BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN KONFLIK Dalam bab ini akan dibahas dua topik utama, yakni a). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik yang dilakukan baik oleh UKSW maupun oleh paguyuban etnis di Salatiga dan b). Berdasarkan hasil analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik, akan dibuat suatu konstruksi pemikiran tentang Salatiga: Indonesia Mini yang Beriman. 6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Konflik Berdasarkan dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor yang turut mempengaruhi pengelolaan konflik di lingkungan UKSW. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, Kertiban, faktor ini berkaitan dengan pemahaman bahwa setiap kelompok etnis tentu memiliki identitas budaya yang mendasari interaksi dan interelasi mereka dengan kelompok etnis lain, sehingga pengelolaan (konflik) entis perlu dilakukan dalam kerangka pertemuan budaya yang berbeda itu. Hal ini bertujuan menghadirkan situasi yang tertib dan kondusif; kedua, Keamanan, faktor ini juga dilatar belakangi oleh kehadiran UKSW sebagai Indonesia Mini. Kepelbagaian suku dan etnis yang ada dan hidup bersama di Salatiga tentu berimplikasi pada gesekan-gesekan yang dapat menimbukan ketidak-nyamanan kehidupan sosial. Sebab itu, perlu pendekatan pengelolaan yang baik demi terciptanya kehidupan bersama yang tertib dan aman. Namun perlu ditekankan bahwa pengelolaan konflik yang dilakukan bukan berbentuk pendekatan keamaan, tetapi dilakukan atas dasar nilai bersama yang dimiliki UKSW sebagai sebuah persekutuan ilmiah. Faktor ketiga, Keharmonisan, kehidupan bersama dengan the other, liyan itu harus dikelola demi menciptakan kondisi yang harmonis. Salatiga adalah kota dengan semboyan HATI BERIMAN, dengan demikian, kepelbagaian suku, etnis bahkan institusi-institusi yang ada perlu berkontribusi dalam menjaga dan mewujudkan semboyan itu. Selain itu, visi misi UKSW yang bertujuan menciptakan manusia dengan ciri creative monority mendorong segenap civitas akademika UKSW untuk berprilaku layaknya orang-orang yang creative. Kekreativitasan itu, salah satunya diarahkan pada 88 tujuan saling bertoleran dalam kehidupan bersama. Toleransi yang tinggi berimplikasi pada harmoni kehidupan bersama, sebab itu kepelbagaian atau kebhinekaan perlu dikelola. Keempat, Kekondusifan Proses Belajar Mengajar. Pola pengelolaan konflik yang dilakukan, baik oleh pihak UKSW maupun etnis juga dilatari oleh kesadaran akan proses belajar mengajar yang kondusif. Menciptakan proses belajar megajar yang kondusif akan berimplikasi pada terbentuknya individu-individu yang creative monority itu. Berdasarkan hal di atas, maka beberapa sub topik perlu dianalisis lebih lanjut, diantaranya: a) faktor kertiban dan keamanan, b) faktor keharmonisan dan c) faktor kekondusifan Proses Belajar Mengajar. 6.1.1. Faktor Ketertiban dan Keamanan Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak akan lenyap dari sejarah. Selama manusia masih hidup, maka cukup sulit rasanya untuk menghapuskan konflik. Konflik berupa intrapersonal, interpersonal dan konflik antar kelompok merupakan bagian yang tidak akan terlewatkan dalam kehidupan manusia. Berbagai macam hal seperti perbedaan selera, perbedaan pendapat, dapat mengakibatkan konflik yang kemudian berujung pada tindakan kekerasan. Kekerasan nampaknya bukanlah hal asing bagi masyarakat Indonesia, sejarah mencatat telah terjadi berbagai peristiwa kekerasan sejak zaman raja-raja hingga era demokrasi sekarang ini. Beberapa peristiwa yang lahir akibat konflik yang termanifestasi menjadi kekerasan dalam beberapa tahun belakangan ini seperti yang terjadi di Mesuji Lampung, Tasikmalaya, Kalimantan, dan Bima Nusa Tenggara Barat. Konflik tersebut tercetus akibat berbagai perbedaan (kepentingan, ras, agama, pandangan, status sosial, keadaan ekonomi dan masih banyak lainnya) merupakan faktor-faktor yang acap kali menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam jurang perpecahan. Oleh karenanya, sangat diperlukan pemahaman dan kesadaran akan keragaman dalam upaya merawat ―ketidaktunggalan‖ yang ada di Indonesia. Kesadaran tersebut juga perlu didasarkan pada pemahaman bahwa konflik dan perpecahan sangat berdampak kerugian bagi kedua belah pihak. Scott Lash (2002) berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti ―keberagaman budaya‖. Dia juga berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari 89 keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku, budaya dan bahasa yang berbedabeda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ―ketidaktunggalan‖. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa di lingkungan UKSW terdapat keragaman yang sangat luar biasa, mulai dari suku, ras, agama, bahasa dan budaya, dan kesemuanya berada di satu lingkungan yang sama. Oleh karena itu tak heran jika UKSW dengan lantang menyebutkan dirinya gambaran dari Indonesia atau ―Indonesia Mini‖. ―Ketidaktunggalan‖ yang hidup di lingkungan UKSW sudah tentunya bukan tidak disadari, pastinya sangat disadari oleh setiap individu atau kelompok yang tinggal di dalamnya. Apalagi dengan bentuk UKSW yang tergolong kampus kecil, dengan intensitas pertemuan yang sering menjadikan kita akan mengerti bahwa di lingkungan UKSW terdapat sebuah keragaman. Keragaman disisi lain adalah baik, jika saja keragaman tersebut dapat terkelola dengan baik, namun jika tidak maka masalah akan muncul dan menjadikan yang beragam tidak baik. Jika kita melihat pada negara Indonesia, pemahaman mengenai keragaman tersebut sudah tentunya lahir sejak awal mula akan dibentuknya NKRI, karena dengan pemahaman mengenai keberagaman dan keinginan untuk bersatu itulah akhirnya terbentuk sebuah NKRI. Indonesia lahir dengan keragaman bangsa-bangsa yang tinggal di belahan Nusantara, yang akhirnya setelah