konflik dan ketegangan dalam hukum islam

advertisement
Rahma Amir
HUKUM DAN MORALITAS
Abstrak
Salah satu pernyataan orientalis, salah dalam catatannya menilai
bahwa para Sarjana Muslim zaman dahulu tidak berpikir bahwa mereka
harus mendamaikan unsur-unsur yang bertentangan kebenaran mereka
dalam usaha untuk melindungi hukum dalam bentuk idealnya, karena
hukum bertindak sebagai standar keputusan dan secara otomatis
mengesampingkan unsur-unsur yang bertentangan. Syari‟ah sebagai
hukum yang diturunkan Tuhan harus dipelihara dalam bentuk idealnya
sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam surah QS. Al-Maidah
(5):47, sebab apabila tidak dipelihara maka akan kehilangan
kemampuannya untuk mengontrol masyarakat yang menjadi tujuan
utamanya. Pendapat para orientalis yang salah itu sebagaian besar
dikarenakan oleh fakta; bahwa kebaikan sejati dapat diketahui secara
rasional dan hukum harus ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan sosial,
sedangkan semua kebutuhan telah disediakan dalam hukum Tuhan yang
mengetahui apa yang benar-benar baik bagi umat manusia. Hukum Islam
sempurna dalam bentuk sepanjang masa. Bahwa kebutuhan sosial harus
ditentukan oleh hukum, bukan sebaliknya, dengan demikian tidak ada
konflik dan ketegangan dalam Syari‟ah.
I. Pendahuluan
Agama biasa dipahami sebagai hal yang hanya
membicarakan masalah-masalah spritual. Karena pemahaman
semacam itu, maka antara agama dan hukum sering dipandang
tidak sejalan. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan sosial,
karenanya mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan agama adalah
untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak
menyimpang dari norma-norma etika yang ditentukan oleh agama
itu sendiri. Agama menekankan moralitas yakni perbedaan antara
benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi hanya
memfokuskan diri pada kesejahteraan material dan kurang
memperhatikan nilai etika.1
1
Muhammad Muslehuddin, Phlosophy of Islamic Law ant the Orientalist
(Lahore : Islamic Publication Ltd., 1980), Second Edition, h. 270
57
Menurut Hazairin dalam bentuk Demokrasi Pancasila
menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral
tanpa hukum adalah anarki.2 Diperkuat oleh H.M.Rasjidi yang
mengatakan bahwa hukum dan moral harus berdampingan, karena
moral adalah pokok dari hukum.3 Dalam masyarakt ada hubungan
yang erat antara moralitas sosial dan perintah hukum, bahwa
pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum, bahwa pengaruh
moralitas sosial atas perintah hukum pada umumnya tergantung
kepada karakter suatu masyarakat tersebut.
Akan tetapi, Coulson memisahkan hukum dari keadilan dan
etika, karena positivisme menolak pengetahuan normatif tentang
etika dan menganggap etika tidak termasuk dalam kategori ilmiah.
Aliran ini menganggap bahwa antara hukum dan moral mempunyai
bidang sendiri-sendiri yang tidak berhubungan antara satu dengan
lainnya.4 Keterpisahan hukum dan moral dalam aliran imperatif
Austin menganggap hukum sebagai perintah penguasa.
Menurutnya hukum positif merupakan suatu aturan umum tentang
tingkah laku yang ditentukan oleh petinggi politik untuk kelompok
yag lebih rendah. Tujuan Austin adalah untuk memisahkan secara
tajam hukum positif dari aturan-aturan sosial (kebiasaan dan
moralitas) dan penekanannya terletak pada perintah mencapai
tujuan tersebut. 5
Bertolak dari pandangan Coulson tersebut, ia juga
mengatakan bahwa hukum Islam menjelmakan prinsip-prinsip
pelaksanaan undang-undang atas moralitas seksual dalam hukuman
barat yang ditentukan bagi pelanggaran-pelanggaran zina, sehingga
2
Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran
Hukum (Jakarta : Dirjen Binbaga Islam DEPAG RI, 1985), h. 31
3
Untuk mengokohkan pendaptnya tersebut, H.M. Rasyidi mengutip
pendapat Hobbes dan Hegel. Yang berpendapat bahwa bermoral artinya
mengikuti hukum pemerintah sedangkan Hegel mengatakan bahwa tidak ada
moral yang lebih tinggi daripada patuh kepada hukum negara H. Faturrahman
Djamil,Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 151.
