1. Ekspresi SREBP

advertisement
BAB V
KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan:
1. Ekspresi SREBP-1c pada tikus SD model dislipidemia yang diberikan
tepung labu kuning lebih rendah dibanding tikus yang tidak diberikan tepung
labu kuning baik di jaringan hepar maupun adiposa putih.
2. Ekspresi SREBP-1c di jaringan adiposa putih lebih rendah dibandingkan di
hepar pada tikus SD model dislipidemia setelah pemberian tepung labu
kuning.
3. Terdapat hubungan negatif/ berbanding terbalik antara dosis tepung labu
kuning dengan tingkat ekspresi SREBP-1c di jaringan hepar maupun adiposa.
V.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini maka:
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh tepung labu kuning pada
ekspresi gen lain untuk melihat jalur-jalur yang memungkinkan dapat
mempengaruhi kondisi dislipidemia.
2. Perlu diteliti mengenai pengaruh pemberian tepung labu kuning terhadap
profil lipid dan marker antioksidan pada manusia yang mengalami
dislipidemia.
77
V.3 Ringkasan
V.3.1. Pendahuluan
Sindroma metabolik merupakan permasalahan kesehatan dunia dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Prevalensi sindroma metabolik di dunia
sebesar 20-25% dan diperkirakan akan terus meningkat. Sindroma metabolik
berhubungan dengan kejadian obesitas sentral, dislipidemia, resistensi insulin dan
hipertensi (Balkau et al.,2002; Chen et al., 2007). Banyak dilaporkan bahwa
konsumsi makanan atau minuman tinggi fruktosa dan lemak dapat menginduksi
terjadinya sindroma metabolik (Astrup dan Finer,2000; Malik et al, 2006).
Dislipidemia berkaitan dengan abnormalitas profil lipid dalam plasma yaitu
kenaikan kadar kolesterol total, LDL, trigliserida serta penurunan HDL (Huang,
2009). Prevalensi kejadian dislipidemia pada usia 25 hingga 34 tahun berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 sebesar 9,3%, sementara pada
usia 55-64 tahun sekitar 15,5% (Depkes, 2004). Kondisi dislipidemia yang
selanjutnya dapat menyebabkan akumulasi lemak hepatik dan peningkatan droplet
lemak di jaringan adiposa sehingga terjadi peningkatan peroksidasi lipid. Hal ini
menjadi penyebab terjadinya peningkatan stres oksidatif dengan terbentuknya ROS
dan singlet oksigen.
Fruktosa dapat berperan dalam peningkatan ekspresi enzim-enzim lipogenik
dalam hepar dengan menginduksi ekspresi suatu faktor transkripsi yang disebut
sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP-1c) (Shimomura et al., 1999;
Matsuzaka et al., 2004; Miyazaki et al., 2004). Selain fruktosa, konsumsi lemak pun
dapat menginduksi SREBP-1c hepatik. Stres RE yang kemudian mengakibatkan stres
oksidatif ini juga dapat memicu aktivasi SREBP-1c dan berperan dalam lipogenesis
de novo (Kammoun et al., 2009; Su et al., 2009). Aktivitas SREBP-1c yang
berlebihan mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan
menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik
(steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin (Brown dan Goldstein,2008).
Lipogenesis yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
peroksidasi lipid di jaringan hepar maupun adiposa yang menghasilkan senyawa
78
H2O2 dan O- (singlet oksigen) (Nouman,SA et al.,2011; Tangvarasittichai, S., 2015).
Akumulasi lemak hepatik dan peningkatan stres retikulum endoplasma ini dapat
meningkatkan stres oksidatif dan pelepasan ROS. Adiposa merupakan organ
lipogenik utama selain hepar. SREBP-1c di adiposa paling banyak terekspresi dan
berperan penting dalam proses adipogenesis. Beberapa penelitian terbaru
menunjukkan
aktivasi
stres
retikulum
endoplasma
yang
bersifat
kronis
mengakibatkan disregulasi metabolisme lipid di hepar, makrofag, sel beta dan
adiposit. Proses aktivasi stres retikulum ini memiliki peran penting pada regulasi
fungsi adiposit (Zha dan Zhou, 2012).
Penanganan stres oksidatif melalui konsumsi bahan makanan yang
mengandung antioksidan telah banyak diketahui dapat mengurangi kejadian stres
oksidatif. Salah satu bahan makanan sumber antioksidan adalah labu kuning.
Varietas labu kuning seperti C. moschata, mempunyai kandungan karoten yang
tinggi, terutama α dan β-karoten, β-criptoxanthine, lutein dan zeaxanthin (Carvalho,
2012). Karoten merupakan antioksidan alami yang sangat potensial. Karoten
diketahui sebagai peredam singlet oxygen (1O2) dan sebagai jalur pembuangan untuk
reactive oxygen spesies (ROS) yang potensial. (Fiedor&Burda, 2014). Penelitian
yang dilakukan Ha dan Kim (2013) menunjukkan pemberian tepung kaya
fucoxanthin (jenis karotenoid yang banyak terdapat pada rumput laut) memberikan
efek ekspresi SREBP-1c lebih rendah dibanding kelompok yang tidak diberikan
fucoxanthin. Pada penelitian Asgary et al. (2011) diketahui pemberian tepung labu
kuning pada tikus diabetik selama 4 minggu secara signifikan menurunkan plasma
trigliserida dan LDL dibandingkan dengan kelompok kontrol. Efek potensial tepung
labu kuning dalam menurunkan kadar lipid dapat dimediasi oleh penurunan regulasi
berbagai aktivitas enzim lipogenik yang disebabkan oleh adanya penurunan ekspresi
SREBP-1c, salah satunya melalui penurunan stres oksidatif. Oleh sebab itu
diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji pengaruh pemberian tepung labu kuning
yang mengandung karoten terhadap ekspresi SREBP-1c dalam dua organ lipogenik
utama yaitu jaringan hepar dan jaringan adiposa putih.
79
V.3.2. Tinjauan Pustaka
V.3.2.1 Diet Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa
Sindroma metabolik merupakan permasalahan kesehatan dunia dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang bermakna dengan prevalensi di dunia sebesar 20-25%
dan diperkirakan akan terus meningkat. Sindroma metabolik berhubungan dengan
kejadian obesitas sentral, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa, dan hipertensi
(Balkau et al.,2002; Chen et al., 2007). Banyak dilaporkan bahwa konsumsi
makanan atau minuman tinggi fruktosa dan lemak dapat menginduksi terjadinya
sindroma metabolik (Astrup dan Finer, 2000; Malik et al., 2006). Tikus yang
diinduksi dengan diet tinggi lemak dan atau tinggi fruktosa mengalami kelainan
metabolik seperti hiperinsulinemia, resistensi insulin dan dislipidemia (Basciano et
al., 2005; Buetnerr et al., 2007: Abdullah et al., 2009).
