melihat atau menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu tempat atau Negara tertentu seperti Olympiade, All England, pertandingan tinju, sepak bola. Atau ikut berpartipasi dalam kegiatan itu sendiri. 5. Wisata Keagamaan (Religion Tourism), yaitu jenis wisata di mana tujuan perjalanan yang dilakukan adalah untuk melihat atau menyaksikan upacara-upacara keagamaan, seperti kunjungan ke Lourders bagi yang beragama Katolik, atau ke Muntilan pusat pengembangan agama Kristen di Jawa Tengah, ikut Umroh atau Haji bagi orang Islam atau upacara Agama Hindu di Sakenan Bali. 6. Wisata Industri (Industrial Tourism), yaitu jenis perjalanan wisata yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau mahasiswa atau orang awam ke suatu kompleks atau daerah perindustrian, dimana terdapat pabrik-pabrik atau bengkel-bengkel besar dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau penelitian. Apapun jenis “perjalanan wisata” atau “pariwisata” atau “Tour” tersebut pada hakikatnya adalah peristiwa “perpindahan” orang dari tempat dimana biasa tinggal ke tempat tujuan wisata dan sebaliknya, yang hanya akan terjadi karena adanya fasilitas “pengangkutan” (transportasi), karena pengangkutan (transportasi) lah yang dapat menggerakkan orang dari satu daerah ke daerah lain, dari satu kota ke kota lain atau dari suatu Negara ke Negara lain. Tidak dapat disangkal lagi bahwa fungsi utama pengangkutan (transportasi) sangat erat hubungannya dengan accessibility, dalam arti frekuensi penggunaannya dan kecepatannya menjadikan jarak yang jauh, bahkan harus menyeberangi sungai, laut atau samudra, sehingga tidak mungkin dilakukan dengan berjalan kaki, seolah-olah menjadi dekat, sehingga mempersingkat waktu dan memudahkan orang untuk mengunjungi suatu daerah tujuan wisata. Dalam kepariwisataan dikenal tiga macam pengangkutan (transportasi) yaitu pengangkutan laut, pengangkutan udara dan pengangkutan darat, yang dalam pemakaiannya biasanya hampir selalu merupakan kombinasi tergantung pada kondisi tempat atau daerah tujuan wisata. Berdasarkan alat pengangkutan (transportasi) yang digunakan, “perjalanan wisata” atau “pariwisata” atau “Tour,” dibedakan menjadi tiga jenis wisata7 : 1. Wisata Darat (Land Torism), yaitu kegiatan kepariwisataan yang penyelenggaraan pengangkutan dari dan ke daerah tujuan wisata menggunakan sarana pengangkutan darat seperti kendaraan bus, taxi atau kereta api. 2. Wisata Laut dan Sungai (Sea and River Tourism), yaitu kegiatan kepariwisataan yang penyelenggaraan pengangkutan dari dan ke daerah tujuan wisata menggunakan sarana pengangkutan laut dan sungai seperti kapal dan perahu. 7 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 118. 3. Wisata Udara (Air Tourism), yaitu kegiatan kepariwisataan yang penyelenggaraan pengangkutan dari dan ke daerah tujuan wisata menggunakan sarana pengangkutan udara yaitu pesawat terbang. Aktivitas kepariwisataan banyak tergantung pada pengangkutan (transportasi), karena faktor jarak dan waktu sangat mempengaruhi keinginan orang untuk melakukan perjalanan wisata. Pengangkutan (transportasi) menyebabkan pertumbuhan pariwisata sangat pesat sekali, kemajuan fasilitas transportasi mendorong kemajuan kepariwisataan dan sebaliknya ekspansi dalam industri pariwisata dapat menciptakan permintaan akan transportasi yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Dalam kepariwisataan peranan sarana pengangkutan tidak hanya sebagai alat angkut untuk membawa wisatawan ke tujuan wisata, melainkan juga sebagai sarana untuk menikmati suatu obyek atau daya tarik wisata dan alat angkut itu sendiri menjadi daya tarik wisata. Fakta tentang perkembangan kemajuan transportasi mendorong banyaknya orang melakukan perjalanan wisata dari suatu kota ke kota lain, dimulai pada abad XIX ketika Thomas Cook melihat perkembangan jaringan kereta api dan perkembangan transportasi pada umumnya. Pada tanggal 5 Juli 1841 ia secara iseng-iseng merencanakan, mengorganisasi serta menyelenggarakan perjalanan wisata dengan kereta api. Pada waktu itu, Thomas Cook mampu mengorganisir 570 orang dari kota Leicester ke kota Loughborough. Tour ini diberinya nama “a round trip excursion.” Tour yang diselenggarakan itu mendapat sambutan hangat sehingga pada tahun 1851 atas permintaan orang banyak ia menyelenggarakan paket wisata kapal laut dengan akomodasi untuk mengunjungi “World Exhibition” yang diadakan di Perancis dengan jumlah peserta sebanyak 150.000 orang. Di luar pembicaraan tentang perkembangan sarana pengangkutan (transportasi) sebagai awal mulainya banyak orang melakukan perjalanan wisata, semua kegiatan yang dilakukan oleh Thomas Cook itu juga dianggap sebagai awal dari kegiatan usaha dibidang perjalanan wisata yang terorganisir yang dikenal dengan istilah Biro Perjalanan Wisata (Travel Agency).8 Menurut M.A. Desky kegiatan yang dilakukan oleh Thomas Cook ini merupakan tonggak sejarah perjalanan wisata modern karena telah memenuhi unsur-unsur perjalanan wisata : tersedianya sarana transportasi, obyek wisata yaitu pameran, adanya jadwal yang ketat dan adanya pihak penyelenggara.9 Di Indonesia, Biro Perjalanan Wisata pertama kali muncul pada jaman Hindia Belanda, yang pertama kali didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926 di Jakarta bernama Lissone Lindeman (LISLIND). Kemudian pada tahun 1936 LISLIND ini diubah namanya menjadi Nederland Indische Touristen Bureau (NITOUR) yang pada waktu itu berfungsi melayani perjalanan orang-orang Belanda.10 Setelah kemedekaan, perkembangan Biro Perjalanan Wisata di Indonesia terasa lamban. Baru pada permulaan Orde Baru dengan keluarnya Inpres No. 9 th. 1969 dan dengan mantapnya stabilitas keamanan yang disertai kemajuan di bidang ekonomi bisnis usaha biro perjalanan wisata 8 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 13-15. M.A. Desky, 2001. Pengantar Bisnis Biro Perjalanan Wisata. AdiCitia Karya Nusa Yogyakarta, hal. 8. 10 Ibid.hal.8 9 berkembang sangat pesat dengan ditandai munculnya biro perjalanan seperti Pacto dan Vaya Tour.11 Dalam pengertian yang sederhana Biro Perjalanan Wisata (Travel Agency), adalah perusahaan atau badan usaha yang memberikan pelayanan lengkap terhadap seseorang ataupun kelompok orang yang ingin melakukan perjalanan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Pelayanan ini meliputi transportasi dan akomodasi lainnya selama perjalanan maupun di tempat tujuan.12 Aktifitas usaha Biro Perjalanan Wisata (Travel Agency) membuat Paket Perjalanan Wisata (Package Tour), yang mencakup unsur : obyek wisata/daya tarik wisata, transportasi (darat, laut, udara), penyediaan jasa makanan-minuman, penyediaan akomodasi, penyediaan tempat konvensi, penyediaan jasa pramuwisata dan pengurusan dokumen perjalanan (passport /visa). Hal terakhir adalah memberikan kenyamanan dan keamanan terhadap orang atau kelompok orang yang menggunakan jasa biro perjalanan wisata tersebut.13 Biro Perjalanan Wisata (travel agents) merupakan sarana yang dibutuhkan orang dalam melakukan perjalanan wisata karena memberikan keuntungan yaitu menghemat biaya, menghemat waktu, memberikan informasi yang lengkap dan dapat dipercaya menjamin keamanan selama berlangsungnya perjalanan wisata. Masyarakat Indonesia saat ini juga sudah mulai tumbuh kesadaran berwisata dengan menggunakan jasa Biro Perjalanan Wisata (Travel Agent). Kebanyakan para wisatawan menggunakan jasa Biro Perjalanan Wisata untuk menentukan suatu rencana perjalanan bila ingin berlibur ke suatu tempat. 11 12 13 Ibid. hal. 9. http://www.thegrizaonline.com/ Diakses tanggal 17 Desember 2011. http://asitajakarta.org/pipermail/pengurus_asitajakarta.org/attachments/20100106/a431c e12/attachment.html. Diakses tanggal 17 Desember 2011. Dengan demikian calon wisatawan yang semula tidak tertarik, akhirnya memutuskan untuk berkunjung dan membayar paket wisata yang ditawarkan.14 Dari apa yang telah diuraikan menunjukkan bahwa “perjalanan wisata” atau “pariwisata” atau “Tour” adalah merupakan fenomena yang sangat kompleks dan unik, karena bersifat multidimensi, baik fisik, social, ekonomi maupun budaya. Namun demikian yang belum nampak dalam uraian tersebut adalah dimensi hukum yang memandang “perjalanan wisata” atau “pariwisata” atau “Tour,” sebagai fenomena hukum. Sebagaimana telah diuraikan bahwa hakikat dari “perjalanan wisata” adalah perpindahan orang dari suatu tempat ke tempat lain yang digerakkan oleh sarana pengangkutan (transportasi), sehingga “perjalanan wisata” adalah kegiatan yang utamanya berhubungan dengan pengangkutan dari tempat asal wisatawan sampai ke tempat tujuan, selama di tempat tujuan dan kembali ke tempat asalnya.15 Berdasarkan jenis fasilitas pengangkutannya, “perjalanan wisata” muncul dalam bentuk Wisata Darat (Land Torism), yang penyelenggaraannya menggunakan sarana pengakutan darat seperti kendaraan bus, taxi atau kereta api; Wisata Laut dan Sungai (Sea and River Tourism), yang penyelenggaraan menggunakan sarana pengangkutan laut yaitu kapal dan Wisata Udara (Air Tourism), yang penyelenggaraan pengangkutan menggunakan sarana kapal dan perahu. Dalam ranah hukum, pembicaraan tentang pengangkutan, termasuk dalam bidang Hukum Pengangkutan, yang di dalamnya mengatur mengenai 14 http://www.hosting24.com/. Diakses tanggal 17 Desember 2011. http://raymondfrans63.wordpress.com/2011/10/13/dasar-dasar-pariwisata/. Diakses tanggal 17 Desember 2011. 15 Pengangkutan Udara, Pengangkutan Laut dan Pengangkutan Darat. Dengan demikian memandang “perjalanan wisata” sebagai fenomena hukum berarti adalah memandang “perjalanan wisata” dari sudut pandang Hukum Pengangkutan. Menurut kepustakaan Hukum, yang dimaksud dengan “Pengangkutan” adalah : perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.16 Dalam pengertian tersebut obyek pengangkutan meliputi orang dan barang, sehingga dalam Hukum Pengangkutan dibedakan ada pengangkutan orang dan pengangkutan barang. Berdasarkan jenis alat pengangkutannya, pengangkutan dibedakan ke dalam tiga jenis pengangkutan yaitu pengangkutan udara, laut dan darat. Dengan demikian berdasarkan alat pengangkutan dan obyeknya, dalam Hukum Pengangkutan dibedakan ada Hukum Pengangkutan Udara tentang orang dan barang, Hukum Pengangkutan Laut tentang orang dan barang serta Hukum Pengangkutan Darat tentang orang dan barang. Apabila pembidangan Hukum Pengangkutan tersebut dihubungkan dengan “perjalanan wisata,” yang berdasarkan alat pengangkutnya dibedakan ke dalam Wisata Udara, Wisata Laut dan Wisata Darat, maka dapat dinyatakan bahwa ketiga jenis “perjalanan wisata” tersebut adalah merupakan fenomena hukum yang masing-masing termasuk dalam kategori peristiwa hukum Pengangkutan Udara, Laut dan Darat tentang pengkutan orang. 16 HMN Purwosutjipto, 1991, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Cetakan keempat Djambatan, Jakarta hal 2. Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyoroti satu jenis perjalanan wisata yaitu mengenai Wisata Darat yang nota bene adalah merupakan fenomena hukum Pengangkutan Darat tentang pengangkutan orang. Dari hasil penelitian pendahuluan diperoleh data awal bahwa pada tanggal pada 23 Juni 2008, Biro Perjalanan Wisata (Travel Agent) yang ada di Kabupaten Banyumas yaitu CV. Trista Alfa Wisata yang berkedudukan di Jl. Pahlawan VI/18 Tanjung Purwokerto, menyelenggarakan Paket Kunjungan Industri ke Jakarta selama tiga hari dengan peserta siswa SMK Bina Teknologi Purwokerto. Transportasi yang disediakan adalah angkutan pariwisata berupa Bus Pariwisata Tristar dan akomodasi berupa makanan-minuman, tiket obyek wisata Taman Impian Jaya Ancol, Musium Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta satu tempat kunjungan industri. Untuk menyoroti aspek hukum dari penyelenggaraan Paket Kunjungan Industri ke Jakarta dengan fasilitas kendaraan Bus Pariwisata tersebut pertamatama perlu dikemukakan pernyataan HMN Purwosutjipto mengatakan bahwa : 1. Mengenai pengangkutan orang di darat tidak diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) dan satu-satunya peraturan yang mengatur tentang pengangkutan orang didarat, adalah peraturan tentang pengangkutan orang dengan Kereta Api dalam (Bepalingen Vervoer Spoorwegen) S.1927 – 262.17 2. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga tidak ada peraturan umum tentang pengangkutan orang didarat, oleh karena itu mengenai perjanjian pengangkutan orang di darat didasarkan atas Buku II Kitab 17 Ibid. Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Bab I sampai dengan Bab IV.18 Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Paket Kunjungan Industri ke Jakarta dengan fasilitas kendaraan Bus ternyata tidak diatur dalam KUH Perdata maupun KUHD. Berdasarkan kenyataan tersebut apabila ditinjau dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata khususnya Buku III yang mengatur tentang Perjanjian Bernama maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang mengatur tentang Hukum Pengangkutan, ternyata di dalamnya tidak mengenal bentuk perjanjian mengenai Perjalanan Wisata Darat yang menggunakan fasilitas kendaraan darat berupa bus. Dengan demikian permasalahan yang muncul disini adalah mengenai konstruksi hukum dari Paket Kunjungan Industri ke Jakarta dengan fasilitas kendaraan Bus Pariwisata. Sehubungan dengan dengan hal tersebut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa : “Tugas hukum adalah menjamin kepastian hukum, yang berarti suatu kepastian bahwa setiap orang dapat mengharapkan sesuatu menurut hukum dalam perbuatan tertentu, atau dengan kata lain, harus ada hukum tertentu yang pasti bagi suatu peristiwa konkrit. Hakekatnya adalah suatu kepastian, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat serta apakah hak dan kewajiban warga masyarakat.”19 Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai penyelenggaraan Paket Wisata yang menggunakan fasilitas sarana pengangkutan bus. Hal ini penting karena dengan 18 19 Ibid. hal 51. Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal.42. mengetahui isi dari paket wisata yang mencakup unsur : obyek wisata/daya tarik wisata, transportasi darat, penyediaan jasa makanan-minuman, penyediaan akomodasi dan penyediaan jasa pramuwisata, maka akan dapat diketahui konstruksi hukumnya, sehingga ada kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan perjalanan wisata. Dengan demikian dalam penyelenggaraan Paket Wisata para pihak akan dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban apakah yang ada dalam hubungan hukum tersebut. Hal ini penting mengingat dewasa ini perjalanan wisata dalam bentuk paket-paket wisata yang dilakukan oleh pihak Sekolah pada akhir masa studi selalu dilakukan baik oleh Sekolah Menengah Kejuruan maupun sekolahsekolah lainnya. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diambil suatu permasalahan yaitu : 1. Bagaimana konstruksi hukum dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata sebagai biro perjalanan wisata? 2. Apakah hak-hak dan kewajiban yang timbul bagi para pihak dalam Perjanjian Paket Kunjungan Industri Jakarta dan bagaimana tanggung jawab hukum Biro Perjalanan Wisata di CV.Trista Alfa Wisata Purwokerto apabila terjadi wanprestasi ? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui konstruksi hukum dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata sebagai biro perjalanan wisata. 2. Untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban yang timbul bagi para pihak dalam Perjanjian Paket Kunjungan Industri Jakarta dan bagaimana tanggung jawab hukum Biro Perjalanan Wisata di CV.Trista Alfa Wisata Purwokerto apabila terjadi wanprestasi. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis ataupun secara praktis sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Memberikan informasi yang berguna dan memberikan masukan bagi pengembangan disiplin ilmu hukum Perdata pada umumnya dan hukum Perjanjian. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah wawasan yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya terkait dengan hukum perjanjian (pengangkutan, jual beli, pelayanan berkala) dalam perjanjian paket wisata. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana konstruksi hukum perjanjian Paket Wisata, pertama-tama akan dilakukan peninjauan terhadap aspek ekonomi kepariwisataan yang dikenal dengan industri wisata dan selanjutnya mengenai aspek hukumnya. Industri pariwisata berkaitan dengan paket wisata dan Biro Perjalanan Wisata sebagai perusahaan ataupun badan usaha yang memberikan pelayanan lengkap terhadap seseorang ataupun kelompok orang yang ingin melakukan perjalanan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Sedangkan aspek hukum dari perjanjian Paket Wisata adalah mengenai konstruksi hukum dari hubungan kontraktual perjanjian Paket Wisata antara Biro Perjalanan Wisata dengan wisatawan. A. Kepariwisataan 1. Pariwisata dan Wisatawan Pariwisata atau perjalanan wisata berkembang karena adanya gerakan manusia dalam mencari sesuatu yang belum diketahui, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapatkan perjalanan baru. Sesungguhnya pariwisata telah dimulai sejak peradaban manusia itu sendiri, ditandai oleh gerakan manusia yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Sebagai fenomena moderen tonggak-tonggak bersejarah dalam pariwisata dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo (1254-1324) yang menjelajahi Eropa sampai Tiongkok, untuk kemudian kembali lagi ke Venesia, kemudian disusul perjalanan Cristopher Columbus (1451-1506) dan Vasco da Gama (akhir abad XV. Namun sebagai industri internasional pariwisata dimulai tahun 1869).20 Meskipun pariwisata telah lama menjadi perhatian, baik dari segi ekonomi, politik maupun sosiologis, sampai saat ini belum ada kesepakatan secara akademis mengenai apa pariwisata dan wisatawan. Kata “pariwisata” secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu “pari” dan “wisata;” “Pari” berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar, atau berkeliling, sedangkan kata “wisata,” berarti perjalanan atau berpergian yang dalam hal ini bersinonim dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris. Jadi secara harfiah pariwisata adalah suatu kegiatan perjalanan yang dilakukan secara berkali-kali ke suatu tempat atau daerah yang ingin dikunjungi yang dalam bahasa Inggris bersinonim dengan kata “tour.” Pengertian jamak dari pariwisata adalah “kepariwisataan” yang diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pariwisata, yang dalam bahasa Inggris istilahnya tourism.21 Dalam kepustakaan kepariwisataan salah satu pengertian pariwisata dikemukakan oleh Oka A. Yoeti bahwa22 : “Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ketempat lain dengan maksud bukan untuk berusaha (business) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna bertamasya dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam." Orang yang melakukan perjalanan wisata disebut “wisatawan” atau tourist. Batasan terhadap pengertian wisatawan juga sangat bervariasi, mulai dari yang 20 hal 40. I Gede Pitana dan Putu G Gayatri, 2004, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogayakarta. 21 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 102- 103. 22 Ibid. umum sampai dengan yang sangat teknis spesifik, namun yang diterima secara umum dalam pariwisata internasional adalah sebagai berikut : 1. Traveller yaitu orang yang melakukan perjalanan antara dua tempat atau lebih . 2. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalannya bukan untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapat atau penghidupan di tempat tujuan. 3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak 24 jam di daerah yang dikunjungi.23 Dalam hukum positif Indonesia (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada Pasal 1 angka 1) istilah pariwisata diganti dengan “wisata” dengan batasan pengertian : Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Orang yang melakukan wisata disebut wisatawan (Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009). Semua definisi yang dikemukakan tentang “pariwisata” atau “wisata” meskipun berbeda dalam penekanannya, selalu mengandung tiga unsur ciriciri pokok yaitu : 1. Perjalanan, yakni pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain, 2. Tinggal sementara di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal biasanya, dan 3. Tujuan utama bukan untuk mencari penghidupan/pekerjaan di tempat yang dituju. 23 I Gede Pitana dan Putu G Gayatri. Op.cit hal 47. Aktivitas wisata selalu merupakan perjalanan yang menempuh jarak yang jauh dan waktu yang relatif lama, sehingga sejak berangkat, selama dalam perjalanan, sesampai ke tujuan wisata dan kembali ke tempat tinggal biasanya, pada umumnya wisatawan membutuhkan berbagai fasilitas yaitu24 : 1. Transportasi yang akan membawa wisatawan ke daerah tujuan wisata, baik berupa angkutan darat, udara maupun laut. 2. Akomodasi yang merupakan tempat tinggal sementara bagi wisatawan di tempat tujuan, penginapan dari berbagai jenis dan tarif, antara lain hotel, losmen dan jenis penginapan lainnya. 3. Tempat makan dan minum yang menyediakan makanan spesifik daerah setempat (local food) maupun makanan tempat asal wisatawan. Sarana yang harus tersedia adalah bar dan restoran, rumah makan dan lain-lain. 4. Obyek wisata atau atraksi wisata yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut. 5. Tempat hiburan untuk kegiatan rekreasi diwaktu senggang, seperti lapangan golf, kolam renang dan lain-lain. 6. Tempat perbelanjaan sebagai tempat membeli barang-barang cenderamata yang spesifik dan khas buatan masyarakat setempat, untuk kenangkenangan perjalanannya atau untuk oleh-oleh. Secara sosiologis, pariwisata atau wisata (untuk selanjutnya ditulis wisata) adalah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang, dan pada umumnya dilakukan pada saat seseorang bebas dari pekerjaan yang wajib dilakukan, yaitu pada saat cuti atau libur. Dalam pemahaman masyarakat 24 http://raymondfrans63.wordpress.com/2011/10/13/dasar-dasar-pariwisata/ Diakses tanggal 17 Desember 2011. pada umumnya wisata diidentikan dengan “berlibur di daerah lain.” Berlibur di daerah lain, atau menggunakan waktu luang dengan melakukan wisata, dewasa ini merupakan salah satu ciri masyarakat modern. 2. Industri Pariwisata Bila orang mendengar kata industri, gambaran dari kebanyakan orang adalah suatu bangunan pabrik dengan segala perlengkapannya yang mempunyai cerobong asap dengan menggunakan mesin dalam proses produksinya. Pengertian yang umum dari kata “industri” adalah segala proses yang tujuan akhirnya menghasilkan produk berupa barang dan jasa (goods and service) yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan guna memenuhi kebutuhan manusia. Wisata sebenarnya adalah suatu aktivitas atau kegiatan, jadi bukan industri, tetapi dari sudut ekonomi aktivitas wisata menciptakan permintaan produk barang dan jasa (goods and service) yang dihasilkan oleh banyak perusahaan yang masing-masing terpisah sama sekali satu sama lainnya, tetapi saling melengkapi, mulai dari transportasi, akomodasi, catering, entertainment dan pelayanan lainnya.25 Dipandang dari aspek ekonomi, yakni dari segi permintaan (demand) dan penawaran (supply), sebagai akibat adanya orang yang melakukan wisata dengan berbagai macam tujuan, akan menciptakan permintaan barang dan jasa-jasa yang dihasilkan oleh macam-macam perusahaan yang berbeda secara bersama-sama. Kumpulan dari bermacam-macam perusahaan yang secara 25 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 135. bersama-sama menghasilkan barang dan jasa (good and service) yang dibutuhkan wisatawan inilah yang disebut dengan “Industri Pariwisata.” 26 Dengan perumusan lain R.S. Darmaji memberikan pengertian : “Industri pariwisata, merupakan rangkuman dari pada berbagai macam bidang usaha, yang secara bersama-sama menghasilkan produk-produk mapun jasa-jasa/layanan-layanan atau service, yang nantinya baik secara langsung ataupun tidak langsung akan dibutuhkan oleh wisatawan selama perlawatannya.” 27 Kusudianto Hadiroto memberikan pengertian : Industri Pariwisata adalah suatu organisasi baik pemerintah maupun swasta yang terkait dalam pengembangan produk suatu layanan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang berpergian (wisatawan)28 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut menurut penulis : “Industri Pariwisata” adalah rangkuman dari berbagai macam perusahaan (baik perusahaan pemerintah maupun swasta) yang secara bersama menghasilkan produk barang-barang dan jasa-jasa (goods and service) yang saling terkait, baik secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan wisatawan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri pariwisata yang menghasilkan produk pariwisata berupa barang dan jasa, yang diterima oleh wisatawan semenjak ia meninggalkan daerah asalnya, sampai di tempat tujuan, dan kembali ke daerah asalnya kembali, terdiri dari bermacam-macam perusahaan yang berbeda, baik ukurannya, bentuk organisasinya, maupun 26 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 140 -141. 27 R.S. Darmaji dalam Oka A Yoeti, 1987. Loc.cit. 28 http://repository.usu.ac.id/bitstream/pariwisata-arwina.pdf/. Diakses tanggal 20 Desember 2011 lokasi dan tempat kedudukannya, adalah : 1. Perusahaan Angkutan Wisata, yaitu perusahaan yang memberikan pelayanan jasa-jasa angkutan bagi wisatawan yang membutuhkan. 2. Perusahaan Akomodasi, yaitu perusahaan yang menyediakan jasa penginapan bagi wisatawan selama melakukan perjalanan di daerah objek wisata, seperti hotel, motel, wisma, pondok wisata, villa, apartemen, karavan, perkemahan, kapal pesiar, pondok remaja dan sebagainya; 3. Perusahaan Bar dan Restaurant, yaitu perusahaan yang menyediakan pelayanan makanan dan minuman bagi wisatawan selama berada di daerah wisata. 4. Perusahaan Hiburan, yaitu perusahaan yang menyediakan barang-barang berupa kerajinan tangan yang dapat menjadi kenang-kenangan bagi wisatawan untuk dibawa pulang. 5. Perusahaan Souvenir dan Handicraft yaitu perusahaan yang menyediakan barang-barang berupa kerajinan tangan yang dapat menjadi kenangkenangan bagi wisatawan tersebut. Dewasa ini industri pariwisata telah membuktikan diri sebagai sebuah alternatif kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendapatkan kondisi yang ideal maka industri pariwisata dituntut untuk berkembang dengan baik dan menghasilkan produk yang unggul dan dapat diandalkan. 3. Paket Wisata Dalam ilmu ekonomi, produk adalah sesuatu yang dihasilkan melalui proses produksi atau “industri,” dengan tujuan akhir menghasilkan barang atau jasa (goods and service). Sebagaimana telah diuraikan bahwa proses produksi atau industri dalam kepariwisataan disebut “industri pariwisata,” yaitu rangkuman dari berbagai macam perusahaan (baik perusahaan pemerintah maupun swasta) yang secara bersama menghasilkan produk barang-barang dan jasa-jasa (goods and service) yang saling terkait, baik secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan wisatawan. Hasil produksi dari “Industri pariwisata,” yang berupa barang-barang dan jasa-jasa (goods and service) disebut “produk wisata,” yang berupa rangkaian dari berbagai jasa atau pelayanan yang dihasilkan berbagai perusahaan, jasa masyarakat dan jasa alam, dimana tiap-tiap unsur jasa tersebut dipersiapkan oleh masing-masing perusahaan dan ditawarkan secara terpisah. Jasa yang disediakan perusahaan antara lain jasa angkutan, akomodasi, pelayanan makan-minum, jasa hiburan dan lain-lain. Jasa yang disediakan masyarakat dan pemerintah antara lain berbagai prasarana umum, kemudahan, keramahan, adat istiadat, seni budaya dan sebagainya. Jasa yang disediakan alam antara lain pemandangan alam, pegunungan, pantai, gua alam, taman laut dan sebagainya.29 Sekalipun kesemua produk wisata tersebut terpisah sama sekali satu dengan lainnya namun karena saling melengkapi sedemikian rupa, maka 29 Gamal Suwantoro, 2004, Dasar-dasar Priwisata, Andi, Yogyakarta, hal. 48. produk-produk wisata tersebut dapat digabungkan dalam satu kesatuan yang disebut paket wisata (package tour). Itulah sebabnya dalam kalangan kepariwisataan dikenal istilah “paket wisata” yang berarti adalah suatu wisata yang disusun dengan biaya tertentu, dimana di dalamnya telah termasuk biayabiaya untuk pengangkutan, menginap, makam-minum, hiburan, menyaksikan obyek/atraksi wisata dan lain-lain yang dibuat khusus untuk itu. Beberapa penulis menjelaskan tentang pengertian paket wisata sebagai berikut : M.A. Desky Paket wisata adalah perpaduan beberapa (produk) jasa pariwisata, minimal terdiri dari dua (produk) jasa wisata yang dikemas menjadi satu kesatuan harga yang tidak dapat dipisahkan.30 Oka A Yoeti Paket wisata adalah perjalanan wisata yang dijual, dimana harganya sudah termasuk biaya jasa-jasa untuk transportasi ke dan dari daerah tujuan wisata, akomodasi di tempat yang dikunjungi, makan dan minum selama perjalanan, menyaksikan obyek dan atraksi wisata di tempattempat yang dikunjungi.31 Penjualan paket wisata sangat menguntungkan bagi wisatawan sebagai konsumen, karena menghemat waktu, harga relatif rendah dibanding kalau mengurus sendiri, perjalanan dilakukan tanpa keraguan hati, program perjalanan sudah pasti. Tentu saja ada kelemahan dalam paket wisata, tetapi 30 M.A. Desky. Op.cit. 23. Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 325-326. 31 bila dibanding dengan kerugian bila mengurus sendiri, keuntungan yang diperoleh jauh lebih banyak. 32 B. Biro Perjalanan Wisata Dalam dunia kepariwisataan, dijumpai beberapa istilah yaitu operator wisata (tour operator), agen perjalanan (travel agency) dan biro perjalanan (travel bureau). Istilah tersebut dipadankan dengan Biro Perjalanan Wisata di Indonesia.33 Menurut M.A. Desky istilah-istilah tersebut nampaknya berbeda, akan tetapi jika menilik pada maknanya, semua istilah tersebut mempunyai arti yang sama. Semua istilah tersebut sebenarnya merupakan fungsi dari Biro Perjalanan Wisata.34 Mengenai pengertian Biro Perjalanan Wisata beberapa penulis menyatakan : 1. Nyoman S. Pendit Biro Perjalanan Wisata adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk menyiapkan suatu perjalanan bagi seseorang yang merencanakan untuk mengadakannya.35 2. R. S. Damardjati Biro Perjalanan Wisata adalah perusahaan yang khusus mengatur dan menyelenggarakan perjalanan dan persinggahan orang – orang termasuk kelengkapan perjalanannya, dari suatu tempat ke tempat lain, baik di 32 M.A. Desky. Op.cit. 23. http://raymondfrans63.wordpreess.com/biro-perjalanan-wisata-aktvitasnya/.Diakses tanggal 17 Desember 2011 34 M.A. Desky. Op.cit. hal. 3. 35http://wartawarga.gunadarma.ac.id/Diakses tanggal 27 Desember 2011. 33 dalam negeri, dari dalam negeri, ke luar negri atau dalam negeri itu sendiri.36 Biro Perjalanan Wisata menurut Peraturan Pemerintah RI No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, sebagaimana diatur dalam BAB II Paragraf 1 tentang Usaha Jasa Biro Perjalanan Wisata Pasal 7 sampai Pasal 12, adalah : 1. Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi yang melakukan kegiatan usaha Perjalanan Wisata yang meliputi tiga usaha pokok yang wajib diselenggarakan yaitu37 : a) Perencanaan dan pengemasan komponen-komponen perjalanan wisata, yang meliputi sarana wisata, obyek dan daya tarik wisata dan jasa pariwisata lainnya terutama yang terdapat di wilayah Indonesia dalam bentuk paket wisata. b) Penyelenggaraan dan penjualan paket wisata dengan cara menyalurkan melalui Agen Perjalanan Wisata dan atau menjualnya langsung kepada wisatawan atau konsumen. c) Penyediaan layanan pramuwisata yang berhubungan dengan paket wisata yang dijual. Sedangkan kegiatan usaha yang tidak wajib adalah38 : a) Penyediaan angkutan layanan wisata, b) Pemesanan akomodasi, restoran, tempat konvensi dan tiket pertunjukan seni budaya serta kunjungan ke obyek dan daya tarik wisata, c) Pengurusan dokumen perjalanan berupa paspor dan visa atau dokumen lain yang dipersamakan, d) Penyelenggaraan ibadah agama, e) Penyeleggaraan perjalanan insentif. 2. Kewajiban Biro Perjalanan Wisata adalah39 : a) Memenuhi jenis dan kualitas komponen perjalanan wisata yang dikemas dan/atau dijanjikan dalam paket wisata; dan 36 Ibid. Pasal 5 yis Pasal 6 dan Pasal 7 P P No. 67 Tahun 1996 38 Pasal 9 P P No. 67 Tahun 1996 39 Pasal 10 P P No. 67 Tahun 1996 37 b) Memberikan pelayanan secara optimal bagi wisatawan yang melakukan pemesanan, pengurusan dokumen dan penyelenggaraan perjalanan melalui Biro Perjalanan Wisata. 3. Tanggungjawab Biro Perjalanan Wisata40 : Biro Perjalanan Wisata bertanggung jawab atas keselamatan wisatawan yang melakukan perjalanan wisata berdasarkan paket wisata yang dijualnya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa beberapa aktifitas usaha yang dapat dilakukan oleh Biro Perjalanan Wisata dalam pengertiannya sebagai industri wisata antara lain : a) Biro perjalanan wisata adalah perusahaan atau badan usaha yang mempunyai kewenangan untuk membuat paket wisata dan berhak untuk menjual dan menyelenggarakan paket wisata tersebut. b) Biro perjalanan wisata juga menyediakan transportasi bagi orang atau kelompok orang yang menggunakan jasa atau pelayanan paket wisata dari biro perjalanan wisata tersebut. c) Biro perjalanan wisata juga berhak melayani pemesanan dari orang atau kelompok orang tentang penginapan, rumah makan, ataupun sarana wisata lain yang dibutuhkan. d) Mengurus surat-surat dari suatu perjalanan wisata dan juga berhak untuk menyelenggarakan pemanduan terhadap suatu perjalanan wisata. e) Hal terakhir yang dilakukan oleh biro perjalanan wisata dalam menyelenggarakan paket wisata adalah memberikan kenyamanan dan 40 Pasal 10 PP No. 67 Tahun 1996 keamanan terhadap orang atau kelompok orang yang menggunakan jasa biro perjalanan wisata tersebut. Menurut Oka A. Yoeti berdasarkan kegiatan usaha yang dilakukan Biro Perjalanan Wisata sebagaimana telah diuraikan menyimpulkan bahwa kegiatan usaha pokoknya Biro perjalanan wisata pada hakikatnya ada dua yaitu : pertama, merencanakan dan kedua, menyelenggarakan perjalanan orangorang untuk tujuan wisata (tour) atas inisiatip dan risiko sendiri, dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan tersebut.41 Sebagai perencana dan penyelenggara kegiatan wisata maka dalam industri pariwisata, Biro Perjalanan Wisata memiliki dua fungsi yaitu 42: 1. Fungsi Umum : Dalam hal ini biro perjalanan wisata merupakan suatu perusahaan atau badan usaha yang memberikan penerangan atau informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia perjalanan pada umumnya dan perjalanan wisata pada khususnya. 2. Fungsi khusus : a) Biro perjalanan wisata sebagai perantara (intermediary) antara wisatawan dan perusahaan-perusahaan penyedia fasilitas perjalanan wisata, yang diperlukan wisatawan untuk mencapai tujuan wisata. Dalam kegiatannya ia bertindak atas nama perusahaan lain dan menjual jasa-jasa perusahaan yang diwakilinya. 41 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 222. 42 File://localhost/K:/viever.php%2011.htm. Diakses tanggal 27 Desember 2011. b) Biro perjalanan wisata sebagai perusahaan atau badan usaha yang merencanakan dan menyelenggarakan wisata dengan tanggung jawab dan resikonya sendiri. c) Biro perjalanan wisata sebagai pengorganisasi yaitu ia berada di tengah-tengah industri pariwisata menggiatkan usaha, aktif menjalin kerjasama dengan perusahaan lain baik dalam dan luar negeri, untuk membuat perjanjian khusus yang mengatur hubungan kerja dengan persahaan-perusahaan wisata agar jelas tugas, kewajiban dan hak masing-masing pihak. Di antara perusahaan-perusahaan atau pihak-pihak yang dijalin hubungan kerjanya antara lain : Perusahaan angkutan wisata baik dalam negeri atau luar negeri, Hotel ataupun penginapan baik di dalam maupun di luar negeri, Rumah makan ataupun restoran, Pemandu wisata, Perusahaanperusahaan maupun instansi-instansi yang mengurus dokumen perjalanan, Pimpinan rombongan untuk setiap perjalanan wisata, Porter yang bertugas memindahkan barang milik peserta dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Di Indonesia Biro Perjalanan Wisata berada di bawah kepemimpinan Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Seluruh Indonesia atau ASITA (Association of the Indonesia Tour and Travel Agencies) yang mempunyai perwakilan di masing-masing daerah.43 Dengan keberadaan Biro Perjalanan Wisata dalam industri wisata, banyak memberi keuntungan bagi wisatawan yang menggunakan paket wisata yang ditawarkan Biro Perjalanan Wisata, antara lain adanya kepastian, efisiensi 43 M.A. Desky, ibid. Hal.13. waktu dan informasi yang akurat. Dengan menggunakan jasa Biro Perjalanan Wisata, perjalanan menjadi serba pasti dan terencana. Sebelum berangkat seseorang dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanannya, seperti obyek wisata yang akan dikunjungi, angkutan yang digunakan, hotel tempat menginap dan lain sebagainya. Dengan menggunakan jasa Biro Perjalanan Wisata, seseorang tidak perlu bersusah payah menghubungi semua pihak yang berkaitan dengan perjalananya. Dengan menggunakan jasa Biro Perjalanan Wisata, seseorang akan memperoleh semua informasi tentang seluruh fasilitas perjalanan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Demikianlah tinjauan kritis tentang aspek ekonomi kepariwisataan yang didalamnya membahas tentang “industri pariwisata” yang menghasilkan “produk wisata” berupa barang-barang dan jasa-jasa (goods and service) yang dibutuhkan wisatawan. Selanjutnya produk wisata dimaksud oleh Biro Perjalanan Wisata digabungkan dalam satu kemasan yang disebut “paket wisata” (package tour), untuk dijual kepada masyarakat yang akan melakukan perjalanan wisata. Mekanisme penjualan paket wisata tersebut terjadi dalam transaksi yang berupa perjanjian Paket Wisata. Selanjutnya untuk mengkaji aspek hukum dari Perjanjian Paket Wisata, maka dalam uraian berikut akan dibahas kajian teoritis tentang Perjanjian sebagaimana diatur dalam Hukum Perdata, yang di dalamnya mencakup tentang pengertian Perjanjian dan beberapa aspeknya dan perbedaan-perbedaan jenis perjanjian yang salah satu diantaranya adalah tentang Perjanjian Tak Bernama. C. Perjanjian pada umumnya 1. Pengertian Perjanjian Dalam undang-undang, hukum perjanjian diatur di dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban (perikatan). Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian sebagai : “Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela (zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan tersebut, J. Satrio merevisi perumusan tersebut menjadi demikian : “Perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.”44 Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tiga tahapan, yaitu45 : 44 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung.hal. 23 – 27. a). Pra-contractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang tercakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan; b). Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengisi dan mengikat kedua belah pihak; c). Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut. 2. Asas-asas Perjanjian KUH Perdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menentukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1) menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas iktikad baik; sedangkan Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten, hanya ada tiga asas yang paling pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian dan asas kebebasan berkontrak. 46 a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak (contacts vrijheid atau partij-autonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah 45 Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 16. 46 Purwakhid Patrik, 1982. Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal.3. berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan pada kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur dalam undang-undang.47 b. Asas konsensualisme Asas konsensualisme adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak tercapainya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan tercapainya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.48 Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu : sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecenderungan mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis, baik dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelangggaran. 47 48 Subekti, 1983, Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta, hal. 14. Ibid. hal. 15. c. Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda) Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati undang-undang.49 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah Pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.50 3. Jenis Perjanjian Dalam Hukum Perjanjian, perjanjian dibedakan ke dalam beberapa kelompok pembedaan berdasarkan kriteria-kriteri tertentu, beberapa pembedaan pembedaan dimaksud akan diuraikan dalam uraian berikut. a. Perjanjian Konsensuil dan Riil Berdasarkan cara lahirnya perjanjian dibedakan atas perjanjian konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan, dan timbulnya perjanjian tersebut 49 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, PT. Citra Bakti, Bandung, 1995, hal. 142. 50 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, hal. 97. Aditya ditentukan sejak detik tercapainya kesepakatan.51 Akibat hukum dari timbulnya perjanjian adalah lahirnya kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak, oleh karena itu perjanjian yang bersifat konsensuil juga merupakan perjanjian “obligatoir” (baru melahirkan kewajiban), sehingga sering dikenal dengan perjanjian yang konsensuil obligatoir. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru lahir kalau barang yang menjadi pokok prestasi telah diserahkan,52 artinya dengan tercapainya sepakat para pihak saja belum cukup untuk melahirkan perjanjian riil, sehingga untuk adanya perjanjian riil harus terpenuhi adanya dua unsur yaitu sepakat dan penyerahan benda pokok perjanjian. Contohnya : pinjam meminjam, pinjam pakai dan penitipan barang. Pada umumnya, perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam Buku III KUH Perdata bersifat konsensuil obligatoir, kecuali beberapa perjanjian tertentu yang bersifat riil. b. Perjanjian Sepihak dan Timbal-balik Berdasarkan perikatan yang timbul dari suatu perjanjian, mengikat satu pihak saja ataukah mengikat kedua belah pihak, perjanjian dapat dibedakan atas perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik, yakni “Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak saja, seperti : hibah, pinjam pakai, perjanjian pinjam mengganti, penitipan barang cuma-cuma; Sedangkan Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak, dengan 51 52 Subekti, Op.cit.hal. 48 Ibid.hal. 49 mana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu sama lainnya, seperti : perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain.53 4. Syarat Sahnya Perjanjian Setiap orang yang mengadakan perjanjian selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki atau yang dianggap dikehendaki. Agar maksud itu tercapai dan bila perlu pelaksanaannya dapat dipaksakan melalui pengadilan, maka perjanjian yang dibuat harus perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Melalui Pasal 1320 KUH Perdata, pembuat undang-undang telah menetapkan syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar perjanjian yang mereka adakan menjadi perjanjian yang sah, yakni : a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Kecakapan untuk membuat perjanjian, c. Suatu hal tertentu, d. Suatu sebab yang halal. Kata sepakat merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Suatu perjanjian dianggap lahir atau terjadi pada saat dicapainya kata sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat atau konsensus mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup sebuah perjanjian dan kehendak pihak yang satu sesuai secara timbal balik dengan kehendak pihak lainnya. Pernyataan kehendak tersebut tidak harus dinyatakan secara tegas dengan kata-kata, tetapi dapat juga 53 Ibid, hal. 42 dilakukan dengan perbuatan atau sikap yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian. Pernyataan kehendak yang menghasilkan kesepakatan dapat dibedakan antara pernyataan kehendak untuk menawarkan dan pernyataan kehendak untuk melakukan penerimaan. Syarat kedua untuk sah perjanjian adalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata, “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa menurut undang-undang pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian. Ketidakcakapan merupakan suatu perkecualian atas asas tersebut dan orang hanya tidak cakap kalau undang-undang menentukan demikian. Perkecualian atas prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang menyebutkan secara berturut-turut bahwa tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1). Orang-orang belum dewasa, 2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, 3). Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu harus ditafsirkan bahwa obyek perjanjian harus “tertentu”. Sekalipun masing-masing obyek tidak harus individual tertentu. Mengenai syarat bahwa obyeknya harus tertentu, Pasal 1333 ayat (2) menyatakan bahwa jumlahnya semula boleh belum tertentu asal kemudian hari dapat ditentukan. Tetapi jika pada saat perjanjian ditutup obyek sama sekali tidak tertentu atau tidak ada adalah tidak boleh. Jadi yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” adalah bahwa paling tidak macam atau jenis benda dalam perjanjian sudah ditentukan pada saat lahirnya perjanjian.54 Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu “sebab (Latin : causa) yang halal (Geoorloofde orzaak). KUH perdata tidak memberikan perumusan mengenai apa yang dimaksud dengan “sebab yang halal.” Hanya dijelaskan dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.” Dari penjelasan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa untuk sahnya suatu perjanjian causanya harus diperbolehkan, dan sebaliknya causa yang tidak diperbolehkan adalah apabila dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Menurut pendapat Hamaker dan Hofman serta Hoge Raad dalam Arrestnya tanggal 17 November 1922, yang dimaksud dengan causa perjanjian adalah tujuan perjanjian, yakni apa yang menjadi tujuan bersama para pihak dalam membuat perjanjian. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan sebab atau causa yang halal adalah bahwa tujuan perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.55 Dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila tujuan para pihak mengadakan perjanjian secara jelas melanggar ketentuan undang 54 55 J. Satrio, Hukum Perikatan Buku II, op.cit., hal. 31. Ibid. hal. 60-72. undang; Dan dikatakan bertentangan dengan kesusilaan adalah apabila tujuan para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan nilai-nilai positif yang hidup dalam masyarakat; Sedangkan dikatakan bertentangan dengan ketertiban umum adalah apabila tujuan para pihak dalam mengadakan perjanjian bertentangan dengan hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum yakni kedamaian, ketentraman dan keamanan hidup bermasyarakat.56 Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut atau salah satu syarat dari syarat tersebut adalah perjanjian tidak sah atau batal. Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian adalah itu batal demi hukum; artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Sedangkan dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu oleh hukum dianggap ada sampai salah satu pihak yang tidak cakap atau yang memberikan sepakat secara tidak bebas meminta pembatalan.57 56 57 Ibid. hal. 98-127. Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit., hal. 20. 5. Prestasi dalam suatu Perjanjian a. Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian Perjanjian obligator senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak yang lain. Pihak yang berhak menuntut disebut pihak berpiutang atau kreditur dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berutang atau debitur, sedang apa yang menjadi hak dari kreditur dan kewajiban bagi debitur dinamakan prestasi. Dalam perjanjian prestasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Memberikan sesuatu, 2) Melakukan suatu perbuatan, 3) Tidak melakukan suatu perbuatan. Jika seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya dengan sempurna, tepat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, maka dikatakan bahwa debitur telah menunaikan prestasi atau berprestasi. Sebaliknya jika debitur tidak memenuhi kewajibannya dengan sempurna tepat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, menurut hukum debitur tersebut dikatakan wanprestasi atau cidera janji. Ada tiga kemungkinan bentuk-bentuk tindakan wanprestasi sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, yaitu jika : 1) Debitur sama sekali tidak berprestasi; 2) Debitur keliru berprestasi; 3) Debitur terlambat berprestasi. 58 Wanprestasi ini ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai kesalahan.59 Kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian; kesengajaan terjadi jika ada niat dan kehendak pada debitur untuk tidak memenuhi prestasi, sedangkan kelalaian ada jika debitur dapat menghindari penyebab tidak terjadi prestasi dan ia dapat dipersalahkan karena ia tidak menghindarinya. Dengan demikian, seorang debitur dapat dinyatakan wanprestasi manakala ia tidak melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi prestasi, dan tidak terlaksananya kewajiban tersebut dikarenakan faktor kesengajaan atau kelalaian. Apabila terjadi wanprestasi, maka kreditur mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan. Kemungkinan pilihan tersebut adalah berupa tuntutan 60: 1) Pemenuhan perjanjian; 2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3) Ganti rugi saja; 4) Pembatalan perjanjian; 58 J. Satrio, 1993, opcit., hal. 122. A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 26. 60 Subekti, op.cit., hal. 53. 59 Hukum Perjanjian Beserta 5) pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. Tuntutan-tuntutan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditur, agar dapat mempertahankan kepentingannya terhadap debitur yang tidak jujur. Namun demikian, hukum juga memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau akibat kelalaiannya. Subekti61 mengemukakan bahwa seorang debitur yang dinyatakan wanprestasi masih dimungkinkan untuk melakukan pembelaan berupa : 1) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); 2) Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus); 3) Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking). b. Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur) Sebagaimana dikemukakan bahwa wanprestasi adalah tidak terlaksananya prestasi sebagaimana mestinya karena adanya faktor kesalahan pada debitur. Dengan ini berarti, ada kemungkinan tidak terlaksananya prestasi tanpa ada kesalahan pada debitur, tetapi dikarenakan adanya suatu sebab di luar diri debitur yang menghalanghalangi pemenuhan prestasi. 61 Subekti, op.cit., hlm. 53. Tentang sebab yang menghalang-halangi pemenuhan prestasi yang demikian itu, disebut “keadaan memaksa” (overmacht atau force majeur) yang didalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245. Pasal 1244 KUH Perdata : “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakan perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, kesemuanya itupun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” Pasal 1245 KUH Perdata : “Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.” Dari kedua Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa : keadaan memaksa (overmacht) adalah suatu keadaan atau kejadian yang tak dapat diduga-duga terjadinya, sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasinya sebelum ia lalai dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Dari batasan tersebut dapat diketahui adanya bebarapa unsur dari keadaan memaksa yaitu : 1) Hal tidak dapat diduga sebelumnya; 2) Diluar kesalahan debitur; 3) Menghalangi debitur untuk berprestasi; 4) debitur belum lalai. Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan dapat bersifat sementara. Keadaan memaksa adalah bersifat tetap manakala keadaan yang mengakibatkan terhalangnya prestasi berlangsung untuk selamanya; contohnya benda yang menjadi obyek prestasi terbakar diluar salahnya debitur. Sebaliknya keadaan memaksa adalah bersifat sementara jika keadaan yang menyebabkan terhalangnya prestasi hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu saja; contohnya banjir. Akibat dari adanya keadaan memaksa ditentukan dalam Pasal 1245 KUH Perdata, yaitu menghapuskan atau meniadakan kewajiban debitur membayar ganti rugi. Hal itu berarti bahwa debitur tidak wajib membayar ganti rugi, bilamana ia terhalang oleh keadaan memaksa dalam melaksanakan prestasi. Hapusnya kewajiban membayar ganti rugi hanyalah merupakan konsekuensi lebih lanjut dari pada hapusnya kewajiban prestasi, oleh karena itu akibat dari adanya keadaan memaksa, yang paling pokok sebenarnya adalah menghapuskan kewajiban prestasi debitur. Dengan mengingat adanya dua macam bentuk keadaan memaksa yang bersifat tetap dan sementara, maka harus disimpulkan bahwa akibat adanya keadaan memaksa adalah : debitur tidak diwajibkan melaksanakan prestasi jika keadaan memaksanya bersifat tetap atau debitur hanya diwajibkan menunda pelaksanaan prestasi sampai keadaan memaksanya yang bersifat sementara itu selesai. 6. Akibat Hukum Perjanjian KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 yang berjudul tentang akibat hukum perjanjian, dibuka dengan Pasal 1338 yang menyatakan : “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.“ Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat “ secara sah “ berarti memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian yaitu ada kesepakatan untuk membuat perjanjian, mereka yang bersepakat adalah orang yang cakap untuk membuat perjanjian, prestasinya tertentu dan tujuan para pihak mengadakan perjanjian secara jelas tidak melanggar ketentuan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-undang yang mengikat orang terhadap siapa undang-undang berlaku. Perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara para pihak yang membuatnya untuk membatalkan perjanjian yang telah ada tersebut. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian. Sampai kapankah perjanjian mengikat atau sampai kapan suatu perjanjian itu berakhir ? Pada asasnya perjanjian berakhir kalau akibatakibat hukum yang dituju telah selesai terpenuhi. 7. Risiko Yang dimaksud dengan risiko adalah suatu kewajiban untuk menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari salah satu pihak.62 Hal itu berarti risiko berpokok pangkal pada suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, atau dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang didalam hukum dinamakan : keadaan memaksa. Dengan demikian maka risiko adalah merupakan kelanjutan dari keadaan memaksa. a. Resiko pada Perjanjian Sepihak Pasal 1237 KUH Perdata : “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Ketentuan ini terletak pada bab tentang perikatan pada umumnya; jadi disini diatur tentang perikatan dalam bentuk dasarnya yaitu hubungan dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak (kreditur) dan dilain pihak ada kewajiban (debitur). Bentuk perikatan seperti ini muncul pada perjanjian sepihak, seperti pada hibah. Berdasarkan ketentuan tersebut benda yang harus diserahkan menjadi tanggungan kreditur. Disini tidak dibicarakan siapa yang bersalah, tetapi hanya dikatakan yang menanggung kerugian adalah kreditur; maka --ditafsirkan bahwa--- kalau terjadi kerugian pada benda tertentu yang 62 A. Qirom Syamsudin Meliala, op.cit, hlm. 49. harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah atas kerugian itu, yang menanggung adalah kreditur. Dengan begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang ini sebelum diserahkan, musnah atau rusak karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang” (kreditur), yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Dalam bahasa hukum dikatakan pada perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak resiko ada pada kreditur. b. Resiko pada Perjanjian Timbal Balik Dalam perjanjian timbal balik prestasi yang satu berkaitan erat sekali dengan prestasi yang lain; dijanjikannya prestasi yang satu adalah dengan memperhitungkan akan diterimanya prestasi yang lain. Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal-balik, dimana kedua belah pihak samasama berkewajiban memenuhi prestasi, dapat kita simpulkan dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga samasekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.” Disini ditentukan, apabila suatu barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar salahnya si berutang maka perikatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian menjadi hapus; dan karena seluruh perikatan hapus, maka dengan sendirinya pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut sesuatu apapun antara yang satu terhadap yang lain. Hal itu berarti apabila barang yang menjadi obyek perjanjian timbal-balik selama belum diserahkan telah musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang diluar salahnya salah satu pihak, maka risikonya ditanggung oleh pemilik; Karena terhadap barang miliknya, pemilik yang harus menyerahkan barangnya, berkedudukan sebagai debitur, maka disini dikatakan risiko kerugian dipikul oleh debitur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, resiko pada perjanjian timbal-balik ditanggung oleh pemilik atau debitur. Karena Pasal 1444 KUH Perdata ini termuat dalam Bagian Umum Buku III KUH Perdata, maka pasal tersebut merupakan ketentuan umum tentang resiko yang menjadi pedoman bagi perjanjian-perjanjian pada umumnya. Pasal 1237 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko bagi perjanjian sepihak. Sedangkan Pasal 1444 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko bagi perjanjian timbal-balik. Kecuali perihal resiko ini diatur dalam pasal-pasal Bagian Umum Buku III KUH Perdata yang menjadi pedoman bagi perjanjian pada umumnya, yang dirasakan mengatur tentang resiko itu sudah seadilnya, perihal resiko juga diatur dalam pasal-pasal Bagian Khusus Buku III KUH Perdata tentang perjanjian-perjanjian tertentu pada pasal-pasal tertentu pula. Misalnya dalam perjanjian jual-beli resikonya diatur pada Pasal 1460, 1461 dan 1462 KUH Perdata, dalam perjanjian tukar-menukar resikonya diatur pada Pasal 1545 KUH Perdata, selanjutnya dalam perjanjian sewa-menyewa resikonya diatur dalam Pasal 1553 KUH Perdata dan lain sebagainya. Pasal-pasal KUH Perdata yang megatur resiko dalam perjanjianperjanjian jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-mnyewa itu dirasakan sebagai sudah seadilnya sesuai dengan Pasal 1444 KUH Perdata. Kecuali Pasal 1460 KUH Perdata yang mengatur resiko secara tidak adil, sehingga Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 tahun 1963 menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi. Kemudian bilamana ketentuan mengenai resiko ini kita hubungkan dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa semua orang dapat membuat perjanjian yang bagaimanapun isinya asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai resiko ini inkonkreto diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk mengatur dan menentukan sendiri sedemikian rupa, bagaimana perihal resiko itu diinginkan mereka. D. Unsur-Unsur Perjanjian 1. Unsur Essensialia Menurut J. Satrio, unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, yang tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.63 Kausa yang halal merupakan unsur essensialia untuk adanya perjanjian64. Pembicaraan tentang unsur essensialia terhadap adanya perjanjian dalam uraian di atas adalah pembicaraan perjanjian dalam pengertian pada umumnya, yang bisa berlaku terhadap perjanjian khusus (bernama) maupun perjanjian tidak bernama secara umum. Dengan mendasarkan pemahaman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata maka unsur essensialia yang menjadikan adanya perjanjian secara umum adalah : sepakat para pihak baik sepakat itu sah atau tidak sah; adanya para pihak baik cakap atau tidak cakap; obyek prestasi yang tertentu atau dapat ditentukan; kausa yang halal, yang kesemuanya merupakan sekelompok unsur essensialia yang harus ada secara komulatif. Selanjutnya J. Satrio menjelaskan bahwa pada perjanjian riil, syarat penyerahan obyek prestasi perjanjian merupakan essensialia; sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil; demikian pula harga dan barang merupakan unsur essensialia dari perjanjian jual beli65. Berdasarkan penjelasan diatas dapatlah di deskripsikan bahwa essensialia suatu perjanjian secara umum akan membedakan terhadap suatu perbuatan itu sebagai suatu perjanjian atau bukan; sedangkan essensialia suatu perjanjian tertentu akan membedakan terhadap keberadaan antara perjanjian khusus tertentu dengan perjanjian tertentu yang lain. Pada umumnya, meskipun tidak dinyatakan secara tegas, unsur essensialia seperti tersebut di atur dalam Buku III KUH Perdata melalui pengaturan yang bersifat memaksa (dwigend recth) yang dapat dikenali 63 J. Satrio, Buku Kedua, Op.Cit., hal. 67 Ibid., hal. 68. 65 Ibid. 64 dengan ciri, apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi akan berakibat batal demi hukum atas perjanjian yang bersangkutan. 2. Unsur Naturalia Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang di atur tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau di ganti 66. Unsur ini sebenarnya merupakan bagian-bagian isi perjanjian yang secara umum patut, dan adil bagi para pihak karena merupakan konsekuensi logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian sebagaimana logisnya. Unsur naturalia ini oleh undang-undang diatur dengan hukum yang bersifat mengatur atau menambah (regelend rech atau aanvullend rech). Jadi, melalui aturan yang bersifat menambah ini pembuat undang-undang telah menfiksikan kehendak para pihak rata-rata umumnya orang dalam membuat perjanjian. Secara logis (natural) seseorang yang dalam suatu perjanjian misal nya jual beli diwajibkan untuk menyerahkan hak milik atas kebendaan tertentu, sebagai konsekuensi logisnya ia diwajibkan pula untuk menjamin bahwa kebendaan yang diserahkan tersebut aman dari tuntutan pihak ketiga dan bebas dari cacat tersembunyi ( Pasal 1491 KUH Perdata). Tanpa memperjanjikan hal ini pun ketentuan pasal tersebut berlaku secara otomatis menambah isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disingkirkan dengan mengaturnya secara lain melalui kesepakatan kedua belah pihak. 66 Ibid. 3. Unsur Accidentalia Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut67. Semua janji-janji dalam suatu perjanjian yang sengaja dibuat untuk menyimpangi ketentuan hukum yang menambah merupakan unsur accidentalia68. Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas bila dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang umumnya telah mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui ketentuan yang bersifat menambah. Meskipun demikian kadang-kadang terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa mengaturnya sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri. Dengan demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang dibuat oleh para pihak karena undang-undang (yang bersifat menambah) tidak mengaturnya atau berupa janji-janji yang dibuat para pihak dalam hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut. E. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tak Bernama Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua kelompok perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus disebut perjanjian bernama (benoemde atau nominaat contracten) dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut perjanjian tak bernama (onbenoemde atau innominaat contracten). 67 68 Ibid. Ibid., hal 73. Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang diberi nama dan pengaturan secara khusus dalam titel V sampai dengan titel XIX Buku III KUH Perdata, dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan di dalam peraturan perundang-undangan yang lain, atau ringkasnya perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang. A’ contrario perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang belum mendapat pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang.69 Yang termasuk Perjanjian Bernama yang diatur dalam KUH Perdata adalah : Jual-beli (Bab V), Tukar-menukar (Bab VI), Sewa-menyewa (Bab VII), Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan (Bab VIII), Persekutuan (Bab IX), Hibah (Bab X), Penitipan Barang (Bab XI), Pinjam Pakai (Bab XII), Pinjam-meminjam (Bab XIII), Bunga Tetap atau Bunga Abadi (Bab XIV), Perjanjian Untung-untungan (Bab XV), Pemberian Kuasa (Bab XVI), Penanggungan (Bab XVII) dan Perdamain (Bab XVIII). Sedangkan Perjanjian Bernama yang diatur dalam KUHD antara lain Perjanjian Pengangkutan. J. Satrio memberikan patokan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian tertentu termasuk perjanjian bernama atau perjanjian tidak bernama, caranya adalah dengan melihat apakah semua unsur-unsur pokok essensialia perjanjian yang bersangkutan memenuhi unsur pokok perjanjian bernama atau tidak.70 69 70 J. Satrio 1992, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 115-117. Ibid. hal. 118. Selanjutnya beliau mengingatkan bahwa di samping perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama, dikenal ada perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-Undang, tetapi dalam praktik mempunyai nama sendiri yang unsur-unsurnya mirip atau sama dengan unsur-unsur perjanjian bernama, tetapi terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga perjanjian yang demikian itu tak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri sendiri. Dalam kepustakaan hukum perjanjian yang demikian disebut dengan istilah “Perjanjian Campuran” dan di dalam praktik banyak terjadi dalam bentuk : 1. Perjanjian in de kost antara anak kost dengan induk semangnya, 2. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu, 3. Perjanjian pemborongan pekerjaan (menyediakan makanan), 4. Perjanjian sewa-beli. Dengan demikian perjanjian campuran adalah perjanjian yang mempunyai ciri-ciri dari dua atau lebih perjanjian bernama (onbenoemde atau innominaat contracten). Di luar Perjanjian-perjanjian Campuran yang sudah dikenal dalam praktik sebagaimana disebutkan, sebenarnya ada bentuk lain yang dewasa ini banyak terjadi dalam masyarakat, namun belum disinggung dalam kepustakaan hukum adalah “Perjanjian Paket Wisata,” yang di dalamnya berisi unsur-unsur perjanjian bernama, tetapi terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga perjanjian yang demikian itu tak dapat dipisah-pisahkan. Bagaimana pemecahannya kalau suatu perjanjian memuat beberapa unsur yang mirip/sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi yang terjalin menjadi satu, sehingga tidak dapat dipisahkan seperti halnya “Perjanjian Paket Wisata” ? Dalam menghadapi masalah yang demikian para sarjana mempunyai pandangan yang berbeda-beda yang menimbulkan tiga teori, yaitu71 : 1). Teori Absorpsi Menurut teori ini, Perjanjian tersebut dilihat terlebih dulu unsur mana dalam perjanjian tersebut yang paling menonjol, lalu diterapkan peraturan perjanjian yang sesuai dengan unsur-unsur yang paling menonjol (dominan) tersebut. Di sini unsur-unsur yang lain dikalahkan seakan-akan unsur-unsur yang lain dihisap atau terhisap. Itulah sebabnya teori ini disebut teori absorpsi. 2) Teori Suigeneris Menurut teori ini kalau ada perjanjian campuran, yang terjalin menjadi satu sehingga tidak dapat dipisahkan, perjanjian yang demikian dipandang sebagai perjanjian yang tersendiri, sebagai perjanjian khusus yang mempunyai ciri tersendiri, sehingga peraturan perjanjian bernama yang unsur-unsurnya muncul dalam perjanjian tersebut diterapkan secara analogis. 3) Teori Kombinasi atau Kumulasi Menurut teori ini kalau ada perjanjian campuran, yang terjalin menjadi satu sehingga tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur perjanjian dipisah 71 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.cit. hal 118-124. pisahkan dulu, kemudian untuk masing-masing diterapkan ketentuan perjanjian yang cocok untuk tiap-tiap unsur tersebut. Itulah sebabnya teori ini dinamakam teori kombinasi. BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivistis. Konsepsi ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi legistis positivistis juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. Berdasarkan konsepsi ini pada tahap kegiatan berikutnya dikumpulkan hukum perundang-undangan dan peraturan tertulis saja ke dalam koleksinya dan menyampingkan norma-norma lain sebagai bukan norma hukum.72 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus (case study) sebagai pendekatan yang bertujuan mempertahankan keutuhan dalam gejala yang akan diteliti sehingga data yang dikumpulkan merupakan data yang menyeluruh dan terintegrasi. Dengan demikian penelitian studi kasus diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan yang mendalam tentang gejala-gejala yang akan diteliti.73 72 Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta , hal. 11. 73 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 16. 3. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif, yang menggambarkan in concreto yang dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan ada kaitannya dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.74 4. Jenis Data a. Data Sekunder Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder, karena pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif. Data sekunder di bidang hukum dipandang dari kekuatan mengikatnya meliputi : 1). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : a. Norma Dasar Pancasila; b. Peraturan Dasar; Batang Tubuh UUD 1945; c. Peraturan perundang-undangan; d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan; e. Yurisprudensi; f. Traktat; g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang merupakan terjemahan, secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari Burgerlijk Wetbook) 74 Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., hlm. 11. 2). Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, yang berupa : a. Rancangan peraturan perundang-undangan; b. Hasil karya ilmiah para sarjana; c. Hasil-hasil penelitian. 3). Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, misalnya : a. Bibliografi; b. Indeks komulatif.75 Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Khusus yang akan diteliti adalah bahan hukum primer berupa Surat Perjanjian Paket wisata antara SMK Bina Teknologi Purwokerto dengan Biro Perjalanan Wisata CV. Trista Alva Wisata. b. Data Primer Dalam penelitian ini juga diperlukan data primer yang berfungsi sebagai pelengkap/pendukung data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara yang bersumber dari keterangan-keterangan pimpinan, staf dan karyawan CV. Trista Alfa Wisata Purwokerto. 75 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Jakarta, 1985, hal. 14-15. Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali 5. Metode Pengumpulan Data a. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu Surat Perjanjian Paket Kunjungan Industri Jakarta SMK Bina Teknologi Perwokerto dengan CV. Trista Alfa Wisata. b. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan pimpinan, staf dan karyawan CV Trista Alfa Wisata Purwokerto. 6. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya bahwa data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh. 7. Metode Analisis Data Untuk memperoleh suatu kesimpulan yang diharapkan, data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu penjabaran dan pembahasan data temuan berdasarkan pada norma-norma hukum,76 peraturan perundang-undangan dan teori hukum perdata, khususnya dalam bidang Hukum Perjanjian. 76 Soerjono Soekanto, op.cit., hal. 93. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Sejarah Perkembangan Biro Pariwisata CV. Trista Alfa Wisata77 Perusahaan CV. Trista Alfa Wisata berkedudukan di Jl. Overste Isdiman No. 26 Purwokerto adalah perusahaan yang bergerak di bidang Biro Wisata dan Transportasi Wisata serta jasa pelayanan wisata inbound dan outbound. CV. Trista Alfa Wisata merupakan pengembangan usaha dari Cv. PO Tri Kusuma, yang bergerak di bidang transportasi darat, meliputi angkutan bus antar kota antar propinsi dan antar kota dalam provinsi, serta armada travel antar jemput. Dalam pengembangannya, prospek transportasi pariwisata dan biro perjalanan wisata dipandang cerah sehingga CV. PO Tri Kusuma membentuk divisi transportasi dan biro wisata untuk melayani permintaan konsumen. Dengan maksud untuk melayani konsumen lebih profesional, maka divisi transportasi dan biro wisata dijadikan perusahaan terpisah dengan nama CV. Tri Kusuma Wisata pada tanggal 3 Oktober 2003 yang kemudian pada tanggal 22 Nopember 2005 berganti nama menjadi CV. Trista Alfa Wisata. Tujuan pergantian nama tersebut adalah untuk mempertegas komitmen perusahaan untuk total bergerak di bidang Biro Perjalanan dan Transportasi Wisata. 77 Company Profile CV. Trista Alfa Wisata Visi CV. Trista Alfa Wisata adalah menjadi perusahaan yang terbesar dan terbaik serta menjadi perusahaan yang menyediakan jasa wisata terlengkap di Purwokerto, sedangkan misi CV. Trista Alfa Wisata adalah melayani konsumen dengan sebaik-baiknya, mengantarkan konsumen sampai di tempat tujuan dengan selamat dan nyaman. Kepuasan dan kenyamanan konsumen adalah prioritas dari CV. Trista Alfa Wisata. Obyek usaha CV. Trista Alfa Wisata meliputi Pelayanan Jasa Perjalanan Wisata, Kunjungan Studi, Kunjungan Industri, Paket-paket Wisata Internasional dan Domestik, Sewa Bus Pariwisata, Tiketing Pesawat udara, Kapal laut dan Kereta api serta Perwakilan resmi Taman Impian Jaya Ancol. Paket wisata domestik yang ditawarkan sampai saat ini adalah : a) Pesona Bali Dewata Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu lima hari empat malam, dengan tujuan wisata ke pulau Bali untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Tanah Lot, Joger, Pantai Kuta, Krisna, Tari Barong, Pusat Jajan Bali, Sokawati, Tanjung B enoa, Pura Luhur Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana, Pantai Sanur dan Danau Beratan Bedugul; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC Seat 2-2, Ferry penyeberangan pergi-pulang dan shutel bus pantai Kuta; menginap dua malam di Hotel AC (1 kamar 4 orang), 12 kali makan dan snack. Wisata dipandu oleh Tour Leader dan Guide Lokal. b) One Day Tour Fun Jakarta Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu lima hari empat malam, dengan tujuan wisata ke Jakarta untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Monumen Nasional (Monas), Taman Impian Jaya Ancol, Ocean Dream Samudra dan Dunia Fantasi; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC Tristar, Tunggal Daya dan Karya Jasa, makan dua kali prasmanan satu kali box, tiket obyek atau atraksi wisata, asuransi jiwa, Guide Lokal dan Tour Leader. c) Road to Jakarta Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu tiga hari, dengan tujuan wisata ke Jakarta, untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Planetarium, Monumen Nasional (Monas) Taman Mini Indonesia Indah (TMII), menyaksikan film di Theatre Imex Keong Mas, PP Iptek dan jalan-jalan di TMII, Ocean Dream Samudra Ancol, Dunia Fantasi, belanja di Cibaduyut; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC Teguh, Efisiensi, Tunggal Daya dan Karya Jasa, menginap satu malam di Graha Wisata Ragunan, makan sesuai program, tiket obyek wisata, Guide Lokal dan Tour Leader, Asuransi Jiwa dan Dokumentasi. d) Bromo Tour Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu empat hari, dengan tujuan wisata ke Probolinggo, untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Puncak Bromo, Puncak Penanjakan, Taman Safari Prigen, Jatim Park, Wisata Agro; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC, Hotel AC satu malam (1 kamar dua orang), makan, tiket obyek wisata, Guide Lokal dan Tour Leader, Asuransi Jiwa dan Dokumentasi. e) Bandung Tour Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu empat hari, dengan tujuan wisata ke Bandung, untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Situ Patenan, Kawah Putih, Belanja di Cihampelas, Ciater, Kawah Ratu Gunung Tangkuban Perahu, dan belanja di Cibaduyut; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC, Menginap satu malam di Wisma Diklat PPFNI Lembang, makan enam kali, Tiket Obyek Wisata, Guide Lokal dan Tour Leader, Asuransi Jiwa dan Dokumentasi. f) Pesona Pengandaran Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu dua hari, dengan tujuan wisata ke Pengandaran, untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Pantai Pengandaran Barat, Batu Hiu, Green Canyon; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC, Snack perjalanan dan makan (3 kali prasmanan dan 1 kali box), Menginap satu malam, Tiket Obyek Wisata, Tour Leader, Asuransi Jiwa dan Dokumentasi. g) Visit to Nagyogyakarto Paket wisata ini diselenggarakan dalam waktu dua hari, dengan tujuan wisata ke Yogyakarta untuk mengunjungi obyek wisata atau atraksi wisata Prambanan, Keraton Yogyakarta, Gembira Loka, Malioboro; Dengan fasilitas : Bus Pariwisata AC seat 2-3 kapasitas 59 tempat duduk (Tristar, Tunggal Daya, Karya Jasa), makan (2 kali prasmanan dan 1 kali box), Tiket Obyek Wisata, Tour Leader dan Guide Lokal, Asuransi Jiwa dan Dokumentasi. 2. Data sekunder berwujud bahan hukum primer, yaitu “Surat Perjanjian Paket Kunjungan Industri Jakarta SMK Bina Teknologi Purwokerto dengan CV. Trista Alfa Wisata 2.1. Para Pihak 2.1.1 Pihak I : SURATMAN Guru SMK Bina Teknologi Purwokerto, bertindak untuk dan atas nama Kepala Sekolah SMK Bina Teknologi Purwokerto, yang berkedudukan di Jl. Pahlawan VI/18 Tanjung Purwokerto. 2.1.2 Pihak II : INDRA SETIAWAN Direktur CV. Trista Alfa Wisata berkedudukan di Jl. Suparjo Rustam No. 1A Purwokerto, bertindak dalam jabatan sebagai Direktur CV. Trista Alfa Wisata. 2.2. Premissa Pada tanggal lima belas bulan April tahun dua ribu delapan, pihak panitia bertemu dengan Pihak II untuk membicarakan kunjungan industri ke Jakarta. Kemudian pada tanggal dua April tahun dua ribu delapan terjadi pembicaraan yang intinya, Pihak I setuju untuk menggunakan jasa pelayanan Paket Wisata dari Pihak II bagi siswa dan siswi SMK Bina Teknologi Purwokerto, yang akan dilaksanakan pada tanggal dua puluh lima sampai dengan dua puluh delapan bulan Juni tahun dua ribu delapan. 2.3. Tempat Tujuan Wisata Wisata Industri ini bertujuan ke Jakarta dengan kunjungan ke obyek wisata atau atraksi wisata satu tempat Kunjungan Industri, Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Taman Impian Jaya Ancol, Dunia Fantasi, Taman Mini Indonesia Indah. 2.4. Transportasi Armada yang digunakan adalah empat unit Bus Pariwisata TRISTAR dan dua unit Bus Pariwisata Selera Masa dengan fasilitas air condisioner, tape, video compact disc, televisi, dengan tempat duduk lima puluh sembilan tiap bus. 2.5. Akomodasi Pihak II menyediakan : 2.5.1.Makanan sebanyak empat kali prasmanan dan dua kali lunch box. 2.5.2. Tiket obyek wisata dan biaya parkir di tempat obyek wisata. 2.5.3. Tour leader satu orang dalam setiap bus. 2.5.4. Asuransi Jiwa untuk setiap orang. 2.5.5. Dokumentasi dalam bentuk VCD hasil rekaman kegiatan sebanyak satu keping untuk group. 2.6. Harga Paket Wisata Biaya tour disepakati oleh kedua pihak Rp. 406.000,- (empat ratus enam ribu rupiah) per orang untuk jumlah peserta sebanyak 310 siswa/ siswi dan 24 guru pendamping. 2.7. Mekanisme Pembayaran Pembayaran pertama sebesar 30 % dari total nilai kontrak di bayar pada saat penandatangan perjanjian, kedua, 60 % dari total nilai kontrak dilakukan pada tanggal empat bulan April tahun dua ribu delapan dan ketiga, pelunasan sebesar 10 % dari total nilai kontrak dilakukan satu hari setelah pelaksanaan. B. Pembahasan Untuk mendapatkan kesimpulan terhadap perumusan masalah yang diteliti yaitu tentang bentuk konstruksi hukum dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata sebagai biro perjalanan wisata dan mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul bagi para pihak dalam Perjanjian Paket Kunjungan Industri Jakarta serta tanggung jawab hukum Biro Perjalanan Wisata di CV.Trista Alfa Wisata Purwokerto apabila terjadi wanprestasi, maka disajikan pembahasan akan dibagi menjadi dua yaitu pembahasan umum yang membahas kajian teoritis tentang konstruksi hukum perjanjian paket wisata dan kedua mengenai akibat hukum dari perjanjian paket wisata. 1. Pembahasan Umum Untuk mengetahui secara teoritis tentang konstruksi hukum perjanjian paket wisata, maka pembahasan akan dilakukan dengan menyajikan hal-hal tentang kepariwisataan dan aspek hukum perjalanan wisata dalam hubungan dengan peraturan hukum dan doktrin yang mengatur dan menjelaskan Hukum Perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dalam hubungannya dengan kepariwisataan. Menurut hukum positif Indonesia,78 istilah pariwisata diganti dengan “wisata” yang pengertiannya adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Orang yang melakukan wisata disebut wisatawan. Ciri pokok “wisata” ada tiga yaitu : pertama, perjalanan yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain; kedua, tinggal sementara di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal biasanya; ketiga, tujuan untuk bersenang-senang di tempat yang dituju. Aktivitas wisata yang demikian membutuhkan berbagai fasilitas yaitu79 : Transportasi, Akomodasi, Makan dan minum, Obyek wisata atau atraksi wisata, Tempat hiburan dan Tempat perbelanjaan. Secara sosiologis, wisata adalah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang, yang dilakukan pada saat seseorang bebas dari pekerjaan yaitu pada saat cuti atau libur, sehingga wisata diidentikan dengan “berlibur di daerah lain.” Berlibur di daerah lain, atau menggunakan waktu luang dengan melakukan wisata adalah salah satu ciri masyarakat modern. Dari aspek ekonomi wisata adalah aktivitas pelayanan yang dilakukan oleh bermacam-macam perusahaan yang secara bersama-sama menghasilkan 78 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2. 79 http://raymondfrans63.wordpress.com/2011/10/13/dasar-dasar-pariwisata/ Diakses tanggal 17 Desember 2011. barang dan jasa (good and service) yang dibutuhkan wisatawan yang disebut dengan “Industri Pariwisata.” 80 Hasil produksi dari “Industri pariwisata,” yang berupa barang-barang dan jasa-jasa (goods and service) disebut “produk wisata,” yang berupa rangkaian dari berbagai jasa atau pelayanan yang dihasilkan berbagai perusahaan seperti jasa : transportasi, akomodasi, pelayanan makan-minum, jasa hiburan dan lain-lain yang ditawarkan oleh masing-masing perusahaan secara terpisah. Dalam hal kesemua produk wisata tersebut yang terpisah sama sekali namun saling terkait dan saling melengkapi sedemikian digabungkan dalam satu kesatuan maka produkproduk wisata tersebut dinamakan paket wisata (package tour). Secara ketat istilah “paket wisata” adalah suatu wisata yang disusun dengan biaya tertentu, dalamnya dimana pengangkutan, di menginap, telah termasuk makam-minum, biaya-biaya hiburan, untuk menyaksikan obyek/atraksi wisata dan lain-lain yang dibuat khusus untuk itu. Dalam dunia kepariwisataan, perusahaan yang khusus mengatur dan menyelenggarakan perjalanan dalam bentuk paket wisata disebut Biro Perjalanan Wisata. Dengan demikian secara ringkas dapat dinyatakan bahwa dari aspek ekonomi kepariwisataan dipandang sebagai “industri pariwisata” yang menghasilkan “produk wisata” berupa barang-barang dan jasa-jasa (goods and service) yang dibutuhkan wisatawan. Keseluruhan dari produk wisata tersebut digabungkan dan dikemas dalam satu paket menjadi “paket wisata” (package tour) oleh untuk dijual kepada wisatawan, oleh Biro Perjalanan Wisata dalam bentuk Perjanjian Paket Wisata. 