4
H.M.Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, cet.II (Jakarta : Bulan
Bintang 1980), h. 18 Bandingkan H.a.R.Gibb, Modern Trends in Islam (
Chicago; ttp:1974) h.34
5
Muhammad Muslehuddin, op. cit, h. 19
58
ia katakan Syari‟ah Islam adalah kode hukum dan kode moral
sekaligus. Karena hukum Islam merupakan suatu pola yang luas
tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak
Allah.yang tertinggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan
moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti dalam
masyarakat pada umumnya.6
Bertolak dari pandangan Coulson, baik dari titik pandang
hukum positif maupun hukum Islam yang berbeda tersebut, disatu
tempat ia mengatakan adanya konflik dan ketegangan dalam
hukum Islam (dalam hal ini antara hukum dan moralitas. Ia
mengatakan adanya konflik karena salah dalam mengambil
pendapat yang berbeda di kalangan Islam, karena ia kehendaki
adalah hukum Islam diinterpretasikan secara rasional dan
diturunkan pada posisi hukum buatan manusia. Maka menarik
untuk dibahas bagaimana hakikat hukum Islam dalam
hubungannya dengan moralitas; apakah ada konflik dan ketegangan
antara hukum dan moralitas itu sendiri. Dua masalah tersebut
merupakan pokok masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
dengan tinjauan pada masa klasik, pertengahan modern.
II. Pembahasan
A. Hakikat Hukum Islam : Tinjauan antara Hukum dan Moral
masa klasik
Secara etimologis moral berasal dari bahasa Belanda “
Moral”, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut
W.J.S. Poerwadarminta moral berarti “ajaran tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan”.7 Dalam Islam moral dikenal dengan
istilah akhlak. Al-Ghazali memberi defenisi tentang akhlak sebagai
berikut :
“ Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah
melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Apabila perilaku tersebut
mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik
6
Ibid, h . 179.
7
Ahmad Mansur Noor, op.cit, h.7
59
menurut akal maupun tuntunan agama, perilaku tersebut
dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang
dikeluarkan itu jelek, maka perilaku tersebut dinamakan
akhlak yang jelek”.8
Bagi ummat Islam dasar penilaian baik dan buruknya bagi
perbuatan adalah kembali kepada kitab yang menjadi pegangan
dasarnya yaitu Al-Qur‟an dan sunnah, bahwa apa yang dinyatakan
baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi umat manusia, demikian
pula sebaliknya.
Dalam beberapa ayat dalam al-Qur‟an yang menjadi
landasan ajaran moral, misalnya :QS. Al-Qalam (29 ) : 4 dan
ِ‫ع‬
)4(‫ظي ٍم‬
َ
‫َّك لَ َعلى ُخلُ ٍق‬
َ ‫َوإِن‬
Terjemahnya
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung”
dan juga sabda Rasulullah Saw.
ِ
‫َخالَ ِق‬
ْ ‫عش ألََتّ َم َم َكا ِرَم األ‬
َ َ‫إََِّّنَا ب‬
“Tidak aku utus kecuali hanya untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia“ (HR. Bukhari, Ahmad dan Baihaqi)
Hal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa akal manusia
senantiasa berubah, penilaian baik dan buruk juga selalu berubah
bagi masyarakat yang tidak mempunyai dasar yang tetap dan
kokoh. Kebaikan maupun keburukan dalam arti sebenar-benarnya
hanya Allah yang mengetahui, dengan demikian bersandarkan
kepada keputusan Allahlah pemikiran baik dan buruk tersebut.