Fruktosa bersifat sangat lipogenik. Menurut beberapa penelitian sintesis asam
lemak de novo hepatik distimulasi setelah penyerapan fruktosa akut dengan cara
fruktosa menyediakan atom karbon untuk gliserol dan bagian fatty-acyl dari
trigliserol (Chong et al.,2007; Parks et al.,2008). Fruktosa juga dapat berperan dalam
peningkatan ekspresi enzim-enzim lipogenik dalam hepar dengan menginduksi
ekspresi faktor transkripsi sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP-1c),
suatu aktivator utama gen-gen lipogenik termasuk mengkode stearoyl-CoA
desaturase (SCD) (Shimomura et al., 1999; Matsuzaka et al., 2004; Miyazaki et al.,
2004). Aktivasi SREBP-1c yang disebabkan oleh fruktosa dimungkinkan tidak
melalui jalur yang melibatkan insulin ( Faeh et al.,2005; Matsuzaka et al., 2004;
Nagai et al.,2002). Menurut Matsuzaka dan Shimano (2013) aktivasi SREBP-1c
akibat konsumsi fruktosa tidak melewati jalur insulin, namun langsung mengaktifkan
mammalian target of rapamycin complex (mTORC) dan mengakibatkan terjadinya
pemotongan SREBP-1c inaktif yang terikat di membran retikulum endoplasma
sehingga terjadi translokasi SREBP-1c aktif dari golgi ke nukleus. Berdasarkan
penelitian Koo et al. (2009), pemberian diet tinggi fruktosa selama dua minggu akan
menyebabkan aktivitas carbohydrate regulatory element-binding protein (ChREBP)
dan SREBP-1 nukleus meningkat. Peningkatan kecepatan lipogenesis de novo yang
diinduksi fruktosa menghasilkan asam lemak yang kemudian bergabung dalam
80
trigliserida hepatik serta profil lipid lain. (Adiels et al., 2006). Konsumsi diet tinggi
fruktosa dan lemak jenuh mempengaruhi produksi asam lemak hepatik dan
menyebabkan ketidakseimbangan asam lemak. Fruktosa yang diabsorbsi dikirim ke
hepar melalui vena porta kemudian difosforilasi menjadi fruktosa-1-fosfat dan
diubah menjadi gliserol atau dimetabolisme dalam jalur glikolitik. Hal ini akan
menginduksi peningkatan kecepatan lipogenesis de novo dan sintesis trigliserida
(Mittendorfer dan Sidossis, 2001). Fruktosa memotong jalur control point pada
glikolisis yaitu 6-fosfofrutokinase dan tidak dibatasi oleh umpan balik penghambatan
oleh sitrat dan ATP ( Basciano et al., 2005). Peningkatan availabilitas substrat
glikogenik seperti piruvat, laktat, gliserol dan akumulasi asetil ko-A yang disebabkan
oleh adanya peningkatan oksidasi asam lemak diduga menjadi penyebab utama
hiperglikemia puasa pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak dan lemak jenuh.
Hal ini telah dibuktikan dengan adanya peningkatan fruktosa- 1,6 -bifosfatase, suatu
enzim glukogenik utama (Thresher et al., 2000).
Peningkatan sintesis enzim-enzim lipogenik akibat aktivasi SREBP-1c
menyebabkan retikulum endoplasma (RE) bekerja keras dalam proses pelipatan
protein (protein folding) sehingga menginduksi terjadinya stres RE. Dalam kondisi
stres RE sel tidak mampu untuk melipat dengan efisien dan menghasilkan protein.
Sel diketahui memiliki mekanisme tertentu dalam beradaptasi terhadap kondisi yang
merugikan tubuh untuk menjaga homeostasis. Salah satu mekanisme yang terjadi
ketika terjadi stres RE adalah aktivasi Unfolded Protein Response (UPR). Adanya
aktivasi UPR akan meningkatkan endoplasmic reticulum protein folding capacity
melalui pelebaran RE dan peningkatan ekspresi chaperon dan foldase. Selain itu
pengaktivan UPR juga akan menghambat translasi protein serta degradasi protein
yang berhubungan dengan RE pada protein yang misfolded. UPR pada sel mamalia
terdiri dari 3 cabang sinyal yang diiniasiasi oleh tiga sensor transmembran RE yaitu
inositol –requiring protein 1 (IRE 1), double-stranded RNA-dependent protein
kinase like ER kinase (PERK) dan activating transcription factor 6 (ATF6). Selama
beberapa dekade terakhir telah banyak diketahui bahwa stres retikulum endoplasma
dapat menyebabkan perubahan metabolisme lipid. Stres RE memicu aktivasi
SREBP-1c dan berperan dalam lipogenesis de novo (Kammoun et al., 2009; Su et al.,
81
2009). Stres oksidatif dan pelepasan ROS adalah komponen integral dari stres RE
(Santos et al, 2009). ). Penelitian terbaru menunjukkan lengan UPR spesifik dan jalur
molekul sinyal selanjutnya memiliki peran dalam pengaturan metabolisme lemak.
Akumulasi protein misfolded dan unfolded pada lumen RE (stres RE)
menyebabkan aktivasi protein transmembran RE yaitu PERK, IRE1 dan ATF6.
Homodimerisasi PERK dan autofosforilasi menghasilkan fosforilasi pada subunit
eIF2
dengan
menghambat
sintesis
protein.
aktivasi
ATF6
menyebabkan
translokasinya ke golgi untuk dipotong oleh site 1 dan site 2 protease. Hal ini
menyebabkan pelepasan fragmen
N-terminal ATF-6 dan berpindah ke nukleus,
terikat dengan ER stress response element (ERSE) kemudian mengaktivasi gen
target UPR. Fosforilasi eIF2α dan aktivasi jalur PERK dibawah kondisi stres RE
akibat induksi diet tinggi lemak menyebabkan peningkatan lipogenesis dengan cara
menginduksi C/EBPα dan menurunkan translasi protein Insig1 sehingga akan
meningkatkan aktivasi SREBP (Basseri dan Austin, 2012).
Penelitian terbaru menunjukkan kondisi stres RE berhubungan dengan
disregulasi lemak di beberapa organ. Selain dalam hepar, gangguan pengaturan
lemak juga terjadi di adiposit, sel beta dan makrofag. Adiposit diketahui sebagai sel
yang terlibat dalam patogenesis sindroma metabolik. Adiposit menyimpan energi
tambahan dalam trigliserida didalam organela sitosolik (droplet lemak). SREBP-1c
adalah isoform SREBP yang paling banyak terekspresi di adiposit dan merupakan
faktor transkripsi yang penting selama adipogenesis. Overekspresi SREBP-1c
menyebabkan peningkatan pembentukan droplet lemak dalam preadiposit. SREBP1c juga diketahui secara langsung mengaktifkan C/EBPβ yang berperan dalam
adipogenesis. Pada kondisi stres RE, lengan UPR yaitu ATF6 akan dibawa ke golgi
untuk dipotong. Potongan ATF6 ini akan mengaktifkan SREBP dan selanjutnya
mengaktifkan gen-gen lipogenik seperti FAS, HMG-CoA dan ACC menyebabkan
terbentuknya droplet lemak di adiposa.
V.3.2.2. Sterol Regulatory Element Binding Protein 1C (SREBP- 1C)
Sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP-1c) adalah anggota
faktor transkripsi dari famili basic helix-loop-helix leucine zipper (Horton et al.,
2002; Eberle et al., 2004) yang berperan pada regulasi ekspresi gen beberapa enzim
82
yang berpengaruh terhadap metabolisme kolesterol, lipid dan glukosa (Ferre dan
Foufelle, 2002; Osborne et al., 2000) . Ekspresi SREBP-1c diregulasi di tingkat
transkripsi (Desvergne et al., 2006). SREBP-1c juga meregulasi faktor transkripsinya
sendiri dengan umpan balik positif melalui ikatan terhadap sterol regulatory
elements (SREs) pada promoter SREBP-1c (Amemiya-Kudo et al., 2000). Prekursor
protein SREBP-1c terikat pada retikulum endoplasma (RE). Daerah terminal amino
dilepaskan dan ditranspor ke nukleus sebagai faktor transkripsi aktif (Brown et al.,
2000).
Fungsi utama SREBP-1c adalah mengaktifkan gen yang terlibat dalam
sintesis asam lemak dan hubungannya dengan pembentukan trigliserida dan
fosfolipid (Horton et al., 2002; Eberle et al., 2004) sehingga kadar SREBP-1c yang
tinggi mengakibatkan akumulasi lipid di hepar (Ferre dan Foufelle, 2007). Fatty acid
synthase (FAS) diketahui merupakan target gen SREBP-1c (Latasa et al., 2000;
Amemiya-Kudo et al., 2002). Kelebihan ekpresi SREBP-1 berhubungan dengan
status gizi di hepar dan jaringan adiposa (Kim et al., 1998; Horton et al., 1998;
Fleischmann dan Iynedjian, 2000). Keterlibatan SREBP-1c dalam sintesis asam
lemak antara jaringan hepar dengan adiposa pada dasarnya berbeda. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Sekiya et al.(2007) ditemukan SREBP-1c juga terekspresi
dalam adiposit namun peran SREBP-1c dalam sel ini dalam mengaktifkan promoter
gen Fatty Acyd Synthase (FAS) dapat diabaikan. Proses lipogenesis dalam adiposa
nampaknya diinduksi oleh faktor transkripsi lain. Namun menurut penelitian Ito et
al., (2013) SREBP-1c merupakan gen yang diregulasi insulin/ c-Jun N-terminal
kinase (JNK2). Jalur insulin/JNK2 memediasi pembentukan asam lemak akibat
induksi insulin. Hal ini dapat menyebabkan pembesaran lipid droplet pada adiposit
manusa. SREBP-1c di adiposa paling banyak terekspresi dan berperan penting dalam
proses adipogenesis (Zha dan Zhou, 2012).
