BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi (UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997). Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia ataupun disebabkan oleh alam (misalnya gunung meletus dan gas beracun). Pencemaran akibat dari kegiatan manusia salah satunya berasal dari limbah. Limbah yang dihasilkan ada yang bersifat berbahaya dan dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Peredaran limbah dapat masuk ke lingkungan udara, tanah, maupun air sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan yang dapat mengancam kehidupan manusia dan makhluk lain. Selain limbah, aktivitas manusia sehari-hari terutama petani juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama pencemaran tanah akibat pemupukan dengan pupuk anorganik dan penggunaan pestisida (Utomo dkk, 2009). Pupuk anorganik seperti pupuk NPK dan TSP mengandung logam berat seng (Zn) dan tembaga (Cu). Tembaga (Cu) pada tanaman berperan sebagai aktivator, sebagai katalis atau mentransfer beberapa enzim, membantu kelancaran proses fotosintesis, pembentukan klorofil, dan membantu dalam proses pembentukan vitamin. Sedangkan seng (Zn) berfungsi untuk pembentukan hormon tumbuh, serta sangat penting bagi keseimbangan fisiologis. Kedua logam 1 2 berat ini termasuk dalam logam berat esensial, dimana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup yang dalam hal ini yaitu tanaman, tetapi jika dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh manusia tidak akan dapat dihancurkan dan dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia itu sendiri tergantung pada bagian mana logam berat tersebut dapat terikat dalam tubuh. Jika logam berat sudah terikat dalam tubuh manusia akan menjadi racun dalam tubuh manusia tersebut. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia (Widowati, dkk, 2008). Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia berubah menjadi lahan kritis akibat pengaruh penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan dalam waktu yang cukup lama. Sebagai dampaknya dapat menurunkan unsur hara esensial, keracunan tanah dan tanaman, pencemaran lingkungan dan mengurangi kesehatan makhluk hidup akibat mengkonsumsi hasil pertanian yang mengandung racun. Oleh karena itu, pupuk dikategorikan sebagai sumber pencemar karena adanya kandungan unsur serta senyawa tertentu yang masuk ke dalam suatu sistem dimana unsur maupun senyawa tersebut tidak diperlukan dalam jumlah banyak atau dapat membahayakan komponen dalam lingkungan tersebut. Zat pencemar yang berasal dari pupuk biasanya berupa logam berat maupun senyawa yang merupakan residu dari pupuk. Residu apabila terakumulasi akan mencemari lingkungan dan akan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup ditempat terakumulasinya residu pupuk tersebut. Akumulasi tersebut terjadi karena 3 penggunaan pupuk yang berlebihan dan tidak berimbang (Nopriani, 2011). Semakin banyak menggunakan pupuk semakin tinggi residu pupuk di lahan. Pemupukan yang terus menerus tidak saja menyebabkan tingginya residu pupuk di dalam tanah, tetapi juga meningkatkan kandungan logam berat seperti Cu dan Zn. Meningkatnya kandungan logam berat tersebut dapat meningkatkan tingkat bioavailabilitas dari logam berat tersebut. Dengan meningkatnya tingkat bioavailabilitas pada tanah, makhluk hidup disekitarnya terutama tanaman akan tercemar logam berat. (Widaningrum, dkk, 2007). Pangan yang dikonsumsi sehari-hari merupakan hasil pertanian perlu mendapat perhatian serius terkait dengan isu tercemar logam berat. Pangan seharusnya memenuhi kriteria ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Salah satu parameter tersebut, yaitu Aman, termasuk dalam masalah mutu. Mutu dan keamanan pangan berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat dan perkembangan sosial. Makanan yang bermutu baik dan aman diperlukan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan individu dan kemakmuran masyarakat (Widaningrum, dkk, 2007). Sayuran merupakan salah satu sumber pangan yang mengandung banyak vitamin dan mineral yang secara langsung berperan meningkatkan kesehatan. Oleh karena itu, higienitas dan keamanan sayuran yang dikonsumsi menjadi sangat penting agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun banyak jenis sayuran yang beredar di masyarakat tidak terjamin keamanannya karena diduga telah terkontaminasi logam-logam berat seperti tembaga (Cu) dan seng (Zn) yang berasal dari pupuk anorganik (Widaningrum, dkk, 2007). 4 Kasus pencemaran terhadap tanah di daerah pertanian hortikultura, perlu diteliti lebih lanjut supaya tanaman yang ditanam di sana dapat diketahui apakah tercemar atau tidak, oleh karena itu diperlukan daerah yang hampir setiap tahunnya menanam sayur-sayuran atau buah-buahan. Daerah yang cocok untuk hal tersebut yaitu di daerah Bedugul. Daerah Bedugul juga merupakan daerah pertanian sentral hortikultura karena setiap hasil panen yang berupa sayur-sayuran maupun buah-buahan dijual ke pasar-pasar tradisional di daerah Bedugul. Penjualan ini juga sampai ke luar daerah Bedugul seperti di Tabanan, Badung, Denpasar dan daerah-daerah lain. Daerah Denpasar merupakan daerah penerima pasokan sayuran maupun buah terbesar dari Bedugul sehingga kontaminasi logam berat berdampak besar terhadap penduduk di daerah Denpasar dan sekitarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang logam total dan bioavailabilitas logam berat Cu dan Zn dalam tanah, serta kandungan logam berat Cu dan Zn dalam pupuk yang umum diaplikasikan pada tanah pertanian sentral hortikultura di Daerah Bedugul. 1.2 Rumusan Permasalahan Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berapakah kandungan total logam berat Cu dan Zn pada tanah pertanian sentral hortikultura di daerah Bedugul? 2. Berapakah kandungan total logam berat Cu dan Zn dalam beberapa jenis pupuk yang digunakan oleh petani di sentral hortikultura daerah Bedugul? 5 3. Bagaimanakah tingkat bioavailabilitas logam berat Cu dan Zn pada tanah pertanian sentral hortikultura di Daerah Bedugul? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan kandungan total logam berat Cu dan Zn pada tanah di daerah Bedugul yang merupakan daerah pertanian sentral hortikultura. 2. Menentukan bioavailibilitas logam berat Cu dan Zn pada tanah di Daerah Bedugul yang merupakan daerah pertanian sentral hortikultura. 3. Menentukan kandungan total logam berat Cu dan Zn dalam beberapa jenis pupuk yang digunakan oleh petani di daerah Bedugul yang merupakan daerah pertanian sentral hortikultura. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1. Memberikan informasi tentang kandungan total logam berat Cu dan Zn pada tanah pertanian sentral hortikultura di Bedugul. 2. Memberikan informasi tentang tingkat bioavailibilitas logam berat Cu dan Zn tersebut pada tanah pertanian di sentral hortikultura Daerah Bedugul. 3. Memberikan informasi tentang kandungan logam berat Cu dan Zn dalam pupuk, sehingga dalam pemakaian dapat dikurangi atau diganti dengan pupuk yang lebih bersifat ramah lingkungan seperti pupuk organik. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Tanah Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Tanah dapat mengalami pencemaran jika ada bahan asing baik bersifat organik maupun anorganik yang berada di permukaan tanah dapat menyebabkan tanah menjadi rusak. Contohnya yaitu: kebocoran limbah cair, penggunaan pestisida dan pupuk, serta limbah industri yang langsung dibuang ke tanah secara tidak memenuhi syarat (illegal dumping). Ketika suatu zat berbahaya dan beracun telah mencemari permukaan tanah, maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian mengendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya (Utomo dkk, 2009). Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun dan berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Efek kandungan zat kimia pada bagian rantai utama makanan lama- 6 7 kelamaan akan terakumulasi pada rantai makanan selanjutnya. Banyak dari efekefek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT (dikloro-difenil-trikloroethana) pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut (Utomo dkk, 2009). 2.2 Pencemaran Logam Berat di Tanah Ion-ion maupun unsur logam berat yang masuk ke dalam material tanah induk adalah bentukan kumpulan bebas dari logam berat di dalam proses pembentukan tanah dalam penyesuaian terhadap perubahan iklim (hujan dan angin). Selain pengaruh iklim, logam berat tersebut juga bergantung pada faktor pedologi seperti pH, kandungan humus, maupun faktor eksternal seperti temperatur, pengendapan, erosi, dan penggunaan atau pengolahan tanah. Selain itu juga pergerakan dan keberadaannya yang dipengaruhi oleh kapasitas pertukaran ion di dalam fase padat, kompetisi dengan logam lain, dan komposisi serta kuantitas dari larutan tanah (Parsa, 2001). Bentuk senyawa ikatan logam dalam tanah mempunyai sifat kimia yang berbeda-beda, termasuk daya larutnya dalam air, perubahan ikatannya dengan silikat, dan ikatannya dengan oksida, hidroksida, dan fosfat. Bentuk ikatan senyawa tersebut sangat dipengaruhi oleh pH dan kandungan senyawa lain. Logam berat mungkin dimobilisasi karena adanya pertukaran ion dalam koloid tanah yang dibebaskan dari ikatan kompleks atau pemecahan senyawa dari mineral tanah. Tanah yang bersifat asam dapat menaikkan daya larut logam (Parsa, 2001). 