BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang “...toott…tooottt… mesin alkun1 hilir-mudik hanya terdengar suaranya saja. Pagi itu tepian Sungai Kapuas tidak lagi terlihat, tertutup balutan asap tebal sisa pembakaran kemarin. Walaupun demikian, sebagian masyarakat yang sudah kontrak ngupah dan bayar handep2 tetap harus pergi ke ladang untuk melaksanakan tugasnya. Seorang bapak berkata pada saya, “…Ya beginilah Mbak, cara orang tuha3 kami dulu mengelola lahan pertanian, tebas, tebang, bakar, baru tanam. Hingga kini pun kami masih menjalankan warisan tersebut…”, (data harian, 12 Oktober 2012). Deskripsi di atas menunjukkan, bahwa tingkat polusi udara di Desa Kalumpang masih cukup tinggi, terlebih jika sudah memasuki musim kemarau dan periode pembakaran lahan untuk pertanian tiba. Hampir setiap hari asap tebal menyelimuti kawasan Desa Kalumpang. Kondisi ini telah menjadi sorotan banyak pihak, yang berakhir pada pengkambinghitaman kaum petani. Jika kita telisik lagi lebih dalam, fakta menunjukkan para petani Dayak Ngaju mempunyai kearifan dalam hal membakar lahan yang akan dijadikan areal pertanian. Kearifan tersebut dalam bentuk pola atau sistem sekat bakar untuk mencegah penyebaran api. Di samping itu, tata kelola yang menghentikan aktivitas lahan dalam beberapa waktu (masa bera), atau istilah lainnya “peremajaan kembali lahan” masih menjadi andalan mereka. 1 Alat transportasi sungai berupa perahu kecil yang dioperasikan menggunakan mesin. Gotong royong, dalam hal pertukaran tenaga kerja. 3 Tuha = tua (bahasa Banjar). 2 Perilaku petani Dayak Ngaju sebagaimana telah diulas secara singkat, kadang kala kepentingan mereka. dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk Tuduhan-tuduhan terkait kebakaran hutan selalu ditujukan kepada kaum tani Dayak Ngaju. Tanpa ditelusuri kembali siapa dalang sebenarnya dalam kebakaran hutan4. Hal ini membuat eksistensi petani ladang termarginalkan sekaligus dilematis. Di satu sisi, mereka harus menyambung tradisi leluhurnya dalam mengelola lahan yang sudah turun-temurun mereka kuasai, demi melanjutkan hidup. Pada sisi lain, apa yang dilakukan kaum tani Dayak Ngaju telah menyebabkan mereka menjadi korban kekerasan, dengan tidak didengar aspirasinya. Mereka dengan terang-terangan meminta pelatihan tentang sistem pengelolaan lahan tanpa bakar5. Dalam upaya merubah tradisi tersebut, petani Dayak Ngaju mengalami permasalahan dengan pihak eksternal. Permasalahan yang dihadapi kaum tani, tidak bisa lepas dari kegiatan mereka dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam, perubahan tata guna lahan dan keterlibatan dalam proses industrialisasi yang dilakukan oleh pihak eksternal. Dalam konteks penelitian ini, aktivitas tersebut dapat dipandang memiliki kontribusi dalam memacu peningkatan 4 Sebagian berpendapat bahwa terjadinya kebakaran hutan, akibat salah satu warga yang sedang mencari ikan membuang puntung rokok sembarangan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KFCP, ditemukan bahwa ada pihak lain (seperti perkebunan kelapa sawit) yang menyebabkan terbakarnya lahan di samping faktor suhu udara. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah pun kini mulai kewalahan dalam memadamkan api yang tiba-tiba menjalar di sepanjang kawasan eks PLG (antara Palangkaraya-Pulang Pisau), berbagai bantuan datang dari lembaga-lembaga swasta dalam menanggapi masalah kebakaran yang kerap terjadi (seperti Satgas REDD+ dan KFCP melalui Tim Fire Management-nya), pihak desa pun mempunyai Kelompok Masyarakat Pengendali Kebakaran (KMPK) dan regu Pengendali Kebakaran (RPK). 5 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Gapoktan; Ketua Handel; dan Ketua TPK. pembuangan karbon. Pada lingkup yang lebih luas, akibat aktivitas ini, hutan dan gambut habis. Indonesia pun akhirnya turut menyumbang emisi karbon yang tidak sedikit. Hal inilah yang menyebabkan bumi tempat kita berpijak mengalami pemanasan di tiap penjurunya, bahkan telah membuat pola iklim dunia ikut berubah (UNDP, 2007: 3-4). Meningkatnya temperatur global yang berakibat pada perubahan iklim, telah mengundang kesadaran publik akan pentingnya pengendalian faktor-faktor yang memicu pemanasan global. Hal ini telah mendorong terselenggaranya suatu konvensi tentang perubahan iklim pada tahun 2005 di Montreal. Konvensi ini telah menghasilkan kesepakatan tentang kewajiban pengurangan emisi. Terkait dengan konvensi tentang perubahan iklim tersebut, keterlibatan Indonesia dimulai pada Rencana Aksi Bali tahun 2007 dan dilanjutkan dengan ikrar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada G 20 di Pittsburgh AS tahun 2009. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen sampai 41 persen pada tahun 2020 dengan bantuan internasional (Cifor, 2012: 28). Selanjutnya pada Mei 2010 dibentuk Satuan Tugas REDD+, sebuah badan ad hoc yang melapor langsung kepada Presiden. Tahun 2011 pemerintah menerbitkan moratorium selama dua tahun atas hak pengusahaan hutan baru berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011. Tujuan moratorium adalah untuk perbaikan tata kelola dan penegakan hukum. Menurut konvensi perubahan iklim di Montreal tahun 2005, semua negara mempunyai kontribusi terhadap pemanasan global, dengan perbandingan 20 persen bagi negara-negara berkembang dan 80 persen dari negara industri maju. Salah satu langkah yang dilakukan Indonesia adalah dengan turut serta dalam penyelenggaraan inisiatif REDD+. Pengintegrasian mekanisme REDD+ dalam strategi nasional, merupakan salah satu tujuan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat miskin, khususnya skenario penciptaan lapangan kerja. Di samping itu, isu konservasi lahan hutan dimaksudkan untuk menciptakan pola pertumbuhan ekonomi berbasis strategi rendah karbon. Diterapkannya strategi ini, diharapkan bumi dan segala yang terdapat di dalamnya lestari (Zulkifli dalam Cifor, 2012: 29-32). Dengan demikian, adanya skema REDD+ ini, di samping sebagai mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim, juga diharapkan mampu menciptakan nuansa baru bagi masyarakat dalam pengelolaan hutan. REDD+ merupakan skema global terkait aksi penyelamatan lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim. Inisiatif ini ditawarkan kepada negara-negara berkembang dalam menanggapi isu-isu terkait deforestasi dan degradasi hutan. Bagi negara-negara yang mampu melaksanakan dan melestarikan hutan beserta cadangan karbonnya, akan diberi insentif