ÿþM icrosoft W ord - ALLFIX siapjilid

advertisement
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA PASIEN KANKER SERVIKS YANG MENJALANI KEMOTERAPI
DI RS BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2006-2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Regina Citra Dewanti
NIM : 06 8114 153
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA PASIEN KANKER SERVIKS YANG MENJALANI KEMOTERAPI
DI RS BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2006-2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Regina Citra Dewanti
NIM : 06 8114 153
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
Halaman Persembahan
Ketika kekhawatiran datang menghampiriku…
Pencobaan menghimpitku…
dan jalanku terasa semakin menanjak…
Tuhan Yesus berkata :
“Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan
Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”
(Ibrani 13:5)
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan
yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah Firman
Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan
rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu
hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11)
Kupersembahkan karya kecil ini untuk :
Bapa di surga yang selalu ada di setiap langkah kehidupanku
Ibu dan Bapak terkasih yang selalu memberikan cinta dan dukungan
Sahabat-sahabatku tercinta serta
Almamaterku Universitas Sanata Dharma yang kubanggakan
v
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul
“EVALUASI
DRUG
THERAPY
PROBLEMS
PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK PADA PASIEN KANKER SERVIKS YANG MENJALANI
KEMOTERAPI DI RS BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN
2006-2008”. Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana
Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, kritik, dan saran demi terselesaikannya skripsi ini,
khususnya kepada :
1. Bapa di surga atas cinta dan berkat-Nya yang tak henti mengalir sepanjang
hidup penuls.
2. Ibu dan Bapak, terimakasih atas cinta, pengorbanan, motivasi dan dukungan
yang senantiasa diberikan.
3. Direktur RS Bethesda yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk
melakukan penelitian di RS Bethesda.
4. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
5. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu, tenaga, serta memberikan masukan dalam
penyusunan skripsi ini.
vii
6. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK. dan Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen
penguji atas waktu, kritik, dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.
7. Dosen-dosen di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang tidak
hanya memberikan bekal ilmu kepada penulis tetapi juga mengajarkan
penulis untuk menjadi pribadi yang lebih humanis.
8. Dra. Pramuji Eko Wardani, M.A.B., Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi RS
Bethesda yang telah bersedia meluangkan waktunya demi kelancaran
penelitian ini.
9. Bapak Sis Wuryanto, S.KM. selaku Kepala Instalasi Rekam Medis beserta
staf rekam medis (Bapak Zakharias Kurnia Purbobinuko dan Ibu Brigita Yuli
Purwanti) atas kemurahan hatinya dalam membantu penulis mengambil data
di bagian rekam medis.
10. dr. H. Rahardjo, Sp.OG selaku Ketua SMF Obstetri dan Ginekologi RS
Bethesda atas kerjasamanya dan ijin yang diberikan kepada penulis untuk
pengambilan data.
11. Bapak Yuson, staf bagian Pusmarsa RS Bethesda yang telah banyak
membantu penulis dalam mengurus perijinan penelitian ini.
12. Bapak Warijan beserta staf bagian SDM RS Bethesda yang telah membantu
penulis demi kelancaran penelitian ini.
13. Keluarga besar Marwan Partosoebroto (Pakde Pri, Bude Yeni, Pakde In,
Mbak Nung, Mbak Indi, Bayu, Mas Indra, Dek Ardo, Dek Andre, Dek Lina,
Dek Pandu, dan Adrian) terima kasih atas nilai-nilai hidup yang selama ini
viii
ditanamkan. Terima kasih pula atas cinta dan dukungan yang senantiasa
mengalir pada penulis.
14. Sahabatku Maria Fea Yessy, terimakasih atas persahabatan yang telah terjalin
selama 7 tahun ini, terimakasih atas suka, duka, tawa, tangis, dan tentunya
dukungan yang senantiasa diberikan.
15. Sahabatku Dewi Susanti, terimakasih karena telah memperkaya penulis
dengan perjalanan hidupnya yang luar biasa, terimakasih karena mau menjadi
tempat berbagi dan berdiskusi kala penulis menemui kesulitan.
16. Sahabat-sahabatku : Cita Indah, Giri Wardhana, Citra Puspitasari, Angelina
Septin, Maria Klara Dhika, Fidela Antonisca, Nugraheni Dwiari, Krisna
Purna, dan Adipraja Kusuma. Terimakasih untuk persahabatan, motivasi, dan
semangat yang senantiasa menyala dalam persahabatan kita.
17. Teman- teman FKK 06 khususnya kelas C : Helen, Esti, Mbak Siska, Yensi,
Atik, Lita, Ayem, Mbak Rian, Henny, Riri, Vivin, Rere, Ricky, Jefry, Felix,
Adi, dll serta teman- teman angkatan 2006 : Valida, Maya, Wiwit, Iren,
Grace, Iren Christina, Jati, Handa, Vita, Winny, dll yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis serta
atas dukungan yang diberikan. Tidak lupa teman-teman KKN dukuh Gersik
(Dewi, Erisa, Ambar, Adit, dan Lexy) yang senantiasa memberikan dukungan
kepada penulis.
18. Kakak angkatan, Mbak Marlin, Mbak Sarah, Mbak Flora. Terimakasih telah
bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan berdiskusi dengan penulis.
19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
ix
INTISARI
Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang terjadi pada leher
rahim. Salah satu bentuk pengobatan kanker serviks adalah kemoterapi. Efek
samping dari kemoterapi salah satunya adalah terjadi penekanan produksi sel-sel
darah termasuk komponen sel darah putih yang mengakibatkan pasien kanker
rentan terhadap infeksi. Sehingga diperlukan antibiotik untuk mengatasi infeksi
yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Therapy Problems
(DTPs) penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang menjalani
kemoterapi di RS Bethesda periode tahun 2006-2008.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan
rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Data diolah dengan
analisis deskriptif dengan bantuan tabel atau gambar serta dilakukan evaluasi
penggunaan antibiotiknya.
Jumlah pasien yang dianalisis sebanyak 18 pasien (20 kasus).
Karakteristik usia pasien terbanyak yakni 51-60 tahun (27,78%) dengan stadium
terbanyak IIa (38,89%), dan usia pasien pada saat menikah yang terbanyak yakni
< 20 tahun (60%). Terdapat 12 kelas terapi obat yang digunakan oleh kasus
dengan penggunaan terbesar yakni obat saluran cerna sebesar 90%. Pada
penggunaan antibiotik ditemukan 8 golongan antibiotik dengan golongan
terbanyak yang digunakan yaitu golongan sefalosporin sebesar 60%. Drug
Therapy Problems (DTPs) yang ditemukan adalah ada obat tanpa indikasi
sebanyak 6 kasus, butuh tambahan obat sebanyak 2 kasus, pemakaian obat yang
tidak efektif sebanyak 5 kasus, dosis terlalu rendah sebanyak 2 kasus, potensial
Adverse Drug Reaction (ADR) dan interaksi obat sebanyak 5 kasus, serta dosis
terlalu tinggi sebanyak 1 kasus
Kata kunci : Drug Therapy Problems (DTPs), antibiotik, kanker serviks,
kemoterapi
,
xii
ABSTRACT
Cervical cancer is a malignant disease on the uterus cervix.
Chemotherapy is one of medical treatments on cervical cancer. One of the side
effects caused by chemotherapy is the lessen production of blood cells including
the white blood cells components that can cause cancer patients become
susceptible due to infection. That is why antibiotics are needed to overcome the
infection. This research aims to evaluate Drug Therapy Problems (DTPs) of
antibiotics usage on the chemotherapy patients of cervical cancer in Bethesda
Hospital during 2006-2008 period.
This research is a non experimental research through descriptiveevaluative design with retrospective type. The data processing is with analyticdescriptive by using tables or diagram and also evaluating the antibiotics usage.
Total amount of patients that were analyzed is 18 patients (20 cases). The
largest amount characteristics of patient’s age range is 51-60 years old (27,78%)
with most stadium is IIa (38,89%), and the patient’s age when they were married
is < 20 years old (60%). There are 11 therapeutic classes of drugs that used by the
case, with largest amount of usage is gastrointestinal drugs (90%). In the use of
antibiotics we found 8 categories of antibiotics and the most used is the
cephalosporin with 60%. Drug Therapy Problems (DTPs) detected is unnecessary
drug therapy as much as 6 cases, need for additional drug therapy for 2 cases,
ineffective drugs for 5 cases, dosage too low for 2 cases, potentially Adverse Drug
Reaction (ADR) and drugs interactions for 5 cases, and dosage too high for 1
case.
Keywords: Drug Therapy Problems (DTPs), antibiotics, cervical cancer,
chemotherapy
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................ vi
PRAKATA............................................................................................................ vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ xi
INTISARI ............................................................................................................. xii
ABSTRACT........................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL................................................................................................ xix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xxii
BAB I PENGANTAR ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1. Perumusan masalah....................................................................................3
2. Keaslian penelitian.....................................................................................4
3. Manfaat penelitian .....................................................................................5
B. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1. Tujuan umum.............................................................................................5
xiv
2. Tujuan khusus ............................................................................................6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ................................................................... 7
A. Kanker.......................................................................................................... 7
B. Kanker Serviks............................................................................................. 8
1. Epidemiologi..............................................................................................8
2. Patofisiologi ...............................................................................................9
3. Etiologi.....................................................................................................10
4. Gejala dan tanda.......................................................................................11
5. Stadium ....................................................................................................11
6. Diagnosis .................................................................................................12
7. Prognosis..................................................................................................13
C. Kemoterapi................................................................................................. 13
1. Prinsip kemoterapi ...................................................................................13
2. Kemoterapi pada kanker serviks..............................................................14
3. Efek samping kemoterapi ........................................................................15
4. Penatalaksanaan netropeni febril .............................................................16
D. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker .................................................. 17
E. Infeksi Pada Kanker ................................................................................... 17
F.
Infeksi pada Kanker Serviks ...................................................................... 19
G. Antibiotika ................................................................................................. 19
xv
1. Definisi.....................................................................................................19
2. Prinsip penggunaan antibiotika................................................................20
3. Klasifikasi antibiotika ..............................................................................20
4. Antibiotika pada pembedahan histerektomi ............................................21
H. Drug Therapy Problems (DTPs)................................................................ 22
I.
Keterangan Empiris ................................................................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 25
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 25
B. Definisi Operasional .................................................................................. 25
C. Subyek Penelitian....................................................................................... 27
D. Bahan Penelitian ........................................................................................ 27
E. Lokasi Penelitian........................................................................................ 27
F.
Tata Cara Penelitian ................................................................................... 27
1. Tahap perencanaan ..................................................................................28
2. Tahap pengambilan data ..........................................................................28
3. Tahap penyelesaian data ..........................................................................29
G. Tata Cara Analisis Hasil ............................................................................ 30
1. Karakteristik pasien .................................................................................30
2. Profil penggunaan obat ............................................................................31
3. Profil penggunaan antibiotik....................................................................31
xvi
4. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)...............................................31
H. Kesulitan Penelitian ................................................................................... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 33
A. Karakteristik Pasien ................................................................................... 33
1. Persentase jumlah pasien berdasarkan stadium kanker serviks ...............33
2. Persentase jumlah pasien berdasarkan usia .............................................35
3. Persentase jumlah pasien berdasarkan usia menikah...............................36
B. Profil Penggunaan Obat Pasien Kanker Serviks ........................................ 37
1. Obat antineoplastik ..................................................................................39
2. Obat saluran cerna ...................................................................................40
3. Obat susunan saraf ...................................................................................41
4. Vitamin dan mineral ................................................................................42
5. Obat kardiovaskuler dan sistem hematopoeitik .......................................44
6. Suplemen makanan ..................................................................................45
7. Hormon ....................................................................................................46
8. Obat saluran nafas....................................................................................46
9. Obat sistem saluran kemih dan kelamin ..................................................47
10. Obat sistem muskuloskeletal ...................................................................47
11. Obat mulut dan tenggorokan....................................................................48
12. Antihistamin/anti alergi ...........................................................................48
xvii
13. Immunologi..............................................................................................48
C. Profil Penggunaan Antibiotik Pasien Kanker Serviks ............................... 48
D. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) Penggunaan Antibiotik ........... 55
1. Ada obat tanpa indikasi............................................................................56
2. Butuh tambahan obat ...............................................................................57
3. Pemakaian obat yang tidak efektif...........................................................58
4. Dosis terlalu rendah .................................................................................61
5. Potensial Adverse Drug Reaction (ADR) dan interaksi obat...................62
6. Dosis Terlalu Tinggi ................................................................................66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 67
A. Kesimpulan ................................................................................................ 67
B. Saran .......................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
LAMPIRAN.......................................................................................................... 74
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................................ 124
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel I.
Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO..................... 12
Tabel II.
Regimen Kemoterapi Kanker Serviks Menurut NCCN ................ 14
Tabel III.
Penyebab-penyebab Drug Therapy Problems (DTPs)................... 23
Tabel IV.
Kelas Terapi Obat yang Digunakan Oleh Kasus ........................... 38
Tabel V.
Golongan dan Jenis Obat Antineoplastik yang Digunakan oleh
Kasus.............................................................................................. 39
Tabel VI.
Golongan dan Jenis Obat Saluran Cerna yang Digunakan oleh
Kasus.............................................................................................. 40
Tabel VII.
Golongan dan Jenis Obat Susunan Saraf yang Digunakan oleh
Kasus.............................................................................................. 42
Tabel VIII. Golongan dan Jenis Vitamin dan Mineral yang Digunakan oleh
Kasus……………………………………...................................... 43
Tabel IX.
Golongan dan Jenis Obat Kardiovaskuler dan Sistem Hematopoeitik
yang Digunakan oleh Kasus…………….. .................................... 44
Tabel X.
Golongan dan Jenis Suplemen Makanan yang Digunakan oleh
Kasus ……………………………………..................................... 46
Tabel XI.
Golongan dan Jenis Obat Saluran Nafas yang Digunakan oleh
Kasus ……………………………………..................................... 46
Tabel XII.
Golongan dan Jenis Antibiotik yang Digunakan oleh
Kasus……………………………………...................................... 50
xix
Tabel XIII. Pengelompokan Kejadian DTP Berdasarkan Jenis DTP pada
Kasus…………………………….................................................. 56
Tabel XIV. Kelompok Kasus DTP Ada Obat Tanpa Indikasi……………...... 56
Tabel XV.
Kelompok Kasus DTP Butuh Tambahan Obat………………...... 57
Tabel XVI. Kelompok Kasus DTP Pemakaian Obat yang Tidak
Efektif……………………………………………... ..................... 58
Tabel XVII. Kelompok Kasus DTP Dosis Terlalu Rendah…………………. .. 61
Tabel XVIII. Kelompok Kasus DTP Adverse Drug Reaction (ADR) dan Interaksi
Obat………………………………………………........................ 62
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Rahim ..................................................................................... 8
Gambar 2. Persentase Jumlah Pasien Berdasarkan Stadium................................. 34
Gambar 3. Persentase Jumlah Pasien Berdasarkan Usia....................................... 35
Gambar 4. Persentase Jumlah Pasien Berdasarkan Usia Menikah ....................... 37
Gambar 5. Persentase kejadian DTP pada kasus .................................................. 55
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis DTPs Pada Kasus dengan Metode SOAP .......................... 74
Lampiran 2. Daftar Nilai Normal Pemeriksaan Laboratorium ........................... 119
Lampiran 3. Keterangan Tabel SOAP ................................................................ 119
Lampiran 4. Daftar Nama Dagang Obat dan Komposisinya .............................. 119
Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian dari RS Bethesda ........................................... 122
Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Menjalankan Penelitian ......................... 123
xxii
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan kanker pembunuh
nomor satu pada wanita di dunia ketiga (Norwitz dan Schorge, 2006). Di negaranegara maju, kanker serviks menempati urutan keempat setelah kanker payudara,
kolorektum, dan endometrium. Sedangkan di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia menempati urutan pertama (Rasjidi, 2009). Di seluruh dunia,
diperkirakan ± 80% insidensi kanker serviks terjadi di negara-negara berkembang
dengan kejadian 500.000 kanker serviks baru dan 250.000 kematian setiap
tahunnya (Suwiyoga, 2006). Di Amerika terdapat 10.370 kasus baru dan 3710
kematian tiap tahunnya (Norwitz dan Schorge, 2006), sedangkan di Indonesia,
diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap tahunnya
(Rasjidi, 2009).
Satu dari 63 bayi wanita yang lahir akan menderita kanker
serviks, 9% penderita kanker serviks berumur ≤ 35 tahun, dan 53% kanker serviks
in situ terjadi pada usia < 35 tahun, sedangkan survival rate akan baik pada
penderita < 45 tahun (Anonim, 1996).
Salah satu perkembangan dalam terapi kanker serviks adalah adanya
peningkatan peranan kemoterapi. Beberapa tahun terdahulu kemoterapi hanya
berperan sebagai terapi paliatif. Tetapi pada perkembangannya, kemoterapi
digunakan sebagai terapi neoadjuvant sebelum dilakukan terapi radiasi maupun
pembedahan (Andrijono, 2005).
1
2
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obat sitotoksik untuk membunuh sel
kanker dengan menghentikan pembelahan sel. Dengan demikian kemoterapi tidak
hanya berefek pada sel kanker saja namun juga berefek terhadap sel normal yang
mempunyai kecepatan pembelahan yang sama atau mirip dengan sel kanker. Hal
ini dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan salah satunya adalah
terjadinya penekanan produksi sel-sel darah (kegagalan sumsum tulang) yang
mengakibatkan penurunan jumlah leukosit (leukopenia), dan penurunan jumlah
netrofil (neutropenia). Penurunan komponen sel darah putih tersebut dapat
menyebabkan pasien rentan terhadap penyakit infeksi (Reksodiputro, 2006).
Infeksi pada pasien kanker tidak hanya merupakan akibat dari
kemoterapi. Dalam Reksodiputro (2006) dinyatakan pula bahwa pasien kanker
rentan mengalami infeksi karena adanya penurunan daya tahan tubuh yang
disebabkan oleh penyakit kanker itu sendiri atau akibat berbagai pengobatan baik
bedah, radiasi maupun kemoterapi. Di samping itu berbagai prosedur tindakan
yang dilakukan pada pasien kanker baik dalam rangka diagnosis maupun untuk
terapi (infus obat, makanan, cairan) juga berperan dalam terjadinya infeksi.
Infeksi merupakan penyebab kematian paling utama pada pasien kanker di
samping perdarahan. Lebih dari 90% pasien kanker meninggal akibat infeksi,
perdarahan atau infeksi bersama perdarahan. Oleh karena itu diperlukan
penggunaan antibiotik untuk mencegah atau mengatasi infeksi yang kerap terjadi
pada pasien kanker.
Dalam menggunakan obat-obat antibiotika diperlukan pemilihan yang
tepat dan rasional untuk meminimalkan risiko kematian karena infeksi serta
3
mengingat bahwa penggunaan antibiotika yang tidak tepat dan rasional dapat
menimbulkan resistensi kuman. Untuk evaluasi kerasionalan dapat dilakukan
dengan mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan antibiotik
pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi.
Penelitian ini dilakukan di RS Bethesda karena penelitian ini belum
pernah dilakukan di rumah sakit tersebut. Rumah sakit Bethesda merupakan
rumah sakit swasta terbesar di Yogyakarta yang telah melakukan pelayanan
kefarmasian klinis dengan melakukan visit ke bangsal untuk meningkatkan
outcome terapi serta patient safety di rumah sakit tersebut (Anonim, 2009c).
Dari uraian di atas dapat diusulkan penelitian yang berjudul Evaluasi
Drug Therapy Problems (DTPs) Penggunaan Antibiotik pada Pasien Kanker
Serviks yang Menjalani Kemoterapi di RS Bethesda Yogyakarta periode tahun
2006-2008. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan menggunakan data rekam
medik pasien. Dari data rekam medik tersebut dapat diidentifikasi dan dievaluasi
adanya DTPs penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang menjalani
kemoterapi sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas layanan
RS Bethesda kepada pasien untuk mendapatkan outcome terapi yang optimal serta
untuk mendukung pelaksanaan patient safety di rumah sakit tersebut.
1.
Perumusan masalah
Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini antara lain :
a. Bagaimanakah karakteristik pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi
dan mendapatkan antibiotik di RS Bethesda periode tahun 2006-2008?
(berdasarkan stadium kanker serviks, usia, dan usia pada saat menikah).
4
b. Bagaimanakah profil penggunaan obat pada pasien kanker serviks yang
menjalani kemoterapi dan mendapatkan antibiotik di RS Bethesda periode
tahun 2006-2008?
c. Bagaimanakah profil penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang
menjalani kemoterapi di RS Bethesda periode tahun 2006-2008?
d.
Berapakah drug therapy problems yang terjadi terkait penggunaan antibiotik
pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di RS Bethesda
periode tahun 2006-2008 yang meliputi :
1. Ada obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
2. Butuh tambahan obat (needs additional drug therapy)
3. Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)
4. Dosis obat terlalu rendah (dosage too low)
5. Efek samping dan interaksi obat (adverse drug reaction)
6. Dosis obat berlebih (dosage too high)
2.
Keaslian penelitian
Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, penelitian mengenai
Identifikasi Drug Therapy Problems (DTPs) Penggunaan Antibiotik pada Pasien
Kanker Serviks yang Menjalani Kemoterapi di RS Bethesda Yogyakarta periode
tahun 2006-2008 belum pernah dilakukan. Penelitian terkait dengan masalah drug
therapy problems penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang pernah
dilakukan oleh peneliti lain adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Kanker Leher Rahim di Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2004 oleh Mexitalia (2005)
5
b. Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Kanker Leher Rahim yang
Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Periode Agustus
2004-Agustus 2008 oleh Marlinah (2009)
Perbedaan penelitian Mexitalia (2005) dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis terletak pada subyek, lokasi, dan waktu penelitian. Subyek penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini lebih spesifik yakni pasien kanker serviks
yang menjalani kemoterapi dan mendapatkan antibiotik. Perbedaan penelitian
Marlinah (2009) dengan penelitian ini terletak pada lokasi dan waktu penelitian.
Penelitian mengenai evaluasi drug therapy problems penggunaan antibiotik pada
pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di RS Bethesda Yogyakarta
periode tahun 2006-2008, sejauh ini belum pernah dilakukan.
3.
Manfaat penelitian
Hasil
penelitian
ini
memiliki
manfaat
praktis
sebagai
bahan
pertimbangan atau acuan dalam pemilihan antibiotika untuk pasien kanker serviks
yang mmenjalani kemoterapi. Sehingga dapat mendukung upaya pelaksanaan
patient safety di RS BethesdaYogyakarta.
B. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya
drug therapy problems penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang
menjalani kemoterapi di RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2006-2008.
6
2.
Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui karakteristik pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi
dan mendapatkan antibiotik di RS Bethesda periode tahun 2006-2008
(berdasarkan stadium kanker serviks, usia, dan usia pada saat menikah)
b. Menggambarkan profil penggunaan obat pada pasien kanker serviks yang
menjalani kemoterapi dan mendapatkan antibiotik di RS Bethesda periode
tahun 2006-2008
c. Menggambarkan profil penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks
yang menjalani kemoterapi di RS Bethesda periode tahun 2006-2008
d. Mengetahui seberapa besar drug therapy problems yang terjadi terkait
penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi
di RS Bethesda periode tahun 2006-2008 yang meliputi :
1. Ada obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
2. Butuh tambahan obat (needs additional drug therapy)
3. Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)
4. Dosis obat terlalu rendah (dosage too low)
5. Efek samping dan interaksi obat (adverse drug reaction)
6. Dosis obat berlebih (dosage too high).
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Kanker
Tumor terjadi akibat perubahan sel sehingga sel dapat melepaskan diri
dari mekanisme pengaturan pertumbuhan normal. Perubahan sel ini disebut
dengan transformasi yang merupakan gangguan kelainan (mutasi) di dalam genom
dari sel tersebut. Jadi kanker dapat dipandang sebagai suatu gangguan atau
kelainan genetik. Proses terjadinya tumor dinyatakan dengan istilah onkogenesis.
Onkogenesis merupakan proses yang berlangsung sangat lama (5-10
tahun). Hal ini disebabkan karena untuk menjadikan suatu tumor yang manifest
klinis dari satu sel yang mengalami transformasi dibutuhkan banyak pembelahan
sel. Selain itu, proses transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama, karena di
dalam sel kanker harus berakumulasi banyak mutasi.
Salah satu sifat terpenting kanker adalah kemampuan untuk tumbuh
infiltratif ke dalam jaringan sekitarnya. Sel-sel kanker dapat menembus ke dalam
saluran limfe dan dibawa ke kelenjar limfe atau ke dalam pembuluh darah dan
dibawa ke organ-organ lain yang dinamakan dengan pembentukan metastasis
(limfogen atau hematogen) (Bosman, 1996).
7
8
B. Kanker Serviks
Serviks (leher rahim) merupakan bagian terbawah dari rahim yang
menghubungkan rahim dengan vagina. Kanker serviks merupakan penyakit
keganasan yang terjadi pada leher rahim (Anonim, 2009b).
Gambar 1. Anatomi Rahim (Anonim, 2009b)
1.
Epidemiologi
Kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan di
Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi
sampai saat ini. Di Amerika serikat, kanker serviks memiliki Age Specific
Incidence Ratio (ASR) kurang lebih 20 kasus per 100.000 penduduk wanita per
tahun, sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat 40 ribu kasus baru kanker
serviks tiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat
laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki
jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu kurang lebih 36%.
9
Menurut data rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker
serviks sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi. Sebagian besar pasien datang
pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-IVB sebanyak 66,4%. Kasus dengan
stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi ginjal sebanyak 37,3% atau
lebih dari sepertiga kasus. Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks
invasif merupakan kanker yang paling berhasil diterapi dengan 5 (lima) years
survival rate sebesar 92% (Rasjidi, 2009).
2.
Patofisiologi
Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya dengan proses
metaplasia. Masuknya mutagen yang dapat mengubah sel secara genetik pada saat
fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang berpotensi ganas. Perubahan
ini biasanya terjadi di sambungan skuamosa-kolumnar. Sel yang mengalami
mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan
epitel yang disebut displasia (Sjamsuddin, 2001).
