BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deskripsi di

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
“...toott…tooottt… mesin alkun1 hilir-mudik hanya terdengar suaranya
saja. Pagi itu tepian Sungai Kapuas tidak lagi terlihat, tertutup balutan
asap tebal sisa pembakaran kemarin. Walaupun demikian, sebagian
masyarakat yang sudah kontrak ngupah dan bayar handep2 tetap harus
pergi ke ladang untuk melaksanakan tugasnya. Seorang bapak berkata
pada saya, “…Ya beginilah Mbak, cara orang tuha3 kami dulu mengelola
lahan pertanian, tebas, tebang, bakar, baru tanam. Hingga kini pun kami
masih menjalankan warisan tersebut…”, (data harian, 12 Oktober 2012).
Deskripsi di atas menunjukkan, bahwa tingkat polusi udara di Desa
Kalumpang masih cukup tinggi, terlebih jika sudah memasuki musim
kemarau dan periode pembakaran lahan untuk pertanian tiba. Hampir
setiap hari asap tebal menyelimuti kawasan Desa Kalumpang. Kondisi ini
telah
menjadi
sorotan
banyak
pihak,
yang
berakhir
pada
pengkambinghitaman kaum petani. Jika kita telisik lagi lebih dalam, fakta
menunjukkan para petani Dayak Ngaju mempunyai kearifan dalam hal
membakar lahan yang akan dijadikan areal pertanian. Kearifan tersebut
dalam bentuk pola atau sistem sekat bakar untuk mencegah penyebaran
api. Di samping itu, tata kelola yang menghentikan aktivitas lahan dalam
beberapa waktu (masa bera), atau istilah lainnya “peremajaan kembali
lahan” masih menjadi andalan mereka.
1
Alat transportasi sungai berupa perahu kecil yang dioperasikan menggunakan mesin.
Gotong royong, dalam hal pertukaran tenaga kerja.
3
Tuha = tua (bahasa Banjar).
2
Perilaku petani Dayak Ngaju sebagaimana telah diulas secara
singkat,
kadang
kala
kepentingan mereka.
dimanfaatkan
oleh
beberapa
pihak
untuk
Tuduhan-tuduhan terkait kebakaran hutan selalu
ditujukan kepada kaum tani Dayak Ngaju. Tanpa ditelusuri kembali siapa
dalang sebenarnya dalam kebakaran hutan4. Hal ini membuat eksistensi
petani ladang termarginalkan sekaligus dilematis. Di satu sisi, mereka
harus menyambung tradisi leluhurnya dalam mengelola lahan yang sudah
turun-temurun mereka kuasai, demi melanjutkan hidup. Pada sisi lain, apa
yang dilakukan kaum tani Dayak Ngaju telah menyebabkan mereka
menjadi korban kekerasan, dengan tidak didengar aspirasinya. Mereka
dengan terang-terangan meminta pelatihan tentang sistem pengelolaan
lahan tanpa bakar5. Dalam upaya merubah tradisi tersebut, petani Dayak
Ngaju mengalami permasalahan dengan pihak eksternal.
Permasalahan yang dihadapi kaum tani, tidak bisa lepas dari
kegiatan mereka dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam,
perubahan tata guna lahan dan keterlibatan dalam proses industrialisasi
yang dilakukan oleh pihak eksternal. Dalam konteks penelitian ini, aktivitas
tersebut dapat dipandang memiliki kontribusi dalam memacu peningkatan
4
Sebagian berpendapat bahwa terjadinya kebakaran hutan, akibat salah satu warga yang sedang
mencari ikan membuang puntung rokok sembarangan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh KFCP, ditemukan bahwa ada pihak lain (seperti perkebunan kelapa sawit) yang
menyebabkan terbakarnya lahan di samping faktor suhu udara. Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Tengah pun kini mulai kewalahan dalam memadamkan api yang tiba-tiba menjalar di
sepanjang kawasan eks PLG (antara Palangkaraya-Pulang Pisau), berbagai bantuan datang dari
lembaga-lembaga swasta dalam menanggapi masalah kebakaran yang kerap terjadi (seperti
Satgas REDD+ dan KFCP melalui Tim Fire Management-nya), pihak desa pun mempunyai
Kelompok Masyarakat Pengendali Kebakaran (KMPK) dan regu Pengendali Kebakaran (RPK).
5
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Gapoktan; Ketua Handel; dan Ketua TPK.
pembuangan karbon. Pada lingkup yang lebih luas, akibat aktivitas ini,
hutan dan gambut habis. Indonesia pun akhirnya turut menyumbang emisi
karbon yang tidak sedikit. Hal inilah yang menyebabkan bumi tempat kita
berpijak mengalami pemanasan di tiap penjurunya, bahkan telah
membuat pola iklim dunia ikut berubah (UNDP, 2007: 3-4).
Meningkatnya temperatur global yang berakibat pada perubahan
iklim, telah mengundang kesadaran publik akan pentingnya pengendalian
faktor-faktor yang memicu pemanasan global. Hal ini telah mendorong
terselenggaranya suatu konvensi tentang perubahan iklim pada tahun
2005 di Montreal. Konvensi ini telah menghasilkan kesepakatan tentang
kewajiban
pengurangan
emisi.
Terkait
dengan
konvensi
tentang
perubahan iklim tersebut, keterlibatan Indonesia dimulai pada Rencana
Aksi Bali tahun 2007 dan dilanjutkan dengan ikrar Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada G 20 di Pittsburgh AS tahun 2009. Indonesia
berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen sampai
41 persen pada tahun 2020 dengan bantuan internasional (Cifor, 2012:
28). Selanjutnya pada Mei 2010 dibentuk Satuan Tugas REDD+, sebuah
badan ad hoc yang melapor langsung kepada Presiden. Tahun 2011
pemerintah menerbitkan moratorium selama dua tahun atas hak
pengusahaan hutan baru berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun
2011. Tujuan moratorium adalah untuk perbaikan tata kelola dan
penegakan hukum.
Menurut konvensi perubahan iklim di Montreal tahun 2005, semua
negara mempunyai kontribusi terhadap pemanasan global, dengan
perbandingan 20 persen bagi negara-negara berkembang dan 80 persen
dari negara industri maju. Salah satu langkah yang dilakukan Indonesia
adalah dengan turut serta dalam penyelenggaraan inisiatif REDD+.
Pengintegrasian mekanisme REDD+ dalam strategi nasional, merupakan
salah satu tujuan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat
miskin, khususnya skenario penciptaan lapangan kerja. Di samping itu, isu
konservasi
lahan
hutan
dimaksudkan
untuk
menciptakan
pola
pertumbuhan ekonomi berbasis strategi rendah karbon. Diterapkannya
strategi ini, diharapkan bumi dan segala yang terdapat di dalamnya lestari
(Zulkifli dalam Cifor, 2012: 29-32). Dengan demikian, adanya skema
REDD+ ini, di samping sebagai mitigasi dalam menghadapi perubahan
iklim, juga diharapkan mampu menciptakan nuansa baru bagi masyarakat
dalam pengelolaan hutan.
REDD+ merupakan skema global terkait aksi penyelamatan
lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim. Inisiatif ini ditawarkan
kepada negara-negara berkembang dalam menanggapi isu-isu terkait
deforestasi dan degradasi hutan. Bagi negara-negara yang mampu
melaksanakan dan melestarikan hutan beserta cadangan karbonnya,
akan diberi insentif melalui konversi karbon.
