Belenggu Apung Santi Dwiningsih Sri Mulyani Semi Kawarakonda Betty Roosihermiatie i Belenggu Apung ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Santi Dwiningsih Sri Mulyani Semi Kawarakonda Betty Roosihermiatie Editor Betty Roosihermiatie Desain Cover Agung Dwi Laksono Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected] ISBN 978-602-1099-21-6 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. ii Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos iii Koordinator wilayah : 1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon iv KATA PENGANTAR Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan v RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini. Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI. drg. Agus Suprapto, M.Kes vi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR DAFTAR BAGAN v vii x xii xiii xiv BAB 1 PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Metode Penelitian 1 8 8 BAB 2 SUMBA TIMUR DAN UNSUR BUDAYANYA 11 2.1. Sejarah 2.1.1. Sejarah Sumba 2.1.2. Sejarah Desa 2.1.3. Perkembangan Desa 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi 2.2.2. Kependudukan 2.2.3. Pola Tempat Tinggal 2.3. Sistem Religi 2.3.1. Marapu Sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah Hidup Orang Sumba 2.3.2. Kristen di Tanah Sumba 2.3.3. Ritus Kehidupan 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Sistem Kekerabatan 11 11 13 15 20 20 27 29 36 36 vii 39 42 58 58 2.4.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal 2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit 2.5.2. Penyembuhan Tradisional 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.5.5. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan 2.6. Bahasa 2.7. Kesenian 2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan 62 66 66 70 76 80 82 87 90 94 97 Bab 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DI DESA WATU HADANG 101 3.1. Budaya KIA 3.1.1. Pra-Hamil 3.2. Hamil 3.2.1. Masa Kehamilan 3.3. Persalinan dan Nifas 3.3.1. Proses Persalinan 3.3.2. Setelah Persalinan 3.3.3. Masa Nifas 3.3.4. Menyusui 3.3.5. Neonatus dan Bayi 3.3.6. Anak dan Balita 3.4. Budaya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.4.1. Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan 3.4.2. Melakukan Upaya Penimbangan Bayi dan Balita 3.4.3. Memberikan ASI Eksklusif 3.4.4. Mencuci Tangan Dengan Air Bersih dan Sabun 3.4.5. Memakai Jamban Sehat 3.4.6. Melakukan Aktifitas Fisik Setiap Hari 101 104 117 117 127 127 130 133 137 138 140 143 143 148 155 156 158 158 viii 3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari 3.4.8. Kebiasaan Merokok dan Minum Peneraci (peci) 3.4.9. Penggunanaan Air Bersih 3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk 3.5. Penyakit Menular 3.5.1. Malaria 3.5.2. Tuberkulosis/TB Paru 3.5.3. Frambusia/Patek 3.5.4. Kusta 3.6. Penyakit Tidak Menular 3.6.1. Diabetes Melitus 3.6.2. Hipertensi 3.6.3. Penyakit Jiwa Berat (Skizopherenia dan Psikotik 161 163 166 167 169 169 176 178 182 186 186 189 190 BAB 4 BELENGGU APUNG 193 4.1. ‘Angin’ di Tanah Marapu 4.1.1. Kisah Tentang Angin 4.1.2. Etiologi Penyakit 4.1.3. TB Atau Apung? 4.2. Kisah; Mencoba Lepas dari Belenggu Apung 4.2.1. Apung Bertahan Sampai Akhir 4.2.2. Kenapa yang Lain Tidak Kena? 4.3. Apung; Antara Suanggi, Marapu, dan Rumah Sakit 4.3.1. Suanggi Itu Membunuh Anakku 4.3.2. Terjadi Kedua Kali 193 193 201 213 215 216 236 256 256 274 BAB 5 KESIMPULAN 301 5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi 301 308 INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA 311 319 336 ix DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Jumlah Kunjungan Pada Fasilitas Kesehatan Menurut Jenis Penyakit Pada Tahun 2012 Tabel 2.1. Daftar Tabel Jenis Ternak dan Jumlah Populasi Ternak di Desa Watu Hadang 2011-2015 Tabel 2.2. Kondisi Pendidikan Desa Watu Hadang Berdasarkan Data RPJM Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015 Tabel 2.3. Tabel Jumlah Tenaga di Puskesmas Melolo Bulan Juni 2014 Tabel 3.1. Jumlah Persalinan Faskes dan Non-Faskes di Kabupaten Sumba Timur 2011-2012 Tabel 3.2. Jumlah Kematian Ibu dan Kematian Bayi di Kabupaten Sumba Timur Tahun 2011-2012 Tabel 3.3. Jumlah Bumil, Sasaran Bufas yang Diberikan Vitamin A1 dan A2 pada Bulan Mei 2014 Tabel 3.4. Jumlah Posyandu dan Kader Aktif di Desa Watu Hadang Tahun 2014 Tabel 3.5. Jumlah Balita di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Tabel 3.6. BGM Pada KMS di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Tabel 3.7. Distribusi Frekuensi 2T (Berat Badan Tidak Naik 2 Kali berturut-turut) di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Tabel 3.8. Status Gizi Kurang di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Tabel 3.9. Status Gizi Buruk di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 x 4 25 28 86 103 103 135 149 150 151 152 152 153 Tabel 3.10. Distribusi Frekuensi Kapsul Vitamin A di Desa Watu Hadang Bulan Mei Tahun 2014 Tabel 3.11. Tipe Malaria dan Jumlahnya di Puskesmas Melolo Tahun 2013 Tabel 3.12. Indikator AMI dan API di Wilayah Kerja Puskesmas Melolo Pada Tahun 2013 Tabel 5.1. Trend Pengobatan Masyarakat Desa Watu Hadang xi 153 169 169 307 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Saluran Irigasi/Selokan Gambar 2.2. Metode Urut yang Dilakukan oleh Dukun Marapu Gambar 2.3. Puskesmas Melolo Tampak Depan Gambar 2.4. Pola Hikung yang Terbuat dari Pewarna Alam Gambar 2.5. Laki-laki Pun Bisa Menenun Gambar 3.1. Rebusan Daun Mengkudu untuk Perawatan setelah Persalinan Gambar 3.2. Tali Pusat yang Disimpan di Anyaman Daun Lontar Gambar 3.3. Daun Padakmu Gambar 3.4. Terapi Mandi Pagi di Sungai Gambar 3.5. Peralatan Untuk Persalinan di Pustu Katorak Gambar 3.6. Tempat Bersalin di Pustu Katorak Gambar 3.7. Penimbangan Bayi dan Balita Pada Kegiatan Posyandu Gambar 3.8. Pemberian Imunisasi Oleh Jurim Puskesmas Pada Kegiatan Posyandu di Uma Bara Gambar 3.9. Proses Pembuatan Peneraci (Peci) Gambar 3.10. Proses Penyulingan Peneraci (Peci) Gambar 3.11. Sumur dari Bantuan PNPM di Dusun Kalaki Desa Watu Hadang Gambar 3.12. Daun Manganding untuk Mengobati Sakit Malaria Gambar 4.1. Rumah Keluarga Mama D Gambar 4.2. K yang Sedang Diurut oleh Dukun Gambar 4.3. K yang Sudah Dipanggil Tuhan xii 22 75 83 92 93 132 13 140 143 145 146 149 154 164 165 167 173 217 250 255 DAFTAR GRAFIK Grafik 3.1. Jumlah Lahir Hidup Laki-laki Januari 2013 - Maret 2013 Grafik 3.2. Jumlah Lahir Mati Laki-laki Januari 2013 - Maret 2013 Grafik 3.3. Jumlah Lahir Hidup Perempuan Januari 2013Maret 2014 Grafik 3.4. Jumlah Penderita Malaria Januari 2013-Maret 2014 Grafik 3.5. Jumlah Penderita Frambusia Januari 2013-Maret 2014 Grafik 3.6. Jumlah Penderita Kusta Januari 2013-Maret 2014 xiii 147 147 148 170 180 184 DAFTAR BAGAN Bagan 5.1. Pola Health Seeking Behaviours Pada Masyarakat Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu xiv 306 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat pertama kali datang, tempat ini berhasil membuat takjub. Apa yang dibicarakan kebanyakan orang tentang indahnya Indonesia bagian Timur selalu peneliti yakini kebenarannya. Sumba Timur, bukan hanya daerah yang terlihat eksotis bagi peneliti, namun keramahan masyarakat, kesopanan saat bercengkerama, dan luar biasanya hasta karya tenun yang mereka buat membuat peneliti yakin bahwa ini surga bagi para pelancong dan pecinta tekstil Indonesia. Sungguh suatu kesempatan yang teramat berharga ketika peneliti bisa datang ke Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur dan tinggal di sana dari awal bulan Juni 2014 sampai dengan akhir bulan Juli 2014, untuk melakukan Riset Etnografi Kesehatan. Kabupaten Sumba Timur terpilih sebagai salah satu lokasi Riset Etnografi Kesehatan karena menjadi salah satu kabupaten yang memiliki masalah kesehatan dan kemiskinan. Berdasarkan pada data Riskesdas 2007, diperoleh informasi jika IPKM Kabupaten Sumba Timur menempati posisi 422. Kabupaten Sumba Timur dan kabupaten lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada saat ini sedang berusaha mengejar ketertinggalan dengan provinsi lain di Indonesia dalam hal 1 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kesehatan. Revolusi KIA adalah terobosan penting yang dilakukan secara serentak di semua kabupaten di Provinsi NTT. Provinsi NTT sebenarnya sudah lama bergelut dengan masalah kemiskinan dan kesehatan. Provinsi NTT merupakan salah satu provinsi miskin di Indonesia. Mengutip apa yang dikatakan oleh Kadinkes Sumba Timur yang peneliti temui pada tanggal 16 Juni 2014, yang mengibaratkan jika Indonesia adalah nona cantik, maka NTT adalah bagian buruknya. Karena persoalan yang teramat pelik tersebutlah, akhirnya NTT mencoba bangkit dengan mencetuskan Revolusi KIA yang secara garis besar bertujuan untuk mengurangi AKI (Angka Kamatian Ibu) dan AKB (Angka Kematian Bayi). Salah satu upaya mewujudkan hal tersebut adalah dengan cara mewajibkan semua perempuan yang akan bersalin di Puskesmas atau dibantu oleh tenaga medis. Persoalan kesehatan di Provinsi NTT secara umum bukan hanya yang terkait dengan KIA, namun juga persoalan lain seperti penyakit menular, penyakit tidak menular, Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS), dll. Penyakit yang diderita masyarakat baik penyakit menular maupun penyakit yang tidak menular bisa menjadi persoalan yang semakin kompleks ketika terkait dengan budaya masyarakat setempat. Itulah sebabnya persoalan kesehatan pun tidak lepas dari persoalan budaya yang dijunjung masyarakat. Riset Etnografi Kesehatan adalah riset yang berangkat dari persoalan budaya kesehatan masyarakat. Artinya persoalan kesehatan yang ada pada masyarakat akan dilihat dari sudut pandang masyarakat itu sendiri, bukan sudut pandang peneliti. Spradley (1997:3) menjelaskan bahwa: “Etnografi sebagai pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, dan oleh karena itu penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan 2 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT bertindak, dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat.” Dari apa yang dipaparkan oleh Spradley, dapat dipahami jika peneliti harus melihat masalah dan budaya yang ada dalam masyarakat dari sudut pandang masyarakat itu sendiri (emic), bukan sudut pandang peneliti (ethic). Dalam proses tersebut peneliti diharapkan mampu belajar dari masyarakat sebagai guru yang akan membuka wawasan peneliti tentang apa yang akan didalami dalam penelitian, dan tidak menilai budaya masyarakat dari sudut pandang peneliti itu sendiri. Lokasi penelitian dalam Riset Etnografi Kesehatan dipilih berdasarkan persoalan kesehatan yang menonjol di kecamatan di Kabupaten Sumba Timur. Berangkat dari persoalan tersebut, maka kami mencoba memilah dan menyeleksi data sekunder setiap kecamatan di Kabupaten Sumba Timur. Penentuan kecamatan mana yang akan dijadikan lokasi penelitian tidak hanya berdasar indikator-indikator seperti KIA, penyakit menular, penyakit tidak menular, PHBS yang buruk, tetapi dilihat dari budaya lokal masyarakat yang masih kental atau berpengaruh kuat. Untuk menentukan daerah atau kecamatan mana yang memiliki budaya yang masih kuat kami membaca beberapa literatur tentang budaya Sumba Timur dan berdiskusi dengan beberapa staf dari Dinas Kesehatan Sumba Timur. Gambaran sekilas dari literatur yang kami baca dan dari diskusi singkat tersebut kami memutuskan untuk memiliih Kecamatan Umalulu sebagai lokasi penelitian ini. Kecamatan Umalulu atau yang juga dikenal sebagai Melolo terletak pada 10ᵒ lintang Selatan dan 119ᵒ-121ᵒ bujur Timur yang meliputi wilayah dengan luas sebesar 307,9 km². Kecamatan Umalulu di sebelah Utara berbatasan dengan 3 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kecamatan Pandawai, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rindi, di sebelah Barat berbatasan dengan pegunungan Bundungu yang termasuk Kecamatan Paberiwai, dan di sebelah Timur dengan laut Sawu. Keadaan geografis daerah Umalulu merupakan dataran rendah di sebelah Utara, bukit-bukit kapur, batu karang dan padang rumput (sabana), di sebelah Timur dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian atau perkebunan. Dataran rendah yang cukup subur terletak di sebelah Barat dan Selatan, yaitu di sekitar lembah-lembah yang dialiri sungai (Soeriadiredja, 2012: 65) Di Kecamatan Umalulu memiliki persoalan kesehatan yang menonjol. Data Umalulu dalam Angka 2013, menunjukkan jumlah kunjungan pada fasilitas kesehatan menurut jenis penyakit pada tahun 2012 adalah sebagai berikut. Tabel 1.1. Jumlah Kunjungan Pada Fasilitas Kesehatan Menurut Jenis Penyakit Pada Tahun 2012 No Jenis Penyakit Jumlah Kasus Persentase 479 - 4.39 - - - 27 0.25 1 2 Diare/Kolera Disentri 3 Tipoid 4 TBC 5 Kusta - - 6 Campak - - 7 Batuk Rejan (ISPA) 5942 54.44 8 Hepatitis 2 0.02 9 Malaria 2846 26.07 10 ISK - - Sumber: Umalulu dalam Angka Tahun 2013 Data di atas menunjukkan, jika empat penyakit terbanyak adalah; (1) Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) sebanyak 5942 4 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT kasus, dengan persentase 54.4,% (2) Malaria sebanyak 2846 kasus dengan persentase 26,07% (3) Diare/Kolera sebanyak 479 kasus dengan persentase 4,39%, dan (4) TBC sebanyak 27 kasus dengan persentase 0,25%. Kasus TBC di Kecamatan Umalulu tampak jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tiga penyakit lainnya, namun hingga saat penyakit menular TB ini merupakan penyakit masih sulit ditekan penularannya. Menurut data Riskesdas tahun 2013, prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB Paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0,4% tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima provinsi dengan TB Paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6 %), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%), dan Papua Barat (0,4%). Provinsi NTT sebenarnya tidak termasuk dalam lima provinsi dengan TB Paru tertinggi, namun penyakit menular yang mematikan ini masih menjadi persoalan yang pelik di Kecamatan Umalulu dengan 27 kasus pada tahun 2012. Alasan lain mengapa Kecamatan Umalulu kami pilih sebagai lokasi Riset Etnografi Kesehatan karena di kecamatan ini masih terpelihara adat dan budaya asli masyarakat Sumba dengan baik, budaya asli tersebut adalah budaya marapu. Ada satu desa yang menjadi pusat Kerajaan Melolo yang masih mempertahankan adat dan budaya asli mereka yaitu Desa Watu Hadang. Masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang masih memegang teguh kepercayaan jika sakit atau penyakit yang dapat mereka alami adalah atas campur tangan Marapu. Sumber atau induk dari sakit atau penyakit dalam kepercayaan Marapu adalah Ngilu atau angin. Karena keyakinan bahwa sakit atau penyakit adalah akibat dari angin atau ngilu, maka masyarakat percaya jika usaha penyembuhan adalah dengan menaklukkan ngilu tersebut. Ngilu dipercaya tidak akan mampu disembuhkan 5 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 secara medis, sehingga cara pengobatan alternatif dengan campur tangan dukun menjadi pilihan utama. Seringkali ditemukan adanya kasus dimana masyarakat baru mengakses pengobatan medis jika upaya-upaya yang ditempuh melalui pengobatan alternatif telah buntu. Akibatnya penanganan secara medis sudah dianggap terlambat dan tidak sedikit yang berakhir dengan kematian. Ngilu tidak akan dikupas secara mendalam dalam bab ini, melainkan pada Bab 4 yang membahas tentang bab tematik penelitian ini. Bab 2 secara khusus akan membahas unsur budaya yang meliputi sejarah, geografi dan kependudukan, religi, organisasi sosial dan kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, serta teknologi dan peralatan. Bab 3 akan mendalami tentang potret kesehatan masyarakat yang meliputi status kesehatan KIA, PHBS, PM, dan PTM, dan sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Bab V akan berisi kesimpulan dari semua pembahasan yang telah dipaparkan. Ngilu dengan berbagai nama dan jenis-jenisnya, dipercaya sebagai bentuk sakit atau penyakit yang berhubungan langsung dengan kepercayaan Marapu. Tuhan menciptakan angin atau ngilu, namun Marapu lah yang diberi kuasa untuk menentukkan mana yang akan diberi ngilu atau dilindungi dari ngilu. Di luar kuasa Tuhan, ada satu jenis ngilu yang dipercaya sebagai buah dari keburukan hati manusia. Ngilu ini dipercaya muncul dari hati yang dipenuhi dendam dan begitu ingin dilampiaskan. Ngilu ini bernama ngilu apung. Ngilu apung peneliti temukan pada saat-saat terakhir peneliti berada di lapangan. Karakter masyarakat yang cenderung tertutup karena takut akan penilaian negatif akan diri mereka, membuat ngilu apung ini membutuhkan waktu lama untuk tergali. Apung menjadi penting untuk peneliti karena membawa peneliti pada topik yang menarik untuk didalami, yaitu penyakit 6 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT menular TB. Apung dalam masyarakat lokal dipercaya sebagai bagian dari ngilu yang tidak akan dapat disembuhkan dengan cara medis. Ciri-ciri yang melekat pada penderita ngilu apung memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang melekat pada penderita TB. Dua orang informan utama dalam riset ini adalah orang dengan cerita ngilu apung yang menarik, dan juga memiliki riwayat TB di keluarga mereka. Kisah hidup mereka untuk mendapatkan kesembuhan begitu menarik untuk diikuti. Hambatan-hambatan yang dihadapi bukan lagi masalah klasik seperti kurangnya sarana prasarana kesehatan yang kurang memadai, sulitnya akses yang harus ditempuh menuju fasilitas kesehatan, atau tidak adanya tenaga kesehatan yang mampu melayani. Tetapi hambatan yang utama adalah pada keyakinan yang tertanam dalam benak mereka, jika ngilu apung dan jenis ngilu yang lain tidak akan mampu disembuhkan secara medis, melainkan hanya bisa disembuhkan oleh penyembuh tradisional atau dukun. Dari gambaran tentang ngilu apung di atas dapat diperoleh permasalahan yaitu: 1. Bagaimana informan memaknai ngilu apung? 2. Apa keterkaitan ngilu apung dengan TB? 3. Bagaimana peran dukun atau penyembuh tradisional terhadap informan, dalam kaitan pengambilan keputusan untuk memperoleh kesembuhan dari ngilu apung? Pertanyaan-pertanyaan di atas bukan sebatas pertanyaan yang ditanyakan secara sambil lalu. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan mendatangi informan berulang kali dengan observasi partisipasi dan observasi non partisipasi. Dengan melihat budaya dari sudut pandang masyarakat yang diteliti, diharapkan peneliti mampu melihat lebih dalam apa yang sesungguhnya yang perlu dikaji secara lebih lanjut. 7 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Memegang prinsip bahwa budaya bersifat relatif menjadi penting karena apa yang baik menurut peneliti belum tentu baik bagi masyarakat yang diteliti, begitu juga sebaliknya, apa yang baik bagi masyarakat yang diteliti belum tentu baik bagi peneliti. Peneliti tidak seharusnya mempertahankan sudut pandangnya dan menganggap pendapatnya lebih baik daripada masyarakat yang ditelitinya. Instrumen utama dalam studi ini adalah peneliti sendiri, dengan berpijak pada nilai-nilai budaya lokal dan menghargai budaya masyarakat setempat, diharapkan peneliti mampu diterima dengan baik sebagai bagian dari masyarakat. 1.2. Tujuan Penelitian Riset Etnografi Kesehatan 2014 dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai unsur budaya Etnik Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Timur. Selain itu riset ini berusaha untuk memahami dan menggali berbagai potret kesehatan masyarakat dari etnik terpilih tersebut, untuk menelisik lebih dalam tentang budaya kesehatan masyarakat Sumba, dan bagaimana masyarakat Sumba memandang penyakit dari sudut pandang budayanya. 1.3. Metode Penelitian Riset Etnografi Kesehatan adalah riset yang memakai metode penelitian kualitatif dengan cara pengambilan data yang meliputi; 1) Observasi Partisipasi Idealnya, peneliti memang tinggal dengan masyarakat di tempat lokasi penelitian di lakukan selama beberapa waktu. Tujuannya agar peneliti mampu beradaptasi dan tentu saja mampu mempelajari budaya dari masyarakat dengan baik melalui observasi partisipasi. Untuk melakukan observasi partisipasi, peneliti tinggal selama 60 hari di tengah-tengah 8 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT masyarakat dan terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan secara partisipatoris. 2) Wawancara Mendalam Selain observasi partisipasi peneliti juga melakukan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan untuk mencari informasi yang mendalam tentang penelitian yang dilakukan. Kedekatan personal antara peneliti dan informan sangat diperlukan untuk melakukan wancara mendalam. Oleh karena itu, membangun relasi yang baik adalah modal yang sangat penting bagi peneliti. 3) Data Sekunder Selain observasi partisipasi dan wawancara mendalam, peneliti juga mengakses data sekunder yang peneliti dapatkan dari berbagai pihak untuk melengkapi data penelitian. 4) Dokumentasi Visual, Dokumentasi Audio Visual, dan Dokumentasi Audio Salah satu senjata utama peneliti adalah kamera. Sebuah gambar dapat berbicara dan menceritakan banyak hal, serta memperkuat temuan-temuan di lapangan. Kamera bisa merekam berbagai peristiwa yang tidak akan mungkin dapat terulang kembali. Dokumentasi visual berupa foto yang diambil dengan menggunakan kamera adalah data penting untuk mendukung kuatnya observasi, wawancara, dan riset yang dilakukan. Selain kamera, peneliti juga menggunakan kamera video untuk merekam gambar bergerak dan bersuara, yang juga dibuat menjadi film dokumentasi selama riset berlangsung. Untuk memperkuat validitas data, peneliti juga merekam beberapa aktivitas wawancara dengan persetujuan informan dengan memakai voice recorder (perekam suara). 9 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 5) Studi Literatur Suatu riset ilmiah harus didukung oleh literatur yang memadai. Untuk itu studi literatur diperlukan untuk memperdalam atau memperkuat teori dalam penelitian. Beberapa literatur berupa data-data sekunder, peneliti dapatkan dari Kantor BPS Kabupaten Sumba Timur. 10 BAB 2 SUMBA TIMUR DAN UNSUR BUDAYANYA 2.1. Sejarah Desa Watu Hadang memiliki sejarah yang panjang. Sejarah tersebut memiliki beberapa versi, baik yang berasal dari literatur maupun yang dituturkan oleh tokoh masyarakat. Sebelum menyimak tentang sejarah desa, perlu kiranya kita mengetahui sejarah dari leluhur masyarakat Sumba terlebih dahulu. 2.1.1. Sejarah Sumba Ada beberapa versi tentang asal muasal dari leluhur bangsa Sumba yang kini mendiami Pulau Sumba. Beberapa diantaranya diulas oleh beberapa penulis dalam buku-bukunya yang berkontribusi sangat besar dalam khasanah budaya Sumba. Penulis yang merupakan putra daerah Sumba (Kapita, 1976) mengulas asal muasal leluhur bangsa Sumba dengan kronologi yang panjang, dia sendiri menyebutnya sebagai sebuah hikayat leluhur atau Li’i Marapu. Menurut Kapita, bangsa Sumba berasal dari seberang- Malaka-Tanabara, Hapa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa-Ndua Njawa, Ruhuku-Mbali, Ndima-Makaharu, Endi Ambarai, Enda-Ndau, Haba Rai njua (Semenanjung malaka, Singapura, Riau, Jawa, Bali, Bima, Makkasar, Ende, Manggarai, Rote Ndau, Sabu, Raijua. Dan terakhir mendarat di Haharu MalaiKataka Lindi Watu dalam beberapa gelombang kedatangan. 11 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Konon kedatangan mereka bertujuan untuk mengatur strategi pengepungan. Pada akhirnya kelompok-kelompok migrasi tersebut menetap, mencoba bertahan hidup dengan belajar bercocok tanam, beternak, berburu, dan mulai mempelajari adat istiadat perkawinan, kelahiran, kematian, dengan menetapkan nama kelompok masing-masing tempat kediaman dan membahas halhal penting dalam suatu musyawarah leluhur. Kapita (1976) juga menceritakan, saat rombonganrombongan tersebut menetap, mereka kemudian membuat negeri yang disebut dengan paraingu. Dalam paraingu tersebut terdapat kelompok yang berkuasa atas tanah untuk pertama kali yang disebut dengan mangu tanangu. Kelompok-kelompok yang menjadi perintis adanya migrasi menuju Pulau Sumba pada generasi pertama inilah yang dianggap sebagai leluhur yang didewakan dan sangat dihormati oleh anak cucu mereka sampai sekarang. Leluhur inilah yang disebut dengan marapu. Pada perkembangan selanjutnya muncul adanya stratifikasi sosial di dalam masyarakat. Muncul kerajaan yang dipimpin oleh para bangsawan dan muncul juga para pengikut yang berkasta lebih rendah dari bangsawan. Sejak dahulu Pulau Sumba terkenal dengan nama Pulau Cendana atau Sandelwood Island (Inggris), Sandelhout Eiland (Belanda). Nama tersebut tercantum dalam peta Pigafetta tahun 1522 dengan nama: Chendan, yaitu nama Pulau Cendana. Pigafetta adalah seorang pelaut berkebangsaan Portugis yang turut berlayar bersama Magelhaens, pada tahun 1519-1521. Dalam pelayarannya mengelilingi dunia, Magelhaens juga melewati gugusan pulau yang ada di Sunda Kecil (Kapita dalam Simpen, 2008: 70). Tana Humba yang berarti Tanah Sumba, adalah sebutan orang Sumba kepada pulaunya. Konon, Tana Humba berasal dari 12 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT nama istri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba, yaitu Humba, yang bersuamikan Umbu Walu Mandoku. Sebagai tanda cinta kepada istrinya, Umbu Walu Mandoku mengabadikan nama istrinya sebagai nama pulau ini (Wellem, 2004: 16). Sumba, disebutkan dalam buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca yang menyatakan bahwa pulau ini termasuk jajahan Majapahit. Kemudian, Sumba juga disebutkan pada abad ke-15 yang menyatakan bahwa Sumba merupakan taklukan Kesultanan Bima (Sumbawa), dan bukti tersebut masih dapat dilihat dari bentuk kuburan peninggalan Islam di Sumba Barat. Hal tersebut menunjukkan pernah ada hubungan politis diantara Sumba dengan Majapahit dan Kesultanan Bima (Simpen, 2008:71). 2.1.2. Sejarah Desa Sejarah desa Watu Hadang pun memiliki beberapa versi yang berbeda. Dari versi yang tercatat dalam Dokumen RPJMDesa 2011-2015 diceritakan jika sejarah Desa Watu Hadang tidak terlepas dari sejarah Umalulu yang dahulu masih dalam bentuk kerajaan. Kerajaan ini terdiri dari marga-marga yang diantaranya adalah marga terbesar yaitu marga Watu Pelitu yang tersebar di dua kampung, yaitu Kampung Pau dan Kampung Uma Bara, serta Kampung Ngiangandi dan Kampung Laihandang. Kampungkampung tersebut dipimpin oleh kepala kampung yang merupakan orang kepercayaan raja. Pada masa pemerintahan Raja Oemboe Windi Tana Ngunju, saat Umalulu menjadi swapraja pada sekitar tahun 1960-1962. Kedua kampung tersebut (Kampung Pau-Uma Bara dan Kampung Ngiangandi dan Laihandang) dipersatukan dan diberi nama Desa Watu Hadang, yang terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Wawangga dan Dusun Ngaru Kangeli. 13 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Masih menurut sumber Dokumen RPJM-Desa 2011-2015, nama Watu Hadang diberikan karena merujuk pada salah satu bagian paraingu Umalulu bagian Kiku-Kamuri yang terkenal dengan istilah Watu Hadangu-Pindu Kamaru. Watu Hadangu berarti batu berdiri, dan Pindu Kamaru berarti pintu pohon asam. Konon diceritakan di tempat tersebut dapat dijumpai suatu negeri yang di dalamnya ada batu yang berdiri dan pintu yang terbuat dari pohon asam. Tempat tersebut adalah tempat yang dihuni oleh marga atau kabihu Watupelitu yang merupakan kabihu maramba (raja dan bangsawan). Sedangkan dusun Wawangga dan Ngaru Kageli berasal dari salah satu nama paraingu umalulu bagian Kani-Padua, yang merupakan bagian negeri yang ditinggali oleh Kabihu Ratu (imam atau penasehat spiritual bangsawan). Tidak kalah menarik dengan versi yang tercacat dalam RPJM-Desa 2011-2015, seorang tokoh adat dari kaum bangsawan Kabihu Watu Pelitu yang bernama UN menceritakan asal mula desa Watu Hadang, dari cerita leluhur yang dia dengar secara turun temurun. Dia menceritakan jika asal mula desa terkait dengan adanya bencana yang pernah melanda suatu kampung di waktu yang telah lama lewat. Diceritakan ada sambaran petir yang membakar pemukiman penduduk di kampung tersebut, dan hampir semua rumah hangus terbakar. Sayangnya, tidak pernah diperoleh informasi secara jelas, pada tahun berapa peristiwa tersebut terjadi dan berapa jumlah rumah yang terbakar. “Desa Watu Hadang sebenarnya merupakan desa dari kabihu marga watu pelitu. Sejarahnya dulu ada di kampung atas, di atas gunung sana, sejarahnya disana, di kampung itu ada nama Watu Hadang. Jadi namanya kita ambil dari nama kampung lama itu, disini kampung umabara, di sebelah kampung Pau, di atas lagi Kampung Padalarungu dan Ngiangandi. Kampung berdekatan 14 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT merupakan satu kesatuan, saling membantu dalam urusan adat. Watu Hadang adalah nama dari suatu tempat di kampung atas, Watu Hadang artinya kampung yang berdiri. Kampung di atas namanya praingu watu pelitu, karena kebakaran petir di kampung itu, untuk mengingat kampung itu kita ambil nama Watu Hadang jadi nama desa.” Yang dimaksud dengan kampung atas adalah kampung yang dikenal masyarakat dengan sebutan Praing. Sebutan kampung atas merujuk pada bukit bebatuan yang letaknya di atas kampung Uma Bara. Bukit tersebut bisa didaki dengan berjalan kaki selama sekitar 20 sampai 30 menit. Di bagian atas bukit terdapat rumah adat dan kubur batu yang dipercaya sudah berusia tua. 2.1.3. Perkembangan Desa Perkembangan Desa Watu Hadang dari tahun ke tahun hanya dapat kami telusuri dari kisah-kisah yang dituturkan oleh beberapa orang. Tidak ada data tertulis mengenai hal tersebut, namun beberapa orang bersedia bercerita mengenai masa sekitar 5 sampai dengan 10 tahun yang lalu. Sekitar 10 tahun yang lalu, sudah terdapat transportasi umum berupa bus yang melayani rute Melolo menuju Waingapu. Menurut cerita HK, bus tersebut dimiliki beberapa orang ongko atau pria keturunan Tionghoa yang tinggal di Melolo. Tidak jelas berapa jumlah armada yang dimiliki, dan berapa tarif yang dikenakan. Sebenarnya, dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun yang lalu pun kendaraan umum yang melayani rute Melolo-Waingapu pun sudah ada, hanya jumlahnya terbatas. Keberadaan bus umum tersebut sangat membantu mobilitas warga dari atau menuju Melolo. Terutama bagi para siswa yang harus mengenyam pendidikan di Waingapu, atau 15 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 orang-orang yang berniat berniaga atau berbisnis. Transportasi umum tentu saja amat berarti bagi masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor. Dahulu jalan raya yang menghubungkan antara Melolo-Waingapu dan sebaliknya belum sebagus masa kini yang sudah beraspal baik. Kini armada bus umum yang melayani rute Melolo-Waingapu atau sebaliknya pun hampir selalu dapat dijumpai setiap jam. Menariknya, bus umum tersebut bersedia untuk menjemput penumpang di rumah atau di lokasi yang diinginkan penumpang. Tentu saja penumpang yang ingin dijemput harus menghubungi supir bus terlebih dahulu. Tarif bus umum dengan rute Melolo-Waingapu atau sebaliknya saat ini adalah Rp. 15.000,- untuk sekali jalan. Lama perjalanan yang ditempuh sekitar 2,5 jam. Lama perjalanan tersebut dipengaruhi juga oleh lamanya waktu yang dipakai supir bus untuk menjemput penumpang-penumpang yang tersebar di berbagai lokasi. Penumpang yang memanfaatkan jasa bus umum tersebut, juga diperbolehkan menitipkan barang untuk dibawa ke Waingapu dengan tetap membayar ongkos bus. Lancarnya moda transportasi yang menghubungkan Melolo dengan kecamatan-kecamatan lain di sekitarnya juga berdampak pada berkembangnya roda perekonomian warga. Jika sekitar 5 atau 10 tahun yang lalu, pusat perniagaan di Kota Melolo hanya digerakkan oleh beberapa orang keturunan Tionghoa, maka sekarang hampir di sepanjang jalan poros utama Kota Melolo dipenuhi oleh toko-toko, kios-kios, warung –warung makan, bengkel, dan penjual sayur yang jumlahnya cukup banyak. Bangunan-bangunan permanen seperti kos atau rumah sewa saat ini mulai tampak dibangun di dekat pusat perniagaan tersebut. Jika roda perekonomian di pusat kota Melolo digerakkan oleh aktivitas perniagaan, maka roda perekonomian di Desa 16 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Watu Hadang digerakkan oleh sektor pertanian, peternakan, dan kerajinan kain tenun. Denyut nadi sektor pertanian di Desa Watu Hadang tidak lepas dari adanya aliran air atau irigasi yang bersumber dari Sungai Melolo. Aliran air tersebut dibendung dan didistribusikan ke persawahan warga melalui ‘selokan’ yang dibangun pemerintah. Ada kesimpangsiuran mengenai tahun berapa sesungguhnya selokan dan bendungan tersebut dibangun, namun beberapa orang berkata jika pada sekitar tahun 1980-an, selokan dan bendungan sudah dibangun dan sudah berfungsi untuk mengairi persawahan milik warga. Persawahan yang dialiri air dari selokan atau bendungan tersebut, menghasilkan padi yang sebagian besar dipakai untuk konsumsi keluarga. Begitupun dengan tanaman jagung yang dikembangkan di ladang warga. Mereka menyimpan padi dan jagung di rumah untuk persediaan makanan sehari-hari, atau untuk persediaan ketika upacara adat datang. Panen yang dilakukan biasanya melibatkan keluarga besar atau tetangga sekitar mereka yang masih ada hubungan kekerabatan. Namun sayangnya, gotong-royong saat panen pada kurun waktu 5 sampai 10 tahun yang lalu sudah mulai berubah. Kini masyarakat tidak lagi menjalankan ritual adat ketika panen padi tiba, atau jika ada pun jumlahnya sangat sedikit. Hal tersebut konon disebabkan karena ritual tersebut begitu dekat dengan ritual Marapu yang kini mulai terancam keberadaannya. Sumber mata pencaharian yang terbatas pada sektor pertanian, peternakan, dan kerajinan tenun memunculkan adanya trend baru berupa migrasi kaum muda desa menuju ke luar Pulau Sumba, pada sekitar akhir 1990-an1. Tujuan mereka yang utama adalah Pulau Bali dan Pulau Jawa. Sebagian besar dari mereka mengadu nasib dengan bekal ijazah SD atau SLTP, 1 Wawancara dengan Soeriadiredja. 17 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dan sebagian kecil SLTA sebagai tenaga buruh atau pelayan toko. Mereka yang sebagian besar adalah warga dengan usia produktif, memilih keluar dari sepinya desa dengan motivasi untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun yang lalu, fenomena ini mulai tampak dan kini menjadi sebuah trend. Hal ini juga dipengaruhi oleh lebih permisifnya Sang Raja dalam menetapkan peraturan kini. Sang Raja Melolo, diceritakan memberi kebebasan kepada hamba-hambanya yang ingin mengadu nasib di luar pulau Sumba untuk bekerja, atau pun menempuh pendidikan yang lebih baik. Keterbukaan ini membawa pengaruh yang besar terhadap muda-mudi yang memiliki niat untuk merasakan suasana lain, selain suasana mereka yang damai di desa. Masifnya trend perpindahan mudamudi desa Watu Hadang ke daerah lain di luar pulau Sumba juga membawa perubahan pada trend pakaian yang digunakan. Seorang warga yang berdarah bangsawan menceritakan hal tersebut. “Dulu mbak, tidak ada perempuan di desa yang pakai celana pendek. Semua pakai kain hitam-hitam itu..tau to? Aiiiih sekarang banyak yang pakai celana pendek, tidak tua tidak muda.” Fenomena celana pendek bisa dikatakan sebagai pengaruh modernisasi, dan efek dari meluasnya pergaulan serta jaringan informasi yang diterima. Semakin meluasnya informasi bukan hanya akibat dari perpindahan muda-muda ke kota, tetapi juga karena semakin banyak juga generasi muda yang mengenyam pendidikan formal, walaupun rata-rata hanya sedikit yang mampu lulus dari pendidikan tingkat SLTA. Berbeda dengan masa sekitar 10 tahun yang lalu, ketika pendidikan masih teramat sulit untuk diakses oleh golongan hamba (ata), karena saat itu 18 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pendidikan belum dirasa penting dibandingkan dengan loyalitas pada tuan (raja) mereka. Perubahan secara signifikan juga terlihat pada pola komunikasi masyarakat, yang kini mengandalkan telepon seluler atau handphone. Telepon seluler yang lebih akrab disebut HP, saat ini mudah sekali ditemui. Ada 2 provider telekomunikasi yang menjangkau Desa Watu Hadang, namun hanya satu yang memiliki jaringan yang kuat. Tower atau menara dari provider telekomunikasi tersebut baru dibangun sekitar tahun 20012, dan berdampak pada arus informasi yang semakin luas. Hampir setiap rumah warga yang kami kenal di Desa Watu Hadang memiliki HP dan pemanfaatannya mayoritas terbatas pada fasilitas SMS dan telepon. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh jenis HP yang mereka miliki, yang sebagian besar memang baru mendukung layanan tersebut saja. Tampaknya pemanfaatan HP untuk mengakses internet masih jarang dijumpai. Dampak pemakaian telepon seluler atau HP tidak selamanya buruk. Karena dengan adanya HP juga, masyarakat yang membutuhkan jasa bidan desa bisa terbantu dengan segera. Bidan desa di Watu Hadang memang menyebar luaskan nomor HP pribadinya agar lebih mudah dihubungi masyarakat ketika diperlukan. Informasi atau lebih tepatnya pertukaran informasi tidak hanya melalui telepon seluler. Adanya pesawat televisi yang dimiliki oleh orang tertentu juga berpengaruh kepada wawasan warga. Sayangnya, sebagian besar tayangan yang menjadi favorit masyarakat adalah sinema elektronik atau sinetron. Sinteron yang menjadi tayangan favorit mereka, adalah sinetron dengan genre drama dan laga. Hanya sebagian kecil yang tertarik untuk melihat tayangan berita, dan sebagian besar dari yang tertarik 2 Wawancara dengan Soeriadiredja 19 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 melihat tayangan berita adalah kaum laki-laki. Sinetron tidak akan bisa dijumpai jika memutar waktu sekitar 5 atau 10 tahun yang lalu. Sinetron berperan besar pada sudut pandang masyarakat (terutama muda-mudi) terhadap imej ‘orang kota’, fashion, dan bahasa ‘gaul’. ‘Orang kota’ yang biasanya secara sempit dianggap dari Jawa atau Jakarta, menjadi tolok ukur tersendiri tentang ukuran kecantikan dan kemajuan fashion-nya. Melalui sinetron juga, kebanyakan masyarakat kemudian mengenal bahasa dengan dialek Jakarta, walaupun dialek tersebut tidak berpengaruh banyak pada bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Awal dari perubahan sebenarnya berawal dari adanya tenaga listrik yang mulai mengaliri Kecamatan Umalulu sekitar tahun 1980-an, dan masuk ke Kampung Pau-Umabara (Kampung Raja Melolo) sekitar tahun 1996. Sayangnya saat itu listrik hanya menyala pada malam hari. 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi Berdasarkan data dokumen RPJM-Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015, total luas wilayah desa Watu Hadang adalah ± 1.020 Ha, atau 3,31 % dari total luas Kecamatan Umalulu seluas 30.790 Ha. Desa ini terbagi dalam 2 (dua) wilayah dusun/lingkungan, 4 RW dan 12 RT, yang sebagian wilayahnya terbagi menjadi lahan basah (sawah) dan lahan kering (kebun). Luas lahan basah adalah 47 Ha dan lahan kering 46 Ha, sisanya berupa padang rumput untuk daerah peternakan. Batas wilayah desa Watu Hadang di sebelah Utara adalah Desa Mutunggeding, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Watupuda, sebelah Timur berbatasan Desa Lumbukore dan sebelah Barat berbatasan Desa Lairuru. 20 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Desa Watu Hadang secara geografis terdiri dari pegunungan dan dataran yang dibatasi oleh sungai Melolo yang lebar. Sungai ini memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Watu Hadang. Sungai tersebut mengaliri desa melalui sebuah bendungan yang nantinya akan terbagi ke dalam selokan atau parit yang berukuran lebih kecil. Masyarakat setempat lebih lazim menyebut aliran air dari bendungan Sungai Melolo dengan sebutan selokan. Fungsi selokan yang utama sesungguhnya untuk sistem irigasi atau pengairan sawah warga. Aliran air dari selokan tersebut mengairi sawah-sawah dan lahan pertanian milik warga dengan pembagian jatah yang telah diatur oleh desa. Selokan yang berair deras dan dalam juga dimanfaatkan warga untuk melakukan aktivitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) sehari-hari. Mandi di selokan adalah aktivitas yang sudah menjadi pemandangan biasa di desa. Bukan hanya selokan yang dialiri oleh air yang deras dan dalam yang dipergunakan untuk mandi, selokan yang dangkal dengan debet air yang sedikit pun dimanfaatkan untuk mandi. Selain mandi, masyarakat juga memanfaatkan selokan untuk BAB setiap hari. Pada pagi hari buta sebelum matahari muncul dengan sempurna, warga akan datang ke pinggir selokan dengan memakai sarung lalu berjongkok di tepian selokan. Menariknya jika aktivitas tersebut dilakukan pada saat hari sudah terang, mereka akan memanfaatkan sarung yang dipakai untuk menutup bagian wajah dan kepala mereka. Aktivitas mencuci juga dilakukan di selokan tersebut. bukan hanya mencuci baju dan peralatan masak, mencuci bahan makanan seperti daging, dan memandikan hewan peliharaan seperti kuda dan sapi pun dilakukan di tempat yang sama. Tidak jarang sampah-sampah dari rumah tangga dan kotoran manusia akan terlihat terbawa aliran air melewati kuda-kuda atau 21 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 manusia yang sedang mandi. Masyarakat juga membuang bangkai hewan seperti babi dan anjing yang sudah mati di selokan yang sama. Bangkai-bangkai tersebut akan hanyut terbawa aliran air bersama dengan sampah-sampah lainnya. Selain dimanfaatkan untuk saluran irigasi, MCK, dan pembuangan sampah, sungai Melolo juga membawa sumber pendapatan lain. Aktivitas penambangan pasir sudah menjadi mata pencaharian masyarakat. Pasir yang ditambang akan dikumpulkan untuk dijual kepada pengepul. Gambar 2.1. Saluran Irigasi/Selokan Sumber: Dokumentasi Peneliti Pembuangan sampah tidak hanya dilakukan dengan membuangnya ke selokan, banyak juga warga yang membakar sampah-sampah rumah tangga mereka dengan membakarnya dengan bara api sampai berubah menjadi abu. Sebelumnya sampah-sampah tersebut akan dikumpulkan di satu tempat (biasanya di pekarangan rumah) ketika sore hari seusai menyapu halaman rumah. Mereka akan memilah-milah sampah dengan cermat sebelum dibakar. Jika ada sampah yang masih bisa 22 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dimanfaatkan seperti botol bekas minuman atau kardus, mereka akan menyimpannya kembali. Botol bekas minuman, biasanya digunakan kembali sebagai wadah kapur untuk pelengkap sirih pinang. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terutama untuk minum dan memasak, masyarakat desa Watu Hadang mengambil air dari sumur gali, air perpipaan dan mata air, sedangkan untuk mandi, mencuci pakaian, dan menyirami sayur sebagian besar masyarakat desa Watu Hadang menggunakan air sungai dan air selokan (saluran irigasi dari bendungan Melolo). Sebagian besar masyarakat Desa Watu Hadang bermata pencaharian sebagai petani. Selain menanam padi dan jagung, kini masyarakat juga menanam sayur mayur yang juga memiliki nilai jual. Berdasarkan data RPJM-Desa Watu Hadang tahun 20112015, 195 keluarga di Desa Watu Hadang tercatat memiliki lahan pertanian, dan 34 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. 125 keluarga memiliki lahan yang luasnya kurang dari 1 hektar, 11 keluarga memiliki lahan yang luasnya sekitar 1-5 hektar. Untuk lahan yang luasnya kurang dari 1 hektar, biasanya dapat menghasilkan 6 sampaI dengan 7 karung padi (sekitar ½ ton sekali panen). Tentu saja jika panen tersebut berlangsung lancar dan padi tidak terserang hama. Selain menanam padi, jagung, dan sayur mayur, pada umumnya masyarakat menanam pohon sirih dan pinang untuk kebutuhan konsumsi adat yaitu Pahappah. Tradisi mengunyah sirih pinang atau pahappah adalah tradisi yang tidak terlepas dari budaya orang Sumba yang berusaha memperlakukan tamu dengan baik. Sirih pinang tersebut dianggap sebagai ‘pembuka kata’ ketika ada tamu yang hadir atau pada suatu upacara adat. Pada umumnya sirih pinang tersebut disajikan dalam suatu wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar kering yang bernama tangawahil. Biasanya, tidak berapa lama setelah tamu 23 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 datang dan dipersilahkan duduk di atas tikar daun lontar yang dibentangkan, yang selanjutnya dilakukan oleh tuan rumah adalah menyajikan sirih pinang. Tamu tidak akan menyampaikan maksud atau tujuan kedatangannya sebelum dia mengunyah sirih pinang. Maka dari itu sirih pinang dianggap sebagai simbol dari ‘pembuka kata’ saat datang bertamu, dan sebaiknya tamu memang mengunyah sirih pinang yang disajikan tuan rumah sebagai wujud penghormatan. Selanjutnya, bila acara makan sirih telah selesai, maka tuan rumah segera menyuguhkan minuman (kopi/teh). Gelas untuk menghidangkan minuman harus dalam keadaan baik dan tidak retak. Gelas harus terisi penuh untuk menunjukkan sopan santun kepada tamu. Gelas yang dipakai untuk menyajikan minuman juga menunjukkan kelas sosial tamu yang datang. Jika tamu yang datang berasal dari golongan maramba, pantang bagi tuan rumah menyuguhkan minuman dengan gelas plastik (melamin) atau gelas yang retak. Gelas yang terbaiklah yang akan dipakai untuk menyuguhkan minuman. Jika yang datang bertamu dari golongan ata (hamba), maka gelas plastik (melamin) pun sudah cukup layak. Selain menanam sirih dan pinang, ada sebagian kecil masyarakat yang menanam jahe, kunyit, dan daun serai yang dimanfaatkan untuk bumbu dapur serta keperluan pembuatan ramuan obat tradisional. Pekarangan warga yang rata-rata luas biasanya tidak dibiarkan kosong begitu saja, pekarangan tersebut ditanami buah-buahan yang bisa dikonsumsi seperti jeruk, alpokat, mangga, nangka, pisang, jambu dan etnikn. Tidak hanya menghasilkan buah, manfaat dari batang tanaman tersebut juga besar, terutama batang pohon pisang. Batang pohon pisang digunakan warga untuk campuran makanan ternak babi yang mereka pelihara. Batang pisang tersebut dicampur dengan bahan lain seperti jagung, kelapa parut, kangkung, dan dedak. 24 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Sayangnya untuk pengolahan makanan hasil bumi tersebut belum maksimal. Sering kali buah etnikn yang sudah masak dibiarkan saja sampai membusuk karena masyarakat kurang mengerti bagaimana cara mengolahnya. Bukan hanya bercocok tanam, masyarakat Desa Watu Hadang juga menggantungkan hidupnya pada kegiatan beternak hewan. Hewan-hewan yang biasanya dipelihara dan dikembangbiakkan adalah babi, kuda, sapi, ayam, kambing, dan anjing. Selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, beberapa hewan seperti babi dan kuda memiliki posisi penting dalam adat Sumba. Selain sebagai belis atau mahar perkawinan, banyak ritual adat yang memakai hewan tersebut sebagai salah satu syaratnya. Memiliki hewan dengan jumlah yang banyak juga merupakan prestise tersendiri bagi pemiliknya, selain menaikkan status ekonomi, sang pemilik juga telah berhasil berinvestasi untuk keperluan adat yang mengharuskan tersedianya hewan-hewan tersebut dalam suatu upacara atau hanya sekedar untuk santap bersama. Untuk jumlah populasi berdasarkan jenis ternak, dapat dilihat pada data yang diambil dari data dokumen RPJMD Watu Hadang tahun 2011-2015 di bawah ini. Tabel 2. 1. Daftar Tabel Jenis Ternak dan Jumlah Populasi Ternak di Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015 Jenis Ternak Sapi Kuda Kerbau Babi Kambing Ayam Anjing Jumlah populasi (ekor) 299 113 95 790 362 4771 120 Sumber: Desa Watu Hadang 25 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kerbau (Karambu), Sapi (Hapi) dan Kuda (Njara), adalah hewan yang memiliki peranan penting dalam urusan adat orang Sumba. Selain dijadikan belis dan juga dijadikan sebagai kurban dalam berbagai upacara adat, pada jaman dulu kuda adalah alat transportasi utama orang Sumba. Pada masa kini, kuda sudah dijadikan komoditi bernilai ekonomi tinggi yang sering diikut sertakan dalam arena pacuan kuda dan ajang perjudian. Banyak masyarakat desa yang sengaja memelihara kuda untuk diikut sertakan pada lomba di arena pacuan kuda baik yang dilaksankan di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Perawatan kuda menjadi sangat mahal ketika kuda yang dimiliki adalah kuda pacu, yang hampir sebagian besar adalah kuda import. Babi (wei) dan ayam (mannu) juga merupakan hewan yang penting, karena segala urusan adat masyarakat Sumba hampir selalu membutuhkan kedua hewan tersebut, terutama untuk ritual marapu. Dari data RPJM-Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015 juga diperoleh informasi mengenai keberadaan fasilitas umum di desa tersebut. Fasilitas umum yang ada di desa Watu Hadang antara lain satu sekolah dasar (SD) dengan 10 orang pengajar, hanya 4 orang yang berstatus PNS dan 6 orang lainya masih Honorer, satu sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang dibangun oleh PNPM MPd Tahun Anggaran 2009, dan tenaga pengajarnya masih bersifat sukarela dari warga sekitar, satu Sekolah Menengah Atas (SMA), satu pasar. Lokasi PAUD bertempat di SD berdekatan dengan Pustu dan kantor desa. Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Watu Hadang adalah Puskesmas yang terletak di bagian Timur desa sekitar RT Waitumba, Puskesmas Pembantu (pustu) terletak di RT Pau, tepat di depan SD. Pelayanan Puskesmas pembantu di buka setiap hari, Tenaga kesehatan yang melayani adalah seorang bidan dari Puskesmas melolo, yang tinggal di pustu tersebut dan 26 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT 1 Posyandu bangunan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang terletak di RT Watung Udu. Fasilitas ibadah yang ada di Desa Watu Hadang adalah Gereja Protestan dan Gereja Katholik. Gereja protestan terdiri dari Denominasi Gereja Kristen Sumba (GKS) cabang Pau, GKS Ranting Praingu Luku Walu, Gereja Reformasi Laihandang, Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Eleos dan Gereja Katholik. Di Desa Watu Hadang terdapat pasar Melolo yang buka setiap hari Kamis dan Jumat. Pasar tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor melewati ibukota Kecamatan Umalulu (Kelurahan Lumbukore). Pedagangpedagang tidak hanya menjual sembilan bahan pokok (sembako), tetapi juga menjual barang-barang lain seperti peralatan rumah tangga, pakaian, barang elektronik, aksesories, hewan ternak, tenunan dan hasil kerajinan tangan lainya. Para pedagang yang berjualan di pasar Melolo ada yang berasal dari luar kecamatan seperti dari Waingapu, Pandawai, Rindi, Paberiwai dan Ngadu Ngala, maupun yang berasal dari kecamatan Umalulu sendiri yang terdiri dari multi etnik, yaitu etnik Jawa, Bima, bugis, Sumba, termasuk warga Desa Watu Hadang yang menjual hasil tenunan, ternak dan hasil bumi lainnya. 2.2.2. Kependudukan Berdasarkan data BPS Tahun 2013, jumlah penduduk Desa Watu Hadang terdiri dari 1.044 laki-laki, 1.006 perempuan atau dengan total jiwa 2.050 jiwa, dengan 357 kepala keluarga dan kepadatan penduduk 201 orang/km2. Sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Umalulu sebanyak 16.734 jiwa. Sebagian besar penduduk Desa Watu hadang beragama Kristen Protestan, diikuti Marapu, kemudian Katholik, dan Islam. Telah disinggung sebelumnya jika pendidikan di Desa Watu Hadang mulai mengalami peningkatan jika dibandingkan 27 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sekitar 5 dan 10 tahun yang lalu. Namun, peningkatan tersebut masih dianggap belum baik. Informasi atau data yang tercatat mengenai kondisi pendidikan masyarakat Desa Watu Hadang berdasarkan Dokumen RPJM, dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2. Kondisi Pendidikan Desa Watu Hadang Berdasarkan Data RPJM Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015 Tingkatan Pendidikan Laki-Laki Perempuan Usia 3-6 Tahun yang Belum Masuk TK Usia 3-6 Tahun yang Sedang Tk/Playgroup Usia 7-18 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah Usia 7-18 Tahun yang Sedang Sekolah Usia 18-56 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah Usia 18-56 Tahun Pernah SD Tapi Tidak Tamat Tamat Sd/Sederajat Usia 12-56 Tahun Tidak Tamat Smp Usia 12-56 Tahun Tidak Tamat Sma Tamat SMP/Sederajat Tamat SMA/Sederajat Tamat D2/Sederajat Tamat D3/Sederajat Tamat S1/Sederajat Paket B Jumlah Total 106 21 93 27 56 50 65 109 60 100 90 87 265 95 64 88 99 2 1 1.061 267 65 60 110 50 1 1 971 2.032 Sumber: RPJMD Kabupaten Sumba Timur Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Watu Hadang tergolong rendah, 28 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mayoritas masyarakat adalah lulusan SD yaitu 532 orang, tidak pernah sekolah sebanyak 315 orang, dan masyarakat yang dapat bersekolah ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari SMA, yakni 5 orang. 2.2.3. Pola Tempat Tinggal Mengamati pola tempat tinggal dengan seksama, akan lebih mudah jika tempat yang diamati adalah tempat tinggal yang kita tinggali setiap hari. Kampung Uma Bara, yang merupakan kampung adat di Desa Watu Hadang adalah tempat tinggal peneliti selama 2 bulan. Kampung ini unik karena begitu kecil, dengan rumah-rumah yang saling berjajar dan berhadapan satu sama lain, tampak seperti membentuk persegi panjang. Pintu utama yang tampak seperti gerbang masuk menuju kampung, ditandai dengan adanya jembatan kecil yang berdiri di atas aliran bendungan irigasi, yang bersumber dari sungai Melolo. Rumah-rumah yang tampak berada di dalam pola persegi panjang, semuanya adalah rumah panggung, kecuali rumah yang ditinggali oleh Raja Umbu Nggiku yang sudah berlantai semen. Sebagian besar rumah, masih berdinding dan berlantai kayu dengan ditopang kayu dari pohon kelapa. Sedangkan rata-rata atap yang dipakai adalah atap permanen yang terbuat dari seng, meskipun ada beberapa rumah yang masih bertahan dengan atap yang terbuat dari alang-alang. Rumah yang masih mempertahankan alang-alang sebagai atapnya, salah satunya adalah rumah adat kampung Uma Bara yang atapnya berbentuk menara yang menjulang tinggi (uma mbatangu). Sedangkan rumah lain yang sebagian besar beratap seng, tidak bermenara (uma kamudungu). Di semua rumah panggung tersebut terdapat semacam balai-balai (kaheli) yang berfungsi untuk menerima tamu yang datang berkunjung. Tamu akan dipersilahkan duduk di balai-balai 29 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang terbuat dari papan kayu dengan dialasi tikar rotan terlebih dahulu. Pintu yang tersedia dibagian depan langsung menuju ke dalam ruangan yang juga berlantai kayu. Tidak jarang ditemukan lantai kayu rumah yang memiliki celah atau disusun tidak rapat. Celah tersebut ternyata digunakan untuk membuang air ludah saat menyirih. Di bagian bawah celah tersebut akan terlihat bagian bawah rumah yang berisi kandang ternak, seperti babi dan ayam. Bau kotoran dari hewan-hewan tersebut akan tercium sampai ke atas, dan nyamuk-nyamuk akan berlalu lalang secara bebas dari atas ke bawah atau sebaliknya. Di ruang tengah tersebut terdapat kamar tidur untuk beristirahat. Bagian belakang rumah ditandai dengan pintu keluar yang menuju balebale bagian belakang yang juga memiliki tangga. Sebagian besar masyarakat masih memiliki bagian rumah belakang yang terpisah dengan rumah utama yang ukurannya lebih kecil. Rumah kecil tersebut sesungguhnya berfungsi sebagai dapur. Dahulu, dapur berada di bagian dalam rumah. Proses memasak pun dilakukan di dalam rumah. Kini sebagian besar masyarakat telah memiliki dapur terpisah demi alasan kesehatan. Dapur terpisah tersebut diperkenalkan dan digalakkan oleh dinas kesehatan, sebagai upaya menekan akibat buruk dari asap sisa proses pemabakaran kayu bakar. Hanya sebagian kecil rumah yang masih bertahan dengan formasi dapur yang berada di dalam rumah. Salah satunya rumah adat yang berbentuk menara di Kampung Uma Bara. Dari sudut pandang kesehatan, keberadaan dapur di bagian dalam rumah bisa memicu gangguan kesehatan, seperti paru-paru, batuk, dsb. Namun masyarakat Sumba, khususnya masyarakat Umalulu memiliki nilai filosofi tersendiri tentang keberadaan dapur di dalam rumah. Soeriadiredja (2002), pernah melakukan riset mendalam tentang rumah tradisional di Umalulu yang ternyata mengikuti 30 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pola pemukiman berdasarkan karakteristik paraingu yang dibuat oleh nenek moyang saat pertama menduduki tanah Umalulu. Salah satu rumah yang dia dalami adalah rumah tradisional di Desa Watu Hadang. Soeriadiredja (2002:57-58), menjelaskan jika dapur bukan hanya tempat yang digunakan seluruh anggota keluarga baik laki-laki dan perempuan, untuk memasak, berkumpul, makan bersama, dan berbincang-bincang. Tetapi dapur di bagian dalam rumah juga merupakan bagian inti atau pusat dari suatu rumah. Di sekitar dapur itulah hidup bermula, berjalan, dan berakhir, dan merupakan pusat dari alam semesta. Karena filosofi tersebutlah, rumah adat di kampung Uma Bara masih mempertahankan formasi dapur di bagian dalam rumah. Rumah adat yang sering disebut juga dengan Uma Bokulu (rumah besar) oleh masyarakat setempat, ada 2 rumah. Rumah yang pertama, tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang, dan tidak boleh ada listrik digunakan di dalamnya. Penerangan hanya mengandalkan pelita yang memakai bahan bakar minyak kelapa atau lemak babi. Tidak ada jendela di rumah tersebut, dan pintu rumah tidak akan dibuka jika tidak ada acara adat, seperti kematian atau perkawinan. Rumah ini dihuni oleh seorang ata yang dipercaya raja beserta keluarganya. Ata tersebut bertugas menjaga rumah beserta tanggu marapu atau barang-barang keramat, yang disimpan di bagian menara rumah3. Tanggu marapu tersebut tidak boleh diturunkan, disentuh, atau dilihat oleh sembarang orang. Barang-barang tersebut adalah representasi dari Marapu, dan hanya pada waktu tertentu saja boleh diturunkan, misalnya saat upacara keagamaan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka nasib sial 3 Rumah tersebut bukan hanya gelap dan tidak berventilasi, tetapi juga memiliki sederet tabu yang tidak boleh dilanggar, antara lain tidak boleh dimasuki oleh orang yang memakai wangi-wangian. 31 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 atau penyakit akan datang menimpa bagi yang melanggar. Selain tanggu marapu, ada juga gong yang dibunyikan ketika ada orang meninggal. Gong keramat ini pun pantang untuk dibunyikan atau disentuh secara sembarangan. Jika dilanggar, nasib sial dan penyakit pun datang. Konon, pernah terjadi suatu peristiwa seorang wisatawan mancanegara tidak sengaja menduduki gong tersebut, dan tidak beberapa lama kemudian wisatawan tersebut mengalami diare yang parah. Uma Bokulu yang kedua, adalah rumah adat yang juga dihuni oleh ata dan keluarganya. Rumah ini tidak memiliki tabu atau pantangan seperti rumah adat yang pertama. Rumah ini boleh diterangi cahaya, dan boleh dibuka serta dikunjungi layaknya rumah biasa. Pengalaman menarik adalah ketika peneliti memiliki kesempatan untuk berkunjung dan melihat seisi rumah tersebut. Hal yang paling mencolok adalah dapur yang masih berada di dalam rumah. Saat itu sedang diadakan suatu pesta adat, dan dapur tersebut digunakan untuk memasak sajian pesta. Asap yang mengepul dengan tebal bukan hanya menerpa bagian dalam rumah, tetapi juga di bagian luar. Bagi masyarakat setempat, sepertinya hal tersebut bukanlah masalah, karena mereka masih duduk dan berbincang dengan biasa. Selain rumah, hal lain yang menarik di Kampung Uma Bara adalah bagian tengah pemukiman yang mirip dengan lahan lapang yang dibiarkan kosong, adanya kubur batu, dan adanya katuada kawindu4. Ternyata, pola pemukiman seperti itu telah dikenal oleh masyarakat Umalulu sejak jaman dulu. Hal ini dijelaskan dalam tulisan Soeriadiredja (2002:41-42) yang menggambarkan jika kampung-kampung di Umalulu berbentuk persegi empat, berjajar searah aliran sungai dan saling 4 Tugu sembahyang kepada marapu. Berupa batu yang diukir dan ditancapkan di dalam tanah. 32 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT berhadapan. Di bagian tengah terdapat halaman yang luas, dan di bagian tengah terdapat katuada kawindu dan makam. Jika merunut pada Soeriadiredja (2002:46-48), rumah tradisional masyarakat Umalulu berbentuk persegi panjang dengan dua ciri. Ciri yang pertama rumah bermenara (uma mbatangu) dan rumah tidak bermenara (uma kamudungu). Fungsi rumah menara adalah rumah berkumpulnya suatu kabihu, merupakan rumah pusat, dan karena itulah bersifat sakral. Rumah ini digunakan untuk peristiwa-peristiwa tertentu misalnya peristiwa keagamaan, dan rumah ini disebut juga rumah besar (uma bokulu). Secara kosmologis rumah besar terdiri dari tiga bagian, yaitu lantai bawah (ladi wawa) yang merupakan bagian dari kolong (buamangu) yang dimanfaatkan untuk menyimpan kayu bakar, memelihara ternak, dan menyimpan barang lainnya. Tingkat yang kedua atau lantai tengah (ladi padua) atau kaheli (balai-balai) adalah tempat tinggal manusia, yaitu tempat beraktivitas sehari-hari. Tingkat ketiga atau lantai atas (ladi dita) atau disebut juga mbatangu (menara) adalah tempat sakral yang dianggap sebagai tempat tinggal marapu (pangiangu marapu). Sedangkan rumah tak bermenara (uma kamudungu) adalah rumah untuk tempat tinggal biasa, dan tidak untuk melakukan acara keagamaan. Rumah dengan karakteristik seperti itu juga disebut dengan rumah kebun (uma wuaka), yang bisa terletak di luar kampung, misal di bukit, di dekat padang rumput, atau di pinggir sungai. Biasanya rumah tersebut sengaja dibangun untuk menjaga ternak, atau menjaga lahan pertanian. Membangun rumah tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Hal pertama yang menjadi perhatian dalam proses membangun rumah, terutama yang masih percaya dengan ajaran marapu adalah tanah tempat membangun rumah tersebut. Tanah adalah milik Marapu, tanah tersebut diyakini memiliki peghuni yang mempunyai sifat sama seperti manusia. Sehingga 33 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ketika hendak membangun rumah, si pemilik rumah harus memperhatikan proses pembangunannya dengan melaksanakan ritual-ritual untuk menghormati si penghuni yang berdiam di dalam tanah. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun rumah, ukuran rumah, biaya, dan tenaga. Adapun tahap-tahap dalam membagun rumah yakni, punggu ai (potong kayu), Yila ai, (tarik kayu), pawii kamnbaniru (ukir tiang), pahadangu (bangunkan rumah), ahukungu (pasang usuk), patalarungu (pasang lata), pawitungu (mengatapi), katahu hupu liku (potong tali). Semua proses tersebut akan diselingi ritual hamayang atau berdoa kepada marapu, dengan doa yang sesuai dengan tujuan dari setiap proses yang dilakukan. Rumah bagi orang Sumba, khususnya bagi orang Umalulu terutama yang masih menganut kepercayaan Marapu, bukan hanya tempat berlindung dari panas dan hujan, tetapi juga sebagai pelindung dari ancaman penyakit atau sakit yang bisa datang setiap saat. Rumah ini diibaratkan benteng yang akan menyaring hal-hal buruk agar tidak merugikan penghuni di dalamnya. Menurut HMA, fungsi rumah adalah melindungi manusia dari penyakit. “Fungsi rumah sebagai pelindung kita dari penyakitpenyakit, terutamanya penyakit.. karena Tuhan sudah berjanji begitu, kita manusia tidak boleh kita berbuat yang setidak-tidaknya yang dilihat oleh langit dan bumi. Makanya kita bikin rumah, bikin tembok, agar penyakit dari matahari muncul dan matahari terbenam dengan sebelah Utara dengan sebelah Barat, karena itu dia punya fungsi.” Sedangkan menurut Soeriadiredja (2002:161-162), tujuan utama pembangunan rumah pada masyarakat Sumba ialah: 34 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT “Untuk melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan alam. Untuk hal itu bukan saja diusahakan melalui kegiatan-kegiatan yang didukung oleh benda-benda material saja, tetapi didukung pula oleh pada kekuatankekuatan gaib.” Soeriadiredja (2002:105) juga menjelaskan jika kekuatankekuatan gaib tersebut adalah angin atau ngilu. “Gejala-gejala alam yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Angin tersebut disebut ngilu katiu. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka.” Sekarang, sudah banyak ditemukan juga masyarakat yang membuat rumahnya menjadi lebih permanen, dengan memasukkan unsur beton atau semen sebagai dasar lantai atau dinding rumah mereka. Ada yang menghilangkan bentuk tradisional sama sekali, ada juga yang masih mempertahankan sedikit ciri khas tradisional, misal mempertahankan bentuk atapnya yang khas. Kerepotan yang sering ditemui jika berkunjung ke rumah masyarakat adalah karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki kakus atau kamar mandi. Sebagian besar masyarakat melakukan BAB dan mandi di sungai atau selokan, bahkan bagi mereka yang memiliki kakus atau kamar mandi. Alasan kepraktisan adalah hal yang utama, sebagian besar dari mereka merasa malas untuk mengambil air di sumur untuk BAB atau mandi di kamar mandi. Dari data yang didapatkan dari Puskesmas Melolo, diketahui jika pada periode Januari-Mei 2014, terdapat 62 jamban di Desa Watu Hadang, dan hanya 32 yang dianggap memenuhi syarat. Ada juga 2 fasilitas MCK umum yang 35 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 merupakan bantuan dari PNPM Mandiri Pedesaan, yang dibangun tahun 2009. 2.3. Sistem Religi 2.3.1. Marapu Sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah Hidup Orang Sumba Sebelum orang Sumba memeluk agama lain seperti Kristen atau Islam, nenek moyang orang Sumba telah memiliki sistem kepercayaan asli orang sumba yang dikenal dengan Marapu. Literatur yang membahas tentang marapu secara mendalam begitu sedikit jumlahnya, diantara jumlah yang sedikit tersebut adalah sebuah buku yang ditulis oleh rohaniawan Kristen berkebangsaan Belanda yaitu F.D Wellem. Dia menulis sebuah buku yang menurut kami adalah acuan terbaik bagi para cendekiawan yang ingin mempelajari marapu secara lebih dalam5. Wellem (2004) mencoba membandingkan beberapa definisi tentang marapu berdasarkan sudut pandang peneliti lainnya. L. Onvlee (dalam Wellem, 2004:41) berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu ma dan rapu. Kata ma berarti ‘yang’ sedangkan kata rapu berarti ‘dihormati’, ‘sembah’ dan ‘didewakan’. A. A. Yewangoe (dalam Wellem, 2004”41) menduga kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu ma dan rappu. Kata ma berarti : ‘yang’ dan rappu artinya ‘tersembunyi’. Dengan demikian, Marapu berarti ‘yang tersembunyi’ atau ‘sesuatu yang tersembunyi’, ‘yang tak dapat dilihat’. Ia juga mengatakan bahwa terdapat kemungkinan kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu 5 Buku tersebut adalah “Injil dan Marapu; Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada periode 1876-1990”, yang ditulis Wellem melalui pengalaman serta observasi yang lama dan mendalam selama dia menjadi pengabar Injil di Sumba Timur. 36 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT kata mera dan appu. Mera berarti ‘serupa’ dan appu berarti ‘nenek moyang’ marapu artinya “serupa dengan nenek moyang”. W. Pos (dalam Wellem, 2004:41) juga memberikan definisi tentang marapu. Menurutnya, marapu bukanlah dewa melainkan suatu roh pelindung rumah dan negeri, sedangkan penulis lain, yaitu De roo van der Alderwerelt (dalam Wellem, 2004:41) mendefinisikan marapu sebagai roh yang berbuat jahat. D. K. Wielenga (dalam Wellem, 2004:41) mengatakan Marapu adalah dewa, roh pelindung, arwah orang mati. Menurut Wellem sendiri (2004:42), kepercayaan Marapu adalah: “Kepercayaan terhadap dewa atau Illah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus(roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi berkat, perlindungan, pertolongan yang baik jika disembah. Jika tidak, mereka akan memberikan malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan itu terangkum dalam kata marapu.” Dari berbagai definisi di atas, peneliti merasa definisi Wellem adalah yang paling sesuai dengan apa yang kami lihat dan kami observasi di lapangan. Marapu juga dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang Marapu-lah yang menyampaikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu. Berikut penuturan HMA, seorang ratu (imam, penasehat spiritual para bangsawan), wunang (juru bicara adat), dan dukun penyembuh yang masih memeluk kepercayaan marapu. “Kita memang percaya kepada marapu karena dia memang yang bisa hubungi langsung dengan yang maha kuasa, karena kita tidak. Mungkin arwah mereka sudah yang bisa memohonkan permintaan kita kepada yang maha kuasa. Marapu kan nenek moyang, kan nenek moyang yang mungkin bertatap muka dengan yang 37 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 maha kuasa Na ma wulu paka woring –Na ma pandoi pama nandang (Tuhan Yang Maha Kuasa), Nyuda kika ndama tuama ndama paita mata wanya(mereka yang bisa menemui dan bisa menatap mataNya) yaitu marapu yang bisa berkomunikasi lansung dengan Tuhan”. Orang Sumba percaya alam semesta terdri dari tiga lapisan, yaitu lapisan atas (langit), tengah (bumi), dan bawah (bawah bumi). Langit adalah tempat tertinggi yang dipercaya sebagai kediaman Ilah, dan dipercaya ada 8 lapisan langit dan letaknya jauh dari manusia (Wellem, 2004:44). Kapita (1976: 229230), menjabarkan tentang kejadian di langit dan di bumi. Delapan lapisan langit yang dipercaya sebagai tempat asal marapu (langit delapan petala/Awangu Walu Ndani), terdiri dari 4 petala yang terang dan 4 petala yang gelap gulita6 sampai dengan yang ke empat digambarkan sebagai petala yang sempit dan gelap gulita. Setiap lapisan petala tersebut ditinggali marapu satu demi satu dengan harapan dapat menemukan petala yang terang dan nyaman. Ketika petala pertama marapu dilingkupii kegelapan dan tempat yang sempit, maka marapu turun ke petala kedua, dan seterusnya sampai petala ke empat. Pada petala yang kelima, tempat masih sempit, namun ada sedikit cahaya yang tampak di bawahnya, yaitu petala ke enam. Maka Marapu pun turun ke petala ke enam. Di petala ini 6 Petala yang pertama ditinggali oleh La Hupu Ina-La Hupu Ama (ibu segala ibu dan bapa segala bapa), Ina Mbulu-Na Ama Ndaba (ibu dan bapa dari pada semua), Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (ibu dan bapa yang diseluruhi), Na Pandanyura Ngara-Na Pandapeka Tamu (yang tak disebut gelarnya dan yang tak dikatakan namanya), yang sering disebut anatala. Penghuni tersebut dipercaya menjadikan semesta alam dan isinya, yang melahirkan keturunan pihu mini maramba-walu kawini ratu (tujuh laki-laki raja dan delapan perempuan ratu) (Kapita, 1976:229). Cerita tersebut dipercaya juga sebagai cikal bakal munculnya keturunan berdarah biru (maramba) dan ratu. 38 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT terdapat emas yang kemudian ditempa untuk dijadikan bulan dan matahari. Pada awalnya ada 2 matahari dan 2 bulan, namun karena terlalu terang dan panas, akhirnya 1 matahari dan 1 bulan yang lain disingkirkan (Kapita, 1976:230-231). Lalu marapu turun ke petala ke tujuh dan dilanjutkan ke petala yang ke delapan. Pada petala yang terakhir ini, marapu melihat adanya dataran luas yang berupa air, sehingga tidak mungkin untuk ditinggali. Atas restu Tuhan, marapu diijinkan tinggal dengan terlebih dahulu mengubah dataran tersebut menjadi pulau-pulau besar dan kecil, dengan menaburkan batu dan tanah dari Tuhan. Dengan menggunakan Panongu Bahi-Pamongu Atu (tangga besi dan teras batu), marapu turun ke ke tanah yang disebut MalakaTana Bara (Kapita, dalam Solihin, 2012)7. 