Suara KPU Jawa Timur KPU JAWA TIMUR Jurnal IDe Inspirasi Demokrasi Mengawal Demokrasi Membangun Negeri MEWUJUDKAN PENYELENGGARA PEMILU BERINTEGRITAS edisi 13 November 2016 Dari Redaksi U capan syukur Kita haturkan kepada Allah SWT., sehingga atas rahmat-Nya Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) pada bulan November 2016 telah menerbitkan Jurnal Inspirasi Demokrasi (Ide) yang ke-13. Terbitnya Jurnal Ide KPU Jatim edisi ke-13 ini tidak lepas dari kontribusi seluruh keluarga besar KPU se-Jawa Timur. Karenanya, ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya patut Kami sampaikan. Khususnya kepada Komisioner KPU Jatim, Sekretaris dan semua staf KPU Jatim yang terlibat di dalam penyusunan Jurnal Ide. “Mewujudkan Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas” menjadi tema Jurnal Ide edisi 13. Penyelenggara pemilu yang berintegritas, berarti bertindak dan berperilaku sesuai dengan tanggung jawabnya, yang mana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan integritas yang dimiliki penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maka penyelenggara pemilu akan mendapatkan kepercayaan publik. Baik dari pemilih maupun kontestan pemilu, dan berbagai pihak yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Dalam rangka mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas, ne­gara membentuk pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu. DKPP memiliki kewena­ngan untuk melakukan pemeriksaan, mengadili dan memutuskan pengaduan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sehingga kehadiran DKPP mengurangi potensi pelanggaran oleh penyelenggara pemilu. Mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas merupakan hal yang didambakan bangsa ini. Dengan adanya penyelenggara pemilu yang berintegritas, harapannya dapat menghasilkan para pemimpin yang berintegritas. Untuk itulah, tema ini dirasa perlu diangkat pada Jurnal Ide KPU Jatim bulan November 2016. Di dalam Jurnal akan membahas berbagai upaya yang telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu untuk menjunjung integritas, evaluasi terhadap integritas penyelenggara pemilu, serta masukan-masukan yang bermanfaat bagi peningkatan integritas penyelenggara pemilu. Terakhir, Kami menyadari bahwa Jurnal Ide ini masih memiliki ba­ nyak kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik yang memba­ngun sangat diharapkan. Akhirnya Kami berharap, semoga Jurnal ini dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan kuantitas mutu penyelenggaraan pemilu maupun pengambil kebijakan di masa yang akan datang. Salam. r Suara KPU Jawa Timur November 2016 1 Daftar Isi Hal 3 Penyelenggara Pemilu Berintegritas Adalah Kebutuhan Hal 15 12 Internalisasi Nilai Dasar Organisasi (Upaya Mewujudkan Penyelenggara Pemilu Berintegritas) Hal 20 Keterbukaan Menjadikan Pemilu Berintegritas 24 Harga Mati Penyelenggara Pemilu: Independen, Integritas, Profesional Hal Peran Strategis Stakeholder Dalam Pemilu dan Pilkada Hal Keterbukaan, Jembatan Meneguhkan Penyelenggara Pemilu Berintegritas Hal 6 9 Meneropong Integritas Penyelenggara Pemilu Hal Hal Hal 28 Variabel Pemilu: “Free and Fair” 31 Open Data dan Penguatan Integritas Penyelenggara Pemilu Hal 34 Seleksi Panitia ad hoc, Mewujudkan Penyelenggara Berintegritas Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi: Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki. Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor: Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya Tenggilis No. 1-3 Surabaya. 2 Jurnal IDe YAYUK DWI AGUS SULISTIORINI Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Tuban Integritas merupakan konsistensi dan keteguhan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Hal ini menunjuk pada konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Penyelenggara Pemilu Berintegritas Adalah Kebutuhan I ntegritas menurut Poerwadarminta berarti kebulatan, keutuhan, atau kejujuran. Setidaknya ada tiga makna yang berkaitan dengan integritas. Pertama, integritas sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan kondisi kesatuan, keseluruhan, keterpaduan. Makna ini biasanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan. Tentu yang dimaksud bukan hanya kesatuan secara fisik namun juga kesatuan idea. Kedua, integritas adalah “incorruptibi­lity”, keutuhan, kebulatan, yang tak tergoyahkan, tanpa cacat. Dalam bahasa matematika dikenal istilah integer (bahasa Latin), yang berarti bilangan bulat tanpa pecahan. Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan nyatanya. Ketiga, integritas adalah kualitas moral. Integritas dipahami sebagai kejujuran, ketulusan, kemurnian, dan kelurusan. Kualitas jujur merupakan pilar utama kualitas moral seseorang. Integritas tidak hanya jujur kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Dengan melihat betapa besar makna yang terkandung dalam kata integritas, maka tidaklah berlebihan jika semua rakyat me- naruh harapan besar penyelenggara pemilu harus mempunyai integritas yang kuat, penyelenggara pemilu sendiri juga menanamkan jiwa Integritas ini sebagai ruh-nya, yang wajib tertanam dalam jiwa setiap penyelenggara baik itu penyelenggara di tingkat Pusat sampai penyelenggara di tingkat bawah (TPS) yang bersifat ad hock. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menanamkan integritas ini dalam visinya yang tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 63/KPTS/KPU/2015 yang berbunyi: Menjadi Penyelenggara Pemilihan Umum yang Mandiri, Profesional, dan Berintegritas untuk mewujudkan Pemilu yang Luber dan Jurdil. Penyelenggara pemilu dapat dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya, kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan sesuai de­ ngan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut. Prinsip yang dipegang penyelenggara pemilu adalah regulasi yang terkait penyelenggaraan pemilu, baik itu Undang-Undang maupun peraturan yang berlaku, serta kode etik. Penyelenggara pemilu harus selalu konsisten dalam menjalankan aturan. Menjalin koordinasi dengan Suara KPU Jawa Timur November 2016 3 stakeholders terkait dengan pendekatan komunikatif dan sinergis agar dapat mewujudkan pemilu yang berintegritas. Jika penyelenggara pemilu sudah melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen dengan penuh integritas tersebut maka penyelenggara pemilu akan mendapatkan kepercayaan publik, terutama dari pemilih, maupun para kontestan pemilu, baik kandidat orang per-orang ataupun partai politik, yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip pen­ ting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam penerapan integritas, Penyelenggara Pemilu harus mengubah mindset, bahwa integritas bagi penyelenggara bukan lagi sebagai kewajiban, namun harus mena­namkan dalam sanubarinya sebagai bahwa itu merupakan kebutuhan. Karena jika hanya dimaknai sebagai kewajiban, maka penerapnnya pun bisa saja hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tidak menjadi ruh dalam jiwanya. Namun jika Integritas itu dimaknai sebagai kebutuhan, maka integritas akan menjadi harga mati sebuah asa yang butuhkan, ka­ rena kita tahu bahwa sesuatu yang dikatakan kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) bagi setiap individu untuk berusaha. Pada dasarnya, manusia bekerja mempunyai tujuan tertentu, yaitu memenuhi kebutuhan. Nah, dengan menjadikannya Integritas sebagai kebutuhan bagi penyelenggara pemilu, maka dampak psikologis yang akan diperoleh sangat luar biasa. Tidak perlu lagi menunggu perintah dari siapa pun untuk bersikap. Ka­ rena memang integritas itu kebutuhan yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup, untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya. Berbeda lagi jika sikap integritas itu ha­ nya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, tentu mereka sekedar melakukan untuk memenuhi tugas dan tanggungjawab saja. Tidak dijiwai dalam hati, tentu hasil yang akan diperoleh sungguh berbeda. Kita analogikan dalam menjalankan Sholat yang memang merupakan kewajiban. Jika kita menganggap bahwa sholat hanya sebagai kewajiban, maka kita hanya akan melaksanakan 4 Jurnal IDe sekedarnya yang penting sudah sholat untuk menggugurkan kewajiban, terkadang juga menunggu diperingatkan, tanpa mendalami makna apa yang terkandung dalam ibadahnya. Namun jika kita menyadari bahwa sholat juga merupakan kebutuhan (sudah tahu wajib), maka sholat akan dilaksanakan dan dijiwai sepenuh hati, tanpa ada rasa berat menjalankannya, bahkan merasa senang dan nyaman dalam menjalankan. Dari gambaran diatas, maka tentu kita sebagai penyelenggara pemilu harus memegang teguh integritas. Integritas adalah kebutuhan, integritas adalah harga mati. Seperti matematika dalam bahasa Latin integer, yang berarti bilangan bulat tanpa pecahan. Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara ideaa dengan perwujudan nyatanya. Demi menghasilkan pemilu yang berintegritas, maka wajib hukumnya diawali dari penyelenggara yang berintegritas. Penyelenggara pemilu mempunyai tanggung jawab moral untuk menghasilkan proses yang berintegritas, bahkan Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa penyelenggara pemilu harus memegang prinsip rule of law dan rule of ethic. Penyelenggara pemilu dalam bertindak harus berdasarkan aturan dan bisa menilai mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Penyelenggara harus mampu menjaga integritas, yaitu tidak berpihak, bahwa integritas Penyelenggaraan Pemilu yang secara konsepsional dapat dilihat dari perspektif manajemen organisasi Penyelenggara Pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan menjalankan peraturan administrasi pemilu yang meliputi pengaturan teknis-operasional tahapan dalam bentuk perumusan peraturan internal KPU dan Bawaslu yang sejalan de­ ngan Undang-Undang, untuk menegakkan peraturan tindak pidana pemilu, maupun terkait dengan pelaksanaan peraturan pe­ negakan kode etik penyelenggara pemilu. Penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah bagian substansial dalam membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran ethic bagi semua penyelenggara pemilu mengenai pentingnya melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen. Memang realita di lapangan yang terjadi bahwa untuk mewujudkan penyelenggara yang berintegritas juga masih dibutuhkan perangkat lain, yaitu seperti perbaikan regulasi dilakukan dalam mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga dapat memiliki integritas yang kuat dalam menjalankan tahapan pemilu tersebut, seiring dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, maka semakin memperkuat intergritas penyelenggara pemilu, dengan dibentuknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu de­ ngan sifat keputusan yang final dan mengikat. Kehadiran DKPP telah menumbuhkan semangat penyelenggara pemilu untuk be­ kerja secara professional dan berintegritas. Apalagi dalam keanggotaan DKPP, terdapat unsur KPU, sehingga KPU juga menjadi inisiator utama dalam merumuskan peraturan bersama tentang kode etik penyelenggara pemilu. KPU juga mendorong penyelenggara secara berjenjang untuk mengadukan secara langsung penyelenggara di bawahnya yang diduga kuat terlibat pelanggaran pemilu. Sikap proaktif tersebut sebagai bukti bahwa KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang menjadi pengambil kebijakan dan pemberi dukungan teknis bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. Penunjang lain yang dapat mendukung adanya peningkatan Integritas Pemilu adalah dari factor pemilih dan peserta pemilu. Karena jika yang memiliki integritas hanya penyelenggaranya saja, tentu masih akan terjadi ketimpangan, dan kurang sempurna. Pemilih juga memiliki peran besar dalam menghasilkan pemilu berintegritas. Karena pemilih yang baik harus memiliki integritas pula. Pemilih dikatakan memiliki integritas jika pemilihpemilih tersebut bersedia dengan suka­rela menggunakan hak pilihnya tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Demikian juga dengan peserta pemilu juga harus memiliki integritas missal dengan berkompetisi secara sehat, Kompetisi yang sehat tersebut dapat dimulai dari proses pemilihan bakal calon. Tidak boleh ada pihak-pihak