Istilah REDD+ mulai diperkenalkan dalam Subsidiary Body for
Scientific and Technological Advice (SBSTA) sesi 29 UNFCCC COP 14 di
Poznan, Polandia pada Desember 20086. Dalam implementasinya, inisiatif
REDD+ ini masih menyimpan teka-teki terkait siapa saja yang berhak
mendapat insentif tersebut, juga mengenai bagaimana mekanisme kerja
yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam memeratakan pengelolaan
yang berbasis kesetaraan gender 7.
Pelibatan kaum perempuan dalam pembangunan harus mendapat
perhatian, terutama dalam pengelolaan hutan. Selama ini perempuan
kurang
diikutsertakan
dalam
proses
pembangunan.
Penyertaan
perempuan dalam kebijakan REDD+ merupakan penawaran yang harus
disambut baik oleh berbagai pihak. Akan tetapi, hal tersebut perlu
dicermati
ulang.
Bercermin
dari
beberapa
kebijakan
yang
telah
mengangkat isu gender, ditemukan bahwa keterlibatan perempuan hanya
dijadikan “politik aktor” oleh pihak-pihak tertentu. Di samping itu, tujuan
pengintegrasian perempuan, tidak memberikan pilihan dan suara
sebenarnya
dari
harapan
kaum
perempuan8.
Dengan
demikian,
perempuan tetap menjadi objek dari kebijakan yang diciptakan. Bias
gender pun semakin tampak, di mana opresi terhadap perempuan masih
berlangsung. Di samping itu, subordinasi yang diberikan terhadap
perempuan
6
menjadikan
hak-hak
mereka
terabaikan.
Hal
ini
Pada COP (Conference of the Parties) 14 di Poznan, strategi REDD+ bertambah di samping untuk
mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (dua ketetapan awal REDD), juga sebagai
peranan konservasi; pengelolaan hutan secara berkelanjutan; dan sebagai peningkatan cadangan
karbon hutan. (http://unfccc.int/resource/docs/2008/sbsta/eng/13.pdf), (diakses 25 April 2012).
7
Menurut laporan penelitian Kebijakan Bank Dunia (2002), kesetaraan gender merupakan inti
dari pembangunan, sebagai sebuah tujuan yang harus dicapai demi pembangunan itu sendiri.
8
Fakih, 1996: 67
mengindikasikan, bahwa pembangunan yang tengah berlangsung belum
menyentuh semua aspek.
Beranjak
dari
apa
yang
dikemukakan
Shiva
(1997:
8),
pembangunan yang terjadi saat ini merupakan pembangunan yang
timpang. Dikatakan timpang, karena mengabaikan prinsip feminisme,
pelestarian dan ekologi. Dalam pembangunan yang timpang, tercipta
keterpecahan, di mana dominasi laki-laki atas alam dan perempuan masih
menjadi pijakan yang masih kuat. Pada akhirnya, mengakibatkan
kekerasan terhadap alam dan kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh
Shiva menegaskan bahwa pembangunan yang timpang berarti kematian
prinsip feminitas. Keterbelakangan perempuan akan meningkatkan
penindasan atas mereka, dan terciptanya krisis ekologi dengan perusakan
alam tanpa batas (1997: 6-7). Senada dengan yang diungkap Warren, hal
ini mengindikasikan antara manusia dan alam masih terjerat kuat pada
adanya suatu hubungan yang penting antara dominasi perempuan dan
dominasi alam (Tong, 2010: 360).
Munculnya pernyataan bahwa perempuan diidentifikasikan dengan
alam,
sementara
laki-laki
diasosiasikan
dengan
kebudayaan9,
menunjukkan superioritas kebudayaan terhadap perempuan dan alam
(Ortner via Moore, 1998: 31; Mies via Bhasin, 1996: 47). Lebih jauh lagi
Shiva menegaskan bahwa rusaknya alam berkaitan dengan adanya
paham androsentrisme, di mana budaya patriarkal masih memegang
9
Berasal dari teori besar, nature dan nurture (Budiman, 1982).
peranan sehingga eksploitasi dan dominasi terhadap perempuan dan
alam masih cukup kuat.
Selama ini perempuan selalu berada di bawah kuasa laki-laki,
begitupun yang menimpa alam. Hal ini akibat budaya patriarki masih kuat
dalam kehidupan masyarakat kita. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
pandangan Shiva (1997), yang menyebutkan bahwa alam begitupun
perempuan telah terperangkap dalam hubungan dominasi patriarkal, di
mana keduanya telah menjadi korban eksploitasi laki-laki. Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam pandangannya Shiva mengutarakan bahwa
untuk menghadapi pembangunan yang timpang harus dihidupkan kembali
apa yang disebut dengan prinsip feminin. Dengan demikian, keterkaitan
dan keanekaragaman alam akan tetap terjaga karena prinsip ini
menentang kekerasan, dominasi, serta perusakan terhadap alam dan
perempuan, (1997: 19).
Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa penyebab krisis lingkungan
bukan sekedar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang
antropomorfisme, tapi justru secara androsentrisme (cara pandang dan
prilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi
terhadap alam). Menyikapi hal tersebut, seharusnya perempuan turut
serta dalam pembangunan dan mendapat kedudukan, peran dan akses
yang sama dalam mengelola sumber daya. Pelibatan perempuan ini pun
diharapkan dapat
melepaskan perempuan dari perangkap sistem
maskulin10, karena pada dasarnya antara perempuan dan laki-laki
mempunyai peran masing-masing (Shiva dan Maria Mies, 2005). Tanpa
kita sadari bahwa selama ini kehadiran mereka mampu menjaga
keseimbangan yang terjadi di dalamnya, begitupun halnya dalam program
REDD+.
Perempuan mempunyai andil yang cukup besar dalam kelestarian
hutan, ketahanan pangan, kelangsungan sumber daya hayati, dan
berbagai aktivitas lainnya terkait hutan dengan kearifan lokal11 yang
dimiliki, sehingga hutan tetap lestari. Dilibatkannya perempuan dalam
pengelolaan sumber daya alam dan pemberian peran yang sama dalam
menyelesaikan masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu strategi
bijaksana
dalam
pembangunan
ini.
Tidak
hanya
itu,
pemberian
pemahaman yang jelas tentang apa itu deforestasi dan degradasi hutan
pada kaum perempuan, akan memperluas pengetahuan mereka tentang
pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini akan sangat berguna demi harapan
bersama, tentunya dengan tidak mengesampingkan hak-hak mereka.
Perempuan sekitar hutan tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang
berhubungan dengan hutan. Baginya, hutan merupakan rumah kedua,
10
Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam ekofeminisme adalah mengembalikan identifikasi
perempuan dengan alam (Megawangi, 1999: 191), dalam istilah Shiva disebut “menghidupkan
kembali prinsip feminin”. Karena selama ini sistem maskulin telah merusak dan menutupi nilai
sakral kualitas feminin, kualitas feminin yang menurut standar maskulin dianggap rendah adalah
baik bahkan superior menurut para ekofeminis.
11
Lihat Shiva (1997), di mana perempuan India mampu menjaga kelangsungan keanekaragaman
hayati dengan pemanfaatan hutan secara feminin (penggunaan pupuk hijau, memangkas
pepohonan di bawah kendali “daur seni memotong” akan meningkatkan produktivitas hutan
dalam kondisi stabil). Hal ini berarti perempuan mempunyai kearifan sendiri dalam menjaga
hutan (terlepas dari ada/tidaknya inisiatif REDD+).
