BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1) Landasan ontologis : Alam dunia secara keseluruhan merupakan suatu ekosistem atau suatu organisme yang bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuknya saling berkaitan dan saling tergantung, serta ada hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya. Alam bagi sebagian umat beragama dihadiahkan Tuhan manusia untuk ditakhlukkan dan dimanfaatkan secara optimal. Manusia bebas berkehendak dalam memperlakukan alam semesta. Pandangan dunia tersebut telah menjadi akar permasalahan eksploitasi manusia terhadap alam semesta. Manusia tidak merasa bersalah karena telah mendapatkan legitimasi secara teologis. Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai sub-entitas dari keagungan alam semesta akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan lingkungannya. Alam dan manusia saling tergantung. Alam memiliki peranan penting bagi manusia dalam proses perkembangan mencapai ‘kepenuhan diri’ (satisfaction). Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Manusia dan semua pengada lain dapat mencapai 479 480 kepenuhan diri secara kualitatif hanya apabila mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Landasan epistemologis : Mentalitas pencerahan menempatkan manusia sebagai pusat dan mendorong manusia untuk terus mengeksploitasi alam demi kesejahteraan dirinya. Eksplotasi yang berlebihan atas alam menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Mentalitas pencerahan merupakan pemikiran manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya. Mentalitas pencerahan merupakan mentalitas yang mengagungkan kemampuan rasio. Rasionalisme merupakan karakteristik khas yang paling menonjol dari zaman pencerahan. Kandungan dari rasionalisme adalah semangat untuk menyelidiki, mengetahui, mengalahkan, dan menakhlukkan lingkungan. Implikasi dari mentalitas tersebut telah membawa kehancuran bagi alam serta mengancam keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Landasan aksiologis: Moral lingkungan berupaya mendesak karena diperlukannya pendidikan khusus tentang lingkungan. Moral tersebut seharusnya terkait dengan dua kenyataan hakiki yaitu: pertama, pengetahuan tentang penyelidikan ilmiah mengenai fungsi alam; kedua, kenyataan biologis dan kultural manusia, ketergantungannya pada alam dan tanggung jawabnya terhadap lingkungan hidup. Kemajuan sains (ilmu-pengetahuan) dan teknologi juga hendaknya membuat manusia dapat memperhatikan kemajuan mutu hidup 481 segala makhluk ciptaan. Manusia hendaknya mengambil sikap yang tepat dalam penerapan kemajuan teknologi. Gejala krisis lingkungan hidup tidak terpisahkan dari ketidakadilan. Kerusakan lingkungan hidup, antara lain ditimbulkan oleh ketidakadilan tindakan manusia dalam mengelola lingkungannya. Manusia seharusnya memperhatikan hubungan antara manusia sebagai pemelihara dan administrator lingkungan hidup serta sumber-sumber alam terkait, sehingga manusia mewujudkan diri sebagai pemegang kuasa dan pelayanan. Manusia juga seharusnya memperhatikan perlindungan terhadap nilai dari setiap kenyataan alamiah, sehingga dapat mewujudkan kebudayaan yang berwawasan lingkungan 2) Pengertian KLHS yang dipandang sesuai untuk Indonesia adalah suatu proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis. Tiga proses penting di dalam pengertian tersebut yang perlu ditempuh dalam KLHS di Indonesia, yaitu: i) evaluasi pengaruh kebijakan, rencana dan program terhadap lingkungan hidup; ii) integrasi prinsip-prinsip keberlanjutan dalam kebijakan, rencana dan program; dan iii) proses-proses kelembagaan yang harus ditempuh untuk menjamin prinsip-prinsip keberlanjutan telah diintegrasikan dalam kebijakan, rencana dan program. Tujuan KLHS pada hakikatnya adalah lahirnya Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) dengan melalui prosesproses partisipatif, transparan dan akuntabel, serta mempertimbangkan aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan. Kebijakan, Rencana dan 482 Program (KRP), secara generik perbedaannya adalah : (a) Kebijakan (Policy): arah yang hendak ditempuh (road-map) berdasarkan tujuan yang digariskan, penetapan prioritas, garis besar aturan dan mekanisme untuk mengimplementasikan tujuan; (b) Rencana (Plan): desain, prioritas, opsi, sarana dan langkah-langkah yang akan ditempuh berdasarkan arah kebijakan dengan mempertimbangkan ketersediaan dan kesesuaian sumber daya; (c) Program (Programme): serangkaian komitmen, pengorganisasian aktivitas atau sarana yang akan diimplementasikan pada jangka waktu tertentu dengan berlandaskan pada kebijakan dan rencana yang telah digariskan. 