BAB V PEMBANGUNAN POLITIK A. UMUM Sejak bekerjanya Kabinet Gotong Royong pada 2001, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi yang menjadi kebijakan umum reformasi politik telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Pada tingkat masyarakat, antusiasme berpolitik melalui organisasi partai politik cukup tinggi, walaupun masih tetap terlihat adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi, berupa masih kuatnya budaya kekerasan dan meluasnya praktek-praktek politik uang. Pada tingkat negara, ada konsensus yang cukup tinggi untuk terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga penting demokrasi pada semua tingkat, meskipun tetap menghadapi hambatan berupa masih longgarnya nilai-nilai kepatuhan pada peraturan perundangan dan lemahnya tradisi dalam berdemokrasi. Pada sisi lain, begitu tingginya harapan dan antusiasme terhadap reformasi pada awal-awal proses demokratisasi, merupakan amanat dan pekerjaan rumah yang besar untuk merealisasikannya menjadi hasil-hasil yang konkret untuk rakyat. Di sinilah tantangan pemerintah dan partai-partai politik yang sesungguhnya, yakni menyiapkan wacana berkelanjutan bagi masyarakat mengenai hakekat demokrasi, berbagai dilema yang menyertai demokratisasi, serta peluang dan harapan dalam demokrasi yang tidak mungkin dicapai melalui jalan otoriterianisme. Masalah-masalah politik dalam negeri yang menghadang diharapkan menjadi perhatian serius semua pihak. Di samping persoalan-persoalan aktual yang muncul sebagai akibat proses pembangunan politik, persoalan-persoalan klasik masih akan tetap menjadi beban di dalam proses demokratisasi selanjutnya. Permasalahan kelembagaan, baik yang menyangkut penerapan peran dan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah masih menuntut perhatian yang mendalam untuk mengatasinya. Persoalan separatisme dan ketidakpuasan politik di daerah juga adalah persoalan-persoalan nyata yang menuntut perhatian yang segera. Selain itu, pemerintah yang memiliki kredibilitas dan visi internasional menjadi faktor yang cukup penting dalam membina hubungan luar negeri, selain faktor-faktor pembenahan dalam bidang struktural kelembagaan penyelenggara hubungan luar negeri. Memasuki abad ke-21, persoalan-persoalan internasional memiliki dinamika dan tingkat perubahan yang mendasar, di tengah tarikmenarik antara berbagai kekuatan besar di dunia. Indonesia diharapkan mampu menempatkan diri secara tepat, agar mampu mengoptimalkan pencapaian kepentingan nasionalnya, termasuk tetap memperjuangkan asas-asas kemerdekaan dan keadilan dalam pergaulan masyarakat internasional, serta mengedepankan pendekatan multilateralisme dalam menyelesaikan permasalahan internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Pada sub bidang penyelenggaraan negara permasalahan yang masih menjadi prioritas penanganannya sampai dengan tahun terakhir pelaksanaan Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004 antara lain masih ditemukannya praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN sebenarnya telah mulai dilakukan sejak tahun 2000 dan telah V- 2 memperlihatkan hasilnya. Telah banyak pelaku KKN, baik di pusat maupun di daerah, yang diproses dan ditindak secara hukum. Demikian pula dalam Penataan Organisasi dan Ketatalaksanaan Pemerintahan walaupun telah dilakukan upaya pendayagunaan (efektifitas) namun belum sepenuhnya sesuai dengan analisa jabatan dan kebutuhan organisasi serta beban tugas. Masalah kelembagaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah masih terlihat belum efektif dalam menunjang pelaksanaan tugas dan belum efisien dalam penggunaan sumber dayanya. Di bidang pelayanan publik, harapan masyarakat mengenai terwujudnya pelayanan, yang cepat, tepat, murah, manusiawi dan transparan serta tidak diskriminatif belum tercapai sebagaimana mestinya. Lebih jauh lagi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (E-Government) dalam pemberian pelayanan di lingkungan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah masih sangat jauh tertinggal. Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme melalui sistem karier berdasarkan prestasi belum sepenuhnya dapat terwujud. Upaya peningkatan profesionalisme aparatur tentunya perlu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan ini hingga saat ini masih belum dapat dilaksanakan secara fundamental mengingat keterbatasan dana pemerintah. Dari arah kebijakan yang telah digariskan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999-2004), pembangunan bidang penyelenggaraan negara dalam kurun tahun 2000–2004 berbagai hal telah dilaksanakan antara lain: terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; penataan kelembagaan pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah; Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS); dan mengembangkan dan memanfaatkan teknologi dan komunikasi elektornik dalam penyelenggaraan pelayanan publik. V-3 Pelaksanaan pembangunan penyelenggaraan negara masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang meliputi: penataan kelembagaan pemerintah pusat dan daerah yang lebih efisien dan efektif yang didukung oleh sumber daya manusia aparatur yang profesional dan sejahtera sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih cepat, tepat, murah, manusiawi, transparan, dan akuntabel sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2003; dan terwujudnya aparatur negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dengan memperhatikan berbagai kondisi dan perkembangan politik yang ada, maka hal-hal positif yang sudah dicapai dalam pelaksanaan pembangunan politik dapat dijadikan modal bagi terpeliharanya momentum proses jangka panjang konsolidasi demokrasi. Hasil-hasil pemilihan umum langsung anggota DPR, DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004, dapat dijadikan landasan demokratisasi selanjutnya, dengan prioritas pada penguatan, penyempurnaan, dan penyesuaian kelembagaan penyelenggaraan negara dan lembaga kemasyarakatan dengan mengacu pada amanat Konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah yang terbentuk sebagai hasil Pemilu 2004 diharapkan dapat lebih membumikan hasil-hasil proses demokratisasi, agar lebih mampu diterjemahkan ke dalam tema-tema kesejahteraan dan keadilan di dalam kehidupan nyata masyarakat. Untuk itu, meningkatkan transparansi dan keterbukaan informasi serta memelihara kebebasan pers dan media massa adalah juga masalah dan tantangan yang menuntut komitmen yang kuat terhadap demokrasi dari semua pihak. Dengan demikian lebih dapat membangkitkan optimisme dan harapan bersama. B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program-program pembangunan politik adalah sebagai berikut: (i) Sub Bidang Politik Dalam Negeri; (ii) Sub Bidang Hubungan Luar V- 4 Negeri, (iii) Sub Bidang Penyelenggara Negara; dan (iv) Sub Bidang Komunikasi, Informasi dan Media Massa. 1. Politik Dalam Negeri Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, arah kebijakan Propenas dalam Sub Bidang Politik Dalam Negeri adalah: a. Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada ke-bhinekatunggalika-an. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang-undang. b. Menyempurnakan Undang-Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. c. Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. d. Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang politik. e. Meningkatkan kemandirian partai politik terutama dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat serta mengembangkan fungsi pengawasan secara efektif terhadap kinerja lembaga-lembaga negara dan meningkatan efektivitas, fungsi dan partisipasi organisasi kemasyarakatan, kelompok profesi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam kehidupan bernegara. f. Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman aspirasi dan V-5 menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. g. Memasyarakatkan dan menerapkan prinsip persamaan dan anti diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. h. Menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan beradab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara independen dan non-partisan selambat-lambatnya pada tahun 2004. i. Membangun bangsa dan watak bangsa (nation and character building) menuju bangsa dan masyarakat Indonesia yang lebih maju, bersatu, rukun, damai, demokratis, dinamis, toleran, sejahtera, adil dan makmur. j. Menindaklanjuti paradigma baru Tentara Nasional Indonesia dengan menegaskan secara konsisten reposisi dan redefinisi Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara dengan mengoreksi peran politik Tentara Nasional Indonesia dalam kehidupan bernegara. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam merumuskan kebijakan nasional dilakukan melalui lembaga negara Majelis Permusyawaratan Rakyat. 1.1 Program Perbaikan Struktur Politik1) a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program ini adalah menyempurnakan konstitusi sesuai dinamika kehidupan politik nasional dan aspirasi masyarakat serta perkembangan lingkungan strategis internasional, mengembangkan institusi politik demokrasi, dan mewujudkan netralitas pegawai negeri sipil dan militer, serta memantapkan mekanisme pelaksanaannya. ) Perbaikan struktur politik dititikberatkan pada proses “pelembagaan” demokrasi 1 V- 6 Sasaran Program adalah terwujudnya struktur politik yang demokratis, yang berintikan pemisahan kekuasaan yang tegas dan keseimbangan kekuasaan serta terwujudnya peningkatan kapasitas lembaga-lembaga negara dalam menjalankan peran, dan tugasnya dan dalam menerapkan mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances). Arah Kebijakan Program ini adalah memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada ke-bhinekatunggalika-an. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang-undang; menyempurnakan Undang-Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif; menindaklanjuti paradigma baru Tentara Nasional Indonesia dengan menegaskan secara konsisten reposisi dan redefinisi Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara dengan mengoreksi peran politik Tentara Nasional Indonesia dalam kehidupan bernegara. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam merumuskan kebijakan nasional dilakukan melalui lembaga tertinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat. b. Pelaksanaan i. Hasil yang dicapai Perubahan struktur politik yang sudah dilaksanakan atau dicapai dalam pembangunan politik dan demokrasi dewasa ini dapat digolongkan dalam beberapa kelompok utama. Pertama, proses amandemen (empat tahap) UUD 1945 yang V-7 secara mendasar telah mengubah beberapa konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, terciptanya format politik baru dengan disahkannya perundangan-undangan baru bidang politik, pemilu, dan susunan kedudukan MPR, dan DPR yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.2) Ketiga, terciptanya format hubungan pusat-daerah yang baru berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru.3) Keempat, terciptanya konsensus mengenai format baru hubungan sipil-militer dan TNI dengan Polri berdasarkan ketetapan-ketetapan MPR4) dan perundanganundangan baru bidang pertahanan dan keamanan.5) Kelima, disepakatinya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung di dalam konstitusi dan dituangkan dalam bentuk perundang-undangan yang menjadi dasar pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada 2004.6) Keenam, kesepakatan mengenai diakhirinya pengangkatan TNI/Polri dan Utusan Golongan di dalam komposisi parlemen hasil Pemilu 2004 mendatang. Ketujuh, kesepakatan nasional mengenai netralitas PNS, TNI dan Polri terhadap politik.7) Kedelapan, konsensus perlunya payung 2 ) 3 ) 4 ) 5 ) 6 ) 7 ) UU No.2/1999 tentang Parpol; UU No. 3/1999 tentang Pemilu dan UU No.4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Untuk Pemilu 2004 sudah disahkan perundang-undangan politik yang baru, yakni UU No. 31/2002 tentang Parpol, UU No. 12/2003 tentang Pemilu, dan UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Tap. MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri ; Tap MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Netralitas PNS telah diatur dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. V- 8 kelembagaan yang independen khusus dalam pemberantasan korupsi8) Perubahan struktural yang paling mendasar selama beberapa tahun terakhir adalah terselesaikannya seluruh proses amandemen UUD 1945 melalui 4 (empat) tahap. Amandemen memiliki dua arti penting, yakni arti simbolik dan arti substansial. Makna simbolik dari amandemen konstitusi adalah membatalkan mitos yang dibangun Orde Baru, bahwa UUD 1945 bersifat sakral, sudah lengkap dan tidak boleh diubah. Mengubah UUD 1945 berarti mengembalikan posisi konstitusi sebagai dokumen kenegaraan yang tidak kebal terhadap perubahan. Konstitusi selalu mengandung kekurangan dan ketidak sempurnaan, sejalan dengan perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan. Makna substansial dari amandemen berkaitan dengan cukup mendasarnya perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam teks maupun dalam semangat yang terkandung di dalamnya, sedemikian rupa mengubah secara mendasar struktur dan hubungan kelembagaan politik yang ada. Kemajuan kelembagaan lain yang penting dicatat adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga independen Komisi Pemilihan Umum (KPU), dengan pemerintah bertindak sebagai fasilitator, merupakan suatu perkembangan positif yang perlu dipelihara dalam menjaga kebebasan dan keadilan proses pemilu yang demokratis. Kelemahan-kelemahan penyelenggaraan pemilu dapat terus dibenahi dengan tidak boleh mengubah prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, independen, bebas dan adil. Dalam kaitannya dengan persoalan separatisme, perubahan status Darurat Militer menjadi Darurat Sipil di 8 ) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). V-9 Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak 19 Mei 2004 merupakan langkah maju bagi normalisasi kehidupan politik dan pemerintahan di dalam negeri. ii. Permasalahan dan Tantangan Tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola proses transisi struktur politik secara tepat agar mengalami keberlanjutan dan tidak kehilangan momentum menuju demokrasi yang sesungguhnya. Pada satu pihak, hasil-hasil amandemen I, II, III, IV, UUD 1945 dianggap masih banyak mengandung berbagai ketimpangan konseptual, kerancuan dan kontradiksi di antara pasal-pasal yang ada di dalamnya. Dengan demikian, persoalan konstitusi ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar dalam upaya menciptakan struktur politik yang demokratis. Menjadi tanda tanya besar, mampukah Indonesia mengagendakan penyusunan konstitusi yang benar-benar utuh, tidak hanya merupakan potonganpotongan gagasan-gagasan dalam mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Termasuk ke dalamnya menuntaskan persoalan hubungan kelembagaan trias politica beserta segala kompleksitasnya, mewujudkan parlemen bikameral yang sesungguhnya dengan kekuasaan serta pembagian kerja DPR dan DPD yang setara, serta meletakkan dasar-dasar lembaga yudikatif yang kuat dan berwibawa. Pada pihak lain, ancaman-ancaman kembalinya kekuatan politik otoriter tetap besar, termasuk yang menginginkan kembali UUD 1945 pra-amandemen serta mengaktifkan kembali TNI ke dalam kegiatan politik. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi harus sangat ekstra hatihati agar tidak masuk ke dalam perangkap yang sama seperti yang terjadi pada proses demokratisasi era konstituante yang dibubarkan hanya melalui sebuah Dekrit Presiden pada 1959. Ancaman nyata lainnya adalah bahaya disintegrasi nasional serta disintegrasi sosial yang merupakan produk langsung dari ketidakadilan serta intoleransi sosial politik yang sudah V- 10 berakar pada masa lalu, di dalam sistem politik yang sentralistis dan otoriter. Permasalahan selanjutnya adalah masih sangat kuatnya pengaruh kepentingan kelompok dalam proses perumusan perundang-undangan yang mengatur kehidupan kemasyarakatan di segala bidang. Hal ini kemudian mengalami komplikasi dengan permasalahan etika politik yang rawan manipulasi, akuntabilitas politik yang rendah, permasalahan korupsi yang merata di lembaga-lembaga penting penyelenggaraan negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebagai konsekuensi logisnya adalah terbengkalainya penyelesaian banyak produk perundanganundangan; kurang tepatnya prioritas dalam legislasi yang menjadi tugas parlemen dan pemerintah, sehingga perundang-undangan yang dianggap strategis dalam mendukung proses demokrasi terus mengalami penundaan; serta kurangnya kualitas perundang-undangan sebagai produk hukum yang diharapkan memayungi kepentingan seluruh golongan masyarakat. iii. Tindak lanjut Untuk mewujudkan kehidupan kelembagaan yang konstitusional, maka kepastian hukum pada tingkat konstitusi merupakan prioritas bersama yang utama. Mahkamah Konstitusi9) merupakan lembaga penting yang perlu dijaga dan dipelihara independensi, kapasitas dan integritasnya. Keputusan-keputusannya yang bersifat final dalam melakukan pengujian berbagai produk perundang-undangan terhadap konstitusi, diharapkan dapat memberikan terobosan9 ) UUD 1945, Pasal 24C, Ayat 1 menyebutkan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. V - 11 terobosan hukum yang strategis dan berdampak meluas dalam kehidupan politik, termasuk hal-hal yang berdampak pada pengembangan civil society yang toleran, antidiskriminasi, hubungan sipil-militer yang sesuai dengan asas-asas demokrasi, persoalan konflik politik dan dinamika kelembagaan penyelenggaraan negara. Selain itu, keberadaan lembaga parlemen bikameral, menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian yang relevan, sesuai dengan makna hakiki keberadaan sistem bikameral itu sendiri. Sistem bikameral selain untuk menciptakan parlemen yang lebih mendekati keseimbangan antara aspirasi politik nasional dan aspirasi politik lokal, juga untuk menciptakan checks and balances secara internal, agar tidak tercipta hegemoni yang terlalu besar di dalam parlemen. Berkaitan dengan itulah, maka diperlukan penyempurnaan semua aspek-aspek yang berkaitan dengan hubungan checks and balances di antara lembaga-lembaga penyelenggara negara, dengan tekanan cukup besar diharapkan pada penguatan posisi DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Tindak lanjut lain yang perlu mendapat perhatian adalah memperjelas arah otonomi daerah dan mempercepat upaya pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu prasyarat penting bagi terciptanya budaya politik yang lebih adil dan damai. Baik otonomi daerah maupun rekonsiliasi nasional memiliki urgensi yang tinggi untuk diprioritaskan, dalam upaya memperkuat dasar-dasar persatuan nasional Indonesia di masa mendatang. Pada satu sisi, walaupun desentralisasi sudah merupakan konsensus yang diatur melalui perundang-undangan, namun diakui struktur peraturan perundangan pendukung yang ada dewasa ini dapat dianggap belum mampu merumuskan secara komprehensif mengenai penerapan otonomi daerah, serta belum mampu mengatur dan mengakomodasikan secara jelas berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara pusat dengan daerah, serta antara daerah satu dengan daerah V- 12 lainnya. Ini adalah pekerjaan rumah yang menuntut keseriusan dalam mengelola dan mengkoordinasikan segenap sumber daya yang ada. Pada pihak lain, ada keperluan untuk mempercepat upaya pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu prasyarat penting bagi terciptanya budaya politik yang lebih adil dan damai. Upaya-upaya rekonsiliasi yang terlembaga bukanlah dimaksudkan untuk menggantikan lembaga pengadilan, melainkan lebih difokuskan pada penyelesaian konflik-konflik di masa lalu secara politik, dengan sasaran utama menciptakan suasana perdamaian yang sesungguhnya, agar segenap energi bangsa dapat dikerahkan secara optimal ke arah masa depan. 1.2 Program Peningkatan Kualitas Proses Politik10) a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program Peningkatan Kualitas Proses Politik adalah meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum, meningkatkan kualitas partai-partai politik dan organisasi kemasyarakatan, serta partisipasi politik rakyat. Sasaran Program Peningkatan Kualitas Proses Politik Propenas adalah terwujudnya Pemilu yang demokratis dan transparan, terwujudnya sistem kaderisasi dan mekanisme kepemimpinan nasional yang transparan dan terakunkan (accountable), serta tersedianya fasilitas penyaluran aspirasi masyarakat. Arah Kebijakan Program ini adalah mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang 10 ) Peningkatan kualitas proses politik dititikberatkan pada proses “pengalokasian/representasi” kekuasaan V - 13 menghormati keberagaman aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang politik; meningkatkan kemandirian partai politik terutama dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat serta mengembangkan fungsi pengawasan secara efektif terhadap kinerja lembaga-lembaga negara dan meningkatan efektivitas, fungsi dan partisipasi organisasi kemasyarakatan, kelompok profesi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam kehidupan bernegara; menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan beradab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara independen dan non-partisan selambat-lambatnya pada tahun 2004. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Sebagai konsekuensi dari telah diberlakukannnya berbagai perundang-undangan baru di bidang pemilu, kepartaian serta rekrutmen para pejabat publik, kualitas proses politik sudah mengalami perubahan yang sangat drastis. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah politik di Indonesia, rakyat memilih presiden secara langsung pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, rakyat juga memilih para anggota legislatif yang sudah mengalami perubahan dalam struktur keanggotaannya, yakni parlemen yang memiliki dua kamar (bikameral), serta dihilangkannya keanggotaan parlemen melalui pengangkatan di luar pemilu. Parlemen juga sudah mampu melakukan proses seleksi kewajaran dan kepantasan (fit and proper test) yang cukup transparan terhadap para pejabat publik. Kepartaian yang sejak pemilu 1999 sudah menganut sistem multipartai, pada pemilu 2004 makin menunjukkan kristalisasi dengan munculnya beberapa partai politik yang V- 14 dominan. Karena partai-partai yang berorientasi pada asasasas kepartaian politik modern sudah cukup kuat berakar, maka partai-partai primordial yang saat ini masih cukup besar, secara alamiah diharapkan tidak lagi mendominasi kehidupan politik dan penyelenggaraan negara di masa depan. Kehidupan kepartaian, termasuk proses pembentukan aliansi, koalisi, kompromi dan konsensus antar partai dan tokoh-tokoh partai dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden, tampak sudah banyak mengalami proses rasionalisasi. Sejalan dengan makin kritis dan terdidiknya masyarakat, hubungan partai-partai dan massa tampak makin berorientasi pada kredibilitas pelaksanaan visi-misi serta program, serta makin kurang terfokus hanya pada latar belakang aliran, agama dan ideologi. Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk meningkatkan kualitas proses politik, seperti Mahkamah Konstitusi, KPU, dan Panwaslu, sudah memainkan peranan aktifnya masingmasing dalam mempersiapkan pemilu (KPU), mengadili sengketa pemilu (Mahkamah Konstitusi), dan mengawasi jalannya pemilu (Panwaslu). Pada tingkat masyarakatpun, bermunculan organisasi-organisasi yang berinisiatif sebagai watchdog dari proses-proses politik yang terjadi secara begitu intens selama tahun 2004. Dalam keseluruhan proses persiapan, penyelenggaraan, dan pengawasan pemilu yang terjadi pada 2004, keterlibatan pemerintah sangat minimal. Kerja keras lembaga-lembaga yang disebutkan di atas serta luasnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalam mengawasi penyelenggaraannya, merupakan pertanda awal dari berjalannya proses transformasi politik ke arah yang benar. Walaupun pada awalnya banyak kalangan yang menyatakan pesimistis atas keberhasilan pemilu, ternyata pemilu dapat berjalan relatif sukses. V - 15 ii. Permasalahan dan Tantangan Salah satu kelemahan yang masih perlu diperbaiki dalam peningkatan kualitas proses politik adalah masih besarnya kesenjangan antara pertumbuhan jumlah partai dengan peningkatan kualitas organisasi kepartaian dan miskinnya visi dalam kehidupan politik partai-partai yang ada. Selain itu, penyelenggaraan pemilu masih menunjukkan beberapa kelemahan pengorganisasian, seperti masalah kecurangan penghitungan suara, kelemahan akomodasi dan pengadaan perlengkapan pemilu serta penggunaan teknologi informasi yang akurasinya banyak mengundang kritik masyarakat. Walaupun kelembahan-kelemahan ini bukan hanya akibat dari kelemahan Komisi Pemilihan Umum (KPU), melainkan juga karena lemahnya perundang-undangan yang ada serta rendahnya kesadaran berbagai pihak yang terlibat dalam pemilu untuk mentaati peraturan-peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemilu. Tantangan yang besar adalah merasionalkan prosesproses politik dan membersihkannya dari praktek-praktek yang bertentangan ataupun dapat mendistorsi tujuan-tujuan yang hakiki dari demokrasi. Masalah yang masih kuat dalam berlangsungnya proses demokratisasi dewasa ini adalah masih kuatnya penggunaan praktek politik uang (money politic) dalam berbagai kegiatan politik. Permasalahan dan tantangan dalam realitas proses politik memang tidak hanya dapat diatasi secara politik belaka, namun terkait erat juga dengan penegakan hukum. Persoalanpersoalan pelanggaran pidana dalam proses politik seperti dalam proses pemilu, maksimal hanya akan menjadi wacana publik melalui media-media massa, tidak dapat diselesaikan secara meyakinkan melalui proses pengadilan yang cepat dan mengikat para pihak yang bersengketa. V- 16 iii. Tindak Lanjut Salah satu hal terpenting dalam meningkatkan kualitas proses politik adalah membenahi kapasitas pengorganisasian proses penyelenggaraan pemilu. Termasuk ke dalamnya adalah memperkuat kewenangan lembaga pengawas pemilu dalam melakukan kontrol terhadap berbagai potensi penyelewengan penyelenggaraan proses pemilu. Hal lain adalah mendorong proses rekrutmen politik yang lebih rasional dan terbuka, tidak hanya berdasarkan pertimbangan emosional melalui proses yang tidak transparan. Untuk itulah mekanisme debat publik perlu didorong dan difasilitasi secara lebih intensif, agar publik mengetahui kelayakan visi dan misi para wakil dan para pemimpin politiknya, serta dapat menilainya secara kritis. Publik perlu didorong untuk lebih mampu merumuskan standar dan parameter yang jelas bagi penyaringan para pejabat politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik dari segi kemampuan, sikap dan karakter, etika politik, maupun kejujurannya. Pola-pola penyaringan terhadap para anggota parlemen dan para calon presiden yang sudah dilaksanakan oleh negara-negara demokrasi maju dapat dijadikan acuan, untuk menguji integritas dan visi kepemimpinan dari para calon. Demikian juga proses uji kelayakan terhadap para pejabat publik. Metode uji kelayakan yang sudah berjalan selama ini di DPR, perlu diperluas jangkauannya ke berbagai tingkat dan diperbaiki kualitasnya, serta dengan keterbukaan yang lebih besar terhadap penilaian masyarakat umum. Satu hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah berlanjutnya komitmen politik yang kuat terhadap pentingnya memelihara dan melanjutkan berbagai wacana dan forum untuk mengembangkan proses komunikasi politik yang lebih sehat, bebas dan efektif. Wacana komunikasi yang sehat sangat berhubungan erat dengan terbukanya arus informasi media massa serta keterbukaan sumber-sumber informasi V - 17 lainnya. Kemerdekaan pers dan media massa sangat menentukan dalam membangun proses politik yang lebih sehat dan demokratis. 