“arena” tempat mencari dan menggali pengetahuan pada sektor publik di
samping sebagai “arena” untuk menambah penghasilan ekonomi rumah
tangga (misalnya: keterlibatan perempuan petani karet, mengumpulkan
kayu bakar, mengambil rotan untuk dijadikan anyaman). Hutan pun
merupakan sarana ekspresi mereka, dapat dilihat bagaimana mereka
berkreasi membuat suatu kerajinan yang bahan pokoknya berasal dari
hasil hutan. Begitupun halnya dengan pengetahuan12 tentang obat dan
ramuan-ramuan tradisional. Hutan merupakan “pasar” bagi kaum ibu
dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga (pemenuhan akan
sayur-mayur,
umbi-umbian
dan
buah-buahan,
tentunya
sebagai
pemenuhan akan kebutuhan makanan pokok)13. Perempuan dan hutan
sudah tidak bisa dipisahkan, ibaratnya hutan telah menjadi “belahan jiwa”
bagi mereka, karena apa pun yang mereka butuhkan telah disediakan
oleh “belahan jiwa” yang bernama hutan.
Dengan munculnya REDD+ yang mengharap tidak ada lagi
deforestasi dan degradasi hutan, hasil yang ingin dicapai dalam studi ini
adalah sejauh manakah para perempuan ikut terlibat dalam pengelolaan
program tersebut, terutama yang difasilitasi oleh KFCP (Kalimantan
Forests
12
Climate
Partnership)
sebagai
kepanjangan
tangan
dari
Pengetahuan di sini bukan hanya tentang obat-obatan saja sebagaimana tertuang di atas,
melainkan banyak hal yang dapat diperoleh dari kehidupan hutan. Senada dengan pandangan
Rabindranath tentang arti hutan bagi kehidupan masyarakat India, bahwa hutan merupakan
tempat berteduh dan sumber makanan; keterkaitan antara manusia dan alam merupakan
sumber ilmu pengetahuan (Shiva, 1997: 70-71).
13
Dapat disaksikan dari aktivitas harian perempuan Kalumpang terkait keterlibatan mereka
dalam pengelolaan sumber daya alam.
Demonstration Activities REDD+ dengan menyertakan isu kesetaraan
gender dalam rangkaian program kerjanya. Studi ini pun berusaha untuk
melihat
perubahan
pranata perempuan terkait
peran
dan status
perempuan, perempuan dengan alam serta relasi gender yang terjadi
pasca deforestasi sampai munculnya program-program berdalihkan
penyelamatan lingkungan.
Dari penuturan di atas akan terlihat kemudian, bagaimana dampak
yang akan dirasakan oleh masyarakat lokal manakala program REDD+
diimplementasikan, terutama pada aktivitas perempuan baik di sektor
publik maupun domestik. Sistem budaya dan berbagai peraturan yang ada
pada masyarakat hendaknya harus tetap diperhatikan guna keberhasilan
implementasi REDD+.
1.2
Rumusan Masalah
KFCP merupakan lembaga mitra Indonesia-Australia yang bergerak
untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang ada di
Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah. Sebagaimana sebuah
program pembangunan, KFCP terlahir untuk mewujudkan suatu usaha
menuju arah yang lebih baik dalam penyelamatan lingkungan, dengan
mengutamakan kesejahteraan rakyat dan bergender perspektif dalam
proses kerjanya. Hal ini sesuai dengan mekanisme REDD+ yang telah
mengangkat
aspek
kesejahteraan
rakyat,
pengelolaan
hutan
berkelanjutan, dengan mengharap meningkatnya cadangan karbon hutan
di samping dua tujuan awal. Berdasarkan latar belakang yang telah saya
paparkan sebelumnya, permasalahan utama yang akan saya bahas
dalam penelitian ini adalah peran dan strategi perempuan Kalumpang
dalam menghadapi REDD+. Dengan melihat aspek keterlibatan mereka
dalam berbagai kegiatan yang difasilitasi oleh KFCP. Untuk mengetahui
hal tersebut, persoalan ini dirumuskan dalam pertanyaan berikut:
1) Bagaimana peran dan posisi perempuan Kalumpang dalam
REDD+, khususnya yang diselenggarakan oleh KFCP?
2) Bagaimana siasat perempuan Kalumpang dalam menghadapi
program REDD+ yang difasilitasi KFCP?
3) Apakah peran dan siasat tersebut sejalan dengan posisi dan
peran awal perempuan di Desa Kalumpang?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini sesuai dengan
rumusan permasalahan yang telah dikemukakan, yakni untuk melihat
perubahan pranata/perilaku perempuan terkait peran dan status mereka
dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam memperlakukan alam
beserta relasi gender yang terjadi pasca terjadinya deforestasi hingga
masuknya program REDD+. Di samping itu, juga untuk mendeskripsikan
dan mengetahui sejauh mana peran dan siasat perempuan Kalumpang
dalam menghadapi REDD+ dengan melihat aspek keterlibatan mereka
dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh KFCP.
1.4
Tinjauan Pustaka
Perbincangan tentang persoalan perempuan seakan tiada matinya,
terlebih
setelah
hal
ini
mengalami
variasi
warna
pada
setiap
perkembangannya di berbagai belahan dunia. Titik tolak munculnya isuisu yang mengarah pada topik ini, berangkat dari adanya kesadaran para
perempuan tentang perlakuan yang dianggap tidak adil dalam berbagai
sektor kehidupan. Pada akhir abad ke-18 perjuangan akan hak-hak
perempuan pun dimulai, lewat gerakan-gerakan perempuan beserta
pemikiran-pemikiran tentang perempuan di Eropa dan Amerika, kemudian
lahirlah apa yang disebut feminisme. Pada perkembangannya, paham
sekaligus gerakan tersebut melahirkan berbagai corak dan aliran masingmasing14.
Sebagai bidang keilmuan yang tertarik pada sudut pandang
komparatif, dalam antropologi pun muncul antropologi feminis, meskipun
kemunculannya dianggap problematis. Berawal dari perkembangan
antropologi
wanita
tahun
1970-an,
lahirlah
antropologi
feminis
kontemporer. Dalam kajiannya, antropologi feminis lebih dari sekedar studi
tentang wanita. Antropologi feminis mengupas studi tentang gender,
tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki, tentang peran gender
dalam membentuk masyarakat, sejarahnya, ideologinya, sitem ekonomi,
sampai struktur politik (Moore, 1998). Sebagaimana ulasan Harvey (2009:
14
Di antaranya: feminisme liberal (abad ke-19 hingga abad ke-20), feminisme radikal, feminisme
marxis dan sosialis, feminisme psikolanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme
postmodern, feminisme multikultural dan global, serta ekofeminisme (Tong, 2008).