8 Banyak logam berat baik yang bersifat toksik maupun esensial terlarut dalam tanah dan mencemari tanah tersebut. Sumber pencemaran ini dapat berasal dari pertambangan, peleburan logam, dan jenis industri lainnya dan dapat juga berasal dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk atau antihama yang mengandung logam (Darmono, 2001). Pencemaran logam berat dalam lingkungan bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan, baik pada manusia, hewan, tanaman, maupun lingkungan. Terdapat 80 jenis logam berat dari 109 unsur kimia di muka bumi ini. Logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu : 1. Logam berat esensial yakni logam dalam jumlah tertentu yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam tersebut bisa menimbulkan efek toksik, contohnya adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya. 2. Logam berat tidak esensial yakni logam yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain. (Widowati,W.2008) 2.3 Logam Berat Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Palar, 2004). Logam berat adalah komponen alamiah lingkungan yang mendapatkan perhatian berlebih akibat bahaya yang mungkin ditimbulkan. Bagaimanapun logam berat tersebut berbahaya terutama apabila diserap oleh 9 tanaman, hewan atau manusia dalam jumlah besar. Namun demikian beberapa logam berat merupakan unsur esensial bagi tanaman atau hewan (Nugroho, 2001). Sudarmaji, dkk (2006) menyebutkan bahwa diantara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal sifat racunnya, dibandingkan dengan logam berat lainnya, kemudian diikuti oleh logam berat antara lain Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Cu, Zn. Logam berat termasuk dalam kelompok zat pencemar karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai dan mudah diabsorpsi oleh organisme. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap logam berat yaitu keasaman tanah, bahan organik, suhu, tekstur, ketersediaan mineral unsur, dan kadar unsur lain. Tanah yang bertekstur liat memiliki kemampuan untuk mengikat logam berat lebih tinggi daripada tanah berpasir. Hal ini disebabkan karena semakin halus tekstur tanah, maka semakin tinggi kekuatannya untuk mengikat logam berat (Darmono, 1995). Organisme pertama yang akan terpengaruh oleh penambahan polutan logam berat ke tanah adalah organisme dan tanaman yang tumbuh di tanah atau habitat tersebut. Dalam ekosistem di alam terdapat interaksi antara organisme dengan organisme lain dan habitatnya, baik interaksinya secara positif maupun negatif. Interaksinya dapat menggambarkan bentuk transfer energi antar organisme dan habitatnya, sehingga pengaruh logam berat tersebut akhirnya sampai pada tingkat rantai makanan tertinggi yaitu manusia. Logam berat mampu terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme termasuk manusia dan tetap tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang sangat lama sebagai racun yang terakumulasi (Saeni, 1997). 10 2.3.1 Logam berat tembaga (Cu) dan seng (Zn) Tembaga (Cu) adalah logam berat dengan warna merah muda yang lunak, dapat ditempa dan liat yang melebur pada 1038oC. Logam ini termasuk dalam kelompok logam golongan I-B. Potensial elektroda standar Cu adalah positif (+0,34 V) (Vogel, 1994). Sifat fisik logam Cu adalah memiliki berat atom 63,5 gram/mol; nomor atom 29; konfigurasi elektron (Ar) 3d10 4s1; densitas 8,9 g/cm3; dan konduktivitas termal 399 W/mK (Dean, 1996). Secara kimia, dalam persenyawaan Cu mempunyai bilangan oksidasi +1 dan +2. Berdasarkan bilangan valensi yang dibawanya, logam Cu dinamakan kupro untuk yang bervalensi +1, dan kupri untuk yang bervalensi +2. Senyawasenyawa tembaga (I) contohnya tembaga (I) oksida (Cu2O) yang tidak mudah larut dalam air. Senyawa-senyawa tembaga (I) mudah dioksidasi menjadi senyawa tembaga (II) oksida (CuO). Secara fisika logam Cu digolongkan ke dalam kelompok logam-logam penghantar listrik yang baik. Logam Cu merupakan penghantar listrik terbaik setelah perak. Oleh karena itu, logam Cu banyak digunakan dalam bidang perlistrikan (Palar, 1994). Sebagai logam berat, Cu berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg (merkuri), Cd (cadmium), dan Cr (kromium). Logam Cu digolongkan ke dalam logam berat esensial, artinya meskipun Cu merupakan logam berat yang beracun, tetapi unsur ini sangat dibutuhkan tubuh meski dalam jumlah sedikit. Logam ini dibutuhkan tubuh manusia sebagai unsur yang berperan dalam pembentukan enzim oksidatif dan pembentukan kompleks Cu-protein (Darmono, 1995). Cu yang baik dikonsumsi bagi manusia adalah 0,0025 g/kg berat badan 11 perhari bagi orang dewasa dan 0,0001 g/kg berat badan perhari untuk anak-anak dan bayi (Palar, 1994). Pada manusia, efek keracunan utama yang ditimbulkan akibat terpapar oleh debu atau uap logam Cu adalah terjadinya gangguan pada jalur pernafasan bagian atas karena terjadinya kerusakan atropik pada selaput lendir yang berhubungan dengan hidung. Keracunan secara kronis akan menimbulkan penyakit Wilson dan Kinsky yang akan mengakibatkan penurunan kinerja ginjal, kerusakan otak, dan terjadinya pengendapan Cu dalam kornea mata. Penyakit kronis ini dapat diketahui dengan terbentuknya rambut yang kaku dan berwarna kemerahan pada penderitanya (Palar, 1994). Seng (Zn) adalah logam yang memiliki karakteristik yang cukup reaktif, berwarna putih kebiruan, memiliki nomor atom 30, titik lebur 419,73oC. Seng merupakan logam seperti perak banyak digunakan dalam industri baja supaya tahan karat, membuat kuningan, membuat kaleng yang tahan panas dan sebagainya. Seng merupakan suatu konduktor listrik dan bisa cepat terbakar di dalam udara pada panas api merah-pijar. Seng (Zn) adalah logam yang didapat pada industri alloy, keramik, pigmen, dan lain-lain. Logam seng (Zn) tersedia secara komersial jadi tidak perlu disintesis di laboratorium. Kebanyakan produksi seng didasarkan pada bijih sulfid. Zn dipanggang didalam pabrik industri untuk membentuk oksida seng, ZnO. Penguraian dari oksida seng mentah, ZnO, di dalam asam sulfat menjadi seng sulfat, ZnSO4 (Slamet, 2002). Toksisitas Zn pada hakekatnya rendah. Logam Zn termasuk sebagai mineral mikronutrien, artinya logam ini dibutuhkan sebagai nutrient yang essensial oleh organisme dalam jumlah yang relatif sedikit. Kadar Zn yang tinggi 12 dapat bersifat racun dan dapat menyebabkan gangguan metabolisme Fe dan Cu, gejala teratoma, ledygioma, seminoma, dan chorioepithelioma (Orginawati, 2002). 2.3.2 Logam berat tembaga (Cu) dan seng (Zn) dalam tanah Sumber-sumber logam Cu di tanah berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia dan sumber alamiah. Tabel di bawah ini menunjukkan batas kritis beberapa unsur logam berat dalam tanah dan tanaman. Tabel 2.1. Batas kritis logam berat dalam tanah dan tanaman UNSUR BATAS KRITIS LOGAM BERAT Tanah (ppm) Tanaman (ppm) Pb 100 50 Cd 0,50 5-30 Co 10 15-30 Cr 2,5 5-30 Ni 50 5-30 Cu 60-125 20-100 Zn 70 100-400 Sumber: Ministry of State for Population and Enviromental of Indonesia, and Dalhousie, University Canada (1992) dalam Nopriani (2011). Unsur tembaga (Cu), seperti juga unsur-unsur mikro lainnya, bersumber dari hasil pelapukan/pelarutan mineral-mineral yang terkandung dalam bebatuan. Alloway (1995) mengemukakan bahwa ada 10 jenis bebatuan dan 19 mineral utama yang mengandung Cu. Kandungan Cu dalam bebatuan berkisar 2–200 ppm dan dalam berbagai mineral berkisar 23–100%. Kebanyakan Cu-mineral dalam bentuk kristal dan bentuk lainnya lebih mudah larut daripada Cu-tanah. Penambahan Cu ke tanah melalui polusi dapat terjadi pada industri-industri tembaga, pembakaran batubara, pembakaran kayu, minyak bumi, dan buangan di area pemukiman/perkotaan (Lahuddin, 2007). Batas-batas kisaran kadar Cu dalam tanah dapat dilihat dalam tabel 2.2 berikut. 