1. Ary Widiyanto dan Aris Sudomo.cdr

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN SERASAH SENGON (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) TERHADAP PRODUKTIVITAS KACANG
TANAH (Arachis hypogeae L) DALAM SISTEM AGROFORESTRY
(The Influence of Litter of Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen on
Arachis Hypogeae L Productivity in Agroforestry System)
Ary Widiyanto1 dan Aris Sudomo2
1,2
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry,
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis 46201 Telp 0265771352, Fax 0265775866
Email: [email protected]
Naskah diterima 30 Desember 2013, Naskah Disetujui 10 Juli 2014
ABSTRACT
Agrosoforestry is applied on private forest as an effort to improve the land productivity. To support the
sustainability of agroforestry system, study on the influence of litter of Paraserianthes falcataria in renewing the
soil nutrition is required. The objectives of this research were: to examined (1) the influence of litter of
Paraserianthes falcataria on Paraserianthes falcataria growth and Arachis hypogeae productivity in
agroforestry system and (2) the influence of Paraserianthes falcataria (based agroforestry on Arachis hypogeae
productivity. The Split Plot Design with two planting patterns (agroforestry of Paraserianthes falcataria +
Arachis hypogeae and monoculture of Arachis hypogeae) were used as the main plot on this study. The subplots
were 0,42 kg/plot of litter of Paraserianthes falcataria (and control (without litter). The research showed that
there were no significant influenced of litter of Paraserianthes falcataria on height and diameter growth for 4
months observation. The planting pattern and litter of Paraserianthes falcataria gave significant influence on
Arachis hypogeae productivity. However, there were no significant influenced between these parameters in terms
of Arachis hypogeae productivity. The Arachis hypogeae productivity in monoculture pattern was 36,2% higher
than in agroforestry system. The litter of Paraserianthes falcataria was able to improve 7,8% of Arachis
hypogeae productivity.
Keywords: Agroforesty, Arachis hypogeae L, litter, Private Forest and Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.
ABSTRAK
Agroforestry banyak diaplikasikan masyarakat pada hutan rakyat sebagai upaya peningkatan produktivitas
lahan. Untuk mendukung keberlanjutan produktivitas tersebut diperlukan kajian tentang pengaruh pemberian
serasah pangkasan sengon (Paraserianthes falcataria) dalam pengembalian unsur hara untuk pertumbuhan
tanaman penyusun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) pengaruh pemberian serasah hasil
pangkasan sengon terhadap pertumbuhan sengon dan produksi kacang tanah (Arachis hypogeae L) dalam sistem
agroforestry dan (2) pengaruh agroforestry berbasis sengon terhadap produksi kacang tanah. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Split-Plot Design dengan main plot dua pola tanam (agroforestry
sengon+kacang tanah dan monokultur kacang tanah) dan sub plot dua pemberian serasah pangkasan sengon
(pemberian serasah sengon 0,42 kg/plot dan kontrol (tanpa pemberian serasah). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian serasah hasil pangkasan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter sengon selama 4 bulan pengamatan. Pola tanam dan pemberian serasah hasil
pangkasan berpengaruh nyata terhadap produksi kacang tanah, tetapi interaksi antara pola tanam dan pemberian
serasah hasil pangkasan tidak berpengaruh terhadap produksi kacang tanah. Hasil produksi kacang tanah pada
pola monokultur lebih tinggi 36,2% dibandingkan pada sistim agroforestry. Pemberian serasah sengon mampu
meningkatan produksi kacang tanah sebesar 7,8%.
Kata kunci: Agroforestry, Arachis hypogeae L, hutan rakyat, Paraserianthes falcataria (L) Nielsen dan Serasah
1
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 1, Agustus 2014 (hal. 1-12)
I. PENDAHULUAN
Aplikasi agroforestry oleh masyarakat
padahutan rakyat bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas lahan sehingga
berkontribusi bagi peningkatan pendapatan.
Karakteristik pengelolaan hutan rakyat
agroforestry cenderung low input dengan
pengambilan biomassa secara terus menerus
dan tanpa memperhatikan aspek konservasi
tanah sehingga kesuburan tanah semakin
berkurang. Menurut Napitupulu, (1998)
pemiskinan hara dapat terjadi melalui
pencucian hara dan pengambilan biomasa
(pemanenan). Oleh karena itu upaya untuk
meningkatkan atau mempertahankan
kesuburan tanah secara organik menjadi
penting agar daya dukung lahan tidak
semakin berkurang sehingga produktivitas
tetap berkelanjutan. Kebutuhan lahan
terhadap input bahan organik untuk
peningkatan daya dukung lahan relatif besar
sekitar 20-30 ton/ha. Hal ini dapat dilakukan
dengan optimalisasi fungsi serasah pohon
untuk perbaikan kualitas tanah sehingga
produktivitas tanaman tetap terjaga.
Praktik silvikultur agroforestry berbeda
dengan intensifikasi pertanian sehingga
diharapkan lebih bekerlanjutan karena
selain aspek produksi juga lebih memperhatikan aspek lingkungan. Silvikultur pada
pola agroforestry berusaha memanfaatkan
bahan organik pohon dan low input
anorganik sebagai input produksi untuk
menjaga daya dukung lahan. Penelitian
Salim, (2013) menyebutkan bahwa
kandugan C-organik akibat serasah pada
lahan hutan lebih besar daripada tegalan dan
pekarangan. Lain halnya dengan intensifikasi pertanian yang lebih memerlukan
banyak pupuk anorganik sehingga dapat
berakibat pada pemadatan tanah. Penerapan
teknologi dan energi yang terus ditingkatkan
pada tanah mineral masam tanpa memperhatikan karakteristik tanah mengakibatkan produksi pertanian akan mencapai
pelandaian (levelling off) dan suatu waktu
akan mencapai titik balik (Barchia, 2009).
