BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam melaksanakan tanggungjawab. Peranan orangtua dalam tumbuh kembang anak anak berupa perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran orangtua dalam memenuhi kebutuhan dasar (Soetjiningsih, 1995) meliputi: 1. Kebutuhan fisik-biomedis (Asuh) a. pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting b. perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pengobatan kalau sakit c. papan/ pemukiman yang layak d. hygiene perorangan, sanitasi lingkungan e. sandang f. kesegaran jasmani, rekreasi 2. Kebutuhan emosi/ kasih sayang (Asih) Pada tahun- tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu/ pengganti ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Ini diwujudkan dengan kontak fisik sedini mungkin, kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan akan memberikan dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental amupun sosial emosi. Kasih sayang dari orangtuanya (ayah-ibu) akan menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar. 3. Kebutuhan akan stimulus mental (Asah) Stimulus mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan latihan) pada remaja. Stimulus mental (Asah) ini mengembangkan perkembangan mental, psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreatifitas, agama, kepribadian, moral-etika, produktifitas. 2.1.2. Single Parent Menurut Qiami (2003), ibu single parent adalah suatu keadaan seorang ibu menduduki dua jabatan sekaligus, sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah, sebagai ayah. Selain itu ibu single parent juga akan memiliki dua bentuk sikap, sebagai ibu yang harus lembut terhadap anaknya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan dan tata tertib keluarga, serta berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga. Dwiyani (dalam Setyowati 2005) menyatakan bahwa ibu single parent adalah ibu yang mengasuh anak-anaknya sendirian tanpa didampingi oleh suami atau pasangan hidupnya dikarenakan perceraian, kematian pasangan hidup, terpisah tempat tinggal, kehamilan di luar pernikahan dan memutuskan untuk mengadopsi anak dan diasuh sendiri tanpa proses pernikahan. Hilangnya pasangan hidup yang diakibatkan oleh perceraian atau kematian menimbulkan banyak masalah dalam penyesuaian diri bagi ibu. Kematian pasangan hidup menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap perasaan dan kejiwaan dalam rumah tangga. Perceraian merupakan peristiwa hebat, bagi individu merupakan pengalaman sedih dan adanya suatu keinginan untuk mengakhiri pernikahan dimana ada kesedihan pada suami-istri maupun anak-anak dikarenakan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami istri dan peristiwa ini menunjukkan bahwa peran sosial perkawinan yaitu saling bantu membantu dalam membina keluarga tidak tercapai. Hurlock (1999) menjabarkan masalah umum yang dihadapi di masa menjanda: a. Masalah ekonomi: ketika memasuki masa menjanda akan mengalami kurangnya pendapatan keluarga sehingga kurang memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Seorang janda memulai bekerja pada usia madya, biasanya mereka tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya. b. Masalah praktis: Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh pasangannya. Akan tetapi setelah bercerai maka seluruh pekerjaan dilakukan sendiri sehingga menambah ketegangan yang sudah ada yang disebabkan oleh pendapatan yang terbatas. c. Masalah sosial: karena kehidupan sosial di antara orang berusia madya adalah sama seperti kehidupan orang dewasa muda, yaitu berorientasi pada pasangan. Seorang janda akan mengalami kesulitan dalam berpartisipasi mengikuti kegiatan-kegiatan sosial karena tidak adanya pasangan. d. Masalah seksual: keinginan seksual yang tidak terpenuhi setelah mengalami bertahun tahun dalam perkawinan akan membuat janda mengalami frustasi karena merasa “tidak terpakai” lagi. e. Masalah keluarga: apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka ibu single parent harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu harus mengahadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan selain itu juga harus menghadapi masalah yang berhubungan anggota keluarga dari pihak suami. f. Masalah tempat tinggal: janda akan tinggal bergantung pada dua kondisi. Pertama status ekonominya dan kedua, tinggal bersama dengan orang yang bersedia tinggal bersamanya dikarenakan keadaan ekonomi yang dialami oleh pada janda pada umumnya mengalami kekurangan. 