perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam usaha mengembangkan potensi pada anak. Melalui proses pendidikan, seorang anak diharapkan dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada diri mereka dan membentuk kepribadian yang dimiliki secara maksimal sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat. Pendidikan dapat diperoleh pada saat berada dirumah bersama orang tua dan disekolah bersama guru. Sekolah merupakan tempat yang ideal untuk penyelenggaraan pendidikan dan mengembangkan potensi pada anak. Di sekolah seorang anak tidak hanya mengembangkan potensi kognitif, akan tetapi juga mengembangkan kemampuan emosional, moral dan psikososial. Seorang anak dapat belajar berhitung sekaligus belajar menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan teman seusia dan belajar berperilaku sesuai dengan tata tertib yang berlaku disekolah. Sekolah tidak hanya dapat menjadi tempat yang sesuai untuk mengembangkan potensi anak. Akan tetapi, sekolah juga dapat menimbulkan stressor-stressor yang dapat menganggu perkembangan pada seorang anak. Salah satu stressor yang dapat mengganggu perkembangan diri anak adalah adanya perilaku kekerasan di sekolah. Sebagian pihak sekolah dan orang tua mengganggap kekerasan di sekolah merupakan fenomena yang biasa terjadi disekolah. Padahal, kekerasan di sekolah dapat menimbulkan berbagai masalah bagi seorang anak. commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id 2 digilib.uns.ac.id Perilaku kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang lain yang terjadi dilingkungan sekolah (Riauskina dkk, 2005). Kekuasaan yang dimaksudkan dalam pengertian diatas adalah adanya budaya senioritas antara adik kelas dengan kakak kelas, bahwa kakak kelas memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan adik kelas. Pengertian agresif sendiri adalah suatu serangan, serbuan atau tindakan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau benda (Chaplin, 2006). Kekerasan dan perilaku agresif memiliki kesamaan dalam melakukan serangan kepada orang lain, akan tetapi ada perbedaan antara kekerasan dan perilaku agresif yang terletak pada jangka waktunya. Kekerasan terjadi secara berkelanjutan dengan waktu yang lama, sehingga menyebabkan korbannya terus menerus dalam keadaan cemas dan terintimidasi sedangkan perilaku agresif dilakukan hanya dalam waktu satu kali kesempatan dan dalam waktu yang pendek (Krahe, 2005). Maraknya kasus-kasus perilaku kekerasan di lingkungan sekolah sudah menjadi permasalahan yang mendunia, perilaku kekerasan juga terdapat di negara-negara maju contohnya seperti di Amerika Serikat dan Jepang. Beberapa fakta di Amerika Serikat tentang perilaku kekerasan di sekolah dikutip dari National Institute for Children and Human Development, pada tahun 2001 bahwa lebih dari 16% murid mengaku menjadi korban kekerasan di sekolah oleh murid yang lain. Sedangkan menurut Elliot (2005), bahwa 6 dari setiap 10 anak usia sekolah pernah melakukan kekerasan atau menjadi korban kekerasan di sekolah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id Di Jepang, menurut Richard Werly dalam tulisannya Persecuted Even On The Playground For Liberation 2001 bahwa 10% murid yang stress karena mengalami kekerasan, sudah pernah melakukan bunuh diri paling tidak satu kali. Pada Januari 1999, Marie Bentham (8 tahun), seorang siswa sekolah dasar di Inggris, menggantung diri di kamar tidurnya dengan alat lompat talinya karena merasa tak mampu lagi menghadapi kekerasan di sekolahnya. Marie Bentham dianggap sebagai korban bunuh diri termuda akibat kekerasan di sekolah di Inggris (Coloroso, 2007) Penelitian yang dilakukan di berbagai negara terhadap siswa berusia 8 hingga 16 tahun menunjukkan bahwa hingga 8% hingga 38% siswa adalah korban kekerasan di sekolah (McEachern dkk, 2005). Sementara itu, menurut Swearer & Doll (2001) bahwa angka kejadian dunia untuk kekerasan pada remaja di sekolah adalah sekitar 10% siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) hingga 27% siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) tercatat sering mengalami kekerasan. Penelitian terhadap usia 11 hingga 16 tahun