Jurnal IDe - KPU Provinsi Jawa Timur

advertisement
Suara KPU Jawa Timur
KPU JAWA TIMUR
Jurnal IDe
Inspirasi Demokrasi
Mengawal Demokrasi Membangun Negeri
MEWUJUDKAN
PENYELENGGARA PEMILU
BERINTEGRITAS
edisi 13
November 2016
Dari Redaksi
U
capan syukur Kita haturkan kepada Allah SWT., sehingga atas
rahmat-Nya Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim)
pada bulan November 2016 telah menerbitkan Jurnal Inspirasi
Demokrasi (Ide) yang ke-13. Terbitnya Jurnal Ide KPU Jatim edisi ke-13
ini tidak lepas dari kontribusi seluruh keluarga besar KPU se-Jawa Timur.
Karenanya, ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya patut Kami
sampaikan. Khususnya kepada Komisioner KPU Jatim, Sekretaris dan semua staf KPU Jatim yang terlibat di dalam penyusunan Jurnal Ide.
“Mewujudkan Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas” menjadi tema
Jurnal Ide edisi 13. Penyelenggara pemilu yang berintegritas, berarti bertindak dan berperilaku sesuai dengan tanggung jawabnya, yang mana
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan integritas yang dimiliki penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maka penyelenggara pemilu akan mendapatkan kepercayaan publik. Baik dari pemilih
maupun kontestan pemilu, dan berbagai pihak yang berkepentingan
langsung dengan pemilu.
Dalam rangka mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas,
ne­gara membentuk pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu.
DKPP memiliki kewena­ngan untuk melakukan pemeriksaan, mengadili
dan memutuskan pengaduan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sehingga kehadiran DKPP mengurangi potensi pelanggaran oleh penyelenggara pemilu.
Mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas merupakan hal
yang didambakan bangsa ini. Dengan adanya penyelenggara pemilu
yang berintegritas, harapannya dapat menghasilkan para pemimpin
yang berintegritas. Untuk itulah, tema ini dirasa perlu diangkat pada
Jurnal Ide KPU Jatim bulan November 2016. Di dalam Jurnal akan membahas berbagai upaya yang telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu
untuk menjunjung integritas, evaluasi terhadap integritas penyelenggara pemilu, serta masukan-masukan yang bermanfaat bagi peningkatan
integritas penyelenggara pemilu.
Terakhir, Kami menyadari bahwa Jurnal Ide ini masih memiliki ba­
nyak kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik yang
memba­ngun sangat diharapkan. Akhirnya Kami berharap, semoga Jurnal ini dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan kuantitas mutu
penyelenggaraan pemilu maupun pengambil kebijakan di masa yang
akan datang. Salam. r
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
1
Daftar Isi
Hal
3
Penyelenggara Pemilu Berintegritas
Adalah Kebutuhan
Hal
15
12
Internalisasi Nilai Dasar Organisasi
(Upaya Mewujudkan Penyelenggara
Pemilu Berintegritas)
Hal
20
Keterbukaan Menjadikan Pemilu
Berintegritas
24
Harga Mati Penyelenggara Pemilu:
Independen, Integritas, Profesional
Hal
Peran Strategis Stakeholder Dalam
Pemilu dan Pilkada
Hal
Keterbukaan, Jembatan Meneguhkan
Penyelenggara Pemilu Berintegritas
Hal
6
9
Meneropong Integritas
Penyelenggara Pemilu
Hal
Hal
Hal
28
Variabel Pemilu:
“Free and Fair”
31
Open Data dan Penguatan
Integritas Penyelenggara Pemilu
Hal
34
Seleksi Panitia ad hoc, Mewujudkan
Penyelenggara Berintegritas
Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo
Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi:
Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki.
Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor:
Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat
Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas
Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya
Tenggilis No. 1-3 Surabaya.
2
Jurnal IDe
YAYUK DWI AGUS SULISTIORINI
Divisi SDM dan Parmas
KPU Kabupaten Tuban
Integritas merupakan konsistensi dan keteguhan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Hal ini menunjuk
pada konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip.
Penyelenggara Pemilu Berintegritas
Adalah Kebutuhan
I
ntegritas menurut Poerwadarminta berarti kebulatan, keutuhan, atau kejujuran.
Setidaknya ada tiga makna yang berkaitan
dengan integritas. Pertama, integritas sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan
kondisi kesatuan, keseluruhan, keterpaduan.
Makna ini biasanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan. Tentu yang dimaksud bukan hanya kesatuan secara fisik namun juga
kesatuan idea.
Kedua, integritas adalah “incorruptibi­lity”,
keutuhan, kebulatan, yang tak tergoyahkan,
tanpa cacat. Dalam bahasa matematika dikenal istilah integer (bahasa Latin), yang berarti
bilangan bulat tanpa pecahan. Dalam hal ini
integritas berarti konsistensi, keterpaduan
antara idea dengan perwujudan nyatanya.
Ketiga, integritas adalah kualitas moral.
Integritas dipahami sebagai kejujuran, ketulusan, kemurnian, dan kelurusan. Kualitas
jujur merupakan pilar utama kualitas moral
seseorang. Integritas tidak hanya jujur kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada diri
sendiri. Secara sederhana integritas adalah
kesesuaian antara ucapan dan tindakan.
Dengan melihat betapa besar makna
yang terkandung dalam kata integritas, maka
tidaklah berlebihan jika semua rakyat me-
naruh harapan besar penyelenggara pemilu
harus mempunyai integritas yang kuat, penyelenggara pemilu sendiri juga menanamkan jiwa Integritas ini sebagai ruh-nya, yang
wajib tertanam dalam jiwa setiap penyelenggara baik itu penyelenggara di tingkat Pusat
sampai penyelenggara di tingkat bawah (TPS)
yang bersifat ad hock. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menanamkan integritas ini dalam visinya
yang tertuang dalam Keputusan KPU Nomor
63/KPTS/KPU/2015 yang berbunyi: Menjadi
Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri,
Profesional, dan Berintegritas untuk mewujudkan Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Penyelenggara pemilu dapat dikatakan
“mempunyai integritas” apabila tindakannya
sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip
yang dipegangnya, kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara
dengan tanggungjawabnya dan sesuai de­
ngan peraturan perundang-undangan yang
mengatur pemilu tersebut. Prinsip yang dipegang penyelenggara pemilu adalah regulasi yang terkait penyelenggaraan pemilu,
baik itu Undang-Undang maupun peraturan
yang berlaku, serta kode etik. Penyelenggara
pemilu harus selalu konsisten dalam menjalankan aturan. Menjalin koordinasi dengan
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
3
stakeholders terkait dengan pendekatan komunikatif dan sinergis agar dapat mewujudkan pemilu yang berintegritas.
Jika penyelenggara pemilu sudah melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional
dan independen dengan penuh integritas
tersebut maka penyelenggara pemilu akan
mendapatkan kepercayaan publik, terutama
dari pemilih, maupun para kontestan pemilu,
baik kandidat orang per-orang ataupun partai
politik, yang berkepentingan langsung dengan
pemilu. Integritas merupakan prinsip pen­
ting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk
mendapatkan pengakuan dari pihak lain.
Untuk mencapai hasil yang maksimal
dalam penerapan integritas, Penyelenggara
Pemilu harus mengubah mindset, bahwa
integritas bagi penyelenggara bukan lagi sebagai kewajiban, namun harus mena­namkan
dalam sanubarinya sebagai bahwa itu merupakan kebutuhan. Karena jika hanya dimaknai
sebagai kewajiban, maka penerapnnya pun
bisa saja hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tidak menjadi ruh dalam jiwanya.
Namun jika Integritas itu dimaknai sebagai
kebutuhan, maka integritas akan menjadi
harga mati sebuah asa yang butuhkan, ka­
rena kita tahu bahwa sesuatu yang dikatakan
kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar
(alasan) bagi setiap individu untuk berusaha.
Pada dasarnya, manusia bekerja mempunyai
tujuan tertentu, yaitu memenuhi kebutuhan.
Nah, dengan menjadikannya Integritas sebagai kebutuhan bagi penyelenggara pemilu,
maka dampak psikologis yang akan diperoleh
sangat luar biasa. Tidak perlu lagi menunggu
perintah dari siapa pun untuk bersikap. Ka­
rena memang integritas itu kebutuhan yang
harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup,
untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya.
Berbeda lagi jika sikap integritas itu ha­
nya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, tentu mereka sekedar melakukan
untuk memenuhi tugas dan tanggungjawab
saja. Tidak dijiwai dalam hati, tentu hasil
yang akan diperoleh sungguh berbeda. Kita
analogikan dalam menjalankan Sholat yang
memang merupakan kewajiban. Jika kita
menganggap bahwa sholat hanya sebagai kewajiban, maka kita hanya akan melaksanakan
4
Jurnal IDe
sekedarnya yang penting sudah sholat untuk
menggugurkan kewajiban, terkadang juga
menunggu diperingatkan, tanpa mendalami
makna apa yang terkandung dalam ibadahnya. Namun jika kita menyadari bahwa sholat juga merupakan kebutuhan (sudah tahu
wajib), maka sholat akan dilaksanakan dan
dijiwai sepenuh hati, tanpa ada rasa berat
menjalankannya, bahkan merasa senang dan
nyaman dalam menjalankan.
Dari gambaran diatas, maka tentu kita
sebagai penyelenggara pemilu harus memegang teguh integritas. Integritas adalah kebutuhan, integritas adalah harga mati. Seperti
matematika dalam bahasa Latin integer, yang
berarti bilangan bulat tanpa pecahan. Dalam
hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara ideaa dengan perwujudan
nyatanya. Demi menghasilkan pemilu yang
berintegritas, maka wajib hukumnya diawali
dari penyelenggara yang berintegritas.
Penyelenggara pemilu mempunyai tanggung jawab moral untuk menghasilkan
proses yang berintegritas, bahkan Prof. Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa penyelenggara pemilu harus memegang prinsip rule of
law dan rule of ethic. Penyelenggara pemilu
dalam bertindak harus berdasarkan aturan
dan bisa menilai mana yang pantas dan tidak
pantas untuk dilakukan. Penyelenggara harus
mampu menjaga integritas, yaitu tidak berpihak, bahwa integritas Penyelenggaraan
Pemilu yang secara konsepsional dapat dilihat dari perspektif manajemen organisasi
Penyelenggara Pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan
menjalankan peraturan administrasi pemilu
yang meliputi pengaturan teknis-operasional
tahapan dalam bentuk perumusan peraturan
internal KPU dan Bawaslu yang sejalan de­
ngan Undang-Undang, untuk menegakkan
peraturan tindak pidana pemilu, maupun
terkait dengan pelaksanaan peraturan pe­
negakan kode etik penyelenggara pemilu.
Penegakkan kode etik penyelenggara
pemilu adalah bagian substansial dalam
membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran ethic bagi semua penyelenggara pemilu mengenai pentingnya
melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen.
Memang realita di lapangan yang terjadi
bahwa untuk mewujudkan penyelenggara
yang berintegritas juga masih dibutuhkan
perangkat lain, yaitu seperti perbaikan regulasi dilakukan dalam mengatur pelaksanaan
pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga dapat memiliki integritas yang kuat dalam menjalankan tahapan
pemilu tersebut, seiring dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, maka semakin memperkuat intergritas penyelenggara pemilu,
dengan dibentuknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan
pelanggaran etika penyelenggara pemilu de­
ngan sifat keputusan yang final dan mengikat.
Kehadiran DKPP telah menumbuhkan semangat penyelenggara pemilu untuk be­
kerja secara professional dan berintegritas.
Apalagi dalam keanggotaan DKPP, terdapat
unsur KPU, sehingga KPU juga menjadi inisiator utama dalam merumuskan peraturan
bersama tentang kode etik penyelenggara
pemilu. KPU juga mendorong penyelenggara
secara berjenjang untuk mengadukan secara
langsung penyelenggara di bawahnya yang
diduga kuat terlibat pelanggaran pemilu.
Sikap proaktif tersebut sebagai bukti bahwa
KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang
menjadi pengambil kebijakan dan pemberi
dukungan teknis bekerja secara profesional
dan bertanggung jawab.
Penunjang lain yang dapat mendukung
adanya peningkatan Integritas Pemilu adalah
dari factor pemilih dan peserta pemilu. Karena jika yang memiliki integritas hanya penyelenggaranya saja, tentu masih akan terjadi
ketimpangan, dan kurang sempurna. Pemilih
juga memiliki peran besar dalam menghasilkan pemilu berintegritas. Karena pemilih yang
baik harus memiliki integritas pula. Pemilih
dikatakan memiliki integritas jika pemilihpemilih tersebut bersedia dengan suka­rela
menggunakan hak pilihnya tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Demikian juga
dengan peserta pemilu juga harus memiliki
integritas missal dengan berkompetisi secara
sehat, Kompetisi yang sehat tersebut dapat
dimulai dari proses pemilihan bakal calon.
Tidak boleh ada pihak-pihak yang secara se­
ngaja, menghalang-halangi pelaksanaan hak
konstitusional warga negara untuk menjadi
kandidat dengan cara apapun, menghormati
norma peraturan perundang-undangan yang
telah dibuat dan tidak berlomba-lomba untuk melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Alhasil, jika semua pihak yang terlibat
dalam proses pemilu menjaga integritas, termasuk pemerintah yang harus netral, maka
kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil pemilu juga makin meningkat.
