4 formulasi masalah pada unit perikanan tonda

advertisement
16
MENGAMBIL TINDAKAN
UNTUK MELAKUKAN
PERBAIKAN:
L5: Bandingkan model (L4) dengan
dunia nyata (L2).
L6: Melakukan perubahan yang
diinginkan dan layak secara
sistematis.
L7: Melakukan tindakan untuk
memperbaiki situasi masalah
MENENTUKAN SITUASI
MASALAH:
L1: Memahami situasi yang
bersifat problematik.
L2: Menggambarkan situasi
masalah
REAL WORLD
SYSTEM THINKING
ABOUT REAL WORLD
“ROOT DEFINITIONS’:
L3: Menentukan sistem
aktivitas (purposeful activity
systems) yang relevan
dengan situasi masalah.
PENGEMBANGAN MODEL:
L4: Membangun model konseptual
berdasarkan “root definition”
Gambar 3.2 Tujuh langkah dasar SSM
4 FORMULASI MASALAH PADA UNIT PERIKANAN
TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP
Pendahuluan
Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian
yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Tidak semua kumpulan atau
gugus bagian dapat disebut sistem jika tidak memenuhi syarat adanya kesatuan
(unity), hubungan fungsional, dan tujuan yang berguna (Eriyatno 2003). Pendapat
yang serupa juga dikemukakan oleh Gordon (1984) dalam Rumajar (2001),
dimana sebuah sistem bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tidak
teratur, tetapi terdiri dari unsur yang dapat dikenal saling melengkapi karena
adanya maksud dan tujuan atau sasaran yang sama. Lebih jauh dikemukakan
bahwa terdapat 5 karakteristik dari sistem, yaitu: (1) terdiri dari elemen-elemen
yang membentuk satu kesatuan sistem, (2) adanya tujuan dan saling
ketergantungan, (3) adanya interaksi antar elemen, (4) mengandung mekanisme
(transformasi), dan (5) ada lingkungan yang mengakibatkan dinamika sistem.
Suatu permasalahan dapat ditemukan solusinya jika menganalisis seluruh
bagian yang terdapat dalam sistem tersebut, seperti halnya permasalahanpermasalahan yang terjadi dalam dunia perikanan. Perikanan di Indonesia yang
memiliki
karakteristik
multi-species
dan
multi-gear
menyebabkan
kekompleksitasan masalah yang terjadi semakin bertambah. Perikanan tidak
hanya terkait masalah biologi dan ekologi saja, tetapi juga berkaitan erat dengan
ekonomi, sosial, budaya dan aspek lainnya. Oleh karena itu, pemecahan masalah
perikanan biasanya didekati melalui kerangka berpikir sistem.
17
Sistem perikanan tonda di PPP Pondokdadap, memiliki keterkaitan yang
erat diantara setiap aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan
ekonomi. Seluruh aspek tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena memiliki
hubungan yang berpengaruh antar satu sama lain. Aspek teknis yang merupakan
interpretasi dari semua kegiatan yang berhubungan dengan teknis pengoperasian
alat tangkap dan rumpon, saling bergantung satu sama lain pada aspek ekologi
yang merupakan interpretasi dari sumberdaya ikan di dalamnya. Aspek ekologi
tersebut akan berpengaruh terhadap aspek ekonomi yang menjadi ukuran
kelayakan usaha perikanan tonda, salah satunya dapat dilihat melalui nilai
pendapatan (keuntungan) optimal yang dapat diperoleh nelayan. Aspek ekonomi
memiliki hubungan saling ketergantungan dengan dengan aspek sosial seperti
kondisi yang terjadi di masyarakat sekitar dengan adanya fungsi ekonomi
tersebut. Aspek sosial tersebut nantinya akan memiliki keterkaitan dengan aspek
kelembagaan yang menjadi dasar pengaturan aspek-aspek sebelumnya (teknis,
ekologi, ekonomi). Tujuan dari pembahasan secara mendalam setiap aspek pada
bab ini adalah untuk memberikan informasi mengenai permasalahan yang terjadi
sehingga permasalahan tersebut dapat diformulasikan dengan menggunakan rich
picture.
Metode
Pengungkapan masalah yang terjadi dalam sistem unit perikanan tonda
dengan rumpon di PPP Pondokdadap dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif analitik, yaitu dengan menjelaskan permasalahan secara deskriptif
berdasarkan kondisi yang sebenarnya. Pengungkapan masalah pada metode SSM
dimulai dengan menjelaskan kondisi objek penelitian secara umum, lalu
dilanjutkan dengan mengkaji objek penelitian secara lebih mendalam dan
menyeluruh dengan melihat beberapa aspek yang terkait (Williams 2005). Aspek
kajian pada penelitian ini dibatasi pada aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan
kelembagaan. Masalah tersebut nantinya akan digambarkan dalam rich picture.
Rich picture ini berguna untuk melihat pola hubungan tiap masalah pada aspek
kajian berdasarkan aktor yang terlibat. Hal-hal yang harus dimasukkan dalam rich
picture adalah pihak yang terlibat, konflik, struktur dan proses yang terjadi, serta
persoalan diantara para pihak (Williams 2005).
Hasil
Aspek Teknis
Nelayan Sendang Biru secara teknis menggunakan jenis alat tangkap,
rumpon, dan kapal yang sama pada unit perikanan tonda. Jenis alat tangkap yang
digunakan adalah pancing, dan kapal yang digunakan adalah jenis kapal sekoci
dengan ukuran rata-rata 10 GT. Perbedaannya hanya terletak pada urutan
penggunaan metode penangkapan oleh nelayan. Nelayan menamai jenis alat
tangkap sesuai dengan metode penangkapan yang digunakan. Penggunaan metode
penangkapan yang beragam dilatarbelakangi oleh jumlah hasil tangkapan yang
tidak pasti pada setiap operasi penangkapan.