melalui konversi karbon. Istilah REDD+ mulai diperkenalkan dalam Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sesi 29 UNFCCC COP 14 di Poznan, Polandia pada Desember 20086. Dalam implementasinya, inisiatif REDD+ ini masih menyimpan teka-teki terkait siapa saja yang berhak mendapat insentif tersebut, juga mengenai bagaimana mekanisme kerja yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam memeratakan pengelolaan yang berbasis kesetaraan gender 7. Pelibatan kaum perempuan dalam pembangunan harus mendapat perhatian, terutama dalam pengelolaan hutan. Selama ini perempuan kurang diikutsertakan dalam proses pembangunan. Penyertaan perempuan dalam kebijakan REDD+ merupakan penawaran yang harus disambut baik oleh berbagai pihak. Akan tetapi, hal tersebut perlu dicermati ulang. Bercermin dari beberapa kebijakan yang telah mengangkat isu gender, ditemukan bahwa keterlibatan perempuan hanya dijadikan “politik aktor” oleh pihak-pihak tertentu. Di samping itu, tujuan pengintegrasian perempuan, tidak memberikan pilihan dan suara sebenarnya dari harapan kaum perempuan8. Dengan demikian, perempuan tetap menjadi objek dari kebijakan yang diciptakan. Bias gender pun semakin tampak, di mana opresi terhadap perempuan masih berlangsung. Di samping itu, subordinasi yang diberikan terhadap perempuan 6 menjadikan hak-hak mereka terabaikan. Hal ini Pada COP (Conference of the Parties) 14 di Poznan, strategi REDD+ bertambah di samping untuk mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (dua ketetapan awal REDD), juga sebagai peranan konservasi; pengelolaan hutan secara berkelanjutan; dan sebagai peningkatan cadangan karbon hutan. (http://unfccc.int/resource/docs/2008/sbsta/eng/13.pdf), (diakses 25 April 2012). 7 Menurut laporan penelitian Kebijakan Bank Dunia (2002), kesetaraan gender merupakan inti dari pembangunan, sebagai sebuah tujuan yang harus dicapai demi pembangunan itu sendiri. 8 Fakih, 1996: 67 mengindikasikan, bahwa pembangunan yang tengah berlangsung belum menyentuh semua aspek. Beranjak dari apa yang dikemukakan Shiva (1997: 8), pembangunan yang terjadi saat ini merupakan pembangunan yang timpang. Dikatakan timpang, karena mengabaikan prinsip feminisme, pelestarian dan ekologi. Dalam pembangunan yang timpang, tercipta keterpecahan, di mana dominasi laki-laki atas alam dan perempuan masih menjadi pijakan yang masih kuat. Pada akhirnya, mengakibatkan kekerasan terhadap alam dan kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh Shiva menegaskan bahwa pembangunan yang timpang berarti kematian prinsip feminitas. Keterbelakangan perempuan akan meningkatkan penindasan atas mereka, dan terciptanya krisis ekologi dengan perusakan alam tanpa batas (1997: 6-7). Senada dengan yang diungkap Warren, hal ini mengindikasikan antara manusia dan alam masih terjerat kuat pada adanya suatu hubungan yang penting antara dominasi perempuan dan dominasi alam (Tong, 2010: 360). Munculnya pernyataan bahwa perempuan diidentifikasikan dengan alam, sementara laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan9, menunjukkan superioritas kebudayaan terhadap perempuan dan alam (Ortner via Moore, 1998: 31; Mies via Bhasin, 1996: 47). Lebih jauh lagi Shiva menegaskan bahwa rusaknya alam berkaitan dengan adanya paham androsentrisme, di mana budaya patriarkal masih memegang 9 Berasal dari teori besar, nature dan nurture (Budiman, 1982). peranan sehingga eksploitasi dan dominasi terhadap perempuan dan alam masih cukup kuat. Selama ini perempuan selalu berada di bawah kuasa laki-laki, begitupun yang menimpa alam. Hal ini akibat budaya patriarki masih kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Shiva (1997), yang menyebutkan bahwa alam begitupun perempuan telah terperangkap dalam hubungan dominasi patriarkal, di mana keduanya telah menjadi korban eksploitasi laki-laki. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pandangannya Shiva mengutarakan bahwa untuk menghadapi pembangunan yang timpang harus dihidupkan kembali apa yang disebut dengan prinsip feminin. Dengan demikian, keterkaitan dan keanekaragaman alam akan tetap terjaga karena prinsip ini menentang kekerasan, dominasi, serta perusakan terhadap alam dan perempuan, (1997: 19). Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa penyebab krisis lingkungan bukan sekedar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antropomorfisme, tapi justru secara androsentrisme (cara pandang dan prilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam). Menyikapi hal tersebut, seharusnya perempuan turut serta dalam pembangunan dan mendapat kedudukan, peran dan akses yang sama dalam mengelola sumber daya. Pelibatan perempuan ini pun diharapkan dapat melepaskan perempuan dari perangkap sistem maskulin10, karena pada dasarnya antara perempuan dan laki-laki mempunyai peran masing-masing (Shiva dan Maria Mies, 2005). Tanpa kita sadari bahwa selama ini kehadiran mereka mampu menjaga keseimbangan yang terjadi di dalamnya, begitupun halnya dalam program REDD+. Perempuan mempunyai andil yang cukup besar dalam kelestarian hutan, ketahanan pangan, kelangsungan sumber daya hayati, dan berbagai aktivitas lainnya terkait hutan dengan kearifan lokal11 yang dimiliki, sehingga hutan tetap lestari. Dilibatkannya perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemberian peran yang sama dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu strategi bijaksana dalam pembangunan ini. Tidak hanya itu, pemberian pemahaman yang jelas tentang apa itu deforestasi dan degradasi hutan pada kaum perempuan, akan memperluas pengetahuan mereka tentang pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini akan sangat berguna demi harapan bersama, tentunya dengan tidak mengesampingkan hak-hak mereka. Perempuan sekitar hutan tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang berhubungan dengan hutan. Baginya, hutan merupakan rumah kedua, 10 Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam ekofeminisme adalah mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam (Megawangi, 1999: 191), dalam istilah Shiva disebut “menghidupkan kembali prinsip feminin”. Karena selama ini sistem maskulin telah merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminin, kualitas feminin yang menurut standar maskulin dianggap rendah adalah baik bahkan superior menurut para ekofeminis. 