Sebagai penyelenggara pemilu harus menjadi motor penggerak pelaksana integritas dari
semua sector, penyelenggara pemilu harus
menjadi tauladan dalam menjaga Integritas
demi mewujudkan Pemilu berintegritas. r
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
5
SUHARDI
Divisi SDM dan Parmas
KPU Kabupaten Pacitan
Integritas Penyelenggara Pemilu
Sebuah Keharusan
Penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU (komisi pemilihan umum) Bawaslu
(badan pengawas pemilihan umum) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden
dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung oleh rakyat.
S
elain penyelenggara pemilu, terdapat
pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memiliki tugas
menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu ke­satuan
fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam pelaksanannya penyelenggara pemilu
dituntut dan dibutuhkan integritas serta
proses yang berkualitas demi menghasilkan
pemilu yang akuntabel.
Pemilu berintegritas tidak hanya menjadi
konsentrasi negara-negara maju dan berkembang tetapi sudah menjadi fokus perbaikan
kualitas demokrasi negara-negara di dunia.
Sistem demokrasi modern yang dianut ne­
gara-negara maju dan berkembang melalui
masing-masing aktor pemimpin negara dunia
sudah mulai mengangkat tema-tema seputar
pentingnya pemilu dan demokrasi yang berintegritas.
Proses dan hasil penyelenggaraan pemilu tidak hanya demokratis tetapi betul-betul
harus berintegritas. Integritas penyelenggaraan pada semua tahapan pemilu menjadi
hal penting yang harus diperhatikan oleh pe6
Jurnal IDe
nyelenggara pemilu. Kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut memiliki peran dan
tanggungjawab strategis sekaligus jadi harapan rakyat untuk menghasilkan pemimpinpemimpin bangsa yang memiliki integritas
moral yang baik. Dengan semangat ini pula
DKPP dibentuk untuk menjaga kehormatan
kedua institusi tersebut lebih lanjut.
Integritas berasal dari bahasa Latin yaitu
integritat. Integritas dapat diartikan kebulatan, keutuhan, atau kejujuran. Setidaknya
ada tiga makna yang berkaitan dengan integritas. Pertama, integritas sebagai “unity”,
digunakan untuk menjelaskan kondisi ke­
satuan, keseluruhan, keterpaduan. Makna
ini biasanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan. Tentu yang dimaksud bukan ha­nya
ke­satuan secara fisik namun juga kesatuan
idea. Kedua, integritas adalah “incorruptibi­
lity”, keutuhan, kebulatan, yang tak tergo­
yahkan, tanpa cacat. Dalam hal ini integritas
berarti konsistensi, keterpaduan antara idea
dengan perwujudan nyatanya. Ketiga, integritas adalah kualitas moral.
Dalam konteks penyelenggara pemilu,
integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian
antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan
sesuai dengan peraturan perundang-unda­
ngan yang mengatur pemilu tersebut. Untuk
dapat melaksanakan pemilihan umum yang
dapat dipertanggungjawabkan, maka penyelenggara pemilu pada setiap tingkatan dituntut harus dapat selalu menjaga integritasnya
dalam melakukan seluruh tahapan pemilu.
Dengan integritas tersebut maka penyelenggara pemilu akan mendapatkan kepercayaan publik, terutama dari pemilih maupun para kontestan pemilu, baik kandidat
orang per-orang ataupun partai politik, yang
berkepentingan langsung dengan pemilu.
Integritas merupakan prinsip penting bagi
suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain.
Berbagai perbaikan regulasi untuk menuju penyelenggara yang berintegritas terus
dilakukan dalam mengatur pelaksanaan
pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga penyelenggara dapat
memiliki integritas yang kuat dalam men-
jalankan setiap tahapan pemilu tersebut.
Undang-undang juga memberikan mandat tentang pembentukan DKPP yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan
memutus pengaduan atau laporan adanya
dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu dengan sifat keputusan yang final dan
mengikat. Sebelum DKPP berdiri, telah ada
lembaga yang bertugas mengawasi penyelenggara pemilu, yaitu Dewan Kehormatan
Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). Namun,
wewenangnya tidak begitu kuat, karena
lembaga ini hanya difungsikan memanggil,
memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi kepada KPU dan bersifat ad hoc. Sedangkan, DKPP mempunyai kewenangan lebih kuat karena bisa melakukan
pemeriksaan, mengadili, dan memutuskan
pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara
pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan jajaran di
bawahnya. Kehadiran DKPP telah menumbuhkan semangat penyelenggara pemilu
untuk bekerja secara profesional dan berintegritas. KPU juga menjadi inisiator utama
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
7
dalam merumuskan peraturan bersama tentang kode etik penyelenggara pemilu.
KPU juga selalu mendorong penyelenggara secara berjenjang untuk mengadukan
secara langsung penyelenggara di bawahnya yang diduga kuat terlibat pelanggaran
pemilu. Sikap proaktif tersebut sebagai bukti
dan untuk memastikan bahwa KPU ingin
setiap penyelenggara pemilu yang menjadi
pengambil kebijakan dan pemberi dukungan
teknis bekerja secara profesional dan bertanggung jawab.
KPU membatasi keikutsertaan masyarakat
yang pernah menjadi panitia PPK dan PPS
dalam dua periode pemilu. Pembatasan ini
diharapkan bisa mendapatkan panitia penyelenggara pemilu yang lebih berintegritas.
Semangat yang ingin dibangun di sini ka­rena
dari banyak evaluasi terhadap panitia ad
hoc, penuh catatan walau tidak semua bermasalah. KPU ingin ada mekanisme sistem dalam rekrutmennya dalam rangka mendapatkan
penyelenggara yang berintegritas. Diharapkan
disamping dengan adanya pengkaderan penyelenggara pemilu juga dapat meminimalisir
pemikiran untuk berbuat curang dalam melaksanakan tugas kepemiluan.
Dengan majunya teknologi informasi
seperti sekarang ini, KPU menggunakan sejumlah sistem teknologi informasi dalam
mengelola setiap tahapan pemilu. Sistem
informasi tersebut diantaranya, sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi
daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi
pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON), sistem informasi
logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG). Semua sistem informasi tersebut dikelola dan berada di bawah
kendali KPU dan dapat dengan mudah untuk
diakses oleh masyarakat atau stakeholders
terkait.
Dalam menyelenggarakan pemilu Kepala
Daerah serentak tahun 2015, selain memanfaatkan dan mengembangan sistem informasi yang telah digunakan tersebut di atas,
KPU juga membuat sistem informasi yang
baru yakni sistem informasi tahapan pilkada
(SITaP). SITaP berfungsi untuk memberi kemudahan kepada KPU RI dalam menghimpun
informasi penyelenggaraan tahapan pilkada
dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
8
Jurnal IDe
di seluruh Indonesia.
Keterbukaan informasi di jajaran KPU
yang lain adalah kemudahan mengakses
berupa penghitungan suara ketika sudah
masuk dalam tahapan pemilu. Masyarakat
dengan mudah dapat mengakses informasi
hasil penghitungan suara sampai ke level
TPS sampai dengan rekapitulasi suara di kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
Sebagai wujud keterbukaan informasi
bagi masyarakat yang lain, KPU juga menyediakan Portal e-PPID (PPID online). Portal ini
hadir untuk menjawab kebutuhan akan informasi dan dokumentasi pemilu dan kepemiluan yang di butuhkan oleh masyarakat. e-PPID
dengan mudah ditemukan di laman Website
KPU dan dengan mudah pula dapat diakses
masyarakat secara langsung dan tentunya
tidak membayar alias gratis.
Upaya-upaya perbaikan tersebut telah
mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak
yang melakukan penilaian terhadap pelaksana pemilu antara lain upaya perbaikan
pemilu untuk menghadirkan pemilu yang
berkualitas dan berintegritas telah dilakukan
dari berbagai aspek.
Kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil Pemilu juga makin
me­ningkat. Masyarakat juga makin percaya
bahwa pemilu telah berjalan jujur dan adil.
Penilaian publik terhadap kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu juga cukup
memuaskan sejalan dengan perkembangan
waktu.
Pemilu bisa diselenggarakan sesuai de­
ngan mekanisme yang ada apabila penyelenggara pemilu mau konsisten menjalankan
aturan. Untuk menjamin pengakuan publik
salain penegakan integritas penyelenggara
pemilu di tingkat internal yang kuat, diperlukan juga koordinasi lintas sektor yang meliputi KPU dengan Kepolisian, TNI, Kejaksaan,
Pemerintah dan semua stakeholders terkait
dengan pendekatan komunikatif dan sinergis. Hal ini dimaksudkan agar selain bisa menyukseskan agenda-agenda nasional melalui
pemilu juga bisa menjadikan penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas. Semua komponen bangsa harus sama-sama menjadikan
momentum pemilu sebagai komitmen kebangsaan untuk mewujudkan pemilu yang
berintegritas. r
FAISAL RAHMAN
Ketua Divisi SDM dan Parmas
KPU Kabupaten Bangkalan
Meneropong
Integritas Penyelenggara Pemilu
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Oleh sebab itu kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat,
karena pemerintah hanya sebagai penyelenggara pemerintahan.
(Abraham Lincoln)
N
egara demokrasi dianggap sebagai
negara paling ideal didalam menjalankan sistem pemerintahan. Di
abad ke-21 banyak negara-negara yang asal
mulanya menganut sistem negara yang bersifat monarkhi berubah menjadi negara
demokratis. Sebab negara demokrasi adalah
negara dimana rakyat harus diprioritaskan
dalam mengambil kebijakan. Meskipun perubahan negara-negara yang bersifat monarkhi harus mengalami proses demokratisasi
setelah melakukan revolusi, namun rakyat
tetap menghendaki keberadaan negara
demokratis.
Indonesia sebagai negara yang tergolong
demokratis, tentu hak rakyat merupakan hal
yang sangat fundamental untuk dijadikan
landasan utama didalam mengambil kebijakan. Karena sejatinya kekuasaan adalah
milik rakyat. Didalam Undang-undang 1945
Bab I “Bentuk Dan Kedaulatan” Pasal 1 ayat
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Oleh sebab itu kepentingan rakyat
harus dijadikan prioritas didalam mengambil
kebijakan.Karena rakyat sebagai pemegang
kekuasaan tentu tidak ingin hanya menjadi
boneka mainan yang dijadikan alat untuk
memenuhi nafsu para pemburu kekuasaan.
Ciri negara demokratis tentu tidak terlepas dari lembaga-lembaga pemerintahan,
seperti partai politik, penyelenggara pemilu
dan lembaga-lembaga lainnya. Lembagalembaga tersebut mencerminkan bahwa
didalam menyelenggarakan pemerintahan
tentu harus terdapat wakil rakyat dengan
tujuan untuk mempermudah menyalurkan
berbagai gagasan yang menjadi hak dari ma­
sing-masing individu yang sudah ditaur didalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Namun kebebasan menyampaikan pendapat
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
9
dalam negara demokrasi harus tetap menghargai dan menjamin hak orang lain. Tuntutan keterlibatan berpartisipasi tentu menjadi
kewajiban bagi masyarakat, meskipun harus
tetap menghargai pendapat orang lain. Hal ini
dikarenakan keterlibatan warga negara dalam
membuat keputusan politik merupakan salah
satu ciri utama yang berlaku secara universal
bagi seluruh negara yang menganut sistem
demokrasi. Dalam hal ini pemerintah diwakili
lembaga Komisi Pemilihan Umum diberikan
wewenang oleh konstitusi untuk memfasilitasi
warga negara supaya dapat terlibat langsung
dalam mengambil kebijakan politik.
Adapaun keterlibatan rakyat tersebut dapat dilakukan dengan cara elitis, yaitu suatu
pendekatan melalui metode administrasi
pembuatan kebijakan umum yang menuntut para kaum elitis tanggap menyelesaikan
masalah yang menyangkut kepentingan
umum. Dan cara partisipatori, yaitu suatu
pendekatan demokratis yang menuntut
tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, demi
mendapatkan keuntungan yang didapatkan
dari demokrasi langsung. Oleh karena itu untuk menjamin hak rakyat dalam berpertisipasi langsung, negara telah menjamin melalui
penyelenggaraan pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum, Banwaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Penyelenggaraan pemilu sejatinya sudah termaktub dalam Undang Undang dasar
1945, yang merupakan dasar dari segala bentuk konstitusi bangsa indonesia. Oleh sebab
itu pemerintah di dalam membuat regulasi
harus berpedoman pada Undang Undang
dasar 1945. Sebagai negara demokratis, Indonesia mempunyai hak untuk menentukan
pemimpin negara. Hal ini sudah ditentukan
oleh Undang Undang Dasar 1945 Bab VII b
tentang pemilihan umum. Pemilihan yang
dimaksud adalah pemilihan yang harus
diselenggarakan oleh pemerintah melalui
pemilihan umum yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali. Adapun pemilihan umum tersebut diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Oleh karena itu
untuk mengatur proses pemilihan Undang
Undang Dasar menjelaskan ketentuan lebih
lanjut tentang pemilihan umum akan diatur
10
Jurnal IDe
dengan Undang-Undang.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum, yang dimaksud
dengan lembaga penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu
yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu)
sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan
perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Dae­
rah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota secara demokratis.
Penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas harus berpedoman pada azas-azas
penyelenggara pemilu. Hal ini diaturdalam
Undang-undang RI nomor 15 Tahun 2011 pasal
2 sebagai berikut: Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas: mandiri, Jujur, adil, kepastian hukum,Tertib, kepentingan umum,keterbu
kaan,proporsionalitas,profesionalitas,akuntabi
litas, efisiensi, dan efektivitas.
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara
pemilu tidak hanya berpedoman pada azasazas tersebut, namun kedua lembaga tersebut
juga dituntut melaksanakan tugasnya dengan
penuh tanggungjawab sehingga integritas kedua lembaga tersebut tidak diragukan.
Maraknya isu-isu yang disertai laporan
antar penyelenggara pemilu kepada Dewan
Kehormatan Pemilihan Umum, telah me­
ngindikasikan terjadinya krisis integritas
dalam tubuh kedua penyelenggara pemilu
tersebut. Dugaan penyalahgunaan wewenang
seperti terafiliasinya KPU dan Banwaslu dalam menyelenggarakan pemilu menimbulkan
interpretasi buruk dari kalangan masyarakat,
oleh sebab itu penyelenggara pemilu harus
kembali pada marwahnya, yaitu kembali kepada azas-azas penyelnggeraan pemilu yang
sudah diatur didalam undang-undang. Me­
ngutip pernyataan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
bahwa tidak ada alasan bagi penyelenggara
pemilu untuk tidak bisa menghasilkan proses
dan hasil penyelenggaraan pemilu yang tidak
hanya demokratis tetapi betul-betul berintegritas, karena integritas penyelenggara
pemilu menjadi persoalan yang signifikan dalam pemilihan umum, baik pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati
dan wali kota secara demokratis.
Persoalan integritas dalam tubuh penyelenggara pemilu merupakan hal penting
untuk berbenah diri. Hal dikarenakan kedua
penyelenggara pemilu (KPU dan Banwaslu)
merupakan wadah yang sangat penting untuk mengantarkan pemimipin-pemimpin
yang mempunyai moralitas dan integritas
yang tinggi. Krisis integritas penyelenggara pemilu tidak hanya menjadi kajian bagi
negara-negara berkembang, namun negaranegara demokratis yang menyelenggarakan
pemilu juga sangat meresahkan terkait de­
ngan integritas penyelenggara pemilu.
Menurut Prof. Ramlan Surbakti, secara
kopnseptual integritas penyelenggara pemilu dapat dilihat dari perspektif tata kelola
manajemen organisasi baik pengelolaan administratif, teknis dan penegakan kode etik
dalam menyelenggarakan pemilu yang tertib,
profesional, akuntabilitas dan transparan.
Untuk menciptakan pemilu yang berintegritas menurut komisi global terdapat
beberapa tantangan yang harus dihadapi
dan diselesaikan, diantaranya adalah (1)
membangun negara hukum untuk menjamin
Hak Asasi Manusia dan keadilan pemilu; (2)
membangun penyelenggara pemilu yang
independen, profesional, dan kompeten se­
hingga dipercaya publik; (3) menciptakan
institusi dan norma multi-partai yang kom-
petitif dan pembagian kekuasaan yang mendukung demokrasi sebagai sistem jaminan
keamanan bersama di antara pesaing politik;
(4) menghilangkan hambatan hukum, politik,
administratif, ekonomi, dan sosial untuk partisipasi politik yang universal dan setara; dan (5)
mengatur keuangan politik yang tak terkontrol,
tak transparan, dan remang-remang.
Pemilu demokratis akan terselenggara
dengan integritas yang tinggi, jika para penyelenggara pemilu menjalankan tugas, fungsi
dan wewenangnya sesuai dengan aturan
yang berlaku. Hal tersebut diatur dalam undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang
penyelenggara pemilu. Tugas dan wewenang
penyelenggra pemilu tidak hanya mempersiapkan program, berkoordinasi melaksanakan pemilihan umum dan menetapkan, akan
tetapi penyelenggara Pemilu dituntut harus
independen melaksanakan kewajiban, tugas
dan wewenangnya.
Sebagai negara demokratis, tentu bangsa
Indonesia mempunyai hak untuk melakukan
kontroling terhadap penyelenggara pemilu
untuk menciptakan pemilu yang berintegritas. Tentunya sesuai dengan porsinya yang
di atur didalam Undang-Undang mengingat negara kita adalah negara hukum. Oleh
sebab itu selain pengawasan langsung dari
masyarakat, tentu proses perbaikan dan pe­
nguatan sistem, SDM penyelenggaraan pemilu juga harus di benahi secara berkelanjutan
sesuai dengan perkembangan zaman. r11
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
11
MUCH. ANAM RIFAI, SH., MH.
Kasubbag Program dan Data
KPU Kabupaten Tulungagung
Internalisasi Nilai Dasar Organisasi
n
Upaya Mewujudkan Penyelenggara
Pemilu Berintegritas
Kunci pembentukan sikap dan perilaku aparatur organisasi ditentukan
oleh dua hal. Pertama, nilai dasar (basic value) yang dikembangkan
oleh tiap-tiap organisasi. Kedua, kemampuan tiap-tiap organisasi untuk
menginternalisasikan nilai dasar tersebut pada aparaturnya.
S
ebagai organisasi publik, KPU sudah
merumuskan tiga nilai dasar organisasinya yang meliputi kemandirian, integritas dan profesionalitas. Selanjutnya adalah
menginternalisasi ketiga nilai dasar organisasi tersebut ke tiap-tiap individu di KPU.
KPU menyadari pentingnya menunjukan
karakter kepada masyarakat bahwa lembaga
penyelenggara pemilu ini dapat dipercaya.
Hasil pemilu yang berupa terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD
serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Dae­
rah adalah betul-betul dari suara mereka.
Tentu kemudian harapannya dengan adanya
trust yang tinggi dari publik, maka akan ada
peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemilu serta kualitas demokrasi di Indonesia
menjadi semakin baik.
Menyadari itu KPU kemudian merumuskan nilai dasar organisasi yang sebelumnya
tersebar di berbagai peraturan perundangundangan. Nilai dasar yang merupakan hasil
sublimasi dari tiga peraturan. Pertama, sifat KPU yang diatur dalam UUD yakni tetap,
mandiri, dan nasional. Kedua, asas penye12
Jurnal IDe
lenggara Pemilu yang diatur dalam UU No.
15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu .
Ketiga, Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan
DKPP tentang Etika Penyelenggara Pemilu.
Jadi nilai dasar organisasi KPU sebenarnya
sudah ada sejak dulu. Namun untuk memudahkan sekarang rumusannya dikompilasikan sehingga mudah dipahami.
Kemandirian (independensi) merupakan desain kelembagaan KPU sebagaimana
diamanatkan dalam UUD. Menurut Jimly
Asshidiqie, sebagai lembaga yang diberikan
wewenang untuk menyelenggara Pemilu
maka KPU dalam membuat keputusan harus
terbebas dari pengaruh para pihak baik yang
memiliki kepentingan secara langsung atau
tidak langsung. KPU tidak boleh dikendalikan oleh partai politik yang notabene adalah
peserta pemilu dan/atau pejabat yang memcerminkan kepentingan politik tertentu. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur independensi KPU yakni seluruh aparatur
KPU dilarang untuk bersikap partisan, harus
bersikap adil kepada semua pihak dan dalam
membuat keputusan harus sesuai dengan
mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta tidak dipengaruhi
oleh pihak lain.
Selain kemandirian, KPU dalam bekerja
dituntut untuk memiliki integritas dan kemampuan bertindak secara profesional. Integritas
secara sederhana dapat didefinisikan melakukan suatu perbuatan sesuai dengan perkataan
(integrity is doing what we say will do).
Agni Indriani menguraikan 5 faktor yang
dapat melemahkan integritas: (1) Rendahnya
nilai religiusitas, disiplin serta etika dalam
bekerja serta adanya sifat tamak, egois dan
mementingkan diri sendiri; (2) Tidak adanya
good will serta keteladanan dari pemimpin
untuk meningkatkan integritas. Keputusan
pemimpin yang berlawanan dengan ketentuan perundang-undangan dapat menyebabkan runtuhnya integritas; (3) Sistem dan
prosedur yang tidak transparan dan efektif;
(4) Struktur organisasi yang tidak sistematis,
tidak memiliki tujuan yang jelas, tumpang
tindih pembagian tugas dan adanya persai­
ngan yang tidak sehat; (5) Budaya kerja yang
tidak mementingkan integritas.
Integritas yang kuat akan melahirkan sosok yang mampu bertindak secara profesional dalam organisasi. Seseorang yang memiliki suatu keahlian untuk melakukan pekerjaan
secara efektif, efisien dan memiliki hasil yang
baik. Selain itu seorang profesional haruslah
mampu memprioritaskan kepentingan lembaga daripada kepentingan individunya. Dalam
konteks pemilu misalnya, maka pribadi yang
profesional adalah yang memiliki keah­lian di
bidang kepemiluan secara komprehensif.
Penyelenggara pemilu yang profesional
mutlak dibutuhkan untuk menjamin Pemilu dilaksanakan sesuai dengan asas-asas
kepemiluan yang diatur dalam UUD. Ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu dapat
berdampak pada lemahnya legalitas hasil
pemilu. Pelanggaran-pelanggaran terhadap
asas pemilu akan dianggap sebagai sesuatu
yang wajar saja.
Internalisasi Nilai Dasar Organisasi, Strategi
dan Metode
Sebagaimana yang sudah disinggung
sebelumnya, problem yang dihadapi oleh
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
13
KPU saat ini adalah nilai dasar organisasi
belum terinternalisasi dengan baik pada
aparatur organisasi. Berdasarkan hasil riset
Elektoral Research Institute saat melakukan
evaluasi penyelenggaraan pemilu legislatif
di beberapa provinsi, kondisi tersebut kemudian menyebabkan terjadinya ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu utamanya
badan ad hoc. Dampaknya ada beberapa
penyelenggara pemilu yang kemudian diberhentikan oleh DKPP karena terbukti melanggar etika penyelenggara pemilu . Jika kondisi
itu tidak mau terulang, mau tidak mau langkah cepat untuk melakukan internalisasi nilai
dasar organisasi harus segera dilakukan.
Peter L Berger menjelaskan bahwa internalisasi adalah proses pemaknaan atas
suatu fenomena, realitas, konsep atau ajaran kepada tiap-tiap individu. Dari definisi
tersebut, penulis menyimpulkan bahwa internalisasi adalah serangkaian upaya untuk
mena­namkan nilai-nilai atau ajaran tertentu
kepada individu melalui metode-metode tertentu. Sedangkan internaliasinilai dasar KPU
adalah serangkaian upaya untuk menanamkan nilai dasar organisasi KPU kepada aparatur KPU melalui metode-metode tertentu.
Muhaimin membagi 3 tahapan internaliasi yang dikaitkan dengan pembinaan: (1)
Tahap Transformasi Nilai. Pada tahapan ini
proses yang dilakukan adalah menginformasikan nilai mana yang baik dan mana yang
buruk; (2) Tahap Transaksi Nilai. Ada komunikasi dua arah, atau interaksi timbal balik
antara pihak yang melakukan penanaman
nilai dengan pihak yang menerima penanaman nilai; (3) Tahap Transinternalisasi. Tahap
ini lebih mendalam. Bukan hanya interaksi
saja. Pada tahap ini internalisasi dilakukan
melalui metode komunikasi kepribadian. Internalisasi dilakukan melalui keteladanan.
Berlandaskan pada landasan teoritik di
atas, penulis berpendapat internalisasi nilai
dasar KPU dapat dilakukan melalui beberapa
metode. Tentu saja metode tersebut masih
bisa dikembangkan lagi sesuai dengan efektivitasnya. Metode internalisasi nilai dasar
KPU sebagai berikut:
Pertama, melakukan sosialisasi nilai
dasar organisasi. Setiap aparatur penyelenggara pemilu harus memahami nilai dasar
KPU, baik untuk jajaran komisioner maupun
14
Jurnal IDe
sekretariat. Nilai dasar KPU harus masuk dalam hati tiap-tiap aparatur penyelenggara
Pemilu sehingga perilaku dan sikap mereka
senantiasa sejalanan dengan nilai dasar KPU.
Khusus pada badan ad hoc, setelah dilakukan
recruitmen, langkah yang harus segera dilakukan adalah menanamkan nilai dasar organisasi kepada mereka melalui serangkaian
kegiatan sosialisasi atau pelatihan.
Kedua, membangun profesionalitas penyelenggara pemilu melalui serangkaian ke­
giatan pendidikan atau sekolah pemilu secara berkelanjutan dengan kurikulum yang
jelas. Ketiga, menciptakan sistem penilaian
terhadap kepatuhan menjalankan nilai dasar
secara periodik. Hal ini dilakukan supaya ada
mekanisme kontrol dan evaluasi terhadap
perilaku aparatur KPU apakah sudah sesuai
dengan nilai dasar KPU atau belum. Keempat,
memberikan keteladanan kepemimpinan terhadap kepatuhan menjalankan nilai dasar organisasi. Baik Agni Indriani maupun Muhaimin
bersepakat bahwa keteladanan pemimpin
adalah bentuk internalisasi suatu nilai dalam
organisasi. Kelima, menciptakan lingkungan
kerja yang kompetitif, berlandaskan pada religiusitas, moralitas dan kejujuran.