yang secara se­ ngaja, menghalang-halangi pelaksanaan hak konstitusional warga negara untuk menjadi kandidat dengan cara apapun, menghormati norma peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan tidak berlomba-lomba untuk melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Alhasil, jika semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu menjaga integritas, termasuk pemerintah yang harus netral, maka kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil pemilu juga makin meningkat. Sebagai penyelenggara pemilu harus menjadi motor penggerak pelaksana integritas dari semua sector, penyelenggara pemilu harus menjadi tauladan dalam menjaga Integritas demi mewujudkan Pemilu berintegritas. r Suara KPU Jawa Timur November 2016 5 SUHARDI Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Pacitan Integritas Penyelenggara Pemilu Sebuah Keharusan Penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU (komisi pemilihan umum) Bawaslu (badan pengawas pemilihan umum) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. S elain penyelenggara pemilu, terdapat pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memiliki tugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu ke­satuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam pelaksanannya penyelenggara pemilu dituntut dan dibutuhkan integritas serta proses yang berkualitas demi menghasilkan pemilu yang akuntabel. Pemilu berintegritas tidak hanya menjadi konsentrasi negara-negara maju dan berkembang tetapi sudah menjadi fokus perbaikan kualitas demokrasi negara-negara di dunia. Sistem demokrasi modern yang dianut ne­ gara-negara maju dan berkembang melalui masing-masing aktor pemimpin negara dunia sudah mulai mengangkat tema-tema seputar pentingnya pemilu dan demokrasi yang berintegritas. Proses dan hasil penyelenggaraan pemilu tidak hanya demokratis tetapi betul-betul harus berintegritas. Integritas penyelenggaraan pada semua tahapan pemilu menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh pe6 Jurnal IDe nyelenggara pemilu. Kedua lembaga penyelenggara pemilu tersebut memiliki peran dan tanggungjawab strategis sekaligus jadi harapan rakyat untuk menghasilkan pemimpinpemimpin bangsa yang memiliki integritas moral yang baik. Dengan semangat ini pula DKPP dibentuk untuk menjaga kehormatan kedua institusi tersebut lebih lanjut. Integritas berasal dari bahasa Latin yaitu integritat. Integritas dapat diartikan kebulatan, keutuhan, atau kejujuran. Setidaknya ada tiga makna yang berkaitan dengan integritas. Pertama, integritas sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan kondisi ke­ satuan, keseluruhan, keterpaduan. Makna ini biasanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan. Tentu yang dimaksud bukan ha­nya ke­satuan secara fisik namun juga kesatuan idea. Kedua, integritas adalah “incorruptibi­ lity”, keutuhan, kebulatan, yang tak tergo­ yahkan, tanpa cacat. Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan nyatanya. Ketiga, integritas adalah kualitas moral. Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan sesuai dengan peraturan perundang-unda­ ngan yang mengatur pemilu tersebut. Untuk dapat melaksanakan pemilihan umum yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penyelenggara pemilu pada setiap tingkatan dituntut harus dapat selalu menjaga integritasnya dalam melakukan seluruh tahapan pemilu. Dengan integritas tersebut maka penyelenggara pemilu akan mendapatkan kepercayaan publik, terutama dari pemilih maupun para kontestan pemilu, baik kandidat orang per-orang ataupun partai politik, yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Berbagai perbaikan regulasi untuk menuju penyelenggara yang berintegritas terus dilakukan dalam mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga penyelenggara dapat memiliki integritas yang kuat dalam men- jalankan setiap tahapan pemilu tersebut. Undang-undang juga memberikan mandat tentang pembentukan DKPP yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan yang final dan mengikat. Sebelum DKPP berdiri, telah ada lembaga yang bertugas mengawasi penyelenggara pemilu, yaitu Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). Namun, wewenangnya tidak begitu kuat, karena lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi kepada KPU dan bersifat ad hoc. Sedangkan, DKPP mempunyai kewenangan lebih kuat karena bisa melakukan pemeriksaan, mengadili, dan memutuskan pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Kehadiran DKPP telah menumbuhkan semangat penyelenggara pemilu untuk bekerja secara profesional dan berintegritas. KPU juga menjadi inisiator utama Suara KPU Jawa Timur November 2016 7 dalam merumuskan peraturan bersama tentang kode etik penyelenggara pemilu. KPU juga selalu mendorong penyelenggara secara berjenjang untuk mengadukan secara langsung penyelenggara di bawahnya yang diduga kuat terlibat pelanggaran pemilu. Sikap proaktif tersebut sebagai bukti dan untuk memastikan bahwa KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang menjadi pengambil kebijakan dan pemberi dukungan teknis bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. KPU membatasi keikutsertaan masyarakat yang pernah menjadi panitia PPK dan PPS dalam dua periode pemilu. Pembatasan ini diharapkan bisa mendapatkan panitia penyelenggara pemilu yang lebih berintegritas. Semangat yang ingin dibangun di sini ka­rena dari banyak evaluasi terhadap panitia ad hoc, penuh catatan walau tidak semua bermasalah. KPU ingin ada mekanisme sistem dalam rekrutmennya dalam rangka mendapatkan penyelenggara yang berintegritas. Diharapkan disamping dengan adanya pengkaderan penyelenggara pemilu juga dapat meminimalisir pemikiran untuk berbuat curang dalam melaksanakan tugas kepemiluan. Dengan majunya teknologi informasi seperti sekarang ini, KPU menggunakan sejumlah sistem teknologi informasi dalam mengelola setiap tahapan pemilu. Sistem informasi tersebut diantaranya, sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON), sistem informasi logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG). Semua sistem informasi tersebut dikelola dan berada di bawah kendali KPU dan dapat dengan mudah untuk diakses oleh masyarakat atau stakeholders terkait. Dalam menyelenggarakan pemilu Kepala Daerah serentak tahun 2015, selain memanfaatkan dan mengembangan sistem informasi yang telah digunakan tersebut di atas, KPU juga membuat sistem informasi yang baru yakni sistem informasi tahapan pilkada (SITaP). SITaP berfungsi untuk memberi kemudahan kepada KPU RI dalam menghimpun informasi penyelenggaraan tahapan pilkada dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota 8 Jurnal IDe di seluruh Indonesia. Keterbukaan informasi di jajaran KPU yang lain adalah kemudahan mengakses berupa penghitungan suara ketika sudah masuk dalam tahapan pemilu. Masyarakat dengan mudah dapat mengakses informasi hasil penghitungan suara sampai ke level TPS sampai dengan rekapitulasi suara di kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Sebagai wujud keterbukaan informasi bagi masyarakat yang lain, KPU juga menyediakan Portal e-PPID (PPID online). Portal ini hadir untuk menjawab kebutuhan akan informasi dan dokumentasi pemilu dan kepemiluan yang di butuhkan oleh masyarakat. e-PPID dengan mudah ditemukan di laman Website KPU dan dengan mudah pula dapat diakses masyarakat secara langsung dan tentunya tidak membayar alias gratis. Upaya-upaya perbaikan tersebut telah mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak yang melakukan penilaian terhadap pelaksana pemilu antara lain upaya perbaikan pemilu untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas telah dilakukan dari berbagai aspek. Kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil Pemilu juga makin me­ningkat. Masyarakat juga makin percaya bahwa pemilu telah berjalan jujur dan adil. Penilaian publik terhadap kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu juga cukup memuaskan sejalan dengan perkembangan waktu. Pemilu bisa diselenggarakan sesuai de­ ngan mekanisme yang ada apabila penyelenggara pemilu mau konsisten menjalankan aturan. Untuk menjamin pengakuan publik salain penegakan integritas penyelenggara pemilu di tingkat internal yang kuat, diperlukan juga koordinasi lintas sektor yang meliputi KPU dengan Kepolisian, TNI, Kejaksaan, Pemerintah dan semua stakeholders terkait dengan pendekatan komunikatif dan sinergis. Hal ini dimaksudkan agar selain bisa menyukseskan agenda-agenda nasional melalui pemilu juga bisa menjadikan penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas. Semua komponen bangsa harus sama-sama menjadikan momentum pemilu sebagai komitmen kebangsaan untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas. r FAISAL RAHMAN Ketua Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Bangkalan Meneropong Integritas Penyelenggara Pemilu Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh sebab itu kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, karena pemerintah hanya sebagai penyelenggara pemerintahan. (Abraham Lincoln) N egara demokrasi dianggap sebagai negara paling ideal didalam menjalankan sistem pemerintahan. Di abad ke-21 banyak negara-negara yang asal mulanya menganut sistem negara yang bersifat monarkhi berubah menjadi negara demokratis. Sebab negara demokrasi adalah negara dimana rakyat harus diprioritaskan dalam mengambil kebijakan. Meskipun perubahan negara-negara yang bersifat monarkhi harus mengalami proses demokratisasi setelah melakukan revolusi, namun rakyat tetap menghendaki keberadaan negara demokratis. Indonesia sebagai negara yang tergolong demokratis, tentu hak rakyat merupakan hal yang sangat fundamental untuk dijadikan landasan utama didalam mengambil kebijakan. Karena sejatinya kekuasaan adalah milik rakyat. Didalam Undang-undang 1945 Bab I “Bentuk Dan Kedaulatan” Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Oleh sebab itu kepentingan rakyat harus dijadikan prioritas didalam mengambil kebijakan.Karena rakyat sebagai pemegang kekuasaan tentu tidak ingin hanya menjadi boneka mainan yang dijadikan alat untuk memenuhi nafsu para pemburu kekuasaan. Ciri negara demokratis tentu tidak terlepas dari lembaga-lembaga pemerintahan, seperti partai politik, penyelenggara pemilu dan lembaga-lembaga lainnya. Lembagalembaga tersebut mencerminkan bahwa didalam menyelenggarakan pemerintahan tentu harus terdapat wakil rakyat dengan tujuan untuk mempermudah menyalurkan berbagai gagasan yang menjadi hak dari ma­ sing-masing individu yang sudah ditaur didalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namun kebebasan menyampaikan pendapat Suara KPU Jawa Timur November 2016 9 dalam negara demokrasi harus tetap menghargai dan menjamin hak orang lain. Tuntutan keterlibatan berpartisipasi tentu menjadi kewajiban bagi masyarakat, meskipun harus tetap menghargai pendapat orang lain. Hal ini dikarenakan keterlibatan warga negara dalam membuat keputusan politik merupakan salah satu ciri utama yang berlaku secara universal bagi seluruh negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam hal ini pemerintah diwakili lembaga Komisi Pemilihan Umum diberikan wewenang oleh konstitusi untuk memfasilitasi warga negara supaya dapat terlibat langsung dalam mengambil kebijakan politik. Adapaun keterlibatan rakyat tersebut dapat dilakukan dengan cara elitis, yaitu suatu pendekatan melalui metode administrasi pembuatan kebijakan umum yang menuntut para kaum elitis tanggap menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan umum. Dan cara partisipatori, yaitu suatu pendekatan demokratis yang menuntut tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, demi mendapatkan keuntungan yang didapatkan dari demokrasi langsung. Oleh karena itu untuk menjamin hak rakyat dalam berpertisipasi langsung, negara telah menjamin melalui penyelenggaraan pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum, Banwaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Penyelenggaraan pemilu sejatinya sudah termaktub dalam Undang Undang dasar 1945, yang merupakan dasar dari segala bentuk konstitusi bangsa indonesia. Oleh sebab itu pemerintah di dalam membuat regulasi harus berpedoman pada Undang