2
Keberadaan pohon dalam pola tanam
agroforestry selain berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman bawah, memberikan
kontribusi penting dalam konservasi tanah
yaitu jatuhan serasah dapat meningkatkan
bahan organik, mengurangi erosi dan
menjaga ekosistem secara keseluruhan.
Pengembalian serasah bekas pangkasan
tanaman kayu, daun dan batang sisa panen
tanaman bawah dapat dikembalikan ke tanah
agar terdekomposisi menjadi humus untuk
memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah.
Pemilihan tanaman pokok jenis legum yang
mampu mengikat nitrogen bebas menjadi
alternatif untuk peningkatan kesuburan
tanah. Pucuk tanaman leguminosae biasanya
mengandung N lebih tinggi, demikian pula
P, K dan elemen mikro yang membuatnya
cocok untuk kompos dan serasah
(Yulipriyanto, 2010).
Jenis sengon Paraserianthes falcataria
terbukti menjadi komoditi primadona untuk
ditanam masyarakat dalam pembangunan
hutan rakyat. Hal tersebut dikarenakan jenis
sengon mempunyai daur panen relatif
pendek (5-7 tahun), pemasarannya mudah
dan mudah tumbuh baik di berbagai kondisi
lahan. Kacang tanah merupakan komoditi
tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan
dapat tumbuh di lahan kering. Kebutuhan
kacang tanah di Indonesia yang diproduksi
dari dalam negeri hanya 83,73% sedangkan
sisanya sebesar 16,27% harus diimport dari
luar negeri (Badan Ketahanan Pangan
Nasional, 2008). Kacang tanah mempunyai
kemampuan berasosiasi dengan mikroorganisme tanah membentuk bintil-bintil
akar untuk mengikat Nitrogen bebas dari
udara yang dapat meningkatan kesuburan
tanah. Penggunaan kacang-kacangan
sebagai pupuk hijau banyak dilakukan di
dalam sistem pertanian modern disebabkan
oleh kemampuan menambat nitrogen,
jatuhan daun dan batang mempertahankan
sifat fisik tanah, Rhizobium tertentu dapat
mengurangi residu pestisida, daun untuk
pakan ternak, dan buah kacang tertentu
sebagai sumber protein (Yulipriyanto,
2010).
Pengaruh Pemberian Serasah Sengon ..... (Ary WIdiyanto dan Aris Sudomo)
Pola tanam agroforestry sengon
menjadi pilihan masyarakat karena selain
mendapatkan hasil jangka panjang berupa
kayu, masyarakat dapat memperoleh hasil
panen jangka pendek berupa tanaman
semusim. Tujuan umum penelitian ini
adalah untuk meningkatkan produktivitas
lahan hutan rakyat secara berkelanjutan
dengan pola tanam agroforestry berbasis
sengon. Tujuan khusus dari penelitian ini
adalah mengetahui : (1) pengaruh pemberian
serasah hasil pangkasan sengon terhadap
pertumbuhan sengon dan produksi kacang
tanahdalam sistem agroforestry dan (2)
pengaruh agroforestry berbasis sengon
terhadap produksi kacang tanah.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama ± 1
tahun dari bulan Januari-Desember 2013.
Lokasi penelitan di Desa Raksabaya,
Kecamatan Cimaragas, Ciamis yang
berordinat 7o23o05,2” LS dan 108o28o01,0”
BT dengan ketinggian 145 m dari
permukaan laut. Curah hujan tahunan
berkisar antara 1550-2195 mm, dengan 7
(tujuh) bulan basah dan 5 (lima) bulan
kering. Jenis tanah di lokasi penelitian
adalah Andosol.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan sengon umur 2
tahun dan benih kacang tanah. Alat yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah
cangkul, sabit, parang, tambang, meteran,
ember, kaliper, timbangan, kamera, termohigrometer dan alat tulis.
C. Prosedur Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian adalah split plot design.
Mainplot berupa 2 pola tanam kacang tanah
(agroforestry sengon+kacang tanah dan
monokultur kacang tanah) dengan sub-plot 2
perlakuan pemberian serasah sengon
(pemberian serasah hasil pangkasan daun
dan ranting pohon sengon secara berkala di
permukaan tanah seberat 0.42 kg dan tanpa
pemberian seresah/kontrol). Serasah daun
dan ranting sengon tersebut disebar merata
pada setiap plot percobaan (3mx 2m). Dosis
pemberian bahan organik/serasah sengon
disesuaikan dengan jumlah rata-rata bahan
organik sengon yang dapat dipangkas per
pohon, yaitu sekitar 0,42 kg (berat kering).
Pemberian serasah diberikan pada saat
penanaman kacang tanah. Setiap perlakuan
diulang 2 kali, sehingga total plot yang
digunakan adalah 2 pola tanam x 2 jenis
pemberian serasah x 2 ulangan = 8 plot.
Perlakuan tersebut di atas ditempatkan
pada petak-petak yang ditanami dengan pola
agroforestry yaitu tanaman sengon dan
kacang tanah dan monokultur kacang tanah.