Dimulai dari displasia ringan kemudian displasia menjadi lebih tidak
teratur dan dapat bersamaan dengan berbagai variasi sel dan ukuran inti dengan
proses mitosis yang tampak normal di atas lapisan basal, perubahan ini dinamakan
displasia sedang. Walaupun perubahan-perubahan ini reversible, tetapi sering
disebut dengan CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia) derajad I-II. Tahap
berikutnya adalah displasia berat (CIN derajad III) yang ditandai dengan lebih
banyaknya variasi dari sel dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan
adakalanya proses ini mendekati lapisan permukaan. Pada CIN derajad III,
perubahan epitel belum sampai menginvasi jaringan stroma di bawahnya, tetapi
10
dapat berlanjut ke dalam kelenjar endoserviks, perubahan ini berupa karsinoma in
situ. Tahap berikutnya adalah kanker invasif. Berdasarkan biopsi yang dilakukan
secara berurutan dan dari data epidemiologi, diketahui bahwa proses perubahan
dari displasia ringan ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif memerlukan
waktu 10-15 tahun (Robbins dan Kumar, 1987).
3.
Etiologi
Saat ini banyak perhatian ditujukan pada kemungkinan peran Human
Papilloma Virus (HPV) sebagai agen penyebab kanker serviks. Berdasarkan data
epidemiologik dianggap bahwa HPV mempunyai peran penting terhadap
terjadinya karsinoma serviks dan stadium pendahulunya (displasia). Saat ini
dikenal kira-kira 70 macam tipe HPV. Terutama tipe HPV 6, 11, 16, dan 18 yang
sering terdapat dalam kelainan epitel vulva, vagina, dan serviks. HPV 6 dan 11
disebut tipe-tipe non onkogen, karena terutama dijumpai pada derajad rendah
displasia. Tipe onkogen HPV 16 dan 18 dijumpai pada derajad displasia yang
lebih tinggi dan karsinoma serviks (Trimbos dan Fleuren, 1996).
Keterlibatan HPV pada kejadian kanker dilandasi oleh beberapa faktor
(Sjamsuddin, 2001), yaitu :
a.
timbulnya keganasan pada binatang yang diinduksi dengan virus papilloma
b.
pada penelitian epidemiologik infeksi HPV ditemukan angka kejadian kanker
serviks yang meningkat
c.
DNA HPV sering ditemukan pada lesi intraepitel serviks.
Walaupun terdapat hubungan yang erat antara HPV dan kanker serviks,
tetapi belum ada bukti-bukti yang mendukung bahwa HPV merupakan penyebab
11
tunggal. Ada berbagai faktor yang meningkatkan risiko terkena kanker serviks
seperti menikah atau memulai aktivitas seksual terlalu muda (kurang dari 18
tahun), berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, seringnya
menderita infeksi di daerah kelamin, wanita yang hamil di usia muda dan
melahirkan banyak anak, serta wanita perokok (Rasjidi, 2009).
4.
Gejala dan tanda
Gejala dan tanda dari kanker serviks adalah :
a.
perdarahan setelah melakukan aktivitas seksual
b.
adanya keputihan
c.
perdarahan di luar siklus menstruasi
d.
timbul kembali haid sesudah menopause
e.
rasa sakit dan tidak nyaman selama melakukan aktivitas seksual
(Anonim, 2007a).
5.
Stadium
Stadium tumor ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik, kolposkopi,
histopatologi, dan survey metastasis (Tambunan, 1995).
Klasifikasi stadium kanker serviks menurut International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO) adalah seperti tercantum pada berikut
12
Tabel I. Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO
Karsinoma pra invasif
Stadium 0
Karsinoma in situ
Karsinoma invasif
Stadium I
Karsinoma terbatas pada leher rahim
Karsinoma mikroinvasif terdiagnosa secara mikroskopik, tanpa
Stadium IA
gejala klinik
Karsinoma dengan lesi yang lebih jelas dibandingkan
Stadium IB
stadium IA disertai gejala klinik
Karsinoma meluas hingga ke vagina, parametrium tidak
Stadium IIA
terlihat
Stadium IIB
Parametrium terlihat jelas
Karsinoma meluas hingga sepertiga bagian bawah
Stadium III
vagina atau dinding pelvis, terdapat hydronephrosis
Karsinoma meluas hingga sepertiga bagian bawah vagina,
Stadium IIIA
namun tidak meluas hingga dinding pelvis
Karsinoma meluas hingga dinding pelvis dan atau
Stadium IIIB
hydronephrosis atau ginjal tidak berfungsi
Stadium IV
Karsinoma meluas hingga ke pelvis dan mukosa rektum
Karsinoma meluas hingga organ terdekat (contohnya rektum)
Stadium IVA
dengan pemeriksaan biopsi yang positif
Stadium IVB
Karsinoma meluas hingga organ yang jauh
(MacKay, 2007)
6.
Diagnosis
Diagnosis yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan fisik yaitu
pemeriksaan abdomen bagian bawah untuk mengetahui kemungkinan adanya
massa di rongga abdomen (Tambunan, 1995).
Pada stadium pra kanker perlu dilakukan tes Pap (Pap smear) sebagai
upaya skrining kanker serviks, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi
jaringan dengan atau tanpa alat bantu seperti kolposkopi. Pada kanker yang
invasif selain pemeriksaan fisik dan biopsi juga diperlukan pemeriksaan
penunjang lainnya seperti sistoskopi (buli-buli), rektoskopi (rektum), foto paru,
ginjal, USG dan tambahan CT-scan atau MRI (Azis, 2001).
13
7.
Prognosis
Prognosis kanker serviks dipengaruhi oleh stadium, jenis histologi, dan
faktor pengobatan. Prognosis setelah pengobatan kanker serviks akan makin baik
jika lesi ditemukan dan diobati lebih dini (Tambunan, 1995).
Di Amerika Serikat, angka survival rate sebanding dengan stadium
kanker serviks yaitu : stadium 0, 99-100%; stadium IA, >95%; stadium IB-IIA,
80-90%; stadium IIB, 65%; stadium III, 40%; stadium IV, <20% (MacKay, 2007).
C. Kemoterapi
1.
Prinsip kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obat sitotoksik dalam terapi kanker
(Otto, 2003). Prinsip dasar kemoterapi (Davey, 2006) antara lain:
a.
merusak DNA dari sel-sel yang membelah dengan cepat sehingga memicu
apoptosis
b.
mencegah kejadian pembelahan sel
c.
menghambat sintesis DNA.
Abdulmuthalib (2006) menyatakan bahwa obat sitotoksik mempunyai
efek primer pada sintesis atau fungsi makromolekul, yaitu mempengaruhi DNA,
RNA, atau protein yang berperan dalam pertumbuhan sel kanker, sehingga sel
kanker menjadi mati. Kematian sel tidak terjadi pada saat sel terpapar dengan
obat. Seringkali, suatu sel harus melalui beberapa tahapan pembelahan sebelum
kemudian mati. Oleh karena hanya sebagian sel yang mati akibat obat yang
14
diberikan, dosis kemoterapi yang berulang harus terus diberikan untuk
mengurangi jumlah sel kanker.
Syarat dilakukannya kemoterapi (Anonim, 1996) antara lain :
a.
keadaan umum pasien baik
b.
konseling pada penderita
c.
fungsi hepar dan ginjal baik
d.
diagnosa histopatologik
e.
jenis kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
f.
riwayat terapi sebelumnya (radioterapi, kemoterapi, tradisional)
g.
hasil laboratorium:
1. Hb > 10g/dl
2. Leukosit > 5.000/mm3
3. Trombosit > 150.000/ mm3
2.
Kemoterapi pada kanker serviks
Berdasarkan guideline dari National Comprehensive Cancer Network
(NCCN) Clinical Practice Guidelines in Oncology: Cervical Cancer (2010),
regimen kemoterapi untuk kanker serviks adalah sebagai berikut :
Tabel II. Regimen Kemoterapi Kanker Serviks Menurut NCCN (2010)
First Line terapi
First line terapi
Second line terapi
tunggal
kombinasi
1. Cisplatin
1. Cisplatin/ Paclitaxel
1. Docetaxel
2. Carboplatin
2. Cisplatin/ Topotecan 2. Ifosfamide
3. Paclitaxel
3. Cisplatin/gemcitabine 3. Vinorelbine
4. Topotecan
4. Carboplatin/Paclitaxel 4. Irinotecan
5. Epirubicin
6. Mitomycin
7. 5-FU
15
3.
Efek samping kemoterapi
Selain menyerang sel-sel kanker yang sifatnya cepat membelah, obat-
obat sitotoksik terkadang juga mempunyai efek pada sel-sel tubuh normal yang
mempunyai sifat cepat membelah seperti rambut, mukosa (selaput lendir),
sumsum tulang, kulit, dan sperma. Beberapa efek samping yang terjadi akibat
kemoterapi adalah adanya mielosupresi atau supresi sumsum tulang yang
mengakibatkan trombositopenia (adanya perdarahan), anemia, dan leukopenia
(risiko infeksi) (Reksodiputro, 2006).
Neutropeni febril atau demam neutropeni merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi
dan dapat memberikan dampak kematian yang sangat besar bagi pasien apabila
tidak tertatalaksana dengan baik. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan pasien
jatuh ke dalam sepsis, syok septik, dan akhirnya meninggal.
Neutropeni adalah jumlah neutrofil (batang dan semen) kurang dari 1000
sel/mm3 dengan kecenderungan turun menuju 500 sel/mm3 dalam 2 hari
berikutnya. Demam adalah suhu oral ≥ 38°C dua kali pengukuran yang
berlangsung lebih dari 1 jam atau pada dua kali pengukuran dalam waktu 12 jam,
atau suhu oral ≥ 38,3°C dalam satu kali pengukuran dan tidak didapatkan tandatanda non infeksi (Ranuhardy, 2006).
Efek samping lain dari kemoterapi adalah kerusakan membran mukosa
yang menyebabkan nyeri pada mulut, diare dan stimulasi zona pemicu kemotaksis
yang menimbulkan mual dan muntah. Beberapa obat kemoterapi dapat
16
menyebabkan toksisitas yang spesifik terhadap organ, seperti ginjal (sisplatin) dan
saraf (vinkristin) (Davey, 2006).
4.
Penatalaksanaan Netropeni Febril
Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, beberapa pusat pengobatan
termasuk Indonesia, terlebih dahulu memberikan PAD (Partial Antibiotic
Decontamination) dengan tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna. Regimen PAD
dapat berupa kolistin, neomisin, pipemedik acid ditambah dengan anti jamur
profilaksis seperti flukonazol, itraconazol, atau amfoterisin B, atau dapat juga
regimen lain seperti kuinolon-siprofloksasin, bahkan yang sederhana dengan
kotrimoksazol.
Pada pasien netropeni febril sangat diperlukan pengobatan empirik
sebelum diperoleh hasil kultur mikrobiologi untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Prinsip pengobatan empirik pada netropeni febril adalah sebagai
berikut :
a.
prompt atau secepatnya karena cepat dan tingginya angka kematian
b.
empirik yang didasarkan pada surveillance, kondisi pasien dan kondisi
setempat
c.
bakterisidal lebih dipilih daripada antibiotik bakteriostatik pada keadaan
netrofil rendah
d.
broad spectrum untuk mencakup semua bakteri potensial pathogen
(Ranuhardy, 2006).
17
D. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker
Pengobatan suportif adalah pengobatan yang diberikan kepada pasien
kanker, yang menunjang pengobatan kanker. Pengobatan suportif ini sangat
penting sehingga tidak jarang lebih penting dari pengobatan kanker itu sendiri,
karena pengobatan suportif ini justru mengatasi masalah-masalah yang dapat
menyebabkan kematian pasien. Misalnya adanya anemia dan neutropenia pada
pasien kanker menyebabkan kemoterapi atau radiasi harus ditunda karena apabila
kemoterapi atau radiasi tetap dilakukan dan nilai lekosit dan Hb belum berhasil
dinaikkan maka dapat berakibat fatal pada pasien.
Pengobatan suportif bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum pasien.
Mundurnya keadaan umum pasien dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain
pertumbuhan tumor yang invasif, akibat tidak langsung dari kanker, akibat
pengobatan kanker, serta akibat hal yang tidak ada kaitannya dengan kanker.
Pengobatan suportif ini diberikan pada pasien kanker sebelum, selama, sesudah,
bahkan terkadang sampai berbulan-bulan setelah pengobatan kausal selesai.
Masalah suportif antara lain infeksi, pencegahan infeksi, masalah saluran cerna
(mual, muntah, diare), nyeri, perdarahan, mukositis, anoreksia, ansietas, depresi,
komplikasi neurologi, fatigue, upaya mencegah terjadinya serta menghambat
enzim siklooksigenase (COX-2), serta mencegah, deteksi dini, dan mengatasi
gangguan faal ginjal, hati, dan jantung (Reksodiputro, 2006).
E. Infeksi Pada Kanker
Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh
yang secara klinis mungkin tak tampak atau timbul cedera seluler akibat respon
18
antigen antibodi (Anonim, 2002). Infeksi merupakan penyebab kematian paling
utama pada pasien kanker di samping perdarahan. Sekitar 90% pasien kanker
meninggal akibat infeksi, perdarahan, atau infeksi bersama-sama dengan
perdarahan. Pasien kanker acapkali memiliki penurunan daya tahan tubuh yang
disebabkan oleh penyakit kanker itu sendiri atau akibat berbagai pengobatan baik
bedah, radiasi maupun kemoterapi. Di samping itu berbagai prosedur tindakan
bedah yang dilakukan pada pasien kanker baik dalam rangka diagnosis maupun
untuk terapi juga berperan dalam terjadinya infeksi.
Radiasi maupun penggunaan sitostatika dapat menyebabkan terjadinya
granulositopenia akibat penekanan fungsi sumsum tulang. Banyak penelitian yang
dapat membuktikan hubungan antara beratnya granulositopenia dan infeksi.
Penelitian Body menunjukkan bahwa pada pasien kanker, penurunan kadar
granulosit di bawah 1000 sel/mm3, di bawah 500 sel/mm3 dan di bawah 100
sel/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi berat, masing-masing
sebesar 10%, 19% dan 28%. Angka kematian pasien meningkat sampai dengan
80% pada pasien yang kadar granulositnya menetap di bawah 100 sel/mm3 selama
tujuh hari pertama infeksi. Keterlambatan penegakan diagnosis dan pemilihan
antibiotika yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya sepsis dan kematian
pasien (Reksodiputro, 2006).
Infeksi pada pasien kanker dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif
maupun positif. Akhir-akhir ini terjadi pergeseran pola kuman yang menginfeksi
pasien kanker. Dahulu, bakteri gram negatif merupakan organisme penginfeksi
utama pada pasien kanker, namun saat ini frekuensi infeksi oleh bakteri gram
19
negatif menurun dan sebaliknya infeksi oleh bakteri gram positif makin
meningkat (60-70%) terutama Staphylococcus epidermidis dan berbagai jenis
streptococcus (Drew, 2005).
F. Infeksi pada Kanker Serviks
Adanya penyakit ginekologik misalnya pada kanker serviks dapat
mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada vagina. Penelitian Mikamo, Sato,
Hayasaki, Kawazoe, Izumi, Ito dkk. (1999) menyatakan bahwa pada pasien
kanker serviks ditemukan adanya infeksi bakteri intravaginal aerob dan anaerob.
Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Gardnerella vaginalis yang
ditemukan pada 50% pasien kanker serviks. Gardnerella vaginalis merupakan
vaginosis bakterialis yang sensitif terhadap metronidazol (Anonim, 2000).
Segedi, Segedi, Radakovic, Ilic, dan Kojic (2005) menyatakan bahwa
antibiotik terapetik yang digunakan dalam penyakit keganasan ginekologik untuk
infeksi ringan dapat dimulai dengan monoterapi, sedangkan untuk infeksi sedang
sampai berat dapat digunakan kombinasi 3 golongan antibiotik yaitu sefalosporin
atau penisilin sintetik, aminoglikosida, dan metronidazol.
G. Antibiotika
1.
Definisi
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama
fungi yang dapat menghambat atau membasmi mikroba lain (Setiabudy dan Gan,
1995). Menurut Pratiwi (2008), antibiotik adalah semua substansi yang diketahui
20
memiliki kemampuan untuk menghalangi pertumbuhan organisme lain khususnya
mikroorganisme.
2.
Prinsip penggunaan antibiotika
Anonim (2000) menyatakan bahwa prinsip penggunaan antibiotika
didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan utama yaitu penyebab infeksi dan faktor
penderita
a.
Penyebab infeksi
Pemberian antibiotika yang paling ideal adalah berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologis. Di samping itu, untuk infeksi berat yang memerlukan
penanganan segera, pemberian antibiotika dapat segera dimulai setelah
pengambilan sampel bahan biologis untuk pemeriksaan kepekaan kuman.
b. Faktor penderita
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dari segi keadaan pasien
sebelum pemberian antibiotika antara lain : fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat
alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis), beratnya infeksi, usia,
kehamilan, dan laktasi.
3.
Klasifikasi antibiotika
Klasifikasi antibiotika berdasarkan strukturnya terbagi atas: penisilin,
sefalosporin, dan antibiotika beta laktam lainnya, tetrasiklin, aminoglikosida,
makrolida, kuinolon, sulfonamida, trimetoprim, dan antibiotika lain-lain seperti
kloramfenikol, klindamisin, vankomisin, spektinomisin, dan polimiksin (Anonim,
2000).
21
Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, antibiotika dibagi menjadi 2
golongan, yaitu yang menghambat pertumbuhan mikroba (bakteriostatik) dan
yang membunuh mikroba (bakterisid).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi menjadi 5 (lima)
golongan. Golongan pertama yaitu antibiotika yang mengganggu metabolisme sel
mikroba, yang termasuk dalam golongan ini adalah sulfonamida, trimetoprim,
asam p-aminosalisilat, dan sulfon. Golongan kedua yaitu antibiotika yang
menghambat sintesis dinding sel mikroba. Antibiotika yang termasuk dalam
golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.
Golongan ketiga yaitu antibiotika yang mengganggu permeabilitas membran sel
mikroba. Antibiotika yang termasuk dalam golongan ini adalah polimiksin,
golongan polien, serta berbagai antimikroba kemoterapeutik. Golongan keempat
yaitu antibiotika yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Contohnya
adalah golongan aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin, dan
kloramfenikol. Golongan kelima yaitu antibiotika yang menghambat sintesis asam
nukleat sel mikroba. Contohnya adalah rifampisin, dan golongan kuinolon
(Setiabudy dan Gan, 1995).
4. Antibiotika pada pembedahan histerektomi
Menurut Jacobs dan Guglielmo (2007) antibiotik golongan sefalosporin
generasi pertama merupakan drug of choice profilaksis bedah. Golongan
sefalosporin generasi kedua dan ketiga tidak lebih efektif dibandingkan generasi
pertama kecuali pada kasus dimana terdapat mikroorganisme anaerob seperti pada
bedah kolorektal atau bedah histerektomi. Dalam Thirion dan Guglielmo (2005)
22
dinyatakan bahwa mikroorganisme yang pada umunya menginfeksi pasien yang
menjalani bedah histerektomi adalah streptococcus grup B, enterococcus anaerob,
dan bakteri gram negatif enterik. Drug of choice yang aktif terhadap streptococcus
grup B adalah golongan penisilin, alternatif antibiotik yang dapat digunakan
adalah eritromisin, sefalosporin, azitromisin, doksisiklin, dan fluorokuinolon.
Untuk enterococcus anaerob, drug of choice yang dapat digunakan adalah
ampisilin, dan gentamisin. Vancomisin dapat digunakan sebagai antibiotik
alternatif untuk infeksi enterococcus anaerob, sedangkan pada infeksi bakteri
gram negatif enterik drug of choice yang dapat digunakan adalah trimetoprimsulfametoksazol, imipenem, dan meropenem, alternatif antibiotik yang dapat
digunakan yakni golongan aminoglikosida, fluorokuinolon, dan cefepime (Jacobs
dan Guglielmo, 2007).
H. Drug Therapy Problems (DTPs)
Drug Therapy Problems (DTPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan
yang dialami oleh pasien dalam proses terapi dengan obat dan dapat berpengaruh
terhadap tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle dan Strand, 2004).
Identifikasi drug therapy problems merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab farmasis dan merupakan bagian dari pharmaceutical care.
Cipolle dan Strand (2004) mengelompokkan DTP ke dalam 7 kategori yaitu ada
obat tanpa indikasi, butuh tambahan obat, obat yang digunakan tidak efektif, dosis
terlalu rendah, efek samping dan interaksi obat, dosis berlebih, dan kepatuhan
pasien.
23
Tabel III. Penyebab-penyebab Drug Therapy Problems (DTPs)
Drug Therapy
Penyebab-penyebab drug therapy problems
Problems
Ada obat tanpa
 Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk
indikasi
terapi obat yang digunakan saat itu
 Banyak produk obat yang digunakan untuk kondisi
tertentu yang hanya memerlukan terapi obat tunggal
 Kondisi medis lebih tepat diobati tanpa terapi obat
 Terapi obat digunakan untuk mencegah adverse
reaction yang berhubungan dengan pengobatan lain
 Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol,
merokok
Butuh tambahan
 Kondisi medis yang memerlukan terapi inisiasi obat
obat
 Terapi pencegahan obat diperlukan untuk
mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru
 Kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi
lanjutan untuk memperoleh sinergisme atau efek
tambahan
Pemakaian obat
 Obat yang digunakan bukan obat yang paling
yang tidak efektif
efektif untuk masalah medis yang dialami
 Kondisi medis yang sukar disembuhkan dengan
produk obat
 Bentuk sediaan produk obat tidak tepat
 Produk obat tidak efektif terhadap indikasi yang
dialami
Dosis terlalu rendah
 Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon
yang diinginkan
 Interval dosis yang jarang menghasilkan respon
yang diinginkan
 Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang
tersedia
 Durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan
respon yang diinginkan
Adverse drug
 Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak
reaction
diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis
 Produk obat yang aman diperlukan karena terkait
dengan faktor resiko
 Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis
 Pengaturan dosis yang diberikan atau diganti
dengan sangat cepat
 Produk obat yang menyebabkan reaksi alergi
 Produk obat yang kontraindikasi terhadap faktor
resiko
24
Drug Therapy
Problems
Dosis terlalu tinggi
Kepatuhan pasien
Tabel III. Lanjutan
Penyebab-penyebab drug therapy problems











(Cipolle dan Strand, 2004).
Dosis terlalu tinggi
Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat
Durasi obat terlalu lama
Interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik obat
Dosis obat diberikan terlalu cepat
Pasien tidak mengerti instruksi pemakaian
Pasien memilih untuk tidak memakai obat
Pasien lupa untuk memakai obat
Harga obat yang terlalu mahal bagi pasien
Pasien tidak dapat menelan atau memakai sendiri
obat secara tepat
Obat tidak tersedia bagi pasien
I. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada
pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di RS Bethesda Yogyakarta
periode tahun 2006-2008, terutama yang terkait dengan drug therapy problems
yaitu adanya obat tanpa indikasi, butuh tambahan obat, pemakaian obat yang tidak
efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction, dan dosis terlalu tinggi.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan
rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian non
eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap
sejumlah ciri (variabel) subyek tanpa ada manipulasi dari peneliti (Pratiknya,
1986). Penelitian deskriptif evaluatif berarti data yang telah didapatkan
dideskripsikan secara obyektif dengan memaparkan fenomena yang terjadi dengan
bantuan tabel atau gambar kemudian dievaluasi berdasarkan pustaka. Penelitian
ini bersifat retrospektif yang dilakukan dengan penelusuran catatan rekam medik
pasien yang telah lampau, dalam hal ini digunakan catatan rekam medik pasien
pada periode tahun 2006-2008.
B. Definisi Operasional
1.
Pasien adalah semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi penelitian
yaitu
yang didiagnosis kanker serviks, menjalani kemoterapi, dan
mendapatkan antibiotika serta tercatat dalam catatan rekam medis RS
Bethesda pada periode tahun 2006-2008.
2.
Kasus adalah pasien yang menjalani tiap episode kemoterapi, mendapatkan
terapi antibiotik.
25
26
3.
Antibiotika adalah semua obat yang digunakan untuk mencegah atau
mengatasi terjadinya infeksi mikroorganisme pada pasien kanker serviks yang
menjalani kemoterapi di RS Bethesda periode tahun 2006-2008.
4.
Kemoterapi adalah terapi obat yang diterima oleh pasien kanker serviks di RS
Bethesda periode tahun 2006-2008 untuk menghilangkan sel kanker.
5.
Tanda-tanda infeksi yaitu adanya kelainan lekosit (sel darah putih) dan atau
hitung jenis lekosit (segmen, basofil, eosinofil, limfosit, dan monosit).
6.
Catatan rekam medis adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang
memuat data tentang karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin,
diagnosis, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, hasil laboratorium,
lama perawatan pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di RS
Bethesda periode tahun 2006-2008.
7.
Drug Therapy Problems (DTPs) meliputi 6 kategori di antaranya : butuh
tambahan obat yaitu adanya indikasi infeksi pada pasien namun pasien tidak
mendapat antibiotika atau kasus memerlukan terapi inisiasi antibiotika untuk
mengatasi infeksi yang terjadi, ada obat tanpa indikasi yaitu tidak terdapat
tanda-tanda infeksi pada kasus namun diberikan antibiotik (kecuali antibiotik
yang diberikan pada kasus pasca pembedahan histerektomi), pemakaian obat
yang tidak efektif yaitu pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan infeksi
yang diderita pasien, dosis terlalu rendah yaitu pasien mendapat antibiotik
dengan dosis di bawah standar terapi atau durasi dan frekuensi pemberian
yang kurang, dosis terlalu tinggi yaitu pasien mendapat obat dengan dosis di
atas standar terapi atau durasi dan frekuensi pemberian yang berlebih. Efek
27
samping dan interaksi obat yaitu adanya efek yang tidak diinginkan dari
penggunaan antibiotik serta adanya interaksi obat satu dengan yang lain yang
tidak diinginkan.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis kanker serviks
yang menjalani kemoterapi dan mendapatkan antibiotika serta tercatat dalam
catatan rekam medis RS Bethesda periode tahun 2006-2008.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah catatan rekam medis pasien
kanker serviks yang menjalani kemoterapi dan mendapatkan antibiotika di RS
Bethesda pada periode tahun 2006-2008. Catatan rekam medis yang digunakan
memuat identitas pasien, keluhan masuk rumah sakit, diagnosis, hasil
laboratorium, catatan penggunaan obat, dan lama tinggal di rumah sakit.
E. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik RS Bethesda
Yogyakarta Jalan Jenderal Sudirman No 70 Yogyakarta.
F. Tata Cara Penelitian
Terdapat 3 (tiga) tahapan penelitian yaitu tahap perencanaan, tahap
pengambilan data, dan tahap penyelesaian data.
