KETEPATAN METODE BELAJAR MENGAJAR DAPAT MENCAPAI TUJUAN PEMBELAJARAN Oleh: St.Marwiyah* Abstrak: Jika Seorang guru/dosen yang tugas pokoknya adalah mengajar betul-betul memahami macam-macam metode mengajar, prinsipprinsip penentuan metode mengajar, dan efektivitas penggunaan dari setiap metode mengajar itu secara komprehenshif mengenai aplikasinya dalam proses pembelajaran, maka tujuan pembelajaran akan tercapai sebagaimana harapan guru/dosen dan peserta didik secara timbal balik. Kata Kunci : Belajar, mengajar, pembelajaran Pendahuluan Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah kurangnya penguasaan berbagai metode mengajar dalam proses belajarmengajar. Dalam proses belajar-mengajar terkadang peserta didik kurang di dorong untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Proses belajarmengajar di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan peserta didik untuk menghapal informasi, otak peserta dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan seharihari. Akibatnya, ketika peserta didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi. Kenyataan tersebut berlaku terhadap semua mata pelajaran. Mata pelajaran science tidak dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan sistematis, karena kurangnya penguasaan metode mengajar dalam setiap pembelajaran di dalam kelas. Mata pelajaran agama, tidak dapat mengembangkan sikap yang sesuai dengan norma-norma agama, karena proses pembelajaran hanya diarahkan agar peserta didik dapat menguasai dan menghapal materi pelajaran. Mata pelajaran bahasa tidak diarahkan untuk mengembangkan kemampuan * St. Marwiyah, Dosen tetap STAIN Palopo dan ketua prodi PAI pada Jurusan Tarbiyah STAIN Palopo, memperoleh gelar Magister Agama di UMI Makassar 37 38 Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 berkomunikasi, karena yang dipelajari lebih bahasa sebagai ilmu, bukan sebagai alat komunikasi. Dalam melaksanakan pembelajaran dalam kelas, ataupun di mana saja, para pendidik di samping harus menguasai bahan atau materi ajar, maka perlu pula mengetahui berbagai cara materi ajar itu disampaikan, dan bagaimana pula karakteristik peserta didik yang menerima materi pelajaran tersebut. Kegagalan pendidik dalam menyampaikan materi ajar, terkadang bukan karena kurang menguasai bahan ajar, tetapi mereka kurang menguasai metode dalam menyampaikan materi pelajaran tersebut dengan baik dan tepat sehingga peserta didik dapat belajar dengan suasana yang menyenangkan dan juga mengasikkan. Agar peserta didik dapat belajar dengan suasana tersebut, maka pendidik di samping harus menguasai bahan ajar yang diampunya, juga harus menguasai berbagai metode dalam menyampaikan bahan pelajaran. Menurut Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sebagaimana dikutif Mappanganro, bahwa para ulama berkewajiban mengetahui berbagai metode pembelajaran. Metode-metode itu dapat berbeda dengan berbedanya zaman dan tempat, sebagaimana berbedanya metode atau cara penyampaian barang kiriman. Pada zaman sekarang barang kiriman disampaikan kepada pemiliknya dengan cara yang berbeda pada zaman dahulu. Pengiriman dilakukan dengan pos, bank dan lain-lain. Demikian pula terdapat berbagai metode pembelajaran lebih mudah dari pada metode-metode masa lampau. Oleh karena itu, metode pembelajaran perlu pula dikembangkan terus agar ilmu dapat disampaikan kepada pelajar secara mudah dan menarik (Mappanganro, 2008 :171). Dari pemikiran tersebut dapat dipahami, bahwa peserta didik membutuhkan satu jenis metode pembelajaran yang berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan waktu, tingkatan umur, atau pun tingkatan intelegensi dari masing-masing peserta didik. Karena itu, seorang pendidik yang ingin berhasil dalam mendidik, maka mereka harus pula menguasai berbagai jenis metode pembelajaran. Mereka harus tahu betul dan mampu menggunakan metode mana yang paling efisien dan efektif, sehingga peserta didik dapat menerima dan memahami dengan mudah bahan pelajaran yang disampaikan kepadanya. A. Pengertian Belajar Adapun pengertian belajar dapat dipahami dari argumentasiargumentasi para ahli pendidikan berikut ini : Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 39 a. Menurut B. F. Skinner belajar adalah suatu proses adaptasi atau persesuaian tingkah laku yang belangsung secara progressif ( H. Syaiful Sagala, 2008 : h.14). b. Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning (1975) mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecendrungan respon pembawaan, kematangan atau keadaankeadaan sesaat (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya). c. M. Sobry Sutikno dalam bukunya menuju pendidikan bermutu (2004), mengartikan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru ssebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Kaki seseorang patah karena terkena benda yang berat yang terjatuh dari atas loteng, ini tidak bisa disebut perubahan hasil belajar. Jadi perubahan yang bagaimana yang dapat disebut belajar ? Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan yang terjadi secara sadar ( disengaja) dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. d. C. T. Morgan dalam introduction to Psychology (1962) merumuskan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu. e. Thursan Hakim dalam bukunya Belajar Secara Efektif (2002), mengartikan adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya fikir, dan kemampuan lainnya. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar pada hakekatnya adalah “perubahan” yang terjadi dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya. Dalam belajar yang terpenting adalah proses bukan hasil yang diperolehnya. Artinya, belajar harus diperoleh dengan usaha sendiri. Adapun orang lain itu hanya sebagai perantara atau penunjang dalam kegiatan belajar, agar kegiatan belajar itu dapat berhasil dengan baik. Ketika seorang anak mendapatkan hasil tes yang bagus tidak bisa 40 Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 dikatakan sebagai belajar apabila hasil tesnya itu didapatkan dengan cara yang tidak benar, misalnya hasil mencontek dan sebagainya. B. Pengertian Mengajar Mengajar berasal dari bahasa Inggris kuno, yaitu taecan. Kata ini berasal dari bahasa Jerman Kuno (Old Teutenic), taikjan, yang berasal dari kata dasar teik, yang berarti memperlihatkan. Kata tersebut ditemukan juga dalam bahasa Sanskerta, dic, yang dalam bahasa Jerman Kuno dikenal dengan deik. Istilah mengajar (teach) juga berhubungan dengan token yang berarti tanda atau symbol. Kata token juga berasal dari bahasa Jerman Kuno, taiknom, yaitu pengetahuan dari taikjan. Dalam bahasa Inggris Kuno taecan berarti to teach (mengajar). Dengan demikian, token dan teach secara historis memiliki keterkaitan. To teach (mengajar) dilihat dari asal usul katanya berarti memperlihatkan sesuatu kepada seseorang melalui tanda atau simbol; penggunaan tanda atau simbol itu dimaksudkan untuk membangkitkan atau menumbuhkan respons mengenai kejadian, seseorang, observasi, penemuan, dan lain sebagainya. Sejak tahun 1500-an, defenisi mengajar (teaching) mengalami perkembangan terus-menerus (Wina Sanjaya, 2007:94). Secara deskriptif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi atau pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam konteks ini, mentransfer tidak diartikan dengan memindahkan, seperti misalnya mentransfer uang. Sebab, kalau kita analogikan dengan mentranfer uang, maka jumlah uang dimiliki oleh seseorang akan menjadi berkurang bahkan hilang setelah ditransfer pada orang lain. Apakah mengajar juga demikian ? Apakah ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pendidik, akan menjadi berkurang setelah dilakukan proses mentransfer ? Jawabannya tentu tidak, bahkan mungkin saja ilmu yang dimiliki oleh seorang pendidik akan semakin bertambah. Karena itu kata mentransfer dalam konteks ini diartikan sebagai proses menyebarluaskan, seperti menyebarluaskan atau memindahkan api. Ketika api dipindahkan atau disebarluaskan, maka api itu tidak menjadi kecil akan tetapi semakin membesar. Untuk proses mengajar, sebagai proses menyampaikan ilmu pengetahuan, akan lebih tepat jika diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukan Smith (1987) bahwa mengajar adalah menamankan pengetahuan atau keterampilan. Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 41 C. Macam-Macam Metode Mengajar Dalam proses belajar mengajar ada beberapa macam metode mengajar yang biasa dilakukan oleh para pendidik. Metode-metode mengajar itu biasa dicamtumkan dalam perencanaan pembelajaran sesuai karakteristik materi pelajaran yang akan diajarkan. Adapun metode-metode secara umum antara lain adalah metode ; (1) metode ceramah, memberikan pengertian dan uraian suatu masalah, (2) diskusi, memecahkan masalah dengan berbagai tanggapan, (3) ekperimen, mencoba mengetahui proses terjadinya suatu masalah, (4) demonstrasi, menggunakan alat peraga untuk memperjelas sebuah masalah, (5) pemberian tugas, dengan cara memberi tugas tertentu secara bebas dan bertanggung jawab, (6) sosiodrama, menunjukkan tingkah laku kehidupan, (7) metode drill, melatih mengukur daya serap terhadap mata pelajaran, (8) Metode kerja kelompok, memecahkan masalah secara bersama-sama dalam jumlah tertentu,(9) metode tanya jawab, memecahkan masalah dengan umpan balik, dan (10) proyek, memecahkan masalah dengan langkah-langkah secara ilmiah, logis, dan sistematis (Zakiah Darajat, 1995:289-312). Sebagai tambahan, beberapa pakar pendidikan mengemukakan pula sejumlah metode mengajar antara lain. Pertama, Al-Ghazali mengemukakan beberapa metode alternatif, yaitu; (1) mujahadah dan riyadlah nafiyah (kekuatan dan latihan jiwa). Yaitu mendidik anak dengan cara mengulang-ulangi pengalaman. Hal ini akan meninggalkan kesan yang baik dalam jiwa anak didik dan benar-benar akan menekuninya sehingga terbentuk akhlak dan watak dalam dirinya, (2) pendidik hendaknya menggunakan beberapa metode. Sebab, penggunaan metode yang bervariasi akan membangkitkan motivasi belajar dan menghilangkan kebosanan, (3) Pendidik hendaknya memberikan dorongan dan hukuman (Ali Al-Jumbulati, 1993:153). Memberikan dorongan berupa pujian, penghargaan, dan hadiah kepada anak yang berprestasi akan menjadikan mereka lebih termotivasi. Sedangkan memberikan hukuman hendaknya bersifat mendidik dengan maksud memperbaiki perbuatan yang salah agar tidak menjadi kebiasaan. Pemberian hukuman jasmani disyaratkan bila anak telah sampai usia 10 tahun, dan kalaupun harus melakukan hukuman jasmani hendaknya pukulan tidak melebihi dari 3 tiga kali. Hal dimaksudkan untuk memberikan kesempatan supaya anak itu sadar dengan sebaik- 42 Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 baiknya. Hanya saja poin yang ketiga ini menjadi hal yang dilematis dewasa ini untuk diterapkan, karena seringkali seorang pendidik harus berurusan dengan masalah hokum, bahkan terkadang dipenjara karena hal tersebut. Kedua, Ibnu Khaldun mengemukakan pula pendapatnya tentang metode mengajar yaitu; (1) metode ilmiah yang modern, yaitu menumbuhkan kemampuan memahami ilmu dengan kelancaran berbicara dalam diskusi untuk menghindari verbalisme dalam pelajaran, (2) metode (pentahapan) dan pengulangan. Pengetahuan bersifat global bertahap dan terperinci, agar anak memahami permasalahan dan menerima penjelasan sesuai dengan tingkat berpikirnya, (3) menggunakan media (alat peraga) untuk membantu siswa dalam memahami materi pelajaran, (4) melakukan karya wisata agar siswa mendapatkan pengalaman belajar secara langsung, (5) menghindari sistem pengajaran materi dalam bentuk ringkasan, dan (6) memberikan sanksi yang proporsional untuk menumbuhkan motivasi (semangat) belajar siswa. Sanksi yang positif dapat dilakukan dengan memberikan pujian atau hadiah terhadap segala bentuk karya atau tingkah laku positif anak didik. Sementara sanksi negatif berupa hukuman hanya dilakukan bila anak didik berperilaku negatif, tetapi hendaknya dengan pendekatan yang lebih bijaksana (Zakiah Darajat, 1995:313). Ketiga, M.Arifin, mengemukakan beberapa metode mengajar yang dapat dikatakan mewakili metode modern ahli pendidikan dewasa ini yaitu metode; (1) situsional dan kondisional dalam pembelajaran, (2) tarhib dan targhib, untuk mendorong minat belajar anak didik agar terlepas dari paksaan dan tekanan,(3) kebermaknaan, yaitu menjadikan anak bergairah belajar dengan menyadarkan bahwa pengetahuan itu bermakna dalam hidupnya, (4) dialog, melahirkan sikap saling terbuka antara pendidik dan peserta didik, (5) pemberian contoh keteladanan yang baik, yang akan mempengaruhui tingkah laku dan sikap mental anak didik, (6) diskusi, memantapkan pengertian dan sikap anak didik terhadap suatu masalah, (7) induktif dan deduktif, (8) demonstrasi, (9) eksperimen, dan (10) metode dan hukuman (M.Arifin, 1996:217). Kemudian Armai Arief menjelaskan metode-metode mengajar yaitu metode; (1) pembiasaan, (2) keteladanan, (3) pemberian ganjaran, (4) pemberian hukuman, (5) ceramah, (6) tanya jawab, (7) diskusi, (8) sorogan, (9) bandongan, (10) mudzakarah, (11) kisah, pemberian tugas, (12) karya wisata, (13) ekperimen, (14) drill/latihan, (15) sosiodrama, (16) Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 43 simulasi, (18) kerja lapangan, (19) demonstrasi, dan (20) metode kerja kelompok (Armai Arief, 2002:110-195). Demikianlah antara lain, metode-metode mengajar yang biasa digunakan oleh para pendidik dalam proses belajar-mengajar. di mana metode-metode itu digunakan sesuai dengan karakteristik materi pelajaran yang diajarkan. D. Prinsip-Prinsip Penentuan Metode Mengajar Dalam menanamkan pengetahuan dan kecakapan dengan cara yang cepat dan tepat kepada peserta didik, maka seorang pendidik perlu memahami prinsip-prinsip penentuan dalam metode mengajar. Dalam mengajar seorang pendidik perlu; (1) mengetahui motivasi, kebutuhan dan minat anak didiknya, (2) ) mengetahui tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan pendidikan, (3) mengetahui tahap kematangan, perkembangan, serta perubahan anak didik, (4) mengetahui perbedaan-perbedaan individu di dalam anak didik, (5) memperhatikan pemahaman, hubungan-hubungan, integrasi pengalaman dan kelanjutannya, keaslian, pembaharuan dan kebebasan berfikir, (6) menjadikan proses pendidikan sebagai pengalaman yang menggembirakan anak didik, dan (7) menegakkan “uswah hasanah” (Zuhairini dkk, 1983 :13). Sementara menurut Tayar dan Syaiful Anwar mengatakan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan sebuah metode mengajar adalah; (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) kemampuan guru, (3) anak didik, (4) situasi dan kondisi pengajaran di mana berlangsung, (5) fasilitas yang tersedia, (6) waktu yang tersedia, dan (7) kebaikan dan kekurangan sebuah metode (Tayar Yusuf & Syaiful Anwar, 1995:7-10). Adapun prinsip-prinsip penentuan metode mengajar yang perlu diperhatikan oleh setiap pendidik menurut Pupuh Faturrohman dan M.Sobry Sutikno adalah sebagai berikut : 1. Prinsip motivasi dan tujuan belajar. Motivasi memiliki kekuatan sangat dahsyat dalam proses pembelajaran. Belajar tanpa motivasi seperti badan tanpa jiwa, atau laksana mobil tanpa bahan bakar. 2. Prinsip kematangan dan perbedaan individual. Belajar memiliki masa kepekaan yang tidak sama. Kepekaan intelek anak Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 44 a) b) c) a) b) c) d) e) f) menurut J.Piaget dalam Mansur (1991), memiliki tiga fase yaitu : Fase praoperasional, yakni usia 5-6 tahun atau masa pra sekolah. Fase ini belum bisa membedakan sesuatu secara konsep atau abstrak. Contohnya ketika anak melihat kucing itu pindah kebelakang meja, ia mengatakan tidak ada. Timbul problem mendasar dalam mengajarkan akidah, seperti mengajarkan bahwa Allah itu Maha Esa dan di mana-mana. Cara mengajarkan yang “abstrak” mungkin bisa ditempuh melalui “doktrin”, cerita, nyanyian bahkan dengan do’a. Fase perkembangan moral pada tahap ini lebih bersifat “pramoral” yang belum terikat pada aturan. Fase operasi konkret. Masa ini anak sudah mulai bisa di bawa berpikir abstrak, misalnya untuk menjelaskan bahwa Allah itu ada dengan cara melihat adanya ciptaan-Nya. Fase perkembangan moral tahap ini lebih bersifat konvensional, yakni taat dan patuh pada kekuasaan, benar menurut siapa yang mengatakan. Fase operasional formal. Fase ini, anak sudah mulai bisa memikirkan apa yang ada dibalik realitas, baik melalui percobaan maupun observasi. Lebih lanjut Kohiberg (1995), menggambarkan bahwa pada masa usia 10 hingga 16 tahun perkembangan moralnya bercirikan sebagai berikut : Orientasi pada hukuman dan gajaran serta pada kekuatan fisik dan material. Orientasi hedonistik dengan pandangan instrumental tentang hubungan manusia yang timbal balik sepadan. Orientasi “anak manis” yakni berusaha mempertahankan harapan dan memperoleh persetujuan kelompoknya. Orientasi otoritas, hukuman dan kewajiban untuk mempertahankan tata tertib yang tetap, diyakini sebagai nilai utama. Orientasi kontrak sosial dengan penekanan persamaan derajat secara demokratis. Moralitas prinsip suara hati individual namun memiliki sifat komprehensif, logis dan universal. Semua perkembangan pada setiap anak jelas memiliki tempo yang berbeda-beda, karena itu setiap pendidik agar Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 3. 