artikel krisis ekonomi penyebab dan usaha

advertisement
Oleh : S. Anwary
PENDAHULUAN
Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 telah berhasil menetapkan dan melantik
KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Kemudian pada waktu itu Presiden Abdurrahman Wahid
dengan dibantu oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA. (Ketua MPR), Ir. Akbar
Tandjung (Ketua DPR), dan Jenderal Wiranto (Menteri Negara Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan), menyusun Kabinet Persatuan Nasional yang diharapkan dapat
segera memulihkan stabilitas politik dan perekonomian Indonesia.
Namun dalam perjalanannya, Kabinet Persatuan Nasional satu per-satu Menterinya
lengser/dilengserkan oleh Presiden. Diantaranya Dr. Hamzah Haz yang baru beberapa
bulan menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan
Pengentasan Kemiskinan, terpaksa melengserkan diri. Kemudian disusul oleh Jenderal
Wiranto, Ir. Laksamana Sukardi (Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan
BUMN) dan
Drs. Yusuf Kalla (Menteri Perindustrian dan Perdagangan).
Untuk memantapkan pemerintahannnya, Presiden Abdurrahman Wahid menyusun
Kabinet baru Pasca Sidang Tahunan MPR 2000. Sejak terbentuknya susunan Kabinet
tersebut sudah dua orang Menteri berhenti/diberhentikan, yaitu Prof. Dr. M. Ryaas
Rasyid, MA (Meneg Pendayagunaan Aparatur Negara) dan Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra, SH, M.Sc (Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia).
Namun penggantian Menteri-menteri Kabinet Pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas keamanan dan krisis ekonomi
belum berhasil. Hal ini terbukti dengan belum terselesaikannya kerusuhan ethnis/agama
yang terjadi di Ambon/Maluku Utara. Juga belum terselesaikannya masalah gerakan
separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,
1
yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kerusuhan ethnis yang tercatat lainnya selama pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid juga terjadi di Poso (Sulawesi Tengah) dan yang sekarang baru terjadi di Sampit
(Kalimantan Tengah). Kerusuhan ethnis ini telah menimbulkan ribuan korban jiwa
meninggal dunia dan harta benda yang tidak terhingga.
Akibat tidak adanya stabilitas politik dan keamanan di Indonesia maka usaha untuk
mengatasi krisis perekonomian sampai sekarang belum berhasil. Disadari sepenuhnya
bahwa untuk menciptakan stabilitas politik/keamanan dan stabilitas ekonomi tidak
mudah terlaksana apabila Pemerintah tidak cepat dan sungguh-sungguh mengambil
tindakan-tindakan yang mendukung pulihnya kepercayaan rakyat Indonesia maupun
dunia Internasional kepada Pemerintah, khususnya dalam usaha Pemerintah untuk
mengambil tindakan pembersihan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Tindakan pembersihan KKN harus terus berlangsung. Baik di lingkungan aparat
pemerintahan maupun terhadap para pengusaha khususnya para pengusaha yang
bekerjasama menjarah kekayaan negara dengan para pejabat pemerintah. Para
pengusaha yang dimaksud adalah para Konglomerat Hitam antara lain Marimutu
Sinivasan, Syamsul Nursalim, Prajogo Pangestu dan lain-lain termasuk Bob Hasan.
Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid telah berhasil membawa Bob Hasan ke meja
hijau untuk diadili. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim yang diketuai
oleh Subardi, SH menjatuhkan hukuman untuk Bob Hasan selama dua tahun penjara.
Padahal uang yang ditilep oleh Bob Hasan beratus-ratus juta dollar, antara lain kasus
korupsi pemetaan dan pemotretan areal hak pengusahaan hutan (HPH) melalui udara.
Bob Hasan bukan hanya menilep uang negara tetapi juga mengadakan pengurasan dan
pengrusakan hutan di Kalimantan.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Bob Hasan selama 2
tahun penjara tidak menyentuh rasa keadilan. Keputusan hakim tersebut betul-betul
menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, walaupuan akhirnya Bob
Hasan diganjar hukuman 6 tahun penjara setelah kasasinya ditolak oleh Mahkamah
Agung. Itupun dianggap terlalu ringan.