Setelah melakukan internalisasi dapat
dilakukan evaluasi sebagai metode untuk
mengetahui apakah aparatur penyelenggara
pemilu dalam bertindak sudah sesuai dengan
nilai dasar KPU atau belum. Indikator mudah
yang digunakan untuk mengukur adalah data
jumlah penyelenggara pemilu yang diberhentikan oleh DKPP dan data penyelenggara
pemilu yang terbukti menyalahgunakan kewenangan baik yang berdampak secara administratif maupun pidana.
Dalam beberapa kesempatan, baik Ketua
KPU RI maupun Anggota KPU RI telah me­
ngingatkan kepada seluruh aparatur penyelenggara pemilu untuk berpegang teguh
pada nilai dasar KPU ketika bertindak dan
mengambil keputusan. Boleh jadi hal itu dapat disebut sebagai rangkaian upaya untuk
melakukan internalisasi nilai dasar KPU kepada aparatur KPU. Namun menurut hemat
penulis upaya tersebut masih bersifat sporadis dan tidak tersistematis dengan baik. Sudah waktunya KPU melakukan sistematisasi
untuk menanamkan nilai dasar KPU kepada
seluruh jajaran KPU di Indonesia. r
AHMAD HANAFI
Divisi SDM dan Parmas
KPU Kabupaten Jember
Keterbukaan, Jembatan Meneguhkan
Penyelenggara Pemilu Berintegritas
Integritas merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa latin
yaitu integ­rer yang diserap bahasa Inggris menjadi integrity. Menurut Cambrige Dictionary, integritas dimaknasi sebagai kejujuran
“honesty” dan kesatuan “unity”.
K
amus oxford mengartikan integritas
sebagai mutu yang menunjukkan kejujuran dan teguh dalam memegang
prinsip-prinsip moral. Integritas juga didefinisikan sebagai keseluruhan “wholeness”
dan kesatuan “unity”. Pengertian lainnya
menurut wikipedia, integritas secara umum
sebagai pilihan personal untuk meneguhkan
konsistensi standart moral dan etika. Integritas merupakan lawan kata munafik “hypoc­
risy”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan
yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
Dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan,
Integritas merupakan wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan
bernegara.
Dari pengertian di atas bisa ditarik
benang merah makna integritas. Pertama,
integritas sebagai kejujuran dan konsistensi
dalam memegang prinsip moral dan etika.
Integritas dalam hal ini merujuk pada kualitas personal masing-masing orang dalam
memegang teguh prinsip moral dan etika.
Kualitas jujur merupakan pilar utama kualitas
moral seseorang. Integritas tidak hanya jujur
kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada
diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan.
Kedua, integritas merujuk pada kesatuan,
keseluruhan, keterpaduan antara ide dan
tindakan dalam menegakkan prinsip moral
dan etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam konteks penyelenggara pemilu,
integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian
antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut.
Penyelenggara Pemilu Berintegritas
Penyelenggara Pemilu berintegritas maksudnya, secara personal setiap penyelenggara Pemilu memegang teguh prinsip moral
dan etika dalam menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya dalam menyelengarakan
Pemilu. Sehingga muara dari integritas penyelenggara pemilu kemudian melahirkan
wibawa kelembagaan penyelenggara pemilu
yang akuntabel sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang mengaturnya.
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
15
Jimly Asshiddiqie, ketua DKPP, menyatakan bahwa integritas penyelenggaraan pemilu secara konsepseptual dapat dilihat dari
perspektif manajemen organisasi penyelenggara pemilu yang tertib dan professional, baik
dalam kerangka mengelola dan menjalankan
peraturan administrasi pemilu, menegakkan
peraturan tindak pidana pemilu, maupun
terkait dengan pelaksanaan peraturan pe­
negakan kode etik penyelenggara pemilu.
Penegakkan kode etik penyelenggara
pemilu adalah bagian substansial dalam
membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran etik bagi semua penyelenggara pemilu mengenai pentingnya
melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen.
DKPP Sebagai Instrumen Meneguhkan Integritas Penyelenggara Pemilu
Berbagai perbaikan regulasi dilakukan dalam mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk
mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga
dapat memiliki integritas yang kuat dalam
menjalankan tahapan pemilu tersebut.
Berbagai regulasi tersebut antara lain,
independensi dan integritas penyelenggara
pemilu makin kuat setelah terbitnya Undang
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Undang undang ini
memberikan mandat pembentukan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan yang
final dan mengikat.
Terkait indikasi pelanggaran prinsip integritas dan independensi penyelenggara
pemilu, pasca pelaksanaan pemilu legislatif
9 April 2014, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima banyak
pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode
etik oleh jajaran penyelenggara pemilu. Sejak pasca pemilu legislatif (April) hingga 11
Juni 2014, DKPP telah memberhentikan
81 orang penyelenggara pemilu, memberikan peringatan keras kepada 82 orang, dan
merehabilitasi 55 orang karena tidak terbukti
melanggar kode etik. Modus pelanggarannya beragam, antara lain mengisi formulir C1
tidak di tempat yang ditentukan yaitu tempat
16
Jurnal IDe
pemungutan suara (TPS) sehingga tidak ada
pengawasan. Dari jumlah yang diberhentikan, mencakup unsur KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan struktur dari
tingkat kabupaten/kota hingga penyelenggara tingkat kelurahan/desa.
Dalam laporan tahunan DKPP, selama
Juni 2015-Juni 2016, DKPP telah menerima
pengaduan sebanyak 585 perkara. Dari jumlah tersebut terbagi dalam dua kategori,
pe­ngaduan berdasarkan pilkada dan penga­
duan non pilkada.
Jumlah pengaduan terkait pilkada seba­
nyak 493 perkara dan non Pilkada 92 perkara. Terhadap jajaran KPU: sebagian besar
ditujukan kepada anggota KPU kabupaten/
kota, ada 1.111 orang. Selanjutnya, KPU
provinsi sebanyak 174 orang, dan KPU RI sebanyak 12 orang. Sementara itu, terhadap
jajaran pengawas Pemilu: Panwas kabupaten/
kota sebanyak 372 orang, Bawaslu Provinsi
sebanyak 55 orang, dan Bawaslu RI sebanyak
15 orang. Satu orang Teradu (penyelenggara
Pemilu) bisa diadukan lebih dari satu kali. Sedangkan pengaduan non pilkada sebanyak 92
perkara. Sebagian besar Pengadu dilakukan
oleh masyarakat atau pemilih sebanyak 53, dan
oleh peserta Pemilu atau paslon sebanyak 20.
Hasil verifikasi, perkara yang laik sidang
menjadi 278 perkara. Dari jumlah tersebut,
terkait Pilkada sebanyak 251 perkara, pemilu
legislatif sebanyak 9 perkara dan non tahapan
pemilu sebanyak 18 perkara.
Hasil putusan, DKPP telah merehabilitasi 509 penyelenggara pemilu yang terkait
de­ngan pilkada, 19 penyelenggara pemilu
terkait non pilkada. Sanksi peringatan atau
teguran sebanyak 223 penyelenggara pemilu
terkait Pilkada dan 30 orang untuk non pilkada. Sanksi pemberhentian sementara seba­
nyak 4 orang untuk pilkada dan non pilkada
sebanyak 3 orang. Ada pun yang diberhentikan tetap terkait pilkada sebanyak 60 orang,
dan non pilkada sebanyak 15 orang.
Pada tahun 2015 lalu, ada 110 perkara
yang melibatkan 468 penyelenggara pemilu
dari berbagai tingkatan yang diadukan ke
DKPP. Dari aduan tersebut DKPP memutuskan pemberhentian tetap 48 orang, 44
pemberhentian tetap, diberi peringatan 125,
dibatalkan 13, dan selebihnya direhabilitasi
karena tidak terbukti.
Ketua DKPP, Jimly Assiddiqie mengakui
bahwa jumlah perkara yang berakhir pada
putusan pemberhentian penyelenggara
pemilu, baik pemberhentian tetap maupun
sementara, sejak lembaga ini dibentuk tahun
2012, dari waktu ke waktu terus berkurang.
Ini menunjukkan bahwa integritas penyelenggara pemilu semakin baik.
Penindakan hukum melalui DKPP ini
tentu saja menjadi instrumen penting dalam
menekan tingkat pelanggaran etik dan mo­
ral penyelenggara pemilu. Buktinya, angka
pemberhentian penyelenggara pemilu sebagaimana yang diakui ketua DKPP, semakin
menurun. Namun demikian, upaya menguatkan integritas penyelenggara pemilu melalui
sistem operasional penyelenggaraan pemilu
jauh lebih penting sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pelanggaran, sekaligus
mengoptimalkan pelayanan kepada publik.
Keterbukaan Sebagai Jembatan Meneguhkan Integritas
Arif Budiman menyatakan bahwa dalam
hal tata kelola pemilu pada pemilu 2014 ba­
nyak terobosan yang telah dilakukan KPU untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas
dan berintegritas. Terobosan ini setidaknya
menyasar tiga aspek utama yakni (1) menata
akses informasi publik; (2) menjamin hak
konstitusional warga Negara; (3) menjaga
otentisitas suara rakyat.
Penataan akses informasi publik dilakukan dengan menerapkan sistem informasi
dalam pengelolaan pemilu. KPU menggunakan sejumlah sistem teknologi informasi
dalam mengelola tahapan pemilu DPR, DPD
dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014 yakni sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi
daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi
pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON); sistem informasi
logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG).
Pada Pilkada serentak tahun 2015, KPU
membuat satu sistem informasi yang baru
yakni sistem informasi tahapan pilkada (SITaP). SITaP berfungsi untuk memberi kemudahan kepada KPU RI dalam menghimpun
informasi penyelenggaraan tahapan pilkada
dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
di seluruh Indonesia.
Diantara sistem informasi yang dibuat
KPU, yang paling dikenal dan mendapatkan
apresiasi publik adalah keterbukaan informasi penghitungan suara. Masyarakat dapat mengakses informasi hasil penghitungan
suara sampai ke level TPS. Melalui sistem
informasi penghitungan suara, masyarakat
bisa melihat hasil perolehan suara mulai dari
semua TPS yang ada.
Komitmen KPU untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas melalui keterbukaan informasi ini dikuatkan dengan Peraturan KPU (PKPU) No 1 tahun 2015 tentang
Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik.
KPU juga meluncurkan layanan informasi publik melalui E-PPID. Melalui E-PPID ini KPU RI
hingga KPU Kab/Kota menyediakan data dan
informasi tentang KPU dan Pemilu yang bisa
diakses oleh masyarakat secara online. r
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
17
KPU Jawa Timur
Pelantikan Sekretaris KPU Kabupaten Bondowoso, Sekretaris KPU Kabupaten Lumajang, dan PJ.
Kepala Kasubbag Umum Kota Blitar; Aula Kantor KPU Jawa Timur (lt.2); 4 Oktober 2016.
Rapat Koordinasi Tahapan Penyelenggaraan Pilkada Kota Batu; di Kantor KPU
Jawa Timur; 5 Oktober 2016.
Rapat Koordinasi Pemantapan Pegawai Melalui Video Konferensi Bersama KPU Provinsi
se-Indonesia; 7 Oktober 2016.
18
18
JurnalIDe
IDe
Jurnal
r Dalam Bingkai
Bimtek Mutarlih Tahun 2016, Pelaksanaan Penghapusan dan Pelelangan Logistik ex-Pilkada
2013 dan dan Pemilu 2014, Serta Pengelolaan SDM; di Banyuwangi; 19-20 Oktober 2016.
Pendidikan dan Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa KPU Provinsi Serta Kabupa­ten/
Kota se-Jawa Timur; Hotel Grand Mirama Surabaya; 11-13 Oktober 2016.
Ujian Sertifikasi Keahlian Tingkat Dasar Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Lingku­
ngan Sekretariat KPU se-Jawa Timur; di SMK Negeri 1 Surabaya; 14 Oktober 2016.
Suara
KPU
Jawa
Timur
2016
Suara
KPU
Jawa
Timur November
November
2016
1919
ABDILLAH ADHI
Divisi Perencanaan dan Data
KPU Kabupaten Sidioarjo
Keterbukaan Menjadikan
Pemilu Berintegritas
Setiap pelaksanaan pemilu tidak pernah lepas dari sorotan dan
kritik publik kepada penyelenggara pemilu. Salah satu aspek yang
mendapat banyak sorotan dan kritik adalah kinerja personalia
penyelenggara pemilu.
P
ada Pemilu Legislatif 2014, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengidentifikasi pelanggaran Sebanyak 3507 pelanggaran jenisnya bermacam-macam, dari
Pelanggaran Pidana, Administrasi dan Etik.
