9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Medis 1. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Medis
1. Pengertian Ikterik
Menurut Myles (2009) ikterik adalah perubahan warna kulit dan
sklera menjadi kuning akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah pada
neonatus, ikterik dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Ikterus ialah
warna kuning yang dapat terlihat pada seklera, selaput lender, kulit atau
organ lain akibat penumpukan bilirubin. Keadaan ini merupakan penyakit
darah. Bilirubin merupakan hasil penguraian sel darah merah di dalam
darah. Penguraian sel darah merah merupakan proses yang dilakukan oleh
tubuh manusia apabila sel darah merah telah berusia 120 hari. Hasil
pengeluaran dari hati dan dibuang melalui buang air besar (BAB) dan buang
air kecil (BAK) (marmi, 2012).
Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi eritrosit
yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin
menjadi bilirubin bebas yaitu zat yang larut dalam lemak dan sulit larut
dalam air. Bilirubin ini mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan
mudah melewati membran biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di
dalam plasma bilirubin bebas tersebut terikat/ bersenyawa dengan albumin
dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan sehingga
bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam
9
10
hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa dengan
ligandin (proteinY), protein Z dan glutation S-tranferase membawa
bilirubin ke retikulum endoplasma hati. Di dalam sel hepar berkat adanya
enzim glukorinil transferase, terjadi proses konjugaasi bilirubin yang
menghasilkan bilirubin direk, yaitu bilirubin yang larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian bilirubin yang
terkonjugasi diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran
pencernaan. Selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar bersama feces
sebagai sterkobilin. Di dalam usus terjadi proses absorbsi enterohepatik,
yaitu sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorbsi kembali oleh mukosa usus (Maryunani, 2009).
2. Patofisiologi Ikterik
Bilirubin merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari
pemecahan hemoglobin. Ketika sel darah merah dirusak dan hasil
pecahannya yakni hemoglobin masuk ke sirkulasi darah dan membelah
menjadi dua, heme dan globin. Globin (protein) digunakan / diserap oleh
tubuh, sedangkan heme masuk menjadi unconjugated bilirubin, zat yang
tidak larut dalam air dan terikat oleh albumin. Bilirubin terpisah dari
albumin di hepar dengan bantuan enzim glucuronyl transferase, kemudian
bilirubin berkonjugasi dengan asam glukuronik untuk menghasilkan zat
yang kelarutannya tinggi dalam air yaitu conjugated bilirubin glucuronide,
yang diekskresikan melalui empedu, kemudian di usus dengan bantuan
bakteri, bilirubin terkonjugasi diubah menjadi urobilinogen, yaitu pigmen
11
yang memberikan warna pada feses dan hanya sedikit yang dieliminasi
melalui urin (Maryunani, 2009).
Bilirubin direk ini akan diubah oleh enzim di dalam usus apabila tidak
ada makanan yaitu enzim beta-glukuroinidase dan menjadi bilirubin indirek
yang diserap kembali oleh usus dan masuk aliran darah. Bilirubin indirek ini
akan diikat oleh albumin dan kembali ke hati masuk ke dalam siklus
enterohepatik, sehingga beban hati menjadi lebih berat untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk (Murray & McKinney, 2007).
Tubuh mampu mempertahankan keseimbangan pada kondisi normal
antara perusakan sel darah merah, penggunaan dan ekskresi produk dari
perusakan sel darah merah tersebut. Akan tetapi ketika keseimbangan ini
terganggu akibat immaturitas sel darah merah dan fungsi hati dapat
menyebabkan
bilirubin
terakumulasi
dan
menimbulkan
jaundice
(Hockenberry & Wilson, 2007).
Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil
dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil tranferase. Rendahnya
pengambilan intra hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik
sejalan dengan penurunan aliran darah hepatik. Jaundice yang terkait dengan
pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja glukoronil transferase
oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam ASI yang
terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak
terkonjugasi 25 sampai 30 mg/dl selama minggu ke 2 sampai ke 3. Biasanya
12
dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10 minggu. Jika pemberian ASI
dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan turun (Suriadi, 2006).