adanya persamaan nasib dan keinginan bersatu, lahir menjadi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Pemahaman mengenai keragaman sudah tentunya harus lahir dari setiap individu yang hidup di lingkungan multikultural, karena jika tidak maka akan berdampak pada perpecahan dan konflik antar kelompok. Di lingkungan UKSW yang beragam, kesadaran mengenai ―ketidaktunggalan‖ nampaknya belum sepenuhnya tumbuh pada setiap individu atau kelompok yang ada, hal tersebut terbukti dengan adanya catatan kepolisian kota Salatiga yang menunjukan adanya rentetan konflik yang dilakukan oleh kelompok etnis yang berada di lingkungan UKSW. Selain itu, berdasarkan pada 90 pengamatan lapangan dapat dikatakan bahwa individu atau kelompok yang ada di lingkungan UKSW nampaknya belum mampu sepenuhnya memberbaur dengan individu atau kelompok yang berbeda. Kecenderungan bergerombol sesuai dengan kelompok, suku, asal daerah masing-masing masih sangat tinggi, itu mungkin juga yang menjadi penyebab ketidakmampuan individu atau kelompok yang ada di lingkungan UKSW memahami secara utuh mengenai ―ketidaktunggalan‖ yang ada. Bagi siapapun yang hidup di dunia ini sudah tentunya mengharapkan kondisi lingkungan tempat tinggal yang tertib dan aman, karena setiap individu pasti mengharapkan sebuah kondisi lingkungan yang nyaman. Hal tersebut didukung dengan banyaknya teori-teori manajemen (pengelolaan) terhadap sebuah kelompok atau organisasi, yang tentunya dari kesemua itu mengharapkan sebuah kondisi yang nyaman. Upaya-upaya yang dilakukan oleh UKSW, kelompok etnis, Kepolisian atau bahkan pemerintah daerah dalam konteks pengelolaan konflik dalam pergaulan multikultural di Salatiga merupakan upaya-upaya yang bertujuan pada sebuah kondisi yang tertib dan aman. Ketertiban dan keamanan merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab dilakukan pengelolaan konflik di lingkungan UKSW yang multikultural, karena semua orang yang hidup pasti membutuhkan kondisi hidup yang tertib dan aman. Terkait dengan pengelolaan konflik dengan tujuan menciptakan ketertiban dan keamanan, upaya yang dilakukan oleh UKSW seperti yang diungkapkan Umbu Rauta adalah sebagai berikut: ―Sebenarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan yang dilakukan oleh UKSW salah satunya adalah faktor keamanan dan ketertiban. Salatiga inikan sangat kecil, dan tentunya yang diharapkan adalah terjaganya sebuah kemanan dan ketertiban. Semua orang tentunya mengharapkan perdamaian, oleh karena itu kami turut berupaya menciptakan perdamaian. Selain itu adalah faktor kekeluargaan, sebagian besar mahasiswa yang berkonflik ini jika kita amatikan berasal dari Indonesia bagian Timur, sedangkan kami dengan para senior etnis sangat dekat, nah faktor kedekatan itulah yang kami jaga, oleh karena itu upaya pengelolaan yang kami lakukan juga lebih melibatkan para senior etnis. Selain itu juga agar tidak mengganggu perkuliahan mahasiswa, kalau konflik pasti kuliahnya terganggu‖. 91 Ketertiban dan keamanan merupakan hal penting dalam sebuah kehidupan yang beragam, karena ketertiban dan keamanan secara langsung maupun tidak langsung dapat berdampak pada hal yang lain, seperti proses belajar mengajar. Setiap mahasiswa yang menjadi bagian UKSW memiliki tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pelajar, dimana harapan dari semua itu adalah menghasilkan pengetahuan yang beguna bagi kehidupan setelah keluar/lulus dari UKSW. Kondisi yang tertib dan aman secara tidak langsung akan berdampak pada PMB yang baik, karena tanpa adanya konflik seluruh mahasiswa menjadi fokus pada proses perkuliahan. Sedangkan Yafet Y.W. Rissi dalam hal pengelolaan konflik yang bertujuan untuk ketertiban dan keamanan juga mengatakan bahwa: ―Ya sebenarnya ini kan hanya tanggungjawab moral aja ya, tidak harus satu tanggung jawab legal dari UKSW dalam hal ini PRIII untuk membantu atau membina etnis-etnis tetapi ini tanggungjawab moral, tanggunjawab bersama sebagai kampus karena bagaimanapun juga kalo etnis-etnis ini damai, etnis-etnis ini bisa membangun kehidupan sosialnya dengan harmonis, bisa bertoleransi antar yang satu dengan yang lain atau bisa berterima antar yang satu dengan yang lain, maka ia juga akan memberikan dampak positif bagi kehidupan di kampus karena sering kali terjadi bahwa justru konflik antar etnis di luar itu kemudian juga terbawa ke dalam kampus atau sebaliknya. Konflik yang terjadi di dalam kampus kemudian terbawa keluar. Sehingga saya kira memang, apalagi sekali lagi kalau organisasi di luar, kita tidak punya tanggungjawab hukum tapi tanggungjawab moral, kita untuk terus bekerjasama membina kehidupan bersama yang jauh lebih baik yang bertoleran antar yang satu dengan yang lain. Faktor terpenting dari pengelolaan ini adalah, ketertiban dan kemanan itu sudah pasti, seperti yang sudah saya katakan tadi bahwa faktor tersebut akan berpengaruh pada keharmonisan. Hal tersebut menjadi faktor penting dalam pengelolaan karena hal tersebut akan berdampak pada kekondusifan proses belajar mengajar, kita semua mengharapkan kondisi PBM yang lancar, tertib dan aman, dan kalau terjadi konflik kan pasti tidak aman, oleh karena itu kami mengelola konflik agar semuanya berjalan dengan baik. Ya sebenarnya itu saja ya tanggungjawab moral kita disini‖. Ketertiban dan keamanan dalam sebuah kehidupan yang multikultural nampaknya tidak semata-mata menjadi tugas instansi atau lembaga tertentu, melainkan menjadi tugas dan tanggungjawab bersama. Peran masyarakat juga sangat penting dalam menjaga ketertiban dan keamanan, yang tentunya didukung oleh lembaga lain seperti pihak kepolisian, kamtibnas atau satuan Polisi Pamong Praja. Gagasan mengenai cara 92 merawat Indonesia dengan cara merawat keragaman yang dikemukakan oleh Azra (2007) tentunya tidak lepas dengan hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban dan keamanan, karena dengan kita menjaga ketertiban dan kemanan secara tidak langsung kita juga merawat Indonesia. Berkaitan dengan persoalan ketertiban dan kemanan, tentunya kita bisa katakan bahwa di Indonesia yang multikultural belum sepenuhnya terjadi ketertiban dan keamanan, rentetan konflik yang melibatkan banyak orang dan tak jarang memakan korban jiwa yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia merupakan bukti bahwa belum terjadinya ketertiban dan keamanan yang baik. Berkaitan dengan keinginan menjadi wilayah yang tertib dan aman dalam kondisi kehidupan yang multikultural di Salatiga, pihak kepolisian resort kota Salatiga melalui IPDA Sulistiyono SH mengatakan bahwa: ―Kami sebagai pihak berwajib yang tugasnya adalah menciptakan perdamaian dan keamanan tentunya itu yang mendorong kami untuk melakukan pengelolaan terhadap konflik. Memang kita menyadari bahwa Salatiga meskipun kota kecil, akan tetapi kehidupan yang ada sangat beragam, dan kenyataan tersebut seharusnya memang dikelola dengan baik. Semua orang tentu mengharapkan adanya ketertiban dan kemanan, dan hal tersebut merupakan tugas kami sebagai pihak kepolisian, akan tetapi sebenarnya harus disadari juga bahwa untuk menciptakan lingkungan yang tertib dan aman bukan hanya menjadi tugas kami, melainkan seluruh elemen masyarakat harus turut berpartisipatif dalam menciptakan kondisi yang kita inginkan. Konflik tidak akan terjadi di Salatiga seandainya kesadaran tersebut dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat, namun karena masih kurangnya kesadaran itu timbulan konflik-konflik kecil yang tidak diinginkan‖. Ketertiban dan keamanan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tugas negara adalah menciptakan keamanan dan ketertiban. Bahkan pemerintah diberikan kewenangan penuh untuk menegakkan hal tersebut, yang tentunya didukung sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat dan kelompok yang ada. Konflik kelompok etnis mahasiswa yang terjadi di Salatiga sebagian berawal dari persoalan pribadi, yang kemudian berubah menjadi persoalan kelompok karena adanya dorongan solidaritas kesukuan atau kedaerahan. Pada konflik-konflik yang terjadi, salah satu pemicunya adalah karena minuman keras, berkaitan dengan hal tersebut IPDA Sulitiyono SH juga mengatakan bahwa: 93 ―Jika kita lihat kasus-kasus konflik yang terjadi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa sebenarnya dipicu oleh salah satunya minuman keras. Oleh karena itu dalam satu pertemuan kita selalu menghimbau kepada teman-teman agar tidak terlalu sering atau banyak mengkonsumsi minuman keras, tugas utama adalah kuliah bukan hura-hura dengan alkohol. Untuk mengatasi hal tersebut, kami selalu melakukan patroli di lokasi-lokasi yang banyak dihuni mahasiswa, seperti daerah Kemiri atau daerah Margosari. Harapannya dengan adanya patroli tersebut selain terhindar dari tindak pencurian juga untuk menciptakan kota Salatiga yang tertib dan aman. Selain itu juga kita berencana akan bekerja dengan pihak kampus untuk mendirikan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat di dalam kampus, tujuannya adalah agar ketika terjadi masalah dapat dislesaikan ditempat tersebut, selain itu juga dapat membantu menjaga ketertiban dan keamanan.‖ Berdasarkan pada keterangan-keterangan di atas, seluruhnya berujung pada keinginan untuk menciptakan sebuah kondisi atau lingkungan yang tertib dan aman. Pada kehidupan yang multikultural, kondisi yang tertib dan aman hanya akan tercipta jika saja seluruh elemen yang tinggal di dalamnya mampu untuk hidup saling menghargai dan menghormati perbedaan, karena hanya dengan cara itu akan tercipta sebuah kondisi yang tertib dan aman. Dalam sebuah kondisi lingkungan yang multikultural, menurut hemat penulis nampaknya sangat diperlukan pendekatan yang multidemensi atau dengan pendekatan holistik diantaranya dengan perspektif multikultural. Pendekatan dengan cara holistik dirasa sangat tepat dalam penyelesaian masalah konflik dalam kehidupan multikultural, karena dalam pendekatan holistik, konflik tidaklah dianggap sebagai suatu masalah. UKSW sebagai lembaga pendidik memiliki tugas dan tanggungjawab penuh terhadap itu, akan tetapi tugas dan tanggungjawab tersebut akan menjadi sulit terlaksana jika tidak didukung oleh seluruh lapisan atau manusia yang tinggal di dalamnya. Kesadaran akan pentingnya ketertiban dan keamanan harus dimiliki oleh seluruh bagian UKSW, yang tentunya didukung dengan upaya-upaya penyadaran yang dilakukan oleh UKSW. Dengan berkembangnya kesadaran akan ketertiban dan keamanan maka keragaman yang ada akan menjadi baik, dan dampak negatif dari keragaman juga dapat terminimalisir, sehingga seluruh elemen yang terkandung di dalamnya dapat menjalankan perannya masing-masing dengan baik tanpa rasa takut, karena dengan adanya kesadaran akan ketertiban dan kemanan sudah pastinya akan menghasilkan 94 kehidupan yang harmonis. Berkaitan dengan hal tersebut, Rusdiani Umbu Riada pengurus kelompok etnis mahasiswa Sumba mengatakan bahwa: ―Ketertiban dan keamanan memang merupakan hal penting, karena setiap manusia dimanapun dia tinggal pasti mengharapkan hal tersebut. Saya secara pribadi maupun secara organisasi sangat sepakat dengan gagasan membangun ketertiban di lingkungan UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya, itu juga yang kami selalu tanamkan kepada seluruh anggota PERWASUS, bahwa dimanapun kita berada kita harus bisa menjaga ketertiban dan keamanan, apalagi kita datang ke Salatiga tujuannya untuk kuliah, sebagai kaum akademisi tentunya kita harus mampu menempatkan diri sebagai akademisi dalam kaitannya dengan menjaga ketertiban dan keamanan. Persoalannya, kami cukup merasa kerepotan (mungkin dialami juga oleh kelompok etnis mahasiswa yang lain juga) dalam membina adikadik yang baru, sirkulasinya kadang susah diatur, bahkan kami secara organisasi kurang mampu menjangkau mereka, apalagi mereka yang masih baru dengan latar belakang kedaerahan yang masih sangat kental, ini juga salah satu masalah yang susah diatasi, nanti kalau sudah kena konflik baru datang minta tolong bantu selesaikan. Akan tetapi sejauh ini kami secara organisasi sebisa mungkin ikut serta dalam menciptakan kondisi yang tertib dan aman, agar aktivitas yang lain juga tidak terganggu.