18
Nelayan berangkat dari fishing base (pelabuhan) pada pagi atau sore hari
menuju fishing ground yang pertama. Fishing ground yang pertama adalah tempat
dimana nelayan meletakkan rumpon dengan jarak terdekat, yaitu sekitar 50 mil
dari garis pantai. Perjalanan dari fishing base ke fishing ground yang berjarak 50
mil sekitar 5 jam, sedangkan ke rumpon yang berjarak 100 mil keatas
menghabiskan waktu sekitar 1-3 hari. Nelayan menggunakan kompas dan GPS
untuk membantu mencari lokasi rumpon kelompoknya. Nelayan baru melakukan
operasi penangkapan dengan metode penangkapan yang sesuai dengan kondisi
perairan saat itu setelah menemukan rumpon milik kelompoknya (Gambar 4.1).
Pemasangan rumpon nelayan tonda saat ini semakin jauh, hal ini disebabkan
karena terbatasnya area penangkapan pada wilayah perairan dekat pantai. Perairan
di dekat pantai telah dipenuhi oleh rumpon milik nelayan jenis alat tangkap lain,
seperti nelayan payang atau purse seine. Rumpon milik nelayan tonda akan rusak
jika nelayan tonda memaksakan untuk melakukan operasi penangkapan pada
wilayah dekat pantai, dikarenakan jenis dan metode pengoperasian alat tangkap
jaring seperti purse seine atau payang. Jaring akan lebih mudah tersangkut pada
rumpon jika jarak rumpon dengan daerah pengoperasian jaring terlalu dekat.
Persiapan operasi
Fishing base
Operasi
penangkapan
selesai
Rumpon 1 (50 mil)
DPI 1
Operasi penangkapan
Persiapan operasi
Rumpon 2 (100 mil)
DPI 2
Operasi penangkapan
dan seterusnya
Gambar 4.1 Proses operasi penangkapan unit perikanan tonda
Sebagian besar nelayan tonda menggunakan pancing taber sebelum subuh,
dan akan melanjutkan menggunakan pancing tonda saat matahari terbit atau
sekitar pukul 06.30 WIB. Tidak ada aturan pasti mengenai urutan penggunaan
metode penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pada setiap unit kapal tonda.
Nelayan akan menggunakan pancing layangan, pancing tomba, pancing batuan,
pancing coping atau pancing ulur jika nelayan merasa belum mampu menangkap
ikan dengan pancing tonda. Jenis metode penangkapan ini diperoleh berdasarkan
uji coba yang dilakukan oleh nelayan ketika mengoperasikan alat tangkap, dan
biasanya setiap nelayan mempunyai cara tersendiri dalam mengoperasikan alat
tangkapnya.
Rata-rata unit perikanan tonda dengan rumpon mampu memproduksi ikan
sebanyak 2.54 ton/trip pada musim paceklik dan 3.11 ton/trip pada musim puncak.
19
Rata-rata nilai produktivitas alat tangkap tahun 2008-2012 secara berturut-turut
adalah 0.32 ton/unit, 0.40 ton/unit, 0.65 ton/unit, 0.27 ton/unit, dan 0.13 ton/unit.
Produktivitas tertinggi terdapat pada tahun 2010, padahal effort yang digunakan
sedikit. Hal ini diduga karena sumberdaya yang terdapat di daerah penangkapan
masih cukup banyak. Kondisi yang terjadi berlawanan terjadi pada tahun 2011
dan 2012. Effort yang digunakan meningkat, namun rata-rata nilai produktivitas
alat tangkap yang diperoleh kecil (Tabel 4.1). Rata-rata nilai produktivitas
berdasarkan jumlah nelayan pada tahun 2010 juga mengikuti rata-rata nilai
produktivitas berdasarkan jumlah alat tangkap yaitu sebesar 0.13 ton/orang (Tabel
4.2).
Tabel 4.1
Rata-rata produktivitas alat tangkap unit perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap tahun 2008-2012
Tahun Alat tangkap Produksi per trip
Produktivitas
(unit)
(ton)
(ton/unit)
2008
344
108.79
0.32
2009
301
119.30
0.40
2010
201
131.32
0.65
2011
281
76.02
0.27
2012
420
54.56
0.13
Tabel 4.2 Rata-rata produktivitas nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di
PPP Pondokdadap tahun 2008-2012
Tahun Nelayan Produksi per trip Produktivitas
(orang)
(ton)
(ton/orang)
2008
1720
108.79
0.06
2009
1505
119.30
0.08
2010
1005
131.32
0.13
2011
1405
76.02
0.05
2012
2100
54.56
0.03
Daerah pengoperasian alat tangkap dan pemasangan rumpon menjadi
permasalahan yang harus disoroti pada aspek teknis ini. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah jika jumlah nelayan yang mengoperasikan tonda semakin
meningkat. Peningkatan tersebut akan menyebabkan persaingan yang semakin
besar dalam memanfaatkan sumberdaya, yang akan berdampak pada aspek
ekologi yaitu terhadap sumberdaya ikan seperti menurunnya jumlah dan ukuran
hasil tangkapan yang diperoleh.