Pohon sengon pada pola tanam agroforestry
telah berumur 2 tahun ditanam dengan jarak
tanam 3m x 2 m. Dibawah tegakan sengon
ditanami kacang tanah dengan jarak tanam
0,2m x 0,25 m. Seluruh petak (8) terletak
tersebar pada lahan seluas 0,9 ha, dengan
ukuran setiap petak pengamatan adalah 3 m
x 2 m. Perlakuan penelitian di ilustrasikan
Gambar 1. Plot penelitian: agroforestry sengon-kacang tanah dan monokultur kacang tanah
Figure 1. Trial Plot : agroforestry sengon + kacang tanah and monoculture of kacang tanah
3
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 1, Agustus 2014 (hal. 1-12)
D. Analisis Data
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data biofisik (sifat fisik
dan kimia tanah, temperatur, kelembaban
dan ketinggian tempat). Sampel tanah
dianalisis di Laboratorium tanah untuk
mengetahui sifat fisik tanah dan tingkat
kesuburan tanah. Parameter pertumbuhan
sengon (diameter dan tinggi) dan produksi
kacang tanah (berat polong kacang tanah
hasil panen). Pengukuran petumbuhan
tanaman sengon dilakukan dengan mengukur diameter batang setinggi 1.3 m dari
permukaan tanah (DBH) dan tinggi dari
permukaan tanah hingga pucuk/ujung
tanaman dan pengukuran dilakukan dua kali
yaitu pada awal perlakuan dan akhir
perlakuan (setelah panen kacang). Produksi
tanaman kacang tanah dilakukan dengan
menimbang hasil panen kacang tanah (4
bulan sejak penanaman).
Data yang diperoleh dianalisis secara
statistik (analysis of variance/ANOVA),
dengan variabel bebas (dua pola tanam dan
dua macam pemberian serasah) serta
variabel tidak bebas meliputi pertumbuhan
dan produksi kacang tanah. Jika hasil sidik
ragam menunjukan hasil berbeda nyata,
maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan
taraf uji 95% (Sastrosupadi, 2000).
4
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Pemberian Serasah terhadap Perubahan Karakteristik
Tanah
Tanah pada lokasi penelitian termasuk
dalam jenis Andosol dengan tekstur
lempung berliat (kedalaman 0-10 cm) dan
semakin ke bawah persentase liat menjadi
semakin besar sehingga tekstur menjadi liat
(Tabel 1). Kandungan lempung pada tanah
menyebabkan mudah mengalami pemadatan akibat pengolahan tanah yang kurang
tepat. Faktor-faktor tindakan silvikultur
seperti pengelolaan tanah dapat merubah
kepadatan tanah. Dengan pengelolaan tanah
maka porositas tanah dapat diperbaiki untuk
memudahkan akar menyerap unsur hara.
Hasil analisa kimia tanah menunjukkan
bahwa kandungan hara tanah di lokasi
percobaan relatif rendah dengan kadar C, N
dan P dari rendah sampai sangat rendah
(Tabel 1). Tanah di daerah tropika dengan
kandungan C dan N < 2% dikategorikan
sebagai tanah yang tidak subur (Hairiah dkk.,
2002). Tingkat keasaman tanah merupakan
kondisi yang memungkinkan unsur hara
mineral dapat diserap oleh akar tanaman.
Hal tersebut dikarenakan ketersediaan unsur
hara tinggi tetapi karena pH terlalu asam
maka tidak dapat diserap oleh tanaman atau
menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Nilai
pH yang optimal bagi pertumbuhan tanaman
adalah 6,5 sampai 7. Nilai pH pada lokasi
penelitian termasuk agak masam (pH 5,856,5) (Tabel 1).
Pengaruh Pemberian Serasah Sengon ..... (Ary WIdiyanto dan Aris Sudomo)
Tabel 1. Karakteristik tanah sebelum dan sesudah pemberian serasah sengon
Table1. Soil characteristics before and after of giving litter sengon
Tekstur (Cara pipet)
Perlakuan
(Treatment)
Agroforestri
Sengon-Kacang
Tanah
(Agroforestry)
Monokultur
Kacang Tanah
(Monoculture)
Kedalaman
Pasir
Debu
Tanah
(Soil Depth) (Sandy) (Loam)
(%)
(%)
Liat
(Clay)
(%)
C (Walkey & Black) %
N (Kejdahl) %
P Bray 1 (ppm)
C/N
Sebelum
Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Kriteria PH H2O Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan
(Criteria)
(Before
(After
(Before
(After
(Before
(After
(Before
(After
Treatment) Treatment) Treatment) Treatment) Treatment) Treatment) Treatment) Treatment)
0 - 10 cm
21
39
40
Lempung
berliat
6,2(am)
0,65(vl)
0,75(vl)
0,07(vl)
0,05(vl)
82(vh)
10 - 30 cm
15
35
50
Liat
6,5(am)
0,35(vl)
0,52(vl)
0,05(vl)
0,03(vl)
91(vh)
30 - 50 cm
10
25
65
Liat
5,9(am)
0,53(vl)
0,55(vl)
0,06(vl)
0,03(vl)
101(vh)
> 50 cm
10
20
70
Liat
6,0(am)
0,44(v)
0,49(vl)
0,06(vl)
0,02(vl)
65(vh)
0 - 10 cm
21
39
40
Lempung
berliat
6,2(am)
0,65(vl)
0,42(vl)
0,07(vl)
0,02(vl)
10 - 30 cm
15
35
50
Liat
6,5(am)
0,35(vl)
0,35(vl)
0,05(vl)
30 - 50 cm
10
25
65
Liat
5,9(am)
0,53(vl)
0,35(vl)
0,06(vl)
> 50 cm
10
20
70
Liat
6(am)
0,449(v)
0,64(vl)
0,06(vl)
80(vh)
10(l)
10(l)
80(vh)
9(l)
8(l)
100(vh)
10(l)
9(l)
70(vh)
10(l)
10(l)
82(vh)
65(vh)
10(l)
11(l)
0,04(vl)
91(vh)
58(vh)
9(l)
8(l)
0,03(vl)
101(vh)
54(vh)
10(l)
14(l)
0,04(vl)
65(vh)
74(vh)
10(l)
11(l)
Keterangan (Remarks): am(sm)=agak masam (slightly acid), (n)=netral sr (vl)=sangat rendah (very low), r(l)=rendah (low),
s(m)=sedang (medium), t(h)=tinggi (height), st(vh)=sangat tinggi (very height).
