BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Agresif 1. Definisi Perilaku Agresif Agresif merupakan setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi sebagai suatu perilaku yang diwujudkan dalam berbagai bentuk yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut. Menurut Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang disengaja maupun tidak disengaja namun memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan atau merugikan orang lain untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang atau institusi yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2009). Agresi lebih difokuskan pada pengertian dari perilaku agresif itu sendiri yang menurut pendapat para ahli seperti Baron (2005) yang mendefinisikan perilaku agresif merupakan tingkah laku yang diarahkan untuk tujuan menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam menyakiti. Menurut Sarwono (2009) perilaku agresif merupakan setiap perilaku yang merugikan atau menimbulkan korban pada pihak lain. Buss dan Perry (1992) menyatakan perilaku agresif sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis. Berdasarkan beberapa definisi perilaku agresif yang telah dikemukan diatas oleh beberapa tokoh, terdapat persamaan yang mengungkapkan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku atau tindakan yang menyakiti atau melukai orang lain. Myers (2002) mengungkapkan bahwa agresi merupakan perilaku fisik atau verbal baik itu sengaja maupun tidak sengaja namun memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan, atau merugikan orang lain. Buss dan Perry (1992) mengatakan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Pengertian perilaku agresif yang dipaparkan oleh Myers (2002) dan Buss dan Perry (1992) sama-sama menitik beratkan pada adanya perilaku yang menyakiti atau melukai orang lain baik secara fisik, verbal, maupun psikologis yang dapat merugikan orang. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan perilaku yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain atau kelompok dengan niat atau kesengajaan baik secara verbal maupun fisik yang dapat merugikan seseorang. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Perilaku agresif yang muncul pada individu berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam diri individu. Menurut Taylor, Peplau, & Sears (2009) perilaku agresif dapat muncul dengan sebab-sebab sebagai berikut: a. Adanya serangan dari orang lain. Individu akan secara refleks memunculkan sikap agresif terhadap seseorang yang secara tiba-tiba menyerang atau menyakiti baik dengan perkataan (verbal) maupun dengan tindakan fisik. b. Terjadinya frustrasi dalam diri seseorang. Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Ketika individu mengalami frustasi maka akan dapat memunculkan kemarahan yang dapat membangkitkan perasaan agresif. c. Ekspektasi pembalasan atau motivasi untuk balas dendam. Ketika individu yang marah mampu untuk melakukan balas dendam, maka rasa marah akan semakin besar dan kemungkinan untuk melakukan agresi juga bertambah besar. d. Kompetisi. Agresi yang tidak berkaitan dengan keadaan emosional, tetapi mungkin muncul secara tidak sengaja dari situasi yang melahirkan suatu kompetisi. Secara khusus merujuk pada situasi kompetitif yang sering memicu pola kemarahan, pembantahan dan agresi yang tidak jarang bersifat destruktif. Pemaparan lain yang diungkapkan oleh Myers (2002), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas yaitu: a. Frustrasi. b. Pembelajaran agresi yang mana terdapat imbalan dan pembelajaran sosial. c. Pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan yang dimaksudkan adalah situasi lingkungan yang didalamnya termasuk insiden yang menyakitkan, suhu udara panas, serangan, kerumunan orang yang memicu munculnya tindakan agresi. d. Sistem saraf otak. e. Faktor gen atau keturunan. f. Faktor kimia dalam darah (alkohol dan obat-obatan). Buss dan Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) menyatakan bahwa secara umum perilaku agresif dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal meliputi karakter bawaan individu yang menentukan reaksi individu tersebut ketika menghadapi situasi tertentu. Sementara itu, faktor situasional mencakup fitur-fitur atau hal-hal yang terjadi di lingkungan yang juga mempengaruhi reaksi individu terhadap suatu peristiwa. Faktor personal dan faktor situasional dapat diuraikan sebagai berikut: a. Faktor Personal 1) Sifat Sifat-sifat tertentu dapat menyebabkan seseorang lebih agresif dari orang lain. Misalnya, individu yang memiliki sifat pemcemburu akan lebih agresif. 