Aspek Ekologi
Jumlah dan jenis hasil tangkapan unit perikanan tonda yang didaratkan
cenderung tetap. Begitu pula dengan ukuran hasil tangkapan, untuk beberapa jenis
tidak mengalami perubahan selama 5 tahun terakhir, kecuali tuna yang mulai
mengalami perubahan ukuran (semakin kecil). Perubahan ukuran ikan tuna
diketahui berdasarkan hasil kuesioner. Hasil tangkapan tuna yang didaratkan di
PPP Pondokdadap pada bulan Desember dan Juni 2012 mempunyai berat berkisar
antara 15 kg hingga 76 kg per ekornya. Berat ikan cakalang sekitar 1.5-2.2 kg,
20
marlin 34 kg, tongkol 1.8 kg, dan lemadang 24 kg. Perubahan ukuran tuna akan
mempengaruhi nilai ekonomi yang diperoleh nelayan tonda jika dikaji secara
mendalam, seperti pengaruh ukuran ikan terhadap harga jual ikan tersebut.
Komposisi hasil tangkapan tonda per tripnya pada musim sedang seperti
pada bulan Desember terdiri atas ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lemadang.
Ikan cakalang merupakan jenis yang paling banyak tertangkap pada bulan
Desember, yaitu sebanyak 527.83 kg atau 34% dari total tangkapan. Ikan
lemadang menjadi jenis tangkapan yang paling sedikit, hanya berjumlah 239.50
kg atau 16% dari total tangkapan (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Desember
tahun 2012 per jenis ikan (kg) per trip
Hasil tangkapan pada bulan Juni 2012 didominasi oleh jenis tuna
madidihang sebanyak 543.94 kg atau sebesar 43% jika dibandingkan dengan total
tangkapan, sementara itu, jenis yang paling sedikit tertangkap adalah ikan tuna
albakora yang berjumlah 79.33 kg atau 6 persen. Jenis ikan albakora ini mulai
tertangkap oleh nelayan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap pada tahun 2011 (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Komposisi dan persentase hasil tangkapan tonda bulan Juni tahun
2012 per jenis ikan (kg) per trip
21
Aspek Ekonomi
Menurunnya ukuran hasil tangkapan secara tidak langsung akan
mempengaruhi nilai ekonomi yang diperoleh nelayan. Harga tiap jenis ikan
berbeda-beda, bergantung pada ukuran, jenis, dan musim ikan (musim puncak
atau musim paceklik). Ikan yang memiliki ukuran kecil untuk suatu jenis
cenderung memiliki harga yang rendah, apalagi jika ikan tersebut dipasarkan
disaat musim banyak ikan (puncak). Berdasarkan data produksi unit TPI-KUD
Mina Jaya per Juni dan Desember 2012 diketahui bahwa harga ikan tuna berkisar
antara Rp38 000/kg–Rp56 400/kg; cakalang Rp12 500/kg–Rp15 500/kg; tongkol
Rp7 500/kg–Rp8 500/kg; marlin Rp18 000/kg; lemadang Rp11 000/kg–Rp20
100/kg, dan albakora Rp19 000/kg (KUD Mina Jaya 2013).
Nilai produksi unit perikanan tonda dengan rumpon per trip di PPP
Pondokdadap selama 5 tahun terakhir (2008-2012) mengalami fluktuasi. Hal ini
terlihat dari Gambar 4.4 bahwa pada tahun 2008 nilai produksi unit perikanan
tonda berjumlah 1.43 miliar rupiah, dan mengalami penurunan pada tahun 2009
sebesar 19 persen. Nilai produksi tertinggi terdapat pada tahun 2010 senilai 1.65
miliar rupiah. Tingginya nilai produksi ini dikarenakan jumlah hasil tangkapan
unit perikanan tonda yang lebih tinggi pada tahun tersebut dibandingkan tahuntahun sebelum dan sesudahnya.
Sebagian besar hasil tangkapan unit perikanan tonda dengan rumpon
dipasarkan melalui proses pelelangan. Alur pemasaran hasil tangkapan dimulai
saat kapal mendaratkan hasil tangkapan. Hasil tangkapan tersebut diangkut oleh
manol ke TPI yang langsung diambil oleh pengambeknya masing-masing. Manol
adalah sebutan masyarakat Sendang Biru untuk orang yang bekerja sebagai
pengangkut hasil tangkapan dari kapal ke tempat penjualan, sementara
pengambek adalah orang yang bertugas untuk menjual ikan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) dengan proses lelang. Pengambek juga bertindak sebagai pemberi
modal untuk keperluan operasi penangkapan (bahan kebutuhan melaut dan
kadang-kadang yang menyediakan rumpon).
Gambar 4.4 Nilai produksi per trip unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP
Pondokdadap tahun 2008-2012
Proses pelelangan di PPP Pondokdadap dikelola oleh Koperasi Unit Desa
(KUD) Mina Jaya. Selanjutnya, setelah proses pelelangan selesai dan pemenang
22
lelang telah ditentukan, hasil tangkapan menjadi milik pengusaha sebagai
pemenang lelang. Pengusaha selanjutnya akan membayar hasil tangkapan sesuai
harga yang telah ditetapkan ke KUD, dan KUD akan memberikan hasil penjualan
ikan tersebut kepada pengambek setelah dipotong retribusi sebesar 3 persen. Uang
tersebut yang nantinya dibagi untuk nakhoda, pemilik, ABK, dan pengambek
sesuai porsinya masing-masing (Gambar 4.5).