13 Tabel 2.2. Kisaran Tingkat Pencemaran Cu dalam Tanah. Tingkat Pencemaran ppm Sangat tinggi >200 Tinggi 75-200 Sedang 25-75 Rendah 15-25 Sangat rendah <15 Sumber: Rosmarkam dan Yuwono, 2002. Kelebihan kadar Cu dalam tanah yang melewati ambang batas akan menjadi pemicu terjadinya keracunan khususnya pada tanaman. Kondisi kritis logam berat Cu dalam tanah 60-125 ppm, dan dalam jaringan tanaman 20-100 ppm Cu. Pada kondisi kritis pertumbuhan tanaman mulai terhambat sebagai akibat keracunan Cu (Alloway, 1995). Zn diserap oleh tanaman dalam bentuk ion Zn2+ dan dalam tanah diserap dalam bentuk monovalen Zn(OH)+. Seperti unsur mikro lain, Zn dapat diserap lewat daun. Kadar Zn dalam tanah berkisar 70 ppm, sedangkan kadar Zn dalam tanaman berkisar antara 100-400 ppm. Mineral Zn yang ada dalam tanah antara lain sulfida (ZnS), spalerit [(ZnFe)S], smithzonte (ZnCO3), zinkit (ZnO), wellemit (ZnSiO3 dan ZnSiO4) (Rioardi, 2009). Penambahan logam Zn ke tanah melalui polusi umumnya terjadi di daerah-daerah industri peleburan bahan tambang seng. Penelitian-penelitian berdasarkan analisis contoh tanah berasal dari daerah industri logam menemukan kadar Zn sekitar 250–37200 mg/kg (di Inggris), 1665– 4245 mg/kg (di Polandia), 400–4245 mg/kg (di Rusia), 1310–1780 mg/kg tanah khususnya pada tanah di Jepang sedangkan kandungan total Zn tanah rataan hanya sekitar 50 mg/kg tanah. (Alloway, 1995). Pada tabel 2.3 dibawah ini menunjukkan batas-batas kisaran kadar Zn dalam tanah, adapun tabelnya sebagai berikut. 14 Tabel 2.3. Kisaran Tingkat Pencemaran Zn dalam Tanah. Tingkat Pencemaran ppm Sangat tinggi >550 Tinggi 250-500 Sedang 50-250 Rendah 20-50 Sangat rendah <20 Sumber: Rosmarkam dan Yuwono, 2002. Untuk pertumbuhan, tanaman membutuhkan unsur Zn hanya dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan unsur hara makro. Hal ini terlihat dari hasil analisis Zn pada jaringan tanaman berkisar 21–100 ppm dari bahan kering jaringan tanaman yang sehat, bila kandungan 11–25 ppm dikatakan rendah, di bawah angka 10 ppm disebut kurang (defisien), dan tinggi atau berlebihan bila kandungan Zn di atas 71 atau 81 ppm (Lindsay, 1979).Ketersediaan Zn dalam tanah dipengaruhi oleh pH tanah, kadar P dalam tanah, bahan organik tanah, adanya lempung dan penggenangan. Bila pH tinggi, maka ketersediaan Zn menurun. Sebaliknya, bila pH tanah rendah Zn tersedia meningkat. Pemupukan tanah dapat menyebabkan perubahan pH tanah (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). 2.4 Pupuk Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu berproduksi dengan baik. Dalam arti luas yang dimaksud pupuk ialah suatu bahan yang digunakan untuk mengubah sifat fisik, kimia atau biologi tanah sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Dalam pengertian yang khusus pupuk ialah suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara tanaman. Pupuk mengandung bahan baku pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sementara suplemen seperti hormon tumbuhan membantu kelancaran proses 15 metabolisme. Ke dalam pupuk, khususnya pupuk buatan, dapat ditambahkan sejumlah material suplemen. Pupuk dapat diberikan lewat tanah ataupun disemprotkan ke daun (Redaksi Agromedia, 2008) Berdasarkan proses pembuatannya, pupuk dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Pupuk alam ialah pupuk yang terdapat di alam atau dibuat dengan bahan alam tanpa proses yang berarti. Misalnya : pupuk kompos, guano, pupuk hijau dan pupuk batuan P. 2. Pupuk buatan ialah pupuk yang dibuat oleh pabrik. Misalnya TSP, NPK, rustika dan nitrophoska. Pupuk ini dibuat oleh pabrik dengan mengubah sumber daya alam melalui proses fisika dan / atau kimia. Sedangkan pupuk berdasarkan senyawa yang terkandung dapat terbagi menjadi: 1. Pupuk organik ialah pupuk yang berupa senyawa organik. Kebanyakan pupuk alam tergolong pupuk organik (pupuk kandang dan kompos). Pupuk alam yang tidak termasuk pupuk organik misalnya rock phosphat, umumnya berasal dari batuan sejenis apatit [Ca3(PO4)2]. 2. Pupuk anorganik atau mineral merupakan pupuk dari senyawa anorganik. Hampir semua pupuk buatan tergolong pupuk anorganik. Pupuk anorganik secara temporer telah meningkatkan hasil pertanian, tetapi keuntungan hasil panen akhirnya berkurang banyak dengan adanya penggunaan pupuk ini karena adanya sesuatu yang timbul akibat adanya degradasi (pencemaran) lingkungan pada lahan pertanian. Penggunaan pupuk buatan (anorganik) yang terus menerus akan mempercepat habisnya zat-zat organik yaitu 16 unsur-unsur hara, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman (Sakina, 2012). Tabel dibawah ini, menunjukkan beberapa unsur logam berat yang terkandung dalam pupuk organik maupun pupuk anorganik. Tabel 2.4. Kisaran Umum Konsentrasi Logam Berat pada Pupuk (ppm). UNSUR FOSFAT B 5-115 Cd 0,1-170 Co 1-12 Cr 66-245 Cu 1-300 Hg 0,01-1,2 Mn 40-2000 Mo 0,1-60 Ni 7-38 Pb 7-225 Zn 50-1450 Sumber: Alloway, 1995. 2.4.1 NITRAT 0,05-85 5,4-12 3,2-19 0,3-2,9 1-7 7-34 2-27 1-42 PUPUK KANDANG 0,3-0,6 0,1-0,8 0,3-24 1,1-55 2-172 0,01-0,36 30-969 0,05-3 2,1-30 1,1-27 15-566 KAPUR 10 0,04-0,1 0,4-3 10-15 2-125 0,05 40-1200 0,1-15 10-20 20-1250 10-450 KOMPOS 0,01-100 1,8-410 13-3580 0,09-21 0,9-279 1,3-2240 82-5894 Logam berat tembaga (Cu) dan seng (Zn) dalam pupuk Penggunaan pupuk anorganik maupun organik dalam jumlah besar dapat berdampak buruk terhadap lingkungan. Pupuk dapat mengandung logam berat dalam jumlah tinggi dan kegunaannya dapat meningkatkan konsentrasinya di dalam tanah serta bahayanya terhadap makhluk hidup (Raharjo, 2002). Sebagai contoh, pupuk anorganik yang biasa digunakan oleh petani yaitu NPK dan TSP yang semuanya mengandung 0,02 % Cu dan 0,02 % Zn. Sedangkan untuk batas kritis logam berat dalam tanah untuk logam berat Cu sebesar 60-125 ppm dan untuk logam berat Zn sebesar 70 ppm. Pada tanaman, pupuk juga memiliki nilai positif yaitu dapat menyuburkan tanaman jika pemakaian pupuk tepat guna. 17 Fungsi penambahan logam tembaga (Cu) pada pupuk anorganik maupun organik adalah sebagai berikut: Berperan sebagai aktivator dan membawa beberapa enzim, membantu kelancaran proses fotosintesis , pembentukan klorofil, dan berperan dalam fungsi produksi. Bila kekurangan, daun berwarna hijau kebiruan, tunas daun menguncup dan tumbuh kecil, pertumbuhan bunga terhambat Bila kelebihan, tanaman tumbuh kerdil, percabangan terbatas, pembentukan akar terhambat, akar menebal dan berwarna gelap. Fungsi penambahan logam seng (Zn) pada pupuk anorganik maupun organik adalah sebagai berikut: Berperan dalam aktivator enzim, pembentukan klorofil dan membantu proses fotosintesis. Kekurangan pertumbuhan lambat, jarak antar buku pendek, daun kerdil, mengkerut, atau menggulung di satu sisi lalu disusul dengan kerontokan. Bakal buah menguning terbuka, dan akhirnya gugur. Buah pun akan lebih lemas sehingga buah yang seharusnya lurus, jadi membengkok. 2.5 Kelebihan unsur seng tidak menunjukkan dampak nyata. Bioavailabilitas Logam Bioavailabilitas adalah jumlah logam yang tersedia untuk penggabungan ke dalam biota (bioakumulasi) (John and Leventhal, 1995). US National Research Council mendefinisikan bioavailabilitas sebagai fisik individu, interaksi kimia, 18 dan biologi yang menentukan paparan organisme untuk bahan kimia yang terkait dengan tanah dan sedimen. Sifat logam di lingkungan dan interaksinya dengan organisme secara langsung berhubungan dengan sifat fisiko-kimia dari bentuk terikatnya. Bila suatu logam masuk ke dalam tanah, maka logam itu dapat mengalami beberapa kemungkinan yaitu, logam langsung available dan diabsorpsi kemudian terakumulasi dalam suatu organisme, logam langsung available tetapi bioavailabilitasnya menurun dengan lamanya waktu, logam tidak available kemudian menjadi available karena suatu hal, dan yang terakhir kemungkinan logam tersebut tidak pernah available. Logam yang bersifat toksik, berarti logam tersebut sudah available di atas ambang batas konsentrasi tertentu. Konsentrasi total logam bukan sebuah indikator yang terpercaya untuk mengidentifikasi bahaya logam. Logam terlarut umumnya lebih bioavailable dibandingkan dengan partikulat logam (Peter, et al, 1996). 2.6 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Spektroskopi serapan atom adalah metode analisis berdasarkan pada pengukuran radiasi cahaya yang diserap atom bebas. Analisis menggunakan spektrofotometer serapan atom ini mempunyai keuntungan berupa analisisnya sangat cepat dan sederhana, pengerjaannya relatif sederhana, serta tidak perlu dilakukan pemisahan unsur logam didalam pelaksanaannya (Azis, 2007). Sampai saat ini telah digunakan untuk mendeteksi atau menganalisa hampir keseluruhan unsur-unsur logam yang terdapat di dalam sistem periodik unsur baik untuk 19 menentukan kadar logam yang berasal dari air, air buangan (limbah), sedimen, batu-batuan, sampel biologis, maupun biota-biota air (Cahyadi, 2000). 2.6.1 Prinsip kerja Prinsip kerja dari SSA adalah ketika sampel diatomisasi dengan penyerapan, sebagian besar dari konstituen logam direduksi menjadi atom gas. Dalam atomisasi nyala, larutan sampel disemprotkan ke api melalui nebulizer pada suhu tinggi sehingga menyebabkan pembentukan atom dapat diamati dengan spektrofotometri serapan atom (Wilantari, 2012). Alat spektofotometer serapan atom terdiri dari rangkaian dalam diagram skematik yang ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut: Sumber sinar Recorder Amplifier Pemilah (Chopper) Detektor Nyala Monokromator Gambar 2.1 Skema Spektrofotometer Serapan Atom Sumber radiasi SSA adalah Hallow Cathode Lamp (HCL) atau yang sering disebut dengan lampu katoda. Untuk setiap pengukuran logam yang berbeda HCL yang digunakan juga berbeda. Lampu katoda akan memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom. HCL terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang sama dengan yang akan dianalisis dan anoda yang terbuat dari tungsten. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan. Atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang tertentu (Khopkar, 1990). 20 Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Jenis nyala yang digunakan secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan nitrous oksida-asetilen. Nyala udara asetilen biasanya menjadi pilihan untuk analisis menggunakan SSA. Temperatur nyalanya yang lebih rendah mendorong terbentuknya atom netral dan pembentukan oksida dari banyak unsur dapat diminimalkan. Nyala nitrous oksida-asetilen dianjurkan dipakai untuk penentuan unsur-unsur yang mudah membentuk oksida dan sulit terurai. Hal ini disebabkan karena temperatur nyala yang dihasilkan relatif tinggi. Unsur-unsur yang menggunakan nyala nitrous oksida-asetilen adalah Al, B, Mo, Si, So, Ti, V, dan W (Yanthy, 2012). Tujuan sistem pembakar-pengkabut adalah untuk mengubah larutan uji menjadi atom-atom dalam bentuk gas. Fungsi pengkabut adalah menghasilkan kabut atau aerosol larutan uji. Larutan yang akan dikabutkan ditarik ke dalam pipa kapiler oleh reaksi semprot udara yang ditiupkan melalui ujung kapiler dan diperlukan aliran gas bertekanan tinggi untuk menghasilkan aerosol yang halus (Bassett dkk, 1994). Dalam spektrofotometer serapan atom fungsi dari monokromator adalah untuk memisahkan garis resonansi dari semua garis yang tidak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi. Detektor pada spektrofotometer serapan atom berfungsi untuk mengubah intensitas radiasi yang datang menjadi arus listrik. Pada spektrofotometer serapan atom yang umum dipakai sebagai detektor adalah tabung penggandaan foton (Mulja, 1995). Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi besaran daya serap atom transmisi yang 21 selanjutnya diubah menjadi data dalam sistem pembacaan. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi dan intensitas emisi (Khopkar, 1990). Proses atomisasi yang terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut: larutan sampel disemprotkan dalam bentuk aerosol (kabut) ke dalam nyala api. Mulamula terjadi penguapan pelarut yang menghasilkan sisa partikel yang padat dan halus di dalam nyala. Partikel-partikel padat ini kemudian berubah menjadi bentuk uap (gas), selanjutnya sebagian atau seluruhnya mengalami disosiasi menjadi atom netral. Proses ini disebabkan oleh pengaruh langsung dari panas atau peristiwa reduksi oleh zat-zat dalam nyala. Di dalam nyala atom-atom netral mampu menyerap (mengabsorpsi) energi cahaya yang dikenakan pada atom tersebut dengan panjang gelombang yang sesuai dengan besarnya energi transisi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi (Cahyadi, 2000). Penetapan kandungan logam dalam sampel menggunakan SSA dapat mengalami gangguan (interferensi). Interferensi dapat disebabkan oleh sistem pengkabutan atom, sumber radiasi eksternal, matriks sampel, dan lainnya. Secara umum interferensi pada SSA digolongkan menjadi tiga yaitu interferensi spektrum, kimia, dan interferensi fisik. Interferensi spektrum terjadi bila spektrum absorbsi bahan pengganggu bertumpang tindih atau terletak dekat sekali dengan spektrum absorbsi analit yang tidak mungkin dipisahkan oleh monokromator, sehingga menyebabkan kesalahan dalam pengukuran absorbansi. Interferensi kimia disebabkan terjadinya pembentukan senyawa kimia yang mengandung analit yang memiliki volatilitas rendah saat proses atomisasi. Interferensi fisik 22 yaitu viskositas dan tegangan permukaan dari sampel yang berbeda dengan larutan standar (Sadiq, 1992). 2.6.2 Teknik analisis kurva kalibrasi Teknik yang banyak digunakan dan sesuai untuk spektrofotometri serapan atom adalah teknik analisis kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi disebut juga kurva standar yang diperoleh dengan mengukur absorbansi dari sederetan konsentrasi larutan standar. Untuk senyawa atau zat yang mengikuti hukum Lambert Beer, maka grafik antara konsentrasi dan absorbansi akan menghasilkan suatu garis lurus melalui (0,0) (Vogel, 1994). Gambar 2.2 Grafik Hubungan antara Absorbansi terhadap Konsentrasi Untuk membuat kurva kalibrasi, terlebih dahulu dibuat seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi dari sederetan larutan ini diukur dengan SSA. Setelah itu, dibuat plot antara absorbansi dan konsentrasi seperti tertera dalam Gambar 2.2. Dengan menggunakan kurva kalibrasi konsentrasi suatu analit dalam larutan sampel dapat dengan mudah diketahui atau dihitung menggunakan persamaan regresi linier y = ax + b. Dengan menghitung tetapan a dan b berdasarkan persamaan y = ax + b dan mengukur absorbansi sampel maka konsentrasi analit dapat ditentukan (Syahputra, 2004). 23 a n. xy x. y b y a. x n. x 2 ( x) 2 n Dimana: y = absorbansi x = konsentrasi a = slope b = intersep 24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian 3.1.1 Bahan-bahan penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel tanah, pupuk NPK, pupuk TSP, CuSO4.5H2O, Zn(NO3)2.7H2O, HNO3, aquades, HCl, dan EDTA. Semua zat kimia yang digunakan memiliki derajat kemurnian proanalisis. 3.1.2 Alat-alat penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sendok polietilen, kantong plastik, oven, mortar, ayakan ukuran 63 µm, neraca analitik, seperangkat alat gelas (pipet volume, gelas beaker, labu ukur, dll), dan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). 3.2 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian yang berada di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Pengukuran sampel yang akan dianalisis menggunakan alat instrument Spektofotometer Serapan Atom (SSA) dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. 24 25 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pembuatan larutan standar Cu Larutan induk Cu 100 ppm dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0,1963 gram CuSO4.5H2O, kemudian dilarutkan dengan aquades dan diencerkan sampai volumenya menjadi 500 mL. Pembuatan larutan standar Cu 0, 1, 2, dan 4 ppm, dengan cara memipet sebanyak 0, 1, 2, dan 4 mL larutan induk Cu 100 ppm, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan larutan HNO3 1% sampai tanda batas. 3.3.2 Pembuatan larutan standar Zn Larutan induk Zn 1000 ppm dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0,2412 gram Zn(NO3)2.7H2O dimasukkan dalam labu ukur 50 ml, kemudian ditambahkan aquades ke dalam labu ukur sampai tanda batas. Selanjutnya, larutan baku Zn 10 ppm, dibuat dengan mengambil 1 mL larutan induk Zn 1000 ppm dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquades sampai tanda batas. Larutan standar Zn 0; 0,5; 1; dan 2 ppm, dibuat dengan menggunakan pipet volume dan diambil 0; 5; 10; dan 20 mL larutan baku Zn 10 ppm ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan larutan HNO3 1% sampai tanda batas. 3.3.3 Pengambilan sampel tanah Sampel tanah diambil secara acak pada lima titik di tiga lokasi yaitu tanah yang ditanami tanaman tomat, kol, dan wortel. Sampel yang diambil memiliki kedalaman 0-20 cm dari permukaan tanah, kira-kira 500 gram setiap lokasi dengan menggunakan sendok polietilen dan kantong plastik polietilen sebagai tempat sampel. Sebelum digunakan, sendok polietilen direndam dalam HNO3 26 10% selama kurang lebih 24 jam, kemudian dibilas beberapa kali dengan aquades. Bahan sampel tanah yang terkumpul, dimasukkan ke dalam kantong plastik polietilen dan dibawa ke laboratorium. Setelah sampai di laboratorium sampel tanah ditaruh dalam loyang dan dioven pada suhu 60oC selama ±24 jam. 3.3.4 Perlakuan sampel tanah Sampel tanah yang sudah dioven, kemudian digerus dan diayak dengan ayakan 63 µm. Sampel tanah yang akan digunakan adalah sampel tanah yang lolos dari ayakan 63 µm. Ukuran 63 µm yang dipilih, karena ukuran ini cukup untuk analisis logam berat dalam sampel tanah, dan ukuran ini tidak terlalu besar, sehingga materi yang sangat kasar dari sampel tanah dapat dihilangkan. Setelah diayak, sampel tanah kembali dimasukkan ke dalam kantong plastik polietilen untuk preparasi sampel lebih lanjut. 3.3.5 Penentuan absorbansi logam Cu dan Zn total dalam sampel tanah Sampel tanah ditimbang dengan teliti sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam gelas beaker, kemudian ditambahkan sebanyak 10 mL reverse aquaregia (campuran HNO3 dan HCl (3:1)). Campuran sampel kemudian didestruksi dengan ultrasonic bath selama 45 menit pada suhu 60oC. Setelah itu campuran dipanaskan pada hotplate selama 45 menit pada suhu 140oC. Larutan yang diperoleh disentrifugasi, kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No. 42, dan filtratnya ditampung dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan dengan aquades sampai tanda batas. Larutan ini diukur dengan SSA pada panjang gelombang 324,7 nm untuk logam berat Cu dan 213,9 nm untuk logam berat Zn untuk mendapatkan absorbansi. Hal ini dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. (Siaka, M., et al., 2006). 