SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif SOUND GOVERNANCE Inovasi Kebijakan Dan Administratif Sound Governance Di Jaman Globalisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Ali Farazmand Tjahjanulin Domai ABSTRAK Salahsatu persoalan penting dalam dunia kontemporer adalah cepatnya perubahan sifat dan peran pemerintah, dan juga proses governance dan administrasi, di jaman globalisasi yang serba cepat. Peran historis tradisional dari negara dan pemerintah juga berubah, yang menimbulkan perubahan dalam sifat pemerintahan selama globalisasi. Perubahan sifat pemerintah ini juga merubah sifat governance dan proses administrasi di seluruh dunia. Hasilnya adalah adanya transformasi proses governance dan administrasi publik, ataupun pondasi institusional pemerintah di mana pun tempatnya di dunia kontemporer. PENDAHULUAN K ekuatan sentral di balik perubahan ini dan transformasinya adalah globalisasi kapital, tepatnya proses yang mempengaruhi negara-bangsa, ekonomi, pasar, institusi, dan budaya. Proses globalisasi ini dipercepat oleh sejumlah faktor atau daya, seperti inovasi teknologi; penurunan ekonomi domestik dari negara-negara industri kuat di Utara; tekanan militer dan politik dari bangsa di negara dunia ketiga; hancurnya USSR sebagai kekuatan sistem dunia alternatif; peran propaganda ideologi Barat; peran agensi United Nations seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO); bertambahnya harapan rakyat, termasuk kebutuhan pekerja dalam berbagi kekuasaan dalam demokrasi manajemen dan organisasi; dan ketersediaan tenaga kerja murah antar gender dan kelompok nasional di seluruh dunia. Dengan cepatnya proses globalisasi, muncullah gerakan grassroot dunia dalam kontra globalisasi. Ini adalah sebuah gerakan global yang dimaksudkan untuk mengurangi fallout globali sasi seperti degradasi lingkungan, penjarahan ekonomi, kemiskinan, pekerja paksa, pekerja anak, dan budak upahan. Transformasi pemerintah dan administrasi ini seperti menentang proses, struktur dan nilai dari governance dan administrasi publik. Dari situ, kebutuhan akan pembentukan kapasitas, peningkatan dan inovasi dalam kebijakan dan manajemen terkesan lebih urgen daripada sebelumnya jika pemerintah ingin menghadapi dan menindaklanjuti tantangan globalisasi. Apa yang dibutuhkan adalah aplikasi sebuah konsep baru “governance yang jelas”. Bab pendahuluan ini menggambarkan persoalan sentral “governance yang jelas” di jaman peningkatan kompleksitas global, tantangan, ancaman dan peluang yang mempengaruhi negara bangsa, pemerintah lokal, rakyat, organisasi dan sistem administratif. Elemen penting yang ada di sini adalah dua fitur penting inovasi kebijakan dan administratif yang diperiksa lewat analisis beragam dimensi dan jalur governance yang jelas, seperti organisasi; struktur antar- dan dalam-organisasi; aspek manajerial, politik dan ekonomi; kebijakan; 1|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif dan ekologi global. Diskusi pendahuluan ringkas ini dibingkai dalam empat topik yaitu (1) konsep governance dengan beragam prinsip, dan fokus ke governance yang jelas; (2) dimensi, persoalan pokok, dan karakteristik governance yang jelas; (3) inovasi kebijakan dan administratif bagi governance yang jelas; dan (4) rencana dan deskripsi buku. KONSEP PENTING Keragaman dan Kerumitan Sejumlah konsep yang beragam muncul selama dua dekade terakhir yang merefleksikan perspektif konseptual dan ideologi tentang governance dan administrasi. Konsep ini, yang beragam seperti yang dibayangkan, memberikan sedikitnya dua set peluang atau batasan dan tantangan. Peluang ini ditunjukkan oleh kreativitas dan inovasi dalam konseptualisasi seputar prinsip governance dan administrasi; ini memberikan kadar pengetahuan baru tentang subyek penyidikan. Ini adalah wacana sehat yang bisa menghasilkan solusi yang lebih baik kepada masalah kebijakan publik dan organisasi; dan menawarkan ide revitalisasi dan peningkatan sistem pemerintah dan administrasi. Peluang juga terbentuk seiring beragamnya governance dan administrasi lewat cara eksperimentasi dan praktek yang memverifikasi atau mengabaikan ide baru yang dianggap tinggi. Secara keseluruhan, uji coba ini mendukung proses pembelajaran baru, yaitu metode pembelajaran historis yang menjadi alat efektif dalam peningkatan inkremental governance dan administrasi. Di lain pihak, keragaman konsep juga menghasilkan tantangan dan kendali baru yang menambahkan dimensi baru dalam teori dan praktek administrasi dan pemerintah. Pertama, kerumitan muncul dalam beragam perspektif, khususnya ketika tidak ada konsensus atau kesepakatan seputar governance dan administrasi. Kedua, penggunaan konsep spesifik atau prinsip governance oleh banyak pemerintah dan organisasi bisa menimbulkan prominensi dan dominansi dalam teori dan praktek, tapi ini tidak membuktikan superioritasnya atas model alternatif yang dikesampingkan atau yang diabaikan. Contoh masalah ini adalah penggunaan new public management dan privatisasi menyeluruh sebagai syarat dari program penyesuaian struktural yang dijalankan di negara dunia ketiga oleh lembaga - lembaga United Nations seperti IMF, WB, dan WTO, yang menjadi instrumen institusional pokok dari negara global dan korporasi kekuasaan Barat. Selanjutnya, batasan dan tantangan bisa muncul ketika pencarian menjadi tiada henti dan ditanggung sendiri, dengan hasil berupa akibat berbeda yang bisa merugikan pihak yang terpengaruh oleh eksperimen. Reformasi hanya untuk mereformasi malah dikatakan tidak berperasaan, mahal dan sia-sia. Meski begitu, kegagalan dan tantangan negatif bisa menjadi sumber pembelajaran untuk peningkatan lebih lanjut. Konsep apa yang menimbulkan tantangan atau peluang dalam governance? Konsep Beberapa konsep governance atau pemerintah yang paling sering digunakan selama dua dekade terakhir adalah sebagai berikut: good governance, pemerintahan entrepreneurial, pemerintah kompetitif, governance mirip-pasar, governance ekonomi, governance sosial dan politik, governance pendukung, governance partisipasi, governance regulasi, governance atau pemerintah intervensionis, pemerintah pengendali versus pemerintah penggerak, dan sebgainya. Karakteristik pokok dari semua konsep ini adalah sebuah klaim yang menolak bentuk pemerintah birokratik otoriter dengan pembuatan keputusan dan implementasi yang sepihak. Mode latau konsep governance dan pemerintah karena itu menghasilkan cara pikir, pemerintahan, dan administrasi yang baru, dengan filosofi dan pendekatan baru yang memperluas keterlibatan rakyat dan feedback-nya, dan memancing partisipasi masyarakat sipil dan organisasi non pemerintah. Contoh, model pemerintah atau governance entrepreneurial menfokuskan kepada pendekatan pasar dengan emphasis pada kompetisi mirip-pasar antar organisasi publik, hasil dan output berorientasi-hasil, pengukuran kinerja, bonus kinerja, manajer yang memberhentikan dan merekrut pegawai, privatisasi, efisiensi, pemerintah pengendali versus pemerintah penggerak, pengendalian aturan dan regulasi birokratik, dan seterusnya. Buku populer Osborne dan Gaebler Reinventing Government (1992) menceritakan nada perubahan dan reformasi yang mengkarakterkan perubahan peran dan karakter pemerintah di semua level di dua dekade terakhir; pemerintah 2|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif menghabiskan banyak energi, waktu, dan uang dalam proses reinventing bisnis. Meski begitu, hanya waktu yang bisa bercerita tentang suksesnya perusahaan meski dihadapkan dengan banyak kontradiksi, penyimpangan dan masalah yang terjadi selama perkembangan gerakan ideologi baru. Reinventing pemerintah global – pemerintah yang mereinvent dirinya sendiri untuk memenuhi tantangan era global baru, era globalisasi – adalah gerakan ideologi “new public management” kelahiran Inggris, yang menjadi senjata intelektual dari kapitalisme korporat. Persoalan ini telah dijelaskan di lain tempat (Farazmand, 1999, 2001, 2002a, 2000b). Dalih kunci dari “new public