2.3.2. Kristen di Tanah Sumba Agama Kristen di Sumba masuk bersamaan dengan kolonialisme Belanda. Diawali pada abad ke-18, agama Kristen Protestan dibawa para misionaris (Zending) Belanda ke Sumba pada tahun 1881 (Wellem, 2004). Melalui proses yang panjang agama Kristen kini mulai menjadi agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Desa Watu Hadang. Hal ini tidak lepas dari aktifnya para penyebar Injil dalam menyebarkan paham dan ajaran Kristen kepada masyarakat. Masifnya penyebaran Injil pada saat itu tidak lepas dari para misionaris Belanda yang rela belajar tradisi Sumba dan menghabiskan waktunya di pulau tersebut. Kendala terbesar para tugas misionaris pada saat itu adalah pada masyarakat yang memegang teguh ajaran Marapu. Banyak hal yang menjadi pertentangan antara Agama Krsten dan Marapu, salah satunya adalah larangan poligami bagi 7 Marapu inilah yang pada akhirnya dianggap sebagai nenek moyang orang Sumba 39 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 masyarakat yang sudah memeluk Kristen, padahal bagi masyarakat Sumba praktek poligami pada saat itu adalah hal yang wajar, apa lagi jika status sosial yang dimilikinya tinggi. Seperti yang dikatakan Wellem (2004:330). “Para pekabar Injil menegaskan bahwa alasannya, poligami merupakan dosa.” apapun Selain pertentangan perihal poligami, pertentangan lain yang krusial adalah perihal belis atau mahar perkawinan dalam adat Sumba. Para pengabar Injil menentang adanya praktek pemberian belis kepada pihak keluarga perempuan dari pihak keluarga laki-laki. Hal tersebut mengundang reaksi keras dari masyarakat yang diceritakan Wellem (2004:338), dengan berkata; “Penghapusan belis dipandang sebagai tindakan penghinaan atas keluarga pemberi wanita dan pencabutan orang Sumba dari akar adat-istiadatnya.” Pertentangan-pertentangan seperti di atas adalah beberapa alasan yang membuat masyarakat Sumba pada masa lalu tidak merasa tertarik untuk memeluk agama Kristen. Pada masa sekarang ini, pemeluk Kristen dan simpatisannya telah menjadi pemeluk agama mayoritas di Sumba Timur, khususnya di Desa Watu Hadang. Dari data yang diperoleh pada Umalulu Dalam Angka Tahun 2013 tercatat jika pemeluk Islam ada 22 orang, Kristen tercatat 1114 orang, Katolik 44 orang, dan lainnya yang tidak tercatat sebagai warga tidak beragama sejumlah 870 orang. Orang yang tidak tercatat sebagai warga yang tidak beragama sesungguhnya adalah pemeluk agama marapu. Jauh sebelum agama merambah bumi sandelwood (Sumba), anak negeri yang mendiami pulau gersang, yang kemudian terkenal dengan sebutan sandelwood telah meyakini suatu kepercayaan yang disebut Marapu. Dari kaca mata agama, 40 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT terutama penginjil Belanda, kepercayaan Marapu dianggap sebagai suatu kepercayaan yang menyembah berhala. Kemudian, orang-orang yang masih setia akan kepercayaan warisan nenek moyangnya dilabeli kaum kafir (Simpen, 2008:202). Agama asli Sumba ini belum diakui sebagai sebuah agama resmi oleh pemerintah, sehingga pemeluknya dianggap tidak memiliki agama, atau masyarakat sering menyebutnya dengan ‘orang kafir’. Walaupun begitu pemeluk Marapu masih besar jumlahnya, dan yang membuat kagum adalah pengaruh agama Marapu tidak terberangus di tengah gempuran kristenisasi dari pengabar Injil. Pengaruh tersebut bahkan masih mengakar pada masyarakat yang telah memeluk agama Kristen (atau agama lain: Katolik, Islam), entah disadari atau tidak. Marapu mempengaruhi sudut pandang mereka terhadap peristiwa lahir, hidup, sakit, dan kematian. Istilah kafir sengaja diciptakan untuk orang-orang yang belum menganut agama resmi, terutama Kristen dan Katolik. Bahkan akhir-akhir ini istilah kafir semakin digencarkan agar orang Sumba yang masih memeluk Marapu merasa malu dan masuk agama Kristen. Lebih-lebih bila orang Sumba berurusan dengan bidang pemerintahan daerah, seperti melamar pekerjaan, mengurus surat, mereka sering kali merasa terdesak karena marapu belum diakui pemerintah (Simpen, 2004)8. 8 Banyak ditemui kisah dimana anak-anak yang menempuh pendidikan formal harus memeluk agama Kristen, sementara orangtua mereka masih bertahan dengan agama marapu. Memiliki ‘agama resmi’ pemerintah adalah salah satu syarat agar dapat diterima dalam pendidikan formal. Orangtua para siswa pun menyadari hal tersebut. Sehingga mereka merelakan anak-anak mereka memeluk agama lain selain marapu. 41 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.3.3. Ritus Kehidupan Dalam budaya Sumba, terdapat ritual adat Marapu yang berhubungan dengan siklus kehidupan yang masih dilakukan oleh masyarakat. Ritual tersebut terkait dengan kehidupan manusia dari masa kehamilan, kelahiran, kanak-kanak, perkawinan, dan kematian. 2.3.3.1. Kehamilan dan Kelahiran 1. Ritual Pamandungu Ritual ini adalah ritual yang dilakukan pada saat perempuan hamil memasuki usia kandungan tujuh bulan ke atas. Tujuan dilakukannya ritual ini adalah untuk memohon keselamatan kepada marapu dengan ritual hamayang, agar persalinan berjalan lancar dan terhindar dari berbagai gangguan mahkluk gaib yang dapat mencelakai si ibu dan janin yang masih di dalam perut. HMA memberikan satu contoh lafalan mantra atau doa yang dipanjatkan kepada marapu saat upacara ritual pamandungu dilakukan. “Karai ngguya na tumbu kadu, rara ulli, ua kaka be nakapu, kaningu wa tai Kaddu Uma tandai kabihu ambu na mbulang ambu na maruambang.” (saya memohon tumbuh tanduk merah,kuning taring, rambut uban dan merangkak agar nantinya ada yang menduduki tahta kabihu). Selama kehamilan, si ibu hamil harus taat terhadap pantangan-pantangan yang ditetapkan demi keselamatan dirinya sendiri dan bayinya. Pantangan tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama adalah pantangan bersikap dan yang kedua adalah pantangan makan dan minum. Ibu hamil membutuhkan perlindungan Marapu agar kondisi kehamilannya sehat, agar Marapu bersedia melindungi, hal 42 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT utama yang harus dilakukan adalah tidak membuat marapu marah dengan berbuat dosa. Berbuat dosa dalam hal ini bisa berupa mencuri barang milik orang lain, berselisih dengan saudara atau orangtua, membunuh hewan dengan cara yang tidak benar, dan berselingkuh. Jika semua hal tersebut dilanggar, maka marapu akan melepaskan perlindungannya pada si perempuan hamil dan bayi dalam kandungannya. Jika marapu sudah lepas tangan, maka si ibu hamil bisa mendapat kesialan berupa sakit dari marapu, atau sakit dari suanggi. Sakit tersebut bisa jadi berupa ngilu (ngilu akan dijelaskan lebih lengkap pada bab IV). Sesaat setelah bayi lahir, orangtua si jabang bayi segera menyiapkan ritual hamayang atau ritual doa dalam agama marapu yang dilakukan di tempat tinggal orangtua si bayi. Ritual tersebut bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kepada marapu yang telah memberikan keselamatan dan kesehatan kepada si ibu dan anak. Pada dasarnya, ritual ini harus dilakukan dengan mengorbankan hewan sebagai persembahan. Untuk keluarga yang memiliki babi, hewan tersebut bisa dijadikan korban. Namun jika tidak ada babi dan tidak mampu membeli babi, maka diperbolehkan untuk menyembelih ayam dengan jumlah genap, minimal 4 ekor ayam dan maksimal 8 ekor ayam. Untuk pantangan makan dan minum, pada umumnya seorang ibu hamil dilarang mengkonsumsi pisang yang ‘dempet’ atau buah pisang yang lengket satu sama lain, karena dikhawatirkan nanti bayi yang akan dilahirkan juga berbentuk serupa. 2. Ritual Bahaka Kaheli Ritual ini dilakukan setelah 1 hari bayi dilahirkan. Jika merunut pada istilah bahasa Sumba, arti dari bahaka kaheli sendiri adalah upacara cuci tempat bersalin. Saat upacara atau ritual berlangsung orangtua si bayi harus mempersembahkan 43 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 hewan untuk dipotong, yaitu ayam dalam jumlah genap. Jumlah genap adalah jumlah yang sesuai dengan ajaran marapu yang melarang pemakaian hewan persembahan dalam jumlah ganjil. Entah apa maksud dibalik jumlah genap tersebut, kebanyakan masyarakat mematuhinya karena itu adalah perintah marapu, tanpa tahu alasan dibaliknya. Jumlah ayam yang dipersembahkan, minimal adalah 4 ekor dan maksimal adalah 8 ekor. Saat ritual tersebut berlangsung, si bayi akan diberi nama melalui ritual unik. Mama Y yang merupakan seorang ata (hamba), menceritakan ketika dia melakukan ritual bahaka heli untuk anak keduanya, dia mendapat kehormatan dari seorang bangsawan (maramba) yang bersedia memberikan nama untuk anaknya tersebut. Dalam budaya Sumba memang terdapat kebiasaan jika keluarga bangsawan (maramba) akan memberi nama kepada anak yang dilahirkan oleh hamba-hambanya. Tentu saja hal tersebut merupakan suatu kebanggaan bagi si hamba tersebut. Sama halnya seperti Mama Y yang saat itu mendapat kehormatan serupa. Anak keduanya yang berjenis kelamin perempuan diberi dua nama oleh seorang bangsawan perempuan yang merupakan putri Raja Melolo terdahulu, yang dipanggilnya miri (tuan). Nama tersebut harus terdiri dari tiga kata, dan nama pertama yang diberikan adalah nama nenek dari si bayi, dan nama kedua adalah nama pemberian dari si bangsawan tersebut. Proses pemberian nama dilakukan melalui ritual pengunyahan sirih pinang oleh si pemberi nama yang memangku bayi yang akan diberi nama. Kunyahan tersebut akan diletakkan di bagian tali pusat bayi dan dibiarkan untuk beberapa saat. Jika kunyahan sirih pinang tersebut tidak terjatuh, maka artinya si bayi menerima nama yang diberikan, sebaliknya jika sirih pinang 44 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT tersebut terjatuh, maka artinya si bayi menolak nama yang telah diberikan, dan si pemberi nama harus mengganti nama yang akan diberikan. Dalam ritual tersebut, doa-doa secara marapu akan dipanjatkan oleh seorang wunang (pemimpin adat marapu), dan wunang ini yang akan memotong ayam persembahan untuk dilihat bagian tali perut dan hati ayamnya. Saat itu Mama Y bercerita jika ayam yang dia persembahkan, berjumlah delapan ekor. “Saya potong ayam delapan ekor, itu tujuh ekor dimakan sama-sama, satu ekor khusus untuk ibu.” 3. Ritual Pamaringu Awu Ritual ini memiliki nama lain yaitu ‘kasih dingin tungku’. Ritual ini sesungguhnya adalah ritual putusnya tali pusar. Ritualnya berupa penyiraman sisa air mandi si bayi di tungku yang dilakukan secara terus menerus pada pagi hari dan sore hari sampai tali pusat si bayi sembuh. Dalam kepercayaan marapu, bayi tidak diperbolehkan keluar rumah jika ritual ‘kasih dingin tungku’ belum dilakukan. Hal ini merupakan pamali atau pantangan karena bisa mengakibatkan hal-hal buruk terjadi, misalnya sakit. Pantangan selanjutnya adalah bayi tidak diperbolehkan menginjak tanah ketika usianya sekitar 4 sampai dengan 6 bulan. Bayi diperbolehkan menginjak tanah jika bayi tersebut telah dimandikan di sungai (lhu la luku) dengan didoakan oleh wunang dan orang yang memberi nama kepada si bayi. 4. Ritual Papaita Wai Huhu Ketika bayi berumur satu sampai tiga tahun, ada satu ritual yang tidak boleh dilewatkan. Ritual ini sesungguhnya adalah ritual untuk menyapih bayi, atau dalam bahasa lokal, penyapihan disebut sole. Papaita Wai Huhu atau memahitkan air susu. Ritual ini juga dipimpin oleh wunang dan harus 45 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mempersembahkan ayam untuk dikorbankan dengan jumlah sesuai dengan kemampuan. Ayam tersebut harus berjumlah genap antara empat sampai dengan delapan ekor ayam. Doa yang dipanjatkan oleh wunang intinya adalah memohon kepada marapu agar penyapihan tersebut berhasil sehingga si anak cepat besar, diberi rejeki serta keselamatan. Secara garis besar doa tersebut berisi rapalan mantra yang kurang lebih artinya adalah ‘manis sudah nasi, pahit sudah air susu’. 5. Ritual Peralihan Dari Anak-anak Menuju Dewasa Soeriadiredja, (2002:119), menjelaskan jika pada usia enam belas sampai dua puluh empat tahun, adalah masa peralihan yang merupakan masa krisis dalam menginjak masa dewasa. Untuk itu, para bidimini (pemuda) harus melakukan upacara Puru la wai (turun ke air) atau sunat dan dilanjutkan dengan upacara rondangu (memapar gigi) yang disertai dengan kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal dan syarat agar diperbolehkan masuk ke Parai Marapu ketika sudah meninggal nanti. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu atau rajah akan ditolak memasuki Parai Marapu. Bagi para bidi kawini (pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu, dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan persembahan dan hewan kurban. 2.3.3.2. Perkawinan Satu fase kehidupan yang dilalui manusia untuk kesempurnaan hidupnya adalah fase perkawinan. Wellem 46 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT (2004:62-63) menjabarkan ritus perkawinan secara lengkap dari tujuan pernikahan sampai dengan ritus pernikahannya. Menurut Wellem, tujuan pernikahan yang dilakukan oleh orang Sumba yang memeluk marapu antara lain: 1. Merupakan Perintah Dari Marapu Marapu memerintahkan agar pengikutnya melakukan perkawinan dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan. Kelak, keturunan-keturunan tersebutlah yang akan melanjutkan pemujaann terhadap marapu. 2. Untuk Memelihara Persekutuan Perkawinan yang ideal menurut adat istiadat Sumba adalah anak laki-laki mengawini saudara perempuan saudara lakilaki ibunya (ana tuya) atau anak saudara pamannya. 3. Untuk Memelihara Derajat Idealnya orang Sumba harus menikah dengan golongan yang sama namun harus dari klan yang berbeda. Golongan bangsawan (maramba) seharusnya menikah dengan seorang maramba juga, namun dengan klan yang berbeda. Jika perkawinan dilakukan dengan klan yang sama maka hal tersebut dianggap incest. 4. Untuk Memelihara Dan Memperluas Pengaruh Dalam Masyarakat Tujuan pernikahan seperti ini biasanya dilakukan oleh golongan bangsawan (maramba) dengan mengawini anak bangsawan dari wilayah lain. 5. Untuk Memperoleh Tenaga Penolong Dalam perkawinan yang ideal dalam adat Sumba, golongan sosial masih diperhatikan dan menjadi faktor yang penting. Golongan maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka), dan ata (hamba) idealnya menikah dengan sesama 47 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 golongan mereka. Jika pernikahan antar golongan terjadi, maka akibatnya adalah pada turunnya status sosial keturunan mereka. Biasanya pernikahan antar golongan status sosial akan dihindari demi mempertahankan kemurnian darah mereka, terutama untuk golongan bangsawan (maramba)9. Dalam kelompok bangsawan biasa dikenal adanya dua kelompok bangsawan mendamu dan bangsawan kalawihi (anak gundik). Lahirnya kelompok bangsawan ini diakibatkan oleh perkawinan seorang laki-laki golongan bangsawan tinggi dengan wanita yang berasal dari golongan orang merdeka dan/atau dari golongan hamba. Jikalau seorang laki-laki bangsawan tinggi kawin dengan seorang wanita yang berasal dari golongan orang merdeka, maka anak-anaknya menjadi golongan bangsawan mendamu. Jikalau seorang laki-laki bangsawan tinggi kawin dengan seorang yang berasal dari golongan hamba, maka keturunannya disebut bangsawan kalawihi. Maramba mendamu dapat kembali menjadi golongan bangsawan tinggi murni apabila mereka menikah dengan seseorang yang berasal dari golongan bangsawan tinggi. Perkawinan ini mungkin terjadi apabila orang yang termasuk golongan maramba mendamu ini adalah seorang yang kaya (Wellem, 2004:35). Naik dan turunnya status seseorang dapat dipengaruhi oleh perkawinan yang dijalaninya. Status tersebut begitu penting bagi orang Sumba, terutama untuk golongan maramba karena status akan sangat berpengaruh pada akses mereka terhadap harta, kemakmuran, kontrol terhadap hamba, pendidikan, dan 9 Golongan maramba memiliki panggilan khusus. Untuk maramba laki-laki biasa dipanggil dengan Umbu, dan bangsawan perempuan dengan Rambu. Namun panggilan tersebut sudah bersifat umum kini. Umbu dan Rambu menjadi panggilan kepada laki-laki dan perempuan secara umum, seperti Mbak dan Mas dalam budaya Jawa. Lebih spesifik, panggilan yang berlaku untuk maramba kini adalah Tamu Umbu (maramba laki-laki) dan Tamu Rambu (maramba perempuan), atau Miri (tuan). 48 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT kiprah dalam politik. Maka dari itu kebanyakan maramba akan mempertahankan status sosialnya melalui perkawinan yang ideal, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan orang yang memiliki status sosial yang sama atau lebih tinggi. Twikromo (2008:19) menjelaskan jika maramba dapat kehilangan status kebangsawanannya, namun hampir tidak mungkin bagi ata untuk keluar dari status hamba mereka. “While it is almost impossible to move out of the slave class, it is possible for maramba to lose their status.” Hal penting dalam ritus perkawinan orang Sumba adalah mas kawin atau belis. Belis diserahkan pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan sebagai salah satu syarat syahnya perkawinan. Belis pada umumnya berupa hewan (babi, kuda, kerbau) dan perhiasan (seperti mamuli emas, rantai emas, atau dari perak dan tembaga). Pihak keluarga perempuan yang menerima belis harus membalas pemberian tersebut secara pantas atau dengan nilai yang sama. Pemberian balasan tersebut seperti selimut dan kain tenun. Besarnya belis tergantung pada status sosial atau kedudukan orang tersebut dalam klan atau masyarakat. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar nilai belis yang harus diberikan. Sedangkan perempuan yang tidak mendapatkan belis akan dianggap memiliki martabat yang rendah. Dalam adat Sumba, belis yang diberikan dari pihak lakilaki kepada pihak perempuan sesungguhnya tidak diperuntukkan kepada si pengantin perempuan, tetapi diperuntukkan kepada orangtua dan kerabat si perempuan seperti paman, saudara lakilaki si wanita, dan orang lain yang turut hadir dalam undangan dan berjasa dalam perkawinan tersebut. Sebelum perkawinan dilakukan, biasanya pihak keluarga laki-laki akan terlebih dahulu meminang calon mempelai perempuan. Selain keluarga besar 49 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang akan datang, biasanya pihak yang menjadi juru bicara untuk proses peminangan adalah seorang wunang, walaupun itu bukanlah keharusan. Wellem (2004:66-71), menjelaskan bahwa cara perkawinan dalam budaya Sumba dibagi menjadi 2, yaitu meminang dan tidak meminang. Dalam proses meminang, barang yang dibawa adalah seekor kuda dan sebuah mamuli. Jika pinangan diterima, maka keluarga perempuan akan memberikan selembar kain kepada pihak pria sebagai tanda pengikat. Kemudian keluarga perempuan akan melakukan kunjungan balasan pada waktu yang ditentukan untuk mengecek persiapan belis yang akan diberikan. Pengecekan tersebut dimaksudkan agar nantinya belis dan balasan belis akan seimbang nilainya. Dalam acara kunjungan tersebut, pihak laki-laki akan menyembelih satu ekor babi untuk menjamu keluarga perempuan. Jika waktu pernikahan sudah dekat, kedua belah pihak keluarga akan mengumpulkan keluarganya untuk bergotong-royong (pangangu kagata) untuk mengurus acara pernikahan. Jika hari penyerahan belis telah tiba, pengambil perempuan akan mengantarkan belis utama, yang diwakilkan oleh seorang wunang dan pembantunya (kandehangu). Pihak keluarga laki-laki dipandang sebagai tamu sehingga dijamu dengan seekor babi yang dipotong kemudian disajikan sebagai tanda penyambutan tamu (tanda taka). Ada seekor babi lain yang juga dipotong untuk dipersembahkan kepada marapu, sebagai tanda untuk memohon restu. Proses di atas adalah proses yang menghabiskan banyak waktu, terutama jika kedua belah pihak belum menemukan kata sepakat terhadap jumlah atau nilai belis dan sama-sama bertahan kepada pendirian masing-masing. Jika hal tersebut terjadi, maka tugas wunang yang mewakili masing-masing keluarga akan menjadi semakin berat. Wunang dari masing-masing keluarga 50 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT akan berdebat sampai dengan waktu yang tidak ditentukan, dan berusaha mempertahankan pendirian dari keluarga yang diwakilinya. Urusan yang menjadi perdebatan biasanya adalah masalah belis yang biasanya dianggap masih kurang jumlah atau nilainya bagi pihak perempuan, tetapi sebaliknya dirasa sudah cukup bagi pihak laki-laki. Tidak jarang, permasalahan tersebut menjadi hambatan dalam suatu pernikahan. Jika belis telah disepakati dan akhirnya dibayar oleh pihak laki-laki, maka pernikahan bisa dilangsungkan di kediaman keluarga perempuan. Setelah upacara pernikahan selesai, pengantin perempuan akan dibawa ke kediaman keluarga lakilaki untuk disambut dengan pesta yang disebut dengan (puadahu wai hanggobu) atau juga dikenal dengan istilah ‘menyeka air keringat’. Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahan yang telah berjalan, pesta tersebut juga untuk menolak segala bala dan hambatan, serta memohon berkat kepada marapu. Dalam pesta tersebut, keluarga besar pihak pengantin perempuan tidak turut dalam pesta. Dalam pesta ini, keluarga laki-laki harus memotong babi untuk dimakan bersama-sama. 2.3.3.3 Kematian Kematian adalah takdir yang tidak akan mampu dihindari oleh manusia. Semua budaya memiliki tradisi dan kepercayaan tersendiri terkait dengan kematian. Dalam agama Marapu, kematian bukanlah akhir dari kehidupan manusia, namun hanya suatu fase dimana jiwanya akan berpindah ke suatu tempat yang disebut dengan paraingu marapu, atau kampung leluhur. Di tempat tersebut, manusia akan hidup dengan cara yang sama dengan pada saat mereka hidup di dunia fana, bertemu dengan leluhur atau marapu mereka. Wellem (2004:79), berkata: 51 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Di sana si mati akan hidup dalam persekutuan dengan arwah para leluhur. Masuk tidaknya si mati ke dalam Paraingu Marapu sangat ditentukan oleh upacara kematian dan penguburan.” Ketika manusia yang beragama marapu meninggal dunia, gong akan dibunyikan sebagai tanda. Jenazahnya akan dibungkus dengan berlapis-lapis kain selimut atau sarung, dan akan dipotong sejumlah hewan seperti babi atau kuda. Kain dan hewan-hewan tersebut adalah bekal ketika mereka sudah sampai ke kampung leluhur atau paraingu marapu. Sama dengan ajaran agama samawi, agama marapu pun percaya ada kehidupan setelah kematian. Bekal di alam kekal tersebut turut dibawa serta ketika manusia meninggal. Apa yang dibawa ketika meninggal dunia bagi pemeluk agama marapu tergantung kepada status sosial yang dimilikinya di dunia. Seorang maramba (bangsawan) yang meninggal dunia tentu mendapat perlakuan yang berbeda jika dibandingkan dengan seorang ata (hamba) yang juga meninggal dunia. Soeriadiredja (2012) membedakan jenis kematian menurut golongan, yaitu kematian bangsawan atau raja, kemudian kematian orang merdeka dan hamba. Hal yang menjadi pembeda adalah lamanya penyimpanan jenazah dan banyaknya hewan yang akan dibantai untuk keperluan adat. Jenazah para bangsawan atau raja akan disimpan dalam waktu yang lama, bisa berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun lamanya. Hewan yang dibantai atau dibunuh pun berjumlah banyak. Sedangkan orang merdeka kecil dan hamba besar dikuburkan setelah seminggu atau dua minggu dengan upacara yang sederhana. Hamba kecil lama penyimpanan jenazahnya tidak terlalu lama, yaitu sekitar dua atau tiga hari saja dengan upacara yang sangat sederhana atau bisa tanpa upacara sama sekali. 52 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Apabila seorang bangsawan meninggal, tari-tarian dipentaskan dan banyak hewan yang dipotong. Pada umumnya, jenazah seorang bangsawan tidak segera dikuburkan, tetapi disimpan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun hingga semua persiapan penguburan akbar terpenuhi. Pada upacara penguburannya, banyak hewan dibantai dan disertai dengan pembunuhan terhadap hamba terdekatnya. Pada kuburan mereka didirikan tiang batu nisan yang memiliki relief kura-kura, buaya, ayam jantan, udang, atau kepala kerbau jantan (Wellem, 2004:37). Contoh nyata dari besar dan megahnya pemakaman para bangsawan adalah ketika pada tahun 2012, yaitu pada saat Raja Melolo Umbu Nggiku memakamkan empat jenazah yang merupakan kakak, kerabat, serta istrinya secara bersamaan. Jenazah mereka disimpan bertahun-tahun bahkan belasan tahun lamanya. Ada 88 marga dari 107 marga yang diundang dalam upacara penguburan tersebut, dan setiap marga membawa sekitar 50 orang anggota marganya. Keempat jenazah tersebut adalah; Umbu Retang Tamba, Umbu Balakapita, Umbu Tay Tanggurami, dan Tamu Rambu Ipa Hoy. Nama yang terakhir adalah istri dari Raja Umbu Nggiku yang meninggal pada tahun 2011 lalu. Tiga jenazah yang dikubur beragama Marapu, sedangkan Umbu Balakapita beragama Kristen. Walaupun bukan beragama Marapu, jenazah tersebut tetap mendapat perlakuan secara Marapu, setelah sebelumnya mendapat perlakuan secara Kristen dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Sinkretisme tersebut jamak ditemukan, karena Marapu memang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Sumba (Solihin, 2012). Penyimpanan jenazah dalam waktu yang lama sesungguhnya terkait dengan persiapan adat yang rumit dan memakan banyak biaya. Oleh karena itu, jika persiapan belum sempurna, maka jenazah masih akan tetap disimpan. Jenazah 53 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 disimpan dengan dilapisi kain yang jumlahnya cukup banyak. Kain tersebut melapisi tubuh yang telah mati dengan tujuan untuk membuat jenazah awet dan tidak berbau. Ada yang mengatakan jika ada ramuan-ramuan tertentu yang dipakai untuk mengawetkan jenazah pada masa lalu, yaitu ketika pengawet kimiawi seperti formalin belum ditemukan. Namun ada juga yang berkata jika yang dilakukan untuk mengawetkan secara alami hanyalah melapisi jenazah dengan kain yang tebal. Tradisi menyimpan jenazah dan melapisinya dengan kain atau sarung, ternyata bukan hanya dilakukan oleh pemeluk agama Marapu. Pemeluk agama kristen pun menyimpan jenazah selama beberapa hari dan melapisinya dengan kain. Memang penyimpanan tersebut tidak berlangsung lama, yaitu sekitar 3 sampai 7 hari saja. Namun tujuannya tetap sama, proses penyimpanan tersebut salah satunya juga dikarenakan menunggu segala urusan adat terselesaikan dengan sempurna. Jenazah mereka juga dilapisi dengan kain yang dibawa oleh para pelayat. Hal yang membedakan adalah pada posisi jenazah saat disimpan. Pada jenazah pemeluk agama marapu, jenazah tidak disimpan dalam posisi berbaring, tetapi duduk. Sedangkan untuk jenazah yang tidak memeluk agama marapu, jenazah akan disimpan dalam posisi berbaring dan biasanya akan dimasukkan ke dalam peti. Soeriadiredja (2012) menjelaskan bagaimana perlakuan terhadap jenazah pemeluk agama marapu. Setelah dimandikan dan dipakaikan baju yang terbaik, jenazah akan diikat bagian tangan dan kakinya menyerupai janin yang masih berada di dalam rahim. Pada bagian mulut, tangan, dan lipatan pakaiannya akan diselipkan mamuli atau koin emas. Di samping kiri jenazah disiapkan tempat sirih, selimut, sarung, dan tempat air minum. Jenazah tersebut akan didudukkan pada balai-balai kecil atas dan disandarkan pada tiang rumah. Keluarga yang sedang berduka 54 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT akan memotong ayam dan babi, serta sirih pinang sebagai persembahan untuk marapu. Persembahan tersebut dimaksudkan untuk menyambut dan menjamu arwah leluhur yang datang. Dalam agama marapu, pemberitahuan tentang kabar kematian diberitahukan melalui suara gong yang dipukul dengan irama duka (patundu mbitu). Lewat suara gong tersebutlah, masyarakat tahu jika ada orang yang meninggal dunia. Lebih lanjut Soeriadiredja (2012) juga menjelaskan, ketika akhirnya jenazah dipindahkan pada balai-balai besar atas dan disandarkan pada tiang penyembahan dengan menghadap ke pintu sebelah kanan rumah, keluarga akan memotong seekor kuda untuk dipersembahkan kepada marapu. Persembahan tersebut dimaksudkan sebagai permohonan kepada marapu agar memberikan perlindungan serta kekuatan, dalam melaksanakan upacara kematian. Selama jenazah belum dikuburkan, jenazah harus dijaga pada waktu siang dan malam oleh keluarga orang yang meninggal, terutama keluarga yang berjenis kelamin perempuan. Di depan jenazah, akan disiapkan nasi, daging, air minum, dan sirih pinang sebagai makanan si orang mati. Sebelum memberi makan, gong akan dibunyikan untuk memanggil arwah untuk makan, dan gong akan dipukul kembali untuk mengantarkan arwah pergi, ketika si arwah sudah selesai makan. Ketika tiba waktunya jenazah akan dimakamkan, persiapan yang dilakukan keluarga akan lebih maksimal. Mereka akan berkumpul sebagai keluarga besar yang akan bahu membahu dalam mengurus berbagai keperluan adat dan pemakaman. Tamu yang diundang dalam acara pemakaman akan disambut oleh tuan rumah dengan sajian utama berupa sirih pinang dan kopi panas. Tamu yang diundang tidak akan hadir dengan tangan kosong. Mereka akan membawa hewan, kain, sarung, atau mamuli untuk menyumbang. Jenis dan nilai 55 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sumbangan tergantung dari posisi tamu tersebut dalam keluarga orang yang meninggal. Jika tamu adalah pihak layia atau ana kawini (anak mantu), maka sumbangan yang dibawa adalah mamuli emas, seutas rantai emas atau lulu amahu, dan kuda yang cukup umur untuk disembelih. Jika tamu yang datang adalah pihak yiara (paman), maka sumbangan yang diberikan berupa babi dan kain. Jika si mati berjenis kelamin laki-laki, maka kain yang diberikan adalah kain hinggi, jika si mati berjenis kelamin perempuan maka kain yang diberikan adalah kain sarung (lawu). Semua barangbarang tersebut adalah bekal orang yang meninggal ketika sudah sampai di alam arwah. Hal yang menarik ketika tamu datang adalah ungkapan duka cita yang ditunjukkan. Tamu wanita adalah tamu yang diharuskan untuk menunjukkan duka citanya dengan lebih ekspresif melalui tangisan. Tamu wanita dari rombongan yang datang yang semuanya memakai sarung berwarna hitam, akan dipersilahkan naik ke rumah dimana jenazah disemayamkan. Semua tamu wanita akan masuk lalu duduk bersimpuh di sekeliling jenazah, kemudian harus meratap atau menangis (pa dudurungu) dengan irama yang menyayat hati. Sulit dibedakan apakah tangisan tersebut dari rasa duka cita yang mendalam, atau karena suatu kewajiban saja. Namun untuk tamu yang hubungan kekerabatannya tidak terlalu dekat, biasanya mereka hanya mengeluarkan ratapan pilu tanpa diselingi keluarnya air mata. Setelah selesai meratap, tamu wanita akan keluar dari ruang jenazah disemayamkan. Rombongan yang datang akan menyampaikan rasa duka cita mereka melalui seorang wunang yang turut serta dengan rombongan. Pihak tuan rumah pun akan membalas ucapan tersebut melalui seorang wunang juga. Jika semua tamu undangan telah hadir, acara penguburan baru akan dimulai. 56 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Keluarga yang sedang berduka akan melakukan ritual hamayang atau ritual doa dalam agama marapu, yang dipimpin oleh wunang. Dalam ritual tersebut akan dipersembahkan satu ekor ayam yang merupakan tanda makanan terakhir bagi orang yang mati. Setelah ritual hamayang selesai, jenazah akan diturunkan dari rumah lalu dibawa ke pemakaman. Saat itu satu ekor kuda akan ditikam sampai mati untuk diambil hatinya, lalu dimasak. Hati kuda tersebut merupakan bekal bagi si mati. Liang lahat yang dipersiapkan bukanlah liang lahat pada umumnya. Budaya Sumba mengenal adanya kubur batu yang dipercaya sebagai warisan megalitik. Sampai sekarang, kubur batu masih dipakai sebagai rumah terakhir bagi orang beragama marapu yang dimakamkan. Kubur batu identik dengan biaya yang mahal, maka dari itu banyak yang kemudian menunda prosesi penguburan karena harus mengumpulkan biaya yang tidak sedikit itu. Jika memperhatikan kubur batu masa lampau yang terletak di kampung atas, batu yang digunakan adalah bongkahan batu asli yang berukuran besar dan tebal. Besarnya bervariasi, sekitar 1x2 meter sampai dengan 2x2 meter. Tebal batunya sendiri sekitar 50 cm. Pada masa kini, batu-batu tebal dan berat tersebut mulai tergeser karena alasan kepraktisan. Batu sudah mulai sulit diperoleh, dan jika ada pun, biaya serta proses pengangkutan menelan biaya yang besar. Kini posisi batu mulai digantikan oleh beton atau semen, baik dari tiang penyangga sampai dengan bagian pokok kuburnya yang berbentuk seperti meja persegi panjang. Menurut Solihin (2012:20), penggunaan bahan semen mulai digunakan masyarakat pada medio 1990-an. Dalam kepercayaan Sumba, juga terdapat jenis kematian berdasarkan cara mati dan umur waktu mati. Cara mati ada dua jenis yaitu mati dingin (meti maringu), dan mati panas (meti mbana). Mati dingin adalah mati yang disebabkan oleh penyakit 57 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 atau faktor usia tua, sedangkan mati panas adalah mati karena dibunuh, bunuh diri, kecelakaan, perang, atau saat melahirkan. Orang yang mati dingin akan dikuburkan di dalam kampung dengan dilakukan upacara terlebih dahulu. Sedangkan orang yang mati panas harus dikuburkan di luar kampung tanpa upacara. Jika ketentuan ini dilanggar, maka penduduk kampung akan mendapatkan malapetaka. Kematian menurut umur, akan dibedakan berdasarkan umurnya, apakah mati muda atau mati tua. Jika ada orang yang mati pada usia anak-anak (mati muda), maka jenazahnya tidak boleh disimpan lama dan bisa dikuburkan di dalam kampung dengan upacara sederhana. Kain pembungkusnya tidak boleh banyak karena akan memberatkan si anak saat perjalanan ke paraingu marapu. Jika ada orang yang mati pada usia tua (dewasa), maka jenazahnya diperbolehkan disimpan dalam waktu lama, dan boleh dikuburkan di dalam kampung (Wellem, 2004:80). 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Sistem Kekerabatan Seperti etnik-etnik lain di Indonesia, etnik bangsa Sumba adalah etnik yang memiliki jaringan kekerabatan yang erat. Gotong-royong dan solidnya hubungan antara anggota klan atau marga adalah bukti kuatnya kekerabatan mereka. Simpen (2004:206) menjabarkan, masyarakat Sumba Timur mengenal lima generasi, yaitu kakek/nenek (boku/apu), ayah/ibu (ama/ina), saya, anak, dan cucu10. Secara umum, dalam satu 10 Simpen (2004:206) menyebut lima generasi kakek/nenek (boku/apu), ayah/ibu (ama/ina), saya, anak, dan cucu. Jika merunut pada pohon kekerabatan, yang dimaksud Simpen dengan saya, anak, dan cucu adalah ego, anak ego, dan cucu ego. 58 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT keluarga inti keluarga Sumba, terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun masih banyak juga ditemui keluarga luas, dimana ego maih tinggal dengan orang tua serta kakek neneknya, atau kerabat lain yang tinggal satu rumah dengannya. Bagi keluarga maramba atau bangsawan, sering kali ditemui para ata11 atau hamba yang juga turut tinggal bersama mereka. Dalam budaya Sumba, garis keturunan yang diakui adalah garis keturunan ayah atau patrilineal. Jadi penerus klan atau marga adalah dari generasi laki-laki. Ayah sebagai kepala keluarga, merupakan laki-laki yang memegang peranan sentral dalam berbagai urusan yang melibatkan adat dan keluarga. Sebagai pencari nafkah, ayah bertanggung jawab untuk memberikan dan mencukupi kebutuhan primer dan sekunder istri beserta anak-anaknya. Jika dahulu ada pembagian kerja secara jelas dalam ranah domestik, misalnya ayah bekerja di kebun atau ladang, dan ibu bekerja tenun dan memelihara hewan, maka kini semua itu mulai tampak kabur. Tidak hanya laki-laki yang bekerja di kebun atau di ladang, karena sekarang ini pun perempuan mampu bekerja di ranah yang sama dengan giat. Tidak hanya perempuan yang mampu menenun dengan cakap, karena sekarang ini laki-laki pun mampu menenun dengan tidak kalah cakap. Ranah domestik mulai kabur. Antara laki-laki dan perempuan memiliki peran dalam mencari nafkah, walaupun pada pekerjaan domestik tertentu seperti memasak masih tetap dilakukan oleh perempuan. Pembeda yang mencolok tetap saja pada hal kodrati, perempuan tetap mengandung, melahirkan, lalu mengurus anak-anaknya. Laki-laki tetap menjadi pemegang kendali dalam keluarga, urusan yang 11 Kini sebutan hamba tidak banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari golongan maramba. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan maramba dengan ata, dan juga untuk menghilangkan kesan perbudakan. 59 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 terkait dengan kepentingan keluarga dan adat menjadi perannya yang tidak tergantikan oleh perempuan. Pengganti dari peran ayah adalah anak laki-laki, maka penting bagi keluarga Sumba untuk memperoleh anak laki-laki untuk menggantikan posisi ayahnya. Sementara anak perempuan akan meninggalkan rumah jika sudah menikah, lalu meninggalkan klan/kabihu ayahnya dan mengikuti klan/kabihu suaminya. Karena itulah, yang berhak memperoleh harta warisan keluarga adalah anak laki-laki, karena anak laki-laki tetap tinggal di rumah meneruskan klan/kabihu ayahnya. Kuatnya posisi laki-laki dalam keluarga juga berpengaruh terhadap keputusan penting yang diambil. Misalnya saja keputusan untuk memiliki anak. Ada 2 kepala keluarga di Desa Watu Hadang yang pernah kami temui dan kami ajak berbincang. Keduanya menunggu persalinan istrinya yang ternyata telah memiliki 5 anak dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Karena keduanya membutuhkan penerus keluarga, maka mereka meminta si istri untuk terus memiliki anak sampai anak laki-laki yang mereka idam-idamkan lahir. Jika si istri ternyata tidak mampu lagi, mereka berkata akan mencari istri lain12. Cerita di atas tentu saja tidak berlaku secara umum, walaupun cukup penting untuk menggambarkan betapa kuatnya posisi laki-laki dalam keluarga. Dahulu, sebelum revolusi KIA muncul, kebanyakan keputusan untuk memilih tempat atau fasilitas untuk melahirkan pun ada di tangan laki-laki yang ada di dalam keluarga. Laki-laki tersebut bisa jadi adalah suami, ayah, atau tuannya (jika si perempuan adalah ata). Hal tersebut dikarenakan laki-laki dianggap yang paling berhak untuk memberi keputusan di dalam keluarga. Selain keluarga inti dan keluarga 12 Laki-laki Sumba juga memiliki hak untuk melakukan poligami, dan jumlah istri tidak dibatasi. Alasan poligami biasanya karena menginginkan keturunan, atau untuk memperluas/memperbanyak jumlah anggota klan/kabihu 60 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT luas, kelompok kekerabatan yang lebih besar dari keduanya adalah kelompok klan atau kabihu. Klan atau kabihu adalah kesatuan dari keluarga inti dan keluarga luas yang berasal dari satu leluhur atau satu keturunan yang sama. Keterikatan ini pun berdasarkan garis keturunan patrilineal. Kabihu juga berperan besar dalam urusan perkawinan orang Sumba. Idealnya perkawinan yang dilakukan oleh orang Sumba adalah perkawinan dengan sistem eksogami kabihu. Orang Sumba harus tahu dari kabihu mana dia akan mengambil wanita, dan pada kabihu mana dia akan memberi wanita. Jika sampai terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari kabihu yang sama, maka itu adalah suatu pelanggaran adat. Konsekuensi dari perkawinan semacam itu adalah munculnya bencana yang dapat menimpa semua anggota kabihu (Kapita dalam Manggana, 2004:14). Pada kenyataannya, perkawinan lakilaki dan perempuan dari kabihu yang sama pun terjadi di Desa Watu Hadang, konsekuensinya perkawinan mereka tidak diakui oleh keluarga besar mereka, walaupun Sang Raja sendiri sesungguhnya memaafkan. Batasan-batasan adat mengenai perkawinan saat ini mulai melonggar, karena perasaan suka sama suka antara laki-laki dan perempuan ternyata tidak bisa terkurung dalam aturan adat. Perjodohan masih berlaku hingga saat ini, dan pola pemilihan jodoh yang ideal adalah antara laki-laki dengan perempuan, yang merupakan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Bisa dikatakan, perkawinan tersebut adalah perkawinan antar sepupu. Perjodohan tersebut bisa berakhir dengan sukses, tetapi juga bisa saja tidak sukses jika masing-masing pihak yang dijodohkan tidak bersedia. Ketika sudah menginjak usia dewasa, idealnya laki-laki dan perempuan yang sudah memiliki penghasilan akan siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Usia yang dianggap siap 61 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan di Desa Watu Hadang berkisar 20-23 tahun. Pada kenyataannya, banyak perkawinan yang terjadi sebelum usia tersebut dicapai. Faktor penyebab terbesar adalah karena terjadinya kehamilan di luar pernikahan. Jika sudah terjadi hal demikian, orangtua dari masing-masing pihak akan membahasnya secara adat untuk mencari titik temu. Jika direstui, maka pernikahan bisa dilaksanakan. Jika tidak direstui, maka keduanya akan dipisahkan, dan si perempuan menjadi orangtua tunggal. 2.4.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal Desa Watu Hadang, sebagai pusat kerajaan Melolo dengan sosok raja yang masih berpengaruh sampai sekarang, amatlah menarik untuk diteliti. Kerajaan Melolo memang bukan seperti kerajaan dengan kekuasaan teritorial luas, dan pengikut yang banyak. Kerajaan kecil seperti Kerajaan Melolo, sedang berupaya keras untuk bertahan ditengah gempuran modernisasi. Desa Watu Hadang yang juga terkenal sebagai basis marapu, memiliki tokoh sentral yaitu seorang raja yang juga merupakan tokoh marapu. Adanya sosok raja yang masih memegang teguh ajaran marapu, membuat nilai-nilai dari ajaran marapu tidak sepenuhnya tergerus modernisasi. Nilai-nilai yang masih bertahan, dan melekat erat pada mentalitas masyarakat meskipun terkepung modernisasi adalah nilai gotong-royong yang mereka miliki. Masyarakat dipersatukan secara adat dan terbiasa bergotong-royong dengan sesama anggota klan/kabihu atau dengan kabihu lainnya. Wujud gotong-royong tersebut akan paling tampak ketika ada peristiwa adat, seperti kematian atau perkawinan yang melibatkan kabihu mereka. Jangankan waktu dan tenaga, bantuan berupa materi, benda berharga, ataupun hewan akan mereka sumbangkan jika peristiwa adat tersebut 62 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT memang mengharuskan demikian. Bentuk sumbangan yang paling umum dijumpai adalah sumbangan berupa hewan, bisa ayam, babi, sapi, atau kuda. Itulah sebabnya, mayoritas masyarakat memiliki hewan yang dipelihara dengan baik. Babi adalah hewan yang paling sering dijadikan hewan adat. Babi bukan hanya dapat dijual sewaktu-waktu jika si pemilik membutuhkan uang, tetapi lebih dari itu, babi adalah investasi adat bagi masyarakat Sumba. Ada seloroh yang populer di kalangan orang Sumba sendiri, maupun dari etnik lain, yang intinya berkata jika manusia boleh makan apa adaya, tetapi babi yang dipelihara tidak boleh sampai lapar atau kurus. Pentingnya nilai babi sebagai investasi adat, juga menyangkut masalah prestise diri sendiri dan prestise klan/kabihu. Selain bersifat sebagai sumbangan yang nantinya juga akan dikembalikan oleh si penerima sumbangan, pemberian sumbangan juga akan membawa nama baik dan gengsi seseorang di mata orang lain. Dia tidak akan malu melangkah menuju pesta adat orang lain atau kerabatnya, jika dia membawa babi gemuk untuk disumbangkan. Dagunya akan tegak berdiri, dan semakin percaya diri. Maka dari itu, banyak orang yang memilih berhutang demi untuk menyumbang13. Semakin tinggi status sosial, maka idealnya nilai atau jumlah sumbangan yang dikeluarkan pun akan lebih besar. Seorang maramba yang akan menyumbang pesta adat kerabatnya, tentu akan merasa malu jika dia hanya menyumbang beberapa ekor ayam. Maka dia akan berusaha keras untuk menyumbang babi, kuda, atau sapi, meskipun hewan tersebut tidak dia miliki. Dia bisa saja berhutang untuk mendapatkannya, 13 Perilaku tersebut, tidak jarang mengundang cibiran karena terkesan jika orang Sumba lebih suka menggunakan uang atau harta mereka untuk urusan adat daripada untuk makan dengan makanan yang bernutrisi atau untuk membiayai pendidikan anak mereka. 63 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 atau bisa juga meminta dari seorang ata yang tunduk padanya. Ata yang memiliki hewan yang dibutuhkan tuannya tersebut, tidak diperbolehkan menolak jika sang tuan meminta hewan yang dimilikinya. Kelak, ketika si ata memiliki urusan adat yang serupa, sang tuan juga berkewajiban membantu biaya atau keperluan adat ata tersebut. Hubungan patron-klien tersebut adalah contoh bagaimana relasi antara maramba dan ata di Desa Watu Hadang. Maramba memiliki hak atas ata, bukan hanya hak secara fisik, tetapi maramba juga berhak memutuskan hal-hal yang penting jika terkait dengan kehidupan ata. Contoh yang sering didengar adalah ketika ada seorang ata yang sakit atau hendak melahirkan. Ata atau ‘anak dalam rumah’ tidak bisa memutuskan sendiri pilihan pengobatan, atau akan kemana dia akan melahirkan. Semua tergantung kepada keputusan tuannya (maramba). Namun, peristiwa tersebut tidak berlaku untuk semua relasi antara maramba-ata, karena pada masa kini banyak juga dijumpai maramba yang mulai terbuka dan memberi kesempatan pada ata untuk memilih. Ata bukan hanya merupakan sumber tenaga kerja atau penggerak ekonomi keluarga. Lebih dari itu, ata membawa prestise bagi maramba. Maramba yang dihormati dan disegani adalah maramba yang memiliki kemampuan finansial yang baik, memiliki harta, dan tentu saja memiliki ata. Semakin banyak jumlah ata yang dimiliki seorang maramba, maka akan semakin tinggi prestise maramba tersebut di mata masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Twikromo (2008:19), tentang keberadaan ata yang teramat penting bagi maramba. “The existence of ata is important for maramba, particularly as a means of showing status, prestige, wealth, property, and power, rather than purely as a means of economic production.” 64 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Maramba sebagai pemilik status sosial tertinggi kerap menduduki jabatan-jabatan strategis dalam suatu instansi atau dalam pemerintahan. Hal tersebut salah satunya karena maramba memiliki kesempatan yang jauh lebih luas untuk mengakses pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan ata. Hal ini bukan hanya masalah akses ekonomi, tetapi juga terbatasnya hak ata untuk ‘berkembang’ melalui jalur pendidikan. Pendidikan ata bukannya dibatasi oleh negara, tetapi dibatasi secara kultur, karena pada dasarnya ata tidak ‘diperkenankan’ secara kultur memiliki pendidikan atau pekerjaan yang lebih baik dari maramba. Kalau pun ada ata yang berhasil memiliki status pendidikan yang sama tingginya dengan maramba, misalnya sarjana, maka hal berat selanjutnya adalah bagaimana dia bisa mensejajarkan diri dengan maramba, untuk sama-sama memperoleh kesempatan bekerja di tempat yang baik14. Maramba adalah golongan yang memiliki akses paling luas pada harta, pendidikan formal, dan kiprah politik lokal. Banyak maramba yang pada akhirnya memutuskan terlibat dalam pertarungan politik, seperti misalnya Raja Oemboe Nggiku yang pernah menduduki kursi di DPRD Kabupaten Sumba Timur. Menurut Twikromo, maramba memiliki banyak keuntungan pada banyak hal, sehingga mereka bisa diklasifikasikan sebagai elite. “Maramba have more opportunities than other groups to achieve other appropriate qualifications and control socio-economic capital, such as labour, land, networking, and contact with outsiders. Although they also compete with each other for political positions. Maramba are classified as the elite.” (Twikromo, 2008:21) 14 Terkadang ada anggapan juga, jika justru atalah yang merasa tahu diri untuk tidak menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari maramba, karena sejatinya tugas ata memang melayani maramba. 65 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Maramba sebagai elite memiliki posisi istimewa di mata ata karena berbagai akses yang bisa diraihnya. Tidak jarang ketika ada permasalahan yang datang kepada ata, maka yang menyelesaikan adalah maramba. Termasuk dalam masalah yang melibatkan hukum. Maramba akan mengerahkan lobi-lobi baik lobi politik atau lobi berdasarkan kekerabatan jika ada ata atau kerabatnya yang tersangkut masalah, termasuk masalah hukum. Misalnya jika si ata atau kerabatnya terlibat perkelahian. 2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit Menurut Simpen (2004:229), masyarakat Sumba mengenal adanya ideologi yang tercakup dalam Hopu Li La WitiHopu Li La Kunda, yang artinya adalah akhir dari segala pembicaraan dan akhir dari segala pintalan15. Ideologi tersebut salah satunya memuat tentang Li heda li meti atau hal sakit dan hal mati. Ideologi yang juga merupakan ajaran marapu ini ternyata juga membahas tentang sakit. Sayangnya Simpen tidak menelaah lebih lanjut bagaimana bentuk sakit dan perlakuannya. Sehat dan sakit adalah hal yang subyektif. Setiap individu memiliki persepsi tentang sehat dan sakit berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya masing-masing. Latar belakang budaya sangat berpengaruh terhadap persepsi masyarakat tentang kedua hal tersebut. Pun dengan masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang. Budaya Sumba yang diwariskan 15 Ideologi tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Li la le li manguama (hal suami dan istri) 2. Li heda li meti (hal sakit dan hal mati) 3. Li konda li ratu (hal kepemimpinan dan hal yang dihormati) 4. Li ndewa li pahomba (hal bertani dan hal beternak) 5. Li kiring li andong (hal tentang perkelahian) 6. Li marapu (hal kebaktian pada marapu). 66 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT melalui nenek moyang secara turun-temurun, mengajarkan jika manusia tidak boleh berdiam diri atau tidak bekerja. Tidak bekerja dalam hal ini dimaksudkan tidak melakukan aktivitas yang tidak mengeluarkan keringat. Jika pada saat beraktivitas, keringat keluar dengan baik, itu adalah pertanda jika individu tersebut masih dalam keadaan sehat. Banyak dijumpai beberapa orang yang merasakan rasa yang tidak nyaman pada bagian tubuh mereka, seperti pusing atau sakit perut, akan berusaha melakukan aktivitas yang dapat memicu keluarnya keringat dari tubuh mereka. Seperti cerita Mama M: “Kalau saya sudah rasa meriang-meriang, badan dingin, saya langsung cari kesibukan, bersih-bersih kah, menyapu kah, mrnjemur kasur kah, yang penting keluar keringat. Yang penting jangan diam saja, nanti kalau diam bisa sakit betulan.” Jika dicermati, maka yang menjadi ukuran sehat bagi masyarakat jika mereka mampu melakukan aktivitas dengan baik. Jika mereka dapat melakukan pekerjaan sehari-hari seperti bekerja di kebun, di sawah, menenun, mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan lainya dengan baik, maka mereka menganggap sedang berada dalam keadaan sehat. Sehat dalam hal ini adalah kondisi dimana tubuh terasa segar dan bugar, penuh semangat dan mampu bekerja dengan maksimal. Sedangkan arti sakit bagi mereka adalah kondisi dimana mereka tidak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik. Tandatandanya adalah tangan, kaki, seluruh bagian tubuh terasa lemas, pegal-pegal, panas (mbana), dingin (maringu), demam (ka-ngga duk). Secara garis besar, ada dua kategori penyakit yang kami temukan di Desa Watu Hadang. Kategori penyakit pertama adalah penyakit yang bisa disembuhkan secara medis. Kategori 67 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penyakit yang kedua, adalah penyakit yang hanya bisa disembuhkan secara tradisional melalui tangan dukun. Penyakit yang disembuhkan secara medis diakibatkan oleh faktor alami, seperti faktor kelelahan, kepanasan, atau kedinginan sehingga keseimbangan tubuh terganggu. Biasanya masyarakat melakukan pengobatan di Puskesmas atau membeli beberapa jenis obatobatan yang dijual secara bebas di kios. Sedangkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara medis, dipercaya dipengaruhi oleh faktor spiritual dan magis, seperti gangguan mahkluk halus, gangguan guna-guna dari orang lain, karena ‘angin’ atau karena marapu yang marah. Marapu yang marah bisa karena manusia melakukan kesalahan atau melanggar norma yang ditetapkan oleh marapu sehingga dianggap pantas mendapatkan hukuman berupa malapetaka atau sakit. Sakit karena hukuman dari marapu dikenal sebagai ngilu. Sakit ini bisa datang secara alami kepada seseorang karena dia sudah tidak mendapat perlindungan dari marapu, atau bisa juga datang dari suanggi (mamarung) atau tukang santet. Orang yang terkena ngilu lebih memilih melakukan pengobatan ke dukun dari pada pengobatan medis. “Kemarin kita sudah ke Puskesmas tapi tidak ada perubahan, jadi kami ke dukun, dukun bilang ini sakit yang di buatbuat/karena angin (guna-guna), karena kalau ngilu tidak sembuh di rumah sakit, sembuh juga tapi tidak lama sakit lagi jadi harus ke dukun.” Derajat sakit yang ditetapkan masyarakat tergantung pada kemampuannya melakukan aktifitas. Jika si sakit mengalami hambatan aktivitas, tidak mampu bekerja, hanya mampu berbaring, dan tergantung pada pertolongan orang lain, maka sakit tersebut tergolong dalam kategori berat. Sakit dengan kategori sedang adalah ketika si sakit, masih mampu berjalan walaupun sudah tidak bisa melakukan pekerjaan sehari-hari. 68 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Sakit yang tergolong ringan adalah ketika si sakit masih mampu bekerja, dan melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa tergantung kepada orang lain. Ngilu telah menjadi sakit yang dianggap umum bagi masyarakat Desa Watu Hadang, mereka mengkategorikannya sebagai penyakit kampung, tetapi hal tersebut masih merupakan hal yang awam bagi petugas kesehatan/medis. Masyarakat percaya jika ngilu bisa datang kapan saja kepada siapa saja. Ngilu adalah angin yang bersifat gaib, dengan banyak jenis, nama, dan gejala yang berbeda16. Tidak ada literatur yang membahas ngilu secara khusus. Soeriadiredja (2002:105) hanya menyinggung jika ada kekuatan gaib berupa angin atau ngilu yang bisa mendatangkan penyakit. Ngilu sendiri selalu dikaitkan dengan pengobatan yang dilakukan oleh pengobat tradisional atau dukun. Secara umum, meskipun cara penyembuhannya berbeda, namun pada akhir pengobatan, hal yang dilakukan semua dukun adalah ‘kasih dingin’ penyakit. ‘Kasih dingin’17 secara harafiah adalah mendinginkan penyakit. ‘Kasih dingin’ penyakit adalah konsep masyarakat lokal tentang ritual setelah pengobatan, yang intinya adalah memohon kepada marapu agar sakit yang diderita tidak kembali lagi. Ritualnya bisa jadi berbeda antara satu dukun dengan dukun yang lain, tetapi intinya tetap sama yaitu ritual doa. Jika bagian dari ritual pengobatan tersebut adalah mendinginkan penyakit, maka secara logika pemicu sakit itu sendiri bersifat panas. Jadi ngilu adalah penyakit yang dianggap bersifat panas. Panasnya ngilu bisa berakibat beragam, yang paling fatal adalah kematian. Jika sudah seperti itu, maka marapu lah yang 16 Ngilu akan dibahas lebih dalam pada Bab IV ; Belenggu Apung ‘kasih dingin’ penyakit atau ngilu akan dibahas lebih mendalam pada Bab IV; Belenggu Apung. 17 69 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mampu menyelamatkannya. Marapu akan memberikan perlindungan sehingga ngilu tidak akan ‘hinggap’ kepada orang tersebut. Namun tidak semudah itu marapu akan memberikan perlindungan. Marapu hanya akan memberikan perlindungan kepada orang yang tunduk dan taat kepadanya, yaitu orang yang tidak melanggar dosa dan norma yang diajarkan marapu. Jika ajaran marapu dilanggar, maka ngilu bisa datang dengan mudah karena marapu sudah lepas tangan dan tidak berkenan memberikan perlindungan lagi. Saat perlindungan tersebut hilang, maka ngilu bisa datang karena memang ngilu sedang melintas di dekatnya, atau karena ‘dibikin’ oleh mahkluk jahat seperti suanggi (tukang guna-guna/santet). Maka untuk merasa aman dan selamat dari penyakit, orang Sumba percaya jika mereka harus taat kepada marapu. 2.5.2. Penyembuhan Tradisional Masyarakat Desa Watu Hadang mengenal istilah ‘penyakit’ kampung, yaitu penyakit yang dipercaya datang dari leluhur atau marapu. Penyebutan istilah ‘penyakit kampung’ tersebut sebenarnya bertujuan untuk membedakan antara penyakit yang dikenal dengan istilah medis yang terdengar modern dengan penyakit dari leluhur yang memakai istilah dari kampung atau tradisional. Penyakit ‘kampung’ atau ngilu tersebut dipercaya tidak akan mampu disembuhkan oleh medis, karena sakit dari leluhur atau marapu, harus disembuhkan dengan cara marapu juga. Untuk itu, masyarakat mempercayakan pengobatan mereka kepada penyembuh yang mengerti bagaimana menyembuhkan sakit dengan cara marapu. Penyembuh tersebut adalah penyembuh tradisional yang lazim disebut sebagai dukun. Dukun yang dikenal di dalam masyarakat tidak hanya dukun penyembuh sakit, tetapi ada juga dukun bayi, 70 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dan tidak jarang ditemukan juga jika dukun bayi pun memiliki kemampuan sebagai dukun penyembuh. Walaupun penyembuh tradisional atau dukun memakai cara-cara tradisional untuk mengobati pasien, namun sebenarnya tidak semua dukun tradisional mampu menyembuhkan melalui ritual marapu. Hanya dukun-dukun tertentu yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dengan tata cara marapu. Hal tersebut dikarenakan ritual marapu memakai bahasa ritual yang tidak dikuasai oleh semua orang, selain itu tidak boleh terjadi sedikitpun kesalahan dalam proses ritual tersebut. Jika sampai terjadi kesalahan segala konsekuensi dari kesalahan akan menimpa dukun yang telah melakukan ritual tersebut. Dukun tradisional, khususnya dukun penyembuh yang menguasai ritual marapu dianggap sebagai dukun yang mampu menyembuhkan sakit yang datangnya dari leluhur atau marapu, dan sakit karena gangguan mahkluk transendental seperti suanggi. Maka dari itu dukun tersebut disebut sebagai dukun marapu. Suanggi atau tukang tenung, tukang guna-guna, atau tukang santet, begitu ditakuti oleh masyarakat. Selain bisa menyebabkan sakit, suanggi dipercaya mampu membunuh dengan cara perlahan melalui media lain, misal media hewan. Suanggi sesungguhnya bukan istilah asli Sumba, karena dalam bahasa Sumba, suanggi atau tukang santet disebut dengan mamarung, yang secara harafiah berarti orang yang bisa terbang di malam hari. Suanggi atau mamarung dianggap memiliki kemampuan terbang dan menghilang di malam hari, karena alasan itu juga banyak yang yakin jika suanggi bekerja ketika malam tiba. Entah mengapa istilah suanggi jauh lebih populer dan jauh lebih sering digunakan daripada istilah mamarung. Istilah itu sendiri bisa ditemukan di beberapa daerah lain di Indonesia, seperti di Papua, Papua Barat, dan Maluku. Suanggi sendiri 71 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 seperti sebuah identitas samar, tidak ada yang tahu pasti siapa atau apa itu suanggi, dan bagaimana rupa fisiknya. Masyarakat hanya yakin bahwa mahkluk tersebut jahat, mampu membuat sakit, dan mampu membunuh dengan cara-cara tertentu. Namun hampir tidak ada yang pernah mengaku pernah melihat suanggi secara langsung. Sakit dari suanggi dipercaya hanya mampu disembuhkan oleh dukun penyembuh atau dukun tradisional dengan cara marapu. Cara-cara yang dilakukan bervariasi, tergantung dari kemampuan dukun yang menyembuhkan. Namun secara umum perlakuan dukun terhadap si sakit yang dianggap terkena sakit dari suanggi adalah meminta pertolongan atau perlindungan dari marapu melalui ritual hamayang. Banyaknya jenis ritual hamayang, rumitnya doa yang digunakan dalam ritual tersebut, dan banyaknya variasi runutan peristiwanya membuat peneliti tidak mampu mendalami keseluruhannya. Tetapi khusus untuk hamayang yang ditujukan untuk penyembuhan sakit, dukun memiliki cara yang berbeda tergantung dengan jenis sakit yang diderita. Intinya adalah tidak ada pakem tertentu dalam ritual hamayang untuk menyembuhkan sakit, begitupun dengan ramuan obat yang diberikan. Antara satu dukun dengan dukun lainnya memang merahasiakan ramuan obat yang mereka buat. Satu hal yang pasti, ketika proses ritual hamayang tersebut dilakukan, si sakit atau keluarganya harus menyiapkan hewan untuk persembahan. Hewan tersebut bisa berupa ayam atau babi. Hewan tersebut akan dibunuh dan bagian hati serta tali perutnya akan dibuka untuk diperiksa oleh dukun marapu. Tali perut dan hati tersebut adalah media penghubung antara marapu dan si dukun marapu, karena melalui tali perut dan hati hewan tersebutlah pertanda atau pesan dari marapu akan tampak. Dukun sebagai salah satu profesi tertua di dunia, sudah dikenal dan dipercaya masyarakat sebagai penyembuh bahkan 72 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT sebelum profesi dokter ada. Keberadaan dukun di Desa Watu Hadang pun sudah lama, bahkan sebelum dokter pertama datang. Wellem (2004) menceritakan pada tahun 1898, NZG yang merupakan misionaris Kristen membangun sebuah balai pengobatan di seberang Sungai Melolo, yang lengkap dengan obat-obatan yang berasal dari bantuan pemerintah. Di balai pengobatan tersebut diceritakan terdapat seorang dokter yang memiliki kriteria ‘takut akan Tuhan dan yang dapat menunjukkan dosa dan pengampunan Tuhan Allah kepada orang sakit’. Balai pengobatan tersebut tidak hanya membantu orang-orang Kristen Sumba, tetapi juga orang marapu yang saat itu diceritakan telah bertindak salah dengan menganggap sakit merupakan sebab dari marapu yang marah. Posisi dukun dalam masyarakat tidak hanya sebagai penyembuh sakit, tetapi juga sebagai orang yang dituakan. Kadang kala dukun justru juga berperan sebagai penasehat spiritual, memberi wejangan tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dukun marapu bahkan adalah sosok yang dihormati karena mereka adalah sosok yang mampu menjadi perantara antara manusia dengan marapu melalui pesan yang disampaikan dalam tali perut dan hati hewan persembahan. Apa yang tertera pada tali perut dan hati hewan tersebut dibaca dengan terlebih dahulu dengan memperhatikan tanda-tanda tertentu dari marapu.Tanda-tanda tersebut seperti ada tidaknya noda, jika ada noda maka akan dilihat apa warna dari noda tersebut, apakah ada guratan, dan yang terakhir dilihat dari bentuk tali perut atau hati hewan tersebut. Dukun marapu biasanya tidak hanya menguasai ritual hamayang sebagai ritual penyembuhan, tetapi juga mampu melakukan penyembuhan melalui urut/pijat, dan memberikan ramuan obat. Perlu ditegaskan sekali lagi jika antara satu dukun dengan yang lain, memiliki teknik urut/pijat dan jenis ramuan 73 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang berbeda untuk pengobatannya. Sebagian besar dukun juga merasa keberatan untuk memberi tahu racikan dari ramuan obat yang mereka buat18. Kerahasiaan tersebut benar-benar mereka jaga dengan rapat, walaupun mereka tidak keberatan untuk menunjukkan contoh dari ramuan tersebut. Kemampuan mereka untuk meracik obat didapatkan melalui proses gaib yang disampaikan lewat mimpi19. Begitupun dengan kemampuan mereka untuk menyembuhkan penyakit. Kemampuan mereka semacam anugerah atau wahyu untuk orang-orang terpilih saja. Walaupun banyak racikan obat yang tidak mampu dikupas dari dukun, namun melalui observasi partisipasi bersama beberapa orang dukun dapat diperoleh beberapa hal terkait dengan ramuan pengobatan dan metode pengobatannya. 1. Metode Sembur atau Hawurut Dalam pengobatan tradisional Sumba dikenal adanya metode sembur atau hawurut. Cara kerjanya yaitu dengan menyemburkan ramuan berupa sirih, pinang, kapur, dan terkadang ditambah dengan halia (jahe merah). Racikan tersebut dikunyah oleh dukun lalu disemburkan kepada bagian tubuh yang sakit. 2. Metode Urut Metode selanjutnya adalah metode urut, yaitu mengurut bagian tubuh pasien dengan gerakan yang bervariasi, karena antara satu dukun dengan dukun yang lainnya memiliki cara yang berbeda dalam mengurut. Pada dasarnya urut adalah gerakan yang berbeda dengan pijat. Urut lebih kepada gerakan mengusap secara vertikal atau horizontal, namun dengan tekanan. 18 Dari 5 orang dukun yang ditemui, hanya 1 dukun yang bersedia memberitahu racikan obatnya. 19 Dari 5 orang dukun yang ditemui, semua mengaku jika mendapatkan kemampuan mengobati dan meracik ramuan obat melalui mimpi. 74 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Sementara pijat adalah gerakan menekan secara terus menerus di satu bagian atau beberapa bagian tubuh. Ramuan yang dipakai untuk mengurut yang paling sering digunakan adalah daging kelapa yang dibakar sampai menghitam, dicampur dengan santan kelapa, jahe, dan tembakau. Ada juga dukun yang mencampurnya dengan kunyit. Ramuan ini akan digunakan untuk memijat tubuh pasien yang sakit. Biasanya metode ini akan dilengkapi dengan pemberian ramuan obat yang harus diminum pasien, dan seperti yang telah disinggung di atas. Sebagian besar dukun merahasiakannya. Gambar 2.2. Metode Urut yang Dilakukan oleh Dukun Marapu Sumber: Dokumentasi Peneliti 3. Metode Hamayangu Metode ini adalah metode terberat, karena bisa dikatakan metode ini hanya dilakukan jika kasus sakit pasien sudah lebih parah daripada metode pertama dan kedua di atas. Biasanya metode ini dilakukan setelah melalukan metode pertama atau metode kedua saja. Pada intinya hamayangu adalah ritual doa kepada marapu melalui ritual penyembelihan hewan berupa 75 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ayam atau babi untuk diambil hati dan tali perutnya. Hati dan tali perut tersebut dianggap sebagai media yang mampu menghubungkan dukun dengan marapu. Lewat media tersebut pula lah, marapu akan memberikan petunjuk atau pesan tentang apa yang harus dilakukan kepada si sakit, atau apa yang membuat sakit. 