‖ Melihat pada pengelolaan konflik yang dilakukan oleh UKSW bersama pihakpihak lain dengan kesadaran untuk menciptakan suatu kondisi yang harmonis di lingkungan UKSW dan Salatiga, nampaknya upaya-upaya yang dilakukan masih belum maksimal. Hal tersebut dikarenakan masih saja terjadi konflik (baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat) meskipun berbagai pihak telah berupaya mengelola keragaman agar tidak terjadi konflik. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mengidentifikasi bahwa hal tersebut dikarenakan ketidak kompakan antar pihak dalam upaya mengelola keragaman. Berdasarkan identifikasi tersebut, dapat dijelaskan seperti pada bagan berikut: 95 Bagan 6.1 Identifikasi Masalah POLISI/PEMKOT PENYEBAB: -Miras -Ego -Kurang mampu memahami perbedaan -Pacar -Bahasa, DLL KERAGAMAN UKSW -Etnis -Suku -Bahasa -Budaya KONFLIK PRIBADI PENDUKUNG: Solidaritas kesukuan/ kedaerahan PENGELOLAAN KONFLIK UKSW: ekspo budaya, dialog antar kelompok, kegiatan akademik, pendekatan senior, program LK, kerjasama dengan lembaga lain (Polisi). ETNIS: Sharing, Ibadah rutin, acara etnis, peran senior, olah ragam, keakraban. KONFLIK KELOMPOK FAKTOR PENGELOLAAN -Keteriban dan keamanan -Keharmonisan -Kondusifitas PBM -Merawat Keragaman UKSW PROGRAM BERSAMA -Dialog/seminar -Kegiatan akademik -Pesta Budaya -Kegiatan Keagamaan ETNIS HARMONISASI Indonesia Mini Hati Beriman MASIH KONFLIK SEBAB: -Sirkulasi anggota -Kehadiran anggota dalam kegiatan -Peran pihak kurang maksimal -Minuman keras -Latar belakang budaya Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi yang harmonis, maka dalam upaya menciptakan kondisi yang tertib dan aman sangat diperlukannya kekompakan dan kerjasama yang baik dengan cara menciptakan program bersama antar lembaga yang terkait dengan upaya pengelolaan konflik dalam lingkup yang multikultural. Disamping adanya program bersama yang akan dijalankan untuk menciptakan kondisi yang tertib dan aman, maka perlu juga dilakukan pemaksimalan fungsi lembaga-lembaga terkait, karena program bersama yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang tertib dan aman akan berjalan dengan baik jika didukung secara maksimal oleh lembaga-lembaga terkait. Jika melihat pada bagan hasil identifikasi, capaian akhir dari upaya-upaya pengelolaan konflik tidak lain adalah untuk sebuah keharmonisan. UKSW dengan ciri Creative Minority yang tinggal di lingkungan Salatiga dengan semboyan kota hati beriman tentu mengharapkan situasi yang aman, tertib dan damai. Hanya saja, jika kita melihat pada fakta lapangan, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab atas terwujudnya kondisi 96 yang tertib dan aman tersebut belum berjalan/bekerja secara maksimal. Yang terjadi justru nampak bekerja sendiri-sendiri, antara pihak UKSW sebagai pemilik keragaman, Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari UKSW, Lembaga Kemahasiswaan yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian kota Salatiga dan Pemerintah kota Salatiga belum memiliki strategi bersama dalam hal penanganan keragaman yang sangat memungkinkan menimbulkan konflik. Oleh karena itu, catatan penting yang yang direkomendasikan oleh penulis dalam kaitannya kerjasama mengelola konflik untuk menciptakan kondisi yang tertib dan aman adalah memaksimalkan kerjasama antara pihak-pihak terkait seperti UKSW sebagai pemilik keragaman, Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari UKSW, Lembaga Kemahasiswaan yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian kota Salatiga dan Pemerintah kota Salatiga. Pihak-pihak terkait tersebut harus mempu menciptakan strategi atau pendekatan dalam menangani keragaman yang terjadi di UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya. 6.1.2. Faktor Pergaulan (kebersamaan, kedekatan, keragaman) J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu.Keberadaan mahasiswa UKSW sebagian besar telah membentuk komunitasnya masing-masing—membentuk kelompok/komunitas berdasarkan asal kedaerahan atau kesukuan— hal tersebut dilakukan dengan alasan karena mereka merasa nyaman dengan orang-orang yang berasal dari satu etnis/daerah ketimbang dengan orang yang berasal dari daerah/suku lain. Rasa nyaman itulah yang kemudian mendorong mereka untuk membentuk komunitasnya masing-masing. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa masyarakat yang ada dilingkungan UKSW sangat rentan terhadap konflik, alasannya adalah karena masyarakat yang berada dilingkungan UKSW lebih cenderung hidup berkelompok sesuai dengan latar belakang budaya dan etnis masing-masing. Pada saat yang sama, ada keterbatasan kapasitas UKSW dalam menjangkau mahasiswanya agar tidak terlibat dalam konflik antar kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Yafet S. Rissi, bahwa 97 UKSW hanya menjangkau mahasiswa ketika mereka berada di lingkungan kampus sebagai akademisi, namun jika mereka sudah keluar dari lingkungan kampus dan hidup sebagai masyarakat Salatiga, UKSW tidak mampu menjangkau lagi, karena setiap kelompok etnis memiliki payung atau lembaga hukumnya masing-masing. Oleh karena itu, mahasiswa dalam hal ini yang juga merupakan masyarakat Salatiga harus mampu untuk mengelola konflik dan menghadirkan perdamaiannya. Untuk dapat mengelola konflik, maka sangat diperlukannya modal sosial atau sosial