Belenggu Apung - Pusat Humaniora dan Manajemen Kesehatan

advertisement
Belenggu Apung
Santi Dwiningsih
Sri Mulyani
Semi Kawarakonda
Betty Roosihermiatie
i
Belenggu Apung
©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Penulis
Santi Dwiningsih
Sri Mulyani
Semi Kawarakonda
Betty Roosihermiatie
Editor
Betty Roosihermiatie
Desain Cover
Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014
Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933
e mail: [email protected]
ISBN 978-602-1099-21-6
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.
ii
Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)
Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Ketua Tim Teknis
: dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos
iii
Koordinator wilayah
:
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel
dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk
Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep.
Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur.
Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon
iv
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga
dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan
masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan
v
RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora
untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR BAGAN
v
vii
x
xii
xiii
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Metode Penelitian
1
8
8
BAB 2 SUMBA TIMUR DAN UNSUR BUDAYANYA
11
2.1. Sejarah
2.1.1. Sejarah Sumba
2.1.2. Sejarah Desa
2.1.3. Perkembangan Desa
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1. Geografi
2.2.2. Kependudukan
2.2.3. Pola Tempat Tinggal
2.3. Sistem Religi
2.3.1. Marapu Sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah
Hidup Orang Sumba
2.3.2. Kristen di Tanah Sumba
2.3.3. Ritus Kehidupan
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.4.1. Sistem Kekerabatan
11
11
13
15
20
20
27
29
36
36
vii
39
42
58
58
2.4.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan
2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit
2.5.2. Penyembuhan Tradisional
2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman
2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan
2.5.5. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan
2.6. Bahasa
2.7. Kesenian
2.8. Mata Pencaharian
2.9. Teknologi dan Peralatan
62
66
66
70
76
80
82
87
90
94
97
Bab 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DI DESA WATU
HADANG
101
3.1. Budaya KIA
3.1.1. Pra-Hamil
3.2. Hamil
3.2.1. Masa Kehamilan
3.3. Persalinan dan Nifas
3.3.1. Proses Persalinan
3.3.2. Setelah Persalinan
3.3.3. Masa Nifas
3.3.4. Menyusui
3.3.5. Neonatus dan Bayi
3.3.6. Anak dan Balita
3.4. Budaya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
3.4.1. Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan
3.4.2. Melakukan Upaya Penimbangan Bayi dan Balita
3.4.3. Memberikan ASI Eksklusif
3.4.4. Mencuci Tangan Dengan Air Bersih dan Sabun
3.4.5. Memakai Jamban Sehat
3.4.6. Melakukan Aktifitas Fisik Setiap Hari
101
104
117
117
127
127
130
133
137
138
140
143
143
148
155
156
158
158
viii
3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari
3.4.8. Kebiasaan Merokok dan Minum Peneraci (peci)
3.4.9. Penggunanaan Air Bersih
3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk
3.5. Penyakit Menular
3.5.1. Malaria
3.5.2. Tuberkulosis/TB Paru
3.5.3. Frambusia/Patek
3.5.4. Kusta
3.6. Penyakit Tidak Menular
3.6.1. Diabetes Melitus
3.6.2. Hipertensi
3.6.3. Penyakit Jiwa Berat (Skizopherenia dan Psikotik
161
163
166
167
169
169
176
178
182
186
186
189
190
BAB 4 BELENGGU APUNG
193
4.1. ‘Angin’ di Tanah Marapu
4.1.1. Kisah Tentang Angin
4.1.2. Etiologi Penyakit
4.1.3. TB Atau Apung?
4.2. Kisah; Mencoba Lepas dari Belenggu Apung
4.2.1. Apung Bertahan Sampai Akhir
4.2.2. Kenapa yang Lain Tidak Kena?
4.3. Apung; Antara Suanggi, Marapu, dan Rumah Sakit
4.3.1. Suanggi Itu Membunuh Anakku
4.3.2. Terjadi Kedua Kali
193
193
201
213
215
216
236
256
256
274
BAB 5 KESIMPULAN
301
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
301
308
INDEKS
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
311
319
336
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Jumlah Kunjungan Pada Fasilitas Kesehatan
Menurut Jenis Penyakit Pada Tahun 2012
Tabel 2.1. Daftar Tabel Jenis Ternak dan Jumlah Populasi
Ternak di Desa Watu Hadang 2011-2015
Tabel 2.2. Kondisi Pendidikan Desa Watu Hadang
Berdasarkan Data RPJM Desa Watu Hadang Tahun
2011-2015
Tabel 2.3. Tabel Jumlah Tenaga di Puskesmas Melolo Bulan
Juni 2014
Tabel 3.1. Jumlah Persalinan Faskes dan Non-Faskes di
Kabupaten Sumba Timur 2011-2012
Tabel 3.2. Jumlah Kematian Ibu dan Kematian Bayi di
Kabupaten Sumba Timur Tahun 2011-2012
Tabel 3.3. Jumlah Bumil, Sasaran Bufas yang Diberikan
Vitamin A1 dan A2 pada Bulan Mei 2014
Tabel 3.4. Jumlah Posyandu dan Kader Aktif di Desa Watu
Hadang Tahun 2014
Tabel 3.5. Jumlah Balita di Desa Watu Hadang pada Bulan
Mei Tahun 2014
Tabel 3.6. BGM Pada KMS di Desa Watu Hadang pada Bulan
Mei Tahun 2014
Tabel 3.7. Distribusi Frekuensi 2T (Berat Badan Tidak Naik 2
Kali berturut-turut) di Desa Watu Hadang pada Bulan
Mei Tahun 2014
Tabel 3.8. Status Gizi Kurang di Desa Watu Hadang pada
Bulan Mei Tahun 2014
Tabel 3.9. Status Gizi Buruk di Desa Watu Hadang pada
Bulan Mei Tahun 2014
x
4
25
28
86
103
103
135
149
150
151
152
152
153
Tabel 3.10. Distribusi Frekuensi Kapsul Vitamin A di Desa
Watu Hadang Bulan Mei Tahun 2014
Tabel 3.11. Tipe Malaria dan Jumlahnya di Puskesmas
Melolo Tahun 2013
Tabel 3.12. Indikator AMI dan API di Wilayah Kerja
Puskesmas Melolo Pada Tahun 2013
Tabel 5.1. Trend Pengobatan Masyarakat Desa Watu
Hadang
xi
153
169
169
307
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Saluran Irigasi/Selokan
Gambar 2.2. Metode Urut yang Dilakukan oleh Dukun
Marapu
Gambar 2.3. Puskesmas Melolo Tampak Depan
Gambar 2.4. Pola Hikung yang Terbuat dari Pewarna Alam
Gambar 2.5. Laki-laki Pun Bisa Menenun
Gambar 3.1. Rebusan Daun Mengkudu untuk Perawatan
setelah Persalinan
Gambar 3.2. Tali Pusat yang Disimpan di Anyaman Daun
Lontar
Gambar 3.3. Daun Padakmu
Gambar 3.4. Terapi Mandi Pagi di Sungai
Gambar 3.5. Peralatan Untuk Persalinan di Pustu Katorak
Gambar 3.6. Tempat Bersalin di Pustu Katorak
Gambar 3.7. Penimbangan Bayi dan Balita Pada Kegiatan
Posyandu
Gambar 3.8. Pemberian Imunisasi Oleh Jurim Puskesmas
Pada Kegiatan Posyandu di Uma Bara
Gambar 3.9. Proses Pembuatan Peneraci (Peci)
Gambar 3.10. Proses Penyulingan Peneraci (Peci)
Gambar 3.11. Sumur dari Bantuan PNPM di Dusun Kalaki
Desa Watu Hadang
Gambar 3.12. Daun Manganding untuk Mengobati Sakit
Malaria
Gambar 4.1. Rumah Keluarga Mama D
Gambar 4.2. K yang Sedang Diurut oleh Dukun
Gambar 4.3. K yang Sudah Dipanggil Tuhan
xii
22
75
83
92
93
132
13
140
143
145
146
149
154
164
165
167
173
217
250
255
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1. Jumlah Lahir Hidup Laki-laki Januari 2013 - Maret
2013
Grafik 3.2. Jumlah Lahir Mati Laki-laki Januari 2013 - Maret
2013
Grafik 3.3. Jumlah Lahir Hidup Perempuan Januari 2013Maret 2014
Grafik 3.4. Jumlah Penderita Malaria Januari 2013-Maret
2014
Grafik 3.5. Jumlah Penderita Frambusia Januari 2013-Maret
2014
Grafik 3.6. Jumlah Penderita Kusta Januari 2013-Maret 2014
xiii
147
147
148
170
180
184
DAFTAR BAGAN
Bagan 5.1. Pola Health Seeking Behaviours Pada Masyarakat
Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu
xiv
306
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat pertama kali datang, tempat ini berhasil membuat
takjub. Apa yang dibicarakan kebanyakan orang tentang
indahnya Indonesia bagian Timur selalu peneliti yakini
kebenarannya. Sumba Timur, bukan hanya daerah yang terlihat
eksotis bagi peneliti, namun keramahan masyarakat, kesopanan
saat bercengkerama, dan luar biasanya hasta karya tenun yang
mereka buat membuat peneliti yakin bahwa ini surga bagi para
pelancong dan pecinta tekstil Indonesia. Sungguh suatu
kesempatan yang teramat berharga ketika peneliti bisa datang ke
Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba
Timur dan tinggal di sana dari awal bulan Juni 2014 sampai
dengan akhir bulan Juli 2014, untuk melakukan Riset Etnografi
Kesehatan.
Kabupaten Sumba Timur terpilih sebagai salah satu lokasi
Riset Etnografi Kesehatan karena menjadi salah satu kabupaten
yang memiliki masalah kesehatan dan kemiskinan. Berdasarkan
pada data Riskesdas 2007, diperoleh informasi jika IPKM
Kabupaten Sumba Timur menempati posisi 422. Kabupaten
Sumba Timur dan kabupaten lain di Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT), pada saat ini sedang berusaha mengejar
ketertinggalan dengan provinsi lain di Indonesia dalam hal
1
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kesehatan. Revolusi KIA adalah terobosan penting yang dilakukan
secara serentak di semua kabupaten di Provinsi NTT.
Provinsi NTT sebenarnya sudah lama bergelut dengan
masalah kemiskinan dan kesehatan. Provinsi NTT merupakan
salah satu provinsi miskin di Indonesia. Mengutip apa yang
dikatakan oleh Kadinkes Sumba Timur yang peneliti temui pada
tanggal 16 Juni 2014, yang mengibaratkan jika Indonesia adalah
nona cantik, maka NTT adalah bagian buruknya. Karena
persoalan yang teramat pelik tersebutlah, akhirnya NTT mencoba
bangkit dengan mencetuskan Revolusi KIA yang secara garis
besar bertujuan untuk mengurangi AKI (Angka Kamatian Ibu) dan
AKB (Angka Kematian Bayi). Salah satu upaya mewujudkan hal
tersebut adalah dengan cara mewajibkan semua perempuan
yang akan bersalin di Puskesmas atau dibantu oleh tenaga medis.
Persoalan kesehatan di Provinsi NTT secara umum bukan
hanya yang terkait dengan KIA, namun juga persoalan lain seperti
penyakit menular, penyakit tidak menular, Perilaku Hidup Bersih
Sehat (PHBS), dll. Penyakit yang diderita masyarakat baik
penyakit menular maupun penyakit yang tidak menular bisa
menjadi persoalan yang semakin kompleks ketika terkait dengan
budaya masyarakat setempat. Itulah sebabnya persoalan
kesehatan pun tidak lepas dari persoalan budaya yang dijunjung
masyarakat.
Riset Etnografi Kesehatan adalah riset yang berangkat dari
persoalan budaya kesehatan masyarakat. Artinya persoalan
kesehatan yang ada pada masyarakat akan dilihat dari sudut
pandang masyarakat itu sendiri, bukan sudut pandang peneliti.
Spradley (1997:3) menjelaskan bahwa:
“Etnografi sebagai pekerjaan mendeskripsikan suatu
kebudayaan, dan oleh karena itu penelitian etnografi
melibatkan aktifitas belajar dunia orang yang telah
belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan
2
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
bertindak, dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya
mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti
belajar dari masyarakat.”
Dari apa yang dipaparkan oleh Spradley, dapat dipahami
jika peneliti harus melihat masalah dan budaya yang ada dalam
masyarakat dari sudut pandang masyarakat itu sendiri (emic),
bukan sudut pandang peneliti (ethic). Dalam proses tersebut
peneliti diharapkan mampu belajar dari masyarakat sebagai guru
yang akan membuka wawasan peneliti tentang apa yang akan
didalami dalam penelitian, dan tidak menilai budaya masyarakat
dari sudut pandang peneliti itu sendiri.
Lokasi penelitian dalam Riset Etnografi Kesehatan dipilih
berdasarkan persoalan kesehatan yang menonjol di kecamatan di
Kabupaten Sumba Timur. Berangkat dari persoalan tersebut,
maka kami mencoba memilah dan menyeleksi data sekunder
setiap kecamatan di Kabupaten Sumba Timur. Penentuan
kecamatan mana yang akan dijadikan lokasi penelitian tidak
hanya berdasar indikator-indikator seperti KIA, penyakit menular,
penyakit tidak menular, PHBS yang buruk, tetapi dilihat dari
budaya lokal masyarakat yang masih kental atau berpengaruh
kuat.
Untuk menentukan daerah atau kecamatan mana yang
memiliki budaya yang masih kuat kami membaca beberapa
literatur tentang budaya Sumba Timur dan berdiskusi dengan
beberapa staf dari Dinas Kesehatan Sumba Timur. Gambaran
sekilas dari literatur yang kami baca dan dari diskusi singkat
tersebut kami memutuskan untuk memiliih Kecamatan Umalulu
sebagai lokasi penelitian ini.
Kecamatan Umalulu atau yang juga dikenal sebagai
Melolo terletak pada 10ᵒ lintang Selatan dan 119ᵒ-121ᵒ bujur
Timur yang meliputi wilayah dengan luas sebesar 307,9 km².
Kecamatan Umalulu di sebelah Utara berbatasan dengan
3
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kecamatan Pandawai, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Rindi, di sebelah Barat berbatasan dengan
pegunungan Bundungu yang termasuk Kecamatan Paberiwai, dan
di sebelah Timur dengan laut Sawu. Keadaan geografis daerah
Umalulu merupakan dataran rendah di sebelah Utara, bukit-bukit
kapur, batu karang dan padang rumput (sabana), di sebelah
Timur dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian
atau perkebunan. Dataran rendah yang cukup subur terletak di
sebelah Barat dan Selatan, yaitu di sekitar lembah-lembah yang
dialiri sungai (Soeriadiredja, 2012: 65)
Di Kecamatan Umalulu memiliki persoalan kesehatan
yang menonjol. Data Umalulu dalam Angka 2013, menunjukkan
jumlah kunjungan pada fasilitas kesehatan menurut jenis
penyakit pada tahun 2012 adalah sebagai berikut.
Tabel 1.1. Jumlah Kunjungan Pada Fasilitas Kesehatan Menurut
Jenis Penyakit Pada Tahun 2012
No
Jenis Penyakit
Jumlah Kasus
Persentase
479
-
4.39
-
-
-
27
0.25
1
2
Diare/Kolera
Disentri
3
Tipoid
4
TBC
5
Kusta
-
-
6
Campak
-
-
7
Batuk Rejan (ISPA)
5942
54.44
8
Hepatitis
2
0.02
9
Malaria
2846
26.07
10
ISK
-
-
Sumber: Umalulu dalam Angka Tahun 2013
Data di atas menunjukkan, jika empat penyakit terbanyak
adalah; (1) Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) sebanyak 5942
4
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
kasus, dengan persentase 54.4,% (2) Malaria sebanyak 2846
kasus dengan persentase 26,07% (3) Diare/Kolera sebanyak 479
kasus dengan persentase 4,39%, dan (4) TBC sebanyak 27 kasus
dengan persentase 0,25%. Kasus TBC di Kecamatan Umalulu
tampak jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tiga penyakit
lainnya, namun hingga saat penyakit menular TB ini merupakan
penyakit masih sulit ditekan penularannya.
Menurut data Riskesdas tahun 2013, prevalensi penduduk
Indonesia yang didiagnosis TB Paru oleh tenaga kesehatan tahun
2013 adalah 0,4% tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima
provinsi dengan TB Paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%),
Papua (0,6 %), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten
(0,4%), dan Papua Barat (0,4%). Provinsi NTT sebenarnya tidak
termasuk dalam lima provinsi dengan TB Paru tertinggi, namun
penyakit menular yang mematikan ini masih menjadi persoalan
yang pelik di Kecamatan Umalulu dengan 27 kasus pada tahun
2012.
Alasan lain mengapa Kecamatan Umalulu kami pilih
sebagai lokasi Riset Etnografi Kesehatan karena di kecamatan ini
masih terpelihara adat dan budaya asli masyarakat Sumba
dengan baik, budaya asli tersebut adalah budaya marapu. Ada
satu desa yang menjadi pusat Kerajaan Melolo yang masih
mempertahankan adat dan budaya asli mereka yaitu Desa Watu
Hadang.
Masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang masih
memegang teguh kepercayaan jika sakit atau penyakit yang
dapat mereka alami adalah atas campur tangan Marapu. Sumber
atau induk dari sakit atau penyakit dalam kepercayaan Marapu
adalah Ngilu atau angin. Karena keyakinan bahwa sakit atau
penyakit adalah akibat dari angin atau ngilu, maka masyarakat
percaya jika usaha penyembuhan adalah dengan menaklukkan
ngilu tersebut. Ngilu dipercaya tidak akan mampu disembuhkan
5
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
secara medis, sehingga cara pengobatan alternatif dengan
campur tangan dukun menjadi pilihan utama. Seringkali
ditemukan adanya kasus dimana masyarakat baru mengakses
pengobatan medis jika upaya-upaya yang ditempuh melalui
pengobatan alternatif telah buntu. Akibatnya penanganan secara
medis sudah dianggap terlambat dan tidak sedikit yang berakhir
dengan kematian.
Ngilu tidak akan dikupas secara mendalam dalam bab ini,
melainkan pada Bab 4 yang membahas tentang bab tematik
penelitian ini. Bab 2 secara khusus akan membahas unsur budaya
yang meliputi sejarah, geografi dan kependudukan, religi,
organisasi sosial dan kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa,
kesenian, mata pencaharian, serta teknologi dan peralatan. Bab 3
akan mendalami tentang potret kesehatan masyarakat yang
meliputi status kesehatan KIA, PHBS, PM, dan PTM, dan sistem
pelayanan kesehatan masyarakat. Bab V akan berisi kesimpulan
dari semua pembahasan yang telah dipaparkan.
Ngilu dengan berbagai nama dan jenis-jenisnya,
dipercaya sebagai bentuk sakit atau penyakit yang berhubungan
langsung dengan kepercayaan Marapu. Tuhan menciptakan
angin atau ngilu, namun Marapu lah yang diberi kuasa untuk
menentukkan mana yang akan diberi ngilu atau dilindungi dari
ngilu. Di luar kuasa Tuhan, ada satu jenis ngilu yang dipercaya
sebagai buah dari keburukan hati manusia. Ngilu ini dipercaya
muncul dari hati yang dipenuhi dendam dan begitu ingin
dilampiaskan. Ngilu ini bernama ngilu apung.
Ngilu apung peneliti temukan pada saat-saat terakhir
peneliti berada di lapangan. Karakter masyarakat yang cenderung
tertutup karena takut akan penilaian negatif akan diri mereka,
membuat ngilu apung ini membutuhkan waktu lama untuk
tergali. Apung menjadi penting untuk peneliti karena membawa
peneliti pada topik yang menarik untuk didalami, yaitu penyakit
6
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
menular TB. Apung dalam masyarakat lokal dipercaya sebagai
bagian dari ngilu yang tidak akan dapat disembuhkan dengan
cara medis. Ciri-ciri yang melekat pada penderita ngilu apung
memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang melekat pada penderita
TB.
Dua orang informan utama dalam riset ini adalah orang
dengan cerita ngilu apung yang menarik, dan juga memiliki
riwayat TB di keluarga mereka. Kisah hidup mereka untuk
mendapatkan kesembuhan begitu menarik untuk diikuti.
Hambatan-hambatan yang dihadapi bukan lagi masalah klasik
seperti kurangnya sarana prasarana kesehatan yang kurang
memadai, sulitnya akses yang harus ditempuh menuju fasilitas
kesehatan, atau tidak adanya tenaga kesehatan yang mampu
melayani. Tetapi hambatan yang utama adalah pada keyakinan
yang tertanam dalam benak mereka, jika ngilu apung dan jenis
ngilu yang lain tidak akan mampu disembuhkan secara medis,
melainkan hanya bisa disembuhkan oleh penyembuh tradisional
atau dukun.
Dari gambaran tentang ngilu apung di atas dapat
diperoleh permasalahan yaitu:
1. Bagaimana informan memaknai ngilu apung?
2. Apa keterkaitan ngilu apung dengan TB?
3. Bagaimana peran dukun atau penyembuh tradisional
terhadap informan, dalam kaitan pengambilan keputusan
untuk memperoleh kesembuhan dari ngilu apung?
Pertanyaan-pertanyaan di atas bukan sebatas pertanyaan
yang ditanyakan secara sambil lalu. Peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan mendatangi informan berulang
kali dengan observasi partisipasi dan observasi non partisipasi.
Dengan melihat budaya dari sudut pandang masyarakat yang
diteliti, diharapkan peneliti mampu melihat lebih dalam apa yang
sesungguhnya yang perlu dikaji secara lebih lanjut.
7
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Memegang prinsip bahwa budaya bersifat relatif menjadi
penting karena apa yang baik menurut peneliti belum tentu baik
bagi masyarakat yang diteliti, begitu juga sebaliknya, apa yang
baik bagi masyarakat yang diteliti belum tentu baik bagi peneliti.
Peneliti tidak seharusnya mempertahankan sudut pandangnya
dan menganggap pendapatnya lebih baik daripada masyarakat
yang ditelitinya. Instrumen utama dalam studi ini adalah peneliti
sendiri, dengan berpijak pada nilai-nilai budaya lokal dan
menghargai budaya masyarakat setempat, diharapkan peneliti
mampu diterima dengan baik sebagai bagian dari masyarakat.
1.2. Tujuan Penelitian
Riset Etnografi Kesehatan 2014 dimaksudkan untuk
memperoleh pengetahuan tentang berbagai unsur budaya Etnik
Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Timur. Selain itu riset ini
berusaha untuk memahami dan menggali berbagai potret
kesehatan masyarakat dari etnik terpilih tersebut, untuk
menelisik lebih dalam tentang budaya kesehatan masyarakat
Sumba, dan bagaimana masyarakat Sumba memandang penyakit
dari sudut pandang budayanya.
1.3. Metode Penelitian
Riset Etnografi Kesehatan adalah riset yang memakai metode
penelitian kualitatif dengan cara pengambilan data yang meliputi;
1) Observasi Partisipasi
Idealnya, peneliti memang tinggal dengan masyarakat di
tempat lokasi penelitian di lakukan selama beberapa waktu.
Tujuannya agar peneliti mampu beradaptasi dan tentu saja
mampu mempelajari budaya dari masyarakat dengan baik
melalui observasi partisipasi. Untuk melakukan observasi
partisipasi, peneliti tinggal selama 60 hari di tengah-tengah
8
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
masyarakat dan terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan secara partisipatoris.
2) Wawancara Mendalam
Selain observasi partisipasi peneliti juga melakukan
wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan untuk
mencari informasi yang mendalam tentang penelitian yang
dilakukan. Kedekatan personal antara peneliti dan informan
sangat diperlukan untuk melakukan wancara mendalam. Oleh
karena itu, membangun relasi yang baik adalah modal yang
sangat penting bagi peneliti.
3) Data Sekunder
Selain observasi partisipasi dan wawancara mendalam,
peneliti juga mengakses data sekunder yang peneliti dapatkan
dari berbagai pihak untuk melengkapi data penelitian.
4) Dokumentasi Visual, Dokumentasi Audio Visual, dan
Dokumentasi Audio
Salah satu senjata utama peneliti adalah kamera. Sebuah
gambar dapat berbicara dan menceritakan banyak hal, serta
memperkuat temuan-temuan di lapangan. Kamera bisa merekam
berbagai peristiwa yang tidak akan mungkin dapat terulang
kembali. Dokumentasi visual berupa foto yang diambil dengan
menggunakan kamera adalah data penting untuk mendukung
kuatnya observasi, wawancara, dan riset yang dilakukan.
Selain kamera, peneliti juga menggunakan kamera video
untuk merekam gambar bergerak dan bersuara, yang juga dibuat
menjadi film dokumentasi selama riset berlangsung. Untuk
memperkuat validitas data, peneliti juga merekam beberapa
aktivitas wawancara dengan persetujuan informan dengan
memakai voice recorder (perekam suara).
9
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
5) Studi Literatur
Suatu riset ilmiah harus didukung oleh literatur yang
memadai. Untuk itu studi literatur diperlukan untuk
memperdalam atau memperkuat teori dalam penelitian.
Beberapa literatur berupa data-data sekunder, peneliti dapatkan
dari Kantor BPS Kabupaten Sumba Timur.
10
BAB 2
SUMBA TIMUR DAN UNSUR BUDAYANYA
2.1. Sejarah
Desa Watu Hadang memiliki sejarah yang panjang.
Sejarah tersebut memiliki beberapa versi, baik yang berasal dari
literatur maupun yang dituturkan oleh tokoh masyarakat.
Sebelum menyimak tentang sejarah desa, perlu kiranya kita
mengetahui sejarah dari leluhur masyarakat Sumba terlebih
dahulu.
2.1.1. Sejarah Sumba
Ada beberapa versi tentang asal muasal dari leluhur
bangsa Sumba yang kini mendiami Pulau Sumba. Beberapa
diantaranya diulas oleh beberapa penulis dalam buku-bukunya
yang berkontribusi sangat besar dalam khasanah budaya Sumba.
Penulis yang merupakan putra daerah Sumba (Kapita, 1976)
mengulas asal muasal leluhur bangsa Sumba dengan kronologi
yang panjang, dia sendiri menyebutnya sebagai sebuah hikayat
leluhur atau Li’i Marapu. Menurut Kapita, bangsa Sumba berasal
dari seberang- Malaka-Tanabara, Hapa Riu-Ndua Riu, Hapa
Njawa-Ndua Njawa, Ruhuku-Mbali, Ndima-Makaharu, Endi
Ambarai, Enda-Ndau, Haba Rai njua (Semenanjung malaka,
Singapura, Riau, Jawa, Bali, Bima, Makkasar, Ende, Manggarai,
Rote Ndau, Sabu, Raijua. Dan terakhir mendarat di Haharu MalaiKataka Lindi Watu dalam beberapa gelombang kedatangan.
11
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Konon kedatangan mereka bertujuan untuk mengatur strategi
pengepungan.
Pada akhirnya kelompok-kelompok migrasi tersebut
menetap, mencoba bertahan hidup dengan belajar bercocok
tanam, beternak, berburu, dan mulai mempelajari adat istiadat
perkawinan, kelahiran, kematian, dengan menetapkan nama
kelompok masing-masing tempat kediaman dan membahas halhal penting dalam suatu musyawarah leluhur.
Kapita (1976) juga menceritakan, saat rombonganrombongan tersebut menetap, mereka kemudian membuat
negeri yang disebut dengan paraingu. Dalam paraingu tersebut
terdapat kelompok yang berkuasa atas tanah untuk pertama kali
yang disebut dengan mangu tanangu. Kelompok-kelompok yang
menjadi perintis adanya migrasi menuju Pulau Sumba pada
generasi pertama inilah yang dianggap sebagai leluhur yang
didewakan dan sangat dihormati oleh anak cucu mereka sampai
sekarang. Leluhur inilah yang disebut dengan marapu. Pada
perkembangan selanjutnya muncul adanya stratifikasi sosial di
dalam masyarakat. Muncul kerajaan yang dipimpin oleh para
bangsawan dan muncul juga para pengikut yang berkasta lebih
rendah dari bangsawan.
Sejak dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau
Cendana atau Sandelwood Island (Inggris), Sandelhout Eiland
(Belanda). Nama tersebut tercantum dalam peta Pigafetta tahun
1522 dengan nama: Chendan, yaitu nama Pulau Cendana.
Pigafetta adalah seorang pelaut berkebangsaan Portugis yang
turut berlayar bersama Magelhaens, pada tahun 1519-1521.
Dalam pelayarannya mengelilingi dunia, Magelhaens juga
melewati gugusan pulau yang ada di Sunda Kecil (Kapita dalam
Simpen, 2008: 70).
Tana Humba yang berarti Tanah Sumba, adalah sebutan
orang Sumba kepada pulaunya. Konon, Tana Humba berasal dari
12
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
nama istri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan
mendiami Sumba, yaitu Humba, yang bersuamikan Umbu Walu
Mandoku. Sebagai tanda cinta kepada istrinya, Umbu Walu
Mandoku mengabadikan nama istrinya sebagai nama pulau ini
(Wellem, 2004: 16).
Sumba, disebutkan dalam buku Negara Kertagama
karangan Mpu Prapanca yang menyatakan bahwa pulau ini
termasuk jajahan Majapahit. Kemudian, Sumba juga disebutkan
pada abad ke-15 yang menyatakan bahwa Sumba merupakan
taklukan Kesultanan Bima (Sumbawa), dan bukti tersebut masih
dapat dilihat dari bentuk kuburan peninggalan Islam di Sumba
Barat. Hal tersebut menunjukkan pernah ada hubungan politis
diantara Sumba dengan Majapahit dan Kesultanan Bima (Simpen,
2008:71).
2.1.2. Sejarah Desa
Sejarah desa Watu Hadang pun memiliki beberapa versi
yang berbeda. Dari versi yang tercatat dalam Dokumen RPJMDesa 2011-2015 diceritakan jika sejarah Desa Watu Hadang tidak
terlepas dari sejarah Umalulu yang dahulu masih dalam bentuk
kerajaan. Kerajaan ini terdiri dari marga-marga yang diantaranya
adalah marga terbesar yaitu marga Watu Pelitu yang tersebar di
dua kampung, yaitu Kampung Pau dan Kampung Uma Bara, serta
Kampung Ngiangandi dan Kampung Laihandang. Kampungkampung tersebut dipimpin oleh kepala kampung yang
merupakan orang kepercayaan raja. Pada masa pemerintahan
Raja Oemboe Windi Tana Ngunju, saat Umalulu menjadi swapraja
pada sekitar tahun 1960-1962. Kedua kampung tersebut
(Kampung Pau-Uma Bara dan Kampung Ngiangandi dan
Laihandang) dipersatukan dan diberi nama Desa Watu Hadang,
yang terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Wawangga dan Dusun
Ngaru Kangeli.
13
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Masih menurut sumber Dokumen RPJM-Desa 2011-2015,
nama Watu Hadang diberikan karena merujuk pada salah satu
bagian paraingu Umalulu bagian Kiku-Kamuri yang terkenal
dengan istilah Watu Hadangu-Pindu Kamaru. Watu Hadangu
berarti batu berdiri, dan Pindu Kamaru berarti pintu pohon asam.
Konon diceritakan di tempat tersebut dapat dijumpai suatu
negeri yang di dalamnya ada batu yang berdiri dan pintu yang
terbuat dari pohon asam. Tempat tersebut adalah tempat yang
dihuni oleh marga atau kabihu Watupelitu yang merupakan
kabihu maramba (raja dan bangsawan). Sedangkan dusun
Wawangga dan Ngaru Kageli berasal dari salah satu nama
paraingu umalulu bagian Kani-Padua, yang merupakan bagian
negeri yang ditinggali oleh Kabihu Ratu (imam atau penasehat
spiritual bangsawan).
Tidak kalah menarik dengan versi yang tercacat dalam
RPJM-Desa 2011-2015, seorang tokoh adat dari kaum bangsawan
Kabihu Watu Pelitu yang bernama UN menceritakan asal mula
desa Watu Hadang, dari cerita leluhur yang dia dengar secara
turun temurun. Dia menceritakan jika asal mula desa terkait
dengan adanya bencana yang pernah melanda suatu kampung di
waktu yang telah lama lewat. Diceritakan ada sambaran petir
yang membakar pemukiman penduduk di kampung tersebut, dan
hampir semua rumah hangus terbakar. Sayangnya, tidak pernah
diperoleh informasi secara jelas, pada tahun berapa peristiwa
tersebut terjadi dan berapa jumlah rumah yang terbakar.
“Desa Watu Hadang sebenarnya merupakan desa dari
kabihu marga watu pelitu. Sejarahnya dulu ada di
kampung atas, di atas gunung sana, sejarahnya disana, di
kampung itu ada nama Watu Hadang. Jadi namanya kita
ambil dari nama kampung lama itu, disini kampung
umabara, di sebelah kampung Pau, di atas lagi Kampung
Padalarungu dan Ngiangandi. Kampung berdekatan
14
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
merupakan satu kesatuan, saling membantu dalam
urusan adat. Watu Hadang adalah nama dari suatu
tempat di kampung atas, Watu Hadang artinya kampung
yang berdiri. Kampung di atas namanya praingu watu
pelitu, karena kebakaran petir di kampung itu, untuk
mengingat kampung itu kita ambil nama Watu Hadang
jadi nama desa.”
Yang dimaksud dengan kampung atas adalah kampung
yang dikenal masyarakat dengan sebutan Praing. Sebutan
kampung atas merujuk pada bukit bebatuan yang letaknya di atas
kampung Uma Bara. Bukit tersebut bisa didaki dengan berjalan
kaki selama sekitar 20 sampai 30 menit. Di bagian atas bukit
terdapat rumah adat dan kubur batu yang dipercaya sudah
berusia tua.
2.1.3. Perkembangan Desa
Perkembangan Desa Watu Hadang dari tahun ke tahun
hanya dapat kami telusuri dari kisah-kisah yang dituturkan oleh
beberapa orang. Tidak ada data tertulis mengenai hal tersebut,
namun beberapa orang bersedia bercerita mengenai masa
sekitar 5 sampai dengan 10 tahun yang lalu. Sekitar 10 tahun
yang lalu, sudah terdapat transportasi umum berupa bus yang
melayani rute Melolo menuju Waingapu. Menurut cerita HK, bus
tersebut dimiliki beberapa orang ongko atau pria keturunan
Tionghoa yang tinggal di Melolo. Tidak jelas berapa jumlah
armada yang dimiliki, dan berapa tarif yang dikenakan.
Sebenarnya, dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun yang lalu pun
kendaraan umum yang melayani rute Melolo-Waingapu pun
sudah ada, hanya jumlahnya terbatas.
Keberadaan bus umum tersebut sangat membantu
mobilitas warga dari atau menuju Melolo. Terutama bagi para
siswa yang harus mengenyam pendidikan di Waingapu, atau
15
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
orang-orang yang berniat berniaga atau berbisnis. Transportasi
umum tentu saja amat berarti bagi masyarakat yang tidak
memiliki kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor. Dahulu
jalan raya yang menghubungkan antara Melolo-Waingapu dan
sebaliknya belum sebagus masa kini yang sudah beraspal baik.
Kini armada bus umum yang melayani rute Melolo-Waingapu
atau sebaliknya pun hampir selalu dapat dijumpai setiap jam.
Menariknya, bus umum tersebut bersedia untuk
menjemput penumpang di rumah atau di lokasi yang diinginkan
penumpang. Tentu saja penumpang yang ingin dijemput harus
menghubungi supir bus terlebih dahulu. Tarif bus umum dengan
rute Melolo-Waingapu atau sebaliknya saat ini adalah Rp.
15.000,- untuk sekali jalan. Lama perjalanan yang ditempuh
sekitar 2,5 jam. Lama perjalanan tersebut dipengaruhi juga oleh
lamanya waktu yang dipakai supir bus untuk menjemput
penumpang-penumpang yang tersebar di berbagai lokasi.
Penumpang yang memanfaatkan jasa bus umum tersebut, juga
diperbolehkan menitipkan barang untuk dibawa ke Waingapu
dengan tetap membayar ongkos bus.
Lancarnya moda transportasi yang menghubungkan
Melolo dengan kecamatan-kecamatan lain di sekitarnya juga
berdampak pada berkembangnya roda perekonomian warga. Jika
sekitar 5 atau 10 tahun yang lalu, pusat perniagaan di Kota
Melolo hanya digerakkan oleh beberapa orang keturunan
Tionghoa, maka sekarang hampir di sepanjang jalan poros utama
Kota Melolo dipenuhi oleh toko-toko, kios-kios, warung –warung
makan, bengkel, dan penjual sayur yang jumlahnya cukup
banyak. Bangunan-bangunan permanen seperti kos atau rumah
sewa saat ini mulai tampak dibangun di dekat pusat perniagaan
tersebut.
Jika roda perekonomian di pusat kota Melolo digerakkan
oleh aktivitas perniagaan, maka roda perekonomian di Desa
16
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Watu Hadang digerakkan oleh sektor pertanian, peternakan, dan
kerajinan kain tenun. Denyut nadi sektor pertanian di Desa Watu
Hadang tidak lepas dari adanya aliran air atau irigasi yang
bersumber dari Sungai Melolo. Aliran air tersebut dibendung dan
didistribusikan ke persawahan warga melalui ‘selokan’ yang
dibangun pemerintah. Ada kesimpangsiuran mengenai tahun
berapa sesungguhnya selokan dan bendungan tersebut
dibangun, namun beberapa orang berkata jika pada sekitar tahun
1980-an, selokan dan bendungan sudah dibangun dan sudah
berfungsi untuk mengairi persawahan milik warga.
Persawahan yang dialiri air dari selokan atau bendungan
tersebut, menghasilkan padi yang sebagian besar dipakai untuk
konsumsi keluarga. Begitupun dengan tanaman jagung yang
dikembangkan di ladang warga. Mereka menyimpan padi dan
jagung di rumah untuk persediaan makanan sehari-hari, atau
untuk persediaan ketika upacara adat datang. Panen yang
dilakukan biasanya melibatkan keluarga besar atau tetangga
sekitar mereka yang masih ada hubungan kekerabatan. Namun
sayangnya, gotong-royong saat panen pada kurun waktu 5
sampai 10 tahun yang lalu sudah mulai berubah. Kini masyarakat
tidak lagi menjalankan ritual adat ketika panen padi tiba, atau jika
ada pun jumlahnya sangat sedikit. Hal tersebut konon
disebabkan karena ritual tersebut begitu dekat dengan ritual
Marapu yang kini mulai terancam keberadaannya.
Sumber mata pencaharian yang terbatas pada sektor
pertanian, peternakan, dan kerajinan tenun memunculkan
adanya trend baru berupa migrasi kaum muda desa menuju ke
luar Pulau Sumba, pada sekitar akhir 1990-an1. Tujuan mereka
yang utama adalah Pulau Bali dan Pulau Jawa. Sebagian besar
dari mereka mengadu nasib dengan bekal ijazah SD atau SLTP,
1
Wawancara dengan Soeriadiredja.
17
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan sebagian kecil SLTA sebagai tenaga buruh atau pelayan toko.
Mereka yang sebagian besar adalah warga dengan usia produktif,
memilih keluar dari sepinya desa dengan motivasi untuk
mendapatkan hidup yang lebih baik. Dalam kurun waktu 5
sampai 10 tahun yang lalu, fenomena ini mulai tampak dan kini
menjadi sebuah trend.
Hal ini juga dipengaruhi oleh lebih permisifnya Sang Raja
dalam menetapkan peraturan kini. Sang Raja Melolo, diceritakan
memberi kebebasan kepada hamba-hambanya yang ingin
mengadu nasib di luar pulau Sumba untuk bekerja, atau pun
menempuh pendidikan yang lebih baik. Keterbukaan ini
membawa pengaruh yang besar terhadap muda-mudi yang
memiliki niat untuk merasakan suasana lain, selain suasana
mereka yang damai di desa. Masifnya trend perpindahan mudamudi desa Watu Hadang ke daerah lain di luar pulau Sumba juga
membawa perubahan pada trend pakaian yang digunakan.
Seorang warga yang berdarah bangsawan menceritakan hal
tersebut.
“Dulu mbak, tidak ada perempuan di desa yang pakai
celana pendek. Semua pakai kain hitam-hitam itu..tau
to? Aiiiih sekarang banyak yang pakai celana pendek,
tidak tua tidak muda.”
Fenomena celana pendek bisa dikatakan sebagai
pengaruh modernisasi, dan efek dari meluasnya pergaulan serta
jaringan informasi yang diterima. Semakin meluasnya informasi
bukan hanya akibat dari perpindahan muda-muda ke kota, tetapi
juga karena semakin banyak juga generasi muda yang
mengenyam pendidikan formal, walaupun rata-rata hanya sedikit
yang mampu lulus dari pendidikan tingkat SLTA. Berbeda dengan
masa sekitar 10 tahun yang lalu, ketika pendidikan masih teramat
sulit untuk diakses oleh golongan hamba (ata), karena saat itu
18
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pendidikan belum dirasa penting dibandingkan dengan loyalitas
pada tuan (raja) mereka.
Perubahan secara signifikan juga terlihat pada pola
komunikasi masyarakat, yang kini mengandalkan telepon seluler
atau handphone. Telepon seluler yang lebih akrab disebut HP,
saat ini mudah sekali ditemui. Ada 2 provider telekomunikasi
yang menjangkau Desa Watu Hadang, namun hanya satu yang
memiliki jaringan yang kuat. Tower atau menara dari provider
telekomunikasi tersebut baru dibangun sekitar tahun 20012, dan
berdampak pada arus informasi yang semakin luas. Hampir setiap
rumah warga yang kami kenal di Desa Watu Hadang memiliki HP
dan pemanfaatannya mayoritas terbatas pada fasilitas SMS dan
telepon. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh jenis HP yang mereka
miliki, yang sebagian besar memang baru mendukung layanan
tersebut saja.
Tampaknya pemanfaatan HP untuk mengakses internet
masih jarang dijumpai. Dampak pemakaian telepon seluler atau
HP tidak selamanya buruk. Karena dengan adanya HP juga,
masyarakat yang membutuhkan jasa bidan desa bisa terbantu
dengan segera. Bidan desa di Watu Hadang memang menyebar
luaskan nomor HP pribadinya agar lebih mudah dihubungi
masyarakat ketika diperlukan. Informasi atau lebih tepatnya
pertukaran informasi tidak hanya melalui telepon seluler. Adanya
pesawat televisi yang dimiliki oleh orang tertentu juga
berpengaruh kepada wawasan warga.
Sayangnya, sebagian besar tayangan yang menjadi favorit
masyarakat adalah sinema elektronik atau sinetron. Sinteron
yang menjadi tayangan favorit mereka, adalah sinetron dengan
genre drama dan laga. Hanya sebagian kecil yang tertarik untuk
melihat tayangan berita, dan sebagian besar dari yang tertarik
2
Wawancara dengan Soeriadiredja
19
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
melihat tayangan berita adalah kaum laki-laki. Sinetron tidak
akan bisa dijumpai jika memutar waktu sekitar 5 atau 10 tahun
yang lalu. Sinetron berperan besar pada sudut pandang
masyarakat (terutama muda-mudi) terhadap imej ‘orang kota’,
fashion, dan bahasa ‘gaul’. ‘Orang kota’ yang biasanya secara
sempit dianggap dari Jawa atau Jakarta, menjadi tolok ukur
tersendiri tentang ukuran kecantikan dan kemajuan fashion-nya.
Melalui sinetron juga, kebanyakan masyarakat kemudian
mengenal bahasa dengan dialek Jakarta, walaupun dialek
tersebut tidak berpengaruh banyak pada bahasa yang mereka
pakai sehari-hari. Awal dari perubahan sebenarnya berawal dari
adanya tenaga listrik yang mulai mengaliri Kecamatan Umalulu
sekitar tahun 1980-an, dan masuk ke Kampung Pau-Umabara
(Kampung Raja Melolo) sekitar tahun 1996. Sayangnya saat itu
listrik hanya menyala pada malam hari.
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1. Geografi
Berdasarkan data dokumen RPJM-Desa Watu Hadang
Tahun 2011-2015, total luas wilayah desa Watu Hadang adalah ±
1.020 Ha, atau 3,31 % dari total luas Kecamatan Umalulu seluas
30.790 Ha. Desa ini terbagi dalam 2 (dua) wilayah
dusun/lingkungan, 4 RW dan 12 RT, yang sebagian wilayahnya
terbagi menjadi lahan basah (sawah) dan lahan kering (kebun).
Luas lahan basah adalah 47 Ha dan lahan kering 46 Ha, sisanya
berupa padang rumput untuk daerah peternakan. Batas wilayah
desa Watu Hadang di sebelah Utara adalah Desa Mutunggeding,
sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Watupuda, sebelah
Timur berbatasan Desa Lumbukore dan sebelah Barat berbatasan
Desa Lairuru.
20
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Desa Watu Hadang secara geografis terdiri dari
pegunungan dan dataran yang dibatasi oleh sungai Melolo yang
lebar. Sungai ini memegang peranan penting dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Desa Watu Hadang. Sungai tersebut
mengaliri desa melalui sebuah bendungan yang nantinya akan
terbagi ke dalam selokan atau parit yang berukuran lebih kecil.
Masyarakat setempat lebih lazim menyebut aliran air dari
bendungan Sungai Melolo dengan sebutan selokan. Fungsi
selokan yang utama sesungguhnya untuk sistem irigasi atau
pengairan sawah warga. Aliran air dari selokan tersebut mengairi
sawah-sawah dan lahan pertanian milik warga dengan
pembagian jatah yang telah diatur oleh desa.
Selokan yang berair deras dan dalam juga dimanfaatkan
warga untuk melakukan aktivitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK)
sehari-hari. Mandi di selokan adalah aktivitas yang sudah menjadi
pemandangan biasa di desa. Bukan hanya selokan yang dialiri
oleh air yang deras dan dalam yang dipergunakan untuk mandi,
selokan yang dangkal dengan debet air yang sedikit pun
dimanfaatkan untuk mandi. Selain mandi, masyarakat juga
memanfaatkan selokan untuk BAB setiap hari. Pada pagi hari
buta sebelum matahari muncul dengan sempurna, warga akan
datang ke pinggir selokan dengan memakai sarung lalu
berjongkok di tepian selokan. Menariknya jika aktivitas tersebut
dilakukan pada saat
hari sudah terang, mereka akan
memanfaatkan sarung yang dipakai untuk menutup bagian wajah
dan kepala mereka.
Aktivitas mencuci juga dilakukan di selokan tersebut.
bukan hanya mencuci baju dan peralatan masak, mencuci bahan
makanan seperti daging, dan memandikan hewan peliharaan
seperti kuda dan sapi pun dilakukan di tempat yang sama. Tidak
jarang sampah-sampah dari rumah tangga dan kotoran manusia
akan terlihat terbawa aliran air melewati kuda-kuda atau
21
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
manusia yang sedang mandi. Masyarakat juga membuang
bangkai hewan seperti babi dan anjing yang sudah mati di
selokan yang sama. Bangkai-bangkai tersebut akan hanyut
terbawa aliran air bersama dengan sampah-sampah lainnya.
Selain dimanfaatkan untuk saluran irigasi, MCK, dan pembuangan
sampah, sungai Melolo juga membawa sumber pendapatan lain.
Aktivitas penambangan pasir sudah menjadi mata pencaharian
masyarakat. Pasir yang ditambang akan dikumpulkan untuk dijual
kepada pengepul.
Gambar 2.1.
Saluran Irigasi/Selokan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pembuangan sampah tidak hanya dilakukan dengan
membuangnya ke selokan, banyak juga warga yang membakar
sampah-sampah rumah tangga mereka dengan membakarnya
dengan bara api sampai berubah menjadi abu. Sebelumnya
sampah-sampah tersebut akan dikumpulkan di satu tempat
(biasanya di pekarangan rumah) ketika sore hari seusai menyapu
halaman rumah. Mereka akan memilah-milah sampah dengan
cermat sebelum dibakar. Jika ada sampah yang masih bisa
22
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dimanfaatkan seperti botol bekas minuman atau kardus, mereka
akan menyimpannya kembali. Botol bekas minuman, biasanya
digunakan kembali sebagai wadah kapur untuk pelengkap sirih
pinang.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terutama untuk
minum dan memasak, masyarakat desa Watu Hadang mengambil
air dari sumur gali, air perpipaan dan mata air, sedangkan untuk
mandi, mencuci pakaian, dan menyirami sayur sebagian besar
masyarakat desa Watu Hadang menggunakan air sungai dan air
selokan (saluran irigasi dari bendungan Melolo).
Sebagian besar masyarakat Desa Watu Hadang bermata
pencaharian sebagai petani. Selain menanam padi dan jagung,
kini masyarakat juga menanam sayur mayur yang juga memiliki
nilai jual. Berdasarkan data RPJM-Desa Watu Hadang tahun 20112015, 195 keluarga di Desa Watu Hadang tercatat memiliki lahan
pertanian, dan 34 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. 125
keluarga memiliki lahan yang luasnya kurang dari 1 hektar, 11
keluarga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1-5 hektar. Untuk
lahan yang luasnya kurang dari 1 hektar, biasanya dapat
menghasilkan 6 sampaI dengan 7 karung padi (sekitar ½ ton
sekali panen). Tentu saja jika panen tersebut berlangsung lancar
dan padi tidak terserang hama.
Selain menanam padi, jagung, dan sayur mayur, pada
umumnya masyarakat menanam pohon sirih dan pinang untuk
kebutuhan konsumsi adat yaitu Pahappah. Tradisi mengunyah
sirih pinang atau pahappah adalah tradisi yang tidak terlepas dari
budaya orang Sumba yang berusaha memperlakukan tamu
dengan baik. Sirih pinang tersebut dianggap sebagai ‘pembuka
kata’ ketika ada tamu yang hadir atau pada suatu upacara adat.
Pada umumnya sirih pinang tersebut disajikan dalam suatu
wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar kering yang
bernama tangawahil. Biasanya, tidak berapa lama setelah tamu
23
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
datang dan dipersilahkan duduk di atas tikar daun lontar yang
dibentangkan, yang selanjutnya dilakukan oleh tuan rumah
adalah menyajikan sirih pinang. Tamu tidak akan menyampaikan
maksud atau tujuan kedatangannya sebelum dia mengunyah sirih
pinang. Maka dari itu sirih pinang dianggap sebagai simbol dari
‘pembuka kata’ saat datang bertamu, dan sebaiknya tamu
memang mengunyah sirih pinang yang disajikan tuan rumah
sebagai wujud penghormatan.
Selanjutnya, bila acara makan sirih telah selesai, maka
tuan rumah segera menyuguhkan minuman (kopi/teh). Gelas
untuk menghidangkan minuman harus dalam keadaan baik dan
tidak retak. Gelas harus terisi penuh untuk menunjukkan sopan
santun kepada tamu. Gelas yang dipakai untuk menyajikan
minuman juga menunjukkan kelas sosial tamu yang datang. Jika
tamu yang datang berasal dari golongan maramba, pantang bagi
tuan rumah menyuguhkan minuman dengan gelas plastik
(melamin) atau gelas yang retak. Gelas yang terbaiklah yang akan
dipakai untuk menyuguhkan minuman. Jika yang datang bertamu
dari golongan ata (hamba), maka gelas plastik (melamin) pun
sudah cukup layak.
Selain menanam sirih dan pinang, ada sebagian kecil
masyarakat yang menanam jahe, kunyit, dan daun serai yang
dimanfaatkan untuk bumbu dapur serta keperluan pembuatan
ramuan obat tradisional. Pekarangan warga yang rata-rata luas
biasanya tidak dibiarkan kosong begitu saja, pekarangan tersebut
ditanami buah-buahan yang bisa dikonsumsi seperti jeruk,
alpokat, mangga, nangka, pisang, jambu dan etnikn. Tidak hanya
menghasilkan buah, manfaat dari batang tanaman tersebut juga
besar, terutama batang pohon pisang. Batang pohon pisang
digunakan warga untuk campuran makanan ternak babi yang
mereka pelihara. Batang pisang tersebut dicampur dengan bahan
lain seperti jagung, kelapa parut, kangkung, dan dedak.
24
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Sayangnya untuk pengolahan makanan hasil bumi
tersebut belum maksimal. Sering kali buah etnikn yang sudah
masak dibiarkan saja sampai membusuk karena masyarakat
kurang mengerti bagaimana cara mengolahnya. Bukan hanya
bercocok tanam, masyarakat Desa Watu Hadang juga
menggantungkan hidupnya pada kegiatan beternak hewan.
Hewan-hewan yang biasanya dipelihara dan dikembangbiakkan
adalah babi, kuda, sapi, ayam, kambing, dan anjing. Selain
memiliki nilai ekonomi yang tinggi, beberapa hewan seperti babi
dan kuda memiliki posisi penting dalam adat Sumba. Selain
sebagai belis atau mahar perkawinan, banyak ritual adat yang
memakai hewan tersebut sebagai salah satu syaratnya. Memiliki
hewan dengan jumlah yang banyak juga merupakan prestise
tersendiri bagi pemiliknya, selain menaikkan status ekonomi,
sang pemilik juga telah berhasil berinvestasi untuk keperluan
adat yang mengharuskan tersedianya hewan-hewan tersebut
dalam suatu upacara atau hanya sekedar untuk santap bersama.
Untuk jumlah populasi berdasarkan jenis ternak, dapat
dilihat pada data yang diambil dari data dokumen RPJMD Watu
Hadang tahun 2011-2015 di bawah ini.
Tabel 2. 1. Daftar Tabel Jenis Ternak dan Jumlah Populasi Ternak
di Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015
Jenis Ternak
Sapi
Kuda
Kerbau
Babi
Kambing
Ayam
Anjing
Jumlah populasi (ekor)
299
113
95
790
362
4771
120
Sumber: Desa Watu Hadang
25
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kerbau (Karambu), Sapi (Hapi) dan Kuda (Njara), adalah
hewan yang memiliki peranan penting dalam urusan adat orang
Sumba. Selain dijadikan belis dan juga dijadikan sebagai kurban
dalam berbagai upacara adat, pada jaman dulu kuda adalah alat
transportasi utama orang Sumba. Pada masa kini, kuda sudah
dijadikan komoditi bernilai ekonomi tinggi yang sering diikut
sertakan dalam arena pacuan kuda dan ajang perjudian. Banyak
masyarakat desa yang sengaja memelihara kuda untuk diikut
sertakan pada lomba di arena pacuan kuda baik yang dilaksankan
di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Perawatan kuda
menjadi sangat mahal ketika kuda yang dimiliki adalah kuda
pacu, yang hampir sebagian besar adalah kuda import. Babi (wei)
dan ayam (mannu) juga merupakan hewan yang penting, karena
segala urusan adat masyarakat Sumba hampir selalu
membutuhkan kedua hewan tersebut, terutama untuk ritual
marapu.
Dari data RPJM-Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015 juga
diperoleh informasi mengenai keberadaan fasilitas umum di desa
tersebut. Fasilitas umum yang ada di desa Watu Hadang antara
lain satu sekolah dasar (SD) dengan 10 orang pengajar, hanya 4
orang yang berstatus PNS dan 6 orang lainya masih Honorer, satu
sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang dibangun oleh
PNPM MPd Tahun Anggaran 2009, dan tenaga pengajarnya
masih bersifat sukarela dari warga sekitar, satu Sekolah
Menengah Atas (SMA), satu pasar. Lokasi PAUD bertempat di SD
berdekatan dengan Pustu dan kantor desa.
Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Watu Hadang adalah
Puskesmas yang terletak di bagian Timur desa sekitar RT
Waitumba, Puskesmas Pembantu (pustu) terletak di RT Pau,
tepat di depan SD. Pelayanan Puskesmas pembantu di buka
setiap hari, Tenaga kesehatan yang melayani adalah seorang
bidan dari Puskesmas melolo, yang tinggal di pustu tersebut dan
26
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
1 Posyandu bangunan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) yang terletak di RT Watung Udu. Fasilitas
ibadah yang ada di Desa Watu Hadang adalah Gereja Protestan
dan Gereja Katholik. Gereja protestan terdiri dari Denominasi
Gereja Kristen Sumba (GKS) cabang Pau, GKS Ranting Praingu
Luku Walu, Gereja Reformasi Laihandang, Gereja Bethel
Indonesia (GBI), Gereja Eleos dan Gereja Katholik.
Di Desa Watu Hadang terdapat pasar Melolo yang buka
setiap hari Kamis dan Jumat. Pasar tersebut dapat ditempuh
dengan menggunakan sepeda motor melewati ibukota
Kecamatan Umalulu (Kelurahan Lumbukore).
Pedagangpedagang tidak hanya menjual sembilan bahan pokok (sembako),
tetapi juga menjual barang-barang lain seperti peralatan rumah
tangga, pakaian, barang elektronik, aksesories, hewan ternak,
tenunan dan hasil kerajinan tangan lainya. Para pedagang yang
berjualan di pasar Melolo ada yang berasal dari luar kecamatan
seperti dari Waingapu, Pandawai, Rindi, Paberiwai dan Ngadu
Ngala, maupun yang berasal dari kecamatan Umalulu sendiri
yang terdiri dari multi etnik, yaitu etnik Jawa, Bima, bugis,
Sumba, termasuk warga Desa Watu Hadang yang menjual hasil
tenunan, ternak dan hasil bumi lainnya.
2.2.2. Kependudukan
Berdasarkan data BPS Tahun 2013, jumlah penduduk
Desa Watu Hadang terdiri dari 1.044 laki-laki, 1.006 perempuan
atau dengan total jiwa 2.050 jiwa, dengan 357 kepala keluarga
dan kepadatan penduduk 201 orang/km2. Sedangkan jumlah
penduduk Kecamatan Umalulu sebanyak 16.734 jiwa. Sebagian
besar penduduk Desa Watu hadang beragama Kristen Protestan,
diikuti Marapu, kemudian Katholik, dan Islam.
Telah disinggung sebelumnya jika pendidikan di Desa
Watu Hadang mulai mengalami peningkatan jika dibandingkan
27
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sekitar 5 dan 10 tahun yang lalu. Namun, peningkatan tersebut
masih dianggap belum baik. Informasi atau data yang tercatat
mengenai kondisi pendidikan masyarakat Desa Watu Hadang
berdasarkan Dokumen RPJM, dapat dilihat pada Tabel 2.2
berikut.
Tabel 2.2. Kondisi Pendidikan Desa Watu Hadang Berdasarkan
Data RPJM Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015
Tingkatan Pendidikan
Laki-Laki
Perempuan
Usia 3-6 Tahun yang Belum Masuk TK
Usia 3-6 Tahun yang Sedang
Tk/Playgroup
Usia 7-18 Tahun yang Tidak Pernah
Sekolah
Usia 7-18 Tahun yang Sedang Sekolah
Usia 18-56 Tahun yang Tidak Pernah
Sekolah
Usia 18-56 Tahun Pernah SD Tapi
Tidak Tamat
Tamat Sd/Sederajat
Usia 12-56 Tahun Tidak Tamat Smp
Usia 12-56 Tahun Tidak Tamat Sma
Tamat SMP/Sederajat
Tamat SMA/Sederajat
Tamat D2/Sederajat
Tamat D3/Sederajat
Tamat S1/Sederajat
Paket B
Jumlah
Total
106
21
93
27
56
50
65
109
60
100
90
87
265
95
64
88
99
2
1
1.061
267
65
60
110
50
1
1
971
2.032
Sumber: RPJMD Kabupaten Sumba Timur
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa tingkat
pendidikan penduduk Desa Watu Hadang tergolong rendah,
28
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mayoritas masyarakat adalah lulusan SD yaitu 532 orang, tidak
pernah sekolah sebanyak 315 orang, dan masyarakat yang dapat
bersekolah ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari SMA,
yakni 5 orang.
2.2.3. Pola Tempat Tinggal
Mengamati pola tempat tinggal dengan seksama, akan
lebih mudah jika tempat yang diamati adalah tempat tinggal yang
kita tinggali setiap hari. Kampung Uma Bara, yang merupakan
kampung adat di Desa Watu Hadang adalah tempat tinggal
peneliti selama 2 bulan. Kampung ini unik karena begitu kecil,
dengan rumah-rumah yang saling berjajar dan berhadapan satu
sama lain, tampak seperti membentuk persegi panjang. Pintu
utama yang tampak seperti gerbang masuk menuju kampung,
ditandai dengan adanya jembatan kecil yang berdiri di atas aliran
bendungan irigasi, yang bersumber dari sungai Melolo.
Rumah-rumah yang tampak berada di dalam pola persegi
panjang, semuanya adalah rumah panggung, kecuali rumah yang
ditinggali oleh Raja Umbu Nggiku yang sudah berlantai semen.
Sebagian besar rumah, masih berdinding dan berlantai kayu
dengan ditopang kayu dari pohon kelapa. Sedangkan rata-rata
atap yang dipakai adalah atap permanen yang terbuat dari seng,
meskipun ada beberapa rumah yang masih bertahan dengan
atap yang terbuat dari alang-alang. Rumah yang masih
mempertahankan alang-alang sebagai atapnya, salah satunya
adalah rumah adat kampung Uma Bara yang atapnya berbentuk
menara yang menjulang tinggi (uma mbatangu). Sedangkan
rumah lain yang sebagian besar beratap seng, tidak bermenara
(uma kamudungu).
Di semua rumah panggung tersebut terdapat semacam
balai-balai (kaheli) yang berfungsi untuk menerima tamu yang
datang berkunjung. Tamu akan dipersilahkan duduk di balai-balai
29
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang terbuat dari papan kayu dengan dialasi tikar rotan terlebih
dahulu. Pintu yang tersedia dibagian depan langsung menuju ke
dalam ruangan yang juga berlantai kayu. Tidak jarang ditemukan
lantai kayu rumah yang memiliki celah atau disusun tidak rapat.
Celah tersebut ternyata digunakan untuk membuang air ludah
saat menyirih. Di bagian bawah celah tersebut akan terlihat
bagian bawah rumah yang berisi kandang ternak, seperti babi
dan ayam.
Bau kotoran dari hewan-hewan tersebut akan tercium
sampai ke atas, dan nyamuk-nyamuk akan berlalu lalang secara
bebas dari atas ke bawah atau sebaliknya. Di ruang tengah
tersebut terdapat kamar tidur untuk beristirahat. Bagian
belakang rumah ditandai dengan pintu keluar yang menuju balebale bagian belakang yang juga memiliki tangga. Sebagian besar
masyarakat masih memiliki bagian rumah belakang yang terpisah
dengan rumah utama yang ukurannya lebih kecil. Rumah kecil
tersebut sesungguhnya berfungsi sebagai dapur.
Dahulu, dapur berada di bagian dalam rumah. Proses
memasak pun dilakukan di dalam rumah. Kini sebagian besar
masyarakat telah memiliki dapur terpisah demi alasan kesehatan.
Dapur terpisah tersebut diperkenalkan dan digalakkan oleh dinas
kesehatan, sebagai upaya menekan akibat buruk dari asap sisa
proses pemabakaran kayu bakar. Hanya sebagian kecil rumah
yang masih bertahan dengan formasi dapur yang berada di dalam
rumah. Salah satunya rumah adat yang berbentuk menara di
Kampung Uma Bara. Dari sudut pandang kesehatan, keberadaan
dapur di bagian dalam rumah bisa memicu gangguan kesehatan,
seperti paru-paru, batuk, dsb. Namun masyarakat Sumba,
khususnya masyarakat Umalulu memiliki nilai filosofi tersendiri
tentang keberadaan dapur di dalam rumah.
Soeriadiredja (2002), pernah melakukan riset mendalam
tentang rumah tradisional di Umalulu yang ternyata mengikuti
30
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pola pemukiman berdasarkan karakteristik paraingu yang dibuat
oleh nenek moyang saat pertama menduduki tanah Umalulu.
Salah satu rumah yang dia dalami adalah rumah tradisional di
Desa Watu Hadang. Soeriadiredja (2002:57-58), menjelaskan jika
dapur bukan hanya tempat yang digunakan seluruh anggota
keluarga baik laki-laki dan perempuan, untuk memasak,
berkumpul, makan bersama, dan berbincang-bincang. Tetapi
dapur di bagian dalam rumah juga merupakan bagian inti atau
pusat dari suatu rumah. Di sekitar dapur itulah hidup bermula,
berjalan, dan berakhir, dan merupakan pusat dari alam semesta.
Karena filosofi tersebutlah, rumah adat di kampung Uma
Bara masih mempertahankan formasi dapur di bagian dalam
rumah. Rumah adat yang sering disebut juga dengan Uma Bokulu
(rumah besar) oleh masyarakat setempat, ada 2 rumah. Rumah
yang pertama, tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, dan
tidak boleh ada listrik digunakan di dalamnya. Penerangan hanya
mengandalkan pelita yang memakai bahan bakar minyak kelapa
atau lemak babi. Tidak ada jendela di rumah tersebut, dan pintu
rumah tidak akan dibuka jika tidak ada acara adat, seperti
kematian atau perkawinan. Rumah ini dihuni oleh seorang ata
yang dipercaya raja beserta keluarganya. Ata tersebut bertugas
menjaga rumah beserta tanggu marapu atau barang-barang
keramat, yang disimpan di bagian menara rumah3.
Tanggu marapu tersebut tidak boleh diturunkan,
disentuh, atau dilihat oleh sembarang orang. Barang-barang
tersebut adalah representasi dari Marapu, dan hanya pada waktu
tertentu saja boleh diturunkan, misalnya saat upacara
keagamaan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka nasib sial
3
Rumah tersebut bukan hanya gelap dan tidak berventilasi, tetapi juga
memiliki sederet tabu yang tidak boleh dilanggar, antara lain tidak boleh
dimasuki oleh orang yang memakai wangi-wangian.
31
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau penyakit akan datang menimpa bagi yang melanggar. Selain
tanggu marapu, ada juga gong yang dibunyikan ketika ada orang
meninggal. Gong keramat ini pun pantang untuk dibunyikan atau
disentuh secara sembarangan. Jika dilanggar, nasib sial dan
penyakit pun datang. Konon, pernah terjadi suatu peristiwa
seorang wisatawan mancanegara tidak sengaja menduduki gong
tersebut, dan tidak beberapa lama kemudian wisatawan tersebut
mengalami diare yang parah.
Uma Bokulu yang kedua, adalah rumah adat yang juga
dihuni oleh ata dan keluarganya. Rumah ini tidak memiliki tabu
atau pantangan seperti rumah adat yang pertama. Rumah ini
boleh diterangi cahaya, dan boleh dibuka serta dikunjungi
layaknya rumah biasa. Pengalaman menarik adalah ketika
peneliti memiliki kesempatan untuk berkunjung dan melihat seisi
rumah tersebut. Hal yang paling mencolok adalah dapur yang
masih berada di dalam rumah. Saat itu sedang diadakan suatu
pesta adat, dan dapur tersebut digunakan untuk memasak sajian
pesta. Asap yang mengepul dengan tebal bukan hanya menerpa
bagian dalam rumah, tetapi juga di bagian luar. Bagi masyarakat
setempat, sepertinya hal tersebut bukanlah masalah, karena
mereka masih duduk dan berbincang dengan biasa.
Selain rumah, hal lain yang menarik di Kampung Uma
Bara adalah bagian tengah pemukiman yang mirip dengan lahan
lapang yang dibiarkan kosong, adanya kubur batu, dan adanya
katuada kawindu4. Ternyata, pola pemukiman seperti itu telah
dikenal oleh masyarakat Umalulu sejak jaman dulu. Hal ini
dijelaskan dalam tulisan Soeriadiredja (2002:41-42) yang
menggambarkan jika kampung-kampung di Umalulu berbentuk
persegi empat, berjajar searah aliran sungai dan saling
4
Tugu sembahyang kepada marapu. Berupa batu yang diukir dan ditancapkan
di dalam tanah.
32
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
berhadapan. Di bagian tengah terdapat halaman yang luas, dan
di bagian tengah terdapat katuada kawindu dan makam.
Jika merunut pada Soeriadiredja (2002:46-48), rumah
tradisional masyarakat Umalulu berbentuk persegi panjang
dengan dua ciri. Ciri yang pertama rumah bermenara (uma
mbatangu) dan rumah tidak bermenara (uma kamudungu).
Fungsi rumah menara adalah rumah berkumpulnya suatu kabihu,
merupakan rumah pusat, dan karena itulah bersifat sakral.
Rumah ini digunakan untuk peristiwa-peristiwa tertentu misalnya
peristiwa keagamaan, dan rumah ini disebut juga rumah besar
(uma bokulu). Secara kosmologis rumah besar terdiri dari tiga
bagian, yaitu lantai bawah (ladi wawa) yang merupakan bagian
dari kolong (buamangu) yang dimanfaatkan untuk menyimpan
kayu bakar, memelihara ternak, dan menyimpan barang lainnya.
Tingkat yang kedua atau lantai tengah (ladi padua) atau kaheli
(balai-balai) adalah tempat tinggal manusia, yaitu tempat
beraktivitas sehari-hari. Tingkat ketiga atau lantai atas (ladi dita)
atau disebut juga mbatangu (menara) adalah tempat sakral yang
dianggap sebagai tempat tinggal marapu (pangiangu marapu).
Sedangkan rumah tak bermenara (uma kamudungu) adalah
rumah untuk tempat tinggal biasa, dan tidak untuk melakukan
acara keagamaan. Rumah dengan karakteristik seperti itu juga
disebut dengan rumah kebun (uma wuaka), yang bisa terletak di
luar kampung, misal di bukit, di dekat padang rumput, atau di
pinggir sungai. Biasanya rumah tersebut sengaja dibangun untuk
menjaga ternak, atau menjaga lahan pertanian.
Membangun rumah tidak boleh dilakukan secara
sembarangan. Hal pertama yang menjadi perhatian dalam proses
membangun rumah, terutama yang masih percaya dengan ajaran
marapu adalah tanah tempat membangun rumah tersebut.
Tanah adalah milik Marapu, tanah tersebut diyakini memiliki
peghuni yang mempunyai sifat sama seperti manusia. Sehingga
33
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ketika hendak membangun rumah, si pemilik rumah harus
memperhatikan proses pembangunannya dengan melaksanakan
ritual-ritual untuk menghormati si penghuni yang berdiam di
dalam tanah.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahan-bahan
yang diperlukan untuk membangun rumah, ukuran rumah, biaya,
dan tenaga. Adapun tahap-tahap dalam membagun rumah yakni,
punggu ai (potong kayu), Yila ai, (tarik kayu), pawii kamnbaniru
(ukir tiang), pahadangu (bangunkan rumah), ahukungu (pasang
usuk), patalarungu (pasang lata), pawitungu (mengatapi), katahu
hupu liku (potong tali). Semua proses tersebut akan diselingi
ritual hamayang atau berdoa kepada marapu, dengan doa yang
sesuai dengan tujuan dari setiap proses yang dilakukan.
Rumah bagi orang Sumba, khususnya bagi orang Umalulu
terutama yang masih menganut kepercayaan Marapu, bukan
hanya tempat berlindung dari panas dan hujan, tetapi juga
sebagai pelindung dari ancaman penyakit atau sakit yang bisa
datang setiap saat. Rumah ini diibaratkan benteng yang akan
menyaring hal-hal buruk agar tidak merugikan penghuni di
dalamnya. Menurut HMA, fungsi rumah adalah melindungi
manusia dari penyakit.
“Fungsi rumah sebagai pelindung kita dari penyakitpenyakit, terutamanya penyakit.. karena Tuhan sudah
berjanji begitu, kita manusia tidak boleh kita berbuat
yang setidak-tidaknya yang dilihat oleh langit dan bumi.
Makanya kita bikin rumah, bikin tembok, agar penyakit
dari matahari muncul dan matahari terbenam dengan
sebelah Utara dengan sebelah Barat, karena itu dia
punya fungsi.”
Sedangkan menurut Soeriadiredja (2002:161-162), tujuan
utama pembangunan rumah pada masyarakat Sumba ialah:
34
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
“Untuk melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan
alam. Untuk hal itu bukan saja diusahakan melalui
kegiatan-kegiatan yang didukung oleh benda-benda
material saja, tetapi didukung pula oleh pada kekuatankekuatan gaib.”
Soeriadiredja (2002:105) juga menjelaskan jika kekuatankekuatan gaib tersebut adalah angin atau ngilu.
“Gejala-gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan
gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena
dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan
binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu.
Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu,
orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun
mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka.”
Sekarang, sudah banyak ditemukan juga masyarakat yang
membuat rumahnya menjadi lebih permanen, dengan
memasukkan unsur beton atau semen sebagai dasar lantai atau
dinding rumah mereka. Ada yang menghilangkan bentuk
tradisional sama sekali, ada juga yang masih mempertahankan
sedikit ciri khas tradisional, misal mempertahankan bentuk
atapnya yang khas. Kerepotan yang sering ditemui jika
berkunjung ke rumah masyarakat adalah karena sebagian besar
dari mereka tidak memiliki kakus atau kamar mandi. Sebagian
besar masyarakat melakukan BAB dan mandi di sungai atau
selokan, bahkan bagi mereka yang memiliki kakus atau kamar
mandi.
Alasan kepraktisan adalah hal yang utama, sebagian besar
dari mereka merasa malas untuk mengambil air di sumur untuk
BAB atau mandi di kamar mandi. Dari data yang didapatkan dari
Puskesmas Melolo, diketahui jika pada periode Januari-Mei 2014,
terdapat 62 jamban di Desa Watu Hadang, dan hanya 32 yang
dianggap memenuhi syarat. Ada juga 2 fasilitas MCK umum yang
35
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
merupakan bantuan dari PNPM Mandiri Pedesaan, yang
dibangun tahun 2009.
2.3. Sistem Religi
2.3.1. Marapu Sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah
Hidup Orang Sumba
Sebelum orang Sumba memeluk agama lain seperti
Kristen atau Islam, nenek moyang orang Sumba telah memiliki
sistem kepercayaan asli orang sumba yang dikenal dengan
Marapu. Literatur yang membahas tentang marapu secara
mendalam begitu sedikit jumlahnya, diantara jumlah yang sedikit
tersebut adalah sebuah buku yang ditulis oleh rohaniawan
Kristen berkebangsaan Belanda yaitu F.D Wellem. Dia menulis
sebuah buku yang menurut kami adalah acuan terbaik bagi para
cendekiawan yang ingin mempelajari marapu secara lebih
dalam5.
Wellem (2004) mencoba membandingkan beberapa
definisi tentang marapu berdasarkan sudut pandang peneliti
lainnya. L. Onvlee (dalam Wellem, 2004:41) berpendapat bahwa
kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu ma dan rapu. Kata ma
berarti ‘yang’ sedangkan kata rapu berarti ‘dihormati’, ‘sembah’
dan ‘didewakan’. A. A. Yewangoe (dalam Wellem, 2004”41)
menduga kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu ma dan rappu.
Kata ma berarti : ‘yang’ dan rappu artinya ‘tersembunyi’. Dengan
demikian, Marapu berarti ‘yang tersembunyi’ atau ‘sesuatu yang
tersembunyi’, ‘yang tak dapat dilihat’. Ia juga mengatakan bahwa
terdapat kemungkinan kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu
5
Buku tersebut adalah “Injil dan Marapu; Suatu Studi Historis-Teologis tentang
Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada periode 1876-1990”, yang
ditulis Wellem melalui pengalaman serta observasi yang lama dan mendalam
selama dia menjadi pengabar Injil di Sumba Timur.
36
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
kata mera dan appu. Mera berarti ‘serupa’ dan appu berarti
‘nenek moyang’ marapu artinya “serupa dengan nenek moyang”.
W. Pos (dalam Wellem, 2004:41) juga memberikan
definisi tentang marapu. Menurutnya, marapu bukanlah dewa
melainkan suatu roh pelindung rumah dan negeri, sedangkan
penulis lain, yaitu De roo van der Alderwerelt (dalam Wellem,
2004:41) mendefinisikan marapu sebagai roh yang berbuat jahat.
D. K. Wielenga (dalam Wellem, 2004:41) mengatakan Marapu
adalah dewa, roh pelindung, arwah orang mati. Menurut Wellem
sendiri (2004:42), kepercayaan Marapu adalah:
“Kepercayaan terhadap dewa atau Illah yang tertinggi,
arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus(roh-roh)
dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi
berkat, perlindungan, pertolongan yang baik jika
disembah. Jika tidak, mereka akan memberikan
malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan itu
terangkum dalam kata marapu.”
Dari berbagai definisi di atas, peneliti merasa definisi
Wellem adalah yang paling sesuai dengan apa yang kami lihat
dan kami observasi di lapangan. Marapu juga dipandang sebagai
perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang Marapu-lah
yang menyampaikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta
dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu. Berikut
penuturan HMA, seorang ratu (imam, penasehat spiritual para
bangsawan), wunang (juru bicara adat), dan dukun penyembuh
yang masih memeluk kepercayaan marapu.
“Kita memang percaya kepada marapu karena dia
memang yang bisa hubungi langsung dengan yang maha
kuasa, karena kita tidak. Mungkin arwah mereka sudah
yang bisa memohonkan permintaan kita kepada yang
maha kuasa. Marapu kan nenek moyang, kan nenek
moyang yang mungkin bertatap muka dengan yang
37
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
maha kuasa Na ma wulu paka woring –Na ma pandoi
pama nandang (Tuhan Yang Maha Kuasa), Nyuda kika
ndama tuama ndama paita mata wanya(mereka yang
bisa menemui dan bisa menatap mataNya) yaitu
marapu yang bisa berkomunikasi lansung dengan
Tuhan”.
Orang Sumba percaya alam semesta terdri dari tiga
lapisan, yaitu lapisan atas (langit), tengah (bumi), dan bawah
(bawah bumi). Langit adalah tempat tertinggi yang dipercaya
sebagai kediaman Ilah, dan dipercaya ada 8 lapisan langit dan
letaknya jauh dari manusia (Wellem, 2004:44). Kapita (1976: 229230), menjabarkan tentang kejadian di langit dan di bumi.