2
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas usaha pemerintah untuk mengatasi krisis
perekonomian di Indonesia akan menghadapi tantangan-tantangan yang berat. Jika
boleh dikatakan akan sangat sulit dicapai dalam waktu yang singkat.
Tanda-tanda kegagalan dan keterpurukan perekonomian Indonesia pemerintahan
Abdurrahman Wahid terlihat dengan adanya:
1. Defisit APBN 2001 menurut versi Pemerintah sebesar 3,7 % atau Rp. 53,8 triliyun
dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal APBN 2001 sampai dengan bulan
April 2001 baru berjalan 4 bulan.
2. Total hutang luar negeri telah melebihi 100 % total Produk Domestik Bruto (PDB)
3. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar akhir bulan April 2001 hampir
mencapai US $ 1 = Rp. 12.000,-.
4. Daya beli rakyat menurun, pengangguran mendekati 40 juta orang, lebih 82 juta
orang hidup dibawah garis kemiskinan, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh
dari 677 (Januari 2000) menjadi 416 (Desember 2000), pemulihan ekonomi tidak
focus dan visi pemerintah tidak jelas, program pemulihan ekonomi hanya slogan
dan tidak menyentuh rakyat bawah, Presiden sumber ketegangan
(Sumber :
Republika, 6 Januari 2001).
Pada situasi keadaan negara yang multi krisis seperti inilah, pada tanggal 30 April 2001
DPR-RI mengeluarkan memorandum II kepada Presiden RI sebagai berikut :
Pertama :
Menyatakan Presiden dalam waktu tiga bulan tidak memperhatikan
memorandum I DPR yang telah disampaikan 1 Februari 2001.
Kedua
:
Menyampaikan memorandum II kepada Presiden sebagaimana dimaksud
Pasal 7 ayat 3 Tap MPR No. 3/1978 sebagai kelanjutan memorandum I
DPR tertanggal 1 Februari 2001 yang menganggap Presiden sungguh
melanggar haluan negara yaitu:
a. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 soal sumpah jabatan
b. Melanggar Tap. MPR. No. XI/1998 tentang penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas KKN.
Ketiga
:
Memberikan waktu satu bulan kepada Presiden untuk mengindahkan
Memorandum II sebagaimana dimaksud dalam butir No. 2 .
3
Jatuhnya Memorandum II tidaklah semata-mata karena masalah Buloggate dan
Bruneigate. Masalah Buloggate dan Bruneigate hanyalah sebagai pemicu saja.
Dikeluarkannya Memorandum II juga tidak lepas dari perilaku Presiden yang sering
memberikan pernyataan-pernyataan yang kontroversil dan inkonsistensi. Presiden
Abdurrahman Wahid juga dinilai kurang mempunyai sense of crisis seperti sering
bepergian ke luar negeri sedangkan situasi di dalam negeri tidak kondusif seperi adanya
konflik ethnis di Sampit baru-baru ini.
Presiden Gus Dur juga dinilai mempunyai kebiasaan menyederhanakan persoalan yang
penting dan ribut dengan hal-hal sepele.
Akibat perilaku Gus Dur yang terkesan otoriter berpengaruh terhadap ketidakstabilan
politik/keamanan di dalam negeri yang selanjutnya menambah keterpurukan
perekonomian Indonesia.
Memorandum I dan memorandum II disepakati DPR dengan semangat yang sama, yaitu
hilangnya kepercayaan yang sangat signifikan terhadap Gus Dur. Presiden Wahid dalam
tempo tiga bulan terakhir tidak berhasil meraup simpati dan dukungan dari fraksi lain
kecuali dari F-KB, basis politiknya. Fraksi TNI/Polri yang kemarin abstain, tidak bisa
dinilai mendukung atau menentang. Seluruh proses dan dinamika politik selama
pemerintahan Presiden Wahid hanya bergerak dalam spectrum yang amat sempit. Yaitu
mempertahankan atau kehilangan kekuasaan. Parlemen muncul sebagai lembaga yang
galak, sedangkan eksekutif terpojok pada posisi defensif. Karena itu, Pemerintahan Gus
Dur kehilangan motivasi untuk mengatasi krisis, yang justru menjadi kebutuhan utama
rakyat. Gus Dur lalu dengan sadar sesadar-sadarnya mengerahkan seluruh energi untuk
menjaga kekuasaan, paling tidak sampai tahun 2004. (Tajuk Media Indonesia, 1 Mei
2001).
