BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Grief Ibu Pasca Perinatalloss 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Grief Ibu Pasca Perinatalloss
1. Pengertian Grief Pasca Perinatalloss
Kematian perinatal (perinatal loss) adalah kematian janin dalam rahim pada usia
kehamilan > 20 minggu dan berat janin > 500 gram (kamus kebidanan, 2014). Menurut
Manuaba (2007) perinatal loss adalah kematian janin sejak berumur di atas 20 minggu
dalam uterus, kematian bayi baru lahir serta kematian bayi yang berumur 7 hari di luar
kandungan. Menurut American Academy of Family Physician (2007) mengemukakan
bahwa perinatal loss merupakan kehamilan yang berakhir secara tiba-tiba ditandai
dengan kematian fetus.
Kematian perinatal (perinatal loss) dibagi atas 4 macam penyebab secara etiologi
yaitu (a) Fetal, penyebabnya 25-40% seperti anomali atau malformasi kongenital
mayor, kelainan kromosom, janin yang hiperaktif, serta adanya infeksi akibat virus
maupun bakteri; (b) Placental, penyebabnya 25-35% seperti abruption, kerusakan tali
pusat, infeksi plasenta serta selaput ketuban, plasenta previa, pendarahan janin ke ibu;
(c) Maternal, penyebab 5-10%nya seperti diabetes melitus, hypertensi, ruptus uterus
dan adanya trauma pada ibu, epelepsi, anemia berat; (d) Sekitar 10 % kematian janin
tetap tidak dapat dijelaskan.
Krakovsky (2006) mengemukan bahwa kehamilan tidak berhasil sampai ke
persalinan hampir selalu menimbulkan shock. Peristiwa tersebut dapat menimbulkan
trauma fisik maupun psikologis. Menurut Khon &Moffit (2002) , perinatal loss dapat
membuat individu shock, denail, stres, cemas, grief serta depresi . Ibu dengan kasus
perinatal loss akan mengalami fase grief. Grief merupakan istilah yang
mengindikasikan reaksi alamiah yang terjadi pada individu akibat kehilangan (baik
berupa primary losses/actual losses maupun secondary losses/symbolic losses) yang
meliputi reaksi fisik, psikologis (emosi dan kognisi), perilaku, sosial dan spiritual
(Harvey dalam Fahransha, 2008). Kondisi objektif individu yang mengalami
kehilangan seseorang yang berharga bagi individu tersebut dikenal dengan istilah
bereavement sedangkan mourning/grief work adalah respon kehilangan dan duka cita
sebagai usaha mengatasinya dan respon untuk belajar hidup dengan apa yang telah
terjadi (Nabe & Corr, 2009).
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa grief atau rasa berduka cita merupakan
reaksi terhadap kehilangan seseorang dimana individu tersebut mengalami penderitaan
emosional akibat sesuatu atau seseorang yang dicintai atau memiliki harapan besar
telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Konsep grief telah seringkali dibahas pada
berbagai literatur yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehilangan dalam hidup
seseorang, seperti kematian dan pemutusan ikatan emosional yang penting. Menurut
Santrock (2007), duka cita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya,
kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai disaat
individu kehilangan orang yang dicintai. Grief, menurut Papalia dkk (2008) ialah
kehilangan, karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang sedang
berduka dan proses penyesuaian diri kepada kehilangan. Grief menurut Chaplin (2014)
adalah suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan disertai rasa menderita, dikutin
dengan sedu sedan serta tangisan.
Dari pengertian di atas maka Grief pasca perinatal loss adalah respon yang
muncul baik secara fisik, psikis maupun perilaku sebagai reaksi terhadap kondisi
perinatalloss yang dialami.
2. Tahapan -Tahapan Grief
Ada beberapa teori mengenai tahap-tahap grief menurut para ahli:
a) Menurut
Kubler-Ross (Sari,2015) menetapkan lima tahap Grief yaitu:
Penyangkalan (denial) adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan;
Kemarahan (anger) dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga,teman atau diri
sendiri; Tawar-menawar (bargaining) terjadi ketika individu menawar untuk mendapat
lebih banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari;
Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut; Penerimaan (accepted)
terjadi ketika individu memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia menerima kematian/
kondisi yang terjadi.
b) Bowlby (Sari, 2015) mendeskripsikan proses Grief akibat suatu kehilangan
memiliki empat fase yaitu: Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan;
Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan
yang tetap ada; Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya
sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari; Reorganisasi dan reintegrasi
kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya.
c) Menururt
John Harvey (Sari, 2015) terdapat 3 tahap grief, yaitu: Syok,
menangis dengan keras, dan menyangkal; Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau
kembali kehilangan secara obsesif; Menceritakan kepada orang lain sebagai cara
meluapkan emosi dan secara kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.
d) Teori Rodebaugh (Sari, 2015) menjelaskan proses grief sebagai suatu proses
yang melalui empat tahap, yaitu : Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau
menyangkal; Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa
bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur,
perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum;
Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan
diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan bimbingan spiritual;
Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan
penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut
dilupakan atau diterima.
e) Teori Sander (1998) tentang tahap grief terdiri atas 5 tahap yaitu Shock :
subyek merasa tidak percaya, kebingungan,gelisah, rasa tidak berdaya, serta mengambil
jarak psikologis dari diri sendiri; Awareness of loss : subyek mengalami konfliks
emosional, stres yang berkepanjangan,
sensitif yang berlebihan, kecemasan akan
perpisahan, adanya rasa marah serta rasa bersalah. Tahap ini juga subyek mengalami
disorganisasi emosional yang intens; Conservation / Withdrawal : menarik diri , sistem
imun melemah, lelah, hibernasi; Healing : pada tahap ini subyek mulai mengambil
kendali, mengakhiri peran yang lama, membentuk identitas baru, memaafkan dan
melupakan , mencari makna serta menutup lingkaran peristiwa yang terjadi; Renewal
pada tahap ini subyek mulai membangun kesadaran diri yang baru , belajar menerima
tanggung jawab, belajar untuk hidup tanpa kehadiran orang yang telah tiada, berfokus
pada kebutuhan dalam diri dan memperhatikan hal-hal diluar diri.
Kesimpulan yang dapat diambil dari tahap–tahap proses grief menurut para ahli
dimulai dengan tahap penyangkalan, dan diakhiri dengan tahap penerimaan atau
pemulihan, sehingga terbentuklah cara pandang baru tentang kehidupan yang baru.
Sementara tahap-tahap grief yang peneliti gunakan untuk penelitian ini merujuk pada
tahap-tahap grief dari Sander (1998) karena mewakili kondisi yang dialami oleh orang
tua yang kehilangan anak.
3. Aspek- Aspek Grief
Turner & Helms (dalam Cahyasari, 2015), menyebutkan bahwa ada beberapa
aspek dari grief secara umum, adalah sebagai berikut yaitu:
a.
Denial Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan tidak percaya dan
menyangkal kenyataan bahwa orang yang dicintai telah tiada. Reaksi yang
biasanya muncul pada fase ini adalah “Tidak mungkin dia sudah meninggal.”
b.
Realization Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan secara emosional
mulai menyadari bahwa orang yang dicintainya memang sudah meninggal.
Umumnya reaksi yang muncul adalah “Ya Tuhan, hal ini memang terjadi, dia
sudah pergi untuk selamanya.”
c.
Feeling of abandonment, alarm, and anxiety, pada fase ini orang yang
ditinggalkan merasa khawatir dan gelisah. Karena telah ditinggalkan oleh
orang yang dicintainya, reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah
“Tuhan, bagaimana saya menjalani semua ini sendirian?”
d.
Despair, crying, physical numbness, mental confusion, indecisiveness pada
fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa putusasa, menangis, mati rasa,
bingung dan bimbang akibat kematian orang yang dicintai.
e.
Restlessness (a product of anxiety), insomnia, loss of appetite, irritability,
loss of self control, wondering mind. Pada fase ini orang yang ditinggalkan
akan mengalami keresahan (hasil dari kecemasan), insomnia, nafsu makan
hilang, cepat marah, kontrol diri menurun, serta pikiran kacau.
f.