3. Klasifikasi Ikterik
Menurut Kementrian Kesehatan RI tahun 2004, hiperbilirubinemia
diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu :
a. Ikterik Fisiologis
Ikterus fisiologi adalah kondisi munculnya warna kuning di kulit
dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin pada kulit
dan selaput mata akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (Samik,
2012). Ikterik fisiologi mengenai hampir semua neonatus. Biasanya,
setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,
namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya.
Pola ikterik fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut : kadar
bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3 – 5
kehidupan dengan kadar 5 – 6mg/dL, kemudian menurun kembali dalam
minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar
bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL. Pola
ikterik fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras dan faktor-faktor
lain. Misalnya, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum
yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama,
kadang sampai beberapa minggu. Faktor yang dapat mempengaruhi
munculnya ikterik fisiologis pada bayi baru lahir adalah peningkatan
bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit
13
(pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses pemecahan sel
darah merah yang berlebihan, gangguan proses transportasi, proses
pengambilan dan konjugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan
sirkulasi enterohepatik (Maryunani, 2009).
Menurut Nany (2010) Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Timbul pada hari kedua – ketiga
2) Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg %
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari.
4) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
5) Ikterus hilang pada 10 hari pertama
6) Tidak mempunyai dasar patologis
Menurut Franser (2012), ikterus fisiologi yang berlebihan pada
bayi prematur ditandai dengan kadar bilirubin sebesar 10 mg/dl atau
lebih pada hari ke 3 atau 4 dengan puncak konsentrasi pada hari ke 5
sampai 7 yang kembali normal setelah beberapa minggu. Faktor
penunjang bayi prematur beresiko lebih tinggi mengalami kers ikterus,
antara lain:
1) Waktu hidup sel darah merah yang lebih singkat
2) Komplikasi seperti hipoksia, asidosis dan hipotermia yang dapat
mengganggu kemampuan mengikat albumin.
14
b. Hiperbilirubinemia patologi
Ikterus patologis atau hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan
dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik (Marmi, 2012).
Menurut Nany (2010) ikterus yang kemungkinan menjadi patologis
atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau lebih setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus kurang
bulan dan 12,5 % pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir <2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia,
hipoksia,
sindrom
gangguan
pernafasan,
infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolitas darah.
4. Tanda dan Gejala Ikterik
a. Menurut Marmi (2012) dan Maryunani (2009), tanda dan gejala ikterik
adalah sebagai berikut :
1) Sclera, puncak hidung, mulut, dada, perut dan ekstermitas berwarna
kuning
2) Letargi
3) Kemampuan menghisap turun
15
4) Kejang
5) Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus
yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan
6) Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan
oleh rendahnya intake kalori
7) Pada pemeriksaan abdomen, bentuk perut membuncit
8) Fases berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat
ditemukan adanya kejang
9) Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)
10) Terjadi pembesaran hati
11) Tidak mau minum ASI
12) Reflex moro melemah atau tidak ada sama sekali.
Adapun gejala dari ikterus sendiri ditandai oleh pewarnaan kuning
pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Menurut Prawirohardjo (2010) penentuan kadar bilirubin secara
klinis bisa dilakukan dengan cara Kramer sesuai gambar dan tabel berikut :
Gambar 2.1 Daerah kulit bayi yang ikterik untuk pada rumus Kramer
16
Tabel 2.1 Rumus Kramer
Daerah
(lihat gambar )
Luas Ikterus
Kadar Bilirubin
(mg %)
1
2
3
4
5
Kepala dan Leher
Daerah 1, Badan BagianAtas
Daerah 1,2; Badan bagian bawah & tungkai
Daerah 1,2,3; Lengan & kaki di bawah lutut
Daerah 1,2,3,4; Tangan dan kaki
5
9
11
12
16
Menurut Suriadi (2006), beberapa komplikasi yang ditimbulkan oleh
hiperbilirubinemia adalah sebagai berikut :
a. Bilirubin encephalopathy
b. Kerusakan
neurologis,
retardasi
mental,
hyperaktif,
bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.
