BAB 2 Tinjauan Pustaka

advertisement
7
BAB 2
Tinjauan Pustaka
Bab ini akan menjelaskan mengenai teori-teori yang akan berkaitan dengan
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah
impulsive buying dan post purchase dissonance. Dalam bab ini juga akan membahas
mengenai kerangka berpikir dan hipotesis.
2.1. Impulsive Buying Behavior
Impulsive buying terjadi ketika konsumen mengalaminya secara tiba-tiba, sering
bersifat kuat dan cenderung mendesak untuk membeli barang secara langsung. Impulse
dalam membeli barang bersifat komplek hedonically dan mungkin bisa menstimulasi
konflik emosional (Rook dalam Verplanken & Sato, 2011).
Impulsive buying dapat terjadi ketika seorang individu mengalami dorongan yang
kuat dan ia tidak dapat menahan dirinya (Solomon, 2004). Menurut Cobb & Hoyer
(dalam Park & Choi, 2013), impulsive buying adalah suatu situasi ketika seorang
konsumen membuat keputusan untuk membeli barang ketika berada di dalam toko.
Keinginan membeli barang tersebut muncul ketika berada di dalam toko dikarenakan
faktor display barang, promosi dan diskon harga yang disediakan oleh pihak toko.
Menurut Bayley & Nancarrow (1998), impulsive buying adalah perilaku yang
muncul secara tiba-tiba, spontan dan mengesampingkan pemikiran, pertimbangan
semua variabel informasi dan pilihan alternatif.
Beatty & Ferrell (1998) telah mengembangkan definisi “Impulsive Buying” yang
dikemukakan oleh Rook, impulsive buying adalah membeli suatu barang secara
langsung dan tiba-tiba tanpa ada niat untuk membeli kategori barang secara spesifik
atau untuk memenuhi daftar belanjaan yang telah direncanakannya.
Rook & Gardner (1993), Impulsive buying behavior adalah perilaku membeli
suatu barang yang tidak direncanakan. Karakteristik dari impulse buying behavior
adalah relatif cepat dalam proses membuat keputusan dan bias subjektif yang
mendorong atau menguatkan keinginan untuk memiliki sesuatu dengan cepat (dalam
Dameyasani & Abraham, 2013).
Impulsive buying terjadi ketika konsumen merasa tiba-tiba, secara kuat dan
memiliki keinginan untuk membeli sesuatu secara tiba-tiba. Keinginan untuk membeli
sesuatu ini bersifat hedonically complex dan dapat merangsang konflik emosional
individu tersebut (Rook, 1987). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rook
(1987) bahwa responden merasa menyesal dengan produk yang ia beli secara impulsif.
Impulsive buying didefinisikan sebagai suatu perilaku membeli barang yang
dilakukan tanpa perencanaan dan tidak rasional, terjadi secara tiba-tiba, membuat
keputusan yang cepat dalam membeli produk tertentu, dan disertai dengan respon emosi
yang dimiliki oleh konsumen ketika melihat produk tersebut. Emosi yang dimaksud
adalah rasa kesukaan dan ketertarikan terhadap produk tersebut (Verplanken &
Herabadi, 2001).
Menurut Verplanken dan Herabadi (2001), terdapat 2 dimensi penting dalam
impulsive buying, yaitu:
1. Dimensi Kognitif
Dimensi ini berfokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu seperti
tidak ada pertimbangan, tidak ada pemikiran dan tidak ada perencanaan ketika
melakukan pembelian.
2. Dimensi Afektif
Dimensi ini berfokus pada kondisi emosional individu seperti perasaan senang,
perasaan gembira dan ketertarikan terhadap pembelian atau produk tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi impulsive buying pada
individu, seperti suasana hati konsumen, self-identity (Dittmar dalam Dameyasani &
Abraham, 2013), usia seseorang, ketersediaan uang saku, jenis kelamin (Semuel, 2007)
dan pengaruh budaya (Dameyasani & Abraham, 2013; Kacen & lee, 2002). Menurut
Rook dan Gardner (dalam Verplanken & Sato, 2011) bahwa perasaan positif merupakan
suatu faktor yang meningkatkan kesempatan untuk terjadinya impulsive buying.