2.1.3. Remaja 2.1.3.1. Pengertian Remaja Geldard (2011) menjelaskan bahwa remaja merupakan sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada diantara tahap kanak-kanak dengan tahap dewasa. Monks (2002) mengatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan fisik, seperti pertumbuhan organ-organ tubuh, perkembangan seksual yang ditandai dengan munculnya ciri-ciri kelamin primer dan sekunder, serta perkembangan sosial yang ditandai dengan makin berkurangnya ketergantungan pada orang lain. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga tahap, yaitu: 1) Usia 12-14 tahun termasuk dalam masa remaja awal 2) Usia 15-18 tahun termasuk dalam remaja tengah 3) Usia 19-21 tahun termasuk dalam masa remaja akhir. Sedangkan Hurlock (1991), menyatakan awal masa remaja berlangsung kirakira dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun. 2.1.3.2. Tugas Perkembangan Remaja Dalam Hurlock (1991), tugas-tugas adalah kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai dan aspirasi individu. Tugas- tugas perkembangan muncul pada saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas- tugas berikutnya. Tetapi bila gagal dapat menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas- tugas berikutanya. Hurlock (1991) menjelaskan lebih lanjut tentang tugas perkembangan masa remaja, sebagai berikut: 1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2. Mencapai peran sosial pria dan wanita 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab 5. Mempersiapkan karier ekonomi 6. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 7. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. 2.1.4. Pola Komunikasi Adapun pengertian pola komunikasi yang diungkapkan oleh Joseph A. Devito (2009) adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antar dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika mengacu pada gaya interaksi dan perilaku yang berulang. Djamarah (2004) menjelaskan bahwa pola komunikasi merupakan pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Menurut Djamarah (2004) Pola komunikasi yang dibangun akan mempengaruhi pola asuh orang tua. Dengan pola komunikasi yang baik akan menciptakan pola asuh yang baik. Kegiatan pengasuhan anak akan berhasil dengan baik jika pola komunikasi yang tercipta didasari dengan cinta dan kasih sayang memposisikan anak sebagai subjek yang harus dibina, dibimbing, dan dididik, dan bukan sebagai objek semata. Menurut Devito (2009) dalam rangka mencapai tujuan keluarga maka pasangan atau single parent harus menggunakan pola komunikasi untuk mencapai tujuan keluarga tersebut. Devito (2009) lebih lanjut mengungkapkan terdapat empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu: 1. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern) Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara kemampuannya, bebas mengemukakan ide-ide, opini, dan kepercayaan. Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersonal lainnya. Komunikasi memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman dan frekuensi pengenalan diri masing-masing, serta tingkah laku nonverbal seperti sentuhan dan kontak mata yang seimbang jumlahnya. Tiap orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman. Masalah diamati dan dianalisa. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan jangka panjang. Dalam komunikasi ini berjalan secara timbal balik dan seimbang. 2. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern) Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri. 3. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern) Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu orang yang mendominasi ini sering memegang control serta dianggap lebih cerdas atau berpengetahuan lebih, sehingga seorang yang lain dianggap kurang cerdas atau berpengetahuan kurang sehingga berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang mendominasi membuat keputusan, mengeluarkan pernyataan tegas, memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan 4. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern) Satu orang dipandang sebagai penguasa. Orang ini lebih bersifat memerintah daripada berkomunikasi, memberi wejangan daripada mendengarkan umpan balik orang lain. Pemegang kekuasaan tidak pernah meminta pendapat, dan ia berhak atas keputusan akhir. Dalam pola ini, jarang terjadi perdebatan dikarenakan komunikasi hanya didominasi oleh salah satu orang saja. Pihak yang dimonopoli meminta ijin dan pendapat dari pemegang kuasa untuk mengambil keputusan, seperti halnya hubungan orang tua ke anak. Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama sekali. Komunikasi keluarga adalah suatu kegiatan yang pasti terjadi dalam kehidupan keluarga. Tanpa komunikasi, sepilah kehidupan keluarga dari kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran akan hilang. Akibatnya kerawanan hubungan antara anggota keluarga sukar dihindari. Keluarga yang kurang kondusif dan sikap komunikatif yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan negatif yang melanggar norma di masyarakat. Komunikasi orang tua dan remaja yang dimaksudkan disini adalah adanya dialog dan kerjasama dalam segala hal dan hubungan timbal balik antar anggota keluarga, misalnya orang tua dengan anak. Monk (2002) mengatakan bahwa kualitas hubungan dengan orang tua memegang peranan yang penting. Adanya komunikasi antara orang tua dan remaja pada masa remaja akan menimbulkan kedekatan. Dapat dikatakan bahwa komunikasi orang tua dan remaja bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman bersama terhadap suatu hal dan setiap pihak berhak menyampaikan pendapat perasaan, pikiran, informasi, ataupun nasehat, sehingga menimbulkan pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang lebih baik. 2.1.5. Perspektif Teoretis Bagan Kerangka Berpikir Disfungsi Keluarga Pola Komunikasi terganggu Kebutuhan dasar (asih, asah, asuh) tidak semuanya terpenuhi) Remaja Bermasalah Keberadaan ibu single parent harus mengasuh dan membesarkan anakanaknya sendiri tanpa bantuan pasangannya, baik itu dari pihak suami maupun istri. Ini yang menyebabkan terjadinya disfungsi keluarga, yang menyebabkan dampak psikologis bagi remaja (Risnawaty, 2009). Ibu single parent yang memiliki anak remaja harus dapat membagi waktu dan berperan ganda dalam mengasuh anak oleh sebab itu perlu dibangunnya pola komunikasi antara ibu dengan remaja dalam rangka memenuhi kebutuhan remaja yaitu mendapat kasih sayang, perhatian, rasa aman, dan kebutuhan yang berkaitan dengan materi. Komunikasi menanamkan peran utama dalam penentuan kualitas kehidupan keluarga. Terganggunya pola komunikasi yang dibangun, akan mengganggu pula pemenuhan kebutuhan dasar remaja secara layak, seperti tidak kekerasan dan penelantaran, sehingga remaja akan mengalami perubahan tingkah laku, seperti: tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi, psikosomatik, gangguan pengendalian diri, kepribadian ganda, gangguan tidur/ mimpi buruk, psikosis menggunakan NAPZA (dalam http://www.gizikia.depkes.go.id). Peneliti menguraikan variabel-variabel dalam penelitian ini sebagai berikut: Sub Variabel : Pola Komunikasi Equality Indikator : Kesetaraan antar anggota keluarga→ Pembagian tugas yang sama pada tiap anggota keluarga→ Pengambilan keputusan melibatkan semua anggota keluarga.→ Tiap anggota keluarga dipandang setara satu sama lain→ Keleluasaan dan keterbukaan topik yang dibicarakan dalam komunikasi keluarga. Sub Variabel : Pola Komunikasi Balance Split Indikator : Pemisahan tugas→ Pembagian tugas berdasaarkan bidang masingmasing → Pengambilan keputusan dilakukan sendiri-sendiri → Masalah yang ada diselesaikan sendiri-sendiri → Sifat anggota keluarga lebih individualis Sub Variabel : Pola Komunikasi Unbalanced Split Indikator : Dominasi oleh satu orang anggota keluarga→ Satu orang dipandang memiliki nilai lebih dari yang lainnya.→ Kontrol seringkali dipegang oleh orang tersebut→ Pengambilan keputusan dilakukan oleh satu orang yang mendominasi. → Komunikasi masih bersifat timbal balik namun diwarnai mendominasi. Sub Variabel : Pola Komunikasi Monopoly Indikator : Kekuasaan dipegang oleh satu orang anggota keluarga→ Satu orang dipandang sebagai pemegang kekuasaan→ Komunikasi lebih bersifat perintah/instruksi untuk dilakukan.→ Satu orang memiliki hak penuh untuk mengambil keputusan.→ Anggota keluarga yang lain meminta izin, pendapat, dan membuat keputusan berdasarkan pemegang kekuasaan.