Kapal
mendarat
Ikan
diangkut
Pengambek
Lelang di
TPI
Ikan diambil
pemenang
lelang
Pembayaran
Pengambek
Nelayan
Bagi hasil
dengan nelayan
KUD Mina Jaya
Penyerahan uang
hasil lelang
Gambar 4.5 Proses pelelangan ikan di TPI PPP Pondokdadap
Setiap pengusaha yang akan mengikuti proses pelelangan harus memenuhi
persyaratan terlebih dahulu, yaitu pengusaha harus memberikan jaminan ke KUD
dan mampu melunasi pembayaran atas pembelian hasil tangkapan maksimal 5
hari setelah proses pelelangan selesai. Pengusaha tersebut tidak diizinkan untuk
mengikuti proses pelelangan yang selanjutnya jika tidak dapat melakukan
pembayaran. Adapun daerah pemasaran untuk hasil tangkapan tonda antara lain
Malang, Kepanjen, Gondang Legi, dan Turen. Proses pelelangan tersebut
sebenarnya mampu meningkatkan pendapatan nelayan, namun dikarenakan
adanya permainan harga yang kadang-kadang dilakukan oleh pengambek
membuat nelayan mendapatkan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya
terhadap penjualan hasil tangkapannya. Permainan harga yang dilakukan oleh
pengambek terjadi saat penimbangan berat hasil tangkapan yang dijual ke
pengambek. Ukuran berat yang tertera di timbangan hanya ada dalam satuan
kilogram, tidak ada satuan berat yang lebih kecil, misalnya saja nelayan
mendapatkan hasil tangkapan dengan berat 1.2 kg, namun yang dihitung oleh
pengambek hanya 1 kg. Kondisi tersebut banyak dikeluhkan oleh nelayan, karena
adanya perbedaan perhitungan berat dalam jumlah kecil sekalipun dianggap
merugikan nelayan.
Pembagian pendapatan antara pemilik dengan anak buah kapal (ABK)
pada unit perikanan tonda terdiri dari dua jenis, yang pertama yaitu pada
kepemilikan unit perikanan tonda nelayan Jawa pembagian pendapatannya adalah
50:50 dari pendapatan bersih yang diperoleh. Pembagian pendapatan pada unit
perikanan tonda milik nelayan asal Bugis atau Kalimantan didasarkan pada
kepemilikan dan status nelayan. Pemilik kapal mendapatkan 2 bagian,
kepemilikan setiap mesin 2 bagian, nakhoda 2 bagian, dan ABK masing-masing 1
bagian. Pendapatan tersebut bervariasi, bergantung dari banyak tidaknya hasil
tangkapan diperoleh. Namun, jika dilihat berdasarkan nilai rupiah yang diperoleh
tiap nelayan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua jenis
pembagian pendapatan tersebut. Perbaikan atau perawatan kapal biasanya
dilakukan dengan menyewa penguras. Penguras ini adalah sebutan bagi orang
23
yang memperbaiki kapal, upahnya 10 persen dari pendapatan pemilik. Jika
dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Malang tahun 2011
sebesar Rp1 077 600 (BPS Kabupaten Malang 2012), rata-rata pendapatan
nelayan tonda dianggap sudah layak, karena nilainya melebihi UMK (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Rata-rata pendapatan nelayan tonda (Rp) per trip
Jenis
nelayan
Pemilik
Nakhoda
ABK
Bagi hasil per nelayan
Jumlah nelayan Pendapatan per
(orang)
nelayan (Rp)
1
9 985 250
1
3 328 417
50%
4
1 664 208
pendapatan per trip
Jumlah
bagian
50%
Jumlah
pendapatan (Rp)
9 985 250
3 328 417
6 656 833
19 970 500
Keterangan: Jumlah nelayan dalam 1unit kapal tonda adalah 6 orang
Kegiatan operasi penangkapan ikan yang dilakukan unit perikanan tonda
dengan rumpon di Sendang Biru dinilai menguntungkan. Perhitungan analisis
usaha yang dilakukan diperoleh bahwa keuntungan rata-rata unit perikanan tonda
sebesar Rp442 605 625/tahun dengan profitabilitas 2.27 persen (Lampiran 1).
Analisis keberlanjutan usaha perikanan tonda secara finansial juga layak untuk
dilanjutkan. Hal ini terlihat dari nilai yang diperoleh terhadap tiga kriteria
kelayakan yang digunakan, yaitu NPV bernilai positif, IRR lebih besar dari nilai
discount factor 10.09 persen (BI 2013), dan net B/C lebih besar dari 1 (Tabel 4.4).
Keuntungan yang cukup besar pada usaha perikanan tonda dengan rumpon di
Sendang Biru menjadi daya tarik bagi pemodal. Hal ini diduga merupakan salah
satu penyebab setiap tahunnya unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap
mengalami peningkatan. Peningkatan ini akan mempengaruhi kondisi sosial
masyarakat nelayan, khususnya nelayan tonda di PPP Pondokdadap Sendang
Biru.
Tabel 4.4 Hasil analisis finansial pada unit perikanan tonda dengan rumpon di
PPP Pondokdadap
Kriteria Kelayakan
Net Present Value (NPV)
Internal Rate Return (IRR)
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Nilai
1 459 240 521
12.16
5.92
Aspek Sosial
Keberadaan perikanan tonda di Sendang Biru memberikan pengaruh
terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya industri rumah tangga yang bergerak dibidang pengolahan ikan,
seperti industri pemindangan ikan tongkol dan abon ikan tuna. Jenis ikan tuna dan
cakalang segar yang dipasarkan pada tahun 2012 berjumlah 59 persen dari total
produk yang dipasarkan. Jumlah ikan olahan, seperti olahan pindang, asin, dan
abon ikan yang dipasarkan sebesar 41 persen (UPPPP Pondokdadap 2013).
Keberadaan unit perikanan tonda dengan rumpon menambah jumlah nelayan di
Sendang Biru. Penyebabnya adalah karena harga ikan yang semakin meningkat.