1.3 Program Pengembangan Budaya Politik11) a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program pengembangan budaya politik adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap kewajiban dan hak politiknya, meningkatkan kualitas komunikasi dan kapasitas kontrol politik masyarakat, serta membangun karakter bangsa yang kuat (nation and character building) menuju bangsa dan masyarakat Indonesia yang maju, bersatu, rukun, damai, demokratis, dinamis, toleran, sejahtera, adil, dan makmur. Sasaran Program ini adalah terpenuhinya hak dan kewajiban politik masyarakat termasuk pemuda secara maksimal sesuai dengan kedudukan, fungsi, dan perannya dalam sistem politik nasional. Arah Kebijakan Program ini adalah Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman aspirasi dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; memasyarakatkan dan menerapkan prinsip persamaan dan anti diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; membangun bangsa dan watak bangsa (nation and character building) menuju bangsa dan masyarakat Indonesia yang lebih maju, bersatu, rukun, damai, demokratis, dinamis, toleran, sejahtera, adil dan makmur. ) Pengembangan budaya politik dititikberatkan pada proses “penanaman” nilai-nilai demokratis 11 V- 18 b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Beberapa perubahan-perubahan struktur politik melalui proses demokratisasi12) beberapa tahun belakangan ini, telah membawa berbagai perubahan dalam sikap, perilaku, dan cara masyarakat berinteksi antar sesamanya dan antara masyarakat dan negara. Banyak contoh yang menunjukkan masyarakat sudah tidak rela menerima begitu saja kebijakan yang dipaksakan dari atas, dan sudah memiliki keberanian dalam mempertahankan hak-haknya. Dalam beberapa peristiwa di berbagai daerah, masyarakat telah dapat menunjukkan sikap yang lebih kritis dan dewasa dalam memahami kondisi yang ada termasuk melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan yang ada. Bersama-sama dengan perubahan-perubahan struktur politik, maka perubahan-perubahan budaya yang terjadi diharapkan akan berdampak pada transformasi sosial politik yang sesungguhnya dari suatu masyarakat politik berbudaya paternalistik dan primordial dalam politik, diarahkan ke masyarakat berbudaya politik modern yang demokratis dan menjunjung tinggi hukum. Pemimpin tidak lagi bertindak dan diperlakukan sebagai pihak yang serba tahu dan selalu benar, melainkan tak lebih dari manusia biasa yang mendapat mandat, yakni individu “yang pertama dari yang sama” (primus inter pares) belaka, yang terpilih melalui mekanisme politik oleh mayoritas rakyat, dan dalam menjalankan misinya terikat oleh rambu-rambu konstitusional, karenanya perlu diawasi dan dikontrol. 12 ) Antara lain amandemen I-IV UUD 1945, berbagai perundang-undangan politik baru, penghapusan Utusan Golongan dan Fraksi TNI-Polri yang diangkat di parlemen, dan pemberlakukan otonomi daerah (lihat Struktur Politik pada sub-bab Demokrasi Pasca Orba ini). V - 19 Pada sisi pemegang kekuasaan negara, mulai pula terjadi pergeseran-pergeseran dalam mempersepsikan politik dan kekuasaan, walaupun masih bersifat terbatas dan simbolik sifatnya. Mundur dari suatu jabatan sudah mulai menjadi hal biasa untuk suatu kondisi politik tertentu, demikian pula kebiasaan untuk mengumumkan jumlah aset dan kekayaan pribadi seorang yang mencalonkan diri untuk suatu jabatan publik dan politik. ii. Permasalahan dan Tantangan Walaupun telah terjadi pergeseran-pergeseran, namun secara menyeluruh budaya politik dominan masih jelas merupakan budaya politik lama yang cenderung tidak demokratis, yang sudah tertanam mendalam mengikuti struktur politik dan peran negara pada masa orde lama maupun orde baru. Transformasi budaya politik jelas akan memakan waktu panjang, karena menyangkut persepsi, sikap, perilaku, etika para pelaku politik secara umum terhadap kekuasaan, jabatan, wewenang dan tanggung jawab yang menyertainya. Budaya pemaksaan kehendak dan kekerasan, ancaman, diskriminasi, serta KKN, masih merupakan permasalahan dan tantangan yang sangat besar dalam membangun budaya demokratis, toleran, dan egaliter di Indonesia. Pengembangan budaya politik menyangkut perkara yang jauh melampaui proses-proses politik dalam arti sempit, namun juga sangat berkaitan dengan persoalan dan prosesproses sosial kebudayaan secara umum, termasuk pendidikan. Apabila perubahan struktur politik dilakukan sejalan dengan perubahan orientasi dalam pendidikan berupa penanaman nilai-nilai demokrasi ke dalam jiwa dan semangat generasi yang akan datang, maka demokrasi yang kuat sangat mungkin mengakar di Indonesia dalam jangka panjang. V- 20 iii. Tindak Lanjut Strategi pengembangan budaya politik merupakan bagian dari strategi transformasi sosial kebudayaan secara sistemik. Dalam jangka pendek dan menengah, keberlanjutan perubahan struktur politik dan proses politik diharapkan memberikan dampak pada perubahan-perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan politik. Dalam jangka panjang perubahan budaya politik yang hakiki hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan. Sistem politik yang demokratis hanya akan berkembang secara dinamis apabila diimbangi oleh manusia yang berjiwa demokrat, yang mempercayai nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam demokrasi. Untuk itulah, negara perlu memberi masukan serta memfasilitasi upaya–upaya politik bagi penyelenggaraan civic education yang berintikan nilai-nilai pendidikan politik modern serta penyempurnaan kurikulum sekolah-sekolah negeri dengan muatan budaya (cultural matters) berintikan nilai–nilai budaya (cultural values) Demokrasi, HAM dan Etika Politik. Penyempurnaan pendidikan mencakup metode pendidikan maupun substansi pendidikan dengan sasaran utama membentuk sejak dini kepribadian dan sikap manusia Indonesia yang toleran, memahami nilai-nilai etika politik dan persamaan (egalitarianism) yang diperlukan oleh seluruh komponen bangsa yang demokratis. Selain itu, perlu upaya terus-menerus untuk mewujudkan dan memfasilitasi berbagai forum dan wacanawacana sosial politik yang dapat memperdalam pemahaman mengenai pentingnya persatuan bangsa, mengikis sikap diskriminatif, dan menghormati perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Media massa cetak dan penyiaran sebagai alat komunikasi dan informasi umum dapat diikutsertakan dalam upaya mempromosikan nilai-nilai luhur dari sikap toleransi, persatuan, anti-diskriminasi dan nilai-nilai HAM yang bersifat universal. V - 21 2. Hubungan Luar Negeri13) Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, arah kebijakan Propenas dalam Sub Bidang Hubungan Luar Negeri adalah: a. Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. b. Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat. c. Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warganegara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional. d. Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi, regional maupun intternasional dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan. e. Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakukan AFTA, APEC dan WTO. f. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagi penyelesaian perkara pidana. g. Meningkatkan kerja sama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan langsung dan kerjasama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, pembangunan dan kesejahteraan. ) Peranan hubungan luar negeri ditekankan pada proses “pemberdayaan” posisi Indonesia sebagai negara bangsa, termasuk peningkatan kapasitas dan integritas nasional melalui keterlibatan di organisasi-organisasi internasional. 13 V- 22 2.1 Program Penguatan Politik Luar Negeri dan Diplomasi a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program Penguatan Politik Luar Negeri dan Diplomasi adalah meningkatkan peran dan partisipasi Indonesia di berbagai kerjasama internasional baik bersifat bilateral, regional, maupun multilateral yang berorientasi pada kepentingan nasional dalam upaya meningkatkan kemandirian bangsa, memulihkan citra dan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sasaran Program ini adalah terwujudnya peningkatan kualitas dan kinerja aparatur penyelenggara hubungan luar negeri serta sarana dan prasarana penyelenggara hubungan luar negeri dalam rangka memperkuat peran dan partisipasi Indonesia di berbagai kerjasama internasional. Arah Kebijakan Program ini adalah menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat; dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat; meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warganegara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional; meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi, regional maupun intternasional dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan. V - 23 b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Selama tahun 2003 pelaksanaan diplomasi dan hubungan internasional ditandai dengan pencapaian yang signifikan antara lain meningkatnya pengakuan internasional terhadap kedaulatan dan integritas NKRI, meningkatnya kepercayaan dunia internasional terhadap komitmen dan kesungguhan pemerintahan RI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, serta diterimanya upaya dan langkah pemerintah RI untuk merealisasi gagasan “ASEAN Security Community” yang telah mendapat sambutan positif negara-negara ASEAN. Sementara itu, upaya-upaya terpadu dan sistimatis dari sisi diplomasi telah pula dilakukan untuk memagari potensi disintegrasi bangsa, melalui penggalangan dukungan seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI. Dalam kaitan ini, pada pertemuan di New York bulan September 2002, Sekjen PBB Kofi A. Annan telah menyampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri bahwa PBB dan seluruh negara anggotanya mendukung keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia. Upaya penggalangan melalui jalur diplomasi pun ditempuh terhadap sasaran-sasaran lainnya, dengan hasil semakin mantapnya dukungan ASEAN, ARF, OKI, GNB dan PIF terhadap integritas territorial dan kedaulatan wilayah Indonesia. Sementara itu pula, dari perspektif bilateral, tidak kurang dari negara-negara seperti Amerika Serikat telah menegaskan penolakan mereka terhadap separatisme di Indonesia dan mendukung integritas kedaulatan NKRI. Kebijakan Indonesia dalam menangani masalah Papua mendapatkan momentum yang kuat berupa dukungan pemerintah AS atas persatuan NKRI dan menolak separatisme Papua, yang dinyatakan secara terbuka pada joint statement presiden George W. Bush dengan Presiden Megawati pada 19 September 2001 dan penegasan kembali V- 24 oleh presiden AS pada kunjungan ke Bali, 22 Oktober 2003. Demikian pula dukungan dari pemerintah Australia terhadap keutuhan wilayah dan kesatuan nasional Indonesia. Upayaupaya diplomasi juga ditempuh untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara tetangga guna menutup jalur-jalur pasokan senjata gelap (illicit arms) yang dimanfaatkan oleh berbagai kelompok separatis di Indonesia. Dalam pada itu, upaya diplomasi berupaya pula untuk meyakinkan dunia luar bahwa kebijakan otonomi khusus di Aceh dan Papua merupakan solusi terbaik untuk mengatasi masalah yang ada di kedua daerah tersebut. Melalui paket otonomi khusus tidak saja masyarakat Aceh dan Papua dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga mereka secara mandiri, tetapi juga terkandung adanya pembagian keuangan pusat-daerah yang menguntungkan Aceh dan Papua karena kedua wilayah itu berhak untuk memperoleh pendapatan sekitar 70-80% dari sumber-sumber alam yang dimilikinya. Dalam persoalan separatisme Aceh, momentum positif yang cukup penting dicacat adalah keberhasilan diplomasi Indonesia dalam meyakinkan pemerintah Kerajaan Swedia untuk melakukan pemrosesan awal secara hukum terhadap tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sudah menjadi warga negara Swedia, Hasan Tiro, atas tuduhan melakukan kegiatan-kegiatan pelanggaran hukum di negara lain, yakni separatisme di Indonesia. Walaupun masih memerlukan proses hukum yang sangat panjang, proses penahanan dan pemeriksaan Hasan Tiro, Tengku Malik Mahmud, Dr. Zaini Abdullah perlu dijadikan contoh diplomasi pro-aktif, dengan koordinasi lintas institusi yang cukup berhasil di dalam negeri. Secara internal kelembagaan, kegiatan-kegiatan penting dalam pelaksanaan program penguatan politik luar negeri dan diplomasi antara lain berupa dilaksanakannya berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas para penyelenggara hubungan luar negeri, yang didukung juga oleh adanya peningkatan V - 25 sarana dan prasarana penyelenggara hubungan luar negeri, serta upaya penggalangan masyarakat Indonesia di luar negeri dan masyarakat berbagai profesi di negara setempat agar dapat mendukung upaya diplomasi Indonesia di luar negeri melalui jalur diplomasi publik. Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan hubungan luar negeri telah disusun Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Di samping itu, telah disusun pula rancangan peraturan pemerintah untuk mengatur koordinasi antarlembaga pemerintah dalam penyelenggaran hubungan luar negeri sebagai penjabaran pasal 28 ayat 2 UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Sedangkan, dalam rangka menjamin terciptanya kepastian hukum bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk koordinasi antarinstansi pemerintah dan antarunit yang ada di Departemen Luar Negeri, saat ini sedang disusun RPP mekanisme kerja sama para pihak. Dalam rangka menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri, telah dilakukan restrukturisasi Departemen Luar Negeri, antara lain melalui pembentukan suatu Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) yang khusus menangani masalah tersebut di luar negeri. Dalam rangka peningkatan perlindungan TKI, Indonesia membentuk team advokasi bagi para TKI di luar negeri dan penandatanganan berbagai MOU bilateral tentang kerjasama di bidang ketenagakerjaan. Peningkatan kualitas para penyelenggara hubungan luar negeri telah dilakukan secara regular melalui pelaksanaan berbagai pendidikan dan latihan struktural, pendidikan keprofesionalan, serta melalui pendidikan formal pasca sarjana disamping pemantauan prestasi dan hasil kinerja para diplomat Indonesia. Dalam rangka untuk mengembangkan kebijakan luar negeri telah dilakukan upaya kerjasama V- 26 dengan lembaga–lembaga pendidikan tinggi disamping institusi think thanks dari beberapa negara sahabat. Di samping itu, juga dilakukan restrukturisasi Perwakilan RI di Luar Negeri guna meningkatkan kinerjanya dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional melalui kerjasama bilateral, regional dan internasional. Kemudian untuk memperluas jaringan diplomasi telah dibuka kantorkantor Perwakilan RI di Lima (Peru), Lisabon (Portugal), Tripoli (Libya), Guangzhou (China), dan Kabul (Afghanistan). Dalam kaitannya dengan pengembangan diplomasi publik, kegiatan yang selama ini ditempuh adalah melalui penyelenggaraan “foreign breakfast meeting” dan pertemuan dengan tokoh masyarakat, agama, budaya dan mahasiswa yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri secara teratur. Para tokoh agama Indonesia yang tergabung dalam “Gerakan Moral Nasional Indonesia” telah mengadakan kunjungan ke Vatikan dan Brussel, dalam rangka menyampaikan rasa keprihatinan umat beragama di Indonesia atas berbagai kejadian yang menyudutkan Islam di dunia internasional. Diplomasi publik tersebut juga diperkuat dengan berbagai temu budaya di berbagai negara serta kerjasama dengan wartawan luar negeri seperti dengan wartawan Amerika Serikat dan wartawan Jerman dan Spanyol, untuk memuat berita yang proporsional mengenai Indonesia. Di samping itu, upaya lain yang telah dilakukan khususnya dalam tahun 2002 adalah penyebarluasan informasi melalui media center maupun melalui website informasi publik. Secara keseluruhan berbagai program penguatan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia masih membutuhkan waktu untuk dirasakan dampaknya secara signifikan terhadap politik luar negeri Indonesia dalam arti peningkatan dalam posisi bargaining power Indonesia, serta perannya dalam mendukung percepatan pemulihan ekonomi Indonesia. V - 27 ii. Permasalahan dan Tantangan Salah satu tantangan yang krusial adalah menggunakan Politik Luar Negeri untuk mempercepat pemulihan krisis nasional. Pemulihan kepercayaan internasional merupakan kombinasi antara perubahan realitas politik dalam negeri dan kekuatan diplomasi. Keberhasilan menggalang dukungan internasional dapat sangat membantu penyelesaianpenyelesaian berbagai isu krusial nasional. Tantangan besar lainnya adalah merevitalisasi konsep “National Identity” dalam politik luar negeri. “National Identity” tidak lagi dibentuk berdasarkan dominasi negara, melainkan atas dasar “Nation and Character Building” yang dirumuskan oleh proses-proses demokratis. Masyarakat dan negara diharapkan mampu merumuskan “National Identity” yang dapat mengangkat martabat dan kehormatan bangsa dalam percaturan internasional. Hal ini berkaitan dengan upaya meyakinkan dunia internasional, bahwa dinamika politik di dalam negeri yang terkesan kurang stabil dan kurang memiliki kepastian arah, merupakan situasi yang wajar dan sehat. Dunia internasional memiliki kepentingan untuk menjaga Indonesia yang bersatu dan demokratis, sedangkan perpecahan dan kembali kepada otoriterisme adalah pilihan yang merugikan, tidak hanya di tingkat negara Indonesia, melainkan juga di tingkat regional maupun internasional. iii. Tindak Lanjut Dalam mengatasi berbagai tantangan yang ada, maka selain negara sebagai pelaku dan perumus arah kebijakan politik, maka program-program yang ada juga terarah pada upaya peningkatan peran diplomasi publik sebagai instrumen diplomasi bilateral, regional (khususnya ASEAN) dan diplomasi multilateral untuk mendukung penyelenggaraan hubungan luar negeri Indonesia. Diplomasi publik yang menekankan pendekatan budaya diharapkan dapat mempermudah saling pengertian antar bangsa, yang pada V- 28 gilirannya dapat mengoptimalkan perjuangan Indonesia untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politiknya. Untuk memperkuat politik luar negeri, Indonesia juga perlu merumuskan konsep pemberian respons yang lebih tegas, visioner dan berkualitas berkaitan dengan isu-isu internasional strategis dalam setiap periode tertentu. Sebagai negara demokrasi yang besar, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, respons yang tegas dan konsisten diharapkan dapat mempengaruhi dan membentuk opini, saling pengertian, dan kepercayaan masyarakat internasional terhadap masyarakat dan kebudayaan Islam, terutama dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional dalam dunia yang sudah berubah. Faktor Islam sebagai perekat persatuan Indonesia, bukan pemecah belah, diharapkan dapat menjadi alat untuk meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia yang bersatu jauh lebih baik, dibandingkan dengan Indonesia yang mengalami perpecahan dan ketidakstabilan politik. Lebih jauh lagi, Indonesia dapat ikut merumuskan kembali berbagai hal yang menjadi keprihatinan dunia internasional, seperti persoalan-persoalan unilateralisme-multilateralisme, perang melawan terorisme, arah globalisasi dan persoalan-persoalan lainnya. Tindak lanjut dalam melakukan tindakan hukum atas tokoh-tokoh GAM, antara lain perlu diupayakan kerjasama intelijen dan interpol dengan negara-negara Asia Tenggara untuk menangkap tokoh GAM yang berkeliaran di wilayah ini, seperti Zakaria Zaman. Selain berkonsentrasi pada tindakan hukum terhadap pimpinan GAM berwarganegara Swedia, perlu dikaji kemungkinan penyerahan pimpinan GAM yang bukan berwarganegara Swedia, misalnya Malik Mahmud (wargenegara Singapura), yang saat ini masih berada di Swedia. Selain itu, untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, pemerintah membentuk atase khusus yang bertugas melindungi dan memperjuangkan buruh Indonesia. V - 29 Atase perburuhan perlu dibentuk di sedikitnya 6 (enam) negara yang paling banyak menampung TKI yaitu: Uni Emirat Arab, Singapura, HongKong, Korea Selatan, Kuwait dan Taiwan. 2.2 Program Peningkatan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program ini adalah mencari peluang dan potensi di luar negeri dan meningkatkan dukungan masyarakat luar negeri dalam pemulihan ekonomi. Sasaran Program ini adalah terwujudnya peningkatan dukungan dunia internasional kepada Indonesia dalam rangka pemulihan dan perbaikan perekonomian nasional serta dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Arah Kebijakan Program ini adalah meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakukan AFTA, APEC dan WTO; meningkatkan kerja sama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan langsung dan kerjasama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, pembangunan dan kesejahteraan. b. Pelaksanaan i. Hasil yang telah dicapai Berbagai upaya telah dilakukan dalam upaya mendorong berbagai negara untuk melakukan kerjasama dengan Indonesia adalah melalui kegiatan temu wicara dan temu usaha, serta pameran dagang. Pada tahun 2001, antara lain telah dilakukan lokakarya Potential and Challenges on Expanding Economic Relation and Practical Breakthrough for Public and Private Enterprises, temu wicara dan temu V- 30 usaha dalam rangka peningkatan kerjasama ekonomi dan perdagangan Indonesia RRC, temu usaha Sub Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle, temu wicara dan lokakarya promosi perdagangan dan investasi Indonesia dengan negara-negara ASEAN, temu wicara peningkatan hubungan dagang dengan mitra utama potensial seperti AS, Jepang, Singapura, Inggris, dan Australia, serta temu usaha untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan investasi di wilayah perbatasan Indonesia di Kalimantan dan mempromosikan protensi daerah dalam rangka pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sedangkan untuk lebih meningkatkan kesiapan pemerintah dan pengusaha Indonesia khususnya pengusaha daerah dalam menghadapi era perdagangan bebas, telah dilakukan sosialisasi kesepakatan forum WTO, APEC, ASEM dan AFTA di berbagai kota besar di Indonesia. Pada tahun 2002, telah dilakukan seminar dalam rangka kesiapan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan perdagangan dunia, temuwicara peningkatan kerjasama ekonomi dengan negara-negara anggota D-8 dalam kerangka kerjasama Selatan-Selatan, seminar sosialisasi APEC dalam kerangka peningkatan kemampuan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi dan komunikasi, temu usaha peningkatan pananaman modal asing dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah, sosialisasi kesepakatan forum WTO dan APEC, temu wicara dengan mitra dagang yang berasal dari Korea Selatan, Persatuan Emirat Arab dan Afrika Selatan, temu usaha Kerjasama Perikanan dalam Forum negaranegara anggota Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation (IOR ARC) bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia. Kegiatan temu usaha antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara sahabat secara keseluruhan tidak secara langsung dapat atau akan meningkatkan kerjasama ekonomi luar negeri, namun kegiatan tersebut merupakan V - 31 langkah awal dan sebagai pembuka yang memerlukan langkah tindak lanjut berikutnya. Demikian pula dalam kegiatan yang ditujukan untuk menghadapi era liberalisasi perdagangan, kegiatan yang berupa sosialisasi kesepatakan WTO dan AFTA maupun lokakarya mengenai kesiapan pengusaha dalam menghadapi perdagangan bebas, merupakan kegiatan awal sebagai penggugah bagi pengusaha dan eksportir. ii. Permasalahan dan Tantangan Salah satu permasalahan kerjasama Indonesia dalam bidang ekonomi adalah citra Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki kepastian hukum dan tidak pula menunjukkan tanda-tanda perbaikan ke arah yang lebih baik dalam bidang penegakan keadilan, baik ke dalam negerinya sendiri, terlebih terhadap para investor asing yang ingin menanamkan modalnya. Besarnya birokrasi pemerintahan dan gawatnya permasalahan korupsi, memperburuk posisi tawar-menawar politik dan ekonomi Indonesia di dunia internasional. Permasalahan dan tantangan yang krusial adalah menciptakan akses pasar dalam perdagangan bebas internasional. Terbukanya akses pasar di luar negeri sangat tergantung pada daya saing produk, selain pada kemampuan membaca arah perkembangan ekonomi, bisnis, dan perdangangan internasional. Tantangan lain adalah mencari posisi yang tepat dalam rivalitas antar para adidaya dunia, dalam hal ini rivalitas ekonomi dunia. Bagaimana persaingan antara AS, Uni Eropa, Jepang dan RRC dalam dalam waktu 10-15 tahun mendatang sangat menentukan arah ekonomi global. Kemampuan melakukan pemahaman persoalan ini, sangat membantu untuk memposisikan Indonesia secara tepat, sehingga mampu mengambil manfaat secara optimal di dalam arus global persaingan ekonomi dan perdagangan. V- 32 iii. Tindak Lanjut Peran kerjasama ekonomi luar negeri perlu dititikberatkan pada upaya–upaya untuk memperkuat kembali aktivitas–aktivitas yang lebih mampu di dalam memanfaatkan peluang dan potensi ekonomi di bidang perdagangan, investasi, pariwisata, pembangunan dan keuangan internasional. Diperlukan berbagai inovasi dalam membuka jalur investasi ke dalam negeri, selain memperkuat penegakan kepastian hukum dan meringankan beban birokrasi. Tindak lanjut yang penting dalam kaitan ini adalah menciptakan kesepahaman dan koordinasi yang lebih terarah antar kelembagaan dengan lembaga-lembaga mitra dari negara-negara tetangga bagi meningkatkan saling pengertian dalam upaya pengamanan aktivitas ekonomi perdagangan antar negara dan kekayaan sumber daya alam nasional. Berbagai upaya subversi dan tindakan kriminalitas ekonomi dan perdagangan yang semakin meningkat kualitasnya, diharapkan dapat ditanggapi dengan kerjasama dan koordinasi yang lebih baik antar negara-negara yang bertetangga, seperti pertukaran data dan informasi intelijen. Penggalangan dan sinergi ekonomi ASEAN, dalam hal ini merealisasikan Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) pada 2020, merupakan visi yang perlu mendapatkan prioritas seluruh anggota. Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam jangka panjang akan menjadi pilar ekonomi ASEAN, dengan demikian seluruh anggota ASEAN mendapat manfaat dan maju dalam kebersamaan, serta menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi yang lebih baik. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan membentuk satu pasar tunggal berbasis produksi, mengubah keragaman kawasan menjadi menjadi peluang bisnis yang dinamis bagi ASEAN. Penguatan daya saing ASEAN dimaksudkan agar ASEAN menjadi bagian jaringan eksportir global yang kuat. V - 33 Termasuk penerapan mekanisme inisiatif ekonomi baru seperti ASEAN free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), dan ASEAN Investment Area (AIA). Kesepakatan ASEAN Concord II pada KTT ASEAN 2003 di Bali perlu dilaksanakan secara konsisten dan terpadu, sekaligus menegaskan kembali kepeloporan regional (regional entitlement) Indonesia, sebagai salah satu pendiri ASEAN. 