Undang dasar 1945. Sebagai negara demokratis, Indonesia mempunyai hak untuk menentukan pemimpin negara. Hal ini sudah ditentukan oleh Undang Undang Dasar 1945 Bab VII b tentang pemilihan umum. Pemilihan yang dimaksud adalah pemilihan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Adapun pemilihan umum tersebut diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Oleh karena itu untuk mengatur proses pemilihan Undang Undang Dasar menjelaskan ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum akan diatur 10 Jurnal IDe dengan Undang-Undang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum, yang dimaksud dengan lembaga penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Dae­ rah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota secara demokratis. Penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas harus berpedoman pada azas-azas penyelenggara pemilu. Hal ini diaturdalam Undang-undang RI nomor 15 Tahun 2011 pasal 2 sebagai berikut: Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas: mandiri, Jujur, adil, kepastian hukum,Tertib, kepentingan umum,keterbu kaan,proporsionalitas,profesionalitas,akuntabi litas, efisiensi, dan efektivitas. KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu tidak hanya berpedoman pada azasazas tersebut, namun kedua lembaga tersebut juga dituntut melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggungjawab sehingga integritas kedua lembaga tersebut tidak diragukan. Maraknya isu-isu yang disertai laporan antar penyelenggara pemilu kepada Dewan Kehormatan Pemilihan Umum, telah me­ ngindikasikan terjadinya krisis integritas dalam tubuh kedua penyelenggara pemilu tersebut. Dugaan penyalahgunaan wewenang seperti terafiliasinya KPU dan Banwaslu dalam menyelenggarakan pemilu menimbulkan interpretasi buruk dari kalangan masyarakat, oleh sebab itu penyelenggara pemilu harus kembali pada marwahnya, yaitu kembali kepada azas-azas penyelnggeraan pemilu yang sudah diatur didalam undang-undang. Me­ ngutip pernyataan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, bahwa tidak ada alasan bagi penyelenggara pemilu untuk tidak bisa menghasilkan proses dan hasil penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya demokratis tetapi betul-betul berintegritas, karena integritas penyelenggara pemilu menjadi persoalan yang signifikan dalam pemilihan umum, baik pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota secara demokratis. Persoalan integritas dalam tubuh penyelenggara pemilu merupakan hal penting untuk berbenah diri. Hal dikarenakan kedua penyelenggara pemilu (KPU dan Banwaslu) merupakan wadah yang sangat penting untuk mengantarkan pemimipin-pemimpin yang mempunyai moralitas dan integritas yang tinggi. Krisis integritas penyelenggara pemilu tidak hanya menjadi kajian bagi negara-negara berkembang, namun negaranegara demokratis yang menyelenggarakan pemilu juga sangat meresahkan terkait de­ ngan integritas penyelenggara pemilu. Menurut Prof. Ramlan Surbakti, secara kopnseptual integritas penyelenggara pemilu dapat dilihat dari perspektif tata kelola manajemen organisasi baik pengelolaan administratif, teknis dan penegakan kode etik dalam menyelenggarakan pemilu yang tertib, profesional, akuntabilitas dan transparan. Untuk menciptakan pemilu yang berintegritas menurut komisi global terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan, diantaranya adalah (1) membangun negara hukum untuk menjamin Hak Asasi Manusia dan keadilan pemilu; (2) membangun penyelenggara pemilu yang independen, profesional, dan kompeten se­ hingga dipercaya publik; (3) menciptakan institusi dan norma multi-partai yang kom- petitif dan pembagian kekuasaan yang mendukung demokrasi sebagai sistem jaminan keamanan bersama di antara pesaing politik; (4) menghilangkan hambatan hukum, politik, administratif, ekonomi, dan sosial untuk partisipasi politik yang universal dan setara; dan (5) mengatur keuangan politik yang tak terkontrol, tak transparan, dan remang-remang. Pemilu demokratis akan terselenggara dengan integritas yang tinggi, jika para penyelenggara pemilu menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal tersebut diatur dalam undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu. Tugas dan wewenang penyelenggra pemilu tidak hanya mempersiapkan program, berkoordinasi melaksanakan pemilihan umum dan menetapkan, akan tetapi penyelenggara Pemilu dituntut harus independen melaksanakan kewajiban, tugas dan wewenangnya. Sebagai negara demokratis, tentu bangsa Indonesia mempunyai hak untuk melakukan kontroling terhadap penyelenggara pemilu untuk menciptakan pemilu yang berintegritas. Tentunya sesuai dengan porsinya yang di atur didalam Undang-Undang mengingat negara kita adalah negara hukum. Oleh sebab itu selain pengawasan langsung dari masyarakat, tentu proses perbaikan dan pe­ nguatan sistem, SDM penyelenggaraan pemilu juga harus di benahi secara berkelanjutan sesuai dengan perkembangan zaman. r11 Suara KPU Jawa Timur November 2016 11 MUCH. ANAM RIFAI, SH., MH. Kasubbag Program dan Data KPU Kabupaten Tulungagung Internalisasi Nilai Dasar Organisasi n Upaya Mewujudkan Penyelenggara Pemilu Berintegritas Kunci pembentukan sikap dan perilaku aparatur organisasi ditentukan oleh dua hal. Pertama, nilai dasar (basic value) yang dikembangkan oleh tiap-tiap organisasi. Kedua, kemampuan tiap-tiap organisasi untuk menginternalisasikan nilai dasar tersebut pada aparaturnya. S ebagai organisasi publik, KPU sudah merumuskan tiga nilai dasar organisasinya yang meliputi kemandirian, integritas dan profesionalitas. Selanjutnya adalah menginternalisasi ketiga nilai dasar organisasi tersebut ke tiap-tiap individu di KPU. KPU menyadari pentingnya menunjukan karakter kepada masyarakat bahwa lembaga penyelenggara pemilu ini dapat dipercaya. Hasil pemilu yang berupa terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Dae­ rah adalah betul-betul dari suara mereka. Tentu kemudian harapannya dengan adanya trust yang tinggi dari publik, maka akan ada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemilu serta kualitas demokrasi di Indonesia menjadi semakin baik. Menyadari itu KPU kemudian merumuskan nilai dasar organisasi yang sebelumnya tersebar di berbagai peraturan perundangundangan. Nilai dasar yang merupakan hasil sublimasi dari tiga peraturan. Pertama, sifat KPU yang diatur dalam UUD yakni tetap, mandiri, dan nasional. Kedua, asas penye12 Jurnal IDe lenggara Pemilu yang diatur dalam UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu . Ketiga, Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP tentang Etika Penyelenggara Pemilu. Jadi nilai dasar organisasi KPU sebenarnya sudah ada sejak dulu. Namun untuk memudahkan sekarang rumusannya dikompilasikan sehingga mudah dipahami. Kemandirian (independensi) merupakan desain kelembagaan KPU sebagaimana diamanatkan dalam UUD. Menurut Jimly Asshidiqie, sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk menyelenggara Pemilu maka KPU dalam membuat keputusan harus terbebas dari pengaruh para pihak baik yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung. KPU tidak boleh dikendalikan oleh partai politik yang notabene adalah peserta pemilu dan/atau pejabat yang memcerminkan kepentingan politik tertentu. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur independensi KPU yakni seluruh aparatur KPU dilarang untuk bersikap partisan, harus bersikap adil kepada semua pihak dan dalam membuat keputusan harus sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta tidak dipengaruhi oleh pihak lain. Selain kemandirian, KPU dalam bekerja dituntut untuk memiliki integritas dan kemampuan bertindak secara profesional. Integritas secara sederhana dapat didefinisikan melakukan suatu perbuatan sesuai dengan perkataan (integrity is doing what we say will do). Agni Indriani menguraikan 5 faktor yang dapat melemahkan integritas: (1) Rendahnya nilai religiusitas, disiplin serta etika dalam bekerja serta adanya sifat tamak, egois dan mementingkan diri sendiri; (2) Tidak adanya good will serta keteladanan dari pemimpin untuk meningkatkan integritas. Keputusan pemimpin yang berlawanan dengan ketentuan perundang-undangan dapat menyebabkan runtuhnya integritas; (3) Sistem dan prosedur yang tidak transparan dan efektif; (4) Struktur organisasi yang tidak sistematis, tidak memiliki tujuan yang jelas, tumpang tindih pembagian tugas dan adanya persai­ ngan yang tidak sehat; (5) Budaya kerja yang tidak mementingkan integritas. Integritas yang kuat akan melahirkan sosok yang mampu bertindak secara profesional dalam organisasi. Seseorang yang memiliki suatu keahlian untuk melakukan pekerjaan secara efektif, efisien dan memiliki hasil yang baik. Selain itu seorang profesional haruslah mampu memprioritaskan kepentingan lembaga daripada kepentingan individunya. Dalam konteks pemilu misalnya, maka pribadi yang profesional adalah yang memiliki keah­lian di bidang kepemiluan secara komprehensif. Penyelenggara pemilu yang profesional mutlak dibutuhkan untuk menjamin Pemilu dilaksanakan sesuai dengan asas-asas kepemiluan yang diatur dalam UUD. Ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu dapat berdampak pada lemahnya legalitas hasil pemilu. Pelanggaran-pelanggaran terhadap asas pemilu akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja. Internalisasi Nilai Dasar Organisasi, Strategi dan Metode Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, problem yang dihadapi oleh Suara KPU Jawa Timur November 2016 13 KPU saat ini adalah nilai dasar organisasi belum terinternalisasi dengan baik pada aparatur organisasi. Berdasarkan hasil riset Elektoral Research Institute saat melakukan evaluasi penyelenggaraan pemilu legislatif di beberapa provinsi, kondisi tersebut kemudian menyebabkan terjadinya ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu utamanya badan ad hoc. Dampaknya ada beberapa penyelenggara pemilu yang kemudian diberhentikan oleh DKPP karena terbukti melanggar etika penyelenggara pemilu . Jika kondisi itu tidak mau terulang, mau tidak mau langkah cepat untuk melakukan internalisasi nilai dasar organisasi harus segera dilakukan. Peter L Berger menjelaskan bahwa internalisasi adalah proses pemaknaan atas suatu fenomena, realitas, konsep atau ajaran kepada tiap-tiap individu. Dari definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa internalisasi adalah serangkaian upaya untuk mena­namkan nilai-nilai atau ajaran tertentu kepada individu melalui metode-metode tertentu. Sedangkan internaliasinilai dasar KPU adalah serangkaian upaya untuk menanamkan nilai dasar organisasi KPU kepada aparatur KPU melalui metode-metode tertentu. Muhaimin membagi 3 tahapan internaliasi yang dikaitkan dengan pembinaan: (1) Tahap Transformasi Nilai. Pada tahapan ini proses yang dilakukan adalah menginformasikan nilai mana yang baik dan mana yang buruk; (2) Tahap Transaksi Nilai. Ada komunikasi dua arah, atau interaksi timbal balik antara pihak yang melakukan penanaman nilai dengan pihak yang menerima penanaman nilai; (3) Tahap Transinternalisasi. Tahap ini lebih mendalam. Bukan hanya interaksi saja. Pada tahap ini internalisasi dilakukan melalui metode komunikasi kepribadian. Internalisasi dilakukan melalui keteladanan. Berlandaskan pada landasan teoritik di atas, penulis berpendapat internalisasi nilai dasar KPU dapat dilakukan melalui beberapa metode. Tentu saja metode tersebut masih bisa dikembangkan lagi sesuai dengan efektivitasnya. Metode internalisasi nilai dasar KPU sebagai berikut: Pertama, melakukan sosialisasi nilai dasar organisasi. Setiap aparatur penyelenggara pemilu harus memahami nilai dasar KPU, baik untuk jajaran komisioner maupun 14 Jurnal IDe sekretariat. Nilai dasar KPU harus masuk dalam hati tiap-tiap aparatur penyelenggara Pemilu sehingga perilaku dan sikap mereka senantiasa sejalanan dengan nilai dasar KPU. Khusus pada badan ad hoc, setelah dilakukan recruitmen, langkah yang harus segera dilakukan adalah menanamkan nilai dasar organisasi kepada mereka melalui serangkaian kegiatan sosialisasi atau pelatihan. Kedua, membangun profesionalitas penyelenggara pemilu melalui serangkaian ke­ giatan pendidikan atau sekolah pemilu secara