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS EKONOMI
Awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai tampak pada pertengahan bulan
Juli 1997 yaitu mulai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Nilai
tukar rupiah terhadap US dollar pada pertengahan bulan Juli 1997 adalah US $ 1 = Rp.
3.000,- dari
Rp. 2.500,- terus menurun menjadi US $ 1 = Rp. 8.650,- pada tanggal
15 Januari 1998 pernah hampir mencapai US $ 1 = Rp. 17.500,-.
4
Pada akhir pemerintahan Presiden Habibie nilai tukar rupiah terhadap US dollar mulai
stabil dan menguat yaitu sebesar US $ 1 = Rp. 6.750,-.
Pada awal pemerintahan Abdurrahman Wahid kurs rupiah pada bulan Oktober 1999
US $ 1 berkisar di bawah Rp. 7.000,- dan terus menurun tajam menjadi US $ 1
mendekati Rp. 12.000,- pada akhir bulan April 2001.
Faktor-faktor penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia, antara lain
di sebabkan:
Krisis Ekonomi Periode I (Juli 1997 s/d bulan Oktober 1999).
1. Krisis kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai
US dollar daripada rupiah dan akibatnya mereka berlomba-lomba menukar uang
rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini disebabkan antara lain kurang
transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Perlunya
transparansi dalam konteks penggunaan anggaran belanja negara sangat diperlukan
sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kita tidak akan mendapat
kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat tindakan diambil akan lebih
cepat pula kita menuai buah usaha kita.
2. Krisis rupiah yang semula hanya bersifat kejutan dari luar (external shock) telah
meluas menjadi krisis ekonomi yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan
maupun rumah tangga. Fondasi perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat
ternyata tidak menunjukkan ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis nilai
rupiah terhadap US dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara struktural modal
swasta berskala besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang
dan lemahnya daya saing di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak
mempunyai kewibawaan yang memadai dalam mengatasi krisis ini. Melemahnya
nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena otoritas moneter juga
melakukan kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya, baik pengusaha maupun rumahtangga terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan pukulan
akibat langkanya Rupiah.
3. Akibat Peraturan Pemerintah yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 yang
memungkinkan seseorang dengan modal Rp. 10.000.000.000,- dapat mendirikan
bank berdampak buruk akibat kurang pengawasan dari Bank Indonesia.
Bank
Indonesia tidak atau terlambat men-deteksi pelanggaran yang dilakukan oleh bank-
5
bank Swasta. Hal ini disebabkan karena ketidak-siapan aparat dan sistim dalam
mengawasi ratusan bank yang bermunculan dengan cepat.
Bank Indonesia
kemungkinan tak berani mengambil tindakan tegas karena pemiliknya punya akses
kuat kepada kekuasaan. Di samping itu bank swasta banyak menyelewengkan danadana yang diterima dari Bank Indonesia maupun dana-dana yang diterima dari
masyarakat. Bank swasta banyak melakukan pelanggaran antara lain dengan
menyalurkan kredit bank kepada grupnya sendiri atau anak perusahaan dari pemilik
bank itu sendiri, antara lain disalurkan kepada usaha Real-Estate (perumahan
mewah), pembangunan gedung-gedung bertingkat mewah, mendirikan super-market
dan lain sebagainya yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak,
akibatnya penyalahgunaan kredit yang sebagian besar digunakan untuk kepentingan
pribadi dan ada juga yang di investasikan di luar negeri akhirnya bank swasta
tersebut tidak mampu mengangsur cicilan kreditnya kepada bank penyalur kredit cq
Bank Pemerintah/BI. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah atas desakan IMF
sebagai pra-syarat bantuan IMF kepada Indonesia, Pemerintah Indonesia telah
melikuidasi 16 bank swasta. Pemerintah Indonesia juga melakukan merger di
antara bank-bank Pemerintah sendiri agar bank Pemerintah bertambah kuat dan
solid.
