BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kemiskinan menjadi momok yang menakutkan bagi beberapa kota besar di Indonesia,
khususnya Jakarta. Jakarta adalah Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di
pulau Jawa dengan tingkat kemiskinan penduduk pada bulan Maret 2014 di DKI mencapai
393,98 ribu orang (3,92 persen). Meningkat 23,3 ribu orang (0,20 poin) dibandingkan dengan
penduduk miskin pada bulan September 2013 yang sebesar 371,70 ribu orang (3,72 persen). Jika
dibandingkan dengan bulan Maret penduduk miskin bertambah 41,02 ribu orang (0,37 poin)
(sumber: jakarta.bps.go.id, 21 Mei 2015).
Pertambahan penduduk miskin di Jakarta menurut data BPS (Badan Pusat Statistik)
menunjukan akan semakin bertumbuhnya daerah kumuh di Jakarta. Daerah kumuh sering kali
identik dengan kemiskinan yang terlihat dari kegiatan sosial masyarakatnya, seperti tempat
tinggal yang tidak layak, aktifitas yang jauh dari kehidupan modern serta mata pencaharian
masyarakatnya. Kesan yang jauh dari keindahan yang mungkin menjadi daya tarik wisata
Ibukota. Biasanya pemukiman kumuh akan cenderung dijauhi oleh penduduk ataupun wisatawan
karena menawarkan hal-hal yang tidak menarik sedikitpun.
Definisi kemiskinan sebenarnya beragam, Levitan (dalam Suyanto, 2013:1) misalnya
mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan menurut Schiller (dalam
Suyanto, 2013:1) kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan
pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.
Sedangkan definisi lain mengenai kemiskinan yang umum selalu dipandang dari
fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian
yang cukup mapan untuk bergantung hidup. Kemiskinan menurut Suyanto (2013:2) sebenarnya
bukan semata-mata tentang kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau
standar hidup layak, namun lebih dari itu esensi kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan
1
atau probabilitas orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan
usaha serta taraf kehidupannya.
Atas dasar pengertian kemiskinan tersebut, apa yang coba kategorikan oleh Interkultur
terhadap kehidupan sosial warga Luar Batang adalah mengenai kehidupan sosial yang jauh dari
kehidupan layak baik secara ekonomi maupun kelangsungan dan pengembangan diri warga Luar
Batang untuk mencapai taraf hidup. Kegiatan wisata kemiskinan pada intinya menawarkan
interaksi sosial dengan warga miskin yang membuat wisatawan merasa hal tersebut berbeda dari
kegiatan wisata lainnya.
Pada dasarnya menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
6 Tahun 2015 Tentang Kepariwisataan dengan jelas menyebutkan konsep wisata dan kegiatan
wisata. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau
mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Sedangkan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi
sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2015. Konsep pariwisata
melalui kedua Peraturan Pemerintah tersebut jelas mengacu pada tersedianya daya tarik bagi
wisatawan yang di dalamnya terdapat keunikan, budaya terlepas apakah wisata harus mengacu
pada keindahan yang ada. Begitu juga dengan bentuk wisata itu sendiri yang menggambarkan
kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang untuk pengembangan diri dengan
mempelajari keunikan daya tarik tempat wisata.
Dengan banyaknya pemukiman kumuh di Ibukota Jakarta, hal ini memunculkan ide
gagasan untuk memanfaatkan wilayah kumuh tersebut menjadi objek wisata yang memiliki nilai
lain. Pada tahun 2008 dibentuk sebuah gagasan wisata ke daerah kumuh di Jakarta, dengan nama
Jakarta Hidden Tours yang digagas oleh komunitas sosial budaya Interkultur dan pendirinya
Ronny Poluan. Tujuannya adalah memperkenalkan daya tarik sisi lain wisata Ibukota kepada
wisatawan untuk mengenal dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar daerah kumuh. Tahun
2009 pergeseran pemanfaatan wisata perkampungan kumuh ini berubah menjadi kesan
2
eksploitasi kemiskinan yang dipertontonkan oleh wisatawan asing. Sebab, dengan munculnya
wisatawan asing yang cenderung tertarik pada fenomena sosial seperti wisata kemiskinan dan
respon berbeda ditunjukan warga wilayah kumuh kepada wisatawan mancanegara dibandingkan
wisatawan lokal. Bahwa, kedatangan turis asing sebagai wisatawan justru menjadi daya tarik
tersendiri bagi warga yang jarang berinteraksi langsung kepada mereka.
Kemudian kegiatan wisata ini berkembang lebih kepada target wisatawan asing, sehingga
pada akhirnya fokus Interkultur hingga sekarang adalah menggaet wisatawan asing dibandingkan
wisatawan lokal. Di samping itu ada pendapatan atau keuntungan secara finansial yang didapat
Interkultur. Oleh karena itu wisata kemiskinan hadir dengan konsep kegiatan perjalanan wisata
mancanegara ke pemukiman kumuh dengan tujuan mempelajari sesuatu yang unik. Hal unik
tersebut terdapat dalam kegiatan pertukaran budaya dan interaksi sosial antara wisman dan
penduduk Luar Batang. Meskipun pada akhirnya kegiatan wisata kemiskinan memunculkan pro
kontra di masyarakat.
Kegiatan wisata ini sempat mendapat kecaman di tahun 2009 Pemerintah DKI Jakarta
melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov DKI Jakarta menilai Jakarta Hidden Tours
merupakan wisata yang mempermalukan bangsa sendiri dengan memperlihatkan kemiskinan
pada wisatawan mancanegara. Menurut Ari Budiman Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
DKI, wisata kemiskinan Jakarta Hidden Tours (JHT) yang dilakukan oleh Interkultur komunitas
sosial budaya bukan di bawah naungan Association of Indonesia Travel Agency (ASITA). Selain
itu sinisme terhadap program wisata kemiskinan yang dilakukan tidak akan ada peminat dan
tidak akan bertahan lama hingga tahun 2010 (sumber: news.detik.com, 21 Mei 2015). Ini
menunjukan jika ada kesan dalam kegiatan wisata kemiskinan ini mencoba untuk
mengeksploitasi dengan mempertotonkan realitas sosial (kemiskinan) kepada pihak asing.
Di sisi lain penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Pendidikan
Indonesia di daerah Kampung Baru dan Kota Tua Jakarta melalui Jakarta Hidden Tours tentang
perencanaan pengurangan kemiskinan menyatakan perlu dilakukan upaya kegiatan yang propoor tourism (Ramadani, 2012). Penelitian tersebut mencoba mencari solusi bagaimana
menjembatani sinisme Pemerintah DKI tadi dengan memberikan solusi perencanaan pariwisata
3
kampung kumuh sebagai potensi menanggulangi kemiskinan. Sayangnya hingga saat ini setelah
penelitian tersebut dilakukan belum ada tindakan konkret Pemerintah DKI dalam upaya tersebut.
Salah satu destinasi wisata kemiskinan yang ditawarkan adalah lokasi Kampung Luar
Batang di Jakarta Utara yang berada tepat di pelabuhan Sunda Kelapa. Kampung Luar Batang
terletak di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.
Dengan
jumlah
penduduk
total
289.966
jiwa
per
Oktober
2013
(sumber:
www.utara.jakarta.go.id, 15 Januari 2016). Lokasi pemukiman Luar Batang dahulunya berupa
rawa-rawa, yang kemudian rawa-rawa tersebut tertimbun lumpur dari kali Ciliwung, terutama
setelah dibangunnya Kampung Muara Baru, yang kini juga merupakan kawasan kumuh di dekat
Luar Batang. Kekumuhan pemukiman tertua di Jakarta yang luasnya 35,48 Km2 itu sudah
berlangsung sejak awal masa VOC. Pasar yang ada kala itu dan kini dikenal dengan nama Pasar
Ikan baru dibangun pada tahun 1846, lokasi Pasar Ikan ini dulunya merupakan laut (Shahab,
2009).
Ketika aktivitas utama pelabuhan Sunda Kelapa akibat pendangkalan dialihkan ke
Tanjung Priok (1886), lokasi sekitar pemukiman Luar Batang tetap padat. Hal ini dikarenakan
aktivitas perahu dan pelabuhan Pasar Ikan tetap berjalan. Saat ini , Kampung Luar Batang
penduduknya sangat padat karena lokasinya berdekatan dengan berbagai pusat aktivitas.
Kondisinya semakin kumuh ketika urbanisasi besar-besaran terjadi pada 1950-1960, akibat
terganggunya keamanan. Dalam periode itu terjadi beberapa pemberontakan seperti DI/TII dan
Kahar Muzakar (Shahab, 2009).