2) Jenis kelamin Laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan perilaku agresif yang berbeda. Lakilaki terbukti lebih banyak terlibat tindakan agresif dibandingkan perempuan, dan pilihan agresi antara laki-laki dan perempuan terbukti berbeda. Perempuan lebih memilih agresi tidak langsung dan laki-laki lebih banyak terlibat pada perilaku agresif langsung. 3) Keyakinan Individu yang memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan tindakan agresif lebih mungkin memilih melakukan tindakan agresif ketimbang individu yang tidak yakin bahwa dirinya dapat melakukan tindakan agresif. 4) Sikap Sikap adalah evaluasi umum seseorang terhadap diri mereka sendiri, orang lain, objekobjek ataupun isu-isu tertentu. Sikap positif terhadap perilaku agresif terbukti mempersiapkan individu untuk melakukan tindakan agresif. Sebaliknya, sikap negatif terhadap perilaku agresif terbukti mencegah seseorang untuk melakukan tindakan agresif 5) Nilai Nilai adalah keyakinan mengenai apa yang harus dan sebaiknya dilakukan. Nilai yang dianut seseorang mempengaruhi keputusannya untuk melakukan perilaku agresif. Contohnya, orang yang menganut nilai bahwa kekerasan itu diperbolehkan untuk mengatasi konflik interpesonal lebih berperilaku agresif untuk menyelesaikan konfllik yang dihadapinya. 6) Tujuan Jangka Panjang Tujuan jangka panjang juga mempengaruhi kesiapan individu untuk terlibat dalam perilaku agresif. Misalnya, tujuan beberapa anggota geng adalah dihormati dan dihargai. Tujuan inilah mewarnai persepsi, nilai-nilai, dan keyakinan anggota geng mengenai pantas atau tidaknya melakukan tindakan tertentu, dan akhirnya mempengaruhi keputusan anggota geng untuk terlibat dalam perilaku agresif. b. Faktor Situasional 1) Petunjuk untuk Melakukan Tindakan Agresif (Aggressive Cues) Aggressive Cues adalah objek yang menimbulkan konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi dalam memori. 2) Provokasi Provokasi mencakup hinaan, ejekan, sindiran kasar, serta bentuk agresif verbal lainnya, agresi fisik, dan gangguan-gangguan yang menghambat pencapaian suatu tujuan atau sejenisnya. 3) Frustrasi Frustrasi terjadi ketika individu menemui hambatan untuk mencapai tujuan. Seseorang yang mengalami frustrasi terbukti lebih agresif terhadap agen yang menyebabkan terhalang pencapaian tujuan, ataupun pada pihak-pihak yang sebenarnya tidak bertanggungjawab atas gagalnya pencapaian tujuan. Selain itu, individu yang mengalami frustrasi juga terbukti melampiaskan rasa frustasinya dengan menyerang benda-benda di sekitarnya. 4) Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan Kondisi-kondisi fisik lingkungan yang menyebakan ketidaknyamanan dapat meningkatkan perilaku agresif. Lingkungan yang bising, terlalu panas, ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif. 5) Obat-obatan Penggunaan obat-obatan atau zat-zat tertentu seperti kafein atau alkohol terbukti meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung. Individu yang berada dibawah pengaruh obat-obatan atau zat-zat tertentu akan mudah terprovokasi, mudah merasa frustasi, dan mudah menangkap petunjuk untuk melakukan kekerasan dibandingkan individu yang tidak menggunakan obat-obatan tertentu. 6) Insentif Pada dasarnya individu memiliki kecenderungan untuk selalu menginginkan yang lebih banyak sehingga ada banyak objek yang dapat digunakan sebagai insentif yang diberikan pada seseorang untuk melakukan tindakan agresif. Perilaku agresif dapat dimediasi dengan memberikan imbalan berupa hal yang dianggap berharga oleh pelaku. Berdasarkan dari penjelasan beberapa tokoh diatas seperti Taylor, Peplau, & Sears (2009), Myers (2002) yang memiliki kesamaan beberapa faktor dalam menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif yaitu frustrasi, serangan dari orang lain, motivasi dan pembelajaran agresi. Sementara itu terdapat pula beberapa persamaan faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku agresif antara yang diungkapkan oleh Buss dan Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) dengan Myers (2002). Persamaan faktor tersebut yaitu adanya frustasi, pengaruh lingkungan, faktor gen atau keturunan, adanya imbalan, dan faktor kimia dalam darah seperti obat-obatan dan alkohol. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor penyebab munculnya perilaku agresif pada individu yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu maupun luar diri individu. Adapun faktor yang berasal dari dalam diri individu, yaitu frustasi, sistem saraf otak, faktor gen dan keturunan, nilai, sikap, keyakinan, sifat, dan jenis kelamin. Sementara faktor yang berasal dari luar diri individu, yaitu serangan, pengaruh lingkungan, provokasi, rasa sakit dan ketidaknyamanan, dan intensif. 