Delapan lapisan langit yang dipercaya sebagai tempat asal
marapu (langit delapan petala/Awangu Walu Ndani), terdiri dari
4 petala yang terang dan 4 petala yang gelap gulita6 sampai
dengan yang ke empat digambarkan sebagai petala yang sempit
dan gelap gulita. Setiap lapisan petala tersebut ditinggali marapu
satu demi satu dengan harapan dapat menemukan petala yang
terang dan nyaman. Ketika petala pertama marapu dilingkupii
kegelapan dan tempat yang sempit, maka marapu turun ke
petala kedua, dan seterusnya sampai petala ke empat.
Pada petala yang kelima, tempat masih sempit, namun
ada sedikit cahaya yang tampak di bawahnya, yaitu petala ke
enam. Maka Marapu pun turun ke petala ke enam. Di petala ini
6
Petala yang pertama ditinggali oleh La Hupu Ina-La Hupu Ama (ibu segala ibu
dan bapa segala bapa), Ina Mbulu-Na Ama Ndaba (ibu dan bapa dari pada
semua), Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (ibu dan bapa yang
diseluruhi), Na Pandanyura Ngara-Na Pandapeka Tamu (yang tak disebut
gelarnya dan yang tak dikatakan namanya), yang sering disebut anatala.
Penghuni tersebut dipercaya menjadikan semesta alam dan isinya, yang
melahirkan keturunan pihu mini maramba-walu kawini ratu (tujuh laki-laki
raja dan delapan perempuan ratu) (Kapita, 1976:229). Cerita tersebut
dipercaya juga sebagai cikal bakal munculnya keturunan berdarah biru
(maramba) dan ratu.
38
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
terdapat emas yang kemudian ditempa untuk dijadikan bulan
dan matahari. Pada awalnya ada 2 matahari dan 2 bulan, namun
karena terlalu terang dan panas, akhirnya 1 matahari dan 1 bulan
yang lain disingkirkan (Kapita, 1976:230-231). Lalu marapu turun
ke petala ke tujuh dan dilanjutkan ke petala yang ke delapan.
Pada petala yang terakhir ini, marapu melihat adanya dataran
luas yang berupa air, sehingga tidak mungkin untuk ditinggali.
Atas restu Tuhan, marapu diijinkan tinggal dengan terlebih
dahulu mengubah dataran tersebut menjadi pulau-pulau besar
dan kecil, dengan menaburkan batu dan tanah dari Tuhan.
Dengan menggunakan Panongu Bahi-Pamongu Atu (tangga besi
dan teras batu), marapu turun ke ke tanah yang disebut MalakaTana Bara (Kapita, dalam Solihin, 2012)7.
2.3.2. Kristen di Tanah Sumba
Agama Kristen di Sumba masuk bersamaan dengan
kolonialisme Belanda. Diawali pada abad ke-18, agama Kristen
Protestan dibawa para misionaris (Zending) Belanda ke Sumba
pada tahun 1881 (Wellem, 2004). Melalui proses yang panjang
agama Kristen kini mulai menjadi agama yang mayoritas dianut
oleh masyarakat Desa Watu Hadang. Hal ini tidak lepas dari
aktifnya para penyebar Injil dalam menyebarkan paham dan
ajaran Kristen kepada masyarakat. Masifnya penyebaran Injil
pada saat itu tidak lepas dari para misionaris Belanda yang rela
belajar tradisi Sumba dan menghabiskan waktunya di pulau
tersebut. Kendala terbesar para tugas misionaris pada saat itu
adalah pada masyarakat yang memegang teguh ajaran Marapu.
Banyak hal yang menjadi pertentangan antara Agama
Krsten dan Marapu, salah satunya adalah larangan poligami bagi
7
Marapu inilah yang pada akhirnya dianggap sebagai nenek moyang orang
Sumba
39
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masyarakat yang sudah memeluk Kristen, padahal bagi
masyarakat Sumba praktek poligami pada saat itu adalah hal
yang wajar, apa lagi jika status sosial yang dimilikinya tinggi.
Seperti yang dikatakan Wellem (2004:330).
“Para pekabar Injil menegaskan bahwa
alasannya, poligami merupakan dosa.”
apapun
Selain pertentangan perihal poligami, pertentangan lain
yang krusial adalah perihal belis atau mahar perkawinan dalam
adat Sumba. Para pengabar Injil menentang adanya praktek
pemberian belis kepada pihak keluarga perempuan dari pihak
keluarga laki-laki. Hal tersebut mengundang reaksi keras dari
masyarakat yang diceritakan Wellem (2004:338), dengan
berkata;
“Penghapusan belis dipandang sebagai tindakan
penghinaan atas keluarga pemberi wanita dan
pencabutan orang Sumba dari akar adat-istiadatnya.”
Pertentangan-pertentangan seperti di atas adalah
beberapa alasan yang membuat masyarakat Sumba pada masa
lalu tidak merasa tertarik untuk memeluk agama Kristen. Pada
masa sekarang ini, pemeluk Kristen dan simpatisannya telah
menjadi pemeluk agama mayoritas di Sumba Timur, khususnya di
Desa Watu Hadang. Dari data yang diperoleh pada Umalulu
Dalam Angka Tahun 2013 tercatat jika pemeluk Islam ada 22
orang, Kristen tercatat 1114 orang, Katolik 44 orang, dan lainnya
yang tidak tercatat sebagai warga tidak beragama sejumlah 870
orang. Orang yang tidak tercatat sebagai warga yang tidak
beragama sesungguhnya adalah pemeluk agama marapu.
Jauh sebelum agama merambah bumi sandelwood
(Sumba), anak negeri yang mendiami pulau gersang, yang
kemudian terkenal dengan sebutan sandelwood telah meyakini
suatu kepercayaan yang disebut Marapu. Dari kaca mata agama,
40
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
terutama penginjil Belanda, kepercayaan Marapu dianggap
sebagai suatu kepercayaan yang menyembah berhala. Kemudian,
orang-orang yang masih setia akan kepercayaan warisan nenek
moyangnya dilabeli kaum kafir (Simpen, 2008:202).
Agama asli Sumba ini belum diakui sebagai sebuah agama
resmi oleh pemerintah, sehingga pemeluknya dianggap tidak
memiliki agama, atau masyarakat sering menyebutnya dengan
‘orang kafir’. Walaupun begitu pemeluk Marapu masih besar
jumlahnya, dan yang membuat kagum adalah pengaruh agama
Marapu tidak terberangus di tengah gempuran kristenisasi dari
pengabar Injil. Pengaruh tersebut bahkan masih mengakar pada
masyarakat yang telah memeluk agama Kristen (atau agama lain:
Katolik, Islam), entah disadari atau tidak. Marapu mempengaruhi
sudut pandang mereka terhadap peristiwa lahir, hidup, sakit, dan
kematian.
Istilah kafir sengaja diciptakan untuk orang-orang yang
belum menganut agama resmi, terutama Kristen dan Katolik.
Bahkan akhir-akhir ini istilah kafir semakin digencarkan agar
orang Sumba yang masih memeluk Marapu merasa malu dan
masuk agama Kristen. Lebih-lebih bila orang Sumba berurusan
dengan bidang pemerintahan daerah, seperti melamar
pekerjaan, mengurus surat, mereka sering kali merasa terdesak
karena marapu belum diakui pemerintah (Simpen, 2004)8.
8
Banyak ditemui kisah dimana anak-anak yang menempuh pendidikan formal
harus memeluk agama Kristen, sementara orangtua mereka masih bertahan
dengan agama marapu. Memiliki ‘agama resmi’ pemerintah adalah salah satu
syarat agar dapat diterima dalam pendidikan formal. Orangtua para siswa pun
menyadari hal tersebut. Sehingga mereka merelakan anak-anak mereka
memeluk agama lain selain marapu.
41
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.3.3. Ritus Kehidupan
Dalam budaya Sumba, terdapat ritual adat Marapu yang
berhubungan dengan siklus kehidupan yang masih dilakukan oleh
masyarakat. Ritual tersebut terkait dengan kehidupan manusia
dari masa kehamilan, kelahiran, kanak-kanak, perkawinan, dan
kematian.
2.3.3.1. Kehamilan dan Kelahiran
1. Ritual Pamandungu
Ritual ini adalah ritual yang dilakukan pada saat
perempuan hamil memasuki usia kandungan tujuh bulan ke atas.
Tujuan dilakukannya ritual ini adalah untuk memohon
keselamatan kepada marapu dengan ritual hamayang, agar
persalinan berjalan lancar dan terhindar dari berbagai gangguan
mahkluk gaib yang dapat mencelakai si ibu dan janin yang masih
di dalam perut. HMA memberikan satu contoh lafalan mantra
atau doa yang dipanjatkan kepada marapu saat upacara ritual
pamandungu dilakukan.
“Karai ngguya na tumbu kadu, rara ulli, ua kaka be
nakapu, kaningu wa tai Kaddu Uma tandai kabihu ambu
na mbulang ambu na maruambang.”
(saya memohon tumbuh tanduk merah,kuning taring,
rambut uban dan merangkak agar nantinya ada yang
menduduki tahta kabihu).
Selama kehamilan, si ibu hamil harus taat terhadap
pantangan-pantangan yang ditetapkan demi keselamatan dirinya
sendiri dan bayinya. Pantangan tersebut secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua macam, pertama adalah pantangan
bersikap dan yang kedua adalah pantangan makan dan minum.
Ibu hamil membutuhkan perlindungan Marapu agar kondisi
kehamilannya sehat, agar Marapu bersedia melindungi, hal
42
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
utama yang harus dilakukan adalah tidak membuat marapu
marah dengan berbuat dosa. Berbuat dosa dalam hal ini bisa
berupa mencuri barang milik orang lain, berselisih dengan
saudara atau orangtua, membunuh hewan dengan cara yang
tidak benar, dan berselingkuh. Jika semua hal tersebut dilanggar,
maka marapu akan melepaskan perlindungannya pada si
perempuan hamil dan bayi dalam kandungannya. Jika marapu
sudah lepas tangan, maka si ibu hamil bisa mendapat kesialan
berupa sakit dari marapu, atau sakit dari suanggi. Sakit tersebut
bisa jadi berupa ngilu (ngilu akan dijelaskan lebih lengkap pada
bab IV).
Sesaat setelah bayi lahir, orangtua si jabang bayi segera
menyiapkan ritual hamayang atau ritual doa dalam agama
marapu yang dilakukan di tempat tinggal orangtua si bayi. Ritual
tersebut bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kepada
marapu yang telah memberikan keselamatan dan kesehatan
kepada si ibu dan anak. Pada dasarnya, ritual ini harus dilakukan
dengan mengorbankan hewan sebagai persembahan. Untuk
keluarga yang memiliki babi, hewan tersebut bisa dijadikan
korban. Namun jika tidak ada babi dan tidak mampu membeli
babi, maka diperbolehkan untuk menyembelih ayam dengan
jumlah genap, minimal 4 ekor ayam dan maksimal 8 ekor ayam.
Untuk pantangan makan dan minum, pada umumnya
seorang ibu hamil dilarang mengkonsumsi pisang yang ‘dempet’
atau buah pisang yang lengket satu sama lain, karena
dikhawatirkan nanti bayi yang akan dilahirkan juga berbentuk
serupa.
2. Ritual Bahaka Kaheli
Ritual ini dilakukan setelah 1 hari bayi dilahirkan. Jika
merunut pada istilah bahasa Sumba, arti dari bahaka kaheli
sendiri adalah upacara cuci tempat bersalin. Saat upacara atau
ritual berlangsung orangtua si bayi harus mempersembahkan
43
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hewan untuk dipotong, yaitu ayam dalam jumlah genap. Jumlah
genap adalah jumlah yang sesuai dengan ajaran marapu yang
melarang pemakaian hewan persembahan dalam jumlah ganjil.
Entah apa maksud dibalik jumlah genap tersebut, kebanyakan
masyarakat mematuhinya karena itu adalah perintah marapu,
tanpa tahu alasan dibaliknya. Jumlah ayam yang
dipersembahkan, minimal adalah 4 ekor dan maksimal adalah 8
ekor.
Saat ritual tersebut berlangsung, si bayi akan diberi nama
melalui ritual unik. Mama Y yang merupakan seorang ata
(hamba), menceritakan ketika dia melakukan ritual bahaka heli
untuk anak keduanya, dia mendapat kehormatan dari seorang
bangsawan (maramba) yang bersedia memberikan nama untuk
anaknya tersebut. Dalam budaya Sumba memang terdapat
kebiasaan jika keluarga bangsawan (maramba) akan memberi
nama kepada anak yang dilahirkan oleh hamba-hambanya. Tentu
saja hal tersebut merupakan suatu kebanggaan bagi si hamba
tersebut.
Sama halnya seperti Mama Y yang saat itu mendapat
kehormatan serupa. Anak keduanya yang berjenis kelamin
perempuan diberi dua nama oleh seorang bangsawan
perempuan yang merupakan putri Raja Melolo terdahulu, yang
dipanggilnya miri (tuan). Nama tersebut harus terdiri dari tiga
kata, dan nama pertama yang diberikan adalah nama nenek dari
si bayi, dan nama kedua adalah nama pemberian dari si
bangsawan tersebut.
Proses pemberian nama dilakukan melalui ritual
pengunyahan sirih pinang oleh si pemberi nama yang memangku
bayi yang akan diberi nama. Kunyahan tersebut akan diletakkan
di bagian tali pusat bayi dan dibiarkan untuk beberapa saat. Jika
kunyahan sirih pinang tersebut tidak terjatuh, maka artinya si
bayi menerima nama yang diberikan, sebaliknya jika sirih pinang
44
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
tersebut terjatuh, maka artinya si bayi menolak nama yang telah
diberikan, dan si pemberi nama harus mengganti nama yang
akan diberikan. Dalam ritual tersebut, doa-doa secara marapu
akan dipanjatkan oleh seorang wunang (pemimpin adat marapu),
dan wunang ini yang akan memotong ayam persembahan untuk
dilihat bagian tali perut dan hati ayamnya. Saat itu Mama Y
bercerita jika ayam yang dia persembahkan, berjumlah delapan
ekor.
“Saya potong ayam delapan ekor, itu tujuh ekor
dimakan sama-sama, satu ekor khusus untuk ibu.”
3. Ritual Pamaringu Awu
Ritual ini memiliki nama lain yaitu ‘kasih dingin tungku’.
Ritual ini sesungguhnya adalah ritual putusnya tali pusar.
Ritualnya berupa penyiraman sisa air mandi si bayi di tungku
yang dilakukan secara terus menerus pada pagi hari dan sore hari
sampai tali pusat si bayi sembuh. Dalam kepercayaan marapu,
bayi tidak diperbolehkan keluar rumah jika ritual ‘kasih dingin
tungku’ belum dilakukan. Hal ini merupakan pamali atau
pantangan karena bisa mengakibatkan hal-hal buruk terjadi,
misalnya sakit. Pantangan selanjutnya adalah bayi tidak
diperbolehkan menginjak tanah ketika usianya sekitar 4 sampai
dengan 6 bulan. Bayi diperbolehkan menginjak tanah jika bayi
tersebut telah dimandikan di sungai (lhu la luku) dengan
didoakan oleh wunang dan orang yang memberi nama kepada si
bayi.
4. Ritual Papaita Wai Huhu
Ketika bayi berumur satu sampai tiga tahun, ada satu
ritual yang tidak boleh dilewatkan. Ritual ini sesungguhnya
adalah ritual untuk menyapih bayi, atau dalam bahasa lokal,
penyapihan disebut sole. Papaita Wai Huhu atau memahitkan air
susu. Ritual ini juga dipimpin oleh wunang dan harus
45
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mempersembahkan ayam untuk dikorbankan dengan jumlah
sesuai dengan kemampuan. Ayam tersebut harus berjumlah
genap antara empat sampai dengan delapan ekor ayam. Doa
yang dipanjatkan oleh wunang intinya adalah memohon kepada
marapu agar penyapihan tersebut berhasil sehingga si anak cepat
besar, diberi rejeki serta keselamatan. Secara garis besar doa
tersebut berisi rapalan mantra yang kurang lebih artinya adalah
‘manis sudah nasi, pahit sudah air susu’.
5. Ritual Peralihan Dari Anak-anak Menuju Dewasa
Soeriadiredja, (2002:119), menjelaskan jika pada usia
enam belas sampai dua puluh empat tahun, adalah masa
peralihan yang merupakan masa krisis dalam menginjak masa
dewasa. Untuk itu, para bidimini (pemuda) harus melakukan
upacara Puru la wai (turun ke air) atau sunat dan dilanjutkan
dengan upacara rondangu (memapar gigi) yang disertai dengan
kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah
tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan
karena sebagai tanda pengenal dan syarat agar diperbolehkan
masuk ke Parai Marapu ketika sudah meninggal nanti. Menurut
kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu atau
rajah akan ditolak memasuki Parai Marapu. Bagi para bidi kawini
(pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan
upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka
telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti
dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu,
dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan
persembahan dan hewan kurban.
2.3.3.2. Perkawinan
Satu fase kehidupan yang dilalui manusia untuk
kesempurnaan hidupnya adalah fase perkawinan. Wellem
46
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
(2004:62-63) menjabarkan ritus perkawinan secara lengkap dari
tujuan pernikahan sampai dengan ritus pernikahannya. Menurut
Wellem, tujuan pernikahan yang dilakukan oleh orang Sumba
yang memeluk marapu antara lain:
1. Merupakan Perintah Dari Marapu
Marapu memerintahkan agar pengikutnya melakukan
perkawinan dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan. Kelak,
keturunan-keturunan tersebutlah yang akan melanjutkan
pemujaann terhadap marapu.
2. Untuk Memelihara Persekutuan
Perkawinan yang ideal menurut adat istiadat Sumba
adalah anak laki-laki mengawini saudara perempuan saudara lakilaki ibunya (ana tuya) atau anak saudara pamannya.
3. Untuk Memelihara Derajat
Idealnya orang Sumba harus menikah dengan golongan
yang sama namun harus dari klan yang berbeda. Golongan
bangsawan (maramba) seharusnya menikah dengan seorang
maramba juga, namun dengan klan yang berbeda. Jika
perkawinan dilakukan dengan klan yang sama maka hal tersebut
dianggap incest.
4. Untuk Memelihara Dan Memperluas Pengaruh Dalam
Masyarakat
Tujuan pernikahan seperti ini biasanya dilakukan oleh
golongan bangsawan (maramba) dengan mengawini anak
bangsawan dari wilayah lain.
5. Untuk Memperoleh Tenaga Penolong
Dalam perkawinan yang ideal dalam adat Sumba,
golongan sosial masih diperhatikan dan menjadi faktor yang
penting. Golongan maramba (bangsawan), kabihu (orang
merdeka), dan ata (hamba) idealnya menikah dengan sesama
47
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
golongan mereka. Jika pernikahan antar golongan terjadi, maka
akibatnya adalah pada turunnya status sosial keturunan mereka.
Biasanya pernikahan antar golongan status sosial akan dihindari
demi mempertahankan kemurnian darah mereka, terutama
untuk golongan bangsawan (maramba)9.
Dalam kelompok bangsawan biasa dikenal adanya dua
kelompok bangsawan mendamu dan bangsawan kalawihi (anak
gundik). Lahirnya kelompok bangsawan ini diakibatkan oleh
perkawinan seorang laki-laki golongan bangsawan tinggi dengan
wanita yang berasal dari golongan orang merdeka dan/atau dari
golongan hamba. Jikalau seorang laki-laki bangsawan tinggi
kawin dengan seorang wanita yang berasal dari golongan orang
merdeka, maka anak-anaknya menjadi golongan bangsawan
mendamu. Jikalau seorang laki-laki bangsawan tinggi kawin
dengan seorang yang berasal dari golongan hamba, maka
keturunannya disebut bangsawan kalawihi. Maramba mendamu
dapat kembali menjadi golongan bangsawan tinggi murni apabila
mereka menikah dengan seseorang yang berasal dari golongan
bangsawan tinggi. Perkawinan ini mungkin terjadi apabila orang
yang termasuk golongan maramba mendamu ini adalah seorang
yang kaya (Wellem, 2004:35).
Naik dan turunnya status seseorang dapat dipengaruhi
oleh perkawinan yang dijalaninya. Status tersebut begitu penting
bagi orang Sumba, terutama untuk golongan maramba karena
status akan sangat berpengaruh pada akses mereka terhadap
harta, kemakmuran, kontrol terhadap hamba, pendidikan, dan
9
Golongan maramba memiliki panggilan khusus. Untuk maramba laki-laki
biasa dipanggil dengan Umbu, dan bangsawan perempuan dengan Rambu.
Namun panggilan tersebut sudah bersifat umum kini. Umbu dan Rambu
menjadi panggilan kepada laki-laki dan perempuan secara umum, seperti
Mbak dan Mas dalam budaya Jawa. Lebih spesifik, panggilan yang berlaku
untuk maramba kini adalah Tamu Umbu (maramba laki-laki) dan Tamu Rambu
(maramba perempuan), atau Miri (tuan).
48
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
kiprah dalam politik. Maka dari itu kebanyakan maramba akan
mempertahankan status sosialnya melalui perkawinan yang ideal,
yaitu perkawinan yang dilakukan dengan orang yang memiliki
status sosial yang sama atau lebih tinggi.
Twikromo (2008:19) menjelaskan jika maramba dapat
kehilangan status kebangsawanannya, namun hampir tidak
mungkin bagi ata untuk keluar dari status hamba mereka.
“While it is almost impossible to move out of the slave
class, it is possible for maramba to lose their status.”
Hal penting dalam ritus perkawinan orang Sumba adalah
mas kawin atau belis. Belis diserahkan pihak keluarga laki-laki
kepada pihak keluarga perempuan sebagai salah satu syarat
syahnya perkawinan. Belis pada umumnya berupa hewan (babi,
kuda, kerbau) dan perhiasan (seperti mamuli emas, rantai emas,
atau dari perak dan tembaga). Pihak keluarga perempuan yang
menerima belis harus membalas pemberian tersebut secara
pantas atau dengan nilai yang sama. Pemberian balasan tersebut
seperti selimut dan kain tenun. Besarnya belis tergantung pada
status sosial atau kedudukan orang tersebut dalam klan atau
masyarakat. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin
besar nilai belis yang harus diberikan. Sedangkan perempuan
yang tidak mendapatkan belis akan dianggap memiliki martabat
yang rendah.
Dalam adat Sumba, belis yang diberikan dari pihak lakilaki kepada pihak perempuan sesungguhnya tidak diperuntukkan
kepada si pengantin perempuan, tetapi diperuntukkan kepada
orangtua dan kerabat si perempuan seperti paman, saudara lakilaki si wanita, dan orang lain yang turut hadir dalam undangan
dan berjasa dalam perkawinan tersebut. Sebelum perkawinan
dilakukan, biasanya pihak keluarga laki-laki akan terlebih dahulu
meminang calon mempelai perempuan. Selain keluarga besar
49
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang akan datang, biasanya pihak yang menjadi juru bicara untuk
proses peminangan adalah seorang wunang, walaupun itu
bukanlah keharusan.
Wellem (2004:66-71), menjelaskan bahwa cara
perkawinan dalam budaya Sumba dibagi menjadi 2, yaitu
meminang dan tidak meminang. Dalam proses meminang,
barang yang dibawa adalah seekor kuda dan sebuah mamuli. Jika
pinangan diterima, maka keluarga perempuan akan memberikan
selembar kain kepada pihak pria sebagai tanda pengikat.
Kemudian keluarga perempuan akan melakukan kunjungan
balasan pada waktu yang ditentukan untuk mengecek persiapan
belis yang akan diberikan. Pengecekan tersebut dimaksudkan
agar nantinya belis dan balasan belis akan seimbang nilainya.
Dalam acara kunjungan tersebut, pihak laki-laki akan
menyembelih satu ekor babi untuk menjamu keluarga
perempuan. Jika waktu pernikahan sudah dekat, kedua belah
pihak keluarga akan mengumpulkan keluarganya untuk
bergotong-royong (pangangu kagata) untuk mengurus acara
pernikahan. Jika hari penyerahan belis telah tiba, pengambil
perempuan akan mengantarkan belis utama, yang diwakilkan
oleh seorang wunang dan pembantunya (kandehangu). Pihak
keluarga laki-laki dipandang sebagai tamu sehingga dijamu
dengan seekor babi yang dipotong kemudian disajikan sebagai
tanda penyambutan tamu (tanda taka). Ada seekor babi lain
yang juga dipotong untuk dipersembahkan kepada marapu,
sebagai tanda untuk memohon restu.
Proses di atas adalah proses yang menghabiskan banyak
waktu, terutama jika kedua belah pihak belum menemukan kata
sepakat terhadap jumlah atau nilai belis dan sama-sama bertahan
kepada pendirian masing-masing. Jika hal tersebut terjadi, maka
tugas wunang yang mewakili masing-masing keluarga akan
menjadi semakin berat. Wunang dari masing-masing keluarga
50
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
akan berdebat sampai dengan waktu yang tidak ditentukan, dan
berusaha mempertahankan pendirian dari keluarga yang
diwakilinya. Urusan yang menjadi perdebatan biasanya adalah
masalah belis yang biasanya dianggap masih kurang jumlah atau
nilainya bagi pihak perempuan, tetapi sebaliknya dirasa sudah
cukup bagi pihak laki-laki. Tidak jarang, permasalahan tersebut
menjadi hambatan dalam suatu pernikahan.
Jika belis telah disepakati dan akhirnya dibayar oleh pihak
laki-laki, maka pernikahan bisa dilangsungkan di kediaman
keluarga perempuan. Setelah upacara pernikahan selesai,
pengantin perempuan akan dibawa ke kediaman keluarga lakilaki untuk disambut dengan pesta yang disebut dengan (puadahu
wai hanggobu) atau juga dikenal dengan istilah ‘menyeka air
keringat’. Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahan
yang telah berjalan, pesta tersebut juga untuk menolak segala
bala dan hambatan, serta memohon berkat kepada marapu.
Dalam pesta tersebut, keluarga besar pihak pengantin
perempuan tidak turut dalam pesta. Dalam pesta ini, keluarga
laki-laki harus memotong babi untuk dimakan bersama-sama.
2.3.3.3 Kematian
Kematian adalah takdir yang tidak akan mampu dihindari
oleh manusia. Semua budaya memiliki tradisi dan kepercayaan
tersendiri terkait dengan kematian. Dalam agama Marapu,
kematian bukanlah akhir dari kehidupan manusia, namun hanya
suatu fase dimana jiwanya akan berpindah ke suatu tempat yang
disebut dengan paraingu marapu, atau kampung leluhur. Di
tempat tersebut, manusia akan hidup dengan cara yang sama
dengan pada saat mereka hidup di dunia fana, bertemu dengan
leluhur atau marapu mereka. Wellem (2004:79), berkata:
51
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Di sana si mati akan hidup dalam persekutuan dengan
arwah para leluhur. Masuk tidaknya si mati ke dalam
Paraingu Marapu sangat ditentukan oleh upacara
kematian dan penguburan.”
Ketika manusia yang beragama marapu meninggal dunia,
gong akan dibunyikan sebagai tanda. Jenazahnya akan dibungkus
dengan berlapis-lapis kain selimut atau sarung, dan akan
dipotong sejumlah hewan seperti babi atau kuda. Kain dan
hewan-hewan tersebut adalah bekal ketika mereka sudah sampai
ke kampung leluhur atau paraingu marapu. Sama dengan ajaran
agama samawi, agama marapu pun percaya ada kehidupan
setelah kematian. Bekal di alam kekal tersebut turut dibawa serta
ketika manusia meninggal.
Apa yang dibawa ketika meninggal dunia bagi pemeluk
agama marapu tergantung kepada status sosial yang dimilikinya
di dunia. Seorang maramba (bangsawan) yang meninggal dunia
tentu mendapat perlakuan yang berbeda jika dibandingkan
dengan seorang ata (hamba) yang juga meninggal dunia.
Soeriadiredja (2012) membedakan jenis kematian menurut
golongan, yaitu kematian bangsawan atau raja, kemudian
kematian orang merdeka dan hamba. Hal yang menjadi pembeda
adalah lamanya penyimpanan jenazah dan banyaknya hewan
yang akan dibantai untuk keperluan adat. Jenazah para
bangsawan atau raja akan disimpan dalam waktu yang lama, bisa
berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun lamanya. Hewan
yang dibantai atau dibunuh pun berjumlah banyak. Sedangkan
orang merdeka kecil dan hamba besar dikuburkan setelah
seminggu atau dua minggu dengan upacara yang sederhana.
Hamba kecil lama penyimpanan jenazahnya tidak terlalu lama,
yaitu sekitar dua atau tiga hari saja dengan upacara yang sangat
sederhana atau bisa tanpa upacara sama sekali.
52
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Apabila seorang bangsawan meninggal, tari-tarian
dipentaskan dan banyak hewan yang dipotong. Pada umumnya,
jenazah seorang bangsawan tidak segera dikuburkan, tetapi
disimpan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun hingga semua
persiapan penguburan akbar terpenuhi. Pada upacara
penguburannya, banyak hewan dibantai dan disertai dengan
pembunuhan terhadap hamba terdekatnya. Pada kuburan
mereka didirikan tiang batu nisan yang memiliki relief kura-kura,
buaya, ayam jantan, udang, atau kepala kerbau jantan (Wellem,
2004:37).
Contoh nyata dari besar dan megahnya pemakaman para
bangsawan adalah ketika pada tahun 2012, yaitu pada saat Raja
Melolo Umbu Nggiku memakamkan empat jenazah yang
merupakan kakak, kerabat, serta istrinya secara bersamaan.
Jenazah mereka disimpan bertahun-tahun bahkan belasan tahun
lamanya. Ada 88 marga dari 107 marga yang diundang dalam
upacara penguburan tersebut, dan setiap marga membawa
sekitar 50 orang anggota marganya. Keempat jenazah tersebut
adalah; Umbu Retang Tamba, Umbu Balakapita, Umbu Tay
Tanggurami, dan Tamu Rambu Ipa Hoy. Nama yang terakhir
adalah istri dari Raja Umbu Nggiku yang meninggal pada tahun
2011 lalu. Tiga jenazah yang dikubur beragama Marapu,
sedangkan Umbu Balakapita beragama Kristen. Walaupun bukan
beragama Marapu, jenazah tersebut tetap mendapat perlakuan
secara Marapu, setelah sebelumnya mendapat perlakuan secara
Kristen dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Sinkretisme
tersebut jamak ditemukan, karena Marapu memang tidak bisa
dipisahkan dari masyarakat Sumba (Solihin, 2012).
Penyimpanan jenazah dalam waktu yang lama
sesungguhnya terkait dengan persiapan adat yang rumit dan
memakan banyak biaya. Oleh karena itu, jika persiapan belum
sempurna, maka jenazah masih akan tetap disimpan. Jenazah
53
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
disimpan dengan dilapisi kain yang jumlahnya cukup banyak. Kain
tersebut melapisi tubuh yang telah mati dengan tujuan untuk
membuat jenazah awet dan tidak berbau. Ada yang mengatakan
jika ada ramuan-ramuan tertentu yang dipakai untuk
mengawetkan jenazah pada masa lalu, yaitu ketika pengawet
kimiawi seperti formalin belum ditemukan. Namun ada juga yang
berkata jika yang dilakukan untuk mengawetkan secara alami
hanyalah melapisi jenazah dengan kain yang tebal.
Tradisi menyimpan jenazah dan melapisinya dengan kain
atau sarung, ternyata bukan hanya dilakukan oleh pemeluk
agama Marapu. Pemeluk agama kristen pun menyimpan jenazah
selama beberapa hari dan melapisinya dengan kain. Memang
penyimpanan tersebut tidak berlangsung lama, yaitu sekitar 3
sampai 7 hari saja. Namun tujuannya tetap sama, proses
penyimpanan tersebut salah satunya juga dikarenakan
menunggu segala urusan adat terselesaikan dengan sempurna.
Jenazah mereka juga dilapisi dengan kain yang dibawa oleh para
pelayat. Hal yang membedakan adalah pada posisi jenazah saat
disimpan. Pada jenazah pemeluk agama marapu, jenazah tidak
disimpan dalam posisi berbaring, tetapi duduk. Sedangkan untuk
jenazah yang tidak memeluk agama marapu, jenazah akan
disimpan dalam posisi berbaring dan biasanya akan dimasukkan
ke dalam peti.
Soeriadiredja (2012) menjelaskan bagaimana perlakuan
terhadap jenazah pemeluk agama marapu. Setelah dimandikan
dan dipakaikan baju yang terbaik, jenazah akan diikat bagian
tangan dan kakinya menyerupai janin yang masih berada di
dalam rahim. Pada bagian mulut, tangan, dan lipatan pakaiannya
akan diselipkan mamuli atau koin emas. Di samping kiri jenazah
disiapkan tempat sirih, selimut, sarung, dan tempat air minum.
Jenazah tersebut akan didudukkan pada balai-balai kecil atas dan
disandarkan pada tiang rumah. Keluarga yang sedang berduka
54
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
akan memotong ayam dan babi, serta sirih pinang sebagai
persembahan
untuk
marapu.
Persembahan
tersebut
dimaksudkan untuk menyambut dan menjamu arwah leluhur
yang datang. Dalam agama marapu, pemberitahuan tentang
kabar kematian diberitahukan melalui suara gong yang dipukul
dengan irama duka (patundu mbitu). Lewat suara gong
tersebutlah, masyarakat tahu jika ada orang yang meninggal
dunia.
Lebih lanjut Soeriadiredja (2012) juga menjelaskan, ketika
akhirnya jenazah dipindahkan pada balai-balai besar atas dan
disandarkan pada tiang penyembahan dengan menghadap ke
pintu sebelah kanan rumah, keluarga akan memotong seekor
kuda untuk dipersembahkan kepada marapu. Persembahan
tersebut dimaksudkan sebagai permohonan kepada marapu agar
memberikan perlindungan serta kekuatan, dalam melaksanakan
upacara kematian. Selama jenazah belum dikuburkan, jenazah
harus dijaga pada waktu siang dan malam oleh keluarga orang
yang meninggal, terutama keluarga yang berjenis kelamin
perempuan. Di depan jenazah, akan disiapkan nasi, daging, air
minum, dan sirih pinang sebagai makanan si orang mati. Sebelum
memberi makan, gong akan dibunyikan untuk memanggil arwah
untuk makan, dan gong akan dipukul kembali untuk
mengantarkan arwah pergi, ketika si arwah sudah selesai makan.
Ketika tiba waktunya jenazah akan dimakamkan,
persiapan yang dilakukan keluarga akan lebih maksimal. Mereka
akan berkumpul sebagai keluarga besar yang akan bahu
membahu dalam mengurus berbagai keperluan adat dan
pemakaman. Tamu yang diundang dalam acara pemakaman akan
disambut oleh tuan rumah dengan sajian utama berupa sirih
pinang dan kopi panas. Tamu yang diundang tidak akan hadir
dengan tangan kosong. Mereka akan membawa hewan, kain,
sarung, atau mamuli untuk menyumbang. Jenis dan nilai
55
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sumbangan tergantung dari posisi tamu tersebut dalam keluarga
orang yang meninggal.
Jika tamu adalah pihak layia atau ana kawini (anak
mantu), maka sumbangan yang dibawa adalah mamuli emas,
seutas rantai emas atau lulu amahu, dan kuda yang cukup umur
untuk disembelih. Jika tamu yang datang adalah pihak yiara
(paman), maka sumbangan yang diberikan berupa babi dan kain.
Jika si mati berjenis kelamin laki-laki, maka kain yang diberikan
adalah kain hinggi, jika si mati berjenis kelamin perempuan maka
kain yang diberikan adalah kain sarung (lawu). Semua barangbarang tersebut adalah bekal orang yang meninggal ketika sudah
sampai di alam arwah. Hal yang menarik ketika tamu datang
adalah ungkapan duka cita yang ditunjukkan. Tamu wanita
adalah tamu yang diharuskan untuk menunjukkan duka citanya
dengan lebih ekspresif melalui tangisan.
Tamu wanita dari rombongan yang datang yang
semuanya memakai sarung berwarna hitam, akan dipersilahkan
naik ke rumah dimana jenazah disemayamkan. Semua tamu
wanita akan masuk lalu duduk bersimpuh di sekeliling jenazah,
kemudian harus meratap atau menangis (pa dudurungu) dengan
irama yang menyayat hati. Sulit dibedakan apakah tangisan
tersebut dari rasa duka cita yang mendalam, atau karena suatu
kewajiban saja. Namun untuk tamu yang hubungan
kekerabatannya tidak terlalu dekat, biasanya mereka hanya
mengeluarkan ratapan pilu tanpa diselingi keluarnya air mata.
Setelah selesai meratap, tamu wanita akan keluar dari ruang
jenazah disemayamkan.
Rombongan yang datang akan menyampaikan rasa duka
cita mereka melalui seorang wunang yang turut serta dengan
rombongan. Pihak tuan rumah pun akan membalas ucapan
tersebut melalui seorang wunang juga. Jika semua tamu
undangan telah hadir, acara penguburan baru akan dimulai.
56
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Keluarga yang sedang berduka akan melakukan ritual hamayang
atau ritual doa dalam agama marapu, yang dipimpin oleh
wunang. Dalam ritual tersebut akan dipersembahkan satu ekor
ayam yang merupakan tanda makanan terakhir bagi orang yang
mati. Setelah ritual hamayang selesai, jenazah akan diturunkan
dari rumah lalu dibawa ke pemakaman. Saat itu satu ekor kuda
akan ditikam sampai mati untuk diambil hatinya, lalu dimasak.
Hati kuda tersebut merupakan bekal bagi si mati.
Liang lahat yang dipersiapkan bukanlah liang lahat pada
umumnya. Budaya Sumba mengenal adanya kubur batu yang
dipercaya sebagai warisan megalitik. Sampai sekarang, kubur
batu masih dipakai sebagai rumah terakhir bagi orang beragama
marapu yang dimakamkan. Kubur batu identik dengan biaya yang
mahal, maka dari itu banyak yang kemudian menunda prosesi
penguburan karena harus mengumpulkan biaya yang tidak
sedikit itu. Jika memperhatikan kubur batu masa lampau yang
terletak di kampung atas, batu yang digunakan adalah bongkahan
batu asli yang berukuran besar dan tebal. Besarnya bervariasi,
sekitar 1x2 meter sampai dengan 2x2 meter. Tebal batunya
sendiri sekitar 50 cm.
Pada masa kini, batu-batu tebal dan berat tersebut mulai
tergeser karena alasan kepraktisan. Batu sudah mulai sulit
diperoleh, dan jika ada pun, biaya serta proses pengangkutan
menelan biaya yang besar. Kini posisi batu mulai digantikan oleh
beton atau semen, baik dari tiang penyangga sampai dengan
bagian pokok kuburnya yang berbentuk seperti meja persegi
panjang. Menurut Solihin (2012:20), penggunaan bahan semen
mulai digunakan masyarakat pada medio 1990-an.
Dalam kepercayaan Sumba, juga terdapat jenis kematian
berdasarkan cara mati dan umur waktu mati. Cara mati ada dua
jenis yaitu mati dingin (meti maringu), dan mati panas (meti
mbana). Mati dingin adalah mati yang disebabkan oleh penyakit
57
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau faktor usia tua, sedangkan mati panas adalah mati karena
dibunuh, bunuh diri, kecelakaan, perang, atau saat melahirkan.
Orang yang mati dingin akan dikuburkan di dalam kampung
dengan dilakukan upacara terlebih dahulu. Sedangkan orang
yang mati panas harus dikuburkan di luar kampung tanpa
upacara. Jika ketentuan ini dilanggar, maka penduduk kampung
akan mendapatkan malapetaka. Kematian menurut umur, akan
dibedakan berdasarkan umurnya, apakah mati muda atau mati
tua. Jika ada orang yang mati pada usia anak-anak (mati muda),
maka jenazahnya tidak boleh disimpan lama dan bisa dikuburkan
di dalam kampung dengan upacara sederhana. Kain
pembungkusnya tidak boleh banyak karena akan memberatkan si
anak saat perjalanan ke paraingu marapu. Jika ada orang yang
mati pada usia tua (dewasa), maka jenazahnya diperbolehkan
disimpan dalam waktu lama, dan boleh dikuburkan di dalam
kampung (Wellem, 2004:80).
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.4.1. Sistem Kekerabatan
Seperti etnik-etnik lain di Indonesia, etnik bangsa Sumba
adalah etnik yang memiliki jaringan kekerabatan yang erat.
Gotong-royong dan solidnya hubungan antara anggota klan atau
marga adalah bukti kuatnya kekerabatan mereka. Simpen
(2004:206) menjabarkan, masyarakat Sumba Timur mengenal
lima generasi, yaitu kakek/nenek (boku/apu), ayah/ibu
(ama/ina), saya, anak, dan cucu10. Secara umum, dalam satu
10
Simpen (2004:206) menyebut lima generasi kakek/nenek (boku/apu),
ayah/ibu (ama/ina), saya, anak, dan cucu. Jika merunut pada pohon
kekerabatan, yang dimaksud Simpen dengan saya, anak, dan cucu adalah ego,
anak ego, dan cucu ego.
58
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
keluarga inti keluarga Sumba, terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
Namun masih banyak juga ditemui keluarga luas, dimana ego
maih tinggal dengan orang tua serta kakek neneknya, atau
kerabat lain yang tinggal satu rumah dengannya. Bagi keluarga
maramba atau bangsawan, sering kali ditemui para ata11 atau
hamba yang juga turut tinggal bersama mereka.
Dalam budaya Sumba, garis keturunan yang diakui adalah
garis keturunan ayah atau patrilineal. Jadi penerus klan atau
marga adalah dari generasi laki-laki. Ayah sebagai kepala
keluarga, merupakan laki-laki yang memegang peranan sentral
dalam berbagai urusan yang melibatkan adat dan keluarga.
Sebagai pencari nafkah, ayah bertanggung jawab untuk
memberikan dan mencukupi kebutuhan primer dan sekunder
istri beserta anak-anaknya. Jika dahulu ada pembagian kerja
secara jelas dalam ranah domestik, misalnya ayah bekerja di
kebun atau ladang, dan ibu bekerja tenun dan memelihara
hewan, maka kini semua itu mulai tampak kabur.
Tidak hanya laki-laki yang bekerja di kebun atau di ladang,
karena sekarang ini pun perempuan mampu bekerja di ranah
yang sama dengan giat. Tidak hanya perempuan yang mampu
menenun dengan cakap, karena sekarang ini laki-laki pun mampu
menenun dengan tidak kalah cakap. Ranah domestik mulai kabur.
Antara laki-laki dan perempuan memiliki peran dalam mencari
nafkah, walaupun pada pekerjaan domestik tertentu seperti
memasak masih tetap dilakukan oleh perempuan. Pembeda yang
mencolok tetap saja pada hal kodrati, perempuan tetap
mengandung, melahirkan, lalu mengurus anak-anaknya. Laki-laki
tetap menjadi pemegang kendali dalam keluarga, urusan yang
11
Kini sebutan hamba tidak banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari
golongan maramba. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan
maramba dengan ata, dan juga untuk menghilangkan kesan perbudakan.
59
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
terkait dengan kepentingan keluarga dan adat menjadi perannya
yang tidak tergantikan oleh perempuan.
Pengganti dari peran ayah adalah anak laki-laki, maka
penting bagi keluarga Sumba untuk memperoleh anak laki-laki
untuk menggantikan posisi ayahnya. Sementara anak perempuan
akan meninggalkan rumah jika sudah menikah, lalu meninggalkan
klan/kabihu ayahnya dan mengikuti klan/kabihu suaminya.
Karena itulah, yang berhak memperoleh harta warisan keluarga
adalah anak laki-laki, karena anak laki-laki tetap tinggal di rumah
meneruskan klan/kabihu ayahnya.
Kuatnya posisi laki-laki dalam keluarga juga berpengaruh
terhadap keputusan penting yang diambil. Misalnya saja
keputusan untuk memiliki anak. Ada 2 kepala keluarga di Desa
Watu Hadang yang pernah kami temui dan kami ajak berbincang.
Keduanya menunggu persalinan istrinya yang ternyata telah
memiliki 5 anak dan semuanya berjenis kelamin perempuan.
Karena keduanya membutuhkan penerus keluarga, maka mereka
meminta si istri untuk terus memiliki anak sampai anak laki-laki
yang mereka idam-idamkan lahir. Jika si istri ternyata tidak
mampu lagi, mereka berkata akan mencari istri lain12.
Cerita di atas tentu saja tidak berlaku secara umum,
walaupun cukup penting untuk menggambarkan betapa kuatnya
posisi laki-laki dalam keluarga. Dahulu, sebelum revolusi KIA
muncul, kebanyakan keputusan untuk memilih tempat atau
fasilitas untuk melahirkan pun ada di tangan laki-laki yang ada di
dalam keluarga. Laki-laki tersebut bisa jadi adalah suami, ayah,
atau tuannya (jika si perempuan adalah ata). Hal tersebut
dikarenakan laki-laki dianggap yang paling berhak untuk memberi
keputusan di dalam keluarga. Selain keluarga inti dan keluarga
12
Laki-laki Sumba juga memiliki hak untuk melakukan poligami, dan jumlah
istri tidak dibatasi. Alasan poligami biasanya karena menginginkan keturunan,
atau untuk memperluas/memperbanyak jumlah anggota klan/kabihu
60
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
luas, kelompok kekerabatan yang lebih besar dari keduanya
adalah kelompok klan atau kabihu. Klan atau kabihu adalah
kesatuan dari keluarga inti dan keluarga luas yang berasal dari
satu leluhur atau satu keturunan yang sama. Keterikatan ini pun
berdasarkan garis keturunan patrilineal.
Kabihu juga berperan besar dalam urusan perkawinan
orang Sumba. Idealnya perkawinan yang dilakukan oleh orang
Sumba adalah perkawinan dengan sistem eksogami kabihu.
Orang Sumba harus tahu dari kabihu mana dia akan mengambil
wanita, dan pada kabihu mana dia akan memberi wanita. Jika
sampai terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari
kabihu yang sama, maka itu adalah suatu pelanggaran adat.
Konsekuensi dari perkawinan semacam itu adalah munculnya
bencana yang dapat menimpa semua anggota kabihu (Kapita
dalam Manggana, 2004:14). Pada kenyataannya, perkawinan lakilaki dan perempuan dari kabihu yang sama pun terjadi di Desa
Watu Hadang, konsekuensinya perkawinan mereka tidak diakui
oleh keluarga besar mereka, walaupun Sang Raja sendiri
sesungguhnya memaafkan.
Batasan-batasan adat mengenai perkawinan saat ini mulai
melonggar, karena perasaan suka sama suka antara laki-laki dan
perempuan ternyata tidak bisa terkurung dalam aturan adat.
Perjodohan masih berlaku hingga saat ini, dan pola pemilihan
jodoh yang ideal adalah antara laki-laki dengan perempuan, yang
merupakan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Bisa
dikatakan, perkawinan tersebut adalah perkawinan antar
sepupu. Perjodohan tersebut bisa berakhir dengan sukses, tetapi
juga bisa saja tidak sukses jika masing-masing pihak yang
dijodohkan tidak bersedia.
Ketika sudah menginjak usia dewasa, idealnya laki-laki
dan perempuan yang sudah memiliki penghasilan akan siap
untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Usia yang dianggap siap
61
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan di Desa Watu
Hadang berkisar 20-23 tahun. Pada kenyataannya, banyak
perkawinan yang terjadi sebelum usia tersebut dicapai. Faktor
penyebab terbesar adalah karena terjadinya kehamilan di luar
pernikahan. Jika sudah terjadi hal demikian, orangtua dari
masing-masing pihak akan membahasnya secara adat untuk
mencari titik temu. Jika direstui, maka pernikahan bisa
dilaksanakan. Jika tidak direstui, maka keduanya akan dipisahkan,
dan si perempuan menjadi orangtua tunggal.
2.4.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
Desa Watu Hadang, sebagai pusat kerajaan Melolo
dengan sosok raja yang masih berpengaruh sampai sekarang,
amatlah menarik untuk diteliti. Kerajaan Melolo memang bukan
seperti kerajaan dengan kekuasaan teritorial luas, dan pengikut
yang banyak. Kerajaan kecil seperti Kerajaan Melolo, sedang
berupaya keras untuk bertahan ditengah gempuran modernisasi.
Desa Watu Hadang yang juga terkenal sebagai basis marapu,
memiliki tokoh sentral yaitu seorang raja yang juga merupakan
tokoh marapu. Adanya sosok raja yang masih memegang teguh
ajaran marapu, membuat nilai-nilai dari ajaran marapu tidak
sepenuhnya tergerus modernisasi. Nilai-nilai yang masih
bertahan, dan melekat erat pada mentalitas masyarakat
meskipun terkepung modernisasi adalah nilai gotong-royong
yang mereka miliki.
Masyarakat dipersatukan secara adat dan terbiasa
bergotong-royong dengan sesama anggota klan/kabihu atau
dengan kabihu lainnya. Wujud gotong-royong tersebut akan
paling tampak ketika ada peristiwa adat, seperti kematian atau
perkawinan yang melibatkan kabihu mereka. Jangankan waktu
dan tenaga, bantuan berupa materi, benda berharga, ataupun
hewan akan mereka sumbangkan jika peristiwa adat tersebut
62
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
memang mengharuskan demikian. Bentuk sumbangan yang
paling umum dijumpai adalah sumbangan berupa hewan, bisa
ayam, babi, sapi, atau kuda. Itulah sebabnya, mayoritas
masyarakat memiliki hewan yang dipelihara dengan baik. Babi
adalah hewan yang paling sering dijadikan hewan adat. Babi
bukan hanya dapat dijual sewaktu-waktu jika si pemilik
membutuhkan uang, tetapi lebih dari itu, babi adalah investasi
adat bagi masyarakat Sumba.
Ada seloroh yang populer di kalangan orang Sumba
sendiri, maupun dari etnik lain, yang intinya berkata jika manusia
boleh makan apa adaya, tetapi babi yang dipelihara tidak boleh
sampai lapar atau kurus. Pentingnya nilai babi sebagai investasi
adat, juga menyangkut masalah prestise diri sendiri dan prestise
klan/kabihu. Selain bersifat sebagai sumbangan yang nantinya
juga akan dikembalikan oleh si penerima sumbangan, pemberian
sumbangan juga akan membawa nama baik dan gengsi seseorang
di mata orang lain. Dia tidak akan malu melangkah menuju pesta
adat orang lain atau kerabatnya, jika dia membawa babi gemuk
untuk disumbangkan. Dagunya akan tegak berdiri, dan semakin
percaya diri. Maka dari itu, banyak orang yang memilih
berhutang demi untuk menyumbang13.
Semakin tinggi status sosial, maka idealnya nilai atau
jumlah sumbangan yang dikeluarkan pun akan lebih besar.
Seorang maramba yang akan menyumbang pesta adat
kerabatnya, tentu akan merasa malu jika dia hanya menyumbang
beberapa ekor ayam. Maka dia akan berusaha keras untuk
menyumbang babi, kuda, atau sapi, meskipun hewan tersebut
tidak dia miliki. Dia bisa saja berhutang untuk mendapatkannya,
13
Perilaku tersebut, tidak jarang mengundang cibiran karena terkesan jika
orang Sumba lebih suka menggunakan uang atau harta mereka untuk urusan
adat daripada untuk makan dengan makanan yang bernutrisi atau untuk
membiayai pendidikan anak mereka.
63
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau bisa juga meminta dari seorang ata yang tunduk padanya.
Ata yang memiliki hewan yang dibutuhkan tuannya tersebut,
tidak diperbolehkan menolak jika sang tuan meminta hewan
yang dimilikinya. Kelak, ketika si ata memiliki urusan adat yang
serupa, sang tuan juga berkewajiban membantu biaya atau
keperluan adat ata tersebut. Hubungan patron-klien tersebut
adalah contoh bagaimana relasi antara maramba dan ata di Desa
Watu Hadang.
Maramba memiliki hak atas ata, bukan hanya hak secara
fisik, tetapi maramba juga berhak memutuskan hal-hal yang
penting jika terkait dengan kehidupan ata. Contoh yang sering
didengar adalah ketika ada seorang ata yang sakit atau hendak
melahirkan. Ata atau ‘anak dalam rumah’ tidak bisa memutuskan
sendiri pilihan pengobatan, atau akan kemana dia akan
melahirkan. Semua tergantung kepada keputusan tuannya
(maramba). Namun, peristiwa tersebut tidak berlaku untuk
semua relasi antara maramba-ata, karena pada masa kini banyak
juga dijumpai maramba yang mulai terbuka dan memberi
kesempatan pada ata untuk memilih.
Ata bukan hanya merupakan sumber tenaga kerja atau
penggerak ekonomi keluarga. Lebih dari itu, ata membawa
prestise bagi maramba. Maramba yang dihormati dan disegani
adalah maramba yang memiliki kemampuan finansial yang baik,
memiliki harta, dan tentu saja memiliki ata. Semakin banyak
jumlah ata yang dimiliki seorang maramba, maka akan semakin
tinggi prestise maramba tersebut di mata masyarakat. Hal
tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Twikromo
(2008:19), tentang keberadaan ata yang teramat penting bagi
maramba.
“The existence of ata is important for maramba, particularly as
a means of showing status, prestige, wealth, property, and
power, rather than purely as a means of economic production.”
64
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Maramba sebagai pemilik status sosial tertinggi kerap
menduduki jabatan-jabatan strategis dalam suatu instansi atau
dalam pemerintahan. Hal tersebut salah satunya karena
maramba memiliki kesempatan yang jauh lebih luas untuk
mengakses pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan ata. Hal
ini bukan hanya masalah akses ekonomi, tetapi juga terbatasnya
hak ata untuk ‘berkembang’ melalui jalur pendidikan. Pendidikan
ata bukannya dibatasi oleh negara, tetapi dibatasi secara kultur,
karena pada dasarnya ata tidak ‘diperkenankan’ secara kultur
memiliki pendidikan atau pekerjaan yang lebih baik dari
maramba. Kalau pun ada ata yang berhasil memiliki status
pendidikan yang sama tingginya dengan maramba, misalnya
sarjana, maka hal berat selanjutnya adalah bagaimana dia bisa
mensejajarkan diri dengan maramba, untuk sama-sama
memperoleh kesempatan bekerja di tempat yang baik14.
Maramba adalah golongan yang memiliki akses paling
luas pada harta, pendidikan formal, dan kiprah politik lokal.
Banyak maramba yang pada akhirnya memutuskan terlibat
dalam pertarungan politik, seperti misalnya Raja Oemboe Nggiku
yang pernah menduduki kursi di DPRD Kabupaten Sumba Timur.
Menurut Twikromo, maramba memiliki banyak keuntungan pada
banyak hal, sehingga mereka bisa diklasifikasikan sebagai elite.
“Maramba have more opportunities than other groups
to achieve other appropriate qualifications and control
socio-economic capital, such as labour, land, networking,
and contact with outsiders. Although they also compete
with each other for political positions. Maramba are
classified as the elite.” (Twikromo, 2008:21)
14
Terkadang ada anggapan juga, jika justru atalah yang merasa tahu diri untuk
tidak menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari maramba, karena sejatinya
tugas ata memang melayani maramba.
65
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Maramba sebagai elite memiliki posisi istimewa di mata
ata karena berbagai akses yang bisa diraihnya. Tidak jarang
ketika ada permasalahan yang datang kepada ata, maka yang
menyelesaikan adalah maramba. Termasuk dalam masalah yang
melibatkan hukum. Maramba akan mengerahkan lobi-lobi baik
lobi politik atau lobi berdasarkan kekerabatan jika ada ata atau
kerabatnya yang tersangkut masalah, termasuk masalah hukum.
Misalnya jika si ata atau kerabatnya terlibat perkelahian.
2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan
2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit
Menurut Simpen (2004:229), masyarakat Sumba
mengenal adanya ideologi yang tercakup dalam Hopu Li La WitiHopu Li La Kunda, yang artinya adalah akhir dari segala
pembicaraan dan akhir dari segala pintalan15. Ideologi tersebut
salah satunya memuat tentang Li heda li meti atau hal sakit dan
hal mati. Ideologi yang juga merupakan ajaran marapu ini
ternyata juga membahas tentang sakit. Sayangnya Simpen tidak
menelaah lebih lanjut bagaimana bentuk sakit dan perlakuannya.
Sehat dan sakit adalah hal yang subyektif. Setiap individu
memiliki persepsi tentang sehat dan sakit berdasarkan
pengalaman dan sudut pandangnya masing-masing. Latar
belakang budaya sangat berpengaruh terhadap persepsi
masyarakat tentang kedua hal tersebut. Pun dengan masyarakat
Sumba di Desa Watu Hadang. Budaya Sumba yang diwariskan
15
Ideologi tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Li la le li
manguama (hal suami dan istri) 2. Li heda li meti (hal sakit dan hal mati) 3. Li
konda li ratu (hal kepemimpinan dan hal yang dihormati) 4. Li ndewa li
pahomba (hal bertani dan hal beternak) 5. Li kiring li andong (hal tentang
perkelahian) 6. Li marapu (hal kebaktian pada marapu).
66
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
melalui nenek moyang secara turun-temurun, mengajarkan jika
manusia tidak boleh berdiam diri atau tidak bekerja. Tidak
bekerja dalam hal ini dimaksudkan tidak melakukan aktivitas
yang tidak mengeluarkan keringat. Jika pada saat beraktivitas,
keringat keluar dengan baik, itu adalah pertanda jika individu
tersebut masih dalam keadaan sehat.
Banyak dijumpai beberapa orang yang merasakan rasa
yang tidak nyaman pada bagian tubuh mereka, seperti pusing
atau sakit perut, akan berusaha melakukan aktivitas yang dapat
memicu keluarnya keringat dari tubuh mereka. Seperti cerita
Mama M:
“Kalau saya sudah rasa meriang-meriang, badan dingin,
saya langsung cari kesibukan, bersih-bersih kah,
menyapu kah, mrnjemur kasur kah, yang penting keluar
keringat. Yang penting jangan diam saja, nanti kalau
diam bisa sakit betulan.”
Jika dicermati, maka yang menjadi ukuran sehat bagi
masyarakat jika mereka mampu melakukan aktivitas dengan baik.
Jika mereka dapat melakukan pekerjaan sehari-hari seperti
bekerja di kebun, di sawah, menenun, mengerjakan pekerjaan
rumah dan pekerjaan lainya dengan baik, maka mereka
menganggap sedang berada dalam keadaan sehat. Sehat dalam
hal ini adalah kondisi dimana tubuh terasa segar dan bugar,
penuh semangat dan mampu bekerja dengan maksimal.
Sedangkan arti sakit bagi mereka adalah kondisi dimana mereka
tidak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik. Tandatandanya adalah tangan, kaki, seluruh bagian tubuh terasa lemas,
pegal-pegal, panas (mbana), dingin (maringu), demam (ka-ngga
duk).
Secara garis besar, ada dua kategori penyakit yang kami
temukan di Desa Watu Hadang. Kategori penyakit pertama
adalah penyakit yang bisa disembuhkan secara medis. Kategori
67
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penyakit yang kedua, adalah penyakit yang hanya bisa
disembuhkan secara tradisional melalui tangan dukun. Penyakit
yang disembuhkan secara medis diakibatkan oleh faktor alami,
seperti faktor kelelahan, kepanasan, atau kedinginan sehingga
keseimbangan tubuh terganggu. Biasanya masyarakat melakukan
pengobatan di Puskesmas atau membeli beberapa jenis obatobatan yang dijual secara bebas di kios. Sedangkan penyakit yang
tidak bisa disembuhkan secara medis, dipercaya dipengaruhi oleh
faktor spiritual dan magis, seperti gangguan mahkluk halus,
gangguan guna-guna dari orang lain, karena ‘angin’ atau karena
marapu yang marah.
Marapu yang marah bisa karena manusia melakukan
kesalahan atau melanggar norma yang ditetapkan oleh marapu
sehingga dianggap pantas mendapatkan hukuman berupa
malapetaka atau sakit. Sakit karena hukuman dari marapu
dikenal sebagai ngilu. Sakit ini bisa datang secara alami kepada
seseorang karena dia sudah tidak mendapat perlindungan dari
marapu, atau bisa juga datang dari suanggi (mamarung) atau
tukang santet. Orang yang terkena ngilu lebih memilih
melakukan pengobatan ke dukun dari pada pengobatan medis.
“Kemarin kita sudah ke Puskesmas tapi tidak ada perubahan,
jadi kami ke dukun, dukun bilang ini sakit yang di buatbuat/karena angin (guna-guna), karena kalau ngilu tidak
sembuh di rumah sakit, sembuh juga tapi tidak lama sakit lagi
jadi harus ke dukun.”
Derajat sakit yang ditetapkan masyarakat tergantung
pada kemampuannya melakukan aktifitas. Jika si sakit mengalami
hambatan aktivitas, tidak mampu bekerja, hanya mampu
berbaring, dan tergantung pada pertolongan orang lain, maka
sakit tersebut tergolong dalam kategori berat. Sakit dengan
kategori sedang adalah ketika si sakit, masih mampu berjalan
walaupun sudah tidak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari.
68
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Sakit yang tergolong ringan adalah ketika si sakit masih mampu
bekerja, dan melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa tergantung
kepada orang lain.
Ngilu telah menjadi sakit yang dianggap umum bagi
masyarakat Desa Watu Hadang, mereka mengkategorikannya
sebagai penyakit kampung, tetapi hal tersebut masih merupakan
hal yang awam bagi petugas kesehatan/medis. Masyarakat
percaya jika ngilu bisa datang kapan saja kepada siapa saja. Ngilu
adalah angin yang bersifat gaib, dengan banyak jenis, nama, dan
gejala yang berbeda16. Tidak ada literatur yang membahas ngilu
secara khusus. Soeriadiredja (2002:105) hanya menyinggung jika
ada kekuatan gaib berupa angin atau ngilu yang bisa
mendatangkan penyakit.
Ngilu sendiri selalu dikaitkan dengan pengobatan yang
dilakukan oleh pengobat tradisional atau dukun. Secara umum,
meskipun cara penyembuhannya berbeda, namun pada akhir
pengobatan, hal yang dilakukan semua dukun adalah ‘kasih
dingin’ penyakit. ‘Kasih dingin’17 secara harafiah adalah
mendinginkan penyakit. ‘Kasih dingin’ penyakit adalah konsep
masyarakat lokal tentang ritual setelah pengobatan, yang intinya
adalah memohon kepada marapu agar sakit yang diderita tidak
kembali lagi. Ritualnya bisa jadi berbeda antara satu dukun
dengan dukun yang lain, tetapi intinya tetap sama yaitu ritual
doa. Jika bagian dari ritual pengobatan tersebut adalah
mendinginkan penyakit, maka secara logika pemicu sakit itu
sendiri bersifat panas. Jadi ngilu adalah penyakit yang dianggap
bersifat panas.
Panasnya ngilu bisa berakibat beragam, yang paling fatal
adalah kematian. Jika sudah seperti itu, maka marapu lah yang
16
Ngilu akan dibahas lebih dalam pada Bab IV ; Belenggu Apung
‘kasih dingin’ penyakit atau ngilu akan dibahas lebih mendalam pada Bab IV;
Belenggu Apung.
17
69
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mampu menyelamatkannya. Marapu akan memberikan
perlindungan sehingga ngilu tidak akan ‘hinggap’ kepada orang
tersebut. Namun tidak semudah itu marapu akan memberikan
perlindungan. Marapu hanya akan memberikan perlindungan
kepada orang yang tunduk dan taat kepadanya, yaitu orang yang
tidak melanggar dosa dan norma yang diajarkan marapu. Jika
ajaran marapu dilanggar, maka ngilu bisa datang dengan mudah
karena marapu sudah lepas tangan dan tidak berkenan
memberikan perlindungan lagi. Saat perlindungan tersebut
hilang, maka ngilu bisa datang karena memang ngilu sedang
melintas di dekatnya, atau karena ‘dibikin’ oleh mahkluk jahat
seperti suanggi (tukang guna-guna/santet). Maka untuk merasa
aman dan selamat dari penyakit, orang Sumba percaya jika
mereka harus taat kepada marapu.
2.5.2. Penyembuhan Tradisional
Masyarakat Desa Watu Hadang mengenal istilah
‘penyakit’ kampung, yaitu penyakit yang dipercaya datang dari
leluhur atau marapu. Penyebutan istilah ‘penyakit kampung’
tersebut sebenarnya bertujuan untuk membedakan antara
penyakit yang dikenal dengan istilah medis yang terdengar
modern dengan penyakit dari leluhur yang memakai istilah dari
kampung atau tradisional. Penyakit ‘kampung’ atau ngilu
tersebut dipercaya tidak akan mampu disembuhkan oleh medis,
karena sakit dari leluhur atau marapu, harus disembuhkan
dengan cara marapu juga. Untuk itu, masyarakat
mempercayakan pengobatan mereka kepada penyembuh yang
mengerti bagaimana menyembuhkan sakit dengan cara marapu.
Penyembuh tersebut adalah penyembuh tradisional yang lazim
disebut sebagai dukun. Dukun yang dikenal di dalam masyarakat
tidak hanya dukun penyembuh sakit, tetapi ada juga dukun bayi,
70
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dan tidak jarang ditemukan juga jika dukun bayi pun memiliki
kemampuan sebagai dukun penyembuh.
Walaupun penyembuh tradisional atau dukun memakai
cara-cara tradisional untuk mengobati pasien, namun sebenarnya
tidak semua dukun tradisional mampu menyembuhkan melalui
ritual marapu. Hanya dukun-dukun tertentu yang memiliki
kemampuan untuk menyembuhkan dengan tata cara marapu.
Hal tersebut dikarenakan ritual marapu memakai bahasa ritual
yang tidak dikuasai oleh semua orang, selain itu tidak boleh
terjadi sedikitpun kesalahan dalam proses ritual tersebut. Jika
sampai terjadi kesalahan segala konsekuensi dari kesalahan akan
menimpa dukun yang telah melakukan ritual tersebut.
Dukun tradisional, khususnya dukun penyembuh yang
menguasai ritual marapu dianggap sebagai dukun yang mampu
menyembuhkan sakit yang datangnya dari leluhur atau marapu,
dan sakit karena gangguan mahkluk transendental seperti
suanggi. Maka dari itu dukun tersebut disebut sebagai dukun
marapu. Suanggi atau tukang tenung, tukang guna-guna, atau
tukang santet, begitu ditakuti oleh masyarakat. Selain bisa
menyebabkan sakit, suanggi dipercaya mampu membunuh
dengan cara perlahan melalui media lain, misal media hewan.
Suanggi sesungguhnya bukan istilah asli Sumba, karena dalam
bahasa Sumba, suanggi atau tukang santet disebut dengan
mamarung, yang secara harafiah berarti orang yang bisa terbang
di malam hari. Suanggi atau mamarung dianggap memiliki
kemampuan terbang dan menghilang di malam hari, karena
alasan itu juga banyak yang yakin jika suanggi bekerja ketika
malam tiba.
Entah mengapa istilah suanggi jauh lebih populer dan
jauh lebih sering digunakan daripada istilah mamarung. Istilah itu
sendiri bisa ditemukan di beberapa daerah lain di Indonesia,
seperti di Papua, Papua Barat, dan Maluku. Suanggi sendiri
71
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seperti sebuah identitas samar, tidak ada yang tahu pasti siapa
atau apa itu suanggi, dan bagaimana rupa fisiknya. Masyarakat
hanya yakin bahwa mahkluk tersebut jahat, mampu membuat
sakit, dan mampu membunuh dengan cara-cara tertentu. Namun
hampir tidak ada yang pernah mengaku pernah melihat suanggi
secara langsung. Sakit dari suanggi dipercaya hanya mampu
disembuhkan oleh dukun penyembuh atau dukun tradisional
dengan cara marapu. Cara-cara yang dilakukan bervariasi,
tergantung dari kemampuan dukun yang menyembuhkan.
Namun secara umum perlakuan dukun terhadap si sakit yang
dianggap terkena sakit dari suanggi adalah meminta pertolongan
atau perlindungan dari marapu melalui ritual hamayang.
Banyaknya jenis ritual hamayang, rumitnya doa yang
digunakan dalam ritual tersebut, dan banyaknya variasi runutan
peristiwanya membuat peneliti tidak mampu mendalami
keseluruhannya. Tetapi khusus untuk hamayang yang ditujukan
untuk penyembuhan sakit, dukun memiliki cara yang berbeda
tergantung dengan jenis sakit yang diderita. Intinya adalah tidak
ada pakem tertentu dalam ritual hamayang untuk
menyembuhkan sakit, begitupun dengan ramuan obat yang
diberikan. Antara satu dukun dengan dukun lainnya memang
merahasiakan ramuan obat yang mereka buat. Satu hal yang
pasti, ketika proses ritual hamayang tersebut dilakukan, si sakit
atau keluarganya harus menyiapkan hewan untuk persembahan.
Hewan tersebut bisa berupa ayam atau babi. Hewan tersebut
akan dibunuh dan bagian hati serta tali perutnya akan dibuka
untuk diperiksa oleh dukun marapu. Tali perut dan hati tersebut
adalah media penghubung antara marapu dan si dukun marapu,
karena melalui tali perut dan hati hewan tersebutlah pertanda
atau pesan dari marapu akan tampak.
Dukun sebagai salah satu profesi tertua di dunia, sudah
dikenal dan dipercaya masyarakat sebagai penyembuh bahkan
72
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
sebelum profesi dokter ada. Keberadaan dukun di Desa Watu
Hadang pun sudah lama, bahkan sebelum dokter pertama
datang. Wellem (2004) menceritakan pada tahun 1898, NZG yang
merupakan misionaris Kristen membangun sebuah balai
pengobatan di seberang Sungai Melolo, yang lengkap dengan
obat-obatan yang berasal dari bantuan pemerintah. Di balai
pengobatan tersebut diceritakan terdapat seorang dokter yang
memiliki kriteria ‘takut akan Tuhan dan yang dapat menunjukkan
dosa dan pengampunan Tuhan Allah kepada orang sakit’. Balai
pengobatan tersebut tidak hanya membantu orang-orang Kristen
Sumba, tetapi juga orang marapu yang saat itu diceritakan telah
bertindak salah dengan menganggap sakit merupakan sebab dari
marapu yang marah.
Posisi dukun dalam masyarakat tidak hanya sebagai
penyembuh sakit, tetapi juga sebagai orang yang dituakan.
Kadang kala dukun justru juga berperan sebagai penasehat
spiritual, memberi wejangan tentang apa yang boleh dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dukun marapu bahkan
adalah sosok yang dihormati karena mereka adalah sosok yang
mampu menjadi perantara antara manusia dengan marapu
melalui pesan yang disampaikan dalam tali perut dan hati hewan
persembahan. Apa yang tertera pada tali perut dan hati hewan
tersebut dibaca dengan terlebih dahulu dengan memperhatikan
tanda-tanda tertentu dari marapu.Tanda-tanda tersebut seperti
ada tidaknya noda, jika ada noda maka akan dilihat apa warna
dari noda tersebut, apakah ada guratan, dan yang terakhir dilihat
dari bentuk tali perut atau hati hewan tersebut.
Dukun marapu biasanya tidak hanya menguasai ritual
hamayang sebagai ritual penyembuhan, tetapi juga mampu
melakukan penyembuhan melalui urut/pijat, dan memberikan
ramuan obat. Perlu ditegaskan sekali lagi jika antara satu dukun
dengan yang lain, memiliki teknik urut/pijat dan jenis ramuan
73
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang berbeda untuk pengobatannya. Sebagian besar dukun juga
merasa keberatan untuk memberi tahu racikan dari ramuan obat
yang mereka buat18. Kerahasiaan tersebut benar-benar mereka
jaga dengan rapat, walaupun mereka tidak keberatan untuk
menunjukkan contoh dari ramuan tersebut. Kemampuan mereka
untuk meracik obat didapatkan melalui proses gaib yang
disampaikan lewat mimpi19. Begitupun dengan kemampuan
mereka untuk menyembuhkan penyakit. Kemampuan mereka
semacam anugerah atau wahyu untuk orang-orang terpilih saja.
Walaupun banyak racikan obat yang tidak mampu dikupas
dari dukun, namun melalui observasi partisipasi bersama
beberapa orang dukun dapat diperoleh beberapa hal terkait
dengan ramuan pengobatan dan metode pengobatannya.
1. Metode Sembur atau Hawurut
Dalam pengobatan tradisional Sumba dikenal adanya
metode sembur atau hawurut. Cara kerjanya yaitu dengan
menyemburkan ramuan berupa sirih, pinang, kapur, dan
terkadang ditambah dengan halia (jahe merah). Racikan tersebut
dikunyah oleh dukun lalu disemburkan kepada bagian tubuh yang
sakit.
2. Metode Urut
Metode selanjutnya adalah metode urut, yaitu mengurut
bagian tubuh pasien dengan gerakan yang bervariasi, karena
antara satu dukun dengan dukun yang lainnya memiliki cara yang
berbeda dalam mengurut. Pada dasarnya urut adalah gerakan
yang berbeda dengan pijat. Urut lebih kepada gerakan mengusap
secara vertikal atau horizontal, namun dengan tekanan.
18
Dari 5 orang dukun yang ditemui, hanya 1 dukun yang bersedia
memberitahu racikan obatnya.
19
Dari 5 orang dukun yang ditemui, semua mengaku jika mendapatkan
kemampuan mengobati dan meracik ramuan obat melalui mimpi.
74
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Sementara pijat adalah gerakan menekan secara terus menerus
di satu bagian atau beberapa bagian tubuh. Ramuan yang dipakai
untuk mengurut yang paling sering digunakan adalah daging
kelapa yang dibakar sampai menghitam, dicampur dengan santan
kelapa, jahe, dan tembakau. Ada juga dukun yang
mencampurnya dengan kunyit. Ramuan ini akan digunakan untuk
memijat tubuh pasien yang sakit. Biasanya metode ini akan
dilengkapi dengan pemberian ramuan obat yang harus diminum
pasien, dan seperti yang telah disinggung di atas. Sebagian besar
dukun merahasiakannya.
Gambar 2.2.
Metode Urut yang Dilakukan oleh Dukun Marapu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
3. Metode Hamayangu
Metode ini adalah metode terberat, karena bisa dikatakan
metode ini hanya dilakukan jika kasus sakit pasien sudah lebih
parah daripada metode pertama dan kedua di atas. Biasanya
metode ini dilakukan setelah melalukan metode pertama atau
metode kedua saja. Pada intinya hamayangu adalah ritual doa
kepada marapu melalui ritual penyembelihan hewan berupa
75
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ayam atau babi untuk diambil hati dan tali perutnya. Hati dan tali
perut tersebut dianggap sebagai media yang mampu
menghubungkan dukun dengan marapu. Lewat media tersebut
pula lah, marapu akan memberikan petunjuk atau pesan tentang
apa yang harus dilakukan kepada si sakit, atau apa yang
membuat sakit.
2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman
Makanan pokok masyarakat di Desa Watu Hadang saat ini
adalah beras. Berbeda dengan era tahun 1980-an awal saat
mereka mengkonsumsi jagung sebagai bahan makanan pokok.
Beras mulai dikonsumsi secara masif ketika teknik bercocok
tanam padi mulai diperkenalkan pemerintah dan saluran irigasi
mulai dibangun pada sekitar tahun 1980-an awal. Perkenalan
terhadap beras telah sukses menggeser jagung sebagai makanan
pokok, walaupun pada masa sekarang ini masih banyak juga
masyarakat yang mencampurkan beras dengan jagung untuk
dimakan. Beras dan jagung yang mereka konsumsi biasanya
merupakan hasil dari sawah atau ladang mereka sendiri,
meskipun ada sebagian kecil masyarakat yang membeli di kios
atau pasar.
Ada pola pikir yang menarik yang sering terucap dari
beberapa informan yang sering peneliti ajak bercengkerama.
Mereka semua dari golongan ata yang tunduk kepada Raja Umbu
Nggiku. Mereka sering kali berkata jika orang Sumba selalu
makan apa adanya. Pola pikir ini, semacam apologi dari mereka
ketika mereka membiasakan diri untuk makan seadanya,
walaupun mereka mampu membeli atau mencari sumber
makanan yang bukan itu-itu saja. Makanan yang bukan itu-itu
saja merujuk pada makanan yang mereka konsumsi setiap hari.
Misalnya seperti nasi berlauk garam dan cabai, atau nasi dengan
76
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
lauk mi instan. Kadang kala jika mereka merasa memiliki rejeki
berlebih, mereka akan membeli sayur mayur atau membeli ikan
yang dijual keliling di kampung-kampung.
Beras yang mereka konsumsi sehari-hari, sebagian besar
adalah beras hasil panen yang sengaja disimpan untuk makan
dan persiapan jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk
menyumbang acara tertentu. Gotong-royong dengan saling
menyumbang adalah salah satu hal utama yang membuat sebuah
kabihu solid. Jika ada satu anggota kabihu mengadakan suatu
acara adat dan mengundang anggota kabihu lainnya, maka
anggota kabihu yang diundang sepatutnya memberikan
sumbangan. Salah satu bentuk sumbangan tersebut adalah
beras. Ada juga yang mengkonsumsi beras subsidi dari
pemerintah untuk makan sehari-hari, meskipun beras tersebut
terasa tidak enak untuk disantap. Namun ada juga yang memilih
memasak beras tersebut untuk memberi makan babi yang
dipeliharanya, dengan alasan beras tersebut tidak nikmat untuk
disantap manusia.
Masyarakat Sumba, khususnya di Desa Watu Hadang
memiliki selera yang berbeda terhadap tekstur nasi yang
dimakan. Mereka menyukai nasi yang keras, tidak pulen, dengan
kadar air yang sedikit. Bagi yang tidak biasa, nasi seperti itu akan
terasa setengah matang ketika dikunyah, karena memang ada
bagian nasi yang masih terasa keras. Nasi seperti itu didapatkan
dengan cara memasak yang berbeda. Beras yang telah
dibersihkan akan langsung dimasukkan ke dalam dandang yang
bagian bawahnya telah diisi air. Beras tersebut akan disiram air
sesekali untuk mengantisipasi air yang berada di bagian bawah
dandang habis. Nasi bisa disajikan ‘kosong’ atau tanpa lauk,
dengan menambahkan sambal sederhana dari campuran cabe
dan garam. Bisa juga dengan lauk pauk atau sayur mayur yang
dimasak secara sederhana, misalnya sayur yang dimasak kuah.
