BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN V.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan: 1. Ekspresi SREBP-1c pada tikus SD model dislipidemia yang diberikan tepung labu kuning lebih rendah dibanding tikus yang tidak diberikan tepung labu kuning baik di jaringan hepar maupun adiposa putih. 2. Ekspresi SREBP-1c di jaringan adiposa putih lebih rendah dibandingkan di hepar pada tikus SD model dislipidemia setelah pemberian tepung labu kuning. 3. Terdapat hubungan negatif/ berbanding terbalik antara dosis tepung labu kuning dengan tingkat ekspresi SREBP-1c di jaringan hepar maupun adiposa. V.2 Saran Berdasarkan penelitian ini maka: 1. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh tepung labu kuning pada ekspresi gen lain untuk melihat jalur-jalur yang memungkinkan dapat mempengaruhi kondisi dislipidemia. 2. Perlu diteliti mengenai pengaruh pemberian tepung labu kuning terhadap profil lipid dan marker antioksidan pada manusia yang mengalami dislipidemia. 77 V.3 Ringkasan V.3.1. Pendahuluan Sindroma metabolik merupakan permasalahan kesehatan dunia dengan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Prevalensi sindroma metabolik di dunia sebesar 20-25% dan diperkirakan akan terus meningkat. Sindroma metabolik berhubungan dengan kejadian obesitas sentral, dislipidemia, resistensi insulin dan hipertensi (Balkau et al.,2002; Chen et al., 2007). Banyak dilaporkan bahwa konsumsi makanan atau minuman tinggi fruktosa dan lemak dapat menginduksi terjadinya sindroma metabolik (Astrup dan Finer,2000; Malik et al, 2006). Dislipidemia berkaitan dengan abnormalitas profil lipid dalam plasma yaitu kenaikan kadar kolesterol total, LDL, trigliserida serta penurunan HDL (Huang, 2009). Prevalensi kejadian dislipidemia pada usia 25 hingga 34 tahun berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 sebesar 9,3%, sementara pada usia 55-64 tahun sekitar 15,5% (Depkes, 2004). Kondisi dislipidemia yang selanjutnya dapat menyebabkan akumulasi lemak hepatik dan peningkatan droplet lemak di jaringan adiposa sehingga terjadi peningkatan peroksidasi lipid. Hal ini menjadi penyebab terjadinya peningkatan stres oksidatif dengan terbentuknya ROS dan singlet oksigen. Fruktosa dapat berperan dalam peningkatan ekspresi enzim-enzim lipogenik dalam hepar dengan menginduksi ekspresi suatu faktor transkripsi yang disebut sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP-1c) (Shimomura et al., 1999; Matsuzaka et al., 2004; Miyazaki et al., 2004). Selain fruktosa, konsumsi lemak pun dapat menginduksi SREBP-1c hepatik. Stres RE yang kemudian mengakibatkan stres oksidatif ini juga dapat memicu aktivasi SREBP-1c dan berperan dalam lipogenesis de novo (Kammoun et al., 2009; Su et al., 2009). Aktivitas SREBP-1c yang berlebihan mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik (steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin (Brown dan Goldstein,2008). Lipogenesis yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan peroksidasi lipid di jaringan hepar maupun adiposa yang menghasilkan senyawa 78 H2O2 dan O- (singlet oksigen) (Nouman,SA et al.,2011; Tangvarasittichai, S., 2015). Akumulasi lemak hepatik dan peningkatan stres retikulum endoplasma ini dapat meningkatkan stres oksidatif dan pelepasan ROS. Adiposa merupakan organ lipogenik utama selain hepar. SREBP-1c di adiposa paling banyak terekspresi dan berperan penting dalam proses adipogenesis. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan aktivasi stres retikulum endoplasma yang bersifat kronis mengakibatkan disregulasi metabolisme lipid di hepar, makrofag, sel beta dan adiposit. Proses aktivasi stres retikulum ini memiliki peran penting pada regulasi fungsi adiposit (Zha dan Zhou, 2012). Penanganan stres oksidatif melalui konsumsi bahan makanan yang mengandung antioksidan telah banyak diketahui dapat mengurangi kejadian stres oksidatif. Salah satu bahan makanan sumber antioksidan adalah labu kuning. Varietas labu kuning seperti C. moschata, mempunyai kandungan karoten yang tinggi, terutama α dan β-karoten, β-criptoxanthine, lutein dan zeaxanthin (Carvalho, 2012). Karoten merupakan antioksidan alami yang sangat potensial. Karoten diketahui sebagai peredam singlet oxygen (1O2) dan sebagai jalur pembuangan untuk reactive oxygen spesies (ROS) yang potensial. (Fiedor&Burda, 2014). Penelitian yang dilakukan Ha dan Kim (2013) menunjukkan pemberian tepung kaya fucoxanthin (jenis karotenoid yang banyak terdapat pada rumput laut) memberikan efek ekspresi SREBP-1c lebih rendah dibanding kelompok yang tidak diberikan fucoxanthin. Pada penelitian Asgary et al. (2011) diketahui pemberian tepung labu kuning pada tikus diabetik selama 4 minggu secara signifikan menurunkan plasma trigliserida dan LDL dibandingkan dengan kelompok kontrol. Efek potensial tepung labu kuning dalam menurunkan kadar lipid dapat dimediasi oleh penurunan regulasi berbagai aktivitas enzim lipogenik yang disebabkan oleh adanya penurunan ekspresi SREBP-1c, salah satunya melalui penurunan stres oksidatif. Oleh sebab itu diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji pengaruh pemberian tepung labu kuning yang mengandung karoten terhadap ekspresi SREBP-1c dalam dua organ lipogenik utama yaitu jaringan hepar dan jaringan adiposa putih. 79 V.3.2. Tinjauan Pustaka V.3.2.1 Diet Tinggi Lemak Tinggi Fruktosa Sindroma metabolik merupakan permasalahan kesehatan dunia dengan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna dengan prevalensi di dunia sebesar 20-25% dan diperkirakan akan terus meningkat. Sindroma metabolik berhubungan dengan kejadian obesitas sentral, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa, dan hipertensi (Balkau et al.,2002; Chen et al., 2007). Banyak dilaporkan bahwa konsumsi makanan atau minuman tinggi fruktosa dan lemak dapat menginduksi terjadinya sindroma metabolik (Astrup dan Finer, 2000; Malik et al., 2006). Tikus yang diinduksi dengan diet tinggi lemak dan atau tinggi fruktosa mengalami kelainan metabolik seperti hiperinsulinemia, resistensi insulin dan dislipidemia (Basciano et al., 2005; Buetnerr et al., 2007: Abdullah et al., 2009). Fruktosa bersifat sangat lipogenik. Menurut beberapa penelitian sintesis asam lemak de novo hepatik distimulasi setelah penyerapan fruktosa akut dengan cara fruktosa menyediakan atom karbon untuk gliserol dan bagian fatty-acyl dari trigliserol (Chong et al.,2007; Parks et al.,2008). Fruktosa juga dapat berperan dalam peningkatan ekspresi enzim-enzim lipogenik dalam hepar dengan menginduksi ekspresi faktor transkripsi sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP-1c), suatu aktivator utama gen-gen lipogenik termasuk mengkode stearoyl-CoA desaturase (SCD) (Shimomura et al., 1999; Matsuzaka et al., 2004; Miyazaki et al., 2004). Aktivasi SREBP-1c yang disebabkan oleh fruktosa dimungkinkan tidak melalui jalur yang