5. Penilaian ikterik
Menurut marmi (2012), penilaian ikterik dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan diagnostik :
a. Test coombs pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif test coombs
indirek menandakan adanya Rh-positif, anti A atau anti B dalam darah
ibu. Sedangkan positif dari test coombs direk menandakan adanya Rhnegatif.
b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
c. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,01,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek
(tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak
17
boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi yang cukup bulan atau 15 mg/dl pada
bayi preterm (tergantung pada berat badan).
d. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan
ikatan, terutama pada bayi preterm.
e. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (kurang dari 14
g/dl) karena hemolisis hematokrit mungkin meningkat (lebih besar dari
65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis
dan anemia berlebihan.
6. Penyebab ikterik
Menurut Kemenkes RI (2004) dalam Tata Laksana Ikterus
Neonatorum, penyebab peningkatan kadar bilirubin serum total pada
neonatus didominasioleh peningkatan kadar bilirubin indirek. Penyebab
ikterus antara lain :
a. Produksi yang berlebihan
Bilirubin
yang terbentuk
melebihi
kemampuan
bayi
untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, enzim piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Crigler-Najjar). Selain itu dapat disebabkan oleh
18
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian dibawa ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat dan sulfafurazol. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam sekresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di
luar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
e. Obstruksi saluran pencernaan
Gangguan
ini
dapat
mengakibatkan
hiperbilirubinemia
unconjugated akibat penambahan dari bilirubin yang berasal dari
sirkulasi enterahepatik.
f.Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI)
Ikterus akibat ASI merupakan hiperbilirubinemia unconjugated
yang terjadi pada hari ke 6-14 setelah bayi lahir. Dapat dilihat dari
perbedaan penyebab lain dengan reduksi kadar bilirubin yang cepat bila
disubtitusi dengan susu formula selama 1-2 hari. Hal ini untuk
membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu pertama
19
kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta
glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam
lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan kemudian akan
diresorbsi usus. Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi
yang mendapatkan susu formula, mempunyai kadar bilirubin yang lebih
tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa hari pertama
kehidupan. Pengobatannya bukan dengan menghentikan pemberian ASI
melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian ASI. Ada
beberapa hal yang perlu direhatikan saat memberikan ASI perah pada
bayi, salah satunya dengan yaitu tidak boleh menggunakan botol/dot,
karena hal ini akan menyebabkan bingung puting pada bayi. Berikan ASI
dengan gelas atau sendok sehingga saat ibu menyusu langsung, bayi tidak
menolak untuk menyusu pada ibu.
7. Penatalaksanaan Ikterik
a. Menurut Bobak (2005), Strategi pencegahan ikterik adalah :
1) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali
perhari untuk beberapa hari pertama.
ASI mengandung kolustrum yang berfungsi sebagai pencahar
yang membantu bayi mengeluarkan feces dan meningkatkan frekuensi
buang air besar. Hal ini membuat bilirubin akan banyak dibuang dan
hanya sedikit sekali yang diserap kembali oleh tubuh (Newman,
2008).
20
Bayi
yang
menderita
hiperbilirubinemia
harus
tetap
mendapatkan ASI dapat menurunkan penyerapan kembali bilirubin
(Indrasanto, 2008).
2) Terapi sinar matahari
Terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan,
biasanya dianjurkan setelah bayi dirawat di rumah sakit. Caranya bisa
dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda.
Lakuka antara jam 07.00-09.00. Hindari posisi yang membuat bayi
melihar langsug ke matahari karena dapat merusak matanya (Marmi,
2012).
3) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
4) Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal, misalnya
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus
serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa
5) Evaluasi hasil laboratorium
b. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi seperti asam L-aspartik dan kasein hoidrolisat
dalam jumlah kecil (5ml/dosis-6 kali/hari) dapat meningkatkan
pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang.