Pining (the physical pain and agony of grieving) and search for some token
remembrance of the lost love abject. Pada fase ini orang yang ditinggalkan
akan merasa merana, timbulnya sakit fisik danenderitaan atas grief. Selain itu
orang yang ditinggalkan akan mencari benda-benda sebagai kenangkenangan yang mengingatkan pada orang yang telah meninggal.
Menurut Toedter & Lasker (2001), Grief pasca Perinatalloss berdasarkan Aspek
terdiri atas 3 hal yaitu
a. Active grief yaitu kondisi kesedihan/rasa dukacita yang mengikuti stres serta
ekspresi kondisi tersebut baik secara nampak maupun tak nampak. Contoh
dari active grief, sering menangis, mudah murung, merasa tertekan.
b. Difficulty coping yaitu kesulitan dalam melakukan coping dari kondisi grief
yang dialami individu, serta berpengaruh terhadap hubungan interaksi individu
didalam lingkungan sosial.
c. Despair adalah kondisi keputusasaan yang dialami individu dalam merespon
grief yang dihadapinya.
Dapat ditarik kesimpulan grief berdasarkan aspeknya dimulai dari denial of loss
dan diakhiri dengan pining , sedangkan pada
kasus ibu dengan perinatal loss aspek
grief terdiri atas active grief : meliputi emosi labil, sering menangis, merasa tertekan;
diffulty coping : meliputi kesulitan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil
keputusan; dan berakhir dengan keputusasaan (Despair)
4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Grief.
Grief adalah reaksi normal akibat kehilangan dan merupakan pengalaman yang
sangat personal. Menurut Aiken (1994, dalam Fahransa,2008) faktor - faktor yang
mempengaruhi proses terjadinya grief antara lain: Hubungan dengan orang yang
meninggal; kepribadian; jenis kelamin orang yang ditinggalkan, serta konteks budaya
dimana kematian terjadi. Papalia (2007) mengatakan bahwa grief merupakan sebuah
pengalaman yang sangat universal, namun dapat dipengaruhi oleh konteks budaya.
Menurut Turner& Helms (1995,dalam Fahransa, 2008) durasi dan insensitas
Grief bervariasi tergantung siapa yang meninggal, serta kapan peristiwa tersebut terjadi.
Jika kematian dianggap wajar, seperti pada orang lanjut usia yang meninggal dunia
intensitas durasi dari grief tidak sebesar kehilangan secara mendadak karena
meninggalkan efek psikologis yang sangat dalam.
Shapiro (2008) berpendapat bahwa durasi grief bergantung pada banyak faktor
seperti : kelekatan (attachment) serta cinta terhadap orang yang meninggal, selain itu
adanya kesiapan psikologis atas kehilangan tersebut. Orang dewasa biasanya dapat
mengatasi grief dua hingga tiga tahun pasca kematian, terutama kematian pasangan (
Shapiro,2008), akan tetapi dampak kematian anak terhadap orang tua yang ditinggalkan
memiliki dampak yang lebih parah. . Masalah emosional yang dialami orang tua akibat
kematian anak seringkali muncul hingga 10 tahun setelah peristiwa kematian, dan
bereavement yang dialami melibatkan proses grief yang berlangsung seumur hidup
(Shapiro,2008) .
Pria mengalami grief yang berbeda dengan wanita (Shander,1998). Perbedaan ini
disebabkan baik pria maupun wanita telah disosialisasikan dengan peran tertentu. Pria
disosialisasikan untuk menjadi tidak emosional , mandiri dan memilikin kontrol diri.
Sementara wanita disosialisasikan untuk menjadi pengasuh dan memiliki empati.
Wanita diharapkan memiliki kepekaaan terhadap perasaan orang lain, karena secara
tradisional wanita diharapkan menjadi istri serta ibu untuk mengurus anak-anak.
(Sarwono, 1999)
Perbedaan sosialisasi peran ini juga mempengaruhi grief yang dirasakan oleh
orang tua ketika mengalami kematian anak. Ayah harus menunjukan kontrol diri yang
kuat dan tidak boleh menangis dibandingkan ibu (Shander,1998)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa usia, jenis kelamin yang
ditinggalkan, konteks budaya, kelekatan , kepribadian , wajar/ tidaknya kematian
merupakan faktor –faktor yang dapat mempengaruhi grief.
5. Pengukuran tingkat Grief
Berbagai pengukuran telah dkembangkan untuk melihat Grief pasca kematian.
Berbagai pengukuran tersebut memuat mengenai kondisi yang berbeda sesuai dengan
tujuan dari alat ukur itu sendiri. Lebih khusus lagi dalam pengukuran stres pada grief
pasca perinatal loss, diantaranya terdapat Perinatal Bereavement Scale (PBS) yang
memuat mengenai pikiran dan perasaan, termasuk kesedihan, rasa bersalah, kemarahan,
dan keasyikan dengan kerugian (Theut, 1989).
Pengukuran pasca kematian perinatal lainnya adalah menurut Toedter, Lasker, &
Alhadeff (Sinaga, 2013 ) yang mengembangkan alat ukur grief bagi orang tua yang
mengalami kematian anak yang disebut sebagai Perinatal Grief Scale (PGS) dimana
dalam pengukuran tersebut mengemukakan tiga aspek dari perinatal grief scale yaitu
active grief, difficulty coping, dan despair. Active grief menggambarkan perasaan sedih,
merindukan bayi yang telah tiada, menangis untuk bayi yang telah tiada, dan secara
umum menggambarkan ekspresi-ekspresi grief yang terlihat. Difficulty coping
mengukur perilaku adaptif, dimana individu mengalami kesulitan dalam menghadapi
rutinitas sehari-hari maupun orang lain. Despair menggambarkan perasaan tidak
berharga, rasa bersalah, kerentanan, dan menunjukkan potensi terjadinya efek yang
serius dan berkepanjangan dari kehilangan bayi yang dialami (sinaga, 2013).
Pengukuran lain yang digunakan bagi orangtua yang mengalami kematian anak
adalah Texas Revised Inventory of Grief-Present Scale (Wilson, 2006). Prinsip dari
pengukuran Texas Revised Inventory of Grief-Present Scale adalah mengukur
kecenderungan kesedihan patologis yang dimiliki seorang individu. Pengukuran ini
memuat pertanyaan fenomena yang berhubungan dengan kesedihan, sehingga dapat
digunakan untuk mengukur (1) kerugian non-penerimaan; (2) kerinduan/kehilangan
almarhum; (3) perasaan menjadi marah / marah; dan (4) menangis / kesedihan. Individu
akan menganggapinya dalam bentuk pernyataan memilih yaitu Sepenuhnya
Salah/completely false, sebagian salah/Mostly False, salah dan benar/True dan False,
sebagian benar/Mostly True , dan sepenuhnya benar/Completely True.
Penelitian ini menggunakan Perinatal Grief Scale (PGS), dikarenakan
kekhususan karakteristik subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu yang
mengalami Perinatal loss.
6. Intervensi Penanggulangan Grief
Berbagai intervensi dilakukan untuk mengatasi grief akibat kehilangan
diantaranya menurut Leary (2016)
1. Support Group Terapy adalah suatu proses terapi pada suatu kelompok yang
memiliki permasalahan yang sama untuk mengkondisikan dan memberi
penguatan pada kelompok maupun perorangan dalam kelompok sesuai
dengan permasalahannya.
2. Social Support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau
bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok
lain.
3. Spirituality Therapy adalah pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut
oleh klien. Terapi spiritual lebih cenderung untuk menyentuh satu sisi
spiritualitas manusia, dan mengembalikan ke sebuah kesadaran darimana
berasal, alasan mengapa manusia diciptakan, tugas - tugas yang harus
dilakukan manusia didunia, beberapa hal yang pantas dilakukan didunia, halhal yang tak pantas dilakukan didunia, mengembalikan manusia kekesucin.
Spiritualitas berbeda dengan agama . Didalam islam terdapat salah satu
bentuk terapi yang terdapat unsur spiritualitas terapi yaitu terapi dzikir. Terapi
dzikir akan membawa individu untuk dapat menumbuhkan rasa iklas dalam
diri terhadap peristiwa yang dialami .