24
Peningkatan harga tersebut membuat keuntungan yang diperoleh nelayan juga
semakin besar, sehingga nelayan yang sudah lebih dahulu mengoperasikan unit
perikanan tonda di Sendang Biru mengajak temannya yang menjadi nelayan di
daerah lain untuk melakukan operasi penangkapan dan mendaratkan ikan di
Sendang Biru, hingga akhirnya banyak nelayan yang memutuskan untuk tinggal
di dusun Sendang Biru, bahkan ada beberapa yang sudah menjadi penduduk tetap.
Pengaruh lain dengan adanya perikanan tonda dengan rumpon adalah
adanya konflik yang terjadi dengan nelayan luar Sendang Biru, seperti nelayan
purse seine dari Pekalongan. Penyebab konflik adalah nelayan Pekalongan
tersebut menjarah ikan di rumpon milik nelayan tonda Sendang Biru. Hal serupa
juga pernah terjadi dengan nelayan asal Tuban. Kesepakatan mengenai
pemanfaatan rumpon diantara para nelayan tonda Sendang Biru sebenarnya telah
dibuat pada tahun 2010, yaitu tidak memanfaatkan rumpon kelompok nelayan lain
tanpa izin dari kelompok tersebut dan tidak diperbolehkan menerima hasil
tangkapan dari nelayan jaring (seperti purse seine dan payang), jika melanggar
akan dikenakan denda. Konflik diantara nelayan tonda Sendang Biru yang pernah
terjadi yaitu pemanfaatan rumpon tanpa izin milik suatu kelompok nelayan oleh
kelompok lainnya menunjukkan bahwa kesepakatan yang telah dibuat tidak
berjalan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kekompakan diantara
nelayan. Hubungan antara nelayan dalam kehidupan bermasyarakat secara
keseluruhan berjalan cukup baik, begitu pula hubungan nelayan dengan
pengambek. Ketergantungan secara ekonomi dikedua belah pihak merupakan
penyebab hubungan ini terus berjalan. Nelayan membutuhkan pengambek untuk
memberikan pinjaman modal dan pembiayaan operasional penangkapan, dan
pengambek membutuhkan nelayan untuk mendapatkan pendapatan guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Semua permasalahan yang terjadi dalam
aspek sosial ini dapat diminimalisir dengan dukungan kelembagaan, baik yang
bersifat formal maupun informal seperti organisasi nelayan Rukun Jaya.
Aspek Kelembagaan
Nelayan Sendang Biru membentuk kelompok nelayan sesuai dengan unit
penangkapan masing-masing, yaitu Tonda Jaya untuk unit tonda/sekoci, Rukun
Mulia untuk unit purse seine dan payang, dan Dayung Abadi untuk unit jukung.
Seluruh kelompok tersebut diwadahi oleh organisasi nelayan yang utama yaitu
Rukun Jaya. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah untuk mempersatukan
seluruh nelayan Sendang Biru, penyalur aspirasi nelayan, mengumpulkan dan
menginformasikan bantuan, dan membantu nelayan seperti dalam proses
perizinan pengoperasian kapal dan alat tangkap (Gambar 4.6). Tidak semua
nelayan menjadi anggota, ada beberapa nelayan yang tidak ikut karena merasa
tidak ingin terikat.
Pengawas perikanan di PPP Pondokdadap tidak mampu untuk mengawasi
pengoperasian unit perikanan tonda, dikarenakan wilayah operasi nelayan unit
perikanan tonda sangat jauh, sehingga diperlukan bantuan dan peran masyarakat
nelayan. Peran kelembagaan khususnya organisasi nelayan dalam mengatur
perikanan sebenarnya cukup besar, salah satunya dengan menjaga keamanan laut
dari penjarahan unit penangkapan milik nelayan luar terhadap wilayah operasi
penangkapan nelayan setempat dan sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya.
25
Penjagaan tersebut dapat dilakukan dengan membantu pengawasan wilayah
perairan. Peran tersebut harus didukung dengan partisipasi aktif dari seluruh
masyarakat nelayan. Kondisi yang sering terjadi adalah suatu organisasi nelayan
belum cukup mampu untuk membantu mengatur perikanan di suatu wilayah. Hal
tersebut dikarenakan posisi organisasi nelayan dalam masyarakat belum cukup
kuat, sehingga masyarakat belum sepenuhnya mematuhi peraturan-peraturan lokal
yang memang telah menjadi kesepakatan masyarakat nelayan di wilayah
setempat, seperti halnya yang terjadi di dusun Sendang Biru.
