BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah terlepas dari komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk komunikasi tersebut dapat berupa simbol dan tanda-tanda dalam kehidupannya yang diciptakan baik secara alamiah ataupun diciptakan oleh manusia itu sendiri. Sebagai makhluk yang dikaruniai daya pikir, manusia juga dikarunia keterampilan untuk berkomunikasi dengan indah dan modern, sehingga manusia dapat melintasi rintangan jarak dan waktu untuk berkomunikasi. Dengan ini terciptalah simbol-simbol maupun tanda yang memberikan makna tersendiri pada gejala-gejala yang terjadi di dalam lingkungan di mana manusia itu tinggal. Kemampuan manusia membangun komunikasi ini, tidak terlepas dari peran bahasa, peran simbol dan peran tanda yang membantu manusia untuk saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Sebagai media komunikasi, bahasa dapat memiliki banyak fungsi yang dapat digunakan oleh manusia untuk berbagai kepentingan. Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana, 2005) bahasa berfungsi sebagai penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, dan melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Tujuan bahasa pun sama mengikui fungsinya yaitu menghubungkan pesan atau informasi antar sesama manusia. Bahasa erat kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Pola pikir seseorang terlihat dari cara ia membahasakan segala sesuatu hal. Salah satu bentuk dari proses pemaparan pikiran adalah pidato. Pidato pelantikan yang dibawakan Donald Trump pada tanggal 20 Januari 2017, terlihat bahwa ia sedang berusaha membius massyarakat Amerika khususnya melalui pidatonya yang berbau pencitraan untuk mempengaruhi opini publik yang mulai meredup atas dirinya. Universitas Sumatera Utara Retorika yang dilakukan oleh Donald Trump merupakan jenis pidato impromptu. Menurut Jalaluddin Rakhmat impromptu merupakan jenis pidato yang bersifat langsung tanpa ada persiapan sebelumnya (Rakhmat, 2011: 17). Melalui pidato tersebut kita dapat memahami bahwa setiap bahasa penyusunan kalimat-kalimatnya cenderung persuasif dan juga provokatif disitu terlihat bagaimana penekanan-penekanan pada kata-kata tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang. Pada umumnya jika lambang adalah kata-kata dari pembicaraan politik maka bahasa adalah permainan kata dari wacana itu (Nimmo, 2006:84). Pidato atau istilah bahasa Inggris disebut public speaking, pada hakikatnya adalah berbicara di muka umum, baik langsung maupun tidak. Langsung dalam arti si pembicara langsung berkomunikasi secara berhadapan muka (face to face) dengan hadirinnya. Namun pidato pun bisa dilakukan secara tidak langsung, yaitu berbicara melalui media massa untuk konsumsi umum. Dalam hal ini pesan komunikasi atau materi pembicaraan disalurkan dari si pembicara melalui media massa kepada khalayak. Pidato, baik langsung maupun tidak, pada dasarnya merupakan suatu komunikasi lisan (oral communication) di mana seorang komunikator menyampaikan buah pikiran dan atau perasaannya kepada sejumlah pendengar untuk tujuan tertentu sesuai dengan kehendaknya. Kegiatan demikian itu tiada lain merupakan salah satu jenis proses retorika (Suhandang, 2009: 207). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pidato berarti (1) Pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak; (2) Wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak. Bagi Aristoteles pidato merupakan seni untuk membujuk, mempengaruhi dan meyakinkan khalayak. Dalam pidato itu sendiri bisa diartikan sebagai keindahan berbahasa yang bersifat membenarkan (corective) memerintah (instructive) mendorong (suggestive) dan mempertahankan (defensive) (Surachman, 2006:190). Pidato adalah suatu konsep yang sama pentingnya dalam menganalisis retorika sebagai identifikasi atau sebagai simbolisme. Pidato adalah negosiasi. Ia adalah proses memberi dan menerima yang kreatif (Nimmo, 2005: 142). Universitas Sumatera Utara Bagi peneliti, pidato kepresidenan setelah pelantikannya merupakan cerminan keadaan sosial politik saat itu dan momentum untuk mengekspresikan semangat moral seorang presiden kepada seluruh rakyatnya dalam program kerja yang akan dilaksanakan menuju keadaan yang dijanjikan dan diinginkan. Pemilihan kata dan cara presiden mengungkapkan gagasannya melalui pidato merupakan hal yang menarik untuk diteliti, sebab melalui retorika dan gaya bahasa, presiden dapat mengungkapkan ideologinya tentang rencana kerja yang akan dilakukan pada masa pemerintahannya. Selain itu, dapat dilihat bagaimana penggunaan tindak tutur atau retorika terkait dengan tujuannya dalam mengajak dan mempersatukan seluruh masyarakat Amerika untuk bersama-sama bekerja membangun negara Amerika menjadi lebih baik. Selain itu, gaya bahasa juga dapat menunjukkan kepiawaian seorang presiden dalam berpidato. Retorika sebagai seni berbicara tidak hanya diartikan sebagai suatu kemampuan berbicara secara lancar dan jelas, tapi retorika adalah kemampuan berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika sebagai art of speech merupakan bentuk komunikasi yang diarahkan pada penyampaian pesan dengan maksud mempengaruhi khalayak agar dapat memperhatikan pesan yang disampaikan secara baik (Heryanto & Zarkasy, 2012:118). Retorika sering disamakan dengan public speaking, yaitu suatu bentuk komunikasi lisan yang disampaikan kepada sekelompok orang banyak, tetapi sebenarnya retorika itu tidak hanya sekedar berbicara di hadapan umum, melainkan merupakan suatu gabungan antara seni berbicara dan pengetahuan suatu masalah tertentu untuk meyakinkan pihak orang yang banyak melalui pendekatan persuasif (Rakhmat, 1999: 9). Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis (1999: 6-7), menuliskan: Dalam sejarahnya, Aristoteles murid dari Plato, melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, ditemukan lima hukum retorika. Selain itu, Aristoteles juga mengungkapkan bahwa ada tiga cara untuk mempengaruhi manusia antara lain ialah: Ethos, yakni kemampuan menunjukkan kepada Universitas Sumatera Utara khalayak bahwa anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya dan status yang terhormat. Kedua adalah Pathos, yakni kemampuan untuk menyentuh hati khalayak pada perasaan emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka. Dan yang ketiga adalah Logos, yakni kemampuan meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Disini anda mendekati khalayak lewat otaknya. Di Indonesia sendiri kita mengenal Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama sebagai bapak retorika Indonesia. Beliau dikenal sebagai bapak orator yang hebat. Keahliannya dalam orasi atau beretorika membuat seluruh rakyat Indonesia maju tak gentar melawan sekutu. Istilah-istilah yang dikemukakan oleh mantan Presiden Soekarno tertanam kuat dalam ingatan bawah sadar rakyat Indonesia sehingga para penjajah dapat dicegah untuk menguasai bumi pertiwi. Begitupula Donald Trump seperti yang sudah diketahui bahwa selama masa kampanye hingga kemenangannnya menjadi seorang presiden terpilih Amerika Serikat dengan suara electoral tertinggi tak lepas dari politik dan juga pencitraan. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS) sangatlah mengejutkan dunia. Berbagai tanggapan baik yang positif atau pun negatif bermunculan. Media massa sering menggambarkan Trump dengan katakata yang kasar yang tentu menimbulkan citra negatif tentang dirinya. Isu-isu negatif selalu dilekatkan padanya, terlepas apakah isu tersebut benar ataupun salah, misalnya suka melecehkan perempuan dan ia juga dianggap mengidap Islamphobia serta berkeinginan untuk membatasi jumlah imigran di Amerika. Sebuah pencitraan yang selama ini tidak pernah mengambil simpati dari publik. Stigma negatif tentang dirinya semakin meningkat apalagi ketika ia berbicara tentang perempuan dan juga Islam. Dalam Jurnal Komunikasi yang ditulis oleh Sondang Cisilia Sidabutar dengan judul “Pencitraan Politik Aburizal Bakrie dalam Teks Pidato Mendaki Semeru dan Teks Pidato Indonesia dalam Mimpi Saya” membahas tentang bagaimana calon Universitas Sumatera Utara presiden Aburizal Bakrie mencitrakan dirinya sebagai calon presiden 2014. Di dalam jurnal tersebut dideskripsikan bahwa kemampuan mengelola retorika yang baik dalam aktivitas politik seperti kampanye sangat penting dan dapat membentuk citra positif seorang Aburizal Bakrie di mata masyarakat sebagai pemimpin yang visioner, pemimpin yang intelektual, sosok pakar ekonomi dan sosok yang religius. Selain itu penelitian dalam skripsi Yaumul Afifah dengan judul “Retorika Wacana Kampanye Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilihan Presiden 2009” membuktikan bahwa penggunaan simbol-simbol dalam kampanye dan gaya bahasa menjadi kekuatan bagi SBY dalam mendukung kampanye yang dilakukan. Dalam sebuah kampanye merupakan sebuah arena bagi calon presiden atau aktor politik untuk menyampaikan gagasan, tujuan dan pengalamannya sehingga meningkatkan minat dan dapat meyakinkan calon pemilih tentang aktor tersebut. Retorika penting untuk diketahui karena apabila seseorang dapat menerapkan dengan baik teknik-teknik dan prinsip retorika, maka dapat dipastikan orang tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Singkatnya retorika merupakan salah satu kunci sukses dalam suatu kampanye politik. Retorika sendiri menurut Aristoteles adalah alat-alat persuasi yang tersedia. Baginya, menggunakan semua alat persuasi bukanlah merupakan suap atau penyiksaan, suatu cara yang umum digunakan pada masa Yunani kuno (West dan Turner, 2008: 6). Berdasarkan pandangan tersebut, berarti retorika adalah hal yang sangat wajar dilakukan terutama ketika adanya kampanye. Sedangkan retorika menurut Dori Wuwur Hendrikus (1991), berarti kesenian untuk berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Menurutnya, retorika membutuhkan sebuah dialektika (diskusi dan debat) dan elocutio (kelancaran berbicara) (Hendrikus,1991: 14). Pentingnya retorika sebagai suatu bagian ilmu yang masuk dalam disiplin ilmu komunikasi, maka peneliti tertarik untuk melihat dan menganalisis pidato pelantikan yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat saat ini Donald Trump Universitas Sumatera Utara dengan menghubungkan politik pencitraan yang sering beliau tampilkan ketika berbicara di depan publik melalui pidato di media massa menggunakan pendekatan retorika Aristoteles. 1.2 Fokus Masalah Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden ini, banyak hal yang dituangkan di dalam pidato tersebut seperti hal-hal yang ingin dicapai dan juga curahan hatinya. Berangkat dari teori retorika Aristoteles dan penjelasan pada latar belakang masalah, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana retorika yang dilakukan Donald Trump sebagai presiden, melalui pidato pelantikannya yang disiarkan langsung di Tvone?” 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ethos, pathos dan logosserta pencitraan yang dibentuk menggunakan analisis wacana kritis Van Djik dalam pidato pelantikan presiden yang dilakukan oleh Donald Trump di Tvone. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya ilmu retorika pidato. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti baik sebagai wacana atau referensi untuk keperluan studi lebih lanjut dan menjadi bahan baca. 3. Secara praktis, dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan wawasan peneliti tentang ilmu komunikasi terutama tentang ilmu retorika. Universitas Sumatera Utara