Pada saat aktivasi, SREBP-1c akan menstimulasi ekspresi jalur enzimatik
tertentu yang mengubah asetat menjadi asam lemak dan bentuk esternya yaitu
trigliserol (Horton et al.,2002; Rosen et al., 2003). Aktivitas SREBP-1c yang
berlebihan mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan
menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik
83
(steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin (Brown dan Goldstein,2008).
Meskipun aktivitas SREBP-1c seringkali bersifat patologis pada manusia namun
pada dasarnya respon gen ini terhadap makanan adalah suatu respon yang normal
dan memungkinkan terjadinya penyimpanan kelebihan energi dalam bentuk
trigliserida yang stabil dan padat. Aktivitas SREBP-1c karena adanya makanan
terjadi sebagian besar akibat respon insulin yang berperan pada multiple regulatory
steps. Transkripsi mRNA SREBP-1c diinduksi sangat kuat oleh insulin melalui
mekanisme yang melibatkan faktor transkripsi LXR (Chen et al., 2004; DeBoseBoyd et al., 2001; Repa et al., 2000; Scultz et al., 2000; Yoshikawa et al., 2001) dan
auto regulasi SREBP-1c (Amemiya-Kudo et al., 2000; Chen et al., 2004).
Mekanisme penting yang mendasari aktivasi SREBP-1c oleh insulin adalah
pematangan proteolitik membran retikulum endoplasma (RE) yang menempelkan
prekursor SREBP-1c ke sisi aktif dan nuklear faktor transkripsi SREBP-1c (Hegarty
et al., 2005). Penelitian terbaru menunjukkan menunjukkan aktivasi SREBP-1c yang
merespon insulin juga membutuhkan mechanistic Target of Rapamycin Complex 1
(mTORC1) (Duvel et al., 2010; Li et al., 2010; Porstmann et al., 2009). Menurut
penelitian Boden G, et al. (2013) kondisi hiperglikemia menyebabkan penurunan
regulasi mRNA serta protein Insig 1 dan Insig 2 yang menyebabkan aktivasi protein
SREBP-1c di jaringan hepar tikus. Pada kondisi yang sama aktivasi SREBP-1c
dalam adiposa tikus kurang. Hal ini disertai dengan kuatnya peningkatan mRNA dan
protein Insig1. Protein Insig2 juga meningkat namun jumlahnya lebih sedikit
dibanding Insig1. Insig 1 dan Insig 2 merupakan protein yang mengikat SREBP-1c
dan mencegah perpindahan SREBP-1c/ kompleks SCAP dari retikulum endoplasma
ke golgi sehingga aktivasi SREBP-1c tidak terjadi. Dari penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada kondisi hiperglikemia ekspresi SREBP-1c di hepar lebih
tinggi dibanding di adiposa akibat regulasi Insig 1/2.
V.3.2.3. Labu Kuning
Labu kuning berasal dari genus Cucurbita famili Cucurbitaceae yang tumbuh
di negara beriklim tropis dan subtropis. Secara umum terdapat tiga jenis labu kuning
di dunia yaitu Cucurbita pepo,Cucurbita maxima dan Cucurbita moschata (Lee et
al., 2003). Labu kuning dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna.
84
Labu kuning mempunyai rasa yang manis ketika sudah matang dengan warna
kuning orange yang kaya karoten, vitamin, mineral, dan serat. (Usha et al., 2010).
Beberapa varietas labu kuning seperti C. moschata, C. maxima dan C. pepo, yang
mempunyai rentang warna dari kuning hingga orange, mempunyai kandungan yang
tinggi akan karoten, terutama α dan β-karoten, β-criptoxanthina, lutein and
zeaxanthin. (Carvalho, 2012).
Sebuah studi yang dilakukan oleh Carvalho (2012) menunjukkan bahwa
kandungan karoten pada labu kuning (C. Moschata) berkisar antara 234,21 μg/g 404,98 μg/g, kandungan α-karoten bervariasi dari 67,06 –72,99 μg/g, kandungan βkaroten berkisar antara 244,22 μg/g –141,95 μg/g. Oleh karenanya, labu kuning dapat
dijadikan sebagai makanan sumber α-karoten dan β-karoten. Kandungan karoten dan
asam askorbat pada labu kuning memiliki peran penting pada pembentukan
provitamin A dan vitamin C sebagai antioksidan. Karotenoid mengandung gugus
pigmen isoprenoid dan paling banyak terakumulasi dalam hepar dan adiposa.
Karotenoid merupakan peredam singlet oksigen dan dapat membuang reactive
oxygen species (ROS). Karotenoid juga dapat berperan sebagai peredam kimiawi
dibawah oksigenasi yang irreversible. Mekanisme molekuler yang mendasari reaksi
ini belum dipahami sepenuhnya, terutama pada konteks aktivitas anti dan pro
oksidan dari karotenoid berperan dalam berbagai proses biokimia. Potensi
antioksidan dari karoten penting bagi kesehatan karena terbukti menurunkan stres
oksidatif pada proses patoligis beberapa penyakit kronis. Data dari penelitian
epidemiologi dan clinical trial menunjukkan suplementasi karoten dapat secara
signifikan menurunkan resiko beberapa penyakit yang dimediasi oleh ROS. (Fiedor
dan Burda, 2014). Aktivitas antioksidan diketahui dapat meningkatkan jumlah sel
beta pankreas dengan memicu perbaikan dan restorasi sel ini (Asgary et al., 2008).
Berbagai penelitian menunjukkan pemberian antioksidan pada tikus diabetik
meningkatkan jumlah sel beta pankreas secara signifikan. Buah kesemak (Diospyros
kaki) yang diketahui mengandung beberapa komponen aktif yang berfungsi sebagai
antioksidan
seperti
polifenol,
flavonoid,
steroid,
karotenoid
serta
kaya
proantosianidin dapat mempengaruhi ekspresi SREBP-1. Penelitian yang dilakukan
oleh Yozokawa et al. (2012) menemukan adanya penurunan ekspresi SREBP-1
85
setelah pemberian proantosianidin dari buah kesemek pada tikus model diabetes
mellitus yang diinduksi STZ. Pada penelitian dengan menggunakan tepung yang
kaya fucoxanthin (suatu karotenoid yang berasal dari rumput laut) dihasilkan
penurunan ekspresi SREBP-1c yang signifikan pada tikus yang diberikan tepung ini
sehingga penurunan kadar trigliserida dan kolesterol yang terjadi dihubungkan
dengan penurunan SREBP-1c (Ha dan Kim, 2013). Meskipun penelitian kedua
penelitian tersebut telah menemukan penurunan ekspresi SREBP-1c yang disebabkan
oleh pemberian bahan makanan yang mengandung karoten namun jalur penurunan
SREBP-1c melalui pemberian salah satu jenis karotenoid ini belum diketahui. Pada
penelitian Xu (2000) mengenai efek antitumor dan immunocompetence, polisakarida
labu kuning diketahui dapat meningkatkan aktivitas superoxide dismutase dan
gluthatione peroksidase dan menurunkan malonaldehida pada serum mencit yang
menunjukkan peningkatan kapasitas antioksidan. Labu kuning juga kaya akan serat
dan diketahui dapat menurunkan kadar LDL plasma dengan menghambat absorbsi
asam empedu dan kolesterol serta meningkatkan aktivitas reseptor LDL. Diet tinggi
serat dapat menurunkan kadar trigliserida dengan menekan lipogenesis di hepar
(Romero et al., 2002; Lecumberri et al, 2007).