28
1.
Tahap perencanaan
Tahap perencanaan dimulai dengan penentuan masalah dan analisis
situasi. Di dalam penentuan masalah ditetapkan masalah yang akan diteliti dan
subyek penelitian yang masuk dalam kriteria inklusi penelitian. Sedangkan yang
termasuk di dalam analisis situasi adalah perijinan dan diskusi dengan pihak mitra
dalam hal ini RS BethesdaYogyakarta.
2.
Tahap pengambilan data
Setelah berdiskusi dengan pihak mitra dan mendapatkan ijin penelitian,
maka dilakukan pengambilan data secara retrospektif dengan melihat catatan
rekam medis pasien.
a.
Proses pengambilan data dilakukan dengan melihat lembar print out berupa
nomor rekam medis pasien yang didiagnosis kanker serviks dalam satu tahun.
Didapatkan pasien yang didiagnosis kanker serviks pada tahun 2008 sebanyak
33 pasien, tahun 2007 sebanyak 34 pasien dan tahun 2006 sebanyak 23
pasien.
b.
Kemudian dilakukan seleksi subyek penelitian yang masuk dalam kriteria
inklusi penelitian yaitu pasien yang didiagnosis kanker serviks yang
menjalani kemoterapi dan mendapatkan antibiotik. Seleksi subyek dilakukan
dengan melihat satu per satu catatan rekam medis pasien kanker serviks,
sehingga didapatkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi penelitian tahun
2008 sebanyak 11 pasien (12 kasus), tahun 2007 sebanyak 1 pasien (1 kasus),
dan tahun 2006 sebanyak 6 pasien (7 kasus). Sehingga total subyek yang
29
masuk dalam kriteria inklusi penelitian dan dapat dianalisis sebanyak 18
pasien (20 kasus).
c.
Setelah mendapatkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi penelitian,
kemudian dilakukan pencatatan dari catatan rekam medis pasien ke dalam
tabel yang telah dibuat oleh peneliti. Data yang diambil meliputi nomor
rekam medis, nama, usia, usia menikah, keluhan masuk rumah sakit,
diagnosis, hasil laboratorium, jenis obat, dosis obat, rute pemberian, bentuk
sediaan dan lama perawatan pasien.
3.
Tahap penyelesaian data
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel atau
gambar. Dilakukan pengelompokkan karakteristik pasien berdasarkan stadium
kanker serviks, usia, dan usia pada saat menikah. Kemudian dilakukan
pengelompokan semua obat yang diterima oleh kasus dan jenis antibiotik yang
digunakan oleh kasus berdasarkan formularium RS Bethesda Yogyakarta tahun
2009. Analisis drug therapy problems dilakukan per kasus dengan menggunakan
pustaka Current Medical Diagnosis and Treatment (McPhee, Papadakis, dan
Tierney, 2007), Applied Therapeutics The Clinical Use Of Drugs (Koda-kimble,
Young, Kradjan, Guglielmo, Alldredge, dan Corelli, 2005), Pharmacotherapy
Principles and Practice (Chisholm-Burns, Wells, Schwinghammer, Malone,
Kolesar, Rotschafer dkk., 2008), Drug Information Handbook 14th edition (Lacy,
Amstrong, Goldman, dan Lance, 2006), Drug Interaction Facts 2007 (Tatro,
2007), dan Informatorium Obat Nasional Indonesia (Anonim, 2000) yang
30
dijabarkan menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment, Plan
(SOAP).
G. Tata Cara Analisis Hasil
Data dianalisis secara deskriptif evaluatif dalam bentuk tabel atau gambar
sebagai berikut :
1.
Karakteristik pasien
a.
Persentase stadium kanker serviks pasien yang dihitung dengan cara membagi
jumlah pasien tiap stadiumnya dengan jumlah keseluruhan pasien, kemudian
dikalikan 100%.
b.
Persentase usia pasien yang dibagi dalam 5 kelompok usia yaitu kelompok
usia ≤ 30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, dan > 60 tahun.
Persentase pada masing-masing kelompok usia dihitung dengan cara
membagi jumlah pasien pada masing-masing kelompok usia dengan jumlah
keseluruhan pasien, kemudian dikalikan 100%.
c.
Persentase usia pada saat menikah yang dibagi dalam 2 kelompok usia yaitu
< 20 tahun dan > 20 tahun pada saat menikah. Persentase pada masingmasing kelompok usia menikah dihitung dengan cara membagi jumlah pasien
pada masing-masing kelompok usia dengan jumlah keseluruhan pasien,
kemudian dikalikan 100%.
31
2.
Profil penggunaan obat
Persentase golongan obat yang digunakan oleh kasus dihitung
berdasarkan jumlah kasus yang menggunakan golongan obat tertentu dibagi
jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.
3.
Profil penggunaan antibiotik
Persentase golongan antibiotika yang digunakan oleh kasus dihitung
berdasarkan jumlah kasus yang menggunakan golongan antibiotika tertentu dibagi
jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.
4.
Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)
Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) dilakukan terhadap antibiotik
yang digunakan oleh kasus dengan melihat hasil laboratorium penanda infeksi
(nilai leukosit, segmen, basofil, eosinofil,
monosit, dan limfosit) dan terapi
antibiotik yang didapat. Evaluasi Drug Therapy Problems dijabarkan dengan
metode Subjective, Objective, Assessment, Plan (SOAP) yang mengacu pada
referensi Current Medical Diagnosis and Treatment (McPhee, Papadakis, dan
Tierney, 2007), Applied Therapeutics The Clinical Use Of Drugs (Koda-kimble,
Young, Kradjan, Guglielmo, Alldredge, dan Corelli, 2005), Pharmacotherapy
Principles and Practice (Chisholm-Burns, Wells, Schwinghammer, Malone,
Kolesar, Rotschafer dkk., 2008), Drug Information Handbook 14th edition (Lacy,
Amstrong, Goldman, dan Lance, 2006), Drug Interaction Facts 2007 (Tatro,
2007), dan Informatorium Obat Nasional Indonesia (Anonim, 2000).
32
H. Kesulitan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menemui beberapa kesulitan diantaranya
jumlah pasien kanker serviks yang masuk dalam kriteria inklusi penelitian yang
jumlahnya sedikit, kesulitan dalam menganalisis data dimana peneliti tidak dapat
menganalisis secara langsung pengaruh kemoterapi terhadap kejadian infeksi yang
dialami pasien karena semua pasien yang telah selesai menjalani kemoterapi, tidak
melakukan tes laboratorium kembali, sehingga tidak dapat diketahui parameterparameter yang menandakan telah terjadi infeksi setelah menjalani kemoterapi.
Tes laboratorium dilakukan hanya pada saat pasien masuk rumah sakit atau pada
saat pasien akan menjalani kemoterapi atau pembedahan. Oleh sebab itu dalam
penelitian ini, evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan antibiotik
dilakukan pada pasien yang telah atau akan menjalani kemoterapi dan tidak
berhubungan secara langsung dengan efek samping kemoterapi. Pendekatan
evaluasi
yang
dapat
dilakukan
dalam
penelitian
ini
adalah
dengan
membandingkan kesesuaian pemilihan antibiotik pada pasien dengan antibiotik
yang pada umumnya digunakan oleh pasien kanker yang menjalani kemoterapi,
berdasarkan kuman yang pada umumnya menginfeksi pasien kanker khususnya
kanker serviks, atau berdasarkan antibiotik profilaksis dan antibiotik empiris pada
beberapa kasus yang menjalani pembedahan histerektomi.
Kesulitan lain yang ditemui oleh peneliti adalah kurangnya pengalaman
dalam membaca catatan rekam medis pasien, tulisan dokter dan perawat yang
tidak terbaca dengan jelas, serta tidak lengkapnya catatan rekam medis pasien
terkait kondisi medis pasien selama di rawat, dan daftar penggunaan obat pasien.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian mengenai evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)
penggunaan antibiotik pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di
RS Bethesda peride tahun 2006-2008 ini didapatkan 18 pasien (20 kasus) yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian. Hasil penelitian ini dibagi menjadi 4 bagian.
Bagian pertama membahas karakteristik pasien (berdasarkan stadium kanker
serviks, usia, dan usia pada saat menikah). Bagian kedua membahas profil
penggunaan obat oleh kasus. Bagian ketiga membahas profil antibiotik yang
digunakan oleh kasus, dan bagian terakhir membahas evaluasi drug therapy
problems penggunaan antibiotik pada kasus.
A. Karakteristik Pasien
Sebanyak 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dikelompokkan
berdasarkan stadium kanker serviks, usia, dan usia pada saat menikah.
1.
Persentase jumlah pasien berdasarkan stadium kanker serviks
Stadium kanker serviks ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik,
kolposkopi, histopatologi biopsi, dan survey metastasis. Penentuan stadium
kanker bertujuan untuk memilih terapi yang tepat dan evaluasi prognosis
(Tambunan, 1995). Klasifikasi stadium kanker serviks menurut International
Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) yaitu stadium 0, I, Ia, Ib, IIa,
IIb, III, IIIa, IIIb, IV, IVa, dan IVb (MacKay, 2007).
33
34
Gambar 2. Persentase Jumlah Pasien Berdasarkan Stadium
Dari gambar di atas, nampak bahwa pasien dengan stadium IIa
menempati peringkat pertama terbanyak yaitu sebesar 38,89% pasien. Pasien
dengan stadium IIb dan IIIb masing-masing sebesar 22,22%. Di urutan keempat
terbanyak adalah pasien dengan stadium Ib sebesar 11,11%, sedangkan paling
sedikit adalah pasien dengan stadium IIIa sebesar 5,55%.
Persentase jumlah pasien yang terbesar terdapat pada stadium IIa, hal ini
menandakan bahwa mulai nampak kesadaran pada diri penderita kanker serviks
untuk segera memeriksakan diri apabila timbul gejala-gejala klinis kanker serviks,
sehingga stadium kanker serviks dapat diketahui lebih dini dan prognosis
penderita pun dapat semakin baik. Trimbos dan Fleuren (1996) menyatakan
bahwa stadium yang lebih rendah akan mempunyai prognosis yang lebih baik, dan
penurunan stadium tinggi akan menaikkan survival rate rata-rata 5 tahun.
35
2.
Persentase jumlah pasien berdasarkan usia
Pengelompokkan pasien berdasarkan usia digunakan untuk mengetahui
jumlah pasien kanker serviks pada kelompok usia tertentu. Pasien dibagi ke
dalam 5 (lima) kelompok usia yaitu ≤ 30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60
tahun, dan > 60 tahun. Pengelompokkan ini didasarkan pada kisaran usia pasien
kanker serviks di RS Bethesda yaitu antara 24-68 tahun. Selain itu
pengelompokkan ini juga berdasarkan pustaka dalam Trimbos dan Fleuren
(1999) yang menyatakan bahwa wanita dengan usia lebih muda dari 40 tahun
mempunyai frekuensi tinggi terkena kanker serviks, namun frekuensi tertinggi
kanker serviks yaitu terdapat pada kira-kira usia 50 tahun. Setelah itu ada
kenaikan yang jelas frekuensinya sampai usia 55-60 tahun dan sesudah itu
terjadi penurunan lagi.
Gambar 3. Persentase Jumlah Pasien Berdasarkan Usia
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pasien kanker serviks paling
banyak terdapat pada usia 51-60 tahun yakni sebesar 27,78 %. Hal ini sesuai
36
dengan pustaka yang menyebutkan bahwa frekuensi tertinggi kanker serviks
terdapat pada kira-kira usia 50 tahun (Trimbos dan Fleuren, 1996). Kemudian
pasien dengan range usia 41-50 tahun dan > 60 tahun sebesar 22,22%. Kelompok
usia 31-40 tahun sebesar 16,67%, dan persentase terkecil terdapat pada usia ≤ 30
tahun sebesar 11,11%.
3.
Persentase jumlah pasien berdasarkan usia menikah
Pengelompokkan pasien kanker serviks berdasarkan usia menikah
digunakan untuk mengetahui persentase pasien kanker serviks pada kelompok
usia menikah tertentu. Usia dini pada saat pertama kali melakukan hubungan
seksual berhubungan dengan insidensi kanker serviks (Norwitz dan Schorge,
2006). Semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar risiko
terkena kanker serviks (Tambunan, 1995). Pada saat usia pubertas terjadi fase
aktif metaplasia yaitu perubahan fisiologis pada epitel serviks, epitel kolumnar
akan digantikan oleh epitel skuamosa. Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang
dapat mengubah sifat sel secara genetik pada saat fase aktif metaplasia dapat
menimbulkan sel-sel yang berpotensi ganas. Mutagen tersebut berasal dari agenagen yang ditularkan secara hubungan seksual (Sjamsuddin, 2001). Oleh karena
itu, usia pertama kali menikah berhubungan erat dengan kejadian kanker serviks.
Pengelompokkan usia pada saat menikah dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok yakni menikah pada usia < 20 tahun dan ≥ 20 tahun. Pengelompokkan
ini didasarkan pada kisaran usia pasien kanker serviks pada saat menikah yakni
antara 14-25 tahun. Dari 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, hanya 15
37
pasien yang usia pada saat menikahnya tercatat dalam catatan rekam medis,
sehingga yang dapat dihitung hanya 15 pasien tersebut.
Gambar 4. Persentase Jumlah Pasien Berdasarkan Usia Menikah
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa 60% pasien kanker serviks
menikah pada usia dini yakni < 20 tahun. Hal ini sesuai dengan pustaka yakni
semakin dini seorang wanita memulai aktivitas seksual maka semakin tinggi
risiko mendapat kanker serviks (Norwitz dan Schorge, 2006), sedangkan 40%
pasien menikah pada usia ≥ 20 tahun yakni berkisar pada usia 20-25 tahun.
B. Profil Penggunaan Obat Pasien Kanker Serviks
Pengobatan suportif pada pasien kanker tidak kalah pentingnya
dibandingkan pengobatan kanker itu sendiri. Terkadang pengobatan suportif lebih
diutamakan dibandingkan pengobatan kanker. Apabila pasien ingin menjalani
pengobatan kanker, baik itu dengan pembedahan, radiasi, maupun kemoterapi,
kondisi pasien harus dalam keadaan sehat, sehingga bila kondisi pasien belum
memungkinkan untuk dilakukan pengobatan kanker, maka lebih diutamakan
pengobatan suportif untuk memulihkan kondisi pasien sampai pasien kanker siap
38
untuk menjalani pengobatan kanker tersebut (Reksodiputro, 2006). Di bawah ini
disajikan tabel yang memuat kelas terapi obat yang digunakan dalam pengobatan
suportif kasus kanker serviks. Penggolongan kelas terapi obat ini berdasarkan atas
formularium RS Bethesda Yogyakarta tahun 2009.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Tabel IV. Kelas Terapi Obat yang Digunakan Oleh Kasus
Kelas Terapi
Persentase (%)
Obat saluran cerna
90
Obat susunan saraf
85
Vitamin dan mineral
85
Obat kardiovaskuler & sistem hematopoeitik
75
Suplemen makanan
50
Hormon
30
Obat saluran nafas
15
Obat sistem saluran kemih dan kelamin
5
Obat muskuloskeletal
5
Obat mulut dan tenggorokan
5
Antihistamin/ antialergi
5
Immunologi
5
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa, selain menerima obat
antineoplastik dan antibiotika, sebanyak 90% kasus menerima obat saluran cerna,
85% kasus menerima obat susunan saraf serta vitamin dan mineral, penggunaan
obat kardiovaskuler dan sistem hematopoeitik sebesar 75%, suplemen makanan
sebesar 50%, golongan hormon sebesar 30%, obat saluran nafas sebesar 15%,
sedangkan obat sistem saluran kemih dan kelamin, sistem muskuloskeletal, mulut
dan tenggorokan, antihistamin/ antialergi, serta obat immunologi masing-masing
sebesar 5%. Penggolongan kelas terapi obat yang digunakan oleh kasus kanker
serviks secara lebih terperinci disajikan dalam tabel berikut.
39
1.
Obat antineoplastik
Tabel V. Golongan dan Jenis Obat Antineoplastik
yang Digunakan Oleh Kasus
No
Golongan
Jenis Obat
Persentase (%)
1 Antineoplastik lain
sisplatin
90
2 Kemoterapi sitotoksik mitomisin
5
3 Antimetabolit
hidroksiurea
5
Obat-obat
antineoplastik
digunakan
untuk
tujuan
mengobati,
memperpanjang hidup, atau meringankan gejala kanker (paliatif) Kemoterapi
juga sering digunakan bersama dengan terapi bedah dan atau radiologi sebagai
terapi ajuvan (setelah terapi bedah/ radioterapi untuk tumor yang menimbulkan
metastasis) maupun sebagai neoajuvan (memperkecil tumor sebelum radioterapi
atau pembedahan) (Anonim, 2000).
Untuk pengobatan kanker serviks dapat digunakan terapi tunggal maupun
kombinasi. Pada pasien kanker serviks di RS Bethesda semuanya menggunakan
terapi tunggal untuk membunuh sel kanker. Dari tabel di atas, nampak bahwa 90%
kasus
mendapatkan
obat
antineoplastik
sisplatin.
Menurut
National
Comprehensive Cancer Network (NCCN) Clinical Practice Guidelines in
Oncology: Cervical Cancer (2010) terapi tunggal lini pertama untuk pengobatan
kanker serviks adalah dengan kemoterapi sisplatin. Sisplatin sangat luas
digunakan dalam klinik untuk pengobatan tumor solid. Penggunaan sisplatin dosis
besar dapat menyebabkan nefrotoksisitas (baik akut maupun kronik), serta
gangguan elektrolit. Toksisitas sisplatin dapat dikurangi dengan pemberian hidrasi
(diuretik) yang cukup (Lindley, 2005). Selain nefrotoksisitas, Adiwijono (2006)
40
menyatakan bahwa efek samping utama sisplatin secara sistemik adalah
neurotoksisitas dan mual muntah.
Obat antineoplastik golongan kemoterapi sitotoksik yaitu mitomisin dan
golongan antimetabolit yaitu hidroksiurea hanya digunakan oleh masing-masing
5% kasus. Menurut guideline NCCN (2010), mitomisin merupakan second line
dalam pengobatan kanker serviks. Mitomisin diberikan secara intravena untuk
pengobatan kanker payudara dan kanker saluran cerna bagian atas. Penggunaan
jangka lama dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang menetap, sedangkan
hidroksiurea digunakan untuk pengobatan leukemia myeloid kronis (Anonim,
2000). Efek samping yang sering terjadi adalah mielosupresi, stomatitis, mual
muntah, diare, dan ruam kulit (Lindley, 2005).
2.
Obat saluran cerna
No
Tabel VI. Golongan dan Jenis Obat Saluran Cerna
yang Digunakan oleh Kasus
Golongan
Jenis Obat
Persentase (%)
ondansetron, metoklopramida,
domperidone
1
Antiemetik
2
Laksatif
bisakodil
Antispasmodik hiosin-N-butilbromida
3
4
Antasida dan
Antiulcer
5
Digestif
ranitidin HCl, simetidin, lanzoprazole,
Al hidroksida, Mg hidroksida,
simetikon
amilase, protease, asam desoksikolat,
dimetilpolisiloksan
90
15
10
55
5
Pada kasus kanker serviks, banyak digunakan obat golongan antiemetik
yakni sebesar 90% kasus. Obat saluran cerna golongan antiemetik yang digunakan
yakni ondansetron, metoklopramida, dan domperidone. Penggunaan obat ini
41
dimaksudkan untuk mengatasi efek samping mual muntah dari kemoterapi yang
diterima kasus. Hampir seluruh kasus yang akan menjalani kemoterapi diberikan
obat golongan antiemetik untuk mencegah adanya mual dan muntah pasca
kemoterapi.
Obat golongan antasida dan antiulcer digunakan oleh 55% kasus.
Penggunaan obat-obat golongan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya
kerusakan sel epitel saluran cerna yang lebih parah akibat kemoterapi. Sedangkan
obat golongan laksatif, antispasmodik, dan digestif digunakan untuk mengatasi
keluhan-keluhan lain yang dialami oleh kasus seperti diare atau konstipasi.
3.
Obat susunan saraf
Obat susunan saraf yang banyak digunakan oleh kasus adalah obat
golongan analgesik-antipiretik, dan antiinflamasi (AINS). Obat analgesikantipiretik dan antiinflamasi (AINS) digunakan untuk mengatasi nyeri yang sering
terdapat pada penderita kanker. Sekitar 70% nyeri pada kanker merupakan akibat
langsung dari kanker itu sendiri. (Meyler dan Crul, 1999). Obat-obat ini juga
digunakan untuk mengatasi nyeri pasca operasi yang dialami oleh beberapa kasus
yang menjalani pembedahan histerektomi. Nyeri pada kanker pada umumnya
merupakan nyeri kronik dan memerlukan penatalaksanaan
yang tepat.
(Reksodiputro, 2006). Berikut ini merupakan tabel yang memuat golongan dan
jenis obat susunan saraf yang digunakan oleh kasus.
42
Tabel VII. Golongan dan Jenis Obat Susunan Saraf
yang Digunakan oleh Kasus
No
Golongan
1
Analgesik-Antipiretik
(non narkotik)
Jenis Obat
paracetamol, tramadol,
metampiron
ketorolak tromethamine,
Antirematik, antiinflamasi kalium diklofenak,
(AINS)
ketoprofen, tinaridine
HCl
2
3
Analgesik narkotik
morfin sulfat
Persentase (%)
50
65
5
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, penggunaan antirematik,
antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan yang terbesar yakni 65%, kemudian
penggunaan analgesik-antipiretik (non narkotik) sebesar 50%, dan penggunaan
analgesik narkotik yaitu morfin sulfat sebesar 5%. Pemberian obat untuk
mengatasi nyeri disesuaikan dengan derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien
kanker.
4.
Vitamin dan mineral
Pasien kanker sering mengalami masalah gizi yang diakibatkan oleh
perubahan metabolisme tubuh, jenis dan lokasi kanker yang mengganggu saluran
pencernaan, maupun penurunan nafsu makan akibat efek samping dari pengobatan
kanker (Reksodiputro, 2006). Penggunaan vitamin dan mineral dimaksudkan
untuk mengatasi masalah gizi yang dialami oleh kasus. Berikut ini merupakan
tabel yang menyajikan golongan dan jenis vitamin dan mineral yang digunakan
oleh kasus.
43
No
1.
2
Tabel VIII. Golongan dan JenisVitamin dan Mineral
yang Digunakan Oleh Kasus
Persentase
Golongan
Jenis Obat
(%)
Vitamin
minyak ikan, Ca hipofosfat, Na hipofosfat,
5
A, D, E
Zn sulfat, selenium, vitamin A, D
fursultiamine
vitamin B1,B2,B6,B12,C, Ca pantotenat,
niasiamid
Vitamin
asam folat
B1/
vitamin B1, B6, B12
90
dengan
vitamin C, B1, B2, B6, B12, nikotinamida,
Vitamin C
Ca pantotenat, kolina, inositol, Ca
glukonat, Ca hipofosfit, Na hipofosfit,
lisina HCl
3
Vitamin C
4
Anti
anemik
5
Multivita
min
dengan
mineral
vitamin C
Fe fumarat
Fe fumarat, Ca pantotenat, lisin HCl,
dioctyl Na sulfosuccinate
nikotinamid, Ca pantotenat, asam folat,
inositol, choline bitartrate, dicalcium
phosphate, Fe Sulfat, Mg, copper, fluorine,
iodine, Mn, molybdenum, slenium, Zn
25
55
vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, D, Ca
pantotenat, KI, besi, Mg, Mn, copper, Zn
vitamin A, D3, E, C, B1, B2, B3, B5, B6,
B12, asam folat, biotin, asam pantotenat,
nikotinamida, glisin, asam glikokolac,
soybean lesitin.
15
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan vitamin B1/dengan
vitamin C adalah yang terbesar yakni 90%, dan penggunaan obat golongan anti
anemia sebesar 55%. Penggunaan anti anemia dimaksudkan untuk mencegah
maupun mengatasi anemia akibat perdarahan per vagina yang sering terjadi pada
kasus. Anemia sangat berpengaruh terhadap hasil pengobatan pasien kanker. Caro
dkk melaporkan bahwa anemia meningkatkan risiko kematian pada pasien kanker
sebesar 65% (Reksodiputro, 2006). Pemberian obat golongan anti anemia
44
diharapkan dapat meningkatkan nilai Hb kasus sehingga kasus dapat menjalani
kemoterapi. Sedangkan penggunaan vitamin C sebesar 25%, multivitamin dan
mineral dan sebesar 15%, dan vitamin A, D, E sebesar 5%.
5.
Obat kardiovaskuler dan sistem hematopoeitik
No
1
2
3
4
Tabel IX. Golongan dan Jenis Obat Kardiovaskuler
dan Sistem Hematopoeitik yang Digunakan oleh Kasus
Golongan
Jenis Obat
Persentase (%)
Diuretik
furosemide, manitol
20
asam tranexamat
carbazochrome Na
Hemostatik
60
sulfonate
phytomenadione
Angiotensin II
inhibitors
Calcium channel
blocker
telmisartan
5
diltiazem HCl
5
Obat kardiovaskuler dan sistem hematopoeitik yang digunakan oleh
kasus adalah golongan diuretik, hemostatik, angiotensin II inhibitors, dan calcium
channel blocker. Obat golongan hemostatik merupakan golongan obat yang paling
banyak digunakan yakni sebesar 60%. Obat golongan hemostatik ini digunakan
untuk mencegah dan mengatasi perdarahan akibat defisiensi faktor pembekuan
darah (Anonim, 2000). Pasien kanker serviks sebagian besar mengalami
perdarahan per vagina sehingga diperlukan obat golongan hemostatik. Sedangkan
penggunaan obat golongan diuretik yakni furosemide dan manitol adalah sebesar
20%. Penggunaan diuretik ini dimaksudkan untuk mencegah dan mengatasi efek
samping dari sisplatin. Lindley (2005) menyatakan bahwa nefrotoksisitas sisplatin
dapat dikurangi dengan pemberian hidrasi (diuretik) yang cukup. Selain itu dalam
45
Adiwijono (2006) juga dinyatakan bahwa segi perawatan dalam penggunaan
sisplatin adalah pemberian diuretik yaitu manitol dan furosemid.
Penggunaan obat golongan angiotensin II inhibitors, dan calcium
channel blocker yaitu telmisartan dan diltiazem HCl masing-masing sebesar 5%.