127-142), saat itu para antropolog feminis berupaya mengungkapkan dan
memperbaiki bias laki-laki, dengan memberi perhatian pada posisi
perempuan seperti yang dilakukan Weiner (1976). Pengaruh antropologi
cukup besar dalam diskusi feminis, terutama dalam kajian tingkat dan
subordinasi perempuan. Hal ini membuka kerangka penjelasan tentang
ketidaksetaraan. Akan tetapi, subordinasi terhadap perempuan masih
tetap berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan dan melahirkan
dinamika di antara keduanya hingga kini. Pernyataan tersebut didukung
oleh melekatnya budaya patriarki Barat yang mendominasi setiap unsur
kehidupan, pada gilirannya hal tersebut ikut masuk dan berkembang
dalam tatanan masyarakat kita. Hal ini tidak bisa lepas dari adanya
dikotomi nature-nurture yang disandangkan pada perempuan dan laki-laki,
di mana pembedaannya didasarkan pada fakta biologis dan konstruksi
sosial yang ditimpakan kepada kedua jenis kelamin tersebut.
Dengan demikian adanya pandangan bahwa perempuan adalah
alam, dan alam adalah perempuan telah membatasi ruang gerak dan
akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi (keberhasilan kaum
perempuan dalam memenuhi ketahanan pangan keluarga lewat pertanian
subsistensi), perspektif ekonomi modern patriarki Barat tidak melihatnya
sebagai produksi. Meski, di berbagai negara berkembang realitanya para
perempuanlah yang terlibat penuh dalam produksi bahan makanan
dibanding laki-laki, (Boserup, 1970). Hal ini pula yang membuat kaum
perempuan
terkungkung
dalam
kegiatan
reproduktif,
yang
tidak
menghasilkan nilai menurut ilmu pengetahuan reduksionis 15.
Kajian tentang perempuan seolah tiada habisnya, selalu ada hal
menarik yang menjadi sorotan para peneliti untuk tidak melewatkannya
dalam rangkaian penelitian yang mereka lakukan. Persoalan antara
perempuan dan lingkungan hidup, sudah sejak lama menjadi masalah
yang ditanggung perempuan16. Para perempuanlah yang secara langsung
menerima
dampak
dari
setiap
perubahan
yang
terjadi
dalam
kehidupannya17. Begitupun yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.
Penelitian mengenai perempuan dan lingkungan tentu telah banyak
dilakukan, seperti isu yang diangkat Shiva dengan ekofeminismenya yang
menawarkan alternatif untuk keluar dari opresi yang dialami perempuan
dengan ideologi feminismenya. Sejauh yang peneliti temukan, tulisan
yang mengangkat isu ekofeminisme masih terbatas. Namun demikian,
ulasan beserta perkembangannya dapat kita saksikan dalam sajian yang
dihidangkan Rosemarie Putnam Tong, (2010) “Ekofeminisme” Feminist
Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran
Feminis, terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Dalam uraiannya ini,
15
Yang dimaksud reduksionis di sini adalah epistemologi khusus dari adanya revolusi
pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan reduksionis ini cenderung memisah-misahkan semua
sistem pengetahuan. Dengan adanya ilmu pengetahuan reduksionis telah mengubah kemampuan
manusia untuk mengetahui alam, juga mengubah kemampuan alam untuk meregenerasi dan
memperbarui diri. Salah satu contoh reduksionisme adalah adanya revolusi hijau, yang
uniformitas, menghomogenisasi cara bercocok tanam lewat benih-benih “ajaib” hibrida; juga
menyingkirkan segala bentuk pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman hayati yang
merupakan prinsip feminin (Shiva, 1997).
16
Simatauw, dkk. (2001).
17
Seperti studi yang dilakukan oleh Gandarsih (1994); Simatauw, dkk. (2001); Shiva (1997 dan
2005); Laksono, dkk. (2002).
kita cukup terbantu dengan ulasan yang disajikan Tong tentang
ekofeminisme. Mulai dari akar perkembangannya, pemikiran beserta
pembagian ekofeminisme dari berbagai perspektif, sampai dengan
memunculkan respon dan kritik terhadap perkembangan ekofeminisme.
Ekofeminisme yang diangkat Tong dalam kajiannya ini berkiblat pada
ekofeminisme sosialis-transformatif. Hal ini terlihat dari adanya keterkaitan
antara yang diungkap Tong dengan pandangan Shiva dan Mies, bahwa
semua sistem dan struktur opresi saling mengunci dan menguatkan satu
sama lain.
Tulisan lainnya seperti yang diungkap Vandana Shiva (1997), ia
berusaha mengangkat isu perempuan dengan pembangunan dalam
bukunya yang berjudul Bebas dari Pembangunan. Di sini Shiva
mengungkap berbagai opresi yang ditujukan terhadap perempuan dan
alam. Alam begitu juga perempuan telah menjadi sasaran empuk guna
terwujudnya monster yang bernama “pembangunan”. Para perempuan
bagaimana pun juga tidak dapat melepaskan dirinya dari berbagai
program bertemakan pembangunan. Begitupun dengan alam tempat
mereka bernaung, telah berubah menjadi sasaran eksploitasi besarbesaran kapitalisme. Hal ini menurut Shiva diakibatkan oleh masih
melekatnya ideologi patriarki Barat, di mana ilmu pengetahuan dan
pembangunan menjadi suatu proyek negara-negara maju (dominasi ilmu
pengetahuan dan model pembangunan ekonomi patriarki kapitalisme
industri). Dengan adanya dominasi tersebut telah melahirkan pula
terciptanya relasi baru dominasi dan penguasaan manusia atas alam, juga
penguasaan atas perempuan18.
Jika dikaitkan antara perempuan dan pembangunan berdasarkan
pandangan di atas, maka perempuan telah terperangkap pada sistem
maskulin dengan segala atribut yang ditimpakan pada tubuh mereka.
Untuk menyikapi hal tersebut, diperlukan kajian lebih lanjut guna
mengetahui posisi dan kedudukan perempuan yang masih terjebak dalam
jaring-jaring dominasi patriarkal. Berdasarkan pemaparan di atas, studi ini
ingin mengungkap bagaimana hubungan yang terjadi antara perempuan
dengan inisiatif REDD+ (yang merupakan salah satu strategi nasional
dalam pembangunan berkelanjutan). Hal ini penulis lakukan sebagai
upaya pembuktian atas pandangan Shiva terkait perempuan dan
pembangunan.
Perempuan dalam pembangunan masih kurang mendapat porsi,
hal tersebutlah yang ditemukan Gandarsih (1994), dari penelitiannya yang
dilakukan di DAS Boyong dan Sungai Code. Peran perempuan dalam
lingkungan masih relatif rendah dibanding pria, selama ini peran
reproduksilah yang masih disandang para perempuan. Hal ini sebagai
akibat dari partisipasi, akses, dan pengambilan keputusan yang tidak
menyertakan perempuan karena selama ini proses penentuan kebijakan
18
Munculnya kehutanan komersial merupakan salah satu produk patriarki Barat yang bersifat
reduksionis (memisahkan kehutanan dari pengelolaan air, pertanian dan peternakan), pada
akhirnya hanya akan mengubah keanekaragaman hidup menjadi produk mati. Sebagaimana
dicontohkan Shiva (1997: 80), kayu hanya akan mempunyai nilai komersial saja. Hal ini
mempengaruhi kerusakan ekosistem. Sementara dalam kehutanan feminin, semuanya dikelola
berdasarkan keragaman pemanfaatan dan ekosistem yang kompleks (bagi perempuan, hutan di
samping produktivitas, hasil, juga mempunyai nilai ekonomi).
hanya melibatkan laki-laki. Begitupun halnya dari temuan Simatauw, dkk.