11 Lihat Shiva (1997), di mana perempuan India mampu menjaga kelangsungan keanekaragaman hayati dengan pemanfaatan hutan secara feminin (penggunaan pupuk hijau, memangkas pepohonan di bawah kendali “daur seni memotong” akan meningkatkan produktivitas hutan dalam kondisi stabil). Hal ini berarti perempuan mempunyai kearifan sendiri dalam menjaga hutan (terlepas dari ada/tidaknya inisiatif REDD+). “arena” tempat mencari dan menggali pengetahuan pada sektor publik di samping sebagai “arena” untuk menambah penghasilan ekonomi rumah tangga (misalnya: keterlibatan perempuan petani karet, mengumpulkan kayu bakar, mengambil rotan untuk dijadikan anyaman). Hutan pun merupakan sarana ekspresi mereka, dapat dilihat bagaimana mereka berkreasi membuat suatu kerajinan yang bahan pokoknya berasal dari hasil hutan. Begitupun halnya dengan pengetahuan12 tentang obat dan ramuan-ramuan tradisional. Hutan merupakan “pasar” bagi kaum ibu dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga (pemenuhan akan sayur-mayur, umbi-umbian dan buah-buahan, tentunya sebagai pemenuhan akan kebutuhan makanan pokok)13. Perempuan dan hutan sudah tidak bisa dipisahkan, ibaratnya hutan telah menjadi “belahan jiwa” bagi mereka, karena apa pun yang mereka butuhkan telah disediakan oleh “belahan jiwa” yang bernama hutan. Dengan munculnya REDD+ yang mengharap tidak ada lagi deforestasi dan degradasi hutan, hasil yang ingin dicapai dalam studi ini adalah sejauh manakah para perempuan ikut terlibat dalam pengelolaan program tersebut, terutama yang difasilitasi oleh KFCP (Kalimantan Forests 12 Climate Partnership) sebagai kepanjangan tangan dari Pengetahuan di sini bukan hanya tentang obat-obatan saja sebagaimana tertuang di atas, melainkan banyak hal yang dapat diperoleh dari kehidupan hutan. Senada dengan pandangan Rabindranath tentang arti hutan bagi kehidupan masyarakat India, bahwa hutan merupakan tempat berteduh dan sumber makanan; keterkaitan antara manusia dan alam merupakan sumber ilmu pengetahuan (Shiva, 1997: 70-71). 13 Dapat disaksikan dari aktivitas harian perempuan Kalumpang terkait keterlibatan mereka dalam pengelolaan sumber daya alam. Demonstration Activities REDD+ dengan menyertakan isu kesetaraan gender dalam rangkaian program kerjanya. Studi ini pun berusaha untuk melihat perubahan pranata perempuan terkait peran dan status perempuan, perempuan dengan alam serta relasi gender yang terjadi pasca deforestasi sampai munculnya program-program berdalihkan penyelamatan lingkungan. Dari penuturan di atas akan terlihat kemudian, bagaimana dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat lokal manakala program REDD+ diimplementasikan, terutama pada aktivitas perempuan baik di sektor publik maupun domestik. Sistem budaya dan berbagai peraturan yang ada pada masyarakat hendaknya harus tetap diperhatikan guna keberhasilan implementasi REDD+. 1.2 Rumusan Masalah KFCP merupakan lembaga mitra Indonesia-Australia yang bergerak untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang ada di Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah. Sebagaimana sebuah program pembangunan, KFCP terlahir untuk mewujudkan suatu usaha menuju arah yang lebih baik dalam penyelamatan lingkungan, dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat dan bergender perspektif dalam proses kerjanya. Hal ini sesuai dengan mekanisme REDD+ yang telah mengangkat aspek kesejahteraan rakyat, pengelolaan hutan berkelanjutan, dengan mengharap meningkatnya cadangan karbon hutan di samping dua tujuan awal. Berdasarkan latar belakang yang telah saya paparkan sebelumnya, permasalahan utama yang akan saya bahas dalam penelitian ini adalah peran dan strategi perempuan Kalumpang dalam menghadapi REDD+. Dengan melihat aspek keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan yang difasilitasi oleh KFCP. Untuk mengetahui hal tersebut, persoalan ini dirumuskan dalam pertanyaan berikut: 1) Bagaimana peran dan posisi perempuan Kalumpang dalam REDD+, khususnya yang diselenggarakan oleh KFCP? 2) Bagaimana siasat perempuan Kalumpang dalam menghadapi program REDD+ yang difasilitasi KFCP? 3) Apakah peran dan siasat tersebut sejalan dengan posisi dan peran awal perempuan di Desa Kalumpang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan, yakni untuk melihat perubahan pranata/perilaku perempuan terkait peran dan status mereka dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam memperlakukan alam beserta relasi gender yang terjadi pasca terjadinya deforestasi hingga masuknya program REDD+. Di samping itu, juga untuk mendeskripsikan dan mengetahui sejauh mana peran dan siasat perempuan Kalumpang dalam menghadapi REDD+ dengan melihat aspek keterlibatan mereka dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh KFCP. 1.4 Tinjauan Pustaka Perbincangan tentang persoalan perempuan seakan tiada matinya, terlebih setelah hal ini mengalami variasi warna pada setiap perkembangannya di berbagai belahan dunia. Titik tolak munculnya isuisu yang mengarah pada topik ini, berangkat dari adanya kesadaran para perempuan tentang perlakuan yang dianggap tidak adil dalam berbagai sektor kehidupan. Pada akhir abad ke-18 perjuangan akan hak-hak perempuan pun dimulai, lewat gerakan-gerakan perempuan beserta pemikiran-pemikiran tentang perempuan di Eropa dan Amerika, kemudian lahirlah apa yang disebut feminisme. Pada perkembangannya, paham sekaligus gerakan tersebut melahirkan berbagai corak dan aliran masingmasing14. Sebagai bidang keilmuan yang tertarik pada sudut pandang komparatif, dalam antropologi pun muncul antropologi feminis, meskipun kemunculannya dianggap problematis. Berawal dari perkembangan antropologi wanita tahun 1970-an, lahirlah antropologi feminis kontemporer. Dalam kajiannya, antropologi feminis lebih dari sekedar studi tentang wanita. Antropologi feminis mengupas studi tentang gender, tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki, tentang peran gender dalam membentuk masyarakat, sejarahnya, ideologinya, sitem ekonomi, sampai struktur politik (Moore, 1998). Sebagaimana ulasan Harvey (2009: 14 Di antaranya: feminisme liberal (abad ke-19 hingga abad ke-20), feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikolanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multikultural dan global, serta ekofeminisme (Tong, 2008). 