Obat golongan ini digunakan oleh kasus 4 dimana kasus menderita hipertensi
sehingga diperlukan obat antihipertensi untuk penatalaksanaannya.
6. Suplemen makanan
Suplemen makanan yang digunakan oleh kasus adalah koenzyme Q10
dan cod liver oil sebesar 20%, suplemen dengan nama dagang Glisodin dan
Seloxy masing-masing sebesar 15%, dan Noros sebesar 5%. Koenzyme 10 dengan
nama dagang Q-ten digunakan sebagai katalis alami pembentukan energi dari
makanan dan sebagai antioksidan. Sedangkan cod liver oil digunakan sebagai
penambah nafsu makan bagi kasus mengingat pada umumnya pasien kanker
mengalami penurunan nafsu makan terkait efek samping kemoterapi maupun
akibat kanker itu sendiri. Serbuk glisodin digunakan sebagai suplemen
antioksidan (Anonim, 2007b).
Pasien kanker sering mengalami masalah gizi yang diakibatkan oleh
perubahan metabolisme tubuh, jenis dan lokasi kanker yang mengganggu saluran
pencernaan, maupun penurunan nafsu makan akibat efek samping dari pengobatan
kanker (Reksodiputro, 2006). Penggunaan suplemen makanan dimaksudkan untuk
membantu mengatasi masalah gizi yang dialami oleh kasus sehingga dapat
mempercepat proses pemulihannya.
46
Tabel X. Golongan dan Jenis Suplemen Makanan
yang Digunakan oleh Kasus
No
Jenis Obat
Nama Dagang Persentase (%)
1 Coenzyme Q10
Q-ten
20
Serbuk glisodin (Super Oxide
2 Dismutase ekstrak Melon dengan
Glisodin
15
Gliadin)
3 Cod Liver Oil
Elovess
20
Grape seed extr.+Lycopene+Vit.
E+C+B1+B2+B6+B12+asam
5
4
Noros
folat+niasiamid+Zn+biotin+asam
pantotenat+selenium
Beta karoten, Ca askorbat, Asam
5 Alpha-lipoic, Zink picolinate,
Seloxy
15
selenium
7.
Hormon
Kelas terapi hormon yang digunakan pada kasus adalah hormon
kortikosteroid dengan jenis obat dexametason yang digunakan oleh 30% kasus.
Obat ini digunakan untuk mengatasi adanya inflamasi pada kasus. Sebagai
antiinflamasi, kortikosteroid digunakan dalam dosis yang beragam untuk berbagai
penyakit dan beragam untuk individu yang berbeda (Anonim, 2000).
8.
No
1.
Obat saluran nafas
Tabel XI. Golongan dan Jenis Obat Saluran Nafas
yang Digunakan oleh Kasus
Golongan
Jenis Obat
Persentase (%)
kodein
N- Asetilsistein
Obat Batuk
ammonium klorida, succus
liquiritiae
15
Pada tabel di atas nampak bahwa obat saluran nafas yang digunakan
adalah golongan obat batuk sebesar 15%. Obat batuk yang digunakan adalah
47
golongan antitusif serta mukolitik dan ekspektoran. Obat batuk antitusif
digunakan untuk mengobati batuk kering sedangkan golongan mukolitik dan
ekspektoran digunakan sebagai pengencer dahak. IONI (2000) menyatakan,
penggunaan antitusif opioid seperti kodein kurang efektif untuk batuk yang berat,
dan dapat menyebabkan konstipasi. Sedangkan mukolitik banyak diresepkan
untuk mempercepat ekspektorasi dengan mengurangi viskositas sputum pada
asma kronik dan bronkhitis. Obat-obat saluran nafas tersebut digunakan untuk
mengatasi keluhan- keluhan pada saluran pernafasan yang dialami oleh kasus.
9.
Obat sistem saluran kemih dan kelamin
Penggunaan obat sistem saluran kemih dan kelamin hanya sebesar 5%
(kasus 1b) yakni golongan antifungi dengan jenis obat butokonazol nitrat.
Antifungi digunakan untuk mengatasi infeksi jamur yang sering berkaitan dengan
gangguan daya tahan tubuh. Pada pasien kanker yang mengalami gangguan daya
tahan tubuh, dapat juga terinfeksi jamur sehingga diperlukan antifungi untuk
mengatasi infeksi yang terjadi.
10. Obat sistem muskuloskeletal
Obat sistem muskuloskeletal hanya digunakan oleh 5% kasus, yakni pada
kasus 4. Obat golongan ini dimaksudkan untuk mengatasi keluhan-keluhan pada
sistem muskuloskeletal yang dirasakan oleh kasus. Obat yang digunakan adalah
golongan neuromuskuler dengan jenis obat neostigmin metilsulfat. Neostigmin
metilsulfat digunakan dengan dosis 0,5mg/ ml. Indikasi neostigmin metilsulfat
bergantung pada besarnya dosis, dan dengan dosis 0,5mg/ ml tersebut, neostigmin
metilsulfat diindikasikan untuk miastenia gravis ( Anonim, 2009a).
48
11. Obat mulut dan tenggorokan
Obat mulut dan tenggorokan digunakan oleh 5% kasus (kasus 7). Jenis
obat yang digunakan adalah fradiomisin, dan gramisidin dengan nama dagang FG
Troches. Obat ini digunakan untuk mengatasi peradangan mulut dan atau
tenggorokan pada kasus.
12. Antihistamin/anti alergi
Sebanyak 5% pasien (kasus 15) menggunakan obat golongan
antihistamin dengan jenis obat xylocain delladril. Obat ini digunakan untuk
mengatasi gejala-gejala alergi yang dialami oleh kasus.
13. Immunologi
Penggunaan obat golongan immunomodulator sebesar 5% yakni pada
kasus 7 dengan jenis obat sandimun. Obat ini digunakan untuk membantu
memperbaiki sistem imun kasus yang melemah akibat tidak langsung dari kanker,
akibat pengobatan kanker, ataupun akibat lain yang tidak ada kaitannya dengan
kanker.
C. Profil Penggunaan Antibiotik Pasien Kanker Serviks
Penderita kanker sangat rentan mengalami infeksi karena penurunan daya
tahan tubuh akibat penyakit kanker itu sendiri atau akibat berbagai pengobatan
seperti pembedahan, radiasi, maupun kemoterapi. Infeksi merupakan penyebab
kematian utama penderita kanker di samping perdarahan. Sekitar 90% penderita
kanker meninggal akibat infeksi, perdarahan, atau infeksi bersama-sama dengan
perdarahan (Reksodiputro, 2006). Oleh karena itu diperlukan tindakan
49
pencegahan dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk mencegah dan mengatasi
infeksi yang terjadi pada penderita kanker.
Tanda-tanda terjadinya infeksi dapat dilihat dari kenaikan nilai leukosit
dan atau nilai hitung jenis leukosit. Leukosit berfungsi dalam sistem pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Adanya kenaikan nilai leukosit menandakan adanya proses
infeksi. Sedangkan nilai hitung jenis leukosit menggambarkan kejadian dan proses
penyakit dalam tubuh terutama penyakit infeksi (Sutedjo, 2007).
Pada beberapa kasus yang ditemui, sebelum kasus menjalani kemoterapi
terjadi peningkatan nilai leukosit dan atau nilai hitung jenis leukosit. Hal ini
menandakan bahwa telah terjadi infeksi pada kasus, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi yang terjadi sebelum kasus siap
menjalani kemoterapi. Pada semua kasus yang mengalami infeksi, tidak
didapatkan kultur kumannya, sehingga antibiotik yang diberikan merupakan
antibiotik empiris. Antibiotik empiris adalah antibiotik yang digunakan pada saat
kuman penyebab infeksi belum diketahui atau dipastikan pada saat terapi
antibiotika dimulai. Sehingga pemilihan antibiotikanya didasarkan pada
pengalaman yang layak atau berdasarkan pola epidemiologi kuman setempat
(Anonim, 2010). Berikut adalah tabel yang memuat daftar dan persentase
golongan dan jenis antibiotik yang digunakan oleh kasus.
50
Golongan
Obat
Sefalosporin
Tabel XII. Golongan dan Jenis Antibiotik
yang Digunakan oleh Kasus
Persentase
Σ
Jenis Obat
(%)
kasus
60
sefiksim
7
sefazolin natrium
seftizoksim natrium
sefuroksim aksetil
seftriakson di-sodium
Aminoglikosida
3
2
1
8
35
kanamisin monosulfat
1
Penisilin
30
gentamisin sulfat
amoksisilin trihidrat
Makrolida
Kuinolon
Tetrasiklin
Antifungi
Antibiotika
Lain
5
5
5
10
25
azithromisin
levofloksasin
doksisiklin HCl
itrakonazol
metronidazol
1
1
1
2
7
6
5
Nomor
Kasus
1a, 1b, 4, 6,
8, 13, 18
1a, 7, 8
6, 18
17
1a, 1b, 4, 5,
8, 9, 10, 13
4, 8, 12, 13,
14, 16b, 17
17
2, 3, 6, 9,
11, 15
4
16b
5
12, 16a
1a, 4, 8, 9,
16b
Dari tabel di atas, nampak bahwa golongan antibiotik yang paling banyak
digunakan adalah antibiotik golongan sefalosporin yang digunakan oleh 60%
kasus. Antibiotik golongan sefalosporin yang paling banyak digunakan adalah
jenis antibiotik seftriakson di-sodium oleh 8 kasus, dan penggunaan sefiksim oleh
7 kasus.
Seftriakson di-sodium dan sefiksim merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang lebih aktif terhadap bakteri gram negatif
(Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella spp, Enterobacter spp).
Selain itu, semua generasi ketiga sefalosporin juga mampu menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif Streptococcus pyogenes (grup A streptococcus)
(Jacobs dan Guglielmo, 2007).
51
Infeksi pada pasien kanker dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif
maupun positif. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran pola kuman yang
menginfeksi pasien kanker. Dahulu, bakteri gram negatif merupakan organisme
penginfeksi utama pada pasien kanker, namun saat ini frekuensi infeksi oleh
bakteri gram negatif menurun dan sebaliknya infeksi oleh bakteri gram positif
makin meningkat (60-70%) terutama Staphylococcus epidermidis dan berbagai
jenis streptococcus (Drew, 2005). Namun demikian pengobatan tetap memerlukan
antibiotika yang mencakup gram negatif karena infeksi gram negatif berisiko
tinggi menjadi fulminan (Reksodiputro, 2006). Oleh karena itu, pada kasus,
banyak digunakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang tidak
hanya aktif terhadap bakteri gram negatif namun juga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif yang akhir-akhir ini banyak dilaporkan sebagai
penyebab infeksi pada pasien kanker.
Selain
itu,
penggunaan
antibiotik
golongan
sefalosporin
juga
dimaksudkan untuk terapi profilaksis bedah pada beberapa kasus yang juga
menjalani operasi histerektomi (pengangkatan rahim). Menurut Jacobs dan
Guglielmo (2007) antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama merupakan
drug of choice profilaksis bedah. Golongan sefalosporin generasi kedua dan ketiga
tidak lebih efektif dibandingkan generasi pertama kecuali pada kasus dimana
terdapat mikrooganisme anaerob seperti pada bedah kolorektal atau bedah
histerektomi. Dalam Thirion dan Guglielmo (2005) juga dinyatakan bahwa
mikroorganisme yang sering menginfeksi dalam bedah histerektomi adalah
bakteri enterik gram negatif basil, anaerob, grup B streptococcus, dan
52
enterococcus. Antibiotik yang direkomendasikan untuk penatalaksanaannya
adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Antibiotika golongan aminoglikosida juga banyak digunakan oleh kasus
yaitu sebesar 35%. Jacobs dan Guglielmo (2007) menyatakan bahwa antibiotika
golongan aminoglikosida saat ini penggunaannya sangat terbatas karena dapat
menyebabkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas. Aminoglikosida pada umumnya
digunakan untuk melawan bakteri gram negatif yang resisten dan hanya sensitif
terhadap aminoglikosida saja. Aktivitasnya terhadap bakteri gram positif sangat
terbatas.
Dalam penelitian ini, antibiotik golongan aminoglikosida yang banyak
digunakan adalah kanamisin yang digunakan oleh 35% kasus. Kanamisin
digunakan untuk mengobati infeksi serius yang disebabkan oleh strain bakteri E.
coli, spesies Proteus, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumonia, Serratia
inarcescens dan spesies Acinetobacter (Lacy, Amstrong, Goldman, dan Lance,
2006).
Antibiotika golongan penisilin yakni amoksisilin trihidrat digunakan oleh
30% kasus. Amoksisilin trihidrat merupakan antibiotika golongan penisilin
spektrum luas yang mempunyai daya antibakteri terhadap gram positif maupun
negatif, namun amoksisilin dapat dirusak oleh penisilinase, termasuk yang
dihasilkan oleh S. aureus dan sebagian kuman gram negatif seperti E. coli.
Sebagian besar stafilokokus, 50% E. coli dan 15% H. influenza resisten terhadap
amoksisilin (Anonim, 2000).
53
Antibiotik lain yang juga banyak digunakan adalah metronidazol yakni
sebesar 25%. Anonim (2000) menyebutkan bahwa metronidazol merupakan
antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dan
protozoa. Aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis pada
kasus
bedah
dan
ginekologis
terutama
Bacteroides
fragilis.
Spektrum
antiprotozoanya mencakup Trikomonas vaginalis, vaginosis bakterialis (terutama
Gardnerella vaginalis), Entamoeba histolytica, dan Giardia lamblia. Dalam
penelitian Mikamo dkk (1999) tentang kaitan antara kanker serviks dengan
adanya bakteri intravaginal, dinyatakan bahwa pada pasien kanker serviks
ditemukan bakteri intravaginal aerob dan anaerob yang menginfeksi pasien.
Bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Gardnerella vaginalis yang
ditemukan pada 50% pasien kanker serviks. Sehingga penggunaan metronidazol
dapat ditujukan untuk terapi terhadap bakteri intravaginal pada kasus atau untuk
profilaksis bedah histerektomi.
Penggunaan itrakonazol sebagai antifungi hanya digunakan oleh 10%
kasus. Dalam Reksodiputro (2006) dinyatakan bahwa infeksi jamur merupakan
salah satu masalah infeksi pada pasien kanker. Infeksi jamur dapat ditemukan
bersama dengan infeksi bakteri. Jacobs dan Guglielmo (2007) menyatakan bahwa
itrakonazol dapat menurunkan infeksi jamur ketika digunakan sebagai terapi
profilaksis pada pasien neutropenia. Itrakonazol sangat aktif melawan hampir
semua strain Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, Cryptococcus
neoformans, Sporotrichum schenkii dan berbagai spesies dermatophytes.
Itrakonazol juga aktif dalam melawan spesies Aspergillus tetapi tidak aktif
54
melawan Fusarium dan Zygomycetes. Stanford (2008) menyebutkan bahwa salah
satu jenis mikroorganisme penyebab infeksi jamur pada pasien febrile neutropenia
adalah Aspergillus spp. Sehingga dapat dikatakan bahwa itrakonazol digunakan
untuk mencegah dan atau mengatasi infeksi jamur yang akan atau telah terjadi
pada pasien kanker serviks.
Antibiotik azitromisin merupakan antibiotik golongan makrolida yang
digunakan oleh 1 kasus yakni kasus 4. Dalam dosis tunggal (1g) azitromisin
digunakan untuk mengobati infeksi klamidia di daerah genital.
Antibiotik doksisiklin yang merupakan antibiotik golongan tetrasiklin
digunakan untuk mengobati penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
clamydiae seperti endocervitis, urethritis, proctitis, dan epididymitis. Antibiotik
doksisiklin juga mempunyai respon yang baik terhadap infeksi klamidial lainnya
sperti psittacosis, lymphogranuloma venereum, trachoma dan penyakit menular
seksual granuloma inguinal (Jacobs dan Guglielmo, 2007).
Levofloksasin
merupakan
antibiotika
golongan
kuinolon
yang
mempunyai aktivitas antibakteri yang luas. Levofloksasin dan siprofloksasin
mempunyai aktivitas terhadap P. aeruginosa yang lebih baik dibandingkan
antibiotik kuinolon lain. Gatifloksasin, gemifloksasin, levofloksasin dan
moksifloksasin mempunyai aktivitas terbaik terhadap gram positif termasuk
terhadap pneumococci dan strain S. aureus dan S. epidermidis (Jacobs dan
Guglielmo, 2007). Oleh karena itu levofloksasin dapat digunakan pada pasien
yang berisiko netropenia karena pasien tersebut mempunyai risiko tinggi
terinfeksi bakteri gram positif.
55
D. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) Penggunaan Antibiotik
Evaluasi drug therapy problems (DTPs) penggunaan antibiotik pada
pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di RS Bethesda periode tahun
2006-2008 dilakukan dengan penelusuran pustaka. Dari total 20 kasus yang
dievaluasi penggunaan antibiotiknya, ditemukan 15 kasus atau 75% yang
mengalami DTPs dan hanya 5 kasus atau 25% yang tidak mengalami DTPs.
Gambar 5. Persentase kejadian DTP pada kasus (n= 20 kasus)
Jumlah DTP yang terjadi pada tiap kasus berbeda- beda, satu kasus dapat
mengalami 1 (satu), 2 (dua), atau 3 (tiga) jenis DTP. Jenis DTP yang paling
banyak ditemukan adalah DTP ada obat tanpa indikasi sebanyak 6 kasus,
kemudian pemakaian obat yang tidak efektif serta adverse drug reactions (ADR)
dan interaksi obat masing-masing sebanyak 5 kasus, butuh tambahan obat dan
dosis terlalu rendah masing-masing 2 kasus, dan dosis terlalu tinggi 1 kasus.
56
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
Tabel XIII. Pengelompokan Kejadian DTPs
Berdasarkan Jenis DTP pada Kasus
Jenis DTP
Σ Kasus
Nomor Kasus
(n= 18 kasus)
Ada obat tanpa indikasi
6
6, 8, 9, 11, 12, 17
Butuh tambahan obat
2
1b, 15
Pemakaian obat yang tidak efektif
5
2, 3, 4, 16b, 17
Dosis terlalu rendah
2
1b, 17
Potensial Adverse Drug Reaction
5
4, 5, 12, 16b, 17
(ADR) dan interaksi obat
Dosis terlalu tinggi
1
4
Ada obat tanpa indikasi
Tabel XIV. Kelompok Kasus DTPs Ada Obat Tanpa Indikasi
Jenis
Σ
Nomor
Penilaian
Rekomendasi
Antibiotik
Kasus
Kasus
(Assessment)
(Plan)
Amoksisilin
3
6, 9, 11
Kasus tidak perlu Penggunaan
(Amoxan®,
mendapatkan
antibiotik
®
Yefamox )
terapi antibiotik sebaiknya
karena pada hasil disertai dengan
Kanamisin
3
8, 12, 17
pemeriksaan
pemeriksaan
laboratorium
laboratorium
penanda infeksi penanda infeksi.
menunjukkan
nilai
yang
normal
Penilaian ada obat tanpa indikasi berdasarkan pada tidak adanya tandatanda infeksi dalam hasil pemeriksaan laboratorium yang terdapat pada kasus
namun kasus tetap diberikan antibiotik (kecuali antibiotik yang diberikan pada
kasus pasca pembedahan histerektomi untuk mencegah atau mengatasi infeksi
yang kerap terjadi). Jenis DTP ada obat tanpa indikasi terjadi pada 6 kasus
dengan melibatkan jenis antibiotik amoksisilin dan kanamisin masing-masing
sebanyak 3 kasus. Pada kasus di atas, semuanya mempunyai nilai penanda infeksi
(leukosit dan segmen) yang normal sehingga belum diperlukan antibiotik.
57
Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu sebaiknya penggunaan antibiotik
tersebut disertai dengan pemeriksaan laboratorium penanda infeksi sehingga
antibiotik yang diberikan dapat dikatakan tepat indikasi.
2.
Butuh tambahan obat
Tabel XV. Kelompok Kasus DTPs Butuh Tambahan Obat
Jenis
Σ
Nomor
Penilaian
Rekomendasi
Antibiotik
Kasus
Kasus
(Assessment)
(Plan)
Sefiksim
1
1b
Kasus
Antibiotik
(Cefspan®)
memerlukan
diberikan sejak
dan
terapi
inisiasi munculnya
Seftriakson
obat berdasarkan tanda-tanda
(Broadced®)
tanda-tanda
infeksi
pada
infeksi
pada pemeriksaan
Amoksisilin
1
15
pemeriksaan
laboratorium.
laboratorium.
Jenis DTP butuh tambahan antibiotik terjadi pada 2 kasus yakni pada
kasus nomor 1b dan 15. Penyebab dari DTP pada kasus ini adalah adanya kondisi
medis yang memerlukan terapi inisiasi obat. Kondisi medis yang dimaksud adalah
hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya peningkatan nilai
leukosit sebagai penanda adanya infeksi bakteri. Pada kedua kasus ini, penanda
adanya infeksi bakteri telah nampak beberapa hari sebelum terapi antibiotik
dimulai, sehingga kasus memerlukan terapi inisiasi antibiotik untuk mengatasi
infeksi yang terjadi.
58
3.
Pemakaian obat yang tidak efektif
Tabel XVI. Kelompok Kasus DTP Pemakaian Obat yang Tidak Efektif
Jenis
Σ
Nomor
Penilaian
Rekomendasi (Plan)
Antibiotik Kasus Kasus
(Assessment)
Amoksisilin 2
2, 3
Penggunaan
Sebaiknya dilakukan
(Amoxan®)
amoksisilin
dan pemeriksaan
klinis
kanamisin
tidak lebih lanjut terkait
Kanamisin
2
4, 16b
sesuai
dengan adanya
peningkatan
tanda-tanda infeksi. eosinofil pada kasus,
Adanya kenaikan sehingga
dapat
eosinofil menjadi dipastikan
apakah
penanda terjadinya kasus menderita alergi
alergi atau infeksi atau infeksi parasit.
parasit.
Jika sudah diketahui
penyebabnya
maka
dapat
diberikan
antialergi
atau
antiparasit yang sesuai.
Gentamisin 1
17
Gentamisin sebagai Sebaiknya penggunaan
antibiotik
gentamisin
diganti
profilaksis
bedah dengan
antibiotik
tidak
tepat. profilaksis bedah yang
Sebaiknya
sesuai yakni golongan
digunakan golongan sefalosporin generasi
sefalosporin
atau pertama, kedua, ketiga
metronidazol.
atau metronidazol.
Jenis DTP pemakaian obat yang tidak efektif terjadi pada 5 kasus yaitu
kasus nomor 2 dan 3 terkait penggunaan amoksisilin, kasus 4, dan 16b terkait
penggunaan kanamisin dan kasus 17 terkait penggunaan gentamisin. Penyebab
DTP pemilihan obat yang salah pada kasus-kasus tersebut adalah penggunaan
obat yang tidak efektif atau obat yang digunakan bukan merupakan obat yang
paling efektif untuk mengatasi indikasi medis yang dialami kasus.
Pada kasus 2 dan 3, terdapat kenaikan eosinofil yang menunjukkan
adanya alergi atau infeksi parasit pada kasus. Namun antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik amoksisilin yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri
59
gram positif dan negatif. Pemilihan amoksisilin ini kurang tepat dengan indikasi
medis kasus. Hal yang sama terjadi pada kasus 4 dan 16b terkait dengan
penggunaan kanamisin. Rekomendasi yang dapat disarankan adalah sebaiknya
dilakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut terkait adanya peningkatan eosinofil
pada kasus, sehingga dapat dipastikan apakah kasus menderita alergi atau infeksi
parasit. Jika sudah diketahui penyebabnya maka dapat diberikan antialergi atau
antiparasit yang sesuai.
Pada kasus 17 penggunaan gentamisin ditujukan untuk terapi profilaksis
bedah histerektomi yang akan dijalani oleh pasien. Penggunaan gentamisin
sebagai terapi profilaksis bedah dikatakan kurang tepat. Jacobs dan Guglielmo
(2007) menyatakan bahwa antibiotik yang digunakan untuk profilaksis bedah
histerektomi adalah golongan sefalosporin generasi ke 2 dan 3. Thirion dan
Guglielmo
(2005) juga menyatakan
bahwa
antibiotik
profilaksis
yang
direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologist
pada pembedahan histerektomi adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi
pertama, kedua, dan ketiga. Dalam IONI (2000) disebutkan bahwa metronidazol
dapat digunakan sebagai antibiotik profilaksis bedah histerektomi. Rekomendasi
yang dapat disarankan adalah mengganti gentamsin dengan antibiotik profilaksis
bedah histerektomi yang sesuai dengan literatur.
Pada beberapa kasus yang menjalani pembedahan histerektomi,
digunakan antibiotika empiris pasca pembedahan untuk mencegah adanya infeksi
pasca pembedahan atau mengatasi infeksi yang terjadi saat pembedahan.
Pendekatan yang digunakan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik
60
pasca pembedahan histerektomi adalah dengan mengetahui jenis mikroorganisme
yang pada umumnya menginfeksi pasien yang menjalani bedah histerektomi.
Menurut Thirion dan Guglielmo (2005) mikroorganisme yang pada umunya
menginfeksi pasien yang menjalani bedah histerektomi adalah streptococcus grup
B, enterococcus anaerob, dan bakteri gram negatif enterik. Drug of choice yang
aktif terhadap streptococcus grup B adalah golongan penisilin, antibiotik lain
yang dapat digunakan adalah eritromisin, sefalosporin, azitromisin, doksisiklin,
dan fluorokuinolon. Untuk enterococcus anaerob, drug of choice yang dapat
digunakan adalah ampisilin, dan gentamisin. Vancomisin dapat digunakan sebagai
antibiotik alternatif untuk infeksi enterococcus anaerob, sedangkan pada infeksi
bakteri gram negatif enterik drug of choice yang dapat digunakan adalah
trimetoprim-sulfametoksazol, imipenem, dan meropenem, antibiotik lain yang
dapat digunakan yakni golongan aminoglikosida, fluorokuinolon, dan cefepime
(Jacobs dan Guglielmo, 2007).
Setelah dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik pasca pembedahan
histerektomi pada kasus yang menjalani pembedahan histerektomi, didapatkan
hasil bahwa antibiotik yang digunakan oleh kasus pasca pembedahan histerektomi
telah sesuai dengan literatur. Tidak ada penggunaan antibiotik pasca pembedahan
histerektomi yang pemakaiannya salah atau tidak efektif.
61
4.
