Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS MEMBANGUN KEMANDIRIAN PANGAN: MANDAT TERBESAR DARI RAKYAT KEPADA KITA SEMUA∗) Oleh Kwik Kian Gie∗∗) Saudara-saudara dan hadirin sekalian. Selamat malam dan salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada Sdr. Siswono Yudo Husodo yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menyampaikan beberapa pandangan saya tentang masalah pangan di Indonesia. Ini merupakan salah satu kesempatan yang sangat saya nantikan karena saya sudah berkesempatan untuk mengemukakan pandangan saya mengenai masalah-masalah perbankan, usaha kecil, pengelolaan BUMN dll, dan saat ini tentang kemandirian pangan. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati. Pada saat-saat tertentu terutama menjelang musim panen raya, kita selalu menyesuaikan dihadapkan harga pada dasar pengambilan pembelian keputusan gabah/beras dari untuk petani dan/atau pengaturan impor beras. Berkaitan dengan masalah ini, selalu ada dua kelompok besar yaitu, pertama yang tidak setuju dengan penyesuaian harga dasar dan pengaturan impor dan kedua yang setuju dengan itu. Keduanya berlandaskan pada alasan yang kuat dan maksud yang sangat baik. ∗) Sambutan, disampaikan pada acara peluncuran buku berjudul “Membangun Kemandirian Pangan” diselenggarakan oleh HKTI, di Jakarta, tanggal 4 Agustus 2004. ∗∗) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS. Bagi kelompok pertama, penetapan dan apalagi penyesuaian harga dasar akan mengakibatkan harga beras di pasar dalam negeri semakin tinggi. Harga pangan yang tinggi tidak diinginkan oleh kita semua karena sebagian besar masyarakat kita adalah masyarakat miskin. Kenaikan harga dasar dan pada akhirnya kenaikan harga beras hanya akan menambah beban orang miskin. Sementara itu, pengaturan impor sudah tidak sesuai dengan aturan perdagangan internasional, yang telah membebaskan arus perdagangan barang dan jasa antarnegara berjalan secara bebas. Pengaturan yang tidak tepat akan menghambat arus barang dan mengakibatkan inefisiensi ekonomi. Dengan demikian, harga dasar tidak perlu disesuaikan karena kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan lebih murah dari luar negeri (pasar dunia), atau dengan kata lain anggaran lebih efisien jika digunakan untuk mengimpor beras dari luar negeri dari pada untuk memproduksi beras sendiri. Sementara itu, pandangan kelompok kedua, penetapan harga dasar adalah mekanisme yang diperlukan untuk mendorong agar 40 persen lebih petani yang bukan net consumers memproduksi beras. Kita tidak dapat beras membiarkan tetap adanya ketergantungan pangan dari luar negeri. Sebagai ekonom atau orang yang menempuh pendidikan di bidang ekonomi, saya mengetahui landasan pemikiran dari teori yang digunakan oleh kelompok pertama. Namun demikian, saya tidak sepakat dengan pandangan kelompok tersebut dengan beberapa alasan. Pertama, apabila kita membiarkan harga beras tetap rendah untuk petani produsen karena dapat mencegah peningkatan kemiskinan karena sebagian besar penduduk yang berusaha di bidang pertanian adalah net consumers, maka berarti kita membiarkan petani menanggung biaya penanggulangan kemiskinan yang seharusnya dipikul oleh seluruh bangsa dan negara Indonesia. Bayangkan, 2 masyarakat petani yang relatif miskin harus mensubsidi negara untuk menanggulangi kemiskinan. Kedua, bagaimanapun juga masalah pangan bukan hanya menyangkut masalah efisiensi ekonomi, namun menyangkut pula masalah politik. Rakyat Indonesia sungguh sangat memandang tinggi masalah kemandirian bangsa dan negara, termasuk di dalamnya pandangan bahwa bangsa dan negara Indonesia tidak dapat membiarkan masalah pangannya dipengaruhi oleh negara lain. Kita semua tahu bahwa tidak ada satu negarapun yang membiarkan masalah pangan di negaranya tergantung pada negara lain atau pasar dunia. Sebagai contoh, negara Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa dan berbagai negara lain melakukan berbagai upaya dan kebijakan yang mendorong petani mereka memproduksi pangan, menyimpan stok, dan bahkan mensubsidi agar bahan pangan mereka dapat diekspor ke negara lain, yang dikenal dengan subsidi ekspor atau program dukungan domestik pertanian. Ketiga, rendahnya