BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Grief Ibu Pasca Perinatalloss 1. Pengertian Grief Pasca Perinatalloss Kematian perinatal (perinatal loss) adalah kematian janin dalam rahim pada usia kehamilan > 20 minggu dan berat janin > 500 gram (kamus kebidanan, 2014). Menurut Manuaba (2007) perinatal loss adalah kematian janin sejak berumur di atas 20 minggu dalam uterus, kematian bayi baru lahir serta kematian bayi yang berumur 7 hari di luar kandungan. Menurut American Academy of Family Physician (2007) mengemukakan bahwa perinatal loss merupakan kehamilan yang berakhir secara tiba-tiba ditandai dengan kematian fetus. Kematian perinatal (perinatal loss) dibagi atas 4 macam penyebab secara etiologi yaitu (a) Fetal, penyebabnya 25-40% seperti anomali atau malformasi kongenital mayor, kelainan kromosom, janin yang hiperaktif, serta adanya infeksi akibat virus maupun bakteri; (b) Placental, penyebabnya 25-35% seperti abruption, kerusakan tali pusat, infeksi plasenta serta selaput ketuban, plasenta previa, pendarahan janin ke ibu; (c) Maternal, penyebab 5-10%nya seperti diabetes melitus, hypertensi, ruptus uterus dan adanya trauma pada ibu, epelepsi, anemia berat; (d) Sekitar 10 % kematian janin tetap tidak dapat dijelaskan. Krakovsky (2006) mengemukan bahwa kehamilan tidak berhasil sampai ke persalinan hampir selalu menimbulkan shock. Peristiwa tersebut dapat menimbulkan trauma fisik maupun psikologis. Menurut Khon &Moffit (2002) , perinatal loss dapat membuat individu shock, denail, stres, cemas, grief serta depresi . Ibu dengan kasus perinatal loss akan mengalami fase grief. Grief merupakan istilah yang mengindikasikan reaksi alamiah yang terjadi pada individu akibat kehilangan (baik berupa primary losses/actual losses maupun secondary losses/symbolic losses) yang meliputi reaksi fisik, psikologis (emosi dan kognisi), perilaku, sosial dan spiritual (Harvey dalam Fahransha, 2008). Kondisi objektif individu yang mengalami kehilangan seseorang yang berharga bagi individu tersebut dikenal dengan istilah bereavement sedangkan mourning/grief work adalah respon kehilangan dan duka cita sebagai usaha mengatasinya dan respon untuk belajar hidup dengan apa yang telah terjadi (Nabe & Corr, 2009). Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa grief atau rasa berduka cita merupakan reaksi terhadap kehilangan seseorang dimana individu tersebut mengalami penderitaan emosional akibat sesuatu atau seseorang yang dicintai atau memiliki harapan besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Konsep grief telah seringkali dibahas pada berbagai literatur yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehilangan dalam hidup seseorang, seperti kematian dan pemutusan ikatan emosional yang penting. Menurut Santrock (2007), duka cita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai disaat individu kehilangan orang yang dicintai. Grief, menurut Papalia dkk (2008) ialah kehilangan, karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri kepada kehilangan. Grief menurut Chaplin (2014) adalah suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan disertai rasa menderita, dikutin dengan sedu sedan serta tangisan. Dari pengertian di atas maka Grief pasca perinatal loss adalah respon yang muncul baik secara fisik, psikis maupun perilaku sebagai reaksi terhadap kondisi perinatalloss yang dialami. 2. Tahapan -Tahapan Grief Ada beberapa teori mengenai tahap-tahap grief menurut para ahli: a) Menurut Kubler-Ross (Sari,2015) menetapkan lima tahap Grief yaitu: Penyangkalan (denial) adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan; Kemarahan (anger) dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga,teman atau diri sendiri; Tawar-menawar (bargaining) terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih banyak waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari; Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut; Penerimaan (accepted) terjadi ketika individu memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia menerima kematian/ kondisi yang terjadi. b) Bowlby (Sari, 2015) mendeskripsikan proses Grief akibat suatu kehilangan memiliki empat fase yaitu: Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan; Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang tetap ada; Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari; Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya. c) Menururt John Harvey (Sari, 2015) terdapat 3 tahap grief, yaitu: Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal; Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif; Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan. d) Teori Rodebaugh (Sari, 2015) menjelaskan proses grief sebagai suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu : Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal; Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum; Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan bimbingan spiritual; Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut dilupakan atau diterima. e) Teori Sander (1998) tentang tahap grief terdiri atas 5 tahap yaitu Shock : subyek merasa tidak percaya, kebingungan,gelisah, rasa tidak berdaya, serta mengambil jarak psikologis dari diri sendiri; Awareness of loss : subyek mengalami konfliks emosional, stres yang berkepanjangan, sensitif yang berlebihan, kecemasan akan perpisahan, adanya rasa marah serta rasa bersalah. Tahap ini juga subyek mengalami disorganisasi emosional yang intens; Conservation / Withdrawal : menarik diri , sistem imun melemah, lelah, hibernasi; Healing : pada tahap ini subyek mulai mengambil kendali, mengakhiri peran yang lama, membentuk identitas baru, memaafkan dan melupakan , mencari makna serta menutup lingkaran peristiwa yang terjadi; Renewal pada tahap ini subyek mulai membangun kesadaran diri yang baru , belajar menerima tanggung jawab, belajar untuk hidup tanpa kehadiran orang yang telah tiada, berfokus pada kebutuhan dalam diri dan memperhatikan hal-hal diluar diri. Kesimpulan yang dapat diambil dari tahap–tahap proses grief menurut para ahli dimulai dengan tahap penyangkalan, dan diakhiri dengan tahap penerimaan atau pemulihan, sehingga terbentuklah cara pandang baru tentang kehidupan yang baru. Sementara tahap-tahap grief yang peneliti gunakan untuk penelitian ini merujuk pada tahap-tahap grief dari Sander (1998) karena mewakili kondisi yang dialami oleh orang tua yang kehilangan anak. 3. Aspek- Aspek Grief Turner & Helms (dalam Cahyasari, 2015), menyebutkan bahwa ada beberapa aspek dari grief secara umum, adalah sebagai berikut yaitu: a. Denial Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan tidak percaya dan menyangkal kenyataan bahwa orang yang dicintai telah tiada. Reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah “Tidak mungkin dia sudah meninggal.” b. Realization Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan secara emosional mulai menyadari bahwa orang yang dicintainya memang sudah meninggal. Umumnya reaksi yang muncul adalah “Ya Tuhan, hal ini memang terjadi, dia sudah pergi untuk selamanya.” c. Feeling of abandonment, alarm, and anxiety, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa khawatir dan gelisah. Karena telah ditinggalkan oleh orang yang dicintainya, reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah “Tuhan, bagaimana saya menjalani semua ini sendirian?” d. Despair, crying, physical numbness, mental confusion, indecisiveness pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa putusasa, menangis, mati rasa, bingung dan bimbang akibat kematian orang yang dicintai. e. Restlessness (a product of anxiety), insomnia, loss of appetite, irritability, loss of self control, wondering mind. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan mengalami keresahan (hasil dari kecemasan), insomnia, nafsu makan hilang, cepat marah, kontrol diri menurun, serta pikiran kacau. f. Pining (the physical pain and agony of grieving) and search for some token remembrance of the lost love abject. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa merana, timbulnya sakit fisik danenderitaan atas grief. Selain itu orang yang ditinggalkan akan mencari benda-benda sebagai kenangkenangan yang mengingatkan pada orang yang telah meninggal. Menurut Toedter & Lasker (2001), Grief pasca Perinatalloss berdasarkan Aspek terdiri atas 3 hal yaitu a. Active grief yaitu kondisi kesedihan/rasa dukacita yang mengikuti stres serta ekspresi kondisi tersebut baik secara nampak maupun tak nampak. Contoh dari active grief, sering menangis, mudah murung, merasa tertekan. b. Difficulty coping yaitu kesulitan dalam melakukan coping dari kondisi grief yang dialami individu, serta berpengaruh terhadap hubungan interaksi individu didalam lingkungan sosial. c. Despair adalah kondisi keputusasaan yang dialami individu dalam merespon grief yang dihadapinya. Dapat ditarik kesimpulan grief berdasarkan aspeknya dimulai dari denial of loss dan diakhiri dengan pining , sedangkan pada kasus ibu dengan perinatal loss aspek grief terdiri atas active grief : meliputi emosi labil, sering menangis, merasa tertekan; diffulty coping : meliputi kesulitan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan; dan berakhir dengan keputusasaan (Despair) 4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Grief. Grief adalah reaksi normal akibat kehilangan dan merupakan pengalaman yang sangat personal. Menurut Aiken (1994, dalam Fahransa,2008) faktor - faktor yang mempengaruhi proses terjadinya grief antara lain: Hubungan dengan orang yang meninggal; kepribadian; jenis kelamin orang yang ditinggalkan, serta konteks budaya dimana kematian terjadi. Papalia (2007) mengatakan bahwa grief merupakan sebuah pengalaman yang sangat universal, namun dapat dipengaruhi oleh konteks budaya. Menurut Turner& Helms (1995,dalam Fahransa, 2008) durasi dan insensitas Grief bervariasi tergantung siapa yang meninggal, serta kapan peristiwa tersebut terjadi. Jika kematian dianggap wajar, seperti pada orang lanjut usia yang meninggal dunia intensitas durasi dari grief tidak sebesar kehilangan secara mendadak karena meninggalkan efek psikologis yang sangat dalam. Shapiro (2008) berpendapat bahwa durasi grief bergantung pada banyak faktor seperti : kelekatan (attachment) serta cinta terhadap orang yang meninggal, selain itu adanya kesiapan psikologis atas kehilangan tersebut. Orang dewasa biasanya dapat mengatasi grief dua hingga tiga tahun pasca kematian, terutama kematian pasangan ( Shapiro,2008), akan tetapi dampak kematian anak terhadap orang tua yang ditinggalkan memiliki dampak yang lebih parah. . Masalah emosional yang dialami orang tua akibat kematian anak seringkali muncul hingga 10 tahun setelah peristiwa kematian, dan bereavement yang dialami melibatkan proses grief yang berlangsung seumur hidup (Shapiro,2008) . Pria mengalami grief yang berbeda dengan wanita (Shander,1998). Perbedaan ini disebabkan baik pria maupun wanita telah disosialisasikan dengan peran tertentu. Pria disosialisasikan untuk menjadi tidak emosional , mandiri dan memilikin kontrol diri. Sementara wanita disosialisasikan untuk menjadi pengasuh dan memiliki empati. Wanita diharapkan memiliki kepekaaan terhadap perasaan orang lain, karena secara tradisional wanita diharapkan menjadi istri serta ibu untuk mengurus anak-anak. (Sarwono, 1999) Perbedaan sosialisasi peran ini juga mempengaruhi grief yang dirasakan oleh orang tua ketika mengalami kematian anak. Ayah harus menunjukan kontrol diri yang kuat dan tidak boleh menangis dibandingkan ibu (Shander,1998) Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa usia, jenis kelamin yang ditinggalkan, konteks budaya, kelekatan , kepribadian , wajar/ tidaknya kematian merupakan faktor –faktor yang dapat mempengaruhi grief. 5. Pengukuran tingkat Grief Berbagai pengukuran telah dkembangkan untuk melihat Grief pasca kematian. Berbagai pengukuran tersebut memuat mengenai kondisi yang berbeda sesuai dengan tujuan dari alat ukur itu sendiri. Lebih khusus lagi dalam pengukuran stres pada grief pasca perinatal loss, diantaranya terdapat Perinatal Bereavement Scale (PBS) yang memuat mengenai pikiran dan perasaan, termasuk kesedihan, rasa bersalah, kemarahan, dan keasyikan dengan kerugian (Theut, 1989). Pengukuran pasca kematian perinatal lainnya adalah menurut Toedter, Lasker, & Alhadeff (Sinaga, 2013 ) yang mengembangkan alat ukur grief bagi orang tua yang mengalami kematian anak yang disebut sebagai Perinatal Grief Scale (PGS) dimana dalam pengukuran tersebut mengemukakan tiga aspek dari perinatal grief scale yaitu active grief, difficulty coping, dan despair. Active grief menggambarkan perasaan sedih, merindukan bayi yang telah tiada, menangis untuk bayi yang telah tiada, dan secara umum menggambarkan ekspresi-ekspresi grief yang terlihat. Difficulty coping mengukur perilaku adaptif, dimana individu mengalami kesulitan dalam menghadapi rutinitas sehari-hari maupun orang lain. Despair menggambarkan perasaan tidak berharga, rasa bersalah, kerentanan, dan menunjukkan potensi terjadinya efek yang serius dan berkepanjangan dari kehilangan bayi yang dialami (sinaga, 2013). Pengukuran lain yang digunakan bagi orangtua yang mengalami kematian anak adalah Texas Revised Inventory of Grief-Present Scale (Wilson, 2006). Prinsip dari pengukuran Texas Revised Inventory of Grief-Present Scale adalah mengukur kecenderungan kesedihan patologis yang dimiliki seorang individu. Pengukuran ini memuat pertanyaan fenomena yang berhubungan dengan kesedihan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur (1) kerugian non-penerimaan; (2) kerinduan/kehilangan almarhum; (3) perasaan menjadi marah / marah; dan (4) menangis / kesedihan. Individu akan menganggapinya dalam bentuk pernyataan memilih yaitu Sepenuhnya Salah/completely false, sebagian salah/Mostly False, salah dan benar/True dan False, sebagian benar/Mostly True , dan sepenuhnya benar/Completely True. Penelitian ini menggunakan Perinatal Grief Scale (PGS), dikarenakan kekhususan karakteristik subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu yang mengalami Perinatal loss. 6. Intervensi Penanggulangan Grief Berbagai intervensi dilakukan untuk mengatasi grief akibat kehilangan diantaranya menurut Leary (2016) 1. Support Group Terapy adalah suatu proses terapi pada suatu kelompok yang memiliki permasalahan yang sama untuk mengkondisikan dan memberi penguatan pada kelompok maupun perorangan dalam kelompok sesuai dengan permasalahannya. 