3) Relevansi ontologis dalam pengelolaan lingkungan : Perencanaan organisme merupakan upaya sistematis dari manusia untuk memperlambat proses degradasi lingkungan menuju posisi keseimbangan. Asumsi dasarnya dilandasi oleh pertimbangan,: a) adanya pemanasan global; b) kerusakan lingkungan; dan penguasaan aset/informasi oleh sebagian negara. Terkait dengan hal tersebut, prinsip dasar perencanaan organisme meliputi, antara lain : a) ruang dianalogikan dengan organisme; b) perencanaan merupakan proses untuk mencapai kesetimbangan; dan c) sifatnya non-rasional yang tersentralisasi. Praktik perencanaan dalam bidang penataan ruang dan lingkungan pada saat ini cenderung pragmatis. Tradisi pemikiran rasional instrumental mendominasi hampir semua dalam kajian kegiatan penataan ruang. Hal tersebut ditandai dengan adanya pendekatan perencanaan rasional komprehensif lebih yang lebih diminati 483 untuk memecahkan persoalan tata ruang dan lingkungan. Perencanaan modern berdasarkan tradisi, lebih banyak berorientasi pada antroposentrisme, yang ditandai dengan adanya pemisahan peran manusia dalam mengelola sumber daya alam. Ukuran yang digunakan adalah sebesar-besar kemakmuran manusia dengan memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin. Manusia diposisikan sebagai subjek dan alam sebagai objek yang harus menopang kebutuhan subjek tanpa ada hubungan timbal balik yang sepadan. Relevansi epistemologis dalam pengelolaan lingkungan : Ekodevelopmentalisme merupakan suatu pola pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Generasi yang hidup saat ini harus mampu bersikap arif dan bijaksana sehingga sumber daya alam yang terbentang di darat, laut dan udara dapat dimanfatkan sebaik mungkin dengan memperhatikan prinsip dasar ekologis yaitu : menjaga, memelihara, memanfaatkan serta melestarikan lingkungan guna kehidupan generasi mendatang. Dua faktor yang membatasi eko-developmentalisme yaitu : pencemaran dan konsumsi dari sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources). Konsepsi resources tidak hanya diartikan sebagai sumber daya alam / fisik, tetapi juga sumber daya alam non fisik. Sistem peradilan yang baik / sehat, yang dapat menjamin keadilan (ensuring justice), keamanan warga masyarakat (the savety of 484 citizens), dan dapat menumbuhkan kepercayaan/ hormat masyarakat (public trust and respect), pada dasarnya merupakan sumber daya nonfisik yang perlu dipelihara kelangsungannya bagi generasi berikutnya. Paradigma ekofeminisme juga penting dalam melaksanakan programprogram pembangunan di segala bidang. Konsepsi ekofeminisme adalah suatu gerakan realistis dalam mengatasi berbagai permasalahan relasi antara kaum perempuan, lingkungan, dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam proses pembangunan. Ekofeminisme merupakan gagasan yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial yaitu: gerakan feminisme, perdamaian, dan ekologi. Ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya fokus pada subordinasi perempuan, tetapi subordinasi alamlingkungan di bawah kepentingan manusia. Ekofeminisme sekaligus mengkritik pilar-pilar modernisme yang lain, yakni antroposentrisme dan androsentrisme. Relevansi aksiologis : Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah cerminan dari bangsa Indonesia, sehingga setiap kebijakan yang terkait pembangunan di segala bidang harus berprinsip pada nilai-nilai Pancasila. Berbagai persoalan yang menyangkut pembangunan dan tata ruang di Indonesia, sudah seharusnya ruh dari tata ruang tersebut dikembalikan dengan cara mengedepankan nilai-nilai Pancasila yang luhur sebagai dasar dalam penyusunan rencana pembangunan. Moral Pancasila perlu ditransformasi menjadi moral atau etika politik kehidupan negara yang harus ditaati dan 485 diamalkan dalam penyelenggaraan negara. Pembangunan fisik yang telah menyentuh hampir semua sektor kehidupan turut mempengaruhi secara signifikan terhadap keberadaan plasma nutfah sebagai bagian dari kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia. Pertimbangan yang didasarkan pada nilai-nilai konservasi sumber daya alam dan lingkungan menjadi signifikan dalam rangka proses pelaksanan KLHS adaptasi Indonesia. Keanekaragaman hayati merupakan modal pembangunan yang penting karena karakternya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui. Semakin beraneka ragam gen, spesies dan ekosistem, maka semakin kokoh daya dukung lingkungan. Semakin kokoh daya dukung lingkungan maka semakin stabil dalam menyangga aspek kehidupan manusia. Keanekaragaman hayati memiliki beragam nilai atau arti bagi kehidupan. Keanekaragaman hayati juga mencakup aspek sosial, lingkungan, aspek sistem pengetahuan, dan etika serta kaitan di antara berbagai aspek ini. Terdapat Enam (6) nilai keanekaragaman hayati, yaitu : a) nilai eksistensi; b) nilai jasa lingkungan; c) nilai warisan; d) nilai pilihan; e) nilai konsumtif; dan f) nilai produktif. Perkembangan masyarakat dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungannya telah diupayakan dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. 