127-142), saat itu para antropolog feminis berupaya mengungkapkan dan memperbaiki bias laki-laki, dengan memberi perhatian pada posisi perempuan seperti yang dilakukan Weiner (1976). Pengaruh antropologi cukup besar dalam diskusi feminis, terutama dalam kajian tingkat dan subordinasi perempuan. Hal ini membuka kerangka penjelasan tentang ketidaksetaraan. Akan tetapi, subordinasi terhadap perempuan masih tetap berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan dan melahirkan dinamika di antara keduanya hingga kini. Pernyataan tersebut didukung oleh melekatnya budaya patriarki Barat yang mendominasi setiap unsur kehidupan, pada gilirannya hal tersebut ikut masuk dan berkembang dalam tatanan masyarakat kita. Hal ini tidak bisa lepas dari adanya dikotomi nature-nurture yang disandangkan pada perempuan dan laki-laki, di mana pembedaannya didasarkan pada fakta biologis dan konstruksi sosial yang ditimpakan kepada kedua jenis kelamin tersebut. Dengan demikian adanya pandangan bahwa perempuan adalah alam, dan alam adalah perempuan telah membatasi ruang gerak dan akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi (keberhasilan kaum perempuan dalam memenuhi ketahanan pangan keluarga lewat pertanian subsistensi), perspektif ekonomi modern patriarki Barat tidak melihatnya sebagai produksi. Meski, di berbagai negara berkembang realitanya para perempuanlah yang terlibat penuh dalam produksi bahan makanan dibanding laki-laki, (Boserup, 1970). Hal ini pula yang membuat kaum perempuan terkungkung dalam kegiatan reproduktif, yang tidak menghasilkan nilai menurut ilmu pengetahuan reduksionis 15. Kajian tentang perempuan seolah tiada habisnya, selalu ada hal menarik yang menjadi sorotan para peneliti untuk tidak melewatkannya dalam rangkaian penelitian yang mereka lakukan. Persoalan antara perempuan dan lingkungan hidup, sudah sejak lama menjadi masalah yang ditanggung perempuan16. Para perempuanlah yang secara langsung menerima dampak dari setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupannya17. Begitupun yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Penelitian mengenai perempuan dan lingkungan tentu telah banyak dilakukan, seperti isu yang diangkat Shiva dengan ekofeminismenya yang menawarkan alternatif untuk keluar dari opresi yang dialami perempuan dengan ideologi feminismenya. Sejauh yang peneliti temukan, tulisan yang mengangkat isu ekofeminisme masih terbatas. Namun demikian, ulasan beserta perkembangannya dapat kita saksikan dalam sajian yang dihidangkan Rosemarie Putnam Tong, (2010) “Ekofeminisme” Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Dalam uraiannya ini, 15 Yang dimaksud reduksionis di sini adalah epistemologi khusus dari adanya revolusi pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan reduksionis ini cenderung memisah-misahkan semua sistem pengetahuan. Dengan adanya ilmu pengetahuan reduksionis telah mengubah kemampuan manusia untuk mengetahui alam, juga mengubah kemampuan alam untuk meregenerasi dan memperbarui diri. Salah satu contoh reduksionisme adalah adanya revolusi hijau, yang uniformitas, menghomogenisasi cara bercocok tanam lewat benih-benih “ajaib” hibrida; juga menyingkirkan segala bentuk pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman hayati yang merupakan prinsip feminin (Shiva, 1997). 16 Simatauw, dkk. (2001). 17 Seperti studi yang dilakukan oleh Gandarsih (1994); Simatauw, dkk. (2001); Shiva (1997 dan 2005); Laksono, dkk. (2002). kita cukup terbantu dengan ulasan yang disajikan Tong tentang ekofeminisme. Mulai dari akar perkembangannya, pemikiran beserta pembagian ekofeminisme dari berbagai perspektif, sampai dengan memunculkan respon dan kritik terhadap perkembangan ekofeminisme. Ekofeminisme yang diangkat Tong dalam kajiannya ini berkiblat pada ekofeminisme sosialis-transformatif. Hal ini terlihat dari adanya keterkaitan antara yang diungkap Tong dengan pandangan Shiva dan Mies, bahwa semua sistem dan struktur opresi saling mengunci dan menguatkan satu sama lain. Tulisan lainnya seperti yang diungkap Vandana Shiva (1997), ia berusaha mengangkat isu perempuan dengan pembangunan dalam bukunya yang berjudul Bebas dari Pembangunan. Di sini Shiva mengungkap berbagai opresi yang ditujukan terhadap perempuan dan alam. Alam begitu juga perempuan telah menjadi sasaran empuk guna terwujudnya monster yang bernama “pembangunan”. Para perempuan bagaimana pun juga tidak dapat melepaskan dirinya dari berbagai program bertemakan pembangunan. Begitupun dengan alam tempat mereka bernaung, telah berubah menjadi sasaran eksploitasi besarbesaran kapitalisme. Hal ini menurut Shiva diakibatkan oleh masih melekatnya ideologi patriarki Barat, di mana ilmu pengetahuan dan pembangunan menjadi suatu proyek negara-negara maju (dominasi ilmu pengetahuan dan model pembangunan ekonomi patriarki kapitalisme industri). Dengan adanya dominasi tersebut telah melahirkan pula terciptanya relasi baru dominasi dan penguasaan manusia atas alam, juga penguasaan atas perempuan18. Jika dikaitkan antara perempuan dan pembangunan berdasarkan pandangan di atas, maka perempuan telah terperangkap pada sistem maskulin dengan segala atribut yang ditimpakan pada tubuh mereka. Untuk menyikapi hal tersebut, diperlukan kajian lebih lanjut guna mengetahui posisi dan kedudukan perempuan yang masih terjebak dalam jaring-jaring dominasi patriarkal. Berdasarkan pemaparan di atas, studi ini ingin mengungkap bagaimana hubungan yang terjadi antara perempuan dengan inisiatif REDD+ (yang merupakan salah satu strategi nasional dalam pembangunan berkelanjutan). Hal ini penulis lakukan sebagai upaya pembuktian atas pandangan Shiva terkait perempuan dan pembangunan. Perempuan dalam pembangunan masih kurang mendapat porsi, hal tersebutlah yang ditemukan Gandarsih (1994), dari penelitiannya yang dilakukan di DAS Boyong dan Sungai Code. Peran perempuan dalam lingkungan masih relatif rendah dibanding pria, selama ini peran reproduksilah yang masih disandang para perempuan. Hal ini sebagai akibat dari partisipasi, akses, dan pengambilan keputusan yang tidak menyertakan perempuan karena selama ini proses penentuan kebijakan 18 Munculnya kehutanan komersial merupakan salah satu produk patriarki Barat yang bersifat reduksionis (memisahkan kehutanan dari pengelolaan air, pertanian dan peternakan), pada akhirnya hanya akan mengubah keanekaragaman hidup menjadi produk mati. Sebagaimana dicontohkan Shiva (1997: 80), kayu hanya akan mempunyai nilai komersial saja. Hal ini mempengaruhi kerusakan ekosistem. Sementara dalam kehutanan feminin, semuanya dikelola berdasarkan keragaman pemanfaatan dan ekosistem yang kompleks (bagi perempuan, hutan di