management” berasal dari sumber intelektual teori pilihan publik (Buchanan dan Tollock, 1962; Downs, 1962; Niskanen, 1971; Williamson, 1985), yang menjelaskan birokrasi, pengadaan layanan publik lewat organisasi pemerintah, dan pengeluaran kapital sosial, dan mendukung privatisasi, konsumerisme, individualisme, dan pengeluaran pemerintah dalam keamanan-militer yang lebih besar untuk menghasilkan sistem kapitalisme korporat. Penganut new public management mengabaikan atau menghindari persoalan debat ekuitas, keadilan dan akuntabilitas; sifat monopolistik atau oligopolistik korporasi global; dan pertanyaan ekonomi politik lain yang dikritik oleh teori pilihan publik. Mereka menggunakan argumen sama yang mendukung transformasi governance dan pemerintah menjadi sebuah tatanan organisasi mirip-pasar yang mana nantinya sektor korporat bisnis mentakeover bisnis pemerintahan dan pengadaan layanan publik sekaligus menghindari biaya sosial dan eksternalitas bisnis, yang karena itu membuat pemerintah harus menanggung beban sosial-biaya yang tidak menguntungkan dan membuat rakyat membayar pajak sebanyak dua kali lipat (Barzelay, 2001; Behn, 2001; Hood, 1991). Konsep new public management dihadapkan dengan banyak kritik, yang mana seperti menunjukkan “buruknya ide baru tentang botol lama”, dan menunjukkan kegagalan respon kepada persoalan kritis dan aspek substantif dalam governance dan administrasi, seperti efektivitas, akuntabilitas, kualitas, keadilan, representasi dan sebagainya (laporan akhir dari konferensi IASIA IIAS 2001, di Athena, Argyriades, 2001). Kelompok konsep kedua tentang governance terlihat di tulisan ilmuwan sosial, atau lewat proyek, seminar dan workshop yang disponsori UN. Contoh, Guy Peters (1966) mendeteksi empat model governance konseptual yang terlihat dalam literatur; model pasar, model partisipasi, pemerintah fleksibel, dan pemerintah deregulasi, yang masing-masing memiliki implikasi struktural, manajerial, pembuatan kebijakan, dan public interest yang berbeda satu sama lain, atau yang beroverlap dalam banyak fitur. Contoh lainnya adalah konsep “governance sosial dan politik” sebagai sebuah model unik yang menitikberatkan interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam sebuah dunia yang kacau yang sarat dengan keragaman, kompleksitas dan dinamika (kumpulan essay dalam Kooiman, 1993). Model governance dan pemerintah ni cenderung melahirkan prinsip baru interaksi dinamika antar beragam aktor dalam masyarakat, termasuk masyarakat sipil yang merefleksikan kepentingan beragam, dan menghasilkan kompleksitas akibat lingkungan nasional dan global yang berubah cepat dan mempengaruhi governance di semua level. Partnership dan manajemen kebijakan makro dikatakan sebagai peran penting dari pemerintah, sedangkan partisipasi dan beragam pendekatan manajemen ke proses governance dianggap sebagai persoalan mikro penting dalam konsep ini (Kooiman, 1993). Sebagai sebuah ekstensi, model ini juga menunjukkan prinsip mode governance, seperti negara atau pemerintah otonom, negara atau pemerintah hirarkis, negara atau pemerintah yang bernegosiasi, dan negara atau pemerintah yang responsif (Jorgensen, 1993), yang masing-masing memiliki karakteristik yang cocok menurut waktu dan situasinya. Mode yang terakhir dianggap yang unggul dan memiliki tiga karakteristik varian: sebuah negara atau pemerintah yang bertindak seperti supermarket, bertindak seperti negara jasa, atau bekerja sebagai negara atau pemerintah yang mandiri yang menganggap rakyat sebagai bagian penting dari apa yang dilakukan pemerintah dan apa yang dipertimbangkan pemerintah (Jorgensen, 1993). Selain itu, prinsip governance partisipasi, pemerintah, dan administrasi memiliki beberapa prinsip baru yang banyak diperhatikan oleh pakar atau advokat kebijakan (Denhardt, 2002; dan edisi keseluruhan Public Organizational Review: A Global Journal). Meski menambah kontribusi ke pengetahuan kita tentang governance modern, model governance sosial dan politik cenderung menghindari atau mengabaikan ekonomi, dan 3|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif khususnya dimensi dan pertanyaan ekonomi politik. Dimensi ekonomi adalah dimensi sentral semua proses, struktur dan nilai governance; mengabaikan dimensi sentral berarti menghambat diskusi atau wacana governance demokratik. Mengabaikan ekonomi politik administrasi publik berarti menghambat atau mengganggu wacana riil administrasi publik, dan juga ekstensinya, yaitu manajemen publik. Manajemen publik, administrasi dan governance bukanlah konsep sentral; ini menjadi norma nilai dan membuahkan hasil yang konsekuensial. Dalam cara sama, United Nations Development Program, lewat sejumlah seminar, workshop dan paper kerjanya, mengemukakan prinsip governance ekonomi, governance politik, governance sosial, dan governance administratif, yang semuanya merupakan elemen governance sistemik, tepatnya sebuah prinsip yang mencakup proses dan menata masyarakat yang memandu hubungan politik dan ekonomi untuk beragam tujuan, termasuk good governance (UNDP, 1997a). Konsep “good governance” yang dikemukakan oleh lembaga United Nations seperti WB, IMF, UNDP, dan UNDESD, atau pemerintah dan korporasi Barat, menjadi salahsatu kebutuhan paling mendesak di negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin/Sentral sebagai kondisi untuk bantuan internasional. Sebagai bagian dari struktural adjustment program (SAP), agensi United Nations, menurut instruksi dan tekanan institusi donor di Utara (pemerintah dan korporasi Barat), menuntut supaya negara berkembang mau menggunakan prinsip “good governance” dengan mengimplementasikan sejumlah reformasi struktural dan kebijakan dalam pemerintah dan masyarakatnya sebagai kondisi dari bantuan internasional. Seminar, workshop dan konferensi dilakukan di seluruh dunia yang menekankan konsep dan menghendaki perlunya hasil pembangunan berkelanjutan (UNDP, 1997a, 1997b). Meski begitu, konsep “good governance” menuai kritik serius atau bahkan pujian yang mendunia. Contoh, bekas presiden Tanzania, Julius K. Nyerere, saat berpidato di UN Conference on Governance in Africa di tahun 1998, mengkritik prinsip “good governance” sebagai sebuah konsep yang imperialistik dan koloni. Dia melihatnya sebagai sebuah konsep yang dipaksakan pada negara berkembang dan kurang maju di Afrika oleh kekuasaan Barat industri dan korporasi global transnasional. Menurutnya, korporasi dan pemerintah donor ini, atau organisasi wakil UN, menganggap bahwa governance di Afrika sudah “sedemikian buruk” sehingga memutuskan harus mereformasinya supaya “baik” dengan menyusutkan ukuran administrasi negara dan masyarakat, memperluas sektor bisnis privat lewat privatisasi, dan membuat jaln menuju korporasi kapitalis global untuk mencari profit tinggi dan menghasilkan perpaduan ke dalam sistem pasar global (UNDESA, 1998). Pendeknya, prinsip “good governance” dipromosikan lewat agensi internasional atau konsultan korporat dan pemerintah yang tujuannya adalah mereformasi pemerintah dan ekonomi di negara berkembang guna mengundang elit korporat global. Prinsip good governance, meski begitu, terdengar bagus dan begitu juga tampilannya, tapi ini masih memberikan orientasi normatif, mendukung elit bisnis dan politik yang kuat, dan mengedepankan kepentingan elit korporat dalam skala nasional dan global. Konsep ini dikatakan defisien karena masih tidak jelas dan membawa nilai normatif yang terlalu tinggi sehingga cenderung meningkatkan kepentingan politik dan ekonomi dari elit dominan, imperialistik dan global, sekaligus menyurutkan tradisi pemerintah di negara berkembang. Apa yang didefinisikan baik oleh orang kaya sepertinya tidak begitu baik untuk masyarakat miskin dan kelas bawah di bangsa yang kurang maju, dan tidak ada alasan bagi kelompok ini untuk mempercayai prinsip baru yang disebut “good governance”. Defisiensi dan masalah lainnya dalam konsep good governance, atau dalam prinsip lain dari governance, mendorong digunakannya konsep