Labu kuning juga banyak
mengandung pektin. Pektin dapat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase dalam
jaringan lemak dan jantung sehingga absorbsi VLDL lebih tinggi di kedua jaringan
tersebut dibandingkan di hepar. Hal ini mengakibatkan VLDL terdegradasi dan kadar
trigliserida turun (Asgary, 2011).
V.3.3. Landasan Teori
Peningkatan konsumsi makanan atau minuman yang mengandung tinggi
fruktosa dan lemak dapat menyebabkan terjadinya sindroma metabolik yaitu obesitas
sentral, dislipidemia, hipertensi dan resistensi insulin. Kondisi dislipidemia sendiri
dapat menyebabkan peningkatan oksidasi lemak yang memicu peningkatan stres
oksidatif menyebabkan stres pada retikulum endoplasma. Stres retikulum
endoplasma dapat menyebabkan aktivasi unfolded protein response (UPR) baik di
hepar maupun di adiposa. Aktivasi UPR di hepar mengaktifkan jalur PERK dan
menyebabkan terjadinya fosforilasi eIFα2.yang selanjutnya menurunkan aktivitas
Insig 1/2 dalam mengikat SREBP-1c sehingga faktor transkripsi ini teraktivasi.
86
Aktivasi UPR di adiposa selain aktivasi jalur PERK seperti yang terjadi di hepar juga
menyebabkan ATF 6 dipotong oleh S1P dan S2P sehingga mengaktivasi ekspresi
SREBP-1c . Beberapa penelitian terbaru menunjukkan aktivasi stres retikulum
endoplasma yang bersifat kronis mengakibatkan disregulasi metabolisme lipid di
hepar, makrofag, sel beta dan adiposit. Proses aktivasi stres retikulum ini memiliki
peran penting pada regulasi fungsi adiposit (Zha dan Zhou, 2012). Diet tinggi lemak
dan fruktosa juga dapat mengaktifkan jalur mTORC1 yang dapat memicu penurunan
aktivitas Insig 1/2 sehingga SREBP-1c meningkatkan aktivasi SREBP-1c dalam
golgi. SREBP-1c yang aktif ini akan berpindah ke nukleus kemudian terjadi
transkripsi gen-gen target SREBP-1c dan menghasilkan enzim yang terlibat dalam
lipogenesis seperti fatty acid synthase (FAS).
Aktivitas SREBP-1c yang berlebihan mengakibatkan peningkatan sintesis
lemak yang patologis dan menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi
akumulasi lemak hepatik (steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin. Akumulasi
lemak hepatik dan peningkatan stres retikulum endoplasma ini dapat meningkatkan
stres oksidatif dan pelepasan ROS. Lipogenesis yang terus menerus terjadi dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan peroksidasi lipid di jaringan hepar maupun
adiposa yang menghasilkan senyawa H2O2 dan O- (singlet oksigen) (Nouman,SA et
al.,2011; Tangvarasittichai, S., 2015). Selain menyebabkan peningkatan lipogenesis,
kelebihan ekspresi SREBP-1c juga mengakibatkan terjadinya peningkatan glikolisis
sehingga menyebabkan kondisi hiperglikemia. Hiperglikemia dapat mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin sehingga memicu lipogenesis dan menghasilkan asam
lemak bebas dan trigliserida. Menurut penelitian Boden G, et al. (2013) kondisi
hiperglikemia menyebabkan penurunan regulasi mRNA serta protein Insig 1 dan
Insig 2 yang menyebabkan aktivasi protein SREBP-1c di jaringan hepar tikus. Pada
kondisi yang sama aktivasi SREBP-1c dalam adiposa tikus kurang. Hal ini disertai
dengan kuatnya peningkatan mRNA dan protein Insig1. Protein Insig2 juga
meningkat namun jumlahnya lebih sedikit dibanding Insig1. Insig 1 dan Insig 2
merupakan protein yang mengikat SREBP-1c dan mencegah perpindahan SREBP1c/ kompleks SCAP dari retikulum endoplasma ke golgi sehingga aktivasi SREBP1c tidak terjadi. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kondisi
87
hiperglikemia ekspresi SREBP-1c di hepar lebih tinggi dibanding di adiposa akibat
regulasi Insig 1/2.
Pencegahan dan penanganan stres oksidatif terkait kondisi dislipidemia
melalui konsumsi bahan makanan yang mengandung antioksidan telah banyak
diketahui dapat mengurangi kejadian stres oksidatif. Dalam upaya tersebut telah
dikembangkan pemanfaatan berbagai bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang
bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah labu kuning. Labu kuning seperti C.
moschata, mempunyai kandungan yang tinggi akan karoten, terutama α dan βkaroten, β-criptoxanthina, lutein and zeaxanthin (Carvalho, 2012). Karoten
merupakan antioksidan alami dan diketahui berfungsi sebagai peredam singlet
oxygen (1O2) dan scavenger bagi reactive oxygen spesies (ROS). Antioksidan dalam
labu kuning juga diduga dapat menurunkan stres di retikulum endoplasma. Penelitian
dengan menggunakan buah kesemek dan tepung kaya fucoxanthin (karotenoid yang
banyak terdapat pada rumput laut) membuktikan pemberian bahan makanan sumber
karotenoid ini dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c pada tikus yang mendapat diet
tinggi lemak. Penurunan ekspresi faktor transkripsi ini diikuti juga dengan penurunan
profil lipid. Meskipun mekanisme karoten dalam penurunan ekspresi SREBP-1c
belum diketahui namun sudah jelas bahwa pemberian bahan makanan sumber
karoten dapat mempengaruhi aktivitas SREBP-1c sehingga menurunkan lipogenesis.
Tingginya nilai karoten labu kuning serta pengaruhnya terhadap ekspresi
SREBP-1c dan kejadian lipogenesis membuat semakin meningkatnya penelitian
yang dikembangkan untuk pemanfaatan labu kuning agar bermanfaat terhadap
kesehatan. Labu kuning dapat terus ditingkatkan fungsinya dalam upaya pencegahan
dan penanganan beberapa penyakit akibat adanya gangguan metabolik karena adanya
efek antioksidan pada tanaman ini.
V.3.4. Cara penelitian
1. Pembuatan tepung labu kuning
Pembuatan tepung labu kuning menggunakan metode freeze drying
karena kandungan karoten pada labu mudah hilang oleh cahaya dan
pemanasan. Prinsip teknologi pengeringan beku ini dimulai dengan proses
pembekuan labu kuning dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan
88
mengeluarkan/ memisahkan hampir sebagian besar air dalam labu kuning
dengan metode sublimasi (Hariyadi, 2013). Pada metode ini air yang
terkandung dalam labu kuning akan diuapkan dan dibekukan sehingga
diperoleh hasil akhir berupa tepung labu kuning yang kering. Langkah
pembuatan tepung labu kuning ini adalah sebagai berikut:
1. Labu kuning dikupas
2. Labu kuning dicuci bersih
3. Labu kuning dipotong kecil-kecil (kira-kira 2 mm).
4. Labu kuning yang telah dipotong dimasukkan ke dalam blender.
5. Labu kuning yang telah halus dimasukkan dalam freeze dryer
selama 3x 24 jam.
2. Analisa kadar karoten tepung labu kuning
Analisa kadar karoten tepung labu kuning dilakukan oleh tenaga
ahli/laboran di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (PSPG
UGM) dengan mengggunakan metode kolom kromatografi. Prinsip metode
ini adalah karoten diekstraksi dengan campuran aseton-heksan kemudian
dipisahkan dari zat-zat lain dengan kolom kromatografi menggunakan
campuran magnesium dan tanah liat. Karoten diukur serapannya pada
panjang gelombang 450 nm. Hasil analisa kandungan karoten tepung labu
kuning pada penelitian ini adalah 40.450,8 µg/100 g.
3. Penentuan Dosis Tepung Labu Kuning
Dosis tepung labu kuning yang digunakan pada penelitian ini
mengacu pada kadar karoten labu kuning yang telah dianalisa sebelumnya.
Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 kebutuhan vitamin A
orang dewasa adalah 600 µg/hari. Kandungan karoten pada 1 µg vitamin A
adalah 12 µg sehingga kebutuhan karoten manusia adalah 7200 µg/hari.