2. Social Support adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan individu dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain. 3. Spirituality Therapy adalah pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien. Terapi spiritual lebih cenderung untuk menyentuh satu sisi spiritualitas manusia, dan mengembalikan ke sebuah kesadaran darimana berasal, alasan mengapa manusia diciptakan, tugas - tugas yang harus dilakukan manusia didunia, beberapa hal yang pantas dilakukan didunia, halhal yang tak pantas dilakukan didunia, mengembalikan manusia kekesucin. Spiritualitas berbeda dengan agama . Didalam islam terdapat salah satu bentuk terapi yang terdapat unsur spiritualitas terapi yaitu terapi dzikir. Terapi dzikir akan membawa individu untuk dapat menumbuhkan rasa iklas dalam diri terhadap peristiwa yang dialami . 4. Konseling adalah proses interaksi antara dua orang individu yang dilakukan dalam suasana yang profesional, bertujuan dan berfungsi sebagai alat (wadah) untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien. Dari penjelasan tentang intervensi mengatasi grief diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa intervensi Grief atas kehilangan anak dapat mengunakan pendekatan social support, support group terapy , counseling serta terapi spiritualitas. Dan peneliti menggunakan intervensi terapi spiritualitas yaitu terapi dzikir pada kasus grief ibu pasca perinatalloss. Dengan terapi dzikir diharapkkan akan tumbuh rasa iklas pada diri ibu akan kondisi yang dialami. B. Terapi Dzikir 1. Pengertian Terapi Dzikir Dzikir berasal dari bahasa Arab, adz-dzikr yang berarti mengingat, mengucap atau menyebut, dan berbuat baik. Jika kata dzikir dikaitkan dengan Islam, maka memiliki pengertian : a. Dzikir berarti mengingat dan menyebut asma Allah SWT. Misalnya dengan membaca: tahlil/tauhid, tasbih, istighfar, atau sholawat, dan juga berdoa kepada Allah SWT. Doa membuat manusia menyadari bahwa alam semesta dan seluruh isinya ini milik Allah SWT, oleh karena itu untuk mewujudkan segala keinginan, dan cita-citanya, manusia butuh pertolongan-Nya. b. Dzikir berarti berbuat baik (beramal saleh) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rosulullah SAW. Beberapa di antaranya adalah: berbakti kepada orangtua; berlaku jujur; objektif; dan adil; menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, sekalipun tidak mengenalnya dengan baik; serta mengajak kepada kebaikan, dan melarang terjadinya kemungkaran; c. Dzikir merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Sesuai dengan surat Al – Ahzab ayat 41-42 yang artinya "Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan mengingat (nama- Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang." (QS. 33/Al-Ahzab: 41-42)” Menurut Al Munawir (2002), dzikir dari segi bahasa berasal dari kata “dzakarayadzkurudzikran” yang berarti menyebut, mengingat dan memberi nasihat. Dalam arti umum, dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungan-Nya yang meliputi hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan baik seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari kejahatan. Dalam arti khusus, dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyakbanyaknya dengan memenuhi tata tertib, metode, rukun dan syarat-syaratnya (Syafi’i, 2005). Dalam pernyataan Hawari (2002), maka dzikir adalah mengingat Allah dengan segala sifat-sifatNya, pengertian dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir itu sendiri (dalam arti sempit), melainkan meliputi segala bacaan, shalat, ataupun perilaku kebaikan lainnya sebagaimana yang diperintahkan dalam agama. Menurut Askat (2002), dzikir adalah segala sesuatu atau tindakan dalam rangka mengingat Allah SWT, mengagungkan asma-Nya dengan lafal-lafal tertentu, baik yang dilafalkan dengan lisan atau hanya diucapkan dalam hati saja yang dapat dilakukan di mana saja tidak terbatas pada ruang dan waktu. Djubair (2003) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzikir itu adalah semua ketaatan yang diniatkan karena Allah SWT, hal ini berarti tidak terbatas masalah tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, tapi semua aktifitas manusia yang diniatkan kepada Allah SWT. Nawawi (2005), dalam kitab alAdzkar berpendapat bahwa sesungguhnya keutamaan dzikir tidak terhingga, baik tasbih, tahmid, tahlil, takbir maupun kalimat yang lain, bahkan semua amal dalam rangka taat kepada Allah termasuk aktivitas dzikrullah. Haryanto (Sangkan,2010) menyatakan bahwa, dzikir sebenarnya merupakan salah satu bentuk meditasi transendental, ketika seseorang khusuk, objek pikir atau stimulasi tertuju pada Allah. Menurut Zohar (Sangkan, 2010) Transenden merupakan sesuatu yang membawa individu mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi rasa diri individu saat ini. Dzikir ialah mengingat nikmat-nikmat Tuhan. Lebih jauh, berdzikir meliputi pengertian menyebut lafal-lafal dzikir dan mengingat Allah dalam setiap waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, merasa yakin bahwa diri manusia selalu berada di bawah kehendak Allah dalam segala hal dan urusannya (Shiddieqy, 2014). Menurut Hawari (2003) dalam Surat al-Ra’d ayat 28, yang artinya “Mengingat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram”. Dzikir sebagai metode mencapai ketenangan hati dilakukan dengan tata-cara tertentu. Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah secara keras (dzikir jahr) maupun dengan suara yang lembur( dzikir shir) , dan dengan kalimat-kalimat thayyibah yang memfokus, dari kalimat syahadat La ilaha illa Allah ke lafazh Allah dan sampai ke lafazh hu. Terapi dzikir adalah salah satu bentuk psikoterapi yang mengandung unsur spritual, kerohanian, keagamaan, yang dapat membangkitkan harapan, kepercayaan dalam diri hingga terciptanya kestabilan jiwa (Hawari, 2013). Kondisi spiritualitas dalam suatu kehidupan memiliki peranan penting dalam mengatasi kecemasan menghadapi tantangan hidup. Spiritualitas tidak selalu terikat dengan denominasi agama, tetapi digambarkan sebagai pencarian makna kepercayaan pada kekuatan yang maha besar, atau perasaan yang berhubungan dengan segala hal tentang cinta, kedamaian serta kenyamanan(Leasy,M.2016). Dengan berdzikir, manusia akan menyadari bahwa ada kekuasaan dari segala yang ada di dunia ini, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, dalam mewujudkan segala yang diinginkan dan diharapkan, manusia membutuhkan pertolongan-Nya. Dzikir dapat pula berarti berbuat baik atau beramal saleh guna mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasullullah saw, misalnya dengan berbakti kepada orang tua, berlaku jujur, melakukan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Kekuatan dzikir sangat dahsyat bagi kehidupan. Dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen keberagamaan seseorang. Dzikir juga merupakan kunci ketenangan jiwa, karena menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan akan kembali pada Allah. Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dzikir merupakan suatu bentuk ibadah (sholat, doa, membaca Alqur’an) dan perbuatan baik yang diniatkan hanya kepada Allah, sedangkan terapi dzikir adalah salah satu psikoterapi yang mengandung unsur spiritual yang dapat membangkitkan harapan, kepercayaan dalam diri hingga terciptaanya kestabilan jiwa. 2. Tujuan Pemberian Terapi dzikir Tujuan pemberian terapi dzikir sebagai terapi yang memiliki tujuan pengobatan serta menumbuhkan rasa ikhlas sehingga individu mampu menerima peristiwa yang menyakitkan dan bangkit dari kondisi tersebut. Menurut Nashori (2007), ciri individu yang telah berada pada kondisi ikhlas adalah sebagai bagai berikut a) Kesadaran spiritual, yaitu kesadaran bahwa keadaan yang tidak menyenangkan merupakan ujian dari Allah , dan sesuai dengan firman Allah surat Al ankabut ayat 2 yang artinya “Apakah mereka mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan” kami telah beriman” dan meraka tidak di uji” . b) Kesiapan psikologi yaitu kesiapan untuk menerima stimulus yang tidak menyenangkan. Tahap ini kelanjutan dari tahap kesadaran spiritual setelah menyadari bahwa seseorang yang hebat harus melewati ujian, maka akan tumbuh didalam diri kesiapan untuk menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan. c) Keyakinan akan kesanggupan diri menanggung beban yaitu meyakini bahwa kesulitan yang allah berikan tidak akan melebihi kapasitas yang mampu individu terima. d) Pertaubatan . melakukan permohonan ampun atas segala dosa kepada Allah. Individu menyadari bahwa sebagai manusia , banyak melakukan dosa sehingga adanya ujian sebagai akibat dari perbuatan manusia yang diberikan Allah kepada Hambanya. e) Pencarian hikmah, yaitu keyakinan bahwa ada hikmah dibalik peristiwa yang diberikan Allah sesuai denga firman Allah dalam Al- Qur’ an surat albaqarah ayat 16 yaitu : “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk” f) Berfikir positif tentang masa depan. Ada keyakinan akan adanya perbaikan keadaaan setelah berlangsungnya peristirwa yang tidak menyenangkan. Dapat ditarik kesimpulan tujuan pemberian terapi dzikir pada kasus perinatalloss adalah menumbuhkan kesadaran spiritual, kesiapan psikologi, sehingga mampu mencari hikmah di balik kondisi yang terjadi dan berimbas kepada penurunan tingkat grief pasca perinatal loss. 3. Bentuk –bentuk Dzikir Dzikir merupakan pengalaman ruhani yang dapat dinikmati oleh pelakunya, hal ini yang dimaksud oleh Allah sebagai penentram hati. Ata (2000), membagi dzikir atas tiga bagian: dzikir jali (dzikir jelas, nyata), dzikir khafi (dzikir samar-samar) dan dzikir haqiqi (zikir sebenar-benarnya) a. Dzikir jali Dzikir jali adalah suatu perbuatan mengingat Allah dalam bentuk ucapan lisan yang mengandung pujian, rasa syukur serta doa yang ditujukan kepada Allah, dengan menggunakan suara secara jelas sehingga mampu menggerakan hati untuk menyertai dzikir tersebut. b. Dzikir khafi Dzikir khafi adalah dzikir yang dilakukan secara khusuk oleh ingatan, hati disertai dzikir lisan maupun tidak. individu yang mampu melakukan dzikir ini akan merasa bahwa Allah selalu dekat di hati Individu tersebut selalu merasa kehadiran Allah di segala Aspek kehidupannya. c. Dzikir haqiqi Dzikir haqiqi adalah dzikir yang dilakukan dengan seluruh jiwa raga, lahir dan batin, kapan pun dan dimana pun, dengan menjaga seluruh jiwa raga dari larangan Allah serta mengerjakan apa yang diperintah-Nya. Untuk mencapai tingkat dzikir ini perlu dijalani latihan mulai tingkat dzikir jali dan tingkat dzikir khafi . Dzikir lisan menurut Hawari (2002) adalah dzikir yang dilafalkan secara lisan dengan suara yang jelas. Adapun bacaan –bacaan yang dianjurkan dalam dzikir lisan sebagai berikut a) Membaca tasbih (subhanallah) yang mempunyai arti Maha Suci Allah. b) Membaca tahmid (alhamdulillah) yang bermakna segala puji bagi Allah. c) Membaca tahlil (la illaha illallah) yang bermakna tiada Tuhan selain Allah. d) Membaca takbir (Allahu akbar) yang berarti Allah Maha Besar. e) Membaca Hauqalah (la haula wala quwwata illa billah) yang bermakna tiada daya upaya dan kekuatan kecuali Allah. f) Hasballah: Hasbiallahu wani’mal wakil yang berarti cukuplah Allah dan sebaik-baiknya pelindung. g) Istighfar : Astaghfirullahal adzim yang bermakna saya memohon ampun kepada Allah yang maha agung. h) Membaca lafadz baqiyatussalihah: subhanllah wal hamdulillah wala illaha illallah Allahu akbar yang bermakna maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar. i) Membaca surat Alfatihah. Surat Alfatihah memiliki bermacam keistimewaan selain sebagai ummul qur’an. Didalam surat alfatihan terkandung doa yang lengkap , mantera, serta obat (penyembuhan) ( shihab, 2005). Al-Fatihah mampu menyembuhkan segala macam penyakit pada diri manusia baik secara fisik maupun psikis, serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan nya. (shihab, 2005). Keistimewaan dari surat Al-Fatihah dibandingkan surat yang lain yaitu setiap ayat didalam surat Alfatihah yang dibaca akan dijawab langsung oleh Allah sehingga terdapat dialog langsung dari hamba dan Tuhan (Allah) (Makhdlori, 2008) . Dalam kondisi kepasrahan yang total maka suratul-fatiha dapat digunakan sebagai dzikir dan pembuka dari segala sesuatu yang masih tertutup dan menghilangkan kesulitan dalam diri individu (shihab, 2005) Menurut Syukur (2012), inti dari dzikir adalah perwujudan diri manusia sebagai hamba yang berkewajiban mengabdikan diri hanya kepada Allah. Sudah barang tentu pengabdian manusia ini tidak hanya ditunjukkan dengan ucapan saja melainkan ditunjukkan pula dalam keseluruhan gerak tubuh, sebagaimana kalangan sufi melukiskan dzikir 7 bagian tubuh yaitu: i. Dzikir dua mata dengan menangis sewaktu ingat dan menyebut nama Allah. ii. Dzikir dua telinga dengan mendengarkan ajaran-ajaran Allah penuh perhatian. iii. Dzikir lidah dengan sanjungan dan pujian kepada Allah. iv. Dzikir dua tangan dengan suka memberikan pertolongan kepada orang lain. v. Dzikir badan dengan kesetiaan dan pemenuhan kewajiban. vi. Dzikir hati dengan takut kepada Allah disertai harapan kepada-Nya. vii. Dzikir ruh dengan penyerahan sepenuhnya serta ridla kepada-Nya Bentuk-bentuk dzikir menurut sholeh (2010) adalah sebagai berikut: (1), Dzikir qauli atau jahr, yakni membaca lafal tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya dengan suara jelas. Tujuannya agar dapat membimbing hati agar selalu ingat kepada-Nya. Lisan yang biasa berdzikir maka dengan sendirinya menguatkan ingatan yang bersangkutan kepada keberadaan Tuhan ; (2) ingat Tuhan dalam hati tanpa menyebut nama-Nya disebut dengan dzikir qalby atau sirr ; (3) Dzikru al-ruh yaitu dzikir dalam arti seluruh jiwa raga tertuju untuk selalu ingat kepada-Nya; (4) Dzikir fi’li (aktifitas sosial) yakni berdzikir dengan melakukan kegiatan praktis, amal shalih, dan menginfakan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal yang berguna bagi pembangunan bangsa serta agama. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk dzikir ada berbagai macam secara garis besar dzikir memiliki bentuk secara lisan, hati serta perbuatan . Pada penelitian ini peneliti menggunakan terapi dzikir bentuk dzikir shir (lembut) wa lisan dan menggunakan salah satu surat yang paling masyhur dalam Al-Qur’an yaitu surat alfatihah. Surat alfatihah dipilih dalam bacaan dzikir untuk intervensi karena didalam surat alfatihah banyak terkandung doa yang lengkap, mantera serta obat, surat ini juga sebagai pembuka segala kebaikan atas segala yang ma’ruf, menyembuhkan segala macam penyakit serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahannya. Dalam kondisi kepasrahan yang total maka suratul-fatiha dapat digunakan sebagai dzikir dan pembuka dari segala sesuatu yang masih tertutup. 