2.3 Program Perluasan Perjanjian Ekstradisi a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam pemberantasan kejahatan lintas batas dan operasi keamanan yang berdimensi internasional serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi dalam penyelesaian perkara-perkara pidana. Sasaran Program ini adalah terbinanya kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan kejahatan lintas batas serta terwujudnya perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain dan melakukan langkah penyelesaiannya. Arah Kebijakan Program ini adalah memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagi penyelesaian perkara pidana. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Kinerja penting program perluasan perjanjian ekstradisi pada tahun 2001 adalah telah ditetapkannya UU No. 1 tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar V- 34 Hukum yang Melarikan Diri. Upaya lain adalah dilakukannya pengkajian yang mendalam yang akan dijadikan bahan masukan penyusunan kerangka hukum kerjasama luar negeri untuk menangani kejahatan lintas batas negara serta bahan masukan untuk penyempurnaan UU No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. Di samping itu, pelembagaan pemberantasan kejahatan lintas batas (TNC) melalui antara lain perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, seperti yang telah dilaksanakan dengan Australia, Filipina dan Malaysia. Khusus terkait dengan proses penyelesaian perkara kejahatan lintas batas negara, pada bulan Desember 2002 telah diselenggarakan konferensi tingkat tinggi antara Pemerintah Indonesia dan Australia untuk mengatasi pencucian uang dan pembiayaan teror “Combating Money Loundering and Terrorist Financing”. Hal ini diharapkan mampu menjadi cikal bakal upaya lebih lanjut dalam pencegahan kejahatan yang berdimensi sosial ekonomi, serta menegakkan hukum. ii. Permasalahan dan Tantangan Permasalahan dan tantangan dalam persoalan perluasan perjanjian ekstradisi adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan prioritas dan kepentingan politik masingmasing negara yang dapat bertentangan satu sama lain, sehingga dapat menambah kompleksitas permasalahan ekstradisi dalam implementasinya. Permasalahan lain yang lebih bersifat teknis prosedural adalah masih lemahnya koordinasi di antar lembaga antar jajaran instansi pemerintah untuk menyempurnakan UU No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. Di samping itu, penyempurnaan UU mengenai ekstradisi sangat ditentukan pula oleh inisiatif pihak legislatif. V - 35 iii. Tindak Lanjut Pelaksanaan program perluasan perjanjian ekstradisi diarahkan pada peningkatan kerjasama bilateral/regional dengan negara-negara tetangga khususnya dengan ASEAN di bidang penanggulangan kejahatan lintas batas negara termasuk pemberantasan terorisme internasional. Penyempurnaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi merupakan pekerjaan rumah bersama, sejalan dengan kepentingan untuk merevisi berbagai perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat. Salah satu agenda yang mendesak adalah penyelesaian perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Singapura yang telah tertunda selama 30 tahun, termasuk penyelesaian pemetaan batas wilayah udara, laut dan darat. 2.4 Program Peningkatan Kerjasama Bilateral, Regional dan Global Multilateral a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program adalah meningkatkan kerjasama di bidang politik, sosial, budaya pertahanan dan keamanan, baik secara bilateral, regional maupun global/multilateral. Sasaran Program ini adalah terwujudnya kerjasama internasional yang saling menguntungkan di berbagai bidang, serta terciptanya stabilitas politik di kawasan Asia dan Pasifik serta kawasan internasional lainnya. Arah kebijakan Program ini adalah meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakukan AFTA, APEC dan WTO. V- 36 b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Indonesia memperoleh anugerah ASEAN Award (tahun 2001) karena sumbangannya terhadap perdamaian regional di kawasan Laut Cina Selatan. Penghargaan ini sebagai pengakuan atas keberhasilan peran Indonesia untuk menciptakan situasi damai di wilayah Laut Cina Selatan. Selama ini Indonesia memfasilitasi pertemuan regular setiap tahunnya untuk membahas persoalan politik dan keamanan di wilayah ini. Upaya perlindungan dan pemajuan HAM juga telah diselaraskan dengan berbagai standar yang tertuang dalam instrumen-instrumen HAM internasional, termasuk Deklarasi Universal HAM serta Deklarasi dan Rencana Aksi Wina. Penyelarasan itu juga telah ditempuh melalui aksesi dan ratifikasi berbagai konvensi HAM, seperti Konvensi Hakhak Anak; Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Kejam dan Tidak Berperikemanusiaan atau Merendahkan; Konvensi Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi Rasial dan berbagai konvensi inti (core convention) ILO. Penetapan Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM) yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia juga telah sesuai dengan praktek-praktek internasional. RAN-HAM 1998-2003, dan 2004-2009 memperhatikan pula terkini yang terjadi di bidang HAM, yang dalam artian luas mencakup tidak hanya hak-hak sipil dan politik tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak pembangunan. Hasil penting lainnya yang perlu dicatat pada tahun 2001 adalah diperolehnya penghargaan dari Komisi HAM PBB atas langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia dalam upaya mengadili pelaku pelanggaran HAM di Timor V - 37 Loro Sae. Hal ini diharapkan dapat mengangkat kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional karena dianggap serius menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan Timor Loro Sae. Kesungguhan Indonesia tersebut antara lain terlihat dengan terlaksananya pertemuan bilateral dengan Timor Loro Sae guna menyelesaikan residual issues khususnya perbatasan, pengungsi dan masalah asset. Selain itu mekanisme tripartit antara Indonesia, Timor Loro Sae dan Australia juga sudah mengadakan pertemuan yang terkait dengan upaya penyelesaian persoalan setelah lepasnya Timor Loro Sae dari Indonesia. Menguatnya dukungan internasional atas keutuhan wilayah Indonesia ditunjukkan dengan adanya ASEAN Ministerial Meeting Communique tahun 2003 yang memberikan dukungan penuh negara-negara ASEAN terhadap NKRI di samping adanya komitmen dan kesediaan bekerjasama untuk membantu menyelesakan permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia tersebut, khususnya negara – negara ASEAN. Di samping itu, dukungan diberikan pula oleh negara-negara sahabat dari Amerika, Afrika, Timur Tengah, Asia Pasifik dan Eropa termasuk Perserikatan Bangsa – Bangsa agar kedaulatan dan integritas wilayah RI tetap terjaga. Diplomasi Indonesia juga berhasil mengurangi bahkan menggagalkan upaya–upaya kekuatan eksternal termasuk rencana pengerahan “peace keeping force” untuk turut campur dalam penyelesaian masalah konflik internal dalam negeri. Dalam KTT Pacific Islands Forum (PIF) tahun 2001 diberikan juga dukungan atas integritas wilayah RI, khususnya yang terkait dengan kasus Papua. Sampai dengan tahun 2004, melalui program kegiatan border diplomacy, Indonesia telah menandatangani 17 perjanjian Garis Batas Kontinen dengan negara-negara sekitar, seperti Malaysia, Australia, Thailand, Singapura, Papua New Guinea, Vietnam dan Timor Loro Sae. Untuk batas wilayah internasional di darat, telah dilakukan deliniasi, delimitasi dan demarkasi serta pemetaan batas wilayah antara RI dengan Malaysia, PNG dan RDTL dengan hasil berupa peta skala 1:50.000 V- 38 masing-masing sebanyak 10 nomor lembar peta (NLP), 20 NLP dan 17 NLP. Dalam upaya memperkuat ketahanan nasional, Indonesia meningkatkan kerjasama militer secara bilateral dengan beberapa negara dalam rangka modernisasi, alih teknologi dan sistem persenjataan di Indonesia. Untuk itu, selain tetap menjalin kerjasama dengan negara-negara maju di kawasan Eropa Timur dan Asia Timur, Indonesia juga berupaya membina kerjasama militer dengan negara-negara sahabat di kawasan Eropa Barat, Amerika Utara dan Pasifik Barat Daya. Kerjasam ini dilakukan melalui pertemuan berkala Indonesia-US Security Dialogue, Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi (SOM) Regional Security and Arms Control Talks dan berbagai kegiatan serupa dengan negara sahabat lainnya. ASEAN ditetapkan sebagai concentric circle pertama dari politik dan hubungan luar negeri Indonesia. Peran Indonesia yang menonjol dalam kerjasama regional ASEAN adalah keberhasilan Indonesia dalam mengupayakan tercapainya integrasi ekonomi ASEAN, sebagaimana tercantum dalam ASEAN Vision 2020, menuju Komunitas Ekonomi ASEAN. Pada 9th ASEAN Summit di Bali Tahun 2003, disepakati Declaration of ASEAN Concord II mengenai pembentukan ASEAN Community yang bertumpu pada tiga pilar, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-cultural Community. Sedangkan dalam 37th ASEAN Ministerial Meeting di Jakarta Tahun 2004, Indonesia mendapat mandat untuk memformulasikan Plan of Action bagi komunitas keamanan ASEAN (ASEAN Security Community) yang akan diajukan pada KTT ASEAN bulan November 2004. Pada lingkaran konsentris kedua, Indonesia terus meningkatkan upaya-upaya diplomasi yang efektif dan terarah dengan negara-negara penting di kawasan Asia Timur, khususnya konsepsi “masyarakat Asia Timur” yang sudah digulirkan melalui ASEAN + 3 (China, Jepang dan V - 39 Republik Korea). Sedangkan pada lingkaran konsentris ketiga perlu terus memelihara hubungan dan solidaritas dengan negara-negara GNB, OKI, Kelompok-77 dan Kelompok-15 dan D-8 serta memanfaatkan PBB sebagai satu-satunya organisasi yang bersifat universal bagi pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Pada Organisasi Konferensi Islam (OKI) Indonesia mengupayakan agar organisasi ini menjadi wahana yang efektif bagi penyelesaian masalah yang dihadapi anggotanya. Dalam hal ini, dengan selesainya fase I implementasi Perjanjian Damai 1996 GRPMNLF, Indonesia telah diminta untuk melanjutkan kepemimpinannya dalam Komite 8 OKI dalam membantu Filipina dalam menyelesaikan masalah Muslim di Filipina Selatan melalui pemantauan pelaksanaan fase II perjanjian tersebut. Di samping itu dalam Asian-African Sub Regional Organizations Conference (AASROC) yang diselenggarakan di Bandung Tahun 2003, Indonesia mendukung pembentukan open-ended Working Group on AASROC yang bertujuan mengembangkan modalitas, pendekatan operasional dan format kerjasama untuk menjamin pelaksanaan New Strategic Partnership. Dalam Working Group tersebut, Indonesia dan Afrika Selatan berperan sebagai Co-Host. Dalam pemberantasan terorisme, di tingkat bilateral Indonesia meningkatkan kerjasama dengan berbagai negara antara lain Australia, AS, Jepang dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Pada tanggal 3 Juli 2004 Pemerintah telah meresmikan berdirinya Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC). Lembaga ini akan berperan antara lain sebagai pusat pelatihan bagi penegak hukum negaranegara Asia Pasifik dalam pemberantasan terorisme dan kejahatan internasional. Indonesia juga telah meratifikasi empat konvensi mengenai terorisme, yakni: Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, Tokyo, V- 40 1963; Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Civil Aviation, The Hague, 1970; Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, Montreal, 1971; dan Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna, 1980, serta menandatangani dua konvensi lainnya, yaitu: Protocol on the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, Supplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, Montreal, 1988 dan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, New York, 1999. Pemerintah juga telah memanfaatkan mekanismemekanisme kerjasama bilateral, regional dan global dalam upayanya memerangi terorisme. Dengan Pemerintah Australia, Indonesia menandatangani MOU tentang Counter Terorism pada 7 Februari 2003, menyelenggarakan seminar regional mengenai pencucian uang dan terorisme serta Bali Regional Ministerial Conference on Terrorism pada bulan Februari 2004. Indonesia dan India telah menandatangani Memorandum Kesepahaman untuk Memerangi Terorisme. Dalam kerangka ASEAN, Indonesia telah menjalin kerjasama kepolisian dan angkatan bersenjata maupun dengan badan-badan intelijen. Di sela sela penyelenggaran AMM-3/PMC/ARF-11 pada tanggal 28 Juni – 2 Juli 2004 telah ditandatangani ASEAN-Australia Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism dan ASEANRussian Federation Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism. Di forum internasional lainnya seperti organisasi Non-Blok, OKI maupun APEC, Indonesia secara aktif ikut menyuarakan dalam memerangi terrorisme internasional. Di forum PBB, Indonesia telah aktif dalam pembahasanpembahasan masalah terorisme serta dalam memajukan kerjasama dengan Komite Pemberantasan Terorisme PBB (UN CTC). Pemerintah RI telah siap melaksanakan V - 41 ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No.1373 (2001) secara penuh, termasuk ketentuan 90 hari dalam penyampaian laporan penanganan pemberantasan terorisme di negara masingmasing. Usaha tersebut konsisten dengan upaya nasional untuk menghilangkan aksi terorisme yang menjadi ancaman potensial terhadap proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Satu catatan penting lainnya adalah upaya Indonesia untuk mempererat kerjasama dengan negara-negara di Kawasan Pasifik Barat Daya (Southwest Pacific) yang termasuk wilayah dalam lingkar strategis Indonesia di sebelah Timur. Dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia membangun struktur-struktur hubungan baru dengan negara-negara tetangga itu, di samping terus memperkuat hubungan bilateral dengan masing-masing negara. Dalam hal ini, Indonesia terus