Dalam kuliah kelima Coulson yang membicarakn masalah
hukum dan moralitas, Coulson mengangkat contoh kepada
8
Lihat al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid III (Indonesia : Dar Ihya‟ Al-Kutub alArabiyah, t.th.) h. 52. Bandingkan dengan tulisan Hammudah Abddallati, Islam
Suatu Kepastian, cet.I (Jakarta. Media Dakwah, 1983),h. 89
60
keputusan House of Lords, Shaw direktur Public of Prosecution,
1962. dimana Mr. Shaw telah menysun sebuah buku kecil ; Ladies
Directory, yang mendata nama dan alamat tempat-tempat pelacuran
dengan memuat foto porno dan indikasi-indikasi ringkas tentang
praktek-praktek seksual tertentu mereka.9 Hal ini berimplikasi
pada tindakan hukum, M. Shaw dinilai melakukan kesalahan
dengan mempublikasikan artikel cabul, Mr. Shaw juga dihukum
karena kejahatannya bekerjasama untuk merusak moral
masyarakat.
Karena kejahatannya untuk merusak moral masyarakat ini
menimbulkan pertanyaan yang fundamental. Benarkah fungsi
hukum untuk menyelenggarakan standar-standar moralitas
konvensional dengan mengukuhkan penyimpangan-penyimpangan
terhadapnya, khususnya dalam kasus-kasus immoralitas seksual
seseorang yang tidak menyebabkan kerusakan atau kejahatan bagi
orang lain.10 Bagi masyarakat Barat, penyimpangan-penyimpangan
seksual, bahwa tingkah laku homoseksual di kalangan orang
dewasa adalah tidak lagi ditanggap sebagai tindak pidanan. Hal ini
sangat bertolak belakang dengan apa yang hukum Islam gariskan
secara ketat atas moralitas seksual dalam hukuman barat.
Alasan- alasan Coulson, bahwa di dalam al-Qur‟an tidak
ada perbedaan yang jelas antara moral dan peraturan hukum.
Bahwa al-Qur‟an membicarakan hal-hal fundamental; untuk
membedakan yang hak dan bathil, baik dan buruk,yang pantas dan
yang tidak pantas. Sehingga menutupi norma-norma tingkah laku
dengan konsekuensi-konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus,
sanksi-sanksi hukum yang ketat dipaksakan kepada sutau tindakan
atau kelalaian.seperti pada hukuman Dera, karena menuduh orang
lain berzina atau pemotongan tangan bagi pencuri. Namun secara
umum ajaran al-Qur‟an semata-mata menunjukkan strandar tingkah
laku yang dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh Allah dan
menyatakan hasil-hasil yang ditimbulkannya baik yang disukai
maupun yang tidak disukai oleh Allah. Jadi minum khamar adalah
dosa dan sangat dibenci; bunga diharamkan ; ketaatan seorang
9
10
M. Muslihuddin, op.cit, h. 178
Ibid, h. 179
61
isteri pada suaminya adalah kebajikan;orang yang mengambil hak–
hak anak yatim secara bathil akan dibakar di dalam api.11
Selanjutnya Coulson mengomentari bahwa dengan merujuk
pada nilai-nilai dan standar-satandar nyata yang menopang
kehidupan masyarakat. Bahwa nilai dan standar tersebut tidak
selalu dan tidak semata-mata unsur-unsur tersebut yang akan
dilaksanakan oleh pengadilan. Seringkali ada kekuatan yang lebih
dahsyat memaksa ketaatan kepada standar tingkah laku dari pada
paksaan hukum.12 Patut diketahui, dalam masyarakt Islam, hukum
bukan hanya faktor utama melainkan faktor pokok yang
memberikannya bentuk. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai
dengan kitab hukum yakni al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tidak
ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan
karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam
memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh
bertentangan dengan syarat-syarat yang termaktub dalam AlQur‟an dan Sunnah.13
Dari keterangan tersebut, nyatalah bahwa hukum Islam
menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap
haluannya, karena sesungguhnya Islam tidak berjalan dengan
sendirinya; tidak hanya tergantung pada masyarakat atau pada
manusianya saja.