Pemilik kapal
Dinas Perhubungan Laut
(Bagian Kesyahbandaran),
dan ahli ukur melakukan
pengukuran
Kantor Dishubla di
Probolinggo
- Surat ukur
- Gross akte
- Sertifikat kelaikan
- Pas Kecil/Pas besar/Pas tahunan
Pengumpulan
berkas oleh
Rukun Jaya
Unit Pengelola
PPP
Pondokdadap
Petugas DKP
Tingkat I melakukan
cek fisik kapal
Pembayaran biaya
pembuatan surat izin
oleh pemilik kapal
Dinas Perikanan
dan Kelautan
Provinsi Jawa
Timur yang
bertempat di
Surabaya
- SIUP
- SIPI/SIKPI
Gambar 4.6 Alur proses perizinan yang dilakukan oleh organisasi nelayan Rukun
Jaya
Perizinan pengoperasian kapal, alat tangkap, dan rumpon sudah dilakukan,
namun belum seluruh kapal. Perizinan ini pun ternyata mengalami kendala,
seperti pada proses pengurusan surat-surat yang cenderung lama dan biaya yang
mahal. Kurangnya koordinasi dari pihak terkait merupakan salah satu penyebab
lamanya proses pengurusan surat izin tersebut. Akibatnya nelayan lebih sering
mengoperasikan kapal dan alat tangkap tanpa izin yang dikeluarkan oleh dinas
terkait. Beberapa unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap hanya memiliki Pas
kecil dan SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan). Rumpon yang dipasang
nelayan di perairan juga tidak memiliki izin dari pemerintah, sehingga adanya
penambahan atau pengurangan jumlah rumpon setiap periode waktu tertentu tidak
tercatat. Hal ini tentunya akan menimbulkan efek negatif karena adanya jumlah
kapal, alat tangkap, dan rumpon yang tidak terkendali dan tidak diatur akan
menimbulkan masalah, diantaranya adalah konflik antar nelayan karena perebutan
sumberdaya ikan dan berkurangnya sumberdaya ikan yang layak tangkap di
wilayah penangkapan nelayan unit perikanan tonda Sendang Biru.
Kenyataan lainnya yang harus menjadi perhatian adalah kurangnya
pemahaman nelayan sebagai pelaku utama kegiatan penangkapan dalam hal
26
perizinan. Sebagian besar responden nelayan tidak tahu bagaimana peraturan
mengenai penangkapan dan wilayah operasi penangkapan serta pentingnya aturan
tersebut terhadap keberlangsungan perikanan. Beberapa kali sosialisasi mengenai
peraturan pernah diadakan, tapi sebagian besar nelayan tidak ikut dalam kegiatan
tersebut, sosialisasi biasanya hanya diketahui oleh pengambek.
Penggambaran Masalah dengan Rich Picture
Kekompleksitasan masalah yang terjadi pada sistem perikanan tonda
dengan rumpon dapat diselesaikan dengan cara melihat permasalahan tersebut
secara utuh dalam satu kesatuan sistem, sehingga penyelesaian secara menyeluruh
dapat dilakukan pada setiap aspek kajian. Penyelesaian masalah tersebut dapat
dibantu dengan memformulasikan masalah menggunakan rich picture yang
menggambarkan aktor, proses, dan keseluruhan masalah yang terjadi dalam
sistem (Gambar 4.7).
Pengoperasian alat tangkap dan pemasangan rumpon secara teknis
melibatkan nelayan unit perikanan tonda dan nelayan jaring Sendang Biru.
Nelayan tonda pada awalnya mengoperasikan alat tangkap di wilayah perairan
dekat pantai. Namun, dikarenakan nelayan jaring banyak yang mengoperasikan
alat tangkap pada wilayah perairan yang sama membuat nelayan tonda
mengoperasikan alat tangkapnya di wilayah perairan yang semakin jauh, dengan
jarak sekitar 50-200 mil laut. Harga jual hasil tangkapan yang meningkat menjadi
peluang besar bagi nelayan untuk mendapatkan keuntungan dari pengoperasian
unit perikanan tonda, sehingga nelayan unit perikanan tonda Sendang Biru
mengajak nelayan tonda luar untuk ikut bekerjasama mengoperasikan unit
perikanan tonda di Sendang Biru. Kondisi ini secara langsung akan meningkatkan
upaya penangkapan pada wilayah perairan yang menjadi daerah pengoperasian
unit perikanan tonda. Peningkatan upaya penangkapan ini akan mempengaruhi
aspek ekologi, khususnya sumberdaya ikan.
Nelayan mengeluhkan bahwa ukuran hasil tangkapan unit perikanan tonda
saat ini, khususnya ikan tuna, mengalami penurunan. Perubahan pada aspek
ekologi ini akan mempengaruhi aspek ekonomi, yaitu terjadinya penurunan harga
jual yang akan mempengaruhi nilai pendapatan yang diperoleh nelayan.
Permainan harga yang dilakukan oleh pengambek saat proses pelelangan juga
dianggap merugikan nelayan. Berat hasil tangkapan yang ditimbang dan
dilaporkan pada nelayan telah berkurang dari berat sebenarnya merupakan
kenyataan yang terjadi saat ini.
Kondisi sosial yang berkaitan dengan aspek teknis, ekologi, dan ekonomi
menambah permasalahan pada sistem perikanan tonda di Sendang Biru.
Permasalahannya adalah konflik yang terjadi antara nelayan tonda Sendang Biru
dengan nelayan jaring luar Sendang Biru karena pemanfaatan tanpa izin dan
melakukan penangkapan di rumpon milik nelayan unit perikanan tonda Sendang
Biru. Hubungan ketergantungan antara nelayan dengan pengambek secara
ekonomi membuat nelayan tidak pernah terlepas dari beban hutang yang terus
menumpuk. Kekuatan modal ekonomi yang dimiliki sebagian besar nelayan masih
rendah. Hal lainnya adalah masih kurangnya kekompakan diantara nelayan,
seperti dalam menjaga keamanan daerah penangkapan.
27
Gambar 4.7 Rich picture unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
27
28
Kelemahan dalam kondisi sosial secara tidak langsung akan
mempengaruhi kondisi kelembagaan dalam sistem perikanan tonda dengan
rumpon di PPP Pondokdadap. Rukun Jaya yang merupakan organisasi nelayan
yang menyatukan seluruh masyarakat nelayan belum berperan maksimal dalam
membantu pemerintah untuk melakukan pengawasan perairan. Rukun Jaya telah
berperan secara aktif dalam hal perizinan pengoperasian alat tangkap dan kapal,
hanya saja kurangnya pengawasan dan koordinasi pada lembaga pemerintahan
membuat proses pengurusan perizinan menjadi tidak sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan. Hal yang sering dikeluhkan nelayan adalah lamanya proses
pengurusan dan biaya yang mahal, sehingga cenderung membuat nelayan tidak
terlalu memperhatikan lagi pentingnya surat-surat izin tersebut.