Dosis terlalu rendah
Tabel XVII. Kelompok Kasus DTPs Dosis Terlalu Rendah
Jenis
Σ
Nomor
Penilaian
Rekomendasi
Antibiotik
Kasus
Kasus
(Assessment)
(Plan)
Sefiksim
1
1b
Durasi pemberian Memperpanjang
(Cefspan®)
antibiotik terlalu durasi pemberian
singkat
untuk sefiksim
sampai
menghasilkan
didapatkan
hasil
respon
yang pemeriksaan
diinginkan
laboratorium yang
menandakan bahwa
tidak
ada
lagi
infeksi pada kasus.
Sefazolin
1
17
Interval
dosis Meningkatkan
(Cefazol®)
yang
jarang frekuensi
sehingga
efek pemberian
yang dihasilkan sefazolin.
tidak optimal.
Pemberian antibiotik dengan dosis terlalu rendah terdapat pada 2 kasus
dengan nomor kasus 1b yang melibatkan antibiotik sefiksim (Cefspan®) dan kasus
17 yang melibatkan antibiotik sefazolin Na (Cefazol®). Pada kasus 1b, sefiksim
diberikan dengan durasi yang singkat sehingga respon yang dihasilkan tidak
optimal. Rekomendasi yang disarankan adalah dengan memperpanjang durasi
sefiksim sampai didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium yang menandakan
bahwa tidak ada lagi infeksi pada kasus. Pada kasus 17, penyebab dari DTP ini
adalah interval dosis yang jarang sehingga efek yang dihasilkan tidak optimal.
Dosis Cefazol® untuk profilaksis bedah menurut DIH adalah 1 g diberikan 30
menit sebelum pembedahan (diulangi sebesar 500mg-1g selama pembedahan) dan
setelah pembedahan sebesar 1 g tiap 6-9 jam. Dosis yang diterima pasien sebesar
2x1 g pada tanggal 26 dan 27 Mei. Dosis pada tanggal 26 (sebelum dan saat
pembedahan sudah tepat dosis) sedangkan pada tanggal 27 (setelah pembedahan)
62
dosisnya kurang. Rekomendasi yang diberikan adalah peningkatan frekuensi
pemberi Cefazol® pada tanggal 27 Mei menjadi 1 g tiap 6-9 jam.
5.
Potensial Adverse Drug Reaction (ADR) dan interaksi obat
Adverse drug reaction adalah efek obat yang tidak diinginkan yang
timbul selama pemberian dalam dosis terapi. Adverse drug reaction bersifat
individual yang berarti tidak terjadi pada semua individu tetapi hanya pada
individu tertentu. Dalam penelitian ini, DTPs yang terjadi bersifat potensial,
artinya adverse drug reaction akibat penggunaan antibiotik belum terjadi pada
kasus, namun potensial terjadi pada kasus, sehingga penggunaannya harus selalu
dimonitor agar tidak terjadi adverse drug reaction. Interaksi obat adalah reaksi
yang tidak diinginkan akibat penggunaan 2 atau lebih jenis obat yang tidak
berhubungan dengan dosis. Berikut ini merupakan tabel kelompok kasus DTPs
adverse drug reaction dan interaksi obat yang potensial terjadi pada kasus.
Tabel XVIII. Kelompok Kasus DTPs Adverse Drug Reaction (ADR)
dan Interaksi Obat
Jenis
Σ
Nomor
Penilaian
Rekomendasi
Antibiotik
Kasus Kasus
(Assessment)
(Plan)
Doksisiklin
1
5
Penggunaan
kedua Sebaiknya
dengan
obat ini
potensial diberikan selang
obatan yang
menimbulkan
waktu 3-4 jam
mengandung
interaksi
dengan antara
komponen besi
tingkat signifikansi 2. pemberian
atau kalsium
Interaksi yang terjadi antibiotik
(Feroford® dan
adalah
menurunnya doksisiklin
Seloxy®)
absorpsi
keduanya dengan
obat(Tatro, 2007).
obatan
yang
mengandung
besi
atau
kalsium.
63
Jenis
Antibiotik
Golongan
sefalosporin
dengan
golongan
aminoglikosida
(Broadced®,
Cefspan®,
Cefazol®
dengan
kanamisin dan
gentamisin)
Sefuroksim
aksetil (Zinnat®)
Tabel XVIII. Lanjutan
Σ
Nomor
Penilaian
Kasus Kasus
(Assessment)
2
4, 17
Interaksi kedua obat
ini
dapat
meningkatkan
nefrotoksisitas serta
meningkatnya
aktivitas bakterisidal
terhadap
kuman
tertentu.
Signifikasi
interaksi berada pada
level 2 (Tatro, 2007).
Rekomendasi
(Plan)
Dilakukan
monitoring
fungsi
ginjal
secara berkala.
1
17
Zinnat® menimbulkan
efek
samping
meningkatnya
transaminase
dan
alkaline
fosfatase.
Pada kasus sudah ada
peningkatan
nilai
SGPT dan SGOT.
Monitoring nilai
SGOT
dan
SGPT
kasus
selama
penggunaan
Zinnat® untuk
mengantisipasi
adanya ADR.
Antibiotik
kanamisin
dengan obat
golongan
NSAIDs yakni
ketorolak
(Remopain®,
dan Toradol®)
2
4, 16b
Dilakukan
monitoring
fungsi
ginjal
secara berkala.
Itrakonazol
(Sporacid®) dan
deksametason
(Kalmetasone®)
1
12
Antibiotik
levofloksasin
(Cravit®) dan
Mylanta®
1
16b
Penggunaan NSAIDs
dapat menyebabkan
akumulasi kanamisin
dalam plasma dengan
mekanisme penurunan
GFR
(Glomerular
Filtration
Rate)
dengan
tingkat
signifikansi 2 (Tatro,
2007).
Potensial
interaksi
yang
dapat
meningkatkan
efek
dan
toksisitas
deksametason dengan
tingkat signifikansi 2
(Tatro, 2007).
Mylanta® menurunkan
efek
farmakologi
levofloksasin dengan
tingkat signifikansi 2
(Tatro, 2007).
Dilakukan
monitoring efek
samping
deksametason
secara berkala.
Pemberian
dilakukan
dengan selang
waktu 3-4 jam.
64
Jenis
Antibiotik
Antibiotik
Sefuroksim
aksetil (Zinnat®)
dengan
simetidin
(Ulsikur®)
Σ
Kasus
1
Tabel XVIII. Lanjutan
Nomor
Penilaian
Kasus
(Assessment)
17
Potensial
interaksi
antara
sefuroksim
aksetil
dengan
simetidin
dengan
signifikansi
4.
Penggunaan simetidin
dapat
menurunkan
bioavailabilitas
sefuroksim
aksetil
dengan
mekanisme
perubahan
pH
lambung yang akan
mempengaruhi
absorpsi sefuroksim
aksetil (Tatro, 2007).
Rekomendasi
(Plan)
Sebaiknya
dihindari
penggunaan
bersamaan
(diberikan
selang waktu)
atau sefuroksim
aksetil
digunakan
bersamaan
dengan makanan
untuk
mengoptimalkan
absorpsi.
Jenis DTP adverse drug reaction yang potensial terjadi pada kasus
adalah penggunaan sefuroksim aksetil (Zinnat®) pada kasus 17 yang dapat
meningkatkan transaminase dan alkali fosfatase. Pada kasus, nilai transaminase
dan alkali fosfatase yang didapat dari hasil pemeriksaan laboratoriumnya telah
menunjukkan adanya peningkatan, sehingga berpotensi menimbulkan adverse
drug reaction (Lacy, Amstrong, Goldman, dan Lance, 2006).
Salah satu penyebab adverse drug reaction yang paling banyak terjadi
adalah adanya interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan
yang tidak berhubungan dengan dosis obat. Adanya interaksi obat terdapat pada
kasus 4, 5, 12, 16b, dan 17. Pada kasus 5 interaksi obat yang terjadi melibatkan
penggunaan doksisiklin bersamaan dengan obat-obatan yang mengandung
komponen besi atau kalsium (Feroford® dan Seloxy®) yang berpotensi
menimbulkan interaksi yakni menurunnya absorpsi doksisiklin. Interaksi yang
65
terjadi berada pada level signifikansi 2. Onset dari interaksi kedua obat tersebut
lambat dengan tingkat keparahan sedang (Tatro, 2007).
Pada kasus 4 dan 17 interaksi obat yang potensial terjadi adalah
penggunaan antibiotik golongan sefalosporin dengan antibiotik golongan
aminoglikosida yang dapat menimbulkan nefrotoksisitas dengan tingkat
signifikansi 2 yaitu onset dari interaksi kedua obat tersebut lambat dengan tingkat
keparahan sedang (Tatro, 2007).
Adanya potensial interaksi antara antibiotik kanamisin dengan obat
golongan NSAIDs yakni ketorolak (Remopain®, dan Toradol®) terdapat pada
kasus 4, dan 16b. Penggunaan NSAIDs dapat menyebabkan akumulasi kanamisin
dalam plasma dengan mekanisme penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate).
Interaksi yang terjadi berada pada level signifikansi 2 (Tatro, 2007).
Pada kasus nomor 12, potensial terjadi interaksi pada penggunaan
itrakonazol (Sporacid®) dengan deksametason (Kalmetasone®). Penggunaan
bersamaan kedua obat ini dapat meningkatkan efek dan toksisitas deksametason
dengan tingkat signifikansi 2.
Penggunaan bersamaan antibiotik levofloksasin (Cravit®) dan Mylanta®
berpotensi menimbulkan interaksi pada kasus 16b. Interaksi yang potensial terjadi
yaitu menurunkan efek farmakologi levofloksasin dengan tingkat signifikansi 2.
Interaksi yang terjadi onsetnya cepat dengan tingkat keparahan sedang (Tatro,
2007).
Adanya potensial interaksi antara antibiotik sefuroksim aksetil (Zinnat®)
dengan simetidin (Ulsikur®) pada kasus 17. Penggunaan simetidin dapat
66
menurunkan bioavailabilitas sefuroksim aksetil dengan mekanisme perubahan pH
lambung yang akan mempengaruhi absorpsi sefuroksim aksetil. Interaksi yang
terjadi berada pada level signifikansi 4 dengan onset interaksi yang cepat dan
tingkat keparahan sedang (Tatro, 2007).
6.
Dosis Terlalu Tinggi
Drug therapy problems dosis terlalu tinggi terdapat pada 1 kasus yakni
pada kasus 4 yang melibatkan penggunaan azitromisin (Zistic®). Menurut IONI
(2000), azitromisin digunakan 500 mg sekali sehari selama 3 hari. Pada kasus
digunakan selama 4 hari, sehingga durasi antibiotik yang digunakan terlalu lama.
Durasi obat yang terlalu lama dapat dikelompokkan ke dalam jenis DTP dosis
terlalu tinggi (Cipolle dan Strand, 2004).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian evaluasi drug therapy problems penggunaan
antibiotik pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di RS Bethesda
periode tahun 2006-2008 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Karakterisitik pasien berdasarkan stadium terbanyak yaitu stadium IIa sebesar
38,89%, berdasarkan usia terbanyak yaitu usia 51-60 tahun sebesar 27,78%,
dan berdasarkan usia pada saat menikah yang terbanyak yakni usia < 20 tahun
sebesar 60%.
2.
Pada profil penggunaan obat oleh pasien, terdapat 12 kelas terapi obat yang
digunakan yaitu obat saluran cerna sebesar 90%, obat susunan saraf sebesar
85%, vitamin dan mineral sebesar 85%, obat kardiovaskuler dan sistem
hematopoeitik sebesar 75%, suplemen makanan sebesar 50%, hormon sebesar
30%, obat saluran nafas sebesar 15%, obat sistem saluran kemih dan kelamin,
obat sistem muskuloskeletal, obat mulut dan tenggorokan, serta antihistamin/
antialergi masing-masing sebesar 5%.
3.
Pada profil penggunaan antibiotik oleh pasien, terdapat 8 golongan antibiotik
yang digunakan. Golongan antibiotik yang paling banyak digunakan yaitu
golongan sefalosporin (60%) dengan jenis antibiotik terbanyak seftriakson disodium yang digunakan oleh 8 kasus.
67
68
4.
Drug Therapy Problems (DTPs) yang ditemukan terkait penggunaan
antibiotik oleh pasien adalah sebagai berikut :
a. Ada obat tanpa indikasi sebanyak 6 kasus
b. Butuh tambahan obat sebanyak 2 kasus
c. Pemakaian obat yang tidak efektif sebanyak 5 kasus
d. Dosis terlalu rendah sebanyak 2 kasus
e. Potensial Adverse Drug Reaction (ADR) dan interaksi obat sebanyak 5
kasus, dan
f. Dosis terlalu tinggi sebanyak 1 kasus.
B. Saran
Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah :
1.
Bagi RS Bethesda Yogyakarta :
a. Perlu dilakukan pemeriksaan kultur kuman untuk mengetahui jenis
mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi pada pasien, sehingga
dapat diberikan antibiotik yang
sesuai dengan kultur kumannya
(antibiotik definitif).
b. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium terkait adanya infeksi setelah
pasien
menjalani
kemoterapi,
sehingga
dapat
diketahui
adanya
neutropenia akibat efek samping kemoterapi dan dapat diberikan terapi
yang sesuai.
69
2.
Bagi peneliti selanjutnya :
a. Dapat dilakukan penelitian Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan
antibiotik pada pasien kanker serviks di RS Bethesda berdasarkan pola
kuman setempat.
b. Dapat dilakukan penelitian secara prospektif Drug Therapy Problems
(DTPs) penggunaan antibiotik pasca kemoterapi pada pasien kanker
serviks rawat jalan.
c. Dapat dilakukan penelitian Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan
antibiotik pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi di
rumah sakit lain.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdulmuthalib, 2006, Prinsip Dasar Terapi Sistemik pada Kanker, dalam Sudoyo,
A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiyati, S., Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi IV, 849-850, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI, Jakarta
Adiwijono, 2006, Teknik- teknik Pemberian Kemoterapi, dalam Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiyati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, edisi IV, 860, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
FKUI, Jakarta
Andrijono, 2005, Chemotherapy in Cervical Cancer, Indonesian Journal Obstetric
Gynecologic., 29(2): 122
Anonim, 1996, Protokol Onkologi RSUP Dr. Sardjito, 41-49, Komite Medis
RSUP Dr. Sardjito, MMR Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, diakses
tanggal 26 Desember 2009
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 199-202, 304,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim,
2007a,
Cervical
Cancer
at
a
Glance,
http://info.cancerresearchuk.org/cancerandresearch/cancers/cervical/,
diakses tanggal 10 Mei 2009
Anonim, 2007b, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, edisi 7 2007/ 2008, 295,
297, 321, 324, PT Info Master Lisensi dan CMP Medica, Indonesia
Anonim, 2009a, ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia, 398, PT. ISFI
Indonesia, Jakarta
Anonim,2009b,
Kanker
Leher
Rahim,
http://www.scribd.com/doc/5770347/Kanker-Leher Rahim?autodown=pdf,
diakses tanggal 19 Mei 2009
Anonim, 2009c, Rumah Sakit Bethesda, http://www.bethesda.or.id/isi.php?id=39,
diakses tanggal 5 Juli 2009
Anonim, 2009d, Formularium Rumah Sakit Bethesda Tahun 2009, Sub Komite
Farmasi, Terapi, Alat Kesehatan dan Alat Kedokteran Rumah Sakit
Bethesda, Yogyakarta
Anonim, 2010, Farmakoterapi Antiinfeksi/ Antibiotika, 8, Bagian Farmakologi
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
71
Aziz, M.F., 2001, Masalah Pada Kanker Serviks, dalm Cermin Dunia Kedokteran,
No 133: 5-7
Bosman, F.T., 1996, Aspek- aspek Fundamental Kanker, dalam Velde, C.J.H.,
Bosman, F.T., dan Wagener, D.J.Th., Onkologi, 10, 11, 16, diterjemahkan
oleh panitia kanker RSUP Dr. Sardjito, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Cipolle, R.J and Strand, L.M., 2004, Pharmaceutical Care Practice The
Clinician’s Guide, Second Edition, 175, McGraw-Hill, New York
Davey, P., 2006, At a Glance Medicine, Erlangga, Jakarta
Drew, R.H., 2005, Prevention and Treatment of Infections in Neutropenic Cancer
Patient, dalam Koda-kimble, M.A., Young, L.Y., Kradjan, W. A.,
Guglielmo, B. J., Alldredge, B. K., dan Corelli, R. L, Applied Therapeutics
The Clinical Use Of Drugs, 8th edition, Chapter 68, Lippincount Williams &
Wilkins, Baltimore
Jacobs, R.A. dan Guglielmo, B.J., 2007, Anti-infective Chemotherapeutic &
Antibiotic Agents, dalam McPhee, S.J., Papadakis, M.A., Tierney, Jr.L.M,
Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, 1583-1616, McGrawHill Companies, New York
Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance, L.L., 2006, Drug
Information Handbook, 1825, Lexi-Comp, Ohio
Lindley, C., 2005, Adverse Effects of Chemotherapy, dalam Koda-kimble, M.A.,
Young, L.Y., Kradjan, W.A., Guglielmo, B.J., Alldredge, B.K., dan Corelli,
R.L, Applied Therapeutics The Clinical Use Of Drugs, 8th edition, Chapter
89-25, Lippincount Williams & Wilkins, Baltimore
Marlinah, I., 2009, Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Kanker Leher
Rahim yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Agustus 2004- Agustus 2008, Skripsi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
MacKay, H.T., 2007, Gynecology, dalam McPhee,S.J., Papadakis,M.A., Tierney,
Jr.L.M., Current Medical Diagnosis and Treatment, Forty-sixth edition,
756, McGraw-Hill Companies, New York
Mexitalia, M., 2005, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Kasus Kanker Leher
Rahim di Rumah Sakit Panti rapih Yogyakarta Tahun 2004, Skripsi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
72
Meyler, W.J., dan Crul, B.J.P., 1999, Nyeri dan Pemberantasan Nyeri pada
Penderita Kanker, dalam Velde, C.J.H., Bosman, F.T., dan Wagener,
D.J.Th., Onkologi, 769, diterjemahkan oleh panitia kanker RSUP Dr.
Sardjito, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Mikamo, H., Sato, Y., Hayasaki, Y., Kawazoe, K., Izumi, K., Ito, K., et al., 1999,
Intravaginal Bacterial Flora in Patients with Uterine Cervical Cancer : High
Incidence of Detection of Gardnerella vaginalis, Journal of Infection and
Chemotherapy, Vol.5, No.2, 82-85
NCCN, 2010, National Comprehensive Cancer Network (NCCN) Clinical
Practice Guidelines in Oncology: Cervical Cancer
Norwitz, E.R, dan Schorge, J.O., 2006, At a Glance Obstetri dan Ginekologi, edisi
kedua, diterjemahkan oleh Artsiyanti, Diba, 63, Erlangga, Jakarta
Otto, S.E., 2003, Buku Saku Keperawatan Onkologi, 157-158, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Pratiknya, A.W., 1986, Dasar- dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, 10, CV Rajawali, Jakarta
Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 151, Penerbit Erlangga, Jakarta
Ranuhardy, D., 2006, Neutropeni Febril pada Kanker, dalam Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiyati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, edisi IV, 885-889, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI, Jakarta
Rasjidi, Imam., 2009, Epidemiologi Kanker Serviks, Indonesian Journal Of
Cancer, Vol. III, No.3, 103-108, Dharmais Center Hospital, Jakarta
Reksodiputro, A.H., 2006, Pengobatan Suportif Pada Pasien Kanker, dalam
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiyati, S.,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi IV, 874-884, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
Robbins, S.L., dan Kumar, V., 1987, Buku Ajar Patologi II, edisi 4, diterjemahkan
oleh Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, 379-382, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Segedi, L.M., Segedi, D., Radakovic, J., Ilic, M., dan Kojic, S., 2005, The
Guidelines on Antibiotics Application in Gynaecological Oncology, Arch
Oncol 2005;13(2):83-5
73
Setiabudy, R , dan Gan, V.H.S., 1995, Antimikroba, dalam Ganiswara, S.G.,
Setiabudy, R., dan Suyatna, F.D., Farmakologi dan Terapi, edisi 4, 571,
Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta
Sjamsuddin, S., 2001, Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks, dalam
Cermin Dunia Kedokteran, No 133, 8-14
Stanford, B.L., 2008, Oncologic Emergencies, dalam Chisholm-Burns, M.A.,
Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M.,
Rotschafer, J.C., et al Pharmacotherapy Principles&Practice, 1468,
McGraw-Hill Companies, New York
Sutedjo, A.Y., 2007, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Penerbit Amara Books, Yogyakarta
Suwiyoga I.K., 2006, Tes Human Papillomavirus sebagai Skrining Alternatif
Kanker Serviks, dalam Cermin Dunia Kedokteran, No 151, 29-32
Tambunan, G.W., 1995, Diagnosis dan Tata Laksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia, 1-22, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Tatro, D.S., 2007, Drug Interaction Facts 2007, Wolters Kluwer Health, Missouri
Thirion, D.J.G., dan Guglielmo, B.J., 2005, Antimicrobial Prophylaxis for
Surgical Procedures, dalam Koda-kimble, M.A., Young, L.Y., Kradjan, W.
A., Guglielmo, B. J., Alldredge, B. K., dan Corelli, R. L, Applied
Therapeutics The Clinical Use Of Drugs, 8th edition, Chapter 57-2,
Lippincount Williams & Wilkins, Baltimore
Trimbos, J.B, dan Fleuren G.J., 1996, Tumor Alat Kelamin Wanita, dalam Velde,
C.J.H., Bosman, F.T., dan Wagener, D.J.Th., Onkologi, 493-506,
diterjemahkan oleh panitia kanker RSUP Dr. Sardjito, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
74
Lampiran 1. Analisis DTPs Pada Kasus dengan Metode SOAP
(Subjective, Objective, Assessment, Plan)
Kasus 1a No. RM 00-63-63-12 (28/05/08-12/06/08)
Subyektif
Ny. HYT, wanita, 54 tahun. Keluhan masuk: perdarahan pervagina selama ± 6
bulan
Usia menikah: 19 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
28; 31; 3/6/08
28; 31; 3/6/08
7,00 (L); 13,4;
Hb (gr%)
12,7
MCH (pg)
24,50 (L); -; Lekosit
(rb/mmk)
27,96 (H); -; MCHC (g/dL)
31,1; -; Trombosit
Eosinofil (%)
0,5; -; (rb/mmk)
471 (H); -; Segmen (%)
88,3 (H); -; SGOT (U/I)
20,5; -; Basofil (%)
0,4; -; SGPT (U/I)
21,6; -; Limfosit (%)
7,2 (L); -; Ureum (mg/dl)
11,1; -; Monosit (%)
3,6; -; Kreatinin (mg/dl)
0,5 (L); -; 22,5 (L); 41,7;
Hematokrit (%)
39,4
Suhu (°C)
37
RBC (juta/mmk) 2,86 (L); -; Nadi (x/min)
80
RDW (%)
15,20 (H); -; Nafas (x/min)
20
MCV (fL)
78,70 (L); -; TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Tindakan : operasi histerektomi tanggal 02/06/08
Pengobatan : Primperan® 3x1 (oral), Cefspan® 2x1 (oral), Elovess® 1x1 (oral),
Q-ten® 1x1 (oral), Biogesic® 3x1 (oral), Cefazol® 2x1 (inj), Broadced® 2 p 1g
(inj), Alinamin-F® 2x 1 (inj), Vitamin C 1x2 amp (inj), Remopain® 2x1 (inj),
Primperan® 2x1 amp (inj), Flagyl® 2x1 btl (infus), Cisplatin® 50 mg (infus),
Narfoz® 2x1 amp (inj)
Penilaian (Assessment)
1. Penggunaan Broadced® (seftriakson) dan Flagyl® (metronidazol) sebagai
antibiotik profilaksis bedah telah sesuai dengan literatur.
2. Penggunaan Cefazol® (sefazoline Na) tanggal 28-30 Mei dan Cefspan®
(sefiksim) tanggal 30 Mei-1 Juni dilanjutkan tanggal 5-11 Juni pasca operasi
dimaksudkan sebagai terapi empiris adanya infeksi bakteri yang ditunjukkan
dengan meningkatnya nilai leukosit dan segmen pada tanggal 28 Mei.
Rekomendasi (Plan)
Dilakukan pemeriksaan kultur kuman terkait adanya infeksi pada pasien, sehingga
dapat diberikan antibiotik definitif sesuai kuman yang menginfeksi.
75
Kasus 1a
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Cefspan® 2x1 (oral)
Elovess® 1x1 (oral)
Q-ten® 1x1 (oral)
Biogesic® 3x1 (oral)
Cefazol® 2x1 (inj)
Broadced® 2 p 1g (inj)
Alinamin-F® 2x 1 (inj)
Vitamin C 1x2 amp (inj)
Remopain® 2x1 (inj)
Primperan® 2x1 amp (inj)
Flagyl® 2x1 btl (infus)
Nama Obat
Primperan® 3x1 (oral)
Cefspan® 2x1 (oral)
Elovess® 1x1 (oral)
Q-ten® 1x1 (oral)
Cisplatin® 50 mg (infus)
Narfoz® 2x1 amp (inj)
28 Mei
29 Mei
So
So
So
So
P
P
P,Si,So
P,So
5 Juni
6 Juni
P,So
P
P
P,So
P
P
Tanggal Pemberian
30 Mei 31 Mei 1 Juni 2 Juni
P,So
P,So
P,So
P
P
P
P
P
P
P,Si,So P,Si,So
P
P,So
So (2g)
So,M
√
So,M
So,M
So,M
7 Juni
P,Si,So
P,So
P
P
Tanggal Pemberian
8 Juni
9 Juni
P,Si,So
P,Si,So
P,So
P,So
P
P
P
P
3 Juni
4 Juni
P (2g)
P,So
P (1g)
P,So
P,So
10 Juni
P,Si,So
P,So
P
P
11 Juni
P,Si,So
P,So
P
P
√
√
12 Juni
P
P
76
Kasus 1b No. RM 00-63-63-12 (15/10/08-25/10/08)
Subyektif
Ny. HYTi, wanita, 54 tahun. Keluhan masuk : mual dan muntah sejak dirawat dan
menjalani kemoterapi 4 bulan yang lalu
Riwayat : 4 bulan yang lalu menjalani kemoterapi c isplatin
Usia menikah: 19 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Diagnosa sekunder : Chronic Myeloid Leukaemia (CML)
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
15; 16; 20; 24
15; 16; 20; 24
28,20(L); -; -;
Hb (gr%)
6,90 (L); -; -; MCH (pg)
Lekosit
76,71 (H); 74,70 (H);
(ribu/mmk)
53,40 (H); 23,8 (H)
MCHC (g/dL)
32,1; -; -; Trombosit
Eosinofil (%)
0,4; -; -; 0,2
(ribu/mmk)
410; -; -; 93,8 (H); -; -; 93,3
Segmen (%)
(H)
SGOT (U/I)
Basofil (%)
0,4; -; -; 0,3
SGPT (U/I)
Limfosit (%)
3,8 (L); -; -; 5,3 (L)
Ureum (mg/dl)
13,5 (L); -; -; Monosit (%)
1,6 (L); -; -; 0,9 (L)
Kreatinin (mg/dl)
0,7; -; -; Hematokrit (%) 21,5 (L); -; 39,7; Suhu (°C)
36
RBC
(juta/mmk)
2,45 (L); -; -; Nadi (kali/menit)
24
RDW (%)
16,10 (H); -; -; Nafas (kali/menit)
84
MCV (fL)
87,80 (L); -; -; TD (mmHg)
110/70
Penatalaksanaan
Hydrea® 1x4 (oral), Elovess® 1x1 (oral), Q-ten® 1x1 (oral), Gynoford®, Lasix® 1
amp (inj), Cetalgin® 3x1 (oral), Broadced® 1x2g (inj), Biogesic® 3x1 (oral),
Cefspan® 2x1 (oral)
Penilaian (Assessment)
1. Broadced® (seftriakson) dan Cefspan® (sefiksim) digunakan sebagai terapi
empiris adanya infeksi pada kasus yang ditandai dengan meningkatnya nilai
leukosit dan segmen pada tanggal 15, 16, 20, dan 24 Oktober. Pada tanggal
15, telah terdapat peningkatan lekosit sebagai penanda infeksi pada kasus,
namun Broadced® baru diberikan pada tanggal 16 sore. Selain itu pada
pemeriksaan tanggal 20 masih terjadi peningkatan lekosit namun kasus baru
diberikan Cefspan® tanggal 22, maka dapat dikatakan bahwa kasus
membutuhkan terapi inisiasi antibiotik untuk mengatasi infeksi yang terjadi.