Dengan demikian ucapan Coulson tidaklah konsisten ,
karena untuk menunjukkan bahwa fungsi hukum sebagai
penyelengara moral, ia mengakui hukum Islam membentuk prinsipprinsip penyelenggaraan yang ketat atas moralitas seksual dengan
hukuman berat bagi pezina. Namun kemudian ia menyatakan
bahwa pelanggaran-pelanggaran itu tidak disertai dengan sanksi
hukum. Tetapi segera ia mengakui bahwa seringkali, ada
ketentuan-ketentuan yang lebih kuat untuk memaksakan kepada
standar tingkah laku dibandingkan paksaan hukum.
11
Ibid, h. 180
12
Ibid
13
Ibid. Lihat pula Faturrahman Djamil, op.cit h. 154
62
Contoh hukum Islam yang sangat mengutamakan moralitas
adalah dalam hukum pidana Islam,14 yaitu adanya ketentuan bahwa
orang yang melakukan zina diancam dengan pidana cambuk seratus
kali di depan umum.15 Bahwa perbuatan zina dinilai sebagai
perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk yang ditempuh
manusia bidab16 . Memakan riba dilarang karena merupakan
kezaliman terhadap kaum lemah 17. Hukum Islam melarang
14
Ahmad Azhar Basyir,Refleksi Atas Persoaalan Keislaman, Cet. II
(Bandung Mizan, 1994), h. 137- 138.
15
Qs. An-Nur (24) : 2
ِ ‫الزِاِن فَاجلِ ُدوا ُك َّل و‬
‫اَّللِ إِ ْن ُكْنتُ ْم‬
َّ ‫اح ٍد ِمْن ُه َما ِمائَةَ َج ْل َدةٍ َوََل تَأْ ُخ ْذ ُك ْم ِبِِ َما َرأْفَةٌ ِِف ِدي ِن‬
َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
َّ
ْ
َ
ِِ
ِ ِ
ِ ِ َِّ ِ‫تُؤِمنُو َن ب‬
)2(‫ني‬
ْ
َ ‫اَّلل َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر َولْيَ ْش َه ْد َع َذابَ ُه َما طَائ َفةٌ م َن الْ ُم ْؤمن‬
Terjemahannya :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
dari orang-orang yang beriman”.
16 Qs. Al-Isra (17) : 32
ِ َ‫ف‬
)22(‫يال‬
ً ِ‫اح َشةً َو َساءَ َسب‬
ِّ ‫َوََل تَ ْقربُوا‬
‫الزنَا إِنَّهُ َكا َن‬
َ
Terjemahannya :
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
17 Qs. Al-Baqarah (2) : 278 – 279
ِِ
ِ ‫اَّللَ َوذَ ُروا َما بَِقي ِم َن‬
‫)فَِإ ْن ََلْ تَ ْف َعلُوا فَأْذَنُوا‬272(‫ني‬
َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّ ِذي َن ءَ َامنُوا اتَّ ُقوا‬
َ ‫الربَا إِ ْن ُكْنتُ ْم ُم ْؤمن‬
ّ
َ
ٍ ِ
ِ ِِ َِّ ‫ب ِمن‬
)272(‫وس أ َْم َوالِ ُك ْم ََل تَظْلِ ُمو َن َوََل تُظْلَ ُمو َن‬
َ ‫ِبَْر‬
ُ ُ‫اَّلل َوَر ُسوله َوإ ْن تُْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُرء‬
Terjemahannya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
63
pedangang mengurangi hak pembeli, baik dalam takaran,
timbangan maupun ukuran 18
Berangkat dari pengertian moralitas ada tatanan hahikat
hukum Islam, maka menurut teori klasik, hakikat hukum Islam
adalah perintah Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
Saw. Hukum Islam merupakan sistem ketuhanan yang mendahului
negara Islam dan tidak didahului olehnya, mengontrol masyarakat
Islam dan tidak dikontrol olehnya. Demikian pula tentang Khalifah
dan Yurisprudensi, titik pangkalnya adalah asumsi bahwa hak-hak
dan kewajiban ditentukan oleh Allah.