alternatif dan yang lebih komprehensif, tepatnya konsep “sound governance”. Definisi dan Dalih Konsep governance banyak menerima definisi berbeda. Contoh, UNDP (1997b) mendefinisikan governance sebagai “penggunaan otoritas politik, ekonomi dan administratif untuk menangani urusan bangsa. Ini adalah mekanisme, proses, hubungan dan institusi yang kompleks yang dari situ rakyat dan kelompok mengemukakan minatnya, menggunakan hak dan kewajiban, dan memediasi perbedaan yang ada”. Berdasarkan definisi UNDP, “governance mendorong negara untuk menggunakan organisasi masyarakat sipil dan sektor privat karena semuanya terlibat dalam 4|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif banyak aktivitas yang menghasilkan perkembangan manusia yang berkelanjutan”. Definisi ini menggunakan tiga komponen governance: negara dan institusi, organisasi masyarakat sipil yang diabaikan dalam sistem sebelumnya, dan sektor privat yang tidak terlibat dalam proses atau dinamika pemerintahan. Definisi governance tipikal seperti yang diperkenalkan oleh UN dan banyak organisasi dan institusi internasional lainnya yang merepresentasikan akademia, komunitas masyarakat sipil, wanita dan kelompok minoritas, organisasi pemerintah dan UN, dan sektor privat, menjadi hallmark transformasi konseptual dari konsep “pemerintah” dan “governing” menjadi “governance dan good governance” Pakar dan organisasi institusional supra-pemerintah seperti UNDP, WB, IMF, WTO dan lainnya mengikuti konsep tersebut hingga ke point yang menjadi subyek konferensi, seminar, dan workshop nasional dan internasional, atau keyword bagi penulis yang mencari dana penelitian dan konferensi untuk paper, seminar, lapor an dan bukunya. Tiga contoh pertumbuhan yang cepat ini menggambarkan digunakannya konsep good governance: Salahsatunya adalah UN Conference on Governance in Africa. Lainnya adalah pembuatan dan penyajian sebuah paper untuk World Congress on Governance yang disponsori UN di Manila, Philipina, di bulan Juni, 1999; dengan judul paper adalah “Partnership Building for Governance”, yang menjadi salahsatu paper diskusi pokok yang sesuai dengan tema konferensi good governance, “dari pemerintah ke governance” (Farazmand, 1999b). Contoh ketiga adalah sebuah paper yang disajikan oleh konsultan UNDP, Paul Oquist (2000), tentang “implementasi good governance” di negara berkembang, yang disajikan di Annual Conference of EROPA (Eastern Regional Conference of Public Administration) di Hong Kong, dalam bulan Oktober 2000. Meski konsep “good governance” tidak lagi ditindaklanjuti, dan faktanya, ini tidak lagi diterapkan dalam laporan akademisi dan pemerintah, konsep “governance” semakin populer, dan perhatian juga diberikan kepada literatur administrasi publik di seluruh dunia. Faktanya, banyak konferensi, seminar dan simposia internasional selama satu dekade terakhir atau sekitarnya menitikberatkan tema sentral konsep “governance” yang didukung dengan beberapa konsep atau kondisi administrasi atau administrasi publik, atau setidaknya dengan dua konsep yang menyertainya, dan di banyak kasus, malah dijadikan pengganti administrasi publik. Contoh, Tokyo International Conference on Metropolitan Governance memberikan emphasis pada konsep ini dibanding administrasi; pertemuan Eastern Regional Conference of Public Administration (EROPA), yang diadakan di Hong Kong tahun 2000, membawa istilah governance bersama dengan manajemen publik; dan konferensi International Institute of Administrative Sciences (IIAS) di Athena, Yunani, di tahun 2001, juga mensejajarkan kata “governance” dengan administrasi publik. Konsep “governance” telah digunakan dalam literatur administrasi publik. Contoh dari ini meliputi Kettl (1993), Osborne dan Gaeble r (1992), Peters dan Savoie (1995), Peters (1996), Frederickson (1997), Farazmand (1999a), Kooiman (1993), Salamon (1989), dankk. Meski penggunaan istilah governance dalam ilmu politik dianggap wajar, kenaikan tiba-tiba dalam penggunaannya dalam administrasi publik menunjukkan sebuah perubahan besar dalam wacana konseptualisasi dan intelektual atau aplikasi praktikal dalam profesi manajemen public service. Penggunaan istilah governance juga dihubungkan dengan sejumlah faktor seperti konotasi negatif dari kata birokrasi dan sistem hirarki tradisional administrasi publik, rendahnya mode dan makna partisipasi administrasi publik, fungsi dan peran otoritatif dan unilateral dari konsep pemerintah dan pemerintahan, dan prinsip inklusif dan interaktif governance sebagai proses. Point ini diterangkan lewat perspektif perubahan trend dalam penggunaan governance dan administrasi publik, tepatnya dengan tujuan berbeda. Contoh, dalam menjelaskan bukunya Reinventing Government, Osborne dan Gaebler menuliskan bahwa “ini adalah buku governance, bukan politik” (1992). Sebuah dikotomi politik dan administrasi, ataupun dengan governance, diperjelas di sini dan ini menjadi sebuah masalah, karena kesuksesan atau kegagalan pemerintahan dan administrasi dihubungkan dengan politik. Sepertinya, pembaca malah terdorong untuk menyamakan governance dengan administrasi dengan berasumsi bahwa keduanya adalah sama, atau mengasumsikan ini sebagai sebuah konsep yang bisa masuk ke politik dan administrasi (Frederickson, 1997). Di lain pihak, Peters (1996) menawarkan analisis atau penjelasan tentang konsep governance dan administrasi publik dalam empat mode 5|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif governance-nya beserta fungsi struktural dan manajerialnya. Sebagai seorang ilmuwan politik dengan keahlian dalam bidang administrasi publik, Peters bisa membuat perbedaan tersebut dengan memahami makna luas dari konsep governance, yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Dalam area tengah, Frederickson (1997) menunjukkan literatur terbaru “administrasi publik sebagai governance” dan menjelaskan keuntungan dan masalah penerapan governance sebagai administrasi publik atau sebaliknya. Preferensinya adalah pda konsep administrasi publik, meski dia tahu dimana masalahnya dan tahu bahwa istilah governance bisa membantu mendukung dan menyelamatkan administrasi publik. Contoh ini menggambarkan dua realita. Salahsatunya adalah rasa malu kontemporer atau keraguan untuk menggunakan konsep administrasi publik tradisional, dan lainnya adalah konsep governance yang lebih inklusif dan komprehensif yang menyuarakan “kesan” lebih banyak interaktif dan sedikit negatif. Apapun keuntungan konsep governance atas governing, pemerintah, dan administrasi, setidaknya ada satu masalah yang muncul cepat, dan ini adalah sebuah point yang belum banyak dibahas pakar; Ini adalah makna generik dari kondisi yang bisa menimbulkan kebingungan. Seperti halnya manajemen dan administrasi, governance diterapkan di sektor publik dan privat, dan dalam beragam setting institusional. Meski governance privat atau bisnis adalah konsep yang jarang digunakan, governance korporat dan nonprofit adalah sebuah leksikon umum. Haruskah kita menggunakan istilah governance publik, seperti halnya administrasi publik atau manajemen publik? Ini adalah sebuah tantangan konseptual, yang bisa problematik dalam diskusi pemerintah, governing, administrasi publik, dan manajemen publik. Apa yang dibutuhkan di sini adalah “konteks sektoral”, bidang analisis dengan implikasi relevan kebijakan dan administrasi publik. Bagaimana konsep “good governance” bisa diterapkan oleh UN dan institusi pemerintah lain atau pakar lainnya? Meski penjelasan komprehensif ini berada di luar cakupan, jawaban ringkasnya adalah bahwa ini adalah sebuah konsep yang defisien atau menyesatkan. Defisiensi konsep “good governance”, seperti yang didefinisikan UNDP, berasal dari dua faktor. Salahsatunya adalah bahwa interaksi tiga kekuatan atau elemen yang dianggap menggambarkan atau melibatkan good governance; tepatnya, interaksi antar negara, masyarakat sipil, dan sektor privat. Interaksi triad ini mengabaikan kekuatan paling penting yang mempengaruhi governance di negara