Kampung kumuh (Luar Batang) yang dieksploitasi secara swadaya oleh komunitas
Interkultur sebagai “Wisata Kemiskinan” telah menunjukan perkembangan yang bertolak
belakang dari asumsi Pemerintah DKI. Dengan semakin banyaknya turis mancanegara yang
tertarik menjadikan wisata kumuh di salah satu wilayah ibu kota yakni Luar Batang, Jakarta
Utara. Sehingga kenyataannya di tahun 2012 hingga awal 2015 peminat wisata kemiskinan
tergolong full booking (lihat Gambar 1.1)
4
Gambar 1.1: Screenshot Booking Schedule Jakarta Hidden Tours November2015
(Sumber: www.jakartahiddentours.blogspot.com, 21 Oktober 2014 )
Pada gambar di atas terlihat bagaimana peminat wisata kemiskinan justru memiliki
peminat rata-rata dari wisatawan mancanegara seperti Amerika, Australia, Singapore, Russia,
dan Eropa. Bahkan di tahun 2014 awal hingga November 2015 menunjukan cukup banyak
peminat warga mancanegara terhadap wisata tur kemiskinan. Hal tersebut menurut Ronny
Poluan salah satu pengelola Jakarta Hidden Tours adalah dampak diliputnya pariwisata
kemiskinan ini oleh beberapa media asing dan media lokal seperti CNN, VOA, media televisi
India, Kick Andy, Hitam Putih dan Sarah Sechan Net TV. Beberapa media tersebut beranggapan
dengan asumsi yang sama, bahwa ada hal unik yang diangkat dalam wisata kemiskinan di saat
maraknya liputan wisata-wisata konvensional selama ini.
5
Keunikan yang digambarkan dalam wisata kemiskinan tersebut adalah interaksi warga
miskin dengan para wisatawan yang kebanyakan berasal dari warga mancanegara. Interaksi
interpersonal menjadi hal yang tidak bisa dibeli oleh mereka (wisatawan mancanegara) melalui
pengalaman-pengalaman mengunjungi tempat-tempat kumuh hingga berinteraksi langsung
dengan penduduk setempat. Ada value lain yang didapat oleh wisatawan asing dengan mencoba
“berbagi” kesenangan ketika mereka (wisatawan mancanegara) hadir di pemukiman kumuh.
Wisata serupa juga ada di kota Caracas, Venezuela dengan tema wisata pemukiman
kumuh tertinggi di dunia yang lokasi berada di bekas apartemen yang gagal di bangun. Wisata
tersebut bernama Tower of David, gagasan awalnya muncul pada tahun 1990 David orang yang
ingin membangun apartemen tersebut sebagai hunian seperti apartemen pada umumnya. Namun
ketika tahun 1994 Venezuela mengalami krisis moneter dan hal tersebut berdampak pada David
pribadi yang pada akhirnya meninggal dunia di tahun 1994. Sejak saat itu banyak penduduk
miskin yang ramai menempati bangunan tersebut hingga saat ini. masyarakat setempat meyakini
bahwa Tower of David dihuni oleh orang-orang jahat dan pemerkosa.
Hingga pada akhirnya salah satu fotografer mengunjungi tempat tersebut untuk memotret
kehidupan penduduk kelas bawah yang menempati pemukiman kumuh tersebut dan kegiatan
tersebut menyebar ke masyarakat dan menjadikannya kegiatan wisata unik (sumber:
www.detik.travel.com, 16 Januari 2016). Tak begitu berbeda dengan Indonesia, Filipina juga
memiliki kawasan kumuh padat penduduk. Meski begitu kawasan tersebut lebih tertata
dibanding di Indonesia. Selama empat hari terakhir berkesempatan melihat tata kota dan lokasi
wisata di Filipina. Didampingi pemandu rombongan Shell, kami berkesempatan melihat setiap
sudut kota. Menariknya tak hanya datang ke obyek wisata saja, pemandu tur juga menunjukan
megahnya pembangunan kota (sumber: www.detik.com, 16 januari 2016).
Kegiatan wisata kemiskinan juga terdapat di Mumbai, India. Mumbai merupakan salah
satu kota di India yang memiliki pemukiman kumuh terbesar di Asia. Namun ternyata justru
perkampungan kumuh itu lah yang mampu mendatangkan banyak wisatawan untuk datang ke
Mumbai. Salah satu penyebab dari hal ini adalah karena kesuksesan film Slumdog Millinonaire
di tahun 2008 yang menggunakan kota tersebut sebagai latar peristiwanya. Untuk menambah
daya tarik akan kemiskinan di kota ini maka dibuka sebuah museum kumuh pertama di dunia
(sumber: www.portalsatu.com, 16 Januari 2016).
6
Wisata semacam itu memiliki kemiripan dengan wisata kemiskinan yang di gagas oleh
Interkultur dan ada di Jakarta. Tujuan dari kegiatan tersebut sama-sama menawarkan nilai-nilai
kemanusiaan pada wisatawan yang berkunjung.
Antusias warga asing terhadap eksploitasi kehidupan sosial di wilayah kumuh Jakarta
menimbulkan pertanyaan tersendiri dalam perspektif interaksionisme simbolik komunitas sosial
budaya Interkultur terhadap wilayah kumuh itu sendiri. Meskipun seperti dikatakan Ronny
Poluan penggagas tur wisata kemiskinan mencoba menawarkan interaksi sosial yang dijalin
wisatawan dengan warga Luar Batang yang dimasukan dalam program Jakarta Hidden Tours.
Selain itu adanya pemberdayaan secara ekonomi wisata menjadi daya tarik bagi wisatawan
mancanegara karena bisa mempelajari kondisi sosial, kehidupan sosial masyarakat daerah kumuh
di tengah moderenitas kota Jakarta sebagai Ibukota.
Fenomena berhasilnya komunitas Interkultur untuk menarik minat wisatawan asing ke
dalam program wisata kemiskinan, menunjukan adanya proses manajemen komunikasi dalam
mebangun image “kemiskinan” menjadi sebuah komoditi wisata. Dalam kajian manajemen
komunikasi hal ini bisa dilihat melalui audit komunikasi. Audit komunikasi mencoba
menganalisa secara komplek proses komunikasi dalam sebuah organisasi. Secara umum, audit
komunikasi digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi pesan-pesan yang coba dikonstruksi
oleh Interkultur terhadap makna wisata kemiskinan. Audit dapat mengukur efektivitas makna
pesan yang selama ini dikonstruksi oleh komunikator kepada komunikan (warga Luar Batang &
wisatawan asing).
Efektivitas makna pesan yang sampai kepada komunikan menandakan pemaknaan
kemiskinan secara sepihak oleh Interkultur, sehingga menjadi komoditi wisata yang mampu
menarik minat banyak wisatawan asing. Bahwa kemiskinan yang menjadi kategori secara
wilayah dan realitas sosial warga Luar Batang, benar-benar mewakili apa yang disebut oleh
Interkultur sebagai objek “wisata miskin”. Untuk melihat bagaimana sebenarnya proses
pembentukan makna kemiskinan dari Interkultur dan kemudian mendapatkan feedback
interpretasi makna kemiskinan dari warga Luar Batang diperlukan audit komunikasi organisasi
seperti penjelasan di atas.
7
Manajemen komunikasi hadir dan dimaknai sebagai sentral pengendalian kegiatan
komunikasi untuk mengupayakan keseimbangan dan tercapainya komunikasi yang efektif antara
komunikator dan komunikan. Elving, et al., (201:113) menjelaskan maksud manajemen
komunikasi adalah perencanaan yang sistematis, pemantauan, dan revisi semua salauran
komunikasi dalam sebuah organisasi. Hal ini menjadi penting untuk menjaga efektifitas
komunikasi berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan.
Sedangkan dalam perspektif interaksionisme simbolik sebagai metode penelitian melihat
bagaimana sebenarnya pemaknaan kemiskinan antara komunikator (Interkultur) dengan
pemaknaan kemiskinan menurut warga Luar Batang sebagai komunikan, serta pemaknaan
kemiskinan oleh pemerintah. Pendekatan IS melihat bagaimana proses komunikasi merupakan
hal yang menarik untuk dianalisis ketika interaksi komunikator dan komunikan tersebut
memunculkan makna-makna dan simbol yang diinterpretasikan melalui tindakan individu lain
terhadap dirinya. Latar perilaku aktor (Interkultur) sebagai komunikator yang membentuk makna
“wisata kemiskinan” sehari-hari dipandang sebagai sebuah tahapan berawal dari mind, self, lalu
membentuk society itu sendiri. Ada kesenjangan pemaknaan kemiskinan yang berawal dari
Interkultur sebagai pembentuk makna “kemiskinan” yang kemudian diinterpretasikan oleh
komunikan sekaligus objek interpretasi. Padahal dengan memaknai “kemiskinan” secara sepihak
memiliki potensi dimaknai berbeda dengan komunikan (warga Luar Batang). Sehingga aspek itu
dalam interaksionisme simbolik yang akan dilihat dalam penelitian ini, tentang adanya
kesenjangan interpretasi dan pemaknaan kemiskinan antara aktor (Interkuktur) dengan
komunikan (warga Luar Batang) dan pemerintah.
Masalah timbul ketika pemaknaan warga daerah kumuh tersebut sebagai produk wisata
tentu secara langsung memiliki interpretasi berbeda tentang pemaknaan yang diterapkan Jakarta
Hidden Tours melalui komunitas Interkultur yang mencoba mengekploitasi kehidupan sosial
mereka sebagai masyarakat daerah kumuh dan dianggap merupakan sebuah komoditi pariwisata.
Pemaknaan “Wisata Kemiskinan” yang digunakan Interkultur menunjukan adanya justifikasi
bahwa masyarakat Luar Batang sebagai pihak yang lemah dan tidak memahami peran mereka
sebagai objek wisata yang diekspos. Sebab selama ini objek wisata identik dengan benda mati
(wisata sejarah) ataupun makhluk hidup (tumbuhan dan hewan) dan bukanlah manusia beserta
kehidupan sosial masyarakat seperti yang ditawarkan oleh wisata kemiskinan.