(2001), di mana perempuan secara langsung menerima dampak dari
setiap perubahan yang terjadi. Faktor pengelolaan lingkungan hidup yang
tidak baik, merupakan penyebab terjadinya hal tersebut.
Perubahan lingkungan yang terjadi dalam masyarakat Ujungalang
pun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Laksono, dkk.
(2002) memperlihatkan munculnya strategi yang berpedoman pada
kearifan tradisonal perempuan. Strategi tersebut mereka lakukan untuk
melanjutkan kelangsungan hidup, akibat sumber daya yang mulai
terbatas. Karya tulis ilmiah tentang ekofeminisme dalam bentuk tesis,
penulis menemukan tesis yang ditulis Ahmad Sururi mahasiswa
Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM tahun 2010 yang berjudul “Pemikiran
Ekofeminisme dalam Perspektif Etika Lingkungan: Relevansinya Bagi
Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia”. Dalam penelitiannya ini,
Sururi lebih fokus pada pemikiran ekofeminisme sebagai etika lingkungan
berdasarkan perspektif filsafat, sehingga kajian menarik lainnya tentang
yang ditawarkan ekofeminisme tidak muncul. Atas dasar inilah penulis
mencoba menggali sejauh mana inisiatif REDD+ 19 yang tengah dijalankan
oleh KFCP di Desa Kalumpang Kalimantan Tengah dengan mengangkat
isu ekofeminisme dan konsep gender, serta menggunakan metode
penelitian etnografis.
19
Sebagaimana sebuah program pembangunan, REDD+ di lain sisi akan merugikan salah satu
pihak (terutama perempuan), jika perspektif gender dikesampingkan. Seperti halnya tahun 1979
silam, di mana intervensi pemerintah masuk dalam struktur masyarakat dengan hadirnya UU
Pemerintah Desa. Hal tersebut telah menggeser posisi dan kedudukan perempuan Dayak,
(Simatauw, 2001).
1.5
Kerangka Konseptual
Maksud tulisan ini ingin memaparkan keterkaitan antara alam,
perempuan, dan berbagai produk budaya patriarki Barat lewat hegemoni
negara (atas kontrol dan kebijakan yang diciptakan) 20. Namun, ketika alam
begitu pun perempuan tak sanggup lagi menahan beban yang diderita
akibat proses pembangunan yang timpang, tentunya perjuangan kaum
perempuan tidak akan berhenti sampai di sini. Banyak cara yang mereka
siasati untuk mencoba keluar dari jeruji hegemoni dan dominasi, meski
sebagian dari mereka cukup asik menerima tanpa perlawanan.
Kajian ini menggunakan konsep gender dalam analisisnya dan
pendekatan ekofeminisme. Kedua pendekatan tersebut dimaksudkan
untuk melihat strategi perempuan Kalumpang dalam menghadapi program
pembangunan dan perubahan lingkungan yang dihadapi.
Pada skema yang dibangun, DA-REDD+ KFCP telah menyertakan
isu gender dalam rangkaian kegiatan yang ditawarkan. Penyertaan
kebijakan responsif gender pun tertuang dalam FPIC 21, dengan tujuan
agar semua jenis kelamin dapat terlibat dalam kegiatan KFCP. Hal ini
20
Termasuk program DA-REDD+ yang difasilitasi KFCP.
Free (bebas tanpa paksaan), Prior (mendapatkan izin dari masyarakat), Informed (pemberian
informasi yang luas dan seimbang), dan Concern (mendapatkan persetujuan dari masyarakat).
Akan tetapi hak atas FPIC ini hanya berupa “tameng” yang digunakan KFCP. Hal ini karena seluruh
rangkaian kerja yang ditawarkan oleh KFCP telah siap saji, sebelum mereka terjun pada
masyarakat. Sehingga, masyarakat hanya tinggal melaksanakan kegiatan saja tanpa dilibatkan
dalam proses perumusan/disain program. Hal ini bertentangan dengan konsep FPIC sendiri.
21
berpedoman pada kebijakan afirmatif22 dalam program pembangunan,
guna
keberhasilan
pembangunan
itu
sendiri.
Kebijakan
tersebut
memberikan kuota untuk keterlibatan perempuan sebesar 30%. Untuk
mencapai
keberhasilan
pembangunan,
hanya
dengan
melibatkan
perempuan saja tidak cukup, dibutuhkan hal lain yang mendukung proses
tersebut. Dengan demikian, penggunaan konsep gender dan pendekatan
ekofeminisme dalam mengupas siasat perempuan Kalumpang dalam
program REDD+ diharapkan mampu memecah persoalan yang dihadapi.
Berdasarkan pijakan tersebut, dapat diperoleh gambaran sebenarnya
yang
dibutuhkan
oleh
sasaran
yang
dituju.
Sehingga
proses
pembangunan yang dijalankan, dapat menepi pada dermaga tujuan
bersama, sesuai cita-cita kemajuan bangsa.
1.5.1 Konsep Gender
Konsep gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural terhadap kaum perempuan dan laki-laki (Sadli & Soemarti
Patmonodewo, 1995: 70; Fakih, 1996: 8). Pada awal kemunculannya,
konsep gender lahir dari kajian studi perempuan, dengan tujuan untuk
memahami kondisi dan kedudukan perempuan. Definisi konsep gender di
atas mendapat penegasan dari Bemmelen (1995), di mana kategori
perempuan dan laki-laki yang telah dikonstruksi secara sosial tersebut
pada akhirnya membentuk identitas perempuan dan laki-laki, begitupun
22
Kebijakan yang bertujuan untuk menyebarluaskan akses pada pendidikan/pekerjaan bagi
kelompok non-dominan, terutama perempuan. Hal ini untuk mengurangi efek diskriminasi dan
untuk mendorong keterwakilan populasi dalam institusi publik.
dengan pola-pola perilaku dan kegiatan di antara dua jenis kelamin
tersebut terbentuk.
Adanya pengertian gender yang lebih mengarah pada konsep jenis
kelamin secara biologis telah membawa pandangan dalam masyarakat
yang salah kaprah. Hal ini menyebabkan bahwa gender identik dengan
jenis kelamin tertentu (perempuan), sehingga yang disorot adalah kaum
perempuan semata. Namun dalam konteks ini jika kita bicara soal gender,
berarti bicara tentang laki-laki dan perempuan, tentang bagaimana
mereka mendapat perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan
(sosial). Di sinilah kemudian timbul adanya pandangan „nature-nurture‟,
determinisme biologis dan sosial (Sadli, 1995: 70; Budiman, 1982: 2).
Secara nature (bawaan/kodrat/alam) yang disebut perempuan adalah
orang yang bisa mengandung dan melahirkan; sedangkan secara nurture
(sosial/kebudayaan) perempuan itu dicerminkan dalam stereotif yang
lemah, pendamping laki-laki, berkutat pada sektor domestik, dll. Skolnick
dan Scolnick (1974), menduga bahwa munculnya dikotomi perbedaan ini
akibat adanya interaksi antar faktor-faktor biologis dan faktor-faktor sosiokultural (dalam Budiman, 1982).
Dalam perspektif gender, jenis kelamin adalah status, dan
karenanya seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin tertentu memiliki
peran-peran tertentu yang berbeda dengan peran jenis kelamin lainnya.