4. Hutang luar negeri swasta berjangka pendek yang akan jatuh tempo pada bulan
Maret 1998, telah mencapai US$. 9,6 milyard, meliputi hutang pokok dan pinjaman.
Posisi hutang luar negeri yang ditanggung oleh perusahaan swasta itu merupakan
bagian hutang luar negeri swasta sebesar US$ 65 milyard dari total pinjaman luar
negeri Indonesia sebesar US$ 117,3 milyard per September 1997. Jadi sekitar 50%
atau US$ 32,5 milyard hutang swasta dikategorikan hutang berjangka pendek,
termasuk surat berharga komersial. Diperkirakan, hutang swasta yang jatuh tempo
rata-rata mencapai US$ 2,708 milyard per bulan, jumlah yang tentunya sangat
membebani neraca pembayaran hutang ini jugalah yang menyebabkan kelangkaan
Dollar. Perkembangannya bukan lagi apakah pinjaman swasta tersebut berjangka
pendek, menengah atau panjang. Namun Bank Indonesia harus mendapat kepastian
seberapa banyak sektor swasta akan segera memenuhi hutang luar negerinya.
Kewaspadaan terhadap pinjaman komersial luar negeri sektor swasta penting
dilakukan, minimal menyangkut dua hal. Pertama, adanya kecenderungan yang terus
6
meningkat dalam dua tahun terakhir dan kedua adanya kekurangan data dari
Pemerintah dalam mendapatkan angka jumlah hutang sektor swasta.
Bahkan
diperkirakan merosotnya nilai tukar Rupiah antara lain disebabkan oleh terus
membengkaknya hutang luar negeri yang ditanggung swasta, sehingga begitu
kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang jatuh tempo, sementara pada
saat yang sama kondisi moneter di dalam negeri sedang kacau, maka kesulitan
langsung
membelit
mereka
(AD.Uphadi
Media
Indonesia,
4
Desember
1997).Disarankan untuk menanggulangi hutang luar negeri swasta agar diselesaikan
oleh mereka sendiri. Pemerintah hanya sekedar memantau saja.
5. Adanya kolusi antara Bank Indonesia dengan para pemilik Bank swasta dalam hal
pemberian dana segar kepada pemilik bank swasta yang berlebih-lebihan tanpa
memperhitungkan bank swasta itu sehat atau tidak menambah meningkatnya krisis
ekonomi dan krisis kepercayaan. Seyogyanya kasus Bapindo (Bank Pembangunan
Indonesia) yang dikenal dengan kasus Edy Tamsil menjadi pelajaran yang pahit agar
tidak terulang malah korupsi model Edy Tamsil dikembangkan semakin canggih
oleh para koruptor di dunia perbankan. Krisis perekonomian Indonesia lebih
diperparah dengan diberikannya dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI)
terhadap bank-bank swasta yang kental dengan aroma KKN.
6 Adanya pelarian modal investasi khususnya yang berasal dari dana BLBI dalam
bentuk US dollar oleh para konglomerat Indonesia ke luar negeri juga menambah
memperburuk-nya perekonomian Indonesia.
7 Menurunnya nilai mata-uang Asia terhadap US dollar sekitar bulan Juli 1997 sampai
dengan bulan Desember 1997 seperti Baht Thayland, Won Korea Selatan, Ringgit
Malaysia, Peso Philippina, Dollar Taiwan, Dollar Singapore, Rupee India, turutserta secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi nilai tukar Rupiah
terhadap US dollar.
Krisis Ekonomi Periode ke II (Oktober 1999 s/d sekarang)
1. Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid
bahwa apabila Memorandum II
dikeluarkan akan terjadi “pemberontakkan nasional” dan bahwa lima daerah akan
merdeka termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila dirinya
mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan rasa
7
ketakutan dari para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs rupiah
terhadap US dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,2. Pemerintah terkesan ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para
konglomerat penerima dana BLBI yang sampai sekarang belum diambil tindakantindakan kepada Marimuntu Sinivasan (Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan
Prajogo Pangestu. Padahal bukti-bukti yang bersangkutan merugikan keuangan
negara sudah jelas. Alih-alih merasa bersalah malah ada dari anak perusahaan yang
bersangkutan mengajukan kredit tambahan modal kepada bank pemerintah dengan
alasan agar perusahaannya tetap jalan dan ribuan karyawannya dapat tetap bekerja.