capital. Yang dimaksud dengan modal sosial dalam hal ini adalah jaringan sosial antar satu orang dengan orang lain (Helpern, 2005). Namun definisi yang lebih terkenal adalah seperti yang dikatakan oleh Putnam, bahwa modal sosial merupakan suatu ciri kehidupan sosial yang di dalamnya terkandung jaringan, norma, dan kepercayaan. Jika melihat pada data yang diperoleh di lapangan, modal sosial merupakan hal penting yang sejauh ini digunakan oleh para senior etnis dan UKSW dalam mengelola dan menyelesaikan konflik. Dalam kaitannya dengan modal sosial sebagai upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik, Augie D. Manuputy sebagai senior kelompok etnis Ambon mengatakan bahwa: ―Dalam upaya penyelesaian konflik, hal yang biasa kita lakukan adalah dengan mendekati senior etnis untuk berdiskusi tentang bagaimana baiknya masalah tersebut diselesaikan. Kami sesama senior yang sudah dekat sejak kuliah dulu, saling bertemu untuk membicarakan persoalan tersebut. Selain dekat kita juga saling percaya, pendekatan itu yang biasa kami lakukan, makanya dalam setiap kejadian konflik kami selalu menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan. Saya kira metode itu juga sangat efektif baik untuk mengelola ataupun menyelesaikan konflik, dan kami ingin modelmodel kedekatan antar kelompok etnis itu juga ditiru oleh adik-adik agar ketika terjadi konflik lebih mudah dalam menyelesaikannya. Relasi seperti ada baiknnya juga dikembangkan oleh para generasi baru, karena memang baik‖. Melanjutkan apa yang dikatakan oleh Augie D. Manuputy mengenai peran penting modal sosial dalam pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan UKSW, berdasarkan pada fakta dan keterangan dari kepolisian Resort Kota Salatiga, dikatakan juga bahwa sejauh ini proses penyelesaian konflik yang terjadi memang lebih sering menggunakan model kekeluargaan. Hal tersebut menunjukan bahwa peran senior dengan modal sosial yang dimilikinya merupakan faktor penting yang harus 98 ditingkatkan dalam upaya pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan mahasiswa UKSW. Relasi sebagai salah satu faktor dalam modal sosial merupakan hal yang layak untuk dikembangkan oleh kelompok-kelompok etnis mahasiswa. Selain itu, dengan model saling percaya dan menghormati dengan didorong oleh norma-norma yang berlaku di UKSW maupun di Salatiga maka ketertiban dan perdamaian akan tercipta dilingkungan UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya. Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa dengan bertumbuhnya modal sosial di lingkungan mahasiswa UKSW maka kebiasaan untuk hidup bergerombol sesuai dengan kelompok etnis akan hilang dan yang ada adalah kehidupan yang membaur antar etnis yang satu dengan etnis yang lain. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa modal sosial merupakan hal terpenting dalam upaya mengelola kehidupan masyarakat yang multikultural. Richard Mayopu sebagai senior sekaligus mantan pengurus kelompok etnis mahasiswa Ikmasti (Timor) terkait dengan pergaulan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik mengatakan bahwa: ―Coba kita perhatikan, sebagian besar kelompok etnis mahasiswa yang melakukan konflik pasti berasal dari Indonesia bagian Timur. Kita sama-sama dari Timur, jadi sebisa mungkin kita harus berusaha untuk meminimalisir terjadinya konflik. Mungkin sekarang gayagayanya sudah agak berbeda, kalau dulu, kita saling kenal dengan mahasiswa dari etnis lain, karena pada waktu itu senior-senior kami juga mengajarkan untuk saling mengenal etnis lain. Berbeda dengan sekarang, mereka lebih senang untuk bergaul dengan etnis atau sukunya sendiri, kebiasaan mahasiswa untuk membaur atau bergaul dengan etnis lain sangat kurang. Itu memang baik, tapi akan menjadi lebih baik jika kita bisa mengenal etnis lain, buktinya karena kedekatan itulah dalam setiap masalah senior ikut turun tangan dalam proses penyelesaiannya, jika tidak ada kedekatan senior dengan etnis lain pasti cukup susah dalam mendamaikan konflik antaretnis. Bergaul dengan etnis lain dan membangun kedekatan emosional juga sangat penting untuk meminimalisir terjadinya konflik, oleh karenanya hal tersebut harus dikembangkan oleh masing-masing kelompok etnis agar potensi-potensi konflik yang ada dapat diminimalisir.‖ Berdasarkan pada pengamatan lapangan dengan data yang diperoleh, penulis menemukan bahwa faktor pergaulan merupakan salah satu faktor penting dalam kaitannya dengan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa di UKSW. Dengan adanya pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa, akan menghasilkan sebuah 99 komunikasi yang baik dan dapat mengurangi intensitas terjadinya konflik antarkelompok. Dalam proses pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa, masingmasing kelompok etnis akan meninggalkan sejenak identitas komunitasnya masingmasing dan membaur untuk saling pempelajari karakter-karakter yang lain, dalam proses pergaulan itu juga akhirnya dapat menghasilkan modal sosial yang baru, akan muncul norma-norma seperti saling menghargai dan saling toleran. Selain itu, modal sosial yang terbentuk juga akan menghasilkan jaringan antar kelompok yang dapat difungsikan untuk penyelesaian konflik ketika terjadi perselisihan antarkelompok. Oleh karena itu, sebagian besar konflik antarkelompok etnis mahasiswa yang terjadi selama ini dapat terselesaikan secara kekeluargaan. Secara lebih rinci, berkaitan dengan pergaulan sebagai salah satu faktor dalam pengelolaan konflik di lingkungan UKSW, hal tersebut dapat dijelaskan seperti yang terlihat dalam bagan sebagai berikut: Bagan 6.2 Komunikasi Lintas Budaya KOMUNITAS A (Modal sosial) KOMUNITAS B (Modal sosial) KOMUNIKASI LINTAS -BUDAYA -SUKU -AGAMA MODAL SOSIAL BARU RESOLUSI KONFLIK HARMONISASI Dalam bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa modal sosial dan komunikasi antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung, secara tidak disadari, manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan mengandalkan modal sosial dan dalam proses pembentukan modal sosial akan terjadi sebuah komunikasi antarbudaya. Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas etnis yang ada di Salatiga yang selalu 100 berusaha untuk mengandalkan modal sosial untuk bisa Survive. Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Melihat pada keterangan-keterangan yang didapat, modal sosial yang terjadi antarkomunitas telah terbangun sejak lama. Modal sosial yang terbentuk adalah turun-temurun (bukan warisan) dari para senior kelompok etnis mahasiswa. Dalam kaitannya dengan pengelolaan konflik di lingkungan mahasiswa, modal sosial itulah yang digunakan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Nilai-nilai yang terkandung dalam modal sosial seperti kepercayaan, relasi dan norma seringkali digunakan para senior etnis untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan. Penyelesaian konflik dengan cara kekeluargaan dilakukan dengan memanfaatkan elemen-elemen dalam modal sosial yaitu: 1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk menyelesaikan masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan tindakan negosiasi yang dilakukan tanpa campur tangan pihak kepolisian. Pihak kepolisian hanya bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator sebab yang menjadi mediator adalah dua komunitas etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya rasa ―bagian dari‖ suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan adalah rasa bahwa kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia Timur. Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang terjadi bahwa mereka merasa adalah satu ras (berkulit hitam dan berambut tidak lurus). Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang merupakan syarat berdirinya masyarakat modern. 2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah pihak yang bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi yang cepat. Dan mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku dalam jangka waktu yang sangat panjang (beberapa tahun kedepan ketika sudah kembali ke kampung halaman masing-masing ataupun menetap di Salatiga dan sekitarnya. 3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang di bagi adalah komunikasi dan informasi sehingga menimbulkan adanya rasa saling 101 terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor yang sangat vital dalam proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua komunitas etnis tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya mengelola konflik di lingkungan UKSW maka sangat diharuskan untuk tetap menghidupkan dan memelihara modal sosial dan faktor pergaulan, karena secara langsung ataupun tidak langsung faktor pergaulan dan modal sosial dapat digunakan untuk pencegahan dan penyelesaian konflik. 6.1.3. Faktor Kondusifitas Proses Belajar Mengajar Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan cenderung menghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber-sumber organisasi— sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sumberdaya teknologi—digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan organisasi (Wirawan, 2010:132). Dalam hal ini, seperti yang telah juga dipaparkan dalam Bab IV pada gambaran umum wilayah penelitian, UKSW sebagai organisasi tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. UKSW sebagai lembaga pendidikan memiliki banyak tujuan yang salah satunya adalah turut membantu Pemerintah Indonesia dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan hak yang sama kepada semua orang yang memenuhi syarat untuk menikmati pendidikan akademik dan pendidikan profesional agar dapat mengembangkan dirinya sebagai manusia yang mandiri dalam masyarakat. Dalam kaitannya turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satu Visi UKSW adalah menciptakan provil lulusan yang creative minority, hal tersebut tentunya dapat terwujud dengan didorong oleh sistem pengajaran yang kondusif tertib dan aman. Oleh karena itu lingkungan yang tertib dan aman menjadi satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik di UKSW. UKSW sebagai organisasi dalam upaya mewujudkan visi dan misinya harus mampu mengarahkan sub-sub sistem di dalamnya untuk turut serta melaksanakan program/kegiatan dalam upaya perwujudan visi.Semua subsistem dan para anggotanya harus mampu bekerjasama saling mendukung dan saling membantu untuk mencapai tujuan organisasi. Kesadaran akan tujuan menciptakan kondisi yang tertib dan aman dalam upaya mewujudkan tujuan UKSW secara organisasi harus ditumbuhkembangkan kepada seluruh subsitem serta para anggotanya, karena 102 dengan hal tersebut akan tercipta proses belajar mengajar yang kondusif dan tercapai tujuan UKSW secara organisasi. UKSW sebagai organisasi yang memiliki tujuan turut mencerdaskan bangsa harus mampu meredam konflik atau meminimalisir konflik antar kelompok, karena secara langsung ataupun tidak langsung kejadian konflik yang melibatkan mahasiswa akan berpengaruh pada ketidakkondusifan proses belajar mengajar. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Yafet Y.W. Rissi mengatakan bahwa: ―Seluruh mahasiswa yang menjadi bagian UKSW tentu datang kemari memiliki tujuan yang jelas, yaitu menimba ilmu. Bahkan UKSW secara organisasi juga memiliki tujuan yang salah satunya adalah turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam hal ini dilakukan melalui kegiatan akademik. Mahasiswa dapat berpengetahuan dan UKSW dapat mencapai tujuannya jika dalam proses belajar-mengajar tercipta kondisi yang kondusif, tertib dan aman, oleh karena itu UKSW secara organisasi berkaitan dengan terjadinya konflik antar kelompok etnis mahasiswa harus mampu meredam atau meminimalisir terjadinya konflik. Oleh karenanya, dalam upaya melakukan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa yang dilakukan bersama dengan lembaga lain, ingin menciptakan proses belajar mengajar yang kondusif. Dengan kondisi belajar yang kondusif, tertib dan aman, maka proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik, dan hal tersebut sudah tercipta di kampus ini.