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman Makanan pokok masyarakat di Desa Watu Hadang saat ini adalah beras. Berbeda dengan era tahun 1980-an awal saat mereka mengkonsumsi jagung sebagai bahan makanan pokok. Beras mulai dikonsumsi secara masif ketika teknik bercocok tanam padi mulai diperkenalkan pemerintah dan saluran irigasi mulai dibangun pada sekitar tahun 1980-an awal. Perkenalan terhadap beras telah sukses menggeser jagung sebagai makanan pokok, walaupun pada masa sekarang ini masih banyak juga masyarakat yang mencampurkan beras dengan jagung untuk dimakan. Beras dan jagung yang mereka konsumsi biasanya merupakan hasil dari sawah atau ladang mereka sendiri, meskipun ada sebagian kecil masyarakat yang membeli di kios atau pasar. Ada pola pikir yang menarik yang sering terucap dari beberapa informan yang sering peneliti ajak bercengkerama. Mereka semua dari golongan ata yang tunduk kepada Raja Umbu Nggiku. Mereka sering kali berkata jika orang Sumba selalu makan apa adanya. Pola pikir ini, semacam apologi dari mereka ketika mereka membiasakan diri untuk makan seadanya, walaupun mereka mampu membeli atau mencari sumber makanan yang bukan itu-itu saja. Makanan yang bukan itu-itu saja merujuk pada makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Misalnya seperti nasi berlauk garam dan cabai, atau nasi dengan 76 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT lauk mi instan. Kadang kala jika mereka merasa memiliki rejeki berlebih, mereka akan membeli sayur mayur atau membeli ikan yang dijual keliling di kampung-kampung. Beras yang mereka konsumsi sehari-hari, sebagian besar adalah beras hasil panen yang sengaja disimpan untuk makan dan persiapan jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk menyumbang acara tertentu. Gotong-royong dengan saling menyumbang adalah salah satu hal utama yang membuat sebuah kabihu solid. Jika ada satu anggota kabihu mengadakan suatu acara adat dan mengundang anggota kabihu lainnya, maka anggota kabihu yang diundang sepatutnya memberikan sumbangan. Salah satu bentuk sumbangan tersebut adalah beras. Ada juga yang mengkonsumsi beras subsidi dari pemerintah untuk makan sehari-hari, meskipun beras tersebut terasa tidak enak untuk disantap. Namun ada juga yang memilih memasak beras tersebut untuk memberi makan babi yang dipeliharanya, dengan alasan beras tersebut tidak nikmat untuk disantap manusia. Masyarakat Sumba, khususnya di Desa Watu Hadang memiliki selera yang berbeda terhadap tekstur nasi yang dimakan. Mereka menyukai nasi yang keras, tidak pulen, dengan kadar air yang sedikit. Bagi yang tidak biasa, nasi seperti itu akan terasa setengah matang ketika dikunyah, karena memang ada bagian nasi yang masih terasa keras. Nasi seperti itu didapatkan dengan cara memasak yang berbeda. Beras yang telah dibersihkan akan langsung dimasukkan ke dalam dandang yang bagian bawahnya telah diisi air. Beras tersebut akan disiram air sesekali untuk mengantisipasi air yang berada di bagian bawah dandang habis. Nasi bisa disajikan ‘kosong’ atau tanpa lauk, dengan menambahkan sambal sederhana dari campuran cabe dan garam. Bisa juga dengan lauk pauk atau sayur mayur yang dimasak secara sederhana, misalnya sayur yang dimasak kuah. 77 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Jika tidak ada sayur, hal yang umum adalah mengganti sayur dengan mi instant. Cara memasak yang praktis, rasa yang mengundang selera, dan harga yang terjangkau, menjadi alasan mengapa mi instant begitu digemari untuk dijadikan lauk nasi, baik untuk orang dewasa atau anak-anak. Khusus untuk bayi, makanan yang wajib disajikan adalah bubur nasi, yang dibuat secara sederhana dengan bumbu garam dapur. Terkadang bubur tersebut dicampur dengan potongan saur mayur, walaupun lebih banyak yang menyajikannya ‘kosong’. Menu masakan seperti ini adalah menu sehari-hari yang sering dijumpai pada sebagian besar masyarakat. Sebagian kecil lainnya, adalah masyarakat yang tergolong mampu membeli ikan dan sayur tanpa harus menunggu rejeki yang berlebih. Suka cita bagi mereka adalah ketika mendapat undangan pesta. Karena artinya mereka bisa makan daging, baik ayam, ajing, sapi, babi, atau kuda. Pada musim pesta, yaitu sekitar musim kering, undangan pesta biasanya akan datang silih berganti. Hal ini jarang dilewatkan karena merupakan sarana berinteraksi dengan sesama anggota kabihu atau kabihu lain, dan yang terpenting mereka berkesempatan menambah nutrisi melalui daging yang mereka makan. Menariknya, bagi tamu undangan pesta yang beragama muslim, sajian untuk mereka akan dipisahkan dan tidak akan didapati daging babi, atau anjing di dalamnya. Tuan rumah pesta berusaha menyajikan masakan halal, bahkan dimulai dari proses penyembelihan hewan sampai proses memasak, yang semuanya dilakukan oleh orang muslim juga. Setiap tamu yang datang memiliki gaya dan penampilan tersendiri. Tidak sulit membedakan mana tamu yang termasuk golongan bangsawan (maramba), dan mana yang hamba (ata). Satu hal yang pasti jangan berusaha membedakannya berdasarkan kain yang dikenakan, karena sekarang ini baik 78 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT golongan maramba atau ata, sama-sama mengenakan kain hitam20. Memperhatikan bagaimana tamu dilayani, dipersilahkan duduk, bagaimana cara dia diberi makan dan minum, adalah salah satu cara mengetahuinya. Seorang maramba, akan dipersilahkan secara terpisah di tempat yang nyaman. Misalnya saja, jika ata dipersilahkan duduk di bawah, maka maramba akan duduk di atas. Maramba akan disuguhi makanan dan minuman dengan piranti makan terbaik, gelas dan piring keramik, yang tidak cacat. Sebaliknya ata hanya cukup dengan cangkir atau piring plastik (melamin) saja. Ketika tiba waktunya makan, maramba akan dipersilahkan makan terlebih dahulu. Dalam jamuan pesta, masyarakat mengenal 2 cara menjamu tamu. Cara yang pertama, mereka menyebutnya dengan cara adat. Yaitu makanan dan minuman, termasuk nasi dan lauk pauk sudah disiapkan dengan sama rata, di dalam piring atau gelas. Cara yang kedua, mereka menyebutnya cara nasional atau prasmanan, dimana tamu dipersilahkan mengambil makanan dan minuman yang disajikan secara mandiri. Belakangan ini, cara nasional menjadi cara yang paling sering ditemukan dalam pesta orang Sumba, dan hal ini juga merupakan pengaruh dari interaksi orang Sumba dengan etnik bangsa lainnya. Di luar kegiatan pesta, masyarakat Sumba yang patriarkhi mengutamakan laki-laki (terutama kepala keluarga) untuk makan terlebih dahulu, setelah itu baru para perempuan dan anak-anak. Tetapi jika ada tamu khusus yang datang berkunjung, biasanya kepala keluarga dan tamu, baik tamu lakilaki dan tamu perempuan akan makan bersama. Sulit untuk menelusuri seperti apa sebenarnya masakan khas atau asli Sumba, karena kuliner Sumba tidak sepopuler 20 Dahulu, kain hitam dibuat sendiri dengan cara ditenun, tetapi kini sudah mulai dijual secara bebas di pasar atau pertokoan. Bahan utama yang dipakai adalah kain atau teksti buatanl pabrik. 79 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kuliner masyarakat pendatang seperti masakan Jawa. Tidak heran ketika datang ke suatu pesta, kuliner yang disajikan adalah kuliner khas daerah lain, seperti rendang, gulai, sup ayam, atau sate. Makanan-makanan tersebut akhirnya dikenal secara luas oleh masyarakat Sumba, dan sering muncul dalam sajian pesta orang Sumba. Salah satu faktor penyebabnya adalah proses interaksi dengan etnik bangsa lain yang datang ke Sumba. Interaksi tersebut juga berpengaruh kepada pemakaian bumbu masak. Menurut seorang informan, dahulu masyarakat Sumba tidak mengenal bumbu palawija untuk memasak, karena mereka hanya mengenal garam saja untuk penambah cita rasa, itupun bagi masyarakat yang dekat dengan pantai. Cara memasaknya pun hanya ada 2 metode, yaitu direbus dan dibakar saja. Pemakaian bawang putih dan MSG (vetsin) yang kini seolah merupakan bumbu wajib masyarakat Sumba, juga merupakan pengaruh dari budaya kuliner para pendatang. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu bakar untuk memasak. Alat-alat seperti wajan, panci (kuali), menggunakan bahan alumunium yang dapat dengan mudah dibeli. Dapur yang digunakan sebagian besar masih tradisional, masih berdinding kayu dan beratap alang, dan kini leteaknya sudah banyak yang terpisah dari rumah utama. Karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki lemari es, maka mereka akan segera mengolah bahan makanan mentah yang cepat basi untuk dijadikan makanan. Makanan tersebut akan disimpan dengan cara menggantungnya di dapur, memakai periuk yang di bagian sisi-sisinya dililit tali anyaman daun lontar. Penyimpanan dengan cara tersebut untuk menghindari gangguan binatang seperti anjing, babi, atau tikus. Di bagian atas tungku biasanya akan terdapat jagung mentah yang di ikat dan sengaja disimpan. Asap dari tungku ternyata dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, sehingga jagung akan lebih tahan lama. 80 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Beras yang belum dibersihkan dari kotoran akan tetap disimpan di dalam karung, jika sudah dibersihkan maka masyarakat memasukkannya ke dalam anyaman lontar yang memiliki tutup, dengan ukuran bervariasi tergantung banyaknya beras. 2.5.4. Pengetahuan Tentang Pelayanan Kesehatan Pengobatan tradisional dan pengobatan secara medis belum bisa berdampingan secara harmonis. Pasalnya masyarakat memiliki prinsip kuat yang dilandasi kepercayaan kepada leluhur, jika sakit atau penyakit yang mereka derita adalah dari marapu, dan harus disembuhkan dengan cara marapu juga. Karena prinsip tersebutlah, pengobatan secara medis sering kali menjadi opsi terakhir untuk ditempuh. Sebagian besar masyarakat akan melalui pengobatan tradisional terlebih dahulu. Pengobatan tersebut bisa dilakukan sendiri, atau dilakukan atas bantuan dukun/pengobat tradisional. Lika-liku untuk sampai ke tangan medis biasanya panjang dan membutuhkan waktu yang lama, karena untuk kasus tertentu, harus diputuskan melalui musyawarah keluarga, dan untuk pemeluk marapu, harus memohon petunjuk kepada marapu. Musyawarah keluarga biasanya dilakukan untuk mencari kesepakatan, pengobatan apa yang akan ditempuh. Biasanya keputusan akan diputuskan oleh laki-laki yang dituakan, seperti ayah, kakek, atau maramba (jika yang sakit adalah ata). Bagi pemeluk marapu, sakit yang sudah masuk kategori parah adalah sakit yang tidak menemui kesembuhan, meskipun sudah berkali-kali ditangani oleh dukun. Biasanya akan muncul kecurigaan, apakah sakit tersebut terjadi secara tidak wajar. Untuk mencari tahu, mereka akan melakukan suatu ritual hamayang yang bisa dipimpin wunang atau dukun marapu. Melalui ritual hamayang, marapu akan memberi petunjuk, apa 81 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penyebab sakit orang tersebut, dan apakah orang tersebut bisa disembuhkan secara medis atau tidak. 2.5.5. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayan Kesehatan Fasilitas kesehatan yang didatangi jika pengobatan tradisional tidak mampu menyembuhkan adalah Puskesmas Melolo. Puskesmas Melolo berjarak sekitar 3 km dari Desa Watu Hadang. Akses dari Desa Watu Hadang menuju ke Puskesmas sudah baik, walaupun kondisi jalan dari perkampungan (terutama dari kampung Pau-Uma Bara) menuju Puskesmas Melolo ada yang rusak, sehingga menyulitkan pengedara motor. Wilayah kerja Puskesmas Melolo mencakup 9 desa dan 1 kelurahan, yang terdiri dari 53 RW, 117 RT, 3.449 rumah tanggga, dengan jumlah penduduk total di Kecamatan Umalulu 16.359 orang. Luas wilayah Kecamatan Umalulu adalah 307.9 km², dengan kepadatan penduduk 53 orang per-km2. Dari 307.9 km² keseluruhan luas wilayah, Puskesmas Melolo menempati tanah seluas 18.000 m², dan berstatus tanah milik negara. Puskesmas Melolo dibangun dengan fasilitas 1 unit UGD dan termasuk Puskesmas PONED. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Kecamatan Umalulu, Puskesmas Melolo memberikan pelayanan mulai hari senin sampai dengan hari sabtu. Untuk hari senin sampai dengan hari kamis pelayanan Puskesmas dibuka pukul 08.00 WITA – 12.00 WITA. Untuk hari Jum’at, dimulai pukul 08.00 WITA – 11.30 WITA, sedangkan untuk hari Sabtu pukul 08.00 WITA – 12.00 WITA. Puskesmas Melolo sudah mempunyai 3 poli, yaitu poli umum, poli gigi dan poli KIA. Untuk poli umum mempunyai unit layanan utama seperti poli dewasa, poli anak, poli KIA/KB, dan poli gigi. 82 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Gambar 2.3. Puskesmas Melolo Tampak Depan Sumber: Dokumentasi Peneliti Disamping itu Puskesmas Melolo memiliki fasilitas lain, yaitu Ruang Rawat Inap (RRI) dan PONED yang selalu buka selama 24 jam. Untuk layanan penunjang, Puskesmas Melolo dilengkapi dengan laboratorium untuk pemeriksaan mikroskopis. Untuk membantu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang perlu rawat inap, Puskesmas Melolo mempunyai Ruang Rawat Inap yang terletak disamping kanan Puskesmas. Ruang Rawat Inap ini memiliki 7 kamar dengan 34 tempat tidur. Ruang rawat inap (RRI) ini sudah berlantai keramik dan berdinding permanen dengan 1 pintu utama. Pada bagian kamar-kamarnya sudah dilengkapi dengan jendela dan ventilasi, sehingga ruangan cukup terang karena sinar matahari bisa masuk dan udara bisa tersirkulasi dengan baik. Karena sirkulasi baik, maka pasien akan merasa nyaman dan tidak kegerahan. Ruang Rawat Inap (RRI) Puskesmas Melolo juga sudah dilengkapi dengan fasilitas sanitasi, seperti sumur bor, yang dilengkapi dengan mesin pompa air. Disamping itu, Ruang Rawat 83 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Inap (RRI) juga dilengkapi dengan Saluran pembuangan Air Limbah (SPAL) yang berfungsi untuk pembuangan air limbah. Adanya sumur bor dan pompa air membuat kebutuhan air di Ruang Rawat Inap bisa tercukupi dengan baik, termasuk di kamar mandi pasien. Ruang rawat inap menjadi fasilitas penting untuk perawatan pasien. Kadang kala ruang rawat inap tersebut lengang, tetapi pernah juga sangat penuh sampai tidak mampu menampung semua pasien, dan ada beberapa pasien yang akhirnya dirawat di lorong Puskesmas. Hal tersebut pernah terjadi ketika wabah malaria melanda Kecamatan Umalulu. Karena jumlah pasien tidak seimbang dengan jumlah tenaga yang dimiliki Puskesmas, maka penanganan pasien menjadi tidak maksimal. Pasien adalah penilai yang terbaik untuk kinerja petugas kesehatan, termasuk dokter, bidan, atau perawat di Puskesmas. Tidak dipungkiri, sudut pandang yang berbeda antara pasien dan petugas membuat kesalahpahaman sering kali terjadi. Ada beberapa cerita menarik tentang pasien yang pernah merasakan rawat inap di Puskesmas. Secara garis besar, ada 2 kesan yang dapat disimpulkan dari cerita mereka, yaitu; suka dan tidak suka. Termasuk pasien yang merupakan informan peneliti dari Desa Watu Hadang. Pasien yang merasa suka dengan pelayanan petugas, sebagian besar memberikan alasan yang bersifat teknis, misalnya seperti petugas memberikan perhatian dengan baik karena memberitahukan apa penyakit yang mereka derita, memeriksa pasien dengan ramah, dan mengajak berbicara. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Mama R. Sebaliknya, sebagian besar pasien merasa tidak suka terhadap pelayanan yang dilakukan petugas, ketika petugas bersikap tidak ramah, tidak mengatakan penyakit yang diderita pasien, dan merasa petugas 84 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT begitu acuh karena tidak bersedia mengajak pasien bicara atau mengobrol. Hal ini dirasakan oleh HMA, Mama K, dan Mama D. Puskesmas PONED Melolo, melayani selama 24 jam dengan bidan jaga yang bertugas membantu pasien yang hendak melahirkan. Sama seperti kesan yang didapatkan di ruang rawat inap, pasien yang pernah merasakan melahirkan di Puskesmas Melolo pun terbagi menjadi 2 kubu, yaitu antara yang suka dan yang tidak suka dengan pelayanan petugasnya. Keluhan Mama D, Mama S, dan Mama Y, adalah respon yang lama dari perawat dan bidan, ketika mereka merasa kesakitan. Mereka berpikir seharusnya perawat atau bidan memberi perhatian kepada mereka, dengan memberi semangat atau dukungan. Tidak jarang juga bidan dan perawat dianggap bersikap tidak ramah karena berbicara dengan nada tinggi ketika mereka sedang berteriak kesakitan. Lain halnya dengan Mama R, yang justru merasa nyaman ketika memiliki 2 kali pengalaman melahirkan di Puskesmas Melolo. Dia merasa bidan atau perawat selalu cepat tanggap menolong dirinya dan pasien lain yang sedang hamil. Mereka memberi dukungan positif dengan kata-kata yang membangun semangat, dan bersikap sopan kepada pasien. Apapun pandangan yang mereka ungkapkan, tidak adil rasanya jika tidak melihat atau mendengar cerita dari sudut pandang petugas kesehatan dari Puskesmas itu sendiri. Seorang bidan desa mengakui, jika kadang kala petugas Puskesmas bisa secara tiba-tiba naik pitam karena menjumpai pasien yang datang ke Puskesmas setelah kondisinya parah. Tidak ayal lagi, petugas Puskesmas akan menegur dengan nada yang tinggi, dan hal ini kerap dianggap sebagai sikap yang kasar. Begitu juga dengan sikap yang sering dianggap kasar di PONED. Menurutnya itu disebabkan karena perbedaan sudut pandang. 85 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Secara medis, bayi bisa dikeluarkan rahim ketika pembukaannya sudah sempurna. Namun seringkali hal tersebut tidak dimengerti oleh kebanyakan pasien, yang sebagian besar dari mereka pernah melahirkan dengan dibantu jasa dukun bayi. Dalam proses kelahiran yang dibantu dukun, jika si perempuan hamil sudah merasa mulas di bagian perut, dukun akan langsung memberi perintah agar si perempuan hamil untuk mengejan. Padahal jika dilihat dari sudut pandang medis, kemungkinan besar ketika rasa mulas muncul di permulaan, pembukaannya baru awal. Ketika itulah dukun akan memerintahkan untuk mengejan. Perbedaan sudut pandang dapat memicu kesalah pahaman, kurang lebih begitu yang dikatakan bidan. Berikut adalah tabel jumlah tenaga di Puskesmas Melolo, pada bulan Juni 2014. Tabel 2.3. Jumlah Tenaga di Puskesmas Melolo Bulan Juni 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pendidikan Dokter Umum (S1) Dokter Gigi (S1) Kesehatan Masyarakat (S1) Perawat (D3) Kesling (D3) Farmasi (D3) Bidan (D2) SMA SPK SPRG SD Jumlah 2 1 1 9 1 1 13 2 6 1 1 Sumber: Puskesmas Melolo, 2014 Selain Puskesmas Melolo, masyarakat Desa Watu Hadang juga melakukan pengobatan di Pustu Katorak, yang dijaga oleh seorang bidan desa. Bidan desa tersebut tinggal di Pustu yang terletak di Kampung Pau, Desa Watu Hadang. Pustu Katorak 86 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT terletak di tengah desa, oleh karena itu masyarakat tidak kesulitan untuk mengaksesnya. Bangunan Pustu tersebut berdinding semen dengan cat berwarna putih, dengan halaman serta bangunan yang luas. Pepohonan dan beragam rupa bunga di halaman membuat Pustu terasa sejuk dan teduh. Pustu Katorak memiliki fasilitas berupa ruangan pemeriksaan pasien, yang terpisah dengan ruang penerimaan pasien. Kedua ruangan tersebut memiliki ventilasi udara berupa jendela kaca, juga terdapat meja, kursi, dua unit lemari penyimpan alat-alat kesehatan, dan 1 unit timbangan untuk pasien. Di samping itu Pustu Katorak juga dilengapi dengan kamar mandi pasien. Bidan desa melakukan anamnesis pasien di ruang pemeriksaan, selanjutnya mencatatnya pada buku register. Selain bertugas di Puskesmas Melolo, bidan Desa Watu Hadang juga melakukan pelayanan di Pustu Katorak. Karena dia tinggal di Pustu, masyarakat lebih mudah melakukan pengobatan atau memanggil dia datang jika keadaan darurat, bahkan ketika malam hari. Untuk memperlancar komunikasi dengan masyarakat yang membutuhkan jasanya, bidan desa juga memberikan nomor telepon pribadinya untuk dihubungi. 2.6. Bahasa Masyarakat di Kecamatan Umalulu, khususnya di Desa Watu Hadang, mayoritas memakai bahasa Sumba dengan dialek Kambera untuk berkomunikasi sehari-hari. Pemakaian Bahasa Indonesia biasanya dipakai jika lawan bicara adalah masyarakat dari etnik lain, atau ketika dalam suasana formal. Dialek Kambera dikenal tidak memiliki tingkatan bahasa seperti yang terdapat pada Bahasa Jawa atau Bali. Walaupun demikian prinsip-prinsip kesopanan masih berpengaruh besar terhadap cara bicara penutur Bahasa Kambera. Prinsip-prinsip kesopanan tersebut terkait dengan golongan sosial yang ada di dalam masyarakat, 87 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yaitu maramba, kabihu, dan ata. Selain prinsip kesopanan yang dipengaruhi oleh golongan sosial, pengaruh marapu pun begitu kuat, terutama untuk pemakaian bahasa ritual. Secara garis besar, dialek Kambera memiliki 2 jenis bahasa, yang pertama adalah bahasa komunikasi sehari-hari, dan yang kedua adalah bahasa ritual. Bahasa untuk komunikasi sehari-hari dipakai oleh khalayak umum dari semua golongan sosial, sedangkan bahasa ritual hanya dipakai oleh golongan tertentu yang memiliki kemampuan sebagai wunang (juru bicara adat), atau ratu (imam marapu, penasehat spriritual maramba). Bahasa ini dipakai pada waktu tertentu saja, misal pada saat upacara adat marapu. Karena keterbatasan jumlah penutur, serta tidak ada catatan tertulis tentang bahasa ritual ini, bisa dikatakan keberadaannya mulai terancam punah, seiring dengan kepercayaan marapu yang juga mulai tergeser dengan ajaran agama lain. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Simpen (2008:89-91), yang berkata jika Bahasa Kambera terbagi dua jenis, yaitu bahasa pergaulan sehari-hari yang berbentuk prosa, dan bahasa ritual yang berbentuk puisi atau baitan. Bahasa ritual ini adalah bahasa yang penuh dengan metafora atau perumpamaan, tentang cerita nenek moyang, pandangan hidup, tentang Tuhan, dan hal lain yang bersifat religius. Bahasa ritual ada 2 macam, yaitu bahasa ritual doa, dan bahasa ritual baitan (luluku). Bahasa ritual doa dianggap sebagai bahasa keramat atau ‘panas’ sehingga tidak semua orang boleh mengucapkannya. Hanya ratu dan wunang yang boleh memakai bahasa tersebut, dan seperti yang telah disebutkan di atas, bahasa ini terancam punah. Berbeda halnya dengan bahasa kalimat ritual baitan (luluku) yang masih bisa dipertahankan keberadaannya, karena sering dipakai pada saat ritual kematian dan pernikahan. 88 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Meskipun bahasa Kambera yang digunakan sehari-hari tidak memiliki tingkatan, namun bahasa tersebut sarat akan pantangan (tabu) dan metafora (perumpamaan). Contoh tabu misalnya dilarang menyebutkan kelemahan/cacat fisik orang lain dan memakai bahasa/kalimat dengan nada menyuruh/ memerintah orang dari golongan yang lebih tinggi dari si penutur. Kalimat dengan nada menyuruh/memerintah tersebut harus diganti dengan kalimat memohon bantuan. Misalnya, kalimat perintah langsung “tolong ambilkan pisau”, harus diganti dengan kalimat permohonan seperti “tamu rambu/umbu, bisakah mengambilkan pisau untuk saya”. Untuk orang yang lebih tua, mereka boleh memanggil orang yang lebih muda dengan nama asli mereka, dengan catatan mereka memiliki golongan sosial yang sama. Sebaliknya, orang yang lebih muda pantang memanggil nama asli orang yang lebih tua, karena hal tersebut dianggap sebagai penghinaan. Sebagai kata ganti nama panggilan, maka digunakan sapaan seperti amaina (ayah/ibu), aya (kakak), dsb. Untuk sapaan kepada orang dengan golongan sosial yang lebih tinggi, misal maramba, maka harus memakai sapaan tamu rambu, tambu umbu, atau miri (tuan). Panggilan seperti bapak atau ibu, sebagian besar dipakai jika lawan bicaranya adalah orang yang dianggap memiliki pangkat. Ada satu hal yang menarik, yaitu sapaan yang digunakan kepada orang lain yang berasal dari etnik lain dari luar Etnik Sumba. Sapaan tersebut adalah Tau Jawa. Konon awalnya sapaan tersebut memang ditujukan kepada etnik Jawa, karena Tau Jawa secara harafiah memang berarti orang Jawa. Kini, sapaan tersebut tidak hanya berlaku untuk orang Jawa saja, tetapi juga berlaku untuk etnik lain. 89 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.7. Kesenian Desa Watu Hadang bukan hanya dikenal sebagai basis Marapu yang terkenal dengan Raja Umbu Nggiku sebagai pemimpin tertingginya. Adanya kubur batu yang merupakan warisan budaya megalitik juga menjadi penarik perhatian. Selain itu, Desa Watu Hadang khususnya Kampung Pau-Uma Bara, memiliki kesenian kain tenun yang keindahannya diyakini sebagai salah satu yang terbaik di Sumba Timur, bahkan di Provinsi NTT. Hampir setiap pekan, ada wisatawan lokal atau wisatawan mancanegara datang berkunjung dan berburu kain tenun di kedua kampung tersebut. Setiap rumah di kampung Pau-Umabara hampir dipastikan memiliki kain tenun yang siap dijual. Mereka menyimpan kain-kain tersebut dan bergegas mengeluarkannya ketika tahu ada wisatawan datang. Masyarakat akan berduyunduyun keluar dari rumah dan membawa kain-kain cantik untuk ditawarkan kepada wisatawan. Jika wisatawan tersebut berasal dari mancanegara, mereka akan berusaha dengan gigih menawarkan harga kain dengan bahasa Inggris yang terbatabata. Ada sebagian masyarakat yang lebih suka memajang kain tenun mereka di depan rumah, dan berharap wisatawan akan datang mendekat. Menurut seorang Tamu Rambu dari Kampung Pau, dahulu perempuan Sumba harus memiliki kemampuan menenun. Kemampuan tersebut didapatkan dari proses belajar yang keras dan bertahun-tahun lamanya. Kewajiban seorang perempuan dari golongan maramba, salah satunya adalah harus cakap menenun kain. Tamu Rambu sendiri belajar menenun dari ibu dan neneknya sejak usianya masih balita. Dahulu, jika perempuan maramba selesai menenun, maka hasil tenunan tersebut tidak boleh diperlihatkan secara bebas kepada orang lain. Jika proses menenun belum selesai, maka kain tenun tersebut harus ditutup 90 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dengan kain. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kerahasiaan motif-motif Kerajaan Melolo yang rawan ditiru. Lambat laun upaya merahasiakan motif-motif kerajaan sudah tidak mungkin dilakukan. Banyak yang kemudian meniru motif-motif kerajaan, terutama para ata. Tamu Rambu berbesar hati menerima kenyataan tersebut, walaupun motif-motif yang berusia sangat tua hinggar ratusan tahun tetap dijaga sampai sekarang. Motif yang awalnya merupakan milik kerajaan Melolo dan kini menjadi motif khas di kampung Umabara, adalah motif buaya merah (wuya rara), dan motif kura-kura (karangwulangu). Menurut Tamu Rambu, buaya melambangkan kebijaksanaan raja, dan kura-kura melambangkan sifat penyabar, bijaksana, dan dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk21. Kain tenun Sumba, khususnya kain tenun yang dibuat di Kampung Pau-Umabara, Desa Watu Hadang, memiliki beberapa jenis, yaitu hinggi (selimut), lau (sarung), tiara (ikat kepala), dan tamelingu. Kain tersebut dibuat dalam waktu yang lama, sekitar 1 sampai dengan 6 bulan. Lamanya waktu menenun dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu rumitnya motif, dan kesiapan si penenun itu sendiri. Yang dimaksud dengan kesiapan penenun adalah lamanya penenun mampu bertahan untuk menenun setiap harinya. Pekerjaan ini memang membutuhkan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi yang tinggi, karena penenun harus duduk selama berjam-jam lamanya dengan posisi kaki lurus le depan, dan bagian pinggang ditopang oleh kayu. Kayu penopang tersebut berfungsi untuk mempertahankan posisi duduk si penenun agar terus stabil. Ada 2 jenis metode yang dipakai penenun Kampung PauUmabara untuk membuat kain, yaitu metode hikung dan metode ikat. Menurut Tamu Rambu, hikung adalah metode termudah 21 Lihat juga Simpen (2008:123). 91 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dan hampir semua penenun menguasai metode ini. Pola atau motif akan dibuat dulu dengan dibantu oleh batang lidi. Setelah pola atau motif ini selesai, baru kemudian bisa mulai ditenun. Metode yang tersulit adalah tenun ikat. Sesuai dengan namanya, motif atau pola kain akan diikat dengan tali sampai motif yang diinginkan sempurna, baru kemudian ditenun. Karena metode ini termasuk sulit, hanya ada beberapa orang saja yang mampu menguasai dengan baik, dan hampir seluruhnya merupakan generasi tua, termasuk Tamu Rambu sendiri. Gambar 2.4. Pola Hikung yang Terbuat dari Pewarna Alam Sumber: Dokumentasi Peneliti Harga kain hikung berbeda dengan kain ikat. Karena kain ikat memiliki kerumitan yang tinggi, maka harganya lebih mahal. Faktor lain yang mempengaruhi harga kain adalah bahan baku kain dan bahan pewarnanya. Jika benang yang dipakai adalah benang buatan pabrik, maka harga kain akan lebih murah jika dibandingkan dengan benang alam yang dipintal sendiri secara manual. Kini, benang pabrik menjadi bahan yang paling sering 92 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT ditemui karena lebih praktis. Selain bahan baku, bahan pewarna juga menjadi faktor penting. Ada beberapa pewarna alam yang dipakai penenun di Kampung Pau-Umabara, yaitu akar mengkudu, daun nilai, kayu kuning, kemiri, dan lumpur. Akar mengkudu (kombu) akan menghasilkan warna merah, daun nila (wora) akan menghasilkan warna biru, kayu kuning (ai iju) dan kemiri akan menghasilkan warna kuning, sedangkan lumpur (kapihaku) akan menghasilkan warna hitam. Warna-warna tersebut diproses melalui cara yang rumit dan rahasia. Hanya ada 1 orang di Kampung Pau-Umabara yang memiliki kemampuan tersebut, yaitu Apu W. Apu W akan memproduksi benang-benang yang sudah diwarnai di rumah khsusus, dan menjemurnya di rumah khusus juga. Setelah benang-benang tersebut terwarnai dengan sempurna, dia akan menjualnya kepada orang lain sebagai bahan baku. Kemampuannya mengolah warna tersohor sampai ke Kecamatan Rindi, dan keluarga Kerajaan Rindi adalah salah satu pelanggan tetapnya selain keluarga Kerajaan Melolo. Gambar 2.5 Laki-laki Pun Bisa Menenun Sumber: Dokumentasi Peneliti 93 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Jika pada masa lalu yang harus bisa menenun adalah kaum perempuan, maka dewasa ini laki-laki pun tidak ingin kalah untuk menenun. Pengaruh sektor pariwisata yang mulai menggeliat di Desa Watu Hadang membuat laki-laki pun ingin mendapatkan sumber penghasilan dari menenun. Jumlah laki-laki yang bisa menenun memang tidak sebanyak kaum perempuan, dan kebanyakan dari laki-laki tersebut biasanya hanya bisa menenun tanpa bisa membuat pola hikung atau ikat. 2.8. Mata Pencaharian Telah berulang kali disinggung dalam pembahahasan sebelumnya, jika mayoritas masyarakat Desa Watu Hadang bermata pencaharian sebagai petani, peternak, dan penenun. Lahan pertanian yang mereka garap adalah sawah, kebun, dan ladang. Untuk mengolah lahan sawah, pada jaman dulu masyarakat menggunakan kerbau untuk membantu menggemburkan tanah sampai halus sebelum ditanami padi. Cara ini dalam bahasa Sumba disebut padilingu latangu (menginjak-injak sawah). Kini banyak masyarakat yang sudah bergantung pada mesin pembajak atau traktor. Sedangkan untuk mengolah ladang dan kebun pada lahan-lahan kering, masyarakat menggunakan kahonga (tugal), pacul, dan linggis. Untuk sumber pengairan, masyarakat mengandalkan aliran air dari bendungan Sungai Melolo. Dalam beternak, masyarakat memanfaatkan padang savana untuk sumber pakan alami hewan besar seperti kuda, sapi, kerbau, dan kambing. Namun ada juga yang mengikatnya di sekitar rumah atau pemukiman saja. Untuk hewan berukuran kecil seperti ayam, mereka akan mengandangkannya atau mengikat di sekitar rumah saja. Bagi masyarakat, hewan-hewan tersebut bukan hanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga merupakan investasi adat yang sewaktu-waktu dapat 94 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dipergunakan saat acara perkawinan (lii lalei-lii mangoma), acara-acara kematian (lii heda-lii meti) serta acara-acara ritual lainnya. Hal tersebut seperti yang diUtarakan oleh informan MY berikut ini. “Kami masyarakat disini kalau pagi begini kita kasih makan babi sudah, kita piara kalau sudah besar kita pakai untuk urusan adat atau kita jual.” Selain bertani dan beternak, masyarakat juga menggantungkan hidup mereka dari pekerjaan menenun kain, seperti kain hinggi dan lawu. Ada juga sebagian kecil masyarakat yang membuat anyam-anyaman berupa mbola (bakul), mbola pahapa (tempat sirih dan pinang yang digunakan sehari-hari), tanga wahil (tempat sirih pinang untuk disuguhkan kepada para tamu), topu (tikar) dan lain sebagainya. Bahan yang digunakan adalah daun lontar dan daun pandan. Hasil kerajinan itu digunakan juga sebagai peralatan pelengkap dalam acara serta ritual adat, dan dapat juga dijual-belikan untuk menambah penghasilan keluarga. Ketika musim kemarau tiba, beberapa penduduk desa Watu Hadang beralih profesi sebagai penambang pasir dan batu kerikil di sekitar Sungai Melolo. Pekerjaan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, karena kaum perempuan ikut bekerja menambang juga. Harga jual pasir serta permintaan yang tinggi di pasaran, menjadi daya tarik tersendiri. Pada akhirnya mereka pun memutuskan untuk ikut menambang, karena lebih mudah mendapatkan uang. Menurut mereka, pekerjaan menambang lebih menjanjikan dari pada pekerjaan menenun kain. “Tenun menghasilkan uang juga, tetapi kumpul batu bisa cepat mendapatkan uang memang, kalo tenun bisa dalam hitungan bulan baru mendapatkan uang tetapi 95 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kalau mengumpulkan batu dalam hitungan minggu saja sudah dapat uang.” Mereka mengambil batu dan pasir di tepian sungai, dan di kedalaman sungai dengan cara berenang dan menyelam. Pasir dan batu dikumpulkan sampai jumlahnya cukup banyak untuk dijual kepada pembeli. Satuan berat untuk batu dan pasir tersebut adalah ret. Satu ret pasir dihargai Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 250.000,- sedangkan batu kerikil berkisar Rp. 900.000,00 per ret. Pekerjaan mengumpulkan pasir dan kerikil bisa dilakukan secara individu atau secara kelompok. Jika dilakukan sendiri, maka waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan pasir atau kerikil dalam jumlah banyak akan lama. Jika dilakukan secara berkelompok, pekerjaan akan lebih cepat namun hasil dari penjualan pasir atau kerikil tersebut harus dibagi sesuai dengan jumlah anggota kelompok. Hal ini seperti yang diceritakan oleh WH. “Saya ini kumpul batu atau kerikil 1 orang saja. Kami mengumpulkan batu masing-masing, dan kalau muat ke oto (truk), baru kami sama-sama (angkat). Dalam 1 minggu bisa menghasilkan uang sekitar 600.000,- karena bisa mengumpulkan batu 3 ret”. Setelah memperoleh penghasilan, kesulitan yang dihadapi beberapa orang informan yang kami jumpai adalah mengelola penghasilan tersebut. Tidak jarang penghasilan tersebut sebagian besar habis untuk hal-hal di luar kebutuhan pokok keluarga (sembako). Sering kali penghasilan tersebut digunakan untuk membeli minuman keras (peci), untuk diminum bersama-sama dengan teman atau rekan kerja. Selebihnya baru digunakan untuk membeli sembako. Hampir tidak ada informan yang dengan sengaja mengalokasikan penghasilannya untuk pendidikan anak-anak mereka. Padahal, alokasi untuk pendidikan 96 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT tetap diperlukan mengingat pemerintah hanya menggratiskan uang bulanan saja, tetapi tidak dengan kebutuhan lainnya. Hal yang menarik adalah, beberapa informan lebih rela menjual ternak untuk membiayai urusan adat atau menyumbang, daripada menabung. “Kita orang sumba tidak pernah simpan di bank, karena dapat ini hari, habis ini hari. Kita orang sumba banyak keperluan, belum acara adat seperti perkawinan, penguburan orang mati, kita harus sumbang, jadi tidak sempat untuk menyimpan di bank. Macam kemarin pak, penguburan sana kita bawa kuda, kita potong babi lagi yang harga 4 juta, kita sumbang, nanti kita dibalas kalo ada acara lagi.” Selain kesulitan mengalokasikan dana untuk pendidikan, sebagian besar informan juga tidak terbiasa mengalokasikan dana untuk biaya kesehatan, dengan alasan ada kartu Jamkesmas yang mereka miliki. 2.9. Teknologi dan Peralatan Di tengah gempuran modernisasi, masyarakat Desa Watu Hadang masih mempertahankan peralatan tradisional yang merupakan teknologi warisan budaya nenek moyang. Peralatan tenun tradisional, adalah bagian dari teknologi masyarakat Sumba yang sarat akan nilai budaya tinggi. Adapun nama alatalat tenun yang digunakan oleh penenun di desa watu hadang adalah sebagai berikut. 1) Piapang adalah alat yang digunakan untuk menggulung benang menjadi gumpalan benang 2) Kindi, yaitu alat yang terbuat dari kayu atau bambu yang digunakan untuk memintal benang 97 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3) Wanggi pamening, yaitu kayu yang dibentuk persegi, digunakan untuk menyelipkan benang-benang-benang yang akan menjadi pola pembuatan sarung 4) Wanggi pahikung, alat ini digunakan untuk membentuk motif-motif tenunan yang diinginkan 5) Liu, merupakan alat yang terbuat dari kayu yang dilapisi bahan empuk (gumpalan kapas/bantal) yang dijadikan sandaran belakang dalam menenun. Dalam ritual Marapu, selain memanfaatkan hewan untuk kurban, ada peralatan yang tidak boleh ditinggalkan. Adapun alat-alat upacara pelengkap yang dipakai dalam berbagai ritual Marapu, antara lain: 1) Topu, tikar terbuat dari anyaman daun arena tau daun lontar, digunakan untuk alas duduk ketika melakukan upacara 2) Mbuala, anyaman daun lontar semacam keranjang besar untuk menyimpan kain-kain yang dipersiapkan untuk upacara 3) Mbuala hapa, anyaman daun lontar berupa kotak tempat sirih pinang wanita 4) Kalumbutu, anyaman daun lontar berupa tas tempat sirih pinang pria 5) Kaba ri, mangkuk terbuat dari tempurung kelapa, wadah lauk pauk makanan yang berair 6) Kaba wai, tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa 7) Tobungu, wadah semacam piring terbuat dari kayu 8) Pahiki, guci keramik wadah tuak untuk sesaji 9) Kahidi, pisau untuk mengerat emas atau perak, memotong ayam untuk kepentingan upacara keagamaan 98 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT 10) Kabela, parang besi yang digunakan untuk memotong hewan kurban besar seperti kuda atau kerbau 11) Nimbu, tombak besi yang digunakan untuk meramalkan suatu kejadian pada upacara keagamaan 12) Nggutingu, gunting yang digunakan pada upacara potong rambut 13) Ngohungu, lesung kayu yang digunakan pada upacara panen 14) Wuru, periuk tanah liat yang digunakan untuk membawa air atau memasak 15) Katanga, tali kendali kuda yang digunakan pada upacara kematian 16) Kabangu, peti mati terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. 99 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 100 BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DI DESA WATU HADANG Pada bab ketiga ini, kami akan menuliskan temuantemuan terkait dengan budaya KIA, budaya perilaku bersih dan sehat (PHBS), serta penyakit menular dan tidak menular yang ada di Desa Watu hadang. 3.1. Budaya KIA Provinsi NTT sejak tahun 2009 telah mencanangkan Revolusi KIA sebagai upaya untuk mengubah wajah kesehatan ibu dan anak yang masih saja buram di NTT. Upaya revolusioner ini berdasarkan pada Pergub NTT No 42 Tahun 2009. Sedangkankan untuk Kabupaten Sumba Timur, Revolusi KIA berpayung hukum pada Perda Nomor 3/2011. Tujuan besar Revolusi KIA tercantum dalam definisi operasional Revolusi KIA yaitu; “Upaya yang sungguh-sungguh untuk percepatan penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara yang luar biasa”.22 Indikator-indikator keberhasilan Revolusi KIA terbagi menjadi Indikator Keberhasilan Antara, dan Indikator Keberhasilan Akhir. Kedua indikator ini secara garis besar 22 Di kutip melalui hasil presentasi Kadinkes Prov. NTT, Dr. Stefanus Bria Seran “Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT. PresentasI Nasional IV: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia”, Kupang, 4 September 2013 101 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bertujuan untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dan ingin menurunkan jumlah kematian bayi dan ibu melahirkan23. Upaya tersebut dilakukan secara masif dengan melibatkan kerja sama di lintas sektor, termasuk kemitraan antara bidan dan dukun terlatih. Kemitraan tersebut diyakini sebagai salah satu langkah strategis untuk menekan jumlah kematian ibu dan bayi, karena untuk wilayah Kabupaten Sumba Timur, dukun masih dipercaya masyarakat untuk menangani ibu hamil24. Mengapa perlu membahas Revolusi KIA? Revolusi KIA adalah terobosan revolusioner di Provinsi NTT untuk mendukung KIA agar jauh lebih baik, tidak terkecuali di Kabupaten Sumba Timur. Dari data yang tercatat tentang jumlah persalinan, jumlah kematian ibu, dan kematian bayi di Sumba Timur pada tahun 2011-2012, diperoleh keterangan jika jumlah kematian ibu dalam kurun waktu 2011-2012 mengalami penurunan yang signifikan, tetapi tidak dengan jumlah kematian bayi yang ternyata justru merangkak naik. Jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan pun mengalami peningkatan. Hal tersebut akan tergambar dalam Tabel 3.1 berikut ini25. 23 Berdasarkan hasil presentasi Kadinkes Prov. NTT, Dr. Stefanus Bria Seran “Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT. PresentasI Nasional IV: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia”, Kupang, 4 September 2013 24 Sesuai dengan hasil wawancara bersama Kadinkes Sumba Timur Di kutip melalui hasil presentasi Kadinkes Prov. NTT, Dr. Stefanus Bria Seran “Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT. PresentasI Nasional IV: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia”, Kupang, 4 September 2013 25 102 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tabel 3.1. Jumlah Persalinan Faskes dan Non Faskes di Kabupaten Sumba Timur Tahun 2011-2012 Tahun Jumlah Persalinan Non Faskes Faskes Total 2011 1.411 3.638 5.049 2012 769 3.838 4.608 Sumber: Dinas Kesehatan Sumba Timur, 2012 Tabel 3.2. Jumlah Kematian Ibu dan Kematian Bayi di Kabupaten Sumba Timur Tahun 2011-2012 Tahun Kematian Ibu 2011 20 2012 2 Tahun Kematian Bayi 2011 56 2012 85 Sumber: Dinas Kesehatan Sumba Timur, 2012 Untuk Kabupaten Sumba Timur, upaya mewujudkan Revolusi KIA dengan mengurangi AKI dan AKB diwujudkan dengan beberapa program yang kolaboratif dari lintas sektor26. Program-program tersebut dijabarkan dalam beberapa langkah, yaitu: 1. Mewajibkan perempuan Puskesmas/Yankes hamil untuk melahirkan di 26 Program-prorgam tersebut dikemukakan oleh Kadinkes Kabupaten Sumba Timur melalui wawancara yang kami lakukan pada tanggal 16 Juni 2014. 103 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2. Mengupayakan tersedianya dokter dan bidan agar pertolongan bukan dilakukan oleh dukun tetapi oleh yankes 3. Kesediaan/pengadaan peralatan medis 4. Kesediaan/pengadaan obat 5. Memperbaiki infrastruktur jalan (bekerja sama dengan Dinas PU) 6. Membatasi jumlah anak (bekerja sama dengan BKKBN) 7. Memperkuat ketahanan pangan. Melalui program yang dijalankan dengan melibatkan sektor lain, diharapkan Revolusi KIA di Kabupaten Sumba Timur akan berjalan sesuai dengan harapan. Tidak dipungkiri, untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai hambatan dijumpai. Salah satu hambatan tersebut muncul dari perbedaan sudut pandang antara masyarakat dan pelaksana program dalam memahami kesehatan ibu dan anak. Bab ini akan coba memotret bagaimana gambaran perbedaan sudut pandang tersebut, dan juga akan memotret gambaran tentang PHBS, persepsi masyarakat terhadap fasilitas kesehatan, serta potret mengenai penyakit menular dan tidak menular. 3.1.1. Pra Hamil 3.1.1.1. Remaja dan Reproduksi Pengetahuan tentang Kesehatan Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa-masa tersebut, teman sepermainan atau lingkungan berperan besar terhadap pengetahuan yang mereka dapatkan. Tidak terkecuali pengetahuan tentang kesehatan reproduksi mereka. Dalam topik kesehatan reproduksi ini, ada 2 orang remaja perempuan berusia sekitar 18 tahun (RD dan M) dan 1 orang remaja laki-laki berusia 18 tahun (FNJ), yang menjadi informan utama dan bersedia menceritakan pengalamanpengalaman pribadinya. 104 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang diperoleh 3 remaja di atas, ternyata banyak didapatkan dari orang yang lebih tua dan teman-teman sepermainan mereka. Hal tersebut dikarenakan bertanya mengenai kesehatan reproduksi kepada teman yang lebih tua usianya akan terasa lebih nyaman, karena mereka bisa saling bercerita dan berbagi pengalaman secara terbuka. Ketika bercerita dengan suasana santai, mereka bisa saling menanyakan masalah yang bersifat pribadi seperti masalah menstruasi, kebersihan saat menstruasi, tentang mimpi basah, dan hal yang bersifat pribadi lainnya. Menjelang menstruasi, 2 remaja perempuan yaitu RD dan M, biasanya mempunyai keinginan untuk makan makanan yang bercita rasa pedas. Salah satu permasalahan yang datang pada saat menstruasi tiba adalah rasa sakit di bagian perut. Remajaremaja tersebut tidak memiliki kiat khusus untuk mengurangi rasa sakit, misalnya seperti meminum ramuan tradisional. Mereka membiarkan rasa sakit tersebut berlalu begitu saja, dan mencoba melakukan aktivitas seperti hari-hari biasanya. Pemakaian pembalut saat menstruasi sudah lazim dilakukan oleh remaja-remaja tersebut, dan biasanya mereka membeli pembalut di kios atau toko terdekat. Setelah dipakai, mereka akan mencucinya terlebih dahulu sebelum dibuang di pekarangan. Biasanya mereka akan membungkus pembalut yang telah dicuci dengan memakai kertas atau plastik berwarna gelap. Dari informasi yang diperoleh dari mereka, ternyata masih dijumpai adanya kebiasaan memakai kain untuk menampung darah menstruasi. Menurut mereka, yang terbiasa memakai kain untuk menampung darah menstruasi adalah perempuan yang tinggal di perkampungan yang jauh, yang mereka gambarkan dengan sebutan di atas bukit. Lembaga pendidikan formal seperti sekolah setingkat SMP dan SMU, ternyata juga memberikan kontribusi terhadap 105 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pengetahuan reproduksi pada remaja. Pengetahuan tersebut diperoleh dari mata pelajaran biologi yang diajarkan guru. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh RD berikut ini. “Kami di sekolah juga mendapatkan pelajaran tentang reproduksi pada pelajaran biologi kak... Ibu guru memberikan materi mengenai alat reproduksi laki-laki dan perempuan serta tanda-tanda puberitas pada remaja, akan tetapi teman-teman mendengarkannya sambil lalu saja.” Biasanya ketika remaja putri mendapatkan haid pertama, mereka merasa panik dan ketakutan. Orang pertama yang akan mereka beri tahu biasanya adalah ibu mereka, yang kemudian akan memberikan nasehat agar anak perempuannya mampu menjaga diri dari pergaulan bebas karena fungsi alat reproduksi mereka sudah berubah. Pergaulan yang salah dengan lawan jenis, bisa berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan, atau kehamilan di luar nikah. RD bercerita jika dia pertama kali mendapatkan menstruasi ketika baru duduk kelas satu SMP. Sedangkan orang yang pertama kali dia beritahu adalah mamanya. Kala itu RD juga menerima nasehat dari sang mama ketika mendapatkan menstruasi yang pertama. “Ko sudah besar dan harus bisa menjaga diri sampai waktunya ko menikah nanti. Ko boleh berteman dengan laki-laki tapi harus bisa jaga diri.” Pubertas pada perempuan ditandai dengan menstruasi, secara fisik ditandai dengan payudara yang mulai membesar, tumbuh rambut di bagian ketiak serta sekitar vagina, tubuh bertambah tinggi dan besar dalam waktu singkat, munculnya jerawat, serta bau badan yang “khas” seperti orang dewasa. Untuk remaja laki-laki, pubertas ditandai dengan datangnya mimpi basah. Ketika remaja laki-laki sudah mendapatkan mimpi 106 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT basah, mereka mulai menunjukan ketertarikan dengan lawan jenis. Menurut cerita FNJ, dia mendapatkan mimpi basah ketika duduk di kelas satu SMP. “Kalo mimpi malam bangun pagi begini celana sudah basah semua. kalo sudah ingat mimpi basah kepingin lagi untuk mau buat seperti dalam mimpi. Apalagi kalo musim dingin begini kepingin terus.” Hampir semua anak laki-laki pasti akan mengalami perubahan fisik dan psikis ketika memasuki masa remaja. Kondisi tersebut disebut masa pubertas atau puber. Bukan hanya fisik dan psikis yang mengalami perubahan, fungsi organ seksual mereka juga mulai terbentuk sempurna. Pada umumnya puber terjadi saat mereka berusia antara 10-14 tahun. Dalam usia tersebut hormon diproduksi didalam tubuh yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan fisik, psikis dan seksual. Pada anak laki-laki yang telah memasuki masa puber umumnya akan terlihat dari suara mereka yang menjadi lebih berat dan dalam, otot tubuh mengembang dan dada terlihat lebih bidang. Begitu pula dengan rambut yang mulai tumbuh disekitar lengan, kaki. Organ seksual mereka juga mulai berubah, penis dan testikel akan tumbuh lebih besar. Begitu juga dengan rambut atau bulu kemaluan mulai tumbuh. 3.1.1.2. Pola Makan dan Asupan Gizi Remaja Manusia membutuhkan nutrisi yang berasal dari makanan dan minuman untuk menunjang kesehatan fisiknya. Terlebih saat masih berada pada masa remaja, dimana tubuh masih dimungkinkan mengalami pertumbuhan, dan aktivitas fisik begitu padat. RD dan M bercerita jika apa yang dia makan sehari-hari adalah nasi dengan sayuran atau mi instant. Sayur mayur di tempat tinggal mereka, yaitu Kampung Uma Bara, tidak mudah 107 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dijumpai. Penyebabnya karena di Kampung Uma Bara jarang ada petani yang menanam sayur mayur, sehingga mereka mengaku hanya bisa mengkonsumsi sayur paling tidak hanya 3 kali dalam seminggu yang dibelinya di Melolo atau saat hari pasar saja. Mereka mengaku tidak ada perbedaan pola dan menu makan saat sedang menstruasi atau saat tidak mengalami menstruasi. “Kita jarang makan sayur kak, dalam seminggu paling tiga kali begituna. Itu pun mama harus pergi ke pasar atau ke Melolo untuk ambil sayurnya.” Ada kalanya mereka juga mengkonsumsi ikan segar atau ikan kering ketika memiliki rejeki berlebih. Kebutuhan protein hewani kedua remaja tersebut dan masyarakat di lingkungan mereka tinggal, memang tidak selalu dapat terpenuhi. Ikan segar atau ikan kering hanya dibeli ketika uang mencukupi, sedangkan pemenuhan kebutuhan protein dari daging merah hanya bisa diperoleh disaat-saat tertentu saja, misalnya saat ada pesta atau ritual adat. Sebagian besar pestas, upacara adat atau ritual Sumba (marapu) membutuhkan hewan kurban untuk persembahan. Hewan-hewan tersebut biasanya berupa ayam, babi, atau kuda. Ayam dan babi adalah hewan yang paling sering dipakai, terutama bagi ritual marapu. Hewan kurban tersebut pada akhirnya akan dimakan bersama-sama oleh semua anggota keluarga dan tamu yang diundang. Jadi, salah satu nilai positif dari terselenggaranya pesta atau ritual adat, adalah pada pemenuhan nutrisi masyarakat melalui daging yang dimakan secara bersama-sama. Maka dari itu, disamping hiruk pikuk dan kerepotan luar biasa dari pesta atau ritual adat, ada sejumlah besar masyarakat yang tetap bersemangat untuk terlibat karena berkesempatan untuk bisa merasakan nikmatnya bersantap daging. Kebanyakan masyarakat 108 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT yang diuntungkan adalah masyarakat yang berasal dari golongan ata seperti RD dan M. 3.1.1.3. Interaksi Sosial Antar Remaja Normalnya, masa remaja adalah masa untuk mulai mengenal lawan jenis. Rasa tertarik mulai muncul secara alami, dan pada akhirnya jika rasa tertarik tersebut juga bersambut baik, hal yang kemudian terjadi adalah pacaran. Pacaran pada usia remaja sering disebut dengan cinta monyet, yang sebenarnya hanya ungkapan untuk perasaan cinta yang tidak serius atau sekedar main-main saja. Tetapi terkadang, perasaan cinta yang tidak serius atau main-main saja tersebut, berakhir dengan kehamilan di luar nikah. Ada beberapa kasus dimana sepasang remaja laki-laki dan perempuan yang duduk di bangku SMU, harus menikah dini atau harus keluar dari sekolah karena terlibat hubungan yang terlalu jauh, sehingga berbuah pada kehamilan si remaja perempuan27. Pada umumnya, orangtua memang melarang anak-anaknya berpacaran ketika masih duduk di bangku sekolah. Namun masa remaja juga masa dimana sifat keingintahuan dan sifat ‘membangkang’ terhadap aturan-aturan mulai muncul. Hal tersebut digambarkan oleh RD dan M ketika bercerita tentang pengalaman teman-temannya yang harus berpacaran dengan sembunyi-sembunyi. RD dan M bercerita jika saat-saat dimana kebanyakan remaja berpacaran adalah ketika jam pelajaran sekolah usai, atau di saat sore hari setelah pulang dari sekolah. Tanpa sepengetahuan orangtua, mereka akan menuju tempat yang sepi seperti bukit atau kebun untuk memadu kasih. 27 Ada 3 kasus yang kami temui, dan semuanya terjadi pada saat mereka masih duduk di bangku SMU. Sepasang remaja akhirnya menikah, 2 pasang lainnya harus berpisah karena orangtua dari masing-masing pihak tidak menyetujui adanya pernikahan. 109 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Menurut RD, banyak dari mereka yang pada akhirnya melakukan hubungan seks dan pada akhirnya hamil karena perilaku tersebut. Seorang teman RD yang bernama FNJ, menceritakan pengalaman saat dia berpacaran. “Awalnya kalo pas pulang sekolah kita cari tempat sepi, di gunung-gunung begituna atau di padang baru kita pagang-pegang dan raba-raba. Kalo tidak pas malammalam, lewat HP kita janjian untuk keluar rumah pi tempat yang sepi.” Karena gaya pacaran yang bebas, banyak remaja yang pada akhirnya hamil di luar nikah. RD bercerita jika ada 20 teman sekolahnya yang mengalami hal tersebut. “Teman-teman di sekolah banyak yang hamil diluar nikah. Tahun ini ja ada 20 teman kami yang hamil, bahkan ada yang besok ujian hari minggunya melahirkan. Dan teman saya itu ikut ujian hari seninnya. Di sekolah guru tidak bisa kasih larang soalnya ada peraturan baru tentang perlindungan anak kak... tidak boleh melarang atau mengeluarkan murid yang sedang hamil. Jadi teman-teman yang hamil dan melahirkan tetap sekolah.“ Petugas Puskesmas mengaku telah berusaha memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan bahaya hubungan seks di luar nikah. Tetapi tampaknya usaha tersebut belum berhasil menurunkan angka kehamilan di luar nikah pada remaja. Budaya Sumba sebenarnya telah mengatur tata krama hubungan antar lawan jenis. Salah satunya adalah aturan adat dimana lakilaki tidak boleh berkunjung ke rumah perempuan dalam jika si perempuan dalam keadaan seorang diri. Harus ada orang lain yang berada di rumah si perempuan. 110 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Hal tersebut sebenarnya upaya untuk mencegah hal negatif yang kemungkinan bisa muncul, jika si perempuan berada seorang diri di rumah sementara ada laki-laki yang berkunjung. Perempuan juga tidak diperbolehkan keluar rumah seorang diri pada malam hari karena dianggap tidak aman. Hal tersebut diceritakan oleh bapak RJ. “Kalo adat Sumba yang betul itu melarang anak putri pergi malam sendirian. Kalo pun pergi malam harus ada yang menemani laki-laki atau perempuan untuk menajaganya. Tujuannya biar aman gadis itu. Umbu tidak boleh main ke rumah rambu malam hari. Tapi anak-anak sekarang lain dan berani semua. tapi ya... bagaimana lagi zamannya lain tidak seperti dulu...” Dahulu ketika adat masih sangat berpengaruh, perilaku seperti di atas konon mendapat sanksi tegas berupa hukuman fisik, baik untuk si laki-laki atau si perempuan. Kini, sanksi yang bisanya diberikan adalah berupa denda hewan atau barang yang dibebankan kepada pihak laki-laki. Jika hubungan yang membuahkan kehamilan tersebut direstui oleh orangtua kedua belah pihak, maka pernikahan adalah jalan keluar yang ditempuh. Pernikahan bisa dilakukan secara adat atau secara agama (upacara gereja). Tetapi jika hubungan tersebut tidak direstui, yang dirugikan adalah si perempuan yang terlanjur mengandung, karena pada akhirnya si bayi yang dilahirkan tidak memiliki sosok ayah, dan si perempuan akan menjadi orangtua tunggal di usia yang masih sangat muda. RD, M, dan FNJ adalah sosok remaja Desa Watu Hadang yang mengenyam pendidikan SMU, suatu jenjang pendidikan yang tergolong tinggi jika dibandingkan rata-rata masyarakat 111 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Desa Watu Hadang yang hanya lulus SD28. Di sekolah, mereka mendapatkan wawasan tentang penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS. Sama halnya dengan pengetahuan tentang reproduksi, pengetahuan tentang HIV/AIDS juga didapatkan dari mata pelajaran biologi. Secara teori, mereka mengetahui jika HIV/AIDS adalah penyakit berbahaya yang dapat ditularkan dari perilaku seks bebas. Sebagai penganut Kristiani, mereka juga mengetahui bahwasanya perilaku seks bebas tidak diperbolehkan dalam ajaran agama mereka. Kehamilan yang tidak diinginkan dan tertular HIV/AIDS adalah risiko yang bisa didapatkan jika melakukan seks bebas. Tetapi pada kenyataannya, risiko-risiko tersebut sulit untuk membuat perilaku tersebut dihindari. Misalnya seperti pengalaman yang diceritakan oleh FNJ. “Awalnya kami berpacaran ke tempat-tempat yang sepi, terus berpegangan tangan dan cium-ciuman dan saya pegang-pegang dia punya payudara. Saya juga melakukan hubungan seks dengan pacar saya. Kita melakukannya di tempat yang sepi seperti kebun atau bukit begitu.” RD bercerita tentang pengalaman seorang temannya yang tengah hamil di luar nikah. Ketika usia kehamilannya menginjak 3 atau 5 bulan, kedua orangtuanya tidak mengetahui kehamilan tersebut. Suatu saat kehamilan si gadis terbongkar oleh kedua orangtuanya, dan akibatnya si gadis pun mendapatkan murka. Setelah diketahui siapa ayah dari bayi yang dikandung putrinya, orangtua si gadis mengutus seorang wunang (juru bicara adat) untuk datang ke pihak keluarga laki-laki yang yang merupakan ayah si bayi. 28 Lihat data tabel pendidikan berdasarkan RPJM-Desa Watu Hadang pada bab II 112 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tujuan kedatangan tersebut adalah untuk menyampaikan pesan atau lua pa pangga, yaitu kunjungan pihak perempuan kepada pihak laki-laki untuk mengecek kesiapan pihak keluarga laki-laki terkait masalah perkawinan. Pola perkawinan yang ideal dalam masyarakat Sumba adalah perkawinan antar sepupu, yaitu antara laki-laki dengan perempuan, yang merupakan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dan sebagian besar merupakan perjodohan yang telah diatur oleh orangtua29. 3.1.1.4. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Potret kesehatan selanjutnya adalah tentang pengalaman MP (30 tahun) dan sang suami (35 tahun), yang menanti kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangga mereka. Anak adalah anugerah yang dinanti oleh setiap orang yang telah membina hubungan rumah tangga. Hadirnya seorang anak dapat memperkuat jalinan kasih antara suami dan istri, selain itu hal yang terpenting dari kehadiran seorang anak dalam keluarga Sumba adalah dapat melanjutkan garis keturunan dari suatu klan atau kabihu. Tidak heran, bagi pasangan suami istri yang belum mendapatkan keturunan, mereka akan menempuh berbagai usaha untuk mewujudkan keinginannya. MP pun demikian. Usahanya untuk bisa mendapatkan keturunan memang belum membuahkan hasil, tetapi dia dan suami terus berupaya. Salah satu cara yang ditempuh MP dan suaminya untuk mendapatkan keturunan adalah dengan meminta bantuan dukun penyembuh. MP dan sang suami telah datang ke 11 dukun yang berbeda untuk mengupayakan agar dirinya bisa mengandung. Dukun yang pernah ditemuinya, ada yang memberikan air putih dan ramuan tradisional untuk diminum. Sayangnya ramuan 29 Perkawinan yang ideal menurut budaya Sumba, telah dibahas pada bab II, dalam sub-bab Sistem Kekeraban. 113 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tradisional yang dipercaya dukun dapat membuatnya hamil, tidak dapat dilacak apa kandungan di dalamnya. Selain ramuan tradisional dan air putih, ada juga dukun yang memijat bagian perut MP. Pijatan yang dilakukan dukun difokuskan pada area rahim MP, tujuan pemijatan tersebut adalah untuk memperbaiki posisi rahim yang kemungkinan salah. Posisi rahim yang salah membuat kehamilan yang diinginkan pun sulit diperoleh, begitulah sudut pandang dukun. Usaha tanpa kenal putus asa telah dilakukan MP, namun MP menyayangkan satu hal, suaminya tidak melakukan pengobatan seperti yang telah dia lakukan. “Pengobatan yang sudah saya lakukan selama 1o tahun untuk mendapatkan keturunan adalah dengan pergi ke dukun. Saya sudah mendatangi 11 dukun dari dalam atau luar desa Watu Hadang. Ada yang memberi ramuan tradisional, ada juga yang berupa pijat saja. Setiap keluarga dan orang yang menyarankan, saya usahakan untuk pergi berobat sesaui dengan saran dukun yang mereka anjurkan. untuk mendapatkan kehamilan tidak ada yang pernah saya abaikan dan saya langsung mencari rumah dukun yang disarankan tadi. Dengan diantar suami saya pergi ke dukun-dukun tersebut. tetapi saya sendiri yang selalu melakukan pengobatan selama ini mbak.” Suami MP tidak bersedia melakukan pengobatan seperti yang telah MP lakukan, karena dia mengira jika MP lah yang memiliki masalah kesuburan atau masalah kandungan. Sedangkan dirinya, sehat tanpa masalah apapun. “Suami saya hampir tidak pernah melakukan pengobatan, soalnya suami mengira kalau yang bermasalah dengan kandungan adalah saya. Untuk berobat ke Puskesmas saya belum pernah sama sekali. Saya malas karena harus antri banyak dan tidak ada 114 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT waktu untuk itu. Suami pun selalu menolak kalau saya mengajak periksa bersama-sama di Puskesmas jadi saya cenderung pergi ke dukun-dukun tradisional untuk mendapatkan kehamilan.” MP yakin jika titik permasalahan bukan hanya ada pada dirinya, karena MP pun mengeluh jika selama ini sperma suaminya begitu encer saat melakukan hubungan seksual. Dia berpikir tentang adanya kemungkinan jika suaminya pun bisa menjadi titik permasalahan. “Saya melakukan hubungan seks sesuai dengan kebutuhan suami terkadang dalam seminggu 3x, tetapi ketika saya melakukan hubungan seks tersebut air mani suami encer sekali dan tidak bisa masuk. Itu air mani selalu keluar lagi mbak, mungkin itu yang membuat saya tidak bisa hamil-hamil sampai sekarang ini.” Keluarga besar dari MP dan suaminya tidak hanya tinggal diam melihat keadaan mereka. Saudara dan kerabat banyak membantu dalam hal informasi tentang dukun yang bisa mereka datangi. Selain itu MP dan suaminya juga disarankan untuk melakukan upaya ‘pancingan’, yaitu dengan mengangkat anak yang masih berhubungan saudara dengan mereka. Tujuannya agar si anak angkat dapat ‘memancing’ atau menstimulus lahirnya anak kandung, dari rahim MP sendiri. Jika pada akhirnya nanti MP dan suaminya diberikan keturunan, mereka akan menerima apapun jenis kelamin dari si anak. Hal yang terpenting, anak tersebut dilahirkan dalam keadaan sehat dengan anggota badan yang sempurna. “Keluarga kemarin menyarankan untuk mengambil anak angkat. Ini saya sudah punya putri, kedua orang tuanya meninggal dan saya ambil untuk dijadikan sebagai anak. Sekarang putri sudah kelas 2 SD, dia sudah saya anggap seperti anak sendiri karena sejak kecil kami rawat.” 115 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Suami MP yang bermata pencaharian sebagai seorang petani adalah mantan perokok. MP bercerita jika kini sang suami berhenti merokok setelah dia tidak kunjung hamil juga. Satu hal yang belum bisa hilang adalah kebiasaan sang suami meminum peci (minuman keras tradisional) hingga saat ini. “Suami saya waktu mudanya kuat minum peci dan merokok. Suami baru mulai mengurangi minum dan merokok ketika saya berumah tangga lama dan belum hamil-hamil. Sekarang ini suami masih minum peci seminggu sekali saja. Akan tetapi jika tidak ada uang suami tidak minum mbak. Untuk merokoknya sudah berhenti total. Sampai saat ini suami saya tidak merokok sama sekali. Meskipun dia sayang sekali sama putri tetapi dia masih mengharap saya bisa punya anak sendiri atau hamil begitu mbak...” Tidak hanya melakukan pengobatan ke dukun, atas saran seorang tetangga, MP dan suaminya juga berupaya mengkonsumsi makanan yang dipercaya dapat menambah kesuburan, yaitu tauge. Tauge tersebut berasal dari biji kacang kedelai yang dibiarkan berkecambah atau muncul akar di bagian bijinya. Biasanya mereka membuat sendiri tauge tersebut, karena sulit sekali untuk mendapatkan tauge di pasaran. “Supaya saya dan suami sehat dan bisa punya anak, tetangga kemarin menyarankan untuk makan sayur tauge. Itu juga saya lakukan mbak.. saya bikin sendiri dari kacang hijau. Kita mau beli.., beli dimana..?? pasar di Melolo ini hanya dua hari saja, itu pun tidak semua sayur ada mbak... tidak seperti di tempat mbak Jawa begituna..” Berdasarkan kandungan gizinya, ternyata tauge dapat membantu meningkat kesuburan, karena tauge 116 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mengandung vitamin A, C dan E. Kandungan gizi tauge tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut30. 1. Meningkatkan kesuburan Kandungan vitamin E membantu mengurangi gangguan pra-menstruasi, keluhan menstruasi, pra-menopouse dan akibat monopause. 2. Mencegah penyebaran sel kanker Senyawa genistin akan bekerja lebih efektif ketika sudah berbentuk benih kecambah dan akan menekan kanker. Genestin akan bekerja secara aktif menghambat pasokan makanan bagi sel-sel kanker sehingga mati. 3. Menjaga dan meningkatkan pencernaan keasaman lambung. Banyak serat dan air yang dapat mendorong limbah drainase di usus besar untuk menghindari bibit kanker tumbuh. Touge membantu mengalirkan kotoran diusus besar dan ini merupakan kekuatan ganda tauge dalam memerangi kanker. Dengan mendorong kotoran yang dapat diserap oleh tubuh. Hal ini dapat mencegah pengendapan zat beracun. 3.2. Hamil 3.2.1. Masa Kehamilan Kehamilan adalah suatu peristiwa dimana terdapat suatu kehidupan di dalam rahim seorang perempuan. Secara kodrati, yang dapat dianugrahi kehamilan adalah kaum perempuan. Lahirnya anak yang sehat seharusnya bermula dari proses kehamilan yang sehat juga. Maka dari itu, perempuan hamil 30 tjoretan-akoe.blogspot.com/2013/10/7-manfaat-tauge-bagi-kesehatan.html 117 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 harus menjaga kesehatan dirinya sendiri dan kesehatan bayi yang dikandungnya. Bayi yang terlahir sehat, dapat tumbuh dengan sehat dan dapat melanjutkan garis keturunan dari klan atau kabihu mereka. Perempuan hamil diyakini sebagai manusia yang mudah untuk diganggu oleh kekuatan-kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut bisa datang dalam rupa gangguan suanggi, hantu yang tinggal di tempat-tempat tertentu, atau dalam bentuk sakit atau penyakit yang berasal dari angin (ngilu). Oleh karena itu, perempuan hamil sebaiknya tidak keluar pada saat malam hari, karena berbagai gangguan-gangguan yang telah disebutkan tadi akan keluar pada saat malam hari tiba. Jika memang terpaksa harus keluar rumah pada saat malam hari, mereka akan membawa benda-benda untuk menjaga diri dan bayi dalam kandungan mereka. Benda-benda tersebut berupa gunting yang disimpan di dalam saku, dan paku yang diselipkan di ikatan rambut mereka. Benda-benda tersebut dipercaya mampu membuat takut mahkluk-mahkluk yang berniat jahat. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh DS ketika dia hamil, dan dilakukan oleh RF yang hingga riset ini usai pada awal bulan Juli, masih mengandung dengan usia kandungan 8 bulan. Perempuan hamil yang memeluk agama Marapu memiliki tradisi khusus untuk mendoakan keselamatan bayi yang dikandungnya. Tradisi ini dipercaya akan menjauhkan ibu dan anak yang dikandungnya dari gangguan penyakit atau mahkluk gaib. Tradisi tersebut bernama Pamandungu yang biasanya dilakukan ketika usia kehamilan 2 bulan, 4 bulan atau 6 bulan31. Karena tradisi tersebut adalah tradisi Marapu, maka hanya perempuan hamil yang masih memeluk agama Marapu saja yang menjalankannya. 31 Ritual Pamandungu dibahas lebih lengkap pada bab II, Sub-bab Kehamilan dan Kelahiran. 118 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Perempuan hamil yang sudah memeluk agama lain seperti Kristen, hanya melakukan doa secara Kristen dengan memanggil pendeta. DS masih memeluk agama Marapu ketika mengandung anak pertama dan keduanya, dan keduanya didoakan dengan ritual Pamandungu. Ketiga DS mengandung anak ketiga, dia dan suaminya sudah memeluk Kristen sehingga ritual Pamandungu tersebut diganti dengan doa secara Kristen. Berbeda dengan RF yang sampai kehamilannya yang ke 6, dia masih memeluk agama Marapu dan melakukan ritual Pamandungu. DS (32 tahun) berasal dari golongan ata. DS memiliki kios kelontong serta beberapa ekor hewan seperti babi, kuda, dan sapi. Secara ekonomi, keluarga DS tergolong sebagai keluarga yang berkecukupan secara finansial. Dalam keadaan hamil, DS tetap menjaga kios dan melayani pembeli. Setiap hari dia tetap bangun pagi untuk memasak, membersihkan rumah, dan merawat serta memenuhi kebutuhan kedua anaknya sebelum pergi ke sekolah. Sedangkan sang suami akan mengurus hewanhewan peliharaan mereka. Sampai menjelang melahirkan pun DS tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasanya, kecuali mencuci baju dan mengangkat air yang sudah tidak sanggup lagi dia kerjakan ketika perutnya semakin membesar. Pekerjaan mencuci dan mengangkat air tersebut akhirnya dilakukan oleh sang suami dengan kesadaran sendiri. Di tengah kesibukannya melakukan pekerjaan rumah tangga, DS sering kali lupa untuk makan dengan segera. Kadang kala dia melewatkan sarapan pagi, dan baru akan makan ketika badannya sudah terasa lemah dan keringat dingin bercucuran. Sering kali dia makan nasi putih dengan sambal. Hal tersebut bukan karena dia tidak mampu membeli sayur atau ikan, tetapi karena kedua bahan makanan tersebut memang relatif sulit untuk didapatkan. Jika beruntung, dia akan menjumpai penjual 119 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tempe, sayur, dan ikan yang menjajakan ikan dagangannya di kampung. Dia akan membeli beberapa papan tempe, beberapa ikat sayur, dan beberapa ikat ikan untuk kebutuhan lauk selama 1 hari. Jika sedang tidak beruntung, dia akan makan dengan nasi panas dan sambal pedas yang juga tetap menggugah selera makannya. Sementara anak-anak dan suaminya tidak keberatan jika harus makan dengan nasi dan mi instant. DS mengaku rutin memeriksakan kandungannya kepada bidan desa ketika Posyandu. Dia juga rajin meminum kapsul penambah darah yang diberikan bidan desa untuknya. DS mengaku tidak meminum ramuan tradisional apapun untuk menyehatkan kandungannya, dia lebih suka meminum air doa yang dia minta dari salah satu tokoh masyarakat di kampung. Air doa tersebut adalah air mentah yang didoakan secara Kristen oleh seseorang yang dipercaya memiliki kemampuan supranatural. Orang tersebut tidak bersedia disebut dukun, dia lebih suka disebut ahli spiritual. Menurut DS, air doa tersebut akan membantu menjaga kesehatan dirinya dan bayi dalam kandungannya, serta menjauhkan dari pengaruh buruk mahkluk gaib. Air doa tersebut hanya diminum sewaktu-waktu saja, jika DS merasa perlu saja. Air tersebut tidak disimpan dalam botol atau wadah tertentu, karena air tersebut akan diminum langsung di tempat orang yang mendoakan dan langsung dihabiskan saat itu juga. Jarak rumah DS dan si ahli spiritual yang hanya 20 meter, memungkinkan DS datang dan meminta air doa kapan saja. “Saya minum itu air doa yang didoakan oleh Pak A. Dia bisa itu... doa-doa menurut orang Kristen, tapi sebenarnya dia kan Katolik, tapi sama saja to.. Itu kan air doa supaya nanti saya dan adek (anak dalam kandungan) sehat, tidak ada (gangguan) apa-apa.” 120 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Suatu ketika DS mengalami musibah, saat hendak mandi DS terpeleset dan jatuh di kamar mandi. Meskipun semua bagian tubuh dan kandungannya tidak terasa sakit tetapi dia khawatir jika terjadi sesuatu hal yang buruk. Maka DS memanggil seorang dukun bayi terlatih untuk mengurut kandungannya. Dukun MH yang masih bertetangga dengan DS dipanggil dan memeriksa kandungan DS. Dukun MH khawatir posisi bayi akan bergeser, maka dia mengurut perut besar DS dengan minyak yang terbuat dari akar-akar tumbuhan. Seperti biasa, tidak diketahui jenis akar atau tumbuhan apa yang digunakan untuk mengurut perut DS karena dukun MH merahasiakannya. DS bercerita jika dukun MH melakukan gerakan urut di sekitar bagian bawah perut sampai ke bagian atas dan sebaliknya32. Setelah diurut, DS merasa kondisi tubuhnya lebih baik dan merasa yakin jika peristiwa jatuhnya ia di kamar mandi tidak akan membawa pengaruh buruk apapun. Setelah dua minggu setelah diurut, DS tiba-tiba mengalami pendarahan hebat. Bidan desa yang dipanggil suami DS ke rumahnya merujuk DS ke Rumahsakit di Waingapu. Dengan memakai ambulans DS dibawa ke Waingapu, dan sesaat sebelum berangkat dia kembali meminta air doa untuk diminumnya. Di rumahsakit, DS segera 32 Sayangnya peristiwa tersebut tidak dilihat secara langsung oleh peneliti. Namun peneliti pernah diperbolehkan melihat seorang dukun bayi yang mengurut 2 orang perempuan hamil. Perempuan hamil yang pertama sedang mengandung selama 5 bulan, dan perempuan hamil yang kedua sedang mengandung selama 9 bulan. Keduanya diurut dengan cara yang sama. Bagian perut bawah, tepat di atas kemaluan akan di tekan dan seolah-olah diangkat ke bagian atas. Bagian sisi kanan dan kiri perut akan di tekan lalu seolah-olah diangkat ke bagian tengah perut. Gerakan yang dilakukan tersebut bukanlah gerakan yang lembut, karena 2 perempuan hamil yang diurut mengaku merasa kesakitan. Tujuan dari urut tersebut adalah untuk menguatkan kandungan, dan mengembalikan posisi bayi yang turun karena ibu si bayi yang bekerja terlalu keras. 