21
c. Fototerapi dan tranfusi tukar
Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus meningkat
walaupun telah mendapat fototerapi intensif, kemungkinan telah terjadi
hemolisis dan direkomendasikan untuk menghentikan fototerapi. Pada
bayi
yang
menyusu
yang
memerlukan
fototerapi,
AAP
merekomendasikan bahwa, jika memungkinkan, menyusui harus
diteruskan. Juga terdapat pilihan memilih untuk menghentikan menyusui
sementara dan menggantinya dengan formula. Hal ini dapat mengurangi
kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi.
Menurut Marmi (2012), Transfusi tukar darah di Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta diberikan dalam kasus berikut :
1)
Diberikan pada semua kasus ikterus dengan kadar hiperbilirubin
tidak langsung yang lebih dari 20 mg%.
2) Pada bayi premature transfusi tukar darah dapat diberikan walaupun
kadar albumin kurang dari 3,5 gram per 100 ml.
3) Pada kenaikan cepat bilirubin tidak langsung serum bayi pada hari
pertama (0,3-1 mg% perjam). Hal ini terutama pada inkompatibilitas
golongan darah.
4) Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensia
jantung.
5) Bayi menderita ikterus dengan kadar hemoglobin darah tali pusat
kurang dari 14 mg% dan coombs test langsung positif.
22
d. Terapi sinar
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan
fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi yang dapat dipecah dan menjadi
mudah larut dalam air tanpa harus di ubah dahulu oleh organ hati, terapi
sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat
sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal, sinar yang muncul dari
lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi, seluruh pakaian
dilepas kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup, hal ini bertujuan
untuk mencegah efek cahaya yang berlebihan dari lampu tersebut
(Indrasanto, 2008).
Menurut Maryunani (2009), prosedur pemasangan fototerapi yaitu :
1) Kreteria alat
Menggunakan panjang gelombang 425 – 475 nm, dengan intensitas
cahaya yang biasa digunakan adalah 6 -12 mwatt/cm2 per nm.
Cahaya yang diberikan pada jarak 35 0 50 cm.
2) Prosedur
a) Indikasi, fototerapi biasanya dilakukan bila kadar bilirubin direk
sudah mencapai setengah dari transfusi tukar.
b) Persiapan
(1) Orang tua : dijelaskan tentang tindakan yang akan
dilakukan, tujuan dan kegunaan fototerapi.
23
(2) Ganti tabung / lampu fluoresens yang telah rusak atau
berkedip-kedip
(3) Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan
tabung tersebut
(4) Ganti tabung setelah penggunaan 2000 jam
(5) Lingkungan dalam suhu kamar 28 - 30ºC
(6) Pasang plaster non alergi di pelipis kanan dan kiri bayi
(7) Pasang penutup mata dengan bahan yang tidak tembus
sinar.
c) Pelaksanaan
(1) Baringkan bayi dibawah fototerapi dengan jarak 35-50 cm
(2) Hidupkan fototerapi
(3) Catat tanggal dan jam awal penggunaan fototerapi.
(4) Observasi warna kulit tiap 8 jam
(5) Ubah posisi tidur tiap 3 jam
(6) Monitor suhu untuk mencegah terjadinya hipotermi dan
hipertermi
(7) Cukupi kebutuhan cairan bayi, yaitu :
(a) Motivasi ibu untuk menyusui bayinya paling kurang
setiap 3 jam.
(b) Selama menyusui pindahkan bayi dari unit fototerapi
dan lepaskan penutup mata
24
(8) Lepaskan penutup mata pada setiap touching time dan nilai
keadaan mata
(9) Laksanakan parent-infant bounding
(10) Informasikan keadaan bayi kepada orang tua
(11) Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan dan hasil
pemeriksaan bilirubin
(12) Matikan lampu selama proses pengambilan darah
(13) Fototerapi dimatikan bila keadaan bilirubin normal
Menurut Marmi (2012) beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan terapi sinar adalah :
1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam,
untuk menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang
digunakan.
2) Pakaian bayi dibuka agar tubuh bayi dapat seluas mungkin terkena
sinar dari lampu.
3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat
pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk memberikan
rangsangan visual pada neonatus. Pemantauan iritasi mata dilakukan
tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
4) Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.
25
5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk
mendapatkan energi yang optimal.
6) Posisi bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat penyinran seluas
mungkin.