Dengan menggunakan faktor konversi 0,018 untuk tikus dengan berat badan
200 gram (Ngatidjan, 2006) maka kebutuhan karoten tikus adalah 129,6
µg/hari. Dalam penelitian ini digunakan 3 macam dosis tepung labu kuning
yang diperoleh dari deret hitung (1/2 n, n dan 2n) yaitu sebesar 0,16; 0,32
dan 0,64 gram per 200 gram berat badan tikus. Dosis akan disesuaikan
89
dengan perubahan berat badan tikus setiap minggunya selama 4 minggu
perlakuan.
4. Pembuatan Pakan
Pakan tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah semipurified
diets for rats menurut Animal Research Diets yang dimodifikasi dengan
komposisi sebagai berikut:
Tabel 3. Komposisi pakan standar
g/kg
Kasein
240
Tepung jagung
610
DL-Metionin
3
Campuran Vitamin
10
Campuran Mineral
35
Sel alfa
50
Minyak jagung
50
Choline Chloride
2
Sumber : Semipurified Diet for Rats and Mice (Reeves,1993)
Bahan
Persentase
24%
61%
0,3%
1%
3,5%
5%
5%
0,2%
Pembuatan pakan standar dengan cara mencampur semua komposisi pakan
berdasarkan g/kg jumlah pakan yang akan dibuat.
5. Adaptasi Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus
galur Sprague dawley jantan yang berusia 3 bulan dengan berat badan 180-200
gram. Tikus ditempatkan pada kandang individu. Tikus diadaptasikan selama 1
minggu dengan pemberian diet standar semipurified diet for rats sebanyak 20
gram/tikus/hari
6. Pembagian Kelompok Hewan Coba
Hewan coba dibagi dalam 6 kelompok sebagaimana terlihat pada tabel 4
dibawah ini
Tabel 4. Pembagian kelompok perlakuan
Kelompok
Perlakuan
1. Kelompok kontrol sehat
Kontrol tikus sehat, tidak diinduksi
DTLF, perlakuan berupa pemberian
aquadest
2. Kelompok kontrol dislipidemia
Kontrol tikus dislipidemia, diinduksi
DTLF, perlakuan berupa pemberian
aquadest
90
3. Kelompok dislipidemia + tepung Tikus diinduksi DTLF, perlakuan
labu kuning 0,16 g/200 g BB
berupa pemberian tepung labu kuning
sebanyak 0,16 g/200 g BB
4. Kelompok dislipidemia + tepung Tikus diinduksi DTLF, perlakuan
labu kuning 0,32 g/200g BB
berupa pemberian tepung labu kuning
sebanyak 0,31 g/200 g BB
5. Kelompok dislipidemia + tepung Tikus diinduksi DTLF, perlakuan
labu kuning 0,64 g/ 200 g BB
berupa pemberian tepung labu kuning
sebanyak 0,62 g/200 g BB
6.
Induksi Diet Tinggi Lemak dan Fruktosa (DTLF)
Komposisi diet tinggi lemak dan fruktosa yang digunakan pada penelitian
ini mengacu pada Ble-Castillo et al. (2012) dan Tranchida et al. (2012) seperti
pada tabel 4. Tikus yang diinduksi dengan diet tinggi lemak dan fruktosa
diberikan 20 gram/ tikus/ hari pakan DTLF.
Tabel 5. Komposisi Diet Tinggi Lemak dan Fruktosa serta Diet Kontrol.
Bahan
Diet Kontrol
Diet Tinggi Lemak dan Fruktosa
(g/kg)
(DTLF)
(g/kg)
Kasein
254,1
254,1
Minyak jagung
11,1
11,1
Lemak putih
364,5
Pati jagung
305
305
Sukrosa
33,8
Fruktosa
61,7
Vitamin dan Mineral
15
15
7. Analisis Kadar Trigliserida
Analisis kadar trigliserida sebelum pemberian perlakuan tepung labu
kuning dilakukan setelah 25 hari pemberian diet tinggi lemak dan fruktosa
(DTLF) untuk melihat apa tikus sudah mengalami hipertrigliserida atau belum.
Sampel yang digunakan untuk analisis trigliserida adalah serum dengan metode
enzymatic
colorimetri
menggunakan
reagen
kit
trigliserida
(Dyasis).
Pengambilan darah dilakukan sesuai metode yang direkomendasikan oleh
Guacuc Standard Procedure (2006) yaitu hewan coba yang telah dipuasakan
91
selama ±8 jam ditempatkan pada permukaan kerja yang datar, posisi jari telunjuk
berada pada bagian wajah untuk menarik kelopak mata sedangkan jari lainnya
diletakkan diatas vena jugularis sekitar rahang bawah, selanjutnya pipet
mikrohematokrit dimasukkan dengan sudut 45o secara pelan-pelan ke medial
canthus dan diputar untuk memecah bulbar conjuctiva hingga mencapai tulang
orbita dan sinus orbita pecah. Darah ditampung dalam mikrotube 2 mL dan
dimasukkan ke dalam cool box. Setelah itu, sampel darah disentrifuse degan
kecepatan 3500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan serum. Selanjutnya
dipipet 10 µL serum, 10 µL larutan standar dan 1000 µL reagen trigliserida ke
dalama tabung pemeriksaan untuk selanjutnya dihomogenkan dengan vortex dan
diinkubasi selama 10 menit dalam inkubator dengan suhu 37oC. Sebagai faktor
koreksi dibuat blanko yang dipreparasi seperti sampel namun digunakan
aquadest sebagai pengganti serum. Selanjutnya dilakukan pembacaan absorbansi
menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 500 nm.
8. Perlakuan Hewan Coba
Selama perlakuan, hewan coba diberi pakan semipurified diets for rats
dan air minum secara ad libithum. Sisa pakan pada masing-masing kelompok
hewan coba ditimbang setiap hari. Berat badan setiap hewan coba ditimbang
setiap minggu. Kandang individu hewan coba dibersihkan setiap hari. Perlakuan
berupa pemberian tepung labu kuning per oral diberikan selama 4 minggu.
9. Pengambilan Jaringan Hewan Coba (Post test)
Pengambilan jaringan hewan coba dilakukan dengan pembedahan.
Sebelum pembedahan, tikus dianestesi dengan eter secara inhalasi. Jaringan
hepar yang diambil kemudian ditampung dalam cryotube yang bebas RNAse
dan dimasukkan dalam termos berisi nitrogen cair. Jaringan selanjutnya
disimpan pada suhu -80oC untuk persiapan analisis gen dengan metode RT-PCR.
10. Analisis Ekspresi SREBP-1c
1. Preparasi sampel
a. Homogenisasi: Homogenisasi yang dilakukan menggunakan rotor pastel
dalam mikrotube 1,5 ml. Keterbatasan peralatan dalam proses
homogenisasi
menyebabkan
homogenisasi
dalam
penelitian
ini
92
menggunakan ½ reaksi. Langkah homogenisasi ini adalah terlebih dahulu
menambahkan 500 µl reagen TRIzol dalam mikrotube. Selanjutnya
jaringan hepar dan adiposa dipotong sebanyak 25-50 mg dan dimasukkan
dalam mikrotube yang berisi TRIzol.
b. Separasi: Sampel yang sudah berbentuk homogenat diinkubasi selama 5
menit pada suhu ruang yang bertujuan untuk mendisosiasi komplek
nukleoprotein secara lengkap. Setelah diinkubasi kemudian ditambahkan
0,1 mL kloroform per 0,5 mL reagen TRIzol ® yang digunakan saat
proses homogenisasi. Selanjutnya tabung ditutup dengan kencang dan
dikocok dengan tangan selama 15 detik. Larutan kemudian diinkubasi
selama 2-3 menit pada suhu ruang. Sampel kemudian disentrifuge pada
12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC. Proses selanjutnya pada fase
air yang berisi RNA dipindahkan dari sampel dengan cara mengarahkan
tube pada sudut 45o kemudian larutan di pipet keluar dan ditempatkan
pada tube baru.