DTP bersifat aktual : butuh tambahan obat.
77
Lanjutan Kasus 1b
2. Pemberian Cefspan® hanya dilakukan pada tanggal 22 Oktober. Durasi
pemberian antibiotik ini terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, terbukti pada hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24 yang
menunjukkan masih terdapat infeksi pada kasus. Walaupun begitu, pada
kasus pemberian Cefspan® tetap tidak dilanjutkan. DTP bersifat aktual : dosis
terlalu rendah.
Rekomendasi (Plan)
1. Pemberian Broadced® (injeksi) dimulai pada tanggal 15 Oktober pada saat
didapatkan tanda- tanda infeksi pada kasus. Selain itu sebaiknya pemberian
Cefspan® (oral) dapat dimulai pada tanggal 18 Oktober untuk menggantikan
pemberian Broadced® injeksi. Cefspan® (oral) dapat diberikan sampai
didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium yang menandakan bahwa tidak
ada lagi infeksi pada kasus.
2. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur kuman untuk mengetahui jenis
bakteri yang menginfeksi kasus sehingga dapat diberikan antibiotik sesuai
dengan kuman yang menginfeksi.
78
Kasus 1b
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Hydrea® 1x4 (oral)
Elovess® 1x1 (oral)
Q-ten® 1x1 (oral)
Gynoford®
Lasix® 1 amp (inj)
Cetalgin® 3x1 (oral)
Broadced® 1x2g (inj)
Biogesic® 3x1 (oral)
Cefspan® 2x1 (oral)
16
17
P
P
P
P
So
18
P
P
P
19
P
P
P
√
√
M
Tanggal Pemberian
20
21
P
P
P
P
P
P
P,So
P,So
22
P
P
P
23
P
P
P
P,Si,So
P,Si,So
P
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
P,So
24
P
P
P
25
P
P
P
79
Kasus 2 No. RM 01-91-77-39 (04/06/08-08/06/08)
Subyektif
Ny. SRT, wanita, 47 tahun. Keluhan masuk: sering mengalami keputihan yang
berbau ± 6 bulan
Usia menikah: 18 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIb
Obyektif
Tanggal
Tanggal
Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
4; 7/6/08
4; 7/6/08
Hb (gr%)
9,90 (L); 12,9
MCH (pg)
23,00 (L); Lekosit (ribu/mmk) 6,6; MCHC (g/dL)
29,5; Eosinofil (%)
5,1 (H); Trombosit (ribu/mmk) 448 (H); Segmen (%)
57; SGOT (U/I)
Basofil (%)
0,1; SGPT (U/I)
Limfosit (%)
28,1; Ureum (mg/dl)
14,7 (L); Monosit (%)
9,7; Kreatinin (mg/dl)
1,0; Hematokrit (%)
33,5 (L); 40,1
Suhu (°C)
RBC (juta/mmk)
4,3; Nadi (kali/menit)
RDW (%)
14,3; Nafas (kali/menit)
MCV (fL)
77,9 (L); TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Cisplatin® 50mg (infus), Amoxsan® 3x500mg (oral), Profenid® supp, Primperan
comp® 3x1 (oral), Narfoz® 8mg (inj)
Penilaian (Assessment)
Tidak ada indikasi yang jelas untuk penggunaan Amoxsan® (amoksisilin) karena
hasil pemeriksaan darah tanggal 4 Juni tidak menunjukkan tanda- tanda infeksi
bakteri pada kasus. Peningkatan eosinofil menandakan adanya alergi atau infeksi
parasit pada kasus (Sutedjo, 2007). DTP yang terjadi bersifat aktual : pemakaian
obat yang tidak efektif.
Rekomendasi (Plan)
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut terkait adanya peningkatan
eosinofil pada kasus, sehingga dapat dipastikan apakah kasus menderita alergi
atau infeksi parasit. Jika sudah diketahui penyebabnya maka dapat diberikan
antialergi atau antiparasit yang sesuai.
80
Kasus 2
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
®
Cisplatin 50mg (infus)
Amoxsan® 3x500mg (oral)
Profenid® supp
Primperan comp® 3x1 (oral)
Narfoz® 8mg (inj)
Tanggal Pemberian
5 Juni 6 Juni 7 Juni 8 Juni
√
So
P,Si,So P,Si,So P,Si,So
So
√
√
81
Kasus 3 No. RM 00-75-74-29 (02/01/08-09/01/08)
Subyektif
Ny. SWY, wanita, 55 tahun. Keluhan masuk: sejak Februari 2007 hingga saat ini
sering mengalami perdarahan pervagina, terkadang banyak dan terdapat flek-flek
Usia menikah: 20 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIb
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
2; 5/1/08
2; 5/1/08
Hb (gr%)
11,40 (L); 11,4 (L) MCH (pg)
25,50 (L); Lekosit
(ribu/mmk)
7,1; MCHC (g/dL)
34,2; Trombosit
Eosinofil (%)
10,8 (H); (ribu/mmk)
308; Segmen (%)
61,3; SGOT (U/I)
20,5; Basofil (%)
1,0; SGPT (U/I)
21,6; Limfosit (%)
22; Ureum (mg/dl)
35,5; Monosit (%)
4,9; Kreatinin (mg/dl) 0,9; Hematokrit (%)
33,4 (L); 36,9
Suhu °C
37
RBC (juta/mmk)
4,48; Nadi (kali/menit)
88
Nafas
RDW (%)
15,10 (H); (kali/menit)
20
MCV (fL)
74,50 (L); TD (mmHg)
160/100
Penatalaksanaan
Amoxsan® 3x500mg (oral), Biogesic® 2x1 (oral), Hemobion® 1x1 (oral), Surbex
t® 1x1 (oral), Kalnex® 2x1 (oral), Ossopan® 2x1 (oral), Buscopan Plus® 2x1
(oral), Primperan® 3x1 (oral), Dulcolax® supp 1, Narfoz® 2x1 amp (inj),
Cisplatin® 50 mg (infus)
Penilaian (Assessment)
Tidak ada indikasi yang jelas untuk penggunaan Amoxsan® (amoksisilin) karena
hasil pemeriksaan darah tanggal 2 Januari tidak menunjukkan tanda- tanda infeksi
bakteri pada kasus. Peningkatan eosinofil menandakan adanya alergi atau infeksi
parasit pada kasus (Sutedjo, 2007). DTP yang terjadi bersifat aktual : pemakaian
obat yang tidak efektif.
Rekomendasi (Plan)
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut terkait adanya peningkatan
eosinofil pada kasus, sehingga dapat dipastikan apakah kasus menderita alergi
atau infeksi parasit. Jika sudah diketahui penyebabnya maka dapat diberikan
antialergi atau antiparasit yang sesuai.
82
Kasus 3
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Amoxsan 3x500mg (oral)
Biogesic® 2x1 (oral)
Hemobion® 1x1 (oral)
Surbex t® 1x1 (oral)
Kalnex® 2x1 (oral)
Ossopan® 2x1 (oral)
Buscopan Plus® 2x1 (oral)
Primperan® 3x1 (oral)
Dulcolax® supp 1
Narfoz® 2x1 amp (inj)
Cisplatin® 50 mg (infus)
®
2 Jan
So
3 Jan
4 Jan
P,Si,So P,Si,So
P,So
P,So
M
P
M
P
M
P,So
M
P,So
Tanggal Pemberian
5 Jan
6 Jan
P,Si,So P,Si,So
P,So
P,So
P
P
P
P
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
7 Jan
P,Si,So
P,So
P
P
P,So
P,So
P,So
√
Si,M
So
8 Jan
9 Jan
P
P
P
P
P,So
P,Si,So
P
P
P,So
P,Si,So
83
Kasus 4 No. RM 00-76-79-39 (21/04/08-06/05/08)
Subyektif
Ny. LKI, wanita, 68 tahun. Tidak ada keterangan mengenai keluhan pasien pada
saat masuk
Usia menikah: tak ada keterangan
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa, hipertensi
Diagnosa sekunder: Carcinoma epidermoid
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
21; 25/4/08
21; 25/4/08
Hb (gr%)
12,5; 12,7
MCH (pg)
30,70 (L); Lekosit
(ribu/mmk)
5,94; MCHC (g/dL)
33,3; Trombosit
Eosinofil (%)
5,1 (H); (ribu/mmk)
329; Segmen (%)
69,6; SGOT (U/I)
17,9; Basofil (%)
0,5; SGPT (U/I)
11,3; Limfosit (%)
18,9; Ureum (mg/dl)
31,3; Monosit (%)
5,9; Kreatinin (mg/dl)
1,1; Hematokrit (%)
37,5; 38,5
Suhu °C
RBC (juta/mmk)
4,07 (L); Nadi (kali/menit)
RDW (%)
13,3; Nafas (kali/menit)
MCV (fL)
92,1; TD (mmHg)
150/90
Penatalaksanaan
Tindakan : operasi histerektomi tanggal 23/04/08
Pengobatan : Micardis 40® 1x1 (oral), Herbesser®30 mg 2x1 (oral), Kanamisin
3x2 (oral), Q-ten® 1x1 (oral), Codein 10 mg 3x1 (oral), Narfoz® 4mg 1x1 (oral),
Enzyplex® 3x1 (oral), Cefspan® 100 mg 2x1 (oral), Elovess® 1x1 (oral),
Remopain® 2x1 amp (inj), Alinamin-F® 2x 1 amp (inj), Flagyl® 2x1 btl (infus),
Broadced® 1x1 g(inj), Zistic 500® 1x1 (oral), Noros® 1x1 (oral), Cataflam D 50®
2x1 (oral), Theragran®1x1 (oral), Adona 50mg® (inj), Kalnex® (inj), Tramal®
(inj), Toradol® (inj), Prostigmin® (inj), Prosogan® 1x1 (oral), Cisplatin® 50 mg
(infus)
Penilaian (Assessment)
1. Penggunaan Broadced® (seftriakson) dan Flagyl® (metronidazol) sebagai
antibiotik profilaksis bedah histerektomi telah sesuai dengan literatur.
2. Penggunaan Cefspan® (sefiksim), dan Zistic® (azitromisin) sebagai antibiotik
empiris post histerektomi telah sesuai dengan literatur.
3. Pada tanggal 21 April terdapat peningkatan eosinofil yang menandakan
adanya alergi atau infeksi parasit. Pada tanggal 22 April diberikan kanamisin
untuk mengatasi infeksi yang terjadi. Kanamisin bukan merupakan obat yang
paling efektif untuk mengatasi infeksi parasit ataupun alergi yang dialami
kasus. DTP yang terjadi bersifat aktual : pemakaian obat yang tidak efektif.
84
Lanjutan Kasus 4
3. Adanya potensial interaksi antara antibiotik golongan sefalosporin
(seftriakson Na) dan antibiotik kanamisin dengan tingkat signifikansi 2.
Interaksi kedua obat ini dapat meningkatkan nefrotoksisitas serta
meningkatkan aktivitas bakterisidal (Tatro, 2007). DTP bersifat potensial :
adverse drug reaction
4. Adanya potensial interaksi antara antibiotik kanamisin dengan obat golongan
NSAIDs yakni Remopain®, dan Toradol® (ketorolak) dengan tingkat
signifikansi 2. Penggunaan NSAIDs dapat menyebabkan akumulasi
kanamisin dalam plasma dengan mekanisme penurunan GFR (Glomerular
Filtration Rate) (Tatro, 2007). DTP bersifat potensial : adverse drug reaction
5. Penggunaan Zistic® melebihi dosis yang dianjurkan. Menurut IONI (2000),
aziromisin digunakan 500 mg sekali sehari selama 3 hari. Pada kasus
digunakan selama 4 hari. DTP yang terjadi bersifat aktual : dosis terlalu
tinggi.
Rekomendasi (Plan)
1. Sebaiknya penggunaan Cefspan® dan Zistic® sebagai antibiotik empiris post
histerektomi disertai dengan pemeriksaan laboratorium penanda infeksi
sehingga antibiotik yang diberikan lebih tepat penggunaannya.
2. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut terkait adanya
peningkatan eosinofil pada kasus, sehingga dapat dipastikan apakah kasus
menderita alergi atau infeksi parasit. Jika sudah diketahui penyebabnya maka
dapat diberikan antialergi atau antiparasit yang sesuai.
3. Dilakukan monitoring fungsi ginjal secara berkala terkait adanya interaksi
antara kanamisin dengan golongan sefalosporin dan NSAID.
4. Azitromisin diberikan selama 3 hari yakni dari tanggal 26-28 April, dan
dihentikan penggunaannya pada tanggal 29 April.
85
Kasus 4
Daftar Pemberian Obat
Tanggal Pemberian (April-Mei)
Nama Obat
®
Micardis 40 1x1 (oral)
21
22
23
So
So
So
24
25
26
27
28
29
30
1
2
3
4
5
6
7
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P
P
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
P
P
P,Si,So
P,Si
Si
Si
P
P
P
M
M
®
Herbesser 30 mg 2x1 (oral)
So
P,So
P
P,So
P,So
Kanamisin 3x2 (oral)
M
P,Si,M
P,Si
P,Si,M
P
Q-ten® 1x1 (oral)
Codein 10 mg 3x1 (oral)
So
®
Narfoz 4mg 1x1 (oral)
P,Si,So
P,So
®
Enzyplex 3x1 (oral)
So
®
Cefspan 100 mg 2x1 (oral)
®
Elovess 1x1 (oral)
®
Remopain 2x1 amp (inj)
M
P,So
Si,M
Alinamin-F® 2x 1 amp (inj)
M
Si,M
Si,M
So
So
(2g)
P,So
So
(1g)
Si,M
So
(1g)
®
Flagyl 2x1 btl (infus)
Broadced® 1x1 g(inj)
Zistic 500® 1x1 (oral)
®
Noros 1x1 (oral)
®
Cataflam D 50 2x1 (oral)
®
Theragran 1x1 (oral)
®
Adona 50mg (inj)
P,So
Tramal® (inj)
So
Toradol (inj)
®
Prostigmin (inj)
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,Si,M
P,Si,M
P,So
P,So
P,So
P,So
P
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
Si
So
So
So
So
P
P
P
P
P
P
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
So
P
P
Kalnex® (inj)
®
P,So
So
So
®
Prosogan 1x1 (oral)
®
Cisplatin 50 mg (infus)
√
86
Kasus 5 No. RM 01-92-38-87 (19/10/08-21/10/08)
Subyektif
Ny. ASH, wanita, 47 tahun. Keluhan masuk: pasien kiriman dari RS dr. Margono
Purwokerto dengan Ca Cerviks, 3 bulan yang lalu mengalami keputihan, perut
bagian bawah sakit
Usia menikah: 16 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIb
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
19/10/2008
19/10/2008
Hb (gr%)
11,20 (L)
MCH (pg)
29,3 (L)
Lekosit
(rb/mmk)
16,00 (H)
MCHC (g/dL)
32,3
Trombosit
Eosinofil (%)
0,7
(rb/mmk)
381
Segmen (%)
63,9
SGOT (U/I)
13,8
Basofil (%)
0,6
SGPT (U/I)
7,6
Limfosit (%)
28
Ureum (mg/dl)
22,9
Monosit (%)
6,8
Kreatinin (mg/dl)
0,6 (L)
Hematokrit (%)
34,6 (L)
Suhu °C
37
RBC (juta/mmk) 3,82 (L)
Nadi (kali/menit)
88
RDW (%)
12,6
Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
90,7 (L)
TD (mmHg)
90/60
Penatalaksanaan
Pengobatan : Seftriakson (inj), Kalnex® 2x1 (oral), Feroford® 1x1 (oral), Folavit®
1x1 (oral), Seloxy® 1x1 (oral), Kalmetasone® 1cc, Rantin® 1 amp, Narfoz® 1
amp, Doksisiklin 2x1 (oral), Narfoz® 2x1 (oral), Rantin® 2x1 (oral), Cisplatin®
50mg (infus)
Penilaian (Assessment)
1. Seftriakson (inj) dan doksisiklin (oral) digunakan sebagai terapi empiris
adanya infeksi bakteri pada kasus
2. Penggunaan doksisiklin bersamaan dengan obat- obatan yang mengandung
komponen besi atau kalsium (Feroford® dan Seloxy®) potensial menimbulkan
interaksi dengan tingkat signifikansi 2. Penggunaan bersamaan dapat
menurunkan absorpsi keduanya. DTP yang terjadi bersifat potensial : adverse
drug reaction.
Rekomendasi (Plan)
Sebaiknya diberikan selang waktu 3-4 jam antara pemberian antibiotik doksisiklin
dengan obat- obatan yang mengandung komponen besi atau kalsium tersebut.
87
Kasus 5
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Seftriakson (inj)
Kalnex® 2x1 (oral)
Feroford® 1x1 (oral)
Folavit® 1x1 (oral)
Seloxy® 1x1 (oral)
Kalmetasone® 1cc
Rantin® 1 amp
Narfoz® 1 amp
Doksisiklin 2x1 (oral)
Narfoz® 2x1 (oral)
Rantin® 2x1 (oral)
Cisplatin® 50mg (infus)
Tanggal Pemberian
19 Okt 20 Okt 21 Okt
M
So
P,So
P,So
So
P
P
So
P
P
P
P
√
√
√
P,So
P,So
Si,So
M
Si,So
√
88
Kasus 6 No. RM 01-91-76-59 (02/06/08-12/06/08)
Subyektif
Ny.GYM, wanita, 46 tahun. Keluhan masuk: adanya keputihan selama ± 6 bulan
Usia menikah: tanpa keterangan
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
2; 6; 11/6/2008
2; 6; 11/6/2008
Hb (gr%)
12,6; 14; 13,5
MCH (pg)
29,4; -; Lekosit
(rb/mmk)
5,27; -; MCHC (g/dL)
34,4; -; Trombosit
Eosinofil (%)
2,7; -; (rb/mmk)
201; 210; Segmen (%)
56,3; -; SGOT (U/I)
Basofil (%)
0,4; -; SGPT (U/I)
19
Limfosit (%)
35,5; -; Ureum (mg/dl)
32,7
Monosit (%)
5,1; -; Kreatinin (mg/dl)
0,8
Hematokrit (%)
36,6; 41,5; 39,5
Suhu (°C)
36
RBC (juta/mmk) 4,28; -; Nadi (kali/menit)
80
RDW (%)
13,3; -; Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
85,50 (L); -; TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Tindakan : operasi histerektomi tanggal 06/06/08
Pengobatan : Surbek T® 1x1 (oral), Hemobion® 1x1 (oral), Amoxsan® 500mg
3x1 (oral), Dulcolax®, Primperan comp® 2x1 (oral), Cefspan® 100mg 2x1 (oral),
Vitamin C 1x400mg (inj), Ulsikur® 2x1 (inj), Toradol® 2x1 (inj), Cefizox® 2x1g
(inj), Yefamox® 3x1 (oral), Cisplatin® 50mg (infus), Narfoz® (inj).
Penilaian (Assessment)
1. Penggunaan Amoksan® (amoksisilin) pada tanggal 3-5 Juni tidak mempunyai
indikasi yang jelas karena pada pemeriksaan laboratorium tanggal 2 Juni
tidak terdapat tanda- tanda infeksi pada kasus (normal). DTP yang terjadi
bersifat aktual : ada obat tanpa indikasi.
2. Penggunaan Cefspan® (sefiksim) pada tanggal 9-13 Juni dan Yefamox®
(amoksisilin) pada tanggal 11-13 Juni sebagai antibiotik empiris post
histerektomi telah sesuai dengan literatur.
3. Penggunaan Cefizox® (seftizoksim) (inj) tanggal 6-8 Juni sudah tepat untuk
profilaksis bedah histerektomi yang dijalani oleh kasus pada tanggal 6 Juni
Rekomendasi (Plan)
1. Sebaiknya penggunaan Amoksan® pada tanggal 3-5 Juni dihentikan karena
tidak terdapat hasil laboratorium penanda infeksi pada kasus tanggal 2 Juni
2. Sebaiknya penggunaan Cefspan® dan Yefamox® sebagai antibiotik empiris
post histerektomi disertai dengan pemeriksaan laboratorium penanda infeksi
sehingga antibiotik yang diberikan lebih tepat penggunaannya.
89
Kasus 6
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Surbek T® 1x1 (oral)
Hemobion® 1x1 (oral)
Amoxsan® 500mg 3x1 (oral)
Dulcolax® 4 tab
Primperan comp® 2x1 (oral)
Cefspan® 100mg 2x1 (oral)
Vitamin C 1x400mg (inj)
Ulsikur® 2x1 (inj)
Toradol® 2x1 (inj)
Cefizox® 2x1g (inj)
Yefamox® 3x1 (oral)
Cisplatin® 50mg (infus)
Narfoz® (inj)
3 Juni 4 Juni 5 Juni
So
So
So
So
P
P
Si,M P,Si,M P,Si,M
√
6 Juni
Tanggal Pemberian
7 Juni 8 Juni 9 Juni 10 Juni 11 Juni 12 Juni 13 Juni
So
So
So
P
P
P
P
So
P
Si
Si,M
So
P,So
Si
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P
P
Si,M
P,Si,M
√
√
P,Si
P
P,So
P,So
P,So
90
Kasus 7 No. RM 01-91-88-32 (29/06/08-05/07/08)
Subyektif
Ny. DWB, wanita, 42 tahun. Keluhan masuk: perdarahan pervagina ± 1 minggu,
banyak dan prongkol- prongkol. Menstruasi terakhir tanggal 9 Mei 2008.
Usia menikah: 23 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIIb
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
30; 3/7/08
30; 3/7/08
Hb (gr%)
4,3 (L); 10,90 (L) MCH (pg)
15,60 (L); Lekosit (ribu/mmk) 9,22; MCHC (g/dL)
27,20 (L); Eosinofil (%)
1,4; Trombosit (ribu/mmk) 232; Segmen (%)
80,7 (H); SGOT (U/I)
18,6; Basofil (%)
0,7; SGPT (U/I)
8,6; Limfosit (%)
12,8 (L); Ureum (mg/dl)
13,9; Monosit (%)
4,4; Kreatinin (mg/dl)
0,4 (L); Hematokrit (%)
15,8 (L); 34 (L)
Suhu (°C)
36
RBC (juta/mmk)
2,75 (L); Nadi (kali/menit)
76
RDW (%)
18,50 (H); Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
57,50 (L); TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Feroford® 1x1 (oral), Folavit®1x1 (oral), Rantin® 2x1 amp (inj), Cernevit® 1x1
(inj), Cefazol® 2x1 (inj), Adona® 2x1 (oral), Kalnex® 2x1 (oral), Fluimucyl syr®
3x1 c (oral), FG Troches® 2x1 (oral), Neumun® 1x1 (oral), Vitamin K® 1x1 (oral),
Cisplatin® 50mg (infus), Narfoz® 2x1 (oral), Kalnex® 3x1 amp (inj), Remopain®
(inj), Primperan® (inj), Lasix® (inj), Narfoz® (inj), Kalmetasone® (inj)
Penilaian (Assessment)
Penggunaan Cefazol® (sefazoline Na) dimaksudkan sebagai terapi empiris adanya
infeksi bakteri yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai segmen kasus pada
tanggal 30 Juni.