Kandungan C-organik pada kedalaman
tanah 0-10 cm mengalami peningkatan
setelah pemberian serasah pada pola
agroforestry (dari 0,65 menjadi 0,75). Hal
ini menunjukkan bahwa pemberian serasah
menyebabkan peningkatan bahan organik
dibawah tegakan. Meskipun demikian
penggunaan unsur hara N dan P untuk
pertumbuhan kacang tanah (4 bulan)
menyebabkan kandungan unsur hara
tersebut berkurang. Kacang tanah sebagai
tanaman legume mempunyai kemampuan
mengikat N bebas dari udara yang
diperlukan dalam pertumbuhannya. Perlakuan pemberian serasah sengon menghasilkan jumlah N yang tinggi, hal ini sesuai
dengan pendapat Hakim dkk, (1986) bahwa
dengan pemberian pupuk hijau berarti
menambah bahan organik tanah. Bahan
organik merupakan media bagi kehidupan
jasad renik yang kemudian mengadakan
reaksi biokimia. Hal ini terjadi karena bahan
dasar dari serasah sengon ini berasal dari
jenis tanaman legum yang mempunyai
kandungan N yang relatif tinggi dibandingkan dengan serasah tanaman lainnya.
Perlakuan pemberian serasah sengon
berpengaruh positif terhadap kenaikan pH,
C-organik, N-total, menurunkan nilai C/N
rasio, dan kandungan Al3+ (Palupi, 1995).
Pemberian serasah sengon pada tanah akan
meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi
pertumbuhan tanaman bawah. Pemakaian
nutrisi tersebut untuk pertumbuhan tanaman
menyebabkan berkurang dalam tanah dan
begitu seterusnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian serasah sengon hanya
merupakan siklus hara sehingga relatif tidak
meningkatkan kesuburan tanah; hal tersebut
dikarenakan pengambilan biomassa keluar
dari sistem akan mengurangi nutirisi tanah.
Oleh karena itu dalam sistem pengelolaan
pola agroforestry, diusahakan untuk tetap
mengembalikan biomassa dalam sistem
untuk menjaga kesuburan tanah. Pada hutan
alam hara tidak tersimpan di dalam tanah
melainkan di dalam batang tumbuhan yang
masih hidup dan bila terdekomposisi dan
melepaskan hasilnya ke dalam tanah
(Lisnawati, 2102).
Menurut Ong dan Huxley, (1996)
akumulasi nutrisi merupakan hasil dari
proses panjang dengan pengendapan serasah
yang kaya nutrisi atau tegakan pohon dapat
berkontribusi bagi kesuburan tanah setelah
pohon tersebut mencapai ukuran yang besar
dengan pertumbuhan sangat lambat sampai
(5-10 tahun). Pengembalian kesuburan
tanah melalui dekomposisi serasah menjadi
humus memerlukan waktu puluhan tahun
sehingga dengan umur durasi 4 bulan belum
berpengaruh besar terhadap perbaikan kesuburan tanah. Bahkan sebaliknya kebutuhan
unsur dasar N untuk dekomposisi serasah
dan pertumbuhan kacang tanah mengurangi
pengembalian ke tanah untuk peningkatan
5
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 1, Agustus 2014 (hal. 1-12)
kesuburan tanah. Pada kasus tanaman pinus
menunjukkan bahwa semakin tua kelas
umur maka unsur dasar N hanya lebih
berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah
dengan peningkatan kapasitas infiltrasi
(Octavia dan Supangat, 2007). Sedangkan
untuk peningkatan kesuburan tanah belum
terjadi karena bahan organik dari jenis pinus
sulit dihancurkan (Hardjowigeno, 2010).
Penelitian pada Acacia mangium menunjukkan bahwa belum terjadi peningkatan unsur
hara N, P, K dan C-organik secara signifikan
dari mulai umur tanam (0 tahun) sampai
umur 12 tahun (Pamoengkas dan Murti,
2011). Hal ini sesuai dengan penelitian
Mindawati dkk., (2010) yang menyebutkan
bahwa tanah yang ditanami jenis cepat
tumbuh seperti Eucalyptus grandis, pada
umur 2 dan 3 tahun cenderung menyebabkan
turunnya N–total tanah untuk keperluan
sintesa protein, enzim, klorofil dan senyawa
lainnya. Pada tegakan campuran dengan
pertumbuhan lebih lambat sebanding
dengan penyerapan N yang lebih lambat dan
bahan organik lebih banyak, sehingga kandungan N tanah lebih banyak. Penanaman
jenis cepat tumbuh seperti E. grandis sampai
umur 3 tahun menyebabkan terjadinya
penurunan hara yaitu N, K, Ca masingmasing sebesar 52,5% N, 49,7% K, dan
2,8% Ca pada lapisan atas dan sebesar 15%
N dan 30% K pada lapisan bawah
(Lisnawati, 2102). Kesuburan tanah pada
tapak agroforestry dengan campuran berbagai jenis pohon di Gunung Walat adalah
rendah sampai sedang (Wilarso dkk., 2003).