berkembang dan kurang maju, tepatnya struktur kekuatan internasional/global – kekuatan negara global dan elit korporat trans-dunia. Struktur kekuatan internasional atau global hampir satu abad lamanya mendominasi politik dan ekonomi, serta budaya bangsa berkembang dan kurang maju. Sebagai sebuah kekuatan global neo-kolonial, ini menggantikan kolonialisme abad 19 dengan imperialisme, dan lewat intervensi teknologi, politik, ekonomi dan militer, ini mencampuri dan mengganti beberapa pemerintah merdeka, legitimate dan berdaulat di bangsa dunia ketiga dan sekitarnya di sepanjang abad 20. Ini secara terbuka mengintervensi urusan dalam negeri setiap negara penentang atau ketika pemerintahan negara tersebut tidak mau tunduk dengan sarannya. Hukum dan tradisi internasional, dan semua kemajuan yang dibuat sejak dibentuknya United Nations sebagai organisasi mediasi global untuk melestarikan integritas, martabat dan kehormatan negara-bangsa dengan hak ke determinasi, sekarang mulai digantikan dengan hukum rimba yang menggunakan “logika kekuatan dan paksaan”, bukan kehormatan dan toleransi mutual. Ini adalah era epos berbahaya dari politik dan administrasi global yang cenderung membawa manusia dan peradabannya kembali ke masa kuno dan barbar. Meski ini adalah sebuah pernyataan yang terlalu kuat, fiturnya sudah di level global, dan bahaya potensialnya terlalu serius untuk diabaikan oleh pengamat politik dunia. Dengan runtuhnya superpower Uni Soviet, struktur kekuatan global mulai mendorong diimplementasikannya globalisasi kapital oleh kekuatan, dan ini adalah tekanan yang tidak bisa dihindari bangsa Eropa. Sebagai bagian dari struktur kekuatan global, setidaknya sebagai organisasi internasional supranasional yang independen, United Nations memainkan peran sangat besar dalam proses dan struktur governance di negara dunia ketiga. Sayangnya, kemampuan UN untuk berfungsi sebagai organisasi internasional independen ternyata menemui hambatan, karena struktur kekuatan global neo-kolonial menjauh dari UN sebagai instrumen institusi legitimate untuk kebijakan intervensi. Secara keseluruhan, struktur kekuatan internasional/global membentuk lingkungan internal dan eksternal governance di 6|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif hampir setiap negara. Karena itu, hubungan interaksi triad tidak menjelaskan sistem governance. Ini perlu dilengkapi dengan struktur kekuatan global/internasional yang mendominasi struktur triad. Karena itu, sound governance harus empat komponen atau dimensi seperti di atas. Masalah lainnya dari definisi tersebut adalah orientasi nilai normatif yang terlalu tinggi, khususnya yang didefinisikan dan dirumuskan oleh kekuatan internasional/global di atas. Ini adalah struktur kekuatan global atau internasional , yang dipimpin dan didominasi oleh korporasi transworld global dan pemerintah US, yang juga mendefinisikan “good governance” dan apa yang menyertainya; apa yang baik dan apa yang buruk didefinisikan secara unilateral oleh elit kekuatan global. Kebutuhan ini menuntut adanya implementasi reformasi dan penyesuaian struktural yang mendukung globalisasi kapital, yang merubah negara berkembang menjadi lapangan kerja kapitalisme global dan kerajaan Amerika, yang merupakan kerajaan global baru (Hardt dan Negri, 2000). Konsep ini juga menyesatkan karena adanya praktek standar-ganda dan nilai condong yang mempenetrasi budaya korporat global. Nilai dan karakteristik good governance tidak diterapkan ke beberapa negara yang sebenarnya sudah mewarisi sifat “kerajaan” – kurangnya pemilihan, proses demokratik, partisipasi rakyat, dan pertumbuhan organisasi independen dari ekonomi dan administrasi – atau ketika ini dipaksakan dengan sangsi pada negara negara dengan struktur governance yang pribumi dan independen. Pendeknya, nilai normatif dari good governance diterapkan dengan standar ganda dan kecondongan. Selain itu, konsep good governance masih kurang jelas dalam definisi komponen pentingnya, yang jelasnya dibutuhkan dalam mendefinisikan “sound governance”, yaitu struktur, proses, nilai, kebijakan dan manajemen. SOUND GOVERNANCE Dalih dan Karakteristik Konsep “sound governance” digunakan dalam buku ini sebagai alternatif dari istilah good governance karena beberapa alasan. Pertama, ini lebih komprehensif daripada konsep lain yang ditinjau sebelumnya, dan berisi elemen governance global atau internasional yang penting. Kedua, ini juga berisi fitur normatif atau teknis dan rasional dari good governance. Meski begitu, ini menghasilkan pandangan seimbang seputar governance yang kurang condong, dan mempertimbangkan fitur murni dari sistem governance pribumi yang mungkin berkonflik dengan struktur kekuatan neo kolonialis dominan. Dengan kata lain, sebuah pemerintah atau governance bisa dikatakan sound (jelas) meski sistemnya berkonflik dengan kepentingan imperialis dan kebijakan intervensinya. Ketiga, konsep sound governance memiliki karakteristik kualitas governance yang lebih unggul daripada good governance, dan dianggap jelas secara teknis, profesional, organisasional, manajerial, politik, demokratik dan ekonomi. Ini juga dikatakan jelas dalam kapasitas dan perilaku antisipasinya; ini dikatakan demokratik dalam karakter, respon dan kompetensinya; dan nilai budayanya ditanamkan dalam nilai dan struktur masyarakat. Keempat, sound governance bercocokkan dengan nilai konstitusi dan responsif kepada norma, aturan dan rejim internasional. Good governance yang didefinisikan sebagai proponennya serign mengabaikan fitur konstitusional penting yang membatasi negara-bangsa dan pemerintah berdaulat. Kelima, konsep sound governance berawal dari kerajaan negara-dunia pertama Persia yang memiliki sistem administrasi efektif dan efisien (Cameron, 1968; Cook, 1985; Farazmand, 1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). Menurut Darius the Great, ataupun Cyrus pengganti the Great, “tidak ada kerajaan yang bertahan tanpa adanya ekonomi dan sistem pemerintahan dan administrasi yang jelas”. Kerajaan Persia perlu menguatkan sistem pemerintahan dan administrasinya dengan kebijakan ekonomi, manajerial dan organisasi yang jelas, yang bukan hanya efisien dalam menangani urusan kerajaan yang wilayahnya luas, tapi juga efektif dalam kontrol politis dan respon antisipasi kepada krisis dan darurat yang tidak diharapkan. Manajemen strategis dan struktur governance kontingensinya telah tertata baik untuk mengurusi dan menangani kerajaan negara-dunia yang begitu besar sampai mencakup keseluruhan dunia kuno. Meski konsep kuno sound government bukanlah yang terdengar demokratik dibanding standar kontemporer, penggunaannya lewat reformasi struktural di bidang keuangan, manajemen, komunikasi, hukum dan pemerintah lokal yang didasarkan pada prinsip “toleransi” adalah sebuah ide baru. Saat ini, konsep sound governance telah mengalahkan konsep governance 7|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif lain. Sebelum memahami dimensi dan elemen atau karakteristiknya, sebuah definisi perlu diberikan ke konsep tersebut. Istilah governance menunjukkan prinsip pemerintah dan administrasi yang jauh lebih komprehensif daripada istilah government dan governing. Governance berarti proses partisipasi dalam penanganan urusan sosial, ekonomi dan politik dari sebuah komunitas negara atau lokal lewat struktur dan nilai yang mencerminkan masyarakat. Ini bisa memandang negara sebagai institusi pendukung, kerangka konstitusional, masyarakat sipil, sektor privat, dan struktur institusional internasional/global dalam batasannya. Di sini, governance digunakan sebagai sebuah konsep yang lebih luas daripada bentuk pemerintah yang tradisional, unilateral dan otoriter yang mana elit governing-nya hanya duduk dalam posisi komando unilateral. Governance karena itu dikatakan inklusif, dan mengundang partisipasi dan interaksi dalam lingkungan nasional dan internasional yang kompleks, beragam dan dinamis. Konsep “soundness” digunakan untuk menggambarkan governance dengan