77
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Jika tidak ada sayur, hal yang umum adalah mengganti
sayur dengan mi instant. Cara memasak yang praktis, rasa yang
mengundang selera, dan harga yang terjangkau, menjadi alasan
mengapa mi instant begitu digemari untuk dijadikan lauk nasi,
baik untuk orang dewasa atau anak-anak. Khusus untuk bayi,
makanan yang wajib disajikan adalah bubur nasi, yang dibuat
secara sederhana dengan bumbu garam dapur. Terkadang bubur
tersebut dicampur dengan potongan saur mayur, walaupun lebih
banyak yang menyajikannya ‘kosong’. Menu masakan seperti ini
adalah menu sehari-hari yang sering dijumpai pada sebagian
besar masyarakat. Sebagian kecil lainnya, adalah masyarakat
yang tergolong mampu membeli ikan dan sayur tanpa harus
menunggu rejeki yang berlebih.
Suka cita bagi mereka adalah ketika mendapat undangan
pesta. Karena artinya mereka bisa makan daging, baik ayam,
ajing, sapi, babi, atau kuda. Pada musim pesta, yaitu sekitar
musim kering, undangan pesta biasanya akan datang silih
berganti. Hal ini jarang dilewatkan karena merupakan sarana
berinteraksi dengan sesama anggota kabihu atau kabihu lain, dan
yang terpenting mereka berkesempatan menambah nutrisi
melalui daging yang mereka makan. Menariknya, bagi tamu
undangan pesta yang beragama muslim, sajian untuk mereka
akan dipisahkan dan tidak akan didapati daging babi, atau anjing
di dalamnya. Tuan rumah pesta berusaha menyajikan masakan
halal, bahkan dimulai dari proses penyembelihan hewan sampai
proses memasak, yang semuanya dilakukan oleh orang muslim
juga.
Setiap tamu yang datang memiliki gaya dan penampilan
tersendiri. Tidak sulit membedakan mana tamu yang termasuk
golongan bangsawan (maramba), dan mana yang hamba (ata).
Satu hal yang pasti jangan berusaha membedakannya
berdasarkan kain yang dikenakan, karena sekarang ini baik
78
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
golongan maramba atau ata, sama-sama mengenakan kain
hitam20. Memperhatikan bagaimana tamu dilayani, dipersilahkan
duduk, bagaimana cara dia diberi makan dan minum, adalah
salah satu cara mengetahuinya. Seorang maramba, akan
dipersilahkan secara terpisah di tempat yang nyaman. Misalnya
saja, jika ata dipersilahkan duduk di bawah, maka maramba akan
duduk di atas. Maramba akan disuguhi makanan dan minuman
dengan piranti makan terbaik, gelas dan piring keramik, yang
tidak cacat. Sebaliknya ata hanya cukup dengan cangkir atau
piring plastik (melamin) saja. Ketika tiba waktunya makan,
maramba akan dipersilahkan makan terlebih dahulu.
Dalam jamuan pesta, masyarakat mengenal 2 cara
menjamu tamu. Cara yang pertama, mereka menyebutnya
dengan cara adat. Yaitu makanan dan minuman, termasuk nasi
dan lauk pauk sudah disiapkan dengan sama rata, di dalam piring
atau gelas. Cara yang kedua, mereka menyebutnya cara nasional
atau prasmanan, dimana tamu dipersilahkan mengambil
makanan dan minuman yang disajikan secara mandiri.
Belakangan ini, cara nasional menjadi cara yang paling sering
ditemukan dalam pesta orang Sumba, dan hal ini juga merupakan
pengaruh dari interaksi orang Sumba dengan etnik bangsa
lainnya. Di luar kegiatan pesta, masyarakat Sumba yang
patriarkhi mengutamakan laki-laki (terutama kepala keluarga)
untuk makan terlebih dahulu, setelah itu baru para perempuan
dan anak-anak. Tetapi jika ada tamu khusus yang datang
berkunjung, biasanya kepala keluarga dan tamu, baik tamu lakilaki dan tamu perempuan akan makan bersama.
Sulit untuk menelusuri seperti apa sebenarnya masakan
khas atau asli Sumba, karena kuliner Sumba tidak sepopuler
20
Dahulu, kain hitam dibuat sendiri dengan cara ditenun, tetapi kini sudah
mulai dijual secara bebas di pasar atau pertokoan. Bahan utama yang dipakai
adalah kain atau teksti buatanl pabrik.
79
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kuliner masyarakat pendatang seperti masakan Jawa. Tidak heran
ketika datang ke suatu pesta, kuliner yang disajikan adalah
kuliner khas daerah lain, seperti rendang, gulai, sup ayam, atau
sate. Makanan-makanan tersebut akhirnya dikenal secara luas
oleh masyarakat Sumba, dan sering muncul dalam sajian pesta
orang Sumba. Salah satu faktor penyebabnya adalah proses
interaksi dengan etnik bangsa lain yang datang ke Sumba.
Interaksi tersebut juga berpengaruh kepada pemakaian
bumbu masak. Menurut seorang informan, dahulu masyarakat
Sumba tidak mengenal bumbu palawija untuk memasak, karena
mereka hanya mengenal garam saja untuk penambah cita rasa,
itupun bagi masyarakat yang dekat dengan pantai. Cara
memasaknya pun hanya ada 2 metode, yaitu direbus dan dibakar
saja. Pemakaian bawang putih dan MSG (vetsin) yang kini seolah
merupakan bumbu wajib masyarakat Sumba, juga merupakan
pengaruh dari budaya kuliner para pendatang.
Sebagian besar masyarakat masih menggunakan tungku
dengan bahan bakar kayu bakar untuk memasak. Alat-alat seperti
wajan, panci (kuali), menggunakan bahan alumunium yang dapat
dengan mudah dibeli. Dapur yang digunakan sebagian besar
masih tradisional, masih berdinding kayu dan beratap alang, dan
kini leteaknya sudah banyak yang terpisah dari rumah utama.
Karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki lemari es, maka
mereka akan segera mengolah bahan makanan mentah yang
cepat basi untuk dijadikan makanan. Makanan tersebut akan
disimpan dengan cara menggantungnya di dapur, memakai
periuk yang di bagian sisi-sisinya dililit tali anyaman daun lontar.
Penyimpanan dengan cara tersebut untuk menghindari
gangguan binatang seperti anjing, babi, atau tikus. Di bagian atas
tungku biasanya akan terdapat jagung mentah yang di ikat dan
sengaja disimpan. Asap dari tungku ternyata dimanfaatkan untuk
mengeringkan jagung, sehingga jagung akan lebih tahan lama.
80
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Beras yang belum dibersihkan dari kotoran akan tetap disimpan
di dalam karung, jika sudah dibersihkan maka masyarakat
memasukkannya ke dalam anyaman lontar yang memiliki tutup,
dengan ukuran bervariasi tergantung banyaknya beras.
2.5.4. Pengetahuan Tentang Pelayanan Kesehatan
Pengobatan tradisional dan pengobatan secara medis
belum bisa berdampingan secara harmonis. Pasalnya masyarakat
memiliki prinsip kuat yang dilandasi kepercayaan kepada leluhur,
jika sakit atau penyakit yang mereka derita adalah dari marapu,
dan harus disembuhkan dengan cara marapu juga. Karena prinsip
tersebutlah, pengobatan secara medis sering kali menjadi opsi
terakhir untuk ditempuh. Sebagian besar masyarakat akan
melalui pengobatan tradisional terlebih dahulu. Pengobatan
tersebut bisa dilakukan sendiri, atau dilakukan atas bantuan
dukun/pengobat tradisional.
Lika-liku untuk sampai ke tangan medis biasanya panjang
dan membutuhkan waktu yang lama, karena untuk kasus
tertentu, harus diputuskan melalui musyawarah keluarga, dan
untuk pemeluk marapu, harus memohon petunjuk kepada
marapu. Musyawarah keluarga biasanya dilakukan untuk mencari
kesepakatan, pengobatan apa yang akan ditempuh. Biasanya
keputusan akan diputuskan oleh laki-laki yang dituakan, seperti
ayah, kakek, atau maramba (jika yang sakit adalah ata).
Bagi pemeluk marapu, sakit yang sudah masuk kategori
parah adalah sakit yang tidak menemui kesembuhan, meskipun
sudah berkali-kali ditangani oleh dukun. Biasanya akan muncul
kecurigaan, apakah sakit tersebut terjadi secara tidak wajar.
Untuk mencari tahu, mereka akan melakukan suatu ritual
hamayang yang bisa dipimpin wunang atau dukun marapu.
Melalui ritual hamayang, marapu akan memberi petunjuk, apa
81
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penyebab sakit orang tersebut, dan apakah orang tersebut bisa
disembuhkan secara medis atau tidak.
2.5.5. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayan Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang didatangi jika pengobatan
tradisional tidak mampu menyembuhkan adalah Puskesmas
Melolo. Puskesmas Melolo berjarak sekitar 3 km dari Desa Watu
Hadang. Akses dari Desa Watu Hadang menuju ke Puskesmas
sudah baik, walaupun kondisi jalan dari perkampungan (terutama
dari kampung Pau-Uma Bara) menuju Puskesmas Melolo ada
yang rusak, sehingga menyulitkan pengedara motor.
Wilayah kerja Puskesmas Melolo mencakup 9 desa dan 1
kelurahan, yang terdiri dari 53 RW, 117 RT, 3.449 rumah tanggga,
dengan jumlah penduduk total di Kecamatan Umalulu 16.359
orang. Luas wilayah Kecamatan Umalulu adalah 307.9 km²,
dengan kepadatan penduduk 53 orang per-km2. Dari 307.9 km²
keseluruhan luas wilayah, Puskesmas Melolo menempati tanah
seluas 18.000 m², dan berstatus tanah milik negara. Puskesmas
Melolo dibangun dengan fasilitas 1 unit UGD dan termasuk
Puskesmas PONED.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat di Kecamatan Umalulu, Puskesmas Melolo
memberikan pelayanan mulai hari senin sampai dengan hari
sabtu. Untuk hari senin sampai dengan hari kamis pelayanan
Puskesmas dibuka pukul 08.00 WITA – 12.00 WITA. Untuk hari
Jum’at, dimulai pukul 08.00 WITA – 11.30 WITA, sedangkan
untuk hari Sabtu pukul 08.00 WITA – 12.00 WITA. Puskesmas
Melolo sudah mempunyai 3 poli, yaitu poli umum, poli gigi dan
poli KIA. Untuk poli umum mempunyai unit layanan utama
seperti poli dewasa, poli anak, poli KIA/KB, dan poli gigi.
82
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Gambar 2.3.
Puskesmas Melolo Tampak Depan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Disamping itu Puskesmas Melolo memiliki fasilitas lain, yaitu
Ruang Rawat Inap (RRI) dan PONED yang selalu buka selama 24
jam. Untuk layanan penunjang, Puskesmas Melolo dilengkapi
dengan laboratorium untuk pemeriksaan mikroskopis. Untuk
membantu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
perlu rawat inap, Puskesmas Melolo mempunyai Ruang Rawat
Inap yang terletak disamping kanan Puskesmas. Ruang Rawat
Inap ini memiliki 7 kamar dengan 34 tempat tidur. Ruang rawat
inap (RRI) ini sudah berlantai keramik dan berdinding permanen
dengan 1 pintu utama. Pada bagian kamar-kamarnya sudah
dilengkapi dengan jendela dan ventilasi, sehingga ruangan cukup
terang karena sinar matahari bisa masuk dan udara bisa
tersirkulasi dengan baik. Karena sirkulasi baik, maka pasien akan
merasa nyaman dan tidak kegerahan.
Ruang Rawat Inap (RRI) Puskesmas Melolo juga sudah
dilengkapi dengan fasilitas sanitasi, seperti sumur bor, yang
dilengkapi dengan mesin pompa air. Disamping itu, Ruang Rawat
83
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Inap (RRI) juga dilengkapi dengan Saluran pembuangan Air
Limbah (SPAL) yang berfungsi untuk pembuangan air limbah.
Adanya sumur bor dan pompa air membuat kebutuhan air di
Ruang Rawat Inap bisa tercukupi dengan baik, termasuk di kamar
mandi pasien.
Ruang rawat inap menjadi fasilitas penting untuk perawatan
pasien. Kadang kala ruang rawat inap tersebut lengang, tetapi
pernah juga sangat penuh sampai tidak mampu menampung
semua pasien, dan ada beberapa pasien yang akhirnya dirawat di
lorong Puskesmas. Hal tersebut pernah terjadi ketika wabah
malaria melanda Kecamatan Umalulu. Karena jumlah pasien
tidak seimbang dengan jumlah tenaga yang dimiliki Puskesmas,
maka penanganan pasien menjadi tidak maksimal.
Pasien adalah penilai yang terbaik untuk kinerja petugas
kesehatan, termasuk dokter, bidan, atau perawat di Puskesmas.
Tidak dipungkiri, sudut pandang yang berbeda antara pasien dan
petugas membuat kesalahpahaman sering kali terjadi. Ada
beberapa cerita menarik tentang pasien yang pernah merasakan
rawat inap di Puskesmas. Secara garis besar, ada 2 kesan yang
dapat disimpulkan dari cerita mereka, yaitu; suka dan tidak suka.
Termasuk pasien yang merupakan informan peneliti dari Desa
Watu Hadang.
Pasien yang merasa suka dengan pelayanan petugas,
sebagian besar memberikan alasan yang bersifat teknis, misalnya
seperti petugas memberikan perhatian dengan baik karena
memberitahukan apa penyakit yang mereka derita, memeriksa
pasien dengan ramah, dan mengajak berbicara. Hal tersebut
seperti yang diungkapkan oleh Mama R. Sebaliknya, sebagian
besar pasien merasa tidak suka terhadap pelayanan yang
dilakukan petugas, ketika petugas bersikap tidak ramah, tidak
mengatakan penyakit yang diderita pasien, dan merasa petugas
84
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
begitu acuh karena tidak bersedia mengajak pasien bicara atau
mengobrol. Hal ini dirasakan oleh HMA, Mama K, dan Mama D.
Puskesmas PONED Melolo, melayani selama 24 jam
dengan bidan jaga yang bertugas membantu pasien yang hendak
melahirkan. Sama seperti kesan yang didapatkan di ruang rawat
inap, pasien yang pernah merasakan melahirkan di Puskesmas
Melolo pun terbagi menjadi 2 kubu, yaitu antara yang suka dan
yang tidak suka dengan pelayanan petugasnya. Keluhan Mama D,
Mama S, dan Mama Y, adalah respon yang lama dari perawat dan
bidan, ketika mereka merasa kesakitan. Mereka berpikir
seharusnya perawat atau bidan memberi perhatian kepada
mereka, dengan memberi semangat atau dukungan. Tidak jarang
juga bidan dan perawat dianggap bersikap tidak ramah karena
berbicara dengan nada tinggi ketika mereka sedang berteriak
kesakitan.
Lain halnya dengan Mama R, yang justru merasa nyaman
ketika memiliki 2 kali pengalaman melahirkan di Puskesmas
Melolo. Dia merasa bidan atau perawat selalu cepat tanggap
menolong dirinya dan pasien lain yang sedang hamil. Mereka
memberi dukungan positif dengan kata-kata yang membangun
semangat, dan bersikap sopan kepada pasien.
Apapun pandangan yang mereka ungkapkan, tidak adil
rasanya jika tidak melihat atau mendengar cerita dari sudut
pandang petugas kesehatan dari Puskesmas itu sendiri. Seorang
bidan desa mengakui, jika kadang kala petugas Puskesmas bisa
secara tiba-tiba naik pitam karena menjumpai pasien yang
datang ke Puskesmas setelah kondisinya parah. Tidak ayal lagi,
petugas Puskesmas akan menegur dengan nada yang tinggi, dan
hal ini kerap dianggap sebagai sikap yang kasar. Begitu juga
dengan sikap yang sering dianggap kasar di PONED. Menurutnya
itu disebabkan karena perbedaan sudut pandang.
85
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Secara medis, bayi bisa dikeluarkan rahim ketika
pembukaannya sudah sempurna. Namun seringkali hal tersebut
tidak dimengerti oleh kebanyakan pasien, yang sebagian besar
dari mereka pernah melahirkan dengan dibantu jasa dukun bayi.
Dalam proses kelahiran yang dibantu dukun, jika si perempuan
hamil sudah merasa mulas di bagian perut, dukun akan langsung
memberi perintah agar si perempuan hamil untuk mengejan.
Padahal jika dilihat dari sudut pandang medis, kemungkinan
besar ketika rasa mulas muncul di permulaan, pembukaannya
baru awal. Ketika itulah dukun akan memerintahkan untuk
mengejan. Perbedaan sudut pandang dapat memicu kesalah
pahaman, kurang lebih begitu yang dikatakan bidan. Berikut
adalah tabel jumlah tenaga di Puskesmas Melolo, pada bulan Juni
2014.
Tabel 2.3. Jumlah Tenaga di Puskesmas Melolo Bulan Juni 2014
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pendidikan
Dokter Umum (S1)
Dokter Gigi (S1)
Kesehatan Masyarakat (S1)
Perawat (D3)
Kesling (D3)
Farmasi (D3)
Bidan (D2)
SMA
SPK
SPRG
SD
Jumlah
2
1
1
9
1
1
13
2
6
1
1
Sumber: Puskesmas Melolo, 2014
Selain Puskesmas Melolo, masyarakat Desa Watu Hadang
juga melakukan pengobatan di Pustu Katorak, yang dijaga oleh
seorang bidan desa. Bidan desa tersebut tinggal di Pustu yang
terletak di Kampung Pau, Desa Watu Hadang. Pustu Katorak
86
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
terletak di tengah desa, oleh karena itu masyarakat tidak
kesulitan untuk mengaksesnya. Bangunan Pustu tersebut
berdinding semen dengan cat berwarna putih, dengan halaman
serta bangunan yang luas. Pepohonan dan beragam rupa bunga
di halaman membuat Pustu terasa sejuk dan teduh.
Pustu Katorak memiliki fasilitas berupa ruangan
pemeriksaan pasien, yang terpisah dengan ruang penerimaan
pasien. Kedua ruangan tersebut memiliki ventilasi udara berupa
jendela kaca, juga terdapat meja, kursi, dua unit lemari
penyimpan alat-alat kesehatan, dan 1 unit timbangan untuk
pasien. Di samping itu Pustu Katorak juga dilengapi dengan
kamar mandi pasien. Bidan desa melakukan anamnesis pasien di
ruang pemeriksaan, selanjutnya mencatatnya pada buku register.
Selain bertugas di Puskesmas Melolo, bidan Desa Watu Hadang
juga melakukan pelayanan di Pustu Katorak. Karena dia tinggal di
Pustu, masyarakat lebih mudah melakukan pengobatan atau
memanggil dia datang jika keadaan darurat, bahkan ketika
malam hari. Untuk memperlancar komunikasi dengan
masyarakat yang membutuhkan jasanya, bidan desa juga
memberikan nomor telepon pribadinya untuk dihubungi.
2.6. Bahasa
Masyarakat di Kecamatan Umalulu, khususnya di Desa
Watu Hadang, mayoritas memakai bahasa Sumba dengan dialek
Kambera untuk berkomunikasi sehari-hari. Pemakaian Bahasa
Indonesia biasanya dipakai jika lawan bicara adalah masyarakat
dari etnik lain, atau ketika dalam suasana formal. Dialek Kambera
dikenal tidak memiliki tingkatan bahasa seperti yang terdapat
pada Bahasa Jawa atau Bali. Walaupun demikian prinsip-prinsip
kesopanan masih berpengaruh besar terhadap cara bicara
penutur Bahasa Kambera. Prinsip-prinsip kesopanan tersebut
terkait dengan golongan sosial yang ada di dalam masyarakat,
87
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yaitu maramba, kabihu, dan ata. Selain prinsip kesopanan yang
dipengaruhi oleh golongan sosial, pengaruh marapu pun begitu
kuat, terutama untuk pemakaian bahasa ritual.
Secara garis besar, dialek Kambera memiliki 2 jenis bahasa,
yang pertama adalah bahasa komunikasi sehari-hari, dan yang
kedua adalah bahasa ritual. Bahasa untuk komunikasi sehari-hari
dipakai oleh khalayak umum dari semua golongan sosial,
sedangkan bahasa ritual hanya dipakai oleh golongan tertentu
yang memiliki kemampuan sebagai wunang (juru bicara adat),
atau ratu (imam marapu, penasehat spriritual maramba). Bahasa
ini dipakai pada waktu tertentu saja, misal pada saat upacara
adat marapu. Karena keterbatasan jumlah penutur, serta tidak
ada catatan tertulis tentang bahasa ritual ini, bisa dikatakan
keberadaannya mulai terancam punah, seiring dengan
kepercayaan marapu yang juga mulai tergeser dengan ajaran
agama lain.
Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Simpen
(2008:89-91), yang berkata jika Bahasa Kambera terbagi dua
jenis, yaitu bahasa pergaulan sehari-hari yang berbentuk prosa,
dan bahasa ritual yang berbentuk puisi atau baitan. Bahasa ritual
ini adalah bahasa yang penuh dengan metafora atau
perumpamaan, tentang cerita nenek moyang, pandangan hidup,
tentang Tuhan, dan hal lain yang bersifat religius. Bahasa ritual
ada 2 macam, yaitu bahasa ritual doa, dan bahasa ritual baitan
(luluku). Bahasa ritual doa dianggap sebagai bahasa keramat atau
‘panas’ sehingga tidak semua orang boleh mengucapkannya.
Hanya ratu dan wunang yang boleh memakai bahasa tersebut,
dan seperti yang telah disebutkan di atas, bahasa ini terancam
punah. Berbeda halnya dengan bahasa kalimat ritual baitan
(luluku) yang masih bisa dipertahankan keberadaannya, karena
sering dipakai pada saat ritual kematian dan pernikahan.
88
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Meskipun bahasa Kambera yang digunakan sehari-hari
tidak memiliki tingkatan, namun bahasa tersebut sarat akan
pantangan (tabu) dan metafora (perumpamaan). Contoh tabu
misalnya dilarang menyebutkan kelemahan/cacat fisik orang lain
dan memakai bahasa/kalimat dengan nada menyuruh/
memerintah orang dari golongan yang lebih tinggi dari si penutur.
Kalimat dengan nada menyuruh/memerintah tersebut harus
diganti dengan kalimat memohon bantuan. Misalnya, kalimat
perintah langsung “tolong ambilkan pisau”, harus diganti dengan
kalimat permohonan seperti “tamu rambu/umbu, bisakah
mengambilkan pisau untuk saya”.
Untuk orang yang lebih tua, mereka boleh memanggil
orang yang lebih muda dengan nama asli mereka, dengan catatan
mereka memiliki golongan sosial yang sama. Sebaliknya, orang
yang lebih muda pantang memanggil nama asli orang yang lebih
tua, karena hal tersebut dianggap sebagai penghinaan. Sebagai
kata ganti nama panggilan, maka digunakan sapaan seperti amaina (ayah/ibu), aya (kakak), dsb. Untuk sapaan kepada orang
dengan golongan sosial yang lebih tinggi, misal maramba, maka
harus memakai sapaan tamu rambu, tambu umbu, atau miri
(tuan). Panggilan seperti bapak atau ibu, sebagian besar dipakai
jika lawan bicaranya adalah orang yang dianggap memiliki
pangkat. Ada satu hal yang menarik, yaitu sapaan yang digunakan
kepada orang lain yang berasal dari etnik lain dari luar Etnik
Sumba. Sapaan tersebut adalah Tau Jawa. Konon awalnya sapaan
tersebut memang ditujukan kepada etnik Jawa, karena Tau Jawa
secara harafiah memang berarti orang Jawa. Kini, sapaan
tersebut tidak hanya berlaku untuk orang Jawa saja, tetapi juga
berlaku untuk etnik lain.
89
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.7. Kesenian
Desa Watu Hadang bukan hanya dikenal sebagai basis
Marapu yang terkenal dengan Raja Umbu Nggiku sebagai
pemimpin tertingginya. Adanya kubur batu yang merupakan
warisan budaya megalitik juga menjadi penarik perhatian. Selain
itu, Desa Watu Hadang khususnya Kampung Pau-Uma Bara,
memiliki kesenian kain tenun yang keindahannya diyakini sebagai
salah satu yang terbaik di Sumba Timur, bahkan di Provinsi NTT.
Hampir setiap pekan, ada wisatawan lokal atau wisatawan
mancanegara datang berkunjung dan berburu kain tenun di
kedua kampung tersebut.
Setiap rumah di kampung Pau-Umabara hampir
dipastikan memiliki kain tenun yang siap dijual. Mereka
menyimpan kain-kain tersebut dan bergegas mengeluarkannya
ketika tahu ada wisatawan datang. Masyarakat akan berduyunduyun keluar dari rumah dan membawa kain-kain cantik untuk
ditawarkan kepada wisatawan. Jika wisatawan tersebut berasal
dari mancanegara, mereka akan berusaha dengan gigih
menawarkan harga kain dengan bahasa Inggris yang terbatabata. Ada sebagian masyarakat yang lebih suka memajang kain
tenun mereka di depan rumah, dan berharap wisatawan akan
datang mendekat.
Menurut seorang Tamu Rambu dari Kampung Pau, dahulu
perempuan Sumba harus memiliki kemampuan menenun.
Kemampuan tersebut didapatkan dari proses belajar yang keras
dan bertahun-tahun lamanya. Kewajiban seorang perempuan
dari golongan maramba, salah satunya adalah harus cakap
menenun kain. Tamu Rambu sendiri belajar menenun dari ibu
dan neneknya sejak usianya masih balita. Dahulu, jika perempuan
maramba selesai menenun, maka hasil tenunan tersebut tidak
boleh diperlihatkan secara bebas kepada orang lain. Jika proses
menenun belum selesai, maka kain tenun tersebut harus ditutup
90
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dengan kain. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kerahasiaan
motif-motif Kerajaan Melolo yang rawan ditiru.
Lambat laun upaya merahasiakan motif-motif kerajaan
sudah tidak mungkin dilakukan. Banyak yang kemudian meniru
motif-motif kerajaan, terutama para ata. Tamu Rambu berbesar
hati menerima kenyataan tersebut, walaupun motif-motif yang
berusia sangat tua hinggar ratusan tahun tetap dijaga sampai
sekarang. Motif yang awalnya merupakan milik kerajaan Melolo
dan kini menjadi motif khas di kampung Umabara, adalah motif
buaya merah (wuya rara), dan motif kura-kura (karangwulangu).
Menurut Tamu Rambu, buaya melambangkan kebijaksanaan raja,
dan kura-kura melambangkan sifat penyabar, bijaksana, dan
dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk21.
Kain tenun Sumba, khususnya kain tenun yang dibuat di
Kampung Pau-Umabara, Desa Watu Hadang, memiliki beberapa
jenis, yaitu hinggi (selimut), lau (sarung), tiara (ikat kepala), dan
tamelingu. Kain tersebut dibuat dalam waktu yang lama, sekitar 1
sampai dengan 6 bulan. Lamanya waktu menenun dipengaruhi
oleh beberapa hal, yaitu rumitnya motif, dan kesiapan si penenun
itu sendiri. Yang dimaksud dengan kesiapan penenun adalah
lamanya penenun mampu bertahan untuk menenun setiap
harinya. Pekerjaan ini memang membutuhkan daya tahan tubuh
dan daya konsentrasi yang tinggi, karena penenun harus duduk
selama berjam-jam lamanya dengan posisi kaki lurus le depan,
dan bagian pinggang ditopang oleh kayu. Kayu penopang
tersebut berfungsi untuk mempertahankan posisi duduk si
penenun agar terus stabil.
Ada 2 jenis metode yang dipakai penenun Kampung PauUmabara untuk membuat kain, yaitu metode hikung dan metode
ikat. Menurut Tamu Rambu, hikung adalah metode termudah
21
Lihat juga Simpen (2008:123).
91
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan hampir semua penenun menguasai metode ini. Pola atau
motif akan dibuat dulu dengan dibantu oleh batang lidi. Setelah
pola atau motif ini selesai, baru kemudian bisa mulai ditenun.
Metode yang tersulit adalah tenun ikat. Sesuai dengan namanya,
motif atau pola kain akan diikat dengan tali sampai motif yang
diinginkan sempurna, baru kemudian ditenun. Karena metode ini
termasuk sulit, hanya ada beberapa orang saja yang mampu
menguasai dengan baik, dan hampir seluruhnya merupakan
generasi tua, termasuk Tamu Rambu sendiri.
Gambar 2.4.
Pola Hikung yang Terbuat dari Pewarna Alam
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Harga kain hikung berbeda dengan kain ikat. Karena kain
ikat memiliki kerumitan yang tinggi, maka harganya lebih mahal.
Faktor lain yang mempengaruhi harga kain adalah bahan baku
kain dan bahan pewarnanya. Jika benang yang dipakai adalah
benang buatan pabrik, maka harga kain akan lebih murah jika
dibandingkan dengan benang alam yang dipintal sendiri secara
manual. Kini, benang pabrik menjadi bahan yang paling sering
92
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
ditemui karena lebih praktis. Selain bahan baku, bahan pewarna
juga menjadi faktor penting. Ada beberapa pewarna alam yang
dipakai penenun di Kampung Pau-Umabara, yaitu akar
mengkudu, daun nilai, kayu kuning, kemiri, dan lumpur.
Akar mengkudu (kombu) akan menghasilkan warna
merah, daun nila (wora) akan menghasilkan warna biru, kayu
kuning (ai iju) dan kemiri akan menghasilkan warna kuning,
sedangkan lumpur (kapihaku) akan menghasilkan warna hitam.
Warna-warna tersebut diproses melalui cara yang rumit dan
rahasia. Hanya ada 1 orang di Kampung Pau-Umabara yang
memiliki kemampuan tersebut, yaitu Apu W. Apu W akan
memproduksi benang-benang yang sudah diwarnai di rumah
khsusus, dan menjemurnya di rumah khusus juga. Setelah
benang-benang tersebut terwarnai dengan sempurna, dia akan
menjualnya kepada orang lain sebagai bahan baku.
Kemampuannya mengolah warna tersohor sampai ke Kecamatan
Rindi, dan keluarga Kerajaan Rindi adalah salah satu pelanggan
tetapnya selain keluarga Kerajaan Melolo.
Gambar 2.5
Laki-laki Pun Bisa Menenun
Sumber: Dokumentasi Peneliti
93
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Jika pada masa lalu yang harus bisa menenun adalah
kaum perempuan, maka dewasa ini laki-laki pun tidak ingin kalah
untuk menenun. Pengaruh sektor pariwisata yang mulai
menggeliat di Desa Watu Hadang membuat laki-laki pun ingin
mendapatkan sumber penghasilan dari menenun. Jumlah laki-laki
yang bisa menenun memang tidak sebanyak kaum perempuan,
dan kebanyakan dari laki-laki tersebut biasanya hanya bisa
menenun tanpa bisa membuat pola hikung atau ikat.
2.8. Mata Pencaharian
Telah berulang kali disinggung dalam pembahahasan
sebelumnya, jika mayoritas masyarakat Desa Watu Hadang
bermata pencaharian sebagai petani, peternak, dan penenun.
Lahan pertanian yang mereka garap adalah sawah, kebun, dan
ladang. Untuk mengolah lahan sawah, pada jaman dulu
masyarakat
menggunakan
kerbau
untuk
membantu
menggemburkan tanah sampai halus sebelum ditanami padi.
Cara ini dalam bahasa Sumba disebut padilingu latangu
(menginjak-injak sawah). Kini banyak masyarakat yang sudah
bergantung pada mesin pembajak atau traktor. Sedangkan untuk
mengolah ladang dan kebun pada lahan-lahan kering,
masyarakat menggunakan kahonga (tugal), pacul, dan linggis.
Untuk sumber pengairan, masyarakat mengandalkan aliran air
dari bendungan Sungai Melolo.
Dalam beternak, masyarakat memanfaatkan padang
savana untuk sumber pakan alami hewan besar seperti kuda,
sapi, kerbau, dan kambing. Namun ada juga yang mengikatnya di
sekitar rumah atau pemukiman saja. Untuk hewan berukuran
kecil seperti ayam, mereka akan mengandangkannya atau
mengikat di sekitar rumah saja. Bagi masyarakat, hewan-hewan
tersebut bukan hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga
merupakan investasi adat yang sewaktu-waktu dapat
94
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dipergunakan saat acara perkawinan (lii lalei-lii mangoma),
acara-acara kematian (lii heda-lii meti) serta acara-acara ritual
lainnya. Hal tersebut seperti yang diUtarakan oleh informan MY
berikut ini.
“Kami masyarakat disini kalau pagi begini kita kasih
makan babi sudah, kita piara kalau sudah besar kita
pakai untuk urusan adat atau kita jual.”
Selain bertani dan beternak, masyarakat juga
menggantungkan hidup mereka dari pekerjaan menenun kain,
seperti kain hinggi dan lawu. Ada juga sebagian kecil masyarakat
yang membuat anyam-anyaman berupa mbola (bakul), mbola
pahapa (tempat sirih dan pinang yang digunakan sehari-hari),
tanga wahil (tempat sirih pinang untuk disuguhkan kepada para
tamu), topu (tikar) dan lain sebagainya. Bahan yang digunakan
adalah daun lontar dan daun pandan. Hasil kerajinan itu
digunakan juga sebagai peralatan pelengkap dalam acara serta
ritual adat, dan dapat juga dijual-belikan untuk menambah
penghasilan keluarga.
Ketika musim kemarau tiba, beberapa penduduk desa
Watu Hadang beralih profesi sebagai penambang pasir dan batu
kerikil di sekitar Sungai Melolo. Pekerjaan tersebut tidak hanya
dilakukan oleh kaum laki-laki saja, karena kaum perempuan ikut
bekerja menambang juga. Harga jual pasir serta permintaan yang
tinggi di pasaran, menjadi daya tarik tersendiri. Pada akhirnya
mereka pun memutuskan untuk ikut menambang, karena lebih
mudah mendapatkan uang. Menurut mereka, pekerjaan
menambang lebih menjanjikan dari pada pekerjaan menenun
kain.
“Tenun menghasilkan uang juga, tetapi kumpul batu bisa
cepat mendapatkan uang memang, kalo tenun bisa
dalam hitungan bulan baru mendapatkan uang tetapi
95
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kalau mengumpulkan batu dalam hitungan minggu saja
sudah dapat uang.”
Mereka mengambil batu dan pasir di tepian sungai, dan di
kedalaman sungai dengan cara berenang dan menyelam. Pasir
dan batu dikumpulkan sampai jumlahnya cukup banyak untuk
dijual kepada pembeli. Satuan berat untuk batu dan pasir
tersebut adalah ret. Satu ret pasir dihargai Rp. 250.000,- sampai
dengan Rp. 250.000,- sedangkan batu kerikil berkisar Rp.
900.000,00 per ret. Pekerjaan mengumpulkan pasir dan kerikil
bisa dilakukan secara individu atau secara kelompok. Jika
dilakukan sendiri, maka waktu yang dibutuhkan untuk
mengumpulkan pasir atau kerikil dalam jumlah banyak akan
lama. Jika dilakukan secara berkelompok, pekerjaan akan lebih
cepat namun hasil dari penjualan pasir atau kerikil tersebut harus
dibagi sesuai dengan jumlah anggota kelompok. Hal ini seperti
yang diceritakan oleh WH.
“Saya ini kumpul batu atau kerikil 1 orang saja. Kami
mengumpulkan batu masing-masing, dan kalau muat ke
oto (truk), baru kami sama-sama (angkat). Dalam 1
minggu bisa menghasilkan uang sekitar 600.000,- karena
bisa mengumpulkan batu 3 ret”.
Setelah memperoleh penghasilan, kesulitan yang dihadapi
beberapa orang informan yang kami jumpai adalah mengelola
penghasilan tersebut. Tidak jarang penghasilan tersebut sebagian
besar habis untuk hal-hal di luar kebutuhan pokok keluarga
(sembako). Sering kali penghasilan tersebut digunakan untuk
membeli minuman keras (peci), untuk diminum bersama-sama
dengan teman atau rekan kerja. Selebihnya baru digunakan
untuk membeli sembako. Hampir tidak ada informan yang
dengan sengaja mengalokasikan penghasilannya untuk
pendidikan anak-anak mereka. Padahal, alokasi untuk pendidikan
96
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
tetap diperlukan mengingat pemerintah hanya menggratiskan
uang bulanan saja, tetapi tidak dengan kebutuhan lainnya.
Hal yang menarik adalah, beberapa informan lebih rela
menjual ternak untuk membiayai urusan adat atau menyumbang,
daripada menabung.
“Kita orang sumba tidak pernah simpan di bank, karena
dapat ini hari, habis ini hari. Kita orang sumba banyak
keperluan, belum acara adat seperti perkawinan,
penguburan orang mati, kita harus sumbang, jadi tidak
sempat untuk menyimpan di bank. Macam kemarin pak,
penguburan sana kita bawa kuda, kita potong babi lagi
yang harga 4 juta, kita sumbang, nanti kita dibalas kalo
ada acara lagi.”
Selain kesulitan mengalokasikan dana untuk pendidikan,
sebagian besar informan juga tidak terbiasa mengalokasikan
dana untuk biaya kesehatan, dengan alasan ada kartu Jamkesmas
yang mereka miliki.
2.9. Teknologi dan Peralatan
Di tengah gempuran modernisasi, masyarakat Desa Watu
Hadang masih mempertahankan peralatan tradisional yang
merupakan teknologi warisan budaya nenek moyang. Peralatan
tenun tradisional, adalah bagian dari teknologi masyarakat
Sumba yang sarat akan nilai budaya tinggi. Adapun nama alatalat tenun yang digunakan oleh penenun di desa watu hadang
adalah sebagai berikut.
1) Piapang adalah alat yang digunakan untuk menggulung
benang menjadi gumpalan benang
2) Kindi, yaitu alat yang terbuat dari kayu atau bambu yang
digunakan untuk memintal benang
97
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3) Wanggi pamening, yaitu kayu yang dibentuk persegi,
digunakan untuk menyelipkan benang-benang-benang yang
akan menjadi pola pembuatan sarung
4) Wanggi pahikung, alat ini digunakan untuk membentuk
motif-motif tenunan yang diinginkan
5) Liu, merupakan alat yang terbuat dari kayu yang dilapisi
bahan empuk (gumpalan kapas/bantal) yang dijadikan
sandaran belakang dalam menenun.
Dalam ritual Marapu, selain memanfaatkan hewan untuk
kurban, ada peralatan yang tidak boleh ditinggalkan. Adapun
alat-alat upacara pelengkap yang dipakai dalam berbagai ritual
Marapu, antara lain:
1) Topu, tikar terbuat dari anyaman daun arena tau daun
lontar, digunakan untuk alas duduk ketika melakukan
upacara
2) Mbuala, anyaman daun lontar semacam keranjang besar
untuk menyimpan kain-kain yang dipersiapkan untuk
upacara
3) Mbuala hapa, anyaman daun lontar berupa kotak tempat
sirih pinang wanita
4) Kalumbutu, anyaman daun lontar berupa tas tempat sirih
pinang pria
5) Kaba ri, mangkuk terbuat dari tempurung kelapa, wadah
lauk pauk makanan yang berair
6) Kaba wai, tempat air minum terbuat dari tempurung
kelapa
7) Tobungu, wadah semacam piring terbuat dari kayu
8) Pahiki, guci keramik wadah tuak untuk sesaji
9) Kahidi, pisau untuk mengerat emas atau perak,
memotong ayam untuk kepentingan upacara keagamaan
98
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
10) Kabela, parang besi yang digunakan untuk memotong
hewan kurban besar seperti kuda atau kerbau
11) Nimbu, tombak besi yang digunakan untuk meramalkan
suatu kejadian pada upacara keagamaan
12) Nggutingu, gunting yang digunakan pada upacara potong
rambut
13) Ngohungu, lesung kayu yang digunakan pada upacara
panen
14) Wuru, periuk tanah liat yang digunakan untuk membawa
air atau memasak
15) Katanga, tali kendali kuda yang digunakan pada upacara
kematian
16) Kabangu, peti mati terbuat dari kulit kerbau yang
dikeringkan.
99
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
100
BAB 3
POTRET KESEHATAN MASYARAKAT
DI DESA WATU HADANG
Pada bab ketiga ini, kami akan menuliskan temuantemuan terkait dengan budaya KIA, budaya perilaku bersih dan
sehat (PHBS), serta penyakit menular dan tidak menular yang ada
di Desa Watu hadang.
3.1. Budaya KIA
Provinsi NTT sejak tahun 2009 telah mencanangkan
Revolusi KIA sebagai upaya untuk mengubah wajah kesehatan
ibu dan anak yang masih saja buram di NTT. Upaya revolusioner
ini berdasarkan pada Pergub NTT No 42 Tahun 2009.
Sedangkankan untuk Kabupaten Sumba Timur, Revolusi KIA
berpayung hukum pada Perda Nomor 3/2011. Tujuan besar
Revolusi KIA tercantum dalam definisi operasional Revolusi KIA
yaitu; “Upaya yang sungguh-sungguh untuk percepatan
penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan
cara-cara yang luar biasa”.22
Indikator-indikator keberhasilan Revolusi KIA terbagi
menjadi Indikator Keberhasilan Antara, dan Indikator
Keberhasilan Akhir. Kedua indikator ini secara garis besar
22
Di kutip melalui hasil presentasi Kadinkes Prov. NTT, Dr. Stefanus Bria Seran
“Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT. PresentasI Nasional IV: Jaringan
Kebijakan Kesehatan Indonesia”, Kupang, 4 September 2013
101
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bertujuan untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai
dan ingin menurunkan jumlah kematian bayi dan ibu
melahirkan23. Upaya tersebut dilakukan secara masif dengan
melibatkan kerja sama di lintas sektor, termasuk kemitraan
antara bidan dan dukun terlatih. Kemitraan tersebut diyakini
sebagai salah satu langkah strategis untuk menekan jumlah
kematian ibu dan bayi, karena untuk wilayah Kabupaten Sumba
Timur, dukun masih dipercaya masyarakat untuk menangani ibu
hamil24.
Mengapa perlu membahas Revolusi KIA? Revolusi KIA
adalah terobosan revolusioner di Provinsi NTT untuk mendukung
KIA agar jauh lebih baik, tidak terkecuali di Kabupaten Sumba
Timur. Dari data yang tercatat tentang jumlah persalinan, jumlah
kematian ibu, dan kematian bayi di Sumba Timur pada tahun
2011-2012, diperoleh keterangan jika jumlah kematian ibu dalam
kurun waktu 2011-2012 mengalami penurunan yang signifikan,
tetapi tidak dengan jumlah kematian bayi yang ternyata justru
merangkak naik. Jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas
kesehatan pun mengalami peningkatan. Hal tersebut akan
tergambar dalam Tabel 3.1 berikut ini25.
23
Berdasarkan hasil presentasi Kadinkes Prov. NTT, Dr. Stefanus Bria Seran
“Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT. PresentasI Nasional IV: Jaringan
Kebijakan Kesehatan Indonesia”, Kupang, 4 September 2013
24
Sesuai dengan hasil wawancara bersama Kadinkes Sumba Timur
Di kutip melalui hasil presentasi Kadinkes Prov. NTT, Dr. Stefanus Bria Seran
“Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT. PresentasI Nasional IV: Jaringan
Kebijakan Kesehatan Indonesia”, Kupang, 4 September 2013
25
102
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tabel 3.1. Jumlah Persalinan Faskes dan Non Faskes di
Kabupaten Sumba Timur Tahun 2011-2012
Tahun
Jumlah Persalinan
Non Faskes
Faskes
Total
2011
1.411
3.638
5.049
2012
769
3.838
4.608
Sumber: Dinas Kesehatan Sumba Timur, 2012
Tabel 3.2. Jumlah Kematian Ibu dan Kematian Bayi di Kabupaten
Sumba Timur Tahun 2011-2012
Tahun
Kematian Ibu
2011
20
2012
2
Tahun
Kematian Bayi
2011
56
2012
85
Sumber: Dinas Kesehatan Sumba Timur, 2012
Untuk Kabupaten Sumba Timur, upaya mewujudkan
Revolusi KIA dengan mengurangi AKI dan AKB diwujudkan
dengan beberapa program yang kolaboratif dari lintas sektor26.
Program-program tersebut dijabarkan dalam beberapa langkah,
yaitu:
1. Mewajibkan perempuan
Puskesmas/Yankes
hamil
untuk
melahirkan
di
26
Program-prorgam tersebut dikemukakan oleh Kadinkes Kabupaten Sumba
Timur melalui wawancara yang kami lakukan pada tanggal 16 Juni 2014.
103
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2. Mengupayakan tersedianya dokter dan bidan agar pertolongan
bukan dilakukan oleh dukun tetapi oleh yankes
3. Kesediaan/pengadaan peralatan medis
4. Kesediaan/pengadaan obat
5. Memperbaiki infrastruktur jalan (bekerja sama dengan Dinas PU)
6. Membatasi jumlah anak (bekerja sama dengan BKKBN)
7. Memperkuat ketahanan pangan.
Melalui program yang dijalankan dengan melibatkan
sektor lain, diharapkan Revolusi KIA di Kabupaten Sumba Timur
akan berjalan sesuai dengan harapan. Tidak dipungkiri, untuk
mewujudkan hal tersebut, berbagai hambatan dijumpai. Salah
satu hambatan tersebut muncul dari perbedaan sudut pandang
antara masyarakat dan pelaksana program dalam memahami
kesehatan ibu dan anak. Bab ini akan coba memotret bagaimana
gambaran perbedaan sudut pandang tersebut, dan juga akan
memotret gambaran tentang PHBS, persepsi masyarakat
terhadap fasilitas kesehatan, serta potret mengenai penyakit
menular dan tidak menular.
3.1.1. Pra Hamil
3.1.1.1.
Remaja dan
Reproduksi
Pengetahuan
tentang
Kesehatan
Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju
dewasa. Pada masa-masa tersebut, teman sepermainan atau
lingkungan berperan besar terhadap pengetahuan yang mereka
dapatkan. Tidak terkecuali pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi mereka. Dalam topik kesehatan reproduksi ini, ada 2
orang remaja perempuan berusia sekitar 18 tahun (RD dan M)
dan 1 orang remaja laki-laki berusia 18 tahun (FNJ), yang menjadi
informan utama dan bersedia menceritakan pengalamanpengalaman pribadinya.
104
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang
diperoleh 3 remaja di atas, ternyata banyak didapatkan dari
orang yang lebih tua dan teman-teman sepermainan mereka. Hal
tersebut dikarenakan bertanya mengenai kesehatan reproduksi
kepada teman yang lebih tua usianya akan terasa lebih nyaman,
karena mereka bisa saling bercerita dan berbagi pengalaman
secara terbuka. Ketika bercerita dengan suasana santai, mereka
bisa saling menanyakan masalah yang bersifat pribadi seperti
masalah menstruasi, kebersihan saat menstruasi, tentang mimpi
basah, dan hal yang bersifat pribadi lainnya.
Menjelang menstruasi, 2 remaja perempuan yaitu RD dan
M, biasanya mempunyai keinginan untuk makan makanan yang
bercita rasa pedas. Salah satu permasalahan yang datang pada
saat menstruasi tiba adalah rasa sakit di bagian perut. Remajaremaja tersebut tidak memiliki kiat khusus untuk mengurangi
rasa sakit, misalnya seperti meminum ramuan tradisional.
Mereka membiarkan rasa sakit tersebut berlalu begitu saja, dan
mencoba melakukan aktivitas seperti hari-hari biasanya.
Pemakaian pembalut saat menstruasi sudah lazim
dilakukan oleh remaja-remaja tersebut, dan biasanya mereka
membeli pembalut di kios atau toko terdekat. Setelah dipakai,
mereka akan mencucinya terlebih dahulu sebelum dibuang di
pekarangan. Biasanya mereka akan membungkus pembalut yang
telah dicuci dengan memakai kertas atau plastik berwarna gelap.
Dari informasi yang diperoleh dari mereka, ternyata masih
dijumpai adanya kebiasaan memakai kain untuk menampung
darah menstruasi. Menurut mereka, yang terbiasa memakai kain
untuk menampung darah menstruasi adalah perempuan yang
tinggal di perkampungan yang jauh, yang mereka gambarkan
dengan sebutan di atas bukit.
Lembaga pendidikan formal seperti sekolah setingkat
SMP dan SMU, ternyata juga memberikan kontribusi terhadap
105
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pengetahuan reproduksi pada remaja. Pengetahuan tersebut
diperoleh dari mata pelajaran biologi yang diajarkan guru. Hal
tersebut seperti yang diceritakan oleh RD berikut ini.
“Kami di sekolah juga mendapatkan pelajaran tentang
reproduksi pada pelajaran biologi kak... Ibu guru
memberikan materi mengenai alat reproduksi laki-laki
dan perempuan serta tanda-tanda puberitas pada
remaja, akan tetapi teman-teman mendengarkannya
sambil lalu saja.”
Biasanya ketika remaja putri mendapatkan haid pertama,
mereka merasa panik dan ketakutan. Orang pertama yang akan
mereka beri tahu biasanya adalah ibu mereka, yang kemudian
akan memberikan nasehat agar anak perempuannya mampu
menjaga diri dari pergaulan bebas karena fungsi alat reproduksi
mereka sudah berubah. Pergaulan yang salah dengan lawan
jenis, bisa berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan, atau
kehamilan di luar nikah. RD bercerita jika dia pertama kali
mendapatkan menstruasi ketika baru duduk kelas satu SMP.
Sedangkan orang yang pertama kali dia beritahu adalah
mamanya. Kala itu RD juga menerima nasehat dari sang mama
ketika mendapatkan menstruasi yang pertama.
“Ko sudah besar dan harus bisa menjaga diri sampai
waktunya ko menikah nanti. Ko boleh berteman dengan
laki-laki tapi harus bisa jaga diri.”
Pubertas pada perempuan ditandai dengan menstruasi,
secara fisik ditandai dengan payudara yang mulai membesar,
tumbuh rambut di bagian ketiak serta sekitar vagina, tubuh
bertambah tinggi dan besar dalam waktu singkat, munculnya
jerawat, serta bau badan yang “khas” seperti orang dewasa.
Untuk remaja laki-laki, pubertas ditandai dengan datangnya
mimpi basah. Ketika remaja laki-laki sudah mendapatkan mimpi
106
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
basah, mereka mulai menunjukan ketertarikan dengan lawan
jenis. Menurut cerita FNJ, dia mendapatkan mimpi basah ketika
duduk di kelas satu SMP.
“Kalo mimpi malam bangun pagi begini celana sudah
basah semua. kalo sudah ingat mimpi basah kepingin lagi
untuk mau buat seperti dalam mimpi. Apalagi kalo
musim dingin begini kepingin terus.”
Hampir semua anak laki-laki pasti akan mengalami
perubahan fisik dan psikis ketika memasuki masa remaja. Kondisi
tersebut disebut masa pubertas atau puber. Bukan hanya fisik
dan psikis yang mengalami perubahan, fungsi organ seksual
mereka juga mulai terbentuk sempurna. Pada umumnya puber
terjadi saat mereka berusia antara 10-14 tahun. Dalam usia
tersebut hormon diproduksi didalam tubuh yang menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan fisik, psikis dan seksual. Pada
anak laki-laki yang telah memasuki masa puber umumnya akan
terlihat dari suara mereka yang menjadi lebih berat dan dalam,
otot tubuh mengembang dan dada terlihat lebih bidang. Begitu
pula dengan rambut yang mulai tumbuh disekitar lengan, kaki.
Organ seksual mereka juga mulai berubah, penis dan testikel
akan tumbuh lebih besar. Begitu juga dengan rambut atau bulu
kemaluan mulai tumbuh.
3.1.1.2. Pola Makan dan Asupan Gizi Remaja
Manusia membutuhkan nutrisi yang berasal dari makanan
dan minuman untuk menunjang kesehatan fisiknya. Terlebih saat
masih berada pada masa remaja, dimana tubuh masih
dimungkinkan mengalami pertumbuhan, dan aktivitas fisik begitu
padat. RD dan M bercerita jika apa yang dia makan sehari-hari
adalah nasi dengan sayuran atau mi instant. Sayur mayur di
tempat tinggal mereka, yaitu Kampung Uma Bara, tidak mudah
107
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dijumpai. Penyebabnya karena di Kampung Uma Bara jarang ada
petani yang menanam sayur mayur, sehingga mereka mengaku
hanya bisa mengkonsumsi sayur paling tidak hanya 3 kali dalam
seminggu yang dibelinya di Melolo atau saat hari pasar saja.
Mereka mengaku tidak ada perbedaan pola dan menu makan
saat sedang menstruasi atau saat tidak mengalami menstruasi.
“Kita jarang makan sayur kak, dalam seminggu paling
tiga kali begituna. Itu pun mama harus pergi ke pasar
atau ke Melolo untuk ambil sayurnya.”
Ada kalanya mereka juga mengkonsumsi ikan segar atau
ikan kering ketika memiliki rejeki berlebih. Kebutuhan protein
hewani kedua remaja tersebut dan masyarakat di lingkungan
mereka tinggal, memang tidak selalu dapat terpenuhi. Ikan segar
atau ikan kering hanya dibeli ketika uang mencukupi, sedangkan
pemenuhan kebutuhan protein dari daging merah hanya bisa
diperoleh disaat-saat tertentu saja, misalnya saat ada pesta atau
ritual adat. Sebagian besar pestas, upacara adat atau ritual
Sumba (marapu) membutuhkan hewan kurban untuk
persembahan. Hewan-hewan tersebut biasanya berupa ayam,
babi, atau kuda. Ayam dan babi adalah hewan yang paling sering
dipakai, terutama bagi ritual marapu.
Hewan kurban tersebut pada akhirnya akan dimakan
bersama-sama oleh semua anggota keluarga dan tamu yang
diundang. Jadi, salah satu nilai positif dari terselenggaranya pesta
atau ritual adat, adalah pada pemenuhan nutrisi masyarakat
melalui daging yang dimakan secara bersama-sama. Maka dari
itu, disamping hiruk pikuk dan kerepotan luar biasa dari pesta
atau ritual adat, ada sejumlah besar masyarakat yang tetap
bersemangat untuk terlibat karena berkesempatan untuk bisa
merasakan nikmatnya bersantap daging. Kebanyakan masyarakat
108
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
yang diuntungkan adalah masyarakat yang berasal dari golongan
ata seperti RD dan M.
3.1.1.3. Interaksi Sosial Antar Remaja
Normalnya, masa remaja adalah masa untuk mulai
mengenal lawan jenis. Rasa tertarik mulai muncul secara alami,
dan pada akhirnya jika rasa tertarik tersebut juga bersambut
baik, hal yang kemudian terjadi adalah pacaran. Pacaran pada
usia remaja sering disebut dengan cinta monyet, yang
sebenarnya hanya ungkapan untuk perasaan cinta yang tidak
serius atau sekedar main-main saja. Tetapi terkadang, perasaan
cinta yang tidak serius atau main-main saja tersebut, berakhir
dengan kehamilan di luar nikah. Ada beberapa kasus dimana
sepasang remaja laki-laki dan perempuan yang duduk di bangku
SMU, harus menikah dini atau harus keluar dari sekolah karena
terlibat hubungan yang terlalu jauh, sehingga berbuah pada
kehamilan si remaja perempuan27.
Pada umumnya, orangtua memang melarang anak-anaknya
berpacaran ketika masih duduk di bangku sekolah. Namun masa
remaja juga masa dimana sifat keingintahuan dan sifat
‘membangkang’ terhadap aturan-aturan mulai muncul. Hal
tersebut digambarkan oleh RD dan M ketika bercerita tentang
pengalaman teman-temannya yang harus berpacaran dengan
sembunyi-sembunyi. RD dan M bercerita jika saat-saat dimana
kebanyakan remaja berpacaran adalah ketika jam pelajaran
sekolah usai, atau di saat sore hari setelah pulang dari sekolah.
Tanpa sepengetahuan orangtua, mereka akan menuju tempat
yang sepi seperti bukit atau kebun untuk memadu kasih.
27
Ada 3 kasus yang kami temui, dan semuanya terjadi pada saat mereka masih
duduk di bangku SMU. Sepasang remaja akhirnya menikah, 2 pasang lainnya
harus berpisah karena orangtua dari masing-masing pihak tidak menyetujui
adanya pernikahan.
109
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Menurut RD, banyak dari mereka yang pada akhirnya melakukan
hubungan seks dan pada akhirnya hamil karena perilaku
tersebut.
Seorang teman RD yang bernama FNJ, menceritakan
pengalaman saat dia berpacaran.
“Awalnya kalo pas pulang sekolah kita cari tempat sepi,
di gunung-gunung begituna atau di padang baru kita
pagang-pegang dan raba-raba. Kalo tidak pas malammalam, lewat HP kita janjian untuk keluar rumah pi
tempat yang sepi.”
Karena gaya pacaran yang bebas, banyak remaja yang
pada akhirnya hamil di luar nikah. RD bercerita jika ada 20 teman
sekolahnya yang mengalami hal tersebut.
“Teman-teman di sekolah banyak yang hamil diluar
nikah. Tahun ini ja ada 20 teman kami yang hamil,
bahkan ada yang besok ujian hari minggunya
melahirkan. Dan teman saya itu ikut ujian hari seninnya.
Di sekolah guru tidak bisa kasih larang soalnya ada
peraturan baru tentang perlindungan anak kak... tidak
boleh melarang atau mengeluarkan murid yang sedang
hamil. Jadi teman-teman yang hamil dan melahirkan
tetap sekolah.“
Petugas Puskesmas mengaku telah berusaha memberikan
penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan bahaya hubungan
seks di luar nikah. Tetapi tampaknya usaha tersebut belum
berhasil menurunkan angka kehamilan di luar nikah pada remaja.
Budaya Sumba sebenarnya telah mengatur tata krama hubungan
antar lawan jenis. Salah satunya adalah aturan adat dimana lakilaki tidak boleh berkunjung ke rumah perempuan dalam jika si
perempuan dalam keadaan seorang diri. Harus ada orang lain
yang berada di rumah si perempuan.
110
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Hal tersebut sebenarnya upaya untuk mencegah hal
negatif yang kemungkinan bisa muncul, jika si perempuan berada
seorang diri di rumah sementara ada laki-laki yang berkunjung.
Perempuan juga tidak diperbolehkan keluar rumah seorang diri
pada malam hari karena dianggap tidak aman. Hal tersebut
diceritakan oleh bapak RJ.
“Kalo adat Sumba yang betul itu melarang anak putri
pergi malam sendirian. Kalo pun pergi malam harus ada
yang menemani laki-laki atau perempuan untuk
menajaganya. Tujuannya biar aman gadis itu. Umbu
tidak boleh main ke rumah rambu malam hari. Tapi
anak-anak sekarang lain dan berani semua. tapi ya...
bagaimana lagi zamannya lain tidak seperti dulu...”
Dahulu ketika adat masih sangat berpengaruh, perilaku
seperti di atas konon mendapat sanksi tegas berupa hukuman
fisik, baik untuk si laki-laki atau si perempuan. Kini, sanksi yang
bisanya diberikan adalah berupa denda hewan atau barang yang
dibebankan kepada pihak laki-laki. Jika hubungan yang
membuahkan kehamilan tersebut direstui oleh orangtua kedua
belah pihak, maka pernikahan adalah jalan keluar yang ditempuh.
Pernikahan bisa dilakukan secara adat atau secara agama
(upacara gereja). Tetapi jika hubungan tersebut tidak direstui,
yang dirugikan adalah si perempuan yang terlanjur mengandung,
karena pada akhirnya si bayi yang dilahirkan tidak memiliki sosok
ayah, dan si perempuan akan menjadi orangtua tunggal di usia
yang masih sangat muda.
RD, M, dan FNJ adalah sosok remaja Desa Watu Hadang
yang mengenyam pendidikan SMU, suatu jenjang pendidikan
yang tergolong tinggi jika dibandingkan rata-rata masyarakat
111
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Desa Watu Hadang yang hanya lulus SD28. Di sekolah, mereka
mendapatkan wawasan tentang penyakit menular seksual seperti
HIV/AIDS. Sama halnya dengan pengetahuan tentang reproduksi,
pengetahuan tentang HIV/AIDS juga didapatkan dari mata
pelajaran biologi. Secara teori, mereka mengetahui jika HIV/AIDS
adalah penyakit berbahaya yang dapat ditularkan dari perilaku
seks bebas. Sebagai penganut Kristiani, mereka juga mengetahui
bahwasanya perilaku seks bebas tidak diperbolehkan dalam
ajaran agama mereka.
Kehamilan yang tidak diinginkan dan tertular HIV/AIDS
adalah risiko yang bisa didapatkan jika melakukan seks bebas.
Tetapi pada kenyataannya, risiko-risiko tersebut sulit untuk
membuat perilaku tersebut dihindari. Misalnya seperti
pengalaman yang diceritakan oleh FNJ.
“Awalnya kami berpacaran ke tempat-tempat yang sepi,
terus berpegangan tangan dan cium-ciuman dan saya
pegang-pegang dia punya payudara. Saya juga
melakukan hubungan seks dengan pacar saya. Kita
melakukannya di tempat yang sepi seperti kebun atau
bukit begitu.”
RD bercerita tentang pengalaman seorang temannya
yang tengah hamil di luar nikah. Ketika usia kehamilannya
menginjak 3 atau 5 bulan, kedua orangtuanya tidak mengetahui
kehamilan tersebut. Suatu saat kehamilan si gadis terbongkar
oleh kedua orangtuanya, dan akibatnya si gadis pun
mendapatkan murka. Setelah diketahui siapa ayah dari bayi yang
dikandung putrinya, orangtua si gadis mengutus seorang wunang
(juru bicara adat) untuk datang ke pihak keluarga laki-laki yang
yang merupakan ayah si bayi.
28
Lihat data tabel pendidikan berdasarkan RPJM-Desa Watu Hadang pada bab
II
112
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tujuan kedatangan tersebut adalah untuk menyampaikan
pesan atau lua pa pangga, yaitu kunjungan pihak perempuan
kepada pihak laki-laki untuk mengecek kesiapan pihak keluarga
laki-laki terkait masalah perkawinan. Pola perkawinan yang ideal
dalam masyarakat Sumba adalah perkawinan antar sepupu, yaitu
antara laki-laki dengan perempuan, yang merupakan anak
perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dan sebagian besar
merupakan perjodohan yang telah diatur oleh orangtua29.
3.1.1.4. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil
Potret kesehatan selanjutnya adalah tentang pengalaman
MP (30 tahun) dan sang suami (35 tahun), yang menanti
kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Anak adalah anugerah yang dinanti oleh setiap orang yang telah
membina hubungan rumah tangga. Hadirnya seorang anak dapat
memperkuat jalinan kasih antara suami dan istri, selain itu hal
yang terpenting dari kehadiran seorang anak dalam keluarga
Sumba adalah dapat melanjutkan garis keturunan dari suatu klan
atau kabihu. Tidak heran, bagi pasangan suami istri yang belum
mendapatkan keturunan, mereka akan menempuh berbagai
usaha untuk mewujudkan keinginannya. MP pun demikian.
Usahanya untuk bisa mendapatkan keturunan memang belum
membuahkan hasil, tetapi dia dan suami terus berupaya. Salah
satu cara yang ditempuh MP dan suaminya untuk mendapatkan
keturunan adalah dengan meminta bantuan dukun penyembuh.
MP dan sang suami telah datang ke 11 dukun yang
berbeda untuk mengupayakan agar dirinya bisa mengandung.
Dukun yang pernah ditemuinya, ada yang memberikan air putih
dan ramuan tradisional untuk diminum. Sayangnya ramuan
29
Perkawinan yang ideal menurut budaya Sumba, telah dibahas pada
bab II, dalam sub-bab Sistem Kekeraban.
113
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tradisional yang dipercaya dukun dapat membuatnya hamil, tidak
dapat dilacak apa kandungan di dalamnya. Selain ramuan
tradisional dan air putih, ada juga dukun yang memijat bagian
perut MP. Pijatan yang dilakukan dukun difokuskan pada area
rahim MP, tujuan pemijatan tersebut adalah untuk memperbaiki
posisi rahim yang kemungkinan salah. Posisi rahim yang salah
membuat kehamilan yang diinginkan pun sulit diperoleh,
begitulah sudut pandang dukun.
Usaha tanpa kenal putus asa telah dilakukan MP, namun
MP menyayangkan satu hal, suaminya tidak melakukan
pengobatan seperti yang telah dia lakukan.
“Pengobatan yang sudah saya lakukan selama 1o tahun
untuk mendapatkan keturunan adalah dengan pergi ke
dukun. Saya sudah mendatangi 11 dukun dari dalam
atau luar desa Watu Hadang. Ada yang memberi ramuan
tradisional, ada juga yang berupa pijat saja. Setiap
keluarga dan orang yang menyarankan, saya usahakan
untuk pergi berobat sesaui dengan saran dukun yang
mereka anjurkan. untuk mendapatkan kehamilan tidak
ada yang pernah saya abaikan dan saya langsung
mencari rumah dukun yang disarankan tadi. Dengan
diantar suami saya pergi ke dukun-dukun tersebut.
tetapi saya sendiri yang selalu melakukan pengobatan
selama ini mbak.”
Suami MP tidak bersedia melakukan pengobatan seperti yang
telah MP lakukan, karena dia mengira jika MP lah yang memiliki
masalah kesuburan atau masalah kandungan. Sedangkan dirinya, sehat
tanpa masalah apapun.
“Suami saya hampir tidak pernah melakukan
pengobatan, soalnya suami mengira kalau yang
bermasalah dengan kandungan adalah saya. Untuk
berobat ke Puskesmas saya belum pernah sama sekali.
Saya malas karena harus antri banyak dan tidak ada
114
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
waktu untuk itu. Suami pun selalu menolak kalau saya
mengajak periksa bersama-sama di Puskesmas jadi saya
cenderung pergi ke dukun-dukun tradisional untuk
mendapatkan kehamilan.”
MP yakin jika titik permasalahan bukan hanya ada pada
dirinya, karena MP pun mengeluh jika selama ini sperma suaminya
begitu encer saat melakukan hubungan seksual. Dia berpikir tentang
adanya kemungkinan jika suaminya pun bisa menjadi titik
permasalahan.
“Saya melakukan hubungan seks sesuai dengan
kebutuhan suami terkadang dalam seminggu 3x, tetapi
ketika saya melakukan hubungan seks tersebut air mani
suami encer sekali dan tidak bisa masuk. Itu air mani
selalu keluar lagi mbak, mungkin itu yang membuat saya
tidak bisa hamil-hamil sampai sekarang ini.”
Keluarga besar dari MP dan suaminya tidak hanya tinggal
diam melihat keadaan mereka. Saudara dan kerabat banyak
membantu dalam hal informasi tentang dukun yang bisa mereka
datangi. Selain itu MP dan suaminya juga disarankan untuk
melakukan upaya ‘pancingan’, yaitu dengan mengangkat anak
yang masih berhubungan saudara dengan mereka. Tujuannya
agar si anak angkat dapat ‘memancing’ atau menstimulus
lahirnya anak kandung, dari rahim MP sendiri. Jika pada akhirnya
nanti MP dan suaminya diberikan keturunan, mereka akan
menerima apapun jenis kelamin dari si anak. Hal yang terpenting,
anak tersebut dilahirkan dalam keadaan sehat dengan anggota
badan yang sempurna.
“Keluarga kemarin menyarankan untuk mengambil anak
angkat. Ini saya sudah punya putri, kedua orang tuanya
meninggal dan saya ambil untuk dijadikan sebagai anak.
Sekarang putri sudah kelas 2 SD, dia sudah saya anggap
seperti anak sendiri karena sejak kecil kami rawat.”
115
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Suami MP yang bermata pencaharian sebagai seorang petani
adalah mantan perokok. MP bercerita jika kini sang suami berhenti
merokok setelah dia tidak kunjung hamil juga. Satu hal yang belum bisa
hilang adalah kebiasaan sang suami meminum peci (minuman keras
tradisional) hingga saat ini.
“Suami saya waktu mudanya kuat minum peci dan
merokok. Suami baru mulai mengurangi minum dan
merokok ketika saya berumah tangga lama dan belum
hamil-hamil. Sekarang ini suami masih minum peci
seminggu sekali saja. Akan tetapi jika tidak ada uang
suami tidak minum mbak. Untuk merokoknya sudah
berhenti total. Sampai saat ini suami saya tidak merokok
sama sekali. Meskipun dia sayang sekali sama putri
tetapi dia masih mengharap saya bisa punya anak sendiri
atau hamil begitu mbak...”
Tidak hanya melakukan pengobatan ke dukun, atas saran
seorang tetangga, MP dan suaminya juga berupaya
mengkonsumsi makanan yang dipercaya dapat menambah
kesuburan, yaitu tauge. Tauge tersebut berasal dari biji kacang
kedelai yang dibiarkan berkecambah atau muncul akar di bagian
bijinya. Biasanya mereka membuat sendiri tauge tersebut, karena
sulit sekali untuk mendapatkan tauge di pasaran.
“Supaya saya dan suami sehat dan bisa punya anak,
tetangga kemarin menyarankan untuk makan sayur
tauge. Itu juga saya lakukan mbak.. saya bikin sendiri
dari kacang hijau. Kita mau beli.., beli dimana..?? pasar
di Melolo ini hanya dua hari saja, itu pun tidak semua
sayur ada mbak... tidak seperti di tempat mbak Jawa
begituna..”
Berdasarkan kandungan gizinya, ternyata tauge
dapat membantu meningkat kesuburan, karena tauge
116
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mengandung vitamin A, C dan E. Kandungan gizi tauge
tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut30.
1. Meningkatkan kesuburan
Kandungan vitamin E membantu mengurangi gangguan
pra-menstruasi, keluhan menstruasi, pra-menopouse
dan akibat monopause.
2. Mencegah penyebaran sel kanker
Senyawa genistin akan bekerja lebih efektif ketika
sudah berbentuk benih kecambah dan akan menekan
kanker. Genestin akan bekerja secara aktif
menghambat pasokan makanan bagi sel-sel kanker
sehingga mati.
3. Menjaga dan meningkatkan pencernaan keasaman
lambung.
Banyak serat dan air yang dapat mendorong limbah
drainase di usus besar untuk menghindari bibit kanker
tumbuh. Touge membantu mengalirkan kotoran diusus
besar dan ini merupakan kekuatan ganda tauge dalam
memerangi kanker. Dengan mendorong kotoran yang
dapat diserap oleh tubuh. Hal ini dapat mencegah
pengendapan zat beracun.
3.2. Hamil
3.2.1. Masa Kehamilan
Kehamilan adalah suatu peristiwa dimana terdapat suatu
kehidupan di dalam rahim seorang perempuan. Secara kodrati,
yang dapat dianugrahi kehamilan adalah kaum perempuan.
Lahirnya anak yang sehat seharusnya bermula dari proses
kehamilan yang sehat juga. Maka dari itu, perempuan hamil
30
tjoretan-akoe.blogspot.com/2013/10/7-manfaat-tauge-bagi-kesehatan.html
117
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
harus menjaga kesehatan dirinya sendiri dan kesehatan bayi yang
dikandungnya. Bayi yang terlahir sehat, dapat tumbuh dengan
sehat dan dapat melanjutkan garis keturunan dari klan atau
kabihu mereka.
Perempuan hamil diyakini sebagai manusia yang mudah
untuk diganggu oleh kekuatan-kekuatan gaib. Kekuatan gaib
tersebut bisa datang dalam rupa gangguan suanggi, hantu yang
tinggal di tempat-tempat tertentu, atau dalam bentuk sakit atau
penyakit yang berasal dari angin (ngilu). Oleh karena itu,
perempuan hamil sebaiknya tidak keluar pada saat malam hari,
karena berbagai gangguan-gangguan yang telah disebutkan tadi
akan keluar pada saat malam hari tiba. Jika memang terpaksa
harus keluar rumah pada saat malam hari, mereka akan
membawa benda-benda untuk menjaga diri dan bayi dalam
kandungan mereka. Benda-benda tersebut berupa gunting yang
disimpan di dalam saku, dan paku yang diselipkan di ikatan
rambut mereka. Benda-benda tersebut dipercaya mampu
membuat takut mahkluk-mahkluk yang berniat jahat. Hal
tersebut seperti yang dilakukan oleh DS ketika dia hamil, dan
dilakukan oleh RF yang hingga riset ini usai pada awal bulan Juli,
masih mengandung dengan usia kandungan 8 bulan.
Perempuan hamil yang memeluk agama Marapu memiliki
tradisi khusus untuk mendoakan keselamatan bayi yang
dikandungnya. Tradisi ini dipercaya akan menjauhkan ibu dan
anak yang dikandungnya dari gangguan penyakit atau mahkluk
gaib. Tradisi tersebut bernama Pamandungu yang biasanya
dilakukan ketika usia kehamilan 2 bulan, 4 bulan atau 6 bulan31.
Karena tradisi tersebut adalah tradisi Marapu, maka hanya
perempuan hamil yang masih memeluk agama Marapu saja yang
menjalankannya.
31
Ritual Pamandungu dibahas lebih lengkap pada bab II, Sub-bab Kehamilan
dan Kelahiran.
118
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Perempuan hamil yang sudah memeluk agama lain
seperti Kristen, hanya melakukan doa secara Kristen dengan
memanggil pendeta. DS masih memeluk agama Marapu ketika
mengandung anak pertama dan keduanya, dan keduanya
didoakan dengan ritual Pamandungu. Ketiga DS mengandung
anak ketiga, dia dan suaminya sudah memeluk Kristen sehingga
ritual Pamandungu tersebut diganti dengan doa secara Kristen.
Berbeda dengan RF yang sampai kehamilannya yang ke 6, dia
masih memeluk agama Marapu dan melakukan ritual
Pamandungu.
DS (32 tahun) berasal dari golongan ata. DS memiliki kios
kelontong serta beberapa ekor hewan seperti babi, kuda, dan
sapi. Secara ekonomi, keluarga DS tergolong sebagai keluarga
yang berkecukupan secara finansial. Dalam keadaan hamil, DS
tetap menjaga kios dan melayani pembeli. Setiap hari dia tetap
bangun pagi untuk memasak, membersihkan rumah, dan
merawat serta memenuhi kebutuhan kedua anaknya sebelum
pergi ke sekolah. Sedangkan sang suami akan mengurus hewanhewan peliharaan mereka. Sampai menjelang melahirkan pun DS
tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasanya,
kecuali mencuci baju dan mengangkat air yang sudah tidak
sanggup lagi dia kerjakan ketika perutnya semakin membesar.
Pekerjaan mencuci dan mengangkat air tersebut akhirnya
dilakukan oleh sang suami dengan kesadaran sendiri.
Di tengah kesibukannya melakukan pekerjaan rumah
tangga, DS sering kali lupa untuk makan dengan segera. Kadang
kala dia melewatkan sarapan pagi, dan baru akan makan ketika
badannya sudah terasa lemah dan keringat dingin bercucuran.
Sering kali dia makan nasi putih dengan sambal. Hal tersebut
bukan karena dia tidak mampu membeli sayur atau ikan, tetapi
karena kedua bahan makanan tersebut memang relatif sulit
untuk didapatkan. Jika beruntung, dia akan menjumpai penjual
119
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tempe, sayur, dan ikan yang menjajakan ikan dagangannya di
kampung. Dia akan membeli beberapa papan tempe, beberapa
ikat sayur, dan beberapa ikat ikan untuk kebutuhan lauk selama 1
hari. Jika sedang tidak beruntung, dia akan makan dengan nasi
panas dan sambal pedas yang juga tetap menggugah selera
makannya. Sementara anak-anak dan suaminya tidak keberatan
jika harus makan dengan nasi dan mi instant.
DS mengaku rutin memeriksakan kandungannya kepada
bidan desa ketika Posyandu. Dia juga rajin meminum kapsul
penambah darah yang diberikan bidan desa untuknya. DS
mengaku tidak meminum ramuan tradisional apapun untuk
menyehatkan kandungannya, dia lebih suka meminum air doa
yang dia minta dari salah satu tokoh masyarakat di kampung. Air
doa tersebut adalah air mentah yang didoakan secara Kristen
oleh seseorang yang dipercaya memiliki kemampuan supranatural. Orang tersebut tidak bersedia disebut dukun, dia lebih
suka disebut ahli spiritual.
Menurut DS, air doa tersebut akan membantu menjaga
kesehatan dirinya dan bayi dalam kandungannya, serta
menjauhkan dari pengaruh buruk mahkluk gaib. Air doa tersebut
hanya diminum sewaktu-waktu saja, jika DS merasa perlu saja.
Air tersebut tidak disimpan dalam botol atau wadah tertentu,
karena air tersebut akan diminum langsung di tempat orang yang
mendoakan dan langsung dihabiskan saat itu juga. Jarak rumah
DS dan si ahli spiritual yang hanya 20 meter, memungkinkan DS
datang dan meminta air doa kapan saja.
“Saya minum itu air doa yang didoakan oleh Pak A. Dia
bisa itu... doa-doa menurut orang Kristen, tapi
sebenarnya dia kan Katolik, tapi sama saja to.. Itu kan air
doa supaya nanti saya dan adek (anak dalam kandungan)
sehat, tidak ada (gangguan) apa-apa.”
120
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Suatu ketika DS mengalami musibah, saat hendak mandi
DS terpeleset dan jatuh di kamar mandi. Meskipun semua bagian
tubuh dan kandungannya tidak terasa sakit tetapi dia khawatir
jika terjadi sesuatu hal yang buruk. Maka DS memanggil seorang
dukun bayi terlatih untuk mengurut kandungannya. Dukun MH
yang masih bertetangga dengan DS dipanggil dan memeriksa
kandungan DS. Dukun MH khawatir posisi bayi akan bergeser,
maka dia mengurut perut besar DS dengan minyak yang terbuat
dari akar-akar tumbuhan. Seperti biasa, tidak diketahui jenis akar
atau tumbuhan apa yang digunakan untuk mengurut perut DS
karena dukun MH merahasiakannya. DS bercerita jika dukun MH
melakukan gerakan urut di sekitar bagian bawah perut sampai ke
bagian atas dan sebaliknya32.