4. Konseling adalah proses interaksi antara dua orang individu yang dilakukan
dalam suasana yang profesional, bertujuan dan berfungsi sebagai alat (wadah)
untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien.
Dari penjelasan tentang intervensi mengatasi grief diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa intervensi Grief atas kehilangan anak dapat mengunakan pendekatan social
support, support group terapy , counseling serta terapi spiritualitas. Dan peneliti
menggunakan intervensi terapi spiritualitas yaitu terapi dzikir pada kasus grief ibu
pasca perinatalloss. Dengan terapi dzikir diharapkkan akan tumbuh rasa iklas pada diri
ibu akan kondisi yang dialami.
B. Terapi Dzikir
1. Pengertian Terapi Dzikir
Dzikir berasal dari bahasa Arab, adz-dzikr yang berarti mengingat, mengucap
atau menyebut, dan berbuat baik. Jika kata dzikir dikaitkan dengan Islam, maka
memiliki pengertian :
a. Dzikir berarti mengingat dan menyebut asma Allah SWT. Misalnya dengan
membaca: tahlil/tauhid, tasbih, istighfar, atau sholawat, dan juga berdoa kepada
Allah SWT. Doa membuat manusia menyadari bahwa alam semesta dan seluruh
isinya ini milik Allah SWT, oleh karena itu untuk mewujudkan segala keinginan,
dan cita-citanya, manusia butuh pertolongan-Nya.
b. Dzikir berarti berbuat baik (beramal saleh) dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rosulullah SAW.
Beberapa di antaranya adalah: berbakti kepada orangtua; berlaku jujur; objektif;
dan adil; menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, sekalipun
tidak mengenalnya dengan baik; serta mengajak kepada kebaikan, dan melarang
terjadinya kemungkaran;
c. Dzikir merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Sesuai dengan surat Al –
Ahzab ayat 41-42 yang artinya
"Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan mengingat
(nama- Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu
pagi dan petang." (QS. 33/Al-Ahzab: 41-42)”
Menurut Al Munawir (2002), dzikir dari segi bahasa berasal dari kata “dzakarayadzkurudzikran” yang berarti menyebut, mengingat dan memberi nasihat. Dalam arti
umum, dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungan-Nya yang meliputi
hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan baik seperti tasbih, tahmid, shalat,
membaca Al-Qur’an, berdoa, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari
kejahatan. Dalam arti khusus, dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyakbanyaknya dengan memenuhi tata tertib, metode, rukun dan syarat-syaratnya (Syafi’i,
2005). Dalam pernyataan Hawari (2002), maka dzikir adalah mengingat Allah dengan
segala sifat-sifatNya, pengertian dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir itu sendiri
(dalam arti sempit), melainkan meliputi segala bacaan, shalat, ataupun perilaku
kebaikan lainnya sebagaimana yang diperintahkan dalam agama.
Menurut Askat (2002), dzikir adalah segala sesuatu atau tindakan dalam rangka
mengingat Allah SWT, mengagungkan asma-Nya dengan lafal-lafal tertentu, baik yang
dilafalkan dengan lisan atau hanya diucapkan dalam hati saja yang dapat dilakukan di
mana saja tidak terbatas pada ruang dan waktu. Djubair (2003) menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan dzikir itu adalah semua ketaatan yang diniatkan karena Allah
SWT, hal ini berarti tidak terbatas masalah tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, tapi semua
aktifitas manusia yang diniatkan kepada Allah SWT. Nawawi (2005), dalam kitab alAdzkar berpendapat bahwa sesungguhnya keutamaan dzikir tidak terhingga, baik
tasbih, tahmid, tahlil, takbir maupun kalimat yang lain, bahkan semua amal dalam
rangka taat kepada Allah termasuk aktivitas dzikrullah.
Haryanto (Sangkan,2010) menyatakan bahwa, dzikir sebenarnya merupakan salah
satu bentuk meditasi transendental, ketika seseorang khusuk, objek pikir atau stimulasi
tertuju pada Allah. Menurut Zohar (Sangkan, 2010) Transenden merupakan sesuatu
yang membawa individu mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan
mengatasi rasa diri individu saat ini. Dzikir ialah mengingat nikmat-nikmat Tuhan.
Lebih jauh, berdzikir meliputi pengertian menyebut lafal-lafal dzikir dan mengingat
Allah dalam setiap waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, merasa yakin bahwa
diri manusia selalu berada di bawah kehendak Allah dalam segala hal dan urusannya
(Shiddieqy, 2014).
Menurut Hawari (2003) dalam Surat al-Ra’d ayat 28, yang artinya
“Mengingat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram”.
Dzikir sebagai metode mencapai ketenangan hati dilakukan dengan tata-cara tertentu.
Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah secara
keras (dzikir jahr) maupun dengan suara yang lembur( dzikir shir) , dan dengan
kalimat-kalimat thayyibah yang memfokus, dari kalimat syahadat La ilaha illa Allah
ke lafazh Allah dan sampai ke lafazh hu.
Terapi dzikir adalah salah satu bentuk psikoterapi yang mengandung unsur
spritual, kerohanian, keagamaan, yang dapat membangkitkan harapan, kepercayaan
dalam diri hingga terciptanya kestabilan jiwa (Hawari, 2013). Kondisi spiritualitas
dalam suatu kehidupan memiliki peranan penting dalam mengatasi kecemasan
menghadapi tantangan hidup. Spiritualitas tidak selalu terikat dengan denominasi
agama, tetapi digambarkan sebagai pencarian makna kepercayaan pada kekuatan yang
maha besar, atau perasaan yang berhubungan dengan segala hal tentang cinta,
kedamaian serta kenyamanan(Leasy,M.2016). Dengan berdzikir, manusia akan
menyadari bahwa ada kekuasaan dari segala yang ada di dunia ini, yaitu Allah SWT.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan segala yang diinginkan dan diharapkan, manusia
membutuhkan pertolongan-Nya. Dzikir dapat pula berarti berbuat baik atau beramal
saleh guna mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah diajarkan
oleh Rasullullah saw, misalnya dengan berbakti kepada orang tua, berlaku jujur,
melakukan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Kekuatan dzikir sangat dahsyat
bagi kehidupan. Dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen keberagamaan
seseorang. Dzikir juga merupakan kunci ketenangan jiwa, karena menyadari bahwa
semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan akan kembali pada Allah.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dzikir
merupakan suatu bentuk ibadah (sholat, doa, membaca Alqur’an) dan perbuatan baik
yang diniatkan hanya kepada Allah, sedangkan terapi dzikir adalah salah satu
psikoterapi yang mengandung unsur spiritual yang dapat membangkitkan harapan,
kepercayaan dalam diri hingga terciptaanya kestabilan jiwa.
2. Tujuan Pemberian Terapi dzikir
Tujuan pemberian terapi dzikir sebagai terapi yang memiliki tujuan pengobatan
serta menumbuhkan rasa ikhlas sehingga individu mampu menerima peristiwa yang
menyakitkan dan bangkit dari kondisi tersebut. Menurut Nashori (2007), ciri individu
yang telah berada pada kondisi ikhlas adalah sebagai bagai berikut
a) Kesadaran spiritual, yaitu kesadaran bahwa keadaan yang tidak menyenangkan
merupakan ujian dari Allah , dan sesuai dengan firman Allah surat Al ankabut
ayat 2 yang artinya
“Apakah mereka mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan
mengatakan” kami telah beriman” dan meraka tidak di uji” .
b) Kesiapan psikologi
yaitu kesiapan untuk menerima stimulus yang tidak
menyenangkan. Tahap ini kelanjutan dari tahap kesadaran spiritual setelah
menyadari bahwa seseorang yang hebat harus melewati ujian, maka akan tumbuh
didalam diri kesiapan untuk menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.
c) Keyakinan akan kesanggupan diri menanggung beban yaitu meyakini bahwa
kesulitan yang allah berikan tidak akan melebihi kapasitas yang mampu individu
terima.
d) Pertaubatan . melakukan permohonan ampun atas segala dosa kepada Allah.