8
Lebih jauh kajian IS dalam ranah ilmu komunikasi pada penelitian ini terlihat dalam
sosok komunikator yang membentuk pesan dan menyampaikan pesan. Komunikator mengacu
pada aspek pesan yang disampaikan lalu kemudian memunculkan makna ketika pesan tersebut
diinterpretasi kembali oleh individu lain. Interaksi dalam IS bukan saja sekedar interaksi dalam
pengiriman serta penerimaan pesan, namun lebih kompleks melihat bagaimana pembentukan
pesan tersebut merupakan hasil dari interpretasi interaksi dengan orang lain. Manifestasi proses
komunikasi tersebut terwujud dalam bentuk pesan baik verbal maupun non-verbal
Pada dasarnya, IS adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni
komunikasi atau pertukaran simbol (lambang) yang diberi makna (Umiarso & Elbadiansyah,
2014:186). Simbol dan makna pada kerangka ini merupakan dua entitas yang sama-sama tidak
bisa dipisahkan menjadi bagian-bagian yang berdiri sendiri. Dua hal tersebut menjadi penting
ketika diri (self) sang aktor (Interkultur) melakukan interaksi dengan aktor lainnya (warga Luar
Batang), sehingga dua aspek tersebut akan berdampak pada kebuntuan sang aktor dalam
menyampaikan pesan yang mau disampaikan pada aktor lainnya. Dengan demikian, simbol
merupakan media primer dalam proses komunikasi dapat berupa: bahasa, isyarat, gambar, warna,
dan lain sebagainya. Namun simbol bahasalah yang paling banyak dipergunakan dalam proses
komunikasi. Karena bahasalah yang mampu “menerjemahkan” pikiran seseorang pada orang lain
(Onong dalam Umiarso & Elbadiansyah, 2014:187).
Sedangkan makna pada konteks IS ini merupakan pengertian atau konsep yang dimiliki
atau terdapat pada suatu tanda linguistik atau non verbal (Rapar dalam Umiarso & Elbadiansyah,
2014:187). Dalam komunikasi makna didasarkan pada pengalaman, dan berkaitan langsung pada
derajat pengalaman bersama dikalangan komunikator (komunitas sosial budaya Interkultur).
Bagi warga daerah kumuh tersebut mungkin saja wisata kemiskinan dimaknai sebagai
hiburan karena bisa berinteraksi dengan turis mancanegara. Wisata kemiskinan hanya menjual
kegiatan turis mancanegara diajak untuk melihat kehidupan warga miskin Jakarta sebenarnya.
Selain itu tur tersebut dikatakan sebagai upaya untuk menjembatani mereka yang ingin melihat
secara langsung kehidupan dari penduduk marjinal Ibukota.Ini yang ingin dikonstruksi oleh
komunitas Interkultur terhadap makna wisata kemiskinan. Mereka akan merasa sebagai manusia
yang benar-benar dieksploitasi secara telanjang melalui Jakarta Hidden Tours. Lalu
bagaimanakah interaksi simbolik yang muncul dalam proses pemaknaan dan interpretasi
9
Interkultur terhadap “wisata kemiskinan” melalui pesan-pesan dan makna “wisata kemiskinan”
yang disampaikan kepada komunikan, sehingga memiliki daya tarik wisatawan mancanegara
sebagai komunikan lainnya untuk mencoba hal baru di luar kebiasaan dan paradigma tentang
wisata konvensional.
Oleh karena itu, peneliti mengambil fokus pada metode IS sebagai analisis proses
pembentukan makna dari Interkultur yang diinterpretasikan oleh komunikan sehingga terjadi
adanya feedback dalam proses manajemen komunikasi. Pendekatan yang digunakan adalah
interaksionisme simbolik terhadap pemaknaan wisata kemiskinan karena ingin mengetahui
pemaknaan wisata kemiskinan dari perspektif aktor/komunikator yang menciptakan gagasan
tersebut melalui simbol-simbol yang muncul dalam interaksi kelompok (komunitas Interkultur).
Dalam memaknai wisata kemiskinan, terkadang terdapat pemahaman yang mungkin muncul
dalam simbol-simbol dan makna-makna ketika interaksi aktor sebagai objek wisata berlangsung.
Hal tersebut menimbulkan interpretasi sendiri dalam memahami konsep wisata
kemiskinan yang ditujukan pada mereka (warga Luar Batang). Sebab, interaksionisme simbolik
pada dasarnya berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek, dan ia
memberikan perspektif teoritis dengan asumsi dasar, bahwa mereka bertindak atas dasar makna
yang mereka miliki dan makna tersebut muncul dalam proses interaksi sosial antar sang aktor
(Umiarso & Elbadiansyah, 2014:189). Tujuan utama dari IS adalah untuk memahami dunia
sosial dan kolektivitas dengan menganalisis bagaimana diri sang aktor membangun dan
bertindak dalam dunia sosial mereka. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberi
penjelasan proses pemaknaan wisata kemiskinan dilihat dari manajemen komunikasi dalam
rangkaian audit komunikasi komunitas sosial budaya Interkultur sebagai pengagas wisata
kemiskinan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran di atas maka bisa dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah pemaknaan “wisata kemiskinan” oleh komunitas Interkultur dan warga
pemukiman kumuh di Luar Batang Jakarta Utara?
10
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang diharapkan mampu menganalisis pemaknaan pesan
dan simbol di antara aktor sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi bagaimanakah interpretasi pemaknaan kemiskinan komunitas sosial
budaya Interkultur dan warga Luar Batang terhadap wisata kemiskinan.
2. Menganalisis makna-makna pesan yang terwujud dalam simbol, sikap dan perilaku
komunitas Interkultur dalam eksploitasi kehidupan sosial masyarakat miskin Luar
Batang.
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai kajian tentang interaksionisme simbolik diharapkan penelitian ini dapat
menambah pemahaman mengenai isu-isu interaksi sosial kelompok di ranah ilmu
komunikasi, sehingga wacana IS secara teoritis bukan hanya didominasi oleh ilmu
sosiologi saja.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi gambaran terhadap apa yang dipikirkan dan dilakukan komunitas
Interkultur, terkait wisata kemiskinan.
b. Bagi Pemerintah DKI dapat menggunakan penelitian ini sebagai stimulus untuk
mencari solusi terhadap permasalahan sosial masyarakat marjinal Jakarta.
E.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilakukan dengan melihat melalui rangkaian audit komunikasi organisasi
Interkultur dalam program Jakarta Hidden Tours, sehingga mampu membangun gagasan wisata
kemiskinan sebagai bentuk wisata baru di Ibukota. Dengan audit komunikasi semua proses
manajemen komunikasi bisa terlihat mulai dari membangun makna pesan “kemiskinan” yang
kemudian menjadi komoditi wisata hingga ada interpretasi balik dari komunikan (warga Luar
Batang dan wisatawan asing). Efektifitas makna pesan yang coba dikonstruksi Interkultur
11
menunjukan wisata kemiskinan ini menjadi hal yang menarik dan mendatangkan banyak minat
wisatawan asing untuk mengikuti kegiatan wisata tersebut.
1. Manajemen Komunikasi
Pengertian dasar dari istilah manajemen cukup beragam. Pada dasarnya manajemen memiliki
definisi yang mengarah pada pengelolaan. Pencapaian tujuan sebuah organisasi membutuhkan
proses komunikasi yang harus dikelola secara efektif. Untuk itu manajemen dalam komunikasi
dinilai penting dan memegang peranan besar dalam pencapaian tersebut. Manajemen merupakan
alat untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh lembaga atau organisasi. Menurut Suprapto
(2011:139) manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi guna mempermudah tujuan, menjaga
keseimbangan diantara tujuan yang saling bertentangan serta mencapai efisiensi dan efektifitas.
Pencapaian tujuan sebuah organisasi membutuhkan pentahapan dalam proses komunikasi
yang dikelola secara efektif. Untuk itu manajemen dalam komunikasi dinilai penting dan
memegang peranan besar dalam pencapaian tersebut. Terdapat empat langkah menajemen
komunikasi secara operasional yang mengacau pada pendekatan Cutlip, Center & Broom’s
Planning and Management Method’s. Proses perumusan manajemen komunikasi secara umum
dapat dilihat pada Bagan 1.1 berikut:
12
Defining Public
Problems
Planning and
Programming
Taking Action &
Communicating
Evaluating the
Program
Situation
Analysis/Problem
Statement
Strategy
Implementation
Assesment
Method
General Context
-
Communication
Defining target public
Reasoning of program
implementation
Budgeting and time table
-
Frequency
Formality
of
communication
Content and channel
Bagan 1.1. Cutlip, Center & Broom’s Planning and Management Method’s (Sumber:
Cutlip, Center and Broom, 2006)
Cutlip, Center & Broom (2006:320) merumuskan proses manajemen komunikasi seperti
terlihat pada Bagan 1.1 yang dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, mendefinisikan problem.
Langkah pertama ini mencakup penyelidikan dan memantau pengetahuan, opini, sikap dan
perilaku pihak-pihak yang terkait dengan dan dipengaruhi oleh tindakan dan kebijaksanaan
organisasi. Kedua, perencanaan dan pemograman. Informasi yang dikumpulkan dalam langkah
pertama digunakan untuk membuat keputusan tentang program publik, strategi tujuan, tindakan
dan komunikasi, taktik dan sasaran. Langkah ini akan mempertimbangkan temuan dari langkah
dalam membuat kebijakan dalam organisasi.