samping produktivitas, hasil, juga mempunyai nilai ekonomi). hanya melibatkan laki-laki. Begitupun halnya dari temuan Simatauw, dkk. (2001), di mana perempuan secara langsung menerima dampak dari setiap perubahan yang terjadi. Faktor pengelolaan lingkungan hidup yang tidak baik, merupakan penyebab terjadinya hal tersebut. Perubahan lingkungan yang terjadi dalam masyarakat Ujungalang pun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Laksono, dkk. (2002) memperlihatkan munculnya strategi yang berpedoman pada kearifan tradisonal perempuan. Strategi tersebut mereka lakukan untuk melanjutkan kelangsungan hidup, akibat sumber daya yang mulai terbatas. Karya tulis ilmiah tentang ekofeminisme dalam bentuk tesis, penulis menemukan tesis yang ditulis Ahmad Sururi mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM tahun 2010 yang berjudul “Pemikiran Ekofeminisme dalam Perspektif Etika Lingkungan: Relevansinya Bagi Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia”. Dalam penelitiannya ini, Sururi lebih fokus pada pemikiran ekofeminisme sebagai etika lingkungan berdasarkan perspektif filsafat, sehingga kajian menarik lainnya tentang yang ditawarkan ekofeminisme tidak muncul. Atas dasar inilah penulis mencoba menggali sejauh mana inisiatif REDD+ 19 yang tengah dijalankan oleh KFCP di Desa Kalumpang Kalimantan Tengah dengan mengangkat isu ekofeminisme dan konsep gender, serta menggunakan metode penelitian etnografis. 19 Sebagaimana sebuah program pembangunan, REDD+ di lain sisi akan merugikan salah satu pihak (terutama perempuan), jika perspektif gender dikesampingkan. Seperti halnya tahun 1979 silam, di mana intervensi pemerintah masuk dalam struktur masyarakat dengan hadirnya UU Pemerintah Desa. Hal tersebut telah menggeser posisi dan kedudukan perempuan Dayak, (Simatauw, 2001). 1.5 Kerangka Konseptual Maksud tulisan ini ingin memaparkan keterkaitan antara alam, perempuan, dan berbagai produk budaya patriarki Barat lewat hegemoni negara (atas kontrol dan kebijakan yang diciptakan) 20. Namun, ketika alam begitu pun perempuan tak sanggup lagi menahan beban yang diderita akibat proses pembangunan yang timpang, tentunya perjuangan kaum perempuan tidak akan berhenti sampai di sini. Banyak cara yang mereka siasati untuk mencoba keluar dari jeruji hegemoni dan dominasi, meski sebagian dari mereka cukup asik menerima tanpa perlawanan. Kajian ini menggunakan konsep gender dalam analisisnya dan pendekatan ekofeminisme. Kedua pendekatan tersebut dimaksudkan untuk melihat strategi perempuan Kalumpang dalam menghadapi program pembangunan dan perubahan lingkungan yang dihadapi. Pada skema yang dibangun, DA-REDD+ KFCP telah menyertakan isu gender dalam rangkaian kegiatan yang ditawarkan. Penyertaan kebijakan responsif gender pun tertuang dalam FPIC 21, dengan tujuan agar semua jenis kelamin dapat terlibat dalam kegiatan KFCP. Hal ini 20 Termasuk program DA-REDD+ yang difasilitasi KFCP. Free (bebas tanpa paksaan), Prior (mendapatkan izin dari masyarakat), Informed (pemberian informasi yang luas dan seimbang), dan Concern (mendapatkan persetujuan dari masyarakat). Akan tetapi hak atas FPIC ini hanya berupa “tameng” yang digunakan KFCP. Hal ini karena seluruh rangkaian kerja yang ditawarkan oleh KFCP telah siap saji, sebelum mereka terjun pada masyarakat. Sehingga, masyarakat hanya tinggal melaksanakan kegiatan saja tanpa dilibatkan dalam proses perumusan/disain program. Hal ini bertentangan dengan konsep FPIC sendiri. 21 berpedoman pada kebijakan afirmatif22 dalam program pembangunan, guna keberhasilan pembangunan itu sendiri. Kebijakan tersebut memberikan kuota untuk keterlibatan perempuan sebesar 30%. Untuk mencapai keberhasilan pembangunan, hanya dengan melibatkan perempuan saja tidak cukup, dibutuhkan hal lain yang mendukung proses tersebut. Dengan demikian, penggunaan konsep gender dan pendekatan ekofeminisme dalam mengupas siasat perempuan Kalumpang dalam program REDD+ diharapkan mampu memecah persoalan yang dihadapi. Berdasarkan pijakan tersebut, dapat diperoleh gambaran sebenarnya yang dibutuhkan oleh sasaran yang dituju. Sehingga proses pembangunan yang dijalankan, dapat menepi pada dermaga tujuan bersama, sesuai cita-cita kemajuan bangsa. 1.5.1 Konsep Gender Konsep gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural terhadap kaum perempuan dan laki-laki (Sadli & Soemarti Patmonodewo, 1995: 70; Fakih, 1996: 8). Pada awal kemunculannya, konsep gender lahir dari kajian studi perempuan, dengan tujuan untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan. Definisi konsep gender di atas mendapat penegasan dari Bemmelen (1995), di mana kategori perempuan dan laki-laki yang telah dikonstruksi secara sosial tersebut pada akhirnya membentuk identitas perempuan dan laki-laki, begitupun 22 Kebijakan yang bertujuan untuk menyebarluaskan akses pada pendidikan/pekerjaan bagi kelompok non-dominan, terutama perempuan. Hal ini untuk mengurangi efek diskriminasi dan untuk mendorong keterwakilan populasi dalam institusi publik. dengan pola-pola perilaku dan kegiatan di antara dua jenis kelamin tersebut terbentuk. Adanya pengertian gender yang lebih mengarah pada konsep jenis kelamin secara biologis telah membawa pandangan dalam masyarakat yang salah kaprah. Hal ini menyebabkan bahwa gender identik dengan jenis kelamin tertentu (perempuan), sehingga yang disorot adalah kaum perempuan semata. Namun dalam konteks ini jika kita bicara soal gender, berarti bicara tentang laki-laki dan perempuan, tentang bagaimana mereka mendapat perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan (sosial). Di sinilah kemudian timbul adanya pandangan „nature-nurture‟, determinisme biologis dan sosial (Sadli, 1995: 70; Budiman, 1982: 2). Secara nature (bawaan/kodrat/alam) yang disebut perempuan adalah orang yang bisa mengandung dan melahirkan; sedangkan secara nurture (sosial/kebudayaan) perempuan itu dicerminkan dalam stereotif yang lemah, pendamping laki-laki, berkutat pada sektor domestik, dll. Skolnick dan Scolnick (1974), menduga bahwa munculnya dikotomi perbedaan ini akibat adanya interaksi antar faktor-faktor biologis dan faktor-faktor sosiokultural (dalam Budiman, 1982). Dalam perspektif gender, jenis kelamin adalah status, dan karenanya seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin tertentu memiliki peran-peran tertentu yang berbeda dengan peran jenis kelamin lainnya. Levy dalam Sajogyo (1983) menyebutnya dengan istilah diferensiasi peran. Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki adalah seseorang yang mempunyai peran tertentu karena status kelaki-lakiannya. Peran tidaklah statis, dan hubungannya bisa berbeda secara lintas budaya dalam kurun waktu berbeda (Sadli, 1995: 73). Peran tersebut mengantarkan pada suatu interaksi sosial yang kompleks yang masih diperkuat oleh bahasa yang digunakan, inilah yang disebut sebagai hubungan gender (Sadli, 1995: 72). Dengan demikian, adanya pembagian peran berdasarkan jenis kelamin mengantarkan pada munculnya dikotomi privat/publik, dan berdampak pada berbagai hal yang dikategorikan pas untuk perempuan. Pemaparan di atas, mengantarkan pada munculnya perbedaan gender. Perbedaan gender ini kemudian melahirkan berbagai ketidakadilan dalam prosesnya, secara saling terhubung satu-sama lain. Hal ini termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi; subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik; pembentukan stereotif (pelabelan negatif); kekerasan (violence); beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden); dan sosialisasi ideologi nilai peran gender, (Fakih, 1995: 12-13). 1.5.2 Peran Peran merupakan bagian yang kita mainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Itulah definisi peran yang diutarakan oleh Wolfman (1989) yang diambilnya dari istilah teater, di mana setiap orang mempunyai perannya masing-masing dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kelompok-kelompok masyarakat. Peran merupakan bagian hidup manusia, beberapa peran ada yang kita warisi dan ada pula yang kita ciptakan bersamaan dengan munculnya pekerjaan kita. Tingkah laku yang selaras dengan peran-peran itu diwariskan lewat tradisi keluarga yang berkaitan dengan nilai-nilai kelompok kesukuan, tradisi keagamaan dan golongan ekonomi. Harapan-harapan akan peran dan tingkah laku itu diperoleh melalui apa yang dikatakan dan dilakukan orang atau melalui pengajaran formal dan nonformal tentang kebudayaan (Wolfman, 1989: 12). Peran juga berarti pola perilaku yang ditentukan bagi seorang yang mengisi kedudukan tertentu (Sarbin dalam Sadli dan Soemarti Patmonodewo, 1995). Sugihastuti dan Siti Hariti (2007), menambahkan bahwa yang dimaksud dengan peran adalah perilaku seseorang yang sudah terpola, menyangkut hak dan kewajiban, berhubungan dengan status pada kelompok tertentu dan situasi sosial yang khas, bersifat dinamis dan terkait dengan kekuasaan ataupun uang. Adapun yang dimaksud peran gender, yakni dalam hal pembagian peran (kerja), baik secara fisik maupun emosional. Pembagian kerja dapat juga berarti pembagian nilai, dalam oposisi peran gender tradisional terdapat suatu diferensial di mana laki-laki memiliki kekuatan kemasyarakatan yang lebih besar (akses, kontrol, kekuatan dan pengaruh pada posisi publik); sementara perempuan pengaruhnya lebih condong pada wilayah domestik dan non publik (Sugihastuti, 2007: 54). Sedangkan pada masyarakat Barat, pembagian kerja tergender sangat berhubungan dengan alokasi fungsi perempuan di wilayah domestik atau privat dan alokasi kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki. Celakanya, banyak orang yang mengkorelasikan pembagian model kerja seperti ini dengan peran reproduksi. Dalam hal ini perempuan disuguhkan pada kenyataan yang harus menanggung segalanya (dalam konteks domestik). Dengan begitu, peran gender berarti peran antara perempuan dan laki-laki yang sudah terbagi-bagi dalam konteks tertentu, dan dalam wilayah lingkungan dan budaya tertentu pula. Artinya peran gender ini pada suatu lingkungan atau budaya tertentu, tidak akan sama dengan lingkungan atau budaya lain di luar budaya seorang perempuan atau lakilaki tersebut tinggal dan melaksanakan perannya sesuai konstruksi yang telah disepakati pada suatu masyarakat. Tiga aspek pembagian peran23 pokok dalam pengkajian peran perempuan, di antaranya: 1) Peran produktif, merupakan peran yang menyangkut kegiatan yang langsung menyumbang pendapatan keluarga tanpa melihat apakah kegiatan tersebut dibayar atau tidak. 2) Peran reproduktif, yakni peran yang menyangkut kelangsungan hidup manusia dan keluarga (melahirkan, memelihara, dan mengasuh anak; memasak; mencuci; membersihkan rumah, dll.). 23 Lihat dalam Wanita dan Pembangunan 3) Peran sosial, mencakup kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan keluarga, tetapi juga pada komunitasnya (peran perempuan dalam PKK, Arisan, Yaasinan, SPP (Simpan Pinjam Perempuan), dll.). 1.5.3 Analisis Gender Analisis gender merupakan suatu cara untuk mengetahui secara tepat, lengkap, dan menyeluruh tentang kedudukan dan peran perempuan dalam pembangunan di segala bidang, serta untuk mengidentifikasi permasalahan dalam hubungan gender (Achmad dalam Ihromi, 1995). Hal-hal yang bisa dianalisis adalah partisipasi, akses, kontrol, manfaat dan dampak dalam konteks pembangunan bagi perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut, Achmad memaparkan tentang manfaat yang bisa dilihat dari analisis gender, di antaranya untuk: 1) Menunjukkan peran reproduktif perempuan sebagai hal yang penting bagi peran produktif keluarga, di samping pentingnya bagi peran ekonomi perempuan; 2) Mengungkapkan profil aktivitas24; 3) Mengungkapkan secara nyata siapa yang mendapatkan apa (profil akses dan profil kontrol25); 24 Profil aktivitas, yakni: 1) pendefinisian pekerjaan apa yang dilakukan pada satu komunitas, dan siapa perempuan/laki-laki (orang dewasa, orang tua, anak-anak) yang membuat pembagian data berdasarkan pembagian kerja berkesetaraan gender di dalam rumah tangga dan komunitas; 2) pengambilan data mengenai apa sebenarnya yang dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, (Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194). 4) Mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang menghambat atau mendorong kelangsungan hidup dan kehidupan perempuan dan laki-laki; 5) Menggarisbawahi keperluan perencana akan data yang terinci menurut jenis kelamin pada tingkat rumah tangga guna menantukan kebutuhan; 6) Melihat betapa pentingnya pengelola proyek-proyek mengerti peran “gender”, agar dapat secara tepat menentukan masukan diintervensi yang dibutuhkan; 7) Melihat bahwa proyek-proyek yang tidak mempunyai pengertian “gender” pada akhirnya kurang berhasil dalam penyampaian dan efektivitas. 