Individu menyadari bahwa sebagai manusia , banyak melakukan dosa sehingga
adanya ujian sebagai akibat dari perbuatan manusia yang diberikan Allah kepada
Hambanya.
e) Pencarian hikmah, yaitu keyakinan bahwa ada hikmah dibalik peristiwa yang
diberikan Allah sesuai denga firman Allah dalam Al- Qur’ an surat albaqarah ayat
16 yaitu :
“Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka
tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat
petunjuk”
f) Berfikir positif tentang masa depan. Ada keyakinan akan adanya perbaikan
keadaaan setelah berlangsungnya peristirwa yang tidak menyenangkan.
Dapat ditarik kesimpulan tujuan pemberian terapi dzikir pada kasus perinatalloss
adalah menumbuhkan kesadaran spiritual, kesiapan psikologi, sehingga mampu
mencari hikmah di balik kondisi yang terjadi dan berimbas kepada penurunan tingkat
grief pasca perinatal loss.
3. Bentuk –bentuk Dzikir
Dzikir merupakan pengalaman ruhani yang dapat dinikmati oleh pelakunya, hal
ini yang dimaksud oleh Allah sebagai penentram hati. Ata (2000), membagi dzikir
atas tiga bagian: dzikir jali (dzikir jelas, nyata), dzikir khafi (dzikir samar-samar) dan
dzikir haqiqi (zikir sebenar-benarnya)
a. Dzikir jali
Dzikir jali adalah suatu perbuatan mengingat Allah dalam bentuk ucapan lisan
yang mengandung pujian, rasa syukur serta doa yang ditujukan kepada Allah, dengan
menggunakan suara secara jelas sehingga mampu menggerakan hati untuk menyertai
dzikir tersebut.
b. Dzikir khafi
Dzikir khafi adalah dzikir yang dilakukan secara khusuk oleh ingatan, hati disertai
dzikir lisan maupun tidak. individu yang mampu melakukan dzikir ini akan merasa
bahwa Allah selalu dekat di hati Individu tersebut selalu merasa kehadiran Allah di
segala Aspek kehidupannya.
c. Dzikir haqiqi
Dzikir haqiqi adalah dzikir yang dilakukan dengan seluruh jiwa raga, lahir dan
batin, kapan pun dan dimana pun, dengan menjaga seluruh jiwa raga dari larangan
Allah serta mengerjakan apa yang diperintah-Nya. Untuk mencapai tingkat dzikir ini
perlu dijalani latihan mulai tingkat dzikir jali dan tingkat dzikir khafi .
Dzikir lisan menurut Hawari (2002) adalah dzikir yang dilafalkan secara lisan
dengan suara yang jelas. Adapun bacaan –bacaan yang dianjurkan dalam dzikir lisan
sebagai berikut
a) Membaca tasbih (subhanallah) yang mempunyai arti Maha Suci Allah.
b) Membaca tahmid (alhamdulillah) yang bermakna segala puji bagi Allah.
c) Membaca tahlil (la illaha illallah) yang bermakna tiada Tuhan selain Allah.
d) Membaca takbir (Allahu akbar) yang berarti Allah Maha Besar.
e) Membaca Hauqalah (la haula wala quwwata illa billah) yang bermakna tiada
daya upaya dan kekuatan kecuali Allah.
f) Hasballah: Hasbiallahu wani’mal wakil yang berarti cukuplah Allah dan
sebaik-baiknya pelindung.
g) Istighfar : Astaghfirullahal adzim yang bermakna saya memohon ampun
kepada Allah yang maha agung.
h) Membaca lafadz baqiyatussalihah: subhanllah wal hamdulillah wala illaha
illallah Allahu akbar yang bermakna maha suci Allah dan segala puji bagi
Allah dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar.
i) Membaca surat Alfatihah.
Surat Alfatihah memiliki bermacam keistimewaan selain sebagai
ummul qur’an. Didalam surat alfatihan terkandung doa yang lengkap ,
mantera, serta obat (penyembuhan) ( shihab, 2005). Al-Fatihah mampu
menyembuhkan segala macam penyakit pada diri manusia baik secara fisik
maupun psikis, serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan
nya. (shihab, 2005).
Keistimewaan dari surat Al-Fatihah dibandingkan surat yang lain
yaitu setiap ayat didalam surat Alfatihah yang dibaca akan dijawab langsung
oleh Allah sehingga terdapat dialog langsung dari hamba dan Tuhan (Allah)
(Makhdlori, 2008) . Dalam kondisi kepasrahan yang total maka suratul-fatiha
dapat digunakan sebagai dzikir dan pembuka dari segala sesuatu yang masih
tertutup dan menghilangkan kesulitan dalam diri individu (shihab, 2005)
Menurut Syukur (2012), inti dari dzikir adalah perwujudan diri manusia sebagai
hamba yang berkewajiban mengabdikan diri hanya kepada Allah. Sudah barang tentu
pengabdian manusia ini tidak hanya ditunjukkan dengan ucapan saja melainkan
ditunjukkan pula dalam keseluruhan gerak tubuh, sebagaimana kalangan sufi
melukiskan dzikir 7 bagian tubuh yaitu:
i. Dzikir dua mata dengan menangis sewaktu ingat dan menyebut nama
Allah.
ii. Dzikir dua telinga dengan mendengarkan ajaran-ajaran Allah penuh
perhatian.
iii. Dzikir lidah dengan sanjungan dan pujian kepada Allah.
iv. Dzikir dua tangan dengan suka memberikan pertolongan kepada orang
lain.
v. Dzikir badan dengan kesetiaan dan pemenuhan kewajiban.
vi. Dzikir hati dengan takut kepada Allah disertai harapan kepada-Nya.
vii. Dzikir ruh dengan penyerahan sepenuhnya serta ridla kepada-Nya
Bentuk-bentuk dzikir menurut sholeh (2010) adalah sebagai berikut:
(1), Dzikir qauli atau jahr, yakni membaca lafal tasbih, tahmid, tahlil, dan
sebagainya dengan suara jelas. Tujuannya agar dapat membimbing hati agar selalu
ingat kepada-Nya. Lisan yang biasa berdzikir maka dengan sendirinya menguatkan
ingatan yang bersangkutan kepada keberadaan Tuhan ;
(2) ingat Tuhan dalam hati tanpa menyebut nama-Nya disebut dengan dzikir
qalby atau sirr ;
(3) Dzikru al-ruh yaitu dzikir dalam arti seluruh jiwa raga tertuju untuk selalu
ingat kepada-Nya;
(4) Dzikir fi’li (aktifitas sosial) yakni berdzikir dengan melakukan kegiatan
praktis, amal shalih, dan menginfakan sebagian harta untuk kepentingan sosial,
melakukan hal yang berguna bagi pembangunan bangsa serta agama.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk dzikir ada berbagai
macam secara garis besar dzikir memiliki bentuk secara lisan, hati serta perbuatan .
Pada penelitian ini peneliti menggunakan terapi dzikir bentuk dzikir shir (lembut) wa
lisan dan menggunakan salah satu surat yang paling masyhur dalam Al-Qur’an yaitu
surat alfatihah. Surat alfatihah dipilih dalam bacaan dzikir untuk intervensi karena
didalam surat alfatihah banyak terkandung doa yang lengkap, mantera serta obat, surat
ini juga sebagai pembuka segala kebaikan atas segala yang ma’ruf, menyembuhkan
segala macam penyakit serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala
keresahannya. Dalam kondisi kepasrahan yang total maka suratul-fatiha dapat
digunakan sebagai dzikir dan pembuka dari segala sesuatu yang masih tertutup.
4.
Esensi Dzikir
Dzikir, didalamnya banyak terkandung esensi-esensi psikologis yaitu
a.
Dzikir sebagai media relaksasi
Fokus dari relaksasi ini tidak pada pengendoran otot namun pada frase tertentu
yang diucapkan berulang kali dengan ritme teratur disertai sikap pasrah
terhadap objek transendensi yaitu Tuhan.
Frase yang digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan atau kata-kata yang
memiliki makna menenangkan. Pengucapan lafadz dzikir disertai dengan
keyakinan terhadap kasih sayang-Nya,perlindungan-Nya, dan sifat-sifat baikNya akan menimbulkan rasa tenang dan aman (Purwanto, 2006).
b.