80 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 140 -141. Apabila pembahasan mengenai kepariwisataan dari aspek ekonomi pada akhirnya berujung pada perjanjian Paket Wisata, yang mewadahi pola penyelenggaraan wisata, maka terbukalah suatu dimensi baru dalam pembahasan kepariwisataan ini mengenai aspek hukum dari kegiatan wisata. Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pengintegrasian kepentingan dimaksudkan untuk menghindari tabrakan kepentingan sedangkan pengkoordinasian kepentingan dilakukan dengan cara mambatasi dan melindungi kepentingan tersebut. Hukum melindungi kepentingan orang dengan cara mengatribusi dan mendistribusi hak dan kewajiban setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Perlindungan paling nyata oleh hukum terhadap setiap hubungan hukum tertuang dalam Hukum Perjanjian, dimana hukum secara seksama mengatur tentang bagaimana kepentingan-kepentingan orang dapat terselenggara dan terpenuhi. Dalam Hukum Kodifikasi pada dasarnya semua hubungan hukum yang terjadi dan populer dalam masyarakat ketika kodifikasi dibuat sebenarnya telah diatur dalam Hukum Perdata khususnya Hukum Perjanjian. Perjanjian-perjanjian yang telah diatur secara khusus dan diberi nama tertentu, disebut perjanjian bernama (onbenoemde atau innominaat contracten), adalah : Jual-beli, Tukar-menukar, Sewa-menyewa, Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan, Persekutuan, Hibah, Penitipan Barang, Pinjam Pakai, Pinjam-meminjam, Bunga Tetap atau Bunga Abadi, Perjanjian Untunguntungan, Pemberian Kuasa, Penanggungan dan Perdamaian, sedangkan Perjanjian Bernama yang diatur dalam KUHD antara lain Perjanjian Pengangkutan. Subekti mengatakan bahwa dengan dianutnya asas kebebasan berkontrak (contacts vrijheid atau partij-autonomie) dalam Hukum Perjanjian yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian (Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata), maka setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur dalam undang-undang.81 Salah satu perjanjian yang dikenal dalam praktik yang tidak diatur dalam undang-undang selain perjanjian in de kost, pemborongan pekerjaan (menyediakan makanan) dan sewa-beli, adalah Perjanjian Paket Wisata, yang di dalamnya berisi unsur-unsur pelayanan jasa tetapi terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga perjanjian yang demikian itu tak dapat dipisahpisahkan. Dalam ranah Hukum Perjanjian sebagaimana dikemukakan J.Satrio, perjanjian yang demikian dimana di dalamnya mengandung unsur-unsur perjanjian bernama, tetapi terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga perjanjian yang demikian itu tak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri sendiri, disebut “Perjanjian Campuran.” Ciri dari perjanjian campuran adalah yang mempunyai dua atau atau lebih perjanjian bernama (onbenoemde atau innominaat contracten).82 81 82 Subekti, 1983, Op.cit. hal. 14. Ibid. hal. 118. Beberapa unsur perjanjian bernama yang terdapat dalam perjanjian Paket Wisata adalah perjanjian pengangkutan (transportasi), perjanjian sewamenyewa kamar hotel (akomodasi), perjanjian jual-beli makanan dan minuman, perjanjian untuk menikmati obyek wisata dan hiburan (entertaiment) dan perjanjian pelayanan lain-lain. Menurut menurut M.A. Desky, Paket Wisata minimal harus berisi dua pelayanan jasa saja,83 sehingga dalam perjanjian Paket Wisata dapat hanya terdiri dari dua unsur perjanjian yaitu paling tidak perjanjian pengangkutan dan perjanjian pelayanan untuk menikmati obyek wisata. Pertanyaan yang muncul adalah apakah konstruksi hukum perjanjian campuran seperti halnya perjanjian paket wisata yang demikian ? Permasalahan tentang Konstruksi perjanjiian campuran akan dibahas dengan mengemukakan teori-teori hukum yang dibuat oleh para penulis ketika dihadapkan pada permasalahan mengenai peraturan hukum perjanjian bernama manakah yang harus diterapkan pada perjanjian campuran, dalam uraian berikut. Di kemukakan oleh J. Satrio, ada tiga teori hukum mengenai cara menerapkan peraturan-peraturan hukum perjanjian bernama pada perjanjian campuran yaitu84 : 1) Teori Absorpsi Menyatakan bahwa perjanjian campuran tersebut dilihat terlebih dulu unsur mana perjanjian bernama yang paling menonjol, lalu diterapkan 83 M.A. Desky, Op.cit. hal 23. 84 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.cit. hal 118-124. peraturan perjanjian bernama yang paling menonjol (dominan) tersebut. Keberatan terhadap teori ini adalah tidak patokan untuk memutuskan mana yang dianggap paling pokok. 2) Teori Kombinasi atau Kumulasi Menyatakan, unsur perjanjian-perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu dalam perjanjian campuran dipisah-pisahkan, kemudian untuk masing-masing diterapkan ketentuan perjanjian yang cocok untuk tiap-tiap unsur tersebut. Menurut Hofman, teori ini tidak benar, karena undang-undang sendiri tidak mengenal perjanjian campuran, paling-paling ketentuan-ketetntuan perjanjian bernama diterapkan secara analogis. 3) Teori Suigeneris Menyatakan, dalam perjanjian campuran, perjanjian-perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu tidaklah dapat dipisahkan, sehingga perjanjian yang demikian dipandang sebagai perjanjian yang tersendiri, sebagai perjanjian khusus yang mempunyai ciri tersendiri, sehingga peraturan perjanjian bernama yang unsur-unsurnya muncul dalam perjanjian tersebut diterapkan secara analogis. Dari ketiga teori tersebut Teori Absorpsi menghasilkan konstruksi hukum perjanjian campuran, adalah sama dengan konstruksi hukum perjanjian bernama yang dominan. Namun karena adanya keberatan terhadap teori ini yaitu tidak adanya patokan untuk memutuskan mana yang dianggap paling pokok, maka teori ini tidak dipakai. Teori Kombinasi atau Kumulasi tidak menghasilkan konstruksi hukum karena undang-undang memang tidak mengenal perjanjian campuran. Sedangkan Teori Suigeneris mengarahkan konstruksi hukum perjanjian campuran ke Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan. Menurut undang-undang yang dimaksud dengan “perjanjian melakukan pekerjaan” adalah perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk melakukan kerja dengan imbalan suatu upah atau kontra prestasi dari pihak lainnya. Di dalam sistematik KUH Perdata, “perjanjian melakukan pekerjaan“ (verichten van arbeid) diatur dalam Bab VII A yang berjudul “Tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan” (Overeenkomsten tot het verrichten van arbeid), Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1616. Dalam Pasal 1601 KUH Perdata dinyatakan : “Selainnya perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasajasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah : perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam perjanjian, yaitu : a) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; b) Perjanjian kerja/perburuhan; c) Perjanjian pemborongan-pekerjaan. Dari ketiga jenis “Perjanjian untuk melakukan pekerjaan” tersebut, KUH Perdata yang mengatur Perjanjian kerja/perburuhan dan Perjanjian pemborongan-pekerjaan, sedangkan Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu oleh undang-undang tidak diatur lebih lanjut. Menurut Subekti, tidak diaturnya “perjanjian untuk melakukan jasajasa tertentu” dalam Buku III KUH Perdata sebagai suatu bentuk “perjanjian khusus” adalah didasarkan alasan bahwa “perjanjian untuk melakukan jasajasa tertentu” sudah diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu, yaitu dalam perjanjian pemberian perintah (kuasa) dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan oleh kebiasaan.85 Menurut Hartono Soerjopratiknjo, “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” dibedakan menjadi dua yaitu : Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu yang menimbulkan perwakilan dan yang tidak menimbulkan perwakilan. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu yang menimbulkan perwakilan diatur dalam Buku III Bab XVI tentang Lastgeving atau Perjanjian Pemberian Perintah yang mengandung kuasa.86 Sedangkan H.F.A. Vollmar menegaskan bahwa apabila “perjanjian untuk melakukan pekerjaan,” tidak termasuk dalam pengertian “perjanjian kerja/perburuhan,” ataupun tidak pula termasuk dalam pengertian “perjanjian pemborongan,” maka itu adalah “perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu.”87 Dengan demikian menurut penulis, pada hakikatnya yang dimaksud 85 Subekti, op.cit., hal. 57. Hartono Soerjopratiknjo, 1982, Perwakilan Berdasarkan Kehendak, Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal 42. 87 H.F.A. Vollmar, H.F.A. Volmar, 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II Cetakan I, Rajawali Pers, Jakarta. hal. 340. 86 dengan Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, adalah perjanjian yang bukan “perjanjian kerja/perburuhan,” bukan “perjanjian pemborongan,” dan bukan pula “perjanjian pemberian perintah (kuasa). Dalam hal ini terdapat penjelasan dari penulis hukum yaitu : a. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” adalah perjanjian untuk melakukan satu dua pekerjaan tertentu (verrichten van enkele diensten).88 b. Subekti mengatakan bahwa “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” adalah perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedang apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu.89 Dari kedua pendapat tersebut kiranya dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” adalah perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya beberapa pekerjaan tertentu untuk mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedang apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Karena yang dimaksud dengan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang 88 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, hal. 67. 89 Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Alumni Bandung, hal.70. atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri,90 maka dapat disimpulkan bahwa Konstruksi Hukum “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” (verrichten van enkele diensten) dapat dirumuskan sebagai berikut : Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah perjanjian dimana suatu pihak mengikatkan diri untuk melakukan beberapa pekerjaan tertentu untuk mencapai sesuatu tujuan, dan pihak yang lain untuk membayar upah yang telah dijanjikan. Apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan Perjanjian Paket Wisata yang berisi kesepakatan tentang penyelenggaraan perjalanan wisata yang di dalamnya berisi minimal dua pelayanan jasa atau lebih maka dapat disimpulkan dapat lebih lanjut bahwa konstruksi perjanjian paket wisata dapat dirumuskan : Perjanjian Paket Wisata adalah perjanjian dimana Biro Perjalanan Wisata mengikatkan diri untuk melakukan jasa-jasa atau pekerjaan pengangkutan,akomodasi, makan/minum dan menikmati obyek/atraksi wisata dalam rangka penyelenggaraan wisata, dan pihak yang lain untuk membayar upah yang telah dijanjikan. Perjanjian Paket Wisata sebagai spesies dari genus “perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu,” tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, oleh karena itu perjanjian tersebut tunduk pada Ketentuan Umum Buku III KUH Perdata dan berdasarkan Teori Suigeneris tunduk pada peraturan perjanjian bernama yang secara analogis. 90 J. Satrio, 1992. Op.cit hal. 20-23. 2. Tentang konstruksi hukum dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata sebagai biro perjalanan wisata. Sebelum membahas tentang konstruksi hukum dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata sebagai biro perjalanan wisata, terlebih dahulu dideskripsikan konstruksi hukum perjanjian Paket Wisata hasil dari Pembahasan Umum, sebagai dasar hukum yang dijadikan sebagai hukum in abstracto mengenai Perjanjian Paket Kunjungan Industri yang diselenggarakan oleh CV.Trista Alfa Wisata. Telah disimpulkan bahwa konstruksi hukum Perjanjian Paket Wisata secara umum adalah sebagai berikut : Perjanjian Paket Wisata adalah perjanjian dimana Biro Perjalanan Wisata mengikatkan diri untuk melakukan jasa-jasa atau pekerjaan pengangkutan,akomodasi, makan/minum dan menikmati obyek dan atau atraksi wisata dalam rangka penyelenggaraan wisata, dan pihak yang lain untuk membayar upah yang telah dijanjikan. Dalam “perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu,” pihak-pihaknya disebut pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan, dalam hal Perjanjian Paket Wisata maka pihak pemberi perjanjian adalah wisatawan dan pihak penerima pekerjaan adalah Biro Perjalanan Wisata. Dari data 1 dan 2 dapat dideskripsikan bahwa CV. Trista Alfa Wisata adalah Biro Perjalanan Wisata, yaitu perusahaan atau badan usaha yang merencanakan dan menyelenggarakan perjalanan wisata sebagaimana tertuang dalam “Surat Perjanjian Paket Kunjungan Industri Jakarta antara SMK Bina Teknologi Purwokerto dengan CV. Trista Alfa Wisata. Dari data 2.1. dan 2.6 dapat dideskripsikan bahwa wisatawannya adalah rombongan SMK Bina Teknologi Purwokerto, yang terdiri dari 310 siswasiswi dan 24 guru pendamping dan kegiatan wisata dilaksanakan selama tiga malam dua hari mulai tanggal 25 sampai dengan 28 Juni 2008. Dari data 2.3. dapat dideskripsikan bahwa Wisata Industri ini bertujuan ke Jakarta dengan kunjungan ke obyek/atraksi wisata : satu tempat Kunjungan Industri, Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Taman Impian Jaya Ancol, Dunia Fantasi, Taman Mini Indonesia Indah. Dikemukakan oleh Oka A Yoeti, bahwa yang disebut dengan Wisata Industri (Industrial Tourism), yaitu jenis perjalanan wisata yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau mahasiswa atau orang awam ke suatu kompleks atau daerah perindustrian, dimana terdapat pabrik-pabrik atau bengkel-bengkel besar dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau penelitian.91 Berdasarkan data-data tersebut setelah dihubungkan dengan pengertian Perjanjian Paket Wisata serta pengertian Wisata Industri maka dapat dinyatakan bahwa : a. Subyek Perjanjian (Pihak-pihak dalam perjanjian) 1) Pihak pemberi pekerjaan adalah SMK Bina Teknologi Purwokerto. 2) Pihak penerima pekerjaan adalah CV. Trista Alfa Wisata. 