Setelah diurut, DS merasa kondisi tubuhnya lebih baik dan
merasa yakin jika peristiwa jatuhnya ia di kamar mandi tidak akan
membawa pengaruh buruk apapun. Setelah dua minggu setelah
diurut, DS tiba-tiba mengalami pendarahan hebat. Bidan desa
yang dipanggil suami DS ke rumahnya merujuk DS ke Rumahsakit
di Waingapu. Dengan memakai ambulans DS dibawa ke
Waingapu, dan sesaat sebelum berangkat dia kembali meminta
air doa untuk diminumnya. Di rumahsakit, DS segera
32
Sayangnya peristiwa tersebut tidak dilihat secara langsung oleh peneliti.
Namun peneliti pernah diperbolehkan melihat seorang dukun bayi yang
mengurut 2 orang perempuan hamil. Perempuan hamil yang pertama sedang
mengandung selama 5 bulan, dan perempuan hamil yang kedua sedang
mengandung selama 9 bulan. Keduanya diurut dengan cara yang sama. Bagian
perut bawah, tepat di atas kemaluan akan di tekan dan seolah-olah diangkat
ke bagian atas. Bagian sisi kanan dan kiri perut akan di tekan lalu seolah-olah
diangkat ke bagian tengah perut. Gerakan yang dilakukan tersebut bukanlah
gerakan yang lembut, karena 2 perempuan hamil yang diurut mengaku
merasa kesakitan. Tujuan dari urut tersebut adalah untuk menguatkan
kandungan, dan mengembalikan posisi bayi yang turun karena ibu si bayi yang
bekerja terlalu keras.
121
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mendapatkan pertolongan dan akhirnya melahirkan bayi
perempuan secara normal.
“Mungkin karena Tuhan memang belum ingin saya
meninggal, saya selamat mbak. Padahal aiih..keluarga
semua sudah menangis lihat saya sudah mau mati
begitu. Untung juga saya banyak doa, minum air doa
juga dari Pak A, itu sudah Tuhan kasih selamat.”
DS bercerita jika saja dia tidak dirujuk ke rumahsakit pun,
dia akan tetap melahirkan dengan dibantu bidan. Alasannya
karena sekarang ini melahirkan dengan dibantu oleh dukun
sudah tidak diperbolehkan lagi. Anak pertama DS yang kini
berusia 9 tahun dulu dilahirkan dengan dibantu oleh tenaga
dukun bayi.
Lain halnya dengan cerita RF (34 tahun) yang suaminya
bekerja sebagai penambang pasir di Sungai Melolo, yang harus
pergi di pagi hari dan kembali pulang saat sore hari tiba.
Kesibukan suaminya membuat RF harus melakukan semua
pekerjaan rumah tangga seorang diri. Ketika bangun pagi dia
harus memasak untuk kelima anak dan suaminya, membersihkan
rumah, memberi makan satu-satunya babi yang dia miliki,
mencuci baju di tepi sungai, dan menimba air untuk menyiram
sayur mayur yang dia tanam di pekarangan rumahnya. Kadang
kala dia hanya istirahat sebentar karena harus menyelesaikan
kain yang dia tenun dengan segera. Semakin cepat selesai,
semakin cepat dia mendapatkan uang. Kain yang dia tenun akan
dia jual ke pasar seharga Rp. 300.000,-, keuntungan yang
didapatkan per kain hanya sekitar Rp. 100.000,- saja. Setiap
bulan, RF harus mampu menjual 1 kain untuk membeli beras.
Jika sudah menenun, dia akan duduk sampai berjam-jam
lamanya, dari tengah hari sampai menjelang matahari terbenam.
Dia akan istirahat jika perutnya sudah terasa lapar dan
tenggorokannya sudah terasa haus. Sang suami biasanya akan
122
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pulang ketika matahari sudah terbenam dalam keadaan mabuk
karena minum peci. Kebiasaan tersebut sudah berlangsung cukup
lama dan RF merasa kesal dibuatnya. Jangankan membantu
pekerjaan rumah tangga, suami RF ternyata sering menghabiskan
uang yang dia dapat dari menambang pasir untuk membeli peci
bersama teman-temannya. Karena itulah RF tetap menenun
meskipun punggungnya sudah mulai terasa sakit sekali jika duduk
terlalu lama.
“Kalau misal besok saya melahirkan pun, hari ini saya
tetap akan tenun. Kalau tidak begitu bagaimana nanti
dapat uang to mbak? Ini uang dari tenun saja untuk
makan kurang, tapi saya punya suami justru kasih habis
dia punya uang buat minum peci.”
RF bahkan pernah melempar sang suami dengan sebatang
kayu ketika sang suami mengajak beberapa orang temannya
minum peci bersama di rumah mereka. Dalam keadaan mabuk,
sang suami dan teman-temannya lari tunggang langgang karena
lemparan RF tersebut. RF berusaha mandiri walaupun suaminya
jarang memberinya uang. Di bercerita jika kondisi ekonominya
sangat jauh berbeda dengan beberapa orang adiknya yang
memiliki pekerjaan ‘kantoran’ karena lulus perguruan tinggi,
sedangkan dia hanya mampu sekolah sampai di kelas 3 SD saja.
Sebagai anak sulung, dia adalah tumpuan kedua orangtuanya
untuk membantu merawat adik-adiknya yang kini berhasil
mendapat pekerjaan yang baik. RF merasa bangga dengan hal itu.
Sama halnya dengan DS, RF yang pada saat bulan Juni
tahun 2014 sedang mengandung 8 bulan pun lebih sering makan
dengan lauk seadanya, yaitu nasi dan sambal. Beruntungnya, RF
memiliki pekarangan yang tidak dibiarkannya kosong. Dia
menanami pekarangan tersebut dengan sayur mayur berupa
pare, terong, kacang panjang, cabai, dan labu kuning. RF
memanfaatkan kebun sayur tersebut untuk memenuhi
123
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kebutuhan keluarganya, dan sebagian besar dijual ke pasar untuk
menambah penghasilan. RF bercerita, jika saja dia tidak
menanami pekarangannya dengan sayur mayur, mungkin dia
akan kesulitan untuk mencari bahan makanan yang bergizi. RF
juga melayani tetangga-tetangganya yang ingin membeli sayur
mayur langsung dari kebunnya.
RF adalah pemeluk Marapu yang taat. Sampai sekarang
dia masih mempertahankan keyakinannya meskipun 9 orang adik
kandungnya dan 5 orang anaknya telah memeluk Kristen. Dia
bertahan menjadi pemeluk Marapu karena kedua orangtua
kandungnya pun masih beragama Marapu. Dia sadar, jika dia
memeluk agama lain selain Marapu, maka kedua orangtuanya
tidak akan bahagia ketika mereka sudah meninggal kelak, karena
tidak akan ada yang melayani dan mendoakan mereka secara
Marapu. Karena keyakinan yang masih dia pegang teguh itulah,
dia juga masih mempertahankan beberapa prinsip dalam
hidupnya. Salah satu prinsip tersebut adalah, ingin tetap
melahirkan di rumah dengan dibantu dukun.
Kelima anak RF yang telah dilahirkannya, hadir di dunia
atas bantuan seorang dukun bayi yang sama. Bahkan RF sendiri
dahulu dilahirkan dengan bantuan dukun tersebut. Kini dukun
tersebut adalah dukun terlatih, dia adalah paman kandung dari
RF sendiri. Ya, dukun bayi yang mengaku sudah mendapatkan
status dukun terlatih dari Puskesmas ini adalah seorang laki-laki.
Usianya sekitar 70 tahun, dan dikenal juga sebagai dukun
penyembuh. Karena alasan historis, RF ingin kembali melahirkan
dengan dibantu pamannya.
“Dulu saya lahir dibantu tuya (paman), melahir
(melahirkan) anak juga dibantu tuya terus. Sekarang
anak yang ke enam ini kalau bisa juga dibantu tuya. Kan
sudah turun temurun to.. Tapi sekarang tiak tahu ini
124
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mbak, sekarang kan tidak boleh melahir (melahirkan di
dukun), nanti katanya dapat denda to...”
RF ternyata sedang merasa risau dengan adanya kabar
yang mengatakan, jika akan ada denda yang dikenakan kepada
perempuan hamil yang melahirkan dengan dibantu dukun. RF
sendiri tidak tahu, siapa yang menyebarkan kabar tersebut
pertama kali, dan berupa apa denda yang dikenakan nantinya.
“Katanya ada yang bilang denda uang, ada yang bilang
juga denda nanti tidak dapat bantuan dari pemerintah,
tidak tahu juga itu..”
Kabar tersebut memang meluas dengan cepat dan RF
terpengaruh oleh hal tersebut. Dia merasa takut dan sama sekali
tidak memiliki gambaran tentang melahirkan dengan dibantu
bidan. Dia pernah mendengar jika melahirkan di bidan, dia harus
disuntik. Kabar tersebut semakin mengecilkan nyalinya karena
dia belum pernah disuntik sekalipun seumur hidupnya. Lagi pula,
dia tidak mau jika bagian dirinya yang paling pribadi yaitu alat
vitalnya dilihat oleh orang lain selain keluarganya. Bahkan
dengan nada serius RF pernah berujar jika dia ingin memanggil
bidan setelah dia melahirkan dengan dibantu oleh dukun.
“Nanti saya melahir di tuya saja, kalau sudah melahir
(melahirkan) baru saya panggil bidan. Nanti kalau bidan
marah saya bilang ‘ya mau bagaimana lagi, kan sudah
lahir to’, begitu mungkin mbak hahaha...”
Setiap bulan, RF selalu datang ke Posyandu untuk
memeriksakan kandungannya ke bidan desa. Hampir setiap bulan
juga RF datang ke rumah pamannya untuk diurut. RF mengaku
jika semua anak-anaknya sehat karena selama dia mengandung,
dia selalu rajin mengurut kandungannya. Suatu hari peneliti
berjalan bersama dengan RF ke suatu perbukitan untuk menemui
dukun bayi yang merupakan paman kandung RF. Rumah tersebut
125
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berada di atas bukit dan berada di tepi savana yang luas.
Sebenarnya tujuan utama kedatangan RF adalah untuk mengurut
kandungannya, namun saat itu sang paman ternyata bersiap-siap
pergi untuk urusan keluarga yang teramat penting. Akhirnya
kesempatan untuk melihat RF diurut pun terlewatkan.
Sebelum paman RF pergi, peneliti sempat berbincang
sejenak dan bertanya dari mana dia mendapatkan pengetahuan
tentang melahirkan bayi. Secara garis besar dia berkata jika hal
tersebut sudah merupakan petunjuk dari Tuhan, dan tidak semua
orang memilikinya. Peneliti juga bertanya apa kelebihan dukun
bayi dibandingkan dengan bidan.
“Kalau bidan to ibu, dia hanya bantu melahir
(melahirkan) saja, tapi dia tidak bisa bantu yang lain-lain.
Kalau saya bisa tahu kalau ada orang yang jahat yang
mau kasih palang (menghalangi) saya punya keponakan.
Kalau ada orang sulit melahirkan, itu berarti dibikin
sudah..ada yang buat to ibu.. Nah, bidan tidak bisa urus
itu, saya bisa.”
Pernyataan dari dukun laki-laki tersebut membuat
peneliti semakin tertarik, dan menimbulkan pertanyaan
bagaimana cara si dukun mencegah ‘palang’ atau menghilangkan
‘palang’ tersebut. Dia menjawab jika caranya melalui urut dan
hamayangu (doa dalam agama Marapu). Urut dilakukan dengan
memakai minyak yang terbuat dari akar-akar tumbuhan yang
dirahasiakan. Kemudian peneliti juga bertanya, bagaimana orang
jahat dapat membuat palang di jalan lahir dan apa akibat
terburuknya.
“Ini ngilu sudah, dikirim lewat angin. Kalau ada yang
kasih palang jalan lahir, itu los darah (pendarahan)
sudah.”
126
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
DS dan RF memiliki alasan tersendiri untuk melakukan
urut, tetapi bagaimana jika urut dipandang dari kaca mata
medis? Melalui sebuah wancara secara langsung Kadinkes
Kabupaten Sumba Timur mengemukakan pandangannya.
“Dalam prosedur medik, tidak ada pemijatan diijinkan
selama proses kehamilan. Pada saat posisi bayi tidak
sesuai istilahnya, kita melakukan perpUtaran bayi seperti
yang diinginkan, itupun harus dalam pengawasan.
Artinya saat kita merubah posisi bayi, itu juga harus
diikuti tanda-tanda janinnya, bagaimana denyut jantung,
pernafasan, dan sebagainya. Nanti kalau tiba-tiba
diputar dan tiba-tiba denyut jantungnya berubah berarti
ada gangguan. Kalau diputar mungkin ada tali pusar
terlilit dan sebagainya. Jadi waktu kita mencoba mereposisi bayi seperti yang diinginkan, itupun harus
dengan pengawasan yang ketat.”
3.3. Persalinan dan Nifas
3.3.1. Proses Persalinan
Telah dijelaskan pada bagian atas jika pada masa
menjelang persalinan, DS dan RF masih memiliki ketergantungan
terhadap dukun, walaupun dengan tujuan yang berbeda. Tidak
bisa dipungkiri jika dukun masih menempati posisi yang penting
dalam masyarakat. Salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita
dari Revolusi KIA yaitu dengan menjalin kemitraan dengan dukun.
Dukun-dukun yang telah mendapatkan pelatihan dari Puskesmas
dan berstatus sebagai dukun terlatih, kini beralih fungsi bukan
lagi sebagai penolong kelahiran tetapi sebagai mitra bidan.
Dukun menjadi orang pertama yang akan diberi informasi oleh
perempuan hamil yang hendak melahirkan, selanjutnya dukun
127
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
akan menghubungi bidan desa dan mereka akan bersama-sama
membawa perempuan hamil tersebut ke Puskesmas.
Kemitraan tersebut diharapkan tidak akan menggeser
posisi dukun dan mengecilkan keberadaan mereka di mata
masyarakat. Kemitraan tersebut memang program yang
dilakukan untuk menjembatani antara dukun dan bidan. Dukun
saat ini bisa dikatakan memiliki peran sebagai asisten bidan.
Selama peneliti melakukan riset di Desa Watu Hadang, peneliti
belum pernah melihat secara langsung bagaimana proses
kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Awal bulan Juni tahun 2014 pada pukul 23.00 WITA,
seorang dukun bayi yang bernama MH (50 tahun), menghubungi
peneliti dan mengajak kami untuk menjemput seorang
perempuan muda yang hendak melahirkan. Rencananya dukun
berjenis kelamin perempuan tersebut akan membawanya ke
Puskesmas bersama-sama dengan bidan desa. Karena terjadi
kesalah pahaman, perempuan muda yang tengah hamil besar
tersebut ternyata sudah dibawa bidan dengan memakai
ambulans. Kami segera bergegas ke Puskesmas Melolo, tempat
dimana perempuan muda yang bernama DD tersebut dibawa.
Sesampainya disana beberapa orang keluarga DD tengah
menemani DD yang sedang berada di ruangan bersalin.
DD tampak pucat dan ketakutan, bidan yang memeriksa
DD berkata jika bayi dalam kandungan DD telah meninggal dunia.
Usia DD ternyata masih 17 tahun, dan putus sekolah saat duduk
di bangku kelas 2 SMU karena lebih memilih lari bersama sang
pacar hingga berbuah kehamilan. Hubungan tersebut tidak
direstui oleh orangtua DD sehingga tidak pernah ada pernikahan
yang dilakukan. DD baru sadar bayinya sudah tidak bergerak
beberapa saat sebelum dia memutuskan memanggil dukun dan
bidan. Bidan yang memeriksa DD yakin jika bayi DD sudah
meninggal sejak dari kemarin, karena DD bercerita jika dia tidak
128
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
merasakan gerakan si bayi sejak dari kemarin juga. Berkali-kali
bidan memasukkan tangannya ke dalam rahim DD untuk
memeriksa apakah masih ada harapan hidup bagi si bayi. Setelah
dipastikan bayi tersebut meninggal, bidan memutuskan untuk
mengeluarkan bayi tersebut esok harinya.
Sekitar 2 minggu sebelumnya DD melakukan urut di
bagian perut, dan dukun yang mengurut perut DD adalah MH. DD
mengaku merasa kelelahan setelah menimba air dari sumur. MH
yakin saat itu keadaan bayi DD baik-baik saja. MH bahkan
berpesan agar DD tidak mandi terlalu malam dan jangan sampai
keluar pada malam hari karena banyak ngilu dan suanggi yang
berkeliaran. Pada hari dimana DD dibawa ke Puskesmas,
beberapa saat sebelumnya ternyata DD mandi seorang diri di tepi
sungai, dan menurut MH hal tersebut adalah penyebab dari
meninggalnya bayi DD. Bayi tersebut bukan meninggal karena
pengaruh air sungai yang dingin, tetapi karena pengaruh ngilu
yang memang dipercaya muncul di malam hari.
Ketika akhirnya bayi DD dikeluarkan dari rahim, MH juga
terkejut karena tidak ada darah di bagian tali pusar si bayi. Selain
itu, ada sedikit lebam di bagian pipi si bayi yang membuat MH
semakin yakin jika kematiannya tidak wajar. Selain ngilu, MH juga
yakin jika bayi DD meninggal karena suanggi telah meminum
darahnya, hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya darah di
tali pusar si bayi, dan lebam yang terdapat pada pipi si bayi. Apa
yang membuat ngilu dan suanggi bisa mengambil nyawa anak
DD? MH berkata jika itu adalah hasil dari perbuatan DD yang
membuat Marapu marah. DD dianggap telah melakukan
perbuatan dosa, dan telah durhaka kepada orangtuanya. Entah
apakah ini merupakan suatu kebetulan, ternyata orangtua DD
dan keluarga besarnya pun beranggapan demikian.
Agar bayi DD tenang, jenazahnya diupacarai secara
Marapu walaupun DD dan orangtuanya telah memeluk agama
129
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kristen. Setelah upacara Marapu selesai dilakukan, bayi tersebut
baru dikubur secara Kristen. MH juga bercerita jika dirinya
sempat dimintai keterangan oleh petugas Puskesmas mengenai
proses pengurutan yang dilakukannya. MH yakin jika apa yang dia
lakukan tidaklah salah karena bayi DD meninggal bukan karena di
urut, tetapi karena ngilu dan suanggi.
3.3.2. Setelah Persalinan
Setelah bersalin, masyarakat Sumba juga memiliki tradisi
menanam atau mengubur ari-ari. Sebelum dikubur, ari-ari akan
dicuci terlebih dahulu. Idealnya ari-ari akan dikubur oleh ayah si
bayi sesaat setelah proses kelahiran berakhir. Tidak ada ritual
khusus yang dilakukan saat mengubur ari-ari. Sebaiknya ari-ari
dikubur di sekitar rumah yang ditinggali oleh si jabang bayi,
karena konon jika ari-ari dan si ari-ari berjauhan, bayi akan
mudah sakit. Hal ini seperti yang dialami DS saat anak ketiganya
yang baru dilahirkan mengalami demam yang tidak kunjung reda,
DS berkata jika ini akibat dari ari-ari yang dikuburkan berjauhan
dengan si bayi. Kala itu ari-ari anak bungsu DS memang
dikuburkan di Waingapu.
Interaksi antara dukun dan perempuan hamil tidak
terbatas pada saat si perempuan tengah mengandung atau saat
melahirkan saja. Setelah melahirkan pun, dukun tetap memegang
peranan penting dalam hal perawatan bayi yang baru lahir. Hal
ini seperti yang dialami DS. Dia mengakui jika dia merasa takut
untuk memandikan bayi yang masih merah dengan tali pusat
yang masih menempel. Padahal dia sudah melahirkan tiga orang
anak. Dia tidak ingin melakukan kesalahan yang dapat melukai
atau membuat bayinya celaka. Maka dari itu, sejak melahirkan
anak pertamanya yang kini berusia 9 tahun, DS selalu meminta
seorang dukun bayi yang dia percaya untuk membantu
memandikan bayinya sebanyak 2 kali sehari, pagi dan sore hari.
130
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Ketergantungan akan dukun tersebut, biasanya
berlangsung sampai tali pusat si bayi putus. Dukun yang
dipercaya DS adalah dukun MH, karena MH sudah berpuluhpuluh tahun menekuni profesi dukun bayi, sehingga dianggap
mengerti segala hal yang terkait dengan bayi dan keluhankeluhannya. Dukun MH memandikan bayi DS dengan rebusan
daun mengkudu yang dibiarkan hangat atau suam-suam kuku
terlebih dahulu, baru kemudian digunakan untuk memandikan
bayi DS dan juga untuk mandi dirinya. Saat bayi DS dimandikan,
dukun sering kali membasuh bagian tali pusat bayi yang masih
basah dengan ramuan tersebut. Bagian tali pusat menjadi bagian
yang paling sering dibasuh jika dibandingkan dengan bagian
tubuh lainnya. Setelah proses tersebut dirasa cukup, dukun
mengangkat tubuh bayi lalu meniup bagian tali pusat dan telinga
bayi. Tujuannya agar tidak ada sisa air yang masuk ke dalam
kedua anggota tubuh tersebut.
Selain digunakan untuk mandi, air rebusan tersebut juga
diminum DS sebanyak satu gelas. Daun mengkudu tidak diminum
seterusnya, dan ramuan ini bisa diganti sesuai dengan daun yang
ada. Daun mengkudu dipercaya memiliki khasiat mempercepat
pemulihan perempuan setelah melahirkan, serta mengurangi
pegal-pegal dan bengkak pada tubuh. Daun yang memiliki fungsi
yang sama dengan daun mengkudu adalah daun jeruk. Selain
dukun, setelah melahirkan DS juga didampingi oleh ibu
kandungnya yang sengaja datang dari kampung lain. Ibu
kandungnya tersebut datang untuk membantu mengerjakan
segala pekerjaan rumah tangga DS, yang tidak mungkin
dikerjakan karena dia baru melahirkan. Ibu kandung DS berkata
jika dia mungkin akan tinggal di rumah DS sampai luka DS kering,
dan badannya sudah cukup kuat untuk kembali melakukan
pekerjaan rumah tangga.
131
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Setelah bayi DS dimandikan, dukun akan mengeringkan
tubuh si bayi dengan handuk dan mengoleskan minyak telon ke
seluruh bagian tubuh bayi agar tubuhnya tetap hangat, lalu
menaburkan bedak bayi secara perlahan. Dukun memakaikan
baju kepada si bayi, kemudian menyematkan sebuah peniti yang
di bagian ujungnya ternyata sudah terpasang sebuah benda.
Benda tersebut adalah hikil, yaitu sejenis tanaman herbal dengan
bau yang tajam dan khas, berstektur keras, serta berwarna
kehitaman. Hikil tersebut dipercaya memiliki kekuatan untuk
menangkal segala gangguan gaib yang bisa datang mengganggu si
bayi. Baunya yang tajam dan khas konon tidak disukai oleh
mahkluk halus, seperti suanggi dan setan. Penyakit yang berasal
dari angin (ngilu) pun tidak akan berani mendekat jika bayi sudah
memakai hikil.
Gambar 3.1.
Rebusan Daun Mengkudu untuk Perawatan setelah Persalinan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Disamping hikil, bawang merah juga biasa digunakan
masyarakat di Desa Watu Hadang untuk melindungi bayi dari
132
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
penyakit. Bawang merah yang sudah dikupas disematkan pada
baju bayi dengan peniti. Bawang merah tersebut juga dipercaya
mampu menangkal hal-hal gaib seperti angin (ngilu). Agar
bawang merah tersebut berfungsi dengan baik, bawang merah
tersebut tidak boleh terkena air. Maka dari itu, bawang merah
tersebut harus selalu dilepas jika bayi akan berganti baju. Selain
menyematkan hikil dan bawang merah, cara lain untuk menjaga
bayi dari gangguan-gangguan yang bersifat gaib adalah dengan
meletakkan benda tajam seperti pisau atau gunting di bawah
bantal bayi saat bayi tertidur. Cara tersebut membuat ibu si bayi
merasa tenang jika meninggalkan bayinya, sementara si ibu
melakukan pekerjaan rumah tangga.
Upaya lain untuk menjaga si bayi dari gangguan penyakit
dan gangguan yang bersifat gaib, adalah dengan tidak membawa
bayi keluar rumah selama satu bulan penuh. Hal nini juga berlaku
untuk ibu si bayi. Apabila bayi menderita sakit dalam satu bulan
tersebut, ibu dan keluarga cukup memberikan ramuan tradisional
dari daun-daunan untuk mandi, atau memanggil dukun untuk
mengobati sakitnya. Jika ternyata sakit si bayi tidak kunjung
sembuh, keluarga baru akan membawa si bayi ke bidan desa atau
Puskesmas. Dalam satu bulan tersebut, bayi juga tidak akan
dibawa ke Posyandu dan mendapat imunisasi. Bayi baru akan
dibawa ke Posyandu untuk penimbangan dan imunisasi, setelah
bayi berusia lebih dari satu bulan.
3.3.3. Masa Nifas
Dahulu tradisi yang dilakukan masyarakat Sumba ketika
masa nifas adalah dengan melakukan ritual panggang. Hal
tersebut juga berlaku di Desa Watu Hadang. Perempuan yang
telah melahirkan melakukan pemanggangan atau memanaskan
bagian punggungnya didekat sumber panas atau bara api. Dalam
kepercayaan masyarakat Sumba, ritual panggang dipercaya dapat
133
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membantu mengeringkan darah nifas. Karena ritual panggang
menggunakan sumber panas yang berasal dari api, ritual ini dapat
mengakibatkan luka bakar pada bagian punggung. Hal ini seperti
yang dituturkan oleh AMR.
“Saya dulu waktu melahirkan anak pertama dan kedua
masih mengikuti tradisi pemanggangan punggung. Tapi
itu dulu sekitar tahun 1983. Caranya adalah dengan
melepas baju dan kita duduk membelakangi tungku
dapur. Itu dilakukan sampai berhari-hari dan terkadang
bagian punggung ini luka bakar. Setelah saya
mengetahui dari bidan kalau cara itu tidak bisa
mengeringkan darah nifas maka saya tidak mau lagi
mengikuti tradisi pemanggangan. Ketika melahirkan
anak yang ketiga saya tidak mau lagi. Sekarang ini anakanak saya larang untuk tidak mengikuti tradisi
pemanggangan. Ini menantu saya tidak saya bolehkan
ikut-ikut seperti itu. Tidak ada gunanya mbak.. zaman
dulu kan orang masih bodoh-bodoh jadi ya mau saja.”
Tradisi panggang yang dilakukan masyarakat Desa Watu
Hadang adalah warisan dari nenek moyang. Nenek moyang
percaya jika ritual panggang tersebut dapat mempercepat
penyembuhan luka setelah melahirkan, dan mengeringkan darah
nifas. Sekarang ini ritual tersebut tidak ditemukan lagi, karena
masyarakat mulai sadar jika ritual panggang tersebut tidak bisa
menyembuhkan luka setelah persalinan, dan mengeringkan
darah nifas. Sebaliknya, ritual tersebut justru menimbulkan luka
yang menyakitkan.
Di Desa watu Hadang, ibu nifas mendapatkan Vitamin A
dari bidan desa. Vitamin diberikan dua kali, yaitu satu hari
setelah melahirkan dan dua hari setelah melahirkan. Vitamin A
diberikan di Posyandu ketika penimbangan bayi dan balita.
134
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Berikut ini tabel jumlah bumil, sasaran bufas yang diberikan
vitamin A pada bulan Mei 2014.
Orang yang berperan dalam memberikan arahan atau
pengetahuan ketika masa nifas adalah orangtua perempuan, baik
orangtua perempuan kandung maupun mertua. Arahan atau
pengetahuan tersebut, bisa berupa wejangan atau nasehat
tentang ramuan-ramuan apa saja yang baik untuk diminum atau
digunakan untuk mandi. Bukan hanya itu, biasanya orangtua
perempuan juga berperan dalam proses perawatan bayi di awal
kelahirannya. Mereka akan meluangkan waktu untuk turut
menjaga si jabang bayi, dengan memandikan atau menimang.
Biasanya keterlibatan tersebut berlangsung selama 7 hari setelah
anak perempuannya melahirkan. Keterlibatan orangtua
perempuan dalam perawatan si jabang bayi, bukan hanya
meringankan beban perempuan yang baru saja melahirkan, yang
masih lelah secara fisik dan dalam masa pemulihan. Tetapi dalam
keterlibatan tersebut juga terjadi pertukaran ilmu dan wawasan
yang bermanfaat.
Tabel 3.3.
Posyandu
Tabel Jumlah Bumil, Sasaran Bufas yang Diberikan
Vitamin A1 dan A2 pada Bulan Mei 2014
Bumil
Sasaran Bufas
Vit. A1
Vit. A2
Melati I
9
6
3
3
Melati II
3
1
1
1
Melati III
3
5
4
4
Melati IV
1
2
-
-
Melati V
4
2
-
-
Sumber: Data dari Bidan Desa Bulan Mei Tahun 2014
Keterangan: Vit. A1 = Vitamin yang diberikan satu hari setelah melahirkan.
Vit. A2 = Vitamin yang diberikan dua hari setelah melahirkan
135
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Ada beberapa tumbuhan atau daun-daunan yang
dipercaya berkhasiat untuk melancarkan darah nifas, yaitu daun
kapas, daun murunjara, daun jeruk, daun mengkudu, daun sirih,
daun waru, dan daun kabau. Daun-daun tersebut digunakan
untuk mandi bayi dan ibunya, namun ada juga daun yang dapat
diminum oleh si ibu, yaitu daun murunjara dan daun jeruk. Daundaun tersebut direbus dengan dicampur dengan air sampai
mendidih. Setelah disaring, ramuan tersebut dapat digunakan
untuk mandi ibu dan bayinya. Khusus untuk jenis daun yang
dapat diminum, takaran yang dianjurkan adalah satu gelas
ramuan untuk diminum sebanyak 2 kali sehari pada pagi dan sore
hari.
Jika si ibu ternyata mengalami kesulitan buang air besar,
jenis daun yang dianjurkan untuk diminum adalah daun Pahpoku.
Jika si ibu mengalami kesulitan buang air kecil, daun yang dapat
diminum adalah daun kehi. Ramuan lain yang biasanya gunakan
untuk memandikan bayi adalah kelapa bakar yang ditumbuk
halus atau dikunyah. Kelapa bakar yang sudah halus tersebut,
akan dibalurkan ke seluruh tubuh bayi dan digosokkan secara
lembut dan perlahan dari ujung kepala sampai ujung kaki bayi.
Setelah itu, tubuh bayi bisa dibilas dengan ramuan daun-daunan
yang telah disebutkan tadi. Kelapa bakar tersebut dipercaya
mampu menyegarkan tubuh bayi.
Larangan atau pantangan untuk ibu nifas yang diketahui
adalah tidak boleh minum minuman yang dingin dan asam.
Minuman tersebut dipercaya akan memperlambat penyembuhan
kandungan dan lambung yang masih sakit setelah proses
melahirkan.
Upaya pencegahan kehamilan baru dilakukan oleh ibu habis
melahirkan ketika sudah mendapatkan menstruasi pertama.
Sebagian besar masyarakat di Desa Watu Hadang menggunakan
KB suntik untuk mencegah kehamilan. Biasanya bidan desa tidak
136
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
akan memberikan suntik KB apabila belum mendapat menstruasi
pertama setelah masa nifas. Seperti yang dituturkan oleh MR
berikut ini.
“Kira-kira setelah 6-8 bulan saya baru pergi ke bidan
desa untuk suntik KB. Ibu bidan biasanya tidak akan
kasih suntik kalau saya belum mendapatkan mentruasi
pertama.”
3.3.4. Menyusui
Sebagian besar masyarakat yang ada di Desa Watu
Hadang memberikan ASI untuk anak-anaknya. Hal tersebut
dikarenakan kandungan gizi pada ASI jauh lebih baik dari pada
susu formula, selain itu ASI jauh lebih ekonomis. Dorongan untuk
memberikan ASI kepada anak-anak bisa berasal dari orangtua,
atau orang lain yang sudah terlebih dahulu memiliki anak. Untuk
air susu yang keluar pertama kali (kolostrum), ada sebagian
masyarakat yang memberikannya kepada anak mereka dan ada
yang tidak. Ada alasan mengapa ada sebagian masyarakat yang
tidak bersedia memberikan kolostrum kepada anak mereka. Hal
tersebut karena mereka menganggap susu pertama yang keluar
pertama kali adalah air susu yang kotor.
Masyarakat yang persalinannya dibantu oleh dukun yang
bukan terlatih, biasanya tidak dianjurkan untuk memberikan air
susu pertama (kolostrum) tersebut. Akan tetapi untuk
masyarakat yang proses persalinannya dibantu oleh bidan atau
dokter mereka selalu dianjurkan untuk memberikan air susu yang
pertama tersebut. Ibu hamil yang rajin memeriksakan
kandungannya di Posyandu selalu mendapatkan pengarahan dari
bidan desa dan kader Posyandu, sehingga mereka mengetahui
manfaat kolostrum untuk bayi.
Manfaat kolostrum sendiri adalah sebagai berikut.
137
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
1. Kolostrum berkhasiat khusus untuk bayi, dan komposisinya
mirip dengan nutrisi yang diterima bayi selama di dalam
rahim.
2. Kolostrum bermanfaat untuk mengenyangkan bayi pada
hari-hari pertama hidupnya
3. Seperti imunisasi, kolostrum memberi antibodi kepada bayi
(perlindungan terhadap penyakit yang sudah pernah dialami
sang ibu sebelumnya).
Ada cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Watu Hadang untuk melancarkan produksi ASI, yaitu dengan
mengkonsumsi jagung bakar dan ikan kering. Makanan tersebut
dianggap berkhasiat untuk memperlancar ASI ketika masa
menyusui. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh MY.
“Supaya air susu lancar saya makan jagung kering yang
dibakar ditambah dengan ikan asin kering. Air susu
langsung mancur deras sekali mbak.. kita orang Sumba
selalu pakai resep itu na.., biar ASI lancar.”
Sedangkan makanan yang pantang dimakan ketika masa
menyusui menurut masyarakat Desa Watu Hadang adalah;
1. Daun pepaya, karena bisa menyebabkan perut bayi menjadi
kembung sehingga bayi akan menangis terus menerus
2. Makanan pedas.
3.3.5. Neonatus dan Bayi
Perawatan tali pusat pada bayi neonatus yang belum
kering (belum lepas), cukup diberikan minyak telon bayi saja
pada bagian kanan-kiri. Hal ini bertujuan untuk menghangatkan
badan si bayi dan supaya tali pusat cepat kering. Apabila tali
pusat tersebut sudah lepas, tali pusat akan disimpan pada
tempat yang terbuat dari daun lontar yang telah dianyam rapi.
Biasanya tali pusat disimpan di tempat yang aman dari
138
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
jangkauan/gangguan binatang. Tali pusat yang telah disimpan
dipercaya bisa menyembuhkan bayi ketika bayi menderita sakit
demam.
Salah satu sarana yang dipakai untuk melindungi bayi dari
serangan penyakit, adalah tudung bayi. Tudung bayi tersebut
dipergunakan untuk melindungi bayi dari serangan nyamuk baik
pagi, siang, atau malam hari ketika bayi sedang tidur. Dengan
cara ini diharapkan bayi akan terhindar dari serangan malaria.
Ketika siang hari biasanya para ibu menidurkan bayinya di balebale rumah (kaheli), karena udara dalam rumah terasa panas
ketika siang hari. Jadi bale-bale rumah adalah tempat yang aman
dan nyaman bagi bayi untuk tidur siang. Untuk di kamar tidur
para ibu sudah menyediakan kelambu yang didapat dari
Puskesmas. Sebagian besar masyarakat sudah memilki kelambu
malaria. Kelambu malaria tersebut dibagikan dan diprioritaskan
untuk ibu hamil, bayi dan balita. Tujuannya untuk menghindari
dari gigitan nyamuk malaria. Karena desa Watu Hadang masuk
dalam kategori daerah endemis malaria.
Gambar 3.2
Tali Pusat yang Disimpan di Anyaman Daun Lontar
Sumber: Dokumentasi Peneliti
139
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Apabila bayi mengalami batuk, salah satu cara yang
digunakan untuk mengobati adalah dengan memandikan bayi
menggunakan ramuan daun padakmu. Beberapa lembar daun
padakmu yang telah dibersihkan dapat langsung dimasukkan ke
dalam bak mandi bayi, dan dipakai untuk mandi. Sembari
dimandikan, biasanya ibu si bayi akan melakukan terapi gerakan
pada tangan dan kaki bayi. Gerakan tersebut berupa gerakan
menyilangkan kedua lengan bayi secara lembut dan berulangulang, dan gerakan kedua kaki bayi dengan cara yang sama.
Gambar 3.3.
Daun Padakmu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
3.3.6. Anak dan Balita
Untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita
di Desa Watu Hadang, setiap bulan diadakan Posyandu. Kegiatan
Posyandu tersebut terbagi menjadi beberapa lokasi berdasarkan
dusun. Antara dusun satu dengan dusun yang lain memiliki
jadwal yang berbeda, sehingga bidan desa bisa mendatangi satu
140
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
persatu kegiatan di setiap Posyandu tersebut. Posyandu bertugas
mendata setiap bayi dan balita, dan memantau perkembangan
kesehatan serta pertumbuhannya. Karena itulah penimbangan
berat badan, pengukuran tinggi badan, serta riwayat imunisasi
yang telah diberikan dicatat oleh kader maupun bidan. Kesehatan
bayi dan balita, serta tumbuh kembang mereka bukanlah
tanggung jawab kader atau bidan semata.
Keluarga adalah lingkungan terkecil bagi seorang anak
untuk mulai belajar, mendapatkan perhatian, kasih sayang,
nutrisi, dan pendidikan informal untuk pertama kali. Tanggung
jawab utama dalam memenuhi hak-hak anak tersebut jatuh di
pundak orangtua. Kedua orangtua, baik ayah atau ibu memiliki
tanggung jawab yang sama dalam tugas tersebut, namun pada
kenyataannya porsi dari tanggung jawab tersebut berbeda. Ibu
mendapatkan tanggung jawab lebih besar karena ibu yang sudah
mengandung serta melahirkan anak, memiliki kedekatan
emosional yang lebih daripada ayah. Selain itu, ayah lebih sering
berperan dalam pemenuhan nafkah keluarga, sehingga waktu
efektif untuk membantu perawatan anak lebih sedikit jika
dibandingkan ibu.
Karena alasan tersebutlah, ibu ibarat sebagai guru
pertama bagi si anak yang mengajarkan duduk, berdiri,
melangkah, berjalan, bicara, bernyanyi, makan, mandi, mencuci
tangan, dan sebagainya. Apa yang dilakukan ibu, apa yang
diucapkan oleh ibu, menjadi contoh pertama yang akan diikuti
oleh sang anak. Setelah itu, baru si anak mencontoh perilaku
orang lain, terutama ayahnya. Contoh yang nyata terjadi pada
Mama R yang memiliki 2 anak balita, yang bernama M dan N.
Kedua anak Mama R gemar bermain dan bergaul dengan anak
seusia mereka di kampung. Kedua anak tersebut aktif dan ceria,
namun satu hal yang tidak disukai oleh orangtua-orangtua balita
lain di kampung tersebut, yaitu karena M dan N gemar sekali
141
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
memaki dengan kata-kata yang tidak pantas kepada orang lain.
Beberapa orang tua balita teman M dan N berkata, jika itu
bukanlah kesalahan M dan N karena mereka hanya mendengar
kemudian meniru yang apa dikatakan oleh ibu mereka setiap
hari.
M, N, dan anak-anak lain yang sebaya atau lebih tua biasa
berkumpul di tengah kampung untuk bermain bersama. Kadang
kala ibu mereka turut mengawasi sambil mengobrol dan
mengunyah sirih pinang. Tetapi jika pekerjaan rumah tangga dan
pekerjaan menenun menumpuk, anak-anak tersebut lebih sering
bermain tanpa pengawasan. Anak-anak tersebut sering tampak
berlarian di tepian selokan yang berarus deras dan dalam sambil
bercanda, berlarian tanpa alas kaki, bersenda gurau dengan
saling melempar kayu sampai ada akhirnya yang menangis. Lelah
bermain dalam keadaan penuh debu dan tanah, anak-anak
tersebut akan pulang untuk makan.
M dan N sendiri akan pulang dan meminta ibu mereka
untuk mengambilkan makan siang. Beberapa kali peneliti
berkunjung ke rumah mereka, pada saat mereka sedang makan
siang selepas bermain. Menu yang mereka makan hampir selalu
sama, yaitu nasi dan mi instant. Mereka akan makan sendiri
dengan menggunakan tangan mereka, yang masih berpeluh dan
berwarna coklat karena tanah. Ibu mereka mengambilkan air
minum yang berasal dari air sumur yang tidak dimasak terlebih
dahulu. Usai makan, M dan N biasanya akan langsung tidur siang
dan bangun sore harinya. Ibu mereka akan memandikan mereka
di selokan yang berada tepat di depan rumah mereka. Di selokan
itu juga mereka biasa melakukan BAB dan mencuci baju serta
peralatan rumah tangga. Pagi dan sore hari, selokan selalu ramai
oleh anak-anak yang sedang mandi sambil bercanda.
Masyarakat yakin, mandi di sungai atau di selokan pada
saat matahari belum terbit memiliki khasiat yang baik untuk
142
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pertumbuhan tulang anak, dan mempercepat kemampuan si
anak untuk berjalan. Salah satu orang yang yakin dengan hal
tersebut adalah MY. Pada pagi buta, dia membawa anak
bungsunya yang masih berusia 10 bulan untuk mandi di selokan.
Tubuh balita mungil tersebut diayun-ayunkan dengan gerakan
maju dan mundur, dengan tetap dipegang dengan erat.
Gambar 3.4
Terapi Mandi Pagi di Sungai
Sumber: Dokumentasi Peneliti
3.4. Budaya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
Revolusi KIA, disadari atau tidak memang membawa
perubahan yang signifikan terhadap KIA. Setidaknya perubahan
tersebut salah satunya dapat dilihat melalui fasilitas persalinan
yang dipilih oleh perempuan hamil. Pilihan mereka mulai
bergeser dari persalinan dengan dibantu dukun, menjadi
143
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
persalinan yang dibantu oleh bidan. Terlepas dari motivasi
sesungguhnya dibalik pilihan persalinan dengan dibantu oleh
tenaga kesehatan (misalnya motivasi karena takut akan
dikenakan denda bagi perempuan hamil yang tidak melahirkan di
Puskesmas, seperti yang diceritakan oleh RF33), tampaknya
secara perlahan dengung Revolusi KIA sudah didengar sampai ke
salah satu subjek vital yang dituju, yaitu perempuan hamil.
Sebagian besar masyarakat di Desa Watu Hadang sudah
bersalin di Puskesmas. Masyarakat sudah mulai sadar untuk
menggunakan fasilitas kesehatan sebagai tempat bersalin. Salah
satu alasan mengapa mereka memilih melahirkan dengan
dibantu oleh tenaga kesehatan yaitu karena sarana dan prsarana
yang digunakan untuk membantu persalinan lebih lengkap dan
memadai. Mereka mendapatkan injeksi, disokong oleh infus, dan
jika terjadi masalah pada proses persalinan, mereka bisa segera
dirujuk ke Rumah Sakit di Kota Waingapu.
Untuk mempermudah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat di Desa Watu Hadang, bidan desa menempati
bangunan Pustu yang letaknya berada di tengah desa. Letaknya
yang strategis tersebut mempermudah masyarakat untuk
mengaksesnya. Pustu Katorak mempunyai bangunan yang
permanen. Tempat penerimaan pasien dan pemeriksaan sudah
terpisah. Ruangan untuk menerima pasien sudah dilengkapi
dengan meja dan kursi. Peralatan pun tertata dengan rapi
dilemari kaca. Pada ruang periksa ada satu tempat tidur untuk
pasien. Di bagian ruanga periksa terdapat jendela yang mengarah
ke sinar matahari sehingga ruangan cukup terang. Peralatan yang
33
Sebenarnya pola pemberian denda kepada masyarakat yang tidak
melakukan persalinan di Puskesmas sudah berjalan di desa lain di Kec.
Umalulu. Desa tersebut menjadi satu-satunya desa yang kini sudah
menjalankan Perdes tentang denda. Perdes tersebut dibahas dengan
melibatkan aparat desa, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Untuk Desa Watu
Hadang, Perdes yang serupa belum terbit sampai saat ini.
144
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
digunakan untuk menolong persalinan disimpan terpisah dengan
yang lainnya. Peralatan yang sudah digunakan akan disterilkan
terlebih dahulu sebelum disimpan kembali. Berkas dan peralatan
tertata rapi di ruang penerimaan pasien tersebut.
Disamping persalinan yang dibantu oleh tenaga
kesehatan, ada juga sebagian kecil masyarakat yang masih
dibantu dukun saat persalinan. Saat ini sebenarnya dukun hanya
diperbolehkan membantu mendampingi saat ada perempuan
yang hendak melahirkan di Puskesmas. Dukun yang
diperbolehkan mendampingi hanyalah dukun terlatih.
Keberadaan dukun dianggap membantu secara psikologis, karena
dukun akan menemani dari awal sampai akhir proses persalinan,
bahkan jika ternyata pasien tersebut harus dirujuk ke
Rumahsakit.
Gambar 3.5.
Peralatan untuk Persalinan di Pustu Katorak
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain menolong persalinan, bidan desa juga melayani
masyarakat yang memiliki masalah kesehatan. Apabila pasien
145
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
terdiagnosa mengalami sakit yang ringan, bidan desa mengobati
dengan obat yang sudah tersedia. Apabila pasien terdiagnosa
sakit yang lebih parah, bidan desa membawa pasien tersebut ke
Puskesmas atau ke Rumah Sakit di Kota Waingapu untuk dirujuk.
Gambar 3.6.
Tempat Bersalin di Pustu Katorak
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Berikut adalah grafik tentang jumlah lahir hidup dan mati
bayi yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di Desa Watu
Hadang pada periode bulan Januari 2013-Maret 2014.
146
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Grafik 3.1.
Jumlah Lahir Hidup Laki-laki di Desa Watu Hadang
pada periode bulan Januari 2013 - Maret 2014
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, 2014
Grafik 3.2.
Jumlah Lahir Mati Laki-laki di Desa Watu Hadang
pada periode bulan Januari 2013-Maret 2014
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, 2014
147
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Grafik 3.3.
Jumlah Lahir Hidup Perempuan di Desa Watu Hadang
pada periode bulan Januari 2013 - Maret 2014
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, 2014
3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita
Penimbangan bayi dan balita di Desa Watu Hadang,
dilakukan di 5 Posyandu di masing-masing dusun yang berbeda
dengan jadwal yang berbeda juga. Jadwal yang berbeda
memungkinkan bidan desa dapat datang ke setiap kegiatan
Posyandu secara bergiliran. Setiap Posyandu memiliki beberapa
orang kader yang bertugas untuk menjalankan kegiatan dan
mencatatnya. Kegiatan Posyandu ditempatkan pada rumah kader
yang letaknya strategis sehingga mudah untuk diakses. Posyandu
melayani penimbangan bayi dan balita serta pemeriksaan
kesehatan ibu hamil, yang dilakukan oleh bidan desa. Saat
kegiatan Posyandu berlangsung, hal pertama yang dilakukan oleh
kader dan bidan adalah penimbangan bayi dan balita. Berikut ini
tabel jumlah Posyandu dan jumlah kader aktif yang ada di Desa
Watu Hadang.
148
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tabel 3.4. Jumlah Posyandu dan Kader Aktif di Desa Watu
Hadang Tahun 2014
Posyandu
Jumlah Kader
Kader aktif
Melati I
4
3
Melati II
5
4
Melati III
5
3
Melati IV
5
4
Melati V
5
5
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
Gambar 3.7.
Penimbangan Bayi dan Balita Pada Kegiatan Posyandu
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Salah satu Posyandu yang diobservasi oleh peneliti adalah
Posyandu di Kampung Uma Bara. Di Posyandu tersebut, seorang
bayi atau balita ditimbang oleh 2 orang kader. Berat badan bayi
atau balita yang ditimbang tersebut akan dicatat di dalam KMS
oleh kader yang lain. Pencatatan di dalam KMS tersebut
149
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
disesuaikan dengan nama dari bayi dan balita yang sebelumnya
ditimbang. Selain dicatat di dalam KMS, berat badan bayi dan
balita juga dicatat di dalam buku register. Pencatatan tersebut
digunakan untuk memantau pertumbuhan bayi dan balita di Desa
Watu Hadang. Setelah data-data tersebut selesai dicatat, setiap
Posyandu harus segera menyerahkannya kepada bidan desa.
Berikut ini adalah tabel jumlah balita di Desa Watu
Hadang pada bulan Mei tahun 2014.
Tabel 3.5. Jumlah Balita di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei
Tahun 2014.
Posyandu
0-5 bln
6-11 bln
12-23 bln
24-59 bln
Jml
Melati I
30
13
25
76
144
Melati II
1
6
4
11
22
Melati III
9
9
9
24
51
Melati IV
-
5
2
6
15
Melati V
6
6
6
14
41
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
Jumlah balita di Posyandu Melati I lebih banyak jika
dibandingkan dengan Posyandu yang lain, hal ini dikarenakan
wilayah cakupan Posyandu Melati I adalah gabungan dari 2
dusun. Selain tabel jumlah balita, berikut ini adalah tabel jumlah
balita yang termasuk dalam kategori BGM di Desa Watu Hadang.
Bayi dan balita yang masuk dalam kategori Bawah Garis
Merah (BGM), adalah bayi dan balita yang berat badannya
berada pada garis merah atau dibawah garis merah pada KMS.
Kemungkinan bayi yang termasuk dalam kategori BGM ini adalah
bayi yang kekurangan asupan makanan. Makanan merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap kualitas
gizi pada bayi dan balita. Mengkonsumsi makanan yang tidak
150
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
sesuai dengan kebutuhan tubuh, baik secara kualitas maupun
kuantitas dapat menimbulkan masalah gizi pada bayi dan balita.
Tabel 3.6. BGM pada KMS di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei
Tahun 2014
Posyandu
0-5 bln
6-11 bln
12-23 bln
24-59 bln
Jml
Melati I
-
-
1
2
3
Melati II
-
-
-
-
-
Melati III
-
-
-
2
2
Melati IV
-
-
1
-
1
Melati V
-
-
-
2
2
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
Disamping BGM, di Desa Watu Hadang jumlah bayi dan
balita dengan 2T yang terdata pada periode Mei 2014 sebanyak
19 bayi dan balita. Bayi dan balita dengan BGM dan 2T tersebut
pernah mendapatkan BMT yang bersumber dari bantuan PNMP.
BMT tersebut berupa susu dan biskuit bayi yang diberikan selama
1 bulan lamanya. Bantuan tersebut diterima pada bulan
November 2013. Salah satu penerima bantuan BMT tersebut
adalah balita yang berusia 3 tahun bernama FD. Saat belum
menerima BMT, berat badan FD 9 kg, setelah menerima BMT
berat badan FD naik menjadi 11,4 kg. Tetapi setelah bantuan
tersebut dihentikan 1 bulan kemudian, berat badan FD turun
menjadi 9,3 kg. Padahal menurut informasi dari bidan desa,
untuk anak seusia FD berat badan yang normal berkisar 11,3 kg
sampai dengan 11,6 kg. Berikut penjelasan RD, kakak dari FD.
“Dulu FD dapat PMT dari Posyandu yang berupa biskuit
dan susu kak. FD suka sekali kak, sampai dalam satu hari
bisa menghabiskan biskuit 4-5 bungkus. Habis dikasih
minta lagi, dikasih minta lagi. Pokoknya dia suka sekali.
151
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berat badannya pun naik waktu ditimbang di Posyadu.
Tetapi setelah bantuan tersebut berhenti badan FD
turun kembali.”
Berikut ini adalah tabel 2T, tabel status gizi kurang, dan
tabel status gizi buruk periode bulan Mei 2014, yang bersumber
pada data bidan desa Watu Hadang.
Tabel 3.7. Distribusi Frekuensi 2T (Berat Badan Tidak Naik 2 Kali
Berturut-turut) di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei
Tahun 2014
Posyandu
0-5 bln
6-11 bln
12-23 bln
24-59 bln
Jml
Melati I
2
2
2
4
10
Melati II
-
-
1
1
2
Melati III
-
-
-
2
2
Melati IV
-
-
-
1
1
Melati V
-
-
2
2
4
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
Tabel 3.8. Status Gizi kurang di Desa Watu Hadang pada Bulan
Mei Tahun 2014
Posyandu
0-5 Bln
6-11 Bln
12-23 Bln
24-59 Bln
Melati I
-
-
-
-
Melati II
-
-
-
-
Melati III
-
-
-
1
Melati IV
-
-
-
-
Melati V
-
-
-
-
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
152
Jml
1
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tabel 3.9. Status Gizi Buruk di Desa Watu Hadang pada Bulan
Mei Tahun 2014
Posyandu
0-5 Bln
6-11 Bln
12-23 Bln
24-59 Bln
Melati I
-
-
-
-
Melati II
-
-
-
-
Melati III
-
-
-
1
Melati IV
-
-
-
-
Melati V
-
-
-
-
Jml
1
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
Selain penimbangan, Posyandu juga melayani pemberian
kapsul vitamin A yang dilakukan oleh Juru Imunisasi (Jurim)
dengan dibantu oleh bidan desa. Berikut adalah jumlah distribusi
kapsul vitamin A di Posyandu Desa Watu Hadang.
Tabel 3.10. Distribusi Frekuensi Kapsul Vitamin A di Desa Watu
Hadang bulan Mei Tahun 2014.
Posyandu
Jumlah Sasaran Bayi
Jumlah sasaran Balita
Melati I
43
110
Melati II
7
15
Melati III
20
35
Melati IV
5
11
Melati V
12
30
Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014
Selain vitamin A, Jurim juga memberikan imunisasi pada
bayi dan balita. Pemberian imunisasi dilakukan dengan
memeriksa buku register untuk memeriksa nama bayi atau balita
yang akan diberi imunisasi, dan memeriksa riwayat imunisasi apa
saja yang telah diberikan. Semua bayi dan balita yang datang ke
153
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Posyandu dan masih perlu diberi imunisasi, akan dipanggil sesuai
dengan antrian. Masyarakat, terutama ibu dari bayi dan balita,
telah mengerti jika imunisasi penting dilakukan untuk menambah
imunitas tubuh anak mereka terhadap serangan penyakit.
Gambar 3.8
Pemberian Imunisasi oleh Jurim Puskesmas pada Kegiatan Posyandu
di Uma Bara
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan atau
meningkatkan kekebalan secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Imunisasi bertujuan menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan
kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Jenis imunisasi adalah Hepatitis B, BCG, Polio, Campak,
DPT/HepB, DT, Td dan TT. Manfaat pemberian imunisasi adalah
untuk meningkatkan kekebalan secara aktif terhadap suatu
penyakit tertentu, sehingga bila kelak ada seorang anak terpapar
penyakit, maka penyakit tersebut tidak akan membuat si anak
sakit atau sekedar sakit ringan.
154
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
3.4.3. Memberikan ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan alami yang kandungan
nutrisinya tidak dapat tertandingi oleh makanan lain. Pemberian
ASI eksklusif, yaitu pemberian ASI selama 6 bulan berturut-turut
tanpa adanya makanan tambahan atau minuman lain dan
dianggap sebagai sumber makanan terbaik untuk anak. ASI juga
memiliki nilai ekonomis karena tidak perlu dibeli, beda halnya
dengan susu formula yang harganya relatif mahal. Salah seorang
ibu yang mengaku memberikan ASI eksklusif kepada anaknya
adalah MY (30 tahun). Dia berkata jika rata-rata bayi dan balita di
desa mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya.
“Rata-rata di desa itu, orang tuanya menyusui anakanaknya mbak. Kalau beli susu kaleng ya tidak mampu,
kalau ASI kan kita tidak usah beli tinggal makan yang
banyak saja ASI sudah keluar. Kita tidak perlu beli dot,
tidak perlu cuci, pokoknya enak ASI mbak... praktis.
Kedua anak saya ini Y dan A (minum) ASI semua mbak.
Kalau Y hampir 2 tahun baru saya kasih sole (sapih).
Kalau A ya... sampai sekarang ASI-nya.”
Sumber informasi tentang ASI eksklusif MY dapatkan dari
bidan desa ketika memeriksakan kehamilannya di Posyandu.
Selain dari Posyandu, informasi tersebut juga didapatkan dari
keluarga atau tetangga yang sebelumnya pernah menyusui.
Menurut MY, ASI eksklusif mempunyai nilai gizi yang baik dari
pada susu formula. MY juga berkata jika dia pernah memberikan
kolostrum untuk kedua anaknya.
“Saya melakukan persalinan di bidan, makanya saya bisa
memberikan kolostrum pada dua anak saya mbak.
Karena kata ibu bidan susu pertama itu mengandung gizi
yang bagus, makanya saya memberikan ASI sama Y dan
A. Kalau saya ke sawah seharian gitu, setelah pulang
155
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
belum hilang capek Apu (nenek) sudah panggil saya
supaya saya kasih tetek (ASI) buat A begitu na...”
3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
Sering kali peneliti melihat aktivitas masyarakat desa dan
mengamatinya. Keseharian mereka yang bergelut dengan peluh,
ladang, kebun, dapur, tenun, atau ternak, membuat mereka
terpapar tanah, lumpur, bahkan kotoran hewan. Tanah atau
lumpur yang melekat di bagian tubuh, termasuk pada bagian
tangan sudah merupakan hal biasa. Tidak ada rasa risih ketika
tangan yang masih bertanah atau berlumpur tersebut digunakan
untuk makan, atau menyuapi anak-anak mereka makan. Peneliti
pernah sengaja bertanya kepada Bapak HK yang baru kembali
dari sawah. Ketika itu Bapak HK langsung makan makanan
siangnya dengan menggunakan tangannya yang masih berwarna
kecoklatan dan berkerak tebal karena lumpur. Saat itu peneliti
berseloroh dengan berkata jika makanan yang dia makan pasti
akan bertambah nikmat. Bapak HK (75 tahun) justru
menjawabnya dengan jawaban yang menurut peneliti penuh
dengan makna filosofis.
“Dulu mbak, waktu saya masih kecil dan bantu saya
punya Bapa di sawah. Saya pulang, tangan dan kaki
kotor karena lumpur, tapi orangtua larang kami cuci
sudah. Bapa bilang kalau di lumpur-lumpur itu ada rejeki
di kami punya sawah, jadi kalau dicuci nanti hilang
sudah. Sampai sekarang saya masih percaya, saya tetap
makan walau tangan kotor bagaimana hahaha...”
Hal yang hampir sama juga pernah peneliti peroleh dari
HMA (40 tahun). Dia juga pernah mendapatkan wejangan serupa
dari kakeknya ketika dia masih kecil. Masalah mencuci dan tidak
mencuci tangan ternyata tidak bisa dilihat hanya dari kaca mata
156
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
bersih dan tidak bersih, atau sehat dan tidak sehat. Ternyata ada
alasan historis dan filosofis yang melatarbelakangi seseorang
untuk tidak mencuci tangannya. HK dan HMA adalah generasi
yang terpaut usia cukup jauh, tetapi ternyata mereka
mendapatkan nilai yang sama tentang makna cuci tangan.
Kemungkinan besar nilai-nilai tersebut juga diwariskan kepada
generasi masa kini.
Terlalu dini jika peneliti berkata nilai-nilai tersebut masih
dianut. Tetapi setidaknya ada beberapa gambaran yang
mendukung hal tersebut. Mencuci tangan bagi masyarakat desa
yang peneliti kenal, adalah membasuh satu atau kedua belah
tangan dengan menggunakan air tanpa menggunakan sabun.
Mencuci tangan yang tampaknya mudah dilakukan, menjadi
peristiwa yang jarang peneliti lihat. Berbagai aktivitas yang
dilakukan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa, atau orang
lanjut usia jarang sekali diakhiri dengan cuci tangan.
Misalnya saja MY, yang ketika itu sibuk memberi makan
babinya dengan campuran nasi dan dedak. Dia menggunakan
tangannya untuk mengaduk makanan babi tersebut sampai
merata, lalu menaruh makanan tersebut di wadah makanan babi
yang sudah disiapkan. Setelah pekerjaan tersebut selesai, tangan
yang digunakan untuk mengaduk makanan babi tadi hanya
kemudian dikeringkan dengan memakai kain usang berwarna
kehitaman. Selanjutnya dia mengambil makanan dengan tangan
yang sama, dan memberikannya untuk anak bungsunya.
Anak sulung DS yang berusia 9 tahun, selalu mencari
rumput untuk kuda peliharaannya selepas pulang dari sekolah.
Dengan kedua tangannya dia mengangkut rumput, dan
memindahkannya ke wadah pakan kuda di kandang. Dia juga juga
membelai-belai punggung dan kepala kuda tersebut dengan
tangan kanannya. Ketika dia tahu peneliti mendekat dan
membawakannya sepotong kue, dia langsung mengambil kue
157
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tersebut dengan tangan yang sama. Ada saat-saat dimana
mereka memang terlihat sedang mencuci tangan. Biasanya
mereka membasuh kedua tangan dengan air sumur, atau
langsung mencelupkannya di selokan atau sungai.
3.4.5. Memakai Jamban Sehat
Selokan atau sungai, bukan hanya digunakan untuk mandi
atau mencuci tangan. Selokan juga memiliki fungsi yaitu sebagai
kakus atau jamban warga yang praktis, karena tidak perlu
menyiram kotoran atau menimba air. Sebagian besar dari mereka
melakukan BAB di selokan, dan biasanya dilakukan saat pagi hari
ketika matahari belum terbit. Sebagian kecil masyarakat yang
memiliki jamban di rumah mereka pun lebih suka BAB di selokan.
Bapak HK, DS, dan TRP adalah warga yang memiliki
jamban di rumah mereka, tetapi mereka dan keluarganya lebih
suka melakukan aktivitas MCK di selokan. Mereka bertiga berasal
dari golongan ekonomi yang baik, bahkan TRP adalah seorang
maramba berpendidikan tinggi yang memiliki banyak ata di
rumahnya. Kepemilikan sarana MCK, latar belakang ekonomi
yang baik, atau latar belakang pendidikan yang tinggi tidak selalu
berbanding lurus (linier) dengan kebiasaan atau perilaku seharihari mereka. Konsep tentang jamban sehat belum dipahami oleh
sebagian besar masyarakat, hal tersebut terbukti dengan
ketergantungan mereka pada selokan atau sungai untuk
membuang hajat.
3.4.6. Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari
Setiap hari, dimulai dari pagi yang masih gelap,
masyarakat di sekitar tempat tinggal peneliti (Kampung Uma
Bara), sudah melakukan kesibukan di rumah mereka masingmasing. Aktivitas mereka semua mudah diamati karena Kampung
158
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Uma Bara adalah kampung kecil yang hanya terdiri dari 15
rumah, yang berdiri saling berdekatan satu sama lain. Mudah
sekali untuk mengamati aktivitas penghuni di rumah-rumah
tersebut. Dengan berjalan-jalan di pagi, siang, atau sore hari,
aktivitas mereka mudah teramati.
Pada pagi hari, hampir tidak ada orang yang tampak
bermalas-malasan atau tidak melakukan kegiatan. Pagi hari
adalah waktu dimana sebagian besar orang mengayunkan pisau
atau parang dan menancapkannya di batang pisang, kemudian
mengirisnya dengan sabar. Mereka semua sedang menyiapkan
makanan babi. Aktivitas ini menghabiskan waktu sekitar 30 menit
sampai dengan 60 menit. Mereka akan duduk dengan menduduki
batang pisang tersebut, atau duduk menyamping dan badan
mereka berada di sebelah batang pisang. Jika pekerjaan tersebut
ingin diselesaikan dengan cepat, maka ayunan tangan mereka
tidak boleh dihentikan. Aktivitas yang tergolong aktivitas sedang
ini dilakukan setiap hari, setiap pagi dan sore hari.
Selain menyiapkan makanan babi, aktivitas lain yang
hampir setiap hari dilakukan adalah menyapu halaman.
Pekerjaan ini sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan.
Dengan sapu lidi yang panjang, mereka menyapu daun-daun
kering yang berjatuhan dari pohon untuk dikumpulkan, kemudian
dibakar di pekarangan rumah mereka. Aktivitas ini pun tergolong
aktivitas sedang, dan paling sering dilakukan saat pagi hari.
Memasak dan pekerjaan rumah tangga lain juga menjadi aktivitas
rutin yang dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka berkutat di
dapur yang masih tradisional untuk memasak, mencuci piring,
atau mencuci pakaian. Aktivitas ini adalah aktivitas domestik
yang tampak mudah, tetapi menghabiskan banyak waktu dan
tenaga. Intensitasnya pun sering, dan aktivitas ini tergolong
dalam aktivitas yang berat.
159
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Aktivitas lain seperti mengambil air dan memotong
batang pisang pun adalah aktivitas rutin, yang hampir setiap hari
dilakukan baik pagi atau sore hari. Air adalah kebutuhan pokok
yang harus selalu ada. Air untuk minum dan memasak di ambil
dari sumur dengan menggunakan ember atau jerigen bekas,
kemudian diangkat dengan memakai tangan. Aktivitas ini
memerlukan stamina yang besar, sehingga dapat dikategorikan
sebagai aktivitas yang berat. Baik kaum laki-laki atau kaum
perempuan sama-sama sering melakukan aktivitas ini.
Begitu juga dengan aktivitas seperti memotong batang
pisang. Batang pisang dicari di beberapa tempat di luar kampung.
Sebagian besar masyarakat menuju ke lokasi tersebut dengan
berjalan kaki. Dengan parang atau pisau, mereka akan memotong
batang pisang tersebut lalu mengangkat, dan meletakannya di
atas kepala. Dengan beban berat yang diangkut di atas kepala,
mereka berjalan ke rumah. Aktivitas ini begitu menguras tenaga
karena beban berat yang dibawa dan waktu yang relatif lama.
Maka dari itu aktivitas ini termasuk dalam aktivitas yang
tergolong berat. Aktivitas ini biasa dilakukan setiap hari, pada
pagi hari setelah memberi makan babi, atau sore hari sebelum
memberi makan babi.
Aktivitas yang juga rutin dilakukan baik pagi, siang, atau
sore hari adalah menenun. Sebagian besar dilakukan oleh kaum
perempuan, baik tua ataupun muda. Anggota tubuh yang paling
banyak bekerja pada saat menenun adalah kedua belah tangan.
Tetapi jangan lupa, kaki dan punggung pun memiliki beban kerja
yang sama karena menjadi tumpuan keseimbangan tubuh saat
menenun. Satu hal lagi, aktivitas ini membutuhkan konsentrasi
tinggi karena melibatkan daya kreatifitas dari otak kanan atau
otak kiri. Waktu yang digunakan untuk menenun pun bukan
waktu yang sebentar, paling tidak 2 sampai 5 jam dalam satu
hari. Aktivitas ini tergolong aktivitas sedang.
160
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Aktivitas yang tergolong berat yang lain, adalah bertani
atau berkebun. Aktivitas ini menghabiskan waktu cukup lama.
Biasanya dari pagi hari sampai menjelang sore. Tidak hanya
menghabiskan banyak waktu, stamina yang prima juga
diperlukan dalam aktivitas ini. Mencangkul atau mengolah tanah,
memberi pupuk, dan menyiram tanaman adalah beberapa
bagian dari aktivitas tersebut. Aktivitas yang tergolong ringan,
biasanya dilakukan setelah semua aktivitas berat selesai. Tujuan
mereka sebenarnya adalah melepas lelah, dan biasanya mereka
melakukannya sembari duduk mengobrol di sore hari, atau
menonton televisi pada saat malam hari.
3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur Sehari-hari
Makanan yang seimbang adalah makanan yang
mengandung sumber-sumber nutrisi penting seperti karbohidrat,
protein, vitamin, dan mineral dengan jumlah yang sesuai.
Kekurangan salah satu dari nutrisi tersebut dapat berakibat
kepada ketidakseimbangan tubuh, atau gangguan kesehatan.
Banyak daerah yang memiliki sumber makanan melimpah yang
dapat dikonsumsi untuk memenuhi sumber-sumber nutrisi
tersebut. Tetapi ada juga daerah yang tidak beruntung karena
memiliki sumber makanan yang terbatas, misalnya saja Desa
Watu Hadang. Karena beberapa alasan, sumber makanan
bernutrisi tinggi seperti sayur mayur dan buah-buahan sulit untuk
ditemukan. Imbasnya masyarakat jarang mengkonsumsi dua
sumber nutrisi penting tersebut. Mereka lebih sering
mengkonsumsi karbohidrat, yang bersumber nasi atau jagung
yang dimakan.
Alasan yang pertama adalah sedikitnya petani sayur dan
buah yang ada di Desa Watu Hadang. Jumlah petani yang sedikit
berdampak pada terbatasnya hasil sayur dan buah yang dipanen
dan dijual kepada masyarakat. Alasan kedua, harga sayur mayur
161
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan buah relatif mahal34 dan tidak semua lapisan masyarakat
mampu untuk membelinya. Alasan ketiga, jauhnya jarak
pasar/pusat perniagaan dari desa yang membuat sebagian besar
masyarakat yang tidak memiliki moda transportasi pribadi, tidak
bisa menuju kesana untuk membeli sayur mayur atau buah setiap
hari. Alasan keempat, banyak masyarakat yang justru
memberikan sayur mayur yang bernutrisi pada babi yang mereka
pelihara. Misalnya kangkung atau daun pepaya yang sering kali
tampak menjadi menu sarapan dan makan sore babi peliharaan.
Meskipun demikian, ada juga masyarakat yang
menggantungkan pemenuhan kebutuhan sayur mayur mereka
dari hasil tanaman mereka sendiri. Misalnya Mama R, yang setiap
minggu pasti mengolah bunga pepaya, buah pepaya, atau daun
pepaya muda untuk dimasak. Biasanya sayur mayur tersebut
diolah dengan cara direbus dengan bumbu garam dan penyedap
rasa. Jenis sayur tersebutlah yang paling sering dia konsumsi
bersama anak-anaknya karena mudah didapatkan. Beberapa
pohon pepaya memang tumbuh di pekarangan rumahnya. Selain
pohon pepaya, beberapa pohon pisang juga tumbuh subur.
Pisang-pisang yang sudah berbuah sebagian besar dia jual kepada
orang lain, dan sebagian kecil sisanya yang biasanya berukuran
kecil dan tampak tidak menarik, baru akan dia konsumsi sendiri
bersama keluarga.
3.4.8. Kebiasaan Merokok dan Minum Penaraci (Peci)
Ada 2 kebiaasaan yang lekat dan mudah ditemui pada
masyarakat Desa Watu Hadang, baik laki-laki maupun
perempuan. Kebiasaan tersebut adalah kebiasaan merokok, dan
minum minuman keras tradisional yang bernama Peneraci atau
Peci. Sebagian besar masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki
34
Rata-rata satu ikat kecil sayur dijual seharga Rp.5000,-
162
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
adalah perokok dan peminum peci, dan sebagian kecilnya adalah
perempuan. Jenis rokok yang dihisap bermacam-macam, yaitu
jenis rokok tradisional, jenis rokok filter, dan jenis rokok kretek.
Rokok tradisional adalah rokok buatan sendiri yang bahanbahannya terdiri daun lontar kering dan tembakau. Daun lontar
digunakan untuk membungkus tembakau, lalu digulung sehingga
berbentuk memanjang, kemudian diikat dibagian tengahnya
dengan memakai daun lontar. Masyarakat yang menghisap rokok
jenis ini adalah masyarakat yang rata-rata sudah berusia lanjut.
Untuk rokok jenis filter dan kretek, rata-rata dihisap oleh
kalangan remaja dan orang dewasa.
Alasan mengapa mereka merokok adalah supaya tidak
mengantuk, menghilangkan stres serta jenuh, dan penambah
semangat dalam bekerja. Hampir di setiap waktu senggang
mereka habiskan dengan merokok. Kebiasaan merokok ini bisa
dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak peduli dengan siapa
saat itu mereka berada, termasuk dengan anak kecil sekalipun.
Disamping merokok kebiasan lain yang sering dilakukan
masyarakat di Desa Watu Hadang adalah minum peci. Peci
adalah minuman yang terbuat dari akar katamba, akar alak yang
dicampur dengan gula Sabu35. Peci termasuk dalam industri
rumahan yang bisa diproduksi oleh masyarakat dengan peralatan
sederhana. Berikut ini adalah cara pembuatan peci.
1. Akar katamba dan akar alak dimasukkan ke dalam drum
(tong)
2. Campurkan gula Sabu dan air enau (nira lontar) ke dalam
campuran no.1 dengan perbandingan 1:5, kemudian aduk
sampai rata
3. Tutup drum dan diamkan selama 1 minggu
35
Konon minuman ini berasal dari Sabu, dan diperkenalkan oleh etnik Sabu
ketika mereka datang ke Pulau Sumba.
163
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
4. Setelah 1 minggu angkat akar katamba dan akar alak dari
drum, kemudian pindahkan ke drum kedua untuk dimasak
5. Drum ditutup dengan menggunakan kuali besar yang sudah
diisi air sebagai pendingin. Bagian bawah kuali berfungsi
sebagai penampung air sulingan, dan pada bagian itu
dipasang pipa atau selang yang dialirkan ke dalam jerigen
6. Campuran bahan-bahan tadi direbus sampai mendidih
dengan api yang stabil sekitar 3 jam. Air pertama yang keluar
dari pipa ditampung dan diambil sebanyak 5 liter sebagai air
kepala/peci nomer 1. Sementara sisanya adalah air peci
dengan kualitas nomor dua. Air kepala peci adalah hasil
sulingan yang dianggap memiliki kualitas terbaik, dan
memiliki alkohol lebih tinggi jika dibandingkan dengan air
peci sisanya. Sebelum dipasarkan, peci direndam dengan
menggunakan kayu ginseng selama beberapa hari sebagai
penambah aroma dan penghangat.
Gambar 3.9.
Proses Pembuatan Peneraci (peci)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
164
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Gambar 3.10
Proses Penyulingan Peneraci (peci)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sebagian besar masyarakat mengkonsumsi peci sebagai
penambah stamina dalam bekerja. Dengan mengkonsumsi peci,
mereka merasa stamina mereka bertambah dan pegal-pegal
pada tubuh menjadi hilang. Bapak A adalah seorang perokok dan
peminum peci. Dalam satu hari, dia bisa menghabiskan
setidaknya 1 bungkus rokok yang berisi 12 batang, dan setengah
botol peci. Sering kali bapak A terlalu banyak meminum peci
sampai dia tidak bisa mengontrol perilaku serta ucapannya
sendiri.
Karena rasa ketergantungan pada minuman tradisional
tersebut begitu besar, Bapak A mengaku sering kali tidak merasa
percaya diri jika tidak meminum peci. Keberaniannya untuk
bicara lantang seolah-olah hilang, dan dia tiba-tiba menjadi sosok
yang pendiam tanpa peci. Baginya rokok dan peci bukanlah
ancaman bagi kesehatannya, justru sebaliknya dengan
menghisap rokok dan meminum peci, stamina dan rasa percaya
diri selalu terjaga.
165
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.4.9. Penggunaan Air Bersih
Sebagian besar masyarakat di Desa Watu Hadang
menggunakan air selokan dan sungai untuk keperluan MCK.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air minum setiap
harinya, mereka mengambil air dari sumur. Masyarakat
menggunakan air sumur sebagai air minum, tanpa merebusnya
terlebih dahulu. Menurut mereka, air sumur itu sudah bersih dan
aman dari penyakit, sehingga tanpa direbus pun mereka bisa
langsung meminumnya.
Tidak semua rumah di Desa Watu Hadang memiliki
sumur. Satu sumur biasanya digunakan untuk beberapa rumah
tangga. Sumur tersebut ada yang milik pribadi dan ada yang
merupakan bantuan dari PNPM. Sumur milik pribadi biasanya
dibuat secara sederhana dengan memakai batu bata yang
disusun melingkar sebagai dindingnya, atau berupa galian tanah
saja tanpa dinding.
Sedangkan sumur yang dibangun PNPM menggunakan
cincin beton yang kuat, sehingga resapan air yang berasal dari
luar cincin sumur tidak akan mudah masuk dan mengotori air di
dalamnya. Sumur bantuan dari PNPM digunakan masyarakat
untuk keperluan memasak dan air minum. Sumur ini
ditempatkan pada yang titik-titik strategis, yaitu di pemukiman
yang ditinggali oleh banyak warga. Selain sumur, PNPM juga
membangun dua WC umum. WC umum ada yang dibangun
berdekatan dengan sumur, tetapi ada juga yang tidak. WC
tersebut dibangun secara permanen dengan dinding yang sudah
dicat.
Ada 1 sumur di Dusun Kalaki, yang terletak di kaki bukit
ternyata kering. Sumur yang kering tersebut tidak bisa digunakan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
166
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Keringnya sumur disebabkan oleh musim kemarau panjang,
sehingga debet air berkurang.
Gambar 3.11.
Sumur dari Bantuan PNPM di Dusun Kalaki Desa Watu Hadang
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Air adalah sumber kehidupan, dan manusia tidak mungkin
hidup tanpa air karena berbagai aktivitas manusia selalu
tergantung pada adanya air. Hal inilah yang membuat manusia
harus menjaga kebersihan dan keberadaan air. Air yang
terkontaminasi bakteri atau zat kimia dapat merugikan manusia
jika dikonsumsi. Salah satu akibatnya adalah munculnya penyakit.