7) Suhu tubuh diukur tiap 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila
diperlukan.
8) Pemasukan cairan dan minuman, pengeluaran fases dan urine serta
muntah diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi.
9) Lamanya terapi sinar dicatat.
Menurut Maryunani (2009), prosedur pemberhentian
fototerapi adalah :
(a) Indikasi
Bilakadar bilirubin < 12 mg% untuk bayi cukup bulan
dengan berat diatas 3000 gram dan< 10 mg% pada bayi kurang
bulan dengan berat badan kurang dari 2500 gram.
(b) Persiapan
Gunakan alcohol swab untuk melepaskan plester.
(c) Pelaksanaan
(1)
Beritahu kedua orang tua
(2)
Cuci tangan
(3)
Matikan lampu fototerapi
26
(4)
Lepaskan penutup mata dengan hati-hati dan bila perlu
gunakan alcohol swab untuk melepaskan plester di pelipis
kanan dan kiri
(5)
Nilai keadaan kulit dan mata bayi
(6)
Pakaikan baju dan popok, bila perlu dibedong
(7)
Catat di lembar khusus tanggal, jam saat fototerapi
dihentikan dan lamanya terapi sinar
(8)
Catat tangal, jam dan jumlah pemakaian lampu foto terapi
pada format yang tersedia
(9)
Cuci tangan
(10) Kembalikan alat fototerapi ketempatnya
(11) Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk
membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning
(untuk bayi yang sudah pulang kerumah).
B. Teori Manajemen Kebidanan
1.
Manajemen Kebidanan
Atik
(2008)
menyebutkan
bahwa
manajemen
kebidanan
merupakan proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode
untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan dengan urutan logis dan
menguntungkan, menguraikan perilaku yang diharapkan dari pemberi
asuhan yang berdasarkan teori ilmiah, penemuan, keterampilan dalam
rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan keputusan yang berfokus
pada klien.
27
Sedangkan menurut Muslihatun, dkk (2009) menjelaskan bahwa
manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan
dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai
dari pengkajian, analisis data, diagnosis kebidanan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
2.
Asuhan Kebidanan
Muslihatun, dkk (2009) menjelaskan bahwa asuhan kebidanan
merupakan peranan fungsi dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab
bidan dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai
kebutuhan atau masalah di bidang kesehatan ibu pada masa kehamilan,
persalinan, nifas, bayi, setelah lahir serta keluarga berencana.
3.
Proses Manajemen Kebidanan Menurut Hellen Varney
Varney menjelaskan bahwa proses manajemen merupakan
pemecahan masalah yang ditemukan oleh perawat dan bidan pada awal
tahun 1970an. Proses ini memperkenalkan sebuah metode dengan
pengorganisasian, pemikiran dan tindakan – tindakan dengan urutan yang
logis dan menguntungkan baik bagi klien maupun bagi tenaga kesehatan
(Muslihatun, 2009: 113).
Proses manajemen kebidanan terdiri dari tujuh langkah yang
berurutan dari setiap langkah disempurnakan secara periodik. Proses
dimulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi.
Ketujuh langkah tersebut dapat diaplikasikan dalam situasi apapun. Akan
tetapi, setiap langkah dapat diuraikan lagi menjadi langkah – langkah yang
28
lebih rinci dan ini berubah sesuai dengan kebutuhan klien. Langkah –
langkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Langkah 1. Pengumpulan Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan pengkajian dengan mengumpulkan
semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan klien secara
lengkap, yaitu :
1) Menanyakan keluhan yang dialami bayi, yaitu bayi yang tidak mau
menyusu, bayi lebih sering tidur serta bayinya lemas.
2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhannya, seperti muka tampak
kuning sejak 24 jam pertama, mata, leher, dada, abdomen membesar,
reflek rooting kurang, reflek sucking kurang, reflek moro jelek, reflek
tonik neck jelek, pola tidur bayi, gerak bayi dan ekstermitas.
3) Meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya
4) Melakukan pemeriksaan ikterik dengan menggunakan rumus kremer
dan melakukan pemeriksaan kadar bilirubin darah untuk menentukan
kadar bilirubin.
Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dari
semua
sumber
yang
berkaitan
dengan
kondisi
klien.
Bidan
mengumpulkan data dasar awal yang lengkap. Bila klien mengajukan
komplikasi yang perlu dikonsultasikan kepada dokter dalam manajemen
kolaborasi bidan akan melakukan konsultasi (Soepardan, 2008).
29
b. Langkah 2. Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap
diagnosis atau masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi
yang benar atau dasar data – data yang telah dikumpulkan. Data dasar
yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah
atau diagnosis yang spesifik. Diagnosis kebidanan, yaitu diagnosis yang
ditegakkan oleh profesi (bidan) dalam lingkup praktik kebidanan dan
memenuhi standar nomenklatur (tata nama) diagnosis kebidanan.
Diagnosa kebidanan untuk kasus ikterik dapat dilihat dari data dasar
dimana pada keluhan utama ibu mengatakan bahwa bayinya lemas, tidak
mau menyusu, mata dan wajah tampak kuning sejak 24 jam pertama, dan
diperkuat dengan adanya data objektif pada pemeriksaan fisik yaitu
kepala ikterik, muka tampak berwana kuning, mulut sianosis, sklera
ikterik, leher ikterik, dada ikterik, perut ikterik dan ekstermitas ikterik
sehingga dapat disimpulkan bahwa bayi mengalami ikterik.
Menurut Muslihatun dkk (2009), standar nomenklatur diagnosis
kebidanan tersebut adalah :
1) Diakui dan telah disyahkan oleh profesi.
2) Berhubungan langsung dengan praktis kebidanan.
3) Memiliki ciri khas kebidanan.
4) Didukung oleh clinical judgenment dalam praktek kebidanan.
5) Dapat siselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan.
30
c. Langkah 3. Mengidentifikasikan Diagnosis atau Masalah Potensial
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosis
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang telah
diidentifikasi.
Langkah
ini
membutuhkan
antisipasi,
bila
memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien bidan
diharapkan dapat bersiap – siap bila diagnosis atau masalah potensial
ini benar – benar terjadi. Pada langkah ini penting sekali melakukan
asuhan yang aman (Muslihatun dkk, 2009).
d. Langkah 4. Mengidentifikasi dan Menetapkan Kebutuhan yang
Memerlukan Penanganan segera
Pada tahap ini dilakukan oleh bidan dengan melakukan identifikasi
dan menetapkan beberapa kebutuhan setelah mendiagnosa dan masalah
ditegakkan. Kegiatan bidan dalam tahap ini adalah konsultasi,
kolaborasi dan melakukan rujukan (Wildan, 2008: 38).
e. Langkah 5. Merencanakan Asuhan secara Menyeluruh
Setelah
beberapa
kebutuhan
pasien
ditetapkan,
diperlukan
perencanaan secara menyeluruh seperti anjuran pada ibu untuk
memberikan ASI secara adekuat, anjuran pada ibu untuk mengisi
inform consent sebagai persetujuan bahwa bayi akan dilakukan foto
terapi ataupun transfusi tukar, beritahu ibu bahwa bayi akan diperiksa
darahnya untuk mengetahui kadar bilirubinnya, beritahu ibu efek dari
foto terapi kulit bayi menjadi kering, beritahu ibu prosedur fototerapi.
Dalam proses perencanaan asuhan secara menyeluruh juga dilakukan
31
indetifikasi beberapa data yang tidak lengkap agar pelaksanaan secara
menyeluruh dapat berhasil (Wildan, 2008: 38).
f. Langkah 6. Melaksanakan perencanaan dan penatalaksanaan
Pada langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang
telah diuraikan pada langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan
aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau
sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien, atau
anggota tim kesehatan lainnya. Manajemen yang efisien akan
menyingkat waktu, biaya dan meningkatkan mutu asuhan (Mufdilah
dan Hidayat, 2008: 75-79).
g. Langkah 7. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dalam manajemen kebidanan, yakni
dengan melakukan evaluasi dari perencanaan maupun pelaksanaan yang
dilakukan bidan. Evaluasi sebagai bagian dari proses yang dilakukan
secara terus – menerus untuk meningkatkan pelayanan secara
komprehensif dan selalu berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
klien (Wildan dkk, 2008: 38).