kualitas unggul dalam fungsi, struktur, proses, nilai, dimensi, dan elemen yang dibutuhkan dalam governing dan administrasi. Governing merupakan fungsi governance oleh apapun aktor atau otoritas atau institusi, termasuk yang non-pemerintah, sedangkan governance berisi proses, struktur, nilai, manajemen, kebijakan, dan administrasi. Konsep sound governance digunakan di sini untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi/finansial, politik, demokratik, konstitusional, organisasi, administratif, manajerial, dan etika, tapi juga jelas secara internasional/global dalam interaksinya dengan negara-bangsa lain dan dengan bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan mandiri. Sound governance merefleksikan fungsi governing dan administratif dengan kinerja organisasi dan manajerial yang jelas yang bukan hanya kompeten dalam perawatan, tapi juga antisipatif, responsif, akuntabel dan transparan, dan korektif; dan berorientasi strategis dan jangka panjang meski operasinya dalam jangka pendek. Dimensi Sound Governance Sound governance berisi beberapa komponen atau dimensi. Sebagai elemen vibrant dari sebuah sistem dinamis, elemen komponen ini berinteraksi secara dinamis satu sama lain, dan semuanya membentuk kesatuan yang mempertimbangkan keragaman, kompleksitas dan intensitas internal, dan menindaklanjuti tantangan, batasan, dan peluang eksternal. Fitur dinamis internal dan eksternal bisa berinteraksi secara konstan, yang membuat sistem governance dinamis difokuskan pada arah dan aksi menurut tujuannya. Keragaman ini memberikan peluang bagi sistem governance untuk menerima feedback dari kekuatan dialektik lawan yang menjadi mekanisme check and balance. Keragaman juga menyuntikkan darah baru ke dalam sistem, dan menghasilkan inovasi dan kreativitas. Kompleksitas terbentuk sebagai hasil keragaman dinamis dan melibatkan sejumlah kekuatan eksternal dan peripheral yang menantang pelaksanaan sistem governance. Kompleksitas, karena itu, adalah sebuah produk bertambahnya interaksi antar kekuatan dialektik yang tetap mengisi bidang sistem governance dengan sejumlah aktivitas. Proses ini menghasilkan beragam intensitas dalam sistem governance, dalam operasi internasionalnya, dan dalam respon dinamisnya ke tekanan, peluang dan batasan lingkungan eksternal – secara lokal, nasional, regional dan global. Semakin eksternal peluang dan elemen pendukungnya, semakin lancar pelaksanaan sistemnya secara internal. Sebaliknya, semakin banyak tekanan, tantangan dan batasan yang lebih eksternal (misal, sangsi, propaganda, kekerasan, konflik perbatasan, perang dan tekanan finansial/ekonomi internasional), maka semakin sulit pelaksanaan sistem governance internal. Meski begitu, ini juga memberikan sebuah peluang baru bagi sistem governance di tengah perselisihan; meningkatnya intensitas interaksi dinamis internal antar kekuatan oposan dialektik dalam sebuah medan energi, atau tepatnya sebuah proses yang meningkatkan level pembentukan kapasitas, inovasi, kreativitas, dan respon adaptif. Ini adalah sebuah karakteristik sehat dari proses dan struktur dinamis dalam sistem sound governance, karena sistem tersebut didorong untuk menghasilkan kemandirian lewat kreativitas dan inovasinya dalam kebijakan dan administrasi di berbagai bidang, dan didorong untuk melakukan lompatan ke arah pembentukan kapasitas dan peningkatan administrasi dan self-governance. Kualitas governance-lah yang membuat sistem menjadi jelas dan dinamis. Sound governance memiliki banyak dimensi. Ini meliputi (1) proses, (2) struktur, (3) kognisi dan nilai, (4) konstitusi, (5) organisasi dan 8|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif institusi, (6) manajemen dan kinerja, (7) kebijakan, (8) sektor, (9) kekuatan internasional atau globalisasi, dan (10) etika, akuntabilitas dan transparansi. Setiap dimensi ini bekerjasama dengan lainnya seperti orkestra, dengan leadership yang jelas dan partisipasi dinamis elemen atau komponen interaktif, sehingga memberikan kualitas sistem governance di luar harapan. 1. Proses. Sound governance berisi sebuah proses yang mengatur segala interaksi segala elemen atau stakeholder yang terlibat; ini adalah makna yang ingin dihasilkan oleh good governance. Tapi, sound governance bukanlah tentang proses internal dan eksternal; ini juga memiliki sebuah struktur. 2. Struktur. Struktur adalah sebuah badan elemen konstitutif, aktor, aturan, regulasi, prosedur, kerangka pembuatan keputusan, dan sumber otoritatif yang bisa memberikan sangsi atau melegitimasi proses governance. Wujud strukturalnya dibentuk dan dijalankan secara vertikal dan horisontal, dan dipengaruhi oleh beragam faktor dan kekuatan internal dan eksternal, lokal dan internasional. Proses ini menjelaskan bagaimana governance dijalankan, dimana struktur ini mendefinisikan dan memberikan arah bagi proses. Sound governance memiliki sebuah struktur yang padat, legitimate, kompeten, dan dinamsi dalam bentuk dan substansinya. Dalam governance publik, contohnya, pejabat, yang terpilih dan diangkat, stakeholder, organisasi non-pemerintah, badan rakyat, media, masyarakat sipil, sektor privat, dan institusi atau kekuatan domestik dan internasional/global adalah bagian – baik langsung atau tidak langsung – dari struktur governing, dan begitu juga aturan dan cara aturan tersebut didefinisikan. 3. Kognisi dan nilai. Dimensi kognitif atau nilai merepresentasikan sistem nilai unik atau deviant dalam struktur atau proses governance. Contoh, sistem governance yang tidak sehat, korup dan buruk adalah yang organisasinya longgar, institusionalisasi dan legitimasinya minim, dan sangat mengandalkan kekuatan eksternal dalam melegitimasi kekuasaannya. Ini cenderung rapuh, dan menunggu waktu yang tepat atau sebuah peluang kecil hanya untuk terpecah belah. Sebagian besar pemerintah kontemporer di negara dunia ketiga seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin/Tengah masuk dalam kategori ini, karena mereka lebih mengandalkan struktur kekuatan global dan dominan, dan sistem governance yang represif adalah yang cenderung rapuh dan siap terpecah. Dukungan intervensi militer, ekonomi dan politik superpower global, malah akan mempertahankan beberapa rejim di tempatnya. Kadar keragaman, kompleksitas dan intensitas dalam proses governance di dalam pemerintah cenderung rendah dengan interaksi minimum. Sistem ini mirip jembatan berkarat yang siap roboh kapan pun. Bisakah ini dirubah menjadi sistem governance yang sehat? Ya, tapi, perubahan struktural tetap dibutuhkan untuk membebaskannya dari diktasi/manipulasi eksternal, dan dari sistem nilai internal yang korup, eksploitatif, dan represif. Sound governance melahirkan nilai sehat dan dinamis yang mendasari dimensi struktur dan prosesnya. Nilai normatif keadilan, ekuitas, representasi integritas, responsivitas, tanggungjawab, toleransi dan kesetaraan di hadapan hukum bagi semua rakyat tanpa melihat warna, ras, etnis, gender dan umur, membentuk lem perekat sebuah sistem sound governance yang menjaga semua dimensi lain tetap saling berkaitan dalam cara yang kuat. Dimensi kebijakan bisa menegakkan atau melemahkan sistem governance, yang ditentukan oleh niat dan hasil atau proses ideasi, formulasi, legitimasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Kebijakan governance juga menjadi wakil filosofi politik dan ekonomi sebuah sistem governance, karena berbagai aksi kebijakan atau ketiadaan aksi bisa membawa akibat bagi kelas atau kelompok sosial dan ekonomi berbeda di dalam masyarakat. Sound governance mempertimbangkan semua faktor ini, dan cenderung menjaga keseimbangan dinamis berbagai kepentingan dan potensi hasil yang melayani kepentingan nasional dan integritas sistem governance itu sendiri. Dimensi kebijakan, karena itu, adalah sebuah kaca dari sistem governance, dan kebijakan yang jelas mencerminkan sebuah sistem governance yang jelas dan transparan. 