Menurut Napitupulu (1998), peningkatan unsur hara N dan K adalah hasil
mineralisasi dan dekomposisi serasah. Hal
ini ditunjukkan oleh perubahan penggunaan
lahan dari alang-alang ke jabon dan A.
mangium menyebabkan peningkatan unsur
hara tanah N, P dan K masing-masing
+0,04%N/+0,03%N, +2,21 ppm P/+1,99
ppm P dan +0,12 me/100 gram K/+0,11
me/100 gr K (Napitupulu, 1998). Meskipun
demikian dalam sistem terbuka (agroforestry) potensi menurunnya kesuburan tanah
semakin besar dengan adanya pemanenan
(pengambilan biomassa). Hara yang hilang
6
akibat pemanenan kayu jabon (Anthocepalus cheinensis) setara dengan 111,91 kg/
ha urea (46% N), 31,86 kg/ha TSP (48%
P2O5) dan 177, 22 Kg/Ha Kcl (60% K2O)
(Napitupulu, 1998). Hara yang hilang akibat
pencucian hara dengan vegetasi E. Urophylla setara dengan urea 44,05 Kg/Ha (46%
N), 52,89 Kg/Ha TSP (48% P2O5) dan 45,36
Kg/Ha KCL (60% K2O) (Napitupulu, 1998).
B. Pengaruh Pola Tanam dan Pemberian
Serasah Sengon terhadap Produksi
Kacang Tanah
Berdasarkan hasil analisis varians
terlihat bahwa pengaruh pola tanam dan
pemberian serasah sengon signifikan dan
interaksi keduanya tidak signifikan terhadap
produksi kacang tanah. Selanjutnya, untuk
mengetahui perlakuan terbaik pada setiap
pola tanam dan pemberian serasah maka
dilakukan perhitungan rata-rata sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Produksi kacang tanah pada sistem
monokultur (1400 kg ha-1) secara nyata lebih
tinggi (36,2%) dari pada di sistim agroforestry (893kg ha-1) sebagaimana disajikan
pada Gambar 2. Hal ini disebabkan oleh
adanya naungan dari sengon dan terjadi
kompetisi dengan sengon dalam hal
menyerap air dan hara. Berdasarkan
pengamatan terhadap perakaran dan lebar
tajuk sengon dilokasi penelitian menunjukkan bahwa kedalaman akar sengon berkisar
40-90 cm. Pada saat pengukuran pertama
(sebelum perlakuan) rata-rata lebar tajuk
sengon untuk perlakuan pemberian serasah
sengon dan tanpa pemberian serasah
(kontrol) berturut-turut adalah 2,5 m dan
2,75 m. Sedangkan pada pengukuran kedua
(sekitar satu bulan setelah panen kacang
tanah) diketahui bahwa rata-rata lebar tajuk
untuk pemberian serasah sengon dan tanpa
pemberian serasah (kontrol) berturut-turut
adalah 3,76 m dan 4,05 m. Intensitas cahaya
dibawah tegakan sengon umur 3 tahun
dengan jarak tanam 2m x 3m tinggal 82,37%
(naungan 17,63%). (Sudomo dan
Handayani, 2013).
Pengaruh Pemberian Serasah Sengon ..... (Ary WIdiyanto dan Aris Sudomo)
Gambar 2. Produksi kacang tanah pada pola agroforestry dan monokultur
Figure 2. Arachis hypogea L Production in agroforestry and monoculture systems)
Untuk pertumbuhan yang optimal
kacang tanah memerlukan tempat terbuka
sehingga sinar matahari penuh untuk
melakukan fotosintesis. Hasil penelitian
terdahulu oleh Haryanto dan Dwiriyanto
(1998), menunjukkan bahwa kacang tanah
yang ditanam secara tumpangsari dengan
Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta
pertumbuhannya terhambat karena besarnya
naungan dan melebarnya perakaran tanaman
pokok. Demikian juga halnya kacang tanah
yang ditanam di bawah tegakan jati, juga
mengalami penurunan pertumbuhan
(Setyonining, 2003). Faktor cahaya
nampaknya merupakan faktor utama yang
membatasi pertumbuhan kacang tanah
setelah ketersediaan air dan hara yang relatif
berkurang dibandingkan monokultur.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penambahan bahan organik serasah
sengon berpengaruh terhadap peningkatan
produksi kacang tanah sebesar 7,8%
dibandingkan kontrol (perlakuan serasah
-1
sengon (1146,8 kg ha ) dan kontrol (1063,6
kg ha-1). Hal ini disebabkan oleh dekomposisi sebagian serasah sengon dalam durasi
4 bulan telah meningkatkan unsur hara
tanah. Serasah sengon dapat terdekomposisi
95% dalam waktu 6 bulan, dengan hasil
jumlah bahan organik dan unsur N pada
lapisan topsoil termasuk nilai sedang
(Pujiharta, (1995). Penelitian tentang
efektifitas pupuk organik terhadap hasil
tanaman semusim juga di laporkan pada
jenis kedelai dengan pupuk pangkasan tajuk
pinus (Kurniawan, 2004).