“Total pelanggaran sekarang ini mencapai
3.507 kasus. Rinciannya, pelanggaran pidana
209 kasus, administrasi 3238 kasus, dan Pelanggaran Etik dibawa ke DKPP 42 kasus. Bukan kategori pelanggaran pemilu 18 kasus,”
ujar anggota Bawaslu, Nasrullah, pada Jumat
18 Maret 2014.
Sumber DKPP, jumlah putusan pelanggaran
Kode Etik Penyelenggara Pemilu selama tahun
2014, berjumalah 278 putusan. Dari 278 putusan tersebut terdiri atas 334 perkara pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Jumlah
tersebut meningkat dibanding perkara tahun
2012 dan 2013 DKPP yaitu 127 putusan.
Sementara pada gelaran pilkada serentak
2015 kata ketua DKPP Prof. Jimly Assiddiqie
mengatakan “Sekarang sudah 100 lebih yang
20
Jurnal IDe
melapor ke DKPP, kurang lebih terkait dengan tahapan pencalonannya, banyak sekali.”
Berdasar data tersebut menggambarkan betapa Integritas penyelenggara
pemilu masih menjadi persoalan serius di
tataran praksis proses perjalanan kehidupan
demokrasi Indonesia. Dan akan selalu dipahami sebagai sebuah konsekwensi logis apabila kita berkaca pada iklim demokrasi pasca
reformasi, yaitu sebuah proses perjalanan
dan pembelajaran panjang berdemokrasi.
Proses demokrasi yang sedang berjalan
masih banyak dipandang sebagai tatanan
aturan dan mekanisme semata, yang pada
fase ini kelihatan begitu terikat dan terjebak
pada pattern adminstratif dan regulatif dan
masih jauh dari substantif. Dan karena itu,
demokrasi yang telah berhasil diwujudkan
itu sering disebut sekadar demokrasi mekanis, belum mencapai demokrasi substantif
(Janedri M. Gaffar, 2012 : 43).
Ada beberapa variable yang mempe­
ngaruhi terlaksananya pemilu yang dapat
diterima oleh berbagai pihak. Tujuh prinsip
yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu,
independence (kemandirian), impartial­
ity (non-partisan), integrity (keujujuran dan
keutuhan), transparency (keterbukaan), effi­
ciency (efisien), profesionalism (kompetensi)
dan service-mindedness (jiwa pengabdian
masyarakat). Selain itu, satu prinsip yang
tidak kalah penting untuk dijadikan sebagai
landasan nilai dalam membangun lembaga
penyelenggara pemilu adalah accountability
(pertanggung jawaban).
Menyoal tentang Integritas, yang secara
umum mencakup tiga variabel besar penyelenggaraan pemilu yaitu penyelenggara
Pemilu (KPU dan Bawaslu), peserta pemilu
dan pemilih pemilu. Fokus pada aspek Integritas penyelenggara pemilu dan bagaimana
mencoba memformulasikan bentuk ideal Penyelenggara pemilu yang berIntegritas, de­
ngan mengambil sudut pandang fakta teknis
untuk mencoba melihat lebih detail terhadap
permasalahan yang masih timbul. Karena Integritas adalah karakter paling mendasar sebagai bekal personalia demokrasi.
Dalam etika, integritas diartikan sebagai
kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy
(hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan
“mempunyai integritas” apabila tindakannya
sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip
yang dipegangnya (Wikipedia). Gambaran
dari karakter yang “Integrated” dapat kita
lihat dari sosok mulia Rasulullah dengan
Shidiq (Benar), Amanah (Terpercaya), Tabligh
(Komunikatif, Transparan) dan Fatanah (Cerdas dan Kompeten)
Dalam konteks penyelenggara pemilu,
integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian
antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut.
Integritas penyelenggaraan Pemilu yang
secara konseptual dapat ilihat dari perspektif manajemen organisasi penyelenggara
Pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan menjalankan
peraturan administrasi pemilu yang meliputi
pengaturan teknis-operasional tahapan dalam bentuk perumusan peraturan internal
KPU dan Bawaslu yang sejalan dengan Undang-Undang, menegakkan peraturan tindak pidana Pemilu, maupun terkait dengan
pelaksanaan peraturan penegakan kode etik
penyelenggara Pemilu (Jimly A.)
Dengan pengimplementasian integritas
tersebut, penyelenggara akan mendapatkan
kepercayaan publik, terutama dari pemilih,
maupun para kontestan pemilu, baik kandidat orang per-orang ataupun partai politik,
yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi
suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain.
Sehubungan dengan upaya membangun
karakter lembaga yang ber integritas dan
profesional tersebut langkah yang terstruktur, sistematis dan beekelanjutan terus dilakukan oleh KPU berupa:
(a) Upaya berani KPU membuka akses pe­
ngawasan dari masyarakat, semua pihak
bisa membuat pengaduan terhadap ki­
nerja penyenggara;
(b) Norma larangan dua periode jabatan
penyelenggara yang diharapkan disam­
ping adanya pengkaderan penyelenggara
juga diharapkan dapat meminimalisir
pemikiran untuk berbuat curang dalam
melaksanakan tugas kepemiluan;
(c) Pemanfaatan sistem teknologi informasi
dalam mengelola tahapan pemilu DPR,
DPD dan DPRD serta pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2014 yakni sistem
informasi partai politik (SIPOL), sistem
informasi daerah pemilihan (SIDAPIL),
sistem informasi pendaftaran pemilih
(SIDALIH), sistem informasi pencalonan
(SILON); sistem informasi logistik (SILOG)
dan sistem informasi penghitungan suara
(SITUNG). Semua sistem informasi tersebut dikelola dan berada di bawah kendali KPU dan dapat untuk diakses oleh
masyarakat atau stakeholders terkait;
(d) Pemilu Kepala Daerah serentak tahun
2015, KPU membuat satu sistem informasi yang baru yakni sistem informasi
tahapan pilkada (SITaP);
(e) Peningkatan akuntabilitas pelaporan
keuangan dengan SiMonika (Sistem InSuara KPU Jawa Timur
November 2016
21
formasi Monitoring Keuangan); (f) Publikasi Jaringan Informasi dan Dokumentasi Hukum (JDIH) yang memuat peraturan
dan keputusan yang telah ditetapkan
oleh KPU;
(g) Sistem Pergantian antar waktu (SIMPAW)
DPR dan DPRD. Sistem tersebut dibuat
untuk mengakomodasi proses pergantian antarwaktu (PAW) yang dinilai tertutup oleh masyarakat;
(h) Keterbukaan Informasi Penyelenggara
dengan SIPP (Sistem Informasi Penyelenggara Pemilu);
(i) Reformasi Birokrasi;
(j) Pencanangan Rumah Pintar Pemilu si
2015;
(k) Layanan Pengadaan Secara Elektronik
(LPSE) untuk meningkatkan integritas penyelenggaraan pemilu terkait pengadaan
dan distribusi logistik ke TPS;
(l) Akses permintaan data untuk masyarakat
melalui PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi);
(m)Zona Integritas (ZI) yang merupakan
upa­ya pencegahan korupsi, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan
melaksanakan reformasi birokrasi secara
berkelanjutan;
(n) terobosan berani transparasi dengan
program scanning dan publish C1 dimulai
dihari yang sama pada hari pencoblosan
dan masih banyak lagi program dan inovasi yang lainnya.
Sebuah catatan luar biasa ditorehkan
oleh KPU pada pemilu nasional 2014 sebagai bentuk upaya serius, terus menerus dan
berkesinambungan dalam upaya menciptakan pemilu berintegritas, dibuktikan dengan
Indek Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun
2014 yang meningkat dibanding tahun 2013.
Pengukuran indek demokrasi yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
IDI tahun 2014 mencapai 73,04 dalam skala
indeks 0-100 atau naik 9,32 poin dibandingkan dengan IDI 2013 yang ca­paiannya sebesar 63,72. Hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan The International Foundation
for Electoral Systems (IFES) pada Oktober
2014 menyimpulkan bahwa secara umum
masyarakat Indonesia menilai positif ter­
hadap pemilu 2014.
22
Jurnal IDe
Mereka juga percaya bahwa pemilu telah
berjalan jujur dan adil. Publik juga menilai kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu
cukup memuaskan. Tingkat kepuasan publik
terhadap pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 mencapai 76 persen puas
dan 11 persen menyatakan sangat puas.
Publik juga menilai pengorganisasian
penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden tahun 2014 sudah baik. Dalam pemilu le­
gislatif, 81 persen menyatakan baik, 7 persen sangat baik. Di pemilu presiden, 82 persen
menyatakan baik, 8 persen sangat baik.
Pada akhirnya dari sistem regulasi yang
menaungi
kelembagaan penyelenggara
pemilu (KPU dan BAWASLU) sedikit banyak
sudah bisa memberi jaminan kepada publik
tentang integritas penyelenggara pemilu,
dan lebih menjanjikan lagi bahwa kodifikasi
UU Pemilu yang bertujuan menggabungan
empat UU terkait ke dalam satu UU, yakni UU
No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No 15/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU No 8/2012
tentang Pemilihan Umum, dan UU No 8/2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) dan sudah dimasukan dalam
Program Le­gislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
Draft final sudah masuk di pembahasan DPR
akan segera dibahas untuk persiapan pemilu
se­rentak 2019 diharapkan bisa memberikan
landasan legal formal penyelenggara pemilu
yang lebih sederhana, aplikatif, efektif dan
efisien dalam pelaksanaannya.
Dari sisi birokrasi pun demikian dan reformasi birokrasi yang sudah berjalan diharapkan tercipta efesiensi dan efektifitas output
kinerja, peningkatan sistem pengawasan dan
pelaporan kinerja baik dari komisioner dan
sekertariat diimbangi dengan peningkatan
UK dan tunjangan kinerja.
Tersisa faktor sumber daya manusia
nya (SDM), itupun lebih kepada persoalan
mentalitas dan moralitas, karena dari segi
kompetensi kepemiluan sistem rekruitmen
terbuka yang diterapkan KPU sedikit ba­nyak
memungkinkan bisa tersaring SDM yang
kapabel dan sejalan dengan itu agenda nasional gerakan Reformasi Mental menjadi
koheren dan sejalan dengan upaya internal
KPU itu sendiri.
Beberapa upaya guna mendukung agenda peningkatan integritas penyelenggara
pemilu juga patut dilakukan sebagai bentuk
koreksi dan evaluasi dari skema yang sudah
berjalan:
a. Memperjelas dan mempertajam indikator persyaratan penyelenggara yang ada
dalam undang undang dengan dibarengi
petunjuk teknis mengarah kepada bagaimana profil sebenarnya dari calon
dengan fasilitasi yang lebih luas terhadap
masukan masyarakat dan ada meka­
nisme verifikasi ke lapangan terhadap
profil calon penyelenggara;
b. Mekanisme sistem rekruitmen tim seleksi KPU, pilihan terhadap tim seleksi yang
berbasis akedemisi, tokoh masyarakat,
tokoh agama dan profesional tetap sebagai sesuatu yang ideal dan melihat fakta
bahwa problem utama adalah mental
akan sangat bijak bila penitik-beratan
aspek keagamaan (tidak membedakan
agama) karena pada aspek rekam jejak
moral dari calon timsel ini bisa dijadikan
indikator utama;
c. Dengan sistem rekruitmen timsel seperti
di atas akan otomatis berkecenderungan
yang sama pada mekanisme rekruitmen
anggota KPU, yang mengutamkan profil
sdm yang bermoral serta beretika bagus
dan pola yang sama akan diberlakukan
untuk rekrutmen badan penyelenggara
ad-hoc ppk, pps dan kpps;
d. Desain sosialisasi yang lebih ditingkatkan
dengan target atensi yang lebih tinggi
dari masukan masyarakat, lebih lebih di
era digital tidak semua akses media berkorelasi biaya dan harus ada niatan kuat
untuk berani terbuka oleh semua pihak
agar filtrasi bisa betul betul menghasilkan para penyelenggara terbaik;
e. Kebersamaan dan kolektifitas bisa menjadi alat ampuh untuk mengontrol kecen­
derungan penyelewengan dan tindakan
non-integritas dalam bentuk peningkatan
etos kerja, disiplin jam kerja, pe­nguatan
kelembagaan, jadwal kajian rutin kepemiluan bagi penyelenggara, harmonisasi
hubungan antara komisio­ner dan sekretariat dalam bentuk kegiatan bersama
adalah upaya bisa dilakukan;
f. Penguatan, perluasan kewenangan dan
peningkatan status badan tetap di tingkat kabupaten/kota untuk bawaslu akan
menjadi tren bagus dalam hal komunikasi dan kerjasama kpu dan Bawaslu
kabupaten/kota, karena diakui atau tidak
perbedaan status tetap dan ad-hoc dari
panwas seringkali menjadi faktor utama
adanya hubungan yang kurang harmonis, miss interpretation, miss perception,
overleap kewenangan dan problem regulasi. Penguatan status ini secara otomatis
berimbas pada tuntutan profesionalitas
dan kinerja hingga fungsi proses pe­
ngawasan bisa optimal dan output akhir
adalah integritas proses tahapan pemilu
yang di kelola KPU;
g. Wacana penguatan DKPP dengan sekretariat mandirinya juga sesuatu yang
positif menjawab problem akses yang selama ini terjadi, sehingga kinerja pengawasan dan kontrol jauh lebih maksimal;
h. Terciptanya dan terpeliharanya collective
good will menuju perbaikan demokrasi
dengan semangat abdi negara adalah semangat yang harus terus dipelihara sebagai tanggungjawab bersama mengemban
amanah rakyat;
i. Penegakan hukum baik pemilu dan pidana yang berani, serta sistem reward
dan punishment akan bisa berimplikasi
positif kepada komitmen integritas.
