4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya Ambing merupakan bagian tubuh ternak yang berperan dalam sintesis dan sekresi susu. Ambing sapi terdiri dari dua bagian yaitu kiri dan kanan yang dipisahkan jaringan ikat yaitu ligamentum suspensorium. Kedua bagian ambing tersebut dibagi menjadi kuartir depan dan belakang yang dipisahkan oleh sekat sulcus intermamaria. Setiap kuartir memiliki satu puting. Adanya sekat antar kuartir membuat antar kuartir tidak berhubungan secara langsung sehingga infeksi kelenjar susu mungkin terbatas pada satu kuartir saja (Subronto 2003). Ambing secara alami juga mempunyai perangkat pertahanan mekanis yaitu ujung puting susu yang dikenal dengan ductus papillaris. Permukaan saluran terdiri dari epitel pipih berlapis yang mengandung lemak dan protein yang bersifat bakterisidal. Perangkat pertahanan seluler berupa sel darah putih yang memilki kemampuan fagositosis. Apabila fagositosis tidak mampu menghentikan infeksi maka akan terjadi peradangan yang diikuti mobilisasi sel darah putih yang lebih banyak (Akers et al. 2006). Tingkat pertahanan ambing mencapai titik terendah pada saat setelah pemerahan, karena saluran susu pada puting masih terbuka dan memungkinkan berbagai macam bakteri patogen masuk dalam ambing. Sel darah putih, antibodi dan enzim juga ikut terperah sehingga sistem pertahanan sangat kurang (Lindmark-Mansson et al. 2006). Mastitis Subklinis Mastitis adalah peradangan pada ambing yang berasal dari bahasa Yunani yaitu mastos yang berarti ambing dan itis yang berarti peradangan (Subronto 2003). Pengertian mastitis sering pula dinyatakan dengan adanya peradangan pada ambing yang disertai dengan perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan kenaikan sel somatik terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologi jaringan ambing (Faul 1971 yang dikutip oleh Ananto 1995). Berdasar gejalanya, mastitis dibedakan menjadi dua bentuk yaitu mastitis klinis dan subklinis (Subronto 2003). Mastitis klinis ditandai dengan gejala panas, sakit, merah, pembengkakan dan penurunan fungsi pada ambing. Mastitis 5 subklinis adalah peradangan interna jaringan ambing tanpa disertai gejala klinis baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, ditemukan mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1999). Pada umumnya mastitis subklinis akan berlanjut menjadi mastitis kronis yang kadang-kadang didahului oleh munculnya mastitis akut maupun sub-akut yang dapat menimbulkan terbentuknya jaringan ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004). Mastitis subklinis adalah peradangan ambing yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi pada pemeriksaan susu secara mikroskopik terdapat peningkatan jumlah sel somatik lebih besar dari 400 000 sel setiap ml susu (Sudarwanto et al. 2006; IDF 1999). Sapi yang menderita mastitis subklinis mengalami penurunan produksi kualitas dan komposisi susu. Perubahan komposisi susu yang terjadi menurut Blowey dan Edmonson (1995) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Efek mastitis subklinis terhadap komposisi susu No Komponen Perubahan yang terjadi 1. Total protein Menurun 2. Kasein Menurun 3. Laktosa Menurun 4. Bahan kering tanpa lemak Menurun 5. Lemak Menurun 6. Kalsium, Kalium dan Fosfor Menurun Mastitis subklinis dianggap lebih berbahaya karena tidak diketahui gejalanya dan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi. Mastitis subklinis menyebabkan penurunan produksi susu mencapai 15%. Kerugian lain disebabkan peningkatan biaya produksi untuk pengobatan, terkadang sapi yang terkena mastitis subklinis juga harus dikeluarkan dari peternakan lebih awal karena biaya pemeliharaaan yang lebih tinggi dari produksinya. Kerugian ekonomis karena mastitis subklinis dapat mencapai Rp. 10 000 000/ekor/tahun (Rahayu 2009). 6 Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis Mastitis subklinis di Indonesia mencapai 97% dari keseluruhan kejadian mastitis. Mastitis subklinis merupakan penyakit kompleks yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, khamir dan kapang (Subronto, 2003). Proses terjadinya mastitis senantiasa dikaitkan dengan tiga faktor yakni ternak, penyebab peradangan (80-90% disebabkan oleh mikroorganisme) dan lingkungan (Sudarwanto 1999). Risiko untuk menderita mastitis senantiasa terletak pada keseimbangan ketiga faktor tesebut. Sapi mudah menderita mastitis bila kondisi sapi menurun akibat cekaman lingkungan yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh sapi (Kleinschroth et al. 1994 yang dikutip dalam Sudarwanto 1999). Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi kejadian mastitis subklinis meliputi pakan, perkandangan, jumlah sapi dalam satu kandang, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pakan yang mengandung estrogen, misalnya jenis daun clover dan jagung maupun konsentrat yang berjamur telah terbukti memudahkan terjadinya mastitis subklinis. Kandang yang berukuran sempit menyebabkan sapi-sapinya berdesakan. Apabila ada salah satu yang terinfeksi maka penularan akan lebih mudah terjadi. Kandang yang lembab serta kotor akan memudahkan terjadianya radang ambing (Subronto 2003). Kejadian mastitis subklinis terutama terjadi pada 90 hari pertama masa laktasi. Infeksi pada umumnya terjadi pada saat sapi mengalami masa kering kandang, masa keluarnya kolostrum, dan awal masa laktasi. Mastitis subklinis dapat terjadi sepanjang waktu (Schrick et al. 2001). Kejadian mastitis subklinis pada masa kering kandang mencapai 63% (Pantoja et al. 2009). Faktor predisposisi kejadian mastitis subklinis dari hewan meliputi bentuk ambing. Ambing yang sangat menggantung, ataupun ambing yang lubang putingnya terlalu besar (Akers et al. 2006). Umur hewan juga menentukan mudah tidaknya seekor sapi menderita mastitis subklinis. Semakin tua umur sapi, terutama dengan produksi susu yang tinggi, maka semakin kendor pula sphincter putingnya. Karena sphincter berfungsi menahan kuman, maka kemungkinan sapi tersebut terinfeksi semakin besar. Makin tinggi produksi susu, maka makin lama waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup secara sempurna (Subronto 2003). 7 Proses peradangan dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan. Mikroorganisme berkembang dalam ambing, menyebar ke alveoli dan menyebabkan kerusakan pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing dapat merusak membran sel dalam ambing akibat reaksi peradangan dan invasi mikroorganisme. Infeksi akut dapat merangsang pembentukan jaringan ikat pada ambing yang menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004). Ternak mikroorganisme Gambar 1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang mempengaruhi kemunculan mastitis (Raza 2009). Jenis mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis adalah bakteri (80%). Bakteri penyebab mastitis subklinis antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Escherichia coli, Klebsiella spp dan Bacillus sp. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama pemerahan sehingga terjadi proses penularan (Marogna et al. 2010). Deteksi Mastitis Subklinis Mastitis subklinis tidak disertai gejala klinis sehingga deteksi cukup sulit dilakukan dan diperlukan uji atau pemeriksaan khusus. Peningkatan jumlah sel radang atau jumlah sel somatik merupakan indikator yang baik dalam 8 pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006). Diagnosa mastitis subklinis juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologis (Schalm et al. 1971). Sudarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa deteksi mastitis subklinis didasarkan pada pemeriksaan sampel susu dan perubahan komposisi susu. Penghitungan jumlah sel somatik dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penghitungan secara langsung artinya diketahui jumlah sel somatik yang sesungguhnya menggunakan metode Breed, Coulter Counter dan Fossomatik (Sudarwanto 1999). Penghitungan secara tidak langsung, berdasarkan reaksi kimia dapat diperkirakan jumlah sel somatik dalam susu. Beberapa metode untuk mendeteksi jumlah sel somatik secara tidak langsung diantaranya California Mastitis Test (CMT), Whitesite Test (WST) (Schalm et al. 1971) dan IPB-1 yang mulai dikembangkan oleh Sudarwanto sejak tahun 1985 (Sudarwanto 1999). Deteksi mastitis subklinis yang mulai banyak digunakan di Indonesia adalah pereaksi IPB-1. Penggunaan metode ini dianggap mempunyai kelebihan antara lain sangat mudah, cepat, memiliki kepekaan (sensitifitas) 91.7% dan kekhasan (spesifisitas) 