Dzikir sebagai media katarsis
Dzikir akan selalu berhubungan dengan doa serta memiliki ikatan yang kuat,
terlebih dalam kaitannya sebagai pengobat hati, maka dzikir lebih utama
disampaikan dengan doa yang tulus. (haq, 2011)
c.
Dzikir sebagai media pengharapan terhadap Tuhan
Dzikir akan menimbulkan perasaaan optimis kepada Allah SWT, bahwa Allah
senantiasa membantu individu yang menghadapi musibah yang sedang
menimpa.(haq, 2011) sesuai dengan firman Allah surat Al Insyirah ayat 7 dan
8 yang artinya:
“Maka apabila telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain nya, dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap”.
d.
Dzikir dan doa sebagai media mengadu kepada Allah
Dzikir dan doa memiliki hubungan yang sangat erat. Allah akan memuliakan
umatnya yang berdoa semenjak mereka hidup hingga diakhirat. Memohonlah
hanya kepada Allah disaat hati gundah maupun lapang. Doa yang baik tidak
terlepas dari mengingat, memuji kebesaran serta keagungan-Nya (Haq,2011).
e.
Dzikir media untuk pasrah kepada Allah
Berdzikir membuat seseorang terus ingat kepada Sang Khalik. Mereka akan
senantiasa bahagia dan ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya
(Haq, 2011)
f.
Dzikir secara emosional dapat memunculkan emosi-emosi positif, seperti
perasaan cinta, bahagia, dan nikmat (Subandi, 2009)
g.
Dzikir memberikan ketenangan , ketentraman , menurunkan rasa cemas, stres
serta depresi (Haryanto, 2002)
h.
Dzikir secara fungsional dapat sebagai tempat menetramkan jiwa, obat
penyakit hati serta mampu mendatangkan kebahagiaan bagi individu yang
mengamalkannya ( Syukur, 2006 )
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam dzikir terdapat
esensi psikologi yang meliputi dzikir sebagai media relaksasi untuk berpasrah kepada
tuhan, esensi dzikir sebagai media katarsis untuk pengobat hati, esensi dzikir sebagai
media berpasrah kepada takdir Tuhan, serta dzikir sebagai media untuk mengatasi
perasaaan tertekan pada diri individu .
5.
Konsep dan Operasionalisasi Terapi Dzikir
a.
Adab dalam berdzikir
Menurut Shiddieqy (2014) adab dalam berdzikir dibagi atas 2 yaitu adab
berdzikir secara batin dan adab berdzikir secara zhahir
1) Adab- adab berdzikir batin
Seseorang yang berdzikir batin hendaknya menghadirkan hatinya, dan
memahami makna yang diucapkanya
2) Adab – adab berdzikir dzahir
i.
Seseorang yang berdzikir hendaknya bersikap tertib, jika duduk hendaknya
menghadapk kiblat dengan sikap khusuk, merendahkan diri kepada Allah,
tenang dan menundukan kepala.
ii.
Tempat berdzikir suci, bersih, terlepas dari segala yang meragukannya.
iii.
Sebaiknya sebelum melakukan dzikir terlebih dahulu membersihkan mulut
(berkumur atau gosok gigi).
iv.
Berdzikir dengan suara yang halus dan lembut.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa dalam berdzikir individu harus
mengetahui adab-adabnya yaitu baik adab secara batin maupun adab secara dzahir.
Dengan sempurnanya adab tersebut maka sempurna pulalah dzikir individu tersebut.
b.
Tahapan terapi dzikir.
Menurut Shiddieqy (2014), tahapan dalam terapi dzikir dibagi atas 3 tahap yaitu
1)
Tahap persiapan
Tahapan ini dimulai dengan niat, melaksanakan dengan keiklasan hanya
mengharap ridho Allah, bersuci (wudhu), menghadap kiblat, duduk posisi
yang nyaman , khusuk
2)
Tahap pelaksaanaan
Pada tahapan ini individu diajak untuk merendahkan diri dihadapan Allah
dengan membaca istigfar (memohon ampunan Allah) sebanyak 3 kali .
Dilanjutkan dengan membaca surat
Alfatihah, dimana surat tersebut
mampu menyembuhkan segala macam penyakit pada diri manusia baik
secara fisik maupun psikis serta mencukupi manusia dalam mengatasi
segala keresahannya, selanjutnya membaca kalimat thaibah ( tasbih,
tahmid,tahlil serta takbir) yang memiliki makna pujian atas kebesaran
Allah,
setelah selesai membaca kalimat thaibah, dilanjutkan dengan
membaca kalimat hauqalah yang memiliki makna meyerahkan diri bahwa
manusia tidak memiliki kemampuan untuk menolak qada dan qadarnya
kecuali atas kehendak-Nya. Diakhiri dengan membaca surat Al-Baqarah
ayat 201 yang memiliki makna yang sangat dalam diantaranya meminta
kebaikan dunia dan akhir dari Allah SWT.
3)
Tahap penyelesaian
Menarik nafas dengan berlahan dan berulang, berdiam diri sebentar setelah
selesai dzikir, dilanjutkan dengan menahan minum pasca berdzikir sebentar
dikarenakan
akan
timbul
kehangatan
didalam
diri
pasca
dzikir,
dikhawatirkan saat minum kehangatan itu akan hilang.
Dari penjelasan di atas terapi dzikir terdiri atas 3 tahap yaitu tahap persiapan
dimulai dengan niat, berwudhu dan membersihkan mulut, menghadap kiblat;
dilanjutkan dengan tahap pelaksaanaan, membaca istigfar, surat alfatihah , kalimat
tyaibah, kalimat hauqalah, serta membaca doa kebaikan dunia dan akhirat; dan diakhiri
dengan tahap penyelesaian .
c. Bentuk dzikir yang digunakan pada terapi dzikir
Menurut Hawari (2003) dalam Surat al-Ra’d ayat 28, yang artinya :
“Mengingat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram”.
Dzikir sebagai metode mencapai ketenangan hati dilakukan dengan tata-cara
tertentu. Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat
thayyibah secara keras (dzikir jahr) maupun dengan suara yang lembur( dzikir shir).
Pada penelitian ini dzikir yang digunakan menggunakan dzikir bentuk shir( suara
halus ) wal Lisan sesuai dengan firman Allah surat Al – A’raf ayat 55 yang artinya
“Serullah tuhanmu dengan tadharu dan khufyah , bahwasanya Allah tidak
menyukai orang yang melampaui batas” .
Lafat – lafat yang diucapkan dalam terapi dzikir menggunakan dzikir shir
dengan bentuk lisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1)
Tasbih (subhanallah)
Tasbih yang bermakna Maha Suci Allah. Dalil khash yang menunjukkan
manusia wajib bertasbih , mengakui kesucian Allah adalah dalam firmannya dalam
surat Al Ahzab ayat 42 yang bebunyi
“Wa sabbihuuhu bukrotaw wa ashilla” artinya dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan petang.
2)
Tahmid (alhamdulillah)
Tahmid (alhamdulillah) yang bermakna segala puji bagi Allah. Tahmid adalah
menyatakan pujian dan kesyukuran kita kepada Allah tuhan semesta alam. Sesuai
dengan firman Allah surat An-Naml ayat 59 yang artinya
“ Katakanlah (Muhammad), segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas
hamba –hambanya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik , ataukah
apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”
3) Tahlil (la illaha illallah)
Tahlil yang bermakna tiada Tuhan selain Allah. Dalil yang menegaskan
kewajiban bertahlil adalah sabda Rasulullah yang memiliki arti
“Senantiasalah kamu memperbaharui imanmu dengan mengucapkan La illaha
illalah”.