Menurut Trope dan Liberman (dalam Verplanken & Sato, 2011) bahwa penilaian
dan pengaruh seseorang sangatlah kuat untuk mempengaruhi konsumen dalam
menentukan barang yang akan ia beli. Selain itu, Herabadi (dalam Verplanken & Sato,
2011) berpendapat bahwa konsumen sering mengalami impulsive buying ketika
berbelanja di department store, hal ini dikarenakan banyaknya barang barang yang
dijual seperti baju, celana, barang kecantikan tubuh.
Tipe-tipe perilaku impulsive buying dapat dikategorikan kedalam 4 tipe yaitu (1)
Pure Impulse, (2) suggestion impulse, (3) reminder impulse dan (4) planned impulse.
Menurut Loudon & Bitta (1993), tipe pure impulse terjadi ketika konsumen membeli
tanpa melakukan pertimbangan; tipe suggestion impulse terjadi ketika konsumen
melihat suatu produk dan langsung membelinya walaupun tidak mengenal tentang
produk tersebut; tipe reminder impulse terjadi ketika konsumen melihat suatu produk
dan langsung membeli produk tersebut karena membutuhkan produk tersebut; dan tipe
planned impulse terjadi ketika konsumen membeli suatu barang kemudian ia membeli
barang yang lainnya dikarenakan faktor diskon, promosi, kupon dan lainnya (Loudon &
Bitta, 1993).
Banyak pandangan dan definisi mengenai impulsive buying dari berbagai ahli di
bidang perilaku konsumen, tetapi memiliki inti yang sama dari definisi impulsive buying
yaitu suatu perilaku konsumen yang terjadi ketika melihat barang yang diinginkannya
tanpa direncanakan dan konsumen tersebut mengambil keputusan secara cepat dalam
membeli barang tersebut.
2.2. Post Purchase Dissonance
Teori dasar yang digunakan adalah cognitive dissonance. Teori Cognitive
dissonance telah digunakan secara luas di dunia, digunakan untuk meneliti tentang
perilaku konsumen dalam konteks tahap setelah pembelian barang dilakukan oleh
konsumen. Jika terjadi cognitive dissonance pada konsumen setelah membeli barang,
hal ini disebut sebagai post purchase dissonance (Hasan & Nasreen, 2014; Koller &
Salzberger, 2007).
Menurut Festinger (dalam Aronson, Wilson & Akert, 2010), ketika seorang
individu memegang dua atau lebih keyakinan tetapi terjadi ketidaksesuaian diantara
kedua keyakinan tersebut, maka individu tersebut akan mengalami situasi yang tidak
nyaman. Festinger menyebut kondisi tidak nyaman tersebut adalah “dissonance”.
Dengan munculnya situasi ketidaknyamanan itu, dapat memotivasi individu untuk
berbuat sesuatu agar disonansi tersebut dapat dikurang.
Istilah disonansi berarti terjadi ketidaksesuaian antara keyakinan yang dimiliki
individu, sedangkan konsonan berarti terjadi kesesuaian antara keyakinan yang dimiliki
individu (Aronson, Wilson & Akert, 2010). Contoh dari disonansi kognitif adalah jika
seseorang tahu bahwa ia sedang berhemat dan dia membeli barang-barang yang tidak
terlalu dibutuhkannya, maka akan terjadi hubungan yang disonan antara kedua elemen
kognitif tersebut.
Menurut Festinger (dalam Aronson, Wilson & Akert, 2010), bahwa hubungan
yang konsonan antara elemen kognitif akan menghasilkan perasaan yang
menyenangkan, sedangkan hubungan yang disonan antara elemen kognitif akan
menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan.
Menurut Festinger (dalam Breckler, Olson & Wiggins, 2006) menyatakan bahwa
tingkat kepentingan dari elemen-elemen kognitif mempengaruhi besarnya disonansi
yang terjadi. Semakin penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan
mempengaruhi besarnya hubungan yang disonan antara elemen tersebut. Breckler,
Olson & Wiggins (2006) menyatakan bahwa disonansi antara elemen kognitif yang
penting akan menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan disonansi
pada elemen elemen yang kurang penting. sebagai contoh, melukai perasaan sahabat
akan lebih menimbulkan disonansi yang besar dibanding ketika melukai perasaan orang
asing.