di Spanyol, terhadap 25% anak yang mengaku melakukan kekerasan pada teman-teman di sekolah, disampaikan juga bahwa lakilaki lebih agresif dan lebih banyak terlibat dalam perilaku kekerasan daripada perempuan (McEachern dkk, 2005). Kasus perilaku kekerasan juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005 Fifi Kusrini (13 tahun), siswi SMPN 10 Bekasi nekad bunuh diri karena sering diejek sebagai anak tukang bubur. Pada tahun 2006, Linda Utami (15 tahun) siswi kelas 2 SLTPN 12 Jakarta ditemukan gantung diri di rumahnya. Sebelum bunuh diri, Linda diketahui depresi karena sering diejek teman-temannya lantaran pernah commit to user perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id tidak naik kelas (Sejiwa, 2010). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Sejiwa terhadap lebih dari 1.300 orang pelajar dan guru di Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta, menunjukkan bahwa setiap sekolah pasti ada kasus kekerasan mulai dari yang ringan hingga berat (Sejiwa, 2010). Selain itu, menurut Aris Merdeka Sirait sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa kasus kekerasan cukup tinggi di tahun 2011 terdapat 139 kasus dan di tahun 2012 terdapat 39 kasus yang ditemukan di lingkungan sekolah (DetikNews, 2012). Bukti lain mengenai fenomena kekerasan yang menjadi temuan di lapangan adalah di SMA Negeri Karangpandan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru bimbingan konseling, terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh siswa senior terhadap siswa junior di sekolah tersebut. Penyalahgunaan wewenang tersebut seperti menertibkan siswa junior dengan kekerasan fisik sehingga siswa junior menjadi takut dengan siswa yang lebih senior, pemalakan serta perkelahian yang diakibatkan karena salah paham. Selain itu, selama mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) siswa junior mengalami tindak kekerasan seperti didorong dan ditendang apabila perintah dari siswa senior tidak dilaksanakan, dipermalukan di depan umum, dan diancam. Sehingga, dalam kegiatan MOS di sekolah tersebut menjadi ajang balas dendam dan sudah menjadi tradisi secara turun menurun. Berdasarkan fenomena di atas, bahwa beberapa pihak sekolah menganggap masalah tersebut belum dianggap serius karena masih terjadi berulang-ulang. Biasanya masalah tersebut dianggap serius dan dikatakan sebagai perilaku commit to user perpustakaan.uns.ac.id 5 digilib.uns.ac.id kekerasan di sekolah ketika perilaku tersebut telah mengakibatkan timbulnya cedera atau masalah fisik pada murid yang menjadi korban kekerasan tersebut. Padahal dari definisi kekerasan di sekolah sendiri tidak terbatas pada tindakan kekerasan yang menyebabkan cedera fisik semata. Secara psikis juga akan terganggu, sehingga akan mengalami trauma secara psikis. Penelitian yang dilakukan oleh Damantari (2011) menyebutkan mengenai bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, kekerasan tersebut terjadi di kalangan (SMA) Sekolah Menengah Atas. Bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, antara lain : menghina, menyoraki, melempar barang dengan sengaja, memukul, memanggil nama dengan julukan, dengan sengaja menginjak kaki atau mendiamkan teman. Dengan demikian, berdasarkan penelitian tersebut bahwa kekerasan tidak hanya menyerang secara fisik seseorang tetapi juga secara psikis dan mengakibatkan psikis seseorang akan menjadi terganggu. Perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasari. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang dapat menyebabakan memunculkan perilaku kekerasan adalah faktor keluarga, lingkungan (rumah dan sekolah), dan teman sebaya. Sedangkan faktor internal meliputi karakteristik kepribadian dan adanya sifat pengganggu yang dimiliki oleh individu. Sifat penganggu muncul apabila terjadi interaksi yang kurang baik antara sesama teman serta kurangnya identifikasi kelompok. Seperti diketahui, anak pada masa sekolah akan mengalami perkembangan dalam hubungan dengan orang lain dan mulai membentuk sebuah kelompok yang terdiri dari anak-anak yang memiliki usia serta minat yang sama (Wong dkk, 2009). commit to user 