Kajian Wilayah Negara-Negara Maju 1. Anggota Negara Maju. Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan fosfor dan Brunei Darussalam melalui pengambilan minyak bumi) tanpa mengembangkan industri yang beragam, dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'. Pengamat dan teoritis melihat alasan yang berbeda mengapa beberapa negara (dan lainnya tidak) menikmati perkembangan ekonomi yang tinggi. Banyak alasan menyatakan perkembangan ekonomi membutuhkan kombinasi perwakilan pemerintah (atau demokrasi), sebuah model ekonomi pasar bebas, dan sedikitnya atau ketiadaan korupsi. Beberapa memandang negara kaya menjadi kaya karena eksploitasi dari negara miskin di masa lalu, melalui imperialisme dan kolonialisme, atau di masa sekarang, melalui proses globalisasi. Organisasi seperti Bank Dunia, IMF, dan CIA, biasanya setuju bahwa sekelompok negara maju termasuk: Anggota Uni Eropa: Austria Jerman Belanda Belgia Yunani Portugal Denmark Irlandia Spanyol Finlandia Italia Swedia Perancis Luxemburg Britania Raya Negara non-UE: Andorra Norwegia Islandia San Marino Liechtenstein Swiss Monako Vatikan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1 Negara bukan Eropa: Australia Kanada Korea Selatan Hong Kong Israel Jepang Selandia Baru Singapura Taiwan Amerika Serikat Perbedaan antara negara miskin dan negara makmur/kaya adalah bukan karena usia negara itu. Hal ini dapat dilihat seperti negara India & Mesir yang sudah berusia lebih dari 2000 tahun tapi tetap miskin. Namun sebaliknya, Australia & New Zealand, yang 150 tahun lalu masih "inexpressive", sekarang sudah menjadi negara yang maju dan makmur/kaya. Perbedaan antara negara miskin & makmur/kaya bukan juga terletak dari kekayaan sumber sumber alamnya. Contohnya, Jepang memiliki territory yang terbatas, 80% pegunungan yang tidak cocok untuk pertanian & peternakan, tetapi menjadi negara ekonomi kedua terbesar didunia. Negara seperti sebuah pabrik besar yang mengambang, mengimpor bahan baku dari seluruh dunia dan mengekspornya kembali keseluruh dunia. Contoh lainnya adalah Switzerland, yang tidak menanam tanaman Coklat akan tetapi menjadi produsen Coklat terbaik didunia. Di dalam wilayah negaranya yang kecil mereka berternak dan bercocok tanam selama 4 bulan setiap tahunnya. Tidak cukup itu, mereka memproduksi "dairy product" juga yang terbaik mutunya didunia. Switzerland sebuah negara kecil yang mengimpelemntasikan Keamanan, Hukum dan Tenaga Kerja yang membuatnya negara teraman di dunia Para Executive dari negara makmur/kaya yang berkomunikasi dengan partner mereka di negara miskin menunjukkan tidak ada perbedaan "intelektual" yang berarti. Suku bangsa, warna kulit juga tidak penting ; kaum immigran yang di juluki pemalas di negara asalnya justru berperan sebagai kekuatan yang productive di negara-negara kaya Eropa Lalu, apa perbedaannya ?? Perbedaannya adalah dari SIKAP / ATTITUDE manusianya, yang terbentuk bertahun tahun oleh Pendidikan dan Kebudayaannya masing masing. Dari analisa perilaku para penduduk di negara makmur/kaya dan sudah maju, kita bisa temukan umumnya mereka mengikuti beberapa prinsip dalam kehidupan mereka sehari hari al : 1. Etika, sebagai prinsip dasar 2. Integritas PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2 3. Tanggung Jawab 4. Menghargai Hukum & Peraturan 5. Menghargai hak hak penduduk lainnya 6. Suka bekerja keras 7. Berusaha keras untuk Menabung 8. Kemauan yang keras 9. Menepati Waktu Sementara di negara miskin hanya sedikit yang mengikuti prinsip prinsip dasar tersebut dalam kehidupan mereka sehari hari. Kita tidaklah miskin karena kita kekurangan sumber sumber alam atau karena alam sangat kejam kepada kita. Kita miskin karena kita kekurangan SIKAP/ATTITUDE. Kita kekurangan KEINGINAN untuk mengikuti dan menjadikan pelajaran atas prinsip prinsip dasar ini dari masyarakat negara Kaya/Makmur dan Maju. Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional. Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal. Jika faktor-faktor domestik itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisi negara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi memberikan nuansa terhadap perilakunya di dunia internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam konteks ekonomi adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Artikel ini akan mengulas pendekatan terhadap studi politik luar negeri negara-negara berkembang. Namun sebelum sampai pada kajian terhadap kebijakan eksternal negara berkembang dilakukan terlebih dahulu survai singkat terhadap kerangka teoritis studi politik luar negeri. Lima kerangka teoritis Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3 yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan observasi. Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif. Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partaipartai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat – termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri – mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga. Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan. Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif. Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebutsebut “kurang berkembang” atau “tidak berkembang”. Namun demikian studi terhadap negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak. Studi Polugri Negara Berkembang Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany, ada tiga pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4 Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera pribadi dan pilihan individual. Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai “bagian dari hubungan masyarakat”. Tujuannya, memperbaiki citra negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitankesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal. Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas politik. Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya. Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi rangsangan eksternal, mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri. Ketiga, pendekatan reduksionis atau model-builders. Pendapatnya, politik luar negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5 Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri negaranegara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global. Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara berkembang. Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri. Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukungan luar negeri, memanfaatka legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik dan menciptakan simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional. Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan sumbersumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan sumbersumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam bertindak. Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini. Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias “top dog”, negara menengah dan regional serta negara berkembang atau negara “underdog” yang lebih kecil. Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6 Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negaranegara besar. Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik. Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka “kotak hitam”. Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri. Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi nasional. Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya. Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari debat lama “senjata atau roti”. Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat. Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi politik luar negeri, proses pengambilan keputusan dan perilaku politik luar negeri. Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi, PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7 kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat dukungan publik. Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat pelaksanaan sebuah politik luar negeri. Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan presiden biasanya menikmati kebebasan relatif karena tiadanya kebebasan pers atau oposisi yang kuat. Di negara-negara seperti ini hubungan antara kebijakan domestik dan luar negeri lebih langsung daripada negara maju yakni politik luar negeri dikerahkan untuk mencapai tujuan domestik. Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai “sikap umum (sebuah negara) dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan tujuan serta aspirasi eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada.” Ia mendefinsikan tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi. Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional dan sistem global. Llyod S Ethredge seperti dikutip Jensen melihat adanya dua orientasi individual terhadap sistem politik internasional yakni introvert dan ekstrovert. Kemudian ia membuat matriks dengan mengkaitkannya dengan unsur dominasi. Ia melukiskannya sebagai berikut : Dominasi tinggi Introvert Ekstrovert Pemimpin blok Pemimpin (penyatuan) dunia) Mempertahankan Konsiliasi (pembentukan ulang) Dominasi rendah (memelihara) Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8 mungkin mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan bukanlah presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga. Perilaku politik luar negeri yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindak-tanduk politik luar negeri merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri dicirikan dengan dukungan dari PBB. Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia sudah banyak dilakukan baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri dalam dua pendekatan yakni studi makro dan mikro. Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan Michael Leifer. Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie, David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal Sukma. Studi terhadap politik luar negeri juga biasanya membaginya berdasarkan periode Sukarno dan Soeharto. Sebagian besar studi politik luar negeri era Soeharto diterbitkan tahun 1970-an dan awal 1980-an. Studi yang dilakukan Rizal selesai dalam bentuk disertasi tahun 1997. Jadi tergolong baru dibandingkan studi terakhir yang dilaksanakan Leo yang terbit tahun 1996. Dimensi politik luar negeri negara-negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan model untuk studi politik luar negeri negara-negara maju. Lima model yang diajukan Jensen dalam kajian politik luar negeri, tidak mencukupi untuk menguraikan rangkaian yang terkait dengan politik luar negeri yang dilakukan negara sedang berkembang. Unsur-unsur domestik seperti pembangunan ekonomi, politik, struktur sosial serta instabilitas yang terkandung dalam proses perumusan serta aktualisasi politik luar negeri sangat besar pengaruhnya. Bahkan dalam skala tertentu, negara berkembang cenderung memiliki instabilitas tinggi dibandingkan dengan negara maju sehingga polanya tidak ajeg. Disamping itu faktor sistem internasional dimana hegemoni negara besar juga berpengaruh, perilaku politik luar negeri juga mengikuti arus internasional. Ketergantungan ekonomi dan politik negara berkembang terhadap negara besar menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan politik luar negerinya. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9 Pemerintah Indonesia dan Jepang akan menyampaikan kajian evaluasi kemungkinan tercapainya Target Bogor (Bogor Goals) bagi negara-negara maju pada 2010 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura, 14-15 November 2009. "Seperti kita tahu, negara-negara maju APEC sepakat melakukan perdagangan bebas pada 2010 dan untuk negara-negara berkembang pada 2020," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat. Teuku Faizasyah mengatakan bahwa negaranegara APEC memiliki waktu untuk mengaji kesiapan itu sebelum pertemuan APEC selanjutnya di Jepang pada 2010. Bogor Goals merupakan deklarasi yang dihasilkan dalam KTT APEC 1994 lalu di Bogor untuk mewujudkan visi kerjasama ekonomi. Bogor Goals APEC bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan adil dikawasan tahun 2010/2020 untuk ekonomi maju dan ekonomi berkembang, memimpin dalam memperkuat sistem perdagangan multirateral yang terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa. Kemudian, mengintensifkan kerja sama ekonomi di Asia-Pasifik dan mempercepat proses liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi yang lebih jauh, meningkatkan arus barang, jasa, modal secara bebas dan konsisten dengan GATT. Pendekatan Bogor Goals dilakukan dengan menyepakati pedoman kerja sama APEC yang dikenal sebagai "Agenda Aksi Osaka (OAA)" yang memuat tiga pilar kerja sama ekonomi APEC --liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi usaha, dan kerja sama ekonomi dan teknik--, prinsip umum kerja sama, instrumen pokok kerjasama dan bidangbidang kerjasama APEC. Tema KTT APEC 2009 adalah "Sustaining Growth, Connecting the Region". Tema itu merefleksikan adanya proses yang berkelanjutan di APEC untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia-Pasifik pada khususnya, dan merespon tantangan-tantangan dari kondisi perekonomian dunia saat ini pada umumnya. Dalam rangkaian pertemuan APEC tahun ini, para anggota Ekonomi APEC membahas langkah-langkah yang diperlukan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan mengatasi krisis ekonomi dunia, dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral dan usaha-usaha untuk mempercepat integrasi ekonomi kawasan. Lebih lanjut Faiza mengatakan bahwa secara khusus Indonesia dapat menggunakan pertemuan APEC itu untuk menyampaikan kepada pemerintah-pemerintah negara APEC program dan komitmen dari pemerintahan kabinet baru di Indonesia. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10 APEC adalah forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik yang terbentuk pada 1989. Pada awalnya terdapat 12 negara sebagai pendiri yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sejak saat itu telah menjadi wahana utama di kawasan Asia Pasifik dalam meningkatkan keterbukaan dan praktik kerja sama ekonomi sehingga dapat menarik masukan beberapa negara yaitu Republik Rakyat China, Hongkong-Cina dan Chinese-Taipe untuk bergabung pada 1991 yang kemudian disusul masuknya Meksiko dan Papua New Guinea tahun 1993 serta Chili pada 1994. Sedangkan tiga ekonomi anggota terakhir yaitu Federasi Rusia, Peru dan Vietnam bergabung dalam forum APEC tahun 1998 Beranggotakan 21 anggota Ekonomi, APEC merupakan forum kerja sama ekonomi di wilayah Asia-Pasifik yang bersifat sukarela, informal dan tidak mengikat. APEC bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi kawasan dan memperkuat kerja sama ekonomi Asia-Pasifik melalui peningkatan volume perdagangan dan investasi. Indonesia mendukung peran penting APEC dalam meningkatkan kerja sama ekonomi di kawasan dan berperan aktif dalam pengembangan arah kerja sama APEC kedepan. Partisipasi Indonesia di APEC dilandaskan pada pentingnya mengantisipasi dan mengambil keuntungan dan mengamankan kepentingan nasional RI dari era perdagangan dan investasi yang semakin bebas di Asia Pasifik. Manfaat lain dari forum APEC bagi Indonesia adalah sebagai tempat melibatkan komunitas bisnis Indonesia dalam proses pengembangan kebijakan, sarana pengembangan kapasitas melalui pemanfaatan proyek-proyek APEC. Selain itu, APEC merupakan forum bertukar pengalaman, serta forum yang memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka. 2. Ideologi Sebagai Dasar Perekonomian Dunia Komunisme kiri maupun otoritarianisme kanan sama-sama gagal mempertahankan ideologinya. Kelemahan Negara-negara otoritarian kanan terletak pada kegagalan mereka untuk mengontrol masyarakat sipil. Sementara totalitarianisme kiri menghindari persoalan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11 tersebut dengan mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di bawah control mereka, termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir. Karena kelemahan-kelemahan ‘negara kuat’ (kominisme kiri dan otoritarianisme kanan) itulah, maka banyak negara-negara yang menerapkan sistem itu mulai membuka jalan untuk demokrasi. Ini secara politis. Selain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Ini misalnya terlihat dari perkembangan ekonomi yang fenomenal di Asia Timur sejak PD II. Kisah sukses ini tidak saja terjadi pada Negara-negara modern awal semisal Jepang, tetapi juga semua Negara Asia yang bersedia mengadopsi prinsi-prinsip pasar dan mereka sepenuhnya mengintegrasikan dengan sistem ekonomi global-kapitalis. Sejak itu, slogan privatisasi dan perdagangan bebas menggantikan slogan nasionalisasi dan substitusi impor. Di sinilah tampak bahwa krisis yang terjadi pada otoritarianisme dan sosialisme hanya menyisakan satu pesaing tangguhnya, yaitu demokrasi liberal. Liberalisme dan demokrasi sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berbeda meskipun antara keduanya ada keterkaitan yang erat. Liberalisme politik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu individu atau kebebasan dari kontrol pemerintah.Sedangkan demokrasi, sebagai mana dalam definisi Lord Bryce menyebutkan setidaknya tiga elemen mendasar dalam demokrasi, yaitu: hak-hak sipil hak-hak