3. Tiper-tipe Perilaku Agresif Tipe-tipe dari perilaku agresif banyak dikemukakan oleh beberapa tokoh. Beberapa tokoh itu diantaranya adalah Myers (2002) yang menyebutkan bahwa agresi dapat dibagi menjadi dua jenis. Kedua jenis agresi yang dimaksud sebagai berikut: a. Agresi Instrumental (Instrumental aggression) Agresi instrumental merupakan agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat untuk mencapai tujuan. b. Agresi Benci (Hostile Aggression) Agresi benci merupakan agresi yang dilakukan semata – mata sebagai pelampiasan keinginan untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban. Menurut Medinus dan Jhonson (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006), agresi dapat dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu: a. Menyerang secara fisik yang termasuk didalamnya adalah mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi dan merampas. b. Menyerang suatu objek yang dimaksud adalah menyerang benda mati atau binatang. c. Secara verbal atau simbolis, yang termasuk didalamnya adalah mengancam secara verbal, menjelekkan orang lain, sikap mengancam dan menuntut. d. Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain. 4. Aspek-aspek Perilaku Agresif Menurut Buss dan Perry (1992), terdapat empat aspek perilaku agresif yang didasari dari tiga dimensi dasar yaitu motorik, afektif, dan kognitif. Empat aspek perilaku agresif yang dimaksud yaitu: a. Physical aggression Physical aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik, seperti memukul, menendang, dan lain-lain. b. Verbal aggression Verbal aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain dalam bentuk penolakan dan ancaman melalui respon vokal dalam bentuk verbal. c. Anger Anger merupakan emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk didalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah. d. Hostility Hostility yaitu tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan yang snagat kepada pihak lain. Hostility adalah suatu bentuk agresi yang tergolong agresi covert (tidak kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari kebencian seperti cemburu dan iri terhadap orang lain, dan kecurigaan seperti adanya ketidakpercayaan, kekhawatiran. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menggunakan aspek-aspek perilaku agresif yang dikemukan oleh Buss dan Perry (1992) yang nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam pembuatan alat ukur dalam penelitian ini. Aspek-aspek perilaku agresif yang telah dikemukakan oleh Buss dan Perry (1992) yaitu agresi fisik (physical aggression), agresi verbal (verbal aggression), kemarahan (anger), dan permusuhan (hostility). B. Pola Asuh Otoriter 1. Definisi Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting) Kenny dan Kenny (1991) menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk perilaku anak-anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman. Pola asuh merupakan suatu cara yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan aturan-aturan dengan tujuan mendidik anak, memberikan anak perhatian, membimbing, dan melindungi anak (Gunarsa, 2000). Pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya (Santrock, 2007). Baumrind (dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa orang tua sebaiknya tidak bersikap menghukum maupun bersikap menjauh terhadap anaknya, namun orang tua sebaiknya mengembangkan aturan- aturan dan hangat terhadap anak. Baumrind (dalam Santrock, 2007) menekankan empat gaya pengasuhan orang tua, yaitu: a. Pengasuhan orang tua yang bergaya otoritarian (authoritarian parenting) Authoritarian parenting merupakan gaya pengasuhan yang bersifat menghukum dan membatasi dimana orang tua sangat berusaha agar anak mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan usaha-usaha yang yang telah dilakukan orang tua. Orang tua yang menerapkan gaya otoritarian (authoritarian parenting) menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan kurang memberikan peluang kepada anak untuk berdialog secara verbal atau mengeluarkan pendapat dalam keluarga. Orang tua otoritarian berusaha membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi tingkah laku dan sikap anak supaya sesuai dengan standar tingkah laku yang ingin diterapkan orang tua, biasanya standar yang sifatnya absolut, bermotif theologis, dan disusun oleh otoritas yang lebih tinggi. b. Pengasuhan orang tua yang bergaya otoritatif (authoritative parenting) Authoritative parenting merupakan gaya pengasuhan yang mendorong anak agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan tindakan yang dilakukan oleh anak. Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif memberikan kesempatan pada anak untuk berdialog secara verbal. Selain itu, orang tua juga bersikap hangat dan mengasuh. c. Pengasuhan orang tua yang bergaya melalaikan (neglectful parenting) Neglectful parenting merupakan gaya pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak. Gaya pengasuhan ini berkaitan dengan ketidakkompetenan anak secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian diri. Orang tua menerapkan pola asuh tidak peduli tidak menunjukkan responsiveness dan demandingness. Orang tua tidak memberikan perhatian atau tidak memberikan respon terhadap kebutuhan anak, menolak anak, dan terobsesi pada permasalahan dan tekanan hidupnya sendiri, sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengasuh anak. d. Pengasuhan orang tua yang bergaya yang memanjakan (indulgent parenting) Indulgent parenting merupakan suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak namun hanya memberikan sedikit tuntutan atau kendali terhadap anak. Orang tua yang memanjakan membiarkan anaknya melakukan apapun anak inginkan. Akibat dari pengasuhan ini, remaja menjadi tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap kemauannya diikuti. Orang tua menampilakn dirinya sebagai figur yang siap memenuhi segala kebutuhan anak, tidak menampilkan diri sebagai figur yang berperan mengarahkan dan merubah perilaku anak. Menurut Hurlock (1992) pola asuh otoriter merupakan suatu metode disiplin yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya, yang mana orang tua selalu membatasi anak, menghukum, serta mendesak anak untuk selalu mengikuti petunjuk orang tua. Menurut Atkinson, dkk (2001) pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang menuntut dan mengendalikan anak yang mana orang tua semata-mata menunjukkan kekuasaan mereka tanpa kehangatan, pengasuhan, atau komunikasi dua arah. Orang tua berupaya mengendalikan dan menilai perilaku dan sikap anak-anak mereka mengikuti standar yang mutlak, orang tua juga menghargai kepatuhan, rasa hormat terhadap kekuasaan, tradisi, kerja, dan mempertahankan urutan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh authoritarian (otoriter) merupakan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua yang mana orang tua memiliki otoritas tertinggi dengan menetapkan peraturan-peraturan dan anak dituntut untuk mentaati serta tunduk akan segala peraturan tanpa memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapat dalam keluarga. 2. Aspek-aspek Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting) Menurut Darling dan Steinberg (dalam Sigelman & Rider, 2011) mengungkapkan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu : a. Acceptance/Responsiveness Dimensi ini menggambarkan bagaimana orang tua berespon kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Acceptance/Responsiveness mengacu pada lima aspek yaitu antara lain : 1) Dukungan Dukungan yang dimaksudkan adalah sejauh mana mana orang tua memberikan dukungan pada anak-anaknya. 2) Sensitivitas Sensitivitas dapat diartikan sejauh mana orang tua sensitif terhadap emosi dan kebutuhan anak. 3) Perhatian Perhatian merupakan sejauh mana orang tua memperhatikan kesejahteraan anak 4) Kesanggupan Kesanggupan merupakan sejauh mana orang tua bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama 5) Apresiasi Apresiasi merupakan sejauh mana orang tua serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka. b. Demandingness/Control Dimensi ini menggambarkan standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak yang mana berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Dimensi ini mengacu pada beberapa aspek antara lain : 1) Pembatasan Sejauh mana orang tua membatasi tingkah laku anak dalam artian bagaimana orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak. 2) Tuntutan Sejauhmana anak harus memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuai dengan standar yang berlaku dan keinginan orang tua. 3) Sikap ketat Sejauhmana orang tua bersikap ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka 4) Campur tangan Sejauhmana orang tua terlibat dalam pembuatan keputusan, rencana dan relasi anak serta sejauhmana orang tua memberikan kesempatan bagi anaknya untuk berpendapat terhadap keputusan dan rencana orang tuanya. 