Pemahaman tentang hukum Islam dalam tinjauan antara
hukum dan moralitas telah melembaga dalam benak para ahli
hukum Islam, yang kemudian pada wacana berikutnya dihadapkan
pada hukum buatan manusia.
B. Urgensi Moral dalam Hukum: Tinjauan Masa Pertengahan
Masyarakat sering berubah dari satu ke lain bentuk, baik
secra historis maupun ideologis. Dalam masyarakat teokrasi dan
totaliter, pengaturan tentang praktis sosial dapat menjadi masalah
menonjol dalam tatanan politik. Sedangkan dalam demokrasi
liberal kontemporer homoseksual yang berlangsung secara pribadi
mungkin dipandang tidak terkait dengan tatanan publik.19 Orangkamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Lihat Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung
:PT. Syaamil Cipta Media, 2004), h.47
18 QS. Hud (11) ; 85
ِ ِ ِ ِ َ ‫ويا قَوِم أَوفُوا الْ ِمكْي‬
ِ ‫َّاس أَ ْشيَاءَ ُه ْم َوََل تَ ْعثَ ْوا ِِف ْاألَْر‬
ِ َ
ْ ْ ََ
َ ‫ال َوالْم َيزا َن بالْق ْسط َوََل تَْب َخ ُسوا الن‬
ِِ
‫ين‬
َ ‫ُم ْفسد‬
Terjemahannya:
“Dan Syu`aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di
muka bumi dengan membuat kerusakan.”
19
Lihat, Friedman, Legal Theory, edisi kelima (London ; t.tp., 1967),
h.47
64
orang sparta menyetujui homoseksual karena mereka percaya
bahwa hal itu meningkatkan keberanian dalam berperang20
Kemakmuran masyarakat tidak perlu tergantung pada
kerasnya hukum melainkan pada kebenaran yang didasarkan oleh
ketakwaan. Karena itu, syari‟ah merupakan tatanan tingkah laku
moral sedangkan takaran sebagai standar bagi pertimbangan
tindakan manusia.
Keadilan merupakan perpaduan yang ideal antara hukum
dan moralitas, yaitu Islam memiliki standar keadilan mutlak karena
berdasarkan pada norma-norma baik dan buruk yang didukung oleh
wahyu dan prinsip-prinsip hukum yang fundamental.21 Islam
tidaklah untuk menghancurkan kebebasan individu melainkan
mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari
individu itu sendiri.