Maka dari itu, menjaga kebersihan serta menggunakan air
dengan bijak, penting dilakukan oleh masyarakat.
3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk
Desa Watu Hadang merupakan daerah endemis malaria.
Topografinya yang berupa perbukitan, persawahan, dan pantai,
menjadikan Desa Watu Hadang potensial untuk mengalami
peningkatan kasus malaria. Salah satu hal yang mendorong
167
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berkembang biaknya nyamuk malaria adalah kondisi sanitasi
lingkungan masyarakat, yang juga dipengaruhi oleh curah hujan,
kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian tempat dan
bentuk perairan yang ada.
Faktor sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian
penularan malaria, misalnya seperti kebiasaan keluar rumah
sampai larut malam, dimana vektor bersifat eksofilik36 dan
eksofagik37 akan mempermudah kontak dengan nyamuk. Faktor
lain yang berpengaruh adalah tingkat kesadaran masyarakat
terhadap bahaya malaria seperti menggunakan kelambu,
memasang kawat kasa dan racun nyamuk. Berbagai kegiatan
masyarakat seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan,
pembangunan pemukiman baru yang mengakibatkan perubahan
lingkungan, ternyata juga faktor yang menguntungkan malaria
untuk terus berkembang biak. Sampai saat ini, belum ada
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk di Desa Watu Hadang.
Secara kultural, perkembangbiakan nyamuk juga
didukung oleh keberadaan rumah tradisional Sumba yang masih
banyak dijumpai. Rumah tradisional Sumba yang berbentuk
panggung, sebagian besar tidak memiliki jendela sama sekali,
atau sedikit ventilasi. Keadaan tersebut membuat bagian dalam
rumah menjadi gelap dan pengap. Kebiasaan masyarakat
menumpuk barang di dalam rumah dan di bagian bawah rumah,
juga bisa mengundang nyamuk malaria untuk terus datang dan
berkembang biak. Hampir sebagian besar masyarakat Desa Watu
Hadang tidak memiliki kamar mandi. Mereka menggunakan
sungai dan sumur untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Hanya sebagian kecil masyarakat yang mempunyai kamar mandi,
misalnya Bapak HK. Bak kamar mandi Bapak HK
dikuras/dibersihkan setiap 3-4 hari sekali.
36
37
Eksofilik: jenis nyamuk yang lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah
Eksofagik; jenis nyamuk yang lebih suka menggigit di luar rumah
168
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
3.5. Penyakit Menular
3.5.1. Malaria
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama
yang banyak diderita masyarakat Desa Watu Hadang. Malaria
sangat berisiko untuk balita dan ibu hamil karena dapat
menyebabkan anemia, dan dapat menurunkan produktivitas
kerja. Jenis malaria yang paling banyak didapatkan di wilayah
Puskesmas Melolo adalah malaria fasifarum dan vivax. Ada juga
yang merupakan gabungan dari keduanya atau mixed infection.
Tabel 3.11. Tipe Malaria dan Jumlahnya di Puskemas Melolo
Tahun 2013
No
Tipe malaria
Jumlah
1.
Malaria klinis
1182
2.
Malaria vivax
41
3.
Malaria falsifarum
4.
Malaria mix
Keterangan
2754
4
2 tipe malaria
Sumber: Laporan surveilans terpadu penyakit berbasis Puskesmas Tahun 2013
Tabel 3.12. Indikator AMI dan API di Wilayah Kerja Puskesmas
Melolo pada Tahun 2013
No
Indikator
Kegiatan
Target
SPM
2013
Cakupan Kegiatan
2013
ABS
%
Gap/
trand
Masalah
1
AMI
67,6
3.642
222,63
155
Melebihi
2
API
47,6
2.669
163,15
116
Melebihi
Sumber: RUK Puskesmas Melolo Tahun 2013
169
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berikut ini adalah jumlah penderita malaria baru yang
tercatat di Desa Watu Hadang mulai Januari 2013 sampai Maret
2014.
Grafik 3.4.
Jumlah Penderita Malaria di Desa Watu Hadang
pada Bulan Januari 2013 - Maret 2014
Sumber: Laporan Tahunan Puskesmas Melolo Tahun 2013-2014
Penyakit malaria berdasarkan ciri-ciri dan gejalanya
ternyata memiliki kesamaan dengan salah satu penyakit
kampung yang dianggap sebagai turunan dari ngilu. Penyakit
tersebut dikenal dengan sebutan muru manganding38. Penyakit
ini sudah dianggap biasa bagi masyarakat, karena sebagian besar
dari mereka pernah terjangkit. Masyarakat sudah mengetahui
jika awal mula dari penyakit tersebut adalah dari gigitan nyamuk.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
sporozoa plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
anopheles betina infektif. Sebagian besar nyamuk anopheles akan
38
Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan 3 orang petugas Puskesmas
yang pernah peneliti wawancarai
170
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
menggigit pada waktu senja atau malam hari, pada jenis nyamuk
puncak gigitannya adalah tengah malam sampai fajar. Dikenal 5
spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium
knowlesi. Jenis malaria adalah sebagai berikut (Buku Saku, Ditjen
P2PL Kemenkes, 2013).
1. Malaria falciparum
Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala demam
timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini
paling sering menjadi malaria berat yang menyebabkan
kematian.
2. Malaria Vivax
Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam berulang
dengan interval bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga
kasus malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium
vivax.
3. Malaria Ovale
Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis
biasanya bersifat ringan. Pola demam seperti pada malaria
vivax.
4. Malaria Malariae
Disebabkan oleh Plamodium malariae. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 3 hari.
5. Malaria Knowlesi
Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam
menyerupai malaria falsifarum.
Salah satu informan yang pernah terjangkit malaria
adalah RD. Saat itu RD merasakan bagian kepalanya terasa
pusing, badan terasa lemas, pinggang terasa sakit, menggigil,
demam, dan kehilangan nafsu makan.
171
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Kepala saya rasanya pusing sekali, badan lemas,
pinggang juga sakit sampai tidak bisa duduk, menggigil
dan panas, saya tidak mau makan hanya minum air saja
kak... Pokoknya badan rasa sakit semuanya lah kak!”
Secara tradisional, penyakit malaria atau dalam istilah
lokal disebut muru manganding, dapat diobati dengan daun
manganding. Salah satu dukun yang mampu mengobati muru
manganding di Desa Watu Hadang adalah Bapak NL. Ramuan
yang digunakan Bapak NL adalah daun manganding yang diambil
dari atas bukit. Bapak NL mengaku, banyak pasien yang sudah
berhasil disembuhkan olehnya. Salah satunya adalah SS.
“Saya dulu pernah sakit parah, demam berhari-hari dan
badan sakit semua sampai perut saya juga membesar.
Saya berobat ke bapak NL dan diberikan ramuan daun
manganding yang saya minum sampai saya sembuh
total. Mata dan kulit saya waktu itu sudah kuning mbak.
Untung bisa sembuh berkat ditolong oleh bapaj NL.
Sampai sekarang penyakit saya belum pernah kambuh
lagi.”
Cara membuat ramuan daun manganding adalah dengan
merebusnya, kemudian disaring. Air rebusan tersebut digunakan
untuk mandi, dan diminum selama 3-4 hari. Selain mandi dan
meminum ramuan daun manganding, pasien juga diberikan
terapi pemijatan dengan menggunakan santan kelapa. Pemijatan
pada awalnya dilakukan hanya pada bagian yang dirasa sakit oleh
pasien, kemudian dilanjutkan dengan pemijatan seluruh tubuh.
Pemijatan ini dilakukan 2-4 kali dalam waktu yang berbeda.
Pemijatan dilakukan pada sore hari menjelang matahari akan
tenggelam. Hal ini bertujuan supaya penyakit yang diderita
pasien juga ikut tenggelam bersama hilangnya matahari.
Sisa ampas daun manganding, dan ampas kelapa yang
digunakan untuk pengobatan muru manganding tadi, tidak boleh
172
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dibuang dan harus disimpan. Ampas tersebut akan diserahkan
kembali kepada bapak NL untuk dilakukan ritual pendinginan
atau ‘kasih dingin obat’. Ritual ‘kasih dingin’ dilakukan dengan
cara membuang sisa/ampas obat tadi di tempat yang dianggap
dingin dan jauh dari pemukiman manusia, seperti dibawah
pohon, atau batu besar. Tujuannya adalah supaya penyakit tidak
kembali lagi kepada pasien, atau kepada orang lain.
Gambar 3.12
Daun Manganding untuk Mengobati Sakit Malaria
Sumber: Dokumentasi Peneliti
RD yang terjangkit malaria tidak melakukan pengobatan
secara tradisional seperti yang dilakukan SS, tetapi melakukan
pengobatan medis dengan pergi ke Puskesmas.
“Awalnya saya kira sakit biasa saja kak, saya minum obat
yang dikasih KR, asam mefenamat sama paracetamol
yang kakak kasih kemarin. Tetapi badan masih sakit
semua, pinggang ini rasanya sakit sekali sampai tidak
bisa duduk. Saya tidak mau makan, sampai mama
marah. Tahu saya tidak mau makan, mama Y nyuruh
bapak Y untuk belikan soto buat saya. Tapi saya tetap
tidak mau makan. Pokoknya badan rasanya sakit semua
173
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kak. Habis gitu saya diantar bapak Y pergi ke Puskesmas.
Dokter pun memeriksa saya kemudian memberi obat,
dia bilang kalau belum sembuh kembali lagi untuk tes
darah. Obat saya minum tetapi badan masih sakit semua
dan panas. Saya diantar bapak Y ke Puskesmas lagi.
Dokter memeriksa kemudian menyuruh saya ke ruangan
sebelahnya untuk diambil darah. Setelah menunggu
sekitar 30 menit saya dipanggil kembali oleh petugas dan
bilang kalau saya positif malaria. Saya kembali ke
ruangan dokter kemudian mengambil obatnya. “
Ketika terjadi peningkatan kasus malaria, petugas
Puskesmas mengadakan kegiatan Mass Blood Survey (MBS).
Sebelum melaksanakan MBS, petugas Puskesmas akan
memeriksa data hasil pelaporan dan pencatatan yang sudah
direkapitulasi oleh petugas Puskesmas sebagai rujukan. Untuk
desa dengan angka kesakitan tertinggi akan dilakukan MBS,
dengan terlebih dahulu dilakukan penyuluhan oleh petugas
promkes. Sebelum penyuluhan, bidan desa bertugas
mensosialisasikan kegiatan MBS tersebut ke kepala desa dan
tokoh masyarakat. Selanjutnya petugas menjadwalkan tanggal
dan hari untuk memberikan penyuluhan.
Dari pengalaman yang pernah dialami oleh salah seorang
petugas Puskesmas saat melakukan penyuluhan, sebagian besar
yang hadir pada kegiatan tersebut adalah kaum perempuan dan
anak-anak. Kaum laki-laki banyak yang tidak hadir karena harus
bekerja. Kalau pun ada laki-laki yang datang, biasanya dia adalah
perangkat desa. Berikut penjelasan dari petugas pemegang
program malaria Puskesmas Melolo.
“Kegiatan program ini adalah kegiatan MBS
(pengambilan darah masal) secara masal di desa-desa,
jadi kita pilih mana yang paling banyak ini apa kasus
malaria. Kita lihat data mana yang tinggi begitu kita
174
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
turun ke lapangan, langsung pengambilan darah.
Sekalian kita penyuluhan sebelum kita pengambilan
darah kita melakukan penyuluhan. Dikonfirmasi ke tokoh
adat dan tokoh masyarakat, kepala desa, RT dan bidan
desa dengan kader. Mereka yang datang kadang 3 orang
atau 2 orang, tidak semua, biasa itu ibu-ibu dengan
anak-anak.”
Program yang kedua adalah pembagian kelambu.
Kelambu ini dipakai oleh masyarakat Desa Watu Hadang untuk
melakukan pencegahan malaria secara fisik. Pemakaian kelambu
ini adalah bagian dari program Puskesmas untuk mengurangi
angka kesakitan malaria dengan sasaran ibu hamil dan balita.
Pembagian kelambu malaria dilakukan dengan melihat data ibu
hamil dan balita yang ada di desa terlebih dahulu. Setelah
mengetahui berapa jumlah ibu hamil dan balita, petugas
Puskesmas membagi kelambu tersebut melalui bidan desa.
Sebelum pembagian kelambu dilakukan, petugas memberikan
penyuluhan kepada masyarakat mengenai fungsi kelambu dan
bahaya malaria.
Program yang ketiga adalah Posmaldes. Posmaldes adalah
Pos Malaria Desa, pos ini dibentuk di daerah-daerah yang
endemis malaria. Jadi tidak semua desa ada Posmaldes, hanya
daerah-daerah tertentu yang jauh dari Puskesmas dan endemis
malaria. Petugas Posmaldes adalah kader-kader yang
sebelumnya dilatih terlebih dahulu. Para kader Posmaldes
tersebut bertugas untuk memberikan obat kepada masyarakat
yang mengalami gejala malaria. Apabila ditemukan ada 3-4 gejala
malaria, maka kader akan memberikan obat malaria kepada
orang yang kemungkinan sakit tersebut.
Apabila setelah minum obat belum ada perubahan, maka
kader berkewajiban membawa warganya ke Puskesmas untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Bila hasil laboratorium
175
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menunjukan positif malaria, maka dokter segera mengobati
berdasar jenis malarianya. Berikut ini penjelasan dari pemegang
program malaria Puskesmas Melolo.
“Pos malaria desa ada 5 posmaldes, itu di desa yang jauh
tidak terjangkau, yang sulit seperti Ngarukanuruh, ada
dua itu Posmaldes Nara dan Tire itu. Itu sudah berjalan
lama, kemudian ini di Watu Pudak 1, Wai Pandak yang
sebelah kali dia, kemudian Patawang 2 juga Posmaldes,
Kara Pelang dan Wuri Padu, jadi tiap bulan mereka ambil
obat ke Puskesmas dengan kasih laporan. Pelatihan
mereka sudah di latih jadi yang khusus malaria klinis.
Mereka bekerja secara suka rela saja mbak. Tapi untuk
yang sekarang bulan agustus itu ada juga biaya
transportasi ketika mengambil obat dan pengantaran
laporan. Ambil obatnya sambil pengambilan dan
pengantaran. Sudah dilatih itu kader, sudah mereka
berikan obatnya kalau tidak sembuh mereka biasanya
sarankan untuk ke Puskesmas pemeriksaan lanjutan,
pemeriksaan darah seperti itu.”
3.5.2. Tuberkulosis/TB Paru
Dari data Riskesdas 2013 di Provinsi NTT untuk diagnosa
TB yang diobati < 1 tahun adalah 0,3%, > 1 tahun adalah 1,1%,
OAT adalah 34,7%. Sedangkan untuk gejala TB batuk ≥ 2 minggu
adalah 8,8% dan batuk darah 4,0%. Dari semua indikator tersebut
masih dibawa angka rata-rata Indonesia sedangkan gejala batuk
≥ 2 minggu di atas rata-rata yaitu 3,9%.
Tuberkulosis/TB Paru akan menjadi topik yang dibahas
secara mendalam pada Bab IV. TB akan dilihat tidak hanya dari
sisi medis tetapi juga sisi budayanya. TB yang akan diceritakan
pada Bab 4 adalah TB yang menjangkiti anak-anak. Masyarakat
memiliki sebutan yang berbeda untuk menyebut TB. Bapak HN
176
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
(55 tahun), menyebut nama lain TB dengan sebutan tanggingu
maria. Tanggi berarti batuk, ria berarti darah, sedangkan maria
berarti yang berdarah. Sehingga arti dari tanggingu maria adalah
batuk yang berdarah.
Dua informan lainnya, yaitu Mama R dan Mama D
menyebut TB dengan sebutan apung, yang berarti lendir. Dua
informan yang terakhir, yaitu Mama R dan Mama D, kisah
hidupnya akan dibahas secara mendalam pada Bab IV. Kisah
tentang apung akan menjadi topik tematik karena dibalik kisah
apung, akan terlihat bagaimana budaya begitu berpengaruh
terhadap sudut pandang seseorang tentang sakit, penyebab
sakit, upaya mencari kesembuhan, dan siapa penyembuhnya.
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberkulosis yang ditularkan melalui udara saat seorang pasien
TB batuk, dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut
terhirup oleh orang lain saat benapas. Bila penderita batuk,
bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat.
Masa inkubasinya selama 3-6 bulan.
Untuk mengetahui tentang penderita tuberkulosis dengan
baik, harus dikenal tanda dan gejalanya. Seseorang ditetapkan
sebagai tersangka penderita TB paru apabila ditemukan gejala
klinis utama pada dirinya. Gejala utama pada tersangka penderita
TB adalah; batuk berdahak lebih dari tiga minggu, batuk
berdarah, sesak napas, nyeri dada. Gejala lainnya adalah
berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi/ meriang dan
penurunan berat badan.
Ketika mengetahui atau menemukan penderita TB baru
biasanya petugas Puskesmas melakukan skrining di keluarga
tersebut. Terkadang petugas mendatangi ke rumah yang ada
penderita TB atau meminta dari keluarga tersebut untuk suka
rela memeriksakan dahaknya ke Puskesmas. Berikut ini
177
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penjelasan dari ibu SS pemegang program TB di Puskesmas
Melolo.
“Kalau kita menemukan penderita TB baru, kita biasanya
melakukan skrening di keluarga tersebut. Ketika kita
melakukan skrining tersebut kadang ada yang positif
penderita TB kadang juga tidak. Kalau menemukan
penderita TB begitu saya tanya yang sakit apakah mau
sembuh total atau tidak..? kalau mau sembuh total
harus siap minum obat selama 6 bulan tidak boleh
putus. Karena kalau putus malah menyulitkan petugas
dalam pengobatan berikutnya dan membahayakan buat
orang lain.”
Apabila petugas Puskesmas menemukan penderita TB
melalui pemeriksaan aktif, maka mereka meminta secara suka
rela kepada keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada keluarga yang tertular
penyakit TB atau tidak. Seperti yang diceritakan bapak HN berikut
ini.
“Ketika petugas bilang saya sakit TBC, mama yang
mengantar ikut juga diperiksa. Tetapi kata petugas
mama tidak apa-apa dan sehat. Petugas bilang mama
suruh kasih ingat saya terus supaya tidak lupa untuk
minum obat, soalnya itu obat kata dokter harus rajin
minum begituna dan tidak boleh sampai lupa.”
3.5.3. Frambusia/ Patek
Salah satu provinsi yang mempunyai kantong frambusia
adalah NTT. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh 3 faktor
penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vektor) dan
178
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
environment (lingkungan) termasuk dalam faktor host yaitu
pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan39.
Di wilayah kerja Puskesmas Melolo masih sering
ditemukan penderita frambusia. Karena keterbatasan tenaga
untuk melakukan skrining pada wilayah yang merupakan kantong
frambusia, maka petugas menggunakan strategi dengan
melakukan skrining di sekolah-sekolah. Skrining dilakukan
bersamaan dengan kegiatan UKS, dan ada 2-3 petugas yang
melakukan pemeriksaan di sekolah-sekolah tersebut. Satu
petugas melakukan pemeriksaan gigi, satu lagi pemeriksaan
kesehatan secara umum, dan satu lagi melakukan skrining
frambusia. Cara tersebut dirasa cukup efisien dalam mencari
penderita frambusia.
Jika ternyata dalam skrining di sekolah tersebut
ditemukan ada siswa yang terjangkit Frambusia, maka petugas
akan mengobservasi rumah siswa yang terjangkit dan melakukan
skrining di sekitar rumah sampai radius 50 meter. Berikut ini
adalah penjelasan bapak ND pemegang program penyakit
menular di Puskesmas Melolo.
“Itu dijaring di SD karena kebanyakan di SD itu ini apa...
tempat berkumpul toh? ini yang seumur SD saja yang
kita ketemu, ada 10 kemarin. Kita jaring di SD tanya
alamat, ikuti lagi di rumah. Kalau radius 50 meter dari
rumah itu, kita jaring lagi.”
Penderita frambusia akan diberikan pengobatan dengan
suntikan benzatin yang sudah diencerkan. Dosis yang diberikan
pada usia diatas 15 tahun adalah 2,4 mililiter atau 10 cc,
sedangkan untuk usia dibawah 15 tahun adalah 1,2 mililiter atau
5 cc. Suntikan benzatin menjadi satu-satunya pengobatan untuk
39
herodessolution.dilestarikan.wordpress.com/2012/01/penyakitframbusiapatek-yaws-pdf
179
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
frambusia. Menurut bapak ND, pasien Frambusia yang
mendapatkan suntikan benzatin, lukanya akan kering dalam
waktu tiga hari saja. Apalagi jika penyakit frambusia tersebut
masih dalam fase awal.
Grafik 3.5.
Jumlah Penderita Fambusia Bulan Januari 2013 - Maret 2014
Sumber: Data Sekunder dari Bidan Desa Tahun 2014
“Tiga hari saja kalau sudah suntik langsung kering. Tiga
hari saja hilang, ini kan obat khusus dorang
(mereka=pasien Frambusia). Tidak ada obat antibiotik,
cuma suntik saja. Tidak perlu lagi obat, karena percuma
juga kita kasih antibiotik yang lain, tidak mempan dan
tidak sembuh, hanya ini saja benzatin. Satu kali
pemberian.. kalau umur 12 ke atas dia 2,4 mililiter unit
artinya 10 cc, macam yang ini kemarin. Sedangkan untuk
12 ke bawah 1,2 mililiter artinya 5 cc.”
Penderita dengan semua bentuk gejala frambusia harus
diobati. Selain itu semua orang yang pernah kontak dengan
penderita yaitu keluarga, teman sepermainan, dan tetangga juga
harus mendapatkan pengobatan, karena kemungkinan besar
180
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
sudah tertular. Penyakit frambusia dalam masyarakat Desa Watu
Hadang dikenal dengan pikti yang artinya adalah penyakit gatal.
Apabila boroknya masih kecil dinamakan benakudu (borok kecil),
sedangkan borok yang sudah membesar disebut pongo bana
(luka borok yang sudah bernanah). Gejala awalnya menurut NG
adalah gatal-gatal kemudian digaruk sehingga menimbulkan
borok.
Berdasarkan informan NG, beberapa waktu yang lalu di
sekolahnya dilakukan pemeriksaan oleh petugas Puskesmas. Saat
ini NG duduk di Sekolah Dasar kelas empat. NG adalah salah satu
siswa yang mendapatkan pengobatan suntik oleh petugas
Puskesmas. Berikut ini informasi dari NG.
“Minggu yang lalu dilakukan pemeriksaan di kelas oleh
petugas Puskesmas. Saya dan teman lain yang punya
sakit di kaki seperti ini mendapat suntikan dari petugas.
Katanya biar cepat kering dan tidak gatal begitu kak”
Rasa gatal pada kaki NG sudah mulai terasa sekitar satu
bulan sebelum wawancara dengannya dilakukan40. Sebelumnya
petugas Puskesmas sudah pernah memeriksa dan memberikan
suntikan benzatin. Saat ini luka di kakinya sudah mulai mengering
karena suntikan tersebut. Dalam kesehariannya NG melakukan
aktivitas MCK di sungai. NG juga masih suka bermain bersama
dengan teman-temannya di tanah lapang, sawah, dan kebunkebun. Rumah NG sudah di bangun secara permanen, dengan
lantai yang berkeramik. Hanya saja rumahnya tidak memiliki
sumur untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Untuk
memenuhi kebutuhan air bersih keluarga NG mengambilnya dari
sumur tetangga.
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di
daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Ditemukan
40
Wawancara dengan NG dilakukan pada sekitar bulan Juni-Juli 2014
181
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pada anak-anak umur antara 2-15 tahun dan lebih sering pada
anak laki-laki. Pencegahan penyakit frambusia sendiri adalah
dengan cara:
1. Selalu menjaga kebersihan diri dengan mandi
menggunakan sabun setiap hari
2. Selalu mencuci pakaian yang sudah dipakai dan tidak
memakai pakaian secara bergantian dengan penderita
Frambusia
3. Hindari kontak langsung dengan luka penderita
4. Segera obati jika ditemukan penderita
5. Semua orang yang pernah kontak dengan penderita
tidak boleh terlewatkan untuk mendapatkan
pengobatan.
3.5.4. Kusta
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang
masih menjadi masalah yang sangat kompleks. Masalah yang ada
bukan saja dari segi medis, tetapi juga masalah sosial, ekonomi,
budaya, serta keamanan dan ketahanan sosial. Penyakit kusta
merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena
kenyataannya sebagian besar penderita kusta bersal dari
golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta bila tidak ditangani
dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini
menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonominya (Widoyono,2005:37).
Penyakit kusta di Desa Watu Hadang disebut dengan killa.
Salah satu orang yang terjangkit kusta di Desa Watu Hadang
adalah Bapak HG. Awal mulanya Bapak HG merasakan kram pada
bagian tubuhnya. Kemudian HG berobat ke dokter. Dari diagnosa
dokter diketahui jika Bapak HG menderita penyakit kusta. Berikut
182
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
ini adalah penjelasan bapak HG mengenahi awal penyakit
kustanya.
“Saya punya badan ini benjol-benjolan begitu, saya
punya badan ini bengkak-bengkak. Jadi saya diteliti di
dokter H dulu. Apa ini? tusuk-tusuk dengan jarum
begini, sakit dia bilang? Tidak, saya bilang, karena
saya sudah terserang jadi kram semua dan tidak
terasa itu jarum ibu. Jadi saya kena kusta kering. Kusta
kering dia bilang, kalau bahasa sumba killa kita bilang.
Gejala awalnya badan sakit kram, semua ini kaku, semua
persendian kram-kram, lalu timbul itu benjol-benjolan.
Jadi saya langsung dapat obat, dapat tablet, ahh...minum
hampir puluhan tahun ibu..”
Sebelumnya Bapak HG tinggal di Desa Umalulu yang
merupakan daerah pegunungan. Tempatnya yang sulit akan air
membuat bapak HG tidak bisa mandi setiap harinya. Jika ingin
mandi, Bapak HG harus pergi jauh ke mata air. Bapak HG adalah
seorang petani yang harus mencukupi kebutuhan keluarganya,
maka dari itu Bapak HG bekerja membanting tulang dari pagi
sampai sore menjelang malam. Kondisi ekonomi yang kurang
baik, membuat Bapak HG dan keluarganya hanya makan dari
hasil kebunnya. Rumahnya yang terletak di Desa Umalulu, masih
berbentuk rumah adat Sumba yang terbuat dari kayu dan
beratapkan alang-alang. Berikut adalah cerita Bapak HG ketika
tinggal di Desa Umalulu.
“Saya dulu tinggal di Desa Umalulu, Karokenongo.
Rumah alang, rumah kayu saja, karena di sana ada
rumah jaga kebun saja. Airnya tidak ada, di mata air saja.
Pergi ke sana tidak mandi lagi, pulang dari kerja kebun
lap-lap begini. Karena sulit apa disana.. Sulit air. Dari
kerja sebentar tidur sudah tidak mandi. Begini... kalau...
karena jauh... susah mandi di air besar ibu, tidak terasa
183
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sakit badan ya sudah kita tidak rasa. Itu kalau repot kerja
musti kita kesulitan, memang pada waktu itu seolaholah kita begitu tidak suka mandi ibu...”
Grafik 3.6.
Jumlah Penderita Kusta Periode Januari 2013-Maret 2014
Sumber: Data Sekunder Dari Bidan Desa Watu Hadang Tahun 2014
Karena Bapak HG sakit dan tidak mampu bekerja lagi,
maka bapak HG pindah ke Kampung Lehandang, Desa Watu
Hadang atas ajakan saudaranya. Di kampung tersebut dia tinggal
bersama istri dan anak-anak dari saudaranya. Karena usianya
yang sudah lanjut, Bapak HG sering lupa ketika harus minum obat
kusta. Istrinya sering kali mengingatkan untuk minum obat
program tersebut. Berikut cerita dari Bapak HG.
“Ya kalo saya lupa, sebentar-sebentar saya lupa ibu..jadi
maitua (istri) juga tidak peringatkan saya biasa lupalupa. Kalau terlalu sibuk saya banyak pelupa ibu...”
Walaupun sudah lama melakukan pengobatan kusta,
Bapak HG belum bisa sembuh total. Hal tersebut karena Bapak
HG sering lupa untuk meminum obat, dan akibatnya pengobatan
184
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
kusta tersebut tidak berjalan dengan tuntas. Akhirnya petugas
Puskesmas menyarankan Bapak HG untuk berhenti minum obat
yang sebelumnya diminum, karena akan dilakukan pengecekan
kembali. Obat lama Bapak HG yang kemungkinan sudah rusak
karena proses penyimpanan yang kurang baik, akan diganti
dengan obat yang baru.
Puskesmas Melolo melakukan skrining penderita kusta
dengan cara melakukan survei pada lokasi-lokasi yang diduga
merupakan kantong kusta. Selain itu, informasi adanya penderita
kusta juga bisa berasal dari laporan warga yang datang ke
Puskesmas. Jika ada orang yang diduga terjangkit kusta, petugas
akan melakukan sebuah tes kepada orang tersebut. Tes dilakukan
dengan cara mengoles bagian kulit dengan kapas tanpa
sepengetahuan orang tersebut. Apabila dia tidak merasakan
sentuhan kapas tersebut, maka diduga dia positif menderita
kusta. Berikut penjelasan bapak ND, seorang petugas Puskesmas
Melolo yang bercerita tentang pencarian penderita kusta.
“Ini kita keliling dulu, keliling kita lakukan survey.
Lakukan survey ada juga yang menurut ini laporan dari
warga toh... jadi kalau dapat laporan kita langsung turun
sampai benar apa tidak dia punya gejala. Dia yang sudah
basah itu sudah tahu memang, ini bulu mata ini sudah
rontok, pokoknya yang pinggir-pinggir macam telinga
tebal, luka . Ada yang juga yang sulit dideteksi. Kayaknya
kayak panu saja, bintik-bintik putih dibadan. Jadi kita
lakukan pemeriksaan dengan pakai cara...dia tidak boleh
lihat kita, kita ini apa.. kita ambil kapas dia rasa atau
tidak... kalau dia tidak rasa berarti begitu kusta sudah.
Kalau panu kan rasa, kalau kusta tidak rasa dia. Itu yang
baru gejala, ada bintik-bintik putih.”
Program yang sudah berjalan di Puskesmas Melolo untuk
pemberantasan kusta adalah dengan cara meningkatkan
185
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pengetahuan tentang kesehatan dan pengobatan yang intensif.
Hal tersebut dilakukan dengan cara memantau terus penderita
dan keluarganya. Berikut ini adalah penjelasan bapak ND sebagai
pemegang program kusta di Puskesmas Melolo.
“Programnya ya apa..melakukan ini apa..pengetahuan di
rumah, kalau yang sementara minum obat setiap dua
bulan kita dikunjungi. Tiap-tiap bulan dikunjungi sambil
kita ini pantau atau bagaimana ini dia punya
perkembangan, dan kita ini apa..juga dia punya keluarga.
Tapi kalau sudah berobat itu, tidak diragukan lagi untuk
ini... artinya sudah tidak bisa menular lagi, cuman kita
pantau terus... karena masa inkubasi ini lama. Misalnya
satu orang dalam satu keluarga yang sudah kena, dari
keluarganya semua kita ini apa periksa. Meskipun belum
ada jadi tetap kita isi terus karena masa inkubasi, kadang
sampai 15 tahun kalau dia kusta.”
3.6. Penyakit Tidak Menular
3.6.1. Diabetes Mellitus
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013 untuk Provinsi
NTT prevalensi diabetes mellitus berdasarkan diagnosis dokter
adalah 1,2%, sedangkan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
adalah 3,3%. Rata-rata Diabetes Mellitus dengan diagnosis dokter
di Indonesia adalah 1,5% dan prevalensi di NTT adalah 1,2% atau
mendekati rata-rata. Sedangkan untuk Diabetes Mellitus dengan
diagnosis nakes adalah 2,1%, dan prevalensi Diabetes Mellitus di
NTT 3,3% yang sudah melebihi dari rata-rata.
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif. Menurut Bapak RJ (80 tahun),
186
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Diabetes Melllitus dalam istilah Sumba disebut dengan
kanjawang. Bapak RJ sendiri adalah seorang informan yang
menderita Diabetes Mellitus. Gejala yang dirasakan Bapak RJ
adalah sering buang air kecil, ingin terus menerus minum, dan
badan terasa lemah dan tidak enak. Berikut ini adalah cerita dari
bapak RJ yang menderita penyakit Diabetes Mellitus.
“Saya ini ada sakit gula, sudah lama. Gejalanya
ya..kadang sering buang air kecil, ingin minum terus
begitu. Di samping itu.., apa..badan rasa lemah dan tidak
enak begitu. Rasanya sakit semua begitu...”
Penyakit diabetes mellitus di Desa Watu Hadang, ternyata
jarang diketahui secara medis. Hal tersebut dikarenakan
masyarakat lebih memilih pengobatan tradisional dibandingkan
pengobatan medis, sehingga jumlah penderita sulit untuk didata
dengan akurat. Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh
dukun dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit, termasuk Diabetes Mellitus. Latar belakang kuatnya
kepercayaan masyarakat terhadap dukun, salah satunya karena
masyarakat percaya jika sakit yang mereka alami berasal dari
Marapu, dan sakit dari Marapu bukanlah sakit yang dapat
disembuhkan melalui cara medis. Tidak jarang, ketika upaya
pengobatan oleh dukun tidak juga berujung kepada kesembuhan,
mereka baru akan beralih kepada pengobatan medis. Kadang
kala mereka datang ke Pustu dan Puskesmas ketika kondisi
penyakit mereka sudah semakin parah41.
Bapak RJ adalah salah satu informan dari golongan
maramba yang bergelar Strata 1 atau sarjana. Gelar tersebut
adalah gelar yang sulit ditemukan di Desa Watu Hadang, karena
mayoritas masyarakat hanya menempuh pendidikan SD42.
41
42
Hal ini juga pernah diceritakan oleh beberapa petugas kesehatan
Lihat data pendukungnya di Bab II
187
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pemahaman Bapak RJ terhadap pentingnya pengobatan medis,
membuatnya selalu berupaya mengobati penyakit Diabetes
Mellitus yang dia derita dengan cara medis juga. Jika dia merasa
kondisi badannya sudah mulai melemah, Bapak RJ segera
berinisiatif untuk memeriksakan kadar gula darahnya.
“Kalau badan dirasa lemah dan tidak enak semua dan
mata agak-agak kabur serasa mau pingsan begitu.. saya
berobat ke dokter R. Biasa dia cek kadar gula begitu,
terus dia kasih obat untuk di minum. Dia bilang tidak
boleh makan yang manis-manis begitu biar gula tidak
semakin tinggi.”
Menurut Bapak RJ, penderita Diabetes Mellitus seperti
dirinya dilarang mengkonsumsi daging yang berasal dari hewan
yang gemuk, dan makanan yang manis. Tetapi larangan tersebut
sulit untuk dipatuhi, karena dalam berbagai acara adat atau ritual
yang menyuguhkan daging di Desa Watu Hadang, Bapak RJ sering
kali diundang sebagai tamu kehormatan. Sebagai tamu
kehormatan, memakan sajian yang disuguhkan oleh tuan rumah
adalah suatu kewajiban.
“Kalau sakit gula itu ya...tidak boleh makan hewan yang
gemuk-gemuk atau daging-daging lainnya. Tidak boleh
makan yang manis seperti tebu begitu...”
Penderita Diabetes pada umumnya mengalami gangguan
hormon insulin yang diproduksi organ pankreas dalam tubuh.
Rendahnya hormon insulin tubuh menyebabkan tidak
terkontrolnya kadar gula dalam darah. Efeknya adalah akan
semakin tingginya kadar gula dalam darah karena pola makan
yang kurang sehat. Tingginya kadar gula darah disebabkan karena
hormon insulin tidak mampu mengubah makanan menjadi
energi. Seperti yang kita tahu, sebagian besar makanan yang kita
konsumsi mengadung kadar gula yang tinggi sehingga sangat
188
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
rentan untuk terkena penyakit Diabetes, jika organ pankreas
penghasil hormon insulin tidak berfungsi dengan baik.
Pengobatan primer untuk DM adalah dengan diet,
olahraga dan obat obatan misalnya agen hipoglikemik oral,
insulin, atau keduanya. Dari semua pengobatan ini yang paling
penting adalah diet. Strategi diet diperlukan untuk mencapai
euglikemia, mempertahankan berat badan ideal dan
memaksimalkan status nutrisi43.
3.6.2. Hipertensi
Prevalensi Hipertensi atau tekanan darah tinggi di
Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013,
prevalensi hipertensi dengan diagnosis dan gejala adalah 9,4%
dan hipertensi dengan diagnosis tenaga kesehatan atau minum
obat 9,5%, sedangkan untuk hasil pengukuran 25,8%. Di Provinsi
NTT prevalensi hipertensi dengan diagnosis dokter adalah 7,2%,
dan untuk hipertensi dengan diagnosa nakes dan minum obat
7,4%, sedangkan untuk hasil pengukuran adalah 23,3%.
Meskipun angka tersebut masih di bawah dari rata-rata akan
tetapi tetap masalah bagi kesehatan masyarakat.
Darah tinggi atau hipertensi di Desa Watu Hadang disebut
juga dengan hewaria. Bapak RJ yang juga memiliki riwayat
hipertensi mengatakan jika gejala hipertensi yang dia rasakan,
ditandai dengan sakit kepala yang hebat, badan terasa tidak
nyaman, mata berkunang-kunang, dan pusing.
“Saya ini ada darah tinggi juga. Kalau sakit begitu ya
biasa sakit kepala yang hebat, badan tidak enak, mata ini
berkunang-kunang dan pusing.”
Gejala hipertensi ditandai dengan meningkatnya tekanan
darah yang seringkali merupakan salah satu gejala hipertensi
43
www.kamusq.com/2013/05/diabetes-mellitus-adalah-pengertian-dan.html
189
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
esensial. Gejala lainnya adalah sakit kepala, pusing, sakit kepala
sebelah. Pola pengobatan yang dilakukan masyarakat di Desa
Watu Hadang adalah secara tradisional dan medis. Cara
tradisional ditempuh dengan mengandalkan bantuan dukun.
Pengobatan yang dilakukan dukun berupa pemberian ramuan
tradisional, urut, dan ritual doa. Ramuan yang diberikan berupa
ramuan yang terbuat dari daun dan akar tumbuhan. Sayangnya
sebagian besar dukun merahasiakan ramuan racikan mereka.
Pengobatan melalui cara medis dilakukan dengan cara datang ke
Pustu atau ke Puskesmas. Makanan yang dilarang dikonsumsi
oleh penderita hipertensi menurut Bapak RJ adalah daging,
terutama daging yang berasal dari hewan yang gemuk.
3.6.3. Penyakit Jiwa Berat (Skizopherenia dan Psikotik)
Masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang, menyebut
penyakit gila dengan sebutan katuaba. Berdasarkan informasi
dari petugas Puskesmas Melolo, di Desa Watu Hadang terdapat
beberapa kasus penyakit jiwa yang tergolong berat. Berikut ini
adalah penjelasan dari bapak ND petugas Puskesmas Melolo.
“Kalau ada yang disini ini., yang paling banyak penyakit
jiwa ini kita punya Desa Watu Hadang ini. Ada juga yang
karena malaria, ekonominya jadi stres, ada yang
problem lain yang macam ini karena nona juga yang bisa
sampai begitu.”
Latar belakang dibalik penyebab atau pemicu penyakit
jiwa masing-masing penderita ternyata bervariasi. Dua orang
informan yang tinggal di Desa Watu Hadang, yaitu HL seorang
laki-laki (35 tahun) dan NP seorang perempuan (37 tahun) adalah
penderita sakit jiwa. Awal mula HL menderita sakit jiwa yaitu
ketika dia mengalami kecelakaan hebat di Waingapu. Hebatnya
kecelakaan yang dialaminya tersebut membuat HL tidak
190
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
sadarkan diri dalam waktu yang lama. Keluarga HL berusaha
menyembuhkan HL dengan cara medis. HL dibawa ke
Rumahsakit, dan dokter menyarankan kepada keluara HL agar
dia segera dibawa ke psikiater. Anjuran untuk membawa HL
kepada psikiater tidak mampu dilakukan oleh keluarga HL. Alasan
ketidakmampuan secara finansial serta jarak tempuh yang jauh,
menjadi hambatan utama untuk upaya pengobatan HL tersebut.
NP memiliki kisah yang lain. Pemicu dari sakit jiwa yang
dia derita adalah karena rasa kehilangan yang mendalam, akibat
kematian saudara laki-lakinya yang begitu dekat dengannya.
Sejak saudaranya meninggal, NP mulai mengurung diri dan
menangis di dalam kamarnya. Lambat laun, dia menjauh dari
orang-orang terdekat dan orang-orang di lingkungan sekitar dia
tinggal. Keluarga NP merasa kesulitan untuk berkomunikasi
dengannya, karena NP lebih sering meracau secara tidak jelas.
Walaupun mengalami sakit jiwa, NP masih mampu melakukan
aktivitas seperti biasanya, seperti menjaga kebersihan diri dan
menjaga ternak. Tetapi sikapnya akan berubah menjadi tertutup
dan kembali mengurung diri di kamar, ketika dia bertemu
dengan orang asing atau orang yang baru dikenalnya.
Selama ini keluarga NP mengupayakan pengobatan NP
dengan cara tradisional, yaitu mengandalkan campur tangan
dukun. Sudah banyak dukun yang dimintai pertolongan untuk
menyembuhkan NP, tetapi hasilnya nihil. NP ternyata tidak
kunjung sembuh. Dukun-dukun tersebut berkata jika NP terkena
gangguan mahkluk halus, yang suka kepada NP karena NP masih
perawan. Keluarga NP belum pernah berupaya menyembuhkan
NP dengan jalan medis, faktor tidak ada biaya menjadi alasan
utama. Mahalnya biaya transportasi dan akomodasi untuk
pengobatan ke Rumahsakit atau Puskesmas menjadi kendala
keluarga NP, walaupun mereka tahu jika biaya pengobatannya
sendiri gratis.
191
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Masyarakat Sumba percaya jika apa yang dilakukan
manusia selama hidupnya, akan berbuah peristiwa entah baik
atau buruk. Dengan berusaha selalu berbuat baik dengan
sesama, dan menjauhi perbuatan dosa, masyarakat yakin jika hal
tersebut dapat menjauhkan mereka dari penyakit jiwa.
192
BAB 4
BELENGGU APUNG
4.1. ‘Angin’ di Tanah Marapu
4.1.1. Kisah tentang Angin
Kampung Uma Bara, adalah kampung Raja Melolo yang
tadinya hanya dapat kami lihat di internet sebagai salah satu
destinasi wisata di Desa Watu Hadang. Hampir setiap pekan pasti
ada wisatawan yang datang untuk melihat-lihat, baik dari
mancanegara maupun wisatawan lokal. Para wisatawan tersebut
akan diserbu oleh warga kampung yang menawarkan kain dan
selendang buatan mereka sendiri. Dengan bahasa Inggris yang
terbata-bata mereka percaya diri bersaing dengan sesama
penjual untuk merebut perhatian wisatawan. Selain daya tarik
yang dilihat dari kain yang dijajakan, Kampung Uma Bara
memiliki daya tarik lain berupa kubur batu para raja dan rumah
adat yang masih berupa rumah alang. Rumah yang berada di
Kampung Uma Bara hampir sebagian besar adalah rumah
tradisional dengan gaya rumah panggung. Walaupun masih ada
yang masih memakai alang untuk atap rumah, namun sebagian
besar masyarakat sudah memakai atap seng karena dirasa lebih
praktis dan tahan lama.
Selain daya tarik kampung raja dan kubur batunya, Desa
Watu Hadang dikenal juga sebagai desa yang masih patuh
menjalankan tradisi nenek moyang yaitu Marapu. Marapu yang
dianggap sebagai agama asli orang Sumba menjadi pedoman
193
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hidup dalam keseharian mereka. Kelahiran, kematian,
pernikahan, pengobatan, dan aktivitas lainnya selalu terkait erat
dengan Marapu. Menurut Soeriadiredja (1983: 241), agama
Marapu merupakan inti dari kebudayaan mereka, sebagai
sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai
pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah bagi mereka untuk
melepaskan keagamaannya, untuk menjadi penganut agama lain,
walau mereka pun sering pula diintervensi oleh agama-agama
lain.
Walaupun sebagian besar masyarakat kini telah memeluk
agama kristen namun Marapu tetap menjadi bagian yang tidak
dapat terpisahkan dari jati diri mereka sebagai orang Sumba.
Peneliti teringat salah satu ucapan HMA, seorang wunang, ratu,
dan juga dukun penyembuh yang mengatakan jika orang Sumba
bisa berubah keyakinan menjadi beragama kristen, tetapi tanah
Sumba tetaplah tanah Marapu. Marapu? Apa itu? tanya peneliti
saat pertama kali mendengarnya. Marapu dalam pikiran peneliti
pada awalnya adalah agama, suatu agama asli dimana
pemeluknya melakukan ritual peribadatan dengan cara-cara
tertentu. Marapu tidak memiliki kitab suci, dan sesungguhnya
Marapu itu sendiri lebih merujuk pada sebutan untuk leluhur
atau roh nenek moyang yang dikultuskan oleh keturunanketurunannya. Jadi bisa saja dalam satu klan dengan klan yang
lainnya memuja Marapu yang berbeda. Dengan alasan-alasan
tersebut, pemerintah menyebut marapu sebagai aliran
kepercayaan dan bukan agama. Berbeda dengan sudut pandang
pemerintah, Soeriadiredja (2012) justru bersikukuh jika Marapu
adalah agama asli orang Sumba walaupun bukan berasal dari
agama Samawi. Dalam hal ini peneliti sepakat dengan pernyataan
tersebut.
194
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Masyarakat Desa Watu Hadang masih memegang
kepercayaan Marapu sebagai bagian dari pedoman hidup
mereka, baik yang masih memegang marapu sebagai
kepercayaan asli mereka, atau bagi mereka yang sudah memeluk
agama samawi seperti agama Kristen, Katolik, atau Islam. Bukan
omong kosong jika desa ini dianggap sebagai basis Marapu yang
masih kuat, karena di desa lain di Kecamatan Umalulu, pemeluk
Marapu dikabarkan tinggal sedikit saja. Marapu berperan penting
dalam budaya masyarakat Desa Watu Hadang, berbagai peristiwa
adat seperti pernikahan, kematian, syukuran, dan ritual-ritual lain
seperti pengobatan atau penyembuhan masih menggunakan
tradisi Marapu. Marapu sebagai leluhur yang dianggap sebagai
sosok transendental, magis, pelindung, pemberi kesembuhan,
dan sekaligus juga sebagai pemberi sakit atau penyakit. Banyak
kisah-kisah yang kami dapatkan di lapangan yang
menggambarkan pernyataan tersebut.
Suatu hari peneliti menuju ke rumah seberang, rumah
tetangga kami yang bernama D selalu penuh dan ramai dengan
orang. Rumah tersebut memang dihuni oleh 10 anggota keluarga
yang terdiri dari kakek, nenek, anak, ipar, menantu, dan cucu.
Rumah tersebut menarik perhatian ketika 8 dari 10 orang yang
tinggal terserang sakit secara hampir bersamaan. Sebagian besar
dari mereka menderita demam dan muntah-muntah. Dua orang
dari mereka sudah melakukan pengobatan ke Puskesmas namun
menurut pengakuan keduanya, dokter berkata mereka baik-baik
saja. Obat-obatan yang diberi dokter dianggap tidak mampu
menyembuhkan sakit mereka. Karena alasan tersebut, mereka
menganggap jika sakit yang mereka derita bukanlah sakit biasa.
Peneliti sempat datang menjenguk dan bermaksud
melihat pengobatan apa yang akan mereka lakukan, namun tidak
diperbolehkan oleh salah satu anggota keluarga mereka.
Keluarga tersebut yakin jika mereka terkena ngilu yang dikirim
195
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
orang. Ngilu? Sejenis rasa nyeri kah? Dari apa yang peneliti
dengar dari tetangga, keluarga tersebut memanggil dukun untuk
melakukan pengobatan dan ternyata sembuh beberapa hari
kemudian. Setelah sembuh mereka melakukan syukuran dengan
melakukan ritual hamayangu atau berdoa, dan menikam babi
sebagai persembahan. Mereka yakin jika keluarga mereka yang
jatuh sakit itu karena ‘dibikin orang’. Berikut cuplikan percakapan
yang sempat terekam dan peneliti tulis kembali;
Jadi sebenarnya mereka semua sakit apa kak?
“Yang kemarin anak laki-laki yang menangis kalau
disentuh itu ternyata dorang (dia) punya kaki patah tapi
tidak mau cerita, waktu dukun urut lalu tanya dia baru
bilang kalau dorang jatuh dari pohon,”
Kalau yang lain sakit apa kak?
“Sakit demam biasa saja, kemarin sudah ke Puskesmas to
jadi sudah baik sekarang”
Berarti bukan ngilu?
“Ya ngilu juga, dibikin orang sudah.”
Siapa yang bikin?
“Orang yang tidak suka dengan kita to.”
tapi tadi katanya salah satu yang bikin sakit ada
adek yang jatuh dari pohon to?
“Iya dorang bikin dia jatuh.”
Dorang itu siapa kak?
“Dorang itu suanggi, orang yang kirim ngilu, angin.”
Cerita di atas, hanya satu dari sekian banyak cerita yang
peneliti dengar tentang ‘angin’. Angin dipercaya sebagai
penyebab sakit, dan penyakit yang disebabkan oleh angin identik
dengan penyakit yang disebut dengan penyakit kampung.
Penyakit kampung ini dipercaya tidak akan mampu disembuhkan
secara medis. Kuatnya keyakinan jika sakit atau penyakit yang
diderita merupakan akibat dari angin, maka mereka pun yakin
196
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
jika penyembuhannya bukan di tangan medis. Kami
mendengarkan percakapan seorang wunang yang sedang
berbicara dengan satu keluarga yang mengundangnya datang ke
rumah mereka. Salah satu anggota keluarga mengalami sakit di
bagian telapak tangan sebelah kanan,wunang dan si sakit
menyebutnya sebagai ‘mata ikan’. Menurut si sakit, 2 minggu
sebelum dia sakit, di telapak tangan kanannya muncul satu
tonjolan berukuran kecil yang mirip dengan jerawat. Semakin
lama tonjolan tersebut semakin bertambah besar dan bernanah,
bahkan lukanya menjadi semakin dalam. Daging di bagian telapak
tangan tersebut tampak terbuka, bengkak, dan penuh dengan
nanah. Si sakit pernah pergi ke dukun untuk berobat, dan sudah
diolesi minyak obat yang dicampur dengan minyak kelapa
sebanyak empat kali oles. Dukun berkata jika si sakit terkena
muru mangidip, suatu penyakit turunan dari ngilu.
Setelah berobat ke dukun dan tidak kunjung sembuh, si
sakit pergi ke bidan untuk berobat dan diberi obat yang menurut
pengakuan si sakit hanya tersisa satu butir saja. Sayangnya si
sakit tidak tahu obat jenis apa yang diberi bidan. Wunang
berbincang dengan orang sakit tersebut dalam bahasa Sumba,
mereka berdiskusi apa saja kemungkinan-kemungkinan
penyebab sakit tersebut. Menurut wunang, jika luka tersebut
tidak mampu diobati oleh dukun dan tidak sembuh ketika dibawa
berobat ke bidan maka kemungkinan yang terbesar muru
mangidip tersebut merupakan kiriman dari orang lain, atau
peringatan dari Marapu yang marah.
Terkait dengan pemahaman orang Sumba tentang sakit
dan penyebab sakit, peneliti sudah berulang-ulang kali
menemukan kasus dimana masyarakat menganggap penyebab
sakit mereka adalah karena angin. Angin. Hampir semua orang
yang peneliti kenal di desa Watu Hadang menyebut angin.
Mereka memuja sekaligus takut akan angin. Angin atau ngilu
197
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dalam bahasa Sumba bukan hanya berarti sebagai padanan kata
dari udara yang bergerak. Lebih dari itu, ia sakral sampai banyak
orang pantang menyebutnya ketika malam hari, dan akan
berbisik jika menyebutnya ketika siang hari. Angin atau ngilu
dipercaya muncul saat matahari terbenam.
Ngilu bukan sejenis badai, bukan sejenis angin kencang,
atau angin topan. Ia akan datang setiap saat kepada orang yang
melanggar dosa, melanggar perintah leluhur (Marapu), dan
datang pada orang yang tidak menjalin hubungan baik dengan
sesamanya. Dalam rupa apa ia datang? Sakit atau penyakit. Sakit
itu bisa datang melalui kiriman dari orang lain, atau masyarakat
setempat lebih suka menyebutnya ‘dibikin orang’, bisa datang
dari tukang tenung atau suanggi, atau datang ketika seseorang
sedang dalam keadaan tidak dilindungi oleh Marapu-nya karena
telah berbuat dosa atau kesalahan.
Masyarakat Desa Watu Hadang memiliki kebudayaan
yang menarik. Jati diri mereka sebagai orang Sumba bisa
dikatakan terdapat dalam kepercayaan Marapu yang masih
dianut oleh sebagian masyarakat Desa Watu Hadang di Sumba
Timur ini. Kepercayaan yang menghormati leluhur sebagai
pelindung, penolong, dan penyembuh ini begitu mengakar kuat
bahkan bukan hanya pada masyarakat yang masih memegang
kepercayaan Marapu sebagai pedoman hidupnya, tetapi juga
bagi sebagian masyarakat yang sudah menganut agama lain
seperti Kristen. Katolik, atau Islam. Karena sifat-sifat agung
tersebut masyarakat memuja Marapu atau leluhur layaknya
orang suci atau bahkan Tuhan.
Di sisi lain, Marapu atau leluhur bisa menjadi sumber
malapetaka jika dia berkenan. Marapu akan melepas bencana
atau penyakit jika pengikut-pengikutnya melakukan kesalahan
baik kepada dirinya maupun kepada orang lain. Masyarakat
percaya bahwa semua sakit atau penyakit berasal dari Marapu,
198
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dan karena itulah hanya Marapu juga yang mampu
menyembuhkannya. Melalui apa sakit atau penyakit itu datang?
Angin.
Dalam masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang, angin
dan sakit tidak akan bisa dilepaskan satu sama lain. Mereka
percaya bahwa angin adalah sumber dari semua sakit, penyakit,
atau bahkan bencana yang menimpa. Angin atau ngilu, peneliti
sungguh ingin tahu dibuatnya. Unsur alam ini bisa datang sebagai
sebuah peringatan dari leluhur (Marapu), atau sebagai sebuah
malapetaka dari suanggi (tukang sihir atau tukang tenun).
Seorang wunang bernama HMA berkata jika ngilu muncul searah
dengan matahari terbenam. Ia mampu datang dari berbagai arah
mata angin menyerbu manusia, ia bisa saja hinggap pada
siapapun yang ia mampu.
Tuhan mengirim ngilu pada manusia, namun orang yang
masih percaya akan Marapu meyakini bahwa ngilu tersebut
dikendalikan oleh Marapu. Sakralnya ngilu membuat masyarakat
lebih banyak yang menyebutnya sebagai na’i atau muru saja, ada
sebagian orang yang menyebut keduanya sebagai padanan kata
ngilu. Istilah na’i merujuk pada bahasa Sabu yang berarti angin,
sedangkan muru berasal dari bahasa Sumba yang bisa berarti 2
macam arti, yaitu angin dan obat. Kedua istilah tersebut adalah
istilah yang paling sering digunakan.
Istilah-istilah tersebut tidaklah menjadi masalah jika
substansinya sama, yaitu angin sebagai agen pembawa sakit atau
penyakit. Sakit atau penyakit yang dibawa oleh angin dipercaya
tidak akan mampu disembuhkan secara medis, masyarakat lokal
percaya jika sakit atau penyakit ini bersifat magis dan hanya bisa
disembuhkan oleh orang-orang tertentu saja. Kesehatan bagi
sebagian masyarakat adalah perilaku yang terkait dengan
kebersihan
diri,
kebersihan
lingkungan,
keteraturan
mengkonsumsi obat-obatan dari dokter, atau kepatuhan untuk
199
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
datang periksa ke fasilitas kesehatan pemerintah. Berbeda halnya
dengan kesehatan jika dilihat dari sudut pandang magis. Pada
masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang, tolok ukur kesehatan
dapat dilihat antara lain melalui perilaku moral dan spiritual.
Ketika kedua hal tersebut berjalan tidak seimbang maka yang
terjadi adalah munculnya sakit atau penyakit yang berdampak
buruk kepada diri mereka. Salah satu informan, yang bernama
Mama R berkata;
“Pokoknya mbak kalau sudah sakit, Marapu marah, kita
bersalah memang. Bersalah dalam keadaan, bersalah
dalam tingkah laku, perbuatan dalam rumah itu satu
kampung kena. Bukan hanya diri sendiri, satu kampung
bisa kena. Begitu dilihat dari itu berarti Marapu marah.
Kalau sudah sakit satu kampung, kita sudah tau persis
kalau itu Marapu, ada yang bersalah di situ. Harus cari...
apalagi kalau ada yang curi dalam isi rumah, sakit
semua... sakit sudah.”
HMA memperkuat pernyataan di atas.
“Kata Marapu, kamu pikir sudah apa kamu punya salah,
dia bertanya sudah macam begitu, jangan kamu
sembunyi-sembunyi lagi, kalau kamu tidak mengaku bisa
akibat ini tanggung marah yang betul sudah ini marapu
ini.. Berarti kita punya perbuatan dia tidak suka begitu.”
Ketika seseorang jauh dari pencipta dan leluhurnya
(Marapu), dia akan berpotensi mengalami sakit atau penyakit
karena Marapu telah lepas tangan untuk tidak melindunginya
dari angin. Begitu pula jika dia melakukan kesalahan yang
dianggap melanggar moral, maka sakit penyakit itu akan datang.
Agen pembawa sakit tersebut adalah ‘angin’. Angin dipercaya
sebagai kiriman dari marapu yang dipercaya Tuhan untuk
mengatur kepada siapa dia bisa memberi atau mencabutnya.
Ketika angin menjadi sesuatu yang dianggap sakral dan menjadi
200
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
suatu kontrol moral serta spiritual masyarakat agar tidak terkena
sakit atau penyakit, maka hal utama yang menjadi penting untuk
dilihat adalah mencari tahu; secara kosmologi, apakah angin itu?
Melihat angin sebagai bagian dari kepercayaan marapu berarti
kita harus melihat angin sebagai bagian dari religi dan budaya
masyarakat Sumba.
4.1.2. Etiologi Penyakit
Dari sudut pandang medis, kesehatan dilihat secara
empiris. Penyakit harus terdiagnosa secara jelas melalui
observasi atau serangkaian tes laboratorium. Penyakit atau sakit
dalam sudut pandang medis disebabkan oleh bakteri, virus, atau
karena terjadi ketidakseimbangan hormon dalam tubuh sehingga
berakibat pada munculnya sakit atau penyakit. Jika sakit atau
penyakit tersebut sudah dalam stadium lanjut maka
kemungkinan terbesar adalah kematian.
Berbeda halnya jika kesehatan dilihat dari sudut pandang
budaya dan religi, kita harus melihatnya secara spiritual dan
magis. Sakit atau penyakit muncul bukan karena dari intervensi
bakteri, virus, atau ketidakseimbangan hormon, tetapi ada
intervensi dari sesuatu yang bersifat spiritual atau magis
tersebut. Intervensi yang bersifat spiritual atau magis pada
akhirnya akan berpengaruh kepada keputusan untuk memilih
fasilitas kesehatan. Jika sakit atau penyakit yang bersifat empiris
dapat disembuhkan secara medis di Puskesmas atau rumah sakit,
maka sakit atau penyakit yang bersifat magis tidak dapat
disembuhkan di fasilitas kesehatan tersebut. Mereka
mempercayakan penyembuhan atas bantuan dari Marapu, si
pemberi angin melalui tangan orang lain, yaitu dukun.
Ketika seseorang percaya jika ia mendapatkan sakit atau
penyakit medis, maka biasanya yang akan ia tanyakan kepada
petugas medis adalah; sakit apa dan apa sebabnya? Pertanyaan
201
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
‘sakit apa?’ adalah pertanyaan yang paling umum ketika
seseorang ingin tahu bagaimana diagnosa dari petugas medis.
Kemudian pertanyaan ‘apa sebabnya?’ pun demikian, biasanya
jawaban atas pertanyaan ini pun adalah jawaban yang bersifat
alamiah, seperti ‘karena kurang istirahat’, ‘karena salah makan’,
atau ‘karena serangan virus atau bakteri’.
Beda halnya jika ada seseorang yang percaya jika ia
mendapat sakit atau penyakit secara magis, maka hal yang akan
ia tanyakan adalah; ‘mengapa?’ dan ‘siapa?’ Pada kasus beberapa
orang informan yang yakin jika diri mereka terkena ngilu,
pertanyaan yang paling umum ditanyakan kepada dukun adalah
‘mengapa?’, yaitu alasan mengapa mereka mendapatkan
serangan ngilu. Selanjutnya ‘siapa?’, yaitu siapa yang telah
mengirim atau ‘membikin’ ngilu tersebut.
Angin yang dihembuskan Marapu memiliki kelemahan
yang
hanya
diketahui
oleh
orang
yang
mampu
mengendalikannya. ‘Pengendali angin’ ini disebut juga sebagai
‘orang yang pegang muru’ atau yang orang yang mengetahui
obat ngilu, dan mereka dipercaya sebagai penyembuh dari sakit
yang disebabkan angin tersebut. Penyembuh penyakit atau sakit
yang disebabkan oleh angin adalah dukun. Bahkan ada beberapa
dukun yang merangkap sebagai juru bicara adat yang disebut
wunang.
Dukun dan wunang penyembuh menyebut proses
penyembuhan sakit atau penyakit tsb dengan istilah “kasih
dingin”. Istilah tersebut merujuk kepada beberapa jenis
pengobatan, antara lain; hawurut (disembur dengan sirih
pinang), urut atau pijat, minuman ramuan obat serta mandi
dengan ramuan obat, dan yang terakhir adalah dengan cara
hamayangu atau berdoa. Jika pengobatan tersebut dianggap
mendinginkan, maka secara logika penyakit atau sakit itu sendiri
bersifat panas.
202
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Dalam teori, penyakit yang disebabkan oleh panas diobati
dengan ramuan obat yang dingin dan makanan yang dingin, juga
dengan tindakan-tindakan yang mendinginkan (Suryadarma &
Meutia F. Hatta Swasono, 1986:71). Karena sifat angin yang
panas dianggap membawa sakit atau penyakit maka tindakan
untuk mendinginkan dianggap sebagai pengobatan. Pengobatan
dengan cara disembur sirih pinang (hawurut), urut atau pijat,
minum ramuan obat, mandi ramuan obat, dan hamayang
bertujuan untuk mendinginkan angin.
Dalam antropologi kesehatan dikenal adanya 2 macam
etiologi penyakit (Suryadarma & Meutia F. Hatta Swasono, 1986:
63-64), etiologi tersebut antara lain;
1. Sistem-sistem medis personalistik
Sistem medis personalistik adalah suatu sistem dimana
penyakit (illnes) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen
yang aktif yang dapat berupa makhluk supranatural
(makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia
(seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat), maupun
makhluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Orang
yang sakit adalah korbannya, objek dari agresi atau
hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untuk alasanalasan yang khusus menyangkut dirinya saja.
2. Sistem-sistem medis naturalistik
Dalam sistem medis naturalistik, penyakit (illnes) dijelaskan
dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistemsistem naturalistik di atas segalanya mengakui adanya
keseimbangan. Sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap
dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor
atau dasha), yin dan yang, berada dalam keadaan seimbang
menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan
sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka
hasilnya adalah timbulnya penyakit.
203
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Etiologi di atas menjadi acuan yang tepat untuk melihat
bagaimana budaya kesehatan bisa dilihat secara lebih mendalam.
Pun dalam masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang yang terikat
erat dengan budaya nenek moyang mereka. Budaya Marapu
masih menjadi pedoman hidup bagi sebagian besar orang Sumba,
baik yang masih memeluk kepercayaan ini atau pun yang sudah
beragama lain (Kristen atau Islam). Jika dilihat berdasarkan kedua
etiologi penyakit di atas, maka penting adanya untuk mengkaji
bagaimana masyarakat mengkategorikan penyakit yang mereka
percaya berasal dari Marapu tersebut.
Tetapi sebelumnya sangat penting untuk kita ketahui, apa
saja penyakit yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari ‘angin’
atau ngilu. Untuk mencari tahu apa sesungguhnya ngilu dan apa
saja jenisnya, kami melakukan wawancara dengan salah seorang
wunang (juru bicara adat), yang juga seorang Ratu (penasihat
spiritual keluarga kerajaan), sekaligus sebagai seorang dukun
penyembuh tradisional bernama HMA. Dibandingkan dengan
informan penyembuh lainnya, HMA adalah informan yang
memiliki informasi dan wawasan yang paling luas tentang
Marapu.
Perannya yang penting dalam masyarakat terlihat ketika
banyak orang membutuhkannya untuk menjadi juru bicara saat
peristiwa adat (wunang), memimpin ritual doa atau hamayangu,
dan menyembuhkan ngilu. Usianya masih muda, sekitar 40
tahun, dan mungkin adalah salah satu wunang termuda yang ada
di Kecamatan Umalulu. HMA mulai mampu memimpin
hamayangu atau ritual doa dalam agama Marapu sekitar tahun
1987, dan mulai mampu mengobati ngilu sekitar tahun 1994.
Kemampuannya tersebut didapat secara alami atau merupakan
bakat alam, namun dia mengakui bahwa ada campur tangan
seorang guru yang pernah mengajari itu semua.
204
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tahun 1997 HMA mulai dipercaya menjadi wunang atau
juru bicara dalam ritual adat Masyarakat Sumba. Bahasa yang
digunakan saat memimpin ritual adat adalah bahasa ritual yang
hanya diketahui oleh sesama wunang. Bahasa ini adalah bahasa
yang diturunkan secara lisan dan hanya boleh dipelajari oleh
golongan wunang saja. Sepak terjangnya dalam hal adat dan
pengobatan membuat HMA memiliki tempat yang baik di mata
masyarakat. Tidak jarang kata-katanya dianggap sebagai
wejangan, dan nasehatnya akan cermat didengar oleh orangorang.
Karena pengetahuan dan pengalamannya jugalah,
akhirnya peneliti menganggap penjabaran dan rinciannya
tentang ngilu dapat kami jadikan acuan. Menurut HMA, ngilu
dipercaya merupakan bagian dari ciptaan Tuhan yang diatur oleh
Marapu dan bisa datang kepada manusia yang biasanya lalai
karena melakukan kesalahan atau dosa. Ngilu ini dipercaya turun
di dunia manusia saat bulan Mei dan November, dimana secara
ilmiah pada bulan tersebut memang dipercaya HMA sebagai
musim penyakit.
Ngilu jika dilihat dari proses penularannya terdapat 2
macam, yang pertama adala ngilu, dan yang kedua ngilu tama.
Ngilu yang pertama adalah ngilu yang terjadi melalui proses
alami walaupun secara hakikatnya proses tersebut masih
dibawah campur tangan Marapu yang melepaskan
perlindungannya. Ngilu yang kedua, yaitu ngilu tama adalah ngilu
yang terjadi karena perbuatan orang lain atau masyarakat lokal
menyebutnya dengan istilah ‘dibikin’.
HMA menjelaskan ada 5 induk ngilu yang dia ketahui
bersama dengan anak-anaknya. Penyebutan istilah induk
merujuk pada kepercayaan Marapu yang menganggap kelima
ngilu tersebut merupakan laki-laki dan perempuan yang
205
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berpasang-pasangan selayaknya suami istri atau ayah dan ibu.
Ngilu induk tersebut antara lain;
1. Rodang Hambuli. Anak-anak beserta ciri-cirinya adalah;
a) Haruka : terasa tertikam di semua bagian badan
b) Kahalaramba : rasa tertikam di bagian dada dan
punggung
c) Alimu : lutut terasa asam (sakit) sampai tidak kuat
berjalan
d) Hailulu, ada 3 macam hailulu:
1) hailulu kawini: sakit di bagian pinggang, ginjal, dan
nafas terasa sesak
2) hailulu mini : kemaluan bengkak
3) hailulu halinding : urat kaki, pinggang terasa
tertarik.
2. Parukut Walawitu (penyakit kulit). Anak-anak dan ciricirinya adalah;
a) Harua Wini: kulit terkelupas namun tidak ada luka dan
bisa terdapat di semua badan
b) Mampadi : terasa gatal di seluruh badan, bintik-bintik
dan berair
c) Uta : terasa gatal, sakit, bisa muncul di sekujur badan,
bintik kecil, terasa sakit, dan bisa menyebabkan
demam
d) Hayingu : terasa gatal, bengkak, sakit, berukuran besar,
bisa muncul di sekujur badan kecuali di telapak tangan
dan kaki. Bisa menyebabkan demam
e) Manggari : bisul dan bernanah
f) Muru Ipi : kulit melepuh seperti terkena air panas di
badan dan bernanah
g) Muru Kabuata : benjolan besar, terkelupas, ada cairan
berwarna kuning di seluruh badan
206
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
h) Muru Ipi Kabala : sama dengan Muru Ipi, hanya saja
penyebarannya lebih cepat
i) Muru Hawali : dikenal sebagai muru yang kurang ajar.
Luka di alat kelamin, gatal, berbintik-bintik, dan berair
j) Muru Mina Manu : penyakit kulit yang diawali dengan
bercak-bercak berwarna putih, gejala penyakit ini
diyakini mirip penyakit kusta
k) Muru Mangidip: penyakit kulit yang mirip bisul dan
bernanah, muncul di telapak tangan
3. Kenja Pahuru Mutu Lapa, merupakan penyakit kulit yang
hampir sama dengan Parukut Walawitu. Anak-anaknya
masih belum banyak diketahui, sebagian kecil yang
diketahui adalah;
a) Muru Huahak : muru yang terasa sakit di mulut, gusi
dan bagian kulit di dalam mulut mengalami luka
b) Muru Halabbu : muru yang juga terasa sakit di mulut,
luka di bagian bibir dan mulut, bernanah, berbintikbintik, dan bisa menjalar sampai ke bagian telinga
c) Muru Lapapu : muru yang terasa sakit di mulut dan
gusi, dan gigi terasa bergoyang (hampir tanggal).
4. Ndakatiku Ndakapaku, lebih dikenal dengan penyakit
yang bisa menyebabkan lumpuh. Awalnya terasa ngilu,
kram, dan sakit di bagian sendi. Anak-anak dari induk ini
adalah;
a) Muru Linggu : muru yang menyerang bagian kaki dan
mengakibatkan kaki tidak mampu berdiri
b) Muru Rikalanda : muru yang menyerang bagian leher.
Leher tidak bisa menengok ke belakang karena serasa
ada jarum yang menusuk
c) Muru Padjurang : muru yang juga menyerang bagian
leher dan juga tidak mampu digerakkan ke belakang.
207
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Perbedaannya, muru ini digambarkan seperti ada kayu
yang mengganjal, bukan jarum.
5. Lekawu, anak-anak dan ciri-cirinya yaitu;
a) Muru Iwu : terasa sakit di ulu hati,di perut, dan bisa
menyebabkan diare
b) Muru Katarumuru : sakit perut, terasa ada angin yang
berputar di dalam perut
c) Muru Ular : terasa sakit di bagian perut, mencret,
muntah, dan demam
d) Muru Paribara : terasa sakit di bagian perut, mencret,
muntah, dan pandangan terasa gelap
e) Muru Lawora : terasa seperti ada 2 ekor biawak yang
bergerak-gerak di dalam perut, terasa sakit di semua
bagian perut dan terasa panas
f) Muru Itir : sakit di bagian perut seperti ditusuk-tusuk
ikan lele laut
g) Muru Ular Muri : terasa sakit di ulu hati, muntah dan
mencret
h) Muru Lamba : perut terasa kembung, tidak bisa kentut,
tidak bisa bersendawa
i) Muru mbuakahau : perut terasa panas, sakit, dan pedih
j) Muru Manganding : badan dan mata berwarna kuning,
sakit perut.
Selain lima ngilu induk yang memiliki anak-anak yang
bernama muru. Ada juga ngilu yang tidak termasuk diantara ngilu
induk yang sudah disebutkan di atas. Ngilu ini berdiri sendiri dan
dipercaya bukan ciptaan Tuhan, tetapi ciptaan dari leluhur yang
diceritakan memiliki dendam dengan orang-orang di sekitarnya
karena tidak mau menerima keberadaan dirinya. Ngilu ini
bernama ngilu apung. Leluhur tersebut kemudian memanggil
arwah jahat untuk membalas dendam dan membuat orang-orang
208
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
yang tidak mau menerima keberadaannya, dibuat selayaknya
ikan yang sedang menderita.
Leluhur tersebut kemudian membuat kail dan memakai
kail ini untuk membuat orang-orang yang tidak mau
menerimanya menjadi menderita, dengan cara memasukkan kail
tersebut ke mulut mereka secara gaib, seolah-olah sedang
memancing ikan. Kail yang seolah-olah tersangkut di mulut ikan
akan menyakiti orang-orang yang terkena tersebut dengan rasa
sakit yang luar biasa di bagian tenggorokan, disertai dengan
apung atau lendir yang banyak. Jadi secara harafiah, apung
berarti lendir. Maka ngilu ini pun disebut sebagai ngilu apung dan
banyak juga yang menyebutnya dengan sebutan muru apung.
Ngilu ini adalah ngilu yang dipercaya sebagai ngilu tama atau
ngilu yang ‘dibikin’ orang.
Dari informasi yang diperoleh dari HMA, diketahui ada 3
jenis apung, yaitu:
1. Apung Halinding
Ciri-cirinya adalah batuk berlendir atau berdahak, dan
sesak nafas. Batuk ini susah untuk disembuhkan dan
selalu kambuh. Ciri yang lebih spesifik adalah lendir atau
dahak mudah dikeluarkan
2. Apung Runnu
Ciri-cirinya adalah batuk berlendir atau berdahak, terasa
sakit di semua anggota badan dan tulang, nafas tidak
lancar (terengah-engah), berlendir terus menerus, bahu
sampai bungkuk, dan berkeringat jika malam hari. Ciri
spesifik dari apung ini adalah lendir yang berada di paruparu, dan sulit untuk dikeluarkan tanpa bantuan
obat/ramuan. Apung jenis ini adalah apung yang
termasuk ngilu tama atau ‘dibikin orang’ karena konon di
bawah ranjang si penderita dipasang api sehingga terus
berkeringat ketika malam hari
209
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3. Apung Mangiala
Ciri-cirinya adalah tenggorokan terasa sakit, tidak bisa
makan karena tenggorokan terasa sakit jika digunakan
untuk menelan, tenggorokan terasa kering dan tercekik
seperti ada duri atau mata pancing di dalamnya
Induk ngilu dan anak-anaknya di atas belum mewakili
semua jenis ngilu karena ada beberapa yang belum mampu
diingat oleh HMA, dan ada beberapa yang memang dianggap
pantang untuk disebutkan. Ngilu tersebut bisa datang kepada
manusia karena beberapa hal, bisa jadi karena hasil dari
perbuatan buruk manusia di masa lalu atau karena ‘dibikin’.
Sejatinya ngilu tersebut memang ada di sekitar manusia, datang
atau tidaknya ngilu pada manusia tergantung kepada kesediaan
Marapu untuk bersedia melindungi atau tidak. Jika memang
manusia melakukan dosa dan kesalahan yang membuat Marapu
marah, maka Marapu akan lepas tangan untuk memberikan
perlindungan dari ngilu, sebaliknya jika manusia selalu berbuat
baik dan jauh dari perbuatan dosa maka Marapu akan
memberikan perlindungan dari ngilu.
Berbagai cerita di masyarakat membuat peneliti semakin
tertarik dengan ngilu dan berbagai jenis anak-anaknya. Masalah
ngilu ini bukan hanya tentang masalah keyakinan pada Marapu,
tetapi juga berimbas kepada keyakinan atau kepercayaan
masyarakat terhadap medis. Masyarakat menjadikan pengobatan
medis sebagai prioritas kedua jika terkait dengan pengobatan
ngilu karena mereka menganggap jika ngilu dan segala bentuk
anak-anaknya, adalah sakit atau penyakit yang tidak akan mampu
disembuhkan secara medis. Maka untuk mengobatinya,
masyarakat mempercayakan pengobatan kepada dukun atau
pengobat tradisional.
Kepercayaan kepada pengobat tradisional begitu tinggi,
alasannya bukan hanya karena masyarakat yakin jika ngilu tidak
210
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mampu disembuhkan secara medis tetapi juga karena dukun
menempati posisi yang istimewa dalam masyarakat. Dukun atau
penyembuh tradisional dipercaya juga sebagai penasihat
spiritual. Selama hidup dan tinggal berdampingan dengan
masyarakat, peneliti telah mengikuti beberapa orang dukun
dengan berbagai latar belakang kemampuannya masing-masing.
Dukun begitu dipercaya dan dianggap sebagai
kepanjangan tangan dari Tuhan untuk menyembuhkan orang
yang sakit. Bukan hanya percaya, masyarakat juga mengikuti apa
yang dikatakan dukun sebagai sesuatu yang benar. Masyarakat
yang merasa sudah memeluk agama kristen dengan baik dan
benar kerap menyebut perilaku pergi ke dukun dan mempercayai
Marapu sebagai perilaku orang kafir. Sebutan kafir dan bukan
kafir mulai akrab peneliti dengar di Desa Watu Hadang.
Biasanya julukan tersebut ditujukan kepada pemeluk
Marapu, dari orang yang sudah menganut agama Kristen. Pada
kenyataannya apapun agama yang dianut secara formal, praktekpraktek ataupun ritual yang terkait dengan Marapu masih sangat
lekat pada diri mereka. Mereka boleh saja sudah memeluk agama
Kristen atau agama samawi yang lain, namun hidup melalui
aturan yang ditetapkan oleh agama Marapu tetap tidak dapat
dipisahkan.