1.5.4 Pendekatan Ekofeminisme Ekofeminisme lahir karena manusia dihadapkan pada kondisi ekologi yang kian terpuruk26. Bersamaan dengan itu sebuah karya feminis asal Prancis, Francoise d‟Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort (1974) telah menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan akan potensi kaumnya untuk melakukan sebuah revolusi lingkungan 25 dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Menurutnya, Profil akses, merupakan pengungkapan sumber daya-sumber daya apa yang dapat diperoleh, dimiliki dan dinikmati oleh perempuan dan laki-laki; profil control, mengungkapkan bagaimana perempuan dan laki-laki berperan sebagai pengambil keputusan atau penentu dalam penggunaan sumber daya, (Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194-195). 26 Kebocoran ozon, pemanasan global, cagar alam liar, peternakan, konservasi energi (Tong, 2010: 361). terdapat hubungan langsung antara penindasan atas perempuan dan eksploitasi terhadap alam (Tong, 2010: 366). Ekofeminisme merupakan kajian yang berusaha mengangkat hubungan antara semua bentuk opresi manusia, dengan fokus pada perempuan dan alam. Menurut Tong (2010: 359), dalam ekofeminisme terdapat hubungan konseptual, simbolik dan linguistik antara feminis dan ekologi. Hal tersebut dikarenakan bahwa secara kultural perempuan selalu dikaitkan dengan alam. Terdapat beberapa asumsi dasar dari ekofeminisme menurut Warren, sebagaimana dikutip Tong (2010: 366), bahwa ada keterkaitan penting untuk dipahami antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Perspektif ekologi harus digunakan dalam teori dan praktik feminis, begitupun pemecahan masalah ekologi harus disertai dengan perspektif feminis. Dengan demikian, merunut pandangan Warren begitu halnya Shiva27, dalam mengkaji perspektif ekofeminisme ini di dalamnya terjadi suatu kolaborasi antara ekologi dan feminisme, artinya kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja akan tetapi penggabungan dari keduanya. Dalam awal pengutaraannya, Shiva melihat ilmu pengetahuan modern sebagai ilmu yang mereduksi berbagai pengetahuan. Hadirnya ilmu pengetahuan modern telah menjadi kekuatan pembebas yang bukan saja untuk manusia, namun untuk manusia secara keseluruhan (dominasi 27 Shiva dan Maria Mies (2005), bahwa ekofeminisme merupakan suatu keterkaitan dan keseluruhan dari teori dan praktik. Hal ini menuntut kekuatan khusus dan integritas dari setiap unsur hidup. kepentingan Barat, male oriented, dan proyek patriarkal yang memungkinkan untuk melakukan penaklukan baik terhadap alam maupun terhadap perempuan). Senada dengan hal tersebut, Warren (1996) menambahkan bahwa ekofeminisme pada tataran ekologi berarti sebuah teori dan gerakan etika lingkungan yang ingin mendobrak etika pada umumnya, yakni bersifat androsentrisme (etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki). Androsentrisme inilah yang kemudian menjadi bahan kritik ekofeminisme. Lebih lanjut, Warren (dalam Tong, 2010: 359-360) berpendapat bahwa logika konseptual androsentrisme yang menindas memiliki tiga ciri utama, yakni: (1) berpikir nilai secara hierarkis (menempatkan nilai dan status yang lebih tinggi pada pihak yang dianggap lebih tinggi); (2) dualisme nilai, melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia versus alam); dan (3) logika dominasi, yakni struktur dan cara berfikir yang membenarkan dominasi dan subordinasi. Carolyn Merchant dalam bukunya The Death of Nature (1983), yang dikutip oleh Shiva dan Maria Mies (2005: 49) membuktikan bahwa “semua ilmu modern, pada dasarnya mengacu akan pengrusakan dan penguasaan atas alam sebagai sebuah organisme yang hidup, organisme tersebut dimaknai sebagai perempuan”. Lebih jauh dari itu, dominasi lakilaki atas perempuan juga ditimpakan terhadap alam yang kemudian menjadi salah-satu sebab dari krisis lingkungan. Krisis lingkungan inilah yang bagi ekofeminisme disebabkan karena cara pandang yang androsentrisme. Kelebihan ekofeminisme bukan hanya karena ekofeminisme mampu menerangkan latar belakang subordinasi perempuan, tetapi juga latar belakang kerusakan lingkungan hidup global. Ekofeminisme juga melihat tentang masalah sosial, kultural dan struktural yang merupakan dominasi cukup kuat dalam relasi antar kelompok manusia, yaitu ras, etnik, negara, bangsa, agama, gender. Relasi antar manusia dengan alam lingkungannya seringkali mengakibatkan penderitaan bagi manusia itu sendiri (misalnya akibat perang, maupun kehancuran lingkungan hidup). Para penganut ekofeminisme melihat dominasi patriarkis laki-laki terhadap perempuan sebagai bentuk dasar semua dominasi dan eksploitasi bentuk-bentuk bersifat hierarkis, militeristik, kapitalis, industrialis, Capra (2001: 20). Eksploitasi terhadap alam, secara khusus berjalan bersamaan dengan eksploitasi terhadap perempuan. Ekofeminisme menggambarkan betapa semangat feminitas sangat berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian bumi, tempat manusia perempuan maupun laki-laki hidup. Ekofeminisme dengan sangat baik juga mampu menerangkan betapa hipermaskulinisme ternyata juga berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem. Akibatnya, ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan bahwa kesetaraan gender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Jika alam lingkungan rusak, semua manusia (laki-laki maupun perempuan) akan merasakan dampaknya. Sebaliknya, jika alam lingkungan lestari dan terjaga, maka semua manusia pun akan menikmati kesejahteraan. Dalam ekofeminisme juga diperkenalkan konsep “persamaan dalam keragaman” (equality in diversity)28, yang berbeda dengan equality feminisme eksistensialisme yang memakai standar maskulin (Megawangi, 1999: 191). Ekofeminisme mempunyai anggapan bahwa krisis lingkungan sekarang ini pada dasarnya berakar dari kesalahan perilaku manusia dan kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan hubungan manusia dengan keseluruhan alam semesta. Krisis lingkungan hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan fundamental pada cara pandang dan perilaku manusia. Ekofeminisme merupakan sebuah bentuk telaah etika lingkungan yang ingin menggugat dan mendobrak cara pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern. Di samping itu, ekofeminisme menawarkan sebuah cara pandang dan perilaku baru untuk mengatasi krisis lingkungan saat ini yang semakin mengkhawatirkan bagi kehidupan manusia dan masa depan lingkungan hidup (dengan prinsip feminitas). Ekofeminisme pun melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari adanya saling ketergantungan antara