Berangkat dari masyarakat yang mengalami perubahan
bentuk, dalam teori hukum, positivisme dan idelasime digambarkan
saling ketergantungan. Teori-teori idealistik didasarkan pada
prinsip-prinsip keadilan yang sangat berkaitan dengan hukum yang
seharusnya.22 Menurut Purnadi Purbacaraka, sejalan Islam keadilan
sebagai idealis antara hukum dan moralitas, sebagaimana filsafat
hukum idealis mempergunakan metode deduksi dalam menarik
hukum dari azas-azas yang didasarkan pada manusia sebagai
mahkluk etis rasional.23
Dengan demikan paham positivisme dilhami, oleh
pandangan-pandangan tentang hukum yang bertentangan paham
positivisme analitik tidak mempermasalahkan dasar-dasar kaidah
hukum tetapi lebih kepada analisis konsep-konsep dan hubunganhubungan hukum atas dasar pemisahan yang ketat antara kenyataan
(das Sein) dengan hal yang diharapkan (das Sollen), karenannya ia
dipisahkan dari keadilan dan etika.24 Namun demikian, hukum
20
Ibid, h. 48
21
Lihat dalam Muhammad Muslihuddin,op.cit., h. 65
22
Faturrahman Djamil,op.cit, h. 62
23
Purndi Purbacaraka, Soerjono Sokarno,Renungan tentang Filsafat
Hukum, ed.rev., cet.IV (Jakarta : Rajawali, 1987), h. 33
24
Ibid, h.34
65
alam hadir sebagai hukum yang ideal dan lebih tinggi untuk
digunakan sebagai standar keadilan yang didasarkan pada akal
yang selalu berubah sehingga mengalami ketidaksempurnaan.
Sebagai kriteria untuk membedakan baik dan buruk,
Syari‟ah merupakan kumpulan hukum-hukum Tuhan yang
mengkombinasikan hukum sebagai adanya dan hukum sebagai
yang seharusnya, serta mempertahankan perintah dan keadilan.
Bahwa possitivisme dan idealisme, antara hukum dan moralitas
dalam hukum Islam benar-benar harmonis antara satu sama lain.25
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Syams
(91) : 7 –10 Syari‟ah adalah hukum positif itu sendiri karena
keadilan menjadi tujuannya, dengan demikian hukum Islam
menjadi penitg karena hukum Islam itu adalah positif dalam bentuk
ideal.
Konsep baik dan buruk juga dikemukakan oleh para ahli
ilmu Kalam, lebih berpengaruh terhadap konsep maslahat yang
dikemukan oleh ahli ushul Fiqh dari kalangan mazhab kalam
tertentu. Ibn Taimiyah, yang dikenal sebagai pengikut Hambali dan
Asy‟ari berpendapat bahwa keburukan (al-Fahsya) yang dilarang
oleh al-Qur‟an, pada hakikatnya merupakan perbuatan yang buruk
dari segi esenssinya.26
Kemudian pendapat Ibn Taimiyah ini dikembangkan oleh
Ibn Qayyim sebagai muridnya. Ia berpendapat bahwa sesuatu yang
halal pasti baik sebelum ditetapkan halalnya oleh wahyu, begitu
pula sesuatu yang buruk memang sudah buruk sebelum diharamkan
oleh wahyu. Sebagai contoh bahwa bahaya khamar dan judi serta
kejinya zina merupakan sesuatu yang sudah demikian adanya, baik
sebelum maupun sesudah adanya nash. Berbeda dengan pendapat
Ibn Hazm al- Zahiri, ia sependapat dengan prinsip teori Asy‟ariyah
yang menyatakan bahwa jadi, khamar tidak dapat ditetapkan
bahayanya, sebelum ayat al-Qur‟an tentang haramnya khamar dan
25
Muhamad Muslihuddin, op.cit., h.XI
26
Ibn Taimiyah, Majmu Fatwa Ibn Taimiyah (Rabat : Maktabah alMasrif, tth), h.8
66
judi diturunkan27. Adapun Mu‟tazilah berpendapat bahwa baik dan
buruk adalah dua esesnsi yang dapat ditetapkan oleh akal bahwa
segala sesuatu, baik itu benda maupun perbuatan atau tindakan
senantiasa disifati oleh kemaslahatan atau kemafsadatan sebelum
syarai‟at datang.28 Dalam hal ini, akal dapat mengetahui maslahat
atau mafsadat bahkan dapat menetapkan keduanya. Namun
pernyataan mereka itu terbatas pada sesuatu perbuatan yang
maslahat dan mafsadatnya dapat ditentukan oleh akal, bahwa ada
juga hukum syara‟ yang hanya ditetapkan oleh wahyu.