melibatkan insulin ( Faeh et al.,2005; Matsuzaka et al., 2004; Nagai et al.,2002). Menurut Matsuzaka dan Shimano (2013) aktivasi SREBP-1c akibat konsumsi fruktosa tidak melewati jalur insulin, namun langsung mengaktifkan mammalian target of rapamycin complex (mTORC) dan mengakibatkan terjadinya pemotongan SREBP-1c inaktif yang terikat di membran retikulum endoplasma sehingga terjadi translokasi SREBP-1c aktif dari golgi ke nukleus. Berdasarkan penelitian Koo et al. (2009), pemberian diet tinggi fruktosa selama dua minggu akan menyebabkan aktivitas carbohydrate regulatory element-binding protein (ChREBP) dan SREBP-1 nukleus meningkat. Peningkatan kecepatan lipogenesis de novo yang diinduksi fruktosa menghasilkan asam lemak yang kemudian bergabung dalam 80 trigliserida hepatik serta profil lipid lain. (Adiels et al., 2006). Konsumsi diet tinggi fruktosa dan lemak jenuh mempengaruhi produksi asam lemak hepatik dan menyebabkan ketidakseimbangan asam lemak. Fruktosa yang diabsorbsi dikirim ke hepar melalui vena porta kemudian difosforilasi menjadi fruktosa-1-fosfat dan diubah menjadi gliserol atau dimetabolisme dalam jalur glikolitik. Hal ini akan menginduksi peningkatan kecepatan lipogenesis de novo dan sintesis trigliserida (Mittendorfer dan Sidossis, 2001). Fruktosa memotong jalur control point pada glikolisis yaitu 6-fosfofrutokinase dan tidak dibatasi oleh umpan balik penghambatan oleh sitrat dan ATP ( Basciano et al., 2005). Peningkatan availabilitas substrat glikogenik seperti piruvat, laktat, gliserol dan akumulasi asetil ko-A yang disebabkan oleh adanya peningkatan oksidasi asam lemak diduga menjadi penyebab utama hiperglikemia puasa pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak dan lemak jenuh. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya peningkatan fruktosa- 1,6 -bifosfatase, suatu enzim glukogenik utama (Thresher et al., 2000). Peningkatan sintesis enzim-enzim lipogenik akibat aktivasi SREBP-1c menyebabkan retikulum endoplasma (RE) bekerja keras dalam proses pelipatan protein (protein folding) sehingga menginduksi terjadinya stres RE. Dalam kondisi stres RE sel tidak mampu untuk melipat dengan efisien dan menghasilkan protein. Sel diketahui memiliki mekanisme tertentu dalam beradaptasi terhadap kondisi yang merugikan tubuh untuk menjaga homeostasis. Salah satu mekanisme yang terjadi ketika terjadi stres RE adalah aktivasi Unfolded Protein Response (UPR). Adanya aktivasi UPR akan meningkatkan endoplasmic reticulum protein folding capacity melalui pelebaran RE dan peningkatan ekspresi chaperon dan foldase. Selain itu pengaktivan UPR juga akan menghambat translasi protein serta degradasi protein yang berhubungan dengan RE pada protein yang misfolded. UPR pada sel mamalia terdiri dari 3 cabang sinyal yang diiniasiasi oleh tiga sensor transmembran RE yaitu inositol –requiring protein 1 (IRE 1), double-stranded RNA-dependent protein kinase like ER kinase (PERK) dan activating transcription factor 6 (ATF6). Selama beberapa dekade terakhir telah banyak diketahui bahwa stres retikulum endoplasma dapat menyebabkan perubahan metabolisme lipid. Stres RE memicu aktivasi SREBP-1c dan berperan dalam lipogenesis de novo (Kammoun et al., 2009; Su et al., 81 2009). Stres oksidatif dan pelepasan ROS adalah komponen integral dari stres RE (Santos et al, 2009). ). Penelitian terbaru menunjukkan lengan UPR spesifik dan jalur molekul sinyal selanjutnya memiliki peran dalam pengaturan metabolisme lemak. Akumulasi protein misfolded dan unfolded pada lumen RE (stres RE) menyebabkan aktivasi protein transmembran RE yaitu PERK, IRE1 dan ATF6. Homodimerisasi PERK dan autofosforilasi menghasilkan fosforilasi pada subunit eIF2 dengan menghambat sintesis protein. aktivasi ATF6 menyebabkan translokasinya ke golgi untuk dipotong oleh site 1 dan site 2 protease. Hal ini menyebabkan pelepasan fragmen N-terminal ATF-6 dan berpindah ke nukleus, terikat dengan ER stress response element (ERSE) kemudian mengaktivasi gen target UPR. Fosforilasi eIF2α dan aktivasi jalur PERK dibawah kondisi stres RE akibat induksi diet tinggi lemak menyebabkan peningkatan lipogenesis dengan cara menginduksi C/EBPα dan menurunkan translasi protein Insig1 sehingga akan meningkatkan aktivasi SREBP (Basseri dan Austin, 2012). Penelitian terbaru menunjukkan kondisi stres RE berhubungan dengan disregulasi lemak di beberapa organ. Selain dalam hepar, gangguan pengaturan lemak juga terjadi di adiposit, sel beta dan makrofag. Adiposit diketahui sebagai sel yang terlibat dalam patogenesis sindroma metabolik. Adiposit menyimpan energi tambahan dalam trigliserida didalam organela sitosolik (droplet lemak). SREBP-1c adalah isoform SREBP yang paling banyak terekspresi di adiposit dan merupakan faktor transkripsi yang penting selama adipogenesis. Overekspresi SREBP-1c menyebabkan peningkatan pembentukan droplet lemak dalam preadiposit. SREBP1c juga diketahui secara langsung mengaktifkan C/EBPβ yang berperan dalam adipogenesis. Pada kondisi stres RE, lengan UPR yaitu ATF6 akan dibawa ke golgi untuk dipotong. Potongan ATF6 ini akan mengaktifkan SREBP dan selanjutnya mengaktifkan gen-gen lipogenik seperti FAS, HMG-CoA dan ACC menyebabkan terbentuknya droplet lemak di adiposa. V.3.2.2. Sterol Regulatory Element Binding Protein 1C (SREBP- 1C) Sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP-1c) adalah anggota faktor transkripsi dari famili basic helix-loop-helix leucine zipper (Horton et al., 2002; Eberle et al., 2004) yang berperan pada regulasi ekspresi gen beberapa enzim 82 yang berpengaruh terhadap metabolisme kolesterol, lipid dan glukosa (Ferre dan Foufelle, 2002; Osborne et al., 2000) . Ekspresi SREBP-1c diregulasi di tingkat transkripsi (Desvergne et al., 2006). SREBP-1c juga meregulasi faktor transkripsinya sendiri dengan umpan balik positif melalui ikatan terhadap sterol regulatory elements (SREs) pada promoter SREBP-1c (Amemiya-Kudo et al., 2000). Prekursor protein SREBP-1c terikat pada retikulum endoplasma (RE). Daerah terminal amino dilepaskan dan ditranspor ke nukleus sebagai faktor transkripsi aktif (Brown et al., 2000). Fungsi utama SREBP-1c adalah mengaktifkan gen yang terlibat dalam sintesis asam lemak dan hubungannya dengan pembentukan trigliserida dan fosfolipid (Horton et al., 2002; Eberle et al., 2004) sehingga kadar SREBP-1c yang tinggi mengakibatkan akumulasi lipid di hepar (Ferre dan Foufelle, 2007). Fatty acid synthase (FAS) diketahui merupakan target gen SREBP-1c (Latasa et al., 2000; Amemiya-Kudo et al., 2002). Kelebihan ekpresi SREBP-1 berhubungan dengan status gizi di hepar dan jaringan adiposa (Kim et al., 1998; Horton et al., 1998; Fleischmann dan Iynedjian, 2000). Keterlibatan SREBP-1c dalam sintesis asam lemak antara jaringan hepar dengan adiposa pada dasarnya berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sekiya et al.