Rupanya korupsi model Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan untuk mengeruk
uang Negara melalui perbankan .
3. Hasil Audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap penggunaan APBN
Tahun Angaran 2000. Lembaga ini menemukan penyelewengan dana senilai Rp.
8,5 triliun dengan 925 penyimpangan. Dan pada tahun anggaran sebelumnya
ditemukan penyelewengan senilai Rp. 3,87 triliun dengan 834 penyimpangan Yang
lebih mengejutkan lagi dari Audit BPK Tahun Anggaran 2000 penyimpangan di
Sekretariat. Negara dan Sekretariat Kepresidenan masing-masing sebesar 50,82 %
dan 57,93 %. Sementara di Departemen Kehakiman dan HAM sebesar 57,01 %.
Ini sungguh luar biasa. Lembaga-lembaga yang mestinya memberi contoh efisiensi
ternyata telah menjadi kampiun dalam penyimpangan uang negara. (Sumber: Media
Indonesia, 23 Februari 2001). Hal ini menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
4. KKN belum sepenuhnya diberantas dan malah sekarang terkesan tambah meningkat
dan menjamur.
5. Stabilitas politik dan keamanan yang tidak kondusif akibat hubungan eksekutif dan
legislatif memburuk, adanya gerakan-gerakan separatis (GAM), OPM, Front
Kedaulatan Maluku (RMS), konflik antar suku masih berlanjut,
kriminalitas
melonjak, orang makin sadis, pro dan kontra presiden Gus Dur kian sengit,
hubungan dengan IMF tersendat, investor berlarian ke negara lain, hal-hal ini lebih
memperparah keterpurukan perekonomian Indonesia.
6. Menurunnya legitimasi Pemerintahan Gus Dur.
8
7. Kita mendukung usaha-usaha Gus Dur untuk memberantas KKN terhadap mantan
pejabat-pejabat negara masa Orde Baru asal fair dan cukup bukti untuk segera
diperiksa dan di diadili di Pengadilan Negeri. Akan lebih arif apabila Pemerintahan
Gus Dur memberikan prioritas utama menangkap dan menyeret ke Pengadilan para
pelaku koruptor penerima dana BLBI dan para pejabat Bank atau siapa saja yang
terkait dan terbukti melakukan KKN dalam penyaluran dana BLBI. Tapi
kenyataannya alih-alih para tersangka BLBI dihadapkan ke Pengadilan malah para
tersangka tersebut dilepas dan dijadikan tahanan rumah yaitu antara lain mantan
Preskom Bank Moderen Samadikun Hartono dan mantan Presdir Bank Umum
Nasional Kaharuddin Ongko.
Sedang tersangka korupsi lain seperti Faisal Abda’oe, David Nusa Wijaya, Syamsul
Nursalim, Heru Soeprapto, Hendro Budiyanto, Samadikun Hartono, Kaharuddin
Ongko, dan Praptono H Tjitroupoyo juga dilepas dari tahanan Kejaksaan Agung.
Tersangka korupsi Syamsul Nursalim sekarang ditahan dirumah sakit Medistra
karena alasan sakit. Diketahui yang bersangkutan setiap jam 03.00 WIB. malam
keluar keluyuran meninggalkan rumah sakit.
Hal-hal yang seperti inilah menambah ketidak percayaan rakyat terhadap
Pemerintah atas kesungguhan Pemerintah memberantas KKN. Seakan-akan para
konglomerat tersebut kebal hukum padahal mereka nyata-nyata merugikan
keuangan negara.
Jangan dikira cara-cara Kejaksaan Agung dalam mengusut para tersangka KKN
tidak dipantau oleh negara-negara donor.
Ketidak mampuan pihak Kejaksaan Agung dalam menuntaskan pemberantasan
KKN, turut memberikan andil kepada ketidakpercayaan lembaga-lembaga keuangan
Internasioanl seperti IMF menunda mencairkan bantuannya kepada Indonesia.