membangun forum konsultasi trilateral Indonesia-Australia-Timor Leste dan forum dialog Pasifik Barat Daya. Selain itu, Indonesia juga terus aktif sebagai mitra wicara dari negara-negara Pacific Islands Forum (PIF). Upaya diplomasi di Kawasan Pasifik Barat Daya ini terbukti berhasil untuk mengubah posisi negara-negara di kawasan tersebut yang sejak lama condong bersimpati pada gerakan separatisme di Papua. Sebagai contoh, Vanuatu dan Fiji sebagai dua negara kunci anggota PIF saat ini telah mendukung penyelesaian isu Papua berdasarkan pemberian Otonomi Khusus, bahkan Vanuatu bersedia memfasilitasi kepulangan 11 tokoh OPM yang bermukim di Pasifik Barat Daya ke Indonesia. Akan halnya Timor Leste, Indonesia menekankan perlunya pengembangan hubungan tetangga baik berdasarkan semangat rekonsiliasi yang berwawasan ke depan. Untuk itu, kedua negara telah melakukan berbagai pertemuan untuk membahas penyelesaian masalah-masalah residual yang V- 42 muncul setelah kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1999 termasuk masalah-masalah baru menyangkut batas wilayah darat dan batas wilayah maritim kedua negara. Banyak langkah maju yang diraih dari upaya itu, antara lain penyelesaian batas darat (sekitar 90 persen), penyelesaian masalah pengungsi (dari 285.000 pada November 1999 menjadi 16.000 pada 2004). Sementara itu, hubungan bilateral Indonesia-Australia mencatat perkembangan penting yakni berhasilnya potensi benturan kedua negara diubah menjadi kerjasama kongkrit yang saling menguntungkan, tercermin dari peningkatan kerjasama kedua negara di bidang kontra- terorisme, dialog antar agama dan penanganan masalah penyelundupan dan perdagangan manusia (people smugling and trafficking in persons). Di samping itu Indonesia tetap konsisten dalam usaha pemberantasan tindak pencucian uang dan usaha Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). ii. Permasalahan dan Tantangan Salah satu tantangan yang terbesar saat ini adalah menempatkan Indonesia secara tepat atas isu-isu global. Isu seperti “War on Terrorism,” tampaknya akan menjadi isu tetap sebagai prioritas dunia internasional selama sedikitnya 5 (lima) tahun mendatang. Indonesia mesti memiliki sensitivitas dalam menempatkan diri secara tepat berkaitan dengan isu ini. Tantangan lain adalah menyusun strategi yang tepat dalam menghadapi potensi konflik teritorial. Kalahnya Indonesia dalam kasus persengketaan Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia menunjukkan bahwa persoalan effective rule sangat menentukan sengketa teritorial, apabila argumentasi hukum internasional relatif sama kuat. Namun pada sisi lain, penyelesaian masalah Sipadan-Ligitan harus V - 43 dilihat sebagai perwujudan cara penyelesaian sengketa secara damai. Selain itu, adanya keperluan untuk memperkuat makna penting multilateralisme dalam hubungan internasional secara global. Kecenderungan-kecenderungan unilateralisme dapat menyebabkan lumpuhnya PBB, dengan akibat terburuk terjadinya anarkisme dalam hubungan internasional. iii. Tindak lanjut Program ini akan lebih banyak difokuskan pada upaya untuk melanjutkan persiapan ratifikasi berbagai konvensi yang berkaitan dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sipil dan politik, termasuk kewajiban-kewajiban Indonesia mengenai perlucutan senjata, melanjutkan upaya-upaya untuk menentukan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), melanjutkan penyelesaian masalah dengan Timor-Timur, serta meningkatkan kerjasama ASEAN di berbagai bidang. Di samping itu, pelaksanaan program diarahkan untuk memperluas jaringan kerjasama, tidak hanya di lingkup ASEAN, tetapi memanfaatkan kerjasama antar kawasan di luar ASEAN dalam bidang politik ekonomi dan sosial budaya, seperti dengan Uni Eropa dan dengan negara-negara Asia Timur, seperti Cina, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan di bidang Usaha Kecil dan Menengah, serta meningkatkan kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah dan Afrika khususnya negara-negara teluk (GCC). Lebih jauh lagi, pengembangan kerjasama internasional diarahkan juga untuk menangani dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan kejahatan dan terorisme internasional. Menempatkan Indonesia secara tepat sangat diperlukan, dengan memberikan tekanan yang cukup besar pada upaya-upaya mengatasi akar-akar munculnya ideologi terorisme dan berbagai tindakan kriminalitas lintas batas V- 44 yang konvensional, bukan hanya mengatasi gejala yang muncul di permukaan. Indonesia diharapkan mampu menciptakan perspektif alternatif terhadap persoalanpersoalan ketidak adilan dan terorisme. 3. Penyelenggara Negara Arah kebijakan Sub Bidang Penyelenggara Negara yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 19992004 adalah sebagai berikut: a. Membersihkan penyelenggara negara dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dengan memberikan sanksi seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat, dan mengembangkan etika dan moral. b. Meningkatkan kualitas aparatur negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem karier berdasarkan prestasi dengan dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi. c. Melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat negara dan pejabat pemerintah sebelum dan sesudah memangku jabatan dengan tetap menjunjung tinggi hak hukum dan hak asasi manusia. d. Meningkatkan fungsi dan keprofesionalan birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya dalam mengelola kekayaan negara secara transparan, bersih, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. e. Meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menciptakan aparaturyang bebas dari KKN, bertanggung jawab, profesional, produktif dan efisien. f. Memantapkan netralitas politik pegawai negeri dengan menghargai hak-hak politiknya. V - 45 3.1 Program Pengawasan Aparatur Negara a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program ini adalah mewujudkan aparatur negara yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN. Sasarannya adalah memberantas KKN di lingkungan aparatur negara yang didukung dengan penegakan peraturan perundangundangan, peningkatan kinerja, dan profesionalisme aparatur negara baik di pusat maupun di daerah. Arah kebijakannya adalah membersihkan penyelenggara negara dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan memberikan sanksi seberat-beratnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat, mengembangkan dan menerapkan kode etik dan moralitas bagi setiap unsur aparatur pengawas; melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara dan pejabat pemerintah sebelum dan sesudah memangku jabatan dengan tetap menjunjung tinggi hak hukum dan hak asasi manusia. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Dalam upaya mewujudkan program tersebut telah menghasilkan berbagai hal yang meliputi: (1) tersedianya sistem Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), dan melakukan sosialisasi pelaksanaan teknis SAKIP dan LAKIP; (2) PP No 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (3) meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasuskasus berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme; (4) meningkatnya pelaksanaan pengawasan oleh Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) di pusat dan daerah; (5) meningkatnya kualitas APFP mengenai teknik- V- 46 teknik pengawasan internal yang baru seperti penilaian Good Coorporate Governance, Pemeriksaaan indikator kinerja kunci (key performance indicators audit), audit kecurangan (fraud audit), penilaian resiko dan pelaksanaan audit berbasis kinerja; (6) menurunnya jumlah keseluruhan uang/kekayaan negara yang terindikasi tindak pidana korupsi (TPK); (7) dilimpahkannya keinstansi penyidik kejaksaan dan kepolisian sebanyak 800 kasus; (8) melakukan penyuluhan sistem pengawasan, melakukan penyusunan standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, mengefektifkan dan mengoptimalisa-sikan pelaksanaan tindak lanjuk pengawasan, termasuk pengawasan yang dilaksanakan masyarakat, meningkatkan pemberantasan KKN di pusat dan daerah; (9) penyempurnaan pedoman penyusunan pelaporan AKIP, sosialisasi dan pelaksanaan bantuan teknis SAKIP dan LAKIP; (10) terlaksananya kegiatan rutin pengawasan berupa pemeriksaan represif yang meliputi kegiatan pengawasan reguler dan audit laporan keuangan dan kinerja BUMN/D. ii. Permasalahan dan Tantangan Kencenderungan perilaku KKN di lingkungan aparatur negara merupakan penyakit sosial yang melibatkan banyak pihak di luar birokrasi dan memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat. Penanganan perilaku korupsi yang dilakukan selama ini masih cenderung lebih investigatif/represif, dan kurang pembenahan dalam melakukan tindakan preventif dengan melakukan pembenahan administrasi, institusi, dan gerakan budaya anti korupsi di lingkungan birokrasi pemerintah. Permasalahan lainnya adalah tingkat kesejahteraan aparatur negara pada umumnya dan pegawai negeri pada khususnya yang relatif kecil dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping kapasitas kemampuan SDM dalam mendukung penyelenggaraan kegiatan akuntabilitas pada instansi pemerintah dirasakan masih sangat kurang. V - 47 Demikian pula, kelembagaan yang berwenang dalam penanganan KKN, yang seharusnya saling berkoordinasi dan saling mendukung, namun dalam kenyataannya masih belum terintegrasi dan bersinergi secara efektif. iii. Tindak Lanjut Dalam melakukan penanganan tindakan KKN perlu keserasian antara tindakan memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN dan juga melakukan tindakan pencegahan dengan melakukan pembenahan administratif, kelembagaan, dan men-dukung gerakan kampanye anti korupsi. Kemudian perlunya lebih mengintensifkan koordinasi dan kerja sama dengan pihak terkait dalam melakukan pemeriksaan dan audit dalam penyelengaraan negara. Perlunya mempercepat proses hukum terhadap temuan dari hasil pemeriksaan BPK, BPKP, Bawasda, dan unit-unit pengawasan lainnya baik yang berada di dalam maupun di luar instansi pemerintah, khususnya yang terindikasi adanya penyalahgunaan pengelolaan keuangan negara. Di samping itu perlunya peningkatan etika dan moral PNS didukung oleh peningkatan kesejahteraan PNS. Demikian pula perlunya menerapkan strategi pemberantasan korupsi “tiga pilar” yang meliputi: preventif, investigatif/represif, dan edukatif secara paralel dengan memprioritaskan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kondisi di masa yang akan datang. 3.2 Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program ini adalah untuk menciptakan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah yang berdasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana. Di samping itu, program ini juga difokuskan pada upaya pelaksanaan tugas umum pemerintahan V- 48 dan pembangunan yang didukung oleh sistem pengelolaan dokumen/arsip yang lebih efektif dan efisien disertai dukungan sistem informasi yang terarah pada pengembangan EGovernment. Sasarannya adalah demi terciptanya struktur kelembagaan yang efektif, efisien dan aksesif, dan terciptanya sistem ketatalaksanaan yang terkait dengan penataan kewenangan dan hubungan kerja antara pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). Arah kebijakannya adalah untuk meningkatkan fungsi dan keprofesionalan birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya dalam mengelola kekayaan negara secara transparan, bersih, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Dalam upaya mewujudkan program tersebut telah menghasilkan berbagai hal yang meliputi: (1) melakukan evaluasi dan penyempurnaan pedoman organisasi perangkat pemerintah daerah yang ditetapkan dengan PP Nomor 8 Tahun 2003 sebagai pengganti UU 84 tahun 2000; (2) pengembangan konsep sistem manajemen kinerja prima otonomi daerah; (3) penatausahaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana kerja aparatur negara; (4) melakukan penyusunan model strategi penerapan sistem informasi (EGovernment) dalam peningkatan kinerja pelayanan aparatur pemerintah daerah; (4) tersusunnya buku teknik penyusunan organisasi berkinerja tinggi; (5) tersusunnya RUU kementerian negara; (6) penyempurnaan sistem hubungan kerja, penyederhanaan prosedur, tata hubungan kewenangan dan tanggung jawab pada instansi pemerintah baik di pusat V - 49 maupun di daerah, dan (7) Tersusunnya RUU tentang perilaku aparatur Negara; (8) Pemberian penghargaan bagi PNS yang menunjukkan dedikasi, disiplin dan berprestasi dalam menjalankan tugasnya sebagai bagian dari upaya pembinaan; dan (9) tersusunnya buku Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) sebagai pengganti buku Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI). ii. Permasalahan dan Tantangan Sampai dengan tahun terakhir pelaksanaan Propenas 2000 – 2004, struktur pemerintahan di pusat dan daerah masih belum berjalan dengan efektif dan efisien. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 8 Tahun 2003, tentang pedoman organisasi perangkat daerah pengganti PP Nomor 84 Tahun 2000 yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan perkembangan penataan organisasi pemerintah daerah. Namun dalam pelaksanaannya dianggap belum mencerminkan kebutuhan riil kelembagaan di masing-masing daerah. Sedangkan penataan organisasi di lingkungan pemerintah pusat, baru dalam tahap menjadi RUU Kementerian Negara. Demikian pula, masih belum munculnya prioritas untuk meningkatkan fungsi sistem administrasi negara sebagai pendukung sistem pertanggungjawaban nasional yang dapat membentuk suatu kepemerintahan yang baik. Selanjutnya tantangan dalam upaya penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan adalah dengan melakukan sinkronisasi tata hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna mendorong penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih efisien, efektif, berdaya guna dan berhasil guna, serta menjamin keserasian hubungan pemerintah Pusat dan daerah sebagai satu kesatuan dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). V- 50 iii. Tindak Lanjut Perlunya mempercepat penataan struktur kelembagaan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan mempercepat realisasi PP Nomor 8 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan mempercepat penyelesaian RUU Kemen-terian negara. 