(2007) ditemukan SREBP-1c juga terekspresi dalam adiposit namun peran SREBP-1c dalam sel ini dalam mengaktifkan promoter gen Fatty Acyd Synthase (FAS) dapat diabaikan. Proses lipogenesis dalam adiposa nampaknya diinduksi oleh faktor transkripsi lain. Namun menurut penelitian Ito et al., (2013) SREBP-1c merupakan gen yang diregulasi insulin/ c-Jun N-terminal kinase (JNK2). Jalur insulin/JNK2 memediasi pembentukan asam lemak akibat induksi insulin. Hal ini dapat menyebabkan pembesaran lipid droplet pada adiposit manusa. SREBP-1c di adiposa paling banyak terekspresi dan berperan penting dalam proses adipogenesis (Zha dan Zhou, 2012). Pada saat aktivasi, SREBP-1c akan menstimulasi ekspresi jalur enzimatik tertentu yang mengubah asetat menjadi asam lemak dan bentuk esternya yaitu trigliserol (Horton et al.,2002; Rosen et al., 2003). Aktivitas SREBP-1c yang berlebihan mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik 83 (steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin (Brown dan Goldstein,2008). Meskipun aktivitas SREBP-1c seringkali bersifat patologis pada manusia namun pada dasarnya respon gen ini terhadap makanan adalah suatu respon yang normal dan memungkinkan terjadinya penyimpanan kelebihan energi dalam bentuk trigliserida yang stabil dan padat. Aktivitas SREBP-1c karena adanya makanan terjadi sebagian besar akibat respon insulin yang berperan pada multiple regulatory steps. Transkripsi mRNA SREBP-1c diinduksi sangat kuat oleh insulin melalui mekanisme yang melibatkan faktor transkripsi LXR (Chen et al., 2004; DeBoseBoyd et al., 2001; Repa et al., 2000; Scultz et al., 2000; Yoshikawa et al., 2001) dan auto regulasi SREBP-1c (Amemiya-Kudo et al., 2000; Chen et al., 2004). Mekanisme penting yang mendasari aktivasi SREBP-1c oleh insulin adalah pematangan proteolitik membran retikulum endoplasma (RE) yang menempelkan prekursor SREBP-1c ke sisi aktif dan nuklear faktor transkripsi SREBP-1c (Hegarty et al., 2005). Penelitian terbaru menunjukkan menunjukkan aktivasi SREBP-1c yang merespon insulin juga membutuhkan mechanistic Target of Rapamycin Complex 1 (mTORC1) (Duvel et al., 2010; Li et al., 2010; Porstmann et al., 2009). Menurut penelitian Boden G, et al. (2013) kondisi hiperglikemia menyebabkan penurunan regulasi mRNA serta protein Insig 1 dan Insig 2 yang menyebabkan aktivasi protein SREBP-1c di jaringan hepar tikus. Pada kondisi yang sama aktivasi SREBP-1c dalam adiposa tikus kurang. Hal ini disertai dengan kuatnya peningkatan mRNA dan protein Insig1. Protein Insig2 juga meningkat namun jumlahnya lebih sedikit dibanding Insig1. Insig 1 dan Insig 2 merupakan protein yang mengikat SREBP-1c dan mencegah perpindahan SREBP-1c/ kompleks SCAP dari retikulum endoplasma ke golgi sehingga aktivasi SREBP-1c tidak terjadi. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kondisi hiperglikemia ekspresi SREBP-1c di hepar lebih tinggi dibanding di adiposa akibat regulasi Insig 1/2. V.3.2.3. Labu Kuning Labu kuning berasal dari genus Cucurbita famili Cucurbitaceae yang tumbuh di negara beriklim tropis dan subtropis. Secara umum terdapat tiga jenis labu kuning di dunia yaitu Cucurbita pepo,Cucurbita maxima dan Cucurbita moschata (Lee et al., 2003). Labu kuning dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna. 84 Labu kuning mempunyai rasa yang manis ketika sudah matang dengan warna kuning orange yang kaya karoten, vitamin, mineral, dan serat. (Usha et al., 2010). Beberapa varietas labu kuning seperti C. moschata, C. maxima dan C. pepo, yang mempunyai rentang warna dari kuning hingga orange, mempunyai kandungan yang tinggi akan karoten, terutama α dan β-karoten, β-criptoxanthina, lutein and zeaxanthin. (Carvalho, 2012). Sebuah studi yang dilakukan oleh Carvalho (2012) menunjukkan bahwa kandungan karoten pada labu kuning (C. Moschata) berkisar antara 234,21 μg/g 404,98 μg/g, kandungan α-karoten bervariasi dari 67,06 –72,99 μg/g, kandungan βkaroten berkisar antara 244,22 μg/g –141,95 μg/g. Oleh karenanya, labu kuning dapat dijadikan sebagai makanan sumber α-karoten dan β-karoten. Kandungan karoten dan asam askorbat pada labu kuning memiliki peran penting pada pembentukan provitamin A dan vitamin C sebagai antioksidan. Karotenoid mengandung gugus pigmen isoprenoid dan paling banyak terakumulasi dalam hepar dan adiposa. Karotenoid merupakan peredam singlet oksigen dan dapat membuang reactive oxygen species (ROS). Karotenoid juga dapat berperan sebagai peredam kimiawi dibawah oksigenasi yang irreversible. Mekanisme molekuler yang mendasari reaksi ini belum dipahami sepenuhnya, terutama pada konteks aktivitas anti dan pro oksidan dari karotenoid berperan dalam berbagai proses biokimia. Potensi antioksidan dari karoten penting bagi kesehatan karena terbukti menurunkan stres oksidatif pada proses patoligis beberapa penyakit kronis. Data dari penelitian epidemiologi dan clinical trial menunjukkan suplementasi karoten dapat secara signifikan menurunkan resiko beberapa penyakit yang dimediasi oleh ROS. (Fiedor dan Burda, 2014). Aktivitas antioksidan diketahui dapat meningkatkan jumlah sel beta pankreas dengan memicu perbaikan dan restorasi sel ini (Asgary et al., 2008). Berbagai penelitian menunjukkan pemberian antioksidan pada tikus diabetik meningkatkan jumlah sel beta pankreas secara signifikan. Buah kesemak (Diospyros kaki) yang diketahui mengandung beberapa komponen aktif yang berfungsi sebagai antioksidan seperti polifenol, flavonoid, steroid, karotenoid serta kaya proantosianidin dapat mempengaruhi ekspresi SREBP-1. Penelitian yang dilakukan oleh Yozokawa et al. (2012) menemukan adanya penurunan ekspresi SREBP-1 85 setelah pemberian proantosianidin dari buah kesemek pada tikus model diabetes mellitus yang diinduksi STZ. Pada penelitian dengan menggunakan tepung yang kaya fucoxanthin (suatu karotenoid yang berasal dari rumput laut) dihasilkan penurunan ekspresi SREBP-1c yang signifikan pada tikus yang diberikan tepung ini sehingga penurunan kadar trigliserida dan kolesterol yang terjadi dihubungkan dengan penurunan SREBP-1c (Ha dan Kim, 2013). Meskipun penelitian kedua penelitian tersebut telah menemukan penurunan ekspresi SREBP-1c yang disebabkan oleh pemberian bahan makanan yang mengandung karoten namun jalur penurunan SREBP-1c melalui pemberian salah satu jenis karotenoid ini belum diketahui. Pada penelitian Xu (2000) mengenai efek antitumor dan immunocompetence, polisakarida labu kuning diketahui dapat meningkatkan aktivitas superoxide dismutase dan gluthatione peroksidase dan menurunkan malonaldehida pada serum mencit yang menunjukkan peningkatan kapasitas antioksidan. Labu kuning juga kaya akan serat dan diketahui dapat menurunkan kadar LDL plasma dengan menghambat absorbsi asam empedu dan kolesterol serta meningkatkan aktivitas reseptor LDL. Diet tinggi serat dapat menurunkan kadar trigliserida dengan menekan lipogenesis di hepar (Romero