27 3.3.6 Penentuan absorbansi logam total Cu dan Zn pada pupuk Sampel pupuk NPK dan TSP ditimbang dengan teliti sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam gelas beaker, ditambahkan aquades sedikit untuk melarutkan pupuk tersebut. Setelah larut, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, kemudian diencerkan dengan larutan HNO3 1% sampai tanda batas. Selanjutnya, larutan ini diukur dengan SSA pada panjang gelombang 324,7 nm untuk logam berat Cu dan 213,9 nm untuk logam berat Zn (Siaka, M., et al., 2006). 3.3.7 Bioavailabilitas logam Cu dan Zn Bioavailabilitas logam Cu ditentukan dengan cara ekstraksi dengan menggunakan HCl dan EDTA. Sampel tanah ditimbang dengan teliti sebanyak 1 gram, kemudian ditambahkan sebanyak 40 mL Na-EDTA 0,05 M pada pH 6, dan digojog selama 8 jam dengan shaker. Untuk ekstraksi dengan menggunakan HCl, sampel tanah ditimbang dengan teliti sebanyak 1 gram, kemudian ditambahkan sebanyak 20 mL HCl 0,05 M, dan digojog selama 8 jam dengan shaker. Kedua campuran disentrifugasi untuk memisahkan fraksi padat dan cair. Fraksi cair yang diperoleh, kemudian disaring dan dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL, selanjutnya diencerkan dengan aquades sampai tanda batas. Konsentrasi Cu dalam sampel diukur dengan SSA pada panjang gelombang 324,7 nm dan 213,9 nm untuk menentukan konsentrasi Zn yang bioavailabelnya dalam bentuk senyawa kompleksnya. 28 3.3.8 Penentuan konsentrasi logam Cu dan Zn dalam sampel tanah dan pupuk Semua larutan sampel hasil preparasi dari kandungan logam total dan bioavailabel untuk logam berat Cu diukur pada panjang gelombang 324,7 nm dengan lebar celah 0,5 nm dan pada panjang gelombang 213,9 nm dengan celah 0,5 nm untuk pengukuran logam Zn. Kedua pengukuran logam tersebut menggunakan nyala udara-asetilen. Penentuan konsentrasi logam Cu dan Zn pada sampel dilakukan dengan metode kurva kalibrasi dari nilai absorbans yang dihasilkan oleh SSA, baik absorbans dari larutan standar maupun dari sampel. Dari kurva kalibrasi yang berupa garis linier, dapat ditentukan konsentrasi masing-masing logam dari nilai absorbansnya yang telah diukur. Setelah konsentrasi sampel diketahui, maka kadar logam berat pada sampel ditentukan dengan perhitungan: M C.V . f B Dimana: M = Konsentrasi Cu/Zn dalam sampel (mg/kg) C = Konsentrasi berdasarkan nilai absorbans ( mg V = Volume filtrat (mL) f = Faktor pengenceran B = Berat sampel (gram) L ) 29 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pembuatan kurva kalibrasi Pengukuran absorbansi larutan standar tembaga (Cu) dan seng (Zn) dilakukan dengan menggunakan alat SSA. Untuk hasil pengukuran absorbansi larutan standar Cu dapat diamati pada Lampiran 5 halaman 54. Dari hasil pengukuran absorbansi larutan standar Cu, maka diperoleh kurva kalibrasi sebagai Absorbansi (A) berikut: 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 y = 0,1942x - 0,0026 R² = 0,9935 0 1 2 3 4 5 Konsentrasi (ppm) Gambar 4.1. Kurva kalibrasi logam Cu Dari kurva kalibrasi di atas maka diperoleh persamaan regresi linier yaitu y = 0,1942x - 0,0026 dengan nilai koefisien korelasinya (R) sebesar 0,9935. Perhitungan persamaan regresi linier dari larutan standar Cu dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 55. Konsentrasi Cu dalam larutan sampel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier di atas. 29 30 Sementara itu, untuk kurva kalibrasi larutan standar Zn sebagai berikut. y = 0,3946x - 0,0032 R² = 0,9927 0.9 0.8 Absorbansi (A) 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0 0.5 1 1.5 2 Konsentrasi (ppm) Gambar 4.2. Kurva kalibrasi logam Zn Untuk hasil pengukuran absorbansi larutan standar Zn dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 54. Dari hasil pengukuran konsentrasi larutan standar Zn seperti dalam tabel di atas, diperoleh persamaan regresi linier yaitu y = 0,3946x 0,0032 dengan nilai koefisien korelasinya (R) sebesar 0,9927. Perhitungan persamaan regresi linier dari larutan standar Cu dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 55. Konsentrasi Zn dalam larutan sampel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier di atas. 4.1.2 Penentuan konsentrasi logam Cu dan Zn total dalam tanah Untuk mendapatkan konsentrasi logam Cu dan Zn total, terlebih dahulu dilakukan pengukuran absorbansi sampel terhadap logam Cu dan Zn. Setelah mendapatkan absorbansi sampel, konsentrasi sampel didapat dengan menggunakan persamaan regresi liniernya. Data absorbansi dan berat sampel 31 dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 58. Contoh perhitungan untuk mendapatkan konsentrasi logam Cu dan Zn dalam tanah sebagai berikut. Pada sampel logam Cu pada tanah yang ditanamitomat memberikan absorbansi 0,1991 maka konsentrasinya menjadi: y = 0,1942x - 0,0026 0,1991 = 0,1942x - 0,0026 x 0,1991 0,0026 0,1942 x = 1,0386 mg/L Setelah diperoleh konsentrasi pengukuran, maka konsentrasi logam Cu total pada sampel tanah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : M C V f B Contoh : C = 1,0386 mg/L (Konsentrasi berdasarkan absorbansi) V = 50 mL (Volume larutan sampel) F =1X B = 1,0001 g (Berat sampel yang ditimbang) Perhitungan : M 1,0386mg / Lx50mLx1 1,0001g = 51,9258 mg/kg sampel kering Untuk jenis sampel tanah dengan faktor pengenceran 5X yaitu kandungan logam Zn pada sampel tanah yang ditanami sayuran tomat, kol, wortel, pupuk NPK, dan 32 pupuk TSP. Dengan cara yang sama, kandungan logam Cu total pada sampel tanah bisa dihitung dan hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.1. Kandungan Logam Cu Total dalam Tanah Konsentrasi (mg/kg) Sampel I II III Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol Tanah yang ditanami wortel Konsentrasi Rata-rata (mg/kg) 51,9258 49,2950 47,7104 49,6437 + 2,12 38,4282 37,9611 40,7447 39,0447 + 1,49 41,6240 40,8558 43,3958 41,9586 + 1,30 Keterangan: I, II, III = Pengulangan Sementara itu, kandungan logam Zn total pada sampel tanah disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.2. Kandungan Logam Zn Total dalam Tanah Konsentrasi (mg/kg) Sampel I II III Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol Tanah yang ditanami wortel Konsentrasi Rata-rata (mg/kg) 138,4463 159,1844 109,7555 135,7952 + 24,82 123,2556 114,1868 134,403 123,9485 + 10,13 127,702 160,7204 123,0149 137,1457 + 20,55 Keterangan: I, II, III = Pengulangan Selanjutnya, kandungan logam total dalam masing-masing tanah dapat dilihat dalam bentuk grafik batang, seperti pada Gambar 4.3. 33 Kadar (mg/kg) Logam Cu dan Zn Total Pada Tanah 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Cu Zn Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol Tanah yang ditanami wortel Sampel Gambar 4.3. Kandungan rata-rata logam Cu dan Zn pada tanah yang ditanami beberapa sayuran 4.1.3 Penentuan konsentrasi logam Cu dan Zn total dalam pupuk Sama seperti halnya penentuan konsentrasi logam Cu dan Zn total dalam tanah, konsentrasi logam Cu dan Zn dalam pupuk dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier kurva kalibrasinya. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan 4.6. Tabel 4.3. Kandungan Logam Cu Pada Pupuk Sampel pupuk Konsentrasi (mg/kg) I II 15,8053 18,5283 NPK 28,8849 28,4644 TSP Keterangan: I, II, III = Pengulangan III 16,5244 30,6747 Konsentrasi Ratarata (mg/kg) 16,9527 + 1,41 29,3413 + 1,17 Tabel 4.4. Kandungan Logam Zn Pada Pupuk Sampel pupuk Konsentrasi (mg/kg) I II 168,6477 169,4583 NPK 186,0479 185,8148 TSP Keterangan: I, II, III = Pengulangan III 166,9587 186,7841 Konsentrasi Rata-rata (mg/kg) 168,3549 + 1,27 186,2156 + 0,51 34 Selanjutnya, gambar di bawah ini akan memperlihatkan kandungan logam Cu dan Zn pada pupuk NPKdan TSP. Logam Cu dan Zn Pada Pupuk 250 Kadar mg/kg 200 150 Cu 100 Zn 50 0 NPK TSP Jenis pupuk Gambar 4.4. Kandungan logam Cu dan Zn total pada pupuk 4.1.4 Penentuan Bioavailabilitas Logam Cu dan Zn dalam Tanah Penentuan bioavailabilitas logam Cu dan Zn pada tanah dilakukan dengan ekstraksi tunggal dan dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier yang sama dalam penentuan Cu dan Zn dalam sampel tanah, sehingga didapatkan konsentrasi bioavailabilitas logam tersebut. Tabel 4.7 di bawah ini merupakan hasil perhitungan kandungan logam Cu sedangkan Tabel 4.8 menyajikan bioavailabilitas logam Cu pada tanah. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 7 pada halaman 57. 