4. Esensi Dzikir Dzikir, didalamnya banyak terkandung esensi-esensi psikologis yaitu a. Dzikir sebagai media relaksasi Fokus dari relaksasi ini tidak pada pengendoran otot namun pada frase tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme teratur disertai sikap pasrah terhadap objek transendensi yaitu Tuhan. Frase yang digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan atau kata-kata yang memiliki makna menenangkan. Pengucapan lafadz dzikir disertai dengan keyakinan terhadap kasih sayang-Nya,perlindungan-Nya, dan sifat-sifat baikNya akan menimbulkan rasa tenang dan aman (Purwanto, 2006). b. Dzikir sebagai media katarsis Dzikir akan selalu berhubungan dengan doa serta memiliki ikatan yang kuat, terlebih dalam kaitannya sebagai pengobat hati, maka dzikir lebih utama disampaikan dengan doa yang tulus. (haq, 2011) c. Dzikir sebagai media pengharapan terhadap Tuhan Dzikir akan menimbulkan perasaaan optimis kepada Allah SWT, bahwa Allah senantiasa membantu individu yang menghadapi musibah yang sedang menimpa.(haq, 2011) sesuai dengan firman Allah surat Al Insyirah ayat 7 dan 8 yang artinya: “Maka apabila telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain nya, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. d. Dzikir dan doa sebagai media mengadu kepada Allah Dzikir dan doa memiliki hubungan yang sangat erat. Allah akan memuliakan umatnya yang berdoa semenjak mereka hidup hingga diakhirat. Memohonlah hanya kepada Allah disaat hati gundah maupun lapang. Doa yang baik tidak terlepas dari mengingat, memuji kebesaran serta keagungan-Nya (Haq,2011). e. Dzikir media untuk pasrah kepada Allah Berdzikir membuat seseorang terus ingat kepada Sang Khalik. Mereka akan senantiasa bahagia dan ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya (Haq, 2011) f. Dzikir secara emosional dapat memunculkan emosi-emosi positif, seperti perasaan cinta, bahagia, dan nikmat (Subandi, 2009) g. Dzikir memberikan ketenangan , ketentraman , menurunkan rasa cemas, stres serta depresi (Haryanto, 2002) h. Dzikir secara fungsional dapat sebagai tempat menetramkan jiwa, obat penyakit hati serta mampu mendatangkan kebahagiaan bagi individu yang mengamalkannya ( Syukur, 2006 ) Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam dzikir terdapat esensi psikologi yang meliputi dzikir sebagai media relaksasi untuk berpasrah kepada tuhan, esensi dzikir sebagai media katarsis untuk pengobat hati, esensi dzikir sebagai media berpasrah kepada takdir Tuhan, serta dzikir sebagai media untuk mengatasi perasaaan tertekan pada diri individu . 5. Konsep dan Operasionalisasi Terapi Dzikir a. Adab dalam berdzikir Menurut Shiddieqy (2014) adab dalam berdzikir dibagi atas 2 yaitu adab berdzikir secara batin dan adab berdzikir secara zhahir 1) Adab- adab berdzikir batin Seseorang yang berdzikir batin hendaknya menghadirkan hatinya, dan memahami makna yang diucapkanya 2) Adab – adab berdzikir dzahir i. Seseorang yang berdzikir hendaknya bersikap tertib, jika duduk hendaknya menghadapk kiblat dengan sikap khusuk, merendahkan diri kepada Allah, tenang dan menundukan kepala. ii. Tempat berdzikir suci, bersih, terlepas dari segala yang meragukannya. iii. Sebaiknya sebelum melakukan dzikir terlebih dahulu membersihkan mulut (berkumur atau gosok gigi). iv. Berdzikir dengan suara yang halus dan lembut. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa dalam berdzikir individu harus mengetahui adab-adabnya yaitu baik adab secara batin maupun adab secara dzahir. Dengan sempurnanya adab tersebut maka sempurna pulalah dzikir individu tersebut. b. Tahapan terapi dzikir. Menurut Shiddieqy (2014), tahapan dalam terapi dzikir dibagi atas 3 tahap yaitu 1) Tahap persiapan Tahapan ini dimulai dengan niat, melaksanakan dengan keiklasan hanya mengharap ridho Allah, bersuci (wudhu), menghadap kiblat, duduk posisi yang nyaman , khusuk 2) Tahap pelaksaanaan Pada tahapan ini individu diajak untuk merendahkan diri dihadapan Allah dengan membaca istigfar (memohon ampunan Allah) sebanyak 3 kali . Dilanjutkan dengan membaca surat Alfatihah, dimana surat tersebut mampu menyembuhkan segala macam penyakit pada diri manusia baik secara fisik maupun psikis serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahannya, selanjutnya membaca kalimat thaibah ( tasbih, tahmid,tahlil serta takbir) yang memiliki makna pujian atas kebesaran Allah, setelah selesai membaca kalimat thaibah, dilanjutkan dengan membaca kalimat hauqalah yang memiliki makna meyerahkan diri bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk menolak qada dan qadarnya kecuali atas kehendak-Nya. Diakhiri dengan membaca surat Al-Baqarah ayat 201 yang memiliki makna yang sangat dalam diantaranya meminta kebaikan dunia dan akhir dari Allah SWT. 3) Tahap penyelesaian Menarik nafas dengan berlahan dan berulang, berdiam diri sebentar setelah selesai dzikir, dilanjutkan dengan menahan minum pasca berdzikir sebentar dikarenakan akan timbul kehangatan didalam diri pasca dzikir, dikhawatirkan saat minum kehangatan itu akan hilang. Dari penjelasan di atas terapi dzikir terdiri atas 3 tahap yaitu tahap persiapan dimulai dengan niat, berwudhu dan membersihkan mulut, menghadap kiblat; dilanjutkan dengan tahap pelaksaanaan, membaca istigfar, surat alfatihah , kalimat tyaibah, kalimat hauqalah, serta membaca doa kebaikan dunia dan akhirat; dan diakhiri dengan tahap penyelesaian . c. Bentuk dzikir yang digunakan pada terapi dzikir Menurut Hawari (2003) dalam Surat al-Ra’d ayat 28, yang artinya : “Mengingat (dzkir) kepada Allah maka hati menjadi tenteram”. Dzikir sebagai metode mencapai ketenangan hati dilakukan dengan tata-cara tertentu. Dzikir dipahami dan di ajarkan dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah secara keras (dzikir jahr) maupun dengan suara yang lembur( dzikir shir). Pada penelitian ini dzikir yang digunakan menggunakan dzikir bentuk shir( suara halus ) wal Lisan sesuai dengan firman Allah surat Al – A’raf ayat 55 yang artinya “Serullah tuhanmu dengan tadharu dan khufyah , bahwasanya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas” . Lafat – lafat yang diucapkan dalam terapi dzikir menggunakan dzikir shir dengan bentuk lisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Tasbih (subhanallah) Tasbih yang bermakna Maha Suci Allah. Dalil khash yang menunjukkan manusia wajib bertasbih , mengakui kesucian Allah adalah dalam firmannya dalam surat Al Ahzab ayat 42 yang bebunyi “Wa sabbihuuhu bukrotaw wa ashilla” artinya dan bertasbihlah kepadaNya pada waktu pagi dan petang. 