Dengan demikian pada masa pertengahan ini, terlihat bahwa
maslahat dan mafsadatnya merupakan illat yang berpengaruh
terhadap penetapan hukum, yang diarahkan terhadap tujuan hukum
yang ditetapkan Tuhan untuk kemaslahatan manusia. Jadi bukanlah
merupakan suatu konflik atau ketegagangan.
C. Hukum Islam dan Perubahan Sosial : Tinjauan antara
Hukum dan Moral pada masa Modern.
Masyarakat senantiasa mengalami perubahan,29 perubahan
itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi
dan lain-lainnya. Ibn Qayyin menyatakan perubahan fatwa adalah
karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan. Yang
dimaksud adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan
berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan seorang mufti.
Namun hal ini tidak berarti bahwa hukum akan berubah begitu saja,
27
Faturrahman Djamih, op.cit., h. 160. Bandingkan dengan kitab Ibn
Hazm, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz VIII (Kairo : MAthba‟ah al – „Aslimah,
t.th.), h.88
28
Ibid, h. 161
29
Nabi Muhammad Saw, pernah mengatakan bahwa setiap seratus tahun
(seabad) akan ada orang yang bertugas memperbaharui pemahaman keagamaan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari para ahli linguistik dan semantik
bahwa bahasa akan mengalami perubahan setiap sembilan puluh tahun. Lihat
Harun Nasution, Dasar Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam, dalam M. Yunan
Yusuf, et.al. (editor) (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1985), h. 19.
67
tanpa memperhatikan norma, etika yang terdapat dalam sumber
hukum Islam : al-Qur‟an dan Hadits serta melihat aspek
kemaslahatan atau kemafsadatannya.
Menurut Coulson, masalah umum tentang hubungan antara
hukum dan moralitas juga mencakup masalah jangkauan di mana
hukum harus mengaitkan dirinya dengan tujuan dan motif yang
mendasari. Oleh aliran Hambali, mengatakan bahwa pengaruh
hukum dari suatu tindakan atau transaksi harus tergantung pada
motif atau tujuan yang mngilhaminya, ini merupakan sikap
moralitas. Sedangkan hukum harus menerima dan mengatur
tindakan-tindakan masyarakat berdasarkan pada nilai lahirnya
merupakan sikap formalis yang disikapi oleh aliran Hanafi.30
Sebagai contoh dari masalah diatas, kasus penipuan hukum
atau Hiyal dengan tujuan utama untuk menghindari peraturan
hukum yang sesungguhnya. Contoh yang diangkat tentang
penipuan hukum ini dari bidang hukum keluarga. Seorang suami
yang telah bercerai isterinya dengan talak tiga, baik pada saat yang
sama maupun terpisah tidak diperbolehkan mengawininya kembali.
Halangan untuk menikah timbul antara pasangan yang bercerai
yang bisa hilang hanya jika, setelah bekas isterinya menikah
dengan orang lain dan dengan perkawinan yang sempurna, maka
perkawinan itu berakhir dengan proses hukum yang benar.
Perkawinan selang di pihak bekas isterinya itu untuk membuatanya
sah menurut hukum kembali kepada suami terdahulu yang telah
menjatuhkan talak tiga kali. Adanya peran dari Tahlil (Proses yang
membuat isteri sah menurut hukum kembali kepada suaminya
terdahulu dengan kawin selang). dan mahalli (orang yang membuat
isteri yang dicerai sah menurut hukum kembali kepada suami
terdahulu), yang sifatnya sebagai muslihat.31
Coulson mengatakan, aliran Hambali dan Maliki menolak
hiyal (penipuan hukum) sedangkan aliran Hanafi dan syafi‟i
menekankan tindakan masyarakat menurut keadaan lahirnya, ia
menerima hiyal sebagaimana yang telah diatur hukum, karena hiyal
mungkin mempengaruhi tujuan sosial yang diinginkan.