beragam, dan hak-hak politik. Dengan demikian, untuk menilai Negara manakah yang layak disebut demokratis, yaitu ketika Negara memberikan kepada rakyatnya hak untuk memilih pemerintah sendiri melalui pemilihan secara periodik, bebas, dan rahasia, menggunakan sistem multi partai, atas dasar hak pilih orang dewasa yang sederajat. Dalam manifestasi ekonominya, liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak untuk melakukan aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Singkatnya adalah ekonomi pasar bebas, sebagai istilah lain dari kapitalisme yang belakangan istilah ini dikonotasikan secara pejorative. Meskipun keduanya (demokrasi dan liberalisme) terkait erat, namun mungkin saja sebuah Negara itu menjadi liberal tanpa secara parikular menjadi demokratis. Dalam konteks ini, Inggris pada abad ke-18 dapat dijadikan contoh. Di Inggris saat itu, hak-hak warga Negara, termasuk hak suara sepenuhnya dilindungi untuk kepentingan sempit para elit. Begitu pula sebaliknya, mungkin saja Negara menjadi demokratis tanpa harus menjadi liberal. Negara Republik Islam Iran dapat dikategorikan dalam jenis ini. Republik Islam Iran ini benar-benar telah menyelenggarakan pemilihan-pemilihan regular yang benar-benar fair dan membentuk Negara yang demokratis. Namun Negara ini jauh dari kesan liberal karena di PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12 sana tidak ada jaminan terhadap kebebasan berbicara, pertemuan, apalagi kebebasan beragama. Islam, sebagaimana liberalisme dan komunisme, yang juga memiliki ideologi yang sistematik dan koheren. Dan di sebagian besar dunia Islam, Islam benar-benar telah berhasil mengalahkan demokrasi liberal dan memposisikan dirinya sebagai ancaman terhadap praktipraktik liberal bahkan di Negara di mana Islam tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung. Paska berakhirnya perang dingin, Islam tampil sebagai tantangan terhadap Barat, sebuah tesis yang kemudian dikukuhkan oleh Huntington dalam clash of civilization-nya. Meskipun demikian, dunia Islam akan tampak lebih mudah diserang ide-ide liberal dalam jangka panjang ketimbang sebaliknya. Karena tampaknya ide-ide liberal lebih memikat para pengikut Islam sepanjang satu setengah abad yang lalu. Sebagai reaksinya adalah lahirnya apa yang kemudian disebut fundamentalisme. Dari pengalaman rezim-rezim pemerintahan dalam perjalanan sejarah manusia, dari pemerintahan monarki dan aristokrasi, teokrasi religius, hingga pemerintahan diktator fasis dan komunis abad ini, tampaknya demokrasi liberal merupakan satu-satunya rezim pemerintahan yang paling bertahan hingga akhir abad ke-20. 3. Perspektif Perekonomian Dunia Lebih dari sepuluh tahun silam, tepatnya di tahun 1989, masyarakat politik dunia digemparkan dengan hadirnya satu artikel kontroversial bertajuk The End of History? yang dikarang oleh Francis Fukuyama. Artikel ini lantas dikembangkan menjadi satu buku utuh dan komprehensif yang mengelaborasi perkembangan masyarakat dunia dalam kurun waktu kontemporer melalui pendekatan filsafat sejarah, ia pinjam dari Hegel, yang lantas berujung pada satu kesimpulan bahwa tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberal (Fukuyama, 2004). Lebih Lanjut, Fukuyama memaparkan bahwa runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet pada tahun 1989 dan 1990 yang berarti berakhirnya MarxismeLeninisme sebagai ideologi politik tidak menandai apapun kecuali “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”. Kondisi terakhir ini disebut Fukuyama sebagai “pertama kali terjadi dengan kehancuran total alternatif sistematis terhadap demokrasi liberal Barat”. Meski ia bersepakat dengan gagasan Daniel Bell yang menyatakan bahwa dunia akan mengalami deideologisasi, namun ia menolak ramalan Bell akan terjadinya korvergensi ideologis antara PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13 liberalisme dan sosialisme. Bagi Fukuyama, “kemenangan telak liberalisme politik dan ekonomi adalah bentuk final dari pemerintahan umat manusia” (Steger, 2005: 4). Nuansa kemenangan yang sama juga muncul dalam pendahuluan tiga volume penelitian yang termasyhur mengenai demokrasi di negara-negara berkembang oleh Diamond, yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya model pemerintahan dengan legitimasi ideologis yang luas dan cocok di dunia masa sekarang. (Ia adalah) zetgeist global baru (Abrahamsen, 2000:110). Keyakinan Fukuyama merupakan respon yang masuk akal pada penghujung 1980-an di saat hampir semua kekuatan Marxisme-Leninisme menjemput ajal politiknya dan ia mengumandangkan gagasan inti tentang meningkatnya kekuatan pasar bebas. Sebagaimana diungkapkan Fred Dallmayr (Steger, 2005: 6) demokrasi liberal Barat dan liberalisasi ekonomi telah muncul sebagai panacea ideologis yang meyakinkan dan akan menyebar ke segala penjuru dunia. Penguatan teoritik dan supply energi politik di kalangan negara liberal Barat meneguhkan kebijakan mereka untuk mempercepat laju gelombang demokrasi liberal ke negara-negara Selatan ataupun negara-negara yang belum menganut paham demokrasi liberal. Maka, berbagai program pun diluncurkan untuk menyokong perkembangan demokrasi dan pembentukan sistem politik dan tata pemerintahan di dunia ketiga yang sejalan dengan garis liberal dalam corak pembangunannya. Pelacakan Abrahamsen (2000: 56) membuktikan pada tahun 1990 Democracy Initiative dari US Agency for International Development (USAID) diluncurkan untuk membantu mendorong dan mengonsolidasikan demokrasi sebagai prinsip pengelolaan sistem politik yang legitimate di seluruh dunia. Satu tahun sebelumnya, 1989, World Bank mengintrodusir untuk pertama kali istilah “good governance”, sebagai doktrin pembangunan baru dan tata kelola pemerintahan yang segaris dengan demokrasi liberal. Doktrin ini meyakini bahwa demokrasi tidak hanya dikehendaki dari perspektif hak asasi manusia, tetapi juga dibutuhkan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan berkelanjutan. Demokrasi liberal dan “anak ideologisnya”, good governance, lantas menjadi tawaran baru bagi pembangunan negara di berbagai belahan dunia, terutama dunia ketiga. Setelah didorong secara global oleh Amerika Serikat dengan negara Barat pada umumnya, Demokrasi dan good governance lantas menjadi buzzword dalam studi politik dan pembangunan di tahun 1990-an. Di Indonesia, terutama istilah good governance, menjadi salah satu kosakata paling populer di kalangan petinggi negara dan akademisi, sebagai tawaran baru dalam pembenahan pemerintahan yang secara sistemik begitu rusak. Keasyikan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14 melafalkan suatu kosakata baru dengan berbagai “bujuk rayu” yang menggiurkan dari negara-negara Barat akan pembaharuan tata pemerintahan dan progresifitas pembangunan menyebabkan kita, masyarakat dunia ketiga, mengesampingkan daya kritis dalam merespons berbagai tawaran Barat. 4. Perkembangan Perekonomian Dunia Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negaranegara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju. Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu. Globalisasi budaya modernitas Dalam konteks global saat ini, tampaknya persoalan globalisasi modernitas lebih penting daripada globalisasi ekonomi dan politik. Leslei Skalair (1991:51) menyatakan globalisasi ekonomi dan politik adalah fenomena yang ditunjukkan oleh semakin meluasnya cakupan pengaruh penetrasi sistem organisasi korporasi ekonomi dan politik modern seperti terdapat dalam perusahaan multinasional dan transnasional dan pengaruh kelas kapitalis transnasional terhadap sistem ekonomi negara-negara sedang berkembang. Sementara globaliasi budaya modernitas merupakan globalisasi dalam level budaya yang mengacu pada prinsip hidup modern sebagaimana tercermin dalam idiologi kultural konsumerisme. Dalam banyak pembahasan tentang pengaruh globalisasi terhadap perubahanperubahan budaya lokal si negara sedang berkembang dikemukakan bahwa globalisasi PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15 ekonomi dan politik ternyata diakui memiliki kekuatan terbatas dalam mengubah masyarakat lokal disbanding globalisasi budaya modernitas. Scott Lash & John Urry (1994: 160-167) menyatakan globalisasi ekonomi dan politik tidak dapat secara bebas menembus masyarakat lokal karena dibatasi oleh lingkup negara bangsa. salah unsure penting dari pengaruh globalisasi ekonomi dan politik yaitu sistem kapitalisme, misalnya, ternyata tidak begitu saja mudah berkembang dan diterima begitu saja kapitalisme sebagaimana yang berkembang di negara industri maju, tetapi diterima secara berbeda sesuai dengan kepentingan kekuasaan yang ada. Karena misalnya muncul banyak fenomena