Dengan bertahlil, manusia mengakui bahwa Allah, suci dari segala kekurangan,
mengakui keesaan-Nya
4)Takbir (Allahu akbar)
Takbir yang berarti Allah Maha Besar. Mengakui kebesaran Allah , Tuhan yang
menciptakan segala yang ada di langit dan dibumi, dalil tentang kewajiban bertakbir
tertuang didalam surat Al isra ayat 111 yang artinya”
“Segala puji bagi Allah yang tidak memiliki anak dan tidak mempunyai sekutu
dalam pemerintahan-Nya, tiada mempunyai penolong yang membantu-Nya
untuk menolak suatu kehinaan, dan bertakbirlah Dia dengan sebenarbenarnya.
5)Hauqalah (la haula wala quwwata illa billah)
Hauqallah yang bermakna tiada daya upaya dan kekuatan kecuali Allah.
Hauqallah adalah mengakui bahwa tidak ada yang dapat memalingkan hamba dari
maksiat selain Allah dan tidak ada kekuatan bagi hamba untuk melaksanakan taat
melainkan dengan taufiqnya. Kalimat ini juga bermakna manusia menyerahkan diri atas
segala yang terjadi kepada Allah .
6). Istighfar :
Astaghfirullahal adzim yang bermakna saya memohon ampun kepada Allah yang
maha agung. adalah tindakan memohon ampun kepada Allah yang dilakukan oleh
hamba yang beriman . Tindakan ini secara harfiah dilakukan dengan mengulang –
ulang perkataan dengan lafat ‫ أَ ْﺳﺘَ ْﻐﻔِ ُﺮ ﷲَ اﻟﱠﺬِي‬yang artinya aku memohon ampun kepada
Allah yang maha Agung.
Istigfar merupakan cermin akan kesadaran individu yang bertakwa tentang betapa
banyak kesalahannya dan meminta ampun kepada Allah dan kembali kepada kebenaran
sesuai dengan firman Allah surat Al imran ayat 135 yaitu
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui”.
7). Membaca surat Al Fatihah.
Surat Al-Fatihah memiliki bermacam keistimewaan selain sebagai ummul qur’an.
Didalam surat Al-Fatihah terkandung doa yang lengkap,
(penyembuhan) (Shihab, 2005).
mantera, serta obat
Alfatihah mampu menyembuhkan segala macam
penyakit pada diri manusia baik secara fisik maupun psikis, serta mencukupi manusia
dalam mengatasi segala keresahan nya (Shihab, 2005). Keistimewaan tersendiri surat
Al-Fatihah dibandingkan surat yang lain yaitu setiap ayat didalam surat Al-Fatihah
yang dibaca akan dijawab langsung oleh Allah sehingga terdapat dialog langsung dari
hamba dan Tuhan (Allah) (Makhdlori, 2008) .
Dalam kondisi kepasrahan yang total maka suratul-Fatihah dapat digunakan
sebagai dzikir dan pembuka dari segala sesuatu yang masih tertutup dan menghilangkan
kesulitan dalam diri individu (shihab, 2005).
Dari penjelasan diatas bentuk terapi dzikir yang diberikan pada penelitian ini
menggunakan bentuk dzikir syir wal lisan dimulai dengan membaca istigfar sebanyak
3x, dilanjutkan dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqallah, suratul fatihah
dan diakhiri dengan doa kebaikan dunia akhirat. Sehingga akan timbul kepasrahan
dalam diri individu pasca melakukan terapi dzikir. Terapi dzikir pada penelitian ini
akan diberikan sebanyak 4 kali terapi dengan harapan efek teraputik akan dapat
dirasakan oleh subyek penelitian. Menurut Nashori (2014) efek teraputik dalam
pemberian dzikir akan di peroleh dengan melakukan
berturut–turut.
4 kali proses terapi secara
C.Pengaruh Terapi Dzikir terhadap Penurunan Tingkat Grief pada Ibu
pasca Perinatal loss
Grief merupakan reaksi terhadap kehilangan seseorang dimana individu
mengalami penderitaan emosional akibat sesuatu atau seseorang yang dicintai atau
memiliki harapan besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013) sementara Grief
pada ibu dengan kasus perinatal loss adalah respon ibu terhadap kondisi yang dialami
sebagai reaksi perinatal loss, yang ditandai dengan keberadaan active grief, difficulty
coping serta despaid. Secara psikis ibu yang mengalami peristiwa perinatal loss akan
terlihat mudah menangis, emosi labil, tidak berdaya, marah, merasa bersalah ; secara
fisik ibu yang mengalami perinatal loss akan mengalami gangguan tidur, hilangnya
selera makan, sakit kepala, tekanan darah meningkat; secara perilaku ibu yang
mengami peristiwa perinatal loss akan menarik diri dari lingkungan sosial dan kurang
mampunya mengambil keputusan saat diminta. Ibu yang mengalami perinatal loss
akhirnya akan menemukan kondisi putusasa saat peristiwa tersebut masih membayangi.
Sintom yang dapat telihat pada grief ibu pasca perinatalloss adalah adanya
perasaan bersalah, kesedihan serta marah. Ibu dengan grief pasca perinatalloss
mengalami emotional blocking, yang berakibat kepada ibu menutup diri dengan
lingkungan sosial dan diakhiri dengan keputusasaan pada diri ibu. Keadaan ini harus
segera ditanggulangi salah satunya dengan pendekatan spirtualitas menggunakan terapi
dzikir.
Terapi dzikir adalah terapi dengan menggunakan dzikir sebagai metode untuk
dapat menstabilkan emosi serta kesehatan jiwa individu (Hawari, 2013). Dzikir
merupakan salah satu amalan dengan mengulang-ulang asma Allah sehingga umat
muslim dapat ditingkatkan kesadaran tentang kehadiran Allah dimana dan kapan saja,
serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk. Dengan demikian dzikir
merupakan semua bentuk ibadah dan perbuatan dalam lafal-lafal dzikir dan mengingat
Allah dalam setiap waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, merasa yakin bahwa
diri manusia selalu berada di bawah kehendak Allah dalam segala hal dan urusannya.
Dalam berdizkir segala lafal (ucapan) digunakan untuk mengingat dan mengenang
Allah SWT (Shiddieqy, 2004).
Selain memperkuat keyakinan terhadap Allah SWT, dzikir memberikan manfaat
secara psikoreligi, melalui aktivitas dzikir superego yang terdapat pada diri manusia
akan berfungsi sebagai alat kontrol bagi perilaku secara baik. Dengan berdzikir
manusia akan sejahtera jiwanya, sehingga sejahtera pula tingkah laku individu dan
sosialnya. Individu akan mampu menerima kenyataan yang ada, dan dapat meletakkan
hakikat kemanusiaannya. Dzikir juga dapat dijadikan alat penyeimbang (equilibrium)
bagi jiwa dan raga manusia. Pada saat proses dzikir terjadi perubahan gelombang otak
yang awalnya di posisi gelombang otak beta akan menuju gelombang otak alfa serta
tetha. Pada saat gelombang otak di posisi alfa kondisi individu akan memasuki kondisi
relaks dan saat gelombang otak dalam kondisi theta maka individu akan memasuki fase
trans, sehingga akan merasakan kedekatan individu dengan Tuhannya (Abdullah,
2013). Didalam ibadah dzikir terdapat unsur spiritual, yaitu pikiran yang dipusatkan
pada sang pencipta yang menimbulkan perasaan berserah diri, sehingga muncul suatu
harapan, ketenangan, yang membentuk kondisi tubuh yang homeostasis dan berefek
pada imunitas didalam diri.
Hal ini dikarenakan dzikir dapat memberikan efek
relaksasi yang mempengaruhi sistem kerja yang pengatur irama kehidupan manusia
yaitu hormon (Sholeh, 2005).
Berangkat dari kenyataan masyarakat modern, khususnya masyarakat Barat yang
dapat digolongkan the post industrial society telah mencapai puncak kejayaan dan
kenikmatan materi justru berbalik dari apa yang diharapkan, yakni mereka dihinggapi
rasa cemas, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, dan
terperangkap sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Akhirnya
mereka tidak mempunyai pegangan hidup yang mapan. Lebih dari itu muncul
dekadensi moral dan perbuatan brutal serta tindakan yang dianggap menyimpang.
Dalam kenyataannya, filsafat rasionalitas tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
manusia dan aspek nilai lainnya. Manusia mengalami kehampaan spiritual, yang
mengakibatkan gangguan kejiwaan.