Rekomendasi (Plan)
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur kuman untuk mengetahui jenis
kuman yang menginfeksi kasus sehingga dapat dilakukan pemiihan antibiotik
yang sesuai dengan kultur kumannya (antibiotik definitif)
2. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 2 Juli sehingga
dapat ditentukan kelanjutan penggunaan Cefazol®
91
Kasus 7
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Feroford® 1x1 (oral)
Folavit®1x1 (oral)
Rantin® 2x1 amp (inj)
Cernevit® 1x1 (inj)
Cefazol® 2x1 (inj)
Adona® 2x1 (oral)
Kalnex® 2x1 (oral)
Fluimucyl syr® 3x1 c (oral)
FG Troches® 2x1 (oral)
Neumun® 1x1 (oral)
Vitamin K® 1x1 (oral)
Cisplatin® 50mg (infus)
Narfoz® 2x1 (oral)
Kalnex® 3x1 amp (inj)
Remopain® (inj)
Primperan® (inj)
Lasix® (inj)
Narfoz® (inj)
Kalmetasone® (inj)
20 Juni
M
30 Juni
Si
Si
So
Si
So
Tanggal Pemberian
1 Juli 2 Juli
3 Juli
P
P
P
P
P
P
P,So
P,So
P
P,So
P
P,So
P,So
P,So
P,Si,So
P,So
P
4 Juli
P
P
5 Juli
P
P
P,So
So
P,Si,So
P,So
P
So
P,So
P
P,Si,So
P,So
P
P
√
P,So
So
M
M
M
So
P,So
P,So
M
P
P
92
Kasus 8 No. RM 01-92-37-23 (16/10/08-29/10/08)
Subyektif
Ny. MSY, wanita, 55 tahun. Keluhan masuk: adanya perdarahan pervagina
selama ± 2 minggu tak berhenti, terdapat flek-flek, dan lemas
Usia menikah: 20 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIc
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
16; 21; 24/10/08
16; 21; 24/10/08
Hb (gr%)
12,1; 9,96 (L);13,4 MCH (pg)
28,20 (H); -; 28,80(L)
Lekosit
(rb/mmk)
9,59; -; 9,75
MCHC (g/dL) 32,50; -; 33
Trombosit
558,0 (H); -; 453,0(
Eosinofil (%)
1,1; -; 2,7
(rb/mmk)
H)
Segmen (%)
77,6; -; 75,1
SGOT (U/I)
Basofil (%)
0,5; -; 0,9
SGPT (U/I)
Ureum
Limfosit (%)
17,0; -; 14,5
(mg/dl)
13,1; -; Kreatinin
Monosit (%)
3,8; -; 6,8
(mg/dl)
0,7 (L); -; 37,2; 30,8 (L);
Hematokrit (%)
40,7
Suhu °C
RBC (juta/mmk) 4,29; -; 4,65
Nadi (x/min)
RDW (%)
13,80; -; 12,7
Nafas (x/min)
86,70 (H); -; 87,4
MCV (fL)
(L)
TD (mmHg)
140/90
Penatalaksanaan
Tindakan : operasi histerektomi tanggal 20/10/08
Pengobatan : Kanamisin (oral), Broadced® 1x2g (inj), Toradol® 2x1 (inj),
Flagyl® 2x1 (infus), Vitamin C 1x2 (inj), Alinamin-F® 1x 1 (inj), Cefspan®
2x100mg (oral), Elovess® 1x1 (oral), Q-ten® 1x1 (oral), Primperan® 1 amp (inj),
Narfoz® 1 amp (inj), Cisplatin® 50mg (infus), Biogesic® 2x1 (oral), Primperan®
2x1 (oral)
Penilaian (Assessment)
1. Tidak ada indikasi yang jelas terkait penggunaan antibiotik kanamisin tanggal
19 Oktober. Hasil pemeriksaan laboratorium penanda infeksi menunjukkan
nilai yang normal pada tanggal 16 Oktober. DTP yang terjadi bersifat aktual :
ada obat tanpa indikasi.
2. Penggunaan Broadced® (seftriakson Na) dan Flagyl® (metronidazol) sebagai
antibiotik profilaksis bedah telah sesuai dengan literatur.
3. Penggunaan Cefspan® (sefiksim) pada tanggal 23-29 Oktober sebagai
antibiotik empiris post histerektomi telah sesuai dengan literatur.
93
Lanjutan Kasus 8
Rekomendasi (Plan)
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 19 Oktober
untuk mengetahui adanya tanda- tanda infeksi pada kasus, dan apabila
terdapat infeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur kuman sehingga
penggunaan kanamisin dapat dikatakan tepat indikasi.
2. Sebaiknya penggunaan Cefspan® sebagai antibiotik empiris post histerektomi
disertai dengan pemeriksaan laboratorium penanda infeksi sehingga antibiotik
yang diberikan lebih tepat penggunaannya.
94
Kasus 8
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Kanamisin (oral)
Broadced® 1x2g (inj)
Toradol® 2x1 (inj)
Flagyl® 2x1 (infus)
Vitamin C 1x2 (inj)
Alinamin-F® 1x 1 (inj)
Cefspan® 2x 100mg (oral)
Elovess® 1x1 (oral)
Q-ten® 1x1 (oral)
Primperan® 1 amp (inj)
Narfoz® 1 amp (inj)
Cisplatin® 50mg (infus)
Biogesic® 2x1 (oral)
Primperan® 2x1 (oral)
19
√
20
21
Si
Si,M
Si,M
M
M
P
P,So
P,So
P
P
22
Tanggal Pemberian (Oktober)
23
24
25
26
P,So
P
P
P,So
P
P
P,So
P
P
So
P,So
P
P
P,So
27
28
29
P,So
P
P
P,So
P
P
P,So
P
P
√
√
P,So
P,So
P,So
P,So
95
Kasus 9 No. RM 01-92-23-80 (25/09/08-30/09/08)
Subyektif
Ny. SMY, wanita, 36 tahun. Keluhan masuk: adanya perdarahan pervagina
selama ± 1 minggu, saat ini mengalami keputihan
Usia menikah: 17 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Obyektif
Tanggal
Tanggal
Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
25; 27; 28/9/08
25; 27; 28/9/08
Hb (gr%)
13; 11,60 (L); - MCH (pg)
28,1 (L); -; Lekosit (ribu/mmk) 5,98; -; 8,29
MCHC (g/dL)
33,1; -; Trombosit
Eosinofil (%)
1,5; -; (rb/mmk)
225; -; Segmen (%)
66,5; -; SGOT (U/I)
18; -; Basofil (%)
0,5; -; SGPT (U/I)
9,8; -; Limfosit (%)
26,1; -; Ureum (mg/dl)
17,2; -; Monosit (%)
5,4; -; Kreatinin (mg/dl)
1,0; -; Hematokrit (%)
39,3; 36,1; Suhu °C
36
RBC (juta/mmk)
4,62; -; 3,63 (L) Nadi (kali/menit)
88
RDW (%)
16,7 (H); -; Nafas (kali/menit)
18
MCV (fL)
85,1 (L); -; TD (mmHg)
130/90
Penatalaksanaan
Tindakan : operasi histerektomi tanggal 26/09/08
Pengobatan :
1. Obat rawat inap: Kalnex® 1 amp (inj), Adona® 1 amp (drip), seftriakson 2x1
(inj), Alinamin F® 1x1 (oral), Ranitidine 2x1 (oral), Ketorolac® 2x1 (oral),
metronidazol 2x1 (oral), amoksisilin 3x1 (oral), Pamol® 3x1 (oral), Folavit®
1x1 (oral), Rantin® 2x1 (oral), Narfoz® 2x1 (oral), Kalmetasone® 1 amp (inj),
Rantin® 1 amp (inj), Narfoz® 1 amp (inj), Cisplatin® 50mg (infus)
2. Obat rawat jalan: amoksisilin 3x1 (oral), Pamol® 3x1 (oral), Folavit® 1x1
(oral), Rantin® 2x1 (oral), Narfoz® 2x1 (oral)
Penilaian (Assessment)
1. Penggunaan seftriakson dan metronidazol sebagai antibiotik profilaksis bedah
sudah tepat.
2. Tidak ada indikasi yang jelas dalam penggunaan amoksisilin tanggal 29
September. Pada tanggal 28 September hasil pemeriksaan leukosit yang
menjadi penanda infeksi menunjukkan nilai yang normal. DTP yang terjadi
bersifat aktual: ada obat tanpa indikasi.
Rekomendasi (Plan)
Pemberian amoksisilin sebaiknya disertai dengan hasil pemeriksaan laboratorium
penanda infeksi, sehingga amoksisilin dapat dikatakan tepat indikasi.
96
Kasus 9
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Kalnex 1 amp (inj)
Adona® 1 amp (drip)
Seftriakson 2x1 (inj)
Alinamin F® 1x1 (oral)
Ranitidine 2x1 (oral)
Ketorolac® 2x1 (oral)
Metronidazol 2x1 (oral)
Amoksisilin 3x1 (oral)
Pamol® 3x1 (oral)
Folavit® 1x1 (oral)
Rantin® 2x1 (oral)
Narfoz® 2x1 (oral)
Kalmetasone® 1 amp (inj)
Rantin® 1 amp (inj)
Narfoz® 1 amp (inj)
Cisplatin® 50mg (infus)
®
25 Sep
√
√
Tanggal Pemberian
26 Sep 27 Sep 28 Sep 29 Sep
S,M
So
Si,M
So,M
Si,M
P,So
P
P,So
P,So
P,So
30 Sep
P,So
P
P,So
P,So
P,So
P,Si,So
P,Si,So
P
P,So
P,So
M
M
M
M
P,Si,So
P,Si,So
P
P,M
P,So
97
Kasus 10 No. RM 01-92-66-60 (14/12/08-19/12/08)
Subyektif
Ny. SPM, wanita, 55 tahun. Keluhan masuk: perdarahan pervagina sejak tadi
malam, darah keluar prongkol- prongkol
Usia menikah: 17 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIIb
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
14; 15;
Parameter
Parameter
14; 15; 16/5/08
16/5/08
Hb (gr%)
7,8 (L); 9,25 (L); 9,9 (L) MCH (pg)
26,00 (L) ; -; Lekosit
(rb/mmk)
16,64 (H); -; MCHC (g/dL)
31,2; -; Trombosit
Eosinofil (%)
0,4; -; (rb/mmk)
309; -; Segmen (%)
94,7 (H); -; SGOT (U/I)
23,6; -; Basofil (%)
0,2; -; SGPT (U/I)
8,1; -; Limfosit (%)
2,6 (L) ; -; Ureum (mg/dl) 24; -; Kreatinin(mg/dl
Monosit (%)
2,1; -; )
1,2; -; 25,0 (L); 29,5 (L); 30,5
Hematokrit (%) (L)
Suhu °C
37
RBC
(juta/mmk)
3,0 (L) ; -; Nadi (x/min)
88
RDW (%)
14,6; -; Nafas (x/min)
28
MCV (fL)
83,3 (L) ; -; TD (mmHg)
130/80
Penatalaksanaan
Rantin® 2x1 (inj), Remopain® 2x1 (inj), seftriakson 1x1 (inj), Feroford® 1x1
(oral), Folavit® 1x1 (oral), Pamol® 3x1 (oral), Narfoz® 2x1 (oral), Seloxy® 1x1
(oral), Kalnex® 1x1 (oral), Dexametasone 1 amp 10 mg (inj), Zofran® 1 amp
(inj), Cisplatin® 50 mg (infus)
Penilaian (Assessment)
Penggunaan Seftriakson (inj) pada tanggal 14 Mei sebagai terapi empiris sudah
tepat, yang didukung dengan adanya penanda infeksi tingginya nilai leukosit dan
segmen pada kasus tanggal 14 Desember.
Rekomendasi (Plan)
Diperlukan tes laboratorium terkait penanda infeksi (leukosit dan hitung jenis
leukosit) pada tanggal 15 dan 16 Mei sehingga dapat ditentukan apakah
pemberian antibiotik perlu dilanjutkan atau dihentikan. Sebaiknya dilakukan pula
pemeriksaan kultur kuman pada kasus sehingga pemilihan antibiotiknya juga
dapat disesuaikan dengan kuman yang menginfeksi kasus (antibiotik definitif).
98
Kasus 10
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Rantin 2x1 (inj)
Remopain® 2x1 (inj)
Seftriakson 1x1 (inj)
Feroford® 1x1 (oral)
Folavit® 1x1 (oral)
Pamol® 3x1 (oral)
Narfoz® 2x1 (oral)
Seloxy® 1x1 (oral)
Kalnex® 1x1 (oral)
Dexametasone 1 amp 10 mg (inj)
Zofran® 1 amp (inj)
Cisplatin® 50 mg (infus)
®
14-Des
√
√
P
√
√
Tanggal Pemberian
15-Des 16-Des 17-Des
So
√
√
√
√
√
√
18-Des
So
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
So
So
√
99
Kasus 11 No. RM 00-63-43-87 (26/04/08-02/05/08)
Subyektif
Ny. SYS, wanita, 62 tahun. Keluhan masuk: pasien dirujuk oleh RS Moerangan
karena mengalami perdarahan selama 1 hari
Usia menikah: 23 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIIb
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
26; 28/4/08
26; 28/4/08
Hb (gr%)
10,40 (L); 12,60
MCH (pg)
26,3 (L); Lekosit
(rb/mmk)
8,88; MCHC (g/dL)
32,1; Trombosit
Eosinofil (%)
5; (rb/mmk)
240; Segmen (%)
65; SGOT (U/I)
19,5; Basofil (%)
0,2; SGPT (U/I)
11,2; Limfosit (%)
21,8; Ureum (mg/dl)
26,8; Monosit (%)
8; Kreatinin (mg/dl)
1,2; Hematokrit (%)
32,4 (L); 33,0 (L) Suhu °C
37
RBC (juta/mmk) 3,96 (L); Nadi (kali/menit)
80
RDW (%)
14; Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
81,8(L); TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Folavit® 2x1 (oral), amoksisilin 3x1 (oral), Kalnex® 2x1 (oral), Adona® 2x1
(oral), Seloxy® 1x1 (oral), Narfoz® 1 amp (inj), Rantin® 1 amp (inj),
Kalmetasone® 10 mg 1x1 (inj), Cisplatin® 50 mg (infus)
Penilaian (Assessment)
Tidak ada indikasi yang jelas terkait penggunaan amoksisilin pada tanggal 27
April. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 26 April tidak didapatkan adanya
tanda- tanda infeksi pada kasus (normal). DTP yang terjadi bersifat aktual : ada
obat tanpa indikasi
Rekomendasi (Plan)
Pemberian amoksisilin sebaiknya disertai dengan hasil pemeriksaan laboratorium
penanda infeksi, sehingga amoksisilin dapat dikatakan tepat indikasi.
100
Kasus 11
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Folavit 2x1 (oral)
Amoksisilin 3x1 (oral)
Kalnex® 2x1 (oral)
Adona® 2x1 (oral)
Seloxy® 1x1 (oral)
Narfoz® 1 amp (inj)
Rantin® 1 amp (inj)
Kalmetasone® 10 mg 1x1 (inj)
Cisplatin® 50 mg (infus)
®
27 Apr
So
So
So
So
So
Tanggal Pemberian
28 Apr 29 Apr 30 Apr 1 Mei
P,So
P,So
P,So
P,So
P,Si,So P,Si,So P,Si,So P,Si,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P
P
P
P
P
P
P
2 Mei
P,So
P,Si,So
P,So
P,So
P
Si
Si
Si
P
101
Kasus 12 No. RM 00-99-60-20 (17/02/07-21/02/07)
Subyektif
Ny. KSB, wanita, 35 tahun. Keluhan masuk: perdarahan pervagina dan keputihan
Usia menikah: 14 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIIa
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
17; 18; 20/2/07
17; 18; 20/2/07
Hb (gr%)
9,3 (L); -; 12,1
MCH (pg)
37,6 (H) ; -; Lekosit
(rb/mmk)
9,2; -; MCHC (g/dL)
45,3 (H) ; -; Eosinofil (%)
5; -; Trombosit (rb/mmk) 345; -; Segmen (%)
69,3; -; SGOT (U/I)
20,5; 21,3; Basofil (%)
0,7; -; SGPT (U/I)
21,6; 22,2; Limfosit (%)
20,2; -; Ureum (mg/dl)
11,1; 16,3; Monosit (%)
4,8; -; Kreatinin (mg/dl)
0,5 (L); 0,4 (L); Hematokrit (%)
30,6 (L); -; 36
Suhu °C
38
RBC (juta/mmk) 2,49 (L) ; -; Nadi (kali/menit)
84
RDW (%)
13,9; -; Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
83,0 (L) ; -; TD (mmHg)
140/90
Penatalaksanaan
Folavit® 2x1 (oral), Ferofort® 2x1 (oral), Glisodin® 1x1 (oral), Sporacid® 2x1
(oral), Cisplatin® 50 mg (infus), Kanamisin 3x1 (oral), Vitamin K 1x 1 (oral),
Kalmetasone® (oral), Dulcolax®, Narfoz®
Penilaian (Assessment)
1. Tidak ada indikasi yang jelas terkait penggunaan kanamisin tanggal 18-21
Februari. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17 Februari tidak
menunjukkan adanya infeksi pada kasus (normal). DTP yang terjadi bersifat
aktual : ada obat tanpa indikasi.
2. Penggunaan Sporacid® tidak dapat dievaluasi karena tidak didapatkannya
data gejala klinik yang menunjukkan adanya infeksi jamur pada kasus.
3. Adanya potensial interaksi antara Sporacid® (itrakonazol) dan Kalmetasone®
(dexamethason) dengan signifikansi 2 yang dapat meningkatkan efek dan
toksisitas Kalmetasone® (Tatro, 2007). DTP bersifat potensial : adverse drug
reaction.
Rekomendasi (Plan)
1. Pemberian kanamisin sebaiknya disertai dengan hasil pemeriksaan
laboratorium penanda infeksi, sehingga kanamisin dapat dikatakan tepat
indikasi.
2. Dilakukan monitoring efek samping Kalmetasone® secara berkala.
102
Kasus 12
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Folavit 2x1 (oral)
Ferofort® 2x1 (oral)
Glisodin® 1x1 (oral)
Sporacid® 2x1 (oral)
Cisplatin® 50 mg (infus)
Kanamisin 3x1 (oral)
Vitamin K 1x 1 (oral)
Kalmetasone® 10 mg (oral)
Dulcolax® 4 tab
Narfoz®
®
Tanggal Pemberian
18-Feb 19-Feb 20-Feb
Si,So
Si,So
P,So
Si,So
Si,So
P,So
Si,So
Si
P
Si,So
Si,So
P,So
Si,So
Si,So
Si,So
Si
P,Si,So
P
21-Feb
P,So
P,So
P
P,So
√
P,Si,So
P,So
√
√
P
103
Kasus 13 No. RM 00-54-09-84 (14/12/06-28/12/06)
Subyektif
Ny. NS, wanita, 39 tahun. Keluhan masuk: perdarahan pervagina prongkolprongkol
Usia menikah: 15 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium Ib
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
18; 21; 23;
18; 21; 23;
Parameter
Parameter
25/12/06
25/12/06
12,5; 11,8 (L);
Hb (gr%)
11,10 (L); 10,70 (L) MCH (pg)
28,00 (L) ; -; -; Lekosit
(rb/mmk)
9; -; -; 9,6
MCHC (g/dL)
34,5; -; -; Trombosit
481,0 (H); -; -;
Eosinofil (%) 2,8; -; -; (rb/mmk)
309
Segmen (%)
56,7; -; -; SGOT (U/I)
Basofil (%)
0,8; -; -; SGPT (U/I)
Limfosit (%)
34,7; -; -; Ureum (mg/dl)
Monosit (%)
5; -; -; Kreatinin (mg/dl)
Hematokrit
36,1; 34,9 (L); 32,9
(%)
(L); 31,7 (L)
Suhu °C
37
RBC
(juta/mmk)
4,45; -; -; 4,06 (L)
Nadi (kali/menit)
84
RDW (%)
13; -; -; Nafas (kali/menit)
18
MCV (fL)
81,20 (L) ; -; -; TD (mmHg)
110/70
Penatalaksanaan
Tindakan : operasi histerektomi tanggal 18/12/06
Pengobatan :
1. Obat rawat inap: Kalnex® 2x1 (oral), Adona® 2x1 (oral), Ferofort® 2x1 (oral),
Kanamisin 4x2 (oral), Vitral® 2x1 (oral), Iberet® 2x1 (oral), Cefspan® 2x1
(oral), Primperan® 3x1 (oral), Buscopan Plus® 3x1 (oral), Cetalgin® b/p 2x1
(oral), Broadced® Hp (inj), Remopain® 2x1 (inj), Primperan® 2x1 (inj),
Alinamin- F® 2x1 (inj), Vitamin C 2 amp (inj), Vomidex® 1 amp (inj),
Cisplatin® 25 mg (infus), Mylanta®, Profenid®
2. Obat rawat jalan: Mylanta® 3x1 (oral), Primperan® 3x1 (oral), Buscopan
Plus® 3x1 (oral)
Penilaian (Assessment)
1. Penggunaan kanamisin pada tanggal 15-17 Desember tidak dapat di evaluasi
ketepatannya karena tidak ada pemeriksaan laboratorium penanda infeksi
pada kasus.
104
Lanjutan Kasus 13
2. Penggunaan Broadced® (seftriakson Na) sebagai antibiotik profilaksis bedah
telah sesuai dengan literatur.
3. Penggunaan Cefspan® (sefiksim) pada tanggal 21-25 Desember sebagai
antibiotik empiris post histerektomi telah sesuai dengan literatur.
Rekomendasi (Plan)
1. Dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Desember untuk
melihat adanya infeksi pada pasien sehingga dapat diberikan antibiotik yang
tepat. Penggunaan kanamisin sebaiknya dihentikan sampai didapatkan hasil
pemeriksaan laboratorium dan kultur kuman yang sesuai.
2. Sebaiknya penggunaan Cefspan® sebagai antibiotik empiris post histerektomi
disertai dengan pemeriksaan laboratorium penanda infeksi sehingga antibiotik
yang diberikan lebih tepat penggunaannya.
105
Kasus 13
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Kalnex® 2x1 (oral)
Adona® 2x1 (oral)
Ferofort® 2x1 (oral)
Kanamisin 4x2 (oral)
Vitral® 2x1 (oral)
Iberet® 2x1 (oral)
Cefspan® 2x1 (oral)
Primperan® 3x1 (oral)
Buscopan Plus® 3x1
(oral)
Cetalgin® b/p 2x1
(oral)
Broadced® Hp (inj)
Remopain® 2x1 (inj)
Primperan® 2x1 (inj)
Alinamin- F® 2x1 (inj)
Vitamin C 2 amp (inj)
Vomidex® 1 amp (inj)
Cisplatin® 25 mg
(infus)
Mylanta®
Profenid®
14
M
M
M
15
16
17
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
So,M P,Si,So,M P,Si,So,M
Tanggal Pemberian
18 19
20
21
P,So
P,So
22
23
24
25
P,So
P,So P,So
P,So
P,So
P,So
P,So P,So P,So P,So
P,So P,So P,So P,So
P,So P,So P,So P,So
26
27
P,So
P,So
P,So
P,So
P,Si,So
P,Si,So
P,So
2g
1g
√
√
√
√
√
1g
√
√
√
√
√
√
106
Kasus 14 No. RM 00-58-51-13 (21/04/06-25/04/06)
Subyektif
Ny. KAW, wanita, 64 tahun. Keluhan masuk: tanpa keterangan
Usia menikah: tanpa keterangan
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIIb
Obyektif
Tanggal
Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
21/04/2006
21/04/2006
Hb (gr%)
10,2 (L)
MCH (pg)
28,20 (L)
Lekosit (ribu/mmk) 13,84 (H)
MCHC (g/dL)
32,5
Trombosit
Eosinofil (%)
3,8
(rb/mmk)
421
Segmen (%)
80,1 (H)
SGOT (U/I)
19,1
Basofil (%)
0,7
SGPT (U/I)
19,5
Limfosit (%)
10,8 (L)
Ureum (mg/dl)
35,9
Monosit (%)
4,6
Kreatinin (mg/dl)
1,1
Hematokrit (%)
31,4 (L)
Suhu °C
37
RBC (juta/mmk)
3,62 (L)
Nadi (kali/menit)
88
RDW (%)
13,8
Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
86,70 (L)
TD (mmHg)
90/60
Penatalaksanaan
Pengobatan :
1. Obat rawat inap: Ferofort® 2x1 (oral), Folavit® 2x1 (oral), kanamisin 3x1
(oral), Pamol® 2x1 (oral), Kalnex® 2 amp/drip (inj), Neurobion 5000® 1x1
drip (inj), Glisodin® 1x1 (oral), Cisplatin® 50 mg (infus)
2. Obat rawat jalan: Ferofort® 2x1 (oral), Folavit® 2x1 (oral), kanamisin 3x1
(oral), Pamol® 2x1 (oral)
Penilaian (Assessment)
Pada kasus, telah terjadi infeksi yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai
leukosit dan segmen pada tanggal 21 April. Pemberian kanamisin telah sesuai
dengan adanya tanda- tanda infeksi pada kasus
Rekomendasi (Plan)
Pemberian kanamisin disertai dengan pemeriksaan kultur kuman yang
menginfeksi kasus sehingga dapat diberikan antibiotik definitif yang sesuai.
107
Kasus 14
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Ferofort 2x1 (oral)
Folavit® 2x1 (oral)
Kanamisin 3x1 (oral)
Pamol® 2x1 (oral)
Kalnex® 2 amp/drip (inj)
Neurobion 5000® 1x1 drip (inj)
Glisodin® 1x1 (oral)
Cisplatin® 50 mg (infus)
®
Tanggal Pemberian
21-Apr 22-Apr 23-Apr 24-Apr 25-Apr
So
P,So
P,So
P,So
P,So
So
P,So
P,So
P,So
P,So
Si,So,M P,Si,So P,Si,So P,Si,So P,Si,So
So
√
√
√
√
√
108
Kasus 15 No. RM 00-97-51-49 (29/01/06-03/02/06)
Subyektif
Ny.EA, wanita, 24 tahun. Keluhan masuk: tanpa keterangan
Usia menikah: 23 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIb
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
29; 30; 1; 2/2/06
29; 30; 1; 2/2/06
7,5 (L); -; 8,90 (L);
Hb (gr%)
10,6 (L)
MCH (pg)
28,60 (L) ; -; -; Lekosit (rb/mmk) 14,34 (H); -; 10,73; - MCHC (g/dL)
30,6; -; -; Trombosit
Eosinofil (%)
10,1 (H); -; -; (rb/mmk)
257; -; -; Segmen (%)
72,2; -; -; SGOT (U/I)
-; 40,9; -; Basofil (%)
0,6; -; -; SGPT (U/I)
-; 47,2; -; Limfosit (%)
14,2; -; -; Ureum (mg/dl)
-; 13,8; -; Monosit (%)
2,9; -; -; Kreatinin (mg/dl) -; 0,5; -; 24,5 (L); -; 28,7 (L);
Hematokrit (%)
31,0
Suhu (°C)
36,5
RBC (juta/mmk)
2,62 (L) ; -; -; Nadi (kali/menit)
80
RDW (%)
15,00 (H) ; -; -; Nafas (kali/menit)
MCV (fL)
93,5; -; -; TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
1. Obat rawat inap: Surbek® T 1x1 (oral), Elkana® 1x1 (oral), Biogesic® 2x1 (oral),
Haemobion® 1x1 (oral), amoksisilin 3x500 (oral), OBH® 3x1 cth (oral),
Primperan comp® 3x1 (oral), Cisplatin® 50 mg (infus), Toradol® 1 amp (inj),
Kalnex® 2x1 (inj), Xyllo della® 1:10 (inj), Kalnex® 2x1 (oral)
2. Obat rawat jalan: Kalnex® 2x1 (oral), Haemobion® 1x1 (oral), Surbek® T 1x1
(oral), Elkana® 1x1 (oral), amoksisilin 3x500 (oral)
Penilaian (Assessment)
Nilai leukosit kasus pada tanggal 29 Januari menunjukkan adanya infeksi, namun
kasus baru diberikan antibiotik pada tanggal 31 Januari. DTP yang terjadi bersifat
aktual : butuh tambahan obat
Rekomendasi (Plan)
1. Dilakukan pemeriksaan kultur kuman pada kasus sehingga dapat digunakan
antibiotik yang lebih tepat (antibiotik definitif).