Dukun atau penyembuh tradisional, disadari atau tidak
adalah individu yang secara tidak langsung menghubungkan
masyarakat terhadap Marapu, terutama jika yang dilakukan oleh
dukun adalah pengobatan atau ritual yang terkait dengan ngilu.
Jika ngilu datang dari Marapu maka pihak yang paling memiliki
kuasa untuk membuat ngilu itu pergi adalah Marapu juga. Secara
logika, ritual untuk mendapatkan kesembuhan dari ngilu beserta
doa-doanya pun tertuju pada Marapu.
Rasa percaya pada ritual penyembuhan oleh dukun
berimbas pada munculnya sugesti yang mampu memompa rasa
211
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
optimis bahwa apa yang mereka jalani adalah jalan untuk
kesembuhan. Menurut peneliti, rasa percaya dari suatu individu
kepada individu lain setidaknya bisa disebabkan oleh 3 hal; yang
pertama karena ingin memperoleh rasa aman, yang kedua
karena ingin memperoleh imbalan atau reward, yang ketiga
karena ingin mendapatkan pengalaman intelektual. Dalam kasus
dukun ini, peneliti melihat bahwa rasa percaya masyarakat
terhadap dukun disebabkan oleh hal yang pertama, yaitu untuk
memperoleh rasa aman. Rasa aman dari apa? Rasa aman dari
ngilu, rasa aman yang tidak bisa diperoleh dari medis.
Dalam tulisan ini, tidak semua jenis ngilu dan anakanaknya akan didalami. Selain karena waktu penelitian yang
relatif singkat, ngilu yang menjadi perhatian utama kami adalah
ngilu apung. Sulit sekali untuk mengidentifikasi apakah ngilu
apung itu pada awalnya. Apakah apung termasuk penyakit medis
atau non medis? Apa apung itu jika dilihat dari kaca mata medis?
Bagaimana apung diperlakukan? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut begitu lincah menari-nari di benak peneliti. Informan
yang tertutup karena merasa tidak nyaman bercerita dengan
orang asing menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti.
Karena masalah tersebut kadang kala peneliti merasa
jenuh untuk mencari tahu, karena ngilu seperti sebuah tema
yang tidak bermuara. Lambat laun pandangan dan wawasan
peneliti tentang ngilu yang masih terbatas, tiba-tiba serasa
meluas. Pertemanan kami dengan dua keluarga yang memiliki
riwayat TB Paru di dalam anggota keluarganya menuntun kami
kepada apung. Cukup banyak waktu dihabiskan untuk membuat
mereka yakin jika mereka bercerita kepada orang yang dapat
mereka percaya, dan cukup lama dibutuhkan untuk membuat
mereka mampu bercerita jika apa yang menimpa anggota
keluarga mereka bukanlah TB Paru seperti kata dokter, tetapi
apung seperti kata dukun. Satu hal yang kami yakini kemudian ,
212
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
bahwa ngilu apung adalah penyakit yang bisa dilihat dari kaca
mata medis, walaupun masyarakat melihatnya sebagai penyakit
yang bersifat personalistik.
4.1.3. TB atau Apung?
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang sudah
sangat tua. Gambaran adanya TB telah terekam sejak zaman
dulu, misalnya dalam salah satu tokoh cerita terkenal karya
sastrawan besar Victor Hugo, yaitu The Hunchback of Notre
Dame. Bahkan adanya TB juga dapat ditelusuri dari peninggalan
Mesir kuno. Di dalam piramid Mesir ditemukan gambar relief
dinding yang menggambarkan manusia bongkok dengan
gambaran gibbus, yang kemungkinan besar karena spondilitis TB.
Kemudian terbukti ditemukan kuman Mycobacterium
tuberculosis pada mummi mesir. Ternyata sejarah kuman TB
lebih tua daripada sejarah mesir kuno. Pada penelitian artefak
purba ditemukan jejak kuman TB, dan pada sebagian fosil
dinosaurus ternyata juga ditemukan kuman TB. Dunia medis baru
mengenal sosok kuman TB setelah Robert Koch berhasil
mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24
Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai Hari TB Dunia.
Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah kesehatan
dan justru semakin berbahaya, sehingga disebut sebagai the reemerging disease (Kartasasmita dkk, 2005:1)
Sumber penularan TB umumnya adalah orang dewasa
dengan basil tahan asam (BTA) sputum positif. Oleh karena itu,
dalam program TB nasional selama ini, penanggulangan TB lebih
ditekankan pada pasien TB dewasa. Akibatnya, penanganan TB
anak belum mendapatkan perhatian yang memadai. Banyaknya
jumlah anak yang terinfeksi dan sakit TB menyebabkan tingginya
biaya pengobatan yang diperlukan, sehingga pencegahan infeksi
TB merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan.
213
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor
risiko infeksi TB. Peningkatan insidens HIV dan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) di berbagai negara turut
menambah permasalahan TB anak. Peningkatan insidens HIV dan
AIDS menyebabkan peningkatan koinfeksi dan reaktivasi TB, serta
peningkatan kejadian multidrug resistance (MDR) (ibid, 2012;2)
Apung adalah bagian dari ngilu yang dipercaya bukan
merupakan ciptaan Tuhan seperti bagian dari ngilu yang lainnya,
namun sengaja diciptakan oleh salah satu leluhur orang Sumba
yang menyimpan dendam kepada orang-orang di sekitar yang
dianggap telah menyakiti hatinya. Leluhur ini disisihkan atau
dijauhi karena sesuatu hal. Perasaan sakit hati karena tersisih
memunculkan niat jahat di dalam hatinya untuk menyakiti orangorang tersebut. Akhirnya dia membuat suatu guna-guna yang
dengan memakai sebuah mata kail yang dipakai untuk menyakiti
orang lain. Kail tersebut seolah-olah digunakan untuk memancing
seekor ikan. Ikan tersebut diibaratkan sebagai manusia yang akan
dikirim sakit melalui kail yang dipakai tersebut. Arti dari apung
sendiri sebenarnya adalah lendir, namun pemaknaannya meluas
menjadi suatu istilah untuk penyebutan penyakit yang identik
dengan adanya lendir di bagian tenggorokan atau di bagian dada.
Entah sejak kapan apung ada dan tercantum dalam
sejarah penyakit masyarakat Sumba. Tidak seperti sejarah TB
yang bisa dibuktikan secara arkeologis, apung hanya bisa
ditelusuri melalui cerita atau mitologi leluhur yang marah dan
menciptakan penyakit untuk menyakiti orang lain. Apung yang
merupakan bagian dari ngilu mungkin sama tuanya dengan
sejarah kemunculan masyarakat Sumba dan agama marapu. Jadi
kemungkinan besar ketika masyarakat Sumba sudah
mengkultuskan Marapu dan memujanya, maka bisa jadi ngilu
pun lahir di masa yang sama dengan kelahiran agama Marapu. TB
secara ilmiah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
214
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
kuman Mycobacterium tuberculosis dan jika dilihat dari etiologi
penyakitnya maka prosesnya terjadi secara naturalistik. Berbeda
halnya dengan apung yang penularan penyakitnya berdasarkan
mitologi orang Sumba yang percaya hal ini diakibatkan dari
leluhur yang marah, maka jika dilihat dari etiologi penyakitnya
apung bersifat personalistik.
Lalu apa pentingnya membandingkan antara TB dan
apung? Bukankah kedua penyakit ini adalah dua penyakit yang
berbeda? Tulisan ini akan membuktikan kaitan antara TB dan
apung, dan bagaimana sebenarnya keduanya adalah suatu tubuh
yang sama namun dilihat dari dua kaca mata yang berbeda.
Untuk mendalami bagaimana satu tubuh ini dilihat dari dua kaca
mata yang berbeda maka dalam tulisan ini kami akan menuliskan
pengalaman dua keluarga yang berdiri ditengah-tengah antara TB
dan apung. Secara kebetulan dua keluarga tersebut memiliki
anggota keluarga dengan riwayat TB yang sama yaitu TB Paru,
dan secara kebetulan anggota keluarga yang terjangkit TB adalah
anak mereka yang masih balita.
4.2. Kisah; Mencoba Lepas dari Belenggu Apung
Berjumpa dengan banyak individu dengan kisah yang
berbeda akan melatih kepekaan peneliti untuk berinteraksi
dengan mereka. Apa lagi jika latar belakang sosial dan budaya
antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti jauh berbeda.
Bukan hanya adaptasi yang dibutuhkan, namun juga bagaimana
peneliti mencoba menghormati nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat tersebut. Kesulitan-kesulitan yang lazim ditemui
salah satunya adalah bagaimana membuat informan merasa
nyaman dan percaya dengan keberadaan peneliti yang
setidaknya akan mengambil dua hal dari mereka, yaitu informasi
dan privasi.
215
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kenapa privasi? Karena tidak jarang informasi yang
terdalam yang menjadi kunci permasalahan adalah sebuah
privasi yang ingin dijaga dengan baik oleh informan. Maka dari itu
peneliti tidak bisa sekonyong-konyong datang kepada informan
dan bertanya banyak hal tanpa membangun relasi yang bersifat
personal terlebih dahulu.
4.2.1. Apung; Bertahan Sampai Akhir
Membuat orang lain percaya kepada kita dan meyakinkan
mereka untuk bersedia bercerita tentang kisah hidup mereka
adalah hal yang teramat sulit. Ada kalanya keramahtamahan dan
kesabaran tidak cukup untuk membuat kita dekat dengan orang
lain secara personal. Pun demikian dengan keluarga Mama D
yang menarik perhatian peneliti sejak pertama kali berjumpa. Di
perbatasan antara Desa Watu Hadang dan Desa Mutu Nggeding,
ada suatu kampung yang bernama Luku Walu yang indah dengan
sabana hijau kekuningan. Di situlah keluarga Mama D tinggal.
Rumah yang mereka tinggali teramat kecil untuk ditinggali
oleh Mama D dan anggota keluarga lainnya yang berjumlah 6
orang termasuk ibu kandung, anak-anak, dan suami Mama D.
Rumah yang mereka tinggali adalah rumah panggung semi
permanen berukuran sekitar 4 x 4 meter yang terbuat dari
anyaman bambu yang berlubang di sana-sini. Di bagian depan
ada bale-bale kecil yang berderak ketika diduduki, dan dari
bagian bale-bale tersebut akan terlihat bagian dalam rumah yang
hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah dan dapur yang
sempit.
216
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Gambar 4.1.
Rumah Keluarga Mama D
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Mama D berusia 35 tahun, berbadan kurus dan pendek,
berkulit hitam, berambut lurus, dan mata yang tampak cekung.
Wajahnya amat mirip dengan putri bungsunya K yang menderita
TB Paru dan gizi buruk. Suami Mama D bernama M, berbadan
tinggi, tegap, dengan kulit yang berwarna sawo matang, dan
rambut yang agak bergelombang. Mama D hanya lulusan SD
karena ketika menginjak bangku kelas 2 SMP, dia sudah terlanjur
jatuh cinta lalu menikah dengan dengan M yang saat itu baru
lulus SMK.
Karena kendala belis atau mas kawin yang belum
dibayarkan oleh pihak keluarga M kepada keluarga besar Mama
D, maka M pun tinggal di rumah orangtua Mama D dan
217
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menggarap sawah mertuanya tersebut. Jadi rumah kecil yang
ditinggali oleh Mama D dan suaminya kini adalah rumah
orangtua Mama D. Orangtua Mama D yang masih hidup adalah
ibu kandungnya. Jika dijumlahkan, banyaknya orang yang tinggal
di rumah berukuran 4 x 4 meter tersebut ada 7 orang. Terdiri dari
Mama D dan suaminya M, ibu kandung Mama D, dan empat
orang anak termasuk dengan K. Jumlah anak Mama D ada 6
orang, dua anak Mama D yang lainnya sedang menempuh
pendidikan di Kota Waingapu dan Kupang. Mereka sekeluarga
adalah golongan orang merdeka atau kabihu44 dalam stratifikasi
sosial masyarakat Sumba.
Peneliti tidak dapat membayangkan bagaimana rumah
yang mungil dengan satu kamar tidur mampu menampung 7
orang untuk tinggal bersama. Tidak tampak adanya jendela di
rumah tersebut, namun dinding rumah terbuat dari anyaman
bambu dan di bagian muka rumah terdapat dinding yang terbuka
yang disekat dengan kawat, sebagai satu-satunya ventilasi udara.
Mama D yang berbadan kurus dan bermata cekung tersebut
ternyata baru saja dinyatakan sembuh dari TB kelenjar yang
diderita sekitar tiga tahun yang lalu. TB kelenjar tersebut tumbuh
dibagian leher dan sekarang meninggalkan bekas timbul yang
masih tampak tebal dan bergelombang.
Mama D yakin jika TB kelenjar yang pernah dia derita
tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan medis, tetapi
karena dia melanggar larangan kabihu atau klan untuk tidak
memakan daging anjing. Suami Mama D berkata:
“Mama langgar pantangan langsung muncul dia punya
borok di leher, timbul sudah bulat-bulat besar di leher.
Kalau di medis mereka bilang itu apa... TBC kelenjar.
44
Perlu dibedakan pengertian istilah kabihu yang berarti klan atau marga,
dengan istilah kabihu yang merujuk pada stratifikasi sosial masyarakat Sumba.
Istilah Kabihu yang digunakan dalam cerita di atas berarti orang merdeka.
218
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Kalau kata dukun itu sudah... karena langgar pantangan
(makan daging anjing).”
Suami Mama D berkata jika TB Kelenjar adalah vonis yang
ditetapkan dokter Puskesmas sekitar empat tahun yang lalu, dan
baru dinyatakan sembuh sekitar setahun yang lalu. Namun dia
yakin sekali bukan penyakit itu yang diderita istrinya.
Kelalaiannya memakan daging anjing yang dilarang oleh kabihu
membuat benjolan-benjolan di leher tersebut muncul. Informasi
tentang sebab sakit karena melanggar larangan ini berasal dari
perkataan dukun yang pernah Mama D datangi untuk
memperoleh pengobatan. Pada awal kemunculannya benjolanbenjolan tersebut hanya muncul sebesar biji jagung dan
bergerombol di bagian leher.
Mama D sendiri teringat terakhir kali dia memakan daging
anjing ketika tahun 1997, waktu yang cukup lama berlalu
sesungguhnya, namun anehnya benjolan tersebut muncul
belasan tahun kemudian. Sekarang ini TB kelenjar yang diderita
Mama D sudah dinyatakan sembuh setelah rutin meminum obat
dari Puskesmas selama 6 bulan tanpa berhenti. Obat TB tersebut
populer dengan sebutan ‘obat proyek’, karena merupakan
proyek obat gratis untuk TB dari pemerintah.
Bekas benjolan akibat TB kelenjar di bagian leher masih
tampak berupa daging yang tidak rata. Walaupun mengaku telah
patuh dalam meminum ‘obat proyek’ dan kini telah sembuh,
tetapi Mama D justru yakin jika hal yang membuat benjolanbenjolan di bagian lehernya sembuh adalah karena Mama D tidak
lagi memakan daging anjing yang merupakan pantangan kabihu
Mama D. Dalam masyarakat Sumba memang diketahui adanya
pantangan-pantangan atau tabu yang berbeda antara satu
kabihu dengan satu kabihu lainnya. Kabihu Mama D melarang
anggota kabihu-nya untuk memakan daging anjing, dan jika
pantangan tersebut dilanggar maka akibatnya bisa muncul
219
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penyakit di tubuh individu yang melanggar pantangan tersebut.
Penyakit yang muncul berupa penyakit kulit seperti gatal-gatal,
borok, atau muncul benjolan-benjolan di permukaan kulit.
TB kelenjar juga dikenal dengan nama TB lymphadenitis.
TB jenis ini adalah salah satu jenis TB Ekstra Paru, selain TB usus,
TB kulit, TB meningistis (otak), TB ginjal dan TB hati. Gejala TBC
kelenjar ditemukan adanya benjolan yang merupakan
pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening
terdapat pada beberapa bagian perut, antara lain leher, ketiak,
sela paha, dalam perut. Kelenjar getah bening di leher paling
sering terserang, dengan gejala benjolan pada leher sebelah kiri
atau kanan, atau kedua sisi. Gejala klinisnya adalah demam yang
berkepanjangan, batuk dalam waktu yang lama, nafsu makan
yang menurun, muncul benjolan yang progresif pada leher,
ketiak, atau sela paha. Benjolan berdungkul-dungkul atau
mengelompok. Bila benjolan pecah maka akan mengeluarkan
cairan seperti nanah. Pemeriksaan dini untuk memastikan
diagnosa adalah dengan biopsi kelenjar leher untuk mengetahui
penyebabnya. Pengobatan TB kelenjar lebih lama dari TB Paru,
yaitu 9 bulan. TB kelenjar tidak menular, kecuali penderita TB
kelenjar juga menderita TB paru. (http://www.mitrakeluarga.
com/surabaya/waspada-benjolan-pada-leher-deteksi-dini-tbcekstra-paru/)
Kuman TB terutama menginfeksi paru, namun apabila
daya tahan tubuh kuat, kuman ini tidak dapat menginfeksi paru
tetapi tertahan pada tonsil (amandel) dan dapat menyebar
kemana saja seperti tulang, usus, ginjal dan berbagai organ. Yang
sering terkena Tuberculosa di tubuh terutama kelenjar getah
bening di bagian leher. Ciri-ciri pembesaran kelenjar getah bening
di leher hanya pada satu sisi, pembesaran kelenjar getah bening
dapat tunggal atau beberapa kelenjar hingga mirip seperti rantai
dan disebut sebagai “scropuloderma”. Jika scropulodermo pecah
220
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
maka akan keluar nanah tes dahak, dan berwarna hijau atau
kuning. Luka dari pecahan tersebut akan sulit sembuh atau lama
sembuhnya, dan bila sembuh terlihat buruk. Luka itu sendiri tidak
rata, tidak bau, tepinya agak cekung ke dalam
(www.yastroki.or.id/read.php?id=395).
Untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi atau tidak
maka perlu beberapa pemeriksan, seperti pemeriksaan darah,
biopsi, dan rontgen. Obat yang diberikan jika memang benar
telah terjadi infeksi adalah Obat Anti TB (OAT) yang merupakan
paduan dari Rifamficin, Isoniazid, Ethambutol, dan Pirazinamid
dalam sediaan 1 kaplet obat. Pemberian obat tersebut dilakukan
setiap hari dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pasien
(diniadistiani.blogspot.com/2013/07/tb.kelenjar.html).
Karena obat ini harus diminum setiap hari secara teratur
dalam waktu yang relatif lama, maka yang menjadi masalah
utama adalah masalah kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
OAT. Pada kasus TB kelenjar yang diderita Mama D, ada dua
sudut pandang yang berlaku dalam hal ini, secara naturalistik,
benjolan-benjolan yang tumbuh di leher Mama D disebut dengan
TB kelenjar dan hal ini berasal dari diagnosa dokter, secara
personalistik benjolan-benjolan tersebut dipercaya sebagai akibat
dari melanggar pantangan untuk tidak memakan daging anjing
dan merupakan diagnosa dari seorang dukun.
Sudut pandang yang kedua adalah sudut pandang yang
justru diyakini sebagai sebab dari munculnya benjolan tersebut.
Hal ini cukup menarik bagi peneliti, karena suami Mama D secara
defensif menganggap segala hal yang terkait dengan kepercayaan
tradisional masyarakat Sumba yang berbau Marapu adalah
perbuatan dan pikiran orang kafir. Dengan menggebu-gebu hal
tersebut pernah dia ungkapkan di awal perjumpaan peneliti
dengan mereka.
221
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sikap defensif tersebut bertolak belakang dengan apa
yang mereka percaya dan terungkap secara tidak sengaja,
walaupun setelah itu mereka tampak hendak menarik diri dan
berbicara terlampau hati-hati dengan peneliti. Sikap Mama D
sendiri begitu pasif mana kala berbincang dengan peneliti ketika
ada sang suami di sekitar kami. Dia hanya mendengarkan
pembicaraan yang didominasi oleh suaminya, dan kadang kala
hanya menambahkan seperlunya saja.
Hal ini tentu membuat peneliti merasa kesulitan karena
sebenarnya banyak yang ingin peneliti dengar dari cerita Mama
D. Sikap yang sama selalu peneliti dapatkan dalam beberapa kali
pertemuan, dan akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan
pendekatan secara personal bukan kepada Mama D saja, namun
juga kepada suaminya. Ketika peneliti datang di lain kesempatan,
peneliti tidak lagi berusaha menanyakan hal-hal yang terkait
dengan kondisi kesehatan anak bungsunya yaitu K. Hal itu
peneliti lakukan karena peneliti merasa jika sikap defensif suami
Mama D muncul karena kekhawatiran dari dirinya sendiri, yang
berpikir kami akan memberikan penilaian tentang cara mereka
merawat atau mengasuh anak bungsunya tersebut.
Kembali ke cerita benjolan yang terdapat di leher Mama
D. Saat masih menderita benjolan-benjolan di bagian leher yang
secara medis disebut TB Kelenjar tersebut, Mama D tengah hamil
anak bungsunya yaitu K. Kehamilan K berlangsung biasa saja
katanya, dia tidak merasa mual atau mengalami gangguan
kesehatan apapun. Mama D masih bekerja menenun dan di
sawah seperti biasa. Setidaknya Mama D harus mampu
menyelesaikan 1 lembar kain untuk disetor kepada pengepul
setiap bulannya. Untuk 1 lembar kain tersebut, dijual dengan
harga 500 ribu rupiah, dan keuntungan yang didapat sekitar 300
ribu rupiah, walaupun itu tidak sesuai dengan tenaga yang telah
222
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dikeluarkan. Kadang kala jika harus melembur untuk menenun,
Mama D menenun dari pagi hari sampai malam.
Sampai usia kandungannya mulai tua pun Mama D masih
tetap giat bekerja, jika tidak menenun bagaimana dia dan
keluarganya bisa makan, kurang lebih begitu yang Mama D
katakan. Kelima anak yang telah dilahirkan sebelum K, dilahirkan
secara sehat melalui pertolongan dukun bayi di kampungnya.
Kelima anak tersebut tumbuh sehat sampai sekarang ini dan
jarang sakit. Saat mengandung K adalah saat dimana Revolusi KIA
mulai digalakkan secara masif di seluruh penjuru NTT, termasuk
di Sumba Timur. Kala itu Mama D adalah salah satu ibu hamil
yang diwajibkan untuk melahirkan di fasilitas kesehatan milik
pemerintah seperti Puskesmas.
Ada rasa gamang di hati Mama D kala itu, kenapa harus
melahirkan di bidan atau Puskesmas, jika melahirkan di rumah
saja dengan bantuan dukun pun dia dan bayinya tidak apa-apa?
Kurang lebih begitu yang terlintas dalam pikiran Mama D. Kelima
kakak-kakak K dilahirkan secara tradisional dengan bantuan
dukun yang datang ke rumah Mama D. Dukun yang membantu
melahirkan adalah dukun yang sama dengan yang memijat perut
Mama D saat masih mengandung.
Pijat saat hamil tersebut untuk menguatkan dan
menyehatkan kandungan serta bayi di dalamnya. Proses
melahirkan secara tradisional dengan dibantu dukun biasanya
dilakukan di rumah perempuan yang hendak melahirkan. Alat
yang dipakai hanya kayu, yang berfungsi untuk tumpuan kaki
saat mengejan, dan seutas tali atau kain untuk berpegangan
tangan, yang juga bermanfaat untuk membantu mengeluarkan
tenaga saat mengejan. Posisi perempuan yang hendak
melahirkan bisa sambil duduk atau berbaring, posisi kayu sebagai
tumpuan kaki berada di dekat kaki, dan tali atau bisa juga kain
223
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
digantung di bagian atas untuk menahan kedua belah tangan si
perempuan saat mengeluarkan tenaga ketika mengejan.
Dukun yang membantu persalinan bisa duduk di bagian
depan si perempuan yang sedang melahirkan, atau berada di
bagian belakang tepat di punggung untuk membantu memijat
bagian perut. Bagi Mama D, melahirkan di rumah dengan dibantu
seorang dukun dirasa lebih nyaman, jika dibandingkan dengan
melahirkan di Puskesmas. Ketika melahirkan di rumah, yang
membantu melahirkan adalah dukun yang sudah dia kenal
dengan baik, sehingga tidak ada rasa takut atau malu. Untuk
menjaga privasi, hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk
di dalam kamar persalinan dan mendampingi, misalnya seperti
ibu kandung.
Laki-laki tidak diperbolehkan masuk dan mendampingi
karena dianggap tabu karena perempuan yang bersalin akan
merasa malu. Hal tersebut berlaku untuk semua laki-laki tanpa
terkecuali, termasuk ayah kandung atau bahkan suaminya
sendiri. Dalam persalinan tradisional memang ada peraturan
tidak tertulis yang melarang laki-laki masuk atau melihat,
berbeda halnya dengan persalinan modern yang dibantu oleh
tenaga kesehatan baik berjenis kelamin laki-laki ataupun
perempuan.
Persalinan modern yang dijalani oleh Mama D di
Puskesmas Melolo dihadapi dengan perasaan yang tidak tenang
karena merupakan pengalaman yang pertama. Dia sendiri tidak
berani untuk mengambil keputusan tidak melahirkan di
Puskesmas, karena mendengar adanya hukuman denda bagi yang
berani melahirkan di rumah dengan bantuan dukun. Kabar
tentang adanya denda tersebut disampaikan dari mulut ke mulut
hingga sampai ke telinganya. Konon pihak pertama yang
menyampaikan kabar tersebut adalah bidan desa yang kemudian
224
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
menyampaikan kepada perempuan-perempuan yang tengah
hamil di desa.
“Ada yang bilang nanti kena denda, tapi tidak tahu juga
na itu denda seperti apa. Tapi kami takut to... jadi kami
melahir (melahirkan) di Puskesmas sudah.”
Karena merasa khawatir akan terkena denda, Mama D
memutuskan
untuk
melahirkan
di
Puskesmas
dan
mengesampingkan rasa takutnya. Ketika tanda-tanda melahirkan
sudah mulai terasa, dia pergi ke Puskesmas bersama dengan
suaminya, didampingi oleh seorang bidan desa dan seorang
dukun bayi. Saat tiba di Puskesmas, Mama D masuk ke dalam
ruangan yang disekat dengan kain, dimana banyak ranjang
disusun berjejer. Ranjang tersebut memiliki tepian yang terbuat
dari besi, dan ini adalah pemandangan yang baru dikenal Mama
D selama ini.
Ketika Mama D berbaring di ranjang tersebut, dia mengira
bidan dan perawat-perawat akan segera membantunya
mengeluarkan si jabang bayi dari perutnya. Rasa mulas dan sakit
di bagian perutya sudah tidak tertahankan namun tetap saja
bidan dan perawat-perawat tersebut berkata belum waktunya,
sambil mengecek jalan lahir Mama D. Apa maksud mereka
dengan berkata belum waktunya? Bayi ini sudah tidak tahan ingin
keluar. Kurang lebih begitu gerutu Mama D saat itu. Mama D dan
suaminya menganggap orang-orang tersebut bertele-tele dan
tidak mampu bekerja dengan baik.
Perawat-perawat dan bidan digambarkan sibuk dan
kalang kabut menyiapkan alat-alat yang akan dipakai untuk
persalinan. Ketika waktu persalinan tiba, Mama D dibantu oleh
seorang bidan dan perawat yang menyuruhnya mengejan.
Kakinya tidak lagi bertumpu pada kayu untuk tumpuan saat dia
mengeluarkan energi ketika mengejan. Kedua tangannya tidak
225
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berpegangan pada tali atau kain yang digantungkan di atas,
tetapi berpegangan pada besi di bagian sisi ranjang. Ada seorang
dukun bayi terlatih yang mendampinginya saat melahirkan di
Puskesmas.
Dukun itu idak membantu, hanya mendampingi dan
menunggui sampai Mama D diijinkan pulang. Peran dukun bayi
memang mulai tergeser sejalan dengan adanya revolusi KIA yang
serentak berjalan di seluruh NTT. Dukun bayi tidak lagi
diperbolehkan membantu jalannya persalinan, peran tersebut
harus dijalankan oleh tenaga kesehatan pemerintah seperti bidan
atau dokter. Dukun bayi, khususnya yang telah mendapatkan
pelatihan dari pemerintah tetap dilibatkan dalam membantu,
dengan dibatasi hanya sebagai pendamping saat persalinan
terjadi. Dukun terlatih tersebut adalah program kemitraan yang
dicetuskan untuk menunjang kinerja tenaga kesehatan yang
jumlah dan mobiltasnya terbatas, dan juga untuk tetap
merangkul dukun sebagai tokoh yang secara personal lebih dekat
dan dipercaya masyarakat.
Ketika akhirnya Mama D melahirkan dengan persalinan
normal, badan bayi yang telah keluar dari rahim tersebut
diceritakan sempat membentur besi di sisi-sisi ranjang. Lalu tali
pusat si bayi dipotong dengan menggunakan alat yang
digambarkan Mama D dan suaminya seperti alat penjepit. Hal ini
membuat mereka terheran-heran karena selama ini dukun yang
membantu persalinan anak pertama sampai ke lima hanya
memakai bambu yang ditajamkan. Berat badan K ketika lahir
tidak diketahui secara pasti, Mama D menyebut angka 3 kg
sedangkan sang suami merasa yakin jika berat badan anak
bungsunya adalah 3.5 kg.
Kedua berat badan yang disebutkan orangtua K, terlepas
dari tepat atau tidaknya, adalah berat badan yang tergolong baik
untuk ukuran bayi yang baru saja dilahirkan. Jika berat badan si
226
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
bayi termasuk baik maka secara logika keadaan kesehatan si bayi
pun juga baik. Pemikiran tersebut ternyata juga sempat terbersit
dalam benak kedua orangtua K. Harapan agar bayi tersebut
tumbuh sehat seperti kelima kakaknya begitu besar, mereka juga
berharap persalinan di Puskesmas akan membawa kebaikan bagi
bayi mereka.
Bayi tersebut diberi nama K dan berjenis kelamin
perempuan. Wajahnya begitu mirip dengan Mama D. Pada
mulanya K tumbuh secara sehat dan normal, tidak ada masalah
kesehatan yang muncul. Menginjak usia 2 bulan tiba-tiba K jatuh
sakit, perutnya kembung dan terus menerus rewel.
“Adek K kembung perut, masuk opname 4 hari disini
(Puskesmas Melolo). Tidak lama lagi pecah dia punya tali
pusar, bernanah to, terus dibawa ke rumah sakit lagi.”
Ketika perut K kembung dan tali pusatnya bernanah,
orangtua K membawanya ke Puskesmas Melolo dan harus
dirawat selama 4 hari di Puskesmas. Luka di tali pusat dibersihkan
dengan alkohol dan diberi cairan obat anti infeksi. Peneliti
menanyakan apa gerangan yang membuat tali pusat K bernanah
sedemikian parah, sampai harus dirawat inap di Puskesmas,
orangtua K menjawab kemungkinan karena saat melahirkan di
Puskesmas, tali pusat K dijepit menggunakan suatu alat, dan tidak
dililit terlebih dahulu dengan menggunakan benang seperti yang
dilakukan oleh dukun.
Peneliti sempat beberapa kali bertanya apakah ada
perlakuan khsusus yang diberikan terhadap tali pusat K sebelum
akhirnya bernanah, mereka dengan yakin menjawab tidak.
Tampaknya memang kambing hitam untuk tali pusat K yang
bernanah, adalah perlakuan tenaga kesehatan saat menjepit tali
pusat K. Setelah 4 hari menjalani rawat inap di Puskesmas dan
diperbolehkan pulang, beberapa hari kemudian K kembali jatuh
227
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sakit. K kembali dibawa ke Puskesmas lalu dirujuk ke rumah sakit
di Kota Waingapu karena sesak nafas dan batuk berlendir.
Sakitnya akan terasa teramat parah ketika malam hari
tiba. K rewel dan menangis terus menerus dengan keringat yang
muncul cukup banyak dari tubuhnya. Saat itu K dirawat selama 1
bulan di ruang ICU rumah sakit. Suami Mama D berkata jika K
mengalami TB, asma, dan kurang gizi.
“Dokter bilang, sesak nafas dengan TBC dan asma
dengan kurang gizi.”
Diagnosa dokter tersebut muncul setelah melalui tes
panjang, yang sayangnya kedua orangtua K tidak bisa
menjelaskan apa saja jenis tes tersebut. Namun besar
kemungkinan tes tersebut melalui tes atau uji laboratorium.
Kondisi kesehatan K yang buruk dengan diagnosa TB dan kurang
gizi, membuat kedua orang tuanya terpukul dan mencoba
mengira-ira apa pangkal masalahnya. Peneliti bertanya kepada
orangtua K, mengapa K bisa mendapat penyakit tersebut dan apa
sebabnya.
Suami Mama D, menjelaskan jika penyebabnya mungkin
adalah penanganan yang terlambat ketika di Puskesmas.
“Adek (K) makan banyak, kan setelah itu diurut (dipijat)
to, tidak tahu dia punya tulang pinggang yang belakang
ini ada begini (merenggang), tidak lurus. Saya tafsirkan
itu waktu dia melahir (dilahirkan) itu, karena lambat
penanganan, mungkin dia terbentur di apa..(besi di sisi
ranjang).”
Urut (pijat) yang dilakukan tersebut bertujuan untuk
mengembalikan posisi tulang K yang bengkok. Dukun yang
memijat K berkata, jika tulang bengkok tersebutlah yang
membuat dia mendapatkan penyakit TB dan gizi buruk. Dukun
menjelaskan jika tulang bengkok berakibat pada terhambatnya
228
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
sistem pernafasan K, akibatnya K terserang batuk. Karena sistem
pernafasan K terganggu, maka akibat selanjutnya adalah K tidak
memiliki nafsu makan yang baik, sehingga berat badannya terus
turun secara drastis, dan pada akhirnya terkena gizi buruk.
Pengakuan suami Mama D yang berkata K pernah dipijat
oleh dukun membuat peneliti tertarik, karena sebelumnya dia
pernah bercerita jika selama ini K hanya ditangani secara medis,
dan tidak pernah percaya akan dukun. Pengakuan tersebut juga
semakin membuat peneliti yakin bahwa banyak hal yang masih
samar peneliti lihat, banyak hal yang masih ditutupi oleh kedua
orangtua K. peneliti tidak hendak memaksa mereka untuk
membuka rahasia yang mereka simpan. Seiring berjalannya
waktu, peneliti ingin kedekatan yang mulai terjalin dapat
membuat mereka bercerita kepada peneliti dari hati mereka.
Peneliti melihat bahwa suami Mama D mendominasi
hampir semua percakapan yang Mama D lakukan, dan tampak
jelas dia tidak memberi kesempatan kepada istrinya untuk
berbicara banyak. Beberapa kali suami Mama D justru
mengUtarakan pembelaan yang terlalu berapi-api tentang
penyakit anaknya. Ketika kami bertanya tentang gizi buruk yang
dialami K, suami Mama D berkata jika gizi buruk anaknya bisa jadi
karena gaya hidup mereka yang sederhana, namun jika hal
tersebut bisa menjadi penyebab gizi buruk, mengapa kakakkakaknya tidak mengalami sakit yang serupa?
“Ai Jawa ada (yang) seperti ini juga? Gizi buruk kan bedabeda, ada yang kurang gizi betul dengan sesuatu yang
berakibat sehingga terjadi begini to. Kebanyakan yang
kurang gizi itu dari lahir, yang tidak normal memang, iya
to? Kalau ini lahirnya normal, 3.5 kg. Kita kan makan apa
adanya kan? Kalau dibilang sehat juga, kan kakakkakaknya tidak ada yang sakit to? Sehat semua. Kami
makan apa adanya to, tidak tergantung orang bilang
229
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
harus bersih to, orang Sumba itu apa adanya, makan apa
adanya. Memang untuk makan nasi ya nasi, tapi untuk
sayur mayur kadang-kadang saja to.”
K yang lahir pada tanggal 23 Agustus tahun 2012, belum
genap 2 tahun ketika peneliti pertama kali mengenalnya saat dia
datang di suatu kegiatan Posyandu bersama ibunya. Saat itu
berat badan K hanya 4,2 kg, dan begitu tampak tidak berdaya
digendongan Mama D yang juga tampak kuyu, kurus, dengan
mata yang cekung. K selalu tampak terbatuk, rewel, gelisah,
sering menangis dan bermata kuyu. Dia belum mampu berbicara
dan berjalan sama sekali. Kakinya lunglai dengan tulang kecil
berbungkus kulit saja. Wajah, pipi, dahi, dan matanya tampak
menonjol karena hampir tidak ada daging yang melekat.
Kedua belah tangannya teramat kecil, dan kedua tulang
bahunya tampak menonjol dengan bentuk yang mencolok.
Seringkali peneliti melihat K tidak memakai celana panjang dan
hanya dipakaikan celana seadanya, dan pada saat itu juga peneliti
akan melihat tulang panggul dan tulang rusuknya yang teramat
jelas, hampir tidak ada daging sama sekali di bagian tubuh
tersebut. Sejujurnya peneliti merasa iba, namun peneliti tidak
ingin menyinggung perasaan kedua orangtua K dengan
menunjukkan rasa iba peneliti kepada K.
Orangtua K bukannya tidak pernah memberi makanan
yang bernutrisi untuk K. Sudah beberapa kali peneliti melihat
Mama D menyuapi K dengan nasi berlauk ikan bakar. Mama D
tahu jika K harus makan bernutrisi untuk menaikkan berat
badannya. Sayangnya K tidak suka minum susu atau makan
biskuit, K justru gemar minum air gula, teh manis, dan kopi.
Interaksi K dengan orang lain hanya berupa tangisan atau
rengekan yang tidak menampakkan tetesan air mata. Jika K
merengek, tidak jelas apa yang dia minta kecuali jika jarinya
menunjuk sesuatu.
230
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tidak sepatah katapun pernah peneliti dengar keluar dari
bibirnya, walaupun orangtuanya berkata jika K bisa memanggil
orangtuanya dengan panggilan ‘bapa’ dan ‘mama’. K selalu
terbatuk, dan ketika terbatuk ada suara yang terdengar nyaring
di bagian dada dan tenggorokannya. Mungkin karena K masih
terlalu kecil, dia tidak mampu mengeluarkan dahak yang keluar.
Ketika terbatuk semua bagian tubuhnya terguncang, wajahnya
memerah, dan setelah itu dia akan langsung menangis seperti
menahan sakit.
Anehnya, Mama K berkata jika TB paru yang diderita K
sudah sembuh, karena sudah selesai minum ‘obat proyek’ selama
6 bulan tanpa berhenti. Hal ini bertolak belakang dengan apa
yang dikatakan oleh suami Mama D yang berkata jika ‘obat
proyek’ tersebut sempat dihentikan pemberiannya karena
membuat K kehilangan nafsu makan dan membuat tenggorokan
K kering. Mama K mencoba mengingat, saat terakhir K meminum
obat tersebut yaitu sekitar bulan Desember tahun 2013 lalu.
Ketika K masih aktif meminum ‘obat proyek’, obat
tersebut diambil setiap 2 minggu sekali di Puskesmas Melolo.
Mama D dan suaminya datang ke Puskesmas untuk mengambil
‘obat proyek’ yang sudah menjadi jatah K secara cuma-cuma.
Kedua orangtua K mengatakan bahwa seharusnya bukan mereka
yang aktif untuk datang ke Puskesmas untuk mengambil obat.
Jika Puskesmas sudah tahu ada pasien dengan diagnosa TB paru
positif dan butuh pengobatan, seharusnya Puskesmas lah yang
aktif datang untuk memberi pengobatan.
Seingat mereka, tidak ada bidan atau petugas yang
pernah datang sekali pun ke rumah mereka untuk memberikan
obat dan mengecek kondisi kesehatan K.
“Kemarin yang obat proyek itu kan kalau kita tanya
malah dong (mereka) diam, kan ada rekomendasi dari
Waingapu to untuk diberikan obat proyek ke adek (K).
231
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Lama-lama kita tunggu kan hanya diam saja, tidak dapat.
Kita tanya dulu (obat itu) baru kasih, makanya saya
pemalas (malas) pergi kesana. Saya tidak pernah injak ke
rumahsakit (Puskesmas). Seharusnya mereka yang cari
kita.”
Keterangan tersebut berbeda dengan keterangan salah
satu petugas kesehatan Puskesmas, yang pernah bertemu
dengan peneliti. Dia berkata bahwa petugas Puskesmas pernah
datang ke rumah K sebanyak satu kali, dengan tujuan untuk
mengobservasi kondisi tempat tinggal K dan keluarganya, mana
kala K baru saja terdiagnosa TB. Saat itu petugas kesehatan
melihat kesalahan fatal terletak pada kondisi rumah yang tidak
memiliki ventilasi cukup, dan diperparah dengan dapur yang
terletak di dalam rumah. Asap dari proses pembakaran kayu
bakar yang digunakan untuk memasak akan memenuhi seisi
rumah. K yang masih bayi sering kali ditinggalkan tertidur di
dekat dapur dan tentu saja akan terpapar asap secara langsung.
Keadaan rumah dengan kondisi seperti itu masih banyak
ditemukan di desa ini.
Peneliti tidak menutup kemungkinan jika asap memberi
pengaruh yang buruk pada kesehatan K sampai membuatnya
positif terinfeksi TB. Namun masih ada kemungkinan lain, bisa
jadi K terpapar atau tertular dari orang dewasa yang terlebih
dahulu terkena TB. Sulit untuk melacak apakah ada anggota
keluarga dekat atau keluarga jauh yang terlebih dahulu positif
terkena TB, karena kebanyakan dari mereka tidak melakukan
pemeriksaan secara akurat. Pun demikian dengan ibu kandung K
sendiri, yaitu Mama D. Batuk yang dia alami sudah berlangsung
lama dan tidak kunjung reda, namun tidak pernah ada
pemeriksaan yang dia lakukan.
Kerabat jauh dari Mama K yang pernah peneliti temui
secara tidak sengaja sempat berbisik jika sesungguhnya Mama D
232
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pun pasti terkena TB paru, dan sudah terkena ketika dia
mengandung K. Menurut kerabat Mama D tersebut, K tertular
dari ibu kandungnya sendiri sejak masih di dalam kandungan.
Peneliti tidak mungkin langsung percaya kepada prasangka
tersebut, karena bagaimana pun diagnosa yang valid memang
harus melalui serangkaian uji laboratorium.
Terlepas dari dugaan-dugaan di atas, kinerja Puskesmas
dan para personilnya yang dianggap pasif dalam melakukan
kunjungan memang menjadi catatan buruk bagi orangtua K.
Imbasnya sepasang suami istri ini tidak percaya akan kinerja
Puskesmas, dan merasa tidak puas dengan pelayanannya. Suami
Mama D terkesan merasa sangat kecewa jika dilihat dari
pernyataannya.
“Kalau menurut saya, memang tidak puas dengan
pelayanan. Begini.. kalau kita berobat, kita harus
menunggu, iya to? Lama sekali kan, harus mengantri,
dorang (mereka) sibuk-sibuk saja tidak tahu apa yang
dorang (mereka) kerja di belakang.”
Dari pernyataan yang suami Mama D keluarkan, peneliti
kemudian bertanya pelayanan apa saja yang membuatnya tidak
puas.
“Dari melayani, dari cara periksa, mungkin dorang
(mereka) bisa salah kasih obat juga.”
Lalu cara periksanya bagaimana? Pertanyaan peneliti
selanjutnya, dan kali ini dijawab sendiri oleh Mama D.
“Dorang (mereka) tanya-tanya saja, baru-baru ini dorang
periksa tidak pegang sama sekali. Dorang (mereka) tanya
sakit apa? Panas dan batuk begitu saja.”
Pengalaman yang mengecewakan seperti yang telah
diceritakan di atas, membuat mereka semakin malas untuk
sekedar berkonsultasi tentang masalah kesehatan di Puskesmas.
233
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Akibatnya informasi kesehatan yang seharusnya bisa diperoleh
dan bermanfaat tidak mereka dapatkan. Tuntutan agar pihak
Puskesmas sebagai pihak yang aktif dalam upaya pengobatan K
anaknya, mungkin terdengar biasa, namun tampaknya hal ini
jamak ditemukan dalam masyarakat. Petugas kesehatan dituntut
berperan ideal dan tidak luput dari salah dan masalah dalam
bertugas.
“Begini, kalau kita disini kurang koordinasi dengan
mereka. Kalau kita mau datang koordinasi..kan datang
mereka sibuk to. Jadi kita pemalas (malas) datang
koordinasi disitu. Penyakitnya seperti apa, artinya kita
curhat mengenai hal-hal yang seperti ini to.”
Hal yang disebut dengan ‘curhat’ dalam pernyataan suami
Mama D di atas kurang lebih berarti tukar pikiran. Sulit sekali
untuk bertukar pikiran dengan petugas Puskesmas, kurang lebih
begitu yang ingin disampaikan oleh suami Mama D. Bahkan
suami Mama D mengusulkan agar kami langsung datang dan
mengobservasi keadaan pelayanan Puskesmas, agar kami merasa
yakin dengan apa yang mereka sampaikan.
Tanggal 21 Juni 2014, suami Mama D meninggal dunia
karena kecelakaan sepeda motor. Suami Mama D yang kala itu
sedang mabuk berat berboncengan dengan seorang rekannya
yang juga dalam keadaan mabuk. Motor yang mereka kendarai
menabrak pembatas jalan, dan suami Mama D terlempar ke aspal
dengan kepala yang terlebih dahulu mencapai tanah. Bagian
kepalanya pecah dan tulang di tangan kanannya retak.
Sementara rekannya yang memegang kendali motor selamat.
Saat dibawa ke Puskesmas Melolo, kondisi suami Mama D
masih dalam keadaan sadar dan sempat diberi pertolongan
berupa beberapa jahitan di bagian kepala. Karena Puskesmas
merasa tidak mampu berbuat lebih, maka suami Mama D dirujuk
ke salah satu rumahsakit di Waingapu. Sesaat setelah masuk Unit
234
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Gawat Darurat, suami Mama D akhirnya meninggal dunia. Mama
D yang mendampingi suaminya dari pertama kabar kecelakaan
itu datang sampai detik terakhir hidupnya, kini menjadi seorang
janda tanpa penghasilan dengan enam orang anak.
Peringatan 3 hari kematian suami Mama D diadakan di
rumahnya, setelah sebelumnya melakukan pemakaman dan
upacara lainnya di daerah asal sang suami, Kecamatan Mangili.
Peneliti yang datang untuk mengikuti kebaktian pada sore hari
menjelang malam, bergabung dengan keluarga besar dan
tetangga dekat Mama D di bale-bale rumah. Doa dipanjatkan
oleh ayah kandung suami Mama D yang masih tampak
kehilangan. Berbeda dengan ayah mertuanya, Mama D tampak
begitu tegar. Bahkan bisa dikatakan dia tidak tampak sedih
sedikitpun. Sambil tetap menggendong K yang lemah di
gendongannya, Mama D menjalani semua urutan acara dengan
tenang dan tegar.
Setelah doa selesai dipanjatkan, acara dilanjutkan dengan
makan malam bersama. Baskom-baskom besar berisi nasi, daging
anjing, dan daging ayam yang dimasak kuah disajikan dengan air
mineral dalam kemasan. Santap malam tersebut berlangsung
cepat dalam hening dan gelap, karena hampir tidak ada orang
yang terdengar mengobrol dan tidak ada listrik yang menerangi
rumah. Sunyi dan gelap.
Meninggalnya sang suami meninggalkan pertanyaan bagi
Mama D, bagaimana dia dapat menafkahi diri dan anak-anaknya
setelah suaminya meninggal, jika K tidak mungkin dia tinggalkan
untuk bekerja? Itulah topik perbincangan yang kami bicarakan di
pertemuan selanjutnya. K tergantung sepenuhnya kepada Mama
D, tidak ada satu pun aktivitas K yang tidak dibantu oleh Mama D.
Setelah suaminya meninggal, semua beban di keluarga akan
jatuh ke pundak Mama D seorang.
235
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mama D sendiri hanya memiliki keahlian menenun untuk
menghasilkan uang. Menenun membutuhkan kesabaran,
konsentrasi, serta alokasi waktu yang tinggi. Mama D sadar,
selama K masih bergantung kepada dirinya dia tidak akan
mungkin bekerja tenun atau bekerja lainnya. Sepeninggal
suaminya, peneliti justru semakin dekat dengan Mama D.
Perbedaan yang paling mencolok setelah suaminya meninggal
adalah, Mama D jauh lebih terbuka kepada peneliti pada saat
mengobrol. Hal yang tidak peneliti duga, Mama D menceritakan
banyak hal yang dia tutupi tanpa harus peneliti tanya. Sebut saja
bahwa ini adalah hikmah dibalik musibah. Tanpa mengurangi
rasa hormat kami kepada almarhum suami Mama D yang telah
dipanggil Tuhan, peneliti memang merasa ada hikmah dibalik
kepergiannya.
4.2.2. Kenapa Yang Lain Tidak Kena?
“(Kalau ini penyakit TB) Kenapa anak yang lain tidak
kena, sehat-sehat. Tapi kenapa anak yang terakhir ini dia
bisa dapat penyakit yang begitu?”
Itulah pertanyaan yang diajukan Mama D kepada peneliti,
ketika peneliti datang berkunjung ke rumahnya di suatu sore.
Lalu jika bukan TB, apa penyakit yang diyakini Mama D sebagai
penyakit yang telah menyerang putri bungsunya? Apung.
Berbagai alur cerita yang telah diceritakan oleh Mama D dan
almarhum suaminya, ternyata cerita yang tidak sepenuhnya
benar. Peneliti yakin ada alasan dibalik cerita mereka yang
sebagian besar ditutupi kebenarannya, tetapi peneliti tidak
menanyakan alasan itu.
Butuh proses yang panjang bagi siapa pun untuk
memutuskan dapat bercerita tentang kisah hidup mereka yang
sebenarnya kepada orang lain. Peneliti menghormati proses
236
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
tersebut, dengan tidak menanyakan alasan dibalik ketertutupan
Mama D dan suaminya di waktu yang lalu. Apung. Ya, ternyata
apung. Selama ini Mama D dan almarhum suaminya yakin jika
apa yang menimpa anak bungsunya bukanlah penyakit medis
yang disebut TB, tetapi apung. Apung secara umum memiliki
gejala berupa batuk yang berlendir. Apung mungkin bukan hal
yang sensitif untuk dibicarakan. Namun bagi sebagian orang,
menyebut apung berarti mengungkit ngilu tama, yaitu ngilu yang
‘dibikin’ oleh orang atau pihak lain.
Ketika dulu perut K mulai tampak kembung saat berusia 2
bulan, Mama D dan suaminya membawanya ke dukun terlebih
dahulu, bukan ke Puskesmas. Kala itu K dan Mama D baru saja
pulang dari Posyandu ketika kembung tersebut mulai terasa.
Dukun yang pertama kali mengobati K mengobati perut kembung
K dengan menyembur perutnya dengan kunyahan sirih pinang
(hawurut), lalu menempelkan ramuan obat-obatan yang tidak
diketahui komposisinya di tali pusat K. Bukan kesembuhan yang
didapat, justru tali pusat K bengkak seperti bisul dan bernanah.
Kala itu sang dukun berkata jika K terkena apung.
Setelah tali pusat K terluka parah dan bernanah, Mama D
dan almarhum suaminya baru membawanya ke Puskesmas.
Setelah membawa K ke Puskesmas dan kemudian ke rumahsakit
di Waingapu, orangtua K melakukan upaya medis untuk
pengobatan K dengan memberi K ‘obat proyek’. ‘Obat proyek’
gratis dari Puskesmas yang diberikan dengan tujuan untuk
mengobati TB, sedianya diminum dengan kepatuhan luar biasa,
tidak boleh ada kata terlambat atau terlewat dalam
mengkonsumsi obat tersebut. Lalu apakah K memang meminum
‘obat proyek’ tersebut dengan patuh?
Sebelum mencari tahu jawaban dari pertanyaan tersebut,
peneliti berusaha menjadi pendengar yang baik saat Mama D
bercerita tentang dirinya dan tentang K. Peneliti masih ingat,
237
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mama D pernah berkata jika interaksi K dengan dukun hanya
pada saat dukun memijat tulang-tulang K yang dianggap
bengkok. Ketika K mulai mengkonsumsi ‘obat proyek’ secara
teratur, interaksi dengan dukun tidak dilanjutkan karena Mama D
yakin akan pengobatan medis. Jadi interaksi pertama dan satusatunya dengan seorang dukun adalah saat pertama kali K dipijat.
Kurang lebih begitu yang dikatakan Mama D, sebelum suaminya
meninggal kala itu.
Karena merasa yakin dengan ‘obat proyek’, Mama D
berusaha memberikan obat tersebut secara patuh dan teratur.
Pada akhirnya obat tersebut sempat berhenti diberikan karena
dirasa membuat nafsu makan K hilang dan membuat
tenggorokan K kering. Walaupun begitu, Mama K masih tetap
mengambil obat tersebut ditambah dengan jatah susu formula
setiap dua minggu sekali di Puskesmas secara teratur. Telah
disebutkan sebelumnya jika K terakhir kali meminum ‘obat
proyek’ sekitar bulan Desember tahun 2013 dan Mama D
mengaku telah memberikannya selama 6 bulan. Jika memang
‘obat proyek’ tersebut diberikan secara semestinya, seharusnya K
sudah mendapatkan kesembuhan dari penyakit TB.
Nyatanya K masih saja terbatuk setiap saat, tidak memiliki
nafsu makan, selalu rewel, tetap berkeringat di malam hari, dan
tampaknya komplikasi gizi buruk yang diderita juga semakin
memperparah keadaan kesehatan K. Tidak ada tindak lanjut
berupa observasi, uji laboratorium, atau hal serupa setelah itu.
Mama D hanya berkata, pernah ada petugas kesehatan dari
Puskesmas yang datang sebanyak dua kali untuk menimbang
berat badan K saja. Jadi tidak ada yang mengetahui dengan pasti,
apakah K sudah terbebas dari TB atau belum, walaupun secara
medis dapat disimpulkan jika ‘obat proyek’ yang seharusnya
dikonsumsi secara teratur tidak dikonsumsi secara semestinya,
berarti upaya mendepak kuman TB dari tubuh K telah gagal.
238
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Kepatuhan meminum ‘obat proyek’ yang dilanggar, tidak
semata-mata karena alasan bahwa obat tersebut membuat nafsu
makan K menurun dan membuat tenggorokan K kering. Tetapi
karena sesungguhnya orangtua K merasa yakin jika K bukan
terkena TB, tetapi terkena ngilu apung. Hampir semua orang
Sumba yakin jika sudah terkait dengan ngilu maka penyembuhan
melalui cara medis bukanlah cara yang tepat. Penyembuhan ngilu
hanya bisa dilakukan melalui satu cara yaitu cara penyembuhan
tradisional.
Dalam budaya Sumba dikenal beberapa macam dukun,
dan secara garis besar bisa dibedakan menjadi dukun bayi dan
dukun penyembuh. Tetapi pada banyak kasus yang peneliti
temui, dukun bayi ternyata juga memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan sakit. Dukun penyembuh dalam budaya Sumba,
memiliki kemampuan berbeda dalam memegang ngilu dan anakanaknya (muru atau na’i). Seorang dukun bisa ‘memegang’ satu
atau lebih dari satu jenis anak-anak ngilu, tetapi tidak mungkin
memegang semuanya. Memegang dalam hal ini sama halnya
dengan menaklukkan atau menyembuhkan.
Intinya, satu jenis muru atau na’i bisa disembuhkan, jika
yang mengobati adalah orang yang ‘pegang’ atau punya cara
menaklukkan muru atau na’i tersebut. Jika orang yang terkena
ngilu tersebut tidak kunjung sembuh, maka orang tersebut
dianggap belum berhasil bertemu dengan penyembuh yang
‘pegang’ ngilu, dan itulah yang terjadi dengan K jika dilihat dari
sudut pandang Mama D.
“Apung itu kan ada yang pegang dia punya muru na...
barangkali belum dapat yang pegang dia punya muru
jadi belum sembuh na...”
Sejak interaksinya dengan dukun yang pertama kali,
setelah itu Mama D dan suaminya terus berusaha mencari dukun
239
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang ‘pegang’ apung tetapi belum juga berhasil. Dukun-dukun
yang didatangi tersebut semuanya adalah dukun yang tidak
‘pegang’ apung, walaupun mereka pun berupaya memberikan
pengobatan dengan memberikan ramuan-ramuan yang tidak
diketahui secara jelas bahan atau komposisinya. Mama D
bercerita, semua dukun yang dia datangi mendiagnosa K bukan
terkena TB tetapi terkena apung, dan semua dukun tersebut juga
berkata bahwa apung tersebut datang karena ‘dibikin orang’.
“Sebenarnya ada orang yang bikin, kalau sementara
sehat-sehat dia kuat makan, tapi sebentar dia tidak mau
makan, batuk lagi.”
Pengamatan Mama D terhadap nafsu makan K yang hilang
muncul, ternyata dikaitkan dengan apung yang ‘dibikin’ orang.
Dia berpikir jika K sedang tidak nafsu makan, berarti apung
tersebut sedang bekerja, dan sebaliknya jika nafsu makan K
sedang baik, maka apung tersebut sedang tidak bekerja. Lalu
siapa yang ‘bikin’? apakah mungkin balita sekecil itu memiliki
musuh yang tega membuatnya menderita, tanya peneliti kepada
Mama D. Dia menjelaskan jika semasa hidupnya almarhum
suaminya memiliki banyak musuh, dan orang yang telah
mengirim ngilu apung kepada K adalah orang yang tidak suka
dengan suami Mama D, atau ayah kandung K.
Motif balas dendam dengan menyakiti orang terdekat
tampaknya menjadi maksud atau tujuan dari si pengirim apung.
Peneliti tidak tahu bagaimana dukun-dukun yang telah dijumpai
Mama D menyimpulkan itu, namun Mama D berkata jika hal
tersebut diketahui ketika dukun meraba bagian tubuh K saat
dipijat atau diurut. Pemijatan dan pengurutan dengan memakai
ramuan memang metode utama yang dilakukan oleh dukun,
selain anjuran untuk merebus air dengan memakai mata kail
pancing setiap hari untuk K.
240
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Dukun-dukun yang telah ditemui Mama D juga
menyampaikan hal yang hampir sama, yaitu apung yang diderita
K ternyata ada yang ‘bikin’ dan orang yang ‘bikin’ tersebut
terdorong oleh rasa sakit hati dengan suami Mama D yang
dianggap terlalu besar mulut. Menariknya, dukun-dukun tersebut
secara kompak berkata jika mereka tidak mengetahui secara
pasti identitas orang yang ‘bikin’ apung tersebut, dan jika mereka
mengetahui pun, mereka tidak diperbolehkan untuk
mengatakannya karena bisa menimbulkan konflik. Konflik yang
bisa terjadi adalah adanya pembalasan dendam dari korban
kepada individu yang ‘membikin’ apung, melalui cara-cara magis
dengan campur tangan dukun.
Balas dendam dalam ajaran Marapu adalah sebuah
larangan keras, dan hal ini pun menjadi salah satu alasan dukun
untuk tidak memberitahukan pihak-pihak yang dianggap sebagai
pengirim ngilu. Walaupun sebenarnya diagnosa dukun bersifat
subjektif, namun Mama D pun merasa yakin dengan hal tersebut,
bahkan dia pun memiliki firasat tentangnya.
“Kita juga firasat karena kita pernah apa itu... kita
pernah besar mulut, bertengkar begitu, rasa punya
salah...”
Meskipun dukun-dukun yang telah didatangi belum juga
memberikan kesembuhan bagi K, Mama D tidak patah semangat.
Dia tetap yakin jika sudah bertemu dengan dukun yang tepat
maka K bisa sembuh. Saking banyaknya jumlah dukun yang telah
didatangi, membuat Mama D tidak mampu mengingat berapa
jumlah pasti dukun-dukun telah yang dipakai jasanya. Setiap
dukun diberikan bayaran berupa uang dengan jumlah nominal
yang berbeda, besarnya berkisar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp.
50.000,- tergantung dengan uang yang dimiliki Mama D saat itu.
241
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kadang kala ada dukun yang bersedia datang ke rumah
Mama D, namun ada kalanya juga Mama D yang datang ke
rumah si dukun. Berbeda dengan ‘obat proyek’ yang diberikan
secara gratis dari Puskemas, mencari kesembuhan ke dukun
ternyata membutuhkan biaya. Walaupun saat program minum
‘obat proyek’ selama enam bulan telah usai, K masih sering
dibawa untuk berobat ke Puskesmas jika dia terserang demam.
Untuk biaya berobat tersebut, K hanya dikenai biaya sebesar Rp.
5000,- karena K belum tercantum dalam bantuan Jamkesmas
milik kedua orangtuanya.
Imbalan yang diberikan kepada dukun sebenarnya tidak
hanya berupa uang. Biasanya selain uang, pasien atau pemakai
jasa dukun juga memberikan hewan seperti ayam. Imbalan ini
dimaksudkan untuk ‘kasih dingin’ penyakit atau mendinginkan
penyakit. Tujuan ‘kasih dingin’ penyakit adalah untuk mencegah
penyakit tersebut datang kembali kepada pasien atau si sakit.
Setiap dukun memiliki aturan atau ritual sendiri dalam hal ‘kasih
dingin’ ini.
Terkadang ada yang menerima uang dan tidak mau
menggunakan uang tersebut, karena akan dibuang bersama sisa
obat. Ada juga yang menggunakan uang tersebut dan
beranggapan jika uang ini sama saja dengan upah yang mereka
terima. Lalu ada juga yang menerima hewan sebagai media untuk
‘kasih dingin’, yang akan mereka pelihara sebagai hak milik
mereka. Jika ternyata ritual ‘kasih dingin’ sudah dilakukan namun
penyakit yang diderita pasien tidak kunjung hilang maka ada dua
kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, dukun
yang mengobati atau menyembuhkan penyakit ternyata bukan
dukun yang tepat karena bukan dukun yang ‘pegang ngilu’.
Kemungkinan kedua, ada yang salah dengan ritual ‘kasih dingin’
yang dilakukan tersebut. Kesalahan bisa berupa kesalahan
242
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
perilaku atau ucapan yang bisa berasal dari si dukun, atau bisa
juga berasal dari pasien.
Dukun yang gagal memberi kesembuhan lebih bisa
ditoleransi kegagalannya oleh pasien karena apologi mereka yang
telah disebutkan di atas, yaitu karena belum menemukan yang
‘pegang ngilu’, dan ada yang salah dalam ritual ‘kasih dingin’. Jadi
dalam hal ini, dukun tetap dianggap tidak bersalah. Beda halnya
jika petugas medis melakukan kesalahan saat mendiagnosa
penyakit atau melakukan kesalahan saat memberikan obat,
hampir tidak ada toleransi. Kesalahan akan mutlak tertuju pada
petugas medis tersebut, dan kesalahan tersebut berujung kepada
tuduhan ‘tidak cakap dalam bekerja’ atau ‘tidak pintar’.
Pola pikir seperti di atas pun tertanam dalam benak
Mama D. Berulang-ulang kali dia mencari dan mengobati K ke
banyak dukun, hasilnya tetap saja sama. K tetap belum
mendapatkan kesembuhan. Usaha untuk mendapatkan
kesembuhan terus dilakukan dan masih dengan cara yang sama,
yaitu meminta bantuan dukun. Kali ini dukun yang dipakai
jasanya adalah seorang dukun perempuan yang masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan almarhum suaminya.
Hari dimana almarhum suami Mama D mendapatkan
kecelakaan fatal, saat itu adalah hari pertama dukun tersebut
memijat K di rumahnya. Pemijatan pertama tersebut bertujuan
untuk ‘kasih tes’, artinya si dukun sedang mencari tahu apakah K
memang terkena apung, dan apakah sakit K karena ‘dibikin’
orang. Ketika tangan dukun meraba seluruh badan K, si dukun
mengaku mampu merasakan jika sakit K memang karena apung
yang ‘dibikin’ orang. Ketika proses pemijatan tersebut terjadi,
almarhum suami Mama D merasa keberatan karena perbuatan
tersebut dianggap melanggar perintah agama, dan dia memilih
untuk berada di luar rumah.
243
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sempat terjadi percekcokan antara si dukun dengan
almarhum suami Mama D yang merupakan sepupu dekatnya.
Keangkuhan dan keacuhan almarhum telah mengundang banyak
musuh dalam hidupnya, dan karena itulah ada musuh yang
melampiaskan rasa sakit hatinya dengan menyakiti orang
terdekat almarhum suami Mama D. Sakit yang diderita K
ditengarai sebagai akibat dari ngilu yang dibikin oleh salah satu
musuh ayahnya tersebut. Si dukun sempat menghardik
almarhum suami Mama D dengan kata-kata yang keras, hal ini
diceritakan oleh Mama D sendiri.
“Gara-gara kau punya mulut sudah..baru anak sakit
begini. Lalu dia (almarhum suami Mama D) omong
‘Tuhan yang tahu, tidak perlu percaya yang luar-luar’.
Dia masih omong begitu sama itu dukun.”
Ketika Mama D memberitahu peneliti tentang rencana
pemijatan K dengan dukun yang sama, peneliti langsung meminta
izin diperkenankan melihat prosesnya. Ada rasa ragu yang
tampak terlihat dari wajah Mama D, tetapi sejurus kemudian dia
mengiyakan. Kesempatan tersebut tidak peneliti sia-siakan.
Sepanjang peneliti mengenal Mama D dan keluarganya, peneliti
belum pernah sekalipun memiliki kesempatan untuk melihat
proses pengobatan K. Sikap tertutup Mama D dan keluarganya
yang berlangsung cukup lama, sempat membuat peneliti putus
asa. Tetapi tampaknya semua akan berjalan lancar pada akhirnya.
Di suatu sore yang berangin kencang, peneliti kembali
berkunjung ke rumah Mama D untuk melihat proses pemijatan K.
Rencananya si dukun penyembuh akan tiba pukul 17.00 WITA,
dan peneliti telah tiba di rumah Mama D sebelum pukul 17.00
WITA. K yang akan dipijat tampak seperti biasanya, lemah dan
kuyu dengan rengekan yang terdengar setiap waktu. Sampai
pukul 18.00 WITA, orang yang peneliti tunggu tidak kunjung tiba.
Hari sudah mulai gelap dan angin begitu kencang bertiup. Jaket
244
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
yang peneliti pakai tidak mampu melindungi peneliti dari rasa
dingin, namun anehnya K masih mengenakan celana pendek
seperti biasanya.
Sekitar pukul 18.30 WITA, ada suara motor yang
terdengar mendekat ke rumah Mama D. Gelapnya susana rumah
karena tidak aliran listrik, membuat peneliti sedikit memicingkan
mata untuk melihat siapa yang datang. Di bale-bale rumah yang
sempit, peneliti duduk menunggu kedatangan si dukun dengan
diterangi satu buah senter yang menyala di bagian tengah
ruangan saja. Tiba-tiba dua orang pengendara motor tersebut
turun dari motor, dan mengucapkan salam ‘selamat malam’
kepada kami semua. Sepasang laki-laki dan perempuan paruh
baya duduk di samping peneliti, dan ternyata mereka adalah
orang yang peneliti tunggu lebih dari satu jam lamanya.
“Dari mana?” tanya mereka sembari tersenyum kepada
peneliti. Belum sempat peneliti menjawab, tiba-tiba Mama D
berkata, “dari kesehatan, mereka ingin lihat K diobati”. Sontak
wajah sepasang suami istri tersebut berubah drastis. Ekspresi
mereka tidak terbaca, entah karena apa. Basa-basi yang mereka
lakukan kepada peneliti tiba-tiba mengarah kepada kalimatkalimat yang defensif. Semakin lama semakin tidak terkontrol
dan cenderung penuh emosi.
Mereka berdua membahas banyak hal tentang
pengalaman dan praktek pengobatan mereka yang dinilai buruk
secara medis. Mereka berdua dengan intonasi keras berkata jika
apa yang mereka lakukan adalah atas izin dari Tuhan, dan
pengobatan yang mereka lakukan pun berasal dari Tuhan, sama
halnya dengan pengobatan medis. Mereka bersahut-sahutan
berbicara mengenai kesehatan, mengenai penyakit, dan
mengenai apa yang boleh dilakukan, dan tidak boleh dilakukan
menurut mereka. Peneliti mengernyitkan dahi, kaget dan
245
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bingung. Tidak sepatah katapun peneliti diberi kesempatan untuk
berkata.
Entah apa yang salah dengan peneliti, yang pasti
perkataan Mama D yang berkata kalau peneliti dari ‘kesehatan,’
dan ingin melihat pemijatan K adalah pemicunya. Setelah
meracau cukup lama, peneliti baru tahu jika yang akan
mengobati K adalah sang istri. Dialah dukun yang akan beraksi.
Namun ada satu hal yang menarik dari kata-kata yang terlontar
dari suami si dukun, yang dapat kami ingat dengan jelas.
“Kalau kita berpikir negatif, kita bisa berpikir bahwa ini
(pengobatan oleh dukun) berlawanan dengan
pengetahuan kesehatan.”
Pernyataan di atas adalah ungkapan kekesalan mereka,
yang selama ini selalu merasa disalahkan oleh petugas
kesehatan, karena pengobatan mereka yang dianggap salah jika
dilihat dari sudut pandang medis. Walaupun peneliti merasa
disudutkan, peneliti masih terdiam karena semakin lama apa
yang mereka katakan secara bertubi-tubi semakin menarik untuk
peneliti dengar. Salah satunya ketika si dukun berkata tentang
kesalahan fatal yang dilakukan oleh Mama D, adalah ketika dia
melahirkan di Puskesmas, karena bayi yang lahir dengan dibantu
oleh tenaga kesehatan tidak pernah diperlakukan dengan benar.
“Kalau saya, bayi yang baru lahir harusnya dibalik
badannya, posisi kaki di atas lalu goyang keras-keras tiga
kali supaya dahak bisa keluar dari dahak dan hidung.”
Keluarnya dahak dari mulut dan hidung bayi menurut
dukun tersebut, bermanfaat untuk mencegah si bayi dari
berbagai penyakit kelak, terutama penyakit yang terkait dengan
dahak, termasuk apung. Cukup sulit untuk menghentikan
pembicaraan satu arah tersebut, karena mereka tampaknya
memang orang yang suka bicara. Mama D sendiri hanya terdiam
246
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dengan akspresi yang tampak merasa bersalah. K masih
merengek seperti biasa, tidak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya. Malam semakin larut dan dingin, peneliti takut
pengobatan yang seharusnya sudah dilakukan dari tadi justru
akan terlambat, karena kedatangan peneliti. Peneliti khawatir
akan mengganggu istirahat K yang mulai semakin gelisah.
Merasa jika momentum berharga tidak selalu bisa datang
dua kali, peneliti berusaha keras mencari celah untuk mengambil
hati mereka. Ketika peneliti berkata bahwa pengobatan yang
mereka lakukan tentu akan berharga bagi ilmu pengetahuan
kesehatan, mereka akhirnya luluh. Saat masih menggebu-gebu
ketika memojokkan peneliti, mereka berkata jika mereka adalah
orang Kristen yang tidak mungkin percaya dengan hal-hal magis
yang dilarang oleh agama yang mereka anut, termasuk percaya
jika apung yang diderita K adalah apung yang ‘dibikin’ orang.
Percaya pada adanya apung berarti secara tidak langsung
percaya kepada Marapu, dan percaya kepada Marapu berarti
melanggar perintah agama Kristen yang mereka peluk.
Namun setelah peneliti dan sepasang suami istri tersebut
‘berdamai’, mereka bercerita banyak hal yang berlawanan
dengan apa yang mereka katakan sebelumnya. Si dukun
perempuan dengan yakin berkata;
“Sakit dari Marapu harus disembuhkan dengan cara
Marapu juga. Nanti dia akan sembuh dengan
sendirinya.”
Sebelum mereka berubah pikiran, peneliti segera
mempersilahkan agar proses pengobatan segera dilakukan
dengan alasan hari sudah semakin malam.
Duduk hanya diterangi cahaya dari sebuah senter di
tengah ruangan yang sempit, wajah Mama D, wajah K, wajah
anak-anak Mama D yang lain, dan tentu saja wajah si dukun
247
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
terlihat samar. Wajah yang K yang tepat berada di depan nyala
senter menatap kami lama, tatapannya tidak terbaca namun
yang pasti bukan tatapan takut seperti hari-hari sebelumnya.
Intensitas pertemuan peneliti dan K semakin tinggi sejak Ayahnya
meninggal, dan K tampak mulai terbiasa dengan keberadaan
peneliti.
Walaupun masih balita, sepertinya K mulai sadar jika dia
telah kehilangan ayahnya karena kondisi kesehatannya mulai
memburuk. Ketika pemakaman ayahnya dilakukan, K sempat
tidak sadarkan diri dan mengalami bengkak di kedua kakinya,
menurut Mama D hal tersebut terjadi karena ada ikatan batin
antara Ayah dan anak. Ikatan batin tersebut bisa jadi mulai
muncul justru ketika almarhum suami Mama D meninggal. Ketika
masih hidup, almarhum suami Mama D tidak berbuat banyak
dalam membantu perawatan K. Almarhum suaminya sering pergi
berbulan-bulan tanpa kabar dan nafkah atau pergi dengan
teman-temannya menghabiskan malam. Sempat terlontar dari
mulut Mama D tentang rasa kecewa yang mendalam terhadap
suaminya tersebut beberapa hari setelah suaminya meninggal.
Ekspresinya saat itu datar, tidak tampak kesedihan sama sekali.
Proses pengobatan akan segera dimulai. K tampaknya
mulai sadar jika dia akan menjadi obyek pengurutan seperti
beberapa hari sebelumnya. Sambil memandang wajah si dukun, K
mulai menangis dengan suara lemah. Pakaiannya mulai dilepas
satu persatu, tubuhnya yang sangat kurus terlihat mencolok
dengan tulang yang tampak tidak berbalut daging. Tidak ada
energi untuk melawan atau memberontak, kedua belah
tangannya hanya mampu mengepal lemah. Dengan dipangku
ibunya, K terbaring lemah dan siap untuk diurut.
Dukun menyiapkan sebotol ramuan yang tampak
berwarna kecoklatan yang berisi air dan akar-akar tumbuhan.
Botol yang dipakai tampak seperti botol bekas minuman dalam
248
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
kemasan, atau mungkin bekas botol kecap. Seperti biasa, dukun
tersebut tidak bersedia mengatakan jenis akar apakah itu.
Ramuan tersebut yang digadang-gadang sebagai ramuan dari
Tuhan, sama halnya seperti obat dari rumahsakit. Perbedaannya,
ramuan si dukun datang dari Tuhan lewat mimpi, sedangkan
obat-obatan medis datang dari Tuhan melalui tangan-tangan dan
buah pikiran manusia penemunya.
Ramuan dari botol yang tidak berbau tersebut dioleskan
ke telapak tangan si dukun. Dengan tangan kanannya dia
mengurut bagian perut K, dari arah bawah menuju ke atas.
Pengurutan dimulai dari bagian perut, karena si dukun yakin jika
bagian tersebut mengalami pembengkakan, dia menyebut ada
‘biji-biji’ di bagian dalamnya. Di bagian perut bersarang lendir
yang mengumpul sampai ke bagian dada, lendir itulah yang akan
dikeluarkan dengan cara diurut.
“Karena ada bengkak disini (di perut) lalu naik ke atas (ke
bagian dada). Kalau ini minum obat rumah sakit nanti
tambah kering, lendir tidak bisa keluar. Jadi harus pakai
ramuan.”
Gerakan yang dimulai dari bawah ke arah atas
dimaksudkan untuk mengangkat lendir tersebut sampai ke
tenggorokan. Jika lendir sudah sampai ke tenggorokan, lendir
bisa dikeluarkan ketika K muntah. Sebaliknya jika pengurutan
dilakukan dari atas ke arah bawah, lendir yang akan dibuang
dikeluarkan lewat dubur bersama bersama tinja ketika buang air
besar. Pada kasus yang lain, si dukun pernah sengaja
memberikan ramuan akar-akaran yang harus diminum oleh
pasiennya.
Akar-akaran tersebut bertujuan untuk membuat pasien
mengalami mencret. Dalam keyakinan si dukun, mencret adalah
proses pengeluaran hal-hal yang bersifat panas dari dalam tubuh.
Hal-hal yang bersifat panas diasumsikan sebagai penyakit yang
249
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bersarang di dalam tubuh pasien. Jika ternyata mencret tersebut
justru tidak kunjung sembuh, pasien baru diperbolehkan untuk
mencari pengobatan secara medis.
Gambar 4.2.
K yang Sedang Diurut oleh Dukun
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Setelah selesai mengurut bagian perut K selama sekitar 5
menit dengan gerakan statis tersebut, pengurutan dilanjutkan ke
bagian punggung K. Badan K dibalik sehingga memunggungi si
dukun, dan dia mulai mengurut bagian punggung K dari arah atas
menuju ke bawah, dengan lama sekitar 5 menit. Inti dari semua
gerakan tersebut adalah mengeluarkan lendir yang ada di dalam
tubuh, sampai habis tiada bersisa. Itulah kunci menaklukkan
apung. Selama mengurut K si dukun berkata jika apung yang
diderita K bisa disembuhkan, dan dia akan berusaha untuk
menyembuhkannya.
Selama sang dukun berusaha menyembuhkan K, dia tidak
menginginkan K diberi pengobatan lain seperti pengobatan
medis. Namun jika ternyata dia tidak mampu, maka dia tidak
250
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
akan menghalangi Mama D untuk membawa K ke rumah sakit
atau Puskesmas. Dukun tersebut memang tidak yakin jika apung
bisa disembuhkan jika diobati melalui cara medis, karena apung
hanya bisa disembuhkan melalui cara tradisional berdasarkan
ajaran Marapu. Jadi kesembuhannya pun harus atas campur
tangan nenek moyang.