C. Pengaruh PerlakuanPemberian
Serasah Sengon terhadap Pertumbuhan Tegakan Sengon
Berdasarkan hasil analisis varians
menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan
pemberian serasah tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan diameter dan tinggi
sengon. Meskipun demikian delta pertumbuhan tinggi dan diemeter sengon
selama 4 bulan akibat pemberian serasah
(1,05 cm/1,13 m) sedikit lebih besar
dibanding kontrol (0,86 cm/0,34 m)
sebagaimana disajikan pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
7
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 1, Agustus 2014 (hal. 1-12)
Tabel 2. Pengaruh pemberian serasah sengon terhadap Pertumbuhan Diameter sengon selama
4 bulan
Table 2. The influence of sengon's litter on Diameter's sengon 4 months old
Perlakuan
(Treatment )
Serasah sengon
(Sengon’s Litter)
Kontrol (Control)
Pertambahan Diameter selama 4 bulan (cm) (Diametre)
Persentase pertumbuhan
Sebelum Perlakuan Setelah perlakuan
Δ Diameter
(Percentage of Growth )
(Before Treatment)
(After Treatment )
(cm)
( %)
6.01
7.07
1.05
17.55
5.53
6.39
0.86
15.47
Tabel 3. Pengaruh pemberian serasah sengon terhadap Pertumbuhan Tinggi sengon selama 4
bulan
Table 3. The influence of sengon's litter on growth of height's sengon for 4 months
Perlakuan
(Treatment )
Pertambahan Tinggi selama 4 bulan (Height)
Δ Tinggi
Persentase pertumbuhan
Sebelum Perlakuan Setelah perlakuan
(Height)
(Percentage of Growth)
(Before Treatment)
(After Treatment)
(cm)
( %)
Serasah sengon
(Sengon’s Litter)
4.75
5.88
1.13
23.68
Kontrol (Control)
5.53
5.88
0.34
6.17
Bahan organik yang masih segar perlu
dirombak menjadi unsur hara yang lebih
mudah diserap tanaman. Peningkatan
kesuburan tanah terjadi setelah serasah
sengon terdekomposisi menjadi unsur hara/
nutrisi. Dekomposisi 95% serasah sengon
memerlukan waktu minimal 6 bulan terjadi
di lapisan bagian atas tanah sedangkan akar
sengon relatif dibawah top soil sehingga
relatif sedikit menjangkau bagian permukaan tanah sebagaimana disajikan pada
Gambar 1. Hasil sedikit dekomposisi serasah
yang di lapisan atas tanah akan dijangkau
oleh tanaman kacang tanah yang relatif
dangkal sedangkan sengon perakaran relatif
lebih dalam.
Sengon sebagai jenis legum mampu
mengikat nitrogen dan termasuk jenis yang
serasahnya mudah terdekomposisi.
Meskipun demikian dengan durasi 4 bulan
maka serasah belum terdekomposisi
semuanya sehingga relatif hanya sedikit
berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman kacang tanah yang akarnya terletak
di bagian atas. Serasah sengon dapat
8
terdekomposisi 95% dalam waktu 6 bulan,
dengan hasil jumlah bahan organik dan
unsur N pada lapisan topsoil termasuk nilai
sedang (Pujiharta, 1995). Pohon dengan
akar dalam dapat meningkatkan input hara
dalam tanah dan memperbaiki lingkungan
(Sanchez dkk., 1997).
Semakin mudah bahan serasah
terdekomposisi dan termineralisasi maka
semakin cepat unsur hara tersebut terlepaskan untuk diserap tanaman. Faktor
yang mempengaruhi proses dekomposisi
atau mineralisasi adalah kualitas bahan
organik, frekuensi penambahan bahan
organik, ukuran partikel bahan, kekeringan
bahan dan cara penggunaannya (dicampur
atau disebar) (Atmojo, 2003; Suryani,
2007).
Menurut Constantinides dan Fowdes
(1994), salah satu faktor yang mengontrol
laju dekomposisi dan pola pelepasan unsur
hara dari serasah tanaman adalah
kualitasnya sebagai substrat mikroba, yang
ditentukan melalui kandungan unsur hara
awal dan tersedia bagi dekomposer. Unsur
Pengaruh Pemberian Serasah Sengon ..... (Ary WIdiyanto dan Aris Sudomo)
hara awal pada lokasi penelitian termasuk
rendah dengan NPK dari sedang sampai
sangat rendah dan c-organik termasuk
rendah. Hal ini menjadi faktor pembatas
dalam dekomposisi serasah sengon. Salah
satu faktor yang mempengaruhi perombakan adalah suhu yang efektif yaitu pada
o
o
kisaran 25 – 40 C, yang dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari yang masuk
sampai permukaan tanah. Kecepatan
dekomposisi serasah dipengaruhi juga oleh
jenis produksi bahan organik atau serasahnya. Bahan organik yang telah terdekomposisi akan terlihat dari nilai rasio C/N yaitu
nilai rasio C/N rendah menunjukkan tersedia
bahan organik halus dan kandungan unsur N
tinggi, sebaliknya nilai rasio C/N tinggi
tersedia bahan organik kasar dan N rendah.
Dengan demikian kandungan unsur hara
yang tersedia dari bahan organik terutama
unsur N, akan mudah diserap tanaman untuk
pertumbuhannya tetapi menyebabkan
kehilangan N juga semakin cepat. Hal ini
menjadikan unsur N berkurang bagi
pertumbuhan tanaman sengon.
Menurut Palm dan Sanchez, (1991)
menyatakan bahwa serasah berkualitas
tinggi apabila mempunyai nisbah C/N <25,
kandungan lignin <15% dan polifenol <3%
sehingga cepat terdekomposisi. Serasah
sengon termasuk berkualitas tinggi karena
mempunyai C/N 7 (C/N < 25) dan L+P/N 9
(L+P/N < 10) sehingga serasah ini mudah
terdekomposisi (Anggraini, 2009). Sistem
pupuk hijau hasil pruning Leuchaena
leucocephala membuat keseimbangan N
positif, dengan penurunan P untuk pakan
ternak dan tidak terdeteksi perubahan bahan
organik tanah/C-organik (Mathuva dkk.,
2009).