91 Oka A Yoeti, 1987. Op.cit. hal 116. b. Obyek Perjanjian (Jenis pekerjaan) Menyelenggarakan perjalanan Wisata Industri. Tujuan Jakarta dengan maksud untuk meninjau atau melakukan penelitian di satu tempat Kunjungan Industri dan untuk menikmati obyek/atraksi wisata : Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Taman Impian Jaya Ancol, Dunia Fantasi, Taman Mini Indonesia Indah. Selanjutnya dari data-data berikut ini dapat dinyatakan beberapa hal : 1. Data 2.4. dan 2.5. dapat dideskripsikan bahwa fasilitas jasa yang disediakan meliputi : Transportasi : Armada yang digunakan adalah empat unit Bus Pariwisata TRISTAR dan dua unit Bus Pariwisata “Selera Masa” air condisioner, tape, video compact disc, televisi, dengan tempat duduk lima puluh sembilan tiap bus; Akomodasi : tidak ada; Makan sebanyak empat kali prasmanan dan dua kali lunch box; Tiket obyek wisata dan biaya parkir di tempat obyek wisata; Tour leader satu orang dalam setiap bus; Asuransi Jiwa untuk setiap orang; Dokumentasi dalam bentuk VCD hasil rekaman kegiatan sebanyak satu keping untuk group. 2. Dari data 2.6. dapat dideskripsikan bahwa biaya tour disepakati oleh kedua pihak adalah Rp. 406.000,- (empat ratus enam ribu rupiah) per orang untuk jumlah peserta sebanyak 310 siswa/ siswi dan 24 guru pendamping. 3. Dari data 2.7. dapat dideskripsikan bahwa mekanisme pembayaran dilakukan tiga tahap yaitu pertama sebesar 30 % dari total nilai kontrak di bayar pada saat penandatangan perjanjian, kedua, 60 % dari total nilai kontrak, pelunasan sebesar 10 % dari totoal nilai kontrak dilakukan satu hari setelah pelaksanaan. Berdasarkan data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa substansi dari pekerjaan yang harus dilakukan oleh pihak penerima pekerjaan adalah : 1) Melakukan pengangkutan dengan menggunakan empat unit Bus Pariwisata TRISTAR dan dua unit Bus Pariwisata “Selera Masa” dengan perlengkapan air condisioner, tape, video compact disc, televisi, dengan tempat duduk lima puluh sembilan tiap bus. 2) Memberi makan sebanyak empat kali prasmanan dan dua kali lunch box. 3) Memberi Tiket obyek wisata dan biaya parkir di tempat obyek wisata. 4) Menyertakan satu orang Tour leader dalam setiap bus. 5) Membayar premi Asuransi Jiwa untuk setiap orang. 6) Memberi Dokumentasi dalam bentuk VCD hasil rekaman kegiatan sebanyak satu keping untuk group. Atas pelayanan jasa-jasa dari penerima pekerjaan, pemberi pekerjaan dikenakan biaya berdasarkan perhitungan penjumlahan satuan biaya perorangan yaitu : 334 x Rp. 406.000,- = Rp. 135.604.000,- yang dibayar tiga kali yaitu tahap pertama tanggal 23 Juni 2008 sebesar 30 % x Rp. 135.604.000,- = Rp. 40.681.200,- kedua tanggal 4 April 2008 sebesar Rp. 60 % x Rp. 135.604.000,- = Rp. 81.362.400,- dan pada tanggal 29 Juni sebesar 10 % x Rp. 135.604.000,- = Rp. 13.560.400,Dalam kaitannya dengan perihal “perjanjian,” J. Satrio mengemukakan beberapa pernyataan bahwa : 1) Perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.92 2) Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban yang disebut perikatan, dan satu perjanjian menimbulkan banyak perikatan. Apabila data-data tersebut dan dihubungkan dengan pernyataan J. Satrio mengenai pengertian dan isi perjanjian, maka dapat dinyatakan bahwa : 1. CV. Trista Alfa Wisata pihak penerima pekerjaan mengikatkan diri untuk melakukan pekerjaan menyelenggarakan perjalanan Wisata Industri. 2. SMK Bina Teknologi Purwokerto pihak pemberi pekerjaan mengikatkan diri untuk membayar upah. Berdasarkan kesepakatan tersebut terjadilah Perjanjian Paket Wisata Industri antara CV. Trista Alfa Wisata dengan SMK Bina Teknologi Purwokerto, dan dengan lahirnya perjanjian tersebut menimbulkan akibat hukum lahirnya perikatan yaitu hubungan hak dan kewajiban diantara para pihak. Dari keseluruhan uraian tersebut maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1) Konstruksi hukum Konstruksi dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata dengan SMK Bina Teknologi Purwokerto adalah berupa Perjanjian Paket Wisata Industri. Dengan lahirnya Perjanjian Paket Wisata Industri tersebut 92 J. Satrio, 1992. Op.cit hal. 20-23. menimbulkan akibat hukum berupa lahirnya seperangkat perikatan yang berisi hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak. 2) Hak dan Kewajiban para pihak a. Seperangkat kewajiban pokok pada penerima pekerjaan yaitu meliputi: 1. Melakukan pengangkutan dengan menggunakan empat unit Bus Pariwisata TRISTAR dan dua unit Bus Pariwisata “Selera Masa” dengan perlengkapan air condisioner, tape, video compact disc, televisi, dengan tempat duduk lima puluh sembilan tiap bus; Memberi makan sebanyak empat kali prasmanan dan dua kali lunch box. 2. Memberi Tiket obyek wisata dan biaya parkir di tempat obyek wisata. 3. Menyertakan satu orang Tour leader dalam setiap bus. 4. Membayar premi Asuransi Jiwa untuk setiap orang. 5. Memberi Dokumentasi dalam bentuk VCD hasil rekaman kegiatan sebanyak satu keping untuk group. b. Satu kewajiban pokok pada pemberi pekerjaan yaitu membayar upah pekerjaan sebesar = Rp. 135.604.000,- secara bertahap yaitu tahap pertama (30 %) = Rp. 40.681.200,- kedua (60 %) = Rp. 81.362.400,dan ketiga (10 %) = Rp. 13.560.400,Sehubungan dengan perumusan perjanjian J.Satrio mengatakan bahwa suatu perumusan perjanjian selalu menonjolkkan ciri-ciri khas yang terkandung dalam apa yang hendak dirumuskan dan perumusan perjanjian selalu menonjolkan isi prestasi pokok dari salah satu atau kedua belah pihak; seperti pada perjanjian jual-beli, pasti menyebutkan pihak satu berkewajiban membayar sejumlah uang dan kontra prestasi yang lain menyerahkan barang.93 Apabila pernyataan tersebut dihubungkan dengan perumusan Perjanjian Paket Wisata khusunya Perjanjian Paket Wisata Industri sebagai telah dideskripsikan, maka mengingat bahwa perjanjian tersebut adalah merupakan perjanjian campuran, maka ciri-ciri khas yang terkandung dalam perjanjian Perjanjian Paket Wisata Industri ini adalah ditonjolkannya seperangkat prestasi melakukan pekerjaan pada pihak yang satu sedangkan dan satu kontra prestasi yang lain yaitu membayar upah. 3. Tentang tanggung jawab hukum Biro Perjalanan Wisata di CV.Trista Alfa Wisata Purwokerto apabila terjadi wanprestasi Untuk membahas tentang tanggungjawab pihak yang wanprestasi, maka pertama akan dibahas mengenai pengertian dan bentuk-bentuk wanprestasi menurut KUH Perdata dan Doktrin Hukum Perdata. Perjanjian obligator senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak yang lain. Pihak yang berhak menuntut disebut pihak berpiutang atau kreditur dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berutang atau debitur, sedang apa yang menjadi hak dari kreditur dan kewajiban bagi debitur dinamakan prestasi. 93 J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan tanggung Menanggung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 11. Berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi dalam perjanjian dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : memberikan sesuatu, melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan. Jika seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya dengan sempurna, tepat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, maka dikatakan bahwa debitur telah menunaikan prestasi atau berprestasi. Sebaliknya jika debitur tidak memenuhi kewajibannya dengan sempurna tepat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, menurut hukum debitur tersebut dikatakan wanprestasi atau cidera janji. J. Satrio menjelaskan ada tiga kemungkinan bentuk-bentuk tindakan wanprestasi yaitu jika : debitur sama sekali tidak berprestasi; debitur keliru berprestasi atau debitur terlambat berprestasi. 94 Wanprestasi ini ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai kesalahan.95 Subekti menyatakan, apabila terjadi wanprestasi, maka kreditur mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan. Kemungkinan pilihan tersebut adalah berupa tuntutan pemenuhan perjanjian meliputi : pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; ganti rugi saja; pembatalan perjanjian; pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. 96 Bahwa yang dimaksud dengan tanggungjawab dalam wanprestasi adalah tentang apa yang dapat dituntut terhadap seorang debitur yang telah 94 J. Satrio, 1993, op.cit., hal. 122. A. Qirom Syamsudin Meliala,op.cit, hal. 26. 96 Subekti, op.cit., hal. 53. 95 berada dalam keadaan wanprestasi. Berdasarkan pengertian tersebut apabila dihubungkan dengan beberapa kemungkinan pilihan tuntutan sebagaimana disebut, maka dapat dinyatakan bahwa tanggungjawab seorang debitur bila telah berada dalam keadaan wanprestasi adalah : 1) Tetap melaksanakan pemenuhan perjanjian; 2) Tetap melaksanakan pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3) Membayar ganti rugi saja; 4) Pembatalan perjanjian; atau 5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. Apabila jenis-jenis tanggungjawab debitur dalam hal wanprestasi tersebut dihubungkan dengan Perjanjian Paket Wisata Industri antara oleh CV.Trista Alfa Wisata dengan SMK Bina Teknologi Purwokerto, dengan didasarkan atas ada seperangkat kewajiban pada CV.Trista Alfa Wisata sebagai pihak penerima pekerjaan, maka dapat dinyatakan bahwa ada beberapa kemungkinan bentuk tanggungjawabnya, yaitu : 1) Tetap menyelenggarakan perjalanan wisata tanpa atau dibebani ganti rugi. 2) Pembatalan perjanjian tanpa atau dengan dibebani ganti rugi. BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Secara teoritis konstruksi hukum dari hubungan yang diadakan oleh CV.Trista Alfa Wisata sebagai Biro Perjalanan Wisata adalah termasuk dalam genus “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” (verrichten van enkele diensten) dengan species Perjanjian Paket Wisata yang perumusannya : “Perjanjian Paket Wisata dimana Biro Perjalanan Wisata mengikatkan diri untuk melakukan jasa-jasa atau pekerjaan pengangkutan, akomodasi, makan/minum dan menikmati obyek dan atau atraksi wisata dalam rangka penyelenggaraan wisata, dan pihak yang lain untuk membayar upah yang telah dijanjikan.” 2. Hak dan kewajiban para dapat dirinci sebagai berikut : a. Kewajiban pokok Biro Perjalanan Wisata CV.Trista Alfa Wisata sebagai penerima pekerjaan adalah melakukan seperangkat pelayanan jasa-jasa pengangkutan, akomodasi, makan/minum dan menikmati obyek/atraksi wisata dalam rangka penyelenggaraan wisata. b. Kewajiban SMK Bina Teknologi Purwokerto sebagai pemberi pekerjaan adalah membayar upah. Terdapat kemungkinan beberapa bentuk tanggungjawab Biro Perjalanan Wisata CV.Trista Alfa Wisata apabila melakukan wanprestasi yaitu : tetap menyelenggarakan perjalanan wisata tanpa atau dibebani ganti rugi serta pembatalan perjanjian tanpa atau dengan dibebani ganti rugi. B. Saran Format perjanjian paket wisata pada Biro Perjalanan Wisata CV.Trista Alfa Wisata sebaiknya disempurnakan agar tidak berupa pernyataan penawaran (aanbod), melainkan berupa rincian hak dan kewajiban para pihak. agar lebih jelas dan mudah dipahami lawan pihak (wisatawan). DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Desky, M.A, 2001. Pengantar Bisnis Biro Perjalanan. Jogjakarta : Adi Cita. HS, Salim. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak innominaat di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Meliala, Qirom Syamsudin, A. 1985. Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya.Yogyakarta : Liberty. Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty : Yogyakarta. Patrik, Purwakhid. 1982. Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Pitana, Gede, I dan Putu G Gayatri. 2004. Sosiologi Pariwisata. Andi:Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung : Sumur. Purwosutjipto, HMN. 1991. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Cetakan keempat Jakarta : Djambatan. Ronny Hanity Soemitro, 1987. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia. Satrio, J. 1992. Hukum Perjanjian.Bandung : . PT. Citra Aditya Bakti. -----------1995. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Soerjopratiknjo, Hartono. 1982. Perwakilan Berdasarkan Kehendak. Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: CV. Rajawali. Soekanto, Soerjono. 1983 Penegakan Hukum, Bandung : Bina Cipta. ------------------------ 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Subekti, 1983. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Internusa. ---------, 1981. Aneka Perjanjian. Bandung : Alumni Bandung. Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata, Andi : Yogyakarta. Volmar, H.F.A. 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid II Cetakan I, Jakarta:Rajawali Pers. Yoeti, Oka A, 2006. Ilmu Pariwisata, Sejarah, Perkembangan dan Prospeknya, Jakarta : PT. Perca. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐1987, Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung : Angkasa. B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisaataan. C. Internet http: //www.google.co.id/search=kepariwisataanIndonesia.Dari Internet, diakses tanggal 17 Desember 2011. http://fielduphly.multiply.com/journal/item/6.Diakses tanggal15 Desember 2011. http://www.thegrizaonline.com/ Diakses tanggal 17 Desember 2011.Diakses tanggal 17 Desember 2011. http://raymondfrans63.wordpress.com/2011/10/13/dasar-dasar-pariwisata/ Diakses tanggal 17 Desember 2011. File://localhost/K:/viever.php%2011.htm. Diakses tanggal 27 Desember 2011. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/Diakses tanggal 27 Desember 2011. http://raymondfrans63.wordpreess.com/biro-perjalanan-wisata aktvitasnya/.Diakses tanggal 17 Desember 2011. http://repository.usu.ac.id/bitstream/pariwisata-arwina.pdf/. Diakses tanggal 20 Desember 2011. http://www.hosting24.com/. Diakses tanggal 17 Desember 2011. http:// www.google.co.id//pengertian pariwisata secara umum dan source//, Diakses yanggal 15 Desember 2011. http: //www.google.co.id/search=kepariwisataanIndonesia/.Dari Internet, diakses tanggal 17 Desember 2011. D. Sumber Lain Company Profile CV. Trista Alfa Wisata ====================