Sebagai kesimpulan pemandangan yang
bertolak belakang dari satu sisi dapat dilihat
sebuah fakta keberhasilan dan kesuksesan
buah dari upaya tulus, kerja keras yang terus
menerus dilakulan KPU disehadapkan pada
kenyataan bahwa fakta fakta pelanggaran
dan kecurangan akan terus terjadi di setiap
gelaran pemilu yang mencederai integritas
penyelenggara, menyadarkan pada kita bahwa semua merupakan proses panjang yang
harus dilakukan konsisten dari generasi ke
generasi, upaya perbaikan terus menerus
menuju tatanan demokrasi yang mapan tidak
boleh berhenti dilakukan dan dengan penuh
harapan dan keyakinan bahwa setiap usaha
perbaikan membawa pada level demokrasi
yang lebih tinggi dan semoga demokrasi
kita di masa datang terus membaik menuju
demokrasi substansial. r
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
23
MOH. HAMZAH
Ketua KPU Kabupaten Pamekasan
Harga Mati Penyelenggara Pemilu:
Independen, Integritas, Profesional
Dinamika perkembangan sistem pemilu yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan begitu cepat, bahkan hingga saat
ini persoalan pemilu tidak pernah berhenti diperbincangkan, acap
menjadi topik diskusi yang dilakukan secara formal maupun informal
di kalangan akademisi, pengamat politik dan ketatanegaraan.
S
aat ini Komisi Pemilihan Umum sebagai
lembaga penyelenggara pemilu sudah
menapaki tahapan pemilihan kepala
daerah serentak gelombang kedua yang
akan dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 15
Februari 2017. Pada penyelenggaraan pemilihan kepada daerah kali ini diikuti sebanyak
7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota, yakni
kepala daerah yang periodenya berakhir pada
semester kedua 2016 dan kepala daerah
yang masa jabatannya berakhir 2017. Hampir pasti pada setiap penyeleggaraan pemilu
termasuk pemillihan kepala daerah ini selalu
ada yang berperkara dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Hingga pelaksanaan pemilihan kepada daerah serentak 2015 terdapat kurang
lebih 147 gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan sebagian besar materi
gugatan yang diajukan adalah penyelenggara yang dianggap tidak profesional atau
tidak kredibel dalam melaksanakan tugas
kepemiluan yang telah diamanatkan dalam
undang-undang. Sepengetahuan penulis dari
24
Jurnal IDe
sejumlah gugatan tersebut maka ada 7 (tujuh) gugatan yang dilanjutkan, dari gugatan
yang dilanjutkan hanya 5 (lima) gugatan yang
diterima untuk dilakukan pemilihan ulang.
Terlepas berapa pun yang dilanjutkan atau
yang diterima keadaan itu harus menjadi
bahan evaluasi bagi penyelenggara pemilu
dalam merencanakan dan melaksanakan
suatu pemilu atau pemilihan kepala daerah
(pilkada) dengan baik yang dapat diterima
oleh semua pihak dengan legitimasi kuat dalam proses demokrasi.
Ada sejumlah variable yang mempenga­
ruhi pelaksanaan pemilu yang dapat diterima
oleh berbagai pihak seperti yang dijelaskan
oleh Alan Wall dkk, dalam Arif Ma’ruf Suha
(2014:17) dalam bukunya berjudul “Electoral Management Desaign” menetapkan
tujuh prinsip untuk menjamin legitimasi
dan kredibilitas penyelenggara pemilu yaitu:
independence, impartiality, integrity, trans­
parency, efficiency, proffessionalism dan
service-mindedness. Disampin tujuh prinsip
itu, ada satu prinsip yang tidak kalah penting
untuk dijadikan sebagai landasan nilai dalam
membangun lembaga penyelenggara pemilu
adalah accountability. Pada dasarnya prinsipprinsip tersebut juga sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan
umum yang dapat menjamin pelaksanaan
hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional
serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan
akuntabilitas.
Berkaitan dengan hal tersebut selengkapnya dijelaskan pada pasal 109 sampai
dengan pasal 115. Sehubungan hal tesebut
maka salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu termasuk
pilkada adalah integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu itu sendiri, yaitu
Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kedua institusi
ini merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu yang diamanatkan oleh
undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing dengan tetap
menjunjung tinggi kredibilitas dan akun­
tabilitasnya. Tentu semua pelaksanaan tugas
dan kewenangannya ini berpedoman pada
sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan
tugas sebagai penyelenggara pemilihan.
Penyelenggara Pemilu Berintegritas dan Independen
Integritas dapat diartikan pula sebagai
suatu sikap dan keadaan konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan yang
nyata. Kemudian integritas berkaitan pula
dengan kualitas moral. Secara umum integritas dapat dipahami sebagai kejujuran, ketulusan, kemurnian, dan kelurusan. Kejujuran
merupakan pilar utama kualitas moral seseorang. Dalam hal integritas tidak hanya jujur
kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada
diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan.
Dalam penyelenggaraan pemilu kesesuaian
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
25
antara ucapan dan tindakan ini bagi penyelenggara sangat diharapkan semua pihak, sebagaimana pelaksanaan pemilu tahun 1955
yang berlngsung sangat demokratis dan damai di tengah kuatnya ikatan primoldial yang
membelenggu parpol dan masyarakat pada
saat itu. Namun sangat disayangkan setelah
pemilihan umum tahun 1955 pemerintah Orde
Lama tidak lagi melakukan pemilihan umum,
bahkan legislatif menyatakan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup, hal ini berakhir
sampai kejatuhan Bung Karno se­telah peristiwa G 30 S/PKI (Inu Kencana Syafii dkk: 100).
Hadirnya lembaga pemilu yang bersifat
independen menjadi penting dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis, bebas
dari intervensi, dan kontrol pemerintah yang
sedang berkuasa (Arif Ma’ruf Suha (2014: 34).
Untuk dapat melaksanakan pemilihan umum
yang independen dan dapat dipertanggungjawabkan, maka penyelenggara pemilu ada
setiap tingkatan dari KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota maupun penyelenggara
pemilu yang bersifat ad hoc yaitu PPK, PPS
maupun KPPS dituntut harus dapat selalu
menjaga integritasnya dalam melakukan seluruh tahapan dalam pemilihan. Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat
diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan
dan perilaku seorang penyelenggara de­
ngan tanggungjawabnya dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang me­
ngatur pemilu tersebut.
Komitmen penyelenggara dengan integritas tersebut maka akan diperoleh kepercayaan publik, terutama dari pemilih, maupun para kontestan pemilu, baik kandidat
orang per-orang ataupun partai politik, yang
berkepentingan langsung dengan pemilu.
Integritas merupakan prinsip penting bagi
suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain.Dalam
rangka menjaga independesi dan integritas
bagi penyelenggara pemilu maka penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah
bagian substansial dalam memba­ngun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran etik bagi semua penyelenggara pemilu
mengenai pentingnya melaksanakan tugas
dan fungsi secara profesional dan independen. Sehubungan dengan hal itu keha­diran
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara
26
Jurnal IDe
Pemilu) menjadi penting dalam menjaga dan
mengukur independensi dan integritas penyelenggara pemilu. Untuk itulah DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam menjaga dan me­ngawal
kehormatan pemilu mengutamakan penegakan hukum dan etika (Rule Of Law and The
Rule Of Ethics) secara bersamaan bagi semua
penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Independensi dan integritas penyelenggara pemilu makin kuat setelah terbitnya Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu menjadi suatu keharusan yang tidak bias ditawar lagi. Undang Undang ini memberikan mandat pembentukan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas
memeriksa dan memutus pengaduan atau
laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan
yang final dan mengikat. Secara institusional
DKPP resmi dibentuk 12 Juni 2012. Lembaga
tersebut merupakan amanat Pasal 109 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Eksistensi lembaga ini
sebagai benteng terakhir dalam membangun
sekaligus menjaga independensi, integritas,
dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
DKPP pada hakikatnya bertujuan me­
negakkan independensi, integritas dan profesionalisme pada semua lembaga penyelenggara pemilu dengan menjunjung tinggi
kode etik yang telah disepakati bersama.
Secara spesifik institusi DKPP ini mempunyai
tujuan “menjaga kemandirian, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Propinsi atau
KIP Aceh, Anggota KPU Kabupaten/Kota atau
KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN,
dan KPPSLN, Pancasila dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengutamakan kepentingan Negara
Kesauan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan” (pasal 4
Kode Etik Penyelenggara Pemilu).
Sebenarnya lembaga yang bertugas me­
ngawasi independensi penyelenggara pemilu
sudah ada sejak tahun 2008 yaitu Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU)
akan tetapi kewenangannya tidak begitu
kuat, karena lembaga ini hanya difungsikan
memanggil, memeriksa, dan menyidangkan
hingga memberikan rekomendasi kepada
KPU dan bersifat ad hoc. Berbeda dengan
DKPP yang mempunyai kewenangan lebih
kuat karena bisa melakukan pemeriksaan,
mengadili, dan memutuskan pengaduan atau
laporan dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan penyelenggara pemilu yaitu KPU,
Bawaslu, serta semua lembaga-lembaga ad­
hoc di bawahnya masing-masing.
Dalam penetapan putusan DKPP, yaitu
berupa sanksi atau rehabilitasi, dilakukan
dalam rapat pleno DKPP setelah melakukan
penelitian atau verifikasi, mendengarkan
keterangan saksi-saksi, dan memperhatikan
bukti-bukti yang sah dan meyakinkan. Keha­
diran DKPP telah menumbuhkan semangat
penyelenggara pemilu untuk bekerja secara
professional dan berintegritas. KPU juga
menjadi inisiator utama dalam merumuskan
peraturan bersama tentang kode etik penyelenggara pemilu. Dalam menangani dugaan
pelanggaran yang dilakukan penyelenggara
di lapangan, KPU melakukan sejumlah langkah seperti klarifikasi kepada penyelenggara
yang diduga melakukan pelanggaran. Klarifikasi juga dilakukan kepada pihak di luar penyelenggara seperti pengawas untuk mendapatkan informasi pembanding.
Sebagai penyelenggara pemilu KPU juga
mendorong penyelenggara di bawahnya un-
tuk mengadukan secara langsung penyelenggara di bawahnya yang diduga kuat terlibat
pelanggaran pemilu. Sikap proaktif tersebut
sebagai bukti bahwa KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang menjadi pengambil kebijakan dan pemberi dukungan teknis
bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. KPU membatasi keikutsertaan
masyarakat yang pernah menjadi panitia PPK
dan PPS dalam dua periode pemilu. Pembatasan ini diharapkan bisa mendapat panitia penyelenggara yang lebih berintegritas.
Anggota KPU RI, Ferry Kurnia Rizkyansyah
menyatakan “Semangat yang ingin dibangun
di sini karena dari banyak evaluasi terhadap
panitia ad hoc, penuh catatan walau tidak semua bermasalah. KPU ingin ada mekanisme
merit sistem dalam rekrutmennya dalam
rangka mendapatkan PPK atau PPS yang berintegritas.”
Untuk itulah integritas dan independen
dan profesaionalisme menjadi harga mati
bagi penyelenggara pemilu dalam mengawal
proses demokrasi di negeri yang kita cintai
ini. Penyelenggaraan pemilu merupakan
tugas berat penyelenggara pemilu dengan
mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan
yang menjadi out put demokrasi dalam pelaksanaan tugas mulia penyelenggara pemilu di
Indonesia. r
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
27
SORKRISNO ADI
Divisi Hukum
KPU Kota Mojokerto
Variabel Pemilu:
“Free and Fair”
Demokratisasi yang diadopsi di negara kita pada hakikatnya
merupakan penjabaran dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
(HAM) PBB yang kemudian diuraikan dalam berbagai HAM, seperti
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
I
nter Parliament Union (IPU) pada September 1994 merinci pengertian pemilu yang
bebas dan adil itu dalam Deklarasi tentang
Kriteria Pemilu Bebas dan Adil. Namun rangkaian penyelenggaraan pemilu berdasarkan
prinsip demokrasi tak hanya menyangkut
dua hal itu merujuk Pasal 22E Ayat (1) UUD
1945 bahkan menentukan ada enam ukuran
pemilu demokratis: langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Sehingga Berbagai
UU Pemilu kemudian menambah dua kriteria lagi: transparan dan akuntabel, sehingga
untuk dapat melaksanakan pemilu yang dapat dipertanggungjawabkan, maka di perlukannya penyelenggara pemilihan umum
pada setiap tingkatan yakni mulai dari KPU,
KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun
penyelenggara Pemilu yang bersifat Adhoc
yaitu PPK, PPS maupun KPPS dituntut harus
dapat selalu menjaga integritasnya dalam
melakukan seluruh tahapan pemilu.