4. o o o o 5. 45 memperhatikan waktu irama perkembangan anak, motif, intelegensi dan emosi, kecepatan menangkap pelajaran, serta pembawaan dan faktor lingkungan. Prinsip penyediaan peluang dan pengalaman praktis. Belajar dengan memperhatikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi anak didik dan pengalaman langsung oleh anak jauh lebih memiliki makna ketimbang belajar verbalistik. Confusius pernah menekankan pentingnya arti belajar dari pengalaman dengan perkataan ; “Saya dengar dan lupa” “Saya lupa dan saya ingat” “Saya lakukan dan saya paham” Integrasi pemahaman dan pengalaman. Penyatuan pemahaman dan pengalaman menghendaki suatu proses pembelajaran yang mampu menerapkan pengalaman nyata dalam suatu daur proses belajar. Prinsip belajar ini didasarkan pada asumsi bahwa pengalaman mendahului proses belajar dan isi pengajaran atau makna sesuatu harus berasal dari pengalamanan peserta didik sendiri. Pendekatan belajar yang mungkin dapat dilakukan adalah : Mengalami. Proses ini selalui dimulai dengan adanya pengalaman dengan melakukakan langsung sesuatu kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialaminya dan tanggapan atau kesan atas pengaman tersebut, termasuk pengalaman rekan-rekan belajar lainnya. Mengalah. semua pengalaman dirinya dan rekan-rekan belajar dikaitkan dengan pengalaman lain yang mungkin makna yang serupa. Menyimpulkan. Keharusan logis dan pengkajian pengalaman adalah mengembangkan atau merumuskan prinsip-prinsip berupa kesimpulan umum dari pengalaman tadi. Cara ini dapat membantu peserta didik merumuskan, merinci dan menjelaskan hal-hal yang telah dipelajari. Merapkan. Proses pengalaman belum lengkap jika suatu ajaran baru atau penemuan baru belum dipergunakan atau diuji dalam perilaku yang sesungguhnya. Prinsip fungsional. Belajar merupakan proses pengalaman hidup yang bermamfaat bagi kehidupan berikutnya. Setiap belajar nampaknya tidak bisa lepas dari nilai mamfaat, sekalipun bisa 46 Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 berupa nilai mamfaat teoritik atau praktis bagi kehidupan sehari-hari. 6. Prinsip menggembirakan. Belajar merupakan proses yang terus berlanjut tanpa henti, tentu seiring kebutuhan dan tuntutan yang terus berkembang. Bekaitan dengan kepentingan belajar yang terus-menerus, maka metode mengajar jangan sampai memberi kesan memberatkan, sehingga kesadaran belajar pada anak cepat berakhir (Pupuh Faturrohman & M.Sobri Sutikno, 2007:58). Selain daripada itu yang perlu juga diperhatikan dalam penentuan metode mengajar adalah prinsip lingkungan, karena apa yang dipelajari tidak terbatas pada apa yang ada dalam textbook, atau penjelasanpenjelasan seorang pendidik di dalam kelas. Banyak hal yang dapat dipelajari dalam lingkungan peserta didik, misalnya bahasa, keadaan alam, agama, cara hidup, peternakan, industri, perhubungan dan sebagainya. Pembelajaran yang tidak menghiraukan prinsip lingkungan ini akan menyebabkan peserta didik tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma kehidupan di mana ia berada. Peserta didik kemungkinan serba tahu tetapi tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan ilmunya itu terhadap lingkungannya. Itulah antara lain-lain, Prinsip-prinsip yang sangat penting diperhatikan oleh setiap guru dalam menentukan sebuah metode mengajar, sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelumnya dapat tercapai sesuai yang diharapkan, baik oleh guru maupun oleh siswa itu sendiri. E. Efektivitas Penggunaan Metode Mengajar Penggunaan metode yang tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelumnya, akan menjadi kendala apabila seorang guru tidak memahami efektivitas penggunaan metode mengajar. Menurut Pupuh Faturrohman dan Sobry Sutikno, bahwa dalam menetapkan metode mengajar, bukan tujuan yang menyesuaikan dengan metode atau karakter anak, tetapi metode hendaknya menjadi “Variabel dependen” yang berubah dan berkembang sesuai kebutuhan. Karena itu, efektivitas penggunaan metode dapat terjadi bila ada kesesuaian antara metode dengan semua komponen pengajaran yang telah diprogramkan dalam satuan pelajaran sebagai persiapan tertulis (Pupuh Faturrohman & M.Sobri Sutikno, 2007:59). Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 47 Seorang pendidik yang mampu menggunakan berbagai metode mengajar secara efektif maka akan menjamin keberhasilan baik kuantitatif maupun secara kualitatif. Efektivitas penggunaan berbagai metode mengajar adalah dapat dilakukan apabila seorang pendidik memiliki pikiran yang tajam, yaitu; (1) mempunyai kemampuan analisis yang kuat, (2) penilaian yang akurat, (3) memiliki kapasitas untuk berpikir strategis, (4) kemampuan berpikir multidimensional, dan (5) intelegensia yang di atas rata-rata tapi harus jenius (Syafaruddin, 2005:90). Efektivitas kemampuan seorang guru dalam menggunakan berbagai metode mengajar adalah dapat diukur dari kecekatan, kemahiran dalam mengaplikasikan berbagai metode mengajar yang diiringai dengan variasi pembelajaran yang rasional, logis, menggembirakan, berdasarkan daya pikir yang kreatif dan inovatif. Efektivitas penggunaan metode mengajar dinilai dari proses kerjanya berdasarkan standar kemampuan dalam menerapkan berbagai metode mengajar, mengorganisir, memotivasi dan mengawasi peserta didik. Sedangkan efektivitas dari segi hasil adalah dapat dilihat `apabila peserta didik memiliki kepribadian dan kemampuan memecahkan masalah-masalah pelajaran di saat mengikuti ujian tertulis maupun lisan. F. Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional sering juga dinamakan sasaran belajar. Sebelumnya tujuan pembelajaran diartikan sebagai suatu upaya pendidik dalam hubungan dengan tugas-tugasnya membina peserta didik seperti meningkatkan kemampuan baca peserta didik, keterampilan tangan peserta didik atau menimbulkan sikap disiplin dan percaya diri dikalangan peserta didik. Dewasa ini menurut Ibrahim dan Nana Syaodih sebagaimana dikutif H.Syaiful Sagala adalah perilaku hasil belajar yang diharapkan dimiliki pesrta didik setelah mereka menempuh proses belajar-mengajar, di mana peserta didik dapat ; (1) memilih kemampuan membaca yang lebih baik, (2) bersikap disiplin dan percaya diri, (3) dapat memecahkan persamaan kuadrat, (4) gemar membuat kerajinan tangan dari tanah liat, (5) mengemukakan cara-cara yang tepat untuk mencegah timbulnya penyakit disentri, (6) menuliskan contoh-contoh kalimat tunggal dalam bahasa Indonesia, (7) dan lain sebagainya (H.Syaiful Sagala, 2003 : 156). 48 Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa pada waktu yang lalu tujuan pembelajaran diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh pendidik, sedangkan dewasa ini tujuan pembelajaran lebih diartikan sebagai suatu produk atau hasil yang dicapai peserta didik. Dengan kata lain tujuan pembelajaran pada waktu yang lalu berpusat pada pendidik, sedangkan tujuan pembelajaran dewasa ini selalu berpusat pada peserta didik. Dengan berpusatnya tujuan pembelajaran kepada peserta didik, maka keberhasilan pembelajaran lebih banyak dinilai dari seberapa jauh perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan telah terjadi pada diri siswa. Tentu saja tugas seorang pendidik tidak berakhir jika peserta didiknya telah memiliki perilaku yang diharapkan sebagai hasil dari proses belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dirasakan dapat memberikan petunjuk yang terarah bagi perkembangan alat evaluasi belajar, memilih materi dan kegiatan proses belajar mengajar, penetapan media dan alat pembelajaran. dilihat dari domain, maka tujuan pembelajaran adalah sama dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai secara umum yaitu terjadinya perubahan-perubahan kognitif, afektif dan psikomotor yang lebih baik pada diri peserta didik. Jika tujuan pembelajaran tercapai sebagai sebagaimana harapan pendidik dan peserta didik, maka kualitas pembelajaran dapat tercapai pula. Dalam konteks pendidikan pengertian kualitas pembelajaran, hal ini mengacu pada proses belajar dan hasil belajar. Dalam “proses belajar mengajar” yang berkualitas terlihat dari berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotor), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi sarana, sumber daya lainnya serta peciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi menyinkronkan berbagai input tersebut atau menyinergikan semua komponen dalam proses belajar antara pendidik dan peserta didik baik dalam kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, baik dalam lingkup substansi yang akademis maupun yang non akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Kualitas pembelajaran atau pembentukan kompetensi dapat dilihat dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran atau pembentukan kompetensi dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 49 proses pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75 %). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan output yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pembangunan (Engko Mulyasa, 2004:131). Antara ketetapan metode dan hasil pembelajaran yang berkualitas saling berhubungan. Akan tetapi, agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka kualitas dalam hasil harus dirumuskan lebih dahulu oleh setiap guru, dan harus jelas target setiap semester atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada kualitas yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab guru bukan hanya pada prosesnya, tetapi tanggung jawabnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil yang dicapai terutama yang menyangkut apek kemampuan akademik adalah dapat dilakukan dengan menggunakan acuan standar misalnya hasil ujian nasional dan kelulusan masuk “Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Nengeri (SMPTN) terutama perguruan tinggi kelas papan atas. G. Penutup Bertitik tolak dari berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Belajar adalah usaha yang dilakukan secara berulang-ulang agar, peserta didik mengalami perubahan kepribadian berupa peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, maupun komponenkomponen lainnya. Adapun mengajar adalah penyampaian pengetahuan dari seorang pendidik kepada peserta didik melalui tanda atau simbol untuk menumbuhkan semangat belajar peserta didik. 2. Tujuan pembelajaran yaitu hasil yang ingin dicapai peserta didik berupa perubahan-perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor, setelah peserta didik memperoleh informasi pengetahuan dari pendidik. Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 50 3. Dalam proses belajar mengajar seorang pendidik perlu memahami prinsip-prinsip penentuan metode mengajar, karena dengan cara demikian peserta didik tidak cepat mengalami kebosanan dalam menerima informasi pengetahuan dari seorang pendidik. 4. Efektivitas penggunaan metode mengajar harus sesuai dengan komponen-komponen pengajaran, supaya materi-materi yang diajarkan oleh pendidik mudah dipahami peserta didik 5. Metode-metode mengajar perlu dipahami dengan baik oleh setiap pendidik, karena tanpa demikian proses belajar mengajar akan mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Daftar Rujukan Al-Jumbulati, Ali. 1993. Perbandingan Jakarta: Bulan Bintang. Pendidikan Islam, Cet.VII, Arifin, M. 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Cet.V, Jakarta: Bumi Aksara. Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet.I, Jakarta: Ciputat Pers. Darajat, Zakiah dkk. 1995. Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet. IV, Jakarta: PT.Rineka Cipta. Faturrohman, Pupuh dan Sutikno, M.Sobry. 2007. Strategi Belajar Mengajar, Cet. II, Bandung: PT Refika Aditama. Mappanganro, H. 2008. 2008. Rasyid Ridha dan Pemikirannya tentang Pendidikan Formal, Makassar: Alauddin Press. Mulyasa, Engko, 2004. Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK. Cet. I, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Sagala, H.Syaiful. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Cet.VI, Bandung: CV.Alfabeta. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran, Cet.II, Jakarta: Prenada Media Group. Syafaruddin. 2000. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Cet.I, Jakarta: Pt.Ciputat Press. Yusuf, Tayar dan Anwar, Syaiful. 1995. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Cet.I, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. Zuhairini, dkk. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Cet. VIII, Surabaya: Usaha Nasional. Volume 12, Nomor 2, Juni 2010 51