‖ Organisasi yang mapan tentunya memiliki visi-misi dan tujuan yang strategis. Ketiganya harus dicapai atau direalisasikan dengan cara yang sistematis dan dalam kurun waktu yang direncanakan. Konflik dapat mengganggu perhatian serta mengalihkan energi dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai visi-misi dan tujuan yang strategis dari organisasinya. Jika tidak dimanajemeni dengan baik, konflik akan berkembang menjadi konflik destruktif bagi pihak-pihak yang terlibat konflik. Mereka akan lebih memfokuskan diri pada konflik dan bukan pada pencapaian visimisi. Oleh karenanya, situasi proses belajar mengajar yang kondusif menjadi salah satu faktor dalam pengelolaan konflik, dan hal tersebut didasarkan pada keinginan untuk mewujudkan visi-misi UKSW sebagai lembaga pendidikan. UKSW sebagai organisasi/lembaga pendidikan memiliki tanggungjawab penuh terhadap terciptanya kondusifitas proses belajar-mengajar bahkan lebih daripada tanggungjawab moral. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa hal yang harus dilakukan oleh UKSW sebagai organisasi pendidik adalah membentuk ikatan sinergi 103 antar sub-sub sistem yang ada di dalamnya. Ikatan sinergi yang dimaksudkan adalah bertujuan untuk mengikat semua subsistem menjadi satu kesatuan sistem agar bergerak bersama-sama secara harmonis ke arah tujuan organisasi. Selain itu, upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh UKSW adalah memberikan penyadaran terhadap sub-sub sistem dan seluruh elemen yang ada mengenai pentingnya menjaga situasi yang kondusif, yang tentunya dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti melalui kegiatan akademik maupun kegiatan nonakademik. Berkaitan dengan upaya-upaya penyadaran kepada seluruh elemen/bagian Satya Wacana terkait dengan pentingnya situasi yang kondusif, Yafet Y.W. Rissi juga menambahkan bahwa: ―Ada banyak upaya yang kami lakukan, baik itu melalui kegiatan akademik maupun kegiatan nonakademik, karena tujuan dari organisasi ini adalah mendidik. Upaya nonkademik yang kami lakukan adalah dengan cara mendatangi setiap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok etnis, seperti kegiatan malam keakraban etnis, disitu kita memberikan banyak pemahaman mengenai pentingnya kondisi yang harmonis. Sedangkan dalam kegiatan akademik hal yang kami lakukan adalah sama, memberikan pemahaman kepada seluruh elemen yang dalam hal ini melalui subsub sistem yang ada mengenai akan pentingnya kondisi yang harmonis. UKSW dalam hal ini memang bertanggungjawab penuh dalam upaya menciptakan kondisi/situasi yang harmonis, dan tujuan itu baik, maka sejauh ini kami lakukan dengan baik.‖ Sebagai mayarakat akademis, kesadaran mengenai heterogeninas dan kehidupan yang harmonis harusnya dimiliki oleh masing-masing individu, karena kesadaran itulah yang membawa kita untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan aman. Hanya saja, faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan konflik pasti akan datang silih berganti, karena dalam kehidupan manusia potensi konflik akan selalu ada. Upaya-upaya penyadaran yang dilakukan oleh UKSW sejauh ini memang sudah cukup baik, hanya mungkin belum maksimal, karena meski UKSW sebagai organisasi pendidik telah memberikan penyadaran untuk hidup harmonis, konflik antar kelompok etnis mahasiswa masih muncul. Oleh karena itu, kesadaran tersebut harus terus ditumbuh kembangkan di lingkungan UKSW, karena jika tidak, maka dapat mengganggu tujuan UKSW secara organisasi. 104 UKSW sebagai lembaga akademisi tentu harus mampu memanfaatkan proses belajar mengajar yang kondusif untuk menanamkan nilai-nilai kedamaian melalui kelaskelas perkuliahan. Menurut hemat penulis, ada beberapa mata kuliah yang dapat digunakan oleh UKSW untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, seperti mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan beberapa mata kuliah lainnya. Melalui kelas perkuliahan itulah seharusnya UKSW masuk untuk memberikan pemahaman kepada seluruh mahasiswanya mengenai arti penting perdamaian dalam lingkup yang multikultural. Menurut hemat penulis, jalur akademik tersebut sangat efektif digunakan untuk memberikan pemahaman-pemahaman dasar mengenai perdamaian, saling toleransi dan menghargai, tanpa kita berupaya lain untuk menciptakan lingkungan yang tertib dan aman untuk menghasilkan proses belajar mengajar yang baik, dengan diberikan pemahaman dasar mengenai ketertiban, perdamaian, toleransi dan saling menghargai akan muncul dengan sendirinya dalam diri masing-masing mahasiswa. 