Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Bayi yang tinggi di Indonesia merupakan suatu masalah yang sangat pelik. Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi dalam usia 28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup (Hincllif, 1999). Hal ini ditunjukkan dengan survey dari suatu lembaga yaitu Survei Rumah Tangga Nasional pada tahun 2005 yang menyatakan angka kematian bayi di Indonesia adalah 35 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan di provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2011 berdasarkan laporan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 38 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun hal tersebut mengalami penyusutan dibanding tahun sebelumnya, hal ini harusnya dapat dicegah atau diminimalisir. Hal ini sesuai dengan slogan dari pemerintah yaitu “Indonesia Sehat 2015”. Dimana slogan tersebut memiliki 8 millenium development goals atau 8 (delapan) target utama. Salah satunya adalah mengurangi angka kematian ibu dan bayi pada saat persalinan termasuk di dalamnya memastikan bayi yang dilahirkan dalam keadaan sehat. Hal ini juga bertentangan dengan indikator sejahtera pada Visi Indonesia Masa Depan 2020 yang tercantum di dalam TAP MPR RI/VII/MPR/2001 dimana di dalam indikator sejahtera ini terdapat aspek kesehatan di dalamnya. Penyebab mortalitas bayi ini diantaranya adalah berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus neonatal, infeksi dan masalah pemberian Asi. Data terakhir pada tahun 2010, angka kejadian BBLR di Indonesia sebesar 11,1% yang mana masih berada diatas angka rata-rata Thailand 6,6% dan Vietnam 5,3% (UNICEF, 2011). Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut WHO (2007) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 33%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi 1 rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain yaitu berkisar antara 9% - 30%. Hasil Riskesdas pada tahun 2010 menunjukkan angka insidensi BBLR di Kalimantan Barat termasuk ke dalam golongan yang tinggi yaitu 13,9%. Angka ini bahkan melebihi dari angka rata-rata nasional yang hanya 11,1%. Fenomena tersebut ditambah dengan isu ketersediaan timbangan yang terkalibrasi dan tenaga kesehatan yang terampil menimbulkan potensi adanya kasus BBLR yang tidak terdeteksi pada neonatus yang tidak ditimbang, sementara BBLR memiliki dampak yang signifikan pada status gizi dan status kesehatan pada fase kehidupan selanjutnya. Usia ibu hamil ternyata sangat berpengaruh terhadap BBLR. Hal ini dibuktikan oleh suatu penelitian oleh BKKBN yang menyatakan bahwa usia yang baik untuk hamil dan melahirkan adalah 20 sampai 35 tahun, artinya apabila usia ibu hamil kurang dari 20 tahun maka hal itu dapat menajdi faktor resiko BBLR . Keadaan ini dapat diakibatkan oleh belum matangnya organ reproduksi pada wanita tersebut sehingga dapat mengganggu perkembangan dan pertumbuhan janin. Angka kehamilan yang tinggi pada remaja di Indonesia saat ini dapat dibuktikan dari hasil pengamatan dan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2010. Berdasarkan survei BKKBN pada tahun 2010 dari jumlah penduduk remaja yang berusia 14-19 tahun, sebanyak 34 juta atau 19,6 % dari total penduduk Indonesia, angka seks bebas diseluruh kota besar di Indonesia melampaui angka 50%, sebuah angka yang mengkhawatirkan, dari hasil survey tersebut sekitar 30% berakhir pada kawin "terpaksa" dikarenakan hamil dan rata-rata berada pada usia yang sangat muda. Untuk Kalimantan Barat sendiri angka kehamilan di usia muda sangat tinggi bahkan merupakan angka tertinggi di Indonesia berdasarkan SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 2012. Ages Specially Fertility Rates (ASFR) usia 16-19 tahun di Kalimantan Barat menurut SDKI tahun 2012 yang mencapai 104 per 1.000 2 kelahiran yang artinya setiap 1.000 kelahiran terdapat 104 remaja berusia 1619 tahun yang turut melahirkan. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap permasalahan tersebut di daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia Perubahan perilaku ini dikhawatirkan meningkatkan angka kehamilan di usia muda, aborsi, serta kematian ibu maupun bayi saat proses melahirkan. Selain itu, faktor lain seperti kurangnya ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas layanan fasilitas kesehatan untuk ibu turut mempengaruhi. Jumlah bidan memang mengalami peningkatan, namun karena berbagai penyebab kompetensi dan kualitasnya masih perlu diperbaiki. Infrastruktur juga hampir pasti ditengarai menjadi penyebab utama sulitnya seorang ibu mencari pelayanan kesehatan, terutama di wilayah pedalaman. Data Riskesdas 2010 mencatat 84 persen ibu meninggal di rumah saat proses melahirkan karena sulitnya infrastruktur dan jarak tempuh ke fasilitas kesehatan. 1.2 Perumusan Masalah Apakah ada hubungan antara kehamilan pada usia kurang dari 20 tahun dengan berat bayi lahir rendah? 1.3 Tujuan Penelitian Mengetahu ada atau tidak pengaruh dari kehamilan pada usia kurang dari 20 tahun dengan berat bayi lahir rendah di RSI Yarsi Kota Pontianak 1.4 Manfaat Penelitian a) Bagi peneliti : Dapat menunjukkan adanya pengaruh antara usia ibu hamil dengan BBLR b) Bagi Pemerintah Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh dinas terkait guna menurunkan angka kehamilan pada usia kurang dari 20 tahun yang dapat menyebabkan berbagai kerugian. c) Bagi masyarakat : 3 1. Dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang hubungan antara usia hamil dan insidensi BBLR 2. Dapat membantu menekan kejadian mortilitas dan mordibitas akibat BBLR 1.5 Keasliaan penelitian Penelitian mengenai BBLR sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh : 1. Penelitian Suriani (2010) menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara umur ibu dengan kejadian BBLR. 2. Lisa (2013) di RS Soedarso menyatakan bahwa preeklampsia atau eklampsia pada ibu hamil merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya BBLR pada bayi yang dilahirkan. Perbedaan pada penelitian ini adalah faktor dependennya. 3. Shinta vembriana Pamuji (2005); Hubungan antara ibu hamil kurang dari 20 tahun dengan berat bayi lahir rendah di kecamatan Kalijakar Wonosobo. Penelitian ini menghasilkan faktor resiko BBLR yang diakibatkan usia ibu hamil kurang dari 20 tahun dengan nilai p sebesar 0,119 4. Rantung (2015); Hubungan usia ibu bersalin dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Pancaran Kasih GMIM Manado. Adapaun hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara usia ibu bersalin dengan insidensi BBLR. Perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi sampel. Penelitian ini memiliki perbedaan yaitu dengan menggunakan metode cross sectional dan belum pernah dilakukan penelitian tentang BBLR terkait kehamilan usia muda di daerah Kota Pontianak. 4