4. Konstitusi. Selanjutnya, dimensi governance dan sound governance yang paling penting adalah konstitusi pemerintahan dan sistem governance. Konstitusi adalah dokumen dasar yang menjadi cetak biru dari governance. Meski begitu, dalam sistem governance yang lemah, kurang terorganisasi dan tidak jelas – meski masih disebut sistem – konstitusi tidak lebih sekadar dokumen formal; ini masih sering diabaikan, dan hanya digunakan secara selektif untuk melayani kepentingan tertentu. Inilah masalah tipikal “formalisme” atau dualitas dalam proses 9|Page SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif governance yang sangat dipengaruhi atau didikte oleh struktur kekuatan global eksternal. Formalisme terjadi ketika aturan dan regulasi formal diganti oleh norma dan perilaku informal dan tidak resmi dalam politik, governance, dan administrasi untuk melayani tujuan spesifik, tapi ini diterapkan secara kaku ketika melawan penantang sistem (Farazmand, 1989; Riggs, 1994). Semua sistem governance menunjukkan sebuah kadar formalisme, dan ini berisi bangsa industri maju di Barat, tapi masalahnya lebih kronis dalam bangsa yang maju dan kurang maju (Riggs, 1966, 1994). Tingginya kadar formalisme bisa merusak legitimasi sistem. Sebuah konstitusi bisa menjadi sumber legitimasi yang paling penting dalam sistem governance; sebuah konstitusi juga mendukung kejelasan governance di level nasional. 5. Organisasi dan institusi. Dimensi governance lainnya dan sound governance adalah komponen organisasi dan institusional. Apa yang dimaksud dengan institusi governance? Seberapa baik institusi ini dijalankan secara berkoordinasi dengan institusi pemerintah lainnya? Struktur dan proses governance atau kebijakannya ditentukan oleh institusi governance, dan tanpa institusi, tidak ada sound governance. Apakah institusi yang disangsikan secara formal dan konstitusional dikatakan legitimate? Apakah institusi informal memainkan peran kuat dalam proses governance? Ini adalah pertanyaan dasar seputar dimensi governance. Meski begitu, institusi tanpa organisasi yang jelas dikatakan rapuh dan cenderung hancur, karena tidak bisa mengerjakan dan melakukan apa yang menjadi maksud pembentukannya. Kegagalan ini bisa menyebabkan kegagalan kebijakan, struktur dan proses sistem governance; yang di sini disebut unsound governance. Di lain pihak, institusi yang berkinerja baik bisa menghasilkan sound governance. Ada beberapa pertanyaan kunci di sini: Seberapa baik institusi governance diorganisir? Seberapa baik organisasi sistem governance dijalankan? Seberapa baik hasil kinerja organisasi bisa memberikan manfaat bagi konstituensi governance, klien dan rakyat ? Ini adalah ukuran pokok dimensi sound governance. Institusi tanpa organisasi yang jelas tidak bisa bertahan, tapi organisasi tanpa institusi pun juga rapuh dan berpeluang kecil untuk bertahan; legitimasinya masih mengandalkan institusionalisasi yang memberikan rekognisi kognitif, sekaligus menjadi fitur normatif yang mendukung kejelasan sistem governance. Karena itu, dimensi institusional dan organisasi menjadi komponen integral bagi sound governance. 6. Manajemen dan kinerja. Dimensi manajerial dan kinerja dari sound governance memiliki keterkaitan erat. Ini adalah bagian integral dari sistem keseluruhan. Tapi, sekadar kinerja saja tidak cukup; ini harus membuahkan hasil yang diinginkan, tepatnya yang bisa diterjemahkan menjadi legitimasi institusional dan sistem. Dimensi manajemen adalah ibarat sebuah lem, tepatnya transmisi sistem yang membuahkan hasil yang diinginkan. Manajemen harus diberitahu seputar pengetahuan, teknologi, kapasitas, sumberdaya dan keahlian terbaru, yang intinya perlu diupdate secara konstan lewat penelitian dan pengembangan, pelatihan dan peningkatan, dan pembentukan kapasitas. Tanpa sistem manajemen yang jelas seperti yang dikarakterkan oleh efisiensi dan efektivitas, sound governance kehilangan kompetensi, menghasilkan kinerja buruk, sampah dan duplikasi, biro-patologi dan kekurangan legitimasi. 7. Kebijakan. Selanjutnya adalah dimensi kebijakan dari sound governance, yang memberikan panduan, arahan dan kendali yang jelas bagi elemen atau dimensi proses, struktur dan manajemen. Salahsatunya adalah eksternal dari organisasi governance, dan ini berasal dari otoritas legislatif dan politik atau judisial yang merepresentasikan keinginan dari rakyat. Jenis kebijakan ini memandu dan memberikan arahan bagi institusi dan organisasi governance untuk mencapai tujuan dan target yang diinginkan. Tipe kedua kebijakan adalah yang internal dalam organisasi dan institusi governance; ini adalah kebijakan organisasi, atau panduan kepada peran yang mendefinisikan dan menetapkan aturan, regulasi, prosedur dan nilai yang digunakan untuk menghasilkan kinerja organisasi dalam misi dan tujuan sound governance seperti yang diharapkan. Secara bersama, kebijakan eksternal dan internal menjadi mekanisme kendali bagi kinerja organisasi dalam sound governance. Semakin banyak partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan ini, semakin besar kredibilitas dan legitimasi yang diberikan ke manajemen publik dan sistem governance. Tanpa partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan dan manajemen, rakyat dan badan konstituen masih dalam kegelapan; mereka kekurangan pengetahuan dan informasi tentang apa yang terjadi; dan mereka kemudian menjadi obyek atau subyek pasif dari aktivitas pemerintah. Merosotnya kepercayaan 10 | P a g e SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif dalam organisasi publik dan pemerintahan akan terjadi, yang menimbulkan rendahnya legitimasi dan krisis governance. Karena itu, partisipasi adalah sebuah dimensi sound governance, yang melibatkan rakyat dalam apa yang disebut governance; dan sound governance, seperti good governance, bukan hanya melibatkan partisipasi rakyat, tapi juga mendorong terjadinya itu. 8. Sektor. Dimensi lain dari sound governance adalah fitur sektoral yang membentuk semua dimensi lain. Dimensi sektoral dari governance dikatakan penting karena difokuskan pada sektor spesifik seperti industri, pertanian, desa, kota, ilmiah, penelitian dan pengembangan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan area lainnya. Sound governance sektoral membutuhkan partisipasi langsung dari rakyat, manajemen yang mampu, dan pengetahuan dan keahlian dalam kinerja organisasi publik. Tapi koordinasi, kerjasama, dan pembagian pengetahuan dan informasi antar sektor dan antar organisasi dikatakan sebagai bahan penting dari sound governance. Sayangnya, banyak sistem governance dan organisasi ini kekurangan elemen absolut bagi koordinasinya, baik dalam negara industri dan negara berkembang. 9. Kekuatan internasional atau globalisasi. Dimensi sound governance lainnya dan yang sangat penting adalah dimensi global atau internasional. Saat ini, di jaman cepatnya globalisasi dan keterkaitan global, negara-bangsa, pemerintah dan rakyat masuk ke dalam – baik sukarela atau dipaksa – rejim yang tidak toleran dengan perilaku governance apapun yang sebelumnya dianggap normal dan internal dalam pemerintah berdaulat (misal, Rejim Apartheid di Afrika Selatan, atau genosida di Afrika), atau menuntut diimplementasikannya aturan, regulasi, dan protokol yang disepakati bersama di level regional atau global. Contoh organisasi internasional dan global di kategori fungsional adalah United Nations dan beragam agensi dan organisasi yang tersebar di dunia, seperti International Labor Office, World Food Organization, World Health Organization, WB, IMF, WTO dan lainnya. Yang menyertai organisasi internasional ini adalah beragam organisasi gerakan global neo-pemerintah dan grassroot, yang dibentuk oleh rakyat di dunia, yang target dan aktivitasnya adalah untuk mewujudkan tujuan seperti lingkungan, kemiskinan, migrasi, kesehatan dan kelaparan, dan hak asasi manusia. Kekuatan dan institusi internasional ini memainkan peran penting dalam mendefinisikan parameter governance di berbagai negara, bahkan dalam bangsa industri yang kuat sekali pun. Yang dimaksud bukanlah organisasi