2. Isolasi RNA
a. Presipitasi: Proses isolasi RNA adalah pada mikrotube yang berisi fase
cairan yang diperoloeh ditambahkan 0,25 mL dari 100% isopropanol per
0,5 mL reagen TRIzol ® kemudian larutan di inkubasi selama 10 menit
pada suhu ruang. Langkah selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan
12.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC.
b. Pencucian: Supernatan yang ada di dalam tube di keluarkan dan endapan
pellet RNA dibiarkan di dalam tube. Endapan pellet RNA di cuci dengan
0,5 mL etanol 75% per 0,5 mL reagen TRIzol ® yang digunakan pada
tahap awal homogenisasi. Sampel lalu di vortex kemudian di sentrifuge
pada 7.500 rpm selama 5 menit pada 4oC lalu supernatant dibuang. Pellet
RNA dikeringkan selama 5-10 menit.
c. Resuspensi: RNAase free water 35 µL ditambahkan ke dalam tube yang
berisi pellet RNA kemudian melewatkan larutan secara naik turun untuk
beberapa kali melalui pipet tip. Selanjutnya larutan diinkubasi dalam
water bath pada suhu 55-60oC selama 10-15 menit dan siap digunakan
93
untuk proses selanjutnya atau bila tidak segera digunakan dapat disimpan
dalam suhu -70oC
3. Mengukur Konsentrasi RNA
Pengukuran konsentrasi RNA dilakukan sebagai berikut: RNA diencerkan 20
kali yaitu sebanyak 5 µL ditambahkan 95 µL nuclease free water. Blank berupa
nuclease free water dipipet sebanyak 100 µL dan diukur, kemudian sampel
dipipet sebanyak 100 µL dan dimasukkan ke dalam Spektrofotometer dan hasil
pembacaan tertera pada layar.
4. Sintesis cDNA melalui reverse transcription
Sintesis cDNA berasal dari total RNA yang dipurifikasi dari jaringan hepar
dan adiposa putih dengan tahap sebagai berikut: komponen cDNA synthesis
(Tabel 6) dimasukkan ke dalam tube bebas RNase.
Tabel 6. Komposisi Reagen cDNA
Komponen
Volume per Reaksi
5x iScript reaction mix
4 µL
iScript reverse transcriptase
1 µL
nuclease free water
x µL
RNA template
x µL
Total volume
20 µL
Setelah itu, campuran reaksi dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan program
sebagai berikut: suhu 25°C selama 5 menit, suhu 42°C selama 30 menit dan
suhu 85°C selama 5 menit, kemudian disimpan dalam suhu -20°C.
5. Pengukuran Kuantitatif dengan Real Time PCR
Tahap analisis RT-PCR terdiri dari persiapan sampel dan amplifikasi.
Persiapan sampel dilakukan sebagai berikut: SsoFast™ Evagreen® supermix,
primer (forward dan reverse), dan RNase free water yang beku di thawing pada
suhu ruang, kemudian dicampur dalam stock tube yang jumlahnya telah
disesuaikan dengan sampel yang akan dianalisis dan di spin-down selama 20-30
detik untuk mengumpulkan larutan pada bagian bawah tube. Assay master mix
(Tabel 7) dalam stock tube dipipet sebanyak 19 µL ke tiap tube sesuai kode
sampel yang dianalisis dan DNA template ditambahkan sebanyak 1 µL ke
masing-masing tube dan sampel siap dimasukkan ke dalam alat RT-PCR CFX96
Biorad.
94
Tabel 7. Assay master mix
Komposisi
Jumlah
5 µL
0,75 µL
Evagreen
Primer SREBP-1c (forward):
5‟-CTGTCGTCTACCATAAGCTGCAC-3‟
Primer SREBP-1c (reverse):
0,75 µL
5‟-ATAGCATCTCCTGCACACTCAGC-3‟
cDNA
1 µL
Nuclease free water (ddH2O)
1 µL
Assay master mix yang telah mengandung DNA template dimasukkan ke dalam
alat RT-PCR CFX96 Biorad dengan program amplifikasi 40 siklus yaitu: 1)
denaturasi awal pada suhu 95°C selama 5 menit; 2) denaturasi pada suhu 95ºC
selama 1 menit; 3) annealing pada suhu 62ºC selama 30 detik; 4) elongasi pada suhu
72ºC selama 1 menit; dan 5) Melt-curve analysis pada65°C-95°C selama 2-5 detik
untuk setiap tahapnya.
Produk PCR yang dihasilkan dengan menggunakan primer SREBP-1C
tersebut adalah 120 bp dan pProduk PCR primer beta aktin adalah 250 bp (Liu et al.,
2013). Internal gene pada reaksi ini menggunakan β -aktin dengan urutan basa
sebagai berikut:
F:5‟-ACGGTCAGGTCATCACTATCG-3‟
R:5‟GGCATAGAGGTCTTTACGGATG-3‟.
Sinyal fluorescence diukur selama amplifikasi dan dinyatakan positif jika
intensitas fluorescence lebih dari 20 kali lipat lebih besar daripada standar deviasi
dari baseline fluorescence. Kuantifikasi relatif
gen target terhadap beta aktin
digunakan untuk menentukan tingkat ekspresi SREBP-1c. Beta aktin digunakan
sebagai gen untuk menentukan kurva standar. Kurva standar ditentukan dengan
menggunakan dilusi beta aktin pada beberapa konsentrasi yaitu 0,125 µg/µL; 0,250
µg/µL ; 0,5 µg/µL ; 1 µg/µL ; 2 µg/µL. Persamaan kurva standar jaringan hepar dan
adiposa berturut-turut adalah Y= 2,536x+17,407 (R=0,92) ; Y= 1,762x+38,23
(R=0,96). Ekspresi SREBP-1c dihitung berdasarkan jumlah amplikon (Cq) gen target
masing-masing jaringan dibandingkan dengan rata-rata beta aktin setelah
dimasukkan dalam persamaan kurva standar (Cq sampel: rata-rata Cq beta aktin) dan
dinyatakan dalam ekspresi SREBP-1c relatif terhadap beta aktin.
95
V.3.5. Hasil dan Pembahasan
V.3.5.1 Karakteristik subyek
1. Berat Badan
Berat badan tikus antar kelompok pada saat pretest, midtest, dan posttest
memiliki distribusi yang normal secara statistik (p>0,05) diuji menggunakan
Saphiro-Wilk. Berdasarkan hasil analisa one way ANOVA, tidak ada perbedaan berat
badan yang signifikan pada semua kelompok. Sedangkan berat badan menurut waktu
perlakuan pada masing-masing kelompok berdasarkan uji repeated ANOVA
menunjukkan peningkatan bermakna pada K1, K2, K3 dan K4.
Selama penelitian, tidak ada perbedaan peningkatan berat badan pada semua
kelompok perlakuan. Namun jika dilihat dari hasil pengukuran pretest, midtest, dan
postest, masing-masing kelompok perlakuan mengalami peningkatan berat badan
yang signifikan. Jika dikaitkan dengan asupan pakan, diketahui bahwa rata-rata
asupan pakan pada tiap-tiap kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan yang
bermakna. Peningkatan berat badan tikus dapat disebabkan oleh faktor pertumbuhan
dan asupan pakan selama penelitian.
Pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak tinggi fruktosa pada umumnya
mengalami kenaikan berat badan dibandingkan dengan tikus normal. Penelitian
Tranchida et al. (2012) pada tikus yang diinduksi diet tinggi fruktosa dan lemak
jenuh selama 30 minggu mengalami kenaikan berat badan sebesar 11%
relatif
terhadap kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena diet tinggi fruktosa dan lemak
ini dapat memicu sintesis gen-gen lipogenik yang menginduksi terjadinya
lipogenesis. Peningkatan lipogenesis akan meningkatkan produksi trigliserida dan
kolesterol yang menyebabkan peningkatan lemak viseral sehingga terjadi
peningkatan berat badan.