Ketiga, mengambil tindakan dan berkomunikasi. Mengimplementasikan program aksi dan
komunikasi yang di desain untuk mencapai tujuan spesifik untuk masing-masing publik dalam
rangka mencapai tujuan program. Keempat, mengevaluasi program. Melakukan penelitian atas
persiapan, implementasi dan hasil program. Penyesuaian akan dilakukan sembari program
13
diimplementasikan dan didasarkan pada evaluasi atas umpan balik tentang bagaimana program
itu berhasil atau tidak.
Tujuan semua rangkaian manajmen komunikasi yang disadur dari Cutlip (2006) tidak
terlepas dari strategi komunikasi. Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen
untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut strategi tidak berfungsi
sebagai peta jalan yang hanya menunjukan arah saja, melainkan harus menunjukan bagaimana
taktik operasionalnya (Effendi, 2000:32).
2. Audit Komunikasi
Audit komunikasi adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat semua komponen yang
mendukung berlangsungnya proses komunikasi, mulai dari sumber, pesan, media atau saluran,
penerima sampai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas komunikasi (Cangara, 2013:150).
Intent
What “We”
Think
Communications
What “They”
Think
Evaluation of
Disparities
Recommendations or Improvement
Bagan 1.2: Maksud Audit Komunikasi (Kriyantono, 2010:314)
14
Audit komunikasi mencakup upaya-upaya mencari opini-opini yang berbeda tentang
organisasi (Interkultur) yang memaknai wisata kemiskinan bagi publiknya (warga Luar Batang)
sebagai objek. Aplikasi model audit komunikasi pada penelitian ini terlihat pada bagaimana
opini-opini
tersebut
(interpretasi
warga
Luar
Batang)
terhadap
apa
yang
coba
dibangun/dikonstruksikan Interkultur sebagai organisasi yang menggagas wisata kemiskinan.
Audit komunikasi bertujuan mencari di mana kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam
proses (komunikasi). Komunikasi organisasi dipandang sebagai faktor penyebab efektif dan
tidak efektifnya kerja fungsional organisasi atau sebagai suatu gejala bahwa organisasi berfungsi
secara efektif membentuk makna pesan yang kemudian diinterpretasikan oleh publiknya
(Kriyantono, 2010).
3. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik (IS) menjadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.
Interaksi simbolik tersebut akan menghasilkan interpretasi makna pesan “wisata kemiskinan”
berupa simbol-simbol bahasa verbal dan non verbal bagi Interkultur sebagai penggagas wisata
kemiskinan melalui Jakarta Hidden Tours.
Dalam gagasan mengelola wisata kemiskinan dan masyarakat kampung kumuh (Luar
Batang) sebagai objek wisata, maka secara tidak langsung ada justifikasi dalam pemaknaan
wisata kemiskinan. Pemaknaan tersebut tentunya menciptakan interpretasi berbeda bagi warga
yang dieksploitasi kehidupan sosialnya sebagai kegiatan pariwisata. Pemahaman ini berawal dari
komunitas Interkultur sebagai pengelola wisata kemiskinan merasa bahwa masyarakat kampung
kumuh (Luar Batang) sebagai masyarakat marjinal yang tidak memiliki power dalam tindakan
ketika dijadikan objek wisata begitu saja. Maka dengan bebas dan dengan memberikan pula
alternatif “tontonan” yang sama bagi masyarakat sekitar terhadap kedatangan turis mancanegara
sebagai bayaran yang sesuai terhadap ekploitasi kehidupan sosial mereka.
Namun, Interkultur dalam interaksi sosial kelompok, secara interaksionisme simbolik
(IS) menganggap mereka memiliki interpretasi berupa simbol-simbol dalam memaknai wisata
kemiskinan. Warga sebagai objek wisata kemiskinan dan warga miskin serta kumuh mungkin
saja menginterpretasikan diri mereka sebagai objek wisata. Melalui interaksionisme simbolik
pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”, “realitas di mata pemiliknya”, dan “jika orang
15
mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi
paling relevan (Jones, 2010:142). Meski tidak dipungkiri IS jelas menunjukan bagaimana
aktifitas manusia yang cenderung memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam
rangka memahami kehidupan sosial.
Dalam penjelasannya Jones (2010:142) menambahkan IS bagi ahli teori IS seperti Mead,
kehidupan sosial secara harafiah adalah “interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol”
IS sendiri menurutnya merujuk pada ketertarikan: (i) cara manusia menggunakan simbol untuk
mengungkapkan apa yang mereka maksud, dan untuk berkomunikasi satu sama lain (suatu minat
interpretif yang ortodoks); (ii) akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihakpihak yang terlibat selama interaksi sosial.
IS menekankan bahwa interaksi adalah proses interpretif dua arah. Kita tidak hanya harus
memahami bahwa tindakan seseorang adalah produk dari bagaimana ia menginterpretasikan
perilaku orang lain, tetapi bahwa interpretasi ini akan memberi dampak terhadap pelaku yang
perilakunya diinterpretasi dengan cara tertentu pula (Jones, 2010:142). Salah satu yang ingin
dilihat oleh IS dalam teorinya adalah menjelaskan bagaimana akibat interpretasi aktor
(pengelola, wisatawan) terhadap identitas sosial masyarakat kampung kumuh Jakarta yang
menjadi objek wisata kemiskinan dari interpretasi tersebut.
Pendekatan interaksionisme simbolik yang digunakan dalam penelitian ini tentu mengacu
pada ranah komunikasi agar penelitian ini tetap fokus pada aspek-aspek komunikasi khususnya
manajemen komunikasi. Oleh sebab itu, teori IS yang digunakan dalam penelitian ini berawal
disadur dari buku Teori Komunikasi Littlejohn & Foss. Littlejohn (2014:231) yang
memperkenalkan interaksionisme simbolik untuk menjelaskan proses dimana diri sendiri
dikembangkan. Interaksionisme simbolis menurut Littlejohn adalah sebuah pergerakan dalam
sosiologi, berfokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat
melalui percakapan. Inilah yang digarisbawahi dalam penelitian ini, percakapan merupakan
proses interaksi dimana ada pengelolaan pesan dan produksi makna antara individu, hal tersebut
menjadi gambaran bagaimana penelitian ini tetap bisa dianggap sebagai kajian manajemen
komunikasi. Sebab, ada terjadinya pengelolaan pesan yang berdasarkan pada interaksi oleh orang
tertentu (komunikator) dan dimaknai oleh orang lain (komunikan).
16
3.1
Pemaknaan Pesan
Komunikasi melalui simbol-simbol merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus
(makna yang dapat dimengerti) serta muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama
dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan berakumulasi dalam varian pemikiran (mind).
Komunikasi pada konteks ini merupakan proses pertukaran simbol yang tidak hanya melibatkan
proses verbal yang berupa kata, frase atau kalimat sehingga diri sang aktor yang terlibat dalam
proses tersebut mampu untuk mengucapkan dan mendengarnya. Akan tetapi, proses komunikasi
tersebut juga melibatkan proses pertukaran simbol yang bersifat nonverbal yang meliputi isyarat,
ekspresi wajah, kontak mata, gerakan tubuh, dan sentuhan.
Sedangkan komunikasi menggunakan isyarat vokal dan perilaku yang terkait dengannya
dalam masyarakat diakui George Herbert Mead menyediakan landasan bagi interaksi simbolik.
Komunikasi menggunakan bahasa verbal berguna menyatakan informasi, dan memberi makna
yang berbeda dengan apa yang dinyatakan secara non verbal. Proses komunikasi dapat
diilustrasikan dalam bentuk gambar sebagaimana tampak dalam Gambar 1.3 tentang proses
komunikasi.
Pesan
Sumber
Berita
Pesan
Penyandian
Saluran
Komunikasi
Ilustrasi Dalam Bentuk Skematik
Umpan Balik
Penerima
Berita
Pesan
Pesan
Pemecahan
Sandi
Bagan 1.3: Proses Komunikasi (Umiarso & Elbadiansyah, 2014:215)
Interaksi merupakan proses interpretatif dua arah, individu tidak hanya harus memahami
bahwa tindakannya adalah produk dari bagaimana dirinya menginterpretasikan perilaku orang
lain, namun bahwa interpretasi ini akan memberi dampak terhadap pelaku yang perilakunya
diinterpretasi dengan cara tertentu pula.
17
Dalam proses interpretasi tersebut, pemaknaan terhadap simbol dalam interaksi adalah
utama. Makna bukan dari proses mental yang menyendiri, namun berasal dari interaksi, yaitu
interaksi sosial antara simbol dan makna. Simbol cenderung lebih berarti bagi seseorang untuk
diinterpretasikan dari pada sebuah tanda. Tanda memiliki arti sendiri, sedangkan simbol
merupakan obyek sosial yang dipakai sebagai representasi. Misalnya, kemiskinan sebagai simbol
wisata kemiskinan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, melalui realitas di lapangan, benda
fisik, tindakan fisik (Jones, 2009).