30
Muhammad Muslihuddin, op.cit, h.183
31
Ibid
68
Ketika hukum tersebut disetujui, maka alasan ini berarti
menyangkal atau berlawanan dengan prinsip yurisprudensi yang
fundamental bahwa maksud atau tujuan yang akan dilayani oleh
hukum adalah keputusan Allah.
Coulson menilai pandangan-pandangan ulama mengenai
hiyal sebagai sesuatu yang diakui oleh hukum, letak kesalahan
Coulson karena ia tidak dapat membedakan antara pendapat dengan
hukum. Apa yang Coulson inginkan ialah bahwa hukum Islam
diinterpretasikan secara rasional dan diturunkan pada posisi hukum
buatan manusia. Ia senang melihat hukum berubah sesuai dengan
perubahan masyarakat dan tunduk padanya. Bahkan Coulson
meremehkan hukum dan mendukung perubahan, contohnnya
pemotongan tangan sebagai hukuman terberat bagi rencana.
Dalam Syari‟ah tidak terdapat konflik atau ketegangan,
Coulson salah dalam mengambil pendapat yang berbeda di
kalangan ulama sebagai konflik dan ketegangan dalam hukum.
III. Penutup
Syari‟ah sebagai hukum yang diturunkan Tuhan harus
dipelihara dalam bentuk idealnya sebagaimana diperintahkan oleh
Allah dalam surah QS. Al-Maidah (5) :47, sebab apabila tidak
dipelihara maka akan kehilangan kemampuannya untuk mengontrol
masyarakat yang menjadi tujuan utamanya. Pendapat para
orientalis yang salah itu sebagaian besar dikarenakan oleh fakta;
bahwa kebaikan sejati dapat diketahui secara rasional dan hukum
harus ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan sosial, sedangkan
semua kebutuhan telah disediakan dalam hukum Tuhan yang
mengetahui apa yang benar-benar baik bagi umat manusia. Hukum
Islam sempurna dalam bentuk sepanjang masa. Bahwa kebutuhan
sosial harus ditentukan oleh hukum, bukan sebaliknya, dengan
demikian tidak ada konflik dan ketegangan dalam Syari‟ah.
Salah satu pernyataan orientalis, salah dalam catatannya
menilai bahwa para Sarjana Muslim zaman dahulu tidak berpikir
bahwa mereka harus mendamaikan unsur-unsur yang bertentangan
kebenaran mereka dalam usaha untuk melindungi hukum dalam
bentuk idealnya, karena hukum bertindak sebagai standar
keputusan dan secara otomatis mengesampingkan unsur-unsur yang
bertentangan.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdillati, Hammudah, Islam Suatu Kepastian, cet. I, Jakarta :
Media Dakwah, 1983
Al- Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammd Bin Muhammad AlGhazali, Ihya’, Ulumuddin, jilid III,Indonesia :Dar Ihya‟
Al-Kutub al-Arabiyah, t.th.
Basyir, Ahmad Azhar,Refleksi atas Persoalan Keislaman, cet. II,
Bandung : Mizan, 1994
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung :
PT. Syaamil Cipta Media, 2004
Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997
Friedman, Legal Theory, Edisi Kelima, London :t.tp., 1967
Gibb, H.A.R. Modern Trends in Islam, Chicago ; t.tp, 1974
Muhammad Muslihuddin, Philoshopy of Islamic Law and The
Orientalist, Lahore, Islamica Publication Ltd., 1980
Noor, Ahmad Manshur, Peranan Moral dalam Membina
Kesadaran Hukum, Jakarta : Dirjen Binbaga Islam Depag
RI, 1985
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekarno, Renungan tentang
Filsafat Hukum, edisi revisi, cet.IV, Jakarta : Rajawali,
1987.
Rasjidi, H. M., Keutamaan Hukum Islam, cet. II, Jakarta. Bulan
Bintang, 1980
70
Download