Gus Dur dan Marxisme-Leninisme

advertisement
Gus Dur dan Marxisme-Leninisme
Roy Murtadho
http://indoprogress.com/2015/09/gus-dur-dan-marxisme-leninisme/
7 September 2015
Harian Indoprogress
/1/ Perjumpaan Gus Dur dengan Marxisme-Leninisme
PERJUMPAAN Gus Dur dengan Marxisme, bisa kita baca dalam biografi yang ditulis oleh
Greg Barton. Sebagaimana pengakuannya sendiri ketika remaja di Yogyakarta menjadi
santri Kiai Ali Maksum Krapyak, ia telah membaca Das Capital karya Marx dan What Is
To Be Done? karya Lenin. Gus Dur juga tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan
sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book nya
Mao (kutipan kata-kata Ketua Mao).[1] Digambarkan bahwa di satu sisi ia menemukan
banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum Marxis, tetapi ia juga terganggu oleh
antagonisme Marxisme dengan agama.[2] Meski demikian, Gus Dur masih tetap berharap
bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan,
kemiskinan, dan penindasan yang menjadi tema utama dan mengemuka dalam
Marxisme-Leninisme.
Dari situ kita tahu bahwa Gus Dur bersentuhan dengan Marxisme-Leninisme sejak masa
remaja. Meski demikian, tidak mudah bagi siapapun untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman dan pengaruh Maxisme atas pemikirannya, karena Gus Dur tak pernah
menerbitkan atau menuliskan hasil bacaannya. Dari semua esainya, setahu penulis, hanya
ada satu esai Gus Dur yang secara spesifik memberi komentar atas Marxisme yaitu
1
Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme yang dimuat pertamakali dalam
Persepsi No. 1 1982.[3] Bertolak dari esai tersebut, kita akan tahu bagaimana kesan dan
ekspektasi Gus Dur atas Marxisme-Leninisme.
Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap
Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung
dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Sikap
terbuka ini, kemungkinan besar diterimanya dari lingkungan kosmopolit yang ditanamkan
oleh ayahnya, Wahid Hasyim, dimana sebagai politisi muda pada masanya kiai Wahid biasa
bergaul dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai latar ideologi. Bahkan
bersahabat dengan seorang pejuang Revolusioner Tan Malaka yang berhaluan Komunis.
Di sini muncul pertanyaan. Gus Dur yang pada masa remajanya telah membaca
Marxisme-Leninisme, –setidaknya telah memahami dasar-dasar pemikiran Marx— kenapa
Gus Dur tidak tertarik untuk mengkaji Marxisme secara lebih serius dan teoritis?
Pertanyaan tersebut juga bisa berlaku secara umum. Kenapa intelektual Islam Indonesia
di era orde baru enggan untuk mengkaji Marxisme di era itu? Pertanyaan ini relevan
untuk diajukan dimuka, sebelum kita masuk ke esai Gus Dur. Karena secara umum, dalam
esai tersebut Gus Dur sadar betul akan pentingnya Marxisme-Leninisme bagi pemikiran
Islam.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat kajian Marx di era orde baru. Pertama,
Secara historis kaum muslim Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kelam yang
memposisikan Islam dan Marxisme secara berhadap-hadapan di tahun 1948 dan 1965.
Kedua, para intelektual Islam Indonesia yang mekar di era tahun 1980an – 1990an, hidup
dalam suasana pembangunanisme yang tengah dicanangkan oleh rezim orde baru.
Sehingga mudah ditemukan di era itu, intelektual Islam Indonesia disibukkan oleh upaya
mencari kesesuaian Islam dan Developmentalism. Nalar instrumental yang dibawa serta
oleh developmentalism tak pelak menyeret intelektual Islam Indonesia masuk pada
narasi: ‘apakah kontribusi Islam terhadap pembangunan Indonesia menuju negara maju
sebagaimana proyek orde baru’. Karena bagi para intelektual Islam di masa itu, adalah
menjadi kebutuhan penting dan mendesak untuk segera memberi sumbangsih
argumentasi teologis dan historis bahwa Islam kompatibel dengan pembangunan. Ketiga,
politik anti-komunisme orde baru yang melarang Marxisme-Leninisme diajarkan.