USAHA-USAHA MENGATASI KRISIS EKONOMI
1. Transparansi Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara sangat diperlukan agar mendapat kepercayaan masyarakat.
2. Meningkatkan accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana
di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
9
3. Meningkatkan export non-migas dan membatasi habis-habisan import barangbarang konsumtif termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan
untuk di import. Hal ini seyogyanya dilarang.
4. Pemerintah harus berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mata
uang Rupiah dan kepercayaan kepada bank-bank swasta yang dikelola dengan baik.
Hal ini memang tidak mudah tetapi harus dimulai selangkah demi selangkah.
5. Tabungan Nasional harus digalakkan dan semua pihak harus mengetatkan ikat
pingang khususnya kepada para pejabat Negara/pejabat Aparatur Pemerintah agar
mempunyai rasa keprihatinan atas situasi multi krisis yang dihadapi bangsa dan
Negara Indonesia dewasa ini. Hindarilah pemikiran mumpungisme di kalangan para
pejabat Pemerintah. Utamakanlah kepentingan bangsa dan Negara daripada
kepentingan pribadi atau golongan.
6. Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia seyogyanya memonitor dan mengawasi
secara ketat Bank-bank Swasta agar tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam
mengelola dana-dana yang diterima, baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat.
7. Indonesia dengan jumlah penduduk
lebih 200 juta orang, rakyatnya lebih
memerlukan terpenuhinya sandang pangan untuk keperluan sehari-hari dari pada
barang-barang import untuk keperluan konsumtif. Seyogyanya Pemerintah
Indonesia mengatasi krisis ekonomi dewasa ini lebih meningkatkan hasil produksi
pertanian, perkebunan, dan peternakan rakyat dengan jalan memberikan subsidi atau
kredit langsung kepada pengusaha kecil maupun penyalurannya melalui Koperasi
Unit Desa (KUD). Tidak sebaliknya disalurkan kepada para pengusaha besar /
konglomerat yang selalu mempunyai masalah kredit macet. Apabila hal ini
dilakukan berarti Pemerintah turut serta memperkokoh fondasi perekonomian yang
langsung menyentuh kepentingan sebagian besar penduduk Indonesia. Pada masa
orde baru umumnya kredit Pemerintah diberikan kepada hanya segelintir pengusaha
besar (konglomerat) yang pada umumnya kredit itu dipergunakan untuk kepentingan
kelompok/group perusahaannya sendiri ( termasuk hutangnya dari luar negeri ) yang
umumnya dipergunakan untuk membangun hotel-hotel bintang lima, tourism-resort,
mall/supermaket, gedung-gedung apartemen mewah,
perumahan-perumahan
mewah, pembangunan lapangan-lapangan golf dan lain sebagainya. Kesemua
pembangunan tersebut samasekali tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
10
Krisis moneter antara lain diakibatkan oleh besarnya hutang-hutang luar negeri
swasta tersebut, dampaknya berakibat menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia.
Hal ini seyogyanya jangan terjadi lagi karena lebih dari 90 % rakyat Indonesia tidak
membutuhkan mata uang dollar untuk keperluan hidup sehari-hari.
8. Indonesia
adalah
negara
kepulauan,
karena
itu
seyogyanya
Pemerintah
menggalakkan pembangunan kapal-kapal inter-insuler (antar pulau) dari pada
membangun industri pesawat terbang dan proyek-proyek mercusuar lainnya yang
tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
9. Proyek-proyek pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti
pembangunan pabrik semen, pabrik textil, makanan, farmasi, listrik dan tilpun
masuk desa, irigasi dan lain sebagainya agar terus dilanjutkan.
10. Untuk mengatasi masalah perbankan nasional, merger bank adalah jalan terbaik.
Kemelut yang dihadapi perbankan nasional saat ini lebih baik dihadapi dengan
merger daripada dengan penurunan rasio kecukupan modal (CAR = Capital
Adequate Ratio). Sebab apabila dilakukan pelanggaran CAR hanyalah untuk
kepentingan sesaat yang berakibat bank kurang kompetitif disamping memunculkan
spekulasi rekap kedua.