Memahami pesan adalah tujuan dari semua proses pemaknaan. Makna, karenanya,
mengharuskan kita untuk menilai pemikiran kita mengenai pesan-pesan da juga menilai
bagaimana orang lain menginterpretasikan pesan kita (West & Turner, 2008:93). Pemaknaan
wisata kemiskinan dan kemiskinan timbul karena adanya interaksi antara Interkultur sebagai
penggagas wisata kemiskinan dengan realitas kehidupan sosial warga di Luar Batang. Interaksi
tersebut menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemberian makna wisata kemiskinan
berdasarkan pemahaman dan penilaian subyektif kedua pihak tersebut. Seperti pembahasan
sebelumnya bahwa interaksi antara individu yang diantarai oleh interpretasi yang pada akhirnya
menghasilkan respon, hal ini dianalogikan dengan tahap pemaknaan oleh Interkultur dan warga
Luar Batang. Oleh karena pemaknaan muncul berdasarkan pesan yang dikomunikasikan
Interkultur mengenai gagasan wisata kemiskinan, maka pada dasarnya pemaknaan pesan tidak
terlepas dari pengeolaan komunikasi dimana proses tersebut ikut andil dalam pembentukan
makna pesan sehingga gagasan wisata kemiskinan memiliki respon tersendiri oleh komunikan.
Pengelolaan komunikasi menjadi hal yang sangat penting sehingga komunikasi bisa
berjalan dengan efektif sesuai dengan yang diharapkan. Dengan melihat proses komunikasi
melalui skema di atas, menjadi dasar bagaimana sebuah manajemen komunikasi muncul sebagai
konsep yang lebih dalam. Dalam manajemen komunikasi terdapat proses yang menggambarkan
kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh Interkultur dalam program wisata kemiskinan sehingga
berhasil mengkostruksi pesan yang efektif bagi publik.
3.2
Manajemen Komunikasi dalam Pendekatan Interaksionisme Simbolik
Garnet (1992) menawarkan kerangka dasar sederhana yang dapat digunakan untuk
melihat pengelolaan komunikasi, yakni menganalisis situasi (situational factor) dan merancang
18
strategi yang tepat (strategy design factor). Dalam pengelolaan komunikasi tersebut terdapat
perencanaan strategi pesan yang akan disampaikan oleh Interkultur kepada publik, hal
tersebutlah yang akan dianalisis lebih dalam pada penelitian ini.
Pengelolaan komunikasi dalam penelitian ini adalah upaya yang dilakukan oleh
Interkultur sebagai penggagas wisata kemiskinan dalam merancang strategi (strategy design
factor) komunikasi yang tepat untuk mewujudkan hasil maksimal yang akan dicapai dalam
program wisata kemiskinan. Tujuan penyampaian pesan yang dilakukan Interkultur dalam
strategi perencanaan pesan dikonstruksi dan kemudian disampaikan kepada publik. Sehingga
makna pesan tersebut memiliki informasi yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku publik
dalam mendukung atau mengikuti program wisata kemiskinan. Desain strategi dalam penelitian
ini adalah strategi Interkultur dalam mengkonstruksi pesan kepada publik (warga Luar Batang)
yang terdiri dari pemilihan media dan pembuatan pesan itu sendiri.
Dari deskripsi tersebut jelas apabila interaksionisme simbolik dibatasi sebagai suatu studi
tentang interaksi sosial yang berfokus pada bagaimana orang mengembangkan konsep diri
mereka melalui proses komunikasi. Sebab komunikasi sendiri merupakan proses relasional
menciptakan dan menafsirkan pesan yang memperoleh tanggapan. Artinya simbol-simbol
muncul dalam kerangka ini lebih dimaknai sebagai “nilai” yang digunakan oleh diri sang aktor
untuk mengembangkan dirinya sebagai “I” dan “Me” ketika dalam interaksi sosial (Umiarso &
Elbadiansyah, 2014)
Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan
yang paling pokok dalam komunikasi, tetapi manusia tidak terbatas pada bentuk komunikasi ini
hal ini disebabkan karena manusia mampu menjadi obyek untuk dirinya sendiri (dan juga subyek
yang bertindak) dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain melihatnya. Dengan kata
lain, manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang
orang lain. Sebagai akibatnya, mereka dapat mengkonstruksikan perilakunya dengan sengaja
untuk membangkitkan tipe respons tertentu dari orang lain (Johnson,1986:11).
Ritzer (2014) juga dalam bukunya “Teori Sosiologi Modern”, menjelaskan lebih rinci
bahwa interaksionisme simbolik yang digagas oleh Herbert Mead memiliki simbol-simbol
signifikan. Fungsi bahasa atau simbol yang signifikan pada umumnya adalah menggerakan
19
tanggapan yang sama di pihak individu yang berbicara dan juga di pihak lainnya. Selain itu
fungsi isyarat juga menggambarkan simbol yang signifikan pada khususnya. Fungsi isyarat
adalah menciptakan peluang di antara individu yang terlibat dalam tindakan sosial tertentu
dengan mengacu pada objek atau objek-objek yang menjadi sasaran tindakan itu (Mead dalam
Ritzer, 2014:263). Dalam teori Mead ada beberapa peran sentral simbol signifikan:
a) Pikiran (Mind)
Pikiran, sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di
dalam diri individu; pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam
proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses interaksi sosial. Proses sosial
mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Melakukan sesuatu berarti
memberi respons terorganisasi tertentu; dan bila seseorang mempunyai respons itu dalam dirinya
berarti ia mempunyai apa yang disebut pikiran (Mead dalam Ritzer, 2014:265).
Pikiran dan kesadaran muncul dalam proses tindakan. Namun demikian, individuindividu tidak bertindak sebagai organisme yang terasing. Sebaliknya, tindakan-tindakan mereka
saling berhubungan dan saling tergantung. Proses komunikasi dan interaksi di mana individuindividu saling mempengaruhi, saling menyesuaikan diri, atau di mana tindakan-tindakan
individu saling cocok, tidak berbeda secara kualitatif dari proses berpikir internal. Komunikasi
terbuka (overt) dan berpikir yang tidak dapat dilihat (covert thinking) adalah seperti dua sisi dari
mata uang yang sama (Johnson, 1986:10).
Komunikasi melalui simbol-simbol merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus
(makna yang dapat dimengerti) serta muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama
dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan berakumulasi dalam varian pemikiran (mind).
Komunikasi pada konteks ini merupakan pertukaran simbol yang tidak hanya melibatkan proses
verbal berupa kata, frase atau kalimat sehingga sang aktor yang terlibat dalam proses pertukaran
simbol mampu untuk mengucapkan dan mendengarnya (Umiarso & Elbadiansyah, 2014:214).
b) Diri (Self)
Pada dasarnya diri adalah kemampuan menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri
menginsyaratkan proses sosial: komunikasi antarmanusia. Diri berkembang dan muncul melalui
20
aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead diri berhubungan secara dialektis dengan
pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan
menjadi diri apabila pikiran telah berkembang. Di pihak lain, diri dan refleksitas adalah penting
bagi perkembangan pikiran (Ritzer, 2014:266). Mead menyatakan, “Diri pada dasarnya adalah
proses sosial berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan”. I dan me adalah proses yang
terjadi di dalam proses diri yang lebih luas, keduanya bukanlah sesuatu (things).
c) “I” dan “Me”
Pandangan Herbert Blumer (1986) dalam bukunya “Interactionism Symbolic”
mengatakan bahwa sesorang memiliki kedirian (self) yang terdiri dari unsur “I” dan “Me”.
Artinya, diri (self) merupakan hasil yang muncul dari percakapan internal dari interaksi dua
bagian tersebut.Unsur “I” merupakan unsur yang terdiri dari dorongan, pengalaman, ambisi dan
orientasi pribadi, bisa juga dikatakan sebagai “saya” pada saat ini. Sedangkan unsur “Me”
merupakan “suara” dan harapan-harapan dari masyarakat sekitar. Masing-masing peran tersebut
“berbicara” antara satu sama lainnya dan hasil pembicaraan ini akan muncul diri (self). Seperti
yang telah dijelaskan bahwa kedirian (self) dikonstruksikan melalui interaksi.
“I” adalah tanggapan spontan individu terhadap orang lain. Sedangkan “me” adalah
penerimaan atas orang lain yang digeneralisir. Mead melihat “I” dan “me” dalam pandangan
pragmatis. “Me” memungkinkan individu hidup nyaman dalam kehidupan sosial, sedangkan “I”
memungkinkan terjadinya perubahan masyarakat. Masyarakat mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri yang memungkinkannya berfungsi dan terus menerus mendapatkan masukan
baru untuk mencegah terjadinya stagnasi. “I” dan “me” dengan demikian adalah bagian dari
keseluruhan proses sosial dan memungkinkan, baik individu maupun masyarakat, berfungsi
secara lebih efektif.
Dalam diri individu, pembentukan self pada umumnya dalam bentuk dialog antar dua
bagian, yakni, “I” dan “Me”.“I” terdiri dari stimulasi yang bersifat psikis dan sosiologis yang
menghasilkan gestural behavior. Sebaliknya “Me” adalah respons dari orang lain yang
diinternalisasi. Seorang individu akan memiliki kesadaran akan self dan secara stimultan juga
memiliki kesadaran terhadap orang lain. Menurut William James (dalam Umiarso &
Elbadiansyah, 2014) hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kita selalu menempatkan
21
identitas atau topeng-topeng, ketika berinteraksi dengan orang lain meskipun semua orang tahu
bahwa beberapa identitas di rasa lebih konsisten dan nyata dibandingkan dengan orang lain.
d) Masyarakat (Society)
Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (Society) yang berarti
proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam
membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan
sekumpulan tanggapan terorganisasi yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me).