Pengelolaan sistem agroforestry dengan
mengembalikan pangkasan serasah pohon
ditujukan untuk mengembalikan unsur hara
ke dalam tanah. Unsur-unsur hara di dalam
tanah tersebut diserap tanaman kembali
untuk penyusunan bagian-bagian tubuh
tanaman begitu seterusnya. Perpindahan
nutrisi dalam sistem berpengaruh bagi tanah
bagian atas dan untuk terinfiltrasi ke bagian
bawah tanah memerlukan waktu lebih lama.
Hal ini menjadikan tanaman dengan
perakaran dangkal akan menyerap terlebih
dahulu unsur hara hasil dekomposisi dan
sisanya akan tersaring oleh akar pohon.
Pengayaan unsur hara terjadi di lapisan
atas/serasah yaitu hasil pencucian tanaman
dan sebagian dari hasil mineralisasi bahan
organik (Charley dan Richard, 1983).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perlakuan pemberian serasah pangkasan
sengon tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap pertambahan tinggi
dan pertambahan diameter pohon
sengon selama empat bulan pengamatan.
2. Produksi kacang tanah pada pola tanam
agroforestry dengan sengon (861 kg/ha)
atau lebih kecil 36,2% dibandingkan
pada monokultur kacang tanah (1.349,4
kg/ha).
3. Produksi kacang tanah pada perlakuan
pemberian serasah pangkasan sengon
(1146,8 kg/ha) atau lebih besar 7,8%
dibandingkan kontrol/tanpa pemberian
serasah sengon (1063,6 kg/ha).
4. Jatuhan serasah hanya merupakan siklus
hara (perpindahan nutrisi) sehingga
peningkatan kesuburan tanah oleh
serasah tegakan memerlukan proses
panjang sampai tegakan mencapai
ukuran besar dan pertumbuhan yang
mulai melambat dengan siklus tertutup.
B. Saran
1. Sistim agroforestry mengakibatkan pertumbuhan produksi kacang tanah
menurun tetapi tetap mampu menghasilkan produk jangka pendek (kacang
tanah) dan jangka panjang (sengon) yang
secara akumulatif mampu menjaga
kandungan hara tanah lebih baik melalui
serasah jatuh dibandingkan sistim
monokultur.
2. Dalam suatu sistem terbuka dan peningkatan kesuran tanah memerlukan waktu
panjang maka diperlukan tindakan
9
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 1, Agustus 2014 (hal. 1-12)
silvikultur yang lebih intensif untuk
mengoptimalkan perolehan sumber daya
diatas tanah (sinar matahari) dan di
bawah tanah (air dan unsur hara).
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, N. 2009. Dinamika N-Nh4 +, NNo3- Dan Potensial Nitrifikasi Tanah
Di Alfisols, Jumantono Dengan
Berbagai Perlakuan Kualitas Seresah
(Albisia Falcataria (Sengon Laut) dan
Swietenia mahogani (Mahoni)).
Skripsi Tidak Dipublikasikan.
Universitas Negeri Sebelas Maret.
Surakarta.
Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik
terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah.
Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret. Disampaikan pada
Sidang Senat Terbuka Universitas
Sebelas Maret Surakarta tanggal 4
Januari 2003.
Barchia, M.F. 2009. Agroekosistem Tanah
Mineral Masam. Gadjah Mada
University Press. P.O.BOX 14.
Yogyakarta.
Badan Ketahanan Pangan Nasional. 2008.
Slide Power Point. Materi Dipresentasikan di Balai Penelitian Teknologi
Agroforestri Ciamis Tanggal 08
Februari 2013.
Charley, J.L. dan Richards, B.N. 1983.
Nutrient allocation in plantcommunities: Mineral cycling in terrestrial
ecosystems. In: Physiologicalplant
ecology IV, edited by O.L. Lange, P.S.
Nobel, C.B.Osmond & H. Zieger, 545. Berlin: Springer.
Constantinides, M. dan Fownes, J.H. 1994.
Nitrogen mineralisation from leaves
and litter of tropical plants:
relationships to nitrogen, lignin, and
soluble polyphenol concentrations.
10
Soil Biology and Biochemistry 26,
49–55.
Hakim, N.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G.,
Nugroho, M.R. Saul, M.A. Dhio, G.d.
Hong dan Bailey, H.H.. 1986. Dasardasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung, Lampung.
Haryanto, Y. dan Dwiriyanto, H. 1988. Uji
Coba Pengembangan Tanaman
P a n g a n A F. B T R B e n a k a t .
Palembang.
Kurniawan. 2004. Fungsi Agronomi Sistem
Agrofofestri Pinus (Pinus mercusii)
Dan Kedelai (Glycine max L) Dengan
Pemangkasan Pohon dan Pemberian
Bahan Organik. Kompilasi Abstrak
Agroforestri di Indonesia. Editor Dr
Hadi Susilo Arifin, Dr Mamum Sarma,
Dr Nurheni Wijayanto. IPB. INAFE.
SEANAFE. ICRAFT. Bogor.
Lisnawati, Y. 2012. Perubahan Hutan Alam
Menjadi Hutan Tanaman dan
Pengaruhnya terhadap Siklus Hara
Dan Air (Conversion of Natural
Forest to Plantation Forest and Its
implication to Nutrient and Water
Cycles).Tekno Hutan TanamanVol.5
No.2, Agustus 2012, 61 – 71. Bogor.