486 Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal menjadi penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Eksistensi kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya, serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam / lingkungan, serta peran masyarakat lokal. B. Saran 1. Untuk Para Ahli Filsafat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai objek material dalam kajian filsafat lingkungan, sebaiknya juga diteliti dengan menggunakan objek formal filsafat atau cabang filsafat yang lain, seperti: filsafat ilmu, filsafat teknologi, filsafat sosial, filsafat politik, filsafat ekonomi, filsafat kebudayaan, filsafat hukum, dan cabang-cabang filsafat yang lain. Hal tersebut dimaksudkan agar ilmu filsafat juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi proses pembangunan di segala bidang, termasuk bidang sains dan 487 teknologi yang sedang berkembang dengan pesat di Indonesia. Banyak praktik kearifan lokal dalam masyarakat adat di seluruh Indonesia yang belum diteliti atau dikaji oleh para ahli filsafat dalam rangka menginventarisasi filsafat nusantara yang dapat dikembangkan untuk penelitian bidang filsafat secara umum. 2. Untuk Para Pakar Lingkungan Hidup a) Perlu dilakukannya “moratorium”, yaitu kebijakan resmi dalam batas-batas waktu tertentu, menghentikan jenis-jenis proyek tertentu yang berskala besar, karena adanya bahaya dan risiko yang telah atau belum diketahui terkait dengan kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup di masa yang akan datang. b) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (SEA/KLHS) sebaiknya dilaksanakan dengan melibatkan keikutsertaan masyarakat pada proyek yang mengancam keanekaragaman hayati, guna menghindari atau memperkecil kerusakan lingkungan hidup. c) Pemerintah bersama masyarakat sungguh-sungguh berinisiatif untuk memulihkan ekosistem yang mengalami degradasi dan menggalakkan pemulihan lingkungan hidup yang terancam, dengan membantu penduduk setempat menyusun dan melaksanakan rencana pemulihan. d) Sebaiknya dilakukan upaya untuk mencegahan, menghambat, atau memberantas spesies asing yang mengancam ekosistem, habitat, atau 488 spesies dan berdialog dengan institusi lingkungan hidup pada tingkat nasional maupun internasional. 2. Untuk Masyarakat a) Masyarakat perlu memotivasi diri dalam hal pengetahuan tentang lingkungan dan pemahaman tentang dampak lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, dan etika terhadap percepatan pembangunan di setiap daerah yang selalu berdampingan dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. b) Masyarakat perlu berpartisipasi dalam menentukan pilihan-pilihan dalam pembangunan yang diusahakan mempunyai dampak negatif sekecil-kecilnya sehingga prinsip ‘penilaian teknologi’ (technological assessment) patut dikembangkan berdasarkan nilai-nilai religiusitas dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik. c) Masyarakat sebaiknya perlu mengenali komponen keanekaragaman hayati yang penting untuk pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan, serta memantau kegiatan yang mungkin merugikan keanekaragaman tersebut. 3. Untuk Pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup) a) Pembentukan produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang “uptodate” terhadap pelaksanaan pembangunan dengan selalu mempertimbangan konservasi lingkungan hidup, yang dapat digunakan sebagai petunjuk 489 pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam rangka pelaksanaan UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 berdasarkan pertimbangaan nilai-nilai kehidupan masyarakat ataupun kearifan lingkungan lokal. b) Ketertinggalan negara berkembang (seperti Indonesia) dalam bidang hukum lingkungan yang mengatur masalah di sekitar dampak penerapan pembangunan ataupun pembangunan proyek-proyek vital terhadap lingkungan hidup, dapat dikejar dengan jalan ‘mentransfer kaidah-kaidah’ dari negara yang telah maju dan kemudian dilakukan ‘penyesuaian’ dengan nilai masyarakat. c) Pemerintah perlu segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) terhadap pelaksanaan KLHS di Indonesia agar dapat dilaksanakan secara sungguhsungguh oleh pemerintah provinsi, kota madya, maupun kabupaten untuk mengkaji risiko lingkungan yang diakibatkan oleh rencana pembangunan di bidang-bidang yang terkait dengan lingkungan hidup. d) Pemerintah sebaiknya menjadikan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan sebagai bagian dari perencanaan dan penepatan kebijakan di tingkat kabupatan maupun provinsi. e) Pemerintah sebaiknya selalu menggunakan media (internet, televisi, radio, koran) dan ‘program pendidikan lingkungan hidup’ untuk membantu masyarakat memahami pentingnya keanekaragaman hayati dan tindakan pelestarian sumber daya alam lainnya.