harga beras di pasar dunia tidak dapat dijadikan dasar bahwa negara-negara pengekspor beras ke pasar dunia lebih efisien dari negara kita. Kita semua tahu bahwa pasar dunia tidak merupakan pasar persaingan sempurna. Keadaan di pasar dunia sangat dipengaruhi oleh perilaku (dan kebijakan) negara-negara pengekspor beras dan bahan pangan lain, sehingga menggunakan harga pasar dunia sebagai pembanding harga di pasar domestik kita tidak seluruhnya benar dan tepat. Dengan membiarkan supply beras tergantung pada luar negeri, maka kita akan membiarkan perilaku dan kebijakan negara lain ter-transmisikan ke dalam pasar dalam negeri, termasuk pengaruh-pengaruh yang dapat membahayakan sektor pangan kita. Apakah kita tega membiarkan itu semua? Menurut saya kita harus berani mengatakan tidak. Kita telah berjuang selama 30 tahun untuk mengatasi masalah pangan kita, dan masalah serta tantangan untuk mempertahankan 3 kemandirian pangan masih akan terus ada. Namun demikian langkahlangkah untuk mengatasinya akan berbeda sesuai dengan dinamika pembangunan baik di dalam maupun di luar negeri. Kalau dahulu tekad kita untuk berswasembada pangan yaitu memenuhi 100 persen kebutuhan beras dari produksi dalam negeri dapat dilakukan, dan sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu, maka pada saat ini keadaan tersebut tidak dapat dilakukan. Pertama, bahwa kemampuan kita semakin terbatas dengan adanya keterbatasan lahan, kebebasan usahatani dan diversifikasi usaha untuk meningkatkan pendapatan petani. Kedua, untuk memelihara hubungan perdagangan internasional kita dengan negara lain, tingkat perdagangan pangan yang tidak membahayakan kemandirian pangan tetap diperlukan. Ketiga, selera konsumen atas beras yang mereka konsumsi sudah beragam, mungkin ada sebagian masyarakat yang senang mengkonsumsi beras Jasmine Thailand, beras Jepang atau beras Bhasmati dari India. Keempat, supply dari luar negeri harus dipandang sebagai upaya untuk mengatasi fluktuasi produksi dan ketersediaan beras di dalam negeri. Untuk itu, kemandirian kini tidak harus berarti memproduksi 100 persen kebutuhan pangan, apalagi beras, dari dalam negeri. Untuk itulah, mari kita bersama-sama mencari tingkat produksi pangan yang dapat mewujudkan kemandirian pangan bangsa dan negara Indonesia. Pada saat ini pencadangan lahan untuk produksi beras mungkin harus sudah dilakukan, perlu dicari pula bentuk-bentuk program dukungan pertanian yang tidak mengganggu mekanisme pasar, perlu ditemukan teknologi yang dapat terus meningkatkan produktivitas dan produksi secara signifikan. Pada saat yang sama petani kita perlu terus didukung agar dapat berupaya secara efektif dan efisien, mampu menyesuaikan dengan dinamika pasar dan memanfaatkan peluangpeluang usaha yang ada. 4 Saudara sekalian yang saya hormati, Bahwa pada saat ini kita masih menghadapi beberapa masalah di bidang pangan misalnya adanya konversi lahan sawah menjadi tanah non pertanian, tingkat produktivitas yang relatif stagnant dan kualitas yang masih rendah, itu semua merupakan tantangan bagi kita semua bukan hanya masyarakat di bidang pertanian. Keputusan untuk memproduksi bahan pangan pada tingkat yang dapat mempertahankan kemandirian pangan kita harus diambil dan merupakan kesepakatan nasional, karena menyangkut pilihan tidak hanya ekonomi namun juga politik. Kalau kita semua dapat menyepakati subsidi untuk rekapitalisasi perbankan, maka kita perlu juga menyepakati subsidi -atau apapun namanya -- untuk kemandirian pangan kita. Keduanya adalah pilihan yang tidak hanya mempengaruhi satu sektor saja, sehingga harus merupakan kesepakatan dan komitmen nasional. Demikianlah pandangan saya mengenai kemandirian pangan. Saya menyampaikan penghargaan saya kepada Pak Siswono dan HKTI yang perhatiannya pada masyarakat petani dan sektor pertanian terus meningkat. Saya mengucapkan selamat atas peluncuran buku Membangun Kemandirian Pangan, yang merupakan sumbangan pemikiran untuk dapat membukakan mata hati kita dalam menyepakati langkah-langkah memperjuangkan kemandirian pangan bagi bangsa dan negara Indonesia. Demikian, dan banyak terima kasih atas perhatiannya.▀ Jakarta, 4 Agustus 2004 Kwik Kian Gie 5