35 Tabel 4.5. Kandungan Logam Cu yang Terekstraksi EDTA dan HCl Pada Tanah Sampel Pereaksi Konsentrasi Konsentrasi (mg/kg) Rata-rata (mg/kg) 32,1029 EDTA 33,0264 33,5730 + 1,80 35,5898 Tanah yang ditanami 17,3258 tomat HCl 19,3576 17,8892 + 1,28 16,9843 27,2061 EDTA 30,0086 27,9515 + 1,80 26,6398 Tanah yang ditanami 11,0420 kol HCl 9,6769 10,5183 + 0,74 10,8361 20,7219 EDTA 24,7916 Tanah yang ditanami 22,1612 wortel 8,8808 HCl 12,0482 22,5582 + 2,06 10,9230 + 1,77 11,8399 Tabel 4.6. Bioavailabilitas Logam Cu Pada Tanah Sampel Pereaksi Bioavailabilitas (%) Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol Tanah yang ditanami wortel EDTA HCl EDTA HCl EDTA HCl 67,62 36,03 71,59 26,94 53,76 26,03 Potensi Bioavailabilitas (%) 31,59 44,65 27,73 Keterangan: Potensi Bioavailabilitas didapat dengan cara mengurangi persentase bioavailabilitas yang terekstraksi EDTA dengan persentase bioavailabilitas yang terekstraksi HCl. 36 80 Bioavailabilitas Cu (%) 70 60 50 EDTA 40 30 HCl 20 Potensi Bioavailabilitas 10 0 Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol Tanah yang ditanami wortel Sampel Gambar 4.5. Persentase bioavailabilitas logam Cu pada tanah Selanjutnya, Tabel 4.9 di bawah ini menunjukkan hasil perhitungan kandungan logam Zn dan Tabel 4.10 menunjukkan bioavailabilitas logam Zn pada tanah. Tabel 4.7. Kandungan Logam Zn yang Terekstraksi EDTA dan HCl Pada Tanah Sampel Pereaksi EDTA Tanah yang ditanami Tomat HCl EDTA Tanah yang ditanami Kol HCl EDTA Tanah yang ditanami Wortel HCl Konsentrasi (mg/kg) 81,8742 89,9741 51,0021 43,2937 62,014 22,3538 85,6455 84,7629 88,9137 46,2366 27,8406 39,9788 72,9979 88,0573 40,8656 34,1555 52,0742 32.5148 Konsentrasi Rata-rata (mg/kg) 74,2844 + 20,56 42,5539 + 19,84 86,4407 + 2,19 38,0187 + 9,35 67,3069 + 24,11 39,5147 + 10,92 37 Tabel 4.8. Bioavailabilitas Logam Zn Pada Tanah Sampel Pereaksi Bioavailabilitas (%) Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol EDTA HCl EDTA HCl 54,70 31,34 69,74 30,67 Tanah yang ditanami wortel EDTA HCl 49,08 28,81 Potensi Bioavailabilitas (%) 23,36 39.07 20.27 Keterangan: Potensi Bioavailabilitas didapat dengan cara mengurangi persentase bioavailabilitas yang terekstraksi EDTA dengan persentase bioavailabilitas yang terekstraksi HCl. Bioavailabilitas Zn (%) 80 70 60 50 EDTA 40 HCl 30 20 Potensi Bioavailabilitas 10 0 Tanah yang ditanami tomat Tanah yang ditanami kol Tanah yang ditanami wortel Jenis sampel tanah yang ditanami sayuran Gambar 4.6. Persentase bioavailabilitas logam Zn pada tanah 4.2 Pembahasan 4.2.1 Kandungan logam Cu dan Zn total dalam tanah Dari hasil penelitian didapatkan kandungan rata-rata logam Cu dan Zn pada setiap tanah yang ditanami tanaman tomat, kol, dan wortel. Gambar 4.3 menunjukkan kandungan logam Cu dan Zn pada tanah yang ditanami tomat berturut-turut: 49,6437 mg/kg dan 135,7952 mg/kg. Sementara itu, tanah yang ditanami kol mengandung 39,0447 mg/kg Cu dan 123,9485 mg/kg Zn, dan tanah 38 yang ditanami wortel mengandung 41,9586 mg/kg Cu dan 137,1457 mg/kg Zn. Dengan melihat data di atas, kandungan Cu dalam semua sampel tanah berada pada tingkat pencemaran sedang, seperti yang dinyatakan oleh Rosmarkam dan Yuwono (2002), yaitu 25-75 mg/kg. Begitu juga kandungan logam Zn pada semua tanah juga berada pada tingkat pencemaran sedang yaitu 50-250 mg/kg. Pada tanah yang ditanami tomat memiliki kandungan logam Cu total terbesar yaitu 49,6437 mg/kg. Hal ini mungkin dikarenakan penggunaan fungisida yang berlebihan terhadap tanaman tomat. Fungisida yang dipakai mengandung bahan aktif tembaga oksiklorida (3Cu(OH)2.CuCl2). Fungisida ini termasuk dalam fungisida non sistemik. Fungisida non sistemik tidak dapat diserap dan ditranslokasikan di dalam jaringan tanaman. Fungisida non sistemik hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan. Fungisida ini berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan tanaman. Oleh karena itu, fungisida kontak berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif bila digunakan sebelum tanaman terinfeksi oleh penyakit. Akibatnya, fungisida non sistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman secara terus-menerus terlindungi dari infeksi baru. Dengan demikian, penggunaan fungisida ini dapat meningkatkan kandungan Cu pada tanah karena pemakaiannya yang terus menerus (Adawiah, 2013). Selain fungisida, penggunakan pupuk kimia seperti NPK dan TSP yang berlebih dapat menambah kandungan Cu pada tanah. Penggunaan pupuk anorganik seperti TSP sering digunakan oleh petani yang sedang menanam tomat, kol, dan wortel. Pada tanah yang ditanami wortel memiliki kandungan logam Zn 39 total terbesar yaitu 137,1457 mg/kg. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk TSP dan NPK yang berlebihan. Pada Gambar 4.4 menunjukkan kandungan logam Cu dan Zn pada pupuk NPK dan TSP. Dari gambar tersebut ditunjukkan bahwa kandungan Cu dan Zn terbesar ada pada pupuk TSP yaitu 29,3413 mg/kg dan 186,2156 mg/kg. Dengan demikian, ada hubungan antara logam berat pada pupuk dengan keberadaan logam berat pada tanah. Penggunaan pupuk TSP ini dikarenakan memiliki kandungan fosfat yang lebih tinggi daripada pupuk yang lainnya termasuk pupuk NPK. Fosfat pada tanaman merupakan komponen setiap sel hidup pada tanaman dan cenderung lebih banyak pada biji. Pemupukan fosfat dapat merangsang pertumbuhan awal bibit tanaman. Fosfat juga mampu merangsang pembentukan bunga, buah, dan biji. Bahkan mampu mempercepat pemasakan buah seperti pada buah tomat. Pemupukan fosfat ini juga sangat diperlukan oleh tanaman yang tumbuh di daerah dingin dan tanaman yang seluruh bagiannya dipanen, seperti kol dan wortel (Saragih, 2008). Pupuk NPK memiliki kandungan Cu sebesar 16,9527 mg/kg seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Walaupun pupuk NPK lebih sedikit kandungan Cunya, pupuk ini berperan juga dalam penambahan kadar Cu pada tanah di pertanian tersebut. Pupuk NPK juga digunakan oleh petani karena terdapat kandungan N (nitrogen), P (fosfat) yang kandungannya lebih sedikit dari pupuk TSP, dan K (kalium). Nitrogen dibutuhkan tanaman untuk sintesis protein, namun secara struktural merupakan bagian dari klorofil. Kalium dalam pupuk NPK juga berfungsi dalam metabolisme tanaman, seperti fotosintesis dan respirasi, translokasi atau pemindahan gula pada pembentukan pati dan protein serta 40 meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit (Sagala, 2009). Logam Cu dan Zn pada pupuk TSP maupun NPK merupakan unsur mikro yang berarti diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang kecil karena logam ini bersifat essensial. Jika diberikan terlalu banyak pada tanaman akan menyebabkan kerusakan pada tanaman itu sendiri. Selain dari pupuk dan pestisida, pada tanah terdapat kandungan logam berat secara alamiah walaupun sedikit. 4.2.2 Bioavailabilitas logam Cu dan Zn dalam tanah Persentase bioavailabilitas logam Cu pada tanah dapat dilihat pada Gambar 4.5. Dari gambar tersebut dapat dilihat persentase bioavailabilitas logam Cu yang dapat terekstraksi EDTA tertinggi pada tanah yang ditanami kol yaitu 71,59%, disusul oleh tanah tomat yaitu 67,62%, dan terakhir adalah tanah wortel yaitu 53,76%. Begitu juga, persentase bioavailabilitas logam Cu yang terekstraksi HCl tertinggi terdapat pada tanah yang ditanami tomat yaitu 36,03%, selanjutnya tanah kol yaitu 26,94%, dan terakhir tanah wortel yaitu 26,03%. Gambar 4.6. menunjukkan persentase bioavailabilitas logam Zn pada tanah. Dari gambar tersebut terlihat bahwa tanah yang ditanami kol memiliki persentase bioavailabilitas logam Zn yang terekstraksi EDTA tertinggi yaitu 69,74%, selanjutnya tomat yaitu 54,70%, dan terakhir wortel yaitu 49,08%. Berdasarkan Gambar 4.5 dan 4.6 terdapat persamaan trend bioavailabilitas logam Cu dan Zn pada tanah yang dapat terekstraksi dengan EDTA lebih besar daripada yang terekstraksi dengan HCl. Hal ini dikarenakan ekstraksi EDTA dapat melepaskan logam Cu dan Zn yang terikat lemah dan terikat kuat dalam bentuk kompleks, sedangkan ekstraksi HCl hanya mampu melepaskan logam Cu 41 dan Zn yang terikat lemah dan teradsorpsi pada garam-garam (Yanthi, 2012). Semakin banyak persentase logam Cu dan Zn yang dapat terekstraksi oleh HCl, maka semakin lemah ikatan logam pada tanah. Hal ini mengakibtakan semakin besar kandungan logam yang dapat terionisasi dan tersedia untuk makhluk hidup di dalam maupun di atas tanah. Sebaliknya, semakin besar persentase logam Cu dan Zn yang dapat terekstraksi oleh EDTA maka semakin kuat ikatan logam pada tanah. Hal ini mengakibtakan semakin kecil kandungan logam yang dapat terionisasi dan langsung tersedia untuk makhluk hidup di dalam dan di atas tanah, kecuali terjadi perubahan pH dan redoks. Persentase potensi bioavailabilitas logam Cu dan Zn tertinggi terdapat pada tanah yang ditanami kol yaitu 44,65% dan 39,07%, selanjutnya disusul tanah tomat yaitu 31,59% dan 23,36%, dan terakhir pada tanah wortel yaitu 27,73% dan 20,27%. Potensi bioavailabilitas ini juga akan bisa meningkat dengan meningkatnya aktivitas petani terhadap