3.3 Program Peningkatan Pelayanan Publik a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik di berbagai bidang pemerintahan sesuai dengan sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada unit-unit kerja pemerintah pusat dan daerah. Sasarannya program ini adalah terselenggaranya pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, dan memuaskan pada unit-unit kerja di lingkungan pemerintah pusat dan daerah. Arah kebijakannya adalah meningkatkan fungsi dan keprofesionalan birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya dalam mengelola kekayaan Negara secara transparan, bersih dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai (1) tersusunnya pedoman penyelenggaraan pelayanan publik; (2) melakukan inventarisasi terhadap fungsi-fungsi pelayanan publik dalam rangka penataan fungsi fungsi pelayanan yang dapat diserahkan ke sektor swasta dan yang masih dipertahankan oleh pemerintah; (2) melakukan V - 51 penyusunan dan menyiapkan naskah RUU pelayanan publik; (3) penyusunan kebijakan tentang koorporatisasi dan privatisasi unit-unit pemerintahan yang menye-lenggarakan pelayanan publik; (4) mengembangkan dan meman-faatkan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (5) mengembangkan dan menetapkan pola pelayanan terpadu, pengukuran indeks kepuasan masyarakat, dan standar pelayanan publik; (6) pencanangan Bulan Peningkatan Pelayanan Publik pada tahun 2003 dan dilanjutkan dengan pencanangan Tahun Peningkatan Pelayanan Publik pada tahun 2004. ii. Permasalahan dan Tantangan Meskipun upaya ke arah peningkatan kualitas pelayanan publik terus dilakukan, namun masih terdapat kelemahan kinerja pelayanan publik yang ditandai dengan masih banyaknya keluhan masyarakat, baik menyangkut prosedur, kepastian, tanggung jawab, moral petugas, serta masih terjadinya praktek pungli yang memperbesar biaya pelayanan. Menghadapi berbagai permasalahan tersebut di atas, maka berbagai tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana agar aparatur negara mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, aksesif, murah, manusiawi dan transparan, disertai penggunaan teknologi informasi. Di samping itu perlunya mengembangkan strategi dan kebijakan yang tepat sehingga dapat meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan pelayanan publik. iii. Tindak Lanjut Perlunya mempercepat RUU pelayanan Publik sebagai dasar yuridis dalam pelaksanaan pelayanan publik di samping perlunya peraturan perundang-undangan untuk meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan dunia usaha di dalam V- 52 merumuskan dan memformulasikan norma-norma dan etika serta budaya kerja agar tercipta pelayanan publik yang lebih cepat, tepat, aksesif, murah, manusiawi, dan transparan. 3.4 Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program ini: adalah meningkatkan kualitas, profesionalisme, dan keterampilan aparatur negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara lebih optimal. Sasaran Program ini adalah terwujudnya aparatur negara yang profesionalitas dan berkualitas dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Arah kebijakan program peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur antara lain diarahkan agar setiap aparatur: (a) meningkatkan kualitas aparatur negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem karier berdasarkan prestasi dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi; (b) meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menciptakan aparatur yang bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme, bertanggung jawab, profesionalisme, produktif, dan efisien; dan (c) memantapkan netralitas politik pegawai negeri dengan menghargai hak-hak politiknya. b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai (1) Melakukan penyempurnaan dan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) yang meliputi: (a) PP Nomor 11 tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan PNS, (b) PP Nomor 12 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS, (c) PP Nomor 13 Tahun 2002 V - 53 tentang Perubahan Atas PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural; (2) telah disusun (a) RPP tentang Pembinaan Jiwa Korsa, (b) RPP tentang Kode Etik PNS. (3) penyusunan dan penyempurnaan yang meliputi: (a) RPP tentang Perubahan PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan disiplin PNS, (b) Penyempurnaan dan perubahan PP Nomor 97 Tahun 2002 tentang Formasi PNS; (4) melakukan pendataan ulang pegawai negeri sipil; (5) memantapkan konsep kepegawaian yang unified, melalui pengembangan pola karier terbuka secara nasional; (6) memantapkan netralitas politik PNS; (7) pengembangan dan penyempurnaan ketentuan mengenai etika dan disiplin bagi PNS; (8) melakukan evaluasi pasca diklat Spamen dan Spati; (9) terselengaranya diklat struktural, fungsional dan teknis di dalam upaya mewujudkan standarisasi kompetensi PNS; dan (10) menyelenggarakan diklat TOT (training of trainers) untuk meningkatkan kualitas tenaga widyaiswara; tersusunnya standar kompetensi jabatan struktural. ii. Permasalahan dan Tantangan Upaya meningkatkan kapasitas telah dilakukan secara berkelanju-tan, namun masih dihadapkan pada permasalahan mengenai belum adanya pemetaan wilayah pembinaan diklat yang detail dan komprehensif untuk seluruh Indonesia. Di samping itu tuntutan akan profesional PNS belum dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan agar PNS dapat hidup dengan layak dan sejahtera sebagaimana tuntutan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Demikian halnya tantangan dalam upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia adalah meningkatkan kompetensi aparatur negara melalui pendidikan dan pelatihan struktural, fungsional dan teknis secara komprehensif, dan meningkatkan kesejahteraan aparatur negara dengan V- 54 melakukan penyempurnaan sistem renumerasi yang berbasis kompetensi yang kesemuanya itu diharapkan akan dapat membangunn suatu sistem kepemerintahan yang baik (good governance). iii. Tindak Lanjut Memasuki tahun terakhir pelaksanaan Propenas 2000 – 2004, perlunya merumuskan dan menetapkan kebijakan renumerasi PNS yang berbasis kompetensi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Di samping itu perlunya diterapkan merit system dan penilaian prestasi kerja berbasis kinerja, dan pemberian penghargaan dan sanksi secara tegas terhadap aparatur negara yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melakukan pelanggaran. 4. Komunikasi, Informasi, dan media Massa14) Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, arah kebijakan Propenas dalam Sub Bidang Komunikasi, Informasi dan Media Massa adalah : a. Meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa modern dan media tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; memperkukuh persatuan dan kesatuan; membentuk kepribadian bangsa; serta mengupayakan keamanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan komunikasi; b. Meningkatkan kualitas komunikasi di berbagai bidang melalui penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi guna memperkuat daya saing bangsa dalam menghadapi tantangan global; c. Meningkatkan peran pers yang sejalan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan insan pers agar professional, berintegritas, menjunjung tinggi etika pers, supremasi hukum, serta hak asasi manusia; 14 ) Peranan komunikasi, informasi dan media massa ditekankan pada proses “pencerdasan” masyarakat dalam kehidupan politik. V - 55 d. e. Membangun jaringan informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah serta antar daerah secara timbal balik dalam rangka mendukung pembangunan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; Memperkuat kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana penerangan khususnya di luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional. 4.1 Program Pengembangan Informasi, Komunikasi, dan Media Massa a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program ini adalah meningkatkan dan memantapkan pertukaran informasi dan komunikasi antar dan intra kelompok masyarakat serta antar lembaga politik dengan rakyat sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Sasaran Program ini adalah terwujudnya kesadaran dan kedewasaan berpolitik masyarakat melalui pertukaran arus informasi yang bebas dan transparan, serta adanya mekanisme kontrol politik yang lebih terbuka. Arah Kebijakan Program ini adalah meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa modern dan media tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkukuh persatuan dan kesatuan, membentuk kepribadian bangsa, serta mengupayakan keamanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan komunikasi; meningkatkan peran pers yang sejalan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan insan pers agar professional, berintegritas, menjunjung tinggi etika pers, supremasi hukum, serta hak asasi manusia. V- 56 b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini secara mendasar telah membawa implikasi terhadap perubahan dan pembaharuan kehidupan masyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun hankam. Di lain pihak, industri media massa, baik pers maupun penyiaran, sudah mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan kontrol sosial politiknya, walaupun masih perlu didukung oleh profesionalisme yang lebih memadai. Perpaduan antara kemajuan teknologi informasi dan kebebasan media massa berpotensi besar untuk mendukung secara kuat proses demokratisasi. Salah satu indikator kinerja penting adalah terbentuknya perangkat perundang-undangan yang memberikan jaminan hukum terlaksananya fungsi-fungsi media massa dan terlindunginya masyarakat dari pengaruh negatif media massa, termasuk Rancangan Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) dan UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sekaligus penyelenggaraan sosialiasi terhadap konsep perangkat perundangan dimaksud. Dampak (outcomes) yang diharapkan adanya kepastian legal yang menjamin hak-hak masyarakat mendapatkan informasi yang diperlukannya (right to know) dan kewajiban pemerintah untuk menyampaikan informasi publik yang dibutuhkan oleh masyarakat (obligation to tell) sejalan dengan pengembangan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sisi lain, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyiapkan pula Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Isi Siaran. Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI) yang mengeluarkan pedoman perilaku televisi Indonesia yang mencakup perilaku siaran dan bisnis penyiaran. Yang tidak kurang penting, sudah munculnya lembaga seperti Television V - 57 Watch menunjukkan kepedulian masyarakat atas tayangan media massa, khususnya televisi. Dalam rangka mewujudkan jaringan infokom dan media massa ke seluruh pelosok sebagai salah satu indikator kinerja yang penting telah disusun konsep pengembangan media komunitas, pemberdayaan dan pemanfaatan media komunitas sebagai mitra pemerintah yang lebih efektif. Peran media komunitas menjadi lebih besar sebagai akses publik ke dalam media. Peluang untuk menentukan cita rasa dan kebutuhan publik diperluas dengan memberikan kesempatan pada berbagai komunitas untuk mendiseminasi informasi yang dianggap penting. Media komunitas juga merupakan jalan tembus agar semua anggota publik mempunyai akses yang sama terhadap informasi. Dalam program ini telah dilakukan pula pengkajian yang menghasilkan data dan informasi mengenai sistem layanan informasi luar negeri dan pengkajian pemanfaatan komunikasi media baru (internet) yang menghasilkan data dan informasi mengenai keadaan pemanfaatan media baru sebagai sarana komunikasi. Hasil pengkajian ini merupakan masukan untuk perumusan kebijakan di bidang pengembangan sistem layanan informasi luar negeri dan kebijakan pemanfaat media baru sebagai sarana komunikasi untuk penyebarluasan informasi kebijakan pemerintah. Indikator kinerja yang menekankan pada meningkatnya kemampuan penyediaan dan pelayanan informasi nasional sesungguhnya diarahkan bagi upaya mengurangi disparitas informasi di dalam masyarakat. Untuk hal ini, telah pula dilaksanakan rangkaian kegiatan antara lain menyusun model informasi pusat dan daerah, inventarisasi media komunitas, menyusun konsep pengembangan lembaga pemantau media, sosialisasi rumusan pengembangan media komunitas, menyusun konsep rating standar profesional konten media massa. Dalam meningkatkan prasarana penyiaran, informatika dan media massa dilakukan kegiatan untuk V- 58 memperluas jaringan kominfo terutama di daerah terpencil yaitu penyediaan aplikasi manajemen dokumen dan data reporting, dan penyediaan panduan pemetaan informasi layanan pemerintah. Selain itu, telah dilaksanakan juga kegiatan-kegiatan yang difokuskan untuk mendorong masyarakat dalam mengembangkan media komunikasi secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan informasi, melakukan upaya pemerataan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia, serta membangun dan mengembangkan kelembagaan informasi, komunikasi, dan media massa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain meningkatkan kajian tentang peraturan perundangan untuk mendukung terselenggaranya pendayagunaan teknologi kominfo (ICT); meningkatkan partisipasi dalam