berkelanjutan dengan kurikulum yang jelas. Ketiga, menciptakan sistem penilaian terhadap kepatuhan menjalankan nilai dasar secara periodik. Hal ini dilakukan supaya ada mekanisme kontrol dan evaluasi terhadap perilaku aparatur KPU apakah sudah sesuai dengan nilai dasar KPU atau belum. Keempat, memberikan keteladanan kepemimpinan terhadap kepatuhan menjalankan nilai dasar organisasi. Baik Agni Indriani maupun Muhaimin bersepakat bahwa keteladanan pemimpin adalah bentuk internalisasi suatu nilai dalam organisasi. Kelima, menciptakan lingkungan kerja yang kompetitif, berlandaskan pada religiusitas, moralitas dan kejujuran. Setelah melakukan internalisasi dapat dilakukan evaluasi sebagai metode untuk mengetahui apakah aparatur penyelenggara pemilu dalam bertindak sudah sesuai dengan nilai dasar KPU atau belum. Indikator mudah yang digunakan untuk mengukur adalah data jumlah penyelenggara pemilu yang diberhentikan oleh DKPP dan data penyelenggara pemilu yang terbukti menyalahgunakan kewenangan baik yang berdampak secara administratif maupun pidana. Dalam beberapa kesempatan, baik Ketua KPU RI maupun Anggota KPU RI telah me­ ngingatkan kepada seluruh aparatur penyelenggara pemilu untuk berpegang teguh pada nilai dasar KPU ketika bertindak dan mengambil keputusan. Boleh jadi hal itu dapat disebut sebagai rangkaian upaya untuk melakukan internalisasi nilai dasar KPU kepada aparatur KPU. Namun menurut hemat penulis upaya tersebut masih bersifat sporadis dan tidak tersistematis dengan baik. Sudah waktunya KPU melakukan sistematisasi untuk menanamkan nilai dasar KPU kepada seluruh jajaran KPU di Indonesia. r AHMAD HANAFI Divisi SDM dan Parmas KPU Kabupaten Jember Keterbukaan, Jembatan Meneguhkan Penyelenggara Pemilu Berintegritas Integritas merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa latin yaitu integ­rer yang diserap bahasa Inggris menjadi integrity. Menurut Cambrige Dictionary, integritas dimaknasi sebagai kejujuran “honesty” dan kesatuan “unity”. K amus oxford mengartikan integritas sebagai mutu yang menunjukkan kejujuran dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip moral. Integritas juga didefinisikan sebagai keseluruhan “wholeness” dan kesatuan “unity”. Pengertian lainnya menurut wikipedia, integritas secara umum sebagai pilihan personal untuk meneguhkan konsistensi standart moral dan etika. Integritas merupakan lawan kata munafik “hypoc­ risy”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan, Integritas merupakan wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara. Dari pengertian di atas bisa ditarik benang merah makna integritas. Pertama, integritas sebagai kejujuran dan konsistensi dalam memegang prinsip moral dan etika. Integritas dalam hal ini merujuk pada kualitas personal masing-masing orang dalam memegang teguh prinsip moral dan etika. Kualitas jujur merupakan pilar utama kualitas moral seseorang. Integritas tidak hanya jujur kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Kedua, integritas merujuk pada kesatuan, keseluruhan, keterpaduan antara ide dan tindakan dalam menegakkan prinsip moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut. Penyelenggara Pemilu Berintegritas Penyelenggara Pemilu berintegritas maksudnya, secara personal setiap penyelenggara Pemilu memegang teguh prinsip moral dan etika dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam menyelengarakan Pemilu. Sehingga muara dari integritas penyelenggara pemilu kemudian melahirkan wibawa kelembagaan penyelenggara pemilu yang akuntabel sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang mengaturnya. Suara KPU Jawa Timur November 2016 15 Jimly Asshiddiqie, ketua DKPP, menyatakan bahwa integritas penyelenggaraan pemilu secara konsepseptual dapat dilihat dari perspektif manajemen organisasi penyelenggara pemilu yang tertib dan professional, baik dalam kerangka mengelola dan menjalankan peraturan administrasi pemilu, menegakkan peraturan tindak pidana pemilu, maupun terkait dengan pelaksanaan peraturan pe­ negakan kode etik penyelenggara pemilu. Penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah bagian substansial dalam membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran etik bagi semua penyelenggara pemilu mengenai pentingnya melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen. DKPP Sebagai Instrumen Meneguhkan Integritas Penyelenggara Pemilu Berbagai perbaikan regulasi dilakukan dalam mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga dapat memiliki integritas yang kuat dalam menjalankan tahapan pemilu tersebut. Berbagai regulasi tersebut antara lain, independensi dan integritas penyelenggara pemilu makin kuat setelah terbitnya Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Undang undang ini memberikan mandat pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan yang final dan mengikat. Terkait indikasi pelanggaran prinsip integritas dan independensi penyelenggara pemilu, pasca pelaksanaan pemilu legislatif 9 April 2014, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima banyak pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh jajaran penyelenggara pemilu. Sejak pasca pemilu legislatif (April) hingga 11 Juni 2014, DKPP telah memberhentikan 81 orang penyelenggara pemilu, memberikan peringatan keras kepada 82 orang, dan merehabilitasi 55 orang karena tidak terbukti melanggar kode etik. Modus pelanggarannya beragam, antara lain mengisi formulir C1 tidak di tempat yang ditentukan yaitu tempat 16 Jurnal IDe pemungutan suara (TPS) sehingga tidak ada pengawasan. Dari jumlah yang diberhentikan, mencakup unsur KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan struktur dari tingkat kabupaten/kota hingga penyelenggara tingkat kelurahan/desa. Dalam laporan tahunan DKPP, selama Juni 2015-Juni 2016, DKPP telah menerima pengaduan sebanyak 585 perkara. Dari jumlah tersebut terbagi dalam dua kategori, pe­ngaduan berdasarkan pilkada dan penga­ duan non pilkada. Jumlah pengaduan terkait pilkada seba­ nyak 493 perkara dan non Pilkada 92 perkara. Terhadap jajaran KPU: sebagian besar ditujukan kepada anggota KPU kabupaten/ kota, ada 1.111 orang. Selanjutnya, KPU provinsi sebanyak 174 orang, dan KPU RI sebanyak 12 orang. Sementara itu, terhadap jajaran pengawas Pemilu: Panwas kabupaten/ kota sebanyak 372 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 55 orang, dan Bawaslu RI sebanyak 15 orang. Satu orang Teradu (penyelenggara Pemilu) bisa diadukan lebih dari satu kali. Sedangkan pengaduan non pilkada sebanyak 92 perkara. Sebagian besar Pengadu dilakukan oleh masyarakat atau pemilih sebanyak 53, dan oleh peserta Pemilu atau paslon sebanyak 20. Hasil verifikasi, perkara yang laik sidang menjadi 278 perkara. Dari jumlah tersebut, terkait Pilkada sebanyak 251 perkara, pemilu legislatif sebanyak 9 perkara dan non tahapan pemilu sebanyak 18 perkara. Hasil putusan, DKPP telah merehabilitasi 509 penyelenggara pemilu yang terkait de­ngan pilkada, 19 penyelenggara pemilu terkait non pilkada. Sanksi peringatan atau teguran sebanyak 223 penyelenggara pemilu terkait Pilkada dan 30 orang untuk non pilkada. Sanksi pemberhentian sementara seba­ nyak 4 orang untuk pilkada dan non pilkada sebanyak 3 orang. Ada pun yang diberhentikan tetap terkait pilkada sebanyak 60 orang, dan non pilkada sebanyak 15 orang. Pada tahun 2015 lalu, ada 110 perkara yang melibatkan 468 penyelenggara pemilu dari berbagai tingkatan yang diadukan ke DKPP. Dari aduan tersebut DKPP memutuskan pemberhentian tetap 48 orang, 44 pemberhentian tetap, diberi peringatan 125, dibatalkan 13, dan selebihnya direhabilitasi karena tidak terbukti. Ketua DKPP, Jimly Assiddiqie mengakui bahwa jumlah perkara yang berakhir pada putusan pemberhentian penyelenggara pemilu, baik pemberhentian tetap maupun sementara, sejak lembaga ini dibentuk tahun 2012, dari waktu ke waktu terus berkurang. Ini menunjukkan bahwa integritas penyelenggara pemilu semakin baik. Penindakan hukum melalui DKPP ini tentu saja menjadi instrumen penting dalam menekan tingkat pelanggaran etik dan mo­ ral penyelenggara pemilu. Buktinya, angka pemberhentian penyelenggara pemilu sebagaimana yang diakui ketua DKPP, semakin menurun. Namun demikian, upaya menguatkan integritas penyelenggara pemilu melalui sistem operasional penyelenggaraan pemilu jauh lebih penting sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pelanggaran, sekaligus mengoptimalkan pelayanan kepada publik. Keterbukaan Sebagai Jembatan Meneguhkan Integritas Arif Budiman menyatakan bahwa dalam hal tata kelola pemilu pada pemilu 2014 ba­ nyak terobosan yang telah dilakukan KPU untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Terobosan ini setidaknya menyasar tiga aspek utama yakni (1) menata akses informasi publik; (2) menjamin hak konstitusional warga Negara; (3) menjaga otentisitas suara rakyat. Penataan akses informasi publik dilakukan dengan menerapkan sistem informasi dalam pengelolaan pemilu. KPU menggunakan sejumlah sistem teknologi informasi dalam mengelola tahapan pemilu DPR, DPD dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yakni sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON); sistem informasi logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG). Pada Pilkada serentak tahun 2015, KPU membuat satu sistem informasi yang baru yakni sistem informasi tahapan pilkada (SITaP). SITaP berfungsi untuk memberi kemudahan kepada KPU RI dalam menghimpun informasi penyelenggaraan tahapan pilkada dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Diantara sistem informasi yang dibuat KPU, yang paling dikenal dan mendapatkan apresiasi publik adalah keterbukaan informasi penghitungan suara. Masyarakat dapat mengakses informasi hasil penghitungan suara sampai ke level TPS. Melalui sistem informasi penghitungan suara, masyarakat bisa melihat hasil perolehan suara mulai dari semua TPS yang ada. Komitmen KPU untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas melalui keterbukaan informasi ini dikuatkan dengan Peraturan KPU (PKPU) No 1 tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik. KPU juga meluncurkan layanan informasi publik melalui E-PPID. Melalui E-PPID ini KPU RI hingga KPU Kab/Kota menyediakan data dan informasi tentang KPU dan Pemilu yang bisa diakses oleh masyarakat secara online. r Suara KPU Jawa Timur November 2016 17 KPU Jawa Timur Pelantikan Sekretaris KPU Kabupaten Bondowoso, Sekretaris KPU Kabupaten Lumajang, dan PJ. Kepala Kasubbag Umum Kota Blitar; Aula Kantor KPU Jawa Timur (lt.2); 4 Oktober 2016. Rapat Koordinasi Tahapan Penyelenggaraan Pilkada Kota Batu; di Kantor KPU Jawa Timur; 5 Oktober 2016. Rapat Koordinasi Pemantapan Pegawai Melalui Video Konferensi Bersama KPU Provinsi se-Indonesia; 7 Oktober 2016. 