Konjungtur politik semacam itulah yang menjadi penyebab utama minusnya kajian Marx
dan Marxisme oleh intelektual Islam Indonesia.
Dengan demikian, Marxisme di era orde baru berada di tepian kajian humaniora di
Indonesia. Ini berbeda dengan di era Zaman Bergerak atau masa awal perjuangan
2
Indonesia, dimana Marxisme bisa dikatakan satu-satunya ilmu sosial yang menjadi
primadona dan memberi pengaruh besar bagi kaum pergerakan pada masanya. Bahkan
ketika Tan Ling Djie, seorang Marxis tulen dari Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut
Muhammad Hatta sebagai Marxis gadungan, Marxis “borjuis” yang pemahamannya
tentang Marxologie sangat terbatas dan dangkal, Hatta menyangkalnya. Ia mengaku
seorang marxis yang memakai materialisme sebagai teori bukan dogma. Ia menyebut
dirinya sebagai seorang Marxis dan juga bukan Marxis sekaligus, sebagaimana Marx
sendiri mengatakan tentang dirinya, “Ich bin kein Marxist”, “saya bukan seorang
Marxis”.[4] Pernyataan Hatta itu akan sulit ditemukan di kalangan intelektual Islam saat
ini.
/2/ Perlunya Mencari Kesesuaian Islam dan Marxisme
Secara umum, esai Gus Dur yang berjudul Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan
Leninisme berisi pesan perlunya sebuah upaya teoritis mencari kesesuaian Islam dan
Marxisme. Berbeda dengan kebanyakan tokoh Islam pada masanya, yang sebagian besar
anti terhadap komunisme yang merupakan imbas dari propaganda Soeharto, Gus Dur
justru melihat perlunya proses akulturasi pengetahuan antara Islam dan Marxisme. Ia
tak khawatir akan terjadi erosi ajaran Islam atas akulturasi gagasan tersebut.
Sebaliknya, ia melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui
“penyerapan sebagai alat analisis” yang dipinjam dari Marxisme-Leninisme tersebut. Di
sinilah Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan
Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih terinci dan
pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara
Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.
Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang
bagi terjadinya “titik sambung” keduanya di negeri ini pasca 65.
Lebih jauh, Gus Dur mengkritik sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran
Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR sebagai sebuah anomali, karena penolakan
tersebut lebih bersifat politis, bukan ideologis. Lebih-lebih, menurut Gus Dur, kaum
muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi,
tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, yaitu Pancasila. Gus Dur
menyayangkan kenyataan selama ini bahwa tinjauan atas hubungan Islam dan
Marxisme-Leninisme sering kali bersifat dangkal, sangat formal dan melihat dari satu
sisi saja. Anehnya, selama ini Marxisme-Leninisme, meski tidak diakui secara formal di
kalangan gerakan-gerakan Islam, namun diam-diam diterima dalam praktik.
3
Bagi Gus Dur menjadi penting dalam konteks Indonesia kedepan adanya upaya meramu
unsur Marxisme-Leninisme dan Islam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah
pemikir muslim semacam Abdel Malek Bennabi dan Ali Syariati. Bahkan Gus Dur
mengungkapkan adanya sebuah gerakan Islam Mojaheddin el-Khalq yang bergerak dari
Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme.
Yang lebih mencengangkan, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat
Al-Qur’an, ucapan Nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka
diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, agar dimungkinkan adanya penafsiran kembali
atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama yang selama ini ditafsir. Gus
Dur sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran
agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis
perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam
pandangan Islam.