Adanya disonansi yang dialami individu maka akan meningkatkan motivasi untuk
mengurangi atau bahkan mengeleminasi disonansi tersebut. Semakin besar suatu
disonansi kognitif yang terjadi, maka intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk
mengurangi disonansi tersebut akan semakin meningkat serta perilaku penghindaran
yang dapat meningkatkan disonansi juga akan semakin sering dilakukan (Festinger,
1957, dalam Breckler, Olson & Wiggins, 2006).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi disonansi kognitif menurut
Festinger (1957 dalam Breckler, Olson & Wiggins, 2006) yaitu :
1. Mengubah elemen kognitif tingkah laku
Ketika disonansi terjadi antara elemen kognitif lingkungan dengan elemen
tingkah laku, disonansi dapat dihilangkan dengan cara mengubah elemen
kognitif tingkah laku agar konsonan dengan elemen lingkungan. Sebagai
contoh adalah orang yang merokok dan dia tau bahwa rokok dapat
menyebabkan kanker, akan berhenti merokok untuk menghilangkan disonansi
kognitif yang dia rasakan.
2. Mengubah elemen kognitif lingkungan
Mengubah elemen lingkungan agar konsonan dengan elemen kognitif
tingkah laku dapat dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan
disonansi kognitif yang terjadi. Hal ini tentu saja lebih sulit dibandingkan
mengubah elemen tingkah laku karena individu harus punya kontrol yang
cukup terhadap lingkungannya.
3. Menambahkan elemen kognitif yang baru
Disonansi kognitif juga dapat dikurangi dengan cara menambah elemen
kognitif yang baru agar konsonan dengan elemen kognitif yang lain. Dengan
menambah elemen kognitif yang baru maka disonansi kemungkinan akan
berkurang dengan menurunkan tingkatan dari pentingnya disonansi tersebut.
Contohnya orang yang merokok dan tau efek negatif dari merokok akan
mengurangi disonansi kognitif yang terjadi dengan cara mencari informasi
terkait perilaku merokok yang dapat menurunkan disonansi kognitif secara
keseluruhan, seperti informasi bahwa konsumsi minuman keras lebih
mematikan daripada perilaku merokok. Lewat cara ini berarti individu juga
secara aktif menghindari informasi yang dapat meningkatkan cognitive
dissonance yang mereka alami.
Sedangkan menurut Breckler, Olson & Wiggins (2006) cara mereduksi cognitive
dissonance tersebut juga dapat dilakukan lewat rasionalisasi, yaitu meyakinkan diri
sendiri bahwa perilaku yang dilakukan saat ini atau di masa lampau semuanya masuk
akal dan dapat diterima.
Penelitian mengenai cognitive dissonance telah berkembangkan secara luas di
bidang marketing dan bisnis. Banyak penelitian yang dilakukan tentang cognitive
dissonance yang terjadi pada konsumen setelah melakukan pembelian barang.
Fenomena ini disebut dengan istilah post purchase dissonance (Hasan & Nasreen, 2014;
Koller & Salzberger, 2007).
Post purchase dissonance terjadi ketika pembeli mempertanyakan apakah dia
membuat keputusan yang benar atau tidak (Montgomery & Barnes, 1993). Pembeli
yang mengalami dissonance, sering merasakan kecemasan dan ketidakpastian setelah
membeli barang tersebut. Menurut Bell (dalam Montgomery & Barnes, 1993)
Consumer dissonance memiliki arti yang sama dengan istilah buyer’s remorse dan post
purchase dissonance.
Menurut Hawkins & Mothersbaugh (2010), kecemasan dan masalah yang muncul
setelah konsumen mengambil suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen. Hal ini
disebut sebagai post purchase dissonance. Dissonance dapat terjadi karena keinginan
dan hasrat konsumen akan suatu barang tidak konsisten dengan apa yang ia beli.
Kondisi ini terjadi pada tahap pasca pembelian (post purchase) suatu produk oleh
konsumen.
Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) berpendapat bahwa post purchase
dissonance adalah kecemasan dan ketidaknyamanan psikologis yang muncul setelah
konsumen membeli produk, hal ini terjadi karena ketidaksesuaian antara tingkat
kepuasan ketika memakai barang tersebut dengan tingkat kepuasan dari barang yang
diharapkan.