tanah tersebut. Dengan berubahnya potensi bioavailabilitas menjadi bioavailabilitas maka ketersediaan logam Cu dan Zn yang mampu diserap makhluk hidup semakin besar. Potensi bioavailabilitas bisa menjadi bioavailabilitas jika pH tanah, kadar bahan organik, kapasitas tukar kation dan keadaan oksidasi-reduksi berubah. Ketersediaan kation-kation logam menurun dengan meningkatnya pH tanah. Dengan naiknya pH, bentuk kation logam berubah menjadi bentuk-bentuk hidroksida atau oksida. Beberapa logam berat seperti Cu dan Zn, dapat membentuk kompleks yang kuat dengan bahan organik. Kompleks-kompleks tersebut dapat terbentuk secara stabil akibat terikatnya logam-logam tersebut oleh gugus-gugus fungsi karboksil dan fenolik dalam bahan organik. Melalui reaksi oksidasi-reduksi, kapasitas tanah dalam 42 meretensi logam berat dipengaruhi oleh kadar air. Misalnya, Cu dan Zn lebih larut dibandingkan dengan Fe, Mn, dan Al pada tanah yang aerob (Widyastuty, 2006). Logam Cu dan Zn pada tanah diperlukan oleh makhluk hidup terutama tanaman karena logam tersebut bersifat essensial. Tembaga diserap pada tanaman dalam bentuk ion Cu2+ dan dalam bentuk garam oganik kompleks seperti EDTA. Garam-garam dari unsur ini juga dapat diserap oleh daun sehingga gejala kekurangan tembaga dapat ditanggulangi melalui penyemprotan. Fungsi tembaga adalah berperan dalam transport elektron dalam fotosintesis, sangat penting dalam pembentukan klorofil, dan secara tidak langsung berperan dalam pembentukan nodul akar (Isnaini, 2006). Unsur Zn diserap tanaman sebagai ion Zn2+ dan dalam bentuk kompleks molekul EDTA. Pemberian seng dengan cara penyemprotan menggunakan garam-garam Zn yang larut dalam air atau kompleks organik merupakan cara penanggulangan kekurangan secara langsung pada daun (Sagala, 2009). Setiap tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam hal penyerapan logam berat dalam tanah. Kapasitas tanaman dalam mengakumulasikan logam berat bergantung pada spesies, kultivar, bagian tanaman, umur, dan fisiologinya. Alloway (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah logam berat yang dapat diserap tanaman adalah: 1. Kadar logam berat dalam larutan tanah. 2. Pergerakan ion logam berat dari bahan padatan tanah ke permukaan akar. 3. Pergerakan ion logam berat dari permukaan akar ke bagian dalam akar tanaman. 4. Pergerakan logam berat dari jaringan akar ke jaringan tanaman lainnya. 43 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada sampel tanah yang ditanami sayuran tomat memiliki kandungan rata-rata logam Cu total terbesar yaitu 49,6437 mg/kg, selanjutnya wortel yaitu 41,9586 mg/kg, dan terakhir kol yaitu 39,0447 mg/kg. Sedangkan, pada sampel tanah yang ditanami sayuran wortel memiliki kandungan rata-rata logam Zn total terbesar yaitu 137,1457 mg/kg, selanjutnya tomat yaitu 135,7952 mg/kg, dan terakhir kol yaitu 123,9485 mg/kg. 2. Persentase bioavailabilitas logam Cu terbesar terdapat pada jenis sampel tanah yang ditanami tomat yaitu 36,03%, selanjutnya kol yaitu 26,94%, dan terakhir wortel yaitu 26,03%. Persentase potensi bioavailabilitas tertinggi terdapat pada tanah yang ditanami sayuran kol yaitu 44,65%, selanjutnya tomat yaitu 31,59%, dan terakhir wortel yaitu 27,73%. Persentase bioavailabilitas logam Zn terbesar terdapat pada jenis sampel tanah yang ditanami tomat yaitu 31,34%, selanjutnya kol yaitu 30,67%, dan terakhir wortel yaitu 28,81%. Persentase potensi bioavailabilitas tertinggi terdapat pada tanah yang ditanami sayuran kol yaitu 39,07%, selanjutnya tomat yaitu 23,36%, dan terakhir wortel yaitu 20,27%. 43 44 3. Kandungan rata-rata logam Cu dan Zn total terbesar dimiliki oleh pupuk TSP yaitu 29,3413 mg/kg dan 186,2156 mg/kg, sedangkan pupuk NPK hanya 16,9527 mg/kg dan 168,3549 mg/kg. 5.2 Saran Saran yang perlu untuk dilakukan untuk menyempurnakan skripsi ini yaitu dilakukannya penelitian lanjut terhadap pengaruh bioavailabilitas dari logam berat Cu dan Zn pada tanah ke makhluk hidup sekitarnya seperti tanaman. Selain itu juga perlu dilakukannya penelitian lanjut terhadap pengaruh pestisida dan air yang digunakan karena tidak hanya pupuk saja sebagai pengaruh utama keberadaan logam berat pada tanah. 45 DAFTAR PUSTAKA Alloway, B. J. 1995. Heavy Metals in Soil. Sydney: Univ. of Sydney Library. Adawiah. 2013. Pengenalan Fungisida. Lampung: Jurusan Agroteknologi, FP, UNILA. Azis, Vina. 2007. Analisis Kandungan Sn, Zn, Dan Pb Dalam Kandungan Susu Kental Manis Kemasan Kaleng Secara Spektrofotometer Serapan Atom. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia. Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik, Edisi keempat, Terjemahan Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: EGC. Cahyadi, A. 2000. Bioavailability Dan Spesiasi Logam Pb Dan Cu Pada Sedimen Di Pelabuhan Benoa. Bukit Jimbaran: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia. Dean, Y. 1996. Material Technology, First Edition. Singapore: Longman Singapore Publisher. Isnaini. 2006. Pertanian Organik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. John, D. A. and J. S Leventhal. 1995. Bioavailability Of Metal. Tersedia: http://pubs.usgs.gov/of/1995/ofr-95-0831/CHAP2.pdf, diakses pada 3 Januari 2013. Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press. Lahuddin, M., 2007. Aspek Unsur Mikro Dalam Kesuburan Tanah. Medan: USU Press. Lindsay, W. L. 1979. Chemical Equilibria in Soil. John Wiley and Sons. New York. Mulja, M. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga Press. 45 46 Nopriani, Lenny Sri. 2011. Teknik Uji Cepat Untuk Identifikasi Pencemaran Logam Berat Tanah Di Lahan Apel Batu. Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Nugroho, B. 2001. Ekologi Mikroba Pada Tanah Terkontaminasi Logam Berat. Bandung: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Orginawati, K. 2002. Konsep Ekotoksikologi Limbah B3 Dan Kesehatan. Serpong: Diklat Pengelolaan Limbah B3. Palar, Heryando. 1994. Pencemaran Dan Teksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Palar, Heryando. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Parsa, I Ketut. 2001. Penentuan Kandungan Pb dan Penyebarannya Di Dalam Tanah Pertanian Di Sekitar Jalan Raya Desa Kemenuh, Gianyar. Bukit Jimbaran: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. Peter, M., Chapman et al.. 1996. International Harmonization Related to Persistence and Bioavailability. Human and Ecological Risk Assessment Volume 2, Nikel Development Institute. Raharjo, Priyo. 2002. Studi Penentuan Logam Tembaga (Cu) Dan Seng (Zn) Pada Tanaman Kedelai (Glycine Max [L] Merril) Secara Spektrofotometer Serapan Atom Di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Redaksi Agromedia. 2008. Cara Praktis Membuat Kompos. Jakarta: Penerbit PT Agromedia Pustaka. Rioardi, 2009. Unsur Hara dalam Tanah (Makro dan Mikro). Tersedia: http://rioardi.wordpress.com, diakses pada 3 Januari 2013. Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta: Kanisius. Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat Dengan Analisis Rambut. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Sakina, Nabila Nailatus. 2012. Pencemaran Tanah Oleh Pupuk. Tersedia: http://ilmuwanmuda.wordpress.com/pencemaran-tanah-oleh-pupuk/, diakses pada 3 Januari 2013. 47 Sadiq, M. 1992. Toxic Metal Chemistry in Marine Environment. New York: Marcel Dekker Inc. Sagala, Anggiat. 2009. Respon Pertumbuhan Dan Produksi Tomat (Solanum licopersicum Mill.) Dengan Pemberian Unsur Hara Makro-Mikro Dan Blotong. USU: USU Repository. Saragih, Winda C. 2008. Respon Pertumbuhan Dan Produksi Tomat (Solanum licopersicum Mill.) Terhadap Pemberian Pupuk Phospat Dan Berbagai Bahan Organik. USU: USU Repository. Siaka, M., C. M. Owens, G. F. Birch. 2006. Evaluation of Some Digestion Methods for the Determination of Heavy Metals in Sediment Samples by Flame-AAS. Tersedia: http://193.146.160.29/gtb/sod/usu/$UBUG/repositorio/10321028Siaka.pdf , diakses pada 3 Januari 2013. Slamet, Soemirat, 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press. Sudarmaji, dkk. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal kesehatan lingkungan, Vol. 2, No.2. Syahputra, R. 2004. Modul Pelatihan Instrumentasi AAS. Laboratorium Instrumentasi Terpadu UII. Utomo, Yudhi, dkk. 2009. Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Sekolah Menengah Atas Kelas XI Jilid 2. Malang: PPLH Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang. Vogel. 1994. Qualitative Inorganik Analysis. Department of Chemistry Queens University, Belfast, N Ireland. Widaningrum, Miskiyah, dan Suismono. 2007. Bahaya Kontaminasi Logam Berat Dalam Sayuran Dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian: Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. Widowati, W., dkk. 2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Penerbit Andi. Widyastuty, Triesnie. 