18 18 JurnalIDe IDe Jurnal r Dalam Bingkai Bimtek Mutarlih Tahun 2016, Pelaksanaan Penghapusan dan Pelelangan Logistik ex-Pilkada 2013 dan dan Pemilu 2014, Serta Pengelolaan SDM; di Banyuwangi; 19-20 Oktober 2016. Pendidikan dan Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa KPU Provinsi Serta Kabupa­ten/ Kota se-Jawa Timur; Hotel Grand Mirama Surabaya; 11-13 Oktober 2016. Ujian Sertifikasi Keahlian Tingkat Dasar Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Lingku­ ngan Sekretariat KPU se-Jawa Timur; di SMK Negeri 1 Surabaya; 14 Oktober 2016. Suara KPU Jawa Timur 2016 Suara KPU Jawa Timur November November 2016 1919 ABDILLAH ADHI Divisi Perencanaan dan Data KPU Kabupaten Sidioarjo Keterbukaan Menjadikan Pemilu Berintegritas Setiap pelaksanaan pemilu tidak pernah lepas dari sorotan dan kritik publik kepada penyelenggara pemilu. Salah satu aspek yang mendapat banyak sorotan dan kritik adalah kinerja personalia penyelenggara pemilu. P ada Pemilu Legislatif 2014, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengidentifikasi pelanggaran Sebanyak 3507 pelanggaran jenisnya bermacam-macam, dari Pelanggaran Pidana, Administrasi dan Etik. “Total pelanggaran sekarang ini mencapai 3.507 kasus. Rinciannya, pelanggaran pidana 209 kasus, administrasi 3238 kasus, dan Pelanggaran Etik dibawa ke DKPP 42 kasus. Bukan kategori pelanggaran pemilu 18 kasus,” ujar anggota Bawaslu, Nasrullah, pada Jumat 18 Maret 2014. Sumber DKPP, jumlah putusan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu selama tahun 2014, berjumalah 278 putusan. Dari 278 putusan tersebut terdiri atas 334 perkara pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Jumlah tersebut meningkat dibanding perkara tahun 2012 dan 2013 DKPP yaitu 127 putusan. Sementara pada gelaran pilkada serentak 2015 kata ketua DKPP Prof. Jimly Assiddiqie mengatakan “Sekarang sudah 100 lebih yang 20 Jurnal IDe melapor ke DKPP, kurang lebih terkait dengan tahapan pencalonannya, banyak sekali.” Berdasar data tersebut menggambarkan betapa Integritas penyelenggara pemilu masih menjadi persoalan serius di tataran praksis proses perjalanan kehidupan demokrasi Indonesia. Dan akan selalu dipahami sebagai sebuah konsekwensi logis apabila kita berkaca pada iklim demokrasi pasca reformasi, yaitu sebuah proses perjalanan dan pembelajaran panjang berdemokrasi. Proses demokrasi yang sedang berjalan masih banyak dipandang sebagai tatanan aturan dan mekanisme semata, yang pada fase ini kelihatan begitu terikat dan terjebak pada pattern adminstratif dan regulatif dan masih jauh dari substantif. Dan karena itu, demokrasi yang telah berhasil diwujudkan itu sering disebut sekadar demokrasi mekanis, belum mencapai demokrasi substantif (Janedri M. Gaffar, 2012 : 43). Ada beberapa variable yang mempe­ ngaruhi terlaksananya pemilu yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Tujuh prinsip yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu, independence (kemandirian), impartial­ ity (non-partisan), integrity (keujujuran dan keutuhan), transparency (keterbukaan), effi­ ciency (efisien), profesionalism (kompetensi) dan service-mindedness (jiwa pengabdian masyarakat). Selain itu, satu prinsip yang tidak kalah penting untuk dijadikan sebagai landasan nilai dalam membangun lembaga penyelenggara pemilu adalah accountability (pertanggung jawaban). Menyoal tentang Integritas, yang secara umum mencakup tiga variabel besar penyelenggaraan pemilu yaitu penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), peserta pemilu dan pemilih pemilu. Fokus pada aspek Integritas penyelenggara pemilu dan bagaimana mencoba memformulasikan bentuk ideal Penyelenggara pemilu yang berIntegritas, de­ ngan mengambil sudut pandang fakta teknis untuk mencoba melihat lebih detail terhadap permasalahan yang masih timbul. Karena Integritas adalah karakter paling mendasar sebagai bekal personalia demokrasi. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya (Wikipedia). Gambaran dari karakter yang “Integrated” dapat kita lihat dari sosok mulia Rasulullah dengan Shidiq (Benar), Amanah (Terpercaya), Tabligh (Komunikatif, Transparan) dan Fatanah (Cerdas dan Kompeten) Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut. Integritas penyelenggaraan Pemilu yang secara konseptual dapat ilihat dari perspektif manajemen organisasi penyelenggara Pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan menjalankan peraturan administrasi pemilu yang meliputi pengaturan teknis-operasional tahapan dalam bentuk perumusan peraturan internal KPU dan Bawaslu yang sejalan dengan Undang-Undang, menegakkan peraturan tindak pidana Pemilu, maupun terkait dengan pelaksanaan peraturan penegakan kode etik penyelenggara Pemilu (Jimly A.) Dengan pengimplementasian integritas tersebut, penyelenggara akan mendapatkan kepercayaan publik, terutama dari pemilih, maupun para kontestan pemilu, baik kandidat orang per-orang ataupun partai politik, yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Sehubungan dengan upaya membangun karakter lembaga yang ber integritas dan profesional tersebut langkah yang terstruktur, sistematis dan beekelanjutan terus dilakukan oleh KPU berupa: (a) Upaya berani KPU membuka akses pe­ ngawasan dari masyarakat, semua pihak bisa membuat pengaduan terhadap ki­ nerja penyenggara; (b) Norma larangan dua periode jabatan penyelenggara yang diharapkan disam­ ping adanya pengkaderan penyelenggara juga diharapkan dapat meminimalisir pemikiran untuk berbuat curang dalam melaksanakan tugas kepemiluan; (c) Pemanfaatan sistem teknologi informasi dalam mengelola tahapan pemilu DPR, DPD dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yakni sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON); sistem informasi logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG). Semua sistem informasi tersebut dikelola dan berada di bawah kendali KPU dan dapat untuk diakses oleh masyarakat atau stakeholders terkait; (d) Pemilu Kepala Daerah serentak tahun 2015, KPU membuat satu sistem informasi yang baru yakni sistem informasi tahapan pilkada (SITaP); (e) Peningkatan akuntabilitas pelaporan keuangan dengan SiMonika (Sistem InSuara KPU Jawa Timur November 2016 21 formasi Monitoring Keuangan); (f) Publikasi Jaringan Informasi dan Dokumentasi Hukum (JDIH) yang memuat peraturan dan keputusan yang telah ditetapkan oleh KPU; (g) Sistem Pergantian antar waktu (SIMPAW) DPR dan DPRD. Sistem tersebut dibuat untuk mengakomodasi proses pergantian antarwaktu (PAW) yang dinilai tertutup oleh masyarakat; (h) Keterbukaan Informasi Penyelenggara dengan SIPP (Sistem Informasi Penyelenggara Pemilu); (i) Reformasi Birokrasi; (j) Pencanangan Rumah Pintar Pemilu si 2015; (k) Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk meningkatkan integritas penyelenggaraan pemilu terkait pengadaan dan distribusi logistik ke TPS; (l) Akses permintaan data untuk masyarakat melalui PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi); (m)Zona Integritas (ZI) yang merupakan upa­ya pencegahan korupsi, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan melaksanakan reformasi birokrasi secara berkelanjutan; (n) terobosan berani transparasi dengan program scanning dan publish C1 dimulai dihari yang sama pada hari pencoblosan dan masih banyak lagi program dan inovasi yang lainnya. Sebuah catatan luar biasa ditorehkan oleh KPU pada pemilu nasional 2014 sebagai bentuk upaya serius, terus menerus dan berkesinambungan dalam upaya menciptakan pemilu berintegritas, dibuktikan dengan Indek Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun 2014 yang meningkat dibanding tahun 2013. Pengukuran indek demokrasi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan IDI tahun 2014 mencapai 73,04 dalam skala indeks 0-100 atau naik 9,32 poin dibandingkan dengan IDI 2013 yang ca­paiannya sebesar 63,72. Hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan The International Foundation for Electoral Systems (IFES) pada Oktober 2014 menyimpulkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia menilai positif ter­ hadap pemilu 2014. 22 Jurnal IDe Mereka juga percaya bahwa pemilu telah berjalan jujur dan adil. Publik juga menilai kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu cukup memuaskan. Tingkat kepuasan publik terhadap pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 mencapai 76 persen puas dan 11 persen menyatakan sangat puas. Publik juga menilai pengorganisasian penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden tahun 2014 sudah baik. Dalam pemilu le­ gislatif, 81 persen menyatakan baik, 7 persen sangat baik. Di pemilu presiden, 82 persen menyatakan baik, 8 persen sangat baik. Pada akhirnya dari sistem regulasi yang menaungi kelembagaan penyelenggara pemilu (KPU dan BAWASLU) sedikit banyak sudah bisa memberi jaminan kepada publik tentang integritas penyelenggara pemilu, dan lebih menjanjikan lagi bahwa kodifikasi UU Pemilu yang bertujuan menggabungan empat UU terkait ke dalam satu UU, yakni UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No 15/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU No 8/2012 tentang Pemilihan Umum, dan UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) dan sudah dimasukan dalam Program Le­gislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Draft final sudah masuk di pembahasan DPR akan segera dibahas untuk persiapan pemilu se­rentak 2019 diharapkan bisa memberikan landasan legal formal penyelenggara pemilu yang lebih sederhana, aplikatif, efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Dari sisi birokrasi pun demikian dan reformasi birokrasi yang sudah berjalan diharapkan tercipta efesiensi dan efektifitas output kinerja, peningkatan sistem pengawasan dan pelaporan kinerja baik dari komisioner dan sekertariat diimbangi dengan peningkatan UK dan tunjangan kinerja. Tersisa faktor sumber daya manusia nya (SDM), itupun lebih kepada persoalan mentalitas dan moralitas, karena dari segi kompetensi kepemiluan sistem rekruitmen terbuka yang diterapkan KPU sedikit ba­nyak memungkinkan bisa tersaring SDM yang kapabel dan sejalan dengan itu agenda nasional gerakan Reformasi Mental menjadi koheren dan sejalan dengan upaya internal KPU itu sendiri. Beberapa upaya guna mendukung agenda peningkatan integritas penyelenggara pemilu juga patut dilakukan sebagai bentuk koreksi dan evaluasi dari skema yang sudah berjalan: a. Memperjelas dan mempertajam indikator persyaratan penyelenggara yang ada dalam undang undang dengan dibarengi petunjuk teknis mengarah kepada bagaimana profil sebenarnya dari calon dengan fasilitasi yang lebih luas terhadap masukan masyarakat dan ada meka­ nisme verifikasi ke lapangan terhadap profil calon penyelenggara; b. Mekanisme sistem rekruitmen tim seleksi KPU, pilihan terhadap tim seleksi yang berbasis akedemisi, tokoh masyarakat, tokoh agama dan profesional tetap sebagai sesuatu yang ideal dan melihat fakta bahwa problem utama adalah mental akan sangat bijak bila penitik-beratan aspek keagamaan (tidak membedakan agama) karena pada aspek rekam jejak moral dari calon timsel ini bisa dijadikan indikator utama; c. Dengan sistem rekruitmen timsel seperti di atas akan otomatis berkecenderungan yang sama pada mekanisme rekruitmen anggota KPU, yang mengutamkan profil sdm yang bermoral serta beretika bagus dan pola yang sama akan diberlakukan untuk rekrutmen badan penyelenggara ad-hoc ppk, pps dan kpps; d. Desain sosialisasi yang lebih ditingkatkan dengan target atensi yang lebih tinggi dari masukan masyarakat, lebih lebih di era digital tidak semua akses media berkorelasi biaya dan harus ada niatan kuat untuk berani terbuka oleh semua pihak agar filtrasi bisa betul betul menghasilkan para penyelenggara terbaik; e. Kebersamaan dan kolektifitas bisa menjadi alat ampuh untuk mengontrol kecen­ derungan penyelewengan dan tindakan non-integritas dalam bentuk peningkatan etos kerja, disiplin jam kerja, pe­nguatan kelembagaan, jadwal kajian rutin kepemiluan bagi penyelenggara, harmonisasi hubungan antara komisio­ner dan sekretariat dalam bentuk kegiatan bersama adalah upaya bisa dilakukan; f. Penguatan, perluasan kewenangan dan peningkatan status badan tetap di tingkat kabupaten/kota untuk bawaslu akan menjadi tren bagus dalam hal komunikasi dan kerjasama kpu dan Bawaslu kabupaten/kota, karena diakui atau tidak perbedaan status tetap dan ad-hoc dari panwas seringkali menjadi faktor utama adanya hubungan yang kurang harmonis, miss interpretation, miss perception, overleap kewenangan dan problem regulasi. Penguatan status ini secara otomatis berimbas pada tuntutan profesionalitas dan kinerja hingga fungsi proses pe­ ngawasan bisa optimal dan output akhir adalah integritas proses tahapan pemilu yang di kelola KPU; g. Wacana penguatan DKPP dengan sekretariat mandirinya juga sesuatu yang positif menjawab problem akses yang selama ini terjadi, sehingga kinerja pengawasan dan kontrol jauh lebih maksimal; h. Terciptanya dan terpeliharanya collective good will menuju perbaikan demokrasi dengan semangat abdi negara adalah semangat yang harus terus dipelihara sebagai tanggungjawab bersama mengemban amanah rakyat; i. Penegakan hukum baik pemilu dan pidana yang berani, serta sistem reward dan punishment akan bisa berimplikasi positif kepada komitmen integritas. Sebagai kesimpulan pemandangan yang bertolak belakang dari satu sisi dapat dilihat sebuah fakta keberhasilan dan kesuksesan buah dari upaya tulus, kerja keras yang terus menerus dilakulan KPU disehadapkan pada kenyataan bahwa fakta fakta pelanggaran dan kecurangan akan terus terjadi di setiap gelaran pemilu yang mencederai integritas penyelenggara, menyadarkan