Oleh sebab itu salah satu faktor utama
bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu
28
Jurnal IDe
terletak pada kesiapan dan profesionalitas
penyelenggara pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pe­ngawas
Pemilu, sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Kedua institusi ini telah
diamanatkan oleh undang-undang untuk
menyelenggarakan pemilu menurut fungsi,
tugas dan kewenangannya masing-masing.
Dalam hal ini integritas berarti konsistensi,
keterpaduan antara idea dengan perwujudan
nyatanya serta integritas juga merupakan
kualitas moral.
Secara sederhana integritas adalah ke­
sesuaian antara ucapan dan tindakan serta
merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan
pengakuan dari pihak lain. Penyelenggaraan
pemilu yang secara konsepsional dapat di
lihat dari perspektif manajemen organisasi
penyelenggara pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan
menjalankan peraturan administrasi pemilu
yang meliputi pengaturan teknis-operasional
tahapan dalam bentuk perumusan peraturan
internal KPU dan Bawaslu yang sejalan de­
ngan Undang-Undang, menegakkan peraturan tindak pidana pemilu, maupun terkait
dengan pelaksanaan peraturan penegakan
kode etik penyelenggara pemilu. Penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah
bagian substansial dalam membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran
etik bagi semua penyelenggara pemilu me­
ngenai pentingnya melaksanakan tugas dan
fungsi secara professional dan independen.
DKPP sebagai lembaga penegak kode
etik penyelenggara pemilu dalam menjaga
dan mengawal kehormatan pemilu mengutamakan penegakan hukum dan etika (Rule
Of Law and The Rule Of Ethics) secara bersamaan. Berbagai upaya uapaya perbaikan
regulasi dan aturan main ( rule of the game)
dilakukan dalam mengatur pelaksanaan
pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga dapat memiliki integritas yang kuat dalam menjalankan tahapan
pemilu tersebut.
Undang Undang 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu memberikan mandat
pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan
pelanggaran etika penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan yang final dan mengikat,
sehingga DKPP mempunyai kewenangan
lebih kuat karena bisa melakukan pemeriksaan, mengadili, dan memutuskan penga­
duan atau laporan dugaan pelanggaran kode
etik yang dilakukan penyelenggara pemilu
yaitu KPU, Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Dalam menangani dugaan pelanggaran
yang dilakukan penyelenggara di lapangan,
KPU melakukan sejumlah langkah seperti
klarifikasi kepada penyelenggara yang diduga
melakukan pelanggaran. Klarifikasi juga dilakukan kepada pihak di luar penyelenggara
seperti pengawas untuk mendapatkan informasi pembanding.
KPU juga mendorong penyelenggara secara berjenjang untuk mengadukan secara
langsung penyelenggara di bawahnya yang
diduga kuat terlibat pelanggaran pemilu.
Sikap proaktif tersebut sebagai bukti bahwa
KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang
menjadi pengambil kebijakan dan pemberi
dukungan teknis bekerja secara profesional
dan bertanggungjawab.
KPU membatasi keikutsertaan masyarakat
yang pernah menjadi panitia PPK dan PPS
dalam dua periode pemilu. Pembatasan ini
diharapkan bisa mendapat panitia penyelenggara yang lebih berintegritas, sehingga
disamping adanya pengkaderan penyelenggara juga diharapkan dapat meminimalisir pemikiran untuk berbuat curang dalam
melaksanakan tugas kepemiluan dan di sisi
lain guna memperkuat kepercayaan publik
terhadap institusi penyelenggara KPU menggunakan sejumlah sistem teknologi informasi
dalam mengelola tahapan pemilu DPR, DPD
dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014 yakni sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi
daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi
pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON); sistem informasi
logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG).
Semua sistem informasi tersebut dikelola
dan berada di bawah kendali KPU dan dapat
untuk diakses oleh masyarakat atau stakeholders. Adapun suatu perwujudan baru
terhadap system informasi Dalam menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah serentak
tahun 2015 lalu, selain memanfaatkan dan
mengembangan sistem informasi yang telah
digunakan pada pemilu 2014, KPU membuat satu sistem informasi yang baru yakni
sistem informasi tahapan pilkada (SITaP).
SITaP berfungsi untuk memberi kemudahan
kepada KPU RI dalam menghimpun informasi
penyelenggaraan tahapan pilkada dari KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia.
Upaya-upaya perbaikan tersebut telah
mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak
yang melakukan penilaian terhadap pelaksana pemilu antara lain upaya perbaikan
pemilu untuk menghadirkan pemilu yang
berkualitas dan berintegritas telah dilakukan
dari berbagai aspek. Hasilnya pemilu DPR,
DPD dan DPRD serta pemilukada serentak
gelombang pertama pada tahun 2015 sehingga kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil pemilu juga makin
meningkat. Indek Demokrasi Indonesia (IDI)
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
29
pada tahun 2014 dan tahun 2015 juga me­
ningkat dibanding tahun sebelumnya. Pengukuran indek demokrasi yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan IDI
tahun 2014 mencapai 73,04 dalam skala indeks 0-100 atau naik 9,32 poin dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang capaiannya
sebesar 63,72. Capaian IDI 2014 ini masuk
dalam kategori sedang.
Meski demikian, angka tersebut sudah
melampaui target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang dipatok 73,00. Terakhir, yang paling fenomenal
adalah keterbukaan informasi penghitungan
suara sehingga masyarakat dapat mengakses
informasi hasil penghitungan suara sampai ke
level TPS. Melalui portal https://pemilu2014.
kpu.go.id publik dapat mengakses informasi
perolehan suara DPR, DPD dan DPRD Pemilu
2014 dari semua TPS, rekapitulasi suara di
kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Selanjutnya melalui portal https://pilpres2014.
kpu.go.id publik dapat mengakses informasi
perolehan suara hasil pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2014 dari semua TPS
dan rekapitulasi dari setiap kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia.
Keterbukaan informasi pemilu lewat
aplikasi scan salinan formulir C1 (sertifikat
penghitungan suara dan rincian perolehan
suara di TPS) cukup berhasil. Terbukti KPU
secara nasional mampu menghimpun, memindai, mengirim dan menayangkan scan C1
untuk pemilu DPR, DPD dan DPRD mencapai
81,5 persen dan 98,7 persen untuk pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Keterbukaan
hasil penghitungan suara di TPS juga telah
memantik kesadaran dan tanggung jawab
publik untuk mengawal proses penghitu­
ngan dan rekapitulasi berjenjang, terutama
untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden
yang sudah kita laksanakan tahun 2014,
dan tidak hanya cukup dengan tersedianya
sarana dan prasarana akses keterbukaan
informasi publik saja akan tetapi juga tidak
kalah pentingnya dan hal yang merupakan
faktor keterkaitan dengan hal yang secara
fundamental atas tercitanya penyelenggaraan pemilu adalah regulasi dan aturan main
(rule of the game), sehingga tolak ukur seluruh institusi penyelenggara dengan seluruh
jajarannya dalam hal ini kapasitas KPU dan
30
Jurnal IDe
Bawaslu sebagai penyelenggara telah menggunakan tiga kuadran utama yaitu, kapasitas
regulatif, implementatif dan administratif,
sehingga kapasitas regulatif dilihat dari kemampuan dalam menerjemahkan dan dalam
memahami undang-undang dan peraturan
lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilu, kapasitas implementatif, diukur
dengan bagaimana seluruh jajaran institusi
penyelenggara pemilu melihat sejauhmana dalam melakukan pengawasan, mulai dari masa
persiapan dan penetapan pemilih, sampai dengan masa pelantikan calon terpilih.
Termasuk dalam kapasitas implementasi
adalah bagaimana institusi penyelenggara
pemilu mendistribusikan logistik pemilu secara cepat, akurat dan sesuai dengan waktu
yang di butuhkan dan yang terakhir adalah
kapasitas administratif diukur dari institusi
penyelenggara ikhwal memutakhirkan data
pemilih, mengecek akurasi data para kontestan pemilu dan dalam menghitung pe­
rolehan suara dari masing-masing kontestan
pemilu di sisi lain penyelenggara pengawas
pemilu dalam kapasitas administratif diukur
dari kemampuannya melakukan pengawasan
dalam pemutahiran data pemilih, pengawasan atas akurasi data para kontestan para
kontestan pemilu dan pengawasan dalam
pemungutan suara sampai dengan penetapan hasil penghitungan suara masing-masing
para kontestan pemilu.
Sehingga ketika kita melihat pada indikator tersebut terlihat bahwa kapasitas atau
profesionalisme seluruh jajaran penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya
menjadi tolak ukur yang mutlak atas terselenggaranya pemilu sesuai dengan azas
demokrasi dan azas penyelengaraan pemilu,
mengingat penyelenggara pemilu adalah instrumen terpenting dalam mensukseskan
pemilu, maka di dalam institusi dan kelembagaan penyelenggara pemilu harus di isi
oleh orang orang yang mempunyai integritas,
dedikasi tinggi, kredibel, kapabel dan memiliki komitmen moral yang kuat untuk bersikap
Independen melalui proses perekrutan politik yang dilakukan secara selektif, fair serta
terbuka sehingga ketika dalam melaksakan
tugas dan kerja memiliki kredibilitas yang
baik dan dapat di pertanggung jawabkan di
mata publik. r
MUHAMMAD IMAM SUBKHI
Subbag Program dan Data
KPU Kota Kediri
Open Data dan Penguatan
Integritas Penyelenggara Pemilu
Pemilu merupakn sebuah cara mengonversi suara menjadi kursi di
parlemen dan pemimpin di eksekutif. Pemilu adalah sebuah keniscayaan yang harus dilaksanakan di Indonesia sebagai sebuah
negara yang menganut sistem demokrasi.
D
alam prosesnya, pemilu tentu akan
melibatkan hampir seluruh warga
negara yang sudah dewasa. Sebagai
sebuah arena perebutan kekuasaan secara
konstitusional di masa damai, tentu akan
menjadi sebuah pertarungan politik antar
partai politik dalam memenangkan kontestasi
politik di sebuah negara atau pemerintahan.
Pertarungan ini tentu saja ingin dimenangkan
oleh setiap orang yang tengah berkompetisi di
dalamnya. Tapi pertarungan selalu ada yang
menang dan ada yang kalah.
Pemilu menjadi arena pertarungan politik
secara periodik dalam perebutan kekuasaan.
Penyelenggara pemilu seringkali menjadi pihak
yang paling mudah disalahkan atas kekalahan
petarungan politik dalam merebut kekuasaan
oleh sebagian kelompok yang kalah. Karena
itulah penyelenggara pemilu harus menjalan­
kan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan pemilu dan berintegritas.
Integritas menjadi sebuah harga mati selain
bagi penyelenggara untuk menjadikan pemilu
yang legitimate.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, penyelenggaraan
pemilu melibatkan jutaan orang untuk menjadi
penyelenggara mulai tingkatan paling bawah
hingga pusat. Pemilihan umum Anggota Legislatif 2014 melibatkan 4.122.958 orang dengan
rincian berikut (tabel 1).
Tingkatan
Jumlah Personil
KPU RI
7
KPU Provinsi
167
KPU Kab/Kota
2.485
PPK
34.900
PPS
243.396
PPLN
16.900
KPPS
2.729.015
KPPSLN
3.486
Linmas
1.092.602
JUMLAH
4.122.958
Tabel 1
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
31
lenggara dengan tanggungjawabnya. Integritas
merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga
pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan
dari pihak lain. Mendapatkan kepercayaan dilakukan dengan berbagai cara, mulai melakukan transparansi anggaran dan data kepemiluan, bersikap imparsial, profesional, tidak
memboroskan anggaran dan melakukan pelayanan yang baik untuk semua pihak.
Jumlah tersebut tentu akan lebih banyak
lagi jika ditambah oleh pegawai mulai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi,
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat
PPK dan Sekretariat PPS. Karena pemilu tidak
sekedar pemungutan dan penghitungan suara saja, namun banyak kegiatan yang harus
dilakukan untuk sampai pada proses penetapan calon terpilih.
Pertaruhan integritas terkadang dihadapkan oleh alasan klasik yang berkaitan dengan
finansial. Karena para penyelenggara merasa
kurang dalam perolehan penghasilan dan
menanggung beban pekerjaan yang dirasa
berat. Secara kalkulasi, hal itu sebenarnya
kini bukan lagi menjadi alasan yang dapat
dibenarkan. Peraturan Presiden Nomor 11
Tahun 2016 telah menetapkan uang kehormatan yang lumayan untuk para penyelenggara pemilu mulai KPU RI, 34 KPU Provinsi
dan KIP Aceh, dan 497 KPU Kabupaten/Kota
dengan rincian berikut (tabel 2).