Levy dalam Sajogyo (1983) menyebutnya dengan istilah diferensiasi
peran. Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki adalah seseorang yang
mempunyai peran tertentu karena status kelaki-lakiannya. Peran tidaklah
statis, dan hubungannya bisa berbeda secara lintas budaya dalam kurun
waktu berbeda (Sadli, 1995: 73). Peran tersebut mengantarkan pada
suatu interaksi sosial yang kompleks yang masih diperkuat oleh bahasa
yang digunakan, inilah yang disebut sebagai hubungan gender (Sadli,
1995: 72). Dengan demikian, adanya pembagian peran berdasarkan jenis
kelamin mengantarkan pada munculnya dikotomi privat/publik, dan
berdampak pada berbagai hal yang dikategorikan pas untuk perempuan.
Pemaparan di atas, mengantarkan pada munculnya perbedaan
gender.
Perbedaan
gender
ini
kemudian
melahirkan
berbagai
ketidakadilan dalam prosesnya, secara saling terhubung satu-sama lain.
Hal ini termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti:
marginalisasi
atau
proses
pemiskinan
ekonomi;
subordinasi
atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik; pembentukan stereotif
(pelabelan negatif); kekerasan (violence); beban kerja lebih panjang dan
lebih banyak (burden); dan sosialisasi ideologi nilai peran gender, (Fakih,
1995: 12-13).
1.5.2 Peran
Peran merupakan bagian yang kita mainkan pada setiap keadaan,
dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan.
Itulah definisi peran yang diutarakan oleh Wolfman (1989) yang
diambilnya dari istilah teater, di mana setiap orang mempunyai perannya
masing-masing dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kelompok-kelompok
masyarakat.
Peran
merupakan
bagian
hidup
manusia, beberapa peran ada yang kita warisi dan ada pula yang kita
ciptakan bersamaan dengan munculnya pekerjaan kita. Tingkah laku yang
selaras dengan peran-peran itu diwariskan lewat tradisi keluarga yang
berkaitan dengan nilai-nilai kelompok kesukuan, tradisi keagamaan dan
golongan ekonomi. Harapan-harapan akan peran dan tingkah laku itu
diperoleh melalui apa yang dikatakan dan dilakukan orang atau melalui
pengajaran formal dan nonformal tentang kebudayaan (Wolfman, 1989:
12). Peran juga berarti pola perilaku yang ditentukan bagi seorang yang
mengisi
kedudukan
tertentu
(Sarbin
dalam
Sadli
dan
Soemarti
Patmonodewo, 1995). Sugihastuti dan Siti Hariti (2007), menambahkan
bahwa yang dimaksud dengan peran adalah perilaku seseorang yang
sudah terpola, menyangkut hak dan kewajiban, berhubungan dengan
status pada kelompok tertentu dan situasi sosial yang khas, bersifat
dinamis dan terkait dengan kekuasaan ataupun uang.
Adapun yang dimaksud peran gender, yakni dalam hal pembagian
peran (kerja), baik secara fisik maupun emosional. Pembagian kerja dapat
juga berarti pembagian nilai, dalam oposisi peran gender tradisional
terdapat
suatu
diferensial
di
mana
laki-laki
memiliki
kekuatan
kemasyarakatan yang lebih besar (akses, kontrol, kekuatan dan pengaruh
pada posisi publik); sementara perempuan pengaruhnya lebih condong
pada wilayah domestik dan non publik (Sugihastuti, 2007: 54). Sedangkan
pada masyarakat Barat, pembagian kerja tergender sangat berhubungan
dengan alokasi fungsi perempuan di wilayah domestik atau privat dan
alokasi
kekuasaan
perempuan
pada
kekuasaan
publik
laki-laki.
Celakanya, banyak orang yang mengkorelasikan pembagian model kerja
seperti ini dengan peran reproduksi. Dalam hal ini perempuan disuguhkan
pada kenyataan yang harus menanggung segalanya (dalam konteks
domestik).
Dengan begitu, peran gender berarti peran antara perempuan dan
laki-laki yang sudah terbagi-bagi dalam konteks tertentu, dan dalam
wilayah lingkungan dan budaya tertentu pula. Artinya peran gender ini
pada suatu lingkungan atau budaya tertentu, tidak akan sama dengan
lingkungan atau budaya lain di luar budaya seorang perempuan atau lakilaki tersebut tinggal dan melaksanakan perannya sesuai konstruksi yang
telah disepakati pada suatu masyarakat.
Tiga aspek pembagian peran23 pokok dalam pengkajian peran
perempuan, di antaranya:
1) Peran produktif, merupakan peran yang menyangkut kegiatan yang
langsung menyumbang pendapatan keluarga tanpa melihat apakah
kegiatan tersebut dibayar atau tidak.
2) Peran reproduktif, yakni peran yang menyangkut kelangsungan
hidup manusia dan keluarga (melahirkan, memelihara, dan
mengasuh anak; memasak; mencuci; membersihkan rumah, dll.).
23
Lihat dalam Wanita dan Pembangunan
3) Peran sosial, mencakup kegiatan yang tidak terbatas pada
pengaturan keluarga, tetapi juga pada komunitasnya (peran
perempuan dalam PKK, Arisan, Yaasinan, SPP (Simpan Pinjam
Perempuan), dll.).
1.5.3 Analisis Gender
Analisis gender merupakan suatu cara untuk mengetahui secara
tepat, lengkap, dan menyeluruh tentang kedudukan dan peran perempuan
dalam pembangunan di segala bidang, serta untuk mengidentifikasi
permasalahan dalam hubungan gender (Achmad dalam Ihromi, 1995).
Hal-hal yang bisa dianalisis adalah partisipasi, akses, kontrol, manfaat dan
dampak dalam konteks pembangunan bagi perempuan dan laki-laki. Lebih
lanjut, Achmad memaparkan tentang manfaat yang bisa dilihat dari
analisis gender, di antaranya untuk:
1) Menunjukkan peran reproduktif perempuan sebagai hal yang
penting bagi peran produktif keluarga, di samping pentingnya bagi
peran ekonomi perempuan;
2) Mengungkapkan profil aktivitas24;
3) Mengungkapkan secara nyata siapa yang mendapatkan apa (profil
akses dan profil kontrol25);
24
Profil aktivitas, yakni: 1) pendefinisian pekerjaan apa yang dilakukan pada satu komunitas, dan
siapa perempuan/laki-laki (orang dewasa, orang tua, anak-anak) yang membuat pembagian data
berdasarkan pembagian kerja berkesetaraan gender di dalam rumah tangga dan komunitas; 2)
pengambilan data mengenai apa sebenarnya yang dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki,
(Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194).
4) Mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang menghambat atau
mendorong kelangsungan hidup dan kehidupan perempuan dan
laki-laki;
5) Menggarisbawahi keperluan perencana akan data yang terinci
menurut
jenis
kelamin
pada
tingkat
rumah
tangga
guna
menantukan kebutuhan;
6) Melihat betapa pentingnya pengelola proyek-proyek mengerti peran
“gender”,
agar
dapat
secara
tepat
menentukan
masukan
diintervensi yang dibutuhkan;
7) Melihat bahwa proyek-proyek yang tidak mempunyai pengertian
“gender” pada akhirnya kurang berhasil dalam penyampaian dan
efektivitas.