Kehidupan manusia di alam modern ini manusia dilingkari dengan stres, yang
dapat menimbulkan reaksi jiwa berupa kecemasan, bahkan mencapai depresi. Bentuk
reaksi jiwa ini pertanda bahwa jiwa seseorang mengalami gangguan (labil), dan apabila
berlangsung lama dapat menimbulkan penderitaan batin yang bisa berwujud berbagai
bentuk psikosomatik dan neurosis. Kondisi ini akan berimbas pada redupnya motivasi
hidup dan harapan kehidupan di masa depan. Seseorang yang mengalami kondisi
tersebut alam pikiran maupun perasaan mengalami gangguan, ketidakstabilan,
ketidaktenangan, bahkan goncangan sehingga dapat mengganggu fungsi-fungsi organ
tubuh klien. Mayerson (Hawari, 2011) menyimpulkan bahwa “Biang keladi penderitaan
tersebut terpusat pada kondisi alam pikiran dan perasaan yang labil.” Lebih lanjut
menyatakan bahwa untuk melakukan penyembuhan tidak lain dengan menciptakan
ketenangan, kedamaian, penetralisiran alam pikiran dan perasaannya terlebih dahulu
Islam
sebagai
agama
rahmatan
lil’alamin
menawarkan
suatu
konsep
dikembangkan nilai-nilai ilahiah dalam batin seseorang. Hasil penelitian Peter (Benson,
2000) menunjukkan, 30 wanita lanjut usia yang sembuh dari koreksi bedah pada tulang
punggungnya yang patah, diteliti untuk menemukan hubungan antara keyakinan
religius mereka dengan kesehatan medis dan psikiatrik. Pasien dengan keimanan yang
kuat mampu untuk berjalan lebih jauh secara bermakna dan lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami depresi. Peter (Benson, 2000) mengatakan
Spiritualitas yang konsisten akan memperkecil gangguan psikologis, semakin baik
kesehatannya, semakin normal tekanan darahnya, dan semakin panjang harapan
hidupnya.
Individu yang mengalami tekanan akan berperilaku berbeda dibandingkan dengan
individu yang tidak mengalami tekanan. karena Kondisi individu yang mengalami
tekanan seperti grief dapat dideteksi lewat gejala-gejala baik secara fisik, perilaku
maupun
secara
psikologis.
Gejala
secara
fisik
individu
yang
mengalami
tekanan,goncangan maupun grief, antara lain ditandai oleh: gangguan jantung, tekanan
darah tinggi, ketegangan pada otot, sakit kepala, telapak tangan dan atau kaki terasa
dingin, pernapasan sengal-sengal, kepala terasa pusing, perut terasa mual-mual,
gangguan pada pencernaan, susah tidur, bagi wanita akan mengalami gangguan
menstruasi dan gangguan seksual; gejala secara psikis seperti mudah nangis, murung ,
mudah marah; dan secara perilaku individu yang sedang mengalami grief mengalami
kehilangan konsentrasi. (Waitz, Stromme & Railo, 1983).
Pada umumnya, individu yang mengalami kesedihan akan mengalami kesulitan
dalam memanajemen kehidupannya, berakibat memunculkan kecemasan dan sistem
syaraf menjadi kurang terkendali. Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis,
sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan
memobilisir hormon-hormon lainnya. Individu yang berada dalam kondisi tersebut,
kondisi fisiologisnya akan mendorong pelepasan gula dari hati dan pemecahan lemak
tubuh, dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah (Waitz,dkk1983). Kondisi
tersebut akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak
dialihkan dari sistem pencernaan ke dalam otot-otot, sehingga produksi asam lambung
meningkat dan perut terasa kembung serta mual. Oleh karena itu, stres yang
berkepanjangan akan berdampak pada depresi yang selanjutnya juga berdampak pada
fungsi fisiologis manusia, di antaranya gagal ginjal dan strok.
Grief pada ibu dengan kasus perinatal loss pun jika tidak ditanggulangi dengan
tepat akan mengakibatkan depresi, karena ibu merasa kecewa dengan kondisi yang
dialaminya ditambah lagi dengan kurangnya dukungan secara psikis dari lingkungan
akan memperburuk keadaan. Didalam tahapan grief menurut Thoeter (1988), Ibu
pasca
perinatalloss berada pada kondisi active grief,difficulty coping, despair
diharapkan dengan melakukan pendekatan secara Spiritualitas (terapi dzikir) kondisi
tersebut akan segera teratasi, sehingga ibu akan memasuki tahap healing dan diakhiri
dengan tahap renewal. Saat individu dalam kondisi berdzikir akan terjadi proses
secara fisiologis maupun psikologis, secara fisiologi saat individu berdzikir akan terjadi
pelepasan CO2 dari tubuh, semakin banyak pelafalan dzikir (dzikir Jarh) tersebut, akan
semakin mengintensifkan pernafasan. Ketika terjadinya pelafatan dzikir tersebut, kadar
CO2 dalam otak secara teratur akan menurun jumlahnya. Secara kimiawi, diameter
dinding pembuluh darah cenderung mengecil, pengecilan ini akan menimbulkan
penurunan jumlah aliran darah pada jaringan otak sehingga suplai O2 yang cukup besar
akan merevitalisasi seluruh bagian otak sehingga otak kembali menjadi segar. Terapi
dzikir juga mempengaruhi kondisi kimiawi diotak serta hormon diotak (seratonim
maupun dopamin) akan mengalami perubahan dan berganti dengan hormon endorpin.
(Sholeh, 2005) . Landasan spiritualitas dalam satu kehidupan memiliki peran penting
dalam kemampuan mengatasi kecemasan ibu yang mengalami kasus perinatalloss,
sesuai dengan penelitian Leary (2016) dimana terapi spiritualitas mampu meningkatkan
presepsi diri ibu yang mengalami kehilangan perinatal.
Secara psikologis penyebutan Allah secara berulang (dzikir) sambil mengingat
keberadaan ke-Esaan Allah dapat menyembuhkan jiwa dan menyembuhkan berbagai
penyakit (Subandi, 2009). Saat seorang muslim membiasakan dzikir, ia akan merasa
dirinya dekat dengan Allah, berada dalam penjagaan dan lindungan-Nya, yang
kemudian akan membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tenteram, dan
bahagia (Najati, 2005). Dzikir akan membuat seseorang merasa tenang sehingga
kemudian menekan kerja sistem syaraf simpatis dan mengaktifkan kerja sistem syaraf
parasimpatetis (Sholeh, 2010). Menurut Subandi (2009) bacaan dzikir dapat
menenangkan, membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tentram dan
memberikan perasaan bahagia. Secara medis juga diketahui orang yang terbiasa
berdzikir mengingat Allah secara otomatis otak akan merespon terhadap pengeluaran
endorphine yang mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman (Suryani, 2013).
Berdasarkan penjelasan diatas reaksi grief ibu pasca perinatalloss akan tampak
secara fisik, psikis dan perilaku yang ditandai dengan sintom menangis, marah,
perasaan bersalah sehingga subyek yang mengalami kondisi emotional blocking.
Dengan menggunakan terapi dzikir, subyek yang mengalami grief berada pada kadar
CO2 didalam tubuh meningkat dan kadar O2 menurun yang dirasakan adalah perasaan
tegang. Pada saat berdzikir kadar CO2 akan dilepaskan, dan akan menyuplai produksi
O2 kedalam tubuh melalui otak. Efek yang ditimbulkan dengan meningkatnya suplay
O2 keotak serta merta akan melepaskan kadar CO2 adalah perasaan relex pada diri
individu. Bacaan dzikir dapat menenangkan, membangkitkan percaya diri, kekuatan,
perasaan aman, tentram dan memberikan perasaan bahagia. Secara medis juga
diketahui orang yang terbiasa berdzikir mengingat Allah secara otomatis otak akan
merespon terhadap pengeluaran endorphine yang mampu menimbulkan perasaan
bahagia dan nyaman sehingga respon Grief akan menurun.