96.8% (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a). Parameter lain yang digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah perubahan pH dan perubahan elektrolit dalam susu (Sudarwanto 1998). Jumlah dan Komposisi Sel Somatik Sel somatik dalam susu merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok leukosit (sel limfosit, neutrofil, makrofag, eosinofil dan basofil), runtuhan sel epitel jaringan ambing dan lain-lain. Sel epitel merupakan bagian dari fungsi tubuh yang dilepaskan dan diperbaiki dalam proses tubuh yang normal, sedangkan leukosit merupakan komponen kekebalan tubuh terhadap keberadaan benda asing. Terdapat tiga jenis sel somatik yang terdapat dalam susu yaitu sel epitel, makrofag dan polimorfonuklear netrofil (PMN). Jenis sel epitel dan makrofag banyak ditemukan dalam susu yang dihasilkan oleh ambing yang tidak terinfeksi. Terjadinya infeksi akan menimbulkan peningkatan jumlah PMN yang diikuti dengan peningkatan enzim proteolitik dan lipolitik (Lindmark-Mansson et al. 2006). 9 Jumlah sel somatik biasanya digunakan untuk mengukur produksi dan kualitas susu. Sel somatik secara sederhana berasal dari tubuh dan ditemukan dalam jumlah rendah pada susu. Mayoritas sel somatik adalah leukosit dan beberapa sel epitel. Sel epitel merupakan bagian normal dari fungsi tubuh dan diperbarui dalam proses fisiologis tubuh. Leukosit berperan dalam mekanisme pertahanan untuk melawan penyakit atau infeksi dan memperbaiki jaringan yang rusak. Jumlah sel somatik yang tinggi menunjukkan terjadinya infeksi yang menurunkan kualitas susu. Parameter yang paling mendasar untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah jumlah sel somatik (Rice dan Bodman 1997). Jumlah batas sel somatik dalam susu normal menurut IDF (1999) dan SNI Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar adalah 400 000 sel per ml. Leukosit Leukosit adalah komponen aktif sistem pertahanan tubuh yang sebagian dibentuk dalam sum-sum tulang dan sebagian lagi di dalam organ limfoid. Leukosit mampu keluar dari pembuluh darah dan menuju ke jaringan yang membutuhkannya. Leukosit berfungsi untuk kekebalan tubuh baik spesifik maupun non spesifik. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap zat-zat asing, bahan toksik dan berbagai penyebab infeksi (Tizard 2000). Berdasarkan bentuk inti sel, leukosit dapat dibagi menjadi mononuklear dan polimorfonuklear. Leukosit mononuklear memiliki inti tunggal dan tidak bersegmen. Monosit dan semua limfosit termasuk dalam leukosit mononuklear. Leukosit polimorfonuklear memiliki inti yang bervariasi. Neutrofil, eosinofil dan basofil termasuk dalam leukosit polimorfonuklear (Guyton dan Hall 1997). Leukosit mempunyai kemampuan diapedesis yang dapat meninggalkan pembuluh darah dengan menerobos sel endotel sehingga dapat terbawa dalam susu. Jumlah leukosit akan meningkat bila terjadi infeksi pada ambing misalnya ketika terjadi mastitis (Gargouri et al. 2008). Pada kelenjar ambing sapi yang sehat, komposisi leukosit normal yang dapat diamati dalam susu yang dihasilkan adalah makrofag atau monosit 35-79%, limfosit 9-28%, leukosit polimorfonuklear (PMN) 3-26% dan sel epitel 2-15% (Kelly et al. 2000). 10 Limfosit B Hemositoblas Limfoblas Mielosit eosinofil Limfosit T Mieloblas Eritroblas Polikromatik eritroblas Eosinofil Mielosit basofil Monosit/ progranu losit Retikulosit Basofil Megakaryosit Neutrofil Eritrosit Monosit Trombosit Gambar 2 Skema pembentukan sel darah (Wright 2001). Monosit dan Makrofag Monosit merupakan leukosit agranulosit dan merupakan leukosit dengan ukuran sel terbesar dan sitoplasma yang lebih banyak dibandingkan sitoplasma pada limfosit besar. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk ke dalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit merupakan makrofag yang belum matang. Apabila monosit masuk ke jaringan maka akan berubah menjadi makrofag bebas dalam pertahanan jaringan melawan agen infeksi seperti benda asing, sel-sel mati, bakteri dan membantu membersihkan selsel yang rusak (Dellman dan Eurell 1998). Monosit dan makrofag berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan mengeluarkan glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin I, dan zat farmakologis aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Peran utama makrofag adalah menghancurkan benda asing terutama bahan kimia yang bersifat asing bagi tubuh. Makrofag juga berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap infeksi organism, sel yang nekrotik, dan reruntuhan sel. Selama proses 11 penyembuhan, makrofag membersihkan sisa-sisa jaringan yang mengalami kerusakan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang merangsang perbaikan jaringan (Jain 1993). Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang pleomorfik. Monosit maupun makrofag memiliki bentuk yang sama yaitu inti sel panjang, melipat di tengahnya seperti tapal kuda dan sedikit berlobus dengan sitoplasma yang besar. Makrofag berakumulasi di daerah peradangan dan penghancuran jaringan sebagai respon terhadap faktor-faktor kemotaktik tertentu. Substansi bakteri berupa lipid atau kaya akan lipid dan lipopolisakarida dari bakteri Gram negatif, substansi terlarut dari limfosit T, neutrofil dan sel tumor merupakan faktor kemotaktik bagi makrofag (Dellman dan Eurell 1998). Presentase makrofag akan meningkat jika sistem pertahanan neutrofil gagal mengeliminasi infeksi atau netrofil banyak yang mati sehingga menghasilkan bahan yang bersifat kemotaktik bagi makrofag (Sladek et al. 2006). Limfosit Limfosit merupakan sel yang tidak bergranul dan di bentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, timus, sumsung tulang, tonsil, dan bursa fabrisius. Limfosit sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus menanggapi antigen yang terkait pada makrofag. Beberapa limfosit berperan dalam membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologis, siklus hidup dan fungsinya (Junguera 1977). Limfosit dapat dibagi dua yaitu limfosit T yang berasal dati timus dan limfosit B yang berasal dari bursa fabrisius. Sebanyak 70-75% limfosit T menghasilkan tanggap kebal yang berperantara sel yaitu tanggap kebal seluler, juga menghasilkan limfikin yang mencegah perpindahan makrofag dan merupakan media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi. Limfosit ini motil dan menunjukan aktivitas amuboid tetapi tidak fagositik (Jain 1993). 12 Jumlah limfosit di dalam peredaran darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat produksi, resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran limfosit. Tingginya limfosit diperedaran darah (limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif dan proliferatif (Jain 1993). Jumlah limfosit akan mengalami penurunan pada ambing yang mengalami peradangan (Gargouri et al. 2008). Neutrofil Neutrofil merupakan sel granulosit polimorfonuklear darah yang diproduksi di sumsum tulang. Sitoplasma pada neutrofil tidak berwarna, dan hal ini membedakan neutrofil dengan eosinofil dan basofil. Neutrofil adalah sel pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil dibentuk di sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi pembuluh darah (Jain 1993). Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh organisme, melokalisir dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag, menghancurkan dan memindahkan agen asing tersebut. Setelah melakukan fagositosis, sel neutrofil akan menjadi tidak aktif dan mati. Proses penghancuran benda asing atau mikroorganisme dengan proses fagositosis oleh neutrofil yaitu partikel tersebut terkurung dalam sitoplasma neutrofil dan ditempatkan dalam fagosom (Dellman dan Eurell 1998). Asam amino D oksidase dalam granula azurofilik pada neutrofil berperan dalam pencernaan dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis akan dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida yang bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya (Leeson 1990). Neutrofil juga berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi proses peradangan akut. Peningkatan neutrofil dapat dilihat pada peradangan akut dan penyakit infeksius yang disebabkan Chlamydia, bakterial, dan fungal (Dellman dan Eurell 1998). Peradangan pada ambing juga akan meningkatkan presentase netrofil dalam leukosit terutama pada infeksi yang disebabkan bakteri (Kehrli dan Shuster 1994; Lietner et al. 2000). 