2) Tahmid (alhamdulillah) Tahmid (alhamdulillah) yang bermakna segala puji bagi Allah. Tahmid adalah menyatakan pujian dan kesyukuran kita kepada Allah tuhan semesta alam. Sesuai dengan firman Allah surat An-Naml ayat 59 yang artinya “ Katakanlah (Muhammad), segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas hamba –hambanya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik , ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)” 3) Tahlil (la illaha illallah) Tahlil yang bermakna tiada Tuhan selain Allah. Dalil yang menegaskan kewajiban bertahlil adalah sabda Rasulullah yang memiliki arti “Senantiasalah kamu memperbaharui imanmu dengan mengucapkan La illaha illalah”. Dengan bertahlil, manusia mengakui bahwa Allah, suci dari segala kekurangan, mengakui keesaan-Nya 4)Takbir (Allahu akbar) Takbir yang berarti Allah Maha Besar. Mengakui kebesaran Allah , Tuhan yang menciptakan segala yang ada di langit dan dibumi, dalil tentang kewajiban bertakbir tertuang didalam surat Al isra ayat 111 yang artinya” “Segala puji bagi Allah yang tidak memiliki anak dan tidak mempunyai sekutu dalam pemerintahan-Nya, tiada mempunyai penolong yang membantu-Nya untuk menolak suatu kehinaan, dan bertakbirlah Dia dengan sebenarbenarnya. 5)Hauqalah (la haula wala quwwata illa billah) Hauqallah yang bermakna tiada daya upaya dan kekuatan kecuali Allah. Hauqallah adalah mengakui bahwa tidak ada yang dapat memalingkan hamba dari maksiat selain Allah dan tidak ada kekuatan bagi hamba untuk melaksanakan taat melainkan dengan taufiqnya. Kalimat ini juga bermakna manusia menyerahkan diri atas segala yang terjadi kepada Allah . 6). Istighfar : Astaghfirullahal adzim yang bermakna saya memohon ampun kepada Allah yang maha agung. adalah tindakan memohon ampun kepada Allah yang dilakukan oleh hamba yang beriman . Tindakan ini secara harfiah dilakukan dengan mengulang – ulang perkataan dengan lafat أَ ْﺳﺘَ ْﻐﻔِ ُﺮ ﷲَ اﻟﱠﺬِيyang artinya aku memohon ampun kepada Allah yang maha Agung. Istigfar merupakan cermin akan kesadaran individu yang bertakwa tentang betapa banyak kesalahannya dan meminta ampun kepada Allah dan kembali kepada kebenaran sesuai dengan firman Allah surat Al imran ayat 135 yaitu “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. 7). Membaca surat Al Fatihah. Surat Al-Fatihah memiliki bermacam keistimewaan selain sebagai ummul qur’an. Didalam surat Al-Fatihah terkandung doa yang lengkap, (penyembuhan) (Shihab, 2005). mantera, serta obat Alfatihah mampu menyembuhkan segala macam penyakit pada diri manusia baik secara fisik maupun psikis, serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan nya (Shihab, 2005). Keistimewaan tersendiri surat Al-Fatihah dibandingkan surat yang lain yaitu setiap ayat didalam surat Al-Fatihah yang dibaca akan dijawab langsung oleh Allah sehingga terdapat dialog langsung dari hamba dan Tuhan (Allah) (Makhdlori, 2008) . Dalam kondisi kepasrahan yang total maka suratul-Fatihah dapat digunakan sebagai dzikir dan pembuka dari segala sesuatu yang masih tertutup dan menghilangkan kesulitan dalam diri individu (shihab, 2005). Dari penjelasan diatas bentuk terapi dzikir yang diberikan pada penelitian ini menggunakan bentuk dzikir syir wal lisan dimulai dengan membaca istigfar sebanyak 3x, dilanjutkan dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqallah, suratul fatihah dan diakhiri dengan doa kebaikan dunia akhirat. Sehingga akan timbul kepasrahan dalam diri individu pasca melakukan terapi dzikir. Terapi dzikir pada penelitian ini akan diberikan sebanyak 4 kali terapi dengan harapan efek teraputik akan dapat dirasakan oleh subyek penelitian. Menurut Nashori (2014) efek teraputik dalam pemberian dzikir akan di peroleh dengan melakukan berturut–turut. 4 kali proses terapi secara C.Pengaruh Terapi Dzikir terhadap Penurunan Tingkat Grief pada Ibu pasca Perinatal loss Grief merupakan reaksi terhadap kehilangan seseorang dimana individu mengalami penderitaan emosional akibat sesuatu atau seseorang yang dicintai atau memiliki harapan besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013) sementara Grief pada ibu dengan kasus perinatal loss adalah respon ibu terhadap kondisi yang dialami sebagai reaksi perinatal loss, yang ditandai dengan keberadaan active grief, difficulty coping serta despaid. Secara psikis ibu yang mengalami peristiwa perinatal loss akan terlihat mudah menangis, emosi labil, tidak berdaya, marah, merasa bersalah ; secara fisik ibu yang mengalami perinatal loss akan mengalami gangguan tidur, hilangnya selera makan, sakit kepala, tekanan darah meningkat; secara perilaku ibu yang mengami peristiwa perinatal loss akan menarik diri dari lingkungan sosial dan kurang mampunya mengambil keputusan saat diminta. Ibu yang mengalami perinatal loss akhirnya akan menemukan kondisi putusasa saat peristiwa tersebut masih membayangi. Sintom yang dapat telihat pada grief ibu pasca perinatalloss adalah adanya perasaan bersalah, kesedihan serta marah. Ibu dengan grief pasca perinatalloss mengalami emotional blocking, yang berakibat kepada ibu menutup diri dengan lingkungan sosial dan diakhiri dengan keputusasaan pada diri ibu. Keadaan ini harus segera ditanggulangi salah satunya dengan pendekatan spirtualitas menggunakan terapi dzikir. Terapi dzikir adalah terapi dengan menggunakan dzikir sebagai metode untuk dapat menstabilkan emosi serta kesehatan jiwa individu (Hawari, 2013). Dzikir merupakan salah satu amalan dengan mengulang-ulang asma Allah sehingga umat muslim dapat ditingkatkan kesadaran tentang kehadiran Allah dimana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk. Dengan demikian dzikir merupakan semua bentuk ibadah dan perbuatan dalam lafal-lafal dzikir dan mengingat Allah dalam setiap waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, merasa yakin bahwa diri manusia selalu berada di bawah kehendak Allah dalam segala hal dan urusannya. Dalam berdizkir segala lafal (ucapan) digunakan untuk mengingat dan mengenang Allah SWT (Shiddieqy, 2004). Selain memperkuat keyakinan terhadap Allah SWT, dzikir memberikan manfaat secara psikoreligi, melalui aktivitas dzikir superego yang terdapat pada diri manusia akan berfungsi sebagai alat kontrol bagi perilaku secara baik. Dengan berdzikir manusia akan sejahtera jiwanya, sehingga sejahtera pula tingkah laku individu dan sosialnya. Individu akan mampu menerima kenyataan yang ada, dan dapat meletakkan hakikat kemanusiaannya. Dzikir juga dapat dijadikan alat penyeimbang (equilibrium) bagi jiwa dan raga manusia. Pada saat proses dzikir terjadi perubahan gelombang otak yang awalnya di posisi gelombang otak beta akan menuju gelombang otak alfa serta tetha. Pada saat gelombang otak di posisi alfa kondisi individu akan memasuki kondisi relaks dan saat gelombang otak dalam kondisi theta maka individu akan memasuki fase trans, sehingga akan merasakan kedekatan individu dengan Tuhannya (Abdullah, 2013). Didalam ibadah dzikir terdapat unsur spiritual, yaitu pikiran yang dipusatkan pada sang pencipta yang menimbulkan perasaan berserah diri, sehingga muncul suatu harapan, ketenangan, yang membentuk kondisi tubuh yang homeostasis dan berefek pada imunitas didalam diri. Hal ini dikarenakan dzikir dapat memberikan efek relaksasi yang mempengaruhi sistem kerja yang pengatur irama kehidupan manusia yaitu hormon (Sholeh, 2005). Berangkat dari kenyataan masyarakat modern, khususnya masyarakat Barat yang dapat digolongkan the post industrial society telah mencapai puncak kejayaan dan kenikmatan materi justru berbalik dari apa yang diharapkan, yakni mereka dihinggapi rasa cemas, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, dan terperangkap sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak manusiawi. Akhirnya mereka tidak mempunyai pegangan hidup yang