11. Peringatan IMF atas bahaya defisit APBN harus dicermati secara seksama. Konsep
Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi defisit APBN 2001
antara lain: Peningkatan PPh antara Rp. 20-30 T, Penarikan dana perimbangan
antara
Rp. 10-20 T, Pencabutan subsidi BBM Rp. 5 T, Penggenjotan pemasukan
dari BUMN dan BPPN sebesar Rp. 33 T, dan Penurunan porsi pembiayaan proyek
pemerintah sebesar
Rp. 19 T. Langkah-langkah ini apabila berhasil dilakukan
Pemerintah dapat menekan defisit anggaran walaupun bersifat sementara .
12. Bank Indonesia dan bank-bank Pemerintah lainnya hendaknya selektif dan ekstra
hati-hati
dalam
menyalurkan
pengusaha/konglomerat.
Apalagi
kredit/penambahan
kalau
jelas-jelas
modal
diketahui
kepada
para
bahwa
para
pengusaha/konglomerat tersebut bermasalah dan diduga turut serta terlibat dalam
penyalahgunaan dana BLBI. Bank Indonesia/bank Pemerintah harus bertanggung
jawab atas penyaluran kredit. Apabila ada indikasi penyalahgunaan kredit bank
(kredit macet) maka ke dua pihak baik penyalur maupun penerima kredit ke duaduanya harus ditindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
11
13. Pemerintah hendaknya bertindak lebih tegas terhadap oknum-oknum pejabat dan
para pelaku bisnis apabila mereka terbukti melakukan korupsi terhadap keuangan
negara, pengadilan hendaknya tidak ragu-ragu memberikan hukuman yang seberatberatnya, termasuk hukuman seumur hidup atau hukuman mati kepada para pelaku
mega korupsi. Hukuman mati kepada pelaku mega korupsi diperlukan sebagai shock
terapi dalam mengatasi masalah korupsi yang sekarang menjamur di Indonesia.
Sumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah diakibatkan karena
pemerintah sampai saat ini belum berhasil membersihkan KKN.
14. Seyogyanya Pemerintah RI dalam menyusun program pembangunan perekonomian
Indonesia selalu mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD
1945), bukan sebaliknya untuk kepentingan para pengusaha. Disamping itu dalam
rangka Otonomi Daerah Pemerintah Pusat hendaknya melakukan pengawasan yang
ketat terhadap Pemerintah Daerah agar pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam
yang terdapat di Daerahnya tidak dirusak dan dikuras oleh para pengusaha. Contoh:
Adanya keinginan dari Pemda Propinsi Kalimantan Selatan untuk menjadikan Hutan
Lindung Pegunungan Meratus sebagai Hutan Produksi Terbatas. Apabila hal ini
dilakukan mempunyai dampak lingkungan yang luas ( Ecological Disaster ) selain
menimbulkan kerusakan hutan juga akan menimbulkan banjir besar pada musim
hujan di daerah sekitarnya, termasuk banjir besar di sungai Barito Kalimantan
Selatan.
KESIMPULAN
Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab krisis ekonomi dan usaha-usaha
penanggulangannya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama adanya krisis
ekonomi berkaitan erat dengan :
1. Instabilitas politik
antara lain akibat adanya konflik antara lembaga eksekutif
(Presiden) dengan lembaga legislatif (DPR-RI), yang akhirnya menimbulkan krisis
konstitusi dan ketegangan politik di masyarakat luas.
2. Instabilitas keamanan antara lain akibat adanya konflik bernuansa sara di Ambon/
Maluku, Poso dan Sampit., adanya gerakan separatisme GAM dan OPM serta
12
meningkatnya perbuatan kriminalitas yang makin sadis. Hal ini sangat mengganggu
keamanan dan ketertiban masyarakat.
3. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah penyebab utama timbulnya krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Sampai sekarang aparat Kejaksaan Agung belum berhasil
menuntaskan kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Hasil pemeriksaan BPK
tahun Anggaran 2000 di Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah
termasuk
di
Bank
Indonesia
menunjukkan
kecenderungan
peningkatan
penyalahgunaan penggunaan keuangan negara oleh oknum-oknum Pejabat/Aparatur
Pemerintah.
Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Ketiga Faktor Utama Penyebab Krisis
Ekonomi Tersebut Antara Lain :
1. Segera menciptakan stabilitas politik dengan menggelar Sidang Istimewa MPR
untuk menyelesaikan krisis politik/krisis konstitusi. Sidang Istimewa MPR ini dapat
digelar kapan saja sesuai dengan UUD 1945 Pasal 2 ayat 2. Penyelesaian krisis
politik dengan jalan pembagian kekuasaan (power sharing), percepatan Pemilu,
Dekrit Presiden atau pernyataan Negara dalam keadaan darurat tidak akan
menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan krisis politik baru yang semakin
parah dan berkepanjangan yang tentunya akan menambah pula keterpurukan
perekonomian Indonesia.
2. Pemerintah segera menciptakan stabilitas keamanan dengan tindakan-tindakan tegas
dan arif
khususnya dalam menyelesaikan konflik yang bernuansa sara. Segera
menetralisir gerakan-gerakan separatisme agar tetap berada dalam pangkuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Mega korupsi yang dilakukan para konglomerat yang bekerja sama dengan oknumoknum Pejabat Negara khususnya didunia perbankan adalah akar dari segala akar
keterpurukan perekonomian Indonesia dewasa ini. Semua bentuk korupsi di Negara
Indonesia harus diberantas. Siapapun yang memimpin Pemerintahaan di
Indonesia selama KKN masih merajalela keterpurukan perekonomian
Indonesia sulit disembuhkan.
menggerogoti
segala
KKN merupakan penyakit kanker yang
aspek kehidupan berbangsa dan
13
bernegara.
Untuk
memberantas perbuatan tindak pidana korupsi perlu dipikirkan agar
pemerintah segera membentuk suatu Komisi Nasional semacam Komisi
Nasional HAM khusus untuk menangani masalah perbuatan tindak pidana
Korupsi berat. Komisi Nasional ini hendaknya diberikan wewenang hak
examinasi untuk mengawasi para penegak hukum di bidang Kepolisian dan
Kejaksaan dalam mereka menjalankan tugas dan kewajibannya ditingkat
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Komisi Nasional ini juga diharapkan
berperan sebagai semacam lembaga examinasi / yudical review setiap keputusan
penegak hukum dalam perkara korupsi berat ditingkat penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan. Apakah SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) yang dibuat
oleh penegak hukum dimaksud sudah proposional atau tidak. Jika keputusankeputusan SP3 dimaksud terbukti mengandung KKN maka pihak penegak hukum
yang mengeluarkan SP3 seyogyanya dihadapkan kepengadilan. Hal ini perlu untuk
mendaya-gunakan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi khususnya tentang Peran serta Masyarakat untuk membantu Pemerintah
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 41 UU
No. 31 tahun 1999).
Semoga penulisan artikel ini dapat bermanfaat sebagai wacana dan sumbangan
pemikiran kepada Pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Bangsa Indonesia ini
sudah cukup lama
menderita akibat ulah oknum-oknum koruptor yang tidak
bertanggung jawab yang menjarah kekayaan bangsa Indonesia baik berupa penjarahan
keuangan negara diperbankan maupun pengurasan dan pengrusakan kekayaan alam
Indonesia. Diharapkan Sidang Istimewa MPR mendatang dapat menghasilkan
ketetapan-ketetapan/keputusan yang arif dan bijaksana untuk mengatasi instabilitas
politik, instabilitas keamanan dan krisis ekonomi serta akar-akar penyebabnya.
Jakarta, 16 Mei 2001
*)
Penulis adalah Alumnus Fakultas Sospol, Jurusan Hubungan Internasional, UGM, tahun 1970, MBA, Pacific Western
University, Hawaii. Ph. D. dalam Ilmu Hubungan Internasional, Pacific Western University, Hawaii, tahun 1997, Sesparlu
1994, Maequarie Uniersity, 1994 (Finance Management) ,U.N. Asean Development Institute Bangkok 1977 (Asean
Commodities)
14
15
Download