Interaksi Sosial
Dalam Masyarakat
Taking the Role
of The Other
Diri (self) Sang
Aktor
Bagan 1.4: Formulasi Kesadaran Diri Sang Aktor (Umiarso & Elbadiansyah,
2014:205)
George Herbert Mead mencoba memberikan suatu tatanan yang mendialogiskan antara
pikiran (mind), diri (self) dan masyarakat (society). Pada kerangka ini terjadi suatu proses
dialektis antara tiga varian besar yang terjadi dalam kerangka proses sosial diri sang aktor,
walaupun menurut Mead pada akhirnya keseluruhan sosial (masyarakat) mendahului pikiran
individual baik secara logis maupun secara temporal. Namun, Mead dalam proses ini
mengedepankan analisis taking the role of the other dalam proses sosialisasi untuk memunculkan
suatu tindakan sosial (Umiarso & Elbadiansnyah, 2014:205)
Pada konteks tersebut, ketika melakukan pengambilan peran diri sang aktor (Komunitas
Interkultur) akan melakukan bentuk pemahaman, penginterpretasian, dan penyesuaian. Sebelum
seorang “diri” bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dan mencoba untuk
memahami apa yang diharapkan oleh pihak lain.
Pengaruh interaksionisme yang paling umum adalah pandangan bahwa kita
menggunakan interpretasi orang lain sebagai bukti “kita pikir siapa kita”. Berarti, citra diri (self
22
image) kesadaran identitas kita adalah produk dari caraorang lain berpikir tentang kita.
Akibatnya, dalam hal ini “saya adalah apa yang saya pikir engkau berpikir tentang saya.” (Jones,
2010:143). Warga kampung kumuh Jakarta dalam program Jakarta Hidden Tours akan melihat
bahwa mereka dicitrakan dan diinterpretasikan sebagai warga miskin sekaligus objek “wisata
kemiskinan”
yang
dikonstruksi
oleh
komunitas
Interkultur.
Komunitas
Interkultur
menginterpretasikan citra masyarakat kampung kumuh sebagai warga miskin yang pantas
menjadi objek wisata dalam program wisata mereka. Citra diri adalah produk dari proses
interpretif, alokasi makna antara satu orang dengan orang lain, yang bagi teori tindakan adalah
akar dari semua interaksi sosial.
Manfaat dari hasil proses interaksi antara orang yang menginterpretasi dan orang yang
diinterpretasi jelas dapat dilihat. “Diri” warga perkampungan kumuh adalah orang yang menjadi
warga miskin tergantung pada orang-orang tertentu yang kebetulan bertemu dan berinteraksi
dengan mereka. Komunitas Interkultur dan juga wisatawan yang menikmati wisata kemiskinan
dapat membentuk masyarakat perkampungan kumuh menjadi diri yang bukan mereka.
Akibatnya, mereka mengelola atau mengatur irama, respons-respons orang lain dengan cara
menghadirkan citra diri sedemikian sesuai dengan yang diinginkan oleh komunitas Interkultur
yang berpikir tentang masyarakat perkampungan kumuh.
Warga perkampungan kumuh Jakarta tidak berada pada posisi memprotes kesalahan
interpretasi orang lain terhadap mereka karena sudah mutlak. Misalnya publik membuat
keyakinan terhadap anggapan wisata kumuh yang diadakan di wilayah marjinal Ibukota Jakarta
yang menjadi progam Interkultur dalam Jakarta Hidden Tours, memang layak dilakukan
terhadap masyarakat tersebut sehingga peran masyarakat kumuh dan miskin wilayah Jakarta
tersebut tidak mampu memprotes dan bahkan menolak untuk dieksploitasi oleh Interkultur dalam
“wisata kemiskinan”. Inilah yang ingin dilihat dari teori interaksionisme simbolik (IS) dalam
penelitian ini. yang diharapkan nantinya akan mampu merujuk pada analisis pesan-pesan
interpretasi komunitas Interkultur terhadap wisata kemiskinan dalam interaksi pada diri mereka
secara kelompok, dan eksploitasi kehidupan “miskin” sosial warga miskin pada turis
mancanegara terlepas itu tujuannya positif atau negatif.
23
F.
Metodologi Penelitian
Di dalam suatu penelitian sosial, keberadaan metode mutlak diperlukan karena fakta-
fakta sosial tidak tergeletak dan sudah “siap pakai” begitu saja, namun fakta-fakta sosial tersebut
harus diamati dalam suatu kerangka acuan yang spesifik, harus diukur dengan tepat, dan harus
diamati pula pada suatu fakta yang dapat dikaitkan dengan fakta-fakta lain yang relevan (Ros
dalam Suyanto & Sutinah, 2007).
1.
Subyek Penelitian
Penelitian ini berlokasi di wilayah yang ada dalam program “wisata kemisikinan” yang
digagas oleh komunitas Interkultur, yakni perkampungan kumuh Luar Batang Kelurahan
Penjaringan, Kecamatan Penjaringan daerah Jakarta Utara.
Lokasi penelitian ini dilakukan di salah satu wilayah tersebut yaitu Kampung Luar Batang
yang merupakan wilayah di Jakarta Utara, tempat ini juga rumah bagi banyak warga miskin dari
Jakarta. Wilayah tersebut memiliki karakter lokasi yang bau, dan pemandangan yang kumuh
dikategorikan masyarakat pemukiman kumuh oleh Interkultur. Lokasi tersebut menjadi tempat
dilakukannya penelitian ini khususnya pada komunitas Interkultur yang dikategorikan sebagai
informan atau narasumber bagi penelitian ini. Sebab, lokasi tadi menjadi tempat beraktivitasnya
komunitas Interkultur yang telah melabeli “warga miskin” di wilayah yang menjadi objek wisata
kemiskinan dalam Jakarta Hidden Tours. Penelitian ini dilaksanakan mulai 26 Oktober 2014
hingga selesai penelitian. Terhitung sejak peneliti melakukan observasi awal di tanggal 26
Oktober tersebut, terlihat pada jadwal booking Jakarta Hidden Tours dibawah ini:
24
Gambar 1.2: Jadwal Booking Observasi Penelitian Jakarta Hidden Tours Oktober 2014
(Sumber: www.jakartahiddentours.wordpress.com, 21 Oktober 2014).
2.
Informan Penelitian
Individu adalah unit analisis dalam penelitian kualitatif. Individu sebagai unit analisis di
ranah mikro-subyektif. Unit analisis dalam penelitian ini terdiri dari perwakilan komunitas
Interkultur dan warga Luar Batang. Namun, yang terpenting dalam memilih informan adalah
memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu menjelaskan bagaimana sebenarnya pemaknaan
wisata kemiskinan melalui interaksionisme simbolik.
Penelitian ini dilakukan dengan menentukan informan penelitian yang akan di observasi dan
wawancara mendalam. Informan penelitian ini dibagi terdiri dari tiga informan. Pertama, Ronny
Poluan sebagai aktor utama yang menggagas awalnya komunitas Interkultur berdiri di tahun
2009. Ronny Poluan yang membentuk Jakarta Hidden Tours sebagai wadah pariwisata dengan
25
konsep memperlihatkan kehidupan sosial masyarakat kumuh pinggiran Ibukota Jakarta sebagai
objek wisata kemiskinan.
Kedua, Ibu Anneke yang memiliki peran yang sama dengan Ronny Poluan sebagai
penggagas tur dengan kriteria sebagai warga yang dominan berinteraksi dengan warga lainnya
dalam berlangsungnya wisata kemiskinan di daerah Luar Batang.
Ketiga, Parlindungan adalah salah satu staf Interkultur yang juga aktif sebagai tur guide
sekaligus anggota awal yang memprakasai gagasan wisata kemiskinan bersama Ronny Poluan.
Keempat, “Emak” adalah warga Luar Batang yang mewakili lokasi “wisata kemiskinan” di
lokasi Luar Batang. Emak biasanya berinteraksi dengan wisatawan mancanegara dan juga
sebagai orang yang menceritakan mengenai kehidupan tetangga-tetangganya dan kehidupan
pribadi di lokasi yang dilabeli “miskin” oleh Interkultur.
Kelima, adalah Bakti yang merupakan kepala lingkungan dan juga tokoh utama dalam dua
film dokumenter tentang Galur yang memenangkan World Cinema Award di Festival Film
Sundance, Amerika Serikat pada tahun 2005. Alasan pemilihan informan ketiga adalah
merupakan perwakilan warga di lokasi “wisata kemiskinan” Galur yang juga saat ini berprofesi
sebagai tukang ojek.
Keenam, adalah Pak Maskun adalah seorang yang berprofesi sebagai penambal ban, yang
mewakili lokasi “wisata kemiskinan” di lokasi Kota & Pasar Ikan, Luar Batang. Pak Maskun
biasanya berinteraksi dengan wisatawan mancanegara dan juga ditunjuk secara tidak langsung
oleh Ronny Poluan sebagai orang yang menceritakan mengenai kehidupan tetangga-tetangganya
dan kehidupan pribadi di lokasi pemukiman kumuh Luar Batang. Selain itu adapun informan
tambahan sebagai pendukung data penelitian yaitu warga/staf Interkultur yang menjadi terlibat
baik secara langsung ataupun tidak dalam wisata kemiskinan.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretivis, peneliti harus menjelaskan prosesproses pembentukan makna dan menerangkan ihwal serta bagaimana makna-makna tersebut
terkandung dalam bahasa dan tindakan para aktor sosial (Interkultur dan warga Luar Batang).