individu dalam sebuah sistem (Megawangi, 1999: 189). Ekofeminisme juga menawarkan 28 Konsep yang diperkenalkan oleh Vandana Shiva. cara pandang yang holistik, pluralistik, dan inklusif, yang lebih memungkinkan laki-laki dan perempuan membangun relasi setara untuk mencegah kekerasan dan menjaga alam lingkungan tempat mereka hidup. Pemulihan prinsip feminin merupakan jawaban atas semakin mengkhawatirkannya kondisi lingkungan hidup yang terus-menerus dieksploitasi oleh sifat maskulin demi keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan kelangsungan hidup manusia dan alam. Menerapkan prinsip feminin dalam kehidupan sehari-hari merupakan alternatif yang bisa dipilih untuk kehidupan yang lebih seimbang. Hal ini karena prinsip feminin lebih mengedepankan sikap penghargaan atas alam dan kehidupan dengan cara memelihara, mengasuh, cinta kasih dan kebersamaan. Pada akhirnya segala kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Pemanasan global sebagai dampak dari berubahnya pola iklim dunia, merupakan salah satu krisis lingkungan yang mulai terasa di berbagai sudut belahan dunia. Hal tersebut merupakan akibat dari perilaku manusia yang berlebihan dan eksploitasi lingkungan yang tidak mengindahkan prinsip feminitas. Oleh sebab itu, diperlukan penerapan model baru sebagai kunci untuk menghentikan semua praktik dan sistem yang mengancam kelangsungan hidup bumi. Model baru tersebut, yakni dengan menerapkan gaya hidup perspektif subsistensi yang bersumber dari prinsip etika ekofeminisme. Begitupun halnya dalam implementasi skema REDD+ nanti. 1.6 Metode Penelitian Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dari bulan September 2012 hingga Desember 2012 pada masyarakat Dayak Ngaju yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Kapuas. Tepatnya di Desa Kalumpang Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Tulisan dengan judul “Mengembalikan Parak Kayu: Siasat Perempuan Kalumpang Menghadapi Program REDD+” ini, berusaha melihat sejauh mana keterlibatan kaum perempuan dalam program-program yang diselenggarakan oleh KFCP. Juga ingin menangkap strategi yang mereka lakukan pasca DA-REDD+ KFCP masuk dalam kehidupan perempuan Kalumpang. Sebelum turun langsung ke Desa Kalumpang, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari informasi mengenai daerah mana saja yang saat ini tengah melangsungkan kegiatannya dalam program REDD+. Atas saran dan masukan dari berbagai instansi Pemerintah maupun Lembaga Non Pemerintah yang saya kunjungi, akhirnya saya memilih Desa Kalumpang. Desa ini merupakan salah satu dari tujuh desa yang dijadikan pilot project dan masuk dalam wilayah kerja KFCP (Kalimantan Forests Climate Partnership), atau Kemitraan Hutan Kalimantan dan Perubahan Iklim. Suatu lembaga mendemonstrasikan cara kerjasama yang kredibel, Indonesia-Australia adil, dan efektif yang dalam mengurangi emisi karbon dari deforestrasi dan degradasi hutan 29. Dalam program kerjanya, KFCP melibatkan masyarakat yang berada di wilayah kerjanya tersebut (lima desa di Kecamatan Mantangai, yakni Mantangai Hulu, Kalumpang, Katimpun, Sei Ahas, Katunjung dan dua desa di Kecamatan Timpah, yakni Petak Puti dan Tumbang Muroi). Observasi saya lakukan sejak dalam perjalanan dari Desa Mantangai Hilir hingga tiba di Desa Kalumpang. Observasi dilakukan dengan cara mencatat, membuat sketsa dan melalui dokumentasi. Untuk memperoleh data secara komprehensif, observasi partisipasi saya lakukan dalam penelitian ini guna memperoleh informasi mengenai persoalan yang saya perlukan. Berbagai aktivitas masyarakat saya ikuti (terutama kegiatan kaum perempuan), mulai dari bangun dini hari hingga tidur larut malam. Kegiatan harian kaum perempuan, seperti mamantat (menyadap getah karet), mencari kayu bakar, mencari rotan, mengurus hewan peliharaan, saya ikuti. Begitupun jika ada pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan KFCP dan PNPM-MP, saya turut hadir. Termasuk mengasuh anak, yang ketika itu, mamanya pergi empat hari untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Satgas REDD+ di Palangkaraya. Saya pun berkesempatan untuk ikut nugal (menanam padi ladang), karena kebetulan saat penelitian berlangsung sedang masuk musim nugal. 29 KFCP Design. Pada awalnya saya merasa kesulitan untuk bisa langsung masuk dalam kehidupan para perempuan Kalumpang. Namun, perlahan saya coba mendekati dengan ikut bergabung saat mereka sedang berkumpul sore hari, atau biasa ikut nongkrong saat warung mulai ramai dikunjungi warga. Di samping itu, sebagian masyarakat merasa heran dan agak tertutup ketika saya minta ikut mereka pergi ke kebun atau mengikuti pertemuan-pertemuan KFCP. Namun setelah terbiasa, akhirnya mereka sendiri yang menawarkan pada saya untuk ikut terlibat dalam aktivitas mereka, terutama kaum ibu. Di sela istirahat mamantat, atau saat ngelonin anaknya bahkan tak canggung mereka curhat tentang KDRT, perselingkuhan dan permasalahan keluarga lainnya. Juga tentang kesehatan, dan pendidikan anak-anak hingga persoalan yang sering muncul di desa, terutama sejak berdatangan program-program yang melibatkan warga. Kajian pustaka dilakukan sebagai pencarian data sekunder guna mendukung proses penelitian yang dilaksanakan, terutama untuk mengetahui luas wilayah penelitian, dan data demografi lainnya. Meskipun begitu, wawancara terhadap orang-orang tua pun tetap dilakukan guna memperoleh informasi mengenai sejarah kampung dan perubahannya, di samping wawancara mendalam terhadap informan kunci. Semua informasi diperoleh dari hasil merekam, mencatat, menyimak, mengamati dan mengabadikan menggunakan kamera. Agar informasi yang telah terkumpul tidak lekas hilang, pada malam harinya saya pindahkan lewat komputer atau hanya dalam buku catatan saja karena kendala listrik yang sering padam30. Proses analisis data dilakukan sejak selama pengumpulan data berlangsung. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi, dianalisis, diinterpretasi dan dideskripsikan secara terus menerus sesuai dengan topik, tema dan sub-sub tema dari permasalahan penelitian. Rangkaian makna yang menjadi satuan pengetahuan atau sistem budaya, ditemukan setelah melewati keseluruhan kegiatan analisis. Begitupun kesimpulan analisis dan representasi dari kegiatan penelitian yang dilakukan, diperoleh pada tahap analisis (Spradley, 2007: 132-133). 30 Saat penelitian berlangsung, baterai laptop saya rusak sehingga untuk menyalakannya harus didukung oleh aliran listrik.