et al., 2002; Lecumberri et al, 2007). Labu kuning juga banyak mengandung pektin. Pektin dapat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase dalam jaringan lemak dan jantung sehingga absorbsi VLDL lebih tinggi di kedua jaringan tersebut dibandingkan di hepar. Hal ini mengakibatkan VLDL terdegradasi dan kadar trigliserida turun (Asgary, 2011). V.3.3. Landasan Teori Peningkatan konsumsi makanan atau minuman yang mengandung tinggi fruktosa dan lemak dapat menyebabkan terjadinya sindroma metabolik yaitu obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi dan resistensi insulin. Kondisi dislipidemia sendiri dapat menyebabkan peningkatan oksidasi lemak yang memicu peningkatan stres oksidatif menyebabkan stres pada retikulum endoplasma. Stres retikulum endoplasma dapat menyebabkan aktivasi unfolded protein response (UPR) baik di hepar maupun di adiposa. Aktivasi UPR di hepar mengaktifkan jalur PERK dan menyebabkan terjadinya fosforilasi eIFα2.yang selanjutnya menurunkan aktivitas Insig 1/2 dalam mengikat SREBP-1c sehingga faktor transkripsi ini teraktivasi. 86 Aktivasi UPR di adiposa selain aktivasi jalur PERK seperti yang terjadi di hepar juga menyebabkan ATF 6 dipotong oleh S1P dan S2P sehingga mengaktivasi ekspresi SREBP-1c . Beberapa penelitian terbaru menunjukkan aktivasi stres retikulum endoplasma yang bersifat kronis mengakibatkan disregulasi metabolisme lipid di hepar, makrofag, sel beta dan adiposit. Proses aktivasi stres retikulum ini memiliki peran penting pada regulasi fungsi adiposit (Zha dan Zhou, 2012). Diet tinggi lemak dan fruktosa juga dapat mengaktifkan jalur mTORC1 yang dapat memicu penurunan aktivitas Insig 1/2 sehingga SREBP-1c meningkatkan aktivasi SREBP-1c dalam golgi. SREBP-1c yang aktif ini akan berpindah ke nukleus kemudian terjadi transkripsi gen-gen target SREBP-1c dan menghasilkan enzim yang terlibat dalam lipogenesis seperti fatty acid synthase (FAS). Aktivitas SREBP-1c yang berlebihan mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik (steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin. Akumulasi lemak hepatik dan peningkatan stres retikulum endoplasma ini dapat meningkatkan stres oksidatif dan pelepasan ROS. Lipogenesis yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan peroksidasi lipid di jaringan hepar maupun adiposa yang menghasilkan senyawa H2O2 dan O- (singlet oksigen) (Nouman,SA et al.,2011; Tangvarasittichai, S., 2015). Selain menyebabkan peningkatan lipogenesis, kelebihan ekspresi SREBP-1c juga mengakibatkan terjadinya peningkatan glikolisis sehingga menyebabkan kondisi hiperglikemia. Hiperglikemia dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin sehingga memicu lipogenesis dan menghasilkan asam lemak bebas dan trigliserida. Menurut penelitian Boden G, et al. (2013) kondisi hiperglikemia menyebabkan penurunan regulasi mRNA serta protein Insig 1 dan Insig 2 yang menyebabkan aktivasi protein SREBP-1c di jaringan hepar tikus. Pada kondisi yang sama aktivasi SREBP-1c dalam adiposa tikus kurang. Hal ini disertai dengan kuatnya peningkatan mRNA dan protein Insig1. Protein Insig2 juga meningkat namun jumlahnya lebih sedikit dibanding Insig1. Insig 1 dan Insig 2 merupakan protein yang mengikat SREBP-1c dan mencegah perpindahan SREBP1c/ kompleks SCAP dari retikulum endoplasma ke golgi sehingga aktivasi SREBP1c tidak terjadi. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kondisi 87 hiperglikemia ekspresi SREBP-1c di hepar lebih tinggi dibanding di adiposa akibat regulasi Insig 1/2. Pencegahan dan penanganan stres oksidatif terkait kondisi dislipidemia melalui konsumsi bahan makanan yang mengandung antioksidan telah banyak diketahui dapat mengurangi kejadian stres oksidatif. Dalam upaya tersebut telah dikembangkan pemanfaatan berbagai bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang bermanfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah labu kuning. Labu kuning seperti C. moschata, mempunyai kandungan yang tinggi akan karoten, terutama α dan βkaroten, β-criptoxanthina, lutein and zeaxanthin (Carvalho, 2012). Karoten merupakan antioksidan alami dan diketahui berfungsi sebagai peredam singlet oxygen (1O2) dan scavenger bagi reactive oxygen spesies (ROS). Antioksidan dalam labu kuning juga diduga dapat menurunkan stres di retikulum endoplasma. Penelitian dengan menggunakan buah kesemek dan tepung kaya fucoxanthin (karotenoid yang banyak terdapat pada rumput laut) membuktikan pemberian bahan makanan sumber karotenoid ini dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c pada tikus yang mendapat diet tinggi lemak. Penurunan ekspresi faktor transkripsi ini diikuti juga dengan penurunan profil lipid. Meskipun mekanisme karoten dalam penurunan ekspresi SREBP-1c belum diketahui namun sudah jelas bahwa pemberian bahan makanan sumber karoten dapat mempengaruhi aktivitas SREBP-1c sehingga menurunkan lipogenesis. Tingginya nilai karoten labu kuning serta pengaruhnya terhadap ekspresi SREBP-1c dan kejadian lipogenesis membuat semakin meningkatnya penelitian yang dikembangkan untuk pemanfaatan labu kuning agar bermanfaat terhadap kesehatan. Labu kuning dapat terus ditingkatkan fungsinya dalam upaya pencegahan dan penanganan beberapa penyakit akibat adanya gangguan metabolik karena adanya efek antioksidan pada tanaman ini. V.3.4. Cara penelitian 1. Pembuatan tepung labu kuning Pembuatan tepung labu kuning menggunakan metode freeze drying karena kandungan karoten pada labu mudah hilang oleh cahaya dan pemanasan. Prinsip teknologi pengeringan beku ini dimulai dengan proses pembekuan labu kuning dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan 88 mengeluarkan/ memisahkan hampir sebagian besar air dalam labu kuning dengan metode sublimasi (Hariyadi, 2013). Pada metode ini air yang terkandung dalam labu kuning akan diuapkan dan dibekukan sehingga diperoleh hasil akhir berupa tepung labu kuning yang kering. Langkah pembuatan tepung labu kuning ini adalah sebagai berikut: 1. Labu kuning dikupas 2. Labu kuning dicuci bersih 3. Labu kuning dipotong kecil-kecil (kira-kira 2 mm). 4. Labu kuning yang telah dipotong dimasukkan ke dalam blender. 5. Labu kuning yang telah halus dimasukkan dalam freeze dryer selama 3x 24 jam. 2. Analisa kadar karoten tepung labu kuning Analisa kadar karoten tepung labu kuning dilakukan oleh tenaga ahli/laboran di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (PSPG UGM) dengan mengggunakan metode kolom kromatografi. Prinsip metode ini adalah karoten diekstraksi dengan campuran aseton-heksan kemudian dipisahkan dari zat-zat lain dengan kolom kromatografi menggunakan campuran magnesium dan tanah liat. Karoten diukur serapannya pada panjang gelombang 450 nm. Hasil analisa kandungan karoten tepung labu kuning pada penelitian ini adalah 40.450,8 µg/100 g. 3. Penentuan Dosis Tepung Labu Kuning Dosis tepung labu kuning yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada kadar karoten labu kuning yang telah dianalisa sebelumnya. Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 kebutuhan vitamin A orang dewasa adalah 600 µg/hari. Kandungan karoten pada 1 µg vitamin A adalah 12 µg sehingga kebutuhan karoten manusia adalah 7200 µg/hari. Dengan menggunakan faktor konversi 0,018 untuk tikus dengan berat badan 200 gram (Ngatidjan, 2006) maka kebutuhan karoten tikus adalah 129,6 µg/hari. Dalam penelitian ini digunakan 3 macam dosis tepung labu kuning yang diperoleh dari deret hitung (1/2 n, n dan 2n) yaitu sebesar 0,16; 0,32 dan 0,64 gram per 200 gram berat badan tikus. Dosis akan disesuaikan 89 dengan perubahan berat badan tikus setiap minggunya selama 4 minggu perlakuan. 4. Pembuatan Pakan Pakan tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah semipurified diets for rats menurut Animal Research Diets yang dimodifikasi dengan komposisi sebagai berikut: Tabel 3. Komposisi pakan standar g/kg Kasein 240 Tepung jagung 610 DL-Metionin 3 Campuran Vitamin 10 Campuran Mineral 35 Sel alfa 50 Minyak jagung 50 Choline Chloride 2 Sumber : Semipurified Diet for Rats and Mice (Reeves,1993) Bahan Persentase 24% 61% 0,3% 1% 3,5% 5% 5% 0,2% Pembuatan pakan standar dengan cara mencampur semua komposisi pakan berdasarkan g/kg jumlah pakan yang akan dibuat. 5. Adaptasi Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus galur Sprague dawley jantan yang berusia 3 bulan dengan berat badan 180-200 gram. Tikus ditempatkan pada kandang individu. Tikus diadaptasikan selama 1 minggu dengan pemberian diet standar semipurified diet for rats sebanyak 20 gram/tikus/hari 6. Pembagian Kelompok Hewan Coba Hewan coba dibagi dalam 6 kelompok sebagaimana terlihat pada tabel 4 dibawah ini Tabel 4. Pembagian kelompok perlakuan Kelompok Perlakuan 1. Kelompok kontrol sehat Kontrol tikus sehat, tidak diinduksi DTLF, perlakuan berupa pemberian aquadest 2. Kelompok kontrol dislipidemia Kontrol tikus dislipidemia, diinduksi DTLF, perlakuan berupa pemberian aquadest 90 3. Kelompok dislipidemia + tepung Tikus diinduksi DTLF, perlakuan labu kuning 0,16 g/200 g BB berupa pemberian tepung labu kuning sebanyak 0,16 g/200 g BB 4. Kelompok dislipidemia + tepung Tikus diinduksi DTLF, perlakuan labu kuning 0,32 g/200g BB berupa pemberian tepung labu kuning sebanyak 0,31 g/200 g BB 5. Kelompok dislipidemia + tepung Tikus diinduksi DTLF, perlakuan labu kuning 0,64 g/ 200 g BB berupa pemberian tepung labu kuning sebanyak 0,62 g/200 g BB 6. Induksi Diet Tinggi Lemak dan Fruktosa (DTLF) Komposisi diet tinggi lemak dan fruktosa yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Ble-Castillo et al. (2012) dan Tranchida et al. (2012) seperti pada tabel 4. Tikus yang diinduksi dengan diet tinggi lemak dan fruktosa diberikan 20 gram/ tikus/ hari pakan DTLF. Tabel 5. Komposisi Diet Tinggi Lemak dan Fruktosa serta Diet Kontrol. Bahan Diet Kontrol Diet Tinggi Lemak dan Fruktosa (g/kg) (DTLF) (g/kg) Kasein 254,1 254,1 Minyak jagung 11,1 11,1 Lemak putih 364,5 Pati jagung 305 305 Sukrosa 33,8 Fruktosa 61,7 Vitamin dan Mineral 15 15 7. Analisis Kadar Trigliserida Analisis kadar trigliserida sebelum pemberian perlakuan tepung labu kuning dilakukan setelah 25 hari pemberian diet tinggi lemak dan fruktosa (DTLF) untuk melihat apa tikus sudah mengalami hipertrigliserida atau belum. Sampel yang digunakan untuk analisis trigliserida adalah serum dengan metode enzymatic colorimetri menggunakan reagen kit trigliserida (Dyasis). Pengambilan darah dilakukan sesuai metode yang direkomendasikan oleh Guacuc Standard Procedure (2006) yaitu hewan coba yang telah dipuasakan 91 selama ±8 jam ditempatkan pada permukaan kerja yang datar, posisi jari telunjuk berada pada bagian wajah untuk menarik kelopak mata sedangkan jari lainnya diletakkan diatas vena jugularis sekitar rahang bawah, selanjutnya pipet mikrohematokrit dimasukkan dengan sudut 45o secara pelan-pelan ke medial canthus dan diputar untuk memecah bulbar conjuctiva hingga mencapai tulang orbita dan sinus orbita pecah. Darah ditampung dalam mikrotube 2 mL dan dimasukkan ke dalam cool box. Setelah itu, sampel darah disentrifuse degan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan serum. Selanjutnya dipipet 10 µL serum, 10 µL larutan standar dan 1000 µL reagen trigliserida ke dalama tabung pemeriksaan untuk selanjutnya dihomogenkan dengan vortex dan diinkubasi selama 10 menit dalam inkubator dengan suhu 37oC. Sebagai faktor koreksi dibuat blanko yang dipreparasi seperti sampel namun digunakan aquadest sebagai pengganti serum. Selanjutnya dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 500 nm. 8. Perlakuan Hewan Coba Selama perlakuan, hewan coba diberi pakan semipurified diets for rats dan air minum secara ad libithum. Sisa pakan pada masing-masing kelompok hewan coba ditimbang setiap hari. Berat badan setiap hewan coba ditimbang setiap minggu. Kandang individu hewan coba dibersihkan setiap hari. Perlakuan berupa pemberian tepung labu kuning per oral diberikan selama 4 minggu. 9. Pengambilan Jaringan Hewan Coba (Post test) Pengambilan jaringan hewan coba dilakukan dengan pembedahan. Sebelum pembedahan, tikus dianestesi dengan eter secara inhalasi. Jaringan hepar yang diambil kemudian ditampung dalam cryotube yang bebas RNAse dan dimasukkan dalam termos berisi nitrogen cair. Jaringan selanjutnya disimpan pada suhu -80oC untuk persiapan analisis gen dengan metode RT-PCR. 10. Analisis Ekspresi SREBP-1c 1. Preparasi sampel a. Homogenisasi: Homogenisasi yang dilakukan menggunakan rotor pastel dalam mikrotube 1,5 ml. Keterbatasan peralatan dalam proses homogenisasi menyebabkan homogenisasi dalam penelitian ini 92 menggunakan ½ reaksi. Langkah homogenisasi ini adalah terlebih dahulu menambahkan 500 µl reagen TRIzol dalam mikrotube. Selanjutnya jaringan hepar dan adiposa dipotong sebanyak 25-50 mg dan dimasukkan dalam mikrotube yang berisi TRIzol. b. Separasi: Sampel yang sudah berbentuk homogenat diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang yang bertujuan untuk mendisosiasi komplek nukleoprotein secara lengkap. Setelah diinkubasi kemudian ditambahkan 0,1 mL kloroform per 0,5 mL reagen TRIzol ® yang digunakan saat proses homogenisasi. Selanjutnya tabung ditutup dengan kencang dan dikocok dengan tangan selama 15 detik. Larutan kemudian diinkubasi selama 2-3 menit pada suhu ruang. Sampel kemudian disentrifuge pada 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC. Proses selanjutnya pada fase air yang berisi RNA dipindahkan dari sampel dengan cara mengarahkan tube pada sudut 45o kemudian larutan di pipet keluar dan ditempatkan pada tube baru. 2. Isolasi RNA a. Presipitasi: Proses isolasi RNA adalah pada mikrotube yang berisi fase cairan yang diperoloeh ditambahkan 0,25 mL dari 100% isopropanol per 0,5 mL reagen TRIzol ® kemudian larutan di inkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Langkah selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC. b. Pencucian: Supernatan yang ada di dalam tube di keluarkan dan endapan pellet RNA dibiarkan di dalam tube. Endapan pellet RNA di cuci dengan 0,5 mL etanol 75% per 0,5 mL reagen TRIzol ® yang digunakan pada tahap awal homogenisasi. Sampel lalu di vortex kemudian di sentrifuge pada 7.500 rpm selama 5 menit pada 4oC lalu supernatant dibuang. Pellet RNA dikeringkan selama 5-10 menit. c. Resuspensi: RNAase free water 35 µL ditambahkan ke dalam tube yang berisi pellet RNA kemudian melewatkan larutan secara naik turun untuk beberapa kali melalui pipet tip. Selanjutnya larutan diinkubasi dalam water bath pada suhu 55-60oC selama 10-15 menit dan siap digunakan 93 untuk proses selanjutnya atau bila tidak segera digunakan dapat disimpan dalam suhu -70oC 3. Mengukur Konsentrasi RNA Pengukuran konsentrasi RNA dilakukan sebagai berikut: RNA diencerkan 20 kali yaitu sebanyak 5 µL ditambahkan 95 µL nuclease free water. Blank berupa nuclease free water dipipet sebanyak 100 µL dan diukur, kemudian sampel dipipet sebanyak 100 µL dan dimasukkan ke dalam Spektrofotometer dan hasil pembacaan tertera pada layar. 4. Sintesis cDNA melalui reverse transcription Sintesis cDNA berasal dari total RNA yang dipurifikasi dari jaringan hepar dan adiposa putih dengan tahap sebagai berikut: komponen cDNA synthesis (Tabel 6) dimasukkan ke dalam tube bebas RNase. Tabel 6. Komposisi Reagen cDNA Komponen Volume per Reaksi 5x iScript reaction mix 4 µL iScript reverse transcriptase 1 µL nuclease free water x µL RNA template x µL Total volume 20 µL Setelah itu, campuran reaksi dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan program sebagai berikut: suhu 25°C selama 5 menit, suhu 42°C selama 30 menit dan suhu 85°C selama 5 menit, kemudian disimpan dalam suhu -20°C. 5. Pengukuran Kuantitatif dengan Real Time PCR Tahap analisis RT-PCR terdiri dari persiapan sampel dan amplifikasi. Persiapan sampel dilakukan sebagai berikut: SsoFast™ Evagreen® supermix, primer (forward dan reverse), dan RNase free water yang beku di thawing pada suhu ruang, kemudian dicampur dalam stock tube yang jumlahnya telah disesuaikan dengan sampel yang akan dianalisis dan di spin-down selama 20-30 detik untuk mengumpulkan larutan pada bagian bawah tube. Assay master mix (Tabel 7) dalam stock tube dipipet sebanyak 19 µL ke tiap tube sesuai kode sampel yang dianalisis dan DNA template ditambahkan sebanyak 1 µL ke masing-masing tube dan sampel siap dimasukkan ke dalam alat RT-PCR CFX96 Biorad. 94 Tabel 7. Assay master mix Komposisi Jumlah 5 µL 0,75 µL Evagreen Primer SREBP-1c (forward): 5‟-CTGTCGTCTACCATAAGCTGCAC-3‟ Primer SREBP-1c (reverse): 0,75 µL 5‟-ATAGCATCTCCTGCACACTCAGC-3‟ cDNA 1 µL Nuclease free water (ddH2O) 1 µL Assay master mix yang telah mengandung DNA template dimasukkan ke dalam alat RT-PCR CFX96 Biorad dengan program amplifikasi 40 siklus yaitu: 1) denaturasi awal pada suhu 95°C selama 5 menit; 2) denaturasi pada suhu 95ºC selama 1 menit; 3) annealing pada suhu 62ºC selama 30 detik; 4) elongasi pada suhu 72ºC selama 1 menit; dan 5) Melt-curve analysis pada65°C-95°C selama 2-5 detik untuk setiap tahapnya. Produk PCR yang dihasilkan dengan menggunakan primer SREBP-1C tersebut adalah 120 bp dan pProduk PCR primer beta aktin adalah 250 bp (Liu et al., 2013). Internal gene pada reaksi ini menggunakan β -aktin dengan urutan basa sebagai berikut: F:5‟-ACGGTCAGGTCATCACTATCG-3‟ R:5‟GGCATAGAGGTCTTTACGGATG-3‟. Sinyal fluorescence diukur selama amplifikasi dan dinyatakan positif jika intensitas fluorescence lebih dari 20 kali lipat lebih besar daripada standar deviasi dari baseline fluorescence. Kuantifikasi relatif gen target terhadap beta aktin digunakan untuk menentukan tingkat ekspresi SREBP-1c. Beta aktin digunakan sebagai gen untuk menentukan kurva standar. Kurva standar ditentukan dengan menggunakan dilusi beta aktin pada beberapa konsentrasi yaitu 0,125 µg/µL; 0,250 µg/µL ; 0,5 µg/µL ; 1 µg/µL ; 2 µg/µL. Persamaan kurva standar jaringan hepar dan adiposa berturut-turut adalah Y= 2,536x+17,407 (R=0,92) ; Y= 1,762x+38,23 (R=0,96). Ekspresi SREBP-1c dihitung berdasarkan jumlah amplikon (Cq) gen target masing-masing jaringan dibandingkan dengan rata-rata beta aktin setelah dimasukkan dalam persamaan kurva standar (Cq sampel: rata-rata Cq beta aktin) dan dinyatakan dalam ekspresi SREBP-1c relatif terhadap beta aktin. 95 V.3.5. Hasil dan Pembahasan V.3.5.1 Karakteristik subyek 1. Berat Badan Berat badan tikus antar kelompok pada saat pretest, midtest, dan posttest memiliki distribusi yang normal secara statistik (p>0,05) diuji menggunakan Saphiro-Wilk. Berdasarkan hasil analisa one way ANOVA, tidak ada perbedaan berat badan yang signifikan pada semua kelompok. Sedangkan berat badan menurut waktu perlakuan pada masing-masing kelompok berdasarkan uji repeated ANOVA menunjukkan peningkatan bermakna pada K1, K2, K3 dan K4. Selama penelitian, tidak ada perbedaan peningkatan berat badan pada semua kelompok perlakuan. Namun jika dilihat dari hasil pengukuran pretest, midtest, dan postest, masing-masing kelompok perlakuan mengalami peningkatan berat badan yang signifikan. Jika dikaitkan dengan asupan pakan, diketahui bahwa rata-rata asupan pakan pada tiap-tiap kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Peningkatan berat badan tikus dapat disebabkan oleh faktor pertumbuhan dan asupan pakan selama penelitian. Pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak tinggi fruktosa pada umumnya mengalami kenaikan berat badan dibandingkan dengan tikus normal. Penelitian Tranchida et al. (2012) pada tikus yang diinduksi diet tinggi fruktosa dan lemak jenuh selama 30 minggu mengalami kenaikan berat badan sebesar 11% relatif terhadap kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena diet tinggi fruktosa dan lemak ini dapat memicu sintesis gen-gen lipogenik yang menginduksi terjadinya lipogenesis. Peningkatan lipogenesis akan meningkatkan produksi trigliserida dan kolesterol yang menyebabkan peningkatan lemak viseral sehingga terjadi peningkatan berat badan. 