PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan sumber nutrisi protein hewani yang dapat menyediakan kebutuhan gizi tubuh. Dengan mengkonsumsi susu maka kemungkinan munculnya penyakit malnutrisi dan kekurangan kalsium dapat dihindari. Di Indonesia, konsumsi susu masih merupakan hal yang dianggap mewah dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Hal ini disebabkan minimnya produksi susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah lokal di Indonesia. Produksi susu nasional hanya memenuhi permintaan domestik 25 persen dari jumlah konsumsi sekitar 700.000 ton per tahun (Kompas 2009). Rendahnya produksi tersebut disebabkan pendidikan dan pengetahuan para peternak yang masih rendah sehingga berdampak pada penurunan kualitas susu yang pada akhirnya ditolak oleh pengumpul. Penyebab lain rendahnya produksi susu adalah adanya penyakit mastitis yang mengakibatkan produksi susu turun, kualitas susu rendah, harga jual turun, susu ditolak karena tidak dapat memenuhi standar penerimaan susu, dan susu tidak layak konsumsi (Lukman et al. 2009). Radang ambing yang umum disebut dengan mastitis bukan hal baru lagi dalam dunia peternakan sapi perah di Indonesia. Mastitis merupakan masalah utama dalam tata laksana usaha peternakan sapi perah yang sangat merugikan, baik peternak sapi perah, industri pengolah susu dan konsumen (Sudarwanto 1999). Bentuk mastitis secara umum dibagi dua yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis klinis dapat dengan mudah dideteksi karena munculnya gejala klinis yang dapat diamati secara langsung, seperti perubahan susu yang dihasilkan, pembengkakan ambing disertai sakit, merah dan panas. Mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala klinis baik pada ambing maupun pada susu yang dihasilkan (Lukman et al. 2009). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (9598%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto 1999). Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus merupakan dua bakteri utama penyebab mastitis subklinis (Wahyuni et al. 2005). Bakteri ini secara umum normal ada dalam ambing, namun dalam jumlah tertentu akan mengiritasi ambing sehingga 2 tidak menghasilkan susu yang baik, bahkan terhentinya produksi. Bakteri yang umum mencemari ambing biasanya dapat masuk ke dalam ambing melalui dua cara yaitu: diluar waktu pemerahan dan saat pemerahan. Kontaminasi dari S. agalactiae dapat diketahui secara langsung dari kondisi abnormal yang kasat mata (klinis) maupun kondisi abnormal yang tidak kasat mata (subklinis). Mastitis klinis biasa dapat ditangani dengan baik karena terlihat gejala peradangan ambing akibat bakteri. Berbeda dengan mastitis subklinis yang gejalanya menyerupai fenomena gunung es, dimana kondisi yang tampak sangat minim dibandingkan dengan kejadian kasus sesungguhnya (Lukman et al. 2009). Kasus mastitis subklinis termasuk penyakit yang sukar disembuhkan dan sulit ditangani karena selain gejalanya yang sukar terlihat, juga karena kebanyakan peternak sengaja menutup-nutupi agar susu sapi tidak ditolak oleh koperasi. Pengobatan dengan antibiotik akan beresiko meninggalkan residu pada susu. Untuk mengatasi mastitis subklinis diperlukan metode peningkatan respon imun dari dalam tubuh sapi, yaitu dengan membentuk antibodi dari sapi perah terhadap serangan mastitis. Pembentukan antibodi ini dapat dipicu dengan pemberian vaksin. Vaksin bakteri S. agalactiae dapat dibuat dengan metode dilemahkan (attenuated) ataupun dimatikan (killed). Metode pelemahan bakteri ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara diradiasi. Beberapa mikroorganisme akan mati bila mendapat paparan radiasi dari sinar-sinar tertentu, termasuk jenis S. agalactiae. BATAN telah mengembangkan teknik baru pembuatan vaksin dengan menggunakan radiasi sinar gamma 17 Gray. Bakteri yang telah dilemahkan dengan LD50 (Lethal Dose 50) tersebut diujikan pada mencit untuk mengetahui efektifitas vaksin dalam menanggulangi mastitis. Apabila nantinya vaksin ini berhasil dalam membentuk antibodi sapi guna melawan mastitis, tetap diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efek vaksin tersebut terhadap organ lain. Ginjal dan hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh. Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal dan penetralan racun di hati (Guyton 2006). Dari kedua organ ini akan diketahui toksisitas dari suatu bahan asing yang dimasukkan dalam tubuh. Penelitian mengenai toksisitas 3 vaksin ini diperlukan untuk menyakinkan masyarakat keamanan penggunaan vaksin ini nantinya. Tujuan penelitian Menguji efek toksik vaksin S. agalactiae yang diradiasi terhadap perubahan histopatologi pada organ ginjal dan hati mencit (Mus musculus). Hipotesis penelitian H0 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi tidak memberikan efek toksik pada organ hati dan ginjal mencit. H1 : Vaksin S. agalactiae yang diradiasi memberikan efek toksik pada organ hati dan ginjal mencit. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek toksisitas vaksin S. agalactiae yang diradiasi sehingga penggunaan vaksin secara luas di masyarakat tidak dipertanyakan lagi keamanannya.