pada kita bahwa semua merupakan proses panjang yang harus dilakukan konsisten dari generasi ke generasi, upaya perbaikan terus menerus menuju tatanan demokrasi yang mapan tidak boleh berhenti dilakukan dan dengan penuh harapan dan keyakinan bahwa setiap usaha perbaikan membawa pada level demokrasi yang lebih tinggi dan semoga demokrasi kita di masa datang terus membaik menuju demokrasi substansial. r Suara KPU Jawa Timur November 2016 23 MOH. HAMZAH Ketua KPU Kabupaten Pamekasan Harga Mati Penyelenggara Pemilu: Independen, Integritas, Profesional Dinamika perkembangan sistem pemilu yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan begitu cepat, bahkan hingga saat ini persoalan pemilu tidak pernah berhenti diperbincangkan, acap menjadi topik diskusi yang dilakukan secara formal maupun informal di kalangan akademisi, pengamat politik dan ketatanegaraan. S aat ini Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu sudah menapaki tahapan pemilihan kepala daerah serentak gelombang kedua yang akan dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 15 Februari 2017. Pada penyelenggaraan pemilihan kepada daerah kali ini diikuti sebanyak 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota, yakni kepala daerah yang periodenya berakhir pada semester kedua 2016 dan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir 2017. Hampir pasti pada setiap penyeleggaraan pemilu termasuk pemillihan kepala daerah ini selalu ada yang berperkara dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Hingga pelaksanaan pemilihan kepada daerah serentak 2015 terdapat kurang lebih 147 gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan sebagian besar materi gugatan yang diajukan adalah penyelenggara yang dianggap tidak profesional atau tidak kredibel dalam melaksanakan tugas kepemiluan yang telah diamanatkan dalam undang-undang. Sepengetahuan penulis dari 24 Jurnal IDe sejumlah gugatan tersebut maka ada 7 (tujuh) gugatan yang dilanjutkan, dari gugatan yang dilanjutkan hanya 5 (lima) gugatan yang diterima untuk dilakukan pemilihan ulang. Terlepas berapa pun yang dilanjutkan atau yang diterima keadaan itu harus menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara pemilu dalam merencanakan dan melaksanakan suatu pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan baik yang dapat diterima oleh semua pihak dengan legitimasi kuat dalam proses demokrasi. Ada sejumlah variable yang mempenga­ ruhi pelaksanaan pemilu yang dapat diterima oleh berbagai pihak seperti yang dijelaskan oleh Alan Wall dkk, dalam Arif Ma’ruf Suha (2014:17) dalam bukunya berjudul “Electoral Management Desaign” menetapkan tujuh prinsip untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu yaitu: independence, impartiality, integrity, trans­ parency, efficiency, proffessionalism dan service-mindedness. Disampin tujuh prinsip itu, ada satu prinsip yang tidak kalah penting untuk dijadikan sebagai landasan nilai dalam membangun lembaga penyelenggara pemilu adalah accountability. Pada dasarnya prinsipprinsip tersebut juga sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas. Berkaitan dengan hal tersebut selengkapnya dijelaskan pada pasal 109 sampai dengan pasal 115. Sehubungan hal tesebut maka salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada adalah integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kedua institusi ini merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu yang diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing dengan tetap menjunjung tinggi kredibilitas dan akun­ tabilitasnya. Tentu semua pelaksanaan tugas dan kewenangannya ini berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan. Penyelenggara Pemilu Berintegritas dan Independen Integritas dapat diartikan pula sebagai suatu sikap dan keadaan konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan yang nyata. Kemudian integritas berkaitan pula dengan kualitas moral. Secara umum integritas dapat dipahami sebagai kejujuran, ketulusan, kemurnian, dan kelurusan. Kejujuran merupakan pilar utama kualitas moral seseorang. Dalam hal integritas tidak hanya jujur kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Dalam penyelenggaraan pemilu kesesuaian Suara KPU Jawa Timur November 2016 25 antara ucapan dan tindakan ini bagi penyelenggara sangat diharapkan semua pihak, sebagaimana pelaksanaan pemilu tahun 1955 yang berlngsung sangat demokratis dan damai di tengah kuatnya ikatan primoldial yang membelenggu parpol dan masyarakat pada saat itu. Namun sangat disayangkan setelah pemilihan umum tahun 1955 pemerintah Orde Lama tidak lagi melakukan pemilihan umum, bahkan legislatif menyatakan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup, hal ini berakhir sampai kejatuhan Bung Karno se­telah peristiwa G 30 S/PKI (Inu Kencana Syafii dkk: 100). Hadirnya lembaga pemilu yang bersifat independen menjadi penting dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis, bebas dari intervensi, dan kontrol pemerintah yang sedang berkuasa (Arif Ma’ruf Suha (2014: 34). Untuk dapat melaksanakan pemilihan umum yang independen dan dapat dipertanggungjawabkan, maka penyelenggara pemilu ada setiap tingkatan dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun penyelenggara pemilu yang bersifat ad hoc yaitu PPK, PPS maupun KPPS dituntut harus dapat selalu menjaga integritasnya dalam melakukan seluruh tahapan dalam pemilihan. Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara de­ ngan tanggungjawabnya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang me­ ngatur pemilu tersebut. Komitmen penyelenggara dengan integritas tersebut maka akan diperoleh kepercayaan publik, terutama dari pemilih, maupun para kontestan pemilu, baik kandidat orang per-orang ataupun partai politik, yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain.Dalam rangka menjaga independesi dan integritas bagi penyelenggara pemilu maka penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah bagian substansial dalam memba­ngun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran etik bagi semua penyelenggara pemilu mengenai pentingnya melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional dan independen. Sehubungan dengan hal itu keha­diran DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara 26 Jurnal IDe Pemilu) menjadi penting dalam menjaga dan mengukur independensi dan integritas penyelenggara pemilu. Untuk itulah DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam menjaga dan me­ngawal kehormatan pemilu mengutamakan penegakan hukum dan etika (Rule Of Law and The Rule Of Ethics) secara bersamaan bagi semua penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Independensi dan integritas penyelenggara pemilu makin kuat setelah terbitnya Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi suatu keharusan yang tidak bias ditawar lagi. Undang Undang ini memberikan mandat pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan yang final dan mengikat. Secara institusional DKPP resmi dibentuk 12 Juni 2012. Lembaga tersebut merupakan amanat Pasal 109 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Eksistensi lembaga ini sebagai benteng terakhir dalam membangun sekaligus menjaga independensi, integritas, dan profesionalitas penyelenggara pemilu. DKPP pada hakikatnya bertujuan me­ negakkan independensi, integritas dan profesionalisme pada semua lembaga penyelenggara pemilu dengan menjunjung tinggi kode etik yang telah disepakati bersama. Secara spesifik institusi DKPP ini mempunyai tujuan “menjaga kemandirian, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Propinsi atau KIP Aceh, Anggota KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN, Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengutamakan kepentingan Negara Kesauan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan” (pasal 4 Kode Etik Penyelenggara Pemilu). Sebenarnya lembaga yang bertugas me­ ngawasi independensi penyelenggara pemilu sudah ada sejak tahun 2008 yaitu Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) akan tetapi kewenangannya tidak begitu kuat, karena lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi kepada KPU dan bersifat ad hoc. Berbeda dengan DKPP yang mempunyai kewenangan lebih kuat karena bisa melakukan pemeriksaan, mengadili, dan memutuskan pengaduan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu yaitu KPU, Bawaslu, serta semua lembaga-lembaga ad­ hoc di bawahnya masing-masing. Dalam penetapan putusan DKPP, yaitu berupa sanksi atau rehabilitasi, dilakukan dalam rapat pleno DKPP setelah melakukan penelitian atau verifikasi, mendengarkan keterangan saksi-saksi, dan memperhatikan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan. Keha­ diran DKPP telah menumbuhkan semangat penyelenggara pemilu untuk bekerja secara professional dan berintegritas. KPU juga menjadi inisiator utama dalam merumuskan peraturan bersama tentang kode etik penyelenggara pemilu. Dalam menangani dugaan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara di lapangan, KPU melakukan sejumlah langkah seperti klarifikasi kepada penyelenggara yang diduga melakukan pelanggaran. Klarifikasi juga dilakukan kepada pihak di luar penyelenggara seperti pengawas untuk mendapatkan informasi pembanding. Sebagai penyelenggara pemilu KPU juga mendorong penyelenggara di bawahnya un- tuk mengadukan secara langsung penyelenggara di bawahnya yang diduga kuat terlibat pelanggaran pemilu. Sikap proaktif tersebut sebagai bukti bahwa KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang menjadi pengambil kebijakan dan pemberi dukungan teknis bekerja secara profesional dan bertanggung jawab. KPU membatasi keikutsertaan masyarakat yang pernah menjadi panitia PPK dan PPS dalam dua periode pemilu. Pembatasan ini diharapkan bisa mendapat panitia penyelenggara yang lebih berintegritas. Anggota KPU RI, Ferry Kurnia Rizkyansyah menyatakan “Semangat yang ingin dibangun di sini karena dari banyak evaluasi terhadap panitia ad hoc, penuh catatan walau tidak semua bermasalah. KPU ingin ada mekanisme merit sistem dalam rekrutmennya dalam rangka mendapatkan PPK atau PPS yang berintegritas.” Untuk itulah integritas dan independen dan profesaionalisme menjadi harga mati bagi penyelenggara pemilu dalam mengawal proses demokrasi di negeri yang kita cintai ini. Penyelenggaraan pemilu merupakan tugas berat penyelenggara pemilu dengan mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan yang menjadi out put demokrasi dalam pelaksanaan tugas mulia penyelenggara pemilu di Indonesia. r Suara KPU Jawa Timur November 2016 27 SORKRISNO ADI Divisi Hukum KPU Kota Mojokerto Variabel Pemilu: “Free and Fair” Demokratisasi yang diadopsi di negara kita pada hakikatnya merupakan penjabaran dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang kemudian diuraikan dalam berbagai HAM, seperti Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. I nter Parliament Union (IPU) pada September 1994 merinci pengertian pemilu yang bebas dan adil itu dalam Deklarasi tentang Kriteria Pemilu Bebas dan Adil. Namun rangkaian penyelenggaraan pemilu berdasarkan prinsip demokrasi tak hanya menyangkut dua hal itu merujuk Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 bahkan menentukan ada enam ukuran pemilu demokratis: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sehingga Berbagai UU Pemilu kemudian menambah dua kriteria lagi: transparan dan akuntabel, sehingga untuk dapat melaksanakan pemilu yang dapat dipertanggungjawabkan, maka di perlukannya penyelenggara pemilihan umum pada setiap tingkatan yakni mulai dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun penyelenggara Pemilu yang bersifat Adhoc yaitu PPK, PPS maupun KPPS dituntut harus dapat selalu menjaga integritasnya dalam melakukan seluruh tahapan pemilu. Oleh sebab itu salah satu faktor utama bagi keberhasilan penyelenggaraan pemilu 28 Jurnal IDe terletak pada kesiapan dan profesionalitas penyelenggara pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pe­ngawas Pemilu, sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Kedua institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing. Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan nyatanya serta integritas juga merupakan kualitas moral. Secara sederhana integritas adalah ke­ sesuaian antara ucapan dan tindakan serta merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Penyelenggaraan pemilu yang secara konsepsional dapat di lihat dari perspektif manajemen organisasi penyelenggara pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan menjalankan peraturan administrasi pemilu yang meliputi pengaturan teknis-operasional tahapan dalam bentuk perumusan peraturan internal KPU dan Bawaslu yang sejalan de­ ngan Undang-Undang, menegakkan peraturan tindak pidana pemilu, maupun terkait dengan pelaksanaan peraturan penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Penegakkan kode etik penyelenggara pemilu adalah bagian substansial dalam membangun kualitas pemahaman dan menanamkan kesadaran etik bagi semua penyelenggara pemilu me­ ngenai pentingnya melaksanakan tugas dan fungsi secara professional dan independen. DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu dalam menjaga dan mengawal kehormatan pemilu mengutamakan penegakan hukum dan etika (Rule Of Law and The Rule Of Ethics) secara bersamaan. Berbagai upaya uapaya perbaikan regulasi dan aturan main ( rule of the game) dilakukan dalam mengatur pelaksanaan pemilu, termasuk mengatur penyelenggaraan pemilu, sehingga dapat memiliki integritas yang kuat dalam menjalankan tahapan pemilu tersebut. Undang Undang 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan mandat pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dengan sifat keputusan yang final dan mengikat, sehingga DKPP mempunyai kewenangan lebih kuat karena bisa melakukan pemeriksaan, mengadili, dan memutuskan penga­ duan atau laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Dalam menangani dugaan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara di lapangan, KPU melakukan sejumlah langkah seperti klarifikasi kepada penyelenggara yang diduga melakukan pelanggaran. Klarifikasi juga dilakukan kepada pihak di luar penyelenggara seperti pengawas untuk mendapatkan informasi pembanding. KPU juga mendorong penyelenggara secara berjenjang untuk mengadukan secara langsung penyelenggara di bawahnya yang diduga kuat terlibat pelanggaran pemilu. Sikap proaktif tersebut sebagai bukti bahwa KPU ingin setiap penyelenggara pemilu yang menjadi pengambil kebijakan dan pemberi dukungan teknis bekerja secara profesional dan bertanggungjawab. KPU membatasi keikutsertaan masyarakat yang pernah menjadi panitia PPK dan PPS dalam dua periode pemilu. Pembatasan ini diharapkan bisa mendapat panitia penyelenggara yang lebih berintegritas, sehingga disamping adanya pengkaderan penyelenggara juga diharapkan dapat meminimalisir pemikiran untuk berbuat curang dalam melaksanakan tugas kepemiluan dan di sisi lain guna memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara KPU menggunakan sejumlah sistem teknologi informasi dalam mengelola tahapan pemilu DPR, DPD dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yakni sistem informasi partai politik (SIPOL), sistem informasi daerah pemilihan (SIDAPIL), sistem informasi pendaftaran pemilih (SIDALIH), sistem informasi pencalonan (SILON); sistem informasi logistik (SILOG) dan sistem informasi penghitungan suara (SITUNG). Semua sistem informasi tersebut dikelola dan berada di bawah kendali KPU dan dapat untuk diakses oleh masyarakat atau stakeholders. Adapun suatu perwujudan baru terhadap system informasi Dalam menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah serentak tahun 2015 lalu, selain memanfaatkan dan mengembangan sistem informasi yang telah digunakan pada pemilu 2014, KPU membuat satu sistem informasi yang baru yakni sistem informasi tahapan pilkada (SITaP). SITaP berfungsi untuk memberi kemudahan kepada KPU RI dalam menghimpun informasi penyelenggaraan tahapan pilkada dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Upaya-upaya perbaikan tersebut telah mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak yang melakukan penilaian terhadap pelaksana pemilu antara lain upaya perbaikan pemilu untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas telah dilakukan dari berbagai aspek. Hasilnya pemilu DPR, DPD dan DPRD serta pemilukada serentak gelombang pertama pada tahun 2015 sehingga kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan dan hasil pemilu juga makin meningkat. Indek Demokrasi Indonesia (IDI) Suara KPU Jawa Timur November 2016 29 pada tahun 2014 dan tahun 2015 juga me­ ningkat dibanding tahun sebelumnya. Pengukuran indek demokrasi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan IDI tahun 2014 mencapai 73,04 dalam skala indeks 0-100 atau naik 9,32 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang capaiannya sebesar 63,72. Capaian IDI 2014 ini masuk dalam kategori sedang. Meski demikian, angka tersebut sudah melampaui target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang dipatok 73,00. Terakhir, yang paling fenomenal adalah keterbukaan informasi penghitungan suara sehingga masyarakat dapat mengakses informasi hasil penghitungan suara sampai ke level TPS. Melalui portal https://pemilu2014. kpu.go.id publik dapat mengakses informasi perolehan suara DPR, DPD dan DPRD Pemilu 2014 dari semua TPS, rekapitulasi suara di kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Selanjutnya melalui portal https://pilpres2014. kpu.go.id publik dapat mengakses informasi perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 dari semua TPS dan rekapitulasi dari setiap kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Keterbukaan informasi pemilu lewat aplikasi scan salinan formulir C1 (sertifikat penghitungan suara dan rincian perolehan suara di TPS) cukup berhasil. Terbukti KPU secara nasional mampu menghimpun, memindai, mengirim dan menayangkan scan C1 untuk pemilu DPR, DPD dan DPRD mencapai 81,5 persen dan 98,7 persen untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Keterbukaan hasil penghitungan suara di TPS juga telah memantik kesadaran dan tanggung jawab publik untuk mengawal proses penghitu­ ngan dan rekapitulasi berjenjang, terutama untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sudah kita laksanakan tahun 2014, dan tidak hanya cukup dengan tersedianya sarana dan prasarana akses keterbukaan informasi publik saja akan tetapi juga tidak kalah pentingnya dan hal yang merupakan faktor keterkaitan dengan hal yang secara fundamental atas tercitanya penyelenggaraan pemilu adalah regulasi dan aturan main (rule of the game), sehingga tolak ukur seluruh institusi penyelenggara dengan seluruh jajarannya dalam hal ini kapasitas KPU dan 30 Jurnal IDe Bawaslu sebagai penyelenggara telah menggunakan tiga kuadran utama yaitu, kapasitas regulatif, implementatif dan administratif, sehingga kapasitas regulatif dilihat dari kemampuan dalam menerjemahkan dan dalam memahami undang-undang dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilu, kapasitas implementatif, diukur dengan bagaimana seluruh jajaran institusi penyelenggara pemilu melihat sejauhmana dalam melakukan pengawasan, mulai dari masa persiapan dan penetapan pemilih, sampai dengan masa pelantikan calon terpilih. Termasuk dalam kapasitas implementasi adalah bagaimana institusi penyelenggara pemilu mendistribusikan logistik pemilu secara cepat, akurat dan sesuai dengan waktu yang di butuhkan dan yang terakhir adalah kapasitas administratif diukur dari institusi penyelenggara ikhwal memutakhirkan data pemilih, mengecek akurasi data para kontestan pemilu dan dalam menghitung pe­ rolehan suara dari masing-masing kontestan pemilu di sisi lain penyelenggara pengawas pemilu dalam kapasitas administratif diukur dari kemampuannya melakukan pengawasan dalam pemutahiran data pemilih, pengawasan atas akurasi data para kontestan para kontestan pemilu dan pengawasan dalam pemungutan suara sampai dengan penetapan hasil penghitungan suara masing-masing para kontestan pemilu. Sehingga ketika kita melihat pada indikator tersebut terlihat bahwa kapasitas atau profesionalisme seluruh jajaran penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya menjadi tolak ukur yang mutlak atas terselenggaranya pemilu sesuai dengan azas demokrasi dan azas penyelengaraan pemilu, mengingat penyelenggara pemilu adalah instrumen terpenting dalam mensukseskan pemilu, maka di dalam institusi dan kelembagaan penyelenggara pemilu harus di isi oleh orang orang yang mempunyai integritas, dedikasi tinggi, kredibel, kapabel dan memiliki komitmen moral yang kuat untuk bersikap Independen melalui proses perekrutan politik yang dilakukan secara selektif, fair serta terbuka sehingga ketika dalam melaksakan tugas dan kerja memiliki kredibilitas yang baik dan dapat di pertanggung jawabkan di mata publik. r MUHAMMAD IMAM SUBKHI Subbag Program dan Data KPU Kota Kediri Open Data dan Penguatan Integritas Penyelenggara Pemilu Pemilu merupakn sebuah cara mengonversi suara menjadi kursi di parlemen dan pemimpin di eksekutif. Pemilu adalah sebuah keniscayaan yang harus dilaksanakan di Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. D alam prosesnya, pemilu tentu akan melibatkan hampir seluruh warga negara yang sudah dewasa. Sebagai sebuah arena perebutan kekuasaan secara konstitusional di masa damai, tentu akan menjadi sebuah pertarungan politik antar partai politik dalam memenangkan kontestasi politik di sebuah negara atau pemerintahan. Pertarungan ini tentu saja ingin dimenangkan oleh setiap orang yang tengah berkompetisi di dalamnya. Tapi pertarungan selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Pemilu menjadi arena pertarungan politik secara periodik dalam perebutan kekuasaan. Penyelenggara pemilu seringkali menjadi pihak yang paling mudah disalahkan atas kekalahan petarungan politik dalam merebut kekuasaan oleh sebagian kelompok yang kalah. Karena itulah penyelenggara pemilu harus menjalan­ kan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan pemilu dan berintegritas. Integritas menjadi sebuah harga mati selain bagi penyelenggara untuk menjadikan pemilu yang legitimate. Dalam konteks penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, penyelenggaraan pemilu melibatkan jutaan orang untuk menjadi penyelenggara mulai tingkatan paling bawah hingga pusat. Pemilihan umum Anggota Legislatif 2014 melibatkan 4.122.958 orang dengan rincian berikut (tabel 1). Tingkatan Jumlah Personil KPU RI 7 KPU Provinsi 167 KPU Kab/Kota 2.485 PPK 34.900 PPS 243.396 PPLN 16.900 KPPS 2.729.015 KPPSLN 3.486 Linmas 1.092.602 JUMLAH 4.122.958 Tabel 1 Suara KPU Jawa Timur November 2016 31 lenggara dengan tanggungjawabnya. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Mendapatkan kepercayaan dilakukan dengan berbagai cara, mulai melakukan transparansi anggaran dan data kepemiluan, bersikap imparsial, profesional, tidak memboroskan anggaran dan melakukan pelayanan yang baik untuk semua pihak. Jumlah tersebut tentu akan lebih banyak lagi jika ditambah oleh pegawai mulai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi, Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS. Karena pemilu tidak sekedar pemungutan dan penghitungan suara saja, namun banyak kegiatan yang harus dilakukan untuk sampai pada proses penetapan calon terpilih. Pertaruhan integritas terkadang dihadapkan oleh alasan klasik yang berkaitan dengan finansial. Karena para penyelenggara merasa kurang dalam perolehan penghasilan dan menanggung beban pekerjaan yang dirasa berat. Secara kalkulasi, hal itu sebenarnya kini bukan lagi menjadi alasan yang dapat dibenarkan. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2016 telah menetapkan uang kehormatan yang lumayan untuk para penyelenggara pemilu mulai KPU RI, 34 KPU Provinsi dan KIP Aceh, dan 497 KPU Kabupaten/Kota dengan rincian berikut (tabel 2). Dikutip dari paper “Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilu”, The International IDEA menetapkan 7 prinsip yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: independence, impartiality, integrity, trans­ parency, efficiency, proffessionalism dan ser­ vice-mindedness. Selain itu, satu prinsip yang tidak kalah penting untuk dijadikan sebagai landasan nilai dalam membangun lembaga penyelenggara pemilu adalah accountabil­ ity. Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penye- Tingkatan Open Data Mengikis Kecurigaan Kualitas penyelenggaraan pemilu secara radikal berubah saat Pemilu 2014. KPU mampu menyajikan data secara kolosal berupa hasil pemindaian Formulir C1 melalui aplikasi Situng Pileg dan Pilpres kemudian dilanjutkan dengan Situng Pilkada yang merupakan sebuah catatan baru sejarah pemilu di Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Walaupun belum mampu melaksanakan e-voting, KPU mampu menampilkan data secara otentik dari tiap-tiap TPS dari seluruh Indonesia. Masyarakat dapat memantau secara langsung apakah hasil perolehan suara dari TPS tempat mereka memilih berubah atau tidak setelah sampai di KPU. Ini tentu saja menjawab sebuah kecurigaan banyak kalangan jika KPU melayani pemenangan salah satu kontestan dalam pemilihan umum. Dengan penyajian data secara terbuka ini, KPU mampu mengendalikan “kenakalan” yang bisa saja dilakukan oleh personilnya di daerah yang mungkin saja membuka kemungkinan terjadinya politik yang dengan melakukan tawar-menawar dengan kontestan untuk merubah perolehan suara. Politik uang memang sebuah efek negatif dari penyelenggaraan pemilihan umum. Dampak negatif ini Jumlah Komisioner (A) 7 KIP Provinsi Aceh 7 1 7 KPU Provinsi 5 33 165 5 497 2.485 TOTAL 7 2.664 Tabel 2 Jurnal IDe 1 Jumlah Komisioner (AxB) KPU RI KPU Kab/Kota 32 Jumlah Satker (B) muncul karena peserta pemilu yang tidak memiliki kesiapan menerima kekalahan, sehingga yang dilakukan adalah membeli suara rakyat untuk memperoleh kemenangan. Namun seiring perkembangan teknologi, segera menyesuaikan diri dengan melakukan tindakan cerdas membangun sistem pengamanan C1 secara terbuka. Penyajian C1 secara terbuka ini menutup akses pihak-pihak yang berusaha curang. Karena setelah pencoblosan dan penghitungan suara usai, KPU Kabupaten/Kota harus segera mengumpulkan, memindai dan me­ ngunggah sertifikat hasil perolehan suara di tingkat TPS di website yang disiapkan oleh KPU. Transparansi data ini tentu akan sangat bisa dikendalikan. Apabila petugas pengunggah data melakukan unggah data beberapa kali dan terjadi perubahan data, akan sangat mudah terdeteksi. KPU RI dapat segera turun ke lapangan dan memberikan sanksi ter­ hadap personilnya yang nakal. Dengan menampilkan data berupa gambar, akan sangat mudah ketahuan apakah gambar tersebut hasil scanning asli atau editan. Ini berbeda dengan data angka digital biasa yang sangat mudah untuk diubah. Open Data atau data terbuka intinya data tersebut dapat diakses oleh publik, dapat digunakan kembali, dan dapat digunakan oleh siapa saja. Teknologi yang berkembang saat ini memungkinkan data yang terbuka disalurkan dan disebarkan melalui berbagai perangkat aplikasi. Open data hasil pemilu yang telah dilakukan KPU ini tentu saja membuat para kontestan yang ingin merubah data hasil pemilihan umum, berfikir seribu kali. Melakukan kecurangan dengan merubah data jika sebelumnya berpotensi dilakukan di tingkat PPS hingga KPU, kini telah tertutup. Tentu open data seperti ini adalah cara cerdas untuk menghilangkan praktik kecura­ ngan dan menjawab kecurigaan banyak pihak atas integritas, independensi, dan transpa­ ransi penyelenggara pemilu. Di sisi yang lain, open data yang dilakukan oleh KPU ini memantik keterlibatan banyak pihak untuk aktif menjaga validitas data seperti yang dilakukan oleh kawalpemilu.org beberapa waktu lalu. Tak hanya open data hasil pemilu, KPU juga memberikan akses kepada masyarakat melalui aplikasi pemutakhiran data pemilih yaitu SIDALIH. Dengan aplikasi ini, pemilih bisa melihat secara online melalui perangkat smartphone maupun komputer yang terkoneksi jaringan internet apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum, masuk pada TPS mana dan berbagai fitur lainnya. Penggunaan aplikasi ini tentu saja tak lepas dari banyaknya sorotan banyak pihak atas data pemilih yang dianggap amburadul dalam pemilihan umum sebelumnya. Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2009 mendapatkan kritik tajam. Kritik terhadap KPU muncul akibat mengemukanya persoalan serius dalam pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu. Salah satu persoalan yang cukup mendapatkan sorotan terkait pemutakhiran daftar pemilih, yakni akurasi Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berubah-ubah hingga 3 (tiga) kali. Tentu saja sorotan seperti ini harus menjadi sebuah evaluasi KPU dalam penyelenggaraan pemilu di masa berikutnya. Open data akan meminimalisir transaksi data yang menyimpang. Selain itu, kontestan dan masyarakat dapat menggunakan data yang ditampilkan untuk berbagai keperluan mulai pemetaan politik, penelitian dan keperluan lainnya. Di sisi lain, integritas KPU juga diuji dalam masalah pengadaan barang dan jasa baik logistik pemilu maupun barang dan jasa lainnya untuk menunjang kegiatan pemilihan umum. KPU harus banyak belajar dari masa lalu, jangan sampai tersandung masalah hukum akibat permainan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Baik komisioner maupun pegawai sekretariat harus mampu menahan diri mencari keuntungan pribadi. Peningkatan besaran uang kehormatan untuk anggota KPU dan tunjangan kinerja untuk pegawai sekretariat KPU, serta penghasilan lainnya yang sah, harus menjadi sebuah refleksi diri, karena negara telah berusaha mencukupi kebutuhan dengan memberi penghasilan yang layak. r Suara KPU Jawa Timur November 2016 33 SOFYAN SAURI, SE. Divisi Perencanaan dan Data KPU Kota Pasuruan Seleksi Panitia ad hoc, Mewujudkan Penyelenggara Berintegritas Pemilu merupakan wadah bagi setiap orang untuk mewujudkan pilihan politiknya. Karena itu, Pemilu hendaknya menghasilkan keputusan yang dapat membawa masyarakat kepada keadilan dan kebenaran, serta mampu menetapkan wakil-wakil yang memiliki kredibilitas dan akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. P enyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil harus menjadi prasyarat bagi berkembangnya proses demokrasi yang adil dan egaliter. Semua orang memiliki hak dan kewajiban dalam menyukseskan pemilu. Penyelenggaraan pemilu harus mampu memenuhi rasa keadilan, serta menjadi salah satu pilar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut juga dicantumkan pada Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas. Berbicara masalah integritas dilihat dari bahasanya diambil dari bahasa Inggris yaitu integrity, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu integritat. Integritas menurut Poerwadarminta berarti kebulatan, keutuhan, atau kejujuran. Setidaknya ada tiga makna yang berkaitan dengan integritas. 34 Jurnal IDe Pertama, integritas sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan kondisi kesatuan, keseluruhan, keterpaduan. Makna ini biasanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan. Tentu yang dimaksud bukan hanya ke­satuan secara fisik namun juga kesatuan idea. Kedua, integritas adalah “incorruptibility”, keutuhan, kebulatan, yang tak tergoyahkan, tanpa cacat. Dalam bahasa matematika dikenal istilah integer, yang berarti bilangan bulat tanpa pecahan. Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan nyatanya. Ketiga, integritas adalah kualitas moral. Umum memahami integritas sebagai kejujuran, ketulusan, kemurnian, dan kelurusan. Kualitas jujur merupakan pilar utama kualitas moral seseorang. Integritas tidak hanya jujur kepada orang lain, tetapi juga jujur kepada diri sendiri. Secara sederhana integritas adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Untuk dapat melaksanakan pemilihan umum yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penyelenggara pemilihan umum ada setiap tingkatan dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun penyelenggara Pemilu yang bersifat ad hoc yaitu PPK, PPS maupun KPPS dituntut harus dapat selalu menjaga integritasnya dalam melakukan seluruh tahapan pemilu. Dalam konteks penyelenggara pemilu, integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggungjawabnya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu tersebut. Dengan integritas tersebut maka penyelenggara akan mendapatkan kepercayaan publik, terutama dari pemilih, maupun para kontestan pemilu, baik kandidat orang perorang ataupun partai politik, yang berkepentingan langsung dengan pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga pelayan publik untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Oleh sebab itu penyelenggara pemilu tidak hanya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam melaksanakan tugastugasnya, akan tetapi harus mempunyai kemampuan melaksanakan tugas secara berintegritas untuk menghindari masalah- masalah yang akan terjadi nantinya. Untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas ini KPU mengambil langkah yaitu dengan menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2015. Pada pasal 18 ayat 1 huruf k menjelaskan syarat bahwa belum pernah menjabat 2 (dua) kali sebagai Anggota PPK, PPS dan KPPS. Pembatasan ini diharapkan bisa mendapat panitia penyelenggara yang lebih berintegritas. Semangat yang ingin dibangun di sini karena dari banyak evaluasi terhadap panitia adhoc, penuh catatan walau tidak semua bermasalah. KPU ingin ada mekanisme merit sistem dalam rekrutmennya dalam rangka mendapatkan PPK atau PPS yang berintegritas,”( Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, SIP. M.Si). Diharapkan dengan adanya rekrutmen panitia ad hoc tersebut adanya proses penga­ deran penyelenggara. Disamping itu kehadiran Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota serta jajarannya sangat menentukan terciptanya penyelenggara pemilu yang berintegritas. Karena peran mereka adalah mengawasi dan membantu kinerja KPU dalam menyuksesSuara KPU Jawa Timur November 2016 35 kan penyelenggaran pemilu yang lebih baik lagi. Oleh sebab itu hubungan yang harmonis antara dua penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugasnya masing-masing sangat mempengaruhi terciptanya penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Disini perlunya adanya satu sistem komando yang harus diterapkan baik dikalangan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sampai ke panitia ad hoc PPK, PPS dan KPPS dalam memahami undang-undang kepemiluan dan peraturan-peraturan yang dilahirkan oleh KPU RI tanpa harus adanya menafsiran yang lain terhadap undang-undang dan peraturan pemilu. Penyelenggara pemilu disetiap tingkatan dalam melaksanakan tugasnya harus patuh dan tunduk dengan undang-undang dan peraturan yang ada. Begitu pun dengan Bawaslu, Baswalu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota juga harus patuh dan tunduk terhadap undangundang dan peraturan-peraturan yang dilahirkan dari Bawaslu. Sehingga akan tercipta satu pemahaman dan penyamaan persepsi dalam menjalankan tugasnya masing-ma­ sing sesuai apa yang diamanahkan undangundang. Penyelenggaraan pemilu tidak akan berjalan baik dan sukses jika diantara dua penyelenggara pemilu ini tidak memiliki konsep 36 Jurnal IDe pemahaman yang sama. Pembekalan dan bimbingan teknis di tiap-tiap tingkatan panitia adhoc mulai dari PPK, PPS, dan KPPS harus dilaksanakan dengan seksama, jangan sampai informasi yang ada putus di salah satu tingkatan panitia ad hoc. Oleh sebab itu dalam melaksanakan bimbingan teknis harus benar-benar kita kawal dengan sebaik-baiknya. PPK, PPS, dan KPPS mempunyai beban berat untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu yang berintergritas, namun hal itu tidak akan tercipta tanpa adanya semangat dari mereka untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya, jujur, adil, dan transparasi terhadap hasil pemilu yang ada. Kesalahan-kesalahan yang ada dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus dapat diminimalisir, sehingga hasil yang ada dapat dipertangungjawabkan. Akhirnya untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas adalah dengan cara memperbaiki seleksi panitia ad hoc. Rekrutmen dan seleksi PPK, PPS dan KPPS harus benar-benar dilakukan secara selektif dan berintegritas serta profesional. Hal tersebut akan melahirkan penyelenggara pemilu yang benar-benar mempunyai kapasitas untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. r