C. Teori Hukum Kewenangan Bidan
1. Peraturan
Menteri
Kesehatan
(Permenkes)
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan,
kewenangan yang dimiliki bidan meliputi :
a. Pasal 11
32
1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak, dan anak pra
sekolah.
2) Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (10) berwenang untuk :
a) Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,
pencegahan hopetermi, inisiasi menyusui dini, injeksi vitamin K1,
perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari) dan
perawatan tali pusat.
b) Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk.
c) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan merujuk.
Misal : BBLR, ikterik, dll.
d) Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah.
e) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra
sekolah.
f) Pemberian konseling dan penyuluhan.
g) Pemberian surat keterangan kelahiran, dan pemberian surat
keterangan kematian.
2. Keputusan
Menteri
Kesehatan
(Kepmenkes)
369/Menkes/Kes/III/2007 tentang standart profesi bidan meliputi :
a. Pelayanan kebidanan
Nomor
33
Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar yang dapat
dilakukan secara mandiri, kolaborasi, atau rujukan.
1) Layanan primer
: Layanan bidan yang sepenuhnya menjadi
tanggung jawab bidan. Misal penanganan fisiologis.
2) Layanan kolaborasi
: Layanan yang diberikan oleh bidan sebagai
anggota tim yang kegiatannya secara bersama atau sebagai salah
satu dari sebuah proses pelayanan kesehatan.
3) Layanan rujukan
: Layanan rujukan yang dilakukan oleh
bidan dalam rangka rujukan ke sistem layanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam
menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga
layanan yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan lain untuk meningkatkan keamanan dan
kesejahteraan ibu serta bayi. Misal
:
Dalam
kasus
ikterus
fisiologi bidan dapat memberikan pelayanan secara mandiri dengan
memberikan terapi sinar matahari, namun jika kasusnya ikterik
patologi pelayanan yang diberikan oleh bidan adalah pelayanan
rujukan, jika bidan di Rumah Sakit maka pelayanan yang diberikan
adalah pelayanan kolaborasi dengan dokter.
b. Falsafah kebidanan tentang keyakinan fungsi profesi dan manfaat.
Mengupayakan kesejahteraan ibu dan bayinya, proses fisiologis harus
dihargai, didukung dan dipertahankan. Bila timbul penyulit, dapat
34
menggunakan teknologi tepat guna dan rujukan yang efektif, untuk
memastikan kesejahteraan perempuan, janin atau bayi.
c. Asuhan bayi baru lahir
Kompetensi ke-6 bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi,
komprehensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan satu bulan.
1) Adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan di luar uterus.
2) Kebutuhan dasar bayi baru lahir
:
kebersihan
jalan
nafas,
perawatan tali pusat, kehangatan, nutrisi, “bonding & attachement”.
3) Indikator pengkajian bayi baru lahir, misal APGAR.
4) Penampilan dan perilaku bayi baru lahir.
5) Tumbuh kembang yang normal pada bayi baru lahir selama 1 bulan.
6) Masalah yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti :
caput, molding, mongolian, spot, hemangioma.
7) Komplikasi yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti :
hypoglikemi, hypotermi, dehidrasi, diare, infeksi dan ikterus.
8) Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi baru lahir
sampai 1 bulan.
9) Keuntungan dan resiko imunisasi pada bayi.
10) Pertumbuhan dan perkembangan bayi prematur.
11) Komplikasi tertentu pada bayi baru lahir, seperti trauma intracranial,
fraktur clavikula, kematian mendadak, hematoma.
35
d. Keterampilan tambahan
1) Melakukan tindakan pertolongan kegawatdaruratan pada bayi baru
lahir,
seperti
kesulitan
bernafas
atau
asfiksia,
hypotermi,
hipoglikemi, ikterik.