121 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mendapatkan pertolongan dan akhirnya melahirkan bayi perempuan secara normal. “Mungkin karena Tuhan memang belum ingin saya meninggal, saya selamat mbak. Padahal aiih..keluarga semua sudah menangis lihat saya sudah mau mati begitu. Untung juga saya banyak doa, minum air doa juga dari Pak A, itu sudah Tuhan kasih selamat.” DS bercerita jika saja dia tidak dirujuk ke rumahsakit pun, dia akan tetap melahirkan dengan dibantu bidan. Alasannya karena sekarang ini melahirkan dengan dibantu oleh dukun sudah tidak diperbolehkan lagi. Anak pertama DS yang kini berusia 9 tahun dulu dilahirkan dengan dibantu oleh tenaga dukun bayi. Lain halnya dengan cerita RF (34 tahun) yang suaminya bekerja sebagai penambang pasir di Sungai Melolo, yang harus pergi di pagi hari dan kembali pulang saat sore hari tiba. Kesibukan suaminya membuat RF harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga seorang diri. Ketika bangun pagi dia harus memasak untuk kelima anak dan suaminya, membersihkan rumah, memberi makan satu-satunya babi yang dia miliki, mencuci baju di tepi sungai, dan menimba air untuk menyiram sayur mayur yang dia tanam di pekarangan rumahnya. Kadang kala dia hanya istirahat sebentar karena harus menyelesaikan kain yang dia tenun dengan segera. Semakin cepat selesai, semakin cepat dia mendapatkan uang. Kain yang dia tenun akan dia jual ke pasar seharga Rp. 300.000,-, keuntungan yang didapatkan per kain hanya sekitar Rp. 100.000,- saja. Setiap bulan, RF harus mampu menjual 1 kain untuk membeli beras. Jika sudah menenun, dia akan duduk sampai berjam-jam lamanya, dari tengah hari sampai menjelang matahari terbenam. Dia akan istirahat jika perutnya sudah terasa lapar dan tenggorokannya sudah terasa haus. Sang suami biasanya akan 122 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pulang ketika matahari sudah terbenam dalam keadaan mabuk karena minum peci. Kebiasaan tersebut sudah berlangsung cukup lama dan RF merasa kesal dibuatnya. Jangankan membantu pekerjaan rumah tangga, suami RF ternyata sering menghabiskan uang yang dia dapat dari menambang pasir untuk membeli peci bersama teman-temannya. Karena itulah RF tetap menenun meskipun punggungnya sudah mulai terasa sakit sekali jika duduk terlalu lama. “Kalau misal besok saya melahirkan pun, hari ini saya tetap akan tenun. Kalau tidak begitu bagaimana nanti dapat uang to mbak? Ini uang dari tenun saja untuk makan kurang, tapi saya punya suami justru kasih habis dia punya uang buat minum peci.” RF bahkan pernah melempar sang suami dengan sebatang kayu ketika sang suami mengajak beberapa orang temannya minum peci bersama di rumah mereka. Dalam keadaan mabuk, sang suami dan teman-temannya lari tunggang langgang karena lemparan RF tersebut. RF berusaha mandiri walaupun suaminya jarang memberinya uang. Di bercerita jika kondisi ekonominya sangat jauh berbeda dengan beberapa orang adiknya yang memiliki pekerjaan ‘kantoran’ karena lulus perguruan tinggi, sedangkan dia hanya mampu sekolah sampai di kelas 3 SD saja. Sebagai anak sulung, dia adalah tumpuan kedua orangtuanya untuk membantu merawat adik-adiknya yang kini berhasil mendapat pekerjaan yang baik. RF merasa bangga dengan hal itu. Sama halnya dengan DS, RF yang pada saat bulan Juni tahun 2014 sedang mengandung 8 bulan pun lebih sering makan dengan lauk seadanya, yaitu nasi dan sambal. Beruntungnya, RF memiliki pekarangan yang tidak dibiarkannya kosong. Dia menanami pekarangan tersebut dengan sayur mayur berupa pare, terong, kacang panjang, cabai, dan labu kuning. RF memanfaatkan kebun sayur tersebut untuk memenuhi 123 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kebutuhan keluarganya, dan sebagian besar dijual ke pasar untuk menambah penghasilan. RF bercerita, jika saja dia tidak menanami pekarangannya dengan sayur mayur, mungkin dia akan kesulitan untuk mencari bahan makanan yang bergizi. RF juga melayani tetangga-tetangganya yang ingin membeli sayur mayur langsung dari kebunnya. RF adalah pemeluk Marapu yang taat. Sampai sekarang dia masih mempertahankan keyakinannya meskipun 9 orang adik kandungnya dan 5 orang anaknya telah memeluk Kristen. Dia bertahan menjadi pemeluk Marapu karena kedua orangtua kandungnya pun masih beragama Marapu. Dia sadar, jika dia memeluk agama lain selain Marapu, maka kedua orangtuanya tidak akan bahagia ketika mereka sudah meninggal kelak, karena tidak akan ada yang melayani dan mendoakan mereka secara Marapu. Karena keyakinan yang masih dia pegang teguh itulah, dia juga masih mempertahankan beberapa prinsip dalam hidupnya. Salah satu prinsip tersebut adalah, ingin tetap melahirkan di rumah dengan dibantu dukun. Kelima anak RF yang telah dilahirkannya, hadir di dunia atas bantuan seorang dukun bayi yang sama. Bahkan RF sendiri dahulu dilahirkan dengan bantuan dukun tersebut. Kini dukun tersebut adalah dukun terlatih, dia adalah paman kandung dari RF sendiri. Ya, dukun bayi yang mengaku sudah mendapatkan status dukun terlatih dari Puskesmas ini adalah seorang laki-laki. Usianya sekitar 70 tahun, dan dikenal juga sebagai dukun penyembuh. Karena alasan historis, RF ingin kembali melahirkan dengan dibantu pamannya. “Dulu saya lahir dibantu tuya (paman), melahir (melahirkan) anak juga dibantu tuya terus. Sekarang anak yang ke enam ini kalau bisa juga dibantu tuya. Kan sudah turun temurun to.. Tapi sekarang tiak tahu ini 124 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mbak, sekarang kan tidak boleh melahir (melahirkan di dukun), nanti katanya dapat denda to...” RF ternyata sedang merasa risau dengan adanya kabar yang mengatakan, jika akan ada denda yang dikenakan kepada perempuan hamil yang melahirkan dengan dibantu dukun. RF sendiri tidak tahu, siapa yang menyebarkan kabar tersebut pertama kali, dan berupa apa denda yang dikenakan nantinya. “Katanya ada yang bilang denda uang, ada yang bilang juga denda nanti tidak dapat bantuan dari pemerintah, tidak tahu juga itu..” Kabar tersebut memang meluas dengan cepat dan RF terpengaruh oleh hal tersebut. Dia merasa takut dan sama sekali tidak memiliki gambaran tentang melahirkan dengan dibantu bidan. Dia pernah mendengar jika melahirkan di bidan, dia harus disuntik. Kabar tersebut semakin mengecilkan nyalinya karena dia belum pernah disuntik sekalipun seumur hidupnya. Lagi pula, dia tidak mau jika bagian dirinya yang paling pribadi yaitu alat vitalnya dilihat oleh orang lain selain keluarganya. Bahkan dengan nada serius RF pernah berujar jika dia ingin memanggil bidan setelah dia melahirkan dengan dibantu oleh dukun. “Nanti saya melahir di tuya saja, kalau sudah melahir (melahirkan) baru saya panggil bidan. Nanti kalau bidan marah saya bilang ‘ya mau bagaimana lagi, kan sudah lahir to’, begitu mungkin mbak hahaha...” Setiap bulan, RF selalu datang ke Posyandu untuk memeriksakan kandungannya ke bidan desa. Hampir setiap bulan juga RF datang ke rumah pamannya untuk diurut. RF mengaku jika semua anak-anaknya sehat karena selama dia mengandung, dia selalu rajin mengurut kandungannya. Suatu hari peneliti berjalan bersama dengan RF ke suatu perbukitan untuk menemui dukun bayi yang merupakan paman kandung RF. Rumah tersebut 125 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 berada di atas bukit dan berada di tepi savana yang luas. Sebenarnya tujuan utama kedatangan RF adalah untuk mengurut kandungannya, namun saat itu sang paman ternyata bersiap-siap pergi untuk urusan keluarga yang teramat penting. Akhirnya kesempatan untuk melihat RF diurut pun terlewatkan. Sebelum paman RF pergi, peneliti sempat berbincang sejenak dan bertanya dari mana dia mendapatkan pengetahuan tentang melahirkan bayi. Secara garis besar dia berkata jika hal tersebut sudah merupakan petunjuk dari Tuhan, dan tidak semua orang memilikinya. Peneliti juga bertanya apa kelebihan dukun bayi dibandingkan dengan bidan. “Kalau bidan to ibu, dia hanya bantu melahir (melahirkan) saja, tapi dia tidak bisa bantu yang lain-lain. Kalau saya bisa tahu kalau ada orang yang jahat yang mau kasih palang (menghalangi) saya punya keponakan. Kalau ada orang sulit melahirkan, itu berarti dibikin sudah..ada yang buat to ibu.. Nah, bidan tidak bisa urus itu, saya bisa.” Pernyataan dari dukun laki-laki tersebut membuat peneliti semakin tertarik, dan menimbulkan pertanyaan bagaimana cara si dukun mencegah ‘palang’ atau menghilangkan ‘palang’ tersebut. Dia menjawab jika caranya melalui urut dan hamayangu (doa dalam agama Marapu). Urut dilakukan dengan memakai minyak yang terbuat dari akar-akar tumbuhan yang dirahasiakan. Kemudian peneliti juga bertanya, bagaimana orang jahat dapat membuat palang di jalan lahir dan apa akibat terburuknya. “Ini ngilu sudah, dikirim lewat angin. Kalau ada yang kasih palang jalan lahir, itu los darah (pendarahan) sudah.” 126 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT DS dan RF memiliki alasan tersendiri untuk melakukan urut, tetapi bagaimana jika urut dipandang dari kaca mata medis? Melalui sebuah wancara secara langsung Kadinkes Kabupaten Sumba Timur mengemukakan pandangannya. “Dalam prosedur medik, tidak ada pemijatan diijinkan selama proses kehamilan. Pada saat posisi bayi tidak sesuai istilahnya, kita melakukan perpUtaran bayi seperti yang diinginkan, itupun harus dalam pengawasan. Artinya saat kita merubah posisi bayi, itu juga harus diikuti tanda-tanda janinnya, bagaimana denyut jantung, pernafasan, dan sebagainya. Nanti kalau tiba-tiba diputar dan tiba-tiba denyut jantungnya berubah berarti ada gangguan. Kalau diputar mungkin ada tali pusar terlilit dan sebagainya. Jadi waktu kita mencoba mereposisi bayi seperti yang diinginkan, itupun harus dengan pengawasan yang ketat.” 3.3. Persalinan dan Nifas 3.3.1. Proses Persalinan Telah dijelaskan pada bagian atas jika pada masa menjelang persalinan, DS dan RF masih memiliki ketergantungan terhadap dukun, walaupun dengan tujuan yang berbeda. Tidak bisa dipungkiri jika dukun masih menempati posisi yang penting dalam masyarakat. Salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita dari Revolusi KIA yaitu dengan menjalin kemitraan dengan dukun. Dukun-dukun yang telah mendapatkan pelatihan dari Puskesmas dan berstatus sebagai dukun terlatih, kini beralih fungsi bukan lagi sebagai penolong kelahiran tetapi sebagai mitra bidan. Dukun menjadi orang pertama yang akan diberi informasi oleh perempuan hamil yang hendak melahirkan, selanjutnya dukun 127 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 akan menghubungi bidan desa dan mereka akan bersama-sama membawa perempuan hamil tersebut ke Puskesmas. Kemitraan tersebut diharapkan tidak akan menggeser posisi dukun dan mengecilkan keberadaan mereka di mata masyarakat. Kemitraan tersebut memang program yang dilakukan untuk menjembatani antara dukun dan bidan. Dukun saat ini bisa dikatakan memiliki peran sebagai asisten bidan. Selama peneliti melakukan riset di Desa Watu Hadang, peneliti belum pernah melihat secara langsung bagaimana proses kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Awal bulan Juni tahun 2014 pada pukul 23.00 WITA, seorang dukun bayi yang bernama MH (50 tahun), menghubungi peneliti dan mengajak kami untuk menjemput seorang perempuan muda yang hendak melahirkan. Rencananya dukun berjenis kelamin perempuan tersebut akan membawanya ke Puskesmas bersama-sama dengan bidan desa. Karena terjadi kesalah pahaman, perempuan muda yang tengah hamil besar tersebut ternyata sudah dibawa bidan dengan memakai ambulans. Kami segera bergegas ke Puskesmas Melolo, tempat dimana perempuan muda yang bernama DD tersebut dibawa. Sesampainya disana beberapa orang keluarga DD tengah menemani DD yang sedang berada di ruangan bersalin. DD tampak pucat dan ketakutan, bidan yang memeriksa DD berkata jika bayi dalam kandungan DD telah meninggal dunia. Usia DD ternyata masih 17 tahun, dan putus sekolah saat duduk di bangku kelas 2 SMU karena lebih memilih lari bersama sang pacar hingga berbuah kehamilan. Hubungan tersebut tidak direstui oleh orangtua DD sehingga tidak pernah ada pernikahan yang dilakukan. DD baru sadar bayinya sudah tidak bergerak beberapa saat sebelum dia memutuskan memanggil dukun dan bidan. Bidan yang memeriksa DD yakin jika bayi DD sudah meninggal sejak dari kemarin, karena DD bercerita jika dia tidak 128 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT merasakan gerakan si bayi sejak dari kemarin juga. Berkali-kali bidan memasukkan tangannya ke dalam rahim DD untuk memeriksa apakah masih ada harapan hidup bagi si bayi. Setelah dipastikan bayi tersebut meninggal, bidan memutuskan untuk mengeluarkan bayi tersebut esok harinya. Sekitar 2 minggu sebelumnya DD melakukan urut di bagian perut, dan dukun yang mengurut perut DD adalah MH. DD mengaku merasa kelelahan setelah menimba air dari sumur. MH yakin saat itu keadaan bayi DD baik-baik saja. MH bahkan berpesan agar DD tidak mandi terlalu malam dan jangan sampai keluar pada malam hari karena banyak ngilu dan suanggi yang berkeliaran. Pada hari dimana DD dibawa ke Puskesmas, beberapa saat sebelumnya ternyata DD mandi seorang diri di tepi sungai, dan menurut MH hal tersebut adalah penyebab dari meninggalnya bayi DD. Bayi tersebut bukan meninggal karena pengaruh air sungai yang dingin, tetapi karena pengaruh ngilu yang memang dipercaya muncul di malam hari. Ketika akhirnya bayi DD dikeluarkan dari rahim, MH juga terkejut karena tidak ada darah di bagian tali pusar si bayi. Selain itu, ada sedikit lebam di bagian pipi si bayi yang membuat MH semakin yakin jika kematiannya tidak wajar. Selain ngilu, MH juga yakin jika bayi DD meninggal karena suanggi telah meminum darahnya, hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya darah di tali pusar si bayi, dan lebam yang terdapat pada pipi si bayi. Apa yang membuat ngilu dan suanggi bisa mengambil nyawa anak DD? MH berkata jika itu adalah hasil dari perbuatan DD yang membuat Marapu marah. DD dianggap telah melakukan perbuatan dosa, dan telah durhaka kepada orangtuanya. Entah apakah ini merupakan suatu kebetulan, ternyata orangtua DD dan keluarga besarnya pun beranggapan demikian. Agar bayi DD tenang, jenazahnya diupacarai secara Marapu walaupun DD dan orangtuanya telah memeluk agama 129 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kristen. Setelah upacara Marapu selesai dilakukan, bayi tersebut baru dikubur secara Kristen. MH juga bercerita jika dirinya sempat dimintai keterangan oleh petugas Puskesmas mengenai proses pengurutan yang dilakukannya. MH yakin jika apa yang dia lakukan tidaklah salah karena bayi DD meninggal bukan karena di urut, tetapi karena ngilu dan suanggi. 3.3.2. Setelah Persalinan Setelah bersalin, masyarakat Sumba juga memiliki tradisi menanam atau mengubur ari-ari. Sebelum dikubur, ari-ari akan dicuci terlebih dahulu. Idealnya ari-ari akan dikubur oleh ayah si bayi sesaat setelah proses kelahiran berakhir. Tidak ada ritual khusus yang dilakukan saat mengubur ari-ari. Sebaiknya ari-ari dikubur di sekitar rumah yang ditinggali oleh si jabang bayi, karena konon jika ari-ari dan si ari-ari berjauhan, bayi akan mudah sakit. Hal ini seperti yang dialami DS saat anak ketiganya yang baru dilahirkan mengalami demam yang tidak kunjung reda, DS berkata jika ini akibat dari ari-ari yang dikuburkan berjauhan dengan si bayi. Kala itu ari-ari anak bungsu DS memang dikuburkan di Waingapu. Interaksi antara dukun dan perempuan hamil tidak terbatas pada saat si perempuan tengah mengandung atau saat melahirkan saja. Setelah melahirkan pun, dukun tetap memegang peranan penting dalam hal perawatan bayi yang baru lahir. Hal ini seperti yang dialami DS. Dia mengakui jika dia merasa takut untuk memandikan bayi yang masih merah dengan tali pusat yang masih menempel. Padahal dia sudah melahirkan tiga orang anak. Dia tidak ingin melakukan kesalahan yang dapat melukai atau membuat bayinya celaka. Maka dari itu, sejak melahirkan anak pertamanya yang kini berusia 9 tahun, DS selalu meminta seorang dukun bayi yang dia percaya untuk membantu memandikan bayinya sebanyak 2 kali sehari, pagi dan sore hari. 130 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Ketergantungan akan dukun tersebut, biasanya berlangsung sampai tali pusat si bayi putus. Dukun yang dipercaya DS adalah dukun MH, karena MH sudah berpuluhpuluh tahun menekuni profesi dukun bayi, sehingga dianggap mengerti segala hal yang terkait dengan bayi dan keluhankeluhannya. Dukun MH memandikan bayi DS dengan rebusan daun mengkudu yang dibiarkan hangat atau suam-suam kuku terlebih dahulu, baru kemudian digunakan untuk memandikan bayi DS dan juga untuk mandi dirinya. Saat bayi DS dimandikan, dukun sering kali membasuh bagian tali pusat bayi yang masih basah dengan ramuan tersebut. Bagian tali pusat menjadi bagian yang paling sering dibasuh jika dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Setelah proses tersebut dirasa cukup, dukun mengangkat tubuh bayi lalu meniup bagian tali pusat dan telinga bayi. Tujuannya agar tidak ada sisa air yang masuk ke dalam kedua anggota tubuh tersebut. Selain digunakan untuk mandi, air rebusan tersebut juga diminum DS sebanyak satu gelas. Daun mengkudu tidak diminum seterusnya, dan ramuan ini bisa diganti sesuai dengan daun yang ada. Daun mengkudu dipercaya memiliki khasiat mempercepat pemulihan perempuan setelah melahirkan, serta mengurangi pegal-pegal dan bengkak pada tubuh. Daun yang memiliki fungsi yang sama dengan daun mengkudu adalah daun jeruk. Selain dukun, setelah melahirkan DS juga didampingi oleh ibu kandungnya yang sengaja datang dari kampung lain. Ibu kandungnya tersebut datang untuk membantu mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga DS, yang tidak mungkin dikerjakan karena dia baru melahirkan. Ibu kandung DS berkata jika dia mungkin akan tinggal di rumah DS sampai luka DS kering, dan badannya sudah cukup kuat untuk kembali melakukan pekerjaan rumah tangga. 131 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Setelah bayi DS dimandikan, dukun akan mengeringkan tubuh si bayi dengan handuk dan mengoleskan minyak telon ke seluruh bagian tubuh bayi agar tubuhnya tetap hangat, lalu menaburkan bedak bayi secara perlahan. Dukun memakaikan baju kepada si bayi, kemudian menyematkan sebuah peniti yang di bagian ujungnya ternyata sudah terpasang sebuah benda. Benda tersebut adalah hikil, yaitu sejenis tanaman herbal dengan bau yang tajam dan khas, berstektur keras, serta berwarna kehitaman. Hikil tersebut dipercaya memiliki kekuatan untuk menangkal segala gangguan gaib yang bisa datang mengganggu si bayi. Baunya yang tajam dan khas konon tidak disukai oleh mahkluk halus, seperti suanggi dan setan. Penyakit yang berasal dari angin (ngilu) pun tidak akan berani mendekat jika bayi sudah memakai hikil. Gambar 3.1. Rebusan Daun Mengkudu untuk Perawatan setelah Persalinan Sumber: Dokumentasi Peneliti Disamping hikil, bawang merah juga biasa digunakan masyarakat di Desa Watu Hadang untuk melindungi bayi dari 132 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT penyakit. Bawang merah yang sudah dikupas disematkan pada baju bayi dengan peniti. Bawang merah tersebut juga dipercaya mampu menangkal hal-hal gaib seperti angin (ngilu). Agar bawang merah tersebut berfungsi dengan baik, bawang merah tersebut tidak boleh terkena air. Maka dari itu, bawang merah tersebut harus selalu dilepas jika bayi akan berganti baju. Selain menyematkan hikil dan bawang merah, cara lain untuk menjaga bayi dari gangguan-gangguan yang bersifat gaib adalah dengan meletakkan benda tajam seperti pisau atau gunting di bawah bantal bayi saat bayi tertidur. Cara tersebut membuat ibu si bayi merasa tenang jika meninggalkan bayinya, sementara si ibu melakukan pekerjaan rumah tangga. Upaya lain untuk menjaga si bayi dari gangguan penyakit dan gangguan yang bersifat gaib, adalah dengan tidak membawa bayi keluar rumah selama satu bulan penuh. Hal nini juga berlaku untuk ibu si bayi. Apabila bayi menderita sakit dalam satu bulan tersebut, ibu dan keluarga cukup memberikan ramuan tradisional dari daun-daunan untuk mandi, atau memanggil dukun untuk mengobati sakitnya. Jika ternyata sakit si bayi tidak kunjung sembuh, keluarga baru akan membawa si bayi ke bidan desa atau Puskesmas. Dalam satu bulan tersebut, bayi juga tidak akan dibawa ke Posyandu dan mendapat imunisasi. Bayi baru akan dibawa ke Posyandu untuk penimbangan dan imunisasi, setelah bayi berusia lebih dari satu bulan. 3.3.3. Masa Nifas Dahulu tradisi yang dilakukan masyarakat Sumba ketika masa nifas adalah dengan melakukan ritual panggang. Hal tersebut juga berlaku di Desa Watu Hadang. Perempuan yang telah melahirkan melakukan pemanggangan atau memanaskan bagian punggungnya didekat sumber panas atau bara api. Dalam kepercayaan masyarakat Sumba, ritual panggang dipercaya dapat 133 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 membantu mengeringkan darah nifas. Karena ritual panggang menggunakan sumber panas yang berasal dari api, ritual ini dapat mengakibatkan luka bakar pada bagian punggung. Hal ini seperti yang dituturkan oleh AMR. “Saya dulu waktu melahirkan anak pertama dan kedua masih mengikuti tradisi pemanggangan punggung. Tapi itu dulu sekitar tahun 1983. Caranya adalah dengan melepas baju dan kita duduk membelakangi tungku dapur. Itu dilakukan sampai berhari-hari dan terkadang bagian punggung ini luka bakar. Setelah saya mengetahui dari bidan kalau cara itu tidak bisa mengeringkan darah nifas maka saya tidak mau lagi mengikuti tradisi pemanggangan. Ketika melahirkan anak yang ketiga saya tidak mau lagi. Sekarang ini anakanak saya larang untuk tidak mengikuti tradisi pemanggangan. Ini menantu saya tidak saya bolehkan ikut-ikut seperti itu. Tidak ada gunanya mbak.. zaman dulu kan orang masih bodoh-bodoh jadi ya mau saja.” Tradisi panggang yang dilakukan masyarakat Desa Watu Hadang adalah warisan dari nenek moyang. Nenek moyang percaya jika ritual panggang tersebut dapat mempercepat penyembuhan luka setelah melahirkan, dan mengeringkan darah nifas. Sekarang ini ritual tersebut tidak ditemukan lagi, karena masyarakat mulai sadar jika ritual panggang tersebut tidak bisa menyembuhkan luka setelah persalinan, dan mengeringkan darah nifas. Sebaliknya, ritual tersebut justru menimbulkan luka yang menyakitkan. Di Desa watu Hadang, ibu nifas mendapatkan Vitamin A dari bidan desa. Vitamin diberikan dua kali, yaitu satu hari setelah melahirkan dan dua hari setelah melahirkan. Vitamin A diberikan di Posyandu ketika penimbangan bayi dan balita. 134 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Berikut ini tabel jumlah bumil, sasaran bufas yang diberikan vitamin A pada bulan Mei 2014. Orang yang berperan dalam memberikan arahan atau pengetahuan ketika masa nifas adalah orangtua perempuan, baik orangtua perempuan kandung maupun mertua. Arahan atau pengetahuan tersebut, bisa berupa wejangan atau nasehat tentang ramuan-ramuan apa saja yang baik untuk diminum atau digunakan untuk mandi. Bukan hanya itu, biasanya orangtua perempuan juga berperan dalam proses perawatan bayi di awal kelahirannya. Mereka akan meluangkan waktu untuk turut menjaga si jabang bayi, dengan memandikan atau menimang. Biasanya keterlibatan tersebut berlangsung selama 7 hari setelah anak perempuannya melahirkan. Keterlibatan orangtua perempuan dalam perawatan si jabang bayi, bukan hanya meringankan beban perempuan yang baru saja melahirkan, yang masih lelah secara fisik dan dalam masa pemulihan. Tetapi dalam keterlibatan tersebut juga terjadi pertukaran ilmu dan wawasan yang bermanfaat. Tabel 3.3. Posyandu Tabel Jumlah Bumil, Sasaran Bufas yang Diberikan Vitamin A1 dan A2 pada Bulan Mei 2014 Bumil Sasaran Bufas Vit. A1 Vit. A2 Melati I 9 6 3 3 Melati II 3 1 1 1 Melati III 3 5 4 4 Melati IV 1 2 - - Melati V 4 2 - - Sumber: Data dari Bidan Desa Bulan Mei Tahun 2014 Keterangan: Vit. A1 = Vitamin yang diberikan satu hari setelah melahirkan. Vit. A2 = Vitamin yang diberikan dua hari setelah melahirkan 135 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Ada beberapa tumbuhan atau daun-daunan yang dipercaya berkhasiat untuk melancarkan darah nifas, yaitu daun kapas, daun murunjara, daun jeruk, daun mengkudu, daun sirih, daun waru, dan daun kabau. Daun-daun tersebut digunakan untuk mandi bayi dan ibunya, namun ada juga daun yang dapat diminum oleh si ibu, yaitu daun murunjara dan daun jeruk. Daundaun tersebut direbus dengan dicampur dengan air sampai mendidih. Setelah disaring, ramuan tersebut dapat digunakan untuk mandi ibu dan bayinya. Khusus untuk jenis daun yang dapat diminum, takaran yang dianjurkan adalah satu gelas ramuan untuk diminum sebanyak 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. Jika si ibu ternyata mengalami kesulitan buang air besar, jenis daun yang dianjurkan untuk diminum adalah daun Pahpoku. Jika si ibu mengalami kesulitan buang air kecil, daun yang dapat diminum adalah daun kehi. Ramuan lain yang biasanya gunakan untuk memandikan bayi adalah kelapa bakar yang ditumbuk halus atau dikunyah. Kelapa bakar yang sudah halus tersebut, akan dibalurkan ke seluruh tubuh bayi dan digosokkan secara lembut dan perlahan dari ujung kepala sampai ujung kaki bayi. Setelah itu, tubuh bayi bisa dibilas dengan ramuan daun-daunan yang telah disebutkan tadi. Kelapa bakar tersebut dipercaya mampu menyegarkan tubuh bayi. Larangan atau pantangan untuk ibu nifas yang diketahui adalah tidak boleh minum minuman yang dingin dan asam. Minuman tersebut dipercaya akan memperlambat penyembuhan kandungan dan lambung yang masih sakit setelah proses melahirkan. Upaya pencegahan kehamilan baru dilakukan oleh ibu habis melahirkan ketika sudah mendapatkan menstruasi pertama. Sebagian besar masyarakat di Desa Watu Hadang menggunakan KB suntik untuk mencegah kehamilan. Biasanya bidan desa tidak 136 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT akan memberikan suntik KB apabila belum mendapat menstruasi pertama setelah masa nifas. Seperti yang dituturkan oleh MR berikut ini. “Kira-kira setelah 6-8 bulan saya baru pergi ke bidan desa untuk suntik KB. Ibu bidan biasanya tidak akan kasih suntik kalau saya belum mendapatkan mentruasi pertama.” 3.3.4. Menyusui Sebagian besar masyarakat yang ada di Desa Watu Hadang memberikan ASI untuk anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan kandungan gizi pada ASI jauh lebih baik dari pada susu formula, selain itu ASI jauh lebih ekonomis. Dorongan untuk memberikan ASI kepada anak-anak bisa berasal dari orangtua, atau orang lain yang sudah terlebih dahulu memiliki anak. Untuk air susu yang keluar pertama kali (kolostrum), ada sebagian masyarakat yang memberikannya kepada anak mereka dan ada yang tidak. Ada alasan mengapa ada sebagian masyarakat yang tidak bersedia memberikan kolostrum kepada anak mereka. Hal tersebut karena mereka menganggap susu pertama yang keluar pertama kali adalah air susu yang kotor. Masyarakat yang persalinannya dibantu oleh dukun yang bukan terlatih, biasanya tidak dianjurkan untuk memberikan air susu pertama (kolostrum) tersebut. Akan tetapi untuk masyarakat yang proses persalinannya dibantu oleh bidan atau dokter mereka selalu dianjurkan untuk memberikan air susu yang pertama tersebut. Ibu hamil yang rajin memeriksakan kandungannya di Posyandu selalu mendapatkan pengarahan dari bidan desa dan kader Posyandu, sehingga mereka mengetahui manfaat kolostrum untuk bayi. Manfaat kolostrum sendiri adalah sebagai berikut. 137 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 1. Kolostrum berkhasiat khusus untuk bayi, dan komposisinya mirip dengan nutrisi yang diterima bayi selama di dalam rahim. 2. Kolostrum bermanfaat untuk mengenyangkan bayi pada hari-hari pertama hidupnya 3. Seperti imunisasi, kolostrum memberi antibodi kepada bayi (perlindungan terhadap penyakit yang sudah pernah dialami sang ibu sebelumnya). Ada cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Desa Watu Hadang untuk melancarkan produksi ASI, yaitu dengan mengkonsumsi jagung bakar dan ikan kering. Makanan tersebut dianggap berkhasiat untuk memperlancar ASI ketika masa menyusui. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh MY. “Supaya air susu lancar saya makan jagung kering yang dibakar ditambah dengan ikan asin kering. Air susu langsung mancur deras sekali mbak.. kita orang Sumba selalu pakai resep itu na.., biar ASI lancar.” Sedangkan makanan yang pantang dimakan ketika masa menyusui menurut masyarakat Desa Watu Hadang adalah; 1. Daun pepaya, karena bisa menyebabkan perut bayi menjadi kembung sehingga bayi akan menangis terus menerus 2. Makanan pedas. 3.3.5. Neonatus dan Bayi Perawatan tali pusat pada bayi neonatus yang belum kering (belum lepas), cukup diberikan minyak telon bayi saja pada bagian kanan-kiri. Hal ini bertujuan untuk menghangatkan badan si bayi dan supaya tali pusat cepat kering. Apabila tali pusat tersebut sudah lepas, tali pusat akan disimpan pada tempat yang terbuat dari daun lontar yang telah dianyam rapi. Biasanya tali pusat disimpan di tempat yang aman dari 138 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT jangkauan/gangguan binatang. Tali pusat yang telah disimpan dipercaya bisa menyembuhkan bayi ketika bayi menderita sakit demam. Salah satu sarana yang dipakai untuk melindungi bayi dari serangan penyakit, adalah tudung bayi. Tudung bayi tersebut dipergunakan untuk melindungi bayi dari serangan nyamuk baik pagi, siang, atau malam hari ketika bayi sedang tidur. Dengan cara ini diharapkan bayi akan terhindar dari serangan malaria. Ketika siang hari biasanya para ibu menidurkan bayinya di balebale rumah (kaheli), karena udara dalam rumah terasa panas ketika siang hari. Jadi bale-bale rumah adalah tempat yang aman dan nyaman bagi bayi untuk tidur siang. Untuk di kamar tidur para ibu sudah menyediakan kelambu yang didapat dari Puskesmas. Sebagian besar masyarakat sudah memilki kelambu malaria. Kelambu malaria tersebut dibagikan dan diprioritaskan untuk ibu hamil, bayi dan balita. Tujuannya untuk menghindari dari gigitan nyamuk malaria. Karena desa Watu Hadang masuk dalam kategori daerah endemis malaria. Gambar 3.2 Tali Pusat yang Disimpan di Anyaman Daun Lontar Sumber: Dokumentasi Peneliti 139 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Apabila bayi mengalami batuk, salah satu cara yang digunakan untuk mengobati adalah dengan memandikan bayi menggunakan ramuan daun padakmu. Beberapa lembar daun padakmu yang telah dibersihkan dapat langsung dimasukkan ke dalam bak mandi bayi, dan dipakai untuk mandi. Sembari dimandikan, biasanya ibu si bayi akan melakukan terapi gerakan pada tangan dan kaki bayi. Gerakan tersebut berupa gerakan menyilangkan kedua lengan bayi secara lembut dan berulangulang, dan gerakan kedua kaki bayi dengan cara yang sama. Gambar 3.3. Daun Padakmu Sumber: Dokumentasi Peneliti 3.3.6. Anak dan Balita Untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita di Desa Watu Hadang, setiap bulan diadakan Posyandu. Kegiatan Posyandu tersebut terbagi menjadi beberapa lokasi berdasarkan dusun. Antara dusun satu dengan dusun yang lain memiliki jadwal yang berbeda, sehingga bidan desa bisa mendatangi satu 140 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT persatu kegiatan di setiap Posyandu tersebut. Posyandu bertugas mendata setiap bayi dan balita, dan memantau perkembangan kesehatan serta pertumbuhannya. Karena itulah penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, serta riwayat imunisasi yang telah diberikan dicatat oleh kader maupun bidan. Kesehatan bayi dan balita, serta tumbuh kembang mereka bukanlah tanggung jawab kader atau bidan semata. Keluarga adalah lingkungan terkecil bagi seorang anak untuk mulai belajar, mendapatkan perhatian, kasih sayang, nutrisi, dan pendidikan informal untuk pertama kali. Tanggung jawab utama dalam memenuhi hak-hak anak tersebut jatuh di pundak orangtua. Kedua orangtua, baik ayah atau ibu memiliki tanggung jawab yang sama dalam tugas tersebut, namun pada kenyataannya porsi dari tanggung jawab tersebut berbeda. Ibu mendapatkan tanggung jawab lebih besar karena ibu yang sudah mengandung serta melahirkan anak, memiliki kedekatan emosional yang lebih daripada ayah. Selain itu, ayah lebih sering berperan dalam pemenuhan nafkah keluarga, sehingga waktu efektif untuk membantu perawatan anak lebih sedikit jika dibandingkan ibu. Karena alasan tersebutlah, ibu ibarat sebagai guru pertama bagi si anak yang mengajarkan duduk, berdiri, melangkah, berjalan, bicara, bernyanyi, makan, mandi, mencuci tangan, dan sebagainya. Apa yang dilakukan ibu, apa yang diucapkan oleh ibu, menjadi contoh pertama yang akan diikuti oleh sang anak. Setelah itu, baru si anak mencontoh perilaku orang lain, terutama ayahnya. Contoh yang nyata terjadi pada Mama R yang memiliki 2 anak balita, yang bernama M dan N. Kedua anak Mama R gemar bermain dan bergaul dengan anak seusia mereka di kampung. Kedua anak tersebut aktif dan ceria, namun satu hal yang tidak disukai oleh orangtua-orangtua balita lain di kampung tersebut, yaitu karena M dan N gemar sekali 141 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 memaki dengan kata-kata yang tidak pantas kepada orang lain. Beberapa orang tua balita teman M dan N berkata, jika itu bukanlah kesalahan M dan N karena mereka hanya mendengar kemudian meniru yang apa dikatakan oleh ibu mereka setiap hari. M, N, dan anak-anak lain yang sebaya atau lebih tua biasa berkumpul di tengah kampung untuk bermain bersama. Kadang kala ibu mereka turut mengawasi sambil mengobrol dan mengunyah sirih pinang. Tetapi jika pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan menenun menumpuk, anak-anak tersebut lebih sering bermain tanpa pengawasan. Anak-anak tersebut sering tampak berlarian di tepian selokan yang berarus deras dan dalam sambil bercanda, berlarian tanpa alas kaki, bersenda gurau dengan saling melempar kayu sampai ada akhirnya yang menangis. Lelah bermain dalam keadaan penuh debu dan tanah, anak-anak tersebut akan pulang untuk makan. M dan N sendiri akan pulang dan meminta ibu mereka untuk mengambilkan makan siang. Beberapa kali peneliti berkunjung ke rumah mereka, pada saat mereka sedang makan siang selepas bermain. Menu yang mereka makan hampir selalu sama, yaitu nasi dan mi instant. Mereka akan makan sendiri dengan menggunakan tangan mereka, yang masih berpeluh dan berwarna coklat karena tanah. Ibu mereka mengambilkan air minum yang berasal dari air sumur yang tidak dimasak terlebih dahulu. Usai makan, M dan N biasanya akan langsung tidur siang dan bangun sore harinya. Ibu mereka akan memandikan mereka di selokan yang berada tepat di depan rumah mereka. Di selokan itu juga mereka biasa melakukan BAB dan mencuci baju serta peralatan rumah tangga. Pagi dan sore hari, selokan selalu ramai oleh anak-anak yang sedang mandi sambil bercanda. Masyarakat yakin, mandi di sungai atau di selokan pada saat matahari belum terbit memiliki khasiat yang baik untuk 142 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pertumbuhan tulang anak, dan mempercepat kemampuan si anak untuk berjalan. Salah satu orang yang yakin dengan hal tersebut adalah MY. Pada pagi buta, dia membawa anak bungsunya yang masih berusia 10 bulan untuk mandi di selokan. Tubuh balita mungil tersebut diayun-ayunkan dengan gerakan maju dan mundur, dengan tetap dipegang dengan erat. Gambar 3.4 Terapi Mandi Pagi di Sungai Sumber: Dokumentasi Peneliti 3.4. Budaya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Revolusi KIA, disadari atau tidak memang membawa perubahan yang signifikan terhadap KIA. Setidaknya perubahan tersebut salah satunya dapat dilihat melalui fasilitas persalinan yang dipilih oleh perempuan hamil. Pilihan mereka mulai bergeser dari persalinan dengan dibantu dukun, menjadi 143 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 persalinan yang dibantu oleh bidan. Terlepas dari motivasi sesungguhnya dibalik pilihan persalinan dengan dibantu oleh tenaga kesehatan (misalnya motivasi karena takut akan dikenakan denda bagi perempuan hamil yang tidak melahirkan di Puskesmas, seperti yang diceritakan oleh RF33), tampaknya secara perlahan dengung Revolusi KIA sudah didengar sampai ke salah satu subjek vital yang dituju, yaitu perempuan hamil. Sebagian besar masyarakat di Desa Watu Hadang sudah bersalin di Puskesmas. Masyarakat sudah mulai sadar untuk menggunakan fasilitas kesehatan sebagai tempat bersalin. Salah satu alasan mengapa mereka memilih melahirkan dengan dibantu oleh tenaga kesehatan yaitu karena sarana dan prsarana yang digunakan untuk membantu persalinan lebih lengkap dan memadai. Mereka mendapatkan injeksi, disokong oleh infus, dan jika terjadi masalah pada proses persalinan, mereka bisa segera dirujuk ke Rumah Sakit di Kota Waingapu. Untuk mempermudah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di Desa Watu Hadang, bidan desa menempati bangunan Pustu yang letaknya berada di tengah desa. Letaknya yang strategis tersebut mempermudah masyarakat untuk mengaksesnya. Pustu Katorak mempunyai bangunan yang permanen. Tempat penerimaan pasien dan pemeriksaan sudah terpisah. Ruangan untuk menerima pasien sudah dilengkapi dengan meja dan kursi. Peralatan pun tertata dengan rapi dilemari kaca. Pada ruang periksa ada satu tempat tidur untuk pasien. Di bagian ruanga periksa terdapat jendela yang mengarah ke sinar matahari sehingga ruangan cukup terang. Peralatan yang 33 Sebenarnya pola pemberian denda kepada masyarakat yang tidak melakukan persalinan di Puskesmas sudah berjalan di desa lain di Kec. Umalulu. Desa tersebut menjadi satu-satunya desa yang kini sudah menjalankan Perdes tentang denda. Perdes tersebut dibahas dengan melibatkan aparat desa, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Untuk Desa Watu Hadang, Perdes yang serupa belum terbit sampai saat ini. 144 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT digunakan untuk menolong persalinan disimpan terpisah dengan yang lainnya. Peralatan yang sudah digunakan akan disterilkan terlebih dahulu sebelum disimpan kembali. Berkas dan peralatan tertata rapi di ruang penerimaan pasien tersebut. Disamping persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, ada juga sebagian kecil masyarakat yang masih dibantu dukun saat persalinan. Saat ini sebenarnya dukun hanya diperbolehkan membantu mendampingi saat ada perempuan yang hendak melahirkan di Puskesmas. Dukun yang diperbolehkan mendampingi hanyalah dukun terlatih. Keberadaan dukun dianggap membantu secara psikologis, karena dukun akan menemani dari awal sampai akhir proses persalinan, bahkan jika ternyata pasien tersebut harus dirujuk ke Rumahsakit. Gambar 3.5. Peralatan untuk Persalinan di Pustu Katorak Sumber: Dokumentasi Peneliti Selain menolong persalinan, bidan desa juga melayani masyarakat yang memiliki masalah kesehatan. Apabila pasien 145 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 terdiagnosa mengalami sakit yang ringan, bidan desa mengobati dengan obat yang sudah tersedia. Apabila pasien terdiagnosa sakit yang lebih parah, bidan desa membawa pasien tersebut ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit di Kota Waingapu untuk dirujuk. Gambar 3.6. Tempat Bersalin di Pustu Katorak Sumber: Dokumentasi Peneliti Berikut adalah grafik tentang jumlah lahir hidup dan mati bayi yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di Desa Watu Hadang pada periode bulan Januari 2013-Maret 2014. 146 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Grafik 3.1. Jumlah Lahir Hidup Laki-laki di Desa Watu Hadang pada periode bulan Januari 2013 - Maret 2014 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, 2014 Grafik 3.2. Jumlah Lahir Mati Laki-laki di Desa Watu Hadang pada periode bulan Januari 2013-Maret 2014 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, 2014 147 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Grafik 3.3. Jumlah Lahir Hidup Perempuan di Desa Watu Hadang pada periode bulan Januari 2013 - Maret 2014 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, 2014 3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita Penimbangan bayi dan balita di Desa Watu Hadang, dilakukan di 5 Posyandu di masing-masing dusun yang berbeda dengan jadwal yang berbeda juga. Jadwal yang berbeda memungkinkan bidan desa dapat datang ke setiap kegiatan Posyandu secara bergiliran. Setiap Posyandu memiliki beberapa orang kader yang bertugas untuk menjalankan kegiatan dan mencatatnya. Kegiatan Posyandu ditempatkan pada rumah kader yang letaknya strategis sehingga mudah untuk diakses. Posyandu melayani penimbangan bayi dan balita serta pemeriksaan kesehatan ibu hamil, yang dilakukan oleh bidan desa. Saat kegiatan Posyandu berlangsung, hal pertama yang dilakukan oleh kader dan bidan adalah penimbangan bayi dan balita. Berikut ini tabel jumlah Posyandu dan jumlah kader aktif yang ada di Desa Watu Hadang. 148 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tabel 3.4. Jumlah Posyandu dan Kader Aktif di Desa Watu Hadang Tahun 2014 Posyandu Jumlah Kader Kader aktif Melati I 4 3 Melati II 5 4 Melati III 5 3 Melati IV 5 4 Melati V 5 5 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 Gambar 3.7. Penimbangan Bayi dan Balita Pada Kegiatan Posyandu Sumber: Dokumentasi Peneliti Salah satu Posyandu yang diobservasi oleh peneliti adalah Posyandu di Kampung Uma Bara. Di Posyandu tersebut, seorang bayi atau balita ditimbang oleh 2 orang kader. Berat badan bayi atau balita yang ditimbang tersebut akan dicatat di dalam KMS oleh kader yang lain. Pencatatan di dalam KMS tersebut 149 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 disesuaikan dengan nama dari bayi dan balita yang sebelumnya ditimbang. Selain dicatat di dalam KMS, berat badan bayi dan balita juga dicatat di dalam buku register. Pencatatan tersebut digunakan untuk memantau pertumbuhan bayi dan balita di Desa Watu Hadang. Setelah data-data tersebut selesai dicatat, setiap Posyandu harus segera menyerahkannya kepada bidan desa. Berikut ini adalah tabel jumlah balita di Desa Watu Hadang pada bulan Mei tahun 2014. Tabel 3.5. Jumlah Balita di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014. Posyandu 0-5 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-59 bln Jml Melati I 30 13 25 76 144 Melati II 1 6 4 11 22 Melati III 9 9 9 24 51 Melati IV - 5 2 6 15 Melati V 6 6 6 14 41 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 Jumlah balita di Posyandu Melati I lebih banyak jika dibandingkan dengan Posyandu yang lain, hal ini dikarenakan wilayah cakupan Posyandu Melati I adalah gabungan dari 2 dusun. Selain tabel jumlah balita, berikut ini adalah tabel jumlah balita yang termasuk dalam kategori BGM di Desa Watu Hadang. Bayi dan balita yang masuk dalam kategori Bawah Garis Merah (BGM), adalah bayi dan balita yang berat badannya berada pada garis merah atau dibawah garis merah pada KMS. Kemungkinan bayi yang termasuk dalam kategori BGM ini adalah bayi yang kekurangan asupan makanan. Makanan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap kualitas gizi pada bayi dan balita. Mengkonsumsi makanan yang tidak 150 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT sesuai dengan kebutuhan tubuh, baik secara kualitas maupun kuantitas dapat menimbulkan masalah gizi pada bayi dan balita. Tabel 3.6. BGM pada KMS di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Posyandu 0-5 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-59 bln Jml Melati I - - 1 2 3 Melati II - - - - - Melati III - - - 2 2 Melati IV - - 1 - 1 Melati V - - - 2 2 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 Disamping BGM, di Desa Watu Hadang jumlah bayi dan balita dengan 2T yang terdata pada periode Mei 2014 sebanyak 19 bayi dan balita. Bayi dan balita dengan BGM dan 2T tersebut pernah mendapatkan BMT yang bersumber dari bantuan PNMP. BMT tersebut berupa susu dan biskuit bayi yang diberikan selama 1 bulan lamanya. Bantuan tersebut diterima pada bulan November 2013. Salah satu penerima bantuan BMT tersebut adalah balita yang berusia 3 tahun bernama FD. Saat belum menerima BMT, berat badan FD 9 kg, setelah menerima BMT berat badan FD naik menjadi 11,4 kg. Tetapi setelah bantuan tersebut dihentikan 1 bulan kemudian, berat badan FD turun menjadi 9,3 kg. Padahal menurut informasi dari bidan desa, untuk anak seusia FD berat badan yang normal berkisar 11,3 kg sampai dengan 11,6 kg. Berikut penjelasan RD, kakak dari FD. “Dulu FD dapat PMT dari Posyandu yang berupa biskuit dan susu kak. FD suka sekali kak, sampai dalam satu hari bisa menghabiskan biskuit 4-5 bungkus. Habis dikasih minta lagi, dikasih minta lagi. Pokoknya dia suka sekali. 151 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Berat badannya pun naik waktu ditimbang di Posyadu. Tetapi setelah bantuan tersebut berhenti badan FD turun kembali.” Berikut ini adalah tabel 2T, tabel status gizi kurang, dan tabel status gizi buruk periode bulan Mei 2014, yang bersumber pada data bidan desa Watu Hadang. Tabel 3.7. Distribusi Frekuensi 2T (Berat Badan Tidak Naik 2 Kali Berturut-turut) di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Posyandu 0-5 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-59 bln Jml Melati I 2 2 2 4 10 Melati II - - 1 1 2 Melati III - - - 2 2 Melati IV - - - 1 1 Melati V - - 2 2 4 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 Tabel 3.8. Status Gizi kurang di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Posyandu 0-5 Bln 6-11 Bln 12-23 Bln 24-59 Bln Melati I - - - - Melati II - - - - Melati III - - - 1 Melati IV - - - - Melati V - - - - Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 152 Jml 1 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tabel 3.9. Status Gizi Buruk di Desa Watu Hadang pada Bulan Mei Tahun 2014 Posyandu 0-5 Bln 6-11 Bln 12-23 Bln 24-59 Bln Melati I - - - - Melati II - - - - Melati III - - - 1 Melati IV - - - - Melati V - - - - Jml 1 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 Selain penimbangan, Posyandu juga melayani pemberian kapsul vitamin A yang dilakukan oleh Juru Imunisasi (Jurim) dengan dibantu oleh bidan desa. Berikut adalah jumlah distribusi kapsul vitamin A di Posyandu Desa Watu Hadang. Tabel 3.10. Distribusi Frekuensi Kapsul Vitamin A di Desa Watu Hadang bulan Mei Tahun 2014. Posyandu Jumlah Sasaran Bayi Jumlah sasaran Balita Melati I 43 110 Melati II 7 15 Melati III 20 35 Melati IV 5 11 Melati V 12 30 Sumber: Bidan Desa Watu Hadang, Mei 2014 Selain vitamin A, Jurim juga memberikan imunisasi pada bayi dan balita. Pemberian imunisasi dilakukan dengan memeriksa buku register untuk memeriksa nama bayi atau balita yang akan diberi imunisasi, dan memeriksa riwayat imunisasi apa saja yang telah diberikan. Semua bayi dan balita yang datang ke 153 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Posyandu dan masih perlu diberi imunisasi, akan dipanggil sesuai dengan antrian. Masyarakat, terutama ibu dari bayi dan balita, telah mengerti jika imunisasi penting dilakukan untuk menambah imunitas tubuh anak mereka terhadap serangan penyakit. Gambar 3.8 Pemberian Imunisasi oleh Jurim Puskesmas pada Kegiatan Posyandu di Uma Bara Sumber: Dokumentasi Peneliti Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan secara aktif terhadap penyakit tertentu. Imunisasi bertujuan menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jenis imunisasi adalah Hepatitis B, BCG, Polio, Campak, DPT/HepB, DT, Td dan TT. Manfaat pemberian imunisasi adalah untuk meningkatkan kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu, sehingga bila kelak ada seorang anak terpapar penyakit, maka penyakit tersebut tidak akan membuat si anak sakit atau sekedar sakit ringan. 154 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT 3.4.3. Memberikan ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan alami yang kandungan nutrisinya tidak dapat tertandingi oleh makanan lain. Pemberian ASI eksklusif, yaitu pemberian ASI selama 6 bulan berturut-turut tanpa adanya makanan tambahan atau minuman lain dan dianggap sebagai sumber makanan terbaik untuk anak. ASI juga memiliki nilai ekonomis karena tidak perlu dibeli, beda halnya dengan susu formula yang harganya relatif mahal. Salah seorang ibu yang mengaku memberikan ASI eksklusif kepada anaknya adalah MY (30 tahun). Dia berkata jika rata-rata bayi dan balita di desa mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya. “Rata-rata di desa itu, orang tuanya menyusui anakanaknya mbak. Kalau beli susu kaleng ya tidak mampu, kalau ASI kan kita tidak usah beli tinggal makan yang banyak saja ASI sudah keluar. Kita tidak perlu beli dot, tidak perlu cuci, pokoknya enak ASI mbak... praktis. Kedua anak saya ini Y dan A (minum) ASI semua mbak. Kalau Y hampir 2 tahun baru saya kasih sole (sapih). Kalau A ya... sampai sekarang ASI-nya.” Sumber informasi tentang ASI eksklusif MY dapatkan dari bidan desa ketika memeriksakan kehamilannya di Posyandu. Selain dari Posyandu, informasi tersebut juga didapatkan dari keluarga atau tetangga yang sebelumnya pernah menyusui. Menurut MY, ASI eksklusif mempunyai nilai gizi yang baik dari pada susu formula. MY juga berkata jika dia pernah memberikan kolostrum untuk kedua anaknya. “Saya melakukan persalinan di bidan, makanya saya bisa memberikan kolostrum pada dua anak saya mbak. Karena kata ibu bidan susu pertama itu mengandung gizi yang bagus, makanya saya memberikan ASI sama Y dan A. Kalau saya ke sawah seharian gitu, setelah pulang 155 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 belum hilang capek Apu (nenek) sudah panggil saya supaya saya kasih tetek (ASI) buat A begitu na...” 3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun Sering kali peneliti melihat aktivitas masyarakat desa dan mengamatinya. Keseharian mereka yang bergelut dengan peluh, ladang, kebun, dapur, tenun, atau ternak, membuat mereka terpapar tanah, lumpur, bahkan kotoran hewan. Tanah atau lumpur yang melekat di bagian tubuh, termasuk pada bagian tangan sudah merupakan hal biasa. Tidak ada rasa risih ketika tangan yang masih bertanah atau berlumpur tersebut digunakan untuk makan, atau menyuapi anak-anak mereka makan. Peneliti pernah sengaja bertanya kepada Bapak HK yang baru kembali dari sawah. Ketika itu Bapak HK langsung makan makanan siangnya dengan menggunakan tangannya yang masih berwarna kecoklatan dan berkerak tebal karena lumpur. Saat itu peneliti berseloroh dengan berkata jika makanan yang dia makan pasti akan bertambah nikmat. Bapak HK (75 tahun) justru menjawabnya dengan jawaban yang menurut peneliti penuh dengan makna filosofis. “Dulu mbak, waktu saya masih kecil dan bantu saya punya Bapa di sawah. Saya pulang, tangan dan kaki kotor karena lumpur, tapi orangtua larang kami cuci sudah. Bapa bilang kalau di lumpur-lumpur itu ada rejeki di kami punya sawah, jadi kalau dicuci nanti hilang sudah. Sampai sekarang saya masih percaya, saya tetap makan walau tangan kotor bagaimana hahaha...” Hal yang hampir sama juga pernah peneliti peroleh dari HMA (40 tahun). Dia juga pernah mendapatkan wejangan serupa dari kakeknya ketika dia masih kecil. Masalah mencuci dan tidak mencuci tangan ternyata tidak bisa dilihat hanya dari kaca mata 156 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT bersih dan tidak bersih, atau sehat dan tidak sehat. Ternyata ada alasan historis dan filosofis yang melatarbelakangi seseorang untuk tidak mencuci tangannya. HK dan HMA adalah generasi yang terpaut usia cukup jauh, tetapi ternyata mereka mendapatkan nilai yang sama tentang makna cuci tangan. Kemungkinan besar nilai-nilai tersebut juga diwariskan kepada generasi masa kini. Terlalu dini jika peneliti berkata nilai-nilai tersebut masih dianut. Tetapi setidaknya ada beberapa gambaran yang mendukung hal tersebut. Mencuci tangan bagi masyarakat desa yang peneliti kenal, adalah membasuh satu atau kedua belah tangan dengan menggunakan air tanpa menggunakan sabun. Mencuci tangan yang tampaknya mudah dilakukan, menjadi peristiwa yang jarang peneliti lihat. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa, atau orang lanjut usia jarang sekali diakhiri dengan cuci tangan. Misalnya saja MY, yang ketika itu sibuk memberi makan babinya dengan campuran nasi dan dedak. Dia menggunakan tangannya untuk mengaduk makanan babi tersebut sampai merata, lalu menaruh makanan tersebut di wadah makanan babi yang sudah disiapkan. Setelah pekerjaan tersebut selesai, tangan yang digunakan untuk mengaduk makanan babi tadi hanya kemudian dikeringkan dengan memakai kain usang berwarna kehitaman. Selanjutnya dia mengambil makanan dengan tangan yang sama, dan memberikannya untuk anak bungsunya. Anak sulung DS yang berusia 9 tahun, selalu mencari rumput untuk kuda peliharaannya selepas pulang dari sekolah. Dengan kedua tangannya dia mengangkut rumput, dan memindahkannya ke wadah pakan kuda di kandang. Dia juga juga membelai-belai punggung dan kepala kuda tersebut dengan tangan kanannya. Ketika dia tahu peneliti mendekat dan membawakannya sepotong kue, dia langsung mengambil kue 157 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tersebut dengan tangan yang sama. Ada saat-saat dimana mereka memang terlihat sedang mencuci tangan. Biasanya mereka membasuh kedua tangan dengan air sumur, atau langsung mencelupkannya di selokan atau sungai. 3.4.5. Memakai Jamban Sehat Selokan atau sungai, bukan hanya digunakan untuk mandi atau mencuci tangan. Selokan juga memiliki fungsi yaitu sebagai kakus atau jamban warga yang praktis, karena tidak perlu menyiram kotoran atau menimba air. Sebagian besar dari mereka melakukan BAB di selokan, dan biasanya dilakukan saat pagi hari ketika matahari belum terbit. Sebagian kecil masyarakat yang memiliki jamban di rumah mereka pun lebih suka BAB di selokan. Bapak HK, DS, dan TRP adalah warga yang memiliki jamban di rumah mereka, tetapi mereka dan keluarganya lebih suka melakukan aktivitas MCK di selokan. Mereka bertiga berasal dari golongan ekonomi yang baik, bahkan TRP adalah seorang maramba berpendidikan tinggi yang memiliki banyak ata di rumahnya. Kepemilikan sarana MCK, latar belakang ekonomi yang baik, atau latar belakang pendidikan yang tinggi tidak selalu berbanding lurus (linier) dengan kebiasaan atau perilaku seharihari mereka. Konsep tentang jamban sehat belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat, hal tersebut terbukti dengan ketergantungan mereka pada selokan atau sungai untuk membuang hajat. 3.4.6. Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari Setiap hari, dimulai dari pagi yang masih gelap, masyarakat di sekitar tempat tinggal peneliti (Kampung Uma Bara), sudah melakukan kesibukan di rumah mereka masingmasing. Aktivitas mereka semua mudah diamati karena Kampung 158 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Uma Bara adalah kampung kecil yang hanya terdiri dari 15 rumah, yang berdiri saling berdekatan satu sama lain. Mudah sekali untuk mengamati aktivitas penghuni di rumah-rumah tersebut. Dengan berjalan-jalan di pagi, siang, atau sore hari, aktivitas mereka mudah teramati. Pada pagi hari, hampir tidak ada orang yang tampak bermalas-malasan atau tidak melakukan kegiatan. Pagi hari adalah waktu dimana sebagian besar orang mengayunkan pisau atau parang dan menancapkannya di batang pisang, kemudian mengirisnya dengan sabar. Mereka semua sedang menyiapkan makanan babi. Aktivitas ini menghabiskan waktu sekitar 30 menit sampai dengan 60 menit. Mereka akan duduk dengan menduduki batang pisang tersebut, atau duduk menyamping dan badan mereka berada di sebelah batang pisang. Jika pekerjaan tersebut ingin diselesaikan dengan cepat, maka ayunan tangan mereka tidak boleh dihentikan. Aktivitas yang tergolong aktivitas sedang ini dilakukan setiap hari, setiap pagi dan sore hari. Selain menyiapkan makanan babi, aktivitas lain yang hampir setiap hari dilakukan adalah menyapu halaman. Pekerjaan ini sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan. Dengan sapu lidi yang panjang, mereka menyapu daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon untuk dikumpulkan, kemudian dibakar di pekarangan rumah mereka. Aktivitas ini pun tergolong aktivitas sedang, dan paling sering dilakukan saat pagi hari. Memasak dan pekerjaan rumah tangga lain juga menjadi aktivitas rutin yang dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka berkutat di dapur yang masih tradisional untuk memasak, mencuci piring, atau mencuci pakaian. Aktivitas ini adalah aktivitas domestik yang tampak mudah, tetapi menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Intensitasnya pun sering, dan aktivitas ini tergolong dalam aktivitas yang berat. 159 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Aktivitas lain seperti mengambil air dan memotong batang pisang pun adalah aktivitas rutin, yang hampir setiap hari dilakukan baik pagi atau sore hari. Air adalah kebutuhan pokok yang harus selalu ada. Air untuk minum dan memasak di ambil dari sumur dengan menggunakan ember atau jerigen bekas, kemudian diangkat dengan memakai tangan. Aktivitas ini memerlukan stamina yang besar, sehingga dapat dikategorikan sebagai aktivitas yang berat. Baik kaum laki-laki atau kaum perempuan sama-sama sering melakukan aktivitas ini. Begitu juga dengan aktivitas seperti memotong batang pisang. Batang pisang dicari di beberapa tempat di luar kampung. Sebagian besar masyarakat menuju ke lokasi tersebut dengan berjalan kaki. Dengan parang atau pisau, mereka akan memotong batang pisang tersebut lalu mengangkat, dan meletakannya di atas kepala. Dengan beban berat yang diangkut di atas kepala, mereka berjalan ke rumah. Aktivitas ini begitu menguras tenaga karena beban berat yang dibawa dan waktu yang relatif lama. Maka dari itu aktivitas ini termasuk dalam aktivitas yang tergolong berat. Aktivitas ini biasa dilakukan setiap hari, pada pagi hari setelah memberi makan babi, atau sore hari sebelum memberi makan babi. Aktivitas yang juga rutin dilakukan baik pagi, siang, atau sore hari adalah menenun. Sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan, baik tua ataupun muda. Anggota tubuh yang paling banyak bekerja pada saat menenun adalah kedua belah tangan. Tetapi jangan lupa, kaki dan punggung pun memiliki beban kerja yang sama karena menjadi tumpuan keseimbangan tubuh saat menenun. Satu hal lagi, aktivitas ini membutuhkan konsentrasi tinggi karena melibatkan daya kreatifitas dari otak kanan atau otak kiri. Waktu yang digunakan untuk menenun pun bukan waktu yang sebentar, paling tidak 2 sampai 5 jam dalam satu hari. Aktivitas ini tergolong aktivitas sedang. 160 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Aktivitas yang tergolong berat yang lain, adalah bertani atau berkebun. Aktivitas ini menghabiskan waktu cukup lama. Biasanya dari pagi hari sampai menjelang sore. Tidak hanya menghabiskan banyak waktu, stamina yang prima juga diperlukan dalam aktivitas ini. Mencangkul atau mengolah tanah, memberi pupuk, dan menyiram tanaman adalah beberapa bagian dari aktivitas tersebut. Aktivitas yang tergolong ringan, biasanya dilakukan setelah semua aktivitas berat selesai. Tujuan mereka sebenarnya adalah melepas lelah, dan biasanya mereka melakukannya sembari duduk mengobrol di sore hari, atau menonton televisi pada saat malam hari. 3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur Sehari-hari Makanan yang seimbang adalah makanan yang mengandung sumber-sumber nutrisi penting seperti karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral dengan jumlah yang sesuai. Kekurangan salah satu dari nutrisi tersebut dapat berakibat kepada ketidakseimbangan tubuh, atau gangguan kesehatan. Banyak daerah yang memiliki sumber makanan melimpah yang dapat dikonsumsi untuk memenuhi sumber-sumber nutrisi tersebut. Tetapi ada juga daerah yang tidak beruntung karena memiliki sumber makanan yang terbatas, misalnya saja Desa Watu Hadang. Karena beberapa alasan, sumber makanan bernutrisi tinggi seperti sayur mayur dan buah-buahan sulit untuk ditemukan. Imbasnya masyarakat jarang mengkonsumsi dua sumber nutrisi penting tersebut. Mereka lebih sering mengkonsumsi karbohidrat, yang bersumber nasi atau jagung yang dimakan. Alasan yang pertama adalah sedikitnya petani sayur dan buah yang ada di Desa Watu Hadang. Jumlah petani yang sedikit berdampak pada terbatasnya hasil sayur dan buah yang dipanen dan dijual kepada masyarakat. Alasan kedua, harga sayur mayur 161 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dan buah relatif mahal34 dan tidak semua lapisan masyarakat mampu untuk membelinya. Alasan ketiga, jauhnya jarak pasar/pusat perniagaan dari desa yang membuat sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki moda transportasi pribadi, tidak bisa menuju kesana untuk membeli sayur mayur atau buah setiap hari. Alasan keempat, banyak masyarakat yang justru memberikan sayur mayur yang bernutrisi pada babi yang mereka pelihara. Misalnya kangkung atau daun pepaya yang sering kali tampak menjadi menu sarapan dan makan sore babi peliharaan. Meskipun demikian, ada juga masyarakat yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan sayur mayur mereka dari hasil tanaman mereka sendiri. Misalnya Mama R, yang setiap minggu pasti mengolah bunga pepaya, buah pepaya, atau daun pepaya muda untuk dimasak. Biasanya sayur mayur tersebut diolah dengan cara direbus dengan bumbu garam dan penyedap rasa. Jenis sayur tersebutlah yang paling sering dia konsumsi bersama anak-anaknya karena mudah didapatkan. Beberapa pohon pepaya memang tumbuh di pekarangan rumahnya. Selain pohon pepaya, beberapa pohon pisang juga tumbuh subur. Pisang-pisang yang sudah berbuah sebagian besar dia jual kepada orang lain, dan sebagian kecil sisanya yang biasanya berukuran kecil dan tampak tidak menarik, baru akan dia konsumsi sendiri bersama keluarga. 3.4.8. Kebiasaan Merokok dan Minum Penaraci (Peci) Ada 2 kebiaasaan yang lekat dan mudah ditemui pada masyarakat Desa Watu Hadang, baik laki-laki maupun perempuan. Kebiasaan tersebut adalah kebiasaan merokok, dan minum minuman keras tradisional yang bernama Peneraci atau Peci. Sebagian besar masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki 34 Rata-rata satu ikat kecil sayur dijual seharga Rp.5000,- 162 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT adalah perokok dan peminum peci, dan sebagian kecilnya adalah perempuan. Jenis rokok yang dihisap bermacam-macam, yaitu jenis rokok tradisional, jenis rokok filter, dan jenis rokok kretek. Rokok tradisional adalah rokok buatan sendiri yang bahanbahannya terdiri daun lontar kering dan tembakau. Daun lontar digunakan untuk membungkus tembakau, lalu digulung sehingga berbentuk memanjang, kemudian diikat dibagian tengahnya dengan memakai daun lontar. Masyarakat yang menghisap rokok jenis ini adalah masyarakat yang rata-rata sudah berusia lanjut. Untuk rokok jenis filter dan kretek, rata-rata dihisap oleh kalangan remaja dan orang dewasa. Alasan mengapa mereka merokok adalah supaya tidak mengantuk, menghilangkan stres serta jenuh, dan penambah semangat dalam bekerja. Hampir di setiap waktu senggang mereka habiskan dengan merokok. Kebiasaan merokok ini bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak peduli dengan siapa saat itu mereka berada, termasuk dengan anak kecil sekalipun. Disamping merokok kebiasan lain yang sering dilakukan masyarakat di Desa Watu Hadang adalah minum peci. Peci adalah minuman yang terbuat dari akar katamba, akar alak yang dicampur dengan gula Sabu35. Peci termasuk dalam industri rumahan yang bisa diproduksi oleh masyarakat dengan peralatan sederhana. Berikut ini adalah cara pembuatan peci. 1. Akar katamba dan akar alak dimasukkan ke dalam drum (tong) 2. Campurkan gula Sabu dan air enau (nira lontar) ke dalam campuran no.1 dengan perbandingan 1:5, kemudian aduk sampai rata 3. Tutup drum dan diamkan selama 1 minggu 35 Konon minuman ini berasal dari Sabu, dan diperkenalkan oleh etnik Sabu ketika mereka datang ke Pulau Sumba. 163 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 4. Setelah 1 minggu angkat akar katamba dan akar alak dari drum, kemudian pindahkan ke drum kedua untuk dimasak 5. Drum ditutup dengan menggunakan kuali besar yang sudah diisi air sebagai pendingin. Bagian bawah kuali berfungsi sebagai penampung air sulingan, dan pada bagian itu dipasang pipa atau selang yang dialirkan ke dalam jerigen 6. Campuran bahan-bahan tadi direbus sampai mendidih dengan api yang stabil sekitar 3 jam. Air pertama yang keluar dari pipa ditampung dan diambil sebanyak 5 liter sebagai air kepala/peci nomer 1. Sementara sisanya adalah air peci dengan kualitas nomor dua. Air kepala peci adalah hasil sulingan yang dianggap memiliki kualitas terbaik, dan memiliki alkohol lebih tinggi jika dibandingkan dengan air peci sisanya. Sebelum dipasarkan, peci direndam dengan menggunakan kayu ginseng selama beberapa hari sebagai penambah aroma dan penghangat. Gambar 3.9. Proses Pembuatan Peneraci (peci) Sumber: Dokumentasi Peneliti 164 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Gambar 3.10 Proses Penyulingan Peneraci (peci) Sumber: Dokumentasi Peneliti Sebagian besar masyarakat mengkonsumsi peci sebagai penambah stamina dalam bekerja. Dengan mengkonsumsi peci, mereka merasa stamina mereka bertambah dan pegal-pegal pada tubuh menjadi hilang. Bapak A adalah seorang perokok dan peminum peci. Dalam satu hari, dia bisa menghabiskan setidaknya 1 bungkus rokok yang berisi 12 batang, dan setengah botol peci. Sering kali bapak A terlalu banyak meminum peci sampai dia tidak bisa mengontrol perilaku serta ucapannya sendiri. Karena rasa ketergantungan pada minuman tradisional tersebut begitu besar, Bapak A mengaku sering kali tidak merasa percaya diri jika tidak meminum peci. Keberaniannya untuk bicara lantang seolah-olah hilang, dan dia tiba-tiba menjadi sosok yang pendiam tanpa peci. Baginya rokok dan peci bukanlah ancaman bagi kesehatannya, justru sebaliknya dengan menghisap rokok dan meminum peci, stamina dan rasa percaya diri selalu terjaga. 165 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3.4.9. Penggunaan Air Bersih Sebagian besar masyarakat di Desa Watu Hadang menggunakan air selokan dan sungai untuk keperluan MCK. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air minum setiap harinya, mereka mengambil air dari sumur. Masyarakat menggunakan air sumur sebagai air minum, tanpa merebusnya terlebih dahulu. Menurut mereka, air sumur itu sudah bersih dan aman dari penyakit, sehingga tanpa direbus pun mereka bisa langsung meminumnya. Tidak semua rumah di Desa Watu Hadang memiliki sumur. Satu sumur biasanya digunakan untuk beberapa rumah tangga. Sumur tersebut ada yang milik pribadi dan ada yang merupakan bantuan dari PNPM. Sumur milik pribadi biasanya dibuat secara sederhana dengan memakai batu bata yang disusun melingkar sebagai dindingnya, atau berupa galian tanah saja tanpa dinding. Sedangkan sumur yang dibangun PNPM menggunakan cincin beton yang kuat, sehingga resapan air yang berasal dari luar cincin sumur tidak akan mudah masuk dan mengotori air di dalamnya. Sumur bantuan dari PNPM digunakan masyarakat untuk keperluan memasak dan air minum. Sumur ini ditempatkan pada yang titik-titik strategis, yaitu di pemukiman yang ditinggali oleh banyak warga. Selain sumur, PNPM juga membangun dua WC umum. WC umum ada yang dibangun berdekatan dengan sumur, tetapi ada juga yang tidak. WC tersebut dibangun secara permanen dengan dinding yang sudah dicat. Ada 1 sumur di Dusun Kalaki, yang terletak di kaki bukit ternyata kering. Sumur yang kering tersebut tidak bisa digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 166 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Keringnya sumur disebabkan oleh musim kemarau panjang, sehingga debet air berkurang. Gambar 3.11. Sumur dari Bantuan PNPM di Dusun Kalaki Desa Watu Hadang Sumber: Dokumentasi Peneliti Air adalah sumber kehidupan, dan manusia tidak mungkin hidup tanpa air karena berbagai aktivitas manusia selalu tergantung pada adanya air. Hal inilah yang membuat manusia harus menjaga kebersihan dan keberadaan air. Air yang terkontaminasi bakteri atau zat kimia dapat merugikan manusia jika dikonsumsi. Salah satu akibatnya adalah munculnya penyakit. Maka dari itu, menjaga kebersihan serta menggunakan air dengan bijak, penting dilakukan oleh masyarakat. 3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk Desa Watu Hadang merupakan daerah endemis malaria. Topografinya yang berupa perbukitan, persawahan, dan pantai, menjadikan Desa Watu Hadang potensial untuk mengalami peningkatan kasus malaria. Salah satu hal yang mendorong 167 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 berkembang biaknya nyamuk malaria adalah kondisi sanitasi lingkungan masyarakat, yang juga dipengaruhi oleh curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Faktor sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian penularan malaria, misalnya seperti kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektor bersifat eksofilik36 dan eksofagik37 akan mempermudah kontak dengan nyamuk. Faktor lain yang berpengaruh adalah tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya malaria seperti menggunakan kelambu, memasang kawat kasa dan racun nyamuk. Berbagai kegiatan masyarakat seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pembangunan pemukiman baru yang mengakibatkan perubahan lingkungan, ternyata juga faktor yang menguntungkan malaria untuk terus berkembang biak. Sampai saat ini, belum ada kegiatan pemberantasan sarang nyamuk di Desa Watu Hadang. Secara kultural, perkembangbiakan nyamuk juga didukung oleh keberadaan rumah tradisional Sumba yang masih banyak dijumpai. Rumah tradisional Sumba yang berbentuk panggung, sebagian besar tidak memiliki jendela sama sekali, atau sedikit ventilasi. Keadaan tersebut membuat bagian dalam rumah menjadi gelap dan pengap. Kebiasaan masyarakat menumpuk barang di dalam rumah dan di bagian bawah rumah, juga bisa mengundang nyamuk malaria untuk terus datang dan berkembang biak. Hampir sebagian besar masyarakat Desa Watu Hadang tidak memiliki kamar mandi. Mereka menggunakan sungai dan sumur untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mempunyai kamar mandi, misalnya Bapak HK. Bak kamar mandi Bapak HK dikuras/dibersihkan setiap 3-4 hari sekali. 36 37 Eksofilik: jenis nyamuk yang lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah Eksofagik; jenis nyamuk yang lebih suka menggigit di luar rumah 168 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT 3.5. Penyakit Menular 3.5.1. Malaria Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang banyak diderita masyarakat Desa Watu Hadang. Malaria sangat berisiko untuk balita dan ibu hamil karena dapat menyebabkan anemia, dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Jenis malaria yang paling banyak didapatkan di wilayah Puskesmas Melolo adalah malaria fasifarum dan vivax. Ada juga yang merupakan gabungan dari keduanya atau mixed infection. Tabel 3.11. Tipe Malaria dan Jumlahnya di Puskemas Melolo Tahun 2013 No Tipe malaria Jumlah 1. Malaria klinis 1182 2. Malaria vivax 41 3. Malaria falsifarum 4. Malaria mix Keterangan 2754 4 2 tipe malaria Sumber: Laporan surveilans terpadu penyakit berbasis Puskesmas Tahun 2013 Tabel 3.12. Indikator AMI dan API di Wilayah Kerja Puskesmas Melolo pada Tahun 2013 No Indikator Kegiatan Target SPM 2013 Cakupan Kegiatan 2013 ABS % Gap/ trand Masalah 1 AMI 67,6 3.642 222,63 155 Melebihi 2 API 47,6 2.669 163,15 116 Melebihi Sumber: RUK Puskesmas Melolo Tahun 2013 169 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Berikut ini adalah jumlah penderita malaria baru yang tercatat di Desa Watu Hadang mulai Januari 2013 sampai Maret 2014. Grafik 3.4. Jumlah Penderita Malaria di Desa Watu Hadang pada Bulan Januari 2013 - Maret 2014 Sumber: Laporan Tahunan Puskesmas Melolo Tahun 2013-2014 Penyakit malaria berdasarkan ciri-ciri dan gejalanya ternyata memiliki kesamaan dengan salah satu penyakit kampung yang dianggap sebagai turunan dari ngilu. Penyakit tersebut dikenal dengan sebutan muru manganding38. Penyakit ini sudah dianggap biasa bagi masyarakat, karena sebagian besar dari mereka pernah terjangkit. Masyarakat sudah mengetahui jika awal mula dari penyakit tersebut adalah dari gigitan nyamuk. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit sporozoa plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina infektif. Sebagian besar nyamuk anopheles akan 38 Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan 3 orang petugas Puskesmas yang pernah peneliti wawancarai 170 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT menggigit pada waktu senja atau malam hari, pada jenis nyamuk puncak gigitannya adalah tengah malam sampai fajar. Dikenal 5 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi. Jenis malaria adalah sebagai berikut (Buku Saku, Ditjen P2PL Kemenkes, 2013). 1. Malaria falciparum Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala demam timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian. 2. Malaria Vivax Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam berulang dengan interval bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium vivax. 3. Malaria Ovale Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis biasanya bersifat ringan. Pola demam seperti pada malaria vivax. 4. Malaria Malariae Disebabkan oleh Plamodium malariae. Gejala demam berulang dengan interval bebas demam 3 hari. 5. Malaria Knowlesi Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam menyerupai malaria falsifarum. Salah satu informan yang pernah terjangkit malaria adalah RD. Saat itu RD merasakan bagian kepalanya terasa pusing, badan terasa lemas, pinggang terasa sakit, menggigil, demam, dan kehilangan nafsu makan. 171 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Kepala saya rasanya pusing sekali, badan lemas, pinggang juga sakit sampai tidak bisa duduk, menggigil dan panas, saya tidak mau makan hanya minum air saja kak... Pokoknya badan rasa sakit semuanya lah kak!” Secara tradisional, penyakit malaria atau dalam istilah lokal disebut muru manganding, dapat diobati dengan daun manganding. Salah satu dukun yang mampu mengobati muru manganding di Desa Watu Hadang adalah Bapak NL. Ramuan yang digunakan Bapak NL adalah daun manganding yang diambil dari atas bukit. Bapak NL mengaku, banyak pasien yang sudah berhasil disembuhkan olehnya. Salah satunya adalah SS. “Saya dulu pernah sakit parah, demam berhari-hari dan badan sakit semua sampai perut saya juga membesar. Saya berobat ke bapak NL dan diberikan ramuan daun manganding yang saya minum sampai saya sembuh total. Mata dan kulit saya waktu itu sudah kuning mbak. Untung bisa sembuh berkat ditolong oleh bapaj NL. Sampai sekarang penyakit saya belum pernah kambuh lagi.” Cara membuat ramuan daun manganding adalah dengan merebusnya, kemudian disaring. Air rebusan tersebut digunakan untuk mandi, dan diminum selama 3-4 hari. Selain mandi dan meminum ramuan daun manganding, pasien juga diberikan terapi pemijatan dengan menggunakan santan kelapa. Pemijatan pada awalnya dilakukan hanya pada bagian yang dirasa sakit oleh pasien, kemudian dilanjutkan dengan pemijatan seluruh tubuh. Pemijatan ini dilakukan 2-4 kali dalam waktu yang berbeda. Pemijatan dilakukan pada sore hari menjelang matahari akan tenggelam. Hal ini bertujuan supaya penyakit yang diderita pasien juga ikut tenggelam bersama hilangnya matahari. Sisa ampas daun manganding, dan ampas kelapa yang digunakan untuk pengobatan muru manganding tadi, tidak boleh 172 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dibuang dan harus disimpan. Ampas tersebut akan diserahkan kembali kepada bapak NL untuk dilakukan ritual pendinginan atau ‘kasih dingin obat’. Ritual ‘kasih dingin’ dilakukan dengan cara membuang sisa/ampas obat tadi di tempat yang dianggap dingin dan jauh dari pemukiman manusia, seperti dibawah pohon, atau batu besar. Tujuannya adalah supaya penyakit tidak kembali lagi kepada pasien, atau kepada orang lain. Gambar 3.12 Daun Manganding untuk Mengobati Sakit Malaria Sumber: Dokumentasi Peneliti RD yang terjangkit malaria tidak melakukan pengobatan secara tradisional seperti yang dilakukan SS, tetapi melakukan pengobatan medis dengan pergi ke Puskesmas. “Awalnya saya kira sakit biasa saja kak, saya minum obat yang dikasih KR, asam mefenamat sama paracetamol yang kakak kasih kemarin. Tetapi badan masih sakit semua, pinggang ini rasanya sakit sekali sampai tidak bisa duduk. Saya tidak mau makan, sampai mama marah. Tahu saya tidak mau makan, mama Y nyuruh bapak Y untuk belikan soto buat saya. Tapi saya tetap tidak mau makan. Pokoknya badan rasanya sakit semua 173 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kak. Habis gitu saya diantar bapak Y pergi ke Puskesmas. Dokter pun memeriksa saya kemudian memberi obat, dia bilang kalau belum sembuh kembali lagi untuk tes darah. Obat saya minum tetapi badan masih sakit semua dan panas. Saya diantar bapak Y ke Puskesmas lagi. Dokter memeriksa kemudian menyuruh saya ke ruangan sebelahnya untuk diambil darah. Setelah menunggu sekitar 30 menit saya dipanggil kembali oleh petugas dan bilang kalau saya positif malaria. Saya kembali ke ruangan dokter kemudian mengambil obatnya. “ Ketika terjadi peningkatan kasus malaria, petugas Puskesmas mengadakan kegiatan Mass Blood Survey (MBS). Sebelum melaksanakan MBS, petugas Puskesmas akan memeriksa data hasil pelaporan dan pencatatan yang sudah direkapitulasi oleh petugas Puskesmas sebagai rujukan. Untuk desa dengan angka kesakitan tertinggi akan dilakukan MBS, dengan terlebih dahulu dilakukan penyuluhan oleh petugas promkes. Sebelum penyuluhan, bidan desa bertugas mensosialisasikan kegiatan MBS tersebut ke kepala desa dan tokoh masyarakat. Selanjutnya petugas menjadwalkan tanggal dan hari untuk memberikan penyuluhan. Dari pengalaman yang pernah dialami oleh salah seorang petugas Puskesmas saat melakukan penyuluhan, sebagian besar yang hadir pada kegiatan tersebut adalah kaum perempuan dan anak-anak. Kaum laki-laki banyak yang tidak hadir karena harus bekerja. Kalau pun ada laki-laki yang datang, biasanya dia adalah perangkat desa. Berikut penjelasan dari petugas pemegang program malaria Puskesmas Melolo. “Kegiatan program ini adalah kegiatan MBS (pengambilan darah masal) secara masal di desa-desa, jadi kita pilih mana yang paling banyak ini apa kasus malaria. Kita lihat data mana yang tinggi begitu kita 174 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT turun ke lapangan, langsung pengambilan darah. Sekalian kita penyuluhan sebelum kita pengambilan darah kita melakukan penyuluhan. Dikonfirmasi ke tokoh adat dan tokoh masyarakat, kepala desa, RT dan bidan desa dengan kader. Mereka yang datang kadang 3 orang atau 2 orang, tidak semua, biasa itu ibu-ibu dengan anak-anak.” Program yang kedua adalah pembagian kelambu. Kelambu ini dipakai oleh masyarakat Desa Watu Hadang untuk melakukan pencegahan malaria secara fisik. Pemakaian kelambu ini adalah bagian dari program Puskesmas untuk mengurangi angka kesakitan malaria dengan sasaran ibu hamil dan balita. Pembagian kelambu malaria dilakukan dengan melihat data ibu hamil dan balita yang ada di desa terlebih dahulu. Setelah mengetahui berapa jumlah ibu hamil dan balita, petugas Puskesmas membagi kelambu tersebut melalui bidan desa. Sebelum pembagian kelambu dilakukan, petugas memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai fungsi kelambu dan bahaya malaria. Program yang ketiga adalah Posmaldes. Posmaldes adalah Pos Malaria Desa, pos ini dibentuk di daerah-daerah yang endemis malaria. Jadi tidak semua desa ada Posmaldes, hanya daerah-daerah tertentu yang jauh dari Puskesmas dan endemis malaria. Petugas Posmaldes adalah kader-kader yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu. Para kader Posmaldes tersebut bertugas untuk memberikan obat kepada masyarakat yang mengalami gejala malaria. Apabila ditemukan ada 3-4 gejala malaria, maka kader akan memberikan obat malaria kepada orang yang kemungkinan sakit tersebut. Apabila setelah minum obat belum ada perubahan, maka kader berkewajiban membawa warganya ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Bila hasil laboratorium 175 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menunjukan positif malaria, maka dokter segera mengobati berdasar jenis malarianya. Berikut ini penjelasan dari pemegang program malaria Puskesmas Melolo. “Pos malaria desa ada 5 posmaldes, itu di desa yang jauh tidak terjangkau, yang sulit seperti Ngarukanuruh, ada dua itu Posmaldes Nara dan Tire itu. Itu sudah berjalan lama, kemudian ini di Watu Pudak 1, Wai Pandak yang sebelah kali dia, kemudian Patawang 2 juga Posmaldes, Kara Pelang dan Wuri Padu, jadi tiap bulan mereka ambil obat ke Puskesmas dengan kasih laporan. Pelatihan mereka sudah di latih jadi yang khusus malaria klinis. Mereka bekerja secara suka rela saja mbak. Tapi untuk yang sekarang bulan agustus itu ada juga biaya transportasi ketika mengambil obat dan pengantaran laporan. Ambil obatnya sambil pengambilan dan pengantaran. Sudah dilatih itu kader, sudah mereka berikan obatnya kalau tidak sembuh mereka biasanya sarankan untuk ke Puskesmas pemeriksaan lanjutan, pemeriksaan darah seperti itu.” 3.5.2. Tuberkulosis/TB Paru Dari data Riskesdas 2013 di Provinsi NTT untuk diagnosa TB yang diobati < 1 tahun adalah 0,3%, > 1 tahun adalah 1,1%, OAT adalah 34,7%. Sedangkan untuk gejala TB batuk ≥ 2 minggu adalah 8,8% dan batuk darah 4,0%. Dari semua indikator tersebut masih dibawa angka rata-rata Indonesia sedangkan gejala batuk ≥ 2 minggu di atas rata-rata yaitu 3,9%. Tuberkulosis/TB Paru akan menjadi topik yang dibahas secara mendalam pada Bab IV. TB akan dilihat tidak hanya dari sisi medis tetapi juga sisi budayanya. TB yang akan diceritakan pada Bab 4 adalah TB yang menjangkiti anak-anak. Masyarakat memiliki sebutan yang berbeda untuk menyebut TB. Bapak HN 176 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT (55 tahun), menyebut nama lain TB dengan sebutan tanggingu maria. Tanggi berarti batuk, ria berarti darah, sedangkan maria berarti yang berdarah. Sehingga arti dari tanggingu maria adalah batuk yang berdarah. Dua informan lainnya, yaitu Mama R dan Mama D menyebut TB dengan sebutan apung, yang berarti lendir. Dua informan yang terakhir, yaitu Mama R dan Mama D, kisah hidupnya akan dibahas secara mendalam pada Bab IV. Kisah tentang apung akan menjadi topik tematik karena dibalik kisah apung, akan terlihat bagaimana budaya begitu berpengaruh terhadap sudut pandang seseorang tentang sakit, penyebab sakit, upaya mencari kesembuhan, dan siapa penyembuhnya. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis yang ditularkan melalui udara saat seorang pasien TB batuk, dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat benapas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan. Untuk mengetahui tentang penderita tuberkulosis dengan baik, harus dikenal tanda dan gejalanya. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita TB paru apabila ditemukan gejala klinis utama pada dirinya. Gejala utama pada tersangka penderita TB adalah; batuk berdahak lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada. Gejala lainnya adalah berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi/ meriang dan penurunan berat badan. Ketika mengetahui atau menemukan penderita TB baru biasanya petugas Puskesmas melakukan skrining di keluarga tersebut. Terkadang petugas mendatangi ke rumah yang ada penderita TB atau meminta dari keluarga tersebut untuk suka rela memeriksakan dahaknya ke Puskesmas. Berikut ini 177 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penjelasan dari ibu SS pemegang program TB di Puskesmas Melolo. “Kalau kita menemukan penderita TB baru, kita biasanya melakukan skrening di keluarga tersebut. Ketika kita melakukan skrining tersebut kadang ada yang positif penderita TB kadang juga tidak. Kalau menemukan penderita TB begitu saya tanya yang sakit apakah mau sembuh total atau tidak..? kalau mau sembuh total harus siap minum obat selama 6 bulan tidak boleh putus. Karena kalau putus malah menyulitkan petugas dalam pengobatan berikutnya dan membahayakan buat orang lain.” Apabila petugas Puskesmas menemukan penderita TB melalui pemeriksaan aktif, maka mereka meminta secara suka rela kepada keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada keluarga yang tertular penyakit TB atau tidak. Seperti yang diceritakan bapak HN berikut ini. “Ketika petugas bilang saya sakit TBC, mama yang mengantar ikut juga diperiksa. Tetapi kata petugas mama tidak apa-apa dan sehat. Petugas bilang mama suruh kasih ingat saya terus supaya tidak lupa untuk minum obat, soalnya itu obat kata dokter harus rajin minum begituna dan tidak boleh sampai lupa.” 3.5.3. Frambusia/ Patek Salah satu provinsi yang mempunyai kantong frambusia adalah NTT. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh 3 faktor penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vektor) dan 178 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT environment (lingkungan) termasuk dalam faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan39. Di wilayah kerja Puskesmas Melolo masih sering ditemukan penderita frambusia. Karena keterbatasan tenaga untuk melakukan skrining pada wilayah yang merupakan kantong frambusia, maka petugas menggunakan strategi dengan melakukan skrining di sekolah-sekolah. Skrining dilakukan bersamaan dengan kegiatan UKS, dan ada 2-3 petugas yang melakukan pemeriksaan di sekolah-sekolah tersebut. Satu petugas melakukan pemeriksaan gigi, satu lagi pemeriksaan kesehatan secara umum, dan satu lagi melakukan skrining frambusia. Cara tersebut dirasa cukup efisien dalam mencari penderita frambusia. Jika ternyata dalam skrining di sekolah tersebut ditemukan ada siswa yang terjangkit Frambusia, maka petugas akan mengobservasi rumah siswa yang terjangkit dan melakukan skrining di sekitar rumah sampai radius 50 meter. Berikut ini adalah penjelasan bapak ND pemegang program penyakit menular di Puskesmas Melolo. “Itu dijaring di SD karena kebanyakan di SD itu ini apa... tempat berkumpul toh? ini yang seumur SD saja yang kita ketemu, ada 10 kemarin. Kita jaring di SD tanya alamat, ikuti lagi di rumah. Kalau radius 50 meter dari rumah itu, kita jaring lagi.” Penderita frambusia akan diberikan pengobatan dengan suntikan benzatin yang sudah diencerkan. Dosis yang diberikan pada usia diatas 15 tahun adalah 2,4 mililiter atau 10 cc, sedangkan untuk usia dibawah 15 tahun adalah 1,2 mililiter atau 5 cc. Suntikan benzatin menjadi satu-satunya pengobatan untuk 39 herodessolution.dilestarikan.wordpress.com/2012/01/penyakitframbusiapatek-yaws-pdf 179 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 frambusia. Menurut bapak ND, pasien Frambusia yang mendapatkan suntikan benzatin, lukanya akan kering dalam waktu tiga hari saja. Apalagi jika penyakit frambusia tersebut masih dalam fase awal. Grafik 3.5. Jumlah Penderita Fambusia Bulan Januari 2013 - Maret 2014 Sumber: Data Sekunder dari Bidan Desa Tahun 2014 “Tiga hari saja kalau sudah suntik langsung kering. Tiga hari saja hilang, ini kan obat khusus dorang (mereka=pasien Frambusia). Tidak ada obat antibiotik, cuma suntik saja. Tidak perlu lagi obat, karena percuma juga kita kasih antibiotik yang lain, tidak mempan dan tidak sembuh, hanya ini saja benzatin. Satu kali pemberian.. kalau umur 12 ke atas dia 2,4 mililiter unit artinya 10 cc, macam yang ini kemarin. Sedangkan untuk 12 ke bawah 1,2 mililiter artinya 5 cc.” Penderita dengan semua bentuk gejala frambusia harus diobati. Selain itu semua orang yang pernah kontak dengan penderita yaitu keluarga, teman sepermainan, dan tetangga juga harus mendapatkan pengobatan, karena kemungkinan besar 180 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT sudah tertular. Penyakit frambusia dalam masyarakat Desa Watu Hadang dikenal dengan pikti yang artinya adalah penyakit gatal. Apabila boroknya masih kecil dinamakan benakudu (borok kecil), sedangkan borok yang sudah membesar disebut pongo bana (luka borok yang sudah bernanah). Gejala awalnya menurut NG adalah gatal-gatal kemudian digaruk sehingga menimbulkan borok. Berdasarkan informan NG, beberapa waktu yang lalu di sekolahnya dilakukan pemeriksaan oleh petugas Puskesmas. Saat ini NG duduk di Sekolah Dasar kelas empat. NG adalah salah satu siswa yang mendapatkan pengobatan suntik oleh petugas Puskesmas. Berikut ini informasi dari NG. “Minggu yang lalu dilakukan pemeriksaan di kelas oleh petugas Puskesmas. Saya dan teman lain yang punya sakit di kaki seperti ini mendapat suntikan dari petugas. Katanya biar cepat kering dan tidak gatal begitu kak” Rasa gatal pada kaki NG sudah mulai terasa sekitar satu bulan sebelum wawancara dengannya dilakukan40. Sebelumnya petugas Puskesmas sudah pernah memeriksa dan memberikan suntikan benzatin. Saat ini luka di kakinya sudah mulai mengering karena suntikan tersebut. Dalam kesehariannya NG melakukan aktivitas MCK di sungai. NG juga masih suka bermain bersama dengan teman-temannya di tanah lapang, sawah, dan kebunkebun. Rumah NG sudah di bangun secara permanen, dengan lantai yang berkeramik. Hanya saja rumahnya tidak memiliki sumur untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih keluarga NG mengambilnya dari sumur tetangga. Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Ditemukan 40 Wawancara dengan NG dilakukan pada sekitar bulan Juni-Juli 2014 181 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pada anak-anak umur antara 2-15 tahun dan lebih sering pada anak laki-laki. Pencegahan penyakit frambusia sendiri adalah dengan cara: 1. Selalu menjaga kebersihan diri dengan mandi menggunakan sabun setiap hari 2. Selalu mencuci pakaian yang sudah dipakai dan tidak memakai pakaian secara bergantian dengan penderita Frambusia 3. Hindari kontak langsung dengan luka penderita 4. Segera obati jika ditemukan penderita 5. Semua orang yang pernah kontak dengan penderita tidak boleh terlewatkan untuk mendapatkan pengobatan. 3.5.4. Kusta Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah yang sangat kompleks. Masalah yang ada bukan saja dari segi medis, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, serta keamanan dan ketahanan sosial. Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena kenyataannya sebagian besar penderita kusta bersal dari golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono,2005:37). Penyakit kusta di Desa Watu Hadang disebut dengan killa. Salah satu orang yang terjangkit kusta di Desa Watu Hadang adalah Bapak HG. Awal mulanya Bapak HG merasakan kram pada bagian tubuhnya. Kemudian HG berobat ke dokter. Dari diagnosa dokter diketahui jika Bapak HG menderita penyakit kusta. Berikut 182 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT ini adalah penjelasan bapak HG mengenahi awal penyakit kustanya. “Saya punya badan ini benjol-benjolan begitu, saya punya badan ini bengkak-bengkak. Jadi saya diteliti di dokter H dulu. Apa ini? tusuk-tusuk dengan jarum begini, sakit dia bilang? Tidak, saya bilang, karena saya sudah terserang jadi kram semua dan tidak terasa itu jarum ibu. Jadi saya kena kusta kering. Kusta kering dia bilang, kalau bahasa sumba killa kita bilang. Gejala awalnya badan sakit kram, semua ini kaku, semua persendian kram-kram, lalu timbul itu benjol-benjolan. Jadi saya langsung dapat obat, dapat tablet, ahh...minum hampir puluhan tahun ibu..” Sebelumnya Bapak HG tinggal di Desa Umalulu yang merupakan daerah pegunungan. Tempatnya yang sulit akan air membuat bapak HG tidak bisa mandi setiap harinya. Jika ingin mandi, Bapak HG harus pergi jauh ke mata air. Bapak HG adalah seorang petani yang harus mencukupi kebutuhan keluarganya, maka dari itu Bapak HG bekerja membanting tulang dari pagi sampai sore menjelang malam. Kondisi ekonomi yang kurang baik, membuat Bapak HG dan keluarganya hanya makan dari hasil kebunnya. Rumahnya yang terletak di Desa Umalulu, masih berbentuk rumah adat Sumba yang terbuat dari kayu dan beratapkan alang-alang. Berikut adalah cerita Bapak HG ketika tinggal di Desa Umalulu. “Saya dulu tinggal di Desa Umalulu, Karokenongo. Rumah alang, rumah kayu saja, karena di sana ada rumah jaga kebun saja. Airnya tidak ada, di mata air saja. Pergi ke sana tidak mandi lagi, pulang dari kerja kebun lap-lap begini. Karena sulit apa disana.. Sulit air. Dari kerja sebentar tidur sudah tidak mandi. Begini... kalau... karena jauh... susah mandi di air besar ibu, tidak terasa 183 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sakit badan ya sudah kita tidak rasa. Itu kalau repot kerja musti kita kesulitan, memang pada waktu itu seolaholah kita begitu tidak suka mandi ibu...” Grafik 3.6. Jumlah Penderita Kusta Periode Januari 2013-Maret 2014 Sumber: Data Sekunder Dari Bidan Desa Watu Hadang Tahun 2014 Karena Bapak HG sakit dan tidak mampu bekerja lagi, maka bapak HG pindah ke Kampung Lehandang, Desa Watu Hadang atas ajakan saudaranya. Di kampung tersebut dia tinggal bersama istri dan anak-anak dari saudaranya. Karena usianya yang sudah lanjut, Bapak HG sering lupa ketika harus minum obat kusta. Istrinya sering kali mengingatkan untuk minum obat program tersebut. Berikut cerita dari Bapak HG. “Ya kalo saya lupa, sebentar-sebentar saya lupa ibu..jadi maitua (istri) juga tidak peringatkan saya biasa lupalupa. Kalau terlalu sibuk saya banyak pelupa ibu...” Walaupun sudah lama melakukan pengobatan kusta, Bapak HG belum bisa sembuh total. Hal tersebut karena Bapak HG sering lupa untuk meminum obat, dan akibatnya pengobatan 184 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT kusta tersebut tidak berjalan dengan tuntas. Akhirnya petugas Puskesmas menyarankan Bapak HG untuk berhenti minum obat yang sebelumnya diminum, karena akan dilakukan pengecekan kembali. Obat lama Bapak HG yang kemungkinan sudah rusak karena proses penyimpanan yang kurang baik, akan diganti dengan obat yang baru. Puskesmas Melolo melakukan skrining penderita kusta dengan cara melakukan survei pada lokasi-lokasi yang diduga merupakan kantong kusta. Selain itu, informasi adanya penderita kusta juga bisa berasal dari laporan warga yang datang ke Puskesmas. Jika ada orang yang diduga terjangkit kusta, petugas akan melakukan sebuah tes kepada orang tersebut. Tes dilakukan dengan cara mengoles bagian kulit dengan kapas tanpa sepengetahuan orang tersebut. Apabila dia tidak merasakan sentuhan kapas tersebut, maka diduga dia positif menderita kusta. Berikut penjelasan bapak ND, seorang petugas Puskesmas Melolo yang bercerita tentang pencarian penderita kusta. “Ini kita keliling dulu, keliling kita lakukan survey. Lakukan survey ada juga yang menurut ini laporan dari warga toh... jadi kalau dapat laporan kita langsung turun sampai benar apa tidak dia punya gejala. Dia yang sudah basah itu sudah tahu memang, ini bulu mata ini sudah rontok, pokoknya yang pinggir-pinggir macam telinga tebal, luka . Ada yang juga yang sulit dideteksi. Kayaknya kayak panu saja, bintik-bintik putih dibadan. Jadi kita lakukan pemeriksaan dengan pakai cara...dia tidak boleh lihat kita, kita ini apa.. kita ambil kapas dia rasa atau tidak... kalau dia tidak rasa berarti begitu kusta sudah. Kalau panu kan rasa, kalau kusta tidak rasa dia. Itu yang baru gejala, ada bintik-bintik putih.” Program yang sudah berjalan di Puskesmas Melolo untuk pemberantasan kusta adalah dengan cara meningkatkan 185 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pengetahuan tentang kesehatan dan pengobatan yang intensif. Hal tersebut dilakukan dengan cara memantau terus penderita dan keluarganya. Berikut ini adalah penjelasan bapak ND sebagai pemegang program kusta di Puskesmas Melolo. “Programnya ya apa..melakukan ini apa..pengetahuan di rumah, kalau yang sementara minum obat setiap dua bulan kita dikunjungi. Tiap-tiap bulan dikunjungi sambil kita ini pantau atau bagaimana ini dia punya perkembangan, dan kita ini apa..juga dia punya keluarga. Tapi kalau sudah berobat itu, tidak diragukan lagi untuk ini... artinya sudah tidak bisa menular lagi, cuman kita pantau terus... karena masa inkubasi ini lama. Misalnya satu orang dalam satu keluarga yang sudah kena, dari keluarganya semua kita ini apa periksa. Meskipun belum ada jadi tetap kita isi terus karena masa inkubasi, kadang sampai 15 tahun kalau dia kusta.” 3.6. Penyakit Tidak Menular 3.6.1. Diabetes Mellitus Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013 untuk Provinsi NTT prevalensi diabetes mellitus berdasarkan diagnosis dokter adalah 1,2%, sedangkan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah 3,3%. Rata-rata Diabetes Mellitus dengan diagnosis dokter di Indonesia adalah 1,5% dan prevalensi di NTT adalah 1,2% atau mendekati rata-rata. Sedangkan untuk Diabetes Mellitus dengan diagnosis nakes adalah 2,1%, dan prevalensi Diabetes Mellitus di NTT 3,3% yang sudah melebihi dari rata-rata. Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Menurut Bapak RJ (80 tahun), 186 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Diabetes Melllitus dalam istilah Sumba disebut dengan kanjawang. Bapak RJ sendiri adalah seorang informan yang menderita Diabetes Mellitus. Gejala yang dirasakan Bapak RJ adalah sering buang air kecil, ingin terus menerus minum, dan badan terasa lemah dan tidak enak. Berikut ini adalah cerita dari bapak RJ yang menderita penyakit Diabetes Mellitus. “Saya ini ada sakit gula, sudah lama. Gejalanya ya..kadang sering buang air kecil, ingin minum terus begitu. Di samping itu.., apa..badan rasa lemah dan tidak enak begitu. Rasanya sakit semua begitu...” Penyakit diabetes mellitus di Desa Watu Hadang, ternyata jarang diketahui secara medis. Hal tersebut dikarenakan masyarakat lebih memilih pengobatan tradisional dibandingkan pengobatan medis, sehingga jumlah penderita sulit untuk didata dengan akurat. Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh dukun dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, termasuk Diabetes Mellitus. Latar belakang kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap dukun, salah satunya karena masyarakat percaya jika sakit yang mereka alami berasal dari Marapu, dan sakit dari Marapu bukanlah sakit yang dapat disembuhkan melalui cara medis. Tidak jarang, ketika upaya pengobatan oleh dukun tidak juga berujung kepada kesembuhan, mereka baru akan beralih kepada pengobatan medis. Kadang kala mereka datang ke Pustu dan Puskesmas ketika kondisi penyakit mereka sudah semakin parah41. Bapak RJ adalah salah satu informan dari golongan maramba yang bergelar Strata 1 atau sarjana. Gelar tersebut adalah gelar yang sulit ditemukan di Desa Watu Hadang, karena mayoritas masyarakat hanya menempuh pendidikan SD42. 41 42 Hal ini juga pernah diceritakan oleh beberapa petugas kesehatan Lihat data pendukungnya di Bab II 187 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pemahaman Bapak RJ terhadap pentingnya pengobatan medis, membuatnya selalu berupaya mengobati penyakit Diabetes Mellitus yang dia derita dengan cara medis juga. Jika dia merasa kondisi badannya sudah mulai melemah, Bapak RJ segera berinisiatif untuk memeriksakan kadar gula darahnya. “Kalau badan dirasa lemah dan tidak enak semua dan mata agak-agak kabur serasa mau pingsan begitu.. saya berobat ke dokter R. Biasa dia cek kadar gula begitu, terus dia kasih obat untuk di minum. Dia bilang tidak boleh makan yang manis-manis begitu biar gula tidak semakin tinggi.” Menurut Bapak RJ, penderita Diabetes Mellitus seperti dirinya dilarang mengkonsumsi daging yang berasal dari hewan yang gemuk, dan makanan yang manis. Tetapi larangan tersebut sulit untuk dipatuhi, karena dalam berbagai acara adat atau ritual yang menyuguhkan daging di Desa Watu Hadang, Bapak RJ sering kali diundang sebagai tamu kehormatan. Sebagai tamu kehormatan, memakan sajian yang disuguhkan oleh tuan rumah adalah suatu kewajiban. “Kalau sakit gula itu ya...tidak boleh makan hewan yang gemuk-gemuk atau daging-daging lainnya. Tidak boleh makan yang manis seperti tebu begitu...” Penderita Diabetes pada umumnya mengalami gangguan hormon insulin yang diproduksi organ pankreas dalam tubuh. Rendahnya hormon insulin tubuh menyebabkan tidak terkontrolnya kadar gula dalam darah. Efeknya adalah akan semakin tingginya kadar gula dalam darah karena pola makan yang kurang sehat. Tingginya kadar gula darah disebabkan karena hormon insulin tidak mampu mengubah makanan menjadi energi. Seperti yang kita tahu, sebagian besar makanan yang kita konsumsi mengadung kadar gula yang tinggi sehingga sangat 188 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT rentan untuk terkena penyakit Diabetes, jika organ pankreas penghasil hormon insulin tidak berfungsi dengan baik. Pengobatan primer untuk DM adalah dengan diet, olahraga dan obat obatan misalnya agen hipoglikemik oral, insulin, atau keduanya. Dari semua pengobatan ini yang paling penting adalah diet. Strategi diet diperlukan untuk mencapai euglikemia, mempertahankan berat badan ideal dan memaksimalkan status nutrisi43. 3.6.2. Hipertensi Prevalensi Hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi dengan diagnosis dan gejala adalah 9,4% dan hipertensi dengan diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat 9,5%, sedangkan untuk hasil pengukuran 25,8%. Di Provinsi NTT prevalensi hipertensi dengan diagnosis dokter adalah 7,2%, dan untuk hipertensi dengan diagnosa nakes dan minum obat 7,4%, sedangkan untuk hasil pengukuran adalah 23,3%. Meskipun angka tersebut masih di bawah dari rata-rata akan tetapi tetap masalah bagi kesehatan masyarakat. Darah tinggi atau hipertensi di Desa Watu Hadang disebut juga dengan hewaria. Bapak RJ yang juga memiliki riwayat hipertensi mengatakan jika gejala hipertensi yang dia rasakan, ditandai dengan sakit kepala yang hebat, badan terasa tidak nyaman, mata berkunang-kunang, dan pusing. “Saya ini ada darah tinggi juga. Kalau sakit begitu ya biasa sakit kepala yang hebat, badan tidak enak, mata ini berkunang-kunang dan pusing.” Gejala hipertensi ditandai dengan meningkatnya tekanan darah yang seringkali merupakan salah satu gejala hipertensi 43 www.kamusq.com/2013/05/diabetes-mellitus-adalah-pengertian-dan.html 189 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 esensial. Gejala lainnya adalah sakit kepala, pusing, sakit kepala sebelah. Pola pengobatan yang dilakukan masyarakat di Desa Watu Hadang adalah secara tradisional dan medis. Cara tradisional ditempuh dengan mengandalkan bantuan dukun. Pengobatan yang dilakukan dukun berupa pemberian ramuan tradisional, urut, dan ritual doa. Ramuan yang diberikan berupa ramuan yang terbuat dari daun dan akar tumbuhan. Sayangnya sebagian besar dukun merahasiakan ramuan racikan mereka. Pengobatan melalui cara medis dilakukan dengan cara datang ke Pustu atau ke Puskesmas. Makanan yang dilarang dikonsumsi oleh penderita hipertensi menurut Bapak RJ adalah daging, terutama daging yang berasal dari hewan yang gemuk. 3.6.3. Penyakit Jiwa Berat (Skizopherenia dan Psikotik) Masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang, menyebut penyakit gila dengan sebutan katuaba. Berdasarkan informasi dari petugas Puskesmas Melolo, di Desa Watu Hadang terdapat beberapa kasus penyakit jiwa yang tergolong berat. Berikut ini adalah penjelasan dari bapak ND petugas Puskesmas Melolo. “Kalau ada yang disini ini., yang paling banyak penyakit jiwa ini kita punya Desa Watu Hadang ini. Ada juga yang karena malaria, ekonominya jadi stres, ada yang problem lain yang macam ini karena nona juga yang bisa sampai begitu.” Latar belakang dibalik penyebab atau pemicu penyakit jiwa masing-masing penderita ternyata bervariasi. Dua orang informan yang tinggal di Desa Watu Hadang, yaitu HL seorang laki-laki (35 tahun) dan NP seorang perempuan (37 tahun) adalah penderita sakit jiwa. Awal mula HL menderita sakit jiwa yaitu ketika dia mengalami kecelakaan hebat di Waingapu. Hebatnya kecelakaan yang dialaminya tersebut membuat HL tidak 190 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT sadarkan diri dalam waktu yang lama. Keluarga HL berusaha menyembuhkan HL dengan cara medis. HL dibawa ke Rumahsakit, dan dokter menyarankan kepada keluara HL agar dia segera dibawa ke psikiater. Anjuran untuk membawa HL kepada psikiater tidak mampu dilakukan oleh keluarga HL. Alasan ketidakmampuan secara finansial serta jarak tempuh yang jauh, menjadi hambatan utama untuk upaya pengobatan HL tersebut. NP memiliki kisah yang lain. Pemicu dari sakit jiwa yang dia derita adalah karena rasa kehilangan yang mendalam, akibat kematian saudara laki-lakinya yang begitu dekat dengannya. Sejak saudaranya meninggal, NP mulai mengurung diri dan menangis di dalam kamarnya. Lambat laun, dia menjauh dari orang-orang terdekat dan orang-orang di lingkungan sekitar dia tinggal. Keluarga NP merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengannya, karena NP lebih sering meracau secara tidak jelas. Walaupun mengalami sakit jiwa, NP masih mampu melakukan aktivitas seperti biasanya, seperti menjaga kebersihan diri dan menjaga ternak. Tetapi sikapnya akan berubah menjadi tertutup dan kembali mengurung diri di kamar, ketika dia bertemu dengan orang asing atau orang yang baru dikenalnya. Selama ini keluarga NP mengupayakan pengobatan NP dengan cara tradisional, yaitu mengandalkan campur tangan dukun. Sudah banyak dukun yang dimintai pertolongan untuk menyembuhkan NP, tetapi hasilnya nihil. NP ternyata tidak kunjung sembuh. Dukun-dukun tersebut berkata jika NP terkena gangguan mahkluk halus, yang suka kepada NP karena NP masih perawan. Keluarga NP belum pernah berupaya menyembuhkan NP dengan jalan medis, faktor tidak ada biaya menjadi alasan utama. Mahalnya biaya transportasi dan akomodasi untuk pengobatan ke Rumahsakit atau Puskesmas menjadi kendala keluarga NP, walaupun mereka tahu jika biaya pengobatannya sendiri gratis. 191 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Masyarakat Sumba percaya jika apa yang dilakukan manusia selama hidupnya, akan berbuah peristiwa entah baik atau buruk. Dengan berusaha selalu berbuat baik dengan sesama, dan menjauhi perbuatan dosa, masyarakat yakin jika hal tersebut dapat menjauhkan mereka dari penyakit jiwa. 192 BAB 4 BELENGGU APUNG 4.1. ‘Angin’ di Tanah Marapu 4.1.1. Kisah tentang Angin Kampung Uma Bara, adalah kampung Raja Melolo yang tadinya hanya dapat kami lihat di internet sebagai salah satu destinasi wisata di Desa Watu Hadang. Hampir setiap pekan pasti ada wisatawan yang datang untuk melihat-lihat, baik dari mancanegara maupun wisatawan lokal. Para wisatawan tersebut akan diserbu oleh warga kampung yang menawarkan kain dan selendang buatan mereka sendiri. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata mereka percaya diri bersaing dengan sesama penjual untuk merebut perhatian wisatawan. Selain daya tarik yang dilihat dari kain yang dijajakan, Kampung Uma Bara memiliki daya tarik lain berupa kubur batu para raja dan rumah adat yang masih berupa rumah alang. Rumah yang berada di Kampung Uma Bara hampir sebagian besar adalah rumah tradisional dengan gaya rumah panggung. Walaupun masih ada yang masih memakai alang untuk atap rumah, namun sebagian besar masyarakat sudah memakai atap seng karena dirasa lebih praktis dan tahan lama. Selain daya tarik kampung raja dan kubur batunya, Desa Watu Hadang dikenal juga sebagai desa yang masih patuh menjalankan tradisi nenek moyang yaitu Marapu. Marapu yang dianggap sebagai agama asli orang Sumba menjadi pedoman 193 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 hidup dalam keseharian mereka. Kelahiran, kematian, pernikahan, pengobatan, dan aktivitas lainnya selalu terkait erat dengan Marapu. Menurut Soeriadiredja (1983: 241), agama Marapu merupakan inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah bagi mereka untuk melepaskan keagamaannya, untuk menjadi penganut agama lain, walau mereka pun sering pula diintervensi oleh agama-agama lain. Walaupun sebagian besar masyarakat kini telah memeluk agama kristen namun Marapu tetap menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari jati diri mereka sebagai orang Sumba. Peneliti teringat salah satu ucapan HMA, seorang wunang, ratu, dan juga dukun penyembuh yang mengatakan jika orang Sumba bisa berubah keyakinan menjadi beragama kristen, tetapi tanah Sumba tetaplah tanah Marapu. Marapu? Apa itu? tanya peneliti saat pertama kali mendengarnya. Marapu dalam pikiran peneliti pada awalnya adalah agama, suatu agama asli dimana pemeluknya melakukan ritual peribadatan dengan cara-cara tertentu. Marapu tidak memiliki kitab suci, dan sesungguhnya Marapu itu sendiri lebih merujuk pada sebutan untuk leluhur atau roh nenek moyang yang dikultuskan oleh keturunanketurunannya. Jadi bisa saja dalam satu klan dengan klan yang lainnya memuja Marapu yang berbeda. Dengan alasan-alasan tersebut, pemerintah menyebut marapu sebagai aliran kepercayaan dan bukan agama. Berbeda dengan sudut pandang pemerintah, Soeriadiredja (2012) justru bersikukuh jika Marapu adalah agama asli orang Sumba walaupun bukan berasal dari agama Samawi. Dalam hal ini peneliti sepakat dengan pernyataan tersebut. 194 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Masyarakat Desa Watu Hadang masih memegang kepercayaan Marapu sebagai bagian dari pedoman hidup mereka, baik yang masih memegang marapu sebagai kepercayaan asli mereka, atau bagi mereka yang sudah memeluk agama samawi seperti agama Kristen, Katolik, atau Islam. Bukan omong kosong jika desa ini dianggap sebagai basis Marapu yang masih kuat, karena di desa lain di Kecamatan Umalulu, pemeluk Marapu dikabarkan tinggal sedikit saja. Marapu berperan penting dalam budaya masyarakat Desa Watu Hadang, berbagai peristiwa adat seperti pernikahan, kematian, syukuran, dan ritual-ritual lain seperti pengobatan atau penyembuhan masih menggunakan tradisi Marapu. Marapu sebagai leluhur yang dianggap sebagai sosok transendental, magis, pelindung, pemberi kesembuhan, dan sekaligus juga sebagai pemberi sakit atau penyakit. Banyak kisah-kisah yang kami dapatkan di lapangan yang menggambarkan pernyataan tersebut. Suatu hari peneliti menuju ke rumah seberang, rumah tetangga kami yang bernama D selalu penuh dan ramai dengan orang. Rumah tersebut memang dihuni oleh 10 anggota keluarga yang terdiri dari kakek, nenek, anak, ipar, menantu, dan cucu. Rumah tersebut menarik perhatian ketika 8 dari 10 orang yang tinggal terserang sakit secara hampir bersamaan. Sebagian besar dari mereka menderita demam dan muntah-muntah. Dua orang dari mereka sudah melakukan pengobatan ke Puskesmas namun menurut pengakuan keduanya, dokter berkata mereka baik-baik saja. Obat-obatan yang diberi dokter dianggap tidak mampu menyembuhkan sakit mereka. Karena alasan tersebut, mereka menganggap jika sakit yang mereka derita bukanlah sakit biasa. Peneliti sempat datang menjenguk dan bermaksud melihat pengobatan apa yang akan mereka lakukan, namun tidak diperbolehkan oleh salah satu anggota keluarga mereka. Keluarga tersebut yakin jika mereka terkena ngilu yang dikirim 195 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 orang. Ngilu? Sejenis rasa nyeri kah? Dari apa yang peneliti dengar dari tetangga, keluarga tersebut memanggil dukun untuk melakukan pengobatan dan ternyata sembuh beberapa hari kemudian. Setelah sembuh mereka melakukan syukuran dengan melakukan ritual hamayangu atau berdoa, dan menikam babi sebagai persembahan. Mereka yakin jika keluarga mereka yang jatuh sakit itu karena ‘dibikin orang’. Berikut cuplikan percakapan yang sempat terekam dan peneliti tulis kembali; Jadi sebenarnya mereka semua sakit apa kak? “Yang kemarin anak laki-laki yang menangis kalau disentuh itu ternyata dorang (dia) punya kaki patah tapi tidak mau cerita, waktu dukun urut lalu tanya dia baru bilang kalau dorang jatuh dari pohon,” Kalau yang lain sakit apa kak? “Sakit demam biasa saja, kemarin sudah ke Puskesmas to jadi sudah baik sekarang” Berarti bukan ngilu? “Ya ngilu juga, dibikin orang sudah.” Siapa yang bikin? “Orang yang tidak suka dengan kita to.” tapi tadi katanya salah satu yang bikin sakit ada adek yang jatuh dari pohon to? “Iya dorang bikin dia jatuh.” Dorang itu siapa kak? “Dorang itu suanggi, orang yang kirim ngilu, angin.” Cerita di atas, hanya satu dari sekian banyak cerita yang peneliti dengar tentang ‘angin’. Angin dipercaya sebagai penyebab sakit, dan penyakit yang disebabkan oleh angin identik dengan penyakit yang disebut dengan penyakit kampung. Penyakit kampung ini dipercaya tidak akan mampu disembuhkan secara medis. Kuatnya keyakinan jika sakit atau penyakit yang diderita merupakan akibat dari angin, maka mereka pun yakin 196 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT jika penyembuhannya bukan di tangan medis. Kami mendengarkan percakapan seorang wunang yang sedang berbicara dengan satu keluarga yang mengundangnya datang ke rumah mereka. Salah satu anggota keluarga mengalami sakit di bagian telapak tangan sebelah kanan,wunang dan si sakit menyebutnya sebagai ‘mata ikan’. Menurut si sakit, 2 minggu sebelum dia sakit, di telapak tangan kanannya muncul satu tonjolan berukuran kecil yang mirip dengan jerawat. Semakin lama tonjolan tersebut semakin bertambah besar dan bernanah, bahkan lukanya menjadi semakin dalam. Daging di bagian telapak tangan tersebut tampak terbuka, bengkak, dan penuh dengan nanah. Si sakit pernah pergi ke dukun untuk berobat, dan sudah diolesi minyak obat yang dicampur dengan minyak kelapa sebanyak empat kali oles. Dukun berkata jika si sakit terkena muru mangidip, suatu penyakit turunan dari ngilu. Setelah berobat ke dukun dan tidak kunjung sembuh, si sakit pergi ke bidan untuk berobat dan diberi obat yang menurut pengakuan si sakit hanya tersisa satu butir saja. Sayangnya si sakit tidak tahu obat jenis apa yang diberi bidan. Wunang berbincang dengan orang sakit tersebut dalam bahasa Sumba, mereka berdiskusi apa saja kemungkinan-kemungkinan penyebab sakit tersebut. Menurut wunang, jika luka tersebut tidak mampu diobati oleh dukun dan tidak sembuh ketika dibawa berobat ke bidan maka kemungkinan yang terbesar muru mangidip tersebut merupakan kiriman dari orang lain, atau peringatan dari Marapu yang marah. Terkait dengan pemahaman orang Sumba tentang sakit dan penyebab sakit, peneliti sudah berulang-ulang kali menemukan kasus dimana masyarakat menganggap penyebab sakit mereka adalah karena angin. Angin. Hampir semua orang yang peneliti kenal di desa Watu Hadang menyebut angin. Mereka memuja sekaligus takut akan angin. Angin atau ngilu 197 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dalam bahasa Sumba bukan hanya berarti sebagai padanan kata dari udara yang bergerak. Lebih dari itu, ia sakral sampai banyak orang pantang menyebutnya ketika malam hari, dan akan berbisik jika menyebutnya ketika siang hari. Angin atau ngilu dipercaya muncul saat matahari terbenam. Ngilu bukan sejenis badai, bukan sejenis angin kencang, atau angin topan. Ia akan datang setiap saat kepada orang yang melanggar dosa, melanggar perintah leluhur (Marapu), dan datang pada orang yang tidak menjalin hubungan baik dengan sesamanya. Dalam rupa apa ia datang? Sakit atau penyakit. Sakit itu bisa datang melalui kiriman dari orang lain, atau masyarakat setempat lebih suka menyebutnya ‘dibikin orang’, bisa datang dari tukang tenung atau suanggi, atau datang ketika seseorang sedang dalam keadaan tidak dilindungi oleh Marapu-nya karena telah berbuat dosa atau kesalahan. Masyarakat Desa Watu Hadang memiliki kebudayaan yang menarik. Jati diri mereka sebagai orang Sumba bisa dikatakan terdapat dalam kepercayaan Marapu yang masih dianut oleh sebagian masyarakat Desa Watu Hadang di Sumba Timur ini. Kepercayaan yang menghormati leluhur sebagai pelindung, penolong, dan penyembuh ini begitu mengakar kuat bahkan bukan hanya pada masyarakat yang masih memegang kepercayaan Marapu sebagai pedoman hidupnya, tetapi juga bagi sebagian masyarakat yang sudah menganut agama lain seperti Kristen. Katolik, atau Islam. Karena sifat-sifat agung tersebut masyarakat memuja Marapu atau leluhur layaknya orang suci atau bahkan Tuhan. Di sisi lain, Marapu atau leluhur bisa menjadi sumber malapetaka jika dia berkenan. Marapu akan melepas bencana atau penyakit jika pengikut-pengikutnya melakukan kesalahan baik kepada dirinya maupun kepada orang lain. Masyarakat percaya bahwa semua sakit atau penyakit berasal dari Marapu, 198 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dan karena itulah hanya Marapu juga yang mampu menyembuhkannya. Melalui apa sakit atau penyakit itu datang? Angin. Dalam masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang, angin dan sakit tidak akan bisa dilepaskan satu sama lain. Mereka percaya bahwa angin adalah sumber dari semua sakit, penyakit, atau bahkan bencana yang menimpa. Angin atau ngilu, peneliti sungguh ingin tahu dibuatnya. Unsur alam ini bisa datang sebagai sebuah peringatan dari leluhur (Marapu), atau sebagai sebuah malapetaka dari suanggi (tukang sihir atau tukang tenun). Seorang wunang bernama HMA berkata jika ngilu muncul searah dengan matahari terbenam. Ia mampu datang dari berbagai arah mata angin menyerbu manusia, ia bisa saja hinggap pada siapapun yang ia mampu. Tuhan mengirim ngilu pada manusia, namun orang yang masih percaya akan Marapu meyakini bahwa ngilu tersebut dikendalikan oleh Marapu. Sakralnya ngilu membuat masyarakat lebih banyak yang menyebutnya sebagai na’i atau muru saja, ada sebagian orang yang menyebut keduanya sebagai padanan kata ngilu. Istilah na’i merujuk pada bahasa Sabu yang berarti angin, sedangkan muru berasal dari bahasa Sumba yang bisa berarti 2 macam arti, yaitu angin dan obat. Kedua istilah tersebut adalah istilah yang paling sering digunakan. Istilah-istilah tersebut tidaklah menjadi masalah jika substansinya sama, yaitu angin sebagai agen pembawa sakit atau penyakit. Sakit atau penyakit yang dibawa oleh angin dipercaya tidak akan mampu disembuhkan secara medis, masyarakat lokal percaya jika sakit atau penyakit ini bersifat magis dan hanya bisa disembuhkan oleh orang-orang tertentu saja. Kesehatan bagi sebagian masyarakat adalah perilaku yang terkait dengan kebersihan diri, kebersihan lingkungan, keteraturan mengkonsumsi obat-obatan dari dokter, atau kepatuhan untuk 199 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 datang periksa ke fasilitas kesehatan pemerintah. Berbeda halnya dengan kesehatan jika dilihat dari sudut pandang magis. Pada masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang, tolok ukur kesehatan dapat dilihat antara lain melalui perilaku moral dan spiritual. Ketika kedua hal tersebut berjalan tidak seimbang maka yang terjadi adalah munculnya sakit atau penyakit yang berdampak buruk kepada diri mereka. Salah satu informan, yang bernama Mama R berkata; “Pokoknya mbak kalau sudah sakit, Marapu marah, kita bersalah memang. Bersalah dalam keadaan, bersalah dalam tingkah laku, perbuatan dalam rumah itu satu kampung kena. Bukan hanya diri sendiri, satu kampung bisa kena. Begitu dilihat dari itu berarti Marapu marah. Kalau sudah sakit satu kampung, kita sudah tau persis kalau itu Marapu, ada yang bersalah di situ. Harus cari... apalagi kalau ada yang curi dalam isi rumah, sakit semua... sakit sudah.” HMA memperkuat pernyataan di atas. “Kata Marapu, kamu pikir sudah apa kamu punya salah, dia bertanya sudah macam begitu, jangan kamu sembunyi-sembunyi lagi, kalau kamu tidak mengaku bisa akibat ini tanggung marah yang betul sudah ini marapu ini.. Berarti kita punya perbuatan dia tidak suka begitu.” Ketika seseorang jauh dari pencipta dan leluhurnya (Marapu), dia akan berpotensi mengalami sakit atau penyakit karena Marapu telah lepas tangan untuk tidak melindunginya dari angin. Begitu pula jika dia melakukan kesalahan yang dianggap melanggar moral, maka sakit penyakit itu akan datang. Agen pembawa sakit tersebut adalah ‘angin’. Angin dipercaya sebagai kiriman dari marapu yang dipercaya Tuhan untuk mengatur kepada siapa dia bisa memberi atau mencabutnya. Ketika angin menjadi sesuatu yang dianggap sakral dan menjadi 200 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT suatu kontrol moral serta spiritual masyarakat agar tidak terkena sakit atau penyakit, maka hal utama yang menjadi penting untuk dilihat adalah mencari tahu; secara kosmologi, apakah angin itu? Melihat angin sebagai bagian dari kepercayaan marapu berarti kita harus melihat angin sebagai bagian dari religi dan budaya masyarakat Sumba. 4.1.2. Etiologi Penyakit Dari sudut pandang medis, kesehatan dilihat secara empiris. Penyakit harus terdiagnosa secara jelas melalui observasi atau serangkaian tes laboratorium. Penyakit atau sakit dalam sudut pandang medis disebabkan oleh bakteri, virus, atau karena terjadi ketidakseimbangan hormon dalam tubuh sehingga berakibat pada munculnya sakit atau penyakit. Jika sakit atau penyakit tersebut sudah dalam stadium lanjut maka kemungkinan terbesar adalah kematian. Berbeda halnya jika kesehatan dilihat dari sudut pandang budaya dan religi, kita harus melihatnya secara spiritual dan magis. Sakit atau penyakit muncul bukan karena dari intervensi bakteri, virus, atau ketidakseimbangan hormon, tetapi ada intervensi dari sesuatu yang bersifat spiritual atau magis tersebut. Intervensi yang bersifat spiritual atau magis pada akhirnya akan berpengaruh kepada keputusan untuk memilih fasilitas kesehatan. Jika sakit atau penyakit yang bersifat empiris dapat disembuhkan secara medis di Puskesmas atau rumah sakit, maka sakit atau penyakit yang bersifat magis tidak dapat disembuhkan di fasilitas kesehatan tersebut. Mereka mempercayakan penyembuhan atas bantuan dari Marapu, si pemberi angin melalui tangan orang lain, yaitu dukun. Ketika seseorang percaya jika ia mendapatkan sakit atau penyakit medis, maka biasanya yang akan ia tanyakan kepada petugas medis adalah; sakit apa dan apa sebabnya? Pertanyaan 201 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ‘sakit apa?’ adalah pertanyaan yang paling umum ketika seseorang ingin tahu bagaimana diagnosa dari petugas medis. Kemudian pertanyaan ‘apa sebabnya?’ pun demikian, biasanya jawaban atas pertanyaan ini pun adalah jawaban yang bersifat alamiah, seperti ‘karena kurang istirahat’, ‘karena salah makan’, atau ‘karena serangan virus atau bakteri’. Beda halnya jika ada seseorang yang percaya jika ia mendapat sakit atau penyakit secara magis, maka hal yang akan ia tanyakan adalah; ‘mengapa?’ dan ‘siapa?’ Pada kasus beberapa orang informan yang yakin jika diri mereka terkena ngilu, pertanyaan yang paling umum ditanyakan kepada dukun adalah ‘mengapa?’, yaitu alasan mengapa mereka mendapatkan serangan ngilu. Selanjutnya ‘siapa?’, yaitu siapa yang telah mengirim atau ‘membikin’ ngilu tersebut. Angin yang dihembuskan Marapu memiliki kelemahan yang hanya diketahui oleh orang yang mampu mengendalikannya. ‘Pengendali angin’ ini disebut juga sebagai ‘orang yang pegang muru’ atau yang orang yang mengetahui obat ngilu, dan mereka dipercaya sebagai penyembuh dari sakit yang disebabkan angin tersebut. Penyembuh penyakit atau sakit yang disebabkan oleh angin adalah dukun. Bahkan ada beberapa dukun yang merangkap sebagai juru bicara adat yang disebut wunang. Dukun dan wunang penyembuh menyebut proses penyembuhan sakit atau penyakit tsb dengan istilah “kasih dingin”. Istilah tersebut merujuk kepada beberapa jenis pengobatan, antara lain; hawurut (disembur dengan sirih pinang), urut atau pijat, minuman ramuan obat serta mandi dengan ramuan obat, dan yang terakhir adalah dengan cara hamayangu atau berdoa. Jika pengobatan tersebut dianggap mendinginkan, maka secara logika penyakit atau sakit itu sendiri bersifat panas. 202 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Dalam teori, penyakit yang disebabkan oleh panas diobati dengan ramuan obat yang dingin dan makanan yang dingin, juga dengan tindakan-tindakan yang mendinginkan (Suryadarma & Meutia F. Hatta Swasono, 1986:71). Karena sifat angin yang panas dianggap membawa sakit atau penyakit maka tindakan untuk mendinginkan dianggap sebagai pengobatan. Pengobatan dengan cara disembur sirih pinang (hawurut), urut atau pijat, minum ramuan obat, mandi ramuan obat, dan hamayang bertujuan untuk mendinginkan angin. Dalam antropologi kesehatan dikenal adanya 2 macam etiologi penyakit (Suryadarma & Meutia F. Hatta Swasono, 1986: 63-64), etiologi tersebut antara lain; 1. Sistem-sistem medis personalistik Sistem medis personalistik adalah suatu sistem dimana penyakit (illnes) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif yang dapat berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat), maupun makhluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Orang yang sakit adalah korbannya, objek dari agresi atau hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untuk alasanalasan yang khusus menyangkut dirinya saja. 2. Sistem-sistem medis naturalistik Dalam sistem medis naturalistik, penyakit (illnes) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistemsistem naturalistik di atas segalanya mengakui adanya keseimbangan. Sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor atau dasha), yin dan yang, berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya penyakit. 203 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Etiologi di atas menjadi acuan yang tepat untuk melihat bagaimana budaya kesehatan bisa dilihat secara lebih mendalam. Pun dalam masyarakat Sumba di Desa Watu Hadang yang terikat erat dengan budaya nenek moyang mereka. Budaya Marapu masih menjadi pedoman hidup bagi sebagian besar orang Sumba, baik yang masih memeluk kepercayaan ini atau pun yang sudah beragama lain (Kristen atau Islam). Jika dilihat berdasarkan kedua etiologi penyakit di atas, maka penting adanya untuk mengkaji bagaimana masyarakat mengkategorikan penyakit yang mereka percaya berasal dari Marapu tersebut. Tetapi sebelumnya sangat penting untuk kita ketahui, apa saja penyakit yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari ‘angin’ atau ngilu. Untuk mencari tahu apa sesungguhnya ngilu dan apa saja jenisnya, kami melakukan wawancara dengan salah seorang wunang (juru bicara adat), yang juga seorang Ratu (penasihat spiritual keluarga kerajaan), sekaligus sebagai seorang dukun penyembuh tradisional bernama HMA. Dibandingkan dengan informan penyembuh lainnya, HMA adalah informan yang memiliki informasi dan wawasan yang paling luas tentang Marapu. Perannya yang penting dalam masyarakat terlihat ketika banyak orang membutuhkannya untuk menjadi juru bicara saat peristiwa adat (wunang), memimpin ritual doa atau hamayangu, dan menyembuhkan ngilu. Usianya masih muda, sekitar 40 tahun, dan mungkin adalah salah satu wunang termuda yang ada di Kecamatan Umalulu. HMA mulai mampu memimpin hamayangu atau ritual doa dalam agama Marapu sekitar tahun 1987, dan mulai mampu mengobati ngilu sekitar tahun 1994. Kemampuannya tersebut didapat secara alami atau merupakan bakat alam, namun dia mengakui bahwa ada campur tangan seorang guru yang pernah mengajari itu semua. 204 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tahun 1997 HMA mulai dipercaya menjadi wunang atau juru bicara dalam ritual adat Masyarakat Sumba. Bahasa yang digunakan saat memimpin ritual adat adalah bahasa ritual yang hanya diketahui oleh sesama wunang. Bahasa ini adalah bahasa yang diturunkan secara lisan dan hanya boleh dipelajari oleh golongan wunang saja. Sepak terjangnya dalam hal adat dan pengobatan membuat HMA memiliki tempat yang baik di mata masyarakat. Tidak jarang kata-katanya dianggap sebagai wejangan, dan nasehatnya akan cermat didengar oleh orangorang. Karena pengetahuan dan pengalamannya jugalah, akhirnya peneliti menganggap penjabaran dan rinciannya tentang ngilu dapat kami jadikan acuan. Menurut HMA, ngilu dipercaya merupakan bagian dari ciptaan Tuhan yang diatur oleh Marapu dan bisa datang kepada manusia yang biasanya lalai karena melakukan kesalahan atau dosa. Ngilu ini dipercaya turun di dunia manusia saat bulan Mei dan November, dimana secara ilmiah pada bulan tersebut memang dipercaya HMA sebagai musim penyakit. Ngilu jika dilihat dari proses penularannya terdapat 2 macam, yang pertama adala ngilu, dan yang kedua ngilu tama. Ngilu yang pertama adalah ngilu yang terjadi melalui proses alami walaupun secara hakikatnya proses tersebut masih dibawah campur tangan Marapu yang melepaskan perlindungannya. Ngilu yang kedua, yaitu ngilu tama adalah ngilu yang terjadi karena perbuatan orang lain atau masyarakat lokal menyebutnya dengan istilah ‘dibikin’. HMA menjelaskan ada 5 induk ngilu yang dia ketahui bersama dengan anak-anaknya. Penyebutan istilah induk merujuk pada kepercayaan Marapu yang menganggap kelima ngilu tersebut merupakan laki-laki dan perempuan yang 205 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 berpasang-pasangan selayaknya suami istri atau ayah dan ibu. Ngilu induk tersebut antara lain; 1. Rodang Hambuli. Anak-anak beserta ciri-cirinya adalah; a) Haruka : terasa tertikam di semua bagian badan b) Kahalaramba : rasa tertikam di bagian dada dan punggung c) Alimu : lutut terasa asam (sakit) sampai tidak kuat berjalan d) Hailulu, ada 3 macam hailulu: 1) hailulu kawini: sakit di bagian pinggang, ginjal, dan nafas terasa sesak 2) hailulu mini : kemaluan bengkak 3) hailulu halinding : urat kaki, pinggang terasa tertarik. 2. Parukut Walawitu (penyakit kulit). Anak-anak dan ciricirinya adalah; a) Harua Wini: kulit terkelupas namun tidak ada luka dan bisa terdapat di semua badan b) Mampadi : terasa gatal di seluruh badan, bintik-bintik dan berair c) Uta : terasa gatal, sakit, bisa muncul di sekujur badan, bintik kecil, terasa sakit, dan bisa menyebabkan demam d) Hayingu : terasa gatal, bengkak, sakit, berukuran besar, bisa muncul di sekujur badan kecuali di telapak tangan dan kaki. Bisa menyebabkan demam e) Manggari : bisul dan bernanah f) Muru Ipi : kulit melepuh seperti terkena air panas di badan dan bernanah g) Muru Kabuata : benjolan besar, terkelupas, ada cairan berwarna kuning di seluruh badan 206 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT h) Muru Ipi Kabala : sama dengan Muru Ipi, hanya saja penyebarannya lebih cepat i) Muru Hawali : dikenal sebagai muru yang kurang ajar. Luka di alat kelamin, gatal, berbintik-bintik, dan berair j) Muru Mina Manu : penyakit kulit yang diawali dengan bercak-bercak berwarna putih, gejala penyakit ini diyakini mirip penyakit kusta k) Muru Mangidip: penyakit kulit yang mirip bisul dan bernanah, muncul di telapak tangan 3. Kenja Pahuru Mutu Lapa, merupakan penyakit kulit yang hampir sama dengan Parukut Walawitu. Anak-anaknya masih belum banyak diketahui, sebagian kecil yang diketahui adalah; a) Muru Huahak : muru yang terasa sakit di mulut, gusi dan bagian kulit di dalam mulut mengalami luka b) Muru Halabbu : muru yang juga terasa sakit di mulut, luka di bagian bibir dan mulut, bernanah, berbintikbintik, dan bisa menjalar sampai ke bagian telinga c) Muru Lapapu : muru yang terasa sakit di mulut dan gusi, dan gigi terasa bergoyang (hampir tanggal). 4. Ndakatiku Ndakapaku, lebih dikenal dengan penyakit yang bisa menyebabkan lumpuh. Awalnya terasa ngilu, kram, dan sakit di bagian sendi. Anak-anak dari induk ini adalah; a) Muru Linggu : muru yang menyerang bagian kaki dan mengakibatkan kaki tidak mampu berdiri b) Muru Rikalanda : muru yang menyerang bagian leher. Leher tidak bisa menengok ke belakang karena serasa ada jarum yang menusuk c) Muru Padjurang : muru yang juga menyerang bagian leher dan juga tidak mampu digerakkan ke belakang. 207 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Perbedaannya, muru ini digambarkan seperti ada kayu yang mengganjal, bukan jarum. 