2. Amoksisilin diberikan sejak awal munculnya penanda infeksi yakni pada tanggal
29 Januari. Amoksisilin diberikan pada kasus tiap 8 jam (around the clock)
untuk mengurangi adannya variasi kadar obat dalam darah dan untuk mencapai
efek yang optimal.
109
Kasus 15
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Surbek T 1x1 (oral)
Elkana® 1x1 (oral)
Biogesic® 2x1 (oral)
Haemobion® 1x1 (oral)
Amoksisilin 3x500 (oral)
OBH® 3x1 cth (oral)
Primperan comp® 3x1 (oral)
Cisplatin® 50 mg (infus)
Toradol® 1 amp (inj)
Kalnex® 2x1 (inj)
Xyllo della® 1:10 (inj)
Kalnex® 2x1 (oral)
®
Tanggal Pemberian
29-Jan 30-Jan 31-Jan 01-Feb 02-Feb
P
P
P
P
P
P
P,So
P,So
P,So
P
P
P
So
P,Si,So P,Si,So
P,Si,So P,Si,So P,Si,So
03-Feb
P
P
P,So
P
P,Si,So
P,Si,So
P,Si,So
√
√
√
√
√
√
√
√
110
Kasus 16a No. RM 00-98-05-49 (15/06/06-16/06/06)
Subyektif
Ny.NTH, wanita, 62 tahun. Keluhan masuk: Pasien mengeluh pusing, rencana mau
menjalani kemoterapi, pasien post operasi histerektomi
Usia menikah: 19 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Obyektif
Tanda vital
Nilai
Suhu (°C)
Nadi (kali/menit)
Nafas (kali/menit)
TD (mmHg)
88
20
120/70
Penatalaksanaan
1. Obat rawat inap: Neurosanbe® 1x1 (oral), Folavit® 1x1 (oral), Vometa® syrup
3x1 cth (oral), Sporacid® 2x1 (oral), Vomceran® 2 amp (oral), Cisplatin® 50 mg
(infus), Sporanox® cap 2x1 (oral)
2. Obat rawat jalan: Neurobion® 1x1 (oral), Folavit® 1x1 (oral), Sporanox® cap 2x1
(oral)
Penilaian (Assessment)
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang menjadi penanda infeksi pada kasus
sehingga penggunaan dari antifungi Sporacid® (itrakonazol) dan Sporanox®
(itrakonazol) tidak dapat dievaluasi ketepatannya.
Rekomendasi (Plan)
Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan kultur kuman pada kasus sehingga dapat
digunakan antibiotik yang sesuai dengan kondisi kasus.
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Neurosanbe® 1x1 (oral)
Folavit® 1x1 (oral)
Vometa® syrup 3x1 cth (oral)
Sporacid® 2x1 (oral)
Vomceran® 2 amp (oral)
Cisplatin® 50 mg (infus)
Sporanox® cap 2x1 (oral)
Tanggal Pemberian
15-Jun 16-Jun 17-Jun
Si
P
P
Si
P
P
M
M
√
Si
P,So
P
P
111
Kasus 16b No. RM 00-98-05-49 (01/05/06-08/05/06)
Subyektif
Ny. NTH2, wanita, 62 tahun. Keluhan masuk: Pasien mengeluh adanya perdarahan
pervagina selama ± 3 bulan
Riwayat: Menopause ± 12 tahun yang lalu dan pernah menjalani kuret
Usia menikah: 19 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Obyektif
Tanggal Periksa
Tanggal Periksa
Parameter
Parameter
1; 2; 3/5/06
1; 2; 3/5/06
Hb (gr%)
12,1; 13,10; 12,50 MCH (pg)
30,7 (L) ; -; Lekosit (ribu/mmk) 6,6; -; MCHC (g/dL)
33,2; -; Trombosit
Eosinofil (%)
5,3 (H) ; -; (ribu/mmk)
192; -; Segmen (%)
51,7; -; SGOT (U/I)
10,9; -; Basofil (%)
0,3; -; SGPT (U/I)
36; -; Limfosit (%)
34,8; -; Ureum (mg/dl)
19,5; -; Monosit (%)
7,9; -; Kreatinin (mg/dl)
0,4 (L) ; -; Hematokrit (%)
36,5; 41,7; 39,4
Suhu °C
36
RBC (juta/mmk)
3,94 (L) ; -; Nadi (kali/menit)
80
RDW (%)
14; -; Nafas (kali/menit)
20
MCV (fL)
92,6; -; TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Tindakan : Operasi histerektomi tanggal 02/05/06
Pengobatan : Neurobion® 1x1 amp (inj), Vomceran® 1x1 amp (inj), Toradol® 1 amp
(inj), Cravit® (infus), Metrofusin® (infus), Kaltrofen® supp 3x1, Zantac® 1x1 (inj),
Alinamin-F® 2x 1 (inj), Cernevit® 1x1 (inj), Zofran® 1x1 (inj), Nonflamin® 2x1
(oral), Aulin® 2x1 (oral), Rantin® 1x1 (oral), Mylanta® 3x1 cth (oral), Scott's
emulsion® 2x1 cth (oral), Cravit® 1x1 (oral), Narfoz® 8mg 1x1 (oral), Kanamisin®
2x2 (oral), Cisplatin® 50 mg (infus)
Penilaian (Assessment)
1. Pada tanggal 1 Mei terdapat peningkatan eosinofil yang menandakan adanya
alergi atau infeksi parasit. Pada tanggal yang sama diberikan kanamisin untuk
mengatasi infeksi yang terjadi. Kanamisin bukan merupakan obat yang paling
efektif untuk mengatasi infeksi parasit ataupun alergi yang dialami kasus. DTP
yang terjadi bersifat aktual : pemakaian obat yang tidak efektif.
2. Adanya potensial interaksi antara antibiotik kanamisin dengan obat golongan
NSAIDs yakni Toradol® (ketorolak) dengan tingkat signifikansi 2. Penggunaan
NSAIDs dapat menyebabkan akumulasi kanamisin dalam plasma dengan
mekanisme penurunan GFR (glomerular filtration rate (Tatro, 2007). DTP
bersifat potensial : adverse drug reaction.
112
Lanjutan Kasus 16b
3. Adanya potensial interaksi antara antibiotik Cravit® dan Mylanta® dengan
tingkat signifikansi 2. Penggunaan secara bersamaan dapat menurunkan efek
farmakologi Cravit®. DTP bersifat potensial : adverse drug reaction.
4. Penggunaan Cravit® sebagai antibiotik empiris post histerektomi telah sesuai
dengan literatur.
Rekomendasi (Plan)
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan klinis lebih lanjut terkait adanya peningkatan
eosinofil pada kasus, sehingga dapat dipastikan apakah kasus menderita alergi
atau infeksi parasit. Jika sudah diketahui penyebabnya maka dapat diberikan
antialergi atau antiparasit yang sesuai.
2. Dilakukan monitoring fungsi ginjal secara berkala terkait adanya potensial
interaksi antara kanamisin dengan obat golongan NSAIDs.
113
Kasus 16b
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Neurobion® 1x1 amp (inj)
Vomceran® 1x1 amp (inj)
Toradol® 1 amp (inj)
Cravit® (infus)
Metrofusin® (infus)
Kaltrofen® supp 3x1
Zantac® 1x1 (inj)
Alinamin-F® 2x 1 (inj)
Cernevit® 1x1 (inj)
Zofran® 1x1 (inj)
Nonflamin® 2x1 (oral)
Aulin® 2x1 (oral)
Rantin® 1x1 (oral)
Mylanta® 3x1 cth (oral)
Scott's emulsion® 2x1 cth (oral)
Cravit® 1x1 (oral)
Narfoz® 8mg 1x1 (oral)
Kanamisin® 2x2 (oral)
Cisplatin® 50 mg (infus)
01-Mei 02-Mei
So
Si
So
So,M
So
So,M
So,M
So
So,M
So
Tanggal Pemberian
03-Mei 04-Mei 05-Mei 06-Mei 07-Mei 08-Mei
√
√
So
So
So,M
Si,So,M
So
So,M
So
Si,So
Si,So
Si
√
P,So
P,So
P
√
P,So
P,So
P
Si
Si
Si
Si
Si
So,M
√
P,So
P,So
P
P
P
P
Si
So
Si
P
114
Kasus 17 No. RM 00-58-73-91 (23/05/06-01/06/06)
Subyektif
Ny. STY, wanita, 55 tahun. Keluhan masuk: Pasien mengeluh sering
mengeluarkan darah dari kemaluan
Usia menikah: 25 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium IIa
Obyektif
Tanggal
Tanggal
Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
23/05/2006
23/05/2006
Hb (gr%)
13,4
MCH (pg)
28,90 (L)
Lekosit
(ribu/mmk)
6,58
MCHC (g/dL)
33,8
Eosinofil (%)
2,4
Trombosit (ribu/mmk) 198
Segmen (%)
63,2
SGOT (U/I)
65,8 (H)
Basofil (%)
0,5
SGPT (U/I)
50,4 (H)
Limfosit (%)
27,4
Ureum (mg/dl)
33,9
Monosit (%)
6,5
Kreatinin (mg/dl)
0,9
Hematokrit (%)
39,7
Suhu °C
36,5
RBC (juta/mmk)
4,64
Nadi (kali/menit)
88
RDW (%)
13,1
Nafas (kali/menit)
18
MCV (fL)
85,60 (L)
TD (mmHg)
130/95
Penatalaksanaan
Tindakan : Operasi histerektomi tanggal 26/05/06
Pengobatan :
1. Obat rawat inap : Ferofort® 1x1 (oral), Kalnex® 2x1 (oral), Folavit® 1x1
(oral), Vitamin K® 2x1 (oral), Glisodin® 1x1 (oral), Kanamisin 3x1 (oral),
Zinnat® 2x1 (oral), Pamol® 2x1 (oral), Nonflamin® 2x1 (oral), Narfoz®
(oral), Neurobion® 5000 1 amp (inj), Cefazol® 2x1 (inj), Gentamisin 80 mg
2x1 (inj), Toradol® 2x1 (inj), Vomceran® 1x1 (inj), Ulsikur® 2x1 (inj),
Kaltrofen® supp 2x1, Mitomisin
2. Obat rawat jalan : Zinnat® 2x1 (oral), Pamol® 2x1 (oral), Nonflamin®
2x1(oral)
Penilaian (Assessment)
1. Pada kasus, penggunaan gentamisin sebagai antibiotik profilaksis bedah pada
tanggal 26 dan 27 Mei tidak tepat. DTP yang terjadi bersifat aktual :
pemakaian obat yang tidak efektif
2. Tidak terdapat indikasi yang jelas dari penggunaan kanamisin. Kanamisin
digunakan pada tanggal 24 dan 25 Mei padahal hasil pemeriksaan
laboratorium pada tanggal 23 Mei tidak menunjukkan adanya infeksi pada
kasus. DTP yang terjadi bersifat aktual : ada obat tanpa indikasi.
115
Lanjutan Kasus 17
3. Dosis Cefazol® (sefazolin Na) untuk profilaksis bedah menurut DIH adalah 1
g diberikan 30 menit sebelum pembedahan (diulangi sebesar 500mg-1g
selama pembedahan) dan setelah pembedahan sebesar 1 g tiap 6-9 jam. Dosis
yang diterima pasien sebesar 2x1 g pada tanggal 26 dan 27 Mei. Dosis pada
tanggal 26 (sebelum dan saat pembedahan sudah tepat dosis) sedangkan pada
tanggal 27 (post pembedahan) dosisnya kurang. DTP yang terjadi bersifat
aktual : dosis terlalu rendah
4. Zinnat® (sefuroksim aksetil) dapat menimbulkan efek samping berupa
meningkatnya transaminase dan alkaline fosfatase. Sedangkan pada kasus
nilai SGPT dan SGOTnya sudah meningkat. Sehingga potensial terjadi ADR.
DTP yang terjadi bersifat potensial : adverse drug reaction
5. Adanya potensial interaksi antara Zinnat® dan Cefazol® (golongan
sefalosporin) dengan gentamisin (signifikansi 2). Interaksi kedua obat ini
dapat meningkatkan nefrotoksisitas serta meningkatkan aktivitas bakterisidal
terhadap kuman tertentu (Tatro, 2007). DTP bersifat potensial : adverse drug
reaction
6. Adanya potensial interaksi antara Zinnat® dengan Ulsikur® (simetidin) pada
tanggal 27 Mei dengan signifikansi 4. Penggunaan Ulsikur® dapat
menurunkan bioavailabilitas Zinnat® dengan mekanisme perubahan pH
lambung yang akan mempengaruhi absorpsi Zinnat® (Tatro, 2007). DTP
bersifat potensial : adverse drug reaction
Rekomendasi (Plan)
1. Penggunaan gentamisin dihentikan karena bukan merupakan obat yang paling
efektif pada profilaksis bedah histerektomi, serta dapat menimbulkan
interaksi dengan golongan sefalosporin.
2. Pemberian kanamisin sebaiknya disertai dengan hasil pemeriksaan
laboratorium penanda infeksi, sehingga kanamisin dapat dikatakan tepat
indikasi.
3. Dosis Cefazol® pada tanggal 27 Mei dinaikkan menjadi 1 g tiap 6-9 jam yaitu
dengan meningkatkan frekuensi pemberian menjadi 3x1 g
4. Monitoring nilai SGOT dan SGPT kasus selama penggunaan Zinnat® untuk
mengantisipasi adanya ADR.
5. Dilakukan monitoring fungsi ginjal secara berkala terkait adanya potensial
nefrotoksisitas akibat penggunaan golongan sefalosporin dengan golongan
aminoglikosida.
6. Sebaiknya dihindari penggunaan bersamaan Zinnat® dan Ulsikur® (diberikan
selang waktu) atau Zinnat® dapat diberikan bersamaan dengan makanan
untuk mengoptimalkan absorpsi.
116
Kasus 17
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Ferofort 1x1 (oral)
Kalnex® 2x1 (oral)
Folavit® 1x1 (oral)
Vitamin K® 2x1 (oral)
Glisodin® 1x1 (oral)
Kanamisin® 3x1 (oral)
Zinnat® 2x1 (oral)
Pamol® 2x1 (oral)
Nonflamin® 2x1 (oral)
Narfoz® (oral)
Neurobion® 5000 1 amp (inj)
Cefazol® 2x1 (inj)
Gentamicin® 80 mg 2x1 (inj)
Toradol® 2x1 (inj)
Vomceran® 1x1 (inj)
Ulsikur® 2x1 (inj)
Kaltrofen® supp 2x1
Mitomisin
®
23-Mei
So
So
So
So
So
24-Mei 25-Mei
P
P
P,So
P,So
P
P
P,So
P,So
P
P
So
P,Si,So
Tanggal Pemberian
26-Mei 27-Mei 28-Mei 29-Mei
P
P
P,So
P,So
P
P
P,So
P,So
P
P
So
So
P,So
P,So
30-Mei
P
P,So
P
P,So
P
31-Mei
P
P,So
P
P,So
P
01-Jun
P
P,So
P
P
P
P,So
P,So
P,So
P,Si,So
P,So
P
P,So
P,So
P,So
So
Si,M
Si,M
Si,M
Si
Si,M
Si,M
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
√
117
Kasus 18 No. RM 00-58-89-90 (30/06/06-09/07/06)
Subyektif
Ny. AM, wanita, 29 tahun. Keluhan masuk: Pasien rencana operasi histerektomi
bila terjadi perdarahan
Usia menikah: 19 tahun
Diagnosa utama: Ca cerviks stadium Ib
Obyektif
Tanggal
Tanggal Periksa
Periksa
Parameter
Parameter
30/06; 7/07/06
30/06; 7/07/06
Hb (gr%)
12,0; 10,6 (L)
MCH (pg)
29,3 (L) ; Lekosit
(ribu/mmk)
5,13; 6,9
MCHC (g/dL)
31,6; Trombosit
Eosinofil (%)
1,6; (ribu/mmk)
220; 185
Segmen (%)
55,1; SGOT (U/I)
16,9; 15,0
Basofil (%)
0,4; SGPT (U/I)
8,1; 12,9
Limfosit (%)
37,6; Ureum (mg/dl)
15,6; 14,4
Monosit (%)
5,3; Kreatinin (mg/dl)
0,7 (L); 0,5 (L)
Hematokrit (%)
38,0; 32,0 (L)
Suhu °C
36
4,09 (L); 3,55
RBC (juta/mmk)
(L)
Nadi (kali/menit)
88
RDW (%)
12,6; Nafas (kali/menit)
18
MCV (fL)
92,9; TD (mmHg)
120/80
Penatalaksanaan
Tindakan : Operasi histerektomi tanggal 03/07/06
Pengobatan :
1. Obat rawat inap : Surbek T® 1x1 (oral), Haemobion® 1x1 (oral), Primperan
comp® 2x1 (oral), Cefspan® 2x1 (oral), Cefizox® 2x1 (inj), Primperan® 1 amp
(inj), Toradol® 2x1 (iv), Vitamin C® 1x2 (inj), Zantac® 1x1 (inj), Cisplatin®
50 mg (infus)
2. Obat rawat jalan : Cefspan® 2x1 (oral), Surbek T® 1x1 (oral), Haemobion®
1x1 (oral), Primperan comp® 2x1 (oral)
Penilaian (Assessment)
1. Cefizox® (seftizoksim) diberikan sebagai antibiotik profilaksis bedah karena
pasien akan menjalani operasi histerektomi tanggal 03/07/06.
2. Penggunaan Cefspan® (sefiksim) pada tanggal 6-9 Juli sebagai antibiotik
empiris post histerektomi telah sesuai dengan literatur.
Rekomendasi (Plan)
Sebaiknya penggunaan Cefspan® sebagai antibiotik empiris post histerektomi
disertai dengan pemeriksaan laboratorium penanda infeksi sehingga antibiotik
yang diberikan lebih tepat penggunaannya.
118
Kasus 18
Daftar Pemberian Obat
Nama Obat
Surbek T® 1x1 (oral)
Haemobion® 1x1 (oral)
Primperan comp® 2x1 (oral)
Cefspan® 2x1 (oral)
Cefizox® 2x1 (inj)
Primperan® 1 amp (inj)
Toradol® 2x1 (iv)
Vitamin C® 1x2 (inj)
Zantac® 1x1 (inj)
Cisplatin® 50 mg (infus)
2 Juli
3 Juli
So
Tanggal Pemberian
4 Juli
5 Juli
6 Juli
7 Juli
Si
Si
Si
Si
P
P
So
P,So
P,So
P,So
P,So
P,So
P
8 Juli
Si
P
P,So
P,So
√
√
√
√
√
√
√
√
9 Juli
Si
P
P,So
P,So
119
Lampiran 2. Daftar Nilai Normal Pemeriksaan Laboratorium
di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Pemeriksaan
Nilai Normal
Pemeriksaan
Nilai Normal
Laboratorium
Laboratorium
Hb (gr%)
12,0-18,0
RDW (%)
11,6-14,8
Lekosit (rb/ mmk) 4,10-13,00
MCV (fL)
92,0-121,0
Segmen (%)
47,0-80,0
MCH (pg)
31,0-37,0
Eosinofil (%)
0-5
MCHC (g/dl)
29,0-36,0
Basofil (%)
0-2
Trombosit (ribu/mmk) 140,0-440,0
Limfosit (%)
13,0-40,0
SGOT (U/I)
0-37
Monosit (%)
2,0-11,0
SGPT (U/I)
0-41
Hematokrit (%)
36,0-46,0
Ureum (mg/ dl)
10-50
RBC (juta/ mmk) 4,10-5,30
Kreatinin (mg/ dl)
0,8-1,4
Lampiran 3. Keterangan Tabel SOAP
Keterangan : H : high (tinggi)
L : low (rendah)
Lampiran 4. Daftar Nama Dagang Obat dan Komposisinya
Antibiotik/ Antimikroba
Nama Dagang
Komposisi
Cefspan
sefiksim
Cefazol
sefazolin natrium
Cefizox
seftizoksim natrium
Zinnat
sefuroksim aksetil
Broadced
seftriakson di-sodium
Garamycin
gentamisin sulfat
Amoxsan, Yefamox
amoksisilin trihidrat
Zistic
azithromicin
Cravit
levofloksasin
Sporacid, Sporanox
itrakonazol
Flagyl, Metrofusin
metronidazol
Nama Dagang
Fluimucyl sirup
OBH Plus
Obat Saluran Nafas
Komposisi
N-Acetylsistein
ammonium klorida, succus liquiritiae, efedrin,
klorfeniramin maleat, paracetamol, mentol, oleum menthae
piperitae
120
Nama Dagang
Cetalgin
Biogesic, Pamol
Tramal
Remopain, Toradol
Profenid, Kaltrofen
Cataflam D
Nonflamin
Aulin
Nama Dagang
Narfoz, Zofran, Vomceran
Primperan, Vomidex
Vometa
Dulcolax
Buscopan plus
Enzyplex
Rantin, Zantac
Ulsikur
Prosogan FD
Mylanta
Obat Susunan Saraf
Komposisi
metampiron, vitamin B1, B6, B12, kofein,
klordiazepoksida
paracetamol
tramadol
ketorolak tromethamine
ketoprofen
kalium diklofenak
tinaridine HCl
nimesulide
Obat Saluran Cerna
Komposisi
ondansetron
metoklopramida
domperidone
bisakodil
hiosin-N-butilbromida, paracetamol
amilase, protease, asam desoksikolat,
dimetilpolisiloksan, vitamin B1, B2, B6, B12,
nikotinamida, Ca pantotenat
ranitidin HCl
simetidin
lanzoprazole
Al hidroksida, Mg hidroksida, simetikon
Obat Kardiovaskuler dan Sistem Hematopoietik
Nama Dagang
Komposisi
Lasix
furosemide
Kalnex
asam tranexamat
Adona
carbazochrome Na sulfonate
Vitamin K
phytomenadione
Micardis
telmisartan
Herbesser
diltiazem HCl
121
Nama Dagang
Scott's emulsion
Alinamin F
Surbex T
Folavit
Neurobion,
Neurosanbe
Elkana
Hemobion
Ferofort
Vitral
Iberet-500
Theragran- M
Cernevit
Vitamin dan Mineral
Komposisi
minyak ikan, Ca hipofosfat, Na hipofosfat, Zn sulfat 20mg,
selenium 30mg, Vit A, Vit D
fursultiamine
Vit B1,B2,B6,B12,C, Ca pantotenat, niasiamid
asam folat
Vit B1, Vit B6, Vit B12
Vit A, Vit C, Vit D, Vit B1, Vit B2, Bit B6, Vit B12,
nikotinamida, Ca pantotenat, kolina, inositol, Ca glukonat,
Ca hipofosfit, Na hipofosfit, lisina HCl
Fe fumarat, asam folat, vit. C, Ca carbonat, cholecalciferol
Fe fumarat, asam folat, Vit B1, vit B2, Vit B6, Vit B12,
niaciamide, Ca pantotenat, lisin HCl, dioktil Na suksinat
Vit A,Vit B2, Vit C, Vit D, Vit E, Vit K3, Vit B1, Vit B6,
Vit B12, nikotinamid,Ca pantotenat, asam folat, inositol,
choline bitartrate, dicalcium phosphate, Fe sulfat, Mg,
copper, fluorine, iodine, Mn, molybdenum, slenium, Zn
Fe Sulfat, Vit B1, Vit B6, Vit B12, Na askorbat, niacin, Ca
pantotenat
Vit A, Vit B1, Vit B2, Vit B6, Vit B12, Vit C, Vit D, Ca
pantotenat, KI, besi, Mg, Mn, Copper, Zn
Vit A, Vit D3, Vit E, Vit C, Vit B1, Vit B2, Vit B3, Vit B5,
Vit B6, Vit B12, asam folat, biotin, asam pantotenat,
nikotinamida, glisin, asam glikokolat, soybean lesitin
Kelas Terapi
Obat sistem saluran kemih
dan kelamin
Obat sistem muskuloskeletal
Obat mulut dan tenggorokan
Antihistamin/ antialergi
Hormon
Immunomodulator
Nama Dagang
Komposisi
Gynofort
butakonazol nitrat
Prostigmin
FG Troches
Xyllo della
Kalmethasone
Neomun
neostigmin metilsulfat
fradiomisin, gramisidin
xylocain delladril
dexamathasone
sandimun
122
Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian dari RS Bethesda
123
Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Menjalankan Penelitian
124
BIOGRAFI PENULIS
Regina Citra Dewanti merupakan anak pertama dari
pasangan Gregorius Mudjiyono dan Maria Macrina
Retna Priyati, lahir di Madiun pada tanggal 11 April
1988. Menempuh pendidikan awal di Taman Kanakkanak Santo Yusuf Madiun pada tahun 1993-1994.
Melanjutkan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Santo
Yusuf Madiun pada tahun 1994-2000. Kemudian
melanjutkan pendidikan menengah di Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Negeri 1 Madiun pada tahun 20002003. Tahun 2003-2006 melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas
Negeri 8 Yogyakarta. Pendidikan tinggi ditempuh di Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2006 dan menyelesaikan studi pada tahun
2010.
Selama aktif sebagai mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten
Praktikum Farmakologi Dasar, Asisten Praktikum Kimia Analisis, Asisten
Praktikum Bioanalisis, Asisten Praktikum Patologi Klinik, dan Asisten Praktikum
Perbekalan Steril. Selain itu penulis juga terlibat dalam beberapa organisasi dan
kepanitiaan di kampus antara lain : anggota Jaringan Mahasiswa Kesehatan
Indonesia (2007), Panitia Seminar Nasional POKJANAS TOI XXXVI (2009),
Panitia Seminar Nasional “Arah Penelitian Obat Bahan Alam” (2009), Anggota
Tim Pengabdian Masyarakat pada kegiatan pelatihan edukasi salesma dan batuk
Fakultas Farmasi USD (2008), serta seminar osteoporosis (2010), Panitia Inisiasi
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma (2008), Panitia Seminar HIV/AIDS
(2006 & 2007), dan lain-lain.
Download