Mile, M.Y. 2004. Optimalisasi Pertumbuhan
Tanaman Sengon dalam Pola Hutan
Rakyat Campuran dengan Perlakuan
Pemupukan, Prosiding Expose
Terpadu Hasil Penelitian, Badan
Litbang Kehutanan Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Mathuva. M.N. Rao M.R., Smithson P.C.,
dan Coe R. 2009. Improving Maize
( Zea Mays ) Yields In Semiarid
Highlands Of Kenya: Agroforestry Or
I n o rg a n i c F e r t i l i z e r s ? h t t p : / /
dx.doi.org/10.1016/S03784290(97)00067-1 Get rights and
content. Tanggal Akses 29 April 2013.
Napitupulu, B. 1998. Perubahan Dan
Prediksi Kehilangan Hara Dengan
Adanya HTI. Prosiding Ekspose
Pengaruh Pemberian Serasah Sengon ..... (Ary WIdiyanto dan Aris Sudomo)
Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Departemen Kehutanan.
Aek Nauli, 1998. Medan.
Ong, C.K. dan Huxley, P. 2005 Tree-Crop
Interactions A Physiologycal
Approach. CAB Internasional In
Assosiation with the ICRAFT.
Niarobi, Kenya. UK at The University
Press, Cambridge.
Palm C. A. and Sanchez, P. A. 1991.
Nitrogen releasefrom the leaves of
some tropical legumes as afected
bytheir lignin and polyphenolic
contents. Soil Biology &Biochemistry
23, 83±88.
Pamoengkas, P. dan Murti, A.P. 2011.
Kualitas Tanah Pada Areal Tebang
Pilih Tanam Jalur di IUPHHK/HA PT.
Sari Bumi Kusuma Provinsi
Kalimantan Tengah.Jurnal Silvikultur
Tropika. Vol 03 No 01 Agustus 2011.
Hal 66-70 .ISSN : 2086-8227.
Palupi, N.P. 1995. Pemanfaatan Lahan
Bekas Tambang Sebagai Media
Tumbuh Tanaman Budidaya Dengan
Aplikasi Dolomit Dan Serasah
Tanaman Dengan Tanaman Uji
Kailan. Diakses Tanggal 14 Maret
2014. ejurnal.untagsmd.ac.id/
index.php/AG/article/.../178.
Pujiharta. 1995. Beberapa Indikator Fisik
Untuk Menentukan Kebijaksanaan
Pendahuluan Dalam Pengelolaan DAS.
Prosiding Lokakarya Pengelolaan
Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta.
Setyonining, A.R. 2003. Potensi Produksi
Tanaman Kacang Tanah (Arachis
hypogaenae L) yang Ditanam dengan
Pohon Jati (Tectona grandis L) pada
Sistem Agroforestri di Kalipare,
Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).
Soetedjo dan Rachmawati. 2013. Potensi
Tanaman Lokal Sebagai Pupuk
Organik Cair dan Rumput Pakan
Dalam Memperbaiki Produktivitas
Lahan dan Pakan Pada Praktik
Agroforestry. Prosiding Semnas
Agroforestry 2013. Tanggal 21 Mei
2013 di Malang. BPTA UNIBRAW
dan ICRAFT dan MAFI. Ciamis.
Suprayogo, D., K Hairiah, N. Wijayanto,
Sunaryo dan M. van Noordwijk. 2003.
Analisis Komponen Agroforestri
sebagai Kunci Keberhasilan atau
Kegagalan Pemanfaatan Lahan. Word
Agroforestry Centre (Icraf).
Salim.A.G.2013. Kandungan C-Organik
dan N-Total Tanah dan Serasah Pada
Beberapa Pola Hutan Rakyat di
Nglanggeran, Gunung Kidul. Prosiding Semnas Agroforestry 2013.
Tanggal 21 Mei 2013 di Malang.
BPTA UNIBRAW dan ICRAFT dan
MAFI. Ciamis.
Suryani, A. 2007. Pendahuluan (on line).
( w w w. d a m a n d i r i . o r. i d / f i l e /
anisuryanii pb bab2.pdf, diakses 20
Oktober 2013).
Sudomo dan Handayani. 2013. Karakteristik
Tanah Di Bawah Empat Jenis Tegakan
Penyusun Agroforstry Berbasis
Kapulaga. Jurnal Agroforestry. Vol 1
No 1. 2013. Balai Penelitian
Teknologi Agroforestry. Ciamis.
Setyonining, A.R. 2003. Potensi Produksi
Tanaman Kacang Tanah (Arachis
hypogaenae L) yang Ditanam dengan
Pohon Jati (Tectona grandis L) pada
Sistem Agroforestri di Kalipare,
Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang. (tidak
diterbitkan).
Wilarso., S., Mansur., Sukendro., I.Z.
Siregar, E.A. Husaeni dan Suprianto.
2003. Diversity of Arbuscular
Mycorrhizal Fungi and Mycorrhizal
11
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 1, Agustus 2014 (hal. 1-12)
Plant Status at Agroforestry Sites of
Gunung Walat Educational Forest.
Proceding of National Workshop
Forest Rehabilitation Throught Agroforestry. Gunung Walat Educational
Forest IPB. Sukabumi, West Java.
Indonesia. 13 Januari 2003. Laboratory of Forestry Socio Economics and
Policy & Laboratory of Silviculture
Faculty of Forestry, Bogor Agricul-
12
tural University. ASEAN-Korea
Enviroment Cooperation Unit.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar
Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava
Media. Yogyakarta.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan
Strategi Pengelolaanya. Graha Ilmu.
Edisi Pertama. Yogyakarta.
Download