mapan. Lebih dari itu muncul dekadensi moral dan perbuatan brutal serta tindakan yang dianggap menyimpang. Dalam kenyataannya, filsafat rasionalitas tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dan aspek nilai lainnya. Manusia mengalami kehampaan spiritual, yang mengakibatkan gangguan kejiwaan. Kehidupan manusia di alam modern ini manusia dilingkari dengan stres, yang dapat menimbulkan reaksi jiwa berupa kecemasan, bahkan mencapai depresi. Bentuk reaksi jiwa ini pertanda bahwa jiwa seseorang mengalami gangguan (labil), dan apabila berlangsung lama dapat menimbulkan penderitaan batin yang bisa berwujud berbagai bentuk psikosomatik dan neurosis. Kondisi ini akan berimbas pada redupnya motivasi hidup dan harapan kehidupan di masa depan. Seseorang yang mengalami kondisi tersebut alam pikiran maupun perasaan mengalami gangguan, ketidakstabilan, ketidaktenangan, bahkan goncangan sehingga dapat mengganggu fungsi-fungsi organ tubuh klien. Mayerson (Hawari, 2011) menyimpulkan bahwa “Biang keladi penderitaan tersebut terpusat pada kondisi alam pikiran dan perasaan yang labil.” Lebih lanjut menyatakan bahwa untuk melakukan penyembuhan tidak lain dengan menciptakan ketenangan, kedamaian, penetralisiran alam pikiran dan perasaannya terlebih dahulu Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin menawarkan suatu konsep dikembangkan nilai-nilai ilahiah dalam batin seseorang. Hasil penelitian Peter (Benson, 2000) menunjukkan, 30 wanita lanjut usia yang sembuh dari koreksi bedah pada tulang punggungnya yang patah, diteliti untuk menemukan hubungan antara keyakinan religius mereka dengan kesehatan medis dan psikiatrik. Pasien dengan keimanan yang kuat mampu untuk berjalan lebih jauh secara bermakna dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami depresi. Peter (Benson, 2000) mengatakan Spiritualitas yang konsisten akan memperkecil gangguan psikologis, semakin baik kesehatannya, semakin normal tekanan darahnya, dan semakin panjang harapan hidupnya. Individu yang mengalami tekanan akan berperilaku berbeda dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami tekanan. karena Kondisi individu yang mengalami tekanan seperti grief dapat dideteksi lewat gejala-gejala baik secara fisik, perilaku maupun secara psikologis. Gejala secara fisik individu yang mengalami tekanan,goncangan maupun grief, antara lain ditandai oleh: gangguan jantung, tekanan darah tinggi, ketegangan pada otot, sakit kepala, telapak tangan dan atau kaki terasa dingin, pernapasan sengal-sengal, kepala terasa pusing, perut terasa mual-mual, gangguan pada pencernaan, susah tidur, bagi wanita akan mengalami gangguan menstruasi dan gangguan seksual; gejala secara psikis seperti mudah nangis, murung , mudah marah; dan secara perilaku individu yang sedang mengalami grief mengalami kehilangan konsentrasi. (Waitz, Stromme & Railo, 1983). Pada umumnya, individu yang mengalami kesedihan akan mengalami kesulitan dalam memanajemen kehidupannya, berakibat memunculkan kecemasan dan sistem syaraf menjadi kurang terkendali. Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormon-hormon lainnya. Individu yang berada dalam kondisi tersebut, kondisi fisiologisnya akan mendorong pelepasan gula dari hati dan pemecahan lemak tubuh, dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah (Waitz,dkk1983). Kondisi tersebut akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak dialihkan dari sistem pencernaan ke dalam otot-otot, sehingga produksi asam lambung meningkat dan perut terasa kembung serta mual. Oleh karena itu, stres yang berkepanjangan akan berdampak pada depresi yang selanjutnya juga berdampak pada fungsi fisiologis manusia, di antaranya gagal ginjal dan strok. Grief pada ibu dengan kasus perinatal loss pun jika tidak ditanggulangi dengan tepat akan mengakibatkan depresi, karena ibu merasa kecewa dengan kondisi yang dialaminya ditambah lagi dengan kurangnya dukungan secara psikis dari lingkungan akan memperburuk keadaan. Didalam tahapan grief menurut Thoeter (1988), Ibu pasca perinatalloss berada pada kondisi active grief,difficulty coping, despair diharapkan dengan melakukan pendekatan secara Spiritualitas (terapi dzikir) kondisi tersebut akan segera teratasi, sehingga ibu akan memasuki tahap healing dan diakhiri dengan tahap renewal. Saat individu dalam kondisi berdzikir akan terjadi proses secara fisiologis maupun psikologis, secara fisiologi saat individu berdzikir akan terjadi pelepasan CO2 dari tubuh, semakin banyak pelafalan dzikir (dzikir Jarh) tersebut, akan semakin mengintensifkan pernafasan. Ketika terjadinya pelafatan dzikir tersebut, kadar CO2 dalam otak secara teratur akan menurun jumlahnya. Secara kimiawi, diameter dinding pembuluh darah cenderung mengecil, pengecilan ini akan menimbulkan penurunan jumlah aliran darah pada jaringan otak sehingga suplai O2 yang cukup besar akan merevitalisasi seluruh bagian otak sehingga otak kembali menjadi segar. Terapi dzikir juga mempengaruhi kondisi kimiawi diotak serta hormon diotak (seratonim maupun dopamin) akan mengalami perubahan dan berganti dengan hormon endorpin. (Sholeh, 2005) . Landasan spiritualitas dalam satu kehidupan memiliki peran penting dalam kemampuan mengatasi kecemasan ibu yang mengalami kasus perinatalloss, sesuai dengan penelitian Leary (2016) dimana terapi spiritualitas mampu meningkatkan presepsi diri ibu yang mengalami kehilangan perinatal. Secara psikologis penyebutan Allah secara berulang (dzikir) sambil mengingat keberadaan ke-Esaan Allah dapat menyembuhkan jiwa dan menyembuhkan berbagai penyakit (Subandi, 2009). Saat seorang muslim membiasakan dzikir, ia akan merasa dirinya dekat dengan Allah, berada dalam penjagaan dan lindungan-Nya, yang kemudian akan membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tenteram, dan bahagia (Najati, 2005). Dzikir akan membuat seseorang merasa tenang sehingga kemudian menekan kerja sistem syaraf simpatis dan mengaktifkan kerja sistem syaraf parasimpatetis (Sholeh, 2010). Menurut Subandi (2009) bacaan dzikir dapat menenangkan, membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tentram dan memberikan perasaan bahagia. Secara medis juga diketahui orang yang terbiasa berdzikir mengingat Allah secara otomatis otak akan merespon terhadap pengeluaran endorphine yang mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman (Suryani, 2013). Berdasarkan penjelasan diatas reaksi grief ibu pasca perinatalloss akan tampak secara fisik, psikis dan perilaku yang ditandai dengan sintom menangis, marah, perasaan bersalah sehingga subyek yang mengalami kondisi emotional blocking. Dengan menggunakan terapi dzikir, subyek yang mengalami grief berada pada kadar CO2 didalam tubuh meningkat dan kadar O2 menurun yang dirasakan adalah perasaan tegang. Pada saat berdzikir kadar CO2 akan dilepaskan, dan akan menyuplai produksi O2 kedalam tubuh melalui otak. Efek yang ditimbulkan dengan meningkatnya suplay O2 keotak serta merta akan melepaskan kadar CO2 adalah perasaan relex pada diri individu. Bacaan dzikir dapat menenangkan, membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tentram dan memberikan perasaan bahagia. Secara medis juga diketahui orang yang terbiasa berdzikir mengingat Allah secara otomatis otak akan merespon terhadap pengeluaran endorphine yang mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman sehingga respon Grief akan menurun. D.Landasan Teori Dzikir merupakan semua bentuk ibadah dan perbuatan baik seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari kejahatan. Pelaksanaannya terdiri dari berbagai cara diantaranya adalah (1), dzikir qauli atau jahr, yakni membaca lafal tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya dengan suara keras. Tujuannya agar dapat membimbing hati agar selalu ingat kepada-Nya. Lisan yang biasa berdzikir maka dengan sendirinya menguatkan ingatan yang bersangkutan kepada keberadaan Tuhan; (2) ingat Tuhan dalam hati tanpa menyebut nama-Nya disebut dengan dzikir qalby atau sirr ; (3) dzikru al-ruh yaitu dzikir dalam arti seluruh jiwa raga tertuju untuk selalu ingat kepada-Nya; (4) dzikir fi’li (aktifitas sosial) yakni berdzikir dengan melakukan kegiatan praktis, amal shalih, dan menginfakan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal yang berguna bagi pembangunan bangsa serta agama.