D.Landasan Teori
Dzikir merupakan semua bentuk ibadah dan perbuatan baik seperti tasbih, tahmid,
shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri
dari kejahatan. Pelaksanaannya terdiri dari berbagai cara diantaranya adalah (1), dzikir
qauli atau jahr, yakni membaca lafal tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya dengan
suara keras. Tujuannya agar dapat membimbing hati agar selalu ingat kepada-Nya.
Lisan yang biasa berdzikir maka dengan sendirinya menguatkan ingatan
yang
bersangkutan kepada keberadaan Tuhan; (2) ingat Tuhan dalam hati tanpa menyebut
nama-Nya disebut dengan dzikir qalby atau sirr ; (3) dzikru al-ruh yaitu dzikir dalam
arti seluruh jiwa raga tertuju untuk selalu ingat kepada-Nya; (4) dzikir fi’li (aktifitas
sosial) yakni berdzikir dengan melakukan kegiatan praktis, amal shalih, dan
menginfakan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal yang berguna
bagi pembangunan bangsa serta agama.( Sholeh, 2010).
Terapi dzikir adalah salah satu bentuk psikoterapi yang mengandung unsur
spritual, kerohanian, keagamaan, yang dapat membangkitkan harapan, kepercayaan
dalam diri hingga terciptanya kestabilan jiwa (Hawari, 2013) Dengan berdzikir,
manusia akan menyadari bahwa ada kekuasaan dari segala yang ada di dunia ini, yaitu
Allah SWT. Oleh karena itu, dalam mewujudkan segala yang diinginkan dan
diharapkan, manusia membutuhkan pertolongan-Nya. Dzikir dapat pula berarti berbuat
baik atau beramal saleh guna mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan yang
telah diajarkan oleh Rasullullah saw, misalnya dengan berbakti kepada orang tua,
berlaku jujur, melakukan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Kekuatan dzikir
sangat dahsyat bagi kehidupan. Dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen
keberagamaan seseorang. Dzikir juga merupakan kunci ketenangan jiwa, karena
menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan akan kembali
pada Allah. Tahapan tahapan dalam terapi dzikir dibagi atas 3 tahap yaitu :
a) Tahap persiapan
Tahapan ini dimulai dengan niat, melaksanakan dengan keiklasan hanya
mengharap ridho Allah, bersuci (wudhu), menghadap kiblat, duduk posisi yang
nyaman , khusuk
b) Tahap pelaksaanaan
Pada tahapan ini individu diajak untuk merendahkan diri dihadapan Allah dengan
membaca istigfar (memohon ampunan Allah) sebanyak . Dilanjutkan dengan
membaca surat Alfatihah , dimana surat tersebut mampu menyembuhkan segala
macam penyakit pada diri manusia baik secara fisik maupun psikis serta
mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan nya selanjutnya membaca
kalimat tyaibah ( tasbih, tahmid,tahlil serta takbir) yang memiliki makna pujian
atas kebesaran Allah,
setelah selesai membaca kalimat tyaibah dilanjutkan
dengan membaca kalimat hauqalah yang memiliki makna meyerahkan diri bahwa
manusia tidak memiliki kemampuan untuk menolak qada dan qadarnya kecuali
atas kehendak-Nya. Diakhiri dengan membaca surat albaqarah ayat 201 yang
memiliki makna yang sangat dalam diantaranya meminta kebaikan dunia dan
akhir dari Allah SWT.
c) Tahap penyelesaian
Menarik nafas dengan berlahan dan berulang,
berdiam diri sebentar setelah
selesai dzikir, dilanjutkan dengan menahan minum pasca berdzikir sebentar
dikarenakan akan timbul kehangatan didalam diri pasca dzikir, dikhawatirkan saat
minum kehangatan itu akan hilang
Dzikir memberikan pengaruh yaitu saat seorang muslim membiasakan dzikir, ia
akan merasa dirinya dekat dengan Allah, berada dalam penjagaan dan lindungan-Nya,
yang kemudian akan membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tenteram,
dan bahagia. Secara medis juga diketahui orang yang terbiasa berdzikir mengingat
Allah secara otomatis otak akan merespon terhadap pengeluaran endorphine yang
mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman. Dengan demikian dzikir akan
membuat seseorang merasa tenang sehingga kemudian menekan kerja sistem saraf
simpatik dan mengaktifkan kerja sistem syaraf parasimpatik.
Grief adalah keadaan berduka yang merupakan respon alami seseorang terhadap
perasaan kehilangan yang mendalam. Grief merupakan kesedihan dan penderitaan
emosional (sedih,marah, kecewa dan berbagai emosi negatif lainnya yang tidak
terduga) yang terjadi ketika seseorang yang dicintai pergi. (Leary, 2016) Sementara itu
Grief ibu pasca perinatal loss adalah respon yang muncul baik secara fisik, psikis
maupun perilaku sebagai reaksi terhadap kondisi perinatal loss yang dialami . Ibu
yang mengalami perinatal loss akan terlihat sedih , murung, kurang bisa mengontrol
marah. Ibu dengan kondisi Grief ini juga mengalami kurang nafsu makan, susah tidur ,
serta sakit kepala. Mereka yang mengalami perinatal loss memilih untuk menghindari
kontak dengan sosial karena memiliki perasaan kurang nyaman . Grief pasca perinatal
loss memiliki 3 indikator yaitu active grief, dificulty coping dan berakhir dengan
despair. (sinaga, 2013) .Ibu yang mengalami perinatal loss akan terlihat sedih ,
murung, kurang bisa mengontrol marah. Ibu dengan kondisi stres ini juga mengalami
kurang nafsu makan, susah tidur , serta sakit kepala. Mereka yang mengalami perinatal
loss
memilih untuk menghindari kontak dengan sosial karena memiliki perasaan
kurang nyaman. Aspek
Grief yang dialami ibu pasca perinatallos sejalan dengan
Aspek Grief menurut Thoether (1988) yaitu Active grief, difficulty coping dan despair
dilanjutkan dengan tahap Healing dan diakhiri dengan Renewer, Diharapkan dengan
pelaksanaan terapi dzikir dapat digunakan untuk menurunkan tingkat Grief ibu pasca
perinatal loss . Penjelasan tentang proses terapi dzikir untuk dapat menurunkan tingkat
grief ibu dengan perintal loss dapat dijelaskan dengan gambar dibawah ini
terapi dzikir
Subyek
melahirkan
dengan kondisi
bayi meninggal
/ perinatal loss
Grief
perinatalloss:
tahapan dalam terapi
dzikir
tahap persiapan : berniat
karena Allah, wudhu,
menghadap kiblat, duduk
dengan nyaman dan
dengan kondisi khusuk.
pasca
Kondisi psikis : rasa
tidak berdaya,gelisah,
kebingungan, rasa tidak
percaya, marah, rasa
bersalah,
mengalami
dioragnisasi emosi yang
intens, putus asa.
Kondisi perilaku dan
fisik : menarik diri dari
lingkungan
sosial,
kehilangan
nafsu
makan, insomnia
Gejala Grief menurun :
Fisik: sakit kepala berkurang.
Mulai memiliki selera makan.
Perilaku:
membuka
secara berlahan.
Psikis mulai stabil
Psikis mulai stabil
diri
Tahap pelaksaanaan :
Istgfar, membaca alfatiha,
Terapi
dzikir
membaca
kalimat tyaibah,
membaca kalimat
hauqalah di akhiri
membaca surat albaqarah
ayat 201
Tahap penyelesaain
Menarik nafas dengan
berlahan dan berulang,
berdiam diri sebentar
setelah selesai dzikir,
dilanjutkan
dengan
menahan minum pasca
berdzikir
sebentar
dikarenakan akan timbul
kehangatan didalam diri
pasca dzikir, dikhawatirkan
saat minum kehangatan
itu akan hilang.
Keterangan :
Alur proses
alur proses
Intervensi
Gambar 2.1 Kerangka teoritis terapi dzikir terhadap penurunan tingkat Grief ibu
pasca perinatalloss
E.Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: Terdapat perbedaan Tingkat Grief
ibu pasca perinatalloss sebelum dan setelah terapi dzikir. Tingkat Grief setelah diberi
terapi dzikir lebih rendah dari sebelum terapi dzikir.
Download