2. Asupan
Pakan tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah semipurified
diets for rats yang mengacu pada Animal Research Diets. Tikus diberi 20 g pakan
setiap harinya. Sisa pakan ditimbang setiap hari untuk mengetahui asupan pakan
standar dan pakan diet yang masuk ke tikus. Asupan pakan dihitung menggunakan
96
analisis One Way ANOVA dengan nilai signifikansi p<0,05. Hasil analisa
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna asupan pakan pada minggu
ke-1 sampai minggu ke-4. Jika dilihat dari rerata asupan pakan secara keseluruhan
selama empat minggu perlakuan, tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan
pada masing-masing kelompok. Ini berarti bahwa perbedaan perlakuan tidak
mempengaruhi nafsu makan tikus sehingga rata-rata asupan pakan antar kelompok
selama penelitian sama.
Pemberian pakan standar sebanyak 20 g pada hewan coba setiap harinya
dilakukan secara ad libitum (sekenyangnya). Kelemahan dari cara ini adalah bahwa
tidak semua pakan yang diberikan dimakan habis oleh hewan coba.
3. Kadar Trigliserida
Kadar trigliserida tikus diperiksa dengan menggunakan metode enzimatis.
Kadar trigliserida subjek diukur pada saat sebelum pemberian tepung labu kuning
(pretest) dan setelah pemberian tepung labu kuning (posttest). Subjek dipuasakan
selama 12 jam semalam (overnight) dan diambil darahnya melalui sinus orbitalis
mata.
Kadar trigliserida dianalisa menggunakan One Way ANOVA dengan nilai
signifikansi p<0,05. Rata-rata kadar trigliserida antar kelompok menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Kadar trigilerida tikus yang diinduksi pakan tinggi lemak
dan fruktosa (K2,K3,K4,K5) mengalami peningkatan dengan beda yang signifikan
dibandingkan dengan tikus yang tidak diinduksi (K1). Kadar trigliserida pada
kelompok tikus K1 mengalami sedikit peningkatan (0,64 mg/dL) dari 71,50 mg/dL
menjadi 72,14 mg/dL namun kadar trigliserida ini masih dalam batas normal. Pada
kelompok tikus dislipidemia (K2) terjadi peningkatan kadar trigliserida dari 132,60
mg/dL menjadi 134,69 mg/dL, dan dalam keadaan hipertrigliserida . Hasil penelitian
Tranchida et al. (2012) menunjukkan tikus yang mengkonsumsi diet tinggi fruktosa
dan asam lemak jenuh mengalami peningkatan glikemia, insulinemia, trigliserida dan
kolesterol. Pada penelitian sebelumnya juga menemukan pemberian diet tinggi
fruktosa dan lemak jenuh menginduksi terjadinya gangguan toleransi glukosa,
dislipidemia dan resistensi insulin (Girard et al., 2005; Abdullah et al., 2009).
Konsumsi diet tinggi fruktosa dan lemak jenuh mempengaruhi produksi asam lemak
97
hepatik dan menyebabkan ketidakseimbangan asam lemak. Fruktosa yang diabsorbsi
dikirim ke hepar melalui vena porta kemudian difosforilasi menjadi fruktosa-1-fosfat
dan diubah menjadi gliserol atau dimetabolisme dalam jalur glikolitik. Hal ini akan
menginduksi peningkatan kecepatan lipogenesis de novo dan sintesis trigliserida
(Mittendorfer dan Sidossis, 2001). Kadar trigliserida tinggi (hipertrigliseridemia)
yang diinduksi oleh diet tinggi lemak dan fruktosa disebabkan oleh peningkatan
produksi VLDL (very low density lipoprotein) dan atau penurunan pembersihan
(clearance) trigliserida (Zammit et al, 2001; Abdullah et al., 2009).
Sedangkan kadar trigliserida menurut waktu perlakuan memperlihatkan
penurunan yang signifikan pada saat sebelum pemberian tepung labu kuning dan
setelah pemberian tepung labu kuning baik pada kelompok K3, K4 maupun K5. Pada
kelompok K5 dengan dosis tepung labu kuning yang paling tinggi (0,64 gram)
menunjukkan kadar trigliserida yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok
K3 dan K4. Penelitian Asgary et al. ( 2011) juga menunjukkan pemberian 1 g/kg
tepung labu kuning pada tikus model diabetes dapat menurunkan kadar trigliserida
secara signifikan.
V.3.5.2. Ekspresi sterol regulatory element binding protein (SREBP-1c)
1. Tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar dan adiposa
Ekspresi SREBP-1c kelompok K2 yaitu tikus dislipidemia tanpa perlakuan
paling tinggi diantara semua kelompok baik di jaringan hepar maupun adiposa
dengan nilai p=0,000. Hasil ini membuktikan bahwa pemberian tepung labu kuning
secara signifikan menurunkan ekspresi SREBP-1c baik di jaringan hepar maupun
adiposa.
Induksi diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa pada kelompok K2,K3,K4,K5
dapat menyebabkan terjadinya stres di retikulum endoplasma. Stres RE memicu
aktivasi SREBP-1c dan berperan dalam lipogenesis de novo (Kammoun et al., 2009;
Su et al., 2009). Lipogenesis yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan
peningkatan peroksidasi lipid di jaringan hepar maupun adiposa yang menghasilkan
senyawa H2O2 dan O- (singlet oksigen) (Nouman,SA et al.,2011; Tangvarasittichai,
S., 2015). Stres oksidatif dan pelepasan ROS adalah komponen integral dari stres RE
(Santos et al, 2009). Karotenoid dalam tepung labu kuning yang diberikan pada
kelompok K3, K4 dan K5 berfungsi sebagai peredam singlet oksigen dan dapat
98
membuang reactive oxygen species (ROS) di dalam retikulum endoplasma (RE)
yang terbentuk saat tikus diinduksi DTLF. Karotenoid juga dapat berperan sebagai
peredam kimiawi dibawah oksigenasi yang irreversible. Mekanisme molekuler yang
mendasari reaksi ini belum dipahami sepenuhnya, terutama dalam konteks aktivitas
anti dan pro oksidan dari karotenoid pada berbagai proses biokimiawi (Fiedor dan
Burda, 2014). Penurunan stres RE diketahui dapat menghambat pemutusan SREBP1c dari Insig 1/2 yang selanjutnya menurunkan ekspresi gen target SREBP-1c (
Kammoun et al., 2009). Pemberian karotenoid yang berfungsi sebagai antioksidan
diduga dapat menurunkan stres oksidatif di RE jaringan hepar. Hal ini dapat
menurunkan aktivitas jalur PERK dan fosforilasi eIFα2 sehingga dapat menurunkan
ekspresi SREBP-1c. Pemberian karoten di jaringan adiposa dapat menurunkan stres
RE dan lengan UPR yaitu ATF6 tidak teraktifkan sehingga ekspresi SREBP-1c dapat
ditekan. Karotenoid yang mengandung gugus pigmen isoprenoid paling banyak
terakumulasi dalam hepar dan adiposa sehingga hal ini juga diduga menjadi
penyebab penurunan ekspresi SREBP-1c yang efektif di kedua jaringan tersebut
(Fiedor dan Burda, 2014).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ha dan Kim (2013). Pemberian
tepung kaya fucoxanthin (suatu karotenoid yang berasal dari rumput laut)
menunjukkan terjadinya penurunan ekspresi SREBP-1c yang signifikan pada tikus
yang diinduksi diet tinggi lemak setelah pemberian tepung tersebut. Penelitian yang
dilakukan oleh Yozokawa et al. (2012) menemukan adanya penurunan ekspresi
SREBP-1 setelah pemberian buah kesemek yang mengandung beberapa komponen
antioksidan seperti polifenol, flavonoid, steroid, karotenoid dan proantosianidin pada
tikus model diabetes mellitus yang diinduksi STZ. Hasil penelitian ini juga
membuktikan pemberian antioksidan berupa karotenoid dapat menurunkan ekspresi
SREBP-1c pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak dan fruktosa.