2) Memindahkan
secara
aman
bayi
baru
lahir
ke
fasilitas
kegawatdaruratan apabila dimungkinkan.
3) Memberikan dukungan pada orang tua selama bayinya dalam
perjalanan rujukan ke fasilitas perawatan kegawatdaruratan.
4) Melakukan pengobatan sesuai kewenangan, kolaborasi, atau
merujuk dengan cepat dan tepat sesuai dengan keadaan bayi.
e. Standar V : tindakan
1) Ada format tindakan kebidanan dan evaluasi.
2) Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan
perkembangan klien.
3) Tindakan kebidanan sesuai dengan prosedurtetap dan wewenang
bidan sesuai hasil kolaborasi.
f. Kewajiban bidan terhadap tugasnya
Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan
kewenangannya dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan
konsultasi dan rujukan.
D. Standar Pelayanan Kebidanan
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood (SMH) negaranegara di Wilayah Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas
36
pelayanan kebidanan diupayakan agar dapat memenuhi standart tertentu agar
aman dan efekif. Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar
Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian
di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan
pelayanan di tingkat masyarakat (retna dan Sriati, 2011).
Menuru tretna, Sriati (2011), ruang lingkup standar pelayanan
kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkaan sebagai berikut :
1. Standar pelayanan umum (2 standar)
Standar 1
: Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Standar 2
: pencatatan dan pelaporan
2. Standar pertolongan persalinan (4 standar)
Standar 3
: identifikasi ibu hamil
Standar 4
: pemeriksaan dan pemantauan antenatal
Standar 5
: palpasi abdominal
Standar 6
: pengelolaan anemia pada kehamilan
Standar 7
: pengelolaan dini hipertensi pada kehamilan
Standar 8
: persiapan persalinan
3. Standar pelayanan persalinan (4 standar)
Standar 9
: asuhan persalinan kala I
Standar 10
: persalinan kala II yang aman
Standar 11
: penatalaksanaan aktif persalinan kala III
Standar 12
: kala II dengan gawat janin melalui episiotomi
4. Standar pelayanan nifas (3 standar)
37
Standar 13
: perawatan bayi baru lahir
Standar 14
: penanganan pada dua jam pertama persalinan
Standar 15
: pelayanan bagi ibu dan bayi pada masa nifas
5. Standar penanganan kegawat daruratan Obstetri-Neonatal (9 standar)
Standar 16
: penanganan perdarahan pada kehamilan trimester III
Standar 17
: penanganan kegawatan pada eklamsia
Stansar 18
: penanganan kegawatan pada partus lama/macet
Standar 19
: persalinan dengan menggunakan vakum ekstraktor
Standar 20
: penanganan retensio plasenta
Standar 21
: penanganan perdarahan postpartum primer
Standar 22
: penanganan perdarahan postpartum sekunder
Standar 23
: penanganan sepsis puerperalis
Standar 24
: penanganan asfiksia neonatorum
38
Ikterus neonatorum
Ikterus patologis
ikterus fisiologis
Kadar bilirubin
Hiperbilirubinemia direk
Hiperbilirubinemia indirek
(larut dalam air)
(tidak larut dalam air)
Observasi urine dan
fases
a. Jemur dimatahari
pagi jam 7-9
selama 30 menit
b. Badan bayi
telanjang
c. Diberi ASI adekuat
d. Terapi sinar
Indikasi fototerapi
(bilirubin indirek > 12 mg/dl)
Periksa adanya penyakit hemolitik
(test coombs)
Terapi sinar
Test coombs (-) test coombs (+)
Mengubah bilirubin
indirek menjadi bilirubin
direk yang kemudian di
ekskresikan melalui urin.
Bilirubin direk
periksaantibodi
(Periksa Ht)
Rh, ABO (+)
Tinggi rendah atau normal
transfusi tukar
polistemia
Morfologi eritrosit retikulosit
Abnormal :
normal:
Ketidak cocokan ABO
Transfusi tukar
ASI, perdarahan interna
obat, misalnya novobiosin
Bagan 2. 1 Pathway ikterus neonatorum
sumber : Marmy (2012), Nany (2010)
Download