“Dari nenek moyang kita, dari dulu penyakit ini (apung)
sudah ada memang.”
Usai mengurut K, si dukun tidak lantas pergi. Dia dan
suaminya masih tinggal cukup lama untuk mengobrol dengan
peneliti dan Mama D. Putri tertua Mama D menyajikan kopi
panas untuk peneliti minum, setelah selesai membakar ikan
untuk lauk makan malam K. Kopi panas dengan asap mengepul
tersaji di depan peneliti. Ini adalah kali kedua peneliti meminum
kopi di rumah Mama D. Meminum sajian dari tuan rumah adalah
kewajiban bagi peneliti, untuk menghormati penghargaan dan
jerih payahnya dalam membuat minuman tersebut.
Walaupun begitu ada rasa khawatir dalam diri peneliti,
rasa khawatir terjadi sesuatu yang tidak peneliti inginkan, rasa
khawatir tertular TB, rasa khawatir yang menurut peneliti
manusiawi. Sebelumnya peneliti selalu membawa sebotol air
mineral jika peneliti berkunjung ke rumah Mama D. Hal tersebut
bukan karena semata-mata kami takut tertular TB dari perangkat
makan dan minum yang sama. Alasan lain adalah karena kami
tahu Mama D dan hampir semua orang yang kami kenal di desa,
ini tidak memasak air yang mereka minum sehari-hari. Pun
dengan air panas yang mereka pakai untuk menyeduh teh atau
kopi, mereka tidak akan menunggu sampai mendidih. Asalkan
sudah cukup panas, bagi mereka itu sudah cukup. Mereka tidak
merasa jika memasak air sampai mendidih itu hal penting, karena
nyatanya hal itu tidak membunuh mereka.
251
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sejujurnya, kopi encer tersebut tidak terasa nikmat di
lidah. Mungkin karena air yang dipakai untuk menyeduh memang
air yang belum dimasak secara sempurna, atau karena gelasnya
memang masih berbau. Bukan peneliti bermaksud untuk bersikap
manja dengan keadaan yang serba terbatas, namun ada satu hal
lagi yang membuat nyali peneliti menciut jika disuguhi minuman
panas atau dingin. Di beberapa rumah yang pernah peneliti
kunjungi, sebagian besar dari mereka tidak mencuci gelas yang
sudah mereka pakai untuk minum, meskipun akan digunakan
untuk menyuguhkan minuman untuk tamu.
Air yang dipakai Mama D dan keluarga untuk minum
sehari-hari, di ambil di sumur yang terletak jauh di belakang
rumah, sekitar 50 meter jauhnya. Untuk mandi dan mencuci,
mereka lakukan di sungai atau mengambil air dari sungai yang
harus dijangkau dengan menuruni jalanan terjal berbatu, yang
jaraknya sekitar 50 meter juga. Perjuangan untuk memperoleh
air ternyata cukup sulit dan melelahkan. Walaupun begitu Mama
D mengaku tetap rajin memandikan K setiap pagi dan sore,
dengan menggunakan air hangat yang dicampur daun-daun yang
dipercaya berkhasiat untuk obat, seperti daun mengkudu atau
daun beringin.
Obrolan tentang sumber air berhasil mengisi suasana
malam sesaat sudah K diurut. K yang sudah berhenti menangis
sibuk membuka mulut saat Mama D menyuapinya dengan nasi
berlauk ikan bakar berbau sedap. Balita tersebut duduk sendiri di
atas lantai papan, pantat dan kakinya yang teramat kurus
ternyata mampu menopang anggota tubuhnya yang lain untuk
duduk. Sesekali dia mengawasi peneliti dan si dukun dengan
tatapan datar dan lama. Sesekali juga dia melirik gelas kopi kami,
dan dia merengek memintanya. Belum habis nasi dan ikan di atas
piring tiba-tiba K tertunduk lemah, dan tampak mulai
memejamkan mata. Mama D berkata kalau K sudah mulai
252
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mengantuk, tetapi peneliti tidak melihatnya demikian. Ada
sesuatu yang aneh, K bukan mengantuk tetapi tampaknya tibatiba kehilangan kesadaran sedikit demi sedikit. Ketika K mulai
membuka mata kembali, kali ini dia benar-benar jatuh tertidur.
Ada perasaan aneh yang sempat terbersit di hati peneliti,
apa lagi jika mengingat tatapan datar K sebelumnya. Sebelum
kami berpamitan pulang dan berusaha mengakhiri obrolan,
Mama D dan si dukun masih sibuk berbincang tentang banyak hal
yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Udara semakin dingin
dan malam semakin mencekam, tetapi bulu kuduk kami tidak
bereaksi berlebihan atas itu semua. Tetapi hal tersebut tidak
berlaku ketika mereka berdua menceritakan tentang kematian
ayah K yang tragis. Selain membahas kronologi kecelakaan,
mereka juga berkata jika kematian Ayah K memang tidak wajar.
Ada orang yang ‘bikin’ kecelakaan tersebut, dan orang
yang ‘bikin’ adalah orang yang sama dengan orang yang ‘bikin’
apung untuk K. Ini yang menarik, musuh Ayah K yang tidak
pernah diketahui pasti siapa, dianggap bertanggung jawab atas
sakitnya K dan meninggalnya Ayah K. Jadi mereka menganggap,
kisah dua orang ayah dan anak ini ternyata berawal dari
kebencian satu orang saja. Akhirnya peneliti berpamitan untuk
pulang setelah K benar-benar terlelap dalam dekapan ibunya.
Pukul 07.00 WITA tanggal 28 Juni 2014, ada lima
panggilan tidak terjawab yang tertera di layar telepon seluler
peneliti, semua panggilan berasal dari nomor telepon seluler
milik Mama D. Belum sempat peneliti menelepon Mama D, ada
satu pesan singkat masuk yang memberitahukan berita duka jika
K telah dipanggil Tuhan hari itu pada pukul 05.00 WITA. Ada
perasaan kehilangan yang tidak dapat peneliti gambarkan, dan
peneliti pun bergegas untuk datang ke rumah duka.
Sedianya Mama D dan keluarga besarnya sedang bersiap
untuk melakukan peringatan tujuh hari kematian almarhum
253
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
suaminya. Peringatan kematian tersebut dilaksanakan di
Kecamatan Mangili, tempat asal sang suami. Dengan menempuh
lama perjalanan sekitar satu jam dengan mengendarai sepeda
motor, kami sampai di rumah duka. Jenazah K disemayamkan di
rumah besar keluarga Ayah K. Rumah besar adalah rumah milik
klan, yang dipakai untuk berbagai acara adat dan acara kematian.
Rumah besar masih tampak sepi pelayat, hanya ada
keluarga suami Mama D yang tampak duduk untuk menyambut
tamu yang datang. Ketika peneliti masuk ke ruangan dimana
jenazah K dibaringkan, Mama D langsung menangis dengan suara
keras dan menyayat hati. Tidak seperti ketegaran yang
ditampakkan ketika suaminya meninggal, kepergian K tampaknya
sangat memukul hatinya. K sudah terbujur kaku dengan
diselimuti berlapis-lapis kain tenun yang dibawa oleh pelayat.
Matanya setengah terbuka, seolah-olah menatap peneliti dengan
tatapan datarnya.
K masih memakai baju kesayangannya, bahkan kepalanya
masih dialasi bantal, seolah-olah K hanya sedang tertidur. Mama
D berbaring di sebelah K dan setia mendampinginya. Dia sudah
menyiapkan baju-baju dan mainan K, untuk turut serta
dimasukkan ke dalam peti jenazah K nanti. Baju-baju dan mainan
tersebut konon untuk dipakai K ketika di alam kubur nanti.
Satu hari sebelum meninggal dunia, K terus menerus
menangis. Dia tidak bersedia makan dan minum sampai Mama D
dan kerabatnya yang lain merasa bingung. Mereka semua
bergantian menggendong K sampai esok paginya. K terus
menerus menangis, dan di saat-saat terakhir dia menunjuk
sesuatu yang tidak jelas, dan beberapa saat kemudian berhenti
bernafas di pelukan Mama D. Kepergian K mengingatkan peneliti
kepada pembicaraan antara peneliti dan Mama D beberapa
waktu lalu. Saat itu peneliti sedang mencoba menerawang masa
depan Mama D sepeninggal suaminya. Bagaimana Mama D akan
254
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
menafkahi anak-anaknya, jika dia sendiri tidak akan mampu
bekerja selama K masih tergantung kepada dirinya sepenuhnya.
Bayangan tentang pembicaraan tersebut menyayat hati peneliti.
Di luar rumah besar ada beberapa orang laki-laki yang sedang
menyiapkan peti kecil dari kayu, dan itu adalah peti jenazah
untuk K. Rencananya K akan dimakamkan berdekatan dengan
ayahnya dalam kubur batu yang sama.
Kubur batu yang akan dipakai untuk menyimpan jenazah
K, sebetulnya lebih mirip dengan bangunan kotak yang dibangun
dari beton dan memiliki pintu yang terkunci rapat. Pintu itu akan
dibuka ketika ada peti jenazah yang akan dimasukkan. Keluarga
besar Mama D tentu tidak akan menyangka jika pintu yang sudah
terkunci rapat ternyata harus dibuka kembali dalam waktu yang
begitu cepat. Kubur batu tersebut adalah versi modern dari
kubur batu konservatif masyarakat Sumba yang terbuat dari batu
dan berdiri kokoh.
Gambar 4.3.
K yang sudah dipanggil Tuhan
Sumber: Dokumentasi Peneliti
255
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kubur batu modern dibangun begitu sederhana namun
dengan tujuan yang lebih praktis. Jika dilihat lebih seksama,
ukuran kubur batu ini mungkin sekitar 5 x 5 meter persegi dan
cukup untuk menampung beberapa peti jenazah sekaligus. Petipeti tersebut disusun dengan rapi, dan akan digeser atau diatur
ulang jika ada peti yang sudah lapuk bersama jenazahnya. Di
bagian luar kubur batu moden ini bukan berupa ukiran-ukiran
seperti yang terdapat pada kubur batu konservatif, tetapi
merupakan gambar salib, gambar Yesus, atau gambar Bunda
Maria. Itulah gambaran rumah abadi K yang akhirnya tidak
mampu lepas dari belenggu apung sampai akhir hidupnya.
4.3. Apung; antara Suanggi, Marapu, dan Rumah Sakit
4.3.1. Suanggi Itu Membunuh Anakku
Di tempat yang lain, yaitu di Kampung Uma Bara, peneliti
mengenal seorang perempuan dengan dua orang anak balita
yang luar biasa aktifnya. Perempuan tersebut memiliki hubungan
yang istimewa dengan peneliti, yaitu sebagai anak mantu pemilik
rumah yang peneliti tinggali. Kampung Uma Bara adalah
kampung tempat peneliti tinggal. Pemilik rumah yang peneliti
tinggali adalah seorang laki-laki pemabuk berusia setengah baya,
yang saat ini tinggal sendiri karena sedang berselisih paham
dengan istrinya.
Rumah yang peneliti tempati merupakan rumah panggung
dengan atap seng dan dinding dari anyaman bambu. Bagian
muka rumah terdapat balai-balai luas yang digunakan untuk
menerima tamu. Ketika tamu datang, tuan rumah akan
membentangkan tikar daun lontar dan langsung mempersilahkan
tamu untuk duduk. Setelah tamu duduk, tuan rumah akan
menyajikan balahapa dan tangawahil, yaitu sirih pinang yang
ditempatkan dalam anyaman daun lontar.
256
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Balahapa adalah sirih pinang berwadah besar, berbentuk
kotak yang dipakai untuk sehari-hari. Tangawahil juga
merupakan wadah sirih pinang, namun berukuran lebih kecil
dengan bentuk persegi panjang atau ketupat yang disajikan
untuk tamu. Sajian sirih pinang ini harus disajikan untuk
menghormati tamu sekaligus juga berfungsi sebagai pembuka
kata.
Rumah tinggal peneliti berupa rumah tradisional bergaya
Sumba, yang sudah beratap seng dan bercat hijau. Rumah
tetangga-tetangga peneliti di kampung ini pun bergaya demikian.
Ciri khasnya adalah rumah panggung yang ditopang oleh kayukayu dengan atap tinggi, dan balai-balai yang luas di bagian
depan rumah. Lantai terbuat dari kayu yang sudah terpotong
menjadi papan-papan panjang yang sengaja dipasang tidak rapat.
Papan yang terpasang tidak rapat tersebut berfungsi untuk
membuang ludah sirih pinang ke tanah.
Di bagian bawah panggung itu juga dipakai untuk
memelihara hewan seperti babi dan ayam, hewan lain yang
berukuran lebih besar seperti sapi dan kuda akan ditambatkan
atau diikat di luar rumah. Babi dilepas secara bebas berlalu lalang
dan hidup berdekatan dengan manusia, begitu juga dengan sapi,
kuda, dan anjing yang jumlahnya tidak sebanyak babi. Anjinganjing seperti membuat kawanan yang tampak bergerombol, dan
menyalak secara kompak kepada orang asing yang datang.
Kotoran hewan-hewan tersebut tercecer di berbagai
sudut jalan, pekarangan, rerumputan, dan bagian muka rumah.
Kotoran hewan tersebut tampak seperti tanah yang biasa diinjak
oleh masyarakat lokal. Sebagian besar dari mereka baik tua
maupun muda tidak memakai alas kaki ketika beraktivitas, dan
menginjak kotoran hewan bukanlah masalah. Babi-babi
menyumbang kotoran paling banyak, dan mereka akan mandi
lumpur di tanah becek dari sisa-sisa air limbah rumah tangga.
257
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Di saat pagi dan sore hari babi-babi tersebut akan diberi
makan pemiliknya dengan batang pisang yang dicampur dengan
jagung, nasi, kelapa parut, atau dedak. Babi adalah hewan yang
diperlakukan istimewa oleh pemiliknya. Bukan hanya karena babi
adalah hewan dengan nilai ekonomi tinggi, namun babi adalah
hewan utama yang dipakai untuk berbagai ritual adat masyarakat
Sumba Timur. Jadi, memelihara babi dengan baik berarti
berinvestasi adat dengan baik pula.
Sebaliknya, anjing-anjing adalah hewan yang tidak
beruntung jika dibandingkan hewan lainnya. Mereka akan
mengorek makanan dari sisa-sisa makanan babi dan manusia,
karena hampir tidak ada orang yang dengan sengaja memberi
makanan untuk anjing. Kuda-kuda diberi makanan istimewa,
karena kuda merupakan hewan yang konon menjadi lambang
prestise pemiliknya. Kuda juga merupakan hewan yang sering kali
diadu pada olah raga pacu kuda, yang menjadi ajang para pemilik
kuda dan para penonton untuk berjudi. Karena berbagai alasan
tersebut, makanan kuda bukan hanya rumput tetapi juga madu
dan susu, agar kuda senantiasa sehat dan kuat saat dipacu. Sapi
akan diberi rumput yang dicari pemiliknya di padang rumput,
atau akan dilepas secara bebas di area yang ditumbuhi banyak
rumput sabana.
Pemilik rumah yang peneliti tinggali, yang bernama Bapak
A memiliki empat ekor babi dan beberapa ekor ayam. Kandang
hewan-hewan tersebut berada di bawah kamar yang peneliti
tempati. Suara mereka saat lapar di pagi hari, adalah alarm alami
yang membangunkan peneliti. Bau kotoran mereka kadang
sangat mengganggu. Nyamuk-nyamuk pun begitu leluasa
terbang, dan menghisap darah hewan dan penghuni rumah.
Bapak A dibantu seorang nenek renta yang tinggal di
bagian dapur rumahnya. Nenek tersebut membantu memberi
makan hewan-hewan peliharaan, membersihkan halaman, dan
258
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
memasak makanan untuk Bapak A. Nenek yang peneliti panggil
dengan nama panggilan Apu atau nenek dalam bahasa Sumba,
mungkin sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan
merupakan salah satu ata (hamba raja) tertua di kampung ini.
Hampir semua anggota masyarakat di Kampung Uma Bara adalah
hamba raja yang masih setia mengabdi, termasuk juga Bapak A.
Istri Bapak A tinggal dengan salah seorang menantunya di
rumah kebun, atau rumah di luar kampung. Mereka tinggal
terpisah karena ada pertikaian yang berkepanjangan. Pertikaian
tersebut telah menjadi rahasia umum di kampung ini. Peneliti
sebagai tamu yang juga dianggap sebagai anak-anak Bapak A,
merasa memiliki kewajiban untuk mengenal nyonya rumah atau
istri Bapak A, meskipun mereka telah tinggal di lain rumah.
Peneliti memanggil istri Bapak A dengan panggilan Mama
A. Perkenalan peneliti dimulai ketika peneliti mengunjungi
tempat tinggal Mama A, dan menantunya yang peneliti panggil
dengan nama Mama R. Rumah tersebut berada tepat di tepi
selokan yang airnya mengalir deras dan dalam. Untuk mencapai
rumah tersebut, peneliti hanya perlu berjalan kaki selama 10
menit perjalanan, atau sekitar 200 meter saja. Dari tepi selokan,
peneliti akan meniti papan kayu lapuk yang berfungsi sebagai
jembatan untuk mencapai tempat tinggal mereka yang
sederhana.
Di bawah pohon rindang yang menjulang tinggi dan
selokan yang airnya deras mengalir, rumah tersebut begitu
nyaman dan dingin untuk ditinggali. Perkenalan dan kunjungan
peneliti pada saat pertama, hanya dimaksudkan untuk menjalin
silaturahmi. Obrolan yang peneliti lakukan hanya untuk berbasabasi pada awalnya. Bertanya kabar, asal daerah, apakah betah
atau tidak tinggal di kampung, adalah pertanyaan yang sudah
mulai akrab di telinga peneliti.
259
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pertemuan yang selanjutnya lebih sering terjadi karena
faktor ketidak sengajaan, misalnya ketika bertemu dalam
undangan adat di kampung atau bertemu saat Mama R
berkunjung ke rumah orangtua kandungnya yang tinggal di
depan rumah peneliti. Ketika Mama R sedang duduk di balai-balai
rumah orangtuanya, peneliti mendekat untuk bergabung dan
turut berbincang. Mama R sosok yang ramah dan gemar
mengobrol.
Bahasa tubuhnya lugas, intonasi suaranya saat berbicara
keras namun murah senyum, walaupun dia kerap berkata kasar
kepada anak-anaknya. Badannya gempal, berkulit sawo matang,
dengan rambut ikal panjang yang selalu tampak digulung di atas
leher. Kedua anaknya yang masih balita menjadi anak yang
populer di kampung karena reputasi ‘nakal’ mereka. Sedangkan
kisah hidup Mama R sendiri, peneliti belum tahu. Setidaknya
untuk sementara waktu.
Perbincangan kaum perempuan di kampung ini saat
sedang berkumpul, ternyata tidak jauh dari perbincangan
tentang gosip tetangga yang tinggal di sekitar mereka.
Perbincangan dalam bahasa daerah menyulitkan peneliti untuk
ikut bergabung. Tetapi ketika peneliti berusaha seantusias
mungkin untuk mengikuti jalan cerita, mereka dengan suka rela
menyelipkan Bahasa Indonesia di antara obrolan tersebut, atau
dengan suka rela menerjemahkan inti ceritanya untuk peneliti.
Cerita tentang pertikaian antar tetangga, adat yang ketat
mengikat, sakit karena angin, penyakit karena ‘dibikin’, dan cerita
tentang suanggi menjadi topik hangat saat peneliti mengobrol
bersama mereka.
Seringnya mendengar cerita yang sama membuat peneliti
diliputi perasaan jenuh, apa lagi jika cerita tersebut hanya diawali
dengan kalimat ‘saya dengar’ atau ‘kata orang’. Tetapi ternyata,
bertahan untuk tetap menjadi bagian dari sekumpulan ‘mama260
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mama’ yang rajin mengobrol ternyata memberi banyak wawasan
baru. Selain itu, melalui jalan tersebut peneliti mulai dikenal di
seantero kampung, memiliki teman dekat, dan memiliki
kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang
dilakukan di kampung ini.
Mama R yang berusia 38 tahun, adalah salah satu
perempuan di kampung yang akhirnya menjadi sangat dekat
dengan peneliti. Peneliti bertukar informasi sembari mengobrol
sambil diselingi minum kopi bersama. Peneliti sering berkunjung
ke rumahnya yang berada di tepi selokan untuk mengobrol
sembari menjenguk Mama A. Awalnya perhatian peneliti hanya
tertuju pada kisah hidup mereka berdua, yang sama-sama sedang
dalam kondisi berpisah dengan suami mereka.
Mama A berpisah sementara dengan Bapak A karena ada
perselisihan, sedangkan Mama R berpisah sementara dengan
sang suami karena sang suami sedang menjalani hukuman
kurungan di lembaga pemasyarakatan. Kisah-kisah mereka tidak
ada yang menarik perhatian peneliti secara khsusus, sampai
ketika peneliti tahu jika Mama R pernah memiliki anak yang
meninggal dunia karena batuk, dan anak laki-laki yang berikutnya
pernah divonis positif TB paru. Semangat peneliti saat
mendengar fakta baru tersebut, tiba-tiba melonjak drastis, apa
lagi ketika peneliti bertanya, ‘apa itu apung?’, Mama R menjawab
‘ya, itu apung sudah’.
Dahulu sekitar tahun 2006, Mama R mengandung anak
pertamanya yaitu hasil buah cintanya dengan putra pertama
Mama A. Tidak ada pernikahan secara adat atau pun secara
agama, karena saat itu hubungan mereka tidak direstui oleh
orangtua kandung Mama R. Selain itu, dulu mereka masih
menganut agama Marapu, agama nenek moyang mereka. Jadi
tidak mungkin bagi mereka untuk menikah secara agama, karena
261
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
agama Marapu bukanlah agama resmi yang diakui oleh
pemerintah.
Saat itu Mama R masih tinggal bersama kedua orangtua
kandungnya. Dulu kehamilan Mama R diterima dengan baik.
Orangtua Mama R memberi dukungan dengan memberikan
perhatian terhadap janin dan mengurangi beban pekerjaan
rumah tangga Mama R. Walaupun tengah mengandung, Mama R
tetap menenun setiap hari. Menenun adalah pekerjaan utama
Mama R saat itu. Kain hasil tenunan Mama R dijual kepada
pengepul dari luar Pulau Sumba, dengan harga yang lumayan
tinggi katanya. Hasil dari penjualan kain tersebut ditabung untuk
mempersiapkan segala keperluan persalinan, dan diinvestasikan
dalam bentuk perhiasan emas.
Hubungan Mama R dengan tetangga-tetangga
terdekatnya tidak berjalan dengan baik. Ada saat dimana dia
bersitegang dengan beberapa orang tetangga karena masalah
sampah, masalah hewan yang memakan pakan atau tanaman
milik tetangga, atau karena termakan gosip yang menyakitkan
sehingga terjadi salah paham. Hubungan terburuk yang
menyisakan permusuhan sampai sekarang ini adalah
pertikaiannya dengan apu, atau si nenek cantik yang tinggal di
dapur belakang rumah Bapak A.
Cekcok mulut dengan apu meninggalkan sumpah serapah
dan dendam berkepanjangan. Dendam tersebut melibatkan
keluarga besar kedua belah pihak. Apu menuduh Mama R telah
menghancurkan hidup cucu perempuannya, sedangkan Mama R
menuduh Apu sebagai jelmaan suanggi jahat yang suka mengirim
guna-guna yang mencelakai orang lain.
Cerita tentang Apu yang dikenal sebagai jelmaan suanggi
sebenarnya tidak hanya peneliti dengar dari mulut Mama R saja,
tetapi hampir semua warga kampung pun percaya dengan kabar
tersebut. Cekcok yang terjadi ketika usia kehamilan Mama R
262
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
masih muda tersebut, akan membekas dalam benak Mama R
untuk waktu yang lama dan mempengaruhi cara pandangnya
terhadap suatu hal kelak.
Sampai usia kandungan Mama R semakin tua,
hubungannya dengan anak laki-laki Mama A tidak juga direstui
karena alasan yang bersifat pribadi. Tanggal 24 Maret tahun
2007, Mama R melahirkan di Puskesmas dengan dibantu oleh
bidan desa. Proses kelahiran tersebut berlangsung normal dan
lancar. Bayi berjenis kelamin laki-laki tersebut terlahir sehat
dengan anggota badan yang lengkap dan normal. Mama R
berkata, berat badan anak lak-laki pertamanya adalah 3,5 kg.
Rasa bahagia tidak hanya dirasakan oleh Mama R dan
ayah si bayi, tetapi orangtua kandung Mama R pun turut
berbahagia. Hari pertama bayi tersebut lahir di dunia, Mama R
dan orangtuanya melakukan ritual pemberian nama bayi
menurut keyakinan agama Marapu. Dalam ritual tersebut,
orangtua si bayi harus menyediakan hewan untuk dikorbankan
kepada marapu, hewan tersebut adalah ayam yang jumlahnya
harus genap. Jumlah minimal ayam yang bisa dikorbankan adalah
empat ekor, kemudian enam ekor, dan maksimal adalah delapan
ekor. Saat itu Mama R mengorbankan delapan ekor ayam untuk
dipersembahkan kepada Marapu.
Delapan ekor ayam itu akan disembelih oleh seorang
wunang, atau juru bicara dalam agama Marapu. Setelah
disembelih, tali perut dan hati ayam tersebut akan dilihat dan
dibaca artinya oleh wunang satu persatu dalam ritual
hamayangu. Saat itu semua tali perut dan tali ayam yang dibaca
wunang ternyata memiliki arti yang baik. Hal tersebut membuat
Mama R merasa bahagia. Saat prosesi pemberian nama tiba, bayi
yang masih merah tersebut dipangku oleh neneknya, dan pada
saat itu sang nenek mengunyah sirih pinang yang dikunyah dari
263
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mulutnya sendiri. Kunyahan sirih pinang tersebut akan
ditempelkan di bagian tali pusat si bayi yang masih basah.
Sebelum sirih pinang tersebut ditempelkan, sebenarnya
pihak keluarga terutama orangtua si bayi telah menyiapkan
beberapa nama untuk si bayi. Jika bayi tersebut menolak nama
yang diberikan, maka kunyahan sirih pinang yang diletakkan di
bagian tali pusatnya akan terjatuh. Jika kunyahan sirih pinang
tersebut tetap menempel, itu adalah tanda bahwa si bayi
menerima nama yang diberikan. Pun demikian dengan anak
Mama R, dia menerima nama yang diberikan oleh orangtuanya.
Nama yang diberikan kepada si bayi laki-laki adalah F.
Berbekal keyakinan akan hasil ritual hamayangu yang
baik, Mama R percaya jika anaknya akan tumbuh sehat, apa lagi F
dilahirkan dengan berat badan yang baik, kurang lebih begitu
pikir Mama R. Saat umur F menginjak dua hari, F membuat
Mama R khawatir. Kala itu tengah malam, F menangis keras tiada
henti sampai pagi hari. Mama R sampai tidak mampu untuk
istirahat, dan memulihkan kondisi fisiknya setelah melahirkan. F
menangis histeris seperti ada yang mencubit tubuhnya, Mama R
pun merasa jika ada yang mengganggunya saat peristiwa itu
terjadi.
Mama R seperti melihat bayangan manusia yang lewat di
depan pintu kamarnya, dia merasa yakin jika dia mengenal baik
bayangan orang itu. Dia merasa ketakutan, apa lagi tiba-tiba
terdengar suara anjing menyalak bersahutan, suatu pertanda
yang dipercaya masyarakat Sumba sebagai datangnya mahkluk
halus, setan, atau suanggi. Tangis F tidak juga kunjung reda.
Suara tangisnya disertai dengan suara batuk dan suara nafas yang
terdengar sesak. Mama R yakin sesuatu telah terjadi pada
anaknya.
Peristiwa buruk yang menimpa putra pertamanya di usia
yang baru menginjak dua hari, membuat Mama R memutuskan
264
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dia membawa F ke dukun
Marapu dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi pada F.
Walaupun sebenarnya ada firasat yang mengatakan sebaliknya,
ketika dia melihat bayangan seseorang yang dia kenal malam
sebelumnya. Dukun yang dia temui melakukan ritual hamayangu
untuk melihat apakah yang tengah terjadi kepada diri F.
Saat itu ada dua kemungkinan yang diberitahukan dukun,
F sakit karena diganggu suanggi, atau sakit karena Marapu yang
marah. Ternyata dukun berkata jika F terkena ngilu apung
mangiala, dan sakit tersebut karena ada orang yang ‘bikin’, orang
tersebut adalah suanggi yang mengirimkan ngilu apung kepada
F.
“Pertama lahir Ibu bidan bilang sehat, tapi karena ada
pengaruh ada yang ‘bikin’, angin itu... ngilu... sakit
sudah. Itu saya rasa memang, sudah tahu memang.”
Mendengar penerawangan dukun, Mama R langsung
merasa yakin jika itu benar. Apa lagi di malam-malam selanjutnya
pun F tetap menangis ketika malam, terbatuk-batuk, dan
tubuhnya berkeringat seperti baru saja selesai mandi. Bayangan
orang yang selalu lewat di sekitar pintu kamar dan rumahnya
semakin menguatkan keyakinan Mama R, jika suanggi lah biang
kerok semua hal yang terjadi.
“Saya lihat bayangan orang hampir tiap malam. Kan
pada saat belum kumat kan diam-diam saja, biasa saja.
Terakhir kalau sudah malam, terakhir menangis keraskeras kalau sudah malam, menangis terus sampai pagi,
tidak tidur. Mulai jam 1, jam 4, jam 5 baru tidur, begitu
terus. Macam ada yang pegang disini (di dada), kalau
tidak mau tarik sama saya, mau kasih jatuh, macam ada
yang tarik kasih jatuh saya di tempat tidur, begitu...”
265
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dukun yang Mama R temui tidak memberi tahu siapa
orang yang ‘bikin’ ngilu kepada anaknya F, namun di benak
Mama R sudah terlintas satu nama yang dia anggap paling
bertanggung jawab atas itu semua. Orang itu adalah apu. Nenek
renta yang tinggal di dapur rumah tempat tinggal peneliti adalah
orang yang dianggap sebagai suanggi yang telah mengirim ngilu.
Nenek renta yang kesehariannya hanya menyapu, memasak, dan
memberi makan ternak tersebut, disebut sebagai jelmaan
suanggi.
Apu memang dikenal sebagai orang tua yang ‘banyak
mau’ di kalangan tetangga-tetangga dekatnya sesama hamba
raja. Reputasinya sebagai hamba yang bersuamikan 6 orang lakilaki yang kesemuanya mati setelah dia nikahi, memperburuk
reputasinya. Anak-anak kandungnya sendiri banyak yang
memusuhi dirinya, karena selain ringan tangan dan ringan mulut,
apu juga sering dianggap sering dengan sengaja merusak rumah
tangga orang lain, termasuk rumah tangga Mama A yang
sekarang tinggal bersama Mama R. Itulah sebabnya mengapa
tetangga-tetangga peneliti di kampung termasuk Mama R dan
Mama A, melarang kami memakan apapun makanan pemberian
apu, karena dikhawatirkan apu akan menaruh sesuatu yang
berbahaya di dalam makanan tersebut.
Dikarenakan F masih sangat kecil, dukun tidak mengobati
F dengan cara memijat tubuh F atau memberikan ramuan obat.
Dukun hanya melakukan ritual hamayangu untuk mengusir ngilu
yang telah masuk ke tubuh F. Setelah melakukan ritual tersebut,
F kembali tenang dan tampaknya sudah sembuh, Mama R yakin
hal itu. Kebencian Mama R terhadap apu semakin menjadi-jadi.
Dia menunjukkan sikap bermusuhan kepada apu dengan ‘tidak
kasih muka’ atau menganggap apu tidak pernah ada. Mama R
tidak pernah menyapa atau bersedia diajak bicara oleh apu untuk
alasan apapun.
266
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Dia kerap bertanya-tanya apa alasan dibalik perbuatan
apu, jika apu membenci dirinya kenapa bukan dirinya yang
dicelakai? Kenapa harus F, anaknya yang tidak memiliki salah
apapun? Tentu saja Mama F tidak memiliki bukti apa-apa jika apu
adalah suanggi yang mengirim ngilu apung kepada F, karena dia
tidak pernah benar-benar menangkap basah apu sedang berada
di sekitar rumahnya, atau datang ke kamarnya.
Mama R hanya merasa jika yang hadir untuk mengganggu
dia dan anaknya adalah bayangan apu saja karena apu
dikabarkan bisa terbang, bisa menghilang, dan bisa mendengar
jika ada orang yang membicarakan dirinya. Untuk yang
disebutkan terakhir, kami pun percaya. Di usianya yang lebih dari
delapan puluh tahun pendengarannya masih sempurna.
Setiap kali Mama R membicarakan apu, dia akan
membicarakannya sambil berbisik dan entah kebetulan atau
bukan, akan ada suara cicak yang seolah-olah menyahut. Lalu
Mama R akan mengetuk-ngetukkan tangannya yang mengepal ke
meja atau dinding, setelah suara cicak tersebut berlalu. Nada
ketukan tangan tersebut pun sesuai dengan nada suara cicak
yang sebelumnya berbunyi. Suara cicak yang menyahut dan
berbunyi berkali-kali, dianggap sebagai pertanda buruk bagi
orang.
Walaupun asal mula kepercayaan tersebut berasal dari
etnik Sabu, namun banyak orang Sumba yang juga
mempercayainya dikarenakan ada kedekatan historis dari kedua
etnik tersebut. Hal yang paling dekat diantara kedua etnik ini
adalah pada pemahaman mereka tentang angin. Konsep yang
mereka pakai tentang angin adalah sama. Kedua etnik ini percaya
jika angin adalah sumber dari segala macam sakit atau penyakit.
Hanya saja dalam budaya Sumba, angin yang berasal dari
Tuhan tersebut, dipercaya diatur oleh Marapu. Angin tersebut
dalam bahasa Sumba disebut ngilu, dan anak-anak atau turunan
267
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dari ngilu tersebut disebut dengan muru, walaupun istilah
tersebut bisa berarti obat juga. Dalam bahasa Sabu, angin disebut
dengan na’i, namun istilah ini tidak hanya akrab di kalangan etnik
Sabu saja, karena etnik Sumba pun akrab dengan istilah tersebut.
Sebagian besar orang yang mengaku percaya jika apu
adalah seorang suanggi dan mengaku pernah ‘dibikin’ oleh apu,
adalah orang yang pernah melakukan kontak dengan apu
sebelum mereka sakit, setidaknya bertemu atau berpapasan. Ada
juga yang mengaku jika apu mendatanginya dalam mimpi, atau
ada bayangan apu yang melintas ketika mereka mengalami sakit.
Peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai pertanda gaib, jika
sakit yang mereka alami adalah hasil perbuatan jahat apu.
Motif apu untuk menyakiti orang lain dikabarkan
bermacam-macam, tetangga-tetangga rumah yang peneliti
tinggali menyebut jika apu mudah membenci orang lain, dan jika
dia membenci orang tertentu maka dia tidak segan-segan
mengirim ngilu. Hal yang bisa dicermati lebih lanjut oleh peneliti,
adalah bagaimana sakit atau penyakit yang dialami seseorang
dan bersifat personalistik, hampir selalu dikaitkan dengan apa
yang telah mereka alami, atau apa yang telah mereka lakukan
sebelumnya sebagai sebuah refleksi.
Mungkin memang bukan sesuatu hal yang bersifat
kebetulan jika pada saat seseorang di kampung sakit, beberapa
menit sebelumnya dia bertemu atau bercengkerama dengan apu,
atau beberapa hari sebelumnya bersitegang dengan apu dan
memakinya. Tetapi secara logika, dapat dicermati jika di
kampung yang sangat kecil ini, yang hanya dihuni oleh beberapa
rumah tangga dan antara satu sama lain saling mengenal, maka
frekuensi untuk saling bertatap muka atau saling sapa setiap hari
akan besar kemungkinannya.
Demikian juga dengan Mama R. Ketika mengandung anak
pertamanya dulu, Mama R masih tinggal di rumah besar, atau
268
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
rumah milik orangtuanya yang berada di depan rumah yang
peneliti tinggali. Dahulu, apu tinggal di sebelah rumah besar
Mama R, sebelum akhirnya bersitegang dengan anaknya, dan
kemudian tinggal di dapur rumah yang peneliti tinggali. Dari
cerita Mama R, dia hampir setiap hari bertemu, atau setidaknya
melihat apu berjalan-jalan di kampung atau hanya berada di
sekitar rumah.
Pertanyaan peneliti selanjutnya adalah, jika hampir semua
warga kampung tahu jika apu adalah jelmaan suanggi yang sering
meresahkan mereka, mengapa tidak ada satupun orang yang
berusaha membalas apu? Mama R bercerita, suatu hari dukun
yang dia temui memberikan suatu tanda, jika ada orang yang
kakinya terluka karena kecelakaan atau terjatuh, maka orang
tersebut adalah suanggi yang selama ini mereka cari.
Sebelumnya si dukun telah menebas kaki seekor ayam yang
secara magis diibaratkan sebagai sosok suanggi yang akan
ditebas juga kakinya. Entah apakah ini suatu kebetulan atau
tidak, beberapa hari kemudian kaki kanan apu diceritakan patah
karena terjatuh di lubang sumur yang sudah tidak terpakai.
Tetangga-tetangga pun membenarkan cerita ini.
Merasa pengaruh jahat apu terhadap F masih besar, maka
Mama R sering melakukan ritual hamayangu. Entah berapa kali
ritual tersebut dilakukan, Mama R hanya berkata sangat sering
sampai dia tidak mampu mengingat jumlah pastinya lagi.
Hamayangu tersebut dipimpin oleh seorang wunang, dengan
tujuan untuk melindungi F dari ngilu apung yang belum juga
pergi. Setiap malam keadaan F masih tetap sama, selalu
menangis histeris dengan batuk yang berlendir dan nafas yang
sesak.
“Hanya saat melahir (lahir) saja dia (F) sehat. Dia (apu)
siksa malam, siang aman. Malam menangis terus, tidak
269
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bisa tidur. Dia menderita. Kalau malam berkeringat,
macam dia habis mandi”
Keadaan tersebut menjadi beban pikiran Mama R, dia
terus berupaya untuk mencari kesembuhan F melalui tangan
dukun. Pengobatan apung yang dilakukan dukun saat itu baru
sebatas melakukan ritual hamayangu saja karena F masih terlalu
kecil untuk diurut, atau untuk diberi ramuan obat. Entah berapa
biaya yang telah dikeluarkan untuk membayar jasa dukun
tersebut, Mama R tidak lagi ingat. Ketika ritual hamayangu
dilakukan, Mama R harus menyiapkan delapan ekor ayam untuk
dipersembahkan kepada Marapu, dan nantinya akan
memberikan uang untuk dukun sebagai imbalan jasa.
Sampai usia F menginjak 1 bulan, kondisinya tetap saja
sama. Bahkan saat berusia 2 bulan kondisi F semakin memburuk.
Mama R kembali memanggil seorang wunang untuk
membantunya melakukan hamayangu. Dia ingin mengetahui
bagaimana Marapu memberinya petunjuk dalam tali perut dan
hati ayam yang dikorbankan. Ketika wunang datang dan
melakukan hamayangu, ritual yang dilakukan ternyata bukan
hanya mencari tahu petunjuk dari Marapu saja, namun wunang
juga memutuskan untuk membereskan suanggi si pengirim ngilu
apung tersebut.
Wunang membersihkan segala angin yang masuk ke
dalam rumah, dari berbagai sudut mata angin, dan
membersihkan angin dalam diri F dalam ritual hamayangu
tersebut. Saat ayam yang menjadi hewan kurban disembelih dan
dilihat tali perut serta hatinya, wunang juga memberikan bagian
untuk suanggi tersebut. Wunang melakukan perjanjian dengan
suanggi, jika suanggi telah bersedia menerima daging yang
merupakan jatahnya, maka artinya suanggi telah mematuhi
perjanjian yang dibuatnya bersama wunang, yaitu untuk tidak
lagi mencelakai F dengan angin kirimannya.
270
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Jatah daging tersebut disebut Mama R dengan istilah
‘kasih makan suanggi’, yang nanti dibuang wunang di halaman
rumah setelah melakukan ritual lain sesuai dengan ajaran
Marapu. Daging yang telah dibuang di halaman rumah tersebut
nanti akan hilang dengan sendirinya. Biasanya akan hilang karena
dimakan anjing yang dipercaya merupakan jelmaan dari suanggi
tersebut.
Tali perut dan hati ayam yang dilihat wunang ternyata
merupakan pesan yang sangat penting dari Marapu. Pesan
penting dari tersebut adalah, Mama R boleh membawa F ke
rumah sakit. Yang dimaksud rumah sakit sebenarnya adalah
pertolongan medis apapun, terutama pertolongan dari dokter,
Puskesmas, atau rumah sakit dalam arti yang sebenarnya.
Hampir semua masyarakat yang peneliti kenal menyebut
Puskesmas dengan sebutan rumah sakit, dan kadang ini
membingungkan peneliti. Untuk mempermudah akhirnya peneliti
selalu bertanya rumah sakit mana yang dimaksud, rumah sakit
Melolo atau rumah sakit di Waingapu?
Jika jawaban mereka adalah rumah sakit di Melolo, maka
bisa dipastikan jika yang dimaksud adalah Puskesmas. Seperti
dugaan peneliti di awal, ternyata Mama R membawa F ke rumah
sakit Melolo atau Pukesmas Melolo. Saat itu F yang diceritakan
masih berbadan gemuk dan lucu didiagnosa mengalami sakit
batuk biasa. Obatnya berupa puyer dan sirup yang tidak diminum
untuk jangka waktu lama. Karena tidak memiliki kartu Jamkesmas
biaya pengobatan F di Puskesmas tidaklah gratis, saat itu Mama R
membayar Rp. 5.000,- untuk menebus obat-obatan dari
Puskesmas.
Sesuai dengan anjuran yang diterima petugas Puskesmas,
Mama R memberikan obat tersebut ke anaknya sampai habis.
Sakit F reda, namun tidak lama kemudian kondisinya kembali
seperti semula, bahkan lebih buruk. Mama R tiba-tiba merasa
271
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ragu dengan pengobatan medis, dia berpikir mengapa
pengobatan modern tidak mampu menyembuhkan anaknya,
padahal obat-obatan medis adalah obat yang menurutnya pasti
manjur. Kebimbangan tersebut menuntunnya pada satu
pemikiran jika sakit yang diderita anaknya memang bukan sakit
biasa, bukan sakit yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan
dari rumah sakit.
Dia semakin percaya jika sakit tersebut adalah sakit yang
sama, yaitu ngilu apung. Mama R kembali berusaha mengobati F
dengan membawanya ke dukun. Ketika berusia empat bulan, F
diurut oleh dukun karena usianya dianggap sudah cukup.
Ramuan yang dipakai untuk mengurut F adalah daging buah
kelapa yang dibakar lalu ditumbuk sampai halus. Tumbukan
kelapa yang berminyak dan berwarna kehitaman dengan aroma
yang khas tersebut, dipakai untuk mengurut bagian dada F
dengan gerakan dari bawah ke atas. Tujuan gerakan tersebut
adalah untuk mengangkat lendir yang ada di bagian dada F
sehingga mudah dikeluarkan.
Setelah itu, dukun akan memasukkan jari telunjuknya ke
kerongkongan F, agar F merasa mual dan akhirnya muntah.
Setiap hari Mama R akan merebus air yang dicampur dengan
mata pancing berukuran kecil yang dibelinya di toko. Mata
pancing tersebut dipercaya sebagai obat yang dianggap mampu
menaklukkan apung. Muntahan yang dikeluarkan F, akan
bercampur dengan lendir yang menyebabkan F batuk.
Dalam keyakinan dukun, jika semua lendir yang ada di
dalam tubuh F bisa dikeluarkan seluruhnya, maka apung
dipastikan akan sembuh total. Tentu saja dengan catatan jika
semua angin jahat yang dikirim suanggi telah ditaklukkan, dan
itulah alasan mengapa mereka harus memberi bagian atau ‘kasih
makan’ suanggi.
272
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Setelah diurut, F akan diberi ramuan yang terbuat dari
akar-akaran untuk diminum. Mama R tidak tahu jenis akar apa
itu, apa namanya atau bagaimana mengolahnya. Dukun
merahasiakan itu semua. F diurut dan dikeluarkan lendirnya oleh
dukun sebanyak empat kali dalam kurun waktu dua bulan,
namun kondisinya tetap sama. Hampir hilang asa Mama R,
akhirnya dia kembali melakukan hamayang untuk memohon
petunjuk Marapu.
Wunang kembali membaca tali perut ayam dan hati
ayam. Pada saat itu wunang berkata jika upaya secara Marapu
telah dilakukan dan F tidak juga mendapat kesembuhan, maka
jalan satu-satunya yang harus ditempuh Mama R adalah kembali
ke rumah sakit. Yakin akan perkataan wunang, Mama R
mengeluarkan segala kemampuannya untuk membawa F berobat
jalan ke Waingapu. Saat itu dia mendatangi seorang dokter yang
membuka praktek umum, dan dikatakan jika batuk F adalah
batuk biasa. Ketika obat yang diberikan habis maka Mama R akan
kembali datang ke dokter tersebut.
Tanggal 23 Oktober tahun 2009 kondisi F memburuk,
akhirnya Mama R kembali membawa F ke Waingapu untuk
memeriksakan kondisi kesehatan F yang tidak kunjung membaik.
Mama R ingin melakukan pemeriksaan dan serangkaian
pemeriksaan secara medis. Dia menginap di salah satu
kerabatnya di Waingapu, dan berencana akan memeriksakan
kesehatan F esok harinya. Sebelum berangkat ke Waingapu, F
menangis tiada henti. Tangisnya tidak berhenti sampai mereka
tiba di Waingapu. Tangisan tersebut bahkan sampai menarik
perhatian tetangga-tetangga kerabat Mama F yang dia tinggali
untuk sementara.
Esok harinya F tidak kunjung berhenti menangis. Saat sore
hari, Mama F akhirnya mendatangi seorang dokter di tempat
prakteknya, dan tangis F pun tidak kunjung berhenti. Mama R
273
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mengambil nomor antrian pasien dan ternyata dia berada di
urutan yang terakhir diantara puluhan pasien lain yang juga
sedang mengantri. Mendengar tangisan F yang yang memilukan
hati, dokter keluar dari ruang periksa dan mempersilahkan agar F
diperiksa terlebih dahulu. Sang dokter memohon pengertian
pasien-pasien lainnya secara langsung.
Tanpa banyak bicara dokter berkata jika F harus segera
dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap karena kondisinya sudah
sangat lemah. Disertai surat rujukan dari dokter, Mama R
membawa F yang masih menangis ke rumahsakit dengan
mengendarai ojek. Ketika tiba di rumah sakit, para petugas di
rumah sakit bergegas membawa F ke Unit Gawat Darurat, saat
itu F sudah tidak menangis dan teramat lemah. Seorang perawat
berkata jika F telah masuk dalam kondisi kritis, nadinya begitu
lemah. Para petugas kesulitan mencari-cari nadi F, dan saat itu
mereka berniat untuk memberikan cairan infus untuk
pertolongan pertama.
Belum sempat jarum menembus kulit F, tiba-tiba bayi lakilaki tersebut menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali.
Sontak Mama R histeris dan merasa tidak percaya anaknya telah
dipanggil Tuhan untuk selamanya. Dia menghubungi keluarga
besarnya di kampung dan menghubungi keluarga Raja Melolo
yang menjadi junjungannya. Setelah dimandikan, jenazah F
segera dibawa pulang dengan menggunakan ambulans rumah
sakit. Semua biaya rumah sakit dan sewa ambulans saat itu
ditanggung oleh keluarga Raja Melolo.
4.3.2. Terjadi Kedua Kali
Siang itu bulan Mei tahun 2014, peneliti menjumpai
Mama R di rumahnya. Rumah di tepi selokan yang berair deras
dan dalam. Setiap kali peneliti datang, peneliti akan dipersilahkan
duduk di atas dipan bambu yang berada di dalam rumah. Rumah
274
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
tersebut berdinding bambu dan beratap seng, dengan lantai
semen yang sudah mulai berlubang di sana-sini, berukuran
sekitar 6 x 5 meter persegi dengan satu kamar tidur, dan dapur
yang terletak di bagian belakang, menyatu dengan rumah. Tidak
ada satupun jendela di rumah tersebut. Di bagian dapur terdapat
tungku yang digunakan untuk memasak.
Di dekat tungku terdapat sebuah kandang ayam yang
dipelihara Mama R. Ayam-ayam akan dipelihara sampai besar,
lalu dijual jika ada yang membutuhkan ayam untuk dikonsumsi,
atau untuk ritual hamayangu. Di bagian samping rumah terdapat
sebuah kandang babi sederhana dan tanpa atap, yang berisi
seekor babi kecil yang juga dipelihara. Banyaknya pohon yang
tumbuh menjulang dengan daun yang rindang membuat rumah
terlindungi dari panas matahari secara langsung.
Beberapa pohon pisang tumbuh dengan subur dan
buahnya akan dibiarkan sampai cukup masak untuk dipetik dan
kemudian bisa dijual. Ada sebuah alat tenun tradisional yang
selalu tampak menyandar di dinding rumah ketika peneliti
berkunjung. Di alat tersebut masih menempel kain yang belum
selesai ditenun. Kain tenunan Mama R dan Mama A pun akan
dijual jika sudah sempurna ditenun. Menjual ayam, pisang, dan
kain tenun, merupakan mata pencaharian utama Mama R untuk
menghidupi kedua anaknya. Mama mantu Mama R yaitu Mama A
bukannya berdiam diri dan tidak membantu. Wanita yang berusia
sekitar 60 tahun ini membantu Mama R membuat hikung atau
membuat pola kain tenun, selanjutnya Mama R yang akan
menenunnya.
Sekitar 2 tahun setelah F meninggal, tepatnya pada
tanggal 12 Desember 2009, Mama R melahirkan anak keduanya
yang berjenis kelamin laki-laki, bernama M. Saat kehamilannya
semakin membesar, Mama R memutuskan untuk ‘lari’ bersama
ayah anaknya yaitu putra kandung Mama A, dan tinggal di rumah
275
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
orang yang sudah dianggap suaminya tersebut. Karena Mama R
memilih lari bersama laki-laki pilihannya, Mama R bersitegang
dengan keluarga besarnya. Orangtua kandung dan saudarasaudara kandungnya mengucilkannya, dan tidak ada satu pun
yang bersedia bertegur sapa dengannya.
Satu setengah tahun kemudian lahirlah anak ketiga yang
berjenis kelamin perempuan yang bernama N, dan masih tinggal
di rumah yang sama. Rumah itu adalah rumah yang kini
ditinggalinya bersama kedua anak dan mama mantunya.
Sedangkan suaminya masih berada di lembaga pemasyarakatan
untuk menjalani hukuman, karena kasus penganiayaan yang dia
lakukan.
Hampir setiap minggu Mama R akan pergi ke lembaga
pemasyarakatan di Waingapu untuk menjenguk suaminya. Setiap
kali menjenguk, dia akan membawa makanan dan minuman
kesukaan suaminya. Untuk keperluan tersebut, Mama R
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apa lagi dia juga harus
meninggalkan sejumlah uang untuk suaminya tersebut.
Setidaknya uang sebesar Rp. 200.000,- harus disiapkan jika ingin
pergi menjenguk sang suami ke lembaga pemasyarakatan. Sadar
jika uang tersebut bukanlah jumlah yang kecil maka dia pun
berusaha keras untuk mencari tambahan penghasilan.
Kadang Mama R menjadi buruh tani, atau membantu
orang yang sedang memanen sawahnya, dan kadang kala dia
membantu pekerjaan rumah tangga orang lain. Imbalannya
memang bukan uang, tetapi berupa padi jika dia membantu
panen, atau bahan makanan jika dia membantu pekerjaan rumah
tangga orang lain. Imbalan-imbalan tersebut dapat menjadi
bahan makanan yang bermanfaat untuk beberapa hari ke depan.
Makanan mereka sehari-hari teramat sederhana. Menu
yang paling sering kami lihat adalah nasi dan mi instant, dan
menu tersebut menjadi menu sarapan, makan siang, dan makan
276
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
malam kedua anaknya, yaitu M dan N. Jika Mama R memiliki
uang lebih, dia akan membelanjakan uang tersebut untuk
membeli sayur putih (sawi putih) atau ikan. Jika tidak ada uang
sama sekali bahkan untuk sekedar memberi sebungkus mi
instant, maka anak-anaknya akan makan nasi kosong (nasi tanpa
lauk dan sayur), atau dia akan memetik daun pepaya dan bunga
pepaya untuk dimasak.
Hal yang menarik adalah setiap pagi dan sore, Mama R
beserta kedua anak dan Mama A harus minum kopi. Dalam
pengelolaan menu Mama R, dia tidak akan makan dengan lauk
jika sudah ada sayur untuk dimakan, dan sebaliknya, dia tidak
akan memakan sayur jika sudah memasak lauk seperti ikan atau
daging. Daging, terutama daging babi atau kuda adalah bahan
makanan yang paling istimewa, dan Mama R beserta keluarganya
hanya bisa memakan daging di saat-saat tertentu saja, misalnya
saat musim pesta. Musim yang pasti sepi pesta adalah musim
hujan, karena masyarakat lebih berkonsentrasi pada usaha
pertanian mereka.
Jika musim pesta tiba dan mereka mendapatkan
undangan untuk datang, tidak ada kata yang lebih tepat untuk
menggambarkan perasaan mereka selain kata; bahagia.
“Kalau kita kena undangan, makan (daging) sudah,
senang... kalau daging kurang kita atur-atur memang,
bagi secara rata.”
Sekian tahun berlalu sejak kepergian F, apa yang berbeda
dengan kehidupan Mama R? Selain tempat tinggal yang kini
berbeda, dan Mama R kini memiliki dua anak, hal yang paling
mencolok adalah kini Mama R sudah memeluk agama Kristen,
begitu pun suaminya. Tahun 2009, beberapa bulan sebelum anak
keduanya M lahir, mereka bersama-sama memeluk agama
Kristen. Walaupun sudah tidak memeluk agama Marapu, mereka
277
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masih melakukan ritual-ritual Marapu, termasuk melakukan
ritual pamandung ketika M masih dalam kandungan.
Berpindah agama tidak lantas melupakan tradisi Marapu.
Bagi Mama R Marapu bukan hanya agama asli orang Sumba,
lebih dari itu Marapu adalah budaya asli orang Sumba juga. Apa
yang menjadi pantangan yang diajarkan oleh Marapu pun masih
ditaati sampai sekarang, termasuk tidak memakan ikan manduli
dan ikan hiu karena bisa mengakibatkan penyakit kulit seperti
gatal-gatal. Bagi Mama R mentaati ajaran Marapu berarti juga
menjaga budaya asli mereka sebagai orang Sumba.
“Kita bisa pindah agama, tapi kan Marapu ini kita punya
leluhur to, juga budaya orang Sumba juga...”
Kedekatan Mama R dengan ajaran Marapu
mempengaruhi sudut pandang Mama R dalam kehidupan seharihari, termasuk bagaimana dia menyikapi persoalan kesehatan.
Bagaimana Mama R memandang kesehatan dari sudut pandang
Marapu?
“Tidak ada salah ini... dalam rumah, dalam kelakuan kita,
kalau ada yang dilarang kita taat.”
Secara garis besar dapat dikatakan jika ajaran Marapu
mencakup ajaran untuk menjaga hubungan baik dengan sesama,
dan juga sebagai moral guardian atau penjaga moral manusia.
Mengapa? Marapu tidak mentoleransi adanya perbuatan yang
menyalahi moral. Persoalan moral memang persoalan yang
relatif, namun dalam sudut pandangan masyarakat lokal, moral
dianggap sebagai kata lain dari perbuatan yang tidak menyalahi
agama, atau tidak melakukan perbuatan dosa.
Bicara tentang perbuatan dosa tentu akan semakin luas
lagi cakupannya, karena perbuatan dosa dan tidak dosa pun
bersifat relatif antara satu individu dengan individu lain. Namun
jika dari dilihat dari sudut pandang Marapu, perbuatan dosa
278
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
meliputi perbuatan yang tidak dikehendaki atau dilarang
Marapu. Bagaimana kita bisa mengetahui apa saja perbuatan
dosa tersebut jika agama ini tidak memiliki peninggalan tertulis
atau kitab suci?
Cara sederhana yang dipahami masyarakat untuk
mengerti tentang hal tersebut adalah ketika mereka mendapat
musibah, bencana, atau terkena sakit, maka mereka tahu pasti
ada yang salah dengan apa yang telah mereka lakukan. Mereka
akan melakukan refleksi terhadap perbuatan yang telah mereka
lakukan, bagian mana atau apa yang salah dari perbuatan
mereka? Jika mereka sudah mengetahui bagian yang salah
tersebut, maka itulah perbuatan dosa yang membuat Marapu
tidak suka atau marah.
Melakukan refleksi dan mencari tahu perbuatan mana
yang membuat Marapu tidak suka tidaklah mudah. Maka dari itu,
masyarakat membutuhkan sosok yang dianggap memiliki
kemampuan untuk mengetahui itu semua. Dukun Marapu dan
wunang dalam budaya Sumba adalah sosok yang dianggap
memiliki kemampuan ‘membaca’ hal tersebut. Jadi meskipun
banyak masyarakat yang sudah berpindah agama Kristen pun,
masih mempercayai Marapu dalam keseharian mereka. Begitu
pula dengan Mama R.
Menjadi pemeluk Kristiani tidak lantas membuat dia
meninggalkan Marapu. Usaha yang dilakukan agar terhindar dari
sakit menurut Mama R pun tidak jauh dari sudut pandang
Marapu.
“Yang pertama jaga sikap, jaga hubungan baik dengan
orang. Yang kedua jaga kesehatan, jaga makan, juga jaga
kebersihan.”
Cara-cara seperti di atas berusaha ditempuh Mama R,
untuk menjaga kesehatan dirinya dan keluarga secara maksimal.
279
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Harapan agar tidak ada sakit atau penyakit yang datang kepada
mereka boleh saja ada, tetapi pada kenyataanya kehendak
Marapu berbeda adanya. Apung yang dulu dianggap sebagai
penyakit yang berhasil mengambil nyawa F ternyata juga
menimpa anak keduanya, M. Perbedaannya adalah M berhasil
sembuh. Apa yang berhasil membuat M lepas dari belenggu
apung?
M lahir pada tanggal 12 Desember 2009, dengan berat 3,5
kg, angka yang termasuk sangat baik untuk berat badan bayi baru
lahir. M lahir di Puskesmas dengan dibantu oleh bidan desa
dalam keadaan sehat dan sempurna. Kelahiran M hanya
disambut orang tuanya yaitu Mama R dan suaminya, karena saat
itu mereka masih bersitegang dan masih belum bertegur sapa
dengan orangtua kandung Mama R. Saat itupun Mama A, yaitu
mama mantu Mama R belum tinggal di rumah kebun yang
mereka diami sekarang.
Mau tidak mau, Mama R dan suaminya merawat M tanpa
bantuan orang lain. Suami Mama R tidak memiliki pekerjaan
tetap, kadang dia menjadi buruh tani ketika musim tanam padi
tiba, tetapi lebih sering menganggur. Keadaan itu membuat
perekonomian mereka goyah, hasil tenun tidak bisa diandalkan,
karena M telah menyita banyak waktu Mama R setiap harinya.
Keadaan tersebut semakin memburuk ketika M jatuh sakit pada
usia 4 bulan. M terserang batuk berdahak, berkeringat saat
malam hari, dan terus menerus menangis dari malam sampai
pagi hari. Kejadian beberapa tahun lalu seperti berulang kembali.
Sama seperti kisah yang lalu, Mama R pun gamang untuk
membuat pilihan pengobatan. Namun ada keyakinan kuat yang
berkata jika M tidak mengalami sakit biasa, dia yakin M
mengalami sakit di luar kewajaran. Sempat Mama R berpikir jika
apu membuat ulah sekali lagi, karena apa yang dialami M sama
persis dengan apa yang dialami F kakaknya. Sama dengan kisah
280
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
yang lalu, sekali lagi Mama R yakin jika yang mampu membuka
tabir ini adalah dukun. Akhirnya Mama R memanggil seorang
dukun ke rumahnya.
Dukun yang dia panggil untuk menyembuhkan M berbeda
dengan dukun yang pernah mencoba menyembuhkan F dulu.
Begitu besar harapan Mama R agar langkah yang dia ambil saat
itu tepat karena dia tidak ingin kembali ditinggalkan anaknya.
Dukun yang datang ke rumah Mama R adalah dukun perempuan
yang berasal dari kampung lain. Dukun tersebut dikenal sebagai
dukun yang cakap dalam menyembuhkan penyakit yang tidak
dapat disembuhkan rumah sakit (medis).
Dukun tersebut menyiapkan kelapa bakar untuk dijadikan
ramuan untuk mengurut tubuh M. Lewat jalan pengurutan
tersebut, dukun bermaksud mencari tahu apa yang terjadi di
dalam tubuh M dan apa sakit yang diderita M. Dengan gerakan
lembut dukun mengurut punggung dan dada M dengan gerakan
yang dimulai dari bawah ke atas dan sebaliknya. Dukun tersebut
bermaksud mengeluarkan lendir atau dahak dari dada dan
tenggorokan M. Dari informasi dukun diperoleh keterangan jika
M terkena apung.
Cara pengobatan yang dipakai sama persis dengan dukun
yang dahulu mencoba mengobati F, yaitu dengan berusaha
mengeluarkan lendir melalui mulut atau saat buang air besar.
Lendir tersebut akan naik dan keluar melalui mulut jika urut
dilakukan dari gerakan bawah ke atas, dan jari si dukun
dimasukkan ke bagian kerongkongan M. Lendir akan keluar
melalui kotoran saat buang air besar, jika urut dilakukan dari
gerakan atas ke bawah. Ramuan obat yang terbuat dari akarakaran pun diberikan untuk diminum M, dan sekali lagi dukun
tidak memberitahukan ramuan tersebut terbuat dari jenis akar
apa dan bagaimana meramunya.
281
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Perbedaannya dengan cara pengobatan F di waktu lalu
adalah, M tidak meminum air yang ditambahkan mata kail setiap
hari seperti F, namun hanya pada saat selesai pengobatan atau
setelah diurut dukun saja. Air yang digunakan untuk minum
adalah air mentah yang diambil dari sumur. Air mentah bukan
merupakan syarat khusus dari dukun, namun air mentah adalah
air yang lazim diminum Mama R dan keluarganya sehari-hari
sampai sekarang. Air mentah yang ditambahkan mata kail
tersebut dianggap sebagai obat utama untuk apung sesuai
dengan mitologi apung itu sendiri.
Intinya, mulut dan tenggorokan seseorang yang
menderita apung diibaratkan seperti mulut ikan yang sedang
ditarik menggunakan mata kail pancing oleh orang lain. Maka
dari itu, penawar yang dipercaya paling berkhasiat adalah mata
kail pancing yang dimasukkan ke dalam air. Air yang berisi mata
kail tersebutlah yang nantinya diminum oleh penderita apung.
Saat itu dukun berkata jika apung yang datang ke tubuh M
adalah akibat dari suanggi yang menaruh dendam kepada Mama
R atau suaminya. Tak ayal lagi, tanpa pikir panjang Mama R
langsung yakin jika apung yang datang ke tubuh M juga
perbuatan dari apu. Hal itu diperkuat dengan pengakuan Mama R
yang sering melihat bayang-bayang apu yang datang ke
rumahnya ketika M tengah menangis, atau bayang-bayang apu
yang sekedar lewat di muka rumahnya. Mama R terus mengamati
dan akhirnya menarik kesimpulan jika bayang-bayang apu
datang, di saat itulah M mulai ‘kumat’.
Nyawa M terancam, Mama R yakin akan hal tersebut.
Mama R juga yakin jika ancaman tersebut datang dari seorang
suanggi yang sama yang pernah membunuh anaknya dulu. Dia
yakin jika suanggi telah mengirim angin untuk membunuh M,
“saya yakin itu angin..ngilu sudah” ucap Mama R. Setiap kali M
selesai diobati dukun dan dikeluarkan lendir yang ada di dada
282
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dan tenggorokannya, M terlihat lebih baik. Tetapi setelah itu
keadaannya akan kembali seperti semula. Sesuai dengan anjuran
dukun, proses pengobatan berupa urut dan minum ramuan obat
idealnya dilakukan sebanyak empat kali, dan Mama R mengikuti
anjuran tersebut.
Pengobatan terus berlanjut dengan proses dan teknik
yang sama sampai pengobatan yang ke empat kali. Pengobatan
tersebut dilakukan setiap kali M kembali ‘kumat’. Agar M cepat
pulih, Mama R menjaga pola makan dirinya sendiri dengan ketat.
Dia tahu pantangan-pantangan yang harus dia taati agar anaknya
bisa mendapat kesembuhan. Dukun berkata jika air susu yang
Mama R berikan kepada M, bisa langsung berpengaruh kepada
kondisi anak tersebut secara langsung.
Mama R dilarang makan makanan yang mengandung
minyak seperti ikan, daging, santan, atau semua makanan yang
digoreng. Dia tidak boleh makan makanan yang cita rasanya
terlalu manis, asin, dan pedas. Minuman manis dan dingin pun
tidak boleh dia minum. Mama R mentaati semua anjuran dukun
tersebut, dan suaminya pun turut mengawasi apa yang Mama R
makan dan minum sehari-hari. Kadang kala karena berbagai
pantangan tersebut Mama R harus rela makan hanya dengan nasi
putih dan kuah saja, atau nasi dengan sayur yang direbus saja.
Suatu hari sakit M kambuh, padahal Mama R merasa
yakin jika dia tidak melanggar pantangan sama sekali. Suami
Mama R marah besar dan menganggap Mama R telah berbohong
di belakangnya dengan melanggar pantangan-pantangan
tersebut.
“Saya punya suami bilang, ‘kalo saya punya anak ini
kumat, saya tahu sudah kau pasti makan dan minum
tidak benar’, begitu dia bilang.”
283
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pola makan Mama R yang dijaga begitu ketat oleh
suaminya, membuatnya selalu dibayang-bayangi ketakutan jika
ingin memakan sesuatu. Ada kalanya Mama R ingin sekali makan
ikan, apa lagi jika suaminya tampak memakan ikan di
hadapannya. Suatu hari, karena rasa iba suaminya terhadap diri
Mama R, sang suami memperbolehkannya makan nasi berlauk
sedikit ikan bakar. Berat badan Mama R turun, begitu juga
dengan berat badan M.
Berat badan M yang terus menerus turun dan batuk
berlendir yang tidak kunjung reda, membuat tetanggatetangganya menaruh simpati. Mereka menganjurkan agar M
diberi tambahan asupan dari susu formula, karena saat itu M
hanya mengandalkan ASI dan bubur nasi saja. Anjuran tersebut
tidak didengar oleh Mama R, karena dia tidak mampu untuk
membeli susu formula yang harganya relatif mahal untuknya.
Selain itu Mama R merasa jika produksi ASI-nya melimpah dan
sehat untuk diberikan kepada M.
Rasa simpati tetangga-tetangga Mama R masih terus
berlanjut ketika melihat M tidak kunjung sembuh. banyak dari
tetangga-tetangga tersebut yang menyarankan Mama R untuk
menemui dukun yang mereka kenal, atau menyarankan Mama R
untuk membuat ramuan obat-obatan. Mama R memang
mematuhi saran mereka, kadang dia menyembur dada M dengan
kunyahan sirih pinang yang dicampur dengan halia (jahe). Dalam
tradisi lokal proses pengobatan dengan menyembur bagian
tubuh tertentu disebut dengan hawurut.
Seiring berjalannya waktu Mama R tersadar jika M telah
diobati dukun sebanyak empat kali, tetapi apung yang diderita M
belum sembuh juga, padahal dia dan dukun pun sudah ‘kasih
dingin’ obat dengan memberi seekor ayam dan sejumlah uang.
Mama R berpikir mungkin ada sesuatu yang salah yang tidak dia
ketahui. Apakah mungkin suanggi itu terlalu kuat dilawan
284
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pengaruhnya? Atau cara yang dilakukan Mama R yang belum
benar? Menuruti kata hatinya, akhirnya Mama R melakukan
ritual hamayangu seperti yang dia lakukan ketika F masih hidup
dulu. Mama R berharap tali perut dan hati ayam yang nanti
terbaca akan menyampaikan petunjuk atau pesan dari Marapu.
Dengan dipimpin oleh wunang, Mama R dan suaminya
melakukan hamayangu atau ‘kasih dingin penyakit’, di rumah
mereka. Ritual Marapu tersebut bertujuan untuk ‘kasih makan
suanggi’ yang telah mengganggu M. Jika suanggi sudah
mendapat ‘bagian’ maka suanggi tidak akan mengganggu hidup
M lagi, dengan catatan suanggi tersebut bersedia menerima
‘bagian’ yang akan diberikan Mama R dalam ritual hamayangu.
Hamayangu yang dilakukan untuk pertama kali ini terjadi ketika
usia M lima bulan.
“Jadi kita bilang kasih makan dia punya nenek, kita
bilang kita kasih makan nenek, baru kita kasih makan
orang yang sudah mati begitu, Marapu...”
Dengan mengorbankan empat ekor ayam, Mama R
melakukan ritual tersebut. Ayam persembahan yang telah
dipotong dan didoakan terlebih dahulu kemudian dibelah bagian
dadanya. Setelah dada ayam terbuka, tali perut dan hati ayam
akan dikeluarkan untuk dilihat oleh wunang. Tali perut dan hati
ayam yang telah dibaca wunang menunjukkan jika hasilnya
bagus. Tidak diketahui secara pasti perihal apa saja yang
dianggap bagus oleh sang wunang, dan Mama R pun tidak
bertanya. Dia hanya percaya jika wunang berkata bagus maka
hasilnya memang bagus.
Tetapi ada satu hal yang mengganjal. Wunang tidak hanya
membaca hal-hal baik dari tali perut dan hati ayam tersebut.
Wunang berkata jika apung yang ada di tubuh M juga
diakibatkan oleh Marapu yang marah kepada Mama R.
285
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Kalau memang angin sudah (di)bereskan, hanya kita
kasih dingin karena (wunang) bilang ada marah dari
Marapu.”
Bagi Mama R, Marapu yang marah adalah hal yang paling
ditakuti jika dibandingkan dengan gangguan suanggi, karena
Marapu lah yang menjadi tempat mereka meminta perlindungan.
Suanggi mungkin bisa membunuh beberapa manusia, tetapi
Marapu bisa memberi hukuman kepada satu kampung beserta
seluruh isinya, jika ada hal yang tidak Marapu suka. Dari situ lah
kemudian muncul wabah penyakit yang membunuh banyak
orang di kampung. Itu adalah penjelasan Mama R yang juga
pernah kami dengar dari orang lain juga.
Dahsyatnya kemarahan Marapu banyak membuat gentar
manusia. Hal ini disadari oleh Mama R, dan dia pun akhirnya
melakukan refleksi atas kesalahan yang telah dia perbuat.
Wunang berkata jika hal yang menyebabkan Marapu marah
adalah pertikaian Mama R dengan orangtua dan saudarasaudaranya.
“Kan pada saat itu dia (M) melahir (dilahirkan) disini to..
kan pada saat itu saya ada acara waktu dia melahir
(dilahirkan). Kan kita namanya orang Sumba begitu
sudah, masuk keluar masuk keluar tidak sembarang.
Kalau kita salah omong saja dengan keluarga, Marapu
juga marah.”
Mama R memang terlibat pertikaian dengan keluarga
besarnya, terutama dengan orangtua kandung dan sudarasaudara kandungnya. Mama R sadar, mungkin pertikaian
tersebut yang memicu kemarahan Marapu. Mama R merasa
gamang dengan langkah yang akan dia ambil selanjutnya, dia
tidak ingin pilihan langkahnya salah atau tidak direstui oleh
Marapu. Wunang yang membaca tali perut dan hati ayam secara
286
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mengejutkan berkata, jika Mama R sudah diijinkan untuk ke
rumah sakit (medis).
Seingat Mama R, wunang berkata jika semua yang
berkaitan dengan angin telah beres, dan menurut petunjuk
Marapu, sakit yang diderita M bisa disembuhkan di rumah sakit
(medis).
“Urus sudah ke rumah sakit, tidak apa-apa dia
bilang.’Kasih dingin’ baru ke rumah sakit, dia sudah
omong begitu kan. Kita juga yakin bahwa ini penyakit
rumah sakit (medis) sudah.”
Akhirnya Mama R sudah paham dengan apa yang
dikendaki oleh Marapu. Marapu ingin agar M disembuhkan di
rumah sakit, dan Mama R patuh akan kehendak Marapu
tersebut. Karena belum memiliki uang untuk pergi berobat ke
‘atas’ (Puskesmas), untuk sementara Mama R membawa M ke
bidan desa Watu Hadang. Saat itu Jamkesmas yang dimiliki
Mama R ternyata sudah tidak berlaku lagi. Oleh bidan desa, M
diberi obat-obatan dan didiagnosa hanya mengalami batuk biasa.
Mama R memberikan obat itu sampai habis, tetapi tidak ada
perubahan sama sekali.
Akhirnya Mama R membawa M ke Puskesmas Melolo
atau yang disebutnya sebagai rumah sakit Melolo. Hal yang sama
juga terjadi, obatan-obatan yang diberikan untuk M tidak
membawa perubahan apapun. Merasa bertanggung jawab atas
kesehatan M, bidan desa kemudian menyarankan agar M dibawa
ke rumah sakit di Waingapu untuk rawat inap. Bidan desa
berusaha membantu mengurus berbagai kelengkapan surat
menyurat yang dibutuhkan, agar nantinya Mama R mendapat
keringanan biaya.
Mama R menerima uluran tangan bidan desa tersebut
dan berharap banyak kepada sang bidan. Ketika hatinya dipenuhi
harapan yang tinggi, ternyata ada halangan di saat-saat terakhir
287
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
rencanan keberangkatannya ke Waingapu. Bidan desa berkata
jika ada satu syarat yang masih kurang, dan hal itu susah
didapatkan. Syarat tersebut adalah akta lahir M. Merasa syarat
tersebut tidak mungkin dibuat dalam waktu yang sangat singkat,
akhirnya Mama R memutuskan untuk melakukan rawat jalan.
Sebelum Mama R membawa M ke Waingapu, Mama R
perlu meyakinkan dirinya sendiri, apakah langkah ini sudah
tepat? Sekali lagi dia melakukan hamayangu untuk meminta
petunjuk dari Marapu, dan untuk menghilangkan segala halangan
dari angin atau ngilu, dan suanggi.
“Kalau saya omong angin, anginnya memang sudah
habis. Saya sudah kasih dingin semuanya to. Saya sudah
kasih keluar, kasih bagian yang saya omong to (suanggi).
Sudah (saya) bereskan semua, berarti di rumah sakit,
begitu... Saya sudah bereskan ini secara adat, baru saya
ke rumah sakit.”
Walaupun Mama R menyebut jika pengobatan yang akan
ditempuh adalah pengobatan rumah sakit, namun peneliti garis
bawahi sekali lagi, jika dalam pola pikir kebanyakan masyarakat
yang peneliti kenal di Desa Watu Hadang, rumah sakit
sesungguhnya adalah istilah untuk merepresentasikan
pengobatan medis. Tempat atau lokasi pengobatannya sendiri
bisa di Puskesmas, klinik, Polindes, atau rumah sakit dalam arti
sebenarnya.
Sesampainya di Waingapu, Mama R justru memutuskan
untuk langsung membawa M ke dokter yang membuka praktek
swasta. Mama R merasa jika dia harus bertindak cepat, rumah
sakit memiliki waktu yang terbatas jika ingin melakukan rawat
jalan, belum lagi dia harus mengantri dalam waktu yang lama.
Mama R tidak ingin pengalaman buruk yang menimpa F di masa
lalu terulang kembali. Dengan sabar Mama R mengantri dan
menunggu namanya dan nama M dipanggil perawat.
288
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tidak sebentar memang jika harus mengantri di dokter
yang membuka praktek swasta, karena terkadang antrian begitu
mengular sedangkan dokter mulai membuka praktek ketika sore
tiba. Maka dari itu banyak yang datang untuk mengambil antrian
sedari siang, begitu pula Mama R. Datang berobat ke dokter yang
membuka praktek swasta tidaklah murah, Mama R sadar itu.
Segala upaya telah dia lakukan untuk kesembuhan anaknya,
baginya melakukan satu upaya lagi dengan mengeluarkan uang
yang bernilai besar, bukanlah suatu hal yang akan berujung siasia. Mama R tidak bersedia memberi tahu rincian berapa biaya
yang harus dikeluarkan untuk sekali pengobatan di dokter
tersebut. Namun menurut pengakuannya, harga yang harus
dibayar memang tergolong mahal untuknya.
Ketika namanya akhirnya dipanggil, Mama R bergegas
masuk dan menemui dokter tersebut. Semua gejala sakit M dan
bagaimana rewelnya M jika malam tiba, diceritakan secara
lengkap kepada dokter tersebut. Dokter memeriksa M cukup
lama, dan seingat Mama R tidak ada tes yang dilakukan. Saat itu
dokter langsung memberikan diagnosa, dan berkata jika M positif
terkena TB Paru. Dokter berkata jika kemungkinan besar sakit M
akibat dari udara dingin, kemungkinan udara dingin tersebut
adalah pengaruh dari adanya selokan yang begitu dekat dengan
rumah.