Pemberian tepung labu kuning pada kelompok K3, K4 dan K5 secara
signifikan menurunkan ekspresi SREBP-1c di jaringan hepar dan adiposa. Kelompok
K5 memiliki tingkat ekspresi yang paling rendah dibandingkan kelompok K3 dan K4
di kedua jaringan tersebut. Pada ketiga kelompok perlakuan ini tingkat ekspresi
SREBP-1c kelompok K4 (1,13±0,01) dan kelompok K3 (1,09±0,01) mendekati
99
kelompok sehat/ K1 (1,11±0,01) di jaringan hepar. Sedangkan tingkat ekspresi
SREBP-1c kelompok K4 (0,99±0,02) sama dengan kelompok sehat/K1 (0,99±0,04)
di jaringan adiposa. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian dosis 0,32 gram/hari
dan 0,64 gram/ hari dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c. Pemberian dosis yang
lebih rendah memungkinkan kurangnya aktivitas antioksidan sedangkan pemberian
dosis yang lebih tinggi memungkinkan peningkatan aktivitas pro oksidan, sehingga
pemberian dosis sebesar 0,32 gram tepung labu kuning per hari lebih optimal untuk
menurunkan ekspresi SREBP-1c ke kondisi yang sama atau mendekati kelompok
sehat. Apabila dosis ini dikonversikan untuk kebutuhan manusia dengan
menggunakan faktor konversi 0,56 (Ngatidjan, 2006) maka dosis ini setara dengan
17,92 gram tepung labu kuning per hari untuk manusia dengan berat 70 kg.
Kandungan karoten dalam tepung labu kuning adalah 404,508 µg/gram sehingga
karoten dalam 17,92 gram tepung labu kuning adalah 7248,78 µg atau setara dengan
604 µg vitamin A. Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 kebutuhan
vitamin A orang dewasa adalah 600 µg/hari. Dengan demikian konsumsi vitamin A
harian pada manusia dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c hingga pada tingkatan
normal/sehat.
Efek pemberian labu kuning sebagai antioksidan dimungkinkan tidak saja
karena kandungan karotenoid labu kuning. Labu kuning memiliki kandungan
karbohidrat yaitu polisakarida yang cukup tinggi (Sinaga, 2011). Pada penelitian Xu
(2000) mengenai efek antitumor dan immunocompetence, polisakarida labu kuning
diketahui dapat meningkatkan aktivitas superoxide dismutase dan gluthatione
peroksidase dan menurunkan malonaldehida pada serum mencit yang menunjukkan
peningkatan kapasitas antioksidan.
Penurunan ekspresi SREBP-1c pada tikus yang diberi tepung labu kuning
selanjutnya secara signifikan dapat menurunkan kadar trigliserida sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya
pengaruh pemberian antioksidan terhadap penurunan profil lipid namun beberapa
penelitian klinis menunjukkan hasil sebaliknya. Penelitian mengenai pengaruh labu
kuning terhadap profil lipid menemukan kandungan lain selain karotenoid yang juga
dapat menjadi penyebab turunnya kadar trigliserida. Labu kuning juga kaya akan
100
serat dan diketahui dapat menurunkan kadar LDL plasma dengan menghambat
absorbsi asam empedu dan kolesterol serta meningkatkan aktivitas reseptor LDL.
Diet tinggi serat dapat menurunkan kadar trigliserida dengan menekan lipogenesis di
hepar (Romero et al., 2002; Lecumberri et al, 2007). Labu kuning juga banyak
mengandung pektin. Pektin dapat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase dalam
jaringan lemak dan jantung sehingga absorbsi VLDL lebih tinggi di kedua jaringan
tersebut dibandingkan di hepar. Hal ini mengakibatkan VLDL terdegradasi dan kadar
trigliserida turun (Asgary, 2011).
2. Perbedaan tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar dan adiposa.
Tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar (1,17 relatif terhadap beta aktin) lebih
tinggi 0,17 dibanding tingkat ekspresi SREBP-1c di adiposa (1,00 relatif terhadap
beta aktin). Hasil analisa statistik menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata
tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar dan adiposa (p< 0,05).
Induksi diet tinggi lemak dan fruktosa dapat menyebabkan terjadinya sindroma
metabolik. Sindroma metabolik berhubungan dengan kejadian obesitas sentral,
dislipidemia, resistensi insulin dan hipertensi (Balkau et al.,2002; Chen et al., 2007).
Menurut penelitian Boden G, et al. (2013) kondisi hiperglikemia menyebabkan
penurunan regulasi mRNA serta protein Insig 1 dan Insig 2 yang menyebabkan
aktivasi protein SREBP-1c di jaringan hepar tikus. Pada kondisi yang sama aktivasi
SREBP-1c dalam adiposa tikus sangat sedikit. Hal ini disertai dengan kuatnya
peningkatan mRNA dan protein Insig1. Protein Insig2 juga meningkat namun
jumlahnya lebih sedikit dibanding Insig1. Insig 1 dan Insig 2 merupakan protein
yang mengikat SREBP-1c dan mencegah perpindahan SREBP-1c/ kompleks SCAP
dari retikulum endoplasma ke golgi sehingga aktivasi SREBP-1c tidak terjadi.
Berdasar penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kondisi hiperglikemia
ekspresi SREBP-1c di hepar lebih tinggi dibanding di adiposa akibat regulasi Insig
1/2. Aktivitas SREBP-1c yang berlebihan karena kondisi hiperglikemia ini dapat
mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan menyebabkan
terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik (steatosis),
dislipidemia dan resistensi insulin (Brown dan Goldstein,2008). Pada penelitian ini
pemberian tepung labu kuning yang mengandung karotenoid sebagai antioksidan
101
pada tikus yang diinduksi DTLF dapat menurunkan aktivitas PERK yang selanjutnya
dapat meningkatkan regulasi Insig 1/2 sehingga ekspresi SREBP-1c turun. Tingkat
ekspresi di adiposa pada penelitian ini lebih rendah dibanding di hepar karena dalam
kondisi sindroma metabolik ekspresi SREBP-1c di adiposa lebih rendah dibanding
hepar karena kurangnya ekspresi SREBP-1c akibat peningkatan regulasi Insig1/2.
Sedangkan dalam kondisi sindroma metabolik terjadi peningkatan ekspresi SREBP1c akibat penurunan ekspresi Insig 1/2 di hepar.
3. Korelasi dosis tepung labu kuning dengan ekspresi SREBP-1c
Nilai korelasi Pearson menunjukkan korelasi negatif (-0,662 di hepar dan 0,757 di adiposa) dengan kekuatan korelasi kuat di kedua jaringan. Berdasarkan
hasil analisa
tersebut menunjukkan semakin tinggi dosis tepung labu kuning
semakin rendah ekspresi SREBP. Diketahui pula terdapat keeratan hubungan antara
dosis tepung labu kuning dengan tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar maupun
adiposa.
Tingkat ekspresi SREBP-1c pada kelompok K5 di hepar maupun adiposa
adalah yang paling rendah dibanding kelompok K3 dan K4. Dosis kelompok K5
adalah yang paling tinggi (0,64 gram) dibanding kelompok K3 (0,16 gram) dan K4
(0,32). Pada dosis tepung labu kuning tertinggi mengandung jumlah karotenoid yang
paling tinggi yaitu 258,88 µg. Sedangkan dosis 0,16 gram tepung labu kuning
mengandung 64,72 µg dan dosis 0.32 gram mengandung 129,44 µg karoten.
Semakin tinggi kandungan karoten maka semakin tinggi pula kapasitas tepung labu
kuning sebagai penekan stres di retikulum endoplasma. Hal ini memungkinkan
penurunan aktivitas jalur PERK dan fosforilasi eIFα2 serta meningkatkan regulasi
Insig 1/2 sehingga dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c di hepar. Pemberian
karoten di jaringan adiposa dapat menurunkan stres RE dan lengan UPR yaitu ATF6
tidak teraktivasi sehingga ekspresi SREBP-1c dapat ditekan.
V.3.6. Kesimpulan
1. Ekspresi SREBP-1c pada tikus SD model dislipidemia yang diberikan tepung
labu kuning lebih rendah dibanding tikus yang tidak diberikan tepung labu
kuning baik di jaringan hepar maupun adiposa putih.
102
2. Ekspresi SREBP-1c di jaringan adiposa putih lebih rendah dibandingkan di
hepar pada tikus SD model dislipidemia setelah pemberian tepung labu kuning.
3. Terdapat hubungan negatif/ berbanding terbalik antara dosis tepung labu kuning
dengan tingkat ekspresi SREBP-1c di jaringan hepar maupun adiposa.
103
Download