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Memahami masalah perilaku kekerasan, tidak terlepas dari memahami pelaku dan korban kekerasan. Diketahui bersama, bahwa kekerasan bisa terjadi dimana saja, bisa dilakukan oleh siapa saja dan dengan motif yang beragam, sehingga pelaku dan korban bisa berasal dari kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Menteri Pendidikan Nasional periode tahun 2004-2009 Bambang Sudibyo yang menyatakan bahwa kekerasan muncul dimana-mana. Kekerasan tidak memilih umur atau jenis kelamin korban (Astuti, 2008). Biasanya yang menjadi korban adalah kelompok laki-laki atau kelompok perempuan yang lemah secara fisik dibandingkan dengan kelompok sebanya. Selain itu, yang menjadi korban kekerasan adalah kelompok yang lebih muda (yunior). Korban laki-laki lebih sering mendapat kekerasan secara fisik, akan tetapi apabila korban perempuan lebih sering mendapat kekerasan secara tidak langsung, seperti melalui kata-kata. Hubungan antara pelaku dan korban kekerasan terdapat perbedaan kekuatan yang tidak seimbang, sehingga korban pada kondisi yang tidak berdaya untuk mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterima oleh korban. Hal ini sesuai dengan pernyataan Olweus (dalam Philips & Cornell, 2011) bahwa adanya ketidakseimbangan kekuatan tersebut mengakibatkan pelaku akan mencederai, mengancam atau mempermalukan korban. Dengan demikian, seseorang dikatakan sebagai korban apabila dihadapkan pada tindakan yang negatif dari seseorang atau lebih, dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 7 digilib.uns.ac.id Byrne (dalam Sullivan, 2000) menyatakan bahwa korban kekerasan merasa malu, merasa bersalah dan merasa gagal karena tidak dapat mengatasi tindak kekerasan. Selain itu, korban kekerasan akan selalu merasa tidak bahagia, mengalami kecemasan, ketakutan dan selalu mengalami ketegangan lebih dari batas normal. Sehingga, korban merasa sangat dirugikan dari segi akademis yaitu anak akan merasa terganggu dalam kegiatan belajar, menurunkan prestasi disekolah dan minat belajar. Kehadiran korban perilaku kekerasan di sekolah seringkali memunculkan masalah bagi pihak sekolah. Dalam kegiatan di sekolah, korban seringkali ditemukan takut untuk bersekolah. Hal ini terlihat dari tingginya absensi korban untuk sekolah akibat keinginan korban untuk menghindar dari kemungkinan dirinya terluka secara fisik akibat adanya kekerasan di sekolah. sehingga, dengan terjadi kekerasan disekolah dapat menimbulkan trauma dan akan mengalami gangguan pada proses belajar. Salah faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan adalah situasi di lingkungan sekolah, situasi di sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif menyebabkan terjadinya perilaku kekerasan di sekolah (Astuti,2008). Situasi yang terjadi dalam lingkungan sekolah yang diciptakan oleh pola hubungan antarpribadi dalam sekolah merupakan bagian dari iklim sekolah (Koehler dkk, 1981). Iklim sekolah sangat mendukung terjadinya perilaku kekerasan, apabila guru dan berbagai pihak sekolah yang bersikap tidak peduli dan mengabaikan perilaku kekerasan sehingga perilaku tersebut akan meningkat. Dengan meningkatnya perilaku tersebut, korban yang ditimbulkan akan semakin tinggi. Korban akan merasa tidak diperhatikan, sehingga mengalami ketakutan dan commit to user 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bersikap tertutup terhadap guru. Hal tersebut akan membuat siswa menyimpan masalah dan tidak menceritakan kepada guru karena takut apabila tidak dipercaya sehingga menimbulkan resiko bagi siswa yang menjadi mengalami kekerasan. Menurut Sergiovanni & Startt (dalam Hadiyanto, 2004) iklim sekolah merupakan karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri psikologis dari suatu sekolah tertentu yang membedakan antara sekolah satu dengan sekolah yang lain dalam mempengaruhi tingkah laku guru dan murid sekaligus mempengaruhi perasaan psikologis yang dimiliki guru dan murid di sekolah tertentu. Dengan demikian nampak jelas bahwa peran sekolah memberikan pengaruh terhadap tingkah laku seorang murid di sekolah, terutama dalam menjalin hubungan interaksi antara murid satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan adanya iklim sekolah yang mendukung menjadikan perilaku kekerasan akan berkurang terutama terjadi pada korban. Pencapaian akademik yang rendah dan pemahaman yang rendah tentang iklim sekolah juga berkaitan dengan tindak kekerasan di sekolah (Milson & Gallo, 2006). Berdasarkan pernyataan Espelage & Swearer (2009) iklim sekolah merupakan faktor yang penting dalam mempertimbangkan bagaimana keyakinan siswa mengenai kekerasan, gambaran tentang peran dari orang dewasa, dan karakteristik kepribadian yang menyebabkan teradinya kekerasan di sekolah . Sebuah studi mengungkapkan bahwa sekolah yang memiliki standar akademis yang tinggi, keterlibatan orang tua yang tinggi, dan disiplin yang efektif, maka kecenderungan tindak kekerasan di sekolah akan lebih sedikit (Ma dalam Santrock, 2007) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 9 digilib.uns.ac.id Berbagai pihak sekolah, terutama pada guru dan murid dituntut untuk menciptakan iklim sekolah yang aman, dapat berinteraksi dengan baik dan menyadari perbedaan setiap individu di dalam lingkungan sekolah. Sehingga setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya kekerasan di lingkungan sekolah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti Magfirah dan Rachmawati (2010), menyatakan bahwa semakin negatif iklim sekolah semakin tinggi pula kecenderungan perilaku kekerasan terjadi dan sebaliknya semakin positif iklim sekolah semakin rendah pula kecenderungan perilaku kekerasan. Faktor personal yang mempengaruhi kekerasan adalah harga diri (O’Connell, 2003). Harga diri merupakan tingkat individu terhadap kepuasan dirinya, menerima dirinya, menghargai dirinya, dan mencintai dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan tingkat kebanggaan individu terhadap dirinya sendiri (Setiawan, 2005). Harga diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk dari suatu pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Dalam interaksi ini setiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi setiap individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. Sarwono dan Meinarno (2009) menyatakan bahwa harga diri dapat mempengaruhi tingkah laku individu. Branden (1992) mengungkapkan bahwa harga diri adalah evaluasi atau penilaian individu terhadap kemampuan dan keberhargaan dirinya. Apabila individu menilai dirinya sendiri sebagai orang yang commit to user 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tidak berharga, maka perilakunya akan menunjukkan ketidakberhargaan tersebut. Begitu juga sebaliknya apabila individu yang menganggap dirinya berharga dan bermanfaat, maka individu akan berusaha yakin terhadap dirinya. Setiap individu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, terutama pada individu yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Casidy (2009) berpendapat bahwa korban kekerasan di sekolah memperlihatkan level distress psikologi yang tinggi, perilaku tidak sehat, dukungan yang rendah dari orang tua maupun guru, gaya pemecahan masalah yang buruk, dan identitas sosial yang rendah. Apabila kekerasan di sekolah tetap dibiarkan maka dapat mengganggu keadaaan psikologis sehingga korban memiliki harga diri yang rendah. Hal tersebut diperkuat dengan sebuah studi longitudinal bahwa individu yang menjadi korban kekerasan di sekolah maka mereka memiliki harga diri yang rendah dan lebih depresi (Olweus dalam Santrock, 2007). Menurut Rosenberg & Owens (dalam Mruk, 2006) karakteristik individu yang memiliki harga diri rendah adalah hypersensitivity, tidak stabil, kepercayaan diri yang kurang, lebih memperhatikan perlindungan terhadap ancaman daripada mengaktualisasikan kemampuan dan menikmati hidup, depresi, pesimis, kesepian dan mengasingkan diri. Dengan demikian, korban kekerasan di sekolah biasanya memiliki harga diri yang rendah. Korban biasanya akan memandang dirinya tidak berharga. Perasaan tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga, dan keadaan fisiknya. Sehingga korban memiliki interaksi sosial yang commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id rendah dengan teman-temannya, menganggap sebagai