Dokter memberikan obat-obatan dalam jumlah yang
banyak. Mama R menggambarkan jika obat-obatan tersebut ada
yang berbentuk puyer yang dibungkus dengan memakai kertas,
dan ada yang berbentuk sirup. Obat-obatan tersebut diberikan
untuk jatah minum selama satu bulan, dan dokter berpesan obat
tersebut harus selalu diberikan setiap hari sesuai jadwal dan jika
obat telah habis, Mama R harus segera kembali ke dokter praktek
tersebut. Mama R tidak bertanya apa nama obat puyer yang
diberikan, atau setidaknya terdiri dari jenis obat apa saja. Hanya
289
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
obat sirup saja yang dia tahu karena botol obat tersebut masih
disimpan sampai sekarang. Obat sirup tersebut adalah Cefadroxil.
Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti; infeksi
saluran pernafasan (tonsillitis, faringistis, pneumonia, otitis
media), infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran kemih dan
kelamin, infeksi lain seperti osteomielitis dan septisemia.
Cefadroxil adalah antibiotik yang dosis pemberiannya
berdasarkan pada kondisi berat badan dan keluhan infeksi si
pasien. Antibiotik ini minimal harus diminum selama 10 hari
(http:www.dechacare.com/cefadroxil-500-mg-P581.html).
Antibiotik tersebut adalah salah satu obat yang
diresepkan oleh dokter, beserta obat-obatan lain seperti obat
puyer yang dibungkus dengan memakai kertas berwarna coklat.
Setiap puyer yang terbungkus kertas coklat tersebut digunakan
untuk satu kali minum. Sesuai dengan petunjuk dokter, ada obat
yang diharuskan untuk diminum tiga kali sehari dan ada juga
yang diminum dua kali sehari. Dokter pun berpesan agar Mama R
harus memberikan obat-obatan tersebut tanpa jeda dan dengan
waktu yang tepat. Selain itu dokter juga berpesan jika Mama R
harus segera datang kembali jika obat telah habis.
Setelah kepulangannya dari dokter di Waingapu, Mama R
berusaha memberikan obat yang telah diberikan dokter secara
tepat waktu kepada M. Obat tersebut bereaksi baik di tubuh M,
batuk M sedikit mereda, begitu pula dengan kerewelannya ketika
malam tiba. Menurut pengakuan Mama R, obat-obatan tersebut
disiapkan dokter untuk diminum M untuk jangka waktu dua
minggu. Jadi setiap 2 minggu sekali Mama R harus pergi ke
Waingapu untuk melakukan kontrol kesehatan M, dan menebus
obat yang sama.
Mama R juga menghentikan segala proses pengobatan
tradisional yang sebelumnya pernah diberikan kepada M.
290
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Pengurutan dan ramuan tradisional tidak lagi diberikan dengan
alasan sedang mengutamakan pemberian obat dari rumah sakit
(medis). Namun untuk hawurut atau menyembur bagian tubuh M
dengan sirih pinang masih tetap dilakukan, terutama pada saat
batuk M mulai kambuh kembali.
“Tidak seperti dulu mbak. Kalau dia kumat jam 6 sore
sampai subuh. Kalau mulai malam, kan su (sudah) mulai
dingin-dingin. Kalau sudah batuk saya sembur (hawurut)
tok, tidak pakai urut, kan minum obat to.”
Untuk beberapa kali pengambilan obat dan kontrol
kesehatan M di Waingapu, Mama R masih memiliki biaya. Tetapi
jika keadaan ekonomi sedang buruk dan tidak ada pemasukan
sama sekali, Mama R terpaksa tidak membawa M ke Waingapu.
Dia menunggu datangnya rizki melalui hasil kebunnya atau dari
rizki yang diperoleh suaminya. Jika uang tersebut belum juga
cukup sementara M sudah beberapa hari tidak minum obat dari
dokter, Mama R akan menunggu.
Suatu hari kondisi keuangan Mama R tidak kunjung
membaik, dan dia terpaksa tidak membawa M ke Waingapu
entah untuk yang ke berapa kali. Saat kondisi M masih buruk,
terpaksa Mama R membawa M ke Puskesmas Melolo. Di
Puskesmas, M tidak mendapat obat yang sama dengan yang
didapat dari dokter praktek di Waingapu.
“Kalau habis obat dia kumat lagi, itu obat berturut-turut
sudah, kadang kalau tidak ada uang, saya pergi ke atas
(Puskesmas Melolo) sudah...”
Kurang lebih selama satu tahun lamanya Mama R terusmenerus melakukan pola pengobatan seperti yang diceritakan di
atas. Obat dari dokter di Waingapu tidak dikonsumsi dengan baik
karena terhambat pada masalah biaya. Dari pengakuan Mama R,
obat yang dia dapatkan dari Puskesmas adalah obat batuk yang
291
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diperuntukkan untuk batuk biasa, bukan untuk batuk karena
infeksi TB. Hal ini cukup menarik perhatian peneliti karena jika
keluhan penyakitnya masih sama, maka kemungkinan besar obat
yang akan diberikan pun setidaknya memiliki fungsi untuk
mengurangi, atau menyembuhkan penyakit tersebut.
Ternyata hal tersebut bisa terjadi karena Mama R tidak
menceritakan riwayat kesehatan M, dan tidak menceritakan
diagnosa dokter yang Mama R datangi di Waingapu. Mengapa
Mama R tidak menceritakan hal tersebut? itulah pikiran peneliti
saat itu. Setelah sekian lama meminum obat dari dokter di
Waingapu dan menganggap M mengalami perkembangan yang
pesat, Mama R yakin jika TB yang tadinya diderita M sudah tidak
ada. Mama R yakin jika yang tersisa adalah batuk biasa. Peneliti
pernah mencoba menanyakan perihal tersebut kepada bidan
desa Watu Hadang.
Saat peneliti temui, bidan desa bercerita jika dia tidak
mengetahui riwayat kesehatan M, karena selama ini M
melakukan kontrol di Waingapu. Dengan alasan tersebut, bidan
menyatakan tidak ada catatan medis di Puskesmas atau di
Posyandu di Desa Watu Hadang yang menyatakan M terkena TB
paru.
Pada usia kurang lebih 2 tahun, M sudah tidak lagi dibawa
Mama R untuk memeriksakan kesehatan di Waingapu ataupun di
Puskesmas. Mama R yakin jika M sudah sembuh karena batukya
sudah reda, dan badannya pun lambat laun semakin berisi.
Diagnosa TB paru yang melekat pada M mungkin masih perlu
dibuktikan. Namun jika diagnosa tersebut benar, maka tantangan
selanjutnya adalah untuk membuktikan apakah TB paru tersebut
memang sudah lenyap dari tubuh M. Mama R memang yakin jika
TB paru anaknya sudah sembuh meskipun jika udara dingin, M
seringkali terbatuk kembali.
292
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Jika udara atau cuaca sedang dalam keadaan dingin,
Mama R tidak akan memandikan M dengan air dingin dan tidak
membiarkan M meminum minuman dingin. M sendiri masih
tampak kurus, dan tinggi badannya hampir sama dengan adik
perempuannya yang usianya lebih muda 1,5 tahun dari usia M.
Mama R juga sadar, bahu M masih terlihat bungkuk, sama seperti
setahun yang lalu yaitu ketika M masih belum sembuh dari TB
paru.
Sudah peneliti tuliskan di atas jika Mama R menjaga pola
makan M dengan ketat. Berbagai pantangan seperti makanan
yang berminyak, makanan yang digoreng, atau minuman dingin,
seharusnya sama sekali tidak dimakan atau diminum M.
Walaupun begitu, Mama R tidak sepenuhnya menjaga peraturan
yang dibuatnya sendiri agar tidak dilanggar. Kadang kala untuk
membuat M berhenti menangis, dia mengabulkan rengekan dan
amukan M untuk membeli minuman dalam kemasan yang
mengandung bahan pemanis buatan, dan pengawet yang
berbahaya.
Selain mengijinkan M untuk minum minuman dalam
kemasan, Mama R juga tidak memasak air putih yang diminum M
dan seluruh keluarga, tentu saja termasuk dirinya sendiri. Mama
R mengambil air untuk minum dari sumur tetangga di belakang
rumahnya. Sedangkan untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan
buang air besar, Mama R dan anak-anaknya memanfaatkan
keberadaan selokan yang berair deras dan dalam. Sama halnya
dengan cerita kopi yang peneliti dapatkan ketika bersua dengan
Mama D beserta keluarganya, Mama R pun hanya memasak air
jika ingin menyeduh kopi atau teh saja, dan tentu saja air yang
direbus tersebut hanya perlu ‘panas’ untuk dianggap layak
minum.
Ketika peneliti menyinggung masalah tersebut, yaitu
setelah peneliti melihat anak bungsu Mama R meminum air
293
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
mentah yang ada di ember dengan memakai gayung, Mama R
menganggap hal tersebut adalah hal yang lumrah dan berkata
“kami orang Sumba memang begini mbak, sudah biasa, tidak
apa-apa”. Rasa ingin tahu peneliti akan pendapat Mama R
tentang air mentah terus peneliti gali, karena peneliti semakin
penasaran akan pendapat Mama R.
Suatu saat peneliti kembali menyinggung hal tersebut,
tepatnya ketika peneliti memperhatikan jika flu yang dialami
kedua anak Mama R tidak kunjung sembuh dari saat pertama
peneliti datang di Desa Watu Hadang, sampai di hari terakhir
peneliti melakukan riset. Peneliti mencoba memancing dengan
menanyakan kepada Mama R, apakah mungkin flu yang lama
tidak kunjung sembuh tersebut karena kedua anaknya minum air
mentah? Dengan yakin Mama R menjawab jika air mentah tidak
menimbulkan sakit apapun, flu adalah akibat dari angin atau
udara yang dingin.
Berbicara tentang angin, Mama R percaya jika apa yang
dialami M di waktu yang lalu tetaplah angin, tetaplah ngilu.
Bagaimana bisa? Bukankah panjang dan lebar dia bercerita
tentang bagaimana dia berusaha menyembuhkan anaknya
melalui jalan medis, melalui obat-obatan yang diberikan dokter?
Mama R masih percaya jika sakit M adalah apung, bukan TB paru.
Alasannya? Mama R tahu jika TB adalah penyakit menular, dan
jika M memang terkena TB, mengapa N adik perempuannya tidak
terkena sakit yang sama sampai sekarang?
Ya. Begitulah Mama R menyimpulkan apa yang terjadi
dengan putranya, semua disimpulkan dari sudut pandang yang
sederhana. Apung yang diderita M kerap kali kambuh, jika hal itu
terjadi Mama R akan menyembur dada M dengan kunyahan sirih
pinang yang dicampur halia atau jahe (hawurut). Selain itu, dia
akan membawa botol kosong obat sirup andalannya ke sebuah
apotek di Waingapu, dan membeli obat dengan merek yang sama
294
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dengan botol kosong tersebut. Obat sirup yang dimaksud adalah
Cefadroxil. Jika apung M kambuh, Mama R langsung paham apa
yang harus dia lakukan. Dia akan memberi M cefadroxil.
“Bunyi lendirnya di sini (di dada). Saya tahu, saya
langsung kasih cefadroxil, paling satu hari langsung
hilang lewat buang air besar, lewat kotoran sudah.”
Peneliti mencoba mencermati pola pikir mama M dalam
menyikapi apung. Jika apung adalah ngilu, bukankah artinya
kesembuhannya dipercaya tidak dapat diperoleh melalui
penanganan medis? Mama R memegang teguh pendapatnya jika
apa yang dialami M adalah apung, namun mengapa Mama R
percaya penyembuhnya adalah obat dari rumah sakit (medis)?
Jawabannya ternyata sederhana. Mama R teringat saat dia
melakukan hamayangu, yaitu saat dia mengharap petunjuk dari
Marapu.
Kala itu Mama R merasa putus asa, merasa gamang saat
mencari jalan kesembuhan untuk M. Saat itu Marapu
memberikan petunjuk yang dilihat dari tali perut dan hati ayam
yang dikorbankan. Dari petunjuk yang dibaca seorang wunang, M
diperbolehkan diobati dengan cara medis.
“kita jadi tahu memang kita butuh berobat atau tidak.
Itu dari Marapu. Itu kita tahu memang kalau Marapu
yang marah, selesai kita minum obat, kita kasih dingin,
kita minta maaf dia (minta maaf kepada Marapu),
berarti selesai sudah. Terlepaskan sudah, minum obat ya
sembuh sudah.”
Sembuh dalam sudut pandang Mama R memang
subyektif, tidak perlu ada persetujuan dokter atau tes
laboratorium untuk mengetahui itu. Baginya jika batuk M sudah
jauh berkurang, maka kondisi tersebut bisa dikatakan sembuh
dari penyakit. Untuk menjaga kemungkinan batuk tersebut
295
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
datang kembali, Mama R menjaga baik-baik botol Cefadroxil
dengan hati-hati agar tidak hilang atau pecah. Jika M mulai batuk
dengan disertai lendir, Mama R akan membeli obat tersebut di
apotek di Kota Waingapu tanpa resep dokter. Obat tersebut akan
dihentikan pemberiannya jika batuk M sudah reda, walaupun
sebenarnya aturan yang benar adalah diberikan minimal selama
10 hari berturut-turut dengan dosis dan waktu yang tepat.
Obat dengan merk tersebut seketika menjadi andalannya
jika batuk M kambuh. Adik perempuan M, yaitu N belum pernah
mengalami sakit yang sama dengan kakaknya. Jika N mengalami
batuk pun, itu hanya batuk biasa yang akan sembuh jika dibawa
berobat ke bidan, atau jika disembur sirih pinang saja (hawurut).
Besar badan N hampir menyamai badan kakaknya, begitu juga
dengan tinggi badannya. Apa yang mereka makan dan minum
setiap hari pun tidak jauh berbeda. Menu kesukaan mereka
adalah mi instant.
Jika sedang akur, M dan N sering kali makan dan minum
dari alat makan serta minum yang sama. Mereka pun tidur
bersama dengan Mama R, dari sejak pertama mereka lahir. Jika
penyakit M memang TB paru, mengapa N dan Mama R tidak
mengalami sakit yang sama sampai sekarang? Ini adalah alasan
lain mengapa Mama R masih yakin jika M bukan menderita TB,
tetapi apung.
Sampai menjelang kepergian peneliti dari Kampung Uma
Bara, peneliti masih bersua dengan Mama R dan anak-anaknya.
Kondisi mereka tidak berubah. Mama R masih bermusuhan
dengan apu karena dendam lama, anak-anak Mama R masih
terkena flu yang tidak kunjung reda, dan masih belum ada
kepastian tentang kesembuhan TB paru M. Dua hari sebelum
peneliti pergi, peneliti bertanya kepada bidan desa tentang
masalah TB yang ada di Kampung Uma Bara. Bidan desa tersebut
296
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
mampu mengingat nama-nama warga yang sekarang sudah
dinyatakan sembuh dari TB melalui uji laboratorium.
Dalam waktu dekat bidan desa akan mengambil sample
dahak dari warga yang mengalami batuk namun tidak kunjung
sembuh, dengan mendatang rumah mereka satu persatu.
Sayangnya kegiatan tersebut dilaksanakan ketika peneliti sudah
selesai melakukan riset. Cukup lama pengambilan sample dahak
warga tidak dilakukan, mungkin lebih dari enam bulan yang lalu,
kurang lebih begitu ucap bidan desa. Pengambilan sample dahak
yang telah lalu memiliki cerita yang masih diingat bidan desa.
Sample dahak orang yang dicurigai terinfeksi TB akan
dimasukkan ke dalam tabung kecil, dan diberi nama sesuai
dengan identitas orang yang diambil sample tersebut. Risiko
penularan sangat mungkin terjadi jika ternyata orang tersebut
memang positif terinfeksi kuman TB. Namun bukan hanya itu
kendala yang dihadapi bidan desa, karena kendala yang lebih
dirasa berat adalah penolakan atas pengambilan sample
tersebut. Alasan yang paling sering digunakan untuk menolak
berpartisipasi dalam pengambilan sample dahak tersebut adalah,
karena orang-orang tersebut merasa sangat yakin jika mereka
tidak terinfeksi TB.
Walaupun bidan desa memiliki kedekatan emosional dan
personal dengan orang-orang yang menolak tersebut, dan terus
melakukan pendekatan, pada kenyataannya mereka tetap tidak
bersedia untuk terlibat dalam pengambilan sample.
“Susahnya begitu mbak, mereka bilang ‘eee saya tidak
kena itu penyakit TBC, ini batuk biasa sudah’. Mereka
bilang begitu mbak...”
Bidan desa tidak bisa memaksa agar mereka bersedia
menjalani tes, bidan desa mencoba melihat penolakan tersebut
dari sudut pandang lain. Kemungkinan orang-orang yang
297
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menolak untuk menjalani tes tersebut, merasa malu jika ternyata
hasil yang nantinya keluar ternyata menyatakan mereka positif
terinfeksi TB. Bidan desa tampaknya tidak memikirkan
kemungkinan, jika mereka yang menolak memang benar-benar
yakin jika mereka tidak terkena TB, tetapi yakin jika mereka
terkena penyakit lain seperti pada kasus Mama D dan Mama R.
Walaupun bidan desa mengaku akrab dengan apa yang
disebut dengan penyakit kampung, tetapi pada kenyataannya
bidan desa hanya bisa menceritakan beberapa diantaranya saja.
Apung bukanlah penyakit kampung yang populer, dan dari apa
yang peneliti cermati selama di lapangan, tidak semua penderita
apung adalah penderita TB. Apung adalah penyakit yang ciri-ciri
yang paling mudah dikenali adalah batuk berlendir, sakit di
bagian tenggorokan, susah menelan makanan, dan nafas terasa
sesak. Itu adalah ciri-ciri yang paling sering ditemui.
Namun ciri lain yang lebih spesifik, dan tidak ditemukan
pada semua yang mengaku menderita apung adalah batuk yang
berbulan-bulan lamanya, berkeringat jika di malam hari, merasa
gelisah, dan sering kali disertai demam. Bisa dikatakan walaupun
apung memiliki tiga jenis sesuai dengan yang dikatakan oleh
nenek moyang, jenis tersebut tidak dipakai secara baku. Misalnya
seperti pada kasus Mama D, yang jika dilihat dari daftar penyakit
berdasarkan nama induk ngilu dan turunannya, apung yang
diderita almarhum putrinya K adalah apung runu. Namun dia
hanya menyebutnya apung saja, karena hanya itu yang dia tahu.
Pun dengan Mama R, jika dilihat dari gejala apung yang
diderita oleh almarhum F dan M, ciri-ciri apung yang melekat
lebih dekat pada apung runu, namun Mama R menyebuatnya
sebagai apung mangiala. Jadi label yang melekat pada suatu
penyakit bisa dilihat dari gejala umumnya dulu, dan hal tersebut
bersifat subyektif. Pada kasus bapak HN pada bab III, TB yang dia
298
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
derita disebut dengan tanggingu maria, karena ciri-ciri spesifik
yang mencolok adalah batuknya yang mengeluarkan darah.
299
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
300
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Marapu sebagai agama dan budaya asli Sumba, adalah
representasi dari suatu budaya lisan yang diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Tidak adanya
peninggalan tertulis, atau lazim disebut kitab suci, membuat
Marapu dianggap tidak layak disebut sebagai agama. Walaupun
demikian, Marapu memiliki nilai-nilai yang tidak bisa dipisahkan
dari budaya Sumba. Setiap ritual adat yang dilakukan, Marapu
selalu menjadi leluhur yang dipuja dan dimintai berkah untuk
kelancaran dan keselamatan. Setiap hewan korban yang
dipersembahkan dalam ritual adat pun, diperuntukkan bagi
Marapu terlebih dahulu. Marapu sendiri bukanlah sosok Tuhan,
tetapi ia berada cukup dekat dengan Tuhan sehingga dianggap
mampu menyampaikan segala permintaan manusia secara
langsung kepada-Nya.
Manusia meminta perlindungan serta keselamatan
kepada Tuhan, dengan memohon melalui Marapu. Permohonan
tersebut disampaikan melalui dukun, wunang, atau seorang ratu.
Permohonan tersebut bisa jadi adalah permohonan keselamatan
saat melakukan perjalanan jauh, kelancaran saat melakukan
panen padi, permohonan agar pernikahan berlangsung bahagia,
atau permohonan untuk sembuh dari sakit. Pada dasarnya,
semua ajaran agama atau kepercayaan mengajarkan hal yang
301
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
serupa, bahwa segala perkara tentang sehat dan sakit adalah
bagian dari takdir dari Tuhan.
Penganut ajaran Marapu percaya jika segala sakit berasal
dari Tuhan yang datang melalui Marapu. Kesembuhannya pun
dapat diperoleh jika penganutnya berdoa, dan melakukan upaya
pengobatan. Mereka juga percaya jika Marapu bisa memberikan
sakit, maka Marapu juga bisa memberikan kesembuhan. Tetapi,
mengapa penganut Marapu hanya meyakini jika sakit yang
berasal dari Marapu, hanya bisa disembuhkan dengan cara
Marapu saja?
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, jika pengobatan
dengan cara Marapu bukanlah pengobatan yang memasukkan
unsur atau tata cara medis di dalamnya. Tata cara atau prosedur
medis, dianggap tidak akan mampu menyembuhkan sakit dari
Marapu. Pemikiran tersebut terlahir bukan tanpa alasan. Secara
historis, leluhur etnik Sumba pada masa lalu sudah mengenal tata
cara pengobatan tradisional. Sebenarnya bukan hanya etnik
Sumba, etnik lain pun memiliki sejarah pengobatan tradisional
yang bisa dikatakan jauh dari pengobatan medis.
Bisa jadi, hal yang membuat keberadaan pengobatan
medis eksis serta mampu mengurangi praktek pengobatan
tradisional di suatu etnik tertentu, adalah dari pendekatan
kesehatan yang dilakukan sejak dini oleh pemerintah. Bukan hal
yang tidak mungkin, jika pengobatan tradisional Marapu yang
jauh dari pengobatan medis dapat bertahan sampai sekarang ini,
karena keterlambatan pemerintah untuk memperkenalkan
pengobatan secara medis di Pulau Sumba. Keterlambatan
tersebut dapat disebabkan karena Pulau Sumba memiliki letak
dan karakteristik geografis yang rumit atau sulit dijangkau, atau
bisa juga karena selama ini pemerintah hanya terkonsentrasi
membangun kesehatan secara fisik dan mental di wilayah
Indonesia bagian Barat saja.
302
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Akibat dari terlambatnya campur tangan pemerintah
tersebut, bagian dari pengobatan Marapu yang dianggap
merugikan jika dilihat kaca mata medis, masih bertahan sampai
sekarang. Salah satunya adalah kepercayaan jika sakit dari
Marapu hanya bisa disembuhkan secara Marapu saja. Hal
tersebut berlaku untuk semua sakit yang disebabkan oleh
pengaruh Marapu.Tidak terkecuali ngilu apung. Eksistensi apung
ternyata bukan semata-mata karena pengaruh kuatnya ajaran
Marapu, tetapi juga karena sosok berpengaruh yang dianggap
sebagai kepanjangan tangan dari Marapu. Sosok tersebut adalah
dukun.
Tidak bisa dipungkiri, dukun berada di hati masyarakat.
Posisinya belum bisa tergantikan oleh sosok lain, seperti perawat,
bidan, atau dokter. Dukun bukan hanya memiiki kedekatan
emosional dan kultural dengan pasien, namun dukun dipercaya
memiliki kekuatan transendental, semacam kesaktian atau
kekuatan gaib untuk menyembuhkan sakit. Dukun juga diyakini
mampu berkomunikasi dengan Marapu untuk memohon
petunjuk dan keselamatan.
Dalam kasus apung versus TB yang telah dibahas dalam
bab sebelumnya, dapat dilihat jika perang tersebut merupakan
perang antara sudut pandang emic dan ethic. Bayangkan jika
manusia memiliki 2 sisi wajah yang berbeda, atau 2 sisi jiwa yang
bertolak belakang satu sama lain, namun hidup dalam satu
tubuh, dan hidup berdampingan. Metafora tersebut dirasa tepat
untuk menggambarkan bagaimana perang antara apung dan TB.
Masih memakai metafora di atas, apung yang merupakan
representasi emic, berkuasa penuh dan muncul sebagai wujud
manusia yang menderita selayaknya ikan di dalam telaga yang
sedang terperangkap kail di bagian mulutnya, rasanya sakit tak
terkira. Di sisi yang lain, TB muncul sebagai representasi ethic,
dan juga berkuasa penuh pada tubuh manusia tersebut. Dia
303
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
muncul sebagai wujud manusia yang terinfeksi kuman TB, sama
sakit dan sama menderitanya. Hal yang juga membuat kedua sisi
tersebut berbeda adalah cara keduanya mendapatkan
kesembuhan.
Sisi apung berharap belas kasih dari Marapu untuk
mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan tersebut didapatkan
melalui dukun sebagai penyembuh, dan wunang sebagai si
pembawa pesan dari Marapu. Sisi kepribadian TB berharap
‘rumah sakit’ atau medis, mampu menyelamatkan nyawa mereka
dengan satu syarat mutlak, yaitu patuh dalam meminum obat.
Sebaliknya sisi apung justru mendengarkan bisikan dari dukun
agar dia tidak meminum obat dari ‘rumah sakit’, karena obat
tersebut tidak hanya membuat tenggorokan kering dan
kehilangan nafsu makan, tetapi yang terpenting adalah sisi apung
yakin jika dia tidak akan sembuh di tangan ‘rumah sakit’.
Sisi TB adalah sisi yang pantas kami sebut sebagai sisi yang
harus patuh terhadap rezim medis. Kepatuhan tersebut bersifat
mutlak, tidak akan ada kesembuhan jika tidak ada kepatuhan.
Maka sisi TB ini diharuskan berada di bawah kontrol obat dan
dokter (atau petugas kesehatan). Sisi ini tidak mengenal ngilu,
pesan dari Marapu, apa lagi pengobatan dari dukun. Tidak ada TB
yang mampu disembuhkan oleh dukun, TB harus disembuhkan
dengan cara ‘rumah sakit’. Metafora di atas hanya ingin
menggambarkan bagaimana manusia bisa melihat satu hal yang
sama dari sudut pandang yang berbeda, dari sudut pandang
peneliti (ethic) dan dari sudut pandang masyarakat yang diteliti
(emic). Apapun itu, entah sisi emic atau epic, entah apung atau
TB, kita bisa melihat bagaimana masyarakat memilih dan apa
alasan dibalik pilihan tersebut.
Di Kecamatan Umalulu, dukun bukan hanya dipercaya
sebagai penyembuh tradisional belaka, tetapi juga orang yang
sakti. Hal ini ditegaskan oleh Soeriadiredja (2002:105):
304
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
“Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyal
kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi
(dukun) dan na mapingu muru (dukun obat) karena
mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk
menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan
penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib,
yaitu dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu.”
Posisi dukun yang istimewa di hati masyarakat ternyata
bukan hanya terdapat di Kecamatan Umalulu. Tetapi juga
ditemukan di 3 kecamatan lain di Kabupaten Sumba Timur. Hal
ini pernah diteliti oleh Wahyujati dan Indah Setyawati (2002),
ketika melakukan penelitian di 3 kecamatan di Kabupaten Sumba
Timur. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tabundung,
Kecamatan Haharu, dan Kecamatan Karera. Dalam penelitian
tersebut ditemukan fakta, jika mayoritas masyarakat di 3
kecamatan tersebut lebih percaya kepada penyembuh tradisional
(traditional healer), karena dipercaya mampu menyembuhkan
penyakit yang bersifat magis (unnatural causes), salah satunya
yang disebabkan oleh leluhur (Marapu), yang memberi
peringatan atau marah (some sign of ancestor warning).
Wahyujati dan Indah Setyawati (2002) juga menemukan
adanya penyakit yang diyakini masyarakat hanya bisa
disembuhkan oleh dukun. Penyakit-penyakit tersebut dalam bab
IV, tercantum dalam penyakit yang termasuk anak/turunan dari
ngilu. Penyakit yang ditemukan oleh Wahyujati dan Indah
Setyawati (2002) tersebut adalah Heilulu atau Hidu Hay, yaitu
penyakit yang dipercaya menyerang alat kelamin penderita
(affect the genital areas of the victims), Haruka yang memiliki
ciri-ciri sakit di bagian dada atau punggung (chest/back pains),
dan Kahalaramba yang dipercaya sebagai masuk angin.
Walaupun penyakit yang disebutkan tidak selengkap
temuan peneliti yang telah dituliskan pada Bab 4, namun
305
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penelitian tersebut bisa menunjukkan jika di kecamatan lain di
Kabupaten Sumba Timur pun, kepercayaan terhadap penyakit
magis pun begitu kuat. Imbas dari kuatnya kepercayaan tersebut,
masyarakat akhirnya banyak yang memilih penyembuh
tradisional (traditional healer) sebagai prioritas utama. Jika usaha
tersebut ternyata gagal, masyarakat baru akan memilih cara
medis untuk upaya mendapatkan kesembuhan.
Pola health seeeking behaviours seperti di atas, adalah
pola yang juga peneliti temukan di Desa Watu Hadang,
Kecamatan Umalulu. Masyarakat akan mengandalkan dukun
terlebih dahulu, jika upaya tersebut ternyata gagal, mereka akan
beralih untuk mencari kesembuhan lewat jalan medis. Pola
tersebut dapat digambarkan dalam bagan sederhana di bawah
ini.
RUMAH
GEJALA
SAKIT
DUKUN
GAGAL
MEDIS
GAGAL
Bagan 5.1.
Pola Health Seeking Behaviours
pada Mayarakat Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu
Sumber: Visualisasi Peneliti
306
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Trend pengobatan yang dilakukan berdasarkan temuantemuan yang peneliti temukan selama di lapangan juga dapat
digambarkan melalui tabel di bawah ini.
Tabel 5.1. Trend Pengobatan Mayarakat Desa Watu Hadang
Perawatan
Ringan
Rumah
X
Dukun
Medis
Sedang
Berat
X
X
X
Sumber: Data Primer
Ada sebagian kecil masyarakat yang menjadikan medis
sebagai prioritas utama untuk memperoleh kesembuhan dari
sakit atau penyakitnya. Bapak RJ dan sebagian besar keluarganya
yang berstatus Maramba, yang juga rata-rata pernah
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, lebih memilih
pengobatan secara medis dari pada pengobatan tradisional
melalui tangan dukun. Namun gambaran tersebut bukanlah
suatu generalisasi, yang dapat menyatakan jika golongan
Maramba adalah golongan yang percaya akan pengobatan
medis. Faktor yang patut digaris bawahi adalah faktor pendidikan
yang pernah ditempuhnya.
Bukan hal yang tidak mungkin jika pendidikan ternyata
berperan besar dalam pola pikir dan kesadaran seseorang
tentang kesehatan, apapun golongan sosialnya. Hanya saja,
dalam kultur Sumba, bukan lagi menjadi rahasia umum jika
golongan Maramba adalah golongan yang memiliki akses paling
luas untuk memperoleh jenjang pendidikan yang tinggi.
Sedangkan golongan sosial di bawahnya, khususnya golongan ata
lebih menjadikan pengobatan tradisional sebagai prioritas utama.
Rata-rata, golongan ata hanya menempuh pendidikan sekolah
307
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dasar saja. Golongan kabihu adalah golongan yang dalam tulisan
ini terwakili oleh Mama D. Dia juga menjadikan pengobatan
tradisional sebagai prioritas utama, dan kebetulan dia juga tidak
menamatkan pendidikan SMP atau dengan kata lain hanya
menamatkan pendidikan dasar saja.
5.2. Rekomendasi
Ada satu hal penting yang terbantahkan terkait dengan
keyakinan Marapu, yaitu keyakinan bahwa sakit atau penyakit
dari Marapu tidak mampu disembuhkan dan didiagnosa secara
medis. Hal yang paling nyata adalah ngilu apung. Kisah Mama D
dan Mama R menunjukkan jika ngilu apung bukanlah sakit atau
penyakit magis (personalistik), tetapi penyakit yang terjadi secara
alamiah (naturalistik). Pemahaman tersebut akan sulit untuk
dipahami oleh masyarakat yang terlanjur menerima ngilu apung
sebagai sakit atau penyakit magis.
Kerugian yang muncul jika pemahaman tersebut terus
menerus dipertahankan adalah kematian, karena ngilu apung
atau TB adalah penyakit menular yang mudah sekali menyebar
namun sulit disembuhkan. Lalu bagaimana upaya untuk
menghilangkan atau setidaknya mengurangi pemahaman
tersebut di masyarakat? Satu hal yang pasti, upaya mengalihkan
keyakinan pemeluk Marapu agar berpindah ke ajaran agama lain
adalah upaya yang tidak efektif.
Upaya tersebut justru tampak seperti suatu tindakan
masyarakat untuk memperoleh legalitas dari berbagai urusan
yang terkait dengan pemerintahan saja. Namun tetap saja,
keyakinan yang mengakar kuat dalam diri mereka adalah
keyakinan Marapu. Selain itu, keyakinan adalah masalah
personal yang merupakan urusan individu yang bersangkutan
dengan Tuhan. Lagi pula, perbedaan antara Marapu sebagai
ajaran agama dan Marapu sebagai wujud budaya Sumba begitu
308
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
tipis. Dikhawatirkan, jika upaya pengalihan keyakinan dilakukan
secara masif, hal tersebut juga berdampak pada terancamnya
budaya asli Sumba.
Telah disebutkan sebelumnya jika masalah kesehatan di
Kabupaten Sumba Timur adalah masalah yang pelik. Khusus di
Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu, masalah kesehatan
bukan hanya melibatkan petugas kesehatan sebagai representasi
medis, dan dukun sebagai representasi non-medis. Namun juga
tokoh adat dan agama seperti wunang dan ratu. Tampak jelas
jika masalah kesehatan pun merupakan bagian dari masalah
budaya masyarakat. Untuk itu perlu ditempuh upaya lain, agar
usaha mendekatkan masyarakat dengan program kesehatan dari
pemerintah bisa berhasil.
Beberapa rekomendasi yang dapat peneliti ajukan untuk
mewujudkan hal tersebut yaitu:
1) Melakukan pendekatan sosial budaya kepada tokoh agama
dan tokoh adat Marapu, yang dilakukan oleh petugas
kesehatan. Diharapkan pendekatan yang dilakukan bukan
hanya pendekatan medis, tetapi juga pendekatan budaya.
Petugas kesehatan hendaknya terlebih dahulu dibekali
dengan pemahaman yang baik tentang apa itu Marapu, dan
yang terpenting adalah memahami tentang konsep tentang
sehat dan sakit dari sudut pandang Marapu.
2) Melakukan upaya promotif tentang sebab sakit atau
penyakit kepada masyarakat, yang dilakukan oleh petugas
kesehatan. Upaya ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang benar dari sisi medis, apa-apa saja yang
dapat menyebabkan seseorang sakit atau terkena penyakit,
dan bagaimana penyembuhannya. Hal yang terpenting
adalah memberi pemahaman, jika sakit yang masyarakat
pahami berasal dari Marapu, dapat disembuhkan secara
medis.
309
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
310
INDEKS
A
B
agama · 36, 39, 40, 41, 43, 51,
52, 54, 57, 88, 111, 112, 118,
119, 124, 126, 129, 193, 194,
195, 198, 204, 211, 214, 243,
247, 261, 263, 277, 278, 279,
301, 308, 309
agama asli · 194, 278
aktivitas · 9, 16, 21, 67, 68, 105,
107, 156, 157, 158, 159, 160,
161, 167, 181, 191, 194, 235
aktivitas fisik · 107
apung · 6, 7, 177, 208, 209,
212, 214, 215, 237, 239, 240,
241, 243, 246, 247, 250, 251,
253, 256, 261, 265, 267, 269,
270, 272, 280, 281, 282, 284,
285, 294, 295, 296, 298, 303,
304, 308
arwah leluhur · 55
ASI eksklusif · 155
asupan · 150, 284
aturan · 61, 109, 110, 211, 242,
296
bahasa · 6, 20, 43, 45, 71, 87,
88, 89, 90, 94, 183, 193, 197,
198, 199, 205, 259, 260, 267
bangsawan · 12, 14, 18, 37, 44,
47, 48, 52, 53, 59, 78
belis · 25, 26, 40, 49, 50, 51,
217
budaya · 2, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 23,
42, 44, 48, 50, 51, 59, 66, 80,
90, 97, 101, 113, 168, 177,
182, 195, 201, 204, 215, 239,
267, 278, 279, 301, 308, 309
D
daerah endemis · 139, 167
diabetes mellitus · 186, 187
dukun bayi · 70, 86, 121, 122,
124, 125, 126, 128, 130, 131,
223, 225, 226, 239
E
elite · 65, 66
Etiologi · 201, 204
311
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
F
informasi kesehatan · 234
fasilitas kesehatan · 4, 7, 102,
104, 144, 200, 201, 223
filosofi · 30, 31
frambusia · 178, 179, 180, 182
J
G
gaib · 35, 42, 69, 74, 118, 120,
132, 133, 203, 209, 268, 303,
305
garis keturunan · 59, 61
gaya hidup · 229
geografi dan kependudukan · 6
golongan sosial · 47, 87, 88, 89,
307
H
hamayang · 34, 42, 43, 57, 72,
73, 81, 203, 273
hamayangu · 75, 126, 196, 202,
204, 263, 264, 265, 266, 269,
270, 275, 285, 288, 295
hipertensi · 189
I
ideologi · 66
imunisasi · 133, 138, 141, 153,
154
312
jamban · 35, 158
K
kabihu · 14, 33, 42, 47, 60, 61,
62, 63, 77, 78, 88, 113, 118,
218, 219, 308
kain tenun · 17, 49, 90, 91, 254,
275
kandungan · 42, 114, 116, 118,
120, 121, 128, 136, 137, 155,
223, 233, 263, 278
karakteristik · 31, 33, 302
kebersihan · 105, 167, 182,
191, 199, 279
kebutuhan · 23, 59, 84, 96, 108,
115, 119, 120, 124, 151, 160,
162, 166, 168, 181, 182, 183,
293
kebutuhan pokok · 96, 160
kehamilan · 42, 62, 106, 109,
110, 111, 112, 114, 115, 117,
118, 127, 128, 136, 262
kelahiran · 12, 42, 86, 127, 128,
130, 214, 263
kelas sosial · 24
kematian · 6, 12, 31, 41, 42, 51,
52, 55, 57, 62, 69, 88, 95, 99,
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
101, 102, 154, 171, 191, 194,
195, 201, 235, 253, 308
kemiskinan · 1, 2, 182
kemitraan · 102, 127, 226
kepercayaan · 5, 6, 13, 34, 36,
37, 40, 45, 46, 51, 57, 81, 88,
133, 187, 194, 195, 198, 201,
204, 205, 210, 221, 267, 301,
303, 306
keramat · 31, 32, 88
kesehatan reproduksi · 104,
105, 110
kesenian · 6, 90
Kesimpulan · 301
keturunan · 15, 16, 38, 47, 48,
59, 60, 61, 113, 114, 115,
118, 194
keyakinan · 5, 7, 124, 194, 196,
210, 249, 263, 264, 265, 272,
280, 308
klan · 47, 49, 58, 59, 60, 61, 62,
63, 113, 118, 194, 218, 254
komoditi · 26
komunikasi · 19, 87, 88
konsep · 69, 309
kusta · 182, 183, 184, 185, 186,
207
L
larangan · 39, 188, 218, 219,
241
latar belakang · 158, 211, 215
leluhur · 11, 12, 14, 51, 52, 61,
70, 71, 81, 194, 195, 198,
199, 203, 208, 214, 278, 301,
302, 305
Leluhur · 12, 208, 209, 214
lingkungan · 20, 35, 104, 108,
141, 168, 179, 191, 199, 203
literatur · 3, 10, 11, 69
M
magis · 68, 195, 199, 201, 202,
241, 247, 269, 305, 306, 308
mahkluk halus · 68, 132, 191,
264
makanan · 17, 21, 24, 25, 55,
57, 63, 76, 78, 79, 80, 98,
105, 107, 116, 117, 119, 124,
138, 150, 155, 156, 157, 159,
161, 188, 203, 230, 258, 259,
266, 276, 277, 283, 293, 298
malaria · 84, 139, 167, 168,
169, 170, 171, 172, 173, 174,
175, 176, 190
mamarung · 68, 71
mantra · 42, 46, 305
maramba · 14, 24, 38, 44, 47,
48, 49, 52, 59, 63, 64, 65, 66,
78, 81, 88, 89, 90, 158, 187
Marapu · 5, 6, 11, 17, 27, 31,
33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41,
42, 46, 47, 51, 52, 53, 54, 68,
70, 75, 90, 98, 118, 119, 124,
313
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
126, 129, 187, 193, 194, 195,
197, 198, 199, 200, 201, 202,
204, 205, 210, 211, 214, 221,
241, 247, 251, 256, 261, 263,
265, 267, 270, 271, 273, 277,
278, 279, 280, 285, 286, 287,
288, 295, 301, 302, 303, 304,
305, 308, 309
mata pencaharian · 6, 17, 22,
275
melahirkan · 38, 58, 59, 60, 64,
85, 86, 101, 102, 103, 110,
119, 122, 123, 124, 125, 126,
127, 128, 130, 131, 133, 134,
135, 136, 141, 144, 145, 223,
224, 225, 226, 227, 246, 263,
264, 275
mendamu · 48
meninggal · 32, 46, 52, 53, 55,
56, 115, 122, 124, 128, 129,
130, 191, 234, 235, 236, 238,
248, 254, 261, 275
menstruasi · 105, 106, 108,
117, 137
mentruasi · 137
merokok · 116, 162, 163
minuman · 23, 24, 79, 96, 107,
116, 136, 155, 162, 163, 165,
202, 248, 251, 252, 276, 293
mitologi · 214, 282
modernisasi · 18, 62, 97
muru manganding · 170, 172
314
N
nasib sial · 31
naturalistik · 203, 215, 221, 308
nenek moyang · 13, 31, 36, 37,
39, 67, 88, 97, 134, 193, 194,
204, 251, 261, 298
ngilu · 5, 6, 7, 35, 43, 68, 69, 70,
118, 126, 129, 130, 132, 133,
170, 195, 196, 197, 199, 202,
204, 205, 207, 208, 209, 210,
211, 212, 214, 237, 239, 240,
241, 242, 243, 244, 265, 266,
267, 268, 269, 270, 272, 282,
288, 294, 295, 298, 303, 304,
305, 308
nifas · 133, 134, 135, 136, 137
nutrisi · 78, 107, 108, 138, 141,
161, 189
O
obat proyek · 219, 231, 237,
238, 239, 242
obat tradisional · 24
organisasi sosial · 6
P
pakem · 72
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
pantangan · 32, 42, 43, 45, 89,
136, 218, 219, 221, 278, 283,
293
paraingu · 12, 14, 31, 51, 52, 58
patron · 64
pelayanan · 6, 82, 83, 84, 85,
87, 144, 233, 234
pelayanan kesehatan · 6, 82
pemakaman · 53, 55, 57, 235,
248
Pemberdayaan · 27
pemeriksaan · 83, 87, 144, 148,
175, 176, 178, 179, 181, 185,
221, 232, 273
pemerintahan · 13, 41, 65, 308
pemijatan · 114, 127, 172, 243,
244, 246
pemukiman · 14, 31, 32, 94,
166, 168, 173
pendidikan · 15, 18, 27, 28, 41,
48, 63, 65, 96, 97, 105, 111,
112, 141, 158, 187, 218, 307
Peneraci · 162, 164, 165
pengetahuan · 6, 8, 104, 106,
112, 126, 135, 179, 186, 205,
246, 247
pengobatan · 6, 64, 68, 69, 70,
73, 74, 81, 82, 86, 87, 114,
116, 172, 173, 178, 179, 180,
181, 182, 184, 186, 187, 188,
189, 190, 191, 194, 195, 202,
203, 205, 210, 211, 213, 219,
231, 234, 237, 238, 240, 244,
245, 246, 247, 248, 250, 271,
272, 280, 281, 282, 283, 284,
288, 289, 290, 291, 302, 303,
304, 307
pengurutan · 130, 240, 248,
249, 250, 281
penimbangan · 133, 134, 141,
148, 153
penyakit · 2, 3, 4, 5, 6, 8, 32, 34,
35, 57, 67, 69, 70, 74, 81, 84,
101, 104, 112, 118, 133, 138,
139, 154, 166, 167, 169, 170,
172, 173, 178, 179, 180, 181,
182, 187, 188, 189, 190, 192,
195, 196, 198, 199, 200, 201,
202, 203, 204, 205, 206, 207,
210, 212, 213, 214, 215, 219,
220, 228, 229, 236, 237, 238,
242, 243, 245, 246, 249, 251,
260, 267, 268, 278, 280, 281,
285, 286, 287, 292, 294, 295,
296, 297, 298, 305, 308, 309
penyakit menular · 2, 3, 5, 7,
101, 104, 112, 179, 182, 294,
308
penyakit tidak menular · 2, 3
penyembuh · 7, 37, 70, 71, 72,
73, 113, 124, 194, 198, 202,
204, 211, 239, 244, 304, 305,
306
penyembuh tradisional · 7, 70,
71, 204, 211, 304, 305, 306
315
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penyembuhan · 5, 72, 73, 134,
136, 195, 201, 202, 211, 239
peraturan · 18, 110, 224, 293
perawatan · 84, 130, 135, 141,
248
Perilaku Hidup Bersih Sehat · 2
perjalanan · 16, 58, 254, 259,
301
perjodohan · 113
perkawinan · 12, 25, 31, 40, 42,
46, 47, 48, 49, 50, 61, 62, 95,
97, 113
perlindungan · 37, 42, 55, 68,
70, 72, 110, 138, 210, 286,
301
pernikahan · 47, 48, 50, 51, 61,
88, 109, 111, 128, 194, 195,
261, 301
persalinan · 42, 60, 102, 127,
134, 143, 144, 145, 155, 224,
225, 226, 227, 262
persembahan · 43, 44, 45, 46,
55, 72, 73, 108, 196, 285
persepsi · 66, 104
petala · 38
petunjuk · 76, 81, 126, 270,
273, 285, 287, 288, 290, 295,
303
poligami · 39, 40, 60
praktek · 40, 211, 245, 273,
288, 289, 291, 302
prestise · 25, 63, 64, 258
prevalensi · 5, 186, 189
316
R
racikan · 74, 190
ramuan · 24, 54, 72, 73, 74, 75,
105, 113, 114, 120, 131, 133,
135, 136, 140, 172, 190, 202,
203, 209, 237, 240, 248, 249,
266, 270, 273, 281, 283, 284,
291
Rekomendasi · 308
religi · 6, 201
Revolusi KIA · 2, 101, 102, 103,
104, 127, 143, 223
ritual · 17, 25, 26, 34, 42, 43,
44, 45, 57, 69, 71, 72, 73, 75,
81, 88, 95, 98, 108, 119, 130,
133, 134, 173, 188, 190, 194,
195, 196, 204, 205, 211, 242,
243, 258, 263, 264, 265, 266,
269, 270, 271, 275, 278, 285,
301
rumah adat · 15, 29, 30, 31, 32,
183, 193
rumah tangga · 21, 22, 27, 113,
119, 122, 123, 131, 133, 142,
159, 166, 257, 262, 266, 268,
276
S
sakit · 5, 6, 34, 41, 43, 45, 64,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
74, 75, 81, 105, 118, 121,
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
123, 130, 133, 136, 139, 146,
154, 171, 172, 173, 175, 177,
178, 181, 183, 184, 187, 188,
189, 190, 191, 195, 196, 197,
198, 199, 200, 201, 202, 203,
206, 207, 208, 209, 210, 211,
213, 214, 219, 223, 225, 227,
228, 229, 231, 233, 239, 241,
242, 243, 244, 249, 251, 260,
265, 267, 268, 271, 272, 273,
274, 279, 280, 281, 283, 287,
288, 289, 291, 294, 295, 296,
298, 301, 302, 303, 304, 305,
307, 308, 309
sakral · 33, 198, 200
sehat · 42, 66, 67, 101, 114,
115, 116, 117, 120, 125, 157,
158, 177, 178, 188, 223, 227,
229, 236, 240, 258, 263, 264,
265, 269, 280, 284, 302, 309
sejarah · 6, 11, 13, 213, 214,
302
siklus kehidupan · 42
spesifik · 48, 209, 298, 299
spiritual · 14, 37, 68, 73, 120,
200, 201, 204, 211
status kesehatan · 6
status sosial · 40, 48, 49, 52, 63,
65
stratifikasi · 12, 218
suanggi · 43, 68, 70, 71, 118,
129, 130, 132, 196, 198, 199,
260, 262, 264, 265, 266, 267,
268, 269, 270, 271, 272, 282,
284, 285, 286, 288
sudut pandang · 2, 3, 7, 8, 20,
30, 36, 41, 84, 85, 86, 104,
114, 177, 194, 200, 201, 221,
239, 246, 278, 279, 294, 295,
297, 303, 304, 309
sumbangan · 56, 63, 77
sumber makanan · 155, 161
T
teknologi · 6, 97
teritorial · 62
tradisional · 7, 30, 33, 35, 68,
69, 70, 71, 72, 74, 80, 81, 82,
97, 105, 113, 114, 115, 116,
120, 133, 138, 159, 162, 163,
165, 168, 172, 173, 187, 190,
191, 193, 210, 221, 223, 224,
239, 251, 257, 275, 290, 302,
307
transendental · 71, 195, 303
transportasi · 15, 16, 26, 162,
176, 191
Tuberkulosis · 176, 177, 213
U
upacara · 17, 23, 25, 26, 31, 42,
43, 46, 51, 52, 53, 55, 58, 88,
98, 99, 108, 111, 130, 235
317
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
W
wahyu · 74
warisan · 41, 57, 60, 90, 97, 134
wawasan · 3, 19, 112, 135, 204,
212, 261
318
wunang · 37, 45, 50, 56, 81, 88,
112, 194, 197, 199, 202, 204,
205, 263, 269, 270, 271, 273,
279, 285, 286, 287, 295, 301,
304, 309
GLOSARIUM
Ai : kayu
Ai Iju : kayu kuning, penghasil warna kuning dalam menenun
Alimu : penyakit yang mengakibatkan lutut terasa sakit dan tidak
kuat berjalan
Ama : ayah atau bapak
Ana Kawini : anak perempuan
Ana luhu liu, ana puru tana: Anak yang keluar kampung, anak
yang turun tanah
Apung : lendir (dahak)
Apung runnu : batuk berlendir atau berdahak, terasa sakit di
semua anggota badan dan tulang, nafas tidak lancar
(terengah-engah), berlendir terus menerus, bahu sampai
bungkuk, dan berkeringat jika malam hari. Ciri spesifik dari
apung ini adalah lendir yang konon berada di paru-paru
sulit untuk dikeluarkan tanpa bantuan obat/ramuan
Apung mangiala : Ciri-cirinya adalah tenggorokan terasa sakit,
tidak bisa makan karena tenggorokan terasa sakit jika
digunakan untuk menelan, tenggorokan terasa kering dan
tercekik seperti ada duri atau mata pancing di dalamnya.
Ata : Hamba
Au : Perapian atau dapur
Awangu : langit
Awangu walu ndani : delapan lapis langit
Awu : abu, tungku perapian, dapur
Baha : mencuci
Baha kahelI : upacara cuci tempat bersalin sekaligus pemberian
nama pada bayi yang dilakukan sehari setelah bayi
dilahirkan
319
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Bahi : besi
Belis : mahar perkawinan adat Sumba. Pada umumnya berupa
hewan (babi, kuda, kerbau), dan perhiasan (mamuli emas,
rantai emas, atau perak dan tembaga)
Banda willi : Emas dan hewan belis
Benakudu : Borok kecil
Bidi mini : pemuda
Boku : kakek
Bokulu : besar
Bidi kawini : pemudi
Buamang :Kolong rumah yang dimanfaatkan untuk menyimpan
kayu bakar, memelihara ternak, dan menyimpan barang
lainnya
Dorang : mereka
Hailulu : jenis penyakit tradisional dengan gejala dengan gejala
antara lain kejang-kejang, nafas terasa sesak
Hailulu halinding : jenis hailulu yang terasa sakit di bagian urat
kaki dan pinggang
Hailulu kawini : jenis hailulu yang terasa sakit di bagian pinggang,
ginjal, disertai sesak nafas
Hailulu mini : hailulu dengan ciri bengkak pada alat kemaluan
Halia : jahe
Halinding : terapung
Hamayang : ritual doa yang dilakukan oleh pemeluk agama
Marapu
Hamawangu : Gading
Hapi : sapi
Harua wini : penyakit yang menyebabkan kulit terkelupas namun
tidak ada luka, dan bisa menyerang di seluruh bagian badan
Haruka : penyakit yang menyebabkan rasa tertikam di semua
anggota tubuh
320
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Hawurut : sembur atau menyembur. Suatu metode
penyembuhan tradisional masyarakat Sumba, dengan cara
menyemburkan ramuan berupa sirih, pinang, kapur, serta
jahe di bagian anggota badan yang sakit
Hayingu : penyakit yang menimbulkan rasa gatal, ,benjolan
berukuran besar, bisa muncul di sekujur badan kecuali di
telapak tangan dan kaki. Bisa menyebabkan demam
Hewaria : Darah tinggi
Hikil : sejenis tanaman berbau khas, yang dikenal memiliki
manfaat sebagai penangkal penyakit yang disebabkan oleh
angin
Hikung : Songket atau tenun ikat. Salah satu teknik membuat
motif pada kain dan sarung Sumba.
Hinggi : Kain selimut
Hupu : ujung,batas, akhir
Hupu Li La Witi -Hupu Li La Kunda : akhir dari segala
pembicaraan dan akhir dari segala pintalan
Ina : mama atau ibu
Ina mbulu-na ama ndaba : ibu dan bapa dari pada semua
Ihu : mandi
ita : lihat, melihat
Kabangu : peti mati terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan
Kaba ri : mangkuk terbuat dari tempurung kelapa, wadah lauk
pauk makanan yang berair
Kaba wai : tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa
Kabela : parang besi yang digunakan untuk memotong hewan
kurban besar seperti kuda atau kerbau
Kabihu : klan atau marga, orang bebas (merdeka)
Kadu : tanduk
Kahalarambah : penyakit yang menimbulkan rasa tertikam di
bagian dada dan punggung
321
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kaheli : balai-balai. Berfungsi untuk menerima tamu yang datang
berkunjung.
Kahidi : pisau untuk mengerat emas atau perak, memotong ayam
untuk kepentingan upacara keagamaan
Kahonga : Tugal. Terbuat dari kayu untuk membuat lubang tanah
untuk tanaman serta untuk membalikan tanah agar siap di
tanami benih
Kalawihi : terjadi apabila seorang laki-laki bangsawan tinggi
kawin dengan seorang yang berasal dari golongan hamba,
maka keturunannya disebut bangsawan
Kalumbutu : anyaman daun lontar berupa tas tempat sirih pinang
pria.
Kambaniru : tiang rumah
Kamaru : pohon asam
Kandehangu: pembantu wunang/juru bicara adat
Ka-Ngga Duk: Demam
Kani-padua : pusat atau pertengahan perkampungan/Paraingu
Umalulu, bagian negeri yang ditinggali oleh Kabihu Ratu
(imam atau penasehat spiritual bangsawan).
Kapihaku : lumpur
Karambua: Kerbau. Hewan yang digunakan sebagai belis maupun
kurban dalam upacara adat, baik upacara adat perkawinan,
kematian, bahkan sebagai tebusan atas pelanggaran yang
terjadi dalam adat-istiadat orang sumba. Pada zaman
dahulu, karambua biasa digunakan sebagai alat yang
membantu manusia dalam mengolah kebun maupun
sawah.
Karai ngguya na tumbu kadu, rara ulli, ua kaka be nakapu,
kaningu wa tai kaddu uma tandai kabihu ambu na mbulang
ambu na maruambang : Saya memohon tumbuh tanduk
merah, kuning taring, rambut uban dan merangkak agar
nantinya ada yang menduduki tahta kabihu.
322
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Kara wulangu : kura-kura belang kulit. Kura-kura merupakan
perlambangan kebangsawanan, kebesaran dan pengaruh.
Dalam baitannya : Ana wuya rara-ana kara wulangu ( anak
buaya merah-anak kura-kura belang)
Katahu : memotong/memutuskan
Katanga : tali kendali kuda yang digunakan pada upacara
kematian
Katatu : tatto atau raja tubuh. Rajah tubuh ini perlu dilakukan
karena berfungsi sebagai tanda pengenal dan syarat agar
diperbolehkan masuk ke parai marapu ketika sudah
meninggal nanti.
Katiu : sakit
Kawini : perempuan
Katuaba : Gila
Katuada : Tugu sembahyang kepada marapu. Berupa batu yang
diukir dan ditancapkan di dalam tanah bagian kiri halaman
depan rumah, pintu perkampungan, kebun, ladang dan
padang
Kawindu : Halaman rumah
Kenja pahuru mutu lapa : nama induk penyakit, penyakit kulit
Killa : Kusta
Kindi : alat yang terbuat dari kayu atau bambu yang digunakan
untuk memintal benang
Kombu : Mengkudu. Penghasil warna merah untuk kain tenunan
La : di
Ladi dita : lantai atas. Tempat sakral yang dianggap sebagai
tempat tinggal marapu
Ladi padua : lantai tengah. Tempat tinggal manusia,tempat
beraktivitas sehari-hari
Ladi wawa : lantai bawah rumah atau kolong rumah.
La hupu : di batas
323
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
La hupu ina-la hupu ama : batas seglala ibu dan bapak , ibu
segala ibu dan bapa segala bapa
Latangu : sawah
Lawu : Kain sarung wanita
Layia : Klan penerima wanita
Lekawu : induk penyakit dari seluruh penyakit yang menyerang
perut.
Li’i : cerita atau hikayat, hal
Li’i marapu : hikayat leluhur, cerita yang mengulas asal muasal
leluhur orang sumba
Li kiring li andong : hal tentang peperangan
Li konda li ratu : hal kepemimpinan dan hal yang dihormati
Li la lei li manguama : hal suami dan istri
Li ndewa li pahomba : hal bertani dan hal beternak
Liku : tali.
Liu : alat yang terbuat dari kayu yang dilapisi bahan empuk
(gumpalan kapas/bantal) yang dijadikan sandaran belakang
dalam menenun
Luku : sungai
Lulu amahu : salah satu jenis mahar berbentuk panjang mirip
ular. Biasanya terbuat dari emas
Luluku : Seni bahasa berbait-bait berpasangan
Mamarungu : Makhluk halus bersifat jahat
Mambadi : penyakit yang menimbulkan rasa gatal di seluruh
badan, bintik-bintik dan berair
Mamuli : Perhiasan emas atau perak lambang wanita
Manggari : penyakit bisul dan bernanah pada kulit
Mangu : milik
Mangu tanangu : pemilik tanah
Mannu : Ayam.
Mangiala : pancing, memancing.
Maramba : raja,bangsawan
324
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Marapu : 1) leluhur yang didewakan; 2) sebuah kepercayaan
masyarakat sumba yang masih menganut paham animisme
dan dinamisme
Mata : mata
Maringu : dingin
Maruambang : lupa
Mbana : panas
Mbatangu : menara rumah
Mbola : Bakul. Biasa digunakan untuk menyimpan beras, jagung,
maupun hasil kebun lainnya yang terbuat dari anyaman
daun lontar dan daun pandan
Mbola pahapa : tempat sirih dan pinang yang digunakan seharihari.
Mbulangu : hilang
Mendamu : anak-anak dari seorang laki-laki bangsawan tinggi
kawin dengan seorang wanita yang berasal dari golongan
orang merdeka, anak-anaknya menjadi golongan
bangsawan.
Meti : mati
Meti maringu : mati dingin. Mati yang disebabkan oleh penyakit
atau faktor usia tua.
Meti mbana : mati panas. Mati secara tiba-tiba, karena dibunuh,
bunuh diri, kecelakaan, perang, atau saat melahirkan.
Mini: laki-laki
Mirri : 1) Tuhan; 2) tuan
Muru : 1) penyakit; 2) obat
Muru halabbu : penyakit yang mengakibatkan rasa sakit di mulut,
luka di bagian bibir dan mulut, bernanah, berbintik-bintik,
dan bisa menjalar sampai ke bagian telinga
Muru hawali : dikenal sebagai muru yang ‘kurang ajar karena
mengakibatkan luka, gatal, berbintik-bintik, dan berair pada
alat kelamin.
325
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Muru huahak : penyakit yang mengakibatkan rasa sakit di mulut,
gusi dan bagian kulit di dalam mulut mengalami luka
Muru ipi : penyakit yang mengakibatkan kulit melepuh seperti
terkena air panas di badan dan bernanah
Muru ipi kabala : sama dengan muru ipi, hanya saja
penyebarannya lebih cepat
Muru itir : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di bagian perut
seperti ditusuk-tusuk ikan lele laut
Muru iwu : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di ulu hati,di
perut, dan bisa menyebabkan diare
Muru kabuata : penyakit yang berupa benjolan besar yang
kemudian terkelupas, ada cairan berwarna kuning di
seluruh badan
Muru katarumuru : sakit perut, terasa ada angin yang berputar di
dalam perut
Muru lapapu : penyakit yang mengakibatkan rasa rasa sakit di
mulut dan gusi, dan gigi terasa bergoyang (hampir tanggal)
Muru lamba : penyakit yang mengakibatkan perut kembung,
tidak bisa kentut, tidak bisa bersendawa
Muru lawora : penyakit yang menimbulkan rasa seperti ada 2
ekor biawak (lawora) yang bergerak-gerak di dalam perut,
terasa sakit di semua bagian perut dan panas
Muru linggu : penyakit yang menyerang bagian kaki dan
mengakibatkan kaki tidak mampu berdiri
Muru manganding : sejenis daun yang bisa menyembuhkan
beberapa penyakit, juga merupakan penyakit yang
mengakibatkan badan dan mata berwarna kuning, sakit
perut.
Muru Mangidip : sejenis penyakit pada kulit,seperti luka bakar
dan bernanah
Muru mbuakahau : penyakit yang menakibatkan perut terasa
panas, sakit, dan pedih
326
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Muru mina manu : penyakit kulit yang diawali dengan bercakbercak berwarna putih, gejala penyakit ini diyakini mirip
penyakit kusta.
Muru padjurang : penyakit yang juga menyerang bagian leher
dan juga tidak mampu digerakkan ke belakang.
Muru paribara : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di bagian
perut, mencret, muntah, dan pandangan terasa gelap
Muru rikalanda : penyakit menyerang bagian leher. Leher tidak
bisa menengok ke belakang karena serasa ada jarum yang
menusuk
Muru ular : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di bagian
perut, mencret, muntah, dan demam
Muru ular luri : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di lulu
hati, muntah dan mencret
Na’i : penyakit yang disebabkan oleh angin (bahasa Sabu)
Na ina pakawurungu-na ama pakawurungu : ibu dan bapa yang
diseluruhina pandanyura ngara-na pandapeka tamu: yang
tak disebut gelarnya dan yang tak dikatakan namanya yang
sering disebut anatala
Na ma pandoi : yang membuat
Na ma wulu : yang menciptakan (sebutan untuk Tuhan)
Na mawulu paka woring –Na ma pandoi pama nandang : Tuhan
Yang Maha Kuasa
Ndakatiku ndakapaku : nama induk dari seluruh penyakit yang
bisa menyebabkan lumpuh.
Ndama tuama : yang mendapati
Ndama pa ita mata wanya : yang bertemu mata dengannya
Ndanni : lapis
Ngilu : Angin. Dalam masyarakat Sumba Ngilu juga dikenal
sebagai salah satu penyebab penyakit yang berupa gunaguna atau santet dari orang-orang tertentu atau juga
karena kiriman marapu.
327
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Ngilu apung : penyakit yang mengakibatkan sesak nafas karena
keberadaan dahak, lendir. Merupakan penyakit kiriman
orang lain atau marapu.
Ngilu tama : angin masuk (angin kiriman)
Nggutingu : gunting yang digunakan pada upacara potong
rambut
Ngohungu : lesung kayu yang digunakan pada upacara panen
Nimbu : tombak besi yang digunakan untuk meramalkan suatu
kejadian pada upacara keagamaan
Njara : kuda
Nyuda kika : merekalah
Nyuda kika ndama tuama ndama paita mata wanya : merekalah
(sebutan untuk marapu ) yang bisa berkomunikasi langsung
dengan Tuhan.
Ongko : sebutan untuk laki-laki keturunan tiong hoa yang pada
umumnya berada di sumba untuk urusan niaga atau
perdagangan
Padua : Pertengahan, bagi dua
Pa dudurungu : meratap atau menangis, untuk menangisi orang
yang telah meninggal dunia
Padjilingu : menginjak lahan sawah dengan menggunakan
bantuan ternak kerbau atau sapi.
Pahadangu : membangun atau mendirikan rumah
Pahappah : sajian khas orang sumba untuk tamu yang datang ke
rumah mereka. Pahappah terdiri atas sirih, pinang, dan
kapur.
Pahiki : guci keramik wadah tuak untuk sesaji
Pahukungu : pasang usuk (rumah)
Pa kaworing : yang mengembangbiakan
Pa manandang : menjadi bagus/cantik
Pamandungu : meneguhkan atau menguatkan. Dalam adatistiadat sumba dikenal ritual pamandungu yang khusus
328
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
dilakukan pada ibu hamil yang memasuki usia kandungan 46 bulan ke atas dengan tujuan memohon keselamatan
kepada agar persalinan berjalan lancar dan terhindar dari
berbagai gangguan mahkluk gaib yang dapat mencelakai si
ibu dan janin yang masih di dalam perut.
Pamaringu : mendinginkan
Pamaringu awu: ritual pemutusan tali pusar bayi yang dilakukan
dengan cara menyirami tungku dengan air sisa mandi sang
bayi sampai pusar bayi tersebut sembuh
Pamiti : menghitamkan (gigi)
Pamongu : teras
Pangangu kangata : gotong royong pengumpulan bahan
belis/mas kawin
Pangiangu marapu : tempat kediaman marapu
Panongu : Tangga
Papaitang : memahitkan
Papaitang wai huhu : ritual menyapih bayi. Dipimpin oleh
wunang dengan mempersembahkan ayam sebagai kurban.
Paraingu : kampung yang didiami oleh sekelompok masyarakat
Paraingu marapu : kampung leluhur
Parukut walawitu : nama induk dari semua penyakit kulit.
Patalarungu : pemasangan range kayu untuk mendudukan alang
rumah
Patundu mbitu : Suara gong yang dipukul dengan irama duka
Pau : Mangga
Pawii kamnbaniru : ukir tiang
Pawitungu : mengatapi rumah dengan alang-alang
Peci : atau penaraci merupakan minuman keras tradisional di
Sumba yang terbuat dari tuak dan ragi. Yang banyak dibuat
oleh orang sabu.
Piapang : alat yang digunakan untuk menggulung benang
menjadi gumpalan benang
329
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pihu : tujuh
Pindu : pintu
Puadahu : menyeka atau menghapus
Puadahu wai hanggobu : ‘menyeka air keringat’. Pesta yang
dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahan
yang telah berjalan, serta untuk menolak segala bala dan
hambatan, serta memohon berkat kepada marapu.
Punggu : Tebang kayu
Puru la wai: turun ke air
Rambu : sebutan untuk perempuan sumba. Untuk daerah
tertentu di sumba, rambu hanya digunakan sebagai sapaan
untuk seorang perempuan yang masih berketurunan
ningrat.
Rara : merah
Ratu : imam atau penasihat spiritual
Rondangu : memapar atau meratakan (gigi)
Rodang hambuli : nama induk penyakit
Ruu : daun
Runnu : berenang
Suanggi : tukang guna-guna atau tukang santet
Tama : masuk
Tamu rambu : tuan,sebutan untuk bangsawan perempuan
Tamu umbu : tuan, sebutan untuk bangsawan pria
Tamelingu : tudung kepala.
Tana : tanah
Tana humba : tanah sumba
Tanda taka : Tanda/ bukti penyambutan tamu.
Tanggu marapu : Milik marapu, Benda-benda yang dikeramatkan
yang disimpan di bagian menara rumah.
Tangawahil : tempat pahappah yang terbuat dari anyaman daun
lontar kering dan biasanya digunakan hanya untuk tamu.
Tau : manuisa, orang
330
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Tau njawa : Orang jawa, orang asing, namun kini maknanya
meluas. ‘Tau jawa’ bisa juga digunakan pada orang Sumba
yang sudah berkedudukan tinggi di bidang pemerintahan.
Tiara : Selendang, Ikat kepala pada pria.
Tobungu : wadah semacam piring terbuat dari kayu
Topu : Tikar. Biasa digunakan sebagai alas tempat duduk di balaibalai maupun sebagai alas untuk tempat tidur
Tumbu : tumbuh
Tumbu kadu : tumbuh tanduk
Padua : Pertengahan, bagi dua
Pa dudurungu : meratap atau menangis, untuk menangisi orang
yang telah meninggal dunia
Padjilingu : menginjak lahan sawah dengan menggunakan
bantuan ternak kerbau atau sapi.
Pahadangu : membangun atau mendirikan rumah
Pahappah : sajian khas orang sumba untuk tamu yang datang ke
rumah mereka. Pahappah terdiri atas sirih, pinang, dan
kapur.
Pahiki : guci keramik wadah tuak untuk sesaji
Pahukungu : pasang usuk (rumah)
Pa kaworing : yang mengembangbiakan
Pa manandang : menjadi bagus/cantik
Pamandungu : meneguhkan atau menguatkan. Dalam adatistiadat sumba dikenal ritual pamandungu yang khusus
dilakukan pada ibu hamil yang memasuki usia kandungan 46 bulan ke atas dengan tujuan memohon keselamatan
kepada agar persalinan berjalan lancar dan terhindar dari
berbagai gangguan mahkluk gaib yang dapat mencelakai si
ibu dan janin yang masih di dalam perut.
Pamaringu : mendinginkan
331
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pamaringu awu: ritual pemutusan tali pusar bayi yang dilakukan
dengan cara menyirami tungku dengan air sisa mandi sang
bayi sampai pusar bayi tersebut sembuh
Pamiti : menghitamkan (gigi)
Pamongu : teras
Pangangu kangata : gotong royong pengumpulan bahan
belis/mas kawin
Pangiangu marapu : tempat kediaman marapu
Panongu : Tangga
Papaitang : memahitkan
Papaitang wai huhu : ritual menyapih bayi. Dipimpin oleh
wunang dengan mempersembahkan ayam sebagai kurban.
Paraingu : kampung yang didiami oleh sekelompok masyarakat
Paraingu marapu : kampung leluhur
Parukut walawitu : nama induk dari semua penyakit kulit.
Patalarungu : pemasangan range kayu untuk mendudukan alang
rumah
Patundu mbitu : Suara gong yang dipukul dengan irama duka
Pau : Mangga
Pawii kamnbaniru : ukir tiang
Pawitungu : mengatapi rumah dengan alang-alang
Peci : atau penaraci merupakan minuman keras tradisional di
Sumba yang terbuat dari tuak dan ragi. Yang banyak dibuat
oleh orang sabu.
Piapang : alat yang digunakan untuk menggulung benang
menjadi gumpalan benang
Pihu : tujuh
Pindu : pintu
Puadahu : menyeka atau menghapus
Puadahu wai hanggobu : ‘menyeka air keringat’. Pesta yang
dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahan
332
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
yang telah berjalan, serta untuk menolak segala bala dan
hambatan, serta memohon berkat kepada marapu.
Punggu : Tebang kayu
Puru la wai : turun ke air
Rambu : sebutan untuk perempuan sumba. Untuk daerah
tertentu di sumba, rambu hanya digunakan sebagai sapaan
untuk seorang perempuan yang masih berketurunan
ningrat.
Rara : merah
Ratu : imam atau penasihat spiritual
Rondangu : memapar atau meratakan (gigi)
Rodang hambuli : nama induk penyakit
Ruu : daun
Runnu : berenang
Suanggi : tukang guna-guna atau tukang santet
Tama : masuk
Tamu rambu : tuan,sebutan untuk bangsawan perempuan
Tamu umbu : tuan, sebutan untuk bangsawan pria
Tamelingu : tudung kepala.
Tana : tanah
Tana humba : tanah sumba
Tanda taka : Tanda/ bukti penyambutan tamu.
Tanggu marapu : Milik marapu, Benda-benda yang dikeramatkan
yang disimpan di bagian menara rumah.
Tangawahil : tempat pahappah yang terbuat dari anyaman daun
lontar kering dan biasanya digunakan hanya untuk tamu.
Tau : manuisa, orang
Tau njawa : Orang jawa, orang asing, namun kini maknanya
meluas. ‘Tau jawa’ bisa juga digunakan pada orang Sumba
yang sudah berkedudukan tinggi di bidang pemerintahan.
Tiara : Selendang, Ikat kepala pada pria.
Tobungu : wadah semacam piring terbuat dari kayu
333
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Topu : Tikar. Biasa digunakan sebagai alas tempat duduk di balaibalai maupun sebagai alas untuk tempat tidur
Tumbu : tumbuh
Tumbu kadu : tumbuh tanduk
Ulli : taring
Uma : rumah
Uma bara : rumah putih
Uma bokulu : rumah besar atau rumah adat.
Uma kamudungu : rumah yang tidak bermenara
Uma mbatangu : rumah menara
Uma wuaka : rumah kebun.
Umbu : sebutan untuk laki-laki sumba. Untuk daerah tertentu di
Sumba, Umbu hanya digunakan sebagai sapaan untuk
seorang laki-laki yang masih berketurunan ningrat.
Uta : penyakit yang menimbulkan rasa gatal, sakit, bisa muncul di
sekujur badan, bintik kecil, terasa sakit, dan bisa
menyebabkan demam
Wai : air
Wai hanggobu : air keringat
Wai huhu : air susu
Walu : delapan
Wanggi pamening : kayu yang dibentuk persegi, digunakan
untuk menyelipkan benang-benang-benang yang akan
menjadi pola pembuatan sarung.
Watu : batu
Watu hadang : batu berdiri
Watu pelitu : nama suku bangsawan
Wei : Babi.
Wora : Nila,nila digunakan sebagai pewarna penghasil warna biru
dalam menenun.
Wuaka : kebun
Wulangu : bulan
334
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Wunang : juru bicara adat, utusan atau perantara.
Wuru : periuk tanah liat yang digunakan untuk membawa air atau
memasak
Wuya : Buaya. Buaya dijadikan simbol/motif dalam poembuatan
kain maupun sarung Sumba.
Wuya rara : buaya merah, merupakan perlambangan kepada raja
Yiara : Klan pemberi wanita
Yila : tarik
335
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Sumba Timur. 2013. Sumba Timur Dalam Angka
Tahun 2013. BPS Sumba Timur
BPS Kabupaten Sumba Timur. 2013. Umalulu dalam Angka Tahun
2013. BPS Kabupaten Sumba Timur
Buku Saku. 2013. Ditjen P2PL Kemenkes
Dokumen RPJM Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015
Kapita, OE. Hina. 1976. Sumba Di Dalam Jangkauan Jaman.
Waingapu. Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan
Daerah Sumba Dewan Penata Layanan Gereja Kristen
Sumba.
Umbu, Manggana. 2004. “Kajian Sosial Budaya Terhadap
Perkawinanan Adat Sumba di Umalulu”. Tesis. Salatiga.
Universitas Kristen Duta Wacana.
Rahajoe dkk, Nastiti N. 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak. Jakarta. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia
Setyawati, Indah & Dwi Wahyujati. September 2002. “Health
Seeking Patterns In East Sumba District : Qualitative Study
On Community Perceptions, Usages And Expectations On
Formal And Informal Health Facilities”. Research Report.
Kupang. UPTD Pelatihan Tenaga Kesehatan (Bapelkes)
Simpen, I Wayan. 2008. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat
Sumba Timur : Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan.
Penerbit Pustaka Larasan
336
Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT
Soeriadiredja, Purwadi. 1983. Aspek Struktural dan Fungsional
dalam Kain Tenun Tradisional di Sumba Timur. Skripsi.
Universitas Padjajaran
___________________. 2012. Marapu: Agama dan Identitas
Budaya Orang Umalulu, Sumba Timur. Disertasi. Universitas
Indonesia
_____________________. 2002.
Universitas Gadjah Mada
Rumah
Umalulu.
Tesis.
Solihin, Lukman. 2011. Mengantar Arwah Jenazah ke Parai
Marapu: Upacara Kubur Batu Pada Masyarakat Umalulu,
Sumba Timur. Jurnal Patanjala Vol 5 No 1
Suryadarma, Priyanti Pakan & Meutia F.Hatta Swasono. 1986.
Antropologi Kesehatan. Jakarta. UI Press
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta. PT.Tiara
Wacana Yogya
Twikromo, Y.Argo. 2008. The Local Elite and the Appropriation of
Modernity. A Case in East Sumba Indonesia. Kanisius
Wellem, F.D. 2004. Injil & Marapu. Suatu Studi Historis-Teologis
tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada
periode 1876-1990. PT.BPK Gunung Mulia
Wiyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemologi, Penularan, Pencegah
& Pemberantasannya. Erlangga
Woha, Umbu Pura. 2008. Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat.
Cipta Sarana Jaya
337
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sumber lain
“Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT”. Presentasi Naional
IV: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Kupang. 4
Sepetember 2013. Dr. Stefanus Bria Seran (Kadinkes Prov. NTT)
“Strategi Revolusi KIA Sebagai Upaya Penurunan AKI & AKB
Melalui Program Sister Hospital Provinsi NTT”. Presentasi
Kadinkes Prov. NTT , Dr. Stefanus Bria Seran. Seminar Percepatan
MDG4 dan MDG5 Dengan Memperkuat Tindakan Preventif &
Kuratif. Jakarta. 13 April 2011
tjoretan-akoe.blogspot.com/2013/10/7-manfaat-tauge-bagikesehatan.html/
www.kamusq.com/2013/05/diabetes-mellitus-adalahpengertian-dan.html
herodessolution.dilestarikan.wordpress.com/2012/01/penyakitframbusia-patek-yaws.pdf
http://www.mitrakeluarga.com/surabaya/waspada-benjolanpada-leher-deteksi-dini-tbc-ekstra-paru/
www.yastroki.or.id/read.php?id=395
diniadistiani.blogspot.com/2013/07/tb.kelenjar.html
338
Download