Ada yang lebih mengharukan dari esai tersebut,– ingat esai tersebut ditulis di tahun
1982 dimasa kuat-kuatnya orde baru—yaitu apresiasi Gus Dur terhadap semakin
berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, sebagimana dilakukan
Partai Komunis Italia yang membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya
wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Maxis-Leninis untuk
menumbangkan struktur kapitalis secara global. Satu kritik Gus Dur terhadap Marxisme,
yaitu penempatan agama sebagai superstruktur atau struktur atas bukan basis struktur
atau struktur bawah yang merupakan basis teoritis Marxisme. Inilah yang luput dari Gur
Dur, ia tak melihat dimensi revolusiner dari filsafat Marx yaitu penemuannya atas
tendesi ekonomis atas segala hal di dunia ini secara ilmiah. Sebagaimana diungkapkan
Engels dalam Speech at the Graveside of Marx[5] bahwa: “Marx menemukan… fakta
yang sederhana… bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki
tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan
agama.”
/3/ Relevansi Islam dan Marxisme Menuju Another World is Possible
Dalam esainya, Gus Dur sangat terkesan dengan sisi humanis dari Partai Komunis Italia
yang salah satunya dimotori oleh Antonio Gramsci. Kita tahu di Eropa, teori Gramsci
menjadi sangat terkenal pasca Perang Dunia II. Berbeda dengan Lenin yang percaya
sosialisme via revolusi dengan membangun Partai Pelopor, mengikuti Engels, Gramsci lebih
percaya jalan sosialisme melalui demokrasi.
Tambahan untuk ekspektasi Gus Dur. Percobaan intelektual dan politik Marxisme yang
berkembang jauh dari apa yang selama ini diduga banyak pihak. Pasca kendaraan
4
runtuhnya Tembok Berlin dimana semua pihak memperkirakan Marxisme sudah terbukti
gagal dan segera ditinggalkan, Fredric Jameson[6], seorang kritikus sastra dan teoritisi
politik Marxis, malah mengatakan bahwa Marxisme makin diperkuat dan diremajakan
oleh keterbebasannya dari tradisi Soviet yang monolitik. Dengan adanya Revolusi Cina
dan Kuba, Kiri Baru Amerika, peristiwa Mei 1968 di Prancis, Marxisme telah lepas dari
kebekuan Stalinisme dan menjadi suatu aliran pemikiran dan aksi baru yang kreatif dan
pluralistik.
Sementara, jika kita melihat konfigurasi politik abad dua satu, banyak pemimpin
sosialis-kiri radikal yang pernah memimpin, khususnya di Amerika Latin, di antaranya:
Michelle Bachelet, mantan tahanan politik perempuan, yang menjadi presiden Chili; Evo
Morales, tokoh gerakan petani suku Indian, presiden Bolivia; Hugo Chavez, Presiden
Venezuela; Lula Da Silva, presiden Brazil; Netro Kirchner, presiden Argentina; dan
Daniel Ortega, presiden Nikaragua. Para pemimpin tersebut bersekutu dengan presiden
Kuba Fidel Castro, yang telah lama menjadi musuh utama AS di benua Amerika.
Jadi di abad ini, percobaan sosialisme via demokrasi, yang dimulai oleh Salvador Allende,
seorang presiden Marxis pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1970 di
Chile dan deretan nama pemimpin kiri di Amerika Latin dan suksesnya Podemos di Spanyol,
memberi sinyal pada kita bahwa Marxisme masih mungkin. Sayangnya, Via Chilena (jalan
Chili) menuju sosialisme yang dicanangkan Allende melalui pidato pelantikannya yang
sangat terkenal: “…Sekarang rakyat telah berhasil merebut kekuasaan atas nasib mereka
sendiri, untuk berderap maju menuju sosialisme melalui jalan demokratis” pada tahun
1973, digulingkan secara brutal oleh militer Chilieatas perintah Amerika, dalam sebuah
operasi militer yang diberi nama “Operasi Jakarta”. Kudeta tersebut telah merenggut
nyawa Allende berikut kira-kira 30.000 orang dari negeri yang berpenduduk sepuluh juta
jiwa itu.