Sweeney, Hausknecht dan Soutar (2000) mengemukakan bahwa dissonance
melibatkan aspek kognitif dan emosi. Dimensi tersebut adalah:
1. Emosi
Ketidaknyamanan psikologis yang muncul dikarenakan keputusan membeli
suatu produk. Keadaan psikologis yang tidak nyaman karena keputusan membeli
yang dialami individu apabila produk itu dirasa penting untuk dirinya maka
individu tersebut dapat dikatakan mengalami post purchase dissonance.
2. Kebijaksanaan membeli
Dimensi ini didefinisikan sebagai kesadaraan individu mengenai pembelian
yang telah dilakukannya. Contohnya seperti individu tersebut tidak membutuhkan
produk tersebut atau tidak menyeleksi yang benar-benar cocok baginya.
Kassarjian dan Cohen dalam Sweeney et al (2000) mengemukakan bahwa
walaupun individu telah membuat keputusan, individu sering dihadapkan dengan
ketidakpastian akan pembelian produknya. Contohnya seperti keputusan sulit
yang diambil oleh konsumen membawa atribut positif pada alternatif barang yang
ditolak dan alternatif barang yang dipilih memiliki atribut negatif, maka akan
timbul ketidakkonsistenan logika antara elemen kognitif.
3. Perhatian pada transaksi
Kesadaran individu setelah melakukan pembelian bahwa individu telah
dipengaruhi oleh sales atau promosi yang ditawarkan. Bell dalam Sweeney et al
(2000) mengidentifikasi bahwa persuasi yang diterima konsumen atau keadaan
dimana mereka dipengaruhi oleh sales atau promosi merupakan pengaruh besar
yang menyebabkan individu mengalami dissonance.
Konsumen mengalami post purchase dissonance ketika konsumen menyadari
bahwa terdapat ketidaksesuaian tingkat kepuasan yang ada ketika memakai produk
tersebut dengan tingkat kepuasan yang diharapkan dari produk yang dibeli. Sweeney,
Hausknecht & Soutar menyimpulkan bahwa post purchase dissonance bukan
dikarenakan oleh elemen kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh elemen emosional
(dalam Hasan & Nasreen, 2014).
Selain itu, ada juga faktor-faktor penyebab post purchase dissonance yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor
internal adalah kondisi kepribadian individu yang menyebabkan mereka mudah merasa
cemas, sulit untuk memiliki komitmen pada produk yang telah dipilihnya, kurangnya
tingkat pengetahuan tentang produk yang akan dibeli, pemikiran yang tidak rasional
dalam membeli produk dan keberanian dalam mengambil resiko. Sedangkan faktor
eksternal adalah kondisi di luar individu, dalam hal ini misalnya adanya sejumlah
pilihan dan alternatif produk, bujukan, diskon, promosi dan ketersediaan informasi dari
barang yang dijual (Hawkins, Mothersbaugh & Best 2007; Halloway, dalam Loudon &
Bitta, 1993).
2.3 Teori Mengenai Subyek Penelitian
Rentang usia yang dimiliki oleh mahasiswa/i adalah 17 tahun sampai 24 tahun.
Menurut tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Santrock (2008) bahwa rentang
usia yang dimiliki oleh mahasiswa/i termasuk ke dalam masa transisi dari tahap remaja
ke dewasa. Pada tahap ini, individu telah dapat bertanggung jawab untuk membuat
keputusannya sendiri dan belum sepenuhnya mandiri secara financial.
Beberapa jenis kebutuhan mahasiswa/i yaitu kebutuhan makan, bergaul dengan
teman dan mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Mahasiswa/i memiliki citra (image)
sebagai model dalam cara dan gaya berpakaian pada kaum remaja. Hal ini bertujuan
untuk menunjukan status sosial yang telah menjadi citra (image) tersebut. Oleh karena
itu, remaja suka mengikuti perkembangan model pakaian. Hal ini berpengaruh dengan
kecenderungan remaja untuk membeli pakaian yang baru (Nugroho, 2003).
Dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Wood (dalam Masouleh,
Pazhang & Moradi, 2012) telah menemukan bahwa terdapat suatu hubungan impulsive
buying dengan umur seseorang. Menurut Wood (dalam Masouleh, Pazhang & Moradi,
2012) bahwa individu yang berusia 18 sampai 25 tahun memiliki kecenderungan
impulsive buying, hal ini juga sependapat dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Dameyasani dan Semuel. Dameyasani (2013) dan Semuel (2007) telah meneliti bahwa
individu yang berusia 18 sampai 25 tahun merupakan umur seorang individu yang
memiliki kecenderungan impulsive buying. Selain itu, Hill & Monks (2000 dalam
Anastasia et.al, 2008) berpendapat bahwa individu yang berusia 18 sampai 24 tahun
termasuk ke dalam kelompok tahap perkembangan yang sama yaitu tahap remaja.
2.4 Kerangka Berpikir
Mahasiswa Bina
Nusantara
Mahasiswa yang
membeli produk
Fashion
Kecenderungan
Impulsive Buying
Post Purchase
Dissonance
Impulsive Buying :
Post Purchase Dissonance :
- Pembelian barang yang tidak
terencana.
- Pembelian barang secara tibatiba.
- Pembelian yang sulit untuk
dikontrol oleh konsumen.
- Pembelian yang dipengaruhi
oleh respon-respon emosional.
- Ketidaksesuaian antara
keyakinan yang dimiliki
individu setelah membeli
barang.
- Pembelian barang yang tidak
sesuai dengan harapan pembeli.
- Pembelian yang terjadi
menimbulkan perasaan tidak
senang.
- Terjadinya kecemasan setelah
melakukan pembelian.
Sumber : Diolah oleh penulis
Mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara merupakan individu yang berada pada
tahap perkembangan remaja. Bagi remaja, model pakaian atau fashion merupakan aspek
yang penting untuk menunjukkan status sosial yang dimilikinya ketika bergaul dengan
teman. Untuk memenuhi kebutuhan ini, para remaja memiliki kecenderungan untuk
melakukan impulsive buying ketika membeli produk fashion, seperti sering membeli
baju, selalu mengikuti trend atau gaya yang baru. Perilaku ini memperlihatkan bahwa
mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara memiliki kecenderungan untuk impulsive
buying. Impulsive buying adalah pembelian barang yang tidak terencana, muncul secara
tiba-tiba, sulit dikontrol dan dipengaruhi oleh respon-respon emosional. Hal ini
diperkuat oleh data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya dan interview singkat
yang dilakukan oleh peneliti untuk memperkuat data mengenai fenomena di
mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara, bahwa remaja memiliki kecenderungan
impulsive buying yang tinggi.
Mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara yang memiliki kecenderungan untuk
melakukan impulsive buying ketika membeli produk fashion dapat menyebabkan rasa
tidak nyaman, ketidakpuasan dan rasa kecewa pada barang yang telah dipilihnya. Hal
ini dikarenakan oleh terjadinya ketidaksesuaian antara keyakinan yang dimilikinya
setelah membeli barang, tidak sesuai dengan harapan, menimbulkan perasaan tidak
senang dan terjadinya kecemasan setelah melakukan pembelian. Hal ini disebut sebagai
post purchase dissonance.
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara
impulsive buying dengan post purchase dissonance. Dalam fenomena yang terjadi pada
mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara, peneliti menemukan indikator post purchase
dissonance yaitu adanya kekecewaan mengenai barang yang baru dibeli dan tidak
senang dengan barang yang dibeli.
Oleh karena itu peneliti menjadikan hal tersebut sebagai kerangka berpikir untuk
melihat apakah ada hubungan antara impulsive buying dengan post purchase dissonance
pada mahasiswa/i Universitas Bina Nusantara yang membeli produk fashion.
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan,
dirumuskan atas dasar kerangka berfikir dan merupakan jawaban sementara atas
masalah yang dirumuskan (Sugiyono, 2012). Hipotesis dalam penelitian ini:
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara impulsive buying dengan post purchase
dissonance pada mahasiswa/i Bina Nusantara yang membeli produk fashion.
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara impulsive buying dengan post purchase
dissonance pada mahasiswa/i Bina Nusantara yang membeli produk fashion.
Download