5) Kekuasaan Sejauh mana orang tua berkuasa terhadap anak dan bagaimana tingkat kekuasaan dalam keluarga yang orang tua terapkan. Cross (2009) mengungkapkan dalam menentukan pola asuh yang orang tua terapkan dapat diukur dari dua cara salah satunya adalah metode rating. Pada metode rating ini, terdapat 19 aspek yang dikemukan oleh Cross (2009) yang mana aspek tersebut dalam gambar 1 yaitu: 1) PI (Pleasure) : senang berperan sebagai orang tua 2) DP (Displeasure) : tidak senang berperan sebagai orang tua 3) Cn (Confidence) : percaya diri berperan sebagai orang tua 4) Rt (Respect) : respek terhadap otonomi anak 5) Ls (Limit Setting) : harapan terhadap perilaku anak 6) Ex (Expressiveness) : tingkatan ekspresi yang ditunjukkan orang tua 7) MD (Maturity Demands) : set standar untuk perilaku yang sesuai dengan kemampuan anak dan tingkat perkembangan anak 8) Pr (Precision) : ketelitian orang tua dalam berbicara 9) St (Structure) : struktur yang disediakan oleh orang tua 10) Wm (Warmth) : kehangatan interaksi orang tua dengan anak 11) Cl (Coldness) : kerenggangan interaksi orang tua dengan anak 12) An (Anger) : tingkat marah dan permusuhan yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak 13) Rn (Responsiveness) : kemauan menanggapi anak 14) In (Interactivenes) : kemauan berinteraksi dengan anak 15) Cr (Creativity) : tingkat kreativitas pada waktu berinteraksi dengan anak dan pada waktu memecahkan masalah 16) At (Activity) : tingkat aktivitas fisik pada waktu memanipulasi objek selama berinteraksi dengan anak 17) Ha (Happinies) : tingkat kegembiraan yang diekspresikan secara verbal dan non verbal 18) Sa (Sadness) : tingkat kesedihan yang diekspresikan secara verbal dan non verbal 19) Ax (Anxiety) : tingkat kecemasan yang ditunjukan oleh orang tua Autoritarian nn High Control MD Ls St Pr Autoritatif Rn At In Cr Negative DP An Ax Wm Rt Pl Positif Affect Cl Sa sSSa Ha Ex Cn Affect Affect Ha Ex Cn Affect Affect Wm Rt Pl Positif Wm Rt Pl Positif Tidak perduli Permisif Low Control Gambar 1. Empat tipe pola asuh orang tua berdasarkan 19 aspek mental yang diamati (Cross, 2009; hal.5) Mengacu pada gambar 1. diatas, maka dapat diuraikan bahwa terdapat enam aspek yang dapat mengukur pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orang tua. Enam aspek tersebut adalah : 1. Maturity Demands : Adanya rangkaian standar untuk perilaku yang sesuai dengan kemampuan anak dan tingkat perkembangan anak 2. Structure : Terdapat struktur yang disediakan oleh orang tua 3. Anger : tingkat marah dan permusuhan yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak 4. Activity : tingkat aktivitas fisik pada waktu memanipulasi objek selama berinteraksi dengan anak 5. Displeasure : tidak senang berperan sebagai orang tua 6. Anxiety : tingkat kecemasan yang ditunjukkan oleh orang tua Berdasarkan pada uraian diatas maka peneliti memutuskan untuk menggunakan keenam aspek yang dikemukan oleh Cross (2009) diatas sebagai dimensi untuk mengungkap skala pola asuh otoriter dalam penelitian ini. 3. Ciri-ciri Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting) Menurut Siagian (dalam Manurung, 1995) mengungkapkan bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter adalah : a. Keluarga sebagai milik orang tua. Dalam hal ini anak tidak diberikan hak untuk membuat kebijakan atau peraturan yang diterapkan dalam keluarga. b. Tujuan orang tua berarti tujuan keluarga. Dalam hal ini berarti semua keputusan anak harus sesuai dengan tujuan orang tua c. Orang tua menganggap anak sebagai alat, maksudnya adalah anak harus siap apabila diberikan tugas atau perintah oleh orang tua. d. Orang tua tidak mau menerima kritik atau pendapat anak, maksudnya adalah anak tidak diperkenankan untuk memberikan saran, kritik, maupun pendapat pada orang tua. e. Orang tua terlalu bergantung atas kekuatan formalnya. Orang tua merasa memiliki kekuasaan tertinggi dari pada anak sehingga orang tua bebas melakukan apa saja tanpa kompromi. f. Orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan. Orang tua dalam tindakan penggerakannya bersifat memaksa dan apabila anak gagal dalam pelaksanaan tugas maka akan diberikan sanksi atau hukuman. Menurut Hurlock (1992) orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umunya bercirikan : a. Orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya. b. Apabila anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan dan penjelasan sebelum hukuman diterima anak. c. Pada umumnya hukuman berwujud hukuman fisik. d. Orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah, baik berupa kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu yang sesuai dengan harapan orang tua. Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh mengenai ciri-ciri dari pola asuh otoriter (authoritarian parenting) maka dapat disimpulkan ciri-ciri dari pola asuh otoriter (authoritarian parenting) adalah orang tua menganggap anak sebagai alat, orang tua tidak menerima kritik ataupun saran dari anak, orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan, orang tua memiliki kekuasaan tertinggi dalam keluarga hukuman yang diberikan berupa hukuman fisik, dan tidak adanya pujian ataupun hadiah ketika anak berhasil meraih sesuatu yang sesuai harapan orang tua . C. Remaja 1. Definisi Remaja Remaja (adolescence) berasal dari kata adolescere dalam bahasa latin yang berarti “tumbuh menuju kematangan”. Menurut Hurlock (2002) mengungkapkan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Sementara itu menurut Santrock (2002) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Menurut Calon (dalam Monks, Knoers, & Haditono, 2001), remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikisnya dengan baik, sehingga dikategorikan sebagai anak-anak, namun bukan juga merupakan orang dewasa meskipun memiliki fisik seperti orang dewasa. Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2009) masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. 2. Fase-fase Perkembangan Remaja Menurut Monks, dkk. (2001) mengungkapkan secara global, usia remaja berlangsung saat individu berada di rentang usia 12-21 tahun dengan pembagian masa remaja, yaitu 12-15 tahun masa remaja awal, 15 -18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 -21 tahun untuk remaja akhir. Sementara menurut Hurlock (2002) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Menurut Soetjiningsih (2004) remaja dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa melewati tiga tahap perkembangan. Tiga tahap perkembangan tersebut antara lain : a. Masa Remaja awal (early adolescence) Individu pada tahap ini akan merasakan kebingungan akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut. individu mengembangkan pikiran-pikiran baru, sudah mulai adanya ketertarikan dengan lawan jenis serta pada masa remaja awal ini sulit dimengerti karena kurangnya kendali akan “ego”. Individu pada tahapan ini mulai berusaha menunjukkan identitas dirinya, muncul perasaan canggung saat bertemu dengan seseorang, konflik dengan orang tua meningkat, pengaruh teman sebaya sangat besar, memiliki perasaan bebas dan tidak mau diatur, memiliki kecenderungan berperilaku kekanak-kanakan khususnya jika mereka mengalami stres. b. Masa remaja pertengahan (middle adolescence) Pertumbuhan pubertas pada tahapan ini sudah sempurna, disisi lain pertumbuhan fisik pada perempuan mulai melambat akan tetapi pada remaja laki-laki terus berlanjut. Kemampuan berfikir individu terus meningkat, sudah mulai mampu menetapkan sebuah tujuan, tertarik pada hal-hal yang lebih rasional dan mulai berfikir tentang makna sebuah kehidupan. Individu pada masa remaja pertengahan mulai melibatkan diri pada kegiatan yang disenangi. Kecenderungan untuk jauh dari orang tua semakin meningkat dan semakin ingin bebas dari orang tua, pengaruh teman sebaya juga masih sangat kuat, issu popularitas bisa mejadi sangat penting dalam periode ini, perasaan cinta dan gairah pada lawan jenis semakin meningkat. c. Masa remaja lanjut (late adolescence) Pertumbuhan fisik pada remaja putri sudah pada tahap sempurna sementara itu pada remaja laki-laki pertumbuhan fisik masih terus berlanjut. Individu sudah mulai memiliki kemampuan untuk memikirkan sebuah ide mulai dari awal sampai akhir, kemampuan untuk menunda kepuasan atau kegembiraan, mulai peduli pada masa depan dan berpikir rasional. Identitas diri semakin kuat, termasuk identitas seksual, stabilitas emosi dan kepedulian terhadap orang lain semakin meningkat, semakin mandiri, hubungan antar teman sebaya tetap menjadi isu yang penting dan hubungan dengan lawan jenis semakin serius. Sementara itu menurut Konopka dalam Agustiani (2009) mengemukakan masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut : a. Masa remaja awal (12 hingga 15 tahun) Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya. b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran penting, namun individu sudah mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu. c. Masa remaja akhir (19-22 tahun) Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini. Berdasarkan uraian dari tokoh diatas maka dapat disimpulkan bahwa fase-fase perkembangan pada remaja dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. 3. Perubahan Pada Masa Remaja Masa remaja merupakan periode transisional antara masa anak-anak dan masa dewasa yang banyak menghadapi perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan pada masa remaja menurut Lerner dan Hultsch (dalam Agustiani, 2009) dapat diuraikan sebagai berikut: a. Perubahan Fisik Rangkaian perubahan yang jelas terlihat dialami oleh remaja adalah perubahan biologis dan perubahan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada awal masa remaja, yaitu sekitar 11 hingga 15 tahun pada wanita dan 12 hingga 16 tahun pada pria (Hurlock, 2002). Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan kemudian memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Adanya gejala ini menandakan bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. Sejalan itu pula, berlangsung pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa. b. Perubahan Emosionalitas Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal yang terjadi pada remaja adalah perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormonal tersebut, dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah. Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongandorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Keterbatasan untuk secara kognitif mengolah perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktuasi emosi remaja. c. Perubahan Kognitif. Perubahan dalam kemampuan berpikir diungkapkan oleh Piaget dalam Agustiani (2009) sebagai tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12 tahun ini, remaja tidak lagi terikat pada realistik fisik yang konkrit dari apa yang ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotestis dan abstrak dari realitas. Kemampuan-kemampuan berpikir yang baru ini memungkinkan individu untuk berpikir secara abstrak, hipotetis dan kontrafaktual, yang pada gilirannya kemudian memberikan peluang bagi individu untuk mengimajinasikan kemungkinan lain untuk segala hal. Papalia, Olds, & Feldman (2009) mengungkapkan ketika individu memasuki usia remaja, individu akan mengalami beberapa perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan pada beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain : a. Perkembangan Fisik Perkembangan fisik pada usia remaja ditandai dengan pubertas. Pubertas merupakan matangnya organ seksual sekunder pada remaja. Selain itu pula berlangsung pertumbuhan fisik yang begitu cepat seperti petumbuhan organ seksual primer, tinggi badan, berat badan, dan lainnya. b. Perkembangan Kognitif Pada fase ini remaja telah memasuki fase perkembangan kognitif yang tertinggi dari perkembangan kognitif yaitu telah memasuki tahap operasional formal (formal operational stage). Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) tahapan ini individu melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih abstrak, remaja mengembangkan gambaran mengenai keadaan ideal. c. Perkembangan Psikososial Pada fase ini, remaja menghadapi fase krisis identitas yang menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) disebut dengan fase identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Pada tahap ini remaja menentukan siapakah mereka itu, apa keunikannya, dan apa yang menjadi tujuan hidupnya atau dengan kata lain dapat dikatakan fase ini merupakan fase pencarian identitas diri pada masa remaja. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan yang terjadi pada remaja meliputi perubahan fisik, perubahan kognitif, perubahan emosionalitas, dan perubahan psikososial. 4. Tugas Perkembangan Remaja Setiap fase-fase perkembangan, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang berbeda disetiap fasenya. Berhasil atau gagalnya individu dalam melaksanakan tugas perkembangannya pada periode tertentu akan mempengaruhi individu dalam menjalankan tugas perkembangan pada periode selanjutnya (Agustiani, 2009). Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Agustiani (2009) adalah sebagai berikut : a. Mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin. b. Mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial. c. Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif. d. Mencapai ketidaktergantungan emosional (kemandirian emosi) dari orang tua dan orang dewasa lainnya. e. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga. f. Menyiapkan diri untuk karir ekonomi. g. Menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai petunjuk dalam berperilaku mengembangkan ideologi. h. Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara bertanggung jawab. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan pada masa remaja adalah mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin, mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial, menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif, mencapai ketidaktergantungan emosional (kemandirian emosi) dari orang tua dan orang dewasa lainnya, menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, menyiapkan diri untuk karir ekonomi, menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai petunjuk dalam berperilaku mengembangkan ideologi, dan mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara bertanggung jawab. D. Hubungan antara Kecenderungan Pola asuh Otoriter dengan Gejala Perilaku Agresif Pada Remaja Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel pola asuh otoriter dan variabel perilaku agresif. Kedua variabel tesebut diasumsikan memiliki keterkaitan, sehingga dari hal tersebut, akan dapat diasumsikan bahwa adanya hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku agresif. Pernyataan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kehidupan sehari-hari sering terjadi tindak kekerasan dimasyarakat. Kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh individu yang mengarah pada perilaku agresif. Agresivitas merupakan suatu sifat yang memiliki keinginan untuk menyerang kepada suatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengacau, menghalangi atau menghambat. Perilaku agresi itu sendiri merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Perilaku agresif dapat dilakukan oleh semua kalangan usia, salah satunya adalah remaja. Remaja merupakan masa yang penuh dengan krisis dan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Perubahan fisik, sosial maupun psikis terjadi di masa remaja. Pada masa remaja, individu masih belum mampu mengendalikan emosi sementara itu tugas perkembangan pada masa remaja yang harus dipenuhi adalah mencapai kemandirian emosi. Ketidakmampuan individu dalam mengendalikan emosi menyebabkan remaja sering kali terjerumus pada tindakan-tindakan yang melanggar nilai dan norma salah satunya perilaku agresif yang dapat merugikan masyarakat. Faktor penyebab perilaku agresif pada diri remaja berasal dari dua sumber yaitu yang berasal dari diri individu itu sendiri dan dari luar diri individu. Faktor yang berasal dari diri individu, yaitu faktor perasaan frustrasi, perasaan negatif, pikiran atau kognisi, dan pengalaman masa kecil. Sumber yang kedua adalah faktor yang berasal dari luar individu berupa serangan, pengaruh teman, pengaruh kelompok, kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orang tua, konflik keluarga, dan pengaruh model. Salah satu faktor yang dari luar yang dapat memicu munculnya perilaku agresif adalah pola asuh dalam lingkungan keluarga. Pola asuh merupakan interaksi yang terjalin antara orang tua dengan anaknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan dalam pembentukan kepribadian anak. Perkembangan tingkah laku agresif pada anak dipengaruhi oleh orang tuanya melalui pengontrolan, pengalaman frustasi anak dan juga cara orang tua memberikan penguatan ataupun hukuman terhadap tingkah laku agresif (Aisyah, 2010). Salah satu pola asuh yang rentan memunculkan perilaku agresif adalah pola asuh otoriter (authoritarian). Pola asuh otoriter merupakan salah satu pola asuh yang orang tua terapkan untuk menuntut anak tunduk, kaku, suka memberikan hukuman terutama hukuman fisik, mengekang keinginan anak, dan membentuk tingkah laku anak sesuai dengan tingkah laku yang orang tua harapkan. Sarwono (2009) menyebutkan bahwa orang tua yang sering memberikan hukuman fisik ketika anak mengalami kegagalan dalam memenuhi standar yang ditetapkan dapat memberikan dampak pada anak. Anak akan merasa marah dan kesal kepada orang tuanya akan tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahan yang dirasakan dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Orang tua yang selalu menuntut anaknya untuk menuruti semua kemauan orang tuanya akan membuat anak menjadi frustasi sehingga diluar rumah anak akan bertindak seenaknya dan berperilaku agresif. Berdasarkan uraian diatas maka didapati gambaran dinamika hubungan antara kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting Style) Aspek Pola Asuh Otoriter: 1. Maturity Demands 2. Structure 3. Anger 4. Activity 5. Displeasure 6. anxiety Perilaku Agresif Aspek Perilaku Agresif 1. Physical Aggression 2. Verbal Aggression 3. Anger 4. Hostility Gambar 2. Bagan hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter dengan gejala perilaku agresif pada remaja Keterangan: : Variabel Penelitian : Aspek dari Variabel : Garis Hubungan : Garis Aspek dari Variabel E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan konsep teori yang sudah dipaparkan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Hipotesis Nol (Ho) : tidak ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada remaja. 2. Hipotesis Alternatif (Ha) : ada hubungan yang signifikan antara kecenderungan pola asuh otoriter (authoritarian parenting style) dengan gejala perilaku agresif pada remaja.