kapitalimse ala Jepang, kapitalisme ala Asia Tenggara, yang berbeda dengan kapitalisme Jerman atau Amerika Serikat. Menanggapi apa yang dikemukakan Fukuyama tentang globalisasi modernitas ini ia berusaha untuk memberikan keyakinan terhadap masyarakat dunia bahwa kapitalisme merupakan sebuah idiologi terkuat di dunia, melalui penyeragaman idiologi dan tidak mengakui idiologi lainnya. Penulis menanggapi bahwa apa yang diungkapkan Fukuyama terlalu tergesa-gesa, jika dilihat dari konteks glabalisasi maka alur logika fukuyama sangat keliru dalam memahami keragaman idiologi. Dalam konteks posmodernisme seyogyanya kita harus mengakui keragaman yang integrated pluralisme bukan penyeragaman. Hal ini dapat diperkuat dengan pendapat Pauline Marle (1992: 8) menyatakan bahwa teori postmodern pada gilirannya menolak adanya proyek global “ perbedaan”, “keunikan dari bagian-bagian”, daripada kesatuan teori sosial secara keseluruhan. Kenyataan menunjukkan pada kita bahwa pengaruh globalisasi modernitas telah mengaburkan batas-batas negara-bangsa. Dalam lingkungan budaya dewasa ini kita telah memasuki suatu situasi di mana batas-batas negara-bangsa menjadi semakin sulit dikenali. Hal itu disebabkan karena pengaruh globalisasi budaya sulit dikontrol oleh suatu sistem politik negara-bangsa. Mengkaji apa yang disampaikan oleh Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan demikrasi liberal. Dalam hubungan ini Anthony Giddens (1981) dalam pemikirannya tentang nation-state ia memberikan satu kerangka pikir yang mengkaitkan negara dan masyarakat dalam satu kesatuan yang mengandaikan. Pemikirannya tentang nation-state sendiri menempatkan modernitas sebagai titik tolak pemahaman. Bagi Giddens modernitas ditopang oleh empat dimensi yang sifatnya institusional yaitu monopoli sarana-sarana kekerasan, kapitalisme, industrialisme Surveillance atau pengawasan. Modernitas merupakan satu fenomena yang sangat khas Eropa. Secara umum istilah modernitas merujuk pada bentuk masyarakat yang mulai muncul di Eropa Barat dalam abad ke tujuh belas dan delapan belas yang tercermin di Amerika Utara dan sejak itu telah PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16 menyebar atau mengenai bagian-bagian dunia lainnya. Reindhard Bendix, misalnya menyatakan bahwa semua konsepsi mengenai proses modernisasi harus dimulai dari pengalaman Eropa Barat karena dari sanalah asal mula berkembangnya komersialisasi industri dan revolusi. Proses pergulatan ideologi telah mencapai kepada kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal, mengalahkan ideologi sosialisme dan fasisme. Semua negara akan berjalan dengan tuntutan kapitalisme dan demokrasi liberal, sehingga pada akhirnya tercipta sebuah pemerintahan tunggal dunia yang menyatu di bawah pimpinan AS sebagai aktor utama dunia. Anthony Gidden (1990) menyatakan bahwa kapitalisme global telah merombak tatanan kehidupan masyarakat. Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar politik dan ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kekuatan idiologis kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat dunia di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem sosial dan model idiologi ekonomi dunia. Namun demikian, berakhirnya ketegangan idiologis tersebut ternyata tidak lantas menjadikan dunia lebih aman karena hal tersebut hanya mengurangi ketegangan di tingkat global, tidak menyelesaikan konflik-konflik di kawasan yang telah memiliki bibit konflik secara tradisonal. Hal ini terbukti ketika dunia memasuki dekade 1990-an muncul berbagai konflik bersenjata di dunia. Mulai dari konflik tradisional yang kembali muncul ke permukaan ; Burundi, Rwanda sampai dengan konflik baru, seperti konflik bersenjata antaretnis dibekas negara Yugoslavia. Ternyata, perubahan yang lebih cepat telah menciptakan social-political shock, sehingga hal ini membenarkan tesis yang dikemukakan oleh Rosenau bahwa” semakin cepat tingkat perubahan sosial terjadi, semakin memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk kekerasan intra-sosietal. Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa Fukuyama telah memberikan kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa, bila kita mencermati kondisi masyarakat masa kini, kapitalisme telah terindikasi, karena krisis ekonomi masa kini masih tetap terasa mendalam dan mengkhawatirkan serta telah menimbulkan penderitaan-penderitaan yang memilukan bagi umat manusia. Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end of history”. Bertolak sejumlah tanggapan atas tesis Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal dengan logika Fukuyama tentang akhir sejarah. Bagi Fukuyama ini semua sebagai dampak daripada perkembangan dan kemajuan industri di satu PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17 pihak dan sistem politik dipihak lain yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Dari paparan di atas, penulis menyatakan bahwa perkembangan kehidupan manusia, baik di negara-negara Eropa, Amerika Seikat maupun di negara-negara Asia belakangan ini telah beranjak ke arah globalisasi. Apa yang sebenarnya terjadi adalah faktor-faktor kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang hebat maka sekarang batas-batas nasional dari lingkungan kehidupan manusia makin mengabur. Bahkan seperti diargumentasikan oleh Kenichi Ohmae (I. Gde Widja, 2002:18) batas-batas negara-bangsa telah berakhir (Berakhirnya Negara Bangsa, lihat lebih lanjut pada Analisis CSIS, 1996). Sebagai gantinya mulai lebih menonjol munculnya “negara-negara wilayah” yang arahnya sudah jelas menuju ke lingkungan yang makin menglobal dan dunia seperti tampa batas lagi (borderless word). Memang yang dimaksud Ohmae lebih terkait dengan aspek kehidupan ekonomi, namun dalam kenyataannya ternyata berdampak pada hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Karena itu, kini telah muncul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar dan komprehensif. Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”. Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter). Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18 ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya terhadap negara miskin. 5. PERGESERAN PARADIGMA Thomas Kuhn, dalam bukunya yang berjudul ‘The Structure of Scientific. Revolution” yang diterbitkan pada tahun 1970, mengatakan bahwa dunia mengalami pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-trobosan baru dipelbagai bidang kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi jika timbul satu krisis (deadlock) maka akan melahirkan peran baru pula. Dan jika pergeseranpergeseran ini paradigma ini kita hadapkan kepada tatanan hubungan internasional saat ini, maka pergeseran usainya Perang Dingin. Globalisasi interdependensi yang terasa sangat kental diantara masyarakat internasional (dunia). Konstelasi hubungan internasional telah berubah secara drastis (pasca Perang Dingin) dunia diwarnai oleh polarisasi yang telah mendorong kawasan Dunia Berkembang dan Dunia Maju mempertegas kembali keberadaannya. Kecenderungan itu bila dihadapkan dengan masalah tata ekonomi dunia, ternyata masih tetap tidak dijumpai keadilan. Masalah yang menyangkut utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, arus modal, seakan-akan tidak berubah sehingga perkembangan di bidang ini cenderung menunjukkan formatnya yang multipolar. Pusat-pusat kekuatan ekonomi baru. bermunculan sementara beberapa blok-blok ekonomi semakin marak dengan cara mengkonsolidasikan dirinya. Terutama Negara-Negara Dunia Ketiga, yang mungkin terjadi seputar masalah yang berkaitan dengan posisinya dalam hubungan ini yakni terjadinya blokblok kekuatan ekonomi baru dalam bentuk regionalisme baru pula. Persoalan inii terletak dalam pencaharian alternatif ke dalam bentuk kerjasama ekonomi diantara negara-negara anggota dan diantara PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19 mereka dengan negara-negara maju dilihat sebagai suatu langkah dengan formasi "berdiri kolektif". Kerjasama ekonomi diantara mereka bagaimanapun harus dieksploitasi sebagai suatu batu loncatan bagi pengintegrasian mereka ke arah perekonomian global sesuai dengan prioritas dan kepentingan pembangunan masing-masing. Munculnya suatu prioritas baru (peran dunia) dalam bentuk integrasi regional yang dijadikan sebagai dasar pada sebuah paradigma, dimana kepentingan kelompok menjadi yang utama atau dengan perkataan lain, paradigma kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional masing-masing. Paradigma atas kepentingan regional diformulasikan ke dalam kerjasama regional di beberapa kawasan/wilayah dunia saat ini yang akan mengarah kepada sifat pengelompokan diri ke dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global. Konstelasi kepentingan ekonomi ini tampaknya semakin mempertegas paradigam integrasi regional dalam aspek ekonomi-politik global dengan terbentuknya misalnya Masyarakat Ekonomi Eropa. Masyarakat Ekonomi Eropa/Masyarakat Eropa yang melahirkan Pasar Tunggal Eropa, Amerika Serikat via North American Free Trade Agreement (NAFTA). Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). telah melahirkan skenario perekonomian global kedalam Tiga Kelompok Besar. Dan jika skenario ini lebih dipertajam, maka segera muncul format Dua Kelompok Besar: Eropa (European Union) dan Asia Pasifik (APEC) ke dalam tata hubungan perekonomian dunia. Eropa Bersatu - Masyarakat Ekonomi Eropa-Pasar Tunggal EropaKawasan perdagangan Bebas Eropa (EFTA), dijadikan sebagai antisipasi dan strategi Masyarakat Eropa terhadap perkembangan internasional dan regional yang diciptakan sebagai upaya membentuk integrasi ekonomi yang diwujudkan ke dalam bentuk kerjasama ekonomi global di atas tataran wilayah perdagangan bebas dan kuota perdagangan diantara mereka terhadap produk-produk impor dari negaranegara anggotanya. Namun sekali lagi, dengan terbentuknya kelompok-kelompok ekonomi yang berimplikasi internasional ini setidak-tidaknya bertujuan untuk memperkuat integrasi ataupun institusi yang dalam kerangka Uni Eropa atau apapun namanya itu. Kemunculan pengelompokan ini juga tampaknya bersifat "spilover". Artinya, kawasan ekonomi Eropa merupakan pasar terbesar di dunia yang menguasai sekitar 40% perdagangan dunia. Daya serap ini selanjutnya akan meluas ke beberapa-negara Eropa Timur lainnya. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20 6. REGIONALISME EKONOMI Masyarakat Eropa (EC) dengan dibukus oleh lebel proses intergrasinya itu, menepatkan posisi negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik yang diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi kepada kita bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan mekanisme pengelompokan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi masyarkat Eropa untuk meningkatkan ambisi regionalisme di benua Eropa yakni dengan usaha untuk menarik usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusat pertumbuhan dan perkembangan Internasiinal berada di Eropa. Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989, merupakan terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping' EFTA di kawasan Eropa. Ini juga dilihat sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama ekonomi regional dan pada gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama ekonomi internasional. Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan internasional serta tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di dalam tatanan hubungan ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa kehadiran kelompok-kelompok kekuatan ekonomi baik itu dalam tataran regional maupun yang internasional, misalnya APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan konflik yang sudah mengarah kepada perang dagang antara blok-blok dagang terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa). Jika persoalan ini dilihat ke dalam persfektif yang lebih luas, maka dapatlah dikatakan ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di atas tataran GATT (putaran Uruguay) yang terancam menemui jalan buntu yang memang diperlukan suatu manuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bill Clinton dan dengan mana pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang mendapat voting dari Kongres 1992, disubstitusikan diselenggarakannya KTT APEC 1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau mengultimatumkan Eropa (membuat tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan persetujuan atas GATT (liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tarif produk manufakturing) yang sebagian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat. Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara konglomerat dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung di atas, maka dunia ini akan terbagi ke dalam blok-blok ekonomi: European Union, North American' Free Trade PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21 Agreement (NAFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Dengan APEC, otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia Timur EAEC (22,6%) akan menguasai hampir 50% perdagangan global; sedangkan Uni Eropa hanya mampu maksimal mencapai 27% jika hal ini ditambah dengan EFTA (Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia). 7. PERSFEKTIF ANALISIS KONSEPTUAL Berangkat dari uraian di atas, apa yang sebetulnya hendak dikatakan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya kerangka analisis konsep yang menjelaskan perubahan ekonomi-politik dihampiri dengan membangun pendekatan ekonomi politik tadi yang menekankan bahwa pertumbuhan kelompok-kelompok kekuatan ekonomi apakah itu yang berskala regional maupun internasional dikaitkan dengan peneterasi ekonomi sebagai substansi perubahanperubahan atas konflik-konflik politik; dikonstruksikan ke dalarn teori integrasi regionalisme di atas kerangka bangunan dari sejumlah analisis konseptual. Selama antara tahun 1940-an sampai dengan 1950-an, para ilmuan politik dan hubungan internasional cenderung membangun suatu diskripsi untuk rnenggambarkan politik internasional (world politics) ke dalam kondisi dimana masing-masing bagian saling kaitrnengkait satu sama lain di atas tataran yang disebut dengan "negara-negara bangsa" (nationstates) yang berdasarkan kepada suasana konflik. Beberapa diantara mereka (pengamat) aliran pemikiran realist seperti misalnya Hans J.Morgenthau, mengatakan bahwa konflik internasional, lebih menunjukkan kepada sifatnya (karakter) dasar manusia umumnya (human nature) sebagai suatu fakta sosial. Dan disisi lain, yang mengatakan bahwa dalam satu sistem internasional, dilihat sebagai suatu dataran suasana (kondisi) dengan mana telah terjadi apa yang disebut dengan istilah: international anarchy. Kondisi tersebut sering diakibatkan oleh keberadaan kecenderungan yang memperkuat (powerful) dan antagonistik negara-negara yang pada akhirnya akan menciptakan kondisi "dilema keamanan" yang terformulasikan ke dalam pola globalisme politik Internasional dalam mana, ada sintesa kondisionalitas antar kekuatan (power) dengan orientasi keamanan (security oriented) yang dirumuskan sebagai pokok bahasan dalam analisis politik dan hubungan internasional. Mengungkit kembali suasana pahit dalam konteks hubungan konflik antara TimurBarat dan hubungan antar-negara-negara di Eropa Barat 'yang ditandai oleh kondisi kerjasama tidak pernah terjadi sebelumnya. Gerakan pembersatuan kawasan Eropa (1950-an) yang pertama, yakni European Coal and Steel Community (ECSC), ini jelas-jelas telah PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22 menunjukkan perubahan dalam kaitannya dengan strategi perimbangan kekuatan yang bersifat bipolar ke dalam persfektif regionalitasnya. Pentingnya kejadian-kejadian yang timbul di kawasan Eropa ini, menjadi menarik perhatian bagi para analis politik dan hubungan internasional kontemporer yang telah memusatkan perhatian para sarjana untuk berupaya menjelaskan fenomenafenomena dengan berdasarkan pada aspek regionalitasnya. Dimulai pada pertengahan tahun 1950-an yang dipelopori oleh Karl W.Deutsch (1957), Ernst .E.Haas (1958) yang memfokuskan perhatiannya kepada kajian regional integration dijadikan sebagai satu konsep untuk menggambarkan proses. Oleh sebab itu jika kerangka konsep ini dikaitkan dengan apa yang terjadi di kawasan Eropa seperti dengan lahirnya European Union (EU) merupakan suatu gambaran/diskripsi tentang pembentukan suatu aliansi (persekutuan) baru. persekutuan baru senantiasa berkenaan dengan argumentasi tentang studi integrasi regional. Studi integrasi regional ditempatkan ke dalam analisis konsep integrasi regionalisme bagi studi hubungan internasional khususnya, dengan berupaya membangun suatu kerangka teori integrasi regional. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuat sejumlah analisis konseptual yang dengan sengaja memfokuskan perhatian kepada kondisi dan proses yang akan menjadi Denting dalam kerangka determinasi integrasi politik dan ekonomi. Upaya pemahaman ke arah teori integrasi regional sebagaimana telah dikerjakan oleh dua pakar politik dan hubungan tersebut di atas, menjelaskan bahwa fenomena integrasi regionalisme (politik dan ekonomi) kendatipun di dilakukan di Eropa Barat tahun 1950-an lalu, namun relevanlah kiranya hal ini kembali diterapkan dalam makalah ini. Jika kita membuat suatu asumsi yang mengatakan bahwa terbentuknya kelompokkelompok kekuatan ekonomi-perdagangan secara global/regional (EU, NAFTA dan APEC) yang senantiasa cenderung bermuatan aspek ekonomi dan politik. Dan ini pula yang menjadi karakternya. Karakter inilah pula yang dijadikan sebagai pokok kajian teori integrasi pada umumnya. Kemudian selanjutnya kedudukan teori dalam konteks ini adalah untuk memberikan eksplanasi bagi pemahaman kita terhadap pola-pola politik dan ekonomi dalam hubungan antar negara-negara (negara maju), dengan negaranegara berkembang (negara-negara dunia ketiga). Dalam kepustakaan studi politik dan hubungan Internasional dijumpai penegasan pandangan yang berdasarkan pada upaya-upaya menganalisis konsep interdependensi terhadap aspek ekonomi-politik khususnya dalam hubungannya dengan perkembangan kelompok-kelompok perdagangan global/regional dengan menempatkannya ke dalam PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23 kawasan-kawasan tertentu bahwasanya telah terjadi suatu proses penyatuan kelembagaan (institusional) regionalisme institutionalized regionalism unity). Hal ini juga dapat berarti menempatkan kedudukan integrasi ke dalam teori interegrasi dan analisis konseptual terhadap politik Internasional (world politcs). Kontribusi teori integrasi terhadap analisis konseptual politik internasional dengan mencandra aspek ekonomi-politiknya, terutama terlihat di dalam hubunganhubungan kekuatan (power relationships) antara negara-negara maju (industri) dengan negara-negara berkembang (dunia ketiga). Ataupun bisa juga hubungan antara negara-negara maju dengan negara-negara maju itu sendiri ke dalam wacana sistem internasional. Penyatuan berdasarkan kepada sifat kelembagaan regionalisme dalam kepustakaan studi hubungan internasional yang sering terjadi selisih silang pendapat antar penstudi hubungan internasional untuk memberikan penjelasan bagi batasan/rumusan kerangka bangunan teorinya. Namun jika dilihat dari sisi yang lain. membangun teori integrasi regionalisme dianggap penting untuk menempatkannya sebagai gagasan/ide, atau setidak-tidaknya. dapat memberikan rangsangan terhadap studi politik dan hubungan internasional. Hal ini terjadi jika para penstudi hubungan internasional menjadikan konsep integrasi sangat relevan dengan sejumlah argumen bagi mereka untuk dapat dijadikan sebagai instrumen dalam kerangka memahami politik interdependensi di luar konteks regional. Dan sebaliknya, analisis integrasi politik di dalam terminologi interpendensi dapat membantu untuk dapat menempatkan “teori integrasi” didalam ranah kontekstualitas. Artinya, bukan sebagai satu pemisahan dan bersifat kaku (rigid), melainkan ia tetap ditampilkan sebagai suatu. Sifat “notion aplicable" yang hanya berlaku di kawasan Eropa misalnya. Namun ia berlaku di kawasan-kawasan lainnya tetap menjadi masalah yang penting di dalam studi kepustakaan politik dan hubungan internasional. Implikasi dari alur pemikiran seperti ini yakni ditujukan kepada pemakaian antara konsep integrasi dan interdependensi yang pada gilirannya akan melahirkan berbagai rumusan, dimensi dan persepsi terhadap penjelasan teori tersebut. Ketidakseragaman pandangan dan pemikiran para penstudi politik dan hubungan internasional, terutama dalam rangka penggunaan terminologi/konsep integrasi, sehingga membingungkan. Mana yang sebenarnya menjadi patokan atau yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Ada beberapa pengamat merumuskan integrasi sebagai suatu proses, yang lainnya memandang integrasi sebagai "kondisi terminal" atau “condition of being integrated". Namun dalam prakteknya, para sarjana sering mengunakan secara silih berganti (interchangeably). PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24 Demikian juga dalam kamus, Sering dijumpai rumusan integrasi sebagai "a processor condition of forming parts into a whole". Bagi pandangan Ernst B.Haas (1971) bahwa yang diartikan dengan konsep integrasi adalah sebagai "a process for the creation of piolitical communities defined institutional or attitudinal terms". Ada lain yang mengatakan bahwa studi integrasi regional berkaitan dengan kajian: bagaimana dan mengapa negara-negara menyerahkan kedaulatannya kepada para tetangganya sehingga seakan-akan ia kehilangan sebagian kedaulatannya menyatu ke dalam suatu bentuk kerjasama (organisasi). Kerjasama regional yang dibentuk dalam organisasi, di jadikan sebagai perwujudan atas proses dan kondisi lahirnya suatu persekutuan/asosiasi/internasional dalam berbagai landasan pijaknya (regional/internasional) sekalipun, dilihat dari persfektif tingkat tertinggi dari perwujudan proses dan kondisi integrasi. Di samping ada, timbul kecendrungan pandangan bahwa terutama di negaranegara maju, dalam konstelasi hubungan antar negara senantiasa terkait dengan muatan ekonomipolitik. Saling ketergantungan ke dalam bidang ekonomi, muncul sebagai yang determinan dalam hubungan tersebut, sehingga penggunaan dengan kekerasan, terasa semakin akan berkurang. Maka dengan demikian, teori integrasi yang dihadapkan dengan konsep regional, tampaknya semakin relevanlah dengan analisis konseptual politik internasional. Dalam mana, keterkaitan antar dimensi ekonomi dan dimensi politik telah menjadi karakternya. Hal ini telah diwujudkan dengan berdirinya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), dan seiring dengan itu pula, akhirnya telah pula menjadi kajian analisa dan penelitian integrasi. Dengan memusatkan perhatian kita pada konsep integrasi sebagaimana sebagiannya diusahakan diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling ketergantungan (interpedensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitankan dengan kecendrungan dari negara-negara untuk mengelompokan diri kedalam pola regional. Pola regionalisme didasarkan pada pengelompokan pada kekuatan ekonomi (perdagangan) dan pada gilirannya akan terbentuk didalam perlembagaan regionalisme. Kajian ini telah menjadi bagian dari studi politik dan hubungan internasional. Analisis yang dikembangkan oleh studi hubungan internasional terutama dalam kajian integrasi regionalisme yakni dengan semakin maraknya pengelompokan kekuatan berdasarkan aspek ekonomi dan politik menjadikan semakin bertambahnya pula informasi teori-teori dalam kaitannya dengan fenomena itu. Analisis dengan merujuk kepada teori ini memperlihatkan bahwa pembuatan kebijakan (decision making) signifikan dengan "issue area". PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25 Dengan munculnya istilah ini dijadikan sebagai instrumen analisis (analysis tools). Di sini dicoba untuk memperlihatkan beberapa aspek yang terdapat dalam negara-negara sebagai factor yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional tadi. Integrasi yang terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu "issue area" berupa "baja dan besi" yang terdapat dalam negara-negara Benelux (Belgia, Nederland dan Luxembrug). Maka bagi seorang analis yang perlu diperhatikan adalah "progress in policy integration" yang dihadapkan dengan perbedaan atas issue-area" tadi. Misalnya dalam suatu negara bahwa isue areanya mungkin sector pertanian dan yang mungkin sektor industri atau transportasi. Dari dua sektor inilah yang dijadikan sebagai "leading sector" bagi kebijakan politik luar negerinya. Negara yang satu melihat bahwa sektor (X) menjadi kepentingan utama dan bagi Negara yang lain melihat sector (Y) menjadi kepentingan pokok. Maka dengan demikian, analisis tentang isuue area tadi bagi studi regionalisme dalam wacana politik dan hubungan internasional semakin dekat atau dengan kata lain diajukan konsep "linkage of issue" dijadikan konsepsi untuk menjelaskan bagaimana integrasi regional berproses menuju integrasi. 8. Plus Minus Globalisasi Istilah globalisasi selalu berubah-ubah sejak tahun sembilan puluhan. Istilah itu baru diketahui pada periode baru yang dimulai dengan ditandai runtuhnya benteng Berlin pada tahun 1989 M dan jatuhnya Uni Soviet, kemudian berakhir setelah aturan ateis berhasil diruntuhkan oleh sistem kapitalis. Pada kajian ini, kita akan membicarakan tiga bidang penting terkait globalisasi, yaitu ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Mari kita lihat sisi baik dan buruknya tiga bidang tersebut. Pertama, Bidang Ekonomi Dalam bidang ini, tatanan perekonomian dunia dibangun atas dasar sistem kapitalis ribawi. Amerika Serikat (AS) memaksakan sistem kapitalis ini kepada seluruh negara di dunia melalui lembaga internasional, yaitu World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF). Adapun bentuk yang lainnya melalui berbagai lembaga dunia atau dengan melalui kesepakatan dunia yang telah diakui oleh lembaga tersebut dan sebagainya. Dunia internasional, terutama negara-negara maju telah banyak meraup keuntungan materi, tetapi di sisi lain telah terjadi kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dengan negara-negara miskin. Akibatnya, distribusi keuntungan itu tidak terbagi secara merata di berbagai belahan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26 dunia, dan hanya menguntungkan negara-negara maju. Ketidakadilan sistem yang sekarang ini berjalan telah menciptakan suasana tidak kondusif untuk terciptanya perdamaian dunia. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, semakin hari keamanan dunia semakin terancam. Konflik pun terjadi di mana-mana. Pada akhirnya, kondisi yang tidak aman itu harus dibayar mahal oleh negara-negara maju, terutama negara adi daya AS yang sekarang ini menjadi polisi dunia. Bahkan, ongkos yang mahal itu kini lambat laun mulai dirasakan oleh mereka. Dan, mereka pun kini mulai mengalami krisis ekonomi akibat sistem yang sekarang ini berjalan. Para pakar yang pro terhadap sistem kapitalis ribawi kini mulai berpikir ulang tentang ketangguhan sistem yang selama ini dibanggakannya. Mereka semakin resah ketika bankbank di berbagai negara mulai membuka sistem syariah. Akankah sistem yang berlandaskan syariat Islam ini akan menggantikan sistem kapitalis ribawi yang makin lama makin ditinggal oleh para pendukungnya? Kalaupun tidak sekarang, yang jelas proses menuju perubahan itu kini sedang berlangsung. Kedua, Bidang Politik Setelah Unisoviet jatuh, Amerika pun naik ke permukaan. Belum ada negara di dunia saat ini yang bisa menandingi AS dalam hal kekuatan militer. Oleh karena itu, wajar saja jika AS kini berhasil mengendalikan dunia (menjadi polisi dunia). Kesempatan ini dimanfaatkan benar oleh AS. Melalui lembaga perserikatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seluruh negara di dunia diarahkan oleh AS untuk menjadi negara dengan sistem demokrasi. Setiap negara dibuat sibuk untuk mengurusi demokrasi. Dengan cara demikian, mereka dengan mudah dapat dikendalikan oleh satu pusat kekuatan, yaitu AS. Mereka selalu menggembar-gemborkan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika di suatu negara terjadi pelanggaran HAM, mereka kemudian menghukumnya dengan sangki ekonomi atau embargo ekonomi. Namun, yang menarik di sini adalah hal itu tidak berlaku jika pelanggaran HAM itu terjadi pada kaum muslimin di negeri yang mayoritas berpenduduk muslim. Ini berarti AS menerapkan standar ganda dalam penegakkan HAM. Dengan demikian, ini adalah sistem yang tidak adil. Ketiga, Bidang Teknologi Umat manusia telah menemukan berbagai penemuan ilmiah, di antaranya penemuan mesin uap, listrik, dan atom. Adapun penemuan ilmiah yang tergolong mutakhir yang telah mengejutkan dunia adalah komputer. Dengan komputer, ia dapat menjalankan lebih dari dua PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27 milyar pekerjaan yang bermacam-macam dalam satu detik. Hal itu pada masa lalu membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikannya. Adapun penemuan dalam bidang lain, yaitu penemuan teknologi informatika dan perhubungan yang dengannya dapat memberi kesempatan bagi setiap orang, masyarakat, dan negara untuk berhubungan dengan menggunakan berbagai sarana yang tak terhitung lagi jumlahnya. Melalui teknologi ini, hanya dengan beberapa macam kabel, faks, stasiun radio, dan televisi, dalam sehari dapat ditayangkan sebanyak 2000-an acara atau lebih. Apa Sajakah Bahaya Globalisasi? 1. Kemiskinan Globalisasi hanya akan mempekerjakan seperlima masyarakat, sedang empat perlima lainnya tidak lagi dibutuhkan karena sudah adanya teknologi baru yang berhubungan dengan komputer. Sehingga, hanya dengan seperlima tenaga kerja sudah cukup untuk memproduksi semua barang. Dampaknya, empat per lima masyarakat lainnya akan mengalami kemiskinan dan kelaparan. Dan, di antara bahaya globalisasi pula, pelaksanaannya ditujukan pada masyarakat yang sudah baik kehidupannya dan pada masyarakat yang taraf kehidupannya sudah menengah. Yang lebih parah lagi adalah globalisasi menyebabkan berbagai kelompok masyarakat menjadi miskin. Secara angka menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 358 milyader (orang-orang super kaya) yang berada di dunia ini melebihi kekayaan yang dimiliki oleh 2,5 milyar penduduk dunia. Terdapat 20% dari berbagai negara yang penghasilan alamnya mencapai 85% dan 84% dari perdagangan. 85% dari hasil pertambangan dilimiliki oleh para penduduknya. Tingkatan yang terjadi di berbagai negara ini hampir menyamai tingkatan lain yang terjadi di setiap negara. Sehingga, hanya minoritas saja dari penduduk negara-negara tersebut yang taraf ekonominya menengah ke atas. Mayoritas di antara mereka berada pada taraf kemiskinan. Hal itu akan berdampak pada hasil sosial yang berbahaya. Sebagai contoh, Kalifornia. Negara yang jelas-jelas menerapkan sistem kapitalis ini terjadi berbagai kejahatan yang semakin menyebar luas. Negara ini tingkat ekonominya termasuk yang ke tujuh di dunia. Anggaran untuk oprasional penjara di Kalifornia lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan. Di negara ini terdapat 28 juta penduduk Amerika, yakni lebih dari 1/10 dari warga negara Kalifornia. Mereka berlindung di balik benteng dan tempat yang dijaga. Dan tidak asing lagi, dana yang dikeluarkan orang-orang Amerika untuk melindungi dirinya dengan menggaji orang-orang yang bersenjata lebih besar daripada dana yang dikeluarkan negara untuk menggaji polisi. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28 Bila kita perhatikan pada pembahasan ini, tampak terbuka lebarnya pintu perdagangan bebas atau sering disebut pasar bebas yang berdampak pada semakin meningkatnya tindakan kriminal. Para penjual heroin bertambah 20 kali lipat di pasar dunia dibanding sebelumnya, begitu pula para penjual kokain, bertambah 50 kali lipat. 2. Budaya Amerika Budaya Amerika merupakan arus globalisasi yang sangat berbahaya. Budaya Amerika dapat mendorong terjadinya atokrasi beberapa wilayah dengan dunia dan mengatagorikannya sebagai satu poros yang ruang lingkup politiknya telah berakhir sesudah runtuhnya Unisoviet. Budaya Amerika ini akan berdampak sangat besar dalam membentuk, mengadili, ataupun menutup masa depan budaya. Yang paling berbahaya dengan adanya budaya Amrika adalah karena budaya itu berbenturan dengan pokok-pokok agama Islam yang bersandar pada dalil-dalil qath’i (dalil yang pasti). Oleh sebab itu, kita dapati mayoritas pendapat yang diserukan oleh sebagian penulis kontemporer berakibat perdebatan yang sangat tajam yang hanya berlandaskan pada iman yang nisbi. Dasar-dasar agama mencakup dalil-dalil yang qath’i secara penetapannya ataupun secara pengambilan dalilnya dalam berbagai bidang. Baik dalam bidang akidah, hudud, warisan, ataupun keluarga. Berdasarkan hal itu, sesungguhnya berbagai peperangan yang terjadi akhir-akhir ini adalah bentuk penjelmaan terhadap peperangan antara arus globalisasi dengan dasar-dasar agama Islam kita. Di antara peperangan yang paling nyata adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Nashr Hamid Abu Zaid mengenai nash-nash yang qath’iyatuts tsubut dan qath’iyatud dalalah yang mencakup berbagai perkara akidah, seperti Kursi, ‘arsy, mizan, shirath, malaikat, jin, syaitan, sihir, dan sebagainya. Semua itu oleh beliau dikatagorikan sebagai lafal-lafal yang berkaitan dengan kondisi kebudayaan tertentu. Sehingga, kita harus memahaminya sesuai dengan kondisi kebudayaan tersebut. Adapun keberadaannya dikatagorikan sebagai hal yang bersifat dzhanni (tidak dapat dilihat mata), tidak harus aini (dapat dilihat mata) sehingga ia memilik landasan sejarah. Dalam penjelasan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid tersebut menerangkan bahwa nash-nash yang bersifat religi adalah sama dengan nash-nash secara bahasa yang dinisbatkan kepada kebudayaan tertentu. Lalu, ia menjadikannya sebagai aturan kebudayaan tersebut dan bahasa dianggap sebagai sumber dalam mengambil dalil. Ia hanya berlandaskan pada pengamatan seorang ahli bahasa. Kemudian, Dr. Abu Zaid mengakhiri dengan penjelasan akan pentingnya mengubah nash-nash yang bersifat diniyah kepada metodologi bahasa sebagaimana telah ia PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29 jelaskan sebelumnya. Lembaran ini tidak cukup untuk membantah secara terperinci semua yang dikatakan oleh Dr. Nashr Abu Zaid. Tapi, mungkin yang perlu dipertanyakan, kenapa Dr. Nashr Abu Zaid mengatagorikan lafal kursi, ‘arsy, malaikat, jin, syaitan, hasad, dan sihir sebagai lafal yang memiliki landasan sejarah? Apakah karena tidak mempunyai ilmu akan adanya hal-hal nyata pada lafal-lafal tersebut sehingga kita