pemerintah atau korporat; ini adalah network dan organisasi berikatan longgar yang dibentuk oleh masyarakat grassroot dalam budya berbeda yang tidak mengenal batas geografi. Mereka membentuk gerakan global “kontra-globalisasi” dan “glokalisme”, dan merepresentasikan antithesis dari globalisasi dan anomali-nya. Sayangnya, fitur pokok dari dimensi governance internasional atau global terkontaminasi oleh motif neo-kolonialist dan oleh struktur kekuatan global yang kolonialis dan imperialistik yang didominasi oleh korporasi transworld dan pemerintah superpower Barat, seperti United States, yang cenderung mendikte preferensi kebijakan kepada negara berkembang dan kurang maju di dunia. Kecenderungan ini menjadi masalah kontinyu yang menghambat perkembangan dan peningkatan sound governance demokratik di negara dunia ketiga selama satu abad. Kekuasaan militer global dan dominasi politik, kontrol sumberdaya dan tenaga buruh murah, dan pasar dumping, mendorong negara kapitalist Barat, termasuk yang memiliki sistem demokratik sendiri, untuk melakukan intervensi militer, ekonomi dan politik ke dalam negara dunia ketiga. Kekuatan imperialist dan kolonialist juga mengontrol kursi sistem governance global seperti UN Security Council, WTO, WB, IMF dan lainnya yang memberikan bantuan ke negara dunia ketiga. Dengan mengontrol institusi finansial, politik dan ekonomi strategis di dunia, kekuasaan Barat, khususnya di United States, mampu mendikte pilihan kebijakan, termasuk jenis rejim dan pemerintah, kepada negara dunia ketiga. Akibatnya, sistem kolonial dari abad sebelumnya tetap berlanjut meski dalam bentuk baru, yaitu neokolonialisme dan imperialisme. Sayangnya, seiring runtuhnya superpower global, Uni Soviet, tidak ada lagi check and balance, dan tidak ada lagi pencegah penyimpangan dan penindasan yang dilakukan kerajaan global baru. Dalam lingkungan global ini, sistem governance di negara berkembang dan kurang maju masih rusak, dan sayangnya, banyak cacat dan diktasi global ini sering dirasakan rakyat dan pemerintah dunia ketiga dalam topeng kata “demokrasi” dan “kebebasan”, dimana dalam realitanya, demokrasi dan kebebasan bisa dijauhkan dari masyarakat mana pun. Sejarah di 11 | P a g e SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif abad 20 menjadi saksi dari sejumlah intervensi militer, ekonomi dan politik yang dilakukan United States dan beberapa pengkoloni Eropa Barat di Afrika, Asia, dan Amerika Latin/Tengah. Saat ini, di jaman globalisasi dan apa yang disebut tatanan dunia baru, United States berusaha merubah rejim yang tidak disukainya, atau merubah pemerintah yang mampu menetapkan hak demokratik yang tidak sesuai dengan kepentingan elit korporat global dan pemerintah US. Karena itu, dimensi global dan internasional dari sound governance memiliki hambatan serius, dan akibatnya, banyak pemerintah di negara dunia ketiga mengalami kerugian, dan tetap merugi di tengah krisis legitimasi karena leader atau rejim yang tidak mendukung kepentingan rakyat tetap berkuasa di negara tersebut dan melayani kepentingan elit kekuatan global. Apapun terhambatnya kekuatan global, sound governance bisa diimplementasikan di negara berkembang, dengan beragam kadar kesuksesan dan efektivitas. Penentuan nasib sendiri ini adalah hak masyarakat pribumi, dan sound governance demokratik bisa diwujudkan lewat partisipasi rakyat dalam panggung politik dan governance, dan hanya lewat governance dan administrasi yang partisipatif -lah maka sistem bisa menjadi jelas. 10. Etika, akuntabilitas, dan transparansi. Fitur pokok dari sound governance adalah pondasi pokok dari nilai etika, kebutuhan akuntabilitas, dan struktur dan nilai transparansi. Prinsip kardikal tentang cek governance untuk menghindari penyalahgunaan dan korupsi sistem atau untuk menghindari prinsip buta efisiensi dan ekonomi murni dalam proses manajemen dan administrasi. Level Governance Governance berisi level lokal, nasional, regional dan internasional, atau global. Di jaman globalisasi, semua level governance ini bisa berhubungan langsung atau tidak langsung. Meski beberapa persoalan governance bisa dipengaruhi, disangsikan atau diinspirasikan secara global, kalangan lainnya memberikan efek trend-setting bagi negara-bangsa dan pemerintahnya. Contoh, meski persoalan kemiskinan, kesehatan, dan imigrasi menjadi pertimbangan global, ini juga memberikan dampak bagi governance lokal dan nasional. Sebaliknya, persoalan governance lokal dan nasional masih dipengaruhi oleh norma, standar, dan rejim internasional yang meregulasi governance domesitk di berbagai area ekonomi, politik, masyarakat, budaya dan administrasi. Banyak persoalan governance metropolitan yang menjadi persoalan global, yang menuntut adanya informasi, teknologi dan keahlian kolektif dan global, contohnya dalam hal pengadaan layanan kota, persoalan darurat dan keamanan, masalah kemiskinan dan perumahan, polusi air dan udara, dan masalah kejahatan dan lainnya. Governance lokal dalam model sound governance bisa menghasilkan partisipasi rakyat aktif, yaitu lewat keterlibatan langsung atau tidak langsung, pengadaan jasa bersama, produksi bersama, dan manajemen bersama dalam transportasi, perumahan dan sebagainya. Pembentukan dan peningkatan partnership adalah sebuah fitur pokok dari reformasi kontemporer dalam sistem governance dan manajemen. Governance nasional jelas dibutuhkan untuk mengikuti standar global dan internasional, dan juga mematuhi norma atau rejim yang dibentuk kolektif lewat institusi supranasional seper ti United Nations dan agensi afiliasinya. Politik dominan memainkan peran besar dalam menetapkan proses, tujuan dan hasil rejim atau regulasi internasional dan global. Bangsa yang kurang kuat di dunia ketiga adalah sisi penerima dari rejim governance global ini. Karena itu, kemampuan bangsa yang kurang kuat di dunia ketiga masih dihambat oleh pengaruh yang diberikan oleh bangsa yang lebih kuat di Barat, yaitu United States dan negara industri lain, yang lebih mengejar kepentingan nasional, korporat dan militer. Level governance lokal bukan lagi sebuah fenomena baru di abad 21. Hubungan internasional dan sistem governance global adalah yang berhubungan langsung, dan ini adalah fitur kembar dari sistem atau skema governing di dunia. Di masa lalu, selama Cold War, ada persaingan internasional antara dua superpower – United States yang merepresentasikan kapitalisme Barat dan Uni Soviet yang merepresentasikan sistem sosialis dan sebagian besar negara yang masuk dalam satu dari dua kubu ini, atau bahkan yang masuk ke sistem dunia ketiga dari negara-negara Non-Sekutu yang berjuang menjaga netralitas dan independensinya. Meski begitu, dalam realitanya, kompetisi de facto dan alinasi blok kekuasaan selalu ada, baik langsung atau tidak langsung. Dengan hancurnya Uni Soviet, kompetisi global untuk governance dunia mulai hilang dan sistem tatanan dunia baru diklaim secara unilateral oleh 12 | P a g e SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif United States dan korporasi transworldnya yang cenderung menguasai dunia lewat globalisasi kapital yang komprehensif. Negara-bangsa dan pemerintah yang menolak tekanan global pastinya terancam oleh intervensi militer dan beragam sarana, sangsi dan tekanan ekonomi, politik dan teknologi. Targetnya adalah menghasilkan keseragaman, standar dan sistem governance dan ekonomi yang diinginkan guna menindaklanjuti kepentingan korporasi transworld dan pemerintah superpower di United States dan sekutunya dalam budaya Barat. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, gerakan grassroot, kelompok resistansi global, beragam network global, dan negara atau pemerintah penentang membentuk antithesis proses globalisasi dan sistem governance global yang disebut sebagai tatanan dunia baru. Network gerakan global membentuk kekuatan dialektik kontra-globalisasi dan glokalisme, tepatnya kekuatan yang harus dipertimbangkan oleh desainer globalisasi dan elit kekuatan global di masa depan. Karena itu, governance global memiliki bentuk baru, kompleks dan dinamis yang dikarakterkan oleh fluks, ketidakpastian, perubahan yang cepat, kekacauan, dan dinamika perubahan yang tidak terprediksi. Pendeknya, sistem governance lokal, nasional, regional dan internasional atau global, bisa berhubungan secara langsung atau tidak langsung, dan dinamika berbagai level sistem governance memberikan peluang besar bagi penelitian ilmu sosial guna meningkatkan pengetahuan dan kinerja governance. Laboratorium global dari governance sekarang dibentuk, dan pemerintah dan yang diperintah memiliki peluang untuk mempelajari opsi, solusi dan masalahnya. INOVASI KEBIJAKAN DAN ADMINISTRATIF Inovasi adalah kunci bagi sound governance, dan inovasi dalam kebijakan dan administrasi adalah hal sentral bagi sound governance. Tanpa inovasi kebijakan dan administratif, governance masuk ke kondisi yang busuk dan tidak efektif, kehilangan kapasitas pemerintahannya, dan menjadi target kritikisme dan kegagalan. Sound governance, karena itu, menuntut adanya inovasi kontinyu dalam proses kebijakan dan administrasi, struktur dan sistem nilai. Inovasi dalam teknologi, pengembangan sumberdaya, sistem komunikasi, organisasi dan manajemen, pelatihan dan pengembangan, penelitian dan sebagai induk dari area lain yang penting bagi kejelasan governance dan administrasi. Inovasi kebijakan dalam governance dianggap penting bagi adaptasi dan penyesuaian lingkungan yang berubah cepat dalam dunia yang sedang mengalami globalisasi. Ini jelas penting bagi pembentukan dan peningkatan kapasitas pemerintahan dan bagi sound governance. Kegagalan berinovasi berarti kegagalan dalam beradaptasi, membangun kapasitas, dan melakukan pemerintahan yang efektif. Inovasi dalam proses dan struktur administratif dianggap penting bagi organisasi dan manajemen sistem governance, dan bagi implementasi kebijakan inovatif yang efektif. Tanpa sistem administratif atau manajerial yang inovatif dan adaptif, kebijakan inovatif bisa gagal; kebijakan inovatif tidak akan berarti apa -apa tanpa adanya organisasi dan kapasitas untuk mengimplementasikannya; dan tanpa implementasi atau administrasi yang jelas, tidak ada sound governance. Karena itu, inovasi kebijakan dan administrasi adalah kunci dari sound governance, khususnya di jaman globalisasi dan perubahan yang cepat. Inovasi kebijakan dan administratif berisi beragam inovasi manajerial, institusional, organisasi, budaya dan teknologi untuk tujuan adaptasi dan sebagai ide kreatif dan baru yang merubah proses dan struktur governance. Ini mempermudah pembentukan dan peningkatan kapasitas manajerial, administratif dan governance, bukan hanya dalam menjaga kinerja tinggi tapi juga proses antisipasi, guna menghadapi tantangan jaman globalisasi. Referensi Argyriades, Demterios, (2001). Final Report on Governance and Public Administration in the 21 st Century: New Trends and New Techniques. International Congress of Administrative Sciences, Athens, Greece, July 9 – 13. Barzelay, Michael. (2001). The New Public Management. Berkeley: University of California Press. Behn, Robert (2001). Rethinking Democratic Accountability. Washington, DC: Brookings Institution Press. Buchanan, James and Gordon Tolluck. (1962). The Calculus of Consent. Ann Arbor: University of Michigan Press. 13 | P a g e SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif Cameron, G.G. (1968). History of Early Iran. New York: Greenwood Press. Frederickson, George. (1997). The Spirit of Public Administration. San Francisco: Jossey-Bass. Cook,J.M. (1983). The Persian Empire. New York: Schocken Books. Frye, Richard. (1975). The Golden Age of Persia. New York: Harper and Row. Denhardt, Robert. (2002). Trust as Capacity: The Role of Integrity and Responsiveness. Public Organization Review. A Global Journal 2(1): 65-76. Ghirshman, R. (1954). Iran: From the Earliest Tunes to the Islamic Conquest. New York: Pengiun Books. Donahue, John and Joseph Ny, eds. (2002). Market-Based Governance. Washington, DC: Brookings Institution Press. Hardt, Michael, and Antonio Negri. (2000). Empire. Cambridge, Ma: Harvard University Press. Downs, Anthony. (1962). Inside Bureaucracy. Boston: Little, Brown. Dror, Yeheskel. (2001). The Capacity to Govern. London: Frank Cass. Farazmand, Ali. (1989). The State, Bureacracy, and Revolution in Modern Iran: Agrarian Reform and Regime Politics. Westport: CT: Praeger. ____.(1998). Administration of the Persian Achaemenid World-State Empire: Implications for Modern Public Administration. International Journal of Public Administration 21(1): 25-26. ____(1999a). Building Partnerships for Governance. Background paper presented at the UN-sponsored World Congress on Governance, Manila, the Philipines, May 31 June 4. ____(1999b). Globalization Administration. Public Review 59(6): 509-522. and Public Administration _____(2001). Globalization, the State and Public Administration: A Theoretical Analysis with Policy Implications for Developmental States. Public Organization Review: A Global Journal 1(4): 437-464. _____(2002a). Globalization, Privatization, and the Future of Governance: A Critical Assessment. Public Finance and Management 2(1): 125153. _____(2002b). Privatization and Globalization: A Critical Analysis with Implications for Public Management Education and Training. International Review of Administrative Sciences 68(3): 355-371. Hood, Christopher. (1991). Public Management for All Seasons? Public Administration 69(1): 319. Jorgensen, Torben Beck. (1993). Modes of Governance and Administrative Change. In Jan Kooiman, ed., Modern Governance. London: Sage, pp. 219-234. Kettl, Don. (1993), Sharing Power: Public Governance and Private Markets. Washington, DC: Brookings Institution Press. Kooiman, Jan, ed. (1993). Modern Governance: New Government-Society Interactions. Londons: Sage. Niskanen, William. (1971). Bureaucracy and Representative Government. Chicago: AldineAtherton. Olmstead,A.T (1948). History of the Persian Empire: The Achaemenid Period. Chicago: University of Chicago Press. Osborne, David, and Ted Gaebler.(1992). Reiventing Government: How to Entrepreneurial Spirit in Transformating the Public Sector. New York: Penguin. Peters, Guy (1996). Models of Governance for the 1990s. In Don Kettl and Brinton Milward, eds., The State of Public Management. MD: Johns Hopkins University Press, pp. 15-44. Peters, Guy, and D.J. Savoie. Eds.(1995). Governance in a Changing Environment. Montreal: McGill-Queens University Press. Public Organization Review: A Global Journal 2(1) (2002). Entire issue. Rahman, A.T. Rafigur.(2001). Reforming the Civil Service for Government Performance: A 14 | P a g e SOUND GOVERNANCE – Inovasi Kebijakan dan Administratif Partnership Perspective. University Press Limited. Dhaka: The Riggs, Fred.(1966). Thailand: The Modernization of Bureaucratic Polity. ____.(1994). Bureaucracy: A Profound Puzzle for Presidentialism. In Ali Farazmand, ed., Handbook of Bureaucracy. New York: Marcel Dekker, pp. 97-148. Salamon, Lester M. (1989). Beyond Privatization: The Tools of Government Action. Washington, DC: Urban Institute Press. UNDESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs). (1998). Governance in Africa: Consolidationg the International Foundations. Report of the Joint ECA/DESA Conference on Governance in Africa, Addis Ababa, Ethiopia, March 2-6. UNDP (United Nations Development Program). (1997a). Governance for Sustainable Human Development: A UNDP Policy Document. New York: UNDP, January. ____.(1997b). Reconceptualizing Governance, Discussion Paper 2. New York: UNDP. ____.(2002). Ten Notes on Good Governance Implementation. Paper presented by Paul Oquist. UNDP/UNOPS Paragon Regional Governance Programme for Asia, Eastern Regional Organization of Public Administration (EROPA) Conference in Hongkong, October. Williamson, Oliver (1985). The Economic Institutions of Capitalism: Firms, Markets, Relational Contracting. New York: Free Press. 15 | P a g e