2. Asupan Pakan tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah semipurified diets for rats yang mengacu pada Animal Research Diets. Tikus diberi 20 g pakan setiap harinya. Sisa pakan ditimbang setiap hari untuk mengetahui asupan pakan standar dan pakan diet yang masuk ke tikus. Asupan pakan dihitung menggunakan 96 analisis One Way ANOVA dengan nilai signifikansi p<0,05. Hasil analisa menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna asupan pakan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4. Jika dilihat dari rerata asupan pakan secara keseluruhan selama empat minggu perlakuan, tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada masing-masing kelompok. Ini berarti bahwa perbedaan perlakuan tidak mempengaruhi nafsu makan tikus sehingga rata-rata asupan pakan antar kelompok selama penelitian sama. Pemberian pakan standar sebanyak 20 g pada hewan coba setiap harinya dilakukan secara ad libitum (sekenyangnya). Kelemahan dari cara ini adalah bahwa tidak semua pakan yang diberikan dimakan habis oleh hewan coba. 3. Kadar Trigliserida Kadar trigliserida tikus diperiksa dengan menggunakan metode enzimatis. Kadar trigliserida subjek diukur pada saat sebelum pemberian tepung labu kuning (pretest) dan setelah pemberian tepung labu kuning (posttest). Subjek dipuasakan selama 12 jam semalam (overnight) dan diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata. Kadar trigliserida dianalisa menggunakan One Way ANOVA dengan nilai signifikansi p<0,05. Rata-rata kadar trigliserida antar kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kadar trigilerida tikus yang diinduksi pakan tinggi lemak dan fruktosa (K2,K3,K4,K5) mengalami peningkatan dengan beda yang signifikan dibandingkan dengan tikus yang tidak diinduksi (K1). Kadar trigliserida pada kelompok tikus K1 mengalami sedikit peningkatan (0,64 mg/dL) dari 71,50 mg/dL menjadi 72,14 mg/dL namun kadar trigliserida ini masih dalam batas normal. Pada kelompok tikus dislipidemia (K2) terjadi peningkatan kadar trigliserida dari 132,60 mg/dL menjadi 134,69 mg/dL, dan dalam keadaan hipertrigliserida . Hasil penelitian Tranchida et al. (2012) menunjukkan tikus yang mengkonsumsi diet tinggi fruktosa dan asam lemak jenuh mengalami peningkatan glikemia, insulinemia, trigliserida dan kolesterol. Pada penelitian sebelumnya juga menemukan pemberian diet tinggi fruktosa dan lemak jenuh menginduksi terjadinya gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan resistensi insulin (Girard et al., 2005; Abdullah et al., 2009). Konsumsi diet tinggi fruktosa dan lemak jenuh mempengaruhi produksi asam lemak 97 hepatik dan menyebabkan ketidakseimbangan asam lemak. Fruktosa yang diabsorbsi dikirim ke hepar melalui vena porta kemudian difosforilasi menjadi fruktosa-1-fosfat dan diubah menjadi gliserol atau dimetabolisme dalam jalur glikolitik. Hal ini akan menginduksi peningkatan kecepatan lipogenesis de novo dan sintesis trigliserida (Mittendorfer dan Sidossis, 2001). Kadar trigliserida tinggi (hipertrigliseridemia) yang diinduksi oleh diet tinggi lemak dan fruktosa disebabkan oleh peningkatan produksi VLDL (very low density lipoprotein) dan atau penurunan pembersihan (clearance) trigliserida (Zammit et al, 2001; Abdullah et al., 2009). Sedangkan kadar trigliserida menurut waktu perlakuan memperlihatkan penurunan yang signifikan pada saat sebelum pemberian tepung labu kuning dan setelah pemberian tepung labu kuning baik pada kelompok K3, K4 maupun K5. Pada kelompok K5 dengan dosis tepung labu kuning yang paling tinggi (0,64 gram) menunjukkan kadar trigliserida yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok K3 dan K4. Penelitian Asgary et al. ( 2011) juga menunjukkan pemberian 1 g/kg tepung labu kuning pada tikus model diabetes dapat menurunkan kadar trigliserida secara signifikan. V.3.5.2. Ekspresi sterol regulatory element binding protein (SREBP-1c) 1. Tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar dan adiposa Ekspresi SREBP-1c kelompok K2 yaitu tikus dislipidemia tanpa perlakuan paling tinggi diantara semua kelompok baik di jaringan hepar maupun adiposa dengan nilai p=0,000. Hasil ini membuktikan bahwa pemberian tepung labu kuning secara signifikan menurunkan ekspresi SREBP-1c baik di jaringan hepar maupun adiposa. Induksi diet tinggi lemak dan tinggi fruktosa pada kelompok K2,K3,K4,K5 dapat menyebabkan terjadinya stres di retikulum endoplasma. Stres RE memicu aktivasi SREBP-1c dan berperan dalam lipogenesis de novo (Kammoun et al., 2009; Su et al., 2009). Lipogenesis yang terus menerus terjadi dapat menyebabkan peningkatan peroksidasi lipid di jaringan hepar maupun adiposa yang menghasilkan senyawa H2O2 dan O- (singlet oksigen) (Nouman,SA et al.,2011; Tangvarasittichai, S., 2015). Stres oksidatif dan pelepasan ROS adalah komponen integral dari stres RE (Santos et al, 2009). Karotenoid dalam tepung labu kuning yang diberikan pada kelompok K3, K4 dan K5 berfungsi sebagai peredam singlet oksigen dan dapat 98 membuang reactive oxygen species (ROS) di dalam retikulum endoplasma (RE) yang terbentuk saat tikus diinduksi DTLF. Karotenoid juga dapat berperan sebagai peredam kimiawi dibawah oksigenasi yang irreversible. Mekanisme molekuler yang mendasari reaksi ini belum dipahami sepenuhnya, terutama dalam konteks aktivitas anti dan pro oksidan dari karotenoid pada berbagai proses biokimiawi (Fiedor dan Burda, 2014). Penurunan stres RE diketahui dapat menghambat pemutusan SREBP1c dari Insig 1/2 yang selanjutnya menurunkan ekspresi gen target SREBP-1c ( Kammoun et al., 2009). Pemberian karotenoid yang berfungsi sebagai antioksidan diduga dapat menurunkan stres oksidatif di RE jaringan hepar. Hal ini dapat menurunkan aktivitas jalur PERK dan fosforilasi eIFα2 sehingga dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c. Pemberian karoten di jaringan adiposa dapat menurunkan stres RE dan lengan UPR yaitu ATF6 tidak teraktifkan sehingga ekspresi SREBP-1c dapat ditekan. Karotenoid yang mengandung gugus pigmen isoprenoid paling banyak terakumulasi dalam hepar dan adiposa sehingga hal ini juga diduga menjadi penyebab penurunan ekspresi SREBP-1c yang efektif di kedua jaringan tersebut (Fiedor dan Burda, 2014). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ha dan Kim (2013). Pemberian tepung kaya fucoxanthin (suatu karotenoid yang berasal dari rumput laut) menunjukkan terjadinya penurunan ekspresi SREBP-1c yang signifikan pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak setelah pemberian tepung tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yozokawa et al. (2012) menemukan adanya penurunan ekspresi SREBP-1 setelah pemberian buah kesemek yang mengandung beberapa komponen antioksidan seperti polifenol, flavonoid, steroid, karotenoid dan proantosianidin pada tikus model diabetes mellitus yang diinduksi STZ. Hasil penelitian ini juga membuktikan pemberian antioksidan berupa karotenoid dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak dan fruktosa. Pemberian tepung labu kuning pada kelompok K3, K4 dan K5 secara signifikan menurunkan ekspresi SREBP-1c di jaringan hepar dan adiposa. Kelompok K5 memiliki tingkat ekspresi yang paling rendah dibandingkan kelompok K3 dan K4 di kedua jaringan tersebut. Pada ketiga kelompok perlakuan ini tingkat ekspresi SREBP-1c kelompok K4 (1,13±0,01) dan kelompok K3 (1,09±0,01) mendekati 99 kelompok sehat/ K1 (1,11±0,01) di jaringan hepar. Sedangkan tingkat ekspresi SREBP-1c kelompok K4 (0,99±0,02) sama dengan kelompok sehat/K1 (0,99±0,04) di jaringan adiposa. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian dosis 0,32 gram/hari dan 0,64 gram/ hari dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c. Pemberian dosis yang lebih rendah memungkinkan kurangnya aktivitas antioksidan sedangkan pemberian dosis yang lebih tinggi memungkinkan peningkatan aktivitas pro oksidan, sehingga pemberian dosis sebesar 0,32 gram tepung labu kuning per hari lebih optimal untuk menurunkan ekspresi SREBP-1c ke kondisi yang sama atau mendekati kelompok sehat. Apabila dosis ini dikonversikan untuk kebutuhan manusia dengan menggunakan faktor konversi 0,56 (Ngatidjan, 2006) maka dosis ini setara dengan 17,92 gram tepung labu kuning per hari untuk manusia dengan berat 70 kg. Kandungan karoten dalam tepung labu kuning adalah 404,508 µg/gram sehingga karoten dalam 17,92 gram tepung labu kuning adalah 7248,78 µg atau setara dengan 604 µg vitamin A. Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 kebutuhan vitamin A orang dewasa adalah 600 µg/hari. Dengan demikian konsumsi vitamin A harian pada manusia dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c hingga pada tingkatan normal/sehat. Efek pemberian labu kuning sebagai antioksidan dimungkinkan tidak saja karena kandungan karotenoid labu kuning. Labu kuning memiliki kandungan karbohidrat yaitu polisakarida yang cukup tinggi (Sinaga, 2011). Pada penelitian Xu (2000) mengenai efek antitumor dan immunocompetence, polisakarida labu kuning diketahui dapat meningkatkan aktivitas superoxide dismutase dan gluthatione peroksidase dan menurunkan malonaldehida pada serum mencit yang menunjukkan peningkatan kapasitas antioksidan. Penurunan ekspresi SREBP-1c pada tikus yang diberi tepung labu kuning selanjutnya secara signifikan dapat menurunkan kadar trigliserida sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh pemberian antioksidan terhadap penurunan profil lipid namun beberapa penelitian klinis menunjukkan hasil sebaliknya. Penelitian mengenai pengaruh labu kuning terhadap profil lipid menemukan kandungan lain selain karotenoid yang juga dapat menjadi penyebab turunnya kadar trigliserida. Labu kuning juga kaya akan 100 serat dan diketahui dapat menurunkan kadar LDL plasma dengan menghambat absorbsi asam empedu dan kolesterol serta meningkatkan aktivitas reseptor LDL. Diet tinggi serat dapat menurunkan kadar trigliserida dengan menekan lipogenesis di hepar (Romero et al., 2002; Lecumberri et al, 2007). Labu kuning juga banyak mengandung pektin. Pektin dapat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase dalam jaringan lemak dan jantung sehingga absorbsi VLDL lebih tinggi di kedua jaringan tersebut dibandingkan di hepar. Hal ini mengakibatkan VLDL terdegradasi dan kadar trigliserida turun (Asgary, 2011). 2. Perbedaan tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar dan adiposa. Tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar (1,17 relatif terhadap beta aktin) lebih tinggi 0,17 dibanding tingkat ekspresi SREBP-1c di adiposa (1,00 relatif terhadap beta aktin). Hasil analisa statistik menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar dan adiposa (p< 0,05). Induksi diet tinggi lemak dan fruktosa dapat menyebabkan terjadinya sindroma metabolik. Sindroma metabolik berhubungan dengan kejadian obesitas sentral, dislipidemia, resistensi insulin dan hipertensi (Balkau et al.,2002; Chen et al., 2007). Menurut penelitian Boden G, et al. (2013) kondisi hiperglikemia menyebabkan penurunan regulasi mRNA serta protein Insig 1 dan Insig 2 yang menyebabkan aktivasi protein SREBP-1c di jaringan hepar tikus. Pada kondisi yang sama aktivasi SREBP-1c dalam adiposa tikus sangat sedikit. Hal ini disertai dengan kuatnya peningkatan mRNA dan protein Insig1. Protein Insig2 juga meningkat namun jumlahnya lebih sedikit dibanding Insig1. Insig 1 dan Insig 2 merupakan protein yang mengikat SREBP-1c dan mencegah perpindahan SREBP-1c/ kompleks SCAP dari retikulum endoplasma ke golgi sehingga aktivasi SREBP-1c tidak terjadi. Berdasar penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kondisi hiperglikemia ekspresi SREBP-1c di hepar lebih tinggi dibanding di adiposa akibat regulasi Insig 1/2. Aktivitas SREBP-1c yang berlebihan karena kondisi hiperglikemia ini dapat mengakibatkan peningkatan sintesis lemak yang patologis dan menyebabkan terjadinya sindroma metabolik meliputi akumulasi lemak hepatik (steatosis), dislipidemia dan resistensi insulin (Brown dan Goldstein,2008). Pada penelitian ini pemberian tepung labu kuning yang mengandung karotenoid sebagai antioksidan 101 pada tikus yang diinduksi DTLF dapat menurunkan aktivitas PERK yang selanjutnya dapat meningkatkan regulasi Insig 1/2 sehingga ekspresi SREBP-1c turun. Tingkat ekspresi di adiposa pada penelitian ini lebih rendah dibanding di hepar karena dalam kondisi sindroma metabolik ekspresi SREBP-1c di adiposa lebih rendah dibanding hepar karena kurangnya ekspresi SREBP-1c akibat peningkatan regulasi Insig1/2. Sedangkan dalam kondisi sindroma metabolik terjadi peningkatan ekspresi SREBP1c akibat penurunan ekspresi Insig 1/2 di hepar. 3. Korelasi dosis tepung labu kuning dengan ekspresi SREBP-1c Nilai korelasi Pearson menunjukkan korelasi negatif (-0,662 di hepar dan 0,757 di adiposa) dengan kekuatan korelasi kuat di kedua jaringan. Berdasarkan hasil analisa tersebut menunjukkan semakin tinggi dosis tepung labu kuning semakin rendah ekspresi SREBP. Diketahui pula terdapat keeratan hubungan antara dosis tepung labu kuning dengan tingkat ekspresi SREBP-1c di hepar maupun adiposa. Tingkat ekspresi SREBP-1c pada kelompok K5 di hepar maupun adiposa adalah yang paling rendah dibanding kelompok K3 dan K4. Dosis kelompok K5 adalah yang paling tinggi (0,64 gram) dibanding kelompok K3 (0,16 gram) dan K4 (0,32). Pada dosis tepung labu kuning tertinggi mengandung jumlah karotenoid yang paling tinggi yaitu 258,88 µg. Sedangkan dosis 0,16 gram tepung labu kuning mengandung 64,72 µg dan dosis 0.32 gram mengandung 129,44 µg karoten. Semakin tinggi kandungan karoten maka semakin tinggi pula kapasitas tepung labu kuning sebagai penekan stres di retikulum endoplasma. Hal ini memungkinkan penurunan aktivitas jalur PERK dan fosforilasi eIFα2 serta meningkatkan regulasi Insig 1/2 sehingga dapat menurunkan ekspresi SREBP-1c di hepar. Pemberian karoten di jaringan adiposa dapat menurunkan stres RE dan lengan UPR yaitu ATF6 tidak teraktivasi sehingga ekspresi SREBP-1c dapat ditekan. V.3.6. Kesimpulan 1. Ekspresi SREBP-1c pada tikus SD model dislipidemia yang diberikan tepung labu kuning lebih rendah dibanding tikus yang tidak diberikan tepung labu kuning baik di jaringan hepar maupun adiposa putih. 102 2. Ekspresi SREBP-1c di jaringan adiposa putih lebih rendah dibandingkan di hepar pada tikus SD model dislipidemia setelah pemberian tepung labu kuning. 3. Terdapat hubungan negatif/ berbanding terbalik antara dosis tepung labu kuning dengan tingkat ekspresi SREBP-1c di jaringan hepar maupun adiposa. 103