penyusunan kebijakan jaringan teknologi kominfo (ICT) pada pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; meningkatkan partisipan dalam penyusunan kebijakan jaringan komsos dalam masyarakat; meningkatkan partisipasi stakeholder dalam pengembangan sarana kominfo; membentuk forum komunikasi lembaga pemantau media. Sementara itu untuk meningkatkan pengkajian dan pengembangan komunikasi dan informasi telah dilakukan kegiatan antara lain penyusunan rancangan pengembangan sistem layanan informasi luar negeri, serta penyediaan informasi pendapat masyarakat tentang kinerja dan kebijakan pemerintah. ii. Permasalahan dan Tantangan Dalam pelaksanaan program pengembangan informasi, komunikasi dan media massa terdapat beberapa kendala yang pada umumnya menyangkut adanya perubahan institusional (kelembagaan) sejak era reformasi. Perubahan kelembagaan ini juga menyebabkan penyesuaian-penyesuaian dalam tugastugas pokok dan fungsi-fungsi utama masing-masing lembaga yang bersangkutan, sehingga ada penundaanpenundaan pengembangan kegiatan program. Kendala lain V - 59 yang mempengaruhi upaya pencapaian indikator kinerja antara lain belum dipahaminya secara mendasar pentingnya transparansi dan kebebasan memperoleh informasi, baik dari sisi masyarakat maupun pemerintah. Hal ini kemudian berdampak pada belum berperannya media komunitas. Selain itu, kebebasan media massa yang cukup luas belum diiringi kesadaran masyarakat untuk membentuk semacam lembaga pemantau media massa, menyangkut content yang dapat merugikan masyarakat. Salah satu persoalan dalam pembangunan komunikasi dan informasi sebagai akibat dari disparitas ekonomi dan sosial adalah terjadinya kesenjangan informasi di dalam masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan semakin besarnya kesenjangan antara masyarakat yang kaya dan miskin informasi (the rich and the poor information society). iii. Tindak Lanjut Fondasi yang telah dibangun dalam rangka pengembangan informasi, komunikasi dan media massa masih memerlukan tindak lanjut untuk menjaga kesinambungan tujuan dan sasaran Program. Tindak lanjut yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah perlunya sosialisasi yang lebih intens kepada masyarakat terkait dengan RUU mengenai Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, kemandirian dan kedewasaan pers; perlu adanya sinergi antara lembaga informasi, komunikasi dan media massa dalam menyusun standar pelayanan minimum sebagai salah satu bahan kebijakan pemanfaatan teknologi informasi; perlu upaya memfasilitasi berbagai forum kerjasama dengan lembaga infokom pemerintah daerah dengan masyarakat dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat guna mendorong partisipasi dan berinvestasi dalam penggunaan jasa pelayanan informasi; perlu upaya yang lebih serius dalam memfasilitasi dan mengembangkan peran media komunitas; perlu dilakukan peningkatan pemahaman masyarakat tentang pentingnya lembaga pemantau media V- 60 massa; serta melakukan pengkajian dan penelitian yang relevan dalam rangka pengembangan pers dan media massa yang profesional, bercirikan antara lain memiliki kemampuan menciptakan tradisi pers yang menganut prinsip precision journalism (berdasarkan investigative reporting). Selanjutnya, diperlukan upaya-upaya memfasilitasi judicial review atas aspek-aspek sosial politik terhadap UU Penyiaran serta peraturan perundangan yang berkaitan dengan pers dan media massa, terutama yang berkenaan dengan rumusan-rumusan yang dianggap kontroversial bagi kebebasan pers dan proses demokratisasi. Pers adalah lembaga yang sangat penting dalam menjaga transparansi politik dan menjaga hak masyarakat memperoleh informasi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu kebebasan dan independensinya perlu dipelihara secara bersama-sama. 4.2 Program Peningkatan Prasarana Penyiaran, Informatika dan Media Massa a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana komunikasi dan informasi bagi terselenggaranya proses sosialisasi, agregasi, serta artikulasi politik dan sosial budaya. Sasaran program ini adalah terpenuhinya kebutuhan informasi masyarakat secara optimal dengan kemampuan untuk menjangkau semua jenis media informasi yang ada. Arah Kebijakan Program ini adalah meningkatkan kualitas komunikasi di berbagai bidang melalui penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi guna memperkuat daya saing bangsa dalam menghadapi tantangan global. V - 61 b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Dalam program peningkatan pasarana penyiaran, informatika dan media massa, dampak penting yang dapat dicatat adalah terbangunnya jaringan informasi dan komunikasi antar pusat dan daerah serta antar daerah secara timbal balik dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Dalam program ini dikembangkan data ware house sebagai basis aplikasi sistem tata alir informasi layanan pemerintah dan pusat interkoneksi data tentang layanan dan aturan pemerintah dan lembaga negara lainnya; persiapan pembentukan pusat layanan informasi pemerintah dan persiapan pembangunan jaringan komunikasi dan informasi antara pusat dengan daerah dan antar daerah, serta ke mancanegara untuk memperjuangkan kepentingan nasional Sebagai tindak lanjut telah dibangun portal informasi (lin.go.id dan info.ri.com) sebagai media untuk penyebarluasan informasi mengenai kebijakan pemerintah secara on-line. Dengan tersedianya portal tersebut sebagian kendala penyebarluasan informasi mengenai kebijakan pemerintah secara cepat dapat teratasi. Diharapkan portal ini ke depan dapat dikembangkan menjadi portal nasional. Dengan pengembangan kapasitas portal, kemampuan dan jenis layanan portal semakin meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyebarluasan dan kebutuhan masyarakat akan informasi pemerintah. Di samping itu dalam upaya meningkatkan prasarana penyiaran, informatika dan media masa dilakukan kegiatan antara lain membangun jaringan informasi dan komunikasi antar pusat dan daerah serta antar daerah secara timbal balik untuk mendukung pembangunan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, sedangkan peningkatan kualitas pelayanan informasi pembangunan dilakukan melalui beberapa kegiatan, antara lain : menyediakan V- 62 informasi pemetaan potensi daerah, konsep informasi bidang ekuin, sosbud dan polkam; menyediakan iklan layanan masyarakat; dan meningkatkan kajian tentang pemanfaatan teknologi kominfo pada instansi pemerintah pusat dan daerah. ii. Permasalahan dan Tantangan Permasalahan utama dalam pelaksanaan program peningkatan prasarana penyiaran, informatika, dan media massa, adalah belum adanya grand design mengenai pengembangan media informasi dan komunikasi di lingkungan masyarakat secara mandiri. Di samping itu, masih diperlukan berbagai penataan regulasi bidang kominfo baik terhadap aspek infrastruktur, jaringan, sarana dan sumber daya manusia (SDM). Pada aspek kelembagaan, masih terlihat adanya inefisensi dalam penyusunan kebijakan dan pengelolaan informasi. Untuk mewujudkan jaringan komunikasi dan informasi antar pusat, pusat dan daerah, serta ke mancanegara juga mengalami berbagai kendala terkait dengan belum adanya standar dalam organisasi pengelolaan jaringan. Kurangnya sumberdaya manusia professional dalam melaksanakan kegiatan layanan informasi melalui portal yang ada juga sangat dirasakan sebagai permasalahan dan tantangan yang cukup besar. iii. Tindak Lanjut Tindak lanjut yang masih diperlukan terkait dengan berkembangnya media informasi dan komunikasi di lingkungan masyarakat secara mandiri adalah perlunya rumusan grand design sebagai dasar pengembangan Jaringan Informasi Elektronik Masyarakat Indonesia (JIEMI). V - 63 Dalam rangka mewujudkan jaringan komunikasi dan informasi antar pusat, pusat dan daerah memang telah disusun aplikasi yang dapat menghubungkan jaringan antar pusat dan pusat-daerah, serta ke manca negara melalui portal lin.go.id. Namun demikian, untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pelayanan jaringan tersebut perlu ditetapkan organisasi pengelola dan peningkatan sumber daya manusia yang kompeten melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. 4.3. Program Peningkatan Pembangunan a. Kualitas Pelayanan Informasi Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan Tujuan Program ini adalah meningkatkan jaringan informasi kepada dan dari masyarakat untuk mendukung proses sosialisasi politik dan partisipasi politik rakyat. Sasaran Program ini adalah meningkatnya kemampuan masyarakat untuk menyeleksi informasi agar tidak menimbulkan hilangnya rasa saling percaya antar anggota masyarakat, serta yang dapat menimbulkan kesenjangan informasi yang mengancam integrasi nasional. Arah Kebijakan Program ini adalah membangun jaringan informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah serta antar daerah secara timbal balik dalam rangka mendukung pembangunan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; memperkuat kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana penerangan khususnya di luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional. V- 64 b. Pelaksanaan i. Hasil yang Dicapai Hasil dari pelaksanaan program peningkatan kualitas pelayanan informasi pembangunan antara lain adalah mulai meningkatnya ketersediaan informasi dan tersebarnya informasi khususnya bagi wilayah di mana jangkauan media swasta dan publik masih rendah serta meningkatnya kapasitas portal pemerintah pada aspek muatan melalui penganekaragaman konten dan meningkatkan kerjasama antar lembaga. Dalam kegiatan pelaksanaan program peningkatan kualitas pelayanan informasi pembangunan, telah dilakukan kegiatan penyusunan panduan pemetaan informasi layanan pemerintah. Kegiatan ini telah menghasilkan pedoman pemetaan informasi layanan pemerintah untuk digunakan oleh berbagai instansi/lembaga pemerintah dalam membuat/menyusun peta layanan informasi yang dilakukan masing-masing instansi, termasuk informasi pemetaan tentang potensi daerah. Dengan dimanfaatkannya basis data tersebut diharapkan memberikan dampak pada meningkatnya kesadaran dan motivasi instansi pemerintah pusat dan daerah dalam memanfaatkan teknologi informasi. Penyediaan dan penyebarluasan informasi mengenai kebijakan pemerintah dimaksud dilakukan dalam dua bentuk yaitu bentuk tercetak untuk konsumsi luar negeri dan bentuk iklan layanan masyarakat melalui media elektronik untuk konsumsi masyarakat dalam negeri. Melalui kedua bentuk kegiatan ini diharapkan informasi mengenai berbagai kebijakan pemerintah, semakin diketahui dan dipahami masyarakat secara luas. Selain itu juga telah dimulai pengadaan barang dan jasa, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi melalui e-procurement. V - 65 ii. Permasalahan dan Tantangan Beberapa kendala yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan program ini antara lain berkenaan dengan sulitnya koordinasi lintas sektor dalam mengimplementasikan konsep-konsep tentang layanan informasi pembangunan yang sudah dirumuskan. Penyediaan informasi pembangunan yang bersifat lintas sektor baru dapat dipenuhi melalui portal lin.go.id dengan fasilitas link antar sektor. Di samping itu, kecilnya kapasitas sumber daya manusia, terutama dalam rangka pelayanan informasi nasional dan akses masyarakat internasional terhadap informasi juga merupakan kendala yang signifikan. Kemampuan merumuskan informasi yang lengkap dengan format yang sederhana dan mudah diakses masih sangat terbatas sehingga pelayanan dan akses masyarakat terhadap informasi juga masih terbatas. iii. Tindak Lanjut Dalam upaya meningkatkan penyediaan dan kualitas informasi pembangunan, telah dihasilkan beberapa konsep yang mengatur tentang penyediaan informasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai langkah tindak lanjut dari Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, Kementerian Kominfo telah menyiapkan Inter Governmental Access Share Information System (IGASIS) atau Sistem Pertukaran Data dan Informasi Pemerintah, yang akan dicobakan di 3 (tiga) instansi pemerintah yakni: BKKBN, Kominfo, dan Deptan, serta menerbitkan buku panduan tentang e-Government yakni : (1) Panduan Penyelenggaraan Situs Web Pemerintah Daerah, (2) Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah, (3) Panduan Manajemen Sistem Dokumen Elektronik Pemerintah, (4) Panduan Penyusunan Rencana V- 66 Pengembangan e-Government Lembaga, (5) Panduan tentang Pendidikan dan Pelatihan SDM e-Government. Namun demikian karena masih adanya kendala koordinasi lintas sektor, maka perlu tindak lanjut diseminasi khususnya di lingkungan institusi pemerintah. Terhadap upaya pengembangan pelayanan informasi nasional, sudah dapat dipenuhi pelayanan informasi di bidang pariwisata, budaya, bisnis dan industri serta iklan layanan masyarakat. Namun demikian, masih sangat diperlukan tindak lanjut pengembangan kualitas substansi maupun peningkatan kuantitas masing-masing media informasi yang sudah ada. Peningkatan kualitas pelayanan informasi pembangunan yang berhasil sangat erat hubungannya dengan kebutuhan dan kelayakan penyajiannya untuk dunia pers dan media massa. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan pembentukan lembaga jurubicara kepresidenan (press secretary) yang sekaligus berperan sebagai jurubicara pemerintah sebagai sarana sosialisasi kebijakan dan kegiatan-kegiatan rutin pemerintahan. Dalam suatu iklim pers bebas di sebuah negara demokrasi, maka pemerintah umumnya sangat memerlukan lembaga khusus yang mampu menjelaskan kebijakan pemerintah, menjawab pertanyaan-pertanyaan media massa secara spontan, mampu memahami kecenderungan-kecenderungan pendapat publik (public opinion) terhadap kebijakan–kebijakan pemerintah, serta memiliki sensitivitas terhadap masukan (feedback) masyarakat kepada pembuat kebijakan. V - 67