5. Lekawu, anak-anak dan ciri-cirinya yaitu; a) Muru Iwu : terasa sakit di ulu hati,di perut, dan bisa menyebabkan diare b) Muru Katarumuru : sakit perut, terasa ada angin yang berputar di dalam perut c) Muru Ular : terasa sakit di bagian perut, mencret, muntah, dan demam d) Muru Paribara : terasa sakit di bagian perut, mencret, muntah, dan pandangan terasa gelap e) Muru Lawora : terasa seperti ada 2 ekor biawak yang bergerak-gerak di dalam perut, terasa sakit di semua bagian perut dan terasa panas f) Muru Itir : sakit di bagian perut seperti ditusuk-tusuk ikan lele laut g) Muru Ular Muri : terasa sakit di ulu hati, muntah dan mencret h) Muru Lamba : perut terasa kembung, tidak bisa kentut, tidak bisa bersendawa i) Muru mbuakahau : perut terasa panas, sakit, dan pedih j) Muru Manganding : badan dan mata berwarna kuning, sakit perut. Selain lima ngilu induk yang memiliki anak-anak yang bernama muru. Ada juga ngilu yang tidak termasuk diantara ngilu induk yang sudah disebutkan di atas. Ngilu ini berdiri sendiri dan dipercaya bukan ciptaan Tuhan, tetapi ciptaan dari leluhur yang diceritakan memiliki dendam dengan orang-orang di sekitarnya karena tidak mau menerima keberadaan dirinya. Ngilu ini bernama ngilu apung. Leluhur tersebut kemudian memanggil arwah jahat untuk membalas dendam dan membuat orang-orang 208 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT yang tidak mau menerima keberadaannya, dibuat selayaknya ikan yang sedang menderita. Leluhur tersebut kemudian membuat kail dan memakai kail ini untuk membuat orang-orang yang tidak mau menerimanya menjadi menderita, dengan cara memasukkan kail tersebut ke mulut mereka secara gaib, seolah-olah sedang memancing ikan. Kail yang seolah-olah tersangkut di mulut ikan akan menyakiti orang-orang yang terkena tersebut dengan rasa sakit yang luar biasa di bagian tenggorokan, disertai dengan apung atau lendir yang banyak. Jadi secara harafiah, apung berarti lendir. Maka ngilu ini pun disebut sebagai ngilu apung dan banyak juga yang menyebutnya dengan sebutan muru apung. Ngilu ini adalah ngilu yang dipercaya sebagai ngilu tama atau ngilu yang ‘dibikin’ orang. Dari informasi yang diperoleh dari HMA, diketahui ada 3 jenis apung, yaitu: 1. Apung Halinding Ciri-cirinya adalah batuk berlendir atau berdahak, dan sesak nafas. Batuk ini susah untuk disembuhkan dan selalu kambuh. Ciri yang lebih spesifik adalah lendir atau dahak mudah dikeluarkan 2. Apung Runnu Ciri-cirinya adalah batuk berlendir atau berdahak, terasa sakit di semua anggota badan dan tulang, nafas tidak lancar (terengah-engah), berlendir terus menerus, bahu sampai bungkuk, dan berkeringat jika malam hari. Ciri spesifik dari apung ini adalah lendir yang berada di paruparu, dan sulit untuk dikeluarkan tanpa bantuan obat/ramuan. Apung jenis ini adalah apung yang termasuk ngilu tama atau ‘dibikin orang’ karena konon di bawah ranjang si penderita dipasang api sehingga terus berkeringat ketika malam hari 209 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3. Apung Mangiala Ciri-cirinya adalah tenggorokan terasa sakit, tidak bisa makan karena tenggorokan terasa sakit jika digunakan untuk menelan, tenggorokan terasa kering dan tercekik seperti ada duri atau mata pancing di dalamnya Induk ngilu dan anak-anaknya di atas belum mewakili semua jenis ngilu karena ada beberapa yang belum mampu diingat oleh HMA, dan ada beberapa yang memang dianggap pantang untuk disebutkan. Ngilu tersebut bisa datang kepada manusia karena beberapa hal, bisa jadi karena hasil dari perbuatan buruk manusia di masa lalu atau karena ‘dibikin’. Sejatinya ngilu tersebut memang ada di sekitar manusia, datang atau tidaknya ngilu pada manusia tergantung kepada kesediaan Marapu untuk bersedia melindungi atau tidak. Jika memang manusia melakukan dosa dan kesalahan yang membuat Marapu marah, maka Marapu akan lepas tangan untuk memberikan perlindungan dari ngilu, sebaliknya jika manusia selalu berbuat baik dan jauh dari perbuatan dosa maka Marapu akan memberikan perlindungan dari ngilu. Berbagai cerita di masyarakat membuat peneliti semakin tertarik dengan ngilu dan berbagai jenis anak-anaknya. Masalah ngilu ini bukan hanya tentang masalah keyakinan pada Marapu, tetapi juga berimbas kepada keyakinan atau kepercayaan masyarakat terhadap medis. Masyarakat menjadikan pengobatan medis sebagai prioritas kedua jika terkait dengan pengobatan ngilu karena mereka menganggap jika ngilu dan segala bentuk anak-anaknya, adalah sakit atau penyakit yang tidak akan mampu disembuhkan secara medis. Maka untuk mengobatinya, masyarakat mempercayakan pengobatan kepada dukun atau pengobat tradisional. Kepercayaan kepada pengobat tradisional begitu tinggi, alasannya bukan hanya karena masyarakat yakin jika ngilu tidak 210 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mampu disembuhkan secara medis tetapi juga karena dukun menempati posisi yang istimewa dalam masyarakat. Dukun atau penyembuh tradisional dipercaya juga sebagai penasihat spiritual. Selama hidup dan tinggal berdampingan dengan masyarakat, peneliti telah mengikuti beberapa orang dukun dengan berbagai latar belakang kemampuannya masing-masing. Dukun begitu dipercaya dan dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Tuhan untuk menyembuhkan orang yang sakit. Bukan hanya percaya, masyarakat juga mengikuti apa yang dikatakan dukun sebagai sesuatu yang benar. Masyarakat yang merasa sudah memeluk agama kristen dengan baik dan benar kerap menyebut perilaku pergi ke dukun dan mempercayai Marapu sebagai perilaku orang kafir. Sebutan kafir dan bukan kafir mulai akrab peneliti dengar di Desa Watu Hadang. Biasanya julukan tersebut ditujukan kepada pemeluk Marapu, dari orang yang sudah menganut agama Kristen. Pada kenyataannya apapun agama yang dianut secara formal, praktekpraktek ataupun ritual yang terkait dengan Marapu masih sangat lekat pada diri mereka. Mereka boleh saja sudah memeluk agama Kristen atau agama samawi yang lain, namun hidup melalui aturan yang ditetapkan oleh agama Marapu tetap tidak dapat dipisahkan. Dukun atau penyembuh tradisional, disadari atau tidak adalah individu yang secara tidak langsung menghubungkan masyarakat terhadap Marapu, terutama jika yang dilakukan oleh dukun adalah pengobatan atau ritual yang terkait dengan ngilu. Jika ngilu datang dari Marapu maka pihak yang paling memiliki kuasa untuk membuat ngilu itu pergi adalah Marapu juga. Secara logika, ritual untuk mendapatkan kesembuhan dari ngilu beserta doa-doanya pun tertuju pada Marapu. Rasa percaya pada ritual penyembuhan oleh dukun berimbas pada munculnya sugesti yang mampu memompa rasa 211 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 optimis bahwa apa yang mereka jalani adalah jalan untuk kesembuhan. Menurut peneliti, rasa percaya dari suatu individu kepada individu lain setidaknya bisa disebabkan oleh 3 hal; yang pertama karena ingin memperoleh rasa aman, yang kedua karena ingin memperoleh imbalan atau reward, yang ketiga karena ingin mendapatkan pengalaman intelektual. Dalam kasus dukun ini, peneliti melihat bahwa rasa percaya masyarakat terhadap dukun disebabkan oleh hal yang pertama, yaitu untuk memperoleh rasa aman. Rasa aman dari apa? Rasa aman dari ngilu, rasa aman yang tidak bisa diperoleh dari medis. Dalam tulisan ini, tidak semua jenis ngilu dan anakanaknya akan didalami. Selain karena waktu penelitian yang relatif singkat, ngilu yang menjadi perhatian utama kami adalah ngilu apung. Sulit sekali untuk mengidentifikasi apakah ngilu apung itu pada awalnya. Apakah apung termasuk penyakit medis atau non medis? Apa apung itu jika dilihat dari kaca mata medis? Bagaimana apung diperlakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut begitu lincah menari-nari di benak peneliti. Informan yang tertutup karena merasa tidak nyaman bercerita dengan orang asing menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti. Karena masalah tersebut kadang kala peneliti merasa jenuh untuk mencari tahu, karena ngilu seperti sebuah tema yang tidak bermuara. Lambat laun pandangan dan wawasan peneliti tentang ngilu yang masih terbatas, tiba-tiba serasa meluas. Pertemanan kami dengan dua keluarga yang memiliki riwayat TB Paru di dalam anggota keluarganya menuntun kami kepada apung. Cukup banyak waktu dihabiskan untuk membuat mereka yakin jika mereka bercerita kepada orang yang dapat mereka percaya, dan cukup lama dibutuhkan untuk membuat mereka mampu bercerita jika apa yang menimpa anggota keluarga mereka bukanlah TB Paru seperti kata dokter, tetapi apung seperti kata dukun. Satu hal yang kami yakini kemudian , 212 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT bahwa ngilu apung adalah penyakit yang bisa dilihat dari kaca mata medis, walaupun masyarakat melihatnya sebagai penyakit yang bersifat personalistik. 4.1.3. TB atau Apung? Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang sudah sangat tua. Gambaran adanya TB telah terekam sejak zaman dulu, misalnya dalam salah satu tokoh cerita terkenal karya sastrawan besar Victor Hugo, yaitu The Hunchback of Notre Dame. Bahkan adanya TB juga dapat ditelusuri dari peninggalan Mesir kuno. Di dalam piramid Mesir ditemukan gambar relief dinding yang menggambarkan manusia bongkok dengan gambaran gibbus, yang kemungkinan besar karena spondilitis TB. Kemudian terbukti ditemukan kuman Mycobacterium tuberculosis pada mummi mesir. Ternyata sejarah kuman TB lebih tua daripada sejarah mesir kuno. Pada penelitian artefak purba ditemukan jejak kuman TB, dan pada sebagian fosil dinosaurus ternyata juga ditemukan kuman TB. Dunia medis baru mengenal sosok kuman TB setelah Robert Koch berhasil mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai Hari TB Dunia. Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah kesehatan dan justru semakin berbahaya, sehingga disebut sebagai the reemerging disease (Kartasasmita dkk, 2005:1) Sumber penularan TB umumnya adalah orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) sputum positif. Oleh karena itu, dalam program TB nasional selama ini, penanggulangan TB lebih ditekankan pada pasien TB dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak belum mendapatkan perhatian yang memadai. Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi dan sakit TB menyebabkan tingginya biaya pengobatan yang diperlukan, sehingga pencegahan infeksi TB merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan. 213 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pencegahan ini dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor risiko infeksi TB. Peningkatan insidens HIV dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) di berbagai negara turut menambah permasalahan TB anak. Peningkatan insidens HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan koinfeksi dan reaktivasi TB, serta peningkatan kejadian multidrug resistance (MDR) (ibid, 2012;2) Apung adalah bagian dari ngilu yang dipercaya bukan merupakan ciptaan Tuhan seperti bagian dari ngilu yang lainnya, namun sengaja diciptakan oleh salah satu leluhur orang Sumba yang menyimpan dendam kepada orang-orang di sekitar yang dianggap telah menyakiti hatinya. Leluhur ini disisihkan atau dijauhi karena sesuatu hal. Perasaan sakit hati karena tersisih memunculkan niat jahat di dalam hatinya untuk menyakiti orangorang tersebut. Akhirnya dia membuat suatu guna-guna yang dengan memakai sebuah mata kail yang dipakai untuk menyakiti orang lain. Kail tersebut seolah-olah digunakan untuk memancing seekor ikan. Ikan tersebut diibaratkan sebagai manusia yang akan dikirim sakit melalui kail yang dipakai tersebut. Arti dari apung sendiri sebenarnya adalah lendir, namun pemaknaannya meluas menjadi suatu istilah untuk penyebutan penyakit yang identik dengan adanya lendir di bagian tenggorokan atau di bagian dada. Entah sejak kapan apung ada dan tercantum dalam sejarah penyakit masyarakat Sumba. Tidak seperti sejarah TB yang bisa dibuktikan secara arkeologis, apung hanya bisa ditelusuri melalui cerita atau mitologi leluhur yang marah dan menciptakan penyakit untuk menyakiti orang lain. Apung yang merupakan bagian dari ngilu mungkin sama tuanya dengan sejarah kemunculan masyarakat Sumba dan agama marapu. Jadi kemungkinan besar ketika masyarakat Sumba sudah mengkultuskan Marapu dan memujanya, maka bisa jadi ngilu pun lahir di masa yang sama dengan kelahiran agama Marapu. TB secara ilmiah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi 214 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT kuman Mycobacterium tuberculosis dan jika dilihat dari etiologi penyakitnya maka prosesnya terjadi secara naturalistik. Berbeda halnya dengan apung yang penularan penyakitnya berdasarkan mitologi orang Sumba yang percaya hal ini diakibatkan dari leluhur yang marah, maka jika dilihat dari etiologi penyakitnya apung bersifat personalistik. Lalu apa pentingnya membandingkan antara TB dan apung? Bukankah kedua penyakit ini adalah dua penyakit yang berbeda? Tulisan ini akan membuktikan kaitan antara TB dan apung, dan bagaimana sebenarnya keduanya adalah suatu tubuh yang sama namun dilihat dari dua kaca mata yang berbeda. Untuk mendalami bagaimana satu tubuh ini dilihat dari dua kaca mata yang berbeda maka dalam tulisan ini kami akan menuliskan pengalaman dua keluarga yang berdiri ditengah-tengah antara TB dan apung. Secara kebetulan dua keluarga tersebut memiliki anggota keluarga dengan riwayat TB yang sama yaitu TB Paru, dan secara kebetulan anggota keluarga yang terjangkit TB adalah anak mereka yang masih balita. 4.2. Kisah; Mencoba Lepas dari Belenggu Apung Berjumpa dengan banyak individu dengan kisah yang berbeda akan melatih kepekaan peneliti untuk berinteraksi dengan mereka. Apa lagi jika latar belakang sosial dan budaya antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti jauh berbeda. Bukan hanya adaptasi yang dibutuhkan, namun juga bagaimana peneliti mencoba menghormati nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Kesulitan-kesulitan yang lazim ditemui salah satunya adalah bagaimana membuat informan merasa nyaman dan percaya dengan keberadaan peneliti yang setidaknya akan mengambil dua hal dari mereka, yaitu informasi dan privasi. 215 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kenapa privasi? Karena tidak jarang informasi yang terdalam yang menjadi kunci permasalahan adalah sebuah privasi yang ingin dijaga dengan baik oleh informan. Maka dari itu peneliti tidak bisa sekonyong-konyong datang kepada informan dan bertanya banyak hal tanpa membangun relasi yang bersifat personal terlebih dahulu. 4.2.1. Apung; Bertahan Sampai Akhir Membuat orang lain percaya kepada kita dan meyakinkan mereka untuk bersedia bercerita tentang kisah hidup mereka adalah hal yang teramat sulit. Ada kalanya keramahtamahan dan kesabaran tidak cukup untuk membuat kita dekat dengan orang lain secara personal. Pun demikian dengan keluarga Mama D yang menarik perhatian peneliti sejak pertama kali berjumpa. Di perbatasan antara Desa Watu Hadang dan Desa Mutu Nggeding, ada suatu kampung yang bernama Luku Walu yang indah dengan sabana hijau kekuningan. Di situlah keluarga Mama D tinggal. Rumah yang mereka tinggali teramat kecil untuk ditinggali oleh Mama D dan anggota keluarga lainnya yang berjumlah 6 orang termasuk ibu kandung, anak-anak, dan suami Mama D. Rumah yang mereka tinggali adalah rumah panggung semi permanen berukuran sekitar 4 x 4 meter yang terbuat dari anyaman bambu yang berlubang di sana-sini. Di bagian depan ada bale-bale kecil yang berderak ketika diduduki, dan dari bagian bale-bale tersebut akan terlihat bagian dalam rumah yang hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah dan dapur yang sempit. 216 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Gambar 4.1. Rumah Keluarga Mama D Sumber: Dokumentasi Peneliti Mama D berusia 35 tahun, berbadan kurus dan pendek, berkulit hitam, berambut lurus, dan mata yang tampak cekung. Wajahnya amat mirip dengan putri bungsunya K yang menderita TB Paru dan gizi buruk. Suami Mama D bernama M, berbadan tinggi, tegap, dengan kulit yang berwarna sawo matang, dan rambut yang agak bergelombang. Mama D hanya lulusan SD karena ketika menginjak bangku kelas 2 SMP, dia sudah terlanjur jatuh cinta lalu menikah dengan dengan M yang saat itu baru lulus SMK. Karena kendala belis atau mas kawin yang belum dibayarkan oleh pihak keluarga M kepada keluarga besar Mama D, maka M pun tinggal di rumah orangtua Mama D dan 217 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menggarap sawah mertuanya tersebut. Jadi rumah kecil yang ditinggali oleh Mama D dan suaminya kini adalah rumah orangtua Mama D. Orangtua Mama D yang masih hidup adalah ibu kandungnya. Jika dijumlahkan, banyaknya orang yang tinggal di rumah berukuran 4 x 4 meter tersebut ada 7 orang. Terdiri dari Mama D dan suaminya M, ibu kandung Mama D, dan empat orang anak termasuk dengan K. Jumlah anak Mama D ada 6 orang, dua anak Mama D yang lainnya sedang menempuh pendidikan di Kota Waingapu dan Kupang. Mereka sekeluarga adalah golongan orang merdeka atau kabihu44 dalam stratifikasi sosial masyarakat Sumba. Peneliti tidak dapat membayangkan bagaimana rumah yang mungil dengan satu kamar tidur mampu menampung 7 orang untuk tinggal bersama. Tidak tampak adanya jendela di rumah tersebut, namun dinding rumah terbuat dari anyaman bambu dan di bagian muka rumah terdapat dinding yang terbuka yang disekat dengan kawat, sebagai satu-satunya ventilasi udara. Mama D yang berbadan kurus dan bermata cekung tersebut ternyata baru saja dinyatakan sembuh dari TB kelenjar yang diderita sekitar tiga tahun yang lalu. TB kelenjar tersebut tumbuh dibagian leher dan sekarang meninggalkan bekas timbul yang masih tampak tebal dan bergelombang. Mama D yakin jika TB kelenjar yang pernah dia derita tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan medis, tetapi karena dia melanggar larangan kabihu atau klan untuk tidak memakan daging anjing. Suami Mama D berkata: “Mama langgar pantangan langsung muncul dia punya borok di leher, timbul sudah bulat-bulat besar di leher. Kalau di medis mereka bilang itu apa... TBC kelenjar. 44 Perlu dibedakan pengertian istilah kabihu yang berarti klan atau marga, dengan istilah kabihu yang merujuk pada stratifikasi sosial masyarakat Sumba. Istilah Kabihu yang digunakan dalam cerita di atas berarti orang merdeka. 218 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Kalau kata dukun itu sudah... karena langgar pantangan (makan daging anjing).” Suami Mama D berkata jika TB Kelenjar adalah vonis yang ditetapkan dokter Puskesmas sekitar empat tahun yang lalu, dan baru dinyatakan sembuh sekitar setahun yang lalu. Namun dia yakin sekali bukan penyakit itu yang diderita istrinya. Kelalaiannya memakan daging anjing yang dilarang oleh kabihu membuat benjolan-benjolan di leher tersebut muncul. Informasi tentang sebab sakit karena melanggar larangan ini berasal dari perkataan dukun yang pernah Mama D datangi untuk memperoleh pengobatan. Pada awal kemunculannya benjolanbenjolan tersebut hanya muncul sebesar biji jagung dan bergerombol di bagian leher. Mama D sendiri teringat terakhir kali dia memakan daging anjing ketika tahun 1997, waktu yang cukup lama berlalu sesungguhnya, namun anehnya benjolan tersebut muncul belasan tahun kemudian. Sekarang ini TB kelenjar yang diderita Mama D sudah dinyatakan sembuh setelah rutin meminum obat dari Puskesmas selama 6 bulan tanpa berhenti. Obat TB tersebut populer dengan sebutan ‘obat proyek’, karena merupakan proyek obat gratis untuk TB dari pemerintah. Bekas benjolan akibat TB kelenjar di bagian leher masih tampak berupa daging yang tidak rata. Walaupun mengaku telah patuh dalam meminum ‘obat proyek’ dan kini telah sembuh, tetapi Mama D justru yakin jika hal yang membuat benjolanbenjolan di bagian lehernya sembuh adalah karena Mama D tidak lagi memakan daging anjing yang merupakan pantangan kabihu Mama D. Dalam masyarakat Sumba memang diketahui adanya pantangan-pantangan atau tabu yang berbeda antara satu kabihu dengan satu kabihu lainnya. Kabihu Mama D melarang anggota kabihu-nya untuk memakan daging anjing, dan jika pantangan tersebut dilanggar maka akibatnya bisa muncul 219 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penyakit di tubuh individu yang melanggar pantangan tersebut. Penyakit yang muncul berupa penyakit kulit seperti gatal-gatal, borok, atau muncul benjolan-benjolan di permukaan kulit. TB kelenjar juga dikenal dengan nama TB lymphadenitis. TB jenis ini adalah salah satu jenis TB Ekstra Paru, selain TB usus, TB kulit, TB meningistis (otak), TB ginjal dan TB hati. Gejala TBC kelenjar ditemukan adanya benjolan yang merupakan pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening terdapat pada beberapa bagian perut, antara lain leher, ketiak, sela paha, dalam perut. Kelenjar getah bening di leher paling sering terserang, dengan gejala benjolan pada leher sebelah kiri atau kanan, atau kedua sisi. Gejala klinisnya adalah demam yang berkepanjangan, batuk dalam waktu yang lama, nafsu makan yang menurun, muncul benjolan yang progresif pada leher, ketiak, atau sela paha. Benjolan berdungkul-dungkul atau mengelompok. Bila benjolan pecah maka akan mengeluarkan cairan seperti nanah. Pemeriksaan dini untuk memastikan diagnosa adalah dengan biopsi kelenjar leher untuk mengetahui penyebabnya. Pengobatan TB kelenjar lebih lama dari TB Paru, yaitu 9 bulan. TB kelenjar tidak menular, kecuali penderita TB kelenjar juga menderita TB paru. (http://www.mitrakeluarga. com/surabaya/waspada-benjolan-pada-leher-deteksi-dini-tbcekstra-paru/) Kuman TB terutama menginfeksi paru, namun apabila daya tahan tubuh kuat, kuman ini tidak dapat menginfeksi paru tetapi tertahan pada tonsil (amandel) dan dapat menyebar kemana saja seperti tulang, usus, ginjal dan berbagai organ. Yang sering terkena Tuberculosa di tubuh terutama kelenjar getah bening di bagian leher. Ciri-ciri pembesaran kelenjar getah bening di leher hanya pada satu sisi, pembesaran kelenjar getah bening dapat tunggal atau beberapa kelenjar hingga mirip seperti rantai dan disebut sebagai “scropuloderma”. Jika scropulodermo pecah 220 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT maka akan keluar nanah tes dahak, dan berwarna hijau atau kuning. Luka dari pecahan tersebut akan sulit sembuh atau lama sembuhnya, dan bila sembuh terlihat buruk. Luka itu sendiri tidak rata, tidak bau, tepinya agak cekung ke dalam (www.yastroki.or.id/read.php?id=395). Untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi atau tidak maka perlu beberapa pemeriksan, seperti pemeriksaan darah, biopsi, dan rontgen. Obat yang diberikan jika memang benar telah terjadi infeksi adalah Obat Anti TB (OAT) yang merupakan paduan dari Rifamficin, Isoniazid, Ethambutol, dan Pirazinamid dalam sediaan 1 kaplet obat. Pemberian obat tersebut dilakukan setiap hari dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pasien (diniadistiani.blogspot.com/2013/07/tb.kelenjar.html). Karena obat ini harus diminum setiap hari secara teratur dalam waktu yang relatif lama, maka yang menjadi masalah utama adalah masalah kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi OAT. Pada kasus TB kelenjar yang diderita Mama D, ada dua sudut pandang yang berlaku dalam hal ini, secara naturalistik, benjolan-benjolan yang tumbuh di leher Mama D disebut dengan TB kelenjar dan hal ini berasal dari diagnosa dokter, secara personalistik benjolan-benjolan tersebut dipercaya sebagai akibat dari melanggar pantangan untuk tidak memakan daging anjing dan merupakan diagnosa dari seorang dukun. Sudut pandang yang kedua adalah sudut pandang yang justru diyakini sebagai sebab dari munculnya benjolan tersebut. Hal ini cukup menarik bagi peneliti, karena suami Mama D secara defensif menganggap segala hal yang terkait dengan kepercayaan tradisional masyarakat Sumba yang berbau Marapu adalah perbuatan dan pikiran orang kafir. Dengan menggebu-gebu hal tersebut pernah dia ungkapkan di awal perjumpaan peneliti dengan mereka. 221 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sikap defensif tersebut bertolak belakang dengan apa yang mereka percaya dan terungkap secara tidak sengaja, walaupun setelah itu mereka tampak hendak menarik diri dan berbicara terlampau hati-hati dengan peneliti. Sikap Mama D sendiri begitu pasif mana kala berbincang dengan peneliti ketika ada sang suami di sekitar kami. Dia hanya mendengarkan pembicaraan yang didominasi oleh suaminya, dan kadang kala hanya menambahkan seperlunya saja. Hal ini tentu membuat peneliti merasa kesulitan karena sebenarnya banyak yang ingin peneliti dengar dari cerita Mama D. Sikap yang sama selalu peneliti dapatkan dalam beberapa kali pertemuan, dan akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan pendekatan secara personal bukan kepada Mama D saja, namun juga kepada suaminya. Ketika peneliti datang di lain kesempatan, peneliti tidak lagi berusaha menanyakan hal-hal yang terkait dengan kondisi kesehatan anak bungsunya yaitu K. Hal itu peneliti lakukan karena peneliti merasa jika sikap defensif suami Mama D muncul karena kekhawatiran dari dirinya sendiri, yang berpikir kami akan memberikan penilaian tentang cara mereka merawat atau mengasuh anak bungsunya tersebut. Kembali ke cerita benjolan yang terdapat di leher Mama D. Saat masih menderita benjolan-benjolan di bagian leher yang secara medis disebut TB Kelenjar tersebut, Mama D tengah hamil anak bungsunya yaitu K. Kehamilan K berlangsung biasa saja katanya, dia tidak merasa mual atau mengalami gangguan kesehatan apapun. Mama D masih bekerja menenun dan di sawah seperti biasa. Setidaknya Mama D harus mampu menyelesaikan 1 lembar kain untuk disetor kepada pengepul setiap bulannya. Untuk 1 lembar kain tersebut, dijual dengan harga 500 ribu rupiah, dan keuntungan yang didapat sekitar 300 ribu rupiah, walaupun itu tidak sesuai dengan tenaga yang telah 222 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dikeluarkan. Kadang kala jika harus melembur untuk menenun, Mama D menenun dari pagi hari sampai malam. Sampai usia kandungannya mulai tua pun Mama D masih tetap giat bekerja, jika tidak menenun bagaimana dia dan keluarganya bisa makan, kurang lebih begitu yang Mama D katakan. Kelima anak yang telah dilahirkan sebelum K, dilahirkan secara sehat melalui pertolongan dukun bayi di kampungnya. Kelima anak tersebut tumbuh sehat sampai sekarang ini dan jarang sakit. Saat mengandung K adalah saat dimana Revolusi KIA mulai digalakkan secara masif di seluruh penjuru NTT, termasuk di Sumba Timur. Kala itu Mama D adalah salah satu ibu hamil yang diwajibkan untuk melahirkan di fasilitas kesehatan milik pemerintah seperti Puskesmas. Ada rasa gamang di hati Mama D kala itu, kenapa harus melahirkan di bidan atau Puskesmas, jika melahirkan di rumah saja dengan bantuan dukun pun dia dan bayinya tidak apa-apa? Kurang lebih begitu yang terlintas dalam pikiran Mama D. Kelima kakak-kakak K dilahirkan secara tradisional dengan bantuan dukun yang datang ke rumah Mama D. Dukun yang membantu melahirkan adalah dukun yang sama dengan yang memijat perut Mama D saat masih mengandung. Pijat saat hamil tersebut untuk menguatkan dan menyehatkan kandungan serta bayi di dalamnya. Proses melahirkan secara tradisional dengan dibantu dukun biasanya dilakukan di rumah perempuan yang hendak melahirkan. Alat yang dipakai hanya kayu, yang berfungsi untuk tumpuan kaki saat mengejan, dan seutas tali atau kain untuk berpegangan tangan, yang juga bermanfaat untuk membantu mengeluarkan tenaga saat mengejan. Posisi perempuan yang hendak melahirkan bisa sambil duduk atau berbaring, posisi kayu sebagai tumpuan kaki berada di dekat kaki, dan tali atau bisa juga kain 223 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 digantung di bagian atas untuk menahan kedua belah tangan si perempuan saat mengeluarkan tenaga ketika mengejan. Dukun yang membantu persalinan bisa duduk di bagian depan si perempuan yang sedang melahirkan, atau berada di bagian belakang tepat di punggung untuk membantu memijat bagian perut. Bagi Mama D, melahirkan di rumah dengan dibantu seorang dukun dirasa lebih nyaman, jika dibandingkan dengan melahirkan di Puskesmas. Ketika melahirkan di rumah, yang membantu melahirkan adalah dukun yang sudah dia kenal dengan baik, sehingga tidak ada rasa takut atau malu. Untuk menjaga privasi, hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk di dalam kamar persalinan dan mendampingi, misalnya seperti ibu kandung. Laki-laki tidak diperbolehkan masuk dan mendampingi karena dianggap tabu karena perempuan yang bersalin akan merasa malu. Hal tersebut berlaku untuk semua laki-laki tanpa terkecuali, termasuk ayah kandung atau bahkan suaminya sendiri. Dalam persalinan tradisional memang ada peraturan tidak tertulis yang melarang laki-laki masuk atau melihat, berbeda halnya dengan persalinan modern yang dibantu oleh tenaga kesehatan baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Persalinan modern yang dijalani oleh Mama D di Puskesmas Melolo dihadapi dengan perasaan yang tidak tenang karena merupakan pengalaman yang pertama. Dia sendiri tidak berani untuk mengambil keputusan tidak melahirkan di Puskesmas, karena mendengar adanya hukuman denda bagi yang berani melahirkan di rumah dengan bantuan dukun. Kabar tentang adanya denda tersebut disampaikan dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinganya. Konon pihak pertama yang menyampaikan kabar tersebut adalah bidan desa yang kemudian 224 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT menyampaikan kepada perempuan-perempuan yang tengah hamil di desa. “Ada yang bilang nanti kena denda, tapi tidak tahu juga na itu denda seperti apa. Tapi kami takut to... jadi kami melahir (melahirkan) di Puskesmas sudah.” Karena merasa khawatir akan terkena denda, Mama D memutuskan untuk melahirkan di Puskesmas dan mengesampingkan rasa takutnya. Ketika tanda-tanda melahirkan sudah mulai terasa, dia pergi ke Puskesmas bersama dengan suaminya, didampingi oleh seorang bidan desa dan seorang dukun bayi. Saat tiba di Puskesmas, Mama D masuk ke dalam ruangan yang disekat dengan kain, dimana banyak ranjang disusun berjejer. Ranjang tersebut memiliki tepian yang terbuat dari besi, dan ini adalah pemandangan yang baru dikenal Mama D selama ini. Ketika Mama D berbaring di ranjang tersebut, dia mengira bidan dan perawat-perawat akan segera membantunya mengeluarkan si jabang bayi dari perutnya. Rasa mulas dan sakit di bagian perutya sudah tidak tertahankan namun tetap saja bidan dan perawat-perawat tersebut berkata belum waktunya, sambil mengecek jalan lahir Mama D. Apa maksud mereka dengan berkata belum waktunya? Bayi ini sudah tidak tahan ingin keluar. Kurang lebih begitu gerutu Mama D saat itu. Mama D dan suaminya menganggap orang-orang tersebut bertele-tele dan tidak mampu bekerja dengan baik. Perawat-perawat dan bidan digambarkan sibuk dan kalang kabut menyiapkan alat-alat yang akan dipakai untuk persalinan. Ketika waktu persalinan tiba, Mama D dibantu oleh seorang bidan dan perawat yang menyuruhnya mengejan. Kakinya tidak lagi bertumpu pada kayu untuk tumpuan saat dia mengeluarkan energi ketika mengejan. Kedua tangannya tidak 225 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 berpegangan pada tali atau kain yang digantungkan di atas, tetapi berpegangan pada besi di bagian sisi ranjang. Ada seorang dukun bayi terlatih yang mendampinginya saat melahirkan di Puskesmas. Dukun itu idak membantu, hanya mendampingi dan menunggui sampai Mama D diijinkan pulang. Peran dukun bayi memang mulai tergeser sejalan dengan adanya revolusi KIA yang serentak berjalan di seluruh NTT. Dukun bayi tidak lagi diperbolehkan membantu jalannya persalinan, peran tersebut harus dijalankan oleh tenaga kesehatan pemerintah seperti bidan atau dokter. Dukun bayi, khususnya yang telah mendapatkan pelatihan dari pemerintah tetap dilibatkan dalam membantu, dengan dibatasi hanya sebagai pendamping saat persalinan terjadi. Dukun terlatih tersebut adalah program kemitraan yang dicetuskan untuk menunjang kinerja tenaga kesehatan yang jumlah dan mobiltasnya terbatas, dan juga untuk tetap merangkul dukun sebagai tokoh yang secara personal lebih dekat dan dipercaya masyarakat. Ketika akhirnya Mama D melahirkan dengan persalinan normal, badan bayi yang telah keluar dari rahim tersebut diceritakan sempat membentur besi di sisi-sisi ranjang. Lalu tali pusat si bayi dipotong dengan menggunakan alat yang digambarkan Mama D dan suaminya seperti alat penjepit. Hal ini membuat mereka terheran-heran karena selama ini dukun yang membantu persalinan anak pertama sampai ke lima hanya memakai bambu yang ditajamkan. Berat badan K ketika lahir tidak diketahui secara pasti, Mama D menyebut angka 3 kg sedangkan sang suami merasa yakin jika berat badan anak bungsunya adalah 3.5 kg. Kedua berat badan yang disebutkan orangtua K, terlepas dari tepat atau tidaknya, adalah berat badan yang tergolong baik untuk ukuran bayi yang baru saja dilahirkan. Jika berat badan si 226 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT bayi termasuk baik maka secara logika keadaan kesehatan si bayi pun juga baik. Pemikiran tersebut ternyata juga sempat terbersit dalam benak kedua orangtua K. Harapan agar bayi tersebut tumbuh sehat seperti kelima kakaknya begitu besar, mereka juga berharap persalinan di Puskesmas akan membawa kebaikan bagi bayi mereka. Bayi tersebut diberi nama K dan berjenis kelamin perempuan. Wajahnya begitu mirip dengan Mama D. Pada mulanya K tumbuh secara sehat dan normal, tidak ada masalah kesehatan yang muncul. Menginjak usia 2 bulan tiba-tiba K jatuh sakit, perutnya kembung dan terus menerus rewel. “Adek K kembung perut, masuk opname 4 hari disini (Puskesmas Melolo). Tidak lama lagi pecah dia punya tali pusar, bernanah to, terus dibawa ke rumah sakit lagi.” Ketika perut K kembung dan tali pusatnya bernanah, orangtua K membawanya ke Puskesmas Melolo dan harus dirawat selama 4 hari di Puskesmas. Luka di tali pusat dibersihkan dengan alkohol dan diberi cairan obat anti infeksi. Peneliti menanyakan apa gerangan yang membuat tali pusat K bernanah sedemikian parah, sampai harus dirawat inap di Puskesmas, orangtua K menjawab kemungkinan karena saat melahirkan di Puskesmas, tali pusat K dijepit menggunakan suatu alat, dan tidak dililit terlebih dahulu dengan menggunakan benang seperti yang dilakukan oleh dukun. Peneliti sempat beberapa kali bertanya apakah ada perlakuan khsusus yang diberikan terhadap tali pusat K sebelum akhirnya bernanah, mereka dengan yakin menjawab tidak. Tampaknya memang kambing hitam untuk tali pusat K yang bernanah, adalah perlakuan tenaga kesehatan saat menjepit tali pusat K. Setelah 4 hari menjalani rawat inap di Puskesmas dan diperbolehkan pulang, beberapa hari kemudian K kembali jatuh 227 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sakit. K kembali dibawa ke Puskesmas lalu dirujuk ke rumah sakit di Kota Waingapu karena sesak nafas dan batuk berlendir. Sakitnya akan terasa teramat parah ketika malam hari tiba. K rewel dan menangis terus menerus dengan keringat yang muncul cukup banyak dari tubuhnya. Saat itu K dirawat selama 1 bulan di ruang ICU rumah sakit. Suami Mama D berkata jika K mengalami TB, asma, dan kurang gizi. “Dokter bilang, sesak nafas dengan TBC dan asma dengan kurang gizi.” Diagnosa dokter tersebut muncul setelah melalui tes panjang, yang sayangnya kedua orangtua K tidak bisa menjelaskan apa saja jenis tes tersebut. Namun besar kemungkinan tes tersebut melalui tes atau uji laboratorium. Kondisi kesehatan K yang buruk dengan diagnosa TB dan kurang gizi, membuat kedua orang tuanya terpukul dan mencoba mengira-ira apa pangkal masalahnya. Peneliti bertanya kepada orangtua K, mengapa K bisa mendapat penyakit tersebut dan apa sebabnya. Suami Mama D, menjelaskan jika penyebabnya mungkin adalah penanganan yang terlambat ketika di Puskesmas. “Adek (K) makan banyak, kan setelah itu diurut (dipijat) to, tidak tahu dia punya tulang pinggang yang belakang ini ada begini (merenggang), tidak lurus. Saya tafsirkan itu waktu dia melahir (dilahirkan) itu, karena lambat penanganan, mungkin dia terbentur di apa..(besi di sisi ranjang).” Urut (pijat) yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengembalikan posisi tulang K yang bengkok. Dukun yang memijat K berkata, jika tulang bengkok tersebutlah yang membuat dia mendapatkan penyakit TB dan gizi buruk. Dukun menjelaskan jika tulang bengkok berakibat pada terhambatnya 228 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT sistem pernafasan K, akibatnya K terserang batuk. Karena sistem pernafasan K terganggu, maka akibat selanjutnya adalah K tidak memiliki nafsu makan yang baik, sehingga berat badannya terus turun secara drastis, dan pada akhirnya terkena gizi buruk. Pengakuan suami Mama D yang berkata K pernah dipijat oleh dukun membuat peneliti tertarik, karena sebelumnya dia pernah bercerita jika selama ini K hanya ditangani secara medis, dan tidak pernah percaya akan dukun. Pengakuan tersebut juga semakin membuat peneliti yakin bahwa banyak hal yang masih samar peneliti lihat, banyak hal yang masih ditutupi oleh kedua orangtua K. peneliti tidak hendak memaksa mereka untuk membuka rahasia yang mereka simpan. Seiring berjalannya waktu, peneliti ingin kedekatan yang mulai terjalin dapat membuat mereka bercerita kepada peneliti dari hati mereka. Peneliti melihat bahwa suami Mama D mendominasi hampir semua percakapan yang Mama D lakukan, dan tampak jelas dia tidak memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara banyak. Beberapa kali suami Mama D justru mengUtarakan pembelaan yang terlalu berapi-api tentang penyakit anaknya. Ketika kami bertanya tentang gizi buruk yang dialami K, suami Mama D berkata jika gizi buruk anaknya bisa jadi karena gaya hidup mereka yang sederhana, namun jika hal tersebut bisa menjadi penyebab gizi buruk, mengapa kakakkakaknya tidak mengalami sakit yang serupa? “Ai Jawa ada (yang) seperti ini juga? Gizi buruk kan bedabeda, ada yang kurang gizi betul dengan sesuatu yang berakibat sehingga terjadi begini to. Kebanyakan yang kurang gizi itu dari lahir, yang tidak normal memang, iya to? Kalau ini lahirnya normal, 3.5 kg. Kita kan makan apa adanya kan? Kalau dibilang sehat juga, kan kakakkakaknya tidak ada yang sakit to? Sehat semua. Kami makan apa adanya to, tidak tergantung orang bilang 229 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 harus bersih to, orang Sumba itu apa adanya, makan apa adanya. Memang untuk makan nasi ya nasi, tapi untuk sayur mayur kadang-kadang saja to.” K yang lahir pada tanggal 23 Agustus tahun 2012, belum genap 2 tahun ketika peneliti pertama kali mengenalnya saat dia datang di suatu kegiatan Posyandu bersama ibunya. Saat itu berat badan K hanya 4,2 kg, dan begitu tampak tidak berdaya digendongan Mama D yang juga tampak kuyu, kurus, dengan mata yang cekung. K selalu tampak terbatuk, rewel, gelisah, sering menangis dan bermata kuyu. Dia belum mampu berbicara dan berjalan sama sekali. Kakinya lunglai dengan tulang kecil berbungkus kulit saja. Wajah, pipi, dahi, dan matanya tampak menonjol karena hampir tidak ada daging yang melekat. Kedua belah tangannya teramat kecil, dan kedua tulang bahunya tampak menonjol dengan bentuk yang mencolok. Seringkali peneliti melihat K tidak memakai celana panjang dan hanya dipakaikan celana seadanya, dan pada saat itu juga peneliti akan melihat tulang panggul dan tulang rusuknya yang teramat jelas, hampir tidak ada daging sama sekali di bagian tubuh tersebut. Sejujurnya peneliti merasa iba, namun peneliti tidak ingin menyinggung perasaan kedua orangtua K dengan menunjukkan rasa iba peneliti kepada K. Orangtua K bukannya tidak pernah memberi makanan yang bernutrisi untuk K. Sudah beberapa kali peneliti melihat Mama D menyuapi K dengan nasi berlauk ikan bakar. Mama D tahu jika K harus makan bernutrisi untuk menaikkan berat badannya. Sayangnya K tidak suka minum susu atau makan biskuit, K justru gemar minum air gula, teh manis, dan kopi. Interaksi K dengan orang lain hanya berupa tangisan atau rengekan yang tidak menampakkan tetesan air mata. Jika K merengek, tidak jelas apa yang dia minta kecuali jika jarinya menunjuk sesuatu. 230 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tidak sepatah katapun pernah peneliti dengar keluar dari bibirnya, walaupun orangtuanya berkata jika K bisa memanggil orangtuanya dengan panggilan ‘bapa’ dan ‘mama’. K selalu terbatuk, dan ketika terbatuk ada suara yang terdengar nyaring di bagian dada dan tenggorokannya. Mungkin karena K masih terlalu kecil, dia tidak mampu mengeluarkan dahak yang keluar. Ketika terbatuk semua bagian tubuhnya terguncang, wajahnya memerah, dan setelah itu dia akan langsung menangis seperti menahan sakit. Anehnya, Mama K berkata jika TB paru yang diderita K sudah sembuh, karena sudah selesai minum ‘obat proyek’ selama 6 bulan tanpa berhenti. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh suami Mama D yang berkata jika ‘obat proyek’ tersebut sempat dihentikan pemberiannya karena membuat K kehilangan nafsu makan dan membuat tenggorokan K kering. Mama K mencoba mengingat, saat terakhir K meminum obat tersebut yaitu sekitar bulan Desember tahun 2013 lalu. Ketika K masih aktif meminum ‘obat proyek’, obat tersebut diambil setiap 2 minggu sekali di Puskesmas Melolo. Mama D dan suaminya datang ke Puskesmas untuk mengambil ‘obat proyek’ yang sudah menjadi jatah K secara cuma-cuma. Kedua orangtua K mengatakan bahwa seharusnya bukan mereka yang aktif untuk datang ke Puskesmas untuk mengambil obat. Jika Puskesmas sudah tahu ada pasien dengan diagnosa TB paru positif dan butuh pengobatan, seharusnya Puskesmas lah yang aktif datang untuk memberi pengobatan. Seingat mereka, tidak ada bidan atau petugas yang pernah datang sekali pun ke rumah mereka untuk memberikan obat dan mengecek kondisi kesehatan K. “Kemarin yang obat proyek itu kan kalau kita tanya malah dong (mereka) diam, kan ada rekomendasi dari Waingapu to untuk diberikan obat proyek ke adek (K). 231 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Lama-lama kita tunggu kan hanya diam saja, tidak dapat. Kita tanya dulu (obat itu) baru kasih, makanya saya pemalas (malas) pergi kesana. Saya tidak pernah injak ke rumahsakit (Puskesmas). Seharusnya mereka yang cari kita.” Keterangan tersebut berbeda dengan keterangan salah satu petugas kesehatan Puskesmas, yang pernah bertemu dengan peneliti. Dia berkata bahwa petugas Puskesmas pernah datang ke rumah K sebanyak satu kali, dengan tujuan untuk mengobservasi kondisi tempat tinggal K dan keluarganya, mana kala K baru saja terdiagnosa TB. Saat itu petugas kesehatan melihat kesalahan fatal terletak pada kondisi rumah yang tidak memiliki ventilasi cukup, dan diperparah dengan dapur yang terletak di dalam rumah. Asap dari proses pembakaran kayu bakar yang digunakan untuk memasak akan memenuhi seisi rumah. K yang masih bayi sering kali ditinggalkan tertidur di dekat dapur dan tentu saja akan terpapar asap secara langsung. Keadaan rumah dengan kondisi seperti itu masih banyak ditemukan di desa ini. Peneliti tidak menutup kemungkinan jika asap memberi pengaruh yang buruk pada kesehatan K sampai membuatnya positif terinfeksi TB. Namun masih ada kemungkinan lain, bisa jadi K terpapar atau tertular dari orang dewasa yang terlebih dahulu terkena TB. Sulit untuk melacak apakah ada anggota keluarga dekat atau keluarga jauh yang terlebih dahulu positif terkena TB, karena kebanyakan dari mereka tidak melakukan pemeriksaan secara akurat. Pun demikian dengan ibu kandung K sendiri, yaitu Mama D. Batuk yang dia alami sudah berlangsung lama dan tidak kunjung reda, namun tidak pernah ada pemeriksaan yang dia lakukan. Kerabat jauh dari Mama K yang pernah peneliti temui secara tidak sengaja sempat berbisik jika sesungguhnya Mama D 232 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pun pasti terkena TB paru, dan sudah terkena ketika dia mengandung K. Menurut kerabat Mama D tersebut, K tertular dari ibu kandungnya sendiri sejak masih di dalam kandungan. Peneliti tidak mungkin langsung percaya kepada prasangka tersebut, karena bagaimana pun diagnosa yang valid memang harus melalui serangkaian uji laboratorium. Terlepas dari dugaan-dugaan di atas, kinerja Puskesmas dan para personilnya yang dianggap pasif dalam melakukan kunjungan memang menjadi catatan buruk bagi orangtua K. Imbasnya sepasang suami istri ini tidak percaya akan kinerja Puskesmas, dan merasa tidak puas dengan pelayanannya. Suami Mama D terkesan merasa sangat kecewa jika dilihat dari pernyataannya. “Kalau menurut saya, memang tidak puas dengan pelayanan. Begini.. kalau kita berobat, kita harus menunggu, iya to? Lama sekali kan, harus mengantri, dorang (mereka) sibuk-sibuk saja tidak tahu apa yang dorang (mereka) kerja di belakang.” Dari pernyataan yang suami Mama D keluarkan, peneliti kemudian bertanya pelayanan apa saja yang membuatnya tidak puas. “Dari melayani, dari cara periksa, mungkin dorang (mereka) bisa salah kasih obat juga.” Lalu cara periksanya bagaimana? Pertanyaan peneliti selanjutnya, dan kali ini dijawab sendiri oleh Mama D. “Dorang (mereka) tanya-tanya saja, baru-baru ini dorang periksa tidak pegang sama sekali. Dorang (mereka) tanya sakit apa? Panas dan batuk begitu saja.” Pengalaman yang mengecewakan seperti yang telah diceritakan di atas, membuat mereka semakin malas untuk sekedar berkonsultasi tentang masalah kesehatan di Puskesmas. 233 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Akibatnya informasi kesehatan yang seharusnya bisa diperoleh dan bermanfaat tidak mereka dapatkan. Tuntutan agar pihak Puskesmas sebagai pihak yang aktif dalam upaya pengobatan K anaknya, mungkin terdengar biasa, namun tampaknya hal ini jamak ditemukan dalam masyarakat. Petugas kesehatan dituntut berperan ideal dan tidak luput dari salah dan masalah dalam bertugas. “Begini, kalau kita disini kurang koordinasi dengan mereka. Kalau kita mau datang koordinasi..kan datang mereka sibuk to. Jadi kita pemalas (malas) datang koordinasi disitu. Penyakitnya seperti apa, artinya kita curhat mengenai hal-hal yang seperti ini to.” Hal yang disebut dengan ‘curhat’ dalam pernyataan suami Mama D di atas kurang lebih berarti tukar pikiran. Sulit sekali untuk bertukar pikiran dengan petugas Puskesmas, kurang lebih begitu yang ingin disampaikan oleh suami Mama D. Bahkan suami Mama D mengusulkan agar kami langsung datang dan mengobservasi keadaan pelayanan Puskesmas, agar kami merasa yakin dengan apa yang mereka sampaikan. Tanggal 21 Juni 2014, suami Mama D meninggal dunia karena kecelakaan sepeda motor. Suami Mama D yang kala itu sedang mabuk berat berboncengan dengan seorang rekannya yang juga dalam keadaan mabuk. Motor yang mereka kendarai menabrak pembatas jalan, dan suami Mama D terlempar ke aspal dengan kepala yang terlebih dahulu mencapai tanah. Bagian kepalanya pecah dan tulang di tangan kanannya retak. Sementara rekannya yang memegang kendali motor selamat. Saat dibawa ke Puskesmas Melolo, kondisi suami Mama D masih dalam keadaan sadar dan sempat diberi pertolongan berupa beberapa jahitan di bagian kepala. Karena Puskesmas merasa tidak mampu berbuat lebih, maka suami Mama D dirujuk ke salah satu rumahsakit di Waingapu. Sesaat setelah masuk Unit 234 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Gawat Darurat, suami Mama D akhirnya meninggal dunia. Mama D yang mendampingi suaminya dari pertama kabar kecelakaan itu datang sampai detik terakhir hidupnya, kini menjadi seorang janda tanpa penghasilan dengan enam orang anak. Peringatan 3 hari kematian suami Mama D diadakan di rumahnya, setelah sebelumnya melakukan pemakaman dan upacara lainnya di daerah asal sang suami, Kecamatan Mangili. Peneliti yang datang untuk mengikuti kebaktian pada sore hari menjelang malam, bergabung dengan keluarga besar dan tetangga dekat Mama D di bale-bale rumah. Doa dipanjatkan oleh ayah kandung suami Mama D yang masih tampak kehilangan. Berbeda dengan ayah mertuanya, Mama D tampak begitu tegar. Bahkan bisa dikatakan dia tidak tampak sedih sedikitpun. Sambil tetap menggendong K yang lemah di gendongannya, Mama D menjalani semua urutan acara dengan tenang dan tegar. Setelah doa selesai dipanjatkan, acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Baskom-baskom besar berisi nasi, daging anjing, dan daging ayam yang dimasak kuah disajikan dengan air mineral dalam kemasan. Santap malam tersebut berlangsung cepat dalam hening dan gelap, karena hampir tidak ada orang yang terdengar mengobrol dan tidak ada listrik yang menerangi rumah. Sunyi dan gelap. Meninggalnya sang suami meninggalkan pertanyaan bagi Mama D, bagaimana dia dapat menafkahi diri dan anak-anaknya setelah suaminya meninggal, jika K tidak mungkin dia tinggalkan untuk bekerja? Itulah topik perbincangan yang kami bicarakan di pertemuan selanjutnya. K tergantung sepenuhnya kepada Mama D, tidak ada satu pun aktivitas K yang tidak dibantu oleh Mama D. Setelah suaminya meninggal, semua beban di keluarga akan jatuh ke pundak Mama D seorang. 235 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Mama D sendiri hanya memiliki keahlian menenun untuk menghasilkan uang. Menenun membutuhkan kesabaran, konsentrasi, serta alokasi waktu yang tinggi. Mama D sadar, selama K masih bergantung kepada dirinya dia tidak akan mungkin bekerja tenun atau bekerja lainnya. Sepeninggal suaminya, peneliti justru semakin dekat dengan Mama D. Perbedaan yang paling mencolok setelah suaminya meninggal adalah, Mama D jauh lebih terbuka kepada peneliti pada saat mengobrol. Hal yang tidak peneliti duga, Mama D menceritakan banyak hal yang dia tutupi tanpa harus peneliti tanya. Sebut saja bahwa ini adalah hikmah dibalik musibah. Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada almarhum suami Mama D yang telah dipanggil Tuhan, peneliti memang merasa ada hikmah dibalik kepergiannya. 4.2.2. Kenapa Yang Lain Tidak Kena? “(Kalau ini penyakit TB) Kenapa anak yang lain tidak kena, sehat-sehat. Tapi kenapa anak yang terakhir ini dia bisa dapat penyakit yang begitu?” Itulah pertanyaan yang diajukan Mama D kepada peneliti, ketika peneliti datang berkunjung ke rumahnya di suatu sore. Lalu jika bukan TB, apa penyakit yang diyakini Mama D sebagai penyakit yang telah menyerang putri bungsunya? Apung. Berbagai alur cerita yang telah diceritakan oleh Mama D dan almarhum suaminya, ternyata cerita yang tidak sepenuhnya benar. Peneliti yakin ada alasan dibalik cerita mereka yang sebagian besar ditutupi kebenarannya, tetapi peneliti tidak menanyakan alasan itu. Butuh proses yang panjang bagi siapa pun untuk memutuskan dapat bercerita tentang kisah hidup mereka yang sebenarnya kepada orang lain. Peneliti menghormati proses 236 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT tersebut, dengan tidak menanyakan alasan dibalik ketertutupan Mama D dan suaminya di waktu yang lalu. Apung. Ya, ternyata apung. Selama ini Mama D dan almarhum suaminya yakin jika apa yang menimpa anak bungsunya bukanlah penyakit medis yang disebut TB, tetapi apung. Apung secara umum memiliki gejala berupa batuk yang berlendir. Apung mungkin bukan hal yang sensitif untuk dibicarakan. Namun bagi sebagian orang, menyebut apung berarti mengungkit ngilu tama, yaitu ngilu yang ‘dibikin’ oleh orang atau pihak lain. Ketika dulu perut K mulai tampak kembung saat berusia 2 bulan, Mama D dan suaminya membawanya ke dukun terlebih dahulu, bukan ke Puskesmas. Kala itu K dan Mama D baru saja pulang dari Posyandu ketika kembung tersebut mulai terasa. Dukun yang pertama kali mengobati K mengobati perut kembung K dengan menyembur perutnya dengan kunyahan sirih pinang (hawurut), lalu menempelkan ramuan obat-obatan yang tidak diketahui komposisinya di tali pusat K. Bukan kesembuhan yang didapat, justru tali pusat K bengkak seperti bisul dan bernanah. Kala itu sang dukun berkata jika K terkena apung. Setelah tali pusat K terluka parah dan bernanah, Mama D dan almarhum suaminya baru membawanya ke Puskesmas. Setelah membawa K ke Puskesmas dan kemudian ke rumahsakit di Waingapu, orangtua K melakukan upaya medis untuk pengobatan K dengan memberi K ‘obat proyek’. ‘Obat proyek’ gratis dari Puskesmas yang diberikan dengan tujuan untuk mengobati TB, sedianya diminum dengan kepatuhan luar biasa, tidak boleh ada kata terlambat atau terlewat dalam mengkonsumsi obat tersebut. Lalu apakah K memang meminum ‘obat proyek’ tersebut dengan patuh? Sebelum mencari tahu jawaban dari pertanyaan tersebut, peneliti berusaha menjadi pendengar yang baik saat Mama D bercerita tentang dirinya dan tentang K. Peneliti masih ingat, 237 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Mama D pernah berkata jika interaksi K dengan dukun hanya pada saat dukun memijat tulang-tulang K yang dianggap bengkok. Ketika K mulai mengkonsumsi ‘obat proyek’ secara teratur, interaksi dengan dukun tidak dilanjutkan karena Mama D yakin akan pengobatan medis. Jadi interaksi pertama dan satusatunya dengan seorang dukun adalah saat pertama kali K dipijat. Kurang lebih begitu yang dikatakan Mama D, sebelum suaminya meninggal kala itu. Karena merasa yakin dengan ‘obat proyek’, Mama D berusaha memberikan obat tersebut secara patuh dan teratur. Pada akhirnya obat tersebut sempat berhenti diberikan karena dirasa membuat nafsu makan K hilang dan membuat tenggorokan K kering. Walaupun begitu, Mama K masih tetap mengambil obat tersebut ditambah dengan jatah susu formula setiap dua minggu sekali di Puskesmas secara teratur. Telah disebutkan sebelumnya jika K terakhir kali meminum ‘obat proyek’ sekitar bulan Desember tahun 2013 dan Mama D mengaku telah memberikannya selama 6 bulan. Jika memang ‘obat proyek’ tersebut diberikan secara semestinya, seharusnya K sudah mendapatkan kesembuhan dari penyakit TB. Nyatanya K masih saja terbatuk setiap saat, tidak memiliki nafsu makan, selalu rewel, tetap berkeringat di malam hari, dan tampaknya komplikasi gizi buruk yang diderita juga semakin memperparah keadaan kesehatan K. Tidak ada tindak lanjut berupa observasi, uji laboratorium, atau hal serupa setelah itu. Mama D hanya berkata, pernah ada petugas kesehatan dari Puskesmas yang datang sebanyak dua kali untuk menimbang berat badan K saja. Jadi tidak ada yang mengetahui dengan pasti, apakah K sudah terbebas dari TB atau belum, walaupun secara medis dapat disimpulkan jika ‘obat proyek’ yang seharusnya dikonsumsi secara teratur tidak dikonsumsi secara semestinya, berarti upaya mendepak kuman TB dari tubuh K telah gagal. 238 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Kepatuhan meminum ‘obat proyek’ yang dilanggar, tidak semata-mata karena alasan bahwa obat tersebut membuat nafsu makan K menurun dan membuat tenggorokan K kering. Tetapi karena sesungguhnya orangtua K merasa yakin jika K bukan terkena TB, tetapi terkena ngilu apung. Hampir semua orang Sumba yakin jika sudah terkait dengan ngilu maka penyembuhan melalui cara medis bukanlah cara yang tepat. Penyembuhan ngilu hanya bisa dilakukan melalui satu cara yaitu cara penyembuhan tradisional. Dalam budaya Sumba dikenal beberapa macam dukun, dan secara garis besar bisa dibedakan menjadi dukun bayi dan dukun penyembuh. Tetapi pada banyak kasus yang peneliti temui, dukun bayi ternyata juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan sakit. Dukun penyembuh dalam budaya Sumba, memiliki kemampuan berbeda dalam memegang ngilu dan anakanaknya (muru atau na’i). Seorang dukun bisa ‘memegang’ satu atau lebih dari satu jenis anak-anak ngilu, tetapi tidak mungkin memegang semuanya. Memegang dalam hal ini sama halnya dengan menaklukkan atau menyembuhkan. Intinya, satu jenis muru atau na’i bisa disembuhkan, jika yang mengobati adalah orang yang ‘pegang’ atau punya cara menaklukkan muru atau na’i tersebut. Jika orang yang terkena ngilu tersebut tidak kunjung sembuh, maka orang tersebut dianggap belum berhasil bertemu dengan penyembuh yang ‘pegang’ ngilu, dan itulah yang terjadi dengan K jika dilihat dari sudut pandang Mama D. “Apung itu kan ada yang pegang dia punya muru na... barangkali belum dapat yang pegang dia punya muru jadi belum sembuh na...” Sejak interaksinya dengan dukun yang pertama kali, setelah itu Mama D dan suaminya terus berusaha mencari dukun 239 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang ‘pegang’ apung tetapi belum juga berhasil. Dukun-dukun yang didatangi tersebut semuanya adalah dukun yang tidak ‘pegang’ apung, walaupun mereka pun berupaya memberikan pengobatan dengan memberikan ramuan-ramuan yang tidak diketahui secara jelas bahan atau komposisinya. Mama D bercerita, semua dukun yang dia datangi mendiagnosa K bukan terkena TB tetapi terkena apung, dan semua dukun tersebut juga berkata bahwa apung tersebut datang karena ‘dibikin orang’. “Sebenarnya ada orang yang bikin, kalau sementara sehat-sehat dia kuat makan, tapi sebentar dia tidak mau makan, batuk lagi.” Pengamatan Mama D terhadap nafsu makan K yang hilang muncul, ternyata dikaitkan dengan apung yang ‘dibikin’ orang. Dia berpikir jika K sedang tidak nafsu makan, berarti apung tersebut sedang bekerja, dan sebaliknya jika nafsu makan K sedang baik, maka apung tersebut sedang tidak bekerja. Lalu siapa yang ‘bikin’? apakah mungkin balita sekecil itu memiliki musuh yang tega membuatnya menderita, tanya peneliti kepada Mama D. Dia menjelaskan jika semasa hidupnya almarhum suaminya memiliki banyak musuh, dan orang yang telah mengirim ngilu apung kepada K adalah orang yang tidak suka dengan suami Mama D, atau ayah kandung K. Motif balas dendam dengan menyakiti orang terdekat tampaknya menjadi maksud atau tujuan dari si pengirim apung. Peneliti tidak tahu bagaimana dukun-dukun yang telah dijumpai Mama D menyimpulkan itu, namun Mama D berkata jika hal tersebut diketahui ketika dukun meraba bagian tubuh K saat dipijat atau diurut. Pemijatan dan pengurutan dengan memakai ramuan memang metode utama yang dilakukan oleh dukun, selain anjuran untuk merebus air dengan memakai mata kail pancing setiap hari untuk K. 240 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Dukun-dukun yang telah ditemui Mama D juga menyampaikan hal yang hampir sama, yaitu apung yang diderita K ternyata ada yang ‘bikin’ dan orang yang ‘bikin’ tersebut terdorong oleh rasa sakit hati dengan suami Mama D yang dianggap terlalu besar mulut. Menariknya, dukun-dukun tersebut secara kompak berkata jika mereka tidak mengetahui secara pasti identitas orang yang ‘bikin’ apung tersebut, dan jika mereka mengetahui pun, mereka tidak diperbolehkan untuk mengatakannya karena bisa menimbulkan konflik. Konflik yang bisa terjadi adalah adanya pembalasan dendam dari korban kepada individu yang ‘membikin’ apung, melalui cara-cara magis dengan campur tangan dukun. Balas dendam dalam ajaran Marapu adalah sebuah larangan keras, dan hal ini pun menjadi salah satu alasan dukun untuk tidak memberitahukan pihak-pihak yang dianggap sebagai pengirim ngilu. Walaupun sebenarnya diagnosa dukun bersifat subjektif, namun Mama D pun merasa yakin dengan hal tersebut, bahkan dia pun memiliki firasat tentangnya. “Kita juga firasat karena kita pernah apa itu... kita pernah besar mulut, bertengkar begitu, rasa punya salah...” Meskipun dukun-dukun yang telah didatangi belum juga memberikan kesembuhan bagi K, Mama D tidak patah semangat. Dia tetap yakin jika sudah bertemu dengan dukun yang tepat maka K bisa sembuh. Saking banyaknya jumlah dukun yang telah didatangi, membuat Mama D tidak mampu mengingat berapa jumlah pasti dukun-dukun telah yang dipakai jasanya. Setiap dukun diberikan bayaran berupa uang dengan jumlah nominal yang berbeda, besarnya berkisar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- tergantung dengan uang yang dimiliki Mama D saat itu. 241 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kadang kala ada dukun yang bersedia datang ke rumah Mama D, namun ada kalanya juga Mama D yang datang ke rumah si dukun. Berbeda dengan ‘obat proyek’ yang diberikan secara gratis dari Puskemas, mencari kesembuhan ke dukun ternyata membutuhkan biaya. Walaupun saat program minum ‘obat proyek’ selama enam bulan telah usai, K masih sering dibawa untuk berobat ke Puskesmas jika dia terserang demam. Untuk biaya berobat tersebut, K hanya dikenai biaya sebesar Rp. 5000,- karena K belum tercantum dalam bantuan Jamkesmas milik kedua orangtuanya. Imbalan yang diberikan kepada dukun sebenarnya tidak hanya berupa uang. Biasanya selain uang, pasien atau pemakai jasa dukun juga memberikan hewan seperti ayam. Imbalan ini dimaksudkan untuk ‘kasih dingin’ penyakit atau mendinginkan penyakit. Tujuan ‘kasih dingin’ penyakit adalah untuk mencegah penyakit tersebut datang kembali kepada pasien atau si sakit. Setiap dukun memiliki aturan atau ritual sendiri dalam hal ‘kasih dingin’ ini. Terkadang ada yang menerima uang dan tidak mau menggunakan uang tersebut, karena akan dibuang bersama sisa obat. Ada juga yang menggunakan uang tersebut dan beranggapan jika uang ini sama saja dengan upah yang mereka terima. Lalu ada juga yang menerima hewan sebagai media untuk ‘kasih dingin’, yang akan mereka pelihara sebagai hak milik mereka. Jika ternyata ritual ‘kasih dingin’ sudah dilakukan namun penyakit yang diderita pasien tidak kunjung hilang maka ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, dukun yang mengobati atau menyembuhkan penyakit ternyata bukan dukun yang tepat karena bukan dukun yang ‘pegang ngilu’. Kemungkinan kedua, ada yang salah dengan ritual ‘kasih dingin’ yang dilakukan tersebut. Kesalahan bisa berupa kesalahan 242 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT perilaku atau ucapan yang bisa berasal dari si dukun, atau bisa juga berasal dari pasien. Dukun yang gagal memberi kesembuhan lebih bisa ditoleransi kegagalannya oleh pasien karena apologi mereka yang telah disebutkan di atas, yaitu karena belum menemukan yang ‘pegang ngilu’, dan ada yang salah dalam ritual ‘kasih dingin’. Jadi dalam hal ini, dukun tetap dianggap tidak bersalah. Beda halnya jika petugas medis melakukan kesalahan saat mendiagnosa penyakit atau melakukan kesalahan saat memberikan obat, hampir tidak ada toleransi. Kesalahan akan mutlak tertuju pada petugas medis tersebut, dan kesalahan tersebut berujung kepada tuduhan ‘tidak cakap dalam bekerja’ atau ‘tidak pintar’. Pola pikir seperti di atas pun tertanam dalam benak Mama D. Berulang-ulang kali dia mencari dan mengobati K ke banyak dukun, hasilnya tetap saja sama. K tetap belum mendapatkan kesembuhan. Usaha untuk mendapatkan kesembuhan terus dilakukan dan masih dengan cara yang sama, yaitu meminta bantuan dukun. Kali ini dukun yang dipakai jasanya adalah seorang dukun perempuan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan almarhum suaminya. Hari dimana almarhum suami Mama D mendapatkan kecelakaan fatal, saat itu adalah hari pertama dukun tersebut memijat K di rumahnya. Pemijatan pertama tersebut bertujuan untuk ‘kasih tes’, artinya si dukun sedang mencari tahu apakah K memang terkena apung, dan apakah sakit K karena ‘dibikin’ orang. Ketika tangan dukun meraba seluruh badan K, si dukun mengaku mampu merasakan jika sakit K memang karena apung yang ‘dibikin’ orang. Ketika proses pemijatan tersebut terjadi, almarhum suami Mama D merasa keberatan karena perbuatan tersebut dianggap melanggar perintah agama, dan dia memilih untuk berada di luar rumah. 243 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sempat terjadi percekcokan antara si dukun dengan almarhum suami Mama D yang merupakan sepupu dekatnya. Keangkuhan dan keacuhan almarhum telah mengundang banyak musuh dalam hidupnya, dan karena itulah ada musuh yang melampiaskan rasa sakit hatinya dengan menyakiti orang terdekat almarhum suami Mama D. Sakit yang diderita K ditengarai sebagai akibat dari ngilu yang dibikin oleh salah satu musuh ayahnya tersebut. Si dukun sempat menghardik almarhum suami Mama D dengan kata-kata yang keras, hal ini diceritakan oleh Mama D sendiri. “Gara-gara kau punya mulut sudah..baru anak sakit begini. Lalu dia (almarhum suami Mama D) omong ‘Tuhan yang tahu, tidak perlu percaya yang luar-luar’. Dia masih omong begitu sama itu dukun.” Ketika Mama D memberitahu peneliti tentang rencana pemijatan K dengan dukun yang sama, peneliti langsung meminta izin diperkenankan melihat prosesnya. Ada rasa ragu yang tampak terlihat dari wajah Mama D, tetapi sejurus kemudian dia mengiyakan. Kesempatan tersebut tidak peneliti sia-siakan. Sepanjang peneliti mengenal Mama D dan keluarganya, peneliti belum pernah sekalipun memiliki kesempatan untuk melihat proses pengobatan K. Sikap tertutup Mama D dan keluarganya yang berlangsung cukup lama, sempat membuat peneliti putus asa. Tetapi tampaknya semua akan berjalan lancar pada akhirnya. Di suatu sore yang berangin kencang, peneliti kembali berkunjung ke rumah Mama D untuk melihat proses pemijatan K. Rencananya si dukun penyembuh akan tiba pukul 17.00 WITA, dan peneliti telah tiba di rumah Mama D sebelum pukul 17.00 WITA. K yang akan dipijat tampak seperti biasanya, lemah dan kuyu dengan rengekan yang terdengar setiap waktu. Sampai pukul 18.00 WITA, orang yang peneliti tunggu tidak kunjung tiba. Hari sudah mulai gelap dan angin begitu kencang bertiup. Jaket 244 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT yang peneliti pakai tidak mampu melindungi peneliti dari rasa dingin, namun anehnya K masih mengenakan celana pendek seperti biasanya. Sekitar pukul 18.30 WITA, ada suara motor yang terdengar mendekat ke rumah Mama D. Gelapnya susana rumah karena tidak aliran listrik, membuat peneliti sedikit memicingkan mata untuk melihat siapa yang datang. Di bale-bale rumah yang sempit, peneliti duduk menunggu kedatangan si dukun dengan diterangi satu buah senter yang menyala di bagian tengah ruangan saja. Tiba-tiba dua orang pengendara motor tersebut turun dari motor, dan mengucapkan salam ‘selamat malam’ kepada kami semua. Sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya duduk di samping peneliti, dan ternyata mereka adalah orang yang peneliti tunggu lebih dari satu jam lamanya. “Dari mana?” tanya mereka sembari tersenyum kepada peneliti. Belum sempat peneliti menjawab, tiba-tiba Mama D berkata, “dari kesehatan, mereka ingin lihat K diobati”. Sontak wajah sepasang suami istri tersebut berubah drastis. Ekspresi mereka tidak terbaca, entah karena apa. Basa-basi yang mereka lakukan kepada peneliti tiba-tiba mengarah kepada kalimatkalimat yang defensif. Semakin lama semakin tidak terkontrol dan cenderung penuh emosi. Mereka berdua membahas banyak hal tentang pengalaman dan praktek pengobatan mereka yang dinilai buruk secara medis. Mereka berdua dengan intonasi keras berkata jika apa yang mereka lakukan adalah atas izin dari Tuhan, dan pengobatan yang mereka lakukan pun berasal dari Tuhan, sama halnya dengan pengobatan medis. Mereka bersahut-sahutan berbicara mengenai kesehatan, mengenai penyakit, dan mengenai apa yang boleh dilakukan, dan tidak boleh dilakukan menurut mereka. Peneliti mengernyitkan dahi, kaget dan 245 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bingung. Tidak sepatah katapun peneliti diberi kesempatan untuk berkata. Entah apa yang salah dengan peneliti, yang pasti perkataan Mama D yang berkata kalau peneliti dari ‘kesehatan,’ dan ingin melihat pemijatan K adalah pemicunya. Setelah meracau cukup lama, peneliti baru tahu jika yang akan mengobati K adalah sang istri. Dialah dukun yang akan beraksi. Namun ada satu hal yang menarik dari kata-kata yang terlontar dari suami si dukun, yang dapat kami ingat dengan jelas. “Kalau kita berpikir negatif, kita bisa berpikir bahwa ini (pengobatan oleh dukun) berlawanan dengan pengetahuan kesehatan.” Pernyataan di atas adalah ungkapan kekesalan mereka, yang selama ini selalu merasa disalahkan oleh petugas kesehatan, karena pengobatan mereka yang dianggap salah jika dilihat dari sudut pandang medis. Walaupun peneliti merasa disudutkan, peneliti masih terdiam karena semakin lama apa yang mereka katakan secara bertubi-tubi semakin menarik untuk peneliti dengar. Salah satunya ketika si dukun berkata tentang kesalahan fatal yang dilakukan oleh Mama D, adalah ketika dia melahirkan di Puskesmas, karena bayi yang lahir dengan dibantu oleh tenaga kesehatan tidak pernah diperlakukan dengan benar. “Kalau saya, bayi yang baru lahir harusnya dibalik badannya, posisi kaki di atas lalu goyang keras-keras tiga kali supaya dahak bisa keluar dari dahak dan hidung.” Keluarnya dahak dari mulut dan hidung bayi menurut dukun tersebut, bermanfaat untuk mencegah si bayi dari berbagai penyakit kelak, terutama penyakit yang terkait dengan dahak, termasuk apung. Cukup sulit untuk menghentikan pembicaraan satu arah tersebut, karena mereka tampaknya memang orang yang suka bicara. Mama D sendiri hanya terdiam 246 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dengan akspresi yang tampak merasa bersalah. K masih merengek seperti biasa, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Malam semakin larut dan dingin, peneliti takut pengobatan yang seharusnya sudah dilakukan dari tadi justru akan terlambat, karena kedatangan peneliti. Peneliti khawatir akan mengganggu istirahat K yang mulai semakin gelisah. Merasa jika momentum berharga tidak selalu bisa datang dua kali, peneliti berusaha keras mencari celah untuk mengambil hati mereka. Ketika peneliti berkata bahwa pengobatan yang mereka lakukan tentu akan berharga bagi ilmu pengetahuan kesehatan, mereka akhirnya luluh. Saat masih menggebu-gebu ketika memojokkan peneliti, mereka berkata jika mereka adalah orang Kristen yang tidak mungkin percaya dengan hal-hal magis yang dilarang oleh agama yang mereka anut, termasuk percaya jika apung yang diderita K adalah apung yang ‘dibikin’ orang. Percaya pada adanya apung berarti secara tidak langsung percaya kepada Marapu, dan percaya kepada Marapu berarti melanggar perintah agama Kristen yang mereka peluk. Namun setelah peneliti dan sepasang suami istri tersebut ‘berdamai’, mereka bercerita banyak hal yang berlawanan dengan apa yang mereka katakan sebelumnya. Si dukun perempuan dengan yakin berkata; “Sakit dari Marapu harus disembuhkan dengan cara Marapu juga. Nanti dia akan sembuh dengan sendirinya.” Sebelum mereka berubah pikiran, peneliti segera mempersilahkan agar proses pengobatan segera dilakukan dengan alasan hari sudah semakin malam. Duduk hanya diterangi cahaya dari sebuah senter di tengah ruangan yang sempit, wajah Mama D, wajah K, wajah anak-anak Mama D yang lain, dan tentu saja wajah si dukun 247 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 terlihat samar. Wajah yang K yang tepat berada di depan nyala senter menatap kami lama, tatapannya tidak terbaca namun yang pasti bukan tatapan takut seperti hari-hari sebelumnya. Intensitas pertemuan peneliti dan K semakin tinggi sejak Ayahnya meninggal, dan K tampak mulai terbiasa dengan keberadaan peneliti. Walaupun masih balita, sepertinya K mulai sadar jika dia telah kehilangan ayahnya karena kondisi kesehatannya mulai memburuk. Ketika pemakaman ayahnya dilakukan, K sempat tidak sadarkan diri dan mengalami bengkak di kedua kakinya, menurut Mama D hal tersebut terjadi karena ada ikatan batin antara Ayah dan anak. Ikatan batin tersebut bisa jadi mulai muncul justru ketika almarhum suami Mama D meninggal. Ketika masih hidup, almarhum suami Mama D tidak berbuat banyak dalam membantu perawatan K. Almarhum suaminya sering pergi berbulan-bulan tanpa kabar dan nafkah atau pergi dengan teman-temannya menghabiskan malam. Sempat terlontar dari mulut Mama D tentang rasa kecewa yang mendalam terhadap suaminya tersebut beberapa hari setelah suaminya meninggal. Ekspresinya saat itu datar, tidak tampak kesedihan sama sekali. Proses pengobatan akan segera dimulai. K tampaknya mulai sadar jika dia akan menjadi obyek pengurutan seperti beberapa hari sebelumnya. Sambil memandang wajah si dukun, K mulai menangis dengan suara lemah. Pakaiannya mulai dilepas satu persatu, tubuhnya yang sangat kurus terlihat mencolok dengan tulang yang tampak tidak berbalut daging. Tidak ada energi untuk melawan atau memberontak, kedua belah tangannya hanya mampu mengepal lemah. Dengan dipangku ibunya, K terbaring lemah dan siap untuk diurut. Dukun menyiapkan sebotol ramuan yang tampak berwarna kecoklatan yang berisi air dan akar-akar tumbuhan. Botol yang dipakai tampak seperti botol bekas minuman dalam 248 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT kemasan, atau mungkin bekas botol kecap. Seperti biasa, dukun tersebut tidak bersedia mengatakan jenis akar apakah itu. Ramuan tersebut yang digadang-gadang sebagai ramuan dari Tuhan, sama halnya seperti obat dari rumahsakit. Perbedaannya, ramuan si dukun datang dari Tuhan lewat mimpi, sedangkan obat-obatan medis datang dari Tuhan melalui tangan-tangan dan buah pikiran manusia penemunya. Ramuan dari botol yang tidak berbau tersebut dioleskan ke telapak tangan si dukun. Dengan tangan kanannya dia mengurut bagian perut K, dari arah bawah menuju ke atas. Pengurutan dimulai dari bagian perut, karena si dukun yakin jika bagian tersebut mengalami pembengkakan, dia menyebut ada ‘biji-biji’ di bagian dalamnya. Di bagian perut bersarang lendir yang mengumpul sampai ke bagian dada, lendir itulah yang akan dikeluarkan dengan cara diurut. “Karena ada bengkak disini (di perut) lalu naik ke atas (ke bagian dada). Kalau ini minum obat rumah sakit nanti tambah kering, lendir tidak bisa keluar. Jadi harus pakai ramuan.” Gerakan yang dimulai dari bawah ke arah atas dimaksudkan untuk mengangkat lendir tersebut sampai ke tenggorokan. Jika lendir sudah sampai ke tenggorokan, lendir bisa dikeluarkan ketika K muntah. Sebaliknya jika pengurutan dilakukan dari atas ke arah bawah, lendir yang akan dibuang dikeluarkan lewat dubur bersama bersama tinja ketika buang air besar. Pada kasus yang lain, si dukun pernah sengaja memberikan ramuan akar-akaran yang harus diminum oleh pasiennya. Akar-akaran tersebut bertujuan untuk membuat pasien mengalami mencret. Dalam keyakinan si dukun, mencret adalah proses pengeluaran hal-hal yang bersifat panas dari dalam tubuh. Hal-hal yang bersifat panas diasumsikan sebagai penyakit yang 249 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bersarang di dalam tubuh pasien. Jika ternyata mencret tersebut justru tidak kunjung sembuh, pasien baru diperbolehkan untuk mencari pengobatan secara medis. Gambar 4.2. K yang Sedang Diurut oleh Dukun Sumber: Dokumentasi Peneliti Setelah selesai mengurut bagian perut K selama sekitar 5 menit dengan gerakan statis tersebut, pengurutan dilanjutkan ke bagian punggung K. Badan K dibalik sehingga memunggungi si dukun, dan dia mulai mengurut bagian punggung K dari arah atas menuju ke bawah, dengan lama sekitar 5 menit. Inti dari semua gerakan tersebut adalah mengeluarkan lendir yang ada di dalam tubuh, sampai habis tiada bersisa. Itulah kunci menaklukkan apung. Selama mengurut K si dukun berkata jika apung yang diderita K bisa disembuhkan, dan dia akan berusaha untuk menyembuhkannya. Selama sang dukun berusaha menyembuhkan K, dia tidak menginginkan K diberi pengobatan lain seperti pengobatan medis. Namun jika ternyata dia tidak mampu, maka dia tidak 250 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT akan menghalangi Mama D untuk membawa K ke rumah sakit atau Puskesmas. Dukun tersebut memang tidak yakin jika apung bisa disembuhkan jika diobati melalui cara medis, karena apung hanya bisa disembuhkan melalui cara tradisional berdasarkan ajaran Marapu. Jadi kesembuhannya pun harus atas campur tangan nenek moyang. “Dari nenek moyang kita, dari dulu penyakit ini (apung) sudah ada memang.” Usai mengurut K, si dukun tidak lantas pergi. Dia dan suaminya masih tinggal cukup lama untuk mengobrol dengan peneliti dan Mama D. Putri tertua Mama D menyajikan kopi panas untuk peneliti minum, setelah selesai membakar ikan untuk lauk makan malam K. Kopi panas dengan asap mengepul tersaji di depan peneliti. Ini adalah kali kedua peneliti meminum kopi di rumah Mama D. Meminum sajian dari tuan rumah adalah kewajiban bagi peneliti, untuk menghormati penghargaan dan jerih payahnya dalam membuat minuman tersebut. Walaupun begitu ada rasa khawatir dalam diri peneliti, rasa khawatir terjadi sesuatu yang tidak peneliti inginkan, rasa khawatir tertular TB, rasa khawatir yang menurut peneliti manusiawi. Sebelumnya peneliti selalu membawa sebotol air mineral jika peneliti berkunjung ke rumah Mama D. Hal tersebut bukan karena semata-mata kami takut tertular TB dari perangkat makan dan minum yang sama. Alasan lain adalah karena kami tahu Mama D dan hampir semua orang yang kami kenal di desa, ini tidak memasak air yang mereka minum sehari-hari. Pun dengan air panas yang mereka pakai untuk menyeduh teh atau kopi, mereka tidak akan menunggu sampai mendidih. Asalkan sudah cukup panas, bagi mereka itu sudah cukup. Mereka tidak merasa jika memasak air sampai mendidih itu hal penting, karena nyatanya hal itu tidak membunuh mereka. 