13 Eosinofil Eosinofil adalah sel yang besar dengan sitoplasma banyak mengandung granula dan akan tampak merah jika diwarnai dengan pewarnaan yang basa. Sel ini dibentuk di dalam sumsum tulang, sangat motil dan bersifat fagositik. Eosinofil berperan dalam reaksi alergi, serangan parasit dan jumlahnya akan terus meningkat selama serangan alergi. Fungsi lainnya yaitu mengendalikan dan mengurangi hipersensitifitas. Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar dan bermigrasi ke jaringan pada penderita infeksi parasit (Dellman dan Eurell 1998). Eosinofil berperan penting dalam menyerang dan menghancurkan parasit cacing serta dalam beberapa reaksi hipersensitivitas. Mekanismenya adalah dengan cara melekatkan diri pada parasit, kemudian melepaskan bahan-bahan yang membunuh parasit tersebut. Eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan yang mengalami alergi (Ganong 1996). Basofil Ukuran basofil lebih besar dibandingkan neutrofil. Bentuk sel tidak teratur dengan inti sitoplasma tampak biru jika diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat asam. Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Peningkatan jumlah basofil merupakan indikasi adanya peradangan akut yang menyebabkan hipersensitivitas dan adanya infeksi saluran pernapasan serta kerusakan jaringan yang hebat. Basofil berperan penting pada reaksi hipersensitivitas akut (Ganong 1996). Sel mast dan basofil melepaskan heparin ke dalam darah, yaitu bahan yang dapat mencegah pembekuan darah. Basofil dan sel mast berperan penting dalam menjalankan reaksi inflamasi, sebab antibodi yang menyebabkan alergi, yaitu IgE mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil. Basofil sangat jarang ditemukan di peredaran darah dan sumsum tulang. Jumlah basofil yang rendahnya atau tidak ditemukannya dalam peredaran darah merupakan hal yang normal dan tidak mempunyai arti apapun (Jain 1993). 14 Limfosit Leukosit polimorfonuklear Monosit Eosinofil Basofil Gambar 3 Perbedaan bentuk leukosit (Sheppard et al. 2007). Kolostrum Kolostrum merupakan susu yang dihasilkan pada akhir masa kebuntingan sampai beberapa hari setelah kelahiran. Kolostrum mamalia memiliki warna kekuningan dengan konsistensi kental. Kolostrum mensuplai berbagai faktor kekebalan, faktor pertumbuhan dengan kombinasi zat gizi (nutrien) yang sempurna (Fuquay et al. 2002). Lebih dari 90 bahan bioaktif alami terkandung di dalam kolostrum yang bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh hewan neonatal. Kolostrum juga mengandung limfosit, monosit, neutrofil serta protein terutama albumin dan globulin. Kolostrum juga mengandung vitamin A, E, karoten dan riboflavin dengan konsentrasi tinggi (Frandson 1992; Thapa 2005). Pada sapi, kolostrum berperan dalam proses transfer kekebalan pasif yang diperoleh pedet dari induk, karena fetus tidak mendapatkan transfer antibodi sewaktu dalam kandungan induk (Toelihere 2006). Komponen lain yang terdapat di dalam kolostrum adalah immunoglobulin, laktoferin, transferin, glikoprotein, laktalbumin, oligosakarida dan sitokin. Immunoglobulin adalah glikoprotein plasma yang berperan menghantarkan tanggapan kekebalan pada organisme tinggi. Laktoferin adalah antioksidan alami yang paling kuat dalam mencegah radikal bebas. Transferin mengikat dan mengangkut zat besi (Fe) dan oligosakarida yang merupakan sakarida dari karbohidrat yang mengikat bakteri penyerang dinding usus dan esofagus 15 (Sokolowska et al. 2007). Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu menurut Kehoe et al. (2007) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu normal Komponen Kolostrum Susu Bahan kering (g/l) 245 122 Abu (g/l) 18 7 Energi (MJ/l) 6 2.8 Lemak (g/l) 64 39 Protein (g/l) 133 32 Asam amino essensial (mmol/l) 390 ND Asam amino nonesensial (mmol/l) 490 ND Imunoglobulin G (g/l) 81 <2 Laktoferin (g/l) 1.84 ND Hormon pertumbuhan (µg/l) 1.4 <1 Leukosit secara alami dapat berada dalam kolostrum karena merupakan komponen sistem imun yang ditransfer dari induk ke anaknya. Leukosit dalam kolostrum bersifat aktif, dapat menembus membrane peripheral sampai ke darah anak sapi. Jumlah leukosit dalam kolostrum umumnya tinggi sebagai bentuk respon fisiologis induk setelah melahirkan, kemudian akan mengalami penurunan sampai pada level normal. Jumlah komposisi leukosit yang tidak normal pada kolostrum dapat mengindikasikan terjadinya gangguan pada ambing sebagai penghasil kolostrum (Reber et al. 2006).