Keseluruhan permasalahan yang saling terkait yaitu persaingan wilayah
penangkapan, pemanfaatan rumpon dan upaya penangkapan yang meningkat,
permainan harga oleh pengambek saat pelelangan, perubahan ukuran ikan, konflik
horizontal, proses perizinan yang lama dan mahal, serta kurangnya pengawasan
perairan oleh pemerintah dan masyarakat memerlukan pemecahan masalah secara
menyeluruh dari seluruh aspek kajian. Pemecahan masalah tersebut berfungsi
untuk memperbaiki sistem perikanan tonda yang ada sehingga menjadi lebih baik.
Solusi terhadap permasalahan yang terjadi secara lebih detail akan dijelaskan pada
Bab 5.
Pembahasan
Pengoperasian alat tangkap pancing dengan metode penangkapan yang
beragam pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
merupakan salah satu indikasi bahwa nelayan tonda memiliki kemampuan yang
cukup baik dalam mengoperasikan alat tangkap secara teknis. Kemampuan
tersebut biasanya didasarkan pada pengalaman melaut nelayan. Perolehan hasil
tangkapan yang tidak pasti pada setiap kali operasi penangkapan membuat
nelayan dituntut untuk memiliki kreativitas dalam mengembangkan metode atau
cara penangkapan untuk memperoleh target tangkapan yang optimal. Terlebih lagi
dengan terbatasnya wilayah penangkapan yang menjadi permasalahan teknis pada
sistem perikanan tonda di PPP Pondokdadap. Keterbatasan tersebut dikarenakan
semakin banyaknya rumpon yang dipasang di perairan. Pemanfaatan rumpon di
Sendang Biru tidak hanya dilakukan oleh nelayan unit perikanan tonda saja,
melainkan juga oleh unit perikanan lainnya seperti purse seine. Sondita (2011)
menyatakan bahwa pemanfaatan rumpon tidak hanya terbatas pada alat bantu
penangkapan yang mengumpulkan ikan sehingga nelayan dapat menghemat biaya
operasional dan daerah penangkapan menjadi lebih pasti. Rumpon dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu alat untuk mengelola sumberdaya perikanan,
khususnya sumberdaya ikan pelagis. Rumpon bisa dijadikan alat untuk menilai
jumlah ikan yang dapat ditangkap, kelayakan ikan yang ditangkap (jenis dan
ukuran ikan), dan menentukan pembagian ikan diantara nelayan. Fungsi tersebut
akan dapat berjalan jika seluruh pihak telah benar-benar mengerti tentang
pemanfaatan rumpon secara tepat. Habibi et al. (2011) menyatakan bahwa
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan dan
penempatan rumpon di perairan, diantaranya penggunaan bahan pembuat rumpon
29
yang berasal dari bahan organik dan dapat terdegradasi secara alami, pola
pemasangan tidak boleh menghalangi pola alami ruaya ikan, hindari penempatan
rumpon pada daerah yang sering dipergunakan oleh nelayan lain, dan jarak antar
satu rumpon dengan rumpon lainnya harus lebih dari 10 mil laut. Pemanfaatan
rumpon yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan pengoperasian unit
perikanan tonda di perairan. Kemungkinan yang akan terjadi jika pemanfaatan
rumpon menjadi tidak terkendali adalah semakin banyak jumlah rumpon yang
dipasang, terjadinya overfishing, dan berpengaruh terhadap fungsi ekologi yaitu
sumberdaya ikan yang terdapat di perairan. Kondisi ini terlihat dari perhitungan
nilai rata-rata produktivitas alat tangkap dan nelayan yang menurun pada tahun
2011 dibanding pada tahun 2010, yaitu sebesar 0.13 ton/unit dan 0.03 ton/orang.
Berdasarkan wawancara dengan responden diketahui bahwa ukuran hasil
tangkapan yang diperoleh pada setiap trip cenderung menurun, khususnya jenis
ikan tuna. Kecenderungan menurunnya ukuran hasil tangkapan ini merupakan
salah satu indikasi terjadinya tekanan penangkapan di wilayah pengoperasian unit
perikanan tonda, yaitu di sekitar Samudera Hindia. Zulbainarni (2012)
menyatakan bahwa sumberdaya perikanan yang bersifat common property
(kepemilikan bersama) memungkinkan terjadinya pemanfaatan secara berlebih
sehingga menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan input, return yang rendah,
dan overfishing (tangkap lebih). Clark (1985) dalam Zulbainarni (2012) juga
menyebutkan bahwa overfishing secara biologi dapat terjadi kapan saja bila
perbandingan antara harga dan biaya yang cukup tinggi. Indikasi tekanan
penangkapan ini juga diteliti oleh Saputra (2011) yang menunjukkan bahwa
kecilnya hasil tangkapan per trip (CPUE) ikan pelagis besar yang tertangkap,
yaitu sebesar 2.25 ton/trip/tahun dengan rata-rata produktivitas kapal tuna
longliner sebesar 0.045 ton/GT/tahun. FAO (2007) dalam Saputra (2011) juga
menyebutkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Samudera
Hindia dan Samudera pasifik sudah full exploited. Perairan Prigi yang termasuk
dalam perairan Selatan Jawa juga mengalami tekanan penangkapan untuk jenis
tuna, seperti hasil penelitian Ross (2011) yang menyatakan bahwa jenis tuna
mengalami kelebihan tangkap sebesar 39% dari potensi lestari atau sama dengan
614.35 ton/tahun selama lima tahun terakhir.