Upaya menyusun interpretasi tidak lain adalah upaya melakukan pembacaan tentang makna26
makna tersebut (Denzin & Lincoln, 2009:146). Salah satu pendekatan interpretivis yang
merupakan pendekatan dalam penelitian ini, pendekatan interaksionisme simbolik juga
merupakan sebuah pendekatan dalam penelitian ilmu sosial. Pendekatan ini termasuk dalam
pendekatan interpretivis yang di kemukakan oleh Herbert Blumer-G.H Mead.
Interpretif interaksionisme simbolik berusaha menjelaskan pembentukan makna, pendekatan
yang diterapkan oleh teori ini pada tindakan manusia yang berpijak dari karya G.H Mead,
Herbert Blumer (dalam Denzin, 2009:154) menyatakan interaksionisme simbolik bersandar pada
tiga premis: Pertama, manusia berinteraksi dengan benda-benda fisik dan makhluk-makhluk lain
di dalam lingkungannya berdasarkan makna-makna benda-benda tersebut baginya. Kedua,
makna-makna ini muncul dari interaksi sosial (komunikasi, dalam pengertian luas) di antara dan
antarindividu. Komunikasi bersifat simbolik karena kita berkomunikasi lewat bahasa dan simbolsimbol lain; selain itu, dalam berkomunikasipun kita menciptakan atau menghasilkan simbolsimbol signifikan (bermakna). Ketiga, makna-makna ini ditetapkan dan dimodifikasi melalui
suatu proses interpretatif: “pelaku menyeleksi, mengamati, menangguhkan, mengelompokan
kembali, dan mengubah makna-makna berdasarkan situasi tempatnya berada dan tujuan
tindakannya tersebut. Makna-makna digunakan dan direvisi sebagai alat yang menuntun dan
membentuk tindakan”.
Interaksionisme simbolik mengharuskan peneliti secara aktif memasuki dunia orang-orang
yang diteliti untuk “melihat situasi sebagaimana yang dilihat oleh pelaku, meneliti bagaimana ia
menginterpretasikan apa yang dipahami oleh pelaku tersebut”. Proses interpretasi para pelaku
dijelaskan bukan hanya melalui deskripsi tentang kata-kata dan perbuatan, namun juga dengan
menjadikan deskripsi yang kaya sebagai titik tolak untuk merumuskan sebuah interpretasi
tentang apa yang disampaikan oleh para pelaku.
Denzin (2009:155) menjelaskan para peneliti interaksionisme simbolik mulai dengan
mensintesiskan gambaran tentang proses interaksi yang dibangun di sekitar konsep-konsep
seperti diri, bahasa, keadaan sosial, objek sosial, dan tindakan bersama. Peneliti kemudian
“bergerak dari upaya mensintesiskan berbagai konsep ke dunia yang dekat dengan pengalaman
sosial dan mengizinkan dunia untuk mengembangkan dan memodifikasi bingkai konseptualnya.
27
Sintesis adalah upaya merangkum berbagai pengertian atau pendapat dari berbagai sumber
rujukan sehingga menjadi kesimpulan baru sesuai dengan kebutuhan peneliti. Upaya peneliti
dalam metode penelitian dengan pendekatan interpretatif IS tentunya adalah upaya menghimpun
bagaimana proses ideal interaksi yang berjalan dalam kegiatan tur wisata kemiskinan, bagaimana
interaksi ini dilihat lagi lebih terinci dan detail ke ruang lingkup diri (obyek peneliti) memaknai
wisata kemiskinan melalui penggambaran diri warga Luar Batang sebagai objek wisata
kemiskinan. Kedua, pemahaman terhadap konsep bahasa yang digunakan dalam aktivitas
interaksi maupun wawancara informan.Lalu realitas dan keadaan sosial obyek peneliti yang
semua tujuannya adalah mencari dan menghimpun konstruksi makna kemiskinan dalam kegiatan
tur wisata kemiskinan yang coba dikonstruksi oleh Interkultur.
Selain itu, bahasa dimaknai oleh pendekatan IS ini juga bahasa yang digunakan dalam
interaksi sosial komunitas Interkultur. Jadi interpretasi makna dalam interaksionisme simbolik
(IS) akan dianalisis melalui bahasa-bahasa tersebut.
Inilah maksud dari metode penelitian interpretif pada penelitian ini yang memusatkan
perhatian pada makna dan pengalaman subjektif sehari-hari, yang bertujuan menjelaskan
bagaimana objek dan pengalaman terciptakan secara makna dan dikomunikasikan dalam
interaksi sosial masyarakat perkampungan kumuh baik pada organisasi pengelola “wisata
kemiskinan” maupun interaksi dengan wisatawan mancanegara.
Artinya proses penelitian dilakukan dengan ikut terlibat secara langsung (empiris) oleh
peneliti. Peneliti kemudian menangkap realitas yang dilihat di lapangan berdasarkan pengalaman
langsung tersebut. Kemudian pengalaman yang menghasilkan temuan penelitian melalui proses
pengumpulan data dengan teknik wawancara semi struktur akan dimaknai secara naratif oleh
peneliti. Bahwa realitas dan pengalaman langsung akan menciptakan makna dan kebenaran
secara subjektif dari pengamatan peneliti, mengingat paradigma dasar penelitian ini adalah kritis.
4. Teknik Pengumpulan data
Data-data penelitian meliputi data primer dan skunder. Data primer sebagai sumber data
utama dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan tindakan, diungkapkan dalam bentuk
kalimat serta uraian wawancara mendalam pada 3 (tiga) orang informan.
28
Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan.
Dengan menggunakan panduan wawancara yang telah disiapkan. Pertanyaan dalam panduan
wawancara ditanyakan semi struktur. Dengan membangun hubungan terhadap informan melalui
proses wawancara lalu memberikan pertanyaan yang menunjukan kritik yang pada akhirnya
informan memberikan penjelasan sebagaimana tanggapan langsung dari pertanyaan yang
diajukan untuk menggali data wawancara yang lebih dalam.
Teknik observasi digunakan untuk mengamati setiap aktivitas tur yang di dalamnya terdapat
warga dan penggagas tur. Sebab setiap aktivitas tersebut merupakan eksistensi realitas yang
sedang dan dikonstruksikan oleh informan. Observasi dilakukan bersifat natural. Dalam arti
peneliti membiarkan kondisi terjadi lebih alami dan bersifat terbuka. Dengan melakukan
observasi peneliti dapat mencerna, merangkum dan mencatat segala informasi yang ada (Bungin,
2007:115).
Data sekunder sendiri dalam penelitian ini meliputi dokumen yang minim yang dimiliki oleh
informan (Interkultur). Sedangkan untuk data sekunder penunjang penelitian, peneliti
menggunakan hasil penelitian dan literatur seperti buku dan jurnal yang ada mengenai
manajemen komunikasi, audit komunikasi dan pendekatan interaksionisme simbolik. Selain itu
adapula data literatur mengenai kebijakan Pemprov DKI dan data-data literatur lainnya untuk
menunjang analisis data melalui triangulasi data.
a) Observasi
Peneliti akan turun langsung ke lapangan untuk mengamati perilaku dan aktifitasaktiifitas individu warga perkampungan Luar Batang yang berinteraksi satu sama lain di saat
kegiatan wisata berlangsung. Dalam pengamatan ini, peneliti merekam/mencatat baik dengan
cara terstruktur maupun semistruktur (misalnya, dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang
memang ingin diketahui oleh peneliti) terhadap aktifitas-aktifitas di lokasi penelitian. Sebab
Interkultur sendiri memiliki paket wisata kemiskinan komplit di lokasi yang dimaksud dalam
penelitian ini, sehingga dalam observasi peneliti bisa langsung terlibat dalam kegiatan tersebut
beberapa kali sampai dirasa cukup untuk mengumpulkan data yang diinginkan peneliti.
29
b) Wawancara
Data-data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer sebagai data
utama dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan tindakan, diungkapkan dalam bentuk
kalimat serta uraian, diperoleh dari wawancara mendalam pada informan.
Untuk memperoleh data primer ini peneliti melakukan wawancara mendalam dengan
informan, peneliti melakukan wawancara dipandu oleh panduan wawancara yang telah
dipersiapkan peneliti. Pertanyaan dalam panduan wawancara ditanyakan tidak tersetruktur.
Peneliti melakukan face to face interview dengan informan, mewawancarai mereka dan terlibat
langsung lewat interaksi yang terjadi di lapangan dengan ketiga pihak yang telah disebut di atas.
Wawancara-wawancara seperti itu tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara
umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan
opini dari para partisipan.
Unsur wawancara juga terdiri dari aspek non verbal. Unsur non-verbal juga sangat penting
mengingat ini adalah penelitian yang menggunakan pendekatan interpretif interaksionisme
simbolik. Denzin (2009:515) memaparkan pada dasarnya, ada empat macam teknik non verbal:
(1) Komunikasi prosemik, adalah penggunaan ruang interpersonal untuk menyampaikan
sikap-sikap tertentu. (2) Komunikasi kronemika (chronemics) yaitu penggunaan “penjedahan
kata” (pacing of speech) atau “diam” dalam perbincangan. (3) Komunikasi kinesik (kinesic)
mencakup gerak tubuh atau postur tubuh (bahasa tubuh). Dan (4) Komunikasi paralinguistik
mencakup semua bentuk volume, nada, dan kualitas suara.
Keempat macam teknik tersebut sangat penting, baik bagi peneliti maupun responden, karena
komunikasi non-verbal sangat menentukan keberhasilan wawancara. Pandangan mata, bahasa
tubuh, diam sejenak, cara berpakaian, semuanya sangat penting dalam proses wawancara.