6.2. Salatiga: “Indonesia Mini yang Beriman” Salatiga sebagai ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan sebuah konstruksi pemikiran yang dilakukan penulis bersadasarkan hasil deskripsi tentang pengelolaan konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya. Terminologi ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan formulasi dari semboyan yang diusung oleh Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan kota Salatiga. UKSW sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi hadir dan menjadi bagian dari kota Salatiga dengan mengusung semboyan sebagai ―Indonesia Mini‖ semboyan ini didasarkan atas fakta kemajemukan atau kebhinekaan etnis, suku, bahasa, budaya termasuk agamayang hidup dan saling berinteraksi di UKSW. Salatiga dalam beberapa referensi ditemukan bahwa kota ini merupakan kotamadya yang secara administratif kewilahaan berukuran kecil, namun tingkat kemajemukan masyarakatnya cukup tinggi. Hal ini tentu dipengaruhi juga dengan kehadiran beberapa perguruan tinggi yang ada di Salatiga. Tingkat kemajemukan yang tinggi ini lalu diikat dengan semboyang HATI BERIMAN yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Salatiga, No. 10 Tahun 1993. Hati Beriman, akronim dengan sehat, tertib, bersih, indah dan aman. Selain itu secara harafiah Hati 105 Beriman mengandung arti: sejiwa dengan Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian rangkaian kata "SALATIGA HATI BERIMAN" mempunyai makna: "suasana kehidupan kota/masyarakat Salatiga yang sehat, tertib,bersih, indah dan aman dimana penduduknya adalah insan yang percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agama dan kepecayaannya masingmasing. Kenyataan akan heterogenitas (multikultural) masyarakat yang hidup dalam wilayah (Salatiga) yang relatif kecil niscaya ―pertemuan budaya‖ itu menimbulkan permasalahan jika tidak dikelola dengan tepat. Hasil penelitian membuktikan bahwa konflik antar etnis memang sering terjadi, namun yang manarik adalah konflik etnis dengan latarbelakang apapun tidak pernah menjadi ―ledakan besar‖ yang menggungcang dan menarik minat media untuk memberitakannya, seperti konflikkonflik yang terjadi di beberapa daerah lainnya. Atas dasar itu, deskripsi pengelolaan konflik dan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi mengerucut pada pertanyaan: mengapa konflik di Salatiga tidak pernah menjadi ledakan konflik besar yang mengguncang Indonesia mengingat tingkat kemajemukan yang begitu tinggi hidup dalam wilayah yang relatif kecil? ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan referensi yang tepat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) didirikan atas dasar nilai Kristiani. Bukan berarti peneliti ingin mengakatan bahwa hanya dengan nilai-nilai kristiani (nilai tunggal) konflik dapat teratasi, tetapi bagaimana nilai-nilai kristiani itu diimplementasikan dalam kehidupan kampus sebagai bentuk penghargaan kepada perbedaan atau penghargaan kepada kemanusiaan (humanity). Salah satu nilai dasar kristen yang diyakini dan diajarkan di UKSW adalah ―Persekutuan Tubuh Kristus‖ sebab manusia Imago Dei–segambar dengan Penciptanya. Konsep Imago Dei dipahami dan diimplementasikan sebagai: a) manusia sebagai mitra Tuhan; b) kesamaderajadan manusia dihadapan Tuhan; c) kesetaraan dosen dan mahasiswa; dan d) penghargaan terhadap perbedaan atas dasar KASIH. Dengan pemahaman seperti itulah, maka nilai-nilai Kristiani (Imago Dei dan KASIH) itu menjadi nilai universal yang dapat mengeratkan mahasiswa dan meminimalisir potensi konflik etnis mahasiswa. Nilai-nilai Kristiani ini diupayakan 106 menjadi dasar bagi perilaku berinteraksi baik dosen, pegawai dan mahasiswa (civitas akademika UKSW) yang mampu membentuk persepsi setiap individu untuk hidup bertoleran dengan liyan. Walaupun demikian, implementasi nilai-nilai Kristiani ini tidak dalam rangka mengkristenkan yang bukan Kristen. Di sinilah pemahaman dan pengakuan dari civitas akademika UKSW akan kehidupn yang bertoleran, saling menghargai, saling menghormati untuk mengeratkan kebersamaan dalam perbedaan itu mengerucut pada pengidentifikasian diri (UKSW) sebagai Indonesia Mini, miniaturnya Indonesia. ―Manusia UKSW‖ yang mengakui Imago Dei dan KASIH sebagai dasar perilaku dan berintekasi dengan sesama itu tentu BERIMAN menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Sebab UKSW sebagai miniatur Indonesia tentu mengakui Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Tuhan mereka– Tuhannya orang Indonesia yang berkebudayaan. Karena itu, selain kemajemukan budaya yang ada di UKSW, kemajemukan agama di Salatiga juga bisa hidup berdamai, bahkan aliran Kepercayaan (agama suku) Kejawen juga diberi ruang yang sama dengan agama-agama yang diakui negara untuk hidup dan berkembang di Salatiga. Dengan demikian, kalau UKSW mampu mengidentifikasi dirinya sebagai Indonesia Mini, maka tentu UKSW juga mampu mengindentifikasi dirinya sebagai Salatiga Mini atau dengan bahasa lain, kalau Indonesia saja mampu di miniaturkan menjadi dirinya mengapa Salatiga tidak? Deskripsi dan analisis terhadap pengelolaan konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya membuktikan bahwa nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar hidup UKSW dalam menagtur kemajemukan ―dalam dirinya‖ serta dalam ―pertemuannya dengan semboyan HATI BERIMAN nilai yang mengikat dan mendamaikan kemajemukan di Salatiga, dalam implementasi keduanya saling berkontribusi dan tidak bertentangan; manusia yang memiliki ―HATI BERIMAN‖ tentu manusia yang mau hidup bertoleran, menghargai, menghormati dan saling mencintai serta mengasihi sesamanya. Itulah manusia Pancasila dalam perspektif Indonesia. Dalam konteks Salatiga, kemampuan mengimplementasikan dan menjadikan nilai-nilai HATI BERIMAN itulah yang memungkinkan tidak terjadinya konflik dengan kekerasan yang dapat mengguncang Salatiga dan ―mengundang‖ kegairahan media 107 untuk memberitakan sebagai guncangan gelombang yang menghantam wajah Salatiga, Indonesia bahkan dunia. Dengan demikian tingkat kemajemukan, keanekaragaman atau kebhinekaan yang hidup dan saling bertemu setiap saat belum tentu menjadi masalah serius yang bisa merusak kebersamaan. Dia hanya akan berjawah sangar dan ―mengganas‖ apabila tidak memiliki nilai dasar bersama yang baik dan tidak dikelola dengan baik. Salatiga yang merupakan kota multikultural mampu membuktikan bahwa masyarakatnya bisa hidup bersama dengan damai, bertoleran, saling menghargai, saling mengasihi dalam perbedaan itu. Salatiga sebagai Indonesia Mini Yang Beriman, merupakan contoh penting yang dapat dirujuk sebagai pengelolaan konflik pada tingkat nasional. 108