1.5.4 Pendekatan Ekofeminisme
Ekofeminisme lahir karena manusia dihadapkan pada kondisi
ekologi yang kian terpuruk26. Bersamaan dengan itu sebuah karya feminis
asal Prancis, Francoise d‟Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la
Mort (1974) telah menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum
perempuan akan potensi kaumnya untuk melakukan sebuah revolusi
lingkungan
25
dalam
menyelamatkan
lingkungan
hidup.
Menurutnya,
Profil akses, merupakan pengungkapan sumber daya-sumber daya apa yang dapat diperoleh,
dimiliki dan dinikmati oleh perempuan dan laki-laki; profil control, mengungkapkan bagaimana
perempuan dan laki-laki berperan sebagai pengambil keputusan atau penentu dalam
penggunaan sumber daya, (Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194-195).
26
Kebocoran ozon, pemanasan global, cagar alam liar, peternakan, konservasi energi (Tong,
2010: 361).
terdapat hubungan langsung antara penindasan atas perempuan dan
eksploitasi terhadap alam (Tong, 2010: 366).
Ekofeminisme merupakan kajian yang berusaha mengangkat
hubungan antara semua bentuk opresi manusia, dengan fokus pada
perempuan dan alam. Menurut Tong (2010: 359), dalam ekofeminisme
terdapat hubungan konseptual, simbolik dan linguistik antara feminis dan
ekologi. Hal tersebut dikarenakan bahwa secara kultural perempuan
selalu dikaitkan dengan alam. Terdapat beberapa asumsi dasar dari
ekofeminisme menurut Warren, sebagaimana dikutip Tong (2010: 366),
bahwa ada keterkaitan penting untuk dipahami antara opresi terhadap
perempuan dan opresi terhadap alam. Perspektif ekologi harus digunakan
dalam teori dan praktik feminis, begitupun pemecahan masalah ekologi
harus disertai dengan perspektif feminis. Dengan demikian, merunut
pandangan Warren begitu halnya Shiva27, dalam mengkaji perspektif
ekofeminisme ini di dalamnya terjadi suatu kolaborasi antara ekologi dan
feminisme, artinya kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja akan
tetapi penggabungan dari keduanya.
Dalam awal pengutaraannya, Shiva melihat ilmu pengetahuan
modern sebagai ilmu yang mereduksi berbagai pengetahuan. Hadirnya
ilmu pengetahuan modern telah menjadi kekuatan pembebas yang bukan
saja untuk manusia, namun untuk manusia secara keseluruhan (dominasi
27
Shiva dan Maria Mies (2005), bahwa ekofeminisme merupakan suatu keterkaitan dan
keseluruhan dari teori dan praktik. Hal ini menuntut kekuatan khusus dan integritas dari setiap
unsur hidup.
kepentingan
Barat,
male
oriented,
dan
proyek
patriarkal
yang
memungkinkan untuk melakukan penaklukan baik terhadap alam maupun
terhadap perempuan).
Senada dengan hal tersebut, Warren (1996) menambahkan bahwa
ekofeminisme pada tataran ekologi berarti sebuah teori dan gerakan etika
lingkungan yang ingin mendobrak etika pada umumnya, yakni bersifat
androsentrisme
(etika
lingkungan
yang
berpusat
pada
laki-laki).
Androsentrisme inilah yang kemudian menjadi bahan kritik ekofeminisme.
Lebih lanjut, Warren (dalam Tong, 2010: 359-360) berpendapat bahwa
logika konseptual androsentrisme yang menindas memiliki tiga ciri utama,
yakni: (1) berpikir nilai secara hierarkis (menempatkan nilai dan status
yang lebih tinggi pada pihak yang dianggap lebih tinggi); (2) dualisme nilai,
melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan
dengan perempuan, manusia versus alam); dan (3) logika dominasi, yakni
struktur dan cara berfikir yang membenarkan dominasi dan subordinasi.
Carolyn Merchant dalam bukunya The Death of Nature (1983),
yang dikutip oleh Shiva dan Maria Mies (2005: 49) membuktikan bahwa
“semua ilmu modern, pada dasarnya mengacu akan pengrusakan dan
penguasaan atas alam sebagai sebuah organisme yang hidup, organisme
tersebut dimaknai sebagai perempuan”. Lebih jauh dari itu, dominasi lakilaki atas perempuan juga ditimpakan terhadap alam yang kemudian
menjadi salah-satu sebab dari krisis lingkungan. Krisis lingkungan inilah
yang bagi ekofeminisme disebabkan karena cara pandang yang
androsentrisme.
Kelebihan ekofeminisme bukan hanya karena ekofeminisme
mampu menerangkan latar belakang subordinasi perempuan, tetapi juga
latar belakang kerusakan lingkungan hidup global. Ekofeminisme juga
melihat tentang masalah sosial, kultural dan struktural yang merupakan
dominasi cukup kuat dalam relasi antar kelompok manusia, yaitu ras,
etnik, negara, bangsa, agama, gender. Relasi antar manusia dengan alam
lingkungannya seringkali mengakibatkan penderitaan bagi manusia itu
sendiri (misalnya akibat perang, maupun kehancuran lingkungan hidup).
Para penganut ekofeminisme melihat dominasi patriarkis laki-laki
terhadap perempuan sebagai bentuk dasar semua dominasi dan
eksploitasi
bentuk-bentuk
bersifat
hierarkis,
militeristik,
kapitalis,
industrialis, Capra (2001: 20). Eksploitasi terhadap alam, secara khusus
berjalan
bersamaan
dengan
eksploitasi
terhadap
perempuan.
Ekofeminisme menggambarkan betapa semangat feminitas sangat
berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian bumi,
tempat manusia perempuan maupun laki-laki hidup. Ekofeminisme
dengan sangat baik juga mampu menerangkan betapa hipermaskulinisme
ternyata juga berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem. Akibatnya,
ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan bahwa kesetaraan
gender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan,
tetapi juga kaum laki-laki. Jika alam lingkungan rusak, semua manusia
(laki-laki maupun perempuan) akan merasakan dampaknya. Sebaliknya,
jika alam lingkungan lestari dan terjaga, maka semua manusia pun akan
menikmati kesejahteraan. Dalam ekofeminisme juga diperkenalkan
konsep “persamaan dalam keragaman” (equality in diversity)28, yang
berbeda dengan equality feminisme eksistensialisme yang memakai
standar maskulin (Megawangi, 1999: 191).
Ekofeminisme mempunyai anggapan bahwa krisis lingkungan
sekarang ini pada dasarnya berakar dari kesalahan perilaku manusia dan
kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya, alam, dan hubungan
manusia dengan keseluruhan alam semesta. Krisis lingkungan hanya
dapat diatasi dengan melakukan perubahan fundamental pada cara
pandang dan perilaku manusia. Ekofeminisme merupakan sebuah bentuk
telaah etika lingkungan yang ingin menggugat dan mendobrak cara
pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern. Di samping
itu, ekofeminisme menawarkan sebuah cara pandang dan perilaku baru
untuk mengatasi krisis lingkungan saat ini yang semakin mengkhawatirkan
bagi kehidupan manusia dan masa depan lingkungan hidup (dengan
prinsip feminitas).