Dikutip dari paper “Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara
Pemilu”, The International IDEA menetapkan
7 prinsip yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Prinsip-prinsip tersebut yaitu:
independence, impartiality, integrity, trans­
parency, efficiency, proffessionalism dan ser­
vice-mindedness. Selain itu, satu prinsip yang
tidak kalah penting untuk dijadikan sebagai
landasan nilai dalam membangun lembaga
penyelenggara pemilu adalah accountabil­
ity. Dalam konteks penyelenggara pemilu,
integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian
antara tindakan dan perilaku seorang penye-
Tingkatan
Open Data Mengikis Kecurigaan
Kualitas penyelenggaraan pemilu secara
radikal berubah saat Pemilu 2014. KPU mampu menyajikan data secara kolosal berupa
hasil pemindaian Formulir C1 melalui aplikasi
Situng Pileg dan Pilpres kemudian dilanjutkan dengan Situng Pilkada yang merupakan
sebuah catatan baru sejarah pemilu di Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Walaupun belum mampu melaksanakan e-voting, KPU mampu menampilkan data
secara otentik dari tiap-tiap TPS dari seluruh
Indonesia. Masyarakat dapat memantau secara langsung apakah hasil perolehan suara
dari TPS tempat mereka memilih berubah
atau tidak setelah sampai di KPU. Ini tentu
saja menjawab sebuah kecurigaan banyak kalangan jika KPU melayani pemenangan salah
satu kontestan dalam pemilihan umum.
Dengan penyajian data secara terbuka
ini, KPU mampu mengendalikan “kenakalan” yang bisa saja dilakukan oleh personilnya di daerah yang mungkin saja membuka
kemungkinan terjadinya politik yang dengan
melakukan tawar-menawar dengan kontestan
untuk merubah perolehan suara. Politik uang
memang sebuah efek negatif dari penyelenggaraan pemilihan umum. Dampak negatif ini
Jumlah
Komisioner (A)
7
KIP Provinsi Aceh
7
1
7
KPU Provinsi
5
33
165
5
497
2.485
TOTAL
7
2.664
Tabel 2
Jurnal IDe
1
Jumlah
Komisioner (AxB)
KPU RI
KPU Kab/Kota
32
Jumlah
Satker (B)
muncul karena peserta pemilu yang tidak
memiliki kesiapan menerima kekalahan, sehingga yang dilakukan adalah membeli suara
rakyat untuk memperoleh kemenangan. Namun seiring perkembangan teknologi, segera
menyesuaikan diri dengan melakukan tindakan cerdas membangun sistem pengamanan
C1 secara terbuka.
Penyajian C1 secara terbuka ini menutup akses pihak-pihak yang berusaha curang.
Karena setelah pencoblosan dan penghitungan suara usai, KPU Kabupaten/Kota harus
segera mengumpulkan, memindai dan me­
ngunggah sertifikat hasil perolehan suara di
tingkat TPS di website yang disiapkan oleh
KPU. Transparansi data ini tentu akan sangat
bisa dikendalikan. Apabila petugas pengunggah data melakukan unggah data beberapa
kali dan terjadi perubahan data, akan sangat
mudah terdeteksi. KPU RI dapat segera turun ke lapangan dan memberikan sanksi ter­
hadap personilnya yang nakal. Dengan menampilkan data berupa gambar, akan sangat
mudah ketahuan apakah gambar tersebut
hasil scanning asli atau editan. Ini berbeda
dengan data angka digital biasa yang sangat
mudah untuk diubah.
Open Data atau data terbuka intinya data
tersebut dapat diakses oleh publik, dapat digunakan kembali, dan dapat digunakan oleh
siapa saja. Teknologi yang berkembang saat
ini memungkinkan data yang terbuka disalurkan dan disebarkan melalui berbagai perangkat aplikasi. Open data hasil pemilu yang
telah dilakukan KPU ini tentu saja membuat
para kontestan yang ingin merubah data
hasil pemilihan umum, berfikir seribu kali.
Melakukan kecurangan dengan merubah
data jika sebelumnya berpotensi dilakukan di
tingkat PPS hingga KPU, kini telah tertutup.
Tentu open data seperti ini adalah cara
cerdas untuk menghilangkan praktik kecura­
ngan dan menjawab kecurigaan banyak pihak
atas integritas, independensi, dan transpa­
ransi penyelenggara pemilu. Di sisi yang lain,
open data yang dilakukan oleh KPU ini memantik keterlibatan banyak pihak untuk aktif
menjaga validitas data seperti yang dilakukan
oleh kawalpemilu.org beberapa waktu lalu.
Tak hanya open data hasil pemilu, KPU
juga memberikan akses kepada masyarakat
melalui aplikasi pemutakhiran data pemilih
yaitu SIDALIH. Dengan aplikasi ini, pemilih
bisa melihat secara online melalui perangkat smartphone maupun komputer yang
terkoneksi jaringan internet apakah sudah
terdaftar sebagai pemilih atau belum, masuk
pada TPS mana dan berbagai fitur lainnya.
Penggunaan aplikasi ini tentu saja tak lepas
dari banyaknya sorotan banyak pihak atas
data pemilih yang dianggap amburadul dalam pemilihan umum sebelumnya. Komisi
Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan
Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2009 mendapatkan kritik tajam. Kritik
terhadap KPU muncul akibat mengemukanya persoalan serius dalam pelaksanaan
tahapan penyelenggaraan pemilu. Salah
satu persoalan yang cukup mendapatkan
sorotan terkait pemutakhiran daftar pemilih,
yakni akurasi Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), Daftar Pemilih Sementara
(DPS) hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap
(DPT) yang berubah-ubah hingga 3 (tiga) kali.
Tentu saja sorotan seperti ini harus menjadi
sebuah evaluasi KPU dalam penyelenggaraan
pemilu di masa berikutnya. Open data akan
meminimalisir transaksi data yang menyimpang. Selain itu, kontestan dan masyarakat
dapat menggunakan data yang ditampilkan
untuk berbagai keperluan mulai pemetaan
politik, penelitian dan keperluan lainnya.
Di sisi lain, integritas KPU juga diuji dalam
masalah pengadaan barang dan jasa baik logistik pemilu maupun barang dan jasa lainnya
untuk menunjang kegiatan pemilihan umum.
KPU harus banyak belajar dari masa lalu,
jangan sampai tersandung masalah hukum
akibat permainan dalam proses pengadaan
barang dan jasa. Baik komisioner maupun
pegawai sekretariat harus mampu menahan
diri mencari keuntungan pribadi. Peningkatan besaran uang kehormatan untuk anggota
KPU dan tunjangan kinerja untuk pegawai
sekretariat KPU, serta penghasilan lainnya
yang sah, harus menjadi sebuah refleksi diri,
karena negara telah berusaha mencukupi kebutuhan dengan memberi penghasilan yang
layak. r
Suara KPU Jawa Timur
November 2016
33
SOFYAN SAURI, SE.
Divisi Perencanaan dan Data
KPU Kota Pasuruan
Seleksi Panitia ad hoc,
Mewujudkan Penyelenggara Berintegritas
Pemilu merupakan wadah bagi setiap orang untuk mewujudkan
pilihan politiknya. Karena itu, Pemilu hendaknya menghasilkan keputusan yang dapat membawa masyarakat kepada keadilan dan kebenaran, serta mampu menetapkan wakil-wakil yang memiliki kredibilitas
dan akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat.
P
enyelenggaraan pemilu yang jujur
dan adil harus menjadi prasyarat bagi
berkembangnya proses demokrasi yang
adil dan egaliter. Semua orang memiliki hak
dan kewajiban dalam menyukseskan pemilu.
Penyelenggaraan pemilu harus mampu memenuhi rasa keadilan, serta menjadi salah
satu pilar bagi perkembangan demokrasi di
Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut juga dicantumkan
pada Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan
umum yang dapat menjamin pelaksanaan
hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional
serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan
akuntabilitas.
Berbicara masalah integritas dilihat dari
bahasanya diambil dari bahasa Inggris yaitu
integrity, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu integritat. Integritas menurut Poerwadarminta berarti kebulatan, keutuhan, atau kejujuran. Setidaknya ada tiga
makna yang berkaitan dengan integritas.
34
Jurnal IDe
Pertama, integritas sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan kondisi kesatuan,
keseluruhan, keterpaduan. Makna ini biasanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan.
Tentu yang dimaksud bukan hanya ke­satuan
secara fisik namun juga kesatuan idea. Kedua, integritas adalah “incorruptibility”, keutuhan, kebulatan, yang tak tergoyahkan, tanpa
cacat. Dalam bahasa matematika dikenal istilah integer, yang berarti bilangan bulat tanpa
pecahan.
Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan nyatanya. Ketiga, integritas adalah
kualitas moral. Umum memahami integritas
sebagai kejujuran, ketulusan, kemurnian,
dan kelurusan. Kualitas jujur merupakan pilar
utama kualitas moral seseorang. Integritas
tidak hanya jujur kepada orang lain, tetapi
juga jujur kepada diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara
ucapan dan tindakan.
Untuk dapat melaksanakan pemilihan
umum yang dapat dipertanggungjawabkan,
maka penyelenggara pemilihan umum ada
setiap tingkatan dari KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota maupun penyelenggara
Pemilu yang bersifat ad hoc yaitu PPK, PPS
maupun KPPS dituntut harus dapat selalu
menjaga integritasnya dalam melakukan seluruh tahapan pemilu.
Dalam konteks penyelenggara pemilu,
integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian
antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut.
Dengan integritas tersebut maka penyelenggara akan mendapatkan kepercayaan
publik, terutama dari pemilih, maupun para
kontestan pemilu, baik kandidat orang perorang ataupun partai politik, yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu
lembaga pelayan publik untuk mendapatkan
pengakuan dari pihak lain.
Oleh sebab itu penyelenggara pemilu
tidak hanya memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam melaksanakan tugastugasnya, akan tetapi harus mempunyai
kemampuan melaksanakan tugas secara
berintegritas untuk menghindari masalah-
masalah yang akan terjadi nantinya.
Untuk mewujudkan penyelenggara pemilu
yang berintegritas ini KPU mengambil langkah
yaitu dengan menerbitkan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2015.
Pada pasal 18 ayat 1 huruf k menjelaskan
syarat bahwa belum pernah menjabat 2 (dua)
kali sebagai Anggota PPK, PPS dan KPPS.
Pembatasan ini diharapkan bisa mendapat panitia penyelenggara yang lebih berintegritas. Semangat yang ingin dibangun di sini
karena dari banyak evaluasi terhadap panitia
adhoc, penuh catatan walau tidak semua
bermasalah. KPU ingin ada mekanisme merit
sistem dalam rekrutmennya dalam rangka
mendapatkan PPK atau PPS yang berintegritas,”( Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, SIP. M.Si).
Diharapkan dengan adanya rekrutmen panitia ad hoc tersebut adanya proses penga­
deran penyelenggara.
Disamping itu kehadiran Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota serta
jajarannya sangat menentukan terciptanya
penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Karena peran mereka adalah mengawasi dan
membantu kinerja KPU dalam menyuksesSuara KPU Jawa Timur
November 2016
35
kan penyelenggaran pemilu yang lebih baik
lagi. Oleh sebab itu hubungan yang harmonis antara dua penyelenggara pemilu dalam
menjalankan tugasnya masing-masing sangat
mempengaruhi terciptanya penyelenggaraan
pemilu yang berintegritas.
Disini perlunya adanya satu sistem komando yang harus diterapkan baik dikalangan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota
sampai ke panitia ad hoc PPK, PPS dan KPPS
dalam memahami undang-undang kepemiluan dan peraturan-peraturan yang dilahirkan
oleh KPU RI tanpa harus adanya menafsiran
yang lain terhadap undang-undang dan peraturan pemilu. Penyelenggara pemilu disetiap
tingkatan dalam melaksanakan tugasnya harus patuh dan tunduk dengan undang-undang
dan peraturan yang ada.
Begitu pun dengan Bawaslu, Baswalu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota juga
harus patuh dan tunduk terhadap undangundang dan peraturan-peraturan yang dilahirkan dari Bawaslu. Sehingga akan tercipta
satu pemahaman dan penyamaan persepsi
dalam menjalankan tugasnya masing-ma­
sing sesuai apa yang diamanahkan undangundang. Penyelenggaraan pemilu tidak akan
berjalan baik dan sukses jika diantara dua penyelenggara pemilu ini tidak memiliki konsep
36
Jurnal IDe
pemahaman yang sama.
Pembekalan dan bimbingan teknis di
tiap-tiap tingkatan panitia adhoc mulai dari
PPK, PPS, dan KPPS harus dilaksanakan dengan seksama, jangan sampai informasi yang
ada putus di salah satu tingkatan panitia ad
hoc. Oleh sebab itu dalam melaksanakan
bimbingan teknis harus benar-benar kita
kawal dengan sebaik-baiknya.
PPK, PPS, dan KPPS mempunyai beban
berat untuk menyukseskan penyelenggaraan
pemilu yang berintergritas, namun hal itu
tidak akan tercipta tanpa adanya semangat
dari mereka untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban dengan sebaik-baiknya, jujur, adil,
dan transparasi terhadap hasil pemilu yang
ada. Kesalahan-kesalahan yang ada dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya harus
dapat diminimalisir, sehingga hasil yang ada
dapat dipertangungjawabkan.
Akhirnya untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas adalah dengan
cara memperbaiki seleksi panitia ad hoc. Rekrutmen dan seleksi PPK, PPS dan KPPS harus
benar-benar dilakukan secara selektif dan
berintegritas serta profesional. Hal tersebut
akan melahirkan penyelenggara pemilu yang
benar-benar mempunyai kapasitas untuk
menjalankan tugas dan kewajibannya. r
Download