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi dokumen-dokumen yang terdiri dari; Hasil
penelitian baik dari kalangan akademisi ataupun lembaga-lembaga penelitian berupa skripsi,
tesis, disertasi, tulisan ilmiah (jurnal) dan laporan penelitian terkait dengan fokus penelitian ini,
yaitu interaksionisme simbolik.
30
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus
terhadap data (Creswell, 2012:274). Proses analisis data kualitatif secara keseluruhan dalam
penelitian ini memaknai data yang berupa teks atau hasil wawancara dengan informan. Artinya,
setiap bahasa yang muncul baik verbal atau non verbal akan di tangkap sebagai makna yang
memiliki signifikansi dengan pendekatan interaksionisme simbolik. Hasil wawancara berupa
bahasa verbal akan lebih mudah ditangkap maknanya karena bahasa verbal dalam bentuk katakata dan kalimat pasti memiliki makna yang menggambarkan baik sebagai makna konotasi atau
makna denotasi. Misalnya kata rumah merupakan makna sebenarnya berupa sebuah tempat
tinggal, sedangkan makna kedua yang muncul dalam kata “rumah” bisa berarti tempat
berlindung baik itu memiliki ciri-ciri fisik atau tidak.
Berikutnya adalah data teks yang menjadi data yang mungkin diperoleh dalam penelitian ini
selain hasil wawancara. Teks merupakan bahasa yang bersifat memberikan informasi, bahasa
yang digunakan untuk menyampaikan pesan baik secara tertulis ataupun tidak. Teks biasanya
terdiri dari rangkaian makna yang membentuk informasi tertentu tentang apa yang disampaikan
dalam teks itu sendiri. Teks tidak saja tentang literatur yang didapat dalam penelitian, tetapi teks
dapat berupa realitas yang ada di lapangan. Pemahaman informan terhadap makna wisata
kemiskinan melalui wawancara dilihat baik secara verbal dan non verbal. Realitas seperti itu
adalah simbol teks yang dapat dimaknai sebagai hasil interpretasi makna oleh informan terhadap
wisata kemiskinan.
Analisis data melibatkan pengumpulan data yang terbuka, yang didasarkan pada pertanyaanpertanyaan umum, dan analisis informasi dari para informan. Selain itu merujuk pada analisis
interpertatif Denzin (2009) mengatakan setiap teks sosial adalah cerita dan dapat dianalisis
dengan tiga pasangan model sebagai berikut: 1. Teks dan pengarangnya, termasuk „suara‟
pengarang (orang pertama, orang ketiga), 2. Pengalaman yang dialami dan representasinya di
dalam teks (transkrip wawancara dan sebagainya), 3.Subjek yang diteliti dan makna yang mereka
bagi satu sama lain (Van Maanen dalam Denzin & Lincoln, 2009:668).
Setelah semua data dikumpulkan maka peneliti menggunakan analisis narrative sebagai
metode analisis data yang akan mendasari teori interpretif (Denzin & Lincoln, 2009:615). Dalam
31
bentuk pendekatan dalam analisis naratif yakni pendekatan „bawah-atas‟ (bottom-up) membuat
perbedaan asumsi tentang organisasi makna kognitif. Pendekatan naratif ini melihat teks sebagai
tindak simbolik atau sarana untuk membingkai, mendefinisikan, dan memaknai sebuah situasi
sekaligus memungkinkannya untuk diberi respon. Analisis wacana di level sosial, yang
mengidentifikasi tema, khalayak, dan simbol utama yang biasa digunakan untuk mendekati atau
memobilisasi kelompok-kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, analisis makrotekstual atau
naratif memandang masyarakat sebagai „penutur‟ dan melihat tanda-tanda sosial (termasuk
diantaranya bahasa) sebagai teks (Brown dalam Denzin & Lincoln, 2009:617). Dengan metode
analisis naratif, peneliti akan dapat memahami proses pembentukan pengetahuan manusia di
dalam suatu masyarakat tertentu. Bahwa untuk memahami suatu kelompok masyarakat, orang
perlu untuk mengalami kehidupan masyarakat tersebut.
Dalam teknik analisis data berikutnya penelitian ini menggunakan data sekunder untuk
menguatkan data primer seperti hasil wawancara dan pengamatan secara langsung di lapangan.
Selain itu, data sekunder berfungsi menjelaskan pola keterkaitan data yang di dapat untuk
dianalisis secara valid dengan pola triangulasi data. Artinya data primer akan membutuhkan
penguatan serta validitas data yang dikaitkan dengan data-data sekunder.
Meaningful
Meaningful
A
B
Interkultu
Warga LB
Meaningless
Meaningless
C
Meaningful
Pemerintah
Meaningful
Bagan 1.5: Relasi Pemaknaan “wisata kemiskinan”
32
Pembahasan analisis data akan dimulai dengan melihat relasi antara penggagas wisata
kemiskinan (A), warga Luar Batang (B), serta Pemerintah DKI Jakarta (C), pihak C dalam arti
sebenarnya merupakan sumber data yang di dapat melalui media massa, artikel pernyataan
pemerintah, website resmi Pemerintah DKI yang berkaitan dengan topik penelitian serta literatur
lainnya. Jadi bukan melibatkan informan tambahan dalam arti sesungguhnya.
Relasi ketiganya bertujuan melihat bagaimana pola pesan yang terbentuk antara ketiganya,
apakah memiliki pemaknaan yang sama terhadap bentuk wisata kemiskinan. Artinya ada dua
indikator yang coba dilihat dalam pemaknaan pesan “wisata kemiskinan”. Pertama meaningful,
yang berarti ada pesan yang dimaknai mengenai gagasan wisata kemiskinan sebagai pesan yang
memiliki makna berarti di antara ketiga pihak tersebut. Kedua meaningless, adalah pesan yang
dimaknai tidak begitu berarti bagi ketiga pihak. Namun ketiga pihak A, B, dan C memiliki
potensi “mindless/tidak bermakna” (Fiske, 2012) dalam setiap pemaknaan mereka terhadap
gagasan wisata kemiskinan. John Fiske (2012) menyatakan gagasan bahwa makna yang memiliki
arti bagi orang lain belum tentu berarti bagi kita, begitu juga sebaliknya. Baik pihak A ke pihak
B ataupun sebaliknya dan begitu juga relasi keduanya dengan pihak C seperti dijelaskan pada
Bagan 1.4.
Pada bagan di atas terlihat bagaimana pemaknaan pesan yang memiliki potensi yang tidak
selalu sepaham antara tiga pihak (Interkultur, warga Luar Batang, pemerintah). Dengan melihat
relasi inilah proses analisis data pada pembahasan penelitian akan terlihat jelas melalui metode
penelitian interaksionisme simbolik yang sudah dijelaskan. Melihat makna-makna pesan melalui
triangulasi data primer dan sekunder bagaimana sebenarnya proses pemaknaan wisata
kemiskinan diantara ketiga pihak.
Pada tahap akhir analisis data untuk langkah selanjutnya pembahasan diberi kerangka sub
pembahasan yang terdiri dari 3 sub. Ketiga sub pembahasan ini akan terdiri dari analisis 1.
Historitas, 2. Tingkat Keterlibatan informan dalam wisata kemiskinan, serta yang terakhir
adalah, 3.Konteks (legal fomal). Maka setiap sub pembahasan tadi akan dianalisis dengan
melihat pola relasi pemaknaan pesan wisata kemiskinan secara historitas, tingkat keterlibatan,
dan konteks yang ada pada hasil pengumpulan data primer dan skunder.
33
6. Teknik Validitas Data
Dalam penelitian ini validitas yang digunakan adalah triangulasi sumber-sumber data yang
berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dengan
menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Tema-tema dibangun
berdasarkan sejumlah sumber data atau perspektif dari partisipan.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang
lain (di luar data itu) untuk keperluan pengecekan atau sekedar pembanding terhadap data
tersebut. Alternatif triangulasi yang mungkin digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah data
triangulation, di mana peneliti menggunakan beberapa sumber data untuk memeriksa keabsahan
data yang dianalisis (Moleong, 2005:330-332). Adapun untuk keperluan triangulasi data, peneliti
menggunakan beberapa sumber data: Pengelola Interkultur, dan informan warga Luar Batang
lainnya, serta sumber literatur yang merujuk pada keterlibatan pemerintah.
7. Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini dipandang perlu untuk melakukan pembatasan masalah secara
operasional. Pembahasan akan difokuskan pada pemaknaan wisata kemiskinan melalui pesanpesan yang dikonstruksikan oleh Interkultur sebagai penggagas wisata kemiskinan terhadap
pemaknaan yang ditangkap oleh warga Luar Batang Penjaringan Jakarta Utara. Pemaknaan pada
pesan sendiri termasuk dalam strategi pesan di dalam proses manajemen komunikasi yang
dilakukan oleh Interkultur.
Identifikasi makna pesan ini melihat bagaimana strategi pesan yang dibuat Interkultur
terhadap wisata kemiskinan disampaikan kepada publik temasuk warga Luar Batang, sehingga
efektifitas pesan tersebut memiliki pengaruh terhadap antusiasme publik pada kegiatan wisata
tersebut. Untuk melihat pemaknaan pesan, penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif
interaksionisme simbolik. Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu dari 26 Oktober 2014
hingga 21 Mei 2015.
34
Download