( Sholeh, 2010). Terapi dzikir adalah salah satu bentuk psikoterapi yang mengandung unsur spritual, kerohanian, keagamaan, yang dapat membangkitkan harapan, kepercayaan dalam diri hingga terciptanya kestabilan jiwa (Hawari, 2013) Dengan berdzikir, manusia akan menyadari bahwa ada kekuasaan dari segala yang ada di dunia ini, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, dalam mewujudkan segala yang diinginkan dan diharapkan, manusia membutuhkan pertolongan-Nya. Dzikir dapat pula berarti berbuat baik atau beramal saleh guna mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasullullah saw, misalnya dengan berbakti kepada orang tua, berlaku jujur, melakukan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Kekuatan dzikir sangat dahsyat bagi kehidupan. Dzikir merupakan salah satu bentuk komitmen keberagamaan seseorang. Dzikir juga merupakan kunci ketenangan jiwa, karena menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan akan kembali pada Allah. Tahapan tahapan dalam terapi dzikir dibagi atas 3 tahap yaitu : a) Tahap persiapan Tahapan ini dimulai dengan niat, melaksanakan dengan keiklasan hanya mengharap ridho Allah, bersuci (wudhu), menghadap kiblat, duduk posisi yang nyaman , khusuk b) Tahap pelaksaanaan Pada tahapan ini individu diajak untuk merendahkan diri dihadapan Allah dengan membaca istigfar (memohon ampunan Allah) sebanyak . Dilanjutkan dengan membaca surat Alfatihah , dimana surat tersebut mampu menyembuhkan segala macam penyakit pada diri manusia baik secara fisik maupun psikis serta mencukupi manusia dalam mengatasi segala keresahan nya selanjutnya membaca kalimat tyaibah ( tasbih, tahmid,tahlil serta takbir) yang memiliki makna pujian atas kebesaran Allah, setelah selesai membaca kalimat tyaibah dilanjutkan dengan membaca kalimat hauqalah yang memiliki makna meyerahkan diri bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk menolak qada dan qadarnya kecuali atas kehendak-Nya. Diakhiri dengan membaca surat albaqarah ayat 201 yang memiliki makna yang sangat dalam diantaranya meminta kebaikan dunia dan akhir dari Allah SWT. c) Tahap penyelesaian Menarik nafas dengan berlahan dan berulang, berdiam diri sebentar setelah selesai dzikir, dilanjutkan dengan menahan minum pasca berdzikir sebentar dikarenakan akan timbul kehangatan didalam diri pasca dzikir, dikhawatirkan saat minum kehangatan itu akan hilang Dzikir memberikan pengaruh yaitu saat seorang muslim membiasakan dzikir, ia akan merasa dirinya dekat dengan Allah, berada dalam penjagaan dan lindungan-Nya, yang kemudian akan membangkitkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman, tenteram, dan bahagia. Secara medis juga diketahui orang yang terbiasa berdzikir mengingat Allah secara otomatis otak akan merespon terhadap pengeluaran endorphine yang mampu menimbulkan perasaan bahagia dan nyaman. Dengan demikian dzikir akan membuat seseorang merasa tenang sehingga kemudian menekan kerja sistem saraf simpatik dan mengaktifkan kerja sistem syaraf parasimpatik. Grief adalah keadaan berduka yang merupakan respon alami seseorang terhadap perasaan kehilangan yang mendalam. Grief merupakan kesedihan dan penderitaan emosional (sedih,marah, kecewa dan berbagai emosi negatif lainnya yang tidak terduga) yang terjadi ketika seseorang yang dicintai pergi. (Leary, 2016) Sementara itu Grief ibu pasca perinatal loss adalah respon yang muncul baik secara fisik, psikis maupun perilaku sebagai reaksi terhadap kondisi perinatal loss yang dialami . Ibu yang mengalami perinatal loss akan terlihat sedih , murung, kurang bisa mengontrol marah. Ibu dengan kondisi Grief ini juga mengalami kurang nafsu makan, susah tidur , serta sakit kepala. Mereka yang mengalami perinatal loss memilih untuk menghindari kontak dengan sosial karena memiliki perasaan kurang nyaman . Grief pasca perinatal loss memiliki 3 indikator yaitu active grief, dificulty coping dan berakhir dengan despair. (sinaga, 2013) .Ibu yang mengalami perinatal loss akan terlihat sedih , murung, kurang bisa mengontrol marah. Ibu dengan kondisi stres ini juga mengalami kurang nafsu makan, susah tidur , serta sakit kepala. Mereka yang mengalami perinatal loss memilih untuk menghindari kontak dengan sosial karena memiliki perasaan kurang nyaman. Aspek Grief yang dialami ibu pasca perinatallos sejalan dengan Aspek Grief menurut Thoether (1988) yaitu Active grief, difficulty coping dan despair dilanjutkan dengan tahap Healing dan diakhiri dengan Renewer, Diharapkan dengan pelaksanaan terapi dzikir dapat digunakan untuk menurunkan tingkat Grief ibu pasca perinatal loss . Penjelasan tentang proses terapi dzikir untuk dapat menurunkan tingkat grief ibu dengan perintal loss dapat dijelaskan dengan gambar dibawah ini terapi dzikir Subyek melahirkan dengan kondisi bayi meninggal / perinatal loss Grief perinatalloss: tahapan dalam terapi dzikir tahap persiapan : berniat karena Allah, wudhu, menghadap kiblat, duduk dengan nyaman dan dengan kondisi khusuk. pasca Kondisi psikis : rasa tidak berdaya,gelisah, kebingungan, rasa tidak percaya, marah, rasa bersalah, mengalami dioragnisasi emosi yang intens, putus asa. Kondisi perilaku dan fisik : menarik diri dari lingkungan sosial, kehilangan nafsu makan, insomnia Gejala Grief menurun : Fisik: sakit kepala berkurang. Mulai memiliki selera makan. Perilaku: membuka secara berlahan. Psikis mulai stabil Psikis mulai stabil diri Tahap pelaksaanaan : Istgfar, membaca alfatiha, Terapi dzikir membaca kalimat tyaibah, membaca kalimat hauqalah di akhiri membaca surat albaqarah ayat 201 Tahap penyelesaain Menarik nafas dengan berlahan dan berulang, berdiam diri sebentar setelah selesai dzikir, dilanjutkan dengan menahan minum pasca berdzikir sebentar dikarenakan akan timbul kehangatan didalam diri pasca dzikir, dikhawatirkan saat minum kehangatan itu akan hilang. Keterangan : Alur proses alur proses Intervensi Gambar 2.1 Kerangka teoritis terapi dzikir terhadap penurunan tingkat Grief ibu pasca perinatalloss E.Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: Terdapat perbedaan Tingkat Grief ibu pasca perinatalloss sebelum dan setelah terapi dzikir. Tingkat Grief setelah diberi terapi dzikir lebih rendah dari sebelum terapi dzikir.