Penulis percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Samir Amin, direktur Third World
Forum yang mencetuskan teori Centre-Periphery (Pusat dan Pinggiran), yang
menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara maju di Utara dan negara-negara
miskin di Selatan bahwa ketimpangan ini akan terus dilanggengkan. Bagi Samir Amin, ada
pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep ini menunjukkan bagaimana
terjadinya peralihan surplus dari negara-negara miskin atau Dunia Ketiga yang
disebutnya “periphery” (negara-negara pinggiran) ke negara-negara maju yang
disbutnya ”centre” (negara-negara pusat).[7] Dari kolonialisme berupa penjajahan politik
hingga neo-kolonialisme berupa penjajahan ekonomi sebagaimana saat ini, percayalah
negara-negara Dunia Ketiga atau negara periphery, selamanya hanya diposisikan sebagai
5
tempat penanaman modal asing, sumber bahan mentah, sumber buruh murah, dan tempat
pemasaran hasil produksi negara maju.
/4/ Penutup
Kita patut bersyukur mempunyai agawaman sekaligus pemimpin semacam Gus Dur yang
tak pernah dogmatis dan selalu terbuka dengan segala kemungkinan bagi jalannya
perubahan. Penulis baru sadar bahwa kengototan presiden Gus Dur untuk mecabut TAP
MPRS No. 25 tahun 1966, ternyata berakar pada esainya di tahun 1982 tersebut, dimana
ia mengkritik sikap anomali kaum muslim Indonesia yang menolak Marxisme-Leninisme.
Gus Dur tidak bergeser setitikpun dengan konsistensi sikap politiknya.
Terakhir, agar prasangka atas komunisme di negeri bisa kita sudahi. Jangan lupa,
setitikpun jangan!. Nelson Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba juga seorang
Marxis. Sahed Baghat Singh, seorang pejuang kemerdekaan India seorang Marxis. Dan
anehnya, semoga tidak sedang bercanda, seorang Dalai Lama mentahbiskan dirinya
sebagai Marxis. Bahkan Pancasila dengan jujur dikatakan oleh Soekarno sebagai Kiri.
Berikut kutipan lengkapnya:
“Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa?
Terutama sekali karena di dalam Pancasila ada unsur Keadilan Sosial. Pancasila adalah
anti-Kapitalisme. Pancasila adalah Anti “explotation de’l home par l’homme”. Pacasila
adalah Anti “exploitation de nation par nation”. Karena itulah Pancasila kiri”[8]
Kenapa kita yang begitu bersemangat dengan kemanusiaan, demokrasi dan toleransi tak
siap menerima kenyataan ini. Siapakah sesungguhnya yang tak manusiawi, demokratis dan
toleran? Sepertinya hanya Allah yang tahu.
***
Penulis adalah guru ngaji, aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik dan aktif di Litbang Front
Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Penulis bisa diubungi melalui
[email protected].
Poin-poin utama esai ini merupakan bahan awal dari materi tambahan atau suplemen untuk
“Pondok Mahasiswa” di Purwokerto.
————[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 53.
6
[2] Ibid., 54.
[3] Abdurrahman Wahid, “Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme”, dalam
Aula, September (1988). Sebelumnya pernah dimuat dalam Persepsi, No. 1, (1982),
dan kini dibukukan dalam Kacung Marijan dan Al-Brebesy (ed.), Mengurai Hubungan
Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), dan menjadi prolog dalam buku karya
Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 (Yogyakarta: LkiS,
2015). Dan dimuat dalam website NU online.
[4] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru,
(Jakarta: Gramedia, 2003). Catatan kaki No. 203, hlm. 690-691.
[5] Lih. Frededich Engels, “Speech at the Graveside of Marx,” dalam Karl Marx and
Engels: Selected Works, diterjemahkan dan disunting oleh Marx-Engels-Lenin
Institute, vol 2. (Moscow 1951), 2:153.
[6] Frederic Jameson dalam Pendahuluan atas karya Henri Arvon, Estetika Marxis,
(Yogyakarta: Resist Book, 2010).
[7] Untuk menilik pemikiran Samir Amin lebih lanjut lih. Samir Amin, Imperialism and
Unequal Development, (New York: Monthly Review Press, 1978). Unequal
Development, (New York: Monthly Review Press. 1976). Capitalism in the Age on
Globalization, 1997.
[8] Lih. Bonnie Triyana dan Budi Setiyono: Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato
Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2005), hlm. 63
7
Download