2006. Aplikasi Dolomit, Bahan Organik Dan Pupuk NPK Pada Tanah Dicemari Cu: Keterkaitan Antara Sifat Kimia Tanah Dan Ketersediaan Cu Dengan Bobot Kering Tomat. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wilantari, Ni Made. 2012. Spsesiasi Dan Bioavailabilitas Logam Cu Dalam Sedimen Di Pantai Sanur. Bukit Jimbaran: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. 48 Yanthy, Kristina Indra. 2012. Spsesiasi Dan Bioavailabilitas Logam Tembaga (Cu) Pada Berbagai Ukuran Partikel Sedimen Di Kawasan Pantai Sanur. Bukit Jimbaran: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. 49 LAMPIRAN 1 1. Pembuatan Larutan HNO3 1% HNO3 yang tersedia adalah HNO3 70%. Sedangkan pelarut yang digunakan adalah HNO3 1% sebanyak 1000 mL. M1= 70%, M2= 1%, V2= 1000 mL M1 x V1 = M2 x V2 70% x V1 = 1% x 1000mL V1= ( 1% x 1000 mL)/ 70% = 14,2857 mL Dengan demikian maka diambil ± 14,3 mL HNO3 70% kemudian diencerkan dengan aquades pada labu ukur 1000 mL sampai tanda batas. 2. Pembuatan Larutan Standar Cu 100 ppm Larutan standar Cu 100 ppm yang dibuat sebanyak 500 mL sehingga berat CuSO4.5H2O yang harus di timbang adalah sebanyak: 𝐶𝑢 = 100 𝐵𝐴 𝐶𝑢 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑢𝑆𝑂4 . 5𝐻2 𝑂 × 𝐵𝑀 𝐶𝑢𝑆𝑂4 . 5𝐻2 𝑂 0.5𝐿 𝑚𝑔 63.55 𝑔 𝑚𝑜𝑙 × 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑢𝑆𝑂4 . 5𝐻2 𝑂 𝐿 = 249.55 𝑔 0.5𝐿 𝑚𝑜𝑙 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑢𝑆𝑂4 . 5𝐻2 𝑂 = 100 𝑚𝑔 𝐿 × 0.5𝐿 0.2547 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐶𝑢𝑆𝑂4 . 5𝐻2 𝑂 = 196.3093 𝑚𝑔 = 0.1963 𝑔 Jadi untuk membuat larutan standar Cu 100 ppmsebanyak 500 mL, ditimbang 0,1963 g CuSO4.5H2O, kemudian dilarutkan dengan aquades dan diencerkan sampai volumenya menjadi 500 mL. Pembuatan larutan standar Cu 0, 1, 2, dan 4 ppm, dengan cara memipet sebanyak 0, 1, 2, dan 4 mL larutan induk Cu 100 ppm, 50 kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan larutan HNO3 1% sampai tanda batas. 3. Pembuatan Larutan Standar Zn 1000 ppm Larutan standar Zn 1000 ppm yang dibuat menggunakan labu ukur 50 mL sehingga berat Zn(NO3)2.7H2O yang harus di timbang adalah sebanyak: 𝑍𝑛 = 1000 𝐵𝐴 𝑍𝑛 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 Zn(NO3 )2 . 7H2 O × 𝐵𝑀 Zn(NO3 )2 . 7H2 O 0.05𝐿 𝑚𝑔 𝐿= 65.39 𝑔 𝑚𝑜𝑙 × 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 Zn(NO3 )2 . 7H2 O 𝑔 0.05𝐿 315.39 𝑚𝑜𝑙 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 Zn(NO3 )2 . 7H2 O = 1000 𝑚𝑔 𝐿 × 0.05𝐿 0.2073 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 Zn(NO3 )2 . 7H2 O = 241.1963 𝑚𝑔 = 0.2412 𝑔 Jadi untuk membuat larutan standar Zn 1000 ppm, ditimbang 0.2412 g Zn(NO3)2.7H2O kemudian ditambahkan aquades ke dalam labu ukur 50 mL sampai tanda batas. Selanjutnya, larutan baku Zn 10 ppm, dibuat dengan mengambil 1 mL larutan induk Zn 1000 ppm dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquades sampai tanda batas. Larutan standar Zn 0; 0,5; 1; dan 2 ppm, dibuat dengan menggunakan pipet volume dan diambil 0; 5; 10; dan 20 mL larutan baku Zn 10 ppm ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan larutan HNO3 1% sampai tanda batas. 51 Lampiran 2 Skema Penentuan Konsentrasi Total Cu dan Zn pada Sampel 1 g sampel Tanah kering + 10 ml campuran HNO3 dan HCl ( 3:1 ) Campuran sampel Didestruksi pada suhu 600C (45 menit) Dipanaskan pada suhu 1400C (45 menit) Filtrat disaring + aquades 50 mL Diukur dengan AAS Absorbansi Larutan 52 Lampiran 3 Skema Penentuan Konsentrasi Total Cu dan Zn dalam Pupuk 1 g sampel pupuk + aquades sedikit Larutan sampel + HNO3 1% 25 mL Absorbansi Diukur dengan AAS Larutan 53 Lampiran 4 Skema Ekstraksi dengan EDTA dan HCl Sampel kering Ditimbang 1 gram + 40 mL 0,05 M EDTA pH 6 Digojog (8 jam ) Disentrifugasi (15 menit) Padat Cair Padat + aquades 50 mL Diukur dengan AAS Absorbansi Ditimbang 1 gram + 20 mL 0,05 M HCl Digojog (8 jam ) Disentrifugasi (15 menit) Cair + aquades 50 mL Diukur dengan AAS Absorbansi 54 Lampiran 5 Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Cu Konsentrasi larutan standar (ppm) Absorbansi 0 1 2 4 0 0,1643 0,4217 0,7632 Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Zn Konsentrasi larutan standar (ppm) 0 0,5 1 2 Absorbansi 0 0,1643 0,4296 0,7743 55 Lampiran 6 Penentuan Persamaan Regresi dari Standar Cu dan Zn Persamaan regresi y = ax + b ; y = serapan larutan yang diukur x = konsentrasi larutan yang diukur (mg/L) a = tangen arah b = intersep X 0 1 2 4 ∑=7 X = = y 0 0,1643 0,4217 0,7632 ∑ = 1,3492 Xy 0 0,1643 0,8434 3,0528 ∑ = 4,0605 x2 0 1 4 16 ∑ = 21 y2 0 0,0269 0,1778 0,5825 ∑ = 0,7872 xy 2 0 0,0269 0,7113 9,3195 ∑ = 10,0577 x n 7 = 1,75 4 Y = 0,3373 a = = n xy x n x 2 x y 2 4 4,0605 7 1,3492 4 21 7 2 = 0,1942 b = Y – aX = 0,3373 – 0,1942 x 1,75 = -0,0026 Jadi, persamaan regresi larutan standar Cu adalah y = 0,1942x – 0,0026 56 X 0 0,5 1 2 ∑ = 3,5 X = = y 0 0,1643 0,4296 0,7743 ∑ = 1,3682 Xy 0 0,0822 0,4296 1,5486 ∑ = 2,0604 x2 0 0,25 1 4 ∑ = 5,25 y2 0 0,0270 0,1846 0,5996 ∑ = 0,8112 xy 2 0 0,0068 0,1846 2,3982 ∑ = 2,5896 x n 3,5 = 0,875 4 Y = 0,3421 a = = n xy x y n x 2 x 2 4 2,0604 3,5 1,3682 4 5,25 3,5 2 = 0,3946 b = Y – aX = 0,3421 – 0,3946 x 0,875 = -0,0032 Jadi, persamaan regresi larutan standar Zn adalah y = 0,3946x – 0,0032 57 Lampiran 7 Perhitungan Persentase Bioavailabilitas Logam Cu dan Zn Pada sampel tanah yang ditanami tomat mempunyai konsentrasi bioavailabilitas logam Cu rata-rata yang tersekstraksi EDTA sebesar 33,5730 mg/kg dengan kandungan total rata-ratanya sebesar 49,6437 mg/kg, maka persentase bioavailabilitasnya menjadi: = = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝐸𝐷𝑇𝐴 𝑟𝑎 𝑡𝑎 −𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑟𝑎𝑡𝑎 −𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑥 100% 33,5730mg / kg x100% 49,6437mg / kg = 67,62 % Jadi, persentase bioavailabilitas pada sampel tanah yang ditanami tomat adalah 67,62%. Cara ini sama untuk perhitungan persentase bioavailabilitas Cu yang terekstraksi HCl dan logam Zn yang terekstraksi EDTA dan HCl. 58 Lampiran 8 Data Berat Sampel dan Absorbansi Logam Cu dan Zn 1. Berat sampel tanah Sampel tanah yang ditanami sayuran TOMAT I II III 1,0001 1,0002 1,0005 KOL 1,0003 1,0004 1,0003 WORTEL 1,0002 1,0001 1,0003 Berat (gram) 2. Absorbansi logam Cu total pada tanah Sampel tanah yang ditanami sayuran Absorbansi I 0,1991 TOMAT 0,1467 KOL 0,1591 WORTEL II III 0,1889 0,1828 0,1449 0,1557 0,1561 0,1660 3. Absorbansi logam Zn total pada tanah Sampel tanah yang ditanami sayuran TOMAT I II III 0,2153 0,2481 0,1701 KOL 0,1914 0,1771 0,2090 WORTEL 0,1984 0,2505 0,1910 NPK I 1,0002 Berat (gram) II 1,0005 III 1,0003 TSP 1,0001 1,0004 1,0005 Absorbansi 4. Berat sampel pupuk Sampel pupuk 59 5. Absorbansi logam Cu pada pupuk NPK I 0,0588 Absorbansi II 0,0694 III 0,0616 TSP 0,1096 0,1080 0,1166 NPK I 0,2630 Absorbansi II 0,2644 III 0,2604 TSP 0,2905 0,2902 0,2918 Sampel pupuk 6. Absorbansi logam Zn pada pupuk Sampel pupuk 7. Absorbansi bioavailabilitas logam Cu pada tanah Sampel tanah yang ditanami sayuran TOMAT KOL WORTEL Pereaksi EDTA HCl EDTA HCl EDTA HCl Absorbansi I II III 0,1221 0,0647 0,1031 0,0415 0,0779 0,0331 0,1257 0,0726 0,1140 0,0362 0,0937 0,0454 0,1357 0,0634 0,1009 0,0407 0,0835 0,0446 8. Absorbansi bioavailabilitas logam Zn pada tanah Sampel tanah yang ditanami sayuran TOMAT KOL WORTEL Pereaksi EDTA HCl EDTA HCl EDTA HCl Absorbansi I II III 0,6430 0,3385 0,6729 0,3618 0,5730 0,2664 0,7070 0,4863 0,6660 0,2166 0,6918 0,4078 0,3995 0,1733 0,6987 0,3124 0,3194 0,2519 60 Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian Gambar 1. Pengambilan sampel Gambar 2. Ultrasonic bath Gambar 3. Sampel tanah dan pupuk Gambar 4. Larutan sampel 61 CURRICULUM VITAE Penulis bernama I Putu Meda Parmiko, lahir di Jembrana pada tanggal 15 November 1991. Riwayat pendidikan penulis yaitu, tamat di TK EKADASI pada tahun 1997, SDK ANUGERAH pada tahun 2003, SMP Negeri 3 Mengwi pada tahun 2006, dan di SMA Negeri 1 Mengwi pada tahun 2009. Pada waktu SMA, penulis sangat menyukai kimia dan pernah mengikuti lomba-lomba seperti olimpiade di daerah maupun di universitas. Tetapi, sangat disayangkan penulis belum mendapatkan hasil yang maksimal dari mengikuti lomba-lomba tersebut. Kemudian penulis melanjutkan kuliah di Universitas Udayana. Penulis masuk di universitas ini lewat SNMPTN dan sebelumnya sudah lulus tes di Akademi Farmasi Saraswati Denpasar. Pada waktu daftar SMPTN penulis memilih Jurusan Farmasi dan Jurusan Kimia. Akhirnya penulis lulus SNMPTN dengan pilihan Jurusan Kimia dan masuk kuliah di Universitas Udayana. Seiring berjalannya waktu, penulis akhirnya melewati sidang UP (TA I) pada tanggal 31 Januari 2013 dan sidang skripsi (TA II) pada tanggal 2 Juli 2013. Pada waktu sidang skripsi penulis dinyatakan lulus. Akhir kata penulis sangat berterima kasih kepada semua yang sudah membantu penulis dari awal sampai sekarang ini, terutama keluarga penulis, teman-teman seperjuangan, dan pihak-pihak yang turut membantu penulis. 61