Penurunan ukuran dan produksi suatu jenis ikan akan mempengaruhi
harga jual ikan tersebut, yang terlihat dari nilai produksi tahun 2011 dan 2012
yang menurun dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar 1.20 miliar rupiah dan 1.26
miliar rupiah. Kondisi pemasaran yang terjadi antara nelayan dengan pengambek
juga memberi pengaruh secara ekonomi. Pengurangan berat ikan saat ditimbang
sebelum proses pelelangan berlangsung akan merugikan nelayan, walaupun
pendapatan yang diperoleh nelayan saat ini sudah layak. Orientasi nelayan dalam
melakukan penangkapan adalah untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal,
sehingga nilai 100 rupiah pun akan sangat berarti bagi nelayan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden diketahui bahwa kecurangan dalam penimbangan
berat ikan yang akan dilelang ini sudah berlangsung dalam jangka waktu yang
cukup lama, namun karena adanya ketergantungan ekonomi antara nelayan
dengan pengambek sebagai pemberi modal membuat nelayan tidak berani
menuntut masalah tersebut. Kondisi serupa juga terjadi pada nelayan di PPI Lekok
Kabupaten Pasuruan. Pendapatan yang diperoleh nelayan di PPI Lekok belum
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyebabnya yaitu minimnya modal yang
30
dimiliki nelayan, tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil,
pelelangan ikan yang tidak transparan (dikuasai tengkulak) dan otoritas tidak
punya wibawa untuk mengatur dan menegakkan aturan (Retnowati 2011). Hasil
analisis ekonomi juga membuktikan bahwa usaha perikanan tonda dengan rumpon
di PPP Pondokdadap memiliki keuntungan yang cukup baik, yaitu mencapai
Rp442 605 625/tahun dengan profitabilitas 2.27 persen. Hal ini didukung dengan
hasil analisis finansial berupa nilai NPV positif, IRR lebih besar dari nilai
discount factor dan nilai net B/C lebih besar dari 1 yang menunjukkan bahwa
usaha ini layak untuk dilanjutkan. Tingkat kelayakan yang cukup baik ini mampu
menjadi pemicu peningkatan jumlah unit perikanan tonda dengan rumpon di
Sendang Biru dari tahun ke tahun sehingga diperlukan kesadaran nelayan sebagai
pelaku utama perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan yang menjadi
target tangkapan dengan lebih bijak.
Nelayan sebagai pelaku utama sudah seharusnya memahami peraturan
yang berlaku dan harus dipenuhi dalam pengoperasian unit perikanan di daerah
penangkapan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Kenyataan dilapangan
menunjukkan kondisi yang berlawanan. Kurangnya kekompakan diantara nelayan
menjadi salah satu penyebab terjadinya masalah sosial dalam masyarakat nelayan,
yang akan berpengaruh terhadap sistem perikanan khususnya perikanan tonda di
Sendang Biru. Kasus yang pernah terjadi adalah pencurian hasil tangkapan oleh
nelayan purse seine dengan memanfaatkan rumpon nelayan tonda. Pencurian
dilakukan dengan bekerjasama dengan salah satu nelayan tonda Sendang Biru,
yang bertujuan untuk bagi hasil diantara kedua nelayan. Tindakan tersebut sangat
tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Pemanfaatan rumpon
seharusnya hanya dilakukan pada rumpon masing-masing kelompok sesuai
dengan jenis unit perikanan yang digunakan. Tidak ada penyelesaian dan sanksi
yang jelas bagi pelanggar, padahal kerugian yang diderita oleh pihak yang
dirugikan cukup besar mengingat metode penangkapan yang digunakan unit
perikanan purse seine sangat berbeda dengan unit perikanan tonda. Unit perikanan
jaring seperti purse seine dapat menangkap ikan lebih banyak (baik dari segi
jumlah dan ukuran) dalam sekali proses setting, berbeda dengan unit perikanan
tonda. Kondisi ini memerlukan peran kelembagaan yang lebih kuat, khususnya
bagi organisasi nelayan Rukun Jaya dan seluruh nelayan untuk dapat lebih aktif
dalam menjalankan kesepakatan sebagai wujud partisipasi dalam menjaga dan
mengawasi perairan dan sumberdaya ikan didalamnya.
Sebagian besar unit perikanan tonda dengan rumpon milik nelayan
Sendang Biru tidak memiliki dokumen kapal yang lengkap untuk memanfaatkan
sumberdaya pada wilayah perairan, padahal pengoperasiannya dilakukan pada
wilayah perairan yang cukup jauh yaitu 50-200 mil atau berkisar pada 80-130 LS.
Pengurusan izin kapal nelayan di PPP Pondokdadap dibantu organisasi nelayan
Rukun Jaya. Hambatan seperti proses administrasi yang cukup lama dan biaya
yang mahal membuat nelayan merasa kewalahan untuk mengurus dokumendokumen tersebut. Kondisi ini menjadi keprihatinan tersendiri, disaat nelayan
mulai berusaha untuk memperhatikan dan mengurusi perizinan, petugas perikanan
dari pemerintah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan yang
ditetapkan. Prosedur pendaftaran dan perizinan kapal sebenarnya telah diatur
dalam PER.30/MEN/2012 mengenai usaha perikanan tangkap di wilayah
pengelolaan Republik Indonesia, dimana tahapan perizinan dimulai dari
Download