251 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sejujurnya, kopi encer tersebut tidak terasa nikmat di lidah. Mungkin karena air yang dipakai untuk menyeduh memang air yang belum dimasak secara sempurna, atau karena gelasnya memang masih berbau. Bukan peneliti bermaksud untuk bersikap manja dengan keadaan yang serba terbatas, namun ada satu hal lagi yang membuat nyali peneliti menciut jika disuguhi minuman panas atau dingin. Di beberapa rumah yang pernah peneliti kunjungi, sebagian besar dari mereka tidak mencuci gelas yang sudah mereka pakai untuk minum, meskipun akan digunakan untuk menyuguhkan minuman untuk tamu. Air yang dipakai Mama D dan keluarga untuk minum sehari-hari, di ambil di sumur yang terletak jauh di belakang rumah, sekitar 50 meter jauhnya. Untuk mandi dan mencuci, mereka lakukan di sungai atau mengambil air dari sungai yang harus dijangkau dengan menuruni jalanan terjal berbatu, yang jaraknya sekitar 50 meter juga. Perjuangan untuk memperoleh air ternyata cukup sulit dan melelahkan. Walaupun begitu Mama D mengaku tetap rajin memandikan K setiap pagi dan sore, dengan menggunakan air hangat yang dicampur daun-daun yang dipercaya berkhasiat untuk obat, seperti daun mengkudu atau daun beringin. Obrolan tentang sumber air berhasil mengisi suasana malam sesaat sudah K diurut. K yang sudah berhenti menangis sibuk membuka mulut saat Mama D menyuapinya dengan nasi berlauk ikan bakar berbau sedap. Balita tersebut duduk sendiri di atas lantai papan, pantat dan kakinya yang teramat kurus ternyata mampu menopang anggota tubuhnya yang lain untuk duduk. Sesekali dia mengawasi peneliti dan si dukun dengan tatapan datar dan lama. Sesekali juga dia melirik gelas kopi kami, dan dia merengek memintanya. Belum habis nasi dan ikan di atas piring tiba-tiba K tertunduk lemah, dan tampak mulai memejamkan mata. Mama D berkata kalau K sudah mulai 252 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mengantuk, tetapi peneliti tidak melihatnya demikian. Ada sesuatu yang aneh, K bukan mengantuk tetapi tampaknya tibatiba kehilangan kesadaran sedikit demi sedikit. Ketika K mulai membuka mata kembali, kali ini dia benar-benar jatuh tertidur. Ada perasaan aneh yang sempat terbersit di hati peneliti, apa lagi jika mengingat tatapan datar K sebelumnya. Sebelum kami berpamitan pulang dan berusaha mengakhiri obrolan, Mama D dan si dukun masih sibuk berbincang tentang banyak hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Udara semakin dingin dan malam semakin mencekam, tetapi bulu kuduk kami tidak bereaksi berlebihan atas itu semua. Tetapi hal tersebut tidak berlaku ketika mereka berdua menceritakan tentang kematian ayah K yang tragis. Selain membahas kronologi kecelakaan, mereka juga berkata jika kematian Ayah K memang tidak wajar. Ada orang yang ‘bikin’ kecelakaan tersebut, dan orang yang ‘bikin’ adalah orang yang sama dengan orang yang ‘bikin’ apung untuk K. Ini yang menarik, musuh Ayah K yang tidak pernah diketahui pasti siapa, dianggap bertanggung jawab atas sakitnya K dan meninggalnya Ayah K. Jadi mereka menganggap, kisah dua orang ayah dan anak ini ternyata berawal dari kebencian satu orang saja. Akhirnya peneliti berpamitan untuk pulang setelah K benar-benar terlelap dalam dekapan ibunya. Pukul 07.00 WITA tanggal 28 Juni 2014, ada lima panggilan tidak terjawab yang tertera di layar telepon seluler peneliti, semua panggilan berasal dari nomor telepon seluler milik Mama D. Belum sempat peneliti menelepon Mama D, ada satu pesan singkat masuk yang memberitahukan berita duka jika K telah dipanggil Tuhan hari itu pada pukul 05.00 WITA. Ada perasaan kehilangan yang tidak dapat peneliti gambarkan, dan peneliti pun bergegas untuk datang ke rumah duka. Sedianya Mama D dan keluarga besarnya sedang bersiap untuk melakukan peringatan tujuh hari kematian almarhum 253 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 suaminya. Peringatan kematian tersebut dilaksanakan di Kecamatan Mangili, tempat asal sang suami. Dengan menempuh lama perjalanan sekitar satu jam dengan mengendarai sepeda motor, kami sampai di rumah duka. Jenazah K disemayamkan di rumah besar keluarga Ayah K. Rumah besar adalah rumah milik klan, yang dipakai untuk berbagai acara adat dan acara kematian. Rumah besar masih tampak sepi pelayat, hanya ada keluarga suami Mama D yang tampak duduk untuk menyambut tamu yang datang. Ketika peneliti masuk ke ruangan dimana jenazah K dibaringkan, Mama D langsung menangis dengan suara keras dan menyayat hati. Tidak seperti ketegaran yang ditampakkan ketika suaminya meninggal, kepergian K tampaknya sangat memukul hatinya. K sudah terbujur kaku dengan diselimuti berlapis-lapis kain tenun yang dibawa oleh pelayat. Matanya setengah terbuka, seolah-olah menatap peneliti dengan tatapan datarnya. K masih memakai baju kesayangannya, bahkan kepalanya masih dialasi bantal, seolah-olah K hanya sedang tertidur. Mama D berbaring di sebelah K dan setia mendampinginya. Dia sudah menyiapkan baju-baju dan mainan K, untuk turut serta dimasukkan ke dalam peti jenazah K nanti. Baju-baju dan mainan tersebut konon untuk dipakai K ketika di alam kubur nanti. Satu hari sebelum meninggal dunia, K terus menerus menangis. Dia tidak bersedia makan dan minum sampai Mama D dan kerabatnya yang lain merasa bingung. Mereka semua bergantian menggendong K sampai esok paginya. K terus menerus menangis, dan di saat-saat terakhir dia menunjuk sesuatu yang tidak jelas, dan beberapa saat kemudian berhenti bernafas di pelukan Mama D. Kepergian K mengingatkan peneliti kepada pembicaraan antara peneliti dan Mama D beberapa waktu lalu. Saat itu peneliti sedang mencoba menerawang masa depan Mama D sepeninggal suaminya. Bagaimana Mama D akan 254 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT menafkahi anak-anaknya, jika dia sendiri tidak akan mampu bekerja selama K masih tergantung kepada dirinya sepenuhnya. Bayangan tentang pembicaraan tersebut menyayat hati peneliti. Di luar rumah besar ada beberapa orang laki-laki yang sedang menyiapkan peti kecil dari kayu, dan itu adalah peti jenazah untuk K. Rencananya K akan dimakamkan berdekatan dengan ayahnya dalam kubur batu yang sama. Kubur batu yang akan dipakai untuk menyimpan jenazah K, sebetulnya lebih mirip dengan bangunan kotak yang dibangun dari beton dan memiliki pintu yang terkunci rapat. Pintu itu akan dibuka ketika ada peti jenazah yang akan dimasukkan. Keluarga besar Mama D tentu tidak akan menyangka jika pintu yang sudah terkunci rapat ternyata harus dibuka kembali dalam waktu yang begitu cepat. Kubur batu tersebut adalah versi modern dari kubur batu konservatif masyarakat Sumba yang terbuat dari batu dan berdiri kokoh. Gambar 4.3. K yang sudah dipanggil Tuhan Sumber: Dokumentasi Peneliti 255 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kubur batu modern dibangun begitu sederhana namun dengan tujuan yang lebih praktis. Jika dilihat lebih seksama, ukuran kubur batu ini mungkin sekitar 5 x 5 meter persegi dan cukup untuk menampung beberapa peti jenazah sekaligus. Petipeti tersebut disusun dengan rapi, dan akan digeser atau diatur ulang jika ada peti yang sudah lapuk bersama jenazahnya. Di bagian luar kubur batu moden ini bukan berupa ukiran-ukiran seperti yang terdapat pada kubur batu konservatif, tetapi merupakan gambar salib, gambar Yesus, atau gambar Bunda Maria. Itulah gambaran rumah abadi K yang akhirnya tidak mampu lepas dari belenggu apung sampai akhir hidupnya. 4.3. Apung; antara Suanggi, Marapu, dan Rumah Sakit 4.3.1. Suanggi Itu Membunuh Anakku Di tempat yang lain, yaitu di Kampung Uma Bara, peneliti mengenal seorang perempuan dengan dua orang anak balita yang luar biasa aktifnya. Perempuan tersebut memiliki hubungan yang istimewa dengan peneliti, yaitu sebagai anak mantu pemilik rumah yang peneliti tinggali. Kampung Uma Bara adalah kampung tempat peneliti tinggal. Pemilik rumah yang peneliti tinggali adalah seorang laki-laki pemabuk berusia setengah baya, yang saat ini tinggal sendiri karena sedang berselisih paham dengan istrinya. Rumah yang peneliti tempati merupakan rumah panggung dengan atap seng dan dinding dari anyaman bambu. Bagian muka rumah terdapat balai-balai luas yang digunakan untuk menerima tamu. Ketika tamu datang, tuan rumah akan membentangkan tikar daun lontar dan langsung mempersilahkan tamu untuk duduk. Setelah tamu duduk, tuan rumah akan menyajikan balahapa dan tangawahil, yaitu sirih pinang yang ditempatkan dalam anyaman daun lontar. 256 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Balahapa adalah sirih pinang berwadah besar, berbentuk kotak yang dipakai untuk sehari-hari. Tangawahil juga merupakan wadah sirih pinang, namun berukuran lebih kecil dengan bentuk persegi panjang atau ketupat yang disajikan untuk tamu. Sajian sirih pinang ini harus disajikan untuk menghormati tamu sekaligus juga berfungsi sebagai pembuka kata. Rumah tinggal peneliti berupa rumah tradisional bergaya Sumba, yang sudah beratap seng dan bercat hijau. Rumah tetangga-tetangga peneliti di kampung ini pun bergaya demikian. Ciri khasnya adalah rumah panggung yang ditopang oleh kayukayu dengan atap tinggi, dan balai-balai yang luas di bagian depan rumah. Lantai terbuat dari kayu yang sudah terpotong menjadi papan-papan panjang yang sengaja dipasang tidak rapat. Papan yang terpasang tidak rapat tersebut berfungsi untuk membuang ludah sirih pinang ke tanah. Di bagian bawah panggung itu juga dipakai untuk memelihara hewan seperti babi dan ayam, hewan lain yang berukuran lebih besar seperti sapi dan kuda akan ditambatkan atau diikat di luar rumah. Babi dilepas secara bebas berlalu lalang dan hidup berdekatan dengan manusia, begitu juga dengan sapi, kuda, dan anjing yang jumlahnya tidak sebanyak babi. Anjinganjing seperti membuat kawanan yang tampak bergerombol, dan menyalak secara kompak kepada orang asing yang datang. Kotoran hewan-hewan tersebut tercecer di berbagai sudut jalan, pekarangan, rerumputan, dan bagian muka rumah. Kotoran hewan tersebut tampak seperti tanah yang biasa diinjak oleh masyarakat lokal. Sebagian besar dari mereka baik tua maupun muda tidak memakai alas kaki ketika beraktivitas, dan menginjak kotoran hewan bukanlah masalah. Babi-babi menyumbang kotoran paling banyak, dan mereka akan mandi lumpur di tanah becek dari sisa-sisa air limbah rumah tangga. 257 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Di saat pagi dan sore hari babi-babi tersebut akan diberi makan pemiliknya dengan batang pisang yang dicampur dengan jagung, nasi, kelapa parut, atau dedak. Babi adalah hewan yang diperlakukan istimewa oleh pemiliknya. Bukan hanya karena babi adalah hewan dengan nilai ekonomi tinggi, namun babi adalah hewan utama yang dipakai untuk berbagai ritual adat masyarakat Sumba Timur. Jadi, memelihara babi dengan baik berarti berinvestasi adat dengan baik pula. Sebaliknya, anjing-anjing adalah hewan yang tidak beruntung jika dibandingkan hewan lainnya. Mereka akan mengorek makanan dari sisa-sisa makanan babi dan manusia, karena hampir tidak ada orang yang dengan sengaja memberi makanan untuk anjing. Kuda-kuda diberi makanan istimewa, karena kuda merupakan hewan yang konon menjadi lambang prestise pemiliknya. Kuda juga merupakan hewan yang sering kali diadu pada olah raga pacu kuda, yang menjadi ajang para pemilik kuda dan para penonton untuk berjudi. Karena berbagai alasan tersebut, makanan kuda bukan hanya rumput tetapi juga madu dan susu, agar kuda senantiasa sehat dan kuat saat dipacu. Sapi akan diberi rumput yang dicari pemiliknya di padang rumput, atau akan dilepas secara bebas di area yang ditumbuhi banyak rumput sabana. Pemilik rumah yang peneliti tinggali, yang bernama Bapak A memiliki empat ekor babi dan beberapa ekor ayam. Kandang hewan-hewan tersebut berada di bawah kamar yang peneliti tempati. Suara mereka saat lapar di pagi hari, adalah alarm alami yang membangunkan peneliti. Bau kotoran mereka kadang sangat mengganggu. Nyamuk-nyamuk pun begitu leluasa terbang, dan menghisap darah hewan dan penghuni rumah. Bapak A dibantu seorang nenek renta yang tinggal di bagian dapur rumahnya. Nenek tersebut membantu memberi makan hewan-hewan peliharaan, membersihkan halaman, dan 258 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT memasak makanan untuk Bapak A. Nenek yang peneliti panggil dengan nama panggilan Apu atau nenek dalam bahasa Sumba, mungkin sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan merupakan salah satu ata (hamba raja) tertua di kampung ini. Hampir semua anggota masyarakat di Kampung Uma Bara adalah hamba raja yang masih setia mengabdi, termasuk juga Bapak A. Istri Bapak A tinggal dengan salah seorang menantunya di rumah kebun, atau rumah di luar kampung. Mereka tinggal terpisah karena ada pertikaian yang berkepanjangan. Pertikaian tersebut telah menjadi rahasia umum di kampung ini. Peneliti sebagai tamu yang juga dianggap sebagai anak-anak Bapak A, merasa memiliki kewajiban untuk mengenal nyonya rumah atau istri Bapak A, meskipun mereka telah tinggal di lain rumah. Peneliti memanggil istri Bapak A dengan panggilan Mama A. Perkenalan peneliti dimulai ketika peneliti mengunjungi tempat tinggal Mama A, dan menantunya yang peneliti panggil dengan nama Mama R. Rumah tersebut berada tepat di tepi selokan yang airnya mengalir deras dan dalam. Untuk mencapai rumah tersebut, peneliti hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit perjalanan, atau sekitar 200 meter saja. Dari tepi selokan, peneliti akan meniti papan kayu lapuk yang berfungsi sebagai jembatan untuk mencapai tempat tinggal mereka yang sederhana. Di bawah pohon rindang yang menjulang tinggi dan selokan yang airnya deras mengalir, rumah tersebut begitu nyaman dan dingin untuk ditinggali. Perkenalan dan kunjungan peneliti pada saat pertama, hanya dimaksudkan untuk menjalin silaturahmi. Obrolan yang peneliti lakukan hanya untuk berbasabasi pada awalnya. Bertanya kabar, asal daerah, apakah betah atau tidak tinggal di kampung, adalah pertanyaan yang sudah mulai akrab di telinga peneliti. 259 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pertemuan yang selanjutnya lebih sering terjadi karena faktor ketidak sengajaan, misalnya ketika bertemu dalam undangan adat di kampung atau bertemu saat Mama R berkunjung ke rumah orangtua kandungnya yang tinggal di depan rumah peneliti. Ketika Mama R sedang duduk di balai-balai rumah orangtuanya, peneliti mendekat untuk bergabung dan turut berbincang. Mama R sosok yang ramah dan gemar mengobrol. Bahasa tubuhnya lugas, intonasi suaranya saat berbicara keras namun murah senyum, walaupun dia kerap berkata kasar kepada anak-anaknya. Badannya gempal, berkulit sawo matang, dengan rambut ikal panjang yang selalu tampak digulung di atas leher. Kedua anaknya yang masih balita menjadi anak yang populer di kampung karena reputasi ‘nakal’ mereka. Sedangkan kisah hidup Mama R sendiri, peneliti belum tahu. Setidaknya untuk sementara waktu. Perbincangan kaum perempuan di kampung ini saat sedang berkumpul, ternyata tidak jauh dari perbincangan tentang gosip tetangga yang tinggal di sekitar mereka. Perbincangan dalam bahasa daerah menyulitkan peneliti untuk ikut bergabung. Tetapi ketika peneliti berusaha seantusias mungkin untuk mengikuti jalan cerita, mereka dengan suka rela menyelipkan Bahasa Indonesia di antara obrolan tersebut, atau dengan suka rela menerjemahkan inti ceritanya untuk peneliti. Cerita tentang pertikaian antar tetangga, adat yang ketat mengikat, sakit karena angin, penyakit karena ‘dibikin’, dan cerita tentang suanggi menjadi topik hangat saat peneliti mengobrol bersama mereka. Seringnya mendengar cerita yang sama membuat peneliti diliputi perasaan jenuh, apa lagi jika cerita tersebut hanya diawali dengan kalimat ‘saya dengar’ atau ‘kata orang’. Tetapi ternyata, bertahan untuk tetap menjadi bagian dari sekumpulan ‘mama260 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mama’ yang rajin mengobrol ternyata memberi banyak wawasan baru. Selain itu, melalui jalan tersebut peneliti mulai dikenal di seantero kampung, memiliki teman dekat, dan memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang dilakukan di kampung ini. Mama R yang berusia 38 tahun, adalah salah satu perempuan di kampung yang akhirnya menjadi sangat dekat dengan peneliti. Peneliti bertukar informasi sembari mengobrol sambil diselingi minum kopi bersama. Peneliti sering berkunjung ke rumahnya yang berada di tepi selokan untuk mengobrol sembari menjenguk Mama A. Awalnya perhatian peneliti hanya tertuju pada kisah hidup mereka berdua, yang sama-sama sedang dalam kondisi berpisah dengan suami mereka. Mama A berpisah sementara dengan Bapak A karena ada perselisihan, sedangkan Mama R berpisah sementara dengan sang suami karena sang suami sedang menjalani hukuman kurungan di lembaga pemasyarakatan. Kisah-kisah mereka tidak ada yang menarik perhatian peneliti secara khsusus, sampai ketika peneliti tahu jika Mama R pernah memiliki anak yang meninggal dunia karena batuk, dan anak laki-laki yang berikutnya pernah divonis positif TB paru. Semangat peneliti saat mendengar fakta baru tersebut, tiba-tiba melonjak drastis, apa lagi ketika peneliti bertanya, ‘apa itu apung?’, Mama R menjawab ‘ya, itu apung sudah’. Dahulu sekitar tahun 2006, Mama R mengandung anak pertamanya yaitu hasil buah cintanya dengan putra pertama Mama A. Tidak ada pernikahan secara adat atau pun secara agama, karena saat itu hubungan mereka tidak direstui oleh orangtua kandung Mama R. Selain itu, dulu mereka masih menganut agama Marapu, agama nenek moyang mereka. Jadi tidak mungkin bagi mereka untuk menikah secara agama, karena 261 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 agama Marapu bukanlah agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Saat itu Mama R masih tinggal bersama kedua orangtua kandungnya. Dulu kehamilan Mama R diterima dengan baik. Orangtua Mama R memberi dukungan dengan memberikan perhatian terhadap janin dan mengurangi beban pekerjaan rumah tangga Mama R. Walaupun tengah mengandung, Mama R tetap menenun setiap hari. Menenun adalah pekerjaan utama Mama R saat itu. Kain hasil tenunan Mama R dijual kepada pengepul dari luar Pulau Sumba, dengan harga yang lumayan tinggi katanya. Hasil dari penjualan kain tersebut ditabung untuk mempersiapkan segala keperluan persalinan, dan diinvestasikan dalam bentuk perhiasan emas. Hubungan Mama R dengan tetangga-tetangga terdekatnya tidak berjalan dengan baik. Ada saat dimana dia bersitegang dengan beberapa orang tetangga karena masalah sampah, masalah hewan yang memakan pakan atau tanaman milik tetangga, atau karena termakan gosip yang menyakitkan sehingga terjadi salah paham. Hubungan terburuk yang menyisakan permusuhan sampai sekarang ini adalah pertikaiannya dengan apu, atau si nenek cantik yang tinggal di dapur belakang rumah Bapak A. Cekcok mulut dengan apu meninggalkan sumpah serapah dan dendam berkepanjangan. Dendam tersebut melibatkan keluarga besar kedua belah pihak. Apu menuduh Mama R telah menghancurkan hidup cucu perempuannya, sedangkan Mama R menuduh Apu sebagai jelmaan suanggi jahat yang suka mengirim guna-guna yang mencelakai orang lain. Cerita tentang Apu yang dikenal sebagai jelmaan suanggi sebenarnya tidak hanya peneliti dengar dari mulut Mama R saja, tetapi hampir semua warga kampung pun percaya dengan kabar tersebut. Cekcok yang terjadi ketika usia kehamilan Mama R 262 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT masih muda tersebut, akan membekas dalam benak Mama R untuk waktu yang lama dan mempengaruhi cara pandangnya terhadap suatu hal kelak. Sampai usia kandungan Mama R semakin tua, hubungannya dengan anak laki-laki Mama A tidak juga direstui karena alasan yang bersifat pribadi. Tanggal 24 Maret tahun 2007, Mama R melahirkan di Puskesmas dengan dibantu oleh bidan desa. Proses kelahiran tersebut berlangsung normal dan lancar. Bayi berjenis kelamin laki-laki tersebut terlahir sehat dengan anggota badan yang lengkap dan normal. Mama R berkata, berat badan anak lak-laki pertamanya adalah 3,5 kg. Rasa bahagia tidak hanya dirasakan oleh Mama R dan ayah si bayi, tetapi orangtua kandung Mama R pun turut berbahagia. Hari pertama bayi tersebut lahir di dunia, Mama R dan orangtuanya melakukan ritual pemberian nama bayi menurut keyakinan agama Marapu. Dalam ritual tersebut, orangtua si bayi harus menyediakan hewan untuk dikorbankan kepada marapu, hewan tersebut adalah ayam yang jumlahnya harus genap. Jumlah minimal ayam yang bisa dikorbankan adalah empat ekor, kemudian enam ekor, dan maksimal adalah delapan ekor. Saat itu Mama R mengorbankan delapan ekor ayam untuk dipersembahkan kepada Marapu. Delapan ekor ayam itu akan disembelih oleh seorang wunang, atau juru bicara dalam agama Marapu. Setelah disembelih, tali perut dan hati ayam tersebut akan dilihat dan dibaca artinya oleh wunang satu persatu dalam ritual hamayangu. Saat itu semua tali perut dan tali ayam yang dibaca wunang ternyata memiliki arti yang baik. Hal tersebut membuat Mama R merasa bahagia. Saat prosesi pemberian nama tiba, bayi yang masih merah tersebut dipangku oleh neneknya, dan pada saat itu sang nenek mengunyah sirih pinang yang dikunyah dari 263 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mulutnya sendiri. Kunyahan sirih pinang tersebut akan ditempelkan di bagian tali pusat si bayi yang masih basah. Sebelum sirih pinang tersebut ditempelkan, sebenarnya pihak keluarga terutama orangtua si bayi telah menyiapkan beberapa nama untuk si bayi. Jika bayi tersebut menolak nama yang diberikan, maka kunyahan sirih pinang yang diletakkan di bagian tali pusatnya akan terjatuh. Jika kunyahan sirih pinang tersebut tetap menempel, itu adalah tanda bahwa si bayi menerima nama yang diberikan. Pun demikian dengan anak Mama R, dia menerima nama yang diberikan oleh orangtuanya. Nama yang diberikan kepada si bayi laki-laki adalah F. Berbekal keyakinan akan hasil ritual hamayangu yang baik, Mama R percaya jika anaknya akan tumbuh sehat, apa lagi F dilahirkan dengan berat badan yang baik, kurang lebih begitu pikir Mama R. Saat umur F menginjak dua hari, F membuat Mama R khawatir. Kala itu tengah malam, F menangis keras tiada henti sampai pagi hari. Mama R sampai tidak mampu untuk istirahat, dan memulihkan kondisi fisiknya setelah melahirkan. F menangis histeris seperti ada yang mencubit tubuhnya, Mama R pun merasa jika ada yang mengganggunya saat peristiwa itu terjadi. Mama R seperti melihat bayangan manusia yang lewat di depan pintu kamarnya, dia merasa yakin jika dia mengenal baik bayangan orang itu. Dia merasa ketakutan, apa lagi tiba-tiba terdengar suara anjing menyalak bersahutan, suatu pertanda yang dipercaya masyarakat Sumba sebagai datangnya mahkluk halus, setan, atau suanggi. Tangis F tidak juga kunjung reda. Suara tangisnya disertai dengan suara batuk dan suara nafas yang terdengar sesak. Mama R yakin sesuatu telah terjadi pada anaknya. Peristiwa buruk yang menimpa putra pertamanya di usia yang baru menginjak dua hari, membuat Mama R memutuskan 264 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dia membawa F ke dukun Marapu dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi pada F. Walaupun sebenarnya ada firasat yang mengatakan sebaliknya, ketika dia melihat bayangan seseorang yang dia kenal malam sebelumnya. Dukun yang dia temui melakukan ritual hamayangu untuk melihat apakah yang tengah terjadi kepada diri F. Saat itu ada dua kemungkinan yang diberitahukan dukun, F sakit karena diganggu suanggi, atau sakit karena Marapu yang marah. Ternyata dukun berkata jika F terkena ngilu apung mangiala, dan sakit tersebut karena ada orang yang ‘bikin’, orang tersebut adalah suanggi yang mengirimkan ngilu apung kepada F. “Pertama lahir Ibu bidan bilang sehat, tapi karena ada pengaruh ada yang ‘bikin’, angin itu... ngilu... sakit sudah. Itu saya rasa memang, sudah tahu memang.” Mendengar penerawangan dukun, Mama R langsung merasa yakin jika itu benar. Apa lagi di malam-malam selanjutnya pun F tetap menangis ketika malam, terbatuk-batuk, dan tubuhnya berkeringat seperti baru saja selesai mandi. Bayangan orang yang selalu lewat di sekitar pintu kamar dan rumahnya semakin menguatkan keyakinan Mama R, jika suanggi lah biang kerok semua hal yang terjadi. “Saya lihat bayangan orang hampir tiap malam. Kan pada saat belum kumat kan diam-diam saja, biasa saja. Terakhir kalau sudah malam, terakhir menangis keraskeras kalau sudah malam, menangis terus sampai pagi, tidak tidur. Mulai jam 1, jam 4, jam 5 baru tidur, begitu terus. Macam ada yang pegang disini (di dada), kalau tidak mau tarik sama saya, mau kasih jatuh, macam ada yang tarik kasih jatuh saya di tempat tidur, begitu...” 265 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Dukun yang Mama R temui tidak memberi tahu siapa orang yang ‘bikin’ ngilu kepada anaknya F, namun di benak Mama R sudah terlintas satu nama yang dia anggap paling bertanggung jawab atas itu semua. Orang itu adalah apu. Nenek renta yang tinggal di dapur rumah tempat tinggal peneliti adalah orang yang dianggap sebagai suanggi yang telah mengirim ngilu. Nenek renta yang kesehariannya hanya menyapu, memasak, dan memberi makan ternak tersebut, disebut sebagai jelmaan suanggi. Apu memang dikenal sebagai orang tua yang ‘banyak mau’ di kalangan tetangga-tetangga dekatnya sesama hamba raja. Reputasinya sebagai hamba yang bersuamikan 6 orang lakilaki yang kesemuanya mati setelah dia nikahi, memperburuk reputasinya. Anak-anak kandungnya sendiri banyak yang memusuhi dirinya, karena selain ringan tangan dan ringan mulut, apu juga sering dianggap sering dengan sengaja merusak rumah tangga orang lain, termasuk rumah tangga Mama A yang sekarang tinggal bersama Mama R. Itulah sebabnya mengapa tetangga-tetangga peneliti di kampung termasuk Mama R dan Mama A, melarang kami memakan apapun makanan pemberian apu, karena dikhawatirkan apu akan menaruh sesuatu yang berbahaya di dalam makanan tersebut. Dikarenakan F masih sangat kecil, dukun tidak mengobati F dengan cara memijat tubuh F atau memberikan ramuan obat. Dukun hanya melakukan ritual hamayangu untuk mengusir ngilu yang telah masuk ke tubuh F. Setelah melakukan ritual tersebut, F kembali tenang dan tampaknya sudah sembuh, Mama R yakin hal itu. Kebencian Mama R terhadap apu semakin menjadi-jadi. Dia menunjukkan sikap bermusuhan kepada apu dengan ‘tidak kasih muka’ atau menganggap apu tidak pernah ada. Mama R tidak pernah menyapa atau bersedia diajak bicara oleh apu untuk alasan apapun. 266 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Dia kerap bertanya-tanya apa alasan dibalik perbuatan apu, jika apu membenci dirinya kenapa bukan dirinya yang dicelakai? Kenapa harus F, anaknya yang tidak memiliki salah apapun? Tentu saja Mama F tidak memiliki bukti apa-apa jika apu adalah suanggi yang mengirim ngilu apung kepada F, karena dia tidak pernah benar-benar menangkap basah apu sedang berada di sekitar rumahnya, atau datang ke kamarnya. Mama R hanya merasa jika yang hadir untuk mengganggu dia dan anaknya adalah bayangan apu saja karena apu dikabarkan bisa terbang, bisa menghilang, dan bisa mendengar jika ada orang yang membicarakan dirinya. Untuk yang disebutkan terakhir, kami pun percaya. Di usianya yang lebih dari delapan puluh tahun pendengarannya masih sempurna. Setiap kali Mama R membicarakan apu, dia akan membicarakannya sambil berbisik dan entah kebetulan atau bukan, akan ada suara cicak yang seolah-olah menyahut. Lalu Mama R akan mengetuk-ngetukkan tangannya yang mengepal ke meja atau dinding, setelah suara cicak tersebut berlalu. Nada ketukan tangan tersebut pun sesuai dengan nada suara cicak yang sebelumnya berbunyi. Suara cicak yang menyahut dan berbunyi berkali-kali, dianggap sebagai pertanda buruk bagi orang. Walaupun asal mula kepercayaan tersebut berasal dari etnik Sabu, namun banyak orang Sumba yang juga mempercayainya dikarenakan ada kedekatan historis dari kedua etnik tersebut. Hal yang paling dekat diantara kedua etnik ini adalah pada pemahaman mereka tentang angin. Konsep yang mereka pakai tentang angin adalah sama. Kedua etnik ini percaya jika angin adalah sumber dari segala macam sakit atau penyakit. Hanya saja dalam budaya Sumba, angin yang berasal dari Tuhan tersebut, dipercaya diatur oleh Marapu. Angin tersebut dalam bahasa Sumba disebut ngilu, dan anak-anak atau turunan 267 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dari ngilu tersebut disebut dengan muru, walaupun istilah tersebut bisa berarti obat juga. Dalam bahasa Sabu, angin disebut dengan na’i, namun istilah ini tidak hanya akrab di kalangan etnik Sabu saja, karena etnik Sumba pun akrab dengan istilah tersebut. Sebagian besar orang yang mengaku percaya jika apu adalah seorang suanggi dan mengaku pernah ‘dibikin’ oleh apu, adalah orang yang pernah melakukan kontak dengan apu sebelum mereka sakit, setidaknya bertemu atau berpapasan. Ada juga yang mengaku jika apu mendatanginya dalam mimpi, atau ada bayangan apu yang melintas ketika mereka mengalami sakit. Peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai pertanda gaib, jika sakit yang mereka alami adalah hasil perbuatan jahat apu. Motif apu untuk menyakiti orang lain dikabarkan bermacam-macam, tetangga-tetangga rumah yang peneliti tinggali menyebut jika apu mudah membenci orang lain, dan jika dia membenci orang tertentu maka dia tidak segan-segan mengirim ngilu. Hal yang bisa dicermati lebih lanjut oleh peneliti, adalah bagaimana sakit atau penyakit yang dialami seseorang dan bersifat personalistik, hampir selalu dikaitkan dengan apa yang telah mereka alami, atau apa yang telah mereka lakukan sebelumnya sebagai sebuah refleksi. Mungkin memang bukan sesuatu hal yang bersifat kebetulan jika pada saat seseorang di kampung sakit, beberapa menit sebelumnya dia bertemu atau bercengkerama dengan apu, atau beberapa hari sebelumnya bersitegang dengan apu dan memakinya. Tetapi secara logika, dapat dicermati jika di kampung yang sangat kecil ini, yang hanya dihuni oleh beberapa rumah tangga dan antara satu sama lain saling mengenal, maka frekuensi untuk saling bertatap muka atau saling sapa setiap hari akan besar kemungkinannya. Demikian juga dengan Mama R. Ketika mengandung anak pertamanya dulu, Mama R masih tinggal di rumah besar, atau 268 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT rumah milik orangtuanya yang berada di depan rumah yang peneliti tinggali. Dahulu, apu tinggal di sebelah rumah besar Mama R, sebelum akhirnya bersitegang dengan anaknya, dan kemudian tinggal di dapur rumah yang peneliti tinggali. Dari cerita Mama R, dia hampir setiap hari bertemu, atau setidaknya melihat apu berjalan-jalan di kampung atau hanya berada di sekitar rumah. Pertanyaan peneliti selanjutnya adalah, jika hampir semua warga kampung tahu jika apu adalah jelmaan suanggi yang sering meresahkan mereka, mengapa tidak ada satupun orang yang berusaha membalas apu? Mama R bercerita, suatu hari dukun yang dia temui memberikan suatu tanda, jika ada orang yang kakinya terluka karena kecelakaan atau terjatuh, maka orang tersebut adalah suanggi yang selama ini mereka cari. Sebelumnya si dukun telah menebas kaki seekor ayam yang secara magis diibaratkan sebagai sosok suanggi yang akan ditebas juga kakinya. Entah apakah ini suatu kebetulan atau tidak, beberapa hari kemudian kaki kanan apu diceritakan patah karena terjatuh di lubang sumur yang sudah tidak terpakai. Tetangga-tetangga pun membenarkan cerita ini. Merasa pengaruh jahat apu terhadap F masih besar, maka Mama R sering melakukan ritual hamayangu. Entah berapa kali ritual tersebut dilakukan, Mama R hanya berkata sangat sering sampai dia tidak mampu mengingat jumlah pastinya lagi. Hamayangu tersebut dipimpin oleh seorang wunang, dengan tujuan untuk melindungi F dari ngilu apung yang belum juga pergi. Setiap malam keadaan F masih tetap sama, selalu menangis histeris dengan batuk yang berlendir dan nafas yang sesak. “Hanya saat melahir (lahir) saja dia (F) sehat. Dia (apu) siksa malam, siang aman. Malam menangis terus, tidak 269 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bisa tidur. Dia menderita. Kalau malam berkeringat, macam dia habis mandi” Keadaan tersebut menjadi beban pikiran Mama R, dia terus berupaya untuk mencari kesembuhan F melalui tangan dukun. Pengobatan apung yang dilakukan dukun saat itu baru sebatas melakukan ritual hamayangu saja karena F masih terlalu kecil untuk diurut, atau untuk diberi ramuan obat. Entah berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk membayar jasa dukun tersebut, Mama R tidak lagi ingat. Ketika ritual hamayangu dilakukan, Mama R harus menyiapkan delapan ekor ayam untuk dipersembahkan kepada Marapu, dan nantinya akan memberikan uang untuk dukun sebagai imbalan jasa. Sampai usia F menginjak 1 bulan, kondisinya tetap saja sama. Bahkan saat berusia 2 bulan kondisi F semakin memburuk. Mama R kembali memanggil seorang wunang untuk membantunya melakukan hamayangu. Dia ingin mengetahui bagaimana Marapu memberinya petunjuk dalam tali perut dan hati ayam yang dikorbankan. Ketika wunang datang dan melakukan hamayangu, ritual yang dilakukan ternyata bukan hanya mencari tahu petunjuk dari Marapu saja, namun wunang juga memutuskan untuk membereskan suanggi si pengirim ngilu apung tersebut. Wunang membersihkan segala angin yang masuk ke dalam rumah, dari berbagai sudut mata angin, dan membersihkan angin dalam diri F dalam ritual hamayangu tersebut. Saat ayam yang menjadi hewan kurban disembelih dan dilihat tali perut serta hatinya, wunang juga memberikan bagian untuk suanggi tersebut. Wunang melakukan perjanjian dengan suanggi, jika suanggi telah bersedia menerima daging yang merupakan jatahnya, maka artinya suanggi telah mematuhi perjanjian yang dibuatnya bersama wunang, yaitu untuk tidak lagi mencelakai F dengan angin kirimannya. 270 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Jatah daging tersebut disebut Mama R dengan istilah ‘kasih makan suanggi’, yang nanti dibuang wunang di halaman rumah setelah melakukan ritual lain sesuai dengan ajaran Marapu. Daging yang telah dibuang di halaman rumah tersebut nanti akan hilang dengan sendirinya. Biasanya akan hilang karena dimakan anjing yang dipercaya merupakan jelmaan dari suanggi tersebut. Tali perut dan hati ayam yang dilihat wunang ternyata merupakan pesan yang sangat penting dari Marapu. Pesan penting dari tersebut adalah, Mama R boleh membawa F ke rumah sakit. Yang dimaksud rumah sakit sebenarnya adalah pertolongan medis apapun, terutama pertolongan dari dokter, Puskesmas, atau rumah sakit dalam arti yang sebenarnya. Hampir semua masyarakat yang peneliti kenal menyebut Puskesmas dengan sebutan rumah sakit, dan kadang ini membingungkan peneliti. Untuk mempermudah akhirnya peneliti selalu bertanya rumah sakit mana yang dimaksud, rumah sakit Melolo atau rumah sakit di Waingapu? Jika jawaban mereka adalah rumah sakit di Melolo, maka bisa dipastikan jika yang dimaksud adalah Puskesmas. Seperti dugaan peneliti di awal, ternyata Mama R membawa F ke rumah sakit Melolo atau Pukesmas Melolo. Saat itu F yang diceritakan masih berbadan gemuk dan lucu didiagnosa mengalami sakit batuk biasa. Obatnya berupa puyer dan sirup yang tidak diminum untuk jangka waktu lama. Karena tidak memiliki kartu Jamkesmas biaya pengobatan F di Puskesmas tidaklah gratis, saat itu Mama R membayar Rp. 5.000,- untuk menebus obat-obatan dari Puskesmas. Sesuai dengan anjuran yang diterima petugas Puskesmas, Mama R memberikan obat tersebut ke anaknya sampai habis. Sakit F reda, namun tidak lama kemudian kondisinya kembali seperti semula, bahkan lebih buruk. Mama R tiba-tiba merasa 271 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ragu dengan pengobatan medis, dia berpikir mengapa pengobatan modern tidak mampu menyembuhkan anaknya, padahal obat-obatan medis adalah obat yang menurutnya pasti manjur. Kebimbangan tersebut menuntunnya pada satu pemikiran jika sakit yang diderita anaknya memang bukan sakit biasa, bukan sakit yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan dari rumah sakit. Dia semakin percaya jika sakit tersebut adalah sakit yang sama, yaitu ngilu apung. Mama R kembali berusaha mengobati F dengan membawanya ke dukun. Ketika berusia empat bulan, F diurut oleh dukun karena usianya dianggap sudah cukup. Ramuan yang dipakai untuk mengurut F adalah daging buah kelapa yang dibakar lalu ditumbuk sampai halus. Tumbukan kelapa yang berminyak dan berwarna kehitaman dengan aroma yang khas tersebut, dipakai untuk mengurut bagian dada F dengan gerakan dari bawah ke atas. Tujuan gerakan tersebut adalah untuk mengangkat lendir yang ada di bagian dada F sehingga mudah dikeluarkan. Setelah itu, dukun akan memasukkan jari telunjuknya ke kerongkongan F, agar F merasa mual dan akhirnya muntah. Setiap hari Mama R akan merebus air yang dicampur dengan mata pancing berukuran kecil yang dibelinya di toko. Mata pancing tersebut dipercaya sebagai obat yang dianggap mampu menaklukkan apung. Muntahan yang dikeluarkan F, akan bercampur dengan lendir yang menyebabkan F batuk. Dalam keyakinan dukun, jika semua lendir yang ada di dalam tubuh F bisa dikeluarkan seluruhnya, maka apung dipastikan akan sembuh total. Tentu saja dengan catatan jika semua angin jahat yang dikirim suanggi telah ditaklukkan, dan itulah alasan mengapa mereka harus memberi bagian atau ‘kasih makan’ suanggi. 272 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Setelah diurut, F akan diberi ramuan yang terbuat dari akar-akaran untuk diminum. Mama R tidak tahu jenis akar apa itu, apa namanya atau bagaimana mengolahnya. Dukun merahasiakan itu semua. F diurut dan dikeluarkan lendirnya oleh dukun sebanyak empat kali dalam kurun waktu dua bulan, namun kondisinya tetap sama. Hampir hilang asa Mama R, akhirnya dia kembali melakukan hamayang untuk memohon petunjuk Marapu. Wunang kembali membaca tali perut ayam dan hati ayam. Pada saat itu wunang berkata jika upaya secara Marapu telah dilakukan dan F tidak juga mendapat kesembuhan, maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh Mama R adalah kembali ke rumah sakit. Yakin akan perkataan wunang, Mama R mengeluarkan segala kemampuannya untuk membawa F berobat jalan ke Waingapu. Saat itu dia mendatangi seorang dokter yang membuka praktek umum, dan dikatakan jika batuk F adalah batuk biasa. Ketika obat yang diberikan habis maka Mama R akan kembali datang ke dokter tersebut. Tanggal 23 Oktober tahun 2009 kondisi F memburuk, akhirnya Mama R kembali membawa F ke Waingapu untuk memeriksakan kondisi kesehatan F yang tidak kunjung membaik. Mama R ingin melakukan pemeriksaan dan serangkaian pemeriksaan secara medis. Dia menginap di salah satu kerabatnya di Waingapu, dan berencana akan memeriksakan kesehatan F esok harinya. Sebelum berangkat ke Waingapu, F menangis tiada henti. Tangisnya tidak berhenti sampai mereka tiba di Waingapu. Tangisan tersebut bahkan sampai menarik perhatian tetangga-tetangga kerabat Mama F yang dia tinggali untuk sementara. Esok harinya F tidak kunjung berhenti menangis. Saat sore hari, Mama F akhirnya mendatangi seorang dokter di tempat prakteknya, dan tangis F pun tidak kunjung berhenti. Mama R 273 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mengambil nomor antrian pasien dan ternyata dia berada di urutan yang terakhir diantara puluhan pasien lain yang juga sedang mengantri. Mendengar tangisan F yang yang memilukan hati, dokter keluar dari ruang periksa dan mempersilahkan agar F diperiksa terlebih dahulu. Sang dokter memohon pengertian pasien-pasien lainnya secara langsung. Tanpa banyak bicara dokter berkata jika F harus segera dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap karena kondisinya sudah sangat lemah. Disertai surat rujukan dari dokter, Mama R membawa F yang masih menangis ke rumahsakit dengan mengendarai ojek. Ketika tiba di rumah sakit, para petugas di rumah sakit bergegas membawa F ke Unit Gawat Darurat, saat itu F sudah tidak menangis dan teramat lemah. Seorang perawat berkata jika F telah masuk dalam kondisi kritis, nadinya begitu lemah. Para petugas kesulitan mencari-cari nadi F, dan saat itu mereka berniat untuk memberikan cairan infus untuk pertolongan pertama. Belum sempat jarum menembus kulit F, tiba-tiba bayi lakilaki tersebut menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali. Sontak Mama R histeris dan merasa tidak percaya anaknya telah dipanggil Tuhan untuk selamanya. Dia menghubungi keluarga besarnya di kampung dan menghubungi keluarga Raja Melolo yang menjadi junjungannya. Setelah dimandikan, jenazah F segera dibawa pulang dengan menggunakan ambulans rumah sakit. Semua biaya rumah sakit dan sewa ambulans saat itu ditanggung oleh keluarga Raja Melolo. 4.3.2. Terjadi Kedua Kali Siang itu bulan Mei tahun 2014, peneliti menjumpai Mama R di rumahnya. Rumah di tepi selokan yang berair deras dan dalam. Setiap kali peneliti datang, peneliti akan dipersilahkan duduk di atas dipan bambu yang berada di dalam rumah. Rumah 274 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT tersebut berdinding bambu dan beratap seng, dengan lantai semen yang sudah mulai berlubang di sana-sini, berukuran sekitar 6 x 5 meter persegi dengan satu kamar tidur, dan dapur yang terletak di bagian belakang, menyatu dengan rumah. Tidak ada satupun jendela di rumah tersebut. Di bagian dapur terdapat tungku yang digunakan untuk memasak. Di dekat tungku terdapat sebuah kandang ayam yang dipelihara Mama R. Ayam-ayam akan dipelihara sampai besar, lalu dijual jika ada yang membutuhkan ayam untuk dikonsumsi, atau untuk ritual hamayangu. Di bagian samping rumah terdapat sebuah kandang babi sederhana dan tanpa atap, yang berisi seekor babi kecil yang juga dipelihara. Banyaknya pohon yang tumbuh menjulang dengan daun yang rindang membuat rumah terlindungi dari panas matahari secara langsung. Beberapa pohon pisang tumbuh dengan subur dan buahnya akan dibiarkan sampai cukup masak untuk dipetik dan kemudian bisa dijual. Ada sebuah alat tenun tradisional yang selalu tampak menyandar di dinding rumah ketika peneliti berkunjung. Di alat tersebut masih menempel kain yang belum selesai ditenun. Kain tenunan Mama R dan Mama A pun akan dijual jika sudah sempurna ditenun. Menjual ayam, pisang, dan kain tenun, merupakan mata pencaharian utama Mama R untuk menghidupi kedua anaknya. Mama mantu Mama R yaitu Mama A bukannya berdiam diri dan tidak membantu. Wanita yang berusia sekitar 60 tahun ini membantu Mama R membuat hikung atau membuat pola kain tenun, selanjutnya Mama R yang akan menenunnya. Sekitar 2 tahun setelah F meninggal, tepatnya pada tanggal 12 Desember 2009, Mama R melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin laki-laki, bernama M. Saat kehamilannya semakin membesar, Mama R memutuskan untuk ‘lari’ bersama ayah anaknya yaitu putra kandung Mama A, dan tinggal di rumah 275 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 orang yang sudah dianggap suaminya tersebut. Karena Mama R memilih lari bersama laki-laki pilihannya, Mama R bersitegang dengan keluarga besarnya. Orangtua kandung dan saudarasaudara kandungnya mengucilkannya, dan tidak ada satu pun yang bersedia bertegur sapa dengannya. Satu setengah tahun kemudian lahirlah anak ketiga yang berjenis kelamin perempuan yang bernama N, dan masih tinggal di rumah yang sama. Rumah itu adalah rumah yang kini ditinggalinya bersama kedua anak dan mama mantunya. Sedangkan suaminya masih berada di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani hukuman, karena kasus penganiayaan yang dia lakukan. Hampir setiap minggu Mama R akan pergi ke lembaga pemasyarakatan di Waingapu untuk menjenguk suaminya. Setiap kali menjenguk, dia akan membawa makanan dan minuman kesukaan suaminya. Untuk keperluan tersebut, Mama R membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apa lagi dia juga harus meninggalkan sejumlah uang untuk suaminya tersebut. Setidaknya uang sebesar Rp. 200.000,- harus disiapkan jika ingin pergi menjenguk sang suami ke lembaga pemasyarakatan. Sadar jika uang tersebut bukanlah jumlah yang kecil maka dia pun berusaha keras untuk mencari tambahan penghasilan. Kadang Mama R menjadi buruh tani, atau membantu orang yang sedang memanen sawahnya, dan kadang kala dia membantu pekerjaan rumah tangga orang lain. Imbalannya memang bukan uang, tetapi berupa padi jika dia membantu panen, atau bahan makanan jika dia membantu pekerjaan rumah tangga orang lain. Imbalan-imbalan tersebut dapat menjadi bahan makanan yang bermanfaat untuk beberapa hari ke depan. Makanan mereka sehari-hari teramat sederhana. Menu yang paling sering kami lihat adalah nasi dan mi instant, dan menu tersebut menjadi menu sarapan, makan siang, dan makan 276 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT malam kedua anaknya, yaitu M dan N. Jika Mama R memiliki uang lebih, dia akan membelanjakan uang tersebut untuk membeli sayur putih (sawi putih) atau ikan. Jika tidak ada uang sama sekali bahkan untuk sekedar memberi sebungkus mi instant, maka anak-anaknya akan makan nasi kosong (nasi tanpa lauk dan sayur), atau dia akan memetik daun pepaya dan bunga pepaya untuk dimasak. Hal yang menarik adalah setiap pagi dan sore, Mama R beserta kedua anak dan Mama A harus minum kopi. Dalam pengelolaan menu Mama R, dia tidak akan makan dengan lauk jika sudah ada sayur untuk dimakan, dan sebaliknya, dia tidak akan memakan sayur jika sudah memasak lauk seperti ikan atau daging. Daging, terutama daging babi atau kuda adalah bahan makanan yang paling istimewa, dan Mama R beserta keluarganya hanya bisa memakan daging di saat-saat tertentu saja, misalnya saat musim pesta. Musim yang pasti sepi pesta adalah musim hujan, karena masyarakat lebih berkonsentrasi pada usaha pertanian mereka. Jika musim pesta tiba dan mereka mendapatkan undangan untuk datang, tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaan mereka selain kata; bahagia. “Kalau kita kena undangan, makan (daging) sudah, senang... kalau daging kurang kita atur-atur memang, bagi secara rata.” Sekian tahun berlalu sejak kepergian F, apa yang berbeda dengan kehidupan Mama R? Selain tempat tinggal yang kini berbeda, dan Mama R kini memiliki dua anak, hal yang paling mencolok adalah kini Mama R sudah memeluk agama Kristen, begitu pun suaminya. Tahun 2009, beberapa bulan sebelum anak keduanya M lahir, mereka bersama-sama memeluk agama Kristen. Walaupun sudah tidak memeluk agama Marapu, mereka 277 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 masih melakukan ritual-ritual Marapu, termasuk melakukan ritual pamandung ketika M masih dalam kandungan. Berpindah agama tidak lantas melupakan tradisi Marapu. Bagi Mama R Marapu bukan hanya agama asli orang Sumba, lebih dari itu Marapu adalah budaya asli orang Sumba juga. Apa yang menjadi pantangan yang diajarkan oleh Marapu pun masih ditaati sampai sekarang, termasuk tidak memakan ikan manduli dan ikan hiu karena bisa mengakibatkan penyakit kulit seperti gatal-gatal. Bagi Mama R mentaati ajaran Marapu berarti juga menjaga budaya asli mereka sebagai orang Sumba. “Kita bisa pindah agama, tapi kan Marapu ini kita punya leluhur to, juga budaya orang Sumba juga...” Kedekatan Mama R dengan ajaran Marapu mempengaruhi sudut pandang Mama R dalam kehidupan seharihari, termasuk bagaimana dia menyikapi persoalan kesehatan. Bagaimana Mama R memandang kesehatan dari sudut pandang Marapu? “Tidak ada salah ini... dalam rumah, dalam kelakuan kita, kalau ada yang dilarang kita taat.” Secara garis besar dapat dikatakan jika ajaran Marapu mencakup ajaran untuk menjaga hubungan baik dengan sesama, dan juga sebagai moral guardian atau penjaga moral manusia. Mengapa? Marapu tidak mentoleransi adanya perbuatan yang menyalahi moral. Persoalan moral memang persoalan yang relatif, namun dalam sudut pandangan masyarakat lokal, moral dianggap sebagai kata lain dari perbuatan yang tidak menyalahi agama, atau tidak melakukan perbuatan dosa. Bicara tentang perbuatan dosa tentu akan semakin luas lagi cakupannya, karena perbuatan dosa dan tidak dosa pun bersifat relatif antara satu individu dengan individu lain. Namun jika dari dilihat dari sudut pandang Marapu, perbuatan dosa 278 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT meliputi perbuatan yang tidak dikehendaki atau dilarang Marapu. Bagaimana kita bisa mengetahui apa saja perbuatan dosa tersebut jika agama ini tidak memiliki peninggalan tertulis atau kitab suci? Cara sederhana yang dipahami masyarakat untuk mengerti tentang hal tersebut adalah ketika mereka mendapat musibah, bencana, atau terkena sakit, maka mereka tahu pasti ada yang salah dengan apa yang telah mereka lakukan. Mereka akan melakukan refleksi terhadap perbuatan yang telah mereka lakukan, bagian mana atau apa yang salah dari perbuatan mereka? Jika mereka sudah mengetahui bagian yang salah tersebut, maka itulah perbuatan dosa yang membuat Marapu tidak suka atau marah. Melakukan refleksi dan mencari tahu perbuatan mana yang membuat Marapu tidak suka tidaklah mudah. Maka dari itu, masyarakat membutuhkan sosok yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengetahui itu semua. Dukun Marapu dan wunang dalam budaya Sumba adalah sosok yang dianggap memiliki kemampuan ‘membaca’ hal tersebut. Jadi meskipun banyak masyarakat yang sudah berpindah agama Kristen pun, masih mempercayai Marapu dalam keseharian mereka. Begitu pula dengan Mama R. Menjadi pemeluk Kristiani tidak lantas membuat dia meninggalkan Marapu. Usaha yang dilakukan agar terhindar dari sakit menurut Mama R pun tidak jauh dari sudut pandang Marapu. “Yang pertama jaga sikap, jaga hubungan baik dengan orang. Yang kedua jaga kesehatan, jaga makan, juga jaga kebersihan.” Cara-cara seperti di atas berusaha ditempuh Mama R, untuk menjaga kesehatan dirinya dan keluarga secara maksimal. 279 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Harapan agar tidak ada sakit atau penyakit yang datang kepada mereka boleh saja ada, tetapi pada kenyataanya kehendak Marapu berbeda adanya. Apung yang dulu dianggap sebagai penyakit yang berhasil mengambil nyawa F ternyata juga menimpa anak keduanya, M. Perbedaannya adalah M berhasil sembuh. Apa yang berhasil membuat M lepas dari belenggu apung? M lahir pada tanggal 12 Desember 2009, dengan berat 3,5 kg, angka yang termasuk sangat baik untuk berat badan bayi baru lahir. M lahir di Puskesmas dengan dibantu oleh bidan desa dalam keadaan sehat dan sempurna. Kelahiran M hanya disambut orang tuanya yaitu Mama R dan suaminya, karena saat itu mereka masih bersitegang dan masih belum bertegur sapa dengan orangtua kandung Mama R. Saat itupun Mama A, yaitu mama mantu Mama R belum tinggal di rumah kebun yang mereka diami sekarang. Mau tidak mau, Mama R dan suaminya merawat M tanpa bantuan orang lain. Suami Mama R tidak memiliki pekerjaan tetap, kadang dia menjadi buruh tani ketika musim tanam padi tiba, tetapi lebih sering menganggur. Keadaan itu membuat perekonomian mereka goyah, hasil tenun tidak bisa diandalkan, karena M telah menyita banyak waktu Mama R setiap harinya. Keadaan tersebut semakin memburuk ketika M jatuh sakit pada usia 4 bulan. M terserang batuk berdahak, berkeringat saat malam hari, dan terus menerus menangis dari malam sampai pagi hari. Kejadian beberapa tahun lalu seperti berulang kembali. Sama seperti kisah yang lalu, Mama R pun gamang untuk membuat pilihan pengobatan. Namun ada keyakinan kuat yang berkata jika M tidak mengalami sakit biasa, dia yakin M mengalami sakit di luar kewajaran. Sempat Mama R berpikir jika apu membuat ulah sekali lagi, karena apa yang dialami M sama persis dengan apa yang dialami F kakaknya. Sama dengan kisah 280 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT yang lalu, sekali lagi Mama R yakin jika yang mampu membuka tabir ini adalah dukun. Akhirnya Mama R memanggil seorang dukun ke rumahnya. Dukun yang dia panggil untuk menyembuhkan M berbeda dengan dukun yang pernah mencoba menyembuhkan F dulu. Begitu besar harapan Mama R agar langkah yang dia ambil saat itu tepat karena dia tidak ingin kembali ditinggalkan anaknya. Dukun yang datang ke rumah Mama R adalah dukun perempuan yang berasal dari kampung lain. Dukun tersebut dikenal sebagai dukun yang cakap dalam menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan rumah sakit (medis). Dukun tersebut menyiapkan kelapa bakar untuk dijadikan ramuan untuk mengurut tubuh M. Lewat jalan pengurutan tersebut, dukun bermaksud mencari tahu apa yang terjadi di dalam tubuh M dan apa sakit yang diderita M. Dengan gerakan lembut dukun mengurut punggung dan dada M dengan gerakan yang dimulai dari bawah ke atas dan sebaliknya. Dukun tersebut bermaksud mengeluarkan lendir atau dahak dari dada dan tenggorokan M. Dari informasi dukun diperoleh keterangan jika M terkena apung. Cara pengobatan yang dipakai sama persis dengan dukun yang dahulu mencoba mengobati F, yaitu dengan berusaha mengeluarkan lendir melalui mulut atau saat buang air besar. Lendir tersebut akan naik dan keluar melalui mulut jika urut dilakukan dari gerakan bawah ke atas, dan jari si dukun dimasukkan ke bagian kerongkongan M. Lendir akan keluar melalui kotoran saat buang air besar, jika urut dilakukan dari gerakan atas ke bawah. Ramuan obat yang terbuat dari akarakaran pun diberikan untuk diminum M, dan sekali lagi dukun tidak memberitahukan ramuan tersebut terbuat dari jenis akar apa dan bagaimana meramunya. 281 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Perbedaannya dengan cara pengobatan F di waktu lalu adalah, M tidak meminum air yang ditambahkan mata kail setiap hari seperti F, namun hanya pada saat selesai pengobatan atau setelah diurut dukun saja. Air yang digunakan untuk minum adalah air mentah yang diambil dari sumur. Air mentah bukan merupakan syarat khusus dari dukun, namun air mentah adalah air yang lazim diminum Mama R dan keluarganya sehari-hari sampai sekarang. Air mentah yang ditambahkan mata kail tersebut dianggap sebagai obat utama untuk apung sesuai dengan mitologi apung itu sendiri. Intinya, mulut dan tenggorokan seseorang yang menderita apung diibaratkan seperti mulut ikan yang sedang ditarik menggunakan mata kail pancing oleh orang lain. Maka dari itu, penawar yang dipercaya paling berkhasiat adalah mata kail pancing yang dimasukkan ke dalam air. Air yang berisi mata kail tersebutlah yang nantinya diminum oleh penderita apung. Saat itu dukun berkata jika apung yang datang ke tubuh M adalah akibat dari suanggi yang menaruh dendam kepada Mama R atau suaminya. Tak ayal lagi, tanpa pikir panjang Mama R langsung yakin jika apung yang datang ke tubuh M juga perbuatan dari apu. Hal itu diperkuat dengan pengakuan Mama R yang sering melihat bayang-bayang apu yang datang ke rumahnya ketika M tengah menangis, atau bayang-bayang apu yang sekedar lewat di muka rumahnya. Mama R terus mengamati dan akhirnya menarik kesimpulan jika bayang-bayang apu datang, di saat itulah M mulai ‘kumat’. Nyawa M terancam, Mama R yakin akan hal tersebut. Mama R juga yakin jika ancaman tersebut datang dari seorang suanggi yang sama yang pernah membunuh anaknya dulu. Dia yakin jika suanggi telah mengirim angin untuk membunuh M, “saya yakin itu angin..ngilu sudah” ucap Mama R. Setiap kali M selesai diobati dukun dan dikeluarkan lendir yang ada di dada 282 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dan tenggorokannya, M terlihat lebih baik. Tetapi setelah itu keadaannya akan kembali seperti semula. Sesuai dengan anjuran dukun, proses pengobatan berupa urut dan minum ramuan obat idealnya dilakukan sebanyak empat kali, dan Mama R mengikuti anjuran tersebut. Pengobatan terus berlanjut dengan proses dan teknik yang sama sampai pengobatan yang ke empat kali. Pengobatan tersebut dilakukan setiap kali M kembali ‘kumat’. Agar M cepat pulih, Mama R menjaga pola makan dirinya sendiri dengan ketat. Dia tahu pantangan-pantangan yang harus dia taati agar anaknya bisa mendapat kesembuhan. Dukun berkata jika air susu yang Mama R berikan kepada M, bisa langsung berpengaruh kepada kondisi anak tersebut secara langsung. Mama R dilarang makan makanan yang mengandung minyak seperti ikan, daging, santan, atau semua makanan yang digoreng. Dia tidak boleh makan makanan yang cita rasanya terlalu manis, asin, dan pedas. Minuman manis dan dingin pun tidak boleh dia minum. Mama R mentaati semua anjuran dukun tersebut, dan suaminya pun turut mengawasi apa yang Mama R makan dan minum sehari-hari. Kadang kala karena berbagai pantangan tersebut Mama R harus rela makan hanya dengan nasi putih dan kuah saja, atau nasi dengan sayur yang direbus saja. Suatu hari sakit M kambuh, padahal Mama R merasa yakin jika dia tidak melanggar pantangan sama sekali. Suami Mama R marah besar dan menganggap Mama R telah berbohong di belakangnya dengan melanggar pantangan-pantangan tersebut. “Saya punya suami bilang, ‘kalo saya punya anak ini kumat, saya tahu sudah kau pasti makan dan minum tidak benar’, begitu dia bilang.” 283 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pola makan Mama R yang dijaga begitu ketat oleh suaminya, membuatnya selalu dibayang-bayangi ketakutan jika ingin memakan sesuatu. Ada kalanya Mama R ingin sekali makan ikan, apa lagi jika suaminya tampak memakan ikan di hadapannya. Suatu hari, karena rasa iba suaminya terhadap diri Mama R, sang suami memperbolehkannya makan nasi berlauk sedikit ikan bakar. Berat badan Mama R turun, begitu juga dengan berat badan M. Berat badan M yang terus menerus turun dan batuk berlendir yang tidak kunjung reda, membuat tetanggatetangganya menaruh simpati. Mereka menganjurkan agar M diberi tambahan asupan dari susu formula, karena saat itu M hanya mengandalkan ASI dan bubur nasi saja. Anjuran tersebut tidak didengar oleh Mama R, karena dia tidak mampu untuk membeli susu formula yang harganya relatif mahal untuknya. Selain itu Mama R merasa jika produksi ASI-nya melimpah dan sehat untuk diberikan kepada M. Rasa simpati tetangga-tetangga Mama R masih terus berlanjut ketika melihat M tidak kunjung sembuh. banyak dari tetangga-tetangga tersebut yang menyarankan Mama R untuk menemui dukun yang mereka kenal, atau menyarankan Mama R untuk membuat ramuan obat-obatan. Mama R memang mematuhi saran mereka, kadang dia menyembur dada M dengan kunyahan sirih pinang yang dicampur dengan halia (jahe). Dalam tradisi lokal proses pengobatan dengan menyembur bagian tubuh tertentu disebut dengan hawurut. Seiring berjalannya waktu Mama R tersadar jika M telah diobati dukun sebanyak empat kali, tetapi apung yang diderita M belum sembuh juga, padahal dia dan dukun pun sudah ‘kasih dingin’ obat dengan memberi seekor ayam dan sejumlah uang. Mama R berpikir mungkin ada sesuatu yang salah yang tidak dia ketahui. Apakah mungkin suanggi itu terlalu kuat dilawan 284 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pengaruhnya? Atau cara yang dilakukan Mama R yang belum benar? Menuruti kata hatinya, akhirnya Mama R melakukan ritual hamayangu seperti yang dia lakukan ketika F masih hidup dulu. Mama R berharap tali perut dan hati ayam yang nanti terbaca akan menyampaikan petunjuk atau pesan dari Marapu. Dengan dipimpin oleh wunang, Mama R dan suaminya melakukan hamayangu atau ‘kasih dingin penyakit’, di rumah mereka. Ritual Marapu tersebut bertujuan untuk ‘kasih makan suanggi’ yang telah mengganggu M. Jika suanggi sudah mendapat ‘bagian’ maka suanggi tidak akan mengganggu hidup M lagi, dengan catatan suanggi tersebut bersedia menerima ‘bagian’ yang akan diberikan Mama R dalam ritual hamayangu. Hamayangu yang dilakukan untuk pertama kali ini terjadi ketika usia M lima bulan. “Jadi kita bilang kasih makan dia punya nenek, kita bilang kita kasih makan nenek, baru kita kasih makan orang yang sudah mati begitu, Marapu...” Dengan mengorbankan empat ekor ayam, Mama R melakukan ritual tersebut. Ayam persembahan yang telah dipotong dan didoakan terlebih dahulu kemudian dibelah bagian dadanya. Setelah dada ayam terbuka, tali perut dan hati ayam akan dikeluarkan untuk dilihat oleh wunang. Tali perut dan hati ayam yang telah dibaca wunang menunjukkan jika hasilnya bagus. Tidak diketahui secara pasti perihal apa saja yang dianggap bagus oleh sang wunang, dan Mama R pun tidak bertanya. Dia hanya percaya jika wunang berkata bagus maka hasilnya memang bagus. Tetapi ada satu hal yang mengganjal. Wunang tidak hanya membaca hal-hal baik dari tali perut dan hati ayam tersebut. Wunang berkata jika apung yang ada di tubuh M juga diakibatkan oleh Marapu yang marah kepada Mama R. 285 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Kalau memang angin sudah (di)bereskan, hanya kita kasih dingin karena (wunang) bilang ada marah dari Marapu.” Bagi Mama R, Marapu yang marah adalah hal yang paling ditakuti jika dibandingkan dengan gangguan suanggi, karena Marapu lah yang menjadi tempat mereka meminta perlindungan. Suanggi mungkin bisa membunuh beberapa manusia, tetapi Marapu bisa memberi hukuman kepada satu kampung beserta seluruh isinya, jika ada hal yang tidak Marapu suka. Dari situ lah kemudian muncul wabah penyakit yang membunuh banyak orang di kampung. Itu adalah penjelasan Mama R yang juga pernah kami dengar dari orang lain juga. Dahsyatnya kemarahan Marapu banyak membuat gentar manusia. Hal ini disadari oleh Mama R, dan dia pun akhirnya melakukan refleksi atas kesalahan yang telah dia perbuat. Wunang berkata jika hal yang menyebabkan Marapu marah adalah pertikaian Mama R dengan orangtua dan saudarasaudaranya. “Kan pada saat itu dia (M) melahir (dilahirkan) disini to.. kan pada saat itu saya ada acara waktu dia melahir (dilahirkan). Kan kita namanya orang Sumba begitu sudah, masuk keluar masuk keluar tidak sembarang. Kalau kita salah omong saja dengan keluarga, Marapu juga marah.” Mama R memang terlibat pertikaian dengan keluarga besarnya, terutama dengan orangtua kandung dan sudarasaudara kandungnya. Mama R sadar, mungkin pertikaian tersebut yang memicu kemarahan Marapu. Mama R merasa gamang dengan langkah yang akan dia ambil selanjutnya, dia tidak ingin pilihan langkahnya salah atau tidak direstui oleh Marapu. Wunang yang membaca tali perut dan hati ayam secara 286 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mengejutkan berkata, jika Mama R sudah diijinkan untuk ke rumah sakit (medis). Seingat Mama R, wunang berkata jika semua yang berkaitan dengan angin telah beres, dan menurut petunjuk Marapu, sakit yang diderita M bisa disembuhkan di rumah sakit (medis). “Urus sudah ke rumah sakit, tidak apa-apa dia bilang.’Kasih dingin’ baru ke rumah sakit, dia sudah omong begitu kan. Kita juga yakin bahwa ini penyakit rumah sakit (medis) sudah.” Akhirnya Mama R sudah paham dengan apa yang dikendaki oleh Marapu. Marapu ingin agar M disembuhkan di rumah sakit, dan Mama R patuh akan kehendak Marapu tersebut. Karena belum memiliki uang untuk pergi berobat ke ‘atas’ (Puskesmas), untuk sementara Mama R membawa M ke bidan desa Watu Hadang. Saat itu Jamkesmas yang dimiliki Mama R ternyata sudah tidak berlaku lagi. Oleh bidan desa, M diberi obat-obatan dan didiagnosa hanya mengalami batuk biasa. Mama R memberikan obat itu sampai habis, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Akhirnya Mama R membawa M ke Puskesmas Melolo atau yang disebutnya sebagai rumah sakit Melolo. Hal yang sama juga terjadi, obatan-obatan yang diberikan untuk M tidak membawa perubahan apapun. Merasa bertanggung jawab atas kesehatan M, bidan desa kemudian menyarankan agar M dibawa ke rumah sakit di Waingapu untuk rawat inap. Bidan desa berusaha membantu mengurus berbagai kelengkapan surat menyurat yang dibutuhkan, agar nantinya Mama R mendapat keringanan biaya. Mama R menerima uluran tangan bidan desa tersebut dan berharap banyak kepada sang bidan. Ketika hatinya dipenuhi harapan yang tinggi, ternyata ada halangan di saat-saat terakhir 287 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 rencanan keberangkatannya ke Waingapu. Bidan desa berkata jika ada satu syarat yang masih kurang, dan hal itu susah didapatkan. Syarat tersebut adalah akta lahir M. Merasa syarat tersebut tidak mungkin dibuat dalam waktu yang sangat singkat, akhirnya Mama R memutuskan untuk melakukan rawat jalan. Sebelum Mama R membawa M ke Waingapu, Mama R perlu meyakinkan dirinya sendiri, apakah langkah ini sudah tepat? Sekali lagi dia melakukan hamayangu untuk meminta petunjuk dari Marapu, dan untuk menghilangkan segala halangan dari angin atau ngilu, dan suanggi. “Kalau saya omong angin, anginnya memang sudah habis. Saya sudah kasih dingin semuanya to. Saya sudah kasih keluar, kasih bagian yang saya omong to (suanggi). Sudah (saya) bereskan semua, berarti di rumah sakit, begitu... Saya sudah bereskan ini secara adat, baru saya ke rumah sakit.” Walaupun Mama R menyebut jika pengobatan yang akan ditempuh adalah pengobatan rumah sakit, namun peneliti garis bawahi sekali lagi, jika dalam pola pikir kebanyakan masyarakat yang peneliti kenal di Desa Watu Hadang, rumah sakit sesungguhnya adalah istilah untuk merepresentasikan pengobatan medis. Tempat atau lokasi pengobatannya sendiri bisa di Puskesmas, klinik, Polindes, atau rumah sakit dalam arti sebenarnya. Sesampainya di Waingapu, Mama R justru memutuskan untuk langsung membawa M ke dokter yang membuka praktek swasta. Mama R merasa jika dia harus bertindak cepat, rumah sakit memiliki waktu yang terbatas jika ingin melakukan rawat jalan, belum lagi dia harus mengantri dalam waktu yang lama. Mama R tidak ingin pengalaman buruk yang menimpa F di masa lalu terulang kembali. Dengan sabar Mama R mengantri dan menunggu namanya dan nama M dipanggil perawat. 