Ekofeminisme pun melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu
sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal
ini dapat dilihat dari adanya saling ketergantungan antara individu dalam
sebuah sistem (Megawangi, 1999: 189). Ekofeminisme juga menawarkan
28
Konsep yang diperkenalkan oleh Vandana Shiva.
cara pandang
yang
holistik,
pluralistik,
dan inklusif,
yang lebih
memungkinkan laki-laki dan perempuan membangun relasi setara untuk
mencegah kekerasan dan menjaga alam lingkungan tempat mereka
hidup. Pemulihan prinsip feminin merupakan jawaban atas semakin
mengkhawatirkannya kondisi lingkungan hidup yang terus-menerus
dieksploitasi oleh sifat maskulin demi keuntungan ekonomi tanpa
mempertimbangkan kelangsungan hidup manusia dan alam.
Menerapkan
prinsip
feminin
dalam
kehidupan
sehari-hari
merupakan alternatif yang bisa dipilih untuk kehidupan yang lebih
seimbang. Hal ini karena prinsip feminin lebih mengedepankan sikap
penghargaan atas alam dan kehidupan dengan cara memelihara,
mengasuh, cinta kasih dan kebersamaan. Pada akhirnya segala
kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Pemanasan global sebagai
dampak dari berubahnya pola iklim dunia, merupakan salah satu krisis
lingkungan yang mulai terasa di berbagai sudut belahan dunia. Hal
tersebut merupakan akibat dari perilaku manusia yang berlebihan dan
eksploitasi lingkungan yang tidak mengindahkan prinsip feminitas. Oleh
sebab itu, diperlukan penerapan model baru sebagai kunci untuk
menghentikan semua praktik dan sistem yang mengancam kelangsungan
hidup bumi. Model baru tersebut, yakni dengan menerapkan gaya hidup
perspektif subsistensi yang bersumber dari prinsip etika ekofeminisme.
Begitupun halnya dalam implementasi skema REDD+ nanti.
1.6
Metode Penelitian
Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dari bulan
September 2012 hingga Desember 2012 pada masyarakat Dayak Ngaju
yang tinggal di sepanjang daerah aliran Sungai Kapuas. Tepatnya di Desa
Kalumpang
Kecamatan
Mantangai
Kabupaten
Kapuas
Provinsi
Kalimantan Tengah. Tulisan dengan judul “Mengembalikan Parak Kayu:
Siasat Perempuan Kalumpang Menghadapi Program REDD+” ini,
berusaha melihat sejauh mana keterlibatan kaum perempuan dalam
program-program
yang
diselenggarakan
oleh
KFCP.
Juga
ingin
menangkap strategi yang mereka lakukan pasca DA-REDD+ KFCP
masuk dalam kehidupan perempuan Kalumpang.
Sebelum turun langsung ke Desa Kalumpang, hal pertama yang
saya lakukan adalah mencari informasi mengenai daerah mana saja yang
saat ini tengah melangsungkan kegiatannya dalam program REDD+. Atas
saran dan masukan dari berbagai instansi Pemerintah maupun Lembaga
Non Pemerintah yang saya kunjungi, akhirnya saya memilih Desa
Kalumpang. Desa ini merupakan salah satu dari tujuh desa yang dijadikan
pilot project dan masuk dalam wilayah kerja KFCP (Kalimantan Forests
Climate Partnership), atau Kemitraan Hutan Kalimantan dan Perubahan
Iklim.
Suatu
lembaga
mendemonstrasikan
cara
kerjasama
yang
kredibel,
Indonesia-Australia
adil,
dan
efektif
yang
dalam
mengurangi emisi karbon dari deforestrasi dan degradasi hutan 29. Dalam
program kerjanya, KFCP melibatkan masyarakat yang berada di wilayah
kerjanya tersebut (lima desa di Kecamatan Mantangai, yakni Mantangai
Hulu, Kalumpang, Katimpun, Sei Ahas, Katunjung dan dua desa di
Kecamatan Timpah, yakni Petak Puti dan Tumbang Muroi).
Observasi saya lakukan sejak dalam perjalanan dari Desa
Mantangai Hilir hingga tiba di Desa Kalumpang. Observasi dilakukan
dengan cara mencatat, membuat sketsa dan melalui dokumentasi. Untuk
memperoleh data secara komprehensif, observasi partisipasi saya lakukan
dalam penelitian ini guna memperoleh informasi mengenai persoalan yang
saya perlukan. Berbagai aktivitas masyarakat saya ikuti (terutama
kegiatan kaum perempuan), mulai dari bangun dini hari hingga tidur larut
malam. Kegiatan harian kaum perempuan, seperti mamantat (menyadap
getah karet), mencari kayu bakar, mencari rotan, mengurus hewan
peliharaan, saya ikuti. Begitupun jika ada pertemuan-pertemuan yang
diselenggarakan KFCP dan PNPM-MP, saya turut hadir. Termasuk
mengasuh anak, yang ketika itu, mamanya pergi empat hari untuk
mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Satgas REDD+ di Palangkaraya.
Saya pun berkesempatan untuk ikut nugal (menanam padi ladang),
karena kebetulan saat penelitian berlangsung sedang masuk musim
nugal.
29
KFCP Design.
Pada awalnya saya merasa kesulitan untuk bisa langsung masuk
dalam kehidupan para perempuan Kalumpang. Namun, perlahan saya
coba mendekati dengan ikut bergabung saat mereka sedang berkumpul
sore hari, atau biasa ikut nongkrong saat warung mulai ramai dikunjungi
warga. Di samping itu, sebagian masyarakat merasa heran dan agak
tertutup ketika saya minta ikut mereka pergi ke kebun atau mengikuti
pertemuan-pertemuan KFCP. Namun setelah terbiasa, akhirnya mereka
sendiri yang menawarkan pada saya untuk ikut terlibat dalam aktivitas
mereka, terutama kaum ibu. Di sela istirahat mamantat, atau saat ngelonin
anaknya
bahkan
tak
canggung
mereka
curhat
tentang
KDRT,
perselingkuhan dan permasalahan keluarga lainnya. Juga tentang
kesehatan, dan pendidikan anak-anak hingga persoalan yang sering
muncul di desa, terutama sejak berdatangan program-program yang
melibatkan warga.
Kajian pustaka dilakukan sebagai pencarian data sekunder guna
mendukung proses penelitian yang dilaksanakan, terutama untuk
mengetahui luas wilayah penelitian, dan data demografi lainnya. Meskipun
begitu, wawancara terhadap orang-orang tua pun tetap dilakukan guna
memperoleh informasi mengenai sejarah kampung dan perubahannya, di
samping wawancara mendalam terhadap informan kunci.
Semua
informasi
diperoleh
dari
hasil
merekam,
mencatat,
menyimak, mengamati dan mengabadikan menggunakan kamera. Agar
informasi yang telah terkumpul tidak lekas hilang, pada malam harinya
saya pindahkan lewat komputer atau hanya dalam buku catatan saja
karena kendala listrik yang sering padam30.
Proses analisis data dilakukan sejak selama pengumpulan data
berlangsung. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi, dianalisis,
diinterpretasi dan dideskripsikan secara terus menerus sesuai dengan
topik, tema dan sub-sub tema dari permasalahan penelitian. Rangkaian
makna yang menjadi satuan pengetahuan atau sistem budaya, ditemukan
setelah melewati keseluruhan kegiatan analisis. Begitupun kesimpulan
analisis dan representasi dari kegiatan penelitian yang dilakukan,
diperoleh pada tahap analisis (Spradley, 2007: 132-133).
30
Saat penelitian berlangsung, baterai laptop saya rusak sehingga untuk menyalakannya harus
didukung oleh aliran listrik.
Download