anak yang tidak popular, dan kemampuan sosial korban dengan teman sebayanya kurang. Korban yang memiliki harga diri rendah biasanya akan bersikap patuh dan pasif kepada pelaku. Sikap patuh akan ditujukan dengan mengikuti keinginan pelaku, sedangkan bersikap pasif hanya diam dan tidak melakukan apa-apa ketika kekerasan terjadi pada dirinya. Menurut Coutrney dkk (2003) bahwa sikap patuh dan pasif yang ditujukan korban seringkali membuat korban tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Oleh karena itu, teman-teman sebayanya akan lebih menghindari korban karena meraka takut akan menjadi korban berikutnya. Sikap pasif korban akan cenderung menarik diri dalam hubungan dengan teman-teman sebayanya. Sehingga korban memilih untuk menunggu ajakan teman daibandingkan untuk berinisiatif memulai pembicaraan. Akibatnya korban tidak memiliki banyak teman di sekolah, seringkali merasa kesepian dan tidak betah berada di sekolah. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. Alasan pemilihan SMA Negeri Karangpandan sebagai tempat penelitian karena berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru bimbingan konseling, ditemukan beberapa fakta yang berkaitan dengan penelitian ini. Lebih lanjut, pemilihan siswa kelas XI sebagai subjek penelitian didasarkan atas beberapa alasan. Siswa kelas XI masuk ke dalam kategori remaja pertengahan, hal ini sesuai dengan pernyataan Monks, dkk (2004) bahwa remaja pertengahan berkisar pada usia 15 sampai 18 tahun. Pada masa remaja, terjadi perubahan baik fisik, psikis, maupun sosial yang pesat dan berbeda dari masa sebelumnya. Perilaku commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kekerasan sebagai bagian pola perilaku antisosial yang berhubungan dengan peningkatan kemungkinan perilaku menyimpang di masa remaja (Krahe, 2005). Selain itu, siswa XI adalah siswa junior yang biasanya menjadi sasaran perilaku kekerasan disekolah karena memiliki kekuasaan yang rendah dibandingkan siswa senior dan siswa XI juga pernah mengalami MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah yang dilakukan oleh siswa senior. Berdasarkan uraian mengenai perilaku kekerasan, iklim sekolah dan harga diri yang telah dijelaskan serta krusialnya masalah tersebut pada masa remaja, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan dari ketiga variabel tersebut. Oleh karena itu, penulis berinisiatif melakukan penelitian dengan judul : “Hubungan Antara Iklim Sekolah Dan Harga Diri Dengan Perilaku Kekerasan pada Siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan? 2. Apakah terdapat hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan? 3. Apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan? commit to user 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. 2. Untuk mengetahui hubungan antara iklim sekolah dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan perilaku kekerasan pada siswa kelas XI SMA Negeri Karangpandan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain : 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan memberikan pengembangan referensi di bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dan psikologi sosial dalam memahami fenomena kekerasan di sekolah kaitannya dengan pandanganpandangan ilmu psikologi pendidikan dan psikologi sosial mengenai iklim sekolah dan harga diri. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu pengetahuan mengenai iklim sekolah, harga diri dan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat memberi masukan untuk meningkatkan kualitas pribadi menjadi lebih baik b. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran jelas berupa data empiris mengenai hubungan antara iklim commit to user 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sekolah dan harga diri dengan perilaku kekerasan, yang selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam mendidik anak pada masa remaja. c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan sekaligus dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya, khususnya penelitian mengenai kekerasan di sekolah dengan pengembangannya dengan variabel-variabel lain yang lebih kompleks commit to user