288 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tidak sebentar memang jika harus mengantri di dokter yang membuka praktek swasta, karena terkadang antrian begitu mengular sedangkan dokter mulai membuka praktek ketika sore tiba. Maka dari itu banyak yang datang untuk mengambil antrian sedari siang, begitu pula Mama R. Datang berobat ke dokter yang membuka praktek swasta tidaklah murah, Mama R sadar itu. Segala upaya telah dia lakukan untuk kesembuhan anaknya, baginya melakukan satu upaya lagi dengan mengeluarkan uang yang bernilai besar, bukanlah suatu hal yang akan berujung siasia. Mama R tidak bersedia memberi tahu rincian berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali pengobatan di dokter tersebut. Namun menurut pengakuannya, harga yang harus dibayar memang tergolong mahal untuknya. Ketika namanya akhirnya dipanggil, Mama R bergegas masuk dan menemui dokter tersebut. Semua gejala sakit M dan bagaimana rewelnya M jika malam tiba, diceritakan secara lengkap kepada dokter tersebut. Dokter memeriksa M cukup lama, dan seingat Mama R tidak ada tes yang dilakukan. Saat itu dokter langsung memberikan diagnosa, dan berkata jika M positif terkena TB Paru. Dokter berkata jika kemungkinan besar sakit M akibat dari udara dingin, kemungkinan udara dingin tersebut adalah pengaruh dari adanya selokan yang begitu dekat dengan rumah. Dokter memberikan obat-obatan dalam jumlah yang banyak. Mama R menggambarkan jika obat-obatan tersebut ada yang berbentuk puyer yang dibungkus dengan memakai kertas, dan ada yang berbentuk sirup. Obat-obatan tersebut diberikan untuk jatah minum selama satu bulan, dan dokter berpesan obat tersebut harus selalu diberikan setiap hari sesuai jadwal dan jika obat telah habis, Mama R harus segera kembali ke dokter praktek tersebut. Mama R tidak bertanya apa nama obat puyer yang diberikan, atau setidaknya terdiri dari jenis obat apa saja. Hanya 289 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 obat sirup saja yang dia tahu karena botol obat tersebut masih disimpan sampai sekarang. Obat sirup tersebut adalah Cefadroxil. Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti; infeksi saluran pernafasan (tonsillitis, faringistis, pneumonia, otitis media), infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran kemih dan kelamin, infeksi lain seperti osteomielitis dan septisemia. Cefadroxil adalah antibiotik yang dosis pemberiannya berdasarkan pada kondisi berat badan dan keluhan infeksi si pasien. Antibiotik ini minimal harus diminum selama 10 hari (http:www.dechacare.com/cefadroxil-500-mg-P581.html). Antibiotik tersebut adalah salah satu obat yang diresepkan oleh dokter, beserta obat-obatan lain seperti obat puyer yang dibungkus dengan memakai kertas berwarna coklat. Setiap puyer yang terbungkus kertas coklat tersebut digunakan untuk satu kali minum. Sesuai dengan petunjuk dokter, ada obat yang diharuskan untuk diminum tiga kali sehari dan ada juga yang diminum dua kali sehari. Dokter pun berpesan agar Mama R harus memberikan obat-obatan tersebut tanpa jeda dan dengan waktu yang tepat. Selain itu dokter juga berpesan jika Mama R harus segera datang kembali jika obat telah habis. Setelah kepulangannya dari dokter di Waingapu, Mama R berusaha memberikan obat yang telah diberikan dokter secara tepat waktu kepada M. Obat tersebut bereaksi baik di tubuh M, batuk M sedikit mereda, begitu pula dengan kerewelannya ketika malam tiba. Menurut pengakuan Mama R, obat-obatan tersebut disiapkan dokter untuk diminum M untuk jangka waktu dua minggu. Jadi setiap 2 minggu sekali Mama R harus pergi ke Waingapu untuk melakukan kontrol kesehatan M, dan menebus obat yang sama. Mama R juga menghentikan segala proses pengobatan tradisional yang sebelumnya pernah diberikan kepada M. 290 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Pengurutan dan ramuan tradisional tidak lagi diberikan dengan alasan sedang mengutamakan pemberian obat dari rumah sakit (medis). Namun untuk hawurut atau menyembur bagian tubuh M dengan sirih pinang masih tetap dilakukan, terutama pada saat batuk M mulai kambuh kembali. “Tidak seperti dulu mbak. Kalau dia kumat jam 6 sore sampai subuh. Kalau mulai malam, kan su (sudah) mulai dingin-dingin. Kalau sudah batuk saya sembur (hawurut) tok, tidak pakai urut, kan minum obat to.” Untuk beberapa kali pengambilan obat dan kontrol kesehatan M di Waingapu, Mama R masih memiliki biaya. Tetapi jika keadaan ekonomi sedang buruk dan tidak ada pemasukan sama sekali, Mama R terpaksa tidak membawa M ke Waingapu. Dia menunggu datangnya rizki melalui hasil kebunnya atau dari rizki yang diperoleh suaminya. Jika uang tersebut belum juga cukup sementara M sudah beberapa hari tidak minum obat dari dokter, Mama R akan menunggu. Suatu hari kondisi keuangan Mama R tidak kunjung membaik, dan dia terpaksa tidak membawa M ke Waingapu entah untuk yang ke berapa kali. Saat kondisi M masih buruk, terpaksa Mama R membawa M ke Puskesmas Melolo. Di Puskesmas, M tidak mendapat obat yang sama dengan yang didapat dari dokter praktek di Waingapu. “Kalau habis obat dia kumat lagi, itu obat berturut-turut sudah, kadang kalau tidak ada uang, saya pergi ke atas (Puskesmas Melolo) sudah...” Kurang lebih selama satu tahun lamanya Mama R terusmenerus melakukan pola pengobatan seperti yang diceritakan di atas. Obat dari dokter di Waingapu tidak dikonsumsi dengan baik karena terhambat pada masalah biaya. Dari pengakuan Mama R, obat yang dia dapatkan dari Puskesmas adalah obat batuk yang 291 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 diperuntukkan untuk batuk biasa, bukan untuk batuk karena infeksi TB. Hal ini cukup menarik perhatian peneliti karena jika keluhan penyakitnya masih sama, maka kemungkinan besar obat yang akan diberikan pun setidaknya memiliki fungsi untuk mengurangi, atau menyembuhkan penyakit tersebut. Ternyata hal tersebut bisa terjadi karena Mama R tidak menceritakan riwayat kesehatan M, dan tidak menceritakan diagnosa dokter yang Mama R datangi di Waingapu. Mengapa Mama R tidak menceritakan hal tersebut? itulah pikiran peneliti saat itu. Setelah sekian lama meminum obat dari dokter di Waingapu dan menganggap M mengalami perkembangan yang pesat, Mama R yakin jika TB yang tadinya diderita M sudah tidak ada. Mama R yakin jika yang tersisa adalah batuk biasa. Peneliti pernah mencoba menanyakan perihal tersebut kepada bidan desa Watu Hadang. Saat peneliti temui, bidan desa bercerita jika dia tidak mengetahui riwayat kesehatan M, karena selama ini M melakukan kontrol di Waingapu. Dengan alasan tersebut, bidan menyatakan tidak ada catatan medis di Puskesmas atau di Posyandu di Desa Watu Hadang yang menyatakan M terkena TB paru. Pada usia kurang lebih 2 tahun, M sudah tidak lagi dibawa Mama R untuk memeriksakan kesehatan di Waingapu ataupun di Puskesmas. Mama R yakin jika M sudah sembuh karena batukya sudah reda, dan badannya pun lambat laun semakin berisi. Diagnosa TB paru yang melekat pada M mungkin masih perlu dibuktikan. Namun jika diagnosa tersebut benar, maka tantangan selanjutnya adalah untuk membuktikan apakah TB paru tersebut memang sudah lenyap dari tubuh M. Mama R memang yakin jika TB paru anaknya sudah sembuh meskipun jika udara dingin, M seringkali terbatuk kembali. 292 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Jika udara atau cuaca sedang dalam keadaan dingin, Mama R tidak akan memandikan M dengan air dingin dan tidak membiarkan M meminum minuman dingin. M sendiri masih tampak kurus, dan tinggi badannya hampir sama dengan adik perempuannya yang usianya lebih muda 1,5 tahun dari usia M. Mama R juga sadar, bahu M masih terlihat bungkuk, sama seperti setahun yang lalu yaitu ketika M masih belum sembuh dari TB paru. Sudah peneliti tuliskan di atas jika Mama R menjaga pola makan M dengan ketat. Berbagai pantangan seperti makanan yang berminyak, makanan yang digoreng, atau minuman dingin, seharusnya sama sekali tidak dimakan atau diminum M. Walaupun begitu, Mama R tidak sepenuhnya menjaga peraturan yang dibuatnya sendiri agar tidak dilanggar. Kadang kala untuk membuat M berhenti menangis, dia mengabulkan rengekan dan amukan M untuk membeli minuman dalam kemasan yang mengandung bahan pemanis buatan, dan pengawet yang berbahaya. Selain mengijinkan M untuk minum minuman dalam kemasan, Mama R juga tidak memasak air putih yang diminum M dan seluruh keluarga, tentu saja termasuk dirinya sendiri. Mama R mengambil air untuk minum dari sumur tetangga di belakang rumahnya. Sedangkan untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan buang air besar, Mama R dan anak-anaknya memanfaatkan keberadaan selokan yang berair deras dan dalam. Sama halnya dengan cerita kopi yang peneliti dapatkan ketika bersua dengan Mama D beserta keluarganya, Mama R pun hanya memasak air jika ingin menyeduh kopi atau teh saja, dan tentu saja air yang direbus tersebut hanya perlu ‘panas’ untuk dianggap layak minum. Ketika peneliti menyinggung masalah tersebut, yaitu setelah peneliti melihat anak bungsu Mama R meminum air 293 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 mentah yang ada di ember dengan memakai gayung, Mama R menganggap hal tersebut adalah hal yang lumrah dan berkata “kami orang Sumba memang begini mbak, sudah biasa, tidak apa-apa”. Rasa ingin tahu peneliti akan pendapat Mama R tentang air mentah terus peneliti gali, karena peneliti semakin penasaran akan pendapat Mama R. Suatu saat peneliti kembali menyinggung hal tersebut, tepatnya ketika peneliti memperhatikan jika flu yang dialami kedua anak Mama R tidak kunjung sembuh dari saat pertama peneliti datang di Desa Watu Hadang, sampai di hari terakhir peneliti melakukan riset. Peneliti mencoba memancing dengan menanyakan kepada Mama R, apakah mungkin flu yang lama tidak kunjung sembuh tersebut karena kedua anaknya minum air mentah? Dengan yakin Mama R menjawab jika air mentah tidak menimbulkan sakit apapun, flu adalah akibat dari angin atau udara yang dingin. Berbicara tentang angin, Mama R percaya jika apa yang dialami M di waktu yang lalu tetaplah angin, tetaplah ngilu. Bagaimana bisa? Bukankah panjang dan lebar dia bercerita tentang bagaimana dia berusaha menyembuhkan anaknya melalui jalan medis, melalui obat-obatan yang diberikan dokter? Mama R masih percaya jika sakit M adalah apung, bukan TB paru. Alasannya? Mama R tahu jika TB adalah penyakit menular, dan jika M memang terkena TB, mengapa N adik perempuannya tidak terkena sakit yang sama sampai sekarang? Ya. Begitulah Mama R menyimpulkan apa yang terjadi dengan putranya, semua disimpulkan dari sudut pandang yang sederhana. Apung yang diderita M kerap kali kambuh, jika hal itu terjadi Mama R akan menyembur dada M dengan kunyahan sirih pinang yang dicampur halia atau jahe (hawurut). Selain itu, dia akan membawa botol kosong obat sirup andalannya ke sebuah apotek di Waingapu, dan membeli obat dengan merek yang sama 294 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dengan botol kosong tersebut. Obat sirup yang dimaksud adalah Cefadroxil. Jika apung M kambuh, Mama R langsung paham apa yang harus dia lakukan. Dia akan memberi M cefadroxil. “Bunyi lendirnya di sini (di dada). Saya tahu, saya langsung kasih cefadroxil, paling satu hari langsung hilang lewat buang air besar, lewat kotoran sudah.” Peneliti mencoba mencermati pola pikir mama M dalam menyikapi apung. Jika apung adalah ngilu, bukankah artinya kesembuhannya dipercaya tidak dapat diperoleh melalui penanganan medis? Mama R memegang teguh pendapatnya jika apa yang dialami M adalah apung, namun mengapa Mama R percaya penyembuhnya adalah obat dari rumah sakit (medis)? Jawabannya ternyata sederhana. Mama R teringat saat dia melakukan hamayangu, yaitu saat dia mengharap petunjuk dari Marapu. Kala itu Mama R merasa putus asa, merasa gamang saat mencari jalan kesembuhan untuk M. Saat itu Marapu memberikan petunjuk yang dilihat dari tali perut dan hati ayam yang dikorbankan. Dari petunjuk yang dibaca seorang wunang, M diperbolehkan diobati dengan cara medis. “kita jadi tahu memang kita butuh berobat atau tidak. Itu dari Marapu. Itu kita tahu memang kalau Marapu yang marah, selesai kita minum obat, kita kasih dingin, kita minta maaf dia (minta maaf kepada Marapu), berarti selesai sudah. Terlepaskan sudah, minum obat ya sembuh sudah.” Sembuh dalam sudut pandang Mama R memang subyektif, tidak perlu ada persetujuan dokter atau tes laboratorium untuk mengetahui itu. Baginya jika batuk M sudah jauh berkurang, maka kondisi tersebut bisa dikatakan sembuh dari penyakit. Untuk menjaga kemungkinan batuk tersebut 295 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 datang kembali, Mama R menjaga baik-baik botol Cefadroxil dengan hati-hati agar tidak hilang atau pecah. Jika M mulai batuk dengan disertai lendir, Mama R akan membeli obat tersebut di apotek di Kota Waingapu tanpa resep dokter. Obat tersebut akan dihentikan pemberiannya jika batuk M sudah reda, walaupun sebenarnya aturan yang benar adalah diberikan minimal selama 10 hari berturut-turut dengan dosis dan waktu yang tepat. Obat dengan merk tersebut seketika menjadi andalannya jika batuk M kambuh. Adik perempuan M, yaitu N belum pernah mengalami sakit yang sama dengan kakaknya. Jika N mengalami batuk pun, itu hanya batuk biasa yang akan sembuh jika dibawa berobat ke bidan, atau jika disembur sirih pinang saja (hawurut). Besar badan N hampir menyamai badan kakaknya, begitu juga dengan tinggi badannya. Apa yang mereka makan dan minum setiap hari pun tidak jauh berbeda. Menu kesukaan mereka adalah mi instant. Jika sedang akur, M dan N sering kali makan dan minum dari alat makan serta minum yang sama. Mereka pun tidur bersama dengan Mama R, dari sejak pertama mereka lahir. Jika penyakit M memang TB paru, mengapa N dan Mama R tidak mengalami sakit yang sama sampai sekarang? Ini adalah alasan lain mengapa Mama R masih yakin jika M bukan menderita TB, tetapi apung. Sampai menjelang kepergian peneliti dari Kampung Uma Bara, peneliti masih bersua dengan Mama R dan anak-anaknya. Kondisi mereka tidak berubah. Mama R masih bermusuhan dengan apu karena dendam lama, anak-anak Mama R masih terkena flu yang tidak kunjung reda, dan masih belum ada kepastian tentang kesembuhan TB paru M. Dua hari sebelum peneliti pergi, peneliti bertanya kepada bidan desa tentang masalah TB yang ada di Kampung Uma Bara. Bidan desa tersebut 296 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT mampu mengingat nama-nama warga yang sekarang sudah dinyatakan sembuh dari TB melalui uji laboratorium. Dalam waktu dekat bidan desa akan mengambil sample dahak dari warga yang mengalami batuk namun tidak kunjung sembuh, dengan mendatang rumah mereka satu persatu. Sayangnya kegiatan tersebut dilaksanakan ketika peneliti sudah selesai melakukan riset. Cukup lama pengambilan sample dahak warga tidak dilakukan, mungkin lebih dari enam bulan yang lalu, kurang lebih begitu ucap bidan desa. Pengambilan sample dahak yang telah lalu memiliki cerita yang masih diingat bidan desa. Sample dahak orang yang dicurigai terinfeksi TB akan dimasukkan ke dalam tabung kecil, dan diberi nama sesuai dengan identitas orang yang diambil sample tersebut. Risiko penularan sangat mungkin terjadi jika ternyata orang tersebut memang positif terinfeksi kuman TB. Namun bukan hanya itu kendala yang dihadapi bidan desa, karena kendala yang lebih dirasa berat adalah penolakan atas pengambilan sample tersebut. Alasan yang paling sering digunakan untuk menolak berpartisipasi dalam pengambilan sample dahak tersebut adalah, karena orang-orang tersebut merasa sangat yakin jika mereka tidak terinfeksi TB. Walaupun bidan desa memiliki kedekatan emosional dan personal dengan orang-orang yang menolak tersebut, dan terus melakukan pendekatan, pada kenyataannya mereka tetap tidak bersedia untuk terlibat dalam pengambilan sample. “Susahnya begitu mbak, mereka bilang ‘eee saya tidak kena itu penyakit TBC, ini batuk biasa sudah’. Mereka bilang begitu mbak...” Bidan desa tidak bisa memaksa agar mereka bersedia menjalani tes, bidan desa mencoba melihat penolakan tersebut dari sudut pandang lain. Kemungkinan orang-orang yang 297 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menolak untuk menjalani tes tersebut, merasa malu jika ternyata hasil yang nantinya keluar ternyata menyatakan mereka positif terinfeksi TB. Bidan desa tampaknya tidak memikirkan kemungkinan, jika mereka yang menolak memang benar-benar yakin jika mereka tidak terkena TB, tetapi yakin jika mereka terkena penyakit lain seperti pada kasus Mama D dan Mama R. Walaupun bidan desa mengaku akrab dengan apa yang disebut dengan penyakit kampung, tetapi pada kenyataannya bidan desa hanya bisa menceritakan beberapa diantaranya saja. Apung bukanlah penyakit kampung yang populer, dan dari apa yang peneliti cermati selama di lapangan, tidak semua penderita apung adalah penderita TB. Apung adalah penyakit yang ciri-ciri yang paling mudah dikenali adalah batuk berlendir, sakit di bagian tenggorokan, susah menelan makanan, dan nafas terasa sesak. Itu adalah ciri-ciri yang paling sering ditemui. Namun ciri lain yang lebih spesifik, dan tidak ditemukan pada semua yang mengaku menderita apung adalah batuk yang berbulan-bulan lamanya, berkeringat jika di malam hari, merasa gelisah, dan sering kali disertai demam. Bisa dikatakan walaupun apung memiliki tiga jenis sesuai dengan yang dikatakan oleh nenek moyang, jenis tersebut tidak dipakai secara baku. Misalnya seperti pada kasus Mama D, yang jika dilihat dari daftar penyakit berdasarkan nama induk ngilu dan turunannya, apung yang diderita almarhum putrinya K adalah apung runu. Namun dia hanya menyebutnya apung saja, karena hanya itu yang dia tahu. Pun dengan Mama R, jika dilihat dari gejala apung yang diderita oleh almarhum F dan M, ciri-ciri apung yang melekat lebih dekat pada apung runu, namun Mama R menyebuatnya sebagai apung mangiala. Jadi label yang melekat pada suatu penyakit bisa dilihat dari gejala umumnya dulu, dan hal tersebut bersifat subyektif. Pada kasus bapak HN pada bab III, TB yang dia 298 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT derita disebut dengan tanggingu maria, karena ciri-ciri spesifik yang mencolok adalah batuknya yang mengeluarkan darah. 299 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 300 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Marapu sebagai agama dan budaya asli Sumba, adalah representasi dari suatu budaya lisan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Tidak adanya peninggalan tertulis, atau lazim disebut kitab suci, membuat Marapu dianggap tidak layak disebut sebagai agama. Walaupun demikian, Marapu memiliki nilai-nilai yang tidak bisa dipisahkan dari budaya Sumba. Setiap ritual adat yang dilakukan, Marapu selalu menjadi leluhur yang dipuja dan dimintai berkah untuk kelancaran dan keselamatan. Setiap hewan korban yang dipersembahkan dalam ritual adat pun, diperuntukkan bagi Marapu terlebih dahulu. Marapu sendiri bukanlah sosok Tuhan, tetapi ia berada cukup dekat dengan Tuhan sehingga dianggap mampu menyampaikan segala permintaan manusia secara langsung kepada-Nya. Manusia meminta perlindungan serta keselamatan kepada Tuhan, dengan memohon melalui Marapu. Permohonan tersebut disampaikan melalui dukun, wunang, atau seorang ratu. Permohonan tersebut bisa jadi adalah permohonan keselamatan saat melakukan perjalanan jauh, kelancaran saat melakukan panen padi, permohonan agar pernikahan berlangsung bahagia, atau permohonan untuk sembuh dari sakit. Pada dasarnya, semua ajaran agama atau kepercayaan mengajarkan hal yang 301 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 serupa, bahwa segala perkara tentang sehat dan sakit adalah bagian dari takdir dari Tuhan. Penganut ajaran Marapu percaya jika segala sakit berasal dari Tuhan yang datang melalui Marapu. Kesembuhannya pun dapat diperoleh jika penganutnya berdoa, dan melakukan upaya pengobatan. Mereka juga percaya jika Marapu bisa memberikan sakit, maka Marapu juga bisa memberikan kesembuhan. Tetapi, mengapa penganut Marapu hanya meyakini jika sakit yang berasal dari Marapu, hanya bisa disembuhkan dengan cara Marapu saja? Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, jika pengobatan dengan cara Marapu bukanlah pengobatan yang memasukkan unsur atau tata cara medis di dalamnya. Tata cara atau prosedur medis, dianggap tidak akan mampu menyembuhkan sakit dari Marapu. Pemikiran tersebut terlahir bukan tanpa alasan. Secara historis, leluhur etnik Sumba pada masa lalu sudah mengenal tata cara pengobatan tradisional. Sebenarnya bukan hanya etnik Sumba, etnik lain pun memiliki sejarah pengobatan tradisional yang bisa dikatakan jauh dari pengobatan medis. Bisa jadi, hal yang membuat keberadaan pengobatan medis eksis serta mampu mengurangi praktek pengobatan tradisional di suatu etnik tertentu, adalah dari pendekatan kesehatan yang dilakukan sejak dini oleh pemerintah. Bukan hal yang tidak mungkin, jika pengobatan tradisional Marapu yang jauh dari pengobatan medis dapat bertahan sampai sekarang ini, karena keterlambatan pemerintah untuk memperkenalkan pengobatan secara medis di Pulau Sumba. Keterlambatan tersebut dapat disebabkan karena Pulau Sumba memiliki letak dan karakteristik geografis yang rumit atau sulit dijangkau, atau bisa juga karena selama ini pemerintah hanya terkonsentrasi membangun kesehatan secara fisik dan mental di wilayah Indonesia bagian Barat saja. 302 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Akibat dari terlambatnya campur tangan pemerintah tersebut, bagian dari pengobatan Marapu yang dianggap merugikan jika dilihat kaca mata medis, masih bertahan sampai sekarang. Salah satunya adalah kepercayaan jika sakit dari Marapu hanya bisa disembuhkan secara Marapu saja. Hal tersebut berlaku untuk semua sakit yang disebabkan oleh pengaruh Marapu.Tidak terkecuali ngilu apung. Eksistensi apung ternyata bukan semata-mata karena pengaruh kuatnya ajaran Marapu, tetapi juga karena sosok berpengaruh yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Marapu. Sosok tersebut adalah dukun. Tidak bisa dipungkiri, dukun berada di hati masyarakat. Posisinya belum bisa tergantikan oleh sosok lain, seperti perawat, bidan, atau dokter. Dukun bukan hanya memiiki kedekatan emosional dan kultural dengan pasien, namun dukun dipercaya memiliki kekuatan transendental, semacam kesaktian atau kekuatan gaib untuk menyembuhkan sakit. Dukun juga diyakini mampu berkomunikasi dengan Marapu untuk memohon petunjuk dan keselamatan. Dalam kasus apung versus TB yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, dapat dilihat jika perang tersebut merupakan perang antara sudut pandang emic dan ethic. Bayangkan jika manusia memiliki 2 sisi wajah yang berbeda, atau 2 sisi jiwa yang bertolak belakang satu sama lain, namun hidup dalam satu tubuh, dan hidup berdampingan. Metafora tersebut dirasa tepat untuk menggambarkan bagaimana perang antara apung dan TB. Masih memakai metafora di atas, apung yang merupakan representasi emic, berkuasa penuh dan muncul sebagai wujud manusia yang menderita selayaknya ikan di dalam telaga yang sedang terperangkap kail di bagian mulutnya, rasanya sakit tak terkira. Di sisi yang lain, TB muncul sebagai representasi ethic, dan juga berkuasa penuh pada tubuh manusia tersebut. Dia 303 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 muncul sebagai wujud manusia yang terinfeksi kuman TB, sama sakit dan sama menderitanya. Hal yang juga membuat kedua sisi tersebut berbeda adalah cara keduanya mendapatkan kesembuhan. Sisi apung berharap belas kasih dari Marapu untuk mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan tersebut didapatkan melalui dukun sebagai penyembuh, dan wunang sebagai si pembawa pesan dari Marapu. Sisi kepribadian TB berharap ‘rumah sakit’ atau medis, mampu menyelamatkan nyawa mereka dengan satu syarat mutlak, yaitu patuh dalam meminum obat. Sebaliknya sisi apung justru mendengarkan bisikan dari dukun agar dia tidak meminum obat dari ‘rumah sakit’, karena obat tersebut tidak hanya membuat tenggorokan kering dan kehilangan nafsu makan, tetapi yang terpenting adalah sisi apung yakin jika dia tidak akan sembuh di tangan ‘rumah sakit’. Sisi TB adalah sisi yang pantas kami sebut sebagai sisi yang harus patuh terhadap rezim medis. Kepatuhan tersebut bersifat mutlak, tidak akan ada kesembuhan jika tidak ada kepatuhan. Maka sisi TB ini diharuskan berada di bawah kontrol obat dan dokter (atau petugas kesehatan). Sisi ini tidak mengenal ngilu, pesan dari Marapu, apa lagi pengobatan dari dukun. Tidak ada TB yang mampu disembuhkan oleh dukun, TB harus disembuhkan dengan cara ‘rumah sakit’. Metafora di atas hanya ingin menggambarkan bagaimana manusia bisa melihat satu hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda, dari sudut pandang peneliti (ethic) dan dari sudut pandang masyarakat yang diteliti (emic). Apapun itu, entah sisi emic atau epic, entah apung atau TB, kita bisa melihat bagaimana masyarakat memilih dan apa alasan dibalik pilihan tersebut. Di Kecamatan Umalulu, dukun bukan hanya dipercaya sebagai penyembuh tradisional belaka, tetapi juga orang yang sakti. Hal ini ditegaskan oleh Soeriadiredja (2002:105): 304 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT “Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi (dukun) dan na mapingu muru (dukun obat) karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib, yaitu dengan mengucapkan mantra-mantra tertentu.” Posisi dukun yang istimewa di hati masyarakat ternyata bukan hanya terdapat di Kecamatan Umalulu. Tetapi juga ditemukan di 3 kecamatan lain di Kabupaten Sumba Timur. Hal ini pernah diteliti oleh Wahyujati dan Indah Setyawati (2002), ketika melakukan penelitian di 3 kecamatan di Kabupaten Sumba Timur. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Tabundung, Kecamatan Haharu, dan Kecamatan Karera. Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta, jika mayoritas masyarakat di 3 kecamatan tersebut lebih percaya kepada penyembuh tradisional (traditional healer), karena dipercaya mampu menyembuhkan penyakit yang bersifat magis (unnatural causes), salah satunya yang disebabkan oleh leluhur (Marapu), yang memberi peringatan atau marah (some sign of ancestor warning). Wahyujati dan Indah Setyawati (2002) juga menemukan adanya penyakit yang diyakini masyarakat hanya bisa disembuhkan oleh dukun. Penyakit-penyakit tersebut dalam bab IV, tercantum dalam penyakit yang termasuk anak/turunan dari ngilu. Penyakit yang ditemukan oleh Wahyujati dan Indah Setyawati (2002) tersebut adalah Heilulu atau Hidu Hay, yaitu penyakit yang dipercaya menyerang alat kelamin penderita (affect the genital areas of the victims), Haruka yang memiliki ciri-ciri sakit di bagian dada atau punggung (chest/back pains), dan Kahalaramba yang dipercaya sebagai masuk angin. Walaupun penyakit yang disebutkan tidak selengkap temuan peneliti yang telah dituliskan pada Bab 4, namun 305 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penelitian tersebut bisa menunjukkan jika di kecamatan lain di Kabupaten Sumba Timur pun, kepercayaan terhadap penyakit magis pun begitu kuat. Imbas dari kuatnya kepercayaan tersebut, masyarakat akhirnya banyak yang memilih penyembuh tradisional (traditional healer) sebagai prioritas utama. Jika usaha tersebut ternyata gagal, masyarakat baru akan memilih cara medis untuk upaya mendapatkan kesembuhan. Pola health seeeking behaviours seperti di atas, adalah pola yang juga peneliti temukan di Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu. Masyarakat akan mengandalkan dukun terlebih dahulu, jika upaya tersebut ternyata gagal, mereka akan beralih untuk mencari kesembuhan lewat jalan medis. Pola tersebut dapat digambarkan dalam bagan sederhana di bawah ini. RUMAH GEJALA SAKIT DUKUN GAGAL MEDIS GAGAL Bagan 5.1. Pola Health Seeking Behaviours pada Mayarakat Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu Sumber: Visualisasi Peneliti 306 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Trend pengobatan yang dilakukan berdasarkan temuantemuan yang peneliti temukan selama di lapangan juga dapat digambarkan melalui tabel di bawah ini. Tabel 5.1. Trend Pengobatan Mayarakat Desa Watu Hadang Perawatan Ringan Rumah X Dukun Medis Sedang Berat X X X Sumber: Data Primer Ada sebagian kecil masyarakat yang menjadikan medis sebagai prioritas utama untuk memperoleh kesembuhan dari sakit atau penyakitnya. Bapak RJ dan sebagian besar keluarganya yang berstatus Maramba, yang juga rata-rata pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, lebih memilih pengobatan secara medis dari pada pengobatan tradisional melalui tangan dukun. Namun gambaran tersebut bukanlah suatu generalisasi, yang dapat menyatakan jika golongan Maramba adalah golongan yang percaya akan pengobatan medis. Faktor yang patut digaris bawahi adalah faktor pendidikan yang pernah ditempuhnya. Bukan hal yang tidak mungkin jika pendidikan ternyata berperan besar dalam pola pikir dan kesadaran seseorang tentang kesehatan, apapun golongan sosialnya. Hanya saja, dalam kultur Sumba, bukan lagi menjadi rahasia umum jika golongan Maramba adalah golongan yang memiliki akses paling luas untuk memperoleh jenjang pendidikan yang tinggi. Sedangkan golongan sosial di bawahnya, khususnya golongan ata lebih menjadikan pengobatan tradisional sebagai prioritas utama. Rata-rata, golongan ata hanya menempuh pendidikan sekolah 307 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dasar saja. Golongan kabihu adalah golongan yang dalam tulisan ini terwakili oleh Mama D. Dia juga menjadikan pengobatan tradisional sebagai prioritas utama, dan kebetulan dia juga tidak menamatkan pendidikan SMP atau dengan kata lain hanya menamatkan pendidikan dasar saja. 5.2. Rekomendasi Ada satu hal penting yang terbantahkan terkait dengan keyakinan Marapu, yaitu keyakinan bahwa sakit atau penyakit dari Marapu tidak mampu disembuhkan dan didiagnosa secara medis. Hal yang paling nyata adalah ngilu apung. Kisah Mama D dan Mama R menunjukkan jika ngilu apung bukanlah sakit atau penyakit magis (personalistik), tetapi penyakit yang terjadi secara alamiah (naturalistik). Pemahaman tersebut akan sulit untuk dipahami oleh masyarakat yang terlanjur menerima ngilu apung sebagai sakit atau penyakit magis. Kerugian yang muncul jika pemahaman tersebut terus menerus dipertahankan adalah kematian, karena ngilu apung atau TB adalah penyakit menular yang mudah sekali menyebar namun sulit disembuhkan. Lalu bagaimana upaya untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi pemahaman tersebut di masyarakat? Satu hal yang pasti, upaya mengalihkan keyakinan pemeluk Marapu agar berpindah ke ajaran agama lain adalah upaya yang tidak efektif. Upaya tersebut justru tampak seperti suatu tindakan masyarakat untuk memperoleh legalitas dari berbagai urusan yang terkait dengan pemerintahan saja. Namun tetap saja, keyakinan yang mengakar kuat dalam diri mereka adalah keyakinan Marapu. Selain itu, keyakinan adalah masalah personal yang merupakan urusan individu yang bersangkutan dengan Tuhan. Lagi pula, perbedaan antara Marapu sebagai ajaran agama dan Marapu sebagai wujud budaya Sumba begitu 308 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT tipis. Dikhawatirkan, jika upaya pengalihan keyakinan dilakukan secara masif, hal tersebut juga berdampak pada terancamnya budaya asli Sumba. Telah disebutkan sebelumnya jika masalah kesehatan di Kabupaten Sumba Timur adalah masalah yang pelik. Khusus di Desa Watu Hadang, Kecamatan Umalulu, masalah kesehatan bukan hanya melibatkan petugas kesehatan sebagai representasi medis, dan dukun sebagai representasi non-medis. Namun juga tokoh adat dan agama seperti wunang dan ratu. Tampak jelas jika masalah kesehatan pun merupakan bagian dari masalah budaya masyarakat. Untuk itu perlu ditempuh upaya lain, agar usaha mendekatkan masyarakat dengan program kesehatan dari pemerintah bisa berhasil. Beberapa rekomendasi yang dapat peneliti ajukan untuk mewujudkan hal tersebut yaitu: 1) Melakukan pendekatan sosial budaya kepada tokoh agama dan tokoh adat Marapu, yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Diharapkan pendekatan yang dilakukan bukan hanya pendekatan medis, tetapi juga pendekatan budaya. Petugas kesehatan hendaknya terlebih dahulu dibekali dengan pemahaman yang baik tentang apa itu Marapu, dan yang terpenting adalah memahami tentang konsep tentang sehat dan sakit dari sudut pandang Marapu. 2) Melakukan upaya promotif tentang sebab sakit atau penyakit kepada masyarakat, yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Upaya ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang benar dari sisi medis, apa-apa saja yang dapat menyebabkan seseorang sakit atau terkena penyakit, dan bagaimana penyembuhannya. Hal yang terpenting adalah memberi pemahaman, jika sakit yang masyarakat pahami berasal dari Marapu, dapat disembuhkan secara medis. 309 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 310 INDEKS A B agama · 36, 39, 40, 41, 43, 51, 52, 54, 57, 88, 111, 112, 118, 119, 124, 126, 129, 193, 194, 195, 198, 204, 211, 214, 243, 247, 261, 263, 277, 278, 279, 301, 308, 309 agama asli · 194, 278 aktivitas · 9, 16, 21, 67, 68, 105, 107, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 167, 181, 191, 194, 235 aktivitas fisik · 107 apung · 6, 7, 177, 208, 209, 212, 214, 215, 237, 239, 240, 241, 243, 246, 247, 250, 251, 253, 256, 261, 265, 267, 269, 270, 272, 280, 281, 282, 284, 285, 294, 295, 296, 298, 303, 304, 308 arwah leluhur · 55 ASI eksklusif · 155 asupan · 150, 284 aturan · 61, 109, 110, 211, 242, 296 bahasa · 6, 20, 43, 45, 71, 87, 88, 89, 90, 94, 183, 193, 197, 198, 199, 205, 259, 260, 267 bangsawan · 12, 14, 18, 37, 44, 47, 48, 52, 53, 59, 78 belis · 25, 26, 40, 49, 50, 51, 217 budaya · 2, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 23, 42, 44, 48, 50, 51, 59, 66, 80, 90, 97, 101, 113, 168, 177, 182, 195, 201, 204, 215, 239, 267, 278, 279, 301, 308, 309 D daerah endemis · 139, 167 diabetes mellitus · 186, 187 dukun bayi · 70, 86, 121, 122, 124, 125, 126, 128, 130, 131, 223, 225, 226, 239 E elite · 65, 66 Etiologi · 201, 204 311 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 F informasi kesehatan · 234 fasilitas kesehatan · 4, 7, 102, 104, 144, 200, 201, 223 filosofi · 30, 31 frambusia · 178, 179, 180, 182 J G gaib · 35, 42, 69, 74, 118, 120, 132, 133, 203, 209, 268, 303, 305 garis keturunan · 59, 61 gaya hidup · 229 geografi dan kependudukan · 6 golongan sosial · 47, 87, 88, 89, 307 H hamayang · 34, 42, 43, 57, 72, 73, 81, 203, 273 hamayangu · 75, 126, 196, 202, 204, 263, 264, 265, 266, 269, 270, 275, 285, 288, 295 hipertensi · 189 I ideologi · 66 imunisasi · 133, 138, 141, 153, 154 312 jamban · 35, 158 K kabihu · 14, 33, 42, 47, 60, 61, 62, 63, 77, 78, 88, 113, 118, 218, 219, 308 kain tenun · 17, 49, 90, 91, 254, 275 kandungan · 42, 114, 116, 118, 120, 121, 128, 136, 137, 155, 223, 233, 263, 278 karakteristik · 31, 33, 302 kebersihan · 105, 167, 182, 191, 199, 279 kebutuhan · 23, 59, 84, 96, 108, 115, 119, 120, 124, 151, 160, 162, 166, 168, 181, 182, 183, 293 kebutuhan pokok · 96, 160 kehamilan · 42, 62, 106, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 117, 118, 127, 128, 136, 262 kelahiran · 12, 42, 86, 127, 128, 130, 214, 263 kelas sosial · 24 kematian · 6, 12, 31, 41, 42, 51, 52, 55, 57, 62, 69, 88, 95, 99, Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT 101, 102, 154, 171, 191, 194, 195, 201, 235, 253, 308 kemiskinan · 1, 2, 182 kemitraan · 102, 127, 226 kepercayaan · 5, 6, 13, 34, 36, 37, 40, 45, 46, 51, 57, 81, 88, 133, 187, 194, 195, 198, 201, 204, 205, 210, 221, 267, 301, 303, 306 keramat · 31, 32, 88 kesehatan reproduksi · 104, 105, 110 kesenian · 6, 90 Kesimpulan · 301 keturunan · 15, 16, 38, 47, 48, 59, 60, 61, 113, 114, 115, 118, 194 keyakinan · 5, 7, 124, 194, 196, 210, 249, 263, 264, 265, 272, 280, 308 klan · 47, 49, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 113, 118, 194, 218, 254 komoditi · 26 komunikasi · 19, 87, 88 konsep · 69, 309 kusta · 182, 183, 184, 185, 186, 207 L larangan · 39, 188, 218, 219, 241 latar belakang · 158, 211, 215 leluhur · 11, 12, 14, 51, 52, 61, 70, 71, 81, 194, 195, 198, 199, 203, 208, 214, 278, 301, 302, 305 Leluhur · 12, 208, 209, 214 lingkungan · 20, 35, 104, 108, 141, 168, 179, 191, 199, 203 literatur · 3, 10, 11, 69 M magis · 68, 195, 199, 201, 202, 241, 247, 269, 305, 306, 308 mahkluk halus · 68, 132, 191, 264 makanan · 17, 21, 24, 25, 55, 57, 63, 76, 78, 79, 80, 98, 105, 107, 116, 117, 119, 124, 138, 150, 155, 156, 157, 159, 161, 188, 203, 230, 258, 259, 266, 276, 277, 283, 293, 298 malaria · 84, 139, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 190 mamarung · 68, 71 mantra · 42, 46, 305 maramba · 14, 24, 38, 44, 47, 48, 49, 52, 59, 63, 64, 65, 66, 78, 81, 88, 89, 90, 158, 187 Marapu · 5, 6, 11, 17, 27, 31, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 46, 47, 51, 52, 53, 54, 68, 70, 75, 90, 98, 118, 119, 124, 313 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 126, 129, 187, 193, 194, 195, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 204, 205, 210, 211, 214, 221, 241, 247, 251, 256, 261, 263, 265, 267, 270, 271, 273, 277, 278, 279, 280, 285, 286, 287, 288, 295, 301, 302, 303, 304, 305, 308, 309 mata pencaharian · 6, 17, 22, 275 melahirkan · 38, 58, 59, 60, 64, 85, 86, 101, 102, 103, 110, 119, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 141, 144, 145, 223, 224, 225, 226, 227, 246, 263, 264, 275 mendamu · 48 meninggal · 32, 46, 52, 53, 55, 56, 115, 122, 124, 128, 129, 130, 191, 234, 235, 236, 238, 248, 254, 261, 275 menstruasi · 105, 106, 108, 117, 137 mentruasi · 137 merokok · 116, 162, 163 minuman · 23, 24, 79, 96, 107, 116, 136, 155, 162, 163, 165, 202, 248, 251, 252, 276, 293 mitologi · 214, 282 modernisasi · 18, 62, 97 muru manganding · 170, 172 314 N nasib sial · 31 naturalistik · 203, 215, 221, 308 nenek moyang · 13, 31, 36, 37, 39, 67, 88, 97, 134, 193, 194, 204, 251, 261, 298 ngilu · 5, 6, 7, 35, 43, 68, 69, 70, 118, 126, 129, 130, 132, 133, 170, 195, 196, 197, 199, 202, 204, 205, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214, 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 272, 282, 288, 294, 295, 298, 303, 304, 305, 308 nifas · 133, 134, 135, 136, 137 nutrisi · 78, 107, 108, 138, 141, 161, 189 O obat proyek · 219, 231, 237, 238, 239, 242 obat tradisional · 24 organisasi sosial · 6 P pakem · 72 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT pantangan · 32, 42, 43, 45, 89, 136, 218, 219, 221, 278, 283, 293 paraingu · 12, 14, 31, 51, 52, 58 patron · 64 pelayanan · 6, 82, 83, 84, 85, 87, 144, 233, 234 pelayanan kesehatan · 6, 82 pemakaman · 53, 55, 57, 235, 248 Pemberdayaan · 27 pemeriksaan · 83, 87, 144, 148, 175, 176, 178, 179, 181, 185, 221, 232, 273 pemerintahan · 13, 41, 65, 308 pemijatan · 114, 127, 172, 243, 244, 246 pemukiman · 14, 31, 32, 94, 166, 168, 173 pendidikan · 15, 18, 27, 28, 41, 48, 63, 65, 96, 97, 105, 111, 112, 141, 158, 187, 218, 307 Peneraci · 162, 164, 165 pengetahuan · 6, 8, 104, 106, 112, 126, 135, 179, 186, 205, 246, 247 pengobatan · 6, 64, 68, 69, 70, 73, 74, 81, 82, 86, 87, 114, 116, 172, 173, 178, 179, 180, 181, 182, 184, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 194, 195, 202, 203, 205, 210, 211, 213, 219, 231, 234, 237, 238, 240, 244, 245, 246, 247, 248, 250, 271, 272, 280, 281, 282, 283, 284, 288, 289, 290, 291, 302, 303, 304, 307 pengurutan · 130, 240, 248, 249, 250, 281 penimbangan · 133, 134, 141, 148, 153 penyakit · 2, 3, 4, 5, 6, 8, 32, 34, 35, 57, 67, 69, 70, 74, 81, 84, 101, 104, 112, 118, 133, 138, 139, 154, 166, 167, 169, 170, 172, 173, 178, 179, 180, 181, 182, 187, 188, 189, 190, 192, 195, 196, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 210, 212, 213, 214, 215, 219, 220, 228, 229, 236, 237, 238, 242, 243, 245, 246, 249, 251, 260, 267, 268, 278, 280, 281, 285, 286, 287, 292, 294, 295, 296, 297, 298, 305, 308, 309 penyakit menular · 2, 3, 5, 7, 101, 104, 112, 179, 182, 294, 308 penyakit tidak menular · 2, 3 penyembuh · 7, 37, 70, 71, 72, 73, 113, 124, 194, 198, 202, 204, 211, 239, 244, 304, 305, 306 penyembuh tradisional · 7, 70, 71, 204, 211, 304, 305, 306 315 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penyembuhan · 5, 72, 73, 134, 136, 195, 201, 202, 211, 239 peraturan · 18, 110, 224, 293 perawatan · 84, 130, 135, 141, 248 Perilaku Hidup Bersih Sehat · 2 perjalanan · 16, 58, 254, 259, 301 perjodohan · 113 perkawinan · 12, 25, 31, 40, 42, 46, 47, 48, 49, 50, 61, 62, 95, 97, 113 perlindungan · 37, 42, 55, 68, 70, 72, 110, 138, 210, 286, 301 pernikahan · 47, 48, 50, 51, 61, 88, 109, 111, 128, 194, 195, 261, 301 persalinan · 42, 60, 102, 127, 134, 143, 144, 145, 155, 224, 225, 226, 227, 262 persembahan · 43, 44, 45, 46, 55, 72, 73, 108, 196, 285 persepsi · 66, 104 petala · 38 petunjuk · 76, 81, 126, 270, 273, 285, 287, 288, 290, 295, 303 poligami · 39, 40, 60 praktek · 40, 211, 245, 273, 288, 289, 291, 302 prestise · 25, 63, 64, 258 prevalensi · 5, 186, 189 316 R racikan · 74, 190 ramuan · 24, 54, 72, 73, 74, 75, 105, 113, 114, 120, 131, 133, 135, 136, 140, 172, 190, 202, 203, 209, 237, 240, 248, 249, 266, 270, 273, 281, 283, 284, 291 Rekomendasi · 308 religi · 6, 201 Revolusi KIA · 2, 101, 102, 103, 104, 127, 143, 223 ritual · 17, 25, 26, 34, 42, 43, 44, 45, 57, 69, 71, 72, 73, 75, 81, 88, 95, 98, 108, 119, 130, 133, 134, 173, 188, 190, 194, 195, 196, 204, 205, 211, 242, 243, 258, 263, 264, 265, 266, 269, 270, 271, 275, 278, 285, 301 rumah adat · 15, 29, 30, 31, 32, 183, 193 rumah tangga · 21, 22, 27, 113, 119, 122, 123, 131, 133, 142, 159, 166, 257, 262, 266, 268, 276 S sakit · 5, 6, 34, 41, 43, 45, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 81, 105, 118, 121, Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT 123, 130, 133, 136, 139, 146, 154, 171, 172, 173, 175, 177, 178, 181, 183, 184, 187, 188, 189, 190, 191, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 213, 214, 219, 223, 225, 227, 228, 229, 231, 233, 239, 241, 242, 243, 244, 249, 251, 260, 265, 267, 268, 271, 272, 273, 274, 279, 280, 281, 283, 287, 288, 289, 291, 294, 295, 296, 298, 301, 302, 303, 304, 305, 307, 308, 309 sakral · 33, 198, 200 sehat · 42, 66, 67, 101, 114, 115, 116, 117, 120, 125, 157, 158, 177, 178, 188, 223, 227, 229, 236, 240, 258, 263, 264, 265, 269, 280, 284, 302, 309 sejarah · 6, 11, 13, 213, 214, 302 siklus kehidupan · 42 spesifik · 48, 209, 298, 299 spiritual · 14, 37, 68, 73, 120, 200, 201, 204, 211 status kesehatan · 6 status sosial · 40, 48, 49, 52, 63, 65 stratifikasi · 12, 218 suanggi · 43, 68, 70, 71, 118, 129, 130, 132, 196, 198, 199, 260, 262, 264, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 282, 284, 285, 286, 288 sudut pandang · 2, 3, 7, 8, 20, 30, 36, 41, 84, 85, 86, 104, 114, 177, 194, 200, 201, 221, 239, 246, 278, 279, 294, 295, 297, 303, 304, 309 sumbangan · 56, 63, 77 sumber makanan · 155, 161 T teknologi · 6, 97 teritorial · 62 tradisional · 7, 30, 33, 35, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 80, 81, 82, 97, 105, 113, 114, 115, 116, 120, 133, 138, 159, 162, 163, 165, 168, 172, 173, 187, 190, 191, 193, 210, 221, 223, 224, 239, 251, 257, 275, 290, 302, 307 transendental · 71, 195, 303 transportasi · 15, 16, 26, 162, 176, 191 Tuberkulosis · 176, 177, 213 U upacara · 17, 23, 25, 26, 31, 42, 43, 46, 51, 52, 53, 55, 58, 88, 98, 99, 108, 111, 130, 235 317 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 W wahyu · 74 warisan · 41, 57, 60, 90, 97, 134 wawasan · 3, 19, 112, 135, 204, 212, 261 318 wunang · 37, 45, 50, 56, 81, 88, 112, 194, 197, 199, 202, 204, 205, 263, 269, 270, 271, 273, 279, 285, 286, 287, 295, 301, 304, 309 GLOSARIUM Ai : kayu Ai Iju : kayu kuning, penghasil warna kuning dalam menenun Alimu : penyakit yang mengakibatkan lutut terasa sakit dan tidak kuat berjalan Ama : ayah atau bapak Ana Kawini : anak perempuan Ana luhu liu, ana puru tana: Anak yang keluar kampung, anak yang turun tanah Apung : lendir (dahak) Apung runnu : batuk berlendir atau berdahak, terasa sakit di semua anggota badan dan tulang, nafas tidak lancar (terengah-engah), berlendir terus menerus, bahu sampai bungkuk, dan berkeringat jika malam hari. Ciri spesifik dari apung ini adalah lendir yang konon berada di paru-paru sulit untuk dikeluarkan tanpa bantuan obat/ramuan Apung mangiala : Ciri-cirinya adalah tenggorokan terasa sakit, tidak bisa makan karena tenggorokan terasa sakit jika digunakan untuk menelan, tenggorokan terasa kering dan tercekik seperti ada duri atau mata pancing di dalamnya. Ata : Hamba Au : Perapian atau dapur Awangu : langit Awangu walu ndani : delapan lapis langit Awu : abu, tungku perapian, dapur Baha : mencuci Baha kahelI : upacara cuci tempat bersalin sekaligus pemberian nama pada bayi yang dilakukan sehari setelah bayi dilahirkan 319 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Bahi : besi Belis : mahar perkawinan adat Sumba. Pada umumnya berupa hewan (babi, kuda, kerbau), dan perhiasan (mamuli emas, rantai emas, atau perak dan tembaga) Banda willi : Emas dan hewan belis Benakudu : Borok kecil Bidi mini : pemuda Boku : kakek Bokulu : besar Bidi kawini : pemudi Buamang :Kolong rumah yang dimanfaatkan untuk menyimpan kayu bakar, memelihara ternak, dan menyimpan barang lainnya Dorang : mereka Hailulu : jenis penyakit tradisional dengan gejala dengan gejala antara lain kejang-kejang, nafas terasa sesak Hailulu halinding : jenis hailulu yang terasa sakit di bagian urat kaki dan pinggang Hailulu kawini : jenis hailulu yang terasa sakit di bagian pinggang, ginjal, disertai sesak nafas Hailulu mini : hailulu dengan ciri bengkak pada alat kemaluan Halia : jahe Halinding : terapung Hamayang : ritual doa yang dilakukan oleh pemeluk agama Marapu Hamawangu : Gading Hapi : sapi Harua wini : penyakit yang menyebabkan kulit terkelupas namun tidak ada luka, dan bisa menyerang di seluruh bagian badan Haruka : penyakit yang menyebabkan rasa tertikam di semua anggota tubuh 320 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Hawurut : sembur atau menyembur. Suatu metode penyembuhan tradisional masyarakat Sumba, dengan cara menyemburkan ramuan berupa sirih, pinang, kapur, serta jahe di bagian anggota badan yang sakit Hayingu : penyakit yang menimbulkan rasa gatal, ,benjolan berukuran besar, bisa muncul di sekujur badan kecuali di telapak tangan dan kaki. Bisa menyebabkan demam Hewaria : Darah tinggi Hikil : sejenis tanaman berbau khas, yang dikenal memiliki manfaat sebagai penangkal penyakit yang disebabkan oleh angin Hikung : Songket atau tenun ikat. Salah satu teknik membuat motif pada kain dan sarung Sumba. Hinggi : Kain selimut Hupu : ujung,batas, akhir Hupu Li La Witi -Hupu Li La Kunda : akhir dari segala pembicaraan dan akhir dari segala pintalan Ina : mama atau ibu Ina mbulu-na ama ndaba : ibu dan bapa dari pada semua Ihu : mandi ita : lihat, melihat Kabangu : peti mati terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan Kaba ri : mangkuk terbuat dari tempurung kelapa, wadah lauk pauk makanan yang berair Kaba wai : tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa Kabela : parang besi yang digunakan untuk memotong hewan kurban besar seperti kuda atau kerbau Kabihu : klan atau marga, orang bebas (merdeka) Kadu : tanduk Kahalarambah : penyakit yang menimbulkan rasa tertikam di bagian dada dan punggung 321 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kaheli : balai-balai. Berfungsi untuk menerima tamu yang datang berkunjung. Kahidi : pisau untuk mengerat emas atau perak, memotong ayam untuk kepentingan upacara keagamaan Kahonga : Tugal. Terbuat dari kayu untuk membuat lubang tanah untuk tanaman serta untuk membalikan tanah agar siap di tanami benih Kalawihi : terjadi apabila seorang laki-laki bangsawan tinggi kawin dengan seorang yang berasal dari golongan hamba, maka keturunannya disebut bangsawan Kalumbutu : anyaman daun lontar berupa tas tempat sirih pinang pria. Kambaniru : tiang rumah Kamaru : pohon asam Kandehangu: pembantu wunang/juru bicara adat Ka-Ngga Duk: Demam Kani-padua : pusat atau pertengahan perkampungan/Paraingu Umalulu, bagian negeri yang ditinggali oleh Kabihu Ratu (imam atau penasehat spiritual bangsawan). Kapihaku : lumpur Karambua: Kerbau. Hewan yang digunakan sebagai belis maupun kurban dalam upacara adat, baik upacara adat perkawinan, kematian, bahkan sebagai tebusan atas pelanggaran yang terjadi dalam adat-istiadat orang sumba. Pada zaman dahulu, karambua biasa digunakan sebagai alat yang membantu manusia dalam mengolah kebun maupun sawah. Karai ngguya na tumbu kadu, rara ulli, ua kaka be nakapu, kaningu wa tai kaddu uma tandai kabihu ambu na mbulang ambu na maruambang : Saya memohon tumbuh tanduk merah, kuning taring, rambut uban dan merangkak agar nantinya ada yang menduduki tahta kabihu. 322 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Kara wulangu : kura-kura belang kulit. Kura-kura merupakan perlambangan kebangsawanan, kebesaran dan pengaruh. Dalam baitannya : Ana wuya rara-ana kara wulangu ( anak buaya merah-anak kura-kura belang) Katahu : memotong/memutuskan Katanga : tali kendali kuda yang digunakan pada upacara kematian Katatu : tatto atau raja tubuh. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena berfungsi sebagai tanda pengenal dan syarat agar diperbolehkan masuk ke parai marapu ketika sudah meninggal nanti. Katiu : sakit Kawini : perempuan Katuaba : Gila Katuada : Tugu sembahyang kepada marapu. Berupa batu yang diukir dan ditancapkan di dalam tanah bagian kiri halaman depan rumah, pintu perkampungan, kebun, ladang dan padang Kawindu : Halaman rumah Kenja pahuru mutu lapa : nama induk penyakit, penyakit kulit Killa : Kusta Kindi : alat yang terbuat dari kayu atau bambu yang digunakan untuk memintal benang Kombu : Mengkudu. Penghasil warna merah untuk kain tenunan La : di Ladi dita : lantai atas. Tempat sakral yang dianggap sebagai tempat tinggal marapu Ladi padua : lantai tengah. Tempat tinggal manusia,tempat beraktivitas sehari-hari Ladi wawa : lantai bawah rumah atau kolong rumah. La hupu : di batas 323 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 La hupu ina-la hupu ama : batas seglala ibu dan bapak , ibu segala ibu dan bapa segala bapa Latangu : sawah Lawu : Kain sarung wanita Layia : Klan penerima wanita Lekawu : induk penyakit dari seluruh penyakit yang menyerang perut. Li’i : cerita atau hikayat, hal Li’i marapu : hikayat leluhur, cerita yang mengulas asal muasal leluhur orang sumba Li kiring li andong : hal tentang peperangan Li konda li ratu : hal kepemimpinan dan hal yang dihormati Li la lei li manguama : hal suami dan istri Li ndewa li pahomba : hal bertani dan hal beternak Liku : tali. Liu : alat yang terbuat dari kayu yang dilapisi bahan empuk (gumpalan kapas/bantal) yang dijadikan sandaran belakang dalam menenun Luku : sungai Lulu amahu : salah satu jenis mahar berbentuk panjang mirip ular. Biasanya terbuat dari emas Luluku : Seni bahasa berbait-bait berpasangan Mamarungu : Makhluk halus bersifat jahat Mambadi : penyakit yang menimbulkan rasa gatal di seluruh badan, bintik-bintik dan berair Mamuli : Perhiasan emas atau perak lambang wanita Manggari : penyakit bisul dan bernanah pada kulit Mangu : milik Mangu tanangu : pemilik tanah Mannu : Ayam. Mangiala : pancing, memancing. Maramba : raja,bangsawan 324 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Marapu : 1) leluhur yang didewakan; 2) sebuah kepercayaan masyarakat sumba yang masih menganut paham animisme dan dinamisme Mata : mata Maringu : dingin Maruambang : lupa Mbana : panas Mbatangu : menara rumah Mbola : Bakul. Biasa digunakan untuk menyimpan beras, jagung, maupun hasil kebun lainnya yang terbuat dari anyaman daun lontar dan daun pandan Mbola pahapa : tempat sirih dan pinang yang digunakan seharihari. Mbulangu : hilang Mendamu : anak-anak dari seorang laki-laki bangsawan tinggi kawin dengan seorang wanita yang berasal dari golongan orang merdeka, anak-anaknya menjadi golongan bangsawan. Meti : mati Meti maringu : mati dingin. Mati yang disebabkan oleh penyakit atau faktor usia tua. Meti mbana : mati panas. Mati secara tiba-tiba, karena dibunuh, bunuh diri, kecelakaan, perang, atau saat melahirkan. Mini: laki-laki Mirri : 1) Tuhan; 2) tuan Muru : 1) penyakit; 2) obat Muru halabbu : penyakit yang mengakibatkan rasa sakit di mulut, luka di bagian bibir dan mulut, bernanah, berbintik-bintik, dan bisa menjalar sampai ke bagian telinga Muru hawali : dikenal sebagai muru yang ‘kurang ajar karena mengakibatkan luka, gatal, berbintik-bintik, dan berair pada alat kelamin. 325 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Muru huahak : penyakit yang mengakibatkan rasa sakit di mulut, gusi dan bagian kulit di dalam mulut mengalami luka Muru ipi : penyakit yang mengakibatkan kulit melepuh seperti terkena air panas di badan dan bernanah Muru ipi kabala : sama dengan muru ipi, hanya saja penyebarannya lebih cepat Muru itir : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di bagian perut seperti ditusuk-tusuk ikan lele laut Muru iwu : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di ulu hati,di perut, dan bisa menyebabkan diare Muru kabuata : penyakit yang berupa benjolan besar yang kemudian terkelupas, ada cairan berwarna kuning di seluruh badan Muru katarumuru : sakit perut, terasa ada angin yang berputar di dalam perut Muru lapapu : penyakit yang mengakibatkan rasa rasa sakit di mulut dan gusi, dan gigi terasa bergoyang (hampir tanggal) Muru lamba : penyakit yang mengakibatkan perut kembung, tidak bisa kentut, tidak bisa bersendawa Muru lawora : penyakit yang menimbulkan rasa seperti ada 2 ekor biawak (lawora) yang bergerak-gerak di dalam perut, terasa sakit di semua bagian perut dan panas Muru linggu : penyakit yang menyerang bagian kaki dan mengakibatkan kaki tidak mampu berdiri Muru manganding : sejenis daun yang bisa menyembuhkan beberapa penyakit, juga merupakan penyakit yang mengakibatkan badan dan mata berwarna kuning, sakit perut. Muru Mangidip : sejenis penyakit pada kulit,seperti luka bakar dan bernanah Muru mbuakahau : penyakit yang menakibatkan perut terasa panas, sakit, dan pedih 326 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Muru mina manu : penyakit kulit yang diawali dengan bercakbercak berwarna putih, gejala penyakit ini diyakini mirip penyakit kusta. Muru padjurang : penyakit yang juga menyerang bagian leher dan juga tidak mampu digerakkan ke belakang. Muru paribara : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di bagian perut, mencret, muntah, dan pandangan terasa gelap Muru rikalanda : penyakit menyerang bagian leher. Leher tidak bisa menengok ke belakang karena serasa ada jarum yang menusuk Muru ular : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di bagian perut, mencret, muntah, dan demam Muru ular luri : penyakit yang menimbulkan rasa sakit di lulu hati, muntah dan mencret Na’i : penyakit yang disebabkan oleh angin (bahasa Sabu) Na ina pakawurungu-na ama pakawurungu : ibu dan bapa yang diseluruhina pandanyura ngara-na pandapeka tamu: yang tak disebut gelarnya dan yang tak dikatakan namanya yang sering disebut anatala Na ma pandoi : yang membuat Na ma wulu : yang menciptakan (sebutan untuk Tuhan) Na mawulu paka woring –Na ma pandoi pama nandang : Tuhan Yang Maha Kuasa Ndakatiku ndakapaku : nama induk dari seluruh penyakit yang bisa menyebabkan lumpuh. Ndama tuama : yang mendapati Ndama pa ita mata wanya : yang bertemu mata dengannya Ndanni : lapis Ngilu : Angin. Dalam masyarakat Sumba Ngilu juga dikenal sebagai salah satu penyebab penyakit yang berupa gunaguna atau santet dari orang-orang tertentu atau juga karena kiriman marapu. 327 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Ngilu apung : penyakit yang mengakibatkan sesak nafas karena keberadaan dahak, lendir. Merupakan penyakit kiriman orang lain atau marapu. Ngilu tama : angin masuk (angin kiriman) Nggutingu : gunting yang digunakan pada upacara potong rambut Ngohungu : lesung kayu yang digunakan pada upacara panen Nimbu : tombak besi yang digunakan untuk meramalkan suatu kejadian pada upacara keagamaan Njara : kuda Nyuda kika : merekalah Nyuda kika ndama tuama ndama paita mata wanya : merekalah (sebutan untuk marapu ) yang bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Ongko : sebutan untuk laki-laki keturunan tiong hoa yang pada umumnya berada di sumba untuk urusan niaga atau perdagangan Padua : Pertengahan, bagi dua Pa dudurungu : meratap atau menangis, untuk menangisi orang yang telah meninggal dunia Padjilingu : menginjak lahan sawah dengan menggunakan bantuan ternak kerbau atau sapi. Pahadangu : membangun atau mendirikan rumah Pahappah : sajian khas orang sumba untuk tamu yang datang ke rumah mereka. Pahappah terdiri atas sirih, pinang, dan kapur. Pahiki : guci keramik wadah tuak untuk sesaji Pahukungu : pasang usuk (rumah) Pa kaworing : yang mengembangbiakan Pa manandang : menjadi bagus/cantik Pamandungu : meneguhkan atau menguatkan. Dalam adatistiadat sumba dikenal ritual pamandungu yang khusus 328 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT dilakukan pada ibu hamil yang memasuki usia kandungan 46 bulan ke atas dengan tujuan memohon keselamatan kepada agar persalinan berjalan lancar dan terhindar dari berbagai gangguan mahkluk gaib yang dapat mencelakai si ibu dan janin yang masih di dalam perut. Pamaringu : mendinginkan Pamaringu awu: ritual pemutusan tali pusar bayi yang dilakukan dengan cara menyirami tungku dengan air sisa mandi sang bayi sampai pusar bayi tersebut sembuh Pamiti : menghitamkan (gigi) Pamongu : teras Pangangu kangata : gotong royong pengumpulan bahan belis/mas kawin Pangiangu marapu : tempat kediaman marapu Panongu : Tangga Papaitang : memahitkan Papaitang wai huhu : ritual menyapih bayi. Dipimpin oleh wunang dengan mempersembahkan ayam sebagai kurban. Paraingu : kampung yang didiami oleh sekelompok masyarakat Paraingu marapu : kampung leluhur Parukut walawitu : nama induk dari semua penyakit kulit. Patalarungu : pemasangan range kayu untuk mendudukan alang rumah Patundu mbitu : Suara gong yang dipukul dengan irama duka Pau : Mangga Pawii kamnbaniru : ukir tiang Pawitungu : mengatapi rumah dengan alang-alang Peci : atau penaraci merupakan minuman keras tradisional di Sumba yang terbuat dari tuak dan ragi. Yang banyak dibuat oleh orang sabu. Piapang : alat yang digunakan untuk menggulung benang menjadi gumpalan benang 329 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pihu : tujuh Pindu : pintu Puadahu : menyeka atau menghapus Puadahu wai hanggobu : ‘menyeka air keringat’. Pesta yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahan yang telah berjalan, serta untuk menolak segala bala dan hambatan, serta memohon berkat kepada marapu. Punggu : Tebang kayu Puru la wai: turun ke air Rambu : sebutan untuk perempuan sumba. Untuk daerah tertentu di sumba, rambu hanya digunakan sebagai sapaan untuk seorang perempuan yang masih berketurunan ningrat. Rara : merah Ratu : imam atau penasihat spiritual Rondangu : memapar atau meratakan (gigi) Rodang hambuli : nama induk penyakit Ruu : daun Runnu : berenang Suanggi : tukang guna-guna atau tukang santet Tama : masuk Tamu rambu : tuan,sebutan untuk bangsawan perempuan Tamu umbu : tuan, sebutan untuk bangsawan pria Tamelingu : tudung kepala. Tana : tanah Tana humba : tanah sumba Tanda taka : Tanda/ bukti penyambutan tamu. Tanggu marapu : Milik marapu, Benda-benda yang dikeramatkan yang disimpan di bagian menara rumah. Tangawahil : tempat pahappah yang terbuat dari anyaman daun lontar kering dan biasanya digunakan hanya untuk tamu. Tau : manuisa, orang 330 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Tau njawa : Orang jawa, orang asing, namun kini maknanya meluas. ‘Tau jawa’ bisa juga digunakan pada orang Sumba yang sudah berkedudukan tinggi di bidang pemerintahan. Tiara : Selendang, Ikat kepala pada pria. Tobungu : wadah semacam piring terbuat dari kayu Topu : Tikar. Biasa digunakan sebagai alas tempat duduk di balaibalai maupun sebagai alas untuk tempat tidur Tumbu : tumbuh Tumbu kadu : tumbuh tanduk Padua : Pertengahan, bagi dua Pa dudurungu : meratap atau menangis, untuk menangisi orang yang telah meninggal dunia Padjilingu : menginjak lahan sawah dengan menggunakan bantuan ternak kerbau atau sapi. Pahadangu : membangun atau mendirikan rumah Pahappah : sajian khas orang sumba untuk tamu yang datang ke rumah mereka. Pahappah terdiri atas sirih, pinang, dan kapur. Pahiki : guci keramik wadah tuak untuk sesaji Pahukungu : pasang usuk (rumah) Pa kaworing : yang mengembangbiakan Pa manandang : menjadi bagus/cantik Pamandungu : meneguhkan atau menguatkan. Dalam adatistiadat sumba dikenal ritual pamandungu yang khusus dilakukan pada ibu hamil yang memasuki usia kandungan 46 bulan ke atas dengan tujuan memohon keselamatan kepada agar persalinan berjalan lancar dan terhindar dari berbagai gangguan mahkluk gaib yang dapat mencelakai si ibu dan janin yang masih di dalam perut. Pamaringu : mendinginkan 331 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pamaringu awu: ritual pemutusan tali pusar bayi yang dilakukan dengan cara menyirami tungku dengan air sisa mandi sang bayi sampai pusar bayi tersebut sembuh Pamiti : menghitamkan (gigi) Pamongu : teras Pangangu kangata : gotong royong pengumpulan bahan belis/mas kawin Pangiangu marapu : tempat kediaman marapu Panongu : Tangga Papaitang : memahitkan Papaitang wai huhu : ritual menyapih bayi. Dipimpin oleh wunang dengan mempersembahkan ayam sebagai kurban. Paraingu : kampung yang didiami oleh sekelompok masyarakat Paraingu marapu : kampung leluhur Parukut walawitu : nama induk dari semua penyakit kulit. Patalarungu : pemasangan range kayu untuk mendudukan alang rumah Patundu mbitu : Suara gong yang dipukul dengan irama duka Pau : Mangga Pawii kamnbaniru : ukir tiang Pawitungu : mengatapi rumah dengan alang-alang Peci : atau penaraci merupakan minuman keras tradisional di Sumba yang terbuat dari tuak dan ragi. Yang banyak dibuat oleh orang sabu. Piapang : alat yang digunakan untuk menggulung benang menjadi gumpalan benang Pihu : tujuh Pindu : pintu Puadahu : menyeka atau menghapus Puadahu wai hanggobu : ‘menyeka air keringat’. Pesta yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahan 332 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT yang telah berjalan, serta untuk menolak segala bala dan hambatan, serta memohon berkat kepada marapu. Punggu : Tebang kayu Puru la wai : turun ke air Rambu : sebutan untuk perempuan sumba. Untuk daerah tertentu di sumba, rambu hanya digunakan sebagai sapaan untuk seorang perempuan yang masih berketurunan ningrat. Rara : merah Ratu : imam atau penasihat spiritual Rondangu : memapar atau meratakan (gigi) Rodang hambuli : nama induk penyakit Ruu : daun Runnu : berenang Suanggi : tukang guna-guna atau tukang santet Tama : masuk Tamu rambu : tuan,sebutan untuk bangsawan perempuan Tamu umbu : tuan, sebutan untuk bangsawan pria Tamelingu : tudung kepala. Tana : tanah Tana humba : tanah sumba Tanda taka : Tanda/ bukti penyambutan tamu. Tanggu marapu : Milik marapu, Benda-benda yang dikeramatkan yang disimpan di bagian menara rumah. Tangawahil : tempat pahappah yang terbuat dari anyaman daun lontar kering dan biasanya digunakan hanya untuk tamu. Tau : manuisa, orang Tau njawa : Orang jawa, orang asing, namun kini maknanya meluas. ‘Tau jawa’ bisa juga digunakan pada orang Sumba yang sudah berkedudukan tinggi di bidang pemerintahan. Tiara : Selendang, Ikat kepala pada pria. Tobungu : wadah semacam piring terbuat dari kayu 333 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Topu : Tikar. Biasa digunakan sebagai alas tempat duduk di balaibalai maupun sebagai alas untuk tempat tidur Tumbu : tumbuh Tumbu kadu : tumbuh tanduk Ulli : taring Uma : rumah Uma bara : rumah putih Uma bokulu : rumah besar atau rumah adat. Uma kamudungu : rumah yang tidak bermenara Uma mbatangu : rumah menara Uma wuaka : rumah kebun. Umbu : sebutan untuk laki-laki sumba. Untuk daerah tertentu di Sumba, Umbu hanya digunakan sebagai sapaan untuk seorang laki-laki yang masih berketurunan ningrat. Uta : penyakit yang menimbulkan rasa gatal, sakit, bisa muncul di sekujur badan, bintik kecil, terasa sakit, dan bisa menyebabkan demam Wai : air Wai hanggobu : air keringat Wai huhu : air susu Walu : delapan Wanggi pamening : kayu yang dibentuk persegi, digunakan untuk menyelipkan benang-benang-benang yang akan menjadi pola pembuatan sarung. Watu : batu Watu hadang : batu berdiri Watu pelitu : nama suku bangsawan Wei : Babi. Wora : Nila,nila digunakan sebagai pewarna penghasil warna biru dalam menenun. Wuaka : kebun Wulangu : bulan 334 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Wunang : juru bicara adat, utusan atau perantara. Wuru : periuk tanah liat yang digunakan untuk membawa air atau memasak Wuya : Buaya. Buaya dijadikan simbol/motif dalam poembuatan kain maupun sarung Sumba. Wuya rara : buaya merah, merupakan perlambangan kepada raja Yiara : Klan pemberi wanita Yila : tarik 335 DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Sumba Timur. 2013. Sumba Timur Dalam Angka Tahun 2013. BPS Sumba Timur BPS Kabupaten Sumba Timur. 2013. Umalulu dalam Angka Tahun 2013. BPS Kabupaten Sumba Timur Buku Saku. 2013. Ditjen P2PL Kemenkes Dokumen RPJM Desa Watu Hadang Tahun 2011-2015 Kapita, OE. Hina. 1976. Sumba Di Dalam Jangkauan Jaman. Waingapu. Panitia Penerbit Naskah-Naskah Kebudayaan Daerah Sumba Dewan Penata Layanan Gereja Kristen Sumba. Umbu, Manggana. 2004. “Kajian Sosial Budaya Terhadap Perkawinanan Adat Sumba di Umalulu”. Tesis. Salatiga. Universitas Kristen Duta Wacana. Rahajoe dkk, Nastiti N. 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia Setyawati, Indah & Dwi Wahyujati. September 2002. “Health Seeking Patterns In East Sumba District : Qualitative Study On Community Perceptions, Usages And Expectations On Formal And Informal Health Facilities”. Research Report. Kupang. UPTD Pelatihan Tenaga Kesehatan (Bapelkes) Simpen, I Wayan. 2008. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur : Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan. Penerbit Pustaka Larasan 336 Etnik Sumba, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT Soeriadiredja, Purwadi. 1983. Aspek Struktural dan Fungsional dalam Kain Tenun Tradisional di Sumba Timur. Skripsi. Universitas Padjajaran ___________________. 2012. Marapu: Agama dan Identitas Budaya Orang Umalulu, Sumba Timur. Disertasi. Universitas Indonesia _____________________. 2002. Universitas Gadjah Mada Rumah Umalulu. Tesis. Solihin, Lukman. 2011. Mengantar Arwah Jenazah ke Parai Marapu: Upacara Kubur Batu Pada Masyarakat Umalulu, Sumba Timur. Jurnal Patanjala Vol 5 No 1 Suryadarma, Priyanti Pakan & Meutia F.Hatta Swasono. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta. UI Press Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta. PT.Tiara Wacana Yogya Twikromo, Y.Argo. 2008. The Local Elite and the Appropriation of Modernity. A Case in East Sumba Indonesia. Kanisius Wellem, F.D. 2004. Injil & Marapu. Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada periode 1876-1990. PT.BPK Gunung Mulia Wiyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemologi, Penularan, Pencegah & Pemberantasannya. Erlangga Woha, Umbu Pura. 2008. Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat. Cipta Sarana Jaya 337 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sumber lain “Pengalaman Revolusi KIA Di Provinsi NTT”. Presentasi Naional IV: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia. Kupang. 4 Sepetember 2013. Dr. Stefanus Bria Seran (Kadinkes Prov. NTT) “Strategi Revolusi KIA Sebagai Upaya Penurunan AKI & AKB Melalui Program Sister Hospital Provinsi NTT”. Presentasi Kadinkes Prov. NTT , Dr. Stefanus Bria Seran. Seminar Percepatan MDG4 dan MDG5 Dengan Memperkuat Tindakan Preventif & Kuratif. Jakarta. 13 April 2011 tjoretan-akoe.blogspot.com/2013/10/7-manfaat-tauge-bagikesehatan.html/ www.kamusq.com/2013/05/diabetes-mellitus-adalahpengertian-dan.html herodessolution.dilestarikan.wordpress.com/2012/01/penyakitframbusia-patek-yaws.pdf http://www.mitrakeluarga.com/surabaya/waspada-benjolanpada-leher-deteksi-dini-tbc-ekstra-paru/ www.yastroki.or.id/read.php?id=395 diniadistiani.blogspot.com/2013/07/tb.kelenjar.html 338