mengecualikannya dan mengatagorikannya sebagai lafal-lafal yang tidak nyata, yang bersifat dzhanni (tidak dapat dilihat mata). Sampai sekarang kita belum mendengar hal seperti itu. Lalu, bagaimana kita bisa mengondisikan globalisasi? Kita mengambil faedah dari sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya. Ada dua hal penting yang paling baik untuk menghadapi globalisasi, yaitu sebagai berikut. Pertama, membantu kalangan ekonomi lemah. Hal itu bisa dilakukan dengan mengaktifkan lembaga-lembaga sosial, dan menjaganya dari satu sisi, serta merencanakan untuk menghidupkan dan memperluas lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang wakaf dari sisi yang lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa lembaga yang bergerak dalam bidang wakaf bermacam-macam, di antara contohnya sekolah, universitas, Puskesmas, rumah sakit, rumah, kebun, hotel, dan lainnya. Lembaga-lembaga tersebut telah ikut andil dalam menyebarkan ilmu, menjaga kesehatan, mencukupi orang-orang yang membutuhkan, menjaga hewan, membantu perekonomian, menutup kekosongan sosial, dan lainnya. Sehingga, dari wakaf-wakaf tersebut telah memberi gambaran 1/3 kekayaan yang dimiliki oleh dunia Islam. Kedua, menjaga masa depan umat. Hal itu dengan membantu persatuan kebudayaan. Kesatuan kebudayaan merupakan penjelmaan yang terakhir dari kesatuan umat ini setelah terjadinya kekacauan politik dan ekonomi yang terjadi beberapa abad yang lalu. Tidak diragukan lagi, bahwa kesatuan kebudayaan ini merupakan bangunan yang paling dasar dalam menghadapi arus globalisasi. Oleh sebab itu, harus bersemangat untuk mencukupinya dan berusaha untuk menekuninya. Dan, yang paling nyata dari hal itu ialah pokok-pokok dasar agama Islam dan hukum-hukumnya yang bersandarkan pada dalil-dalil qath’i, dan bahasa Arab yang dikatagorikan sebagai perantara untuk menyatukannya. Dan, harus bersemangat untuk menjauhi segala hal yang dapat mencerai-beraikan kesatuan kebudayaan dan melemahkan roh kehidupannya. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30 DAFTAR BACAAN Agung, Ide Anak Agung Gde, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Paris: Mouton, 1973. Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The Foreign Policies of Arab States, Bouleder, Westview Press, 1991, hal. 8. Allison. Graham.T. .Essence of Decisions EX-plaining the Cuban Missile Crisis. (Boston: Little Brown, 1971). Ake, Claude.A.,A Theory.of Political Integration, Dorsey : Homewood. 1967). Anderson, Benedict and Audrey Kahin (eds), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Anwar, Dewi Fortuna, Indonesia in Asean: Foreign Policy and Regionalism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994. Bandoro, Bantarto (ed), Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS, 1994. Baswir, Revrisond, Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberal IMF, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, (2003) Neoliberalisme, Cindelaras, Yogyakarta Bendict Anderson, 2002. Image Communities (terjemahan, 2002). Omi Intan. Yogyakarta: Pustaka Fajar. Benneett, Bruce. M., International Regionalism and The Internationa System : A Study in Political Ecology, (Chicago : Rand McNally, 1967). Brackman, Arnold C., Indonesia: Suharto’s Road. New York: American-Asian Educational Exchange, 1972. Brown. Lester.R.. The Interdependence of Nation"s. (New York: Foreign Policy Association. Headline Series, 1972). Burton. John .W.. System States, Diplomacy and Rules, (Cambridge: Cambridge University Press. 1968). Claude. Inis.L.,Power and International Relations, (New York: Random House. 1962). Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978 Francis Fukuyama,1999. The End of History and The Last Man (terjemahan) Amrullah. Yogyakarta: Qalam. Francis Fukuyama & Samuel P. Huntington, 2003. The Future of Word Order: Masa Depan Peradaban dalam Cedngkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme (terjemahan) Ahmad Faridl Ma’ruf. Yogyakarta: Ircisod. Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (Ithaca: Cornel University Press, 1976). Giddens, Anthony, 1981. Power Property and The State. Volume I of A Contemporary Critique of Historical Materialisme, University of California Press Barkeley dan Los Angles. Hadiz, Vedi R. (2003), Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES, Jakarta Hill, Hall, Indonesia’s New Order: the Dynamics of Socio-Economic Transformation Honolulu: University of Hawaii Press, 1994. I.Gde Widja, 2002. Menuju wajah Baru Pendidikan sejarah.Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Jurnal, Analisis CSIS.Tahun XXV, No.2. Maret-April 1996.Nasionalisme dan Berakhirnya Negara-bangsa. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31 Keohane, Robert.O and Joseph S.Nye, Jr.,"International Interdependence and Integration", Fred I.'Greenstein (ed),International P0litics Handbook of Political Science, Vol. 8, (California: Addisofi-Wesley Publishing Company, 1975). Leslei Skalair, 1991. Sociology of the Global System, Social Change in Global Perpektive. Baltimore: The John Hopkins University Press. Lasth, Scott & John Urry. 1994. Economies of Signs and Space. London: sage Publications. Lindbrerg, Leon.N and Stuart A.Scheigold. (ed),Regjonal Integration: Theory and Research. (Cambridge. Mass : Harvard University Press.1971). Leifer, Michael, Indonesia’s Foreign Policy. London: George Allen & Unwin, 1983. Leo Suryadinata, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto. Singapura: Times Academic Press,1996, hal. 1. Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy. New jersey, prentice Hall. Inc., 1982, hal. 5-11. Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World Politics : An Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York, The Free Press, 1980, hal. 275. Mas’oed, Mokhtar (1999), Negara, Kapital, dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Safirani, Amalinda (2004), Local Strongman in New Regional Politic in Indonesia, thesis, unpublished McEachern. William A. 2000. Ekonomi Makro (Pendekatan Kontemporer). Terjemahan Sigit Triandaru, S.E. Salemba Empat. Jakarta Nicolson, Harold, Diplomacy. Oxford, Oxford University Press, 1969 Pauline Marie Rosenau, 1992. Postmodernisme and the Social Science, Insights, Inroads, and intrusion. Princenton: University Press. Prasetiantono, A. Tony. 1995. Agenda Ekonomi Indonesia. STIE ‘YO’ Rizal Sukma, (Disertasi) Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. Department of International Relations. The London School of Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997. Robert D. Kaplan, et.a.l, 2005. Ameican and Word, Debating New Shape of International Politics (terjemahan) Yusi A. Pareanom. Jakarta: Obor Indonesia. Samuel P. Huntington, 1996. The Clash of Civilzatations and the Remarking of Word Order (Terjemahan, 2005) M. Sadat Ismail. Yogyakarta: Qalam. Sicat. Gerardo P dan H.W. Arndt. 1987. Ilmu Ekonomi Untuk Konteks Indonesia. LP3S. Jakarta. Soule, Goerge. 1994. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka. Kanisius. Yogyakarta. S.Avenri, 1968. The Social and Political Thought of Karl Marx. Cambridge University Press. Sukma, Rizal, Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. London, Department of International Relations. The London School of Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997. Suryadinata, Leo, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto: Aspiring to International Leadership Singapore: Times Academic Press, 1996. Todaro, Michael P dan Stephen C Smith. 2002. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta. Vatikiotis, Michael R.J., Indonesian Politics Under Suharto: Order, Development, and Pressure for Change London: Routledge, 1993. Vatikiotis, Michael R.J., Political Change in Southeast Asia: Trimming the Banyan Tree. London: Routledge, 1996. Van Der Kroef, J.M., Indonesia After Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32 Weinstein, Franklin B., Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto . Ithaca: Cornell University Press, 1976. Young, Oran. R., “Interdependence in World Politics” dalam Internatioanl Journal, No.24, (1963). Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982. Yustika, Ahmad Erani. Dr. 2007. Perekonomian Indonesia (Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi). BPFE – UNIBRAW. http://www.bbj-jfx.com/article.asp?kolom123 By:Hadi Soesastro CSIS and ANU ---------, 1990. The Conequences of Modernity, Polity Press, Cambridge. -------------, 2002. The Greet Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Oeder (terjemahan,2004) Ruslani. Jakarta: Triarga Utama. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 33